ISSN : 1979 - ejurnal.litbang.pertanian.go.id
Transcript of ISSN : 1979 - ejurnal.litbang.pertanian.go.id
ISSN : 1979 – 679X E-ISSN : 2528 - 7141
Buletin Palma (Bulletin of Palmae) Volume 19 No. 2, Desember 2018
Terakreditasi No. 21/E/KPT/2018, Tanggal 9 Juli 2018 Buletin Palma memuat artikel hasil-hasil penelitian kelapa dan palma lainnya. Buletin ini diterbitkan dua kali setahun oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Redaksi menerima sumbangan tulisan dari luar. Naskah yang diterima adalah yang belum pernah dipublikasikan di media cetak lain dan hendaknya mengacu pada Pedoman Menulis yang terdapat pada sampul belakang di bagian dalam. Redaksi berhak untuk menyunting naskah tanpa mengubah isi dan makna tulisan atau menolak suatu naskah. Naskah yang tidak diterbitkan tidak akan dikembalikan kepada penulis.
Penanggung Jawab : Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan
(Director Indonesian Center for Estate Crops Research and Development)
Tim Penyunting Ahli Ketua : Dr.Ir. Meldy L.A. Hosang, M.Si (Entomologi/Entomology) Anggota : 1. Prof.Dr.Ir. Novarianto Hengky, MS (Pemuliaan/Breeding) 2. Dr.Ir. Ismail Maskromo, M.Si (Pemuliaan/Breeding)
3. Ir. Rindengan Barlina, MS (Pasca Panen/Postharvest)
4. Dr. Steivie Karouw, S.TP. M.Sc (Pasca Panen/Postharvest)
Penyunting Pelaksana : 1. Alfred Manambangtua, SP
2. Toni Surya Hidayat
3. David Kawulusan
Diterbitkan oleh : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor
Alamat Redaksi : Balai Penelitian Tanaman Palma, Manado.
Jln. Raya Mapanget, PO. Box 1004, Manado-95001
Telepon : (0431) 812430, Fax. (0431) 812017
E-mail : [email protected], [email protected]
Homepage : http://www.balitka.litbang.pertanian.go.id
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERKEBUNAN
Jl. Tentara Pelajar No. 1 Cimanggu, Bogor 16111
Telp. (0251) 8336194, 8313083 – Fax (0251) 8336194
E-mail : [email protected]
ISSN : 1979 – 679X E-ISSN : 2528 - 7141
ii
Buletin Palma (Bulletin of Palmae) Volume 19 No. 2, Desember 2018
DAFTAR ISI
Halaman Pengolahan Edible Film Nata de Coco dan Aplikasinya sebagai Coating pada Daging Kelapa Muda 57 - 68 Rindengan Barlina, Suryani Lahea dan Engelbert Manaroinsong Disain dan Kinerja Mesin Pemotong Sabut Kelapa Muda Nicolas Tumbel dan Supardi Manurung 69 - 78 Uji Mutu Dan Keefektifan Metarhizium Anisopliae Isolat Kalteng
Terhadap Oryctes Rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae) 79 – 88 Siswanto dan I.M. Trisawa Teknologi Pengendalian Hayati dengan Nucleo Polyhedrosis Virus (NPV)
Terhadap Hama Kelapa Thosea monoloncha Meyrick 89 - 100 Fredy Lala, Andriko N. Susanto, Meldy L.A. Hosang dan D. Soetopo Analisis Struktur Kendala Dalam Pengelolaan Sagu Berkelanjutan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau 101 - 116 Mamun Murod, Cecep Kusmana, Mochamad Hasjim Bintoro, Widiatmaka, dan Endang Hilmi Analisis Kelayakan Finansial Pengolahan Gula Cair Pati Sagu Di Kabupaten Konawe Selatan 117- 126 Zainal Abidin Pengaruh Jarak Tanam Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Jagung (Zea mayz.L) Pada Tingkat Umur Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) 127-146 M.Nur, Asrul, dan Rafiuddin
INDEKS SUBJEK 147
INDEKS PENULIS 148
UCAPAN TERIMA KASIH 149
KUMPULAN ABSTRAK 151 Respon Pertumbuhan Kelapa Sawit (Elaeis guineensi Jacq) dan Jagung (Zea mayz.L)
Pada Sistem Pola Tanam Tumpangsari 57 - 68 M.Nur, Asru, dan Rafiuddin
57
Pengolahan Edible Film Nata de Coco dan Aplikasinya
sebagai Coating pada Daging Kelapa Muda
Processing of Edible Film Nata de Coco and Its Application as Coating on
Young Coconut Meat
RINDENGAN BARLINA, SURYANI LAHEA dan ENGELBERT MANAROINSONG
Balai Penelitian Tanaman Palma Jln. Raya Mapanget, Kotak Pos 1004 Manado 95001
E-mail: [email protected]
Diterima 12 Juli 2018 / Direvisi 17 Juli 2018 / Disetujui 07 Desember 2018
ABSTRAK
Bioselulosa nata de coco merupakan bahan baku potensial untuk pengolahan edible film sebagai kemasan yang ramah lingkungan. Aplikasi edible film pada bahan pangan dapat memperpanjang masa simpan produk. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui formulasi dan karakteristik yang baik dari pengolahan edible film berbahan baku bioselulosa nata de coco yang sesuai untuk bahan kemasan serta perubahan mutu daging buah kelapa muda yang diaplikasi edible coating selama penyimpanan. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Palma, dan Laboratorium Rekayasa Teknologi Hasil Pertanian, UGM-Yogyakarta pada bulan bulan Januari sampai Desember 2016.. Penelitian dilakukan dalam dua tahap, tahap pertama formulasi pengolahan edible fim, dilakukan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan perlakuan:perbandingan antara bioselulosa nata de coco (BS) : CMC dan gliserol (GLI), sebagai berikut : Formula 1= BIS:CMC:GLI=100:0:0; Formula 2=BIS:CMC:GLI= 99,5:0,5:0; Formula 3=BIS:CMC:GLI= 99,0:1,0:0; Formula 4=BIS:CMC: LI=98,5:0,5 :1; Formula 5=BIS:CMC:GLI= 98,0:1,0:1,0; Formula 6 F=BIS:CMC:GLI= 98,0:5:1,5; Formula 7=BIS:CMC:GLI= 97,5:1,0:1,5; Formula 8=BIS:CMC: GLI=97,5:0,5:2,0; dan Formula 9=BIS:CMC:GLI= 97,0:1,0:2,0. Ulangan tiga kali sehingga ada 27 satuan percobaan. Tahap kedua aplikasi edible film yang memiliki karakterisik yang baik pada irisan daging kelapa muda terolah minimal. Kemudian dikemas secara vacum dan disimpan sampai tiga bulan di dalam Refrigerator dan Freezer. Hasil penelitian menujukkan bahwa, edible film berbahan baku bioselulosa nata de coco (BIS) dengan penambahan carboxymethylcellulose (CMC) dan gliserol (GLI) perbandingan BIS : CMC : GLI= 97,5: 1,0 :1,5 cukup baik, memiliki karakateristik ketebalan 0,0551 mm, kuat tarik 19,0747 Mpa, elongation 18,2618%, laju transmisi uap air 16,878 (g/m2/24 jam) dan nilai kecerahan yang lebih baik (bening). Aplikasi edible coating bioselulosa nata pada irisan daging kelapa muda terolah minimal yang dikemas secara vacum dan disimpan dalam Freezer dapat mereduksi perkembangan total mikroba dan sampai 3 bulan dan masih disukai panelis. Kata kunci: air kelapa, karakteristik kemasan, penyimpanan irisan daging kelapa muda
ABSTRACT
Biocellulose nata de coco is a potential raw material for edible film processing as an environmentally friendly packaging. Edible film applications on foodstuffs can extend the shelf life of the product. This study aims to determine the formulation and good characteristics of the processing of raw materials of bioselulose nata de coco edible film which are suitable for packaging materials as well as changes in the quality of tender coconut meat applied by edible coating during storage. The research was conducted at the Laboratory of Palm Research Institute and Laboratory of Agricultural Product Technology Engineering, UGM-Yogyakarta in January to December 2016. The study was conducted in two stages, the first stage is formulation and processing of the edible fim, using Completely Randomized Design (RAL), with the treatment comparison between biocelulose nata de coco (BS): CMC and glycerol (GLI), as follows: Formula 1 = BIS: CMC: GLI = 100: 0: 0; Formula 2 = BIS: CMC: GLI = 99.5: 0.5: 0; Formula 3 = BIS: CMC: GLI = 99.0: 1.0: 0; Formula 4 = BIS: CMC: LI = 98.5: 0.5: 1; Formula 5 = BIS: CMC: GLI = 98,0: 1,0: 1,0; Formula 6 = BIS: CMC: GLI = 98.0: 5: 1,5; Formula = BIS: CMC: GLI = 97.5: 1.0: 1.5; Formula 8 = BIS: CMC: GLI = 97.5: 0.5: 2.0; and Formula 9 = BIS: CMC: GLI = 97.0: 1.0: 2.0. The second stage, edible film application that has a good characteristic on young coconut meat slices, then packed using vacuum method and stored for three months in Refrigerator and Freezer. The results showed that, edible film comparison: CMC: GLI = 97.5: 1.0: 1.5 is acceptable and has 0,0551 mm in thickness, tensile strength 19,0747 Mpa, elongation 18,2618%, vapor transmission rate 16,878 (g / m2 / 24 hour) and better brightness value (clear). The application of edible coating biocellulose nata atslices on young coconut meat and stored in Freezer can reduce total microbial growth and up to 3 months and is still favored by panelists. Keywords: coconut water, packaging characteristic, storage of young coconut meat slices
Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 57 - 68
58
PENDAHULUAN
Salah satu bahan yang menjadi pencetus
pencemaran lingkungan adalah kemasan plastik
non edible karena tidak dapat terurai secara cepat.
Berbagai cara ditempuh untuk mengatasi hal ini,
antara lain mencari bahan baku kemasan plastik
yang ramah lingkungan bahkan diharapkan dapat
dimakan. Oleh karena itu sumber daya alam
yang berpotensi sebagai bahan baku edible film
telah banyak dimanfaatkan.
Dengan berkembangnya industri
pengolahan makanan, maka diperkirakan dari
tahun ke tahun permintaan kemasan edible film
akan meningkat. Hal ini juga akan lebih
meningkat, karena ada kecenderungan
berkembangnya konsumen yang lebih memilih
mengkonsumsi produk makanan kemasan karena
dianggap lebih higienis dan praktis (Rindengan,
2014).
Salah satu produk pangan berbahan baku
air kelapa yang tergolong food dessert yang dapat
dimanfaatkan sebagai bahan baku edible film
adalah nata de coco (bacterial cellulose, bioselulosa)
karena secara kimia tergolong selulosa.
Bioselulosa merupakan bahan yang sangat unik
karena selulosa yang dihasilkan bebas lignin,
memiliki sifat mekanis tinggi dantidak merusak
lingkungan (biodegradable) sehingga dapat
menggantikan polimer sintetik yang saat ini
banyak digunakan, baik dalam industri pangan
maupun nonpangan (Indrarti, 2007).
Dilaporkan Layuk et al. (2012), bahwa
pendiaman air kelapa selama 4 hari kemudian di
fermentasi selama 6-7 hari menghasilkan
rendemen, tekstur dan kekenyalan nata de coco
yang lebih tinggi dibanding pendiaman 2 hari dan
0 hari, tetapi warna dan rasa lebih baik pada
pendiaman 0 hari. Iskandar et al., (2010)
melaporkan, nata dari sari buah nenas yang
difermentasi selama 15 hari, menghasilkan
rendemen tertinggi pada penambahan larutan gula
10% dan pH 5 serta menghasilkan karakteristik
film selulosa, antara lain tensile strenght (nilai kuat
tarik) dan elongasi yang paling tinggi.
Selanjutnya dikemukakan bahwa, pH 5 adalah
nilai optimum pada pengolahan nata de pina dan
nata de coco. Pada hasil penelitian Layuk et al.,
(2012) tidak dilaporkan secara detail kondisi pH
larutan air kelapa setelah pendiaman dan
penambahan asam asetat. Hasil penelitian
Rindengan et al., (2014), menunjukkan bahwa
penundaan air kelapa selama 2 hari dan waktu
inkubasi (fermentasi) 3 minggu, diperoleh kadar
selulosa tertinggi, yaitu 1,68%. Sedangkan bahan
baku nata de coco yang digunakan untuk
pembuatan membran mikrofiltrasi selulosa asetat
yang dilakukan Lindu et al., (2011), adalah
menggunakan perbandingan starter Acetobacter
xylinum dan air kelapa 9:1, inkubasi selama 8 hari
pada suhu ruang.
Krochta e t a l . , ( 1994), menyatakan
bahwa struktur d a n derajat kristalinitas dari
bioselulosa yang tinggi, menyebabkan bahan ini
t idak larut dalam air, sehingga perlu dilakukan
modifikasi sebagai komposit dengan cara
mencampurkan material lain sebagai
aditif,sehingga mempunyai karakteristik sebagai
edible film. Aditif yang banyak digunakan adalah
c a r b o x y m e t h y l c e l u l o s a ( C MC) dan
gliserol. CMC merupakan derivat selulosa yang
sifatnya mengikat air dan sering digunakan
sebagai pembentuk tekstur halus. Gliserol banyak
digunakan sebagai bahan pemlastis untuk
menghasilkan lapisan tipis yang lebih fleksibel.
Beberapa laporan menunjukkan, bahwa
penambahan gliserol akan mengurangi kekuatan
mekanik berbagai jenis film dengan bahan dasar
protein maupun polisakarida (Yoshida et al., 2004,
Tapia-Blacid et al. , 2005).
Aplikasi edible film sebagai kemasan dapat
dilakukan dengan cara pembungkusan,
pencelupan, penyikatan atau penyemprotan untuk
memberikan penahanan yang selektif terhadap
perpindahan gas, uap air dan bahan terlarut serta
perlindungan terhadap kerusakan mekanis (Rahim
et al., 2010). Fungsi lainnya adalah membantu
mempertahankan integritas struktural dan
mencegah hilangnya senyawa volatil pada bahan
pangan tertentu (Nisperos et al., 1990).
Kemampuan edible film dan coating dalam
menahan uap air dan oksigen dapat
dimanfaatkan untuk meningkatkan kesegaran dari
buah, sayuran, dan pangan lainnya (Falguera et
al . , 2011). Perbedaan antara edible film dengan
edible coating yaitu edible film merupakan bahan
pengemas yang telah dibentuk terlebih dahulu
berupa lapisan tipis (film) sebelum digunakan
Pengolahan Edible Film Nata de Coco dan Aplikasinya sebagai Coating pada Daging Kelapa Muda (Rindengan Barlina, et al.)
59
untuk mengemas produk pangan. Sedangkan
edible coating merupakan bahan pengemas yang
dibentuk langsung pada produk dan bahan
pangan (Harris, 1999).
Sampai saat ini belum ada laporan tentang
aplikasi edible coating pada daging buah kelapa.
Produk ini sangat digemari oleh berbagai lapisan
konsumen, yang dikonsumsi dalam keadaan segar
karena mudah mengalami perubahan setelah
panen. Oleh karena itu perlu dilakukan proses
penanganan awal, sehingga mutunya dapat
dipertahankan, antara lain dengan disimpan pada
suhu beku tetapi dilapisi edible coating, seperti
halnya dengan produk olahan dari daging hewan
(sosis dan pangan beku lainnya).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
formulasi dan karakteristik yang baik dari
pengolahan edible film berbahan baku bioselulosa
nata de coco yang sesuai untuk bahan kemasan
serta perubahan mutu daging buah kelapa muda
yang diaplikasi edible coating selama penyimpanan.
BAHAN DAN METODE
Bahan yang digunakan adalah air dari
buah kelapa Dalam Mapanget (DMT) umur 11-12
bulan, daging buah kelapa Dalam Mapanget
(DMT) umur 8-9 bulan, gula pasir, asam asetat
teknis, gliserol food grade, carboximetilselulosa
(CMC), biakan murni Acetobacter xylinum, dan lain-
lain. Alat yang digunakan adalah gelas ukur,
erlenmeyer, timbangan analitik, baki plastik
(wadah fermentasi), pH meter, kain saring, Hot
Plate, Stirer, Memmert oven listrik, Dodawa Hand
Blender, Chromameter Minolta CR-310, Vacum Sealer,
petridis plastik diameter 14 cm, TensileStrengthand
Elongation TesterStograph-MIToyoseiki(kapasitas 50
kgf),dan lain-lain.
Metode Penelitian
Kegiatan penelitian dilakukan dalam 2 tahap,
yang dilakukan secara berkesinambungan,
masing-masing akan diuraikan berikut ini:
Tahap pertama: pengolahan bioselulosa nata de
coco
Pengolahan bioiselulosa nata de coco
menggunakan air kelapa yang telah diinkubasi
selama 4 hari, sehingga tidak menggunakan asam
asetat karena kemasaman (pH) air kelapa telah
sesuai untuk media fermentasi (Rindengan,et al.
2014). Bioselulosa nata de coco yang dihasilkan
digunakan sebagai bahan baku pengolahan edible
film. Pengolahan mengikuti metode Indrarti
(2007), yang telah dimodifikasi pada beberapa
bagian proses.
Bioselulosa nata de coco dipotong bentuk
kubus 1x1cm, dicuci pada air mengalir selanjutnya
dididihkan hingga keasamannya lebih cepat
berkurang. Kemudian dimurnikan dengan cara
dididihkan dalam larutan NaOH 1% untuk
menghilangkan komponen non selulosa, lalu
dicuci lagi dengan air sampai pH netral dan
didiamkan satu malam kemudian ditiriskan.
Selanjutnya disiapkan 250 g bioselulosa nata de
coco tambahkan 100 ml air matang dan diolah
menjadi bentuk juice menggunakan Hand Blender,
lalu disimpan dalam refrigerator selama satu hari.
Larutan bioselulosa nata de coco ditambah
air, CMC dan gliserol.Proses p e n c ampuran
adalah sebagai berikut: CMC ( s e s u a i
p e r l a k u a n ) d i t a m b a h akuades 75 ml
sedikit demi sedikit, sambil diaduk diatas hot plate
suhu 70-75OC, tambahkan gliserol (sesuai
perlakuan) dan diaduk sampai homogen.
Selanjutnya tambahkan juice biosellosa nata de
coco (sesuai perlakuan) dan diaduk terus di atas
Hot Plate selama 30 menit sampai homogen.
Tambahkan lagi akuades hingga total volume
menjadi 3 00ml, diaduk sampai homogen, lalu
dituang ke dalam petridis plastik, dikeringkan
dalam oven yang dilengkapi blower, pada suhu
40OC selama 24 jam.
Penelitian dilakukan menggunakan
Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan
perlakuan:perbandingan antara bioselulosa nata
de coco (BS): CMC dan gliserol (GLI), sebagai
berikut: Formula 2= BIS:CMC:GLI=100:0:0;
Formula 2 = BIS:CMC:GLI=99,5:0,5:0; Formula 3 =
BIS:CMC:GLI = 99,0:1,0:0; Formula 4 = BIS:CMC:
GLI = 98,5:0,5:1; Formula 5 = BIS:CMC:GLI =
98,0:1,0:1,0; Formula 6 = BIS:CMC:GLI = 98,0:5:1,5;
Formula 7 = BIS:CMC:GLI = 97,5:1,0:1,5; Formula 8
= BIS:CMC: GLI=97,5:0,5:2,0; dan Formula 9=
BIS:CMC:GLI = 97,0:1,0:2,0. Ulangan tiga kali
sehingga ada 27 satuan percobaan. Pengamatan
karakteristik film selulosa, terdiri dari tensile
Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 57 - 68
60
strenght (nilai kuat tarik)/Mpa dan elongasi (%)
diukur dengan Tensile Strengthand Elongation
TesterStograph-MIToyoseik idengan kapasitas 50 kgf
(ASTM,D882,2002), kecepatan penguapan air
(g/m2/24 jam) menggunakan Water Vapor
TransmissionRate TesterBergerlahr metode cawan
(ASTM, 1983 dalam Gunawan, 2009), ketebalan
(Mikrometer, ketelitian 0,0001 mm),dan warna
ChromameterMinolta CR-310 (Jowit, 1987 dalam
Gunawan, 2009). Data hasil pengamatan dianalisis
menggunakan SSPS 16,0. Jika ada perbedaan antar
perlakuan dilanjutkan dengan DMRT (Duncan
Multiple Range Test).
Tahap kedua: Aplikasi edible coating nata de
coco pada daging kelapa muda
Pada tahap kedua adalah menggunakan hasil
terbaik dari tahap pertama dengan cara diaplikasi
pada irisan daging kelapa muda dalam bentuk
edible coating (larutan terakhir yang diperoleh tidak
dikeringkan). Penelitian dilakukan dengan metode
deskriptif. Disiapkan daging kelapa Dalam
Mapanget (DMT), umur 8-9 bulan, diiris
memanjang, dipasteurisasi pada suhu 70OC,
selama 15 menit, ditiriskan dan dicelupkan dalam
larutan edible hingga ter-coating sempurna lalu
dikeringkan pada suhu 400C selama 45 menit,
didinginkan dan dikemas dalam plastik
polypropylene (PP) khusus untuk vacum dan
direkatkan menggunakan Vacum Sealer, kemudian
disimpan dalam Refrigerator dan Freezer selama 0,
1, 2, dan 3 bulan. Pengamatan dilakukan terhadap
karakteristik fisikokimia, total mikroba dan
organoleptik yang terdiri dari warna, aroma dan
rasa dengan nilai 1=sangat tidak suka, 2=tidak
suka, 3=biasa, 4=suka dan 5=sangat suka
(Soekarto, 1985) menggunakan 20 orang panelis.
Data hasil pengamatan dianalisis menggunakan
SSPS 16,0. Jika ada perbedaan antar perlakuan
dilanjutkan dengan DMRT (Duncan Multiple
Range Test).
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Karakteristik edible filmbioselulosa nata de
coco
Warna/Kecerahan Edible Film
Secara fisik edible film yang dihasilkan
agak bening dan mirip dengan kemasan komersial
yang non edible, kecuali formula 1 sebagai kontrol
cenderung berwarna putih karena hanya terdiri
dari bioselulosa nata de coco (Gambar 1a).
Gambar 1a. Penampilan sembilan formula edible film dari bioselulosa nata de coco
Figure 1a. Appearance of nine edible film of biocellulose nata de coco
Gambar 1b. Proses peeling formula 4 dan formula 5 Figure 1b. Peeling process of formula 4 and formula 5
Nilai L yang kecil menunjukkan bahwa
edible film cenderung lebih banyak menyerap sinar
dari pada memantulkan sinar. Laju transmisi uap
air cenderung meningkat dengan semakin tinggi
penambahan gliserol. Nilai laju transmisi uap air
1 2 3
4 5 6
7 8 9
Pengolahan Edible Film Nata de Coco dan Aplikasinya sebagai Coating pada Daging Kelapa Muda (Rindengan Barlina, et al.)
61
berhubungan dengan nilai elongasi edible film.
Semakin tinggi laju transmisi uap air, nilai
elastisitas edible film juga akan meningkat. Sinar
yang dapat ditangkap oleh detector warna, maka
indeks keputihan menjadi lebih kecil. Semakin
kecil indeks keputihan edible film berarti semakin
bening/transparan edible film yang dihasilkan
(Jowit, 1987 dalam Gunawan, 2009).
Analisis statistik, menunjukkan bahwa
formula 2 sampai formula 9 tidak berbeda nyata,
tetapi berbeda nyata dibanding dengan formula 1
(Gambar 2). Hal ini disebabkan pada formula 1
tanpa penambahan CMC dan gliserol. Menurut
Hikmat (1997) dalam Gunawan (2009),
pembentukan film tanpa penambahan CMC,
memerlukan energi yang cukup besar dan waktu
yang lama serta film yang dihasilkan kurang cerah,
rapuh, dan kurang kompak. Nilai
kecerahan/keputihan edible film berkisar 51,88
sampai 63,83. Semakin rendah nilai L, berarti
edible film semakin transparan. Dikaitkan dengan
Gambar 1a, pada formula 1 warnanya kurang
cerah karena nilai L adalah yang tertinggi, yaitu
63,83 (Gambar 2). Sebagai bahan kemasan, yang
diharapkan adalah bening/transparan, sehingga
tidak menghalangi penampilan asli dari produk
yang dikemas.
Ket : Angka yang diikuti huruf sama pada grafik tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan 0,5%. Note : Number followed by the same letters at the graphyc are not significantly different at 0.05 level DMRT
Gambar 2. Nilai L (kecerahan) sembilan formula edible film bioselulosa nata de coco Figure 2. The value of L (brightness) of nine formulas of edible film bioselulosa nata de coco .
Ketebalan edible film
Hasil pengukuran ketebalan edible film
bervariasi dari terendah 0,03 mm dan tertinggi
0,06 mm (Gambar 3). Hasil analisa statistik
menunjukkan, perbandingan formulasi bioselulosa
nada de coco, CMC dan gliserol, tidak
berpengaruh terhadap formula 1 sampai formula 6
dan formula 8, tetapi berpengaruh pada formula 7
dan formula 9. Penambahan CMC dalam
pembentukan film antara lain bertujuan untuk
memperbaiki penampakan, kekuatan,
kekompakan d a n mempercepat pembentukan
matrik film (Hikmat, 1997 dalam Gunawan, 2009),
sedangkan gliserol memiliki sifat a n t a r a l a i n ,
meningkatkan viskositas larutan dan mengikat air
(Winarno, 1997). Oleh karena itu ada
kecenderungan bahwa semakin tinggi
penambahan CMC maupun gliserol ketebalan
edible film meningkat, terutama formula 7 dan
formula 9. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Jacoeb et al., (2014), bahwa ketebalan edible film
dipengaruhi oleh luas cetakan, volume larutan dan
banyaknya total padatan dalam larutan. Hasil
penelitian Permatasari at al., (2012), menggunakan
bahan baku sari alang-alang dengan penambahan
A. xylinum, diperoleh edible film dengan ketebalan
0,05 mm.
63,83a
53,53bc 53,0bc 52,27bc 52,47bc
54,58b52,97bc 52,57bc 51,88c
0
10
20
30
40
50
60
70
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Nilai LL Value
Formula
Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 57 - 68
62
Gambar 3. Ketebalan sembilan formula edible film Figure 3. The thickness of the nine edible formulas
Gambar 4. Nilai kuat tarik sembilan formula edible film Figure 4. The tensile strength value of the nine edible formulas Kuat tarik edible film bioselulosa nata de coco
Kualitas suatu film sangat bergantung
pada kekuatan tarik dan elongasi (perpanjangan)
dari film tersebut. Kuat tarik merupakan salah satu
sifat mekanis untuk mengukur kekuatan film. Kuat
tarik adalah gaya tarik maksimum yang dapat
ditahan oleh film selama pengukuran berlangsung
sampai film terputus, sehingga kuat tarik dari
suatu film sangat berpengaruh terhadap kualitas
dari film tersebut. Semakin tinggi kekuatan tarik
suatu film, maka semakin bagus kualitas dari film
tersebut (Iskanda et al., 2010). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa nilai kuat tarik edible film
berkisar 11,91-38,93 Mpa (Gambar 4). Hasil
penelitian (Indrarti, 2007), nilai kuat tarik edible
film berbahan baku bioselulosa nata de coco
berkisar 22,01-166,80 Mpa dan 2,62 Mpa pada
bioselulosa asetat (Radiman dan Yuliani, 2008) dan
6,40-11,29 Mpa pada edible film berbahan baku
amilosa dengan penambahan gliserol (Cahyana,
2006). Sedangkan pembuatan plastik kitosan
menggunakan pelarut asetat dengan penambahan
gliserol 0-0,4% menghasilkan kuat tarik cenderung
menurun dari 39,90 Mpa sampai menjadi 12,58
Mpa (Apriyanti et al., 2013).
Berdasarkan Gambar 4, semakin rendah
penambahan bioselulosa nata de coco dan CMC
serta semakin tinggi penambahan gliserol nilai
kuat tarik menurun. Harris (1999) menyatakan
bahwa penambahan gliserol sebagai pemlastis
akan mengurangi kerapatan dan gaya antar
molekul substrat dengan gliserol. Wirawan et al.,
(2012) menyatakan juga bahwa, semakin banyak
plasticizer yang ditambahkan akan menurunkan
kuat tarik. Kondisi ini terjadi pada formula 6
sampai formula 9. Hal ini disebabkan gliserol akan
menghasilkan pengurangan interaksi
intermolekuler dan peningkatan pergerakan dari
0,032bc0,030c
0,033bc
0,042bc0,042bc
0,045bc
0,055a
0,035bc
0,047ab
0
0.01
0.02
0.03
0.04
0.05
0.06
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Tebal
Thick(mm)
Formula
18,57bc
38,25a 38,96a
20,43bc
24,35b
12,45c
19,07bc
14,64bc
11,91c
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kuat tarik/Mpa
Tensile strength/Mpa
Formula
Pengolahan Edible Film Nata de Coco dan Aplikasinya sebagai Coating pada Daging Kelapa Muda (Rindengan Barlina, et al.)
63
rantai polimer, sehingga kuat tarik akan turun
(Huri dan Nisa, 2014).
Elongasi edible film
Elongasi adalah perubahan perpanjangan
maksimum dari film yang diukur dalam persen
saat sobek (Krochta, 1992). Oleh karena itu
perpanjangan dari film juga sangat berpengaruh
terhadap kualitas dari film tersebut. Laurdin, et
al., (1997) dalam Cahyana (2006), menyatakan
bahwa plasticizer ditambahkan ke dalam polimer
untuk meningkatkan fleksibilitasnya.
Penambahan plasticizer sampai pada taraf
tertentu akan meningkatkan elongasi film.
Berdasarkan Gambar 5, nilai perpanjangan edible
film berkisar antara 2,81-18,26%. Formula 7
adalah yang memiliki nilai perpanjangan yang
paling tinggi. Hasil penelitian (Indrarti, 2007),
nilai perpanjangan edible film berkisar antara
2,93% sampai 30,39%. Berdasarkan Gambar 5,
semakin banyak penambahan gliserol
nilai elongasi meningkat, sehingga mampu
mengikat air dan melunakkan permukaan film.
Berdasarkan Gambar 4, semakin rendah
penambahan bioselulosa nata de coco dan CMC
serta semakin tinggi penambahan gliserol nilai
kuat tarik menurun. Harris (1999) menyatakan
bahwa penambahan gliserol sebagai pemlastis
akan mengurangi kerapatan dan gaya antar
molekul substrat dengan gliserol. Wirawan et al.,
(2012) menyatakan juga bahwa, semakin banyak
plasticizer yang ditambahkan akan menurunkan
kuat tarik. Kondisi ini terjadi pada formula 6
sampai formula 9. Hal ini disebabkan gliserol akan
menghasilkan pengurangan interaksi
intermolekuler dan peningkatan pergerakan dari
rantai polimer, sehingga kuat tarik akan turun
(Huri dan Nisa, 2014).
Gambar 5. Elongasi sembilan formula edible film Figure 5. Elongation of nine edible film formulas
Gambar 6. Laju transmisi uap air sembilan formula edible film Figure 6. Rate of water vapor transmission of nine edible film formulas
2,80c 2,94c 3,19c
13,21ab
8,03bc
11,94ab
18,26a
15,99ab
17,18a
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Elongasi, %
Formula
23,06a
20,06ab
16,32b 17,39b
20,79ab
18,26a
23,76a
21,32ab
0
5
10
15
20
25
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Formula
17,98bLajutransuap air,g/m2
/24j
64
Laju Transmisi Uap Air Edible Film
Laju transmisi uap air adalah jumlah uap air
yang melalui suatu permukaan film persatuan luas
persatuan waktu. Nilai laju transmisi uap air
menunjukkan seberapa tahan edible film tersebut
dapat menahan jumlah uap air dari dalam produk.
Semakin rendah nilai laju transmisi uap air,
makaedible film tersebut akan semakin baik (Harris,
1999). Menurut Gunawan (2009), laju transmisi
uap air yang rendah dapat menghambat hilangnya
air dari produk yang dicoating sehingga kesegaran
produk yang dicoating terjaga. Selain itu, dapat
menghambat kerusakan akibat reaksi hidrolisa
dan kerusakan oleh mikroorganisme karena
adanya air.
Hasil pengamatan menunjukkan, bahwa
nilai laju transmisi uap air berkisar antara 16,32
sampai 23,76 (g/m2/24 jam). Berdasarkan Gambar
6, laju transmisi uap air cenderung meningkat
dengan semakin tinggi penambahan gliserol. Nilai
laju transmisi uap air berhubungan dengan nilai
elongasiedible film. Semakin tinggi laju transmisi
uap air, nilai elastisitas edible film juga akan
meningkat.
2. Aplikasi edible coating pada daging kelapa
muda.
Pada Gambar 7, dapat dilihat secara ringkas
tahapan proses penelitian yang dilakukan. Bahan
baku daging buah kelapa Dalam Mapanget (7a),
proses pencelupan dalam edible coating
bioselulosa nata de coco (7b), selesai proses
pengeringan suhu 40OC selama 30 menit (7c), dan
pengemasan secara vacum (7d).
(a) (b) (c) (d)
Gambar 7. Pemisahan daging kelapa muda (a), pencelupan dalam edible coating(b), pengeringan suhu 40OC
selama 30 menit (c) dan pengepasan vacum (d) Figure 7. Separation of young coconut meat (a), immersion in edible coating (b), drying at 40OC
temperature for 30 minutes (c) and vacuum packaging (d) Karakteristik bahan baku daging kelapa muda
dan edible coating
Hasil pengamatan bahan baku daging
kelapa muda jenis DMT, adalah sebagai berikut:
kadar air 88,83%, abu 2,35%, lemak 33,56%, protein
8,73% dan serat kasar 16,89%. Hasil yang
diperoleh memiliki kemiripan dengan yang
dilaporkan Rindengan et al., (1997), dimana
daging kelapa muda GKBxDMT (umur 8 bulan),
memiliki kadar air 87,24%, protein 9,58%,
karbohidrat 34,68% dan serat kasar 19,15%.
Selanjutnya karakteristik dari bahan edible coating
(formula 7) yang dianalisa dalam bentuk edible film
adalah sebagai berikut ketebalan 0,06 mm, kuat
tarik 19,08 Mpa, elongasi 18,26%, laju transmisi
uap air16,88 (g/m2/24 jam) dan memiliki nilai
kecerahan yang lebih (bening).
Karakteristik organoleptik daging kelapa muda
diaplikasi edible coating
Berdasarkan Gambar 8, penilaian warna
irisan daging kelapa muda sampai 3 bulan
penyimpanan, baik yang dicoating maupun tidak
dan disimpan dalam Freezer maupun Refrigerator
nilai yang diberi berkisar 3 sampai mendekati nilai
4 (biasa sampai mendekati suka). Hal ini
Pengolahan Edible Film Nata de Coco dan Aplikasinya sebagai Coating pada Daging Kelapa Muda (Rindengan Barlina, et al.)
65
menunjukkan bahwa, meskipun daging buah
kelapa ada perlakuan aplikasi edible coating, panelis
masih menganggap penampilannya normal. Salah
satu manfaat aplikasi edible coating pada bahan
makanan adalah untuk mempertahankan sifat
sensorik dari produk (Falguera et al., 2011).
Selanjutnya pada penilaian aroma, sampel
yang tanpa edible coating tidak disukai selama
penyimpanan 3 bulan. Sedangkan perlakuan
lainnya masih dianggap biasa (normal) karena
nilai yang diberikan mendekati nilai 3 dan 4. Pada
penilaian rasa, diaplikasi maupun tanpa aplikasi
edible coating pada penyimpanan dalam Freezer
nilai yang diberikan masih berkisar 3-3,5 sampai 3
bulan penyimpanan. Sedangkan penyimpanan
dalam Refrigerator, baik yang diaplikasi maupun
tidak diaplikasi edible coating, mulai 2 bulan
penyimpanan nilai yang diberikan <3 atau panelis
mulai tidak menyukai. Hal ini menunjukkan,
bahwa penyimpanan dalam Freezer ( suhu beku)
lebih mempertahankan karakteristik organoleptik
daging buah kelapa muda.
Keterangan: F = Aplikasi edible coating disimpan dalam Freezer, FK= Tanpa aplikasi edible coatingdisimpan dalam Freezer, R = Aplikasi edible coating disimpan dalam Refrigerator, RK = Tanpa aplikasi edible coatingdisimpan dalam Refrigerator
Note: F = Edible coating application stored in Freezer, FK = No application of ediblecoating stored in Freezer, R = Edible Coating application is stored in Refrigerator, RK = No application of ediblecoating stored in Refrigerator
Gambar 8. Karakteristik organoleptik irisan daging kelapa muda dengan dan tanpa aplikasi edible coating
bioselulosa nata Figure 8. The organoleptic characteristics of young coconut meat slices with and without applied edible coating of
biocellulose nata
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
0 1 2 3
F FK R RK Warna
Penyimpanan (bulan)
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
0 1 2 3
F FK R RKAroma
Penyimpanan (bulan)
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
0 1 2 3
F
FK
R
RK
Rasa
Penyimpanan (bulan)
Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 57 - 68
66
Total mikroba dan kemasaman (pH) daging kelapa muda dengan aplikasi edible coating Hasil pengamatan total mikroba, menunjukkan terjadi penurunan jumlah mikroba selama penyimpanan (Gambar 9a). Menurut Krochta, et al., (1994) dalam Gunawan (2009), salah satu fungsi penambahan plasticizer CMC dalam formulasi coating adalah menghambat pertumbuhan kapang pada keju dan sosis, serta mengurangi penyerapan oksigen tanpa menyebabkan peningkatan kadar karbondioksida pada jaringan buah-buahan.
Berdasarkan Gambar 9a, aplikasi edible coating bioselulosa nata ternyata dapat mereduksi perkembangan total mikroba, tetapi penyimpanan dalam Freezer (F) penghambatannya lebih tinggi dibanding yang disimpan dalam Refrigerator (R).
Sedangkan daging kelapa muda tanpa aplikasi edible coating bioselulosa nata, total mikroba cukup tinggi sampai penyimpanan satu bulan, kemudian tidak terdeteksi sampai tiga bulan penyimpanan. Kondisi ini diduga berkaitan dengan penurunan pH, sehingga suasana menjadi asam. Hal ini berkaitan juga dengan penilaian organoleptik, terutama aroma dan rasa umumnya panelis memberi nilai yang rendah. Sampai saat ini belum ada produk irisan daging kelapa muda segar beku yang dikomersialkan. Oleh karena itu sebagai pembanding adalah total mikroba daging ayam beku (karkas dan tanpa tulang dan daging cintang adalah 1 x 106koloni/gr (SNI, 2009). Dengan demikian total mikroba pada daging kelapa muda yang dicoating tergolong rendah dibanding standar yang ditetapkan pada daging ayam beku.
Keterangan: F = Aplikasi edible coating disimpan dalam Freezer, FK= Tanpa aplikasi edible coating disimpan dalam Freezer, R = Aplikasi edible coating disimpan dalam Refrigerator, RK = Tanpa aplikasi edible coating disimpan dalam Refrigerator
Note: F = Edible coating application stored in Freezer, FK = No application of ediblecoating stored in Freezer, R = Edible Coating application is stored in Refrigerator, RK = No application of ediblecoating stored in Refrigerator
Gambar 9. Total mikroba (a) dan kemasaman/pH (b) irisan daging kelapa muda dengan dan tanpa
aplikasi edible coating bioselulosa nata Figure 9. Total microbial and acidity (pH) of young coconut meat slices with and without applied edible coating of
biocellulosic nata
KESIMPULAN
Perbandingan penambahan bioselulosa nata de coco, carboxylb methylcellulose mempengaruhi karakteristik edible film yang dihasilkan. Semakin tinggi penambahan CMC dan gliserol ketebalan edible film meningkat, sedangkan nilai kuat tarik menurun dengan penambahan bioselulosa dan CMC yang menurun.
Penambahan gliserol melunakkan permukaan film dan meningkatkan nilai laju transmisi uap air. Semakin kecil indeks kecerahan/keputihan menunjukkan makin transparanedible film yang dihasilkan.
Formula edible film terbaik yaitu pada perbandingan bioselulosa nata de coco: karboksimetilselulosa : gliserol = 97,5: 1,0 :1,5 dengan karakteristik ketebalan 0,07 mm, kuat tarik 19,08 Mpa, elongation 18,26%, laju transmisi uap
0
50
100
150
200
250
300
0 1 2 3
F FK
x 1
01
CFU
Lama penyimpanan (bulan)
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0 1 2 3
F FKpH
Lama penyimpanan (bulan)
Pengolahan Edible Film Nata de Coco dan Aplikasinya sebagai Coating pada Daging Kelapa Muda (Rindengan Barlina, et al.)
67
air16,88 (g/m2/24 jam) dan nilai kecerahan yang lebih baik (bening).
Aplikasi edible coating bioselulosa nata pada irisan daging kelapa muda yang dikemas secara vacum, pada penyimpanan menggunakan freezer dapat mereduksi perkembangan total mikroba dan sampai 3 bulan dan masih disukai panelis. Sedangkan penyimpanan dalam refrigerator, hanya disukai panelis sampai 2 bulan penyimpanan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada
Bapak Rahmat Teguh, sebagai laborant di Laboratorium Rekayasa Teknologi Hasil Pertanian, UGM–Yogyakarta yang membantu dalam pelaksanaan analisis karakteristik fisik edible film.
DAFTAR PUSTAKA
American Society for Testing and Materia. 2002. ASTM.D882-02. Standard Test Method for Tensile Properties of Thin Plastic Sheting. International, West Conshohocker, PA.
Apriyanti, A.F., Mahatmanti, F.W., Sugiyo, Warlan. 2013. Kajian Sifat Fisik- Mekanik dan Antibakteri Plastik Kitosan Termodifikasi Gliserol. Indonesian Journal of Chemistry Science. 2(2).
Falguera, V., J.P. Quintero., A. Jimenez., J.A. Murioz., A. Ibarz. 2011. Edible Fim and Caoting: Structure, Active Properties and Trend in Their Use. Trend in Foof Science Technology 22(6): 292-303.
Gunawan, V. 2009. Formulasi dan Aplikasi Edible Coating Berbasis Pati Sagu dengan Penambahan Vitamin C pada Paprika(Capsicum annuum varietas Athena). Skripsi Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Bogor. 146 Halaman.
Harris, H. 1999. Kajian Teknik Formulasi terhadap Karakteristik Edible Film dari Pati Ubi Kayu, Aren dan Sagu untuk Pengemas Produk Pangan Semi basah. Disertasi. Program Pascasarjana, IPB. Bogor.
Huri, D dan F.D. Nisa. 2014. Pengaruh Konsentrasi Gliserol dan Ekstrak Ampas Kulit Apel Terhadap Karakteristik Fisik dan Kimia Edible Film. Jurnal Pangan dan Agroindistri 2(4):29-44.
Iskandar., M. Zaki., S.Mulyati.,U.Fathanah., I.Sari dan Juchairawati. 2010. Pembuatan film
selulosa dari nata de pina. Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan 7(3):105-111. Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Syaiah Kuasa. Banda Aceh.
Indrarti, L. 2007. Bioselulosa sebagaibahanedible film. Laporan Penelitian. PusatPenelitian Fisika. LIPI. 39 Hal.
Jacoeb, A.M., Nugraha, R., Utari, S.p. 2014. Pembuatan Edible Film dari Pati Buah Lindur dengan Penambahan Gliserol dan Karaginan. JPHPI 17(1):14-21.
Krochta, J.M., 1992. Control of Mass Transfer in Food With Ediable Coatings and Films. In Singh, R.P. and M.A. Wirakartakusumah (eds). Advances in Food Engineering. CRP Press. Boca Raton. 519-538.
Krochta, J.M, E.A. Baldwin, a n d M.O. Nisperos-Carriedo. 1994. Edible Coating and Films to Improve Food Quality, Technomic Publishing Company, Inc., Pennsylvania, U.S.A.
Lindu, M., T. Puspitasari dan D.A. Reinfani, 2011. Sintetis dan Uji Kemampuan Membran Mikrofiltrasi Selulosa Asetat dari Nata de Coco untuk Penyisihan Kekeruan pada Air Artifisial. Jurnal Sains Materi Indonesia 12(3): 153-158.
Layuk, P., M. Lintang dan G.H. Joseph. 2012. Pengaruh waktu fermentasi air kelapa terhadap produksi dan kualitas nata de coco. Buletin Palma 13(1): 32-40. Puslitbangbun. Badan Litbang Pertanian
Nisperos-Carriedo M.O., P.E. Shaw and E.A. Baidwin, 1990. Changes in Volatile Component of Pineapple Orange Juices as Influences by The Application of Lipid and Composite Film. J.Agric. Food Chem. 38: 1382-1387.
Permatasari, A., H.F. Aprilianti dan A. Purbasari. 2012. Pembuatan Nata Berbahan Dasar Alang-Alang Secara Fermentasi Sebagai Kajian Awal Pembuatan Edible Film. Jurnal Teknologi Kimia dan Industri 1(1): 54-58.
Rezaee, A., S.SolimaniandM. Forozandemogadam. 2005. Role of Plasmid in Production ofAcetobacter xylinum Biofilms. American Journal of Biochemistry and Biotechnology (3):121-124.
Rahim, A., Nur Alam., Haryadi dan U. Santoso. 2010. Pengaruh konsentrasi pati aren dan minyak sawit terhadap sifat fisik dan mekanik edible film the effect of palm sugar starch apalm oil concentrations on
Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 57 - 68
68
physical and mechanical characteristics of edible film. J. Agroland 17 (1) : 38 – 46.
Radiman, C. danG. Yuliani. 2008. Penggunaan natadecoco sebagaibahan membran selulosa asetat. Prosiding Simposium Nasional Polimer V- Bandung. Hal 203-308.
Rindengan, B., A. Lay., H. Novarianto dan Z. Mahmud. 1996. Pengaruh jenis dan umur buah terhadap sifat fisikokimia daging buah kelapa hibrida dan pemanfaatannya. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 1(6):263-277.
Rindengan, B., E. Goniwala dan M.K. Allo'. 2014. Pengaruh pendiaman dan lama fermentasi air kelapa terhadap rendemen dan karakteristik bioselulosa nata untuk bahan baku edible film. Buletin Palma 15(2): 134-140.
Rindengan, B. 2014. Bioselulosa dari nata de coco sebagai bahan baku edible film. Warta Puslitbanbun 20(1): 1-4.
Soewarno, S.T. 1985. Penilaian Organoleptik. Bhatara Karya Aksara, Jakarta.
Standar Nasional Indonesia. 2009. SNI 01-3924-2009. Mutu Karkas dan Daging Ayam . Badan Standardisasi Nasional, Jakarta.
Tapia-Blacido, D., P.J. Sobral and F.C Menegalli. 2005. Effects of Drying Temperature and Relative Humidity on The Mechanical Properties of Amaranth Flour Films Plasticized with Glycerol. Brazilian Journal of Chemical Engineering, 22 (2):249.
Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia, Jakarta.
Wirawan, S.K., Prasetya, A. Ernie, E. 2012. Pengaruh Plasticizer Pada Karakteristk Esible Film dari Pekti. Reaktor 14(1): 61-67.
Yoshida, C.M.P., A.J. Antunes. 2004. Characterization of Whey Protein Emulsion Films. Brazilian Journal of Chemical Engineering, 21(2):247.
69
Disain dan Kinerja Mesin Pemotong Sabut Kelapa Muda
Design and Performance of Tender Coconut Husk Trimmer Machine
NICOLAS TUMBEL DAN SUPARDI MANURUNG
Balai Riset dan Standardisasi Industri Manado Jl. Diponegoro No. 21-23, Manado 95112
Email: [email protected]
Diterima 12 Maret 2018 / Direvisi 03 April 2018 / Disetujui 07 Desember 2018
ABSTRAK
Buah kelapa memiliki sifat yang kamba sehingga memerlukan banyak tempat pada saat dilakukan pengemasan. Kelapa muda dalam penyajiannya diperlukan bentuk yang menarik sehingga pelanggan lebih tertarik untuk minum air kelapa muda. Kegiatan ini dilaksanakan di Baristand Industri Manado pada bulan Maret-Desember 2015. Kegiatan rekayasa alat mesin pemotong sabut kelapa muda telah dilaksanakan dengan tujuan untuk merancang dan menguji kinerja alat pemotong sabut kelapa muda. Kelapa muda dibentuk menyerupai berlian dengan maksud untuk menghilangkan sifat kamba pada sabut kelapa serta memberikan bentuk yang lebih elegan dan menarik. Pembuatannya dilakukan dengan cara memotong sebagian permukaan sabut kelapa dengan menggunakan mesin pemotong. Alat pemotong kelapa muda yang dirancang memiliki dimensi panjang 95 cm, lebar 60 cm dan tinggi 142 cm. Alat terbuat dari bahan stainless steel, dilengkapi dengan tuas/pengungkit bawah dan atas, dudukan kelapa bentuk panah, 2 buah pisau pemotong (bagian badan dan bahu), pisau pemotongan bagian dasar dan puncak, motor listrik 1 HP/1420 rpm, dan rangka/dudukan alat. Letak pisau pada alat pengupas atau pemotong sabut kelapa muda bagian badan (body) kelapa dengan sudut kemiringan bagian dalam 95° sedangkan bagian luar 85°. Pisau pemotong bahu dengan sudut kemiringan bagian dalam 45° sedangkan bagian luar 45°. Waktu yang digunakan untuk pemotongan sabut untuk kelapa yang berumur penyimpanan 0 hari adalah 172 detik, penyimpanan 2 hari dengan waktu 178 detik, dan penyimpanan 4 hari adalah 204 detik. Alat mesin yang dihasilkan mampu untuk memotong 21 buah kelapa muda per jam dengan bagian yang tidak terkupas adalah 1,1-11,27%. Penggunaan mesin pemotong sabut kelapa ini sesuai untuk Usaha Kecil Menengah (UKM), restoran/cafe dan pedagang kelapa muda. Kata Kunci: Kinerja alat, air kelapa muda, penyimpanan, alat
ABSTRACT
Coconut fruit has an enormous size that requires a spacious place to pack. Serving young coconut required an fascinating shape so the customers are more interested to drink young coconut water. This activity was held in Baristand Industri Manado in March-December 2015. Engineering activities of coconut coir tool machine have been conducted with the aim to design and test the performance of coconut coir cutters. Young coconuts are shaped like diamonds by eliminating a part of coconut coir providing a more elegant and attractive shape. The process is done by cutting some coconut husk surface with cutting machine tool. This machine has a dimension of 95 cm of length, 60 cm of width and 142 cm of height. The machine built using stainless steel, equipped with a bottom and top lever, an arrow-shaped holder, 2 cutting knives (body and shoulders parts), cutting knife on both the bottom and the top, 1 HP/1420 rpm electric motor and frame/stand. The position of the blade on body part has inner slope of 95 ° while the outer slope 85 °. Shoulder-cutting knife with an inner slope angle of 45° while the outer 45°. The time used for cutting coconut coir for 0 days storage is 172 seconds, 2 days storage is 178 seconds, and 4 days storage is 204 seconds. This machine is able to cut 21 young coconuts per hour, with unpeeled portion is around 1.1-11.27%. This machine is suitable for Small Medium Enterprises (SMEs), restaurants/cafes and young coconut traders. Keywords: Performance of tool, young coconut water, storage, tool
Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 69 - 78
70
PENDAHULUAN
Buah kelapa muda merupakan salah satu
komoditi pertanian yang bernilai ekonomi tinggi.
Pemanfaatan buah kelapa muda perlu diikuti
dengan penanganan pasca panen, seperti
pengawetan, pengemasan dan penyimpanan
karena buah kelapa muda mudah rusak. Akan
tetapi teknologi yang dimiliki masyarakat dalam
pengolahan kelapa muda masih tergolong dalam
teknologi tradisional dan cenderung belum efisien.
Operasi pasca panen kelapa adalah kerja
yang membosankan untuk dilakukan dan
melibatkan banyak tenaga kerja manusia. Pekerja
terampil untuk pengupasan kelapa makin
berkurang akhir-akhir ini. Banyak upaya telah
dilakukan untuk memekanisasi operasi ini dengan
mengembangkan berbagai alat dan bahkan mesin
yang dioperasikan dengan tenaga listrik (Sabale
dan Kolhe, 2016).
Kelapa muda sebagai komoditas yang
tergolong sebagai minuman yang dapat disukai
masyarakat, namun memiliki beberapa kelemahan
dalam penyaluran dan cepat rusak. Kelapa muda
yang memiliki kualitas panen yang baik hanya
memiliki umur kesegaran 5-7 hari penyimpanan.
Kelapa yang terlalu lama disimpan akan berasa
masam dan tidak segar. Selain itu, kelapa muda
memiliki sifat kamba (memakan tempat) dalam
proses penggudangan dan tergolong sulit dalam
proses penyajiannya. Hal ini membuat petani atau
penjual tidak dapat menyimpannya dalam jumlah
besar dan waktu yang lama (Rahmad, 2012).
Pemotongan buah kelapa muda di restoran,
hotel-hotel, cafe, dan penjual kelapa muda,
dilakukan dengan cara sederhana/tradisional
menggunakan parang untuk memotong atau
mengiris. Kegiatan ini dilakukan agar komoditas
kelapa muda memiliki nilai tambah yang lebih
tinggi, umur simpan yang relatif panjang, nilai jual
yang jauh lebih baik, serta mengurangi sifat kamba
sehingga dapat meningkatkan kapasitas distribusi
atau penyimpanan di ruang pendingin.
Penanganan pasca panen dilakukan dengan
memangkas atau memotong sebagian sabut kelapa
muda untuk mengurangi sifat kamba. Perlakuan
ini diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah
sebagai minuman kelapa muda siap saji (Butar-
butar, 2013).
Sebelum proses pembuatan alat pengupas
sabut kelapa, perlu dilakukan analisis terhadap
karakteristik buah kelapa, seperti: warna dan
kenampakan buah kelapa, ukuran kelapa,
kebulatan, roundness, densitas, volume, luas
permukaan, koefisien friksi, kadar air, gaya
penghancuran dan kompressi pada biji kelapa
(Alonge dan Adetunji, 2011). Sementara menurut
Tika, et al. (2014), sifat mekanik kelapa muda yang
mempengaruhi gaya pemotongan sabut kelapa
muda adalah modulus elastisitas, strength
maximum, poisson ratio, dan koefisien gesek. Faktor
sudut potong adalah faktor yang berpengaruh
nyata pada gaya maksimum yang dihasilkan pada
pemotongan sabut kelapa muda.
Jarimopas, et al. (2008), telah melakukan
penelitian tentang pembuatan mesin pemotong
kelapa muda secara otomatis. Dari hasil uji coba
alat tersebut diperoleh kapasitas 86 buah per jam,
dengan rpm 300 dan panjang pisau pemotong
shoulder 180 mm. Laju kehilangan rata-rata adalah
0,35% area berserat, 2,5% kerusakan buah dan
14,5% area hijau yang tidak terkupas. Buah kelapa
muda yang terkupas ini telah diterima di pasaran.
Gaya potong yang besar akan memperbesar
getaran pada proses permesinan serta
memperbesar gesekan antara pahat dan bahan.
Analisis ini nantinya dapat memberikan parameter
dasar dalam menentukan rancangan pisau yang
dapat memotong kelapa dengan kebutuhan gaya
terendah (Rusnaldy et al., 2009).
Yahya dan Zainal (2014) telah melakukan
penelitian dengan tentang disain dan kinerja mesin
pembentuk kelapa muda, ternyata perbedaan
pemotongan menggunakan mesin yang mereka
rancang (prototipe) yaitu bentuk dan konturnya
seragam sedangkan pemotongan secara manual
bentuk dan konturnya bervariasi tergantung
kemampuan operator. Selain itu, risiko keamanan
melakukan pemotongan menggunakan mesin
lebih aman daripada manual.
Nagarajan dan Sundararajan (2015),
melakukan pembuatan alat semi otomatis
pengupas sabut kelapa dengan pemotong
kulit/sabuk untuk mempermudah proses operasi
pada pengupasan sabut kelapa muda maupun
kelapa tua. Hal ini dapat mengurangi tenaga
Disain dan Kinerja Alat Mesin Pemotong Sabut Kelapa Muda (Nicolas Tumbel dan Supardi Manurung)
71
manusia dan menghindari risiko kecelakaan
pengerjaan secara manual. Itu juga dapat
mengurangi biaya operasional kerja, dibandingkan
dengan cara manual dan pengupasan yang lebih
efektif dan menguntungkan.
Pemotongan dan pengupasan sabut kelapa
sampai saat ini masih menggunakan peralatan
tradisional ataupun konvensional menggunakan
linggis dari besi ataupun kayu yang dipasang
berdiri vertikal dengan matanya mengarah ke atas
(Butar-butar, 2013). Pengupasan kelapa muda
membutuhkan waktu rata-rata 26,36 detik per
butir, kapasitas pengupasan alat 136 butir/jam
tanpa menghitung waktu penggantian kelapa
(Abdullah, 2014). Hasil pengupasan kelapa muda
belum maksimal disebabkan oleh beberapa faktor
seperti posisi mata pisau, ketajaman mata pisau,
daya motor yang digunakan, posisi kelapa pada
proses pengupasan serta ketebalan pengupasan.
Pemotongan sabut kelapa dengan cara
manual/tradisional ini memiliki kelemahan antara
lain: operator yang memotong/mengupas
sabutnya harus benar-benar berpengalaman,
memiliki tingkat ketelitian yang tinggi serta
kapasitas kerja yang relatif terbatas. Untuk
mengatasi keterbatasan ataupun kelemahan dari
alat pemotong sabut kelapa manual itu, maka
didisain alat pemotong sabut kelapa mekanis yang
mampu mengupas sabut kelapa dengan kapasitas
yang tinggi. Alat mesin pemotong sabut kelapa ini
menggunakan sumber elektro motor listrik.
Penelitian ini bertujuan untuk mendisain alat
mesin pemotong sabut kelapa muda yang efektif
dan efisien untuk menghasilkan buah kelapa
muda dengan bentuk yang menarik
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Peralatan
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium
dan bengkel Balai Riset dan Standardisasi Industri
Manado sejak bulan Maret - Desember 2015. Bahan
yang digunakan adalah buah kelapa muda jenis
Genjah berumur 8-9 bulan dengan ukuran tinggi
21-22 cm dan diameter 16-17 cm berasal dari
Kebun Percobaan Paniki, Balai Penelitian Tanaman
Palma. Bahan pendukung, yaitu besi beton,
stainless steel, selang plastik, besi siku, ring per,
baut, mur, ember, loyang, galon, selang, dan kabel
box.
Peralatan yang digunakan meliputi motor
penggerak 1 HP, stop watch, timbangan, kabel
box, parang, kabel untuk instalasi, dan beberapa
peralatan bengkel lainnya seperti pengelas, mesin
bor, mesin roll pelat, mesin bubut dan polisher,
gurinda listrik serta alat uji laboratorium.
Metode
Penelitian ini dilaksanakan untuk mendisain
alat mesin pemotong sabut kelapa muda yang
dapat menghasilkan buah kelapa bentuk
“diamond”. Disain didasarkan pada rancangan
alat uji variasi bentuk mata pisau pada alat
pengupas sabut kelapa mekanis (Butar-Butar,
2013; Jarmopas dan Ruttanadat, 2007).
Setelah alat layak operasional, dilanjutkan
dengan uji coba untuk mengetahui kinerjanya.
Pengujian kinerja dilakukan sebanyak 3 kali
ulangan. Data yang diperoleh dianalisa secara
deskriptif. Pengamatan meliputi sudut pisau yang
digunakan, perlakuan waktu penyimpanan (0, 2,
dan 4 hari), kapasitas pemotong (buah/jam), dan
area yang tidak terkupas.
Data pengamatan meliputi beberapa
sudut/kemiringan pisau pemotong sehingga
diperoleh kombinasi sudut yang cukup baik.
Posisi sudut ini merupakan kombinasi antara
sudut pisau pemotong badan (body) kelapa dan
bahu (shoulder) kelapa sesuai dengan bentuk
kelapa muda yang diinginkan (Gambar 1).
Gambar 1. Disain buah kelapa Figure 1. Coconut’s design
Puncak
Bahu
Badan
Dasar
α
β
Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 69 - 78
72
Uji coba pemotongan/pengupasan sabut kelapa dilakukan terhadap kelapa dengan perlakuan pemetikan 0, 2, dan 4 hari. Pengamatan terdiri atas: waktu pemotongan yang diukur dengan menggunakan stopwatch, kapasitas kerja alat, pengamatan warna, dan luas area yang terkupas.
Kapasitas kerja mesin pemotong dihitung dengan cara melakukan percobaan selama 1 jam tanpa berhenti, setelah itu dihitung jumlah kelapa muda (buah) yang dipotong dalam satuan waktu (jam) yang digunakan. Mesin yang digunakan memiliki putaran (rpm) tertentu sesuai dengan spesifikasinya. Putaran mesin yang berasal dari pabrikan biasanya tidak selalu sesuai dengan kebutuhan sehingga harus dilakukan modifikasi untuk memperoleh putaran sesuai dengan yang diinginkan. Modifikasi putaran mesin penggerak dapat dilakukan dengan cara mereduksi maupun multiplikasi. Jika putaran mesin generator lebih tinggi daripada putaran mesin yang diinginkan maka dilakukan reduksi. Jika putaran mesin generator lebih rendah daripada putaran mesin penggerak yang diinginkan maka dilakukan multiplikasi.
Area yang tidak terkupas, yaitu bagian
sabut kelapa muda yang tidak terpotong di bagian
samping dan bagian atas kelapa. Pengukuran luas
area yang tidak terkupas dihitung dengan metode
gravimetri. Area yang tidak terkupas digambar
pada benda transparan seperti plastik, kemudian
digambar pada kertas HVS yang sudah diketahui
bobot dan luasnya. Setelah itu, gambar area yang
terdapat pada kertas digunting/dipotong, setelah
itu kertas hasil potongan ditimbang. Bobot kertas
yang dipotong dibandingkan dengan bobot kertas
HVS yang telah diketahui luasnya. Luas area yang
tidak terkupas dan tidak terkupas merupakan luas
permukaan dari kelapa muda yang sudah
dikupas/dipotong. Luas permukaan kelapa muda
dihitung dengan menggunakan rumus luas
permukaan bangun ruang 3 dimensi. Hasil
kupasan kelapa muda umumnya berbentuk
berlian segi lima dengan 3 dimensi. Luas
permukaan dapat dihitung dengan membagi 2
menjadi bangun kerucut dan kerucut terpancung
ataupun silinder dengan diameter yang berbeda.
Persentase area yang tidak terkupas dapat
diperoleh dengan perhitungan sebagai berikut :
Proses pemotongan sabut kelapa muda
sebagai berikut :
a. Persiapan peralatan, komponen pendukung,
dan kelapa muda yang akan diproses.
b. Kelapa muda dimasukan ke pelat dudukan
(bentuk panah), atur posisi kelapa sehingga
tidak lepas pada saat kelapa berputar.
c. Naikkan kelapa dengan tuas/pengungkit
bawah hingga sampai ke penahan atas.
d. Alat dinyalakan dengan menekan tombol On.
e. Atur pisau pemotong body mendekati kelapa
secara perlahan-lahan.
f. Setelah badan kelapa selesai dipotong, pisau
dikembalikan ke posisi awal. Kemudian
lanjutkan pada pisau pemotong bahu kelapa
dengan mengangkat pengungkit/tuas bawah
dengan melekatkan kelapa ke pisau pemotong,
setelah itu pengungkit/tuas diturunkan
kembali secara perlahan-lahan.
g. Alat dimatikan, buah kelapa dikeluarkan dari
dudukan.
h. Alat dinyalakan kembali, lalu buka bagian
penutup pisau sawmill.
i. Buah kelapa dipotong di bagian bawah dan
bagian puncak.
j. Pengupasan/ pemotongan sabut kelapa muda
telah selesai.
k. Matikan alat dengan menekan tombol Off.
Diagram alir proses pemotongan sabut kelapa muda disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Diagram alir proses pemotongan sabut kelapa muda
Figure 2. Flowchart of young coconut trimmed processing
Pemotongan sabut kelapa
( Pemotongan bagian badan dan shoulder
Pemotongan bagian dasar dan puncak
Buah kelapa muda
Kelapa muda bentuk diamond
Disain dan Kinerja Alat Mesin Pemotong Sabut Kelapa Muda (Nicolas Tumbel dan Supardi Manurung)
73
HASIL DAN PEMBAHASAN
Disain dan Fungsi Alat
Alat mesin pemotong sabut kelapa muda
yang dibuat ini diberi nama alat mesin pemotong
sabut kelapa muda model Baristand. Alat mesin
yang dihasilkan memiliki dimensi panjang 95 cm,
lebar 60 cm dan tinggi 142 cm, terbuat dari bahan
stainless steel dan besi siku, terdiri dari beberapa
bagian/komponen, yakni pisau pemotong utama
(pisau pemotong bagian badan (body) dan 1 mata
pisau bagian bahu (shoulder) dan pisau pemotong
dasar kelapa (base) dan puncak/atas kelapa (crest),
pengungkit/tuas bawah, pelat dudukan kelapa
(bentuk panah), pengungkit/ tuas atas, setelan
maju mundur (pisau body), dan kerangka dudukan
(Gambar 3).
Gambar 3. Mesin pemotong sabut kelapa muda (tampak depan dan samping) Figure 3. Coconut young fruit trimming machine tool (front and side view)
Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 69 - 78
74
Spesifikasi dan fungsi komponen peralatan sebagai berikut:
1. Pisau pemotong utama terdiri dari 2 mata pisau, yaitu pisau pemotong bagian badan (body) kelapa dengan panjang 20 cm, lebar 5 cm, dan tebal 3 mm dan pisau pemotong bagian bahu (shoulder) kelapa dengan panjang 20 cm, lebar 2,5 cm dan tebal 2,5 mm. Pisau pemotong ini berfungsi untuk mengiris atau memotong sabut buah kelapa muda.
2. Pisau pemotong tambahan yang merupakan pisau sawmill, berfungsi untuk memotong bagian dasar (base) kelapa dan bagian puncak (crest) kelapa, memiliki diameter 9 inci, dan tebal 5 mm terbuat dari ss. Pisau pemotong ini bergerigi dan menggunakan puli V ukuran 23 inci, diameter 1 inci terbuat dari ss, terdapat 2 buah bearing dan tersambung dengan motor penggerak. Bagian pemotong ini dapat memperindah tampilan buah kelapa.
3. Pengungkit/tuas bawah, dengan ukuran panjang 60 cm, lebar 4 cm, tebal 2 cm, terdiri dari as diameter 1 inci dan pelat dudukan kelapa (bentuk panah). Pengungkit/tuas bawah, berfungsi mengangkat dan menurunkan dudukan/penyanggah bagian bawah (naik turun). Dudukan/penyanggah bawah yang berfungsi sebagai tempat melekatnya buah kelapa bentuk panah (penajam) serta tersambung dengan poros dari elektro motor.
4. Pengungkit/tuas atas berfungsi mengangkat dan menurunkan poros bentuk panah (penajam) yang akan melekat pada buah kelapa. Memiliki ukuran panjang 25 cm, diameter 2 cm, dengan penahan pengunci panjang 8 cm.
5. Dudukan kelapa berfungsi untuk meletakkan buah kelapa supaya kokoh dan tidak bergerak ketika berputar sehingga sabut/kulitnya dapat dipotong dengan baik. Dudukan ini memiliki diameter 8 cm yang terdiri dari 5 buah besi panah tajam dengan ukuran tinggi 4 cm, yang berguna untuk mencengkeram buah kelapa sehingga tidak terlepas saat berputar. Dudukan ini berada pada pengungkit/tuas bawah sehingga dapat menaikkan maupun menurunkan buah kelapa.
6. Pengatur maju mundur pisau, memiliki ukuran panjang 38 cm dengan diameter 2 cm, terbuat dari ss. Pengatur maju mundur ini berfungsi menggerakkan pisau pemotong maju/mundur untuk mendekatkan maupun menjauhkan dari bagian body kelapa yang akan dipotong sabutnya.
7. Peralatan pendukung/penunjang
- Elektro motor 1 HP, berfungsi menjalankan dan memutar as pengungkit naik/turun. Reducer dipakai sebagai cadangan untuk putaran amat cepat. Elektro motor memiliki spesifikasi kapasitas 1 HP, tegangan 220 volt, 6,73 Ampere, 1420 rpm dengan tipe YC901 1-4 tersambung dengan panel listrik (on/off).
- Saklar (on/off), berfungsi untuk menghidupkan dan mematikan aliran listrik.
- Kerangka dan dudukan alat berfungsi sebagai penahan komponen alat dan memudahkan pemasangan komponen peralatan utama serta peletakan seluruh komponen-komponen unit operasi. Kerangka dan dudukan ini terbuat dari besi siku ukuran 5 x 5 x 0,5 cm dan pelat ss 3 mm dengan ukuran 95 x 60 x 142 cm, berfungsi sebagai penahan tegak dan kestabilan posisi alat pengolahan supaya kokoh.
Kinerja Alat
Kegiatan perancangan mesin pemotong
sabut kelapa muda menyebabkan proses
pemotongan lebih baik dibanding dengan alat
pengupas sabut kelapa mekanis. Komponen
peralatan utama unit operasi berdasarkan urutan
proses yakni tuas/pengungkit bawah dan atas,
dudukan kelapa, 2 buah pisau pemotong, pisau
sawmill dan motor penggerak. Unit-unit proses
alat pemotong dirancang secara kompak, sehingga
mulai dari proses persiapan peletakkan buah
kelapa, pemotongan, sampai produk akhir
berlangsung dengan baik. Pisau yang digunakan
terdiri dari 2 mata pisau yaitu pisau pemotong
bagian badan/tubuh kelapa dan pisau pemotong
bagian bahu kelapa. Pengaturan posisi kedua
pisau pemotong dilakukan secara berulang-ulang
sehingga diperoleh kombinasi sudut yang sesuai
dan untuk menghasilkan bentuk potongan yang
bagus.
Hasil rancangan pisau pemotong badan
(body) kelapa dengan sudut kemiringan bagian
dalam 95° sedangkan bagian luar 85°. Kemudian
pisau pemotong bahu dengan sudut kemiringan
bagian dalam 45° sedangkan bagian luar 45°. Hasil
percobaan rancangan ini digunakan untuk proses
produksi selanjutnya, namun demikian sudut
kemiringan ini dapat diganti atau dirubah sesuai
Disain dan Kinerja Alat Mesin Pemotong Sabut Kelapa Muda (Nicolas Tumbel dan Supardi Manurung)
75
kebutuhan. Hasil uji mesin pemotong sabut kelapa
muda diperoleh data pengamatan seperti dilihat
pada Tabel 1.
Pemotongan sabut dilakukan pada buah
kelapa jenis Genjah umur 8-9 bulan dengan
penyimpanan 0 sampai dengan 4 hari. Hasil
pengamatan untuk waktu pemotongan rata-rata
penyimpanan 0 hari (172 detik), 2 hari (178 detik),
dan 4 hari (204 detik).
Tabel 1. Lama penyimpanan dan waktu pemotongan sabut kelapa Table 1. Storage and trimming time coconut coir
Ulangan (Repetition)
Lama penyimpanan (hari)/waktu pemotongan (detik)
Storage time (days)/Trimming time (seconds)
0 2 4
I 168 171 204
II 170 189 216
III 178 174 192
Rata-rata 172 178 204
Pemotongan sabut dengan penyimpanan 0 hari memiliki waktu rata-rata lebih cepat, dibandingkan dengan hari ke-2, dan hari ke-4. Hal ini mungkin disebabkan sabut kelapa pada penyimpanan 0 hari masih lembek dan basah, sabut berwarna putih, sehingga lebih mudah untuk dipotong. Pada hari ke-2 dan hari ke-4, sabut kelapa sudah semakin kering sehingga semakin sulit untuk dipotong. Waktu pemotongan pada penyimpanan hari ke-2 tidak berbeda jauh dari penyimpanan 0 hari. Semakin lama kelapa disimpan kadar air dalam sabut kelapa semakin berkurang karena mengalami penguapan. Hal ini menyebabkan proses pemotongan bisa lebih lama karena sabut kelapa sudah agak kering dan mengeras, serta seratnya juga sudah berwarna coklat.
Kapasitas Pemotong
Rata-rata kapasitas alat pengupas sabut kelapa muda adalah 21 butir per jam. Percobaan
ini dilakukan sebanyak 3 kali ulangan. Kapasitas pemotong dihitung mulai persiapan buah kelapa yang ditempatkan pada pelat dudukan kelapa (bentuk panah), kemudian buah kelapa ini dinaikkan dengan tuas/pengungkit bagian bawah untuk dilekatkan pada tuas bentuk panah bagian atas, lalu listriknya dinyalakan.
Kapasitas kerja alat tergantung pada daya motor dan reducer serta puli/belt yang digunakan. Kapasitas kerja dapat meningkat bila laju putaran per menit ditingkatkan. Besaran daya dapat berpengaruh terhadap waktu proses pengolahan dan kapasitas alat pengolahan. Mesin pemotong menggunakan motor penggerak dengan daya 1 HP, tegangan 220 volt dengan putaran akhir sekitar 387 rpm. Selain itu, keahlian operator dalam mengoperasikan alat ini menjadi salah satu faktor untuk meningkatkan kapasitas. Area yang tidak terkupas
Tabel 2. Persentase area yang tidak terkupas Table 2. Percentage of untrimmed area
Ulangan
Repetition
Lama penyimpanan (hari)/area yang tidak terkupas (%)
Storage time (days)/untrimmed area (%)
0 2 4
I 1,82 1,10 4,66
II 1,67 11,27 2,34
III 1,88 4,6 1,91
Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 69 - 78
76
Tabel 2 menunjukkan bahwa persentase
area yang tidak terkupas bervariasi dari 1,10-
11,27%. Hal ini terjadi karena posisi pisau tidak
dapat diubah selama pengupasan, sedangkan
buah kelapa memiliki kontur dan bentuk yang
tidak sama. Keterampilan operator dalam
pengoperasian mesin pemotong juga sangat
berpengaruh. Luas area yang tidak terkupas ini
tergolong cukup tinggi yakni sekitar 11,27%
sehingga hal ini dapat menimbulkan penampakan
kelapa kurang bagus secara estetika, sehingga
perlu dilakukan pemotongan sabut kelapa muda
secara manual. Oleh karena itu, perlu dilakukan
penyesuaian mata pisau untuk mendapatkan hasil
potongan yang lebih baik dan menarik.
Putaran mesin pemotong
Mesin/motor yang digunakan memiliki
daya 1 HP dengan putaran 1420 rpm. Putaran
mesin ini terlalu tinggi sehingga harus dilakukan
reduksi. Putaran yang dibutuhkan sekitar 300-400
rpm. Untuk mereduksi putaran mesin ini dapat
dilakukan beberapa cara seperti menggunakan
sistem pereduksi dengan puli, dan reducer atau
gear box. Mereduksi dengan menggunakan puli
dapat dilakukan jika putaran akhir yang
diinginkan tidak terlalu kecil jika dibandingkan
dengan putaran awal. Pereduksi dengan sistem ini
dapat dilakukan secara bertingkat yaitu dengan
menggunakan 2 atau lebih puli (puli besar 11 inci
dan kecil 3 inci). Perekayasaan putaran yang
dilakukan pada alat mesin ini menggunakan
kombinasi sistem yaitu dengan puli dan belt.
Dengan mengkombinasikan kedua sistem tersebut,
putaran akhir yang diperoleh adalah diameter puli
1 per diameter puli 2 dikalikan rpm awal.
Diameter puli 1 berukuran 3 inci, diameter puli 2
berukuran 11 inci dan rpm awal motor sebesar
1420 rpm sehingga diperoleh putaran akhir
sebesar 387 rpm.
Dengan putaran ini diperoleh kinerja mesin
yang cukup bagus untuk menghasilkan kualitas
potongan yang diharapkan. Pemotong dapat
berjalan dengan baik dan pekerja/operator dapat
bekerja dengan optimal. Putaran mesin tidak
terlalu cepat ataupun terlalu lambat. Putaran
mesin yang terlalu cepat dapat menyebabkan
operator kewalahan sedangkan putaran mesin
yang terlalu lambat mengakibatkan tenaga mesin
untuk memotong sabut berkurang sehingga sabut
kelapa tidak dapat dipotong dengan baik.
Keunggulan alat mesin ini antara lain kelapa
yang dihasilkan berbentuk “diamond”, siap saji
dan putih bersih, waktu proses pemotongan agak
lebih cepat, serta sudut kemiringan pisau sewaktu-
waktu dapat diubah sesuai dengan kebutuhan.
Sedangkan kelemahan alat ini adalah pemotongan
kurang efisien karena harus dilakukan dua kali
yaitu untuk memotong bagian badan/bahu dan
dasar/puncak sehingga butuh waktu lebih lama
karena alat harus dimatikan terlebih dahulu lalu
dipindahkan ke pisau yang lain.
KESIMPULAN
Alat pemotong sabut kelapa muda yang
telah didisain memiliki spesifikasi dan panjang 95
cm, lebar 60 cm, dan tinggi 142 cm, terbuat dari
bahan stainless steel yang terdiri dari pisau utama
(pisau pemotong bagian badan dan bahu), pisau
pemotong sawmill (pisau pemotong bagian dasar
dan puncak), tuas/pengungkit bawah dan atas,
dudukan kelapa bentuk panah, motor listrik 1
HP/1420 rpm, dan rangka/dudukan alat.
Hasil rancangan pisau pada alat pengupas
atau pemotong sabut kelapa muda bagian badan
kelapa memiliki sudut kemiringan bagian dalam
95°, bagian luar 85°, sedangkan pisau pemotong
bahu memiliki sudut kemiringan bagian dalam
45°, bagian luar 45°. Untuk bagian base dan crest
dipotong dengan pisau sawmill . Hasil penelitian
menunjukkan bahwa waktu pengupasan alat
pengupas atau pemotong sabut kelapa dengan
waktu simpan 0 hari adalah 172 detik, waktu
simpan 2 hari adalah 178 detik, dan waktu simpan
4 hari adalah 204 detik.
Alat mesin pemotong sabut kelapa muda
sebanyak 21 butir kelapa/jam, dan bagian/area
yang tidak terkupas sebanyak 1,10 - 11,27%.
Penggunaan alat mesin pemotong sabut kelapa
muda lebih sesuai untuk restoran/cafe, hotel,
pedagang kelapa muda dan Usaha Kecil
Menengah (UKM). Perlu dilakukan modifikasi
untuk keamanan pengoperasian alat.
Disain dan Kinerja Alat Mesin Pemotong Sabut Kelapa Muda (Nicolas Tumbel dan Supardi Manurung)
77
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada
DR. Ir. Broerie Pojoh, M.Sc, Kepala Balai Riset dan Standardisasi Industri Manado; Ir. Nova Kumolontang, M.Sc, Kepala Seksi Teknologi Industri dan Steady Ringkuangan, staf perbengkelan di Balai Riset dan Standardisasi Industri Manado atas kerjasama dan bantuan teknis, serta konsultasi dalam pelaksanaan penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, H., Y. Djamalu., dan S. Botutihe. 2014.
Pembuatan Alat Pengupas Sabut Kelapa
Muda Sistem Putar. Jurnal Teknologi
Pertanian Gorontalo (JTPG). 1(2):183-192.
Alonge, A.F., dan W.B. Adetunji. 2011. Properties
of Coconut (Cocos nucifera L.) Relevant to
Its Dehusking. Journal of Agricultural
Science and Technology A1: 1089-1094.
Butar-butar, A.R., S.B. Daulay., L.A. Harahap., dan
Susanto, E. 2013. Test of Variant Knife
Edge Shape on Mechanical Coconut
Peeler. Jurnal Rekayasa Pangan dn
Pertanian. 1(2): 74-77.
Jarimopas, B., dan N. Ruttanadat. 2007.
Development of a Young Fruit Trimming
Machine. Journal of Food Engineering.
79(3): 752-757.
Jarimopas, B., N. Runtanadat, dan A.
Terdwongworakul. 2008. An Automatic
Trimming Machine for Young Coconut
Fruit. Biosystems Engineering. 103:169-
175.
Nagarajan, N., dan P.N. Sundararajan,. 2015.
Fabrication of Coconut Husk Remover
with Shell Cutter. International Journal of
Research and Innovation in Engineering
Technology. 1(12):13-18.
Rahmad, A. 2012. Pengaruh bahan pelapis
terhadap kelapa muda selama
penyimpanan. [Skripsi]. Departemen
Teknologi Industri Pertanian, Fakultas
Teknologi Pertanian, IPB. Bogor.
Rusnaldy, M. Tanviqirrahman., dan W. Ranuaji.
2009. Proses Simulasi untuk Menentukan
Besarnya Gaya Potong pada Proses Bubut.
Jurnal ROTASI. 11(1): 29-32.
Sabale, R.M. dan K.P. Kolhe. 2016. Design and
Development of a Coconut Dehusker for
Small Scale Coir Industry and Marginal
Farmers. International Journal of Science,
Engineering and Technology Research
(IJSETR). 5(2): 591-595.
Tika, H.S., Desrial., dan D. Wulandani. 2014.
Analisis Gaya Spesifik Pemotongan Sabut
Kelapa Muda (Cocos nucifera L.). JTEP.
2(2):89-95.
Yahya, S., dan I.M. Zainal. 2014. Design and
Performance of Young Coconut Shaping
Machine. J. Trop. Agric. and Fd. Sc., 42(1):
19–28.
79
Uji Mutu dan Keefektifan Metarhizium anisopliae Isolat Kalimantan Tengah
Terhadap Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae)
Quality Test and Effectiveness of Metarhizium anisopliae Isolates From Central Kalimantan Against Oryctes rhinocerus (Coleoptera: Scarabaeidae)
SISWANTO DAN I.M. TRISAWA
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Jl. Tentara Pelajar No. 1. Cimanggu, Bogor, 16111
Email: [email protected]
Diterima 12 Maret 2017 / Direvisi 03 April 2017 / Disetujui 07 Desember 2018
ABSTRAK
Hama Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae) merupakan hama penting tanaman kelapa . Pengendalian O. rhinoceros dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu secara fisik, mekanik, hayati, dan kimiawi. Cendawan Metarhizium anisopliae merupakan agens hayati yang dapat menekan perkembangan hama O. rhinoceros. Efektivitas cendawan M. anisopliae sangat ditentukan oleh kualitas/mutu konidia cendawan tersebut yang meliputi kerapatan, viabilitas dan patogenitasnya terhadap hama sasaran. Untuk itu telah dilakukan penelitian untuk mengetahui mutu dan keefektifan agens pengendali hayati M. anisopliae isolat Kalimantan Tengah terhadap O. rhinoceros. Pengujian dilakukan di Laboratorium Hama Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) dan di sekitar rumah kasa di Balittro, Bogor. Isolat cendawan M. anisopliae yang digunakan berasal dari Kalteng, sedangkan larva O. rhinoceros berasal dari Yogyakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Cendawan M. anisopliae isolat Kalteng memiliki kerapatan konidia di atas 108, sedangkan viabilitasnya di atas 90%. Patogenisitas terhadap larva O. rhinoceros > 50%. Karakter ini menunjukkan mutu yang baik dari cendawan tersebut sebagai agens pengendali hayati. Cendawan M. anisopliae isolat Kalteng pada konsentrasi 106 dan 108 dapat mematikan 90% larva O. rhinoceros instar 3 pada kondisi lapangan. Sehingga kedua konsentrasi tersebut dapat digunakan dalam mengendalikan O. rhinoceros di lapangan.. Kata Kunci: viabilitas, patogenitas, kerapatan konidia, M. anisopliae, kelapa
ABSTRACT
Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae) is an importan pest on coconut trees. Control of O. rhinoceros can be done in various ways, such as by physical, mechanical, biological, and chemical. The fungus Metarhizium anisopliae is a biological agent that can suppress the development of the O. rhinoceros . Effectiveness of M. anisopliae fungus is largely determined by the quality/grade conidia of the fungus consist of its density, viability and patogenicity against the target pest. For that, studies have been conducted to determine the quality and effectiveness biological control of M. anisopliae isolates Kalteng (Central Kalimantan) against O. rhinoceros. Tests conducted in the Entomology Laboratory of Research Institute for Spices and Medicinal Crops (Balittro), and around the home screen in Balittro, Bogor. The fungus M. anisopliae isolates originating from Central Kalimantan (Kalteng), while the larvae of O. rhinoceros from Yogyakarta. The results showed that the fungus conidia M. anisopliae isolates Kalteng has a density of over 108, while the viability above 90%. Pathogenicity to larvae of O. Rhinoceros > 50%. This character indicates a good quality of these fungi as biological control agent. The fungus of M. anisopliae isolates Kalteng at concentrations of 106 and 108 can killed up to 90% third instar O. rhinoceros larvae in field conditions. So both these concentrations can be used in the control of O. rhinoceros in the field. Keywords: viability, patogenicity, density of conidia, M. anisopliae, coconut
Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 79 - 88
80
PENDAHULUAN
Hama Oryctes rhinoceros L. (Coleoptera:
Scarabaeidae) dikenal sebagai kumbang badak
atau kumbang tanduk. Kumbang ini merupakan
hama utama tanaman kelapa dan kelapa sawit
(Erawati dan Wardati, 2016); Mawikere et al., 2006;
Sambiran dan Hosang, 2007). Di Indonesia hama
ini merupakan hama utama tanaman kelapa, di
Jawa utamanya menyerang tanaman kelapa,
sedang di luar Jawa selain menyerang
tanaman kelapa hama ini menyerang kelapa
sawit. Hama ini menyerang tanaman kelapa sawit
sejak tahap pra-pembibitan hingga tahap tanaman
menghasilkan. Bahkan, ada sekitar 46 jenis
tanaman diketahui sebagai inang minor dari hama
tersebut, seperti aren, pinang, sagu, agave, nanas,
pisang, dan lain-lain (Quitugua, 2010).
Di Indonesia, kemunculan kumbang dari
famili Scarabaeidae, termasuk O. rhinoceros
umumnya terjadi setiap tahun pada awal musim
penghujan yaitu sekitar bulan Oktober. Kumbang
ini aktif pada malam hari, baik untuk melakukan
perkawinan maupun aktivitas makan. Pada
tanaman kelapa, kumbang makan pucuk sehingga
kerusakan yang diakibatkannya terlihat saat daun
membuka. Daun memperlihatkan bentuk segitiga
guntingan daun seperti huruf V. Serangan berat
dapat menyebabkan kematian tanaman. Kematian
tanaman akan lebih cepat jika terdapat serangan
lanjutan dari organisme pengganggu lain seperti
kumbang Rhynchophorus ferrugineus, bakteri, atau
cendawan yang menyebabkan pembusukan
tanaman.
Serangan O. rhinoceros setiap tahunnya
mengakibatkan kerugian yang cukup besar pada
tanaman kelapa. Sementara itu, serangan pada
tanaman sawit muda menyebabkan penurunan
produksi tandan buah segar (TBS) sebesar 69%
pada tahun pertama, bahkan menyebabkan
kematian tanaman muda sebesar 25% (Pusat
Penelitian Kelapa Sawit, 2008).
Pengendalian O. rhinoceros dapat
dilakukan dengan berbagai cara yaitu secara fisik,
mekanik, hayati, dan kimiawi. Untuk menekan
populasi kumbang, pengendalian umumnya
dilakukan terhadap larvanya. Hama O. rhinoceros
biasanya dijumpai pada tempat
perkembangbiakan berupa bahan organik seperti
kotoran ternak, limbah penggergajian, sekam padi,
sampah yang telah melapuk, tunggul kelapa, dan
bahan organik lainnya (Mulyono, 2008). Dalam
pengendalian hama tersebut, petani umumnya
masih mengandalkan cara kimiawi (insektisida).
Selain menimbulkan dampak buruk terhadap
lingkungan seperti munculnya hama sekunder,
resistensi hama, dan terbunuhnya musuh alami,
aplikasi insektisida kimiawi meninggalkan residu
pada produk kelapa atau lingkungan. Dalam
perlindungan tanaman sebaiknya dilaksanakan
dengan menerapkan sistem Pengendalian Hama
Terpadu (PHT) dengan menekankan pada
pengendalian secara hayati. Pengendalian dengan
cara hayati ini selain efektif, dapat juga untuk
mengurangi penggunaan insektisida. Salah satu
jenis cendawan patogen serangga O. rhinoceros
yang potensial, yaitu Metarhizium anisopliae
(Moniliales: Moniliaceae).
Cendawan M. anisopliae mampu mematikan
larva (bersifat larvasidal), karena menghasilkan
cyclopeptida, destrusin, dan desmethyldestrusin.
Destrusin berpengaruh terhadap organel sel target
seperti mitokondria, retikulum endoplasma, dan
membran nukleus yang menyebabkan paralisa sel
dan kelainan fungsi lambung tengah, tebulus
malphigi, hemosit, dan jaringan otot (Widayanti
dan Muyadihardja, 2004).
Penelitian dan penggunaan langsung
M.anisopliae di lapangan dalam pengendalian O.
rhinoceros sudah banyak dilakukan, mulai dari
eksplorasi dan seleksi strain-strain M.anisopliae
(Myles, 2002) hingga efikasi formulasi M. anisopliae
terhadap O. rhinoceros (Manurung et al., 2012;
Sihombing et al., 2014), maupun efikasi kombinasi
M.anisopliae dengan nematoda entomopatogen
(Indriyanti et al., 2017) , dan efikasi kombinasi
feromon dengan M.anisopliae (Witjaksono et al.,
2018).Penggunaan Isolat M. anisopliae akan lebih
efektif apabila isolat yang digunakan berasal dari
spesies serangga inang yang sama (Bintang et al.,
2018). Pada beberapa kasus jika dilakukan di
lapangan dalam skala yang luas, hasilnya kurang
memuaskan. Hal ini dapat disebabkan oleh
penggunaan isolat yang bermutu rendah, belum
teruji efikasinya dan cara penggunaannya yang
kurang tepat. Oleh sebab itu, sebelum suatu isolat
cendawan patogen diimplementasikan secara luas
Uji Mutu Dan Keefektifan Metarhizium Anisopliae Isolat Kalteng Terhadap Oryctes Rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae) (Siswanto dan I.M. Trisawa)
81
di lapangan perlu diuji mutu dan efikasinya
terhadap hama sasaran.
Cendawan M. anisopliae dapat diproduksi
secara massal dan diformulasikan sebagai
bioinsektisida baik dalam bentuk padat maupun
cair (Mulyono, 2008). Cendawan Metarhizium sp.
dapat diproduksi secara massal pada media instan,
seperti SDB (Saborroud Dextrose Broth) atau SDA
(Saborroud Dextrose Agar) (Prayogo et al., 2005).
Penelitian ini merupakan hasil uji mutu dan
keefektifan cendawan M. anisopliae isolat Kalteng
terhadap O. rhinoceros. Tujuannya adalah
mengetahui mutu dan keefektifan agens
pengendali hayati M. anisopliae isolat Kalteng
terhadap larva O. rhinoceros.
BAHAN DAN METODE
Pengujian dilakukan di Laboratorium Hama
Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat
(Balittro), dan lapang di sekitar rumah kasa di
Balittro, Bogor. Cendawan M. anisopliae yang diuji
adalah isolat yang berasal dari koleksi Dinas
Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah,
sedangkan larva O. rhinoceros berasal dari
pertanaman kelapa di Yogyakarta. Alat yang
digunakan terdiri dari mikroskop,
haemocytometer, gelas penutup haemocytometer,
handcounter, alat timbang analitik, magnetic stirer,
erlenmeyer 100 ml dan 500 ml, gelas ukur, pipet 1
ml, sendok sampling, dan semprotan tangan.
Pengujian mutu M. anispliae dilakukan
terhadap uji kerapatan konidia, uji viabilitas
konidia, dan uji patogenisitas pada serangga uji.
Cendawan M. anisopliae pada tahap berikutnya
dilakukan diuji keefektifannya terhadap O.
rhinoceros.
Kerapatan Konidia
Konidia M. anisopliae pada media jagung
ditimbang sebanyak 1 g menggunakan timbangan
elektrik, kemudian dimasukkan ke dalam tabung
gelas dan ditambah aquades 10 ml. Larutan M.
anisopliae kemudian dikocok menggunakan
magnetic stirer selama 15 menit.
Sebanyak 1ml suspensi konidia M.
anisopliae diteteskan secara merata mengunakan
pipet pada bidang hitung haemocytometer hingga
memenuhi kanal. Didiamkan 1 menit agar posisi
stabil. Pengamatan dilakukan di bawah mikroskop
dengan perbesaran 400 kali . Konidia dihitung
pada lima kotak hitung menggunakan hand
counter. Setiap kotak hitung memiliki 16 kotak
kecil-kecil. Perlakuan yang sama dilakukan hingga
dua kali.
Kerapatan konidia dihitung dengan rumus
sebagai berikut:
t x d
S = -------------- 106
0,25 x n
S = Kerapatan konidia/ml
t = Jumlah konidia yang diketahui
d = Tingkat pengenceran
n = Jumlah kotak yang dihitung
0,25 adalah tingkat koreksi
Viabilitas Konidia
Sebanyak 0,01 ml suspensi konidia M.
anisopliae (kerapatan 109) diteteskan pada media
PDA dalam cawan petri, kemudian diinkubaskan
selama 24 jam pada suhu kamar. Pengamatan
dilakukan menggunakan mikroskop pada
perbesaran 400 x, dihitung jumlah konidia yang
berkecambah dan yang tidak berkecambah.
Pengamatan diulang tiga kali.
Viabilitas konidia M. anisopliae dihitung
dengan rumus sebagai berikut:
Σ KB
VK = ------------------- x 100%
Σ KB + KTB
VK = Viabilitas konidia
KB = Konidia yang berkecambah
KTB = Konidia yang tidak berkecambah
Patogenisitas pada Serangga Uji di laboratorium
Sebanyak 20 larva O. rhinoceros diletakkan
pada wadah plastik berukuran 15 x 21 cm yang
telah diisi pakan. Larva kemudian disemprot
dengan suspensi konidia M. anisopliae (kerapatan
konidia 109). Perlakuan uji patogenisitas diulang
tiga kali. Pengamatan dilakukan setiap hari
terhadap larva uji yang mati. Persentase kematian
Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 79 - 88
82
larva O. rhinoceros dihitung dengan rumus sebagai
berikut :
SM
PK = --------- x 100%
SU
PK = Persentase kematian serangga uji
SM = Serangga uji terinfeksi
SU = Total serangga uji yang diamati
Pengujian Lapangan
Pada pengujian lapangan, cendawan M.
anisopliae isolat Kalteng dibiakkan pada media
PDA sebagai biakan murni selama dua minggu.
Selanjutnya cendawan dibiakkan pada media
jagung selama dua minggu untuk keperluan
aplikasi pada larva O. rhinoceros instar 3 yang
diperoleh dari lapangan. Setiap 10 larva yang
terpilih ditempatkan pada kotak serangga yang
sudah diisi dengan media tanah dan serbuk
cocopit.
Perlakuan konsentrasi cendawan M.
anisopliae isolat Kalteng yang digunakan adalah
kerapatan konidia 108, 106, 104, 102/ml dan air
sebagai kontrol. Penelitian disusun dalam
Rancangan Acak Kelompok dengan lima ulangan.
Setiap perlakuan disemprotkan ke media dan
larva pada setiap kotak serangga. Aplikasi
cendawan M. anisopliae isolat Kalteng dilakukan
hanya satu kali. Kotak ditempatkan di sekitar
tanaman di luar rumah kasa dan dinaungi paranet.
Pengamatan dilakukan mulai satu hari
setelah aplikasi (HSA) sampai tidak ditemukan
lagi larva yang mati. Parameter yang diamati
adalah tingkat kematian larva O. rhinoceros
dihitung dengan rumus sebagai berikut :
SM
PK = --------- x 100%
SU
PK = Persentase kematian serangga uji
SM = Serangga uji terinfeksi
SU = Total serangga uji yang diamati
Analisis Data
Data pengaruh perlakuan terhadap waktu
kematian awal dan tingkat kematian larva O.
rhinoceros dianalisis dengan sidik ragam yang
dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (α =
0.05).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kerapatan Konidia
Hasil pengamatan kerapatan konidia M.
anisopliae isolat Kalteng (Gambar 1) menunjukkan
variasi jumlah konidia pada bidang hitung (Tabel
1). Dari hasil penghitungan diperoleh kerapatan
konidianya 2,73 x 109.
Gambar 1. Konidia M. anisopliae isolat Kalteng
Figure 1. M. anisopliae Conidia isolat Central
Kalimantan
Tabel 1. Kerapatan konidia M. anisopliae isolat
Kalteng
Table 1. M. anisopliae isolat Kalteng conidia density
Nomor
kotak
Box number
Bidang hitung
Calculating field
1 2
1 119 97
2 187 110
3 88 90
4 109 97
5 97 98
Jumlah 600 492
Kerapatan konidia yang diperoleh sangat
tinggi, hal ini menunjukkan kemampuan
Uji Mutu Dan Keefektifan Metarhizium Anisopliae Isolat Kalteng Terhadap Oryctes Rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae) (Siswanto dan I.M. Trisawa)
83
cendawan untuk mengembangkan diri. Kerapatan
konidia yang tinggi dan ditunjang oleh
kemampuan berkecambah yang juga tinggi, akan
menentukan kecepatan cendawan M. anisopliae
mematikan inangnya. Kerapatan konidia yang
tinggi akan mengakibatkan integumen serangga
lebih cepat rusak dan cairan tubuhnya lebih cepat
habis, sehingga serangga semakin cepat mati.
Viabilitas Konidia
Hasil pengamatan terhadap viabilitas
konidia M. anisopliae isolat Kalteng adalah 93,06%
(Tabel 2). Viabilitas konidia> 90% menunjukkan
bahwa isolat agens pengendali hayati tersebut
memiliki kemampuan tinggi dalam
perkembangannya. Secara umum, viabilitas
konidia M. anisopliae dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti suhu, kelembaban, pH, dan radiasi
sinar matahari. Faktor - faktor tersebut penting
untuk diperhatikan, sebab syarat suatu patogen
berhasil baik digunakan sebagai agensia
pengendali hayati yaitu harus memiliki viabilitas
yang tetap terpelihara atau tinggi.
Tabel 2. Viabilitas konidia M. anisopliae isolat
Kalteng
Table 2. Conidia viability M. anisopliae isolat Kalteng
Ulangan
repeat
Jumlah konidia
Amount of conidia
Viabilitas
konidia
(%)
Viability
of conidia
(%)
Berkecambah
Germinate
Tidak
berkecambah
Not Germinate
1 90 7 92,7
2 111 8 93,2
3 97 7 93,3
Rata rata 93,06
Suhu optimum untuk pertumbuhan M.
anisopliae berkisar antara 22-270C, sementara
kelembaban yang tinggi akan membentuk
kecambah di atas 90% dan semakin virulen.
Kelembaban udara lebih rendah dari 86%
menyebabkan virulensi cendawan menurun
(Bidochka et al., 2000).Viabilitas cendawan sangat
mempengaruhi pertumbuhan berikutnya.
Semakin banyak konidia berkecambah, semakin
cepat pertumbuhan cendawan tersebut (Prayogo et
al., 2005).
Patogenisitas pada Serangga Uji di laboratorium
Hasil pengamatan uji patogenisitas pada
larva O. rhinocereos menunjukkan bahwa sebanyak
60% larva terinfeksi M. anisopliae isolat Kalteng
(Gambar 1). Patogenisitas yang hanya 60% ini,
dapat disebabkan oleh faktor aplikasi yang
dilakukan hanya satu kali dan faktor lain seperti
larva mengalami ganti kulit, sehingga konidia
yang telah menempel pada kulit inang ikut
terlepas. Hasil ini menunjukkan gambaran awal
kemampuan patogenisitas M. anisopliae isolat
Kalteng.
Gambar 1. Larva O. rhinoceros yang terinfeksi M.
anisopliae isolat Kalteng
Figure 1. O. rhinoceros larvae infected by M. anisopliae
isolat Kalteng
Pengujian Lapangan
Hasil pengujian menunjukkan bahwa
kematian awal larva O. rhinoceros akibat perlakuan
cendawan M. anisopliae isolat Kalteng dimulai
antara 4,2 ± 0,45 sampai 5,6 ± 2,19 HSA (Tabel 3).
Di antara perlakuan konsentrasi M. anisopliae isolat
Kalteng tidak menunjukkan perbedaan yang nyata
terhadap waktu kematian awal O. rhinoceros, tetapi
semua perlakuan berbeda nyata dibandingkan
dengan kontrol.
Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 79 - 88
84
Tabel 3. Waktu kematian awal O. rhinoceros(x ± SD)
pada perlakuan konsentrasi M. anisopliae
Table 3. Time of death O. rhinoceros(x ± SD) on
treatment of M. anisopliae concentration
PerlakuanM.
anisopliae (konidia/ml)
Treatment of M.
anisopliae (conidia/ml)
Waktu kematian awal
(HSA)*)
Time of death
108 4,4 ± 0,89 a
106 4,2 ± 0,45 a
104 4,8 ± 0,84 a
102 5,6 ± 2,19 a
Kontrol 0,0 ± 0,00 b *)Angka dalam kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak
berbeda nyata (uji jarak berganda Duncan, α = 0.05)
The numbers in the column followed by the same letters are not
significantly different (Duncan's multiple distance test, α = 0.05)
Waktu yang dibutuhkan dalam
menimbulkan kematian serangga uji, berada pada
kisaran yang umum terjadi pada pengujian
cendawan patogen serangga. Beberapa hasil
pengujian bahkan menghasilkan waktu kematian
lebih cepat, bergantung pada instar serangga yang
diuji dan penambahan suspensi tertentu pada
media tumbuh cendawan yang berfungsi untuk
meningkatkan patogenisitas. Sebagai contoh, hasil
penelitian Sambiran dan Hosang (2007)
menghasilkan kematian larva O. rhinoceros instar 1
pada 2 HSA akibat terinfeksi M. anisopliae yang
dibiakkan dalam media air kelapa. Secara umum,
waktu dan persentase kematian serangga
ditentukan oleh berbagai faktor seperti
patogenisitas, media tumbuh, jenis dan instar
serangga, kerapatan konidia, waktu dan frekuensi
aplikasi, ketahanan serangga terhadap senyawa
toksin patogen, dan faktor lingkungan (Prayogo et
al., 2005; Surtikanti dan Yasin, 2009; Manurung et
al., 2012).
Cendawan M. anisopliae isolat Kalteng yang
digunakan dalam pengujian ini, memiliki
kerapatan dan viabilitas konidia yang baik. Hasil
uji mutu yang dilakukan sebelumnya
menunjukkan bahwa isolat tersebut memiliki
kerapatan konidia 109 dengan viabilitas konidia
>90%. Karakter ini menunjukkan mutu yang baik
dari cendawan tersebut sebagai agens pengendali
hayati. Daya kecambah (viabilitas) cendawan
entomopatogen merupakan awal dari stadia
pertumbuhan cendawan sebelum melakukan
penetrasi ke integumen serangga. Oleh karena itu,
daya kecambah sangat menentukan keberhasilan
cendawan dalam pertumbuhan selanjutnya.
Kemampuan M. anisopliae isolat Kalteng
sebagai agens pengendali hayati ditunjukkan juga
pada persentase kematian larva O. rhinoceros,
yaitu berkisar antara 4 - 90% (Tabel 4).
Tabel 4. Tingkat kematian O. rhinoceros (x ± SD) pada perlakuan konsentrasi M. anisopliae
Tabel 4. Mortality rate of O. rhinoceros (x ± SD) on treatment M. anisopliae concentration
*)Angka dalam kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata (uji jarak berganda Duncan, α = 0.05)
The numbers in the column followed by the same letters are not significantly different (Duncan's multiple distance test, α = 0.05)
Konsentrasi Konidia
Conidia concentration
Tingkat kematian pada hari ke ..setelah aplikasi (%)*)
Mortality rate after application based on days (%)
4 5 6 7 8 9 10
108 12 ± 0,84a 14±5,48 ab 16 ± 5,48 ab 26 ± 11,40 ab 32± 8,37 ab 46 ±11,40 a 90 ± 7,07 a
106 14±8,94a 22±13,04 a 32±17,89 a 36±21,68 a 42± 24,90 a 50 ± 21,21 a 90 ±7,07 a
104 4 ±5,47b 14±8,94 ab 20 ± 0,00 ab 26±5,47 ab 40±7,07 a 46±11,40 a 68±13,04 b
102 6 ±5,48b 6 ± 0,55 ab 6 ± 5,48b 6 ± 5,48b 26 ± 8,94ab 32± 4,47a 32± 4,47c
Kontrol 0 ±0,00 b 0 ± 0,00 b 0± 0,00 b 0 ± 0,00 b 0± 0,00 c 0 ± 0,00 b 0± 0,00 d
Buletin Palma Volume 19 No. 1, Juni 2018: 27 - 32
85
Berdasarkan Tabel 4, cendawan M. anisopliae
isolat Kalteng pada konsentrasi 106 dan 108 mampu
mematikan uret O. rhinoceros instar 3 sampai 90%
dan secara statistik memiliki kemampuan yang
sama dalam menimbulkan kematian serangga
tersebut sampai akhir pengamatan. Secara teoritis,
semakin tinggi kerapatan konidia suatu cendawan,
maka semakin tinggi daya infeksi cendawan
tersebut terhadap serangga (Hasnah et al., 2012;
Prayogo et al., 2005). Hal ini didasarkan bahwa
pada konsentrasi M. anisopliae yang lebih tinggi
mengakibatkan jumlah konidia cendawan yang
masuk ke dalam tubuh serangga semakin banyak,
dibandingkan dengan perlakuan yang jumlah
konidianya lebih sedikit. Pada konsentrasi rendah,
cendawan belum mampu menguraikan lapisan
khitin dan lemak dari kulit serangga sehingga
penetrasi dan infeksi tidak terjadi (Susanti et al.,
2013). Beberapa hasil penelitian menunjukkan
efikasi M. anisopliae terhadap penekanan populasi
serangga hama. Cendawan M. anisopliae pada
konsentrasi 108 menyebabkan kematian O.
rhinoceros sebesar 81,61% (Mulyono, 2007) dan
100% terhadap rayap Coptotermes curvignathus
(Khairunnisa et al., 2014), sedangkan konsentrasi
107 dan 108 menyebabkan kematian Spodoptera
litura masing-masing sebesar 83,33% dan 100%
(Prayogo et al., 2005; Tobing et al., 2015). Menurut
Marheni et al. (2013) konsentrasi konidia dalam
biakan M. anisopliae yang baik adalah yang
mengandung 108 atau lebih dalam setiap gram
jagung.
Isolat M. anisopliae yang digunakan dalam
pengujian ini adalah sama dan dikembangkan
pada media jagung yang sama, sehingga tingkat
kematian larva yang bervariasi dari setiap
perlakuan dapat disebabkan oleh
proses/mekanisme infeksi cendawan tersebut dan
kemampuan daya tahan serangga uji. Mekanisme
infeksi cendawan M. anisopliae mematikan larva
dengan dua cara yaitu melalui integumen dan
mulut/saluran pencernaan. Jika cendawan M.
anisopliae mematikan larva melalui mulut/saluran
pencernaan, maka larva akan cepat mati.
Kematian larva lebih lambat jika infeksi M.
anisopliae melalui integumen, sebab kondia
cendawan entomopatogenik umumnya
memerlukan waktu 2 hari sampai 2 minggu untuk
berkecambah (Tanada dan Kaya, 2013).
Kandungan protein dalam jagung dapat
berperan dalam perkembangan (sporulasi)
cendawan entomopatogen. Dengan tercukupinya
M. anisopliae akan protein dari tepung jagung,
menyebabkan proses sintesis enzim yang
dibutuhkan oleh M. anisopliae berjalan baik,
sehingga kinerja enzim dalam penetrasi kutikula
larva juga baik dan pada akhirnya terjadi infeksi
awal lebih cepat.
Larva yang digunakan dalam pengujian
ini berasal dari lapangan bukan populasi hasil
pembiakan di laboratorium karena tingkat
kesulitan memperbanyak serangga tersebut di
laboratorium. Larva hasil koleksi dari lapangan
kemudian disortasi sesuai ukuran dan
diperkirakan umumnya termasuk dalam instar 3
dengan sedikit variasi umur. Larva O. rhinocerus
instar 3 biasanya merupakan instar paling aktif
dan paling rakus makan perakaran sehingga
pengujian pengendalian umumnya difokuskan
pada instar ini, karena selain untuk menekan
kehilangan hasil, instar 3 juga sudah cukup kuat
beradaptasi dengan lingkungan. Semakin tua
umur larva, daya tahan terhadap pengaruh luar
termasuk serangan patogen biasanya semakin
kuat. Hasil penelitian Salim dan Hosang (2013)
menunjukkan bahwa kematian Larva instar 1 O.
rhinoceros lebih cepat dibandingkan dengan larva
instar 2 dan 3, meskipun pada akhirnya ketiga
instar tersebut mati 100% pada 2 minggu setelah
aplikasi.
Larva yang terinfeksi cendawan M.
anisopliae isolat Kalteng, awalnya ditandai dengan
gejala munculnya miselia/koloni cendawan
berwarna putih yang kemudian akan berubah
menjadi hijau gelap. Pada beberapa perlakuan
terdapat larva dengan gejala pergerakan lamban,
nafsu makan berkurang, dan tubuh larva
berwarna coklat kehitaman. Hal ini diduga selain
infeksi, larva O. rhinoceros juga mengalami proses
melanisasi yang merupakan suatu bentuk
pertahanan tubuh serangga melawan patogen.
Hal ini berbeda dengan tubuh larva pada kontrol
yang tetap berwarna putih kekuningan. Larva
yang mati menunjukkan gejala naik ke
permukaan. Hal ini merupakan suatu ciri larva
terinfeksi cendawan patogen yang dikenal dengan
istilah summit disease. Fenomena ini disinyalir
Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 79 - 88
86
sebagai usaha untuk menyelamatkan populasi lain
yang sehat dari infeksi cendawan entomopatogen.
KESIMPULAN DAN SARAN
Cendawan M. anisopliae isolat Kalteng memiliki kerapatan konidia di atas 108, sedangkan viabilitasnya di atas 90%. Patogenisitas terhadap larva O. rhinoceros > 50%. Karakter ini menunjukkan mutu yang baik dari cendawan tersebut sebagai agens pengendali hayati.
Cendawan M. anisopliae isolat Kalteng pada konsentrasi 106 dan 108 dapat mematikan 90% larva O. rhinoceros instar 3 pada kondisi lapangan. Kedua konsentrasi tersebut dapat digunakan dalam mengendalikan O. rhinoceros di lapangan. Cendawan M. anisopliae isolat Kalteng sebaiknya secara berkala terus dimurnikan atau dibiakan pada media yang baru sebelum digunakan, agar viabilitas dan patogenitasnya yang tinggi tetap terjaga.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada
Ir. Suhariyoso, MP. Kepala UPTD Perlindungan
Perkebunan dan Pengawasan Benih Dinas
Perkebunan Propinsi Kalimantan Tengah yang
telah menyediakan cendawan M. anisopliae dari
Kalteng, Saudara Tri Eko Wahyono dan Endang
Sugandi, Teknisi Litkayasa pada Kelompok
Peneliti Hama Tumbuhan, Balai penelitian
tanaman Rempah dan Obat, Bogor yang telah
membantu dalam persiapan dan pelaksanaan
penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Bidochka, M.J., A.M. Kamp, and J.N.A. Decroos.
2000. Insect pathogenic fungi: from genes to populations. Fungal Pathol 42:171-193.
Bintang, A.S., A. Wibowo, dan Tri Harjaka. 2015. Keragaman gentik Metharizium anisopliae dan virulensi pada larva kumbang badak (Oryctes rhinoceros). Perlindungan Tanaman Indonesia 19(1): 12-18.
Erawati, D.N. dan I. Wardati, 2016. Teknologi Pengendalian Hayati Methahizium anisopliae dan Beauveria bassiana terhadap Hama Kumbang Kelepa Sawit (Oryctes rhinoceros). Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016.
Hasnah, Sussana, dan S. Husin. 2012. Keefektifan cendawan Beauveria bassiana Vuill. terhadap mortalitas kepik hijau Nezara viridula L. pada stadia nimfa dan imago. J. Floratek 7:13-24.
Hosang, M.L.A., A.A. Lolong, M. Darwis, dan D. Sitepu. 1989. Pengendalian hayati Oryctes rhinoceros L. dengan Baculovirus oryctes dan Metarhizium anisopliae. Balai Penelitian Kelapa. Manado.
Indriyanti,D.R., P. Widiyaningrum, H.M. Slamet and Y.A. Maretta. 2017. Effectiveness of Metarhizium anisopliae and Entomopathogenic Nematodes to Control Oryctes rhinoceros Larvae in the Rainy Season. Pakistan Journal of Biological Sciences, 20 (7): 320-327.
Khairunnisa, A. Martina, dan Titrawani. 2014. Uji efektivitas jamur Metarhizium anisopliae Cps.T.A isolat lokal terhadap hama rayap Coptotermes curvignathus). JOM FMIPA 1(2):430-438.
Klinik Sawit. 2012. Hama Kelapa Sawit. http://www.kliniksawit.com. Diakses 20 Januari 2017.
Manurung, E.M., M.C. Tobing, L. Lubis, dan H. Priwiratama. 2012. Efikasi beberapa formulasi Metarhizium anisopliae terhadap larva Oryctes rhinoceros L. (Coleoptera: Scarabaeidae) di insektarium. Jurnal Online Agroekoteknologi 1(1):47-63.
Marheni, Hasanudin, Pinde, dan W. Suziani. 2013. Uji patogenesis jamur Metarhizium anisopliae dan jamur Cordyceps militaris terhadap larva penggerek pucuk kelapa sawit (Oryctes rhinoceros) (Coleoptera: Scarabaeidae) di Laboratorium. Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian USU.
Mawikere, J., J.C. Alouw, dan M.L.A. Hosang. 2006. Serangan Oryctes rhinoceros pada pertanaman kelapa di Jawa Timur. Buletin Palma.30:31-39.
Mulyono. 2008. Kajian patogenitas cendawan Metarhizium anisopliae terhadap hama Oryctes rhinoceros L. Tanaman kelapa pada berbagai teknik aplikasi. Tesis Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. 86 hal.
Uji Mutu Dan Keefektifan Metarhizium Anisopliae Isolat Kalteng Terhadap Oryctes Rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae) (Siswanto dan I.M. Trisawa)
87
Myles, T.G. 2002. Isolation of Metarhizium anisopliae (Deuteromycotina: Hyphomecetes) from Reticulitermes flavipes (Isoptera: Rhinotermitidae) with convenient methods for its culture and collection of conidia. Sociobiology 40:257-264
Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 2008. Teknologi pengendalian hama dan penyakit pada kelapa sawit: Siap pakai dan ramah lingkungan. http://www.pustaka.litbang.pertanian.go.id/publikasi/wr271058.pdf November 2015
Prayogo, Y., W. Tengkano, dan Marwoto. 2005. Prospek cendawan entomopatogen Metarhizium anisopliae untuk mengendalikan ulat grayak Spodoptera litura pada kedelai. J. Litbang Pertanian 24:19-26.
Salim dan M.L.A. Hosang. 2013. Serangan Oryctes rhinoceros pada kelapa kopyor di beberapa sentra produksi dan potensi Metarhizium anisopliae sebagai musuh alami. Buletin Palma 14(1): 47-53.
Sambiran, W.J. dan M.L.A. Hosang. 2007. Patogenisitas Metarhizium anisopliae dari beberapa media air kelapa terhadap Oryctes rhinoceros L. Buletin Palma No.32: 1-11.
Sihombing, R.H., S. Oemry., dan L. Lubis. 2014. Uji efektivitas beberapa entomopatogen pada larva Oryctes rhinoceros L. (Coleoptera: Scarabaeidae) di laboratorium. Jurnal Online Akroekoteknologi 2(4):1300-1309.
Surtikanti dan M. Yasin. 2009. Keefektifan entomopatogenik Beauveria bassiana Vuill. dari berbagai media tumbuh terhadap Spodoptera litura F. (Lepidoptera: Noctuidae) di laboratorium. Balai Penelitian Tanaman Serelia. Prosiding Seminar Nasional Serelia.
Susanti, U., D. Salbiah, JH. Loah. 2013. Uji beberapa konsentrasi Metarhizium anisopliae (Metsch) Sorokin untuk mengendalikan hama kepik hijau (Nezara viridula L.) pada kacang panjang (Vigna sinensis). Jurnal Universitas Riau.
Tanada, Y. dan H.K. Kaya. 2013. Insect Pathology. San Diego Academic Press. Inc. Harcourt Brace Jovanovich, Publisher. New York.
Tobing, S.S.L., Marhaeni, dan Hasanudin. 2015. Uji efektivitas Metarhizium anisopliae Metch. dan Beauveria bassiana Bds. terhadap ulat grayak (Spodoptera litura F) pada tanaman kedelai (Glicyne max L.) di rumah kassa. Jurnal Agroekoteknologi 4(1):1659-1665.
Quitugua, R. 2010. Rhino beetles take aim at new palm species, an interview with Eradication Project Logistics Manager for the Department of Agriculture. Kuam News Network. Guam.
Widiyanti, N.L.P.M. dan Mulyadiharja. 2004. Uji
toksisitas jamur Metarhizium anisopliae
terhadap nyamuk Aedes aegypti. Media
Litbang Kesehatan 14(3):25-30. Witjaksono, Arman Wijonarko, Tri Harjaka, Irma
Harahap, dan Wahyu Budi Sampurno. 2018. Tekanan Metharhizium anisopliae dan feromon terhadap populasi dan tingkat kerusakan oleh Oryctes rhinoceros. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia 19(2): 73-79.
89
Implementasi Teknologi Pengendalian Hayati Hama Kelapa Thosea monoloncha Meyrick dengan Nuclear Polyhedrosis Virus (NPV)
Biological Control Technology Implementation on Coconut Pest Thosea monoloncha Meyrick Using Nuclear Polyhedrosis Virus (NPV)
FREDY LALA1, ANDRIKO N. SUSANTO2, MELDY L.A. HOSANG3, DECIYANTO S.4
1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku Utara Kompleks Pertanian Kusu, Kecamatan Oba Utara, Kota Tidore Kepulauan,
Provinsi Maluku Utara, Indonesia 2Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian
Jl. Harsono RM No. 3, Ragunan, Jakarta 12550 3Balai Penelitian Tanaman Palma
Jl. Raya Mapanget, PO BOX 1004, Manado 95001 4Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan
Jl. Tentara Pelajar 1, Kampus Penelitian Pertanian Cimanggu Bogor 16111 Email: [email protected]
Diterima 12 Maret 2018 / Direvisi 03 April 2018 / Disetujui 07 Desember 2018
ABSTRAK
Hama ulat api Thosea monoloncha (Limacodidae: Lepidoptera) telah menyerang tanaman kelapa di Pulau Tolonuo, Kabupaten Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara dengan intensitas kerusakan bervariasi dari ringan sampai sangat berat. Penelitian bertujuan untuk mengendalikan populasi hama ulat api T. monoloncha dan respon petani terhadap teknologi pemanfaatan Nucleo Polyhedrosis Virus (NPV). Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2014 sampai November 2015. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi ekstrak NPV dapat menurunkan populasi hama kelapa T. monoloncha, menurunkan intesitas kerusakan dari kerusakan sangat berat, berat dan sedang menjadi kerusakan ringan, meningkatkan jumlah pelepah dan buah kelapa dari 14 butir menjadi 45 butir per pohon. Respon petani terhadap berbagai aspek teknologi berada pada kisaran 63,5-97,5%.
Kata kunci: Kelapa, T. monoloncha, NPV, respon petani
ABSTRACT
The nettle caterpillars pest Thosea monoloncha (Limacodidae: Lepidoptera) has attacked the coconut plant in Tolonuo Island, North Halmahera district, North Maluku Province with the intensity of attacked varied from light minor damage to severe damage. This research purpose is to control the population of nettle caterpillars T. monoloncha and the response of farmers to technology using Nucleo Polyhedrosis Virus (NPV). The study was conducted from December 2014 to November 2015. The stages of this study are consisted of (a) observation of pest population T. monoloncha, (b) determination of plant damage intensity and (c) farmerd response to control technology. The results showed that the application of NPV extract can decrease the population of coconut pest T. monoloncha, the intensity of the damage decrease from severe, heavy and moderate to light damage. In additon, it also increase the amount of frond and coconut production from 14 to 45 nuts per tree. Farmers' response to various aspects of technology varied from 63.5-97.5%.
Keywords: Coconut, T. monoloncha, NPV, farmer response
Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 89 - 99
90
PENDAHULUAN
Produksi kelapa Kabupaten Halmahera
Utara dalam bentuk kopra, sebagian besar
diekspor dan sisanya untuk kebutuhan dalam
negeri. Data Karantina Tumbuhan dan Hewan
Kelas III Tobelo, Halmahera Utara tahun 2010-2014
menunjukkan ekspor kopra ke Filipina sebanyak
14.383.485-32.901.380 kg/tahun, sedangkan di
dalam negeri 13.464.000-50.349.110 kg/tahun
(Anonim, 2013). Jika harga kopra berlaku Rp
6.000/kg, maka dari ekspor tersebut menghasilkan
devisa antara Rp 86,3-197,4 milyar/tahun,
sedangkan dari perdagangan dalam negeri
memberi pemasukan sebesar Rp 80,8-302,1
milyar/tahun. Artinya, hanya dari kopra saja
Kabupaten Halmahera Utara sudah menghasilkan
pendapatan sebesar Rp 167,1-364,5 milyar/tahun.
Pendapatan akan semakin bertambah lagi jika
pemerintah daerah dapat mengoptimalkan produk
kelapa dengan program diversifikasi.
Keberhasikan pembangunan dan
pengembangan pertanian berbasis kelapa dibatasi
oleh beberapa faktor, salah satunya adalah
serangan hama dan penyakit tanaman. Hama
penting tanaman kelapa di Kabupaten Halmahera
Utara adalah Sexava coriacea, Oryctes rhinoceros,
Brontispa longissima, dan ulat api (Thosea
monoloncha). Hama ulat api T. monoloncha
(Limacodidae : Lepidoptera). Holloway et al. (1987)
melaporkan bahwa dari genus Thosea terdapat 28
spesies, salah satunya adalah T. monoloncha.
Ledakan populasi hama T. monoloncha
dilaporkan telah menyerang tanaman kelapa di
Pulau Tolonuo dengan intensitas kerusakan ringan
sampai sangat berat. Peningkatan populasi hama
sangat cepat sehingga merusak tanaman kelapa
dalam waktu beberapa minggu. Berdasarkan
pengamatan populasi hama sudah melebihi
ambang ekonomi (30 ekor per pelepah) sehingga
diputuskan untuk menggunakan insektisida
kimia. Namun pengendalian menggunakan
insektisida kimia membutuhkan biaya besar serta
dapat menimbulkan dampak negatif terhadap
lingkungan dan sekitarnya. Menurut Hasibuan et
al. (2002), penggunaan insektisida kimia berbahan
aktif permetrin menurunkan populasi hama Thosea
sp. sampai 100%. Tapi insektisida ini mereduksi
populasi kumbang penyerbuk utama Elaeidobius
kamerunikus dari 976 ekor/tandan (kontrol)
menjadi 12,5 ekor/tandan (konsentrasi 250 ppm).
Pada larva T. monoloncha yang semakin tua
kecenderungan penggunaan insektisida kimia
akan semakin tinggi. Kecenderungan tersebut
disebabkan karena pada umur tersebut (instar
lima) lapisan lilin yang menutupi tubuh larva
semakin tebal (Hendro dan Qayuun, 2012).
Pengendalian hama dengan memanfaatkan
ekstrak larva ulat terinfeksi NPV (Nucleo
Polyhedrosis Virus) lokal merupakan alternatif yang
dipilih karena selain murah, dapat dilakukan
petani, efektif dan ramah lingkungan.
Respon petani terhadap teknologi
pengendalian sangat penting karena akan
menentukan apakah teknologi diadopsi atau tidak
oleh petani. Sulitnya penerimaan petani terhadap
teknologi baru atau relatif baru yang disebabkan
ketidakpercayaannya terhadap teknologi tersebut
atau karena faktor budaya yang enggan menerima
inovasi teknologi dapat menjadi permasalahan
dalam proses adopsi teknologi (Ramadhani et al.,
2012 dalam Suratini et al., 2016). Upaya yang dapat
dilakukan untuk mengetahui bahwa petani
merespon teknologi yang diintroduksi yaitu
melalui penggalian dan inventarisasi semua
tanggapan, pendapat, dan jawabannya dalam
suatu kuesioner. Oleh karena itu pengkajian ini
bertujuan untuk mengendalikan populasi hama T.
monoloncha menggunakan musuh alami dan untuk
mengetahui respon petani terhadap teknologi.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan di Desa Tolonuo Utara,
Pulau Tolonuo, Kecamatan Tobelo Utara,
Kabupaten Halmahera Utara, Provinsi Maluku
Utara. Lokasi ini ditentukan secara purposive
karena merupakan pusat serangan hama T.
monoloncha. Pelaksanaan penelitian dilakukan pada
Desember 2014 sampai November 2015 dan
melibatkan petani kelapa Desa Tolonuo Utara.
Penelitian dilakukan melalui beberapa tahapan
kegiatan.
a. Pengamatan Populasi Hama
Teknologi Pengendalian Hayati dengan Nucleo Polyhedrosis Virus (NPV) Terhadap Hama Kelapa Thosea monoloncha Meyrick (Fredy Lala, et al)
91
Pengamatan terhadap populasi hama T.
Monoloncha dan intensitas kerusakan yang
ditimbulkannya pada tanaman kelapa dibagi
dalam tiga kategori, yaitu (1) tanaman belum
menghasilkan (TBM), (2) tanaman menghasilkan
dengan tinggi tanaman kurang dari 15 m (TM<15
m), dan (3) tanaman menghasilkan dengan tinggi
tanaman lebih dari 15 m (TM>15 m). Penentuan
jumlah tanaman pada masing-masing kelompok
dilakukan secara acak, masing-masing berjumlah
60 pohon sehingga total 180 pohon. Pengamatan
populasi hama dilakukan pada dua pelepah
(tengah dan pucuk) untuk tiap pohonnya sehingga
jumlah keseluruhan pelepah yang diamati adalah
360 buah.
b. Determinasi Intensitas Kerusakan Tanaman
Determinasi intensitas kerusakan tanaman
kelapa dilakukan dengan cara membandingkan
jumlah pelepah terserang ulat dengan jumlah
seluruh pelepah. Intensitas kerusakan tanaman
dikelompokkan berdasarkan persentase kerusakan
pelepah daun yaitu (1) Sehat, jika pelepah daun
tidak menunjukkan kerusakan; (2) Ringan, jika 1-
25% pelepah daun menunjukkan kerusakan; (3)
Sedang, jika 26-50% pelepah daun menunjukkan
kerusakan, (4) Berat, jika 51-75% pelepah daun
menunjukkan kerusakan, (5) Sangat berat, jika
>75-100% pelepah daun menunjukkan kerusakan
(Wagiman et al., 2012).
c. Respon Petani Terhadap Teknologi
Respon petani terhadap teknologi diukur
berdasarkan hasil wawancara pada 40 orang
petani responden yang dipilih secara acak di lokasi
pengkajian. Data yang diperoleh berupa data
kualitatif yang diberi skor (Likert) kemudian
ditabulasi dan dianalisis.
d. Parameter Pengamatan
Paramater pengamatan terdiri dari (a) jenis
dan deskripsi hama T. monoloncha dan musuh
alaminya, (b) populasi hama T. monoloncha pada
tanaman belum menghasilkan (TBM), tanaman
sudah menghasilkan dengan tinggi kurang dari 15
m (TM<15 m), dan tanaman sudah menghasilkan
dengan tinggi lebih dari 15 m (TM>15 m), (c)
intensitas kerusakan tanaman kelapa, dan (d)
jumlah pelepah dan produksi buah kelapa pada
tanaman menghasilkan (TM) yang terserang hama,
(e) respon petani terhadap teknologi.
e. Analisis Data
Analisis data terdiri dari (a) deskriptif,
untuk mengkategorikan intensitas kerusakan rata-
rata berdasarkan persentase kerusakan yang
ditimbulkan hama T. monoloncha, (b) anova, untuk
mengukur signifikansi populasi hama dan
intensitas kerusakan diantara tanaman (TBM,
BM<15 m dan TM>15 m) sebelum dan sesudah
perlakuan, (c) regresi, untuk mengukur hubungan
antara populasi hama T. monoloncha dan tingkat
kerusakan tanaman kelapa dengan persamaan: Y =
a + bX, dan (d) respon petani, menggunakan skala
(skor) Likert untuk mengetahui tanggapan petani
terhadap teknologi yang diintroduksi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Hama Ulat Api
Hama ulat api termasuk Famili Limacodidae
dan Ordo Lepidoptera. Dari genus Thosea terdapat
28 spesies (Holloway et al., 1987), salah satunya
yaitu Thosea monoloncha Meyrick (syn. T. moluccana
Roepke). Larva berbentuk oval, convex, hijau
muda dengan sebuah garis pada bagian dorsal,
memiliki 11 bulu berbentuk setaceous pada bagian
bawah tubuh. Pupa (kepompong) ditemukan
melekat pada dasar daun, pada batang dan
permukaan tanah dekat batang tanaman. Pupa
berukuran 8x12 mm, berwarna coklat tua, dan
keras, di dalamnya mengandung substrat. Hama
ini merupakan serangga aktif malam hari
(nocturnal) dan saat beristirahat pada siang hari
sayap imago terbuka.
Di alam larva spesies ini dapat diparasit
oleh Braconid Apanteles thoseae, dan pupanya oleh
Tachinid Austrophorocera grandis, dan sangat peka
terhadap entomopatogen Nucleo Polyhedrosis Virus
(NPV). NPV umumnya menyerang serangga ordo
Lepidoptera (86%), Hymenoptera (7%), dan
Diptera (3%). Proses masuknya virus ke tubuh
serangga sampai dipenuhinya sel-sel tubuh
serangga oleh virus berjalan antara 4 hari sampai 3
minggu tergantung pada jenis NPV, jenis serangga
inang, jumlah polihedra yang masuk, instar larva
yang mulai terinfeksi dan suhu. Apabila virus
telah masuk ke dalam tubuh serangga, polihedra
NPV akan larut dan pecah serta melepaskan
partikel-partikel virus yang kemudian memasuki
sel-sel bagian perut serangga dan akhirnya
memperbanyak diri. Setiap sel yang terinfeksi
Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 89 - 99
92
virus, nukleusnya membengkak dan dipenuhi oleh
masa padat yang disebut viroplan (Holloway et al.,
1987). Selain NPV, musuh alami lain dari hama
ulat api adalah B. thuriengiensis (Tarigan et al.,
2013), laba-laba jaring, laba-laba lompat, laba-laba
mata tajam, laba-laba serigala (Cendramadi dan
Wahyudyana, 2011), dan kepik Rhynocoris fuscipes
F. (Kembaren et al., 2014). Selain musuh alami,
golongan pestisida nabati seperti minyak sereh
dapat membunuh hama ulat jenis Gempinis
sebesar 98% (Adnyana et al., 2012).
Populasi Hama Ulat Api T. monoloncha
Pada pengamatan awal dari ketiga kategori
tanaman kelapa (TBM, TM tinggi <15 m, dan TM
tinggi >15 m) menunjukkan populasi hama
berbeda (Gambar 1). Populasi hama pada tanaman
belum menghasilkan (TBM) yaitu 26 larva
sehat/pohon dan 18 larva terinfeksi/pohon,
tanaman menghasilkan dengan tinggi <15 m yaitu
15 larva sehat /pohon dan 13 larva
terinfeksi/pohon sedangkan tanaman
menghasilkan dengan tinggi >15 m yaitu 5 larva
sehat/pohon dan 3 larva terinfeksi /pohon. Selang
bulan Mei-Juni 2015 atau 5-6 bulan sesudah
aplikasi ekstrak NPV, populasi hama ulat api T.
monoloncha pada ketiga kategori tanaman sudah
sangat rendah. Kondisi dimana populasi hama ulat
api telah terkendali oleh musuh alami (NPV) itu
terjadi sampai akhir pengamatan (November
2015).
Penurunan populasi hama ulat api T.
monoloncha pada tanaman belum menghasilkan
(TBM) dan tanaman menghasilkan (TM)
dideskripsikan seperti grafik pada Gambar 1.
Ketiga grafik tersebut menunjukkan kemiripan
pola penurunan populasi hama dalam interval
waktu tertentu. Aplikasi ekstrak NPV yang
mengandung strain virulen dapat menginfeksi ulat
api yang sehat sehingga populasinya per pohon
menurun. Strain NPV yang virulen dapat
diperoleh dari NPV yang berasal dari spesies
hama yang sama. NPV sangat selektif dan efektif,
NPV dari hama T. monoloncha hanya efektif untuk
hama tersebut dan tidak efektif untuk jenis ulat api
atau ulat Limacodidae lainnya. Sambiran et al.
(2016), menyatakan bahwa musuh alami yang
potensial seperti NPV lokal yang berasal dari T.
monoloncha dapat menekan populasi hama ulat api
T. monoloncha sampai 96%.
Jika dilihat berdasarkan umur tanaman
kelapa, menunjukkan bahwa preferensi hama ulat
api lebih tinggi pada daun tanaman belum
menghasilkan (TBM) dibandingkan daun tanaman
menghasilkan (TM). Ini menunjukkan bahwa
hama lebih memilih makanan relatif lebih lunak
yang ada pada tanaman belum menghasilkan.
Daun pada tanaman belum menghasilkan lebih
lunak dibandingkan dengan daun tanaman telah
menghasilkan. Hal tersebut disebabkan karena
lapisan lilin pada daun tanaman yang telah
menghasilkan lebih tebal sehingga larva kesulitan
dalam memakannya.
(a)
(b)
(c)
Teknologi Pengendalian Hayati dengan Nucleo Polyhedrosis Virus (NPV) Terhadap Hama Kelapa Thosea monoloncha Meyrick (Fredy Lala, et al)
93
Gambar 1. Populasi T. monoloncha; (a) tanaman belum menghasilkan (TBM); (b) tanaman
menghasilkan (TM) dengan tinggi < 15 m; (c) tanamana menghasilkan (TM) dengan tinggi > 15 m
Figure 1. Population of T. monoloncha; (a) immature palm plantations (TBM); matured palm plantation (TM) with high <15 m; (c) mature palm plantations (TM) with high >15 m
Selain keras lunaknya daun, tinggi tanaman
juga memberi pengaruh terhadap preferensi hama.
Pada tanaman belum menghasilkan, kerusakannya
lebih berat dibandingkan tanaman telah
menghasilkan yang lebih tinggi. Semakin tinggi
tanaman, intensitas kerusakan tanaman semakin
rendah. Ini memiliki hubungan dengan perilaku
hama T. monoloncha dalam beradaptasi dengan
lingkungannya. Pada tanaman muda, hama lebih
mudah mencapai daun tanaman, sebaliknya pada
tanaman yang tua jaraknya lebih jauh. Dibutuhkan
energi yang lebih besar untuk mencapai daun
tanaman yang telah menghasilkan dibandingkan
daun tanaman muda. Selain itu hama T. monoloncha
lebih terhindar dari cahaya matahari saat
memanjat tanaman muda dibandingkan tanaman
telah menghasilkan.
Analisis populasi hama T. monoloncha pada
awal dan akhir pengamatan menunjukkan
perbedaan yang nyata (taraf α=0.05) (Tabel 1).
Selain faktor ekternal, maka faktor internal yang
menyebabkan terjadinya perbedaan yang
signifikan populasi hama T. monoloncha pada awal
dan akhir pengamatan adalah efektifitas kinerja
musuh alami (NPV). NPV sangat persisten di alam
(tanah) dan satu kali penyemprotan sangat
potensial menjadi awal pembentukan koloni
(epizootic) di alam yang efektif mengendalikan
inang sepanjang musim secara alami (Anonim,
2012).
Tabel 1. Rata-rata populasi larva T. monoloncha pada awal dan akhir pengamatan Table 1. Average population of T. monoloncha larvae at the beginning and the end of observation
Uraian Description
Status Ulat Api Nettel Caterpilllar
Status
Populasi (larva/pelepah) Population (larvae/frond)
Awal Pengamatan (Desember 2014)
Beginning of Observation (December 2014)
Akhir Pengamatan (November 2015) End of Observation (November 2015)
Tanaman belum menghasilkan (TBM) Immature palm
Sehat Healthy
26.33 a 0.00 b
Terinfeksi Infected
17.60 a 0.00 b
Tanaman menghasilkan (TM) dengan tinggi < 15 m Matured Palm height <15 m
Sehat Healthy 14.53 a 0.00 b
Terinfeksi Infected 12.60 a 0.00 b
Tanaman Sehat 4.47 a 0.00 b
Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 89 - 99
94
menghasilkan (TM) dengan tinggi > 15 m Matured palm height >15m
Healthy
Terinfeksi Infected 3.07 a 0.00 b
Keterangan : Angka yang diikuti huruf berbeda pada baris yang sama berbeda nyata pada taraf 5% dengan uji BNT Note : Number followed by different letters at the same line are not sifnificant difference at 5% of BNT
Intensitas Kerusakan Tanaman Kelapa
Perubahan intensitas kerusakan tanaman
kelapa diamati berdasarkan status kerusakan awal,
kemudian diikuti perkembangannya selama
sepuluh bulan. Intensitas kerusakan sangat berat
(SB) dan berat (B) menunjukkan penurunan cukup
tajam sedangkan kerusakan sedang (S) dan ringan
(R) menunjukkan penurunan yang melandai
(Gambar 2). Kemampuan tanaman kelapa untuk
pulih terhadap kerusakan yang terjadi akibat
serangan hama T. monoloncha dapat diterangkan
lebih jelas berdasarkan perubahan warna kotak
seperti pada Tabel 2. Tanaman kelapa dengan
intensitas kerusakan sangat berat, saat
pengamatan ketiga dan keempat statusnya
berubah menjadi berat, dan saat pengamatan
kelima dan keenam status kerusakan turun
menjadi sedang. Tanaman kelapa dengan status
kerusakan berat berubah menjadi sedang dan
ringan pada pengamatan ketiga dan keenam.
Tanaman kelapa dengan status kerusakan sedang,
berubah menjadi ringan saat pengamatan keenam
sedangkan tanaman terserang ringan statusnya
tetap tetapi dengan nilai intensitas kerusakan yang
semakin menurun.
Tingginya penurunan tingkat kerusakan
pada tanaman kelapa yang terserang berat dan
sangat berat (berarti terjadi pemulihan), antara lain
disebabkan karena tanaman masih berumur muda
dan belum menghasilkan (TBM) sehingga energi
yang diperoleh dari pemupukan lebih terfokus
pada pertumbuhan dan perkembangan vegetatif
tanaman. Sebaliknya, pada tanaman dengan
kerusakan sedang sampai ringan yang adalah
tanaman sudah menghasilkan (TM), penggunaan
energi yang diperoleh terbagi yaitu selain untuk
pertumbuhan vegetatif tanaman juga untuk
pembentukan bunga dan buah kelapa. Itulah
sebabnya penurunan tingkat kerusakan menjadi
lebih lambat karena terbaginya hasil fotosintesa.
Tabel 2. Perkembangan status kerusakan tanaman kelapa dalam sebelas bulan pengamatan
Table 2. The progression of coconut damage status within eleven months of observation
Status Kerusakan
Damage Status
Pengamatan (Observation)
Des. 14 Feb. 15 Apr. 15 Jun. 15 Agt. 15 Okt 15
Sangat
berat(Severe) 87.00 78.70 68.20 60.50 48.30 39.07
Berat (Heavy) 65.67 54.87 46.53 36.00 26.33 19.33
Sedang (Medium) 41.33 37.33 34.53 31.33 27.93 20.07
Ringan (Light) 19.53 16.87 15.60 13.53 10.27 6.47
Gambar 2. Perkembangan intensitas kerusakan tanaman kelapa pada awal sampai sepuluh bulan berikutnya
Figure 2. The development of coconut damage intensity at the beginning to ten months later
Teknologi Pengendalian Hayati dengan Nucleo Polyhedrosis Virus (NPV) Terhadap Hama Kelapa Thosea monoloncha Meyrick (Fredy Lala, et al)
95
Berdasarkan analisis regresi maka pada
intesitas kerusakan ringan (slope = 0.12)
menunjukkan bahwa setiap pertambahan 1 ekor
hama T. monoloncha akan meningkatkan kerusakan
tanaman kelapa sebesar 12 persen. Pada intesitas
kerusakan sedang (slope = 0.16) menunjukkan
bahwa setiap pertambahan 1 ekor hama T.
monoloncha akan meningkatkan kerusakan tanaman
kelapa sebesar 16 persen. Pada intesitas kerusakan
berat (slope = 0.26) menunjukkan bahwa setiap
pertambahan 1 ekor hama T. monoloncha akan
meningkatkan kerusakan tanaman kelapa sebesar
26 persen. Pada intesitas kerusakan sangat berat
(slope = 0.47) menunjukkan bahwa setiap
pertambahan 1 ekor hama T. monoloncha akan
meningkatkan kerusakan tanaman kelapa sebesar
47 persen (Tabel 3). Artinya bahwa dalam status
intensitas kerusakan yang ada, jika terjadi
penambahan 1 ekor hama T. monoloncha akan lebih
menambah berat intensitas kerusakan tanaman.
Hal inilah yang menggambarkan bahwa jika tidak
dilakukan pengendalian dengan segera maka
populasi hama T. monoloncha akan semakin
mengganas dan kemungkinan menyebar ke
tanaman lainnya akan semakin terbuka.
Tabel 3. Persamaan regresi, koefisien determinasi, dan koefisien korelasi populasi hama T. monoloncha
berdasarkan status kerusakan tanaman kelapa
Table 3. Regression equation, coefficient of determination, and correlation coefficient population of T.
monoloncha pest based on coconut damage status
Intensitas
Kerusakan
(Damage
Intensity)
Persamaan
Regresi
(Regression equation)
Koefisien
Determinasi
(R²)
Coefficient of
determination
(R²)
Koefisien
Korelasi (r)
Corelation
coefficien (r)
Tingkat Keeratan
Hubungan x dan y
Related of X and Y
Ringan
(Light) Y = 1.79 - 0.12x 0.70
0.83
Kuat
(Significant)
Sedang
(Medium) Y = 2.16 - 0.16x 0.70
0.83
Kuat
(Significant)
Berat (Heavy) Y = 3.12 - 0.26x 0.59
0.77
Kuat
(Significant)
Sangat Berat
(Severe) Y = 0.75 - 0.47x 0.75
0.87
Kuat
(Significant)
Besarnya pengaruh variabel independen
terhadap variabel dependen yang dapat dijelaskan
oleh garis regresi pada intensitas kerusakan ringan
dan sedang adalah 70% sedangkan pengaruh
faktor lain 30%. Pada intensitas kerusakan berat,
pengaruh variabel independen terhadap variabel
dependen yang dapat dijelaskan oleh garis regresi
adalah 59% sedangkan pengaruh faktor lain 41%.
Pada intensitas kerusakan sangat berat, pengaruh
variabel independen terhadap variabel dependen
yang dapat dijelaskan oleh garis regresi adalah
75% sedangkan pengaruh faktor lain 25%. Dari
data tersebut dapat diinformasikan bahwa
intensitas kerusakan pada tanaman, 59-75%
ditentukan oleh faktor populasi hama T. monoloncha
sedangkan sisanya pengaruh faktor luar. Pengaruh
faktor populasi hama tampak juga pada nilai
koefisien korelasi (r) yang semakin mendekati 1,
yang berarti bahwa antara populasi hama dan
tingkat kerusakan tanaman memiliki keeratan
hubungan yang kuat (Tabel 2).
Pertambahan Jumlah Pelepah
Pertambahan jumlah pelepah tanaman
berdasarkan status kerusakan (ringan, sedang,
berat, sangat berat) dalam waktu pengamatan
yang sama (per 2 bulan) menunjukkan pola yang
sama (Gambar 3). Bertambahnya jumlah pelepah
kelapa merupakan respon tanaman untuk pulih
kembali setelah diserang hama. Kemampuan dan
kecepatan tanaman untuk pulih kembali
Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 89 - 99
96
bergantung pada tingkat kerusakan yang
ditimbulkan oleh hama T. monoloncha.
Pertambahan pelepah setiap tanaman
kelapa adalah satu pelepah per bulan. Upaya
pemupukan (recovery) yang diikuti dengan sanitasi
pada tanaman dengan populasi hama T. monoloncha
semakin menurun menunjukkan pemulihan
tanaman yang lebih cepat. Hal ini dapat
dibuktikan dengan ditemukannya tunas pelepah
kedua pada hari ke-26. Artinya, pertumbuhan
pelepah tidak lagi menunggu satu bulan penuh
atau 30 hari kalender tapi dapat lebih cepat. Pada
tanaman muda dan pembibitan, pemberian pupuk
lengkap NPK dapat meningkatkan pertumbuhan
tanaman (Kasno et al., 2010; Jannah &
Marhanuddin, 2012). Menurut Sun (2011),
ketersediaan hara N, P, dan K serta air yang cukup
dapat meningkatkan tinggi dan luas daun
tanaman kelapa sawit. Pemupukan dan pengairan
yang cukup dapat menambah lingkar batang
kelapa sawit (Uwumarongie et al., 2012; Noor et al.,
2012; Halim et al., 2014).
Produksi Kelapa
Produksi buah kelapa hanya diamati pada
tanaman yang telah menghasilkan. Petani Desa
Tolonuo melakukan panen kelapa empat bulan
sekali. Banyak sedikitnya jumlah buah kelapa yang
dipanen sangat tergantung pada kondisi tanaman.
Pada tanaman dengan intensitas kerusakan ringan
jumlah buah yang dipanen lebih banyak
dibandingkan pada tanaman dengan intensitas
kerusakan sedang (Gambar 4). Hal ini berkaitan
dengan kemampuan tanaman berfotosintesis,
dimana tanaman yang berdaun banyak tentunya
memiliki keunggulan karena permukaan daunnya
lebih luas. Tanaman dengan intensitas kerusakan
ringan memiliki permukaan daun yang lebih luas
dibandingkan dengan tanaman dengan intensitas
kerusakan sedang.
Pada awal pengamatan, jumlah buah kelapa
yang dipanen hanya sekitar 15 butir per pohon
sedangkan pada akhir pengamatan 45 butir per
pohon. Ini menunjukkan bahwa terjadi
peningkatan produksi sebesar 30 butir per pohon.
Kombinasi pengendalian populasi hama T.
monoloncha, pemberian pupuk, dan sanitasi
merupakan upaya untuk mengembalikan tanaman
dalam pertumbuhan dan perkembangan yang
normal sedangkan meningkatnya produksi adalah
output dari kemampuan tanaman untuk
berproduksi setelah diberikan treatment.
Respon Petani Terhadap Teknologi
Respon terhadap teknologi dapat diketahui
berdasarkan tanggapan atau pendapat petani
tentang teknologi yang diintroduksi (Tabel 4).
Respon petani paling kecil yaitu tentang
kemampuan mengenal/mengetahui gejala hama
(larva) yang telah terinfeksi oleh virus (63,5%)
sedangkan tertinggi yaitu teknologi layak untuk
dikembangkan (97,5%). Walaupun demikian skor
tersebut telah menunjukkan bahwa respon petani
terhadap teknologi berada di atas 50%. Artinya,
lebih dari setengah jumlah petani responden telah
menunjukkan respon yang baik terhadap
teknologi. Mengetahui gejala larva yang terinfeksi
Gambar 3. Pertambahan jumlah pelepah kelapa berdasarkan status kerusakan tanaman akibat hama T. monoloncha Figure 3. Increase in number of coconut frond based on plant damage status caused by T. monoloncha
Gambar 4. Produksi rata-rata buah kelapa per pohon di Desa Tolonuo, Kec. Tobelo Utara, Kab. Halmahera Utara Figure 4. Average production of coconut per tree in Tolonuo village, North Tobelo district, North Halmahera regency
Teknologi Pengendalian Hayati dengan Nucleo Polyhedrosis Virus (NPV) Terhadap Hama Kelapa Thosea monoloncha Meyrick (Fredy Lala, et al)
97
virus adalah permulaan meningkatnya kognitif
petani dalam memahami teknologi pengendalian.
Petani yang melihat langsung bagaimana
keberhasilan teknologi dapat mengendalikan
populasi hama menjadi yakin bahwa teknologi
efektif dan layak untuk dikembangkan.
Keberhasilan tersebut juga membuat petani
bersedia untuk menerima dan menyebarkan
teknologi bahkan bersedia untuk menggunakan
kembali teknologi ketika terjadi kembali outbreak
hama T. monoloncha. Pemaanfaatan kembali
teknologi adalah bagian dari replikasi teknologi
baik di tempat yang sama maupun berbeda dan
hal tersebut dapat disanggupi oleh petani karena
selain bersifat ramah lingkungan, biaya teknologi
relatif terjangkau. Respon petani yang menerima,
bersedia memanfaatkan, dan menyebarkan
teknologi merupakan bentuk keberhasilan petani
dalam mengadopsi teknologi.
Tabel 4. Nilai skor respon petani terhadap teknologi pengendalian hama ulat api
Table 4. Score value of farmer's response to control technology of nettel caterpillar
No.
Teknologi Pengendalian
Control Technology
Frekuensi (%)
Frequency (%)
T
Total
Skor
(%)
Total
score
Interpretasi
Skor (%)
Score
Interpretation
(%)
STS TS RR S SS
1. Gejala hama terinfeksi
virus dapat dikenal
Recognize the Symptomp
infected by virus
0,0 27,5 30,0 40,0 2,5 100,0 63,5
2. Teknologi pembuatan
ekstrak virus
Extract virus technology
0,0 2,5 17,5 75,0 5,0 100,0 76,5
3. Teknologi mudah
diaplikasi
Easy to apply technology
0,0 0,0 25,0 67,5 7,5 100,0 76,5
4. Teknologi dapat diterima
petani
Technology is acceptable by
farmers
0,0 0,0 2,5 77,5 20,0 100,0 83,5
5. Biaya teknologi terjangkau
Affordable technology
0,0 10,0 25,0 50,0 15,0 100,0 74,0
6. Teknologi efektif
Effective technolgy
0,0 0,0 10,0 25,0 65,0 100,0 91,0
7. Teknologi aman terhadap
lingkungan
Eco friendly technology
0,0 7,5 25,0 37,5 30,0 100,0 78,0
8. Teknologi sebagai solusi
ketika outbreak kembali
Technology as solution in
case of outbreak
0,0 0,0 17,5 70,0 12,5 100,0 79,0
9. Penyebaran Teknologi
Technology dissemination
0,0 0,0 2,5 80,0 17,5 100,0 83,0
Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 89 - 99
98
10. Teknologi layak
dikembangkan
(Acceptable technology)
0,0 0,0 0,0 12,5 87,5 100,0 97,5
Sumber: Data primer, 2015 (diolah)
Source: Primary data, 2015 (processed)
KESIMPULAN
Pengendalian hama ulat api T. monoloncha
menggunakan musuh alami (NPV lokal) dapat
menurunkan populasi hama T. monoloncha dan
intensitas kerusakan tanaman kelapa serta
meningkatkan produksi kelapa. Petani
memberikan respon yang baik sebanyak 63,5-
97,5% terhadap teknologi pengendalian hayati
dengan menggunakan NPV.
DAFTAR PUSTAKA
Adnyana, I.G.S., Sumiartha, K.., dan Sudiarta, I.P.
2012. Efikasi pestisida nabati minyak atsiri tanaman tropis terhadap mortalitas ulat bulu gempis. Jurnal Agroekoteknologi Tropika. 1(1): 1-11.
Anonim. 2012. Nuclear polyhedrosis virus (NPV), menuju pertanian berkelanjutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tembakau. Klaten. https://puslitklaten.wordpress.com/2012/10/23/npv-menuju-pertanian-berkelanjutan (diakses tanggal 10 Juli 2018).
Anonim. 2013. Laporan Tahunan 2011. Dinas Pertanian Kabupaten Halmahera Utara. Tobelo. Maluku Utara.
Cendramadi dan Wahyudyana, A. 2011. Pengamatan kelimpahan ulat api (Limacodidae) dan ulat kantung (Psychidae) serta predator pada perkebunan kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Cikidang Plantation Estate di bawah naungan karet. http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/52260 (diakses tanggal 24 Januari 2016).
Halim, Sudrajat, dan Hariyadi. 2014. Optimasi dosis nitrogen dan kalium pada bibit kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di pembibitan utama. Buletin Palma. 15(2): 86-92.
Hasibuan, R., Swibawa, I.G., Hariri, A.M., Pramono, S., Susilo, F.X., dan Karmike, N. 2002. Dampak aplikasi insektisida permetrin terhadap serangga hama (Thosea sp.) dan serangga penyerbuk (Elaeidobius kamerunicus) dalam agroekosistem kelapa sawit. Jurnal Hama dan Penyakit Tumbuhan Tropika. 2(2): 42-46.
Hendro, R. dan Qayuun. 2012. Agar efektif kendalikan ulat api. http://sawit-indonesia.com/index.php/sajian-utama/166-pt-bayer-indonesia/ (diakses tanggal 14 Februari 2016).
Holloway, J.D., Cock M.J.W., and Desmier de Chenon. 1987. Systimatic account of South East Asian pest limacodidae dalam Cock, M.J.W., H.C.J. Godfray, J.D. Holloway (Ed.). CAB International. p.15-118.
Jannah, N. dan Marhanuddin, F.A.. 2012. Pengaruh macam dan dosis pupuk NPK pada bibit kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.). Media Sains. (4): 48-54.
Kasno, A., Sudirman, M.T., dan Sutriadi. 2010. Efektifitas beberapa deposit fosfat alam Indonesia sebagai pupuk sumber fosfor terhadap pertumbuhan bibit kelapa sawit pada tanah ultisol. Jurnal Litri. (16): 165-171.
Kembaren, E., Bakti, D., dan Lubis, L. 2014. Daya predasi Rhynicoris fuscipes F. (Hemipitera: Reduviidae) terhadap ulat api Setothosea asigna E. (Lepidoptera: Limacodidae) di laboratorium. Jurnal Agroekoteknologi. 2(577): 577-585.
Noor, J., A. Fatah, dan Marhannudin. 2012. Pengaruh Macam dan Dosis Pupuk NPK Majemuk Terhadap Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.). Media Sains. Vol. 4, No.(1): 48-53.
Sambiran,W.J., Lala F., Susanto, A.N., Soetopo, D., dan Hosang M.L.A. 2016. Ledakan populasi hama kelapa (Thosea monoloncha Meyrick) di pulau Tolonuo, Maluku Utara. Buletin Palma. 17(2): 127-137.
Sun, C., Cao, H., Shao, H., Lei, X., and Xiao, Y. 2011. Growth and physiological responses to water and nutrient stress in oil palm. African Journal Biotechnology. 10.(51): 10465-10471.
Teknologi Pengendalian Hayati dengan Nucleo Polyhedrosis Virus (NPV) Terhadap Hama Kelapa Thosea monoloncha Meyrick (Fredy Lala, et al)
99
Suratini dan Manurung, G.O. 2016. Respon petani terhadap komponen teknologi pengelolaan tanaman terpadu (PTT) padi sawah di kecamatan Ratahan kabupaten Minahasa Tenggara. Prosiding Seminar Nasional: Agroindustri Spesifik Lokasi untuk Memantapkan Ketahanan Pangan Pada Era Masyarakat Ekonomi ASEAN. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Bandar Lampung, 19-20 Oktober 2016. p. 608-619.
Tarigan, B., Syahrial, dan Tarigan, M.U. 2013. Uji efektifitas Beauveria bassiana dan Bacillus thuriengiensis terhadap ulat api Setothosea asigna Eeck, (Lepidoptera, Limacodidae) di laboratorium. Jurnal Agroekoteknologi. 1(4): 1439-1446.
Uwumarongie, E.G., Sulaiman, B.B., Ederion, O., Imogie, A., Imosi, B.O., Garbua, N., dan Ugbah, M. 2012. Vegetative growth performance of oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) seedlings in response to inorganik and organic fertilizers. Greener Journal Agriculture Science. (2): 26-30.
Wagiman, F.X., Hosang, M.L.A., dan Lala. F. 2012. Dampak serangan hama belalang Sexava terhadap kerusakan bunga betina dan buah kelapa. Prosiding Seminar Nasional: Peran Penelitian Bidang Pertanian dan Perikanan dalam Mewujudkan Kedaulatan Pangan untuk Kesejahteraan Petani dan Masyarakat. Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 15 September 2012. p. 347-356.
101
Analisis Struktur Kendala dalam Pengelolaan Sagu Berkelanjutan di
Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau
Structure Analysis of the Contstraint Sago Sustainable Management in Kepulauan Meranti Regency Riau Province
MAMUN MUROD1, CECEP KUSMANA2, MOCHAMAD HASJIM BINTORO3, WIDIATMAKA4 dan
ENDANG HILMI5
1Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana-IPB 2Departemen Silvikultur, FAHUTAN-IPB
3Departemen Agronomi dan Hortikultura, FAFERTA-IPB 4 Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, FAPERTA-IPB
5Program Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Kelautan-UNSOED Email : [email protected]
Diterima 02 Oktober 2018 / Direvisi 08 Oktober 2018 / Disetujui 26 November 2018
ABSTRAK
Tanaman sagu (Metroxylon sp.) memiliki peran penting dalam kehidupan dan perekonomian masyarakat di Kabupaten Kepulauan Meranti. Pengembangan usaha sagu di Kabupaten ini pada masa yang akan datang memiliki prospek yang menjanjikan, karena pengembangan industrialisasi sagu belum optimal pelaksanaannya. Tanaman sagu saat ini luasnya 53.456 ha atau 43% dari lahan yang tersedia. Pengolahan sagu masih berjalan secara konvensional, yaitu hanya menghasilkan produk berupa pati sagu. Produksi pati sagu pada tahun 2017 sebesar 205,051 ton. Pengembangan produk hilirnya masih terbatas yaitu hanya mie, sohun dan kerupuk. Produk sampingnya berupa limbah dari ampas (repu) dan kulit (uyung) belum dimanfaatkan secara optimal. Desain struktur kendala diperlukan dalam rangka mengembangkan sagu agar berkelanjutan. Pemodelan struktur kendala dilakukan dengan menggunakan Interpretative Structural Modelling (ISM). ISM adalah teknik pemodelan strategis yang dapat memotret kondisi sistem secara komprehensif. Penelitian ini bertujuan untuk menyusun strategi yang tepat berdasarkan analisis struktur kendala yang berpengaruh dalam pengelolaan sagu berkelanjutan di Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau. Hasil analisis ISM menunjukkan bahwa dalam pengelolaan sagu berkelanjutan terdapat 6 sub elemen kendala kunci, di antaranya: (1) Pemanfaatan dan pengolahan limbah; (2) Sistem ijon ; (3) Ketersediaan, distribusi dan segmentasi pasar; (4) Tata kelola air, (5) Pengolahan produk turunan dan desain kemasan; dan (6) Stabilitas harga. Dukungan dari semua stakeholders terkait baik dari pemerintah, akademisi, pengusaha, petani, lembaga keuangan dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), diperlukan agar pengelolaan sagu berjalan secara baik dan berkelanjutan.
Kata kunci : Interpretative Structural Modelling (ISM), pengolahan sagu, sagu (Metroxylon Sagu), struktur kendala, VAXO
ABSTRACT
Sago (Metroxylon sp.) has an important role and society economy in Meranti Island Regency. The development of sago business in the regency in the future has a promising aspect, because the development of the sago industrialization area has not been optimal. Currently the sago platns have wide area around 53.456 ha or 43% from the exist area. Cultivation sago is still conventional, it is only produce starch sago. In 2017 the starch sago has 205,051 ton. The development of downstream still limited that are noodle, vermicelli, and crackers. The by-product are waste from pulp (repu) and peel (uyung) is not be used optimaly yet. In order to develop sago to be sustainable, that required structure constraint design. Those model has done with method Interpretative Structural Modelling (ISM). Method ISM is the strategic model technic that can be seen system condition comprehensively. This research is purpose to set the appropriate strategy based on structure constraint design that has an effect in sustainable sago development in Meranti Island Regency, Riau Province. The result of ISM analysis shows that sustainable sago development has 6 sub element of key constraint, there are : (1) Waste utilization and management; (2) Ijon system; (3) Availability, distribution, and market segmentation; (4) Water management; (5) processing of derivative product and packaging design, and (6) price stability, (7). To reach the sustainable cultivation sago, it is required support from every stakeholders both governments, academics, entrepreneurs, farmers, financial insitutions and non-governmental organization so that, sago cultivation run well and sustainable.
Key Word : Interpretative Structural Modelling (ISM), cultivation sago, sago (Metroxylon Sagu), constraint structure, VAXO
Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 101 - 116
102
PENDAHULUAN
Tanaman sagu (Metroxylon sp.) merupakan
salah satu tanaman penghasil karbohidrat yang
sangat potensial dalam mendukung program
ketahanan pangan Indonesia (Tarigan, 2001). Sagu
juga dapat digunakan sebagai bahan substitusi
bahan baku pembuat kue, mie, sohun, penyedap
makanan, kompos, pakan ternak, perekat, industri
farmasi, kemasan ramah lingkungan, biodegradable
plastic dan sumber bahan baku biomasa serta
bioethanol (Flach, 1997; Utami et al., 2014; Yadaf
dan Garg, 2013; Zawawi et al., 2017; Hoque et al.,
2013; Wang et al., 1996; Rahim et al., 2009; Kumar
dan Manivannan, 2015; Bukhari et al., 2017).
Pengembangan industrialisasi sagu di Kabupaten
Kepulauan Meranti pada masa yang akan datang
memiliki prospek yang sangat menjanjikan. Hal
ini didukung dengan masih terdapatnya
kecukupan areal yang tersedia dan belum digarap
sekitar 70.091 ha. Sedangkan luasan tanaman sagu
eksisting seluas 53.456 ha atau 43%nya dari lahan
yang ada (123,547 Ha).
Pengolahan sagu di Kabupaten Kepulauan
Meranti saat ini masih berjalan secara
konvensional dan baru menghasilkan bahan
setengah jadi berupa pati sagu. Produksi pati sagu
yang dihasilkan oleh kilang sagu pada tahun 2011
adalah sebesar 144,927 ton dan selalu mengalami
peningkatan dengan pertumbuhan rata-rata
sebesar 6% pada setiap tahunnya, dan produksi
pati sagu pada tahun 2017 adalah 205,051 ton (BPS,
2018). Pemanfaatan sagu saat ini hanya fokus
terhadap produk utamanya yaitu berupa pati
sagu. Pengembangan produk hilirnya masih
relatif terbatas berupa mie, kerupuk, sagu rendang
dan sohun. Produk sampingnya berupa limbah
dari ampas sagu (repu) dan kulit sagu (uyung)
belum dimanfaatkan secara optimal. Para pemilik
kilang sagu pada umumnya membuang limbah
berupa repu ke laut. Kulit sagu sebagian kecil
dimanfaatkan untuk bahan bakar dan sebagian
lagi digunakan sebagai pondasi mesin atau
penahan beban dan sangat disayangkan sebagian
besar kulit sagu hanya dibakar untuk menghindari
penumpukkan. Repu sangat potensial digunakan
sebagai bahan baku pakan ternak (Tiro et al., 2018)
dan media pengembangan jamur, sedangkan kulit
sagu dapat digunakan sebagai bahan baku untuk
pembuatan bahan bakar pellet. PT. Sararasa
merupakan satu perusahaan yang telah
memanfaatkan kulit sagu sebagai bahan baku
pembuatan pellet biomas. Produksi pellet yang
telah dihasilkan mencapai 3000 ton per bulannya
(tahun 2014), namun juga tidak berkembang
dengan baik dan tidak operasional lagi pada April
2015.
Sagu memiliki manfaat multifungsi.
Sehingga dapat mendukung terhadap
perekonomian masyarakat, sagu juga dapat
mendorong penyerapan tenaga kerja, selain itu
tanaman sagu dapat bermanfaat terhadap
lingkungan (Asthutiirundu dan Lay, 2013; Singhal
et al., 2007). Tanaman sagu dapat menjaga
keseimbangan lingkungan (Trisia et al., 2016;
Bantacut, 2014). Peranan dalam menjaga ke-
seimbangan lingkungan, tanaman sagu dapat
menampung air dari lingkungan sekitarnya,
melindungi sungai akibat pencucian materi serta
membantu infiltrasi (penyerapan) aliran air dan air
hujan masuk kedalam tanah, mengurangi volume
air di permukaan dan mencegah banjir
(Louhenapessy et al., 2010; Situmorang dan
Harianja 2018).
Sagu sebagai salah satu komoditas tanaman
perkebunan, merupakan pangan lokal bagi
masyarakat dan memiliki peluang pengembangan
yang sangat strategis. Potensi sagu yang ada di
Kabupaten Kepulauan Meranti dapat
dimanfaatkan dan dikembangkan secara
berkelanjutan. Pengelolaan sagu berkelanjutan
menjadi hal penting dalam meningkatkan
produktivitas pemaanfatan sagu dan sebagai
upaya meningkatkan potensi tanaman sagu.
Namun demikian, dalam perkembangannya
pengelolaan sagu masih dihadapkan pada
permasalahan-permasalahan yang kompleks dan
mendasar. Kondisi tersebut menjadi penghambat
dalam mencapai pengelolaan sagu berkelanjutan.
Analisis Struktur Kendala Dalam Pengelolaan Sagu Berkelanjutan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau (Mamun Murod, et al.)
103
Pengembangan pengelolaan sagu agar
berkelanjutan memerlukan dukungan dari semua
stakeholeders terkait baik dari pemerintah,
akademisi, pengusaha, petani, lembaga keuangan
dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) berupa
kebijakan seperti pendampingan secara langsung.
Tujuannya adalah untuk melatih petani supaya
mampu menghasilkan produk-produk olahan
sagu yang lebih kreatif, inovatif dan variatif. Selain
itu, pendampingan dilakukan dalam hal budidaya
sagu dengan menanam anakan sagu unggul
dengan kaidah mengatur jarak tanam yang ideal
agar tingkat produktivitasnya yang tinggi. Hal ini
sejalan dengan (Alfons dan Rivaie, 2011) bahwa
upaya rehabilitasi perlu dilakukan untuk
meningkatkan potensi lahan sagu yang sudah ada,
melalui penanaman kembali dengan jenis-jenis
potensial pada jarak tanam teratur. Upaya tersebut
perlu ditingkatkan dengan menjalin kerjasama
berbagai pihak yang meliputi masyarakat,
pemerintah pusat dan daerah, sehingga potensi
lahan sagu di Kabupaten Kepulauan Meranti
dapat dilestarikan serta dikembangkan dengan
efektif, terpadu dan berkelanjutan.
Outcome atau dampak yang diharapkan
dari penelitian ini adalah mendapatkan formulasi
kebijakan pengelolaan sagu yang dapat digunakan
sebagai pendorong pengembangan sagu dan
peningkatan kesejahteraan rakyat di Kabupaten
Kepulauan Meranti.
BAHAN DAN METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kabupaten
Kepulauan Meranti Provinsi Riau. Kabupaten
Kepulauan Meranti secara geografis wilayah
terletak pada posisi 0° 42' 30" - 1° 28' 0" LU, dan
102° 12' 0" - 103° 10' 0" BT, dan terletak pada
bagian pesisir timur Pulau Sumatera. Penetapan
lokasi penelitian didasarkan atas pertimbangan
bahwa Kabupaten Kepulauan Meranti mempunyai
potensi tanaman sagu yang merupakan salah satu
sektor utama mata pencaharian masyarakat
setempat secara turun-temurun. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan April 2017 sampai
Oktober 2017.
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilaksanakan dengan
focus group discussion (FGD), wawancara
mendalam (in-depth interview), observasi dan studi
literatur. Parapihak terkait adalah pemerintah,
pelaku usaha, petani sagu, lembaga keuangan,
akedemisi dan LSM. Teknik pengumpulan sampel
pakar dilakukan secara purposive sampling dengan
jumlah pakar yang menjadi responden 17 orang.
Tahap awal penelitian ini dimulai dengan
pengumpulan data pada beberapa lokasi
pengelolaan sagu di Kabupaten Ke-pulauan
Meranti. Dalam memperoleh informasi yang
dibutuhkan, metode atau cara yang digunakan
dalam penelitian adalah sebagai berikut :
1. Observasi
Peneliti melakukan pengamatan langsung di
lapangan untuk mengumpulkan data-data
mengenai kondisi objek pengelolaan sagu di lokasi
penelitian. Observasi dilakukan di keempat pulau
(Pulau Tebing Tinggi, Pulau Merbau, Pulau
Rangsang dan Pulau Padang) dilingkup wilayah
Kabupaten Kepulauan Meranti.
2. Wawancara Mendalam (Depth Interview)
Aspek pemangku kepentingan (stakeholders)
merupakan institusi yang berperan dalam
pengelolaan sagu. Wawancara mendalam
dilakukan terhadap pihak pemerintah 8 orang,
pelaku usaha 1 orang, tokoh masyarakat 1 orang,
akademisi 5 orang, lembaga keuangan 3 orang
dan LSM 2 orang (Tabel 1).
Pemilihan responden disesuaikan dengan
kondisi lingkungan di sekitarnya dan memahami
permasalahan yang diteliti. Metode atau cara
menggali informasi dan pegetahuan atau pendapat
pakar pada penelitian ini digunakan metode
survei pakar (expert survey) yang dibagi atas 2
(dua) cara, yaitu :
a. Responden dari kalangan pakar
Responden pakar dipilih secara sengaja
(purposive sampling) dengan kriteria memiliki
Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 101 - 116
104
kepakaran sesuai dengan bidang yang dikaji.
Beberapa pertimbangan dalam menentukan pakar
yang akan dijadikan responden adalah :
Mempunyai pengalaman yang kom-peten
sesuai bidang yang dikaji.
Memiliki reputasi, kedudukan/ jabatan dalam
kompetensinya dengan bidang yang dikaji.
Memiliki kredibilitas tinggi, bersedia, dan
berada pada lokasi yang dikaji.
b. Responden dari masyarakat
Penilaian responden dari masyarakat di lokasi
penelitian menggunakan metode purposive
sampling (Walpole, 1995).
3. Focus Group Discussion (FGD)
Focus Group Discussion (FGD) atau diskusi
kelompok terfokus merupakan suatu metode
pengumpulan data yang lazim digunakan dalam
penelitian kualitatif sosial. Metode ini
mengandalkan perolehan data atau informasi dari
suatu interaksi informan atau responden
berdasarkan hasil diskusi dalam suatu kelompok
yang berfokus untuk melakukan bahasan dalam
menyelesaikan permasalahan tertentu. Stekeholders
yang berperan dalam pengelolaan sagu, meliputi
pemerintah, pelaku usaha, petani sagu, lembaga
keuangan, akademisi, dan lembaga swadaya
masyarakat. Penelitian pengelolaan sagu
melakukan World Cafe Method (WCM) atau Focus
Group Discussion (FGD) yang bertujuan
mendapatkan input, masukan dan pendapat
dalam pengelolaan sagu.
Analisis Data
Analisis data struktur kendala pengelolaan
sagu berkelanjutan menggunakan metode
interpretative structural modelling (ISM), yaitu teknik
pemodelan deskriptif yang merupakan alat
strukturisasi untuk suatu hubungan langsung
(Sexana et al., 1992). Melalui teknik ISM, model
mental yang tidak jelas ditransformasikan menjadi
model sistem yang tampak (visible). Sub elemen
yang dianalisis bersumber dari atribut/variabel
faktor pengungkit (leverage) hasil FGD. Tahapan
analisis ISM (Gambar 1) adalah menginventarisasi
kendala dalam sistem pengelolaan sagu,
memberikan penilaian perbandingan dengan
VAXO, analisis terhadap output ISM berupa
pemetaan permasalahan dan strukturisasi perma-
salahan dengan syarat hasil analisis tersebut telah
konsisten. Skenario kendala dominan dilihat
sebagai alternatif masukan dalam penyusunan
formulasi kebijakan.
Tabel 1. Jumlah pakar dalam Focus Group Discussion (FGD) pengelolaan sagu Table 1. The number of expert on Focus Group Discussion (FGD) to Sago Management
No Responden Pakar
Stakeholders Jumlah
Quantity Keterangan Description
1 Pemerintah Government
8 orang 8 people
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (2 orang), Dinas Perkebunan Provinsi Riau (1 orang), Bappeda (2 orang), Dinas Perdagangan, Perindustrian, Koperasi dan UKM, Dinas Perkebunan dan Holtikultura, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Institution of research and application technology (2 people), Bappeda (2 people), Plantation service of Riau Province (1 people), The office of trade, industry, cooperatives and UKM, The office of Plantation and Horticulture, The office of environment and forestry.
2 Pelaku Usaha businessman
1 orang 1 people
PT. Nasional Sagu Prima National Sago Prima Company
3 Petani Sagu Sago Farmer
1 orang 1 people
Pegiat sagu masyarakat Sago community activists.
4
5
Akademisi Academics Lembaga Keuangan Finantial Institution
5 orang 5 people 3 orang
IPB, Trisakti, Universitas Riau Bogor Agricultural University; Trisakti University;Riau University BRI, BNI, Bank Riau Kepri BRI, BNI, Riau Kepri Bank
6 LSM NGO
2 Orang 2 people
Bahtera Alam, Jaringan Masyaraka Gambut Riau (JMGR) Bahtera Alam, Network of Riau Peat Communities
Analisis Struktur Kendala Dalam Pengelolaan Sagu Berkelanjutan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau (Mamun Murod, et al.)
105
Gambar 1. Tahapan Analisis ISM Figure 1. ISM Procedure Analysis
ISM dibuat dengan tujuan untuk
memahami perilaku sistem dalam melakukan
identifikasi hubungan antar sub elemen sistem
dalam tiap elemen sistem. Tahapan dalam
melakukan ISM dibagi menjadi dua bagian, yaitu
penyusunan hirarki dan klasifikasi sub elemen
(Eriyatno, 2003). Penentuan tingkat hirarki
dilakukan dengan perspektif lima kriteria, yaitu :
A. Penyusunan Hirarki
Kekuatan pengikat (bond strength) di dalam
dan/atau antar kelompok/pengikat.
Frekuensi relatif dari oksilasi, tingkat yang
lebih rendah lebih cepat terguncang
dibandingkan tingkat diatasnya
Konteks, tingkat yang lebih tinggi
beroperasi pada jangka waktu lebih lambat
dalam ruang yang lebih luas.
Liputan, tingkat yang lebih tinggi
mencakup tingkat dibawahnya, dan
Hubungan fungsional, tingkat yang lebih
tinggi mempunyai peubah lambat yang
mempengaruhi peubah cepat di tingkat
bawahnya.
B. Klasifikasi Sub elemen
Tahap kedua dalam melakukan ISM adalah
membagi substansi yang sedang ditelaah ke dalam
elemen-elemen dan sub-sub elemen secara
mendalam sampai dipandang memadai.
Penyusunan sub elemen ini menggunakan
masukan dari kelompok yang terkait. Selanjutnya
ditetapkan hubungan kontekstual antar sub
elemen, yang dinyatakan dalam terminologi sub
ordinat menuju pada perbandingan berpasangan.
Berdasarkan pertimbangan hubungan kontekstual,
disusun Structural Self Interaction Matrix (SSIM),
Penyusunan SSIM menggunakan simbol V, A, X,
dan O.
Pengertian simbol-simbol tersebut adalah :
V : Kendala (1) mempengaruhi kendala (2), tapi
tidak sebaliknya, V : eij = 1 dan eji = 0
A : Kendala (2) mepengaruhi kendala (1), tapi
tidak sebaliknya, A : eij = 0 dan eji = 1
X : Kendala (1) dan kendala (2) saling
berhubungan, X : eij = 1 dan eji = 1
O : Kendala (1) dan kendala (2), tidak saling
mempengaruhi, O : eij = 0 dan eji = 0
Simbol 1 adalah terdapat atau ada hu-bungan
kontekstual, sedangkan simbol 0 tidak terdapat
atau tidak ada hubungan kontekstual antara sub
elemen i dan j, serta sebaliknya (Eriyatno, 2003).
Setelah SSIM terbentuk, kemudian dibuat dalam
Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 101 - 116
106
bentuk tabel Reachability Matrix (RM) dengan
menggantikan simbol V, A, X, dan O menjadi
bilangan 1 dan 0. Perhitungan menurut transivity
rule yaitu melakukan koreksi terhadap SSIM
sampai diperoleh matriks yang tertutup. RM yang
telah memenuhi transivity rule kemudian diolah
untuk menetapkan pilihan jenjang (level partition).
Hasilnya dapat digambarkan dalam bentuk skema
setiap elemen menurut jenjang vertikal dan
horinzontal. Berdasarkan RM, sub elemen dalam
satu elemen dapat disusun menurut nilai Driver-
Power (DP) dan nilai Dependence (D) untuk
menentukan klasifikasi sub elemen. Secara garis
besar klasifikasi sub elemen digolongkan dalam 4
sektor, yaitu :
Sektor 1 : weak drive-weak dependent variabels
(autonomous), sub elemen yang masuk dalam
sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan
sistem, dan mungkin mempunyai hubungan
sedikit, meskipun hubungan tersebut bisa saja
kuat.
Sektor 2 : weak driver-strongly dependent variabels
(dependent), umumnya sub elemen yang masuk
dalam sektor ini adalah sub elemen yang tidak
bebas.
Sektor 3 : strong driver-strongly dependent variabels
(Lingkage), sub elemen yang masuk dalam sektor
ini harus dikaji secara hati-hati, sebab hubungan
antara elemen tidak stabil. Setiap tindakan pada
sub elemen akan memberikan dampak terhadap
sub-elemen lainnya dan pengaruh umpan baliknya
dapat memperbesar dampak.
Sektor 4 : strong driver-weak dependent variabels
(Independent), sub elemen yang masuk dalam
sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan
disebut peubah bebas.
Analisa matrik dari klasifikasi sub elemen
disajikan pada Gambar 2.
Daya Dorong (Driver Power)
Ketergantungan (Dependence)
Gambar 2. Matrik Driver Power-Dependence Figure 2. Driver Power – Dependence matrix
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kendala Pengungkit Pengelolaan Sagu
Kendala yang dihadapi berjumlah 16 (enam
belas) sub elemen. Komposisi kendala secara detail
dapat dilihat pada Tabel 2.
Kendala yang dihadapi tersebut perlu
dinilai kembali oleh pakar agar dapat ditentukan
faktor pengungkit (leverage) yang menjadi prioritas
kebijakan untuk mencapai tujuan. Struktur
kendala diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar
untuk menyusun strategi pengelolaan sagu di
masa yang akan datang, sehingga akan dihasilkan
kebijakan yang tepat untuk mengantisipasi
kendala yang ada.
Tabel 2. Kendala dalam pencapaian tujuan Table 2. The threat in achieving its objectives
No Elemen Kendala Threat element
Keterangan Description
1 Teknik pengeringan sagu Technique of drying sago
Pengeringan pati sagu masih dilakukan secara tradisional oleh masyarakat yakni dengan menjemur pati sagu di bawah sinar matahari Drying sago starch still traditionally, sago starch by drying in the sun
2 Pengolahan produk turunan dan desain kemasan Processing of derivative product and packaging design
Pengolahan produk turunan masih terbatas dan desain kemasan masih sangat sederhana sehingga tampilannya kurang menarik Processing of derivative product is still limited and packaging design is still very simple and it looks less attractive
3 Pemanfaatan dan pengolahan limbah Waste utilization and management
Limbah sagu belum termanfaatkan dan masih di buang ke laut sehingga menjadi sumber pencemaran lingkungan Sago waste has not been utilized and still discharged into the sea so that it becomes a source of pollution.
SEKTOR IV
Independent
Variabels
SEKTOR III
Lingkage
Variabels
SEKTOR I
Autonomous
Variabels
SEKTOR II
Dependent
Variabels
Analisis Struktur Kendala Dalam Pengelolaan Sagu Berkelanjutan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau (Mamun Murod, et al.)
107
No Elemen Kendala Threat element
Keterangan Description
4 Penggunaan teknologi pengolahan air
Application technology for water treatmen
Sumber air untuk ekstraksi pati sagu masih berasal dari air gambut, belum ada teknologi untuk pengolahan air baku untuk kilang sagu. Source of water for sagu starch extraction is still was water peat, there has been no technology for reprocessing raw water to the refinery sago.
5 Persentase penduduk di bawah garis kemiskinan Percentages of the population below poverty line
Persentase kemiskinan di Kabupaten Kepulauan Meranti paling tinggi 28.89 %. Tertinggi di Provinsi Riau Percentage poverty in Meranti Island Regency the highest 28.99 %. Highest in Riau Province
6 Budaya pemanenan sagu Harvesting sago culture
Sistem pemanenan sagu yang masih konvensional Harvesting sago system is still conventional became an obstacle because need a long time.
7 Akses kelompok tani kelembaga keuangan Acces the farmers to financial institution
Masih terbatasnya akses permodalan petani sagu terutama keperbankan Still limited access to sago farmer’s capital especially to banks
8 Regulasi tata guna lahan Land use regulation
Pengaturan zonasi belum dilakukan Zoning arrangement have not been made.
9 Pola kemitraan dan peman-tapan kelembagaan petani Partnership system and institutional stabilization of farmer institutions.
Belum terbentuk pola kemitraan antara perusahaan besar dengan petani sagu sehingga kelembagaan petani masih sangat lemah A partnership system has not been established between large companies and sago farmers.
10 Sistem ijon Ijon system
Sistem ijon masih berlangsung Ijon system is still ongoing
11 Stabilitas harga Price Stability
Harga sering mengalami fluktuasi, pada tahun 2016 harga berada pada Rp. 50.000,- per tual sedangkan harga pada tahun 2018 Rp. 30.000,- per tual Price often fluctuate, in 2016 the price at Rp. 50.000/trunk while in 2018 the price at Rp 30.000/trunk
12 Sumber modal Source of capital
Modal usaha masih sangat terbatas dan ada yang tergantung pada mekanisme ijon Source of capital is very limited and is that depends of ijon mechanism.
13 Ketersediaan, distribusi dan segmentasi pasar Availibility, distribution and market segmentation
Segmentasi pasar masih sempit karena masih terbatas pada satu produk (pati sagu) Market segmentation is still narrow becauseit is still limited to one product (sago starch)
14 Tata kelola air Water management
Belum seluruhnya petani sagu melakukan tata kelola air Sago farmers have not all carried out water management
15 Asosiasi vegetasi Vegetation association
Budidaya tanaman sagu masyarakat masih monokultur The community is still Cultivating sago plants in monocultur
16 Kesesuaian lahan Land suitability
Sebagian besar areal berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan berada pada kategori N (tidak sesuai) Most of the based on the analysis of land is the n ( not appropriate )
Klasifikasi Sub Elemen
Melalui metode ISM ini diperoleh angka
Dependent dan Driver Power dari masing-masing
elemen tersebut, yang akhirnya dipetakan dalam
bentuk matrik Driver Power-Dependent dan
diagram struktur hirarki. Hasil perhitungan
elemen pengelolaan sagu dengan menggunakan
software ISM disajikan pada Tabel 3.
Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 101 - 116
108
NO K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 K12 K13 K14 K15 K16 DP R
K1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 1 1 10 3
K2 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 0 1 1 12 2
K3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 16 1
K4 1 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 1 1 10 3
K5 1 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 1 1 10 3
K6 1 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 1 1 10 3
K7 1 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 1 1 10 3
K8 1 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 1 1 10 3
K9 1 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 1 1 10 3
K10 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 16 1
K11 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 0 1 1 12 2
K12 1 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 1 1 10 3
K13 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 16 1
K14 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 16 1
K15 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 1 4 4
K16 1 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 1 1 10 3
D 15 6 4 15 16 15 15 15 16 4 6 15 4 4 16 16
L 2 3 4 2 1 2 2 2 1 4 3 2 4 4 1 1
Tabel 3. Matriks perhitungan sub elemen pengelolaan Sagu menggunakan software ISMTable 3. Calculation Matrix Management Sagu Elemen with ISM software
Keterangan : K1 (Teknik pengeringan sagu); K2 (Pengolahan produk turunan dan desain kemasan); K3 (Pemanfaatan dan pengolahan limbah); K4 (Penggunaan teknologi pengolahan air); K5 (Persentase penduduk dibawah garis kemiskinan); K6 (Budaya pemanenan sagu); K7 (Akses kelompok tani kelembaga keuangan); K8 (Regulasi tata guna lahan); K9 (Pola kemitraan dan pemantapan kelembagaan petani); K10 (Sistem ijon); K11 (Stabilitas harga); K12 (Sumber modal); K13 (Ketersediaan, distribusi dan segmentasi pasar); K14 (Tata kelola air); K15 (Asosiasi vegetasi); K16 (Kesesuaian lahan); R (Ranking); D (Dependence); dan DP (Driver-power). Information : K1 (Technique of drying sago); K2 (Processing of derivative product and packaging design); K3 (Waste utilization and management); K4 (Application technology for water treatmen); K5 (Percentages of the population below poverty line); K6 (Harvesting sago culture); K7 (Acces the farmers to financial institution); K8 (Land use regulation); K9 (Partnership system and institutional stabilization of farmer institutions); K10 (Ijon system); K11 (Price stability); K12 (Source of capital); K13 (Availibility, distribution and market segmentation); K14 (Water management); K15 (Vegetation association); K16 (Land suitability).
Pembagian ordinasi keseluruhan faktor-faktor
yang terbagi pada kuadran independent, lingkage,
dan dependent disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Matriks driver power-dependence (DP-D) untuk elemen kendala
Figure 3. Matrix driver power-dependence (DP-D)
for threat element
Matriks driver power-dependence (DP-D)
untuk elemen kendala pada Gambar 3,
menunjukkan bahwa K3 (pemanfaatan dan
pengolahan limbah); K10 (sistem ijon); K13
(ketersediaan, distribusi dan segmentasi pasar);
K14 (tata kelola air); K2 (pengolahan produk
turunan dan design kemasan) serta K11 (stabilitas
harga) berada pada level tertinggi. Ke enam sub
elemen ini merupakan faktor kendala yang berada
pada sektor independent yang memiliki pengaruh
besar terhadap faktor lain. Hal ini berarti bahwa
berjalannya sistem pengelolaan sagu di Ka-
bupaten Kepulauan Meranti sangat diperlukan
adanya sub elemen tersebut dan mendorong
semua kendala yang ada dalam pengelolaan sagu
untuk mendukung berjalannya sistem.
Sektor berikutnya yakni sektor lingkage
terdiri dari: K1 (teknik pengeringan pati sagu); K4
(penggunaan teknologi pengolahan air); K6
(budaya pemanenan sagu); K7 (akses kelompok
tani kelembaga ke-uangan); K8 (regulasi tata guna
lahan); K12 (sumber modal); K5 (persentase
Analisis Struktur Kendala Dalam Pengelolaan Sagu Berkelanjutan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau (Mamun Murod, et al.)
109
penduduk dibawah garis kemiskinan); K9 (pola
kemitraan dan pemantapan kelembagaan petani);
dan K16 (kesesuaian lahan). Sub elemen pada
sektor ini berpengaruh dalam mendorong
berjalannya sistem pengelolaan sagu.
Sektor dependent hanya terdapat satu sub
elemen yakni K15 (asosiasi vegetasi). Sektor ini
sangat dipengaruhi oleh faktor yang berada pada
sektor independent, artinya dengan daya gerak
yang besar dan ketergantungan terhadap sistem
rendah, keterlibatan elemen pada sektor
independent akan mendorong keterlibatan elemen
lain dalam sistem pengelolaan sagu.
Struktur Hirarki
Berdasarkan matriks tersebut dibuat
hirarki untuk membagi dalam tahapan
pengelolaan berjangka. Hirarki tersebut disajikan
pada Gambar 4.
Gambar 4. Strukturisasi elemen dalam pengelolaan sagu
Figure 4. The structure of the element in management of sago
Gambar 4 menunjukkan struktur hirarki
sub elemen kendala yang berpengaruh terhadap
pengelolaan sagu berkelanjutan dari level
terendah (level 1) yang pengaruhnya kurang
sensitif, sampai dengan level tertinggi (level 5)
yang pengaruhnya paling kuat. Wawancara
mendalam kepada para pakar dilaksanakan untuk
menyusun formulasi kebijakan pengelolaan sagu
berkelanjutan terhadap faktor pengungkit yang
berada di sektor independent atau pada struktur
hirarki level 4 dan 5. Hasil wawancara tersebut
dipergunakan untuk menyusun kebijakan,
program dan kegiatan sebagai strategi kebijakan
dalam implementasi pengelolaan sagu
berkelanjutan di Kabupaten Kepulauan Meranti
sebagaimana disajikan pada Tabel 5. Penjelasan
masing masing sub elemen kendala pengungkit
(leverage factor) dalam pengelolaan sagu sebagai
berikut :
Pemanfaatan dan pengolahan limbah
Perkembangan dalam bidang pertanian
dan industri pertanian seringkali menimbulkan
peningkatan limbah pertanian yang sebagian besar
merupakan limbah berligno-selulosa. Secara kimia
limbah berligno-selulosa kaya akan selulosa yang
dapat diolah menjadi produk-produk yang
bernilai ekonomi. Ditinjau dari jenis limbah,
limbah sagu mengandung lignoselulosa yang kaya
akan selulosa dan pati, sehingga dapat
dimanfaatkan secara optimal sebagai sumber
karbon. Peningkatan jumlah produksi sagu
berbanding lurus dengan peningkatan jumlah
limbah yang dihasilkan. Pengolahan limbah yang
belum maksimal dan masih menggunakan sistem
konvensional menyebabkan pencemaran di sekitar
sungai. Oleh karena itu, perlunya pemahaman
pemanfaatan dan pengolahan limbah yang
terpadu, agar hasil limbah yang dihasilkan dari
sagu dapat bernilai ekonomi dan meminimalisir
Level 1
Level 2
Level 3
Level 4
Level 5
Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 101 - 116
110
pencemaran lingkungan. Pengelolaan limbah cair
berupa air hasil ekstraksi sagu mampu
diminimalisir pencemarannya dengan meng-
gunakan teknik aerasi, ion logam dan mikro-
organisme (Rashid et al., 2010; Quek et al., 1998;
Ayyasamy et al., 2008; Kandasamy et al., 2014;
Gunasekar et al., 2014) dan bahkan mampu
menghasilkan biogas (Sangeetha dan Sivakumar,
2016). Pemanfaatan limbah sebagai pakan ternak
dapat menjadi salah satu strategi pengembangan.
Menurut Sisriyanni et al., (2017) pemberian lim-
bah sagu yang difermentasi mampu mensubtitusi
pakan hingga 75%, hal tersebut sangat meng-
untungkan peternak sapi karena mampu
mengurangi ketergantungan terhadap pakan
konvensional. Menurut Simanihuruk et al., (2013)
penggunaan 40% ampas sagu mampu diberikan
sebagai pakan alternatif untuk ternak kambing.
Sistem ijon
Menurut Susanti et al., (2018) masyarakat
yang hanya mendapatkan pendapatan dari satu
komoditas yang ditanam secara monokultur akan
melakukan sistem ijon. Menurunnya harga dari
komoditas yang diusahakan berdampak pada
pendapatan. Situasi lebih buruk karena sebagian
besar rumah tangga tidak memiliki akses kredit
bunga rendah seperti kredit dari bank pemerintah
atau kerja sama. Hal tersebut membuka jalan bagi
tengkulak atau disebut dengan ‘toke’ menyediakan
layanan keuangan dengan bunga yang lebih tinggi
antara 15% - 60%. Widodo et al., (2016)
menyatakan bahwa sagu di desa Sungai Tohor
merupakan sagu yang dibudidayakan oleh
masyarakat. Pada masa awal budidaya sagu,
sistem dalam budidaya sagu masih menggunakan
sistem ijon. Sistem ijon merupakan suatu sistem
yang masyarakatnya menanam pohon sagu dan
para pedagang dari keturunan cina membeli
pohon-pohon sagu mereka yang masih muda.
Sistem tersebut cukup merugikan para petani sagu
di Desa Sungai Tohor. Akhirnya, sistem ijon di-
hentikan dengan dibangunnya kilang-kilang sagu
di Desa Sungai Tohor.
Para petani sagu kini tidak perlu menjual
pohon sagunya, tetapi cukup dengan menjual tual-
tual sagu yang dipanen dari pohonnya. Para
petani akan menjual tual-tual tersebut ke para pe-
milik kilang dan para pemilik kilang akan
membeli tual-tual sagu. Selain itu, konsep
budidaya yang dilakukan petani sagu juga
difokuskan dalam rangka pemilihan lahan,
penanaman sagu, pengairan, dan penangan hama.
Menurut Salampessy et al., (2017) sistem hipotek
pohon merupakan salah satu bentuk kesepakatan
antara petani pala sebagai pelaku utama dan
pengepul sebagai agen. Kesepakatan atau
perjanjian tersebut terdiri atas sejumlah pohon
pala yang digunakan sebagai jaminan untuk
meminjam uang. Perjanjian dapat terlaksana
karena kerugian ekonomi dan kebutuhan rumah
tangga di kalangan petani. Petani membutuhkan
modal dalam keadaan tertentu untuk membiayai
berbagai kewajiban keluarga, seperti biaya sekolah
atau kuliah anak-anak, perbaikan rumah dan acara
seremonial seperti pernikahan. Menurut
Hutabarat (2013) terdapat 2 hipotesis petani
melakukan penjualan menggunakan sistem ijon.
Hipotesis yang pertama yaitu pendapatan petani
hanya diterima setiap musim panen, sedangkan
pengeluaran harus diadakan setiap hari, setiap
minggu bahkan pada waktu-waktu yang
mendesak sebelum panen tiba sehingga petani
terjebak pada sistem ijon. Hipotesis yang ke dua
yaitu biaya produksi sangat berpengaruh terhadap
penjualan ke tengkulak. Petani membutuhkan
uang tunai pada masa produksi, maupun untuk
kebutuhan konsumtif seperti hajatan dan
selamatan.
Ketersediaan, distribusi dan segmentasi pasar
Pengembangan sagu di Indonesia khu-
susnya di Kabupaten Kepulauan Meranti
bertujuan mengoptimalkan sumberdaya dan
pengolahan berkelanjutan. Menurut Nursodik et
al., (2016) pengalaman petani dalam usahatani
sagu menjadi indikator dalam mengelola
usahatani sagu secara mandiri. Sasaran yang
penting dicapai dalam pengembangan sagu ini
Analisis Struktur Kendala Dalam Pengelolaan Sagu Berkelanjutan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau (Mamun Murod, et al.)
111
diantaranya peningkatan produktivitas sagu,
diversifikasi produk, dan peningkatan pendapatan
petani sagu. Segmentasi pasar sangat diperlukan
dalam mengoptimalkan pemanfaatan sagu yang
ada di Indonesia, agar masyarakat umum lebih
mengenal produk olahan sagu. Penguatan pangan
lokal berbasis sagu perlu disinkronkan dengan
program-program pemerintah seperti bantuan
pangan bencana alam dengan memasukkan
pangan lokal khususnya sagu. Menurut Hardono
(2014) strategi yang dapat dilakukan dalam
pengembangan diversifikasi pangan berbasis
pangan lokal yaitu menyelaraskan kebijakan
produksi dan industri pangan dengan kebijakan
konsumsi pangan; promosi pangan lokal yang
sehat, komprehensif, dan terus menerus;
penciptaan pasar pangan lokal di tingkat nasional
dan wilayah; serta diikuti penyediaan produk
pangan lokal yang mampu bersaing dengan
produk asing.
Tata kelola air
Suriadikarta (2012) menyatakan bahwa
teknologi pengelolaan tanah dan air merupakan
kunci utama keberhasilan usahatani pertanian di
lahan rawa gambut. Tata air makro dan mikro
mencakup saluran primer, sekunder dan tersier
sangat mempengaruhi kondisi tanah. Sistem tata
air tertutup di lahan rawa gambut cocok dilakukan
karena sistem tata air dapat dikontrol, sistem
tersebut dilengkapi dengan tanggul dan bangunan
pintu air. Menurut Ritzema et al. (2014) strategi
pada lahan gambut tropis yang dikeringkan dapat
dilakukan dengan strategi penyekatan kanal.
Tujuan penyekatan kanal yaitu 1) untuk
menaikkan muka air di lahan gambut; 2)
mengurangi limpasan melalui saluran dan sebagai
gantinya untuk membangun kembali aliran darat
alami dari puncak kubah gambut menuju sungai
yang berdekatan; 3) mengurangi kecepatan aliran
di kanal sebanyak mungkin untuk menghindari
erosi.
Tanaman sagu layak secara ekologi, ekonomi
dan sosial dalam mengkonservasi dan rehabilitasi
lahan gambut, sehingga mampu menjadi tanaman
unggulan dan menjadi komoditas strategis
khususnya pangan dan energi (Herman, 2016).
Menurut Ibrahim dan Gunawan (2015) areal
sagu saat ini menjadi lahan sasaran untuk
dikonversi menjadi lahan non pertanian. Salah
satu contohnya di Halmahera Barat pedagang sulit
mendapatkan pati sagu karena konversi lahan
sagu menjadi lahan sawah. Sagu di lahan gambut
banyak yang dikonversi menjadi tanaman
perkebunan lain.
Pengolahan produk turunan dan design kemasan
Pengolahan produk dan mendesain kemasan
merupakan rangkaian kegiatan untuk
meningkatkan nilai tambah ekonomi suatu
komoditas. Menurut Yasin et al., (2005)
pengembangan agribisnis sagu di Kabupaten
Kepulauan Meranti mampu mendukung
diversifikasi pangan dan agroindustri sehingga
meningkatkan ekonomi masyarakat. Menurut
Hadi (2014) di sektor pertanian, penciptaan nilai
tambah terjadi di sektor tengah dari sistem
agribisnis yaitu pengolahan hasil pertanian
(agroindustri). Hal ini disebabkan usaha di tingkat
sektor tengah lebih menguasai teknologi pencipta
nilai tambah dan akses pasar dibanding usaha di
tingkat hulu (petani/nelayan). Selain itu,
pengembangan produk dan promosi yang sesuai
dengan kebutuhan target pasar juga merupakan
kunci sukses dari strategi pemasaran. Produk
yang berhasil adalah produk yang dapat diterima
konsumen dengan harga, atribut dan tampilan
yang memenuhi kebutuhan konsumen.
Memasarkan sebuah produk, tidak hanya dari segi
kualitas saja, namun perlu memperhatikan atribut
produk tersebut. Perancangan desain kemasan
yang kreatif dan inovatif diperlukan dalam
meningkatkan strategi pemasaran produk sagu.
Menurut Cenadi (2000) kemasan menjadi tampilan
dari sebuah produk untuk menarik konsumen.
Kemasan menuntut banyak pertimbangan dalam
proses pembuatannya karena mempertimbangkan
faktor estetis dan fungsionalnya serta menarik
perhatian konsumen dan memenangkan
persaingan pasar. Menurut Irrubai (2016)
Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 101 - 116
112
walaupun labeling, packaging dan marketing di
pedesaan masih tradisional tetapi dari waktu ke
waktu mengalami peningkatan yang lebih baik.
Stabilitas harga
Stabilitas harga sagu perlu dijaga untuk
mendukung ketahanan pangan, sehingga harga
pangan terutama sagu tetap berada pada titik yang
terjangkau oleh konsumen. Ditinjau dari sisi
stabilitas harga, sagu merupakan komoditas yang
mempunyai harga relatif stabil, dari tahun 2004 –
2010 dan mengalami peningkatan tahun 2011
(Linda, et al. 2014). Namun demikian, stabilitas
harga sagu perlu dijaga, dengan mendorong
beberapa kebijakan. Kebijakan stabilitas harga
dapat didefinisikan sebagai usaha-usaha untuk
memperbaiki keseimbangan antara penawaran
dan permintaan agregat dalam perekonomian,
dengan tujuan untuk mengurangi inflasi dan
memperkuat posisi neraca pembayaran
internasional. Cara lain yang dapat dilakukan
yaitu mendorong peningkatan diversifikasi
konsumsi produk turunan sagu (Bantacut 2011).
Menurut Bantacut, (2014) pengembangan sagu di
Indonesia akan mampu memecahkan masalah
keamanan dan kedaulatan pangan karena
memiliki beragam produk turunan. Produk
turunan yang beragam akan meningkatkan
konsumsi sagu dan berdampak pada peningkatan
produksi di petani, sehingga kestabilan harga
dapat terjadi.
Arahan Kebijakan Berdasarkan Kendala Prioritas
Berdasarkan hasil kajian di atas, maka
arahan kebijakan yang dapat digunakan untuk
mengatasi kendala dalam pengelolaan sagu
berkelanjutan kedepannya diperlukan tahapan
perencanaan berdasarkan kendala prioritas
terpilih. Strategi kebijakan dalam implementasi
pengelolaan sagu disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Strategi kebijakan dalam implementasi pengelolaan sagu di Kabupaten Kepulauan Meranti.
Table 4. Policy strategy in the implementation of sago managemen in Meranti Islands Regency
No Kendala Kebijakan Program Kegiatan
1 Pemanfaatan dan pengelolaan limbah Waste utilization and management
Pengelolaan limbah sagu Handling of sago waste
Pilot Projek pengelolaan limbah Waste management pilot project
1. Pengolahan limbah padat menjadi pakan ternak dan energi terbarukan. Processing of solid waste into animal feed and renewable energy
2. Pengolahan limbah cair untuk budidaya alga Liquid waste treatment for algae cultivation
2 Sistem ijon Ijon system
Optimalisasi pemanfaatan lahan Optimization of land use
1. Penanaman tum-pangsari pada gawangankebun sagu
Planting with “tumpang sari” in sago garden
2. Diversifikasi usa-ha tani
Diversification farming
3. Pemanfaatan lahan pekarangan petani
Utilization of farmyard
4. Pelatihan pengrajin industri penunjang ekonomi keluarga
Home industry trai-ning for supporting economy of family.
1. Penanaman tanaman pangan pala-wija (jagung, cabe, terong) di gawangan kebun sagu
Food crops planting (corn,chili,eggplant) in sidelines of plants sago.
2. Kombinasi sagu-ternak, sagu-ikan, sagu-tanaman hutan (rotan, gaharu)
Combination of sago-farms, sago-fish, sago-forestry plants (rattan,gaharu).
3. Penanaman tanaman pekarangan (apotek hidup, cabe, bayam, kacang panjang dan lain-lain)
Planting yard crops (herbal plant, chile,spinach, beans etc.)
4. Pelatihan industri makanan/kuliner:
aneka mie, kue kering, gula cair sagu, kerupuk dan lain-lain
Culinary training: noodles, pastry, liquid sugar, cracker,etc
5. Pelatihan keterampilan penunjang
Analisis Struktur Kendala Dalam Pengelolaan Sagu Berkelanjutan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau (Mamun Murod, et al.)
113
No Kendala Kebijakan Program Kegiatan
ekonomi keluarga, kerajinan tangan, souvenir, rajut, membuat jala ikan.
Training other skills family economic supporting handicrafts, souvenir, knitting, make a fish.
3 Ketersediaan, distribusi dan segmentasi pasar Availibility, dis-tribution and market segmentation
Kampanye pangan sehat Healthy food campaign
Pengembangan produk pangan sehat berbasis sagu Development of sago-based healthy food products
1. Sertifikasi pangan sehat Healthy food certification 2. Pembinaan kepada pelaku usaha
dan masyarakat Knowledge development to busi-
nessman and communities
4 Tata kelola air Water mana-gement
Pengembalian lingkungan tumbuh sagu sesuai per-syaratan kon-disinya Repayment growing sago environment in accordance with requirements condition
1. Pembasahan lahan Re-Wetting land
1. Pembuatan trio tata air jika belum tertata/terbuat yaitu : saluran, tanggul, pintu klep.
Triangle water management construction : cannal, barrier, and valve
2. Pembuatan sekat kanal. Cannal partition construction. 3. Pengairan pada lahan sagu yang
jauh dari badan air Watering on land sago that is far from a
body of water
2. Penataan ruang tumbuh sagu
Spatial planning growing sago
1. Pemetaan kelas lahan kesesuaian sagu.
Mapping of land suitability sago. 2. Penanaman sagu sesuai habitatnya Planting sago in their habitat.
5 Pengolahan produk turunan dan desain kemasan
Peningkatan kualitas daya saing Improving the quality of compe-titiveness
1. Diversifikasi produk
Product diversifi-cation
2. Peningkatan mutu kemasan
Improving packaging quality
1. Desain kemasan Packaging design 2. Diversifikasi pengolahan Processing diversification
6 Stabilitas harga Penguatan ke-lembagaan pe-masaran sagu Institutional establishment of sago marketing
1. Penetapan formu-lasi harga dasar
Determanation of basic price formula-tions
2. Penguatan kelembagaan pemasaran sagu
Institutional streng-thening of sago marketing
1. Pembangunan sentra industry terpadu sagu
Development of integrated sago industrial centers
2. Pembangunan home industry Development of home industry 3. Pembangunan pasar penyangga
(Bulog) Construction of a buffer market (Bulog)
Berdasarkan Tabel 4, penelitian yang
dilakukan memiliki nilai penting dan strategis
dalam perumuskan kebijakan pengelolaan sagu
yang berkelanjutan bagi pemerintah dalam hal : a)
mendorong terbitnya kebijakan kuota sagu sebagai
barang substitusi impor; b) mendorong
pemerintah daerah dalam pengembangan dan
pengelolaan sagu dari hulu ke hilir; c) mendorong
pengelolaan limbah sagu; d) mendorong
penguatan kelembagaan pemasaran sagu; e)
mendorong peningkatan infrastruktur yang
mendukung pengembangan sagu; f) menjadikan
isu sagu sebagai pangan pokok pengganti beras.
Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 101 - 116
114
KESIMPULAN
Untuk mewujudkaan strategi pengelolaan
sagu berkelanjutan di Kabupaten Kepulauan
Meranti melalui analisis struktur kendala, maka
dapat disimpulkan bahwa:
1. Berdasarkan hasil Focus Group Discussion (FGD)
diperoleh enam belas sub elemen yang
berpengaruh dalam pengelolaan sagu yaitu : K1
(teknik pengeringan sagu); K2 (pengolahan
produk turunan dan desain kemasan); K3
(pemanfaatan dan pengolahan limbah); K4
(penggunaan teknologi pengolahan air); K5
(persentase penduduk dibawah garis
kemiskinan); K6 (budaya pemanenan sagu); K7
(akses kelompok tani kelembaga keuangan); K8
(regulasi tata guna lahan); K9 (pola kemitraan
dan pemantapan kelembagaan petani); K10
(sistem ijon); K11 (stabilitas harga); K12 (sumber
modal); K13 (ketersediaan, distribusi dan
segmentasi pasar); K14 (tata kelola air); K15
(asosiasi vegetasi); K16 (kesesuaian lahan);
2. Analisis ISM menghasilkan enam sub elemen
kendala pengungkit yang harus diperhatikan
dalam pengelolaan sagu yaitu: pemanfaatan
dan pengolahan limbah; sistem ijon;
ketersediaan, distribusi dan segmentasi pasar;
tata kelola air; pengolahan produk turunan dan
desain kemasan; dan stabilitas harga.
3. Faktor pengungkit (Leverage factor) dominan
dalam pengelolaan sagu berkelanjutan adalah
pemanfaatan dan pengolahan limbah; sistem
ijon; ketersediaan, distribusi dan segmentasi
pasar; dan tata kelola air.
SARAN
1. Perlu kajian lebih lanjut tentang produk
turunan dari sagu terutama dukungan
teknologi, pelatihan dan penguatan
kelembagaan.
2. Perlu kajian lebih lanjut tentang kelangsungan
usaha pengrajin industri makanan rumah
tangga yang memerlukan tepung sagu basah
sebagai bahan baku berkaitan dengan kondisi
sekarang industri kilang sagu dominan
menghasilkan tepung sagu kering yang dijual
ke luar daerah.
3. Perlu kajian lebih lanjut dalam upaya
peningkatan produktivitas, mengurangi lama
masa panen dan menghapuskan ijon.
DAFTAR PUSTAKA
Alfons, J.B., A.A. Rivaie. 2011. Sagu men-dukung
ketahanan pangan dalam menghadapi
dampak perubahan iklim. Perspektif. 10(2):81-
91.
Asthutiirundu, A. Lay. 2013. Analisis kelayakan
finansial pengolahan tepung sagu menjadi
produk kue bagea (studi kasus pada industri
rumah tangga di Minahasa Selatan). Buletin
Palma. 14(1):61-68.
Ayyasamy, P.M., R. Banuregha, G.
Vivekanandhan, S. Rajakumar, R. Yasodha, S.
Lee, P. Lakshmana-perumalsamy. 2008.
Bioremediation of sago industry effluent and
its impact on seed germination (green gram
and maize). World J Microbiol Biotechnol.
24(11):2677-2684.
Bantacut, T. 2011. Sagu: sumberdaya untuk
penganekaragaman pangan pokok. Pangan.
20(1):27-40.
Bantacut, T. 2014. Indonesian staple food
adaptations for sustainability in continuosly
changing climates. Journal of Environment
and Earth Science. 4(21):202-215.
[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Kepulauan
Meranti. 2018. Kabupaten Kepulauan
Meranti Dalam Angka 2018. Selatpanjang
Bukhari, N.A., S.K. Loh, N.A. Bakar, M. Ismail.
2017. Hydrolysis of residual starch from sago
pith residue and its fermentation to bioethanol.
Sains Malaysiana. 46(8):1269-1278.
Cenadi, C.S. 2000. Peranan desain kemasan dalam
dunia pemasaran. Nirmana. 2(1):92-103.
Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem. Meningkatkan Mutu
dan Efektivitas Manajemen. Jilid 1 Edisi
Ketiga. Bogor. IPB Press.
Flach, M. 1997. Sago Palm, Metroxylon Sagu,
Rottb. International Plant Generic
Resources Institute: Pro-moting The
Conservation and The Use of Under
Utilized and Neglected Crops. Rome.
Analisis Struktur Kendala Dalam Pengelolaan Sagu Berkelanjutan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau (Mamun Murod, et al.)
115
Gunasekar, V., K. Madhuri., N. Apoorva., G.
Sailaja., V. Ponnusami. 2014.
Bioremediation of sago industry waste. Bio
Technology An Indian Journal. 9(2):73-78.
Hadi, P.U. 2014. Reformasi Kebijakan Penciptaan
Nilai Tambah Produk Pertanian Indonesia. P.
303-316. Dalam Haryono, Pasandaran E.,
Rachmat M., Mardianto S., Salim S.H.P., dan
Heriadi A (Editor). Reformasi Kebijakan
Menuju Transformasi Pembangunan. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Jakarta; IAARD Press.
Hardono, G.S. 2014. Strategi pengembangan
diversifikasi pangan lokal. Analisis Kebijakan
Pertanian. 12(1):1-17.
Herman. 2016. Upaya konservasi dan rehabilitasi
lahan gambut melalui pengembangan industri
perkebunan sagu. Soendjoto MA, Dharmono,
Riefani MK, editor. Potensi, Peluang dan
Tantangan Pengelolaan Lingkungan Lahan
Basah Secara Berkelanjutan. Prosiding Seminar
Nasional Lahan Basah 2016; 2016 Nov 5,
Banjarmasin. Banjarmasin (ID): Lambung
Mangkurat University Press.
Hoque, M.E., T.J. Ye, L.C. Yong., and K.M. Dahlan.
2013. Sago starch-mixed low-density
polyethylen biodegradable polymer: synthesis
and characterization. Journal of Materials. 1-8.
Hutabarat H. 2013. Analisis faktor-faktor yang
mempengaruhi petani dalam penjualan padi
ke tengkulak di Kecamatan Jatilawang
Kabupaten Banyumas. Agritech. 15(2):87-104.
Ibrahim, K., H. Gunawan. 2015. Dampak kebijakan
konversi lahan sagu sebagai upaya
mendukung program pengem-bangan padi
sawah di Kabupaten Halmahera Barat,
Maluku Utara. Prosiding Seminar Nasional
Masyarakat Biodiversitas Indonesia.
Semarang, 9 Mei 2015. 11 hlm.
Irrubai, M.L. 2016. Strategi labeling, packaging,
dan marketing produksi hasil industri rumah
tangga. Social Science Education Journal.
3(1):17-26.
Kandasamy, S., B. Dananjeyan, and K.
Krishnamurthy. 2014. Biodegradation of
cyanide and starch by individual bacterial
strains and mixed bacterial consortium
isolated from cassava sago wastewater.
Research Journal of Chemistry and
Environment. 18(6):13-18.
Konuma, H., R. Rolle., and S. Boromthanarat. 2013.
Correlation of browning of starch extracted
from sago palm (Metroxylon sagu Rottb.) to the
phenolic content and ecosystem conditions of
growth. Journal of Agricultural Technology.
9(1):193-200.
Kumar, M., and S. Manivannan. 2015.
Biomanagement of sago bagasse with biogas
plant slurry using an indigenous earthworms
perionyx ceylanensis Mich. And lampito
mauritii (kinberg) for nutrients recovery.
Pelagia Research Library. 5(12):12-17.
Linda T., M. Turukay., dan N.F. Wenno. 2014.
Analisis Permintaan Beras di Provisi Maluku.
Jurnal Agrilan (Agribisnis Kepulauan). 2(1):78-
87.
Louhenapessy, J.E., M. Luhukay., S. Talakua., H.
Salampessy., dan J. Riry. 2010. Sagu Harapan
dan Tantangan. PT. Bumi Aksara, Jakarta.
Marimin. 2004. Teknik Aplikasi Pengambilan
Keputusan Kreteria Majemuk. Grasindo.
Jakarta.
Nursodik, R., Rosnita., dan E. Sayamar. 2016.
Kemandirian petani dalam berusahatani sagu
di Desa Tanjung Kecamatan Tebing Tinggi
Barat Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi
Riau. SEPA. 13(1):28-39.
Quek, S.Y., D.A.J. Wase., and C.F. Forster. 1998.
The use of sago waste for the sorption of lead
and copper. Water SA. 24(3):251-256.
Rahim, A., Mappiratu., dan A. Noviyanti. 2009.
Sifat fisikokimia dan sensoris sohun instan
dari pati sagu. Jurnal Agroland. 16(2):124-129.
Rashid, W.A., H. Musa., W.S. King., and K. Bujang.
2010. The potential of extended aeration
system for sago effluent treatment. Amerina
Journal of Applied Sciences. 7(5):616-619.
Ritzema, H., S. Limin., K. Kusin., J. Jauhiainen., H.
Wosten. 2014. Canal blocking strategies for
hydrological restoration of degraded tropical
peatlands in Central Kalimantan, Indonesia.
Catena. 114:11-20.
Salampessy M.L., I.G. Febryano., D. Zulfiani. 2017.
Bound by debt: nutmeg trees and changing
relations between farmers and agents in a
Moluccan agroforestry systems. Forest and
Society. 1(2):137-143.
Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 101 - 116
116
Sangeetha, V., V. Sivakumar. 2016. Biogas
production from synthetic sago wastewater by
anaerobic digestion: optimization and
treatment. Chem. Ind. Chem. Eng. Q. 22(1):33-
39.
Sexana., J.P. Sushil, and P. Vrat. 1992. Scenario
Buliding: A Critical Study of Energy
Conservation in The Indian Cement Industry.
Technological Forecasting and Social Change.
41:121-146.
Simanihuruk, K., Antonius., dan J. Sirait. 2013.
Penggunaan ampas sagu sebagai campuran
pakan komplit kambing Boerka fase
pertumbuhan. Inovasi Teknologi Peternakan
dan Veteriner Berbasis Sumberdaya Lokal
yang Adaptif dan Mitigasi Terhadap
Perubahan Iklim. Prosiding Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013; 2013
Sept 3-5, Medan. Medan (ID): IAARD Press.
Singhal, R.S., J.F. Kennedy., S.M. Gopalakrishnan.,
A. Kaczmarek., C.J. Knill., and P.F. Akmar.
2007. Industrial production, processing, and
utilization of sago palm-derived products.
Carbohydrate Polymers. 72:1-20.
Sisriyanni, D., A. Simanjuntak., dan T. Adelina.
2017. Potensi dan penggunaan limbah sagu
fermentasi sebagai pakan sapi di Kabupaten
Kepulauan Meranti. Teknologi Peternakan dan
Veteriner Mendukung Diversifikasi Sumber
Protein Asal Ternak. Prosiding Seminar
Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner
2017; 2017Agust 8-9, Bogor. Bogor (ID):
IAARD Press.
Situmorang, R.O.P., dan A.H. Harianja. 2018.
Tingkat preferensi masyarakat mengelola sagu
di Kabupaten Asahan, serta faktor-faktor yang
memengaruhinya. Jurnal Penelitian Sosial dan
Ekonomi Kehutanan. 15(2):129-147.
Suriadikarta, D.A. 2012. Teknologi pengelolaan
lahan rawa berkelanjutan: studi kasus
kawasan ex PLG Kalimantan Tengah. Jurnal
Sumberdaya Lahan. 6(1):45-54.
Susanti, A., O. Karyanto., A. Affianto., Ismail., S.
Pudyatmoko., T. Aditya., Haerudin., H.A.
Nainggolan. 2018. Understanding the impacts
of recurrent peat fires in Padang Island – Riau
Province, Indonesia. Jurnal Ilmu Kehutanan.
12:117-126.
Tarigan, D.D. 2001. Sagu memantapkan
swasembada pangan. Warta Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. 23(5):1-3.
Trisia, M.A., A.P. Metaragakusuma., K. Osozawa.,
and H. Bai. 2016. Promoting sago palm in the
context of national level: chalenges and
strategies to adapt to climate change in
Indonesia. International Journal Sustainable
Future for Human Security. 4(2):54-63.
Tiro, B.M.W., P.A. Beding., and Y. Baliadi. 2018.
The utilization of sago waste as cattle feed. IOP
Conf. Ser.: Earth Environ. Sci. 119:1-9.
Utami, A.S., T.C. Sunarti., N. Isono., M.
Hisamatsu., and H. Ehara. 2014. Preparation of
biodegradable foam from sago residue. Sago
Palm. 22:1-5.
Walpole, R.E. 1995. Pengantar statistika Edisi ke
3. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama.
Wang, W.J., A.D. Powell., and C.G. Oates. 1996.
Sago starch as a biomass source raw sago
starch hydrolysis by commercial enzymes.
Bioresource Technology. 55: 55-61.
Widodo A.C., K. Damayanti., MFRH. Rambey.,
P.D. Novitasari., dan S. Bonata. 2016. Upaya
petani sagu dalam usaha budidaya sagu pasca-
proyek kanalisasi: studi di Desa Sungai Tohor,
Riau. Jurnal Indonesia Student Research &
Summit 2016. 2:32-41.
Yadaf, R., and G. Garg. 2013. A review on Indian
sago starch and its pharmacuetical
applications. International Journal of
Pharmaceutical and Life Sciences. 2(3):99-106.
Yasin, A.Z.F., A. Rifai., E. Maharani., S. Hutabarat.,
N. Haska. 2005. A study on sago agribusiness
in Riau Province, Indonesia. Sago Palm. 13:1-8.
Zawawi, Z.A.M., N.F. Akam., D. Dose., S. Alyssa.,
R.A. Ahmad., and Z. Yussof. 2017.
Biodegradable plastics from sago starch.
Journal of Mechanical Engineering
Department PKS. 1(1):46-54.
117
Analisis Kelayakan Finansial Pengolahan Gula Cair Pati Sagu
Di Kabupaten Konawe Selatan
Financial Analysis Of Processing Sago Liquid Sugar At South Konawe Regency
ZAINAL ABIDIN
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara
Jl. Prof. Muh. Yamin No. 89 Puwatu Kendari Email : [email protected]
Diterima 25 Mei 2018 / Direvisi 17 Juli 2018 / Disetujui 26 November 2018
ABSTRAK
Swasembada gula telah dicanangkan oleh pemerintah untuk dicapai tahun 2019. Penelitian dilakukan di Desa Lamokula Kecamatan Moramo Utara Kab. Konawe Selatan pada bulan Juli – Oktober 2016. Penelitian dilakukan untuk mengetahui aspek ekonomi pembuatan gula cair pati sagu dan penerimaan masyarakat terhadap gula cair pati sagu. Penelitian menggunakan uji coba pembuatan gula cair pati sagu. Uji organoleptik dilakukan oleh 85 orang panelis yang menguji tentang rasa, warna dan bau gula cair pati sagu serta pemanfaatannya pada minuman es teler. Hasil analisis menunjukkan bahwa usaha gula cair pati sagu dengan skala 200 kg per bulan layak secara ekonomi dengan nilai RCR 1,79dengan pendapatan bersih per bulan sekitar Rp. 1.590.000, dan nilai TIP sebesar 112 liter dan TIH sebesar Rp. 10.050. Produksi gula cair sagu tetap layak dilaksanakan meskipun terjadi perubahan harga input berupa bahan baku sagu naik hingga 30%, bahan bakar gas hingga 10%, tenaga kerja dan kemasan hingga 20% meskipun produksi turun hingga 10%, akan tetapi harga naik minimal 10%. Hasil uji organoleptik menunjukkan bahwa gula cair sagu memiliki rasa, warna dan bau yang dapat di terima baik oleh masyarakat. Demikian pula halnya jika gula cair sagu digunakan dalam minuman es teler dengan parameter rasa dan bau, di anggap baik oleh panelis. Ke depan gula cair sagu dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif dalam upaya pencapaian swasembada gula. Kata Kunci : gula cair sagu, uji organoleptik, analisis ekonomi
ABSTRACT
Sugar is a one of commodity that goverment already decided to reach national self sufficient in 2019. One effort that was conducted is using sago starchto produce liguid sugar. Research was done in Lamokula Village, North Moramo Sub Distric, South Konawe Regency at July – October 2016. The research was conducted to know the economic analysis and organoleptic test of producing liquid sugar from sago starch. Research usedtesting of producion sago liquid sugar in home scale. Besides that organoleptic test was conducted using questionare for 85 panelists that threat the taste, color and smell of sago liquid sugar and also application of sago liquid sugar in drinks. The result of research showed that producing sago liquid sugar from sago starch with capacity 200 kg was feasible with value of RCR 1,79 and net income reach Rp. 1.590.000, with BEP from production side 112 liters and BEP from price side Rp. 10.050. Production of sago liqud sugar still feasible even price of wet sago increase until 30%, gas fuel until 10%, labour and packaging until 20% eventhoug production decrease 10% but price of sago liquid sugar increase minimum 10%. The yield of organoleptic test show that sago liquid sugar have taste, color and smell that can be good accepted by community. Even that if sago liquid sugar apply in fruit ice drinks, the taste and smell of fruit ice drinks is good. For the next sago liquid sugar can substitute sugar cane and also other sweetener and support the the effort to reach national self sufficient of sugar. Key Words: sago liquid sugar, organoleptic test, economic analysis
Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 117 - 125
118
PENDAHULUAN
Gula merupakan salah satu komoditas
strategis nasional yang permintaannya terus berkembang seiring dengan pertumbuhan penduduk dansebagianbesar harus dipenuhi dari impor, sehingga membebani devisa negara. Upaya peningkatan produksi gula terus dilakukan pemerintah dengan berbagai program yang secara spesifik berbasis pada pengembangan tebu sebagai komoditas penghasil gula, tetapi pabrik gula berbasis tebu cenderung memiliki biaya operasional yang tinggi sehingga kurang efisien. Selain itu kebijakan gula nasional cenderung tidak terintegrasi antar berbagai elemen yang berkepentingan (Sawit, 2010). Pada tahun 2017 kebutuhan gula industri diprediksikan sebesar 3,5 juta ton, sedangkan kebutuhan gula baik dalam bentuk kristal maupun cair mencapai 2,7 juta ton (Widiarto et al., 2017). Pemanfaatan gula khusus pada sektor industri sangat diperlukan dalam proses produksi bahan makanan dan minuman, seperti dalam pembuatan permen, biskuit, es krim, bumbu masak, sirup dan kecap. Gula juga digunakan sebagai substituen karena mengandung karbohidrat atau gula pereduksi, misalnya dalam industri fermentasi memproduksi etanol dan asam sitrat (Bantacut, 2010; Susila dan Sinaga, 2005)
Upaya pencapaian swasembada gula secara nasional perlu pula didukung dengan pemanfataan sumber-sumber gula dari tanaman selain tebu yang memproduksi pati. Secara teoritis, gula dapat dihasilkan pada proses hidrolisis dari pati yang dihasilkan oleh berbagai tanaman (Hartiati dan Yoga, 2015). Sagu merupakan salah satu komoditas penghasil pati terbesar sekitar 25 – 40 ton/ha/tahun memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai alternatif pembuatan gula (Bintoro, 2014; Syakir, 2014; Tirta et al., 2013; Kumoro et al., 2008; Tyanjani dan Yunianta, 2015). Lebih lanjut Linggang et al., (2012) menyatakan ampas sagu yang selama ini masih merupakan biomassa yang terbuang juga memiliki potensi untuk diolah menjadi gula cair. Pengolahannya sagu menjadi gula cair dapat dilakukan melalui proses hidrolisis menggunakanasam ataupun enzim. Penggunaan enzim menjadi alternatif paling menguntungkan karena biayanya relatifmurah dan enzim yang dapat digunakan diantaranya adalah α-amylase dan β-glokosidase (Budiyanto, 2015; Mogea, 1991 dalam Pontoh dan Nicholas 1995; Karim et al., 2008). Pengolahan sagu menjadi gula cair dapat menjadi alternatif dalam mendorong pencapaian swasembada gula nasional. Gula cair sagu memiliki potensi untuk
mensubtitusi pemanfaatan gula dalam industri makanan dan minuman (Abidin dan Asaad, 2017).
Ahmad (2014) bahwa Indonesia merupakan produsen terbesar sagu di dunia dengan produksi mencapai 585,093 ton per tahun dengan luas areal pertanaman mencapai 1.843.287 ha yang tersebar di beberapa pulau terutama P. Papua, Kep. Maluku. P. Sumatera, P. Kalimantan dan P. Sulawesi. Kabupaten Konawe Selatan merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara yang memiliki areal pertanaman sagu yang cukup luas yakni 1.218 ha, memiliki potensi pengembangan industri gula berbasis sagu. Pengolahan tepung sagu di wilayah ini, pada umumnya masih dilakukan secara konvensional dengan produk utama yakni produksi tepung sagu basah. Penebangan dilakukan menggunakan mesin, demikian juga pemotongan batang sagu menjadi bagian yang lebih pendek (ukuran 0,75 – 1 m). Selanjutnya pemarutan dilakukan dengan menggunakan mesin parut yang dirakit yang Ekstraksi tepung masih dilakukan secara manual, yang selanjutnya diendapkan pada wadah yang telah dibentuk menjadi “kolam”. Pengendapan dilakukan sekaligus juga sebagai tempat pengumpulan pati sagu sebelum dipasarkan. Panen pati dilakukan dengan cara memasukkan dalam karung dengan berat berkisar antara 30 – 33 kg/karung. Pemasaran dilakukan baik secara langsung ditempat pengolahan, maupun ke beberapa wilayah di Sulawesi Tenggara, dengan harga sekitar Rp. 100.000 per karung.
Meskipun memiliki prospek yang baik, akan tetapi industri pembuatan gula cair dari sagu masih terbatas, karena kurangnya pengetahuan masyarakat, serta belum diketahuinya kelayakan ekonomi dalam pengolahan sagu menjadi gula cair.Penelitian bertujuan untuk menganalisis secara finansial pengolahan pati sagu menjadi gula cair serta menguji respon masyarakat terhadap gula cair sagu melalui uji organoleptik.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan di Desa Lamokula,
Kecamatan Moramo Utara, Kabupaten Konawe Selatan pada bulan Juli – Oktober 2016. Pengolahan gula cair dilakukan dalam skala rumah tangga, melibatkan satu kelompok usaha pengolahan hasil sagu yang terdiri dari 7 orang anggota.
Prosedur pembuatan gula cair sagu merujuk pada Budiyanto, (2015) sebagai berikut :
Analisa Kelayakan Finansial Pengolahan Gula Cair Pati Sagu di Kabupaten Konawe Selatan (Zainal Abidin)
119
1. Pati sagu dicuci dan diendapkan sekitar 5 – 6 kali hingga rasa asam pada pati sagu hilang.
2. Pati sagu diencerkan dengan menambahkan air dalam perbandingan 1 kg sagu : 4 liter air kemudian ditambahkan enzim amylase sebanyak 1 ml/kg pati sagu.
3. Pemanasan dilakukan dengan nyala api sedang sambil terus diaduk hingga mendidih Kemudian dilakukan pendinginan
dilakukan sekitar 1 – 2 jam.
4. Pemberian enzim glukoamylase dengan konsentrasi 1 ml/kg pati sagu, kemudian dilakukan pemeraman selama 24 jam.
5. Penyaringan dilakukan untuk memisahkan padatan sagu maupun kotoran yang masih tersisa. Penyaringan dilakukan menggunakan kain yang tebal.
6. Penguapan melalui pemanasan dengan nyala api kecil hingga gula cair terbentuk. Biasanya 1 kg pati sagu akan menghasilkan 1 liter gula cair.
7. Pengemasan dilakukan dalam bentuk botol ukuran 500 ml.
Variabel yang diamati adalah input dan
output yang dihasilkan dalam proses pengolahan pati sagu menjadi gula cair, diantaranya jumlah sagu yang digunakan (kg), jumlah tenaga kerja yang digunakan (HOK), jumlah enzim (ml) serta produksi gula cair (liter). Analisis pendapatan menggunakan metode (Abidin dan Harnowo, 2014; Abidin et al., 2016) dengan persamaan sebagai berikut :
Π = Q x pQ - ∑X x Px Keterangan : Π = Keuntungan (Rp/ha) Q = Jumlah produksi yang dihasilkan (Kg GKG/ha (ka.23%)) pQ = Harga produksi (Rp/kg) X = Jumlah input (kg/liter/HOK) pX = harga input (Rp/(kg/liter/HOK)
Selanjutnya dilakukan analisis kelayakan
ekonomi dengan menggunakan formula Astutiirundu dan Lay (2013) sebagai berikut :
BCR = 𝑄 𝑥 𝑃𝑞−𝑋𝑥𝑃𝑥
𝑋 𝑥 𝑃𝑥
RCR = 𝑄 𝑥 𝑃𝑞
𝑋 𝑥 𝑃𝑥
Keterangan : RCR = Revenue Cost Ratio BCR = Benefict Cost Ratio Q = Jumlah produksi yang dihasilkan (Kg GKG/ha (ka.23%)) pQ = Harga produksi (Rp/kg) X = Jumlah input (kg/liter/HOK) pX = Harga input (Rp/(kg/liter/HOK))
Kriteria penilaian untuk kelayakan usaha pengolahan gula cair pati sagu mengacu pada (Rusdin dan Agussalim, 2012; Hendayana, 2016): RCR > 1 berarti usaha pengolahan gula cair pati sagu layak diusahakan RCR < 1 berarti usaha pengolahan gula cair pati sagu tidak layak diusahakan
Analisis titik impas baik titik impas harga, maupun titik impas produksi dilakukan untuk mendapatkan gambaran jumlah produk ataupun harga minimal yang harus dicapai dalam usaha produksi gula cair tersebut, sehingga usaha tersebut tidak mengalami kerugian dan juga tidak mengalami keuntungan. Persamaan Titik Impas Produksi (TIP) dan Titik Impas Harga (TIH) mengacu pada Abidin (2011) dan Hendayana ( 2016) yaitu :
TIP = (∑ X.Px)/Pq TIH = (∑ X.Px)/Q
Keterangan : TIP = Titik impas produksi TIH = Titik impas harga Q = Produksi (kg/ha) Pq = Harga produksi (Rp/kg) X = Faktor produksi (kg,ltr) Px =Harga faktor produksi (Rp/kg/ltr)
Selanjutnya dilakukan analisis sensivitas
yang akan menunjukkan kelayakan usaha akibat adanya fluktuasi harga dan produksi (Hendayana, 2016). Analisis sentifvitas usaha pembuatan gula cair pati sagu dilakukan dalam 3 skenario, seperti pada Tabel 1.
Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 117 - 125
120
Tabel 1. Skenario perubahan harga bahan baku, produksiserta harga produksi dalam usaha pengolahan
gula cairpati sagu Table 1. The Scenario of input price, output and output price changing in processing business of sago liquid sugar
Uraian
Description Skenario 1 Scenario 1
Skenario 2 Scenario 2
Skenario 3 Scenario 3
Sagu Basah (kg) Wet Sago (kg) + 10% + 30% + 30% Bahan Bakar Gas Liquid Petroleum Gas + 5% + 10% + 10% Tenaga Kerja Labor +10% +20% +20% Kemasan Packaging + 10% + 20% + 20% Produksi Production 0% -10 % -10 % Harga Price 0% +10 % -10 %
Selanjutnya dilakukan uji
organoleptikyang akan memberikan indikasi penerimaan konsumen terhadap gula cair pati sagu. Uji organoleptik dilakukan oleh 45 orang responden. Sementara itu uji organoleptik pemanfaatan gula cair pada produk minuman es teler menggunakan 40 orang responden. Pengujian organoleptik meliputi warna, aroma, dan rasa, menggunakan skor 1 sampai 3 (1= tidak baik, 2= baik, 3 = sangat baik) (Lestari dan Susilawati, 2015).
HASIL DAN PEMBAHASAN Proses Pengolahan Gula Cair Pati Sagu
Pengolahan gula cair pati sagu di Desa Lamokula Kecamatan Moramo Utara Kab. Konawe Selatan masihrelatif baru, diperkenalkan oleh Tim BPTP Sulawesi Tenggara. Usaha ini merupakan salah satu cara untuk meningkatkan nilai tambah pati sagu basah sebagai sumber mata pencaharian masyarakat.
Bahan dan alat yang digunakan dalam pengolahan gula cair pati sagu adalah : sagu basah, enzim, air bersih, bahan bakar gas, kompor, panci, kain penyaring serta botol kemasan. Khusus botol kemasan, digunakan ukuran 500 dan 1.000 ml.
Proses pengolahan gula cair dalam sekali
siklus produksi berlangsung sekitar8 jam untuk kapasitas produksi 10 kg sagu. Proses yang membutuhkan waktu paling lama adalah penguapan yang bisa berlangsung sekitar 5 jam. Sementara itu proses likuifikasi berlangsung relative lebih singkat yaitu hanya sekitar 3 jam. Pemeraman dilakukan selama 24 jam untuk mendapatkan kondisi yang optimal.
Proses pembuatan gula cair pati sagu memerlukan waktu dan curahan kerja yang lebih besar, terutama pada proses pemanasan dan penguapan. Oleh karena itu, kedepannya perlu diupayakan adanya energi alternatif yang dapat menurunkan biaya produksi ini.
Analisis Ekonomi Pengolahan Gula Cair Pati Sagu
Analisis ekonomi menjadi sangat penting terutama untuk produk-produk baru yang menggambarkan feasibility dari produk tersebut. Dalam analisis ini digunakan skala produksi 100 liter. Selanjutnya harga bahan dan biaya tenaga kerja menggunakan harga pada wilayah setempat, sementara harga produk gula cair menggunakan harga gula cair produksi perusahaan Rose Brand yaitu sebesar Rp. 18.000 per liter. Hasil analisis ekonomi disajikan pada Tabel 2.
Analisa Kelayakan Finansial Pengolahan Gula Cair Pati Sagu di Kabupaten Konawe Selatan (Zainal Abidin)
121
Tabel 2. Analisa Ekonomi Pembuatan Gula Cair Pati Sagu di DesaLamokulaKabupaten Konawe Selatan,
2016 Table 2. Economic analysis of processing sago liquid sugar in Lamokula Village South Konawe, 2016
Uraian Description
Jumlah Amount
Harga (Rp) Price
Nilai (Rp) Value
Proporsi (%) terhadap The proporsional (%) for
Biaya Cost
Penerimaan Revenue
A. Bahan Material
950.000 47% 26%
1. Sagu Basah (kg) Wet sago (kg) 200 3.000 600.000 30% 17%
2. Bahan Bakar Gas Liquid Petroleum Gas
150.000 7% 4%
3. Enzim ( ml) Enzim (ml) 400 500 200.000 10% 6%
B. Tenaga Kerja Labor 8 70.000 560.000 28% 16%
C. Kemasan Packaging 200 2500 500.000 25% 14%
Total Biaya Total cost
2.010.000 100% 56%
Produksi Gula Cair (liter) Production of liquid sugar (liter)
Pendapatan Revenue 200 18.000 3.600.000
100%
Keuntungan Benefit
1.590.000
Rasio Penerimaan atas Biaya Revenue Cost Ratio (RCR)
1,79
Rasio Keuntungan atas Biaya Benefit Cost Ratio (BCR)
0,79
Titik Impas Harga (Rp) Break Even from price side ((IDR)
10050
Titik Impas Produksi (Liter) Break even from production side (liter)
112
Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa secara
umum usaha produksi gula cair pati sagu layak dilaksanakan dengan nilai RCR > 1, yang menunjukkan bahwa penerimaan yang diperoleh lebih besar dibandingkan dengan biaya-biaya yang dikeluarkan, sehingga masih memberikan keuntungan. Namun demikian Hendayana (2016) bahwa karena adanya faktor resiko dalam usaha, maka kelayakan suatu usaha mestinya memiliki nilai RCR yang berkisar antara 1,2 – 1,4. Berdasarkan kriteria tersebut usaha gula cair sagu masih dapat dikatakan layak. Akan tetapi usaha produksi gula cair pati sagu memiliki nilai BCR < 1. Hal ini menunjukkan bahwa manfaat ekonomi dari usaha tersebut relatif masih rendah, sehingga masih diperlukan langkah-langkah teknis yang memungkinkan nilai BCR > 1 melalui efisiensi bahan baku, tenaga kerja maupun efisiensi dalam pembelian kemasan dalam skala besar sehingga harga kemasan dapat ditekan. Selain itu perlu
mencari sumber daya alternatif dalam pemanasan dan penguapan sehingga dapat menekan biaya gas serta tenaga kerja yang akan menurunkan biaya secara keseluruhan.
Lebih lanjut dapat dilihat bahwa keuntungan bersih yang dapat diperoleh dari usaha tersebut sekitar Rp. 1.590.000untuk kapasitas produksi 200 kg, bahkan keuntungan tersebut dapat saja meningkat karena penggunaan tenaga kerja biasaya adalah tenaga kerja dalam keluarga yang besarnya sekitar Rp. 420.000. Jika siklus produksi bisa berlangsung hingga 4 kali dalam sebulan, maka pendapatan bersih yang dapat dinikmati oleh petani adalah sekitar Rp. 2.520.000. Pendapatan tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan nilai Upah Minimum Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2016 yang mencapai Rp. 1.850.000 (BPS, 2016).
Titik impas harga maupun titik impas produksi yang diperoleh masih jauh dibawah dari
Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 117 - 125
122
produksi yang berhasil dicapai dalam kegiatan ini. Hal ini sekaligus menegaskan bahwa usaha produksi gula cair sagu layak dikembangkan.
Proporsi biaya untuk sarana produksi nampaknya masih yang tertinggi, disusul tenaga kerja dan kemasan. Hal ini menunjukkan usaha tersebut tergolong padat modal. Proporsi modal terbesar adalah sagu basah yang merupakan salah satu komoditas potensial wilayah, sehingga dengan pengolahan ini diharapkan dapat memberikan peningkatan nilai tambah dari sagu. Dari analisis tersebut juga nampak bahwa proporsi tenaga kerja sekitar 28%. Hal ini menunjukkan bahwa usaha pembuatan gula cair tersebut dapat menjadi salah satu peluang kerja di pedesaan.
Lebih lanjut dapat dilihat bahwa proporsi penerimaan terhadap biaya secara total mencapai 56%. Hal ini menunjukkan bahwa keuntungan usaha produksi gula cair sagu cukup signifikan, karena hanya 56% dari penerimaan tersebut sudah dapat menutupi seluruh biaya-biaya usaha.
Keuntungan usaha sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor internal dan eksternal terutama adaya perubahan-perubahan harga input dan output. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil analisis sensitivitas pada tigaskenario sepertipada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil analisis sensitivitas usaha pengolahan gula cair pati sagu, 2016 Table 3. The result of sensitivitas analysis of processing business sago liquid sugar, 2016
Uraian Description
Skenario 1 Scenario 1
Skenario 2 Scenario 2
Skenario 3 Scenario 3
a. Keuntungan Benefit
1.356.500 1.111.000 456.000
b. Rasio Penerimaan atas Biaya Revenue Cost Ratio (RCR)
1,60 1,46 1,19
c. Rasio Keuntungan atas Biaya Benefit Cost Ratio (BCR)
0,60 0,46 0,19
d. Titik Impas Harga Break Even from Price side
11.218 13.428 13. 667
e. Titik Impas Produksi Break Even from Production side
125 123 152
Hasil analisis sensitivitas menunjukkan
bahwa usaha pembuatan gula cair pati sagu tetap menguntungkan dan layak diusahakan, meskipun terjadi kenaikan bahan baku berupa pati sagu basah hingga 10%, bahan bakar gas 5%, tenaga kerja 10%, kemasan 10% dengan asumsi produksi tetap dan harga produksi juga tetap (skenario 1). Demikian pula halnya jika bahan baku berupa sagu basah, bahan bakar gas, tenaga kerja dan kemasan naik masing-masing 30%, 10%, 20%,20% meskipun produksi turun hingga 10% akan tetapi harga gula cair naik 10% (skenario 2), maka usaha gula cair pati sagu juga tetap menguntungkan dan layak. Dengan demikian usaha pembuatan gula cair sagu cukup stabil meskipun terjadi perubahan-perubahan harga baik input maupu output. Akan tetapi jika produksi turun 10%, harga gula cair turun 10% dan harga bahan baku sagu basah, bahan bakar gas, tenaga kerja dan kemasan naik masing-masing 30%, 20%, 25%,20% (skenario 3) maka usaha gula cair meskipun menguntungkan, akan tetapi keuntungan tersebut relative rendah dan kurang memberikan insentif
yang cukup bagi pelaku usaha produksi gula cair. Meskipun nilai RCR skenario tersebut >1, akan tetapi lebih rendah dari ambang batas RCR yang telah memperhitungkan faktor resiko. Hal tersebut sebagaimana yang dikemukanan Hendayana, (2016) bahwa karena adanya faktor resiko, maka nilai RCR mestinya berkisar antara 1,2 – 1,4. Uji Organoleptik Gula Cair Pati Sagu
Uji organoleptik yang digunakan yaitu uji hedonik (uji kesukaan) terhadap gula cair sagu. Panelis dimintakan tanggapan pribadinya tentang kesukaan atau sebaliknya (ketidaksukaan). Tingkat-tingkat kesukaan disebut sebagai skala hedonik. Skala hedonik dapat direntangkan atau diciutkan menurut rentangan skala yang dikehendakinya. Skala hedonik dapat juga diubah menjadi skala numerik dengan angka mutu menurut tingkat kesukaan. Pada penelitian ini, parameter sampel yang dilakukan uji hedonik meliputi parameter warna, aroma dan rasa. Hal tersebut sebagaimana pada Tabel 4.
Analisa Kelayakan Finansial Pengolahan Gula Cair Pati Sagu di Kabupaten Konawe Selatan (Zainal Abidin)
123
Tabel 4. Hasil uji organoleptik gula cair pati sagu, 2016 Table 4. The result of organoleptic test for sago liquid sugar, 2016
Parameter Parameters
Baik (%) Good (%)
Kurang Baik (%) Less (%)
Tidak baik (%) Bad (%)
Warna
Color
87 13 0
Rasa
Taste
93 7 0
Aroma
Flavour
90 10 0
Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa dari sisi
warna sebagian besar responden menyatakan baik. Hal ini karena gula cair sagu berwarna kemerahan yang menjadi ciri spesifik dari gula cair sagu tersebut. Warna merupakan visualisasi suatu produk yang langsung terlihat lebih dahulu dibandingkan dengan variabel lainnya. Warna secara langsung akan mempengaruhi persepsi panelis. Menurut Winarno (2002), secara visual faktor warna akan tampil lebih dahulu dan sering kali menentukan nilai suatu produk. Berkaitan dengan hal tersebut, maka aspek warna dapat menjadi salah satu faktor diterimanya ataupun ditolaknya suatu produk. Hasil analisis ini menunjukan bahwa warna gula cair sagu dapat diterima baik oleh masyarakat.
Selanjutnya dari penilaian rasa, umumnya panelis memberikan klasifikasi yang baik. Panelis
merasa gula cair sagu memiliki rasa khas yang berbeda dengan gula pada umumnya (gula merah dan gula pasir). Secara umum panelis menyatakan bahwa rasa gula cair dapat diterima, sehingga memiliki prospek yang baik ke depan.
Kemudian dari segi aroma, ternyata masih ada aroma khas pati sagu. Panelis merasa masih terdapat aroma sagu yang “halus”. Hal ini menjadi salah satu faktor yang dapat mengurangi nilai dari gula cair tersebut. Untuk mengurangi aroma khas sagu tersebut, maka diperlukan pemanfaatan arang aktif.
Selanjutnya pada uji coba gula cair pati sagu pada es teler dengan jumlah responden 45 orang dengan dua parameter (rasa dan bau) dengan tiga kategori (enak, cukup, tidak enak) dapat dilihatpada Tabel 5.
Tabel 5. Respon panelis terhadap penggunaan gula cair sagu pada minuman es teler, 2016. Table 5. The panelist respon for application sago liquid sugar in fruit ice drinks, 2016.
Parameter Parameters
Enak (%) Nice (%)
Cukup (%) Enough (%)
Tidak enak (%) Undelicious (%)
A. Rasa Taste 90 10 0
B. Aroma Flavour
95 5 0
Hasil uji organoleptik menunjukkan
bahwa dari sisi rasa, sebagian besar panelis menyatakan bahwa rasa es teler yang di beri gula cair sagu sebagai pengganti gula merah yang selama ini digunakan terasa enak dan tidak berbeda dengan rasa es teler yang yang menggunakan gula merah sebagaimana yang selama ini digunakan dalam pembuatan es teler. Demikian pula halnya dengan parameter bau, dimana panelis menyatakan bahwa es teler yang diberi gula cair pati sagu menunjukkan bau yang
enak yang berarti bahwa bau sagu yang cenderung masih ada pada gula cair secara tersendiri ternyata setelah digunakan dalam minuman es teler ternyata sudah tidak ada lagi atau yang berarti bau gula sagu ternyata “hilang” dalam campuran es teler. Dengan demikian gula cair sagu dapat menggantikan penggunaan gula merah ataupun pemanis lain yang digunakan selama ini.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih kami sampaikan
kepada Dr. Ir. Ansharullah, M.Sc (Universitas
Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 117 - 125
124
Haluoleo Kendari), serta Bapak Ir. Rachmat Hendayana, MS (Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian) yang telah banyak memberikan masukan dalam pelaksanaan kegiatan penelitian serta penulisan makalah ini.
KESIMPULAN
Produksi gula cair sagu layak diusahakan
dengan nilai keuntungan bersih mencapai Rp. 1.590.000 untuk skala usaha 200 kg sagu per bulan, dengan nilai RCR mencapai 1,79 dan titik impas harga yakni pada RP.10.050 per liter dan titik impas produksi sebesar 112 liter. Usaha produksi gula cari sagu cukup stabil meskipun terjadi perubahan harga input maupun output. Usaha produksi gula cair tetap menguntungkan meskipun terjadi kenaikan harga bahan baku berupa sagu basah hingga 30%, bahan bakar gas hingga 10%, tenaga kerja hinga 20% dan kemasan hingga 20% meskipun produksi turun hingga 10% akan tetapi harga naik minimal 10%. Akan tetapi jika harga bahan baku sagu basah, bahan bakar gas, tenaga kerja dan kemasan naik masing-masing 30%, 20%, 25%,20% sementara produksi harga harga turun masing-masing 10%, maka usaha produksi gula cair tidak layak diusahakan.
Hasil uji organoleptik terhadap gula cair pati sagu menunjukkan bahwa panelis menilai parameter warna, rasa dan aroma gula cair pati sagu tergolong baik. Demikian juga gula cair pati sagu diaplikasikan kepada minuman es teller, rasa dan aroma disukai panelis. Dengan demikian gula cair sagu secara organoleptik dianggap oleh panelis dapat menggantikan penggunaan gula pasir ataupunpemanis lainnya untuk pembuatan minuman. Ke depan usaha gula cair mesti dikembangkan lebih besar untuk mencapai economic size serta diharapkan dapat menjadi alternatif dalam pencapaian swasembada gula nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z. 2011. Kajian Laba dan Titik Impas Usahatani Padi Hibrida di Sulawesi Tenggara. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Vol. 14(3):160 - 170.
Abidin, Z., dan D. Harnowo. 2014. Analisis Finansial dan Persepsi Petani terhadap Penangkaran Benih Kedelai di Sulawesi Tenggara. Jurnal Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian Vol. 17 No. (3) . Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Bogor. Hal : 243 - 249.
Abidin, Z., dan Muh. Asaad. 2017. Prospek pengembangan sagu sebagai bahan baku gula cair mendukung swasembada gula nasional. Buku Bioindustri sagu. Editor. Lintje Hutahaean, Rubiyo dan Rahmat hendayana. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Bogor. 105-120.
Ahmad M. 2014. Farmer Empowerment to Increase Productivity of Sago (Metroxylon sago spp) Farming. International journal on advanced science enggineering information technology. 4(3): 5- 9.
Asthutiirundu., dan A. Lay. 2013. Analisis Kelayakan Finansial Pengolahan Tepung Sagu Menjadi Produk Kue Bagea (Studi Kasus pada Industri Rumah Tangga di Minahasa Selatan). Buletin Palma. 14 (1): 61 – 68.
Badan Pusat Statistik. 2016. Upah Minimum Regional/Provinsi (UMR/UMP) dan rata-rata Nasional per tahun (Dalam Rupiah), 1997-2016. BPS Indonesia. Jakarta.
Bantacut, T. 2010. Swasembada Gula: Prospek dan Strategi Pencapaiannya. Pangan. 19(3):245 – 256.
Bintoro, H.M.H. 2014. Prospek Pengembangan Sagu. Makalah disampaikan pada Makalah disampaikan pada Focus Group Discussion (FGD) Sagu sebagai komoditas potensial, pilar kedaulatan pangan dan energi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Badan Litbang Pertanian.Jakarta.
Budiyanto, A. 2015. Bioindustri sagu. Disampaikan pada pelatihan Diversifikasi Olahan Sagu di BPTP Sulawesi Tenggara, Kendari tanggal 23 Oktober 2015.
Dirjen Perkebunan. 2017. Statistik Perkebunan Indonesia 2015 - 2017. Sagu. Dirjen Perkebunan. Jakarta.
Hartiati A., dan IW. Gede Sedana Yoga. 2015.Pemanfaatan Umbi Minor Gadung sebagai Bahan Baku Produksi Gula Cair Menggunakan Proses Likuifikasi dan Sakarifikasi Secara Enzimatis. Prosiding Seminar Agroindustri dan Lokakarya Nasional FKPT-TPI. Universitas Trunoloyo Madura. 147-154
Hendayana, R. 2016. Analisis Data Pengkajian. IAARD Press. Jakarta.
Analisa Kelayakan Finansial Pengolahan Gula Cair Pati Sagu di Kabupaten Konawe Selatan (Zainal Abidin)
125
Karim A.A., A. Pei-Lang Tie, D.M.A. Manan, and I.S.M. Zaidu. 2008. Starch from the Sago (Metroxylon sagu) Palm Tree—Properties, Prospects, and Challenges as a New Industrial Source for Food and Other Uses. Comprehensive Reviews In Food Science And Food Safety. 7:215 – 228.
Kumoro A.C., G.C. Ngoh., M. Hasan., C. H. Ong., and E.C. Teoh. 2008. Conversion of fibrous sago (Metroxylon sago) waste into Fermentable Sugar via Acid and Enzymatic Hydrolisis. Asian Journal of Scientific Research. 1(4): 412 – 420.
Linggang, S., L. Y. Phang., M. H. Wasoh., and S. Abd-Aziz. 2012. Sago Pith Residue as an Alternative Cheap Substrate for Fermentable Sugars Production. Appl Biochem Biotechnol. 167:122–131.
Pontoh, J., dan Nicholas 1995. Glucose syrup production from Indonesian palm and cassava starch. Food Research International. 28(4): 379-385.
Rusdin., dan Agussalim, 2012. Analisis pendapatan usahatani padi varietas unggul baru di Kab. Kolaka Sulawesi Tenggara. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 15(3):241 - 249.
Sawit H. 2010. Kebijakan swasembada gula: apanya yang kurang?. Analisis Kebijakan Pertanian. 8(4): 285-302.
Sri Lestari, S.S., dan P. N. Susilawati. 2015. Uji organoleptik mi basah berbahan dasar tepung talas beneng (Xantoshoma undipes) untuk meningkatkan nilai tambah bahan pangan lokal Banten. Prosiding Seminar Nasional Biodiversifikasi Indonesia. 1(4): 941-946.
Susila, W. R., dan Sinaga B., M. 2005. Jurnal Litbang Pertanian. 24 (1):1 – 9.
Syakir, M. 2014. Peluang Pengembangan dan Status Teknologi Komoditas Sagu di Indonesia. Makalah disampaikan pada Focus Group Discussion (FGD) Sagu sebagai komoditas potensial, pilar kedaulatan pangan dan energi.Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Bogor Badan Litbang Pertanian.
Tirta P. W.W.K., Novita I., dan Riyanti E. 2013. Potensi Tanaman Sagu {Metroxylon sp.) dalam Mendukung Ketahanan Pangan di Indonesia. Jurnal Pangan. 22(1): 61 – 76.
Tyanjani E. F., dan Yunianta. 2015. Pembuatan Dekstrin dari Pati Sagu (Metroxylon sagus Rottb) dengan Enzim β – Amilase Terhadap Sifat Fisiko Kimia. Jurnal Pangan dan Agroindustri. 3(3):1119-1127.
Widiarto, E., Andini dan A. Fidyasari. 2017.
Produksi Glukosa Cair Dan Karakterisasi Tepung Jagung, Tepung Sagu dan Tepung Tapioka. Seminar Nasional dan Gelar Produk. Universitas Muhammadiyah Malang.
Winarno, F.G. 2002. Pangan Gizi, Teknologi, dan Konsumen. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
127
Pengaruh Jarak Tanam Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Jagung (Zea mayz.L) Pada Tingkat Umur
Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq)
The Effect Spacing of Growth and Yield Corn (Zea mayz.L) of The Palm Oil (Elaeis guineensis Jacq) Grade Aged
M.NUR1, ASRUL2, DAN RAFIUDDIN2
1Magister Agroteknologi , Fakultas Pertanian UniversitasHasanuddin, Makassar 2Prodi Magister Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin, Makassar
Email : [email protected]
Diterima 05 Juni 2018 / Direvisi 05 Juni 2018 / Disetujui 12 Desember 2018
ABSTRAK
Penelitian pengaruh jarak tanam terhadap pertumbuhan dan hasil jagung pada tingkat umur kelapa sawit dilakukan untuk mengetahui pengaruh jarak tanam dan tingkat umur kelapa sawit serta interaksi antara jarak tanam dan tingkat umur kelapa sawit terhadap pertumbuhan dan hasil jagung. Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Mamuju Tengah Propinsi Sulawesi Barat, dari bulan Juli sampai Oktober tahun 2016. Percobaan dalam bentuk Rancangan Acak Kelompok 1 faktor, perlakuannya adalah jarak tanam 50 cm x 25 cm, 60 cm x 25 cm dan 70 cm x 25 cm. Perlakuan dilakukan pada kelapa sawit umur 1,5 tahun, 2,5 tahun dan 3,5 tahun dan tanpa kelapa sawit, dan 3 ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Jarak tanam 70 cm x 25 cm terbaik pada semua tingkat umur, dan jagung pada kelapa sawit umur 2,5 tahun secara umum terbaik, terutama pada laju tumbuh relatif (9,93 g tan2.minggu-1) , hasil biji pipilan (5,58 ton ha-1), dan ada interaksi.
Kata kunci : Pertumbuhan vegetatif, indeks luas daun, Intensitas cahaya, hasil biji, indeks panen.
ABSTRACT
The research spacing of corn growth and yield of the palm oil various aged is to know the effect of the spacing, palm oil grade aged, and interaction. The research was conducted in Central Mamuju regency. West Sulawesi from July to October, 2016. Experiments in the form of RAK 1 factor , the treatment is spacing of 50 cm x 25 cm, 60 cm x 25 cm and 70 cm x 25 cm, performed on palm oil aged 1.5 years, 2.5 years, 3.5 years and without palm oil, and repeated 3. The result showed for 70 cm x 25 cm is the best for all grade aged. The best especially in general for, relative growth rate ( 9.93 g. plant-2.week- 1 ), grain yield (5.58ton ha-1) of corm of aged 2.5 yr palm oil and there is interaction. Keywords: Vegetative growth, life area index, sunlight intensity, grain yield, harvest index
Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 127 - 146
128
PENDAHULUAN
Indonesia mempunyai luas areal sawit
mencapai 12,3 juta hektarare (ha). Jumlah tersebut
terdiri Perkebunan Rakyat (PR) 4,76 juta ha,
Perkebunan Negara Besar (PNB) 753 ribu ha dan
Perkebunan Swasta Besar (PBS) 6,8 juta ha, dan
luas lahan kelapa sawit belum menghasilkan
sekitar 2,4 juta ha. Adapun produksi minyak sawit
nasional mencapai 35,36 juta ton dengan
produktivitas 3,82 kg/ha. (BPS, 2017).
Pada tahun 2017 Indonesia mengimpor
jagung pipil untuk kebutuhan ternak sebesar 290
ribu ton jagung pipil untuk kebutuhan pakan
ternak. Akan tetapi merupakan jagung untuk
bahan pemanis sweetener dan gluten pada
industri makanan dan minuman. Artinya sudah
swasembada jagung karena seluruh kebutuhan
jagung pakan ternak sudah diproduksi sendiri
(BPS, 2017). Impor jagung Indonesia pada periode
September 2018 mencapai 72.710.184 kilogram
atau 72.710 ton. Secara tahunan dari Januari
hingga September, impor jagung mencapai 481.471
ton naik jika dibandingkan posisi yang sama pada
tahun lalu sebesar 360.355 ton. Nilai impor jagung
tahun ini sampai September mencapai USD 105
juta, sementara tahun lalu USD 80 juta. Adapun
negara terbesar pemasok jagung ke Indonesia
adalah Argentina sebesar 217.382 ton sejak awal
tahun hingga September. Kemudian disusul
berturut-turut oleh Amerika Serikat (AS), Brasil,
Australia, dan Thailand, (BPS 2018).
Permintaan hasil komoditas jagung terus
meningkat dari tahun ke tahun baik untuk pangan,
maupun untuk pakan ternak. Peningkatan
permintaan jagung untuk pangan sebesar 4,57 %
dan untuk pakan ternak adalah sebesar 7,38 % per
tahun (Bappenas, 2014). Namun demikian
produksi jagung hanya mengalami peningkatan
sebesar 3,08 % pada tahun 2014 dan 3,18 % pada
tahun 2015 dengan produksi jagung sekitar 19,61
juta ton sehingga masih diperlukan inpor sekitar 3
juta ton untuk kebutuhan ternak (BPS, 2016). Hal
ini menunjukkan bahwa produksi jagung nasional
belum mampu memenuhi kebutuhan dalam
negeri, baik untuk pangan maupun untuk pakan
ternak, oleh karena itu peningkatan produksi
jagung sangat perlu dilakukan.
Sistem tanam polikultur kelapa sawit
adalah mengusahakan tanaman perkebunan,
hortikultura, dan tanaman semusim sebagai
tanaman sela diantara kelapa sawit. Jenis tanaman
sela tergantung kondisi kelapa sawit, lahan, iklim,
status teknologi, dan bentuk usaha taninya. Pola
tanam polikultur kelapa sawit lebih
menguntungkan dibandingkan dengan sistem
monokultur apabila dilakukan dengan benar dan
tepat. Keuntungan polikultur kelapa sawit yaitu
produktivitas lahan lebih tinggi, jenis komoditas
yang dihasilkan beragam, memperoleh hasil
tambahan, memperbaiki kesuburan tanah,
mencegah erosi, hemat dalam pemakaian sarana
produksi dan resiko kegagalan dapat dikurangi.
Subah dan Tayeb (1999) melaporkan
bahwa pada pertanaman kelapa sawit umur 0 - 1
tahun, 1 - 2 tahun dan 2 - 3 tahun, luas lahan yang
dapat dimanfaatkan untuk tanaman sela berturut-
turut adalah 50 - 80%, 35 - 50% dan 15 - 35%. Hasil
penelitian Broughton (1976), menjelaskan bahwa
panjang pelepah dan akar kelapa sawit sampai
umur 2 tahun tidak lebih dari 2 m sehingga masih
memungkinkan untuk ditanami tanaman sela.
Pernyataan yang sama oleh Tjahyana et al., (2000)
dalam Ruskandi, (2003), bahwa tumpangsari
tanaman dapat meningkatkan jumlah bunga
betina dan buah kelapa yang satu famili dengan
tanaman kelapa sawit pada setiap tahunnya,
peningkatan jumlah bunga betina sebesar 30 %
dan buah jadi 20 %.
Penerapan teknologi pola tanam
polikultur kelapa sawit akan meningkatkan
produktivitas lahan dan pendapatan petani.
Peningkatan produktivitas lahan dikawasan
perkebunan kelapa sawit muda dalam jangka
panjang akan membantu mewujudkan ketahanan
pangan nasional, khususnya swasembada jagung
di Indonesia.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh jarak tanam dan tingkat umur kelapa
sawit dan interaksinya terhadap pertumbuhan dan
hasil jagung.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilaksanakan di Desa Karossa,
Desa Mora Kecamatan Karossa, Kabupaten
Pengaruh Jarak Tanam Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Jagung (Zea Mayz.L) Pada Tingkat Umur Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jacq) (M. Nur, et al.)
129
Mamuju Tengah, Sulawesi Barat pada bulan Juli
sampai Oktober 2016.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah benih jagung varietas P35, pupuk Urea,
SP36, KCL, herbisida, Insektisida, Rodentisida, dan
tanaman kelapa sawit belum menghasilkan (TBM)
varietas unggul Simalungun dari Medan yang
berumur 1,5 tahun, 2,5 tahun, dan 3,5 tahun.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini
adalah hand sprayer, cangkul, parang, warning
net, bambu, balok, plat seng, cat, pilox, meteran,
tali rapiah, patok, kayu penugal, alat pengebor
tanah, oven, Miniatur Spectrometer, timbangan
analitik, camera, Moisture content, dan Chlorophil
Content meter, papan pengalas, spidol, mistar, dan
alat tulis menulis.
Penelitian dilaksanakan dalam bentuk
percobaan Rancangan Acak Kelompok 1 faktor,
perlakuannya adalah jarak tanam, yaitu jarak
tanam 50 cm x 25 cm, 60 cm x 25 cm, dan
70 cm x 25 cm. Perlakuan dilakukan pada 4 lokasi
yaitu: tanpa kelapa sawit, lokasi kelapa sawit
umur 1,5 tahun, lokasi kelapa sawit umur 2,5
tahun, dan lokasi kelapa sawit umur 3,5 tahun.
Setiap perlakuan diulang sebanyak tiga kali.
Ukuran petak percobaan tanaman jagung adalah 5
x 5 m, ditanam 1 biji per lubang. Pengolahan tanah
adalah sistem tanpa olah tanah (TOT), benih
direndam dengan insektisida Regent 80 WG dosis
1.6 g/ 15 liter air untuk 10 kg benih. Pemupukan
dilakukan dengan dosis Urea 300 kg ha-1, SP 36
100 kg ha-1, dan KCl 100 kg ha-1. Pemupukan
pertama diberikan pada saat tanaman umur 10
HST, dengan dosis Urea 150 kg, ha-1, SP36 50 kg
ha-1, dan KCl 50 kg ha-1, sedangkan pada
pemupukan kedua dilaksanakan pada umur pada
saat tanaman 30 HST menggunakan dosis yang
sama. Penyiangan dilakukan dengan
menggunakan herbisida.
Parameter yang diamati pada
pertumbuhan vegetatif tanaman jagung meliputi:
indeks luas daun, jumlah serapan intensitas
cahaya matahari, bobot kering total tanaman (g),
laju tumbuh relatif, indeks klorofil daun, bobot
1000 biji kering (g), bobot hasil biji kering (ton ha-1)
dan indeks panen.
1. Indeks luas daun ( ILD )
Dihitung berdasarkan perbandingan luas daun
total, terhadap luas area tanah yang ditutupi
tajuk ( canopy ) dengan rumus :
ILD = LD / GA
Dimana :
LD = Luas Daun Total
GA = Luas Penutupan Tajuk
Dilakukan pada saat tanaman jagung berumur
3 MST, 6 MST, 9 MST, dan 12 MST.
2. Bobot kering total tanaman sampel ( g.tan-1 )
Tanaman sampel dibersihkan, kemudian
dikering ovenkan pada suhu 80ºC selama 2 x
24 jam sampai bobotnya tetap (konstanta),
selanjutnya bahan tanaman ditimbang,
dilakukan pada umur 3 MST, 6 MST, 9 MST
dan 12MST.
3. Intensitas cahaya matahari ( x 100 Lux )
Pengukuran intensitas cahaya matahari pada
tanaman jagung dilakukan pada umur
3 MST, 6 MST, 9 MST, dan 12 MST. Pengamatan
dilakukan pada pukul 08.00 pagi, 13.30 siang,
dan 16.00 sore dengan menggunakan Digital
Light meter. Posisi pengukurannya yaitu satu
Digital Light Meter diletakkan dibawah tajuk
tanaman yang terletak pada sepertiga tajuk dari
atas, dan satu Digital Light Meter lagi diletakkan
tepat diatas tajuk tanaman pada selama 2 menit
pada masing-masing sampel tanaman.
4. Relative Growth Rate ( RGR )
Relative growth rate ( RGR ) atau Laju tumbuh
relatif ( LTR ), dengan rumus sebagai berikut:
RGR = ( g .m-2.hari-1 )
Dimana:
W1 : Bobot kering total tanaman pada saat
pengamatan pertama (g)
W2 : Bobot kering total tanaman pada saat
pengamatan kedua (g)
T1 : Waktu pengamatan pertama ( hari )
T2 : Waktu pengamatan kedua ( hari ).
Dilakukan pada saat tanaman jagung berumur
3 MST, 6 MST, 9 MST dan 12 MST.
Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 127 - 146
130
5. Bobot 1000 biji kering (g)
Bobot 1000 biji kering dihitung setelah biji
jagung dipipil, diambil secara acak dan
dikeringkan hingga kadar air 14% dengan
menggunakan alat pengukur kadar air yaitu
Moisture Content, kemudian biji ditimbang
masing-masing per sampel sebanyak 1000 biji,
bobot masing – masing dihitung pada saat
panen.
6. Bobot hasil biji pipilan (ton ha-1)
Bobot hasil biji diperoleh dari hasil pipilan pada
luas petak sampel yang dikonversikan dalam
satuan ton ha-1.
Konversi ton ha-1 = x bobot biji
jagung pada petak
7. Indeks panen
Indeks panen merupakan parameter yang
menunjukkan efisiensi translokasi fotosintat
kebiji. Indeks panen diperoleh dengan rumus
berikut (Gardner et al., 2008)
Indeks Panen (IP) =
Data hasil pengamatan yang diperoleh dari
penelitian dianalisis menggunakan program STAR
(Statistik Tool Agriculture Research).
Data penunjang pada penelitian adalah hasil
analisis kimia tanah dari Departemen Ilmu Tanah
Universitas Hasanuddin Makassar pada Tabel 1,
dan Rata-rata pertumbuhan vegetatif kelapa sawit
berbagai umur pada Tabel 2.
Hasil analisis kimia tanah menunjukkan
bahwa kandungan N Kjeldahl (%), K₂ O HCI 2 % (
mg l00gr ), dan pH tanah relatif sama kecuali
pada kandungan P₂ O₅ HCI 25 % ( mg l00gr ),
tertinggi kandungan P₂ O₅ HCI 25 % ( mg l00gr )
adalah terdapat pada lokasi kelapa sawit umur 3,6
tahun. Hasil analisis kimia tanah berbagai lokasi
kelapa sawit disajikan pada Tabel 1.
Rata-rata pertumbuhan vegetatif kelapa
sawit (TBM) pada berbagai umur menunjukkan
bahwa pertumbuhan vegetatif kelapa sawit
tertinggi terdapat pada kelapa sawit umur 3,6
tahun. Pertumbuhan vegetatif kelapa sawit (TBM)
terdapat pada Tabel 2.
Tabel 1. Hasil analisis kimia tanah sebelum penelitian pada berbagai jarak tanam pada uji multilokasi untuk
pertumbuhan dan hasil tanaman jagung Table 1. Result of pre-research soil chemical analysis in various spacing on multi-location test for growth and corn
yield
Parameter Tanah
Soil parameter
Hasil analisa tanah pada uji multi lokasi Result of soil analysis on multi-location test
Tanpa Kelapa sawit Palm oil no
Kelapa sawit umur 1,6 tahun
Palm oil aged 1.6 yr
Kelapa sawit umur 2,6 tahun
Palm oil aged 2.6 yr
Kelapa sawit umur 3,6 tahun
Palm oil aged 3.6 yr
N Kjeldahl (%)
P₂ O₅ HCI 25 % (mg l00gr )
K₂ O HCI 2 % ( mg l00gr )
pH
0,11
( rendah ) low
22,78
( sedang ) medium
19,17
( sangat rendah ) Very low
4,8
( masam ) Sour
0,13
( rendah ) low
18,72
( rendah ) low
20,44
( sangat rendah ) Very low
4,78
( masam ) sour
0,11
( rendah ) low
20,92
( rendah ) low
20,35
( sangat rendah ) Very low
4,7
( masam ) sour
0,11
( rendah ) low
23,71
( sedang ) medium
19,75
( sangat rendah ) Very low
4,9
( masam ) sour
Pengaruh Jarak Tanam Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Jagung (Zea Mayz.L) Pada Tingkat Umur Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jacq) (M. Nur, et al.)
131
Tabel 2. Rata – rata pertumbuhan vegetatif kelapa sawit tanaman belum menghasil ( TBM ) pada
berbagai tingkat umur
Table 2. Mean of palm oil vegetative growth of immature plant in various grade aged
Umur Aged
Jumlah pelepah
(helai/sheet) Number of
midrib
Panjang pelepah
(cm) Length of
midrib
Panjang petiol (cm)
Length of petiol
Luas Tajuk (cm2)
Width of crown
panjang anak daun
(cm) Length of sub-leave
Jumlah anak daun
kiri (helai/sheet) Sub-number of left leave
Jumlah anak daun kanan
(helai/sheet) Sub-number of
right leave
Kelapa sawit 1,5 tahun Palm oil aged 1.5 yr
20,33 153,42 38,44 37505,88 49,17 42,49 41,08
Kelapa sawit 2,5 tahun Palm oil aged 2.5 yr
38,92 256,61 73,07 165758,00 68,58 94,86 94,41
Kelapa sawit 3,5 tahun Palm oil aged 3.5 yr
51,67 341,90 101,36 300242,70 83,90 104,94 104,86
HASIL DAN PEMBAHASAN
Komponen pertumbuhan vegetatif jagung
Indeks Luas Daun Hasil penelitian menunjukkan bahwa jarak
tanam pada kelapa sawit berbagai umur
berpengaruh nyata terhadap indeks luas daun pada umur 9 MST dan ada interaksi antara jarak tanam dan umur kelapa sawit. Pengaruh jarak tanam pada kelapa sawit berbagai umur disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Indeks luas daun tanaman jagung pada umur 9 MST, berbagai jarak tanam pada kelapa sawit
berbagai tingkat umur.
Tabel 3. Leaf area index of corn plant for aged 9 week-1, in various spacing for palm oil various grade aged
Jarak tanam Spacing
Indeks luas daun pada Leaf area index for
Tanpa kelapa
sawit Without palm oil
Kelapa sawit umur 1,5 tahun
Palm oil aged 1.5 yr
Kelapa sawit umur 2,5 tahun
Palm oil aged 2.5 yr
Kelapa sawit umur 3,5 tahun
Palm oil aged 3.5 yr
50 cm x 25 cm 60 cm x 25 cm 70 cm x 25 cm
2,22 d 2,52 c 2,74 b
2,27 d 2,71 b 3,12 a
2,17 de 2,43 c 2,77 b
2,07 de 2,35 c 2,65 b
BNT0.05 0,13 Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata berdasarkan uji BNT pada taraf 5%. Note: Numbers in the column followed by different lettery are significantly difference at HSD 0.05
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada
umur 9 MST, indeks luas daun tertinggi diperoleh
pada jagung yang ditanam diantara kelapa sawit
umur 1,5 tahun dengan jarak tanam 70 cm x 25 cm
yaitu 3,12 dan berbeda nyata dengan perlakuan
lainnya dan ada interaksi antara jarak tanam dan
tingkat umur kelapa sawit. Interaksi antara tingkat
umur kelapa sawit dengan indeks luas daun pada
berbagai jarak tanam terlihat bahwa indeks luas
daun tanaman jagung semakin menurun seiring
dengan bertambahnya umur tanaman jagung.
Secara umum terlihat bahwa tanaman jagung yang
ditanam diantara kelapa sawit umur 1,5 tahun
dengan jarak tanam 70 cm x 25 cm memiliki indeks
Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 127 - 146
132
luas daun yang tertinggi. Interaksi antara tingkat
umur kelapa sawit dengan indeks luas daun pada
berbagai jarak tanam menunjukkan adanya
perbedaan tingkat kenaikan indeks luas.
Gambaran interaksi antara tingkat umur kelapa
sawit dengan indeks luas daun pada berbagi jarak
tanam terlihat pada Gambar 1.
Pada gambar 1 menunjukkan bahwa
jagung yang ditanam pada jarak tanam 70 cm x 25
cm meningkat pada umur 6 MST dan tertinggi
pada umur 9 MST, kemudian menurun pada
umur 12 MST.Hal ini diduga karena pada jarak
tanam yang lebar, luas penutupan tajuk proposinal
dengan luas lahan yang dinaungi oleh tajuk kelapa
sawit, akibatnya air dan unsur hara dalam tanah
tersedia sehingga energi untuk pertumbuhan
vegetatif jagung besar dan menyebabkan
pertumbuhan vegetatif juga tinggi. (Maruapey
2011). Mnx,
Selain dipengaruhi oleh jarak tanam, juga
diduga dipengaruhi oleh tingkat umur kelapa
sawit. Pada kelapa sawit umur 1,5 tahun, luas
penutupan tajuk kelapa sawit proposional dengan
luas pertanaman jagung yang dinaungi sehingga
kelembaban tanah terjaga sehingga air dan unsur
hara tersedia akibatnya energi untuk pertumbuhan
vegetatif jagung besar dan menyebabkan indeks
luas daun jagung besar.
Kisaran indeks luas daun optimal bagi
tanaman budidaya adalah sekitar 3 sampai 5,
indeks luas daun tertinggi yang diperoleh tidak
optimal dan lebih rendah dari hasil penelitian
yang sama oleh Wahyudin dkk ( 2015 ) berbagai
jarak tanam dengan pupuk kandang pada jagung
hybrida P-12, diperoleh hasil indeks luas daun
tertinggi sebesar 6,18 yaitu di atas indeks luas
daun tanaman budidaya pada umumnya. Hal ini
diduga karena pada lokasi pelaksanaan penelitian
adalah lahan tadah hujan pada tanah ultisol, dan
nilai pH 4,7 - 4,9 ( masam ), N total 0,11% – 0,13%
( rendah ), P2O5 18,72 – 23.71 % ( rendah ), dan
K2O HCl 25% (sangat rendah ). Hal ini diperkuat
oleh pernyataan yang dikemukakan oleh
Goldsworthy dan Fischer ( 1992 ) dalam Agrita
(2012) bahwa faktor yang mempengaruhi besarnya
indeks luas daun antara lain adalah jarak tanam
dan ketersediaan unsur hara nitrogen. Jarak tanam
secara langsung dapat mempengaruhi kerapatan
populasi suatu tanaman. Nitrogen adalah salah
satu unsur hara makro esensial bagi tanaman yang
diperlukan dalam pembentukan dan pertumbuhan
vegetatif tanaman dan sebagai bahan dasar
penyusunan protein serta pembentukan klorofil.
Hal tersebut dipertegas oleh Gardner et
al.,(2008) bahwa jagung merupakan tanaman yang
sangat peka terhadap pemupukan. Kekurangan N
pada tanaman akan mengalami pertumbuhan
lambat, kerdil, daun hijau menjadi kekuningan,
daunnya sempit, daun-daun tua menjadi cepat
menguning dan mati. Unsur N merupakan bahan
penyusun asam amino, amida, dan basa nitrogen
seperti purin serta nucleoprotein yang berperan
dalam proses pembesaran dan pembelahan sel.
Unsur N juga berperan sebagai senyawa
pembentuk klorofil oleh karena itu unsur N sangat
penting dalam mendukung pertumbuhan tanaman
termasuk tinggi tanaman.
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
IND
EK
S L
UA
S D
AU
N
PERLAKUAN
3 MST
6 MST
9 MST
12 MST
Gambar 1. Diagram batang indeks luas daun jagung umur 6 MST, 9 MST, dan 12 MST pada berbagai jarak tanam dan
tingkat umur kelapa sawit.
Figure 1. Diagram bole of leaf area index of corn for aged 6 week-1, 9 week-1, and 12 week-1 for spacing various and grade aged
Pengaruh Jarak Tanam Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Jagung (Zea Mayz.L) Pada Tingkat Umur Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jacq) (M. Nur, et al.)
133
Intensitas Cahaya Matahari ( x 100 Lux )
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jarak
tanam berpengaruh nyata terhadap jumlah
serapan intensitas cahaya matahari yang diterima
tanaman pada umur 3 MST dan ada interaksi
antara jarak tanam jagung dengan tingkat umur
kelapa sawit. Pengaruh jarak tanam pada tingkat
umur kelapa sawit terhadap jumlah serapan
intensitas cahaya matahari, disajikan pada Tabel 4.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara
umum intensitas cahaya matahari yang diterima
tanaman jagung semakin menurun seiring dengan
bertambahnya umur tanaman jagung. Jumlah
intensitas cahaya matahari yang diterima oleh
tanaman jagung, tertinggi yang ditanam pada
lokasi tanpa kelapa sawit pada jarak tanam
70 cm x 25 cm, yaitu sebesar 841,33 lux dan
berbeda nyata dengan perlakuan lainnya dan ada
interaksi dengan tingkat umur kelapa sawit.
Penurunan penerimaan intensitas cahaya matahari
pada berbagai jarak tanam dan tingkat umur
kelapa sawit dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2, menunjukkan bahwa pada
umur 3 MST, tanaman jagung yang ditanam pada
lahan tanpa kelapa sawit dengan jarak tanam
70 cm x 25 cm, jumlah intensitas cahaya matahari
yang diterima adalah sebesar 841,33 lux,
selanjutnya menurun pada umur 6 MST yaitu
sebesar 747,42 lux, dan paling rendah pada umur
12 MST yaitu sebesar 745,92 lux. Hal ini diduga
dipengaruhi oleh jarak tanam, pada jarak tanam
70 cm x 25 cm adalah jarak tanam yang lebar
sehingga tidak terjadi persaingan antara tajuk
tanaman, akibatnya jumlah intensitas cahaya yang
diterima maksimal jika dibandingkan dengan jarak
tanam lainnya sehingga mempunyai jumlah
intensitas cahaya matahari yang tertinggi diserap
oleh tanaman.
Selain dipengaruhi oleh jarak tanam juga
diduga dipengaruhi oleh tingkat umur kelapa
sawit. Pada jagung yang ditanam pada area tanpa
kelapa sawit jumlah intensitas cahaya matahari
yang diserap lebih banyak karna tidak dinaungi
oleh tajuk kelapa sawit, sebaliknya jagung yang
ditanam diantara kelapa sawit berbagai tigkat
umur ternaungi sehingga jumlah instensitas
cahaya matahari yang diserap oleh tanaman tidak
optimal.
Tabel 4. Jumlah intensitas cahaya matahari yang diserap tanaman jagung pada umur 3 MST pada
berbagai jarak tanam dan tingkat umur kelapa sawit. Table 4. Total sunlight intensity thay absorbed by corn plant for aged 3 weeks-1 in various spacing and palm oil
grade aged
Jarak tanam
Spacing
Jumlah intensitas cahaya matahari yang diserap tanaman ( x 100 lux ) pada
Total sunlight intensity that absorbed by plant ( x 100 lux ) for
Tanpa Kelapa sawit
Without palm oil
Kelapa sawit umur 1,5 tahun
Palm oil aged 1.5 yr
Kelapa sawit umur 2,5 tahun
Palm oil aged 2.5 yr
Kelapa sawit umur 3,5 tahun
Palm oil aged 3.5 yr
50 cm x 25 cm
60 cm x 25 cm
70 cm x 25 cm
790,00 de
824,67 b
841,33 a
784,67 de
795,00 cd
806,00 c
686,00 i
711,00 h
734,00 f
628,00 j
679,00 i
726,00 g
BNT0.05 11,06
Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom dan baris menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT pada taraf 5%.
Note: Numbers in the column followed by different lettery are significantly difference at HSD 0.05
Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 127 - 146
134
Gambar 2. Diagram batang intensitas cahaya matahari yang diserap jagung umur 3 MST, 6 MST, 9 MST,
dan 12 MST, pada berbagai jarak tanam dan tingkat umur kelapa sawit . Figure 2. Diagram bole of total sunlight intensity that absorbed by corn ( x 100 lux ) for aged 3 week-1, 6 week-1, 9
week-1, and 12 week-1 for various spacing and grade aged.
Gambar 2, menunjukkan bahwa pada
umur 3 MST, tanaman jagung yang ditanam pada
lahan tanpa kelapa sawit dengan jarak tanam 70
cm x 25 cm, jumlah intensitas cahaya matahari
yang diterima adalah sebesar 841,33 lux,
selanjutnya menurun pada umur 6 MST yaitu
sebesar 747,42 lux, dan paling rendah pada umur
12 MST yaitu sebesar 745,92 lux. Hal ini diduga
dipengaruhi oleh jarak tanam, pada jarak tanam 70
cm x 25 cm adalah jarak tanam yang lebar
sehingga tidak terjadi persaingan antara tajuk
tanaman, akibatnya pertumbuhan luas daun total
lebih maksima. Penyerapan cahaya matahari oleh
tanaman dipengaruhi oleh luas daun tanaman.
Luas daun total tanaman bergantung pada
perubahan jumlah dan ukuran daun (Sektiwi dkk.,
2012). Luas daun bertambah berarti meningkat
pula penyerapan cahaya oleh daun, sehingga
berpengaruh pada proses fotosintesis untuk
menghasilkan asimilat yang digunakan sebagai
sumber energi pertumbuhan dalam membentuk
organ-organ vegetatif fase pertumbuhan,
sedangkan pada fase generaif asimilat yang
disimpan pada jaringan organ-organ vegetatif
akan diremobilisasi dalam pembentukan organ
reproduktif, seperti pengisian biji (Board dan
Kahlon, 2012).
Selain dipengaruhi oleh jarak tanam juga
diduga dipengaruhi oleh tingkat umur kelapa
sawit. Pada jagung yang ditanam pada area tanpa
kelapa sawit jumlah intensitas cahaya matahari
yang diserap lebih banyak karna tidak dinaungi
oleh tajuk kelapa sawit, sebaliknya jagung yang
ditanam diantara kelapa sawit berbagai tigkat
umur ternaungi sehingga jumlah instensitas
cahaya matahari yang diserap oleh tanaman tidak
optimal. Radiasi matahari yang ditangkap klorofil
pada tanaman yang mempunyai hijau daun
merupakan energi dalam proses fotosintesis.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Jumin
(2008) bahwa pengaruh unsur cahaya pada
tanaman tertuju pada pertumbuhan vegetatif dan
generatif. Tanggapan tanaman terhadap cahaya
ditentukan oleh sintesis hijau daun, kegiatan
stomata ( respirasi, transpirasi), pembentukan
anthosianin, suhu dari organ-organ
permukaan, absorpsi mineral hara, permeabilitas,
laju pernafasan, dan aliran protoplasma. Secara
teoritis, semakin besar jumlah energi yang tersedia
akan memperbesar jumlah hasil fotosintesis.
Pernyataan yang senada dikemukakan
oleh Tjasjono, (1995) bahwa hasil fotosintesis
adalah bahan utama dalam pertumbuhan dan
produksi tanaman pangan. Selain meningkatkan
laju fotosintesis, peningkatan cahaya matahari
biasanya mempercepat pembungaan dan
pembuahan. Sebaliknya, penurunan intensitas
radiasi matahari akan memperpanjang masa
pertumbuhan tanaman.
Hal tersebut dipertegas oleh AAK, (1983)
bahwa sinar matahari merupakan sumber dari
energi yang menyebabkan tanaman dapat
membentuk gula. Tanpa bantuan dari sinar
matahari, tanaman tidak dapat memasak makanan
yang diserap oleh tanah, yang mengakibatkan
tanaman menjadi lemah atau mati.
Pengaruh Jarak Tanam Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Jagung (Zea Mayz.L) Pada Tingkat Umur Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jacq) (M. Nur, et al.)
135
Bobot Kering Total Tanaman (g)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jarak tanam berpengaruh nyata terhadap bobot kering total tanaman pada umur 12 MST dan ada
interaksi antara jarak tanam dengan tingkat umur kelapa sawit. Pengaruh jarak tanam pada kelapa sawit berbagai tingkat umur terhadap bobot kering total tanaman disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Bobot kering total jagung umur 12 MST pada berbagai jarak tanam dan tingkat umur kelapa sawit Table 5. Total dry weight of corn for aged 12 week-1 in various spacing and palm oil grade aged
Jarak tanam
Spacing
Bobot kering total tanaman (g) pada
Total dry weight of plant (g) for
Tanpa kelapa sawit
Without palm oil
Kelapa sawit
umur 1,5 tahun
Palm oil aged 1.5 yr
Kelapa sawit
umur 2,5 tahun
Palm oil aged 2.5 yr
Kelapa sawit
umur 3,5 tahun
Palm oil aged 3.5 yr
50 cm x 25 cm
60 cm x 25 cm
70 cm x 25 cm
246,80 ef
254,43 ef
270,00 d
238,53 efg
259,63 de
308,63 b
251,93 ef
281,13 c
338,73 a
168,43 h
190,07 g
220,67 g
BNT0.05 19,94
Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT pada taraf 5%.
Note: Numbers in the column followed by different lettery are significantly difference at HSD 0.05
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bobot
kering total tanaman yang dimiliki oleh tanaman
jagung semakin bertambah seiring dengan
bertambahnya umur tanaman. Bobot kering total
tanaman (g) tertinggi diperoleh pada umur
12 MST yaitu pada jagung yang ditanam dengan
jarak tanam 70 cm x 25 cm diantara kelapa sawit
umur 2,5 tahun (338,75 g) dan berbeda nyata
dengan perlakuan lainnya, dan ada interaksi
antara jarak tanam dan tingkat umur kelapa sawit.
Interaksi yang nyata antara jarak tanam
pada kelapa sawit berbagai tingkat umur terhadap
bobot kering total tanaman menunjukkan bahwa
adanya perbedaan tingkat kenaikan bobot kering
total tanaman pada interaksi berbagai jarak tanam
dengan tingkat umur kelapa sawit. Gambaran
interaksi antara jarak tanam dan tingkat umur
kelapa sawit terhadap bobot kering tanaman
terlihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Diagram batang bobot kering total tanaman jagung (g) pada umur 3 MST, 6 MST, 9 MST, dan
12 MST, pada berbagai jarak tanam dan tingkat umur kelapa sawit. Figure 3. Diagram bole total dry weight of corn for aged 3 week-1, 6 week-1, 9 week-1 and 12 week-1 in various
spacing and palm oil grade aged
Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 127 - 146
136
Pada Gambar 3, menunjukkan bahwa
bobot kering total tanaman semakin meningkat
dengan semakin bertambahnya umur tanaman
(3,6,9 dan 12 , MST). Hal ini diduga dipengaruhi
oleh jarak tanam, pada jarak tanam yang lebar,
tidak terjadi persaingan antara tanaman dalam
menyerap intensitas cahaya matahari, air dan
unsur hara, sehingga energi pertumbuhan
tanaman pada bobot kering total tanaman besar.
Selain dipengaruhi oleh jarak tanam, juga
diduga dipengaruhi oleh tingkat umur kelapa
sawit. Jagung yang ditanam diantara kelapa sawit
umur 2,5 tahun, luas tajuk kelapa sawit yang
menutupi pertanaman jagung proposional
sehingga kelembaban tanah terutama pada musim
kemarau optimal, sehingga air dan unsur hara
menjadi tersedia bagi tanaman dan menyebabkan
bobot kering total tanaman besar pada umur
12 MST. Hal ini sependapat dengan
Surbakti et al., (2013) yang menyatakan dalam
kondisi lingkungan yang baik untuk melakukan
fotosintesis dapat menghasilkan ( 60 - 80 )% hasil
asimilatnya ditranslokasikan kebagian tanaman
yang lainnya pada organ pertumbuhan dan
produksi. Pertumbuhan dan produksi akan
meningkat apabila didukung oleh faktor
lingkungan misalnya cahaya dan air (Bunyamin
dan Aqil 2009), tetapi pada saat penelitian ini
kebutuhan air tidak dapat tercukupi karena pada
saat penelitian ini dilaksanakan bertepatan dengan
mulainya musim kering pada saat fase
pertumbuhan tanaman sudah mengalami
kekurangan air jadi pertumbuhan dan produksi
tanaman tidak mendapatkan hasil dengan
maksimal.
Pernyataan tersebut dipertegas oleh
Kresnatinta et al., (2013) bahwa jagung merupakan
tanaman yang sangat peka terhadap pemupukan,
kekurangan atau kelebihan salah satu jenis unsur
makro akan menyebabkan perubahan secara
fisiologis pada tanaman. Absorbsi N oleh tanaman
jagung berlangsung selama pertumbuhannya, oleh
karena itu untuk mendapatkan hasil yang baik
maka unsur hara makro dan mikro dalam tanah
harus cukup tersedia selama fase pertumbuhan
tersebut.
Laju Tumbuh Relatif (g.tan-2.minggu-1)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jarak
tanam pada kelapa sawit berbagai tingkat umur
berpengaruh nyata terhadap laju tumbuh relatif
pada umur 9 – 12 MST dan ada interaksi antara
jarak tanam dengan tingkat umur kelapa sawit.
Pengaruh jarak tanam pada tingkat umur kelapa
sawit disajikan pada Tabel 6.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada
umur 9 – 12 MST, laju tumbuh relatif tertinggi
terdapat pada tanaman jagung yang ditanam
dengan jarak tanam 70 cm x 25 cm diantara
kelapa sawit umur 2,5 tahun (9.93 g.tan-2.minggu-1)
dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya dan
ada interaksi antara jarak tanam dan tingkat umur
kelapa sawit. Secara umum terlihat bahwa laju
tumbuh relatif tertinggi terdapat pada jagung yang
ditanam pada jarak tanam 70 cm x 25 cm.
Interaksi yang nyata antara jarak tanam
dengan tingkat umur kelapa sawit terhadap laju
tumbuh relatif tanaman jagung menunjukkan
bahwa adanya perbedaan tingkat laju tumbuh
relatif. Gambaran interaksi antara jarak tanam
dengan tingkat umur kelapa sawit terhadap laju
tumbuh relatif dapat dilihat pada Gambar 4.
Pengaruh Jarak Tanam Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Jagung (Zea Mayz.L) Pada Tingkat Umur Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jacq) (M. Nur, et al.)
137
Tabel 6. Laju tumbuh relatif tanaman jagung umur 9 - 12 MST pada berbagai jarak tanam pada kelapa sawit berbagai tingkat umur.
Table 6. Relative growth rate of corn plant for aged 9 – 12 week-1 in various spacing and palm oil grade aged
Jarak tanam Spacing
Laju tumbuh relatif ( g.tan-2.minggu- 1 ) pada Relative growth rate ( g.plant-2.wk- 1 ) for
Tanpa kelapa sawit Without palm oil
Kelapa sawit umur 1,5 tahun Palm oil aged 1.5 yr
Kelapa sawit umur 2,5 tahun Palm oil aged 2.5 yr
Kelapa sawit umur 3,6 tahun Palm oil aged 3.5 yr
50 cm x 25 cm
60 cm x 25 cm
70 cm x 25 cm
8,26 bc
7,96 bcde
8,04 bcd
6,54 h
7,75 bcdef
8,55 b
6,88 fghi
7,24 defgh
9,93 a
5,86 b
6,43 fgh
7,61 cdefg
BNT0.05 0,88
Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT pada taraf 5%.
Note: Numbers in the column followed by different lettery are significantly difference at HSD 0.05
Gambar 4. Diagram batang laju tumbuh relatif jagung pada umur 6 – 9 MST, dan 9 – 12 MST, pada berbagai jarak tanam dan tingkat umur kelapa sawit. Figure 4. Diagram bole of relative growth rate of corn for aged 3 – 6 week-1, 6 – 9 week-1 and 9 – 12 week-1 in
various spacing and palm oil grade aged.
Gambar 4, menunjukkan bahwa pada umur
3 - 6 MST, tanaman jagung yang ditanam diantara
kelapa sawit umur 2,5 tahun pada jarak tanam
70 cm x 25 cm, mempunyai laju tumbuh relatif
sebesar 1,73 g.tan-2.minggu-1, dan meningkat pada
umur 6 – 9 MST (3.47 g.tan-2.minggu-1), dan
tertinggi pada umur 9 – 12 MST (9.93 g.tan-
2.minggu-1). Hal ini diduga dipengaruhi oleh jarak
tanam, pada jarak tanam yang lebar tidak terjadi
persaingan antara tanaman dalam menyerap air,
intensitas cahaya matahari dan unsur hara
sehingga energi pertumbuhan vegetatif tanaman
jagung besar, akibatnya laju tumbuh relatif
tanaman besar.
Selain dipengaruhi oleh jarak tanam, juga
diduga dipengaruhi oleh tingkat umur kelapa
sawit. Tanaman jagung yang ditanam diantara
kelapa sawit umur 1,5 tahun, terserang penyakit
bulai pada umur 9 MST sehingga laju
pertumbuhan jagung terhambat, akibatnya tidak
optimal. Pada jagung yang ditanam diantara
kelapa sawit umur 2,5 tahun, luas penutupan tajuk
kelapa sawit cukup proposional dengan luas
pertanaman yang dinaungi tajuk sehingga
kelembaban tanah cukup stabil akibatnya air dan
unsur hara cukup tersedia dan menyebabkan
energi pertumbuhan jagung maksimal. Pada
kelapa sawit umur 3,5 tahun, luas penutupan tajuk
kelapa sawit terhadap luas pertanaman jagung
tidak proposional sehingga jumlah intensitas
cahaya matahari yang diterima jagung tidak
maksimal akibatnya energi pertumbuhan rendah,
Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 127 - 146
138
sebaliknya pada lokasi tadah hujan yang tanpa
kelapa sawit terjadi kekeringan pada puncak
musim kemarau akibatnya kelembaban tanah
rendah sehingga air dan unsur hara juga rendah
dan menyebabkan pertumbuhan tanaman tidak
maksimal.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Bunyamin
dan Aqil (2009), pertumbuhan dan produksi akan
meningkat apabila didukung oleh faktor
lingkungan misalnya cahaya dan air, tetapi pada
saat penelitian ini kebutuhan air tidak dapat
tercukupi karena pada saat penelitian ini
dilaksanakan bertepatan dengan mulainya musim
kering yang mana pada saat fase pertumbuhan
tanaman sudah mengalami kekurangan air dan
terserang penyakit bulai sehingga energi
pertumbuhan dan hasil jagung tidak mendapatkan
hasil dengan maksimal.
Berikut gambar penampilan vegetatif jagung
pada berbagai jarak tanam dan pada kelapa sawit
berbagai tingkat umur terdapat pada Gambar 5.
Gambar 5 a. Penampilan vegetatif jagung pada berbagai jarak tanam pada lokasi tanpa kelapa sawit
Figure 5 a. Figure vegetative of corn for various spacing for location without of palm oil
Gambar 5 b. Penampilan vegetatif jagung pada berbagai jarak tanam pada kelapa sawit umur 1,5 tahun Figure 5 b. Figure vegetative of corn for various spacing for palm oil aged 1.5 year
Gambar 5 c. Penampilan vegetatif jagung pada berbagai jarak tanam pada kelapa sawit umur 2,5 tahun Figure 5 c. Figure vegetative of corn for various spacing for palm oil aged 2.5 year
JT. 60 CM X 25 CM JT. 50 CM X 25 CM JT. 70 CM X 25 CM
JT. 60 CM X 25 CM JT. 70 CM X 25 CM JT. 50 CM X 25 CM
JT. 50 CM X 25 CM JT. 60 CM X 25 CM JT. 70 CM X 25 CM
Pengaruh Jarak Tanam Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Jagung (Zea Mayz.L) Pada Tingkat Umur Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jacq) (M. Nur, et al.)
139
Gambar 5 d. Penampilan vegetatif jagung pada berbagai jarak tanam pada kelapa sawit umur 3,5 tahun Figure 5 d. Figure vegetative of corn for various spacing for palm oil aged 3.5 year. Komponen Hasil Jagung
Bobot 1000 biji (g) Hasil penelitian menunjukkan bahwa jarak
tanam pada kelapa sawit berbagai tingkat umur berpengaruh nyata terhadap bobot 1000 biji (g)
dan ada interaksi antara jarak tanam dengan tingkat umur kelapa sawit. Pengaruh jarak tanam pada kelapa sawit berbagai tingkat umur disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Bobot 1000 biji (g) jagung pada berbagai jarak tanam pada kelapa sawit berbagai tingkat umur Table 8. Grain yield 1000 (g), in various spacing of corn for palm oil various grade aged
Jarak tanam Spacing
Bobot 1000 biji (g) tanaman jagung pada Grain yield 1000 (g) of corn plant, for
Tanpa kelapa
sawit Without palm oil
Kelapa sawit umur 1,5 tahun
Palm oil aged 1.5 yr
Kelapa sawit umur 2,5 tahun
Palm oil aged 2.5 yr
Kelapa sawit umur 3,5 tahun
Palm oil aged 3.5 yr
50 cm x 25 cm
60 cm x 25 cm
70 cm x 25 cm
2630,00 g
2670,00 f
2790,00 c
2370,79 jk
2399,33 i
2902,49 b
2688,43 e
2736,27 d
3118,80 a
2332,34 l
2382,76 ij
2423,87 h
BNT0.05 17.90
Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT pada taraf 5%.
Note: Numbers in the column followed by different lettery are significantly difference at HSD 0.05.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bobot
kering 1000 biji tertinggi terdapat pada tanaman
jagung yang ditanam dengan jarak tanam
70 cm x 25 cm diantara kelapa sawit umur 2,5
tahun (3118.80 g) dan berbeda nyata dengan
tanaman jagung yang ditanam pada jarak tanam
60 cm x 25 cm ( 2736.27 g ), maupun pada jarak
tanam 50 cm x 25 cm ( 2688.43 g ). Hal ini diduga
dipengaruhi oleh jarak tanam, pada jarak tanam
70 cm x 25 cm kerapatan tanaman lebar, jumlah
cahaya matahari yang diserap proposional dengan
luas tanah yang dinaungi oleh tajuk tanaman
jagung sehingga tajuk tanaman tidak saling
menaungi, akibatnya tidak terjadi persaingan
terhadap cahaya matahari untuk fotosintesis, tidak
adanya persaingan menyebabkan tanaman akan
memperoleh energi secara maksimal untuk energi
pertumbuhan organ generatif pada bobot kering
1000 biji. Sebaliknya pada jarak tanam yang rapat,
terjadi persaingan pada cahaya, air dan unsur hara
dalam tanah sehingga energi pertumbuhan
generatif tanaman jagung rendah, akibatnya
pertumbuhan generatif rendah. Fotosintesis
dipengaruhi oleh faktor lingkungan, yaitu cahaya
JT. 60 CM X 25 CM JT. 70 CM X 25 CM JT. 50 CM X 25 CM
Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 127 - 146
140
matahari, CO2, suhu, air dan unsur hara. Bilamana
salah satu faktor kurang tersedia atau kelebihan
maka akan memberikan pengaruh negatif pada
laju fotosintesis dan mengakibatkan pertumbuhan
dan hasil rendah .
Selain dipengaruhi oleh jarak tanam, juga
diduga dipengaruhi oleh tingkat umur kelapa
sawiti. Pada fase generatif tanaman sangat
membutuhkan sumberdaya lingkungan yang
optimal, tetapi pada lokasi penelitian adalah lokasi
tadah hujan dan terjadi kekurangan air karena
puncak musim kemarau. Pada kelapa sawit umur
2,5 tahun mempunyai luas tajuk yang proposional
dengan luas tanah yang dinaungi pada
pertanaman jagung sehingga kelembaban tanah
optimal, akibatnya air dan unsur hara cukup
tersedia sehingga energi pertumbuhan generatif
lebih maksimal dibanding dengan jagung yang
ditanam diantara kelapa sawit umur 1,5 tahun,
kelapa sawit umur 3,5 tahun maupun pada jagung
yang tanpa kelapa sawit.
Wahyudin dkk., (2016) pada perlakuan
berbagai jarak tanam pada jenis jagung Pioneer,
yaitu sebesar 300 g pada bobot 1000 biji. Hal ini
diduga dipengaruhi oleh kerapatan jarak tanam
dan lingkungan tumbuh tanaman. Jarak tanam
yang lebih lebar dan waktu penelitian berlangsung
pada pertengahan musim kemarau dan berada
pada area diantara kelapa sawit umur 2,5 tahun,
sehingga serapan cahaya dan kelembaban tanah
proposional dengan luas tanah yang ditutupi oleh
tajuk kelapa sawit sehingga tidak terjadi
persaingan antara tanaman terhadap cahaya
matahari, air dan unsur hara dan menyebabkan
fotosintesis tanaman besar, akibatnya energi untuk
pertumbuhan vegetatif dan generatif besar dan
mengakibatkan bobot kering biji lebih besar.
Sebaliknya pada jarak tanam yang lebih rapat
terjadi persaingan terhadap cahaya matahari, air
dan unsur hara, dan sebaliknya jika terlalu lebar
dan tanpa naungan akan terjadi defisit air
sehingga pertumbuhan dan hasil akhir tanaman
menjadi rendah.
Pernyataan tersebut diperkuat oleh
pendapat yang dikemukakan oleh Agrita ( 2012 ),
bahwa komponen hasil bobot 1000 biji
dipengaruhi oleh faktor genotip dan lingkungan.
Ukuran biji maksimum dapat tercapai pada suhu
rata - rata 25 °C.
Hasil biji pipilan (ton ha-1)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jarak
tanam pada kelapa sawit berbagai tingkat umur
berpengaruh nyata terhadap hasil biji pipilan dan
ada interaksi antara jarak tanam dan tingkat umur
kelapa sawit. Pengaruh jarak tanam pada kelapa
sawit berbagai tingkat umur disajikan pada
Tabel 9.
Tabel 9. Hasil biji pipilan jagung, berbagai jarak tanam pada kelapa sawit berbagai tingkat umur Table 9. Grain yield (ton ha-1) in various spacing on palm oil for various aged grade
Jarak tanam Spacing
Hasil biji (ton ha-1) jagung pada Grain yield (ton ha-1) corn for
Tanpa kelapa
sawit Without palm oil
Kelapa sawit umur 1,5 tahun
Palm oil aged 1.5 yr
Kelapa sawit umur 2,5 tahun
Palm oil aged 2.5 yr
Kelapa sawit umur 3,5 tahun
Palm oil aged 3.5 yr
50 cm x 25 cm
60 cm x 25 cm
70 cm x 25 cm
4,04 gh
4,43 e
4,68 c
3,81 i
4,21 f
4,62 cd
4,12 fg
4,87 b
5,58 a
3,22 k
3,49 j
4,00 gh
BNT0.05 0,16
Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT pada taraf 5%.
Note: Numbers in the column followed by different lettery are significantly difference at HSD 0.05
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil
biji tertinggi terdapat pada tanaman jagung yang
ditanam dengan jarak tanam 70 cm x 25 cm
diantara kelapa sawit umur 2,5 tahun, yaitu 5,58
Pengaruh Jarak Tanam Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Jagung (Zea Mayz.L) Pada Tingkat Umur Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jacq) (M. Nur, et al.)
141
ton ha-1, dan berbeda nyata dengan semua
perlakuan lainnya.
Hal ini diduga dipengaruhi oleh jarak
tanam, pada jarak tanam yang lebar tidak terjadi
persaingan dalam mengambil cahaya matahari, air
dan unsur hara sehingga energi untuk
pertumbuhan organ generatif lebih maksimal
dibandingkan dengan jagung yang ditanam
dengan jarak tanam yang lebih rapat.
Selain dipengaruhi oleh jarak tanam, juga
diduga dipengaruhi oleh tingkat umur kelapa
sawit. Pada fase generatif tanaman sangat
membutuhkan sumberdaya lingkungan yang
optimal, tetapi pada lokasi penelitian adalah lokasi
tadah hujan dan terjadi kekurangan air karena
puncak musim kemarau. Pada kelapa sawit umur
2,5 tahun mempunyai luas tajuk yang proposional
dengan luas tanah yang dinaungi pada
pertanaman jagung sehingga kelembaban tanah
optimal, akibatnya air dan unsur hara cukup
tersedia sehingga energi pertumbuhan generatif
jagung lebih maksimal dibanding dengan kelapa
sawit umur 1,5 tahun, kelapa sawit umur 3,5 tahun
maupun pada jagung yang tanpa kelapa sawit.
Hasil penelitian sama dengan hasil
penelitian Bunyamin dan Awaluddin (2012)
bahwa jumlah populasi 71.429 tanaman ha-1 atau
jarak tanam 70 x 20 cm yang terbaik terhadap
pertumbuhan dan hasil jagung semi (baby corn)
dibanding dengan jumlah populasi 83.333 atau
jarak tanam 60 x 20 cm maupun pada jumlah
populasi 100.000 atau jarak tanam 50 x 20 cm.
Selanjutnya hasil penelitian Effendi (2008) bahwa
terjadi interaksi antara perlakuan jarak tanam dan
defoliasi bunga jantan pada peubah diameter
tongkol. Perlakuan kombinasi jarak tanam 70 x 20
cm dan defoliasi bunga jantan diperoleh diameter
tongkol yang lebih besar dibandingkan dengan
kombinasi perlakuan lainya sebesar 14.50 cm.
Hasil penelitian yang sama Ilham
wahyudin dkk (2016) menunjukkan bahwa
penggunaan jarak tanam 100 x 30 cm pada varietas
yang sama Pioneer menghasilkan pertumbuhan
dan produksi (berat tongkol 155.24g, panjang
tongkol 14.95 cm, dan berat 100 biji 30 g) tertinggi
dari pada hasil pertumbuhan dan produksi pada
jarak tanam 70 x 30 cm maupun jarak tanam 40 x
30 cm.
Hal ini sejalan dengan pernyataan yang
oleh Silaban (2013) bahwa jarak tanam pada
tanaman jagung berhubungan dengan luas atau
ruang tumbuh yang ditempatinya dalam
penyediaan unsur hara, air dan cahaya. Jarak
tanam yang terlalu lebar kurang efisien dalam
pemanfaatan lahan, bila terlalu sempit akan terjadi
persaingan yang tinggi yang mengakibatkan
produktivitas rendah. Pengaturan kepadatan
populasi tanaman dan pengaturan jarak tanam
pada tanaman budidaya dimaksudkan untuk
menekan kompetisi antara tanaman. Setiap jenis
tanaman mempunyai kepadatan populasi tanaman
yang optimum untuk mendapatkan produksi yang
maksimum. Apabila tingkat kesuburan tanah dan
air tersedia cukup, maka kepadatan populasi
tanaman yang optimum ditentukan oleh kompetisi
di atas tanah daripada di dalam tanah atau
sebaliknya.
Hal ini sejalan dengan pernyataan
Karokaro, dkk (2015) bahwa jarak tanam akan
berpengaruh terhadap produksi tanaman karena
berkaitan dengan ketersediaan unsur hara, cahaya
matahari serta ruang bagi tanaman. Jika terjadi
kompetisi pada tanaman maka pertumbuhan
vegetatif dan generatif terganggu dan
mengakibatkan hasil seperti ukuran biji kecil
sehingga bobot biji pipilan kering per tanaman
rendah.
Hal yang senada dikemukan oleh
Salisbury dan Ross (2011) bahwa jika tidak
terdapat penyinaran atau kurang mendapat
cahaya dari matahari maka hasilnya akan
berkurang. Temperatur optimum untuk
pertumbuhan jagung adalah antara 23 - 27 C.
Pertumbuhan tanaman jagung sangat
membutuhkan sinar matahari. Tanaman jagung
yang ternaungi, pertumbuhannya akan
terhambat/ merana, dan memberikan hasil biji
yang kurang baik bahkan tidak dapat membentuk
buah.
Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan
Anonim (2013) bahwa selain dipengaruhi oleh
jarak tanam juga dipengaruhi oleh kesuburan
tanah yang merupakn factor produksi yang
mempunyai sumbangan cukup besar yaitu sekitar
55% terhadap hasil produksi dan pengaturan jarak
tanam pada tanaman budidaya dimaksudkan
untuk menekan kompetisi antara tanaman. Setiap
Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 127 - 146
142
jenis tanaman mempunyai kepadatan populasi
tanaman yang optimum untuk mendapatkan
produksi yang maksimum. Apabila tingkat
kesuburan tanah dan air tersedia cukup, maka
kepadatan populasi tanaman yang optimum
ditentukan oleh kompetisi di atas tanah daripada
di dalam tanah atau sebaliknya.
Pernyataan yang sama dikemukakan oleh
Akil dan Hadijah ( 2007 ), bahwa hasil pipilan
kering yang tinggi dapat berkaitan dengan jarak
tanam yang digunakan dengan anjuran jarak
tanam optimal yaitu dengan jarak tanam 75 cm x
20 cm dengan satu tanaman per lubang, atau jarak
tanam 75 cm x 40 cm dengan dua tanaman per
lubang.
Hal yang senada dikemukan oleh Salisbury
dan Ross (2011) bahwa jika tidak terdapat
penyinaran dari matahari, hasilnya akan
berkurang. Temperatur optimum untuk
pertumbuhan jagung adalah antara 23 - 27 0C.
Pertumbuhan tanaman jagung sangat
membutuhkan sinar matahari. Tanaman jagung
yang ternaungi, pertumbuhannya akan
terhambat/merana, dan memberikan hasil biji
yang kurang baik bahkan tidak dapat membentuk
buah.
Hal tersebut dipertegas oleh Williams (2013)
bahawa pengaturan jarak tanam sangat
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil
tanaman. Hal ini akan berpengaruh pada luas
daun, berat kering tanaman, sistem perakaran,
banyaknya sinar matahari yang diterima, dan
banyaknya unsur hara yang diserap dari dalam
tanah. Penggunaan jarak tanam yang tepat akan
menaikkan hasil, tetapi penggunaan jarak tanam
yang kurang tepat akan menurunkan hasil.
Selain pengaturan jarak tanam, faktor
kesuburan tanah merupakan faktor produksi yang
mempunyai sumbangan cukup besar (sekitar 55
%) terhadap keberhasilan produksi (Anonim,
2013).
Indeks panen
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jarak
tanam pada kelapa sawit berbagai tingkat umur
berpengaruh nyata terhadap indeks panen dan ada
interaksi antara jarak tanam dengan tingkat umur
kelapa sawit. Pengaruh jarak tanam pada kelapa
sawit berbagai tingkat umur disajikan pada
Tabel 10.
Tabel 10. Indeks panen jagung pada berbagai jarak tanam pada kelapa sawit berbagai tingkat umur Table 10. Harvest indeks in various spacing of corn and of palm oil in various grade aged
Jarak tanam Spacing
Indeks panen jagung pada Harvest indeks corn for
Tanpa kelapa sawit
Without Palm oil
Kelapa sawit umur 1,5 tahun
Palm oil aged 1.5 yr
Kelapa sawit umur 2,5 tahun
Palm oil aged 2.5 yr
Kelapa sawit umur 3,5 tahun
Palm oil aged 3.5 yr
50 cm x 25 cm
60 cm x 25 cm
170 cm x 25 cm
0,42 de
0,46 bc
0,47 b
0,38 fg
0,39 f
0,45 bcd
0,47 b
0,51 a
0,53 a
0,35 hi
0,36 fgh
0,39 f
BNT0.05 0,03
Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT pada taraf 5%.
Note: Numbers in the column followed by different lettery are significantly difference at HSD 0.05
Hasil penelitian menunjukkan bahwa indeks
panen tertinggi terdapat pada tanaman jagung
yang ditanam diantara kelapa sawit umur
2,5 tahun dengan jarak tanam 70 cm x 25 cm, yaitu
sebesar 0,53, dan berbeda nyata dengan perlakuan
lainnya dan ada interaksi antara jarak tanam dan
umur kelapa sawit.Hal ini diduga dipengaruhi
oleh jarak tanam, pada jarak tanam yang lebar
tidak terjadi persaingan dalam mengambil
sumberdaya lingkungan yang dibutuhkan seperti
Pengaruh Jarak Tanam Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Jagung (Zea Mayz.L) Pada Tingkat Umur Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jacq) (M. Nur, et al.)
143
cahaya matahari, air dan unsur hara sehingga
energi pertumbuhan lebih maksimal, sebaliknya
pada jagung yang ditanam dengan jarak tanam
yang rapat terjadi persaingan dalam menperoleh
cahaya matahari, air dan unsur hara sehingga
energi pertumbuhan tidak maksimal akibatnya
indeks panen tanaman jagung rendah.
Selain dipengaruhi oleh jarak tanam, juga
diduga dipengaruhi oleh umur kelapa sawit. Pada
lokasi penelitian adalah tadah hujan, pada lokasi
tanpa kelapa sawit, pada umur 3 HST sampai
umur 25 HST tidak ada air hujan sehingga
tanaman mengalami stress kekeringan, akibatnya
pertumbuhan awal tanama tidak optimal bahkan
kerdil dan menyebabkan pertumbuhan generatif
juga tidak maksimal. Pada jagung yang ditanam
diantara kelapa sawit umur 1,5 tahun pada umur 9
MST terserang penyakit bulai sehingga energi
pertumbuhan dan hasil tidak maksimal,
sedangkan jagung yang ditanam pada kelapa
sawit umur 3,5 tahun, intensitas cahaya matahari
rendah sehingga menyebabkan translokasi
potosintat rendah akibatnya pertumbuhan dan
hasil rendah. Pada kelapa sawit umur 2,5 tahun,
luas penutupan tajuk kelapa sawit cukup
proposional dengan luas tanah pertanaman jagung
yang dinaungi sehingga kelembaban tanah pada
musim kemarau cukup optimal akibatnya jumlah
air dan unsur hara tersedia sehingga energi untuk
pertumbuhan dan hasil jagung optimal.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
indeks panen tertinggi terdapat pada tanaman
jagung yang ditanam diantara kelapa sawit umur
2,5 tahun dengan jarak tanam 70 cm x 25 cm, yaitu
sebesar 0,53, dan berbeda nyata dengan perlakuan
lainnya dan ada interaksi antara jarak tanam dan
umur kelapa sawit.Hal ini diduga dipengaruhi
oleh jarak tanam, pada jarak tanam yang lebar
tidak terjadi persaingan dalam mengambil
sumberdaya lingkungan yang dibutuhkan seperti
cahaya matahari, air dan unsur hara sehingga
energi pertumbuhan lebih maksimal, sebaliknya
pada jagung yang ditanam dengan jarak tanam
yang rapat terjadi persaingan dalam menperoleh
cahaya matahari, air dan unsur hara sehingga
energi pertumbuhan tidak maksimal akibatnya
indeks panen tanaman jagung rendah.
Selain dipengaruhi oleh jarak tanam, juga
diduga dipengaruhi oleh umur kelapa sawit. Pada
lokasi penelitian adalah tadah hujan, pada lokasi
tanpa kelapa sawit, pada umur 3 HST sampai
umur 25 HST tidak ada air hujan sehingga
tanaman mengalami stress kekeringan, akibatnya
pertumbuhan awal tanama tidak optimal bahkan
kerdil dan menyebabkan pertumbuhan generatif
juga tidak maksimal. Pada jagung yang ditanam
diantara kelapa sawit umur 1,5 tahun pada umur 9
MST terserang penyakit bulai sehingga energi
pertumbuhan dan hasil tidak maksimal,
sedangkan jagung yang ditanam pada kelapa
sawit umur 3,5 tahun, intensitas cahaya matahari
rendah sehingga menyebabkan translokasi
potosintat rendah akibatnya pertumbuhan dan
hasil rendah. Pada kelapa sawit umur 2,5 tahun,
luas penutupan tajuk kelapa sawit cukup
proposional dengan luas tanah pertanaman jagung
yang dinaungi sehingga kelembaban tanah pada
musim kemarau cukup optimal akibatnya jumlah
air dan unsur hara tersedia sehingga energi untuk
pertumbuhan dan hasil jagung optimal.
Hal sesuai dengan hasil penelitian yang
diperoleh Asrol dan Fahrulrosi ( 2015 )
bahwa jarak tanam yang lebih lebar pada lahan
ultisol memberikan pengaruh terbaik terhadap
pertumbuhan dan produksi tanaman jagung.
Secara teoritis makin tinggi hasil biji kering
tanaman maka makin besar pula indeks panennya.
Hal tersebut dipertegas oleh pernyataan
Surbakti et al, ( 2013 ) bahwa dalam kondisi
lingkungan yang baik untuk melakukan
fotosintesis akan menghasilkan 60 - 80 %
hasil asimilatnya ditranslokasikan kebagian
tanaman yang lainnya pada organ pertumbuhan
dan produksi. Pertumbuhan dan produksi akan
meningkat apabila didukung oleh faktor
lingkungan misalnya cahaya dan air ( Bunyamin
dan Aqil 2009 ), tetapi pada saat penelitian ini
kebutuhan air tidak dapat tercukupi karena pada
saat penelitian ini dilaksanakan bertepatan dengan
mulainya musim kering yang mana pada saat fase
pertumbuhan tanaman sudah mengalami
kekurangan air jadi pertumbuhan dan produksi
tanaman tidak mendapatkan hasil dengan
maksimal.
Selain dari penyinaran, unsur hara juga
berperan penting dalam pertumbuhan dan
produksi tanaman jagung (Sirappa dan Razak
2010). Dengan jarak tanam 70 cm x 25 cm
Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 127 - 146
144
persaingan untuk mendapatkan unsur hara dapat
terhindari, persaingan untuk mendapatkan unsur
hara bukan saja terjadi antar tanaman dengan
gulma tetapi dapat juga terjadi pada antar sesama
tanaman ( Franky et al. 2010 ). Hal ini sependapat
dengan Catharina (2009) yang menyatakan bahwa
pada jarak tanam tertentu akan mengakibatkan
persaingan yang sangat ketat yang mengakibatkan
adanya penurunan produksi yang diakibatkan
oleh persaingan dalam memperebutkan unsur
hara. Kerapatan menggambarkan jumlah atau
banyaknya jenis suatu individu dalam satuan luas
tertentu. Kerapatan ini ditentukan berdasarkan
jumlah individu rata-rata dibagi luas area
pengamatan.
Hal tersebut sejalan dengan penelitian
Saragih dkk, ( 2013 ) dalam Wahyudi ( 2017 )
bahwa tanaman jagung mengambil N sepanjang
hidupnya, maka untuk mendapatkan hasil yang
baik maka unsur hara N harus cukup tersedia
dalam media tanam jagung. Defisiensi unsur hara
N pada masa vegetatif dapat mempengaruhi
kemampuan tanaman untuk menyerap unsur P (
Pracaya, 2008).
Berikut gambar pertumbuhan generatif
jagung pada berbagai jarak tanam dan tingkat
umur kelapa sawit pada Gambar 6 berikut.
Gambar 6 a. Penampilan hasil tongkol biji jagung pada berbagai jarak tanam di lokasi tanpa kelapa sawit
Figure 6 a. Figure yield cob seed of corn for various spacing for location without of palm oil
Gambar 6 b. Penampilan tongkol biji jagung pada berbagai jarak tanam diantara kelapa sawit umur 1,5 tahun Figure 6 b. Figure yield cob seed of corn for various spacing between of palm oil aged 1.5 year
Gambar 6 c. Penampilan hasil tongkol jagung pada berbagai jarak tanam diantara kelapa sawit umur 2,5
tahun. Figure 6 c. Figure yield cob seed of corn for various spacing between of palm oil aged 2.5 year
JT. 50 cm x 25 cm JT. 60 cm x 25
cm
cm
JT. 70 cm x 25
cm
cm
JT. 50 cm x 25 cm JT. 60 cm x 25
cm
cm
JT. 70 cm x 25
cm
cm
JT. 50 cm x 25 cm JT. 60 cm x 25 cm JT. 70 cm x 25 cm
Pengaruh Jarak Tanam Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Jagung (Zea Mayz.L) Pada Tingkat Umur Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jacq) (M. Nur, et al.)
145
Gambar 6 d. Penampilan hasil tongkol biji jagung pada berbagai jarak tanam diantara kelapa sawit umur 3,5 tahun
Figure 6 d. Figure yield cob seed of corn for various spacing between of palm oil aged 3.5 year
KESIMPULAN 1. Jarak tanam 70 cm x 25 cm adalah stabil dan
terbaik pada semua lokasi penanaman jagung. 2. Jagung yang ditanam diantara kelapa sawit
umur 2,5 tahun secara umum terbaik, terutama hadap, laju tumbuh relatif ( 9,93 g tan2.minggu-1 ), dan hasil biji ( 5,58 ton ha-1 ) dan ada interaksi antara jarak tanam dengan tingkat umur kelapa sawit.
3. Untuk pola pertumbuhan yang optimal antara kelapa sawit belum menghasilkan dengan jagung maka disarankan menggunakan jarak
tanam 70 cm x 25 cm.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Badan Litbang Kementerian Pertanian yang telah memberi kesempatan dan biaya pendidikan kepada saya sampai selesai, demikian juga bapak kepala Balai Penelitian Tanaman Palma Bapak Dr. Ir. Ismail Maskromo, M.Si dan semua teman-teman peneliti Bapak Fatrik Pasang dkk, yang telah memberikan arahan bimbingan dan motivasi selama saya kuliah. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Pak Mansyur, Pak Syarif, Pak Rote dan Pak Budi yang telah membantu selama di lapangan penelitian demikian juga Ibu Fivi yang telah membantu selama di labaroratorium jurusan Budidaya tanaman Unhas serta pak Basri, teknisi jurusan Budidaya Tanaman Unhas.
DAFTAR PUSTAKA
AAK. 1983. Dasar-Dasar Bercocok Tanam. Yogyakarta: Kanisius.
Agrita, D. A, 2012. Pengaruh Kombinasi Pupuk Fospat dengan Pupuk Kotoran Ayam terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Jagung (Zea mays L.) Hibrida Varietas Bisi-2
pada Inceptisol Jatinangor, Sumedang. Jurnal Kultivasi 12 (1) 2012.
Akil, M. dan A.D. Hadijah, 2007. Budidaya Jagung dan Diseminasi Teknologi. Balai Penelitian Tanaman Serealia Maros, Maros.
Anonim, 2013. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ( RPJMN ) Bidang Pangan dan Pertanian 2015-2019. Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta.
Asrol, dan Fahrulrozi, 2015. Produksi Tanaman Jagung (Zea mays L.) pada Berbagai Jarak Tanam di Tanah Ultisol. Jurnal Lahan Suboptimal ISSN: 2252-6188 (Print), ISSN: 2302-3015 (Online, www.jlsuboptimal.unsri.ac.id) Vol. 4, No.1: 66-70, April 2015
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2014. Direktorat Pangan dan Pertanian Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional : Jakarta Pusat.
Board, J. E. and Kahlon, C.S.2012. Contribution of Remobilized Total Dry Matter to Soybean Yield. Journal of Crop Improvement Volume 26, Issue 5 pages 641-654.
BPS. 2016. Badan Pusat Statistik Indonesia. www.bps.go.id. Diakses pada tanggal 27 Juni 2018.
BPS. 2017. Badan Pusat Statistik Indonesia. www.bps.go.id. Diakses pada tanggal 5 Desember 2018.
BPS. 2018. Badan Pusat Statistik Indonesia. www.bps.go.id. Diakses pada tanggal 5 Desember 2018.
Bunyamin Z dan Aqil M. 2009 Pengaruh sistem pertanaman sisipan terhadap pertumbuhan tanaman jagung. Prosiding Seminar Nasional Serelia.
Bunyamin Z, dan Awaluddin. 2012. Pengaruh Populasi Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Jagung Semi (Baby corn). Prosiding Seminar Nasional Balai Serealia di Makassar, 2012.
Broughton, W. J. 1976. Effect of various covers on the performance of Elaeis guineensis Jacq. On
JT. 50 cm x 25 cm JT. 60 cm x 25 cm JT. 70 cm x 25 cm
Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 127 - 146
146
different soils. The proceedings of the Malaysian international agriculture of oil palm conference. The incorporated society of planters, Kuala Lumpur. P: 501-525.
Catharina TS. 2009. Respon tanaman jagung pada sistem monokultur dengan tumpangsari kacang-kacangan terhadap ketersediaan unsur hara N dan nilai kesetaraan lahan di lahan kering. Ganec Swara Edisi Khusus 3(3).
Effendi,S.2008. Cropping system suatu cara untuk stabilisasi produksi pertanian. Penataran PPS Bidang Agronomi dalam pola bertanam. Lembaga Penelitian Bogor.
Franky JP; Johanes EX, Rogi dan Runtunuwu SD. 2010. Model pertumbuhan dan produksi jagung hibrida pada perlakuan pemberian nitrogen serta pemangkasan tasel. Eugenia 16(3).
Gardner, F., P. Pearce and R. B. Mitchell. 2008. Fisiologi Tanaman Budidaya. UI Press. Jakarta, p 428.
Goldsworthy dan Fisher. 1992. Fisiologi Tanaman Budidaya. Tropik (terjemahan dari The Physiology of Tropical Field Crops oleh Tohari). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
I.Wahyuddin.H. Hawalid, E. Hawayanti, 2016. Respon Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Jagung Hibrida (Zea mays L.) Pada Pemberian Pupuk Hayati Dengan Jarak Tanam Berbeda diahan Lebak. Jurnal Klorofil XI - 1 : 20 – 25, Juni 2016. ISSN 2085-9600.
Jiyanto, 2012. Teknologi Budidaya Jagung. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat.
Jumin, H.B. 2008. Dasar-Dasar Agronomi. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
Karokaro, S. J. E.X. Rogi D. S. dan Tumewu. R.P. 2015. Pengaturan Jarak Tanam Padi (Oryza Sativa L.) Pada Sistem Tanam Jajar Legowo. Jurnal penelitian. http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/cocos/artic le/download /9570/9150. Diakses tanggal 11Dember 2018.
Kresnatita, S., Koesriharti dan M. Santoso. 2013. Pengaruh Rabuk Organik Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Jagung Manis. Indonesian Green Technology Journal. 2 (1): 8 – 17.
Maruapey A. 2011. Pengaruh jarak tanam dan jenis pupuk kanang terhadap pertumbuhan gulma dan hasil jagung manis. Seminar Nasional Serelia 2011.
Pracaya. 2008. Hama dan Penyakit Tanaman hal: 394-396. Penebar Swadaya. Jakarta
Sirappa MP dan Razak N. 2010. Peningkatan produktivitas jagung melalui pemberian pupuk NPK dan pupuk kandang pada lahan kering di Maluku. Prosiding Pekan Serelia Nasional.
Silaban, E.T. Purba, E. dan Ginting J. 2013. Pertumbuhan Dan Produksi Jagung Manis (Zea mays sacaratha Sturt. L) Pada Berbagai Jarak Tanam Dan Waktu Olah Tanah. Jurnal Online Agroekoteknologi. Juni 2013. 1(3) ISSN No. 2337-6597.
Subah, I and O. M. Tayeb, 1999. Crops integration in oil palm. Comference papers. Seminar on maximizing land use through integrated farming, Kuala Lumpur.
Surbakti MF, Ginting S, dan Ginting J. 2013. Pertumbuhan dan produksi jagung Zea mays l. parietas pioner-12 dengan pemangkasan daun dan pemberian pupuk NPKMg. Jurnal Online Agroteknologi 1(3).
Sektiwi, T Ariya., N Aini., dan H.S. Sebayang, 2012. Kajian Model Tanam dan Waktu Tanam dalam Sistem Tumpangsari terhadap Pertumbuhan dan produksi Benih Jagung. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang. Artikel Penelitian 15 hlm.
Tjahyana et al, 2000. Manipulasi jarak dan sistem tanam kelapa untuk pola tanam. Laporan Hasil Penelitian Bagian Proyek Penelitian Pola tanam Kelapa. Loka Penelitian Pola Tanam Kelapa, Pokuwen.
Tjasjono Bayong. 1995. Klomatologi Umum. Bandung: Penerbit ITB Bandung.
Wahyuddin.H. Hawalid, E. Hawayanti, 2015. Respon Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Jagung Hibrida (Zea mays L.) Pada Pemberian Pupuk Hayati Dengan Jarak Tanam Berbeda diahan Lebak. Jurnal Klorofil XI - 1 : 20 – 25, Juni 2016. ISSN 2085-9600.
Wahyuddin.H. Hawalid, E. Hawayanti, 2016. Respon Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Jagung Hibrida (Zea mays L.) Pada Pemberian Pupuk Hayati Dengan Jarak Tanam Berbeda diahan Lebak. Jurnal Klorofil XI - 1 : 20 – 25, Juni 2016. ISSN 2085-9600.
Wahyudin, A. ∙ Y. Yuwariah ∙ F.Y. Wicaksono ∙ R.A.G. Bajri, 2017. Respons jagung (Zea mays L.) akibat jarak tanam pada sistem tanam legowo (2:1) dan berbagai dosis pupuk nitrogen pada tanah inceptisol Jatinangor, Jurnal Kultivasi Vol. 16 (3) Desember 2017.
147
INDEKS SUBJEK/SUBJECT INDEX
Buletin Palma Volume 19, Tahun 2018
Air kelapa/coconut water
Karakteristik kemasan/ packaging characteristic 57 Penyimpanan irisan daging kelapa muda/storage of young coconut meat slice 57
Bahan Organik / Organic material Bioaktivator /Bioactivator 33 Rasio C/N /C/N ratio 33 Unsur hara/Nutrients 33
Daging Buah Kelapa / Coconut meat Asam amino esensial/ essential amino acids 27 Dalam mapanget/Mapanget tall 27 Mikroba / Microbes 27 Organoleptik / Organoleptic 27
Dosis Pemupukan / Fertilizer dose
Genjah salak/ Salak dwarf 47 Pertumbuhan vegetatif/Vegetative growth 47 Unsur hara makro / Macro nutrient element 47 Unsur hara mikro / Micro nutrient element 47
Interpretative Structural Modelling (ISM)/Interpretative Structural Modelling (ISM) 101
Pengolahan Sagu/cultivation sago 101 sagu(MetroxylonSagu)/Sago(Metroxylon Sago) 101 Struktur kendala/constraint structure 101 VAXO/VAXO 101
Kinerja Alat/Performance of tool
Air kepala muda/young coconut water 69 Penyimpanan/storage 69 Alat/tool 69
Pertumbuhan vegetatif/vegetatif growth
Indeks luas daun/leave area index 101 Intensitas cahaya/sunlight intensity 101 Hasil biji/grain yield 101 Indeks panen/harvest index 101
Pinang wangi/Wangi arecanut
Pinang lokal/Local arecanut 15 Produksi buah/Fruit production 15 Seleksi/Selection 15 Sidik lintas/Path 15
Tanaman produktif/Productive coconut Entomopatogen/Entomopatogen 1 Ketinggian tempat/Elevation place 1 Parasitoid/Parasitoid 1 Predator/Predator 1
Uji organoleptik/organoleptic
Aspek ekonomi/economic analysis 117 Minuman es teler/teler ice drinks 117
Ulat Api/nette caterpillar
Limacodidae/ Limacodidae 89 Produksi Kelapa/Coconut Production 89 Kerusakan tanaman kelapa / Coconut palm damage 89 Respon petani/farmer response 89
Viabilitas/Viability 79
Patogenitas/patogenicity 79 Kerapatan konidium/density of condition 79 Kelapa/coconut 79
148
INDEKS PENULIS/AUTHOR INDEX
Buletin Palma Volume 19, Tahun 2018
Adhitya Yudha Pradhana, 33 Alfred Pahala Manambangtua 47 Andriko N. Susanto 89 Budi Santosa 27 Cecep Kusmana 1, 101 D. Soetopo 89 Dina Hervina 15 Endang Hilmi 101 Engelbert Manaroinsong 9,57 Firman Mantau 15 Fredy Lala 89 I.M. Trisawa 79 Linda Trivana 33, 47 Mamun Murod 101
Meldy L.A Hosang 1, 89 Miftahorrachman 15 Muhamad Hasjim Bintoro 101 Nicolas Tumbel 69 Novalisa T.E. Lumentut 1 Rindengan Barlina 57 Siswanto 79 Sri Karindah 1 Steivie Karouw 27 Supardi Manurung 1,69 Suryani Lahea 57 Widiatmaka 101 Yulianus Rompah Matana 47 Zainal Abidin 117
149
UCAPAN TERIMA KASIH
Redaksi Buletin Palma mengucapkan terima kasih kepada Mitra Bestari yang telah berpartisipasi dalam menelaah naskah yang dipublikasi pada Buletin Palma Volume 19 Tahun 2018. Kontribusi Mitra Bestari membantu menjamin kualitas publikasi ilmiah ini.
1. Prof.Dr.Ir. Max Tulung, MS (Entomologi)
Universitas Sam Ratulangi Manado Jln. Kampus Unsrat Bahu, Manado 95115
2. Prof. Dr.Ir. Elna Karmawati, MS (Entomologi)
Pusat Penelitian dan Perkembangan Perkebunan-Badan Litbang Pertanian-Kementerian Pertanian Jln. Tentara Pelajar No.1 Cimanggu, Bogor 16111
3. Ir. Jantje Gustaf Kindengan, MS (Ekonomi Pertanian)
BPTP Balitbangtan Sulawesi Utara- Kementerian Pertanian Jln Kampus Pertanian Kalasey, KotakPos 1345, Manado
151
ABSTRAK /ABSTRACT
BULETIN PALMA VOLUME 19, TAHUN 2018
Buletin Palma Volume 19 No. 1, Juni 2018: 1 - 14
Kelimpahan Brontispa longissima Gestro (Coleoptera:
Chrysomelidae) dan Musuh Alami pada Tanaman Kelapa
The Abundance of Brontispa longissima Gestro (Coleoptera:
Chrysomelidae) and Natural Enemies on Coconut Palms
Novalisa Lumentut, Sri Karindah dan Meldy L.A. Hosang
Kelimpahan Brontispa longissima dan musuh alaminya pada tanaman kelapa telah dieksplorasi di Kabupaten Minahasa Utara, Minahasa Selatan dan Minahasa Tenggara pada bulan Februari 2012 - Januari 2013. Penelitian bertujuan untuk mempelajari kelimpahan B. longissima dan musuh alaminya pada pertanaman kelapa. Penelitian dilaksanakan pada tanaman kelapa belum berproduksi dan tanaman kelapa produktif. Pengambilan contoh dilakukan secara acak berlapis atau Stratified random sampling dengan menggunakan sistem kuadran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelimpahan B. longissima berfluktuasi, kelimpahan tertinggi terjadi pada bulan Agustus dan September 2012 pada tanaman belum berproduksi. Pada tanaman produktif kelimpahan B. longissima tertinggi berturut-turut pada ketinggian tempat 300-600 m dpl terjadi pada bulan Agustus 2012, yaitu 70,30 individu/pelepah, kemudian pada ketingian tempat >600 m dpl terjadi pada bulan September 2012, yaitu 64 individu/pelepah dan pada ketinggian <300 m dpl terjadi pada bulan Juni 2012, yaitu 62 individu/pelepah. Musuh alami B. longissima yang ditemukan pada ketinggian tempat <300 m dpl, 300-600 m dpl, dan >600 m dpl pada tanaman belum berproduksi adalah parasitoid Tetrastichus brontispae, predator Chelisoches morio, dan entomopatogen Metarhizium anisopliae var. anisopliae. Musuh alami yang ditemukan pada tanaman berproduktif diketiga ketinggian tempat tersebut adalah parasitoid Tetrastichus brontispae, dan predator Chelisoches morio. Entomopatogen M. anisopliae var. anisopliae tidak dijumpai pada tanaman produktif diketiga ketinggian tempat tersebut. Kelimpahan musuh alami dan persentase parasitisme di tiga ketinggian tempat tersebut baik pada tanaman belum berproduksi maupun tanaman produktif ternyata rendah yaitu antara 0,33-14,47%. Hal ini disebabkan pengaruh faktor abiotik dan biotik terhadap kelimpahan B. longissima.
Kata kunci: Tanaman produktif, ketinggian tempat, parasitoid, predator, entomopatogen, parasitoid
The abundance of Brontispa longissima and its natural enemies on coconut palms have been explored in North Minahasa,South Minahasa and Southeast Minahasa Districts in February 2012 - January 2013. The aims of the research were to study the abundance of B. longissima an natural enemies in the field. The research was conducted on unproduced coconut palm and productive coconut palm. Sampling is done randomly plated or Stratified random sampling using quadrant system. The results showed that the abundance of B. longissima fluctuated, the highest abundance occurred in August and September 2012 in unproductive palms. In productive palms, the highest abundance of B. longissima at the altitude of 300-600 m above sea level occurred in August 2012, which was 70.3 individuals / young leaves, then at altitude > 600 m above sea level occurred in September 2012, ie 64 individuals / young leaves, and at an altitude of <300 m above sea level occurred in June 2012, which is 62 individuals / young leaves. Brontispa longissima natural enemies found at altitudes <300 m above sea level, 300-600 m above sea level, and> 600 m above sea level in unproduced coconut palms are parasitoid Tetrastichus brontispae, Chelisoches morio predator, and entomopathogen Metarhizium anisopliae var. anisopliae. The natural enemies found in productive coconut palm at three different altitudes are Tetrastichus brontispae parasitoids, and Chelisoches morio predators. Entomopatogen M. aanisopliae var. anisopliae is not found on the productive coconut
palms at all three altitudes. The abundance of natural enemies and percentage of parasitism in the three different altitudes both in unproductive coconut palm and productive coconut palm was low is between 0.33-14.47%. This is due to the influence of abiotic and biotic factors on the abundance of B. longissima. Keywords: Productive coconut, elevation place, parasitoid, predator,
entomopatogen, parasitoid
Buletin Palma Volume 19 No. 1, Juni 2018: 15 - 25
Evaluasi Karakter Morfologi untuk Perbaikan Genetik Tanaman Pinang (Areca Cathecu L.) di Padang Pariaman
Evaluation Of Morphological Characters For Arecanut (Areca Cathecu L.) Genetic Improvment In Padang Pariaman
Miftahorrachman, Firman Mantau dan Dina Hervina
Evaluasi karakter morfologi yang berpengaruh langsung terhadap hasil merupakan langkah awal untuk perbaikan genetik tanaman pinang, membutuhkan pengetahuan tentang hubungan karakter morfologi, terutama produksi. Karakter morfologi yang berpengaruh langsung terhadap hasil diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai dasar seleksi untuk meningkatkan produksi tanaman. Penelitian bertujuan mengetahui karakter morfologi yang berpengaruh secara langsung terhadap jumlah buah per tandan sebagai dasar seleksi perbaikan tanaman. Penelitian dilakukan di Korong Koto Padang dan Korong Toboh, Nagari Sikucua, Kecamatan V Koto Kampung Dalam, Kabupaten Padang Pariaman, Provinsi Sumatera Barat pada bulan Desember tahun 2017. Analisa sidik lintas antara sebelas karakter morfologi dan komponen buah dengan jumlah buah menggunakan rumus dari Singh dan Chaudary.Hasil analisis sidik lintas menunjukkan bahwa karakter lingkar batang (r = 0,4190), jumlah tandan (r = 0,4488), panjang equatorial buah utuh (r = 0,8420), berat kernel (r = 0,5451), panjang equatorial kernel (r = 0,6785), dan panjang polar kernel (r = 0,8443) berpengaruh langsung terhadap produksi buah untuk pinang Lokal. Pada pinang Wangi hanya diperoleh satu karakter yaitu panjang equatorial buah (r = 0,4984) yang berpengaruh langsung terhadap produksi buah. Penampilan karakter pinang Lokal yang beragammenyebabkan peluang seleksi lebih besar dibanding pinang Wangi. Hasil penelitian menunjukan bahwa untuk pinang Lokal, karakter lingkar batang, jumlah tandan, panjang equatorial buah utuh, berat kernel, panjang equatorial kernel, dan panjang polar kernel dapat dijadikan dasar seleksi perbaikan produksi, sedangkan untuk pinang Wangi hanya karakter panjang equatorial buah utuh yang dapat dijadikan dasar seleksi.
Kata kunci: Pinang wangi, pinang lokal, sidik lintas, produksi buah, seleksi.
Evaluation of morphological characters that directly affect the yield is the first step in genetic improvement of areca nut requiring knowledge of the relationship of morphological characters especially production. Morphological characters that are affected directly to yield will be utilized as a basis for selection to increase crop production. The aim of this research is to know morphological characters that directly influence the number of fruits per bunchas the basis of selection for plant improvement. The research was conducted in Korong Koto Padang and Korong Toboh, Nagari Sikucua, V Koto Kampung Dalam District, Padang Pariaman District, West Sumatera Province in December 2017. The result of path analysis indicated that character of girth (r = 0,4190), number of bunches (r = 0,4488), equatorial length of fruit (r = 0,8420), kernel weight (r = 0,5451), equatorial length of kernel (r = 0,6785), and polar length of kernel (r = 0,8443) has a direct effect on fruit
Buletin Palma Volume 17 No. 2, Desember 2016: 189 - 198
152
production of Local arecanut. For Wangi arecanut only obtained one character that is equatorial length of fruit (r = 0.4984) that directly affect fruit production. The variety of appearance of Local areca nut characters leads to greater selection opportunities compared to Wangi arecanut.The research showed that for Local areca nut, the character of girth, number of bunches, equatorial length of whole fruit, kernel weight, equatorial length of kernel, and polar length of kernel can be used as the selection for the production, while for Wangi arecanut only characters of equatorial length of fruit can be used as the basis of selection.
Keywords: Wangi arecanut, local arecanut, path, fruit production, selection.
Buletin Palma Volume 19 No. 1, Juni 2018: 27 - 32
Stabilitas Santan Kelapa pada Variasi Penambahan Emulsifier Natrium Kaseinat Stability of Coconut Milk on Various Addition of Sodium Caseinate as Emulsifier
Steivie Karouw dan Budi Santosa
Daging buah kelapa merupakan bagian buah kelapa yang telah dimanfaatkan secara luas sebagai produk pangan. Santan kelapa merupakan salah satu produk yang dapat diolah dari daging buah kelapa. Tujuan penelitian ini yaitu mengetahui karateristik daging buah kelapa dan stabilitas santan kelapa dengan penambahan emulsifier natrium kaseinat. Penelitian dilakukan sejak bulan Januari sampai Desember 2013 di Laboratorium Pascapanen Balai Penelitian Tanaman Palma Manado, Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian dan Laboratorium LPPT, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta serta Laboratorium Pusat antar Universitas, Institut Pertanian Bogor(IPB), Bogor. Bahan baku utama yang digunakan yaitu buah kelapa varietas Dalam Mapanget (DMT) dengan umur buah 11-12 bulan yang diperoleh dari KP Kima Atas, Sulawesi Utara. Santan yang diperoleh dari buah kelapa DMT ditambahkan natrium kaseinat 0,6%, 0,8% dan 1,0% kemudian disimpan pada suhu 8C selama 0, 7, 14, 21, dan 28 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daging buah kelapa dari varietas Dalam Mapanget mengandung 15 jenis asam amino dan 10 di antaranya adalah asam amino esensial. Asam glutamat merupakan asam amino dengan proporsi tertinggi yaitu 1,22%, disusul arginin dan tirosin masing-masing 0,89% dan 0,62%. Santan kelapa yang dihasilkan pada variasi konsentrasi emulsifier natrium kaseinat tahan simpan 28 hari pada suhu 8oC yang ditunjukkan dengan jumlah mikroba sebanyak 100 -300 cfu sampai penyimpanan 28 hari. Hasil pengujian organoleptik menunjukkan bahwa santan kelapa memiliki warna biasa sampai suka, aroma biasa sampai suka dan rasa tidak suka sampai suka. Susu kelapa yang dihasilkan tanpa penambahan emulsifier natrium kaseinat cenderung lebih stabil dibanding yang ditambahkan natrium kaseinat
Kata kunci : Daging buah kelapa, dalam mapanget, asam amino esensial, mikroba, organoleptik
Coconut meat is a part of the coconut that has been widely used as a food product. Coconut milk is one of the products that can be processed from coconut meat. The purpose of this study is to evaluate the characteristics of coconut meat and coconut milk stability with the addition of sodium casein as emulsifier. The research was conducted from January to December 2013 at Laboratory of Indonesian Palm Crops Research Institute, Laboratory of Faculty of Agricultural Technology and Laboratory of LPPT, Gadjah Mada University, Yogyakarta and Laboratoty of Pusat Antar Universitas, IPB, Bogor. The main raw materials used are meat of Mapanget Tall coconut variety with fruit age of 11-12 months obtained from KP Kima Atas, North Sulawesi. The results showed that coconut meat of Mapanget Tall which was used as raw materials contained 15 types of amino acids and 10 of them are essential amino acids.
Glutamic acid is an amino acid with the highest proportion of 1.22%, followed by arginine and tyrosine respectively 0.89% and 0.62%. Coconut milk produced on the various concentration of sodium caseinate was safe to be consumed until 28 days of storage at 8oC, which indicated by the total of microbes of 100 - 300 cfu. The results of organoleptic testing showed that coconut milk has an ordinary color to like, the aroma was usual to likes and taste was dislikes to likes. Coconut milk produced without addition of sodium casein emulsifier tends to be more stable than that of added sodium caseinate. Keywords : Coconut meat, mapanget tall, essential amino acids,
microbes, organoleptic.
Buletin Palma Volume 19 No. 1, Juni 2018: 33 - 46
Pengaruh Rasio Debu Sabut Kelapa dan Kotoran Kambing terhadap Waktu Pengomposan dan Kualitas Pupuk Organik
The Effects of Coconut Coir Dust-Goat Debris Rasio on Composting Time and Organic Fertilizer Quality
Linda Trivana dan Adhitya Yudha Pradhana
Debu sabut mengandung unsur hara yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik. Kadar N dan P debu sabut masih rendah sehingga membutuhkan tambahan bahan organik lain seperti kotoran kambing. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh waktu pengomposan campuran debu sabut kelapa dan kotoran kambing terhadap kualitas pupuk organik. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan lima perlakuan dan lima ulangan sehingga diperolah 25 satuan percobaan dan setiap perlakuan ditambahkan bioaktivator EM4 sebanyak 20 ml. Perlakuan yang diuji adalah komposisi debu sabut (DS)-kotoran kambing (KK) yang terdiri atas A (80:20), B (60:40), C (50:50), D (40:60), dan E (20:80). Suhu puncak pengomposan untuk pupuk organik dengan komposisi DS-KK 80:20 dan 60:40 terjadi pada hari ke-21, sedangkan pupuk organik dengan komposisi DS-KK 50:50, 40:60, dan 20:80 pada hari ke-12. Pupuk organik dengan komposisi DS-KK 80:20 dan 60:40 selama pengomposan 21 hari tidak memenuhi standar SNI (rasio C/N 10-20), yaitu 21,28 dan 21,10. Pupuk organik dengan komposisi DS-KK 80:20 dan 60:40 memerlukan waktu pengomposan yang lebih lama (lebih dari 21 hari). Pupuk organik dengan komposisi DS-KK 50:50 dan 40:60 memenuhi standar SNI 19-7030-2004 pada waktu pengomposan 21 hari. Pupuk organik dengan komposisi DS-KK 20:80 pada pengomposan 7, 14, dan 21 hari tidak memenuhi standar SNI, karena nilai rasio C/N pupuk E tidak sesuai dengan SNI (rasio C/N 10-20), yaitu masing masing sebesar 28,64, 21,89 dan 7,93. Waktu ideal pengomposan untuk pupuk E antara 14-21 hari. Kata kunci: Bahan organik, unsur hara, rasio C/N, bioaktivator.
The coconut coir dust nutrients suitable for use as organic fertilizer. Nitrogen and phosporus levels in coir dust is still low, so it’s requires additional organic materials, such as goat debris. The purpose of this research was to determine the influence of composting time of coconut coir dust and goat debris mixture on organic fertilizer quality. The study used a Completely Randomized Design with 5 treatments and 5 replications so that 25 units of experiments were obtained, and each treatment added 20 ml EM4 bioactivator. The mixture of coir dust- goat debris consist of: A (80:20), B (60:40), C (50:50), D (40:60), and E (20:80). The peak temperature of composting of organic fertilizer with ratio of coir dust- goat debris 80:20 and 60:40 occured on the 21st-days of composting, while organic fertilizer with ratio of coir dust- goat debris 50:50, 40:60, 20:80 on the 12th days of compositing. Organic fertilizer with ratio of coir dust- goat debris 80:20 and 60:40 during composting time 21 days didn’t in accordance SNI standards (C/N ratio 10-20), namely 21.28 and 21.10. Organic fertilizer with ratio of coir dust- goat debris 80:20 and 60:40 were require longer composting time more than 21 days. Organic fertilizer with ratio of coir dust- goat debris 50:50 and 40:60 that’s unqualified SNI 19-7030-2004 standard at composting time 21 days. Organic fertilizer with
Abstrak/Abstract
153
ratio of coir dust - goat debris 20:80 on composting that’s 7th, 14th, and 21st days unqualified SNI standard, because C/N ratio do not meet SNI standard (C/N ratio 10-20), that is 28.64, 21.89 and 7.93 respectively. The ideal time of composting for organic fertilizer with ratio of coir dust- goat debris 20:80 between 14 - 21 days Keywords: Organic material, nutrients, C/N ratio, and bioactivator.
Buletin Palma Volume 19 No. 1, Juni 2018: 47 - 56
Respon Pertumbuhan Bibit Kelapa Genjah Terhadap Berbagai Dosis Pupuk Organik
The Response of Growth Dwarf Coconut Seedling on the Different Dose of Organic Fertilizer
Alfred P. Manambangtua, Linda Trivana dan Yulianus R. Matana
Salah satu cara untuk mengurangi dampak negatif dari penggunaan pupuk anorganik adalah penggunaan pupuk organik. Pupuk organik dalam bentuk yang telah dikomposkan berperan penting dalam perbaikan sifat kimia, fisika, dan biologi tanah serta sebagai sumber nutrisi tanaman. Pupuk organik yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari debu sabut kelapa dan pengomposan kotoran kambing. Debu sabut mengandung unsur hara seperti N, P, K, Ca, Mg, Fe, Na, Mn, Cu, Zn, dan Al. Kotoran kambing mengandung unsur hara yang relatif tinggi karena kotoran kambing tercampur urine yang juga mengandung nutrisi. Debu sabut merupakan limbah dari penyeratan sabut kelapa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon pertumbuhan bibit kelapa genjah terhadap pemupukan organik. Penelitian dilaksanakan di Rumah Kaca, Balai Penelitian Tanaman Palma, Manado dari bulan September-Maret 2017. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan lima perlakuan dan enam ulangan sehingga diperoleh 30 satuan percobaan. Perlakuan yang diuji adalah dosis pupuk organik perbibit, yang terdiri atas tanpa pemberian pupuk organik (kontrol), pupuk organik 250 g, pupuk organik 500 g, pupuk organik 750 g, pupuk organik 1.000 g. Pemberian pupuk organik memberi pengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, lingkar batang, dan kandungan unsur K dalam jaringan tanaman. Namun pemupukan pupuk organik tidak mempengaruhi untuk jumlah daun, berat kering akar, berat kering batang, kandungan unsur N dan P pada tanaman secara nyata. Penggunaan pupuk organik pada bibit kelapa dapat mengurangi biaya pemupukan menggunakan pupuk anorganik dan memperbaiki struktur tanah. Kata kunci : Dosis pemupukan, pertumbuhan vegetatif, unsur hara
makro, unsur hara mikro, genjah salak
One of the way to reduce the negative impact of the use of inorganic fertilizer is the using of organic fertilizer. Organic fertilizer in compsted form of compos has an important role in the improvement of chemical, physical, and biological of the soil and as a source plants nutriens. The organic fertilizer used in this research comes from coconut coir dust and composting of goat manure. Dust husk contains nutrient elements such as N, P, K, Ca, Fe, Mg, Na, Mn, Cu, Zn and Al. Goat manure contains relatively high nutrients because the goat muck is mixed with urine which also contains nutrients. Coir dust is a waste of coconut fiber. This research aims to determine the response of seedling growth of coconut seedling to organic fertilization. The research was conducted at Greenhouse, Indonesian Palma Plant Research Institute, from September to March 2017. The research used Completely Randomized Design (RAL) with five treatments and six replications to obtain 30 experimental units. The treatment tested was the dosage of organic fertilizer seedlings, consisting of no organic fertilizer (control), 250 g organic fertilizer, 500 g organic fertilizer, organic fertilizer 750 g, organic fertilizer 1.000 g. Organic fertilizer gives a real effect on plant height, stem circumference, and the content of K elements in the plant tissue. However, organic fertilizer fertilization does not affect for the number of leaves, root dry weight, dry weight of stem, the content of N
and P elements in plants significantly. The use of organic fertilizer on coconut seeds can reduce the cost of fertilization using inorganic fertilizers and improve soil structure. Keywords : Fertilizer dose, vegetative growth, macro nutrient
elements, micro nutrient element, salak dwarf
Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 57 - 68
Pengolahan Edible Film Nata de Coco dan Aplikasinya sebagai Coating pada Daging Kelapa Muda Processing of Edible Film Nata de Coco and its Application as a Coating on Young Coconut Meat Rindengan Barlina, Suryani Lahea dan Engelbert Manaroinsong Bioselulosa nata de cocomerupakan bahan bakupotensial untuk pengolahan edible film sebagai kemasan yang ramah lingkungan. Aplikasi edible film pada bahan pangan dapat memperpanjang masa simpan produk. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui formulasi dan karakteristik yang baik dari pengolahan edible film berbahan baku bioselulosa nata de coco yang sesuai untuk bahan kemasan serta perubahan mutu daging buah kelapa muda yang diaplikasi edible coating selama penyimpanan. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Palma, dan Laboratorium Rekayasa Teknologi Hasil Pertanian, UGM-Yogyakarta pada bulan bulan Januari sampai Desember 2016.. Penelitian dilakukan dalam dua tahap, tahap pertama formulasi pengolahan edible fim, dilakukanmenggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan perlakuan:perbandingan antara bioselulosa nata de coco (BS) : CMC dan gliserol (GLI), sebagai berikut : 1) Formula A= BIS:CMC:GLI=100:0:0; 2) Formula B=BIS:CMC:GLI= 99,5:0,5:0; 3) Formula C=BIS:CMC:GLI= 99,0:1,0:0; 4) Formula D=BIS:CMC: LI=98,5:0,5 :1; 5) Formula E=BIS:CMC:GLI= 98,0:1,0:1,0; 6) Formula F=BIS:CMC:GLI= 98,0:5:1,5; 7) Formula G=BIS:CMC:GLI= 97,5:1,0:1,5; 8) Formula H=BIS:CMC: GLI=97,5:0,5:2,0; dan 9) Formula I=BIS:CMC:GLI= 97,0:1,0:2,0. Ulangan tiga kali sehingga ada 27 satuan percobaan. Tahap kedua aplikasi edible film yang memiliki karakterisik yang baik pada irisan daging kelapa muda terolah minimal. Kemudian dikemas secara vacum dan disimpan sampai tiga bulan di dalam Refrigerator dan Freezer. Hasil penelitian menujukkan bahwa, edible film berbahan baku bioselulosa nata de coco (BIS)dengan penambahan carboxymethylcellulose (CMC) dan gliserol (GLI) perbandingan BIS : CMC : GLI= 97,5: 1,0 :1,5 cukup baik, memiliki karakateristik ketebalan 0,0551 mm, kuat tarik 19,0747 Mpa, elongation 18,2618%, laju transmisi uap air 16,878 (g/m2/24 jam) dan nilai kecerahan yang lebih baik (bening). Aplikasi edible coating bioselulosa nata pada irisan daging kelapa muda terolah minimal yang dikemas secara vacum dan disimpan dalam Freezer dapat mereduksi perkembangan total mikroba dan sampai 3 bulan dan masih disukai panelis.
Kata kunci: edible film, coating, karakteristik, daging kelapa muda, penyimpanan
Biocellulose nata de coco is a potential raw material for edible film processing as an environmentally friendly packaging. Edible film applications on foodstuffs can extend the shelf life of the product. This study aims to determine the formulation and good characteristics of the processing of raw materials of bioselulose nata de coco edible film which are suitable for packaging materials as well as changes in the quality of tender coconut meat applied by edible coating during storage. The research was conducted at the Laboratory of Palm Research Institute and Laboratory of Agricultural Product Technology Engineering, UGM-Yogyakarta in January to December 2016. The study was conducted in two stages, the first stage is formulation and processing of the edible fim, using Completely Randomized Design (RAL), with the treatment comparison between biocelulose nata de coco (BS): CMC and glycerol (GLI), as follows: Formula 1 = BIS: CMC: GLI = 100: 0: 0; Formula 2 = BIS: CMC: GLI = 99.5: 0.5: 0; Formula 3 = BIS: CMC: GLI = 99.0:
Buletin Palma Volume 17 No. 2, Desember 2016: 189 - 198
154
1.0: 0; Formula 4 = BIS: CMC: LI = 98.5: 0.5: 1; Formula 5 = BIS: CMC: GLI = 98,0: 1,0: 1,0; Formula 6 = BIS: CMC: GLI = 98.0: 5: 1,5; Formula = BIS: CMC: GLI = 97.5: 1.0: 1.5; Formula 8 = BIS: CMC: GLI = 97.5: 0.5: 2.0; and Formula 9 = BIS: CMC: GLI = 97.0: 1.0: 2.0. The second stage, edible film application that has a good characteristic on young coconut meat slices, then packed using vacuum method and stored for three months in Refrigerator and Freezer. The results showed that, edible film comparison: CMC: GLI = 97.5: 1.0: 1.5 is acceptable and has 0,0551 mm in thickness, tensile strength 19,0747 Mpa, elongation 18,2618%, vapor transmission rate 16,878 (g / m2 / 24 hour) and better brightness value (clear). The application of edible coating biocellulose nata atslices on young coconut meat and stored in Freezer can reduce total microbial growth and up to 3 months and is still favored by panelists. Keywords: edible film, coating,characteristic, young meat coconut, storage
Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018 : 69 - 78
Disain dan Kinerja Mesin Pemotong Sabut Kelapa Muda Design and Performance Of Tender Cocunut Husk Trimmer Machine Nicolas Tumbel dan Supardi Manurung
Buah kelapa memiliki sifat yang kamba sehingga memerlukan banyak tempat pada saat dilakukan pengemasan. Kelapa muda dalam penyajiannya diperlukan bentuk yang menarik sehingga pelanggan lebih tertarik untuk minum air kelapa muda. Kegiatan ini dilaksanakan di Baristand Industri Manado pada bulan Maret-Desember 2015. Kegiatan rekayasa alat mesin pemotong sabut kelapa muda telah dilaksanakan dengan tujuan untuk merancang dan menguji kinerja alat pemotong sabut kelapa muda. Kelapa muda dibentuk menyerupai berlian dengan maksud untuk menghilangkan sifat kamba pada sabut kelapa serta memberikan bentuk yang lebih elegan dan menarik. Pembuatannya dilakukan dengan cara memotong sebagian permukaan sabut kelapa dengan menggunakan mesin pemotong. Alat pemotong kelapa muda yang dirancang memiliki dimensi panjang 95 cm, lebar 60 cm dan tinggi 142 cm. Alat terbuat dari bahan stainless steel, dilengkapi dengan tuas/pengungkit bawah dan atas, dudukan kelapa bentuk panah, 2 buah pisau pemotong (bagian badan dan bahu), pisau pemotongan bagian dasar dan puncak, motor listrik 1 HP/1420 rpm, dan rangka/dudukan alat. Letak pisau pada alat pengupas atau pemotong sabut kelapa muda bagian badan (body) kelapa dengan sudut kemiringan bagian dalam 95° sedangkan bagian luar 85°. Pisau pemotong bahu dengan sudut kemiringan bagian dalam 45° sedangkan bagian luar 45°. Waktu yang digunakan untuk pemotongan sabut untuk kelapa yang berumur penyimpanan 0 hari adalah 172 detik, penyimpanan 2 hari dengan waktu 178 detik, dan penyimpanan 4 hari adalah 204 detik. Alat mesin yang dihasilkan mampu untuk memotong 21 buah kelapa muda per jam dengan bagian yang tidak terkupas adalah 1,1-11,27%. Penggunaan mesin pemotong sabut kelapa ini sesuai untuk Usaha Kecil Menengah (UKM), restoran/cafe dan pedagang kelapa muda.
Kata kunci: Disain mesin pemotong sabut kelapa, Sabut kelapa muda, Kinerja alat.
Coconut fruit has an enormous size that requires a spacious place to pack. Serving young coconut required an fascinating shape so the customers are more interested to drink young coconut water. This activity was held in Baristand Industri Manado in March-December 2015. Engineering activities of coconut coir tool machine have been conducted with the aim to design and test the performance of coconut coir cutters. Young coconuts are shaped like diamonds by eliminating a part of coconut coir providing a more elegant and attractive shape. The
process is done by cutting some coconut husk surface with cutting machine tool. This machine has a dimension of 95 cm of length, 60 cm of width and 142 cm of height. The machine built using stainless steel, equipped with a bottom and top lever, an arrow-shaped holder, 2 cutting knives (body and shoulders parts), cutting knife on both the bottom and the top, 1 HP/1420 rpm electric motor and frame/stand. The position of the blade on body part has inner slope of 95 ° while the outer slope 85 °. Shoulder-cutting knife with an inner slope angle of 45° while the outer 45°. The time used for cutting coconut coir for 0 days storage is 172 seconds, 2 days storage is 178 seconds, and 4 days storage is 204 seconds. This machine is able to cut 21 young coconuts per hour, with unpeeled portion is around 1.1-11.27%. This machine is suitable for Small Medium Enterprises (SMEs), restaurants/cafes and young coconut traders. Keywords: Coconut Coir Cutting Machine Design, Coconut Coir,
Performance of tool.
Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 79 - 88
Uji Mutu Dan Keefektifan Metarhizium Anisopliae Isolat Kalteng Terhadap Oryctes Rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae)
Test The Quality And Effectiveness Of M. Anisopliae Isolates From Central Kalimantan Against O. Rhinocerus (Coleoptera: Scarabaeidae)
Siswanto dan I.M. Trisawa Hama Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae) merupakan hama penting tanaman kelapa . Pengendalian O. rhinoceros dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu secara fisik, mekanik, hayati, dan kimiawi. Cendawan Metarhizium anisopliae merupakan agens hayati yang dapat menekan perkembangan hama O. rhinoceros. Efektivitas cendawan M. anisopliae sangat ditentukan oleh kualitas/mutu konidia cendawan tersebut yang meliputi kerapatan, viabilitas dan patogenitasnya terhadap hama sasaran. Untuk itu telah dilakukan penelitian untuk mengetahui mutu dan keefektifan agens pengendali hayati M. anisopliae isolat Kalimantan Tengah terhadap O. rhinoceros. Pengujian dilakukan di Laboratorium Hama Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) dan di sekitar rumah kasa di Balittro, Bogor. Isolat cendawan M. anisopliae yang digunakan berasal dari Kalteng, sedangkan larva O. rhinoceros berasal dari Yogyakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Cendawan M. anisopliae isolat Kalteng memiliki kerapatan konidium di atas 108, sedangkan viabilitasnya di atas 90%. Patogenisitas terhadap larva O. rhinoceros > 50%. Karakter ini menunjukkan mutu yang baik dari cendawan tersebut sebagai agens pengendali hayati. Cendawan M. anisopliae isolat Kalteng pada konsentrasi 106 dan 108 dapat mematikan 90% larva O. rhinoceros instar 3 pada kondisi lapangan. Sehingga kedua konsentrasi tersebut dapat digunakan dalam mengendalikan O. rhinoceros di lapangan..
Kata Kunci: viabilitas, patogenitas, kerapatan konidium, kelapa Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae) is an importan pest on coconut trees. Control of O. rhinoceros can be done in various ways, such as by physical, mechanical, biological, and chemical. The fungus Metarhizium anisopliae is a biological agent that can suppress the development of the O. rhinoceros . Effectiveness of M. anisopliae fungus is largely determined by the quality/grade conidia of the fungus consist of its density, viability and patogenicity against the target pest. For that, studies have been conducted to determine the quality and effectiveness biological control of M. anisopliae isolates Kalteng (Central Kalimantan) against O. rhinoceros. Tests conducted in the Entomology Laboratory of Research Institute for Spices and
Abstrak/Abstract
155
Medicinal Crops (Balittro), and around the home screen in Balittro, Bogor. The fungus M. anisopliae isolates originating from Central Kalimantan (Kalteng), while the larvae of O. rhinoceros from Yogyakarta. The results showed that the fungus conidium M. anisopliae isolates Kalteng has a density of over 108, while the viability above 90%. Pathogenicity to larvae of O. Rhinoceros > 50%. This character indicates a good quality of these fungi as biological control agent. The fungus of M. anisopliae isolates Kalteng at concentrations of 106 and 108 can killed up to 90% third instar O. rhinoceros larvae in field conditions. So both these concentrations can be used in the control of O. rhinoceros in the field.
Keywords: viability, patogenicity, a density of, coconut
Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 89 - 100
Teknologi Pengendalian Hayati dengan Nucleo Polyhedrosis Virus (NPV) Terhadap Hama Kelapa Thosea monoloncha Meyrich
Biological Control Technology with Nucleo Polyhedrosis Virus (NPV) To Coconut Pest Thosea Monoloncha Meyrich
Fredy Lala, Andriko N. Susanto, Meldy L.A. Hosang, dan D. Soetopo
Hama ulat api Thosea monoloncha (Limacodidae: Lepidoptera) telah menyerang tanaman kelapa di Pulau Tolonuo, Kabupaten Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara dengan intensitas kerusakan bervariasi dari ringan sampai sangat berat. Penelitian bertujuan untuk mengendalikan populasi hama ulat api T. monoloncha dan respon petani terhadap teknologi pemanfaatan Nucleo Polyhedrosis Virus (NPV). Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2014 sampai November 2015. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi ektrak NPV dapat menurunkan populasi hama kelapa T. monoloncha, menurunkan intesitas kerusakan dari kerusakan sangat berat, berat dan sedang menjadi kerusakan ringan, meningkatkan jumlah pelepah dan buah kelapa dari 14 butir menjadi 45 butir per pohon. Respon petani terhadap berbagai aspek teknologi berada pada kisaran 63,5-97,5%.
Kata kunci: Kelapa, T. monoloncha, NPV, respon petani
The nettle caterpillars pest Thosea monoloncha (Limacodidae: Lepidoptera) has attacked the coconut plant in Tolonuo Island, North Halmahera district, North Maluku Province with the intensity of attacked varied from light minor damage to very severe damage. The study aims to control the population of nettle caterpillars T. monoloncha and the response of farmers to technology of using. Nucleo Polyhedrosis Virus (NPV). The study was conducted from December 2014 to November 2015. The results showed that the application of NPV extract can decrease the population of coconut pest T. monoloncha, the intensity of the damage decrease from very severe, heavy and moderate to light damage. In oposit, increase the amount of frond and coconut production increase from 14 to 45 nuts per tree. Farmers' responses to various aspects of technology varied from 63.5-97.5%.
Keywords: Coconut, T. monoloncha, NPV, farmer response
Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 101 - 116
Analisis Struktur Kendala Dalam Pengelolaan Sagu Berkelanjutan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau
Structure Analysis of the Contstraint Sago Sustainable Management in Kepulauan Meranti Regency Riau Province
Mamun Murod, Cecep Kusmana, Mochamad Hasjim Bintoro, Widiatmaka dan Endang Hilmi
Tanaman sagu (Metroxylon sp.) memiliki peran penting dalam kehidupan dan perekonomian masyarakat di Kabupaten Kepulauan Meranti. Pengembangan usaha sagu di Kabupaten ini pada masa yang akan datang memiliki prospek yang menjanjikan, karena pengembangan industrialisasi sagu belum optimal pelaksanaannya. Tanaman sagu saat ini luasnya 53.456 ha atau 43% dari lahan yang tersedia. Pengolahan sagu masih berjalan secara konvensional, yaitu hanya menghasilkan produk berupa pati sagu. Produksi pati sagu pada tahun 2017 sebesar 171.429 ton. Pengembangan produk hilirnya masih terbatas yaitu hanya mie, sohun dan kerupuk. Produk sampingnya berupa limbah dari ampas (repu) dan kulit (uyung) belum dimanfaatkan secara optimal. Dalam rangka mengembangkan sagu agar berkelanjutan, diperlukan desain struktur kendala. Pemodelan struktur kendala dilakukan dengan menggunakan Interpretative Structural Modelling (ISM). ISM adalah teknik pemodelan strategis yang dapat memotret kondisi sistem secara komprehensif. Penelitian ini bertujuan untuk menyusun strategi yang tepat berdasarkan analisis struktur kendala yang berpengaruh dalam pengelolaan sagu berkelanjutan di Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau. Hasil analisis ISM menunjukkan bahwa dalam pengelolaan sagu berkelanjutan terdapat 6 sub elemen kendala kunci, di antaranya: (1) Pemanfaatan dan pengolahan limbah; (2) Sistem ijon ; (3) Ketersediaan, distribusi dan segmentasi pasar; (4) Tata kelola air, (5) Pengolahan produk turunan dan desain kemasan; dan (6) Stabilitas harga. Demi tercapainya tujuan dalam pengelolaan sagu berkelanjutan, diperlukan dukungan dari semua stakeholders terkait baik dari pemerintah, akademisi, pengusaha, petani, lembaga keuangan dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) agar pengelolaan sagu berjalan secara baik dan berkelanjutan. Kata kunci : Interpretative Structural Modelling (ISM),
pengolahan sagu, sagu (Metroxylon Sagu), struktur kendala, VAXO.
Sago (Metroxylon sp.) has an important role and society economy in Meranti Island Regency. The development of sago business in the regency in the future has a promising aspect, because the development of the sago industrialization area has not been optimal. Currently the sago platns have wide area around 53.456 ha or 43% from the exist area. Cultivation sago is still conventional, it is only produce starch sago. In 2017 the starch sago has 171.429 ton. The development of downstream still limited that are noodle, vermicelli, and crackers. The by-product are waste from pulp (repu) and peel (uyung) is not be used optimaly yet. In order to develop sago to be sustainable, that required structure constraint design. Those model has done with method Interpretative Structural Modelling (ISM). Method ISM is the strategic model technic that can be seen system condition comprehensively. This research is purpose to set the appropriate strategy based on structure constraint design that has an effect in sustainable sago development in Meranti Island Regency, Riau Province. The result of ISM analysis shows that sustainable sago development has 6 sub element of key constraint, there are : (1) Waste utilization and management; (2) Ijon system; (3) Availability, distribution, and market
Buletin Palma Volume 17 No. 2, Desember 2016: 189 - 198
156
segmentation; (4) Water management; (5) processing of derivative product and packaging design, and (6) price stability, (7). To reach the sustainable cultivation sago, it is required support from every stakeholders both governments, academics, entrepreneurs, farmers, financial insitutions and non-governmental organization so that, sago cultivation run well and sustainable.
Keywords: Interpretative Structural Modelling (ISM), pengolahan sagu, sagu (Metroxylon Sagu), struktur kendala. VAXO
Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 117 - 126
Analisis Kelayakan Finansial Pengolahan Gula Cair Pati Sagu Di Kabupaten Konawe Selatan Financial Analysis Of Processing Sago Liquid Sugar At South Konawe Regency Zainal Abidin Swasembada gula telah dicanangkan oleh pemerintah untuk dicapai tahun 2019. Penelitian dilakukan di Desa Lamokula Kecamatan Moramo Utara Kab. Konawe Selatan pada bulan Juli – Oktober 2016. Penelitian dilakukan untuk mengetahui aspek ekonomi pembuatan gula cair pati sagu dan penerimaan masyarakat terhadap gula cair pati sagu. Penelitian menggunakan uji coba pembuatan gula cair pati sagu. Uji organoleptik dilakukan oleh85 orang panelis yang menguji tentang rasa, warna dan bau gula cair pati sagu serta pemanfaatannya pada minuman es teler. Hasil analisis menunjukkan bahwa usaha gula cair sagu dengan skala 200 kg per bulan layak secara ekonomi dengan nilai RCR 1,79dengan pendapatan bersih per bulan sekitar Rp. 1.590.000, dan nilai TIP sebesar 112 liter dan TIH sebesar Rp. 10.050. Produksi gula cair sagu tetap layak dilaksanakan meskipun terjadi perubahan harga input berupa bahan baku sagu naik hingga 30%, bahan bakar gas hingga 10%, tenaga kerja dan kemasan hingga 20% meskipun produksi turun hingga 10%, akan tetapi harga naik minimal 10%. Hasil uji organoleptik menunjukkan bahwa gula cair sagu memiliki rasa, warna dan bau yang dapat di terima baik oleh masyarakat. Demikian pula halnya jika gula cair sagu di gunakan dalam minuman es teler dengan parameter rasa dan bau, di anggap baik oleh panelis. Ke depan gula cair sagu dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif dalam upaya pencapaian swasembada gula.
Kata kunci: uji organoleptik, aspek ekonomi, minuman es teler.
Sugar is a one of commodity that goverment already decided to reach national self sufficient in 2019. One effort that was conducted is using sago starchto produce liguid sugar. Research was done in Lamokula Village, North Moramo Sub Distric, South Konawe Regency at July – October 2016. The research was conducted to know the economic analysis and organoleptic test of producing liquid sugar from sago starch. Research usedtesting of producion sago liquid sugar in home scale. Besides that organoleptic test was conducted using questionare for 85 panelists that threat the taste, color and smell of sago liquid sugar and also application of sago liquid sugar in drinks. The result of research showed that producing sago liquid sugar from sago starch with capacity 200 kg was feasible with value of RCR 1,79and net income reach Rp. 1.590.000, with BEP from production side 112 liters and BEP from price side Rp. 10.050. Production of sago liqud sugar still feasible even price of wet sago increase until 30%, gas fuel until 10%, labour and packaging until 20% eventhoug production decrease 10% but price of sago liquid sugar increase minimum 10%. The yield of organoleptic test show that sago liquid sugar have taste, color and smell that can be good accepted by community. Even that if sago liquid sugar apply in ice drinks, the taste and smell
of ice drinks is good. For the next sago liquid sugar can substitute sugar cane and also other sweetener and support the the effort to reach national self sufficient of sugar.
Keywords: organoleptic test, economic analysis, teler ice drinks
Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 127 - 145
Pengaruh Jarak Tanam Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Jagung (Zea mayz.L) Pada Tingkat Umur Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) The Effect Spacing of Growth and Yield Corn (Zea mayz.L) of The Palm Oil (Elaeis guineensis Jacq) Grade Aged M.Nur, Asrul, Dan Rafiuddin
Penelitian pengaruh jarak tanam terhadap pertumbuhan dan hasil jagung pada tingkat umur kelapa sawit dilakukan untuk mengetahui pengaruh jarak tanam dan tingkat umur kelapa sawit serta interaksi antara jarak tanam dan tingkat umur kelapa sawit terhadap pertumbuhan dan hasil jagung. Penelitian dilaksanakan di Desa Karossa Kecamatan Karossa, Kabupaten Mamuju Tengah Propinsi Sulawesi Barat, dari bulan Juli sampai Oktober tahun 2016. Percobaan dalam bentuk Rancangan Acak Kelompok 1 faktor, perlakuannya adalah jarak tanam 50 cm x 25 cm, 60 cm x 25 cm dan 70 cm x 25 cm. Perlakuan dilakukan pada kelapa sawit umur 1,5 tahun, 2,5 tahun dan 3,5 tahun dan tanpa kelapa sawit, dan 3 ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Jarak tanam 70 cm x 25 cm terbaik pada semua tingkat umur, dan jagung pada kelapa sawit umur 2,5 tahun secara umum terbaik, terutama pada bobot kering total tanaman (338,73 g), laju tumbuh relatif (9,93 g tan2.minggu-1), bobot kering 1000 biji (3118,80g), hasil biji pipilan (5,58 ton ha-1), dan ada interaksi antara jarak tanam dan tingkat umur kelapa sawit. Kata kunci : Pertumbuhan vegetatif, indeks luas daun, Intensitas
cahaya, hasil biji, indeks panen.
The research spacing of corn growth and yield of the palm oil various aged is to know the effect of the spacing, palm oil grade aged, and interaction. The research was conducted in Karossa village, the district of Karossa, Central Mamuju regency. West Sulawesi from July to October, 2016. Experiments in the form of RAK 1 factor , the treatment is spacing of 50 cm x 25 cm, 60 cm x 25 cm and 70 cm x 25 cm, performed on palm oil aged 1.5 years, 2.5 years, 3.5 years and no palm oil, and repeated 3. The result showed for 70 cm x 25 cm is the best for all grade aged. The best especially in general for total dry weight ( 338.73 g ), relative growth rate ( 9.93 g. plant-2.week- 1 ), weight of yield 1000 (312.67g), grain yield (5.58ton ha-1) of corm of aged 2.5 yr palm oil and there is interaction. Keywords: Vegetative growth, life area index, sunglight intensity,
grain yield, harvest indeks
Pedoman Penulisan Buletin Palma
1. Buletin Palma adalah publikasi ilmiah primer yang memuat hasil penelitian primer komoditas kelapa dan palma lain, yang belum pernah dimuat pada media apapun, diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan.
2. Naskah diketik menggunakan program Microsoft Word dengan ukuran kertas A4, jenis huruf Book Antiqua 10, jarak 1,5 spasi, jarak dari tepi kertas masing-masing 3 cm, maksimal 20 halaman.
3. Susunan naskah sebagai berikut : Judul, Nama dan Institusi Penulis, Abstrak berbahasa Indonesia, Kata Kunci, Abstract berbahasa Inggris, Keywords, Pendahuluan, Bahan dan Metode, Hasil dan Pembahasan, Kesimpulan, Ucapan Terima Kasih (jika ada) dan Daftar Pustaka.
4. Judul: Singkat, jelas, menggambarkan isi naskah, terdiri dari 5 sampai dengan 15 kata, menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris yang baik dan benar serta ditulis dengan huruf besar.
5. Nama dan Institusi Penulis: Nama penulis ditulis lengkap tanpa gelar, nama penulis pertama merupakan penulis utama, institusi penulis pertama, kedua dan seterusnya ditulis secara lengkap.
6. Abstrak dan Abstract: Memuat perumusan masalah, tujuan, metodologi, hasil utama, kesimpulan, dan implikasi hasil penelitian dengan jumlah tidak lebih dari 250 kata. Abstract berbahasa Inggris merupakan terjemahan dari abstrak berbahasa Indonesia. Dibawah abstrak dicantumkan kata kunci yang merupakan terjemahan dari keywords dengan jumlah antara 5-8 kata.
7. Pendahuluan: Memuat latar belakang, perumusan masalah yang akan dipecahkan, hipotesa, pendekatan, sitasi pustaka yang relevan dan tujuan.
8. Bahan dan Metode: Memuat uraian tentang bahan dan peralatan, tempat dan waktu penelitian, serta metode penelitian (desain penelitian, perlakuan, rancangan percobaan, metode analisis) yang digunakan.
9. Hasil dan Pembahasan: Data yang ditampilkan sudah dianalisis dan relevan, pembahasan menjelaskan kaitannya dengan teori/hipotesis, dan menjelaskan pentingnya hasil yang diperoleh untuk kepentingan pengembangan penelitian selanjutnya/penerapan teknologi/ rekomendasi rumusan kebijakan.
a. Judul tabel dan isinya singkat ditulis dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris) sehingga tabel dapat berdiri sendiri. Tabel diberi nomor urut sesuai dengan keterangan di dalam teks. Keterangan tabel diletakkan dibawah tabel. Huruf a, b, c, dan seterusnya digunakan untuk tanda signifikansi sedangkan angka 1, 2, 3 dan seterusnya digunakan untuk keterangan tabel.
b. Judul gambar dan grafik beserta isinya ditulis dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris), diberi nomor urut serta penjelasannya. Data grafik agar dilampirkan dan dibuat dengan menggunakan program Microsoft Excel. Gambar berupa foto hitam putih atau berwarna ditampilkan dengan kontras. Jumlah halaman tabel dan gambar tidak melebihi 30% dari jumlah halaman artikel.
10. Kesimpulan: Mengemukakan hasil (output) terpenting yang dihasilkan (teori/inovasi terbaru), dan menjawab tujuan, hipotesis serta temuan lain selama penelitian.
11. Daftar Pustaka: Jumlah sumber daftar pustaka minimal 10 dan pustaka primer minimal 80% dari referensi terbitan 5 tahun terakhir. Urutan penulisan daftar pustaka disesuaikan dengan urutan abjad.
Contoh penlulisan sitasi dan daftar pustakanya:
Artikel Jurnal (Jurnal Primer)
Pandin, D.S. 2010. Keragaman Genetik Kelapa Dalam Bali (DBI) dan Dalam Sawarna (DSA) Berdasarkan Penanda Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD). Jurnal Penelitian Tanaman Industri. 16(2): 83-89.
Buku
O’Brien, J.A. 2002. Management Information Systems: Managing information technology in the e-business enterprise. 4th Edition. New York: McGraw-Hill Inc.
Artikel dalam buku
Novarianto, H., Akuba RH., Mashud, N., Tenda, E., and Kumaunang J. 2005. Status of Coconut Genetic Resouces Research in Indonesia. P. 608-617. In Batugal P., Ramanatha Rao V., and Oliver J. (Eds.). Coconut Genetic Resources. IPGRI.
Skripsi/Tesis/Disertasi
Noli L. Barri. 2012. Transmisi radiasi matahari dan profil iklim mikro serta hubungannya dengan pertumbuhan dan produksi tanaman sela pada beberapa umur kelapa. [Disertasi]. Sekolah Pasca sarjana IPB. Bogor.
Naskah Prosiding
Alouw, J.C., Meldy L.A. Hosang, dan Bambang Heliyanto. 2010. Hama Brontispa longissima (Coleoptera: Chrysomelidae) : Masalah dan pengendaliannya. Prosiding Konperensi Nasional Kelapa VII Buku I, Manado, 26-27 Mei 2010. p. 107-117.
Naskah online
Nasseri, T. 1996. Knowledge leverage: the ultimate advantage.http://cmypiles/nasseri.htm. [diakses tanggal 14 Maret 2008].
12. Pengiriman Naskah: Naskah (print out) dikirim 2 rangkap ke Redaksi melalui pos dan file-nya dikirim melalui e-mail. Keputusan Dewan Redaksi tentang penerimaan naskah akan disampaikan melalui e-mail.
Alamat Redaksi:
Redaksi Buletin Palma,
Balai Penelitian Tanaman Palma Manado
Jln. Raya Mapanget Kotak Pos 1004 Manado 95001
Telp: (0431) 312830, Fax. (0431) 812017
E-mail : [email protected]