IV. XENOTRANSPLANTASI SEL ... - repository.ipb.ac.id · umur larva berkaitan dengan perkembangan...

22
IV. XENOTRANSPLANTASI SEL TESTIKULAR IKAN GURAMI PADA BERBAGAI UMUR LARVA IKAN NILA ABSTRAK Xenotransplantasi sel testikular merupakan suatu metode untuk melestarikan dan mengembangkan plasma sel germinal dari ikan-ikan yang terancam punah dan untuk produksi induk pengganti bagi ikan-ikan yang bernilai ekonomis tinggi. Pada penelitian ini, ikan gurami digunakan sebagai model donor dan ikan nila sebagai model resipien. Pengembangan xenotransplantasi sel testikular ini diawali dengan penentuan umur resipien yang optimum untuk kegiatan transplantasi sel germinal. Testis segar diisolasi dari ikan gurami ukuran 600800 g, lalu dicacah dalam larutan disosiasi dan selanjutnya diinkubasi pada suhu ruang selama 3 jam untuk mendapatkan suspensi sel testikular sebagai sumber donor. Sel donor dilabel dengan PKH 26 fluorescent dye sebelum ditransplantasikan ke dalam rongga peritoneal larva ikan nila umur 1, 3, 5 dan 7 hari pascamenetas (hpm). Parameter yang diamati adalah sintasan larva ikan nila 24 jam pascatransplantasi (pt) dan efisiensi kolonisasi sel donor pada resipien umur 2 dan 3 bulan pt. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sintasan larva rata- rata terendah adalah pada perlakuan umur larva 1 hpm (82,74±6,76%) dan tertinggi pada larva 3 dan 5 hpm masing-masing 95,00±5,00% and 95,00±2,50%). Efisiensi kolonisasi rata-rata tertinggi terdapat pada perlakuan umur transplantasi larva 3 hpm (61,1±34,71% ) dan terendah pada larva umur 7 hpm (19,43±17,33%). Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa larva ikan nila umur 3 hpm adalah resipien terbaik untuk xenotransplantasi sel testikular ikan gurami. Kata kunci: xenotransplantasi, sel germinal jantan, ikan gurami, ikan nila, efisiensi kolonisasi

Transcript of IV. XENOTRANSPLANTASI SEL ... - repository.ipb.ac.id · umur larva berkaitan dengan perkembangan...

37

IV. XENOTRANSPLANTASI SEL TESTIKULAR IKAN

GURAMI PADA BERBAGAI UMUR LARVA IKAN NILA

ABSTRAK

Xenotransplantasi sel testikular merupakan suatu metode untuk melestarikan

dan mengembangkan plasma sel germinal dari ikan-ikan yang terancam punah

dan untuk produksi induk pengganti bagi ikan-ikan yang bernilai ekonomis

tinggi. Pada penelitian ini, ikan gurami digunakan sebagai model donor dan ikan

nila sebagai model resipien. Pengembangan xenotransplantasi sel testikular ini

diawali dengan penentuan umur resipien yang optimum untuk kegiatan

transplantasi sel germinal. Testis segar diisolasi dari ikan gurami ukuran 600–

800 g, lalu dicacah dalam larutan disosiasi dan selanjutnya diinkubasi pada suhu

ruang selama 3 jam untuk mendapatkan suspensi sel testikular sebagai sumber

donor. Sel donor dilabel dengan PKH 26 fluorescent dye sebelum

ditransplantasikan ke dalam rongga peritoneal larva ikan nila umur 1, 3, 5 dan 7

hari pascamenetas (hpm). Parameter yang diamati adalah sintasan larva ikan nila

24 jam pascatransplantasi (pt) dan efisiensi kolonisasi sel donor pada resipien

umur 2 dan 3 bulan pt. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sintasan larva rata-

rata terendah adalah pada perlakuan umur larva 1 hpm (82,74±6,76%) dan

tertinggi pada larva 3 dan 5 hpm masing-masing 95,00±5,00% and 95,00±2,50%).

Efisiensi kolonisasi rata-rata tertinggi terdapat pada perlakuan umur transplantasi

larva 3 hpm (61,1±34,71% ) dan terendah pada larva umur 7 hpm

(19,43±17,33%). Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa larva ikan nila

umur 3 hpm adalah resipien terbaik untuk xenotransplantasi sel testikular ikan

gurami.

Kata kunci: xenotransplantasi, sel germinal jantan, ikan gurami, ikan nila,

efisiensi kolonisasi

38

IV. XENOTRANSPLANTATION OF GIANT GOURAMI

TESTICULAR GERM CELLS INTO DIFFERENT AGE OF

NILE TILAPIA’S LARVAE

ABSTRACT

The recent study has been conducted to develop testicular germ cell

transplantation as a tool for preservation and propagation of male germ-plasm

from endangered fish species, as well as to produce surrogate broodstock of

commercially valuable fish. Giant gourami testis had been used as a model for

donor and Nile tilapia larvae as recipient. We developed testicular cell

xenotransplantation by optimizing the timing of intraperitoneal cell

transplantation to recipient larvae aged 1, 3, 5 and 7 days post hatching (dph).

Freshly isolated testis of giant gourami weighed 600–800 g were minced in

dissociation medium and then incubated for 3 hours in room temperature to

collect monodisperce cell suspension. Donor cells labeled with PKH 26 were

transplanted into the peritoneal cavity of Nile tilapia larvae using glass

micropipettes. Parameters observed were survival rate of Nile tilapia larvae at 24

hours post transplantation (pt) and colonization efficiency of donor cells at 2 and

3 months pt. The incorporated donor cells were observed under fluorescent

microscope. The result showed that the lowest survival rate at 24 hours pt was 1

dph larvae (82.74±6.76%) and the highest survival rate were 3 and 5 dph larvae

(95.00±5.00% and 95.00±2.50%, respectively). The highest colonization

efficiency was on 3 dph larvae (61.1±34.71%) and the lowest colonization

efficiency was on 7 dph larvae (19.43±17.33%). In conclusion, 3 dph Nile tilapia

larvae was the best recipient for giant gourami testicular germ cells

xenotransplantation.

Key words: xenotransplantation, testicular germ cell, giant gourami, Nile tilapia,

colonization efficiency

PENDAHULUAN

Teknologi xenotransplantasi sel testikular yang mengandung spermatogonia

pertama kali diaplikasikan pada ikan gurami (Osphronemus goramy)

menggunakan resipien larva ikan nila (Oreochromis niloticus). Pada penelitian

xenotransplantasi ini digunakan ikan gurami sebagai model donor dan ikan nila

sebagai model resipien, yang mana kedua jenis ikan ini berbeda pada tingkat

ordo. Saat ini xenotransplantasi antar dua spesies ikan yang berbeda famili telah

berhasil dilakukan. Spermatogonia ikan nibe (famili Scianidae) yang

39

ditransplantasikan ke larva ikan chub mackerel (famili Scombridae) telah berhasil

hingga tahap proliferasi sel spermatogonia ikan nibe pada gonad ikan chub

mackerel (Yazawa et al. 2010). Xenotransplantasi PGC ikan loach ke embrio

ikan zebra fase blastoderm (chimera) bahkan mampu menghasilkan spermatozoa

ikan loach yang fungsional tetapi belum mampu menghasilkan sel telur yang

fungsional (Saito et al. 2008).

Sementara itu xenotransplantasi PGC ikan pearl danio ke ikan zebra, yang

memiliki hubungan filogeni yang lebih dekat (satu genus) menghasilkan ikan

kimera pearl danio-ikan zebra. Hibrid dari kimera dan ikan zebra normal

menghasilkan individu yang normal namun sel gametnya tidak berkembang.

Fenomena ini menunjukkan bahwa terdapat mekanisme dan faktor-faktor yang

membatasi keberhasilan transplantasi antar dua spesies yang berbeda termasuk

peran imunokompetensi dari resipien terhadap sel donor, hubungan filogenetik

antar donor dan resipien, faktor intrinsik sel itu, dan peran sinyal ekstrinsik dalam

proses pertumbuhan dan perkembangan sel donor pada resipien (Saito et al.

2008). Faktor-faktor tersebut dilaporkan berbeda-beda antar spesies (Dobrinski et

al. 1999, Johnston et al. 2000).

Ketersediaan resipien yang kompeten merupakan salah satu faktor penentu

keberhasilan kegiatan transplantasi sel germinal (Honaramooz & Yang 2011).

Ikan nila telah sering dijadikan ikan model untuk penelitian biologi reproduksi,

namun penggunaannya sebagai resipien dalam kegiatan transplantasi belum

banyak dilaporkan. Selama ini hanya Lacerda et al. (2008) yang telah berhasil

melakukan uji kompetensi ikan nila sebagai resipien untuk kegiatan transplantasi

sel germinal ikan nila dan katak. Resipien yang digunakan adalah ikan nila

dewasa yang saluran reproduksinya telah disterilkan dengan busulfan, suatu

senyawa yang berfungsi untuk merusak sel endogenus Meskipun menghasilkan

sel spermatozoa yang fungsional dan sel donor katak terkolonisasi pada gonad

ikan nila namun metode ini tidak aman digunakan dalam kegiatan pembenihan

karena busulfan bersifat karsinogenik bagi manusia.

Beberapa penelitian transplantasi sel germinal telah menggunakan larva

sebagai resipien dan hasilnya menunjukkan bahwa umur resipien juga

berpengaruh terhadap keberhasilan kolonisasi (Takeuchi et al. 2003, Takeuchi et

40

al. 2009, Yazawa et al. 2010). Kemampuan lingkungan mikro somatik resipien

mengarahkan sel donor ke rongga genital semakin berkurang dengan semakin

berkembangnya gonad resipien atau dengan semakin bertambahnya umur resipien

(Okutsu et al. 2006a). Manning & Nakanishi (1996) menyatakan interval umur

resipien sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi efisiensi kolonisasi, karena

umur larva berkaitan dengan perkembangan sistem imunodefisiensi. Sistem

imun larva yang baru menetas belum berkembang sehingga antigen atau benda

asing belum dapat terdeteksi.

Pada tahap awal larva, organ limfomieloid (limpa, timus dan darah) sebagai

organ pembentuk respons imun belum berkembang dengan sempurna. Umumnya

respon imun pada tahap larva berasal dari transfer antibodi induk dalam bentuk

maternal immunoglobulin yang terdapat pada kuning telur dan dalam limfosit

beberapa jenis ikan (Mulero et al. 2007). Pada ikan Tilapia mossambica,

jaringan limfoid mulai terbentuk pada umur 5 hari pascamenetas (Ali 1987)

sehingga diduga pada umur tersebut respons imun mulai berkembang.

Ijiri et al. (2008) menyatakan bahwa larva ikan nila umur 5 hingga 6 hari

pascamenetas (hpm) adalah titik kritis bagi gonad untuk berdiferensiasi menjadi

ovari atau testis. Hal ini menunjukkan bahwa gonad larva umur lebih dari 6 hari

yang telah terdiferensiasi dapat menciptakan penghalang (barrier) bagi sel donor

untuk terkolonisasi pada gonad yang telah terdiferensiasi. Menurut Takeuchi et

al. (2009) epitel gonad yang telah terdiferensiasi dapat menghalangi inkorporasi

sel spermatogonia A.

Fenomena respons imun dan diferensiasi kelamin tersebut menunjukkan

bahwa terdapat keterbatasan waktu yang pendek bagi sel donor untuk bermigrasi.

Keterbatasan waktu tersebut dipengaruhi oleh tahap perkembangan larva. Oleh

karena itu umur larva merupakan salah satu faktor yang perlu dikaji. Tujuan dari

penelitian ini adalah menganalisis kemampuan kolonisasi sel donor ikan gurami

pada berbagai umur larva ikan nila sebagai resipien. Untuk mendapatkan umur

resipien yang optimum digunakan empat umur larva, yaitu 1, 3, 5 dan 7 hpm.

Xenotransplantasi sel spermatogonia ikan gurami ke berbagai umur larva ikan

nila diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kompetensi larva ikan

nila sebagai resipien untuk xenotransplantasi dengan parameter yang diamati

41

adalah sintasan larva pascatransplantasi dan kemampuan kolonisasi sel

spermatogonia ke saluran gonad resipien.

BAHAN DAN METODE

Disosiasi Jaringan Testis

Testis ikan gurami berbobot tubuh sekitar 600–800 g didisosiasi untuk

mendapatkan suspensi sel donor mengacu pada metode disosiasi yang optimum

pada bab III. Setelah dicuci dengan PBS sebanyak 2x, suspensi sel dihitung

jumlah spermatogonianya. Sel spermatogonia yang dihitung adalah yang

berdiameter ≥15 µm yang ditentukan berdasarkan kriteria yang diperoleh pada

penelitian pada bab III, dan jumlahnya dihitung menggunakan hemositometer di

bawah mikroskop CX10 (Olympus).

Pewarnaan Sel Donor

Visualisasi sel donor dilakukan dengan pewarnaan atau pelabelan

menggunakan PKH 26 fluorescent membrane dye (Sigma-Aldrich Inc., St. Louis,

MO) yang terpancar pada panjang gelombang 551–567 nm. Dalam pelabelan

ini digunakan 2 mikrotube 1,5 µL (mikrotube A dan mikrotube B). Mikrotube A

berisi diluent C (larutan iso-osmotik yang telah tersedia pada paket pewarna PKH

26) dan sel testikular, sedangkan mikrotube B berisi diluent C dan PKH 26,

dengan perbandingan volume dari mikrotube A:B = 1:1. Formulasi yang

digunakan adalah 1,5 µL PKH 26/0,1 mL diluent C untuk jumlah sel sekitar

2x106 sel testikular. Untuk melarutkan sekitar 4x10

6 sel, maka volume diluents

C yang digunakan adalah 0,2 mL (mikrotube A) dan PKH yang digunakan

sebesar 3 µL dilarutkan dalam 0,2 mL diluent C (mikrotube B). Suspensi sel

dalam mikrotube A selanjutnya dicampurkan ke dalam larutan PKH 26 di

mikrotube B dan diinkubasi selama 5 menit dalam ruang tanpa cahaya. Aktivitas

pelabelan selanjutnya dihentikan dengan penambahan medium L15 dan

diinkubasi kembali selama 2 menit. Suspensi sel disentrifugasi pada 2000 rpm

selama 10 menit, dicuci dengan medium L15 sebanyak 2 kali dan dibuat

konsentrasi suspensi sel mencapai 20.000 sel per 0,5 µL medium L15.

42

Penyiapan Resipien Ikan Nila

Resipien yang digunakan adalah larva ikan nila putih berumur 1, 3, 5, dan 7

hpm. Morfologi larva pada berbagai umur dapat dilihat pada Lampiran 4. Telur

ikan nila yang telah dibuahi diperoleh dari pemijahan massal induk nila putih di

BBPBAT Sukabumi. Telur ikan nila ditetaskan di atas saringan halus yang

ditempatkan di dalam akuarium pada suhu air 28 oC.

Transplantasi Sel Testikular ke Larva Ikan Nila

Tahap transplantasi sel donor diawali dengan persiapan mikroinjeksi yang

meliputi persiapan jarum dan mikroinjektor serta menyedot sel ke jarum. Jarum

transplantasi disiapkan dengan cara membagi dua glass capillary (GD-1,

Narishige) menggunakan alat electric puller (PC-10, Narishige). Ujung jarum

diasah dengan menggunakan mesin gurindam (EG-400, Narishige) hingga

mencapai bukaan lubang jarum 60 µm. Jarum selanjutnya dipasang pada alat

mikroinjektor. Alat mikroinjektor terdiri atas mikroinjektor yang tersambung ke

mikroskop (Olympus SZX 16). Volume sel yang disuntikkan sebanyak 0,5 µL

dengan jumlah sel testikular sekitar 20.000 sel. Larva dibius dengan fenoksietanol

(0,03-0,05%) sebelum diinjeksi. Cawan agar yang berisi agarosa 2% dikeluarkan

dari refrigerator dan didiamkan selama beberapa menit hingga gel tidak terlalu

dingin. Setelah larva pingsan, larva diletakkan di atas cawan agar. Sel

diinjeksikan secara intraperitoneal (i.p) berdasarkan metode Takeuchi et al.

(2003). Larva ikan nila hasil injeksi dan yang tidak disuntik (kontrol) dipelihara

dalam akuarium (60x60x60) cm3

hingga siap dianalisis. Penelitian transplantasi

ini diulang sebanyak 3 kali pada setiap umur resipien dengan jumlah larva yang

disuntik sebanyak 20 hingga 40 ekor per perlakuan per ulangan.

Analisis Kolonisasi Sel Donor

Analisis kolonisasi sel donor pada gonad ikan nila menggunakan dua

metode, yaitu 1) identifikasi sel germinal ikan gurami yang membawa PKH 26

fluoroscent membrane dye pada gonad ikan nila pascatransplantasi (pt), dan 2)

menggunakan marka molekular spesifik gen hormon pertumbuhan (growth

hormone, disingkat GH) ikan gurami dengan desain primer dan program PCR

merujuk pada Achmad (2009).

43

Analisis kolonisasi melalui pengamatan sel donor pada gonad resipien di

bawah mikroskop fluoresens Nikon Ellips E600 menggunakan 4 ekor resipien

ikan nila umur sekitar 2 bulan pt dari setiap perlakuan umur transplantasi (sekitar

10% dari jumlah resipien yang ditransplantasi). Sebagai kontrol digunakan ikan

nila yang tidak ditransplantasi.

Sedangkan untuk analisis kolonisasi menggunakan marka molekular GH

ikan gurami hanya dilakukan pada kelompok resipien dengan sintasan dan

efisiensi kolonisasi tertinggi. Sebanyak 15 ekor resipien ikan nila 2 bulan pt

diisolasi gonadnya dan diekstraksi DNA menggunakan kit dari Puregene (Gentra,

Minneapolis, USA). Sampel dimasukkan ke dalam 200 μL cell lysis solution

yang berisi 1,5 μL Proteinase K (20 mg/mL). Sampel diinkubasi pada suhu 55 °C

selama semalam. Setelah sel terlisis sempurna, ditambahkan 1,5 μL RNase (4

mg/mL) dan diinkubasi pada 37 oC selama 60 menit. Kemudian ke dalam tabung

sampel ditambahkan 100 μL protein precipitation solution (Gentra, Minneapolis,

USA), disentrifugasi dengan kecepatan 12.000 rpm selama 15 menit. Supernatan

dipindahkan ke dalam mikrotub yang berisikan 300 μL isopropanol. Selanjutnya

disentrifugasi dengan kecepatan 12.000 rpm selama 10 menit. Supernatan

dibuang, kemudian ditambahkan 300 μL etanol 70% dingin ke dalam mikrotub

berisi pelet DNA. Sampel disentrifugasi kembali dengan kecepatan 12.000 rpm

selama 10 menit. Supernatan dibuang, pelet DNA dikeringudarakan dan

ditambahkan 20 μL sterille destillated water (SDW).

Pereaksi PCR dibuat berdasarkan jumlah sampel yang akan diamplifikasi.

Volume total pereaksi PCR adalah 10 µL untuk setiap sampel yang terdiri atas 4

µL SDW, 1 µL masing-masing primer forward dan reverse, 1 µL dNTPs mix, 1

µL LA Taq buffer, 1 µL MgCl2, 0,05 µL LA Taq polimerase (Takara Bio, Shiga,

Japan), 1 µL DNA cetakan. Primer yang digunakan adalah GH ikan gurami dan

β-aktin ikan nila. Suhu annealing dan lama waktu ekstensi untuk primer GH dan

β-aktin masing-masing adalah 58 oC dan 45 detik untuk primer GH serta 61

oC

dan 30 detik untuk primer β-aktin. Sedangkan, suhu predenaturasi, denaturasi. dan

ekstensi akhir sama untuk kedua primer yaitu masing-masing 94 oC selama 3

menit, 94 oC selama 30 detik, dan 72

oC selama 3 menit dengan siklus amplifikasi

sebanyak 35 siklus. Hasil amplifikasi selanjutnya divisualisasikan dengan

44

elektroforesis menggunakan gel agarosa 1% dengan volume DNA sebesar 7 µL

dan loading dye (10x loading buffer, Takara bio, Japan) sebesar 3 µL. Hasil PCR

diseparasi dengan elektroforesis menggunakan gel agarosa 1 %.

Tingkat keberhasilan kolonisasi diamati dari efisiensi kolonisasi yaitu

persentase rasio antara jumlah resipien yang pada gonadnya terdapat

spermatogonia gurami+PKH26 dan total jumlah resipien yang diperiksa.

Analisis Data

Data resipien yang membawa sel donor disajikan secara deskriptif,

sedangkan data kuantitatif berupa sintasan larva ikan nila pascatransplantasi dan

efisiensi kolonisasi sel donor pada gonad resipien disajikan dalam bentuk nilai

tengah dan diuji secara statistik menggunakan ANOVA (analysis of variance). Uji

Duncan multiple range test dilakukan bilamana terdapat beda nyata antar

perlakuan. Analisis menggunakan program SPSS 17.0 for windows dan MS

Office Excell 2007.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pewarnaan Sel Spermatogonia Ikan Gurami dengan PKH26

Pada dekade terakhir, teknik pewarnaan atau pelabelan sel untuk mendeteksi

keberadaan sel semakin berkembang dengan semakin bertambahnya penelitian

transplantasi sel pada hewan vertebrata khususnya kelas Pisces. Penggunaan PKH

26 fluorescent membrane dye telah banyak digunakan untuk mewarnai sel

germinal beberapa ikan dari subklas teleostei (Lacerda et al. 2008, Takeuchi et al.

2009, Yazawa et al. 2010).

Testis yang digunakan sebagai sumber donor dalam penelitian ini diisolasi

dari ikan gurami dengan kisaran bobot tubuh 600-800 g per ekor dengan kisaran

indeks gonad somatik adalah 10,8x10-5–16,3x10-5. Jumlah sel yang disuntikkan

sekitar 20.000 sel dengan komposisi rata-rata spermatogonia (ø ≥15 µm ) berkisar

7–15%. Dengan volume 3 µL PKH 26 dalam 0,2 mL diluent C, PKH 26 mampu

mewarnai atau melabel sel testikular ikan gurami sebanyak 91,93±2,90%, dan

khusus sel spermatogonia sebanyak 69,44±24,53% (Gambar 6 dan Lampiran 5).

Dibandingkan dengan kemampuan PKH 26 mewarnai sel testikular ikan nibe

45

yang mencapai 96,4±1,2% dan mewarnai spermatogonia sebesar 92,3 ±1,4%,

maka pewarnaan sel testikular ikan gurami menggunakan PKH 26 dapat dikatakan

efektif karena >90% sel terwarnai oleh PKH 26.

Lensa tanpa fluoresens Lensa fluoresens

Gambar 6 Pewarnaan suspensi sel testikular ikan gurami dengan PKH 26

fluorescent membrane dye. A–D. Suspensi sel setelah pewarnaan.

E–F. Suspensi sel sebelum pewarnaan dengan. Tanda panah hitam

dan putih adalah spermatogonia yang terwarnai PKH 26, panah merah

adalah spermatogonia yang tidak terwarnai PKH 26. Sel dalam

lingkaran adalah spermatogonia A. Skala 50 µm.

Sintasan Larva Ikan Nila Pascatransplantasi

Sintasan larva ikan nila setelah transplantasi secara intraperitoneal (i.p)

dapat dilihat pada Gambar 7 dan Lampiran 6. Sintasan rata-rata terendah pada

24 jam pt dapat terlihat pada perlakuan larva ikan nila umur 1 hpm yaitu

46

82,73±6,74% dan berbeda nyata dengan larva umur 3,5,7 hari hpm dan larva

transplantasi (P<0,05). Sintasan rata-rata larva ikan nila yang berumur 3, 5, dan 7

hpm pada 24 jam pt tidak berbeda nyata dengan kontrol (P>0.05) yaitu

95,00±5,00%, 95,00±2,50% dan 94,17±5,20% (P>0.05). Sedangkan pada

pengamatan 2 bulan pt tidak terlihat perbedaan nyata antar perlakuan umur suntik

larva. Larva yang masih muda memiliki daya tahan tubuh lemah dan rentan

terhadap gangguan fisik dari luar yang dalam hal ini adalah proses injeksi.

Namun, dengan teknik penyuntikan yang tepat maka efek penyuntikan terhadap

kematian larva dapat dikurangi.

Gambar 7 Sintasan resipien ikan nila perlakuan umur 1, 3, 5, 7 hari

pascamenetas dan tanpa transplantasi (kontrol) pada 24 jam dan 2

bulan pascatransplantasi. Keterangan gambar : larva 1 hari pasca

menetas (hpm) ( ), 3 hpm ( ), 5 hpm ( ), 7 hpm ( ), kontrol

( ).

Dalam melakukan transplantasi sel germinal ke resipien berupa larva,

terdapat beberapa faktor teknis yang perlu diperhatikan diantaranya adalah teknik

dalam mempersiapkan jarum mikroinjeksi. Sudut bukaan lubang jarum atau

keruncingan dan kelenturan bahan jarum berperan dalam proses penetrasi jarum

ke jaringan target (Costa 2010). Pada penelitian ini jarum yang digunakan adalah

glass capillary needle (Narishige) dengan sudut bukaan jarum 30–35o.

Faktor teknis kedua yang dapat mengurangi tingkat kematian pada larva

adalah mengurangi motilitas larva pada saat penyuntikan berlangsung. Untuk

47

mengurangi motilitas larva, beberapa macam teknik dilakukan oleh para peneliti

di antaranya adalah menyuntik larva di atas cawan yang berisi gel agarosa yang

telah didinginkan pada suhu 4 oC selama 10 menit (Costa 2010). Takeuchi et al.

(2009) melarutkan 0,1% bovine serum albumin (BSA) dalam larutan anastesi

atau dalam medium penyimpanan larva pascapenyuntikan dan hasilnya ternyata

cenderung meningkatkan sintasan larva meskipun tidak berbeda nyata dengan

yang tanpa pemberian BSA.

Pada penelitian ini, upaya untuk mengurangi motilitas larva ikan nila adalah

dengan cara merendam larva dalam larutan anastesi fenoksietanol dengan

konsentrasi 0,03–0,05% untuk larva umur 3, 5 dan 7 hpm sehingga proses

penyuntikan tidak terganggu oleh gerakan larva. Sedangkan larva yang baru

menetas, pergerakan larva rendah sehingga tidak perlu direndam dalam larutan

fenoksietanol, melainkan hanya diletakkan di atas cawan petri berisi gel agarosa

yang agak dingin dan diupayakan tidak terendam air. Dengan teknik ini tingkat

mortalitas larva ikan nila yang diakibatkan oleh mikroinjeksi tergolong relatif

kecil.

Faktor teknis lain yang perlu diperhatikan adalah penyuntikan yang tepat

pada sasarannya. Penyuntikan yang tidak tepat sasaran akan menyebabkan organ

atau jaringan tertentu mengalami kerusakan. Di dalam rongga peritoneal larva

terdapat banyak organ-organ abdomen vital seperti saluran pencernaan dan

pembuluh darah sehingga penyuntikan yang tidak tepat akan berpeluang merusak

organ-organ vital lainnya (Costa 2010).

Ukuran larva juga berpengaruh pada proses penyuntikan. Pertumbuhan

larva akan menyebabkan organ-organ yang terdapat dalam rongga tubuh juga

semakin besar hingga memenuhi rongga peritoneal. Fujimura & Okada (2007)

menggambarkan bahwa pada larva ikan nila (Oreochromis niloticus) 7 hari

pascafertilisasi (hpf), massa kuning telur akan mulai menutupi saluran

pencernaan. Pada 8–9 hpf atau 4–6 hpm, berbagai pigmen iriodhopore ditemukan

pada permukaan tubuh yang menutupi saluran pencernaan, sehingga rongga

peritoneal tidak dapat terlihat dengan jelas. Kondisi ini juga dapat menyebabkan

penyuntikan menjadi salah sasaran. Sebaliknya ukuran resipien larva yang terlalu

kecil juga berpengaruh terhadap mortalitas larva setelah penyuntikan seperti pada

48

ikan nibe yang mortalitasnya dapat mencapai 40% (Takeuchi et al. 2009).

Rongga peritoneal yang terlalu kecil akan menyulitkan proses injeksi sel ke dalam

rongga tersebut.

Teknik yang digunakan pada penelitian ini adalah intraperitoneal yang

berarti sel disuntikkan tepat ke dalam rongga peritoneal atau rongga tubuh seperti

digambarkan oleh Takeuchi et al. (2003) pada ikan rainbow trout. Seperti

umumnya ikan teleostei, gonad ikan rainbow trout maupun gonad ikan nila

berkembang dari satu bakal gonad yang terdapat pada dinding peritoneal. PGC

endogen akan bergerak ke rongga genital tersebut melalui dinding peritoneal.

Oleh karena itu dengan penyuntikan sel germinal ikan gurami secara i.p

diharapkan dapat meningkatkan peluang migrasi sel donor bersama-sama dengan

PGC endogen ke rongga genital.

Kolonisasi Sel Donor Ikan Gurami pada Gonad Resipien Ikan Nila

Hasil identifikasi sel donor dari ikan gurami pada gonad resipien ikan nila

berumur sekitar 2 bulan pt menunjukkan bahwa efisiensi kolonisasi rata-rata pada

umur resipien 1, 3, 5,dan 7 hpm tidak berbeda nyata (P>0,05) namun cenderung

mengalami penurunan. Efisiensi kolonisasi rata-rata pada resipien tertinggi

terdapat pada perlakuan larva umur 3 hpm (61,10±34,71%), sedangkan terendah

pada perlakuan larva umur 7 hpm (19,43±17,33%) (Gambar 8). Kemampuan sel

donor terkolonisasi pada resipien diduga mulai mengalami penurunan pada

resipien umur 7 hpm. Dugaan ini didasari oleh adanya satu perlakuan

transplantasi sel dari kelompok umur suntik 7 hpm yang efisiensi kolonisasinya

0,00 % atau dengan kata lain tidak terjadi kolonisasi sel donor pada gonad

resipien (Lampiran 7).

Rendahnya efisiensi kolonisasi rata-rata pada perlakuan 7 hpm tersebut

diduga disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor pertama adalah faktor yang

terkait dengan teknik transplantasi. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya

bahwa kondisi larva dapat menyebabkan penyuntikan menjadi salah sasaran.

Fujimura & Okada (2007) menyatakan bahwa larva ikan nila umur 4–6 hpm telah

mengalami proses pigmentasi permukaan tubuh. Larva ikan nila umur 7 hpm juga

telah mengalami proses pigmentasi khususnya pada permukaan tubuh yang

49

menutupi saluran pencernaan sehingga suspensi sel yang disuntikkan berpeluang

untuk tidak tepat sasaran. Profil larva 7 hpm dapat dilihat pada Lampiran 4.

Gambar 8 Efisiensi kolonisasi sel spermatogonia ikan gurami pada resipien ikan

nila perlakuan umur transplantasi 1, 3, 5 ,7 hari pascamenetas (hpm).

Faktor kedua yang dapat menyebabkan penurunan efisiensi kolonisasi

adalah terkait dengan peran sinyal kemotaktik (kemoaktraktan) yang diproduksi

oleh lingkungan mikro rongga genital resipien yang berperan dalam proses

migrasi sel donor ke bakal gonad resipien. Peran kemoatraktan ini dapat terlihat

pada beberapa penelitian transplantasi sel testikular pada ikan secara i.p.

Kemoatraktan tersebut cenderung menghilang dengan semakin bertambahnya

umur ataupun ukuran tubuh resipien. Pada transplantasi allogenik PGC ikan

rainbow trout, kemoatraktan resipien menghilang pada umur 45 hpm sehingga

pada umur tersebut tidak terjadi lagi kolonisasi sel donor pada rongga genital

resipien (Takeuchi et al. 2003). Transplantasi allogenik ikan nibe menghasilkan

kolonisasi sel donor tidak terjadi lagi pada saat resipien mencapai ukuran 6 mm

(Takeuchi et al. 2009). Demikian halnya transplantasi xenogenik ikan nibe

(donor) dan ikan mackerel (resipien) menunjukkan terjadinya penurunan efisiensi

kolonisasi pada saat ukuran ikan mackerel telah mencapai 6,9 mm (Yazawa et al.

2010). Untuk resipien ikan nila, hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan

bahwa senyawa kemoatraktan yang berperan dalam proses migrasi sel PGC ke

50

rongga genital masih berfungsi hingga larva berumur 7 hpm walapun terlihat

adanya kecenderungan menurun.

Selain peran kemoatraktan pada rongga genital resipien, faktor ketiga yang

dapat menyebabkan rendahnya efisiensi kolonisasi adalah rongga genital resipien

yang tidak dapat lagi menampung sel donor akibat adanya proses proliferasi dari

PGC endogen. Menurut Kobayashi et al. (2000) PGC ikan nila mulai mencapai

rongga genital pada umur larva 3 hpm dan pada saat itu sel-sel somatik sudah

mulai membungkus PGC dan proses proliferasi pun mulai berlangsung. Proses

proliferasi PGC ini ditunjang oleh lingkungan mikro somatik dari rongga genital.

Semakin cepat PGC berproliferasi maka kebutuhan terhadap sel-sel somatik yang

berperan dalam proses proliferasi juga semakin besar. Schulz et al. (2005)

menyatakan bahwa proliferasi sel germinal berkorelasi positif dengan proliferasi

sel-sel sertoli. Oleh karena itu seperti yang dikemukakan oleh Takeuchi et al.

(2009), niche atau lingkungan mikro sel germinal yang terdapat di rongga genital

resipien yang berperan dalam proses proliferasi PGC endogen juga akan

memperkecil peluang sel eksogen atau sel donor terkolonisasi pada rongga

genital resipien.

Menurut Ijiri et al. (2008) larva ikan nila berumur 5–6 hpm merupakan titik

kritis atau titik awal bagi terjadinya diferensiasi gonad menjadi betina maupun

jantan. Sedangkan Takeuchi et al. (2009) menyatakan bahwa salah satu

penyebab sel donor tidak terkolonisasi karena adanya proses penolakan epitel

gonad resipien yang sedang berkembang. Jika gonad resipien telah terdiferensiasi

menjadi betina maka sel spermatogonia yang disuntikkan pada larva ikan nila

berumur 5 hpm atau lebih akan berpeluang untuk ditolak oleh epitel gonad

terdiferensiasi yang sedang berkembang. Oleh karena itu, meskipun tidak

terdapat perbedaan nyata antara efisiensi kolonisasi resipien ikan nila perlakuan

umur transplantasi 1, 3, 5 dan 7 hpm namun penggunaan larva ikan nila berumur 5

hpm atau lebih dapat memperkecil peluang sel donor terkolonisasi pada resipien.

Pada penelitian ini, tidak teramati adanya kecenderungan perbedaan

distribusi sel spermatogonia pada gonad terhadap umur transplantasi resipien

yang berbeda (Gambar 9).

51

Gambar 9 Kolonisasi sel donor ikan gurami pada gonad resipien ikan nila

pascatransplantasi (pt) dengan posisi kepala di sebelah kiri

(posterior) dan ekor di sebelah kanan (anterior). A. Sel donor

(kepala panah) di bagian tengah gonad resipien 45 hari pt (perlakuan

larva 1 hari pascamenetas/hpm); B. Sel donor di bagian posterior

(dekat kepala) dari gonad resipien 72 hari pt (perlakuan larva 3

hpm); C. Sel donor di bagian tengah (di tepi pembuluh darah gonad,

panah kuning) dari gonad resipien 72 hari pt (perlakuan larva 5

hpm); D. Sel donor di bagian tengah dari gonad resipien 45 hari pt

(perlakuan larva 7 hpm), sebagian spermatogonia berada di bagian

luar gonad (panah putih); E-F. Gonad ikan nila yang tidak

ditransplantasi : tidak ada pendaran PKH 26.

Sel testikular dengan pendaran fluoresens merah umumnya terdapat di

bagian posterior hingga bagian tengah gonad 45 hari pt pada semua umur resipien.

Hasil pengamatan pada 2 ekor resipien perlakuan umur larva 7 hpm, di sekitar

gonadnya menempel beberapa sel yang berpendar yang memiliki bentuk bulat dan

52

berukuran sama besar dengan spermatogonia (Gambar 9D). Sel-sel tersebut

diduga merupakan spermatogonia yang tidak dapat bermigrasi ke rongga genital.

Keberhasilan kolonisasi sel donor ikan gurami pada gonad ikan nila juga

dibuktikan melalui metode PCR menggunakan marker GH ikan gurami. Pada

analisis kolonisasi melalui pengamatan sel donor yang dilabel pewarna fluoresens

PKH 26 tidak terdapat perbedaan efisiensi kolonisasi secara nyata antar perlakuan

umur larva. Pada penelitian ini digunakan sampel ekstraksi DNA gonad resipien

dari dua perlakuan umur resipien yaitu 3 dan 5 hpm yang diduga merupakan

resipien yang optimum untuk transplantasi berdasarkan tingkat kelangsungan

hidup atau sintasan pascatransplantasi dan efisiensi kolonisasi tertinggi. Dari

masing-masing 15 sampel gonad yang dianalisis sebanyak 26,7% (sumur c, d, f,

g) sampel gonad resipien ikan nila perlakuan 3 hpm, dan 16,7% (sumur h, j)

sampel gonad resipien ikan nila perlakuan 5 hpm yang teridentifikasi membawa

DNA ikan gurami (Gambar 10).

Gambar 10 Elektroforegram DNA produk PCR dari gonad resipien ikan nila 2

bulan pascatransplantasi menggunakan marka molekuler spesifik GH

ikan gurami dan primer β-aktin ikan nila sebagai kontrol internal.

Ket : a-g:sampel DNA nila transplantasi perlakuan 3 hari

pascamenetas (hpm), h-k:sampel DNA nila transplantasi 5 hpm, M:

marker DNA; G: DNA ikan gurami, N: DNA ikan nila,(-): kontrol

negatif bahan PCR.

Efisiensi kolonisasi menggunakan metode marka molekuler lebih rendah

dibandingkan dengan menggunakan metode pengamatan marker fluoresens PKH

26. Hal ini diduga karena jumlah sel donor yang terkolonisasi pada beberapa

gonad resipien relatif sedikit. Hasil uji sensitivitas marka molekuler GH

GH gurami

340 bp

β -aktin nila

150 bp

500 bp

bp

200 bp

bp

53

menunjukkan bahwa GH dapat mendeteksi 1 sel ikan gurami dalam 104 sel ikan

nila (Ahmad 2009). Sensitivitas marka molekuler GH diduga menjadi

penyebab sulitnya sel donor terdeteksi selama proses PCR. Menurut Kuske et al.

(1998), jumlah DNA template yang sedikit adalah salah satu faktor yang

mempengaruhi sensitivitas PCR dalam mendeteksi DNA target.

Kolonisasi Sel Donor Spermatogonia Ikan Gurami pada Ovari Ikan Nila

Hasil pengamatan dari 48 ekor jumlah sampel yang diperiksa, diperoleh 29

ekor yang berkelamin jantan dan 19 ekor berkelamin betina (rasio kelamin = 3 :

2). Sebanyak 44,90 % dari 49 ekor resipien membawa sel yang terwarnai PKH 26

dengan komposisi jantan dan betina masing-masing 50% dan 50% atau dengan

kata lain rasio kelamin jantan dan betina yang membawa sel donor adalah 1:1.

Hal ini menunjukkan bahwa sel spermatogonia ikan gurami yang diisolasi dari

gonad dewasa juga mampu terkolonisasi ke dalam jaringan gonad resipien betina

(Gambar 11).

Banyaknya jumlah ikan nila betina yang ditemukan membawa sel donor

menunjukkan bahwa sel testikular dalam penelitian ini tidak menyebabkan proses

maskulinisasi pada resipien. Yoshizaki et al. (2010) menyatakan bahwa

diferensiasi kelamin lebih banyak dipengaruhi oleh sel-sel somatik pada jaringan

gonad dibandingkan kontrol dari sel eksogen itu sendiri.

Menurut Yamamoto (1983) mekanisme yang sangat berperan dalam proses

diferensiasi kelamin pada ikan adalah kontrol dari regulasi hormon steroid yang

terdiri atas hormon androgen untuk maskulinisasi, estrogen untuk feminisasi dan

progesteron yang berhubungan dengan proses maturasi. Hormon-hormon tersebut

disekresikan oleh jaringan steroidogenik yang terdiri atas sel-sel granulosa dan

sel-sel theca pada ovari serta sel-sel Leydig dan sel-sel sertoli pada testis di bawah

pengaruh hormon gonadotropin di pituitari.

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa sel spermatogonia pada ikan

rainbow trout dan ikan nibe memiliki kemampuan development plasticity yaitu

kemampuan untuk berkembang menjadi sel spermatosit dan derivatnya maupun

menjadi sel oosit dan derivatnya (Okutsu et al. 2006a, Takeuchi et al. 2009).

Kemampuan multipotensi ini umumnya dimiliki oleh sel punca dan penelitian ini

membuktikan bahwa pada sel testikular ikan gurami yang ditransplantasikan

54

masih terdapat sifat-sifat yang menyerupai sel punca yang selanjutnya

diidentifikasi sebagai spermatogonia belum terdiferensiasi atau SpA.

Lensa fluoresens Tanpa lensa fluoresens

Gambar 11 Ovari resipien ikan nila. A. Tanpa transplantasi, B. Perlakuan

umur transplantasi 1 hari pascamenetas (hpm), C. Perlakuan umur

transplantasi 3 hpm, D. Perlakuan umur transplantasi 5 hpm, E.

Perlakuan umur transplantasi 7 hpm. Kepala panah adalah sel

donor yang terkolonisasi. Skala = 100 µm.

55

Proliferasi Sel Donor pada Gonad Resipien

Dari hasil kolonisasi sel donor dengan pengamatan fluoresens, terdapat

beberapa gonad yang menunjukkan adanya indikasi proliferasi sel donor pada

gonad. Indikasi pertama adalah beberapa gonad ditemukan membawa sel donor

dalam bentuk kumpulan sel. Takeuchi et al. (2003) menggambarkan salah satu

indikasi terjadinya proliferasi adalah sel donor yang terkolonisasi membentuk

kumpulan sel (cluster) pada jaringan gonad resipien (Gambar 12). Gambar 12B

menunjukkan gonad resipien betina dengan kumpulan sel-sel yang terkolonisasi

dengan diameter yang hampir sama besar. Pada resipien jantan, kumpulan sel

donor yang terkolonisasi lebih sulit diamati morfologinya di bawah mikroskop

fluoresens yang digunakan (Gambar 12A).

Lensa fluoresens Lensa tanpa fluoresens

Gambar 12 Kumpulan sel donor ikan gurami yang terkolonisasi (kepala panah)

pada testis (A) dan ovari (B) resipien ikan nila pascatransplantasi.

Skala : 50µm.

Indikasi adanya proliferasi sel donor yang terkolonisasi pada gonad resipien

juga terlihat pada Gambar 13. Kedua gonad ini berasal dari perlakuan umur

transplantasi yang sama dan jumlah sel yang disuntikkan sama. Kedua gonad

dari resipien yang berbeda yang diisolasi dalam selang waktu 23 hari tersebut

C

D

56

terlihat memiliki perbedaan jumlah sel yang terwarnai PKH 26 sangat nyata.

Selain itu intensitas cahaya fluoresens yang dipancarkan oleh sel yang terwarnai

PKH 26 pun terlihat berbeda pada kedua gonad tersebut yang mana pada gonad

yang berumur 72 hari dengan jumlah sel yang lebih sedikit, intensitas warna sel-

selnya lebih terang dibandingkan dengan intensitas warna yang dipancarkan oleh

sel-sel pada gonad yang diisolasi pada umur 95 hari pada perlakuan yang sama.

Menurut Wallace et al. (2008) intensitas warna label pada sel dapat

menggambarkan banyaknya generasi pembelahan menggunakan metode flow

cytometry. Perbedaan intensitas warna PKH 26 pada kedua gonad tersebut

menunjukkan kemungkinan telah terjadi proses pembelahan sel (proliferasi sel).

Menurut Kobayashi et al. (2000), oogenesis pada ikan nila mulai

berlangsung pada umur 20-25 hpm dan pada umur 35 hpm tahap pembelahan

meiosis sudah terlihat (Kobayashi et al. 2010). Kumpulan sel donor pada Gambar

13 menunjukkan bahwa sel donor spermatogonia telah berproliferasi dengan cepat

dalam selang waktu 23 hari karena hampir semua bagian gonad terisi oleh sel

donor dan diduga telah terjadi proses perkembangan (diferensiasi) ditandai oleh

sebagian besar ukuran sel yang berpendar melebihi ukuran spermatogonia.

Berbeda halnya dengan ikan nila jantan, proses spermatogenesis terjadi

setelah ikan nila berumur 50 hpm (Kobayashi 2010). Pada penelitian ini,

beberapa gonad resipien yang diamati juga menunjukkan adanya kemungkinan

proliferasi sel spermatogonia ikan gurami yang ditandai dengan terdapatnya sel-

sel donor yang membentuk kumpulan sel baik pada resipien jantan berumur

sekitar 2 bulan maupun yang berumur sekitar 3 bulan. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa sel spermatogonia ikan gurami kemungkinan telah

mengalami proses spermatogenesis pada umur sekitar 2 bulan. Meskipun belum

ada informasi bagaimana spermatogenesis berlangsung pada ikan gurami, namun

indikasi proliferasi sel spermatogonia pada ikan nila menunjukkan bahwa proses

proliferasi sel spermatogonia kemungkinan tidak banyak dipengaruhi oleh

mekanisme intrinsik yang berasal dari sel germinal itu sendiri melainkan

didominasi oleh peran lingkungan mikro sel germinal yaitu peran sel-sel somatik

pada gonad resipien.

57

Gambar 13 Gonad resipien ikan nila umur transplantasi 3 hari pascamenetas.

A. Resipien betina 72 hari pascatransplantasi (pt). B. Resipien

betina 95 hari pt. C,D (insersi). Pembesaran dari kotak. Kepala

panah menunjukkan kumpulan sel dengan ukuran yang sama,

indikasi terjadinya proliferasi. Skala= 100 µm.

Nagahama (1994) menggambarkan proses gametogenesis pada ikan

dikontrol oleh regulasi hormon gonadotropin yang disekresikan oleh kelenjar

pituitari. Pada ovari, hormon gonadotropin akan merangsang sel theca

memproduksi substrat androgen (testosteron). Testosteron berdifusi ke sel-sel

granulosa dan melalui aktivitas aromatase, testosterone dikonversi menjadi

estradiol 17-β (estrogen). Hormon estradiol ini kemudian merangsang sintesis

vitellogenin di hati untuk pembentukan kuning telur. Untuk proses pematangan

oosit dikatakan bahwa selain kontrol gonadotropin, terdapat pula peran kontrol

maturation-inducing hormone (MIH) dan maturation-promoting hormone (MPF).

Sedangkan pada testis, hormon gonadotropin berfungsi merangsang sel

Leydig memproduksi 11-ketotestosterone yang selanjutnya mengaktivasi sel

sertoli untuk memproduksi aktivin B. Aktivin B inilah yang selanjutnya

menginduksi proses mitosis sel spermatogonia. Untuk proses pematangan

menjadi spermatozoa diperankan oleh hormon 17α-hydroxyprogesterone pada sel-

D

58

sel somatik di bawah kontrol hormon gonadotropin (Nagahama 1994). Beberapa

hormon lain yang berperan dalam proses proliferasi dan diferensiasi oogonia dan

spermatogonia yaitu E2 dan 17,20 β-P (Young et al. 2004).

Sel spermatogonia ikan gurami diharapkan dapat berdiferensiasi menjadi sel

sperma pada jantan dan sel telur pada betina, namun sejauh mana keberhasilan

diferensiasi tersebut berlangsung juga sangat didukung oleh peran sel-sel somatik

ikan nila selama proses perkembangan sel germinal. Diferensiasi sel germinal

donor pada resipien yang jauh hubungan filogeninya membutuhkan hubungan

kerjasama yang tepat antara sel germinal donor dan sel somatik resipien seperti

misalnya sinyal-sinyal yang berperan dalam proses transfer material pembentuk

telur (Saito et al. 2008). Penelitian ini tidak akan melihat kemampuan sel donor

spermatogonia ikan gurami berdiferensiasi pada gonad resipien hingga

menghasilkan sel spermatozoa atau sel telur. Namun demikian hasil penelitian

yang menunjukkan bahwa sel spermatogonia ikan gurami mampu bermigrasi,

terkolonisasi dan kemungkinan berproliferasi merupakan awal dari

berlangsungnya spermatogenesis dan merupakan peluang bagi keberhasilan

aplikasi teknologi xenotransplantasi sel testikular ikan gurami kepada ikan nila.

KESIMPULAN

1. Umur resipien larva ikan nila yang optimum untuk transplantasi adalah 3 hari

pascamenetas.

2. Sel spermatogonia ikan gurami dapat terkolonisasi dan terdiferensiasi menjadi

sel oogonia pada gonad ikan nila betina.

3. Kumpulan sel donor ikan gurami pada gonad resipien ikan nila

mengindikasikan terjadinya proliferasi sel donor.