IV. KALIBRASI DAN VALIDASI MODEL SWAT - repository.ipb.ac.id · pengukuran di lapangan. Tahapan...
Transcript of IV. KALIBRASI DAN VALIDASI MODEL SWAT - repository.ipb.ac.id · pengukuran di lapangan. Tahapan...
IV. KALIBRASI DAN VALIDASI MODEL SWAT
4.1. Kalibrasi dan validasi di Sub DAS Cisadane Hulu
Aplikasi model SWAT di Indonesia belum banyak dilakukan, sehingga
untuk menguji dan mengetahui tingkat penerimaan dan aplikasi model SWAT di
Indonesia perlu dilakukan kalibrasi dan validasi terhadap model SWAT untuk
disesuaikan dengan kondisi DAS di Indonesia. Model SWAT mempunyai
berbagai kelebihan karena mampu mengitegrasikan antar proses-proses
hidrologi, berbasis data sapasial, proses yang kontinyu dan dapat dikombinasikan
dengan berbagai skenario perubahan lahan dan manajemen DAS. Sebelum
program SWAT dapat diterima dan diaplikasikan di suatu DAS di Indonesia,
diperlukan validasi dan kalibrasi parameter-parameter yang sensitif dan sangat
berpengaruh terhadap debit sungai. Kegiatan verifikasi hanya dilakukan khusus
membandingkan debit keluaran dari model dibandingkan dengan debit hasil
pengukuran di lapangan. Tahapan verifikasi, kalibrasi dan akseptibilitas
merupakan tahapan awal dalam aplikasi pemodelan DAS dengan model SWAT
sehingga dapat diketahui parameter-paramater yang sangat berpengaruh dan
dominan terhadap keluaran model.
Berdasarkan tipe penutupan lahan, Sub DAS Cisadane Hulu lebih
didominasi oleh hutan (± 57,67%) dan semak belukar (± 26,38%). Perincian luas
areal setiap tipe penutupan lahan ditunjukkan pada Tabel 5.
45
Tabel 5. Tipe penutupan lahan di Sub DAS Cisadane Hulu
Tipe Penutupan Lahan Luas
(Ha) (%)
Belukar/Semak 477,96 26,38
Hutan 1.044,60 57,67
Kebun/Perkebunan 116,11 6,41
Pemukiman 13,47 0,74
Rumput/Tanah kosong 2,70 0,15
Sawah Irigasi 23,18 1,28
Sawah Tadah Hujan 40,64 2,24
Tegalan/Ladang 92,85 5,13
Jumlah 1.811,50 100,00
Sumber : hasil interpretasi data SPOT 5 Tahun 2005.
Data penampakan dari Citra SPOT 5 ditunjukkan pada Gambar 12 dan
hasil interpretasi citra dengan kombinasi peta RBI skala 1 : 25.000, ditunjukkan
pada Gambar 13.
Gambar 12. Penampakan penutupan lahan dari citra SPOT 5 tahun 2005 di Sub
DAS Cisadane Hulu
46
Gambar 13. Hasil interpretasi citra SPOT5 kombinasi dengan RBI skala 1 :
25.000 di Sub DAS Cisadane Hulu
Berdasarkan klasifikasi tanah sistem USDA, jenis tanah yang ada di
daerah kajian ada 2 jenis, yaitu distropept dan hidraquent. Jenis tanah distropept
merupakan tanah agak lapuk iklim panas dengan nilai jenuh tanah bawah basa
yang rendah. Jenis tanah hidraquent merupakan tanah tidak lapuk, kejenuhan
permanen, yang lembut bila terinjak dan sebagian besar bertekstur halus. Sebaran
tanah distropept hanya sebagian kecil, sekitar 56,2 ha ( ± 3,1 %) dan sisanya
termasuk dalam jenis hidraquent sekitar 1.755,3 ha (± 96,9 %). Peta sebaran
jenis tanah ditunjukkan pada Gambar 14.
Sumber : peta sistem lahan skala 1 : 250.000
Gambar 14. Peta sebaran jenis tanah di Sub DAS Cisadane Hulu
47
Kondisi ketinggian tempat daerah kajian berkisar antara 512,5 – 2.235,4
m dpl seperti disajikan pada Gambar 15 dan sebaran kelas lereng disajikan pada
Gambar 16.
Gambar 15. Sebaran topografi di Sub DAS Cisadane Hulu
Gambar 16. Sebaran kemiringan lahan di Sub DAS Cisadane Hulu
Daerah hulu DAS Cisadane merupakan daerah sekitar G. Lingkung,
termasuk dalam Taman Nasional Gede-Pangrango. Bentuk fisiografi sangat
curam ( > 40%) paling banyak ditemukan di sekitar Desa Cibedug. Prosentase
setiap kelas lereng di Sub DAS Cisadane hulu ditunjukkan pada Tabel 6.
48
Tabel 6. Prosentase setiap kelas lereng di Sub DAS Cisadane Hulu
No Kelas Lereng Luas
(Ha) (%)
1 0-8 % 91,8 5,07
2 8 - 15% 109,2 6,03
3 15 - 25% 384,1 21,21
4 25 - 40% 1.031,0 56,91
5 >40% 195,5 10,79
Jumlah 1.811,6 100,00
Sumber : hasil pengolahan
Struktur formasi geologi daerah kajian berdasarkan peta geologi lembar
Bogor termasuk kedalam batuan gunung api. Daerah kajian termasuk batuan
gunungapi tua (Qvt) yang mengandung tuff berbatu apung. Luas daerah yang
termasuk Qvt sekitar 101,4 ha (± 5,6 %). Daerah di sebelah selatan terdapat
batuan gunungapi G. Pangrango dengan endapan lava dan lahar yang lebih tua
(Qvpy), mengandung basal andesit dengan ologoklas-andesin, labradorit, olovin,
piroksen dan horenblenda. Kategori batuan ini sekitar 179,7 Ha (± 9,92 %).
Sebagian besar daerah kajian termasuk batuan gunung api G. Pangrango dengan
endapan lahar yang lebih muda (Qvpo) yang tersusun atas andesit, sekitar 84,49 %
(± 1.530,5 ha). Sebaran formasi geologi ditunjukkan pada Gambar 17.
sumber : peta geologi lembar bogor skala 1 : 100.000; Direktorat GTL Bandung
Gambar 17. Struktur formasi geologi daerah Sub DAS Cisadane Hulu
49
Data input peta untuk aplikasi model SWAT adalah data spasial dan non
spasial. Data spasial yang digunakan adalah tipe penggunaan lahan, jenis tanah,
peta Digital Elevation Model (DEM) dan jaringan sungai. Data non spasial
meliputi data cuaca dan data hidrologi. Data cuaca meliputi curah hujan,
kelembaban, relatif, suhu, radiasi surya dan kecepatan angin sepetrti yang
disajikan pada Gambar 18.
Berdasarkan data hasil pengukuran suhu udara rata-rata berkisar antara
21,8 oC – 25,4
oC dengan suhu maksimum antara 22,9
oC – 30,8
oC dan suhu
minimum berkisar antara 17,8 oC – 22,6
oC. Kelembaban relatif udara berkisar
antara 85,8 – 100 %, dengan kecepatan angin berkisar antara 0,02 – 0,716 m/s.
Data radiasi surya berkisar antara 13,99 – 21,07 MJ/m2/hari.
Gambar 18. Penampang outlet di Sub DAS Cisadane Hulu.
Hubungan antara tinggi muka air (H, m) dengan debit sungai (Q, m3/s)
untuk lokasi studi mengikuti persamaan sebagai berikut :
2.9162 237,254* , 0.967Q H R .......................................(36)
Berikut adalah tampilan beberapa input model SWAT dalam proses input data,
kalibrasi dan validasi model :
50
Gambar 19. Tampilan input model SWAT
Gambar 20. Proses pembuatan pembatasan DAS secara otomatis
51
Penutupan Lahan Jenis Tanah
Gambar 21. Penentuan hidrologi respon unit berbasis data tanah dan landuse
Gambar 22. Input data iklim pada model SWAT
52
Form Input Parameter
Form input parameter Sub Basin
Form input parameter HRU
Gambar 23. Input parameter sub basin dan input parameter HRU
Form input parameter main chanel
E
F
Form input parameter ground water
Gambar 24. Input parameter ground water dan saluran sungai
53
Gambar 25. Halaman user interface input model SWAT
Prosedur dalam algoritma SUFI2 dalam melakukan kalibrasi adalah
sebagai berikut (Abbaspour et al., 2004):
1. Mendefinisikan objective function, g(h), sebagai tujuan optimasi. Dalam studi
ini menggunakan Nash-Sutcliffe efficiency (Nash dan Sutcliffe, 1970) :
..………………………………….……………(37)
Dimana :
Oi : data observasi ke-i,
õ : rata-rata data observasi
Pi : hasil simulasi ke-i,
n : jumlah data
Mendefinisikan nilai awal kisaran parameter yang digunakan dalam SWAT [abs
min, abs max] , dengan asumsi parameter tersebar seragam dalam batas kisaran yang
ditentukan (bj: bj, [j,abs min ≤ bj ≤ j,abs max, j = 1.... m, m=jumlah parameter).
2
1
2
1
( )
1.0
( õ)
n
i i
i
n
i
i
O P
NSE
O
54
Dalam studi ini batas kisaran yang ditentukan yang menjadi input parameter
SWAT, disajikan Tabel 7.
Tabel 7. Kisaran nilai parameter yang digunakan dalam parameter SUFI2
No(j) Parameter Keterangan Unit abs
min
abs
max
1 cn2.mgt Curve number - 35 70
2 shallst.gw Initial depth of water in
the shallow aquifer
mm 0 1.000
3 deepst.gw Initial depth of water in
the deep aquifer
mm 0 3.000
4 gw_delay.gw Groundwater delay hari 0 500
5 alpha_bf.gw Baseflow alpha factor hari 0,01 1
6 gwqmn.gw Threshold deep of water
in the shallow aquifer
required for return to
occur
mm 0 5.000
7 gw_revap.gw Groundwater revap
coefficient
- 0,02 0,2
8 revapmn.gw Threshold deep of water
in the shallow aquifer
required for revap to
occur
mm 0 500
9 rchrg_dp.gw Deep aquifer percolation
fraction
- 0 1
10 gwht.gw Initial groundwater height m 0 25
11 gw_spyld.gw Specific yield of shallow
aquifer
m3/m
3 0 0,4
12 sol_crk.sol Crack volume potensial of
soil
m3/m
3 0 1
13 sol_bd.sol Moisture bulk density g/cm3 1,1 2,5
14 sol_awc.sol Available water capacity
of the soil layer
mm/mm 0 1
15 sol_k.sol Saturated hydraulic
conductivity
mm/jam 0 2.000
55
Tabel 7. Kisaran nilai parameter yang digunakan dalam parameter SUFI2
(lanjutan)
No(j) Parameter Keterangan Unit abs
min
abs
max
16 sol_alb.sol Moisture soil albedo - 0 0,25
17 ch_n2.rte Manning's "n" value for
the main channel
- 0 0,3
18 ch_k2.rte Effective hydraulic
conductivity in main
channel alluvium
mm/jam 0 10
19 slsubbsn.hru Average slope length mm 10 150
20 slope.hru Average slope steepness m/m 0 0,6
21 ov_n.hru Manning's "n" value for
overland flow
- 0 0,8
22 Slsoil.hru Slope length for lateral
subsurface flow
m 0 0,6
23 esco.hru Soil evaporation
compensation factor
- 0,01 0,5
24 ch_k1.sub Effective hydraulic
conductivity in tributary
channel alluvium
mm/hr 0 150
25 ch_n11.sub Manning's "n" value for
tributary channel
- 0,01 0,3
26 surlag.bsn Surface run off lag time hari 1 24
2. Metode latin hipercube sampling digunakan untuk membangkitkan parameter
yang digunakan dalam simulasi. Jumlah kombinasi yang muncul sebanyak n-
iterasi simulasi yang dikehendaki. Dalam studi ini dilakukan sebanyak 400
iterasi (rekomendasi 500 – 1000 iterasi). Kisaran parameter yang muncul
menjadi [j,min ≤ bj ≤ j,max], j,min > j,abs min dan j,max< j,abs max.
3. Menghitung nilai objective function, g(h), sebagai tujuan optimasi. Hasil
simulasi yang paling baik dirumuskan sebagai max(wns) dari sejumlah iterasi
simulasi yang dilakukan, w sebagai faktor pembobot.
56
4. Menghitung standar deviasi (sj) pada selang kepercayaan 95 % dari parameter
yang terbaik hasil iterasi.
c, merupakan batas bawah parameter covariance
matrix,dimana sg2 merupakan
ragam dari objective function sebanyak n iterasi.
J merupakan sensitivity matrix yang diperoleh dari persamaan ,iij
j
gJ
b i=1
to n iterasi, j= 1 sampai jumlah parameter.
6. Menghitung sensitivitas parameter dengan menggunakan t-tes yang diperoleh
dengan menggunakan analisis regresi berganda antara sejumlah nilai
parameter dengan nilai objective function, dirumuskan sebagai berikut:
Di mana m sebagai jumlah parameter disimulasikan.
7. Menilai tingkat ketidakpastian keluaran model dengan seberapa banyak data
observasi masuk dalam 95ppu (batas bawah 2.5 %(xl) dan batas atas 97.5 %
(xu) dari akumulasi sebaran setiap n data observasi yang disebut sebagai p-
factor dan r-faktor (tingkat ketidakpastian) yang diekspresikan sebagai
berikut:
di mana x sebagai standar
deviasi data observasi.
Hasil terbaik dalam proses kalibrasi diperoleh pada iterasi ke 1.260 dari
jumlah iterasi 3000. Objective function dengan menggunakan nash Sutcliffe
coefficient (NSC) atau efesiensi model menunjukkan nilai 0,88. Parameter p-
faktor menunjukkan nilai 0,62; artinya pada selang kepercayaan 95% sekitar 62%
57
data observasi berada dalam kisaran ketidakpastian model. Grafik 95% prediction
uncertainty (95PPU) hasil kalibrasi disajikan Gambar 26.
Gambar 26. Perbandingan data observasi terhadap kisaran hasil model
Parameter terpilih yang digunakan dalam model ditunjukkan dalam Tabel
8. Dari 26 parameter yang dikalibrasi terdapat 7 parameter yang sensitif, yaitu
gwht, slsubsn, gwqmn, ch_k2, sol_awc, chnii dan ch_n2. Parameter ini memiliki
t-stat lebih besar dari p-value.
Tabel 8. Hasil kalibrasi model dengan algoritma SUFI2
No Parameter
Fitted
value
Nilai
Minimum
Nilai
Maksimum t-stat P-value
1 surlag.bsn 1.2875 1 24 -8,61 0,00
2 cn2.mgt 77.862495 35 80 -4,99 0,00
3 sol_bd.sol 2.2025 1.1 2.5 -4,09 0,00
4 deepst.gw 157.5 0 3000 -1,46 0,15
5 sol_k.sol 547,5 0 3000 -1,29 0,20
6 sol_crk.sol 0,1775 0 1 -1,19 0,23
7 rchrg_dp.gw 0,0375 0 1 -1,02 0,31
8 revapmn.gw 251,25 0 500 -0,99 0,32
9 slope.hru 0,0555 0 0.6 -0,87 0,38
0
50
100
150
200
2500
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
1/1 2/1 3/1 4/1 5/1 6/1 7/1 8/1 9/1 10/1 11/1 12/1
Curah Hujan(mm) Debit (m3/s)
95PPU
Debit observasi
58
Tabel 8. Hasil kalibrasi model dengan algoritma SUFI2 (lanjutan)
No Parameter Fitted
value
Nilai
Minimum
Nilai
Maksimum T-stat P-value
10 gw_delay.gw 288,75 0 500 -0,81 0,42
11 shallst.gw 592,5 0 1000 -0,57 0,57
12 alpha_bf.gw 1,437825 0,01 2 -0,33 0,74
13 gw_revap.gw 0,19775 0,02 0.2 -0,25 0,80
14 sol_alb.sol 0,109375 0 0.25 -0,24 0,81
15 ch_k1.sub 7,375 0 10 -0,05 0,96
16 gw_spyld.gw 0,255 0 0.4 -0,02 0,99
17 esco.hru 0,329725 0,01 0.5 0,10 0,92
18 slsoil.hru 0,2655 0 0.6 0,27 0,79
19 ov_n.hru 0,166 0 0.8 0,51 0,61
20 gwht.gw* 13,0625 0 25 0,89 0,37
21 slsubbsn.hru* 123,75 10 150 1,22 0,22
22 gwqmn.gw* 387,5 0 5000 1,52 0,13
23 ch_k2.rte* 19,125 0 150 1,61 0,11
24 sol_awc.sol* 0,3175 0 1 2,21 0,03
25 ch_n11.sub* 0,173125 0,01 0,3 3,14 0,00
26 ch_n2.rte* 0,00075 0 0,3 8,07 0,00
Ket: *) parameter yang sensitive (t-stat> p-value)
Pada Gambar 27 menunjukkan bahwa hubungan antara debit sungai
keluaran model simulasi dan observasi berupa linear positif dengan koefesien
determinasi (R2) sebesar 0,881(n=366). Jika dibandingkan dengan garis y=x
(Qobs=Qmodel), terlihat bahwa rat-rata hasil keluaran model 4,4 % relatif lebih
tinggi dibandingkan dengan debit hasil pengukuran.
59
Gambar 27. Hubungan antara debit model dan debit observasi
Gambar 28. Hasil kalibrasi harian antara keluaran model dan hasil observasi.
Proses validasi menggunakan data debit 1 Januari 2009 sampai 7 Januari
2010 dengan menggunakan parameter hasil kalibrasi. Pada Gambar 29
menunjukan koefesien determinasi (R2) dari hubungan linear antara debit hasil
model dan observasi menunjukan nilai 0,72 (n data 372). Nilai koefesien
determinasi hasil validasi lebih rendah dibandingkan hasil kalibrasi. Rata-rata
hasil model relatif lebih tinggi 6 %. Nilai nash Sutcliffe coefficient (NSC)
menunjukkan nilai 0,7. Hydrograp antara hasil model dan observasi di sajikan
QObs = 0,957*Qmodel
R² = 0,881
n=366
0
2
4
6
8
10
12
0 2 4 6 8 10 12
Qobs
(m3/s
)
Qmodel (m3/s)
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
200
220
2400.0
5.0
10.0
15.0
20.0
1/1 2/1 3/1 4/1 5/1 6/1 7/1 8/1 9/1 10/1 11/1 12/1
Cura
h H
uja
n (
mm
)
Q O
utf
low
(m
3/s
)
Curah Hujan
Observasi
Model
60
Gambar 30. Gambar ini menunjukan pada musim kemarau dan kejadian hujan
extrem kurang begitu baik disimulasi oleh model, namun model cukup sensitif
terhadap kejadian hujan.
Gambar 29. Hubungan antara debit simulasi dan debit observasi
Gambar 30. Perbandingan debit observasi dan hasil validasi
4.2. Validasi dan Kalibrasi di Sub DAS Gumbasa
Lokasi studi merupakan daerah tangkapan air Sungai Gumbasa dengan
panjang aliran utama 98,75 Km. Masyarakat sekitar memanfaatkan air Sungai
Gumbasa sebagai sumber air untuk pengairan di daerah irigasi Gumbasa. Sumber
Qobs= 0,926*Qmodel
R² = 0,721
n=372
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Qo
bs
(m3
/s)
Qmodel (m3/s)
020406080100120140160180200220240
0.0
5.0
10.0
15.0
20.0
1/1 2/1 3/1 4/1 5/1 6/1 7/1 8/1 9/1 10/1 11/1 12/1
Cura
h h
uja
n (
mm
)
Q O
utf
low
(m
3/s
)
Curah HujanObservasiModel
61
air Sungai Gumbasa berasal dari Danau Lindu ( 3.488 ha). Masyarakat
memanfaatkan Danau Lindu sebagai tempat mencari ikan dan daerah wisata alam.
Aliran maksimum di Sungai Gumbasa mencapai 80,5 m3/s yang terjadi pada bulan
Januari, dan aliran minimum mencapai 16,87 m3/s yang terjadi pada bulan Maret.
Lokasi studi merupakan outlet kawasan Taman Nasional Lore Lindu
(TNLL). Sekitar 83,53 %, tipe penutupan lahannya berupa hutan yang termasuk
tipe ekosistem hutan tropika, dengan tipe hutan pegunungan bawah. Tipe vegetasi
yang dapat dijumpai di hutan tropika dan pegunungan bawah, antara lain
Eucalyptus deglupta, Pterospermum celebicum, Cananga odorata, Gnetum
gnemon, Castanopsis argentea, Agathis philippinensis, Philoclados hypophyllus,
tumbuhan obat, dan rotan. Tipe penutupan lahan lainnya adalah kebun coklat dan
kopi (6,96 %). Tipe penutupan secara lengkap ditunjukkan pada Tabel 9.
Tabel 9. Berbagai tipe penutupan lahan di Sub DAS Gumbasa
No Tipe Penutupan Lahan Luas
(%) (Ha)
1 Hutan Alam 71,95 86.547,5
2 Hutan Terbuka 11,58 13.924,3
3 Tubuh Air 3,15 3.793,4
4 Padi sawah 1,34 1.616,8
5 Tegalan / Tanah Terbuka 3,19 3.835,7
6 Kebun Kelapa 0,02 18,3
7 Kebun Coklat / Kopi 6,96 8.378,2
8 Padang Rumput 0,82 992,0
9 Ilalang 0,83 998,9
10 Pemukiman 0,16 187,1
Jumlah 100,00 120.292,3
Sumber : Hasil analisis
Berdasarkan klasifikasi tanah Dudal-Supraptoharjo, jenis tanah di lokasi
studi terbagi menjadi dua kelompok besar yaitu asosiasi podsolik merah kuning,
62
litosol dan regosol serta asosiasi podsolik coklat kelabu dan renzina. Asosiasi
podsolik coklat kelabu dan renzina lebih mendominasi sebaran jenis tanah di
lokasi studi, sebesar 84,46%. Sebaran jenis tanah secara lengkap disajikan pada
Tabel 10. Peta sebaran jenis tanah di lokasi studi di tunjukkan pada Gambar 31.
Gambar 31. Sebaran jenis tanah di Sub DAS Gumbasa
Jenis tanah asosiasi podsolik merah kuning, litosol dan regosol tersebar
terutama di daerah dataran-perbukitan. Jenis tanah ini mengalami podzolisasi dan
sedikit latosolisasi, di mana hutan merupakan vegetasi utama, bahan organik
cukup tinggi, tingkat infiltrasi sedang dan termasuk kelompok hidrologi tanah B.
Asosiasi podsolik coklat kelabu dan renzina merupakan tanah yang berkembang
pada iklim dengan curah hujan diatas 1.500 mm/tahun, tanpa bulan kering.
63
Terletak pada topografi datar, bergelombang, sampai pegunungan; pada elevasi 10
– 2.000 m dpl. Warna tanah kehitaman, coklat tua hingga kekuningan. Reaksi
tanah masam hingga netral (pH 5-7) dan termasuk kelompok hidrologi tanah B.
Tabel 10. Sebaran jenis tanah di Sub DAS Gumbasa
No Jenis tanah Luas
% Ha
1 Podsolik Merah Kuning, Litosol, Regosol 15,54 18.687,8
2 Podsolik Coklat Kelabu, Renzina 84,46 101.604,5
Jumlah 100,00 120.292,3
Ketinggian tempat lokasi studi berkisar antara 82,9 – 2.525,0 m dpl.
Bentuk fisiografi lahan terbentang dari dataran hingga pegunungan. Wilayah datar
banyak terdapat di sekitar wilayah Kecamatan Sigibiromaru dan Kulawi. Pada
bagian tengah sampai selatan merupakan daerah pegunungan; masing-masing
berjejer G. Nokelan (2.350 m), G. Tonosa (2.230 m), G. Lantawungu (2.270 m)
dan G. Potowonoa (1.930 m). Tampilan 3 Dimensi dari Sub DAS Gumbasa
ditunjukkan pada Gambar 32 dan distribusi kelas lereng disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11. Distribusi kelas lereng di Sub DAS Gumbasa
No Kelas
Lereng Klasifikasi Lereng
Luas
( Ha ) ( % )
1 0 - 8 % Datar 38.705,7 32,2
2 8 - 15 % Landai 19.175,2 15,9
3 15 - 25 % Agak curam 31.312,3 26,0
4 25 - 40 % Curam 27.134,8 22,6
5 > 40 % Sangat curam 3.964,2 3,3
Jumlah 120.292,3 100,0
Sumber : Hasil analisis
64
Gambar 32. Tampilan 3 dimensi Sub DAS Gumbasa
Kondisi iklim wilayah studi sangat dipengaruhi oleh kondisi monsunal,
yaitu musim barat yang kering dan musim timur yang banyak membawa uap air.
Musim timur terjadi sekitar Bulan April sampai dengan September yang ditandai
dengan banyak curah hujan, sedangkan musim barat sekitar Bulan Oktober
sampai Maret yang ditandai dengan kurangnya curah hujan. Rataan curah hujan
tahunan lokasi studi berkisar antara 1.237 – 1.927 mm/tahun. Sebarannya paling
tinggi berada di sekitar wilayah dataran yang termasuk Kecamatan Sigibiromaru.
Paling rendah berada di sekitar outlet lokasi studi. Gambaran kondisi iklim
lokasi studi berdasarkan pada data tahun 2001 – 2005 dari 7 stasiun cuaca yang
tersebar di sekitar lokasi studi disajikan pada Lampiran 1-7. Rekapitulasi nilai
rataan setiap unsur cuaca setiap stasiun disajikan Tabel 12.
Sebaran curah hujan tertinggi ada di lembah Palolo berkisar 1.800 - 1.900
mm/tahun. Pola sebaran curah hujan secara lengkap disajikan pada Gambar 33
Lokasi studi Sub DAS Gumbasa dengan luas 120.292,3 Ha dalam pembagian
Hydrologi Respon Unit (HRU) ditentukan dengan memilih penutupan lahan dan
jenis tanah yang dominan, yaitu hutan dan tanah asosiasi podsolik coklat kelabu
Danau Lindu
65
dan renzina berdasarkan nilai kisaran awal untuk kalibrasi secara lengkap
disajikan pada Tabel 13.
Tabel 12. Nilai unsur-unsur cuaca setiap stasiun di sekitar Sub DAS Gumbasa
No Stasiun Curah Hujan RH Radiasi Tmax Tmin T KecAngin
(mm) (HH) (%) (MJ/m) (oC) (
oC) (
oC) (m/s)
1 pl01 1.190 155 80,3 18,7 25,8 19,8 22,8 0,89
2 pl02 1.726 242 83,0 17,1 17,1 11,1 14,1 0,95
3 pl03 1.927 231 86,6 18,0 27,2 21,2 24,2 0,65
4 pl04 1.695 242 84,3 17,1 18,6 12,6 15,6 0,94
5 pl07 1.235 174 80,1 19,6 30,3 24,3 27,3 0,80
6 pl010 582 115 74,5 19,6 30,9 24,9 27,9 1,40
7 pl012 1.935 232 85,0 17,7 26,6 20,6 23,6 0,95
Sumber : Hasil analisis
Gambar 33. Pola sebaran curah hujan di Sub DAS Gumbasa
66
Tabel 13. Kisaran nilai parameter yang digunakan dalam kalibrasi SUFI2
No Parameter Keterangan Unit abs
min
abs
max
1 cn2.mgt curve number - 35 70
2 shallst.gw Initial depth of water in the
shallow aquifer mm 0 1000
3 deepst.gw Initial depth of water in the
deep aquifer mm 0 3000
4 gw_delay.gw Groundwater delay Hari 0 500
5 alpha_bf.gw Baseflow alpha factor Hari 0,01 1
6 gwqmn.gw
Threshold deep of water in
the shallow aquifer required
for return to occur
mm 0 5000
7 gw_revap.gw Groundwater revap
coeffecient - 0,02 0,2
8 revapmn.gw
Threshold deep of water in
the shallow aquifer required
for revap to occur
mm 0 500
9 rchrg_dp.gw Deep aquifer percolation
fraction - 0 1
10 gwht.gw Initial groundwater height M 0 25
11 gw_spyld.gw Specific yield of shallow
aquifer m
3/m
3 0 0,4
12 sol_crk.sol Crack volume potensial of
soil m
3/m
3 0 1
13 sol_bd.sol Moisture bulk density gr/cm3 1,1 2,5
14 sol_awc.sol Available water capacity of
the soil layer mm/mm 0 1
15 sol_k.sol Saturated hydraulic
conductivity mm/jam 0 2000
16 sol_alb.sol Moisture soil albedo - 0 0,25
17 ch_n2.rte Manning's "n" value for the
main channel - 0 0,3
18 ch_k2.rte
Effective hydraulic
conductivity in main channel
alluvium
mm/jam 0 10
19 slsubbsn.hru Average slope length M 10 150
20 slope.hru Average slope steepness m/m 0 0,6
67
Tabel 13. Kisaran nilai parameter yang digunakan dalam kalibrasi SUFI2
(lanjutan)
No Parameter Keterangan Unit abs
min
abs
max
21 ov_n.hru Manning's "n" value for
overland flow - 0 0,8
22 slsoil.hru Slope length for lateral
subsurface flow M 0 0,6
23 esco.hru Soil evaporation
compensation factor - 0,01 0,5
24 ch_k1.sub
Effective hydraulic
conductivity in tributary
channel alluvium
mm/jam 0 150
25 ch_n11.sub Manning's "n" value for
tributary channel - 0,01 0,3
26 surlag.bsn Surface run off lag time Hari 1 24
Dalam proses kalibrasi model SWAT di Sub DAS Gumbasa, dilakukan
iterasi simulasi sebanyak 400 kali. Hasil terbaik diperoleh pada iterasi ke 7
dengan nilai g(h) paling tinggi (0,001388). Parameter model terbaik hasil iterasi
disajikan pada Tabel 14. Nilai p-factor sekitar 0,82; artinya 82 % data observasi
berada dalam kisaran 95PPU. Nilai d-factor (the degree of uncertainty) sebesar
3,82. Idealnya, nilai (p-factor) adalah 100 % dan d-factor adalah nol (0), karena
dalam pengukuran data observasi juga memiliki error dan output model juga
memiliki nilai ketidakpastian, maka nilai p-factor dan d-factor yang mendekati
nilai ideal juga bisa diterima (Abbaspour et al., 2008 dan Abraham et al., 2007).
Nilai koefesien determinasi (R2) dengan intercept 0 sebesar 0,747. Rata-rata hasil
model sekitar 10,4 % lebih besar dibandingkan hasil observasi. Nilai Nash-
Sutcliffe coefficient (NSC) sebesar 0,79. Dalam proses kalibrasi Nilai R2 yang bisa
diterima lebih besar dari 0,6 dan NSC lebih besar dari 0,5 (Nash dan Sutcliffe,
68
1970). Perbandingan Q observasi, Q simulasi dan 95 PPU selama periode
kalibrasi ditunjukkan pada Gambar 34 dan 35.
Gambar 34. Perbandingan debit simulasi dan observasi pada proses kalibrasi
Gambar 35. Hubungan antara debit observasi dan debit model SWAT
0
20
40
60
80
100
1200
20
40
60
80
100
120
140
160
180
200
1/1 2/1 3/1 4/1 5/1 6/1 7/1 8/1 9/1 10/1 11/1 12/1
Cura
h H
uja
n (
mm
)
Debit s
ungai (m
3/s
)
95PPU CH(mm)
Qobs (m3/s) Qmodel (m3/s)
Qobs= 0,9055Qmodel
R2 = 0,7473
n=366
0
10
20
30
40
50
60
70
0 10 20 30 40 50 60 70
Qo
bs
(m3
/s)
Qmodel (m3/s)
69
Tabel 14. Parameter model terbaik hasil iterasi dengan algorithma SUFI2
No Parameter Fitted
Value
Nilai
Minimum
Nilai
Maksimum t-Stat
P-
Value
1 cn2.mgt* 66,019 50,5 81,5 4,076 0,000
2 shallst.gw 23,750 0,0 512,0 0,319 0,750
3 deepst.gw* 2096,250 1047,7 3144,8 1,411 0,159
4 gw_delay.gw 176,875 15,2 338.5 -0,052 0,959
5 alpha_bf.gw 0,115 0,0 0,6 -5,148 0,000
6 gwqmn.gw 4031,250 2014,9 6047,6 -0,599 0,549
7 gw_revap.gw* 0,051 0,0 0,1 1,090 0,276
8 revapmn.gw* 161,875 0,0 331,0 0,676 0,499
9 rchrg_dp.gw 0,584 0,3 0,9 -0,585 0,559
10 gwht.gw 2,281 0,0 13,6 -0,984 0,326
11 gw_spyld.gw 0,118 0,0 0,3 0,299 0,765
12 sol_crk.sol 0,621 0.3 0,9 1,803 0,072
13 sol_bd.sol 2,369 1,7 3,0 -3,115 0,002
14 sol_awc.sol 0,294 0,0 0,6 -0,346 0,729
15 sol_k.sol 517,500 0,0 1259,0 -0,043 0,966
16 sol_alb.sol 0,087 0,0 0,2 -1,206 0,229
17 ch_n2.rte* 0,252 0,1 0,4 30,296 0,000
18 ch_k2.rte* 9,713 4,9 14,6 4,090 0,000
19 slsubbsn.hru 40,975 0,0 95,5 0,316 0,752
20 slope.hru* 0,451 0,2 0,7 1,531 0,127
21 ov_n.hru 0,013 0,0 0,4 -0,115 0,909
22 slsoil.hru 0,196 0,0 0,4 0,487 0,627
23 esco.hru* 0,209 0,1 0,4 0,681 0,497
24 ch_k1.sub 149,813 74,9 224,7 -1,401 0,162
25 ch_n11.sub 0,123 0,0 0,2 -0,182 0,855
26 surlag.bsn* 18,796 9,9 27,7 0,745 0,457
Ket: *) parameter yang sensitive (t-stat> p-value)
70
Analisis sensitivitas setiap parameter terhadap output model dilakukan
dengan menggunakan t-test. Jika nilai t-Stat lebih besar dibandingkan P-Value
menunjukan parameter tersebut sensitif. Dari 26 parameter dilakukan pengujian
terdapat 10 parameter yang sensitif; yaitu ch_n2, ch_k2, cn2, sol_crk, slope,
deepst, gw_revap, surlag, esco dan revapmn. Diantara parameter – parameter yang
sensitif tersebut, ch_n2 paling sensitif selanjutnya parameter ch_k2 dan cn2.
Pengembangan model SWAT kedepan mengarah pada proses aplikasi di
pertanian dalam arti luas (Gassman et al., 2007), untuk bidang perubahan iklim
(Gui dan Rosbjerg, 2009). Dari hasil analisis kalibrasi tersebut, maka aplikasi
model SWAT di Sub DAS Gumbasa sangat mengembirakan untuk ditindaklanjuti
dengan validasi dan simulasi pemodelan sumberdaya air, dan simulasi perubahan
penutupan lahan, perubahan iklim dan sosial di masa mendatang dan model
SWAT dapat dipergunakan untuk tahapan lebih lanjut dalam pemodelan DAS di
Sub DAS Gumbasa.