Jaminan Kesehatan Nasional Di Indonesia Pendahuluan fileJaminan Kesehatan Nasional Di Indonesia...
-
Upload
vuongtuyen -
Category
Documents
-
view
241 -
download
0
Transcript of Jaminan Kesehatan Nasional Di Indonesia Pendahuluan fileJaminan Kesehatan Nasional Di Indonesia...
Jaminan Kesehatan Nasional
Di Indonesia
Pendahuluan
Setiap warga Negara baik itu masyarakat miskin dan rentan berhak mendapatkan pelayanan kesehatan
yang memdai dan berkualitas sesuai dengan amanat UUD tahun 1945. Kesehatan telah menjadi isu
prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional (RPJMN) sejak tahun
2010-2014 dan dilanjutkan pada periode 2015-2019 (Bappenas 2013). Pembangunan kesehatan ini
bertujuan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat agar meningkatkan produktivitas kerja
masyarakat. Pemerintah telah berupaya memberikan perlindungan kesehatan bagi masyarakat miskin
dan rentan melalui program Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPSBK) merespon krisis
ekonomi pada tahun 1998. Program yang ditujukan untuk keluarga miskin (gakin) ini kemudian
dilanjutkan dengan Program Penanggulangan Dampak Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak
Kesehatan (PDPSE Bidkes) pada tahun 2001–2002 yang bertujuan untuk memberikan pelayanan
rujukan/rumah sakit bagi gakin (TNP2K 2014). Pada tahun 2003 program tersebut berubah menjadi
Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Bidang Kesehatan (PKPS BBM
Bidkes) (TNP2K, 2014).
Pada akhir tahun 2004, seiring meningkatkanya biaya kesehatan dari tahun ke tahun, Pemerintah
meluncurkan program jaminan pelayanan kesehatan kepada masyarakat miskin dan rentan (Askeskin)
dengan menggunakan prinsip asuransi sosial yang menugaskan PT Askes (Persero) sebagai
pelaksana. Program yang dibiayai dari APBN ini diharapkan dapat meningkatkan status kesehatan
masyarakat miskin dna rentan agar terus bekerja produktif, dan keluar dari kemiskinan (TNP2K, UI
Consulting, 2012). Pada tahun 2008, Askeskin kemudian berganti nama menjadi jaminan kesehatan
masyarakat (Jamkesmas). Sasaran peserta jamkesmas adalah 76,4 Juta Jiwa (Depkes 2008). Peserta
penerima jamkesmas tersebar di kabupaten/kota yang diusulkan oleh bupati/walikota untuk kemudian
ditetapkan oleh Menkes. Namun, pelaksanaan JKN di Indonesia menghadapi kendala kelembagaan
di mana kualitas layanan kesehatan masih relatif rendah, klien sering terjadi, dan kapasitas
administratif yang tidak memadai (Bank Dunia 2012). Meskipun, JKN di Indonesia masih belum
dilaksanakan dengan optimal, esai ini menyatakan bahwa JKN dapat dilaksanakan dengan lebih
berhasil jika ada peningkatan kualitas program, transparansi dan akuntabilitas, koordinasi dan
integrasi yang lebih baik dengan program-program bantuan sosial lainnya, dukungan politik yang
memadai, dan aksesibilitas yang memadai untuk meningkatkan outcomes.
Parameter Implementasi kebijakan yang baik
Ada cara sistematis untuk menilai apakah suatu kebijakan dilaksanakan dengan baik di suatu negara.
Sejumlah kriteria evaluatif untuk penilaian kebijakan yang baik dikembangkan. Kriteria ini adalah
stigma, efisiensi yang adil, kecukupan, efek insentif, biaya dan dukungan politik (Marmor 1971, hal.
84). Faktor kunci lain untuk penilaian kebijakan adalah kesetaraan, efisiensi, efektivitas dan
kelayakan politik (Rossell 1993, hal. 161). Kriteria evaluatif lainnya adalah kelayakan teknis,
kemungkinan ekonomi, viabilitas politik, operabilitas administrasi (Patton et al. 2013, p. 194). Kraft
& Furlong (2010) mengidentifikasi faktor-faktor kunci sebagai efektif, efisien, kemudahan
administrasi, kelayakan yang wajar dan politis sedangkan Bardach (2012) kriteria evaluatif adalah
efisiensi, keadilan, kebebasan, nilai proses. Dari berbagai kriteria, ada dua kriteria yang selalu
muncul, efektif dan efisien. Efektivitas adalah kemungkinan mencapai tujuan dan sasaran kebijakan
atau menunjukkan pencapaiannya. efektivitas mengacu pada pencapaian tujuan dan sasaran yang
dinyatakan sedangkan efisiensi mengacu pada pencapaian tujuan atau manfaat program dalam
hubungan dengan biaya, biaya terendah untuk manfaat tertentu atau manfaat terbesar untuk biaya
yang diberikan. Dalam efisiensi, kesederhanaan sangat penting, ini tercermin dalam sejauh mana
penduduk menggunakan skema kebijakan. Namun, sangat sulit mengukur keefektifan karena
mengukur semua biaya dan manfaat tidak selalu memungkinkan. Kriteria penting lainnya adalah
ekuitas. Keadilan di sini adalah keadilan dan keadilan dalam distribusi biaya kebijakan, manfaat, dan
risiko di seluruh populasi atau subkelompok. Efektivitas, efisiensi dan kesetaraan adalah tiga kriteria
kunci evaluatif dalam menilai kebijakan perlindungan sosial yang baik. Sangat penting untuk
mengetahui sejauh mana sistem mencapai hasil yang diinginkan dalam mempertahankan standar
kehidupan yang layak bagi kelompok miskin dan rentan. Efektivitas program atau kebijakan dapat
diukur dari hasil dan manfaat yang diperoleh oleh masyarakat (World Bank 2012). Barang dan jasa
dapat disediakan secara efisien, tetapi ketika dengan kualitas rendah dan tidak memenuhi kebutuhan
masyarakat, maka sumber daya umumnya menjadi tidak berguna. Perbandingan tujuan dan hasil
program akan efektif ketika mencapai tujuan programnya seperti peningkatan indikator sosial. Di
beberapa negara berkembang, sistem jaminan kesehatan nasional yang baik terbukti mampu menahan
dampak negatif krisis keuangan global terhadap kesehatan masyarakat dan berkontribusi positif
terhadap pertumbuhan ekonomi. Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang memiliki
sistem jaminan dan perlindungan sosial.
Pelaksanaan JKN di Indonesia
Program asuransi kesehatan sosial untuk masyarakat miskin (JKN-PBI) dimulai dari program
Jamkesmas pada tahun 2005. JKN-PBI adalah program asuransi kesehatan bagi masyarakat miskin
dan hampir miskin yang bayarannya dibayar oleh pemerintah. Program ini merupakan bagian dari
sistem asuransi kesehatan nasional yang diselenggarakan oleh Badan Keamanan Sosial Kesehatan,
yang dikenal BPJS Kesehatan, dengan tujuan melindungi masyarakat miskin dan hampir miskin dari
risiko berkurangnya kesehatan untuk menjadi penduduk yang lebih produktif. Pemerintah menyadari
bahwa rumah tangga miskin dan rentan memiliki tingkat pemanfaatan fasilitas kesehatan yang lebih
rendah (higher rates of non-utilization), tingkat yang lebih tinggi untuk penyakit yang dapat dicegah
(higher rates of preventable conditions), dan lebih sering mengalami hilangnya pendapatan akibat
peristiwa kesehatan yang merugikan (Bank Dunia, 2013d).
Pada tahun 2018, kontribusi yang dibayarkan oleh pemerintah sekitar 23.000 rupiah per bulan kepada
92,4 juta penduduk miskin dan hampir miskin di Indonesia. Program JKN-PBI berjalan relatif efektif
dalam hal memanfaatkan layanan kesehatan. Hal ini ditunjukkan oleh peningkatan output yang terkait
dengan pemanfaatan orang miskin dan hampir miskin dalam memperoleh layanan kesehatan.
Program ini terbukti efektif dalam memperluas akses ke layanan kesehatan bagi peserta JKN-PBI.
Namun, banyak kelemahan yang membuat program ini tidak dapat dikatakan sepenuhnya efektif dan
efisien. Kelemahan pertama adalah bahwa informasi dan jalur klinis perlu disosialisasikan ke semua
pusat layanan kesehatan masyarakat. Banyak peserta JKN-PBI tidak memahami alur layanan
kesehatan ketika menggunakan fasilitas kesehatan (Bank Dunia 2016). Kelemahan kedua adalah
kesalahan inklusi dan eksklusi dalam data peserta PBI-JKN. Itu membuat program ini tidak bisa
memenuhi kriteria ekuitas. Ada banyak orang yang tidak memenuhi syarat, tetapi menjadi penerima
manfaat (TNP2K 2015c). Kelemahan ketiga adalah sistem manajemen informasi yang tidak memadai
dari penggunaan layanan kesehatan. Hal ini membuat pemantauan sebagian besar berdasarkan
laporan spot check dan manual. Untuk mengatasi kelemahan ini, informasi sosialisasi dan diseminasi
harus dilaksanakan secara masif. Sangat penting untuk memastikan semua peserta PBI-JKN
memahami bagaimana menggunakan layanan kesehatan sesuai dengan prosedur jalur klinis. Selain
itu, JKN-PBI harus mengembangkan sistem pengaduan terpadu, berguna untuk memperbarui data
penerima manfaat JKN-PBI sehingga dapat diperbaiki dengan cepat secara berkelanjutan.
Ada beberapa hal lain yang juga perlu mendapat perhatian dalam pelaksanaan JKN termasuk
peningkatan kualitas program, transparansi dan akuntabilitas, koordinasi dan integrasi yang lebih baik
dengan program-program bantuan sosial lainnya, dukungan politik yang memadai, dan nilai manfaat
yang memadai untuk meningkatkan outcomes.
Pertama, peningkatan kualitas program adalah hal yang harus dilakukan secara berkesinambungan.
Kualitas program, transparansi dan akuntabilitas yang baik melibatkan proses dari hulu ke hilir, baik
dari tahap perencanaan, implementasi dan evaluasi program. Setidaknya ada sepuluh hal yang harus
diperhatikan guna meningkatkan kualitas program JKN. Yang pertama adalah inventarisasi yang
lebih baik rasio kebutuhan dan fasilitas kesehatan pemerintah dan swasta. Hal ini diperlukan guna
memetakan antara kebutuhan dan permintaan fasilitas kesehatan disuatu tempat termasuk
menyelaraskan rencana induk integrasi sektor layanan kesehatan pemerintah dan swasta. Yang kedua
adalah mempromosikan upaya pencegahan penyakit kepada seluruh penduduk. Pencegahan
sesungguhnya lebih baik dari pada mengobati. Selain dapat menekan biaya kesehatan, juga
berdampak positif terhadap produktifitas masyarakat. Yang ketiga adalah memperkuat kelembagaan
DJSN sebagai lembaga monitoring dan evaluasi pelaksanaan SJSN sesuai amanat UU 40 tentang
SJSN. Hal ini menjadi penting dalam meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan jaminan
kesehatan nasional yang dilaksanakan oleh BPJS Kesehatan.
Secara rata-rata, data rumah tangga JKN-PBI menunjukkan adanya korelasi dengan kemiskinan yang
diakibatkan pendapatan. Cakupan keseluruhan JKN-PBI (dalam Susenas 2016) adalah sekitar 18
persen rumah tangga, hampir tiga kali lipat dari tahun 2009. Dana manfaat PBI tambahan ini rata-rata
disalurkan ke rumah tangga yang sebagian besar memiliki korelasi dengan kemiskinan yang
disebabkan oleh pendapatan. Peralihan ke penetapan sasaran berbasis Basis Data Terpadu (BDT)
telah memberikan bagian manfaat yang lebih besar kepada rumah tangga miskin dan hampir miskin.
Kedua, koordinasi dan integrasi yang lebih baik dengan program bantuan sosial lainnya. Jaminan
kesehatan nasional sebagai program yang memberikan subsidi iuran jaminan kesehatan kepada
masyarakat miskin sangat bermanfaat dalam mengurangi beban finansial keluarga masyarakat miskin
dari resiko berkurangnya kesehatan. Namun, dilapangan, banyak dijumpai penerima JKN hanya
menerima satu program tersebut. Seharusnya, dengan asumsi bahwa penerima JKN adalah
masyarakat miskin dan hampir miskin, maka penerima JKN adalah juga penerima bantuan sosial
lainnya seperti program rastra (beras sejahtera), program keluarga harapan (PKH), dan program
Indonesia Pintar (PIP). Perlu integrasi dan harmonisasi program perlindungan sosial yang melibatkan
lintas Kementerian. Peran Kementerian Koordinator sebagai lembaga harmonisasi kebijakan dan
Dewan Jaminan Sosial Nasional sebagai lembaga sinkronisasi sistem jaminan sosial nasional perlu
bekerja seiring dan seirama dalam mengatasi sengkarut permasalahan masyarakat miskin yang belum
menerima bantuan dan program perlindungan jaminan sosial. Sistem informasi manajemen, baik
perangkat pengolahan data maupun sistem pengolahan data harus terus diperbaiki agar data
kemiskinan yang dihasilkan bisa robust dan dipertanggungjawabkan. TNP2K, BPS, dan Kementerian
Sosial perlu bersinergi secara lebih konstruktif agar data kemiskinan yang dihasilkan memiliki
inlucion and exclusion error yang relative kecil. Secara historis pelaksanaan bantuan sosial masih
terpecah-pecah yang dilaksanakan oleh institusi yang berbeda. Namun, Pemerintah telah berupaya
dalam mengintegrasikan program bantuan sosial dan juga menerapkan inklusi keuangan pada
program pro rakyat ini. Di tingkat pusat, pelaksanaan program bantuan sosial utama masih dilakukan
oleh enam lembaga dilevel nasional (Bank Dunia, 2012).
Ketiga, kendala aksesibilitas pelayanan. Masih dijumpai disparitas infrastruktur kesehatan diwilayah
Indonesia bagian timur dan barat. Akibat dari persebaran infrastruktur yang tidak merata, sebagian
masyarakat mengeluarkan biaya transportasi yang relatif signifikan untuk mengakses pelayanan
kesehatan. Keragaman dalam cakupan fasilitas kesehatan dan biaya berarti nilai transfer PBI dalam
bentuk yang diterima oleh dua individu yang berumur sama dengan status kesehatan yang sama
mungkin sangat berbeda tergantung pada lingkungan layanan di mana mereka berada. Jadi ada
kendala akses pelayanan kesehatan bagi peserta PBI yang tinggal dilokasi yang mempunyai sarana
infrastruktur kesehatan yang belum merata. Meskipun kendala-kendala ini tidak unik, atau yang
diakibatkan oleh masyarakat miskin penerima bantuan, namun ini menunjukkan bahwa penyediaan
program kesehatan kepada rumah tangga miskin juga harus secara logis mengoordinasikan
kegiatannya dan berbagi tujuannya dengan penyedia layanan.
Adanya perbedaan akses dan mutu antara penyedia layanan kesehatan pemerintah dan swasta bagi
rumah tangga miskin dan rentan mengindikasikan adanya pengaruh dari berbagai faktor yang saling
mempengaruhi. Dengan kata lain, layanan berkualitas tinggi mungkin tidak tersedia bagi segmen
masyarakat miskin sehingga menurunkan nilai akses berbasis PBI terhadap perawatan kesehatan
(World Bank 2017). Berdasarkan karakteristik demografi dan rumah tangga saja, rumah tangga
miskin diperkirakan akan lebih memilih perawatan kesehatan daripada rumah tangga yang lebih kaya
(Bank Dunia, 2013). Meskipun demikian, rumah tangga terkaya yang diwakili dalam survei Susenas
pada tahun 2016 memiliki tingkat pemanfaatan fasilitas layanan rawat jalan, rawat inap, dan fasilitas
layanan rawat inap penyedia layanan kesehatan swasta yang berada pada kisaran 22, 131, dan 610
persen lebih tinggi dibandingkan dengan rumah tangga termiskin.
Pemanfaatan layanan kesehatan penerima manfaat PBI tumbuh dengan tingkat yang sama dengan
tingkat pemanfaatan dari mereka yang mendapatkan manfaat dari program asuransi lainnya. Tingkat
pemanfaatan layanan rawat jalan telah bertumbuh sekitar 3 poin persentase antara tahun 2012 dan
2016 untuk penerima manfaat Jamkesmas / JKN-PBI; dan sekitar 2 poin persentase untuk mereka
yang tidak memiliki jaminan kesehatan formal (World Bank 2017). Tingkat pemanfaatan layanan
rawat inap juga meningkat sekitar 2 poin persentase untuk penerima manfaat JKN-PBI / Jamkesmas;
dan sekitar 1,5 poin persentase untuk mereka yang tidak memiliki jaminan kesehatan formal.
Sebagian besar peningkatan pemanfaatan layanan yang difasilitasi oleh PBI berasal dari klinik rawat
jalan penyedia layanan kesehatan swasta maupun rumah sakit umum .
Keempat, dukungan politik terkait pelaksanaan JKN. Dukungan politik adalah hal yang vital dalam
penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional ini. Menyadari kompleksitas permasalahan
penyelenggaraan JKN dilapangan, dukungan politik adalah modal utama dalam menyelesaikan
problematikan JKN dilapangan secara lebih cepat dan solutif. Banyak kepala daerah mempromosikan
dan ikut andil menyelesaikan permasalahan penyelenggaraan jaminan kesehatan didaerahnya yang
lebih bersifat jangka pendek. Perlu digalakan pemikiran perumusan JKN yang bersifat jangka panjang
dengan melibatkan kementerian kesehatan dan stakeholders terkait utamanya dalam hal penyediaan
infrastruktur kesehatan dan kecukupan pembiayaan jaminan kesehatan.
Kelima, pengadaan dan distribusi obat-obatan dalam JKN dalam prakteknya masih menghadapi
beberapa kekurangan, dari kesulitan akses dalam memperoleh obat-obatan, pasien yang tidak
mendapat obat yang memadai, ketidakterbukaan penentuan harga obat, hingga kekosongan stok obat
tertentu, dan tidak semua pengobatan yang efektif selalu tersedia dalam skema JKN. Penghitungan
kebutuhan obat dinilai tidak akurat, sehingga pihak industri farmasi kesulitan untuk menghitung
harga dan menyiapkan produksi. Hal ini dikarenakan penyeleksian obat-obatan yang masuk program
JKN hanya berdasarkan harga, sehingga tak heran jika obat-obat inovatif yang memiliki harga lebih
mahal tersingkir dari e-catalogue JKN. Kendala ini menambah tantangan bagi pasien BPJS dalam
memperoleh akses yang mudah untuk obat-obatan inovatif yang belum tersedia versi generiknya.
Keenam, terkait masalah sosialisasi di poin pertama, isu gender juga menjadi tantangan untuk
kesehatan ibu dan anak, di mana kematian ibu dan anak masih menjadi masalah di Indonesia.
Perempuan adalah mayoritas target pengguna layanan kesehatan, namun masih banyak yang belum
memanfaatkan fasilitas tersebut, terutama dari golongan menengah kebawah. Potret keengganan
perempuan miskin memanfaatkan layanan kesehatan reproduksi tercermin dari minimnya penerima
kartu JKN PBI untuk memanfaatkan layanan tersebut. Kondisi ini diperparah dengan jarangnya pihak
BPJS Kesehatan mensosialisasikan program dan jenis layanannya kepada masyarakat. Banyak
perempuan tidak mengetahui kalau BPJS Kesehatan dapat digunakan untuk pemeriksanaan IVA
(papsmear), payudara, dan kehamilan. Hasilnya, pemanfaatan kartu BPJS kesehatan bagi perempuan
untuk pelayanan KB masih rendah. Masyarakat membanjiri layanan kesehatan dengan memanfaatkan
BPJS kesehatan, namun sayangnya sebagian besar masyarakat tidak banyak yang memanfaatkan
pelayanan KB, dan justru banyak memanfaatkan jasa bidan yang praktik swasta meski harus
membayar.
Tantangan dan rekomendasi ke depan
Reformasi menyeluruh penyelengaraan jaminan kesehatan nasional perlu dilakukan secara
terstruktur, mulai dari regulasi yang tumpang tindih dan parsial, paket manfaat yang dirasa belum
optimal dan program yang hanya menjangankau sebagian masyarakat. Ada sekitar 36,8 persen
penduduk Indonesia yang belum mempunyai jaminan kesehatan apapun, termasuk mereka yang
bekerja di sektor informal (DJSN, 2012). Hal ini menjadi tantangan tersendiri dalam perluasan
kepesertaan JKN dimana komposisi masyarakat yang bekerja di sector informal lebih banyak
dibandingkan sector formal. Sektor informal ini juga didominasi oleh masyarakat miskin dan rentan.
Oleh karena itu, bantuan pembiayaan kesehatan untuk semua kelompok masyarakat sangat
dibutuhkan untuk menjamin layanan kesehatan masyarakat miskin dna rentan di sector informal ini.
Permasalahan data juga menjadi catatan penting dimana terdapatexclussion dan inclusion error yang
tinggi dalam basis data terpadu yang dikeluarkan oleh TNP2K dan diverifikasi dan validasi oleh
Kementerian Sosial.
Ketimpangan akses ke layanan kesehatan yang berkualitas antara perkotan, perdesaan maupun daerah
terpencil juga memicu rendahnya utilisasi penggunaan layanan kesehatan peserta PBI JKN. Besarnya
disparitas antara barat dan timur Indonesia membuat kualitas pelayanan kesehatan tidak merata di
beberapa wilayah di Indonesia. Hal ini semakin kompleks ketika jumlah peserta JKN terus bertambah
dari hari ke hari. Terdapat beberapa antrian lonjakan peserta dibeberapa wilayah dimana jumlah
penyedia layanan kesehatan tidak sebanding dengan jumlah masyarakat yang dilayaninya.
Kesinambungan pembiayaan kesehatan juga menjadi hal krusial yang akan terus muncul dimasa yang
datang. Besarnya mismatch antara pendapatan dan pembiayaan jaminan kesehatan membuat
pemerintah perlu memikirkan alternatif bauran kebijakan untuk mengatasi masalah defisit
pembiayaan jaminan kesehatan. Hal lain yang menjadi perhatian adalah masih signifikannya
pengeluaran pribadi untuk kesehatan meskipun PBI sudah dibebaskan biaya JKN (Bank Dunia 2016).
Hal ini mennjukkan adanya masalah sistemik segmen PBI JKN. Menyadari tantangan
penyelenggaraan JKN ke depan, ada beberapa hal yang perlu ditingkatkan ke depannya:
Pertama, peningkatan kegiatan sosialisasi dan fasilitasi peserta PBI. Banyak rumah tangga PBI yang
tidak mengetahui prosedur layananan kesehatan ketika melakukan kunjungan di tempat-tempat
penyedia layanan kesehatan. Ketidaktahuan terkait prosedur ini mengurangi manfaat dan nilai
program JKN bagi peserta PBI (Bank Dunia 2016). Pemerintah bersama BPJS Kesehatan perlu
menetapkan standar informasi yang baku dan berlaku umum disetiap tempat penyedia layanan
kesehatan sehingga bisa diketahui oleh peserta PBI. Sosialisasi secara masif kepada stakeholder JKN
juga harus terus dilakukan agar meningkatkan efektifitas penyelenggaraan program ini.
Kedua, prosedur penetapan sasaran dan seleksi PBI oleh Kementerian Sosial memerlukan
keterlibatan stakeholder terkait baik itu TNP2K, BPS dan Pemerintah Daerah. Perlu sosialisasi
penguatan mekanisme untuk memutakhirkan data yang teregister di daerah ke data yang ada di pusat
yang dapat memastikan data alokasi di tingkat daerah adalah data yang selalu terkini. Untuk
mengurangi risiko ini, sistem pelaporan dan penerimaan keluhan harus diperkuat, utamanya untuk
segmen PBI, dan sedapat mungkin terkoneksi dengan sistem pengaduan yang berbasis BDT. Dengan
demikian, rumah tangga yang dikeluarkan tanpa alasan yang tepat dari status sebagai PBI dapat
dipulihkan kepesertaan PBInya. Untuk lebih memberdayakan masyarakat miskin dan rentan, sistem
penyampaian keluhan seperti itu dapat dilengkapi dengan upaya untuk meningkatkan kesadaran
penerima manfaat program.
Ketiga, perlunya peningkatan sistem Pemantauan dan Evaluasi (M&E) JKN. Terutamanya terkait
sistem pemantauan kesehatan, penggunaan layanan kesehatan, perlindungan finansial dan biaya (dari
sisi rumah tangga), serta kinerja dan kesiapan di penyedia manfaat. Selama ini Kementerian/Lembaga
melakukan monitoring dan evaluasi. Namun, hal itu belum terintegrasi secara menyeluruh. Selain itu,
perbedaan yang signifikan antar daerah dalam hal ketersediaan dan kualitas layanan kesehatan, akses
terhadap perawatan kesehatan bisa menjadi masalah karena penyediaan layanan yang lemah. Masalah
yang mendasari persoalan ini adalah kurangnya kejelasan tentang irisan peran, tanggung jawab dan
kapasitas untuk mengawasi kinerja para pemangku kepentingan. Oleh karena itu penyusunan grand
design monitoring dan evaluasi yang disusun Bappenas sejak tahun 2013 perlu terus dilanjutkan dan
disepakati oleh semua Kementerian/Lembaga. Para pemangku kepentingan JKN secara eksplisit
harus menyadari bahwa kerjasama dan dukungan secara timbal balik (terutama melalui pembagian
informasi) antara administrator program dan penyedia layanan kesehatan akan memperbaiki pilihan
layanan kesehatan yang dapat diberikan kepada penerima manfaat sehingga peserta PBI dapat
mengakses paket manfaat yang dijanjikan sesuai peraturan.
Keempat, program JKN hendaknya mempunyai link dengan program bantuan sosial lainnya.
Penerima PBI yang terdiri dari masyarakat miskin dan hampir miskin diharapkan juga menerima
bantuan lainnya sehingga dapat meringankan beban pengeluaran masyarakat miskin dan rentan dan
bisa mempercepat penanggulangan kemiskinan. Sebuah laporan (Bank Dunia, 2015b) menunjukkan
bahwa prioritas JKN saat ini adalah perluasan keanggotaan ke sektor swasta dan informal;
meningkatkan pemungutan iuran dari mereka yang saat ini tidak membayar iuran; meningkatkan
keberlanjutan keuangan dan fiskal; dan meningkatkan struktur tata kelola JKN secara keseluruhan.
Penguatan program SLRT (sistem layanan rujukan terpadu) ditingkat pusat dan daerah diharapkan
bisa menjadi komplemen bagi masyarakat miskin dan rentan untuk mengetahui program bantuan
sosial yang bisa diakses dengan kebutuhan layanan sosial dasar mereka.
Kelima, perlunya strategi bauran kebijakan pembiaayan defisit jaminan kesehatan nasional melalui
peningkatan pajak rokok. Defisit pelaksanaan JKN yang dialami oleh BPJS Kesehatan memerlukan
inovasi pembiayaan yang bersifat bauran dari berbagai kebijakan. Baik itu penguatan strategic
purchasing BPJS Kesehatan sebagai lembaga pembayar jasa kesehatan maupun kebijakan
pembiayaan melalui peningkatan pajak rokok. Perpres pajak rokok yang sudah dibahas oleh
pemerintah sejak beberapa tahun terakhir diharapkan bisa segera disepakati untuk diformalkan
menjadi regulasi.
Keenam, skema pengadaan dan distribusi obat dalam JKN perlu ditata ulang. Koordinasi yang lebih
efektif dari hulu ke hilir sangat diperlukan, dalam hal ini dari pemerintah pusat hingga ke rumah sakit.
Permasalahan mendasar dalam pengadaan obat di Indonesia adalah akses obat-obat inovatif yang sulit
tersedia karena kendala aksesibilitas atau belum terdaftar. Dari dasar permasalahan tersebut, ada
beberapa poin-poin rekomendasi yang perlu diperbaiki dan dikembangkan. Akses pada e-katalog/e-
purchasing masih terbatas pada RS milik pemerintah, sehingga perlu diperluas. Di samping itu,
masalah seperti rencana kebutuhan obat (RKO) masih kurang akurat, penetapan harga perkiraan
sendiri (HPS) oleh pemerintah yang dinilai tidak transparan, hingga permasalahan aspek akuntabilitas
dan transparansi harus lebih ditegakkan, perlu menjadi perhatian serius untuk dibenahi. Pelibatan
pihak industri farmasi penentuan HPS dan RKO Industri Farmasi sangat disarankan, untuk membantu
memberikan pendapat dari sudut pandang penyedia. Diperlukan juga sistem monitoring evaluasi
pengadaan dan transaksi melalui e-catalogue, berhubung saat ini monitoring baru sampai pada
transaksi e-purchasing pada e-catalogue saja, dan belum sampai pada realisasi supply obat hingga ke
Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi (K/L/D/I).
Ketujuh, pemberdayaan masyarakat itu sendiri dalam rangka meningkatkan kesadaran dan melek
akan fungsi dan fasilitas kesehatan yang tersedia untuk mereka. Dalam hal ini edukasi dan sosialisai
yang lebih penetratif dibutuhkan. Perempuan juga perlu lebih diberdayakan, karena ibu adalah
penentu utama dalam menyikapi dan meningkatkan kondisi kesehatan keluarga, dan karena
pembangunan kesehatan berangkat dari keluarga sebagai skala terkecil lingkup perubahan. Mungkin
suatu hari kita dapat mencontoh model Brazil, di mana pemberdayaan perempuan melalui Conditional
Cash Transfers (CCT) yang mengidentifikasi sang ibu sebagai penerima langsung dari amanah
transfer tunai ini dengan target ganda, yaitu peningkatan keputusan pengeluaran kesehatan rumah
tangga yang lebih terkontrol, serta kesejahteraan dan kesehatan anak-anak yang lebih meningkat.
Reference
ADB 2012, The social protection index: methodology and handbook, ADB, Manila.
ADB, see Asian Development Bank
Bappenas 2017. Strategi pengembangan penghidupan berkelanjutan bagi rumah tangga miskin.
Infographic. Jakarta.
Bappenas, see Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Kraft, ME & Furlong, SR 2010, Public policy: politics, analysis and alternatives, Congressional
Quarterly Press, California.
Ravallion, M 2009. “Bailing out the world’s poorest.” Challenge, vol. 52, no. 2, pp. 55–80.
Rossell, CH 1993, ‘Using multiple criteria to evaluate policies’, American
Political Science Quarterly, vol. 21, no. 2, pp. 155-184.
Stiglitz, J 2009, ‘The global crisis, social protection and jobs’, International Labour Review, vol. 148,
no. 2, pp. 62-76.
TNP2K 2015a, Evaluating Long Term Impact of Indonesia’s CCT Program: Evidence from a
Randomized Control Trial, viewed 1 April 2018,
<http://ekonomi.lipi.go.id/sites/default/files/evaluating_longer_term_impact_of_cct.pdf>.
TNP2K 2015b, Tantangan Meningkatkan Efektifitas Program Raskin, viewed 2 April 2018,
<http://www.tnp2k.go.id/images/uploads/downloads/Laporan%20TNP2K%20Tantangan%20Menin
gkatkan%20Efektifitas%20Program%20Raskin%20Final.pdf>.
TNP2K 2015c, JKN: Perjalanan Menuju Jaminan Kesehatan Nasional, viewed 2 April 2018,
<http://www.tnp2k.go.id/images/uploads/downloads/Final_JKN_Perjalanan%20Menuju%20Jamina
n%20Kesehatan%20Nasional%20-%20Copy.pdf>.
TNP2K, see Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan
World Bank 2017, Social Assistance Public Expenditure Review: Towards a Comprehensive,
Integrated, and Effective Social Assistance System in Indonesia, viewed 30 March 2018,
<http://documents.worldbank.org/curated/en/535721509957076661/pdf/120905-REVISED-
PUBLIC-Screen-English-1211-update.pdf>.
World Bank 2001, Social Protection Sector Strategy: From Safety to Springboard, viewed 2 April
2018,
<http://documents.worldbank.org/curated/en/299921468765558913/pdf/multipage.pdf>.