Jbptunpaspp Gdl Trisvapara 1815 1 Babi

28
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Kota Bandung adalah kota jasa yang merupakan salah satu pusat perbelanjaan terbesar di Indonesia, dilihat dari mal-mal yang banyak didirikan dan dipenuhi oleh sektor formal. Pada umumnya sektor formal menggunakan teknologi maju, modal yang banyak, dan mendapat perlindungan pemerintah. Bertumbuhnya sektor formal yang mendapat dukungan khusus oleh pemerintah, belum secara tegas dibandingkan dengan dukungan terhadap sektor informal jalan. Sektor informal adalah kegiatan perdagangan yang bersifat mudah dan praktis karena menyangkut jenis barang, tata ruang, dan waktu, dan lebih banyak ditangani oleh masyarakat golongan bawah, yang merupakan wujud dari Pedagang Kaki Lima. Permasalahan yang dihadapi Kota Bandung sebagai Ibu Kota Propinsi Jawa Barat adalah permasalahan- permasalahan yang ditimbulkan oleh tumbuh dan

Transcript of Jbptunpaspp Gdl Trisvapara 1815 1 Babi

Page 1: Jbptunpaspp Gdl Trisvapara 1815 1 Babi

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Kota Bandung adalah kota jasa yang merupakan salah satu pusat

perbelanjaan terbesar di Indonesia, dilihat dari mal-mal yang banyak didirikan dan

dipenuhi oleh sektor formal. Pada umumnya sektor formal menggunakan

teknologi maju, modal yang banyak, dan mendapat perlindungan pemerintah.

Bertumbuhnya sektor formal yang mendapat dukungan khusus oleh pemerintah,

belum secara tegas dibandingkan dengan dukungan terhadap sektor informal

jalan. Sektor informal adalah kegiatan perdagangan yang bersifat mudah dan

praktis karena menyangkut jenis barang, tata ruang, dan waktu, dan lebih banyak

ditangani oleh masyarakat golongan bawah, yang merupakan wujud dari

Pedagang Kaki Lima.

Permasalahan yang dihadapi Kota Bandung sebagai Ibu Kota Propinsi

Jawa Barat adalah permasalahan-permasalahan yang ditimbulkan oleh tumbuh

dan berkembangnya penduduk. Berdasarkan data dari Dinas Kependudukan dan

Catatan Sipil, jumlah penduduk kota Bandung tahun 2009 berjumlah 2.244.760

jiwa, pada tahun 2010 jumlah penduduk kota bandung mengalami peningaktan

sebesar 2.390.441 jiwa, dan hasil pemutakhiran data Dinas Kependudukan dan

Catatan Sipil Kota Bandung sampai akhir tahun 2011 jumlah penduduk Kota

Bandung sebanyak 2.537.232 jiwa. Pertumbuhan dan perkembangan penduduk

tersebut sebagai faktor alami dan faktor urbanisasi yang sulit terkendalikan.

Page 2: Jbptunpaspp Gdl Trisvapara 1815 1 Babi

2

Angka pertambahan penduduk urban Kota Bandung cukup tinggi. Jumlah data

penduduk kaum urban sebesar 292.472 jiwa yang terhitung dari pertambahan

penduduk selama tiga tahun terakhir yakni dari tahun 2009 hingga tahun 2011

(berdasarkan data dari Dinas Kependudukan Catatan Sipil Kota Bandung).

Pertumbuhan dan perkembangan penduduk merupakan potensi, tapi disisi lainnya

merupakan beban dan menjadi permasalahan kota. Salah satu yang menjadi

permasalahan adalah masalah pedagang kaki lima atau yang biasa disebut oleh

masyarakat PKL.

Kegiatan berdagang apabila ditata dan dikelola dengan baik akan

menimbulkan suatu dampak positif bagi perekonomian suatu daerah, begitu pun

sebaliknya apabila tidak ditata dan dikelola dengan baik maka kegiatan berdagang

ini dapat menimbulkan permasalahan bagi suatu daerah, terutama kawasan

perkotaan. Masalah tersebut dapat timbul diakibatkan pedagang tidak tepat dalam

memlih tempat usaha untuk menawarkan atau menjual barang dagangannya

kepada konsumen. Pedagang dapat digolongkan kedalam dua jenis, yaitu

pedagang yang menetap pada satu tempat yang memang diperuntukkan untuk

berdagang dan pedagang yang mobile yaitu pedagang yang berpindah-pindah dan

tidak memiliki tempat yang tetap, jenis pedagang yang kedua ini dapat disebut

sebagai pedagang kaki lima (PKL). Pedagang kaki lima ketika menawarkan atau

menjual barang dagangannya kepada konsumen cenderung selalu menempati

ruang publik sehingga keberadaannya sangat mengganggu aktivitas publik.

Beberapa tahun belakangan ini pemerintah kota Bandung disibukkan oleh

permasalahan menjamur serta merebaknya para pedagang kaki lima. Untuk

Page 3: Jbptunpaspp Gdl Trisvapara 1815 1 Babi

3

menyikapi permasalahan tersebut diperlukan suatu peraturan dan tindakan tegas

untuk melakukan penanganan terhadap pedagang kaki lima yang ada di kota

Bandung. Tindakan penanganan pedagang kaki lima didasari atas suatu kebijakan

publik, yaitu berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan Peraturan

Daerah. Merujuk kepada peraturan dalam penanganan pedagang kaki lima

diantaranya adalah Keputusan Walikota Bandung No. 511.23/Kep.1779.Huk/2003

Tentang Pembentukan Tim Penertiban Dan Penataan Pedagang Kaki Lima Kota

Bandung yang diperkuat dengan Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 03 tahun

2005 yang isinya mengatur tentang Penyelenggaraan kebersihan, ketertiban dan

keindahan telah mendapat beberapa perubahan ketentuan yaitu keluarannya Perda

No. 11 Tahun 2005. Kebijakan publik tersebut tidak serta merta dibuat. Perlu

adanya implementasi agar kebijakan tersebut dapat berjalan. Oleh karena itu,

implementasi kebijakan perlu dilaksanakan agar kebijakan yang dimaksud benar-

benar dapat berjalan efektif untuk menanggulangi gangguan-gangguan yang

terjadi dan berfungsi sebagai alat untuk merealisasikan harapan atau tujuan yang

diinginkan.

Permasalahan pedagang kaki lima telah masuk ke dalam permasalahan

ketertiban umum, maka berdasarkan Peraturan Daerah kota Bandung No. 04

Tahun 2005 Tentang Pembentukan Dan Susunan Organisasi Satuan Polisi

Pamong Praja Kota Bandung, dibentuklah suatu organisasi Satuan Polisi Pamong

Praja Kota Bandung yang mempunyai tugas pokok memelihara dan

menyelenggarakan ketentraman dan ketertiban umum, menegakkan Peraturan

Daerah, Peraturan Walikota dan Keputusan Walikota sebagai pelaksana Peraturan

Page 4: Jbptunpaspp Gdl Trisvapara 1815 1 Babi

4

Daerah. Berdasarkan Keputusan Walikota Bandung No.

511.23/Kep.1779.Huk/2003 Tentang Pembentukan Tim Penertiban Dan Penataan

Pedagang Kaki Lima Kota Bandung, menjelasakan bahwa pada susunan Tim

Penertiban Dan Penataan Pedagang Kaki Lima Kota Bandung, pelaksana harian

operasional di lapangan dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja Kota

Bandung.

Keputusan Walikota Bandung No. 511.23/Kep.1322-Huk/2001 Tentang

Lokasi Bebas Dari Kegiatan Pedagang Kaki Lima di Kota Bandung, menegaskan

tentang lokasi yang tidak boleh digunakan untuk berjualan. Lokasi bebas dari

kegiatan pedagang kaki lima ini dikenal dengan kawasan 7 titik, yaitu antara lain:

1. Kawasan Alun-alun kota Bandung dan sekitarnya

2. Jl. Dalem Kaum dan Jl. Dewi Sartika

3. Jl. Kepatihan

4. Jl. Asia-Afrika

5. Jl. Otto Iskandardinata, mulai dari pintu kereta api sampai dengan

Tegallega

6. Jl. Jendral Sudirman

7. Merdeka (BIP), mulai dari persimpangan Jl. Ir. H. Juanda dan Jl. L.L.R.E

Martadinata (Riau) sampai dengan Jl. Aceh.

Mempertimbangkan jumlah lokasi bebas dari kegiatan pedagang kaki lima

yang berjumlah 7 titik, maka untuk memfokuskan pembahasan ini peneliti

memilih beberapa tempat dalam pembahasan penertiban pedagang kaki lima di

kota Bandung. Adapun lokasi yang dipilih adalah 1 titik lokasi bebas dari kegiatan

Page 5: Jbptunpaspp Gdl Trisvapara 1815 1 Babi

5

pedagang kaki lima dari keseluruhan 7 titik lokasi bebas dari kegiatan pedagang

kaki lima yang ada di kota Bandung.

Lokasi yang dipilih oleh peneliti adalah kawasan Alun-alun kota Bandung

dan sekitarnya. Peneliti merasa tertarik untuk memilih kawasan Alun-alun kota

Bandung dan sekitarnya karena keberadaan lokasi tersebut sebagai pusatnya kota

Bandung yang memiliki nilai sejarah yang cukup kuat berkaitan dengan

perkembangan kota Bandung sejak zaman dulu, kawasan Alun-alun kota Bandung

sebagai pusat kota Bandung juga dapat berperan sebagai simbol kota Bandung

pada umumnya, di kawasan Alun-alun kota Bandung juga terdapat Masjid Raya

Propinsi Jawa Barat yang selain berfungsi sebagai tempat ibadah juga berfungsi

sebagai objek wisata religi yang memiliki daya tarik bagi masyarakat (wisata

keluarga) dari kota Bandung maupun dari luar kota Bandung, di kawasan Alun-

alun kota Bandung sebelah selatan juga terdapat Pendopo sebagai rumah dinas

dari Walikota Bandung. Tetapi sekarang ini di kawasan Alun-alun kota Bandung

banyak terdapat pedagang kaki lima yang tidak tertib dan berjualan seenaknya

sehingga memberikan kesan yang kumuh dan mengganggu kebersihan dan

keindahan kota, banyak pedagang kaki lima yang melanggar peraturan, khususnya

peraturan tentang lokasi kawasan Alun-alun dan sekitarnya yang harus bebas dari

kegiatan berjualan para pedagang kaki lima.

Mengingat keberadaan lokasi kawasan Alun-alun kota Bandung dan

sekitarnya sebagai pusat kota Bandung, sebagai ruang publik yang sering

digunakan masyarakat dan sebagai objek wisata religi serta bersebelahan dengan

Pendopo atau rumah dinas dari Walikota Bandung, maka keberadaan pedagang

Page 6: Jbptunpaspp Gdl Trisvapara 1815 1 Babi

6

kaki lima di kawasan tersebut harus ditangani dan ditertibkan agar di kawasan

Alun-alun kota Bandung dan sekitarnya dapat tercipta suatu kondisi yang tertib,

kondusif dan, tertata dengan baik, khususnya untuk mewujudkan kawasan Alun-

alun kota Bandung dan sekitarnya menjadi bersih dan indah serta untuk

mewujudkan kota Bandung sebagai kota jasa yang genah merenah tumaninah.

Berdasarkan hasil pengamatan yang peneliti lakukan pada Seksi Penertiban

Bidang Operasional Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandung, peneliti

menemukan permasalahan belum optimalnya kinerja pegawai. Permasalahan

tersebut dapat dilihat dari indikasi sebagai berikut :

1. Quality of work, hal ini terlihat dari pekerjaan yang dihasilkan pegawai

tidak sesuai dengan yang diharapkan. Contoh: Berdasarkan hasil

wawancara dengan Kepala Bidang Operasional, diketahui bahwa upaya

penertiban pedagang kaki lima berdasarkan Perda nomor 03 tentang K3

tahun 2005 pasal 37 dilakukan melalui razia rutin setiap hari mulai dari

pagi sampai dengan siang hari. Tetapi razia rutin yang dilakukan belum

menunjukkan keberhasilan, misalnya dengan masih banyaknya pedagang

kaki lima yang berjualan. Hal ini dari hasil pengamatan peneliti

menunjukkan bahwa pedagang kaki lima masih banyak yang berjualan,

disetiap kawasan tujuh titik seperti di halaman depan Masjid Raya Propinsi

Jawa Barat.

2. Quantity of work, jumlah kerja yang dilakukan dalam suatu periode tidak

tepat pada waktu yang telah ditentukan. Contohnya berdasarkan hasil

wawancara dengan Kepala Bidang Operasional dan berdasarkan prosedur

Page 7: Jbptunpaspp Gdl Trisvapara 1815 1 Babi

7

tetap (PROTAP) operasional tentang cara pelaksanaan ketertiban umum,

diketahui bahwa sebelum dilakukan tindakan penertiban pedagang kaki

lima maka terlebih dahulu dilakukan sosialisasi produk hukum (peraturan

daerah) dan adanya penetapan waktu pelaksanaan sosialisasi. Selama ini

pola sosialisasi yang dilakukan berdasarkan tiga tahapan, sosialisasi tahap

pertama yaitu berbentuk himbauan/peringatan kepada pedagang kaki lima

untuk tidak berjualan di tempat-tempat yang dilarang untuk berjualan dan

sosialisasi tahap pertama ini berlaku untuk jangka waktu 7 hari, apabila

himbuan atau peringatan tersebut tidak dihiraukan sesuai dengan jangka

waktu yang telah ditetapkan, maka dilakukan sosialisasi tahap kedua yang

sama dengan sosialisasi tahap pertama yaitu himbauan/peringatan dan

berlaku untuk jangka waktu 7 hari, kemudian apabila masih tidak

dihiraukan maka dilakukan sosialisasi tahap ketiga yaitu berbentuk

perintah kepada pedagang kaki lima untuk mengosongkan tempat yang

dilarang untuk berjualan dan perintah ini berlaku untuk jangka waktu 3

hari, apabila peringatan tahap tiga ini masih tidak dihiraukan maka

selanjutnya akan dilakukan tindakan represif penertiban pedagang kaki

lima. Kemudian berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Seksi

Penertiban Bidang Operasional bahwa seharusnya setelah perintah

pengosongan dengan penetapan jangka waktu 3 hari dan masih tidak

dihiraukan, maka pada hari ke-4 langsung dilakukan tindakan penertiban,

tetapi pada kenyataannya penertiban baru dilakukan pada harike-7 bahkan

Page 8: Jbptunpaspp Gdl Trisvapara 1815 1 Babi

8

terkadang lebih. Hal ini menunjukkan bahwa pegawai dalam melaksanakan

pekerjaan tidak sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan.

Berdasarkan indikator-indikator diatas, masalah tersebut diduga oleh

implementasi kebijakan kawasan tujuh titik yang belum dilaksanakan secara

optimal. Hal ini terlihat dari, sebagai berikut :

1. Kurangnya sumber daya yang dimiliki. Sumber daya yang dimaksud

mencakup faktor-faktor yang mendorong dan memperlancar implementasi

kebijakan seperti jumlah pegawai/personil, sarana atau perlengkapan serta

dana yang dimiliki. Contohnya sumber-sumber kebijakan yang dimiliki

oleh pegawai Seksi Penertiban Bidang Operasional dalam upaya penertiban

pedagang kaki lima masih sangat kurang, jumlah pegawai/personil yang

dimiliki hanya berjumlah 170 orang padahal yang dibutuhkan bidang

operasional khususnya seksi penertiban membutuhkan ± 1000 personil dan

jumlah pegawai/personil tersebut bukan hanya melakukan tugas untuk

menertibkan pedagang kaki lima saja. Kemudian sarana atau perlengkapan

yang dimiliki masih kurang, Seksi Penertiban Bidang Operasional hanya

memiliki kendaraan operasional jenis mobil truk angkutan personil hanya 2

unit, kendaraan truk untuk mengangkut barang sebanyak 5 unit (rusak berat

2 unit), mobil operasional jenis kijang yang digunakan untuk berpatroli

yang berjumlah 4 unit dan diperuntukkan bagi Kepala Bidang Operasional

sebanyak 1 unit, Kepala Seksi sebanyak 2 unit, dan 1 unit lagi digunakan

untuk operasional bagi pegawai yang memerlukan, kemudian sepeda motor

operasional patroli sebanyak 18 unit, sepeda motor non patroli 12 unit,

Page 9: Jbptunpaspp Gdl Trisvapara 1815 1 Babi

9

sedangkan perlengkapan pakaian yang dimiliki seperti pakaian anti huru-

hara, tameng, helm, pentungan, pisau dan dahrim yang berfungsi sebagai

pelindung bagi pegawai di lapangan hanya berjumlah 50 pasang. Hal

tersebut diatas tentu saja menunjukkan bahwa jumlah pegawai atau personil

serta sarana atau perlengkapan yang dimiliki kurang sekali dan dirasa tidak

seimbang bila dibandingkan dengan lingkup tugas pegawai Seksi

Penertiban Bidang Operasional yang mencakup wilayah kota Bandung

secara keseluruhan dan dihadapkan pada jumlah pedagang kaki lima yang

semakin banyak. Kemudian berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala

Bidang Operasional, diketahui bahwa untuk mengajukan penambahan

jumlah pegawai atau personil untuk mencapai jumlah yang ideal dan

penambahan sarana atau perlengkapan operasional terkendala dengan dana

yang sangat terbatas.

2. Disposisi atau sikap para pelaksana di lapangan cenderung kurang bersikap

tegas terhadap pedagang kaki lima yang melakukan pelanggaran,

Contohnya untuk mensukseskan penertiban pedagang kaki lima, pegawai

Seksi Penertiban Bidang Operasional telah membangun pos di samping

kawasan Alun-alun kota Bandung, beberapa pleton pegawai/personil dan

kendaraan operasional pun selalu siap siaga di kawasan Alun-alun kota

Bandung. Tetapi berdasarkan hasil pengamatan yang peneliti lakukan,

bahwa kenyataan di lapangan pegawai/personil yang ada di kawasan Alun-

alun kota Bandung hanya berjaga-jaga di pos, ada juga yang hanya duduk

sambil mengobrol di dalam kendaraan operasional, di sekitar taman dan di

Page 10: Jbptunpaspp Gdl Trisvapara 1815 1 Babi

10

trotoar sebelah selatan kawasan Alun-alun kota Bandung tanpa menindak

tegas atau melakukan penertiban terhadap pedagang kaki lima yang

berjualan di kawasan tersebut. Hal ini tentu saja menunjukkan sikap yang

tidak tegas dari pegawai sehingga memberikan keleluasaan kepada

pedagang kaki lima untuk tetap berjualan.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji lebih lanjut

permasalahan tersebut, untuk itu peneliti mengadakan penelitian yang hasilnya

dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul:

PENGARUH IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KAWASAN TUJUH TITIK

TERHADAP KINERJA PEGAWAI SEKSI PENERTIBAN BIDANG

OPERASIONAL PADA KANTOR SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KOTA

BANDUNG

1.2. Perumusan dan Identifikasi Masalah

1.2.1. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian sebagaimana diuraikan diatas,

maka yang menjadi masalah (problem statement) dalam penelitian ini adalah

Kinerja Pegawai Seksi Penertiban Bidang Operasional Pada Kantor Satuan

Polisi Pamong Praja Kota Bandung rendah. Hal ini diduga belum

dilaksanakannya implementasi kebijakan secara secara optimal.

1.2.2. Identifikasi Masalah

1. Bagaimana pengaruh implementasi kebijakan kawasan tujuh titik terhadap

kinerja pegawai seksi penertiban pada Satuan Polisi Pamong Praja Kota

Bandung.

Page 11: Jbptunpaspp Gdl Trisvapara 1815 1 Babi

11

2. Hambatan-hambatan apa saja yang menjadi penghambat dalam usaha

meningkatkan kinerja pegawai seksi penertiban pada Satuan Polisi

Pamong Praja Kota Bandung.

3. Usaha-usaha apa saja yang dilakukan untuk menanggulangi hambatan-

hambatan pengaruh implementasi kebijakan kawasan tujuh titik terhadap

kinerja pegawai seksi penertiban pada Satuan Polisi Pamong Praja Kota

Bandung.

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1.3.1. Tujuan Penelitian

a) Menemukan data dan Informasi tentang sejauh mana pengaruh

implementasi kebijakan kawasan tujuh titik terhadap kinerja pegawai

seksi penertiban pada Kantor Satuan Polisi Pamong Praja Kota

Bandung.

b) Mengembangkan data dan informasi mengenai pengaruh implementasi

kebijakan kawasan tujuh titik terhadap kinerja pegawai seksi penertiban

pada Kantor Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandung.

c) Menerapkan data dan informasi mengenai pengaruh Implementasi

Kebijakan kawasan tujuh titik terhadap kinerja pegawai seksi penertiban

pada Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandung.

1.3.2. Kegunaan Penelitian.

a). Kegunaan Teoritis :

Page 12: Jbptunpaspp Gdl Trisvapara 1815 1 Babi

12

Memberikan sumbangan pemikiran dan memperkaya kepustakaan

dalam bidang Ilmu Administrasi Negara, khususnya tentang

implementasi kebijakan kawasan tujuh titik.

b). Kegunaan Praktis :

Diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran untuk menjadi

bahan alternatif pemikiran atau pertimbangan sebagai masukan bagi

kantor Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandung yang berkaitan

dengan Pengaruh Implementasi Kebijakan Kawasan Tujuh Titik dan

kinerja pegawai.

c). Bagi Penulis :

Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk menambahkan wawasan

pengetahuan dan pengalaman yang berharga dalam menganalisis suatu

fenomena administrasi dan membandingkan dengan teori-teori yang

diperoleh sebelumnya.

1.4. Kerangka Pemikiran

Fokus dan lokus terhadap suatu sasaran dalam memecahkan masalah yang

dikemukakan peneliti, diperlukan adanya suatu anggapan dasar atau kerangka

pemikiran yang berupa dalil, hukum, teori serta pendapat dari para ahli yang

kebenarannya tidak dapat diragukan lagi. Kaitan dengan topik penyusunan bahan

usulan penelitian mengenai implementasi kebijakan kawasan tujuh titik terhadap

kinerja pegawai seksi penertiban bidang operasional pada Satuan Polisi Pamong

Page 13: Jbptunpaspp Gdl Trisvapara 1815 1 Babi

13

Praja Kota Bandung, maka peneliti mengemukakan pengertian yang berpedoman

kepada pendapat para ahli.

Menurut pendapat dari Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier yang

dikutip oleh Solihin Abdul Wahab (2001:65) dalam bukunya : Analisis

Kebijaksanaan Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara

sebagai berikut :

Implementasi adalah memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijaksanaan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan- kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaan negara, yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian.

Menurut pendapat Carl Fredrich mengenai kebijakan dalam Analisis

Kebijaksanaan Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara,

yang dikutip oleh Solihin Abdul Wahab (2001:3) mengemukakan sebagai

berikut :

Kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan.

Pelaksanaan kebijakan yang dikemukakan oleh Van Mater yang dikutip

oleh Solihin Abdul wahab (2001:65) dalam bukunya “Analisis Kebijaksanaan

dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara”, adalah sebagai

berikut:

Page 14: Jbptunpaspp Gdl Trisvapara 1815 1 Babi

14

Implementasi kebijaksanaan merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang sudah digariskan dalam keputusan kebijakan.

Menurut George C. Edward III yang dikutip oleh Widodo dalam bukunya

Analisis Kebijakan Publik” (1980:79), mengemukakan beberapa model yang

dapat mempengaruhi keberhasilan suatu implementasi kebijakan, yaitu:

1. Komunikasi, Komunikasi diartikan sebagai proses penyampaian informasi komunikator kepada komunikan.;

2. Sumber daya, sumber daya itu dibagi menjadi beberapa bagaian, diantaranya : sumber daya meliputi sumber daya manusia, sumber daya anggaran, sumber daya sarana dan prasarana, sumber daya informasi, dan juga sumber daya kewenagan;

3. Disposisi atau sikap, merupakan kemauan, keinginan, dan kecenderungan para pelaku kebijakan untuk melaksanakan kebijakan secara bersungguh-sungguh sehingga apa yang menjadi tujuan kebijakan dapat diwujudkan;

4. Struktur Birokrasi, mencakup aspek-aspek seperti struktur organisasi, pembagian kewenangan, hubungan antara unit-unit organisasi yang ada dalam organisasi yang bersangkutan, dan hubungan organisasi dengan organisasi luar dan sebagainya.

Pengertian Kinerja yang dikemukakan oleh Bernandin & Russell yang

dikutip oleh Faustino Cardoso Gomes dalam bukunya “Manajemen

Sumbedaya Manusia” (2003:135) memberikan definisi Performansi sebagai

berikut:

“Performansi atau kinerja adalah catatan outcome yang dihasilkan dari fungsi suatu pekerjaan tertentu atau kegiatan selama satu periode waktu tertentu. Sedangkan penilaian performansi adalah suatu cara mengukur kontribusi-kontribusi dari individu-individu anggota organisasi kepada organisasinya. Jadi, penilaian performansi ini diperlukan untuk menentukan tingkat kontribusi individu, atau performansi.”

Page 15: Jbptunpaspp Gdl Trisvapara 1815 1 Babi

15

Berbicara tentang kinerja personil, erat kaitannya dengan cara

mengadakan penilaian terhadap pekerjaan seseorang sehingga perlu

ditetapkan standar kinerja atau standar performance.

Pengukuran kinerja merupakan salah satu faktor penting dalam

meningkatkan daya saing sebuah organisasi. Rancangan sistem pengukuran

kinerja yang akurat dan kontekstual merupakan jembatan emas kearah mana

keunggulan sebuah organisasi akan dibawa. Sehubungan dengan hal tersebut

menurut Gomes (2003:142) dalam bukunya Manajemen Sumber Daya

Manusia, mendefinisikan ke dalam delapan dimensi kinerja pegawai, yaitu :

1. Quantity of work, jumlah kerja yang dilakukan dalam suatu periode waktu yang ditentukan;

2. Quality of work, kualitas kerja yang dicapai berdasarkan syarat-syarat kesesuaian dan kesiapannya;

3. Job knowledge, luasnya pengetahuan mengenai pekerjaan dan keterampilan;

4. Creativeness, keaslian gagasan-gagasan yang dimunculkan dan tindakan-tindakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul;

5. Cooparation, kesediaan untuk bekerjasama dengan orang lain (sesama anggota organisasi);

6. Dependability, kesadaran dan dapat dipercaya dalam hal kehadiran dan penyelesaian kerja;

7. Initiative, semangat untuk melaksanakan tugas-tugas baru dan dalam memperbesar tanggungjawabnya;

8. Personal qualities, menyangkut kepribadian, kepemimpinan, keramah tamahan, dan integritas pribadi;

1.5. Keterkaitan Antara Kebijakan Publik Dan Kinerja Pegawai

Kebijakan publik yang berkualitas tidaklah hanya berisi cetusan pikiran

atau pendapat para administrator publik, tetapi harus berisi pula opini publik

Page 16: Jbptunpaspp Gdl Trisvapara 1815 1 Babi

16

sebagai representasi dari kepentingan publik. Oleh karena itu tugas utama

administrator atau pelaku yang melaksanakan kebijakan publik mempunyai

hubungan yang sangat erat sekali dengan kepentingan publik, dan untuk itu ia

harus memerhatikan terhadap masalah-masalah, kebutuhan-kebutuhan, dan

tuntutan-tuntutan yang ada dilingkungannya. Administrator publik sebagai pelaku

kebijakan merupakan salah satu komponen dari sistem kebijakan publik.

Menurut Goggin yang dikutip oleh Tacjhan (2008 : 82) dalam bukunya

implementasi kebijakan publik mengemukakan :

Dalam implementasi kebijakan publik, organisasi (birokrasi) publik yang berperan dominan sebagai implementator, kinerjanya secara internal akan ditentukan oleh kapasitas organisasi yang dimiliknya.

Dalam pendapat Goggin, kinerja organisasi secara internal akan ditentukan

oleh kapasitas organisasi atau administratif yang dimilkinya, adapun kapasitas

organisasi tersebut adalah mengacu pada kemampuan tindakan yang dimaksudkan

oleh organisasi. Dimana kapasitas ini merupakan suatu fungsi dari struktur,

personil, dan karakteristik finansial yang dimiliki oleh badan pemerintahan

sebagai implementing organization.

Berdasarkan kepada teori-teori yang telah dikemukakan diatas, dapat

dikemukakan bahwa, kapasitas organisasi (birokrasi) publik dalam mencapai

kinerjanya dalam implementasi kebijakan publik secara internal akan ditentukan

oleh struktur organisasi (birokrasi), sumber daya organisasi (birokrasi), dan

budaya organisasi (birokrasi).

Page 17: Jbptunpaspp Gdl Trisvapara 1815 1 Babi

17

1.6. Hipotesis

Berdasarkan identifikasi masalah dan kerangka pemikiran diatas, maka

dapat disusun hipotesis penelitian ini sebagai berikut :

Jika implementasi kebijakan berdasarkan model implementasi kebijakan

maka kinerja pegawai seksi penertiban bidang operasional pada Kantor Satuan

Polisi Pamong Praja Kota Bandung meningkat.

Berdasarkan hipotesis tersebut, maka untuk mempermudah dalam

pengajuan hipotesis, peneliti mengajukan definisi operasional sebagai berikut :

1. Pengaruh adalah menunjukan seberapa besar keterkaitan atau pengaruh

antara implementasi kebijakan kawasan tujuh titik terhadap kinerja Pegawai

di Kantor Satuan Polisi Pamong Praja.

2. Implementasi kebijakan adalah pelaksanaan dan pengendalian arah tindakan

kebijakan yang dilakukan oleh pegawai Satuan Polisi Pamong Praja Kota

Bandung langsung dilaksanakan dilapangan untuk menertibkan sesuatu

yang melanggar peraturan yang telah ditetapkan. Hal itu didasarkan pada

dimensi-dimensi sebagai berikut : komunikasi, sumber daya, disposisi atau

sikap, dan struktur birokrasi.

3. Kinerja pegawai tentang penertiban adalah hasil kerja yang dapat dicapai

oleh Pegawai Kantor Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandung, sesuai

dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing, dalam rangka upaya

mencapai tujuan Satuan Polisi Pamong Praja secara legal, tidak melanggar

hukum sesuai dengan moral maupun etika serta berdasarkan dimensi-

dimensi yang memengaruhi kinerja pegawai yaitu : quantity of work, quality

Page 18: Jbptunpaspp Gdl Trisvapara 1815 1 Babi

18

of work, job knowledge, creativeness, cooperations, dependabiliity,

initiative, dan personal qualities.

1.7. Lokasi Dan Lamanya Penelitian

1.7.1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian di Kantor Satuan Polisi Pasmong Praja Kota Bandung di

Jl. Pelajar Pejuang 45 Buah Batu Bandung.

1.7.2. Lamanya Penelitian

Lamanya penelitian yaitu, tahap Penjajagan yang dilaksanakan pada

tanggal 10 Januari 2012 s/d 25 Januari 2012, dan pelaksanaan penelitian dari

bulan Januari sampai dengan bulan Mei 2012.