Isu Pasca Bencana

3
15 3. ISU PASCA BENCANA Berbagai isu yang terkait dengan permasalahan lingkungan yang perlu diantisipasi dalam penanganan dampak lingkungan pasca gempa bumi dan meningkatnya aktivitas gunung Merapi dapat diuraikan sebagai berikut: Baseline informasi lingkungan. Tersedianya data dan informasi lingkungan yang memadai sangat menentukan pemahaman terhadap dampak bencana yang ditimbulkan serta mitigasinya. Kebutuhan akan tersedianya data dan informasi pada skala yang sangat rinci sangat diperlukan pada berbagai lokasi yang secara langsung terkena dampak gempa bumi (Kota Yogjakarta, Kabupaten Bantul, Klaten, Sleman, Boyolali) dan beberapa wilayah Merapi yang berkemungkinan terkena dampak langsung (Magelang, Kulon Progo, Sleman). Selain itu untuk menaksir pada skala menyeluruh dibutuhan data yang bisa mencakup Wilayah DI Yogjakakarta dan beberapa kabupaten kota yang kemungkinan besar terkena dampak Merapi, yaitu Kota Magelang, Kabupaten Magelang, Klaten dan Boyolali seperti yang digambarkan pada gambar 1. Dampak lingkungan. Hasil kajian tim mengindikasikan berbagai persoalan di lapangan seperti pengelolaan limbah (domestik, medis, industri, puing-puing) sebelum dan sesudah bencana gempa bumi, terjadinya perubahan lahan, adanya pemanfaatan ruang di lokasi rawan bencana, belum optimalnya kapasitas kelembagaan lingkungan daerah, memerlukan adanya perbaikan sistem manajemen lingkungan secara menyeluruh. Selain itu perlu dipantau kualitas lingkungan beberapa industri yang berpotensi mencemari lingkungan (Lampiran 4) di beberapa Kabupaten di Propinsi DI Yogjakarta. Hampir sebagian besar industri ini berpotensi mencemari lingkungan karena tidak memiliki pengolah limbah. Material rekonstruksi . Besarnya jumlah bangunan yang perlu direkonstruksi mengindikasikan akan adanya lonjakan kebutuhan material yang sangat tinggi seperti: kayu, batu bata, pasir, dll. Hal ini perlu diantisipasi penggunaan semaksimal mungkin material yang masih dapat dimanfaatkan dari reruntuhan dan material lainnya pasca gempa untuk menghindari terjadinya eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan. Untuk itu prinsip 3R (Reuse, Reduce, Recycle) perlu segera diimplementasikan dalam kerangka rehabilitasi dan rekonstruksi pasca gempa. Selain itu perlu juga pengawasan terhadap pelaksanaan pengadaan material baru untuk rekonstruksi yang tidak bersumber dari pengelolaan yang tidak berkelanjutan. Tatakelola lingkungan (environmental governance) pasca bencana. Adanya dilema dan kesenjangan antara penyusunan kebijakan di tingkat makro serta dorongan percepatan pelaksanaan rehabilitasi dan pemulihan di tingkat mikro menyebabkan terhambatnya proses penataan ruang yang rasional. Selain itu terbatasnya data dan informasi kualitas lingkungan pada skala rinci nantinya akan menyebabkan kesesuaian akan alokasi ruang sangat jauh dari harapan bahkan akan mengakibatkan kerusakan lingkungan sosial maupun fisik di masa depan. Upaya untuk mencari interface antara makro dan mikro ini merupakan tantangan yang harus segera diselesaikan. Kesenjangan ini haruslah segera diatasi agar pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana dapat dipercepat sesuai dengan harapan masyarakat yang terkena bencana namun dengan tetap mempertimbangkan keberlanjutannya. Untuk itu secara umum merekomendasikan berbagai aktifvitas antara lain penyusunan panduan teknis dan informasi praktis, pengembangan forum dialog baik antar lembaga di tingkat pusat, propinsi, kabupaten/kota serta lembaga donor. penataan kawasan (kabupaten/kota, desa). Peran lembaga lingkungan di tingkat lokal PPPLH regional Jawa dan BAPEDALDA Propinsi DIY dan dan propinsi Jawa Tengah perlu didorong.

description

bencana

Transcript of Isu Pasca Bencana

Page 1: Isu Pasca Bencana

15

3. ISU PASCA BENCANA Berbagai isu yang terkait dengan permasalahan lingkungan yang perlu diantisipasi dalam penanganan dampak lingkungan pasca gempa bumi dan meningkatnya aktivitas gunung Merapi dapat diuraikan sebagai berikut: • Baseline informasi lingkungan. Tersedianya data dan informasi lingkungan

yang memadai sangat menentukan pemahaman terhadap dampak bencana yang ditimbulkan serta mitigasinya. Kebutuhan akan tersedianya data dan informasi pada skala yang sangat rinci sangat diperlukan pada berbagai lokasi yang secara langsung terkena dampak gempa bumi (Kota Yogjakarta, Kabupaten Bantul, Klaten, Sleman, Boyolali) dan beberapa wilayah Merapi yang berkemungkinan terkena dampak langsung (Magelang, Kulon Progo, Sleman). Selain itu untuk menaksir pada skala menyeluruh dibutuhan data yang bisa mencakup Wilayah DI Yogjakakarta dan beberapa kabupaten kota yang kemungkinan besar terkena dampak Merapi, yaitu Kota Magelang, Kabupaten Magelang, Klaten dan Boyolali seperti yang digambarkan pada gambar 1.

• Dampak lingkungan. Hasil kajian tim mengindikasikan berbagai persoalan di

lapangan seperti pengelolaan limbah (domestik, medis, industri, puing-puing) sebelum dan sesudah bencana gempa bumi, terjadinya perubahan lahan, adanya pemanfaatan ruang di lokasi rawan bencana, belum optimalnya kapasitas kelembagaan lingkungan daerah, memerlukan adanya perbaikan sistem manajemen lingkungan secara menyeluruh. Selain itu perlu dipantau kualitas lingkungan beberapa industri yang berpotensi mencemari lingkungan (Lampiran 4) di beberapa Kabupaten di Propinsi DI Yogjakarta. Hampir sebagian besar industri ini berpotensi mencemari lingkungan karena tidak memiliki pengolah limbah.

• Material rekonstruksi. Besarnya jumlah bangunan yang perlu direkonstruksi

mengindikasikan akan adanya lonjakan kebutuhan material yang sangat tinggi seperti: kayu, batu bata, pasir, dll. Hal ini perlu diantisipasi penggunaan semaksimal mungkin material yang masih dapat dimanfaatkan dari reruntuhan dan material lainnya pasca gempa untuk menghindari terjadinya eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan. Untuk itu prinsip 3R (Reuse, Reduce, Recycle) perlu segera diimplementasikan dalam kerangka rehabilitasi dan rekonstruksi pasca gempa. Selain itu perlu juga pengawasan terhadap pelaksanaan pengadaan material baru untuk rekonstruksi yang tidak bersumber dari pengelolaan yang tidak berkelanjutan.

• Tatakelola lingkungan (environmental governance) pasca bencana. Adanya

dilema dan kesenjangan antara penyusunan kebijakan di tingkat makro serta dorongan percepatan pelaksanaan rehabilitasi dan pemulihan di tingkat mikro menyebabkan terhambatnya proses penataan ruang yang rasional. Selain itu terbatasnya data dan informasi kualitas lingkungan pada skala rinci nantinya akan menyebabkan kesesuaian akan alokasi ruang sangat jauh dari harapan bahkan akan mengakibatkan kerusakan lingkungan sosial maupun fisik di masa depan. Upaya untuk mencari interface antara makro dan mikro ini merupakan tantangan yang harus segera diselesaikan. Kesenjangan ini haruslah segera diatasi agar pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana dapat dipercepat sesuai dengan harapan masyarakat yang terkena bencana namun dengan tetap mempertimbangkan keberlanjutannya. Untuk itu secara umum merekomendasikan berbagai aktifvitas antara lain penyusunan panduan teknis dan informasi praktis, pengembangan forum dialog baik antar lembaga di tingkat pusat, propinsi, kabupaten/kota serta lembaga donor. penataan kawasan (kabupaten/kota, desa). Peran lembaga lingkungan di tingkat lokal PPPLH regional Jawa dan BAPEDALDA Propinsi DIY dan dan propinsi Jawa Tengah perlu didorong.

Page 2: Isu Pasca Bencana

16

REKOMENDASI DAN USULAN RENCANA AKSI Hasil kajian merekomendasikan berbagai hal sebagai berikut Rekomendasi 1: Kajian Lingkungan Pasca Bencana secara Komprehensif (comprehensive environmental assessment) Kajian lingkungan secara komprehensif harus dilakukan untuk melihat dampak kumulatif baik akibat gempabumi yang terjadi dan kemungkinan pengaruhnya pada areal yang terkena dampak, pengaruh aktivitas Gunung Merapi maupun perubahan lingkungan di kawasan ini. Kegiatan yang harus dilakukan: • Pengembangan basis data lingkungan skala rinci untuk mengkaji dampak kumulatif

multi hazards di kawasan DI Yogjakarta dan Jawa Tengah di delapan kabupaten/kota seperti gambar 1. Tingkat kerincian data informasi Kegiatan ini mencakup pemetaan kerusakan lingkungan dan areal resiko.

• Investigasi geologi pasca gempabumi yang meliputi pemetaan trase sesar permukaan (surface faulting ) skala rinci (1:10.000) dan berbagai gejala gempa tektonik terkait, investigasi dampaknya pada konstruksi bangunan dan rumah, dan pengembangan model bencana gempa bumi (earthquake hazards model) sebagai bahan masukan rehabiltasi dan rekonstruksi pasca gempa.

• Pemetaan dan pemantauan kualitas lingkungan meliputi pemantauan kualitas air ( sumur, sungai, lokasi industri yang terkena dampak gempa bumi), tanah (kontaminasi dari aktivitas industri, limbah medis, limbah laboratorium, dsb.), dan kualitas udara. Secara rinci mengenai lokasi prioritas pemantauan dan parameter yang akan dipantau bisa dilihat di lampiran 5.

• Pengembangan dan penerapan berbagai petunjuk teknis untuk kegiatan rekonstruksi dan rehabilitasi yang saat ini sudah diadopsi Standar Nasional Indonesia (SNI) sebagai acuan dalam pembangunan kawasan rentan bencana yang mencakup: 1) material konstruksi yang digunakan, 2) perencanaan kawasan, 3) pengenalan konsep bangunan berwawasan lingkungan khususnya di ddaerah rawan gempa.

Rekomendasi 2 : Penanganan dan Pengelolaan Limbah Perlu disusun sistem pengelolaan sampah pasca gempa yang komprehensif mengingat tidak optimalnya fungsi TPA yang ada serta besarnya volume limbah pasca gempa terutama di Wilayah DIY dan lokasi yang terkena bencana. Kegiatan yang Perlu Dilakukan Penanganan limbah medis • Pengelolaan limbah medis (limbah B3) dengan pelaksanaan pemilahan limbah,

pengangkutan limbah dan pengolahan limbah dengan menggunakan insinerator pada rumah sakit permanen;

• Penyediaan kantong-kantong sebagai wadah limbah medis yang secara rutin diambil untuk dimusnahkan dengan menggunakan insinerator.

• Penyediaan unit-unit insinerator bergerak yang dapat digunakan pada saat terjadi bencana alam.

Page 3: Isu Pasca Bencana

17

• Perlu secara khusus dilakukan pemantauan yang ketat dan penanganan terhadap kemungkinan membanjirnya bantuan obat-obat kadaluarsa. Diusulkan untuk memberikan surat pemberitahuan ke berbagai pihak terkait mengenai permasalahan ini.

Penanganan Limbah Reruntuhan • Memanfaatkan material reruntuhan atau puing-puing untuk membangun kembali

bangunan non struktur, misalnya: dinding, lantai, atap. • Pemerintah yang berwenang dalam penanganan bencana perlu mendorong

pemanfaatan kembali material reruntuhan pasca gempa sebagai bahan rekonstruksi bangunan

Rekomendasi 3: Penataan Ruang Pasca Bencana Adanya rencana yang komprehensif untuk mengantisipasi kesenjangan yang mungkin terjadi pada tingkat makro (nasional, propinsi, kabupaten) dengan tingkat mikro karena adanya desakan segera akan kebutuhan rehabilitasi di lokasi yang terkena bencana. Selain ini juga dilakukan revisi terhadap penataan ruang yang ada untuk melakukan relokasi pemukiman, dan bangunan lainnya yang memiliki dampak penting terhadap lingkungan dan memanfaatkan areal yang sangat rawan terhadap bencana, seperti pergerakan sesar permukaan (surface faulting) sebagai jalur hijau. Rekomendasi 4: Penguatan Kelembagaan Lingkungan di Daerah Adanya kelembagaan lingkungan yang kompeten dalam pengarusutamaan lingkungan pada proses rehabilitasi dan rekonstruksi pasca terjadinya gempa bumi serta penataan ulang kawasan yang berpotensi tekena dampak Gunung Merapi sangat diperlukan. Penguatan kelembagaan yang dimaksud adalah Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional Jawa, Bapedalda Provinsi DIY dan Jateng dan seluruh Bapedalda tingkat kabupaten/kota di wilayah yang terkena bencana (Yogjakarta, Bantul, Klaten, Kulon Progro, Gunung Kidul, Magelang, Sleman, Boyolali) Kegiatan yang diusulkan: • Dukungan infrastruktur data/informasi dan teknologi dan jaringan informasi

Information and Communication Technology (ICT) lingkungan di wilayah yang terkena bencana.

• Peningkatan kemampuan teknis staf dalam penataan ruang dan pemantauan kualitas lingkungan.