Isu2 Dan Masalah Pertanian

35
ISU DAN MASALAH PERTANIAN DI INDONESIA ( MAKALAH SOSIOLOGI PERTANIAN ) Oleh Kelompok 10 Chintara Andini 1314121027 Dina Yuliana 13114121048 Karina Zulkarnain 1314121095 Pri Angga Tri Atmaja 1014121145 Tabroni 1014121249 JURUSAN AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

Transcript of Isu2 Dan Masalah Pertanian

ISU DAN MASALAH PERTANIAN DI INDONESIA

( MAKALAH SOSIOLOGI PERTANIAN )

Oleh

Kelompok 10

Chintara Andini 1314121027

Dina Yuliana 13114121048

Karina Zulkarnain 1314121095

Pri Angga Tri Atmaja 1014121145

Tabroni 1014121249

JURUSAN AGROTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

2 0 1 3

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pertanian merupakan sektor andalan untuk meningkatkan kesejahteraan

sebagian masyarakat indonesia, karena sebagian besar masyarakat

indonesia tinggal di daerah pedesaan dan bekerja pada sektor pertanian.

Fenomena ekonomi memberikan isyarat terjadinya isu-isu dan masalah

pertanian Indonesia secara makro baik secara vertikal maupun horizontal.

Dengan menurunnya tingkat produktifitas, luas area lahan pertanian yang

secara tidak langsung menurunkan tingkat produksi pertanian. Dengan

latar belakang tersebut kami mengkaji sektor pertanian secara umum

dengan menitik beratkan pada permasalahan,dan isu-isu di bidang

pertanian. Kita ketahui sektor pertanian ditopang oleh subsektor lainnya,

yakni sektor perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan serta

tanaman pangan, di mana sektor tanaman pangan yang menjadi prioritas

karena termasuk dalam kategori kebutuhan primer, maka tidak heran bila

setiap negara khususnya negara Indonesia yang merupakan negara agraris

setiap tahun berupaya untuk memaksimalkan sektor ini. Namun, faktanya

banyak masalah-masalah yang berkaitan dengan kegiatan bertani serta

banyaknya isu tentang pertanian.

Pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat terlihat dari pembangunan yang

dilakukan. Pembangunan nasional merupakan sebuah upaya peningkatan

kesejahteraan masayarakat. Pelaksanaan pembangunan tidak dapat

dilakukan oleh satu pihak, melainkan perlu adanya dukungan dari berbagai

pihak terkait. Semuanya perlu adanya kerja sama antara pihak pemerintah

dan pemerintah daerah. Pemerintah harus mengetahui sejauh mana tingkat

pembangunan yang ada seperti pembangunan yang ada di tingkat daerah.

Jika pelaksanaan pembangunan daerah belum maksimal maka pemerintah

pusat wajib melakukan koreksi terhadap kinerja yang telah dilakukan

selama ini. Pembangunan di tingkat daerah dapat berjalan dengan baik

apabila mendapat dukungan dari pemerintahan pusat, misalnya dukungan

dalam hal pendanaan. Pendanaan yang diberikan pemerintah pusat kepada

pemerintah daerah berupa pemberian anggaran belanja daerah yang

digunakan untuk keperluan penyelenggaraan tugas pemerintahan di

daerah. Pengelolaan APBD memerlukan keterkaitan antara tingkat

pemerintah pusat dan manajemen wilayah daerah agar dana yang diberikan

dapat tepat sasaran.

B. Tujuan

1. Mengetahui isu-isu pertanian di indonesia

2. Mengetahu masalah-masalah pertanian yang terjadi di indonesia

II. PEMBAHASAN

PERMASALAHAN DAN KEBIJAKAN DI BIDANG PERTANIAN

A. KEBIJAKAN PERTANIAN

Kebijakan pertanian adalah serangkaian tindakan yang telah, sedang dan

akan dilaksanakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu. Adapun

tujuan umum kebijakan pertanian kita adalah memajukan pertanian,

mengusahakan agar pertanian menjadi lebih produktif, produksi dan efisiensi

produksi naik dan akibatnya tingkat penghidupan dan kesejahteraan petani

meningkat. Untuk mencapai tujuan-tujuan ini, pemerintah baik di pusat maupun di

daerah mengeluarkan peraturan-peraturan tertentu; ada yang berbentuk Undang-

undang, Peraturan-peraturan Pemerintah, Kepres, Kepmen, keputusan Gubernur

dan lain-lain. Peraturan ini dapat dibagi menjadi dua kebijakan-kebijakan yang

bersifat pengatur (regulating policies) dan pembagian pendapatan yang lebih adil

merata (distributive policies). Kebijakan yang bersifat pengaturan misalnya

peraturan rayoneering dalam perdagangan/distribusi pupuk sedangkan contoh

peraturan yang sifatnya mengatur pembagian pendapatan adalah penentuan harga

kopra minimum yang berlaku sejak tahun 1969 di daerah-daerah kopra di

Sulawesi.

Persoalan yang selalu tidak mudah diatasi adalah persoalan keadilan.

Hampir setiap kebijakan jarang akan disambut dengan baik oleh semua pihak.

Selau ada saja pihak yang memperoleh manfaat lebih besar dari pihak lainnya dan

bahkan ada yang dirugikan. Itulah sebabnya masalah kebijakan pertanian

bukanlah terletak pada banyak sedikitnya campur tangan pemerintah, tetapi pada

berhasil tidaknya kebijakan itu mencapai sasarannya dengan sekaligus mencari

keadilan bagi pihak-pihak yang bersangkutan. Oleh karena itu kebijakan

pertanian yang lebih baik adalah yang dapat mencapai tujuan nasional untuk

menaikkan produksi secara optimal dengan perlakuan yang adil pada pihak-pihak

yang bersangkutan itu.

1. Kebijakan Harga

Kebijakan ini merupakan salah satu kebijakan yang terpenting di banyak

negara dan biasanya digabung dengan kebijakan pendapatan sehingga disebut

kebijakan harga dan pendapatan (price and economic policy). Segi harga dari

kebijakan itu bertujuan untuk mengadakan stabilitas harga, sedangkan segi

pendapatannya bertujuan agar pendapatan petani tidak terlalu berfluktuasi dari

musim ke musim dan dari tahun ke tahun. Kebijakan harga dapat mengandung

pemberian penyangga (support) atas harga-harga hasil pertanian supaya tidak

terlalu merugikan petani atau langsung mengandung sejumlah subsidi tertentu

bagi petani. Di banyak negara seperti; Amerika Serikat, Jepang, dan Australia

banyak sekali hasil pertanian seperti gandum, kapas, padi, dan gula yang

mendapat perlindungan pemerintah berupa harga penyangga dan atau subsidi.

Indonesia baru mulai mempraktekkan kebijakan harga untuk beberapa hasil

pertanian sejak tahun 1969. Secara teoritis kebijakan harga yang dapat dipakai

untuk mencapai tiga tujuan yaitu:

1. stabilitas harga hasil-hasil pertanian terutama pada tingkat petani

2. meningkatkan pendapatan petani melalui pebaikan dasar tukar (term of

trade)

3. memberikan arah dan petunjuk pada jumlah produksi.

Kebijakan harga di Indonesia terutama ditekankan pada tujuan pertama

yaitu Stabilitas harga hasil-hasil pertanian dalam keadaan harga-harga umum yang

stabil berarti pula terjadi kestabilan pendapatan. Tujuan yang kedua banyak sekali

dilaksanakan pada hasil-hasil pertanian di negara-negara yang sudah maju dengan

alasan pokok pendapatan rata-rata sektor pertanian terlau rendah dibandingkan

dengan penghasilan di luar sektor pertanian.

Tujuan yang kedua ini sulit untuk dilaksanakan di negara-negara yang

jumlah petaninya berjuta-juta dan terlalu kecil-kecil seperti di Indonesia karena

persoalan administrasinya sangat kompleks. Pada prinsipnya kebijakan harga

yang demikian ini merupakan usaha memindahkan pendapatan dari golongan

bukan pertanian ke golongan pertanian, sehingga hal ini bisa dilaksanakan dengan

mudah di negara-negara yang sudah maju dan kaya, dimana golongan penduduk

di luar pertanian jumlahnya jauh lebih besar dengan pendapatan lebih tinggi

dibanding golongan penduduk pertanian. Di negara-negara ini penduduk sektor

pertanian rata-rata di bawah 10 persen dari seluruh penduduk, sedangkan di

negara kita masih antara 60 persen-70 persen.

Tujuan kebijakan yang ketiga dalam praktek sering dilaksanakan oleh

negara-negara yang sudah maju bersamaan dengan tujuan kedua yaitu dalam

bentuk pembatasan jumlah produksi dengan pembayaran kompensasi.

Berdasarkan ramalan harga, pemerintah membuat perencanaan produksi dan

petani mendapat pembayaran kompensasi untuk setiap kegiatan produksi yang

diistirahatkan. Di negara kita, dimana hasil-hasil pertanian pada umumnya belum

mencukupi kebutuhan, maka kebijakan yang demikian tidak relevan. Selain

kebijakan harga yang menyangkut hasil-hasil pertanian, peningkatan pendapatan

petani dapat dicapai dengan pemberian subsidi pada harga sarana-sarana produksi

seperti pupuk/insektisida. Subsidi ini mempunyai pengaruh untuk menurunkan

biaya produksi yang dalam teori ekonomi berarti menggeser kurva penawaran ke

atas.

2. Kebijakan Pemasaran

Di samping kebijakan harga untuk melindungi petani produsen,

pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan-kebijakan khusus dalam kelembagaan

perdagangan dengan tujuan yang sama, tetapi dengan tekanan pada perubahan

mata rantai pemasaran dari produsen ke konsumen, dengan tujuan utama untuk

memperkuat daya saing petani. Di negara-negara Afrika seperti Nigeria dan

Kenya apa yang dikenal dengan nama Badan Pemasaran Pusat (Central Marketing

Board) berusaha untuk mengurangi pengaruh fluktuasi harga pasar dunia atas

penghasilan petani. Badan pemasaran ini sangat berhasil di Inggris yang dimulai

sesudah depresi besar tahun 1930 untuk industri bulu domba, susu, telor dan

kentang. Di Indonesia Badan Pengurusan Kopra, Badan Pemasaran Lada pada

prinsipnya mempunyai tujuan yang sama dengan Badan pemasaran Pusat di

Afrika dan Inggris.

Masalah yang dihadapi di Indoensia adalah kurangnya kegairahan

berproduksi pada tingkat petani, tidak ada keinginan untuk mengadakan

penanaman baru dan usaha-usaha lain untuk menaikkan produksi karena

persentase harga yang diterima oleh petani relatif kecil dibandingkan dengan

bagian yang diterima golongan-golongan lain.

Selain kebijakan pemasaran hasil-hasil tanaman perdagangan untuk

ekspor, kebijakan ini meliputi pula pengaturan distribusi sarana-sarana produksi

bagi petani. Pemerintah berusaha menciptakan persaingan yang sehat di antara

para pedagang dengan melayani kebutuhan petani seperti pupuk, insektisida,

pestisida dan lain-lain sehingga petani akan dapat membeli sarana-sarana produksi

tersebut dengan harga yang relatif tidak terlalu tinggi. Jadi disini jelas bahwa

kebijakan pemasaran merupakan usaha campur tangan pemerintah dalam

bekerjanya kekuatan-kekuatan pasar. Di satu pihak pemerintah dapat mengurangi

pengaruh kekuatan-kekuatan pasar supaya tidak terlalu merugikan pedagang dan

petani, tetapi di pihak lain persaingan dapat didorong untuk mencapai efisiensi

ekonomi yang tinggi. Dalam praktek kebijakan pemasaran dilaksanakan secara

bersamaan dengan kebijakan harga.

3. Kebijakan Struktural

Kebijakan struktural dalam pertanian dimaksudkan untuk memperbaiki

strukutur produksi misalnya luas pemilikan tanah, pengenalan dan pengusahaan

alat-alat pertanian yang baru dan perbaikan prasarana pertanian pada umumnya

baik prasarana fisik maupun sosial ekonomi.

Kebijakan struktural ini hanya dapat terlaksana dengan kerjasama yang

erat dari beberapa lembaga pemerintah. Perubahan struktur yang dimaksud disini

tidak mudah untuk mencapainya dan biasanya memakan waktu lama. Hal ini

disebabkan sifat usahatani yang tidak saja merupakan unit usaha ekonomi tetapi

juga merupakan bagian dari kehidupan petani dengan segala aspeknya. Oleh

karena itu tindakan ekonomi saja tidak akan mampu mendorong perubahan

struktural dalam sektor pertanian sebagaimana dapat dilaksanakan dengan lebih

mudah pada sektor industri. Pengenalan baru dengan penyuluhan-penyuluhan

yang intensif merupakan satu contoh dari kebijakan ini. Kebijakan pemasaran

yang telah disebutkan di atas sebenarnya dimaksudkan pula untuk mempercepat

proses perubahan struktural di sektor pertanian dalam komoditi-komoditi

pertanian. Pada bidang produksi dan tataniaga kopra, lada, karet, cengkeh dan

lain-lain. Dalam kenyataannya pelaksanaan kebijakan harga, pemasaran dan

struktural tidak dapat dipisahkan, dan ketiganya saling melengkapi.

4. Kebijakan Pertanian dan Industri

Ciri-ciri pokok perbedaan antara pertanian dan industri adalah:

1. Produksi pertanian kurang pasti dan risikonya besar karena tergantung

pada alam yang kebanyakannya di luar kekuasaan manusia untuk

mengontrolnya, sedangkan industri tidak demikian.

2. Pertanian memproduksi bahan-bahan makanan pokok dan bahan-bahan

mentah yang dengan kemajuan ekonomi dan kenaikan tingkat hidup

manusia permintaannya tidak akan naik seperti pada permintaan atas

barang-barang industri

3. Pertanian adalah bidang usaha dimana tidak hanya faktor-faktor ekonomi

saja yang menentukan tetapi juga faktor-faktor sosiologi, kebiasaan dan

lain-lain memegang peranan penting. Industri lebih bersifat lugas

(zakelijk).

Ketiga ciri khusus pertanian ini nampak dalam teori ekonomi sebagai

perbedaan dalam respons permintaan dan penawaran atas perubahan-perubahan

harga.

Elatisitas harga atas permintaan dan penawaran hasil-hasil pertanian jauh lebih

kecil daripada hasil-hasil industri. Misalnya elastisitas harga atas permintaan

radio, buku-buku, mobil dan lain-lain, jauh lebih tinggi daripada elatisitas harga

atas permintaan beras dan bahan pakaian. Hal ini disebabkan pendapatan sektor

industri pada umumnya lebih tinggi daripada pendapatan sektor pertanian maka

elastisitas pendapatan atas permintaan barang-barang hasil industri lebih besar

daripada atas bahan makanan pokok.

B. Permasalahan Pertanian

1. Jarak Waktu yang Lebar Antara Pengeluaran dan Penerimaan Pendapatan

dalam Pertanian

Banyak persoalan yang dihadapi oleh petani baik yang berhubungan

langsung dengan produksi dan pemasaran hasil-hasil pertaniannya maupun yang

dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Selain merupakan usaha, bagi si petani

pertanian juga merupakan bagian dari hidupnya, bahkan suatu cara hidup (way of

live), sehingga tidak hanya aspek ekonomi saja tetapi aspek-aspek sosial dan

kebudayaan, aspek kepercayaan dan keagamaan serta aspek-aspek tradisi

semuanya memegang peranan penting dalam tindakan-tindakan petani. Namun

demikian dari segi ekonomi pertanian, berhasil tidaknya produksi petani dan

tingkat harga yang diterima oleh petani untuk hasil produksinya merupakan faktor

yang sangat mempengaruhi perilaku dan kehidupan petani.

Perbedaan yang jelas antara persoalan-persoalan ekonomi pertanian dan

persoalan ekonomi di luar bidang ekonomi pertanian adalah jarak waktu (gap)

antara pengeluaran yang harus dilakukan para pengusaha pertanian dengan

penerimaan hasil penjualan. Jarak waktu ini sering pula disebut gestation period,

yang dalam bidang pertanian jauh lebih besar daripada dalam bidang industri. Di

dalam bidang industri, sekali produksi telah berjalan maka penerimaan dari

penjualan akan mengalir setiap hari sebagaimana mengalirnya hasil produksi.

Dalam bidang pertanian tidak demikian kecuali bagi para nelayan penangkap ikan

yang dapat menerima hasil setiap hari sehabis ia menjual ikannya. Jadi ciri khas

kehidupan petani adalah perbedaan pola penerimaan pendapatan dan

pengeluarannya. Pendapatan petani hanya diterima setiap musim panen,

sedangkan pengeluaran harus diadakan setiap hari, setiap minggu atau kadang-

kadang dalam waktu yang sangat mendesak sebelum panen tiba.

2. Tekanan Penduduk dan Pertanian

Persoalan lain yang sifatnya lebih jelas lagi dalam ekonomi pertanian

adalah persoalan yang menyangkut hubungan antara pembangunan pertanian dan

jumlah penduduk. Malthus dalam tahun 1888 menerbitkan buku yang terkenal

mengenai persoalan-persoalan penduduk dan masalah pemenuhan kebutuhan

manusia akan bahan makanan. Penduduk bertambah lebih cepat daripada

pertambahan produksi bahan makanan. Penduduk bertambah menurut deret ukur,

sedangkan produksi bahan makanan hanya bertambah menurut deret hitung.

Persoalan penduduk di Indonesia tidak hanya dalam kepadatannya tetapi juga

pembagian antardaerah tidak seimbang. Komposisinya menunjukkan suatu

penduduk yang muda dengan pemusatan penduduk di kota-kota besar. Tingkat

pertambahan penduduk tinggi, karena angka kelahiran tinggi, sedangkan angka

kematian menurun. Menurunnya angka kematian disebabkan oleh kemajuan

kesehatan dan sanitasi.

Ditinjau dari sudut ekonomi pertanian maka adanya persoalan penduduk dapat

dilihat dari tanda-tanda berikut:

1. persediaan tanah pertanian yang makin kecil

2. produksi bahan makanan per jiwa yang terus menurun

3. bertambahnya pengangguran

4. memburuknya hubungan-hubungan pemilik tanah dan bertambahnya

hutang-hutang pertanian.

3. Pertanian Subsisten

Perkataan subsisten ini banyak sekali dipakai dalam berbagai karangan

mengenai ekonomi pertanian sebagai terjemahan dari perkataan subsistence dari

kata subsist yang berarti hidup. Pertanian yang subsisten diartikan sebagai suatu

sistem bertani dimana tujuan utama dari si petani adalah untuk memenuhi

keperluan hidupnya beserta keluarganya. Namun dalam menggunakan definisi

yang demikian sejak semula harus diingat bahwa tidak ada petani susbsisten yang

begitu homogen, yang begitu sama sifat-sifatnya satu dari yang lain. Dalam

kenyataannya petani subsisten ini sangat berbeda-beda dalam hal luas dan

kesuburan tanah yang dimilikinya dan dalam kondisi-kondisi sosial ekonomi

lingkungan hidupnya.

Apa yang sama di antara mereka adalah bahwa mereka memandang

pertanian sebagai sarana pokok untuk memenuhi kebutuhan keluarga yaitu

melalui hasil produksi pertanian itu. Dengan definisi tersebut sama sekali tidak

berarti bahwa petani susbsisten tidak berfikir dalam pengertian biaya dan

penerimaan. Mereka juga berpikir dalam pengertian itu, tetapi tidak dalam bentuk

pengeluaran biaya tunai, melainkan dalam kerja, kesempatan beristirahat dan

partisipasi dalam kegiatan-kegiatan upacara adat dan lain-lain.

C. Mekanisasi, Pemecahan Masalah Efisiensi Kerja Petani

Dewasa ini strategi pembangunan nasional khususnya pembangunan

sektor pertanian dipusatkan pada upaya mendorong percepatan perubahan

struktural, meliputi proses perubahan dari sistem pertanian tradisional ke sistem

pertanian yang maju dan modern, dari sistem pertanian subsistem ke sistem

pertanian yang berorientasi pasar dan dari kedudukan ketergantungan kepada

kedudukan kemandirian.

Perubahan struktural tersebut merupakan langkah dasar yang meliputi

pengalokasian sumber daya (baik alam, manusia maupun mekanik), penguatan

kelembagaan dan pemberdayaan manusia. Dalam pelaksanaannya harus meliputi

langkah-langkah nyata untuk meningkatkan akses kepada aset produktif berupa

teknologi harus dapat dimanfaatkan dan dikembangkan untuk tujuan-tujuan yang

lebih maju dan lebih bermanfaat termasuk antara lain pengolahan tanah,

pemberian air pemilihan bibit unggul, pemupukan, pengendlaian hama dan

penyakit, dan pemanenan secara bijaksana.

Pembangunan pertanian harus diarahkan pada terciptanya tenaga petani

yang terampil dalam mengelola usaha taninya. Juga terbentuknya masyarakat

petani yang maju, bersemangat profesional sehingga mampu menghadapi

tantangan dan permasalahan dalam melaksanakan usaha taninya.

Di Indonesia dapat dicatat adanya berbagai tantangan dan permasalahan

dalam pengelolaan usaha tani yang masing-masing mempunyai kekhususan yang

berbeda-beda seperti kenaikan produksi, peningkatan di bidang pemasaran dan

sistem kredit, serta efisiensi. Dari berbagai ragam tantangan dan permasalahan

tersebut yang sering kali terlupakan oleh pengamat adalah efisiensi dalam

pengelolaan usaha tani terutama yang berhubungan dengan kerja petani.

1. Perlunya Efisiensi

Menurut Clifford Geertz dalam Involusi Pertanian, pemakaian tenaga kerja

di sektor pertanian di Indonesia tergolong sangat besar dibanding negara lain. Di

Amerika Serikat kurang lebih 0,002 Kw/ha, Jepang 0,014 Kw/ha, sedang

Indonesia 0,127 Kw/ha. Tetapi tenaga kerja manusia di Jepang dan Amerika

Serikat lebih intensif dibanding di Indonesia. Terlihat adanya perbedaan nyata

antara petani Indonesia dengan petani Jepang.

Langkah yang menyebabkan pertanian di Jepang jauh meninggalkan

Indonesia dalam jangka waktu yang sama adalah produktivitas pekerja. Yang

utama dalam produktivitas pekerja (petani) Jepang adalah terjadinya perbaikan

yang esensial dalam praktik pertanian Jepang sesuai dengan produksi kecil yang

efisien. Selain itu di Jepang produktivitas pekerja (petani) bukan hanya

diperhitungkan per ha sawah, tetapi penggunaan tenaga kerja dimanfaatkan se

efisien mungkin dengan menggunakan perhitungan yang baik.

Di Indonesia, efisiensi yang diartikan sebagai kedayagunaan suatu sumber

tenaga dapat menangani suatu bahan, masih belum mendapat perhatian secara

serius. Padahal fungsi perbaikan pertanian adalah menaikkan pendapatan,

kesejahteraan, taraf hidup dan daya beli petani. Sangat kecilnya efisiensi petani

merupakan hambatan bagi faktor-faktor lain yang merupakan penetrasi

pembangunan pertanian.

Perbaikan taraf hidup petani memang tidak dilakukan dengan hanya

memberi landreform (Redistribusi Tanah Pertanian) atau credit reform (Pemberian

Kredit Usaha Tani), tetapi perlu juga diperhatikan situasi kerja petani. Situasi

kerja yang monoton dengan hasil yang rendah menyebabkan petani mengalami

kejenuhan. Ditilik lebih jauh, perlu diakui bahwa kejenuhan petani ini terus

berlangsung. Hal ini disebabkan oleh miskinnya inovasi dan tiadanya gebrakan-

gebrakan baru yang menggairahkan petani.

Hambatan pembangunan dalam sektor pertanian di Indonesia adalah

lambatnya kemajuan teknologi. Kontras teknologi selalu dipersoalkan. Tingkat

teknologi yang rendah menyebabkan petani sulit memperoleh hasil dalam proses

produksi yang maksimal. Kehilangan hasil dalam proses produksi sangat besar,

sementara biaya yang diperlukan sangat tinggi. Contoh paling sederhana adalah

dalam memanen padi. Untuk 9 kg gabah harus dibayar 1 kg gabah. Jika total hasil

panen padi (dalam satu musim tanam) dalam 1 ha adalah 9 ton gabah, maka biaya

pemanenan yang dikeluarkan sebesar 1 ton gabah.

Efisiensi teknologi yang memperkecil tingkat kejerihan kerja dengan

produktivitas tinggi masih dicemburui. Harapan memperkenalkan teknologi yang

efisien selalu dihantui oleh pembengkakan pengangguran terutama di wilayah

perdesaan. Akibatnya jumlah tenaga pengangguran semu dalam sektor pertanian

di Indonesia sangat besar. Tidak jelas lahirnya tenaga kerja semu ini karena

efektivitas kerja rendah yang menyerap banyak tenaga manusia atau memang

karena distribusi kerja yang tidak merata.

2. Tuntutan Inovasi

Dalam arah kebijakan pembangunan nasional, pembangunan sektor

pertanian diarahkan untuk meningkatkan pendapatan kesejahteraan, daya beli,

taraf hidup, kapasitas dan kemandirian serta akses masyarakat pertanian dalam

proses pembangunan melalui peningkatan kualitas dan kuantitas produksi serta

distribusi dan keanekaragaman hasil pertanian. Pembangunan pertanian diarahkan

pada pengembangan sistem pertanian yang berkelanjutan yang berbudaya industri,

maju dan efisien ditingkatkan dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan

teknologi.

Pembangunan pertanian memang sudah saatnya menganut pendekatan

industri bukan lagi agraris, artinya menangani pertanian secara industri bukan lagi

tergantung sepenuhnya kepada faktor alam. Pengertian industri dalam hal ini

bukan semata-mata mendirikan pabrik, tetapi yang lebih mendasar adalah

mentransformasikan budaya (pola pikir, sikap mental dan perilaku) masyarakat

industri di kalangan para petani.

Kebudayaan industri tersebut antara lain mempunyai ciri-ciri sebagai

berikut, pertama pengetahuan merupakan landasan utama dalam menentukan

langkah atau tindakan dalam pengambilan keputusan (bukan berdasarkan

kebiasaan semata). Kedua, perekayasan harus menggantikan ketergantungan pada

faktor alam. Ketiga, kemajuan teknologi merupakan sarana utama dalam

pemanfaatan sumber daya. Keempat, efisiensi dan produktivitas sebagai dasar

utama dalam alokasi sumber daya agar penggunaan sumber daya tersebut hemat.

Kelima, mekanisme pasar merupakan media utama transaksi barang dan jasa.

Keenam, profesionalisme merupakan karakter yang menonjol.

Untuk memenuhi tuntutan di atas, alternatif inovasi yang sampai sekarang

tampaknya relevan walaupun tidak terlalu baru adalah penerapan mekanisasi

pertanian (penggunaan alat dan mesin pertanian). Sudah saatnya dimulai

penerapan mekanisasi pertanian dalam sistem pertanian nasional meskipun tetap

dilakukan secara selektif.

Upaya menuju pertanian industri antara lain dapat dikembangkan dengan

peningkatan penggunaan alat dan mesin pertanian dalam pengolahan tanah dan

penanganan pasca panen. Salah satu keuntungan yang diperoleh adalah terjadinya

peningkatan efisiensi dan produktivitas pemanfaatan sumber daya alam.

3. Mekanisasi Dan Distribusi Kerja

Penggunaan alat dan mesin pertanian saat ini memang sudah merupakan

suatu kebutuhan. Efisiensi tinggi saat ini harus mulai diperkenalkan kepada

petani. Hal ini tentu beralasan karena tenaga kerja yang digunakan saat ini tidak

mempunyai kesinambungan (kontinuitas). Seorang buruh tani hanya akan

dibutuhkan pada saat pengolahan tanah dan panen. Pada proses lain mereka

kurang dibutuhkan, akhirnya terjadi pengangguran yang tidak kentara (disguised

unemployment). Pembuangan waktu yang lama dan sia-sia ini menyebabkan

efisiensi menjadi lebih rendah.

Berdasarkan data dalam Involusi Pertanian, pada saat pengolahan tanah,

traktorisasi di Indonesia sangat rendah dibanding negara lain. Pada hakikatnya

Indonesia masih sangat ketinggalan pada pengembangan traktor. Pemakaian

traktor di Indonesia hanya 0,005 Kw/ha. Amerika Serikat 1,7 Kw/ha, Belanda 3,6

Kw/ha dan Jepang 5,6 Kw/ha. Rendahnya pemakaian traktor ini disebabkan oleh

rendahnya perkembangan mekanisasi di Indonesia.

Akibatnya, untuk menggarap tanah seluas 1 ha diperlukan waktu berhari-

hari dan melibatkan banyak tenaga manusia. Tenaga manusia akhirnya tidak

mendapat harga yang layak sehingga produktivitas juga semakin rendah. Tenaga

manusia adalah tenaga riskan, hanya digunakan paling cepat 4 bulan sekali

menjadi buruh tani.

D. Strategi dan Kebijakan Pokok Pembangunan Pengolahan dan Pemasaran

Hasil Pertanian

Dalam rangka mewujudkan tujuan dan sasaran pembangunan pengolahan

dan pemasaran hasil pertanian, maka strategi kebijakan yang ditempuh harus

mencerminkan visinya, yaitu: tangguh, berdaya saing, dan berkelanjutan. Dalam

hubungan tersebut maka strategi pokok pembangunan pengolahan dan pemasaran

hasil pertanian adalah:

1. Meningkatkan Kapasitas dan Memberdayakan SDM serta Kelembagaan

Usaha di Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian.

Salah satu permasalahan yang mendasar dalam memajukan usaha

pertanian di tanah air adalah masih lemahnya kemampuan sumber daya manusia

dan kelembagaan usaha dalam hal penanganan pasca panen, pengolahan dan

pemasaran hasil. Hal tersebut disebabkan oleh karena pembinaan SDM pertanian

selama ini lebih difokuskan kepada upaya peningkatan produksi (budidaya)

pertanian, sedangkan produktivitas dan daya saing usaha agribisnis sangat

ditentukan oleh kemampuan pelaku usaha yang bersangkutan dalam mengelola

produk yang dihasilkan (pasca panen dan pengolahan hasil) serta pemasarannya.

Adapun beberapa kebijakan operasional terkait dengan strategi tersebut adalah:

1. Meningkatkan penyuluhan, pendampingan, pendidikan dan pelatihan di bidang

pasca panen, pengolahan serta pemasaran hasil pertanian;

2. Mengembangkan kelembagaan usaha pelayanan pascapanen, pengolahan dan

pemasaran hasil pertanian yang langsung dikelola oleh petani/kelompok tani.

2. Meningkatkan Inovasi Dan Diseminasi Teknologi Pasca Panen Dan

Pengolahan.

Salah satu dampak yang signifikan dari kebijakan yang menitik beratkan

kepada usaha produksi (budidaya) selama ini adalah kurang memadainya upaya-

upaya inovasi teknologi pasca panen dan pengolahan serta diseminasinya. Hal

tersebut mengakibatkan lemahnya daya saing dan kecilnya nilai tambah yang

dapat dinikmati oleh petani, sehingga kesejahteraan tidak meningkat dari tahun ke

tahun. Untuk meningkatkan daya saing dan nilai tambah produk pertanian maka

perlu ditingkatkan upaya-upaya inovasi teknologi pasca panen dan pengolahan

hasil pertanian serta diseminasinya. Dalam hubungan tersebut, beberapa kebijakan

yang akan dilaksanakan adalah:

1. Melakukan kerjasama dan koordinasi dengan sumber-sumber inovasi

teknologi seperti lembaga riset, Perguruan Tinggi dan bengkel-bengkel

swasta dalam rangka pengembangan dan diseminasi teknologi tepat guna.

2. Mengembangkan bengkel alsin pascapanen dan pengolahan hasil

3. Mengembangkan sistem sertifikasi dan apresiasi (penghargaan) terhadap

inovasi teknologi yang dilakukan oleh masyarakat.

4. Mengembangkan pilot proyek dan percontohan penerapan teknologi pasca

panen dan pengolahan hasil pertanian.

5. Memberikan penghargaan dengan kriteria mutu, rasa, skala usaha, tampilan

terhadap produk olahan yang dihasilkan oleh para pelaku usaha.

3. Meningkatkan Efisiensi Usaha Pasca Panen, Pengolahan Dan Pemasaran

Hasil

Kunci terpenting dalam rangka meningkatkan daya saing produk pertanian

baik produk segar maupun olahan hasil pertanian adalah mutu produk yang baik

dan efisiensi dalam proses produksi maupun pada tahap pemasarannya. Mutu

produk dan efisiensi akan berpengaruh langsung terhadap harga dari setiap produk

bersangkutan. Kebijakan dalam rangka meningkatkan mutu dan efisiensi produksi

dan pemasaran hasil pertanian di antaranya adalah:

1. Revitalisasi teknologi dan sarana/ prasarana usaha pasca panen pengolahan

dan pemasaran hasil pertanian;

2. Mengembangkan produksi sesuai potensi pasar;

3. Menerapkan sistem jaminan mutu, termasuk penerapan GAP, GHP dan GMP;

4. Mengembangkan kelembagaan pemasaran yang dikelola oleh kelompok tani di

sentra produksi;

5. Mengupayakan sistem dan proses distribusi yang efisien.

6. Memfasilitasi pengembangan kewirausahaan dan kemitraan usaha pada bidang

pemasaran hasil pertanian.

4. Meningkatkan Pangsa Pasar Baik Di Pasar Domestik Maupun

Internasional.

Pasar merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan usaha agribisnis;

oleh karena itu maka pengembangan pemasaran harus selalu dilakukan sejalan

dengan pengembangan usaha produksi. Seperti usaha industri pada umumnya,

sistem usaha produksi pertanian atau agribisnis dimulai dengan salah satu

kegiatan pemasaran yaitu Riset Pasar. Dari kegiatan riset pasar dihasilkan

informasi pasar yaitu antara lain berupa potensi pasar dan harga. Sub sistem

selanjutnya adalah perencanaan produksi, termasuk penentuan desain produk,

volume dan waktu. Dalam sistem budidaya pertanian, perencanaan tersebut lazim

disebut sebagai penentuan pola tanam atau penentuan luas tanam untuk tanaman

semusim. Hal tersebut perlu dilakukan dalam rangka menjaga stabilitas harga

produk yang bersangkutan tetap berada pada tingkat harga yang wajar

berdasarkan keseimbangan kebutuhan dan pasokan atas produk yang

bersangkutan. Sub sistem selanjutnya adalah kegiatan pemasaran yang meliputi:

promosi, penjualan dan diakhiri dengan distribusi (delivery). Dalam hubungan

tersebut maka beberapa kebijakan dalam pengembangan pasar ialah:

1. Mengembangkan kegiatan riset pasar

2. Meningkatkan pelayanan informasi pasar;

3. Meningkatkan promosi dan diplomasi pertanian;

4. Mengembangkan infrastruktur dan sistem pemasaran yang efektif dan adil.

5. Rasionalisasi impor produk pertanian.

6. Memfasilitasi pengembangan investasi dalam pengembangan infrastruktur

pemasaran.

5. Pendekatan Pengembangan Industri Melalui Konsep Cluster Dalam

Konteks Membangun Daya Saing Industri Yang Berkelanjutan

Pokok-pokok rencana aksi, dalam jangka menengah ditujukan untuk

memperkuat rantai nilai (value chain) melalui penguatan struktur, diversifikasi,

peningkatan nilai tambah, peningkatan mutu, serta perluasan penguasaan pasar.

Sedangkan untuk jangka panjang difokuskan pada upaya pembangunan industri

pertanian yang mandiri dan berdaya saing tinggi. Adapun prioritas cluster industri

pertanian yang akan dikembangkan dalam jangka menengah meliputi :

1. Pengembangan Industri yang memiliki daya saing (Competitive Industry)

a. Industri Pengolahan kakao dan cokelat,

b. Industri Pengolahan Buah,

c. Industri Pengolahan Kelapa,

d. Industri Pengolahan Kopi,

e. Industri Pengolahan Tembakau,

f. Industri Kelapa Sawit, dan

g. Industri Karet dan Barang Karet

h. Industri Pasca Panen Produk Segar

2. Pengembangan Industri Strategis

a. Industri Perberasan

b. Industri Kedele

c. Industri Jagung

d. Industri Gula

e. Industri Daging dan Susu

3. Pengembangan Industri Rumah Tangga

- Industri pangan lokal, camilan dan pengolahan produk samping.

III. KESIMPULAN

Adapun kesimpulan yg didapat dari makalah ini adalah :

1. beberapa masalah dalam pertanian adalah :

1. Jarak Waktu yang Lebar Antara Pengeluaran dan Penerimaan Pendapatan

dalam Pertanian

2. Tekanan Penduduk dan Pertanian

3. Pertanian Subsisten

2. Ditinjau dari sudut ekonomi pertanian maka adanya persoalan penduduk dapat

dilihat dari tanda-tanda berikut:

1. persediaan tanah pertanian yang makin kecil

2. produksi bahan makanan per jiwa yang terus menurun

3. bertambahnya pengangguran

4. memburuknya hubungan-hubungan pemilik tanah dan bertambahnya

hutang-hutang pertanian.

3. Mekanisasi, Pemecahan Masalah Efisiensi Kerja Petani dengan cara :

1. Perlunya Efisiensi

2. Tuntutan Inovasi

3. Mekanisasi Dan Distribusi Kerja

DAFTAR PUSTAKA

- Agus, et. al. 2007. Materi Kuliah : Dasar-Dasar Penyuluhan Pertanian.

Jurusan

- Akhmadi, N. 2004. Pelaksanaan Otonomi Daerah. SMERU Newsletter,

Desember 2004.

- www.smeru.or.id/newslet/2004/ed12/2004/200412spotlight.html.

- Mawardi, S. 2004. Persoalan Penyuluhan di Era Otonomi Daerah.

SMERU

Newsletter. Desember 2004.

- www.smeru.or.id/newslet/2004/ed12/200412field3.htmlRifai, M.A.

- 2000. Reorientasi Penyuluhan Pertanian, Prasayarat Pertanian

- Saragih, B. 2005. Agricultural Development Aims to Beat Poverty. Jakarta

- Post.Com. www.thejakartapost.com/agrib21_1.asp.

- Jurnal Agro Ekonomi Vol. 9 (2). Desember 2002. p: 27-36. Jurusan

Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian UGM, Yogyakarta.

- Subejo. et. al. 2006. Isu dan Kecenderungan Global Serta Perkembangan

Sistem

- Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian UGM, Yogyakarta.