Jilid 2 - opac.lib.idu.ac.id
Transcript of Jilid 2 - opac.lib.idu.ac.id
BIOMATERIAL-BOTANIImplementasi Untuk Material Pertahanan
Riyadi JuhanaSovian Aritonang
BIO
MA
TE
RIA
L-B
OT
AN
Il
Im
ple
me
nta
si U
ntu
k M
ate
rial P
erta
ha
na
n
Jilid 2
Jilid 2
i
PENGANTAR PENULIS
Rekayasa biomaterial untuk teknologi pertahanam merupakan salah
satu pilar utama dalam mendukung kemajuan dibidang teknologi
pertahanan Indonesia. Karena dukungan sumber daya alam yang
dimiliki Indonesia sangat berlimpah terutama sumber daya alam hayati
yaitu hutan yang terdiri botani (tumbuhan dan pohon) yang
keanekaragamannya sangat kaya. Ini dapat dimanfaatkan untuk
pengembangan kemandirian kebutuhan material pada industri
pertahanan. Karena sampai saat ini kebutuhan material untuk industri
pertahanan masih didatangkan dari luar, terutama material untuk
memproduksi propelan, amunisi dan bahan peledak, yang bahan
dasarnya berupa bahan nabati yaitu selulosa dan resin yang berasal
dari tumbuhan atau pepohonan.
Buku Biomaterial-Botani, Implementasi Untuk Material
Pertahanan Jilid 2 sebagai rujukan dan referensi mahasiswa yang
akan mendalami dan meneliti teknologi pertahanan khusus biomaterial
untuk industri pertahanan, untuk mengetahui berbagai material yang
dibutuhkan untuk memproduksi alat dan peralatan di bidang
pertahanan. Saat ini jumlah universitas atau perguruan tinggi yang
memiliki Fakultas Teknologi Pertahanan hanya satu perguruan tinggi
yaitu Universitas Pertahanan. Namun, kami melihat belum ada satu
buku yang mengupas dengan lengkap mengenai Biomaterial Untuk
Material Pertahanan yang mendukung industri pertahanan.
Walaupun disusun sebagai buku teks mahasiswa, buku ini juga
bermanfaat bagi para praktisi di industri yang ingin memahami tentang
perkembangan dan peluang untuk masuk sebagai pelaku industri
pertahanan.
ii
Tidak ada ilmu yang sempurna dan kesempurna hanya milik Nya.
Dalam buku ini, kami memahami bahwa akan banyak kekurangan
disana-sini untuk penyempurnaan di masa yang akan datang. Kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca
semua. Terima kasih.
Sentul-Bogor, April 2020
Sovian Aritonang
Riyadi Juhana
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................... iii
BAB 6 LIMBAH KELAPA SAWIT ...................................................... 1
6.1 Kelapa Sawit .............................................................. 1
6.1.1 Syarat Tumbuh Kelapa Sawit .............................. 3
6.1.2 Estimasi Produksi .......................................... 1113
6.2 Potensi Limbah Kelapa Sawit ..................................... 17
6.2.1 Proses Pengolahan Sawit ................................. 18
6.2.2 Perebusan .................................................... 1121
6.2.3 Pemurnian dan Penjernihan Minyak Sawit/
Proses Klarifikasi .......................................... 1122
6.2.4 Pemisahan Biji dari Sisa-Sisa
Daging Buah (Ampas) ..................................... 23
6.2.5 Pengeringan dan Pemecahana Bijih Sawit ...... 1125
6.2.6 Pemisahan Inti Sawit dari Cangkang ................. 25
6.2.7 Tinjauan Hasil Sampingan Pengolahan TBS .... 1127
6.3 Jenis Limbah Sawit ................................................. 1327
6.3.1 Tandan Kosong Kelapa Sawit............................ 27
6.3.2 Cangkang (Shell) ............................................ 28
6.3.3 Serabut ( Fiber) .............................................. 29
6.3.4 Wet Decanter Solid (Lumpur Sawit) .................. 30
6.4 Pemanfaatan Limbah Sawit ....................................... 32
6.4.1 Limbah Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) ... 32
6.4.2 Limbah Cangkah dan Serabut ........................... 35
6.5. Pemanfaatan Limbah Kelapa Sawit
iv
Untuk Material Pertahanan ....................................... 36
Referensi ......................................................................... 41
BAB 7 LIMBAH NANAS ................................................................ 43
7.1 Nanas ....................................................................... 43
7.1.1 Nanas Varietas Queen ...................................... 46
7.1.2 Nanas Varietas Cayane .................................... 47
7.1.3 Nanas Varietas Spanish .................................... 48
7.2 Potensi Limbah Nanas ................................................ 49
7.3 Jenis Limbah Nanas ................................................... 51
7.3.1 Daun Nanas .................................................... 52
7.3.2 Mahkota Nanas................................................ 53
7.4 Pemanfaatan Limbah Nanas ....................................... 55
7.5 Pemanfaatan Limbah Nanas Untuk
Material Pertahanan .................................................. 83
Referensi ......................................................................... 88
BAB 8 ECENG GONDOK .............................................................. 91
8.1 Eceng Gondok ........................................................... 91
8.2 Potensi dan Permasalahan Eceng Gondok .................... 99
8.3 Pemanfaatan Eceng Gondok ...................................... 101
8.3.1 Pemanfaatan Eceng Gondok
Untuk Bahan Kerajinan .................................... 102
8.3.2 Pemanfaatan Eceng Gondok Sebagai
Biogas ............................................................ 113
8.3.3 Pemanfaatab Eceng Gondok Sebagai
Bahan Baku Kertas .......................................... 116
8.4 Pemanfaatan Eceng Gondok Untuk
v
Material Pertahanan .................................................. 132
Referensi ........................................................................ 135
BAB 9 POHON LONTAR .............................................................. 137
9.1 Pohon Lontar ............................................................ 137
9.1.1 Manfaat Tanaman Lontar ................................ 139
9.1.2 Serabut Tanaman Lontar ................................. 140
9.2 Potensi Pohon Lontar ................................................ 142
9.3 Pemanfaatan Pohon Lontar ....................................... 145
9.3.1 Penyadapan Lontar ......................................... 146
9.3.2 Pengolahan Bioetanol Lontar ........................... 149
9.4 Pemanfaatan Pohon Lontar Untuk
Material Pertahanan .................................................. 154
Referensi ........................................................................ 161
BAB 10 JAGUNG ......................................................................... 163
10.1 Tanaman Jagung .................................................... 163
10.1.1 Asal Tanaman Jagung ................................. 164
10.1.2 Evolusi Tanaman Jagung ............................. 167
10.1.3 Penyebaran Tanaman Jagung ...................... 177
10.1.4 Taksonomi Tanaman Jagung ....................... 180
10.2 Potensi Limbah Jagung ........................................... 182
10.2.1 Kulit Jagung ............................................... 182
10.2.2 Tongkol Jagung .......................................... 184
10.3 Pemanfaatan Limbah Jagung .................................. 185
10.3.1 Pemanfaatan Tongkol Jagung
Untuk Produk Kesehatan
(Pembalut Wanita) ...................................... 186
vi
10.3.2 Pemanfaatan Kulit Jagung
Untuk Metil Selulosa .................................... 196
10.4 Pemanfaatan Limbah Jagung
Untuk Material Pertahanan ...................................... 209
Referensi ....................................................................... 210
INDEKS ...................................................................................... 215
TENTANG PENULIS...........................................................................
1
BAB 6
LIMBAH KELAPA SAWIT
6.1 Kelapa sawit
Kelapa sawit (Elaeis guinensis jack) merupakan pohon/tanaman
perkebunan/industri berupa pohon batang lurus dari famili Palmae.
Tanaman tropis ini dikenal sebagai penghasil minyak sayur asalnya dari
Amerika. Tepatnya di Brazil yang merupakan tempat di mana pertama
kali kelapa sawit tumbuh. Kemudian dari tempat ini tanaman kelapa
sawit menyebar ke Afrika, Amerika Equatorial, Asia Tenggara, dan
Pasifik Selatan. Benih kelapa sawit pertama kali yang ditanam di
Indonesia pada tahun 1984 berasal dari Mauritius, Afrika. Perkebunan
kelapa sawit pertama dibangun di Tanahitam, Hulu Sumatera Utara
oleh Schadt (Jerman) pada tahun 1911.
Selain penghasil minyak sayur itu kelapa sawit juga memiliki banyak
manfaat yaitu sebagai bahan bakar alternatif Biodisel, bahan pupuk
kompos, bahan dasar industri lainnya seperti industri kosmetik, industri
makanan, dan sebagai obat. Prospek pasar bagi olahan kelapa sawit
cukup menjanjikan, karena permintaan dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan yang cukup besar, tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga
di luar negeri. Oleh sebab itu, sebagai negara tropis yang masih
memiliki lahan yang cukup luas, Indonesia berpeluang besar untuk
mengembangkan perkebunan kelapa sawit.
2
Untuk di Indonesia ada beberapa varietas unggul kelapa sawit adalah
varietas Dura sebagai induk betina dan Pisifera sebagai induk jantan.
Hasil persilangan tersebut memiliki kualitas dan kuantitas yang lebih
baik. Varietas unggul hasil persilangan antara lain: Dura Deli Marihat
(keturunan 434B x 34C; 425B x 435B; 34C x 43C), Dura Deli D.
Sinumbah, Pabatu, Bah Jambi, Tinjowan, D. Ilir (keturunan 533 x 533;
544 x 571), Dura Dumpy Pabatu, Dura Deli G. Bayu dan G Malayu
(berasal dari Kebun Seleksi G. Bayu dan G. Melayu), Pisifera D.
Sinumbah dan Bah Jambi (berasal dari Yangambi), Pisifera Marihat
(berasal dari Kamerun), Pisifera SP 540T (berasal dari Kongo dan
ditanam di Sei Pancur).
Ilustrasi beberapa jenis varietas bibit kelapa sawit yang dikategorikan
memenuhi syarat seperti pada Gambar 1.1.
Gambar 6.1 Bibit Kelapa Sawit yang Memenuhi Syarat
(Departemen Pertanian, 2004)
3
Gambar 6.2 Budidaya Kelapa Sawit (Departemen Pertanian, 2004)
Untuk tumbuh pohon kelapa sawit dengan baik ada beberapa
persyaratan yang harus dilaksanakan yaitu:
6.1.1 Syarat Tumbuh Kelapa Sawit
Kelapa sawit yang tumbuh tegak lurus dapat mencapai ketinggian 15 -
20 meter. Tanaman berumah satu (monoecious) karena bunga jantan
dan bunga betina terdapat pada satu pohon.Bunga kelapa sawit terdiri
4
dari bunga jantan dan bunga betina. Bunga jantan memiliki bentuk
lancip dan panjang sementara bunga betina terlihat lebih besar dan
mekar (Setyamidjaja, 2006). Akar tanaman kelapa sawit mempunyai
sistem perakaran serabut. Jika aerasi cukup baik, akar tanaman kelapa
sawit dapat menembus kedalaman 8 m di dalam tanah, sedangkan
yang tumbuh ke samping dapat mencapai radius 16 m (Sastrosayono,
2003).
Batang tanaman diselimuti bekas pelepah hingga umur 12 tahun.
Setelah umur 12 tahun pelepah kelapa sawit yang mengering akan
terlepas sehingga menjadi mirip dengan tanaman kelapa. Daun kelapa
sawit merupakan daun majemuk yang di bagian pangkal pelepah daun
terbentuk dua baris duri yang sangat tajam dan keras di kedua sisinya.
Anak-anak daun (foliage leaflet) tersusun berbaris dua sampai ke ujung
daun. Buah kelapa sawit terdiri atas beberapa bagian, yaitu eksokarp,
perikarp, mesokarp, endokarp, dan kernel. Mesokarp yang masak
mengandung 45 – 50 % minyak dan berwarna merah kuning karena
mengandung karoten. Buah sawit mempunyai warna bervariasi dari
hitam, ungu, hingga merah tergantung bibit yang digunakan (Sunarko,
2007).
1. Syarat Tumbuh Kelapa sawit
Habitat aslinya kelapa sawit adalah daerah semak belukar. Tanaman ini
tumbuh sempurna di ketinggian 1-500 mdpl dengan kelembaban 80-
90% dan kecepatan angin 5-6 km/jam untuk membantu proses
penyerbukan. Sawit membutuhkan iklim dengan curah hujan stabil,
5
2000-2500 mm setahun. Pola curah hujan tahunan memengaruhi
perilaku pembungaan dan produksi buah sawit.Tanaman kelapa sawit
memerlukan penyinaran antara 5-7 jam/hari. Temperatur optimal
untuk pertumbuhan kelapa sawit 24°C – 28°C.
Kelapa sawit dapat tumbuh pada jenis tanah Podzolik, Latosol,
Hidromorfik Kelabu, Alluvial atau Regosol, tanah gambut saprik,
dataran pantai dan muara sungai. Produksi kelapa sawit lebih tinggi jika
di tanam di daerah bertanah Podzolik. Kemiringan lahan kebun kelapa
sawit sebaiknya tidak lebih dari 15°. Jika kemiringan lahan sudah
melebihi 15° maka diperlukan tindakan konservasi tanah berupa
pembuatan terasan, tapak kuda, rorak dan parit kaki bukit.
2. Kesesuaian lahan
Lahan yang sesuai untuk kelapa sawit dapat berupa hutan primer dan
sekunder, semak belukar, bekas perkebunan komoditas lain (karet,
kelapa, kakao), padang alang-alang, atau bahkan bekas kebun
tanaman pangan (jagung, singkong, padi gogo), serta kebun kelapa
sawit tua (peremajaan). Teknik pembukaan lahan dapat dilakukan
secara manual, mekanis, kimia atau kombinasi, tergantung keadaan
vegetasinya.
Ketinggian Tempat : Tanaman kelapa sawit bisa tumbuh dan
berbuah hingga ketinggian tempat 1000 mdpl. Namun, untuk
produktivitas optimalnya diketinggian 400m dpl.
Topografi : Baik dikemiringan lereng 0°-12° atau 21%. Lahan yang
kemiringannya 13°-25° masih bisa ditanami kelapa sawit, tetapi
6
petumbuhannya kurang baik. Untuk lahan yang kemiringannya
>25° sebaiknya tidak dipilih karena menyulitkan dalam
pengangkutan buah saat panen dan beresiko terjadi erosi.
Drainase : Kelapa sawit memerlukan oksigen sehingga tidak
menyukai daerah yang tergenang. Drainase yang jelek dapat
menghambat kelancaran penyerapan unsur hara dan proses
nitrifikasi , sehingga tanaman akan kekurangan unsur nitrogen (N).
Tanah : Kelapa sawit dapat tumbuh di tanah podsolik, latosol,
hidromorfik kelabu, regosol, andosol, dan alluvial. Tanah gambut
juga dapat di tanami kelapa sawit asalkan ketebalan gambutnya
tidak lebih dari satu meter dan sudah tua (saphrik).
Sifat tanah yang perlu di perhatikan untuk budi daya kelapa sawit
adalah sebagai berikut :
Sifat Fisik Tanah
Tanaman kelapa sawit dapat tumbuh baik di tanah yang bertekstur
lempung berpasir, tanah liat berat, tanah gambut memiliki
ketebalan tanah lebih dari 75 cm, dan berstruktur kuat.
Sifat Kimia Tanah
Untuk mendapatkan produksi yang tinggi dibutuhkan kandungan
unsur hara yang tinggi dan pH tanah bereaksi dengan asam dengan
kisaran nilai 4,0-6,0 dan ber pH optimum 5,0-5,5.
3. Kesesuaian iklim
Menurut Mangoensoekarjo (2007) Sawit dapat tumbuh dengan baik di
daerah tropis (15° LU – 15° LS). Curah hujan optimal untuk tanaman
7
kelapa sawit adalah 1,250 – 2,500 mm/tahun. Kelapa sawit lebih
toleran dengan curah hujan yang tinggi dibandingkan dengan jenis
tanaman lainnya. Jumlah bulan kering lebih dari 3 bulan merupakan
faktor pembatas berat. Adanya bulan kering yang panjang dan curah
hujan yang rendah akan menyebabkan terjadinya defisit air. Keadaan
angin tidak terlalu berpengaruh karena kelapa sawit lebih tahan
terhadap angin kencang di bandingkan tanaman lainnya (Pusat
Penelitian Kelapa Sawit, 2006).
4. Rencana Budidaya
Dalam rencana budidaya kelapa sawit ada beberapa yang harus
dikerjakan atau disiapkan yaitu:
a. Pemilihan Benih, Varietas dan Bentuk Benih
Secara garis besar ada 3 (tiga) jenis benih kelapa sawit yang
dibudidayakan menurut ketebalan dagingnya yaitu Dura, Pisifera
dan Tenera.Benih yang saya pilih adalah benih jenis Tenera. Tenera
dihasilkan dari persilangan antara induk Dura dan jantan Pisifera.
Jenis ini dianggap bibit unggul sebab melengkapi kekurangan
masing-masing induk dengan sifat cangkang buah tipis namun
bunga betinanya tetap fertil. Beberapa tenera unggul memiliki
tempurung yang tipis (3-20%), ukuran biji sedang (3-15%),
persentase daging per buahnya mencapai 90%, kandungan minyak
per tandannya dapat mencapai 28%. Cara penyemaiannya,
kecambah dimasukkan polibag 12×23 atau 15×23 cm berisi 1,5-
2,0 kg tanah lapisan atas yang telah diayak. Kecambah ditanam
sedalam 2 cm. Tanah di polibag harus selalu lembab. Simpan
8
polibag di bedengan dengan diameter 120 cm. Setelah berumur 3-
4 bulan dan berdaun,4-5,helai.bibit,dipindahtanamkan. Bibit dari
dederan dipindahkan ke dalam polibag 40×50 cm setebal 0,11 mm
yang berisi 15-30 kg tanah lapisan atas yang diayak.
b. Penyiapan lahan
Dalam penyiapan lahan ada beberapa yang harus dilakukan yaitu:
- Pembukaan Lahan
Dilakukan dengan cara membuat jalan rintisan untuk
pengukuran, membuat petak-petak hektaran (blok),menebang
pohon berdiameter lebih dari 3 inch menggunakan chainsaw.
Batang pohon yang sudah di tebang, dipotong menjadi ukuran
yang lebih kecil dan di tumpuk agar lebih mudah kering. Untuk
rencana peremajaan, semua dahan dan ranting dari pohon
yang sudah di tebang di potong sepanjang 5 meter lalu di
tumpuk menurut barisan yang teratur. Tanggul atau sisa pohon
bekas penebangan liar yang letaknya bertepatan dengan
lubang tanaman harus di bongkar.
- Pengolahan Tanah
Pengolah tanah dilakukan dengan cara membersihkan lahan
dari gulma menggunakan traktor dengan dua rotasi yang
berurutan berupa pembajakan dan penggarukan, arahnya
tegak lurus atau paling tidak sedikit menyilang. Sementara itu,
interval antara rotasi minimum dilakukan dalam dua minggu.
9
Gambar 6.3 Pembukaan Lahan Perkebunan Sawit
(Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 2006)
Gambar 6.4 Pengolahan Tanah Lahan Perkebunan Sawit
(Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 2006)
- Pembuatan Parit, Teras, dan Jalan
Pembuatan Jalan dilakukan dengan cara mengorek, menimbun,
mengeraskan bagian lapangan, membuat bentang, dan membuat
parit di sebelah kiri-kanan jalan. Jalan utama dan jalan produksi
dibuat dengan bulldozer dan atau grader. Jalan sepanjang 1 km
dibuat dalam waktu 40-80 jam kerja dengan pemakaian bahan
10
bakar 80 liter/jam kerja. Selanjutnya, jalan di padatkan dengan
menggunakan alat pemadat (bomag). Pekerjaan ini umumnya
dilakukan pada akhir musim hujan. Pembuatan parit dikerjakan
dengan menggali tanah sesuai ukuran dasar. Tanah galiannya di
buang ketempat tertentu. Saluran air di daerah berbukit berupa
saluran kebun dan saluran utama yang menyalurkan air ke saluran
drainase alam (sungai). Saluran kebun di buat setiap 16 baris
tanaman kelapa sawit dan di buat menurut kontur lahan. Saluran
utama di buat dengan lebar bagian atas 150 cm, lebar bagian
bawah 80 cm. saluran kebun di buat dengan lebar bagian atas 90
cm, lebar bagian bawah 60 cm, dan kedalaman 60 cm. Teras
individu di buat menggunakan mal berbentuk tapak kuda dengan
muka teras menhadap kearah lereng bukit. Ukuran teras 3 m x 3
m, jarak antara ajir tanaman dan tepi muka teras selebar 1,25 m.
Gambar 6.5 Pembuatan Parit di Lahan Perkebunan Sawit (Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 2006)
11
Gambar 6.6 Pembuatan Teras di Lahan Perkebunan Sawit (Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 2006)
Gambar 6.7 Pembuatan Jalan di Lahan Perkebunan Sawit
(Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 2006)
- Penanaman
Penentuan Pola Tanaman: pola tanam menggunakan sistem
monokultur. Tanaman penutup tanah (legume cover crop LCC)
pada areal tanaman kelapa sawit sangat penting karena dapat
12
memperbaiki sifat-sifat fisika, kimia dan biologi tanah, mencegah
erosi, mempertahankan kelembaban tanah dan menekan
pertumbuhan tanaman pengganggu (gulma). Penanaman tanaman
kacang-kacangan sebaiknya dilaksanakan segera setelah persiapan
lahan selesai.
Pembuatan Lubang Tanam: pembuatan lubang dilakukan secara
mekanis. Lubang tanam disiapkan 2 - 4 minggu sebelum tanam,
sebaiknya paling lambat 4 minggu. Ukuran lobang berkisar antara
60 dan 90 cm dengan kedalaman 60 cm, tergantung kondisi tanah.
Jika tanah gembur dan subur, cukup 60 x 60 x 60 cm, tetapi kalau
tanahnya lebih padat atau berliat dan kurang subur, sebaiknya
ukuran lobang lebih besar.Jarak tanam yang direkondasikan adalah
9 x 9 x 9 m sistem persegi panjang. Penggalian lubang dilakukan
pada titik ajir sedemikian rupa sehingga ajir berada tepat di tengah
lubang tanam. Buat tanda batas penggalian dengan tongkat
berukuran tadi sebelum ajir dicabut untuk penggalian lubang.
Setelah lubang selesai, ajir harus dikembalikan pada posisi tepat di
tengah lubang. Tanah galian dipilah dua yaitu lapisan atas (top soil)
dan lapisan bawah (sub soil) serta meletakkannya terpisah pada
sisi lubang yang berbeda (kiri – kanan atau utara – selatan) dalam
arah yang konsisten.
Cara Penanaman: penanaman pada awal musim hujan yaitu bulan
Oktober dan bulan November, setelah hujan turun dengan teratur.
Sehari sebelum tanam, siram bibit pada polibag. Lepaskan plastik
polybag hati-hati dan masukkan bibit ke dalam lubang. Taburkan
13
Natural GLIO yang sudah dikembangbiakkan dalam pupuk kandang
selama +1 minggu di sekitar perakaran tanaman. Segera ditimbun
dengan galian tanah atas. Siramkan POC NASA secara merata
dengan dosis ± 5-10 ml/ liter air setiap pohon atau semprot (dosis
3-4 tutup/tangki). Lalu gunakan 1 botol SUPER NASA yang
diencerkan dalam 2 liter (2000 ml) air. Kemudian setiap 1 liter air
diberi 10 ml larutan induk tadi untuk penyiraman setiap pohon.
Gambar 6.8 Cara Penanaman Tanaman Sawit
(Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 2006)
6.1.2 Estimasi Produksi
Dalam penentukan estimasi produksi dari tanaman sawit ditentukan
oleh kriteria berikut.
14
1. Kriteria Matang Panen
Kelapa sawit mulai berbuah setelah 2,5 tahun dan masak 5,5 bulan
setelah penyerbukan. Dapat dipanen jika tanaman telah berumur
31 bulan, sedikitnya 60% buah telah matang panen, dari 5 pohon
terdapat 1 tandan buah matang panen. Ciri tandan matang panen
adalah sedikitnya ada 5 buah yang lepas/jatuh dari tandan yang
beratnya kurang dari 10 kg atau sedikitnya ada 10 buah yang lepas
dari tandan yang beratnya 10 kg atau lebih. Tanaman dengan umur
kurang dari 10 tahun, jumlah brondolan kuran lebih 10 butir dan
tanaman dengan umur lebih 10 tahun, jumlah brondolan sekitar
15-20 butir. Tanaman kelapa sawit akan menghasilkan tandan buah
segar (TBS) yang dapat dipanen pada saat tanaman berumur 3
atau 4 tahun. Produksi TBS yang dihasilkan akan terus bertambah
seiring bertambahnya umur dan akan mencapai produksi yang
optimal dan maksimal pada saat tanaman berumur 9 – 14 tahun,
dan setelah itu produksi TBS yang dihasilkan akan mulai menurun.
Umumnya, tanaman kelapa sawit akan optimal menghasilkan TBS
hingga berumur 25 – 26 tahun.
2. Cara Panen
Pemanenan dilakukan untuk umur < 7 tahun menggunakan alat
dodos dengan lebar 10- 12,5 cm dengan gagang pipa besi atau
tongkat kayu dan untuk kelapa sawit umur > 7 tahun menggunakan
egrek yang disambung dengan pipa alumunium atau batang
bambu. Untuk memudahkan pemanenan, sebaiknya pelepah daun
yang menyangga buah dipotong terlebih dahulu dan diatur rapi di
tengah gawangan. Tandan buah yang matang dipotong sedekat
mungkin dengan pangkalnya, maksimal 2 cm. Brondolan harus
15
bersih dan tidak tercampur tanah atau kotoran lain. Selanjutnya
tandan dan brondolan dikumpulkan di TPH.
3. Panen Pertama
Pemanenan pertama dilakukan setelah 4 tahun dengan hasil
produksi 0,5 ton/ha perbulannya. Per kilo 1700 rb. 0,5 ton (500 kg)
x 1700 = 850 rb. Hasil akan naik seiring dengan umur tanaman,
berikut perkiraannya :
Tahun ke 6 – 10 ≥ 1,2 ton – 1,5 ton per HA tiap bulan
Tahun ke 11 – 15 ≥ 1,6 ton – 2,5 ton per HA tiap bulan
Jadi pada tahun ke 4 bisa mendapatkan hasil panen per HA per
bulan sekitar 700 rb per bulan. Jika dihitung secara sederhana 700
rb x 36 bulan = 25 jt-an. Modal yang dikeluarkan sekitar 17 jt per
HA sampai umur 4 th. Ada selisih 8 jt-an yang bisa dipakai untuk
ongkos produksi selama 3 th tersebut (dari umur 4 th – 7 th). Jadi
Estimasi pada umur 7 th atau setelah sawit menghasilkan yaitu
umur 4 th, dimana ini berarti ada masa 3 tahun yang dibutuhkan
supaya BEP setelah panen. Masa BEP yang sebenarnya sendiri saat
umur 7 th. Setelah umur 7 tahun dimana hasil yang didapat untuk
tiap ha juga naik sedang biaya produksi untuk pupuk,
pemangkasan daun, penyemprotan relative sama dengan sebelum
4 th. Biaya yang naik adalah biaya ongkos panen dan ongkos
transportasi (biaya untuk mengangkut hasil panen) sampai
pabrik.Dalam keadaan yang optimal, produktivitas kelapa sawit
dapat mencapai 20-25 ton TBS/ha/tahun atau sekitar 4-5 ton
minyak sawit.
16
Pada umumnya tanaman kelapa sawit tumbuh pada lahan semak
belukardengan ketinggian 1-500 mdpl dengan kelembaban 80-90%
dan kecepatan angin 5-6 km/jam untuk membantu proses
penyerbukan. Sawit membutuhkan iklim dengan curah hujan stabil,
2000-2500 mm setahun. Pola curah hujan tahunan memengaruhi
perilaku pembungaan dan produksi buah sawit.Tanaman kelapa sawit
memerlukan penyinaran antara 5-7 jam/hari. Temperatur optimal
untuk pertumbuhan kelapa sawit 24°C – 28°C. Kelapa sawit dapat
tumbuh pada jenis tanah Podzolik, Latosol, Hidromorfik Kelabu, Alluvial
atau Regosol, tanah gambut saprik, dataran pantai dan muara sungai.
Produksi kelapa sawit lebih tinggi jika di tanam di daerah bertanah
Podzolik jika dibandingkan dengan tanah berpasir dan gambut.
Kemiringan lahan kebun kelapa sawit sebaiknya tidak lebih dari 15°.
Jika kemiringan lahan sudah melebihi 15° maka diperlukan tindakan
konservasi tanah berupa pembuatan terasan, tapak kuda, rorak dan
parit kaki bukit.
Tanaman kelapa sawit mulai berbuah setelah 2,5 tahun dan masak 5,5
bulan setelah penyerbukan. Dapat dipanen jika tanaman telah berumur
31 bulan, sedikitnya 60% buah telah matang panen, dari 5 pohon
terdapat 1 tandan buah matang panen. Ciri tandan matang panen
adalah sedikitnya ada 5 buah yang lepas/jatuh dari tandan yang
beratnya kurang dari 10 kg atau sedikitnya ada 10 buah yang lepas dari
tandan yang beratnya 10 kg atau lebih. Tanaman dengan umur kurang
dari 10 tahun, jumlah brondolan kuran lebih 10 butir dan tanaman
dengan umur lebih 10 tahun, jumlah brondolan sekitar 15-20 butir.
Tanaman kelapa sawit akan menghasilkan tandan buah segar (TBS)
17
yang dapat dipanen pada saat tanaman berumur 3 atau 4 tahun.
Pemanenan pertama dilakukan setelah 4 tahun dengan hasil produksi
0,5ton/ha perbulannya. Per kilo 1700 rb. Hasil akan naik seiring dengan
umur tanaman, dapat diperkirakan pada Tahun ke 6 – 10 adalah 1,2
ton – 1,5 ton per ha tiap bulan dan tahun ke 11 – 15 adalah 1,6 ton –
2,5 ton per ha tiap bulan.
6.2 Potensi Limbah Kelapa Sawit
Indonesia merupakan penghasil kelapa sawit terbesar dunia dengan
produksi mencapai 48,68 juta ton (BPS, 2019), pada 2018. Jumlah
tersebut terdiri atas 40,57 juta ton minyak kelapa sawit (Crude Palm
Oil/CPO) dan 8,11 juta ton minyak inti sawit (Palm Kernel
Oil/PKO).Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan
Kementerian Pertanian, lahan sawit Indonesia mencapai 14,23 juta
hektare (ha). Angka tersebut terdiri atas 5,8 juta ha perkebunan rakyat,
635 ribu ha perkebunan besar negara, dan 7,88 juta ha perkebunan
besar swasta.Berdasarkan wilayah, Riau merupakan provinsi dengan
lahan sawit terluas, yakni mencapai 2,74 juta ha atau sekitar 19% dari
total. Seperti terlihat pada peta, Provinsi Riau terlihat paling gelap.
Semenatara provinsi dengan lahan sawit terluas kedua adalah
Sumatera Utara (1,74 ha) dan ketiga, Kalimantan Barat (1,53 juta ha.
Dengan data produksi mencapai 48,68 juta ton, serta setiap
pengolahan 1 ton TBS (Tandan Buah Segar) akan dihasilkan TKKS
(Tandan Kosong Kelapa Sawit) sebanyak 23% TKKS atau sebanyak 230
kg TKKS.
18
Selain limbah tandan kosong kelapa sawit, limbah yang dihasilkan
yaitu: wet decanter solid sebanyak 4%, cangkang 6,5%, serabut (fiber)
13%, serta limbah cair 50%.
Limbah-limbah tersebut diatas dihasilkan dari proses pembuatan crude
palm oil (CPO) yang proses pembuatannya sebagai berikut.
6.2.1 Proses Pengolahan sawit
Tahap-tahap proses pengolahan tandan buah segar (TBS) sampai
dihasilkan minyak di pabrik kelapa sawit lain dan dapat diuraikan
sebagai berikut:
1. Pengangkutan TBS ke Pabrik
Buah kelapa sawit dari kebun harus secepatnya diangkut dengan
alat angkutan yang tepat yang dapat mengangkut buah sebanyak-
banyaknya, seperti lori, traktor gandeng atau truk. Sesampainya di
pabrik, buah harus segera ditimbang kemudian dimasukkan ke
dalam lori perebusan yang biasanya berkapasitas standar 2,5 ton
setiap lori. Buah yang tidak segera diolah akan menghasilkan
minyak dengan kadar asam lemak bebas (free fatty acid) tinggi.
Untuk menghindari terbentuknya asam lemak bebas, pengolahan
harus sudah dilaksanakan paling lambat 8 jam setelah pemanenan.
2. Sterilisasi
Buah serta lorinya direbus dalam tempat rebusan dengan
mengalirkan / menekankan uap panas selama 60 menit ke dalam
tempat rebusan. Suhu uap yang digunakan adalah 125 0C dan
19
tekanan dalam ruang sterilisasi ± 2,5 atm. Maksud dari perebusan
adalah:
Agar buah mudah dilepas dari tandannya.
Untuk membunuh enzim penstimulir pembentukan asam lemak
bebas.
Agar daging buah menjadi lunak.
Untuk memudahkan terlepasnya inti dari cangkangnya.
Untuk menambah kelembaban dalam daging buah sehingga
minyak lebih mudah dikeluarkan (dipisahkan).
Untuk mengkoagulasikan protein sehingga proses pemurnian
minyak lebih mudah.
Baik buruknya kualitas pengolahan banyak ditentukan di stasiun
sterilizer ini. Misal tingginya angka Unstripped Bunch (USB) akibat
waktu perebusan yang kurang dan tidak tercapainya temperatur
yang diinginkan. Perebusan yang tidak memenuhi temperatur yang
diinginkan akan menyebabkan kandungan FFA yang cukup tinggi,
karena FFA akan terbentuk pada temperatur yang relatif rendah.
Tetapi jika waktu perebusan yang terlalu lama, air kondensat yang
dihasilkan akan terlalu banyak sehingga memungkinkan terjadinya
oil losses pada air kondensat.
3. Perontokan dan Pelumatan Buah
Tandan buah yang telah direbus dimasukkan ke dalam mesin
perontok buah (thresher), kemudian buah yang rontok dibawa ke
dalam mesin pelumat (digester). Sambil dilumat, buah dipanasi
(diuapi) lagi supaya daging buah hancur dan lepas dari bijinya.
Keadaan demikian memudahkan proses pengeluaran (ekstraksi)
20
minyak. Tandan kosong (telah lepas buah-buahnya) kemudian
diangkut ke tempat pembakaran dan digunakan sebagai bahan
bakar untuk menghasilkan uap yang digunakan dalam proses
sterilisasi. Sisa pembakaran berupa abu yang mengandung ± 30%
K2O, yang digunakan untuk pemupukan Kalium di kebun. Sebagian
tandan kosong digunakan sebagai bahan mulsa.
4. Pemerasan atau Ekstraksi Minyak Sawit
Ada bermacam cara untuk mengeluarkan minyak (extraction of oil),
tetapi yang umum dipakai adalah pengepresan dengan
menggunakan alat atau mesin pengepres tipe hydraulic, centrifugal
atau tipe continuous screw press. Daging buah yang sudah
dilumatkan di mesin pelumat dimasukkan ke dalam alat pengepres,
kemudian dipres sehingga minyak dapat dikeluarkan dan
dipisahkan dari ampasnya. Minyak yang keluar ditampung untuk
selanjutnya dimurnikan, sedangkan ampasnya keluar secara
terpisah dan dapat digunakan sebagai bahan bakar.
Stasiun Press sebagai stasiun pertama yang dilakukan di PT. Korindo
ini merupakan awal proses pengambilan minyak kelapa sawit. Pada
stasiun ini berondolan yang telah direbus mengalami proses pressing
oleh mesin press. Hasil pressing ini adalah minyak kasar (Crude Palm
Oil), Fiber, dan Nut. Mesin atau alat di stasiun press terdiri dari digester,
screw press, Cake beaker conveyor, Sand Trap Tank, dan Vibrating
Screen. Hasil yang diperoleh pada dari proses pressing tersebuti
adalah:
1) Efisiensi ekstraksi yang tinggi, yang menyangkut:
Pengambilan minyak kembali (recycling).
21
Produksi crude palm oil yang sesuai dengan kondisi klarifikasi.
Produksi press cake yang sesuai dengan depericarper.
2) Kualitas produk yang baik diperoleh dengan cara:
Meminimalkan kualitas minyak yang kurang baik/jelek.
Meminimalkan broken kernel (kernel yang pecah).
3) Pertimbangan ekonomi:
Biaya operasi rendah.
Biaya maintenance rendah.
Throughput yang tetap tinggi.
6.2.2 Perebusan
Minyak yang ditampung pada awal pemrosesan tersebut dipanaskan
dengan uap air supaya tidak membeku. Dari tangki penampungan,
minyak dipompakan dalam bak tunggu dengan bantuan tekanan uap
sebesar 2 kg per cm2, dan dari bak tunggu minyak dialirkan ke dalam
tangki pengendapan.
Di dalam tangki pengendapan, minyak dipanaskan dengan uap air
selama kurang lebih 4 jam, kemudian didinginkan selama 3 jam.
Perebusan ditujukan untuk memecahkan struktur emulsi, memasak
minyak, dan memisahkan kotoran dan air dari minyak. Pendinginan
selama 3 jam, akan memisahkan minyak dari air dan kotoran.
Pemisahan diatas terjadi dengan cepat akibat perbedaan antara berat
jenis air dan kotoran dengan minyak. Minyak akan terapung diatas
permukaan air dan kotoran, karena bobot jenisnya lebih kecil daripada
BJ kotoran dan air.
22
Setelah terpisah, kedua cairan dikeluarkan dari tangki melalui saluran
yang berbeda. Minyak sawit dialirkan ke dalam bak tunggu, sedangkan
air dan kotoran dikeluarkan kedalam parit. Di dalam parit, air kotoran
dipanaskan lagi, dengan uap air dan kemudian didinginkan. Minyak
sawit yang terapung dipisahkan dan dimasukkan kembali ke dalam
tangki pengendapan.
6.2.3 Pemurnian dan Penjernihan Minyak Sawit / Proses
Klarifikasi
Minyak yang keluar dari mesin pengepres mengandung 45% sampai
55% air, lumpur dan bahan-bahan lainnya. Minyak yang masih kasar
ini dibawa ke tangki pemurnian atau tangki klarifikasi. Setelah
mengalami pemurnian akan diperoleh 90% minyak, dan sisanya adalah
lumpur. Setelah dilakukan penyaringan kemudian minyak ditampung
dalam tangki dan dijernihkan lebih lanjut untuk memisahkan air yang
masih terkandung di dalamnya. Selanjutnya minyak dilewatkan pada
continuous vaccum drier sehingga diperoleh minyak berkadar air
kurang dari 0,1%. Minyak ini ditampung dalam tangki-tangki
penampungan.
Fungsi dari Stasiun Klarifikasi antara lain:
1) Memisahkan pure oil dari crude oil dengan se efisien mungkin.
2) Menghasilkan pure oil dengan losses sekecil mungkin.
3) Menghasilkan oil kembali dari sludge.
23
Gambar 6.9 Diagram Proses Produksi Crude Palm Oil
(PT. Korindo Group, 2012)
6.2.4 Pemisahan Biji dari Sisa-Sisa Daging Buah (Ampas)
Sisa pengepresan yang berupa ampas dibawa ke alat pembuang sisa
daging buah (depericarper). Pada proses pemisahan biji dari sabutnya
digunakan proses pengeringan dan penghembusan. Dengan proses ini
serat dan bahan-bahan lain yang kering dan ringan terhembus keluar
24
melalui cyclone, kemudian ditampung untuk digunakan sebagai bahan
bakar.
Selain menghasilkan CPO, proses pengolahan sawit juga menghasilkan
kernel. Untuk itu setelah melewati stasiun press, cake diolah lagi dalam
stasiun kernel. Inti dari proses yang terjadi pada stasiun kernel ini
adalah pemisahan kernel dari fibre dan shell.
Adapun alur produksi inti sawit (kernel) dapat dilihat pada gambar
sebagai berikut :
Gambar 6.10 Diagram Produksi Kernel (PT. Korindo Group, 2012)
25
6.2.5 Pengeringan dan Pemecahan Biji Sawit
Biji dari alat pembuang daging buah (depericarper) diangkut ke silo dan
dikeringkan. Biji-biji yang telah kering ini, inti akan mengkerut dan
mudah dilepaskan dari cangkang atau tempurungnya. Biji-biji yang
telah dipisahkan berdasarkan diameternya, kemudian dipecah lagi agar
inti dan cangkang dapat dipisahkan.
Untuk mengawetkan inti sawit yang keluar dari alat pemisah biji perlu
dilakukan usaha untuk menurunkan kandungan air, sehingga tidak
terjadi proses penurunan mutu. Proses penurunan mutu umumnya
terjadi selama proses penyimpanan, oleh sebab itu perlu diperhatikan
proses dan kondisi penyimpanan serta interaksi antara kelembaban
udara dengan kadar air inti.
Dalam kernel ada udara panas di alirkan melalui pipa di tiga lapisan
udara panas di bagian atas suhu 70 oC. bagian tengah dengan suhu 80
oC dan bagian bawah 90oC. Pengeringan dilakukan sampai kadar air inti
mencapai ( 7 – 7,5) %.
6.2.6 Pemisahan Inti Sawit dari Cangkang
Prinsip pemisahan biji dari cangkang adalah karena ada perbedaan
berat jenis antara inti dan cangkang. Caranya adalah dengan
mengapungkan biji-biji yang telah dipecahkan dalam larutan lempung
yang mempunyai berat jenis 1,16. Dalam keadaan ini inti kelapa sawit
26
akan mengapung dalam larutan dan cangkang akan mengendap di
dasar. Inti dan cangkang diambil secara terpisah kemudian dicuci
sampai bersih. Alat yang digunakan untuk memisahkan inti dari
cangkang disebut hydrocyclone separator. Inti buah dibawa ke silo dan
dikeringkan pada suhu 80oC. Selama pengeringan harus selalu dibolak-
balik agar keringnya merata.
Pemisahan antara inti dan cangkang dilakukan dua tahapan pemisahan
antara cangkang dan inti oleh LTDS 1, dan pemisahan antara inti utuh
dan inti pecah pada LTDS 2. Pada LTDS 1 fraksi ringan yaitu cangkang
akan di hisap oleh LTDS cyclon fan dan akan ditumpuk di penampungan
cangkang (shell hopper) yang selanjutnya digunakan sebagai bahan
bakar boiler, sedangkan inti utuh dan pecah akan masuk ke LTDS 2. di
dalam LTDS 2 inti utuh yang merupakan fraksi terberat akan jatuh ke
kernel transport untuk dibawa ke kernel silo dryer, inti pecah yang
masih juga membawa cangkang akan dihisap oleh LTDS cyclon fan dan
akan masuk ke hydrocyclone untuk dipisahkan antara inti pecah dan
cangkang.
Inti pecah dan cangkang yang masih terikut, di dalam hidrocyclone
akan terpisah berdasarkan perbedaan berat jenis antara inti pecah dan
cangkang halus. Hydrocyclone ini terdiri dari dua drum yang di batasi
oleh dinding penyekat satu dan dua. Dari LTDS 2 inti pecah dan
cangkang halus akan masuk ke hydrocyclone drum no 1. Di dalam
hydrocyclone pertama inti dan shell akan dihisap oleh cyclone, inti akan
di kirim ke kernel silo dryer, sedangkan shell yang masih tercampur
dengan inti akan masuk ke dalam hydrocyclone ke dua inti dan shell
27
akan di pisahkan kembali, inti akan di alirkan ke kernel silo dryer,
sedangkan shell akan di alirkan ke shell hopper untuk di kirim ke boiler.
6.2.7 Tinjauan Hasil Samping Pengolahan TBS
Dalam proses pengolahan buah kelapa sawit diperoleh produk utama
dan beberapa produk sampingan. Sebagai produk utama adalah minyak
kelapa sawit (CPO atau Crude Palm Oil) dan inti sawit (Kernel).
Sedangkan produk sampingannya adalah tempurung, ampas dan
tandan kosong. Cangkang atau tempurungnya dapat digunakan
sebagai bahan bakar, yaitu arang aktif yang biasa digunakan dalam
industri kesehatan. Tandan kosong untuk bahan bakar ketel uap, mulsa
dan abu sebagai pupuk Kalium. Ampas lumatan daging buah juga dapat
digunakan untuk bahan bakar ketel uap
6.3 Jenis Limbah Kelapa Sawit
Dalam proses pengolahan Tandan Buah Segar (TBS) di Pabrik Kelapa
Sawit selalu menghasilkan produk dan limbah. Adapun produk yang
dihasilkan yaitu Minyak Sawit Mentah/Crude Palm Oil (CPO) dan
Minyak inti Sawit (Kernel Inti sawit), sedangkan limbah yang dihasilkan
adalah sebagai berikut :
6.3.1 Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS)
Limbah ini dapat dihasilkan dari tandan brondolan yaitu tandan buah
segar yang terlalu matang yang buahnya terlepas dari tandannya saat
28
masih berada di perkebunan/di kebun, keadaan tandannya kering serta
di pabrik pengolahan kelapa sawit adalah hasil proses Sterilising dan
Thresing dengan keadaan tandan basah. Berdasarkan literatur yang
ada kandungan tandan kosong kelapa sawit (TKKS) mengandung
Selulosa 41,3%-46,5% (C6H10O5)n, Hemi Selulosa 25,3%-32,5% dan
mengandung lignin 27,6%-32,5%.
Gambar 6.11 Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) di Pabrik Kelapa Sawit (PT. Korindo Group, 2012)
6.3.2 Cangkang (Shell)
Cangkang merupakan limbah yang dihasilkan dari pemrosesan kernel
inti sawit dengan bentuk seperti tempurung kelapa yang mempunyai
kalor 3500 kkal/kg-4100 kkal/kg.
29
Gambar 6.12 Cangkang (Shell) di Pabrik Kelapa Sawit (PT. Korindo Group, 2012)
6.3.3 Serabut (Fiber)
Serat merupakan limbah sisa perasan buah sawit merupakan serabut
berbentuk seperti benang. Bahan ini mengandung protein kasar sekitar
4% dan serat kasar 36% (lignin 26%) serta mempunyai kalor
2637kkal/kg-3998kkal/kg.
Gambar 6.13 Penimbunan Serabut (Fiber) dari Pabrik Kelapa Sawit (PT. Korindo Group, 2012)
30
Berdasarkan Hasil uji laboratorium nilai kalor sampel untuk sampel
Serabut, Cangkang dan Tandan Kosong Kelapa Sawit yang diambil dari
PT. Korindo Group – Jair, Boven Digoel dapat dilihat pada Tabel 6.1
berikut:
Tabel 6.1 Hasil uji laboratorium untuk menilai kalor sampel limbah sawit (Laboratorium Kimia Fisik ITB, 2012)
No Sampel Nilai Kalor
(Kalori/gr)
Nilai Kalor
(Joule/gr)
1 Serabut Kelapa Sawit 4.875,7857 20.315,4489 2 Tandan Kosong Kelapa Sawit 4.492,7436 18.719,4656 3 Cangkang Kelapa Sawit 5.656,7127 23.569,2595
6.3.4 Wet Decanter Solid (Lumpur Sawit)
Dalam proses pengolahan minyak sawit (CPO) dihasilkan limbah cair
sangat banyak, yaitu sekitar 2,5 m3/ton CPO dihasilkan. Limbah ini
mengandung bahan pencemar yang sangat tinggi, yaitu. ‘biochemical
oxygen demand’ (BOD) sekitar 20.000-60.000 mg/l (Wenten, 2004).
Pengurangan bahan padatan dari cairan ini dilakukan dengan
menggunakan suatu alat decanter, yang menghasilkan solid ‘decanter
atau lumpur sawit.
Bahan padatan ini berbentuk seperti lumpur, dengan kandungan air
sekitar 75%, protein kasar 11,14% dan lemak kasar 10,14%.
Kandungan air yang cukup tinggi, menyebabkan bahan ini mudah
busuk. Apabila dibiarkan di lapangan bebas dalam waktu sekitar 2 hari,
bahan ini terlihat ditumbuhi oleh jamur yang berwarna kekuningan.
31
Apabila dikeringkan, lumpur sawit berwarna kecoklatan dan terasa
sangat kasar dan keras.
Gambar 6.14 Tempat Pembuangan Lumpur Sawit (Wet Decanter Solid) (PT. Korindo Group, 2012)
Sedangkan dari hasil uji laboratorium terhadap contoh limbah padat
dari PT. Korindo-Group , Jair, Kabupaten Boven Digoel , 2012 dapat
dilihat pada Tabel 6.2 berikut:
Tabel 6.2 Hasil Uji Kandungan Hara Terhadap Limbah Padat hasil Pabrik Kelapa Sawit (Laboratorium Teknologi Pangan Unpas, 2012)
No Limbah Kelapa Sawit Kandungan atas dasar % berat kering
Pati Selullosa Glukosa Lemak
1 TKKS 11,550 41,392 0,022 -
2 Serat Bonggol TKKS 1,078 47,430 0,024 -
3 Buah Berondolan 12,347 12,357 0,463 40,834
32
6.4 Pemanfaatan Limbah Kelapa Sawit
Berdasarkan karakateristik dari masing-masing limbah yang dihasilkan
oleh proses pembuatan minyak mentah kelapa sawit (Crude Palm Oil)
maka untuk masing-masing limbah sesuai karakteristik tiap jenis
lembah Pabrik Kelapa Sawit dapat dimanfaatkan menjadi selulosa,
briket dan lain-lain.
6.4.1 Limbah Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS)
Limbah tandan kosong kelapa sawit (TKKS) ini sesuai karakteristik dan
kandungan kimianya dapat dimanfaatkan menjadi bioetanol.
Pengolahan tandan kosong kelapa sawit (TKKS) menjadi bioetanol
menggunakan perpaduan 2 (dua) metoda yaitu metoda Aryafatta dan
metoda Prihandana.
Pada prinsipnya, metoda ini sama dengan pengolahan singkong
menjadi bioetanol yaitu melalui tahapan hidrolisis, fermentasi dan
destilasi., akan tetapi karena bahan berselulosa lebih komplek maka
diperlukan tambahan perlakuan berupa prê treatment untuk
menghilangkan lignin.
Lignin perlu dihilangkan karena dapat mengganggu/menghambat
proses hidrolisis selulosa. Penghilangan lignin dapat dilakukan dengan
cara perendaman dalam larutan NaOH 5% disertai dengan pemanasan
pada suhu 120oC.
33
Sebelum perlakuan pre treatment TKKS terlebih dulu dipotong–potong
kemudian dikeringkan lalu digiling menggunakan mesin penggiling
(Willey mill). Setelah pre treatment ampas yang tersisa dihidrolisis
dengan enzim selulase 13 menjadi gula – gula sederhana (glukosa).
(Sebenarnya proses hidrolisis ini dapat juga dilakukan dengan cara
penambahan asam kuat seperti H2SO4 pekat atau HCl pekat dan
berlangsung lebih cepat).
Tetapi karena sifat asam kuat yang tidak spesifik terhadap substrat
maka asam tidak hanya menghidrolisis selulosa tetapi juga
menguraikan hemiselulosa menjadi senyawa furfural yang dapat
menghambat proses hidrolisis. Sehingga rendemen glukosa yang
dihasilkan sedikit.
Berdasar Hasil Uji kandungan hara terhadap limpah padat pabrik kelapa
sawit dihasilkan pati, sellulosa dan glukosa dengan kandungan cukup
besar pati (11.550 s/d 12.347)5 Sellulosa (12.357 s/d 47.43)% dan
Glukosa (0.022 s/d 0.463)%, sementara diketahui bahwa cairan
glukosa yang terbentuk dengan kisaran (0.022 s/d 0.463) % berat
kemudian difermentasi menggunakan khamir Saccharomyces
cereviseae yang mampu mengubah glukosa menjadi alkohol (alkohol).
Saccharomyces cereviseae ini bersifat fakultatif anaerob sehingga
masih membutuhkan oksigen dalam jumlah sedikit.
Kondisi optimum fermentasi adalah pada suhu 30oC, pH 4,0 - 4,5 dan
kadar gula (10 - 18)%. Selama fermentasi dilakukan pengadukan
(aerasi) dan akan terjadi kenaikan suhu sehingga perlu dilakukan
34
pendinginan. Pada awal fermentasi perlu ditambahkan nutrien dan
kofaktor yang berperan penting bagi kehidupan khamir seperti karbon,
oksigen, nitrogen, hidrogen, fosfor, sulfur, potasium dan magnesium
agar pertumbuhan khamir bisa optimal.
Proses fermentasi berlangsung selama 30 - 72 jam dan akan terhenti
setelah kadar etanol sebesar 12%. Hal ini karena etanol 12% dapat
membunuh khamir itu sendiri sehingga menghambat fermentasi. Etanol
yang dihasilkan kemudian didestilasi untuk meningkatkan kadarnya.
Etanol yang telah didestilasi mempunyai kadar (91- 92) %. Peningkatan
kemurnian etanol dapat dicapai dengan cara dehidrasi sehingga
mencapai kemurnian 99,7%.
Gambar 6.15 Proses Pembuatan Bioetanol dari
Tandan Kosong Kelapa Sawit (Aryafatta, 2012)
35
6.4.2 Limbah Cangkang dan Serabut
Berdasar uji laboratorium (Tabel 6.1) terhadap serabut kelapa sawit
(4.875.7857 kal/gram), TKKS (4.492,7446 kal/gram) dan Cangkang
(5.656.7127 kal/gram) sebagai limbah sawit, maka Cangkang kernel
inti sawit bisa dijadikan sebagai bahan bakar untuk Pembangkit Litrik
Tenaga Uap (PLTU) dalam bentuk arang atau dibuat dahulu menjadi
bio-briket dengan proses densitifikasi (pemadatan) yang prosesnya
dapat dilihat dibawah ini.
Gambar 6.16 Prosedur pembuatan bio-briket (PTPN VII, 2009)
Limbah
biomassa
Pengeringan
Sortasi
Penyeragaman
ukuran
Pengarangan/
karbonisasi
Penambahan
perekat
Pengadukan
Pengempaan
BiobriketA
A
36
Gambar 6.17 Bio-Briket (PTPN VII, 2009)
6.5 Pemanfaatan Limbah Kelapa Sawit Untuk Material
Pertahanan
Berdasarkan karakteristik masing-masing limbah padat kelapa sawit
yang terdiri dari Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS), Cangkang
(Shell), serta Serabut (Fiber). Maka yang berpotensi untuk dijadikan
material di industri pertahanan yaitu Tandan Kosong Kelapa Sawit
(TKKS), karena mempunyai kadar selulosa yang terkandung
didalamnya yaitu pada TKKS sebesar 41,392% serta Serat Bonggol
Pengempa briket manual Pengempa briket mekanis
Berbagai bentuk dan jenis briket
biomassa
37
TKKS sebesar 47,430% (lihat Tabel 6.2). Selulosa yang dihasilkan oleh
TKKS terutama Serat Bonggol TKKS dapat dijadikan bahan baku
pembuatan propelan dalam bentuk nitroselulosa. Nitroselulosa
merupakan bahan baku untuk pembuatan propelan atau bahan bakar
untuk roket dan rudal disamping nitrogliserin.
Untuk mendapatkan nitroselulosa yang berkualitas maka bahan dasar
yang akan dipakai berupa -selulosa. Dalam pembuatan -selulosa
salah satunya yaitu proses delignifikasi bonggol TKKS dengan NaOH
2% sebagai variabel kontrol dan memvariasikan konsentrasi NaOH
menjadi NaOH 4%,dan NaOH 6% sebagai variabel bebas. Selulosa
yang diperoleh akan diukur kadar -selulosa, lignin, dan hemiselulosa.
Untuk mengetahui karakterisasi selulosa diukur menggunakan FTIR
(Fourier-Transform Infrared Spectroscopy), dan DSC (Differential
Scanning Calorimetry).
Caranya sampel 75 gram serat boggol TKKS dilarutkan ke dalam satu
liter HNO3 3,5% dan ditambahkan 10 mg NaNO2. Campuran sampel
dipanaskan diatas hot plate pada suhu 90oC selama dua jam.
Selanjutnya, campuran disaring dan dicuci sampai didapatkan ampas
dengan filtrat netral. Ampas direfluk dengan campuran NaOH 2 % dan
Na2SO3 2 % perbandingan (1:1) yang berjumlah 750 ml pada suhu 50oC
selama dua jam. Kemudian campuran disaring dan dicuci hingga
didapat ampas dengan filtrat netral. Tahap berikutnya proses
pemutihan yang dilakukan dengan melarutkan ampas sampel ke dalam
250 ml NaOCl 1,75% pada temperatur mendidih selama 30 menit.
Kemudian campuran disaring dan dicuci sampai 27 filtrat dari ampas
38
sampel netral . Pemurnian -selulosa dilakukan dengan cara sampel
dilarutkan ke dalam 500 ml NaOH 17,5% pada suhu 80oC selama 30
menit. Selanjutnya campuran disaring dan dicuci sampai filtrat ampas
netral. Tahap akhir, sampel dilarutkan ke dalam larutan H2O2 10%
selama satu jam. Sampel yang didapatkan disaring dan dicuci sampai
filtrat ampas netral. Kemudian ampas (pulp) yang didapat dioven pada
suhu 60oC hingga diperoleh bobot konstan. Pulp kemudian disimpan
dalam desikator. Kemudian Pulp dilakukan proses delignifikasi dengan
memvariasi konsentrasi NaOH 2 %, 4 %, dan 6%, sehingga
mendapatkan -selulosa.
Penentuan kadar -selulosa dilakukan dengan cara sampel ditimbang
sebanyak 1,5 g. Selanjunya sampel dimasukkan ke gelas piala dan
ditambahkan 75 ml larutan NaOH 17,5%, sebelumnya NaOH
disesuaikan pada suhu 25oC sambil mencatat waktu pada saat larutan
NaOH ditambahkan. Setelah itu, sampel diaduk menggunakan stirer
perlahan sampai terdispersi sempurna. Hati-hati dalam proses
pengadukan untuk menghindari terjadinya gelembung udara dalam
suspensi pulp selama proses pengadukan.
Pengaduk dicuci menggunakan 25 ml larutan NaOH 17,5% diatas gelas
piala yang mengandung sampel sehingga volume mencapai 100 ml.
Selanjutnya suspensi pulp diaduk menggunakan batang pengaduk dan
dimasak dalam air dengan suhu 50oC sampai waktu 30 menit dari awal
perhitungan waktu. Campuran yang 28 diperoleh didiamkan pada suhu
ruang, kemudian ditambah dengan aquades 100 ml. Campuran diaduk
menggunakan batang pengaduk dan dimasak pada suhu 50oC selama
39
30 menit sehingga total waktu pada proses ini 60 menit. Suspensi yang
didapatkan, selanjutnya diaduk dan disaring sehingga didapatkan
filtrat. 10 ml sampai 20 ml filtrat pertama dibuang, kemudian sisa filtrat
diisihkan untuk analisis kadar -selulosanya. Selanjutnya filtrat dipipet
sebanyak 10 ml dan ditambah 7 ml larutan kalium dikromat 0,5 N ke
dalam labu 250 ml. Sampel ditambah secara hati-hati 50 ml asam sulfat
pekat dengan menggoyang labu dalam lemari asam. Campuran
dibiarkan tetap panas selama 15 menit dan dipanaskan pada suhu
125oC sampai 135oC lalu ditambahkan 50 ml aquades dan didinginkan
pada suhu ruangan.
Langkah selanjutnya sampel ditambah 2 tetes sampai 4 tetes indikator
ferroin, kemudian dititrasi dengan larutan ferro ammonium sulfat 0,1 N
sampai berwarna ungu. Terakhir blanko dibuat dengan perlakuan sama
seperti persiapan sampel namun tidak dimasukkan sampel. Kemudian
fitrat tanpa sampel ini diberi perlakuan sama seperti penambahan
kalium kromat dan lainnya, kemudian dititrasi menggunakan larutan
ferro ammonium sulfat 0,1 N. Hasil analisis dibandingkan antara sampel
NaOH 2%, NaOH 4 %, NaOH 6 %, NaOH 8%, sehingga dapat
ditentukan keadaan yang paling optimum menggunakan rumus berikut:
X = 100 - 6,85(𝑣1−𝑣2)𝑥 𝑁 𝑥 20
𝐴 𝑥 𝑊
Dimana:
X = selulosa alfa (%);
V1 = volume titrasi blanko (ml); V2 = volume titrasi filtrat pulp (ml);
40
N = normalitas larutan ferro ammonium sulfat; A = volume filtrat pulp yang dianalisa (ml);
W = berat kering oven contoh uji pulp (g).
Untuk analisis -selulosa menggunakan FT-IR dilakukan dengan cara
0,2 mg selulosa dicampur dengan 2 mg KBr dan dibentuk menjadi
pellet. Pellet dari sampel kemudian dimasukkan ke instrumen FT-IR
dengan λ 4000-400 cm-1 .
Selanjutnya dilakukan analisai thermal menggunakan Differential
scanning calorimeter (Shimadzu). Analisis ini dilakukan untuk
mengukur energi yang diserap atau diemisikan oleh sampel yang
memberikan pengukuran kalorimetri dan energi transisi pada
temperatur tertentu.
Gambar 6.18 -Selulosa Dari Pelepah Kelapa Sawit
( Silitonga dalam Ready Star-2 Journal, 2013)
41
Referensi
1. Anonymousa, 2013. http://www.google.com/Estimasi-produksi-
kelapa-sawit.html diakses pada tanggal 07 April 2013
2. Anonymousb,2013.http://www.google.com/Budidaya-Tanaman-Kelapa-Sawit.html diakses pada tanggal 07 April 2013.
3. Aulia, Fenny, Marpongahtum, dan Saharman Gea, 2013. Studi Penyediaan Nanokristal Selulosa dari Tandan Kosong Sawit (TKS). Jurnal Saintia Kimia.
4. Benny, Rio Fernandez, Yunianto dan Gimelliya, Saragih, 2018 Pembuatan Plastik Biodegradable Berbahan Dasar Nano Α-Selulosa Dari Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKS). Jurnal Warta PTKI.
5. Dachriyanus, 2004, Analisa Struktur Senyawa Organik Secara
Spektroskopi, Padang: Andalas university Press. 6. Ditjen Perkebunan, 2014. Pertumbuhan Aral Kelapa Sawit
Meningkat. http:/ditjen.pertanian.go.id/setditjenbun/. Diakses
pada tanggal 29 April 2015 pukul 16.48 WIB. 7. Febijanto, Irham, 2011. Journal, Kajian Teknis dan Keekonomian
Pembangkit Tenaga Biomassa Sawit, Jakarta. 8. Fessenden, Ralph J., Fessenden, Joan S., 1986. Kimia Organik Jilid
II. Erlangga. Jakarta. 9. Gaol, M Roganda, L Lumban., Roganda Sitorus., Yanthi S., Indra
Surya., dan Renita Manurung., 2013. Pembuatan Selulosa Asetat dari α-Selulosa Tandan Kosong Kelapa Sawit. Jurnal Teknik Kimia USU.
10. Harianto, F., Padil., Yelmida. 2012. Pembuatan Nitroselulosa dari Selulosa-α Pelepah Sawit Hasil Pemurnian Dengan Enzim Xylanase Asam Penitrasi.J. Fakultas Teknik Universitas Riau. Pekan Baru
11. Lubis, A,U. 1992. Kelapa sawit (Elais guineensis Jacq.) di Indonesia. Pusat Penelitian Perkebunan,Marihat-Bandar Kuala.435 hal.
12. Mangoensoekarjo,S. dan H. Semangun. 2000. Manajemen Agrobisnis Kelapa Sawit. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta. 605 Hal. 13. Multi Kreasi, Cipta, 2011. Studi Potensi Listrik Alternatif di Pedesaan
Sebagai Upaya Dalam Menanggulangi Percepatan Diversifikasi Energi di Provinsi NAD, Jakarta.
42
14. Permata , Indra Kusumah, 2011. Studi Pemanfaatan Biomassa Limbah Kelapa Sawit Sebagai Bahan Bakar PLTU, ITS surabaya.
15. Purba, R.Y., Susanto, A., Sudharto, P. 2005. Serangga Hama Kelapa Sawit. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan. 29 hal.
16. Sastrosayono, S., 2003. Budidaya Kelapa Sawit. Agromedia
Pustaka, Jakarta. 17. Setyamidjaja, D. 2006. Budidaya Kelapa Sawit. Kanisius.
Yogyakarta. 62 Hal. 18. Silitonga, Nelson , Tarigan, Nurliana , Saragih, Gimelliya, 2013.
Pengaruh Konsentrasi NaOH pada Karakteristik α-Selulosa dari Pelepah Kelapa Sawit, Journal of Ready Star-2.
19. Sunarko, 2007. Petunjuk Praktis Budidaya dan Pengolahan Kelapa Sawit. Agromedia Pustaka, Jakarta.
20. Suryanto, 2010. Proses Produksi Bioetanol dari TKKS dengan Hot Compressed Water, BPPT, Tangerang.
43
BAB 7
LIMBAH NANAS
7.1 Nanas
Tanaman Nanas mempunyai nama botani Ananas comosus L. Merr.
Tanaman Nanas jika diklasifikasikan termasuk tanaman berbunga.
Nanas sering disebut bromeliad dengan lebih dari 2400 kerabat yang
memiliki penampilan menarik. Tanaman Nanas termasuk familia Nanas-
Nanasan. Tanaman ini adalah tanaman tropis yang berasal dari Brazilia,
Bolivia, dan Paraguay di Amerika Selatan. Buah Nanas bukan buah
sejati, melainkan gabungan buah-buah sejati yang bekasnya terlihat
dari setiap sisik pada kulit buah. Dalam perkembangannya tergabung
bersama dengan tongkol buah. Nanas merupakan tanaman buah yang
buahnya selalu tersedia sepanjang tahun. Buahnya buah buni majemuk
dengan bentuk bulat panjang berdaging, dan berwarna hijau. Jika
masak, buah berwarna kuning. Rasa buah Nanas manis hingga asam
manis.
Nanas tumbuh diberbagai agroklimat sehingga tanaman ini tersebar
luas. Nanas tumbuh ditempat yang ketinggiannya 100-1000 m dpl
dengan suhu rata-rata 21-30oC. Curah hujan yang dibutuhkan 635-
2500 mm per tahun, dengan bulan basah (curah hujan >200 mm) 3-4
bulan. Namun, juga memerlukan pencahayaan matahari 33-71% dari
pencahayaan maksimum dengan angka tahunan rata-rata 2000 jam.
Umumnya Nanas toleran terhadap kekeringan. Didaerah beriklim kering
44
dengan 4-6 bulan kering. Tanaman Nanas masih mampu berbuah,
asalkan daerah tersebut memiliki kedalaman air yang cukup, yakni 50-
150 cm. Nanas memiliki akar yang dangkal tetapi mampu menyimpan
air (Agromedia, 2009).
Nanas merupakan tanaman xerofit dan termasuk dalam golongan
Classulacean Acid Metabolism sehingga tanaman ini sangat tahan
terhadap kondisi kekeringan. Komposisi kimia serat alam dapat dilihat
pada Tabel 7.1 berikut..
Tabel 7.1 Komposisi Kimia Serat Alam (http://buletinlitbang. Dephan.go.id. Tahun 2007)
Nama Selulosa
(%) Hemiselulosa
(%) Lignin (%)
Keterangan
Abaka 60-65 6-8 5-10 Pisang Coir 43 1 45 Sabut Kelapa
Kapas 90 6 - Bungkus Bijih Flax 70-72 14 4-5 - Jute 61-63 13 3-13 -
Mesta 60 15 10 - Palmirah 40-50 15 42-45 - Nanas 80 - 12 Daun Mahkota
Rami 80-85 3-4 0,5-1 K. Batang Sisal 60-67 10-15 8-12 Daun
Limbah mahkota Nanas dapat dimanfaatkan sebagai salah satu
tanaman alternatif penghasil serat yang dapat dikonversikan menjadi
bioetanol. Secara struktur serat disusun dari berbagai komponen kimia
yaitu selulosa, hemiselulosa, lignin, pectin, lilin, dan lemak, serta zat-
zat lain yang bersifat larut dalam air. Komposisi serat kering daun
mahkota Nanas dapat dilihat Tabel 7.2.
45
Tabel 7.2. Komposisi Kering Serat Daun Mahkota Nanas (Glory, 2011)
Komposisi Kimia Serat Nanas (%)
Selulosa 62,9 – 65,7 Lignin 4,4 – 4,7
Serat Kasar 22,3 – 25,4
Abu 3,7 – 4,1
Berdasarkan habitat tanaman, terutama bentuk daun dan buah dikenal
4 jenis golongan Nanas, yaitu : Cayenne (daun halus, tidak berduri,
buah besar), Queen (daun pendek berduri tajam, buah lonjong mirip
kerucut), Spanyol/Spanish (daun panjang kecil, berduri halus sampai
kasar, buah bulat dengan mata datar) dan Abacaxi (daun panjang
berduri kasar, buah silindris atau seperti piramida). Varietas kultivar
Nanas yang banyak ditanam di Indonesia adalah golongan Cayene dan
Queen. Golongan Spanish dikembangkan di kepulauan India Barat,
Puerte Rico, Mexico dan Malaysia. Golongan Abacaxi banyak ditanam
di Brazilia. Dewasa ini ragam varietas atau kultivar Nanas yang
dikategorikan unggul adalah Nanas Bogor, Subang dan Palembang.
Nama Nanas Subang, Bogor, dan Palembang sendiri sebenarnya hanya
sebutan varietas yang hanya berdasarkan tempat Nanas-Nanas itu
tumbuh baik, dengan hasil istimewa. Nanas Subang tumbuh dengan
baik di Subang. Kemudian muncul kultivar dengan nama baru dari
varietas ini, yaitu Si Madu karena rasa manis seperti madu yang
disebabkan banyaknya unsur kalium dalam tanah. Dari varietas yang
sama juga muncul Nanas walungka yang berukuran besar.
46
Sedangkan yang dikenal masyarakat dengan Nanas Bogor, menurut
Herbagijondono(2009), kolektor 46 kultivar Nanas, merupakan varietas
Queen. Ada tiga kultivar yang disebut Nanas Bogor, yaitu gati, kiara,
dan kapas. Ketiganya banyak ditanam di Bogor dan sekitarnya. Nama
Nanas Bogor yang sama juga dijumpai di beberapa daerah lain seperti
Pontianak, Sukamere, dan Probolinggo. Semuanya merupakan varietas
Cayenne.Di Palembang ada ada varietas Nanas, yaitu Nanas Palembang
(merupakan varietas Queen) dan Cayennelis (dari varietas Cayenne
lissae). Yang lebih terkenal di masyarakat adalah Nanas Palembang dari
varietas Queen. Berikut Varietas Nanas di Indonesia yaitu:
7.1.1 Nanas Varietas Queen
Rasanya manis, aromanya harum, dan warna kulitnya menarik, kuning
cerah dan kemerahan. Bobotnya sekitar 1 kg. Bentuk buah cenderung
memanjang Empulur buah cukup lunak sehingga dapat dimakan.
Kekurangannya, ukuran buah kecil, dan matanya agak dalam sehingga
banyak daging buah yang terbuang ketika dikupas. Varietas Queen
yang paling dikenal ialah Nanas dari Bogor (gati, kapas, dan kiara),
Nanas Palembang, serta batu dari Kediri. Daerah lain yang dijumpai
varietas ini adalah : Pontianak (Nanas cina), Palangkaraya (Nanas
betawi), Purwokerto (Nanas batu), Kediri (Nanas bali/jawa), Jember
(monserat dan bali), Bondowoso (kidang dan uling), Sumenep (durian),
dan Salatiga (Nanas bogor). Berikut ini adalah tanaman buah Nanas
varietas Queen yang dapat dilihat pada Gambar 7.1.
47
Gambar 7.1 Nanas Palembang Varietas Queen (http://www.acamedia.edu, 2014)
7.1.2 Nanas Varietas Cayane
Daun Nanas ini tidak berduri. Rasanya manis asam. Diameter buah 11-
16 cm dengan bobot 1,8-2,3 kg. Bahkan ada yang mencapai 5-7 kg
yang dikenal dengan nama Walungka atau Sarawak. Kandungan airnya
cukup tinggi, dan empulur (hatinya) relatif kecil. Matanya tidak dalam.
Karena ukuran dan rasanya, Nanas ini paling cocok dikalengkan. Selain
kelebihan itu, ada juga kekurangannya. Perubahan warna kulitnya agak
lambat, sehingga kadang buah sudah matang tapi kulitnya masih hijau.
Varietas Cayenne dikenal di beberapa daerah di Indonesia dengan
nama berbeda. Seperti: Cayennelis (Palembang dan Salatiga). Suka
Menanti (Bukit Tinggi), Serawak (Tanjung Pinang dan Pacitan), Bogor
48
(Pontianak, Probolinggo, dan Purbalingga), dan Paung (Palangkaraya).
Namun hanya di Subang pertumbuhan Cayenne amat baik sehingga
sebutan Nanas Subang seolah identik dengan NanasCayenne. Berikut
ini adalah tanaman buah Nanas varietas Cayenne yang dapat dilihat
pada Gambar 7.2.
Gambar 7.2 Nanas Varietas Cayane (http://www.acamedia.edu, 2014)
7.1.3 Nanas Varietas Spanish
Waktu matang rasanya manis dan aromanya tajam menyenangkan,
namun varietas ini kurang disukai, karena berserat. Nanas ini banyak
dimanfaatkan sebagai bahan pembuat kertas dan tekstil. Kertas uang
dolar Amerika dibuat dari serat Nanas ini yang diambil dari daunnya.
Bobot buahnya 0,9-1,8 kg, jadi antara Cayenne dan Queen diameternya
49
9-13 cm. Matanya cukup dalam sehingga daging buah banyak terbuang
ketika dikupas. Daunnya berduri, sedangkan kulit buahnya kasar dan
kuat sehingga buah tidak mudah rusak dalam pengangkutan. Jenis ini
banyak ditanam sebagai tanaman hias karena warna buahnya cukup
menarik, merah oranye berkat zat antosianin. Berikut ini adalah
tanaman buah Nanas varietas Spanish yang dapat dilihat pada Gambar
7.3.
Gambar 7.3 Nanas Varietas Spanish (http://www.acamedia.edu, 2014)
7.2 Potensi Limbah Nanas
Tanaman Nanas (Ananas cosmosus Merr.) termasuk famili
Bromeliaceae merupakan tumbuhan tropis dan subtropis yang banyak
terdapat di Filipina, Brasil, Hawai, India dan Indonesia. Menurut data
50
FAO (2003), Indonesia merupakan salah satu negara penghasil Nanas
selain beberapa negara lainnya dengan produksi sebesar 467.395 ton.
Di Indonesia, salah satu provinsi yang dikenal sebagai penghasil nanas
adalah Provinsi Kalimantan Barat, yang pada tahun 2000, dengan luas
lahan 1500 Ha dapat dihasilkan sekitar 30.000 Ton nanas (Anonim,
2000). Menurut data BPS tahun 2006, produksi nanas di Kalimantan
Barat 11.072 ton. Data dari pabrik pengolahan nanas PT. Industri
Saribumi Kalbar di Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat, yang
mengolah sari pati nanas menjadi konsentrat/cairan menunjukkan
bahwa produksi pabrik sebesar 450 ton nanas per hari atau 30 ton per
jam dengan output 3 ton konsentrat nanas per jam (www.google.co.id.
buah nanas, diakses tanggal 12 Maret 2009). Hal ini dapat diperkirakan
bahwa jika keberadaan mahkota nanas sebesar 15-20% maka jumlah
mahkota nanas yang dihasilkan dari pabrik tersebut sebanyak 67,5-90
ton per hari.
Teknik budidaya tanaman nanas disatu sisi dapat meningkatkan
produksi buah, tetapi disisi lain memberikan dampak pada semakin
banyaknya limbah mahkota nanas. Buah nanas yang diolah pada
berbagai industri pengolahan nanas akan menghasilkan mahkota nanas
sebagai limbah yang belum dimanfaatkan secara maksimal. Mahkota
nanas biasanya dibuang sebagai limbah pertanian dan menjadi beban
dari suatu industri nanas kalengan karena yang digunakan untuk
”replanting” relatif sedikit.
Beberapa penelitian memanfaatkan mahkota nanas telah dilakukan
antara lain di India, mahkota nanas digunakan untuk ekstraksi dan
51
purifikasi bromelain dengan reverse micellar systems (Umesh et al.,
2007). Di Jepang, analisis kimia dan studi tentang pulping dari mahkota
nanas juga dipelajari untuk dikonversi menjadi pulp dan kertas dan
diketahui mengandung selulosa sebesar 19,1%, kadar abu 7% (Ai,
2006). Pengaruh sodium hidroksida dan hidrogen peroksida terhadap
rendemen dan warna pulp dari serat daun nanas juga telah diteliti dan
kadar selulosanya sebesar 59,49%, kadar air 8,95%, kadar abu 3,02%
(Holia et al., 2004).
Satu cara untuk memanfaatkan mahkota nanas agar memberikan nilai
tambah adalah dengan mempersiapkannya sebagai bahan baku
selulosa yang kemudian dapat disintesis menjadi sodium
karboksimetilselulosa (CMC). Selain mudah diperoleh dan tidak
memerlukan biaya relatif mahal, mahkota nanas diketahui berpotensi
sebagai sumber selulosa (Ai, 2006).
Selulosa adalah polimer rantai lurus dan memiliki berat molekul besar,
serta bahan alam, dapat diperbaharui dan dapat didegradasi secara
biologis. Karena ikatan hidrogen antar dan intra molekul, selulosa tidak
selalu larut pelarut umum (Hattori et al., 2004).
7.3 Jenis Limbah Nanas
Jenis limbah nanas yang dihasilkan dari pasca panen nanas yaitu daun,
sedangkan pada industri pengolahan nanas adalah makota nanas yang
potensinya sangat berlimpah.
52
7.3.1 Daun Nanas
Kebanyakan masyarakat yang mengetahui tanaman nanas dengan
mengkonsumsi buahnya saja itu, tanpa terpikirkan bahwa limbah daun
nanas tersebut dapat dimanfaatkan sebagai olahan alternatif. Dimana
daun nanas ini dapat dijadikan sebagai bahan baku dalam pembuatan
pulp dan kertas. Bahan utama dalam pembuatan pulp dan kertas
berupa selulosa dari limbah nanas.
Selulosa merupakan bahan baku utama bagi industri-industri, misalnya:
pabrik pulp, pabrik kertas, pabrik sutera tiruan dan lain sebagainya
(Rudnin Habibah, 2013). Kebanyakan selulosa berasosiasi dengan
lignin dan gabungan selulosa dengan lignin disebut sebagai
lignoselulosa. Selulosa, hemiselulosa dan lignin dihasilkan dari proses
fotosintesis. Secara struktur serat daun nanas disusun dari berbagai
komponen kimia yaitu selulosa, hemiselulosa, lignin, pectin, lilin, dan
lemak, serta zat-zat lain yang bersifat larut dalam air. Adanya ikatan-
ikatan molekul glukosa dalam bentuk 1,4-β-D glikosidik yang
membentuk rantai-rantai selulosa yang panjang menyebabkan selulosa
sukar larut dalam air.
Sifat fisik dan kimia selulosa yaitu tidak larut dalam air dingin, larut
dalam asam dan alkali encer serta pelarut organik netral seperti
benzene, alkohol, eter, dan kloroform. Selulosa larut dalam asam sulfat
72%, asam klorida 44%, serta asam fosfat 85%.
53
Tabel 7.3 Komposisi Kering Serat Daun Nanas
(Onggo & Triastuti, 2005) No. Komposisi Kimia Serat Daun Nanas (%)
1 Selulosa 69,5 – 71,5 2 Lignin 4,4 – 4,7
3 Pentosan 17,0 – 17,8 4 Pektin 1,0 – 1,2 5 Lemak dan Wax 3,0 – 3,3
6 Abu 0,71 – 0,87 7 Zat-zat Lain 4,5 – 5,3
7.3.2 Mahkota Nanas
Tanaman Nanas (Ananas cosmosus Merr.) termasuk famili
Bromeliaceae merupakan tumbuhan tropis dan subtropis yang banyak
terdapat di Filipina, Brasil, Hawai, India dan Indonesia. Menurut data
FAO (2003), Indonesia merupakan salah satu negara penghasil nenas
selain beberapa negara lainnya dengan produksi sebesar 467.395 ton.
Di Indonesia, salah satu provinsi yang dikenal sebagai penghasil nanas
adalah Provinsi Kalimantan Barat, yang pada tahun 2000, dengan luas
lahan 1500 Ha dapat dihasilkan sekitar 30.000 Ton nanas (Anonim,
2000). Menurut data BPS tahun 2006, produksi nanas di Kalimantan
Barat 11.072 ton. Data dari pabrik pengolahan nanas PT. Industri
Saribumi Kalbar di Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat, yang
mengolah sari pati nanas menjadi konsentrat/cairan menunjukkan
bahwa produksi pabrik sebesar 450 ton nanas per hari atau 30 ton per
jam dengan output 3 ton konsentrat nanas per jam (www.google.co.id.
buah nanas, diakses tanggal 12 Maret 2009). Hal ini dapat diperkirakan
bahwa jika keberadaan mahkota nanas sebesar 15-20% maka jumlah
54
mahkota nanas yang dihasilkan dari pabrik tersebut sebanyak 67,5-90
ton per hari.
Teknik budidaya tanaman nanas disatu sisi dapat meningkatkan
produksi buah, tetapi disisi lain memberikan dampak pada semakin
banyaknya limbah mahkota nanas. Buah nanas yang diolah pada
berbagai industri pengolahan nanas akan menghasilkan mahkota nanas
sebagai limbah yang belum dimanfaatkan secara maksimal. Mahkota
nanas biasanya dibuang sebagai limbah pertanian dan menjadi beban
dari suatu industri nanas kalengan karena yang digunakan untuk
”replanting” relatif sedikit.
Penelitian dengan memanfaatkan mahkota nanas telah dilakukan
antara lain di India, mahkota nanas digunakan untuk ekstraksi dan
purifikasi bromelain dengan reverse micellar systems (Umesh et al.,
2007). Di Jepang, analisis kimia dan studi tentang pulping dari mahkota
nanas juga dipelajari untuk dikonversi menjadi pulp dan kertas dan
diketahui mengandung selulosa sebesar 19,1%, kadar abu 7% (Ai,
2006). Pengaruh sodium hidroksida dan hidrogen peroksida terhadap
rendemen dan warna pulp dari serat daun nanas juga telah diteliti dan
kadar selulosanya sebesar 59,49%, kadar air 8,95%, kadar abu 3,02%
(Holia et al., 2004).
Satu cara untuk memanfaatkan mahkota nanas agar memberikan nilai
tambah adalah dengan mempersiapkannya sebagai bahan baku
selulosa yang kemudian dapat disintesis menjadi sodium
karboksimetilselulosa (CMC). Selain mudah diperoleh dan tidak
55
memerlukan biaya relatif mahal, mahkota nanas diketahui berpotensi
sebagai sumber selulosa (Ai, 2006).
Selulosa adalah polimer rantai lurus dan memiliki berat molekul besar,
serta bahan alam, dapat diperbaharui dan dapat didegradasi secara
biologis. Karena ikatan hidrogen antar dan intra molekul, selulosa tidak
selalu larut pelarut umum (Hattori et al., 2004).
Gambar 7.4 Mahkota Nanas (http://www.acamedia.edu, 2014)
7.4 Pemanfaatan Limbah Nanas
Jumlah limbah nanas sangat besar. Menurut data dari BPS tahun 2006
produksi nanas Indonesia mencapai 467.395 ton, dari hasil tersebut
jika nanas diolah menjadi nanas kaleng, maka akan menghasil limbah
sebanyak 15-20% dari mahkota nanas dan daun nanas hasil pasca
panen diperkirakan 20-25%. Ini merupakan masalah yang sangat
rumit bagi pabrik pengolahan dan perkebunan nanas. Karena limbah-
limbah tersebut hanya dipakai untuk sebagai bahan pakan ternak dan
56
sebagai mulsa/kompos dalam penanaman kembali, yang jumlahnya
hanya sebagian kecil. Sedang sisanya akan menjadi limbah organik,
yang akan mempengaruhi lingkungan sekitar.
Dengan potensi limbah nanas yang relatif besar, yaitu limbah mahkota
nanas sebanyak 20% x 467.395 ton = 93.479 ton/tahun, dan nanas
25% x 467.395 ton = 116.848 ton/tahun. Ini merupakan pontensi
untuk dimanfaatkan menjadi produk yang dapat menjadi nilai tambah.
7.4.1 Pemanfaatan Limbah Daun Nanas
Pemanfaat daun nanas dapat dimanfaatkan menjadi produk yang
dapat nilai tambah. Pemanfaatan daun nanas diantaranya dapat
dijadikan sebagai bahan selulosa, selain itu limbah nanas dapat
dijadikan serat untuk bahan tekstil atau kain.
1. Pemanfaatan Daun Nanas Untuk Selulosa
Dalam pemanfaatan limbah daun nanas untuk dijadikan selolulosa
digunakan metode hidrolisis NaOH. Pada metodologi ini ada beberapa
tahapan yang harus di lalui yaitu:
a. Tahapan Preparasi Bahan Baku
Tahap ini menyiapan bahan baku berupa daun nanas, kemudian
daun nanas dicuci sampai bersih diair yang mengalir, selanjutnya
daun nanas yang sudah dicuci dikeringkan di bawah sinar
matahari, setelah kering, daun nanas dihaluskan dengan cara
digiling atau dicacah. Selanjut disaring untuk mendapatkan
57
serbuknya dengan ukuran 80-100 mesh dan disimpan ditoples atau
wadah tertutup.
b. Tahapan Hidrolisis
Sebanyak 100 gram serbuk daun nanas dimasukkan dalam labu
leher tiga yang dilengkapi pendinginan balik dan ditambah 1000 ml
larutan NaOH dengan konsentrasi 0,1 N; 0,2N, 0,3N, 0,4N dan 0,5N
kemudian dipanaskan selama 1 jam pada suhu 100oC. Setelah
proses selesai, hasil pulp yang diperoleh disaring dan dicuci hingga
pH netral (tes dengan kertas lakmus). Hasil pulp dikeringkan dan
dianalisis kadar selulosanya menggunakan metode Chesson.
c. Prosedur Analisis
Analisis selulosa dilakukan dengan metode Chesson melalui
prosedur sebagai berikut (Ika Kurniaty, 2017);
- Sebanyak 2 g sampel kering (A) ditambahkan 300 ml akuades,
direfluks pada suhu 100oC dengan water bath selama 1 jam.
Hasilnya kemudian disaring, hasil residu kemudiaan dicuci
dengan air panas sebanyak 300 ml. Residu kemudian
dikeringkan dengan oven sampai kering, kemudian ditimbang.
- Residu (A) ditambahkan 150 ml H2SO4, 1 N kemudian direfluks
dengan water bath selama 1 jam pada suhu 100oC. Hasilnya
disaring dan dicuci dengan akuades sampai netral (±300 ml)
selanjutnya dikeringkan dan ditimbang (B).
- Residu (B) kering ditambahkan 10 ml H2SO4 72% dan direndam
pada suhu kamar selama ±4 jam. Selanjutnya ditambahkan 150
ml H2SO4 1 N serta direfluks pada water bath selama 1 jam pada
pendingin balik. Residu disaring dan dicuci dengan akuades
sampai netral (±400 ml) kenudian dipanaskan dalam oven pada
58
suhu 105oC dan hasilnya ditimbang sampai sampai beratnya
ditetapkan (C) selanjutnya residu diabukan dan ditimbang.
Untuk pengujian kandungan selulosa dari serbuk daun nanas dilakukan
perhitungang dengan persamaan berikut.
Selulosa (%) = 𝐵−𝐶
𝐴 x 100%
Sebagai contoh dari hasil penelitian (Selvia Aprilyanti, 2018), dengan
ukuran sampel awal 80 – 100 mesh dikarenakan ukuran bahan baku
akan mempengaruhi prositas sehingga dapat memaksimalkan kontak
bahan dengan asam untuk meningkatkan hidrolisis hemisellulosa
(Osvaldo Z.S., 2012).
Produk dari proses hidrolisis terdiri dari 2 fase yaitu padatan dan cairan.
Produk fase padatan merupakan selulosa, sedangkan produk fase cair
merupakan campuran antara larutan NaOH dan lignin yang terlarut.
Gambar 7.5 Selulosa Hasil Hidrolisis (Aprilyanti, 2018)
59
Gambar 7.6 Larutan NaOH dan Lignin (Aprilyanti, 2018)
Adapun Pengaruh konsentrasi NaOH terhadap kadar selulosa pada
serat daun nanas dapat dilihat pada Tabel 7.4 berikut.
Tabel 7.4 Pengaruh Konsentrasi NaOH Terhadap Kadar
Selulosa Pada Serat Daun Nanas (Aprilyanti, 2018)
No. Konsentrasi NaOH Kadar Selulosa (%)
1 NaOH 0,1 N 54,20
2 NaOH 0,2 N 66,30 3 NaOH 0,3 N 63,00
4 NaOH 0,4 N 57,20 5 NaOH 0,5 N 55,50
2. Pemanfaatan Daun Nanas Untuk Serat Tekstil
Serat alam (natural fibre) adalah jenis-jenis serat sebagai bahan baku
industri tekstil atau lainnya, yang diperoleh langsung dari alam.
Berdasarkan asal usulnya, serat alam dapat diklasifikasikan menjadi
beberapa kelompok, yaitu serat yang berasal dari binatang/animal
60
fibre, bahan tambang/mineral fibre) dan tumbuhan/vegetable fibre
(Kirby, 1963).
Serat alam yang berasal dari binatang, antara lain wool, sutera,
cashmere, ilama dan camel hair. Serat yang berasal dari bahan baku
tambang, misal serat asbes. Sedang serat yang berasal dari tumbuhan
dapat dikelompokkan lagi sesuai dengan asal serat diambil. Serat yang
diambil dari biji (seed fibres), misal serat cotton dan kapok. Serat yang
diambil dari batang (bast fibres), misal serat jute, flax, hemp, dan
ramie. Serat yang diambil dari daun (leaf fibres), misal abaca,
henequen, sisal, daun nanas dan lidah mertua. Secara kimiawi, semua
serat yang berasal dari tumbuhan unsur utama yang ada dalam serat
adalah cellulose, meskipun unsur-unsur lain yang jumlahnya bervariasi
juga terdapat didalamnya, seperti hemicellulose, lignin, pectin, ash,
waxes dan zat-zat lainnya (Kirby, 1963).
Serat daun nanas (pineapple–leaf fibres) adalah salah satu jenis serat
yang berasal dari tumbuhan (vegetable fibre) yang diperoleh dari daun-
daun tanaman nanas. Tanaman nanas yang juga mempunyai nama
lain, yaitu Ananas Cosmosus, (termasuk dalam family Bromeliaceae),
pada umumnya termasuk jenis tanaman semusim. Menurut sejarah,
tanaman ini berasal dari Brazilia dan dibawa ke Indonesia oleh para
pelaut Spanyol dan Portugis sekitar tahun 1599.
Tanaman nanas di Indonesia sudah banyak dibudidayakan, terutama di
Jawa dan Sumatera. Di Jawa tanaman nanas dibudidayakan di daerah
Kabupaten Subang, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Majalengka,
61
Kabupaten Purbalingga, sedangkan di Sumatera bududaya nanas
banyak dijumpai di Bengkulu, Lampung, dan Palembang, yang
merupakan salah satu hasil pertanian yang cukup berpotensi (Anonim,
2006). Tanaman nanas akan dibongkar setelah dua atau tiga kali
panen untuk diganti tanaman baru, oleh karena itu limbah daun nanas
terus berkesinambungan sehingga cukup potensi dan dimanfaatkan
sebagai produk tekstil yang dapat memberikan nilai tambah.
Bentuk daun nanas menyerupai pedang yang meruncing diujungnya
dengan warna hijau kehitaman dan pada tepi daun terdapat duri yang
tajam. Tergantung dari species atau varietas tanaman, panjang daun
nanas berkisar antara 55 sampai 75 cm dengan lebar 3,1 sampai 5,3
cm dan tebal daun antara 0,18 sampai 0,27 cm. Di samping species
atau varietas nanas, jarak tanam dan intensitas sinar matahari akan
mempengaruhi terhadap characteristic dari serat yang dihasilkan.
Intensitas sinar matahari yang tidak terlalu banyak (sebagian
terlindung) pada umumnya akan menghasilkan serat yang kuat, halus,
dan mirip sutera (strong, fine and silky fibre)(Kirby, 1963, Doraiswarmy
et al., 1993). Terdapat lebih dari 50 varietas tanaman nanas didunia,
beberapa varietas tanaman nanas yang telah dibudidayakan di
Indonesia antara lain Cayenne, Spanish/Spanyol, Abacaxi dan Queen.
Tabel 7.5 memperlihatkan sifat fisik beberapa jenis varietas lain
tanaman nanas yang sudah banyak dikembangkan (Doraiswarmy et al.,
1993).
62
Tabel 7.5 Karakteristik Fisik Serat Daun Nanas
(Kirby, 1963. Doraiswarmy et. al., 1993)
Varietas Nanas
Karakteristik Fisik
Panjang (cm) Lebar
(cm) Tebal (cm)
Assam Lokal 75 4,7 0,21
Cayenalisa 55 4,0 0,21 Kallara Lokal 56 3,3 0,22
Kew 73 5,2 0,25 Mauritius 55 5,3 0,18
Pulimath Lokal 68 3,4 0,27 Smmoth Cayenne 58 4,7 0,21 Valera Moranda 65 3,9 0,23
Daun nanas mempunyai lapisan luar yang terdiri dari lapisan atas dan
bawah. Diantara lapisan tersebut terdapat banyak ikatan atau helai-
helai serat (bundles of fibre) yang terikat satu dengan yang lain oleh
sejenis zat perekat (gummy substances) yang terdapat dalam daun.
Karena daun nanas tidak mempunyai tulang daun, adanya serat-serat
dalam daun nanas tersebut akan memperkuat daun nanas saat
pertumbuhannya. Dari berat daun nanas hijau yang masih segar akan
dihasilkan kurang lebih sebanyak 2,5 sampai 3,5% serat serat daun
nanas.
Pengambilan serat daun nanas pada umumnya dilakukan pada usia
tanaman berkisar antara 1 sampai 1,5 tahun. Serat yang berasal dari
daun nanas yang masih muda pada umumnya tidak panjang dan
kurang kuat. Sedang serat yang dihasilkan dari tanaman nanas yang
terlalu tua, terutama tanaman yang pertumbuhannya di alam terbuka
dengan intensitas matahari cukup tinggi tanpa pelindung, akan
63
menghasilkan serat yang pendek kasar dan getas atau rapuh (short,
coarse and brittle fibre). Oleh sebab, itu untuk mendapatkan serat yang
kuat, halus dan lembut perlu dilakukan pemilihan pada daun-daun nanas
yang cukup dewasa yang pertumbuhannya sebagian terlindung dari sinar
matahari.
a. Ektraksi Serat Daun Nanas
Pemisahan/pengambilan serat nanas dari daunnya (fiber extraction)
dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan tangan (manual)
ataupun dengan peralatan decorticator (Kirby, 1963). Cara yang paling
umum dan praktis adalah dengan proses water retting dan scraping
atau secara manual. Water retting adalah proses yang dilakukan oleh
microorganism (bacterial action) untuk memisahkan atau membuat
busuk zat-zat perekat (gummy substances) yang berada disekitar serat
daun nanas, sehingga serat akan mudah terpisah dan terurai satu
dengan lainnya. Proses retting dilakukan dengan cara memasukkan
daun-daun nanas kedalam air dalam waktu tertentu. Karena water
retting pada dasarnya adalah proses microorganism, maka beberapa
faktor sangat berpengaruh terhadap keberhasilan proses ini, antara lain
kondisi dari water retting, pH air, temperatur, cahaya, perubahan
kondisi lingkungan, aeration, macro-nutrients, jenis bakteri yang ada
dalam air, dan lamanya waktu proses. Daun-daun nanas yang telah
mengalami proses water retting kemudian dilakukan proses pengikisan
atau pengerokan (scraping) dengan menggunakan plat atau pisau yang
tidak tajam untuk menghilangkan zat-zat yang masih menempel atau
tersisa pada serat, sehingga serat-serat daun nanas akan lebih terurai
64
satu dengan lainnya. Serat-serat tersebut kemudian dicuci dan
dikeringkan. Karena dilakukan dengan tangan (manual), proses water
retting dan terutama pada proses scraping diperlukan keahlian dan
kesabaran seseorang untuk mengerjakannya. Penelitian menunjukkan
kadang proses water retting ini akan menghasilkan warna serat daun
nanas yang kecoklat-coklatan akibat adanya proses micro-organism
yang tumbuh pada serat tersebut, yang pada umumnya dikenal dengan
istilah rust atau karat (Kirby, 1963).
Metode extraction serat daun nanas dapat juga dilakukan dengan
peralatan yang disebut mesin Decorticator, prosesnya disebut dengan
dekortikasi. Mesin decorticator terdiri dari suatu cylinder atau drum
yang dapat berputar pada porosnya. Pada permukaan cylinder halus
(blades) yang akan menimbulkan proses pemukulan (beating action)
pada daun nanas, saat cylinder berputar (Doraiswarmy et al., 1993).
Gerakan perputaran cylinder dapat dilakukan secara manual (tenaga
manusia) atau menggunakan motor listrik. Saat cylinder berputar,
daun-daun nanas, sambil dipegang dengan tangan, disuapkan diantara
cylinder dan pasangan rol dan plat penyuap. Karena daun-daun nanas
yang disuapkan mengalami proses pengelupasan, pemukulan dan
penarikan (crushing, beating and pulling action) yang dilakukan oleh
plat-plat atau jarum-jarum halus (blades) yang terpasang pada
permukaan cylinder selama berputar, maka kulit daun ataupun zat-zat
perekat (gummy substances) yang terdapat disekitar serat akan
terpisah dengan seratnya. Pada setengah proses decorticasi dari daun
nanas yang telah selesai, kemudian dengan pelan, daun nanas ditarik
kembali. Dengan cara yang sama ujung daun nanas yang belum
65
mengalami proses decorticasi disuapkan kembali ke cylinder dan
pasangan rol penyuap. Kecepatan putaran cylinder, jarak setting antara
blades dan rol penyuap, serta kecepatan penyuapan akan
mempengaruhi terhadap keberhasilan dan kualitas serat yang
dihasilkan.
Untuk memudahkan Untuk memudahkan pemisahan zat-zat yang ada
disekitar serat dan menghindari kerusakan pada serat, proses
decorticasi sebaiknya dilakukan pada kondisi daun dalam keadaan
segar dan basah (wet condition). Daun-daun nanas yang telah
mengalami proses dekortikasi, kemudian dicuci dan dikeringkan melalui
sinar matahari, atau dapat dilakukan dengan cara-cara yang lain.
b. Unsur Kimia Daun Nanas
Hampir semua jenis serat alam, khususnya yang berasal dari tumbuhan
(vegetable fibres), abaca, henequen, sisal, yute, rami, daun nanas dan
lidah mertua, komposisi kandungan serat secara kimia yang paling
besar adalah cellulose, meskipun unsur atau zat-zat lain juga terdapat
pada serat tersebut, misal fats dan waxs, hemicellulose, lignin, pectin
dan colouring matter (pigmen) yang menyebabkan serat berwarna.
Komposisi kandungan zat-zat tersebut pada umumnya sangat
bervariasi tergantung dengan jenis atau varietas tanaman nanas yang
berbeda. Zat-zat tersebut perlu dihilangkan atau dikurangi pada proses
selanjutnya (degumming) agar proses bleaching ataupun dyeing lebih
mudah dikerjakan. Tabel 7.6 memperlihatkan perbandingan komposisi
kimia yang terkandung pada beberapa jenis serat alam, nanas, kapas
66
dan rami [Anonim, 2006]. Sedang Tabel 7.7 menunjukkan komposisi
kimia dari hasil proses pemisahan serat yang berbeda, decortication
dan water retting, pada serat nanas (Doraiswarmy et al., 1993).
Tabel 7.6 Unsur Kimia Serat Daun Nanas (Doraiswarmy et. al., 1993)
Unsur Kimia Serat Daun
Nanas (%)
Serat Kapas
(%)
Serat Rami
(%)
α Selulosa 69,50 – 71,50 94,00 72,00 - 92,00 Pentosan 17,00 – 17,80 - -
Lignin 4,40 – 4,70 - 0,00 – 1,00 Pektin 1,00 – 1,20 0,90 3,00 – 27,00
Lemak dan Wax 3,00 – 3,30 0,60 0,20 Abu 0,71 – 0,87 1,20 2,87
Zat lain (protein dll.)
4,50 – 5,30 1,30 6,20
Tabel 7.7 Unsur Kimia Serat Daun Nanas pada Metode Pemisahan Serat
(Doraiswarmy et. al., 1993)
Unsur Kimia % Unsur
Decortication Water Retting α Selulosa 79,36 87,36 Hemi Selulosa 13,07 4,58
Lignin 4,25 3,62 Ash 2,29 0,54
Alkohol-Benzene ekstraksi 5,73 2,72
Sama halnya dengan serat-serat alam lainnya yang berasal dari daun
(leaf fibres), secara morphology jumlah serat dalam daun nanas terdiri
dari beberapa ikatan serat (bundle of fibres) dan masing-masing ikatan
terdiri dari beberapa serat (multi-celluler fibre). Berdasarkan
pengamatan dengan microscope, cell-cell dalam serat daun nanas
67
mempunyai ukuran diameter rata-rata berkisar 10 μm dan panjang
rata-rata 4.5 mm dengan ratio perbandingan antara panjang dan
diameter adalah 450. Rata-rata ketebalan dinding cell dari serat daun
nanas adalah 8.3 μm. Ketebelan dinding cell ini terletak antara serat
sisal (12.8 μm) dan serat batang pisang (1.2 μm), dan secara umum
sifat atau karakteristik serat daun nanas dapat ditunjukkan pada Tabel
7.10 (Doraiswarmy et al., 1993).
Meski akan mempengaruhi terhadap physical maupun mechanical
properties serat (terutama berat, kekuatan tarik dan mulur serat),
penelitian menunjukkan bahwa treatment yang dilakukan pada serat
daun nanas tersebut, hasil dari proses decortikasi ataupun water
retting, dengan bahan kimia misal NaOH, H2SO4 atau bahan-bahan
kimia lainnya dengan konsentrasi tertentu, akan memudahkan dalam
penguraian atau pemisahan antar serat dari ikatannya (bundle of
fibres), hal ini disebabkan terlepasnya beberapa impurity materials atau
gummy substances yang terdapat pada ikatan serat nanas tersebut.
Perubahan komposisi kimia setelah serat daun nanas mengalami proses
water retting dan degumming dapat dilihat pada Tabel 7.8.
Tabel 7.8 Perubahan Unsur Kimia Serat Daun Nanas setelah Proses Water Retting dan Degumming
(Pratikno Hidayat, 2008)
Unsur Kimia % Unsur
Water Retting Degumming α Selulosa 87,36 94,21 Hemi Selulosa 4,58 2,26
Lignin 3,62 2,75 Ash 0,54 0,37
Alkohol-Benzene ekstraksi 2,72 0,77
68
Tabel 7.9 Karakteristik Serat Daun Nanas
(Pratikno Hidayat, 2008)
Ultimate Cell Panjang L (mm) Lebar W (12,8 µ)
L/W Tingkatan polimerisasi α Selulosa
3 - 9
4 - 8 450
1178 - 1200
Filament Tenancity (MN/m2)
Extention at Break (%) Torsional rigidity (MN/m2) Flexural (MN/m2)
Panjang (cm) Transverse swelling in water (%)
710
2 – 6 360
3 – 8
55 – 75 18 - 20
Bundle Tenancity (MN/m2) True density (kg/m3) Apparent density (kg/m3)
Porosity (%) MR at 65% RH
MR at 100% RH
370 1480 1350
9,00 11,80
41,00
Pengamatan yang dilakukan dengan sinar-X menunjukkan bahwa serat
daun nanas mempunyai derajat kristalitas (degree of crystallanity) yang
tinggi dengan sudut puntiran serat sekitar 15o. Treatment dengan acid
dan alkali pada serat daun nanas menunjukkan perubahan yang sangat
tinggi pada daerah-daerah amorphous dibanding serat yang belum di
treatment (Doraiswarmy etal., 1993). Hal ini menunjukkan bahwa serat
yang sudah mengalami proses treatment mempunyai kemampuan daya
serap yang tinggi pada proses pewarnaan. Namun demikian, sifat-sifat
flexural rigidty dan torsional rigidity pada serat daun nanas relatif lebih
tinggi dibanding serat kapas. Hal ini menyebabkan resistensi yang besar
terhadap twisting ataupun bending dan serat cenderung untwist
(melawan puntiran) segera setelah twist diberikan, menyebabkan
kesulitan untuk mendapatkan kekompakan benang yang diinginkan.
69
c. Durability Serat Daun Nanas
Properties lain dari serat daun nanas adalah penurunan kekuatan serat
dalam kondisi basah (wet conditions), seperti terlihat pada Tabel 7.10.
Penurunan kekuatan pada kondisi ini mungkin disebabkan adanya
penetrasi molekul-molekul air kedalam rantai molekul multicellular
cellulose serat, sehingga menimbulkan penggelembungan (swelling)
pada serat dan mengakibatkan terjadinya slip antar molekul-molekul
serat pada saat diberi beban.
Tabel 7.10 Tenancy dan Elongation Serat Daun Nanas
Pada Kondisi Kering dan Basah (Doraiswarmy etal., 1993)
Sifat Mekanik Kondisi Serat
Untreated Degumming Tenancity (CN/tex)
- Dry - Wet
38,40 16,60
36,50 16,20
Breaking elongation (%) - Dry
- Wet
2,90
2,70
3,30
2,90
Sama halnya dengan serat-serat yang berasal dari tumbuhan
(vegetable fibres), penurunan kekuatan serat daun nanas juga terjadi
apabila serat tersebut dipendam didalam tanah. Penelitian
menunjukkan pemendaman serat daun nanas dalam tanah selama 3
hari mengakibatkan penurunan kekuatan serat berkisar 37.1%,
penurunan kekuatan ini masih lebih baik dibanding dengan serat sisal
dan jute yang mengalami penurunan dramatis, yaitu 75.9% dan 80%
70
(Kirby, 1963). Hal ini dapat dipahami karena hampir semua serat-serat
alam (natural fibres) dengan kondisi atau penyimpanan yang kurang
baik akan rentan terhadap serangan micro-organism, jamur maupun
bakteri-bakteri pembusuk lain yang dapat menyerang sel-sel serat
selulosa.
d. Pemanfaatan Serat Daun Nanas
Beberapa sifat, terutama physical dan mechanical properties, yang
dimiliki serat daun nanas, sangat memungkinkan serat tersebut untuk
dapat dipintal menjadi benang. Namun demikian, mengingat physical
properties serat daun nanas, khususnya sifat elasticity, torsional dan
flexural rigidity, yang sangat berbeda dengan serat cotton, maka
diperlukan modifikasi peralatan pemintalan yang digunanakan, baik
menggunakan sistem cotton, rotor ataupun dengan sistem spinning
yang lain. Meski hanya mampu untuk pembuatan benang dengan
nomor-nomor yang masih kasar, dari beberapa penelitian
(Doraiswarmy et al., 1993) sebagaimana diperlihatkan pada Tabel
7.11, menunjukkan bahwa pemintalan dapat dilakukan dengan 100%
terdiri dari serat daun nanas maupun dengan cara blending (campuran
dengan serat lain), misal polyester, cotton, ataupun serat wool.
Untuk mengurangi sifat flexural rigidty dan torsional rigidity pada serat
daun nanas yang relatif cukup tinggi, penambahan bahan-bahan
softener, misal oil-water emulsion, pada serat sebelum diproses
menjadi sangat diperlukan.
71
Tabel 7.11 Properties Benang yang dibuat dari Serta Daun Nanas
(Doraiswarmy etal., 1993)
Linier Density (tex) 196,80 295,30
System Sistem katun
dengan modifikasi Sistem rotor
dengan modifikasi
Quality Attributes: - Panjang Serat (mm)
- Yarn Tenancity (CN/tex) - Extension at break (%) - CV of Strength (%)
38,00
4,20 4,20 27,00
50,00
6,00 4,90 18,30
3. Pemanfaat Serat Mahkota Mahkota Nanas Untuk Selulosa
Penelitian dengan memanfaatkan mahkota nanas telah dilakukan
antara lain di India, mahkota nanas digunakan untuk ekstraksi dan
purifikasi bromelain dengan reverse micellar systems (Umesh et al.,
2007). Di Jepang, analisis kimia dan studi tentang pulping dari mahkota
nanas juga dipelajari untuk dikonversi menjadi pulp dan kertas dan
diketahui mengandung selulosa sebesar 19,1%, kadar abu 7% (Ai,
2006). Pengaruh sodium hidroksida dan hidrogen peroksida terhadap
rendemen dan warna pulp dari serat daun nanas juga telah diteliti dan
kadar selulosanya sebesar 59,49%, kadar air 8,95%, kadar abu 3,02%
(Holia et al., 2004).
Satu cara untuk memanfaatkan mahkota nanas agar memberikan nilai
tambah adalah dengan mempersiapkannya sebagai bahan baku
selulosa yang kemudian dapat disintesis menjadi sodium
karboksimetilselulosa (CMC). Selain mudah diperoleh dan tidak
72
memerlukan biaya relatif mahal, mahkota nanas diketahui berpotensi
sebagai sumber selulosa (Ai, 2006).
Selulosa adalah polimer rantai lurus dan memiliki berat molekul besar,
serta bahan alam, dapat diperbaharui dan dapat didegradasi secara
biologis. Karena ikatan hidrogen antar dan intra molekul, selulosa tidak
selalu larut pelarut umum (Hattori et al., 2004).
a. Metode
Dalam pembuatan selulosa dari limbah mahkota nanas adalah mahkota
nanas akan dibuat pulp dengan bahan yang digunakan dalam
pembuatan pulp adalah NaOH, NaOCl (klorin), etanol (technical grade).
Untuk analisis kadar selulosa digunakan etanol, asam asetat, NaOH dan
aquadest serta selulosa komersial (SIGMA) untuk pembanding.
Peralatan yang digunakan untuk membuat preparasi sampel tepung
mahkota nanas antara lain blender, cabinet dryer, ayakan. Untuk
proses ekstraksi selulosa dari tepung mahkota nanas digunakan
erlenmeyer 1 L dan waterbath yang dilengkapi pengatur suhu
(Kotterman). Peralatan oven, desikator, botol timbang, cawan porselin,
dan furnace (Heracus Instruments M-110) digunakan untuk analisis
kadar air, kadar abu, kadar selulosa. Rancangan percobaan yang
digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial.
Proses ekstraksi selulosa dari mahkota nanas dimulai dengan preparasi
mahkota nanas sesuai dengan metode Adinugraha et al., (2004) dan Ai
73
(2006) yang dimodifikasi. Mahkota daun nanas dipotong dengan
ukuran ±1 cm, dikeringkan dengan pengering kabinet. Setelah
dikeringkan, potongan mahkota nanas kering kemudian dihancurkan
dengan menggunakan blender dan selanjutnya dilakukan pengayakan
dengan ukuran 60 mesh dan dianalisis kadar air, kadar abu dan kadar
selulosa terhadap tepung mahkota nanas. Selanjutnya ekstraksi
selulosa mahkota nanas dilakukan menurut metode Adinugraha et al.,
(2005) yaitu tepung mahkota nanas tersebut dimasak dengan larutan
NaOH (3, 6, 9, 12 dan 15%) dengan suhu 100ºC selama 3,5 jam yang
bertujuan untuk melarutkan komponen non selulosa. Padatan yang
tertinggal kemudian dilakukan penyaringan, pencucian dengan air
bersih dari sisa NaOH, bleaching dengan NaOCl dan pencucian dengan
air bersih sampai ampas (selulosa) yang diperoleh tidak berbau
hipoklorit. Selulosa yang diperoleh selanjutnya dikeringkan dengan
menggunakan oven pada suhu 60ºC selama 8 jam. Selulosa yang
diperoleh tersebut kemudian dianalisis kadar selulosa, kadar abu, dan
kadar air. Optimasi proses ekstraksi selulosa untuk mengetahui
konsentrasi NaOH optimum.
b. Hasil
Hasil dari eksperimen pembuatan selulosa dari Mahkota Nanas ini
dapat dilihat pada Tabel 7.12 dibawah.
74
Tabel 7.12 Fineness Modulus (FM) Tepung Mahkota Nanas (Susana, 2011)
Mesh Berat (g) Fraksi
Tertahan (%) Faktor Pengali
Hasil Kali
20 0,00 0,00 5 0,00
40 50,51 20,19 4 80,74 60 105,70 42,24 3 126,73
80 59,52 23,79 2 47,57
100 10,70 4,28 1 4,28 Pan 23,79 9,51 0 0,00
Jumlah 250,22 100,00 259,32
F.M =𝟐𝟓𝟗,𝟑𝟐
𝟏𝟎𝟎,𝟎𝟎 =2,5932
Tabel 7.13 Fineness Modulus (FM) Tepung Selulosa Mahkota Nanas (Susana, 2011)
Mesh Berat (g) Fraksi
Tertahan (%) Faktor Pengali
Hasil Kali
20 0,00 0,00 5 0,00
40 22,02 9,35 4 37,41 60 101,19 42,98 3 128,95
80 57,74 24,53 2 49,05
100 9,96 4,23 1 4,23 Pan 44,51 18,91 0 0,00
Jumlah 235,42 100,00 219,65
F.M =𝟐𝟏𝟗,𝟔𝟓
𝟏𝟎𝟎,𝟎𝟎 =2,1965
75
Tabel 7.14 Pengaruh NaOH Terhadap Sifat-Sifat
Selulosa Mahkota Nanas (Susana, 2011)
Konsentrasi Larutan
NaOH (%)
Rendamen (%db)
Kadar air (%db)
Kadar abu (%db)
Kadar Selulosa (%db)
3 41,07 2,28b 10,57 ± 3,21a 11,25 ± 4,54a 71,56 ± 5,75a
6 29,61 4,75a 10,80 ± 0,63a 10,50 ± 0,48a 91,98 ± 1,99b
9 27,94 4,41a 9,03 ± 0,44a 9.38 ± 1,54a 92,55 ± 1,02b
12 23,23 2,83a 9,16 ± 0,51a 9.02 ± 1,22a 95,50 ± 1,13bc
15 20,70 0,94a 10,51± 0,98a 10,53 ± 0,75a 98,73 ± 1,01c Keterangan: huruf yang sama dalam satu kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
Selanjutnya kita analisis Gugus Fungsional Selulosa Mahkota Nanas Dan
Selulosa Komersial
Gambar 7.7 FTIR Spectra Dari Selulosa Mahkota Nanas
(Susana, 2011)
76
Gambar 7.8 FTIR Spectra Selulosa Komersial
(Susana, 2011)
Komposisi Mahkota Nanas. Hasil analisis pada tepung mahkota
nanas lolos ayakan 60 mesh menunjukkan rendemen 14,81% (db),
kadar selulosa 57,83% (db), kadar air 10,66% dan kadar abu 6,08%
(db). Ai (2006), menyatakan bahwa mahkota nanas memiliki kadar
selulosa 19,1% dan kadar abu sebesar 7%. Sedangkan Holia (2005)
menyatakan bahwa serat daun nanas memiliki kadar selulosa 59,49%
kadar abu 3,02% dan kadar air 8,95%. Adanya perbedaan hasil
disebabkan Ai (2006) menggunakan mahkota nanas dari Okinawa
Jepang dan Holia (2005) menggunakan nanas dari Subang Jawa Barat
yang tentunya memiki varietas yang berbeda dengan mahkota nanas
dari Kalimantan Barat dikarenakan perbedaan kondisi lingkungan.
Dijelaskan Browning (1967) bahwa iklim mempengaruhi struktur
77
dinding sel dan komposisi kimia kayu. Selain itu dilakukan pula
pengukuran Fineness Modulus (FM) terhadap tepung mahkota nanas
dan tepung selulosa mahkota nanas untuk mengetahui rata-rata ukuran
diameter partikel dengan menggunakan persamaan dari Henderson
dan Perry (1982) yang dapat dilihat pada Tabel 7.12 dan Tabel 7.13.
Adapun persamaannya adalah D= 0.0041.(2)FM. Jika nilai FM semakin
dekat ke 1 maka partikel tersebut semakin halus.
Sifat-sifat Selulosa Mahkota Nanas. Ekstraksi selulosa dari
mahkota nanas dengan lima variasi konsentrasi NaOH (3, 6, 9, 12,
15%) menunjukkan bahwa larutan NaOH dengan konsentrasi 12%
dapat menghasilkan kadar selulosa optimum dengan kadar selulosa
95,50% (db), rendemen 23,23% (db), kadar air 9,16% (db), kadar abu
9,02% (db), yang ditunjukkan Tabel 7.13.
Pada Tabel 7.13. terlihat bahwa larutan NaOH memberikan pengaruh
yang nyata terhadap kadar selulosa, yang ditunjukkan dengan adanya
peningkatan kadar selulosa pada tiap perlakuan. Untuk ekstraksi
selulosa dengan perlakuan konsentrasi larutan NaOH 12%, kadar
selulosa meningkat dari 57,83% menjadi 95,50%. Begitu pula dengan
ekstraksi selulosa pada perlakuan konsentrasi larutan NaOH 15%
mengalami peningkatan kadar selulosa tetapi kedua perlakuan tersebut
tidak berbeda nyata. Penelitian juga dilakukan dengan perlakuan 18%
larutan NaOH dan diperoleh kadar selulosa sebesar 83,44%. Hal ini
menunjukkan bahwa terjadi penurunan kadar selulosa sampai batas
tertentu. Penurunan terjadi dengan semakin meningkatnya konsentrasi
78
larutan NaOH, karena adanya degradasi polimer selulosa oleh larutan
NaOH.
Proses alkali dan bleaching selama ekstraksi selulosa telah melarutkan
komponen nonselulosa yang ada pada mahkota nanas. Proses
pemasakan dengan alkali akan mendegradasi lignin sehingga
mengakibatkan lignin menjadi larut dalam air pada proses pencucian.
Proses bleaching menggunakan larutan NaOCl 5% selama 3 jam akan
mengoksidasi sisa lignin pada selulosa hasil ekstraksi dan akan
diperoleh pulp selulosa yang warnanya lebih putih (Browning, 1967).
Konsentrasi larutan NaOH pada proses ekstraksi selulosa juga
menghasilkan nilai rendemen seperti yang terlihat pada Tabel 7.14.
Pada larutan NaOH konsentrasi 6, 9, 12 dan 15% tidak berbeda nyata
untuk nilai rendemen. Sedangkan konsentrasi larutan NaOH 3%
berbeda nyata. Penurunan rendemen bisa terjadi sebagai akibat dari
adanya selulosa yang ikut terdegradasi sehingga larut dalam larutan
alkali. Konsentrasi larutan NaOH berpengaruh terhadap rendemen
proses. Nilai rendemen berbanding terbalik dengan konsentrasi larutan
NaOH yang digunakan. Penggunaan konsentrasi larutan NaOH yang
semakin tinggi berakibat pada penurunan rendemen.
Bila dibandingkan nilai FM dan diameter rata-rata partikel, tepung
selulosa mahkota nanas jauh lebih halus daripada tepung mahkota
nanas. Hal ini disebabkan karena adanya proses ekstraksi pada tepung
selulosa mahkota nanas yang melarutkan komponen-komponen
79
nonselulosa akan mempengaruhi sifat fisik dari tepung selulosa
mahkota nanas.
Analisis Gugus Fungsional Selulosa Mahkota Nanas Dan Selulosa
Komersial. Hasil analisa gugus fungsional FTIR pada selulosa mahkota
nanas dan selulosa komersial, puncak-puncak yang ada muncul pada
kedua spektra selulosa komersial maupun selulosa mahkota nanas
muncul pada bilangan gelombang sama yaitu 1427,32, 1635,4. Puncak
utama yang muncul pada bilangan gelombang 1064,71, 1427,32
menunjukkan struktur molekul selulosa, antara lain ikatan O-H, ikatan
C-O, serta ikatan hidrogen inter dan intramolekuler. Bilangan
gelombang antara 1.460-1324 cm-1 menunjukkan gugus –OH dengan
inflane deformation, sedangkan C-O stretching vibration ada diantara
bilangan gelombang 1160-1025 cm-1(Meenakshi et al, 2002). Mengacu
pada pendapat tersebut membuktikan bahwa gambar tersebut
merupakan spectra selulosa untuk mahkota nanas. Meenakshi et al
(2002) menjelaskan bahwa puncak tajam pada bilangan gelombang
3.700-3.100 cm-1 menunjukkan gugus -OH dengan stretching vibration
serta menunjukkan adanya ikatan hydrogen intra-molekuler. Hal ini
dapat dilihat pada spectra FTIR pada Gambar 7.7. dan Gambar 7.8.
adanya puncak tajam pada bilangan gelombang 3425,58 untuk selulosa
mahkota nanas dan 3410, 15 untuk selulosa komersial.
80
4. Pemanfaat Serat Mahkota Mahkota Nanas Sebagai
Absorber
Lingkungan yang tercemar seringkali menimbulkan dampak yang buruk
bagi makhluk hidup yang ada di sekitarnya seperti, manusia, hewan
dan tumbuhan. Logam berat merupakan salah satu penyebab
lingkungan tercemar. Tembaga (Cu) merupakan salah satu logam berat
selain timbal (Pb), merkuri (Hg), Chrome (Cr), dan seng (Zn) yang
dapat mencemari lingkungan perairan. Di alam, logam Cu biasanya
ditemukan dalam bentuk logam bebas, tetapi lebih banyak ditemukan
dalam bentuk senyawa padat bentuk mineral. Unsur Cu bersumber dari
peristiwa pengikisan (erosi) batuan mineral, debu-debu dan partikulat
Cu dalam lapisan udara yang dibawa turun oleh air hujan (Widowati
dan Wahyu, 2008).
Bioadsorbsi merupakan salah satu cara yang bisa digunakan untuk
mengurangi dampak pencemaran lingkungan tersebut. Bioadsorben
dengan menggunakan biomaterial yakni tumbuhan yang telah mati
untuk proses penyerapan disebut bioadsorbsi (Lestari dkk., 2003).
Bioadsorben yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun mahkota
nanas (Ananas comosus). Daun mahkota nanas digunakan karena
memiliki kandungan serat yang tinggi.
Menurut Norman (1937) terdapat 62%-79% selulosa dalam serat daun
nanas, sedangkan dalam Hidayat (2008), menyebutkan bahwa serat
daun nanas mengandung 69,5%-71,5% selulosa. Menurut Kirby
(1963), secara kimiawi, semua serat yang berasal dari tumbuhan, unsur
81
utama yang ada dalam serat adalah selulosa, walaupun terdapat juga
unsur lain seperti hemiselulosa, pektin, lignin dan zat- zat lainnya.
Kandungan selulosa yang tinggi dalam daun mahkota nanas ini
diharapkan dapat dijadikan alternatif baru sebagai bioadsorben logam
berat tembaga (Cu) dalam pengelolaan limbah cair yang lebih ekonomis
dan ramah lingkungan.
Untuk membuat absorben dari Limbah Mahkota Nanas ada beberapa
tahapan yang harus dilakukan yaitu:
a. Preparasi Daun Mahkota Nanas
Mahkota nanas yang digunakan dicuci sampai bersih, kemudian
dikeringkan, sesudah kering kemudian dipotong ukuran ±1 cm lalu di-
oven pada suhu 105oC selama 3 jam kemudian di-blender dan
selanjutnya diayak dengan ukuran 90 mesh (Adinugraha, 2005).
b. Isolasi Selulosa Daun Mahkota Nanas Delignifikasi Daun
Mahkota Nanas
Tepung atau serbuk daun mahkota nanas ditimbang sebanyak 50 gr
kemudian dipanaskan dengan NaOH 12% sebanyak 500 ml selama 3
jam dengan suhu 100oC. Setelah 3,5 jam, larutan disaring lalu dengan
menggunakan aquadest residu dicuci sampai pH netral kemudian
dikeringkan dengan suhu ruang.
82
c. Bleaching (Pemurnian)
Delignifikasi serbuk atau tepung daun mahkota nanas kemudian
dipanaskan dengan NaOCl selama 1 jam dengan suhu
60oCmenggunakan hot plate. Kemudian larutan disaring lalu
dikeringkan dengan oven pada suhu 100oC selama 2 jam dan residu
dibilas dengan aquades sampai pH netral.
d. Karakterisasi Selulosa Hasil Ekstraksi Mahkota Nanas
Menggunakan Metode Gravimetri (Metode Chesson)
Erlenmeyer 250 ml (x) ditimbang dan 1 gram sampel serbuk daun
mahkota nanas dimasukkan, dan 200 ml aquades ditambahkan. Selama
2 jam larutan dalam erlenmeyer dipanaskan sambil diaduk beberapa
kali. Selanjutnya, kertas saring ditimbang (k) dan larutan disaring
menggunakan kertas saring. Sisa penyaringan pada kertas saring
dipanaskan menggunakan oven pada suhu 105°C hingga beratnya
konstan (l). Setelah itu, 200 ml H2SO4 0,5 M ditambahakan ke dalam
erlenmeyer 250 ml yang telah diisi residu, dengan menggunakan kertas
saring residu disaring lagi dan 25 ml H2SO4 72% ditambahkan
kemudian dibiarkan selama 3 jam pada erlenmeyer 250 ml.
Selanjutnya, selama 2 jam dipanaskan menggunakan waterbath pada
suhu 100°C yang telah ditambahkan aquades 150 ml ke dalam
erlenmeyer . Kemudian ditambahkan aquades hingga volumenya 300
ml. Kertas saring ditimbang (j) dan residunya disaring menggunakan
kertas saring. Selanjutnya, ditimbang berat konstan (i) dan Kadar
selulosa dapat dihitung menggunakan rumus:
83
% Kadar Selulosa = (𝑙−𝑘)−(𝑖−𝑗)
𝑥 x 100%
Keterangan:
X: berat awal Erlenmeyer
l: berat konstan setelah dioven suhu 105oC
k: berat kertas saring awal
i: berat kertas saring akhir
j: berat konstan akhir
Gambar 7.9 a. Serbuk daun mahkota nanas sebelum diekstraksi, b.Serbuk daun mahkota nanas setelah diekstraksi
(Yosefina Keon, 2018)
7.5 Pemanfaatan Limbah Nanas Untuk Material Pertahanan
Limbah Nanas berupa daun nanas pasca panen, serta mahkota nanas
hasil industri dapat dijadikan produk yang bermanfaat dan
84
menjadikannya suatu nilai tambah (added Value). Pada umumnya
limbah nanas yang berupa daun dan mahkota nanas dijadikan sebagai
pulp untuk pembuatan kertas, serta untuk tekstil, serta absorben untuk
treatment logam berat (Cu, Hg, dll).
Dengan potensi yang sangat besar, maka limbah nanas akan lebih
bermanfaat dan juga berguna bagi pertahanan negara. Untuk itu maka
limbah nanas yang berupa daun nanas hasil pasca panen serta
mahkota nanas hasil industri pengalengan nanas, kaya akan serat dan
selulosa.
Dengan karakteristik yang dimiliki oleh limbah nanas (daun nanas, dan
mahkota nanas) maka dapat dijadikan untuk produk dibidang teknologi
pertahanan yaitu dijadikan -selulosa sebagai bahan pembuatan
nitroselulosa, nitroselulosa sebagai bahan utama untuk pembuatan
propelan padat untuk double base propelant.
Untuk pembuatan propelan nitroselulosa akan dipadukan dengan
nitrogliserin. Propelan merupakan bahan bakar untuk rudal, roket
sebagai bahan peledak. Sedangkan untuk daun nanas yang kaya akan
serat, serat yang dimilikinya dapat dijadikan bahan komposit untuk
plat kendaraan tempur dan bahan untuk pakaian tahan peluru (body
armor).
85
Gambar 7.10 -selulosa
(kompasiana.com, 2019)
Gambar 7.11 Nitroselulosa (kompasiana.com, 2019)
86
Gambar 7.12 Propelan Gula
(kompasiana.com, 2019)
Gambar 7.13 Propelan Padat
(kompasiana.com, 2019)
87
Gambar 7.14 Komposit Serat Nanas dan Ijuk (itb.ac.id, 2016)
Gambar 7.15 Komposit Geopolimer (Metakaolin danSerat Nanas) (kompasiana.com, 2019)
88
Referensi
1. Adinugraha, M. P., D. W. Marseno., and Haryadi, 2005. Synthesis and Characterization of Sodium Carboxymethylcellulose from Cavendish Banana Pseudo Stem (Musa cavendishii LAMBERT).
Carbohydrate Polymers. 62: 164-169. 2. Anonim, 2006. Pengkajian Teknologi Proses Serat Non Kapas untuk
Tekstil (http://www.bppt.go.id)
3. Anonim, 2006. Pemanfaatan Serat Nanas (http://www.bbt .depperin.go.id)
4. Anonim, 2000. Potensi Investasi Subsektor Tanaman Pangan dan Hortikultura di Kalimantan Barat. Disperta Propinsi Kalimantan
Barat. 5. Anonim, 2009. Potensi budidaya Nanas di Kalimantan Barat
(www.google.co.id. Buah Nanas.) Akses tanggal 12 Maret 2009.
6. Anonim, 2006. Serat Nanas (http://www.b2pttg.lipi.go.id) 7. Browning, B.L., 1967. Methods of Wood Chemistry. New York:
Interscience Publishers.
8. Aprilyanti, Selvia, 2018. Pengaruh Konsentrasi NaOH dan Waktu Hidrolisis Terhadap Kadar Selulosa Pada Daun Nanas. Jurnal Teknik Kimia No. 4, Vol. 24.
9. Chunfeng, W., 2009. Evaluation Of Zeolites Synthesized From Fly Ash Potential Adsorbents For Wastewater Containing Heavy Metals. Journal of environmental sciences, Volume 21 (1): 127-136.
10. Doraiswarmy et al., 1993. Pineapple Leaf Fibres, Textile Progress Vol. 24 Number 1, Textile Institute.
11. Effendi, H., 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan. Kanisius. Yogyakarta.
12. Handayani, A.W., 2010. Penggunaan Selulosa Daun Nanas Sebagai Adsorben Logam Berat Cd (II). Skripsi. Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
13. Hattori, K., Abe, E., Yoshida, T., and Cuculo, J.A., 2004. New Solvents for Cellulose II Ethylenediamine/Thiocyanate Salt System. Polymer Journal, 36 (2), 123-130.
14. Hidayat, P., 2008. Teknologi Pemanfaatan Serat Daun Nanas sebagai Alternatif Bahan Baku Tekstil, Teknoin, 13 (5): 31-35
15. Ika Kurniaty, U. H., 2017. Proses Delignifikasi Menggunakan NaOH dan Amonia(NH3) Pada Tempurung Kelapa. Jurnal Integrasi Proses Volume 6 Nomor 4 , 197-201.
89
16. Jayanuddin. (2009). Pemutihan Daun Nanas Menggunakan Hidrogen Peroksida. Jurnal Rekayasa Proses Volume 3 Nomor 1, 10-15.
17. Kirby. 1963. Vegetable Fibres. Leonard Hill, London. 18. Lestari, S., Sugiharto, E. dan Mudasir, 2003. Studi Kemampuan
Adsorpsi Biomassa Saccharomyces cerevisiae yang Terimobilkan Pada SiIika GeI terhadap Tembaga (II). Teknosains, 16A (3): 357371
19. Meenakshi, P., S.E. Noorjahan, R. Rajini, U. Venkateswarlu, C. Rose and T.P. Sastry, 2002. Mechanical and Microstructure Studies On The Modification of Cellulose Acetate (CA) Film by Blending with Polystyrene (PS). Bulletin Material Science. 25 (1): 25-29.
20. Muljohardjo, M., 1984, Nanas dan Teknologi Pengolahannya (Ananas cosmosus (L) Merr ), Penerbit Liberty, Yogyakarta.
21. Norman, A.G., 1937. The Composition of Same Less Common Vegetable Proses. Biochemistry Section, 1575-1578.
22. Onggo, & Triastuti, D. d., 2004. Pengaruh Perlakuan NaOH terhadap PerubahanMorfologi Serat Nanas dan Serat Eceng Gondok. Prosiding Seminar Nasional Perkembangan Riset dan Teknologi di Bidang Industri , 47-51
23. Onggo, H., dan J.T. Astuti. 2005. Pengaruh Sodium Hidroksida dan Hidrogen Peroksida terhadap Rendemen dan Warna Pulp dari Serat Daun Nenas. Jurnal Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 3 • No. 1 37-43.
24. Osvaldo Z. S., P. P. (2012). pengaruh konsentrasi asam dan waktu pada proses hidrolisis dan fermentasi pembuatan bioetanol dari alang-alang. Jurnal Teknik Kimia Volume 18 Nomor 2 , 52-62.
25. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Baku Mutu Air Limbah.
26. Rudnin Habibah, D. Y., 2013. Penentuan berat molekul dan derajat polimerisasi a- selulosa yang berasal dari alang- alang(Imperata Cylindrica) dengan metode viskositas. Jurnal Saintia Kimia Volume
1 Nomor 2 , 1-6. 27. Safrianti, I., Wahyuni, N. dan Zaharah, T.A., 2012. Adsorpsi Timbal
(II) oleh Selulosa Limbah Jerami Padi Teraktivasi Asam Nitrat pengaruh pH dan Waktu Kontak. JKK, 1 (1): 1 – 7.
28. Sumardjo, D., 2009. Pengantar Kimia. Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta
90
29. Sunarto, 2008. Teknologi Pencelupan dan Pengecapan Jilid I. Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional.
30. Susana, 2011. Ekstraksi Selulosa Limbah Mahkota Nanas. Jurnal
Vokasi, Vol.7. No.1 87 – 94.
31. Umesh, H.H., B. Sumana and Raghavarao. 2007. Use of Reverse Micellar Systems For The Extraction And Purification of Bromelain From Pineapple Wastes. Biosource Technology. xxx : xxx-xxx.
32. Van, A. T. 2006. Chemical Analysis and Pulping Study of Pineapple Crown Leaves. Industrial Crops and Products. An International
Journal. 24 : 66-74. 33. Widowati dan Wahyu. 2008. Efek Toksik Logam. ANDI, Yogyakarta.
34. Yosefina, Keon Desinyata, Murwani, Yulianti I, Nugroho Jati W., 2018. Kemampuan Selulosa Daun Mahkota Nanas (Ananas comosus) Sebagai Bioadsorben Logam Tembaga (Cu). Jurnal Biota Vol. 3 (2): 70-78.
91
BAB 8
ECENG GONDOK
8.1 Eceng Gondok
Eceng gondok (Eichhornia crassipes) merupakan jenis tumbuhan air
yang hidup mengapung. Di beberapa daerah di Indonesia, eceng
gondok mempunyai nama lain seperti di daerah Palembang dikenal
sebagai Kelipuk, di Lampung dikenal dengan Ringgak, di Manado
dikenal dengan nama Tumpe. Menurut sejarahnya, eceng gondok
ditemukan pertama kali oleh seorang ilmuwan bernama Carl Friedrich
Philipp von Martius, seorang ahli botani berkebangsaan Jerman pada
tahun 1824 di Sungai Amazon Brasil. Eceng gondok memiliki kecepatan
tumbuh yang tinggi sehingga tumbuhan ini dianggap sebagai gulma
yang dapat merusak lingkungan perairan. Eceng gondok dengan
mudah menyebar melalui saluran air ke badan air lainnya. Pertumbuhan
enceng tersebut akan semakin baik apabila hidup pada air yang
dipenuhi limbah pertanian atau pabrik. Oleh karena itu banyaknya
enceng gondok di suatu wilayah sering merupakan indikator dari
tercemar tidaknya wilayah tersebut. Enceng gondok termasuk dalam
kelompok gulma perairan. Tanaman ini memiliki kecepatan
berkembang-biak vegetatif sangat tinggi, terutama di daerah tropis dan
subtropis. Tanaman liar yang banyak terdapat di sungai atau waduk
kerap dipandang sebelah mata oleh sebagian orang. Mereka bahkan
mengganggap bahwa tanaman tersebut hanya menimbulkan kerugian
saja. Namun, bagi orang-orang yang kreatif tanaman tersebut dapat
92 Eceng Gondok
merupakan tanaman yang memberikan manfaat bagi kehidupan
manusia. Enceng gondok bagi orang-orang yang inovatif, ternyata
dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan keuntungan komersial
sekaligus memelihara kelestarian lingkungan.
Gambar 8.1 Tumbuhan Eceng Gondok (Eichornia crassipes) (Kompasiana.com, 2019)
Adapun bagian–bagian dari tanaman eceng gondok sebagai berikut:
a. Akar
Bagian akar eceng gondok ditumbuhi dengan bulu-bulu akar yang
berserabut, berfungsi sebagai pegangan atau jangkar tanaman.
Peranan akar sebagian besar untuk menyerap zat-zat yang diperlukan
tanaman dari dalam air. Pada ujung akar terdapat kantung akar yang
93
mana di bawah sinar matahari kantung akar ini berwarna merah.
Susunan akarnya dapat mengumpulkan lumpur atau partikel-partikel
yang terlarut dalam air.
Gambar 8.2 Akar Eceng Gondok (Eichornia crassipes) (Kompasiana.com, 2019)
b. Daun
Daun tergolong dalam mikrofita yang terletak di atas permukaan air,
yang di dalamnya terdapat lapisan rongga udara yang berfungsi
sebagai alat pengapung tanaman. Zat hijau daun (klorofil) eceng
gondok terdapat dalam sel epidermis, dipermukaan atas daun dipenuhi
oleh mulut daun (stomata) dan bulu daun. Rongga udara yang terdapat
dalam akar, batang, dan daun selain sebagai alat penampungan juga
berfungsi sebagai tempat penyimpanan O2 dari proses fotosintesis.
Oksigen hasil dari fotosintesis ini digunakan untuk respirasi tumbuhan
di malam hari dengan menghasilkan CO2 yang akan terlepas ke dalam
air.
94 Eceng Gondok
Gambar 8.3 Daun Eceng Gondok (Eichornia crassipes) (Kompasiana.com, 2019)
c. Tangkai
Tangkai eceng gondok berbentuk bulat menggelembung yang di
dalamnya penuh dengan udara yang berperan untuk mengapungkan
tanaman di permukaan air. Lapisan terluar petiole adalah lapisan
epidermis, kemudian di bagian bawahnya terdapat jaringan pengangkat
(xylem dan floem). Rongga -rongga udara dibatasi oleh dinding
penyekat berupa selaput tipis berwarna putih.
d. Bunga
Eceng gondok berbunga dengan warna mahkota lembayung muda,
berbunga majemuk dengan jumlah 6 –35 berbentuk karangan bunga
bulir dengan putik tunggal (Pandey, 1980).
95
Gambar 8.4 Bunga Gondok (Eichornia crassipes) (Kompasiana.com, 2019)
Pada akarnya terdapat senyawa sulfat dan fosfat. Daunnya kaya
senyawa carotin dan bunganya mengandung delphinidin-3-diglcosida.
Dengan seluruh kandungan kimia yang ada itu, Eceng Gondok dapat
menyembuhkan tenggorokan terasa panas, kencing tidak lancar,
biduran dan bisul. Kandungan senyawa penting tadi terdapat diseluruh
organ tanaman dari akar sampai daun dapat dimanfaatkan sebagai
bahan obat tradisional. Bahkan bunganya yang menawan juga bagus
dijadikan sebagai bahan obat tradisional.
Eceng gondok hidup mengapung di air dan kadang-kadang berakar
dalam tanah. Tingginya sekitar 0,4 -0,8 meter, tidak mempunyai
96 Eceng Gondok
batang, daunnya tunggal dan berbentuk oval. Ujung dan pangkalnya
meruncing, pangkal tangkai daun menggelembung, permukaan
daunnya licin dan berwarna hijau. Bunganya termasuk bunga majemuk,
berbentuk bulir, kelopaknya berbentuk tabung. Bijinya berbentuk bulat
dan berwarna hitam. Buahnya kotak beruang tiga dan berwarna hijau.
Akarnya merupakan akar serabut.
Eceng gondok tumbuh di kolam-kolam dangkal, tanah basah dan rawa,
aliran air yang lambat, danau, tempat penampungan air dan sungai.
Tumbuhan ini dapat beradaptasi dengan perubahan yang ekstrem dari
ketinggian air, arus air, dan perubahan ketersediaan nutrien, pH,
temperatur dan racun-racun dalam air. Pertumbuhan eceng gondok
yang cepat terutama disebabkan oleh air yang mengandung nutrien
yang tinggi, terutama yang kaya akan nitrogen, fosfat dan potasium
(Laporan FAO). Tanaman eceng gondok ini merupakan tanaman
pengganggu (gulma) air yang sering bikin gondok para petani, karena
tumbuh di sawah berebut unsur hara dengan tanaman budidaya (padi).
Juga sering bikin jengkel petugas ulu-ulu karena menjadi biang mampet
saluran air dan pendangkalan.
Menurut Lail, (2008) perkembangbiakan dengan cara vegetatif dapat
melipat ganda dua kali dalam waktu 7-10 hari. Hasil penelitian Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan melaporkan bahwa satu batang
eceng gondok dalam waktu 52 hari mampu berkembang seluas 1 m2,
atau dalam waktu 1 tahun mampu menutup area seluas 7m2. Forth
(2008) menyatakan bahwa dalam waktu 6 bulan pertumbuhan eceng
gondok pada areal 1 ha dapat mencapai berat 125 ton. Dengan
97
populasi yang begitu melimpah dan pengendaliannya yang kurang
maksimal maka eceng gondok harus dimanfaatkan khususnya serat
pada eceng gondok. Sifat seratnya yang kuat menjadikan eceng
gondok memiliki potensial tersendiri.
1. Manfaat Eceng Gondok
Eceng gondok banyak menimbulkan masalah pencemaran sungai dan
waduk, tetapi mempunyai manfaat sebagai berikut :
a. Mempunyai sifat biologis sebagai penyaring air yang tercemar oleh
berbagai bahan kimia buatan industri.
b. Sebagai bahan penutup tanah, kompos dalam kegiatan pertanian
dan perkebunan.
c. Sebagai sumber gas yang antara lain berupa gas ammonium sulfat,
gas hidrogen, nitrogen dan metan yang diperoleh dengan cara
fermentasi.
d. Bahan baku pupuk tanaman yang mengandung unsur NPK yang
merupakan tiga unsur utama yang dibutuhkan tanaman.
e. Sebagai bahan industri kertas papan buatan dan bahan karbon
aktif.
2. Kerugian Eceng Gondok
Kondisi merugikan yang timbul sebagai dampak pertumbuhan eceng
gondok tidak terkendali diantaranya adalah :
98 Eceng Gondok
a. Menurunnya jumlah cahaya yang masuk kedalam perairan
sehingga menyebabkan menurunnya tingkat kelarutan oksigen
dalam air (DO: Dissolved Oxygens).
b. Mengganggu lalu lintas (transportasi) air, khususnya bagi
masyarakat yang kehidupannya masih tergantung dari sungai.
c. Meningkatnya habitat bagi vektor penyakit pada manusia dan
menurunkan nilai estetika lingkungan perairan.
Eceng gondok memiliki karakteristik serat salah satunya memiliki massa
jenis sebesar 0,25 g/cm3, selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 8.1
Tabel 8.1 Karakteristik Serat Eceng Gondok
(Ahmed, 2012)
Karakteristik Nilai
Massa jenis (g/cm3) 0,25 Sifat Putih (Whiteness) (%) 22,20
Kehalusan (fineness) (μ) 35,00 Kekuatan Tarik (tensile strength) (Mpa) 18 -33
Tangkai daun (petioules) eceng gondok mengandung 34,6% fiber
berdasarkan berat kering oven, dengan panjang fiber rata -rata 1,53
mm dan berdinding tipis, mengandung sedikit lignin, holoseluosa,
pentosa yang tinggi tetapi mengandung sedikit silika, ekstraktif cukup
larut dalam alkohol-benzena tetapi larut banyak dalam NaOH 1%.
Eceng gondok dalam 100 gram memiliki kandungan nutrisi seperti yang
dijelaskan pada Tabel 8.2 berikut ini.
99
Tabel 8.2 Kandungan Nutrisi Enceng Gondok (Ahmed, 2012)
Kandungan Nutrisi Nilai
Energi 18 kkal Protein 1 gram
Lemak 0,2 gram Karbohidrat 3,8 gram
Kalsium 80 mg Fosfor 45 mg Zat Besi 4 mg
Vitamin A 1000IU Vitamin B1 0,08
Vitamin C 50 mg
Kandungan kimia serat eceng gondok yakni terdiri dari selulosa,
hemiselulosa dan lignin. Komposisi dari komponen-komponen serat
eceng gondok dapat dilihat pada Tabel 8.3 dibawah ini.
Tabel 8.3 Komposisi Kimia Eceng Gondok (Ahmed, 2012)
Senyawa Kimia %
Selulosa 64,51
Hemiselulosa 15,61 Lignin 7,69
Silika 5,56 Abu 12,00
8.2 Potensi dan Permasalahan Eceng Gondok
Eceng gondok (Eichhornia crassipes) merupakan gulma air yang telah
banyak dikenal orang. Eceng Gondok berkembang biak dengan sangat
cepat, baik secara vegetatif maupun generatif. Dalam waktu 6 bulan
100 Eceng Gondok
pertumbuhan Eceng Gondok pada areal 1 Ha dapat mencapai bobot
basah sebesar 125 ton (Heyne,1987). Eceng gondok memiliki 2 macam
cara untuk berkembang biak, yaitu dengan cara tunas dan biji, bahkan
potongan vegetatif yang terbawa arus air akan terus berkambang biak
menjadi eceng gondok dewasa. Tunas eceng gondok merayap melalui
ketiak daun dan akan terus tumbuh menjadi tumbuhan baru berukuran
0,4 - 0,8 m. Menurut Mukti (2008), perkembang biakan secara
vegetatif dapat melipat ganda 2 kali dalam waktu 7 - 10 hari.
Sedangkan 1 batang eceng gondok dewasa dalam 52 hari mampu
berkembang seluas 1. Populasi eceng gondok yang terlalu banyak
dapat menyebabkan berbagai masalah, seperti terganggunya biota air
yang ada dibawahnya, bahkan apabila sudah terlalu banyak dapat
menyababkan sedimentasi.
Dari sekian banyak masalah yang disebabkan pertumbuhan eceng
gondok yang begitu pesat, terdapat potensi yang perlu dimanfaatkan.
Tanaman eceng gondok dapat dimanfaatkan untuk mengurangi
pencemaran kadar logam berat dalam air yang tercemar unsur Pb, Cd,
Cu, Fe, Zn, dan Hg (Arman dan Nisma, 2008). Dengan perlakuan yang
tepat eceng gondok dapat menghasilkan biogas sebagai bahan bakar
mesin gas pembangkit listrik (Wibisono, Armadi dan Feriyanto, 2014);
dan juga dapat dimanfaatkan sebagai pupuk untuk penyubur tanaman
(Mashavira, Chitata, Mhindu, Muzemu dan Kapenzi, 2015). Manfaat lain
dari eceng gondok yang dapat dimanfaatkan adalah serat batangnya.
Eceng gondok memiliki kandungan lignoselulosa yang cukup tinggi
sehingga dapat dijadikan papan serat. Papan serat adalah berupa
papan tiruan yang terbuat dari tumbuhan yang berlignoselulosa yang
101
kemudian dilakukan perekatan dan dilakukan pengempaan panas dan
pengempaan dingin. Ada dua macam perekat yang biasa dipergunakan
untuk membuat papan serat, yaitu perekat buatan dan alami. Contoh
perekat buatan yang dapat digunakan antara lain Urea Formaldehida
(UF), Fenol Formaldehida (PF), Melamin Formaldehida (MF), dan
isosianat (Bowyer, Shmulsky dan Haygreen 2003). Sedangkan contoh
perekat alami adalah perekat dari tapioka.
Karena selain harganya lebih murah dibanding perekat buatan, juga
mudah untuk didapatkan. Faktor yang mempengaruhi perekatan yaitu
bahan yang direkat, perekat dan kondisi perekatan. Bahan yang
direkat, seperti kayu, akan mempengaruhi perekatan dari segi anatomi,
berat jenis, zat ekstraktif, kadar air dan keadaan permukaan.
Sedangkan macam perekat, keadaan perekat, komposisi perekat, dan
masa tunggu akan mempengaruhi perekatan. Pada pengempaan bahan
yang akan direkat maka suhu, lamanya pengempaan dan besarnya
tekanan yang diberikan akan mempengaruhi perekatan (Sutigno,
1988). Oleh karena itu dilakukan penelitian untuk menentukan
komposisi yang tepat antara bahan yang akan dijadikan papan serat
dengan perekat.
8.3 Pemanfaatan Eceng Gondok
Dengan potensi yang begitu besar maka, eceng gondok dapat
dimanfaatkan secara profesional, tanaman ini dapat dimanfaatkan
sebagai mata pencarian yang menguntungkan. Tanaman eceng gondok
dapat diolah sedemikian rupa dan digunakan sebagai bahan dalam
102 Eceng Gondok
membuat aneka produk dari produk kerajinan tangan, pakan ternak,
bahan furnitur, bahan kertas, komposit dan bahan untuk selulosa.
8.3.1 Pemanfaatan Eceng Gondok Untuk Bahan Kerajinan
Berbagai hasil kerajinan yang dapat dibuat dari bahan eceng gondok
adalah sebagai berikut:
Sebelum memasuki proses pembuatan kerajinan tangan dari eceng
gondok, terlebih dahulu dipersiapkan bahan-bahan dan alat-alat yang
digunakan serta tahap-tahap pemrosesan eceng gondok hingga siap
untuk dibuat kerajinan.
1. Bahan
Bahan dasar yang digunakan untuk membuat kerajinan eceng saja.
gondok adalah batang eceng gondok yang telah dikeringkan. Memilih
bahan eceng gondok yang akan digunakan, dilakukan pengrajin mulai
dari eceng gondok dalam keadaan basah. Standar panjang batang
eceng gondok biasa adalah antara 45 – 50 cm, sedangkan yang super
berukuran panjang 50 – 60 cm. Untuk mempersiapkan eceng gondok
menjadi bahan baku anyaman diperlukan beberapa bahan penunjuang.
Untuk persiapan penangaan eceng gondok untuk bahan kerajinan
tahapan-tahapannya adalah sebagai berikut:
103
a. Air Bersih, Air bersih digunakan untuk membersihkan eceng
gondok dari kotoran jadi cukup menggunakan air sumur.
b. Bahan Pewarna, Untuk mewarnai eceng gondok dapat dipakai
salah satu di antara bahan-bahan pewarna untuk tekstil, misalnya
wenter atau napthol dengan garamnya. Selain itu, dapat dapat juga
digunakan bahan pewarna dari alam seperti soga, daun the, daun
sirih, gambir, tringgi dan sebagainya.
c. Bahan Pengawet, Jenis bahan pengawet untuk makanan
berbeda dengan bahan pengawet untuk eceng gondok. Misalnya
dengan menggunakan belerang. Belerang digunakan untuk
membunuh bakteri atau kuman-kuman yang ada di batang eceng
gondok caranya adalah dengan mencampur 1 ons belerang dengan
1 liter air, kemudian semprotkan cairan tersebut pada seluruh
permukaan anyaman eceng gondok.
d. Bahan Pemutih, Jika ingin mendapatkan batang eceng gondok
yang berwarna putih dapat digunakan bahan pemutih seperti H2O2
dan kaporit. Proses pemutihan dilakukan dengan menyemprotkan
bahan pemutih keseluruh permukaan anyaman. Jika menggunakan
H2O2, ½ liter H2O2 dapat digunakan untuk memutihkan 10 lembar
anyaman ukuran 50 x 50 cm. Penyemprotan biasanya dilakukan
sampai 3 kali untuk tiap-tiap lembarnya untuk mendapatkan hasil
yang maksimal. Jika menggunakan kaporit, konsentrasinya adalah
104 Eceng Gondok
1 liter air dicampur dengan 1 ons kaporit. Cara pemakaiannya sama
dengan H2O2.
2. Persiapan Eceng Gondok
Pada dasarnya tangkai eceng gondok tidak bisa secara langsung
digunakan sebagai bahan anyaman, akan tetapi perlu dipersiapkan
terlebih dahulu melalui beberapa tahap pemrosesan. Masing-masing
tahap akan diulas sebagai berikut ini.
a. Tahap Persiapan
Sewaktu mengangkat eceng gondok dari dalam air (tempat
tumbuhnya) akan terbawa juga bagian-bagian lain dari tanaman
secara lengkap, seperti bunga, daun, tangkai, tunas, dan akar. Oleh
karena, untuk mempersiapkan bahan anyaman hanya diperlukan
bagian tangkai daunnya, maka bagian yang lain harus disisihkan.
Setelah bagian-bagian yang tidak dibutuhkan disisihkan, tangkai
eceng gondok kemudian bisa segera dicuci dan dibilas hingga
benar-benar bersih. Bila perlu gunakan air sabun atau air kaporit
agar pekerja yang menanganinya selalu dalam kondisi sehat,
mengingat kondisi tempat tumbuh eceng gondok yang kotor.
b. Tahap Pengeringan
Setelah tangkai eceng gondok bersih dari segala kotoran
selanjutnya bisa dijemur dengan sesekali dibalik hingga tangkai
benar-benar kering. Waktu penjemuran kurang lebih selama 6 hari
atau tergantung pada ketebalan tangkai dan cuaca (ada tidaknya
105
sinar matahari). Tangkai sebaiknya dijemur di atas lantai yang
disemen atau di atas pasir. Karena penjemuran dengan cara ini
hasilnya akan lebih maksimal (kering merata). Untuk mempercepat
waktu pengeringan dapat diupayakan dengan membantu
memisahkan kandungan airnya sebelum dijemur. Caranya, eceng
gondok yang masih basah (sehabis dicuci) langsung dipres dengan
alat pres manual kemudian baru dijemur.
c. Tahap Pemilihan
Apabila tangkai eceng gondok telah kering, selanjutnya bisa segera
dikelompokkan berdasarkan warna dan panjangnya agar bisa
ditetapkan penggunaannya. Ukuran panjang yang dipakai adalah
45 – 50 cm untuk ukuran biasa dan 50 – 60 cm untuk ukuran super,
dan warna eceng gondok yang baik adalah yang putih namun untuk
eceng gondok yang berwarna coklat dapat diputihkan dengan
menggunakan bahan pemutih.
d. Tahap Pembelahan
Adakalanya karena tuntutan ketentuan dalam desain anyamannya,
eceng gondok kering perlu dibelah menjadi beberapa bagian.
e. Tahan Pemutihan Eceng Gondok
Untuk mendapatkan warna asli eceng gondok tidak diperlukan lagi
pemutihan (biasanya hanya diawetkan saja). Sementara untuk
dapat memperoleh warna krem dapat dilakukan dengan proses
pemutihan. Ada beberapa macam bahan kimia yang dapat
106 Eceng Gondok
berfungsi sebagai pemutih antara lain: hidrogen peiroksida (H2O2)
dan kaporit.
- Pemutihan dengan menggunakan kaporit
Campurkan 1 ons kaporit dengan 1 liter air, aduk rata lalu
semprotkan pada permukaan anyaman eceng gondok yang akan
diputihkan dengan menggunakan alat penyemprot.
- Pemutihan dengan menggunakan H2O2
H2O2 digunakan untuk memutihkan eceng gondok. Biasanya
proses pemutihan dilakukan dengan cara menyemprotkan H2O2
ke permukaan anyaman sebanyak 3X, setelah penyemprotan
pertama anyaman dijemur sampai kering kemudian dilakukan
penyemprotan kedua dan dan lakukan yang sama untuk
penyemprotan ketiga. Untuk penyemprotan anyaman eceng
gondok dengan luas 50 X 50 cm digunakan larutan H2O2
sebanyak 0,5 liter.
- Pemutihan dengan natriummeta bisulfit (Na2S2O2)
Bahan ini dapat memutihkan eceng gondok dalam keadaan
kering atau basah. Pada eceng gondok kering dapat langsung
dilihat perubahan warnanya dari kecoklatan menjadi krem,
sedangkan pada eceng gondok basah setelah perendaman tetap
hijau, tetapi setelah dijemur berangsur-angsur menjadi putih.
Larutkan natrium meta bisulfit sebanyak 5 – 10 gram dalam 1
liter air (kira-kira cukup untuk merendam bahan). Aduk hingga
bahan larut. Larutan bisa digunakan untuk merendam eceng
gondok selama 20 menit hingga 24 jam. Eceng gondok yang
sudah direndam langsung dijemur hingga kering.
107
f. Tahap Pengawetan
Pengawetan terhadap eceng gondok dilakukan agar produk jadi
kerajinan yang dihasilkan tidak mudah rusak. Pengawetan
dilakukan setelah eceng gondok tersebut dianyam. Larutkan 1 ons
belerang ke dalam 1 liter air kemudian semprotkan keseluruh
permukaan anyaman, dan jemur hingga kering.
g. Tahap Pengayaman
Eceng gondok yang telah dipres kemudian dianyam untuk
mendapat lembaran-lembaran eceng gondok berukuran 50 – 60
cm. Ada beberapa cara penganyaman eceng gondok yaitu, motif
anyaman tunggal, anyaman ganda dua, anyaman ganda tiga,
anyaman kepang, anyaman ombak banyu, anyaman pihuntuan
tangkup, anyaman turin wajiik, anyaman peta satu silang dan
anyaman bunga cengkih.
Berikut beberapa gambar teknik menganyam eceng gondok.
- Motif Anyaman Tunggal
Motif Anyaman dapat dibuat dengan mengikuti tahap pengerjaan:
a) Siapkan pita atau jalinan eceng gondok, atur pita-pita tersebut
berjajar dengan jumlah tertentu atau sesuai dengan
kebutuhan. Agar posisinya tidak berubah selama dianyam,
bagian ujung atau pangkalnya dijepit dengan penjepit kayu
atau dipaku pada bilah kayu.
108 Eceng Gondok
Gambar 8.5 Motif Anyaman Tunggal (Harahap dkk., 2003)
Gambar 8.6 Motif Anyaman Ganda Dua dan Tiga (Harahap dkk., 2003)
b) Pita-pita dengan nomor ganjil ditarik kesebelah kiri, sedangkan
pita yang nomor urutnya genap ditarik ke kanan. Pita-pita
dibidang anyam-menganyam ini disebut lungsin.
c) Tempatkan satu helai pita di antara deretan lungsin bernomor
ganjil, dengan lungsin bernomor genap (pita ini dinamakan
pakan).
109
d) Tarik lungsin ganjil maupun genap ke arah yang sebaliknya.
Letakkan lagi satu pita pakan, maka akan diperoleh anyaman
tunggal.
- Motif Anyaman Ganda Dua
Cara mengerjakanya sama dengan saat membuat anyaman
tunggal. Hanya saja dua helai pita lungsin ditarik sekaligus.
Sebaiknya pita pada lungsin berjumlah ganjil sehingga tiap kali
menganyam akan terdapat satu helai pita yang tidak punya
pasangan (pita).
- Motif Anyaman Ganda Tiga
Cara pengerjaan motif anyaman ganda tiga serupa dengan motif
ganda dua. Hanya saja pemisahan pita pada lungsin sebanyak tiga
lembar sekaligus.
- Motif Anyaman Kepang
Motif anyaman kepang sebenarnya kombinasi motif anyaman
tunggal dan ganda.
Gambar 8.7 Motif Anyaman Kepang
(Harahap dkk., 2003)
110 Eceng Gondok
Ada banyak motif anyaman yang dapat dibuat dengan
menggunakan bahan baku tangkai eceng gondok kering. Seluruh
motif akan dapat dikerjakan dengan mudah setelah menguasai
pembuatan anyaman dasar terlebih dahulu. Bahkan hanya dengan
amemperhatikan tiap jenis motif anyaman, bagi yanga pernah
membuat anyaman dasar akan langsung dapat mengerjakanya
dengan baik.
Untuk selanjutnya akan dapat diutak-atik sehingga menghasilkan
motif-motif lain yang lebih unik, indah dan menawan. Sebagai
contoh, beberapa motif (lihat Gambar 8.8; Gambar 8.9) anyaman
yang dapat ditiru akan penulis sertakan dalam kesempatan ini.
- Motif Anyaman Peta I Silang
Gambar 8.8 Motif Anyaman I Silang (Harahap dkk., 2003)
111
- Motif Anyaman Bunga Cengkeh
Gambar 8.9 Motif Anyaman Bunga Cengkeh
(Harahap dkk., 2003)
- Motif Anyaman Ombak Banyu
Gambar 8.10 Motif Anyaman Ombak Banyu
(Harahap dkk., 2003)
112 Eceng Gondok
- Motif Anyaman Pihuntuan Tangkup
Gambar 8.11 Motif Anyaman Pihuntuan Tangkup
(Harahap dkk., 2003)
- Motif Anyaman Turik Wajik
Gambar 8.12 Motif Anyaman Turik Wajik
(Harahap dkk., 2003)
113
8.3.2 Pemanfaatan Eceng Gondok Sebagai Biogas
Kebutuhan masyarakat akan Bahan Bakar Minyak (BBM) atau jenis Gas
LPG pada dasarnya dapat tergantikan oleh energi alternatif lain seperti
Biogas yang di hasilkan dari proses biodigester dari bahan baku Eceng
Gondok, potensi energi biogas tersebut sangat berkaitan dengan
jumlah populasi Eceng Gondok itu sendiri serta dengan pola
pemanfaatannya.
Seperti yang kita ketahui bahwa Biogas adalah gas yang dihasilkan dari
proses penguraian bahan-bahan organik oleh mikroorganisme pada
kondisi langka oksigen (anaerob). Komponen biogas antara lain sebagai
berikut : ± 60 % CH4(metana), ± 38 % CO2(karbon dioksida) dan ± 2
% N2, O2, H2, & H2S.
Eceng gondok dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak, bahan
kerajinan, pupuk, dan yang menarik adalah eceng gondok juga dapat
dimanfaatkan untuk menghasilkan biogas. Pemanfaatan eceng gondok
sebagai bahan baku biogas dikarenakan memiliki kandungan 43%
hemiselulosa dan selulosa sebesar 17%. Hemiselulosa akan dihidrolisis
menjadi glukosa oleh bakteri melalui proses anaerobic digestion, yang
akan menghasilkan gas metan (CH4) dan karbondioksida (CO2) sebagai
biogas.
Manfaat energi biogas adalah sebagai pengganti bahan bakar
khususnya minyak tanah dan dipergunakan untuk memasak kemudian
sebagai bahan pengganti bahan bakar minyak (bensin, solar). Dalam
114 Eceng Gondok
skala besar, biogas dapat digunakan sebagai pembangkit energi listrik.
Di samping itu, dari proses produksi biogas akan dihasilkan sisa kotoran
ternak yang dapat langsung dipergunakan sebagai pupuk organik pada
tanaman/budidaya pertanian.
Potensi ekonomis Biogas adalah sangat besar, hal tersebut mengingat
bahwa 1 m3 biogas dapat digunakan setara dengan 0,62 liter minyak
tanah. Di samping itu pupuk organik yang dihasilkan dari proses
produksi biogas sudah tentu mempunyai nilai ekonomis yang tidak kecil
pula. Eichornia crassipes atau biasa dikenal dengan nama eceng
gondok merupakan tumbuhan yang hidup mengapung di air dan
kadang-kadang berakar dalam tanah. Eceng gondok memiliki
kemampuan tumbuh yang sangat cepat, terutama pada perairan yang
mengandung banyak nutrient.
Cara mudah dan sederhana bagi yang ingin mengetahui tentang
pemanfaatan eceng gondok sebagai penghasil biogas adalah sebagai
berikut :
1. Masukkan eceng gondok atau sisa sayuran sampai 1/2 galon.
2. Isilah galon tersebut dengan air secukupnya lalu tutup yang rapat
(jangan sampai ada lubang sedikit pun).
3. Simpan selama 7 hari.
4. Siapkan pipa logam dengan diameter 1 cm sepanjang 10 cm dan
20 cm (2 buah)
5. Siapkan selang plastik aquarium dengan diameter 1 cm, sepanjang
1 meter.
115
6. Lubangi tutup galon air mineral sedikit saja (Jangan dibuka
tutupnya agar gas tidak hilang/habis menguap).
7. Lalu tusukkan pipa logam pada tutup tersebut.
8. Kemudian sambungkan selang plastik ke pipa logam pada tutup
galon tersebut.
9. Di ujung selang satunya, sambungkan pipa logam 20 cm.
10. Sulutlah dengan korek api. Jika pembusukannya baik, maka pasti
akan menyala.
Untuk meningkatkan jumlah biogas yang dihasilkan dan mempercepat
waktu produksi diperlukan perlakuan khusus seperti dengan melakukan
pencampuran eceng gondok dengan kotoran sapi, dengan hidrolisis
asam.
Gambar 8.13 Desain Biogas dari Eceng Gondok (Harahap dkk., 2003)
116 Eceng Gondok
8.3.3 Pemanfaatan Eceng Gondok Sebagai Bahan Baku
Kertas
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah batang eceng
gondok (BEG), koran bekas, natrium hidroksida (NaOH), asam klorida
(HCl) dan natrium hipoklorit (NaClO).
1. Persiapan Bahan Baku
BEG dipotong ± 2 cm, kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu
jam. Untuk sampel koran bekas, koran ditimbang sesuai dengan variasi
berat yang telah ditentukan kemudian direndam dengan akuades
selama jam, perbandingan koran dengan air sebesar 1:7 (g/mL).
2. Pembuatan Pulp Eceng Gondok untuk Variasi
Konsentrasi NaOH (% w/v)
BEG (25 g) dicampur dengan NaOH 2,5% (w/v)(175 mL), digester
selama 5, 15, 30, 60 dan 120 menit di dalam autoclave dan 14,5 Psi.
Proses selanjutnya sama seperti proses sebelumnya.
3. Pencetakan Pulp Menjadi Kertas
Pulp yang dihasilkan dari proses chemical pulping sebelumnya di-
blending selama 2 menit kemudian di-bleaching dengan larutan NaClO
117
5,25% (40 mL) selama 30 menit. Kemudian dicuci dengan air bersih
(500 mL) dan disaring. Setelah itu pulp diletakkan secara merata di atas
pencetak berukuran 20 x 30 cm screen diameter 90 mikron dan ditutup
dengan menekan pencetak yang berukuran sama pada posisi
berhadapan. Kemudian dilakukan perataan dengan manual paper press
yang arah penekanannya sejajar. Setelah kadar air berkurang sampai
yang menetes dari screen, dilakukan pengeringan dalam oven 30oC
selama 4-6 jam.
Untuk variasi komposisi dengan koran bekas, pencetakan dilakukan
dengan cara BEG ditambahkan dengan koran bekas yang telah dipre-
treatment (12,5; 8,3; 6,2 dan 5 g) sehingga variasi perbandingan
sebesar 4:1; 3:1; 2:1 dan 1:1. Kemudian di-bleaching dengan larutan
NaClO 5,25 % (120 mL) selama 30 menit. Pulp yang masih basah
dicetak dan dijemur dengan proses yang sama seperti sebelumnya.
4. Karakterisasi dan Analisis
Karakterisasi sample dengan SEM menggunakan alat Scaning Electron
Microscope (JEOL, JSM-6500 LV) dengan scan parameter 5 dan 20 kV
dengan perbesaran 100, 400 dan 500x. XRD menggunakan alat Philips
type X’Pert Scan Parameters dengan step size 0,02o time/step 1 detik,
X-ray generator current PW3373/00 Cu LFF, tube focus line
menggunakan radiasi K-Alpha. Analisis yang dilakukan terhadap sampel
adalah kadar air BEG (SNI 08-7070-2005), tebal kertas (SNI 14-0435-
1998) dan rapat massa (SNI 14-0702-1989).
118 Eceng Gondok
Eceng gondok memiliki kandungan selulosa 18-31%, lignin 7-26%,
hemiselulosa 18-43%, dan ash 15-26% dengan kandungan air 85-95%
(Girisuta, 2007). Isolasi selulosa dari eceng gondok dapat dilakukan
dengan chemical treatment. Serat selulosa yang dihasilkan dapat
dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan kertas. Untuk
mendapatkan serat selulosa yang optimal, maka bahan baku yang
digunakan adalah BEG kering. Kadar air yang dimiliki oleh BEG yang
digunakan sebesar 90,05%. Skematis pembuatan kertas dari BEG ini
dapat dilihat pada Gambar 8.14. Pembuatan kertas yang dilakukan
berdasarkan metode chemical pulping dengan menggunakan NaOH
dalam proses pembuburannya. Tujuan pemasakan BEG dengan NaOH
untuk melepaskan lignin yang terikat pada selulosa. Menurut Jayanudin
(2007), lignin yang mengotori pulp mengandung senyawa kromofor,
yaitu gugus yang memberikan warna pada senyawa aromatik
menyebabkan displacement pada spektrum warna. Pulp dapat
dipisahkan dari lignin dan sisa NaOH dangan cara pencucian. Blending
pulp dilakukan untuk menghasilkan ukuran pulp yang seragam
sehingga pada proses bleaching pulp didapat hasil yang maksimal.
Bleaching agent yang digunakan adalah senyawa NaClO, pemilihan
NaClO berdasarkan sifat bahan yang tidak berbahaya dan murah.
Proses ini bertujuan untuk menghilangkan warna dan lignin yang tersisa
pada serat selulosa setelah pencucian. Proses bleaching pulp ini juga
dapat menghilangkan hemiselulosa yang terkandung dalam pulp.
119
Gambar 8.14 Skematis pembuatan kertas dari batang
eceng gondok (BEG) dan koran bekas (Iryanti Fatyasari Nata, 2013)
- Variasi Konsentrasi NaOH terhadap Produksi Pulp Eceng
Gondok
Untuk variasi konsentrasi NaOH dilakukan dengan menghitung yield
pulp yang dihasilkan. Yield merupakan perbandingan pulp yang
dihasilkan terhadap banyaknya BEG yang digunakan. Pada setiap
konsentrasi NaOH 1; 2,5; 4 dan 5% (w/v) menghasilkan yield berturut-
120 Eceng Gondok
turut 23,38% ± 0,12; 25,18% ± 0,09; 23,53% ± 0,04 dan 25,15% ±
0,23.
Gambar 8.15 Hubungan konsentrasi NaOH terhadap yield pulp eceng gondok dengan waktu pemasakan 10 menit
(Iryanti Fatyasari Nata, 2013)
Gambar 8.15 menunjukkan yield terbesar diperoleh pada konsentrasi
NaOH 2,5% dan 5% (w/v). Pada proses chemical pulping, larutan
NaOH memecah lignin yang terikat pada selulosa. Yield yang paling
kecil diperoleh pada NaOH 1% (w/v) yaitu 25,18%, hal ini dikarenakan
kecilnya konsentrasi NaOH untuk memecah lignin dari selulosa ehingga
diperoleh kadar selulosa yang sedikit. Pada konsentrasi NaOH 4% dan
5% (w/v) bertambahnya konsentrasi tidak berpengaruh banyak
terhadap yield yang dihasilkan, hal ini dapat terjadi karena
penambahan konsentrasi NaOH akan mereduksi jumlah komponen
selain selulosa seperti hemisolulosa, pektin dan komponen soluble
121
lainnya yang mengikat selulosa (Fahmi et.al,2009; Sundari et.al, 2012),
sehingga diperlukan konsentrasi yang tepat pada proses delignifikasi.
Berdasarkan hal ini disimpulkan konsentrasi yang terbaik dalam
pemasakan BEG adalah NaOH 2,5% (w/v). Pulp yang dihasilkan dari
variasi konsentrasi kemudian dicetak menjadi kertas yang sebelumnya
mengalami proses pemutihan/bleaching. Pada Gambar 8.16 dapat
diamati perbedaan strukur permukaan kertas yang dihasilkan dengan
variasi konsentrasi NaOH. Pada NaOH 2,5%, 4% dan 5% (w/v) struktur
seratnya halus, sedangkan konsentrasi NaOH 1% (w/v) masih terlihat
adanya BEG dan permukaannya kasar, karena delignifikasi tidak
maksimal. Hal ini menyebabkan sebagian batang eceng gondok
(ditunjukkan dengan tanda panah) masih berikatan dengan lignin
karena konsentrasi NaOH yang rendah.
Gambar 8.16 Kertas dengan variasi konsentrasi NaOH dengan chemical pulping selama 10 menit.
(Iryanti Fatyasari Nata, 2013)
122 Eceng Gondok
- Variasi Waktu Pemasakan terhadap Produk Pulp Eceng
Gondok
Pada tahap ini, proses dilakukan dengan menetapkan konsentrasi
larutan NaOH 2,5% (w/v) berdasarkan yield terbesar yang dihasilkan
dari percobaan sebelumnya dan membandingkan besarnya yield yang
diperoleh pada waktu pemasakan dengan NaOH. Hasil dari variasi
waktu selama 5; 10; 15; 30; 60 dan 120 menit menghasilkan yield
berturut-turut 24,72%; 25,3% ± 0,04; 32,31%, 31,12% ± 0,11 dan
33,01% ±0,03.
Gambar 8.17 menerangkan hubungan variasi waktu pemasakan
dengan yield, semakin lama waktunya maka yield yang dihasilkan
semakin besar, kenaikan persentasi yield pada rentang 5-15 menit dari
24,72% menjadi 32,31%, tetapi setelah 15 menit kenaikan yield tidak
signifikan, dikarenakan pada waktu 15 menit sudah tercapai kondisi
optimal untuk pemasakan. Penambahan waktu akan menyebabkan
kondisi yang tidak berpengaruh dalam hasil yield yang diperoleh. Serat
eceng gondok termasuk dalam kategori serat sedang (1,60-2,12 mm),
sehingga pemasakan yang semakin lama akan mengakibatkan
degradasi selulosa yang akan terbuang bersama dengan pelarut NaOH
saat pencucian (Hasnedi et.al, 2008).
123
Gambar 8.17 Hubungan waktu pemasakan terhadap yield pada NaOH 2,5% (w/v).
(Iryanti Fatyasari Nata, 2013)
- Pengaruh Penambahan Kertas Koran Bekas terhadap
Produk Kertas
Pada tahap ini digunakan konsentrasi NaOH 2,5% (w/v) dengan waktu
pemasakan 15 menit yang merupakan kondisi operasi terbaik
berdasarkan hasil sebelumnya. Produk yang dihasilkan dari variasi
komposisi pulp dihitung besar yield dan rapat massa () untuk
mengetahui struktur morfologi kertas dan pengaruhnya terhadap
produk yang dihasilkan. Yield yang dihasilkan komposisi/rasio loading
BEG : kertas, sebesar 1:1, 2:1, 3:1 dan 4:1.
Sebagai pembanding diproduksi pula pulp yang hanya berasal dari BEG
dan koran bekas. Gambar 8.18 menunjukkan besar yield pada kertas
124 Eceng Gondok
eceng gondok lebih kecil daripada yield kertas dari koran bekas,
meskipun memiliki massa bahan baku yang sama. Yield kertas BEG
sebesar 32,31% dan yield untuk kertas dari koran bekas sebesar
87,17%. Yield kertas dari koran bekas lebih besar dikarenakan koran
bekas merupakan sumber serat sekunder yang mengandung sekitar 80-
85% pulp mekanis dan 15-20% pulp kimia (Paraskevas dalam
Rismiyana dkk, 2003). Selain itu, koran bekas diproduksi dari kertas
berbahan baku serat kayu. Besar yield untuk kertas dengan
perbandingan komposisi pulp BEG dan koran bekas disajikan pada
Tabel 8.4.
Gambar 8.18 Hubungan komposisi loading pulp koran bekas)
terhadap yield 2,5% (w/v) selama 15 menit. (Iryanti Fatyasari Nata, 2013)
125
Tabel 8.4 Yield perbandingan komposisi loadingproduksi pulp dengan
NaOH 2,5% (w/v) selama 15 menit. (Iryanti Fatyasari Nata, 2013)
Perbandingan komposisi
(eceng gondok:koran) Yield (%)
1 : 0 32,31 0,01
1 : 1 33,31 0,14
2 : 1 37,27 0,15
3 : 1 44,06 0,15
4 : 1 53,19 0,26
0 : 1 87,19 0,05
Semakin banyak penambahan koran bekas maka semakin besar yield
yang dihasilkan Sehingga disimpulkan bahwa penambahan koran bekas
pada pulp BEG dapat meningkatkan yield Tahapan variasi loading
tersebut menghasilkan 5 jenis kertas yang dapat dilihat pada Gambar
8.19. Dari kertas yang diperoleh menunjukkan pulp dari koran bekas
menghasilkan kertas yang berwarna lebih gelap. Warna yang dihasilkan
lebih gelap karena pada kertas koran bekas kontaminan utamanya
adalah tinta cetak yang umumnya terdiri dari pigmen atau butiran tinta
yang berperan sebagai pembawa warna berbentuk partikel padatan
kecil belum hilang seluruhnya pada proses bleaching. Sedangkan kertas
yang dihasilkan dari campuran koran bekas dengan BEG berwarna lebih
terang. Semakin banyak komposisi BEG yang ditambahkan maka
semakin terang warna kertas yang dihasilkan.
126 Eceng Gondok
Gambar 8.19 Kertas dengan variasi loading (BEG dan Koran) Perbandingan 0:1, 1:1, 2:1, 3:1, dan 4:1 dengan NaOH 2,5% (w/v)
selama 15 menit (Iryanti Fatyasari Nata, 2013)
- Karakterisasi produk kertas dengan bahan baku Eceng
Gondok dan koran bekas
Analisis SEM digunakan untuk mengetahui struktur morfologi dari BEG
dan kertas yang dihasilkan. Gambar 8.20 menunjukkan BEG sebelum
proses digester (Gambar 8.20 (a)) tidak dapat dilihat dengan jelas serat
pada permukaan BEG, hal ini dikarenakan serat eceng gondok masih
terikat oleh lignin, hemiselulosa, pektin dan komponen terlarut lain
yang mengikat selulosa.
127
Gambar 8.20 SEM images dari atang eceng gondok (a), batang eceng
gondok setelah treatment pada t =15 menit dan NaOH 2,5% (w/v) (b), kertas dari serat eceng gondok pada t =15 menit dan NaOH
2,5% (w/v) dan koran bekas (c) dan kertas dari koran bekas (d) (Iryanti Fatyasari Nata, 2013)
Proses digester dengan NaOH menghilangkan kandungan komponen-
komponen yang mengikat selulosa pada BEG. Dari Gambar 8.20 (b)
terlihat perubahan struktur permukaan dari eceng gondok, serat eceng
gondok dapat dilihat setelah pemasakan dengan NaOH. Berdasarkan
Sundari, et.al (2012) diameter serta eceng gondok sangat halus dengan
ukuran 20 -100 nm. Pada lokasi tertentu (ditunjukkan dengan tanda
panah) dapat dilihat serat eceng gondok berdiameter sekitar 80-166
nm, tetapi pada tempat lain serat berhimpit satu sama lain akibat
proses pengeringan yang dilakukan sebelum observasi SEM.
128 Eceng Gondok
Serat koran mempunyai ukuran serat lebih besar dari serat eceng
gondok, pada Gambar 8.20 (d) dapat diketahui serat koran bekas ± 56
μm. Koran terbuat dari serat yang berasal dari softwood, menurut
Hutten (2007) ukuran serat softwood berkisar antara 40-58 μm.
Perbedaan yang sangat signifikan ini tentu saja akan mempengaruhi
struktur dan kekuatan kertas. Gambar 8.20 (c) menunjukkan morfologi
kertas yang dihasilkan dari campuran BEG dan koran bekas. Serat pada
kertas ini terlihat jelas kombinasi dari 2 jenis serat, sehingga dapat
disimpulkan bahwa penambahan koran bekas mempengaruhi struktur
morfologi kertas yang dihasilkan.
Karakteristik peak struktur kristalin pada selulosa dapat dibagi menjadi
2, yaitu selulosa I (16,5°) dan selulosa II (22,8°) (Zhao et.al, 2007).
Eceng gondok yang mengandung serat selulosa di dalam struktur
penyusunnya mempunyai karakteristik peak pada 2 = 16,5° dan
22,8°. Dari Tabel 8.5 dan Gambar 8.21 dapat dilihat bahwa BEG dan
kertas yang dihasilkan mempunyai karakteristik peak pada 2 = 16,5°
dan 22,8°. Nilai intensitas peak berdasarkan struktur kristalin tiap
sampel dapat dilihat pada Tabel 8.5. Struktur kristalin dari selulosa
pada dinding sel dapat mempengaruhi properti produk yang dihasilkan,
selulosa merupakan parameter yang menentukan kekuatan dari serat
(Vainio, 2007). Pada Gambar 8.21 untuk batang eceng gondok setelah
proses digester dengan NaOH mengakibatkan meningkatnya intensitas
sebesar 5,66% (selulosa I) dan 8,26% (selulosa II), hal ini disebabkan
oleh hilangnya kandungan lignin dan hemiselulosa (Maeda et al., 2011;
Kim and Holtzapple, 2006). Selain itu, proses digester dengan alkali
dapat meningkatkan jumlah selulosa karena treatment dengan alkali
129
dapat menrestrukturisasi amorphous cellulose menjadi crystalline
cellulose (Zhou et.al, 2009). Kertas dari bahan baku campuran batang
eceng gondok dan koran bekas dapat meningkatkan intensitas peak
selulosa I sebesar 3,63% dan selulosa II sebesar 35,63%, hal ini dipicu
oleh serat kertas koran mempunyai intensitas yang cukup tinggi yaitu
sebesar 66% (selulosa I) dan 262% (selulosa II). Berdasarkan hasil
XRD ini dapat disimpulkan penambahan koran bekas pada proses
pembuatan kertas dari BEG dapat meningkatkan sifat kristaliniti dari
kertas.
Pengukuran tebal kertas untuk mengetahui dimensi kertas, yaitu
volume kertas yang dihasilkan dari setiap variasi komposisi antara
batang eceng gondok dan koran bekas. Pengukuran dilakukan
sebanyak 10 bagian dengan ukuran 1,4 x 0,4 cm dan dipilih bagian
kertas yang terbaik, dimana setiap bagian dilakukan pengukuran tebal
sebanyak 5 kali.
Tabel 8.5 Intensitas karakterisasi peak pada eceng gondok dan jenis produk kertas pada t =15 menit dan NaOH 2,5% (w/v)
(Iryanti Fatyasari Nata, 2013)
Sampel
Karakteristik peak
Selulosa I
(16,5o)
Selulosa II
(22,8o)
Batang eceng gondok 50 111
Kertas eceng gondok 53 121 Kertas eceng gondok+koran bekas 55 188
Kertas koran bekas 60 262
130 Eceng Gondok
Gambar 8.21 X-Ray diffraction batang eceng gondok (BEG), kertas
dari koran bekas (KK), kertas eceng gondok (KEG) dan kertas campuran eceng gondok dengan koran bekas (KEG-K) dengan NaOH
2,5% selama 15 menit. (Iryanti Fatyasari Nata, 2013)
Variasi data dari 10 kali pengukuran pada tiap sampel untuk
mengetahui kesalahan relatif dari pengukuran. Tabel 8.6 dan Gambar
8.22 menunjukkan pengukuran tebal kertas pada tiap variasi komposisi.
Berdasarkan Gambar 8.22 dapat diketahui tebal kertas pada variasi
komposisi loading tidak seragam, hal ini dikarenakan proses
pencetakan kertas yang dilakukan secara manual. Kertas yang
dihasilkan dari campuran pulp eceng gondok dengan serat koran bekas
lebih tebal daripada kertas yang dihasilkan dari pulp eceng gondok saja,
131
karena struktur serat koran bekas lebih besar daripada batang eceng
gondok.
Tabel 8.6 Tebal kertas dan densitas rata-rata pada variasi komposisi dengan NaOH 2,5% (w/v) selama 15 menit
(Iryanti Fatyasari Nata, 2013)
Massa BEG (g)
Massa Koran Bekas (g)
Tebal (mm) Densitas (g/cm3)
0,00 0,00 0,443 ± 0,05 0,472 ± 0,06
12,50 5,00 0,485 ± 0,07 0,486 ± 0,08 16,66 6,25 0,318 ± 0,02 0,570 ± 0,04
18,33 8,34 0,390 ± 0,06 0,448 ± 0,07 20,00 12,50 0,232 ± 0,02 0,566 ± 0,06 25,00 25,00 0,172 ± 0,01 0,470 ± 0,02
Gambar 8.22 Hubungan massa eceng gondok terhadap
tebal kertas pada waktu pemasakan 15 menit dan NaOH 2,5% (w/v). (Iryanti Fatyasari Nata, 2013)
132 Eceng Gondok
Pengukuran rapat massa (⍴, g/cm3) untuk mengetahui kerapatan
kertas yang dihasilkan. Semakin besar ⍴ kertas maka semakin kuat
kertas yang dihasilkan karena susunan serat dan struktur pada kertas
tersebut lebih rapat (lihat Gambar 8.20). Rapat massa dari produk
kertas yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 8.6, nilai ⍴ terkecil pada
kertas dari BEG dan nilai ⍴ yang terbesar diperoleh pada komposisi
loading 2:1 (16,66 g : 8,33 g) untuk eceng gondok dan serat koran
bekas. Berdasarkan observasi XRD dan ⍴ dapat disimpulkan bahwa
kertas terbaik yang dihasilkan adalah pada perbandingan 2:1 dan
penambahan koran bekas dapat memperbaiki kerapatan kertas yang
dihasilkan sebesar 0,57 g/cm3.
8.4 Pemanfaatan Eceng Gondok Untuk Material Pertahanan
Hasil beberapa penelitian bahwa eceng gondok merupakan sejenis
tumbuhan gulma yang dapat mengganggu ekosistem. Eceng gondok
(Eichornia crassipes) merupakan tanaman air yang dapat tumbuh
dengan cepat di daerah tropis dan mampu menyerap berbagai zat, baik
terlarut maupun tersuspensi dalam jumlah banyak karena memiliki
selulosa hingga 72,63 % (Ratnani, 2000).
Eceng gondok menjadi komponen utama dalam ekosistem perairan
rawa, waduk, dan danau sebagai habitat pemijahan ikan, tempat
berlindung, menempelnya pakan alami dan penyerap logam berat.
jumlah amonia, nitrit, nitrat yang tinggi dalam perairan dapat direduksi
dengan pemanfaatan tanaman eceng gondok penurunan yang
133
dihasilkan yaitu menurunkan total nitrogen hingga 73,05 %,
menurunkan kadaramonia hingga 72,7 %, dan mampu menurunkan
nitrat hingga 71,43 % (Rahmaningsih, 2006).
Penyebarannya yang sangat cepat membuat eceng gondok menjadi
sebuah masalah baru perairan yang dapat mengganggu ekosistem. Hal
ini disebabkan eutrofikasi yang terjadi di badan air. Eutrofikasi
merupakan peristiwa meningkatnya bahan organik dan nutrien
(terutama unsur nitrogen dan fosfor) yang terakumulasi di badan air.
Peningkatan bahan organik dan nutrien ini berasal dari limbah
domestik, limbah pertanian, dan lain-lain (Merina dkk, 2011).
Tanaman ini juga merupakan salah satu jenis tanaman yang sangat
efektif sebagai agenfitoremediasi dalam memulihkan lahan atau
perairan yang tercemar senyawa organik maupun anorganik
(Purwaningsih 2009).
Seperti dikatakan bahwa eceng gondok (latin : Eichornia crassipes)
merupakan tanaman gulma di wilayah perairan yang hidup terapung
pada air yang dalam yang memiliki aliran tenang. Tanaman ini
berkembang biak dengan sangat cepat, baik secara vegetatif maupun
generatif. Perkembangbiakan dengan cara vegetatif dapat melipat
ganda dua kali dalam waktu 7-10 hari. Hasil penelitian Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan Sumatera Utara di Danau Toba 2003
melaporkan bahwa satu batang eceng gondok dalam waktu 52 hari
mampu berkembang seluas 1 m2, atau satu tahun mampu menutup
area seluas 7 m2. Maka untuk menekan pertumbuhan eceng gondok di
134 Eceng Gondok
danau akan diberi jaring disekeliling daerah yang ditumbuhi tanaman
tersebut.
Gambar 8.23 Danau yang tercemar eceng gondok
(tribunnews.com, 2012)
Selain tumbuh dengan cepat, batang eceng gondok kaya serat yang
mengandung selulosa 64,51% (Ahmed, 2012). Melihat data tersebut
maka eceng gondok dapat diambil seratnya untuk dijadikan selulosa.
Dengan kadar selulosa sebesar 64,51% serat eceng godok merupakan
suatu potensi yang perlu dipertimbangkan sebagai bahan untuk
pembuatan nitroselulosa. Nitroselulosa merupakan bahan utama untuk
pembuatan propelan padat, disamping nitrogliserin. Propelan
merupakan bahan bakar untuk roket dan rudal. Selain itu propelan
dapat digunakan sebagai bahan peledak. Selain untuk bahan propelan
dan bahan explosives eceng gondok dapat dijadikan bahan komposit
dengan cara diambil seratnya atau sebagai composite board.
135
Gambar 8.24 Bahan Explosives (tribunnews.com, 2012)
Referensi
1. Abdel-Fattah, A. F. and M. A. Abdel-Naby, 2012. Pretreatment and enzymic saccharification of water hyacinth cellulose. Carbohydrate
Polymers, 87. 2109-2113. 2. Andra, H. 2007. Proses Pemutihan Pulp Serat Eceng Gondok
Dengan Menggunakan Hidrogen Peoksida. Skripsi. Jurusan Teknik Kimia Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Cilegon.
3. Badan Pusat Statistik. 2012. Data Ekspor-Impor.http://www.bps.go.id diakses tanggal 10Oktober 2012
4. Das, A.K. 2011. Presentation on Recent Initiatives of NEDFI in Rural Areas. Assam: The Norh Eastern Development Finance Corporation Limited.
5. Fahmi, M. S, R. D. Cahyani and C. N. Kalam, 2009. Kertas Daur Ulang dengan Aroma Pewangi Bogor. Institut Pertanian Bogor.
6. Fatyasari, Nata Iryanti, Niawati, Helda, dan Muizliana, Choir, 2013. Pemanfaatan Serat Selulosa Eceng Gondok (Eichhornia Crassipes) sebagai bahan baku Pembuatan Kertas: Isolasi dan Karakteristik.
Journal Koversi, Volume 2, No.2 7. Forrest, AK, J. Hernandez and MT Holtzapple, 2010. Effects of
Temperature and Pretreatment Conditions on Mixed-Acid Fermentation of Waterhyacinths Using a Mixed Culture of Thermophilic Microorganisms. Bioresource Technology, 101. 7510-7515.
136 Eceng Gondok
8. Girisuta, B., 2007. Levulinic Acid From Lignocellulosic Biomass. Dessertation. University of Groningen, Groningen.
9. Gunawan, P. dan Sahwalita, 2007. Pengolahan Eceng Gondok sebagai Bahan Baku Kertas Seni. Balai Litbang Kehutanan
Sumatera, Medan. 10. Harahap, S. Aniek, Suhariyuwanto, SM., Bambang, 2003.
Kerajinan Tangan Eceng Gondok. Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.
11. Hasnedi, Y.W, A.Y. Aditya dan W. Sulistiono, 2008. Segredass Art Paper Berbahan Eceng Gondok, Alang-Alang, dan Perekat Alami Kitosan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
12. Hutten, M. I.. 2007. Handbook of Nonwoven Filter Media. Butterworth-Heinemann, Oxford.
13. Jayanudin. 2007. Pemanfaatan Pulp Eceng Gondok Sebagai Alternatif Bahan Baku Kertas dengan Proses Soda. Universitas Lampung, Lampung.
14. Kim, S and M.T. Holtzapple, 2006. Effect of Structural Features on Enzyme Digestibility of Corn Stover. J. Biores Technol., 97. 583-
591. 15. Kumar, A, L.K. Singh and S. Ghosh, 2009. Bioconversion of
Lignocellulosic Fraction of Waterhyacinth (Eichhornia crassipes) Hemicellulose Acid Hydrolysate to Ethanol by Pichia stipitis. Bioresource Technology, 100. 3293-3297.
16. Lu, W., C. Wang and Z. Yang, 2009. The preparation of High Caloric Fuel (HCF) from Waterhyacinth by Deoxyliquefaction. Bioresource
Technology, 100. 6451-6456. 17. Maeda, R. Nobuyuki, V. I. Serpa, V. A. L. Rocha, R. A. A. Mesquita,
L. M. M. S. Anna, A. M. de Castro, C. E. Driemeier, N. Pereira Jr,
and I. Polikarpov, 2011. Enzymatic Hydrolysis of Pretreated Sugar Cane Baggase using Penicillium funiculosum and Trichoderma harzianum Cellulases. Journal of Process Biochem, 30.5-10.
18. Othmer, K. 2005. Encyclopedia Of Chemical Technology. Encylopedia Inc., New York.
19. Rismijana J., I. N. Indriani and T Pitriyani. 2003. Penggunaan Enzim Selulase- Hemiselulase pada Proses Deinking Kertas Koran Bekas.
Jurnal Matematika dan Sains, 8 . 67-71. 20. Sundari, M. Thiripura, and A. Ramesh, 2012. Isolation and
Characterization of Cellulose Nanofiber from the Aquatic Weed Waterhyacinth-Eichhornia Crassipes. Carbohydrate Polymers, 87. 1701-1705.
137
BAB 9
POHON LONTAR
9.1 Pohon Lontar
Lontar merupakan salah satu tanaman yang memiliki potensi sebagai
sumber bioetanol. Menurut Sasangko (2008), ada tujuh spesies lontar
(spp.) yang dikenal di dunia namun yang terdapat di Indonesia yaitu
Borassus flabellifer dan Borassus sundaicus, terutama tumbuh di bagian
timur pulau Jawa, Madura, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa
Tenggara Timur. Di NTT, lontar tersebar di Pulau Timor, Flores, Sumba
Sabu, Rote, dan pulau-pulau lainnya.
Manfaat lontar cukup banyak. Niranya dapat dibuat minuman segar dan
makanan penyegar/pencuci mulut berkalori tinggi, cuka atau kecap,
dan gula lontar/gula lempeng/gula semut. Buahnya untuk manisan
atau buah kalengan, kue, selai dan obat kulit (dermatitis) dan daging
buahnya untuk bahan dempul. Bunganya atau abu mayang untuk obat
sakit lever, dan daunnya dapat dimanfaatkan untuk bahan kerajinan
tangan. Pada zaman dahulu, nenek moyang kita telah mengenal kertas
dari lontar dan digunakan untuk menulis dokumen kerajaan, buku, dan
surat-menyurat. Tanaman lontar memiliki batang yang kuat dan lurus
sehingga dapat digunakan untuk bahan bangunan dan jembatan
(Ainan, 2001; Amalo, 2008; Munawaroh, 1999; Patra, 1980; Sasangko,
2008). Dari berbagai manfaat tersebut, manfaat ekonomi dan sosial
138
yang dapat diperluas adalah manfaat dari nira yang dapat digunakan
sebagai bahan baku pembuatan bioetanol.
Walaupun manfaat dan nilai ekonominya cukup tinggi, tanaman lontar
merupakan tanaman liar dan pemanfaatannya oleh masyarakat masih
bersifat tradisional. Sampai saat ini belum ada upaya budidaya tanaman
lontar sehingga populasnya cenderung menurun.
Gambar 9.1 Pohon Lontar (Dissbun Jatim, 2012)
139
Gambar 9.2 Buah Lontar (Dissbun Jatim, 2012)
9.1.1 Manfaat Tanaman Lontar
Manfaat daun lontar dapat digunakan sebagai bahan tikar dan atap
rumah, bahan untuk topi. Sedangkan di Indis Daun lontar dapat
dijadikan obat untuk penyakit sypilis (Atjung, 1991).
Tangakai bunga lontar jantan lontar disadap diambil niranya. Air hasil
sadapan tersebut dapat diminum sebagai air minum. Nira dapat diolah
lebih lanjut sebagai tuak yang kadar alkoholnya cukup tinggi, selain itu
nira dapat dijadikan gula aren/gula merah (Kimball, 1988). Juga
140
serabat pada pohon lontar dapat dijadikan sebagai essen/pewangi
untuk kue.
Untuk buah lontar dapat dimakan dengan dijadikan bahan campuran
minuman es campur karena rasanya mirip dengan kolang kaleng.
Karena buah lontar mengandung protein, pati, kalsium, gula reduksi
dan serat kasar.
Tabel 9.1 Komposisi Buah Lontar (Disbun Jatim, 1991)
Komposisi Kadar (%)
Air 93,75
Gula Reduksi 5,5675 pH 4,47
Tekstur 0,06 – 0,07 Pati 0,4345
Serat Kasar 0,1148 Protein 1,04 Kalsium 0,052
9.1.2 Serabut Tanaman Lontar
Serabut lontar ditutupi oleh kulit buah lontar, biasa serabut lontar
teksturnya lebih halus karena mengandung banyak air. Semakin tua
buah lontar maka kandungan air dalam serabutnya semakin menurun.
Serabut buah lontar muda biasanya memiliki tekstur yang lunak dan
warnanya sangat putih, dan untuk serabut buah lontar yang tua
berwarna putih kekuning-kuningan.
141
Tabel 9.2 Komposisi Serabut Lontar
(Disbun Jatim, 1991)
Komposisi Kadar (%)
Karbohidrat 87,73
Kadar Air 89,07 Hemiselulosa 18,52 Lignin 0,23
Silikat 0,12 Selulosa 29,32
Selain buah dan serabutnya nira lontar banyak mengandung senyawa
etnal dan asam asetat. Etanol dan asam asetat merupakan senyawa
organik. Keduanya kerap dibutuhkan dalam industri farmasi, kosmetika,
pembuatan bahan sintetis, industri makanan, pewarna, serat karet dan
plastik. Selain itu etanol dapat digunakan sebagai campuran bahan
bakar kendaraan bermotor dan mesin yang dapat menaikkan nilai
oktan.
9.2 Potensi Pohon Lontar
Menurut beberapa pustaka, tanaman lontar atau siwalan berasal dari
India dan kemudian menyebar ke Papua Nugini, Afrika, Australia, Asia
Tenggara, dan Asia tropis. Lontar terutama tumbuh di daerah kering.
Di Indonesia, lontar terutama tumbuh di bagian timur Pulau Jawa,
Madura, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. NTT
merupakan daerah sebaran alami lontar, yaitu di Pulau Timor, Flores,
Sumba, Sabu, Rote dan pulau-pulau lainnya.
142
Luas areal pertanaman lontar mencapai 15.000 ha di Jawa Tengah,
Jawa Timur, dan Madura dengan populasi 500.000 tanaman. Selain itu,
perkebunan lontar terdapat di Nusa Tenggara Timur (Pulau Rote dan
Sabu), Sulawesi, kepulauan Sunda Kecil, Maluku dan Papua, karena
jumlahnya tidak diketahui.
Dari hasil inventarisasi yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten
Rembang (Jawa Tengah) diketahui total areal lontar mencapai 565 ha
yang tersebar di Kecamatan Sulang, Kaliori, Rembang, dan Sumber.
Potensi pengembangan tanaman lontar di Kabupaten Rembang
mencapai 1.100 ha. Estimasi produksi nira pada tahun 2005 mencapai
13,67 juta liter, glondong buah 1,3 juta, daun lontar 16,8 ribu, dan gula
cetak 996,3 ton.
Tanaman lontar di Pulau Sumbawa paling banyak terdapat di
Kabupaten Bima. Di Kabupaten lainnya, tanaman lontar juga
ditemukan, tetapi jumlahnya sedikit dan menyebar. Di Kabupaten Bima,
tanaman lontar banyak terdapat di Kecamatan Lambu, Kecamatan
Wera, dan Kecamatan Sape. Di kecamatan tersebut, tanaman lontar
ditemukan. Di Kecamatan Lambu, desa yang banyak ditemukan
tanaman lontar adalah Desa Lanta, Lanta Barat, Simpasai, Kaleo dan
Sumi di Kecamatan Wera terdapat di Desa Tadewa, Ntoke, dan Ntundu,
sedangkan di Kecamatan Sape, terdapat di Desa Sangia, Kowo, Buneu,
Rai Oi, di Kabupaten Bima hanya terdapat di Dusun Oimbo, Kelurahan
Kumbe, Kecamatan Rasanae Timur. Lontar tumbuh secara alami baik
di lahan milik (pekarangan, kebun atau sawah) maupun di kawasan
hutan.
143
Pohon lontar terlihat sepanjang perjalanan dari Pelabuhan Pototano
menuju ke daerah Dompu, khususnya di daerah Empang dan Plumpung
yang termasuk wilayah Kabupaten Sumbawa Besar. Tanaman Lontar di
daerah Dompu terdapat di Kecamatan Hu'u dan Kilo, tetapi letaknya
sporadis. Secara umum tanaman lontar tumbuh di lahan milik. Lontar
yang tumbuh di kawasan hutan terdapat di kawasan hutan kilo (Desa
Mbuju) dengan jumlah pohon kurang lebih 40-50 pohon. Uraian
tentang potensi lontar di kota dan kabupaten tertera pada Tabel 9.3.
Tabel 9.3 Potensi lontar di Kota dan Kabupaten Bima (Disbun Bima, 2010)
Wilayah Sebaran Jumlah Pohon
Tinggi Tanaman
(m)
Diameter
Batang
(cm)
Ketinggian Tempat
(dpl)
Tipe Iklim
Kota Bima 1.000 13 45 10 - 100 D Kab. Bima
E - Desa Sangiang 800 12 40
10 -700 - Desa Kowo 2.000 12 45 - Desa Buncu 500 12 40
- Desa Lamere 700 - - Kab. Bima 1.000 12 40 10 - 700 E
Di Bali pohon lontar banyak ditemukan di Kecamatan Kubu, Kabupaten
Karangasem, dengan persentase dapat mencapai 32,23% yang
tersebar di sembilan desa seperti tertera pada Tabel 9.4.
144
Tabel 9.4 Potensi lontar di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali
(BPS Kecamatan Kubu, 2009)
Desa Areal
(ha)
Produksi
(ton/tahun)
Produktivitas
(kg/ha/tahun)
Kubu 112 23,66 266 Tulamben 24 25,25 250
Baturringgit 84 18,18 267 Sukandana 130 27,14 268 Dutuh 130 26,70 262
Tianyar Timur 219 44,27 253 Tianyar Tengah 249 50,47 254
Tianyar Barat 224 46,13 264 Ban 352 72,54 262
Potensi lontar di NTT ditemukan di empat kabupaten, yaitu Rote Ndao,
Sumba Barat Daya, Sabu Raijua, dan Kupang seperti diuraikan pada
Tabel 9.5.
Tabel 9.5 Luas areal tanaman lontar dan produksi gula di NTT
(Dinas Pertanian dan Perkebunan Prov. NTT, 2009)
Kabupaten
Luas Area (ha) Produksi Gula
Belum Produksi
Sudah Produksi
Tua/ Rusak
Jumlah ton Kg/ha
Rote N dao 4.164 10.409 2.057 16.630 8.705 856 Sumba
Barat Daya
138 345 569 1.052 197 -
Sabu Raijua 353 578 - 931 204 353
Kupang 568 98 - 666 25 255
Tanaman lontar bersifat soliter dan tumbuh berkelompok, tumbuh baik
pada daerah yang beriklim kering, terbuka dan pada lahan marginal.
Penyebaran pohon lontar mulai dari 10 LS (garislintang Pulau Rote -
145
NTT) sampai 30 LU (garis lintang di India) pada ketinggian 1-1.500 m
dpl (Van Steenis, 1981). Di Sri Lanka, pohon lontar tidak tumbuh pada
tanah yang bereaksi asam (Kovoor, 1983; Massiri dan Yusran, 2007).
Lontar dapat beradaptasi di daerah kering dengan curah hujan 500-900
mm/tahun, namun dapat tumbuh juga di daerah dengan curah hujan
sampai 5.000 mm/tahun. Di Asia dan Afrika, lontar tumbuh baik pada
tanah berpasir dan tanah yang kaya bahan organik yaitu pada tanah
alluvial subur di tepi sungai. Di Madura pohon ini ditemukan pada
perbukitan kapur (Lahiya, 1983).
Kondisi lingkungan yang ideal untuk pertumbuhan lontar adalah pada
ketinggian 100-500 m dpl, curah hujan 1.000-2.000 mm/tahun dengan
jumlah bulan kering 4-8 bulan dan kelembapan udara 60-80%. Jenis
tanah yang cocok untuk budidaya lontar adalah tanah alluvial
hidromorf, alluvial kelabu tua, kelabu kuning, latosol merah, dan latosol
coklat kemerahan.
9.3 Pemanfaatan Pohon Lontar
Di beberapa tempat di Madura, produksi gula tidak menguntungkan
karena harus bersaing dengan perkebunan gula yang intensif di Jawa.
Satu hal yang tidak dijelaskan oleh Gebuis dan Kadir adalah berapa
pohon harus dipotong daunnya untuk melampaui keuntungan dari
penjualan gula lontar. Namun dapat diperkirakan bahwa untuk
membuat 18 buah tikar diperlukan 180 daun dan dikerjakan selama
satu bulan, dengan keuntungan sama dengan penyadapan lontar
146
selama setahun. Yang jelas mereka melaporkan bahwa keuntungan
dari penjualan daun lebih besar daripada penjualan gula lontar.
Perekonomian lontar di desa-desa di Madura pada tahun 1920-an
sudah mengarah pada pemasaran di luar yang luas.
Di Bali, tanaman lontar yang kualitas niranya baik biasanya daunnya
tidak dipanen, sebaliknya jika kualitas niranya tidak baik maka daunnya
yang dipanen. Pohon lontar dapat disadap niranya sejak umur 10
tahun. Teknik dan waktu pemanenan lontar bergantung pada tujuan
pemilikan pohon; apabila daun menjadi tujuan akhir produk maka akan
sedikit sekali buah atau nira yang diperoleh.
Berdasarkan pengalaman petani di Kupang, tanaman lontar mulai
tumbuh daunnya yang lebar pada umur sekitar 3 tahun. Apabila
pelepah daun segar dipanen satu pelepah/bulan sejak tanaman
berumur 3 tahun sampai 15 tahun, tanaman masih dapat berbunga dan
dapat disadap niranya sampai umur 40 tahun.
9.3.1 Penyadapan Lontar
Penyadapan lontar dilakukan sesuai dengan musim, namun sesuai pula
dengan waktu ketika mayang-mayang lontar berbunga. Terdapat dua
masa penyadapan selama musim kemarau, yaitu musim timur dan
musim fanduk. Musim timu adalah penyadapan pada awal musim angin
timur, dan musim fanduk adalah penyadapan setelah angin timur mulai
reda. Keduanya berkaitan dengan dua masa dalam setiap tahun ketika
mayangmayang lontar berbunga. Menurut Fox (1996), di Indonesia
147
dikenal dua masa lontar berbunga. Selama musim angin timur mayang-
mayang pohon lontar tumbuh sepenuhnya, hasil sadapan selama
musim fanduk jauh lebih besar daripada hasil sadapan pada musim
timur.
Pada pertengahan Maret sampai April para penyadap mulai
mempersiapkan pnyeadapan pohon lontarnya. Akhir April biasanya
mulai musim timu, dan penyadapan berlangsung terus sampai bulan
Mei dan Juni. Hampir semua pekerjaan pada masa penyadapan ini
dilakukan oleh laki-laki. Mei dan Juni adalah bulan-bulan panen
tanaman semusim sehingga para wanita sibuk di ladang dan tidak ada
waktu untuk memasak gula air.
Hampir semua nira yang dikumpulkan segera diminum, hanya sedikit
sekali yang dibuat gula air, karena hampir seluruhnya dijadikan gula
lempeng untuk dijual.
Pada bulan Juli sampai awal Agustus penyadapan mulai berkurang
karena angin dari timur makin kencang. Menurut petani lontar, jika
haik-haik di atas pohon tergoyang-goyang oleh tiupan angin maka nira
akan cepat menjadi masam. Tiupan angin juga menyulitkan
pemanjatan. Selain itu, karena sedang panen tanaman semusim maka
persediaan makanan cukup banyak. Penangkapan ikan juga banyak
membawa hasil, dan kawanan ternak dilepas di ladang-ladang seusai
panen. Dalam kehidupan petani lontar, masa tersebut merupakan masa
pembangunan seperti membangun rumah, pagar, dan lain-lain
sehingga para penyadap mengurangi atau menghentikan aktivitas
148
penyadapan. Penyadapan dimulai lagi pada akhir Agustus atau awal
September. Musim fanduk meliputi bulan September dan Oktober serta
dapat diperpanjang sampai bulan November atau Desember.
Dengan demikian ada dua masa puncak penyadapan lontar, pertama
pada awal musim kemarau antara April dan Mei, serta kedua menjelang
akhir musim yaitu antara September dan Oktober. Masa penyadapan
kedua merupakan masa kegiatan yang hampir tidak ada hentinya:
pemasakan nira berlangsung sepanjang hari, bahkan sampai larut
malam. Sirup hasil penyadapan pertama dijual ke ibukota kabupaten
atau dibuat tuak, hasil penyadapan kedua digunakan oleh setiap rumah
tangga sebagai persediaan sampai panen berikutnya.
Pohon lontar tidak pernah gagal berproduksi, dan hanya dua bulan
dalam setahun yang merupakan bulan bulan sepi bagi penduduk
sabana lontar sehingga mereka dapat melakukan kegiatan ekonomi
lain. Salah satu keuntungan dari waktu luang di musim kemarau adalah
kesempatan bagi pria dan wanita untuk pergi menangkap ikan di lepas
pantai atau mengumpulkan rumput laut sebagai tambahan bahan
makanan pengganti sayuran. Dengan adanya ribuan pohon lontar yang
meneteskan nira, maka di sekelilingnya hidup pula ribuan lebah
penghasil madu. Meskipun penduduk setempat tidak menganggap
madu sebagai makanan lezat, sejak masa Persekutuan Dagang Hindia
Belanda madu merupakan komoditas ekspor yang sangat berharga.
149
9.3.2 Pengolahan Bioetanol Lontar
Bioetanol dapat diperoleh dari bahan baku tanaman yang mengandung
(1) pati (karbohidrat), contohnya: sagu, ubi kayu, jagung, tebu, (2)
selulosa, contohnya: kayu, sagu dan (3) gula, contohnya: lontar, nipah,
dan aren. Untuk mengonversi selulosa atau pati menjadi glukosa pada
prinsipnya dapat dilakukan dengan cara hidrolisis baik hidrolisis asam
maupun dengan menggunakan enzim. Hidrolisis asam digunakan untuk
bahan baku biomass seperti kayu yang mengandung selulosa dan
lignin, sedangkan hidrolisis enzim digunakan untuk bahan yang
mengandung pati. Glukosa yang dihasilkan selanjutnya difermentasi
menggunakan ragi untuk menghasilkan etanol.
Nira lontar mengandung gula 10,96%, sukrosa 13-18%, dan protein
0,28%, sehingga pengolahan nira lontar menjadi etanol dapat
dilakukan langsung pada tahap fermentasi, namun diperlukan hidrolisis
untuk menguraikan sukrosa dan pati. Produksi bioetanol dari nira lontar
dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu (1) hidrolisis, (2) fermentasi,
(3) distilasi, dan (4) dehidrasi.
1. Hidrolisis
Proses hidrolisis bertujuan untuk mengonversi bahan baku nira dari
gula kompleks menjadi gula sederhana (glukosa) melalui pemanasan.
Nira direbus sampai kental dan bila perlu ditambah enzim glukoamilase.
Tingkat keasaman (pH) larutan diatur sedemikian rupa sehingga sesuai
dengan kerja enzim. Pemanasan dilakukan pada suhu 80-95oC sampai
150
terjadi proses pengentalan seiring dengan kenaikan suhu, tujuannya
adalah agar enzim dapat bekerja memecahkan struktur secara kimiawi
menjadi gula kompleks selanjutnya didinginkan.
Faktor yang harus diperhatikan dalam proses hidrolisis ini adalah suhu
pemasakan tidak terlalu rendah juga tidak terlalu tinggi karena selain
untuk memecah gula nira agar lebih mudah terjadi kontak dengan air
enzim. Fungsi pemanasan juga berfungsi untuk sterilisasi bahan
sehingga tidak mudah terkontaminasi.
2. Fermentasi
Proses fermentasi bertujuan untuk mengubah glukosa menjadi
bioetanol dengan menggunakan ragi. Sebelum proses fermentasi
dilakukan; larutan kental nira terlebih dahulu ditambah air dan ragi
(secara tradisional masyarakat menggunakan batang bagian bawah
dan akar sengon laut). Alkohol yang dihasilkan dari proses fermentasi
berkisar antara 8-10%. Pada tahap ini, gula nira dikonversi menjadi
gula sederhana (glukosa dan sebagian fruktosa) dengan bantuan ragi
menjadi etanol dan CO. Proses fermentasi dilakukan pada suhu
optimum antara 27 -32oC. Pada proses fermentasi ini, etanol yang
dihasilkan biasanya masih mengandung gas CO yang dapat mencapai
35% volume dan senyawa aldehida yang harus dihilangkan.
151
3. Distilasi
Distilasi bertujuan untuk meningkatkan kadar etanol sehingga diperoleh
etanol berkadar 95%. Distilasi dilakukan untuk memisahkan etanol dari
air. Titik didih etanol murni adalah 78oC, sedangkan air 100oC. Dengan
memanaskan larutan pada suhu 78-100oC maka sebagian besar etanol
akan menguap, dan melalui unit kondensasi akan dihasilkan etanol
dengan konsentrasi 95% volume. Bioetanol dengan kemurnian 95%
sudah layak dimanfaatkan sebagai bahan bakar motor dengan
penambahan zat antikorosif.
4. Dehidrasi
Dehidrasi bertujuan untuk memurnikan kandungan etanol menjadi
lebih dari 95%. Peningkatan kemurnian bioetanol dapat dilakukan
dengan dua cara, yaitu cara kimia dan fisika. Dengan cara kimia, tepung
batu gamping dicampur dengan bioetanol dengan perbandingan 1 kg
gamping untuk 3 liter bioetanol. Campuran didiamkan 24 jam sambil
sesekali diaduk. Selanjutnya campuran didistilasi ulang untuk
menghasilkan etanol berkadar 99% atau lebih. Bioetanol inilah yang
bisa dicampur dengan premium atau digunakan murni. Cara lainnya
adalah dengan cara fisika menggunakan zeolit sintetis. Untuk
pemurnian bioetanol, sebaiknya digunakan zeolit sintetis 3A. Etanol
95% dilewatkan pada sebuah tabung berisi zeolit; kadar etanol
meningkat karena kandungan air diikat oleh zeolit. Teknik lain yang
sedang dikembangkan adalah dengan pembuatan bioetanol dari nira
152
lontar secara tradisional oleh masyarakat disajikan pada Gambar 9.3
berikut:
Gambar 9.3 Proses pembuatan bioetanol dari nira lontar secara tradisional.
Dari hasil pengujian ternyata kadar etanol yang dibuat masyarakat
hanya mencapai 1%, namun setelah diolah lebih lanjut menjadi sopi,
kadar etanolnya meningkat menjadi 36%. Hasil percobaan
pendahuluan pada lar sopi hasil distilasi masyarakat yang didistilasi
ulang kadar
153
etanolnya meningkat menjadi 43%. Puslit Biologi-LIPI menggunakan
biakan Saccha vomyces sp. dan Candida sp. sebagai starter alkohol
dalam proses fermentasi. Proses destilasi selanjutnya dilakukan pada
distilator alkohol yang dilengkapi pemanas, motor pemompa, dan
tabung pendingin uap alkohol.
Hasil analisis terhadap hasil fermentasi dan distilasi menunjukkan kadar
alkohol 66,18% (tanpa disaring). Setelah disaring dengan karbon aktif,
kadar alkoholnya meningkat menjadi 76,33% (Sulistyo, 2005).
Konsentrasi alkohol yang diterima oleh pasar dapat dikategorikan
sebagai berikut: alkohol medik (70%), alkohol industri (95%) dan
etanol (FGE)/alkohol bahan bakar (>99,5%), merujuk hasil dari Puslit
Biologi LIPI. Proses produksi ethanol dari nira sudah dapat mencapai
kadar alkohol 66,18%. Untuk itu hal yang masih harus diteliti adalah
proses dehidrasi agar kadar etanol yang dihasilkan mencapai lebih dari
95% bahkan lebih dari 99,5%.
Tantangan yang dihadapi dalam pengembangan lontar untuk bioetanol
adalah (1) masa pohon produktif nira yang sangat lama, sehingga
kurang menarik untuk membudidayakan lontar, (2) secara turun–
menurun, masyarakat telah memanfaatkan nira sebagai bahan baku
minuman, dan (3) teknik budidaya lontar belum dikenal masyarakat.
Peluang untuk pengembangannya cukup besar, karena lontar tersebar
luas dan tumbuh baik secara alami di daerah kering dan manfaatnya
sebagai bioetanol bernilai ekonomi tinggi.
154
9.4 Pemanfaatan Pohon Lontar Untuk Material Pertahanan
Manfaat pohon lontar atau siwalan yang gunakan untuk teknologi
pertahanan masih belum ada. Tetapi serat pelapah pohon lontar
berpontensi sebagai bahan komposit berbasis serat. Kegunaan
komposit berbasis serat mulai dari alat rumah tangga sampai sektor
industri. Untuk produk pertahanan komposit berbasis serat dapat
digunakan untuk komponen pesawat terbang (sayap), drone, serta
body kapal.
Untuk mendapatkan serat yang siap digunakan sebagai penguat pada
komposit, untuk produk pertahanan dilakukan beberapa tahapan
berikut:
1. Pelepah lontar sebelum diambil seratnya, direndam selama satu
hari (24 jam) untuk memudahkan proses pengambilan serat.
2. Kulit pelepah lontar dibuang atau dilepaskan.
3. Kemudian diambil serat bagian dalam dari pelepah lontar tersebut,
dengan cara memotong bagian atas pelepah dan ditarik dengan
tangan, hal ini dilakukan untuk menjaga serat agar tidak cacat.
4. Serat dipotong sesuai dengan standar yang ditetapkan.
Gambar 9.4 Serat pelepah lontar (Saduk, 2018)
155
Serat pelepah lontar kemudian diberi dilakukan perlakuan alkali (Alkali
treatment) dengan cara di rendam. Larutan yang digunakan yaitu
NaOH 5 % per liter aquades dengan variasi lama waktu perendaman
30 menit, 60 menit, 90 menit, 120 menit, 150 menit, 180 menit, 210
menit, 240 menit, 270 menit dan 300 menit. Proses perendaman dapat
dilihat pada gambar 2 di bawah ini.
Gambar 9.5 Proses peredaman Serat pelepah lontar (Saduk, 2018)
Perendaman (alkalisasi) bertujuan untuk memodifikasi sifat permukaan
secara kimiawi sehingga memperbaiki ikatan resin dan fiber, dimana
perendaman dalam larutan alkali akan mengurangi hemicelluloses dan
lignin pada serat alam (Vallo, 2004). Kemudian di cuci dengan air
mengalir selama ±15 menit, dan dikeringkan selama ±12 jam.
Serat pelepah lontar yang akan digunakan sebagai penguat pada
komposit polyester, sebelumnya harus dilakukan pengujian kekuatan
tarik baik untuk serat pelepah lontar tanpa perlakuan alkali maupun
serat pelepah lontar dengan perlakuan alkali 5% NaOH. Perlakuan alkali
5% NaOH terhadap serat pelepah lontar dimaksudkan untuk
meningkatan kekuatan tarik serat dan meningkatkan interface antara
156
serat dan matriks sehingga ikatan antar serat dan matriks menjadi kuat.
Untuk itu dalam penelitian ini, serat diberi perlakuan alkali 5% NaOH
dengan lama waktu perlakuan 0 menit sampai 300 menit, dengan
peningkatan setiap 30 menit.
Setelah itu baik serat tanpa perlakuan maupun serat yang diberi
perlakuan alkali, diuji kekuatan tarik dengan menggunakan mesin uji
tarik IMADA.
Gambar 9.6 Mesin Uji tarik serat Merk IMADA (Laboratorium Material MIPA Fisika Universitas Brawijaya, 2018)
Sedangkan proses pengolahan data untuk pengujian kekuatan tarik
serat pelepah lontar tanpa Perlakuan (0 menit) dan melalui perlakuan
alkali 5% NaOH selama 30 menit, 60 menit, 90 menit, 120 menit,150
menit, 180 menit, 210 menit, 240 menit, 270 menit dan 300 menit
dapat dilihat pada Tabel 9.6 berikut.
157
Tabel 9.6 Data Hasil Uji Tarik Serat Pelepah Lontar
(Saduk, 2018)
Waktu Peredaman
Serat Alkali 5%
NaOH
(menit)
F (N) A
(mm2) Lo
(mm) Lt
(mm)
maks
(Mpa)
(%)
E (Mpa)
0 33,21 0,091 100 109,00 364,32 9,00 4504,62 30 21,37 0,056 100 110,70 379,21 10,70 4537,61 60 18,02 0,047 100 110,80 380,27 10,80 6739,76
90 19,98 0,053 100 110,00 380,33 10,00 8333,70 120 18,02 0,047 100 109,60 381,21 9,60 5365,82 150 20,73 0,053 100 107,30 390,01 7,30 9133,05
180 19,59 0,050 100 105,40 393,25 5,40 13453,35 210 18,59 0,047 100 106,00 393,53 6,00 8694,37 240 22,47 0,045 100 105,80 496,75 6,00 18339,45
270 24,23 0,055 100 104,40 438,71 4,40 13728,35 300 18,31 0,043 100 106,20 424,48 6,20 7328,91
Berdasarkan data hasil pengujian kekuatan tarik serat pada Tabel 1 dan
gambar 4 di atas kekuatan tarik yang paling maksimum dimiliki oleh
serat pelepah lontar dengan perlakuan alkali 240 menit. Hal ini
menunjukkan bahwa perlakuan 5% NaOH merupakan perlakuan yang
paling efektif untuk meningkatkan kekuatan tarik serat pelepah lontar.
Perlakuan NaOH ini bertujuan untuk melarutkan lapisan yang
menyerupai lilin di permukaan serat, seperti lignin, hemiselulosa, dan
kotoran lainnya. Dengan hilangnya lapisan lilin ini, jika serat pelepah
lontar ini nantinya digunakan sebagai penguat pada komposit maka
ikatan antara serat dan matrik menjadi lebih kuat, sehingga kekuatan
tarik komposit menjadi lebih tinggi. Namun, perlakuan NaOH yang lebih
lama dapat menyebabkan kerusakan pada unsur selulosa. selulosa ialah
komponen utama dinding sel tumbuhan. Selulosa bersifat seperti
158
serabut, liat, tidak larut di dalam air, dan ditemukan terutama pada
tangkai, batang, dahan, dan semua bagian berkayu dari jaringan
tumbuhan.
Selulosa (C6H10O5)n merupakan karbohidrat utama yang disintesis oleh
tanaman dan menempati hampir 50% komponen penyusun struktur
tanaman yang merupakan penyusun utama dari dinding sel seperti
terlihat pada Gambar 9.7 di bawah ini.
Gambar 9.7 Komposisi Kimia Serat Pelepah Lontar Berdasarkan
Presentase Bahan Kering (Saduk, 2018)
Keterangan : NDS = Neutral Detergent Soluble, Isi Sel (Larut Dalam Air) NDF = Neutral Detergent Fiber, Dinding Sel (Tidak Larut Dalam Air)
ADS = Acid Detergent Soluble ADF = Acid Detergent Fiber
159
Tabel 9.7 Kandungan Kimia Serat Pelepah Lontar
(Fakultas Peternakan-Universitas Brawijaya, 2018)
No Jenis Kandungan
Kimia
Presentase
berdasarkan bahan kering (%)
1 Bahan Kering 88,48 2 NDF 88,87 3 ADF 52,95 4 Hemiselulosa 22,34 5 Selulosa 54,27 6 Silikat 1,06 7 Lignin 1,12
Selulosa menyebabkan tubuh tumbuhan kaku yang disebabkan adanya
ikatan hidrogen dalam penyusunanannya. Selulosa hampir ditemui di
seluruh bagian tumbuhan karena merupakan penyusun utama dari
dinding sel tumbuhan. Selulosa dibentuk oleh tanaman dengan
menghubungkan banyak glukosa bersama-sama dan akhirnya
membentuk molekul panjang yang digunakan untuk membangun
dinding sel tanaman. (Dana George,2010) Karena itu jika perlakuan
alkali yang terlalu lama pada serat akan menghilangkan sejumlah lignin,
lilin dan minyak pada permukaan dinding serat, sehingga terjadi
depolimerisasi pada selulosa dan membuat serat (molekul) lebih
pendek. Sehingga akan merusak struktur selulosa, akibatnya, serat
yang dikenai perlakuan alkali terlalu lama mengalami penurunan
kekuatan tarik. Sebagai akibatnya, serat lontar dengan perlakuan alkali
yang melebihi 4 jam (240 menit) memiliki kekuatan tarik yang lebih
rendah.
160
Pada Gambar 9.8 di bawah ini menunjukkan bahwa modulus elastisitas
serat pelepah lontar yang diberi perlakuan 5% NaOH mengalami
peningkatan pada waktu perendaman serat selama 240 menit dan
setelah lebih dari 240 menit maka terjadi penurunan modulus
elastisitas.
Gambar 9.8 Grafik Modulus Elastisitas vs Perlakuan Alkali 5% NaOH (Saduk, 2018)
Sedangkan pada Gambar 9.9 di bawah ini terlihat bahwa jika perlakuan
NaOH terlalu lama maka regangan mengalami penurunan. Meskipun
pada titik tertentu terlihat ada peningkatan tetapi secara umum
trendnya cenderung menurun.
Gambar 9.9 Grafik Regangan Tarik vs Perlakuan Alkali 5% NaOH (Saduk, 2018)
161
Referensi
1. Badan penelitian dan pengembangan kehutanan kementerian kehutanan, 2019. Lontar (Borassus Flabellifer) sebagai sumber energi bioetanol potensial.
2. Badan Pusat Statistik. 2009. Nusa Tenggara Timur
http://ntt.bps.go.id/index.-areal-dan-produksi-tanamanper kebunan-lontar-menurutkabupaten-kota-2009.
3. Borin, K., 1998. Sugar Palm (Borassusflabilier): Potential Feed
Resource for Livestock in Small-scale Farming System. In: B.S. Hursey, G
4. Callister, W. D., 1991. Material Science and Engineering an Introduction, John Willey and Sons Inc, New York, 1991.
5. E. Idayati, Suparmo, P. Darmadji, 2014. AGRITECH, Vol. 34, No. 3. 6. Eko, D., M, Junus., dan M. Nasich, 2012. Pengaruh Penambahan
Urea
7. Fachry, A.R, 2013. Pembuatan Bietanol dari Limbah Tongkol Jagung Dengan Variasi Konsentrasi Asam Klorida Dan Waktu
Fermentasi. Teknik Universitas Sriwijaya. 8. George, Dana, 2011. What is the Function of Cellulose?
http://www.ehow.com/about_4673591_What-Function-
Cellulose.html. Diakses 22 Pebruari 2011. 9. Gibson, F.R., 1994. Principles of Composite material Mechanis,
International Edition”, McGraw-Hill Inc, New York. 10. Ginting, SP., Mahmilia F. Elieser S., Batubara LP., Krisnan R., 2005.
Tinjauan Hasil Penelitian Pengembangan Pakan Alternatif dan Persilangan Kambing Potong. Seminar Nasional Teknologi Peternakan Dan Veteriner
11. Gomez dan Gomez, 2010. Prosedur Statistik Untuk Penelitian Pertanian Edisi Kedua. Penerbit Universitas Indonesia.
12. Harper, A. C.,1996. Handbook of Plastics, Elastomers and Composites.
13. Hoefnagels-Fraser,Y. Cheneau, J. Phelan, S. Dewan, H. Steinfeld
(Eds.)
14. Jacobs, J.A. Kilduft T.K., 1994. Engineering Material Technology Structure, Processing, Property and Selection 2. Prentice Hall,Inc A
Simon Schuster Company, USA.
162
15. Lempang ,M. Asdar,M, dan Limbong, A., 2009. Ciri anatomi, sifat fisis dan mekanis, dan kegunaan batang lontar. Jurnal Penelitian
Hasil Hutan Vol. .27 No.21 ,Maret 2009, 38 – 52. 16. Lutony, T.L., 1993. Tanaman Sumber Pemanis . PT. Penebar
Swadaya, Jakarta. Hal.:113-120. 17. Mahmud,Z dan Amrizal, 1991. Palma sebagai bahan pangan , pakan
dan konservasi . Buletin Baltika No.14:106-113 . Balai penelitian kelapa, Menado.
18. Mahmud, Z., Allorerung D dan Amrizal, 1991. Prospek tanaman kelapa, aren, lontar dan gewang, untuk menghasilkan gula. Buletin Balitka No. 14 Thn. 1991 hlm. 90 – 105. Balai Penelitian Kelapa.
Manado. 19. M. Atasina, K. Boimau, J. U. Jasron, 2014. LONTAR. Jurnal Teknik
Mesin Undana, Vol. 01, No. 02.
20. Saragi, Deli Natalia, 2007. Pembuatan dan Karekterisasi Genteng Beton yang Dibuat dari Pulp Serat Daun Nenas-Semen Portland Pozolan. Tugas Akhir. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sumatera Utara.
21. Smith, W.F., 1996. Priciples of Materials Science and Engineering, 2nd ed, Mc Graw-Hil, Singapore.
22. Surdia, T., 2000. Pengetahuan Bahan Teknik, Pradnya Paramita.
Jakarta. 23. Susanto, T., 1994. Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian. Bina
Ilmu. Surabaya. 24. Tilman, A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo
dan S. Lebdosoekojo, 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
25. Utomo, R., 2012. Bahan Pakan Berserat Untuk Sapi. Penerbit PT
Citra Aji Prama. Yogyakarta 26. Vallo Claudia, Jose M. Kenny, Analia Vazquez and Viviana P. Cyras,
2004. Reinforced with Sisal Fibre Effect of Chemical Treatment on the Mechanical Properties of Starch-Based Blends. Journal of
Composite Materials 2004; 38; 1387. DOI: 10.1177/ 0021998304042738.
27. Wijanarko, S.,2008. Siwalan dan Kandungan niranya. http://simonb
widjanarko.word press.com/2008/06/28/siwalan-dan kandungan-nira-nya.
163
BAB 10
JAGUNG
10.1 Tanaman Jagung
Jagung merupakan tanaman serealia yang paling produktif di dunia,
sesuai ditanam di wilayah bersuhu tinggi, dan pematangan tongkol
ditentukan oleh akumulasi panas yang diperoleh tanaman. Luas
pertanaman jagung di seluruh dunia lebih dari 100 juta ha, menyebar
di 70 negara, termasuk 53 negara berkembang. Penyebaran tanaman
jagung sangat luas karena mampu beradaptasi dengan baik pada
berbagai lingkungan. Jagung tumbuh baik di wilayah tropis hingga 50°
LU dan 50° LS, dari dataran rendah sampai ketinggian 3.000 m di atas
permukaan laut (dpl), dengan curah hujan tinggi, sedang, hingga
rendah sekitar 500 mm per tahun (Dowswell et al. 1996). Pusat
produksi jagung di dunia tersebar di negara tropis dan subtropis.
Tanaman jagung tumbuh optimal pada tanah yang gembur, drainase
baik, dengan kelembaban tanah cukup, dan akan layu bila kelembaban
tanah kurang dari 40% kapasitas lapang, atau bila batangnya terendam
air. Pada dataran rendah, umur jagung berkisar antara 3-4 bulan, tetapi
di dataran tinggi di atas 1000 m dpl berumur 4-5 bulan. Umur panen
jagung sangat dipengaruhi oleh suhu, setiap kenaikan tinggi tempat 50
m dari permukaan laut, umur panen jagung akan mundur satu hari
(Hyene 1987).
164
Areal dan agroekologi pertanaman jagung sangat bervariasi, dari
dataran rendah sampai dataran tinggi, pada berbagai jenis tanah,
berbagai tipe iklim dan bermacam pola tanam. Tanaman jagung dapat
ditanam pada lahan kering beriklim basah dan beriklim kering, sawah
irigasi dan sawah tadah hujan, toleran terhadap kompetisi pada pola
tanam tumpang sari, sesuai untuk pertanian subsistem, pertanian
komersial skala kecil, menengah, hingga skala sangat besar. Suhu
optimum untuk pertumbuhan tanaman jagung rata-rata 26-300C dan
pH tanah 5,7-6,8 (Subandi et al. 1988). Produksi jagung berbeda
antardaerah, terutama disebabkan oleh perbedaan kesuburan tanah,
ketersediaan air, dan varietas yang ditanam. Variasi lingkungan tumbuh
akan mengakibatkan adanya interaksi genotipe dengan lingkungan
(Allard and Brashaw 1964), yang berarti agroekologi spesifik
memerlukan varietas yang spesifik untuk dapat memperoleh
produktivitas optimal.
10.1.1 Asal Tanaman Jagung
Banyak pendapat dan teori mengenai asal tanaman jagung, tetapi
secara umum para ahli sependapat bahwa jagung berasal dari Amerika
Tengah atau Amerika Selatan. Jagung secara historis terkait erat
dengan suku Indian, yang telah menjadikan jagung sebagai bahan
makanan sejak 10.000 tahun yang lalu.
165
1. Teori Asal Asia
Tanaman jagung yang ada di wilayah Asia diduga berasal dari
Himalaya. Hal ini ditandai oleh ditemukannya tanaman keturunan jali
(jagung jali, Coix spp.) dengan famili Andropogoneae. Kedua spesies
ini mempunyai lima pasang kromosom. Namun teori ini tidak mendapat
banyak dukungan.
2. Teori Asal Andean
Tanaman jagung berasal dari dataran tinggi Andean Peru, Bolivia, dan
Ekuador. Hal ini didukung oleh hipotesis bahwa jagung berasal dari
Amerika Selatan dan jagung Andean mempunyai keragaman genetik
yang luas, terutama di dataran tinggi Peru. Kelemahan teori ini adalah
tidak ditemukan kerabat liar jagung seperti teosinte di dataran tinggi
tersebut. Mangelsdorf seorang ahli biologi evolusi yang mengkhususkan
perhatian pada tanaman jagung menampik hipotesis ini.
3. Teori Asal Meksiko
Banyak ilmuwan percaya bahwa jagung berasal dari Meksiko, karena
jagung dan spesies liar jagung (teosinte) sejak lama ditemukan di
daerah tersebut, dan masih ada di habitat asli hingga sekarang. Hal ini
juga didukung oleh ditemukannya fosil tepung sari dan tongkol jagung
dalam gua, dan kedua spesies mempunyai keragaman genetik yang
luas. Teosinte dipercaya sebagai nenek moyang (progenitor) tanaman
jagung.
166
Jagung telah dibudidayakan di Amerika Tengah (Meksiko bagian
selatan) sekitar 8.000-10.000 tahun yang lalu. Dari penggalian
ditemukan fosil tongkol jagung dengan ukuran kecil, yang diperkirakan
usianya mencapai sekitar 7.000 tahun. Menurut pendapat beberapa ahli
botani, teosinte (Zea mays sp. Parviglumis) sebagai nenek moyang
tanaman jagung, merupakan tumbuhan liar yang berasal dari lembah
Sungai Balsas, lembah di Meksiko Selatan. Bukti genetik, antropologi,
dan arkeologi menunjukkan bahwa daerah asal jagung adalah Amerika
Tengah dan dari daerah ini jagung tersebar dan ditanam di seluruh
dunia.
Proses domestikasi teosinte telah berlangsung paling tidak 7.000 tahun
yang lalu oleh penduduk asli Indian, dibarengi oleh terjadinya mutasi
alami dan persilangan antar subspesies, sehingga masuk gen-gen dari
subspesies lain, di antaranya dari Zea mays sp. Mexicana. Karena
adanya proses persilangan alamiah tersebut menjadikan jagung tidak
lagi dapat hidup secara liar di habitat hutan, karena memerlukan sinar
matahari penuh. Hingga kini diperkirakan terdapat 50.000 varietas
jagung, baik varietas lokal maupun varietas unggul hasil pemuliaan.
Sifat tanaman jagung yang menyerbuk silang memungkinkan
terjadinya perubahan komposisi genetik secara dinamis. Varietas lokal
terbentuk melalui proses isolasi genotipe yang mengalami aklimatisasi
dan adaptasi terhadap agroklimat spesifik.
167
10.1.2 Evolusi Tanaman Jagung
Menurut ahli biologi evolusi, jagung yang ada sekarang telah
mengalami evolusi dari tanaman serealia primitif, yang bijinya terbuka
dan jumlahnya sedikit, menjadi tanaman yang produktif, biji banyak
pada tongkol tertutup, mempunyai nilai jual yang tinggi, dan banyak
ditanam sebagai bahan pangan. Nenek moyang tanaman jagung masih
menjadi kontroversi, ada tiga teori yang mengatakan tanaman jagung
berasal dari pod corn, kerabat liar jagung tripsacum dan teosinte.
Mangelsdorf mengatakan pod corn sebagai nenek moyang tanaman
jagung merupakan tanaman liar yang terdapat di dataran rendah
Amerika Utara. Teosinte merupakan hasil persilangan antara jagung
dan tripsacum. Namun teori ini juga hilang karena tidak didukung oleh
data sitotaksonomi dan sitogenetik dari jagung dan teosinte. Menurut
Weatherwax (1954, 1955) dan Mangelsdorf (1974), nenek moyang
tanaman jagung berasal dari tanaman liar di dataran tinggi Meksiko
atau Guatemala, namun teori ini juga tidak bertahan lama. Randolph
(1959) mengemukakan bahwa nenek moyang tanaman jagung berasal
dari kerabat liar tanaman jagung. Sebelum jagung primitif teosinte dan
tripsacum ditemukan, tanaman liar jagung banyak digunakan dan
dibudidayakan. Menurut Longley (1941), jagung merupakan mutasi dan
seleksi secara alami dari teosinte. Biji teosinte terbungkus berbentuk
buah yang keras. Komponen buah ini sama dengan buah jagung, tapi
dalam perkembangannya terjadi evolusi, sehingga tidak terbungkus
seperti teosinte, dan berubah menjadi tongkol.
168
Doebly dan Stec (1991,1993), Doebly et al. (1990), dan Dorweiler et al.
(1993) melakukan penelitian dan menguraikan serta memetakan
secara genetik dengan quantitative trait loci (QTL) tga1 (teosinte glume
architecture 1), yang menunjukkan kunci perbedaan teosinte dan
jagung. Apabila QTL dari jagung, tga1, ditransfer ke teosinte, intinya
tidak berpegang erat dalam cupule dan terpisah. Percobaan sebaliknya,
tga1 teosinte ditransfer ke tanaman jagung, glume menjadi lebih
indurate dan berkembang seperti karakter teosinte. Penemuan lokus
tga1 merupakan salah satu bukti evolusi dari bentuk teosinte menjadi
jagung. Hal itu juga menggambarkan terjadinya perubahan adaptasi
baru, perkembangannya ditentukan oleh satu lokus dan proses
perubahan itu merupakan bukti yang kuat (Orr and Coyne 1992). Iltis
dan Doebley (1980) mengemukakan bahwa jagung dan teosinte adalah
dua subspesies dari Zea mays, tetapi pandangan ini tidak diterima
secara luas oleh pemulia jagung.
Beberapa ilmuwan tidak setuju dengan teori jagung berasal melalui
proses evolusi dari teosinte dan lebih percaya teori jagung berasal dari
kerabat liar jagung. Oleh karena itu, Wilkes (1979) serta Wilkes dan
Goodman (1995) meringkas teori asal usul tanaman jagung menjadi
empat aliran sebagai berikut:
a. Evolusi jagung liar teosinte langsung menjadi jagung modern
melalui proses persilangan dan fiksasi genetik (genetic shift).
b. Jagung dan teosinte berasal dari nenek moyang yang sama, dan
terpisah selama proses evolusi menjadi teosinte dan jagung.
c. Terjadi kemajuan genetik dari teosinte menjadi jagung.
169
d. Terjadi persilangan antara teosinte dengan rumput liar,
keturunannya menjadi jagung.
Gambar 10.1 Empat Aliran Teori Asal-Usul Tanaman Jagung (serta Wilkes dan Goodman, 1995)
Plasma nutfah teosinte telah masuk (introgressed) secara ekstensif ke
dalam genome jagung selama masa evolusi beribu-ribu tahun, dan
keturunannya menyebar di Meksiko. Dari bukti genetik yang ada
disimpulkan bahwa nenek moyang tanaman jagung melibatkan teosinte
yang telah mengalami mutasi beberapa loci utama. Perubahan telah
terjadi, dari rumput menjadi tanaman produktif berbentuk tongkol
berisi butiran yang dapat dimakan. Perubahan sejak awal abad XX
170
dipercepat melalui proses seleksi oleh pemulia jagung, sehingga
diperoleh bentuk tanaman jagung modern dan varietas unggul. Hingga
sekarang tidak ada bukti yang nyata telah terjadi introgresi gen dari
Maydeae ke jagung. Persilangan spesies Coix dengan jagung juga tidak
berhasil. Transfer gen dari sorgum (famili Andropogoneae) melalui
persilangan juga belum berhasil, yang berarti tidak ada hubungan
genetik antara jali dan sorgum dengan tanaman jagung.
Teosinte dan jagung adalah individu yang secara genetik terpisah, gen
untuk toleran cekaman abiotik dari teosinte dapat ditransfer ke jagung.
Kromosom teosinte di tingkat genom berbeda dengan kromosom
jagung. Gallinat (1988) percaya telah terjadi transformasi, dari teosinte
menjadi jagung karena bantuan manusia, dan variabilitas genetik baru
pada populasi teosinte masuk ke genom tanaman jagung. Penemuan
tanaman liar perennial teosinte (Zea diploperennis) membuka berbagai
kemungkinan hubungan teosinte dengan jagung.
Tripsacum termasuk kerabat liar jagung, bukan turunan persilangan
dengan teosinte maupun jagung. Tripsacum merupakan satu-satunya
genus yang telah disilangkan dengan jagung dan keturunannya dapat
tumbuh sampai dewasa dan berbuah. Kemungkinan spesies ini diploid
dengan 36 kromosom. De Wet dan Harlan (1974, 1978) dan Leblanc et
al. (1995) melaporkan persilangan antara jagung dengan beberapa
tetraploid spesies tripsacum. Kromosom tripsacum dapat diganti oleh
kromosom jagung dan introgresi gen-gen antarjagung dan tripsacum
telah terjadi sejak lama.
171
Dalam analisis genetika modern, genus tripsacum berkaitan dengan
tanaman jagung, sehingga jagung merupakan spesies dari Tripsaceae.
Evolusi dan penyebaran tanaman jagung sangat ditentukan oleh
manusia. Dalam periode antara 5.000 SM dan 1.000 M terjadi mutasi
alami dan persilangan antara kelompok jagung, serta proses
aklimatisasi dan seleksi spesifik oleh petani, terutama dari aspek
ukuran, warna, dan karakteristik biji. Jagung berkembang dari tanaman
yang kecil, tongkol terbuka, menjadi tanaman yang mempunyai banyak
baris (multi rows), produksi tinggi dan kelobot tertutup, sehingga
memerlukan bantuan manusia untuk memisahkan biji dari tongkolnya
untuk tumbuh dan berkembang.
Pada sekitar tahun 1.000 M, tanaman jagung tradisional telah
berkembang menjadi tanaman jagung modern. Umumnya
pengembangan tanaman dilakukan dengan seleksi secara sederhana,
dengan mempertahankan tongkol yang diinginkan dan benihnya
ditanam pada musim berikutnya. Keragaman antartongkol dipengaruhi
oleh lingkungan, sehingga mengaburkan perbedaan genetik dalam
hasil, tinggi tanaman, dan karakter kuantitatif lainnya, sehingga seleksi
berdasarkan karakter ini belum mampu mempercepat peningkatan hasil
biji.
Penelitian filogenetik menunjukkan bahwa jagung merupakan
keturunan langsung dari teosinte (Zea mays ssp. Parviglumis). Seperti
jagung, teosinte mempunyai 10 pasang kromosom, yang secara
sitogenetik sama dengan jagung dan persilangannya menghasilkan
keturunan yang fértil.
172
Persamaan jagung dan teosinte:
1. Keduanya mempunyai bunga jantan terpisah berupa tassel yang
terletak di atas tongkol dan bunga betina terletak pada cabang
lateral bagian samping (ketiak daun).
2. Keduanya mempunyai 10 pasang kromosom.
3. Persilangan jagung dengan teosinte menghasilkan keturunan yang
fertil.
Perbedaan jagung dan teosinte:
Perbedaan yang spesifik terutama pada organ betinanya.
Jagung (Zea mays sp.)
- Tongkol tertutup oleh
kelobot, biji tidak mudah
lepas dari tongkol
- Tongkol terdiri atas banyak
baris biji (nulti rows)
- Bijinya penuh mengelilingi
janggel dan terbungkus
kelobot
Teosinte (Zea mexicana sp.)
- Biji jatuh sendiri jika sudah
matang
- Tongkol kecil, terdiri atas
enam baris biji atau lebih
- Setiap biji terbungkus oleh
glume dan kelobot yang
keras (cupule)
Manusia sangat berperan dalam menyeleksi karakter-karakter pada
teosinte sampai menjadi jagung modern seperti yang dikenal sekarang.
Dihabitat asalnya (Meksiko), teosinte tumbuh liar dan disebut sebagai
madre de maiz atau ibu tanaman jagung, lihat Gambar 10.2.
173
Gambar 10.3 Teosinte (Zea mexicana) (www.Job’s Tears.htm, 2007)
Keterangan: A. Bunga jantan (tassel)
B. Bunga betina (tongkol) C. Kelobot tongkol terbuka memperlihatkan satu barisan biji
D. Daun tertarik, memperlihatkan dua tongkol E. Daun
Pada Gambar 10.4 terlihat tongkol teosinte yang terbungkus kelobot,
sebaris biji teosinte yang terbungkus copule dan barisan bijinya terdiri
atas tujuh biji. Teosinte mempunyai tongkol yang lebih kecil
dibandingkan dengan tongkol jagung modern. Tongkol jagung modern
terbungkus oleh kelobot. Bunga betina jagung modern berbentuk
serabut, biasa disebut silk, bunga betina ditutup oleh kelobot dan di
dalamnya terdapat barisan biji.
174
Gambar 10.4 Tongkol teosinte dan tongkol jagung modern (www.Job’s Tears.htm, 2007)
Gambar 10.5 Tassel yang memproduksi pollen pada teosinte dan jagung modern
(www.Job’s Tears.htm, 2007)
175
Bunga jantan berupa tassel pada teosinte maupun jagung terletak di
bagian atas dan memproduksi pollen atau serbuk sari (Gambar 10.5).
Produksi serbuk sari ditandai oleh pecahnya kantong sari pada tassel,
dan bila bunga betina sudah berambut maka penyerbukan akan
berlangsung.
Salah satu hipotesis yang menjelaskan teosinte merupakan nenek
moyang tanaman jagung adalah dengan melihat perubahan barisan biji
teosinte yang mengalami seleksi oleh alam dan manusia serta mutasi
tunicate menjadi tanaman jagung jenis pod corn.
Pada awalnya biji teosinte tersusun dalam satu baris tunggal. Setiap biji
terbungkus oleh kelobot yang keras (cupule) dan sepasang glume
(Gambar 10.6). Satu baris biji ini seperti satu tongkol pada jagung
modern. Pembungkus cupule sangat keras sehingga sulit dibuka,
mungkin hal ini yang menyebabkan teosinte membuang sendiri bijinya
jika sudah dewasa. Biji-biji teosinte keras, endospermnya mengkilap
seperti endosperm pada jagung pop corn. Jika dipanaskan, kandungan
airnya menguap dan zat pati dalam endosperma akan meletus.
Gambar 10.6 Susunan biji teosinte. (www.Job’s Tears.htm, 2007)
176
Gambar 10.7 Biji-biji yang terbungkus oleh sepasang glume (tanpa cupule)
(www.Job’s Tears.htm, 2007)
Gambar 10.7 memperlihatkan barisan biji teosinte mengalami mutasi
tunicate, di mana biji-bijinya hanya terbungkus oleh glume (tanpa
cupule). Biji-biji yang terbungkus oleh glume mudah pecah. Seleksi
yang dilakukan oleh petani Columbia untuk mengurangi ukuran glume
tunicate menghasilkan tongkol dengan banyak barisan biji yang dapat
dimakan. Setiap biji pada tongkol terbungkus oleh glume dan
tongkolnya juga terbungkus oleh kelobot. Jenis jagung ini dikenal
sebagai pod corn (Gambar 10.8). Pod corn kemudian ditanam dan
diseleksi lebih lanjut sehingga menghasilkan jagung modern seperti
yang dikembangkan saat ini.
Gambar 10.8 Barisan biji pada pod corn.
(www.Job’s Tears.htm, 2007)
177
Warna biji jagung bermacam-macam, merah, ungu, kuning, dan putih.
Kadang-kadang ada biji jagung yang berwarna ungu dengan titik-titik
yang berwarna putih. Titik warna putih pada biji jagung tidak sesuai
dengan prinsip genetika Mendel. Mungkin individu ini mempunyai biji-
biji yang banyak warna, bukan satu warna. Hal ini merupakan
penjelasan dari terjadinya transpose gen atau jumping (pelompatan)
gen.
10.1.3 Penyebaran tanaman Jagung
Berdasarkan bukti genetik, antropologi, dan arkeologi diketahui bahwa
daerah asal tanaman jagung adalah Amerika Tengah (Meksiko bagian
selatan), kemudian dibawa ke Amerika Selatan (Ekuador) sekitar 7.000
tahun yang lalu, dan mencapai daerah pegunungan di selatan Peru
sekitar 4.000 tahun yang lalu.
Sejak 1.000 tahun yang lalu, petani di Meksiko telah menyeleksi
tanaman jagung, termasuk memilih tongkol yang besar untuk ditanam
pada musim berikutnya. Seleksi tongkol yang besar ini digunakan untuk
memelihara kemurnian jagung yang diinginkan. Di dataran tinggi
Meksiko yang dikenal sebagai pusat jagung terdapat suatu upacara
keagamaan setelah panen, para petani membawa tongkol jagung.
Petani yang membawa tongkol jagung yang paling besar dan terbaik
diberi penghargaan dan paling dihormati dalam upacara ini. Dari
Meksiko dan Amerika Tengah, jagung tersebar ke Amerika Latin,
Karibia, dan Amerika Utara, yang dikembangkan oleh orang Indian.
178
Colombus menemukan jagung di Kuba pada tahun 1492 dan
membawanya ke Spanyol untuk dikembangkan. Colombus juga
kemungkinan membawa biji jagung Carribean tipe mutiara ke Spanyol
pada tahun 1493. Kemudian penjelajah dari Eropa Selatan membawa
jagung ke Eropa Barat dan pada akhir tahun 1500an, jagung sudah
ditanam di hampir seluruh Eropa seperti Italia dan Perancis bagian
selatan. Di Eropa, kira-kira selama 100 tahun pada abad XVI, jagung
banyak dikonsumsi sebagai sayur dan merupakan tanaman komersial.
Sekitar awal tahun 1500an, pedagang Portugis membawa jagung ke
Afrika. Awalnya jagung tidak mendapat perhatian, baru pada tahun
1700 an menjadi tanaman yang populer di Afrika Barat dan Tengah,
khususnya di Kongo, Benin, dan Nigeria bagian barat. Pedagang
Portugis dan pedagang Arab dari Zanzibar membawa jagung ke Asia
Selatan melalui darat dan laut pada awal tahun 1500an, kemudian
memperkenalkan jagung di pesisir pantai India bagian barat dan
Pakistan bagian barat laut. Para pedagang juga memperkenalkan
jagung di daerah pegunungan Himalaya. Anderson (1945) serta Stonor
dan Anderson (1949) mengklaim bahwa Himalaya merupakan pusat
kedua asal tanaman jagung. Beberapa bentuk tanaman jagung
ditemukan di daerah Sikkim dan Bhuton Himalaya dan tidak ditemukan
di tempat lain, seperti jagung tradisional Sikkim.
Jagung mulai berkembang di Asia Tenggara pada pertengahan tahun
1500an dan pada awal tahun 1600 an, yang berkembang menjadi
tanaman yang banyak dibudidayakan di Indonesia, Filipina, dan
179
Thailand. Ada pendapat, jagung telah ada di Filipina sebelum Magellan
tiba di negara ini, pada tahun 1521.
Gambar 10.9 Biji jagung pod corn mirip biji teosinte
(www.Job’s Tears.htm, 2007)
Gambar 10.10 Warna dan biji jagung modern.
(www.Job’s Tears.htm, 2007)
Pada pertengahan tahun 1700an, tanaman jagung secara luas tumbuh
di Cina, di selatan Fukien, Hunan, dan Szechwan. Populasi jagung
berkembang dengan cepat sejak abad 18. Di Cina, jagung diperlukan
180
untuk bahan makanan, terutama di bagian utara, dan dari sini tanaman
jagung menyebar ke Korea dan Jepang. Suto dan Yoshida (1956)
melaporkan jagung diperkenalkan di Jepang sekitar tahun 1580an oleh
Pelaut Portugis. Kurang dari 300 tahun sejak 1.500 M, tanaman jagung
telah tersebar di seluruh dunia dan menjadi bahan makanan penting
bagi kebanyakan penduduk di berbagai negara di dunia (Dowswell et
al. 1996).
Gambar 10.11 Tanaman jagung modern.
(www.Job’s Tears.htm, 2007)
10.1.4 Taksonomi Tanaman Jagung
1. Klasifikasi Tanaman Jagung
Jagung merupakan tanaman semusim determinat, dan satu siklus
hidupnya diselesaikan dalam 80-150 hari. Paruh pertama dari siklus
merupakan tahap pertumbuhan vegetatif dan paruh kedua untuk
181
pertumbuhan generatif. Tanaman jagung merupakan tanaman tingkat
tinggi dengan klasifikasi sebagai berikut:
- Kingdom : Plantae
- Divisio : Spermatophyta
- Sub divisio : Angiospermae
- Class : Monocotyledoneae
- Ordo : Poales
- Familia : Poaceae
- Genus : Zea
- Spesies : Zea mays L.
2. Jenis-Jenis Jagung
Jenis jagung dapat diklasifikasikan berdasarkan: (i) sifat biji dan
endosperm, (ii) warna biji, (iii) lingkungan tempat tumbuh, (iv) umur
panen, dan (v) kegunaan.
Jenis jagung berdasarkan lingkungan tempat tumbuh meliputi: (i)
dataran rendah tropik (<1.000 m dpl), (ii) dataran rendah subtropik
dan mid-altitude (1.000-1.600 m dpl), dan (iii) dataran tinggi tropik
(>1.600 m dpl). Jenis jagung berdasarkan umur panen dikelompokkan
menjadi dua yaitu jagung umur genjah dan umur dalam. Jagung umur
genjah adalah jagung yang dipanen pada umur kurang dari 90 hari,
jagung umur dalam dipanen pada umur lebih dari 90 hari.
Sejalan dengan perkembangan pemuliaan tanaman jagung, jenis
jagung dapat dibedakan berdasarkan komposisi genetiknya, yaitu
182
jagung hibrida dan jagung bersari bebas. Jagung hibrida mempunyai
komposisi genetik yang heterosigot homogenus, sedangkan jagung
bersari bebas memiliki komposisi genetik heterosigot heterogenus.
Kelompok genotipe dengan karakteristik yang spesifik (distinct),
seragam (uniform), dan stabil disebut sebagai varietas atau kultivar,
yaitu kelompok genotipe dengan sifat-sifat tertentu yang dirakit oleh
pemulia jagung. Diperkirakan di seluruh dunia terdapat lebih dari
50.000 varietas jagung.
10.2 Potensi Limbah Jagung
Potensi limbah jagung yang dapat dijadikan produk yang dapat
meningkatkan nilai tambah terdapat pada kulit jagung dan tongkoll
jagung karena kedua limbah tersebut banyak mengandung serat dan
selulosa.
10.2.1 Kulit Jagung
Jagung merupakan salah satu sumber karbohidrat yang dikonsumsi
masyarakat Indonesia. Produksi jagung di Indonesia cukup besar
bahkan mengalami peningkatan setiap tahunnya. Menurut data Badan
Pusat Statistik (BPS), produksi jagung di Indonesia pada tahun 2015
sebesar 19,61 juta ton. Produksi jagung yang cukup besar ini
menimbulkan dampak pada jumlah limbah pertanian, dalam hal ini
limbah jagung yang dihasilkan. Dari hasil panen buah jagung, bobot
limbah kulit jagung berkisar antara 38,38% (Sumarwan, 2016).
183
Selama ini, kulit jagung yang ada belum dimanfaatkan secara
maksimal. Kulit jagung hanya dimanfaatkan sebagai pakan ternak,
pembungkus makanan tradisional, dan kerajinan tradisional. Untuk
memaksimalkan potensi kulit jagung yaitu memanfaatkan selulosa dari
kulit jagung. Seperti yang diketahui bahwa komposisi kimia terbesar
dalam kulit jagung adalah selulosa yaitu sekitar 42% (Ginting, 2016).
Gambar 10.12 Kulit jagung modern.
(www.Job’s Tears.htm, 2007)
184
10.2.2 Tongkol Jagung
Tongkol jagung merupakan bagian dari buah jagung yang telah diambil
bijinya. Kandungan terbesar dari tongkol jagung adalah serat (fiber),
kemudian selulosa dan hemiselulosa. Kandungan serat yang tinggi ini
menyebabkan tongkol jagung memilki kecernaan yang rendah saat
digunakan untuk pakan ternak. Proses fermentasi seringkali dilakukan
untuk meningkatkan kecernaan tongkol jagung sebagai bahan baku
pakan ternak (Rosita and Safitri, 2012).
Berdasarkan kandungan lignoselulosa, tongkol jagung memiliki
kandungan selulosa 42%, hemiselulosa 33% dan lignin 18% (Saha,
2003; Schwietzke et al.,2009). Kandungan selulosa yang cukup tinggi
pada tongkol jagung ini berpotensi untuk dikembangkannya konversi
selulosa dari tongkol jagung menjadi senyawa lain yang lebih bernilai
ekonomis. Tongkol jagung bisa digunakan sebagai bahan baku
pembuatan asam sitrat dengan cara enzimatis (Hang et al., 2001),
pembuatan gula (Hang et al., 1999) dan pembuatan etanol dari
hidrolisatnya (Beall and Ingram, 1992; Chen et al., 2010; Lima et al.,
2002; Syawala et al., 2013). Ashour et al., (2013) menemukan bahwa
selain sebagai bahan baku untuk pembuatan senyawa-senyawa kimia
diatas, tongkol jagung juga berpotensi untuk menghasilkan senyawa
metabolit sekunder, diantaranya fenilpropanoids, flavonoid (tricin dan
kaemferol) dan 4 senyawa sterol tumbuhan.
Tongkol jagung telah dikembangkan juga untuk proses produksi gula
alkohol, pada umumnya dilakukan proses konversi hemiselulosa
185
tongkol jagung menjadi xylitol menggunakan mikroba (Fairus et al.,
2013; Latif and Rajoka, 2001; Rivas et al., 2002).
Gambar 10.13 Tongkol jagung modern.
(www.Job’s Tears.htm, 2007)
10.3 Pemanfaatan Limbah Jagung
Seiring dengan semakin meningkatnya produksi jagung, maka tidak
dapat dipungkiri bahwa keberadaan limbah hasil pengolahan jagung
juga akan semakin meningkat. Limbah yang dihasilkan diantaranya
adalah kulit jagung dan tongkol jagung.
Tongkol jagung yaitu bagian dari buah jagung yang sudah tidak
mengandung biji. Sebagian besar masyarakat hanya menganggap
tongkol jagung sebagai sampah atau sebagai pakan ternak yang tidak
186
memiliki nilai tambah. Begitu juga limbah kulit jagung masih
dimanfaatkan untuk pakan ternak yang juga dianggap tidak
mempunyai nilai tambah.
Dari permasalahan inilah sehingga muncul pemikiran untuk
memanfaatkan limbah kuli dan tongkol jagung untuk diolah menjadi
produk yang dapat menjadi nilai tambah karena kedua limbah tersebut
mengandung selulosa yang cukup banyak untuk diolah menjadi produk
yang lebih bermanfaat. Sebagai contoh limbah-limbah tersebut dapat
dijadikan bioetanol dan pulp bahan untuk pembuatan kertas.
10.3.1 Pemanfaatan Tongkol Jagung Untuk Produk Kesehatan
(Pembalut Wanita)
Model pembalut berkembang dari masa ke masa. Pada awalnya ada
pembalut yang menggunakan sabuk, ada juga pembalut yang sangat
tebal karena bahan penyerapnya tidak efektif. Tetapi sekarang,
pembalut yang digunakan adalah pembalut yang berperekat dan tipis.
Bahan utama pembalut pun bermacam-macam dari mulai serbuk kayu,
kain wol, katun, kapas, hingga daur ulang kertas (Anonim, 2013).
Mengingat pembalut merupakan sesuatu yang penting bagi kaum
wanita, maka kaum wanita harus berhati-hati dalam memilih pembalut,
karena pada umumnya pembalut yang beredar di pasaran saat ini
berbahan dasar dari daur ulang kertas yang pada proses yang dapat
menimbulkan zat kimia berbahaya yaitu dioxin. (Anonim, 2013)
187
Dioxin dihasilkan dari zat aditif yang ditambahkan pada tahap bleaching
tersebut. Dioxin atau Polychlorinated dibenzodioxin (PCDDs)
merupakan senyawa beracun yang dapat mempengaruhi sejumlah
organ dan sistem dalam tubuh manusia. Dioxin bertahan lama dalam
tubuh manusia karena stabilitas kimia dan kemampuan dioxin untuk
diserap oleh jaringan lemak, di mana mereka kemudian disimpan dalam
tubuh. Selain itu, dioxin juga akan menyerap ke dalam rahim melalui
serviks sehingga dapat menyebabkan kanker serviks, gatal-gatal,
myoma dan lain-lain. Oleh karena itu, untuk menghindari terbentuknya
dioxin, tahap bleaching tidak perlu dilakukan, tetapi dapat diatasi
dengan mengganti bahan baku pembalut dengan bahan lain (Alviyah
Ibnu Aqil, 2012).
Pemanfaatan jagung saat ini sangat beraneka ragam mulai bahan
pangan hingga bioenergi. Buah jagung terdiri dari 30% limbah yang
berupa bonggol jagung. Sehingga dari jumlah limbah tersebut dapat
dikatakan cukup banyak dan akan menjadi sangat potensial jika dapat
dimanfaatkan secara tepat (Gozan, 2007).
Limbah bonggol jagung sebanyak 30% dari berat total jagung
(Koswara, 1991) merupakan salah satu sumber lignoselulosa yang
ketersediaannya cukup melimpah. Sebagai contoh produksi jagung di
Sulawesi Selatan mencapai 1,28 juta ton/tahun (BPS,2011). Jadi kalau
dihitung maka limbahnya sebanyak 384.000 ton/tahun. Ini merupakan
potensi sebagai bahan baku untuk pembuatan produk yang lebih
bermanfaat (pembalut wanita).
188
Tabel 10.1 Komposisi ligninselulosa dari beberapa limbah pertanian (Johnson, 1991)
Kandungan % Jumlah Nutrisi %
Air 9,4 Protein, N x 6,25 2,5 Selulosa 41 Lemak, Ester dll. 0,5
Hemiselulosa 36 Serat Kasar 32 Xilan 30 Abu 1,5 Lignin 6 Ekstrak Nitrogen Bebas 53,5
Pektin 3 Neutral Ditergen Fiber 83 Pati 0,014 Total Nutrien dapat dicerna 42
Bonggol jagung merupakan limbah yang belum banyak dimanfaatkan.
Padahal, bonggol jagung memiliki kandungan selulosa yang cukup
tinggi (Johnson, 1991). Kandungan selulosa yang cukup tinggi ini
membuat bonggol jagung dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembuat
pulp yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembalut yang lebih
aman.
Pada umumnya pembalut yang beredar di pasaran saat ini berbahan
dasar dari daur ulang kertas yang pada proses pengolahannya
dilakukan tahap bleaching yang dapat menimbulkan zat kimia
berbahaya yaitu dioxin. Dioxin dihasilkan dari zat aditif yaitu gas klorin,
sodium hidroksida, kalsium hipoklorit, hidrogen peroksida, klorin
dioksida, dan sodium peroksidayang ditambahkan pada tahap
bleaching tersebut. Dioxin atau Polychlorinated dibenzodioxin (PCDDs)
merupakan senyawa beracun yang dapat mempengaruhi sejumlah
organ dan sistem dalam tubuh manusia. Dioxin bertahan lama dalam
tubuh manusia karena stabilitas kimia dan kemampuan dioxin untuk
diserap oleh jaringan lemak, di mana mereka kemudian disimpan dalam
tubuh. Selain itu, dioxin juga akan menyerap ke dalam rahim melalui
189
serviks sehingga dapat menyebabkan kanker serviks, gatal-gatal,
myoma dan lain-lain (Anonim, 2013).
Gambar 10.14 Struktur Dioxin
Sebelum dibuat pembalut wanita, tongkol janggung terlebih dahulu
dibuat pulp, adapun prosedur pembuatan pulp dari tongkol jagung
adaalah sebagai berikut.
1. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari:
- Hot plate
- Gelas Ukur 10 mL
- Gelas ukur 25 mL
- Gelas ukur 100 mL
- Gelas kimia 100 mL
- Gelas kimia 600 mL
- Erlenmeyer 250 mL
- Magnetic stirer
- Neraca analitik
- Tabung reaksi
- Spatula
190
- Batang pengaduk
- Kaca arloji
- Corong buchner
- Erlenmeyer Vakum
- Corong pendek
- Cetakan kertas
- Oven
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari:
- Bonggol jagung
- Asam asetat glasial
- Aquades
- KI
- KCN
- Kanji
- Indikator universal
- Kertas saring
2. Prosedur
a. Preparasi Sampel
- Bonggol jagung dibersihkan.
- Bonggol jagung dijemur.
- Bonggol jagung dihaluskan.
b. Proses Pemasakan
- Bonggol jagung halus ditimbang 10 gram.
191
- Bonggol jagung halus dan cairan pemasak (asam asetat)
dimasukkan ke dalam erlenmeyer.
- Magnetic stirer dimasukkan ke dalam erlenmeyer.
- Erlenmeyer berisi bonggol jagung dipanaskan dengan hotplate
pada temperatur tetap (120oC) selama 90 menit.
- Hasil pemasakan didinginkan.
c. Pencucian Pulp
- Pulp hasil pemasakan disaring dengan corong buchner.
- Pulp dicuci dengan aquades hingga pH netral.
- Pulp dikeringkan dalam oven.
d. Karakterisasi Pulp
- Dilakukan uji kualitatif selulosa menggunankan FTIR.
- Dilakukan uji kualitatif Pb2+ menggunakan larutan KI.
- Dilakukan uji kualitatif Cd2+ menggunakan larutan KCN.
- Untuk uji daya serap air, pulp dicetak tipis, dimasukkan ke
dalam wadah berisi 10 mL air.
Pembuatan pulp dari bonggol jagung dilakukan dengan perbandingan
10:1 antara volume cairan pemasak dengan massa sampel bonggol
jagung yang digunakan. Analisis yang digunakan pada penelitian ini
adalah analisis kualitatif dengan FTIR serta analisis kualitatif logam
berat dan daya serap air dari pulp untuk mengetahui kualitas pulp dari
bonggol jagung. Pada proses pemasakan digunakan perbandingan 10:1
karena dari penelitian pendahuluan, jika semakin kecil volume asam
asetat yang digunakan, luas kontak permukaan dengan sampel akan
lebih kecil, sehingga proses delignifikasi tidak akan optimal. Dari uji
192
dengan instrumen Fourier Transform Infra Red (FTIR) diperoleh
spektrum IR seperti pada gambar berikut:
Gambar 10.15. Grafik FTIR Bonggol Jagung (Putri, 2018)
Dari spektrum tersebut diperoleh data bilangan gelombang dan %
transmitansi yang dapat diinterpretasikan untuk menentukan gugus
fungsi yang terdapat dalam pulp sebagai berikut:
193
Tabel 10.2 Bilangan gelombang dan gugus fungsi pada
spektrum IR hasil uji pulp dengan FTIR (Putri, 2018)
Bilangan Gelombang Gugus Fungsi
3448,72 cm-1 O - H 2924,09 cm-1 – 2858,51 cm-1 C - H
1159,22 cm-1 – 1035,77 cm-1 C - O
Berdasarkan Tabel 10.2 di atas dapat diketahui bahwa pulp hasil
pemasakan memiliki gugus fungsi yang sama dengan gugus fungsi
yang terdapat pada selulosa yang ditunjukkan pada Gambar 10.16
berikut:
Gambar 10.16 Struktur Selulosa (Putri, 2018)
Pemasakan pulp dengan asam asetat dapat memisahkan selulosa dari
lignin yang ada pada bonggol jagung (delignifikasi) sehingga yang
diperoleh hanya selulosa saja. Selulosa tersebutlah yang akan dijadikan
sebagai bahan baku pembalut.
Pulp hasil pemasakan dan pencucian menunjukkan pH netral setelah
diuji dengan indikator universal sehingga dapat dipastikan bahwa tidak
194
ada lagi asam asetat di dalam pulp. Nilai pH harus netral untuk
menghindari kesensitifan kulit terhadap pembalut dari pulp bonggol
jagung ini.
Uji kualitatif logam berat dengan larutan KI tidak menghasilkan
endapan kuning. Ini menunjukkan bahwa di dalam pulp hasil
pemasakan tidak terdapat logam-logam yang dapat mengendap
dengan penambahan larutan KI seperti logam Pb, Ag, dan Hg.
Gambar 10.17 Uji kualitatif logam dengan larutan KI (Putri, 2018)
Selain dengan larutan KI, pada penelitian ini dilakukan uji dengan
larutan KCN dan hasilnya tidak terbentuk endapan putih saat pulp
direaksikan dengan larutan KCN. Ini juga menunjukkan bahwa di dalam
195
pulp hasil pemasakan tidak terdapat logam yang dapat mengendap
dengan penambahan larutan KCN seperti logam Cd.
Gambar 10.18 Uji kualitatif logam dengan larutan KCN (Putri, 2018)
Uji daya serap air dilakukan untuk mengetahui daya serap dari pulp
bonggol jagung ini. Uji daya serap air ini dilakukan dengan menggiling
pulp basah hingga terbentuk lapisan setipis kertas dengan ukuran 5 x
5 cm, kemudian dijemur hingga kering. Pulp yang telah kering
kemudian dimasukkan ke dalam air sebanyak 10 mL dan jika pulp
menyerap seluruh air yang ada, volume air ditambahkan lagi sehingga
diketahui pasti berapa volume air yang dapat diserap oleh pulp. Dari
hasil pengujian ini diperoleh daya serap air dari pulp bonggol jagung ini
196
adalah 2 mL/cm2 karena dari 25 cm2 pulp yang diuji, volume air yang
dapat diserap adalah 12,5 mL.
Dari hasil proses pembuatan pulp untuk pembalut wanita, maka dapat
disimpulkan bahwa Bahan baku pembalut dari limbah bonggol jagung
dapat diperoleh dengan pemisahan selulosa dari lignin (delignifikasi)
dengan proses acetosolv. Proses pembuatan bahan baku pembalut
dari limbah bonggol jagung ini diawali dengan proses pemasakan
sampel bonggol jagung dengan cairan pemasak, pencucian pulp, dan
analisis kualitatif kualitas dari pulp yang dihasilkan. Pembalut dari
limbah bonggol jagung ini aman untuk digunakan karena tidak
mengandung logam-logam berbahaya, berkualitas karena memiliki
daya serap yang baik, serta ramah lingkungan karena dibuat dengan
menggunakan limbah yang belum banyak dimanfaatkan.
10.3.2 Pemanfaatan Kulit Jagung Untuk Metil Selulosa
Metil selulosa adalah salah satu eter selulosa komersial yang paling
penting dan telah digunakan di banyak aplikasi industri. Salah satu
aplikasi metil selulosa yaitu dalam bidang pangan. Metil selulosa sering
digunakan sebagai emulsifier atau pengemulsi untuk mencegah
pemisahan dua cairan campuran yang berbeda kepolarannya. Metil
selulosa yang digunakan sebagai emulsifier ini biasanya adalah metil
selulosa yang memiliki nilai derajat substitusi sekitar 1,3-2,5. Karena
metil selulosa yang memiliki nilai derajat substitusi disekitar 1,3-2,5
larut dalam air (Rimdusit, 2008). Derajat substitusi didefinisikan
sebagai jumlah rata-rata substituen per unit anhidro glukosa. Untuk
197
meningkatkan nilai derajat substitusi (DS) ini biasanya ditambahkan
pelarut seperti aseton atau toluen pada saat proses metilasi (Nasatto,
2015).
Untuk menyintesis metil selulosa dari limbah kulit jagung, serta
karakterisasi hasil sintesisnya menggunakan beberapa metode,
diantaranya spektroskopi Fourier Transform Infra Red (FTIR) untuk
mengetahui derajat substitusi yang terjadi sebagai indikator seberapa
banyak gugus metil yang berhasil dimasukkan ke dalam selulosa
tersebut, karena derajat metilasi ini akan menentukan sifat kepolaran
metil selulosa yang dihasilkan.
Pada mensintesis kulit jagung menjadi metil selulosa diperlukan
beberapa tahapan meliputi:
1. Persiapan Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan meliputi labu ukur 250 mL, labu ukur 100 mL,
corong Buchner, alat refluks, pemanas, oven, blender, neraca analitik,
kaca arloji, spatula, batang pengaduk, pipet volume 20 mL, pipet tetes,
gelas ukur 100 mL. Untuk pengujian gugus fungsi selulosa, dan metil
selulosa digunakan instrumen FTIR.
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah NaOH p.a
(50%), NaOH teknis 4%, NaOH teknis (0.675 M), CH2Cl2 p.a, (CH3)2CO
p.a, CH3COOH (10%), CH3COOH glasial, NaClO2 p.a (0.1878 M) dan air
suling atau aquades.
198
2. Preparasi Sampel Kulit Jagung
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit jagung.
Limbah kulit jagung. Limbah kulit jagung dicuci terlebih dahulu untuk
menghilangkan kotoran. Setelah itu dikeringkan diudara terbuka hingga
setengah kering, baru dikalsinasi pada suhu 50 selama 24 jam. Kulit
jagung yang telah kering kemudian dihaluskan dan disaring dengan
saringan 80 mesh. Setelah disaring, didapatlah serbuk kulit jagung.
Serbuk kulit jagung ini akan diproses pada tahap berikutnya.
3. Isolasi Selulosa Kulit Jagung
Isolasi selulosa kulit jagung ini terdiri dari dua tahap. Tahap pertama
adalah perlakuan dengan alkali. 25 g serbuk kulit jagung ditambah 250
mL larutan NaOH 4%, dipanaskan dipenangas air pada suhu (80-90oC)
selama 4 jam. Setelah itu, disaring dan residunya dicuci dengan
akuades berlebih. Perlakuan dengan alkali, dan pemutihan (bleaching).
Perlakuan dengan alkali ini bertujuan untuk melarutkan bahan selain
selulosa yang ada pada kulit jagung seperti lignin, asam organik
sehingga selulosa terpisah dari lignin dan komponen lainnya. Lignin
merupakan polimer tiga dimensi yang terdiri dari unit fenil propana
melalui ikatan eter (C-O-C) dan ikatan karbon (C-C). Bila lignin berdifusi
dengan larutan alkali maka akan terjadi pelepasan gugus metoksil yang
membuat lignin larut dalam alkali. Setelah itu, lignin dan komponen
lainnya dipisahkan dengan pencucian dan penyaringan. Reaksi
199
pemutusan ikatan antara lignin dan selulosa mengunakan NaOH dapat
dilihat pada Gambar 10.19.
Gambar 10.19 Reaksi pada proses delignifikasi (Rahmidar dkk. 2018)
Tahap kedua adalah bleaching. Bleaching ini menggunakan larutan
NaClO2 (0.1878 M), NaOH dan CH3COOH glasial. Residu yang telah
dicuci dengan akuades berlebih kemudian ditambah larutan NaOH,
CH3COOH glasial, NaClO2, dipanaskan di panangas air pada suhu (80-
90oC) selama 4 jam. Setelah itu, disaring dan residunya dicuci dengan
akuades berlebih. Kemudian dikalsinasi pada suhu 50oC selama 10 jam.
Tujuan bleaching untuk menghilangkan lignin yang masih tersisa.
Sedangkan larutan CH3COOH glasial berperan dalam proses
dehemiselulosa yaitu melepaskan hemiselulosa dari struktur selulosa
(Pinotti, 2007).
Rantai hemiselulosa lebih pendek dibandingkan rantai selulosa, karena
derajat polimerisasinya yang lebih rendah. Berbeda dengan selulosa,
polimer hemiselulosa berbentuk tidak lurus tetapi merupakan polimer-
polimer bercabang dan strukturnya tidak berbentuk kristal. Hal ini yang
200
menjadikan hemiselulosa lebih mudah dimasuki pelarut dan bereaksi
dengan larutan dibanding selulosa (Rachmawati, 2013).
Selain berperan dalam proses dehemiselulosa (penghilangan
hemiselulosa), larutan CH3COOH glasial juga berperan dalam
pemutihan menggunakan NaClO2. Karena pemutihan menggunakan
NaClO2 akan berlangsung dengan sempurna dalam suasana asam.
Proses terakhir adalah penambahan larutan NaClO2, yang akan
mengoksidasi struktur lignin sehingga larut dalam air. Berikut ini reaksi
pemutihan menggunakan natrium klorit:
5ClO2- + 4H+ → 4ClO2 + Cl- + 2H2O
4ClO2- + 2H+ → 2ClO2 + Cl- + ClO3
- + H2O
Pada tahap isolasi ini dihasilkan selulosa berupa padatan berwarna
putih. Selulosa hasil seintesis dapat dilihat pada Gambar 10.20.
Gambar 10.20 Selulosa dari Kulit Jagung (Rahmidar dkk. 2018)
201
4. Sintesis Metil Selulosa
Setelah diperoleh selulosa dari kulit jagung, langkah selanjutnya yaitu
sintesis metil selulosa dari selulosa kulit jagung. Pada sintesis metil
selulosa ini dilakukan dua variasi. Tujuannya adalah untuk
mengoptimalkan nilai DS dari metil selulosa tersebut. Sebanyak 5 g
selulosa dilarutkan dalam 50% NaOH dan stirrer selama 24 jam.
Campuran tesebut kemudian ditambahkan akuades 100 mL (untuk
variasi satu) dan (CH3)2CO (untuk variasi dua). Setelah itu campuran
direfluks pada suhu (60-70oC) dan di stirrer selama 6 jam. Dilakukan
penambahan CH2Cl2 sebagai agen metilasinya. Setelah itu, dinetralkan
dengan CH3COOH 10-50%. Campuran kemudian disaring, dicuci
dengan akuades panas (suhu 80oC ) dan disaring kembali. Residu hasil
penyaringan kemudian dikalsinasi pada suhu 50oC selama 6 jam.
Sintesis metil selulosa ini meliputi tahapan alkalisasi dan metilasi. Tahap
pertama adalah alkalisasi karena selulosa tidak larut dalam air dan
pelarut organik yang paling umum, media alkali (NaOH) digunakan
untuk membuat serat selulosa menggembung dan mendapatkan
selulosa alkali. Ketika molekul selulosa menggembung, maka akan
memudahkan proses metilasi sehingga dihasilkan metil selulosa. Proses
alkalisasi dapat dilihat pada Gambar 10.21.
202
Gambar 10.21 Alkalisasi Selulosa (Rahmidar dkk. 2018)
Selulosa alkali yang telah terbentuk pada tahap alkalisasi akan bereaksi
dengan zat eterifikasi. Zat eterifikasi (agen metilasi) yang digunakan
adalah metilen klorida. Gugus metil dari metilen klorida akan
menggantikan gugus hidroksil pada selulosa. Gugus hidroksil yang
digantikan pada selulosa yaitu pada C2, C3, atau C6. Setelah
penambahan zat eterfikasi, campuran ditambahkan pula air (variasi I)
dan aseton (variasi II). Tujuan ditambahkan air dan aseton ini adalah
untuk meningkatkan derajat substitusi. Pada derajat substitusi (DS)
yang berbeda, kelarutan metil selulosa pun akan berbeda. Metil selulosa
yang meiliki nilai DS 1,3-2,5 akan larut dalam air dingin, nilai DS > 2,5
larut dalam asam asetat glasial, nilai DS 0,4-0,6 larut dalam NaOH.
Sampel dengan perlakuan aseton memiliki tingkat substitusi yang lebih
tinggi, yang berhubungan dengan cara efektif pelarut aseton
berinteraksi dengan gugus hidroksil, yaitu dengan mengurangi jumlah
ikatan hidrogen rantai luar (Viera, 2007).
203
Reaksi eterifikasi yang menggunakan metilen klorida bekerja pada suhu
60-70oC . Oleh karena itu, dalam tahap ini campuran direfluks agar
komponen dalam campuran tetap (tidak ada yang berubah) dan reaksi
bekerja optimal. Kemudian, pemurnian dan penghilangan produk
samping dilakukan dengan mencuci menggunakan air panas,
dilanjutkan dengan pengeringan dan penghalusan metil selulosa yang
telah dihasilkan. Metil selulosa larut dalam air dingin (suhu sekitar 5oC).
Oleh sebab itu, pada saat proses pencucian menggunakan air panas
agar metil selulosa tidak ikut larut dengan pengotor.
Metil selulosa yang telah dicuci dengan air panas kemudian dikalsinasi
pada suhu 50oC selama 6 jam. Suhu tersebut dipilih karena pada suhu
terlalu tinggi metil selulosa yang dihasilkan akan rusak. Metil selulosa
yang dihasilkan berupa padatan berwarna putih untuk metil selulosa-
air (variasi I) dan padatan berwarna kekuningan untuk metil selulosa-
aseton (variasi II). Metil selulosa-air dan metil selulsoa-aseton dapat
dilihat pada Gambar 10.22.
Gambar 10.22 Metil Selulosa-Air dan Metil Selulosa-Aseton (Rahmidar dkk. 2018)
204
5. Karakterisasi Selulosa dan Metil Selulosa
Produk sintesis selulosa dan metil selulosa dari kulit jagung
dikarakterisasi dengan FTIR. Sampel (selulosa dan metil selulosa) yang
digunakan dalam bentuk serbuk. Sampel yang siap diukur ditempatkan
pada tempat sampel dari alat interferometer, kemudian ditunggu
spektra yang diperoleh pada layar komputer sehingga diperoleh data
anaisis FTIR.
Analisis menggunakan FTIR dilakukan untuk mengidentifikasi gugus
metil pada selulosa dari hasil metilasi, serta adanya senyawa lain yang
masih terdapat dalam sampel. Berdasarkan Tabel 10.3 spektrum
selulosa muncul pada bilangan gelombang 3443,29 cm-1 yang
menunjukkan ikatan, 2920,23 cm-1 untuk menunjukkan ikatan C-H
(posisi C6), dan 1340,53 cm-1 untuk menunjukkan ikatan C-H (posisi C2
atau C3). Berdasarkan penelitian sebelumnya, keberadaan spektrum
pada bilangan gelombang sekitar 1630-1750 cm-1 menunjukkan ikatan
C=C pada cincin yang berasal dari lignin (Kondo, 1994). Untuk lebih
jelasnya hasil FTIR selulosa dapat dilihat pada Gambar 10.23.
Tabel 10.3 Gugus Fungsi Selulosa-Metil Selulosa (Rahmidar dkk. 2018)
Gugus Fungsi Selulosa Metil Selulosa-
Air
Metil Selulosa-
Aseton
-OH regangan
3433,29 3444,87
3442,94
3288,63 - -
3178,69 - -
C-H 920,23 2899,01 2900,94
205
Gugus Fungsi Selulosa Metil Selulosa-
Air Metil Selulosa-
Aseton
-glikos 896,90 896,90 896,90
C=C(lignin) 1641,42 1639,49 -
H-C-H 340,53 1413,82 1409,96
Gambar 10.23 Hasil FTIR Selulosa Komersial dan Selulosa Kulit jagung (Rahmidar dkk. 2018)
Pada Gambar 10.23 terlihat dua spektrum, yang berwarna hitam
merupakan spektrum selulosa hasil sintesis dan spektrum yang
berwarna merah merupakan spektrum selulosa komersial. Terdapat
sedikit perbedaan antara selulosa hasil sintesis dengan selulosa
komersial. Lignin pada selulosa komersial berkurang sedangkan pada
selulosa hasil sintesis lignin masih terlihat. Lignin tersebut ditunjukkan
pada bilangan gelombang sekitar 1630-1750 cm-1. Perbedaan lain juga
terlihat pada puncak O-H sekitar bilangan gelombang 3400 cm-1. Pada
206
selulosa komersial hanya terdapat satu puncak O-H sedangkan pada
selulosa hasil sintesis terdapat tiga puncak O-H. O-H dari hasil sintesis
kemungkinan diperoleh dari NaOH atau H2O yang masih tertinggal pada
saat sintesis.
Jika dibandingkan hasil FTIR dari spektrum selulosa dan metil selulosa
(Tabel 10.3) terlihat bahwa gugus O-H pada seulosa digantikan dengan
gugus metil pada metil selulosa sehingga gugus O-H pada metil selulosa
intensitasnya menurun sedangkan intensitas puncak serapan gugus C-
H meningkat. Seperti yang terlihat pada C-H (posisi C2 atau C3) yang
mengalami peningkatan dari 1340,53 cm-1 pada selulosa menjadi
1413,82 cm-1 pada metil selulosa-air dan 1409,96 cm-1 metil selulosa-
aseton. Ini membuktikan bahwa pada proses metilasi selulosa berhasil,
selulosa telah berubah menjadi metil selulosa. Untuk lebih jelasnya
perubahan tersebut dapat dilihat pada hasil FTIR Gambar 10.24. Dari
data absorbansi FTIR ini juga dilakukan perhitungan rasio OH/CH untuk
mengetahui seberapa banyak OH yang tersubstitusi oleh CH. Semakin
kecil rasio OH/CH, maka semakin banyak OH yang tersubstitusi oleh
CH. Dari hasil perhitungan diketahui bahwa rasio OH/CH dari metil
selulosa-air dan metil selulosa aseton sebesar 1,9019 dan 1,9835. Nilai
keduanya tidak jauh berbeda hanya selisih 0,0816. Hal ini menunjukan
bahwa banyaknya OH yang tersubstitusi oleh CH pada metil selulosa-
air dan metil selulosa-aseton jumlahnya hampir sama (Rokhade, 2007).
207
Gambar 10.24 Hasil FTIR Selulosa, Metil Selulosa-Air,
Metil Selulosa-Aseton (Rahmidar dkk. 2018)
6. Uji Kelarutan dan Uji Titik Leleh
Uji kelarutan dilakukan dengan melarutkan metil selulosa didalam
beberapa larutan, seperti larutan NaOH 4%, larutan CH3COOH glasial,
dan aquades (T = (5-15) ). Uji titik leleh dilakukan dengan cara
memasukkan sampel serbuk metil selulosa kedalam pipa kapiler.
Kemudian pipa kapiler tersebut diletakan pada kalorimeter. Pada
kalorimeter tersebut juga dipasang terometer untuk mengetahui titik
leleh selulosa. Kalorimeter tersebut kemudian dipanaskan hingga metil
selulosa meleleh.
Uji kelarutan dilakukan dengan melarutkan metil selulosa dalam
beberapa larutan, seperti larutan NaOH 4%, larutan CH3COOH glasial,
208
dan aquades (T = (5-15) ). Ketiga larutan tersebut memiliki nilai DS
(derajat substitusi) yang berbeda. Derajat substitusi didefinisikan
sebagai jumlah rata-rata substituen per unit anhidro glukosa. Nilai DS
ini menunjukan seberapa banyak gugus O-H pada selulosa yang
tersubstitusi oleh CH3 pada saat proses metilasi.
Dari uji kelarutan tersebut diketahui bahwa metil selulosa-air larut
dalam larutan NaOH 4%, namun tidak larut dalam larutan CH3COOH
glasial, dan aquades (T = (5-15) ). Hal yang sama juga terjadi pada
metil selulosa-aseton. Kedua hal tersebut menunjukkan bahwa metil
selulosa-air dan metil selulosa-aseton memiliki nilai DS sekitar 0,4-0,6.
Selain uji kelarutan, dilakukan pula uji titik leleh. Setelah dilakukan
pengujian pada metil selulosa-air dan metil selulosa-aseton, keduanya
tidak mempunyai titik leleh karena pada suhu 240oC kedua metil
selulosa tersebut belum meleleh tetapi malah terbakar. Hal ini
menunjukan bahwa metil selulosa yang dihasilkan belum termetilasi
sempurna. Karena metil selulosa yang termetilasi sempurna
mempunyai titik leleh sekitar suhu (290-305oC) .
Dari hasil resume tahapan proses bahwa Selulosa dari kulit jagung
berhasil diisolasi dengan munculnya puncak pada bilangan gelombang
3433,29 cm-1 untuk O-H, 2920,23 cm-1 untuk C-H, 896,90 cm-1 untuk
ikatan -glikosidik. Selulosa hasil isolasi ini memiliki karakteristik berupa
padatan berwarna putih, tidak larut dalam air, sebagian larut dalam
NaOH.
209
Metil selulosa-air dan metil selulosa-aseton berhasil disintesis dengan
munculnya puncak pada bilangan gelombang 3444,87 cm-1 untuk O-H
(metil selulosa-air) dan 3442,94 cm-1 untuk O-H (metil selulosa-aseton),
2899,01 cm-1 untuk C-H (metil selulosa-air) dan 2900,94 cm-1 untuk
C-H (metil selulosa-aseton). Metil selulosa yang dihasilkan memiliki
karakteristik berupa padatan berwarna putih (metil selulosa-air) atau
sedikit kuning (metil selulosa-aseton), larut dalam NaOH 4% tetapi
tidak larut dalam CH3COOH glasial dan akuades suhu (5-15oC).
Hasil dari variasi penambahan air dan aseton tidak meningkatkan nilai
derajat substitusi yang signifikan. Nilai derajat substitusi dari metil
selulosa-air dan metil selulosa-aseton sekitar 0,4 – 0,6.
10.4 Pemanfaatan Limbah Jagung Untuk Material
Pertahanan
Melihat contoh hasil penelitian pemanfaatan tongkol jagung dan kulit
jagung maka kedua limbah hasil proses pengolahan jagung tersebut
sangat potensial untuk dijadikan bahan baku untuk industri
pertahanan.
Untuk limbah tongkol jagung yang kandungan selulosanya antara 41%
- 42% berpotensi untuk dijadikan nitroselulosa yang merupakan salah
satu bahan utama untuk pembuatan propelan padat. Selain untuk
bahan baku propelan. Selulosa tongkol jagung berpotensi untuk
pembuatan produk kesehatan yaitu masker yang dapat memfilter
berbagai jenis bakteri dan virus.
210
Sedang untuk kulit jagung yang kandungan selulosanya sekitar 40% -
41% selain dapat diambil selulosanya untuk bahan baku pembuatan
propelan, dapat juga diambil seratnya untuk bahan pembuatan
komposit.
Referensi
1. Allard, R.W. and A.D. Bradshaw, 1964. Implication of genotype-environment interaction in applied plant breeding. Crop Sci. 4: 503-507.
2. Anderson, E., 1945. What is Zea mays? A report of progress. Chron. Bot., 9: 88-92.
3. Anonim, 2013. Pembalut Wanita. [Online]. Tersedia:
http://id.wikipedia.org/wiki/Pembalut_wanita [13 Juli 2013] 4. Aqil, Alviyah Ibnu, 2012. Ada Apakah dengan Pembalut Bergel?.
[Online]. Tersedia: http://alviyah29.wordpress.com/2012/11/24/ ada-apakah-dengan-pembalut-bergel/ [13 Juli 2013]
5. Ashour, A., A. Amer, A. Marzouk, K. Shimizu, R. Kondo, and S. El-
Sharkawy, 2013. Corncob as a potential source of functional chemicals. Molecules, 18, 13823-13830.
6. Beall, D.S. and L.O. Ingram, 1992. Conversion of hydrolysates of corn cobs and hulls into ethanol by recombinant Eschericia coli containing integrated enes for ethanol production. Biotechnology Letters, 14(9), 857-862.
7. Chen, Y., B. Dong, W. Qin, and D. Xiao, 2010. Xylose And Cellulose Fractionation From Corncob With Three Different Strategies And Separate Fermentation Of Them To Bioethanol. Bioresource
Technology, 101, 6994-6999 8. de Wet, J.M.J. and J.R. Harlan, 1974. Tripsacum-maize interaction:
a novel cytogenetic system. Genetics, 78: 493-502. 9. de Wet, J.M.J. and J.R. Harlan, 1978. Tripsacum and the origin of
maize. In D.B. Walden, ed. Maize breeding and genetics, p. 129-
141. New York, NY, USA, J.Wiley & Sons. 10. Dirgantara, M., Saputra, M., Khalid, M., Wahyuni, E. S., & Kurniati,
M., 2013. Karakterisasi mekanik biokomposit klobot jagung sebagai
211
bahan dasar plastik biodegradable. Program Kreativitas Mahasiswa-
Penelitian. Dirjen Dikti, Jakarta 11. Doebley, J. and A. Stec, 1991. Genetic analysis of the morphological
differences between maize and teosinte. Genetics, 129: 285-295. 12. Doebley, J. and A. Stec, 1993. Inheritance of the morphological
differences between maize and teosinte: comparison of results for two F2 populations. Genetics, 134: 559-570.
13. Doebley, J., A. Stec, J. Wendel, and M. Edwards, 1990. Genetic and morphological analysis of a maize-teosinte F2 populations: implications for the origin of maize. Proc. Natl. Acad. Sci., 87: 9888- 99892.
14. Dorweiler, J., A. Stec, J. Kermicle, and J. Doebley, 1993. Teosinte glume architecture 1: a genetic locus controlling a key step in maize evolution. Science, 262: 233-235.
15. Dowswell, C.R. R.L.Paliwal, and R. P.Cantrell, 1996. Maize in The Third World. Westview Press.
16. Fairus , S., R. Kurniawan, R. Taufana, dan A.S. Nugraha, 2013. Kajian pembuatan xilitol dari tongkol jagung melalui proses fermentasi. Jurnal Biologi, 6(2), 91-100.
17. Gallinat, W.C., 1988. The origin of corn. In: G.F. Sparaque and J.W. Dudley (Eds.). Corn and corn improvement. p. 1-31. Madison, W.I. USA. American Society of Agronomy.
18. Ginting, A., 2016. Pemanfaatan Limbah Kulit Jagung untuk Produk
Modular dengan Teknik Pilin. Dinamika Kerajinan dan Batik:
Majalah Ilmiah, 32(1), 51-62.
19. Gozan, M., 2007, Sakarafikasi dan Fermentasi Bagas Menjadi Etanol Menggunakan Enzim Sellulase dan Enzim Sellobiase, Jurnal
Teknologi 20. Gunawan, Adi, 2012. Pengaruh Waktu Pemasakan dan Volume
Larutan Pemasak Terhadap Viskositas Pulp dari Ampas Tebu. Penelitian Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas
Sriwijaya 21. Hang, Y. and E. Woodams, 1999. Enzymatic production of soluble
sugars from corn husks. LWT-Food Science and Technology, 32,
208–210. 22. Hang, Y. and E. Woodams, 2001. Enzymatic enhancement of citric
acid production by Aspergillus niger from corn cobs. LWT-Food Science and Technology, 42, 484–486.
23. Hyene, K., 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia-I. Balai Penelitian danPengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan Bogor.
212
24. Iltis,H.H. and J. Doebley, 1980. Taxonomy of Zea (Gramineae). II. Subspecific categories in the Zea mays complex and a generic synopsis. Am. J.Bot., 67: 994-1004.
25. Johnson, L.A. (1991). Corn : The major cereal of the American. In: Kulp and Ponte, Jr. Handbook of Cereal Science and technology.
26. Kondo, T., Sawatari, C., Manley, R. S. J., & Gray, D. G., 1994.
Characterization of hydrogen bonding in cellulose-synthetic polymer blend systems with region selectively substituted methyl cellulose. Macromolecules, 27(1), 210-215.
27. Koswara, J., 1991. Budidaya Jagung. Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
28. Latif, F. and M. I. Rajoka, 2001. Production of ethanol and xylitol from corn cob by yeast. Bioresources Technology, 77, 57-63.
29. Leblanc, O.D., D.Grimanelli, D. Gonzales de Leon, And Y. Savidan,
1995. Detection of the apomixsis mode of reproduction in maize-Tripsacum hybrids using maize. RFLP markers.
30. Lima, K.G.C., C.M. Takahashi, and A. Alterthum, 2002. Ethanol production from corn cob hydrolysates coli KO11. Journal of
Industrial Microbiology & Biotechnology, 29, 124 – 128. 31. Longley, A.E., 1941. Chromosome morphology in maize and its
relatives. Bot.Rev., 7:263-289.
32. Mangeldorf, P.C., 1974. Corn, its Origin, Evolution and Improvement. Cambridge, MA, USA, Belknap Press, Harvard
University Press. 33. Marcel Dekker, Inc. New York, Bassel. Dowswell, C.R., R.L.Paliwal,
and R.P.Cantrell, 1996. Maize in the thir world. Westview Press. 34. Nasatto, P. L., Pignon, F., Silveira, J. L., Duarte, M. E. R., Noseda,
M. D., & Rinaudo, M., 2015. Methylcellulose, a cellulose derivative with original physical properties and extended applications. Polymers, 7(5), 777-803.
35. Orr, H.A. and J.A. Coyne, 1992. The genetics of adaptation-a reassessment. Am. Nat., 140-725.
36. Pinotti, A., García, M. A., Martino, M. N., & Zaritzky, N. E., 2007. Study on microstructure and physical properties of composite films based on chitosan and methylcellulose. Food Hydrocolloids, 21 (1),
66-72. 37. Rachmawati, L., Rusmiyati, S., 2013. Bolero Kulit Jagung Dengan
Inspiration Picture Rumah Gadang. Jurnal Tata Busana, 2(3), 52-60.
213
38. Rahmidar, Lena, Intan Nurilah, Intan, Tety Sudiarty, Tety, 2018.
Karakteristik Metil Selulosa Yang Disintesis dari Kulit Jagung (Zea
mays). PENDIPA Journal of Science Education 2(1) : 117-122
39. Randolph, L.F., 1959. The origin of maize. Indian J. Genet. Plant Breeding,19:1-12.
40. Rimdusit, S., Jingjid, S., Damrongsakkul, S., Tiptipakorn, S., & Takeichi, T., 2008. Biodegradability and property characterizations of methyl cellulose: effect of nanocompositing and chemical crosslinking. Carbohydrate polymers, 72(3), 444-455.
41. Rivas, B., J.M. Dominguez, H. Dominguez, and J.C. Parajo, 2012
Bioconversion of posthydrolysed autohydrolysis liquors: an alternative for xylitol production from corn cobs. Enzyme and
Microbial Technology, 31, 431–438. 42. Rokhade, A. P., Shelke, N. B., Patil, S. A., & Aminabhavi, T. M.,
2007. Novel interpenetrating polymer network microspheres of chitosan and methyl cellulose for controlled release of theophylline. Carbohydrate Polymers, 69 (4), 678-687.
43. Rosita, R. and R. Safitri, 2012. Influence of Fish Feed Containing Corn-Cob Was Fermented By Trichoderma Sp, Aspergillus Sp, Rhizopus Oligosporus To The Rate of Growth of Java Barb (Puntius Gonionitus). APCBEE Procedia, 2, 148 – 152.
44. Saha, B.C., 2003. Hemicellulose Bioconversion. Journal of
Industrial Microbiology and Biotechnology, 30, 279-291. 45. Schwietzke, S., Y. Kim, E. Ximenes, N. Mosier, and M. Ladisch,
2009. EthanolProduction from Maize. A.L. Kriz, B.A. Larkins (eds.), Molecular Genetic Approaches to Maize Improvement Biotechnology in Agriculture and Forestry, Vol. 63. Springer-Verlag
Berlin Heidelberg.347-364. 46. Stonor, C.R. and E. Anderson, 1949. Maize among the hill peoples
of Assam. Ann. Missouri Bot Gard., 36:355-404. 47. Subandi, I. Manwan, and A. Blumenschein, 1988. National
Coordinated Research Program: Corn. Central Research Institute for Food Crops. Bogor. p.83.
48. Sumarwan, U., 2016. Perubahan Pola Konsumsi Pangan Beras,
Jagung dan Terigu Konsumen Indonesia Periode 1999-2009 dan
Implikasinya Bagi Pengembangan Bahan Bakar Ramah Lingkungan
Berbasis Pangan. Jurnal Pangan, 19(2), 157-168.
214
49. Suto, T. and Y. Yoshida, 1956. Characteristics of the oriental maize. In H.Kihara,ed. Land and crops of Nepal Himalaya, vol. 2, p. 375-
530. Kyoto, Japan, Fauna and Flora Res. Soc. Kyoto University. 50. Syawala, D.S., T. Wardiyati, and M.D. Maghfoer, 2013. Production
of bioethanol from corncob and sugarcane bagasse with hydrolysis process using Aspergillus niger and Trichoderma viride. IOSR
Journal of Environmental Science, Toxicology and Food Technology, 5(4), 49-56.
51. Viera, R. G., Rodrigues Filho, G., de Assunção, R. M., Meireles, C.
D. S., Vieira, J. G., & de Oliveira, G. S., 2007. Synthesis and characterization of methylcellulose from sugarcane bagasse cellulose. Carbohydrate Polymers, 67(2), 182-189.
52. Weatherwax, P., 1954. Indian corn in old America. New York, NY, USA, MacMillian Publishing.
53. Weatherwax, P., 1955. History and Origin of corn. I. Early history of corn and theories as to its origin. In G.F. Sprague, ed. Corn and Corn Improvement, 1 st ed., p. 1-16. New York, NY, USA, Academic Press.
54. Wibisono, Ivan, 2011. Pembuatan Pulp dari Alang-Alang. Penelitian Jurusan Teknik Kimia Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya.
55. Wilkes, H.G., 1979. Mexico and Central America as centre for the origin of agriculture and the evolution of maize. Crop Improvement, 6(1): 1-18.
56. Wilkes, H.G. and M.M. Goodman, 1995. Mystery and missing links: the origin of maize. In S.Taba, ed. Maize genetic resources, p. 1-6.
Mexico, DF, CIMMYT. 57. www.Job’s Tears.htm, 2007. Teosinte (Madre de maize): The Origin
of Corn.
215
INDEKS
A
-selulosa, 86
Abacaxi, 45
Acid Detergent Fiber, 159
Acid Detergent Soluble, 159
Amorphous cellulose, 130
Ananas comosus, 82
Ananas comosus L. Merr, 43
Ananas cosmosus Merr, 50
Animal fibre, 60
Asam klorida, 116
Alkali treatment, 155
Anduk, 146
Andropogoneae, 165, 170
B
Bast fibres, 60
Beating action, 65
Bioetanol, 150
Blades, 65
Bleaching, 66, 79
Bleaching, 122
Bleaching agent, 119
Bleaching pulp, 119
216
Blending pulp, 119
Body armor, 86
Borassus flabellifer, 137
Borassus sundaicus, 137
Bromeliaceae, 50
Bromeliad, 43
Bundle of fibres, 67, 68
Bundles of fibre, 62
C
Cabinet dryer, 73
Candida sp, 153
Cayene, 45
Cayenne, 45, 46, 48
Cayennelis, 46, 48
cellulose, 60, 66
Centrifugal, 20
Chemical pulping, 118, 121
Chemical treatment., 118
Classulacean Acid Metabolism, 44
Continuous screw press, 20
Continuous vaccum drier, 22
Crude palm oil, 21
Crude Palm Oil, 27
Crushing, 65
Cyclon fan, 27
Crystalline cellulose, 130
217
D
Decortication, 66
Degree of crystallanity, 69
Degumming, 66, 68
Depericarper, 24, 25
Dehidras, 151
Digester, 19, 130
Displacement, 119
Distilasi, 151
Double base propelant, 86
DO: Dissolved Oxygens, 98
E
Eichhornia crassipes, 91, 99
Elaeis guinensis jack, 1
Etanol, 141
Erlenmeyer, 73
Extraction of oil, 20
Extraction, 64
F
Fanduk, 146
Fenol Formaldehida, 101
Fermentasi, 150
Fiber, 155
Fiber extraction, 63
Flexural rigidty, 69
218
Floem, 94
Foliage leaflet, 4
Formaldehida, 101
Fotosintesis, 93
Fruktosa, 150
G
Gummy substances, 63, 64, 65, 68
Gulma, 96
Gulma perairan, 91
Glukosa, 150
I
Impurity materials, 68
Inflane deformation, 80
Interface, 156
L
Leaf fibres, 60, 67
Lignin, 118, 155
Loading, 124
K
Klorofil, 93
Kromofor, 119
219
H
Hot plate., 83
Hydraulic, 20
Hydrocyclone separator, 26
Hemiselulosa, 118
Hidrogen peiroksida, 106
Hemicelluloses, 155
Hidrolisis, 149
M
Madre de maiz, 164
Mechanical properties, 68, 71
Melamin Formaldehida, 101
Microorganism, 64
Microorganism (bacterial action), 63
Mikrofita, 93
Monoecious, 3
Multicellular cellulose, 70
Multi-celluler fibre, 67
Multi rows, 171
N
Natural fibre, 60
Natural fibres, 71
Natrium hidroksida, 116
Natrium hipoklorit, 116
Natrium meta bisulfit, 106
220
Neutral Detergent Fiber, 159
Neutral Detergent Soluble, 159
O
Oktan, 141
P
Palmae, 1
Peak, 129
Perennial teosinte, 170
Petioules, 98
Physical, 68, 71
Pineapple–leaf fibres, 61
Pod corn, 167
Polyester, 156
Progenitor, 165
Pulp, 119, 120, 122, 124
Q
Quantitative trait loci, 168
Queen, 45, 46, 47
R
Recycling, 21
Replanting, 51
Reverse micellar systems, 51, 72
221
S
Saccha vomyces sp, 153
Scraping, 64
Seed fibres, 60
Selulosa, 59, 118
Shell hopper, 27
Softwood, 129
Soluble, 122
Spanish, 45
Spanyol/Spanish, 45
Spinning, 71
Stomata, 93
Stretching vibration, 81
Strong, fine and silky fibre, 62
Sub soil, 12
Swelling, 70
T
Tandan Buah Segar (TBS), 28
Tandan Kosong Kelapa Sawit, 17
TBS, 18
Technical grade, 73
Teosinte, 165, 167, 168, 170, 172
Teosinte glume architecture, 168
Tetraploid, 171
Thresher, 19
222
Timu, 146
Topografi, 5
Torsional rigidity, 69
Treatment, 69
Tripsaceae., 171
Tripsacum, 167, 171
Tripsacum, 170
Twist, 69
Twisting, 69
U
Untwist, 69
V
Vegetable fibre, 60, 61
Vegetable fibres, 70
W
Waterbath, 73
Water retting, 63, 64, 68
Wet condition, 66
Wet conditions, 70
X
Xerofit, 44
Xylem, 94
223
Y
Yield, 120, 121, 123
yield pulp, 120
Z
Zea mays sp, 172
Zea mays sp. Mexicana, 166
Zea mays sp. Parviglumis, 166
Zea mays ssp. Parviglumis, 172
Zea mexicana sp, 164
TENTANG PENULIS
Saat ini penulis menjabat sebagai Sesprodi
Teknologi Daya Gerak, Fakultas Teknologi
Pertahanan, Universitas Pertahanan, pernah
menjabat sebagai Sesprodi Keamanan Energi dan
Sesprodi Industri Pertahanan, Universitas
Pertahanan. Untuk jabatan kemiliteran saat ini
sebagai Perwira Menegah dengan Pangkat Kolonel
Kes, di Angkatan Udara Republik Indonesia.
Penulis mempunyai latar belakang pendidikan Fisika dari USU (1993),
Magister Sains (M.Si) Fisika Bio Material dari Universitas Indonesia,
serta Doctor (Dr) Rekayasa Bio Material dari Universitas Indonesia (UI).
Selain pendidkan umum, Pendidikan kemiliteran yang pernah ditempuh
yaitu: Kursus alat Human Centrifuge (HC) di Late Coere Prancis th 2000,
Kursus Physiologycal Training Officer di Lakespra Saryanto, SEKKAU
Angkatan 80, SESKOAU Angkatan 48 di Lembang Bandung, Jawa Barat.
Saat ini penulis menjabat sebagai Dosen di Fakultas
Teknik Universitas Suryakancana, Cianjur. Dan
pernah menjabat sebagai Sekretaris Prodi Teknik
Informatika dari tahun 2001-2002, Sekretaris Prodi
Teknik Industri 2002-2007. Dan 2015-2017,
Fakultas Teknik, Universitas Suryakancana Cinajur.
Penulis mempunyai latar belakang pendidikan
Teknik dan Manajemen Industri ITB. Selain penulis
merupakan lulusan Magister Pertahanan (M.Han)
Program Studi Industri Pertahanan dari Universitas Pertahanan. Selain
Pendidikan umum, Penulis pernah bekerja di Berbagai perusahaan,
Bimantara Automotive tahun 1992 sampai 1999 dengan jabatan
terakhir Engineering Assistant Manager, PT. Nipress (NS Battery)
tahun 1999 sampai tahun 2001, dengan jabatan terakhir PPIC Manager,
PT. Panfila Indosari Drinking Water Industry, 2001 sampai 2003,
Jabatan terakhir Plant Deputy Manager, PT. Altin Cap, 2003 sampai
2006 sebagai PPIC & Production Manager, serta PT. IHE Cendekia
Rekayasa, 2015 sampai 2017 sebagai Project General Manager. Selain
itu penulis menjadi ahli, pada Lapi-ITB dan Lapi Ganeshatama
Consulting. Disamping itu penulis sebagai Ahli Madya di Bidang
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).