ISSN : 2355-6226 - IPB University

86

Transcript of ISSN : 2355-6226 - IPB University

Page 1: ISSN : 2355-6226 - IPB University
Page 2: ISSN : 2355-6226 - IPB University
Page 3: ISSN : 2355-6226 - IPB University

ISSN : 2355-6226 E-ISSN : 2477-0299

RISALAH KEBIJAKAN PERTANIAN DAN LINGKUNGAN Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019 Ketua Editor

Anja Meryandini

Dewan Editor Dodik Ridho Nurrochmat Widiatmaka Hadi Susilo Arifin Ahmad Maryudi Sofyan Sjaf Leti Sundawati M. Alif Sahide Lukas Giessen James Thomas Erbaugh Ho Sang Kang

Editor Pelaksana Kaswanto

Tim Teknis Riza Hariwahyudi Fajar Cakrawinata Badar Muhammad

Penerbit Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Institut Pertanian Bogor (PSP3-LPPM IPB) dan Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI) Sekretariat Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Institut Pertanian Bogor (PSP3-LPPM IPB, Gedung utama Kampus IPB Baranangsiang, Jl. Raya Pajajaran No.7, RT.02/RW.05, Tegallega, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor, Jawa Barat 16129 P: +62 251 8345 724 F: +62 251 8344113 E: [email protected]

Page 4: ISSN : 2355-6226 - IPB University
Page 5: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019: 109-120 ISSN : 2355-6226 E-ISSN : 2477-0299

109

ANALISIS FINANSIAL DAN NILAI TAMBAH USAHA AGROFORESTRI KOPI PADA PROGRAM CSR PT INDONESIA

POWER UP MRICA KABUPATEN BANJARNEGARA

Faradis Alfi Zain1*, Dodik Ridho Nurrochmat2 1 Program Studi Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan,

Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor 16680 *Email: [email protected]

2 Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor 16680

RINGKASAN

Kegiatan pembudidayaan sayuran di wilayah hulu menjadi faktor utama penyumbang

sedimentasi Waduk Panglima Besar Soedirman. Penanaman komoditas kopi melalui program

Sekolah Lapang Konservasi dimaksudkan sebagai salah satu alternatif guna membenahi

permasalahan ini. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalis kelayakan finansial usaha kopi

pada berbagai pola agroforestri, menguji tingkat sensitivitas dari penurunan harga dan kenaikan

biaya input terhadap keuntungan usaha, serta besaran nilai tambah dari setiap bentuk olahan

buah kopi di Desa Leksana, Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara. Berdasarkan

perhitungan analisis finansial yang dilakukan menggunakan metode Discounted Cash Flow, usaha

dengan pola agroforestri jambu, sengon, kopi arabika lebih menguntungkan dibandingkan pola

agroforestri sengon, kopi robusta dan pola agroforestri sengon, kopi robusta pagar. Usaha

agroforestri kopi di Desa Leksana lebih sensitif terhadap penurunan harga jual daripada

kenaikan biaya produksi. Menurut perhitungan nilai tambah menggunakan metode Hayami,

olahan produk kopi pada level roasted bean memberikan nilai tambah yang terbesar dibandingkan

dengan produk olahan lainnya.

Kata kunci: agroforestri, analisis finansial, kopi, nilai tambah

PERNYATAAN KUNCI

• Peningkatan jumlah komoditas yang

didominasi sayuran berdampak

positif terhadap peningkatan nilai

ekonomi masyarakat. Namun

peningkatan jumlah komoditas

sayuran tanpa diimbangi oleh

tanaman keras akan berdampak

negatif terhadap aspek ekologi di

wilayah pegunungan.

• Masyarakat mulai menanam kopi

secara masif sejak dimulainya

program Sekolah Lapang Konservasi

melalui kerjasama PT Indonesia

Power UP Mrica dan Dinhutbun

Page 6: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299

110

Kabupaten Banjarnegara pada tahun

2009.

• Motivasi masyarakat menanam kopi

adalah untuk upaya konservasi tanah

dan air serta menjadikannya sebagai

usaha sampingan karena dalam

pelaksanaannya tidak membutuhkan

modal banyak.

• Tingginya permintaan kopi dalam

periode waktu yang singkat

berpotensi mengurangi persediaan

kopi secara drastis. Hal ini dapat

mempengaruhi kontinuitas penjualan

kopi, sehingga kajian mengenai

strategi pemasaran perlu dilakukan.

REKOMENDASI KEBIJAKAN

• Penanaman kopi memberikan

manfaat ekonomi yang tinggi bagi

masyarakat, sehingga perlu

dikembangkan lagi pengelolaannya

agar dapat berproduksi secara

optimal.

• Beberapa alternatif untuk

mengoptimasi lahan petani di Desa

Leksana adalah dengan memperbaiki

pola tanam dan menanam tanaman

MPTS (Multipurpose Tree Species) yang

toleran terhadap naungan.

• Memberikan edukasi pada petani

tentang selecting and grading biji kopi.

Agar biji yang berkualitas specialty

cukup diolah sampai produk green bean

dan roasted bean, sedangkan biji yang

berkualitas di bawahnya diolah hingga

menjadi bubuk kopi, sehingga

keuntungan yang diperoleh akan lebih

optimal.

I. PENDAHULUAN

Sub DAS Merawu merupakan salah

satu Sub DAS kritis di Banjarnegara karena

memiliki pola sedimentasi yang terus

meningkat dan laju erosi yang sangat

fluktuatif setiap tahunnya. Tercatat pada

tahun 2009, tingkat laju erosi di Sub DAS

Merawu mencapai 13,30 mm (Indonesia

Power, 2018). Sebagian besar masyarakat di

daerah hulu Waduk Panglima Besar

Soedirman hanya berfokus pada

pembudidayaan sayuran. Pola tanam yang

kurang beraturan sangat bervariasi

mengikuti tren yang sedang berlangsung

dan kondisi ekonomi setiap petani, serta

kurangnya tanaman keras yang ditanam

mengakibatkan fungsi hidrologi di daerah

pegunungan terus berkurang. Oleh sebab

itu tutupan lahan bervegetasi pada bagian

hulu Waduk PB Soedirman sangat

diperlukan guna mengurangi laju erosi dan

sedimentasi.

Salah satu alternatif dalam

membenahi permasalahan ini adalah dengan

menerapkan pola tanam agroforestri.

Darusman (2002) dalam Hairiah et al, (2003)

mengungkapkan bahwa sistem agroforestri

memiliki lebih banyak keunggulan

dibandingkan sistem yang lain, yaitu

terciptanya kestabilan ekologi yang lebih

tinggi, terciptanya kesinambungan ekonomi

Page 7: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019

111

yang berimbas pada peningkatan

kesejahteraan petani, tingkat kesesuaian

yang lebih tinggi dengan budaya dan

pengetahuan petani, serta terpenuhinya

kestabilan politik akibat daya terima yang

lebih luas di masyarakat.

Awal tahun 2009 Dinas Kehutanan

dan Perkebunan Kabupaten Banjarnegara

bersama PT Indonesia Power UP Mrica

menginisiasi diselenggarakannya program

guna menyadarkan masyarakat lokal

mengenai pentingnya usaha pemeliharaan

kawasan hulu yang diberi nama program

Sekolah Lapang Konservasi (SL

Konservasi). Penentuan objek CSR

didasarkan oleh pemetaan kawasan Sub

DAS yang paling banyak memberikan

kontribusi sedimentasi, yakni Sub DAS

Merawu, yang terletak di Desa Leksana,

Kecamatan Karangkobar dan Desa

Kubang, Kecamatan Wanayasa.

Komoditas yang dijadikan sebagai

objek pada program SL Konservasi ini

adalah kopi. Kopi telah menjadi produk

andalan penyumbang devisa negara karena

besarnya permintaan pasar global terhadap

komoditas ini. Dalam penelitian yang

dilakukan Sudjarmoko (2013), disebutkan

bahwa ekspor kopi Indonesia yang

cenderung fluktuatif masih didominasi oleh

ekspor biji kopi sebesar 99.8 persen dan

sisanya dalam bentuk bubuk. Sebagai salah

satu negara eksportir kopi dunia, produksi

kopi menjadi input utama dalam kegiatan

ekspor negara Indonesia. Dalam program

SL Konservasi, pembudidayan kopi

direkomendasikan sebagai alternatif

pemanfaatan lahan di daerah pegunungan

karena perakarannya yang kuat dan bersifat

toleran terhadap naungan. Penerapan pola

agroforestri kopi tidak hanya memiliki nilai

konservasi, ekologi, sosial budaya, namun

jika dikelola dengan teknologi yang tepat

akan memberikan nilai ekonomi yang

signifikan.

Adanya pengetahuan mengenai hasil

analisis finansial akan membantu petani

dalam mengalokasikan sumberdaya yang

dimiliki untuk memperoleh keuntungan

pada selang waktu tertentu secara efektif

dan efisien. Disamping itu, mengingat

bahwa hampir 99.8 % buah kopi dieskpor

dalam bentuk biji, maka pengetahuan

mengenai besaran nilai tambah dari setiap

bentuk olahan kopi juga diperlukan sebagai

alternatif bagi para petani dalam menjual

produknya.

II. SITUASI TERKINI

Pola Tanam Kopi di Desa Leksana

Jenis kopi yang dicanangkan pada

program SL Konservasi adalah jenis kopi

robusta, karena memiliki perakaran yang

lebih kuat dan mampu menghasilkan buah

per tanaman yang lebih banyak dibanding

jenis arabika, meskipun nilai jualnya lebih

rendah. Saat dimulainya kegiatan

penanaman SL Konservasi, petani

menyediakan hampir setengah dari

Page 8: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299

112

kepemilikan lahannya untuk ditanami kopi.

Dari total lahan garapan seluas 20,87 ha,

9,16 ha diantaranya ditargetkan untuk

ditanam komoditi kopi. Secara umum pola

tanam kopi di Desa Leksana terbagi menjadi

2 macam.

Gambar 1 Pola tanam agroforestri sengon kopi

robusta (I), agroforestri sengon kopi robusta pagar (II), agroforestri jambu

sengon kopi arabika (III)

Pola pertama (I) adalah penanaman

kopi robusta secara menyeluruh di setiap

sela bedeng sayuran dengan jarak 2 m x 3 m

ditambah selingan sengon pada setiap jarak

5−6 m, sehingga diproyeksikan pada tahun

kedua dan seterusnya bidang lahan tersebut

terpenuhi oleh kopi dan sengon. Sayuran

hanya mampu tumbuh optimal hingga umur

2 tahun, karena di tahun tersebut cabang

kopi sudah mulai rapat menaungi tanah di

bawahnya.

Pola kedua (II) yang umum dijumpai

di lokasi penelitian adalah penanaman kopi

robusta yang hanya ditanam di sekeliling

lahan petani sebagai tanaman pagar dengan

jarak tanam 2 m, dan di sela bedengan hanya

ditanami sengon setiap 5−6 m, sehingga

sayuran masih mampu tumbuh optimal

sampai jangka waktu pengusahaan berakhir.

Pada penelitian ini dibuat sebuah pola

simulasi (III) yakni dengan tetap menanam

sengon dan menambahkan tanaman jambu

kristal, serta mengganti kopi robusta dengan

jenis arabika yang memiliki nilai toleransi

lebih tinggi terhadap naungan. Jambu dan

sengon ditanam secara selang-seling dengan

jarak tanam 4 m x 4 m, sedangkan kopi

arabika pada sela bedengan di sampingnya

dengan jarak tanam 2 m x 4 m. Pembuatan

pola III dimaksudkan untuk

membandingkan apakah secara ekonomi

sistem agrokompleks ini mampu

mengimbangi atau bahkan melebihi sistem

hortikultura konvensional yang telah lama

diterapkan oleh para petani (pola II).

Penerimaan dan Biaya Usaha

Page 9: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019

113

Pada Kelompok Sari Tani, ketua

kelompok yang berinisiatif untuk membeli

hasil panen buah kopi langsung dari para

anggota kelompok, sehingga harganya

cenderung stabil. Dengan adanya bantuan

alat dari PT Indonesia Power, petani sangat

terfasilitasi untuk menjual produk kopinya

secara mandiri, mulai dari bentuk green bean,

roasted bean, maupun bubuk kopi. Ketua

kelompok membeli buah kopi robusta dari

para petani per kilonya seharga Rp 5.500,-

dan kopi arabika Rp 7.000,-. Besar

penerimaan yang digunakan dalam

perhitungan analisis finansial ini hanya

harga buah kopi, tidak sampai pada harga

olahan green bean dan roasted bean, karena

semua anggota kelompok tani hanya

memperoleh penerimaan dari buah kopi.

Harga jual kopi jenis robusta dan arabika

serta olahannya di Desa Leksana dapat

dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Harga jual kopi robusta dan arabika di Desa Leksana

No. Jenis Harga (Rp/kg)

Robusta Arabika

1 Buah (Cherry) 5.500 7.000

2 Green Bean 40.000 100.000

3 Roasted Bean 125.000 250.000

4 Bubuk Kopi 150.000 300.000

Tabel 2. Total aliran kas masuk pada pola agroforestri kopi di Desa Leksana

Pola Agroforestri

Jumlah (Rp/ha) Total (Rp/ha) Sayuran Kopi Sengon Jambu

sengon & kopi robusta

757.436.400 325.662.375 273.600.000 − 1.356.698.775

sengon & kopi robusta pagar

5.713.394.400 136.386.750 273.600.000 − 6.123.381.150

jambu, sengon, & kopi arabika

577.656.000 267.710.950 641.250.000 1.638.451.200 3.125.068.150

Page 10: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299

114

Pemasukan lain yang diterima petani

adalah penjualan kayu sengon dan buah

jambu kristal. Kayu sengon sebetulnya

dijual oleh petani saat diperlukan

pemasukan lebih sesuai desakan kebutuhan,

atau biasa disebut tebang butuh. Karena

volume kayu yang dihasilkan cukup

bervariasi akibat perbedaan bibit dan sistem

pemeliharaan, maka harga sengon

diasumsikan sama yakni sebesar Rp

300.000,- sesuai dengan harga minimum

sengon yang memiliki lingkar 70−80 cm

(d=25 cm) di Kecamatan Karangkobar.

Umumnya pada umur 5 tahun sengon dapat

mencapai ukuran diameter tersebut dan

diperkirakan harganya akan terus

meningkat.

Tanaman jambu kristal yang

dibudidayakan oleh petani di Desa Leksana

mampu menghasilkan buah pada tahun

pertama dan kedua setiap minggunya rata-

rata sebanyak 0,5 kg, tahun ketiga dan

keempat sebesar 1,05 kg per tanaman, dan

diperkirakan akan terus meningkat hingga

mencapai puncak produktivitas di umur 6

dan 7 tahun. Rincian total pemasukan dari

setiap komoditas yang diusahakan pada pola

agroforestri kopi di Desa Leksana

ditampilkan pada Tabel 2.

Jika dibandingkan antara ketiga pola,

pengeluaran pada pola II dan III memiliki

tingkat pembiayaan yang jauh lebih besar

yaitu pada biaya variabel, dari mulai

penyediaan bibit hingga pemanenan. Hal ini

disebabkan karena pada pola II sayuran

mampu ditanam hingga jangka waktu

pengusahaan berakhir, maka selalu ada

pengeluaran di setiap tahunnya. Sementara

pada pola III terdapat tambahan komoditas

jambu yang membuat biaya

pemeliharaannya meningkat tajam.

III. ANALISIS DAN ALTERNATIF SOLUSI

Analisis Finansial Usaha Agroforestri Kopi Desa Leksana

Kelayakan usaha dihitung dalam

jangka waktu pengusahaan selama 15 tahun

dengan luasan sama setiap polanya, yakni 1

hektar. Selama jangka waktu pengusahaan,

tanaman kopi diasumsikan 1 kali daur yakni

sesuai umur produktifnya, sengon

diasumsikan 3 kali daur yang berarti dipanen

setiap berumur 5 tahun, dan jambu

diasumsikan 2 kali daur yaitu setelah

tanaman jambu berumur 10 tahun. Analisis

finansial dilakukan dengan melihat

rekapitulasi arus masuk dan arus keluar kas

yang dibuat dalam suatu cash flow dalam

masing-masing unit usaha. Sementara hasil

perhitungan terhadap analisis finansial pada

sistem agroforestri pola-I (sengon dan kopi

robusta), pola-II (sengon dan kopi robusta

pagar), dan pola-III (jambu, sengon, dan

kopi arabika) ditampilkan dalam Tabel 3.

Page 11: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019

115

Tabel 3. Rekapitulasi cashflow pada sistem pengelolaan agroforestri pola-I, pola-II, dan pola-III di Desa Leksana

Kriteria Pola-I Pola-II Pola-III

Kelayakan (Sengon dan (Sengon dan Kopi (Jambu, Sengon,

Investasi Kopi Robusta) Robusta Pagar) dan Kopi Arabika)

NPV (Rp/ha/15tahun) 469.422.559 1.286.677.768 1.315.264.047

BCR 1,74 1,44 2,41

IRR 95% 106% 113%

Berdasarkan Tabel 3, pola III

memiliki nilai NPV yang terbesar

dibandingkan kedua pola lainnya. Pola

ketiga merupakan pola simulasi dengan

tambahan komoditas dari MPTS yakni

tanaman jambu kristal, atau dapat disebut

dengan sistem agrokompleks. Selama

jangka waktu pengusahaan 15 tahun petani

pada pola ketiga akan memperoleh manfaat

bersih sebanyak Rp 1.315.264.047,-/ha.

Angka ini tentu cukup menjanjikan karena

mampu menandingi sistem hortikultura

konvensional (pola II) yang telah lama

diterapkan sebelumnya oleh para petani.

Selain memberikan nilai NPV lebih besar,

sistem pemeliharaan pada pengelolaan pola

ketiga juga lebih sederhana dibandingkan

pola kedua.

Semua sistem pengelolaan yang

diterapkan pada ketiga pola memiliki nilai

BCR lebih dari satu, maka proyek pada

setiap pola tersebut dinilai layak dan

menguntungkan untuk dijalankan.

Diketahui sistem pengelolaan pada setiap

pola menggunakan suku bunga deposito

Bank BRI sebesar 5%. Diantara ketiga pola

yang diusahakan, pola ketiga (simulasi)

memiliki nilai BCR yang terbesar yaitu

2,41%. Hal ini terjadi karena pendapatan

terdiskonto yang diperoleh pola ketiga jauh

lebih besar dibandingkan ketiga pola

lainnya.

Nilai IRR yang dihasilkan dapat

menggambarkan besarnya kemampuan

usaha untuk mengembalikan modal yang

dikeluarkan. Ketiga pola pengusahaan

sesuai dengan Tabel 3 memiliki nilai IRR

yang lebih dari sama dengan tingkat suku

bunga deposito 5%, maka ketiga proyek

tersebut layak untuk diusahakan dan terus

dikembangkan. Pola III memiliki tingkat

IRR tertinggi yakni sebesar 113%,

sedangkan pola II dan III memiliki tingkat

IRR senilai 95% dan 106%.

Nilai IRR yang dihasilkan oleh ketiga

pola sangat besar disebabkan karena

usahatani ini selalu mendapatkan

pemasukan setiap tahun yang dapat

mengkover keseluruhan biaya pada tahun

tersebut. Oleh sebab itu tingkat

pengembaliannya cepat hingga mencapai

100%. Namun IRR bukanlah metrik yang

dapat diandalkan untuk membuat suatu

keputusan, karena suatu usaha yang

Page 12: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299

116

memiliki nilai tingkat pengembalian internal

(IRR) tinggi tidak selalu lebih baik

dibandingkan usaha yang memiliki nilai IRR

rendah (Gittinger, 2008). Proyek yang baik

tetap merupakan proyek yang memberikan

lebih banyak hasil kepada pendapatan

dibandingkan terhadap sumberdaya yang

digunakan.

Tabel 4. Hasil analisis sensitivitas usaha agroforestri kopi di Desa Leksana

Uraian Pola Agroforestri

Kondisi Persen

perubahan

Normal Harga turun Biaya naik

Harga turun

Biaya naik

10% 10% 10% 10%

NPV (Rp)

Kopi sengon 469.422.559 358.723.563 405.665.819 23,58 13,58

Kopi sengon pagar 1.286.677.768 863.233.874 991.901.650 32,91 22,91 Kopi sengon jambu 1.315.264.047 1.090.328.359 1.221.854.764 17,10 7,10

IRR (%)

Kopi sengon 95 65 67 31,58 29,47

Kopi sengon pagar 106 72 75 32,08 29,25 Kopi sengon jambu 113 88 90 22,12 20,35

BCR

Kopi sengon 1,74 1,56 1,58 10,34 9,20

Kopi sengon pagar 1,44 1,29 1,31 10,42 9,03

Kopi sengon jambu 2,41 2,17 2,19 9,96 9,13

Analisis Sensitivitas Usaha Agroforestri Kopi Desa Leksana

Analisis sensitivitas diterapkan untuk

menilai hal-hal yang akan terjadi terhadap

hasil analisis kelayakan suatu proyek apabila

terjadi perubahan di dalam perhitungan

biaya atau manfaat. Menurut Nurmalina et

al, (2010) perubahan yang sering terjadi

dalam menjalankan bisnis adalah perubahan

harga, keterlambatan pelaksanaan, kenaikan

biaya, dan perubahan hasil produksi.

Analisis sensitivitas pada penelitian ini

dilakukan dengan dua skenario yaitu apabila

terjadi penurunan penjualan kopi, sayuran,

dan buah jambu kristal sebesar 10%, dan

apabila terjadi kenaikan biaya total dalam

pengelolaan usaha sebesar 10%. Hasil

analisis sensitivitas usaha agroforestri kopi

ditunjukkan oleh Tabel 4.

Berdasarkan hasil analisis sensitivitas

pada Tabel 4, meskipun terjadi perubahan

terhadap nilai NPV, IRR serta BCR, tetapi

secara umum kondisi kelayakan usaha tidak

mengalami perubahan pada kenaikan biaya

atau penurunan penerimaan sebesar 10%.

Nilai NPV yang dihasilkan masih lebih

besar dari 0, nilai BCR masih lebih besar

dari 1 dan nilai IRR yang dihasilkan masih

lebih besar dari tingkat suku bunga yang

digunakan yaitu 5%. Perbandingan

persentase perubahan nilai ketiga kriteria

yang digunakan menunjukkan penurunan

Page 13: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019

117

harga produk sebesar 10% menghasilkan

perubahan negatif yang lebih besar daripada

terjadinya kenaikan biaya input sebesar

10%. Artinya usaha agroforestri kopi di

Desa Leksana akan lebih sensitif terhadap

faktor-faktor yang mempengaruhi

terjadinya penurunan harga jual produk

dibandingkan hal-hal yang berpengaruh

terhadap kenaikan biaya modal.

Analisis Nilai Tambah Produk Olahan Kopi

Kondisi saat ini di lapangan

menunjukkan bahwa petani adalah agen

ekonomi yang memperoleh keuntungan

terkecil dan menanggung risiko produksi

tertinggi. Oleh karena itu, pengembangan

agroindustri dapat digunakan sebagai model

alternatif pemberdayaan masyarakat untuk

meningkatkan nilai tambah produk dengan

memanfaatkan bahan baku lokal. Meskipun

skala bisnis ini masih dikategorikan sebagai

industri skala rumah tangga, produk yang

dihasilkan akan mampu memperkaya variasi

produk di pasar lokal dan mengisi pasar di

luar wilayah (Aklimawati et al, 2016).

Menurut Hayami et al, (1987), nilai tambah

merupakan penambahan nilai pada input

dengan melakukan proses pengangkutan,

pengolahan, dan penyimpanan dalam suatu

produksi sehingga menghasilkan output

yang bernilai lebih tinggi dibandingkan

dengan input.

Perhitungan nilai tambah dilakukan

pada setiap bentuk olahan buah kopi, yaitu

green bean, roasted bean, dan bubuk kopi, baik

jenis robusta maupun arabika. Output dan

input yang digunakan serta dihasilkan

berbeda setiap produknya. Hal ini karena

penyediaan bahan baku dan kapasitas

produksi yang berbeda di setiap

pengolahannya. Jadi penentuan bahan baku

sejumlah 100 kg hanya berlaku untuk buah

kopinya saja, bahan baku green bean dan

roasted bean akan menyesuakan dengan

seberapa besar penyusutan yang terjadi

dalam setiap proses pengolahannya.

Nilai tambah diperoleh melalui

pengurangan nilai output dengan

sumbangan input lain dan harga bahan

baku. Dari semua proses pengolahan,

ternyata kopi yang telah disangrai (roasted

bean) yang memiliki nilai tambah terbesar,

yaitu Rp 54.734,- pada kopi robusta dan Rp

94.361,- pada kopi arabika. Dengan

demikian petani akan dapat memaksimalkan

keuntungannya apabila menjual biji kopi

kualitas baik pada level produk roasted bean

dan mengolah biji kopi yang cacat hingga

menjadi bubuk kopi. Melalui

pengembangan agroindustri kopi, nilai

tambah produk akan dapat memberikan

keuntungan yang lebih besar kepada petani

serta memudahkan penyediaan bahan baku

bagi industri kopi skala kecil dan menengah.

Page 14: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299

118

Tabel 5. Perbandingan nilai tambah dan keuntungan produk olahan buah kopi robusta dan arabika

No. Produk Olahan

Nilai Rasio Nilai Keuntungan

(Rp/kg)

Rasio

Tambah Tambah Keuntungan

(Rp/kg) (%) (%)

1 Green Bean Robusta 4.362 43,62 3.181 31,81

2 Green Bean Arabika 17.862 71,45 16.681 66,73

3 Roasted Bean Robusta 54.734 54,73 52.623 52,62

4 Roasted Bean Arabika 94.361 47,18 91.833 45,92

5 Bubuk Kopi Robusta 13.259 8,84 9.925 6,62

6 Bubuk Kopi Arabika 38.171 12,72 34.421 11,47

Selecting and Grading Produk Olahan Kopi

Nilai tambah suatu produk akan

dapat meningkat secara lebih optimal

apabila produk mendapatkan nilai jual yang

tepat sesuai dengan kualitasnya. Untuk itu

sangat diperlukan adanya pengetahuan

mengenai selecting and grading dalam

pengolahan kopi. Selama ini Kelompok Sari

Tani hanya menyeleksi kopinya menjadi 2

bagian, yaitu kopi kualitas baik dan kopi

cacat. Semua kopi yang telah diseleksi

tersebut tetap diolah hingga akhir, yang

membedakan hanya pada pemasarannya.

Kopi yang berkualitas baik akan dijual

kepada konsumen sementara kopi yang

cacat hanya dijadikan sebagai konsumsi

pribadi.

Menurut ketua umum Specialty

Coffee Associations of Indonesia, A.

Syafrudin, secara umum kopi dibagi

menjadi tiga kategori yaitu specialty,

premium, dan komersil. Kopi specialty

mempunyai nilai cupping score di atas 80, kopi

premium memiliki nilai cupping score di

bawah kopi specialty yaitu 70 hingga 80,

sedangkan kopi komersil memiliki nilai

cupping score di bawah 70. Kopi yang telah

masuk ke kelas specialty akan memiliki

harga yang jauh lebih mahal dan biasanya

kedai-kedai kopi yang memburu kopi

kualitas ini. Kopi berkualitas premium

umumnya saat ini dijual langsung kepada

konsumen, namun tak jarang kedai kopi

juga masih membeli kopi kualitas ini apabila

kopi kualitas specialty sedang tidak tersedia

di pasaran. Sementara kopi komersil (asalan)

biasanya digunakan oleh pabrik-pabrik

untuk dijadikan kopi instan karena harganya

yang masih terjangkau dan pengolahannya

yang tidak murni kopi, melainkan terdapat

bahan tambahan lainnya. Apabila

dibandingkan harga jual kopi dari setiap

kualitas memiliki selisih besaran yang cukup

signifikan, Tabel 6 menyajikan data harga

berbagai kualitas kopi yang berasal dari

Pulau Jawa.

Berdasarkan informasi harga yang

tersaji pada Tabel 6, dapat diketahui jika

petani melakukan proses selecting and grading

Page 15: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019

119

secara lebih cermat maka produknya akan

dapat memiliki nilai jual yang lebih tinggi,

terutama pada kualitas specialty.

Tabel 6. Perbandingan harga green bean dan roasted bean kopi di lapang dengan harga rata-rata pasara

Jenis Kopi

Bentuk Olahan Harga di Lapang

(Rp/kg)

Harga Rata-Rata Pasarb (Rp/kg)

Specialty Premium Komersil

Robusta Green Bean 40.000 72.500 44.000 27.600

Roasted Bean 125.000 212.000 140.000 95.000

Arabika Green Bean 100.000 143.000 106.000 46.000

Roasted Bean 250.000 369.600 261.000 175.000 aJenis kopi khas di Jawa yang digunakan dalam penentuan harga rata-rata pasar yakni jenis kopi Java Preanger, Papandayan, Sumbing, Sindoro, Bowongso, Temanggung, Dampit Malang, Blawan Bondowoso, Ijen, dan Argopuro. bData diperoleh dari situs jual beli online dan wawancara ke beberapa kedai kopi di Bogor dan

Banjarnegara.

Kopi yang berkualitas specialty akan

mengalami peningkatan harga mencapai

40−80% dari harga yang biasanya dijual di

lokasi penelitian. Jika dikategorikan

sebetulnya harga kopi yang selama ini dijual

oleh petani Sari Tani termasuk ke dalam

harga kopi kualitas premium. Oleh sebab itu

guna mengoptimalkan keuntungan, kopi

yang tidak termasuk ke dalam kategori

kualitas specialty akan lebih baik jika diolah

hingga menjadi produk bubuk kopi,

mengingat harga bubuk kopi masih lebih

besar dibandingkan harga roasted bean

kualitas premium di pasaran, yakni sebesar

Rp 150.000,- untuk kopi robusta dan

sebesar Rp 300.000,- untuk kopi arabika.

Namun pada kenyataannya di

pasaran, kedai-kedai kopi lebih menyukai

untuk membeli produk olahan green bean dari

para petani dibandingkan produk roasted

bean. Kedai kopi tersebut memilih untuk

menyangrai biji kopinya sendiri karena

memiliki standar yang tinggi terhadap

produk yang akan dijual kepada para

penikmat kopi, sehingga tak jarang

ditemukan kedai kopi yang sekaligus

merangkap menjadi Roastery. Hanya sedikit

kedai kopi yang membeli langsung olahan

roasted bean langsung dari petani, terkecuali

kedai kopi ini telah benar-benar menaruh

kepercayaan terhadap petani akan produk

roasted bean yang diolahnya.

Sebagian besar petani yang mengolah

produknya hingga level roasted bean dan

bubuk kopi lebih banyak menjualnya

langsung kepada perorangan, terutama yang

menjadi pelanggan setianya. Oleh sebab itu

adanya edukasi tentang selecting and grading

pada petani juga perlu diimbangi dengan

pemberian informasi mengenai sasaran

Page 16: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299

120

pemasaran yang tepat untuk setiap

produknya, dimana green bean dijual langsung

ke kedai-kedai kopi, sedangkan olahan

roasted bean diutamakan untuk dijual

langsung ke perorangan dan sebagiannya

lagi ke kedai kopi, dan bubuk kopi dijual

langsung ke konsumen (perorangan).

REFERENSI

Aklimawati, L., Soemarno, D., Mawardi, S. 2016. Application of marketing mix in home industry: focussed on micro and small scale coffee industry. Pelita Perkebunan. 32(1): 52−66.

Gittinger, J.P. 2008. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Ed ke-2. Mangiri K, Sutomo S, penerjemah; Bhaktiyani R, Ulfah S, editor. Jakarta (ID): Universitas Indonesia Press.

Hairiah, K., Utami, S.R., Verbist, B., Van Noordwijk, M., Sardjono, M.S. 2003. Prospek Penelitian dan Pengembangan Agroforestri di Indonesia. Bogor (ID): International Centre for Research in Agroforestry.

Hayami, Y., Kawagoe, T., Morooka, Y., Siregar, M. 1987. Agricultural Marketing and Processing in Unpland Java A Perspective From A Sunda Village. Bogor (ID): CGPRT Center.

Indonesia Power. 2018. Perkembangan Laju Sedimentasi Waduk Panglima Besar Soedirman dan Tingkat Erosi Daerah Aliran Sungainya. Banjarnegara (ID): Indonesia Power.

Nurmalina, R., Sarianti, T., Karyadi, A. 2010. Studi Kelayakan Bisnis. Departemen Agribisnis (ID): Institut Pertanian Bogor.

Sudjarmoko, B. 2013. Prospek pengembangan industrialisasi kopi

Indonesia. STRINOV. 1(3): 99−110.

Page 17: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019: 121-135 ISSN : 2355-6226 E-ISSN : 2477-0299

121

KELEMBAGAAN PROGRAM CITARUM HARUM DALAM PENGELOLAAN SUB DAS CIRASEA, CITARUM HULU

Farhana Nurysyifa1*, Kaswanto1* 1 Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Boogor (IPB), Bogor 16680 * Email: [email protected] ; [email protected]

RINGKASAN

Sub DAS Cirasea merupakan daerah hulu DAS Citarum. Area ini memiliki indeks erosi

yang sangat buruk akibat masifnya aktivitas pertanian, sehingga lanskap hutan semakin terancam

dari tahun ke tahun. Padahal daerah hulu DAS memiliki peran strategis dalam menjamin kualitas

air di daerah yang lebih rendah. Oleh karena itu, penempatan sektor Satgas Kodam III dalam

menunjang program Citarum Harum terdapat di beberapa kecamatan di kawasan Sub DAS

Cirasea. Namun, pelaksanaan program Citarum Harum yang hanya dibatasi 7 tahun justru

menimbulkan persoalan baru terkait keberlanjutan pengelolaan. Untuk itu, penelitian ini

bertujuan menyusun rekomendasi untuk mendukung penguatan kelembagaan untuk

pengelolaan Sub DAS Cirasea. Kawasan yang menjadi prioritas dalam penempatan sektor

khusus menangani permasalahan erosi memiliki beberapa kriteria, seperti status lahan sebagai

hutan lindung dan atau hutan konservasi, luasnya area lahan kritis, elevasi di atas 1000 m, dan

memiliki topografi curam. Motivasi ekonomi, sebagai salah satu faktor agar masyarakat memiliki

inisiatif dalam mengelola sungai, dipengaruhi oleh seberapa pentingnya fungsi sungai sebagai

penunjang kehidupan sehari-hari. Analisis SWOT menghasilkan beberapa prioritas

rekomendasi, yaitu perlu adanya kepastian koordinasi antarprogram maupun antarsektor secara

riil di lapangan dan kepastian pascapanen untuk meningkatkan motivasi petani dalam menanam

kopi.

Kata kunci: analisis kelembagaan, indeks erosi, pengelolaan berkelanjutan

PERNYATAAN KUNCI

• Pengelolaan DAS dalam menanggulangi

permasalahan erosi terkesan mengalami

simplifikasi, yaitu cukup melakukan

kegiatan tanam-menanam. Nyatanya

program RHL telah dilaksanakan sejak

lama, namun permasalahan erosi tidak

kunjung selesai.

• Satgas TNI, sebagai salah satu lembaga

program Citarum Harum, memiliki

kekonsistenan dalam menjalankan

tupoksinya dalam menanggulangi

permasalahan erosi meskipun penurunan

Page 18: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299

122

upah dari pusat seringkali mengalami

kendala. TNIpun memiliki etos kerja

yang tinggi.

• Namun, Satgas TNI seringkali terkesan

mengerjakan tupoksi lembaga lain,

• Selain itu, masyarakatpun seringkali

menuruti perintah dari TNI mengingat

budaya ‘feodal’ masih melembaga di

kehidupan masyarakat.

• Namun koordinasi antara masyarakat

dan TNI terkadang mengalami kendala,

terutama di daerah yang memiliki konflik

lahan yang tinggi di Kecamatan

Kertasari, sehingga TNI seringkali

bekerja sendiri. Padahal Program

Citarum Harum hanya berjalan selama 7

tahun. Jika permasalahan partisipasi

masyarakat tidak ditanggulangi, tidak

dapat dipastikan apakah mekanisme

pengelolaan DAS dapat berjalan secara

berkelanjutan.

REKOMENDASI KEBIJAKAN

• Perlu adanya kepastian koordinasi

antarprogram maupun antarsektor

secara riil di lapangan.

• Kepastian pascapanen sebagai insentif

petani kopi.

• Perlu melibatkan pensiunan TNI dalam

mekanisme pengeloalan lingkungan,

terutama DAS.

I. PENDAHULUAN

Daerah Aliran Sungai (DAS)

merupakan salah satu penerapan dari

prinsip bioregion dengan mengikuti barisan

punggung bukit sebagai tempat awal

jatuhnya air ke permukaan bumi. Oleh

karena itu, DAS dapat menjadi unit analisis

yang tepat dalam penyusunan konsep

pengelolaan sumber daya alam untuk

menjamin terjaganya kualitas air serta

terdistribusinya jumlah air secara optimal.

Sehingga air tetap tersedia saat musim

kemarau, namun jumlahnya tidak

berlebihan saat musim hujan. Menurut

Salampessy dan Lidiawati (2017), daerah

hulu DAS memiliki fungsi untuk mencegah

terjadinya run off hingga ke daerah hilir

sehingga banjir dapat dikendalikan,

meningkatkan kemampuan infiltrasi

sehingga suatu kawasan memiliki kualitas

cadangan air tanah yang baik, dan menjadi

sumber utama jasa lanskap.

Pembangunan fisik seperti floodway

Cisangkuy paket I dan II, Embung

Gedebage, Kolam Retensi Cieuteung,

pembangunan tunnel Curug Jompong, dan

normalisasi Citarum Hulu merupakan salah

satu usaha yang dilakukan oleh pemerintah

untuk menanggulangi permasalahan

Citarum. Namun menurut Bandaragoda

(2000), peran kelembagaan diperlukan

setelah dilakukan usaha pembangunan fisik

untuk mewujudkan pengelolaan DAS yang

terpadu. Selain itu, karakteristik alami dan

infrastruktur buatan seperti ukuran dan

skala, teknologi, dan tujuan akan

Page 19: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019

123

menentukan jenis dan karakter dari lembaga

yang didirikan.

Oleh karena itu, pembuat kebijakan

memerlukan perluasan lingkup

pengetahuan sebagai dasar penyusunan

suatu kebijakan yang selama ini cenderung

sektoral dalam menyelesaikan suatu

permasalahan secara holistik, sehingga

bukan hanya terfokus dengan peningkatan

kualitas biofisik. Kondisi para stakeholder

beserta pengaruh ekonomi, sosial, politik,

kebijakan, hukum, dan organisasi pun harus

terintegrasi dalam penguatan kelembagaan.

Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan

untuk mengidentifikasi kondisi lanskap yang

menjadi faktor penentu terbentuknya suatu

kelembagaan di tingkat tapak dan

menganalisis relasi beserta permasalahan

antara kelembagaan di tingkat pusat dan di

tingkat tapak, sehingga akan dihasilkan

suatu rekomendasi untuk mendukung

penguatan kelembagaan untuk pengelolaan

Sub DAS Cirasea dari permasalahan erosi

secara berkelanjutan.

II. METODOLOGI

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada

kecamatan yang ada di Kabupaten Bandung,

Provinsi Jawa Barat (Gambar 1) dengan

batasan kecamatan yang disesuaikan dengan

kawasan dimana masyarakat memiliki

inisiatif untukn megikuti program

Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL),

memiliki elevasi 700-1200 m dpl, terdapat

lahan kritis, dan memiliki tingkat erosi yang

buruk. Oleh karena itu, penelitian berfokus

pada 6 kecamatan, yaitu Kertasari, Pacet,

Arjasari, Ciparay, Ibun, dan Paseh yang

tersaji pada Gambar 2.

Page 20: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299

124

Gambar 1. Lokasi penelitan (a) Peta Jawa Barat dan Banten; (b) Peta DAS Citarum;

(c) Peta Kabupaten; dan (d) Peta Sub DAS Cirasea

Gambar 2. Peta Kecamatan di kawasan Sub DAS Cirasea

(Sumber: BPDASHL dan BIG)

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam studi

ini mengacu pada proses analisis

kelembagaan dalam mendukung

penyusunan rekomendasi kelembagaan oleh

Bandaragoda (2000) yang telah dimodifikasi

dengan tujuan merumuskan suatu

rekomendasi kelembagaan Sub DAS

Cirasea dengan menggunakan Geographic

Information System (GIS), Analisis Regresi

Logistik, Analisis Stakeholder, Analisis

Kelembagaan, dan rekomendasi yang

berasal dari analisis sebelumnya akan

dianalisis dengan menggunakan SWOT.

Tahap Persiapan

Tahap persiapan yang dilakukan

meliputi penyusunan makalah dan proposal

penelitian, penyusunan lembar kuisioner,

daftar pertanyaan untuk wawancara

mendalam, menetapkan sasaran

pengambilan sampel dan instansi terkait

sesuai dengan batasan dan lingkup

penelitian, dan persiapan teknis berupa

persiapan alat dan bahan penelitian untuk

mengumpulkan informasi dan mengolah

data.

Tahap Inventarisasi

Page 21: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019

125

Pengumpulan data primer dilakukan

dengan cara groundcheck dan wawancara

dengan 30 orang responden dan 14 orang

informan yang relevan. Data sekunder

merupakan data yang bersumber dari studi

pustaka, yaitu buku, jurnal disertasi

penelitian terdahulu, dan data yang

diperoleh dari instansi terkait.

Tahap Analisis

1. Identifikasi Karakter Fisik Sub DAS Cirasea

Karakteristik Fisik Sub DAS

diidentifikasi terlebih dahulu untuk

memberikan gambaran kawasan secara

umum dan menjadi dasar kemungkinan

motivasi kinerja dari kelembagaaan yang

terlibat dalam kegiatan pengurangan erosi.

Tahapan ini dilakukan dengan

menggunakan bantuan software ArcGIS.

2. Analisis Faktor Sosial Ekonomi Masyarakat yang Mendukung Pengelolaan Sub DAS menggunakan Analisis Regresi Logistik

Peran masyarakat sangat diperlukan

dalam pengelolaan Sub DAS sebagai pihak

yang paling paham terhadap permasalahan

di tingkat tapak sehingga ada upaya dari

pemerintah untuk melakukan sinergisitas

dengan masyarakat. Analisis regresi logistik

berfungsi untuk mengukur seberapa besar

peluang masyarakat dalam mendukung

pengelolaan Sub DAS (P=1), dan besar

peluang masyarakat tidak mendukung

pengelolaan Sub DAS (P=0) dengan

mengikuti sebaran binomial. Model regresi

logistik bineri dapat digunakan untuk

menganalisis data kategori yang variabel

terikatnya merupakan biner dan variabel

bebasnya bersifat kontinyu atau kategori.

Perbandingan antara probabilitas suatu

peristiwa dengan probabilitas tidak

terjadinya suatu peristiwa dalam model

disebut odds/ resiko. Semakin besar nilai

odds, maka terjadi kecenderungan minat

masyarakat terhadap usaha pengelolaan Sub

DAS. Pengambilan data diperoleh dari hasil

wawancara terhadap 30 responden. Analisis

menggunakan software SPSS dengan model

logitnya sebagai berikut:

Pi = β0 + β1 X1 + β2 X2 + β3 X3 ...... β6 X6 + β1

D1+ β2 D2β4 D4+ εi …………….. (1)

P(i) =1

1 + 𝑒−(𝛼 + βxi) …………….. (2)

Keterangan: Pi : Peluang dukungan masyarakat

terhadap upaya pengelolaan Sub DAS terhadap ancaman erosi (1 = opsi mendukung pengeloaan, 0 = tidak mendukung pengelolaan)

β0 : intersep X1 : Pengetahuan tentang rehabilitasi DAS

(1 = mengerti, 0 = tidak mengerti) X2 : Tingkat keterlibatan warga dalam usaha

rehabilitasi DAS (1 = terlibat, 0 = tidak terlibat) D1 : Fungsi Sungai (1= ada, 0 = tidak ada) D2 : Kondisi kebersihan sungai (1 = baik, 0

= buruk) D3 : Preferensi Pekerjaan (1=ada, 0= tidak

ada) D4 : Aksesibilitas ( 1 = sulit, 0 = tidak sulit) D5 : Potensi gotong royong (1 = ada , 0 =

tidak ada)

Untuk mencari nilai peluang dari

masyarakat yang mendukung upaya

pengelolaan Sub DAS menggunakan rumus

sebagai berikut:

Page 22: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299

126

Pi = Exp (β0 + β1 X1 + β2 X2 + β3 X3....β6 X6 + β1 D1+ β2 D2+⋯+β4 D4)+ εi

1+Exp (β0 + β1 X1 + β2 X2 + β3 X3....β6 X6 + β1 D1+ β2 D2+⋯+β4 D4)+ εi …………….. (3)

3. Analisis Kelembagaan

Analisis kelembagaan dilakukan

untuk memahami peranan dan pengaruh

para pelaku (actors) dalam proses pencapaian

tujuan program yang disajikan dalam bentuk

deskriptif.

Rekomendasi Pengelolaan Sub DAS Cirasea

Metode analisis SWOT digunakan

untuk menyusun alternatif strategi

pengelolaan Sub DAS Cirasea dari sudut

pandang kelembagaan dengan

membandingkan faktor internal (Strength

dan Weakness) dengan faktor eksternal

(Opportunity dan Threat) dan dianalisis secara

kuantitatif yang dilakukan dengan cara

pembobotan dan pemberian rating.

III. SITUASI TERKINI

Secara geografis, Sub DAS Cirasea

berada di antara 107º 37’ 49,1747” BT –

107º 48’ 30,8923” BT dan 6º 59’ 32,9636”

LS – 7º 14’ 35,2305” LS. Sub DAS Cirasea

memiliki banyak kawasan lindung, yaitu

Cagar Alam Gunung Malabar, Cagar Alam

Papandayan, Taman Wisata Alam Kawah

Kemojang dan Gunung Mesigit.

Kualitas DAS pada sebagian besar

daerah di Indonesia cenderung menurun

dari tahun ke tahun seiring dengan

bertambahnya daftar sungai prioritas. DAS

Citarum merupakan DAS terpanjang di

Jawa Barat dan memiliki peran strategis

dalam mendukung ketahanan energi

nasional, namun memiliki status kritis

dengan tingkat erosi terbesarnya berada di

daerah hulu.

Sub DAS Cirasea yang merupakan

bagian dari Citarum Hulu memiliki indeks

erosi yang sangat buruk. Menurut Rusdiana

(2011), laju erosi yang terjadi pada DAS

Ciatrum Hulu rata–rata sebesar 574.16

ton/ha/tahun, sehingga DAS Citarum Hulu

didominasi lahan dengan tingkat bahaya

erosi sangat berat (36.87%) dan berat

(21.84%). Besar pelepasan sedimen yang

terjadi akibat kejadian erosi pada kawasan

DAS Citarum Hulu yaitu rata-rata sebesar

33.88 ton/ha/tahun dengan pelepasan

sedimen maksimum sebesar 1044.55

ton/ha/tahun. Menurut Yulius et al, (2017),

lahan terbangun tersebut telah mengambil

alih lahan agroforestri riparian sungai

sebagai salah satu solusi mengurangi

dampak dari erosi dan sedimentasi.

Dominansi patch permukiman

mengindikasikan adanya intervensi aktivitas

manusia yang tinggi pada lanskap riparian.

Selain itu, praktek penanaman tanaman

semusim yang tidak memperhatikan kaidah

konservasi dilakukan oleh masyarakat DAS

Hulu Citarum sehingga resiko terhadap

ancaman erosi semakin meningkat dari

tahun ke tahun.

Page 23: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019

127

IV. ANALISIS DAN ALTERNATIF SOLUSI/PENANGANAN

Analisis Fisik Sub DAS Cirasea

Gambar 3. Peta Lahan Kritis Gambar 4. Erosi perhitungan USLE Gambar 5. Kawasan Hutan (Sumber: BPDASHL) (Sumber: BPDASHL) (Sumber: Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan)

Analisis fisik berupa data spasial lahan

kritis (Gambar 3) dan erosi (Gambar 4)

menunjukkan bahwa kecamatan Kertasari

dan Pacet memiliki area kawasan yang

paling kritis (> 480 ton/ha/tahun) terluas

dibanding kecamatan lainnya. Ditambah lagi

kedua kecamatan tersebut berstatus area

penggunaan lain yang didominasi oleh

private sector dan Hak Guna Usaha (HGU)

(ditandai dengan warna orange pada gambar

5) sehingga hal ini menjadi salah satu

kendala sulitnya monitoring rehabilitasi

daerah hulu DAS. Oleh karena itu, tidak

heran jika kawasan tersebut memiliki

banyak stakeholder maupun program insentif

yang diusung oleh beberapa kementerian

yang terlibat untuk mengembalikan daerah

hulu sebagai kawasan konservasi dan hutan

lindung. Kondisi kelembagaan lokal tiap

kecamatan di kawasan Sub DAS Cirasea

dijelaskan pada Tabel 3.

Kualitas air yang ditujukan pada Tabel

1 menyatakan adanya nilai yang sifatnya

fluktuatif. Nilai pH yang baik memiliki nilai

netral dan lima titik pengambilan kualitas air

menunjukkan nilai pH yang masih termasuk

ketegori normal. Nilai BOD yang besar

menunjukkan banyaknya oksigen yang

diperlukan untuk memecah sampah organik

dan hal ini akan memperburuk kualitas air.

Hal ini terjadi pada naiknya nilai BOD pada

mata air Cisanti tahun 2017 sebesar < 2

menjadi 2,96 pada tahun 2018. Hal ini

terjadi karena adanya penambahan ikan

pada situ setelah adanya rehabilitasi situ

yang dilakukan oleh satgas kodam. Nilai

COD yang kecil menunjukkan

berkurangnya oksigen yang diperlukan

untuk memecah limbah anorganik dan hal

ini akan meningkatkan kualitas air. Hal ini

terjadi pada Citarum Majalaya yang terjadi

karena adanya usaha agroforestry, sehingga

penggunaan pestisida berkurang dan

mengurangi kadar kimia yang akan bereaksi

dengan oksigen yang terkandung pada air.

Page 24: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299

128

Tabel 1. Kualitas Air Sungai Para- meter

Mata Air Cisanti Outlet situ Cisanti BendungWangisagra Citarum Majalaya Cirasea cengkong

2016 2017 2018 2016 2017 2018 2016 2017 2018 2016 2017 2018 2016 2017 2018

pH 6,6 6,6 6,5 7,6 7,3 6,6 7,9 7,9 8,4 7,8 7,7 7,4 7,9 8,2 7,8

BOD (mg/l)

2,4 < 2 2,96 < 2 < 2 2,4 < 2 2,4 < 2 10 - 10 < 2 < 2 < 2

COD (mg/l)

< 11,5 < 2,5 8 4,1 7 16 48 16 9 5,2 22 15 47 15 13

DO (mg/l)

9 5 4,9 8 9 6,97 7 6,3 6,7 - 6,8 2 7 12 6,2

(sumber: BBWS 2016, 2017, dan 2018)

Analisis Sosial-Ekonomi

Analisis regresi logistik digunakan

untuk mengetahui faktor yang paling

signifikan berpengaruh terhadap besarnya

peluang masyarakat dalam mendukung

pengelolaan Sub DAS. Hasil analisis

disajikan pada Tabel 2.

Interpretasi dari hasil Variables in the

Equation adalah hanya variabel D2 (fungsi

sungai) yang berpengaruh signifikan dengan

semakin besarnya peluang dan motivasi

masyarakat dalam mengelola Sub DAS

karena memiliki nilai signifikasi dibawah

5%.

Oleh karena itu, masyarakat yang

memang memanfaatkan sungai secara

langsung memiiliki peluang yang lebih besar

untuk melakukan pengelolaan DAS,

misalnya petani.

Tabel 2. Hasil Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) 95% C.I.for EXP(B)

Lower Upper

Step 1a

X1 21,32 11443,67 0,000 1 1,00 1811451237,17 0,00 .

X2 -22,34 40192,97 0,000 1 1,00 0,00 0,00 .

d1 2,82 1,36 4,300 1 0,04 16,78 1,17 241,34

d2 0,95 1,88 0,258 1 0,61 2,59 0,07 102,51

d3 -1,47 1,60 0,841 1 0,36 0,23 0,01 5,33

d4 -2,15 2,01 1,143 1 0,29 0,12 0,00 5,97

d5 -0,83 1,30 0,403 1 0,53 0,44 0,03 5,60

Constant -19,69 46252,62 0,000 1 1,00 0,00

Gambar 6. Analisis Stakeholder

Page 25: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019

129

Tabel 3. Analisis Fisik dan kelembagaan lokal tiap Kecamatan

No

Keca-matan

Topografi Elevasi (mdpl)

Luas Penggunaan Lahan

Landuse Kelembagaan lokal (studi kasus) Sawah (ha)

Lahan Pertanian non Sawah

Non Pertanian (ha)

1 Arjasari Dataran dan lereng/punggung bukit.

744-982 1370.6 2744 820,70 - Pepohonan mendominasi kawasan non hutan sehingga tidak banyak kegiatan penghijauan.

- Sawah berfungsi untuk memenuhi kebutuhan subsisten masyarakat

Forum lingkungan dibentukan oleh Pemda. Selain itu, Satgas citarum harum, praktek RHL, dan KTT tidak ditemukan di kecamatan ini.

2 Ciparay Dataran 683-795 2690,96 1.350,40 2445,66 Kawasan non hutan dengan penggunaan lahan didominasi oleh lahan pertanian.

Pecinta Alam Lembah caringin (PALEC) merupakan salah satu komunitas masyarakat pecinta alam di desa Ciparay yang berfokus pada pembibitan dan pengolahan pascapanen kopi.

3 Ibun Lereng/Punggung Bukit

700-1200 1484,6 2203,3 941 - Lahan pertanian tanaman semusim dan sawah

- Penghijauan massif dilakukan dengan penanaman tanaman kopi yang dinaungi oleh pohon pinus di Desa Laksana dan Ibun.

Kecamatan Ibun masih mengandalkan kekuatan tokoh dalam melakukan kegiataan penghijauan. Penanaman pohon masih banyak dilakukan oleh KTH. Satgas citarum harum tidak ditemukan.

4 Kertasari Lereng/Punggung Bukit

1267-1832 15 13.118,75 2.165,18 - Hanya desa Tarumajaya yang memiliki status kawasan hutan yang dimiliki oleh perhutani. Desa lainnya berada diluar kawasan hutan dan didominasi oleh Hak Guna Usaha (HGU).

- Lahan pertanian didominasi oleh komoditas kentang meskipun kawasan tersebut memiliki topografi yang curam.

- Penghijauan massif dilakukan karena kecamatan Kertasari diharapkan dapat menjadi kawasan dengan daya infiltrasi air yang tinggi dengan adanya hutan lindung dan terdapat daerah mata air utama Citarum sebagai area konservasi, yaitu Situ Cisanti.

Kecamatan Kertasari memiliki stakeholder yang paling banyak. Hal ini terjadi akibat peran konservasi yang harus diemban oleh daerah ini sehingga mempengaruhi serapan dana dari pemerintah. Salah satu komunitas yang terdapat dalam kawasan ini adalah Institut Gunung Wayang (IGW) yang berfokus pada inovasi yang dapat meningkatkan kedaulatan petani. Selain itu, banyak masyarakat yang tergabung dalam Kelompok Hutan Tani (KTH) mengikuti program insentif dari kementerian seperti Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL), Kredit Tunda Tebang (KTT), dll. Kawasan inipun menjadi fokus program Citarum Harum

5 Pacet Lereng/Punggung Bukit

839-1305 3011,28 5.816,05 921,62 - Desa sukarame, cipeujeuh, maruyung, dan tanjungwangi merupakan daerah luar kawasan hutan. Namun landuse Kecamatan Pacet didominasi oleh areal hutan

- Sawah menjadi representasi aktivitas pertanian yang paling dominan

- Mayoritas desa umumnya memgandalkan kinerja Satgas Citarum Harum dalam rehabilitas sungai

- Beberapa kelompok masyarakat Desa Girimulya dan Sukarame mengikuti program Kredit Tunda Tebang (KTT)

6 Paseh Dataran dan Lereng/Punggung Bukit

600-750 1558,49 - Lahan pertanian tanaman semusim dan sawah

- Permukiman padat terdapat di daerah pasar

tanaman kopi massif dilakukan di Desa Loa dan Drawati yang didominasi oleh landuse hutan. Masyarakat yang tergabung dalam Kelompok Tani Hutan mengiuti program kementerian berupa PBHM

(Sumber: BPS 2018 dan Data Primer)

Page 26: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019

130

Tabel 4. Identifikasi Lembaga Pusat

No Nama

Organisasi

Jenis Lem-baga

Dasar Hukum

Sumber Dana

Deskripsi Tugas pokok, fungsi, dan peran

Organisasi Persepsi

1. Dinas Lingkungan Hidup/ BPLHD Kabupaten Bandung

Pem- da

105/2018 APBD Operator Pengendali pencermaran

1. Konflik dan benturan antara kepentingan ekonomi dengan kepentingan pengendalian, inkonsistensi kebijakan tata ruang dan penegakkan hukum

2. Benturan kepentingan di perbatasan wilayah.

2. BPDASHL Peme- rintah Pusat

P.10/Menlhk/Setjen/OTL.0/1/2016

APBN (KLHK)

Developer Konservasi wilayah Hulu Sungai

Mengalami benturan kepentingan dengan sektor pertanian.

3. BBWS Peme-rintah Pusat

26/PRT/M/2006

APBN (PU)

Operator Merencanakan dan membangun fisik sungai dan memelihara badan air di sepanjang sungai. Regulator

1. Penetapan Ijin Alokasi Air

2. Penetapan tarif: air baku, tenaga listrik, pollution fee dan BJPSDA lainnya

3. Ijin galian golongan C (di badan sungai)

Developer Pembangunan prasarana pada sungai utama

1. BBWS berbenturan dengan otonomi daerah karena batas sungai tidak sesuai dengan batas administrasi.

2. Efektivitas fungsi perencanaan dan pemeliharaan belum tercapai karena berkaiatan dengan catchment area yang dikelola oleh instansi lain. Namun akan ada rencana kolaborasi dengan BPDSHL terkait pengukuran aspek hidrologi.

4. Balai Pengelolan Sumber Daya Air (PSDA)

Pemerintah Daerah

APBN (PU)

Operator Sungai orde 2 dan 3 dan mengelola jaringan irigasi 1000-3000 ha Regulator Penetapan rencana taman dan penetapan RTRW provinsi Developer Pembangunan prasarana sungai orde 2 dan 3

Tupoksi sering tumpang tindah antara BBWS (dibawah kementerian PU) dengan PSDA, baik dalam pengelolaan badan air maupun pembangunan prasarana.

5. Perum Jasa Tirta II (Korporasi)

BUMN PP No. 7 Tahun 2010

Operator Pengelolaan perasarana utama alokasi air Developer Menjalankan peran CSR di daerah konservasi Situ Cisanti yang merupakan wilayah wewenang BBKSDA.

1. Paradoks antara fungsi sebagai lembaga yang menerapan usaha konservasi dan bisnis yang cenderung melakukan kegiatan eskploitasi SDA

2. kontradiktif dengan peran pengelolaan BBWS Citarum yang berbeda

6. Forum DAS Peme-rintah pusat

S.652/Menhut-V/2006

Suka- rela (KLHK)

Wadah koordinasi pengelolaan DAS, yaitu organisasi para pemangku kepentingan yang terkoordinasi. Kajian, Koordinasi, dan konsultasi dalam melakukan pengelolaan DAS sesuai dengan prinsip Kordinasi, Integrasi, Sinergitas, dan Sinkronisasi (KISS)

Kinerja Forum DAS dianggap belum efektif karena kelembagaan masih belum tertata akibat masih terjadi konflik kepentingan dan tumpang tindih tupoksi antar sector, pemda, dan stakeholder lainnya.

(Sumber: Hasan (2011) dan Raharja (2008))

Page 27: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019

131

Tabel 5. Identifikasi Lembaga dalam Lingkup Tapak Lembaga Pelaku K1 K2 K3 K4 K5 K6

Masyarakat Pelaksana Kegiatan program RLH (2017) ✓ ✓ ✓ ✓

Pelaksana Kegiatan program Kredit Tunda Tebang (KTT)

Pelaksana Kegiatan Program Citarum Harum

✓ ✓ ✓

Komunitas lingkungan ✓ ✓

Pemerintah Daerah Pemerintah Kabupaten ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ Pemerintah Desa ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓

Pengelola Kawasan Perhutani (KPH) ✓ ✓ ✓ ✓ Perkebunan teh rakyat ✓

Lembaga Donor (program CSR)

Artha Grha ✓ ✓

Perum Jasa Tirta II ✓ Ket: K1: Arjasari; K2: Ciparay; K3: Kertasari; K4: Ibun; K5: Pacet; K6: Paseh

Analisis Stakeholder

Analisis Stakeholder dapat digunakan

untuk memahami kepentingan (interest) dan

pengaruh (influence) dan bagaimana hal ini

dapat mendukung atau mengancam kinerja

suatu pengelolaan. Hasil analisis tersaji pada

Gambar 6.

Analisis Kelembagaan

Identifikasi Lembaga Pusat

Identifikasi lembaga yang relevan

dalam menanggulangi permasalahan erosi

ditingkat tapak disesuaikan dengan rencana

aksi DAS Citarum yang telah disahkan oleh

Gubernur Jawa Barat dalam Program

Citarum Harum. Sehingga perlu mengetahui

tupoksi beberapa instansi agar dapat

memproyeksikan lembaga mana saja yang

terkait dalam menangani masalah erosi.

Persepsi yang berkembang di pusat

menyatakan bahwa Sungai Citarum

dianggap sebagai strategis nasional. Oleh

karena itu, Pengeloalan DAS Citarum

menjadi wewenang pemerintah pusat.

Tupoksi kelembagaan pusat tersaji pada

Tabel 4 dan pemetaan stakeholder di tiap

kecamatan disajikan pada Tabel 5.

Sebenarnya tupoksi yang dilakukan

antarstakeholder saling terkait, baik

pengelolaan Sub DAS yang dilakukan oleh

lembagan pusat maupun lembaga lokal.

Hubungan antara lembaga pusat dan lokal

dapat dijabarkan pada Gambar 7. Menurut

Sofhani et al, (2016), pengelolaan sumber

daya air DAS Citarum bersifat multi institusi

serta latar belakang yang sarat dengan

konfik kepentingan, maka fungsi koordinasi

ini berperan sangat penting. Kajian tekait

pola relasi kuasa pengelolaan hulu Citarum

umumnya kurang mengkaji aspek interaksi

antar aktor formal maupun informal. Oleh

karena itu, kajian terkait pengelolaan DAS

umumnya kurang dapat menggambarkan

pengaruh dan komunikasi antar aktor dalam

pengelolaan DAS. Aspek interaksi antar

aktor sebagai implikasi koordinasi antar

lembaga yang dijelaskan pada Gambar 8

membuktikan bahwa peran sentral

dilakukan oleh DLH, lalu Citarum Harum,

dan BBWS dalam pengelolaan Sub DAS

Cirasea. Hal ini terjadi karena adanya

keterhubungan lintas kelompok aktor yang

membuka kesempatan untuk berperan lebih

besar dari kewenangan struktural yang

membatasi serta wilayah kinerjanya tidak

dibatasi oleh wilayah administrasi.

Page 28: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019

132

Gambar 7. Diagram Koordinasi Kelembagaan pusat dan lokal

Rekomendasi Kelembagaan Pengelolaan Sub DAS Cirasea

Rekomendasi Kelembagaan

Pengelolaan SubDAS Cirasea dirumuskan

dengan menggunakan metode analisis

SWOT. Metode ini dilakukan dengan

mewawancarai stakeholder yang terlibat

dalam penyelesaian permasalahn erosi

untuk menentukan faktor internal dan

faktor eksternal beserta tingkat kepentingan

masing-masing faktor.

Penilaian Faktor Internal dan Faktor Eksternal

Penilaian faktor internal dan faktor

eksternal dimulai dengan melakukan

penilaian tingkat kepentingan dan

pemberian rating serta pembobotan setiap

faktor. Penilaian faktor internal tersajikan

pada Tabel 6 dan penilaian faktor eksternal

disajikan pada Tabel 7.

Tabel 6. Penilaian skor faktor internal SIMBOL FAKTOR BOBOT RATING SKOR

S1 Monitoring Hutan Lindung dan badan air yang dilakukan oleh satgas kodam III efektif.

0,15 4 0,60

S2

S3

Timbul partisipasi masyarakat, baik secara inisiatif maupun inisiasi oleh program pemerintah. Semakin banyak jumlah aktor kelompok crowd dan subject yang terlibat dalam kelembagaan pengelolaan Sub DAS seiring dengan semakin kompleksnya permasalahan aspek biofisik.

0,17

0,17

4

4

0,68

0,68

W1 Umumnya satgas Kodam III kurang bersinergi dengan masyarakat. 0,09 2 0,18 W2 Terjadi konflik lahan. 0,17 1 0,17 W3

W4

Kinerja komunitas umumnya efektif, namun wilayah kerjanya sempit dan umumnya tidak dikenal warga. Masyarakat merasa tidak memiliki kepentingan terhadap sungai.

0,08

0,17

2

1

0,16

0,17

TOTAL 1,00 2,64

Page 29: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019

133

Tabel 7. Penilaian skor faktor eksternal

Simbol Faktor Eksternal Bobot Ratin

g Skor

O1 Mulai dirumuskan pembagian tupoksi lembaga secara detail untuk menghindari permasalahan tumpang tindih

0,15 4 0,60

O2 Program RHL cukup berhasil membangun motivasi ekonomi masyarakat dan meningkatkan kualitas lingkungan

0,20 4 0,80

O3 T1

Kapal Api berencana membangun industri di Kecamatan Kertasari Kinerja Forum DAS belum terlihat di tingkat tapak

0,22 0,09

4 1

0,88 0,09

T2 Pengelolaan irigasi secara partisipatif kurang berjalan 0,22 2 0,44 T3

Sulit terjadinya sinergis kerja antara Pemda dengan kelompok lingkungan.

0,12 2 0,24

Total 1,00 3,05

Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) & External Factor Evaluation (EFE)

Setelah melakukan penilaian bobot

faktor strategis internal dan eksternal,

selanjutnya adalah menentukan Matriks

Internal-Eksternal (IE) yang didasarkan

pada total skor EFE pada sumbu Y dan IFE

pada sumbu X yang tertera pada Gambar 8.

Gambar 8. Matriks Internal-Eksternal (IE)

Matriks SWOT

Pembuatan matriks SWOT dilakukan

dengan saling mengaitkan unsur-unsur

SWOT. Matriks SWOT menghasilkan

empat macam strategi berdasarkan

keterkaitan unsur SWOT. Empat macam

strategi tersebut yaitu, strengths-opportunities

(SO), strengths-threats (ST), weakness-

opportunities (WO), dan weakness-threats (WT).

Berdasarkan keterkaitan unsur SWOT

tersebut dihasilkan 7 alternatif strategi

pengelolaan Sub DAS Cirasea berdasarkan

sudut pandang kelembagaan. Hasil matriks

SWOT disajikan pada Tabel 8.

Page 30: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019

134

Tabel 8. Matriks SWOT

Eksternal Internal

Opportunities Threats

1. Mulai dirumuskan pembagian tupoksi secara detail untuk menghindari permasalahan tumpang tindih

2. Program RHL cukup berhasil membangun motivasi ekonomi masyarakat dan meningkatkan kualitas lingkungan

3. Kapal Api berencana membangun industri di Kecamatan Kertasari

1. Kinerja Forum DAS belum terlihat di tingkat tapak

2. Pengelolaan irigasi secara partisipatif kurang berjalan

3. Sulit terjadinya sinergisitas kerja antara Pemda dengan kelompok lingkungan.

Strengths Strategi SO Strategi ST

1. Monitoring Hutan Lindung dan badan air yang dilakukan oleh satgas kodam III efektif.

2. Timbul partisipasi masyarakat, baik secara inisiatif maupun inisiasi oleh program pemerintah.

3. Semakin banyak jumlah aktor kelompok subject yang terlibat dalam kelembagaan pengelolaan Sub DAS seiring dengan semakin kompleksnya permasalahan aspek fisik.

1. Perlu adanya kepastian koordinasi antarprogram maupun antarsektor secara riil di lapangan.

2. Kepastian pascapanen sebagai insentif petani kopi

1. Merevitalisasi Pengembangan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) program Mitra Cai dan berkoordinasi dengan kelompok lingkungan.

Weakness Strategi WO Strategi WT

1. Umumnya satgas Kodam III kurang bersinergi dengan masyarakat dan komunitas

2. Terjadi konflik lahan 3. Kinerja komunitas umumnya

efektif, namun wilayah kerjanya sempit dan umumnya tidak dikenal warga.

4. Masyarakat merasa tidak memiliki kepentingan terhadap sungai sehingga cukup sulit melibatkan masyarakat dalam pengelolaan Sub DAS.

1. Pemda dan TNI harus menurunkan sikap ego dan harus mulai bersikap egaliter seperti yang dilakukan sektor 2, terutama pada kelompok masyarakat yang memiliki minat menjaga lingkungan.

2. Kolaborasi perumusan reforma agraria dengan salah satu anggota IGW yang berkompeten.

3. Kelompok Players berkoordinasi dan memperkuat kapasitas kinerja kelompok Subject agar dapat mengendalikan perilaku kelompok Crowd.

1. Potensi ekonomi dan semakin mudahnya komoditas kopi diterima masyarakat disekitar kawasan hutan maupun non hutan seharusnya dapat menyatukan kepentingn KLHK dan Kementan beserta UPT

2. Meningkatkkan SDM dan pendanaan untuk mengefektifkan kinerja forum DAS dalam memediasi kepentingan antarsektoral

Penentuan Peringkat Alternatif Strategi

Peringkat alternatif strategi yang

sudah dirumuskan ditentukan berdasarkan

skor setiap alternatif strategi. Skor

didapatkan dengan menjumlahkan seluruh

skor faktor yang terkait dengan alternatif

strategi. Peringkat alternatif strategi dapat

menentukan strategi mana yang menjadi

prioritas. Hasil peringkat alternatif strategi

tercantum pada Tabel 9.

Page 31: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019

135

Tabel 9. Peringkat alternatif strategi

No Alternatif Strategi Keterkaitan

Unsur SWOT Skor

Pering- kat

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Perlu adanya kepastian koordinasi antarprogram maupun antarsektor secara riil di lapangan. Kepastian pascapanen sebagai insentif petani kopi Kelompok Players berkoordinasi dan memperkuat kapasitas kinerja kelompok Subject agar dapat mengendalikan perilaku kelompok Crowd. Merevitalisasi Pengembangan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) program Mitra Cai dan berkoordinasi dengan kelompok lingkungan. Pemda dan TNI harus menurunkan sikap ego dan harus mulai bersikap egaliter seperti yang dilakukan sektor 2, terutama pada kelompok masyarakat yang memiliki minat menjaga lingkungan. Meningkatkkan SDM dan pendanaan untuk mengefektifkan kinerja Forum DAS dalam memediasi kepentingan antarsektoral di tingkat tapak.

S1, S2, S3 O1, O2, O3 S1, S2, S3, O2, O3 W1, W3, W4, O2, O3 S2, S3, T2 W1, O1 W1, W3, W4, T1, T3

4,24 3,64 2,19 1,80 0,90 0,84

1

2 3 4 5 6

7. 8.

Kolaborasi perumusan reforma agraria dengan salah satu anggota IGW yang berkompeten. Potensi ekonomi dan semakin mudahnya komoditas kopi diterima masyarakat disekitar kawasan hutan maupun non hutan seharusnya dapat menyatukan kepentingn KLHK dan Kementan beserta UPT terkait.

W2, O1 W2, T1, T2

0,77 0,70

7 8

REFERENSI

Bandaragoda, D.J. 2000. A framework for institutional analysis for water resources management in a river basin context. Working paper 5. Colombo (SL): International Water Management Institute.

Hasan, M. 2011. Model kebijakan pengelolaan sumber daya air pada Daerah Aliran Sungai (Das) Citarum yang berkelanjutan. [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Raharja, S.J. 2008. Pendekatan kolaboratif dalam pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum. [Disertasi]. Depok (ID): Universitas Indonesia.

Rusdiana, O., Gufrona, R. 2011. Aplikasi model optimasi linear goals programming dalam menentukan pola penggunaan lahan optimal di

das citarum hulu. JST. Vol. 02: 26‒34.

Salampessy, M.L., Lidiawati, I. 2017. Potensi kelembagaan local dalam pengelolaan daeerah aliran sungai (studi kasus di desa cemplang, sub das Ciaten Hulu timur DAS Cisadane). Jurnal Hutan tropis. 2(5): 113-11.

Yulius, Kaswanto, Arifin, H.S. 2017. Analisis ekologi lanskap agroforestri pada riparian sungai Ciliwung di kota bogor. Jurnal Lankap Indonesia. 2(9): 81-90.

Page 32: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019: 136-150 ISSN : 2355-6226 E-ISSN : 2477-0299

136

PENDEKATAN PARTISIPATORI UNTUK STRATEGI PENGEMBANGAN DESA PENYANGGA TAMAN HUTAN RAYA

RADEN SOERJO

Erwin Ismu Wisnubroto1, Gerardus Jova1, Yohanes Roni2 1Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Tribhuwana Tunggadewi

2Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Tribhuwana Tunggadewi Email: [email protected]

RINGKASAN

Daerah penyangga merupakan daerah yang berada pada batas kawasan hutan lindung dan

merupakan kawasan yang berfungsi untuk melindungi hutan dari aktivitas manusia yang dapat

mengganggu ekosistem hutan lindung dan taman nasional. Taman Hutan Raya (Tahura) Raden

Soerjo merupakan salah satu kawasan lindung yang secara administratif berada pada beberapa

Kabupaten di Provinsi Jawa Timur. Beberapa permasalahan yang timbul pada kawasan desa

penyangga Tahura Raden Soerjo berkaitan dengan pengelolaan kawasan pertanian dan

sumberdaya hutan. Penelitian ini bertujuan untuk merancang alternatif strategi dan arahan

pengembangan desa penyangga hutan di Tahura Raden Soerjo yang dapat mengurangi

permasalahan pengelolaan sumberdaya hutan. Penelitian ini menggunakan pendekatan

partisipatif kepada stakeholder dan pakar terkait strategi pengembangan desa penyangga hutan

yang berada di Desa Wiyurejo, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang. Penentuan sampel pada

penelitian ini dilakukan secara purposive sampling, dan pengambilan data dilakukan sebagai input

pada model MULTIPOL untuk merancang berbagai alternatif strategi pengembangan desa

Wiyurejo sebagai daerah penyangga Tahura Raden Soerjo. Hasil penelitian ini mengajukan

prioritas kebijakan/policy yang berfokus pada pertanian multifungsi dengan prioritas program

kerja membangun kawasan agrowisata, perbaikan infrastruktur dan pengembangan sumberdaya

manusia melalui pelatihan dan pendidikan terkait pertanian ramah lingkungan dan agrowisata

berbasis edukasi pertanian dan lingkungan.

Kata kunci: Strategic forecasting, pembangunan berkelanjutan, pertanian berkelanjutan, pertanian multifungsi.

PERNYATAAN KUNCI

• Pengembangan desa penyangga

kawasan hutan lindung sebaiknya

memperhatikan prioritas program

kegiatan yang mengakomodasi

dimensi ekonomi, sosial-budaya dan

lingkungan/ekologi masyarakat desa

agar fungsi kawasan peyangga hutan

lindung dapat terpenuhi.

Page 33: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019

137

• Pertanian multifungsi yang

memadukan aktivitas pertanian

komoditas tinggi berupa produk

hortikultura yang telah bersertifikasi

organik dan kopi dengan aktivitas

non pertanian berupa pengembangan

agrowisata homestay yang

mengedepankan edukasi lingkungan

merupakan strategi pengembangan

desa penyangga hutan yang saat ini

sesuai dengan kondisi Desa Wiyurejo.

REKOMENDASI KEBIJAKAN

• Rencana program yang menjadi

prioritas untuk mendukung strategi

pengembangan pertanian multifungsi

adalah pengembangan agrowisata

homestay, pembangunan infrastruktur

pendukung dan pengembangan SDM

melalui diklat untuk pertanian dan

agrowisata.

• Program pengelolaan sampah perlu

dilakukan di tingkat desa, dimana

Pemerintah Desa Wiyurejo

mengkoordinasikan daur ulang

(recycle) untuk sampah anorganik pada

bank-bank sampah, dan pembuatan

kompos untuk sampah organik yang

dapat digunakan kembali oleh petani

di Desa Wiyurejo.

• Pengembangan agrowisata homestay

di Desa Wiyurejo dapat dimulai

dengan membuka jaringan dengan

Amazing Bumiaji dan Kaliwatu

Learning Advanture Tourism yang telah

berpengalaman di dalam membina

desa wisata dengan konsep homestay

edukasi pertanian ramah lingkungan

di Kota Batu.

I. PENDAHULUAN

Hutan merupakan suatu kesatuan

ekosistem berupa hamparan lahan berisi

sumber daya alam hayati yang didominasi

pepohonan dalam persekutuan alam dan

lingkungan yaitu satu dengan lain tidak

dapat dipisahkan. Berdasarkan Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 104

Tahun 2015, hutan lindung merupakan

kawasan hutan yang memiliki fungsi utama

sebagai kawasan lindung untuk penyangga

kehidupan yang terakit tata kelola sumber

daya air, pengaturan erosi dan banjir serta

mempertahankan kesuburan tanah. Oleh

karena itu, penggunaan sumber daya hutan

lindung akan sangat terkait dengan kondisi

masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan

hutan lindung. Kawasan desa yang berada

pada batas hutan lindung dikenal sebagai

desa penyangga (Soemarwoto, 1985) yang

berfungsi untuk menjaga aktivitas manusia

di dalam pengelolaan sumber daya hutan

agar tidak menyebabkan kerusakan

ekosistem hutan lindung.

Taman Hutan Raya (Tahura) adalah

kawasan pelestarian alam untuk tujuan

koleksi tumbuhan dan/atau satwa yang

alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan

asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan

penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

Page 34: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299

138

menunjang budidaya, budaya, pariwisata,

dan reaksi. Dalam fungsinya, Tahura

termasuk ke dalam kawasan hutan lindung.

Di Indonesia terdapat berbagai Tahura

seperti Tahura Pecut Merah Intan (Nangroe

Aceh Darussalam), Tahura Rejo Lelo

(Bengkulu), Tagura Ngurah Rai (Bali),

Tagura Bonto Hari (Sulawesi Selatan),

Tagura Bukit Suharto (Kalimantan Timur)

Dan Tahura Raden Soerjo (Jawa Timur).

Tahura Raden Soerjo menjadi perhatian

dikarenakan pengelolaan Tahura ini

melibatkan berbagai wilayah administratif

Kabupaten di Provinsi Jawa Timur.

Pengelolaan Tahura Raden Soerjo

melibatkan desa-desa yang berada di

kawasan penyangga. Hasil penelitan oleh

Listyarini et al, (2011) melaporkan bahwa

beberapa desa yang berada pada kawasan

penyangga Tahura Raden Soerjo berada

pada kondisi kritis. Hal ini disebabkan

karena sebagian besar masyarakat desa

penyangga Tahura Raden Soejo merupakan

petani yang mengolah lahan pertanian di

dekat kawasan hutan (dan bahkan ada

beberapa yang masuk kawasan hutan) secara

intensif, sehingga menyebabkan terjadinya

erosi dan kerusakan tanah. Pengelolaan

kawasan desa penyangga hutan seharusnya

memperhatikan kondisi sosial dan

lingkungan. Pengelolaan kaawasan desa

penyangga hutan seyogyanya mengacu

kepada Peraturan Kementerian Lingkungan

Hidup dan Kehutanan Nomor P.43 tahun

2017 yang menegaskan bahwa rencana

pengelolaan kawasan kelestarian alam harus

melibatkan pemberdayaan masyarakat yang

rencana pengelolaanya meliputi

perencanaan, perlindungan, pengawetan,

pemanfaatan, pengawasan dan

pengendalian. Lebih lanjut, pemberdayaan

masyarakat desa penyangga kawasan hutan

tersebut juga bertujuan untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat desa, sehingga

dapat mendukung kelestarian kawasan

kelestarian alam.

Oleh sebab itu agar dapat

mengembangkan suatu desa tanpa

melupakan satusnya sebagai daerah

penyangga dari Tahura Raden Soeryo, maka

diperlukan suatu grand desain atau strategi

yang memperhatikan dimensi ekonomi

masyarkat yang dapat membawa

keuntungan dan kesejahteraan bagi

masyarakat, namun juga memperhatikan

dimensi sosial dengan menggunakan

kearifan lokal (local wisdom) sebagai landasan

pengembangan desa, dan berwawasan

lingkungan yang menerapkan prinsip-

prinsip ramah lingkungan untuk menjaga

ekosistem dan kelestaria hutan. Penelitian

ini akan mengupas lebih dalam dari potensi

ekonomi, sosial dan lingkungan yang ada di

kawasan desa penyangga Tahura Raden

Soerjo. Penelitian ini akan mencoba untuk

merancang suatu strategi dan rencana aksi

yang sekiranya dapat diaplikasikan oleh

pemerintah Desa Wiyurejo yang merupakan

Page 35: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019

139

desa penyangga Tahura Raden Soerjo.

Secara rinci tujuan dari penelitian ini adalah

untuk: (1) menganalisis faktor potensi

sosial, ekonomi dan lingkungan yang

terdapat di Desa Wiyurejo, dan (2)

merancang strategi dan rencana aksi sebagai

acuan dari pengembangan Desa Wiyurejo

untuk kawasan peyangga Tahura Raden

Soerjo.

II. METODOLOGI

Tempat dan Waktu Kegiatan

Kegiatan penelitian dilakukan di Desa

Wiyurejo, Kecamatan Pujon, Kabupaten

Malang. Kegiatan pengumpulan data untuk

penelitian ini dilaksanakan pada bulan

September hingga Oktober 2019. Secara

umum, kondisi bentang lahan Desa

Wiyurejo merupakan daerah berlereng

dengan topografi perbukitan. Peta Desa

Wiyurejo disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Peta Desa Wiyurejo

Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang

digunakan dalam Karya Tulis Ilmiah ini

adalah dengan survey langsung ke lapangan

untuk mengamati kondisi Desa Wiyurejo

dan Tahura Raden Soerjo. Selain itu, untuk

keperluan input data untuk analisa

MULTIPOL, maka dilakukan wawancara

langsung dengan beberapa pakar. Metode

pemilihan pakar dilakukan secara purposive

sampling, yaitu dengan menentukan siapa-

siapa saja yang dijadikan pakar di dalam

penulisan Karya Tulis Ilmiah ini. Pakar yang

dipilih adalah : (1) Pemerintah Desa

Wiyurejo; (2) Kelompok Tani Tahura

Raden Soerjo; (3) Komunitas Budaya dan

Peduli Lingkungan “Pujon Ngalas”; (4)

Dosen Program Studi Arsitektur Landskap

Universitas Tribhuwana Tunggadewi

Malang; (5) Dosen Program Studi

Agroteknologi Universitas Tribhuwana

Tunggadewi Malang; (6) Peneliti

Kementerian Lingkungan Hidup dan

Kehutanan; (7) Peneliti Kementerian

Pertanian; (8) Staf Badan Perencanaan dan

Pengembangan Daerah Pemerintah

Kabupaten Malang. Proses pengambilan

data melalui wawancara dan kuesioner

ditunjukkan dengan dokumentasi pada

Gambar 2.

Page 36: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299

140

Gambar 2. Dokumentasi Wawancara Dengan Pemerintah Desa Wiyurejo

Analisa Prospektif Untuk Penyusunan Strategi

Perumusan strategi akan dilakukan

dengan menggunakan pendekatan strategic

forecasting dengan alat analisis

MULTIPOL (Godet, 2001; Strategia, 2013).

MULTIPOL merupakan alat analisis untuk

pengambilan keputusan terkait dengan

kebijakan dengan berdasar pada prinsip

Multi Criteria Decision Analysis (Fauzi, 2019)

yang dikembangkan oleh Godet (2001) dan

Godet et al (2004). Perbedaan mendasar

yang membedakan MULTIPOL dengan

alat analisis multi kriteria lainnya adalah

MULTIPOL melakukan integrasi

pendekatan pertisipatif stakeholder di

dalam proses penilaian kriteria, dan

MULTIPOL melakukan evaluasi terhadap

interaksi tiga komponen di dalam multi

kriteria (Actions, Policy dan Scenarios)

(Fauzi, 2019). MULTIPOL menghasilkan

dua tipe evaluasi (Stratigea et al, 2013), yaitu:

1) evaluasi berbasis Actions to Policy; dan 2)

evaluasi berbasis Policy to Scenario. Interaksi

dari ke tiga komponen tersebut

digambarkan pada Gambar 3. Tahapan

analisa MULTIPOL disajikan pada Gambar

4.

Gambar 3. Interaksi Strategi (Policy) dan Rencana Aksi (Action)

Gambar 4. Tahapan Analisa MULTIPOL

III. SITUASI TERKINI

Taman Hutan Raya Raden Soerjo

merupakan Tahura yang terletak di Provinsi

Jawa Timur, dan meliputi wilayah

Page 37: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019

141

administratif Kabupaten Malang,

Kabupaten Jombang, Kabupaten

Mojokerto, Kota Batu dan Kabupaten

Pasuruan (Listyarini et al, 2011). Di sekitar

Tahura ini banyak penduduk desa yang

bermukim, sebab sebagaimana telah

diketahui bersama bahwa hutan merupakan

tempat ditemukannya banyak sumber daya

alam yang dapat digunakan untuk

menopang kehidupan masyarakat. Salah

satu desa yang bermukim di sekitar Tahura

Raden Soerjo adalah Desa Wiyurejo,

Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang.

Desa Wiyurejo memiliki luas 320,20

ha dan penggunaan lahan didominasi oleh

lahan pertanian (102,5 ha lahan sawah

dengan sumber pengairan; dan 203,7 ha

lahan pertanian lahan kering). Sebagian

besar penduduk Desa Wiyurejo memiliki

mata pencaharian sebagai petani dan buruh

tani. Lahan pertanian di Desa Wiyurejo

didominasi oleh komoditas hortikultura

seperti sayur-sayuran, dan sebagian lahan

perkebunan kopi. Desa Wiyurejo memiliki

industri pengolahan kayu yang mengolah

sumber kayu dari kawasan Tahura Raden

Soerjo.

Gambar 5. Kondisi Lahan di Tahura Raden Soerjo di Kawasan Desa Wiyurejo

Desa Wiyurejo berbatasan langsung

dengan Tahura Raden Soerjo, oleh sebab itu

sangat penting bagi Desa Wiyurejo yang

memiliki peran sebagai desa penyangga

untuk mampu menyangga kelestarian hutan

Tahura Raden Soerjo terutama dari tekanan

dan gangguan eksploitasi hasil hutan kayu

dan non kayu secara berlebihan. Hasil

survey di lahan menunjukkan bahwa

ditemukan banyak lahan pertanian dibuka

pada kawasan hutan (Gambar 5). Hal ini

dapat menyebabkan terjadinya kerusakan

lingkungan seperti erosi dan kehilangan

hara tanah, yang jika tidak segera diatasi

dapat menyebabkan terjadinya degradasi

lahan pada kawasan Tahura Raden Soerjo.

Rencana pengembangan desa

Wiyurejo perlu memprioritaskan kehidupan

masyarakat dapat mencapai kesejahteraan,

dengan memperhatikan potensi ekonomi,

pelestarian kearifan lokal dalam kondisi

sosial-budaya dan mengedepankan

pelestarian ekosistem hutan dan lingkungan.

Oleh sebab itu dibutuhkan strategi

pengembangan Desa Wiyurejo sebagai desa

Page 38: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299

142

penyangga Tahura Raden Soerjo yang

berorientasi pada ekonomi masyarakat

tanpa mengabaikan aspek kelestarian

lingkungan dan kearifan lokal. Penelitian ini

mengajukan lima komponen strategi

pengembangan Desa Wiyurejo sebagai desa

penyangga Tahura Raden Soerjo, yaitu:

1. Pengembangan pertanian organik

yang dapat menghasilkan komoditas

pertanian bernilai tinggi.

2. Konservasi Sumberdaya Hutan untuk

menjaga kelestarian lingkungan.

3. Konservasi Sumberdaya Air yang

berada kawasan hutan.

4. Pengembangan Ekowisata dan

Wisata Edukasi yang mengedepankan

pendidikan dan pengalaman untuk

melestarikan lingkungan.

5. Pengelolaan Sampah di tingkat desa,

mengedepankan prinsip recycle untuk

sampah anorganik yang masih dapat

digunakan kembali/daur ulang, dan

prinsip composting untuk mengolah

sampah-sampah organik menjadi

pupuk kompos yang dapat digunakan

oleh masyarakat Desa Wiyurejo.

IV. ANALISIS DAN ALTERNATIF SOLUSI

Pengembangan Desa Wiyurejo

sebagai kawasan penyangga akan

memerlukan analisis awal mengenai kondisi

sosial-ekonomi, dan lingkungan di Desa

Wiyurejo. Hal ini dilakukan sebagai dasar

dari penyusunan strategi pengembangan

Desa Wiyurejo untuk kawasan penyangga

hutan, maka kami mengusulkan paradigma

pembangunan berkelanjutan yang

mengusung tiga dimensi keberlanjutan,

yaitu keberlanjutan di bidang ekonomi,

sosial dan lingkungan/ekologi. Perlu

diperhatikan bahwa agar Desa Wiyurejo

mampu mempertahankan fungsi penyangga

untuk Tahura Raden Soerjo, hal yang

pertama yang harus diperhatikan adalah

keberlanjutan pada dimensi ekonomi.

Sebagaimana telah disampaikan pada ulasan

di atas, sebagian besar masyarakat Desa

Wiyurejo adalah petani yang juga melakukan

aktivitas di dalam hutan. Oleh karena itu,

sumber mata pencaharian utama petani di

Desa Wiyurejo harus lebih didukung, agar

mampu meningkatkan nilai dari kegiatan

pertanian tidak hanya produksi saja namun

juga nilai tambah yang lain.

Dengan memperkuat dimensi

ekonomi petani di Desa Wiyurejo,

diharapkan petani akan lebih mendapatkan

hasil yang baik dari lahan pertaniannya,

sehingga dapat mengurangi terjadinya

perambahan hutan, baik untuk hasil kayu

maupun pembukaan lahan hutan untuk

kegiatan pertanian. Dengan demikian, maka

diharapkan strategi penguatan petani yang

mendahulukan dimensi ekonomi akan

mampu mendukung strategi pada dimensi

sosial dan lingkungan/ekologi. Dari hasil

pengamatan awal terhadap kondisi Desa

Wiyurejo, kami mengajukan arah

Page 39: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019

143

pengembangan (Strategi Pengembangan/

Policy) Desa Wiyurejo untuk:

1. Pertanian multi-fungsi, yaitu

pengembangan kegiatan pertanian

yang menggabungkan produksi hasil

pertanian komoditas tinggi dengan

kegiatan agro-wisata. Strategi ini telah

dikembangkan pada beberapa

penelitian untuk kawasan pedesaan,

diantaranya oleh Stratigea et al, (2013).

Penekanan dari strategi ini adalah

pengembangan kawasan pertanian

yang mampu menghasilkan

komoditas pertanian bernilai tinggi

dengan penerapan teknologi ramah

lingkungan, dan juga nilai tambah dari

aktivitas non pertanian seperti

pengembangan agrowisata pertanian.

2. Pelestarian nilai budaya dan sosial

kemasyarakatan, yaitu pengembangan

kegiatan budaya di Desa Wiyurejo

dalam wadah aktivitas Pujon Ngalas.

Nilai-nilai kearifan lokal yang

dikembangkan oleh penduduk Desa

Wiyurejo menjadi daya tarik dan

kelebihan di dalam pelestarian budaya

yang memadukan kelestarian hutan

dan budaya.

3. Konservasi sumberdaya hutan dan

lingkungan, yaitu pengembangan

kegiatan hutan yang mengedepankan

konservasi hutan (penanaman pohon

dan bambu) serta konservasi

sumberdaya air. Fungsi Tahura Raden

Soerjo bagi masyarakat di Desa

Wiyurejo sangat penting, tidak hanya

sebagai sumber daya hutan non kayu,

namun juga sebagai sumber air. Oleh

karena itu diperlukan upaya

pelestarian sumberdaya hutan dan

sumberdaya air melalui konservasi

dengan penanaman pohon dan

bambu, serta kesadaran lingkungan di

dalam mengelola sumberdaya air.

Pengelolaan sampah di tingkat desa

juga terkait dengan strategi konservasi

sumberdaya hutan dan lingkungan.

Untuk dapat mewujudkan strategi

pengembangan (Policy) tersebut, maka perlu

disusun beberapa rencana program kerja

(Action) yang dapat dilaksanakan oleh

Pemerintah Desa Wiyurejo. Rencana

program kerja yang diajukan merupakan

hasil diskusi dengan para pakar melalui

proses wawancara. Usulan rencana program

kerja untuk mewujudkan strategi

pengembangan disajikan pada Tabel 1.

Usulan rencana program kerja yang

disajikan pada Tabel 1 merupakan hasil

diskusi dengan para pakar yang

memperhatikan kemudahan program kerja

yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Desa

Wiyurejo. Untuk mengukur apakah rencana

program kerja tersebut dapat dilaksanakan,

maka ditentukan kriteria/indikator yang

diharapkan dapat terwujud dari pelaksanaan

program kerja tersebut. Penentuan

kriteria/indikator juga melalui proses

Page 40: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299

144

diskusi dan wawancara dengan para pakar.

Kriteria/indikator yang dihasilkan dari hasil

diskusi tersebut disajikan pada Tabel 2.

Untuk mengetahui prioritas rencana

program kerja mana yang harus

didahulukan, maka kami menggunakan

metode Multi-Criteria Decision Analysis

(MCDA) dengan alat analisis metode

MULTIPOL. Dengan metode MULTIPOL

ini, para pakar akan memberikan penilaian

terhadap prioritas rencana program kerja

untuk mewujudkan strategi pengembangan

Desa Wiyurejo yang paling sesuai untuk

kondisi saat ini.

Tabel 1. Usulan Rencana Program Kerja (Action) Pengembangan Desa Wiyurejo No Program Kerja Keterangan

1 Pengembangan Pertanian Organik

Pengembangan komoditas pertanian yang telah bersertifikasi organik

2 Pengembangan Agro-tourism

Pengembangan agrowisata model homestay yang memberikan pengalaman dan edukasi Bertani

3 Pengembangan Infrastruktur Desa

Pembangunan dan penguatan infrastruktur pedesaan

4 Pengembangan Sumberdaya Manusia

Peningkatan kemampuan (skill) dan pengetahuan masyarakat desa untuk mendukung agrowisata dan pertanian organik

5 Pengembangan Komunikasi dan Teknologi

Pengembangan dan peningkatan jaringan informasi, komunikasi dan teknologi

6 Pengelolaan sampah desa

Pengelolaan sampah di tingkat desa dengan bank sampah untuk jenis sampah yang dapat di daur ulang kembali dan pengolahan sampah organik menjadi pupuk kompos

Tabel 2. Kriteria atau Indikator dari Rencana Program kerja No Indikator Keterangan

1 Peningkatan pendapatan

Peningkatan pendapatan petani baik dari hasil pertanian maupun hasil non-pertanian

2 Penyerapan tenaga kerja

Jumlah tenaga kerja di Desa Wiyurejo yang terserap pada kegiatan dari rencana program kerja

3 Tumbuhnya usaha baru

Jumlah usaha baru yang tumbuh akibat pelaksanaan rencana program kerja

4 Pelestarian sumberdaya air

Tercapainya upaya pelestarian sumberdaya air yang berada pada kawasan Tahura Raden Soerjo

5 Peningkatan jaringan infrastruktur

Peningkatan kondisi dan fasilitas infrastruktur yang dapat digunakan oleh warga Desa Wiyurejo, utamanya petani untuk aktivitas dan kegiatan mereka

6 Kegiatan wisata budaya yang dilaksanakan

Tercapainya upaya pelestarian kebudayaan Desa Wiyurejo yang mengedepankan kearifan lokal di dalam pemanfaatan sumberdaya hutan dan air yang diwujudkan dalam bentuk kegiatan-kegiatan festival budaya

Hasil evaluasi rencana program kerja

dengan metode MULTIPOL disajikan pada

Tabel 3. Hasil analisa tersebut menunjukkan

bahwa Rencana program kerja

pengembangan agrowisata pertanian

memiliki nilai rerata tertinggi (17,7), dengan

Page 41: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019

145

nilai simpangan baku yang rendah (0,4;

dibawah 1) sehingga menempati peringkat

pertama. Hal ini menunjukkan bahwa para

pakar sepakat bahwa pengembangan

konsep agrowisata menjadi prioritas utama

yang harus dilakukan. Prioritas ke dua yang

dinilai penting adalah pembangunan

infrastruktur pertanian untuk mendukung

aktivitas masyarakat Desa Wiyurejo. Setelah

dua prioritas utama tersebut, Maka perlu

dilakukan berbagai pelatihan dan

pendidikan (Diklat) untuk pengembangan

kapasitas Sumberdaya Manusia (SDM)

untuk mendukung pertanian ramah

lingkungan dan agrowisata pertanian yang

akan terbentuk di Desa Wiyurejo.

Tabel 3. Hasil Evaluasi Rencana Program Kerja

Actions (Program kerja)

Policy (Strategi)

Nilai rerata Simpangan

Baku Peringkat (Prioritas) Pertanian

Multifungsi Kearifan

lokal

Konservasi Sumberdaya

Hutan

Pengembangan pertanian organik

12,5 12 12,3 12,3 0,2 6

Pengembangan agrowisata berbasis edukasi

18,2 17,5 17,3 17,7 0,4 1

Pengembangan infrastruktur Desa

17,3 16,6 16,5 16,8 0,3 3

Peningkatan kualitas sumber daya manusia

16,9 16,9 16,8 16,9 0,1 2

Pengembangan teknologi informasi dan sosial media

15,8 15,4 15,2 15,5 0,2 4

Pengolahan sampah desa (Recycle dan Kompos)

14,4 14 14,4 14,2 0,2 5

Untuk melihat hubungan antara

strategi dan rencana program yang

diusulkan kepada Pemerintah Desa

Wiyurejo, maka dilakukan analisa closeness

map dengan metode MULTIPOL. Hasil

analisa closeness map yang menggambarkan

keterkaitan antara strategi dan rencana

program disajikan pada Gambar 6. Dapat

dilihat bahwa strategi pengembangan

pertanian multifungsi lebih dekat kepada

program pengembangan agrowisata

pertanian dan infrastruktur desa. Hal ini

Page 42: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299

146

menunjukkan bahwa Desa Wiyurejo masih

memerlukan infrastruktur pendukung

pertanian dan agrowisata pertanian agar

dapat bersaing dengan Desa-desa wisata lain

di Kecamatan Pujon.

Hasil analisa closeness map juga

menunjukkan bahwa strategi konservasi

sumberdaya hutan dan air dekat dengan

program pertanian organik dan program

pengelolaan sampah desa. Dengan

demikian, maka Pemerintah Desa Wiyurejo

disarankan untuk memulai inisiatif

pengelolaan sampah Desa, yaitu dengan

terlebih dahulu menghimbau masyarakat

desa untuk memilah sampah organik dan

sampah anorganik. Sampah anorganik

seperti plastik, kertas, dan kardus dapat

dikumpulkan pada bank sampah yang

dikelola desa, yang nantinya akan dapat di

daur ulang kembali atau dikumpulkan pada

bank-bank sampah di di tingkat kecamatan.

Sedangkan untuk sampah organik seperti

sisa makanan dan sampah dapur, dapat

diolah kembali menjadi kompos dengan

mencampur sampah organik dengan sisa

tanaman maupun kotoran hewan ternak

untuk menjadi pupuk kompos. Pengelolaan

kompos ini diusulkan dikelola pada tingkat

desa, sehingga produk hasil pengolahan

kompos dapat didistribusikan kembali

kepada petani-petani di Desa Wiyurejo.

Gambar 6. Keterkaitan Strategi dan Rencana Aksi

Page 43: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019

147

Tabel 4. Hasil Evaluasi Strategi

Policy (Strategi) Skenario

Nilai rerata Simpangan

Baku Peringkat (Prioritas) Supply

Side Demand

Side

Pertanian Multifungsi 16 18,2 17,1 1,1 1

Kearifan Lokal 17,1 16,9 17 0,1 2

Konservasi Sumberdaya Hutan 16,4 14,2 15,3 1,1 3

Dari hasil analisa prioritas strategi

pengembangan desa dengan metode

MULTIPOL, didapatkan peringkat

prioritas strategi yang harus dilakukan

berdasarkan hasil wawancara dengan para

pakar (Tabel 4). Skenario pengembangan

wilaya pedesaan dapat didekati melalui

skenario berbasis sisi permintaan (Demand

Side) dan skenario berbasis sisi penawaran

(Supply Side) (Deaton dan Nelson 1992).

Melihat nilai rerata dari hasil evaluasi

strategi (Tabel 4), maka didapatkan bahwa

strategi prioritas pengembangan Desa

Wiyurejo sebagai kawasan penyangga yang

paling tepat dilakukan adalah dengan

kebijakan pengembangan Pertanian

Multifungsi (nilai rerata 17,1 dan simpangan

baku 1,1).

Penelitian yang dilakukan oleh Zasada

(2011) mengemukakan bahwa pertanian

multi fungsi menggunakan berbagai strategi

penggunaan lahan yang meliputi

diversifikasi kegiatan pertanian dan non-

pertanian, mengembangkan proses

produksi hasil pertanian, dan upaya

manajemen konservasi lahan. Konsep

pertanian multi fungsi tidak memiliki arti

diversifikasi produk pertanian dan

peningkatan kegiatan non pertanian (off-

farm) (Pribadi dan Pauleit, 2015), namun

lebih menekankan kepada meningkatkan

fungsi pertanian di luar dari penyediaan

pangan. Pertanian multi fungsi yang

dikembangkan di Desa Wiyurejo akan

meliputi pertanian ramah lingkungan

dengan komoditas bernilai tinggi seperti

produk hortikultura dan tanaman

perkebunan seperti kopi, dan juga

pengembangan agrowisata dalam bentuk

homestay yang mengusung farming experience

dan kelestarian alam. Pengembangan

pertanian multifungsi tersebut diharapkan

mampu menjaga kelestarian lingkungan dan

meminimalisasi kerusakan lingkungan,

sehingga dapat mendukung fungsi kawasan

penyangga bagi kawasan Tahura Raden

Soerjo.

Hasil evaluasi strategi pengembangan

Desa Wiyurejo menunjukkan bahwa pada

strategi Pertanian Multifungsi unggul pada

kondisi skenario Supply Side (pendekatan

investasi pada SDM, dan pembentukan

modal) (Gambar 7). Sedangkan strategi

wisata budaya unggul pada kondisi skenario

Page 44: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299

148

Demand Side (pendekatan investasi ekonomi)

(Gambar 7). Hal ini menunjukkan bahwa

jika Desa Wiyurejo ingin lebih fokus pada

pengembangan wisata budaya, maka

diperlukan injeksi ekonomi (investasi dalam

bentuk uang) yang lebih tinggi

dibandingkan strategi pertanian multifungsi

maupun konservasi sumberdaya hutan dan

air.

Gambar 7. Profile Map Skenario Pengembangan Desa Wiyurejo

Gambar 8 menyajikan alternatif jalur

kebijakan yang dapat dilakukan oleh

Pemerintah Desa Wiyurejo di dalam

pengembangan desa melalui berbagai

program kerja yang sesuai dengan strategi.

Hasil penelitian ini merumuskan strategi

pengembangan Desa Wiyurejo untuk fokus

pertanian multifungsi dengan skenario

supply side maka rencana program kerja yang

dapat dilakukan adalah dengan penguatan

infrastruktur desa dan pengembangan

agrowisata berbasis homestay edukasi

pertanian dan lingkungan. Sedangkan pada

strategi pengembangan desa untuk fokus

kearifan lokal dan pelestarian budaya baik

pada skenario demand side maupun supply side,

maka rencana program yang dapat

dilakukan adalah pemanfaatan teknologi

informasi dan sosial media sebagai salah

satu alat untuk mengenalkan dan

mempromosikan kegiatan-kegiatan sosial-

budaya di Desa Wiyurejo. Selain itu, rencana

program kerja pendidikan dan pelatihan

untuk pengembangan Sumberdaya Manusia

(SDM) juga dianjurkan untuk dilakukan

oleh Pemerintah Desa Wiyurejo. Strategi

pengembangan yang hanya dapat

dikembangkan pada kondisi skenario supply

side adalah konservasi sumberdaya hutan

dan lingkungan, yang dapat dilakukan

dengan fokus rencana kegiatan

pengembangan pertanian organik dan

Page 45: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019

149

pengelolaan sampah desa dengan bank

sampah dan pengolahan kompos.

Gambar 8. Potensi Jalur Kebijakan (Strategi) dan Rencana Program Kerja

REFERENSI

Deaton, B.J., Nelson, G.L. 1992. Conceptual underpinnings of policy analysis for rural development. Journal of Agricultural and Applied Economics. 24(1): 87-99.

Fauzi, A. 2019. Teknik Analisis Keberlanjutan. Jakarta (ID): PT. Gramedia Pustaka Utama.

Godet, M., Monti, R., Meunier, F., Roubelat, F. 2004. Scenarios and Strategies: A toolbox for Problem Solving. Cahiers du LIPSOR, LISOR Working Papers. Laboratoire d'Investigation en Prospective, Stratιgie et Organisation.

Godet, M. 2001. Creating Futures: Scenario Planning as a strategic management tool. Washington, DC: Economica. Economica Brookings diffusion.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2017. Peraturan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.43/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2017 Tentang Pemberdayaan

Masyarakat Di Sekitar Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.

Listyarini, L., Sari, N., Sutikno, F.R. 2011. Optimalisasi Fungsi Daerah Penyangga Kawasan Taman Hutan Raya Raden Soerjo (Studi Kasus: Desa Sumber Brantas Kota Batu). Jurnal Tata Kota dan Daerah. 3(1): 47-53.

Pemerintah Republik Indonesia. 2015. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 104 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan Dan Fungsi Kawasan Hutan.

Pribadi, D.O., Pauleit, S. 2015. The dynamics of peri-urban agriculture during rapid urbanization of Jabodetabek Metropolitan Area. Land Use Policy. 48: 13-24.

Soemarwoto, Otto. 1985. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta: Djambatan.

Stratigea, A. 2013. Participatory policy making in foresight studies at the regional level—A methodological approach. Regional Science Inquiry. 5(1): 145-160.

Page 46: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299

150

Zasada, I. 2011. Multifunctional peri-urban agriculture—A review of societal demands and the provision of goods and services by farming. Land Use Policy. 28(4): 639-648.

Page 47: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019: 151-175 ISSN : 2355-6226 E-ISSN : 2477-0299

151

PEMAKAIAN BIOGAS: HEMAT BIAYA BAHAN BAKAR DAN TAMBAHAN PENDAPATAN RUMAHTANGGA MENDUKUNG

KETAHANAN ENERGI

Roosganda Elizabeth Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP)

Jl. Tentara Pelajar No. 3B . Cimanggu. Bogor 16124 Email: [email protected]

RINGKASAN

Biogas diperoleh dari hasil olahan berbagai materi berbasis pertanian-ternak merupakan

bioenergi terbarukan (renewable energy), solusi substitusi migas (BBM) hingga ke tingkat industri.

Semakin menyusutnya minyak bumi mengharuskan akselerasi penciptaan sumber energi

alternatif yang mampu memenuhi kebutuhan energi migas yang semakin meningkat seiring

pesatnya pertambahan penduduk dan sektor industri. Manajemen pengolahan dan pemanfaatan

limbah pertanian dan peternakan dilakukan juga untuk meminimalisir dampak negatifnya dan

memaksimalkan dampak keuntungan serta tetap memperhatikan keseimbangan sistem produksi

dengan lingkungan hidup (biogas tidak mengeluarkan asap). Sludge sebagai hasil ikutan

merupakan biofertilizer, yang tidak lagi mengundang parasit dan biji gulma, dan pupuk alternatif

solusi pencegahan berbagai dampak pencemaran logam berat pada tanah. Dengan metode

deduktif kualitatif, tulisan ini bertujuan mengemukakan secara komprehensif perlunya akselerasi

penggunaan biogas sebagai pemanfaatan bioenergi untuk dalam rangka mendukung ketahanan

energi, pemberdayaan ekonomi dan kelembagaan. Realisasi akselerasi dan efektivitas

pengaplikasian biogas sebagai sumber energi alternatif yang relatif ekonomis dan efisien, bahkan

dapat menghasilkan pendapatan tambahan dari pendistribusian energi listrik yang dihasilkan

biogas ke pengguna lain yang membutuhkannya. Penggunaan biogas memungkinkan

pengembangan konsep zero wasted management (dalam SITT) dan pengembangan konsep

pertanian berkelanjutan yang mengintegrasikan berbagai aspek sosial ekonomi masyarakat

pertanian dan aspek lingkungan. Penggunaan biogas merupakan pilihan tepat sebagai bioenergi

dan pupuk, serta diperolehnya keuntungan ganda (multi margin), pemberdayaan ekonomi dan

kelestarian lingkungan.

Kata kunci: biogas, sludge, energy terbarukan, perbaikan ekonomi.

PERNYATAAN KUNCI

• Pembuatan biogas merupakan

diversifikasi upaya dan solusi untuk

memperoleh energi dari sumber-

sumber energi lain yang dapat

dianggap sebagai energi pengganti

Page 48: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299

152

minyak dan gas bumi, disebut sebagai

energi alternatif bahan pengganti

minyak bumi. Biogas adalah bahan

bakar yang bersih dan tidak

mengeluarkan asap seperti halnya

kayu, arang, sehingga alat-alat dapur

yang digunakan tetap bersih. Dengan

bahan baku yang banyak tersedia,

manfaat ganda dari pembuatan biogas

tersebut, yaitu berupa: gas sebagai

sumber energi, sludge sebagai pupuk

dan pakan, serta meningkatkan

sanitasi lingkungan.

• Pembuatan biogas juga merupakan

salah satu strategi penerapan dan

pengembangan bioindustri untuk

mendukung tercipta dan

berkembangnya program hilirisasi di

pedesaan. Teknologi pembuatan

biogas merupakan pilihan yang tepat

untuk mengubah limbah usahatani

ternak menghemat pengeluaran

membeli bahan bakar serta berbagai

keuntungan lain secara sosial

terutama dari segi ekonomi

khususnya bagi rumah tangga di

pedesaan. Pengembangan

infrastruktur, pendidikan dan

pembinaan keterampilan SDM

petani, perbaikan dan peningkatan

kualitas dan kemampuan

(kompetensi) SDM pertanian secara

serius, intensif dan berkelanjutan.

• Multi margin dari pembuatan biogas

merupakan pilihan yang tepat

mendukung optimalisasi

pemanfaatan bioenergi, mewujudkan

ketahanan energi dan pemberdayaan

ekonomi dipedesaan serta kelestarian

lingkungan. Perlu

dikomplementasikan dengan

pembenahan struktur dan efisiensi

bioindustri di pedesaan sehingga

pendapatan petani peternak dapat

ditingkatkan dan upaya yang bersifat

inklusif dan integratif dalam

peningkatan kesejahteraannya.

• Pengembangan usaha bioindustri

pengelola SDA dengan baik dan

lestari lingkungan, baik dari aspek

ekonomi, sosial dan kelestarian

lingkungan dengan benar dan bijak

terutama di pedesaan,

mengindikasikan adanya peningkatan

kualitas dan kompetensi SDM dan

tentunya berdampak pada

bertambahnya perolehan pendapatan

yang disinyalir mampu mewujudkan

kemandirian dan ketahanan pangan

dan kesejahteraan petani.

• Pemberdayaan sumberdaya lahan

(tanah, air, mineral dan udara),

sumberdaya hayati (manusia, hewan,

tumbuhan, dan mahluk hidup

lainnya), sumberdaya lingkungan

(interaksi antar mahluk), serta 6 M

(man, money, material, machine, method,

Page 49: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019

153

management) perlu dilakukan secara

sinergis dan optimal supaya seluruh

stakeholders mempunyai kemauan,

kemampuan, kesempatan dan

kewenangan untuk berkontribusi

nyata dan memperoleh manfaat

optimal. Terkait dengan masyarakat

sebagai pemberdayaan kelembagaan

pelaku berbagai ragam usaha,

terutama pelaku usahatani (petani),

pelaku bioindustri, peran dan makna

partisipasi (dalam berbagai program

pembangunan dan kebijakan

pemerintah) merupakan proses dan

keadaan (situasi) dimana seluruh

pihak (terutama yang

terkait/berhubungan, langsung/

tidak langsung) dapat

membentuk/membangun kondisi

dan ikut serta terlibat serta kooperatif

dalam seluruh inisiatif, tahapan dan

aktivitas pembangunan.

• Dalam pemberdayaan kelembagaan

dan partisipasi, siapapun dapat

berperan aktif, baik berperan dalam

bermasyarakat, dalam kehidupan

sendiri, terlebih lagi keterlibatan

untuk berperan dalam pembangunan.

Meski memiliki makna yang berbeda-

beda (tergantung pada “apa” dan

”bagaimana” mereka turut serta

terlibat), namun pada akhirnya

partisipasi bertujuan untuk increasing

self-determination (meningkatkan

kemandirian/keteguhan diri), serta

terkontruksinya/terbangunnya

kontrol (build construction control) dan

inisiatif masyarakat terhadap

pengelolaan sumberdaya untuk

pembangunan.

REKOMENDASI KEBIJAKAN

• Perencanaan dan pelaksanaan

pembangunan pertanian di pedesaan,

hendaknya ditekankan perbaikan dan

pembenahan ragam bioindustri yang

mampu memotori industrialisasi

perdesaan, yang berdayaguna dan

berhasilguna serta ke arah

peningkatan pendapatan, kesempatan

kerja dan berusaha di perdesaan.

• Perlunya keseragaman dan kesepakat

bersama/komitmen masing-masing

para pemangku kebijakan di tingkat

pusat hingga tingkat daerah, sehingga

dapat membantu kelancaran dalam

koordinasi dan pelaksanaan program

kerja di daerah. Dibutuhkan berbagai

regulasi dan kelembagaan yang

mewadahi berbagai kegiatan

bioindustri mulai dari sisi produksi,

pengolahan, pemasaran dan

keberlanjutannya.

• Perlunya dukungan peningkatan dan

pengembangan teknologi biogas

sebagai salah satu bioindustri di

pedesaan untuk penganekaragaman

produksi dan kesempatan bekerja dan

Page 50: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299

154

berusaha di bidang industri berbasis

pertanian.

• Perlunya keberpihakan dan dukungan

kepada petani dan kelompok tani

sebagai pemberdayaan kelembagaan

di pedesaan dengan program

kebijakan pelatihan dan bimbingan

teknologi secara intensif dan

berkesinambungan untuk

mewujudkan penguatan pengolahan

berbasis pertanian, termasuk limbah

pertanian dari subsistem hulu

(budidaya) sampai dengan subsistem

hilir (pemasaran dan menjadi pelaku

usaha produk olahan) sesuai dengan

konsep value chain market based solution.

I. PENDAHULUAN

Beberapa aspek trend yang memiliki

konsekuensi dan solusi, terkait pertanian

masa depan, yaitu: (i) perlunya upaya

mendorong transformasi ekonomi ke

bioenergi sebagai antisipasi semakin

langkanya energi fosil; (ii) semakin urgensi-

nya bioproduk, pola hidup sehat, dan pola

konsumsi biokultur seiring semakin

meningkatnya kebutuhan pangan, pakan,

energi dan serat; (iii) perlunya dorongan

peningkatan kapasitas adaptasi dan mitigasi

untuk mengantisipasi perubahan iklim

global; (iv) keharusan pada keniscayaan

untuk kegiatan efisiensi dan konservasi

sebagai antisipasi dampak terjadinya

kelangkaan lahan dan air; (v) pengembangan

sistem pertanian ekologis dan bioservices

sebagai dorongan dari permintaan terhadap

jasa lingkungan hidup; (vi) perlunya

penerapan pluriculture sistem biosiklus

terpadu sebagai dampak meningkatnya

petani marginal; (vii) pengembangan

bioekonomi sebagai dampak yang diberikan

dari kemajuan Iptek bioscience dan

bioengineering. Dibutuhkan penanganan yang

holistik dengan integrasi seluruh pemangku

kepentingan dan menyikapinya dengan

perubahan dan pembaharuan paradigma

pembangunan perekonomian nasional, ke

arah: (i) paradigma pertanian untuk

pembangunan (agriculture for development),

pembangunan perekonomian nasional perlu

dirancang dan dilaksanakan sesuai tahapan

pembangunan pertanian serta

mendudukkan sektor pertanian sebagai

motor penggerak transformasi pertanian

yang berimbang dan menyeluruh; (ii)

paradigma sistem pertanian-bioindustri

berkelanjutan, dengan pengalihan industri

yang berbahan bakar fosil ke bahan bakar

terbarukan (hayati).

Paradigma tersebut mendudukkan

peran pertanian sebagai penghasil berbagai

bioenergi, dan biomassa bahan baku

biorefinery untuk menghasilkan pangan,

pakan, serat, energi, (food, feed, fiber, energi),

dan berbagai bioproduk lainnya, dan

lingkungan (environment); yang merupakan

isu global pembangunan pertanian yang

harus dihadapi sebagai tantangan untuk

dapat mengembangkan pertanian ramah

Page 51: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019

155

lingkungan dengan penerapan teknologi

melalui pengembangan bio-science, inovasi

menghadapi perubahan iklim (GCC

innovation respon), dan bio-informatik yang

mengaplikasikan teknologi informasi (bio-

information) dengan selalu mengedepankan

kelestarian lingkungan dan SDA

(Wahyunto, 2005. Hambali, 2004. dalam:

Elizabeth, 2017). Pengimplementasian

pembuatan biogas, mendukung

pengembangan program hilirisasi dengan

konsep pertanian-bioindustri yang terkait

erat dengan terdapatnya minimal lima

tantangan yang dihadapi sektor pertanian

saat ini. Kelima tantangan tersebut,

meliputi: 1) peningkatan pendapatan petani

yang mayoritas berlahan kurang dari 0,5

hektar; 2) tantangan agronomis, untuk

meningkatkan produksi pangan dan

komoditas pertanian; 3) tantangan

demografis, untuk memenuhi kebutuhan

pangan penduduk yang terus bertumbuh; 4)

tantangan menghadapi perubahan iklim

global untuk mewujudkan pertanian

berkelanjutan; 5) tantangan untuk

memfasilitasi proses transformasi

perekonomian nasional dari berbasis fosil

ke bioekonomi.

Pengembangan pertanian terintegrasi

ternak (ruminansia dan unggas) yang

inovatif semakin diperlukan seiring semakin

menciutnya areal tanam akibat konversi

lahan ke tujuan ekonomi lainnya

(perdagangan, perumahan, industri, dan

sebagainya). Indonesia memiliki berbagai

sumberdaya genotip (SDGS) yang

berlimpah sebagai bahan baku. Material

berbasis pertanian berpotensi besar untuk

menjadi bahan baku bioindustri, serta

mampu menghasilkan berbagai jenis

bioenergi seperti: biogas, biodiesel,

bioetanol, biolistrik dan bioavtur yang

dihasilkan dari proses pengolahan lanjutan.

Pengimplementasiannya terus ditingkatkan

seiring perolehan dan aplikasi

penggunaannya yang pemakaiannya untuk

meminimalisir penggunaan BBM.

Pengolahan berbagai produk dan limbah

berbasis pertanian yang dapat

menghasilkannya, dari hasil sintesis dan

hasil penyulingan berbagai produk berbasis

pertanian lainnya termasuk dari kotoran

hewan ternak (sapi, kerbau, kuda, kambing,

dan ternak lainnya) (Sutisna. 2015). Seiring

dengan kian menyusutnya minyak bumi

yang masih menjadi salah satu sumber

energi utama, berbagai bahan dan materi

berbasis pertanian dapat diolah lebih lanjut

untuk menghasilkan bioenergi pensubstitusi

bahan bakar minyak (BBM). Upaya tersebut

juga yang ditujukan untuk meningkatkan

produksi minyak bumi (misalnya surfaktan

dari hasil sintesis minyak sawit) (BBIA,

2014. Kasryno, 2013. dalam: Hambali et al,

2014).

II. SITUASI TERKINI

Dengan semakin menyusutnya

minyak bumi yang masih menjadi salah satu

Page 52: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299

156

sumber energi utama, berbagai bahan dan

materi berbasis pertanian dapat diolah lebih

lanjut untuk menghasilkan bioenergi

pensubstitusi bahan bakar minyak (BBM)

dan atau yang ditujukan untuk

meningkatkan produksi minyak bumi

(misalnya surfaktan dari hasil sintesis

minyak sawit) (BBIA, 2014. Kasryno, 2013.

dalam: Hambali et al, 2014). Indonesia

memiliki berbagai sumberdaya genotip

(SDGS) yang berlimpah sebagai bahan baku

yang mampu menghasilkan berbagai jenis

bioenergi seperti: biogas, biodiesel,

bioetanol, biolistrik dan bioavtur yang

dihasilkan dari proses pengolahan lanjutan.

Pengimplementasiannya terus ditingkatkan

seiring perolehan dan aplikasi

penggunaannya yang pemakaiannya untuk

meminimalisir penggunaan BBM. Material

berbasis pertanian berpotensi besar untuk

menjadi bahan baku bioindustri.

Pembuatan biogas dengan mengolah

berbagai bahan dan materi berbasis

pertanian-peternakan, juga merupakan salah

satu strategi penerapan dan pengembangan

bioindustri untuk mendukung tercipta dan

berkembangnya program hilirisasi di

pedesaan (Elizabeth, 2018). Multi margin

diperoleh dengan adanya tambahan

pendapatan petani dari pendistribusian

biogas, sludge sebagai pupuk (biofertilizer)

dan pakan. Biogas merupakan bioenergi dan

energi terbarukan (renewable energy) unggul

dan penting dalam rangka optimalisasi

pemanfaatan bioenergi untuk ketahanan

energi, pemberdayaan ekonomi dan

kelembagaan (Elizabeth, 2018). Biogas,

diharapkan sebagai salah satu solusi yang

mampu mensubstitusi kebutuhan migas

(BBM) hingga ke tingkat industri.

Pengembangan manajemen pengolahan dan

pemanfaatan limbah pertanian dan

peternakan dilakukan juga untuk

meminimalisir dampak negatifnya dan

memaksimalkan dampak keuntungan serta

tetap memperhatikan keseimbangan sistem

produksi dengan kelestarian lingkungan

(biogas tidak mengeluarkan asap).

Untuk mengatasi permasalahan

semakin tingginya biaya bahan bakar,

dengan metode deskriptif kualitatif, tulisan

ini bertujuan mengemukakan secara

komprehensif akselerasi penggunaan biogas

dalam rangka mendukung optimalisasi

pemanfaatan bioenergi untuk ketahanan

energi, pemberdayaan ekonomi dan

kelembagaan. Biogas sebagai sumber

bioenergi penghasil listrik dan gas dalam

rangka mendukung strategi mengatasi

masalah biaya ekonomi rumah tangga di

pedesaan, dan energi penggerak peralatan

industri. Realisasi akselerasi dan efektivitas

pengaplikasian biogas sebagai sumber

energi alternatif yang relatif ekonomis dan

efisien untuk mendukung optimalisasi

pemanfaatan bioenergi, bahkan dapat

menghasilkan pendapatan tambahan dari

menjual energi listrik yang dihasilkan biogas

Page 53: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019

157

ke konsumen yang menginginkannya.

Penggunaan biogas memungkinkan

pengembangan konsep zero wasted

management dalam SITT. Peningkatan

implementasi bioindustri untuk

menghasilkan dan optimalisasi bioenergi

melalui pemanfaatan limbah pertanian

ternak untuk penggunaan domestik, bahan

pangan, serat, energi bioenergi/energi

alternatif), pupuk organik cair, pangan

fungsional, pakan ternak (sapi

penggemukan) dan perikanan.

Pengolahan berbagai produk dan

limbah berbasis pertanian yang dapat

menghasilkannya, dari hasil sintesis dan

hasil penyulingan berbagai produk berbasis

pertanian lainnya termasuk dari kotoran

hewan ternak (sapi, kerbau, kuda, kambing,

dan ternak lainnya) (Sutisna, 2015). Di

beberapa daerah di berbagai wilayah

pedesaan sudah sering ditemukan

pengaplikasian dan pemanfaatan biogas

sebagai sumber energy

(mengaktifkan/mengoperasikan dan

menjalankan alat-alat pertanian dan industry

pertanian), sumber energy substitusi listrik

dan bahan bakar rumahtangga (memasak).

Sementara itu, sebagai pegangan,

pemantau dan pengawal dalam terlaksana

dan suksesnya suatu program

pembangunan, diperlukan partisipasi dalam

monitoring dan evaluasi (participatory

monitoring and evaluation = PM&E); yang

berupaya melibatkan (to engage) pihak-pihak

stakeholders utama untuk lebih aktif dalam

merefleksikan dan mengukur (assesing)

kemajuan proyek dan terutama pencapaian

hasil. Untuk itu, pelaksanaan program

pembangunan hendaknya tetap

menjalankan prinsip utama PM&E, yaitu: 1)

stakeholders utama adalah partisipan yang

aktif tidak hanya sebagai sumber informasi;

2) membangun dan mengembangkan

kemampuan masyarakat setempat untuk

menganalisa, merefleksikan dan berperan

aktif/mengambil bagian; 3) terjadinya

proses belajar bersama (joint learning) dari

seluruh stakeholders pada berbagai level; dan

4) adanya komitmen untuk terciptanya

proses yang lebih tepat dan multi guna.

Dengan demikian, dasar terpenting

dibutuhkannya partisipasi adalah agar

terjaminnya pembangunan bioindustri

berkelanjutan karena sangat tergantung

pada social process dan terkait dengan tiga

aspek utama masyarakat (sosial, ekonomi

dan lingkungan) tersebut di atas. Hal

tersebut juga membuat penduduk pedesaan

berangsur-angsur bisa melepaskan diri dari

jebakan paradox of plenty (kondisi dimana

suatu negara yang kaya sumberdaya alam

tetapi rakyatnya miskin) (Fauzi, 2014).

Demikian juga halnya bila dikaji dari

aspek keberlanjutan, pengusahaan biogas

yang sudah cukup baik dan tidak memiliki

dampak negatif, namun masih relatif kurang

dari sisi pemasaran dan distribusi energi

biogas sebagai subsistem aktivitas bisnis

Page 54: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299

158

dari produk hasil suatu usaha, diarahkan

pada perbaikan mekanisme berbagai

pendekatan yang umum berlaku dalam

aktivitas suatu usaha pengolahan (Elizabeth,

2018a). Kelompok tani ternak merupakan

salah satu wadah berbentuk kelembagaan

yang memiliki peran penting di pedesaan.

Lembaga di pedesaan lahir untuk memenuhi

kebutuhan sosial masyarakatnya (Elizabeth,

2014). Sifatnya tidak linier, namun

cenderung merupakan kebutuhan individu

anggotanya, antara lain berupa kebutuhan:

fisik, rasa aman (savety), hubungan sosial

(social affiliation), pengakuan (esteem),

pengembangan pengakuan (self actualization).

Pendukung utama terlaksananya

upaya pencapaian pengembangan

pengusahaan dan penggunaan biogas,

sangat diperlukan ketersediaan perangkat

kebijakan yang memadai, teknologi dan

informasi yang dibutuhkan, serta

berfungsinya lembaga pendukung lainnya

seperti: penyuluhan, pemasaran, dan sistem

pendekatan instansi terkait (Elizabeth,

2008). Lemahnya kinerja lembaga

penyuluhan di pedesaan salah satunya dapat

mengakibatkan informasi harga umumnya

hanya diperoleh dari sesama petani,

pedagang, pasar, dan media massa

(Elizabeth, 2017a). Kondisi tersebut

mengindikasikan diperlukan penanganan,

pembinaan dan sosialisasi manfaat dan

multi fungsi keuntungan pengusahaan dan

penggunaan biogas. Oleh karena itu

diperlukan peran aktif dan keberpihakan

semua pihak terkait, dengan kontinuitas

pengarahan, bimbingan, dan sosialisasi dari

pihak penyuluh lapang terhadap petani

peternak akan manfaat dan multi fungsi

serta keuntungan pengusahaan dan

penggunaan biogas (Elizabeth, 2016).

Penerapan metode Integration Farming

System (IFS), Crops-Livestock System (CLS),

dan Organic and Un-Organic Farming

mendorong pengembangan pertanian

secara intensif dan terintegrasi (BPPT,

2005). Pemanfaatan limbahnya dengan

membuat biogas agar multi margin dengan

diperolehnya penambahan pendapatan

petani hasil pembuatan biogas (zero waste)

tidak sekedar dibuang atau dibakar dan

menjaga kelestarian lingkungan. Biogas

merupakan sumber energi terbarukan

(renewable energy) penting sebagai substitusi

unggul dan mampu menyumbangkan andil

untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar

rumah tangga (kontribusi dan efisiensi biaya

listrik dan gas) (Haryono, 2014).

Pengelolaan limbah pertanian-ternak

dilakukan untuk meminimalisir dampak

negatifnya dan memaksimalkan dampak

keuntungan serta tetap memperhatikan

keseimbangan sistem produksi dengan

lingkungan hidup. Beberapa hasil penelitian

telah mengemukakan berbagai potensi

limbah biomasa di seluruh Indonesia.

Biomasa seperti kayu, dari kegiatan industri

pengolahan hutan pertanian dan

Page 55: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019

159

perkebunan (Tuti, 2008). Besarnya energi

yang dihasilkan dari pengolahan limbah

biomasa tersebut bisa mencapai kisaran

49.907, 43 MW. Namun, tidak semua

pedesaan yang memiliki atau berdampingan

dengan hutan, dan mayoritas

berpenghasilan dari usahatani dan ternak

Terdapatnya tiga prinsip

keberlanjutan sistem pertanian terkait

bioenergi dan bioindustri di pedesaan

sebagai dukungan untuk mengoptimalkan

ketahanan energi, yang meliputi: 1) self

financing: membiayai sendiri sebisa mungkin

melalui usaha yang saling menunjang dan

berjenjang; 2) menerapkan teknologi skala

kecil; dan 3) usaha yang layak teknis dan

ekonomis (Lidjang et al, 2015). Integrasi sapi

perah dengan kelapa sawit yang

menghasilkan susu, minyak sawit, biogas

(hasil fermentasi kotoran sapi), dan pludge

yang merupakan pupuk organik, di Provinsi

Aceh dapat dijadikan contoh penerapan tiga

prinsip tersebut (Ilham et al, 2018). Terkait

ketiga prinsip tersebut, Sistem Pertanian-

Energi Terpadu (SPET) yang menjadi titik

berat Pembangunan Pertanian-Bioindustri

tahap pertama, pada subsistem usahatani

primer didasarkan pada inovasi

bioteknologi yang mampu menghasilkan

biomassa setinggi mungkin untuk dijadikan

sebagai feedstock penghasil bioenergi; dan

untuk mencegah trade-off ketahanan pangan

dan ketahanan energi maka SPET pada

subsistem bioindustri didasarkan pada

inovasi bioengineering untuk mengolah

feedstock menjadi energi dan bioproduk,

termasuk pupuk untuk usahatani.

Beberapa hasil penelitian

mengemukakan seekor sapi potong dewasa

rata-rata dapat menghasilkan kotoran

minimal sekitar 10% dari bobot tubuhnya.

Bila dalam satu kandang kolektif dipelihara

3-5 ekor sapi potong, maka sekitar 100-

2.000 kg/hari kotoran yang terkumpul. Bisa

diperhitungkan nilai ekonomi yang

diperoleh dari kotoran ternak sebagai

limbah pemeliharaannya tersebut, baik

dalam bentuk kotoran secara langsung,

terlebih setelah diolah yang salah satunya

adalah biogas dan sludge sebagai hasil

ikutannya. Namun sampai saat ini kotoran

sapi dan limbah hasil pertanian masih belum

dimanfaatkan sepenuhnya oleh petani, dan

umumnya di buang ke saluran air untuk

memudahkan penanganan dan untuk lahan-

lahan yang terairi oleh saluran tersebut.

Limbah tanaman pangan dibuang atau

dibakar, meski dengan hasil pembakarannya

di maksudkan untuk kesuburan tanaman

kembali. Namun, kotoran ternak segar

belum dapat diaplikasikan langsung pada

tanaman, karena harus dingin/didiamkan

dan terkomposisi dengan rasio C/N lebih

dari 40.

Energi dari bahan bakar, merupakan

faktor penting yang aspeknya sangat vital

sebagai sumber bagi keberlangsungan dan

keberlanjutan kehidupan, dan

Page 56: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299

160

pemenuhannya berpengaruh besar bagi

berlangsungnya berbagai aktivitas ekonomi.

Disamping energi hasil dari bahan bakar,

pangan, merupakan kebutuhan pokok yang

hakiki dan HAM serta sebagai salah satu

sumber penghasil energi, tenaga dan

kekuatan bagi setiap mahluk untuk hidup

dan beraktivitas setiap harinya. Dengan

telah disusunnya dokumen SIPP (Strategi

Induk Pembangunan Pertanian) 2015-2045

mengenai: “Pertanian-Bioindustri

Berkelanjutan Solusi Pembangunan

Indonesia Masa Depan” oleh Kementerian

Pertanian, sebagai awal pencanangan yang

didasari kesadaran terhadap potensi dan

urgensi pengembangan bioindustri,

bioenergi dan bioekonomi berbasis

pertanian, landasan strategis dalam

pembangunan pertanian jangka panjang dan

mainstreaming perspektif bioekonomi di

Indonesia (Kementan, 2013). Untuk

mengoptimalkan implementasinya, visi

utama pembangunan pertanian yang

berbasis pertanian bioindustri berkelanjutan

dijabarkan dalam sembilan misi (Suswono,

2013), yaitu: (i) penataan ruang dan reforma

agraria (RA); (ii) sistem pertanian tropika

terpadu; (iii) kegiatan ekonomi produksi,

informasi dan teknologi; (iv) pasca panen,

agro-energi dan bioindustri berbasis

pedesaan; (v) sistem pemasaran dan rantai

nilai produk; (vi) sistem pembiayaan

pertanian; (vii) sistem penelitian, inovasi

dan sumberdaya manusia berkualitas; (viii)

infrastruktur pertanian dan pedesaan; dan

(ix) program legislasi, regulasi dan

manajemen yang imperatif.

Terkait kebijakan SIPP tersebut,

implementasi bioindustri untuk

menghasilkan bioenergi melalui pengolahan

kotoran ternak (sapi, kuda, kerbau, babi,

dan unggas) sebagai bahan baku pembuatan

biogas banyak di jumpai di seluruh wilayah

Indonesia dan tersedia secara melimpah

serta belum banyak di manfaatkan secara

maksimal. Kotoran ternak sapi, babi, ayam

dan limbah organik sisa-sisa tanaman

merupakan sumber bahan baku yang baik

untuk pembuatan biogas, dapat

menggunakan salah satu bahan baku atau

campuran keduanya. Jerami padi atau

gergaji mengandung persentase karbon

yang lebih tinggi dan dapat dicampur

sebagai bahan untuk mendapatkan C/N

yang diinginkan sebagai bahan baku biogas.

Penggunaan limbah pertanian sebagai

bahan dasar biogas lebih membutuhkan

waktu lama untuk proses hidrolis bahan

selulosa dibandingkan kotoran ternak.

Peran aktif dan keberpihakan berbagai

kelembagaan sangat diharapkan sebagai

dukungan penuh terhadap kemajuan petani

dan pedesaan. Informasi dan bimbingan

pembuatan biogas juga dapat diperoleh

Badan Penyuluhan Pertanian, Penyuluh

Pertanian dan aparat dinas terkait lainnya.

Informasi yang patut diketahui sebelum

membuat biogas selain untuk memenuhi

Page 57: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019

161

kebutuhan rumah tangga, juga

pemberdayaannya agar mampu

menggerakkan usaha agribisnis yang

menguntungkan.

Pemanfaatan biogas di Indonesia

sebagai energi alternatif sangat

memungkinkan untuk diterapkan di

masyarakat terlebih seiring makin mahalnya

harga bahan bakar minyak dan kadang-

kadang langka keberadaannya. Petani ternak

dapat memulai pemanfaatan biogas dengan

membuat unit produksi biogas yang

sederhana, dan tidak membutuhkan biaya

banyak dan lebih mudah dijalankan. Petani

diberi pengarahan dan penyuluhan agar

mampu menguasai pengaplikasian unit

biogas secara mandiri. Selanjutnya petani

ternak segera merasakan kebutuhan biogas

yang lebih banyak, dan akan terdorong

untuk membuat lebih banyak unit biogas

dan memperbesar usahanya. Sekalipun

demikian, di wilayah yang terlalu dingin

(kurang dari 150C) dan terlalu panas (di atas

370C), terdapat sedikit masalah dalam

memproduksi biogas, karena gas lebih

bagus diproduksi pada suhu 32-370C.

Dengan pengunaan biogas sederhana, para

petani ternak telah memanfaatkan limbah

tanaman dan kotoran ternak serta dapat

menghemat uang untuk pembelian bahan

bakar. Pemberdayaan dan bimbingan

pembuatan biogas dari penyuluh pertanian

dan aparat terkait lainnya menjadi penting?

agar mampu mengaplikasikan dan

menggerakkan usaha bioindustri yang

menguntungkan tersebut.

PENGEMBANGAN MANAJEMEN BIOGAS POTENSI PEMASOK ENERGI BIOINDUSTRI

Pemerintah hingga saat ini masih

berkutat dalam masalah krusial

penanggulangan tingkat kemiskinan dan

meningkatnya pengangguran memiliki

keterkaitan yang kuat dengan sektor lain

terutama di masa kini, seperti: keterkaitan

konsumsi, investasi, dan tenaga kerja. Titik

lemah perekonomian Indonesia adalah

tercermin pada belum optimalnya

pemanfaatan berbagai sumberdaya alam

termasuk limbahnya sebagai bahan baku

yang mencerminkan belum optimalnya

pergerakan di sektor riil. Kondisi tersebut

berdampak pada terbatasnya kesempatan

kerja dan berusaha. Ketangguhan sektor

pertanian telah terbukti tidak banyak

terpengaruh di beberapa masa krisis.

Dikembangkannya, bioindustri sebagai

industrialisasi pertanian, dimana bioindustri

merupakan upaya/kinerja/proses usaha

industri dalam: (i) menambah kapasitas

untuk memperbesar volume produksi

pertanian; (ii) meningkatkan dan

mengembangkan produksi dan limbah hasil

pertanian menjadi produk olahan yang lebih

bernilai tambah dan beragam, berdayasaing,

serta multi utility; dan (iii) dimaksudkan

untuk mengubah paradigma dan pola pikir

(mindset) bahwa sistem pertanian tidak hanya

Page 58: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299

162

usahatani penghasil bahan konsumsi saja

(Kasryno, 2013).

Efektivitas manajemen penanganan

dan pengolahan limbah dan efisen

dilakukan agar dapat meminimalisir dampak

negatif dan memaksimalkan dampak yang

menguntungkan dengan tetap

memperhatikan keseimbangan antara

sistem produksi dengan lingkungan hidup

yang serasi dan lestari. Pengelolaan limbah

yang tepat adalah sangat penting, karena: (a)

bahan baku limbah dieksploitasi sebagai

upaya untuk dapat mendatangkan

keuntungan; serta (b) mencegah

pencemaran di udara, tanah dan air. Biogas

diproduksi oleh bakteri dari bahan organik

dalam kondisi tanpa oksigen (anaerobic

process) selama pengolahan atau proses

fermentasi. Ketika limbah tanaman dan

kotoran ternak disimpan bercampur air

dalam tangki digester, limbah tanaman dan

kotoran ternak mengalami pembusukan.

Proses pencernaan anaerob yang

merupakan dasar dan reaktor biogas yang

diproses pemecahan bahan organik oleh

aktivitas bakteri metanogenetik pada

kondisi tanpa udara. Oleh karena itu,

dibutuhkan implementasi: (i) penyusunan

strategi pemasyarakatan pembuatan dan

pemanfaatan biogas; (ii) penanganan bahan

dasar, manajemen proses, dan pemilihan

jenis mikroorganisme yang ikut aktif dalam

proses pembentukan biogas (iii)

pemahaman mengenai variabel-variabel

yang mempengaruhi proses pembentukan

biogas, komposisi gas, dan cara penanganan

gas yang dihasilkan secara aman.

Tabel 1. Karakteristik Mikroorganisme Dalam Fermentasi Bahan Organik

Kelompok Mikroorganisme

Mikroorganisme Nutrisi

Hidrolitik Clostridium thermocellum

Heterotroph

H2 Producing Acetogen

S-isolate Heterotroph

Homoacetogen

Acetobacter woodi

Micotroph

Methanogen 1. Methanobacter

Thermoautotropicum

2. Methanosarcina

barkeri

Sumber : Daru 2007; dalam: Elizabeth, 2016

Diperlukan pencegahan terhadap

beberapa senyawa karena dapat

menghambat proses penguraian dan

fermentasi anaereob dalam pembuatan

biogas (Thalib, 2008), seperti: (i) logam

berat, seperti: Cadmium (Cd), Copper (Cu),

Chromium (Cr), dan beberapa ion logam

berat bebas dalam kadar/kondisi melebihi

persyaratan; (ii) antibiotik dan desinfektan.

Biasa terjadi saat pembersihan kandang

menggunakan desinfektan dan mengalir ke

dalam unit pembuatan biogas bila tidak

terpisah (berdekatan), dan jelas terlihat

pengaruhnya terhadap proses pembentukan

biogas bila kadarnya cukup tinggi. Seperti

telah dikemukakan sebelumnya, biogas

terbentuk pada suhu ideal sekitar 300C,

menjadi kendala bila kurang dari 150C dan

Page 59: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019

163

di atas 370C, jika kandungan gas CH4 lebih

dari 50%, maka mudah terbakar, kandungan

gas CH4 dalam biogas yang berasal dari

kotoran ternak sapi kurang lebih 60%.

Kandungan metan dan gas lainnya dalam

biogas yang dihasilkan tergantung jenis

bahan baku yang digunakan, yang secara

rinci dikemukakan pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi Gas (%) Dalam Biogas Dari Kotoran Ternak Dan Sisa Pertanian

Jenis gas Kotoran sapi

Campuran kotoran ternak

& sisa pertanian

Metana (CH4) 65,7 55-70

Karbondioksida (CO2)

27,0 27-45

Nitrogen (N2) 2,3 9,5-3,0

Karbonmonoksida 0,0 0,1

Oksigen (O2) 0,1 6,0

Propane (C2H8) 0,7 -

Hydrogen Sulfida (H2S)

Tidak terukur

Sedikit sekali

Nilai kalor (kkn 1/m2)

6513 400-6700

Sumber: Harahap et al, 1978. dalam: Elizabeth, 2017.

Biogas digunakan untuk berbagai

keperluan, seperti: (i) Bahan bakar untuk

memasak, pengeringan, penerangan, atau

pekerjaan-pekerjaan lain yang memerlukan

pemanasan. Dibutuhkan peralatan yang

didisain sehingga efisiensi pembakarannya

tinggi; (ii) Sebagai bahan bakar penggerak

motor (terutama motor stationer). Untuk

keperluan ini, biogas sebelumnya harus

dibersihkan dari kemungkinan adanya gas

H2S yang dapat menjadi penyebab korosi.

Sementara itu, kelebihan biogas terkait

kandungan, nilai kalorinya dikemukakan

pada Tabel 3.

Tabel 3. Perbandingan Kandungan, Nilai Kalori Biogas, Gas dari Sumber Energi Lain

Kandungan (%) dan Nilai Kalori

Gas Alam

Biogas

Coalgas

Watergas

Metan 97,0 54,7 31,6 0,7

Karbon Dioksida

0,8 27,4 1,8 3,5

Karbon Monoksida

- 0,1 6,3 43,5

Hidrogen - 1,1 53,0 47,3

Nitrogen 2,1 1,5 3,4 4,4

Oksigen - 0,7 0,2 0,6

Nilai Kalori (Kcal/m3)

967 590-700

586 302

Sumber: Daru, 2007. dalam: Elizabeth, 2017.

Dengan mencermati Tabel 3,

diketahui bahwa biogas memiliki

keunggulan tingkat nilai kalorinya dibanding

beberapa sumber energi lainnya (coalgas dan

watergas). Setiap m3 biogas setara dengan 0,5

kg gas alam cair (liquid petroleum gases =

LPG), 0,54 liter bensin, 0,52 liter minyak

diesel, dan dapat membangkitkan tenaga

listrik sebesar 1,25 - 1,50 kilo watt hour

(kwh).

Biogas, selain sebagai bahan bakar

renewable bioenergy terbarukan yang ramah

lingkungan karena tidak mengeluarkan asap,

hasil sampingan dari pembuatan biogas

adalah sludge, berupa pupuk organik

(biofertilizer) yang dapat dimanfaatkan

sebagai pupuk karena kaya unsur hara,

sehingga selain biogas, juga dihasilkan sludge

dan effluent. Kelebihannya adalah pupuk

Page 60: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299

164

sludge tersebut tidak lagi mengundang parasit

dan biji gulma yang dapat tumbuh, sehingga

tidak ada unsur ikutan yang berbahaya di

dalamnya. Jika digunakan sendiri, jangan

tempatkan pupuk tersebut hanya pada satu

tempat, melainkan disebar tipis-tipis dan

merata ke seluruh areal pertanaman yang

pada akhirnya menyuburkan tanaman.

Pupuk organik tersebut dapat menjadi

produk agribisnis yang menguntungkan.

Pencemaran logam berat di lahan

usahatani terkait dengan pelaksanaan

pengembangan pertanian intensif

(disamping industrialisasi dan urbanisasi),

sehingga lambat laun lahan pertanian

terkontaminasi oleh logam berat dan

polutan pengaplikasian (penetrasi) zat

anorganik (kimia). Pencemaran tanah

pertanian oleh logam berat mengakibatkan

produk pertanian pangan mengandung

logam berat melebihi persyaratan yang

menimbulkan resiko tinggi bagi kesehatan

konsumen. Pupuk dari sludge hasil ikutan

biogas, bertujuan dan diharapkan menjadi

solusi alternatif pencegahan pencemaran

logam berat pada tanah. Kemungkinan

pemanfaatan bahan-bahan tersebut masih

terbuka luas, dimana dari hasil penelitian

diketahui bahwa dalam sludge ini ditemukan

vitamin B12 yang cukup banyak, mencapai

3.000 mikro gram vitamin B12 per kg sludge

kering. Sebagai perbandingan, tepung ikan

dalam ransum makanan ternak hanya

mengandung 200 mikro gram per kg dan

tepung tulang sekitar 100 mikro gram per kg

(Wibowo, Daru, dalam: Elizabeth, 2016).

Kenyataan ini membuktikan terbukanya

peluang untuk pemanfaatan sludge dalam

sistem biogas menjadi makanan ternak.

Pemanfaatan limbah kotoran ternak

menjadi sumber bahan baku biogas,

diharapkan dapat menjadi salah satu solusi

alternatif pencegahan pencemaran logam

berat pada tanah pertanian.

PEMBERDAYAAN EKONOMI DAN SOSIAL PENGGUNAAN BIOGAS

Di era globalisasi ini, pembuatan

biogas kembali digalakkan di seluruh

Nusantara, seperti di pulau Jawa, yang

didasari menurunnya ketersediaan bahan

bakar minyak, mengurangi emisi gas

metana, dan menghasilkan pupuk organik

(Junaedi, 2012. Indrawati, 2015). Teknologi

menurunkan gas metana pada komoditas

peternakan masih perlu diinventarisir dan

diseleksi agar sesuai dan dapat diterapkan

terutama pada peternakan rakyat. Berbagai

upaya yang ditempuh selain dapat

menurunkan emisi gas metana dapat pula

meningkatkan produktivitas ternak

(Abdullah et al, 2008. dalam: Elizabeth,

2017). Dalam kegiatan menurunkan emisi

gas rumah kaca khususnya gas metana pada

ternak rakyat, perlu dikembangkan aspek

kelembagaan (dalam hal ini kepemilikan

ternak). Sebagian besar peternak rakyat

hanya memiliki sekitar 2 ekor sapi/RT dan

dengan pakan hijauan saja (Suharto, 2010),

Page 61: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019

165

sehingga sulit mengaplikasikan pakan

konsentrat rendah emisi.

Inovasi teknologi pada hakekatnya

bertujuan meningkatkan kesejahteraan,

tetapi dapat pula membawa bencana apalagi

tidak dikaji secara bijak terhadap

kemungkinan dan dampak merugikan yang

akan timbul di masa datang, sebagai

akibat/efek dari teknologi yang ada saat ini.

Untuk itu, perlu dikembangkan biogas

menjadi pasar karbon yang dapat

memberikan insentif kepada peternak kecil.

Strategi penurunan emisi gas metana pada

komoditas ternak dapat dilakukan

pendekatan sumber energi gas metana yaitu

gas metana enteric dan manura (kotoran).

Kotoran ternak disimpan dalam kondisi

anaerob (temperatur 150 C) maka bakteri

metanogenik memproduksi gas metana

(Supriadi et al, 2009). Pengolahan kotoran

ternak dengan teknik pemanfaatan energi

metana dalam bentuk biogas, dapat

menurunkan 70% emisi metana ke

atmosfer. Hasil akhir berupa padatan yang

berfungsi sebagai pupuk organik tanaman.

Satu kg kotoran ternak melepaskan sekitar

208-268 liter gas metana ke atmosfer.

Ransum ternak yang bergizi tinggi,

menghasilkan kotoran berkadar metana

rendah.

Penting dan mahalnya kesehatan saat

ini membuat berbagai pihak yang bergerak

di bidang pertanian, giat merintis pertanian

organik, yaitu usahatani yang bersifat alami,

yang mayoritas menggunakan sarana

produksi berbasis bahan organik, seperti:

pupuk organik, racun dan obat-obatan

organik untuk usahatani. Meskipun belum

100% terlepas dari penggunaan saprodi

anorganik, namun berbagai pihak tersebut

sudah berusaha untuk menyeimbangkan

penggunaannya untuk tujuan kesehatan,

lingkungan, dan pertumbuhan, baik fisik

maupun kimiawinya. Produksi biogas dari

kotoran ternak dimaksudkan untuk

mendapatkan nilai tambah dari

pemanfaatannya sebagai alternatif dan

substitusi bahan bakar yang efisiensi.

Teknologi biogas yang di introduksikan

terdiri atas kala rumah tangga sampai skala

industri, menggunakan peralatan biaya yang

murah (kantong plastik) sampai konstruksi

semen beton.

Penanganan limbah usahatani-ternak

dengan sistem fermentasi anaerobik

menggunakan reaktor biogas memiliki

beberapa keuntungan seperti: dapat

mengurangi emisi gas rumah kaca,

mengurangi bau yang tidak sedap,

mencegah penyebaran penyakit,

menghasilkan pupuk dan energi.

Pemanfaatan limbah seperti ini secara

ekonomi sangat kompetitif seiring naiknya

harga bahan bakar minyak dan pupuk

anorganik. Sasaran pengembangan

teknologi biogas untuk menangani limbah

agroindustri diharapkan dapat memberikan

nilai tambah ekonomi dan perbaikan

Page 62: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299

166

lingkungan hidup, seperti yang

dikemukakan pada Tabel 4 dan kelayakan

ekonomi yang hasil analisisnya

dikemukakan pada Tabel 5.

Tabel 4. Biaya, Produksi Gas, Pendapatan dan Keuntungan

Uraian Generator Listrik Reaktor Biogas

-Biaya investasi (Rp)

-Biaya operasional & perawatan (Rp/tahun)

-Umur ekonomi (tahun)

-Produksi gas, m3/hari

-Produksi gas, m3/tahun

-Suku Bunga, %/tahun

-Pendapatan, Rp/tahun

-Keuntungan, Rp/tahun

10.500.000

2.375.000

5

-

12

9

9.535.600

5.065.600

8.800.000

975.000

15

7

2.555

9

9.250.800

5.000.330

Sumber: Elizabeth, 2017.

Tabel 5. Hasil Analisis Kelayakan Ekonomi

Uraian Generator Listrik Reaktor Biogas

Net Present Worth (NPW), Rp

Net Present Cost (NPC), Rp

Net Present Revenue (NPR), Rp

B/C Ratio

Simple Payback, tahun

Internal Rate Return (IRR), %

15.985.345

20.585.775

28.868.645

1,98

1,84

41,93

21.789.355

21.175.385

42.073.320

1,41

3,76

21,67

Sumber: Elizabeth, 2017.

Dari hasil analisis kelayakan ekonomi,

dengan nilai B/C ratio lebih dari 1, maka

usaha tersebut dinyatakan layak untuk

dilakukan. Secara sederhana efisiensi dan

nilai ekonomi dari penggunaan biogas

sebagai substitusi bahan bakar gas yang

umum dipergunakan adalah sebagai berikut:

bila satu tabung gas alam (LPG) berisi

bersih (netto) 12 kg dengan harga jual

(HET) sekitar Rp. 145.000,- hingga Rp.

155.000,- dapat dipergunakan selama satu

bulan oleh satu keluarga, maka biaya yang

dikeluarkan sekitar Rp. 4.800,- hingga Rp.

5.200,-. Bila bahan bakar yang dipergunakan

adalah minyak tanah sebanyak 1 – 2 liter per

hari dengan harga Rp. 9.000,- per liter,

selama sebulan biaya minyak tanah sekitar

Rp 500.000,- - Rp. 540.000,- maka akan

menghemat sekitar Rp. 11.500,- hingga

Rp.13.500,- per hari. Suatu efisiensi

pengeluaran uang dari perbedaan nilai biaya

rumah tangga yang relatif cukup besar

untuk di pedesaan, terlebih bila hanya untuk

membeli bahan bakar saja, di luar biaya

kebutuhan hidup sehari-hari lainnya.

Terkait dengan masyarakat sebagai

pemberdayaan kelembagaan pelaku

berbagai ragam usaha, terutama pelaku

usahatani (petani), pelaku bioindustri, peran

dan makna partisipasi (dalam berbagai

program pembangunan dan kebijakan

pemerintah) merupakan proses dan keadaan

(situasi) dimana seluruh pihak (terutama

yang terkait/berhubungan, langsung/ tidak

Page 63: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019

167

langsung) dapat membentuk/membangun

kondisi dan ikut serta terlibat serta

kooperatif dalam seluruh inisiatif, tahapan

dan aktivitas pembangunan. Dalam

pemberdayaan kelembagaan dan partisipasi,

siapapun dapat berperan aktif, baik

berperan dalam bermasyarakat, dalam

kehidupan sendiri, terlebih lagi keterlibatan

untuk berperan dalam pembangunan. Meski

memiliki makna yang berbeda-beda

(tergantung pada “apa” dan ”bagaimana”

mereka turut serta terlibat), namun pada

akhirnya partisipasi bertujuan untuk

increasing self-determination (meningkatkan

kemandirian/keteguhan diri), serta

terkontruksinya/terbangunnya kontrol

(build construction control) dan inisiatif

masyarakat terhadap pengelolaan

sumberdaya untuk pembangunan.

Sementara itu, sebagai pegangan,

pemantau dan pengawal dalam terlaksana

dan suksesnya suatu program

pembangunan, diperlukan partisipasi dalam

monitoring dan evaluasi (participatory

monitoring and evaluation = PM&E); yang

berupaya melibatkan (to engage) pihak-pihak

stakeholders utama untuk lebih aktif dalam

merefleksikan dan mengukur (assesing)

kemajuan proyek dan terutama pencapaian

hasil. Untuk itu, pelaksanaan program

pembangunan hendaknya tetap

menjalankan prinsip utama PM&E, yaitu: 1)

stakeholders utama adalah partisipan yang

aktif tidak hanya sebagai sumber informasi;

2) membangun dan mengembangkan

kemampuan masyarakat setempat untuk

menganalisa, merefleksikan dan berperan

aktif/mengambil bagian; 3) terjadinya

proses belajar bersama (joint learning) dari

seluruh stakeholders pada berbagai level; dan

4) adanya komitmen untuk terciptanya

proses yang lebih tepat dan multi guna.

Dengan demikian, dasar terpenting

dibutuhkannya partisipasi adalah agar

terjaminnya pembangunan bioindustri

berkelanjutan karena sangat tergantung

pada social process dan terkait dengan tiga

aspek utama masyarakat (sosial, ekonomi

dan lingkungan) tersebut di atas. Hal

tersebut juga membuat penduduk pedesaan

berangsur-angsur bisa melepaskan diri dari

jebakan paradox of plenty (kondisi dimana

suatu negara yang kaya sumberdaya alam

tetapi rakyatnya miskin) (Fauzi, 2014).

Demikian juga halnya bila dikaji dari

aspek keberlanjutan, pengusahaan biogas

yang sudah cukup baik dan tidak memiliki

dampak negatif, namun masih relatif kurang

dari sisi pemasaran dan distribusi energi

biogas sebagai subsistem aktivitas bisnis

dari produk hasil suatu usaha, diarahkan

pada perbaikan mekanisme berbagai

pendekatan yang umum berlaku dalam

aktivitas suatu usaha pengolahan (Elizabeth,

2018a). Kelompok tani ternak merupakan

salah satu wadah berbentuk kelembagaan

yang memiliki peran penting di pedesaan.

Lembaga di pedesaan lahir untuk memenuhi

Page 64: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299

168

kebutuhan sosial masyarakatnya (Elizabeth,

2014). Sifatnya tidak linier, namun

cenderung merupakan kebutuhan individu

anggotanya, antara lain berupa kebutuhan:

fisik, rasa aman (savety), hubungan sosial

(social affiliation), pengakuan (esteem),

pengembangan pengakuan (self actualization).

Pendukung utama terlaksananya

upaya pencapaian pengembangan

pengusahaan dan penggunaan biogas,

sangat diperlukan ketersediaan perangkat

kebijakan yang memadai, teknologi dan

informasi yang dibutuhkan, serta

berfungsinya lembaga pendukung lainnya

seperti: penyuluhan, pemasaran, dan sistem

pendekatan instansi terkait (Elizabeth,

2008). Lemahnya kinerja lembaga

penyuluhan di pedesaan salah satunya dapat

mengakibatkan informasi harga umumnya

hanya diperoleh dari sesama petani,

pedagang, pasar, dan media massa

(Elizabeth, 2017a). Kondisi tersebut

mengindikasikan diperlukan penanganan,

pembinaan dan sosialisasi manfaat dan

multi fungsi keuntungan pengusahaan dan

penggunaan biogas. Oleh karena itu

diperlukan peran aktif dan keberpihakan

semua pihak terkait, dengan kontinuitas

pengarahan, bimbingan, dan sosialisasi dari

pihak penyuluh lapang terhadap petani

peternak akan manfaat dan multi fungsi

serta keuntungan pengusahaan dan

penggunaan biogas (Elizabeth, 2016).

III. METODOLOGI

Tulisan ini merupakan pembaharuan

(up dating) dari beberapa tulisan terkait

sebelumnya yang oleh penulis kembali

direfer karena pentingnya informasi yang

terdapat dalam beberapa tulisan sebelumnya

tersebut. Pemaparannya diupayakan

semaksimal mungkin terutama untuk

meminimalisir kesan penduplikasiaan serta

mengutamakan kekinian data. Secara

umum, dengan metode deskriptif kualitatif

tulisan ini mengemukakan secara

komprehensip berbagai hasil analisis data

sekunder dan data primer yang diperoleh

dari lapang (provinsi Riau dan Sumatera

Selatan, 2017), me-review berbagai tulisan

terkait dan menganalisis berbagai

implementasi pembuatan biogas, efisiensi

serta efektivitas pemanfaatannya. Untuk

mengkaji kelayakan ekonomi, digunakan

metode Net Present Worth (NPW), Net Present

Cost (NPC), Net Present Revenue (NPR), B/C

Ratio, dan Internal Rate Return (IRR).

Proses terbentuknya material bahan

bakar yang berasal dari fosil membutuhkan

waktu yang sangat lama, dan semakin

menipisnya cadangan minyak bumi

mengharuskan manusia untuk segera

melakukan berbagai tindakan untuk

menghasilkan bahan bakar terbarukan dan

ramah lingkungan, sebagai substitusi bahan

bakar dan sumber energi. Turut

dikemukakan dua teknologi umum untuk

memperoleh biogas, yaitu: (i) proses

Page 65: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019

169

fermentasi kotoran ternak memakai digester

yang didesain khusus dalam kondisi

anaerob; (ii) dikembangkannya teori

menangkap (menampung) gas metan dari

lokasi tumpukan pembuangan sampah

tanpa harus membuat digester khusus (Tuti,

2006. dalam: Elizabeth, 2017). Gas dari hasil

digester biogas, digunakan terutama sebagai

bahan bakar memasak, penerangan, pupuk

organik, dan keperluan lain. Kuantitas

produksi biogas kotoran ternak dipengaruhi

dan ditentukan oleh kapasitas, jenis dan

kontruksi reactor (digester, fixed dome dan

floating dome). Peternak di Jawa kebanyakan

menggunakan fixed dome (Abdullah et al,

2008. dalam: Elizabeth, 2017).

Untuk teknik digester, diperlukan

minimal 3 buah cincin gorong-

gorong/septik tank untuk tangki digester

(pencerna), sebuah drum besar penampung

gas methane (biogas) yang mampu memuat

sekitar 200 liter kotoran ternak dan air. Pipa

logam diameter 2 cm, untuk saluran

pengeluaran gas dan satu kran pengeluaran

biogas, paralon berdiameter 2 cm sebagai

saluran gas dari tangki pencerna (digester) ke

kompor untuk memasak, lampu gas dan

lainnya. Seluruh unit produksi biogas

ditanam dan diletakkan minimal 10 meter

terpisah di luar rumah dan sumber air, agar

tidak mencemari saat memasukkan bahan

baku biogas. Dua bulan sebelum membuat

unit biogas dibuat “biang” pemicu (starter)

pembentukan gas, dengan mencampur aduk

rata 2 liter kotoran ternak (sapi, babi, ayam

atau kuda) dan 2 liter air seperti pasta di

wadah terbuka. Biang pembentuk gas harus

tetap hangat, diaduk tiap dua hari sekali

selama dua bulan untuk wilayah

berkelembaban rendah.

Biang diperlukan sebagai pemicu

untuk mempercepat pembentukan gas

dalam unit biogas. Campurkan kotoran

ternak dan limbah tanaman yang sudah

diberi air (komposisi 1:1), diaduk sampai

seperti pasta agar mempercepat

terbentuknya gas (dapat ditambahkan kapur

untuk menetralkan pH). Diperlukan waktu

kira-kira 2 sampai 4 minggu (tergantung

bahan baku dan kondisi lingkungan), untuk

memulai pembentukan gas dari campuran

bahan organik tersebut. Pembentukan gas

sekitar 8 minggu, separuhnya terbentuk

pada 2 sampai 4 minggu pertama dan

separuh berikutnya pada minggu ke-4

sampai ke-8, serta berhenti sama sekali pada

minggu ke-9.

Telah terbentuknya gas dapat

diketahui beberapa hari setelah drum

penangkap biogas terangkat ke atas.

Keluarkan udara yang terbentuk dengan

membuka kran dan menekan drum sampai

ke dasar tangki digester. Hindari adanya api

di sekitar unit produksi biogas dan tidak

diperbolehkan membakar gas yang pertama

terbentuk karena mengandung udara di

dalamnya dan dapat meledak. Selanjutnya

tutup kran menghindari terbentuk udara

Page 66: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299

170

dalam gas dan unit biogas bekerja kembali

mengumpulkan gas, dan sudah bisa

digunakan untuk memasak. Dengan

mengatur perimbangan gas-udara yang

tepat, maka biogas terbakar dengan baik,

yang ditandai nyala api berwarna biru dan

tidak tersumbat arang pembakaran (nyala

berwarna kuning). Pembersihan dilakukan

dengan mencuci menggunakan air dan

sabun. Untuk siklus selanjutnya, kosongkan

limbah organik dan sisakan kira-kira 4 liter

bahan organik tersebut untuk digunakan

kembali sebagai biang/starter pembentukan

gas berikutnya dan proses selanjutnya.

IV. ANALISIS DAN ALTERNATIF SOLUSI/PENANGANAN

Dengan adanya biogas, maka petani

merasakan berkurangnya pengeluaran

untuk biaya bahan bakar (minyak tanah, gas

komersial di pasaran, arang dan kayu bakar)

sehari-hari. Selain itu, dengan penggunaan

biogas, maka efisiensi waktu untuk

memasak oleh anggota rumah tangga petani

dapat digunakan untuk bekerja selain di

sawah, kebun maupun usaha kerajinan

tangan tingkat rumah tangga. Beberapa

keuntungan/nilai tambah terkait lainnya

bila menggunakan anaerobik, seperti: 1)

keuntungan pengolahan digester, yaitu:

digester anaerob merupakan proses

pengolahan limbah yang alami;

membutuhkan lahan lebih kecil dibanding

proses kompos aerobik atau penumpukan

sampah; memperkecil volume atau berat

limbah yang dibuang; memperkecil

rembesan poluton. 2) Keuntungan Energi,

yaitu: proses energi lebih bersih;

memperoleh bahan bakar berkualitas tinggi

dapat diperbaharui; biogas dapat

dimanfaatkan untuk berbagai penggunaan.

3) Keuntungan Lingkungan, yaitu:

menurunkan emisi gas metan dan karbon

dioksida secara signifikan; menghilangkan

bau; memperkecil udara keluar dari sampah;

menghasilkan kompos yang bersih dan

pupuk kaya nutrisi; memaksimalkan proses

daur ulang limbah yang sudah terbuang;

menghilangkan bakteri coliform hingga 90%

(memperkecil kontaminasi sumber air yang

sudah ada). 4) Keuntungan Sosial dan Ekonomi,

yaitu: penggunaan kotoran ternak sebagai

biogas sumber energi RT dan pupuk

tanaman, tentu mengefisienkan pengeluaran

rumah tangga petani dan peternak; lebih

ekonomis dibandingkan siklus ulang proses

pembuatan limbah pertanian;

Solusi dari aspek ekonomi

terdampak kajian kondisi sosialnya, bila

seekor sapi potong dewasa mampu

menghasilkan/ mengeluarkan kotoran

sekitar 10% dari berat badannya per hari

dengan kisaran harga Rp500000–Rp. 1 000

000,-/ton (Ilham et al, 2011. Elizabeth,

2017. Ilham et al, 2018), maka secara

sederhana dapat diperkirakan besarnya

sumber bahan baku biogas dan pupuk yang

diperoleh petani dan peternak. Serta

besarnya pengefisienan pengeluaran untuk

Page 67: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019

171

biaya bahan bakar gas dan pupuk dengan

mensubstitusikannya dengan kotoran sapi

peliharaan tersebut. Sementara itu dari

beberapa hasil penelitian diperoleh

gambaran skala usaha yang dinilai dapat

menguntungkan adalah pemeliharaan

sekitar 3 – 4 ekor sapi per rumah tangga.

Dari aspek pemberdayaan sosial

kelembagaan adalah terjalinnya sifat sosial

dalam kebersamaan dan tenggang rasa antar

masyarakat pengguna biogas metan

(umumnya terdiri antar kelompok untuk

satu sumur/sumber). Sifat kebersamaan,

rasa saling memiliki, saling berbagi, serta

saling merawat agar sumber biogas

kelompok tetap berfungsi baik, yang

menunjukkan berfungsinya aktivitas

kelembagaan suatu kelompok masyarakat.

Petani pemilik ternak maupun yang

tidak/belum, memperoleh pupuk kandang

dari sekitarnya. Terjalinnya hubungan aktif

antar kelembagaan di hulu (di

perdesaan/produsen) hingga hilir

(pengguna/konsumen). Kelompok petani

dan peternak saling bertukar informasi

berkaitan teknologi budidaya, pemasaran,

dan lainnya yang sangat dibutuhkan dalam

pengembangan usaha tani dan ternak

(Elizabeth, 2017).

Terkait dengan masyarakat sebagai

pemberdayaan kelembagaan pelaku

berbagai ragam usaha, terutama pelaku

usahatani (petani), pelaku bioindustri, peran

dan makna partisipasi (dalam berbagai

program pembangunan dan kebijakan

pemerintah) merupakan proses dan keadaan

(situasi) dimana seluruh pihak (terutama

yang terkait/berhubungan, langsung/ tidak

langsung) dapat membentuk/membangun

kondisi dan ikut serta terlibat serta

kooperatif dalam seluruh inisiatif, tahapan

dan aktivitas pembangunan. Dalam

pemberdayaan kelembagaan dan partisipasi,

siapapun dapat berperan aktif, baik

berperan dalam bermasyarakat, dalam

kehidupan sendiri, terlebih lagi keterlibatan

untuk berperan dalam pembangunan. Meski

memiliki makna yang berbeda-beda

(tergantung pada “apa” dan ”bagaimana”

mereka turut serta terlibat), namun pada

akhirnya partisipasi bertujuan untuk

increasing self-determination (meningkatkan

kemandirian/keteguhan diri), serta

terkontruksinya/terbangunnya kontrol

(build construction control) dan inisiatif

masyarakat terhadap pengelolaan

sumberdaya untuk pembangunan.

Sementara itu, sebagai pegangan,

pemantau dan pengawal dalam terlaksana

dan suksesnya suatu program

pembangunan, diperlukan partisipasi dalam

monitoring dan evaluasi (participatory

monitoring and evaluation = PM&E); yang

berupaya melibatkan (to engage) pihak-pihak

stakeholders utama untuk lebih aktif dalam

merefleksikan dan mengukur (assesing)

kemajuan proyek dan terutama pencapaian

hasil. Untuk itu, pelaksanaan program

Page 68: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299

172

pembangunan hendaknya tetap

menjalankan prinsip utama PM&E, yaitu: 1)

stakeholders utama adalah partisipan yang

aktif tidak hanya sebagai sumber informasi;

2) membangun dan mengembangkan

kemampuan masyarakat setempat untuk

menganalisa, merefleksikan dan berperan

aktif/mengambil bagian; 3) terjadinya

proses belajar bersama (joint learning) dari

seluruh stakeholders pada berbagai level; dan

4) adanya komitmen untuk terciptanya

proses yang lebih tepat dan multi guna.

Dengan demikian, dasar terpenting

dibutuhkannya partisipasi adalah agar

terjaminnya pembangunan bioindustri

berkelanjutan karena sangat tergantung

pada social process dan terkait dengan tiga

aspek utama masyarakat (sosial, ekonomi

dan lingkungan) tersebut di atas. Hal

tersebut juga membuat penduduk pedesaan

berangsur-angsur bisa melepaskan diri dari

jebakan paradox of plenty (kondisi dimana

suatu negara yang kaya sumberdaya alam

tetapi rakyatnya miskin) (Fauzi, 2014).

Demikian juga halnya bila dikaji dari

aspek keberlanjutan, pengusahaan biogas

yang sudah cukup baik dan tidak memiliki

dampak negatif, namun masih relatif kurang

dari sisi pemasaran dan distribusi energi

biogas sebagai subsistem aktivitas bisnis

dari produk hasil suatu usaha, diarahkan

pada perbaikan mekanisme berbagai

pendekatan yang umum berlaku dalam

aktivitas suatu usaha pengolahan (Elizabeth.

2018a). Kelompok tani ternak merupakan

salah satu wadah berbentuk kelembagaan

yang memiliki peran penting di pedesaan.

Lembaga di pedesaan lahir untuk memenuhi

kebutuhan sosial masyarakatnya (Elizabeth,

2014). Sifatnya tidak linier, namun

cenderung merupakan kebutuhan individu

anggotanya, antara lain berupa kebutuhan:

fisik, rasa aman (savety), hubungan sosial

(social affiliation), pengakuan (esteem),

pengembangan pengakuan (self actualization).

Pendukung utama terlaksananya

upaya pencapaian pengembangan

pengusahaan dan penggunaan biogas,

sangat diperlukan ketersediaan perangkat

kebijakan yang memadai, teknologi dan

informasi yang dibutuhkan, serta

berfungsinya lembaga pendukung lainnya

seperti: penyuluhan, pemasaran, dan sistem

pendekatan instansi terkait (Elizabeth,

2008). Lemahnya kinerja lembaga

penyuluhan di perdesaan salah satunya

dapat mengakibatkan informasi harga

umumnya hanya diperoleh dari sesama

petani, pedagang, pasar, dan media massa

(Elizabeth, 2017a). Kondisi tersebut

mengindikasikan diperlukan penanganan,

pembinaan dan sosialisasi manfaat dan

multi fungsi keuntungan pengusahaan dan

penggunaan biogas.

Oleh karena itu diperlukan peran aktif

dan keberpihakan semua pihak terkait,

dengan kontiniutas pengarahan, bimbingan,

dan sosialisasi dari pihak penyuluh lapang

Page 69: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019

173

terhadap petani peternak akan manfaat dan

multi fungsi serta keuntungan pengusahaan

dan penggunaan biogas (Elizabeth, 2016).

Dengan demikian, terkait tantangan

tersebut, pembuatan biogas merupakan

diversifikasi upaya dan solusi untuk

memperoleh energi dari sumber-sumber

energi lain dapat dianggap sebagai energi

pengganti minyak dan gas bumi, disebut

sebagai energi alternatif bahan pengganti

minyak bumi.

REFERENSI

Abdullah, M.A.A., Thalib, Y.T., Anggraeni, Mariyono. 2008. Teknologi Peternakan Sapi Potong Berwawasan Lingkungan. Puslitbang Peternakan. Buletin Ilmu Peternakan Indonesia- Wartazoa Vol. 10 No. 3. 2008, hal. 149-156.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis: Rangkuman Kebutuhan Investasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian.

Balai Besar Industri Agro Bogor (BBIA. Bogor). 2014. Pengembangan Industri Agro di Indonesia. Makalah disampaikan pada Seminar Forum Komunikasi Kelitbangan (FKK) Kementan. Serpong. 14 Mei 2014.

Daru, M. 2007. Pemanfaatan Kotoran Ternak dan Peningkatan Sanitasi Sumber Energi Alternatif dan penimngkatan Sanitasi Lingkungan. Saat ini bekerja sebagai Peneliti Madya di Direktorat Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi. Jurnal Teknologi Lingkungan, Vol.1, No. 1, Januari 2007: 27-32. http/www/blogs/energy/tanggal, 16 November 2018.

Elizabeth, R. 2018. Akselerasi Agroindustri dan Nilai Tambah: Faktor Pendukung Pencapaian Dayasaing Produk Dan Percepatan Pembangunan Pertanian Di Indonesia. OJS. Online Jurnal System. Universitas Ekasakti. Padang. Sumatera Barat.

Elizabeth, R. 2018a. PERTANIAN BIOINDUSTRI. Solusi Pertanian Masa Depan. Buku. Bunga Rampai. Badan Litbang Pertanian. Kementerian Pertanian. Jakarta. IAARD PRESS ISBN 978-602-6954-26-8

Elizabeth, R. 2017. Revitalisasi Industri Produk Olahan dan Pemberdayaan Lembaga Kemitraan Mendukung Peningkatan Pemasaran, Daya Saing Dan Pensejahteraan Petani Pisang. Journal of Agricultural Scienties. Universitas Ekasakti. Padang Sumatera Barat. Volume 2. Issue 1. June 2017. ISSN Cetak: 2528-5556. ISSN Online: 2528-6226.

Elizabeth, R. 2017a. Akselerasi Pemberdayaan dan Peningkatan Kompetensi Dalam Sistem Produksi Untuk Mengatasi Permasalahan Ekonomi di Indonesia. Volume 2. Issue 1. June 2017. ISSN Cetak: 2528-5556. ISSN Online: 2528-6226.

Elizabeth, R. 2016. Pemberdayaan Petani Dalam Pengelolaan Tanaman Dan Ternak Guna Meningkatkan Kesejahteraan Petani. Prosiding Seminar Nasional Agustus 2016. BPTP Sulawesi Utara. Manado. Badan Litbang Pertanian. Sekretaris Jenderal Pertanian. Kementerian Pertanian.

Elizabeth, R. 2015. Pencapaian Daya Saing Melalui Peningkatan Teknologi Pengolahan, Peningkatan Kelembagaan dan Pemasaran Produk Pangan Olahan. PERHEPI. Tema: Indonesia Menuju Swasembada Pangan dalam Tiga

Page 70: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299

174

Tahun Kedepan: “Tinjauan Konseptual, Teoritis dan Empiris”. Kendari, 9 Maret, 2015.

Elizabeth, R. 2014. Mewujudkan Kemandirian dan Ketahanan Pangan Melalui Revitalisasi dan Pengembangan Infrastruktur Pertanian. Konferensi Nasional XVII dan Kongres XVI PERHEPI. IPB International Convention Center (IICC). Bogor. 28-29 Agustus 2014.

Elizabeth, R. 2008. Diagnosa Kemarjinalan Kelembagaan Lokal untuk Menunjang Perekonomian Rakyat di Pedesaan. Jurnal SOCA. Vol. 8. No. 2. Juli 2008. hal. 58-64. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian. Universitas Udayana. Bali.

Fauzi, A. 2014. Hilirisasi Cermin Politik Industri. Bisnis Indonesia. http://www.neraca.co.id/ bisnis-indonesia. (download 28 Oktober 2018).

Hambali, E. 2014. Peran Pertanian dalam Membantu Mewujudkan Kemandirian Energi. Semnas Hari Pangan Sedunia (HPS) ke 34. Makassar, 4 November 2014. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP). Bogor. Kementerian Pertanian. Jakarta.

Hambali, E., Marbun B.T.H., M. Rivai. 2014. Esterifikasi Gliserol Hasil Samping Industri Biodiesel Olein Sawit sebagai Water-Based Mud. Buku Penelitian Unggulan. IPB Press.

Harahap, F.M., Apandi. S, Ginting. 1978. Teknolohi Gasbio Pusat Teknologi Pembangunan Institut Teknologi Bandung.

Haryono. 2014. Ketersediaan Teknologi Siap Guna Dalam Pengembangan Sistem Pertanian Bioindustri Berbasis Pangan Lokal Potensial. Semnas Hari Pangan Sedunia (HPS) ke 34. Makassar, 4 November 2014.

Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP). Bogor. Kementerian Pertanian. Jakarta.

Indrawati, S. 2015. Pembangkitan Biogas dari Kotoran Sapi: Hidrolisis Termal Pada Tahap Pengolahan Pendahuluan, Jurnal Teknik Kimia, Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Surabaya.

Ilham, N., E. Basuno, W.K. Sejati., Elizabeth, R., F.B.M Dabukke, S. Nuryati, Ashari. 2011. Keragaan, Permasalahan dan Upaya Mendukung Akselerasi Program Swasembada Daging Sapi. Laporan Akhir Hasil Penelitian. PSE-KP. Bogor.

Ilham, N., Indraningsih, K.S., Elizabeth, R. 2018. Kinerja Berbagai Pola Usaha Pembibitan Sapi Lokal di Beberapa Daerah Pengembangan Sapi Potong. Jurnal. Analisis Kebijakan Pertanian. (AKP). Vol. 15. No. 1. 2017. Hal. 67-82. PSEKP. Bogor. Kementerian Pertanian. Jakarta.

Junaedi, M. 2012. Pemanfaatan Energi Biogas di Perusahaan Susu Umbul Katon Surakarta, Laporan Program Vucer 2002, Dikti-UMS, Surakarta.

Kamaruddin, A.S. 2008. Pembuatan dan penggunaan Unit Produksi Biogas Sederhana Skala Pedesaan. Penyuluh Pertanian Madya pada BPTP Makassar. http/www/blogs/energy/ Tanggal, 6 November 2018.

Kasryno, F. 2013. Politik Revitalisasi Pertanian dan Dampak Pelaksanaannya. Dalam Ariani et al. (Eds). Diversifikasi Pangan dan Transformasi Pembangunan Pertanian. Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian. Jakarta.

Kementerian Pertanian. 2013. Dokumen SIPP (Strategi Induk Pembangunan Pertanian) 2015-2045 mengenai: “Pertanian-Bioindustri Berkelanjutan Solusi Pembangunan

Page 71: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019

175

Indonesia Masa Depan.” Kementan. Jakarta

Ignas, Lidjang K., Amirudin P., Marawali, H.H 2015. Pendekatan Pengembangan Pertanian Bioindustri Berkelanjutan di NTT. Buku “Perspektif Pengembangan Model Pertanian Bioindustri.” Badan Litbang Pertanian. Jakarta. IAARD Press. ISBN 978-602-6916-32-7.

Suharto. 2010. Konsep Pertanian Terpadu (Integrated Farming System) mewujudkan keberhasilan dengan kemandirian. Bahan Pelatihan Revitalisasi Keterpaduan Usaha Ternak Dalam Sistem Usaha Tani. Bogor dan Solo, 21 Pebruari-6 Maret 2000. Puslitbang Peternakan Bogor. EAAP Publ. Denmark. 102: 117-120.

Supriadi, M. 2009. Pembuatan Kompos dari Limbah kandang dengan sistem Bumbung. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan veteriner, Pusat Penelitain dan Pengembahgan Peternakan Bogor, Bogor, 13-14 Agustus 2009, hal. 808-814.

Suswono. 2013. Sambutan Menteri Pertanian dalam Buku SIPP (Strategi Induk Pembangunan Pertanian) 2015-2045. Kementerian Pertanian. 2014.

Sutisna, E. 2015. Perspektif Pengembangan Pertanian Bioindustri di Papua Barat. Buku “Perspektif Pengembangan Model Pertanian Bioindustri.” Badan Litbang Pertanian. Jakarta. IAARD Press. ISBN 978-602-6916-32-7.

Thalib, A. 2008. Isolasi Dan Identifikasi Bakteri Asetogenetik Dari Rumen Rusa Potensinya Sebagai Inhibilor Metanogenetis. JITV. 12 (3): 197-206.

Tuti, H. 2006. Biogas: Limbah Peternakan yang Menjadi Sumber Energi

Alternatif. Buletin Ilmu Peternakan Indonesia- Wartazoa Vol. 10 No. 3. 2008, hal. 149-156.

Page 72: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019: 176-187 ISSN : 2355-6226 E-ISSN : 2477-0299

176

STRATEGI KONSERVASI TUMBUHAN HOYA DI BODOGOL, CAGAR BIOSFER TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE

PANGRANGO MELALUI PROMOSI EKOWISATA

Sri Rahayu1, Badiah2 1 Pusat Penelitian Konservasi Tumbuah dan Kebun Raya – LIPI

Jl. Ir. H. Juanda 13 Bogor 16122, Telp/Fax. 0251-83212187 2 Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango,

Email: [email protected]

RINGKASAN

Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) merupakan salah satu kawasan

konservasi in situ di Jawa Barat dan telah ditetapkan sebagai cagar biosfer sejak tahun 1976

karena nilai keanekaragaman hayati dan jasa lingkungannya bagi masyarakat sekitar. Prinsip

konservasi yang berkembang saat ini tidak hanya melalui pengawetan jenis namun juga harus

bisa mengakomodasi dan mengatur pemanfaatan secara lestari. Keterkaitan dengan posisi

TNGGP sebagai kawasan cagar biosfer, diperlukan harmonisasi antara kepentingan konservasi

kawasan dan biodiversitas yang terkandung di dalamnya dengan kesejahteraan masyarakat

sekitarnya. Salah satu masalah yang di hadapi adalah semakin menyempitnya lahan pertanian

garapan masyarakat sekitar kawasan karena semakin bertambahnya kegiatan alih fungsi lahan

pertanian menjadi pemukiman atau penggunaan lainnya. Kondisi ini dikhawatirkan akan

meningkatkan tingkat gangguan ke dalam kawasan. Oleh karena itu perlu dikembangkan strategi

pemanfaatan sumberdaya hayati yang tidak mengganggu keberadaan populasi dan ekosistem di

dalam kawasan konservasi, namun dapat membantu mengatasi permasalahan perekonomian

masyarakat sekitar kawasan. Salah satu potensi sumberdaya hayati yang terdapat di TNGGP

yang dapat dikembangkan adalah tumbuhan dari marga Hoya (Apocynaceae: Asclepiadoideae).

Tumbuhan Hoya saat ini semakin populer dimanfaatkan sebagai tanaman hias, di samping

memiliki manfaat lainnya, yaitu sebagai sumber bahan obat, sekaligus penyerap polutan/racun

dalam ruangan maupun bahan industri kosmetik. Terdapat 10 jenis Hoya di TNGGP, dan

jumlah jenis terbanyak terdapat di resort Bodogol. Jenis-jenis tersebut juga terdapat di jalur

interpretasi Bodogol, sehingga kekayaan jenis jenis Hoya tersebut dapat dimanfaatkan secara

lestari untuk dapat digunakan sebagai alternatif mata pencaharian penduduk sekitar antara lain

melalui pengembangan ekowisata Hoya. Pengembangan ekowisata Hoya di TNGGP dapat

difokuskan di lokasi Resort Bodogol dengan berbagai bentuk, misalnya dengan pembentukan

Kampung Hoya di Desa Bodogol dan jalur wisata Hoya di Resort Bodogol. Selain itu wilayah

Page 73: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019

177

resort Bodogol juga merupakan wilayah percontohan sebagai Pusat Pendidikan Konservasi

Alam dan juga sebagai stasiun Penelitian yang tentunya pengembangan ekowisata Hoya di

Bodogol akan selaras dengan fungsi tersebut. Adapun pengembangan Kampung wisata Hoya

dapat melibatkan masyarakat setempat dan beberapa stakeholder terkait.

Kata Kunci: budidaya Hoya, jalur interpretasi, Kampung Hoya, strategi konservasi

PERNYATAAN KUNCI

• Salah satu permasalahan konservasi di

Taman Nasional Gunung Gede

Pangrango adalah perlunya antisipasi

perambahan masyarakat ke dalam

kawasan akibat berkurangnya lahan

garapan pertanian, terutama di

kawasan resort Bodogol. Lahan

pertanian masyarakat di daerah

penyangga sekitar kawasan

konservasi telah dikuasai pihak

perusahaan yang saat ini masih

mengijinkan masyarakat untuk

menggarap lahan dengan komoditas

tanaman sayuran. Namun tidak lama

lagi lahan tersebut akan digunakan

perusahaan sebagai pemilik hak

pengelolaan, sehingga masyarakat

akan kehilangan lahan garapannya.

Perubahan jenis pekerjaan sebagai

sumber mata pencaharian ke aspek

lain tentunya tidak mudah, dan

kondisi tersebut dikhawatirkan akan

menjadi peluang perambahan

masyarakat ke dalam kawasan.

• Perlu dicarikan alternatif bertani bagi

masyarakat sekitar dengan komoditas

yang mudah di budidayakan di lahan

sempit/pekarangan/pemukiman,

mudah secara teknis budidaya, murah

(tidak perlu modal besar), serta

ekonomis (laku di jual). Di

prioritaskan jika komoditas tersebut

merupakan sumberdaya lokal

sehingga tidak perlu adaptasi

lingkungan.

• Tumbuhan epifit Hoya cukup banyak

terdapat di Hutan Bodogol, yang

dapat dikembangkan sebagai

komoditi baru pertanian bagi

masyarakat sekitar. Hoya merupakan

epifit yang tidak memerlukan lahan

luas, dapat di tanam di pot atau secara

vertical, mudah diperbanyak dengan

setek dan dipelihara dengan

memanfaatkan sumberdaya lokal

sebagai media, memiliki potensi

sebagai tanaman hias, obat dan

penyerap polutan, serta sudah

memiliki pangsa pasar baik di

Indonesia maupun di luar negeri.

Konservasi berbasis tumbuhan Hoya

juga dapat dikembangkan dengan

konsep ekowisata.

• Pengembangan ekowisata berbasis

tanaman Hoya dapat dilakukan

Page 74: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299

178

dengan strategi konservasi in situ (di

dalam kawasan) dan ex –situ (di luar

kawasan) dengan bekerjasama dengan

stakeholder terkait. Strategi

konservasi in situ dapat

dikembangkan dengan

memanfaatkan peta sebaran Hoya di

dalam kawasan serta pengkayaan

informasi mengenai seluk beluk

tumbuhan Hoya untuk

pengembangan jalur ekowisata Hoya

di dalam Kawasan yang

membutuhkan interpreter dari

masyarakat Bodogol. Interpreter

dapat dipilih dari kalangan muda dan

dapat diseleksi agar dapat diberikan

pelatihan khusus.

• Pengembangan ekowisata harus

ditunjang strategi konservasi ex situ

yaitu misalnya dengan pembentukan

Bodogol Kampung Hoya, di mana

masyarakat Bodogol disarankan

membentuk komunitas bertanam

Hoya, sehingga masyarakat dapat

mengenal dan memanfaatkan lebih

lanjut hasil perbanyakan Hoya yang

dilakukan masyarakat Bodogol.

Masyarakat Bodogol dapat diberikan

pelatihan perbanyakan dan

pemeliharaan Hoya.

• Pengembangan Jalur ekowisata Hoya

di dalam kawasan dan Pembentukan

Kampung Hoya Bodogol diharapkan

dapat memberikan efek domino

peningkatan ekonomi masyarakat

setempat dengan lahan yang dimiliki

melalui kemunculan usaha usaha baru

lainnya pendukung ekowisata Hoya,

seperti merchandise/souvenir/oleh-

oleh/ makanan dan minuman,

penginapan, pemanduan dan lain lain.

Dengan peningkatan ekonomi

masyarakat tersebut diharapkan

masyarakat dapat turut serta menjaga

kelestarian keanekaragaman hayati

yang terdapat di dalam kawasan.

REKOMENDASI KEBIJAKAN

• Balai Taman Nasional Gunung Gede

Pangrango cq. Resort Bodogol perlu

melakukan upaya harmonisasi dengan

masyarakat sekitar dengan

memanfaatkan keanekaragaman jenis

tumbuhan lokal yang strategis baik

secara ekonomis maupun praktis

dalam perbanyakan dan pengelolaan

serta pengembangan.

• Pengembangan ekowisata berbasis

Hoya dengan strategi konservasi in

situ, Balai Taman Nasional Gunung

Gede Pangrango cq. Resort Bodogol

perlu mengembangkan jalur

ekowisata Hoya di dalam kawasan

dengan bekerjasama dengan LIPI (cq

P2 Konservasi Tumbuhan dan

Kebun Raya – LIPI yang memiliki

data persebaran dan jenis jenis serta

ahli tanaman Hoya) dan masyarakat

/pemuda setempat untuk dididik

Page 75: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019

179

menjadi interpreter jalur wisata Hoya

– yang dapat diwujudkan dalam

bentuk SK

• Pengembangan ekowisata berbasis

tanaman Hoya dengan strategi

konservasi ex situ dapat dilakukan

dengan perbanyakan jenis jenis Hoya

di luar kawasan konservasi dengan

membentuk ‘Kampung Hoya”. Balai

Taman Nasional Gunung Gede

Pangrango dapat melakukan

pendekatan kepada Pemerintah

Daerah setempat (Lurah) serta

masyarakat (termasuk ibu ibu) di

kampung Bodogol, agar bersama

sama dapat mewujudkan Kampung

Bodogol, serta dapat bekerjasama

dengan LIPI (cq P2 Konservasi

Tumbuhan dan Kebun Raya – LIPI)

yang memiliki ahli tanaman Hoya)

agar dapat melakukan pendampingan

dalam membetuk Kampung Hoya.

• Kegiatan kegiatan dapat dilakukan

dengan pelatihan, FGD dan

musyawarah serta rapat rapat dan aksi

pelaksanaan dengan stakeholder

terkait termasuk NGO, perusahaan

setempat dll.

I. PENDAHULUAN

Perubahan penggunaan lahan

pertanian di sekitar Taman Nasional

Gunung Gede Pangrango yang merupakan

zona inti cagar biosfer Cibodas, terutama di

wilayah Bogor saat ini semakin meningkat.

Terutama dengan akan dikembangkannya

wilayah Bodogol sebagai lokasi

pembangunan Resort dan Theme Park serta

perhotelan dan pemukiman elite. Sebagian

besar areal pertanian di wilayah Bodogol

saat ini telah beralih

kepemilikan/pengelolaan meskipun masih

dipertahankan sebagai lahan garapan

masyarakat. Namun pembangunan

semakin hari semakin berangsur. Hal ini

akan mempersempit ruang gerak

masyarakat sekitar kawasan konservasi

dalam mencari nafkah.

Di sisi lain terdapat sumberdaya alam

yang melimpah di dalam kawasan

konservasi TNGGP, baik yang telah

diketahui manfaatnya dan dimanfaatkan

oleh masyarakat sekitarnya maupun yang

belum diketahui manfaatnya dan belum

dimanfaatkan. Kehilangan lahan garapan

oleh masyarakat dapat menjadi ancaman

bagi perlindungan dan pengamanan

sumberdaya alam di dalam kawasan taman

nasional. Masyarakat yang terbiasa bertani

di sekitar lahan pertanian Bodogol perlu

dicarikan alternatif solusi yang mudah

diadopsi oleh masyarakat. Untuk

mengantisipasi hal ini, perlu di lakukan

strategi yang sesuai agar masing masing

kepentingan dapat terlaksana melalui sinergi

yang harmonis serta saling menguntungkan.

Salah satu strategi yang dapat

dikembangkan adalah dengan revitalisasi

Pusat Pendidikan Konservasi Alam

Page 76: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299

180

Bodogol (PPKAB) sebagai destinasi utama

pengembangan kawasan ekowisata berbasis

sumberdaya alam hayati dan ekosistem serta

budaya masyarakat.

Hutan Bodogol yang terletak di dalam

kawasan Taman Nasional Gunung Gede

Pangrango, wilayah Bogor, memiliki potensi

kekayaan sumberdaya alam hayati yang

melimpah, baik flora maupun faunanya

serta kondisi kontur yang beragam, sehingga

sangat berpotensi untuk pengembangan

ekowisata. Fauna yang paling terkenal di

Bodogol adalah owa jawa (Hylobythes

mololoch) dan Macan Tutul (Pathera pardus).

Selain itu juga terdapat Javan Gibon Center

yang merupakan salah satu bagian

pendidikan konservasi Owa Jawa di

Bodogol. Wilayah ini juga merupakan

wilayah yang dtetapkan sebagai kawasan

Pusat Pendidikan Konservasi Alam

Bodogol dan diresmikan pada tahun 1998.

Fasilitas untuk trekking ekowisata telah di

bangun sejak tahun 2007 berupa canopy

trail, guest house, kantor, dan stasiun

penelitian Bodogol dengan disediakan

wisma peneliti. Kondisi ini harus tetap

dipertahankan, sedangkan kekayaan flora

selain pepohonan yang didominasi kayu

Puspa (Schima walichii) dan kayu rasamala

(Altingia axcelsa) juga banyak terdapat

tumbuhan bawah maupun epifit yang

menarik dan dapat dijadikan sebagai sumber

tanaman hias maupun bahan obat. Di

antaranya yang paling sering di panen adalah

buah canar (macrophylla), rebung bamboo,

rotan. Beberapa tumbuhan bawah juga

dapat dimanfaatlan sebagai komoditas

tanaman hias antara lain adalah

keanekaragaman jenis anggrek

(Orchidaceae) baik anggrek tanah maupun

anggrek epifit, keanekaragaman jenis

tumbuhan paku-pakuan (Pterydophyta),

Begonia spp, Araceae, Tacca chantrieri, dan lain

lain (Rahayu, 2012). Salah satu tumbuhan

epifit yang terdapat di kawasan Bodogol dan

memiliki potensi untuk dikembangkan

adalah tumbuhan dari marga Hoya

(Apocynaceae:Asclepiadoideae).

Berdasarkan penelitian Rahayu (2012)

terdapat 10 jenis Hoya di seluruh kawasan

taman Nasional Gunung Gede Pangrango

meliputi resort Bodogol, Cibodas,

Selabintana dan Situgunung. Wilayah yang

memiliki jenis Hoya terbanyak adalah di

Bodogol. Kawasan Bodogol memilki 8 jenis

Hoya yang terdapat pada berbagai tipe

habitat, dan semuanya dapat dikembangkan

sebagai tanaman hias. Hoya termasuk

tumbuhan epifit yang keberadaannya di

alam sangat bergantung terhadap

keberadaan pohon. Pengurangan jumlah

pohon berarti akan mengurangi peluang

tempat hidup Hoya sebagai epifit.

Mengkonservasi Hoya secara in situ berarti

harus mengkonservasikan habitat dan

tempat hidupnya yaitu pohon-pohon dan

ekosistem hutan. Pada saat ini tanaman

Hoya sudah berkembang dan semakin

Page 77: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019

181

populer sebagai komoditi tanaman hias,

baik di Indoensia maupun secara

internasional. Berbagai perkumpulan

penggemar tanaman Hoya bermunculan

yang dapat dilihat melalui internet. Oleh

karena itu Hoya sangat berpotensi sebagai

salah satu sumber pendapatan masyarakat

Bodogol jika dikembangkan lebih lanjut.

Pada saat ini, Hoya digunakan sebagai

tanaman hias di negara-negara Eropa dan

Amerika Serikat. Penelitian terbaru di

Florida bahkan menunjukkan fungsi

tambahan sebagai penyerap polutan dalam

ruangan (Yang et al, 2009). Hoya juga

memiliki manfaat lain yang penting yaitu

sebagai sumber bahan obat (Zachos, 2005.

Rahayu, 2011). Aplikasi patent bahan

kosmetik anti aging kulit wajah dengan

menggunakan ekstrak Hoya carnosa telah ada

di Amerika Serikat (Zeng et al, 2014).

Beberapa studi menunjukkan asosiasi

positif antara Hoya dengan semut (Rahayu

et al, 2007. Weissfolg et al, 1999). Oleh

karena itu, keberadaan tumbuhan Hoya di

Bodogol patut di pertahankan dan

dimanfaatkan dengan memperhatikan asas

kelestariannya. Setelah sukses dengan

kawasan Bodogol, maka pola yang

diusulkan ini dapat di aplikasikan untuk

wilayah (resort) lainnya di Taman Nasional

Gunung Gede Pangrango. Pembentukan

Desa Hoya di Bodogol yang di arahkan

sebagai centra tanaman Hoya Indonesia

juga dapat dipertimbangnkan mengingat

hingga saat ini belum ada sentra Hoya di

Indonesia, padahal Indonesia adalah negara

yang paling kaya akan jenis jenis Hoya

(Kleijn dan Don Kelaar, 2001).

II. SITUASI TERKINI

Tumbuhan Hoya di Taman Nasional

Gunung Gede Pangrango, terdapat di

hampir semua wilayah, namun jumlah jenis

terbanyak terdapat di Resort Bodogol

(Rahayu, 2012). Jenis jenis tumbuhan Hoya

tersebut selama ini belum banyak

mendapatkan perhatian karena kebanyakan

pihak Pengelola Taman Nasional maupun

penduduk sekitarnya belum banyak

mengenal Hoya. Sumberdaya alam tersebut

belum banyak dimanfaatkan untuk alternatif

penanganan konservasi dan ekosistemnya,

terutama sebagai Cagar Biosfer yang perlu

memperhatikan kehidupan masyarakat

sekitar Taman Nasional.

Permasalahan lahan pertanian di

sekitar Taman Nasional (khususnya

Bodogol) yang sudah beralih kepemilikan

masih terus berlangsung, dan saat ini

masyarakat masih dapat menggarap lahan

yang sudah di jualnya. Namun hingga saat

ini belum mengetahui rencana ke depan jika

lahan tersebut sudah di ambil alih oleh

pemegang haknya. Oleh karena itu alternatif

pengembangan ekowisata Hoya di Bodogol

perlu dikembangkan sebagai proyek

percontohan pengelolaan konservasi

sumberdaya hayati di wilayah ekosistem

Taman Nasional dan Cagar Biosfer taman

Page 78: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299

182

Nasional Gunung Gede Pangrango,

khususnya resort Bodogol. Masyarakat

yang belum mengenal jenis jenis Hoya dan

cara perbanyakan serta pemeliharaan perlu

di berikan pelatihan dan sosialisasi, serta

perlu dilakukan pendekatan pedekatan dan

rencana aksi.

III. METODOLOGI

Lokasi Penelitian

Penelitian di lakukan di Taman

Nasional Gunung Gede Pangrango,

khususnya di Resort Bodogol, dan Desa

Benda, Kecamatan Cicurug, Kabupaten

Sukabumi.

Sumber data dan teknik pengumpulan data

Data berupa keanekaragaman jenis

tumbuhan Hoya di Bodogol dan

dinamikanya dilakukan dengan melakukan

studi pustaka terhadap penelitian terdahulu

yang telah dilakukan oleh Rahayu et al,

(2010), Rahayu (2012), Sulaeman et al,

(2019) dan Bermuli et al, (2019). Kemudian

dilakukan studi lapang kembali untuk

mengkonfirmasi keberadaan Hoya di jalur

interpretasi Bodogol. Pelaksaan penelitian

dilakukan pada April dan Oktober 2018 dan

April 2019.

Survey pasar mengenai minat

masyarakat terhadap tumbuhan Hoya

dilakukan secara desk study dengan

memanfaatkan jaringan nternet, berupa

perkumpulan Hoya dan jumlah took online

yang menjual Hoya secara online.

Pemilihan Komoditas yang akan dikembangkan

Pemilihan komoditas dilakukan

dengan melakukan seleksi terhadap

beberapa tumbuhan potensial yang terdapat

di kawasan konservasi, kemudian

melakukan pemeringkatan berdasarkan

tingkat kepentingan, dengan memberikan

nilai (skoring) / pembobotan.

Adapun kriteria yang dipilih adalah

komoditas tanaman asli Bodogol yang

memiliki kelebihan sebagai berikut:

1. Bisa di pelihara di lahan

sempit/pemukiman

2. Memiliki nilai ekonomi (Laku di

pasaran)

3. Mudah diperbanyak (agar mudah

dalam alih teknologi kepada

masyarakat)

4. Mudah di pelihara

5. Dapat meningkatkan wawasan

masyarakat akan pentingnya

keanekaragaman hayati di sekitarnya

Jenis komoditas yang dipilih untuk

penilaian skoring adalah jenis jenis yang

terdapat di Kawasan Bodogol sebanyak 10

komoditi, yaitu : anggrek, canar, rotan,

Hoya, Begonia, paku pakuan, tumbuhan

Araceae, Tacca, Rebung, Zingiberaceae

(jahe – jahean). Berdasarkan pemeringkatan

akan dipilih 3 yang memiliki nilai terbaik

untuk diperkenalkan kepada masyarakat

setempat dan didiskusikan mana yang akan

dipilih.

Page 79: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019

183

Pengenalan Komoditas terpilih kepada Masyarakat dan Persetujuan Masyarakat

Berdasarkan pemeringkatan, jenis

komoditas yang akan dikembangkan, maka

komoditas yang memiliki nilai tertinggi

diperkenalkan kepada masyarakat setempat

sebagai mitra terpenting dalam

pengembangan komoditas tersebut agar

mendapatkan persetujuan dari masyarakat.

Sebanyak 50 orang diundang untuk

melakukan pengenalan jenis terpilih dan

dilakukan diskusi untuk pemantapan jenis

komoditas terpilih. Untuk selanjutnya

dilakukan pelatihan perbanyakan dan

pemeliharaan. Cara pengenalan dan diskusi

(FGD) dilakukan dalam bentuk

musyawarah. FGD dilakukan dengan

Pengelola Taman Nasional Gunung Gede

Pangrango (Resort Bodogol), Perangkat

Desa penyangga dan masyarakat kampung

Bodogol dan desa penyangga, Perwakilan

NGO (CI, Tepala, dll) untuk membahas

bentuk keterlibatan masyarakat dalam

konservasi. Setelah dilakukan kesepakatan

maka dilanjutkan dengan pembentukan

Whatsapp grup untuk jalur komunikasi

antar anggota hingga ke rencana aksi dan

aksi konservasi.

Metode Analaisis Data

Analisis menggunakan metode

descriptive, yaitu berdasarkan

pemeringkatan untuk tingkat komoditas

terpilih yang akan dikembangkan, dan

diikuti dengan diskusi (FGD) kesepakatan

terhadap komoditas yang dipilih.

IV. ANALISIS DAN ALTERNATIF SOLUSI/PENANGANAN

Perlunya strategi konservasi berbasis budidaya di lahan sempit dengan muatan biodiversitas lokal

Kondisi masyarakat yang sebagian

bertani sayuran di lahan garapan

memerlukan komoditas baru yang dapat

ditanam di lahan

sempit/pekarangan/pemukiman.

Komoditas tersebut hendaknya memiliki

nilai ekonomi (laku di pasaran), mudah

diperbanyak (agar mudah dalam alih

teknologi kepada masyarakat), mudah di

pelihara, dan dapat meningkatkan wawasan

masyarakat akan pentingnya

keanekaragaman hayati di sekitarnya. Hal

ini perlu dilakukan dengan memilih

komoditas sumberdaya jenis jenis tanaman

lokal yang terdapat di Kawasan Bodogol,

seperti anggrek, buah canar, rotan, rebung,

tanaman hias, dari berbagai kelompok

tumbuhan (paku pakuan, Begonia, Araceae,

Tacca, dll).

Pemilihan komoditas yang mudah di

tanam di lahan sempit pada umumnya

adalah tanaman hias terutama yang

berkarakteristik epifit, karena tidak

memerlukan lahan penanaman yang luas.

Pemilihan komoditas yang mudah

dibudidayakan terutama dari segi

perbanyakan apakah melalui setek batang,

biji, atau kultur jaringan. Hal ini akan sangat

Page 80: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299

184

berpengaruh bagi kemudahan penyerapan

dan alih teknologi perbanyakan kepada

masyarakat sekitar. Perbanyakan dengan

setek adalah yang paling mudah dan cepat

dilakukan. Selain itu komoditas harus

memiliki pangsa pasar dan mudah untuk

dijual.

Pemilihan komoditas lokal terutama

yang terdapat di dalam kawasan, memiliki

aspek strategis, yaitu pengenalan akan

kekayaan alam dan keanekaragaman hayati

yang perlu dijaga dan dilestarikan dengan

pemanfaatan secara lestari.

Pemilihan Komoditas tanaman Hoya sebagai Maskot Strategi Konservasi

Berdasarkan analisis data, dari 50

peserta yang diundang yang terdiri atas

Masyarakat Bodgol, Perangkat Desa,

Pengelola Taman Nasional Gunung Gede

Pangrango (Resort Bodogol), dan NGO

(CI, Tepala), sebanyak 42 peserta

mendukung pemilihan Hoya sebagai

komoditas terpilih untuk dikembangkan di

Bodogol baik secara in situ (jalur

interpretasi) maupun ex-situ (budidaya Hoya

di Kampung Bodogol). Sisanya sebanyak 8

orang abstain/tidak berpendapat.

Masyarakat yang setuju memilih Hoya

mengusulkan tagline #Bodogol Kampung

Hoya, dan segera membentuk

organisasinya.

Pemilihan komoditas Hoya sebagai

maskot strategi konservasi jika

dibandingkan jenis tumbuhan lain yang

ditawarkan memiliki kelebihan-kelebihan

sesuai dengan kondisi yang diinginkan yaitu,

Hoya merupakan muatan lokal dan

merupakan kekayaan hayati lokal yang

terdapat di alam kawasan Bodogol, terdapat

8 jenis Hoya dengan tingkat populasi yang

berbeda dan keragaman habitat yang

berbeda. Hal ini tentunya akan sangat

menarik dari sisi pengembangan jalur

ekowisata pengenalan Hoya di alam

kawasan.

Kriteria utama pemilihan komoditas

adalah dapat dibudidayakan di lahan

sempit/pemukiman. Dari kriteria tersebut

tumbuhan epifit dan tanaman hias dapat

dipilih, di antaranya adalah anggrek, Hoya,

Begonia, Araceae, Paku pakuan dan

Zingiberacae serta Tacca. Namun demikian,

untuk tingkat ekonomi, Tumbuhan Hoya

dan anggrek memiliki nilai tertinggi, karena

memiliki banyak peminat. Namun

demikian, jika dibandingkan dengan tingkat

kemudahan budidaya, maka Hoya menjadi

kandidat terpilih, karena memiliki tingkat

kemudahan budidaya paling paling tinggi.

Pengembangan komoditas Hoya di

luar kawasan dalam bentuk Bodogol

Kampung Hoya juga sangat tepat,

mengingat Hoya mudah diperbanyak

dengan menggunakan setek batang. Tidak

memerlukan waktu lama sebagaimana jika

diperbanyak dengan biji. Demikian pula

perbanyakan setek batang sangat mudah

dan mudah diajarkan kepada masyarakat

Page 81: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019

185

jika dibandingkan dengan perbanyakan

secara kultur jaringan. Tumbuhan anggrek

memiliki tingkat ekonomi tinggi dan tidak

memerlukan lahan yang luas karena juga

termasuk tumbuhan epifit. Namun

perbanyakannya memerlukan teknik kultur

jaringan, sehingga sulit diajarkan secara

secara cepat kepada masyarakat setempat.

Strategi Pengembangan Konservasi Secara in situ dan ex situ Melalui Promosi Ekowisata

Kawasan Bodogol merupakan Cagar

Biosfer Kawasan Taman Gunung Gede

Pangrango yang kaya akan jenis jenis Hoya.

Dari 10 jenis yang terdapat di keseluruhan

wilayah TNGGP (Rahayu, 2012), 8 jenis

diantaranya terdapat di Bodogol, yaitu Hoya

multiflora, Hoya latifolia, Hoya lacunosa, Hoya

imperialis, Hoya coronaria, Hoya plicata, Hoya

campaulata dan Hoya vitellinoides. Keberadaan

jenis jenis tersebut tersebar di jalur

interpretasi dengan preferensi habitat

tertentu untuk jenis Hoya yang berbeda,

misalnya Hoya campanulata lebih banyak

terdapat di sekitar aliran sungai (Rahayu,

2012. Sulaeman et al, 2019), sedangkan Hoya

multiflora lebih banyak terdapat di daerah

lereng (Rahayu et al, 2010. Rahayu, 2012.

Sulaeman et al, 2019. Bermuli, 2019). Semua

jenis Hoya yang terdapat di dalam kawasan

tersebut memiliki potensi untuk

dikembangkan sebagai tanaman hias, karena

berdasarkan survey pasar internet, semua

jenis Hoya diminati oleh masyarakat.

Alternatif pengembangan terhadap

pemilihan jenis dapat dilakukan untuk

semua jenis Hoya yang terdapat di dalam

kawasan, yang kesemuanya terdapat di

kawasan Bodogol. Namun demikian,

berdasarkan wawancara dengan masyarakat

setempat dan pengelola kawasan, mereka

belum mengenal Hoya dan manfaatnya

sebagai tanaman hias. Mereka hanya

mengenal anggrek sebagai epifit yang

banyak disukai sebagai tanaman hias. Oleh

karena itu perlu dikembangkan strategi

konservasi secara in situ yang dapat

melibatkan peran serta masyarakat,

terutama pemuda Bodogol, dengan

mengembangkan ekowisata jelajah Hoya di

dalam kawasan Konservasi, dengan sasaran

para wisatawan dapat mengenal Hoya dan

jenis-jenisnya serta habitatnya yang terdapat

di kawasan konservasi Bodogol, dengan

pemanduan khusus, sehingga seluk beluk

mengenai Hoya dapat diperkenalkan kepada

masyarakat (wisatawan). Mereka dapat

melihat secara langsung bagaimana kondisi

Hoya di habitat alaminya. Hal ini tentunya

akan menjadi mata pencaharian yang cukup

menarik bagi pemuda Bodogol. Tentunya

para interpreter dan pemandu tersebut

harus mendapat pelatihan teknik

pemanduan dan interpretasi serta ilmu

mengenai seluk beluk Hoya yang dapat di

transfer kepada wisatawan. Selain itu, para

pemandu dapat melakukan pendidikan

konservasi kepada wisatawan. Adapun jika

Page 82: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299

186

mereka menginginkan budidaya Hoya,

mereka dapat membeli bibit dari masyarakat

yang terdapat di dalam Kampung Hoya.

Pengembangan strategi konservasi in

situ dalam bentuk ekowisata jalur

interpretasi Hoya di dalam kawasan,

tentunya sangat memerlukan dukungan

konservasi dalam bentuk ex situ di luar

kawasan. Konservasi secara ex situ di luar

kawasan dalam hal ini adalah

dikembangkannya Bodogol sebagai

Kampung Hoya, di mana budidaya Hoya

dilakukan di kampung, yang menawarkan

teknologi perbanyakan dan pemeliharaan

Hoya kepada pengunjung, penyediaan bibit,

souvenir, makanan, minuman, penginapan,

transportasi dan lain lain. Pengembangan

strategi konservasi Hoya secara ex siu di luar

kawasan dalam bentuk Bodogol Kampung

Hoya dilakukan dengan pembentukan

organisasi Bodogol Kampung Hoya,

pembentukan aturan internal antar anggota,

pelatihan pengenalan, perbanyakan dan

pemeliharaan, rencana aksi, pemilihan

lokasi sebagai sentra Hoya, penyediaan

sarana dan prasarana penanaman, souvenir

dan lain sebagainya yang diperlukan sebagai

sarana pendukung.

Selain itu wilayah resort Bodogol juga

merupakan wilayah percontohan sebagai

Pusat Pendidikan Konservasi Alam dan juga

sebagai stasiun Penelitian yang tentunya

pengembangan ekowisata Hoya di Bodogol

akan selaras dengan fungsi tersebut.

Adapun pengembangan Kampung wisata

Hoya dapat melibatkan masyarakat

setempat dan beberapa stakeholder terkait,

di mana pihak manajemen authority yaitu

Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede

Pangrango merupakan pelindung dan

pelaksana, PKT Kebun Raya – LIPI sebagai

pendamping (konsultan), Pemda Desa

Benda dan Dusun Bodogol beserta

masyarakat sebagai pelaksana dan

supporting dari Lembaga Swadaya

Masyarakat yang bergerak di bidang

konservasi seperti CI, TEPALA, Eagle,

Pacing, Paguyuban Lengkong, Ciwaluh, dan

lainnya serta pihak swasta PT. MNC Land

yang tempat usahanya berlokasi di sekitar

Bodogol.

REFERENSI

Benzing, D.H. 2008. Vascular Epiphytes. Cambridge Univ. Press, Cambridge

Burton, C.M. 1997. The medicinal properties of Hoyas. The Hoyan 18 (4): 17-14

Ghazoul, J., Sheil, D. 2010. Tropical Rain Forest Ecology, Diversity and Conservation. Oxf. Univ Press, Oxford.

Kleijn, D., van Donkelaar, R. 2001. Notes on the taxonomy and ecology of the genus Hoya (Asclepiadaceae) in Central Sulawesi. Blumea 46: 457 – 483.

Rahayu, S. 2012. Hoya diversity in Gunung Gede Pangrango National Park. Reinwadrtia 13 (4), pp: 331-339

Rahayu, S., Kusmana, C., Abdulhadi, R., Jusuf, M., Suharsono. 2010. Distribution of Hoya multiflora Blume at the Gunung Gede Pangrango National Park,

Page 83: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019

187

Indonesia. Journal of Forestry Research 7 (1): 42-52. No ISSN: 0216-0919. No Akreditasi:683/D/2008 (115/Akred-LIPI/P2MBI/06/2008.

Rahayu, S., Abdulhadi, R.., Risna., R.A., Kusuma, Y.W.C. 2011. Keanekaragam Habitat Hoya multiflora Blume di Stasiun Penelitian Bodogol, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Prosiding Seminar Nasional ”Konservasi Tumbuhan Tropika:Kondisi Terkini dan Tantangan ke Depan”. UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Cibodas, Perhimpunan Biologi Indonesia,Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, SEAMEO Biotrop. Hal: 321-326. No ISBN: 978-979-99448-6-3.

Rahayu, S. 2011. Hoya as medicinal plant in Indonesia. Warta Kebun Raya 11(1): 15-21. [in Bahasa Indonesia with English abstract].

Rahayu, S. 2011. Hoya as medicinal plant in Indonesia. Warta Kebun Raya 11(1): 15-21. [in Bahasa Indonesia with English abstract].

Yang, D.S., Pennisi, S.V., Son, K.C., Kays, S.J. 2009. Screening Indoor Plants for Volatile Organic Pollutant Removal Efficiency. HortScience 44:1377-1381.

Zachos, E. 2005. Practical uses of various Hoya species. Asklepios 93: 10-17

Zeng, Q., Lyga, J.W., Santhanam, U., Chen, Y., Idkowiak-Baldys, J., Hwang, C.S. 2014. Hoya carnosa extracts and methods of use. United State Patent. Appl. No. 13/793,177. http://patents.com/us-8865231.html.

Page 84: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299

188

PETUNJUK PENULISAN

PERSYARATAN UMUM

Artikel hasil penelitian harus berupa tulisan popular yang belum pernah dimuat atau tidak dalam proses review/penerbitan pada jurnal ilmiah lainnya.

CAKUPAN

Artikel yang dapat diterima adalah hasil-hasil penelitian atau synopsis terkait bidang sumber daya alam, pangan, energi, lingkungan, penanggulangan kemiskinan, biomedis, regulasi dan bidang lainnya yang dianggap relevan dengan isu pembangunan pertanian terkini. Artikel akan dipertimbangkan oleh Dewan Editor dan ditelaah oleh reviewer sebelum dinyatakan diterima untuk dimuat.

FORMAT TULISAN

Artikel disusun dengan format sebagai berikut:

1. Judul 2. Penulis dan Lembaga serta alamat

korespondensi 3. Ringkasan/abstrak 4. Kata Kunci 5. Pernyataan Kunci 6. Rekomendasi Kebijakan 7. Pendahuluan (Latar Belakang dan

Tujuan) 8. Metode Penelitian 9. Situasi terkini terhadap isu yang

dibahas 10. Analisis dan alternatif

solusi/penanganan 11. Daftar Pustaka

JUDUL

Ditulis dengan huruf kapital, tidak lebih dari 14 kata.

ABSTRAK

Maksimal 200 kata, dimana tidak ada daftar pustaka dan tidak mencantumkan angka, singkatan, akronim, atau pengukuran kecuali penting. Abstrak harus dimulai dengan pengantar yang jelas dengan dua atau tiga kalimat menyebutkan mengenai latar belakang riset. Kemudian nyatakan

secara umum, permasalahan yang mendasari penelitian. Hasil penelitian atau synopsis yang secara langsung menjawab masalah-masalah dari penelitian. Berikan satu atau dua kalimat untuk membahas temuan atau prospektif.

KATA KUNCI

Kata Kunci, maksimum 6 kata, kata kunci diurutkan secara abjad.

PERNYATAAN KUNCI

Pernyataan Kunci, Maksimal 150 kata. Pernyataan kunci berisi konteks masalah dan urgensinya. Ditulis dalam beberapa paragraf.

REKOMENDASI KEBIJAKAN

Rekomendasi Kebijakan, maksimal 150 kata. Rekomendasi kebijakan berisi pesan yang disampaikan kepada pengambil kebijakan atau stakeholder terkait yang didasari hasil penelitian, yang berdampak pada peningkatan pembangunan, ekonomi, ekologi (lingkungan) dan sosial budaya masyarakat. Ditulis dalam beberapa paragraf.

PENDAHULUAN

Pendahuluan berisi latar belakang dan tujuan

SITUASI TERKINI

Situasi terkini terhadap isu yang dibahas (data riset dan fakta terkini, diutamakan menyajikan data dan informasi dari riset sendiri atau sinopis). Disarankan menggunakan grafik, foto dan grafis.

ANALISIS DAN ALTERNATIF SOLUSI/PENANGANAN

Menyajikan uraian masalah atau penanganan maupun kritik dan opsi-opsi kebijakan berdasarkan data dan informasi terkini.

NASKAH

Diketik menggunakan program MS Word, huruf Garamond ukuran 12pt, garis tepi kiri, tepi kanan, atas dan bawah masing-

Page 85: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019

189

masing 3 cm. Tebal naskah maksimum 15 halaman dengan spasi 1,5 dua kolom (tidak perlu ada lampiran). Naskah dikirimkan berupa softcopy secara online melalui OJS Jurnal Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan yang dikelola oleh Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

(PSP3) Institut Pertanian Bogor Kampus IPB Baranangsiang Bogor. Pertanyaan lebih lanjut dapat dikirimkan melalui email ke

[email protected].

Page 86: ISSN : 2355-6226 - IPB University

Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299

190

Daftar Isi Vol. 6 No. 3 Desember 2019

RISALAH KEBIJAKAN PERTANIAN DAN LINGKUNGAN Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan Analisis Finansial dan Nilai Tambah Usaha Agroforestri Kopi pada Program CSR PT Indonesia Power Up Mrica Kabupaten Banjarnegara Faradis Alfi Zain, Dodik Ridho Nurrochmat ......................................................... 109-120

Kelembagaan Program Citarum Harum dalam Pengelolaan Sub Das Cirasea, Citarum Hulu Farhana Nurysyifa, Kaswanto ................................................................................ 121-136 Pendekatan Partisipatori untuk Strategi Pengembangan Desa Penyangga Taman Hutan Raya Raden Soerjo Erwin Ismu Wisnubroto, Gerardus Jova, Yohanes Roni ........................................ 136-150 Pemakaian Biogas: Hemat Biaya Bahan Bakar dan Tambahan Pendapatan Rumah Tangga Mendukung Ketahanan Energi Roosganda Elizabeth .............................................................................................. 151-175 Strategi Konservasi Tumbuhan Hoya di Bodogol, Cagar Biosfer Taman Nasional Gunung Gede Pangrango melalui Promosi Ekowisata Sri Rahayu, Badiah ................................................................................................. 176-187