jhptump-a-ernawatikh-225-2-babii.pdf

14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kulit Kulit mentah adalah segala macam bentuk kulit yang berasal dari hewan baik yang diternakkan maupun hewan liar. Kulit yang belum diolah disebut kulit mentah yang dibedakan menjadi dua kelompok yaitu kulit yang berasal dari hewan besar seperti sapi, kerbau dan hewan kecil misalnya kambing, domba, kelinci (Daniar 2008 cit Oktafiyani 2009). Kerusakan-kerusakan yang mempengaruhi kualitas kulit mentah dapat diklasifikasikan dalam dua golongan yaitu kerusakan yang tinggi pada hewan hidup seperti parasit, umur tua dan sebab mekanik serta kerusakan pada waktu pengulitan, pengawetan, penyimpanan dan transportasi. Kulit yang masih segar mudah rusak bila terkena bahan-bahan kimia atau mikroorganisme. Hal ini disebabkan oleh kandungan air, lemak, mineral serta protein pada kulit segar tersebut (Daniar 2008 cit Oktafiyani 2009). Segala cara atau proses untuk mencegah terjadinya lisis atau degradasi komponen- komponen dalam jaringan kulit secara umum disebut dengan pengawetan kulit. Kulit sebagai sisa dari pemotongan binatang, mengandung zat-zat makanan atau nutrisi yang sangat tinggi untuk pertumbuhan mikroba. Mikroba yang mencemari kulit tersebut akan berkembang biak dan menghasilkan enzim yang dapat mencerna zat-zat makanan yang ada dalam kulit, akibatnya beberapa komponen yang ada dalam kulit seperti protein, lemak dan karbohidrat akan mengalami degradasi (Deasy dan Tancous 1977 cit Bhekti 1988). B. Pembuatan Rambak Menurut Oktafiyani (2009) kulit yang digunakan untuk krecek atau rambak adalah kulit yang sudah tidak dapat digunakan atau sisa-sisa misalnya potongan kulit bagian tepi. Rambak yang berasal dari kulit kerbau lebih disukai konsumen dibandingkan dengan rambak yang berasal dari kulit sapi atau kambing. Proses pembuatan rambak baik rambak sayur maupun kerupuk rambak pada prinsipnya hampir sama yaitu perendaman, proses pengolahan meliputi pencucian, pengempukan, pengirisan, pemberian bumbu, penjemuran, pengungkepan, penggorengan, dan proses pembungkusan.

Transcript of jhptump-a-ernawatikh-225-2-babii.pdf

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kulit

Kulit mentah adalah segala macam bentuk kulit yang berasal dari hewan baik yang

diternakkan maupun hewan liar. Kulit yang belum diolah disebut kulit mentah yang dibedakan

menjadi dua kelompok yaitu kulit yang berasal dari hewan besar seperti sapi, kerbau dan hewan

kecil misalnya kambing, domba, kelinci (Daniar 2008 cit Oktafiyani 2009).

Kerusakan-kerusakan yang mempengaruhi kualitas kulit mentah dapat diklasifikasikan

dalam dua golongan yaitu kerusakan yang tinggi pada hewan hidup seperti parasit, umur tua dan

sebab mekanik serta kerusakan pada waktu pengulitan, pengawetan, penyimpanan dan

transportasi. Kulit yang masih segar mudah rusak bila terkena bahan-bahan kimia atau

mikroorganisme. Hal ini disebabkan oleh kandungan air, lemak, mineral serta protein pada kulit

segar tersebut (Daniar 2008 cit Oktafiyani 2009).

Segala cara atau proses untuk mencegah terjadinya lisis atau degradasi komponen-

komponen dalam jaringan kulit secara umum disebut dengan pengawetan kulit. Kulit sebagai

sisa dari pemotongan binatang, mengandung zat-zat makanan atau nutrisi yang sangat tinggi

untuk pertumbuhan mikroba. Mikroba yang mencemari kulit tersebut akan berkembang biak dan

menghasilkan enzim yang dapat mencerna zat-zat makanan yang ada dalam kulit, akibatnya

beberapa komponen yang ada dalam kulit seperti protein, lemak dan karbohidrat akan

mengalami degradasi (Deasy dan Tancous 1977 cit Bhekti 1988).

B. Pembuatan Rambak

Menurut Oktafiyani (2009) kulit yang digunakan untuk krecek atau rambak adalah kulit

yang sudah tidak dapat digunakan atau sisa-sisa misalnya potongan kulit bagian tepi. Rambak

yang berasal dari kulit kerbau lebih disukai konsumen dibandingkan dengan rambak yang berasal

dari kulit sapi atau kambing. Proses pembuatan rambak baik rambak sayur maupun kerupuk

rambak pada prinsipnya hampir sama yaitu perendaman, proses pengolahan meliputi pencucian,

pengempukan, pengirisan, pemberian bumbu, penjemuran, pengungkepan, penggorengan, dan

proses pembungkusan.

Menurut Bhekti (1988) kerupuk rambak dibuat dengan cara kulit dikeringkan dibawah

sinar matahari dengan lama penjemuran kurang lebih 7 hari. Jika sudah kering kulit disimpan

atau diangkut ke bagian pembuatan. Pada bagian ini, kulit dipotong-potong dengan ukuran besar

dan kemudian direbus dengan air selama kurang lebih 4 sampai 5 jam. Perebusan dapat juga

dilakukan dengan autoclave kurang lebih 1-2 jam. Setelah perebusan kulit selesai, kulit

dibersihkan dari bulu-bulu binatang dan kemudian dipotong-potong dalam ukuran yang lebih

kecil. Selanjutnya kulit dicuci dengan air sampai bersih, dan kemudian dikeringkan. Jika sudah

kering maka kulit direbus (diungkep) dengan lama perebusan 12-15 jam dan kemudian dijemur.

Dari proses yang terakhir diperoleh rambak mentah atau kemudian digoreng untuk memperoleh

rambak matang. Kedua produk ini dikemas dan dijual di pasar dan swalayan.

Menurut Sihombing (1996), kerupuk kulit/rambak mengandung:

1. Energi = 362 Kkal per 100 g

2. Protein = 82,91%

3. Karbohidrat = 0,43%

4. Mineral = 0,04%

5. Natrium Glutamat = 0,8%

C. Timbal (Pb)

Timbal atau lebih dikenal dengan nama timah hitam, dalam bahasa ilmiahnya dinamakan

plumbum, dan logam ini disimbolkan dengan Pb (Palar, 2008). Logam ini sangat popular dan

banyak dikenal karena banyak digunakan di pabrik dan juga banyak menimbulkan keracunan

pada makhluk hidup (Darmono, 1995).

Palar (2008) menyatakan bahwa sifat-sifat khusus timbal yaitu :

a. Merupakan logam lunak, sehingga dapat dipotong dengan pisau atau dengan tangan dan

dapat dibentuk dengan mudah,

b. Merupakan logam yang tahan terhadap korosi atau karat, sehingga sering digunakan

sebagai bahan coating,

c. Mempunyai nomor atom 82 dengan berat atom 207,2,

d. Mempunyai kerapatan yang lebih besar dari logam biasa,

e. Merupakan penghantar listrik yang tidak baik,

f. Bila dicampur dengan logam lain akan membentuk logam campuran yang lebih bagus

dari logam murninya.

Pencemaran logam berat dapat terjadi pada daerah lingkungan yang bermacam-macam

dan dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu udara, daratan atau tanah, air atau lautan.

Pencemaran udara biasanya terjadi pada proses-proses industri yang menggunakan suhu tinggi,

sedangkan logam seperti Arsen, Cadmium, Raksa, dan Plumbum, adalah logam yang relatif

mudah menguap. Pencemaran daratan dan air biasanaya terjadi karena pembuangan limbah dari

penggunaan logam yang bersangkutan secara tidak terkontrol atau penggunaan bahan yang

mengandung logam itu sendiri (Darmono, 1995).

Timah hitam atau Pb yang ada dalam tatanan udara, terutama sekali bersumber dari

buangan (asap) kendaraan bermotor. Logam ini merupakan sisa pembakaran dari kendaraan

bermotor. Melalui buangan mesin kendaraan tersebut, unsur Pb terlepas sebagian diantaranya

akan membentuk partikulat di udara bebas dengan unsur-unsur lain, sedangkan sebagian lainnya

akan menempel dan diserap oleh tumbuh-tumbuhan yang ada di sepanjang jalan (Palar, 2008).

Timbal banyak ditemukan pada tambahan bensin, yaitu tetra ethyl lead (TEL) dan hasil

pembakarannya, baterai, cat, beberapa insektisida, asap rokok, serta limbah industri. Pada asap

rokok ditemukan timbal sekitar 0,017-0,98 mikrogram. Disamping itu, dalam bahan bakar

kendaraan bermotor biasanya ditambahkan pula bahan scavenger, yaitu etilendibromida

(C4H4Br2) dan etilendiklorida (C2H4Cl2). Senyawa ini dapat mengikat residu Pb yang dihasilkan

setelah pembakaran, sehingga di dalam gas buangan terdapat senyawa Pb dengan halogen (Palar,

2008).

Absorbsi timbal paling banyak melalui saluran cerna dan saluran nafas. Timbal dan

kalsium dapat berkompetisi dalam transport lewat mukosa usus karena ada suatu hubungan

timbal balik antara kalsium makanan dan absorbsi timbal. Kekurangan zat besi dilaporkan

meningkatkan absorbsi timbal melalui saluran cerna. Absorbsi timbal yang dihirup berbeda-beda

tergantung dari kadar dan bentuk partikelnya. Kira-kira 90% partikel di udara diabsorbsi melalui

saluran nafas. Keracunan langsung yang terjadi biasanya disebabkan oleh masuknya senyawa Pb

yang larut dalam asam dan inhalasi uap timbal. (Sjamsudin, 1995).

Udara yang mengandung timbal jika dihirup sekitar 50% akan diabsorbsi dari saluran

cerna sekitar 8-10%. Timbal yang diabsorbsi dari saluran cerna, sebagian akan keluar melalui

empedu, sedangkan di dalam usus akan membentuk timbal sulfid yang akan keluar bersama

feses, sebagian dari timbal sulfida yang keluar bersama feses akan mengalami reabsorbsi

kembali ke dalam peredaran darah. Timbal yang beredar dalam darah sebagian besar terikat pada

eritrosit, sedangkan timbal yang masuk dalam tubuh terutama akan diekskresi melalui feses dan

ginjal (Mutschler, 1991).

Keracunan Pb dapat menimbulkan suatu gejala pada setiap orang baik pada anak-anak

maupun dewasa. Gejala keracunan biasanya berbeda antara anak dan orang dewasa, begitu juga

asal dan kontaminasi Pb tersebut. Kerusakan saraf perifer orang dewasa lebih parah daripada

kerusakan saraf pusat yang dialami oleh anak-anak. Gejala pada anak-anak ialah nafsu makan

berkurang, sakit perut, muntah-muntah, kelemahan, sulit berbicara, peka terhadap rangsang, tes

psikologi sangat rendah dan gangguan pertumbuhan. Keracunan Pb pada orang dewasa biasanya

terjadi di tempat mereka bekerja. Tingkat keracunannya berbeda tergantung pada jenis

industrinya. Gejala yang sering ditemukan ialah kepucatan, sakit perut, anemia, hipertensi,

gangguan tidur, adanya garis hitam pada gusi, mual, diare, konstipasi dan sakit kepala (Darmono,

1995).

Palar (2008) mengatakan bahwa timbal dan persenyawaannya banyak digunanakan dalam

berbagai bidang. Dalam industri baterai digunakan sebagai grid yang merupakan suatu

persenyawaan dengan logam bismuth (Pb-Bi) dengan perbandingan (93:7). Timbal juga

digunakan sebagai sekering dan alat listrik. Dalam industri percetakan dan sebagai komponen

aktif pada pambangkit listrik tenaga panas dalam bentuk persenyawaan Pb dengan Te

(Tellurium).

Batas maksimum timbal dalam makanan yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi

Nasional No. SNI 7387:2009 tentang batas maksimum cemaran logam dalam makanan adalah

2,0 mg/kg (Anonim, 2009).

D. Spektrofotometri Serapan Atom

Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) merupakan suatu metode pengukuran yang

didasarkan pada jumlah radiasi yang diserap oleh atom-atom bebas bila jumlah radiasi yang

diserap oleh atom-atom bebas dilewatkan melalui sistem yang mengandung atom-atom itu

(Narsito 1992 cit Handayani 2005). Metode serapan sangatlah spesifik dan selektif. Logam-

logam yang membentuk campuran kompleks dapat dianalisis dan selain itu tidak selalu

diperlukan sumber energi yang besar (Khopkar, 1990).

Menurut Hendayana (1994) umumnya bahan bakar yang digunakan adalah propana,

butana, hidrogen dan asetilen, sedang oksidatornya adalah udara, oksigen, N2O dan asetilen.

Logam-logam yang mudah diuapkan seperti Cu, Pb, Zn, Cd, umumnya ditentukan pada suhu

rendah sedangkan unsur-unsur yang tak mudah diatomisasi diperlukan suhu tinggi.

Pada SSA memerlukan lampu katoda spesifik (hollow cathode lamp). Lampu pijar katoda

berongga ini digunakan pada alat SSA karena dapat memberikan garis emisi yang tajam dari

suatu unsur yang sama dengan unsur spesifik tertentu. Lampu ini mempunyai dua elektroda, satu

diantaranya berbentuk silinder dan terbuat dari unsur yang sama dengan unsur yang dianalisis

dan diisi dengan gas mulia bertekanan rendah. Pemberian tegangan pada arus tertentu, maka

logam mulai memijar dan atom-atom logam katodanya akan teruapkan dengan pemercikan.

Elektron pada atom akan tereksitasi kemudian mengemisikan radiasi pada panjang gelombang

tertentu. Tinggi pucak diukur pada garis absorpsi dan garis emisi mempunyai lebar yang sama.

Lampu hollow cathode disebut multi unsur karena dibuat dari bermacam-macam unsur sehingga

memudahkan pekerjaan karena tidak perlu lagi menukar lampu. Misalkan saja (Ca, Mg, Al); (Fe,

Cu, Mn); (Cu, Zn, Pb, Sn); dan (Cr, Co, Cu, Fe, Mn serta Ni) (Khopkar, 1990).

Cara kerja Spektrofotometri Serapan Atom ini adalah berdasarkan atas penguapan larutan

sampel, kemudian logam yang terkandung di dalamnya diubah menjadi atom bebas. Atom

tersebut mengapsorbsi radiasi dari sumber cahaya yang dipancarkan dari lampu katoda (Hollow

Cathode Lamp) yang mengandung unsur yang akan ditentukan. Banyaknya penyerapan radiasi

kemudian diukur pada panjang gelombang tertentu menurut jenis logamnya (Khopkar, 1990).

Jika radiasi elektromagnetik dikenakan kepada suatu atom, maka akan terjadi eksitasi

elektron dari tingkat dasar ke tingkat tereksitasi. Maka setiap panjang gelombang memiliki

energi yang spesifik untuk dapat tereksitasi ke tingkat yang lebih tingggi (Anonim 2003 cit Aziz

2007).

Atomisasi

Ada 3 proses metode atomisasi pada SSA antara lain :

a. Atomisasi dengan Nyala

Pada spektrofotometer nyala serapan atom (FAAS=Flame Atomic Absorption

Spectrophotometry), cuplikan disediakan dalam bentuk larutan dan atomisasi dilakukan

dengan memasukkan larutan atau cuplikan ke dalam nyala gas bakar.

Populasi atom di dalam nyala bergantung pada suhu nyala, sedang suhu nyala

bergantung pada jenis dan perbandingan gas bahan bakar dan gas oksidan.

b. Atomisasi dengan Metode Penguapan (Vapor Generation Method).

Metode ini hanya digunakan untuk analisis As (arsen), Bi (bismuth), Sn (timah

putih), Te (tellurium), Ge dan Hg (merkuri). Metode ini menggunakan beberapa pereaksi

kimia dalam prosedur atomisasinya.

c. Atomisasi dengan Furnace

Atomisasi dengan tanur (furnace atomization) dilakukan dengan mengukur batang

listrik karbon (CRA = Carbon Red Atomizer) yang biasanya berbentuk tabung grafit.

Cuplikan diletakkan pada tabung grafit dan arus listrik dialirkan melalui tabung tersebut,

kemudian tabung dipanaskan sampai suhu tinggi sehingga cuplikan akan teratomisasi

(Gunandjar 1985 cit Laely 2007).

Pada atomisasi dengan nyala, larutan sampel diaspirasikan ke suatu nyala dan unsur-

unsur di dalam sampel diubah menjadi uap atom sehingga nyala mengandung atom unsur-unsur

yang dianalisis. Beberapa diantara atom akan tereksitasi secara termal oleh nyala, tetapi

kebanyakan atom tetap tinggal sebagai atom netral dalam keadaan dasar (ground state). Atom-

atom ground state ini kemudian menyerap radiasi yang diberikan oleh sumber radiasi yang

terbuat oleh unsur-unsur yang bersangkutan. Panjang gelombang yang dihasilkan oleh sumber

radiasi adalah sama dengan panjang gelombang yang diabsorbsi oleh atom dalam nyala.

Absorbsi ini mengikuti hukum Lambert-Beer, yaitu absorbansi berbanding lurus dengan panjang

nyala yang dilalui sinar dan konsentrasi uap atom dalam nyala. Kedua variabel ini sulit untuk

ditentukan tetapi panjang nyala dapat dibuat konstan sehingga absorbansi hanya berbanding

langsung dengan konsentrasi analit dalam larutan sampel (Anonim 2003 cit Aziz 2007).

Aspek kuantitatif dari metode spektrofotometri diterangkan oleh hukum Lambert-Beer,

yaitu:

A = ε . b . c atau A = a . b . c ...........................................(1)

Dimana :

A = Absorbansi

ε = Absorptivitas molar (mol/L)

a = Absorptivitas (g/L)

b = Tebal nyala (nm)

c = Konsentrasi (ppm)

Absorptivitas molar (ε) dan absorptivitas (a) adalah suatu konstanta dan nilainya spesifik

untuk jenis zat dan panjang gelombang tertentu, sedangkan tebal media (sel) dalam prakteknya

tetap (Anonim 2003 cit Aziz 2007).

Instrumentasi Spektrofotometri Serapan Atom

Alat spektrofotometer serapan atom terdiri dari rangkaian dalam diagram skematik

berikut:

Gambar 1. Diagram Spektrometer Serapan Atom atau SSA (Syahputra 2004 cit Aziz 2007).

Keterangan : 1. Sumber sinar

2. Pemilah (Chopper)

3. Nyala

4. Monokromator

5. Detektor

6. Amplifier

7. Meter atau recorder

Komponen-komponen Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) adalah:

1. Sumber Sinar

Sumber radiasi SSA adalah Hollow Cathode Lamp (HCL). Setiap pengukuran dengan

SSA kita harus menggunakan Hollow Cathode Lamp khusus misalnya akan menentukan

konsentrasi tembaga dari suatu cuplikan. Hollow Cathode akan memancarkan energi radiasi

yang sesuai dengan energi yang diperlukan untuk transisi elektron atom.

Hollow cathode lamp (HCL), merupakan sumber radiasi dengan spektra yang tajam dan

mengemisikan gelombang monokromatis. Lampu ini terdiri dari katoda cekung yang silindris

yang terbuat dari unsur yang akan ditentukan atau campurannya (alloy) dan anoda yang terbuat

dari tungsten. Elektroda-elektroda ini berasal dari tabung gelas dengan jendela quartz karena

panjang gelombang emisinya sering berada pada daerah ultraviolet. Tabung gelas tersebut dibuat

bertekanan rendah dan diisi dengan gas inert Ar atau Ne. Beda voltase yang cukup tinggi

dikenakan pada kedua elektroda tersebut sehingga atom gas pada elektoda terionisasi. Ion positif

ini dipercepat ke arah katoda dan ketika menabrak logam yang ada pada katoda dan

menyebabkan elektron terluar pada atom akan tereksitasi ke tingkat elektron yang lebih tinggi.

(Khopkar, 1990). Secara jelas dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Diagram skematik lampu katoda cekung (Khopkar 1990).

Socket

Anode

Hollow Cathode Lamp

Fill Gas Ne or Ar (1-5 torr)

Glass Envelope

2. Atomizer

Sumber atomisasi dibagi menjadi dua yaitu sistem nyala dan sistem tanpa nyala.

Kebanyakan instrumen sumber atomisasinya adalah nyala dan sampel diaspirasikan dalam

bentuk larutan. Sampel masuk ke nyala dalam bentuk aerosol. Aerosol biasa dihasilkan oleh

nebulizer (pengabut) yang dihubungkan ke nyala oleh ruang penyemprot (chamber spray). Jenis

nyala yang digunakan secara luas untuk pengukuran analitik adalah udara-asetilen dan nitrous

oksida-asetilen. Dengan kedua jenis nyala ini, kondisi analisis yang sesuai untuk kebanyakan

analit dapat ditentukan dengan menggunakan metode-metode emisi, absorbsi dan juga

fluorosensi.

3. Monokromator

Monokromator merupakan alat yang berfungsi untuk memisahkan radiasi yang tidak

diperlukan dari spektrum radiasi lain yang dihasilkan oleh Hollow Cathode Lamp.

4. Detektor

Detektor merupakan alat yang mengubah energi cahaya menjadi energi listrik, yang

memberikan suatu isyarat listrik berhubungan dengan daya radiasi yang diserap oleh permukaan

yang peka.

5. Sistem pengolah

Sistem pengolah berfungsi untuk mengolah kuat arus dari detektor menjadi besaran daya

serap atom transmisi yang selanjutnya diubah menjadi data dalam sistem pembacaan.

6. Sistem pembacaan

Sistem pembacaan merupakan bagian yang menampilkan suatu angka atau gambar yang

dapat dibaca oleh mata.

Gangguan dalam Spektrofotometri Serapan Atom

Berbagai faktor dapat mempengaruhi pancaran nyala suatu unsur tertentu dan

menyebabkan gangguan pada penetapan konsentrasi unsur (Syahputra 2004 cit Aziz 2007).

1. Gangguan akibat pembentukan senyawa refraktori

Gangguan ini dapat diakibatkan oleh reaksi antara analit dengan senyawa kimia, biasanya

anion, yang ada dalam larutan sampel sehingga terbentuk senyawa yang tahan panas

(refractory). Sebagai contoh fospat akan bereaksi dengan kalsium dalam nyala menghasilkan

pirofospat (Ca2P2O7). Hal ini menyebabkan absorpsi ataupun emisi atom kalsium dalam

nyala menjadi berkurang. Gangguan ini dapat diatasi dengan menambahkan stronsium

klorida atau lanthanum nitrat ke dalam larutan. Kedua logam ini mudah bereaksi dengan

fospat dibanding dengan kalsium sehingga reaksi antara kalsium dengan fospat dapat dicegah

atau diminimalkan. Gangguan ini dapat juga dihindari dengan menambahkan Ethylene

Diamine Tetra Acetic (EDTA) berlebih. EDTA akan membentuk kompleks kelat dengan

kalsium, sehingga pembentukan senyawa refraktori dengan fospat dapat dihindarkan.

Selanjutnya kompleks Ca-EDTA akan terdisosiasi dalam nyala menjadi atom netral Ca yang

menyerap sinar. Gangguan yang lebih serius terjadi apabila unsur-unsur seperti: Al, Ti, Mo,

V dan lain-lain bereaksi dengan O dan OH dalam nyala menghasilkan logam oksida dan

hidroksida yang tahan panas. Gangguan ini hanya dapat diatasi dengan menaikkan

temperatur nyala, sehingga nyala yang umum digunakan dalam kasus semacam ini adalah

nitrous oksida-asetilen.

2. Gangguan ionisasi

Gangguan ionisasi ini biasa terjadi pada unsur-unsur alkali tanah dan beberapa unsur yang

lain. Karena unsur-unsur tersebut mudah terionisasi dalam nyala. Dalam analisis dengan

SSA yang diukur adalah emisi dan serapan atom yang tak terionisasi. Oleh sebab itu dengan

adanya atom-atom yang terionisasi dalam nyala akan mengakibatkan sinyal yang ditangkap

detektor menjadi berkurang. Gangguan ini dapat diatasi dengan menambahkan unsur-unsur

yang mudah terionisasi ke dalam sampel sehingga akan menahan proses ionisasi dari unsur

yang dianalisis.

3. Gangguan fisik alat

Gangguan fisik adalah semua parameter yang dapat mempengaruhi kecepatan sampel sampai

ke nyala dan sempurnanya atomisasi. Parameter-parameter tersebut adalah kecepatan alir

gas. Gangguan ini biasanya diatasi dengan lebih sering membuat kalibrasi atau standarisasi.

Penerapan Analisis Spektrofotometri Serapan Atom (SSA)

Teknik SSA menjadi alat canggih dalam analisis karena ketelitiannya sampai tingkat

runut dan tidak memerlukan pemisahan pendahuluan. Kelebihan kedua adalah kemungkinan

untuk menentukan konsentrasi semua unsur pada konsentrasi runut. Ketiga, sebelum pengukuran

tidak selalu perlu pemisahan unsur yang ditentukan karena kemungkinan penentuan satu unsur

lain dapat dilakukan asalkan katoda berongga yang diperlukan tersedia. Non logam yang dapat

dianalisis adalah fosfor dan boron. Logam alkali dan alkali tanah paling baik ditentukan dengan

metode emisi secara fotometri nyala (Khopkar, 1990).

Khopkar (1990) mengatakan bahwa sensitivitas dan batas deteksi merupakan dua

parameter yang sering digunakan dalam SSA. Sensitivitas didefinisikan sebagai konsentrasi

suatu unsur dalam larutan air yang mengabsorbsi 1% dari intensitas radiasi yang datang. Batas

deteksi adalah konsentrasi suatu unsur dalam larutan yang memberikan signal setara dengan dua

kali deviasi standar dari suatu seri pengukuran standar yang konsentrasinya mendekati blangko

atau signal latar belakang. Baik sensitifitas maupun batas deteksi dapat bervariasi dengan

perubahan temperatur nyala dan lebar pita spektra.

Metode SSA dapat digunakan untuk analisis secara kualitatif maupun kuantitatif. Analisis

kualitatif dapat digunakan satu demi satu dengan menggunakan lampu katoda berongga sesuai

dengan unsur yang diduga. Pada panjang gelombang radiasi sensori (panjang gelombang

karakteristik) untuk unsur yang diduga, diukur serapannya. Jika pada panjang gelombang

tersebut memberikan serapan maka larutan cuplikan tersebut mengandung unsur yang diduga,

tetapi jika tidak, maka larutan cuplikan tersebut tidak mengandung unsur yang diduga. Untuk

analisis kuantitif, kadar logam yang dianalisis dapat dihitung dengan membandingkan serapan

sampel ke dalam persamaan regresi linear kurva baku logam yang dianalisis (Day & Underwood

2002 cit Laely 2007).

E. Validasi Metode Analisis

Validasi metode analisis adalah suatu tindakan penilaian terhadap parameter tertentu,

berdasarkan percobaan laboratorium, untuk membuktikan bahwa parameter tersebut memenuhi

persyaratan untuk penggunaannya (Harmita, 2004).

Harmita (2004) menyatakan bahwa beberapa parameter analisis yang harus

dipertimbangkan dalam validasi metode analisis adalah :

1. Kecermatan (accuracy)

Kecermatan adalah ukuran yang menunjukkan derajat kedekatan hasil analisis

dengan kadar analit yang sebenarnya. Kecermatan dinyatakan sebagai persen perolehan

kembali (recovery) analit yang ditambahkan. Untuk mencapai kecermatan yang tinggi

hanya dapat dilakukan dengan cara menggunakan peralatan yang sudah dikalibrasi,

menggunakan pereaksi dan pelarut yang baik, pengontrolan suhu, dan pelaksanaannya

yang cermat dan sesuai prosedur.

Kecermatan dilakukan dengan dua cara yaitu metode simulasi (spiked-placebo

recovery) atau metode panambahan baku (standard addition method). Dalam metode

simulasi, sejumlah analit bahan murni ditambahkan ke dalam campuran bahan pembawa

sediaan farmasi (placebo) lalu campuran tersebut dianalisis dan hasilnya dibandingkan

dengan kadar analit yang ditambahkan (kadar yang sebenarnya). Dalam metode

panambahan baku, sampel dianalisis lalu sejumlah tertentu analit yang diperiksa

ditambahkan ke dalam sampel, dicampur dan dianalisis lagi. Selisih kedua hasil

dibandingkan dengan kadar yang sebenarnya adalah hasil yang diharapkan. Dalam kedua

metode tersebut, persen perolehan kembali dinyatakan sebagai rasio antara hasil yang

diperoleh dengan hasil yang sebenarnya. Persen perolehan kembali dapat ditentukan

dengan cara membuat sampel plasebo kemudian ditambah analit dengan konsentrasi

tertentu (biasanya 80%-120% dari kadar analit yang diperkirakan), kemudian dianalisis

dengan metode yang akan divalidasi.

Perhitungan perolehan kembali dapat juga ditetapkan dengan rumus sebagai

berikut:

% Perolehan kembali = Kadar terukur X 100 %

Kadar sebenarnya

2. Keseksamaan (precision)

Keseksamaan adalah ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian antara hasil uji

individual, diukur melalui penyebaran hasil individual dari rata-rata jika prosedur

diterapkan secara berulang pada sampel-sampel yang diambil dari campuran yang

homogen.

Keseksamaan diukur sebagai simpangan baku atau simpangan baku relatif.

Keseksamaan dapat dinyatakan sebagai keterulangan (repeatability) atau ketertiruan

(reproducibility). Keterulangan adalah keseksamaan metode jika ilakukan berulang kali

oleh analis yang sama pada kondisi sama dan dalam interval waktu yang pendek.

Ketertiruan adalah keseksamaan metode jika dikerjakan pada kondisi yang berbeda.

Kriteria seksama diberikan jika metode memberikan simpangan baku relatif atau

koefisien variasi 2% atau kurang. Tetapi kriteria ini sangat fleksibel tergantung pada

konsentrasi analit yang diperiksa, jumlah sampel, dan kondisi laboratorium.

Keseksamaan dapat dihitung dengan cara sebagai berikut:

a. Hasil analisis adalah x1, x2, x3, x4, ……. Xn

Maka simpangan bakunya adalah:

SD = 1

)( 2

nXXi

b. Simpangan baku relatif atau koefisien variasi (KV) adalah:

RSD % = ௌ௫ܺ 100%

3. Linearitas dan Rentang

Linearitas adalah kemampuan metode analisis yang memberikan respon yang

secara langsung atau dengan bantuan transformasi matematik yang baik, proporsional

terhadap konsentrasi analit dalam sampel. Rentang metode adalah pernyataan batas

terendah dan tertinggi analit yang sudah ditunjukkan dapat ditetapkan dengan

kecermatan, keseksamaan, dan linearitas yang dapat diterima.

Linearitas biasanya dinyatakan dalam istilah variasi sekitar arah garis regresi yang

dihitung berdasarkan persamaan metematik data yang diperoleh dari hasil uji analit dalam

sampel dengan berbagai konsentrasi analit. Pengujian matematik dalam pengujian

linearitas adalah melalui persamaan garis lurus dengan metode kuadrat terkecil antara

hasil analisis terhadap konsentrasi analit. Sebagai parameter adanya hubungan linear

digunakan koefisien korelasi r pada analisis regresi linear y = a + bx.

4. Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi

Batas deteksi adalah jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat dideteksi.

Batas deteksi merupakan parameter uji batas.

Batas kuantitasi merupakan parameter pada analisis sebagai kuantitas terkecil

analit dalam sampel yang masih memenuhi kriteria cermat dan seksama.