ISSN : 2355-6226 - IPB University
Transcript of ISSN : 2355-6226 - IPB University
ISSN : 2355-6226 E-ISSN : 2477-0299
RISALAH KEBIJAKAN PERTANIAN DAN LINGKUNGAN Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019 Ketua Editor
Anja Meryandini
Dewan Editor Dodik Ridho Nurrochmat Widiatmaka Hadi Susilo Arifin Ahmad Maryudi Sofyan Sjaf Leti Sundawati M. Alif Sahide Lukas Giessen James Thomas Erbaugh Ho Sang Kang
Editor Pelaksana Kaswanto
Tim Teknis Riza Hariwahyudi Fajar Cakrawinata Badar Muhammad
Penerbit Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Institut Pertanian Bogor (PSP3-LPPM IPB) dan Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI) Sekretariat Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Institut Pertanian Bogor (PSP3-LPPM IPB, Gedung utama Kampus IPB Baranangsiang, Jl. Raya Pajajaran No.7, RT.02/RW.05, Tegallega, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor, Jawa Barat 16129 P: +62 251 8345 724 F: +62 251 8344113 E: [email protected]
Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019: 109-120 ISSN : 2355-6226 E-ISSN : 2477-0299
109
ANALISIS FINANSIAL DAN NILAI TAMBAH USAHA AGROFORESTRI KOPI PADA PROGRAM CSR PT INDONESIA
POWER UP MRICA KABUPATEN BANJARNEGARA
Faradis Alfi Zain1*, Dodik Ridho Nurrochmat2 1 Program Studi Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan,
Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor 16680 *Email: [email protected]
2 Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor 16680
RINGKASAN
Kegiatan pembudidayaan sayuran di wilayah hulu menjadi faktor utama penyumbang
sedimentasi Waduk Panglima Besar Soedirman. Penanaman komoditas kopi melalui program
Sekolah Lapang Konservasi dimaksudkan sebagai salah satu alternatif guna membenahi
permasalahan ini. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalis kelayakan finansial usaha kopi
pada berbagai pola agroforestri, menguji tingkat sensitivitas dari penurunan harga dan kenaikan
biaya input terhadap keuntungan usaha, serta besaran nilai tambah dari setiap bentuk olahan
buah kopi di Desa Leksana, Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara. Berdasarkan
perhitungan analisis finansial yang dilakukan menggunakan metode Discounted Cash Flow, usaha
dengan pola agroforestri jambu, sengon, kopi arabika lebih menguntungkan dibandingkan pola
agroforestri sengon, kopi robusta dan pola agroforestri sengon, kopi robusta pagar. Usaha
agroforestri kopi di Desa Leksana lebih sensitif terhadap penurunan harga jual daripada
kenaikan biaya produksi. Menurut perhitungan nilai tambah menggunakan metode Hayami,
olahan produk kopi pada level roasted bean memberikan nilai tambah yang terbesar dibandingkan
dengan produk olahan lainnya.
Kata kunci: agroforestri, analisis finansial, kopi, nilai tambah
PERNYATAAN KUNCI
• Peningkatan jumlah komoditas yang
didominasi sayuran berdampak
positif terhadap peningkatan nilai
ekonomi masyarakat. Namun
peningkatan jumlah komoditas
sayuran tanpa diimbangi oleh
tanaman keras akan berdampak
negatif terhadap aspek ekologi di
wilayah pegunungan.
• Masyarakat mulai menanam kopi
secara masif sejak dimulainya
program Sekolah Lapang Konservasi
melalui kerjasama PT Indonesia
Power UP Mrica dan Dinhutbun
Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299
110
Kabupaten Banjarnegara pada tahun
2009.
• Motivasi masyarakat menanam kopi
adalah untuk upaya konservasi tanah
dan air serta menjadikannya sebagai
usaha sampingan karena dalam
pelaksanaannya tidak membutuhkan
modal banyak.
• Tingginya permintaan kopi dalam
periode waktu yang singkat
berpotensi mengurangi persediaan
kopi secara drastis. Hal ini dapat
mempengaruhi kontinuitas penjualan
kopi, sehingga kajian mengenai
strategi pemasaran perlu dilakukan.
REKOMENDASI KEBIJAKAN
• Penanaman kopi memberikan
manfaat ekonomi yang tinggi bagi
masyarakat, sehingga perlu
dikembangkan lagi pengelolaannya
agar dapat berproduksi secara
optimal.
• Beberapa alternatif untuk
mengoptimasi lahan petani di Desa
Leksana adalah dengan memperbaiki
pola tanam dan menanam tanaman
MPTS (Multipurpose Tree Species) yang
toleran terhadap naungan.
• Memberikan edukasi pada petani
tentang selecting and grading biji kopi.
Agar biji yang berkualitas specialty
cukup diolah sampai produk green bean
dan roasted bean, sedangkan biji yang
berkualitas di bawahnya diolah hingga
menjadi bubuk kopi, sehingga
keuntungan yang diperoleh akan lebih
optimal.
I. PENDAHULUAN
Sub DAS Merawu merupakan salah
satu Sub DAS kritis di Banjarnegara karena
memiliki pola sedimentasi yang terus
meningkat dan laju erosi yang sangat
fluktuatif setiap tahunnya. Tercatat pada
tahun 2009, tingkat laju erosi di Sub DAS
Merawu mencapai 13,30 mm (Indonesia
Power, 2018). Sebagian besar masyarakat di
daerah hulu Waduk Panglima Besar
Soedirman hanya berfokus pada
pembudidayaan sayuran. Pola tanam yang
kurang beraturan sangat bervariasi
mengikuti tren yang sedang berlangsung
dan kondisi ekonomi setiap petani, serta
kurangnya tanaman keras yang ditanam
mengakibatkan fungsi hidrologi di daerah
pegunungan terus berkurang. Oleh sebab
itu tutupan lahan bervegetasi pada bagian
hulu Waduk PB Soedirman sangat
diperlukan guna mengurangi laju erosi dan
sedimentasi.
Salah satu alternatif dalam
membenahi permasalahan ini adalah dengan
menerapkan pola tanam agroforestri.
Darusman (2002) dalam Hairiah et al, (2003)
mengungkapkan bahwa sistem agroforestri
memiliki lebih banyak keunggulan
dibandingkan sistem yang lain, yaitu
terciptanya kestabilan ekologi yang lebih
tinggi, terciptanya kesinambungan ekonomi
Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019
111
yang berimbas pada peningkatan
kesejahteraan petani, tingkat kesesuaian
yang lebih tinggi dengan budaya dan
pengetahuan petani, serta terpenuhinya
kestabilan politik akibat daya terima yang
lebih luas di masyarakat.
Awal tahun 2009 Dinas Kehutanan
dan Perkebunan Kabupaten Banjarnegara
bersama PT Indonesia Power UP Mrica
menginisiasi diselenggarakannya program
guna menyadarkan masyarakat lokal
mengenai pentingnya usaha pemeliharaan
kawasan hulu yang diberi nama program
Sekolah Lapang Konservasi (SL
Konservasi). Penentuan objek CSR
didasarkan oleh pemetaan kawasan Sub
DAS yang paling banyak memberikan
kontribusi sedimentasi, yakni Sub DAS
Merawu, yang terletak di Desa Leksana,
Kecamatan Karangkobar dan Desa
Kubang, Kecamatan Wanayasa.
Komoditas yang dijadikan sebagai
objek pada program SL Konservasi ini
adalah kopi. Kopi telah menjadi produk
andalan penyumbang devisa negara karena
besarnya permintaan pasar global terhadap
komoditas ini. Dalam penelitian yang
dilakukan Sudjarmoko (2013), disebutkan
bahwa ekspor kopi Indonesia yang
cenderung fluktuatif masih didominasi oleh
ekspor biji kopi sebesar 99.8 persen dan
sisanya dalam bentuk bubuk. Sebagai salah
satu negara eksportir kopi dunia, produksi
kopi menjadi input utama dalam kegiatan
ekspor negara Indonesia. Dalam program
SL Konservasi, pembudidayan kopi
direkomendasikan sebagai alternatif
pemanfaatan lahan di daerah pegunungan
karena perakarannya yang kuat dan bersifat
toleran terhadap naungan. Penerapan pola
agroforestri kopi tidak hanya memiliki nilai
konservasi, ekologi, sosial budaya, namun
jika dikelola dengan teknologi yang tepat
akan memberikan nilai ekonomi yang
signifikan.
Adanya pengetahuan mengenai hasil
analisis finansial akan membantu petani
dalam mengalokasikan sumberdaya yang
dimiliki untuk memperoleh keuntungan
pada selang waktu tertentu secara efektif
dan efisien. Disamping itu, mengingat
bahwa hampir 99.8 % buah kopi dieskpor
dalam bentuk biji, maka pengetahuan
mengenai besaran nilai tambah dari setiap
bentuk olahan kopi juga diperlukan sebagai
alternatif bagi para petani dalam menjual
produknya.
II. SITUASI TERKINI
Pola Tanam Kopi di Desa Leksana
Jenis kopi yang dicanangkan pada
program SL Konservasi adalah jenis kopi
robusta, karena memiliki perakaran yang
lebih kuat dan mampu menghasilkan buah
per tanaman yang lebih banyak dibanding
jenis arabika, meskipun nilai jualnya lebih
rendah. Saat dimulainya kegiatan
penanaman SL Konservasi, petani
menyediakan hampir setengah dari
Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299
112
kepemilikan lahannya untuk ditanami kopi.
Dari total lahan garapan seluas 20,87 ha,
9,16 ha diantaranya ditargetkan untuk
ditanam komoditi kopi. Secara umum pola
tanam kopi di Desa Leksana terbagi menjadi
2 macam.
Gambar 1 Pola tanam agroforestri sengon kopi
robusta (I), agroforestri sengon kopi robusta pagar (II), agroforestri jambu
sengon kopi arabika (III)
Pola pertama (I) adalah penanaman
kopi robusta secara menyeluruh di setiap
sela bedeng sayuran dengan jarak 2 m x 3 m
ditambah selingan sengon pada setiap jarak
5−6 m, sehingga diproyeksikan pada tahun
kedua dan seterusnya bidang lahan tersebut
terpenuhi oleh kopi dan sengon. Sayuran
hanya mampu tumbuh optimal hingga umur
2 tahun, karena di tahun tersebut cabang
kopi sudah mulai rapat menaungi tanah di
bawahnya.
Pola kedua (II) yang umum dijumpai
di lokasi penelitian adalah penanaman kopi
robusta yang hanya ditanam di sekeliling
lahan petani sebagai tanaman pagar dengan
jarak tanam 2 m, dan di sela bedengan hanya
ditanami sengon setiap 5−6 m, sehingga
sayuran masih mampu tumbuh optimal
sampai jangka waktu pengusahaan berakhir.
Pada penelitian ini dibuat sebuah pola
simulasi (III) yakni dengan tetap menanam
sengon dan menambahkan tanaman jambu
kristal, serta mengganti kopi robusta dengan
jenis arabika yang memiliki nilai toleransi
lebih tinggi terhadap naungan. Jambu dan
sengon ditanam secara selang-seling dengan
jarak tanam 4 m x 4 m, sedangkan kopi
arabika pada sela bedengan di sampingnya
dengan jarak tanam 2 m x 4 m. Pembuatan
pola III dimaksudkan untuk
membandingkan apakah secara ekonomi
sistem agrokompleks ini mampu
mengimbangi atau bahkan melebihi sistem
hortikultura konvensional yang telah lama
diterapkan oleh para petani (pola II).
Penerimaan dan Biaya Usaha
Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019
113
Pada Kelompok Sari Tani, ketua
kelompok yang berinisiatif untuk membeli
hasil panen buah kopi langsung dari para
anggota kelompok, sehingga harganya
cenderung stabil. Dengan adanya bantuan
alat dari PT Indonesia Power, petani sangat
terfasilitasi untuk menjual produk kopinya
secara mandiri, mulai dari bentuk green bean,
roasted bean, maupun bubuk kopi. Ketua
kelompok membeli buah kopi robusta dari
para petani per kilonya seharga Rp 5.500,-
dan kopi arabika Rp 7.000,-. Besar
penerimaan yang digunakan dalam
perhitungan analisis finansial ini hanya
harga buah kopi, tidak sampai pada harga
olahan green bean dan roasted bean, karena
semua anggota kelompok tani hanya
memperoleh penerimaan dari buah kopi.
Harga jual kopi jenis robusta dan arabika
serta olahannya di Desa Leksana dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Harga jual kopi robusta dan arabika di Desa Leksana
No. Jenis Harga (Rp/kg)
Robusta Arabika
1 Buah (Cherry) 5.500 7.000
2 Green Bean 40.000 100.000
3 Roasted Bean 125.000 250.000
4 Bubuk Kopi 150.000 300.000
Tabel 2. Total aliran kas masuk pada pola agroforestri kopi di Desa Leksana
Pola Agroforestri
Jumlah (Rp/ha) Total (Rp/ha) Sayuran Kopi Sengon Jambu
sengon & kopi robusta
757.436.400 325.662.375 273.600.000 − 1.356.698.775
sengon & kopi robusta pagar
5.713.394.400 136.386.750 273.600.000 − 6.123.381.150
jambu, sengon, & kopi arabika
577.656.000 267.710.950 641.250.000 1.638.451.200 3.125.068.150
Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299
114
Pemasukan lain yang diterima petani
adalah penjualan kayu sengon dan buah
jambu kristal. Kayu sengon sebetulnya
dijual oleh petani saat diperlukan
pemasukan lebih sesuai desakan kebutuhan,
atau biasa disebut tebang butuh. Karena
volume kayu yang dihasilkan cukup
bervariasi akibat perbedaan bibit dan sistem
pemeliharaan, maka harga sengon
diasumsikan sama yakni sebesar Rp
300.000,- sesuai dengan harga minimum
sengon yang memiliki lingkar 70−80 cm
(d=25 cm) di Kecamatan Karangkobar.
Umumnya pada umur 5 tahun sengon dapat
mencapai ukuran diameter tersebut dan
diperkirakan harganya akan terus
meningkat.
Tanaman jambu kristal yang
dibudidayakan oleh petani di Desa Leksana
mampu menghasilkan buah pada tahun
pertama dan kedua setiap minggunya rata-
rata sebanyak 0,5 kg, tahun ketiga dan
keempat sebesar 1,05 kg per tanaman, dan
diperkirakan akan terus meningkat hingga
mencapai puncak produktivitas di umur 6
dan 7 tahun. Rincian total pemasukan dari
setiap komoditas yang diusahakan pada pola
agroforestri kopi di Desa Leksana
ditampilkan pada Tabel 2.
Jika dibandingkan antara ketiga pola,
pengeluaran pada pola II dan III memiliki
tingkat pembiayaan yang jauh lebih besar
yaitu pada biaya variabel, dari mulai
penyediaan bibit hingga pemanenan. Hal ini
disebabkan karena pada pola II sayuran
mampu ditanam hingga jangka waktu
pengusahaan berakhir, maka selalu ada
pengeluaran di setiap tahunnya. Sementara
pada pola III terdapat tambahan komoditas
jambu yang membuat biaya
pemeliharaannya meningkat tajam.
III. ANALISIS DAN ALTERNATIF SOLUSI
Analisis Finansial Usaha Agroforestri Kopi Desa Leksana
Kelayakan usaha dihitung dalam
jangka waktu pengusahaan selama 15 tahun
dengan luasan sama setiap polanya, yakni 1
hektar. Selama jangka waktu pengusahaan,
tanaman kopi diasumsikan 1 kali daur yakni
sesuai umur produktifnya, sengon
diasumsikan 3 kali daur yang berarti dipanen
setiap berumur 5 tahun, dan jambu
diasumsikan 2 kali daur yaitu setelah
tanaman jambu berumur 10 tahun. Analisis
finansial dilakukan dengan melihat
rekapitulasi arus masuk dan arus keluar kas
yang dibuat dalam suatu cash flow dalam
masing-masing unit usaha. Sementara hasil
perhitungan terhadap analisis finansial pada
sistem agroforestri pola-I (sengon dan kopi
robusta), pola-II (sengon dan kopi robusta
pagar), dan pola-III (jambu, sengon, dan
kopi arabika) ditampilkan dalam Tabel 3.
Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019
115
Tabel 3. Rekapitulasi cashflow pada sistem pengelolaan agroforestri pola-I, pola-II, dan pola-III di Desa Leksana
Kriteria Pola-I Pola-II Pola-III
Kelayakan (Sengon dan (Sengon dan Kopi (Jambu, Sengon,
Investasi Kopi Robusta) Robusta Pagar) dan Kopi Arabika)
NPV (Rp/ha/15tahun) 469.422.559 1.286.677.768 1.315.264.047
BCR 1,74 1,44 2,41
IRR 95% 106% 113%
Berdasarkan Tabel 3, pola III
memiliki nilai NPV yang terbesar
dibandingkan kedua pola lainnya. Pola
ketiga merupakan pola simulasi dengan
tambahan komoditas dari MPTS yakni
tanaman jambu kristal, atau dapat disebut
dengan sistem agrokompleks. Selama
jangka waktu pengusahaan 15 tahun petani
pada pola ketiga akan memperoleh manfaat
bersih sebanyak Rp 1.315.264.047,-/ha.
Angka ini tentu cukup menjanjikan karena
mampu menandingi sistem hortikultura
konvensional (pola II) yang telah lama
diterapkan sebelumnya oleh para petani.
Selain memberikan nilai NPV lebih besar,
sistem pemeliharaan pada pengelolaan pola
ketiga juga lebih sederhana dibandingkan
pola kedua.
Semua sistem pengelolaan yang
diterapkan pada ketiga pola memiliki nilai
BCR lebih dari satu, maka proyek pada
setiap pola tersebut dinilai layak dan
menguntungkan untuk dijalankan.
Diketahui sistem pengelolaan pada setiap
pola menggunakan suku bunga deposito
Bank BRI sebesar 5%. Diantara ketiga pola
yang diusahakan, pola ketiga (simulasi)
memiliki nilai BCR yang terbesar yaitu
2,41%. Hal ini terjadi karena pendapatan
terdiskonto yang diperoleh pola ketiga jauh
lebih besar dibandingkan ketiga pola
lainnya.
Nilai IRR yang dihasilkan dapat
menggambarkan besarnya kemampuan
usaha untuk mengembalikan modal yang
dikeluarkan. Ketiga pola pengusahaan
sesuai dengan Tabel 3 memiliki nilai IRR
yang lebih dari sama dengan tingkat suku
bunga deposito 5%, maka ketiga proyek
tersebut layak untuk diusahakan dan terus
dikembangkan. Pola III memiliki tingkat
IRR tertinggi yakni sebesar 113%,
sedangkan pola II dan III memiliki tingkat
IRR senilai 95% dan 106%.
Nilai IRR yang dihasilkan oleh ketiga
pola sangat besar disebabkan karena
usahatani ini selalu mendapatkan
pemasukan setiap tahun yang dapat
mengkover keseluruhan biaya pada tahun
tersebut. Oleh sebab itu tingkat
pengembaliannya cepat hingga mencapai
100%. Namun IRR bukanlah metrik yang
dapat diandalkan untuk membuat suatu
keputusan, karena suatu usaha yang
Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299
116
memiliki nilai tingkat pengembalian internal
(IRR) tinggi tidak selalu lebih baik
dibandingkan usaha yang memiliki nilai IRR
rendah (Gittinger, 2008). Proyek yang baik
tetap merupakan proyek yang memberikan
lebih banyak hasil kepada pendapatan
dibandingkan terhadap sumberdaya yang
digunakan.
Tabel 4. Hasil analisis sensitivitas usaha agroforestri kopi di Desa Leksana
Uraian Pola Agroforestri
Kondisi Persen
perubahan
Normal Harga turun Biaya naik
Harga turun
Biaya naik
10% 10% 10% 10%
NPV (Rp)
Kopi sengon 469.422.559 358.723.563 405.665.819 23,58 13,58
Kopi sengon pagar 1.286.677.768 863.233.874 991.901.650 32,91 22,91 Kopi sengon jambu 1.315.264.047 1.090.328.359 1.221.854.764 17,10 7,10
IRR (%)
Kopi sengon 95 65 67 31,58 29,47
Kopi sengon pagar 106 72 75 32,08 29,25 Kopi sengon jambu 113 88 90 22,12 20,35
BCR
Kopi sengon 1,74 1,56 1,58 10,34 9,20
Kopi sengon pagar 1,44 1,29 1,31 10,42 9,03
Kopi sengon jambu 2,41 2,17 2,19 9,96 9,13
Analisis Sensitivitas Usaha Agroforestri Kopi Desa Leksana
Analisis sensitivitas diterapkan untuk
menilai hal-hal yang akan terjadi terhadap
hasil analisis kelayakan suatu proyek apabila
terjadi perubahan di dalam perhitungan
biaya atau manfaat. Menurut Nurmalina et
al, (2010) perubahan yang sering terjadi
dalam menjalankan bisnis adalah perubahan
harga, keterlambatan pelaksanaan, kenaikan
biaya, dan perubahan hasil produksi.
Analisis sensitivitas pada penelitian ini
dilakukan dengan dua skenario yaitu apabila
terjadi penurunan penjualan kopi, sayuran,
dan buah jambu kristal sebesar 10%, dan
apabila terjadi kenaikan biaya total dalam
pengelolaan usaha sebesar 10%. Hasil
analisis sensitivitas usaha agroforestri kopi
ditunjukkan oleh Tabel 4.
Berdasarkan hasil analisis sensitivitas
pada Tabel 4, meskipun terjadi perubahan
terhadap nilai NPV, IRR serta BCR, tetapi
secara umum kondisi kelayakan usaha tidak
mengalami perubahan pada kenaikan biaya
atau penurunan penerimaan sebesar 10%.
Nilai NPV yang dihasilkan masih lebih
besar dari 0, nilai BCR masih lebih besar
dari 1 dan nilai IRR yang dihasilkan masih
lebih besar dari tingkat suku bunga yang
digunakan yaitu 5%. Perbandingan
persentase perubahan nilai ketiga kriteria
yang digunakan menunjukkan penurunan
Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019
117
harga produk sebesar 10% menghasilkan
perubahan negatif yang lebih besar daripada
terjadinya kenaikan biaya input sebesar
10%. Artinya usaha agroforestri kopi di
Desa Leksana akan lebih sensitif terhadap
faktor-faktor yang mempengaruhi
terjadinya penurunan harga jual produk
dibandingkan hal-hal yang berpengaruh
terhadap kenaikan biaya modal.
Analisis Nilai Tambah Produk Olahan Kopi
Kondisi saat ini di lapangan
menunjukkan bahwa petani adalah agen
ekonomi yang memperoleh keuntungan
terkecil dan menanggung risiko produksi
tertinggi. Oleh karena itu, pengembangan
agroindustri dapat digunakan sebagai model
alternatif pemberdayaan masyarakat untuk
meningkatkan nilai tambah produk dengan
memanfaatkan bahan baku lokal. Meskipun
skala bisnis ini masih dikategorikan sebagai
industri skala rumah tangga, produk yang
dihasilkan akan mampu memperkaya variasi
produk di pasar lokal dan mengisi pasar di
luar wilayah (Aklimawati et al, 2016).
Menurut Hayami et al, (1987), nilai tambah
merupakan penambahan nilai pada input
dengan melakukan proses pengangkutan,
pengolahan, dan penyimpanan dalam suatu
produksi sehingga menghasilkan output
yang bernilai lebih tinggi dibandingkan
dengan input.
Perhitungan nilai tambah dilakukan
pada setiap bentuk olahan buah kopi, yaitu
green bean, roasted bean, dan bubuk kopi, baik
jenis robusta maupun arabika. Output dan
input yang digunakan serta dihasilkan
berbeda setiap produknya. Hal ini karena
penyediaan bahan baku dan kapasitas
produksi yang berbeda di setiap
pengolahannya. Jadi penentuan bahan baku
sejumlah 100 kg hanya berlaku untuk buah
kopinya saja, bahan baku green bean dan
roasted bean akan menyesuakan dengan
seberapa besar penyusutan yang terjadi
dalam setiap proses pengolahannya.
Nilai tambah diperoleh melalui
pengurangan nilai output dengan
sumbangan input lain dan harga bahan
baku. Dari semua proses pengolahan,
ternyata kopi yang telah disangrai (roasted
bean) yang memiliki nilai tambah terbesar,
yaitu Rp 54.734,- pada kopi robusta dan Rp
94.361,- pada kopi arabika. Dengan
demikian petani akan dapat memaksimalkan
keuntungannya apabila menjual biji kopi
kualitas baik pada level produk roasted bean
dan mengolah biji kopi yang cacat hingga
menjadi bubuk kopi. Melalui
pengembangan agroindustri kopi, nilai
tambah produk akan dapat memberikan
keuntungan yang lebih besar kepada petani
serta memudahkan penyediaan bahan baku
bagi industri kopi skala kecil dan menengah.
Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299
118
Tabel 5. Perbandingan nilai tambah dan keuntungan produk olahan buah kopi robusta dan arabika
No. Produk Olahan
Nilai Rasio Nilai Keuntungan
(Rp/kg)
Rasio
Tambah Tambah Keuntungan
(Rp/kg) (%) (%)
1 Green Bean Robusta 4.362 43,62 3.181 31,81
2 Green Bean Arabika 17.862 71,45 16.681 66,73
3 Roasted Bean Robusta 54.734 54,73 52.623 52,62
4 Roasted Bean Arabika 94.361 47,18 91.833 45,92
5 Bubuk Kopi Robusta 13.259 8,84 9.925 6,62
6 Bubuk Kopi Arabika 38.171 12,72 34.421 11,47
Selecting and Grading Produk Olahan Kopi
Nilai tambah suatu produk akan
dapat meningkat secara lebih optimal
apabila produk mendapatkan nilai jual yang
tepat sesuai dengan kualitasnya. Untuk itu
sangat diperlukan adanya pengetahuan
mengenai selecting and grading dalam
pengolahan kopi. Selama ini Kelompok Sari
Tani hanya menyeleksi kopinya menjadi 2
bagian, yaitu kopi kualitas baik dan kopi
cacat. Semua kopi yang telah diseleksi
tersebut tetap diolah hingga akhir, yang
membedakan hanya pada pemasarannya.
Kopi yang berkualitas baik akan dijual
kepada konsumen sementara kopi yang
cacat hanya dijadikan sebagai konsumsi
pribadi.
Menurut ketua umum Specialty
Coffee Associations of Indonesia, A.
Syafrudin, secara umum kopi dibagi
menjadi tiga kategori yaitu specialty,
premium, dan komersil. Kopi specialty
mempunyai nilai cupping score di atas 80, kopi
premium memiliki nilai cupping score di
bawah kopi specialty yaitu 70 hingga 80,
sedangkan kopi komersil memiliki nilai
cupping score di bawah 70. Kopi yang telah
masuk ke kelas specialty akan memiliki
harga yang jauh lebih mahal dan biasanya
kedai-kedai kopi yang memburu kopi
kualitas ini. Kopi berkualitas premium
umumnya saat ini dijual langsung kepada
konsumen, namun tak jarang kedai kopi
juga masih membeli kopi kualitas ini apabila
kopi kualitas specialty sedang tidak tersedia
di pasaran. Sementara kopi komersil (asalan)
biasanya digunakan oleh pabrik-pabrik
untuk dijadikan kopi instan karena harganya
yang masih terjangkau dan pengolahannya
yang tidak murni kopi, melainkan terdapat
bahan tambahan lainnya. Apabila
dibandingkan harga jual kopi dari setiap
kualitas memiliki selisih besaran yang cukup
signifikan, Tabel 6 menyajikan data harga
berbagai kualitas kopi yang berasal dari
Pulau Jawa.
Berdasarkan informasi harga yang
tersaji pada Tabel 6, dapat diketahui jika
petani melakukan proses selecting and grading
Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019
119
secara lebih cermat maka produknya akan
dapat memiliki nilai jual yang lebih tinggi,
terutama pada kualitas specialty.
Tabel 6. Perbandingan harga green bean dan roasted bean kopi di lapang dengan harga rata-rata pasara
Jenis Kopi
Bentuk Olahan Harga di Lapang
(Rp/kg)
Harga Rata-Rata Pasarb (Rp/kg)
Specialty Premium Komersil
Robusta Green Bean 40.000 72.500 44.000 27.600
Roasted Bean 125.000 212.000 140.000 95.000
Arabika Green Bean 100.000 143.000 106.000 46.000
Roasted Bean 250.000 369.600 261.000 175.000 aJenis kopi khas di Jawa yang digunakan dalam penentuan harga rata-rata pasar yakni jenis kopi Java Preanger, Papandayan, Sumbing, Sindoro, Bowongso, Temanggung, Dampit Malang, Blawan Bondowoso, Ijen, dan Argopuro. bData diperoleh dari situs jual beli online dan wawancara ke beberapa kedai kopi di Bogor dan
Banjarnegara.
Kopi yang berkualitas specialty akan
mengalami peningkatan harga mencapai
40−80% dari harga yang biasanya dijual di
lokasi penelitian. Jika dikategorikan
sebetulnya harga kopi yang selama ini dijual
oleh petani Sari Tani termasuk ke dalam
harga kopi kualitas premium. Oleh sebab itu
guna mengoptimalkan keuntungan, kopi
yang tidak termasuk ke dalam kategori
kualitas specialty akan lebih baik jika diolah
hingga menjadi produk bubuk kopi,
mengingat harga bubuk kopi masih lebih
besar dibandingkan harga roasted bean
kualitas premium di pasaran, yakni sebesar
Rp 150.000,- untuk kopi robusta dan
sebesar Rp 300.000,- untuk kopi arabika.
Namun pada kenyataannya di
pasaran, kedai-kedai kopi lebih menyukai
untuk membeli produk olahan green bean dari
para petani dibandingkan produk roasted
bean. Kedai kopi tersebut memilih untuk
menyangrai biji kopinya sendiri karena
memiliki standar yang tinggi terhadap
produk yang akan dijual kepada para
penikmat kopi, sehingga tak jarang
ditemukan kedai kopi yang sekaligus
merangkap menjadi Roastery. Hanya sedikit
kedai kopi yang membeli langsung olahan
roasted bean langsung dari petani, terkecuali
kedai kopi ini telah benar-benar menaruh
kepercayaan terhadap petani akan produk
roasted bean yang diolahnya.
Sebagian besar petani yang mengolah
produknya hingga level roasted bean dan
bubuk kopi lebih banyak menjualnya
langsung kepada perorangan, terutama yang
menjadi pelanggan setianya. Oleh sebab itu
adanya edukasi tentang selecting and grading
pada petani juga perlu diimbangi dengan
pemberian informasi mengenai sasaran
Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299
120
pemasaran yang tepat untuk setiap
produknya, dimana green bean dijual langsung
ke kedai-kedai kopi, sedangkan olahan
roasted bean diutamakan untuk dijual
langsung ke perorangan dan sebagiannya
lagi ke kedai kopi, dan bubuk kopi dijual
langsung ke konsumen (perorangan).
REFERENSI
Aklimawati, L., Soemarno, D., Mawardi, S. 2016. Application of marketing mix in home industry: focussed on micro and small scale coffee industry. Pelita Perkebunan. 32(1): 52−66.
Gittinger, J.P. 2008. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Ed ke-2. Mangiri K, Sutomo S, penerjemah; Bhaktiyani R, Ulfah S, editor. Jakarta (ID): Universitas Indonesia Press.
Hairiah, K., Utami, S.R., Verbist, B., Van Noordwijk, M., Sardjono, M.S. 2003. Prospek Penelitian dan Pengembangan Agroforestri di Indonesia. Bogor (ID): International Centre for Research in Agroforestry.
Hayami, Y., Kawagoe, T., Morooka, Y., Siregar, M. 1987. Agricultural Marketing and Processing in Unpland Java A Perspective From A Sunda Village. Bogor (ID): CGPRT Center.
Indonesia Power. 2018. Perkembangan Laju Sedimentasi Waduk Panglima Besar Soedirman dan Tingkat Erosi Daerah Aliran Sungainya. Banjarnegara (ID): Indonesia Power.
Nurmalina, R., Sarianti, T., Karyadi, A. 2010. Studi Kelayakan Bisnis. Departemen Agribisnis (ID): Institut Pertanian Bogor.
Sudjarmoko, B. 2013. Prospek pengembangan industrialisasi kopi
Indonesia. STRINOV. 1(3): 99−110.
Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019: 121-135 ISSN : 2355-6226 E-ISSN : 2477-0299
121
KELEMBAGAAN PROGRAM CITARUM HARUM DALAM PENGELOLAAN SUB DAS CIRASEA, CITARUM HULU
Farhana Nurysyifa1*, Kaswanto1* 1 Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Boogor (IPB), Bogor 16680 * Email: [email protected] ; [email protected]
RINGKASAN
Sub DAS Cirasea merupakan daerah hulu DAS Citarum. Area ini memiliki indeks erosi
yang sangat buruk akibat masifnya aktivitas pertanian, sehingga lanskap hutan semakin terancam
dari tahun ke tahun. Padahal daerah hulu DAS memiliki peran strategis dalam menjamin kualitas
air di daerah yang lebih rendah. Oleh karena itu, penempatan sektor Satgas Kodam III dalam
menunjang program Citarum Harum terdapat di beberapa kecamatan di kawasan Sub DAS
Cirasea. Namun, pelaksanaan program Citarum Harum yang hanya dibatasi 7 tahun justru
menimbulkan persoalan baru terkait keberlanjutan pengelolaan. Untuk itu, penelitian ini
bertujuan menyusun rekomendasi untuk mendukung penguatan kelembagaan untuk
pengelolaan Sub DAS Cirasea. Kawasan yang menjadi prioritas dalam penempatan sektor
khusus menangani permasalahan erosi memiliki beberapa kriteria, seperti status lahan sebagai
hutan lindung dan atau hutan konservasi, luasnya area lahan kritis, elevasi di atas 1000 m, dan
memiliki topografi curam. Motivasi ekonomi, sebagai salah satu faktor agar masyarakat memiliki
inisiatif dalam mengelola sungai, dipengaruhi oleh seberapa pentingnya fungsi sungai sebagai
penunjang kehidupan sehari-hari. Analisis SWOT menghasilkan beberapa prioritas
rekomendasi, yaitu perlu adanya kepastian koordinasi antarprogram maupun antarsektor secara
riil di lapangan dan kepastian pascapanen untuk meningkatkan motivasi petani dalam menanam
kopi.
Kata kunci: analisis kelembagaan, indeks erosi, pengelolaan berkelanjutan
PERNYATAAN KUNCI
• Pengelolaan DAS dalam menanggulangi
permasalahan erosi terkesan mengalami
simplifikasi, yaitu cukup melakukan
kegiatan tanam-menanam. Nyatanya
program RHL telah dilaksanakan sejak
lama, namun permasalahan erosi tidak
kunjung selesai.
• Satgas TNI, sebagai salah satu lembaga
program Citarum Harum, memiliki
kekonsistenan dalam menjalankan
tupoksinya dalam menanggulangi
permasalahan erosi meskipun penurunan
Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299
122
upah dari pusat seringkali mengalami
kendala. TNIpun memiliki etos kerja
yang tinggi.
• Namun, Satgas TNI seringkali terkesan
mengerjakan tupoksi lembaga lain,
• Selain itu, masyarakatpun seringkali
menuruti perintah dari TNI mengingat
budaya ‘feodal’ masih melembaga di
kehidupan masyarakat.
• Namun koordinasi antara masyarakat
dan TNI terkadang mengalami kendala,
terutama di daerah yang memiliki konflik
lahan yang tinggi di Kecamatan
Kertasari, sehingga TNI seringkali
bekerja sendiri. Padahal Program
Citarum Harum hanya berjalan selama 7
tahun. Jika permasalahan partisipasi
masyarakat tidak ditanggulangi, tidak
dapat dipastikan apakah mekanisme
pengelolaan DAS dapat berjalan secara
berkelanjutan.
REKOMENDASI KEBIJAKAN
• Perlu adanya kepastian koordinasi
antarprogram maupun antarsektor
secara riil di lapangan.
• Kepastian pascapanen sebagai insentif
petani kopi.
• Perlu melibatkan pensiunan TNI dalam
mekanisme pengeloalan lingkungan,
terutama DAS.
I. PENDAHULUAN
Daerah Aliran Sungai (DAS)
merupakan salah satu penerapan dari
prinsip bioregion dengan mengikuti barisan
punggung bukit sebagai tempat awal
jatuhnya air ke permukaan bumi. Oleh
karena itu, DAS dapat menjadi unit analisis
yang tepat dalam penyusunan konsep
pengelolaan sumber daya alam untuk
menjamin terjaganya kualitas air serta
terdistribusinya jumlah air secara optimal.
Sehingga air tetap tersedia saat musim
kemarau, namun jumlahnya tidak
berlebihan saat musim hujan. Menurut
Salampessy dan Lidiawati (2017), daerah
hulu DAS memiliki fungsi untuk mencegah
terjadinya run off hingga ke daerah hilir
sehingga banjir dapat dikendalikan,
meningkatkan kemampuan infiltrasi
sehingga suatu kawasan memiliki kualitas
cadangan air tanah yang baik, dan menjadi
sumber utama jasa lanskap.
Pembangunan fisik seperti floodway
Cisangkuy paket I dan II, Embung
Gedebage, Kolam Retensi Cieuteung,
pembangunan tunnel Curug Jompong, dan
normalisasi Citarum Hulu merupakan salah
satu usaha yang dilakukan oleh pemerintah
untuk menanggulangi permasalahan
Citarum. Namun menurut Bandaragoda
(2000), peran kelembagaan diperlukan
setelah dilakukan usaha pembangunan fisik
untuk mewujudkan pengelolaan DAS yang
terpadu. Selain itu, karakteristik alami dan
infrastruktur buatan seperti ukuran dan
skala, teknologi, dan tujuan akan
Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019
123
menentukan jenis dan karakter dari lembaga
yang didirikan.
Oleh karena itu, pembuat kebijakan
memerlukan perluasan lingkup
pengetahuan sebagai dasar penyusunan
suatu kebijakan yang selama ini cenderung
sektoral dalam menyelesaikan suatu
permasalahan secara holistik, sehingga
bukan hanya terfokus dengan peningkatan
kualitas biofisik. Kondisi para stakeholder
beserta pengaruh ekonomi, sosial, politik,
kebijakan, hukum, dan organisasi pun harus
terintegrasi dalam penguatan kelembagaan.
Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan
untuk mengidentifikasi kondisi lanskap yang
menjadi faktor penentu terbentuknya suatu
kelembagaan di tingkat tapak dan
menganalisis relasi beserta permasalahan
antara kelembagaan di tingkat pusat dan di
tingkat tapak, sehingga akan dihasilkan
suatu rekomendasi untuk mendukung
penguatan kelembagaan untuk pengelolaan
Sub DAS Cirasea dari permasalahan erosi
secara berkelanjutan.
II. METODOLOGI
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada
kecamatan yang ada di Kabupaten Bandung,
Provinsi Jawa Barat (Gambar 1) dengan
batasan kecamatan yang disesuaikan dengan
kawasan dimana masyarakat memiliki
inisiatif untukn megikuti program
Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL),
memiliki elevasi 700-1200 m dpl, terdapat
lahan kritis, dan memiliki tingkat erosi yang
buruk. Oleh karena itu, penelitian berfokus
pada 6 kecamatan, yaitu Kertasari, Pacet,
Arjasari, Ciparay, Ibun, dan Paseh yang
tersaji pada Gambar 2.
Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299
124
Gambar 1. Lokasi penelitan (a) Peta Jawa Barat dan Banten; (b) Peta DAS Citarum;
(c) Peta Kabupaten; dan (d) Peta Sub DAS Cirasea
Gambar 2. Peta Kecamatan di kawasan Sub DAS Cirasea
(Sumber: BPDASHL dan BIG)
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam studi
ini mengacu pada proses analisis
kelembagaan dalam mendukung
penyusunan rekomendasi kelembagaan oleh
Bandaragoda (2000) yang telah dimodifikasi
dengan tujuan merumuskan suatu
rekomendasi kelembagaan Sub DAS
Cirasea dengan menggunakan Geographic
Information System (GIS), Analisis Regresi
Logistik, Analisis Stakeholder, Analisis
Kelembagaan, dan rekomendasi yang
berasal dari analisis sebelumnya akan
dianalisis dengan menggunakan SWOT.
Tahap Persiapan
Tahap persiapan yang dilakukan
meliputi penyusunan makalah dan proposal
penelitian, penyusunan lembar kuisioner,
daftar pertanyaan untuk wawancara
mendalam, menetapkan sasaran
pengambilan sampel dan instansi terkait
sesuai dengan batasan dan lingkup
penelitian, dan persiapan teknis berupa
persiapan alat dan bahan penelitian untuk
mengumpulkan informasi dan mengolah
data.
Tahap Inventarisasi
Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019
125
Pengumpulan data primer dilakukan
dengan cara groundcheck dan wawancara
dengan 30 orang responden dan 14 orang
informan yang relevan. Data sekunder
merupakan data yang bersumber dari studi
pustaka, yaitu buku, jurnal disertasi
penelitian terdahulu, dan data yang
diperoleh dari instansi terkait.
Tahap Analisis
1. Identifikasi Karakter Fisik Sub DAS Cirasea
Karakteristik Fisik Sub DAS
diidentifikasi terlebih dahulu untuk
memberikan gambaran kawasan secara
umum dan menjadi dasar kemungkinan
motivasi kinerja dari kelembagaaan yang
terlibat dalam kegiatan pengurangan erosi.
Tahapan ini dilakukan dengan
menggunakan bantuan software ArcGIS.
2. Analisis Faktor Sosial Ekonomi Masyarakat yang Mendukung Pengelolaan Sub DAS menggunakan Analisis Regresi Logistik
Peran masyarakat sangat diperlukan
dalam pengelolaan Sub DAS sebagai pihak
yang paling paham terhadap permasalahan
di tingkat tapak sehingga ada upaya dari
pemerintah untuk melakukan sinergisitas
dengan masyarakat. Analisis regresi logistik
berfungsi untuk mengukur seberapa besar
peluang masyarakat dalam mendukung
pengelolaan Sub DAS (P=1), dan besar
peluang masyarakat tidak mendukung
pengelolaan Sub DAS (P=0) dengan
mengikuti sebaran binomial. Model regresi
logistik bineri dapat digunakan untuk
menganalisis data kategori yang variabel
terikatnya merupakan biner dan variabel
bebasnya bersifat kontinyu atau kategori.
Perbandingan antara probabilitas suatu
peristiwa dengan probabilitas tidak
terjadinya suatu peristiwa dalam model
disebut odds/ resiko. Semakin besar nilai
odds, maka terjadi kecenderungan minat
masyarakat terhadap usaha pengelolaan Sub
DAS. Pengambilan data diperoleh dari hasil
wawancara terhadap 30 responden. Analisis
menggunakan software SPSS dengan model
logitnya sebagai berikut:
Pi = β0 + β1 X1 + β2 X2 + β3 X3 ...... β6 X6 + β1
D1+ β2 D2β4 D4+ εi …………….. (1)
P(i) =1
1 + 𝑒−(𝛼 + βxi) …………….. (2)
Keterangan: Pi : Peluang dukungan masyarakat
terhadap upaya pengelolaan Sub DAS terhadap ancaman erosi (1 = opsi mendukung pengeloaan, 0 = tidak mendukung pengelolaan)
β0 : intersep X1 : Pengetahuan tentang rehabilitasi DAS
(1 = mengerti, 0 = tidak mengerti) X2 : Tingkat keterlibatan warga dalam usaha
rehabilitasi DAS (1 = terlibat, 0 = tidak terlibat) D1 : Fungsi Sungai (1= ada, 0 = tidak ada) D2 : Kondisi kebersihan sungai (1 = baik, 0
= buruk) D3 : Preferensi Pekerjaan (1=ada, 0= tidak
ada) D4 : Aksesibilitas ( 1 = sulit, 0 = tidak sulit) D5 : Potensi gotong royong (1 = ada , 0 =
tidak ada)
Untuk mencari nilai peluang dari
masyarakat yang mendukung upaya
pengelolaan Sub DAS menggunakan rumus
sebagai berikut:
Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299
126
Pi = Exp (β0 + β1 X1 + β2 X2 + β3 X3....β6 X6 + β1 D1+ β2 D2+⋯+β4 D4)+ εi
1+Exp (β0 + β1 X1 + β2 X2 + β3 X3....β6 X6 + β1 D1+ β2 D2+⋯+β4 D4)+ εi …………….. (3)
3. Analisis Kelembagaan
Analisis kelembagaan dilakukan
untuk memahami peranan dan pengaruh
para pelaku (actors) dalam proses pencapaian
tujuan program yang disajikan dalam bentuk
deskriptif.
Rekomendasi Pengelolaan Sub DAS Cirasea
Metode analisis SWOT digunakan
untuk menyusun alternatif strategi
pengelolaan Sub DAS Cirasea dari sudut
pandang kelembagaan dengan
membandingkan faktor internal (Strength
dan Weakness) dengan faktor eksternal
(Opportunity dan Threat) dan dianalisis secara
kuantitatif yang dilakukan dengan cara
pembobotan dan pemberian rating.
III. SITUASI TERKINI
Secara geografis, Sub DAS Cirasea
berada di antara 107º 37’ 49,1747” BT –
107º 48’ 30,8923” BT dan 6º 59’ 32,9636”
LS – 7º 14’ 35,2305” LS. Sub DAS Cirasea
memiliki banyak kawasan lindung, yaitu
Cagar Alam Gunung Malabar, Cagar Alam
Papandayan, Taman Wisata Alam Kawah
Kemojang dan Gunung Mesigit.
Kualitas DAS pada sebagian besar
daerah di Indonesia cenderung menurun
dari tahun ke tahun seiring dengan
bertambahnya daftar sungai prioritas. DAS
Citarum merupakan DAS terpanjang di
Jawa Barat dan memiliki peran strategis
dalam mendukung ketahanan energi
nasional, namun memiliki status kritis
dengan tingkat erosi terbesarnya berada di
daerah hulu.
Sub DAS Cirasea yang merupakan
bagian dari Citarum Hulu memiliki indeks
erosi yang sangat buruk. Menurut Rusdiana
(2011), laju erosi yang terjadi pada DAS
Ciatrum Hulu rata–rata sebesar 574.16
ton/ha/tahun, sehingga DAS Citarum Hulu
didominasi lahan dengan tingkat bahaya
erosi sangat berat (36.87%) dan berat
(21.84%). Besar pelepasan sedimen yang
terjadi akibat kejadian erosi pada kawasan
DAS Citarum Hulu yaitu rata-rata sebesar
33.88 ton/ha/tahun dengan pelepasan
sedimen maksimum sebesar 1044.55
ton/ha/tahun. Menurut Yulius et al, (2017),
lahan terbangun tersebut telah mengambil
alih lahan agroforestri riparian sungai
sebagai salah satu solusi mengurangi
dampak dari erosi dan sedimentasi.
Dominansi patch permukiman
mengindikasikan adanya intervensi aktivitas
manusia yang tinggi pada lanskap riparian.
Selain itu, praktek penanaman tanaman
semusim yang tidak memperhatikan kaidah
konservasi dilakukan oleh masyarakat DAS
Hulu Citarum sehingga resiko terhadap
ancaman erosi semakin meningkat dari
tahun ke tahun.
Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019
127
IV. ANALISIS DAN ALTERNATIF SOLUSI/PENANGANAN
Analisis Fisik Sub DAS Cirasea
Gambar 3. Peta Lahan Kritis Gambar 4. Erosi perhitungan USLE Gambar 5. Kawasan Hutan (Sumber: BPDASHL) (Sumber: BPDASHL) (Sumber: Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan)
Analisis fisik berupa data spasial lahan
kritis (Gambar 3) dan erosi (Gambar 4)
menunjukkan bahwa kecamatan Kertasari
dan Pacet memiliki area kawasan yang
paling kritis (> 480 ton/ha/tahun) terluas
dibanding kecamatan lainnya. Ditambah lagi
kedua kecamatan tersebut berstatus area
penggunaan lain yang didominasi oleh
private sector dan Hak Guna Usaha (HGU)
(ditandai dengan warna orange pada gambar
5) sehingga hal ini menjadi salah satu
kendala sulitnya monitoring rehabilitasi
daerah hulu DAS. Oleh karena itu, tidak
heran jika kawasan tersebut memiliki
banyak stakeholder maupun program insentif
yang diusung oleh beberapa kementerian
yang terlibat untuk mengembalikan daerah
hulu sebagai kawasan konservasi dan hutan
lindung. Kondisi kelembagaan lokal tiap
kecamatan di kawasan Sub DAS Cirasea
dijelaskan pada Tabel 3.
Kualitas air yang ditujukan pada Tabel
1 menyatakan adanya nilai yang sifatnya
fluktuatif. Nilai pH yang baik memiliki nilai
netral dan lima titik pengambilan kualitas air
menunjukkan nilai pH yang masih termasuk
ketegori normal. Nilai BOD yang besar
menunjukkan banyaknya oksigen yang
diperlukan untuk memecah sampah organik
dan hal ini akan memperburuk kualitas air.
Hal ini terjadi pada naiknya nilai BOD pada
mata air Cisanti tahun 2017 sebesar < 2
menjadi 2,96 pada tahun 2018. Hal ini
terjadi karena adanya penambahan ikan
pada situ setelah adanya rehabilitasi situ
yang dilakukan oleh satgas kodam. Nilai
COD yang kecil menunjukkan
berkurangnya oksigen yang diperlukan
untuk memecah limbah anorganik dan hal
ini akan meningkatkan kualitas air. Hal ini
terjadi pada Citarum Majalaya yang terjadi
karena adanya usaha agroforestry, sehingga
penggunaan pestisida berkurang dan
mengurangi kadar kimia yang akan bereaksi
dengan oksigen yang terkandung pada air.
Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299
128
Tabel 1. Kualitas Air Sungai Para- meter
Mata Air Cisanti Outlet situ Cisanti BendungWangisagra Citarum Majalaya Cirasea cengkong
2016 2017 2018 2016 2017 2018 2016 2017 2018 2016 2017 2018 2016 2017 2018
pH 6,6 6,6 6,5 7,6 7,3 6,6 7,9 7,9 8,4 7,8 7,7 7,4 7,9 8,2 7,8
BOD (mg/l)
2,4 < 2 2,96 < 2 < 2 2,4 < 2 2,4 < 2 10 - 10 < 2 < 2 < 2
COD (mg/l)
< 11,5 < 2,5 8 4,1 7 16 48 16 9 5,2 22 15 47 15 13
DO (mg/l)
9 5 4,9 8 9 6,97 7 6,3 6,7 - 6,8 2 7 12 6,2
(sumber: BBWS 2016, 2017, dan 2018)
Analisis Sosial-Ekonomi
Analisis regresi logistik digunakan
untuk mengetahui faktor yang paling
signifikan berpengaruh terhadap besarnya
peluang masyarakat dalam mendukung
pengelolaan Sub DAS. Hasil analisis
disajikan pada Tabel 2.
Interpretasi dari hasil Variables in the
Equation adalah hanya variabel D2 (fungsi
sungai) yang berpengaruh signifikan dengan
semakin besarnya peluang dan motivasi
masyarakat dalam mengelola Sub DAS
karena memiliki nilai signifikasi dibawah
5%.
Oleh karena itu, masyarakat yang
memang memanfaatkan sungai secara
langsung memiiliki peluang yang lebih besar
untuk melakukan pengelolaan DAS,
misalnya petani.
Tabel 2. Hasil Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B) 95% C.I.for EXP(B)
Lower Upper
Step 1a
X1 21,32 11443,67 0,000 1 1,00 1811451237,17 0,00 .
X2 -22,34 40192,97 0,000 1 1,00 0,00 0,00 .
d1 2,82 1,36 4,300 1 0,04 16,78 1,17 241,34
d2 0,95 1,88 0,258 1 0,61 2,59 0,07 102,51
d3 -1,47 1,60 0,841 1 0,36 0,23 0,01 5,33
d4 -2,15 2,01 1,143 1 0,29 0,12 0,00 5,97
d5 -0,83 1,30 0,403 1 0,53 0,44 0,03 5,60
Constant -19,69 46252,62 0,000 1 1,00 0,00
Gambar 6. Analisis Stakeholder
Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019
129
Tabel 3. Analisis Fisik dan kelembagaan lokal tiap Kecamatan
No
Keca-matan
Topografi Elevasi (mdpl)
Luas Penggunaan Lahan
Landuse Kelembagaan lokal (studi kasus) Sawah (ha)
Lahan Pertanian non Sawah
Non Pertanian (ha)
1 Arjasari Dataran dan lereng/punggung bukit.
744-982 1370.6 2744 820,70 - Pepohonan mendominasi kawasan non hutan sehingga tidak banyak kegiatan penghijauan.
- Sawah berfungsi untuk memenuhi kebutuhan subsisten masyarakat
Forum lingkungan dibentukan oleh Pemda. Selain itu, Satgas citarum harum, praktek RHL, dan KTT tidak ditemukan di kecamatan ini.
2 Ciparay Dataran 683-795 2690,96 1.350,40 2445,66 Kawasan non hutan dengan penggunaan lahan didominasi oleh lahan pertanian.
Pecinta Alam Lembah caringin (PALEC) merupakan salah satu komunitas masyarakat pecinta alam di desa Ciparay yang berfokus pada pembibitan dan pengolahan pascapanen kopi.
3 Ibun Lereng/Punggung Bukit
700-1200 1484,6 2203,3 941 - Lahan pertanian tanaman semusim dan sawah
- Penghijauan massif dilakukan dengan penanaman tanaman kopi yang dinaungi oleh pohon pinus di Desa Laksana dan Ibun.
Kecamatan Ibun masih mengandalkan kekuatan tokoh dalam melakukan kegiataan penghijauan. Penanaman pohon masih banyak dilakukan oleh KTH. Satgas citarum harum tidak ditemukan.
4 Kertasari Lereng/Punggung Bukit
1267-1832 15 13.118,75 2.165,18 - Hanya desa Tarumajaya yang memiliki status kawasan hutan yang dimiliki oleh perhutani. Desa lainnya berada diluar kawasan hutan dan didominasi oleh Hak Guna Usaha (HGU).
- Lahan pertanian didominasi oleh komoditas kentang meskipun kawasan tersebut memiliki topografi yang curam.
- Penghijauan massif dilakukan karena kecamatan Kertasari diharapkan dapat menjadi kawasan dengan daya infiltrasi air yang tinggi dengan adanya hutan lindung dan terdapat daerah mata air utama Citarum sebagai area konservasi, yaitu Situ Cisanti.
Kecamatan Kertasari memiliki stakeholder yang paling banyak. Hal ini terjadi akibat peran konservasi yang harus diemban oleh daerah ini sehingga mempengaruhi serapan dana dari pemerintah. Salah satu komunitas yang terdapat dalam kawasan ini adalah Institut Gunung Wayang (IGW) yang berfokus pada inovasi yang dapat meningkatkan kedaulatan petani. Selain itu, banyak masyarakat yang tergabung dalam Kelompok Hutan Tani (KTH) mengikuti program insentif dari kementerian seperti Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL), Kredit Tunda Tebang (KTT), dll. Kawasan inipun menjadi fokus program Citarum Harum
5 Pacet Lereng/Punggung Bukit
839-1305 3011,28 5.816,05 921,62 - Desa sukarame, cipeujeuh, maruyung, dan tanjungwangi merupakan daerah luar kawasan hutan. Namun landuse Kecamatan Pacet didominasi oleh areal hutan
- Sawah menjadi representasi aktivitas pertanian yang paling dominan
- Mayoritas desa umumnya memgandalkan kinerja Satgas Citarum Harum dalam rehabilitas sungai
- Beberapa kelompok masyarakat Desa Girimulya dan Sukarame mengikuti program Kredit Tunda Tebang (KTT)
6 Paseh Dataran dan Lereng/Punggung Bukit
600-750 1558,49 - Lahan pertanian tanaman semusim dan sawah
- Permukiman padat terdapat di daerah pasar
tanaman kopi massif dilakukan di Desa Loa dan Drawati yang didominasi oleh landuse hutan. Masyarakat yang tergabung dalam Kelompok Tani Hutan mengiuti program kementerian berupa PBHM
(Sumber: BPS 2018 dan Data Primer)
Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019
130
Tabel 4. Identifikasi Lembaga Pusat
No Nama
Organisasi
Jenis Lem-baga
Dasar Hukum
Sumber Dana
Deskripsi Tugas pokok, fungsi, dan peran
Organisasi Persepsi
1. Dinas Lingkungan Hidup/ BPLHD Kabupaten Bandung
Pem- da
105/2018 APBD Operator Pengendali pencermaran
1. Konflik dan benturan antara kepentingan ekonomi dengan kepentingan pengendalian, inkonsistensi kebijakan tata ruang dan penegakkan hukum
2. Benturan kepentingan di perbatasan wilayah.
2. BPDASHL Peme- rintah Pusat
P.10/Menlhk/Setjen/OTL.0/1/2016
APBN (KLHK)
Developer Konservasi wilayah Hulu Sungai
Mengalami benturan kepentingan dengan sektor pertanian.
3. BBWS Peme-rintah Pusat
26/PRT/M/2006
APBN (PU)
Operator Merencanakan dan membangun fisik sungai dan memelihara badan air di sepanjang sungai. Regulator
1. Penetapan Ijin Alokasi Air
2. Penetapan tarif: air baku, tenaga listrik, pollution fee dan BJPSDA lainnya
3. Ijin galian golongan C (di badan sungai)
Developer Pembangunan prasarana pada sungai utama
1. BBWS berbenturan dengan otonomi daerah karena batas sungai tidak sesuai dengan batas administrasi.
2. Efektivitas fungsi perencanaan dan pemeliharaan belum tercapai karena berkaiatan dengan catchment area yang dikelola oleh instansi lain. Namun akan ada rencana kolaborasi dengan BPDSHL terkait pengukuran aspek hidrologi.
4. Balai Pengelolan Sumber Daya Air (PSDA)
Pemerintah Daerah
APBN (PU)
Operator Sungai orde 2 dan 3 dan mengelola jaringan irigasi 1000-3000 ha Regulator Penetapan rencana taman dan penetapan RTRW provinsi Developer Pembangunan prasarana sungai orde 2 dan 3
Tupoksi sering tumpang tindah antara BBWS (dibawah kementerian PU) dengan PSDA, baik dalam pengelolaan badan air maupun pembangunan prasarana.
5. Perum Jasa Tirta II (Korporasi)
BUMN PP No. 7 Tahun 2010
Operator Pengelolaan perasarana utama alokasi air Developer Menjalankan peran CSR di daerah konservasi Situ Cisanti yang merupakan wilayah wewenang BBKSDA.
1. Paradoks antara fungsi sebagai lembaga yang menerapan usaha konservasi dan bisnis yang cenderung melakukan kegiatan eskploitasi SDA
2. kontradiktif dengan peran pengelolaan BBWS Citarum yang berbeda
6. Forum DAS Peme-rintah pusat
S.652/Menhut-V/2006
Suka- rela (KLHK)
Wadah koordinasi pengelolaan DAS, yaitu organisasi para pemangku kepentingan yang terkoordinasi. Kajian, Koordinasi, dan konsultasi dalam melakukan pengelolaan DAS sesuai dengan prinsip Kordinasi, Integrasi, Sinergitas, dan Sinkronisasi (KISS)
Kinerja Forum DAS dianggap belum efektif karena kelembagaan masih belum tertata akibat masih terjadi konflik kepentingan dan tumpang tindih tupoksi antar sector, pemda, dan stakeholder lainnya.
(Sumber: Hasan (2011) dan Raharja (2008))
Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019
131
Tabel 5. Identifikasi Lembaga dalam Lingkup Tapak Lembaga Pelaku K1 K2 K3 K4 K5 K6
Masyarakat Pelaksana Kegiatan program RLH (2017) ✓ ✓ ✓ ✓
Pelaksana Kegiatan program Kredit Tunda Tebang (KTT)
✓
Pelaksana Kegiatan Program Citarum Harum
✓ ✓ ✓
Komunitas lingkungan ✓ ✓
Pemerintah Daerah Pemerintah Kabupaten ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ Pemerintah Desa ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓
Pengelola Kawasan Perhutani (KPH) ✓ ✓ ✓ ✓ Perkebunan teh rakyat ✓
Lembaga Donor (program CSR)
Artha Grha ✓ ✓
Perum Jasa Tirta II ✓ Ket: K1: Arjasari; K2: Ciparay; K3: Kertasari; K4: Ibun; K5: Pacet; K6: Paseh
Analisis Stakeholder
Analisis Stakeholder dapat digunakan
untuk memahami kepentingan (interest) dan
pengaruh (influence) dan bagaimana hal ini
dapat mendukung atau mengancam kinerja
suatu pengelolaan. Hasil analisis tersaji pada
Gambar 6.
Analisis Kelembagaan
Identifikasi Lembaga Pusat
Identifikasi lembaga yang relevan
dalam menanggulangi permasalahan erosi
ditingkat tapak disesuaikan dengan rencana
aksi DAS Citarum yang telah disahkan oleh
Gubernur Jawa Barat dalam Program
Citarum Harum. Sehingga perlu mengetahui
tupoksi beberapa instansi agar dapat
memproyeksikan lembaga mana saja yang
terkait dalam menangani masalah erosi.
Persepsi yang berkembang di pusat
menyatakan bahwa Sungai Citarum
dianggap sebagai strategis nasional. Oleh
karena itu, Pengeloalan DAS Citarum
menjadi wewenang pemerintah pusat.
Tupoksi kelembagaan pusat tersaji pada
Tabel 4 dan pemetaan stakeholder di tiap
kecamatan disajikan pada Tabel 5.
Sebenarnya tupoksi yang dilakukan
antarstakeholder saling terkait, baik
pengelolaan Sub DAS yang dilakukan oleh
lembagan pusat maupun lembaga lokal.
Hubungan antara lembaga pusat dan lokal
dapat dijabarkan pada Gambar 7. Menurut
Sofhani et al, (2016), pengelolaan sumber
daya air DAS Citarum bersifat multi institusi
serta latar belakang yang sarat dengan
konfik kepentingan, maka fungsi koordinasi
ini berperan sangat penting. Kajian tekait
pola relasi kuasa pengelolaan hulu Citarum
umumnya kurang mengkaji aspek interaksi
antar aktor formal maupun informal. Oleh
karena itu, kajian terkait pengelolaan DAS
umumnya kurang dapat menggambarkan
pengaruh dan komunikasi antar aktor dalam
pengelolaan DAS. Aspek interaksi antar
aktor sebagai implikasi koordinasi antar
lembaga yang dijelaskan pada Gambar 8
membuktikan bahwa peran sentral
dilakukan oleh DLH, lalu Citarum Harum,
dan BBWS dalam pengelolaan Sub DAS
Cirasea. Hal ini terjadi karena adanya
keterhubungan lintas kelompok aktor yang
membuka kesempatan untuk berperan lebih
besar dari kewenangan struktural yang
membatasi serta wilayah kinerjanya tidak
dibatasi oleh wilayah administrasi.
Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019
132
Gambar 7. Diagram Koordinasi Kelembagaan pusat dan lokal
Rekomendasi Kelembagaan Pengelolaan Sub DAS Cirasea
Rekomendasi Kelembagaan
Pengelolaan SubDAS Cirasea dirumuskan
dengan menggunakan metode analisis
SWOT. Metode ini dilakukan dengan
mewawancarai stakeholder yang terlibat
dalam penyelesaian permasalahn erosi
untuk menentukan faktor internal dan
faktor eksternal beserta tingkat kepentingan
masing-masing faktor.
Penilaian Faktor Internal dan Faktor Eksternal
Penilaian faktor internal dan faktor
eksternal dimulai dengan melakukan
penilaian tingkat kepentingan dan
pemberian rating serta pembobotan setiap
faktor. Penilaian faktor internal tersajikan
pada Tabel 6 dan penilaian faktor eksternal
disajikan pada Tabel 7.
Tabel 6. Penilaian skor faktor internal SIMBOL FAKTOR BOBOT RATING SKOR
S1 Monitoring Hutan Lindung dan badan air yang dilakukan oleh satgas kodam III efektif.
0,15 4 0,60
S2
S3
Timbul partisipasi masyarakat, baik secara inisiatif maupun inisiasi oleh program pemerintah. Semakin banyak jumlah aktor kelompok crowd dan subject yang terlibat dalam kelembagaan pengelolaan Sub DAS seiring dengan semakin kompleksnya permasalahan aspek biofisik.
0,17
0,17
4
4
0,68
0,68
W1 Umumnya satgas Kodam III kurang bersinergi dengan masyarakat. 0,09 2 0,18 W2 Terjadi konflik lahan. 0,17 1 0,17 W3
W4
Kinerja komunitas umumnya efektif, namun wilayah kerjanya sempit dan umumnya tidak dikenal warga. Masyarakat merasa tidak memiliki kepentingan terhadap sungai.
0,08
0,17
2
1
0,16
0,17
TOTAL 1,00 2,64
Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019
133
Tabel 7. Penilaian skor faktor eksternal
Simbol Faktor Eksternal Bobot Ratin
g Skor
O1 Mulai dirumuskan pembagian tupoksi lembaga secara detail untuk menghindari permasalahan tumpang tindih
0,15 4 0,60
O2 Program RHL cukup berhasil membangun motivasi ekonomi masyarakat dan meningkatkan kualitas lingkungan
0,20 4 0,80
O3 T1
Kapal Api berencana membangun industri di Kecamatan Kertasari Kinerja Forum DAS belum terlihat di tingkat tapak
0,22 0,09
4 1
0,88 0,09
T2 Pengelolaan irigasi secara partisipatif kurang berjalan 0,22 2 0,44 T3
Sulit terjadinya sinergis kerja antara Pemda dengan kelompok lingkungan.
0,12 2 0,24
Total 1,00 3,05
Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) & External Factor Evaluation (EFE)
Setelah melakukan penilaian bobot
faktor strategis internal dan eksternal,
selanjutnya adalah menentukan Matriks
Internal-Eksternal (IE) yang didasarkan
pada total skor EFE pada sumbu Y dan IFE
pada sumbu X yang tertera pada Gambar 8.
Gambar 8. Matriks Internal-Eksternal (IE)
Matriks SWOT
Pembuatan matriks SWOT dilakukan
dengan saling mengaitkan unsur-unsur
SWOT. Matriks SWOT menghasilkan
empat macam strategi berdasarkan
keterkaitan unsur SWOT. Empat macam
strategi tersebut yaitu, strengths-opportunities
(SO), strengths-threats (ST), weakness-
opportunities (WO), dan weakness-threats (WT).
Berdasarkan keterkaitan unsur SWOT
tersebut dihasilkan 7 alternatif strategi
pengelolaan Sub DAS Cirasea berdasarkan
sudut pandang kelembagaan. Hasil matriks
SWOT disajikan pada Tabel 8.
Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019
134
Tabel 8. Matriks SWOT
Eksternal Internal
Opportunities Threats
1. Mulai dirumuskan pembagian tupoksi secara detail untuk menghindari permasalahan tumpang tindih
2. Program RHL cukup berhasil membangun motivasi ekonomi masyarakat dan meningkatkan kualitas lingkungan
3. Kapal Api berencana membangun industri di Kecamatan Kertasari
1. Kinerja Forum DAS belum terlihat di tingkat tapak
2. Pengelolaan irigasi secara partisipatif kurang berjalan
3. Sulit terjadinya sinergisitas kerja antara Pemda dengan kelompok lingkungan.
Strengths Strategi SO Strategi ST
1. Monitoring Hutan Lindung dan badan air yang dilakukan oleh satgas kodam III efektif.
2. Timbul partisipasi masyarakat, baik secara inisiatif maupun inisiasi oleh program pemerintah.
3. Semakin banyak jumlah aktor kelompok subject yang terlibat dalam kelembagaan pengelolaan Sub DAS seiring dengan semakin kompleksnya permasalahan aspek fisik.
1. Perlu adanya kepastian koordinasi antarprogram maupun antarsektor secara riil di lapangan.
2. Kepastian pascapanen sebagai insentif petani kopi
1. Merevitalisasi Pengembangan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) program Mitra Cai dan berkoordinasi dengan kelompok lingkungan.
Weakness Strategi WO Strategi WT
1. Umumnya satgas Kodam III kurang bersinergi dengan masyarakat dan komunitas
2. Terjadi konflik lahan 3. Kinerja komunitas umumnya
efektif, namun wilayah kerjanya sempit dan umumnya tidak dikenal warga.
4. Masyarakat merasa tidak memiliki kepentingan terhadap sungai sehingga cukup sulit melibatkan masyarakat dalam pengelolaan Sub DAS.
1. Pemda dan TNI harus menurunkan sikap ego dan harus mulai bersikap egaliter seperti yang dilakukan sektor 2, terutama pada kelompok masyarakat yang memiliki minat menjaga lingkungan.
2. Kolaborasi perumusan reforma agraria dengan salah satu anggota IGW yang berkompeten.
3. Kelompok Players berkoordinasi dan memperkuat kapasitas kinerja kelompok Subject agar dapat mengendalikan perilaku kelompok Crowd.
1. Potensi ekonomi dan semakin mudahnya komoditas kopi diterima masyarakat disekitar kawasan hutan maupun non hutan seharusnya dapat menyatukan kepentingn KLHK dan Kementan beserta UPT
2. Meningkatkkan SDM dan pendanaan untuk mengefektifkan kinerja forum DAS dalam memediasi kepentingan antarsektoral
Penentuan Peringkat Alternatif Strategi
Peringkat alternatif strategi yang
sudah dirumuskan ditentukan berdasarkan
skor setiap alternatif strategi. Skor
didapatkan dengan menjumlahkan seluruh
skor faktor yang terkait dengan alternatif
strategi. Peringkat alternatif strategi dapat
menentukan strategi mana yang menjadi
prioritas. Hasil peringkat alternatif strategi
tercantum pada Tabel 9.
Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019
135
Tabel 9. Peringkat alternatif strategi
No Alternatif Strategi Keterkaitan
Unsur SWOT Skor
Pering- kat
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Perlu adanya kepastian koordinasi antarprogram maupun antarsektor secara riil di lapangan. Kepastian pascapanen sebagai insentif petani kopi Kelompok Players berkoordinasi dan memperkuat kapasitas kinerja kelompok Subject agar dapat mengendalikan perilaku kelompok Crowd. Merevitalisasi Pengembangan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) program Mitra Cai dan berkoordinasi dengan kelompok lingkungan. Pemda dan TNI harus menurunkan sikap ego dan harus mulai bersikap egaliter seperti yang dilakukan sektor 2, terutama pada kelompok masyarakat yang memiliki minat menjaga lingkungan. Meningkatkkan SDM dan pendanaan untuk mengefektifkan kinerja Forum DAS dalam memediasi kepentingan antarsektoral di tingkat tapak.
S1, S2, S3 O1, O2, O3 S1, S2, S3, O2, O3 W1, W3, W4, O2, O3 S2, S3, T2 W1, O1 W1, W3, W4, T1, T3
4,24 3,64 2,19 1,80 0,90 0,84
1
2 3 4 5 6
7. 8.
Kolaborasi perumusan reforma agraria dengan salah satu anggota IGW yang berkompeten. Potensi ekonomi dan semakin mudahnya komoditas kopi diterima masyarakat disekitar kawasan hutan maupun non hutan seharusnya dapat menyatukan kepentingn KLHK dan Kementan beserta UPT terkait.
W2, O1 W2, T1, T2
0,77 0,70
7 8
REFERENSI
Bandaragoda, D.J. 2000. A framework for institutional analysis for water resources management in a river basin context. Working paper 5. Colombo (SL): International Water Management Institute.
Hasan, M. 2011. Model kebijakan pengelolaan sumber daya air pada Daerah Aliran Sungai (Das) Citarum yang berkelanjutan. [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Raharja, S.J. 2008. Pendekatan kolaboratif dalam pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum. [Disertasi]. Depok (ID): Universitas Indonesia.
Rusdiana, O., Gufrona, R. 2011. Aplikasi model optimasi linear goals programming dalam menentukan pola penggunaan lahan optimal di
das citarum hulu. JST. Vol. 02: 26‒34.
Salampessy, M.L., Lidiawati, I. 2017. Potensi kelembagaan local dalam pengelolaan daeerah aliran sungai (studi kasus di desa cemplang, sub das Ciaten Hulu timur DAS Cisadane). Jurnal Hutan tropis. 2(5): 113-11.
Yulius, Kaswanto, Arifin, H.S. 2017. Analisis ekologi lanskap agroforestri pada riparian sungai Ciliwung di kota bogor. Jurnal Lankap Indonesia. 2(9): 81-90.
Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019: 136-150 ISSN : 2355-6226 E-ISSN : 2477-0299
136
PENDEKATAN PARTISIPATORI UNTUK STRATEGI PENGEMBANGAN DESA PENYANGGA TAMAN HUTAN RAYA
RADEN SOERJO
Erwin Ismu Wisnubroto1, Gerardus Jova1, Yohanes Roni2 1Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Tribhuwana Tunggadewi
2Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Tribhuwana Tunggadewi Email: [email protected]
RINGKASAN
Daerah penyangga merupakan daerah yang berada pada batas kawasan hutan lindung dan
merupakan kawasan yang berfungsi untuk melindungi hutan dari aktivitas manusia yang dapat
mengganggu ekosistem hutan lindung dan taman nasional. Taman Hutan Raya (Tahura) Raden
Soerjo merupakan salah satu kawasan lindung yang secara administratif berada pada beberapa
Kabupaten di Provinsi Jawa Timur. Beberapa permasalahan yang timbul pada kawasan desa
penyangga Tahura Raden Soerjo berkaitan dengan pengelolaan kawasan pertanian dan
sumberdaya hutan. Penelitian ini bertujuan untuk merancang alternatif strategi dan arahan
pengembangan desa penyangga hutan di Tahura Raden Soerjo yang dapat mengurangi
permasalahan pengelolaan sumberdaya hutan. Penelitian ini menggunakan pendekatan
partisipatif kepada stakeholder dan pakar terkait strategi pengembangan desa penyangga hutan
yang berada di Desa Wiyurejo, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang. Penentuan sampel pada
penelitian ini dilakukan secara purposive sampling, dan pengambilan data dilakukan sebagai input
pada model MULTIPOL untuk merancang berbagai alternatif strategi pengembangan desa
Wiyurejo sebagai daerah penyangga Tahura Raden Soerjo. Hasil penelitian ini mengajukan
prioritas kebijakan/policy yang berfokus pada pertanian multifungsi dengan prioritas program
kerja membangun kawasan agrowisata, perbaikan infrastruktur dan pengembangan sumberdaya
manusia melalui pelatihan dan pendidikan terkait pertanian ramah lingkungan dan agrowisata
berbasis edukasi pertanian dan lingkungan.
Kata kunci: Strategic forecasting, pembangunan berkelanjutan, pertanian berkelanjutan, pertanian multifungsi.
PERNYATAAN KUNCI
• Pengembangan desa penyangga
kawasan hutan lindung sebaiknya
memperhatikan prioritas program
kegiatan yang mengakomodasi
dimensi ekonomi, sosial-budaya dan
lingkungan/ekologi masyarakat desa
agar fungsi kawasan peyangga hutan
lindung dapat terpenuhi.
Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019
137
• Pertanian multifungsi yang
memadukan aktivitas pertanian
komoditas tinggi berupa produk
hortikultura yang telah bersertifikasi
organik dan kopi dengan aktivitas
non pertanian berupa pengembangan
agrowisata homestay yang
mengedepankan edukasi lingkungan
merupakan strategi pengembangan
desa penyangga hutan yang saat ini
sesuai dengan kondisi Desa Wiyurejo.
REKOMENDASI KEBIJAKAN
• Rencana program yang menjadi
prioritas untuk mendukung strategi
pengembangan pertanian multifungsi
adalah pengembangan agrowisata
homestay, pembangunan infrastruktur
pendukung dan pengembangan SDM
melalui diklat untuk pertanian dan
agrowisata.
• Program pengelolaan sampah perlu
dilakukan di tingkat desa, dimana
Pemerintah Desa Wiyurejo
mengkoordinasikan daur ulang
(recycle) untuk sampah anorganik pada
bank-bank sampah, dan pembuatan
kompos untuk sampah organik yang
dapat digunakan kembali oleh petani
di Desa Wiyurejo.
• Pengembangan agrowisata homestay
di Desa Wiyurejo dapat dimulai
dengan membuka jaringan dengan
Amazing Bumiaji dan Kaliwatu
Learning Advanture Tourism yang telah
berpengalaman di dalam membina
desa wisata dengan konsep homestay
edukasi pertanian ramah lingkungan
di Kota Batu.
I. PENDAHULUAN
Hutan merupakan suatu kesatuan
ekosistem berupa hamparan lahan berisi
sumber daya alam hayati yang didominasi
pepohonan dalam persekutuan alam dan
lingkungan yaitu satu dengan lain tidak
dapat dipisahkan. Berdasarkan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 104
Tahun 2015, hutan lindung merupakan
kawasan hutan yang memiliki fungsi utama
sebagai kawasan lindung untuk penyangga
kehidupan yang terakit tata kelola sumber
daya air, pengaturan erosi dan banjir serta
mempertahankan kesuburan tanah. Oleh
karena itu, penggunaan sumber daya hutan
lindung akan sangat terkait dengan kondisi
masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan
hutan lindung. Kawasan desa yang berada
pada batas hutan lindung dikenal sebagai
desa penyangga (Soemarwoto, 1985) yang
berfungsi untuk menjaga aktivitas manusia
di dalam pengelolaan sumber daya hutan
agar tidak menyebabkan kerusakan
ekosistem hutan lindung.
Taman Hutan Raya (Tahura) adalah
kawasan pelestarian alam untuk tujuan
koleksi tumbuhan dan/atau satwa yang
alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan
asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan
penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,
Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299
138
menunjang budidaya, budaya, pariwisata,
dan reaksi. Dalam fungsinya, Tahura
termasuk ke dalam kawasan hutan lindung.
Di Indonesia terdapat berbagai Tahura
seperti Tahura Pecut Merah Intan (Nangroe
Aceh Darussalam), Tahura Rejo Lelo
(Bengkulu), Tagura Ngurah Rai (Bali),
Tagura Bonto Hari (Sulawesi Selatan),
Tagura Bukit Suharto (Kalimantan Timur)
Dan Tahura Raden Soerjo (Jawa Timur).
Tahura Raden Soerjo menjadi perhatian
dikarenakan pengelolaan Tahura ini
melibatkan berbagai wilayah administratif
Kabupaten di Provinsi Jawa Timur.
Pengelolaan Tahura Raden Soerjo
melibatkan desa-desa yang berada di
kawasan penyangga. Hasil penelitan oleh
Listyarini et al, (2011) melaporkan bahwa
beberapa desa yang berada pada kawasan
penyangga Tahura Raden Soerjo berada
pada kondisi kritis. Hal ini disebabkan
karena sebagian besar masyarakat desa
penyangga Tahura Raden Soejo merupakan
petani yang mengolah lahan pertanian di
dekat kawasan hutan (dan bahkan ada
beberapa yang masuk kawasan hutan) secara
intensif, sehingga menyebabkan terjadinya
erosi dan kerusakan tanah. Pengelolaan
kawasan desa penyangga hutan seharusnya
memperhatikan kondisi sosial dan
lingkungan. Pengelolaan kaawasan desa
penyangga hutan seyogyanya mengacu
kepada Peraturan Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Nomor P.43 tahun
2017 yang menegaskan bahwa rencana
pengelolaan kawasan kelestarian alam harus
melibatkan pemberdayaan masyarakat yang
rencana pengelolaanya meliputi
perencanaan, perlindungan, pengawetan,
pemanfaatan, pengawasan dan
pengendalian. Lebih lanjut, pemberdayaan
masyarakat desa penyangga kawasan hutan
tersebut juga bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat desa, sehingga
dapat mendukung kelestarian kawasan
kelestarian alam.
Oleh sebab itu agar dapat
mengembangkan suatu desa tanpa
melupakan satusnya sebagai daerah
penyangga dari Tahura Raden Soeryo, maka
diperlukan suatu grand desain atau strategi
yang memperhatikan dimensi ekonomi
masyarkat yang dapat membawa
keuntungan dan kesejahteraan bagi
masyarakat, namun juga memperhatikan
dimensi sosial dengan menggunakan
kearifan lokal (local wisdom) sebagai landasan
pengembangan desa, dan berwawasan
lingkungan yang menerapkan prinsip-
prinsip ramah lingkungan untuk menjaga
ekosistem dan kelestaria hutan. Penelitian
ini akan mengupas lebih dalam dari potensi
ekonomi, sosial dan lingkungan yang ada di
kawasan desa penyangga Tahura Raden
Soerjo. Penelitian ini akan mencoba untuk
merancang suatu strategi dan rencana aksi
yang sekiranya dapat diaplikasikan oleh
pemerintah Desa Wiyurejo yang merupakan
Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019
139
desa penyangga Tahura Raden Soerjo.
Secara rinci tujuan dari penelitian ini adalah
untuk: (1) menganalisis faktor potensi
sosial, ekonomi dan lingkungan yang
terdapat di Desa Wiyurejo, dan (2)
merancang strategi dan rencana aksi sebagai
acuan dari pengembangan Desa Wiyurejo
untuk kawasan peyangga Tahura Raden
Soerjo.
II. METODOLOGI
Tempat dan Waktu Kegiatan
Kegiatan penelitian dilakukan di Desa
Wiyurejo, Kecamatan Pujon, Kabupaten
Malang. Kegiatan pengumpulan data untuk
penelitian ini dilaksanakan pada bulan
September hingga Oktober 2019. Secara
umum, kondisi bentang lahan Desa
Wiyurejo merupakan daerah berlereng
dengan topografi perbukitan. Peta Desa
Wiyurejo disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Peta Desa Wiyurejo
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang
digunakan dalam Karya Tulis Ilmiah ini
adalah dengan survey langsung ke lapangan
untuk mengamati kondisi Desa Wiyurejo
dan Tahura Raden Soerjo. Selain itu, untuk
keperluan input data untuk analisa
MULTIPOL, maka dilakukan wawancara
langsung dengan beberapa pakar. Metode
pemilihan pakar dilakukan secara purposive
sampling, yaitu dengan menentukan siapa-
siapa saja yang dijadikan pakar di dalam
penulisan Karya Tulis Ilmiah ini. Pakar yang
dipilih adalah : (1) Pemerintah Desa
Wiyurejo; (2) Kelompok Tani Tahura
Raden Soerjo; (3) Komunitas Budaya dan
Peduli Lingkungan “Pujon Ngalas”; (4)
Dosen Program Studi Arsitektur Landskap
Universitas Tribhuwana Tunggadewi
Malang; (5) Dosen Program Studi
Agroteknologi Universitas Tribhuwana
Tunggadewi Malang; (6) Peneliti
Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan; (7) Peneliti Kementerian
Pertanian; (8) Staf Badan Perencanaan dan
Pengembangan Daerah Pemerintah
Kabupaten Malang. Proses pengambilan
data melalui wawancara dan kuesioner
ditunjukkan dengan dokumentasi pada
Gambar 2.
Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299
140
Gambar 2. Dokumentasi Wawancara Dengan Pemerintah Desa Wiyurejo
Analisa Prospektif Untuk Penyusunan Strategi
Perumusan strategi akan dilakukan
dengan menggunakan pendekatan strategic
forecasting dengan alat analisis
MULTIPOL (Godet, 2001; Strategia, 2013).
MULTIPOL merupakan alat analisis untuk
pengambilan keputusan terkait dengan
kebijakan dengan berdasar pada prinsip
Multi Criteria Decision Analysis (Fauzi, 2019)
yang dikembangkan oleh Godet (2001) dan
Godet et al (2004). Perbedaan mendasar
yang membedakan MULTIPOL dengan
alat analisis multi kriteria lainnya adalah
MULTIPOL melakukan integrasi
pendekatan pertisipatif stakeholder di
dalam proses penilaian kriteria, dan
MULTIPOL melakukan evaluasi terhadap
interaksi tiga komponen di dalam multi
kriteria (Actions, Policy dan Scenarios)
(Fauzi, 2019). MULTIPOL menghasilkan
dua tipe evaluasi (Stratigea et al, 2013), yaitu:
1) evaluasi berbasis Actions to Policy; dan 2)
evaluasi berbasis Policy to Scenario. Interaksi
dari ke tiga komponen tersebut
digambarkan pada Gambar 3. Tahapan
analisa MULTIPOL disajikan pada Gambar
4.
Gambar 3. Interaksi Strategi (Policy) dan Rencana Aksi (Action)
Gambar 4. Tahapan Analisa MULTIPOL
III. SITUASI TERKINI
Taman Hutan Raya Raden Soerjo
merupakan Tahura yang terletak di Provinsi
Jawa Timur, dan meliputi wilayah
Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019
141
administratif Kabupaten Malang,
Kabupaten Jombang, Kabupaten
Mojokerto, Kota Batu dan Kabupaten
Pasuruan (Listyarini et al, 2011). Di sekitar
Tahura ini banyak penduduk desa yang
bermukim, sebab sebagaimana telah
diketahui bersama bahwa hutan merupakan
tempat ditemukannya banyak sumber daya
alam yang dapat digunakan untuk
menopang kehidupan masyarakat. Salah
satu desa yang bermukim di sekitar Tahura
Raden Soerjo adalah Desa Wiyurejo,
Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang.
Desa Wiyurejo memiliki luas 320,20
ha dan penggunaan lahan didominasi oleh
lahan pertanian (102,5 ha lahan sawah
dengan sumber pengairan; dan 203,7 ha
lahan pertanian lahan kering). Sebagian
besar penduduk Desa Wiyurejo memiliki
mata pencaharian sebagai petani dan buruh
tani. Lahan pertanian di Desa Wiyurejo
didominasi oleh komoditas hortikultura
seperti sayur-sayuran, dan sebagian lahan
perkebunan kopi. Desa Wiyurejo memiliki
industri pengolahan kayu yang mengolah
sumber kayu dari kawasan Tahura Raden
Soerjo.
Gambar 5. Kondisi Lahan di Tahura Raden Soerjo di Kawasan Desa Wiyurejo
Desa Wiyurejo berbatasan langsung
dengan Tahura Raden Soerjo, oleh sebab itu
sangat penting bagi Desa Wiyurejo yang
memiliki peran sebagai desa penyangga
untuk mampu menyangga kelestarian hutan
Tahura Raden Soerjo terutama dari tekanan
dan gangguan eksploitasi hasil hutan kayu
dan non kayu secara berlebihan. Hasil
survey di lahan menunjukkan bahwa
ditemukan banyak lahan pertanian dibuka
pada kawasan hutan (Gambar 5). Hal ini
dapat menyebabkan terjadinya kerusakan
lingkungan seperti erosi dan kehilangan
hara tanah, yang jika tidak segera diatasi
dapat menyebabkan terjadinya degradasi
lahan pada kawasan Tahura Raden Soerjo.
Rencana pengembangan desa
Wiyurejo perlu memprioritaskan kehidupan
masyarakat dapat mencapai kesejahteraan,
dengan memperhatikan potensi ekonomi,
pelestarian kearifan lokal dalam kondisi
sosial-budaya dan mengedepankan
pelestarian ekosistem hutan dan lingkungan.
Oleh sebab itu dibutuhkan strategi
pengembangan Desa Wiyurejo sebagai desa
Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299
142
penyangga Tahura Raden Soerjo yang
berorientasi pada ekonomi masyarakat
tanpa mengabaikan aspek kelestarian
lingkungan dan kearifan lokal. Penelitian ini
mengajukan lima komponen strategi
pengembangan Desa Wiyurejo sebagai desa
penyangga Tahura Raden Soerjo, yaitu:
1. Pengembangan pertanian organik
yang dapat menghasilkan komoditas
pertanian bernilai tinggi.
2. Konservasi Sumberdaya Hutan untuk
menjaga kelestarian lingkungan.
3. Konservasi Sumberdaya Air yang
berada kawasan hutan.
4. Pengembangan Ekowisata dan
Wisata Edukasi yang mengedepankan
pendidikan dan pengalaman untuk
melestarikan lingkungan.
5. Pengelolaan Sampah di tingkat desa,
mengedepankan prinsip recycle untuk
sampah anorganik yang masih dapat
digunakan kembali/daur ulang, dan
prinsip composting untuk mengolah
sampah-sampah organik menjadi
pupuk kompos yang dapat digunakan
oleh masyarakat Desa Wiyurejo.
IV. ANALISIS DAN ALTERNATIF SOLUSI
Pengembangan Desa Wiyurejo
sebagai kawasan penyangga akan
memerlukan analisis awal mengenai kondisi
sosial-ekonomi, dan lingkungan di Desa
Wiyurejo. Hal ini dilakukan sebagai dasar
dari penyusunan strategi pengembangan
Desa Wiyurejo untuk kawasan penyangga
hutan, maka kami mengusulkan paradigma
pembangunan berkelanjutan yang
mengusung tiga dimensi keberlanjutan,
yaitu keberlanjutan di bidang ekonomi,
sosial dan lingkungan/ekologi. Perlu
diperhatikan bahwa agar Desa Wiyurejo
mampu mempertahankan fungsi penyangga
untuk Tahura Raden Soerjo, hal yang
pertama yang harus diperhatikan adalah
keberlanjutan pada dimensi ekonomi.
Sebagaimana telah disampaikan pada ulasan
di atas, sebagian besar masyarakat Desa
Wiyurejo adalah petani yang juga melakukan
aktivitas di dalam hutan. Oleh karena itu,
sumber mata pencaharian utama petani di
Desa Wiyurejo harus lebih didukung, agar
mampu meningkatkan nilai dari kegiatan
pertanian tidak hanya produksi saja namun
juga nilai tambah yang lain.
Dengan memperkuat dimensi
ekonomi petani di Desa Wiyurejo,
diharapkan petani akan lebih mendapatkan
hasil yang baik dari lahan pertaniannya,
sehingga dapat mengurangi terjadinya
perambahan hutan, baik untuk hasil kayu
maupun pembukaan lahan hutan untuk
kegiatan pertanian. Dengan demikian, maka
diharapkan strategi penguatan petani yang
mendahulukan dimensi ekonomi akan
mampu mendukung strategi pada dimensi
sosial dan lingkungan/ekologi. Dari hasil
pengamatan awal terhadap kondisi Desa
Wiyurejo, kami mengajukan arah
Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019
143
pengembangan (Strategi Pengembangan/
Policy) Desa Wiyurejo untuk:
1. Pertanian multi-fungsi, yaitu
pengembangan kegiatan pertanian
yang menggabungkan produksi hasil
pertanian komoditas tinggi dengan
kegiatan agro-wisata. Strategi ini telah
dikembangkan pada beberapa
penelitian untuk kawasan pedesaan,
diantaranya oleh Stratigea et al, (2013).
Penekanan dari strategi ini adalah
pengembangan kawasan pertanian
yang mampu menghasilkan
komoditas pertanian bernilai tinggi
dengan penerapan teknologi ramah
lingkungan, dan juga nilai tambah dari
aktivitas non pertanian seperti
pengembangan agrowisata pertanian.
2. Pelestarian nilai budaya dan sosial
kemasyarakatan, yaitu pengembangan
kegiatan budaya di Desa Wiyurejo
dalam wadah aktivitas Pujon Ngalas.
Nilai-nilai kearifan lokal yang
dikembangkan oleh penduduk Desa
Wiyurejo menjadi daya tarik dan
kelebihan di dalam pelestarian budaya
yang memadukan kelestarian hutan
dan budaya.
3. Konservasi sumberdaya hutan dan
lingkungan, yaitu pengembangan
kegiatan hutan yang mengedepankan
konservasi hutan (penanaman pohon
dan bambu) serta konservasi
sumberdaya air. Fungsi Tahura Raden
Soerjo bagi masyarakat di Desa
Wiyurejo sangat penting, tidak hanya
sebagai sumber daya hutan non kayu,
namun juga sebagai sumber air. Oleh
karena itu diperlukan upaya
pelestarian sumberdaya hutan dan
sumberdaya air melalui konservasi
dengan penanaman pohon dan
bambu, serta kesadaran lingkungan di
dalam mengelola sumberdaya air.
Pengelolaan sampah di tingkat desa
juga terkait dengan strategi konservasi
sumberdaya hutan dan lingkungan.
Untuk dapat mewujudkan strategi
pengembangan (Policy) tersebut, maka perlu
disusun beberapa rencana program kerja
(Action) yang dapat dilaksanakan oleh
Pemerintah Desa Wiyurejo. Rencana
program kerja yang diajukan merupakan
hasil diskusi dengan para pakar melalui
proses wawancara. Usulan rencana program
kerja untuk mewujudkan strategi
pengembangan disajikan pada Tabel 1.
Usulan rencana program kerja yang
disajikan pada Tabel 1 merupakan hasil
diskusi dengan para pakar yang
memperhatikan kemudahan program kerja
yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Desa
Wiyurejo. Untuk mengukur apakah rencana
program kerja tersebut dapat dilaksanakan,
maka ditentukan kriteria/indikator yang
diharapkan dapat terwujud dari pelaksanaan
program kerja tersebut. Penentuan
kriteria/indikator juga melalui proses
Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299
144
diskusi dan wawancara dengan para pakar.
Kriteria/indikator yang dihasilkan dari hasil
diskusi tersebut disajikan pada Tabel 2.
Untuk mengetahui prioritas rencana
program kerja mana yang harus
didahulukan, maka kami menggunakan
metode Multi-Criteria Decision Analysis
(MCDA) dengan alat analisis metode
MULTIPOL. Dengan metode MULTIPOL
ini, para pakar akan memberikan penilaian
terhadap prioritas rencana program kerja
untuk mewujudkan strategi pengembangan
Desa Wiyurejo yang paling sesuai untuk
kondisi saat ini.
Tabel 1. Usulan Rencana Program Kerja (Action) Pengembangan Desa Wiyurejo No Program Kerja Keterangan
1 Pengembangan Pertanian Organik
Pengembangan komoditas pertanian yang telah bersertifikasi organik
2 Pengembangan Agro-tourism
Pengembangan agrowisata model homestay yang memberikan pengalaman dan edukasi Bertani
3 Pengembangan Infrastruktur Desa
Pembangunan dan penguatan infrastruktur pedesaan
4 Pengembangan Sumberdaya Manusia
Peningkatan kemampuan (skill) dan pengetahuan masyarakat desa untuk mendukung agrowisata dan pertanian organik
5 Pengembangan Komunikasi dan Teknologi
Pengembangan dan peningkatan jaringan informasi, komunikasi dan teknologi
6 Pengelolaan sampah desa
Pengelolaan sampah di tingkat desa dengan bank sampah untuk jenis sampah yang dapat di daur ulang kembali dan pengolahan sampah organik menjadi pupuk kompos
Tabel 2. Kriteria atau Indikator dari Rencana Program kerja No Indikator Keterangan
1 Peningkatan pendapatan
Peningkatan pendapatan petani baik dari hasil pertanian maupun hasil non-pertanian
2 Penyerapan tenaga kerja
Jumlah tenaga kerja di Desa Wiyurejo yang terserap pada kegiatan dari rencana program kerja
3 Tumbuhnya usaha baru
Jumlah usaha baru yang tumbuh akibat pelaksanaan rencana program kerja
4 Pelestarian sumberdaya air
Tercapainya upaya pelestarian sumberdaya air yang berada pada kawasan Tahura Raden Soerjo
5 Peningkatan jaringan infrastruktur
Peningkatan kondisi dan fasilitas infrastruktur yang dapat digunakan oleh warga Desa Wiyurejo, utamanya petani untuk aktivitas dan kegiatan mereka
6 Kegiatan wisata budaya yang dilaksanakan
Tercapainya upaya pelestarian kebudayaan Desa Wiyurejo yang mengedepankan kearifan lokal di dalam pemanfaatan sumberdaya hutan dan air yang diwujudkan dalam bentuk kegiatan-kegiatan festival budaya
Hasil evaluasi rencana program kerja
dengan metode MULTIPOL disajikan pada
Tabel 3. Hasil analisa tersebut menunjukkan
bahwa Rencana program kerja
pengembangan agrowisata pertanian
memiliki nilai rerata tertinggi (17,7), dengan
Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019
145
nilai simpangan baku yang rendah (0,4;
dibawah 1) sehingga menempati peringkat
pertama. Hal ini menunjukkan bahwa para
pakar sepakat bahwa pengembangan
konsep agrowisata menjadi prioritas utama
yang harus dilakukan. Prioritas ke dua yang
dinilai penting adalah pembangunan
infrastruktur pertanian untuk mendukung
aktivitas masyarakat Desa Wiyurejo. Setelah
dua prioritas utama tersebut, Maka perlu
dilakukan berbagai pelatihan dan
pendidikan (Diklat) untuk pengembangan
kapasitas Sumberdaya Manusia (SDM)
untuk mendukung pertanian ramah
lingkungan dan agrowisata pertanian yang
akan terbentuk di Desa Wiyurejo.
Tabel 3. Hasil Evaluasi Rencana Program Kerja
Actions (Program kerja)
Policy (Strategi)
Nilai rerata Simpangan
Baku Peringkat (Prioritas) Pertanian
Multifungsi Kearifan
lokal
Konservasi Sumberdaya
Hutan
Pengembangan pertanian organik
12,5 12 12,3 12,3 0,2 6
Pengembangan agrowisata berbasis edukasi
18,2 17,5 17,3 17,7 0,4 1
Pengembangan infrastruktur Desa
17,3 16,6 16,5 16,8 0,3 3
Peningkatan kualitas sumber daya manusia
16,9 16,9 16,8 16,9 0,1 2
Pengembangan teknologi informasi dan sosial media
15,8 15,4 15,2 15,5 0,2 4
Pengolahan sampah desa (Recycle dan Kompos)
14,4 14 14,4 14,2 0,2 5
Untuk melihat hubungan antara
strategi dan rencana program yang
diusulkan kepada Pemerintah Desa
Wiyurejo, maka dilakukan analisa closeness
map dengan metode MULTIPOL. Hasil
analisa closeness map yang menggambarkan
keterkaitan antara strategi dan rencana
program disajikan pada Gambar 6. Dapat
dilihat bahwa strategi pengembangan
pertanian multifungsi lebih dekat kepada
program pengembangan agrowisata
pertanian dan infrastruktur desa. Hal ini
Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299
146
menunjukkan bahwa Desa Wiyurejo masih
memerlukan infrastruktur pendukung
pertanian dan agrowisata pertanian agar
dapat bersaing dengan Desa-desa wisata lain
di Kecamatan Pujon.
Hasil analisa closeness map juga
menunjukkan bahwa strategi konservasi
sumberdaya hutan dan air dekat dengan
program pertanian organik dan program
pengelolaan sampah desa. Dengan
demikian, maka Pemerintah Desa Wiyurejo
disarankan untuk memulai inisiatif
pengelolaan sampah Desa, yaitu dengan
terlebih dahulu menghimbau masyarakat
desa untuk memilah sampah organik dan
sampah anorganik. Sampah anorganik
seperti plastik, kertas, dan kardus dapat
dikumpulkan pada bank sampah yang
dikelola desa, yang nantinya akan dapat di
daur ulang kembali atau dikumpulkan pada
bank-bank sampah di di tingkat kecamatan.
Sedangkan untuk sampah organik seperti
sisa makanan dan sampah dapur, dapat
diolah kembali menjadi kompos dengan
mencampur sampah organik dengan sisa
tanaman maupun kotoran hewan ternak
untuk menjadi pupuk kompos. Pengelolaan
kompos ini diusulkan dikelola pada tingkat
desa, sehingga produk hasil pengolahan
kompos dapat didistribusikan kembali
kepada petani-petani di Desa Wiyurejo.
Gambar 6. Keterkaitan Strategi dan Rencana Aksi
Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019
147
Tabel 4. Hasil Evaluasi Strategi
Policy (Strategi) Skenario
Nilai rerata Simpangan
Baku Peringkat (Prioritas) Supply
Side Demand
Side
Pertanian Multifungsi 16 18,2 17,1 1,1 1
Kearifan Lokal 17,1 16,9 17 0,1 2
Konservasi Sumberdaya Hutan 16,4 14,2 15,3 1,1 3
Dari hasil analisa prioritas strategi
pengembangan desa dengan metode
MULTIPOL, didapatkan peringkat
prioritas strategi yang harus dilakukan
berdasarkan hasil wawancara dengan para
pakar (Tabel 4). Skenario pengembangan
wilaya pedesaan dapat didekati melalui
skenario berbasis sisi permintaan (Demand
Side) dan skenario berbasis sisi penawaran
(Supply Side) (Deaton dan Nelson 1992).
Melihat nilai rerata dari hasil evaluasi
strategi (Tabel 4), maka didapatkan bahwa
strategi prioritas pengembangan Desa
Wiyurejo sebagai kawasan penyangga yang
paling tepat dilakukan adalah dengan
kebijakan pengembangan Pertanian
Multifungsi (nilai rerata 17,1 dan simpangan
baku 1,1).
Penelitian yang dilakukan oleh Zasada
(2011) mengemukakan bahwa pertanian
multi fungsi menggunakan berbagai strategi
penggunaan lahan yang meliputi
diversifikasi kegiatan pertanian dan non-
pertanian, mengembangkan proses
produksi hasil pertanian, dan upaya
manajemen konservasi lahan. Konsep
pertanian multi fungsi tidak memiliki arti
diversifikasi produk pertanian dan
peningkatan kegiatan non pertanian (off-
farm) (Pribadi dan Pauleit, 2015), namun
lebih menekankan kepada meningkatkan
fungsi pertanian di luar dari penyediaan
pangan. Pertanian multi fungsi yang
dikembangkan di Desa Wiyurejo akan
meliputi pertanian ramah lingkungan
dengan komoditas bernilai tinggi seperti
produk hortikultura dan tanaman
perkebunan seperti kopi, dan juga
pengembangan agrowisata dalam bentuk
homestay yang mengusung farming experience
dan kelestarian alam. Pengembangan
pertanian multifungsi tersebut diharapkan
mampu menjaga kelestarian lingkungan dan
meminimalisasi kerusakan lingkungan,
sehingga dapat mendukung fungsi kawasan
penyangga bagi kawasan Tahura Raden
Soerjo.
Hasil evaluasi strategi pengembangan
Desa Wiyurejo menunjukkan bahwa pada
strategi Pertanian Multifungsi unggul pada
kondisi skenario Supply Side (pendekatan
investasi pada SDM, dan pembentukan
modal) (Gambar 7). Sedangkan strategi
wisata budaya unggul pada kondisi skenario
Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299
148
Demand Side (pendekatan investasi ekonomi)
(Gambar 7). Hal ini menunjukkan bahwa
jika Desa Wiyurejo ingin lebih fokus pada
pengembangan wisata budaya, maka
diperlukan injeksi ekonomi (investasi dalam
bentuk uang) yang lebih tinggi
dibandingkan strategi pertanian multifungsi
maupun konservasi sumberdaya hutan dan
air.
Gambar 7. Profile Map Skenario Pengembangan Desa Wiyurejo
Gambar 8 menyajikan alternatif jalur
kebijakan yang dapat dilakukan oleh
Pemerintah Desa Wiyurejo di dalam
pengembangan desa melalui berbagai
program kerja yang sesuai dengan strategi.
Hasil penelitian ini merumuskan strategi
pengembangan Desa Wiyurejo untuk fokus
pertanian multifungsi dengan skenario
supply side maka rencana program kerja yang
dapat dilakukan adalah dengan penguatan
infrastruktur desa dan pengembangan
agrowisata berbasis homestay edukasi
pertanian dan lingkungan. Sedangkan pada
strategi pengembangan desa untuk fokus
kearifan lokal dan pelestarian budaya baik
pada skenario demand side maupun supply side,
maka rencana program yang dapat
dilakukan adalah pemanfaatan teknologi
informasi dan sosial media sebagai salah
satu alat untuk mengenalkan dan
mempromosikan kegiatan-kegiatan sosial-
budaya di Desa Wiyurejo. Selain itu, rencana
program kerja pendidikan dan pelatihan
untuk pengembangan Sumberdaya Manusia
(SDM) juga dianjurkan untuk dilakukan
oleh Pemerintah Desa Wiyurejo. Strategi
pengembangan yang hanya dapat
dikembangkan pada kondisi skenario supply
side adalah konservasi sumberdaya hutan
dan lingkungan, yang dapat dilakukan
dengan fokus rencana kegiatan
pengembangan pertanian organik dan
Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019
149
pengelolaan sampah desa dengan bank
sampah dan pengolahan kompos.
Gambar 8. Potensi Jalur Kebijakan (Strategi) dan Rencana Program Kerja
REFERENSI
Deaton, B.J., Nelson, G.L. 1992. Conceptual underpinnings of policy analysis for rural development. Journal of Agricultural and Applied Economics. 24(1): 87-99.
Fauzi, A. 2019. Teknik Analisis Keberlanjutan. Jakarta (ID): PT. Gramedia Pustaka Utama.
Godet, M., Monti, R., Meunier, F., Roubelat, F. 2004. Scenarios and Strategies: A toolbox for Problem Solving. Cahiers du LIPSOR, LISOR Working Papers. Laboratoire d'Investigation en Prospective, Stratιgie et Organisation.
Godet, M. 2001. Creating Futures: Scenario Planning as a strategic management tool. Washington, DC: Economica. Economica Brookings diffusion.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2017. Peraturan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.43/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2017 Tentang Pemberdayaan
Masyarakat Di Sekitar Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.
Listyarini, L., Sari, N., Sutikno, F.R. 2011. Optimalisasi Fungsi Daerah Penyangga Kawasan Taman Hutan Raya Raden Soerjo (Studi Kasus: Desa Sumber Brantas Kota Batu). Jurnal Tata Kota dan Daerah. 3(1): 47-53.
Pemerintah Republik Indonesia. 2015. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 104 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan Dan Fungsi Kawasan Hutan.
Pribadi, D.O., Pauleit, S. 2015. The dynamics of peri-urban agriculture during rapid urbanization of Jabodetabek Metropolitan Area. Land Use Policy. 48: 13-24.
Soemarwoto, Otto. 1985. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta: Djambatan.
Stratigea, A. 2013. Participatory policy making in foresight studies at the regional level—A methodological approach. Regional Science Inquiry. 5(1): 145-160.
Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299
150
Zasada, I. 2011. Multifunctional peri-urban agriculture—A review of societal demands and the provision of goods and services by farming. Land Use Policy. 28(4): 639-648.
Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019: 151-175 ISSN : 2355-6226 E-ISSN : 2477-0299
151
PEMAKAIAN BIOGAS: HEMAT BIAYA BAHAN BAKAR DAN TAMBAHAN PENDAPATAN RUMAHTANGGA MENDUKUNG
KETAHANAN ENERGI
Roosganda Elizabeth Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP)
Jl. Tentara Pelajar No. 3B . Cimanggu. Bogor 16124 Email: [email protected]
RINGKASAN
Biogas diperoleh dari hasil olahan berbagai materi berbasis pertanian-ternak merupakan
bioenergi terbarukan (renewable energy), solusi substitusi migas (BBM) hingga ke tingkat industri.
Semakin menyusutnya minyak bumi mengharuskan akselerasi penciptaan sumber energi
alternatif yang mampu memenuhi kebutuhan energi migas yang semakin meningkat seiring
pesatnya pertambahan penduduk dan sektor industri. Manajemen pengolahan dan pemanfaatan
limbah pertanian dan peternakan dilakukan juga untuk meminimalisir dampak negatifnya dan
memaksimalkan dampak keuntungan serta tetap memperhatikan keseimbangan sistem produksi
dengan lingkungan hidup (biogas tidak mengeluarkan asap). Sludge sebagai hasil ikutan
merupakan biofertilizer, yang tidak lagi mengundang parasit dan biji gulma, dan pupuk alternatif
solusi pencegahan berbagai dampak pencemaran logam berat pada tanah. Dengan metode
deduktif kualitatif, tulisan ini bertujuan mengemukakan secara komprehensif perlunya akselerasi
penggunaan biogas sebagai pemanfaatan bioenergi untuk dalam rangka mendukung ketahanan
energi, pemberdayaan ekonomi dan kelembagaan. Realisasi akselerasi dan efektivitas
pengaplikasian biogas sebagai sumber energi alternatif yang relatif ekonomis dan efisien, bahkan
dapat menghasilkan pendapatan tambahan dari pendistribusian energi listrik yang dihasilkan
biogas ke pengguna lain yang membutuhkannya. Penggunaan biogas memungkinkan
pengembangan konsep zero wasted management (dalam SITT) dan pengembangan konsep
pertanian berkelanjutan yang mengintegrasikan berbagai aspek sosial ekonomi masyarakat
pertanian dan aspek lingkungan. Penggunaan biogas merupakan pilihan tepat sebagai bioenergi
dan pupuk, serta diperolehnya keuntungan ganda (multi margin), pemberdayaan ekonomi dan
kelestarian lingkungan.
Kata kunci: biogas, sludge, energy terbarukan, perbaikan ekonomi.
PERNYATAAN KUNCI
• Pembuatan biogas merupakan
diversifikasi upaya dan solusi untuk
memperoleh energi dari sumber-
sumber energi lain yang dapat
dianggap sebagai energi pengganti
Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299
152
minyak dan gas bumi, disebut sebagai
energi alternatif bahan pengganti
minyak bumi. Biogas adalah bahan
bakar yang bersih dan tidak
mengeluarkan asap seperti halnya
kayu, arang, sehingga alat-alat dapur
yang digunakan tetap bersih. Dengan
bahan baku yang banyak tersedia,
manfaat ganda dari pembuatan biogas
tersebut, yaitu berupa: gas sebagai
sumber energi, sludge sebagai pupuk
dan pakan, serta meningkatkan
sanitasi lingkungan.
• Pembuatan biogas juga merupakan
salah satu strategi penerapan dan
pengembangan bioindustri untuk
mendukung tercipta dan
berkembangnya program hilirisasi di
pedesaan. Teknologi pembuatan
biogas merupakan pilihan yang tepat
untuk mengubah limbah usahatani
ternak menghemat pengeluaran
membeli bahan bakar serta berbagai
keuntungan lain secara sosial
terutama dari segi ekonomi
khususnya bagi rumah tangga di
pedesaan. Pengembangan
infrastruktur, pendidikan dan
pembinaan keterampilan SDM
petani, perbaikan dan peningkatan
kualitas dan kemampuan
(kompetensi) SDM pertanian secara
serius, intensif dan berkelanjutan.
• Multi margin dari pembuatan biogas
merupakan pilihan yang tepat
mendukung optimalisasi
pemanfaatan bioenergi, mewujudkan
ketahanan energi dan pemberdayaan
ekonomi dipedesaan serta kelestarian
lingkungan. Perlu
dikomplementasikan dengan
pembenahan struktur dan efisiensi
bioindustri di pedesaan sehingga
pendapatan petani peternak dapat
ditingkatkan dan upaya yang bersifat
inklusif dan integratif dalam
peningkatan kesejahteraannya.
• Pengembangan usaha bioindustri
pengelola SDA dengan baik dan
lestari lingkungan, baik dari aspek
ekonomi, sosial dan kelestarian
lingkungan dengan benar dan bijak
terutama di pedesaan,
mengindikasikan adanya peningkatan
kualitas dan kompetensi SDM dan
tentunya berdampak pada
bertambahnya perolehan pendapatan
yang disinyalir mampu mewujudkan
kemandirian dan ketahanan pangan
dan kesejahteraan petani.
• Pemberdayaan sumberdaya lahan
(tanah, air, mineral dan udara),
sumberdaya hayati (manusia, hewan,
tumbuhan, dan mahluk hidup
lainnya), sumberdaya lingkungan
(interaksi antar mahluk), serta 6 M
(man, money, material, machine, method,
Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019
153
management) perlu dilakukan secara
sinergis dan optimal supaya seluruh
stakeholders mempunyai kemauan,
kemampuan, kesempatan dan
kewenangan untuk berkontribusi
nyata dan memperoleh manfaat
optimal. Terkait dengan masyarakat
sebagai pemberdayaan kelembagaan
pelaku berbagai ragam usaha,
terutama pelaku usahatani (petani),
pelaku bioindustri, peran dan makna
partisipasi (dalam berbagai program
pembangunan dan kebijakan
pemerintah) merupakan proses dan
keadaan (situasi) dimana seluruh
pihak (terutama yang
terkait/berhubungan, langsung/
tidak langsung) dapat
membentuk/membangun kondisi
dan ikut serta terlibat serta kooperatif
dalam seluruh inisiatif, tahapan dan
aktivitas pembangunan.
• Dalam pemberdayaan kelembagaan
dan partisipasi, siapapun dapat
berperan aktif, baik berperan dalam
bermasyarakat, dalam kehidupan
sendiri, terlebih lagi keterlibatan
untuk berperan dalam pembangunan.
Meski memiliki makna yang berbeda-
beda (tergantung pada “apa” dan
”bagaimana” mereka turut serta
terlibat), namun pada akhirnya
partisipasi bertujuan untuk increasing
self-determination (meningkatkan
kemandirian/keteguhan diri), serta
terkontruksinya/terbangunnya
kontrol (build construction control) dan
inisiatif masyarakat terhadap
pengelolaan sumberdaya untuk
pembangunan.
REKOMENDASI KEBIJAKAN
• Perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan pertanian di pedesaan,
hendaknya ditekankan perbaikan dan
pembenahan ragam bioindustri yang
mampu memotori industrialisasi
perdesaan, yang berdayaguna dan
berhasilguna serta ke arah
peningkatan pendapatan, kesempatan
kerja dan berusaha di perdesaan.
• Perlunya keseragaman dan kesepakat
bersama/komitmen masing-masing
para pemangku kebijakan di tingkat
pusat hingga tingkat daerah, sehingga
dapat membantu kelancaran dalam
koordinasi dan pelaksanaan program
kerja di daerah. Dibutuhkan berbagai
regulasi dan kelembagaan yang
mewadahi berbagai kegiatan
bioindustri mulai dari sisi produksi,
pengolahan, pemasaran dan
keberlanjutannya.
• Perlunya dukungan peningkatan dan
pengembangan teknologi biogas
sebagai salah satu bioindustri di
pedesaan untuk penganekaragaman
produksi dan kesempatan bekerja dan
Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299
154
berusaha di bidang industri berbasis
pertanian.
• Perlunya keberpihakan dan dukungan
kepada petani dan kelompok tani
sebagai pemberdayaan kelembagaan
di pedesaan dengan program
kebijakan pelatihan dan bimbingan
teknologi secara intensif dan
berkesinambungan untuk
mewujudkan penguatan pengolahan
berbasis pertanian, termasuk limbah
pertanian dari subsistem hulu
(budidaya) sampai dengan subsistem
hilir (pemasaran dan menjadi pelaku
usaha produk olahan) sesuai dengan
konsep value chain market based solution.
I. PENDAHULUAN
Beberapa aspek trend yang memiliki
konsekuensi dan solusi, terkait pertanian
masa depan, yaitu: (i) perlunya upaya
mendorong transformasi ekonomi ke
bioenergi sebagai antisipasi semakin
langkanya energi fosil; (ii) semakin urgensi-
nya bioproduk, pola hidup sehat, dan pola
konsumsi biokultur seiring semakin
meningkatnya kebutuhan pangan, pakan,
energi dan serat; (iii) perlunya dorongan
peningkatan kapasitas adaptasi dan mitigasi
untuk mengantisipasi perubahan iklim
global; (iv) keharusan pada keniscayaan
untuk kegiatan efisiensi dan konservasi
sebagai antisipasi dampak terjadinya
kelangkaan lahan dan air; (v) pengembangan
sistem pertanian ekologis dan bioservices
sebagai dorongan dari permintaan terhadap
jasa lingkungan hidup; (vi) perlunya
penerapan pluriculture sistem biosiklus
terpadu sebagai dampak meningkatnya
petani marginal; (vii) pengembangan
bioekonomi sebagai dampak yang diberikan
dari kemajuan Iptek bioscience dan
bioengineering. Dibutuhkan penanganan yang
holistik dengan integrasi seluruh pemangku
kepentingan dan menyikapinya dengan
perubahan dan pembaharuan paradigma
pembangunan perekonomian nasional, ke
arah: (i) paradigma pertanian untuk
pembangunan (agriculture for development),
pembangunan perekonomian nasional perlu
dirancang dan dilaksanakan sesuai tahapan
pembangunan pertanian serta
mendudukkan sektor pertanian sebagai
motor penggerak transformasi pertanian
yang berimbang dan menyeluruh; (ii)
paradigma sistem pertanian-bioindustri
berkelanjutan, dengan pengalihan industri
yang berbahan bakar fosil ke bahan bakar
terbarukan (hayati).
Paradigma tersebut mendudukkan
peran pertanian sebagai penghasil berbagai
bioenergi, dan biomassa bahan baku
biorefinery untuk menghasilkan pangan,
pakan, serat, energi, (food, feed, fiber, energi),
dan berbagai bioproduk lainnya, dan
lingkungan (environment); yang merupakan
isu global pembangunan pertanian yang
harus dihadapi sebagai tantangan untuk
dapat mengembangkan pertanian ramah
Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019
155
lingkungan dengan penerapan teknologi
melalui pengembangan bio-science, inovasi
menghadapi perubahan iklim (GCC
innovation respon), dan bio-informatik yang
mengaplikasikan teknologi informasi (bio-
information) dengan selalu mengedepankan
kelestarian lingkungan dan SDA
(Wahyunto, 2005. Hambali, 2004. dalam:
Elizabeth, 2017). Pengimplementasian
pembuatan biogas, mendukung
pengembangan program hilirisasi dengan
konsep pertanian-bioindustri yang terkait
erat dengan terdapatnya minimal lima
tantangan yang dihadapi sektor pertanian
saat ini. Kelima tantangan tersebut,
meliputi: 1) peningkatan pendapatan petani
yang mayoritas berlahan kurang dari 0,5
hektar; 2) tantangan agronomis, untuk
meningkatkan produksi pangan dan
komoditas pertanian; 3) tantangan
demografis, untuk memenuhi kebutuhan
pangan penduduk yang terus bertumbuh; 4)
tantangan menghadapi perubahan iklim
global untuk mewujudkan pertanian
berkelanjutan; 5) tantangan untuk
memfasilitasi proses transformasi
perekonomian nasional dari berbasis fosil
ke bioekonomi.
Pengembangan pertanian terintegrasi
ternak (ruminansia dan unggas) yang
inovatif semakin diperlukan seiring semakin
menciutnya areal tanam akibat konversi
lahan ke tujuan ekonomi lainnya
(perdagangan, perumahan, industri, dan
sebagainya). Indonesia memiliki berbagai
sumberdaya genotip (SDGS) yang
berlimpah sebagai bahan baku. Material
berbasis pertanian berpotensi besar untuk
menjadi bahan baku bioindustri, serta
mampu menghasilkan berbagai jenis
bioenergi seperti: biogas, biodiesel,
bioetanol, biolistrik dan bioavtur yang
dihasilkan dari proses pengolahan lanjutan.
Pengimplementasiannya terus ditingkatkan
seiring perolehan dan aplikasi
penggunaannya yang pemakaiannya untuk
meminimalisir penggunaan BBM.
Pengolahan berbagai produk dan limbah
berbasis pertanian yang dapat
menghasilkannya, dari hasil sintesis dan
hasil penyulingan berbagai produk berbasis
pertanian lainnya termasuk dari kotoran
hewan ternak (sapi, kerbau, kuda, kambing,
dan ternak lainnya) (Sutisna. 2015). Seiring
dengan kian menyusutnya minyak bumi
yang masih menjadi salah satu sumber
energi utama, berbagai bahan dan materi
berbasis pertanian dapat diolah lebih lanjut
untuk menghasilkan bioenergi pensubstitusi
bahan bakar minyak (BBM). Upaya tersebut
juga yang ditujukan untuk meningkatkan
produksi minyak bumi (misalnya surfaktan
dari hasil sintesis minyak sawit) (BBIA,
2014. Kasryno, 2013. dalam: Hambali et al,
2014).
II. SITUASI TERKINI
Dengan semakin menyusutnya
minyak bumi yang masih menjadi salah satu
Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299
156
sumber energi utama, berbagai bahan dan
materi berbasis pertanian dapat diolah lebih
lanjut untuk menghasilkan bioenergi
pensubstitusi bahan bakar minyak (BBM)
dan atau yang ditujukan untuk
meningkatkan produksi minyak bumi
(misalnya surfaktan dari hasil sintesis
minyak sawit) (BBIA, 2014. Kasryno, 2013.
dalam: Hambali et al, 2014). Indonesia
memiliki berbagai sumberdaya genotip
(SDGS) yang berlimpah sebagai bahan baku
yang mampu menghasilkan berbagai jenis
bioenergi seperti: biogas, biodiesel,
bioetanol, biolistrik dan bioavtur yang
dihasilkan dari proses pengolahan lanjutan.
Pengimplementasiannya terus ditingkatkan
seiring perolehan dan aplikasi
penggunaannya yang pemakaiannya untuk
meminimalisir penggunaan BBM. Material
berbasis pertanian berpotensi besar untuk
menjadi bahan baku bioindustri.
Pembuatan biogas dengan mengolah
berbagai bahan dan materi berbasis
pertanian-peternakan, juga merupakan salah
satu strategi penerapan dan pengembangan
bioindustri untuk mendukung tercipta dan
berkembangnya program hilirisasi di
pedesaan (Elizabeth, 2018). Multi margin
diperoleh dengan adanya tambahan
pendapatan petani dari pendistribusian
biogas, sludge sebagai pupuk (biofertilizer)
dan pakan. Biogas merupakan bioenergi dan
energi terbarukan (renewable energy) unggul
dan penting dalam rangka optimalisasi
pemanfaatan bioenergi untuk ketahanan
energi, pemberdayaan ekonomi dan
kelembagaan (Elizabeth, 2018). Biogas,
diharapkan sebagai salah satu solusi yang
mampu mensubstitusi kebutuhan migas
(BBM) hingga ke tingkat industri.
Pengembangan manajemen pengolahan dan
pemanfaatan limbah pertanian dan
peternakan dilakukan juga untuk
meminimalisir dampak negatifnya dan
memaksimalkan dampak keuntungan serta
tetap memperhatikan keseimbangan sistem
produksi dengan kelestarian lingkungan
(biogas tidak mengeluarkan asap).
Untuk mengatasi permasalahan
semakin tingginya biaya bahan bakar,
dengan metode deskriptif kualitatif, tulisan
ini bertujuan mengemukakan secara
komprehensif akselerasi penggunaan biogas
dalam rangka mendukung optimalisasi
pemanfaatan bioenergi untuk ketahanan
energi, pemberdayaan ekonomi dan
kelembagaan. Biogas sebagai sumber
bioenergi penghasil listrik dan gas dalam
rangka mendukung strategi mengatasi
masalah biaya ekonomi rumah tangga di
pedesaan, dan energi penggerak peralatan
industri. Realisasi akselerasi dan efektivitas
pengaplikasian biogas sebagai sumber
energi alternatif yang relatif ekonomis dan
efisien untuk mendukung optimalisasi
pemanfaatan bioenergi, bahkan dapat
menghasilkan pendapatan tambahan dari
menjual energi listrik yang dihasilkan biogas
Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019
157
ke konsumen yang menginginkannya.
Penggunaan biogas memungkinkan
pengembangan konsep zero wasted
management dalam SITT. Peningkatan
implementasi bioindustri untuk
menghasilkan dan optimalisasi bioenergi
melalui pemanfaatan limbah pertanian
ternak untuk penggunaan domestik, bahan
pangan, serat, energi bioenergi/energi
alternatif), pupuk organik cair, pangan
fungsional, pakan ternak (sapi
penggemukan) dan perikanan.
Pengolahan berbagai produk dan
limbah berbasis pertanian yang dapat
menghasilkannya, dari hasil sintesis dan
hasil penyulingan berbagai produk berbasis
pertanian lainnya termasuk dari kotoran
hewan ternak (sapi, kerbau, kuda, kambing,
dan ternak lainnya) (Sutisna, 2015). Di
beberapa daerah di berbagai wilayah
pedesaan sudah sering ditemukan
pengaplikasian dan pemanfaatan biogas
sebagai sumber energy
(mengaktifkan/mengoperasikan dan
menjalankan alat-alat pertanian dan industry
pertanian), sumber energy substitusi listrik
dan bahan bakar rumahtangga (memasak).
Sementara itu, sebagai pegangan,
pemantau dan pengawal dalam terlaksana
dan suksesnya suatu program
pembangunan, diperlukan partisipasi dalam
monitoring dan evaluasi (participatory
monitoring and evaluation = PM&E); yang
berupaya melibatkan (to engage) pihak-pihak
stakeholders utama untuk lebih aktif dalam
merefleksikan dan mengukur (assesing)
kemajuan proyek dan terutama pencapaian
hasil. Untuk itu, pelaksanaan program
pembangunan hendaknya tetap
menjalankan prinsip utama PM&E, yaitu: 1)
stakeholders utama adalah partisipan yang
aktif tidak hanya sebagai sumber informasi;
2) membangun dan mengembangkan
kemampuan masyarakat setempat untuk
menganalisa, merefleksikan dan berperan
aktif/mengambil bagian; 3) terjadinya
proses belajar bersama (joint learning) dari
seluruh stakeholders pada berbagai level; dan
4) adanya komitmen untuk terciptanya
proses yang lebih tepat dan multi guna.
Dengan demikian, dasar terpenting
dibutuhkannya partisipasi adalah agar
terjaminnya pembangunan bioindustri
berkelanjutan karena sangat tergantung
pada social process dan terkait dengan tiga
aspek utama masyarakat (sosial, ekonomi
dan lingkungan) tersebut di atas. Hal
tersebut juga membuat penduduk pedesaan
berangsur-angsur bisa melepaskan diri dari
jebakan paradox of plenty (kondisi dimana
suatu negara yang kaya sumberdaya alam
tetapi rakyatnya miskin) (Fauzi, 2014).
Demikian juga halnya bila dikaji dari
aspek keberlanjutan, pengusahaan biogas
yang sudah cukup baik dan tidak memiliki
dampak negatif, namun masih relatif kurang
dari sisi pemasaran dan distribusi energi
biogas sebagai subsistem aktivitas bisnis
Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299
158
dari produk hasil suatu usaha, diarahkan
pada perbaikan mekanisme berbagai
pendekatan yang umum berlaku dalam
aktivitas suatu usaha pengolahan (Elizabeth,
2018a). Kelompok tani ternak merupakan
salah satu wadah berbentuk kelembagaan
yang memiliki peran penting di pedesaan.
Lembaga di pedesaan lahir untuk memenuhi
kebutuhan sosial masyarakatnya (Elizabeth,
2014). Sifatnya tidak linier, namun
cenderung merupakan kebutuhan individu
anggotanya, antara lain berupa kebutuhan:
fisik, rasa aman (savety), hubungan sosial
(social affiliation), pengakuan (esteem),
pengembangan pengakuan (self actualization).
Pendukung utama terlaksananya
upaya pencapaian pengembangan
pengusahaan dan penggunaan biogas,
sangat diperlukan ketersediaan perangkat
kebijakan yang memadai, teknologi dan
informasi yang dibutuhkan, serta
berfungsinya lembaga pendukung lainnya
seperti: penyuluhan, pemasaran, dan sistem
pendekatan instansi terkait (Elizabeth,
2008). Lemahnya kinerja lembaga
penyuluhan di pedesaan salah satunya dapat
mengakibatkan informasi harga umumnya
hanya diperoleh dari sesama petani,
pedagang, pasar, dan media massa
(Elizabeth, 2017a). Kondisi tersebut
mengindikasikan diperlukan penanganan,
pembinaan dan sosialisasi manfaat dan
multi fungsi keuntungan pengusahaan dan
penggunaan biogas. Oleh karena itu
diperlukan peran aktif dan keberpihakan
semua pihak terkait, dengan kontinuitas
pengarahan, bimbingan, dan sosialisasi dari
pihak penyuluh lapang terhadap petani
peternak akan manfaat dan multi fungsi
serta keuntungan pengusahaan dan
penggunaan biogas (Elizabeth, 2016).
Penerapan metode Integration Farming
System (IFS), Crops-Livestock System (CLS),
dan Organic and Un-Organic Farming
mendorong pengembangan pertanian
secara intensif dan terintegrasi (BPPT,
2005). Pemanfaatan limbahnya dengan
membuat biogas agar multi margin dengan
diperolehnya penambahan pendapatan
petani hasil pembuatan biogas (zero waste)
tidak sekedar dibuang atau dibakar dan
menjaga kelestarian lingkungan. Biogas
merupakan sumber energi terbarukan
(renewable energy) penting sebagai substitusi
unggul dan mampu menyumbangkan andil
untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar
rumah tangga (kontribusi dan efisiensi biaya
listrik dan gas) (Haryono, 2014).
Pengelolaan limbah pertanian-ternak
dilakukan untuk meminimalisir dampak
negatifnya dan memaksimalkan dampak
keuntungan serta tetap memperhatikan
keseimbangan sistem produksi dengan
lingkungan hidup. Beberapa hasil penelitian
telah mengemukakan berbagai potensi
limbah biomasa di seluruh Indonesia.
Biomasa seperti kayu, dari kegiatan industri
pengolahan hutan pertanian dan
Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019
159
perkebunan (Tuti, 2008). Besarnya energi
yang dihasilkan dari pengolahan limbah
biomasa tersebut bisa mencapai kisaran
49.907, 43 MW. Namun, tidak semua
pedesaan yang memiliki atau berdampingan
dengan hutan, dan mayoritas
berpenghasilan dari usahatani dan ternak
Terdapatnya tiga prinsip
keberlanjutan sistem pertanian terkait
bioenergi dan bioindustri di pedesaan
sebagai dukungan untuk mengoptimalkan
ketahanan energi, yang meliputi: 1) self
financing: membiayai sendiri sebisa mungkin
melalui usaha yang saling menunjang dan
berjenjang; 2) menerapkan teknologi skala
kecil; dan 3) usaha yang layak teknis dan
ekonomis (Lidjang et al, 2015). Integrasi sapi
perah dengan kelapa sawit yang
menghasilkan susu, minyak sawit, biogas
(hasil fermentasi kotoran sapi), dan pludge
yang merupakan pupuk organik, di Provinsi
Aceh dapat dijadikan contoh penerapan tiga
prinsip tersebut (Ilham et al, 2018). Terkait
ketiga prinsip tersebut, Sistem Pertanian-
Energi Terpadu (SPET) yang menjadi titik
berat Pembangunan Pertanian-Bioindustri
tahap pertama, pada subsistem usahatani
primer didasarkan pada inovasi
bioteknologi yang mampu menghasilkan
biomassa setinggi mungkin untuk dijadikan
sebagai feedstock penghasil bioenergi; dan
untuk mencegah trade-off ketahanan pangan
dan ketahanan energi maka SPET pada
subsistem bioindustri didasarkan pada
inovasi bioengineering untuk mengolah
feedstock menjadi energi dan bioproduk,
termasuk pupuk untuk usahatani.
Beberapa hasil penelitian
mengemukakan seekor sapi potong dewasa
rata-rata dapat menghasilkan kotoran
minimal sekitar 10% dari bobot tubuhnya.
Bila dalam satu kandang kolektif dipelihara
3-5 ekor sapi potong, maka sekitar 100-
2.000 kg/hari kotoran yang terkumpul. Bisa
diperhitungkan nilai ekonomi yang
diperoleh dari kotoran ternak sebagai
limbah pemeliharaannya tersebut, baik
dalam bentuk kotoran secara langsung,
terlebih setelah diolah yang salah satunya
adalah biogas dan sludge sebagai hasil
ikutannya. Namun sampai saat ini kotoran
sapi dan limbah hasil pertanian masih belum
dimanfaatkan sepenuhnya oleh petani, dan
umumnya di buang ke saluran air untuk
memudahkan penanganan dan untuk lahan-
lahan yang terairi oleh saluran tersebut.
Limbah tanaman pangan dibuang atau
dibakar, meski dengan hasil pembakarannya
di maksudkan untuk kesuburan tanaman
kembali. Namun, kotoran ternak segar
belum dapat diaplikasikan langsung pada
tanaman, karena harus dingin/didiamkan
dan terkomposisi dengan rasio C/N lebih
dari 40.
Energi dari bahan bakar, merupakan
faktor penting yang aspeknya sangat vital
sebagai sumber bagi keberlangsungan dan
keberlanjutan kehidupan, dan
Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299
160
pemenuhannya berpengaruh besar bagi
berlangsungnya berbagai aktivitas ekonomi.
Disamping energi hasil dari bahan bakar,
pangan, merupakan kebutuhan pokok yang
hakiki dan HAM serta sebagai salah satu
sumber penghasil energi, tenaga dan
kekuatan bagi setiap mahluk untuk hidup
dan beraktivitas setiap harinya. Dengan
telah disusunnya dokumen SIPP (Strategi
Induk Pembangunan Pertanian) 2015-2045
mengenai: “Pertanian-Bioindustri
Berkelanjutan Solusi Pembangunan
Indonesia Masa Depan” oleh Kementerian
Pertanian, sebagai awal pencanangan yang
didasari kesadaran terhadap potensi dan
urgensi pengembangan bioindustri,
bioenergi dan bioekonomi berbasis
pertanian, landasan strategis dalam
pembangunan pertanian jangka panjang dan
mainstreaming perspektif bioekonomi di
Indonesia (Kementan, 2013). Untuk
mengoptimalkan implementasinya, visi
utama pembangunan pertanian yang
berbasis pertanian bioindustri berkelanjutan
dijabarkan dalam sembilan misi (Suswono,
2013), yaitu: (i) penataan ruang dan reforma
agraria (RA); (ii) sistem pertanian tropika
terpadu; (iii) kegiatan ekonomi produksi,
informasi dan teknologi; (iv) pasca panen,
agro-energi dan bioindustri berbasis
pedesaan; (v) sistem pemasaran dan rantai
nilai produk; (vi) sistem pembiayaan
pertanian; (vii) sistem penelitian, inovasi
dan sumberdaya manusia berkualitas; (viii)
infrastruktur pertanian dan pedesaan; dan
(ix) program legislasi, regulasi dan
manajemen yang imperatif.
Terkait kebijakan SIPP tersebut,
implementasi bioindustri untuk
menghasilkan bioenergi melalui pengolahan
kotoran ternak (sapi, kuda, kerbau, babi,
dan unggas) sebagai bahan baku pembuatan
biogas banyak di jumpai di seluruh wilayah
Indonesia dan tersedia secara melimpah
serta belum banyak di manfaatkan secara
maksimal. Kotoran ternak sapi, babi, ayam
dan limbah organik sisa-sisa tanaman
merupakan sumber bahan baku yang baik
untuk pembuatan biogas, dapat
menggunakan salah satu bahan baku atau
campuran keduanya. Jerami padi atau
gergaji mengandung persentase karbon
yang lebih tinggi dan dapat dicampur
sebagai bahan untuk mendapatkan C/N
yang diinginkan sebagai bahan baku biogas.
Penggunaan limbah pertanian sebagai
bahan dasar biogas lebih membutuhkan
waktu lama untuk proses hidrolis bahan
selulosa dibandingkan kotoran ternak.
Peran aktif dan keberpihakan berbagai
kelembagaan sangat diharapkan sebagai
dukungan penuh terhadap kemajuan petani
dan pedesaan. Informasi dan bimbingan
pembuatan biogas juga dapat diperoleh
Badan Penyuluhan Pertanian, Penyuluh
Pertanian dan aparat dinas terkait lainnya.
Informasi yang patut diketahui sebelum
membuat biogas selain untuk memenuhi
Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019
161
kebutuhan rumah tangga, juga
pemberdayaannya agar mampu
menggerakkan usaha agribisnis yang
menguntungkan.
Pemanfaatan biogas di Indonesia
sebagai energi alternatif sangat
memungkinkan untuk diterapkan di
masyarakat terlebih seiring makin mahalnya
harga bahan bakar minyak dan kadang-
kadang langka keberadaannya. Petani ternak
dapat memulai pemanfaatan biogas dengan
membuat unit produksi biogas yang
sederhana, dan tidak membutuhkan biaya
banyak dan lebih mudah dijalankan. Petani
diberi pengarahan dan penyuluhan agar
mampu menguasai pengaplikasian unit
biogas secara mandiri. Selanjutnya petani
ternak segera merasakan kebutuhan biogas
yang lebih banyak, dan akan terdorong
untuk membuat lebih banyak unit biogas
dan memperbesar usahanya. Sekalipun
demikian, di wilayah yang terlalu dingin
(kurang dari 150C) dan terlalu panas (di atas
370C), terdapat sedikit masalah dalam
memproduksi biogas, karena gas lebih
bagus diproduksi pada suhu 32-370C.
Dengan pengunaan biogas sederhana, para
petani ternak telah memanfaatkan limbah
tanaman dan kotoran ternak serta dapat
menghemat uang untuk pembelian bahan
bakar. Pemberdayaan dan bimbingan
pembuatan biogas dari penyuluh pertanian
dan aparat terkait lainnya menjadi penting?
agar mampu mengaplikasikan dan
menggerakkan usaha bioindustri yang
menguntungkan tersebut.
PENGEMBANGAN MANAJEMEN BIOGAS POTENSI PEMASOK ENERGI BIOINDUSTRI
Pemerintah hingga saat ini masih
berkutat dalam masalah krusial
penanggulangan tingkat kemiskinan dan
meningkatnya pengangguran memiliki
keterkaitan yang kuat dengan sektor lain
terutama di masa kini, seperti: keterkaitan
konsumsi, investasi, dan tenaga kerja. Titik
lemah perekonomian Indonesia adalah
tercermin pada belum optimalnya
pemanfaatan berbagai sumberdaya alam
termasuk limbahnya sebagai bahan baku
yang mencerminkan belum optimalnya
pergerakan di sektor riil. Kondisi tersebut
berdampak pada terbatasnya kesempatan
kerja dan berusaha. Ketangguhan sektor
pertanian telah terbukti tidak banyak
terpengaruh di beberapa masa krisis.
Dikembangkannya, bioindustri sebagai
industrialisasi pertanian, dimana bioindustri
merupakan upaya/kinerja/proses usaha
industri dalam: (i) menambah kapasitas
untuk memperbesar volume produksi
pertanian; (ii) meningkatkan dan
mengembangkan produksi dan limbah hasil
pertanian menjadi produk olahan yang lebih
bernilai tambah dan beragam, berdayasaing,
serta multi utility; dan (iii) dimaksudkan
untuk mengubah paradigma dan pola pikir
(mindset) bahwa sistem pertanian tidak hanya
Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299
162
usahatani penghasil bahan konsumsi saja
(Kasryno, 2013).
Efektivitas manajemen penanganan
dan pengolahan limbah dan efisen
dilakukan agar dapat meminimalisir dampak
negatif dan memaksimalkan dampak yang
menguntungkan dengan tetap
memperhatikan keseimbangan antara
sistem produksi dengan lingkungan hidup
yang serasi dan lestari. Pengelolaan limbah
yang tepat adalah sangat penting, karena: (a)
bahan baku limbah dieksploitasi sebagai
upaya untuk dapat mendatangkan
keuntungan; serta (b) mencegah
pencemaran di udara, tanah dan air. Biogas
diproduksi oleh bakteri dari bahan organik
dalam kondisi tanpa oksigen (anaerobic
process) selama pengolahan atau proses
fermentasi. Ketika limbah tanaman dan
kotoran ternak disimpan bercampur air
dalam tangki digester, limbah tanaman dan
kotoran ternak mengalami pembusukan.
Proses pencernaan anaerob yang
merupakan dasar dan reaktor biogas yang
diproses pemecahan bahan organik oleh
aktivitas bakteri metanogenetik pada
kondisi tanpa udara. Oleh karena itu,
dibutuhkan implementasi: (i) penyusunan
strategi pemasyarakatan pembuatan dan
pemanfaatan biogas; (ii) penanganan bahan
dasar, manajemen proses, dan pemilihan
jenis mikroorganisme yang ikut aktif dalam
proses pembentukan biogas (iii)
pemahaman mengenai variabel-variabel
yang mempengaruhi proses pembentukan
biogas, komposisi gas, dan cara penanganan
gas yang dihasilkan secara aman.
Tabel 1. Karakteristik Mikroorganisme Dalam Fermentasi Bahan Organik
Kelompok Mikroorganisme
Mikroorganisme Nutrisi
Hidrolitik Clostridium thermocellum
Heterotroph
H2 Producing Acetogen
S-isolate Heterotroph
Homoacetogen
Acetobacter woodi
Micotroph
Methanogen 1. Methanobacter
Thermoautotropicum
2. Methanosarcina
barkeri
Sumber : Daru 2007; dalam: Elizabeth, 2016
Diperlukan pencegahan terhadap
beberapa senyawa karena dapat
menghambat proses penguraian dan
fermentasi anaereob dalam pembuatan
biogas (Thalib, 2008), seperti: (i) logam
berat, seperti: Cadmium (Cd), Copper (Cu),
Chromium (Cr), dan beberapa ion logam
berat bebas dalam kadar/kondisi melebihi
persyaratan; (ii) antibiotik dan desinfektan.
Biasa terjadi saat pembersihan kandang
menggunakan desinfektan dan mengalir ke
dalam unit pembuatan biogas bila tidak
terpisah (berdekatan), dan jelas terlihat
pengaruhnya terhadap proses pembentukan
biogas bila kadarnya cukup tinggi. Seperti
telah dikemukakan sebelumnya, biogas
terbentuk pada suhu ideal sekitar 300C,
menjadi kendala bila kurang dari 150C dan
Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019
163
di atas 370C, jika kandungan gas CH4 lebih
dari 50%, maka mudah terbakar, kandungan
gas CH4 dalam biogas yang berasal dari
kotoran ternak sapi kurang lebih 60%.
Kandungan metan dan gas lainnya dalam
biogas yang dihasilkan tergantung jenis
bahan baku yang digunakan, yang secara
rinci dikemukakan pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi Gas (%) Dalam Biogas Dari Kotoran Ternak Dan Sisa Pertanian
Jenis gas Kotoran sapi
Campuran kotoran ternak
& sisa pertanian
Metana (CH4) 65,7 55-70
Karbondioksida (CO2)
27,0 27-45
Nitrogen (N2) 2,3 9,5-3,0
Karbonmonoksida 0,0 0,1
Oksigen (O2) 0,1 6,0
Propane (C2H8) 0,7 -
Hydrogen Sulfida (H2S)
Tidak terukur
Sedikit sekali
Nilai kalor (kkn 1/m2)
6513 400-6700
Sumber: Harahap et al, 1978. dalam: Elizabeth, 2017.
Biogas digunakan untuk berbagai
keperluan, seperti: (i) Bahan bakar untuk
memasak, pengeringan, penerangan, atau
pekerjaan-pekerjaan lain yang memerlukan
pemanasan. Dibutuhkan peralatan yang
didisain sehingga efisiensi pembakarannya
tinggi; (ii) Sebagai bahan bakar penggerak
motor (terutama motor stationer). Untuk
keperluan ini, biogas sebelumnya harus
dibersihkan dari kemungkinan adanya gas
H2S yang dapat menjadi penyebab korosi.
Sementara itu, kelebihan biogas terkait
kandungan, nilai kalorinya dikemukakan
pada Tabel 3.
Tabel 3. Perbandingan Kandungan, Nilai Kalori Biogas, Gas dari Sumber Energi Lain
Kandungan (%) dan Nilai Kalori
Gas Alam
Biogas
Coalgas
Watergas
Metan 97,0 54,7 31,6 0,7
Karbon Dioksida
0,8 27,4 1,8 3,5
Karbon Monoksida
- 0,1 6,3 43,5
Hidrogen - 1,1 53,0 47,3
Nitrogen 2,1 1,5 3,4 4,4
Oksigen - 0,7 0,2 0,6
Nilai Kalori (Kcal/m3)
967 590-700
586 302
Sumber: Daru, 2007. dalam: Elizabeth, 2017.
Dengan mencermati Tabel 3,
diketahui bahwa biogas memiliki
keunggulan tingkat nilai kalorinya dibanding
beberapa sumber energi lainnya (coalgas dan
watergas). Setiap m3 biogas setara dengan 0,5
kg gas alam cair (liquid petroleum gases =
LPG), 0,54 liter bensin, 0,52 liter minyak
diesel, dan dapat membangkitkan tenaga
listrik sebesar 1,25 - 1,50 kilo watt hour
(kwh).
Biogas, selain sebagai bahan bakar
renewable bioenergy terbarukan yang ramah
lingkungan karena tidak mengeluarkan asap,
hasil sampingan dari pembuatan biogas
adalah sludge, berupa pupuk organik
(biofertilizer) yang dapat dimanfaatkan
sebagai pupuk karena kaya unsur hara,
sehingga selain biogas, juga dihasilkan sludge
dan effluent. Kelebihannya adalah pupuk
Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299
164
sludge tersebut tidak lagi mengundang parasit
dan biji gulma yang dapat tumbuh, sehingga
tidak ada unsur ikutan yang berbahaya di
dalamnya. Jika digunakan sendiri, jangan
tempatkan pupuk tersebut hanya pada satu
tempat, melainkan disebar tipis-tipis dan
merata ke seluruh areal pertanaman yang
pada akhirnya menyuburkan tanaman.
Pupuk organik tersebut dapat menjadi
produk agribisnis yang menguntungkan.
Pencemaran logam berat di lahan
usahatani terkait dengan pelaksanaan
pengembangan pertanian intensif
(disamping industrialisasi dan urbanisasi),
sehingga lambat laun lahan pertanian
terkontaminasi oleh logam berat dan
polutan pengaplikasian (penetrasi) zat
anorganik (kimia). Pencemaran tanah
pertanian oleh logam berat mengakibatkan
produk pertanian pangan mengandung
logam berat melebihi persyaratan yang
menimbulkan resiko tinggi bagi kesehatan
konsumen. Pupuk dari sludge hasil ikutan
biogas, bertujuan dan diharapkan menjadi
solusi alternatif pencegahan pencemaran
logam berat pada tanah. Kemungkinan
pemanfaatan bahan-bahan tersebut masih
terbuka luas, dimana dari hasil penelitian
diketahui bahwa dalam sludge ini ditemukan
vitamin B12 yang cukup banyak, mencapai
3.000 mikro gram vitamin B12 per kg sludge
kering. Sebagai perbandingan, tepung ikan
dalam ransum makanan ternak hanya
mengandung 200 mikro gram per kg dan
tepung tulang sekitar 100 mikro gram per kg
(Wibowo, Daru, dalam: Elizabeth, 2016).
Kenyataan ini membuktikan terbukanya
peluang untuk pemanfaatan sludge dalam
sistem biogas menjadi makanan ternak.
Pemanfaatan limbah kotoran ternak
menjadi sumber bahan baku biogas,
diharapkan dapat menjadi salah satu solusi
alternatif pencegahan pencemaran logam
berat pada tanah pertanian.
PEMBERDAYAAN EKONOMI DAN SOSIAL PENGGUNAAN BIOGAS
Di era globalisasi ini, pembuatan
biogas kembali digalakkan di seluruh
Nusantara, seperti di pulau Jawa, yang
didasari menurunnya ketersediaan bahan
bakar minyak, mengurangi emisi gas
metana, dan menghasilkan pupuk organik
(Junaedi, 2012. Indrawati, 2015). Teknologi
menurunkan gas metana pada komoditas
peternakan masih perlu diinventarisir dan
diseleksi agar sesuai dan dapat diterapkan
terutama pada peternakan rakyat. Berbagai
upaya yang ditempuh selain dapat
menurunkan emisi gas metana dapat pula
meningkatkan produktivitas ternak
(Abdullah et al, 2008. dalam: Elizabeth,
2017). Dalam kegiatan menurunkan emisi
gas rumah kaca khususnya gas metana pada
ternak rakyat, perlu dikembangkan aspek
kelembagaan (dalam hal ini kepemilikan
ternak). Sebagian besar peternak rakyat
hanya memiliki sekitar 2 ekor sapi/RT dan
dengan pakan hijauan saja (Suharto, 2010),
Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019
165
sehingga sulit mengaplikasikan pakan
konsentrat rendah emisi.
Inovasi teknologi pada hakekatnya
bertujuan meningkatkan kesejahteraan,
tetapi dapat pula membawa bencana apalagi
tidak dikaji secara bijak terhadap
kemungkinan dan dampak merugikan yang
akan timbul di masa datang, sebagai
akibat/efek dari teknologi yang ada saat ini.
Untuk itu, perlu dikembangkan biogas
menjadi pasar karbon yang dapat
memberikan insentif kepada peternak kecil.
Strategi penurunan emisi gas metana pada
komoditas ternak dapat dilakukan
pendekatan sumber energi gas metana yaitu
gas metana enteric dan manura (kotoran).
Kotoran ternak disimpan dalam kondisi
anaerob (temperatur 150 C) maka bakteri
metanogenik memproduksi gas metana
(Supriadi et al, 2009). Pengolahan kotoran
ternak dengan teknik pemanfaatan energi
metana dalam bentuk biogas, dapat
menurunkan 70% emisi metana ke
atmosfer. Hasil akhir berupa padatan yang
berfungsi sebagai pupuk organik tanaman.
Satu kg kotoran ternak melepaskan sekitar
208-268 liter gas metana ke atmosfer.
Ransum ternak yang bergizi tinggi,
menghasilkan kotoran berkadar metana
rendah.
Penting dan mahalnya kesehatan saat
ini membuat berbagai pihak yang bergerak
di bidang pertanian, giat merintis pertanian
organik, yaitu usahatani yang bersifat alami,
yang mayoritas menggunakan sarana
produksi berbasis bahan organik, seperti:
pupuk organik, racun dan obat-obatan
organik untuk usahatani. Meskipun belum
100% terlepas dari penggunaan saprodi
anorganik, namun berbagai pihak tersebut
sudah berusaha untuk menyeimbangkan
penggunaannya untuk tujuan kesehatan,
lingkungan, dan pertumbuhan, baik fisik
maupun kimiawinya. Produksi biogas dari
kotoran ternak dimaksudkan untuk
mendapatkan nilai tambah dari
pemanfaatannya sebagai alternatif dan
substitusi bahan bakar yang efisiensi.
Teknologi biogas yang di introduksikan
terdiri atas kala rumah tangga sampai skala
industri, menggunakan peralatan biaya yang
murah (kantong plastik) sampai konstruksi
semen beton.
Penanganan limbah usahatani-ternak
dengan sistem fermentasi anaerobik
menggunakan reaktor biogas memiliki
beberapa keuntungan seperti: dapat
mengurangi emisi gas rumah kaca,
mengurangi bau yang tidak sedap,
mencegah penyebaran penyakit,
menghasilkan pupuk dan energi.
Pemanfaatan limbah seperti ini secara
ekonomi sangat kompetitif seiring naiknya
harga bahan bakar minyak dan pupuk
anorganik. Sasaran pengembangan
teknologi biogas untuk menangani limbah
agroindustri diharapkan dapat memberikan
nilai tambah ekonomi dan perbaikan
Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299
166
lingkungan hidup, seperti yang
dikemukakan pada Tabel 4 dan kelayakan
ekonomi yang hasil analisisnya
dikemukakan pada Tabel 5.
Tabel 4. Biaya, Produksi Gas, Pendapatan dan Keuntungan
Uraian Generator Listrik Reaktor Biogas
-Biaya investasi (Rp)
-Biaya operasional & perawatan (Rp/tahun)
-Umur ekonomi (tahun)
-Produksi gas, m3/hari
-Produksi gas, m3/tahun
-Suku Bunga, %/tahun
-Pendapatan, Rp/tahun
-Keuntungan, Rp/tahun
10.500.000
2.375.000
5
-
12
9
9.535.600
5.065.600
8.800.000
975.000
15
7
2.555
9
9.250.800
5.000.330
Sumber: Elizabeth, 2017.
Tabel 5. Hasil Analisis Kelayakan Ekonomi
Uraian Generator Listrik Reaktor Biogas
Net Present Worth (NPW), Rp
Net Present Cost (NPC), Rp
Net Present Revenue (NPR), Rp
B/C Ratio
Simple Payback, tahun
Internal Rate Return (IRR), %
15.985.345
20.585.775
28.868.645
1,98
1,84
41,93
21.789.355
21.175.385
42.073.320
1,41
3,76
21,67
Sumber: Elizabeth, 2017.
Dari hasil analisis kelayakan ekonomi,
dengan nilai B/C ratio lebih dari 1, maka
usaha tersebut dinyatakan layak untuk
dilakukan. Secara sederhana efisiensi dan
nilai ekonomi dari penggunaan biogas
sebagai substitusi bahan bakar gas yang
umum dipergunakan adalah sebagai berikut:
bila satu tabung gas alam (LPG) berisi
bersih (netto) 12 kg dengan harga jual
(HET) sekitar Rp. 145.000,- hingga Rp.
155.000,- dapat dipergunakan selama satu
bulan oleh satu keluarga, maka biaya yang
dikeluarkan sekitar Rp. 4.800,- hingga Rp.
5.200,-. Bila bahan bakar yang dipergunakan
adalah minyak tanah sebanyak 1 – 2 liter per
hari dengan harga Rp. 9.000,- per liter,
selama sebulan biaya minyak tanah sekitar
Rp 500.000,- - Rp. 540.000,- maka akan
menghemat sekitar Rp. 11.500,- hingga
Rp.13.500,- per hari. Suatu efisiensi
pengeluaran uang dari perbedaan nilai biaya
rumah tangga yang relatif cukup besar
untuk di pedesaan, terlebih bila hanya untuk
membeli bahan bakar saja, di luar biaya
kebutuhan hidup sehari-hari lainnya.
Terkait dengan masyarakat sebagai
pemberdayaan kelembagaan pelaku
berbagai ragam usaha, terutama pelaku
usahatani (petani), pelaku bioindustri, peran
dan makna partisipasi (dalam berbagai
program pembangunan dan kebijakan
pemerintah) merupakan proses dan keadaan
(situasi) dimana seluruh pihak (terutama
yang terkait/berhubungan, langsung/ tidak
Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019
167
langsung) dapat membentuk/membangun
kondisi dan ikut serta terlibat serta
kooperatif dalam seluruh inisiatif, tahapan
dan aktivitas pembangunan. Dalam
pemberdayaan kelembagaan dan partisipasi,
siapapun dapat berperan aktif, baik
berperan dalam bermasyarakat, dalam
kehidupan sendiri, terlebih lagi keterlibatan
untuk berperan dalam pembangunan. Meski
memiliki makna yang berbeda-beda
(tergantung pada “apa” dan ”bagaimana”
mereka turut serta terlibat), namun pada
akhirnya partisipasi bertujuan untuk
increasing self-determination (meningkatkan
kemandirian/keteguhan diri), serta
terkontruksinya/terbangunnya kontrol
(build construction control) dan inisiatif
masyarakat terhadap pengelolaan
sumberdaya untuk pembangunan.
Sementara itu, sebagai pegangan,
pemantau dan pengawal dalam terlaksana
dan suksesnya suatu program
pembangunan, diperlukan partisipasi dalam
monitoring dan evaluasi (participatory
monitoring and evaluation = PM&E); yang
berupaya melibatkan (to engage) pihak-pihak
stakeholders utama untuk lebih aktif dalam
merefleksikan dan mengukur (assesing)
kemajuan proyek dan terutama pencapaian
hasil. Untuk itu, pelaksanaan program
pembangunan hendaknya tetap
menjalankan prinsip utama PM&E, yaitu: 1)
stakeholders utama adalah partisipan yang
aktif tidak hanya sebagai sumber informasi;
2) membangun dan mengembangkan
kemampuan masyarakat setempat untuk
menganalisa, merefleksikan dan berperan
aktif/mengambil bagian; 3) terjadinya
proses belajar bersama (joint learning) dari
seluruh stakeholders pada berbagai level; dan
4) adanya komitmen untuk terciptanya
proses yang lebih tepat dan multi guna.
Dengan demikian, dasar terpenting
dibutuhkannya partisipasi adalah agar
terjaminnya pembangunan bioindustri
berkelanjutan karena sangat tergantung
pada social process dan terkait dengan tiga
aspek utama masyarakat (sosial, ekonomi
dan lingkungan) tersebut di atas. Hal
tersebut juga membuat penduduk pedesaan
berangsur-angsur bisa melepaskan diri dari
jebakan paradox of plenty (kondisi dimana
suatu negara yang kaya sumberdaya alam
tetapi rakyatnya miskin) (Fauzi, 2014).
Demikian juga halnya bila dikaji dari
aspek keberlanjutan, pengusahaan biogas
yang sudah cukup baik dan tidak memiliki
dampak negatif, namun masih relatif kurang
dari sisi pemasaran dan distribusi energi
biogas sebagai subsistem aktivitas bisnis
dari produk hasil suatu usaha, diarahkan
pada perbaikan mekanisme berbagai
pendekatan yang umum berlaku dalam
aktivitas suatu usaha pengolahan (Elizabeth,
2018a). Kelompok tani ternak merupakan
salah satu wadah berbentuk kelembagaan
yang memiliki peran penting di pedesaan.
Lembaga di pedesaan lahir untuk memenuhi
Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299
168
kebutuhan sosial masyarakatnya (Elizabeth,
2014). Sifatnya tidak linier, namun
cenderung merupakan kebutuhan individu
anggotanya, antara lain berupa kebutuhan:
fisik, rasa aman (savety), hubungan sosial
(social affiliation), pengakuan (esteem),
pengembangan pengakuan (self actualization).
Pendukung utama terlaksananya
upaya pencapaian pengembangan
pengusahaan dan penggunaan biogas,
sangat diperlukan ketersediaan perangkat
kebijakan yang memadai, teknologi dan
informasi yang dibutuhkan, serta
berfungsinya lembaga pendukung lainnya
seperti: penyuluhan, pemasaran, dan sistem
pendekatan instansi terkait (Elizabeth,
2008). Lemahnya kinerja lembaga
penyuluhan di pedesaan salah satunya dapat
mengakibatkan informasi harga umumnya
hanya diperoleh dari sesama petani,
pedagang, pasar, dan media massa
(Elizabeth, 2017a). Kondisi tersebut
mengindikasikan diperlukan penanganan,
pembinaan dan sosialisasi manfaat dan
multi fungsi keuntungan pengusahaan dan
penggunaan biogas. Oleh karena itu
diperlukan peran aktif dan keberpihakan
semua pihak terkait, dengan kontinuitas
pengarahan, bimbingan, dan sosialisasi dari
pihak penyuluh lapang terhadap petani
peternak akan manfaat dan multi fungsi
serta keuntungan pengusahaan dan
penggunaan biogas (Elizabeth, 2016).
III. METODOLOGI
Tulisan ini merupakan pembaharuan
(up dating) dari beberapa tulisan terkait
sebelumnya yang oleh penulis kembali
direfer karena pentingnya informasi yang
terdapat dalam beberapa tulisan sebelumnya
tersebut. Pemaparannya diupayakan
semaksimal mungkin terutama untuk
meminimalisir kesan penduplikasiaan serta
mengutamakan kekinian data. Secara
umum, dengan metode deskriptif kualitatif
tulisan ini mengemukakan secara
komprehensip berbagai hasil analisis data
sekunder dan data primer yang diperoleh
dari lapang (provinsi Riau dan Sumatera
Selatan, 2017), me-review berbagai tulisan
terkait dan menganalisis berbagai
implementasi pembuatan biogas, efisiensi
serta efektivitas pemanfaatannya. Untuk
mengkaji kelayakan ekonomi, digunakan
metode Net Present Worth (NPW), Net Present
Cost (NPC), Net Present Revenue (NPR), B/C
Ratio, dan Internal Rate Return (IRR).
Proses terbentuknya material bahan
bakar yang berasal dari fosil membutuhkan
waktu yang sangat lama, dan semakin
menipisnya cadangan minyak bumi
mengharuskan manusia untuk segera
melakukan berbagai tindakan untuk
menghasilkan bahan bakar terbarukan dan
ramah lingkungan, sebagai substitusi bahan
bakar dan sumber energi. Turut
dikemukakan dua teknologi umum untuk
memperoleh biogas, yaitu: (i) proses
Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019
169
fermentasi kotoran ternak memakai digester
yang didesain khusus dalam kondisi
anaerob; (ii) dikembangkannya teori
menangkap (menampung) gas metan dari
lokasi tumpukan pembuangan sampah
tanpa harus membuat digester khusus (Tuti,
2006. dalam: Elizabeth, 2017). Gas dari hasil
digester biogas, digunakan terutama sebagai
bahan bakar memasak, penerangan, pupuk
organik, dan keperluan lain. Kuantitas
produksi biogas kotoran ternak dipengaruhi
dan ditentukan oleh kapasitas, jenis dan
kontruksi reactor (digester, fixed dome dan
floating dome). Peternak di Jawa kebanyakan
menggunakan fixed dome (Abdullah et al,
2008. dalam: Elizabeth, 2017).
Untuk teknik digester, diperlukan
minimal 3 buah cincin gorong-
gorong/septik tank untuk tangki digester
(pencerna), sebuah drum besar penampung
gas methane (biogas) yang mampu memuat
sekitar 200 liter kotoran ternak dan air. Pipa
logam diameter 2 cm, untuk saluran
pengeluaran gas dan satu kran pengeluaran
biogas, paralon berdiameter 2 cm sebagai
saluran gas dari tangki pencerna (digester) ke
kompor untuk memasak, lampu gas dan
lainnya. Seluruh unit produksi biogas
ditanam dan diletakkan minimal 10 meter
terpisah di luar rumah dan sumber air, agar
tidak mencemari saat memasukkan bahan
baku biogas. Dua bulan sebelum membuat
unit biogas dibuat “biang” pemicu (starter)
pembentukan gas, dengan mencampur aduk
rata 2 liter kotoran ternak (sapi, babi, ayam
atau kuda) dan 2 liter air seperti pasta di
wadah terbuka. Biang pembentuk gas harus
tetap hangat, diaduk tiap dua hari sekali
selama dua bulan untuk wilayah
berkelembaban rendah.
Biang diperlukan sebagai pemicu
untuk mempercepat pembentukan gas
dalam unit biogas. Campurkan kotoran
ternak dan limbah tanaman yang sudah
diberi air (komposisi 1:1), diaduk sampai
seperti pasta agar mempercepat
terbentuknya gas (dapat ditambahkan kapur
untuk menetralkan pH). Diperlukan waktu
kira-kira 2 sampai 4 minggu (tergantung
bahan baku dan kondisi lingkungan), untuk
memulai pembentukan gas dari campuran
bahan organik tersebut. Pembentukan gas
sekitar 8 minggu, separuhnya terbentuk
pada 2 sampai 4 minggu pertama dan
separuh berikutnya pada minggu ke-4
sampai ke-8, serta berhenti sama sekali pada
minggu ke-9.
Telah terbentuknya gas dapat
diketahui beberapa hari setelah drum
penangkap biogas terangkat ke atas.
Keluarkan udara yang terbentuk dengan
membuka kran dan menekan drum sampai
ke dasar tangki digester. Hindari adanya api
di sekitar unit produksi biogas dan tidak
diperbolehkan membakar gas yang pertama
terbentuk karena mengandung udara di
dalamnya dan dapat meledak. Selanjutnya
tutup kran menghindari terbentuk udara
Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299
170
dalam gas dan unit biogas bekerja kembali
mengumpulkan gas, dan sudah bisa
digunakan untuk memasak. Dengan
mengatur perimbangan gas-udara yang
tepat, maka biogas terbakar dengan baik,
yang ditandai nyala api berwarna biru dan
tidak tersumbat arang pembakaran (nyala
berwarna kuning). Pembersihan dilakukan
dengan mencuci menggunakan air dan
sabun. Untuk siklus selanjutnya, kosongkan
limbah organik dan sisakan kira-kira 4 liter
bahan organik tersebut untuk digunakan
kembali sebagai biang/starter pembentukan
gas berikutnya dan proses selanjutnya.
IV. ANALISIS DAN ALTERNATIF SOLUSI/PENANGANAN
Dengan adanya biogas, maka petani
merasakan berkurangnya pengeluaran
untuk biaya bahan bakar (minyak tanah, gas
komersial di pasaran, arang dan kayu bakar)
sehari-hari. Selain itu, dengan penggunaan
biogas, maka efisiensi waktu untuk
memasak oleh anggota rumah tangga petani
dapat digunakan untuk bekerja selain di
sawah, kebun maupun usaha kerajinan
tangan tingkat rumah tangga. Beberapa
keuntungan/nilai tambah terkait lainnya
bila menggunakan anaerobik, seperti: 1)
keuntungan pengolahan digester, yaitu:
digester anaerob merupakan proses
pengolahan limbah yang alami;
membutuhkan lahan lebih kecil dibanding
proses kompos aerobik atau penumpukan
sampah; memperkecil volume atau berat
limbah yang dibuang; memperkecil
rembesan poluton. 2) Keuntungan Energi,
yaitu: proses energi lebih bersih;
memperoleh bahan bakar berkualitas tinggi
dapat diperbaharui; biogas dapat
dimanfaatkan untuk berbagai penggunaan.
3) Keuntungan Lingkungan, yaitu:
menurunkan emisi gas metan dan karbon
dioksida secara signifikan; menghilangkan
bau; memperkecil udara keluar dari sampah;
menghasilkan kompos yang bersih dan
pupuk kaya nutrisi; memaksimalkan proses
daur ulang limbah yang sudah terbuang;
menghilangkan bakteri coliform hingga 90%
(memperkecil kontaminasi sumber air yang
sudah ada). 4) Keuntungan Sosial dan Ekonomi,
yaitu: penggunaan kotoran ternak sebagai
biogas sumber energi RT dan pupuk
tanaman, tentu mengefisienkan pengeluaran
rumah tangga petani dan peternak; lebih
ekonomis dibandingkan siklus ulang proses
pembuatan limbah pertanian;
Solusi dari aspek ekonomi
terdampak kajian kondisi sosialnya, bila
seekor sapi potong dewasa mampu
menghasilkan/ mengeluarkan kotoran
sekitar 10% dari berat badannya per hari
dengan kisaran harga Rp500000–Rp. 1 000
000,-/ton (Ilham et al, 2011. Elizabeth,
2017. Ilham et al, 2018), maka secara
sederhana dapat diperkirakan besarnya
sumber bahan baku biogas dan pupuk yang
diperoleh petani dan peternak. Serta
besarnya pengefisienan pengeluaran untuk
Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019
171
biaya bahan bakar gas dan pupuk dengan
mensubstitusikannya dengan kotoran sapi
peliharaan tersebut. Sementara itu dari
beberapa hasil penelitian diperoleh
gambaran skala usaha yang dinilai dapat
menguntungkan adalah pemeliharaan
sekitar 3 – 4 ekor sapi per rumah tangga.
Dari aspek pemberdayaan sosial
kelembagaan adalah terjalinnya sifat sosial
dalam kebersamaan dan tenggang rasa antar
masyarakat pengguna biogas metan
(umumnya terdiri antar kelompok untuk
satu sumur/sumber). Sifat kebersamaan,
rasa saling memiliki, saling berbagi, serta
saling merawat agar sumber biogas
kelompok tetap berfungsi baik, yang
menunjukkan berfungsinya aktivitas
kelembagaan suatu kelompok masyarakat.
Petani pemilik ternak maupun yang
tidak/belum, memperoleh pupuk kandang
dari sekitarnya. Terjalinnya hubungan aktif
antar kelembagaan di hulu (di
perdesaan/produsen) hingga hilir
(pengguna/konsumen). Kelompok petani
dan peternak saling bertukar informasi
berkaitan teknologi budidaya, pemasaran,
dan lainnya yang sangat dibutuhkan dalam
pengembangan usaha tani dan ternak
(Elizabeth, 2017).
Terkait dengan masyarakat sebagai
pemberdayaan kelembagaan pelaku
berbagai ragam usaha, terutama pelaku
usahatani (petani), pelaku bioindustri, peran
dan makna partisipasi (dalam berbagai
program pembangunan dan kebijakan
pemerintah) merupakan proses dan keadaan
(situasi) dimana seluruh pihak (terutama
yang terkait/berhubungan, langsung/ tidak
langsung) dapat membentuk/membangun
kondisi dan ikut serta terlibat serta
kooperatif dalam seluruh inisiatif, tahapan
dan aktivitas pembangunan. Dalam
pemberdayaan kelembagaan dan partisipasi,
siapapun dapat berperan aktif, baik
berperan dalam bermasyarakat, dalam
kehidupan sendiri, terlebih lagi keterlibatan
untuk berperan dalam pembangunan. Meski
memiliki makna yang berbeda-beda
(tergantung pada “apa” dan ”bagaimana”
mereka turut serta terlibat), namun pada
akhirnya partisipasi bertujuan untuk
increasing self-determination (meningkatkan
kemandirian/keteguhan diri), serta
terkontruksinya/terbangunnya kontrol
(build construction control) dan inisiatif
masyarakat terhadap pengelolaan
sumberdaya untuk pembangunan.
Sementara itu, sebagai pegangan,
pemantau dan pengawal dalam terlaksana
dan suksesnya suatu program
pembangunan, diperlukan partisipasi dalam
monitoring dan evaluasi (participatory
monitoring and evaluation = PM&E); yang
berupaya melibatkan (to engage) pihak-pihak
stakeholders utama untuk lebih aktif dalam
merefleksikan dan mengukur (assesing)
kemajuan proyek dan terutama pencapaian
hasil. Untuk itu, pelaksanaan program
Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299
172
pembangunan hendaknya tetap
menjalankan prinsip utama PM&E, yaitu: 1)
stakeholders utama adalah partisipan yang
aktif tidak hanya sebagai sumber informasi;
2) membangun dan mengembangkan
kemampuan masyarakat setempat untuk
menganalisa, merefleksikan dan berperan
aktif/mengambil bagian; 3) terjadinya
proses belajar bersama (joint learning) dari
seluruh stakeholders pada berbagai level; dan
4) adanya komitmen untuk terciptanya
proses yang lebih tepat dan multi guna.
Dengan demikian, dasar terpenting
dibutuhkannya partisipasi adalah agar
terjaminnya pembangunan bioindustri
berkelanjutan karena sangat tergantung
pada social process dan terkait dengan tiga
aspek utama masyarakat (sosial, ekonomi
dan lingkungan) tersebut di atas. Hal
tersebut juga membuat penduduk pedesaan
berangsur-angsur bisa melepaskan diri dari
jebakan paradox of plenty (kondisi dimana
suatu negara yang kaya sumberdaya alam
tetapi rakyatnya miskin) (Fauzi, 2014).
Demikian juga halnya bila dikaji dari
aspek keberlanjutan, pengusahaan biogas
yang sudah cukup baik dan tidak memiliki
dampak negatif, namun masih relatif kurang
dari sisi pemasaran dan distribusi energi
biogas sebagai subsistem aktivitas bisnis
dari produk hasil suatu usaha, diarahkan
pada perbaikan mekanisme berbagai
pendekatan yang umum berlaku dalam
aktivitas suatu usaha pengolahan (Elizabeth.
2018a). Kelompok tani ternak merupakan
salah satu wadah berbentuk kelembagaan
yang memiliki peran penting di pedesaan.
Lembaga di pedesaan lahir untuk memenuhi
kebutuhan sosial masyarakatnya (Elizabeth,
2014). Sifatnya tidak linier, namun
cenderung merupakan kebutuhan individu
anggotanya, antara lain berupa kebutuhan:
fisik, rasa aman (savety), hubungan sosial
(social affiliation), pengakuan (esteem),
pengembangan pengakuan (self actualization).
Pendukung utama terlaksananya
upaya pencapaian pengembangan
pengusahaan dan penggunaan biogas,
sangat diperlukan ketersediaan perangkat
kebijakan yang memadai, teknologi dan
informasi yang dibutuhkan, serta
berfungsinya lembaga pendukung lainnya
seperti: penyuluhan, pemasaran, dan sistem
pendekatan instansi terkait (Elizabeth,
2008). Lemahnya kinerja lembaga
penyuluhan di perdesaan salah satunya
dapat mengakibatkan informasi harga
umumnya hanya diperoleh dari sesama
petani, pedagang, pasar, dan media massa
(Elizabeth, 2017a). Kondisi tersebut
mengindikasikan diperlukan penanganan,
pembinaan dan sosialisasi manfaat dan
multi fungsi keuntungan pengusahaan dan
penggunaan biogas.
Oleh karena itu diperlukan peran aktif
dan keberpihakan semua pihak terkait,
dengan kontiniutas pengarahan, bimbingan,
dan sosialisasi dari pihak penyuluh lapang
Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019
173
terhadap petani peternak akan manfaat dan
multi fungsi serta keuntungan pengusahaan
dan penggunaan biogas (Elizabeth, 2016).
Dengan demikian, terkait tantangan
tersebut, pembuatan biogas merupakan
diversifikasi upaya dan solusi untuk
memperoleh energi dari sumber-sumber
energi lain dapat dianggap sebagai energi
pengganti minyak dan gas bumi, disebut
sebagai energi alternatif bahan pengganti
minyak bumi.
REFERENSI
Abdullah, M.A.A., Thalib, Y.T., Anggraeni, Mariyono. 2008. Teknologi Peternakan Sapi Potong Berwawasan Lingkungan. Puslitbang Peternakan. Buletin Ilmu Peternakan Indonesia- Wartazoa Vol. 10 No. 3. 2008, hal. 149-156.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis: Rangkuman Kebutuhan Investasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian.
Balai Besar Industri Agro Bogor (BBIA. Bogor). 2014. Pengembangan Industri Agro di Indonesia. Makalah disampaikan pada Seminar Forum Komunikasi Kelitbangan (FKK) Kementan. Serpong. 14 Mei 2014.
Daru, M. 2007. Pemanfaatan Kotoran Ternak dan Peningkatan Sanitasi Sumber Energi Alternatif dan penimngkatan Sanitasi Lingkungan. Saat ini bekerja sebagai Peneliti Madya di Direktorat Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi. Jurnal Teknologi Lingkungan, Vol.1, No. 1, Januari 2007: 27-32. http/www/blogs/energy/tanggal, 16 November 2018.
Elizabeth, R. 2018. Akselerasi Agroindustri dan Nilai Tambah: Faktor Pendukung Pencapaian Dayasaing Produk Dan Percepatan Pembangunan Pertanian Di Indonesia. OJS. Online Jurnal System. Universitas Ekasakti. Padang. Sumatera Barat.
Elizabeth, R. 2018a. PERTANIAN BIOINDUSTRI. Solusi Pertanian Masa Depan. Buku. Bunga Rampai. Badan Litbang Pertanian. Kementerian Pertanian. Jakarta. IAARD PRESS ISBN 978-602-6954-26-8
Elizabeth, R. 2017. Revitalisasi Industri Produk Olahan dan Pemberdayaan Lembaga Kemitraan Mendukung Peningkatan Pemasaran, Daya Saing Dan Pensejahteraan Petani Pisang. Journal of Agricultural Scienties. Universitas Ekasakti. Padang Sumatera Barat. Volume 2. Issue 1. June 2017. ISSN Cetak: 2528-5556. ISSN Online: 2528-6226.
Elizabeth, R. 2017a. Akselerasi Pemberdayaan dan Peningkatan Kompetensi Dalam Sistem Produksi Untuk Mengatasi Permasalahan Ekonomi di Indonesia. Volume 2. Issue 1. June 2017. ISSN Cetak: 2528-5556. ISSN Online: 2528-6226.
Elizabeth, R. 2016. Pemberdayaan Petani Dalam Pengelolaan Tanaman Dan Ternak Guna Meningkatkan Kesejahteraan Petani. Prosiding Seminar Nasional Agustus 2016. BPTP Sulawesi Utara. Manado. Badan Litbang Pertanian. Sekretaris Jenderal Pertanian. Kementerian Pertanian.
Elizabeth, R. 2015. Pencapaian Daya Saing Melalui Peningkatan Teknologi Pengolahan, Peningkatan Kelembagaan dan Pemasaran Produk Pangan Olahan. PERHEPI. Tema: Indonesia Menuju Swasembada Pangan dalam Tiga
Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299
174
Tahun Kedepan: “Tinjauan Konseptual, Teoritis dan Empiris”. Kendari, 9 Maret, 2015.
Elizabeth, R. 2014. Mewujudkan Kemandirian dan Ketahanan Pangan Melalui Revitalisasi dan Pengembangan Infrastruktur Pertanian. Konferensi Nasional XVII dan Kongres XVI PERHEPI. IPB International Convention Center (IICC). Bogor. 28-29 Agustus 2014.
Elizabeth, R. 2008. Diagnosa Kemarjinalan Kelembagaan Lokal untuk Menunjang Perekonomian Rakyat di Pedesaan. Jurnal SOCA. Vol. 8. No. 2. Juli 2008. hal. 58-64. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian. Universitas Udayana. Bali.
Fauzi, A. 2014. Hilirisasi Cermin Politik Industri. Bisnis Indonesia. http://www.neraca.co.id/ bisnis-indonesia. (download 28 Oktober 2018).
Hambali, E. 2014. Peran Pertanian dalam Membantu Mewujudkan Kemandirian Energi. Semnas Hari Pangan Sedunia (HPS) ke 34. Makassar, 4 November 2014. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP). Bogor. Kementerian Pertanian. Jakarta.
Hambali, E., Marbun B.T.H., M. Rivai. 2014. Esterifikasi Gliserol Hasil Samping Industri Biodiesel Olein Sawit sebagai Water-Based Mud. Buku Penelitian Unggulan. IPB Press.
Harahap, F.M., Apandi. S, Ginting. 1978. Teknolohi Gasbio Pusat Teknologi Pembangunan Institut Teknologi Bandung.
Haryono. 2014. Ketersediaan Teknologi Siap Guna Dalam Pengembangan Sistem Pertanian Bioindustri Berbasis Pangan Lokal Potensial. Semnas Hari Pangan Sedunia (HPS) ke 34. Makassar, 4 November 2014.
Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP). Bogor. Kementerian Pertanian. Jakarta.
Indrawati, S. 2015. Pembangkitan Biogas dari Kotoran Sapi: Hidrolisis Termal Pada Tahap Pengolahan Pendahuluan, Jurnal Teknik Kimia, Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Surabaya.
Ilham, N., E. Basuno, W.K. Sejati., Elizabeth, R., F.B.M Dabukke, S. Nuryati, Ashari. 2011. Keragaan, Permasalahan dan Upaya Mendukung Akselerasi Program Swasembada Daging Sapi. Laporan Akhir Hasil Penelitian. PSE-KP. Bogor.
Ilham, N., Indraningsih, K.S., Elizabeth, R. 2018. Kinerja Berbagai Pola Usaha Pembibitan Sapi Lokal di Beberapa Daerah Pengembangan Sapi Potong. Jurnal. Analisis Kebijakan Pertanian. (AKP). Vol. 15. No. 1. 2017. Hal. 67-82. PSEKP. Bogor. Kementerian Pertanian. Jakarta.
Junaedi, M. 2012. Pemanfaatan Energi Biogas di Perusahaan Susu Umbul Katon Surakarta, Laporan Program Vucer 2002, Dikti-UMS, Surakarta.
Kamaruddin, A.S. 2008. Pembuatan dan penggunaan Unit Produksi Biogas Sederhana Skala Pedesaan. Penyuluh Pertanian Madya pada BPTP Makassar. http/www/blogs/energy/ Tanggal, 6 November 2018.
Kasryno, F. 2013. Politik Revitalisasi Pertanian dan Dampak Pelaksanaannya. Dalam Ariani et al. (Eds). Diversifikasi Pangan dan Transformasi Pembangunan Pertanian. Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian. Jakarta.
Kementerian Pertanian. 2013. Dokumen SIPP (Strategi Induk Pembangunan Pertanian) 2015-2045 mengenai: “Pertanian-Bioindustri Berkelanjutan Solusi Pembangunan
Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019
175
Indonesia Masa Depan.” Kementan. Jakarta
Ignas, Lidjang K., Amirudin P., Marawali, H.H 2015. Pendekatan Pengembangan Pertanian Bioindustri Berkelanjutan di NTT. Buku “Perspektif Pengembangan Model Pertanian Bioindustri.” Badan Litbang Pertanian. Jakarta. IAARD Press. ISBN 978-602-6916-32-7.
Suharto. 2010. Konsep Pertanian Terpadu (Integrated Farming System) mewujudkan keberhasilan dengan kemandirian. Bahan Pelatihan Revitalisasi Keterpaduan Usaha Ternak Dalam Sistem Usaha Tani. Bogor dan Solo, 21 Pebruari-6 Maret 2000. Puslitbang Peternakan Bogor. EAAP Publ. Denmark. 102: 117-120.
Supriadi, M. 2009. Pembuatan Kompos dari Limbah kandang dengan sistem Bumbung. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan veteriner, Pusat Penelitain dan Pengembahgan Peternakan Bogor, Bogor, 13-14 Agustus 2009, hal. 808-814.
Suswono. 2013. Sambutan Menteri Pertanian dalam Buku SIPP (Strategi Induk Pembangunan Pertanian) 2015-2045. Kementerian Pertanian. 2014.
Sutisna, E. 2015. Perspektif Pengembangan Pertanian Bioindustri di Papua Barat. Buku “Perspektif Pengembangan Model Pertanian Bioindustri.” Badan Litbang Pertanian. Jakarta. IAARD Press. ISBN 978-602-6916-32-7.
Thalib, A. 2008. Isolasi Dan Identifikasi Bakteri Asetogenetik Dari Rumen Rusa Potensinya Sebagai Inhibilor Metanogenetis. JITV. 12 (3): 197-206.
Tuti, H. 2006. Biogas: Limbah Peternakan yang Menjadi Sumber Energi
Alternatif. Buletin Ilmu Peternakan Indonesia- Wartazoa Vol. 10 No. 3. 2008, hal. 149-156.
Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019: 176-187 ISSN : 2355-6226 E-ISSN : 2477-0299
176
STRATEGI KONSERVASI TUMBUHAN HOYA DI BODOGOL, CAGAR BIOSFER TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE
PANGRANGO MELALUI PROMOSI EKOWISATA
Sri Rahayu1, Badiah2 1 Pusat Penelitian Konservasi Tumbuah dan Kebun Raya – LIPI
Jl. Ir. H. Juanda 13 Bogor 16122, Telp/Fax. 0251-83212187 2 Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango,
Email: [email protected]
RINGKASAN
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) merupakan salah satu kawasan
konservasi in situ di Jawa Barat dan telah ditetapkan sebagai cagar biosfer sejak tahun 1976
karena nilai keanekaragaman hayati dan jasa lingkungannya bagi masyarakat sekitar. Prinsip
konservasi yang berkembang saat ini tidak hanya melalui pengawetan jenis namun juga harus
bisa mengakomodasi dan mengatur pemanfaatan secara lestari. Keterkaitan dengan posisi
TNGGP sebagai kawasan cagar biosfer, diperlukan harmonisasi antara kepentingan konservasi
kawasan dan biodiversitas yang terkandung di dalamnya dengan kesejahteraan masyarakat
sekitarnya. Salah satu masalah yang di hadapi adalah semakin menyempitnya lahan pertanian
garapan masyarakat sekitar kawasan karena semakin bertambahnya kegiatan alih fungsi lahan
pertanian menjadi pemukiman atau penggunaan lainnya. Kondisi ini dikhawatirkan akan
meningkatkan tingkat gangguan ke dalam kawasan. Oleh karena itu perlu dikembangkan strategi
pemanfaatan sumberdaya hayati yang tidak mengganggu keberadaan populasi dan ekosistem di
dalam kawasan konservasi, namun dapat membantu mengatasi permasalahan perekonomian
masyarakat sekitar kawasan. Salah satu potensi sumberdaya hayati yang terdapat di TNGGP
yang dapat dikembangkan adalah tumbuhan dari marga Hoya (Apocynaceae: Asclepiadoideae).
Tumbuhan Hoya saat ini semakin populer dimanfaatkan sebagai tanaman hias, di samping
memiliki manfaat lainnya, yaitu sebagai sumber bahan obat, sekaligus penyerap polutan/racun
dalam ruangan maupun bahan industri kosmetik. Terdapat 10 jenis Hoya di TNGGP, dan
jumlah jenis terbanyak terdapat di resort Bodogol. Jenis-jenis tersebut juga terdapat di jalur
interpretasi Bodogol, sehingga kekayaan jenis jenis Hoya tersebut dapat dimanfaatkan secara
lestari untuk dapat digunakan sebagai alternatif mata pencaharian penduduk sekitar antara lain
melalui pengembangan ekowisata Hoya. Pengembangan ekowisata Hoya di TNGGP dapat
difokuskan di lokasi Resort Bodogol dengan berbagai bentuk, misalnya dengan pembentukan
Kampung Hoya di Desa Bodogol dan jalur wisata Hoya di Resort Bodogol. Selain itu wilayah
Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019
177
resort Bodogol juga merupakan wilayah percontohan sebagai Pusat Pendidikan Konservasi
Alam dan juga sebagai stasiun Penelitian yang tentunya pengembangan ekowisata Hoya di
Bodogol akan selaras dengan fungsi tersebut. Adapun pengembangan Kampung wisata Hoya
dapat melibatkan masyarakat setempat dan beberapa stakeholder terkait.
Kata Kunci: budidaya Hoya, jalur interpretasi, Kampung Hoya, strategi konservasi
PERNYATAAN KUNCI
• Salah satu permasalahan konservasi di
Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango adalah perlunya antisipasi
perambahan masyarakat ke dalam
kawasan akibat berkurangnya lahan
garapan pertanian, terutama di
kawasan resort Bodogol. Lahan
pertanian masyarakat di daerah
penyangga sekitar kawasan
konservasi telah dikuasai pihak
perusahaan yang saat ini masih
mengijinkan masyarakat untuk
menggarap lahan dengan komoditas
tanaman sayuran. Namun tidak lama
lagi lahan tersebut akan digunakan
perusahaan sebagai pemilik hak
pengelolaan, sehingga masyarakat
akan kehilangan lahan garapannya.
Perubahan jenis pekerjaan sebagai
sumber mata pencaharian ke aspek
lain tentunya tidak mudah, dan
kondisi tersebut dikhawatirkan akan
menjadi peluang perambahan
masyarakat ke dalam kawasan.
• Perlu dicarikan alternatif bertani bagi
masyarakat sekitar dengan komoditas
yang mudah di budidayakan di lahan
sempit/pekarangan/pemukiman,
mudah secara teknis budidaya, murah
(tidak perlu modal besar), serta
ekonomis (laku di jual). Di
prioritaskan jika komoditas tersebut
merupakan sumberdaya lokal
sehingga tidak perlu adaptasi
lingkungan.
• Tumbuhan epifit Hoya cukup banyak
terdapat di Hutan Bodogol, yang
dapat dikembangkan sebagai
komoditi baru pertanian bagi
masyarakat sekitar. Hoya merupakan
epifit yang tidak memerlukan lahan
luas, dapat di tanam di pot atau secara
vertical, mudah diperbanyak dengan
setek dan dipelihara dengan
memanfaatkan sumberdaya lokal
sebagai media, memiliki potensi
sebagai tanaman hias, obat dan
penyerap polutan, serta sudah
memiliki pangsa pasar baik di
Indonesia maupun di luar negeri.
Konservasi berbasis tumbuhan Hoya
juga dapat dikembangkan dengan
konsep ekowisata.
• Pengembangan ekowisata berbasis
tanaman Hoya dapat dilakukan
Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299
178
dengan strategi konservasi in situ (di
dalam kawasan) dan ex –situ (di luar
kawasan) dengan bekerjasama dengan
stakeholder terkait. Strategi
konservasi in situ dapat
dikembangkan dengan
memanfaatkan peta sebaran Hoya di
dalam kawasan serta pengkayaan
informasi mengenai seluk beluk
tumbuhan Hoya untuk
pengembangan jalur ekowisata Hoya
di dalam Kawasan yang
membutuhkan interpreter dari
masyarakat Bodogol. Interpreter
dapat dipilih dari kalangan muda dan
dapat diseleksi agar dapat diberikan
pelatihan khusus.
• Pengembangan ekowisata harus
ditunjang strategi konservasi ex situ
yaitu misalnya dengan pembentukan
Bodogol Kampung Hoya, di mana
masyarakat Bodogol disarankan
membentuk komunitas bertanam
Hoya, sehingga masyarakat dapat
mengenal dan memanfaatkan lebih
lanjut hasil perbanyakan Hoya yang
dilakukan masyarakat Bodogol.
Masyarakat Bodogol dapat diberikan
pelatihan perbanyakan dan
pemeliharaan Hoya.
• Pengembangan Jalur ekowisata Hoya
di dalam kawasan dan Pembentukan
Kampung Hoya Bodogol diharapkan
dapat memberikan efek domino
peningkatan ekonomi masyarakat
setempat dengan lahan yang dimiliki
melalui kemunculan usaha usaha baru
lainnya pendukung ekowisata Hoya,
seperti merchandise/souvenir/oleh-
oleh/ makanan dan minuman,
penginapan, pemanduan dan lain lain.
Dengan peningkatan ekonomi
masyarakat tersebut diharapkan
masyarakat dapat turut serta menjaga
kelestarian keanekaragaman hayati
yang terdapat di dalam kawasan.
REKOMENDASI KEBIJAKAN
• Balai Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango cq. Resort Bodogol perlu
melakukan upaya harmonisasi dengan
masyarakat sekitar dengan
memanfaatkan keanekaragaman jenis
tumbuhan lokal yang strategis baik
secara ekonomis maupun praktis
dalam perbanyakan dan pengelolaan
serta pengembangan.
• Pengembangan ekowisata berbasis
Hoya dengan strategi konservasi in
situ, Balai Taman Nasional Gunung
Gede Pangrango cq. Resort Bodogol
perlu mengembangkan jalur
ekowisata Hoya di dalam kawasan
dengan bekerjasama dengan LIPI (cq
P2 Konservasi Tumbuhan dan
Kebun Raya – LIPI yang memiliki
data persebaran dan jenis jenis serta
ahli tanaman Hoya) dan masyarakat
/pemuda setempat untuk dididik
Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019
179
menjadi interpreter jalur wisata Hoya
– yang dapat diwujudkan dalam
bentuk SK
• Pengembangan ekowisata berbasis
tanaman Hoya dengan strategi
konservasi ex situ dapat dilakukan
dengan perbanyakan jenis jenis Hoya
di luar kawasan konservasi dengan
membentuk ‘Kampung Hoya”. Balai
Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango dapat melakukan
pendekatan kepada Pemerintah
Daerah setempat (Lurah) serta
masyarakat (termasuk ibu ibu) di
kampung Bodogol, agar bersama
sama dapat mewujudkan Kampung
Bodogol, serta dapat bekerjasama
dengan LIPI (cq P2 Konservasi
Tumbuhan dan Kebun Raya – LIPI)
yang memiliki ahli tanaman Hoya)
agar dapat melakukan pendampingan
dalam membetuk Kampung Hoya.
• Kegiatan kegiatan dapat dilakukan
dengan pelatihan, FGD dan
musyawarah serta rapat rapat dan aksi
pelaksanaan dengan stakeholder
terkait termasuk NGO, perusahaan
setempat dll.
I. PENDAHULUAN
Perubahan penggunaan lahan
pertanian di sekitar Taman Nasional
Gunung Gede Pangrango yang merupakan
zona inti cagar biosfer Cibodas, terutama di
wilayah Bogor saat ini semakin meningkat.
Terutama dengan akan dikembangkannya
wilayah Bodogol sebagai lokasi
pembangunan Resort dan Theme Park serta
perhotelan dan pemukiman elite. Sebagian
besar areal pertanian di wilayah Bodogol
saat ini telah beralih
kepemilikan/pengelolaan meskipun masih
dipertahankan sebagai lahan garapan
masyarakat. Namun pembangunan
semakin hari semakin berangsur. Hal ini
akan mempersempit ruang gerak
masyarakat sekitar kawasan konservasi
dalam mencari nafkah.
Di sisi lain terdapat sumberdaya alam
yang melimpah di dalam kawasan
konservasi TNGGP, baik yang telah
diketahui manfaatnya dan dimanfaatkan
oleh masyarakat sekitarnya maupun yang
belum diketahui manfaatnya dan belum
dimanfaatkan. Kehilangan lahan garapan
oleh masyarakat dapat menjadi ancaman
bagi perlindungan dan pengamanan
sumberdaya alam di dalam kawasan taman
nasional. Masyarakat yang terbiasa bertani
di sekitar lahan pertanian Bodogol perlu
dicarikan alternatif solusi yang mudah
diadopsi oleh masyarakat. Untuk
mengantisipasi hal ini, perlu di lakukan
strategi yang sesuai agar masing masing
kepentingan dapat terlaksana melalui sinergi
yang harmonis serta saling menguntungkan.
Salah satu strategi yang dapat
dikembangkan adalah dengan revitalisasi
Pusat Pendidikan Konservasi Alam
Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299
180
Bodogol (PPKAB) sebagai destinasi utama
pengembangan kawasan ekowisata berbasis
sumberdaya alam hayati dan ekosistem serta
budaya masyarakat.
Hutan Bodogol yang terletak di dalam
kawasan Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango, wilayah Bogor, memiliki potensi
kekayaan sumberdaya alam hayati yang
melimpah, baik flora maupun faunanya
serta kondisi kontur yang beragam, sehingga
sangat berpotensi untuk pengembangan
ekowisata. Fauna yang paling terkenal di
Bodogol adalah owa jawa (Hylobythes
mololoch) dan Macan Tutul (Pathera pardus).
Selain itu juga terdapat Javan Gibon Center
yang merupakan salah satu bagian
pendidikan konservasi Owa Jawa di
Bodogol. Wilayah ini juga merupakan
wilayah yang dtetapkan sebagai kawasan
Pusat Pendidikan Konservasi Alam
Bodogol dan diresmikan pada tahun 1998.
Fasilitas untuk trekking ekowisata telah di
bangun sejak tahun 2007 berupa canopy
trail, guest house, kantor, dan stasiun
penelitian Bodogol dengan disediakan
wisma peneliti. Kondisi ini harus tetap
dipertahankan, sedangkan kekayaan flora
selain pepohonan yang didominasi kayu
Puspa (Schima walichii) dan kayu rasamala
(Altingia axcelsa) juga banyak terdapat
tumbuhan bawah maupun epifit yang
menarik dan dapat dijadikan sebagai sumber
tanaman hias maupun bahan obat. Di
antaranya yang paling sering di panen adalah
buah canar (macrophylla), rebung bamboo,
rotan. Beberapa tumbuhan bawah juga
dapat dimanfaatlan sebagai komoditas
tanaman hias antara lain adalah
keanekaragaman jenis anggrek
(Orchidaceae) baik anggrek tanah maupun
anggrek epifit, keanekaragaman jenis
tumbuhan paku-pakuan (Pterydophyta),
Begonia spp, Araceae, Tacca chantrieri, dan lain
lain (Rahayu, 2012). Salah satu tumbuhan
epifit yang terdapat di kawasan Bodogol dan
memiliki potensi untuk dikembangkan
adalah tumbuhan dari marga Hoya
(Apocynaceae:Asclepiadoideae).
Berdasarkan penelitian Rahayu (2012)
terdapat 10 jenis Hoya di seluruh kawasan
taman Nasional Gunung Gede Pangrango
meliputi resort Bodogol, Cibodas,
Selabintana dan Situgunung. Wilayah yang
memiliki jenis Hoya terbanyak adalah di
Bodogol. Kawasan Bodogol memilki 8 jenis
Hoya yang terdapat pada berbagai tipe
habitat, dan semuanya dapat dikembangkan
sebagai tanaman hias. Hoya termasuk
tumbuhan epifit yang keberadaannya di
alam sangat bergantung terhadap
keberadaan pohon. Pengurangan jumlah
pohon berarti akan mengurangi peluang
tempat hidup Hoya sebagai epifit.
Mengkonservasi Hoya secara in situ berarti
harus mengkonservasikan habitat dan
tempat hidupnya yaitu pohon-pohon dan
ekosistem hutan. Pada saat ini tanaman
Hoya sudah berkembang dan semakin
Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019
181
populer sebagai komoditi tanaman hias,
baik di Indoensia maupun secara
internasional. Berbagai perkumpulan
penggemar tanaman Hoya bermunculan
yang dapat dilihat melalui internet. Oleh
karena itu Hoya sangat berpotensi sebagai
salah satu sumber pendapatan masyarakat
Bodogol jika dikembangkan lebih lanjut.
Pada saat ini, Hoya digunakan sebagai
tanaman hias di negara-negara Eropa dan
Amerika Serikat. Penelitian terbaru di
Florida bahkan menunjukkan fungsi
tambahan sebagai penyerap polutan dalam
ruangan (Yang et al, 2009). Hoya juga
memiliki manfaat lain yang penting yaitu
sebagai sumber bahan obat (Zachos, 2005.
Rahayu, 2011). Aplikasi patent bahan
kosmetik anti aging kulit wajah dengan
menggunakan ekstrak Hoya carnosa telah ada
di Amerika Serikat (Zeng et al, 2014).
Beberapa studi menunjukkan asosiasi
positif antara Hoya dengan semut (Rahayu
et al, 2007. Weissfolg et al, 1999). Oleh
karena itu, keberadaan tumbuhan Hoya di
Bodogol patut di pertahankan dan
dimanfaatkan dengan memperhatikan asas
kelestariannya. Setelah sukses dengan
kawasan Bodogol, maka pola yang
diusulkan ini dapat di aplikasikan untuk
wilayah (resort) lainnya di Taman Nasional
Gunung Gede Pangrango. Pembentukan
Desa Hoya di Bodogol yang di arahkan
sebagai centra tanaman Hoya Indonesia
juga dapat dipertimbangnkan mengingat
hingga saat ini belum ada sentra Hoya di
Indonesia, padahal Indonesia adalah negara
yang paling kaya akan jenis jenis Hoya
(Kleijn dan Don Kelaar, 2001).
II. SITUASI TERKINI
Tumbuhan Hoya di Taman Nasional
Gunung Gede Pangrango, terdapat di
hampir semua wilayah, namun jumlah jenis
terbanyak terdapat di Resort Bodogol
(Rahayu, 2012). Jenis jenis tumbuhan Hoya
tersebut selama ini belum banyak
mendapatkan perhatian karena kebanyakan
pihak Pengelola Taman Nasional maupun
penduduk sekitarnya belum banyak
mengenal Hoya. Sumberdaya alam tersebut
belum banyak dimanfaatkan untuk alternatif
penanganan konservasi dan ekosistemnya,
terutama sebagai Cagar Biosfer yang perlu
memperhatikan kehidupan masyarakat
sekitar Taman Nasional.
Permasalahan lahan pertanian di
sekitar Taman Nasional (khususnya
Bodogol) yang sudah beralih kepemilikan
masih terus berlangsung, dan saat ini
masyarakat masih dapat menggarap lahan
yang sudah di jualnya. Namun hingga saat
ini belum mengetahui rencana ke depan jika
lahan tersebut sudah di ambil alih oleh
pemegang haknya. Oleh karena itu alternatif
pengembangan ekowisata Hoya di Bodogol
perlu dikembangkan sebagai proyek
percontohan pengelolaan konservasi
sumberdaya hayati di wilayah ekosistem
Taman Nasional dan Cagar Biosfer taman
Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299
182
Nasional Gunung Gede Pangrango,
khususnya resort Bodogol. Masyarakat
yang belum mengenal jenis jenis Hoya dan
cara perbanyakan serta pemeliharaan perlu
di berikan pelatihan dan sosialisasi, serta
perlu dilakukan pendekatan pedekatan dan
rencana aksi.
III. METODOLOGI
Lokasi Penelitian
Penelitian di lakukan di Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango,
khususnya di Resort Bodogol, dan Desa
Benda, Kecamatan Cicurug, Kabupaten
Sukabumi.
Sumber data dan teknik pengumpulan data
Data berupa keanekaragaman jenis
tumbuhan Hoya di Bodogol dan
dinamikanya dilakukan dengan melakukan
studi pustaka terhadap penelitian terdahulu
yang telah dilakukan oleh Rahayu et al,
(2010), Rahayu (2012), Sulaeman et al,
(2019) dan Bermuli et al, (2019). Kemudian
dilakukan studi lapang kembali untuk
mengkonfirmasi keberadaan Hoya di jalur
interpretasi Bodogol. Pelaksaan penelitian
dilakukan pada April dan Oktober 2018 dan
April 2019.
Survey pasar mengenai minat
masyarakat terhadap tumbuhan Hoya
dilakukan secara desk study dengan
memanfaatkan jaringan nternet, berupa
perkumpulan Hoya dan jumlah took online
yang menjual Hoya secara online.
Pemilihan Komoditas yang akan dikembangkan
Pemilihan komoditas dilakukan
dengan melakukan seleksi terhadap
beberapa tumbuhan potensial yang terdapat
di kawasan konservasi, kemudian
melakukan pemeringkatan berdasarkan
tingkat kepentingan, dengan memberikan
nilai (skoring) / pembobotan.
Adapun kriteria yang dipilih adalah
komoditas tanaman asli Bodogol yang
memiliki kelebihan sebagai berikut:
1. Bisa di pelihara di lahan
sempit/pemukiman
2. Memiliki nilai ekonomi (Laku di
pasaran)
3. Mudah diperbanyak (agar mudah
dalam alih teknologi kepada
masyarakat)
4. Mudah di pelihara
5. Dapat meningkatkan wawasan
masyarakat akan pentingnya
keanekaragaman hayati di sekitarnya
Jenis komoditas yang dipilih untuk
penilaian skoring adalah jenis jenis yang
terdapat di Kawasan Bodogol sebanyak 10
komoditi, yaitu : anggrek, canar, rotan,
Hoya, Begonia, paku pakuan, tumbuhan
Araceae, Tacca, Rebung, Zingiberaceae
(jahe – jahean). Berdasarkan pemeringkatan
akan dipilih 3 yang memiliki nilai terbaik
untuk diperkenalkan kepada masyarakat
setempat dan didiskusikan mana yang akan
dipilih.
Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019
183
Pengenalan Komoditas terpilih kepada Masyarakat dan Persetujuan Masyarakat
Berdasarkan pemeringkatan, jenis
komoditas yang akan dikembangkan, maka
komoditas yang memiliki nilai tertinggi
diperkenalkan kepada masyarakat setempat
sebagai mitra terpenting dalam
pengembangan komoditas tersebut agar
mendapatkan persetujuan dari masyarakat.
Sebanyak 50 orang diundang untuk
melakukan pengenalan jenis terpilih dan
dilakukan diskusi untuk pemantapan jenis
komoditas terpilih. Untuk selanjutnya
dilakukan pelatihan perbanyakan dan
pemeliharaan. Cara pengenalan dan diskusi
(FGD) dilakukan dalam bentuk
musyawarah. FGD dilakukan dengan
Pengelola Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango (Resort Bodogol), Perangkat
Desa penyangga dan masyarakat kampung
Bodogol dan desa penyangga, Perwakilan
NGO (CI, Tepala, dll) untuk membahas
bentuk keterlibatan masyarakat dalam
konservasi. Setelah dilakukan kesepakatan
maka dilanjutkan dengan pembentukan
Whatsapp grup untuk jalur komunikasi
antar anggota hingga ke rencana aksi dan
aksi konservasi.
Metode Analaisis Data
Analisis menggunakan metode
descriptive, yaitu berdasarkan
pemeringkatan untuk tingkat komoditas
terpilih yang akan dikembangkan, dan
diikuti dengan diskusi (FGD) kesepakatan
terhadap komoditas yang dipilih.
IV. ANALISIS DAN ALTERNATIF SOLUSI/PENANGANAN
Perlunya strategi konservasi berbasis budidaya di lahan sempit dengan muatan biodiversitas lokal
Kondisi masyarakat yang sebagian
bertani sayuran di lahan garapan
memerlukan komoditas baru yang dapat
ditanam di lahan
sempit/pekarangan/pemukiman.
Komoditas tersebut hendaknya memiliki
nilai ekonomi (laku di pasaran), mudah
diperbanyak (agar mudah dalam alih
teknologi kepada masyarakat), mudah di
pelihara, dan dapat meningkatkan wawasan
masyarakat akan pentingnya
keanekaragaman hayati di sekitarnya. Hal
ini perlu dilakukan dengan memilih
komoditas sumberdaya jenis jenis tanaman
lokal yang terdapat di Kawasan Bodogol,
seperti anggrek, buah canar, rotan, rebung,
tanaman hias, dari berbagai kelompok
tumbuhan (paku pakuan, Begonia, Araceae,
Tacca, dll).
Pemilihan komoditas yang mudah di
tanam di lahan sempit pada umumnya
adalah tanaman hias terutama yang
berkarakteristik epifit, karena tidak
memerlukan lahan penanaman yang luas.
Pemilihan komoditas yang mudah
dibudidayakan terutama dari segi
perbanyakan apakah melalui setek batang,
biji, atau kultur jaringan. Hal ini akan sangat
Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299
184
berpengaruh bagi kemudahan penyerapan
dan alih teknologi perbanyakan kepada
masyarakat sekitar. Perbanyakan dengan
setek adalah yang paling mudah dan cepat
dilakukan. Selain itu komoditas harus
memiliki pangsa pasar dan mudah untuk
dijual.
Pemilihan komoditas lokal terutama
yang terdapat di dalam kawasan, memiliki
aspek strategis, yaitu pengenalan akan
kekayaan alam dan keanekaragaman hayati
yang perlu dijaga dan dilestarikan dengan
pemanfaatan secara lestari.
Pemilihan Komoditas tanaman Hoya sebagai Maskot Strategi Konservasi
Berdasarkan analisis data, dari 50
peserta yang diundang yang terdiri atas
Masyarakat Bodgol, Perangkat Desa,
Pengelola Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango (Resort Bodogol), dan NGO
(CI, Tepala), sebanyak 42 peserta
mendukung pemilihan Hoya sebagai
komoditas terpilih untuk dikembangkan di
Bodogol baik secara in situ (jalur
interpretasi) maupun ex-situ (budidaya Hoya
di Kampung Bodogol). Sisanya sebanyak 8
orang abstain/tidak berpendapat.
Masyarakat yang setuju memilih Hoya
mengusulkan tagline #Bodogol Kampung
Hoya, dan segera membentuk
organisasinya.
Pemilihan komoditas Hoya sebagai
maskot strategi konservasi jika
dibandingkan jenis tumbuhan lain yang
ditawarkan memiliki kelebihan-kelebihan
sesuai dengan kondisi yang diinginkan yaitu,
Hoya merupakan muatan lokal dan
merupakan kekayaan hayati lokal yang
terdapat di alam kawasan Bodogol, terdapat
8 jenis Hoya dengan tingkat populasi yang
berbeda dan keragaman habitat yang
berbeda. Hal ini tentunya akan sangat
menarik dari sisi pengembangan jalur
ekowisata pengenalan Hoya di alam
kawasan.
Kriteria utama pemilihan komoditas
adalah dapat dibudidayakan di lahan
sempit/pemukiman. Dari kriteria tersebut
tumbuhan epifit dan tanaman hias dapat
dipilih, di antaranya adalah anggrek, Hoya,
Begonia, Araceae, Paku pakuan dan
Zingiberacae serta Tacca. Namun demikian,
untuk tingkat ekonomi, Tumbuhan Hoya
dan anggrek memiliki nilai tertinggi, karena
memiliki banyak peminat. Namun
demikian, jika dibandingkan dengan tingkat
kemudahan budidaya, maka Hoya menjadi
kandidat terpilih, karena memiliki tingkat
kemudahan budidaya paling paling tinggi.
Pengembangan komoditas Hoya di
luar kawasan dalam bentuk Bodogol
Kampung Hoya juga sangat tepat,
mengingat Hoya mudah diperbanyak
dengan menggunakan setek batang. Tidak
memerlukan waktu lama sebagaimana jika
diperbanyak dengan biji. Demikian pula
perbanyakan setek batang sangat mudah
dan mudah diajarkan kepada masyarakat
Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019
185
jika dibandingkan dengan perbanyakan
secara kultur jaringan. Tumbuhan anggrek
memiliki tingkat ekonomi tinggi dan tidak
memerlukan lahan yang luas karena juga
termasuk tumbuhan epifit. Namun
perbanyakannya memerlukan teknik kultur
jaringan, sehingga sulit diajarkan secara
secara cepat kepada masyarakat setempat.
Strategi Pengembangan Konservasi Secara in situ dan ex situ Melalui Promosi Ekowisata
Kawasan Bodogol merupakan Cagar
Biosfer Kawasan Taman Gunung Gede
Pangrango yang kaya akan jenis jenis Hoya.
Dari 10 jenis yang terdapat di keseluruhan
wilayah TNGGP (Rahayu, 2012), 8 jenis
diantaranya terdapat di Bodogol, yaitu Hoya
multiflora, Hoya latifolia, Hoya lacunosa, Hoya
imperialis, Hoya coronaria, Hoya plicata, Hoya
campaulata dan Hoya vitellinoides. Keberadaan
jenis jenis tersebut tersebar di jalur
interpretasi dengan preferensi habitat
tertentu untuk jenis Hoya yang berbeda,
misalnya Hoya campanulata lebih banyak
terdapat di sekitar aliran sungai (Rahayu,
2012. Sulaeman et al, 2019), sedangkan Hoya
multiflora lebih banyak terdapat di daerah
lereng (Rahayu et al, 2010. Rahayu, 2012.
Sulaeman et al, 2019. Bermuli, 2019). Semua
jenis Hoya yang terdapat di dalam kawasan
tersebut memiliki potensi untuk
dikembangkan sebagai tanaman hias, karena
berdasarkan survey pasar internet, semua
jenis Hoya diminati oleh masyarakat.
Alternatif pengembangan terhadap
pemilihan jenis dapat dilakukan untuk
semua jenis Hoya yang terdapat di dalam
kawasan, yang kesemuanya terdapat di
kawasan Bodogol. Namun demikian,
berdasarkan wawancara dengan masyarakat
setempat dan pengelola kawasan, mereka
belum mengenal Hoya dan manfaatnya
sebagai tanaman hias. Mereka hanya
mengenal anggrek sebagai epifit yang
banyak disukai sebagai tanaman hias. Oleh
karena itu perlu dikembangkan strategi
konservasi secara in situ yang dapat
melibatkan peran serta masyarakat,
terutama pemuda Bodogol, dengan
mengembangkan ekowisata jelajah Hoya di
dalam kawasan Konservasi, dengan sasaran
para wisatawan dapat mengenal Hoya dan
jenis-jenisnya serta habitatnya yang terdapat
di kawasan konservasi Bodogol, dengan
pemanduan khusus, sehingga seluk beluk
mengenai Hoya dapat diperkenalkan kepada
masyarakat (wisatawan). Mereka dapat
melihat secara langsung bagaimana kondisi
Hoya di habitat alaminya. Hal ini tentunya
akan menjadi mata pencaharian yang cukup
menarik bagi pemuda Bodogol. Tentunya
para interpreter dan pemandu tersebut
harus mendapat pelatihan teknik
pemanduan dan interpretasi serta ilmu
mengenai seluk beluk Hoya yang dapat di
transfer kepada wisatawan. Selain itu, para
pemandu dapat melakukan pendidikan
konservasi kepada wisatawan. Adapun jika
Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299
186
mereka menginginkan budidaya Hoya,
mereka dapat membeli bibit dari masyarakat
yang terdapat di dalam Kampung Hoya.
Pengembangan strategi konservasi in
situ dalam bentuk ekowisata jalur
interpretasi Hoya di dalam kawasan,
tentunya sangat memerlukan dukungan
konservasi dalam bentuk ex situ di luar
kawasan. Konservasi secara ex situ di luar
kawasan dalam hal ini adalah
dikembangkannya Bodogol sebagai
Kampung Hoya, di mana budidaya Hoya
dilakukan di kampung, yang menawarkan
teknologi perbanyakan dan pemeliharaan
Hoya kepada pengunjung, penyediaan bibit,
souvenir, makanan, minuman, penginapan,
transportasi dan lain lain. Pengembangan
strategi konservasi Hoya secara ex siu di luar
kawasan dalam bentuk Bodogol Kampung
Hoya dilakukan dengan pembentukan
organisasi Bodogol Kampung Hoya,
pembentukan aturan internal antar anggota,
pelatihan pengenalan, perbanyakan dan
pemeliharaan, rencana aksi, pemilihan
lokasi sebagai sentra Hoya, penyediaan
sarana dan prasarana penanaman, souvenir
dan lain sebagainya yang diperlukan sebagai
sarana pendukung.
Selain itu wilayah resort Bodogol juga
merupakan wilayah percontohan sebagai
Pusat Pendidikan Konservasi Alam dan juga
sebagai stasiun Penelitian yang tentunya
pengembangan ekowisata Hoya di Bodogol
akan selaras dengan fungsi tersebut.
Adapun pengembangan Kampung wisata
Hoya dapat melibatkan masyarakat
setempat dan beberapa stakeholder terkait,
di mana pihak manajemen authority yaitu
Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango merupakan pelindung dan
pelaksana, PKT Kebun Raya – LIPI sebagai
pendamping (konsultan), Pemda Desa
Benda dan Dusun Bodogol beserta
masyarakat sebagai pelaksana dan
supporting dari Lembaga Swadaya
Masyarakat yang bergerak di bidang
konservasi seperti CI, TEPALA, Eagle,
Pacing, Paguyuban Lengkong, Ciwaluh, dan
lainnya serta pihak swasta PT. MNC Land
yang tempat usahanya berlokasi di sekitar
Bodogol.
REFERENSI
Benzing, D.H. 2008. Vascular Epiphytes. Cambridge Univ. Press, Cambridge
Burton, C.M. 1997. The medicinal properties of Hoyas. The Hoyan 18 (4): 17-14
Ghazoul, J., Sheil, D. 2010. Tropical Rain Forest Ecology, Diversity and Conservation. Oxf. Univ Press, Oxford.
Kleijn, D., van Donkelaar, R. 2001. Notes on the taxonomy and ecology of the genus Hoya (Asclepiadaceae) in Central Sulawesi. Blumea 46: 457 – 483.
Rahayu, S. 2012. Hoya diversity in Gunung Gede Pangrango National Park. Reinwadrtia 13 (4), pp: 331-339
Rahayu, S., Kusmana, C., Abdulhadi, R., Jusuf, M., Suharsono. 2010. Distribution of Hoya multiflora Blume at the Gunung Gede Pangrango National Park,
Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019
187
Indonesia. Journal of Forestry Research 7 (1): 42-52. No ISSN: 0216-0919. No Akreditasi:683/D/2008 (115/Akred-LIPI/P2MBI/06/2008.
Rahayu, S., Abdulhadi, R.., Risna., R.A., Kusuma, Y.W.C. 2011. Keanekaragam Habitat Hoya multiflora Blume di Stasiun Penelitian Bodogol, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Prosiding Seminar Nasional ”Konservasi Tumbuhan Tropika:Kondisi Terkini dan Tantangan ke Depan”. UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Cibodas, Perhimpunan Biologi Indonesia,Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, SEAMEO Biotrop. Hal: 321-326. No ISBN: 978-979-99448-6-3.
Rahayu, S. 2011. Hoya as medicinal plant in Indonesia. Warta Kebun Raya 11(1): 15-21. [in Bahasa Indonesia with English abstract].
Rahayu, S. 2011. Hoya as medicinal plant in Indonesia. Warta Kebun Raya 11(1): 15-21. [in Bahasa Indonesia with English abstract].
Yang, D.S., Pennisi, S.V., Son, K.C., Kays, S.J. 2009. Screening Indoor Plants for Volatile Organic Pollutant Removal Efficiency. HortScience 44:1377-1381.
Zachos, E. 2005. Practical uses of various Hoya species. Asklepios 93: 10-17
Zeng, Q., Lyga, J.W., Santhanam, U., Chen, Y., Idkowiak-Baldys, J., Hwang, C.S. 2014. Hoya carnosa extracts and methods of use. United State Patent. Appl. No. 13/793,177. http://patents.com/us-8865231.html.
Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299
188
PETUNJUK PENULISAN
PERSYARATAN UMUM
Artikel hasil penelitian harus berupa tulisan popular yang belum pernah dimuat atau tidak dalam proses review/penerbitan pada jurnal ilmiah lainnya.
CAKUPAN
Artikel yang dapat diterima adalah hasil-hasil penelitian atau synopsis terkait bidang sumber daya alam, pangan, energi, lingkungan, penanggulangan kemiskinan, biomedis, regulasi dan bidang lainnya yang dianggap relevan dengan isu pembangunan pertanian terkini. Artikel akan dipertimbangkan oleh Dewan Editor dan ditelaah oleh reviewer sebelum dinyatakan diterima untuk dimuat.
FORMAT TULISAN
Artikel disusun dengan format sebagai berikut:
1. Judul 2. Penulis dan Lembaga serta alamat
korespondensi 3. Ringkasan/abstrak 4. Kata Kunci 5. Pernyataan Kunci 6. Rekomendasi Kebijakan 7. Pendahuluan (Latar Belakang dan
Tujuan) 8. Metode Penelitian 9. Situasi terkini terhadap isu yang
dibahas 10. Analisis dan alternatif
solusi/penanganan 11. Daftar Pustaka
JUDUL
Ditulis dengan huruf kapital, tidak lebih dari 14 kata.
ABSTRAK
Maksimal 200 kata, dimana tidak ada daftar pustaka dan tidak mencantumkan angka, singkatan, akronim, atau pengukuran kecuali penting. Abstrak harus dimulai dengan pengantar yang jelas dengan dua atau tiga kalimat menyebutkan mengenai latar belakang riset. Kemudian nyatakan
secara umum, permasalahan yang mendasari penelitian. Hasil penelitian atau synopsis yang secara langsung menjawab masalah-masalah dari penelitian. Berikan satu atau dua kalimat untuk membahas temuan atau prospektif.
KATA KUNCI
Kata Kunci, maksimum 6 kata, kata kunci diurutkan secara abjad.
PERNYATAAN KUNCI
Pernyataan Kunci, Maksimal 150 kata. Pernyataan kunci berisi konteks masalah dan urgensinya. Ditulis dalam beberapa paragraf.
REKOMENDASI KEBIJAKAN
Rekomendasi Kebijakan, maksimal 150 kata. Rekomendasi kebijakan berisi pesan yang disampaikan kepada pengambil kebijakan atau stakeholder terkait yang didasari hasil penelitian, yang berdampak pada peningkatan pembangunan, ekonomi, ekologi (lingkungan) dan sosial budaya masyarakat. Ditulis dalam beberapa paragraf.
PENDAHULUAN
Pendahuluan berisi latar belakang dan tujuan
SITUASI TERKINI
Situasi terkini terhadap isu yang dibahas (data riset dan fakta terkini, diutamakan menyajikan data dan informasi dari riset sendiri atau sinopis). Disarankan menggunakan grafik, foto dan grafis.
ANALISIS DAN ALTERNATIF SOLUSI/PENANGANAN
Menyajikan uraian masalah atau penanganan maupun kritik dan opsi-opsi kebijakan berdasarkan data dan informasi terkini.
NASKAH
Diketik menggunakan program MS Word, huruf Garamond ukuran 12pt, garis tepi kiri, tepi kanan, atas dan bawah masing-
Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019
189
masing 3 cm. Tebal naskah maksimum 15 halaman dengan spasi 1,5 dua kolom (tidak perlu ada lampiran). Naskah dikirimkan berupa softcopy secara online melalui OJS Jurnal Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan yang dikelola oleh Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
(PSP3) Institut Pertanian Bogor Kampus IPB Baranangsiang Bogor. Pertanyaan lebih lanjut dapat dikirimkan melalui email ke
Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299
190
Daftar Isi Vol. 6 No. 3 Desember 2019
RISALAH KEBIJAKAN PERTANIAN DAN LINGKUNGAN Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan Analisis Finansial dan Nilai Tambah Usaha Agroforestri Kopi pada Program CSR PT Indonesia Power Up Mrica Kabupaten Banjarnegara Faradis Alfi Zain, Dodik Ridho Nurrochmat ......................................................... 109-120
Kelembagaan Program Citarum Harum dalam Pengelolaan Sub Das Cirasea, Citarum Hulu Farhana Nurysyifa, Kaswanto ................................................................................ 121-136 Pendekatan Partisipatori untuk Strategi Pengembangan Desa Penyangga Taman Hutan Raya Raden Soerjo Erwin Ismu Wisnubroto, Gerardus Jova, Yohanes Roni ........................................ 136-150 Pemakaian Biogas: Hemat Biaya Bahan Bakar dan Tambahan Pendapatan Rumah Tangga Mendukung Ketahanan Energi Roosganda Elizabeth .............................................................................................. 151-175 Strategi Konservasi Tumbuhan Hoya di Bodogol, Cagar Biosfer Taman Nasional Gunung Gede Pangrango melalui Promosi Ekowisata Sri Rahayu, Badiah ................................................................................................. 176-187