ISSN : 1979 - ejurnal.litbang.pertanian.go.id

99

Transcript of ISSN : 1979 - ejurnal.litbang.pertanian.go.id

ISSN : 1979 – 679X E-ISSN : 2528 - 7141

Buletin Palma (Bulletin of Palmae) Volume 19 No. 2, Desember 2018

Terakreditasi No. 21/E/KPT/2018, Tanggal 9 Juli 2018 Buletin Palma memuat artikel hasil-hasil penelitian kelapa dan palma lainnya. Buletin ini diterbitkan dua kali setahun oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Redaksi menerima sumbangan tulisan dari luar. Naskah yang diterima adalah yang belum pernah dipublikasikan di media cetak lain dan hendaknya mengacu pada Pedoman Menulis yang terdapat pada sampul belakang di bagian dalam. Redaksi berhak untuk menyunting naskah tanpa mengubah isi dan makna tulisan atau menolak suatu naskah. Naskah yang tidak diterbitkan tidak akan dikembalikan kepada penulis.

Penanggung Jawab : Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan

(Director Indonesian Center for Estate Crops Research and Development)

Tim Penyunting Ahli Ketua : Dr.Ir. Meldy L.A. Hosang, M.Si (Entomologi/Entomology) Anggota : 1. Prof.Dr.Ir. Novarianto Hengky, MS (Pemuliaan/Breeding) 2. Dr.Ir. Ismail Maskromo, M.Si (Pemuliaan/Breeding)

3. Ir. Rindengan Barlina, MS (Pasca Panen/Postharvest)

4. Dr. Steivie Karouw, S.TP. M.Sc (Pasca Panen/Postharvest)

Penyunting Pelaksana : 1. Alfred Manambangtua, SP

2. Toni Surya Hidayat

3. David Kawulusan

Diterbitkan oleh : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor

Alamat Redaksi : Balai Penelitian Tanaman Palma, Manado.

Jln. Raya Mapanget, PO. Box 1004, Manado-95001

Telepon : (0431) 812430, Fax. (0431) 812017

E-mail : [email protected], [email protected]

Homepage : http://www.balitka.litbang.pertanian.go.id

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERKEBUNAN

Jl. Tentara Pelajar No. 1 Cimanggu, Bogor 16111

Telp. (0251) 8336194, 8313083 – Fax (0251) 8336194

E-mail : [email protected]

ISSN : 1979 – 679X E-ISSN : 2528 - 7141

ii

Buletin Palma (Bulletin of Palmae) Volume 19 No. 2, Desember 2018

DAFTAR ISI

Halaman Pengolahan Edible Film Nata de Coco dan Aplikasinya sebagai Coating pada Daging Kelapa Muda 57 - 68 Rindengan Barlina, Suryani Lahea dan Engelbert Manaroinsong Disain dan Kinerja Mesin Pemotong Sabut Kelapa Muda Nicolas Tumbel dan Supardi Manurung 69 - 78 Uji Mutu Dan Keefektifan Metarhizium Anisopliae Isolat Kalteng

Terhadap Oryctes Rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae) 79 – 88 Siswanto dan I.M. Trisawa Teknologi Pengendalian Hayati dengan Nucleo Polyhedrosis Virus (NPV)

Terhadap Hama Kelapa Thosea monoloncha Meyrick 89 - 100 Fredy Lala, Andriko N. Susanto, Meldy L.A. Hosang dan D. Soetopo Analisis Struktur Kendala Dalam Pengelolaan Sagu Berkelanjutan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau 101 - 116 Mamun Murod, Cecep Kusmana, Mochamad Hasjim Bintoro, Widiatmaka, dan Endang Hilmi Analisis Kelayakan Finansial Pengolahan Gula Cair Pati Sagu Di Kabupaten Konawe Selatan 117- 126 Zainal Abidin Pengaruh Jarak Tanam Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Jagung (Zea mayz.L) Pada Tingkat Umur Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) 127-146 M.Nur, Asrul, dan Rafiuddin

INDEKS SUBJEK 147

INDEKS PENULIS 148

UCAPAN TERIMA KASIH 149

KUMPULAN ABSTRAK 151 Respon Pertumbuhan Kelapa Sawit (Elaeis guineensi Jacq) dan Jagung (Zea mayz.L)

Pada Sistem Pola Tanam Tumpangsari 57 - 68 M.Nur, Asru, dan Rafiuddin

57

Pengolahan Edible Film Nata de Coco dan Aplikasinya

sebagai Coating pada Daging Kelapa Muda

Processing of Edible Film Nata de Coco and Its Application as Coating on

Young Coconut Meat

RINDENGAN BARLINA, SURYANI LAHEA dan ENGELBERT MANAROINSONG

Balai Penelitian Tanaman Palma Jln. Raya Mapanget, Kotak Pos 1004 Manado 95001

E-mail: [email protected]

Diterima 12 Juli 2018 / Direvisi 17 Juli 2018 / Disetujui 07 Desember 2018

ABSTRAK

Bioselulosa nata de coco merupakan bahan baku potensial untuk pengolahan edible film sebagai kemasan yang ramah lingkungan. Aplikasi edible film pada bahan pangan dapat memperpanjang masa simpan produk. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui formulasi dan karakteristik yang baik dari pengolahan edible film berbahan baku bioselulosa nata de coco yang sesuai untuk bahan kemasan serta perubahan mutu daging buah kelapa muda yang diaplikasi edible coating selama penyimpanan. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Palma, dan Laboratorium Rekayasa Teknologi Hasil Pertanian, UGM-Yogyakarta pada bulan bulan Januari sampai Desember 2016.. Penelitian dilakukan dalam dua tahap, tahap pertama formulasi pengolahan edible fim, dilakukan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan perlakuan:perbandingan antara bioselulosa nata de coco (BS) : CMC dan gliserol (GLI), sebagai berikut : Formula 1= BIS:CMC:GLI=100:0:0; Formula 2=BIS:CMC:GLI= 99,5:0,5:0; Formula 3=BIS:CMC:GLI= 99,0:1,0:0; Formula 4=BIS:CMC: LI=98,5:0,5 :1; Formula 5=BIS:CMC:GLI= 98,0:1,0:1,0; Formula 6 F=BIS:CMC:GLI= 98,0:5:1,5; Formula 7=BIS:CMC:GLI= 97,5:1,0:1,5; Formula 8=BIS:CMC: GLI=97,5:0,5:2,0; dan Formula 9=BIS:CMC:GLI= 97,0:1,0:2,0. Ulangan tiga kali sehingga ada 27 satuan percobaan. Tahap kedua aplikasi edible film yang memiliki karakterisik yang baik pada irisan daging kelapa muda terolah minimal. Kemudian dikemas secara vacum dan disimpan sampai tiga bulan di dalam Refrigerator dan Freezer. Hasil penelitian menujukkan bahwa, edible film berbahan baku bioselulosa nata de coco (BIS) dengan penambahan carboxymethylcellulose (CMC) dan gliserol (GLI) perbandingan BIS : CMC : GLI= 97,5: 1,0 :1,5 cukup baik, memiliki karakateristik ketebalan 0,0551 mm, kuat tarik 19,0747 Mpa, elongation 18,2618%, laju transmisi uap air 16,878 (g/m2/24 jam) dan nilai kecerahan yang lebih baik (bening). Aplikasi edible coating bioselulosa nata pada irisan daging kelapa muda terolah minimal yang dikemas secara vacum dan disimpan dalam Freezer dapat mereduksi perkembangan total mikroba dan sampai 3 bulan dan masih disukai panelis. Kata kunci: air kelapa, karakteristik kemasan, penyimpanan irisan daging kelapa muda

ABSTRACT

Biocellulose nata de coco is a potential raw material for edible film processing as an environmentally friendly packaging. Edible film applications on foodstuffs can extend the shelf life of the product. This study aims to determine the formulation and good characteristics of the processing of raw materials of bioselulose nata de coco edible film which are suitable for packaging materials as well as changes in the quality of tender coconut meat applied by edible coating during storage. The research was conducted at the Laboratory of Palm Research Institute and Laboratory of Agricultural Product Technology Engineering, UGM-Yogyakarta in January to December 2016. The study was conducted in two stages, the first stage is formulation and processing of the edible fim, using Completely Randomized Design (RAL), with the treatment comparison between biocelulose nata de coco (BS): CMC and glycerol (GLI), as follows: Formula 1 = BIS: CMC: GLI = 100: 0: 0; Formula 2 = BIS: CMC: GLI = 99.5: 0.5: 0; Formula 3 = BIS: CMC: GLI = 99.0: 1.0: 0; Formula 4 = BIS: CMC: LI = 98.5: 0.5: 1; Formula 5 = BIS: CMC: GLI = 98,0: 1,0: 1,0; Formula 6 = BIS: CMC: GLI = 98.0: 5: 1,5; Formula = BIS: CMC: GLI = 97.5: 1.0: 1.5; Formula 8 = BIS: CMC: GLI = 97.5: 0.5: 2.0; and Formula 9 = BIS: CMC: GLI = 97.0: 1.0: 2.0. The second stage, edible film application that has a good characteristic on young coconut meat slices, then packed using vacuum method and stored for three months in Refrigerator and Freezer. The results showed that, edible film comparison: CMC: GLI = 97.5: 1.0: 1.5 is acceptable and has 0,0551 mm in thickness, tensile strength 19,0747 Mpa, elongation 18,2618%, vapor transmission rate 16,878 (g / m2 / 24 hour) and better brightness value (clear). The application of edible coating biocellulose nata atslices on young coconut meat and stored in Freezer can reduce total microbial growth and up to 3 months and is still favored by panelists. Keywords: coconut water, packaging characteristic, storage of young coconut meat slices

Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 57 - 68

58

PENDAHULUAN

Salah satu bahan yang menjadi pencetus

pencemaran lingkungan adalah kemasan plastik

non edible karena tidak dapat terurai secara cepat.

Berbagai cara ditempuh untuk mengatasi hal ini,

antara lain mencari bahan baku kemasan plastik

yang ramah lingkungan bahkan diharapkan dapat

dimakan. Oleh karena itu sumber daya alam

yang berpotensi sebagai bahan baku edible film

telah banyak dimanfaatkan.

Dengan berkembangnya industri

pengolahan makanan, maka diperkirakan dari

tahun ke tahun permintaan kemasan edible film

akan meningkat. Hal ini juga akan lebih

meningkat, karena ada kecenderungan

berkembangnya konsumen yang lebih memilih

mengkonsumsi produk makanan kemasan karena

dianggap lebih higienis dan praktis (Rindengan,

2014).

Salah satu produk pangan berbahan baku

air kelapa yang tergolong food dessert yang dapat

dimanfaatkan sebagai bahan baku edible film

adalah nata de coco (bacterial cellulose, bioselulosa)

karena secara kimia tergolong selulosa.

Bioselulosa merupakan bahan yang sangat unik

karena selulosa yang dihasilkan bebas lignin,

memiliki sifat mekanis tinggi dantidak merusak

lingkungan (biodegradable) sehingga dapat

menggantikan polimer sintetik yang saat ini

banyak digunakan, baik dalam industri pangan

maupun nonpangan (Indrarti, 2007).

Dilaporkan Layuk et al. (2012), bahwa

pendiaman air kelapa selama 4 hari kemudian di

fermentasi selama 6-7 hari menghasilkan

rendemen, tekstur dan kekenyalan nata de coco

yang lebih tinggi dibanding pendiaman 2 hari dan

0 hari, tetapi warna dan rasa lebih baik pada

pendiaman 0 hari. Iskandar et al., (2010)

melaporkan, nata dari sari buah nenas yang

difermentasi selama 15 hari, menghasilkan

rendemen tertinggi pada penambahan larutan gula

10% dan pH 5 serta menghasilkan karakteristik

film selulosa, antara lain tensile strenght (nilai kuat

tarik) dan elongasi yang paling tinggi.

Selanjutnya dikemukakan bahwa, pH 5 adalah

nilai optimum pada pengolahan nata de pina dan

nata de coco. Pada hasil penelitian Layuk et al.,

(2012) tidak dilaporkan secara detail kondisi pH

larutan air kelapa setelah pendiaman dan

penambahan asam asetat. Hasil penelitian

Rindengan et al., (2014), menunjukkan bahwa

penundaan air kelapa selama 2 hari dan waktu

inkubasi (fermentasi) 3 minggu, diperoleh kadar

selulosa tertinggi, yaitu 1,68%. Sedangkan bahan

baku nata de coco yang digunakan untuk

pembuatan membran mikrofiltrasi selulosa asetat

yang dilakukan Lindu et al., (2011), adalah

menggunakan perbandingan starter Acetobacter

xylinum dan air kelapa 9:1, inkubasi selama 8 hari

pada suhu ruang.

Krochta e t a l . , ( 1994), menyatakan

bahwa struktur d a n derajat kristalinitas dari

bioselulosa yang tinggi, menyebabkan bahan ini

t idak larut dalam air, sehingga perlu dilakukan

modifikasi sebagai komposit dengan cara

mencampurkan material lain sebagai

aditif,sehingga mempunyai karakteristik sebagai

edible film. Aditif yang banyak digunakan adalah

c a r b o x y m e t h y l c e l u l o s a ( C MC) dan

gliserol. CMC merupakan derivat selulosa yang

sifatnya mengikat air dan sering digunakan

sebagai pembentuk tekstur halus. Gliserol banyak

digunakan sebagai bahan pemlastis untuk

menghasilkan lapisan tipis yang lebih fleksibel.

Beberapa laporan menunjukkan, bahwa

penambahan gliserol akan mengurangi kekuatan

mekanik berbagai jenis film dengan bahan dasar

protein maupun polisakarida (Yoshida et al., 2004,

Tapia-Blacid et al. , 2005).

Aplikasi edible film sebagai kemasan dapat

dilakukan dengan cara pembungkusan,

pencelupan, penyikatan atau penyemprotan untuk

memberikan penahanan yang selektif terhadap

perpindahan gas, uap air dan bahan terlarut serta

perlindungan terhadap kerusakan mekanis (Rahim

et al., 2010). Fungsi lainnya adalah membantu

mempertahankan integritas struktural dan

mencegah hilangnya senyawa volatil pada bahan

pangan tertentu (Nisperos et al., 1990).

Kemampuan edible film dan coating dalam

menahan uap air dan oksigen dapat

dimanfaatkan untuk meningkatkan kesegaran dari

buah, sayuran, dan pangan lainnya (Falguera et

al . , 2011). Perbedaan antara edible film dengan

edible coating yaitu edible film merupakan bahan

pengemas yang telah dibentuk terlebih dahulu

berupa lapisan tipis (film) sebelum digunakan

Pengolahan Edible Film Nata de Coco dan Aplikasinya sebagai Coating pada Daging Kelapa Muda (Rindengan Barlina, et al.)

59

untuk mengemas produk pangan. Sedangkan

edible coating merupakan bahan pengemas yang

dibentuk langsung pada produk dan bahan

pangan (Harris, 1999).

Sampai saat ini belum ada laporan tentang

aplikasi edible coating pada daging buah kelapa.

Produk ini sangat digemari oleh berbagai lapisan

konsumen, yang dikonsumsi dalam keadaan segar

karena mudah mengalami perubahan setelah

panen. Oleh karena itu perlu dilakukan proses

penanganan awal, sehingga mutunya dapat

dipertahankan, antara lain dengan disimpan pada

suhu beku tetapi dilapisi edible coating, seperti

halnya dengan produk olahan dari daging hewan

(sosis dan pangan beku lainnya).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

formulasi dan karakteristik yang baik dari

pengolahan edible film berbahan baku bioselulosa

nata de coco yang sesuai untuk bahan kemasan

serta perubahan mutu daging buah kelapa muda

yang diaplikasi edible coating selama penyimpanan.

BAHAN DAN METODE

Bahan yang digunakan adalah air dari

buah kelapa Dalam Mapanget (DMT) umur 11-12

bulan, daging buah kelapa Dalam Mapanget

(DMT) umur 8-9 bulan, gula pasir, asam asetat

teknis, gliserol food grade, carboximetilselulosa

(CMC), biakan murni Acetobacter xylinum, dan lain-

lain. Alat yang digunakan adalah gelas ukur,

erlenmeyer, timbangan analitik, baki plastik

(wadah fermentasi), pH meter, kain saring, Hot

Plate, Stirer, Memmert oven listrik, Dodawa Hand

Blender, Chromameter Minolta CR-310, Vacum Sealer,

petridis plastik diameter 14 cm, TensileStrengthand

Elongation TesterStograph-MIToyoseiki(kapasitas 50

kgf),dan lain-lain.

Metode Penelitian

Kegiatan penelitian dilakukan dalam 2 tahap,

yang dilakukan secara berkesinambungan,

masing-masing akan diuraikan berikut ini:

Tahap pertama: pengolahan bioselulosa nata de

coco

Pengolahan bioiselulosa nata de coco

menggunakan air kelapa yang telah diinkubasi

selama 4 hari, sehingga tidak menggunakan asam

asetat karena kemasaman (pH) air kelapa telah

sesuai untuk media fermentasi (Rindengan,et al.

2014). Bioselulosa nata de coco yang dihasilkan

digunakan sebagai bahan baku pengolahan edible

film. Pengolahan mengikuti metode Indrarti

(2007), yang telah dimodifikasi pada beberapa

bagian proses.

Bioselulosa nata de coco dipotong bentuk

kubus 1x1cm, dicuci pada air mengalir selanjutnya

dididihkan hingga keasamannya lebih cepat

berkurang. Kemudian dimurnikan dengan cara

dididihkan dalam larutan NaOH 1% untuk

menghilangkan komponen non selulosa, lalu

dicuci lagi dengan air sampai pH netral dan

didiamkan satu malam kemudian ditiriskan.

Selanjutnya disiapkan 250 g bioselulosa nata de

coco tambahkan 100 ml air matang dan diolah

menjadi bentuk juice menggunakan Hand Blender,

lalu disimpan dalam refrigerator selama satu hari.

Larutan bioselulosa nata de coco ditambah

air, CMC dan gliserol.Proses p e n c ampuran

adalah sebagai berikut: CMC ( s e s u a i

p e r l a k u a n ) d i t a m b a h akuades 75 ml

sedikit demi sedikit, sambil diaduk diatas hot plate

suhu 70-75OC, tambahkan gliserol (sesuai

perlakuan) dan diaduk sampai homogen.

Selanjutnya tambahkan juice biosellosa nata de

coco (sesuai perlakuan) dan diaduk terus di atas

Hot Plate selama 30 menit sampai homogen.

Tambahkan lagi akuades hingga total volume

menjadi 3 00ml, diaduk sampai homogen, lalu

dituang ke dalam petridis plastik, dikeringkan

dalam oven yang dilengkapi blower, pada suhu

40OC selama 24 jam.

Penelitian dilakukan menggunakan

Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan

perlakuan:perbandingan antara bioselulosa nata

de coco (BS): CMC dan gliserol (GLI), sebagai

berikut: Formula 2= BIS:CMC:GLI=100:0:0;

Formula 2 = BIS:CMC:GLI=99,5:0,5:0; Formula 3 =

BIS:CMC:GLI = 99,0:1,0:0; Formula 4 = BIS:CMC:

GLI = 98,5:0,5:1; Formula 5 = BIS:CMC:GLI =

98,0:1,0:1,0; Formula 6 = BIS:CMC:GLI = 98,0:5:1,5;

Formula 7 = BIS:CMC:GLI = 97,5:1,0:1,5; Formula 8

= BIS:CMC: GLI=97,5:0,5:2,0; dan Formula 9=

BIS:CMC:GLI = 97,0:1,0:2,0. Ulangan tiga kali

sehingga ada 27 satuan percobaan. Pengamatan

karakteristik film selulosa, terdiri dari tensile

Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 57 - 68

60

strenght (nilai kuat tarik)/Mpa dan elongasi (%)

diukur dengan Tensile Strengthand Elongation

TesterStograph-MIToyoseik idengan kapasitas 50 kgf

(ASTM,D882,2002), kecepatan penguapan air

(g/m2/24 jam) menggunakan Water Vapor

TransmissionRate TesterBergerlahr metode cawan

(ASTM, 1983 dalam Gunawan, 2009), ketebalan

(Mikrometer, ketelitian 0,0001 mm),dan warna

ChromameterMinolta CR-310 (Jowit, 1987 dalam

Gunawan, 2009). Data hasil pengamatan dianalisis

menggunakan SSPS 16,0. Jika ada perbedaan antar

perlakuan dilanjutkan dengan DMRT (Duncan

Multiple Range Test).

Tahap kedua: Aplikasi edible coating nata de

coco pada daging kelapa muda

Pada tahap kedua adalah menggunakan hasil

terbaik dari tahap pertama dengan cara diaplikasi

pada irisan daging kelapa muda dalam bentuk

edible coating (larutan terakhir yang diperoleh tidak

dikeringkan). Penelitian dilakukan dengan metode

deskriptif. Disiapkan daging kelapa Dalam

Mapanget (DMT), umur 8-9 bulan, diiris

memanjang, dipasteurisasi pada suhu 70OC,

selama 15 menit, ditiriskan dan dicelupkan dalam

larutan edible hingga ter-coating sempurna lalu

dikeringkan pada suhu 400C selama 45 menit,

didinginkan dan dikemas dalam plastik

polypropylene (PP) khusus untuk vacum dan

direkatkan menggunakan Vacum Sealer, kemudian

disimpan dalam Refrigerator dan Freezer selama 0,

1, 2, dan 3 bulan. Pengamatan dilakukan terhadap

karakteristik fisikokimia, total mikroba dan

organoleptik yang terdiri dari warna, aroma dan

rasa dengan nilai 1=sangat tidak suka, 2=tidak

suka, 3=biasa, 4=suka dan 5=sangat suka

(Soekarto, 1985) menggunakan 20 orang panelis.

Data hasil pengamatan dianalisis menggunakan

SSPS 16,0. Jika ada perbedaan antar perlakuan

dilanjutkan dengan DMRT (Duncan Multiple

Range Test).

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Karakteristik edible filmbioselulosa nata de

coco

Warna/Kecerahan Edible Film

Secara fisik edible film yang dihasilkan

agak bening dan mirip dengan kemasan komersial

yang non edible, kecuali formula 1 sebagai kontrol

cenderung berwarna putih karena hanya terdiri

dari bioselulosa nata de coco (Gambar 1a).

Gambar 1a. Penampilan sembilan formula edible film dari bioselulosa nata de coco

Figure 1a. Appearance of nine edible film of biocellulose nata de coco

Gambar 1b. Proses peeling formula 4 dan formula 5 Figure 1b. Peeling process of formula 4 and formula 5

Nilai L yang kecil menunjukkan bahwa

edible film cenderung lebih banyak menyerap sinar

dari pada memantulkan sinar. Laju transmisi uap

air cenderung meningkat dengan semakin tinggi

penambahan gliserol. Nilai laju transmisi uap air

1 2 3

4 5 6

7 8 9

Pengolahan Edible Film Nata de Coco dan Aplikasinya sebagai Coating pada Daging Kelapa Muda (Rindengan Barlina, et al.)

61

berhubungan dengan nilai elongasi edible film.

Semakin tinggi laju transmisi uap air, nilai

elastisitas edible film juga akan meningkat. Sinar

yang dapat ditangkap oleh detector warna, maka

indeks keputihan menjadi lebih kecil. Semakin

kecil indeks keputihan edible film berarti semakin

bening/transparan edible film yang dihasilkan

(Jowit, 1987 dalam Gunawan, 2009).

Analisis statistik, menunjukkan bahwa

formula 2 sampai formula 9 tidak berbeda nyata,

tetapi berbeda nyata dibanding dengan formula 1

(Gambar 2). Hal ini disebabkan pada formula 1

tanpa penambahan CMC dan gliserol. Menurut

Hikmat (1997) dalam Gunawan (2009),

pembentukan film tanpa penambahan CMC,

memerlukan energi yang cukup besar dan waktu

yang lama serta film yang dihasilkan kurang cerah,

rapuh, dan kurang kompak. Nilai

kecerahan/keputihan edible film berkisar 51,88

sampai 63,83. Semakin rendah nilai L, berarti

edible film semakin transparan. Dikaitkan dengan

Gambar 1a, pada formula 1 warnanya kurang

cerah karena nilai L adalah yang tertinggi, yaitu

63,83 (Gambar 2). Sebagai bahan kemasan, yang

diharapkan adalah bening/transparan, sehingga

tidak menghalangi penampilan asli dari produk

yang dikemas.

Ket : Angka yang diikuti huruf sama pada grafik tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan 0,5%. Note : Number followed by the same letters at the graphyc are not significantly different at 0.05 level DMRT

Gambar 2. Nilai L (kecerahan) sembilan formula edible film bioselulosa nata de coco Figure 2. The value of L (brightness) of nine formulas of edible film bioselulosa nata de coco .

Ketebalan edible film

Hasil pengukuran ketebalan edible film

bervariasi dari terendah 0,03 mm dan tertinggi

0,06 mm (Gambar 3). Hasil analisa statistik

menunjukkan, perbandingan formulasi bioselulosa

nada de coco, CMC dan gliserol, tidak

berpengaruh terhadap formula 1 sampai formula 6

dan formula 8, tetapi berpengaruh pada formula 7

dan formula 9. Penambahan CMC dalam

pembentukan film antara lain bertujuan untuk

memperbaiki penampakan, kekuatan,

kekompakan d a n mempercepat pembentukan

matrik film (Hikmat, 1997 dalam Gunawan, 2009),

sedangkan gliserol memiliki sifat a n t a r a l a i n ,

meningkatkan viskositas larutan dan mengikat air

(Winarno, 1997). Oleh karena itu ada

kecenderungan bahwa semakin tinggi

penambahan CMC maupun gliserol ketebalan

edible film meningkat, terutama formula 7 dan

formula 9. Hal ini sesuai dengan pernyataan

Jacoeb et al., (2014), bahwa ketebalan edible film

dipengaruhi oleh luas cetakan, volume larutan dan

banyaknya total padatan dalam larutan. Hasil

penelitian Permatasari at al., (2012), menggunakan

bahan baku sari alang-alang dengan penambahan

A. xylinum, diperoleh edible film dengan ketebalan

0,05 mm.

63,83a

53,53bc 53,0bc 52,27bc 52,47bc

54,58b52,97bc 52,57bc 51,88c

0

10

20

30

40

50

60

70

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Nilai LL Value

Formula

Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 57 - 68

62

Gambar 3. Ketebalan sembilan formula edible film Figure 3. The thickness of the nine edible formulas

Gambar 4. Nilai kuat tarik sembilan formula edible film Figure 4. The tensile strength value of the nine edible formulas Kuat tarik edible film bioselulosa nata de coco

Kualitas suatu film sangat bergantung

pada kekuatan tarik dan elongasi (perpanjangan)

dari film tersebut. Kuat tarik merupakan salah satu

sifat mekanis untuk mengukur kekuatan film. Kuat

tarik adalah gaya tarik maksimum yang dapat

ditahan oleh film selama pengukuran berlangsung

sampai film terputus, sehingga kuat tarik dari

suatu film sangat berpengaruh terhadap kualitas

dari film tersebut. Semakin tinggi kekuatan tarik

suatu film, maka semakin bagus kualitas dari film

tersebut (Iskanda et al., 2010). Hasil penelitian

menunjukkan bahwa nilai kuat tarik edible film

berkisar 11,91-38,93 Mpa (Gambar 4). Hasil

penelitian (Indrarti, 2007), nilai kuat tarik edible

film berbahan baku bioselulosa nata de coco

berkisar 22,01-166,80 Mpa dan 2,62 Mpa pada

bioselulosa asetat (Radiman dan Yuliani, 2008) dan

6,40-11,29 Mpa pada edible film berbahan baku

amilosa dengan penambahan gliserol (Cahyana,

2006). Sedangkan pembuatan plastik kitosan

menggunakan pelarut asetat dengan penambahan

gliserol 0-0,4% menghasilkan kuat tarik cenderung

menurun dari 39,90 Mpa sampai menjadi 12,58

Mpa (Apriyanti et al., 2013).

Berdasarkan Gambar 4, semakin rendah

penambahan bioselulosa nata de coco dan CMC

serta semakin tinggi penambahan gliserol nilai

kuat tarik menurun. Harris (1999) menyatakan

bahwa penambahan gliserol sebagai pemlastis

akan mengurangi kerapatan dan gaya antar

molekul substrat dengan gliserol. Wirawan et al.,

(2012) menyatakan juga bahwa, semakin banyak

plasticizer yang ditambahkan akan menurunkan

kuat tarik. Kondisi ini terjadi pada formula 6

sampai formula 9. Hal ini disebabkan gliserol akan

menghasilkan pengurangan interaksi

intermolekuler dan peningkatan pergerakan dari

0,032bc0,030c

0,033bc

0,042bc0,042bc

0,045bc

0,055a

0,035bc

0,047ab

0

0.01

0.02

0.03

0.04

0.05

0.06

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Tebal

Thick(mm)

Formula

18,57bc

38,25a 38,96a

20,43bc

24,35b

12,45c

19,07bc

14,64bc

11,91c

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Kuat tarik/Mpa

Tensile strength/Mpa

Formula

Pengolahan Edible Film Nata de Coco dan Aplikasinya sebagai Coating pada Daging Kelapa Muda (Rindengan Barlina, et al.)

63

rantai polimer, sehingga kuat tarik akan turun

(Huri dan Nisa, 2014).

Elongasi edible film

Elongasi adalah perubahan perpanjangan

maksimum dari film yang diukur dalam persen

saat sobek (Krochta, 1992). Oleh karena itu

perpanjangan dari film juga sangat berpengaruh

terhadap kualitas dari film tersebut. Laurdin, et

al., (1997) dalam Cahyana (2006), menyatakan

bahwa plasticizer ditambahkan ke dalam polimer

untuk meningkatkan fleksibilitasnya.

Penambahan plasticizer sampai pada taraf

tertentu akan meningkatkan elongasi film.

Berdasarkan Gambar 5, nilai perpanjangan edible

film berkisar antara 2,81-18,26%. Formula 7

adalah yang memiliki nilai perpanjangan yang

paling tinggi. Hasil penelitian (Indrarti, 2007),

nilai perpanjangan edible film berkisar antara

2,93% sampai 30,39%. Berdasarkan Gambar 5,

semakin banyak penambahan gliserol

nilai elongasi meningkat, sehingga mampu

mengikat air dan melunakkan permukaan film.

Berdasarkan Gambar 4, semakin rendah

penambahan bioselulosa nata de coco dan CMC

serta semakin tinggi penambahan gliserol nilai

kuat tarik menurun. Harris (1999) menyatakan

bahwa penambahan gliserol sebagai pemlastis

akan mengurangi kerapatan dan gaya antar

molekul substrat dengan gliserol. Wirawan et al.,

(2012) menyatakan juga bahwa, semakin banyak

plasticizer yang ditambahkan akan menurunkan

kuat tarik. Kondisi ini terjadi pada formula 6

sampai formula 9. Hal ini disebabkan gliserol akan

menghasilkan pengurangan interaksi

intermolekuler dan peningkatan pergerakan dari

rantai polimer, sehingga kuat tarik akan turun

(Huri dan Nisa, 2014).

Gambar 5. Elongasi sembilan formula edible film Figure 5. Elongation of nine edible film formulas

Gambar 6. Laju transmisi uap air sembilan formula edible film Figure 6. Rate of water vapor transmission of nine edible film formulas

2,80c 2,94c 3,19c

13,21ab

8,03bc

11,94ab

18,26a

15,99ab

17,18a

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

20

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Elongasi, %

Formula

23,06a

20,06ab

16,32b 17,39b

20,79ab

18,26a

23,76a

21,32ab

0

5

10

15

20

25

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Formula

17,98bLajutransuap air,g/m2

/24j

64

Laju Transmisi Uap Air Edible Film

Laju transmisi uap air adalah jumlah uap air

yang melalui suatu permukaan film persatuan luas

persatuan waktu. Nilai laju transmisi uap air

menunjukkan seberapa tahan edible film tersebut

dapat menahan jumlah uap air dari dalam produk.

Semakin rendah nilai laju transmisi uap air,

makaedible film tersebut akan semakin baik (Harris,

1999). Menurut Gunawan (2009), laju transmisi

uap air yang rendah dapat menghambat hilangnya

air dari produk yang dicoating sehingga kesegaran

produk yang dicoating terjaga. Selain itu, dapat

menghambat kerusakan akibat reaksi hidrolisa

dan kerusakan oleh mikroorganisme karena

adanya air.

Hasil pengamatan menunjukkan, bahwa

nilai laju transmisi uap air berkisar antara 16,32

sampai 23,76 (g/m2/24 jam). Berdasarkan Gambar

6, laju transmisi uap air cenderung meningkat

dengan semakin tinggi penambahan gliserol. Nilai

laju transmisi uap air berhubungan dengan nilai

elongasiedible film. Semakin tinggi laju transmisi

uap air, nilai elastisitas edible film juga akan

meningkat.

2. Aplikasi edible coating pada daging kelapa

muda.

Pada Gambar 7, dapat dilihat secara ringkas

tahapan proses penelitian yang dilakukan. Bahan

baku daging buah kelapa Dalam Mapanget (7a),

proses pencelupan dalam edible coating

bioselulosa nata de coco (7b), selesai proses

pengeringan suhu 40OC selama 30 menit (7c), dan

pengemasan secara vacum (7d).

(a) (b) (c) (d)

Gambar 7. Pemisahan daging kelapa muda (a), pencelupan dalam edible coating(b), pengeringan suhu 40OC

selama 30 menit (c) dan pengepasan vacum (d) Figure 7. Separation of young coconut meat (a), immersion in edible coating (b), drying at 40OC

temperature for 30 minutes (c) and vacuum packaging (d) Karakteristik bahan baku daging kelapa muda

dan edible coating

Hasil pengamatan bahan baku daging

kelapa muda jenis DMT, adalah sebagai berikut:

kadar air 88,83%, abu 2,35%, lemak 33,56%, protein

8,73% dan serat kasar 16,89%. Hasil yang

diperoleh memiliki kemiripan dengan yang

dilaporkan Rindengan et al., (1997), dimana

daging kelapa muda GKBxDMT (umur 8 bulan),

memiliki kadar air 87,24%, protein 9,58%,

karbohidrat 34,68% dan serat kasar 19,15%.

Selanjutnya karakteristik dari bahan edible coating

(formula 7) yang dianalisa dalam bentuk edible film

adalah sebagai berikut ketebalan 0,06 mm, kuat

tarik 19,08 Mpa, elongasi 18,26%, laju transmisi

uap air16,88 (g/m2/24 jam) dan memiliki nilai

kecerahan yang lebih (bening).

Karakteristik organoleptik daging kelapa muda

diaplikasi edible coating

Berdasarkan Gambar 8, penilaian warna

irisan daging kelapa muda sampai 3 bulan

penyimpanan, baik yang dicoating maupun tidak

dan disimpan dalam Freezer maupun Refrigerator

nilai yang diberi berkisar 3 sampai mendekati nilai

4 (biasa sampai mendekati suka). Hal ini

Pengolahan Edible Film Nata de Coco dan Aplikasinya sebagai Coating pada Daging Kelapa Muda (Rindengan Barlina, et al.)

65

menunjukkan bahwa, meskipun daging buah

kelapa ada perlakuan aplikasi edible coating, panelis

masih menganggap penampilannya normal. Salah

satu manfaat aplikasi edible coating pada bahan

makanan adalah untuk mempertahankan sifat

sensorik dari produk (Falguera et al., 2011).

Selanjutnya pada penilaian aroma, sampel

yang tanpa edible coating tidak disukai selama

penyimpanan 3 bulan. Sedangkan perlakuan

lainnya masih dianggap biasa (normal) karena

nilai yang diberikan mendekati nilai 3 dan 4. Pada

penilaian rasa, diaplikasi maupun tanpa aplikasi

edible coating pada penyimpanan dalam Freezer

nilai yang diberikan masih berkisar 3-3,5 sampai 3

bulan penyimpanan. Sedangkan penyimpanan

dalam Refrigerator, baik yang diaplikasi maupun

tidak diaplikasi edible coating, mulai 2 bulan

penyimpanan nilai yang diberikan <3 atau panelis

mulai tidak menyukai. Hal ini menunjukkan,

bahwa penyimpanan dalam Freezer ( suhu beku)

lebih mempertahankan karakteristik organoleptik

daging buah kelapa muda.

Keterangan: F = Aplikasi edible coating disimpan dalam Freezer, FK= Tanpa aplikasi edible coatingdisimpan dalam Freezer, R = Aplikasi edible coating disimpan dalam Refrigerator, RK = Tanpa aplikasi edible coatingdisimpan dalam Refrigerator

Note: F = Edible coating application stored in Freezer, FK = No application of ediblecoating stored in Freezer, R = Edible Coating application is stored in Refrigerator, RK = No application of ediblecoating stored in Refrigerator

Gambar 8. Karakteristik organoleptik irisan daging kelapa muda dengan dan tanpa aplikasi edible coating

bioselulosa nata Figure 8. The organoleptic characteristics of young coconut meat slices with and without applied edible coating of

biocellulose nata

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

3.5

4

4.5

0 1 2 3

F FK R RK Warna

Penyimpanan (bulan)

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

3.5

4

0 1 2 3

F FK R RKAroma

Penyimpanan (bulan)

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

3.5

4

4.5

0 1 2 3

F

FK

R

RK

Rasa

Penyimpanan (bulan)

Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 57 - 68

66

Total mikroba dan kemasaman (pH) daging kelapa muda dengan aplikasi edible coating Hasil pengamatan total mikroba, menunjukkan terjadi penurunan jumlah mikroba selama penyimpanan (Gambar 9a). Menurut Krochta, et al., (1994) dalam Gunawan (2009), salah satu fungsi penambahan plasticizer CMC dalam formulasi coating adalah menghambat pertumbuhan kapang pada keju dan sosis, serta mengurangi penyerapan oksigen tanpa menyebabkan peningkatan kadar karbondioksida pada jaringan buah-buahan.

Berdasarkan Gambar 9a, aplikasi edible coating bioselulosa nata ternyata dapat mereduksi perkembangan total mikroba, tetapi penyimpanan dalam Freezer (F) penghambatannya lebih tinggi dibanding yang disimpan dalam Refrigerator (R).

Sedangkan daging kelapa muda tanpa aplikasi edible coating bioselulosa nata, total mikroba cukup tinggi sampai penyimpanan satu bulan, kemudian tidak terdeteksi sampai tiga bulan penyimpanan. Kondisi ini diduga berkaitan dengan penurunan pH, sehingga suasana menjadi asam. Hal ini berkaitan juga dengan penilaian organoleptik, terutama aroma dan rasa umumnya panelis memberi nilai yang rendah. Sampai saat ini belum ada produk irisan daging kelapa muda segar beku yang dikomersialkan. Oleh karena itu sebagai pembanding adalah total mikroba daging ayam beku (karkas dan tanpa tulang dan daging cintang adalah 1 x 106koloni/gr (SNI, 2009). Dengan demikian total mikroba pada daging kelapa muda yang dicoating tergolong rendah dibanding standar yang ditetapkan pada daging ayam beku.

Keterangan: F = Aplikasi edible coating disimpan dalam Freezer, FK= Tanpa aplikasi edible coating disimpan dalam Freezer, R = Aplikasi edible coating disimpan dalam Refrigerator, RK = Tanpa aplikasi edible coating disimpan dalam Refrigerator

Note: F = Edible coating application stored in Freezer, FK = No application of ediblecoating stored in Freezer, R = Edible Coating application is stored in Refrigerator, RK = No application of ediblecoating stored in Refrigerator

Gambar 9. Total mikroba (a) dan kemasaman/pH (b) irisan daging kelapa muda dengan dan tanpa

aplikasi edible coating bioselulosa nata Figure 9. Total microbial and acidity (pH) of young coconut meat slices with and without applied edible coating of

biocellulosic nata

KESIMPULAN

Perbandingan penambahan bioselulosa nata de coco, carboxylb methylcellulose mempengaruhi karakteristik edible film yang dihasilkan. Semakin tinggi penambahan CMC dan gliserol ketebalan edible film meningkat, sedangkan nilai kuat tarik menurun dengan penambahan bioselulosa dan CMC yang menurun.

Penambahan gliserol melunakkan permukaan film dan meningkatkan nilai laju transmisi uap air. Semakin kecil indeks kecerahan/keputihan menunjukkan makin transparanedible film yang dihasilkan.

Formula edible film terbaik yaitu pada perbandingan bioselulosa nata de coco: karboksimetilselulosa : gliserol = 97,5: 1,0 :1,5 dengan karakteristik ketebalan 0,07 mm, kuat tarik 19,08 Mpa, elongation 18,26%, laju transmisi uap

0

50

100

150

200

250

300

0 1 2 3

F FK

x 1

01

CFU

Lama penyimpanan (bulan)

0

1

2

3

4

5

6

7

8

0 1 2 3

F FKpH

Lama penyimpanan (bulan)

Pengolahan Edible Film Nata de Coco dan Aplikasinya sebagai Coating pada Daging Kelapa Muda (Rindengan Barlina, et al.)

67

air16,88 (g/m2/24 jam) dan nilai kecerahan yang lebih baik (bening).

Aplikasi edible coating bioselulosa nata pada irisan daging kelapa muda yang dikemas secara vacum, pada penyimpanan menggunakan freezer dapat mereduksi perkembangan total mikroba dan sampai 3 bulan dan masih disukai panelis. Sedangkan penyimpanan dalam refrigerator, hanya disukai panelis sampai 2 bulan penyimpanan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada

Bapak Rahmat Teguh, sebagai laborant di Laboratorium Rekayasa Teknologi Hasil Pertanian, UGM–Yogyakarta yang membantu dalam pelaksanaan analisis karakteristik fisik edible film.

DAFTAR PUSTAKA

American Society for Testing and Materia. 2002. ASTM.D882-02. Standard Test Method for Tensile Properties of Thin Plastic Sheting. International, West Conshohocker, PA.

Apriyanti, A.F., Mahatmanti, F.W., Sugiyo, Warlan. 2013. Kajian Sifat Fisik- Mekanik dan Antibakteri Plastik Kitosan Termodifikasi Gliserol. Indonesian Journal of Chemistry Science. 2(2).

Falguera, V., J.P. Quintero., A. Jimenez., J.A. Murioz., A. Ibarz. 2011. Edible Fim and Caoting: Structure, Active Properties and Trend in Their Use. Trend in Foof Science Technology 22(6): 292-303.

Gunawan, V. 2009. Formulasi dan Aplikasi Edible Coating Berbasis Pati Sagu dengan Penambahan Vitamin C pada Paprika(Capsicum annuum varietas Athena). Skripsi Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Bogor. 146 Halaman.

Harris, H. 1999. Kajian Teknik Formulasi terhadap Karakteristik Edible Film dari Pati Ubi Kayu, Aren dan Sagu untuk Pengemas Produk Pangan Semi basah. Disertasi. Program Pascasarjana, IPB. Bogor.

Huri, D dan F.D. Nisa. 2014. Pengaruh Konsentrasi Gliserol dan Ekstrak Ampas Kulit Apel Terhadap Karakteristik Fisik dan Kimia Edible Film. Jurnal Pangan dan Agroindistri 2(4):29-44.

Iskandar., M. Zaki., S.Mulyati.,U.Fathanah., I.Sari dan Juchairawati. 2010. Pembuatan film

selulosa dari nata de pina. Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan 7(3):105-111. Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Syaiah Kuasa. Banda Aceh.

Indrarti, L. 2007. Bioselulosa sebagaibahanedible film. Laporan Penelitian. PusatPenelitian Fisika. LIPI. 39 Hal.

Jacoeb, A.M., Nugraha, R., Utari, S.p. 2014. Pembuatan Edible Film dari Pati Buah Lindur dengan Penambahan Gliserol dan Karaginan. JPHPI 17(1):14-21.

Krochta, J.M., 1992. Control of Mass Transfer in Food With Ediable Coatings and Films. In Singh, R.P. and M.A. Wirakartakusumah (eds). Advances in Food Engineering. CRP Press. Boca Raton. 519-538.

Krochta, J.M, E.A. Baldwin, a n d M.O. Nisperos-Carriedo. 1994. Edible Coating and Films to Improve Food Quality, Technomic Publishing Company, Inc., Pennsylvania, U.S.A.

Lindu, M., T. Puspitasari dan D.A. Reinfani, 2011. Sintetis dan Uji Kemampuan Membran Mikrofiltrasi Selulosa Asetat dari Nata de Coco untuk Penyisihan Kekeruan pada Air Artifisial. Jurnal Sains Materi Indonesia 12(3): 153-158.

Layuk, P., M. Lintang dan G.H. Joseph. 2012. Pengaruh waktu fermentasi air kelapa terhadap produksi dan kualitas nata de coco. Buletin Palma 13(1): 32-40. Puslitbangbun. Badan Litbang Pertanian

Nisperos-Carriedo M.O., P.E. Shaw and E.A. Baidwin, 1990. Changes in Volatile Component of Pineapple Orange Juices as Influences by The Application of Lipid and Composite Film. J.Agric. Food Chem. 38: 1382-1387.

Permatasari, A., H.F. Aprilianti dan A. Purbasari. 2012. Pembuatan Nata Berbahan Dasar Alang-Alang Secara Fermentasi Sebagai Kajian Awal Pembuatan Edible Film. Jurnal Teknologi Kimia dan Industri 1(1): 54-58.

Rezaee, A., S.SolimaniandM. Forozandemogadam. 2005. Role of Plasmid in Production ofAcetobacter xylinum Biofilms. American Journal of Biochemistry and Biotechnology (3):121-124.

Rahim, A., Nur Alam., Haryadi dan U. Santoso. 2010. Pengaruh konsentrasi pati aren dan minyak sawit terhadap sifat fisik dan mekanik edible film the effect of palm sugar starch apalm oil concentrations on

Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 57 - 68

68

physical and mechanical characteristics of edible film. J. Agroland 17 (1) : 38 – 46.

Radiman, C. danG. Yuliani. 2008. Penggunaan natadecoco sebagaibahan membran selulosa asetat. Prosiding Simposium Nasional Polimer V- Bandung. Hal 203-308.

Rindengan, B., A. Lay., H. Novarianto dan Z. Mahmud. 1996. Pengaruh jenis dan umur buah terhadap sifat fisikokimia daging buah kelapa hibrida dan pemanfaatannya. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 1(6):263-277.

Rindengan, B., E. Goniwala dan M.K. Allo'. 2014. Pengaruh pendiaman dan lama fermentasi air kelapa terhadap rendemen dan karakteristik bioselulosa nata untuk bahan baku edible film. Buletin Palma 15(2): 134-140.

Rindengan, B. 2014. Bioselulosa dari nata de coco sebagai bahan baku edible film. Warta Puslitbanbun 20(1): 1-4.

Soewarno, S.T. 1985. Penilaian Organoleptik. Bhatara Karya Aksara, Jakarta.

Standar Nasional Indonesia. 2009. SNI 01-3924-2009. Mutu Karkas dan Daging Ayam . Badan Standardisasi Nasional, Jakarta.

Tapia-Blacido, D., P.J. Sobral and F.C Menegalli. 2005. Effects of Drying Temperature and Relative Humidity on The Mechanical Properties of Amaranth Flour Films Plasticized with Glycerol. Brazilian Journal of Chemical Engineering, 22 (2):249.

Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia, Jakarta.

Wirawan, S.K., Prasetya, A. Ernie, E. 2012. Pengaruh Plasticizer Pada Karakteristk Esible Film dari Pekti. Reaktor 14(1): 61-67.

Yoshida, C.M.P., A.J. Antunes. 2004. Characterization of Whey Protein Emulsion Films. Brazilian Journal of Chemical Engineering, 21(2):247.

69

Disain dan Kinerja Mesin Pemotong Sabut Kelapa Muda

Design and Performance of Tender Coconut Husk Trimmer Machine

NICOLAS TUMBEL DAN SUPARDI MANURUNG

Balai Riset dan Standardisasi Industri Manado Jl. Diponegoro No. 21-23, Manado 95112

Email: [email protected]

Diterima 12 Maret 2018 / Direvisi 03 April 2018 / Disetujui 07 Desember 2018

ABSTRAK

Buah kelapa memiliki sifat yang kamba sehingga memerlukan banyak tempat pada saat dilakukan pengemasan. Kelapa muda dalam penyajiannya diperlukan bentuk yang menarik sehingga pelanggan lebih tertarik untuk minum air kelapa muda. Kegiatan ini dilaksanakan di Baristand Industri Manado pada bulan Maret-Desember 2015. Kegiatan rekayasa alat mesin pemotong sabut kelapa muda telah dilaksanakan dengan tujuan untuk merancang dan menguji kinerja alat pemotong sabut kelapa muda. Kelapa muda dibentuk menyerupai berlian dengan maksud untuk menghilangkan sifat kamba pada sabut kelapa serta memberikan bentuk yang lebih elegan dan menarik. Pembuatannya dilakukan dengan cara memotong sebagian permukaan sabut kelapa dengan menggunakan mesin pemotong. Alat pemotong kelapa muda yang dirancang memiliki dimensi panjang 95 cm, lebar 60 cm dan tinggi 142 cm. Alat terbuat dari bahan stainless steel, dilengkapi dengan tuas/pengungkit bawah dan atas, dudukan kelapa bentuk panah, 2 buah pisau pemotong (bagian badan dan bahu), pisau pemotongan bagian dasar dan puncak, motor listrik 1 HP/1420 rpm, dan rangka/dudukan alat. Letak pisau pada alat pengupas atau pemotong sabut kelapa muda bagian badan (body) kelapa dengan sudut kemiringan bagian dalam 95° sedangkan bagian luar 85°. Pisau pemotong bahu dengan sudut kemiringan bagian dalam 45° sedangkan bagian luar 45°. Waktu yang digunakan untuk pemotongan sabut untuk kelapa yang berumur penyimpanan 0 hari adalah 172 detik, penyimpanan 2 hari dengan waktu 178 detik, dan penyimpanan 4 hari adalah 204 detik. Alat mesin yang dihasilkan mampu untuk memotong 21 buah kelapa muda per jam dengan bagian yang tidak terkupas adalah 1,1-11,27%. Penggunaan mesin pemotong sabut kelapa ini sesuai untuk Usaha Kecil Menengah (UKM), restoran/cafe dan pedagang kelapa muda. Kata Kunci: Kinerja alat, air kelapa muda, penyimpanan, alat

ABSTRACT

Coconut fruit has an enormous size that requires a spacious place to pack. Serving young coconut required an fascinating shape so the customers are more interested to drink young coconut water. This activity was held in Baristand Industri Manado in March-December 2015. Engineering activities of coconut coir tool machine have been conducted with the aim to design and test the performance of coconut coir cutters. Young coconuts are shaped like diamonds by eliminating a part of coconut coir providing a more elegant and attractive shape. The process is done by cutting some coconut husk surface with cutting machine tool. This machine has a dimension of 95 cm of length, 60 cm of width and 142 cm of height. The machine built using stainless steel, equipped with a bottom and top lever, an arrow-shaped holder, 2 cutting knives (body and shoulders parts), cutting knife on both the bottom and the top, 1 HP/1420 rpm electric motor and frame/stand. The position of the blade on body part has inner slope of 95 ° while the outer slope 85 °. Shoulder-cutting knife with an inner slope angle of 45° while the outer 45°. The time used for cutting coconut coir for 0 days storage is 172 seconds, 2 days storage is 178 seconds, and 4 days storage is 204 seconds. This machine is able to cut 21 young coconuts per hour, with unpeeled portion is around 1.1-11.27%. This machine is suitable for Small Medium Enterprises (SMEs), restaurants/cafes and young coconut traders. Keywords: Performance of tool, young coconut water, storage, tool

Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 69 - 78

70

PENDAHULUAN

Buah kelapa muda merupakan salah satu

komoditi pertanian yang bernilai ekonomi tinggi.

Pemanfaatan buah kelapa muda perlu diikuti

dengan penanganan pasca panen, seperti

pengawetan, pengemasan dan penyimpanan

karena buah kelapa muda mudah rusak. Akan

tetapi teknologi yang dimiliki masyarakat dalam

pengolahan kelapa muda masih tergolong dalam

teknologi tradisional dan cenderung belum efisien.

Operasi pasca panen kelapa adalah kerja

yang membosankan untuk dilakukan dan

melibatkan banyak tenaga kerja manusia. Pekerja

terampil untuk pengupasan kelapa makin

berkurang akhir-akhir ini. Banyak upaya telah

dilakukan untuk memekanisasi operasi ini dengan

mengembangkan berbagai alat dan bahkan mesin

yang dioperasikan dengan tenaga listrik (Sabale

dan Kolhe, 2016).

Kelapa muda sebagai komoditas yang

tergolong sebagai minuman yang dapat disukai

masyarakat, namun memiliki beberapa kelemahan

dalam penyaluran dan cepat rusak. Kelapa muda

yang memiliki kualitas panen yang baik hanya

memiliki umur kesegaran 5-7 hari penyimpanan.

Kelapa yang terlalu lama disimpan akan berasa

masam dan tidak segar. Selain itu, kelapa muda

memiliki sifat kamba (memakan tempat) dalam

proses penggudangan dan tergolong sulit dalam

proses penyajiannya. Hal ini membuat petani atau

penjual tidak dapat menyimpannya dalam jumlah

besar dan waktu yang lama (Rahmad, 2012).

Pemotongan buah kelapa muda di restoran,

hotel-hotel, cafe, dan penjual kelapa muda,

dilakukan dengan cara sederhana/tradisional

menggunakan parang untuk memotong atau

mengiris. Kegiatan ini dilakukan agar komoditas

kelapa muda memiliki nilai tambah yang lebih

tinggi, umur simpan yang relatif panjang, nilai jual

yang jauh lebih baik, serta mengurangi sifat kamba

sehingga dapat meningkatkan kapasitas distribusi

atau penyimpanan di ruang pendingin.

Penanganan pasca panen dilakukan dengan

memangkas atau memotong sebagian sabut kelapa

muda untuk mengurangi sifat kamba. Perlakuan

ini diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah

sebagai minuman kelapa muda siap saji (Butar-

butar, 2013).

Sebelum proses pembuatan alat pengupas

sabut kelapa, perlu dilakukan analisis terhadap

karakteristik buah kelapa, seperti: warna dan

kenampakan buah kelapa, ukuran kelapa,

kebulatan, roundness, densitas, volume, luas

permukaan, koefisien friksi, kadar air, gaya

penghancuran dan kompressi pada biji kelapa

(Alonge dan Adetunji, 2011). Sementara menurut

Tika, et al. (2014), sifat mekanik kelapa muda yang

mempengaruhi gaya pemotongan sabut kelapa

muda adalah modulus elastisitas, strength

maximum, poisson ratio, dan koefisien gesek. Faktor

sudut potong adalah faktor yang berpengaruh

nyata pada gaya maksimum yang dihasilkan pada

pemotongan sabut kelapa muda.

Jarimopas, et al. (2008), telah melakukan

penelitian tentang pembuatan mesin pemotong

kelapa muda secara otomatis. Dari hasil uji coba

alat tersebut diperoleh kapasitas 86 buah per jam,

dengan rpm 300 dan panjang pisau pemotong

shoulder 180 mm. Laju kehilangan rata-rata adalah

0,35% area berserat, 2,5% kerusakan buah dan

14,5% area hijau yang tidak terkupas. Buah kelapa

muda yang terkupas ini telah diterima di pasaran.

Gaya potong yang besar akan memperbesar

getaran pada proses permesinan serta

memperbesar gesekan antara pahat dan bahan.

Analisis ini nantinya dapat memberikan parameter

dasar dalam menentukan rancangan pisau yang

dapat memotong kelapa dengan kebutuhan gaya

terendah (Rusnaldy et al., 2009).

Yahya dan Zainal (2014) telah melakukan

penelitian dengan tentang disain dan kinerja mesin

pembentuk kelapa muda, ternyata perbedaan

pemotongan menggunakan mesin yang mereka

rancang (prototipe) yaitu bentuk dan konturnya

seragam sedangkan pemotongan secara manual

bentuk dan konturnya bervariasi tergantung

kemampuan operator. Selain itu, risiko keamanan

melakukan pemotongan menggunakan mesin

lebih aman daripada manual.

Nagarajan dan Sundararajan (2015),

melakukan pembuatan alat semi otomatis

pengupas sabut kelapa dengan pemotong

kulit/sabuk untuk mempermudah proses operasi

pada pengupasan sabut kelapa muda maupun

kelapa tua. Hal ini dapat mengurangi tenaga

Disain dan Kinerja Alat Mesin Pemotong Sabut Kelapa Muda (Nicolas Tumbel dan Supardi Manurung)

71

manusia dan menghindari risiko kecelakaan

pengerjaan secara manual. Itu juga dapat

mengurangi biaya operasional kerja, dibandingkan

dengan cara manual dan pengupasan yang lebih

efektif dan menguntungkan.

Pemotongan dan pengupasan sabut kelapa

sampai saat ini masih menggunakan peralatan

tradisional ataupun konvensional menggunakan

linggis dari besi ataupun kayu yang dipasang

berdiri vertikal dengan matanya mengarah ke atas

(Butar-butar, 2013). Pengupasan kelapa muda

membutuhkan waktu rata-rata 26,36 detik per

butir, kapasitas pengupasan alat 136 butir/jam

tanpa menghitung waktu penggantian kelapa

(Abdullah, 2014). Hasil pengupasan kelapa muda

belum maksimal disebabkan oleh beberapa faktor

seperti posisi mata pisau, ketajaman mata pisau,

daya motor yang digunakan, posisi kelapa pada

proses pengupasan serta ketebalan pengupasan.

Pemotongan sabut kelapa dengan cara

manual/tradisional ini memiliki kelemahan antara

lain: operator yang memotong/mengupas

sabutnya harus benar-benar berpengalaman,

memiliki tingkat ketelitian yang tinggi serta

kapasitas kerja yang relatif terbatas. Untuk

mengatasi keterbatasan ataupun kelemahan dari

alat pemotong sabut kelapa manual itu, maka

didisain alat pemotong sabut kelapa mekanis yang

mampu mengupas sabut kelapa dengan kapasitas

yang tinggi. Alat mesin pemotong sabut kelapa ini

menggunakan sumber elektro motor listrik.

Penelitian ini bertujuan untuk mendisain alat

mesin pemotong sabut kelapa muda yang efektif

dan efisien untuk menghasilkan buah kelapa

muda dengan bentuk yang menarik

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Peralatan

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium

dan bengkel Balai Riset dan Standardisasi Industri

Manado sejak bulan Maret - Desember 2015. Bahan

yang digunakan adalah buah kelapa muda jenis

Genjah berumur 8-9 bulan dengan ukuran tinggi

21-22 cm dan diameter 16-17 cm berasal dari

Kebun Percobaan Paniki, Balai Penelitian Tanaman

Palma. Bahan pendukung, yaitu besi beton,

stainless steel, selang plastik, besi siku, ring per,

baut, mur, ember, loyang, galon, selang, dan kabel

box.

Peralatan yang digunakan meliputi motor

penggerak 1 HP, stop watch, timbangan, kabel

box, parang, kabel untuk instalasi, dan beberapa

peralatan bengkel lainnya seperti pengelas, mesin

bor, mesin roll pelat, mesin bubut dan polisher,

gurinda listrik serta alat uji laboratorium.

Metode

Penelitian ini dilaksanakan untuk mendisain

alat mesin pemotong sabut kelapa muda yang

dapat menghasilkan buah kelapa bentuk

“diamond”. Disain didasarkan pada rancangan

alat uji variasi bentuk mata pisau pada alat

pengupas sabut kelapa mekanis (Butar-Butar,

2013; Jarmopas dan Ruttanadat, 2007).

Setelah alat layak operasional, dilanjutkan

dengan uji coba untuk mengetahui kinerjanya.

Pengujian kinerja dilakukan sebanyak 3 kali

ulangan. Data yang diperoleh dianalisa secara

deskriptif. Pengamatan meliputi sudut pisau yang

digunakan, perlakuan waktu penyimpanan (0, 2,

dan 4 hari), kapasitas pemotong (buah/jam), dan

area yang tidak terkupas.

Data pengamatan meliputi beberapa

sudut/kemiringan pisau pemotong sehingga

diperoleh kombinasi sudut yang cukup baik.

Posisi sudut ini merupakan kombinasi antara

sudut pisau pemotong badan (body) kelapa dan

bahu (shoulder) kelapa sesuai dengan bentuk

kelapa muda yang diinginkan (Gambar 1).

Gambar 1. Disain buah kelapa Figure 1. Coconut’s design

Puncak

Bahu

Badan

Dasar

α

β

Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 69 - 78

72

Uji coba pemotongan/pengupasan sabut kelapa dilakukan terhadap kelapa dengan perlakuan pemetikan 0, 2, dan 4 hari. Pengamatan terdiri atas: waktu pemotongan yang diukur dengan menggunakan stopwatch, kapasitas kerja alat, pengamatan warna, dan luas area yang terkupas.

Kapasitas kerja mesin pemotong dihitung dengan cara melakukan percobaan selama 1 jam tanpa berhenti, setelah itu dihitung jumlah kelapa muda (buah) yang dipotong dalam satuan waktu (jam) yang digunakan. Mesin yang digunakan memiliki putaran (rpm) tertentu sesuai dengan spesifikasinya. Putaran mesin yang berasal dari pabrikan biasanya tidak selalu sesuai dengan kebutuhan sehingga harus dilakukan modifikasi untuk memperoleh putaran sesuai dengan yang diinginkan. Modifikasi putaran mesin penggerak dapat dilakukan dengan cara mereduksi maupun multiplikasi. Jika putaran mesin generator lebih tinggi daripada putaran mesin yang diinginkan maka dilakukan reduksi. Jika putaran mesin generator lebih rendah daripada putaran mesin penggerak yang diinginkan maka dilakukan multiplikasi.

Area yang tidak terkupas, yaitu bagian

sabut kelapa muda yang tidak terpotong di bagian

samping dan bagian atas kelapa. Pengukuran luas

area yang tidak terkupas dihitung dengan metode

gravimetri. Area yang tidak terkupas digambar

pada benda transparan seperti plastik, kemudian

digambar pada kertas HVS yang sudah diketahui

bobot dan luasnya. Setelah itu, gambar area yang

terdapat pada kertas digunting/dipotong, setelah

itu kertas hasil potongan ditimbang. Bobot kertas

yang dipotong dibandingkan dengan bobot kertas

HVS yang telah diketahui luasnya. Luas area yang

tidak terkupas dan tidak terkupas merupakan luas

permukaan dari kelapa muda yang sudah

dikupas/dipotong. Luas permukaan kelapa muda

dihitung dengan menggunakan rumus luas

permukaan bangun ruang 3 dimensi. Hasil

kupasan kelapa muda umumnya berbentuk

berlian segi lima dengan 3 dimensi. Luas

permukaan dapat dihitung dengan membagi 2

menjadi bangun kerucut dan kerucut terpancung

ataupun silinder dengan diameter yang berbeda.

Persentase area yang tidak terkupas dapat

diperoleh dengan perhitungan sebagai berikut :

Proses pemotongan sabut kelapa muda

sebagai berikut :

a. Persiapan peralatan, komponen pendukung,

dan kelapa muda yang akan diproses.

b. Kelapa muda dimasukan ke pelat dudukan

(bentuk panah), atur posisi kelapa sehingga

tidak lepas pada saat kelapa berputar.

c. Naikkan kelapa dengan tuas/pengungkit

bawah hingga sampai ke penahan atas.

d. Alat dinyalakan dengan menekan tombol On.

e. Atur pisau pemotong body mendekati kelapa

secara perlahan-lahan.

f. Setelah badan kelapa selesai dipotong, pisau

dikembalikan ke posisi awal. Kemudian

lanjutkan pada pisau pemotong bahu kelapa

dengan mengangkat pengungkit/tuas bawah

dengan melekatkan kelapa ke pisau pemotong,

setelah itu pengungkit/tuas diturunkan

kembali secara perlahan-lahan.

g. Alat dimatikan, buah kelapa dikeluarkan dari

dudukan.

h. Alat dinyalakan kembali, lalu buka bagian

penutup pisau sawmill.

i. Buah kelapa dipotong di bagian bawah dan

bagian puncak.

j. Pengupasan/ pemotongan sabut kelapa muda

telah selesai.

k. Matikan alat dengan menekan tombol Off.

Diagram alir proses pemotongan sabut kelapa muda disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Diagram alir proses pemotongan sabut kelapa muda

Figure 2. Flowchart of young coconut trimmed processing

Pemotongan sabut kelapa

( Pemotongan bagian badan dan shoulder

Pemotongan bagian dasar dan puncak

Buah kelapa muda

Kelapa muda bentuk diamond

Disain dan Kinerja Alat Mesin Pemotong Sabut Kelapa Muda (Nicolas Tumbel dan Supardi Manurung)

73

HASIL DAN PEMBAHASAN

Disain dan Fungsi Alat

Alat mesin pemotong sabut kelapa muda

yang dibuat ini diberi nama alat mesin pemotong

sabut kelapa muda model Baristand. Alat mesin

yang dihasilkan memiliki dimensi panjang 95 cm,

lebar 60 cm dan tinggi 142 cm, terbuat dari bahan

stainless steel dan besi siku, terdiri dari beberapa

bagian/komponen, yakni pisau pemotong utama

(pisau pemotong bagian badan (body) dan 1 mata

pisau bagian bahu (shoulder) dan pisau pemotong

dasar kelapa (base) dan puncak/atas kelapa (crest),

pengungkit/tuas bawah, pelat dudukan kelapa

(bentuk panah), pengungkit/ tuas atas, setelan

maju mundur (pisau body), dan kerangka dudukan

(Gambar 3).

Gambar 3. Mesin pemotong sabut kelapa muda (tampak depan dan samping) Figure 3. Coconut young fruit trimming machine tool (front and side view)

Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 69 - 78

74

Spesifikasi dan fungsi komponen peralatan sebagai berikut:

1. Pisau pemotong utama terdiri dari 2 mata pisau, yaitu pisau pemotong bagian badan (body) kelapa dengan panjang 20 cm, lebar 5 cm, dan tebal 3 mm dan pisau pemotong bagian bahu (shoulder) kelapa dengan panjang 20 cm, lebar 2,5 cm dan tebal 2,5 mm. Pisau pemotong ini berfungsi untuk mengiris atau memotong sabut buah kelapa muda.

2. Pisau pemotong tambahan yang merupakan pisau sawmill, berfungsi untuk memotong bagian dasar (base) kelapa dan bagian puncak (crest) kelapa, memiliki diameter 9 inci, dan tebal 5 mm terbuat dari ss. Pisau pemotong ini bergerigi dan menggunakan puli V ukuran 23 inci, diameter 1 inci terbuat dari ss, terdapat 2 buah bearing dan tersambung dengan motor penggerak. Bagian pemotong ini dapat memperindah tampilan buah kelapa.

3. Pengungkit/tuas bawah, dengan ukuran panjang 60 cm, lebar 4 cm, tebal 2 cm, terdiri dari as diameter 1 inci dan pelat dudukan kelapa (bentuk panah). Pengungkit/tuas bawah, berfungsi mengangkat dan menurunkan dudukan/penyanggah bagian bawah (naik turun). Dudukan/penyanggah bawah yang berfungsi sebagai tempat melekatnya buah kelapa bentuk panah (penajam) serta tersambung dengan poros dari elektro motor.

4. Pengungkit/tuas atas berfungsi mengangkat dan menurunkan poros bentuk panah (penajam) yang akan melekat pada buah kelapa. Memiliki ukuran panjang 25 cm, diameter 2 cm, dengan penahan pengunci panjang 8 cm.

5. Dudukan kelapa berfungsi untuk meletakkan buah kelapa supaya kokoh dan tidak bergerak ketika berputar sehingga sabut/kulitnya dapat dipotong dengan baik. Dudukan ini memiliki diameter 8 cm yang terdiri dari 5 buah besi panah tajam dengan ukuran tinggi 4 cm, yang berguna untuk mencengkeram buah kelapa sehingga tidak terlepas saat berputar. Dudukan ini berada pada pengungkit/tuas bawah sehingga dapat menaikkan maupun menurunkan buah kelapa.

6. Pengatur maju mundur pisau, memiliki ukuran panjang 38 cm dengan diameter 2 cm, terbuat dari ss. Pengatur maju mundur ini berfungsi menggerakkan pisau pemotong maju/mundur untuk mendekatkan maupun menjauhkan dari bagian body kelapa yang akan dipotong sabutnya.

7. Peralatan pendukung/penunjang

- Elektro motor 1 HP, berfungsi menjalankan dan memutar as pengungkit naik/turun. Reducer dipakai sebagai cadangan untuk putaran amat cepat. Elektro motor memiliki spesifikasi kapasitas 1 HP, tegangan 220 volt, 6,73 Ampere, 1420 rpm dengan tipe YC901 1-4 tersambung dengan panel listrik (on/off).

- Saklar (on/off), berfungsi untuk menghidupkan dan mematikan aliran listrik.

- Kerangka dan dudukan alat berfungsi sebagai penahan komponen alat dan memudahkan pemasangan komponen peralatan utama serta peletakan seluruh komponen-komponen unit operasi. Kerangka dan dudukan ini terbuat dari besi siku ukuran 5 x 5 x 0,5 cm dan pelat ss 3 mm dengan ukuran 95 x 60 x 142 cm, berfungsi sebagai penahan tegak dan kestabilan posisi alat pengolahan supaya kokoh.

Kinerja Alat

Kegiatan perancangan mesin pemotong

sabut kelapa muda menyebabkan proses

pemotongan lebih baik dibanding dengan alat

pengupas sabut kelapa mekanis. Komponen

peralatan utama unit operasi berdasarkan urutan

proses yakni tuas/pengungkit bawah dan atas,

dudukan kelapa, 2 buah pisau pemotong, pisau

sawmill dan motor penggerak. Unit-unit proses

alat pemotong dirancang secara kompak, sehingga

mulai dari proses persiapan peletakkan buah

kelapa, pemotongan, sampai produk akhir

berlangsung dengan baik. Pisau yang digunakan

terdiri dari 2 mata pisau yaitu pisau pemotong

bagian badan/tubuh kelapa dan pisau pemotong

bagian bahu kelapa. Pengaturan posisi kedua

pisau pemotong dilakukan secara berulang-ulang

sehingga diperoleh kombinasi sudut yang sesuai

dan untuk menghasilkan bentuk potongan yang

bagus.

Hasil rancangan pisau pemotong badan

(body) kelapa dengan sudut kemiringan bagian

dalam 95° sedangkan bagian luar 85°. Kemudian

pisau pemotong bahu dengan sudut kemiringan

bagian dalam 45° sedangkan bagian luar 45°. Hasil

percobaan rancangan ini digunakan untuk proses

produksi selanjutnya, namun demikian sudut

kemiringan ini dapat diganti atau dirubah sesuai

Disain dan Kinerja Alat Mesin Pemotong Sabut Kelapa Muda (Nicolas Tumbel dan Supardi Manurung)

75

kebutuhan. Hasil uji mesin pemotong sabut kelapa

muda diperoleh data pengamatan seperti dilihat

pada Tabel 1.

Pemotongan sabut dilakukan pada buah

kelapa jenis Genjah umur 8-9 bulan dengan

penyimpanan 0 sampai dengan 4 hari. Hasil

pengamatan untuk waktu pemotongan rata-rata

penyimpanan 0 hari (172 detik), 2 hari (178 detik),

dan 4 hari (204 detik).

Tabel 1. Lama penyimpanan dan waktu pemotongan sabut kelapa Table 1. Storage and trimming time coconut coir

Ulangan (Repetition)

Lama penyimpanan (hari)/waktu pemotongan (detik)

Storage time (days)/Trimming time (seconds)

0 2 4

I 168 171 204

II 170 189 216

III 178 174 192

Rata-rata 172 178 204

Pemotongan sabut dengan penyimpanan 0 hari memiliki waktu rata-rata lebih cepat, dibandingkan dengan hari ke-2, dan hari ke-4. Hal ini mungkin disebabkan sabut kelapa pada penyimpanan 0 hari masih lembek dan basah, sabut berwarna putih, sehingga lebih mudah untuk dipotong. Pada hari ke-2 dan hari ke-4, sabut kelapa sudah semakin kering sehingga semakin sulit untuk dipotong. Waktu pemotongan pada penyimpanan hari ke-2 tidak berbeda jauh dari penyimpanan 0 hari. Semakin lama kelapa disimpan kadar air dalam sabut kelapa semakin berkurang karena mengalami penguapan. Hal ini menyebabkan proses pemotongan bisa lebih lama karena sabut kelapa sudah agak kering dan mengeras, serta seratnya juga sudah berwarna coklat.

Kapasitas Pemotong

Rata-rata kapasitas alat pengupas sabut kelapa muda adalah 21 butir per jam. Percobaan

ini dilakukan sebanyak 3 kali ulangan. Kapasitas pemotong dihitung mulai persiapan buah kelapa yang ditempatkan pada pelat dudukan kelapa (bentuk panah), kemudian buah kelapa ini dinaikkan dengan tuas/pengungkit bagian bawah untuk dilekatkan pada tuas bentuk panah bagian atas, lalu listriknya dinyalakan.

Kapasitas kerja alat tergantung pada daya motor dan reducer serta puli/belt yang digunakan. Kapasitas kerja dapat meningkat bila laju putaran per menit ditingkatkan. Besaran daya dapat berpengaruh terhadap waktu proses pengolahan dan kapasitas alat pengolahan. Mesin pemotong menggunakan motor penggerak dengan daya 1 HP, tegangan 220 volt dengan putaran akhir sekitar 387 rpm. Selain itu, keahlian operator dalam mengoperasikan alat ini menjadi salah satu faktor untuk meningkatkan kapasitas. Area yang tidak terkupas

Tabel 2. Persentase area yang tidak terkupas Table 2. Percentage of untrimmed area

Ulangan

Repetition

Lama penyimpanan (hari)/area yang tidak terkupas (%)

Storage time (days)/untrimmed area (%)

0 2 4

I 1,82 1,10 4,66

II 1,67 11,27 2,34

III 1,88 4,6 1,91

Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 69 - 78

76

Tabel 2 menunjukkan bahwa persentase

area yang tidak terkupas bervariasi dari 1,10-

11,27%. Hal ini terjadi karena posisi pisau tidak

dapat diubah selama pengupasan, sedangkan

buah kelapa memiliki kontur dan bentuk yang

tidak sama. Keterampilan operator dalam

pengoperasian mesin pemotong juga sangat

berpengaruh. Luas area yang tidak terkupas ini

tergolong cukup tinggi yakni sekitar 11,27%

sehingga hal ini dapat menimbulkan penampakan

kelapa kurang bagus secara estetika, sehingga

perlu dilakukan pemotongan sabut kelapa muda

secara manual. Oleh karena itu, perlu dilakukan

penyesuaian mata pisau untuk mendapatkan hasil

potongan yang lebih baik dan menarik.

Putaran mesin pemotong

Mesin/motor yang digunakan memiliki

daya 1 HP dengan putaran 1420 rpm. Putaran

mesin ini terlalu tinggi sehingga harus dilakukan

reduksi. Putaran yang dibutuhkan sekitar 300-400

rpm. Untuk mereduksi putaran mesin ini dapat

dilakukan beberapa cara seperti menggunakan

sistem pereduksi dengan puli, dan reducer atau

gear box. Mereduksi dengan menggunakan puli

dapat dilakukan jika putaran akhir yang

diinginkan tidak terlalu kecil jika dibandingkan

dengan putaran awal. Pereduksi dengan sistem ini

dapat dilakukan secara bertingkat yaitu dengan

menggunakan 2 atau lebih puli (puli besar 11 inci

dan kecil 3 inci). Perekayasaan putaran yang

dilakukan pada alat mesin ini menggunakan

kombinasi sistem yaitu dengan puli dan belt.

Dengan mengkombinasikan kedua sistem tersebut,

putaran akhir yang diperoleh adalah diameter puli

1 per diameter puli 2 dikalikan rpm awal.

Diameter puli 1 berukuran 3 inci, diameter puli 2

berukuran 11 inci dan rpm awal motor sebesar

1420 rpm sehingga diperoleh putaran akhir

sebesar 387 rpm.

Dengan putaran ini diperoleh kinerja mesin

yang cukup bagus untuk menghasilkan kualitas

potongan yang diharapkan. Pemotong dapat

berjalan dengan baik dan pekerja/operator dapat

bekerja dengan optimal. Putaran mesin tidak

terlalu cepat ataupun terlalu lambat. Putaran

mesin yang terlalu cepat dapat menyebabkan

operator kewalahan sedangkan putaran mesin

yang terlalu lambat mengakibatkan tenaga mesin

untuk memotong sabut berkurang sehingga sabut

kelapa tidak dapat dipotong dengan baik.

Keunggulan alat mesin ini antara lain kelapa

yang dihasilkan berbentuk “diamond”, siap saji

dan putih bersih, waktu proses pemotongan agak

lebih cepat, serta sudut kemiringan pisau sewaktu-

waktu dapat diubah sesuai dengan kebutuhan.

Sedangkan kelemahan alat ini adalah pemotongan

kurang efisien karena harus dilakukan dua kali

yaitu untuk memotong bagian badan/bahu dan

dasar/puncak sehingga butuh waktu lebih lama

karena alat harus dimatikan terlebih dahulu lalu

dipindahkan ke pisau yang lain.

KESIMPULAN

Alat pemotong sabut kelapa muda yang

telah didisain memiliki spesifikasi dan panjang 95

cm, lebar 60 cm, dan tinggi 142 cm, terbuat dari

bahan stainless steel yang terdiri dari pisau utama

(pisau pemotong bagian badan dan bahu), pisau

pemotong sawmill (pisau pemotong bagian dasar

dan puncak), tuas/pengungkit bawah dan atas,

dudukan kelapa bentuk panah, motor listrik 1

HP/1420 rpm, dan rangka/dudukan alat.

Hasil rancangan pisau pada alat pengupas

atau pemotong sabut kelapa muda bagian badan

kelapa memiliki sudut kemiringan bagian dalam

95°, bagian luar 85°, sedangkan pisau pemotong

bahu memiliki sudut kemiringan bagian dalam

45°, bagian luar 45°. Untuk bagian base dan crest

dipotong dengan pisau sawmill . Hasil penelitian

menunjukkan bahwa waktu pengupasan alat

pengupas atau pemotong sabut kelapa dengan

waktu simpan 0 hari adalah 172 detik, waktu

simpan 2 hari adalah 178 detik, dan waktu simpan

4 hari adalah 204 detik.

Alat mesin pemotong sabut kelapa muda

sebanyak 21 butir kelapa/jam, dan bagian/area

yang tidak terkupas sebanyak 1,10 - 11,27%.

Penggunaan alat mesin pemotong sabut kelapa

muda lebih sesuai untuk restoran/cafe, hotel,

pedagang kelapa muda dan Usaha Kecil

Menengah (UKM). Perlu dilakukan modifikasi

untuk keamanan pengoperasian alat.

Disain dan Kinerja Alat Mesin Pemotong Sabut Kelapa Muda (Nicolas Tumbel dan Supardi Manurung)

77

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada

DR. Ir. Broerie Pojoh, M.Sc, Kepala Balai Riset dan Standardisasi Industri Manado; Ir. Nova Kumolontang, M.Sc, Kepala Seksi Teknologi Industri dan Steady Ringkuangan, staf perbengkelan di Balai Riset dan Standardisasi Industri Manado atas kerjasama dan bantuan teknis, serta konsultasi dalam pelaksanaan penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, H., Y. Djamalu., dan S. Botutihe. 2014.

Pembuatan Alat Pengupas Sabut Kelapa

Muda Sistem Putar. Jurnal Teknologi

Pertanian Gorontalo (JTPG). 1(2):183-192.

Alonge, A.F., dan W.B. Adetunji. 2011. Properties

of Coconut (Cocos nucifera L.) Relevant to

Its Dehusking. Journal of Agricultural

Science and Technology A1: 1089-1094.

Butar-butar, A.R., S.B. Daulay., L.A. Harahap., dan

Susanto, E. 2013. Test of Variant Knife

Edge Shape on Mechanical Coconut

Peeler. Jurnal Rekayasa Pangan dn

Pertanian. 1(2): 74-77.

Jarimopas, B., dan N. Ruttanadat. 2007.

Development of a Young Fruit Trimming

Machine. Journal of Food Engineering.

79(3): 752-757.

Jarimopas, B., N. Runtanadat, dan A.

Terdwongworakul. 2008. An Automatic

Trimming Machine for Young Coconut

Fruit. Biosystems Engineering. 103:169-

175.

Nagarajan, N., dan P.N. Sundararajan,. 2015.

Fabrication of Coconut Husk Remover

with Shell Cutter. International Journal of

Research and Innovation in Engineering

Technology. 1(12):13-18.

Rahmad, A. 2012. Pengaruh bahan pelapis

terhadap kelapa muda selama

penyimpanan. [Skripsi]. Departemen

Teknologi Industri Pertanian, Fakultas

Teknologi Pertanian, IPB. Bogor.

Rusnaldy, M. Tanviqirrahman., dan W. Ranuaji.

2009. Proses Simulasi untuk Menentukan

Besarnya Gaya Potong pada Proses Bubut.

Jurnal ROTASI. 11(1): 29-32.

Sabale, R.M. dan K.P. Kolhe. 2016. Design and

Development of a Coconut Dehusker for

Small Scale Coir Industry and Marginal

Farmers. International Journal of Science,

Engineering and Technology Research

(IJSETR). 5(2): 591-595.

Tika, H.S., Desrial., dan D. Wulandani. 2014.

Analisis Gaya Spesifik Pemotongan Sabut

Kelapa Muda (Cocos nucifera L.). JTEP.

2(2):89-95.

Yahya, S., dan I.M. Zainal. 2014. Design and

Performance of Young Coconut Shaping

Machine. J. Trop. Agric. and Fd. Sc., 42(1):

19–28.

79

Uji Mutu dan Keefektifan Metarhizium anisopliae Isolat Kalimantan Tengah

Terhadap Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae)

Quality Test and Effectiveness of Metarhizium anisopliae Isolates From Central Kalimantan Against Oryctes rhinocerus (Coleoptera: Scarabaeidae)

SISWANTO DAN I.M. TRISAWA

Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Jl. Tentara Pelajar No. 1. Cimanggu, Bogor, 16111

Email: [email protected]

Diterima 12 Maret 2017 / Direvisi 03 April 2017 / Disetujui 07 Desember 2018

ABSTRAK

Hama Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae) merupakan hama penting tanaman kelapa . Pengendalian O. rhinoceros dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu secara fisik, mekanik, hayati, dan kimiawi. Cendawan Metarhizium anisopliae merupakan agens hayati yang dapat menekan perkembangan hama O. rhinoceros. Efektivitas cendawan M. anisopliae sangat ditentukan oleh kualitas/mutu konidia cendawan tersebut yang meliputi kerapatan, viabilitas dan patogenitasnya terhadap hama sasaran. Untuk itu telah dilakukan penelitian untuk mengetahui mutu dan keefektifan agens pengendali hayati M. anisopliae isolat Kalimantan Tengah terhadap O. rhinoceros. Pengujian dilakukan di Laboratorium Hama Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) dan di sekitar rumah kasa di Balittro, Bogor. Isolat cendawan M. anisopliae yang digunakan berasal dari Kalteng, sedangkan larva O. rhinoceros berasal dari Yogyakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Cendawan M. anisopliae isolat Kalteng memiliki kerapatan konidia di atas 108, sedangkan viabilitasnya di atas 90%. Patogenisitas terhadap larva O. rhinoceros > 50%. Karakter ini menunjukkan mutu yang baik dari cendawan tersebut sebagai agens pengendali hayati. Cendawan M. anisopliae isolat Kalteng pada konsentrasi 106 dan 108 dapat mematikan 90% larva O. rhinoceros instar 3 pada kondisi lapangan. Sehingga kedua konsentrasi tersebut dapat digunakan dalam mengendalikan O. rhinoceros di lapangan.. Kata Kunci: viabilitas, patogenitas, kerapatan konidia, M. anisopliae, kelapa

ABSTRACT

Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae) is an importan pest on coconut trees. Control of O. rhinoceros can be done in various ways, such as by physical, mechanical, biological, and chemical. The fungus Metarhizium anisopliae is a biological agent that can suppress the development of the O. rhinoceros . Effectiveness of M. anisopliae fungus is largely determined by the quality/grade conidia of the fungus consist of its density, viability and patogenicity against the target pest. For that, studies have been conducted to determine the quality and effectiveness biological control of M. anisopliae isolates Kalteng (Central Kalimantan) against O. rhinoceros. Tests conducted in the Entomology Laboratory of Research Institute for Spices and Medicinal Crops (Balittro), and around the home screen in Balittro, Bogor. The fungus M. anisopliae isolates originating from Central Kalimantan (Kalteng), while the larvae of O. rhinoceros from Yogyakarta. The results showed that the fungus conidia M. anisopliae isolates Kalteng has a density of over 108, while the viability above 90%. Pathogenicity to larvae of O. Rhinoceros > 50%. This character indicates a good quality of these fungi as biological control agent. The fungus of M. anisopliae isolates Kalteng at concentrations of 106 and 108 can killed up to 90% third instar O. rhinoceros larvae in field conditions. So both these concentrations can be used in the control of O. rhinoceros in the field. Keywords: viability, patogenicity, density of conidia, M. anisopliae, coconut

Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 79 - 88

80

PENDAHULUAN

Hama Oryctes rhinoceros L. (Coleoptera:

Scarabaeidae) dikenal sebagai kumbang badak

atau kumbang tanduk. Kumbang ini merupakan

hama utama tanaman kelapa dan kelapa sawit

(Erawati dan Wardati, 2016); Mawikere et al., 2006;

Sambiran dan Hosang, 2007). Di Indonesia hama

ini merupakan hama utama tanaman kelapa, di

Jawa utamanya menyerang tanaman kelapa,

sedang di luar Jawa selain menyerang

tanaman kelapa hama ini menyerang kelapa

sawit. Hama ini menyerang tanaman kelapa sawit

sejak tahap pra-pembibitan hingga tahap tanaman

menghasilkan. Bahkan, ada sekitar 46 jenis

tanaman diketahui sebagai inang minor dari hama

tersebut, seperti aren, pinang, sagu, agave, nanas,

pisang, dan lain-lain (Quitugua, 2010).

Di Indonesia, kemunculan kumbang dari

famili Scarabaeidae, termasuk O. rhinoceros

umumnya terjadi setiap tahun pada awal musim

penghujan yaitu sekitar bulan Oktober. Kumbang

ini aktif pada malam hari, baik untuk melakukan

perkawinan maupun aktivitas makan. Pada

tanaman kelapa, kumbang makan pucuk sehingga

kerusakan yang diakibatkannya terlihat saat daun

membuka. Daun memperlihatkan bentuk segitiga

guntingan daun seperti huruf V. Serangan berat

dapat menyebabkan kematian tanaman. Kematian

tanaman akan lebih cepat jika terdapat serangan

lanjutan dari organisme pengganggu lain seperti

kumbang Rhynchophorus ferrugineus, bakteri, atau

cendawan yang menyebabkan pembusukan

tanaman.

Serangan O. rhinoceros setiap tahunnya

mengakibatkan kerugian yang cukup besar pada

tanaman kelapa. Sementara itu, serangan pada

tanaman sawit muda menyebabkan penurunan

produksi tandan buah segar (TBS) sebesar 69%

pada tahun pertama, bahkan menyebabkan

kematian tanaman muda sebesar 25% (Pusat

Penelitian Kelapa Sawit, 2008).

Pengendalian O. rhinoceros dapat

dilakukan dengan berbagai cara yaitu secara fisik,

mekanik, hayati, dan kimiawi. Untuk menekan

populasi kumbang, pengendalian umumnya

dilakukan terhadap larvanya. Hama O. rhinoceros

biasanya dijumpai pada tempat

perkembangbiakan berupa bahan organik seperti

kotoran ternak, limbah penggergajian, sekam padi,

sampah yang telah melapuk, tunggul kelapa, dan

bahan organik lainnya (Mulyono, 2008). Dalam

pengendalian hama tersebut, petani umumnya

masih mengandalkan cara kimiawi (insektisida).

Selain menimbulkan dampak buruk terhadap

lingkungan seperti munculnya hama sekunder,

resistensi hama, dan terbunuhnya musuh alami,

aplikasi insektisida kimiawi meninggalkan residu

pada produk kelapa atau lingkungan. Dalam

perlindungan tanaman sebaiknya dilaksanakan

dengan menerapkan sistem Pengendalian Hama

Terpadu (PHT) dengan menekankan pada

pengendalian secara hayati. Pengendalian dengan

cara hayati ini selain efektif, dapat juga untuk

mengurangi penggunaan insektisida. Salah satu

jenis cendawan patogen serangga O. rhinoceros

yang potensial, yaitu Metarhizium anisopliae

(Moniliales: Moniliaceae).

Cendawan M. anisopliae mampu mematikan

larva (bersifat larvasidal), karena menghasilkan

cyclopeptida, destrusin, dan desmethyldestrusin.

Destrusin berpengaruh terhadap organel sel target

seperti mitokondria, retikulum endoplasma, dan

membran nukleus yang menyebabkan paralisa sel

dan kelainan fungsi lambung tengah, tebulus

malphigi, hemosit, dan jaringan otot (Widayanti

dan Muyadihardja, 2004).

Penelitian dan penggunaan langsung

M.anisopliae di lapangan dalam pengendalian O.

rhinoceros sudah banyak dilakukan, mulai dari

eksplorasi dan seleksi strain-strain M.anisopliae

(Myles, 2002) hingga efikasi formulasi M. anisopliae

terhadap O. rhinoceros (Manurung et al., 2012;

Sihombing et al., 2014), maupun efikasi kombinasi

M.anisopliae dengan nematoda entomopatogen

(Indriyanti et al., 2017) , dan efikasi kombinasi

feromon dengan M.anisopliae (Witjaksono et al.,

2018).Penggunaan Isolat M. anisopliae akan lebih

efektif apabila isolat yang digunakan berasal dari

spesies serangga inang yang sama (Bintang et al.,

2018). Pada beberapa kasus jika dilakukan di

lapangan dalam skala yang luas, hasilnya kurang

memuaskan. Hal ini dapat disebabkan oleh

penggunaan isolat yang bermutu rendah, belum

teruji efikasinya dan cara penggunaannya yang

kurang tepat. Oleh sebab itu, sebelum suatu isolat

cendawan patogen diimplementasikan secara luas

Uji Mutu Dan Keefektifan Metarhizium Anisopliae Isolat Kalteng Terhadap Oryctes Rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae) (Siswanto dan I.M. Trisawa)

81

di lapangan perlu diuji mutu dan efikasinya

terhadap hama sasaran.

Cendawan M. anisopliae dapat diproduksi

secara massal dan diformulasikan sebagai

bioinsektisida baik dalam bentuk padat maupun

cair (Mulyono, 2008). Cendawan Metarhizium sp.

dapat diproduksi secara massal pada media instan,

seperti SDB (Saborroud Dextrose Broth) atau SDA

(Saborroud Dextrose Agar) (Prayogo et al., 2005).

Penelitian ini merupakan hasil uji mutu dan

keefektifan cendawan M. anisopliae isolat Kalteng

terhadap O. rhinoceros. Tujuannya adalah

mengetahui mutu dan keefektifan agens

pengendali hayati M. anisopliae isolat Kalteng

terhadap larva O. rhinoceros.

BAHAN DAN METODE

Pengujian dilakukan di Laboratorium Hama

Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat

(Balittro), dan lapang di sekitar rumah kasa di

Balittro, Bogor. Cendawan M. anisopliae yang diuji

adalah isolat yang berasal dari koleksi Dinas

Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah,

sedangkan larva O. rhinoceros berasal dari

pertanaman kelapa di Yogyakarta. Alat yang

digunakan terdiri dari mikroskop,

haemocytometer, gelas penutup haemocytometer,

handcounter, alat timbang analitik, magnetic stirer,

erlenmeyer 100 ml dan 500 ml, gelas ukur, pipet 1

ml, sendok sampling, dan semprotan tangan.

Pengujian mutu M. anispliae dilakukan

terhadap uji kerapatan konidia, uji viabilitas

konidia, dan uji patogenisitas pada serangga uji.

Cendawan M. anisopliae pada tahap berikutnya

dilakukan diuji keefektifannya terhadap O.

rhinoceros.

Kerapatan Konidia

Konidia M. anisopliae pada media jagung

ditimbang sebanyak 1 g menggunakan timbangan

elektrik, kemudian dimasukkan ke dalam tabung

gelas dan ditambah aquades 10 ml. Larutan M.

anisopliae kemudian dikocok menggunakan

magnetic stirer selama 15 menit.

Sebanyak 1ml suspensi konidia M.

anisopliae diteteskan secara merata mengunakan

pipet pada bidang hitung haemocytometer hingga

memenuhi kanal. Didiamkan 1 menit agar posisi

stabil. Pengamatan dilakukan di bawah mikroskop

dengan perbesaran 400 kali . Konidia dihitung

pada lima kotak hitung menggunakan hand

counter. Setiap kotak hitung memiliki 16 kotak

kecil-kecil. Perlakuan yang sama dilakukan hingga

dua kali.

Kerapatan konidia dihitung dengan rumus

sebagai berikut:

t x d

S = -------------- 106

0,25 x n

S = Kerapatan konidia/ml

t = Jumlah konidia yang diketahui

d = Tingkat pengenceran

n = Jumlah kotak yang dihitung

0,25 adalah tingkat koreksi

Viabilitas Konidia

Sebanyak 0,01 ml suspensi konidia M.

anisopliae (kerapatan 109) diteteskan pada media

PDA dalam cawan petri, kemudian diinkubaskan

selama 24 jam pada suhu kamar. Pengamatan

dilakukan menggunakan mikroskop pada

perbesaran 400 x, dihitung jumlah konidia yang

berkecambah dan yang tidak berkecambah.

Pengamatan diulang tiga kali.

Viabilitas konidia M. anisopliae dihitung

dengan rumus sebagai berikut:

Σ KB

VK = ------------------- x 100%

Σ KB + KTB

VK = Viabilitas konidia

KB = Konidia yang berkecambah

KTB = Konidia yang tidak berkecambah

Patogenisitas pada Serangga Uji di laboratorium

Sebanyak 20 larva O. rhinoceros diletakkan

pada wadah plastik berukuran 15 x 21 cm yang

telah diisi pakan. Larva kemudian disemprot

dengan suspensi konidia M. anisopliae (kerapatan

konidia 109). Perlakuan uji patogenisitas diulang

tiga kali. Pengamatan dilakukan setiap hari

terhadap larva uji yang mati. Persentase kematian

Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 79 - 88

82

larva O. rhinoceros dihitung dengan rumus sebagai

berikut :

SM

PK = --------- x 100%

SU

PK = Persentase kematian serangga uji

SM = Serangga uji terinfeksi

SU = Total serangga uji yang diamati

Pengujian Lapangan

Pada pengujian lapangan, cendawan M.

anisopliae isolat Kalteng dibiakkan pada media

PDA sebagai biakan murni selama dua minggu.

Selanjutnya cendawan dibiakkan pada media

jagung selama dua minggu untuk keperluan

aplikasi pada larva O. rhinoceros instar 3 yang

diperoleh dari lapangan. Setiap 10 larva yang

terpilih ditempatkan pada kotak serangga yang

sudah diisi dengan media tanah dan serbuk

cocopit.

Perlakuan konsentrasi cendawan M.

anisopliae isolat Kalteng yang digunakan adalah

kerapatan konidia 108, 106, 104, 102/ml dan air

sebagai kontrol. Penelitian disusun dalam

Rancangan Acak Kelompok dengan lima ulangan.

Setiap perlakuan disemprotkan ke media dan

larva pada setiap kotak serangga. Aplikasi

cendawan M. anisopliae isolat Kalteng dilakukan

hanya satu kali. Kotak ditempatkan di sekitar

tanaman di luar rumah kasa dan dinaungi paranet.

Pengamatan dilakukan mulai satu hari

setelah aplikasi (HSA) sampai tidak ditemukan

lagi larva yang mati. Parameter yang diamati

adalah tingkat kematian larva O. rhinoceros

dihitung dengan rumus sebagai berikut :

SM

PK = --------- x 100%

SU

PK = Persentase kematian serangga uji

SM = Serangga uji terinfeksi

SU = Total serangga uji yang diamati

Analisis Data

Data pengaruh perlakuan terhadap waktu

kematian awal dan tingkat kematian larva O.

rhinoceros dianalisis dengan sidik ragam yang

dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (α =

0.05).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kerapatan Konidia

Hasil pengamatan kerapatan konidia M.

anisopliae isolat Kalteng (Gambar 1) menunjukkan

variasi jumlah konidia pada bidang hitung (Tabel

1). Dari hasil penghitungan diperoleh kerapatan

konidianya 2,73 x 109.

Gambar 1. Konidia M. anisopliae isolat Kalteng

Figure 1. M. anisopliae Conidia isolat Central

Kalimantan

Tabel 1. Kerapatan konidia M. anisopliae isolat

Kalteng

Table 1. M. anisopliae isolat Kalteng conidia density

Nomor

kotak

Box number

Bidang hitung

Calculating field

1 2

1 119 97

2 187 110

3 88 90

4 109 97

5 97 98

Jumlah 600 492

Kerapatan konidia yang diperoleh sangat

tinggi, hal ini menunjukkan kemampuan

Uji Mutu Dan Keefektifan Metarhizium Anisopliae Isolat Kalteng Terhadap Oryctes Rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae) (Siswanto dan I.M. Trisawa)

83

cendawan untuk mengembangkan diri. Kerapatan

konidia yang tinggi dan ditunjang oleh

kemampuan berkecambah yang juga tinggi, akan

menentukan kecepatan cendawan M. anisopliae

mematikan inangnya. Kerapatan konidia yang

tinggi akan mengakibatkan integumen serangga

lebih cepat rusak dan cairan tubuhnya lebih cepat

habis, sehingga serangga semakin cepat mati.

Viabilitas Konidia

Hasil pengamatan terhadap viabilitas

konidia M. anisopliae isolat Kalteng adalah 93,06%

(Tabel 2). Viabilitas konidia> 90% menunjukkan

bahwa isolat agens pengendali hayati tersebut

memiliki kemampuan tinggi dalam

perkembangannya. Secara umum, viabilitas

konidia M. anisopliae dipengaruhi oleh beberapa

faktor seperti suhu, kelembaban, pH, dan radiasi

sinar matahari. Faktor - faktor tersebut penting

untuk diperhatikan, sebab syarat suatu patogen

berhasil baik digunakan sebagai agensia

pengendali hayati yaitu harus memiliki viabilitas

yang tetap terpelihara atau tinggi.

Tabel 2. Viabilitas konidia M. anisopliae isolat

Kalteng

Table 2. Conidia viability M. anisopliae isolat Kalteng

Ulangan

repeat

Jumlah konidia

Amount of conidia

Viabilitas

konidia

(%)

Viability

of conidia

(%)

Berkecambah

Germinate

Tidak

berkecambah

Not Germinate

1 90 7 92,7

2 111 8 93,2

3 97 7 93,3

Rata rata 93,06

Suhu optimum untuk pertumbuhan M.

anisopliae berkisar antara 22-270C, sementara

kelembaban yang tinggi akan membentuk

kecambah di atas 90% dan semakin virulen.

Kelembaban udara lebih rendah dari 86%

menyebabkan virulensi cendawan menurun

(Bidochka et al., 2000).Viabilitas cendawan sangat

mempengaruhi pertumbuhan berikutnya.

Semakin banyak konidia berkecambah, semakin

cepat pertumbuhan cendawan tersebut (Prayogo et

al., 2005).

Patogenisitas pada Serangga Uji di laboratorium

Hasil pengamatan uji patogenisitas pada

larva O. rhinocereos menunjukkan bahwa sebanyak

60% larva terinfeksi M. anisopliae isolat Kalteng

(Gambar 1). Patogenisitas yang hanya 60% ini,

dapat disebabkan oleh faktor aplikasi yang

dilakukan hanya satu kali dan faktor lain seperti

larva mengalami ganti kulit, sehingga konidia

yang telah menempel pada kulit inang ikut

terlepas. Hasil ini menunjukkan gambaran awal

kemampuan patogenisitas M. anisopliae isolat

Kalteng.

Gambar 1. Larva O. rhinoceros yang terinfeksi M.

anisopliae isolat Kalteng

Figure 1. O. rhinoceros larvae infected by M. anisopliae

isolat Kalteng

Pengujian Lapangan

Hasil pengujian menunjukkan bahwa

kematian awal larva O. rhinoceros akibat perlakuan

cendawan M. anisopliae isolat Kalteng dimulai

antara 4,2 ± 0,45 sampai 5,6 ± 2,19 HSA (Tabel 3).

Di antara perlakuan konsentrasi M. anisopliae isolat

Kalteng tidak menunjukkan perbedaan yang nyata

terhadap waktu kematian awal O. rhinoceros, tetapi

semua perlakuan berbeda nyata dibandingkan

dengan kontrol.

Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 79 - 88

84

Tabel 3. Waktu kematian awal O. rhinoceros(x ± SD)

pada perlakuan konsentrasi M. anisopliae

Table 3. Time of death O. rhinoceros(x ± SD) on

treatment of M. anisopliae concentration

PerlakuanM.

anisopliae (konidia/ml)

Treatment of M.

anisopliae (conidia/ml)

Waktu kematian awal

(HSA)*)

Time of death

108 4,4 ± 0,89 a

106 4,2 ± 0,45 a

104 4,8 ± 0,84 a

102 5,6 ± 2,19 a

Kontrol 0,0 ± 0,00 b *)Angka dalam kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak

berbeda nyata (uji jarak berganda Duncan, α = 0.05)

The numbers in the column followed by the same letters are not

significantly different (Duncan's multiple distance test, α = 0.05)

Waktu yang dibutuhkan dalam

menimbulkan kematian serangga uji, berada pada

kisaran yang umum terjadi pada pengujian

cendawan patogen serangga. Beberapa hasil

pengujian bahkan menghasilkan waktu kematian

lebih cepat, bergantung pada instar serangga yang

diuji dan penambahan suspensi tertentu pada

media tumbuh cendawan yang berfungsi untuk

meningkatkan patogenisitas. Sebagai contoh, hasil

penelitian Sambiran dan Hosang (2007)

menghasilkan kematian larva O. rhinoceros instar 1

pada 2 HSA akibat terinfeksi M. anisopliae yang

dibiakkan dalam media air kelapa. Secara umum,

waktu dan persentase kematian serangga

ditentukan oleh berbagai faktor seperti

patogenisitas, media tumbuh, jenis dan instar

serangga, kerapatan konidia, waktu dan frekuensi

aplikasi, ketahanan serangga terhadap senyawa

toksin patogen, dan faktor lingkungan (Prayogo et

al., 2005; Surtikanti dan Yasin, 2009; Manurung et

al., 2012).

Cendawan M. anisopliae isolat Kalteng yang

digunakan dalam pengujian ini, memiliki

kerapatan dan viabilitas konidia yang baik. Hasil

uji mutu yang dilakukan sebelumnya

menunjukkan bahwa isolat tersebut memiliki

kerapatan konidia 109 dengan viabilitas konidia

>90%. Karakter ini menunjukkan mutu yang baik

dari cendawan tersebut sebagai agens pengendali

hayati. Daya kecambah (viabilitas) cendawan

entomopatogen merupakan awal dari stadia

pertumbuhan cendawan sebelum melakukan

penetrasi ke integumen serangga. Oleh karena itu,

daya kecambah sangat menentukan keberhasilan

cendawan dalam pertumbuhan selanjutnya.

Kemampuan M. anisopliae isolat Kalteng

sebagai agens pengendali hayati ditunjukkan juga

pada persentase kematian larva O. rhinoceros,

yaitu berkisar antara 4 - 90% (Tabel 4).

Tabel 4. Tingkat kematian O. rhinoceros (x ± SD) pada perlakuan konsentrasi M. anisopliae

Tabel 4. Mortality rate of O. rhinoceros (x ± SD) on treatment M. anisopliae concentration

*)Angka dalam kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata (uji jarak berganda Duncan, α = 0.05)

The numbers in the column followed by the same letters are not significantly different (Duncan's multiple distance test, α = 0.05)

Konsentrasi Konidia

Conidia concentration

Tingkat kematian pada hari ke ..setelah aplikasi (%)*)

Mortality rate after application based on days (%)

4 5 6 7 8 9 10

108 12 ± 0,84a 14±5,48 ab 16 ± 5,48 ab 26 ± 11,40 ab 32± 8,37 ab 46 ±11,40 a 90 ± 7,07 a

106 14±8,94a 22±13,04 a 32±17,89 a 36±21,68 a 42± 24,90 a 50 ± 21,21 a 90 ±7,07 a

104 4 ±5,47b 14±8,94 ab 20 ± 0,00 ab 26±5,47 ab 40±7,07 a 46±11,40 a 68±13,04 b

102 6 ±5,48b 6 ± 0,55 ab 6 ± 5,48b 6 ± 5,48b 26 ± 8,94ab 32± 4,47a 32± 4,47c

Kontrol 0 ±0,00 b 0 ± 0,00 b 0± 0,00 b 0 ± 0,00 b 0± 0,00 c 0 ± 0,00 b 0± 0,00 d

Buletin Palma Volume 19 No. 1, Juni 2018: 27 - 32

85

Berdasarkan Tabel 4, cendawan M. anisopliae

isolat Kalteng pada konsentrasi 106 dan 108 mampu

mematikan uret O. rhinoceros instar 3 sampai 90%

dan secara statistik memiliki kemampuan yang

sama dalam menimbulkan kematian serangga

tersebut sampai akhir pengamatan. Secara teoritis,

semakin tinggi kerapatan konidia suatu cendawan,

maka semakin tinggi daya infeksi cendawan

tersebut terhadap serangga (Hasnah et al., 2012;

Prayogo et al., 2005). Hal ini didasarkan bahwa

pada konsentrasi M. anisopliae yang lebih tinggi

mengakibatkan jumlah konidia cendawan yang

masuk ke dalam tubuh serangga semakin banyak,

dibandingkan dengan perlakuan yang jumlah

konidianya lebih sedikit. Pada konsentrasi rendah,

cendawan belum mampu menguraikan lapisan

khitin dan lemak dari kulit serangga sehingga

penetrasi dan infeksi tidak terjadi (Susanti et al.,

2013). Beberapa hasil penelitian menunjukkan

efikasi M. anisopliae terhadap penekanan populasi

serangga hama. Cendawan M. anisopliae pada

konsentrasi 108 menyebabkan kematian O.

rhinoceros sebesar 81,61% (Mulyono, 2007) dan

100% terhadap rayap Coptotermes curvignathus

(Khairunnisa et al., 2014), sedangkan konsentrasi

107 dan 108 menyebabkan kematian Spodoptera

litura masing-masing sebesar 83,33% dan 100%

(Prayogo et al., 2005; Tobing et al., 2015). Menurut

Marheni et al. (2013) konsentrasi konidia dalam

biakan M. anisopliae yang baik adalah yang

mengandung 108 atau lebih dalam setiap gram

jagung.

Isolat M. anisopliae yang digunakan dalam

pengujian ini adalah sama dan dikembangkan

pada media jagung yang sama, sehingga tingkat

kematian larva yang bervariasi dari setiap

perlakuan dapat disebabkan oleh

proses/mekanisme infeksi cendawan tersebut dan

kemampuan daya tahan serangga uji. Mekanisme

infeksi cendawan M. anisopliae mematikan larva

dengan dua cara yaitu melalui integumen dan

mulut/saluran pencernaan. Jika cendawan M.

anisopliae mematikan larva melalui mulut/saluran

pencernaan, maka larva akan cepat mati.

Kematian larva lebih lambat jika infeksi M.

anisopliae melalui integumen, sebab kondia

cendawan entomopatogenik umumnya

memerlukan waktu 2 hari sampai 2 minggu untuk

berkecambah (Tanada dan Kaya, 2013).

Kandungan protein dalam jagung dapat

berperan dalam perkembangan (sporulasi)

cendawan entomopatogen. Dengan tercukupinya

M. anisopliae akan protein dari tepung jagung,

menyebabkan proses sintesis enzim yang

dibutuhkan oleh M. anisopliae berjalan baik,

sehingga kinerja enzim dalam penetrasi kutikula

larva juga baik dan pada akhirnya terjadi infeksi

awal lebih cepat.

Larva yang digunakan dalam pengujian

ini berasal dari lapangan bukan populasi hasil

pembiakan di laboratorium karena tingkat

kesulitan memperbanyak serangga tersebut di

laboratorium. Larva hasil koleksi dari lapangan

kemudian disortasi sesuai ukuran dan

diperkirakan umumnya termasuk dalam instar 3

dengan sedikit variasi umur. Larva O. rhinocerus

instar 3 biasanya merupakan instar paling aktif

dan paling rakus makan perakaran sehingga

pengujian pengendalian umumnya difokuskan

pada instar ini, karena selain untuk menekan

kehilangan hasil, instar 3 juga sudah cukup kuat

beradaptasi dengan lingkungan. Semakin tua

umur larva, daya tahan terhadap pengaruh luar

termasuk serangan patogen biasanya semakin

kuat. Hasil penelitian Salim dan Hosang (2013)

menunjukkan bahwa kematian Larva instar 1 O.

rhinoceros lebih cepat dibandingkan dengan larva

instar 2 dan 3, meskipun pada akhirnya ketiga

instar tersebut mati 100% pada 2 minggu setelah

aplikasi.

Larva yang terinfeksi cendawan M.

anisopliae isolat Kalteng, awalnya ditandai dengan

gejala munculnya miselia/koloni cendawan

berwarna putih yang kemudian akan berubah

menjadi hijau gelap. Pada beberapa perlakuan

terdapat larva dengan gejala pergerakan lamban,

nafsu makan berkurang, dan tubuh larva

berwarna coklat kehitaman. Hal ini diduga selain

infeksi, larva O. rhinoceros juga mengalami proses

melanisasi yang merupakan suatu bentuk

pertahanan tubuh serangga melawan patogen.

Hal ini berbeda dengan tubuh larva pada kontrol

yang tetap berwarna putih kekuningan. Larva

yang mati menunjukkan gejala naik ke

permukaan. Hal ini merupakan suatu ciri larva

terinfeksi cendawan patogen yang dikenal dengan

istilah summit disease. Fenomena ini disinyalir

Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 79 - 88

86

sebagai usaha untuk menyelamatkan populasi lain

yang sehat dari infeksi cendawan entomopatogen.

KESIMPULAN DAN SARAN

Cendawan M. anisopliae isolat Kalteng memiliki kerapatan konidia di atas 108, sedangkan viabilitasnya di atas 90%. Patogenisitas terhadap larva O. rhinoceros > 50%. Karakter ini menunjukkan mutu yang baik dari cendawan tersebut sebagai agens pengendali hayati.

Cendawan M. anisopliae isolat Kalteng pada konsentrasi 106 dan 108 dapat mematikan 90% larva O. rhinoceros instar 3 pada kondisi lapangan. Kedua konsentrasi tersebut dapat digunakan dalam mengendalikan O. rhinoceros di lapangan. Cendawan M. anisopliae isolat Kalteng sebaiknya secara berkala terus dimurnikan atau dibiakan pada media yang baru sebelum digunakan, agar viabilitas dan patogenitasnya yang tinggi tetap terjaga.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada

Ir. Suhariyoso, MP. Kepala UPTD Perlindungan

Perkebunan dan Pengawasan Benih Dinas

Perkebunan Propinsi Kalimantan Tengah yang

telah menyediakan cendawan M. anisopliae dari

Kalteng, Saudara Tri Eko Wahyono dan Endang

Sugandi, Teknisi Litkayasa pada Kelompok

Peneliti Hama Tumbuhan, Balai penelitian

tanaman Rempah dan Obat, Bogor yang telah

membantu dalam persiapan dan pelaksanaan

penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Bidochka, M.J., A.M. Kamp, and J.N.A. Decroos.

2000. Insect pathogenic fungi: from genes to populations. Fungal Pathol 42:171-193.

Bintang, A.S., A. Wibowo, dan Tri Harjaka. 2015. Keragaman gentik Metharizium anisopliae dan virulensi pada larva kumbang badak (Oryctes rhinoceros). Perlindungan Tanaman Indonesia 19(1): 12-18.

Erawati, D.N. dan I. Wardati, 2016. Teknologi Pengendalian Hayati Methahizium anisopliae dan Beauveria bassiana terhadap Hama Kumbang Kelepa Sawit (Oryctes rhinoceros). Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016.

Hasnah, Sussana, dan S. Husin. 2012. Keefektifan cendawan Beauveria bassiana Vuill. terhadap mortalitas kepik hijau Nezara viridula L. pada stadia nimfa dan imago. J. Floratek 7:13-24.

Hosang, M.L.A., A.A. Lolong, M. Darwis, dan D. Sitepu. 1989. Pengendalian hayati Oryctes rhinoceros L. dengan Baculovirus oryctes dan Metarhizium anisopliae. Balai Penelitian Kelapa. Manado.

Indriyanti,D.R., P. Widiyaningrum, H.M. Slamet and Y.A. Maretta. 2017. Effectiveness of Metarhizium anisopliae and Entomopathogenic Nematodes to Control Oryctes rhinoceros Larvae in the Rainy Season. Pakistan Journal of Biological Sciences, 20 (7): 320-327.

Khairunnisa, A. Martina, dan Titrawani. 2014. Uji efektivitas jamur Metarhizium anisopliae Cps.T.A isolat lokal terhadap hama rayap Coptotermes curvignathus). JOM FMIPA 1(2):430-438.

Klinik Sawit. 2012. Hama Kelapa Sawit. http://www.kliniksawit.com. Diakses 20 Januari 2017.

Manurung, E.M., M.C. Tobing, L. Lubis, dan H. Priwiratama. 2012. Efikasi beberapa formulasi Metarhizium anisopliae terhadap larva Oryctes rhinoceros L. (Coleoptera: Scarabaeidae) di insektarium. Jurnal Online Agroekoteknologi 1(1):47-63.

Marheni, Hasanudin, Pinde, dan W. Suziani. 2013. Uji patogenesis jamur Metarhizium anisopliae dan jamur Cordyceps militaris terhadap larva penggerek pucuk kelapa sawit (Oryctes rhinoceros) (Coleoptera: Scarabaeidae) di Laboratorium. Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian USU.

Mawikere, J., J.C. Alouw, dan M.L.A. Hosang. 2006. Serangan Oryctes rhinoceros pada pertanaman kelapa di Jawa Timur. Buletin Palma.30:31-39.

Mulyono. 2008. Kajian patogenitas cendawan Metarhizium anisopliae terhadap hama Oryctes rhinoceros L. Tanaman kelapa pada berbagai teknik aplikasi. Tesis Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. 86 hal.

Uji Mutu Dan Keefektifan Metarhizium Anisopliae Isolat Kalteng Terhadap Oryctes Rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae) (Siswanto dan I.M. Trisawa)

87

Myles, T.G. 2002. Isolation of Metarhizium anisopliae (Deuteromycotina: Hyphomecetes) from Reticulitermes flavipes (Isoptera: Rhinotermitidae) with convenient methods for its culture and collection of conidia. Sociobiology 40:257-264

Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 2008. Teknologi pengendalian hama dan penyakit pada kelapa sawit: Siap pakai dan ramah lingkungan. http://www.pustaka.litbang.pertanian.go.id/publikasi/wr271058.pdf November 2015

Prayogo, Y., W. Tengkano, dan Marwoto. 2005. Prospek cendawan entomopatogen Metarhizium anisopliae untuk mengendalikan ulat grayak Spodoptera litura pada kedelai. J. Litbang Pertanian 24:19-26.

Salim dan M.L.A. Hosang. 2013. Serangan Oryctes rhinoceros pada kelapa kopyor di beberapa sentra produksi dan potensi Metarhizium anisopliae sebagai musuh alami. Buletin Palma 14(1): 47-53.

Sambiran, W.J. dan M.L.A. Hosang. 2007. Patogenisitas Metarhizium anisopliae dari beberapa media air kelapa terhadap Oryctes rhinoceros L. Buletin Palma No.32: 1-11.

Sihombing, R.H., S. Oemry., dan L. Lubis. 2014. Uji efektivitas beberapa entomopatogen pada larva Oryctes rhinoceros L. (Coleoptera: Scarabaeidae) di laboratorium. Jurnal Online Akroekoteknologi 2(4):1300-1309.

Surtikanti dan M. Yasin. 2009. Keefektifan entomopatogenik Beauveria bassiana Vuill. dari berbagai media tumbuh terhadap Spodoptera litura F. (Lepidoptera: Noctuidae) di laboratorium. Balai Penelitian Tanaman Serelia. Prosiding Seminar Nasional Serelia.

Susanti, U., D. Salbiah, JH. Loah. 2013. Uji beberapa konsentrasi Metarhizium anisopliae (Metsch) Sorokin untuk mengendalikan hama kepik hijau (Nezara viridula L.) pada kacang panjang (Vigna sinensis). Jurnal Universitas Riau.

Tanada, Y. dan H.K. Kaya. 2013. Insect Pathology. San Diego Academic Press. Inc. Harcourt Brace Jovanovich, Publisher. New York.

Tobing, S.S.L., Marhaeni, dan Hasanudin. 2015. Uji efektivitas Metarhizium anisopliae Metch. dan Beauveria bassiana Bds. terhadap ulat grayak (Spodoptera litura F) pada tanaman kedelai (Glicyne max L.) di rumah kassa. Jurnal Agroekoteknologi 4(1):1659-1665.

Quitugua, R. 2010. Rhino beetles take aim at new palm species, an interview with Eradication Project Logistics Manager for the Department of Agriculture. Kuam News Network. Guam.

Widiyanti, N.L.P.M. dan Mulyadiharja. 2004. Uji

toksisitas jamur Metarhizium anisopliae

terhadap nyamuk Aedes aegypti. Media

Litbang Kesehatan 14(3):25-30. Witjaksono, Arman Wijonarko, Tri Harjaka, Irma

Harahap, dan Wahyu Budi Sampurno. 2018. Tekanan Metharhizium anisopliae dan feromon terhadap populasi dan tingkat kerusakan oleh Oryctes rhinoceros. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia 19(2): 73-79.

89

Implementasi Teknologi Pengendalian Hayati Hama Kelapa Thosea monoloncha Meyrick dengan Nuclear Polyhedrosis Virus (NPV)

Biological Control Technology Implementation on Coconut Pest Thosea monoloncha Meyrick Using Nuclear Polyhedrosis Virus (NPV)

FREDY LALA1, ANDRIKO N. SUSANTO2, MELDY L.A. HOSANG3, DECIYANTO S.4

1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku Utara Kompleks Pertanian Kusu, Kecamatan Oba Utara, Kota Tidore Kepulauan,

Provinsi Maluku Utara, Indonesia 2Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian

Jl. Harsono RM No. 3, Ragunan, Jakarta 12550 3Balai Penelitian Tanaman Palma

Jl. Raya Mapanget, PO BOX 1004, Manado 95001 4Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan

Jl. Tentara Pelajar 1, Kampus Penelitian Pertanian Cimanggu Bogor 16111 Email: [email protected]

Diterima 12 Maret 2018 / Direvisi 03 April 2018 / Disetujui 07 Desember 2018

ABSTRAK

Hama ulat api Thosea monoloncha (Limacodidae: Lepidoptera) telah menyerang tanaman kelapa di Pulau Tolonuo, Kabupaten Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara dengan intensitas kerusakan bervariasi dari ringan sampai sangat berat. Penelitian bertujuan untuk mengendalikan populasi hama ulat api T. monoloncha dan respon petani terhadap teknologi pemanfaatan Nucleo Polyhedrosis Virus (NPV). Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2014 sampai November 2015. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi ekstrak NPV dapat menurunkan populasi hama kelapa T. monoloncha, menurunkan intesitas kerusakan dari kerusakan sangat berat, berat dan sedang menjadi kerusakan ringan, meningkatkan jumlah pelepah dan buah kelapa dari 14 butir menjadi 45 butir per pohon. Respon petani terhadap berbagai aspek teknologi berada pada kisaran 63,5-97,5%.

Kata kunci: Kelapa, T. monoloncha, NPV, respon petani

ABSTRACT

The nettle caterpillars pest Thosea monoloncha (Limacodidae: Lepidoptera) has attacked the coconut plant in Tolonuo Island, North Halmahera district, North Maluku Province with the intensity of attacked varied from light minor damage to severe damage. This research purpose is to control the population of nettle caterpillars T. monoloncha and the response of farmers to technology using Nucleo Polyhedrosis Virus (NPV). The study was conducted from December 2014 to November 2015. The stages of this study are consisted of (a) observation of pest population T. monoloncha, (b) determination of plant damage intensity and (c) farmerd response to control technology. The results showed that the application of NPV extract can decrease the population of coconut pest T. monoloncha, the intensity of the damage decrease from severe, heavy and moderate to light damage. In additon, it also increase the amount of frond and coconut production from 14 to 45 nuts per tree. Farmers' response to various aspects of technology varied from 63.5-97.5%.

Keywords: Coconut, T. monoloncha, NPV, farmer response

Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 89 - 99

90

PENDAHULUAN

Produksi kelapa Kabupaten Halmahera

Utara dalam bentuk kopra, sebagian besar

diekspor dan sisanya untuk kebutuhan dalam

negeri. Data Karantina Tumbuhan dan Hewan

Kelas III Tobelo, Halmahera Utara tahun 2010-2014

menunjukkan ekspor kopra ke Filipina sebanyak

14.383.485-32.901.380 kg/tahun, sedangkan di

dalam negeri 13.464.000-50.349.110 kg/tahun

(Anonim, 2013). Jika harga kopra berlaku Rp

6.000/kg, maka dari ekspor tersebut menghasilkan

devisa antara Rp 86,3-197,4 milyar/tahun,

sedangkan dari perdagangan dalam negeri

memberi pemasukan sebesar Rp 80,8-302,1

milyar/tahun. Artinya, hanya dari kopra saja

Kabupaten Halmahera Utara sudah menghasilkan

pendapatan sebesar Rp 167,1-364,5 milyar/tahun.

Pendapatan akan semakin bertambah lagi jika

pemerintah daerah dapat mengoptimalkan produk

kelapa dengan program diversifikasi.

Keberhasikan pembangunan dan

pengembangan pertanian berbasis kelapa dibatasi

oleh beberapa faktor, salah satunya adalah

serangan hama dan penyakit tanaman. Hama

penting tanaman kelapa di Kabupaten Halmahera

Utara adalah Sexava coriacea, Oryctes rhinoceros,

Brontispa longissima, dan ulat api (Thosea

monoloncha). Hama ulat api T. monoloncha

(Limacodidae : Lepidoptera). Holloway et al. (1987)

melaporkan bahwa dari genus Thosea terdapat 28

spesies, salah satunya adalah T. monoloncha.

Ledakan populasi hama T. monoloncha

dilaporkan telah menyerang tanaman kelapa di

Pulau Tolonuo dengan intensitas kerusakan ringan

sampai sangat berat. Peningkatan populasi hama

sangat cepat sehingga merusak tanaman kelapa

dalam waktu beberapa minggu. Berdasarkan

pengamatan populasi hama sudah melebihi

ambang ekonomi (30 ekor per pelepah) sehingga

diputuskan untuk menggunakan insektisida

kimia. Namun pengendalian menggunakan

insektisida kimia membutuhkan biaya besar serta

dapat menimbulkan dampak negatif terhadap

lingkungan dan sekitarnya. Menurut Hasibuan et

al. (2002), penggunaan insektisida kimia berbahan

aktif permetrin menurunkan populasi hama Thosea

sp. sampai 100%. Tapi insektisida ini mereduksi

populasi kumbang penyerbuk utama Elaeidobius

kamerunikus dari 976 ekor/tandan (kontrol)

menjadi 12,5 ekor/tandan (konsentrasi 250 ppm).

Pada larva T. monoloncha yang semakin tua

kecenderungan penggunaan insektisida kimia

akan semakin tinggi. Kecenderungan tersebut

disebabkan karena pada umur tersebut (instar

lima) lapisan lilin yang menutupi tubuh larva

semakin tebal (Hendro dan Qayuun, 2012).

Pengendalian hama dengan memanfaatkan

ekstrak larva ulat terinfeksi NPV (Nucleo

Polyhedrosis Virus) lokal merupakan alternatif yang

dipilih karena selain murah, dapat dilakukan

petani, efektif dan ramah lingkungan.

Respon petani terhadap teknologi

pengendalian sangat penting karena akan

menentukan apakah teknologi diadopsi atau tidak

oleh petani. Sulitnya penerimaan petani terhadap

teknologi baru atau relatif baru yang disebabkan

ketidakpercayaannya terhadap teknologi tersebut

atau karena faktor budaya yang enggan menerima

inovasi teknologi dapat menjadi permasalahan

dalam proses adopsi teknologi (Ramadhani et al.,

2012 dalam Suratini et al., 2016). Upaya yang dapat

dilakukan untuk mengetahui bahwa petani

merespon teknologi yang diintroduksi yaitu

melalui penggalian dan inventarisasi semua

tanggapan, pendapat, dan jawabannya dalam

suatu kuesioner. Oleh karena itu pengkajian ini

bertujuan untuk mengendalikan populasi hama T.

monoloncha menggunakan musuh alami dan untuk

mengetahui respon petani terhadap teknologi.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan di Desa Tolonuo Utara,

Pulau Tolonuo, Kecamatan Tobelo Utara,

Kabupaten Halmahera Utara, Provinsi Maluku

Utara. Lokasi ini ditentukan secara purposive

karena merupakan pusat serangan hama T.

monoloncha. Pelaksanaan penelitian dilakukan pada

Desember 2014 sampai November 2015 dan

melibatkan petani kelapa Desa Tolonuo Utara.

Penelitian dilakukan melalui beberapa tahapan

kegiatan.

a. Pengamatan Populasi Hama

Teknologi Pengendalian Hayati dengan Nucleo Polyhedrosis Virus (NPV) Terhadap Hama Kelapa Thosea monoloncha Meyrick (Fredy Lala, et al)

91

Pengamatan terhadap populasi hama T.

Monoloncha dan intensitas kerusakan yang

ditimbulkannya pada tanaman kelapa dibagi

dalam tiga kategori, yaitu (1) tanaman belum

menghasilkan (TBM), (2) tanaman menghasilkan

dengan tinggi tanaman kurang dari 15 m (TM<15

m), dan (3) tanaman menghasilkan dengan tinggi

tanaman lebih dari 15 m (TM>15 m). Penentuan

jumlah tanaman pada masing-masing kelompok

dilakukan secara acak, masing-masing berjumlah

60 pohon sehingga total 180 pohon. Pengamatan

populasi hama dilakukan pada dua pelepah

(tengah dan pucuk) untuk tiap pohonnya sehingga

jumlah keseluruhan pelepah yang diamati adalah

360 buah.

b. Determinasi Intensitas Kerusakan Tanaman

Determinasi intensitas kerusakan tanaman

kelapa dilakukan dengan cara membandingkan

jumlah pelepah terserang ulat dengan jumlah

seluruh pelepah. Intensitas kerusakan tanaman

dikelompokkan berdasarkan persentase kerusakan

pelepah daun yaitu (1) Sehat, jika pelepah daun

tidak menunjukkan kerusakan; (2) Ringan, jika 1-

25% pelepah daun menunjukkan kerusakan; (3)

Sedang, jika 26-50% pelepah daun menunjukkan

kerusakan, (4) Berat, jika 51-75% pelepah daun

menunjukkan kerusakan, (5) Sangat berat, jika

>75-100% pelepah daun menunjukkan kerusakan

(Wagiman et al., 2012).

c. Respon Petani Terhadap Teknologi

Respon petani terhadap teknologi diukur

berdasarkan hasil wawancara pada 40 orang

petani responden yang dipilih secara acak di lokasi

pengkajian. Data yang diperoleh berupa data

kualitatif yang diberi skor (Likert) kemudian

ditabulasi dan dianalisis.

d. Parameter Pengamatan

Paramater pengamatan terdiri dari (a) jenis

dan deskripsi hama T. monoloncha dan musuh

alaminya, (b) populasi hama T. monoloncha pada

tanaman belum menghasilkan (TBM), tanaman

sudah menghasilkan dengan tinggi kurang dari 15

m (TM<15 m), dan tanaman sudah menghasilkan

dengan tinggi lebih dari 15 m (TM>15 m), (c)

intensitas kerusakan tanaman kelapa, dan (d)

jumlah pelepah dan produksi buah kelapa pada

tanaman menghasilkan (TM) yang terserang hama,

(e) respon petani terhadap teknologi.

e. Analisis Data

Analisis data terdiri dari (a) deskriptif,

untuk mengkategorikan intensitas kerusakan rata-

rata berdasarkan persentase kerusakan yang

ditimbulkan hama T. monoloncha, (b) anova, untuk

mengukur signifikansi populasi hama dan

intensitas kerusakan diantara tanaman (TBM,

BM<15 m dan TM>15 m) sebelum dan sesudah

perlakuan, (c) regresi, untuk mengukur hubungan

antara populasi hama T. monoloncha dan tingkat

kerusakan tanaman kelapa dengan persamaan: Y =

a + bX, dan (d) respon petani, menggunakan skala

(skor) Likert untuk mengetahui tanggapan petani

terhadap teknologi yang diintroduksi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Deskripsi Hama Ulat Api

Hama ulat api termasuk Famili Limacodidae

dan Ordo Lepidoptera. Dari genus Thosea terdapat

28 spesies (Holloway et al., 1987), salah satunya

yaitu Thosea monoloncha Meyrick (syn. T. moluccana

Roepke). Larva berbentuk oval, convex, hijau

muda dengan sebuah garis pada bagian dorsal,

memiliki 11 bulu berbentuk setaceous pada bagian

bawah tubuh. Pupa (kepompong) ditemukan

melekat pada dasar daun, pada batang dan

permukaan tanah dekat batang tanaman. Pupa

berukuran 8x12 mm, berwarna coklat tua, dan

keras, di dalamnya mengandung substrat. Hama

ini merupakan serangga aktif malam hari

(nocturnal) dan saat beristirahat pada siang hari

sayap imago terbuka.

Di alam larva spesies ini dapat diparasit

oleh Braconid Apanteles thoseae, dan pupanya oleh

Tachinid Austrophorocera grandis, dan sangat peka

terhadap entomopatogen Nucleo Polyhedrosis Virus

(NPV). NPV umumnya menyerang serangga ordo

Lepidoptera (86%), Hymenoptera (7%), dan

Diptera (3%). Proses masuknya virus ke tubuh

serangga sampai dipenuhinya sel-sel tubuh

serangga oleh virus berjalan antara 4 hari sampai 3

minggu tergantung pada jenis NPV, jenis serangga

inang, jumlah polihedra yang masuk, instar larva

yang mulai terinfeksi dan suhu. Apabila virus

telah masuk ke dalam tubuh serangga, polihedra

NPV akan larut dan pecah serta melepaskan

partikel-partikel virus yang kemudian memasuki

sel-sel bagian perut serangga dan akhirnya

memperbanyak diri. Setiap sel yang terinfeksi

Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 89 - 99

92

virus, nukleusnya membengkak dan dipenuhi oleh

masa padat yang disebut viroplan (Holloway et al.,

1987). Selain NPV, musuh alami lain dari hama

ulat api adalah B. thuriengiensis (Tarigan et al.,

2013), laba-laba jaring, laba-laba lompat, laba-laba

mata tajam, laba-laba serigala (Cendramadi dan

Wahyudyana, 2011), dan kepik Rhynocoris fuscipes

F. (Kembaren et al., 2014). Selain musuh alami,

golongan pestisida nabati seperti minyak sereh

dapat membunuh hama ulat jenis Gempinis

sebesar 98% (Adnyana et al., 2012).

Populasi Hama Ulat Api T. monoloncha

Pada pengamatan awal dari ketiga kategori

tanaman kelapa (TBM, TM tinggi <15 m, dan TM

tinggi >15 m) menunjukkan populasi hama

berbeda (Gambar 1). Populasi hama pada tanaman

belum menghasilkan (TBM) yaitu 26 larva

sehat/pohon dan 18 larva terinfeksi/pohon,

tanaman menghasilkan dengan tinggi <15 m yaitu

15 larva sehat /pohon dan 13 larva

terinfeksi/pohon sedangkan tanaman

menghasilkan dengan tinggi >15 m yaitu 5 larva

sehat/pohon dan 3 larva terinfeksi /pohon. Selang

bulan Mei-Juni 2015 atau 5-6 bulan sesudah

aplikasi ekstrak NPV, populasi hama ulat api T.

monoloncha pada ketiga kategori tanaman sudah

sangat rendah. Kondisi dimana populasi hama ulat

api telah terkendali oleh musuh alami (NPV) itu

terjadi sampai akhir pengamatan (November

2015).

Penurunan populasi hama ulat api T.

monoloncha pada tanaman belum menghasilkan

(TBM) dan tanaman menghasilkan (TM)

dideskripsikan seperti grafik pada Gambar 1.

Ketiga grafik tersebut menunjukkan kemiripan

pola penurunan populasi hama dalam interval

waktu tertentu. Aplikasi ekstrak NPV yang

mengandung strain virulen dapat menginfeksi ulat

api yang sehat sehingga populasinya per pohon

menurun. Strain NPV yang virulen dapat

diperoleh dari NPV yang berasal dari spesies

hama yang sama. NPV sangat selektif dan efektif,

NPV dari hama T. monoloncha hanya efektif untuk

hama tersebut dan tidak efektif untuk jenis ulat api

atau ulat Limacodidae lainnya. Sambiran et al.

(2016), menyatakan bahwa musuh alami yang

potensial seperti NPV lokal yang berasal dari T.

monoloncha dapat menekan populasi hama ulat api

T. monoloncha sampai 96%.

Jika dilihat berdasarkan umur tanaman

kelapa, menunjukkan bahwa preferensi hama ulat

api lebih tinggi pada daun tanaman belum

menghasilkan (TBM) dibandingkan daun tanaman

menghasilkan (TM). Ini menunjukkan bahwa

hama lebih memilih makanan relatif lebih lunak

yang ada pada tanaman belum menghasilkan.

Daun pada tanaman belum menghasilkan lebih

lunak dibandingkan dengan daun tanaman telah

menghasilkan. Hal tersebut disebabkan karena

lapisan lilin pada daun tanaman yang telah

menghasilkan lebih tebal sehingga larva kesulitan

dalam memakannya.

(a)

(b)

(c)

Teknologi Pengendalian Hayati dengan Nucleo Polyhedrosis Virus (NPV) Terhadap Hama Kelapa Thosea monoloncha Meyrick (Fredy Lala, et al)

93

Gambar 1. Populasi T. monoloncha; (a) tanaman belum menghasilkan (TBM); (b) tanaman

menghasilkan (TM) dengan tinggi < 15 m; (c) tanamana menghasilkan (TM) dengan tinggi > 15 m

Figure 1. Population of T. monoloncha; (a) immature palm plantations (TBM); matured palm plantation (TM) with high <15 m; (c) mature palm plantations (TM) with high >15 m

Selain keras lunaknya daun, tinggi tanaman

juga memberi pengaruh terhadap preferensi hama.

Pada tanaman belum menghasilkan, kerusakannya

lebih berat dibandingkan tanaman telah

menghasilkan yang lebih tinggi. Semakin tinggi

tanaman, intensitas kerusakan tanaman semakin

rendah. Ini memiliki hubungan dengan perilaku

hama T. monoloncha dalam beradaptasi dengan

lingkungannya. Pada tanaman muda, hama lebih

mudah mencapai daun tanaman, sebaliknya pada

tanaman yang tua jaraknya lebih jauh. Dibutuhkan

energi yang lebih besar untuk mencapai daun

tanaman yang telah menghasilkan dibandingkan

daun tanaman muda. Selain itu hama T. monoloncha

lebih terhindar dari cahaya matahari saat

memanjat tanaman muda dibandingkan tanaman

telah menghasilkan.

Analisis populasi hama T. monoloncha pada

awal dan akhir pengamatan menunjukkan

perbedaan yang nyata (taraf α=0.05) (Tabel 1).

Selain faktor ekternal, maka faktor internal yang

menyebabkan terjadinya perbedaan yang

signifikan populasi hama T. monoloncha pada awal

dan akhir pengamatan adalah efektifitas kinerja

musuh alami (NPV). NPV sangat persisten di alam

(tanah) dan satu kali penyemprotan sangat

potensial menjadi awal pembentukan koloni

(epizootic) di alam yang efektif mengendalikan

inang sepanjang musim secara alami (Anonim,

2012).

Tabel 1. Rata-rata populasi larva T. monoloncha pada awal dan akhir pengamatan Table 1. Average population of T. monoloncha larvae at the beginning and the end of observation

Uraian Description

Status Ulat Api Nettel Caterpilllar

Status

Populasi (larva/pelepah) Population (larvae/frond)

Awal Pengamatan (Desember 2014)

Beginning of Observation (December 2014)

Akhir Pengamatan (November 2015) End of Observation (November 2015)

Tanaman belum menghasilkan (TBM) Immature palm

Sehat Healthy

26.33 a 0.00 b

Terinfeksi Infected

17.60 a 0.00 b

Tanaman menghasilkan (TM) dengan tinggi < 15 m Matured Palm height <15 m

Sehat Healthy 14.53 a 0.00 b

Terinfeksi Infected 12.60 a 0.00 b

Tanaman Sehat 4.47 a 0.00 b

Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 89 - 99

94

menghasilkan (TM) dengan tinggi > 15 m Matured palm height >15m

Healthy

Terinfeksi Infected 3.07 a 0.00 b

Keterangan : Angka yang diikuti huruf berbeda pada baris yang sama berbeda nyata pada taraf 5% dengan uji BNT Note : Number followed by different letters at the same line are not sifnificant difference at 5% of BNT

Intensitas Kerusakan Tanaman Kelapa

Perubahan intensitas kerusakan tanaman

kelapa diamati berdasarkan status kerusakan awal,

kemudian diikuti perkembangannya selama

sepuluh bulan. Intensitas kerusakan sangat berat

(SB) dan berat (B) menunjukkan penurunan cukup

tajam sedangkan kerusakan sedang (S) dan ringan

(R) menunjukkan penurunan yang melandai

(Gambar 2). Kemampuan tanaman kelapa untuk

pulih terhadap kerusakan yang terjadi akibat

serangan hama T. monoloncha dapat diterangkan

lebih jelas berdasarkan perubahan warna kotak

seperti pada Tabel 2. Tanaman kelapa dengan

intensitas kerusakan sangat berat, saat

pengamatan ketiga dan keempat statusnya

berubah menjadi berat, dan saat pengamatan

kelima dan keenam status kerusakan turun

menjadi sedang. Tanaman kelapa dengan status

kerusakan berat berubah menjadi sedang dan

ringan pada pengamatan ketiga dan keenam.

Tanaman kelapa dengan status kerusakan sedang,

berubah menjadi ringan saat pengamatan keenam

sedangkan tanaman terserang ringan statusnya

tetap tetapi dengan nilai intensitas kerusakan yang

semakin menurun.

Tingginya penurunan tingkat kerusakan

pada tanaman kelapa yang terserang berat dan

sangat berat (berarti terjadi pemulihan), antara lain

disebabkan karena tanaman masih berumur muda

dan belum menghasilkan (TBM) sehingga energi

yang diperoleh dari pemupukan lebih terfokus

pada pertumbuhan dan perkembangan vegetatif

tanaman. Sebaliknya, pada tanaman dengan

kerusakan sedang sampai ringan yang adalah

tanaman sudah menghasilkan (TM), penggunaan

energi yang diperoleh terbagi yaitu selain untuk

pertumbuhan vegetatif tanaman juga untuk

pembentukan bunga dan buah kelapa. Itulah

sebabnya penurunan tingkat kerusakan menjadi

lebih lambat karena terbaginya hasil fotosintesa.

Tabel 2. Perkembangan status kerusakan tanaman kelapa dalam sebelas bulan pengamatan

Table 2. The progression of coconut damage status within eleven months of observation

Status Kerusakan

Damage Status

Pengamatan (Observation)

Des. 14 Feb. 15 Apr. 15 Jun. 15 Agt. 15 Okt 15

Sangat

berat(Severe) 87.00 78.70 68.20 60.50 48.30 39.07

Berat (Heavy) 65.67 54.87 46.53 36.00 26.33 19.33

Sedang (Medium) 41.33 37.33 34.53 31.33 27.93 20.07

Ringan (Light) 19.53 16.87 15.60 13.53 10.27 6.47

Gambar 2. Perkembangan intensitas kerusakan tanaman kelapa pada awal sampai sepuluh bulan berikutnya

Figure 2. The development of coconut damage intensity at the beginning to ten months later

Teknologi Pengendalian Hayati dengan Nucleo Polyhedrosis Virus (NPV) Terhadap Hama Kelapa Thosea monoloncha Meyrick (Fredy Lala, et al)

95

Berdasarkan analisis regresi maka pada

intesitas kerusakan ringan (slope = 0.12)

menunjukkan bahwa setiap pertambahan 1 ekor

hama T. monoloncha akan meningkatkan kerusakan

tanaman kelapa sebesar 12 persen. Pada intesitas

kerusakan sedang (slope = 0.16) menunjukkan

bahwa setiap pertambahan 1 ekor hama T.

monoloncha akan meningkatkan kerusakan tanaman

kelapa sebesar 16 persen. Pada intesitas kerusakan

berat (slope = 0.26) menunjukkan bahwa setiap

pertambahan 1 ekor hama T. monoloncha akan

meningkatkan kerusakan tanaman kelapa sebesar

26 persen. Pada intesitas kerusakan sangat berat

(slope = 0.47) menunjukkan bahwa setiap

pertambahan 1 ekor hama T. monoloncha akan

meningkatkan kerusakan tanaman kelapa sebesar

47 persen (Tabel 3). Artinya bahwa dalam status

intensitas kerusakan yang ada, jika terjadi

penambahan 1 ekor hama T. monoloncha akan lebih

menambah berat intensitas kerusakan tanaman.

Hal inilah yang menggambarkan bahwa jika tidak

dilakukan pengendalian dengan segera maka

populasi hama T. monoloncha akan semakin

mengganas dan kemungkinan menyebar ke

tanaman lainnya akan semakin terbuka.

Tabel 3. Persamaan regresi, koefisien determinasi, dan koefisien korelasi populasi hama T. monoloncha

berdasarkan status kerusakan tanaman kelapa

Table 3. Regression equation, coefficient of determination, and correlation coefficient population of T.

monoloncha pest based on coconut damage status

Intensitas

Kerusakan

(Damage

Intensity)

Persamaan

Regresi

(Regression equation)

Koefisien

Determinasi

(R²)

Coefficient of

determination

(R²)

Koefisien

Korelasi (r)

Corelation

coefficien (r)

Tingkat Keeratan

Hubungan x dan y

Related of X and Y

Ringan

(Light) Y = 1.79 - 0.12x 0.70

0.83

Kuat

(Significant)

Sedang

(Medium) Y = 2.16 - 0.16x 0.70

0.83

Kuat

(Significant)

Berat (Heavy) Y = 3.12 - 0.26x 0.59

0.77

Kuat

(Significant)

Sangat Berat

(Severe) Y = 0.75 - 0.47x 0.75

0.87

Kuat

(Significant)

Besarnya pengaruh variabel independen

terhadap variabel dependen yang dapat dijelaskan

oleh garis regresi pada intensitas kerusakan ringan

dan sedang adalah 70% sedangkan pengaruh

faktor lain 30%. Pada intensitas kerusakan berat,

pengaruh variabel independen terhadap variabel

dependen yang dapat dijelaskan oleh garis regresi

adalah 59% sedangkan pengaruh faktor lain 41%.

Pada intensitas kerusakan sangat berat, pengaruh

variabel independen terhadap variabel dependen

yang dapat dijelaskan oleh garis regresi adalah

75% sedangkan pengaruh faktor lain 25%. Dari

data tersebut dapat diinformasikan bahwa

intensitas kerusakan pada tanaman, 59-75%

ditentukan oleh faktor populasi hama T. monoloncha

sedangkan sisanya pengaruh faktor luar. Pengaruh

faktor populasi hama tampak juga pada nilai

koefisien korelasi (r) yang semakin mendekati 1,

yang berarti bahwa antara populasi hama dan

tingkat kerusakan tanaman memiliki keeratan

hubungan yang kuat (Tabel 2).

Pertambahan Jumlah Pelepah

Pertambahan jumlah pelepah tanaman

berdasarkan status kerusakan (ringan, sedang,

berat, sangat berat) dalam waktu pengamatan

yang sama (per 2 bulan) menunjukkan pola yang

sama (Gambar 3). Bertambahnya jumlah pelepah

kelapa merupakan respon tanaman untuk pulih

kembali setelah diserang hama. Kemampuan dan

kecepatan tanaman untuk pulih kembali

Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 89 - 99

96

bergantung pada tingkat kerusakan yang

ditimbulkan oleh hama T. monoloncha.

Pertambahan pelepah setiap tanaman

kelapa adalah satu pelepah per bulan. Upaya

pemupukan (recovery) yang diikuti dengan sanitasi

pada tanaman dengan populasi hama T. monoloncha

semakin menurun menunjukkan pemulihan

tanaman yang lebih cepat. Hal ini dapat

dibuktikan dengan ditemukannya tunas pelepah

kedua pada hari ke-26. Artinya, pertumbuhan

pelepah tidak lagi menunggu satu bulan penuh

atau 30 hari kalender tapi dapat lebih cepat. Pada

tanaman muda dan pembibitan, pemberian pupuk

lengkap NPK dapat meningkatkan pertumbuhan

tanaman (Kasno et al., 2010; Jannah &

Marhanuddin, 2012). Menurut Sun (2011),

ketersediaan hara N, P, dan K serta air yang cukup

dapat meningkatkan tinggi dan luas daun

tanaman kelapa sawit. Pemupukan dan pengairan

yang cukup dapat menambah lingkar batang

kelapa sawit (Uwumarongie et al., 2012; Noor et al.,

2012; Halim et al., 2014).

Produksi Kelapa

Produksi buah kelapa hanya diamati pada

tanaman yang telah menghasilkan. Petani Desa

Tolonuo melakukan panen kelapa empat bulan

sekali. Banyak sedikitnya jumlah buah kelapa yang

dipanen sangat tergantung pada kondisi tanaman.

Pada tanaman dengan intensitas kerusakan ringan

jumlah buah yang dipanen lebih banyak

dibandingkan pada tanaman dengan intensitas

kerusakan sedang (Gambar 4). Hal ini berkaitan

dengan kemampuan tanaman berfotosintesis,

dimana tanaman yang berdaun banyak tentunya

memiliki keunggulan karena permukaan daunnya

lebih luas. Tanaman dengan intensitas kerusakan

ringan memiliki permukaan daun yang lebih luas

dibandingkan dengan tanaman dengan intensitas

kerusakan sedang.

Pada awal pengamatan, jumlah buah kelapa

yang dipanen hanya sekitar 15 butir per pohon

sedangkan pada akhir pengamatan 45 butir per

pohon. Ini menunjukkan bahwa terjadi

peningkatan produksi sebesar 30 butir per pohon.

Kombinasi pengendalian populasi hama T.

monoloncha, pemberian pupuk, dan sanitasi

merupakan upaya untuk mengembalikan tanaman

dalam pertumbuhan dan perkembangan yang

normal sedangkan meningkatnya produksi adalah

output dari kemampuan tanaman untuk

berproduksi setelah diberikan treatment.

Respon Petani Terhadap Teknologi

Respon terhadap teknologi dapat diketahui

berdasarkan tanggapan atau pendapat petani

tentang teknologi yang diintroduksi (Tabel 4).

Respon petani paling kecil yaitu tentang

kemampuan mengenal/mengetahui gejala hama

(larva) yang telah terinfeksi oleh virus (63,5%)

sedangkan tertinggi yaitu teknologi layak untuk

dikembangkan (97,5%). Walaupun demikian skor

tersebut telah menunjukkan bahwa respon petani

terhadap teknologi berada di atas 50%. Artinya,

lebih dari setengah jumlah petani responden telah

menunjukkan respon yang baik terhadap

teknologi. Mengetahui gejala larva yang terinfeksi

Gambar 3. Pertambahan jumlah pelepah kelapa berdasarkan status kerusakan tanaman akibat hama T. monoloncha Figure 3. Increase in number of coconut frond based on plant damage status caused by T. monoloncha

Gambar 4. Produksi rata-rata buah kelapa per pohon di Desa Tolonuo, Kec. Tobelo Utara, Kab. Halmahera Utara Figure 4. Average production of coconut per tree in Tolonuo village, North Tobelo district, North Halmahera regency

Teknologi Pengendalian Hayati dengan Nucleo Polyhedrosis Virus (NPV) Terhadap Hama Kelapa Thosea monoloncha Meyrick (Fredy Lala, et al)

97

virus adalah permulaan meningkatnya kognitif

petani dalam memahami teknologi pengendalian.

Petani yang melihat langsung bagaimana

keberhasilan teknologi dapat mengendalikan

populasi hama menjadi yakin bahwa teknologi

efektif dan layak untuk dikembangkan.

Keberhasilan tersebut juga membuat petani

bersedia untuk menerima dan menyebarkan

teknologi bahkan bersedia untuk menggunakan

kembali teknologi ketika terjadi kembali outbreak

hama T. monoloncha. Pemaanfaatan kembali

teknologi adalah bagian dari replikasi teknologi

baik di tempat yang sama maupun berbeda dan

hal tersebut dapat disanggupi oleh petani karena

selain bersifat ramah lingkungan, biaya teknologi

relatif terjangkau. Respon petani yang menerima,

bersedia memanfaatkan, dan menyebarkan

teknologi merupakan bentuk keberhasilan petani

dalam mengadopsi teknologi.

Tabel 4. Nilai skor respon petani terhadap teknologi pengendalian hama ulat api

Table 4. Score value of farmer's response to control technology of nettel caterpillar

No.

Teknologi Pengendalian

Control Technology

Frekuensi (%)

Frequency (%)

T

Total

Skor

(%)

Total

score

Interpretasi

Skor (%)

Score

Interpretation

(%)

STS TS RR S SS

1. Gejala hama terinfeksi

virus dapat dikenal

Recognize the Symptomp

infected by virus

0,0 27,5 30,0 40,0 2,5 100,0 63,5

2. Teknologi pembuatan

ekstrak virus

Extract virus technology

0,0 2,5 17,5 75,0 5,0 100,0 76,5

3. Teknologi mudah

diaplikasi

Easy to apply technology

0,0 0,0 25,0 67,5 7,5 100,0 76,5

4. Teknologi dapat diterima

petani

Technology is acceptable by

farmers

0,0 0,0 2,5 77,5 20,0 100,0 83,5

5. Biaya teknologi terjangkau

Affordable technology

0,0 10,0 25,0 50,0 15,0 100,0 74,0

6. Teknologi efektif

Effective technolgy

0,0 0,0 10,0 25,0 65,0 100,0 91,0

7. Teknologi aman terhadap

lingkungan

Eco friendly technology

0,0 7,5 25,0 37,5 30,0 100,0 78,0

8. Teknologi sebagai solusi

ketika outbreak kembali

Technology as solution in

case of outbreak

0,0 0,0 17,5 70,0 12,5 100,0 79,0

9. Penyebaran Teknologi

Technology dissemination

0,0 0,0 2,5 80,0 17,5 100,0 83,0

Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 89 - 99

98

10. Teknologi layak

dikembangkan

(Acceptable technology)

0,0 0,0 0,0 12,5 87,5 100,0 97,5

Sumber: Data primer, 2015 (diolah)

Source: Primary data, 2015 (processed)

KESIMPULAN

Pengendalian hama ulat api T. monoloncha

menggunakan musuh alami (NPV lokal) dapat

menurunkan populasi hama T. monoloncha dan

intensitas kerusakan tanaman kelapa serta

meningkatkan produksi kelapa. Petani

memberikan respon yang baik sebanyak 63,5-

97,5% terhadap teknologi pengendalian hayati

dengan menggunakan NPV.

DAFTAR PUSTAKA

Adnyana, I.G.S., Sumiartha, K.., dan Sudiarta, I.P.

2012. Efikasi pestisida nabati minyak atsiri tanaman tropis terhadap mortalitas ulat bulu gempis. Jurnal Agroekoteknologi Tropika. 1(1): 1-11.

Anonim. 2012. Nuclear polyhedrosis virus (NPV), menuju pertanian berkelanjutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tembakau. Klaten. https://puslitklaten.wordpress.com/2012/10/23/npv-menuju-pertanian-berkelanjutan (diakses tanggal 10 Juli 2018).

Anonim. 2013. Laporan Tahunan 2011. Dinas Pertanian Kabupaten Halmahera Utara. Tobelo. Maluku Utara.

Cendramadi dan Wahyudyana, A. 2011. Pengamatan kelimpahan ulat api (Limacodidae) dan ulat kantung (Psychidae) serta predator pada perkebunan kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Cikidang Plantation Estate di bawah naungan karet. http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/52260 (diakses tanggal 24 Januari 2016).

Halim, Sudrajat, dan Hariyadi. 2014. Optimasi dosis nitrogen dan kalium pada bibit kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di pembibitan utama. Buletin Palma. 15(2): 86-92.

Hasibuan, R., Swibawa, I.G., Hariri, A.M., Pramono, S., Susilo, F.X., dan Karmike, N. 2002. Dampak aplikasi insektisida permetrin terhadap serangga hama (Thosea sp.) dan serangga penyerbuk (Elaeidobius kamerunicus) dalam agroekosistem kelapa sawit. Jurnal Hama dan Penyakit Tumbuhan Tropika. 2(2): 42-46.

Hendro, R. dan Qayuun. 2012. Agar efektif kendalikan ulat api. http://sawit-indonesia.com/index.php/sajian-utama/166-pt-bayer-indonesia/ (diakses tanggal 14 Februari 2016).

Holloway, J.D., Cock M.J.W., and Desmier de Chenon. 1987. Systimatic account of South East Asian pest limacodidae dalam Cock, M.J.W., H.C.J. Godfray, J.D. Holloway (Ed.). CAB International. p.15-118.

Jannah, N. dan Marhanuddin, F.A.. 2012. Pengaruh macam dan dosis pupuk NPK pada bibit kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.). Media Sains. (4): 48-54.

Kasno, A., Sudirman, M.T., dan Sutriadi. 2010. Efektifitas beberapa deposit fosfat alam Indonesia sebagai pupuk sumber fosfor terhadap pertumbuhan bibit kelapa sawit pada tanah ultisol. Jurnal Litri. (16): 165-171.

Kembaren, E., Bakti, D., dan Lubis, L. 2014. Daya predasi Rhynicoris fuscipes F. (Hemipitera: Reduviidae) terhadap ulat api Setothosea asigna E. (Lepidoptera: Limacodidae) di laboratorium. Jurnal Agroekoteknologi. 2(577): 577-585.

Noor, J., A. Fatah, dan Marhannudin. 2012. Pengaruh Macam dan Dosis Pupuk NPK Majemuk Terhadap Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.). Media Sains. Vol. 4, No.(1): 48-53.

Sambiran,W.J., Lala F., Susanto, A.N., Soetopo, D., dan Hosang M.L.A. 2016. Ledakan populasi hama kelapa (Thosea monoloncha Meyrick) di pulau Tolonuo, Maluku Utara. Buletin Palma. 17(2): 127-137.

Sun, C., Cao, H., Shao, H., Lei, X., and Xiao, Y. 2011. Growth and physiological responses to water and nutrient stress in oil palm. African Journal Biotechnology. 10.(51): 10465-10471.

Teknologi Pengendalian Hayati dengan Nucleo Polyhedrosis Virus (NPV) Terhadap Hama Kelapa Thosea monoloncha Meyrick (Fredy Lala, et al)

99

Suratini dan Manurung, G.O. 2016. Respon petani terhadap komponen teknologi pengelolaan tanaman terpadu (PTT) padi sawah di kecamatan Ratahan kabupaten Minahasa Tenggara. Prosiding Seminar Nasional: Agroindustri Spesifik Lokasi untuk Memantapkan Ketahanan Pangan Pada Era Masyarakat Ekonomi ASEAN. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Bandar Lampung, 19-20 Oktober 2016. p. 608-619.

Tarigan, B., Syahrial, dan Tarigan, M.U. 2013. Uji efektifitas Beauveria bassiana dan Bacillus thuriengiensis terhadap ulat api Setothosea asigna Eeck, (Lepidoptera, Limacodidae) di laboratorium. Jurnal Agroekoteknologi. 1(4): 1439-1446.

Uwumarongie, E.G., Sulaiman, B.B., Ederion, O., Imogie, A., Imosi, B.O., Garbua, N., dan Ugbah, M. 2012. Vegetative growth performance of oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) seedlings in response to inorganik and organic fertilizers. Greener Journal Agriculture Science. (2): 26-30.

Wagiman, F.X., Hosang, M.L.A., dan Lala. F. 2012. Dampak serangan hama belalang Sexava terhadap kerusakan bunga betina dan buah kelapa. Prosiding Seminar Nasional: Peran Penelitian Bidang Pertanian dan Perikanan dalam Mewujudkan Kedaulatan Pangan untuk Kesejahteraan Petani dan Masyarakat. Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 15 September 2012. p. 347-356.

101

Analisis Struktur Kendala dalam Pengelolaan Sagu Berkelanjutan di

Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau

Structure Analysis of the Contstraint Sago Sustainable Management in Kepulauan Meranti Regency Riau Province

MAMUN MUROD1, CECEP KUSMANA2, MOCHAMAD HASJIM BINTORO3, WIDIATMAKA4 dan

ENDANG HILMI5

1Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana-IPB 2Departemen Silvikultur, FAHUTAN-IPB

3Departemen Agronomi dan Hortikultura, FAFERTA-IPB 4 Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, FAPERTA-IPB

5Program Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Kelautan-UNSOED Email : [email protected]

Diterima 02 Oktober 2018 / Direvisi 08 Oktober 2018 / Disetujui 26 November 2018

ABSTRAK

Tanaman sagu (Metroxylon sp.) memiliki peran penting dalam kehidupan dan perekonomian masyarakat di Kabupaten Kepulauan Meranti. Pengembangan usaha sagu di Kabupaten ini pada masa yang akan datang memiliki prospek yang menjanjikan, karena pengembangan industrialisasi sagu belum optimal pelaksanaannya. Tanaman sagu saat ini luasnya 53.456 ha atau 43% dari lahan yang tersedia. Pengolahan sagu masih berjalan secara konvensional, yaitu hanya menghasilkan produk berupa pati sagu. Produksi pati sagu pada tahun 2017 sebesar 205,051 ton. Pengembangan produk hilirnya masih terbatas yaitu hanya mie, sohun dan kerupuk. Produk sampingnya berupa limbah dari ampas (repu) dan kulit (uyung) belum dimanfaatkan secara optimal. Desain struktur kendala diperlukan dalam rangka mengembangkan sagu agar berkelanjutan. Pemodelan struktur kendala dilakukan dengan menggunakan Interpretative Structural Modelling (ISM). ISM adalah teknik pemodelan strategis yang dapat memotret kondisi sistem secara komprehensif. Penelitian ini bertujuan untuk menyusun strategi yang tepat berdasarkan analisis struktur kendala yang berpengaruh dalam pengelolaan sagu berkelanjutan di Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau. Hasil analisis ISM menunjukkan bahwa dalam pengelolaan sagu berkelanjutan terdapat 6 sub elemen kendala kunci, di antaranya: (1) Pemanfaatan dan pengolahan limbah; (2) Sistem ijon ; (3) Ketersediaan, distribusi dan segmentasi pasar; (4) Tata kelola air, (5) Pengolahan produk turunan dan desain kemasan; dan (6) Stabilitas harga. Dukungan dari semua stakeholders terkait baik dari pemerintah, akademisi, pengusaha, petani, lembaga keuangan dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), diperlukan agar pengelolaan sagu berjalan secara baik dan berkelanjutan.

Kata kunci : Interpretative Structural Modelling (ISM), pengolahan sagu, sagu (Metroxylon Sagu), struktur kendala, VAXO

ABSTRACT

Sago (Metroxylon sp.) has an important role and society economy in Meranti Island Regency. The development of sago business in the regency in the future has a promising aspect, because the development of the sago industrialization area has not been optimal. Currently the sago platns have wide area around 53.456 ha or 43% from the exist area. Cultivation sago is still conventional, it is only produce starch sago. In 2017 the starch sago has 205,051 ton. The development of downstream still limited that are noodle, vermicelli, and crackers. The by-product are waste from pulp (repu) and peel (uyung) is not be used optimaly yet. In order to develop sago to be sustainable, that required structure constraint design. Those model has done with method Interpretative Structural Modelling (ISM). Method ISM is the strategic model technic that can be seen system condition comprehensively. This research is purpose to set the appropriate strategy based on structure constraint design that has an effect in sustainable sago development in Meranti Island Regency, Riau Province. The result of ISM analysis shows that sustainable sago development has 6 sub element of key constraint, there are : (1) Waste utilization and management; (2) Ijon system; (3) Availability, distribution, and market segmentation; (4) Water management; (5) processing of derivative product and packaging design, and (6) price stability, (7). To reach the sustainable cultivation sago, it is required support from every stakeholders both governments, academics, entrepreneurs, farmers, financial insitutions and non-governmental organization so that, sago cultivation run well and sustainable.

Key Word : Interpretative Structural Modelling (ISM), cultivation sago, sago (Metroxylon Sagu), constraint structure, VAXO

Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 101 - 116

102

PENDAHULUAN

Tanaman sagu (Metroxylon sp.) merupakan

salah satu tanaman penghasil karbohidrat yang

sangat potensial dalam mendukung program

ketahanan pangan Indonesia (Tarigan, 2001). Sagu

juga dapat digunakan sebagai bahan substitusi

bahan baku pembuat kue, mie, sohun, penyedap

makanan, kompos, pakan ternak, perekat, industri

farmasi, kemasan ramah lingkungan, biodegradable

plastic dan sumber bahan baku biomasa serta

bioethanol (Flach, 1997; Utami et al., 2014; Yadaf

dan Garg, 2013; Zawawi et al., 2017; Hoque et al.,

2013; Wang et al., 1996; Rahim et al., 2009; Kumar

dan Manivannan, 2015; Bukhari et al., 2017).

Pengembangan industrialisasi sagu di Kabupaten

Kepulauan Meranti pada masa yang akan datang

memiliki prospek yang sangat menjanjikan. Hal

ini didukung dengan masih terdapatnya

kecukupan areal yang tersedia dan belum digarap

sekitar 70.091 ha. Sedangkan luasan tanaman sagu

eksisting seluas 53.456 ha atau 43%nya dari lahan

yang ada (123,547 Ha).

Pengolahan sagu di Kabupaten Kepulauan

Meranti saat ini masih berjalan secara

konvensional dan baru menghasilkan bahan

setengah jadi berupa pati sagu. Produksi pati sagu

yang dihasilkan oleh kilang sagu pada tahun 2011

adalah sebesar 144,927 ton dan selalu mengalami

peningkatan dengan pertumbuhan rata-rata

sebesar 6% pada setiap tahunnya, dan produksi

pati sagu pada tahun 2017 adalah 205,051 ton (BPS,

2018). Pemanfaatan sagu saat ini hanya fokus

terhadap produk utamanya yaitu berupa pati

sagu. Pengembangan produk hilirnya masih

relatif terbatas berupa mie, kerupuk, sagu rendang

dan sohun. Produk sampingnya berupa limbah

dari ampas sagu (repu) dan kulit sagu (uyung)

belum dimanfaatkan secara optimal. Para pemilik

kilang sagu pada umumnya membuang limbah

berupa repu ke laut. Kulit sagu sebagian kecil

dimanfaatkan untuk bahan bakar dan sebagian

lagi digunakan sebagai pondasi mesin atau

penahan beban dan sangat disayangkan sebagian

besar kulit sagu hanya dibakar untuk menghindari

penumpukkan. Repu sangat potensial digunakan

sebagai bahan baku pakan ternak (Tiro et al., 2018)

dan media pengembangan jamur, sedangkan kulit

sagu dapat digunakan sebagai bahan baku untuk

pembuatan bahan bakar pellet. PT. Sararasa

merupakan satu perusahaan yang telah

memanfaatkan kulit sagu sebagai bahan baku

pembuatan pellet biomas. Produksi pellet yang

telah dihasilkan mencapai 3000 ton per bulannya

(tahun 2014), namun juga tidak berkembang

dengan baik dan tidak operasional lagi pada April

2015.

Sagu memiliki manfaat multifungsi.

Sehingga dapat mendukung terhadap

perekonomian masyarakat, sagu juga dapat

mendorong penyerapan tenaga kerja, selain itu

tanaman sagu dapat bermanfaat terhadap

lingkungan (Asthutiirundu dan Lay, 2013; Singhal

et al., 2007). Tanaman sagu dapat menjaga

keseimbangan lingkungan (Trisia et al., 2016;

Bantacut, 2014). Peranan dalam menjaga ke-

seimbangan lingkungan, tanaman sagu dapat

menampung air dari lingkungan sekitarnya,

melindungi sungai akibat pencucian materi serta

membantu infiltrasi (penyerapan) aliran air dan air

hujan masuk kedalam tanah, mengurangi volume

air di permukaan dan mencegah banjir

(Louhenapessy et al., 2010; Situmorang dan

Harianja 2018).

Sagu sebagai salah satu komoditas tanaman

perkebunan, merupakan pangan lokal bagi

masyarakat dan memiliki peluang pengembangan

yang sangat strategis. Potensi sagu yang ada di

Kabupaten Kepulauan Meranti dapat

dimanfaatkan dan dikembangkan secara

berkelanjutan. Pengelolaan sagu berkelanjutan

menjadi hal penting dalam meningkatkan

produktivitas pemaanfatan sagu dan sebagai

upaya meningkatkan potensi tanaman sagu.

Namun demikian, dalam perkembangannya

pengelolaan sagu masih dihadapkan pada

permasalahan-permasalahan yang kompleks dan

mendasar. Kondisi tersebut menjadi penghambat

dalam mencapai pengelolaan sagu berkelanjutan.

Analisis Struktur Kendala Dalam Pengelolaan Sagu Berkelanjutan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau (Mamun Murod, et al.)

103

Pengembangan pengelolaan sagu agar

berkelanjutan memerlukan dukungan dari semua

stakeholeders terkait baik dari pemerintah,

akademisi, pengusaha, petani, lembaga keuangan

dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) berupa

kebijakan seperti pendampingan secara langsung.

Tujuannya adalah untuk melatih petani supaya

mampu menghasilkan produk-produk olahan

sagu yang lebih kreatif, inovatif dan variatif. Selain

itu, pendampingan dilakukan dalam hal budidaya

sagu dengan menanam anakan sagu unggul

dengan kaidah mengatur jarak tanam yang ideal

agar tingkat produktivitasnya yang tinggi. Hal ini

sejalan dengan (Alfons dan Rivaie, 2011) bahwa

upaya rehabilitasi perlu dilakukan untuk

meningkatkan potensi lahan sagu yang sudah ada,

melalui penanaman kembali dengan jenis-jenis

potensial pada jarak tanam teratur. Upaya tersebut

perlu ditingkatkan dengan menjalin kerjasama

berbagai pihak yang meliputi masyarakat,

pemerintah pusat dan daerah, sehingga potensi

lahan sagu di Kabupaten Kepulauan Meranti

dapat dilestarikan serta dikembangkan dengan

efektif, terpadu dan berkelanjutan.

Outcome atau dampak yang diharapkan

dari penelitian ini adalah mendapatkan formulasi

kebijakan pengelolaan sagu yang dapat digunakan

sebagai pendorong pengembangan sagu dan

peningkatan kesejahteraan rakyat di Kabupaten

Kepulauan Meranti.

BAHAN DAN METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kabupaten

Kepulauan Meranti Provinsi Riau. Kabupaten

Kepulauan Meranti secara geografis wilayah

terletak pada posisi 0° 42' 30" - 1° 28' 0" LU, dan

102° 12' 0" - 103° 10' 0" BT, dan terletak pada

bagian pesisir timur Pulau Sumatera. Penetapan

lokasi penelitian didasarkan atas pertimbangan

bahwa Kabupaten Kepulauan Meranti mempunyai

potensi tanaman sagu yang merupakan salah satu

sektor utama mata pencaharian masyarakat

setempat secara turun-temurun. Penelitian ini

dilaksanakan pada bulan April 2017 sampai

Oktober 2017.

Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilaksanakan dengan

focus group discussion (FGD), wawancara

mendalam (in-depth interview), observasi dan studi

literatur. Parapihak terkait adalah pemerintah,

pelaku usaha, petani sagu, lembaga keuangan,

akedemisi dan LSM. Teknik pengumpulan sampel

pakar dilakukan secara purposive sampling dengan

jumlah pakar yang menjadi responden 17 orang.

Tahap awal penelitian ini dimulai dengan

pengumpulan data pada beberapa lokasi

pengelolaan sagu di Kabupaten Ke-pulauan

Meranti. Dalam memperoleh informasi yang

dibutuhkan, metode atau cara yang digunakan

dalam penelitian adalah sebagai berikut :

1. Observasi

Peneliti melakukan pengamatan langsung di

lapangan untuk mengumpulkan data-data

mengenai kondisi objek pengelolaan sagu di lokasi

penelitian. Observasi dilakukan di keempat pulau

(Pulau Tebing Tinggi, Pulau Merbau, Pulau

Rangsang dan Pulau Padang) dilingkup wilayah

Kabupaten Kepulauan Meranti.

2. Wawancara Mendalam (Depth Interview)

Aspek pemangku kepentingan (stakeholders)

merupakan institusi yang berperan dalam

pengelolaan sagu. Wawancara mendalam

dilakukan terhadap pihak pemerintah 8 orang,

pelaku usaha 1 orang, tokoh masyarakat 1 orang,

akademisi 5 orang, lembaga keuangan 3 orang

dan LSM 2 orang (Tabel 1).

Pemilihan responden disesuaikan dengan

kondisi lingkungan di sekitarnya dan memahami

permasalahan yang diteliti. Metode atau cara

menggali informasi dan pegetahuan atau pendapat

pakar pada penelitian ini digunakan metode

survei pakar (expert survey) yang dibagi atas 2

(dua) cara, yaitu :

a. Responden dari kalangan pakar

Responden pakar dipilih secara sengaja

(purposive sampling) dengan kriteria memiliki

Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 101 - 116

104

kepakaran sesuai dengan bidang yang dikaji.

Beberapa pertimbangan dalam menentukan pakar

yang akan dijadikan responden adalah :

Mempunyai pengalaman yang kom-peten

sesuai bidang yang dikaji.

Memiliki reputasi, kedudukan/ jabatan dalam

kompetensinya dengan bidang yang dikaji.

Memiliki kredibilitas tinggi, bersedia, dan

berada pada lokasi yang dikaji.

b. Responden dari masyarakat

Penilaian responden dari masyarakat di lokasi

penelitian menggunakan metode purposive

sampling (Walpole, 1995).

3. Focus Group Discussion (FGD)

Focus Group Discussion (FGD) atau diskusi

kelompok terfokus merupakan suatu metode

pengumpulan data yang lazim digunakan dalam

penelitian kualitatif sosial. Metode ini

mengandalkan perolehan data atau informasi dari

suatu interaksi informan atau responden

berdasarkan hasil diskusi dalam suatu kelompok

yang berfokus untuk melakukan bahasan dalam

menyelesaikan permasalahan tertentu. Stekeholders

yang berperan dalam pengelolaan sagu, meliputi

pemerintah, pelaku usaha, petani sagu, lembaga

keuangan, akademisi, dan lembaga swadaya

masyarakat. Penelitian pengelolaan sagu

melakukan World Cafe Method (WCM) atau Focus

Group Discussion (FGD) yang bertujuan

mendapatkan input, masukan dan pendapat

dalam pengelolaan sagu.

Analisis Data

Analisis data struktur kendala pengelolaan

sagu berkelanjutan menggunakan metode

interpretative structural modelling (ISM), yaitu teknik

pemodelan deskriptif yang merupakan alat

strukturisasi untuk suatu hubungan langsung

(Sexana et al., 1992). Melalui teknik ISM, model

mental yang tidak jelas ditransformasikan menjadi

model sistem yang tampak (visible). Sub elemen

yang dianalisis bersumber dari atribut/variabel

faktor pengungkit (leverage) hasil FGD. Tahapan

analisis ISM (Gambar 1) adalah menginventarisasi

kendala dalam sistem pengelolaan sagu,

memberikan penilaian perbandingan dengan

VAXO, analisis terhadap output ISM berupa

pemetaan permasalahan dan strukturisasi perma-

salahan dengan syarat hasil analisis tersebut telah

konsisten. Skenario kendala dominan dilihat

sebagai alternatif masukan dalam penyusunan

formulasi kebijakan.

Tabel 1. Jumlah pakar dalam Focus Group Discussion (FGD) pengelolaan sagu Table 1. The number of expert on Focus Group Discussion (FGD) to Sago Management

No Responden Pakar

Stakeholders Jumlah

Quantity Keterangan Description

1 Pemerintah Government

8 orang 8 people

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (2 orang), Dinas Perkebunan Provinsi Riau (1 orang), Bappeda (2 orang), Dinas Perdagangan, Perindustrian, Koperasi dan UKM, Dinas Perkebunan dan Holtikultura, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Institution of research and application technology (2 people), Bappeda (2 people), Plantation service of Riau Province (1 people), The office of trade, industry, cooperatives and UKM, The office of Plantation and Horticulture, The office of environment and forestry.

2 Pelaku Usaha businessman

1 orang 1 people

PT. Nasional Sagu Prima National Sago Prima Company

3 Petani Sagu Sago Farmer

1 orang 1 people

Pegiat sagu masyarakat Sago community activists.

4

5

Akademisi Academics Lembaga Keuangan Finantial Institution

5 orang 5 people 3 orang

IPB, Trisakti, Universitas Riau Bogor Agricultural University; Trisakti University;Riau University BRI, BNI, Bank Riau Kepri BRI, BNI, Riau Kepri Bank

6 LSM NGO

2 Orang 2 people

Bahtera Alam, Jaringan Masyaraka Gambut Riau (JMGR) Bahtera Alam, Network of Riau Peat Communities

Analisis Struktur Kendala Dalam Pengelolaan Sagu Berkelanjutan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau (Mamun Murod, et al.)

105

Gambar 1. Tahapan Analisis ISM Figure 1. ISM Procedure Analysis

ISM dibuat dengan tujuan untuk

memahami perilaku sistem dalam melakukan

identifikasi hubungan antar sub elemen sistem

dalam tiap elemen sistem. Tahapan dalam

melakukan ISM dibagi menjadi dua bagian, yaitu

penyusunan hirarki dan klasifikasi sub elemen

(Eriyatno, 2003). Penentuan tingkat hirarki

dilakukan dengan perspektif lima kriteria, yaitu :

A. Penyusunan Hirarki

Kekuatan pengikat (bond strength) di dalam

dan/atau antar kelompok/pengikat.

Frekuensi relatif dari oksilasi, tingkat yang

lebih rendah lebih cepat terguncang

dibandingkan tingkat diatasnya

Konteks, tingkat yang lebih tinggi

beroperasi pada jangka waktu lebih lambat

dalam ruang yang lebih luas.

Liputan, tingkat yang lebih tinggi

mencakup tingkat dibawahnya, dan

Hubungan fungsional, tingkat yang lebih

tinggi mempunyai peubah lambat yang

mempengaruhi peubah cepat di tingkat

bawahnya.

B. Klasifikasi Sub elemen

Tahap kedua dalam melakukan ISM adalah

membagi substansi yang sedang ditelaah ke dalam

elemen-elemen dan sub-sub elemen secara

mendalam sampai dipandang memadai.

Penyusunan sub elemen ini menggunakan

masukan dari kelompok yang terkait. Selanjutnya

ditetapkan hubungan kontekstual antar sub

elemen, yang dinyatakan dalam terminologi sub

ordinat menuju pada perbandingan berpasangan.

Berdasarkan pertimbangan hubungan kontekstual,

disusun Structural Self Interaction Matrix (SSIM),

Penyusunan SSIM menggunakan simbol V, A, X,

dan O.

Pengertian simbol-simbol tersebut adalah :

V : Kendala (1) mempengaruhi kendala (2), tapi

tidak sebaliknya, V : eij = 1 dan eji = 0

A : Kendala (2) mepengaruhi kendala (1), tapi

tidak sebaliknya, A : eij = 0 dan eji = 1

X : Kendala (1) dan kendala (2) saling

berhubungan, X : eij = 1 dan eji = 1

O : Kendala (1) dan kendala (2), tidak saling

mempengaruhi, O : eij = 0 dan eji = 0

Simbol 1 adalah terdapat atau ada hu-bungan

kontekstual, sedangkan simbol 0 tidak terdapat

atau tidak ada hubungan kontekstual antara sub

elemen i dan j, serta sebaliknya (Eriyatno, 2003).

Setelah SSIM terbentuk, kemudian dibuat dalam

Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 101 - 116

106

bentuk tabel Reachability Matrix (RM) dengan

menggantikan simbol V, A, X, dan O menjadi

bilangan 1 dan 0. Perhitungan menurut transivity

rule yaitu melakukan koreksi terhadap SSIM

sampai diperoleh matriks yang tertutup. RM yang

telah memenuhi transivity rule kemudian diolah

untuk menetapkan pilihan jenjang (level partition).

Hasilnya dapat digambarkan dalam bentuk skema

setiap elemen menurut jenjang vertikal dan

horinzontal. Berdasarkan RM, sub elemen dalam

satu elemen dapat disusun menurut nilai Driver-

Power (DP) dan nilai Dependence (D) untuk

menentukan klasifikasi sub elemen. Secara garis

besar klasifikasi sub elemen digolongkan dalam 4

sektor, yaitu :

Sektor 1 : weak drive-weak dependent variabels

(autonomous), sub elemen yang masuk dalam

sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan

sistem, dan mungkin mempunyai hubungan

sedikit, meskipun hubungan tersebut bisa saja

kuat.

Sektor 2 : weak driver-strongly dependent variabels

(dependent), umumnya sub elemen yang masuk

dalam sektor ini adalah sub elemen yang tidak

bebas.

Sektor 3 : strong driver-strongly dependent variabels

(Lingkage), sub elemen yang masuk dalam sektor

ini harus dikaji secara hati-hati, sebab hubungan

antara elemen tidak stabil. Setiap tindakan pada

sub elemen akan memberikan dampak terhadap

sub-elemen lainnya dan pengaruh umpan baliknya

dapat memperbesar dampak.

Sektor 4 : strong driver-weak dependent variabels

(Independent), sub elemen yang masuk dalam

sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan

disebut peubah bebas.

Analisa matrik dari klasifikasi sub elemen

disajikan pada Gambar 2.

Daya Dorong (Driver Power)

Ketergantungan (Dependence)

Gambar 2. Matrik Driver Power-Dependence Figure 2. Driver Power – Dependence matrix

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kendala Pengungkit Pengelolaan Sagu

Kendala yang dihadapi berjumlah 16 (enam

belas) sub elemen. Komposisi kendala secara detail

dapat dilihat pada Tabel 2.

Kendala yang dihadapi tersebut perlu

dinilai kembali oleh pakar agar dapat ditentukan

faktor pengungkit (leverage) yang menjadi prioritas

kebijakan untuk mencapai tujuan. Struktur

kendala diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar

untuk menyusun strategi pengelolaan sagu di

masa yang akan datang, sehingga akan dihasilkan

kebijakan yang tepat untuk mengantisipasi

kendala yang ada.

Tabel 2. Kendala dalam pencapaian tujuan Table 2. The threat in achieving its objectives

No Elemen Kendala Threat element

Keterangan Description

1 Teknik pengeringan sagu Technique of drying sago

Pengeringan pati sagu masih dilakukan secara tradisional oleh masyarakat yakni dengan menjemur pati sagu di bawah sinar matahari Drying sago starch still traditionally, sago starch by drying in the sun

2 Pengolahan produk turunan dan desain kemasan Processing of derivative product and packaging design

Pengolahan produk turunan masih terbatas dan desain kemasan masih sangat sederhana sehingga tampilannya kurang menarik Processing of derivative product is still limited and packaging design is still very simple and it looks less attractive

3 Pemanfaatan dan pengolahan limbah Waste utilization and management

Limbah sagu belum termanfaatkan dan masih di buang ke laut sehingga menjadi sumber pencemaran lingkungan Sago waste has not been utilized and still discharged into the sea so that it becomes a source of pollution.

SEKTOR IV

Independent

Variabels

SEKTOR III

Lingkage

Variabels

SEKTOR I

Autonomous

Variabels

SEKTOR II

Dependent

Variabels

Analisis Struktur Kendala Dalam Pengelolaan Sagu Berkelanjutan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau (Mamun Murod, et al.)

107

No Elemen Kendala Threat element

Keterangan Description

4 Penggunaan teknologi pengolahan air

Application technology for water treatmen

Sumber air untuk ekstraksi pati sagu masih berasal dari air gambut, belum ada teknologi untuk pengolahan air baku untuk kilang sagu. Source of water for sagu starch extraction is still was water peat, there has been no technology for reprocessing raw water to the refinery sago.

5 Persentase penduduk di bawah garis kemiskinan Percentages of the population below poverty line

Persentase kemiskinan di Kabupaten Kepulauan Meranti paling tinggi 28.89 %. Tertinggi di Provinsi Riau Percentage poverty in Meranti Island Regency the highest 28.99 %. Highest in Riau Province

6 Budaya pemanenan sagu Harvesting sago culture

Sistem pemanenan sagu yang masih konvensional Harvesting sago system is still conventional became an obstacle because need a long time.

7 Akses kelompok tani kelembaga keuangan Acces the farmers to financial institution

Masih terbatasnya akses permodalan petani sagu terutama keperbankan Still limited access to sago farmer’s capital especially to banks

8 Regulasi tata guna lahan Land use regulation

Pengaturan zonasi belum dilakukan Zoning arrangement have not been made.

9 Pola kemitraan dan peman-tapan kelembagaan petani Partnership system and institutional stabilization of farmer institutions.

Belum terbentuk pola kemitraan antara perusahaan besar dengan petani sagu sehingga kelembagaan petani masih sangat lemah A partnership system has not been established between large companies and sago farmers.

10 Sistem ijon Ijon system

Sistem ijon masih berlangsung Ijon system is still ongoing

11 Stabilitas harga Price Stability

Harga sering mengalami fluktuasi, pada tahun 2016 harga berada pada Rp. 50.000,- per tual sedangkan harga pada tahun 2018 Rp. 30.000,- per tual Price often fluctuate, in 2016 the price at Rp. 50.000/trunk while in 2018 the price at Rp 30.000/trunk

12 Sumber modal Source of capital

Modal usaha masih sangat terbatas dan ada yang tergantung pada mekanisme ijon Source of capital is very limited and is that depends of ijon mechanism.

13 Ketersediaan, distribusi dan segmentasi pasar Availibility, distribution and market segmentation

Segmentasi pasar masih sempit karena masih terbatas pada satu produk (pati sagu) Market segmentation is still narrow becauseit is still limited to one product (sago starch)

14 Tata kelola air Water management

Belum seluruhnya petani sagu melakukan tata kelola air Sago farmers have not all carried out water management

15 Asosiasi vegetasi Vegetation association

Budidaya tanaman sagu masyarakat masih monokultur The community is still Cultivating sago plants in monocultur

16 Kesesuaian lahan Land suitability

Sebagian besar areal berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan berada pada kategori N (tidak sesuai) Most of the based on the analysis of land is the n ( not appropriate )

Klasifikasi Sub Elemen

Melalui metode ISM ini diperoleh angka

Dependent dan Driver Power dari masing-masing

elemen tersebut, yang akhirnya dipetakan dalam

bentuk matrik Driver Power-Dependent dan

diagram struktur hirarki. Hasil perhitungan

elemen pengelolaan sagu dengan menggunakan

software ISM disajikan pada Tabel 3.

Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 101 - 116

108

NO K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 K12 K13 K14 K15 K16 DP R

K1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 1 1 10 3

K2 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 0 1 1 12 2

K3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 16 1

K4 1 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 1 1 10 3

K5 1 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 1 1 10 3

K6 1 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 1 1 10 3

K7 1 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 1 1 10 3

K8 1 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 1 1 10 3

K9 1 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 1 1 10 3

K10 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 16 1

K11 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 0 1 1 12 2

K12 1 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 1 1 10 3

K13 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 16 1

K14 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 16 1

K15 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 1 4 4

K16 1 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 1 1 10 3

D 15 6 4 15 16 15 15 15 16 4 6 15 4 4 16 16

L 2 3 4 2 1 2 2 2 1 4 3 2 4 4 1 1

Tabel 3. Matriks perhitungan sub elemen pengelolaan Sagu menggunakan software ISMTable 3. Calculation Matrix Management Sagu Elemen with ISM software

Keterangan : K1 (Teknik pengeringan sagu); K2 (Pengolahan produk turunan dan desain kemasan); K3 (Pemanfaatan dan pengolahan limbah); K4 (Penggunaan teknologi pengolahan air); K5 (Persentase penduduk dibawah garis kemiskinan); K6 (Budaya pemanenan sagu); K7 (Akses kelompok tani kelembaga keuangan); K8 (Regulasi tata guna lahan); K9 (Pola kemitraan dan pemantapan kelembagaan petani); K10 (Sistem ijon); K11 (Stabilitas harga); K12 (Sumber modal); K13 (Ketersediaan, distribusi dan segmentasi pasar); K14 (Tata kelola air); K15 (Asosiasi vegetasi); K16 (Kesesuaian lahan); R (Ranking); D (Dependence); dan DP (Driver-power). Information : K1 (Technique of drying sago); K2 (Processing of derivative product and packaging design); K3 (Waste utilization and management); K4 (Application technology for water treatmen); K5 (Percentages of the population below poverty line); K6 (Harvesting sago culture); K7 (Acces the farmers to financial institution); K8 (Land use regulation); K9 (Partnership system and institutional stabilization of farmer institutions); K10 (Ijon system); K11 (Price stability); K12 (Source of capital); K13 (Availibility, distribution and market segmentation); K14 (Water management); K15 (Vegetation association); K16 (Land suitability).

Pembagian ordinasi keseluruhan faktor-faktor

yang terbagi pada kuadran independent, lingkage,

dan dependent disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Matriks driver power-dependence (DP-D) untuk elemen kendala

Figure 3. Matrix driver power-dependence (DP-D)

for threat element

Matriks driver power-dependence (DP-D)

untuk elemen kendala pada Gambar 3,

menunjukkan bahwa K3 (pemanfaatan dan

pengolahan limbah); K10 (sistem ijon); K13

(ketersediaan, distribusi dan segmentasi pasar);

K14 (tata kelola air); K2 (pengolahan produk

turunan dan design kemasan) serta K11 (stabilitas

harga) berada pada level tertinggi. Ke enam sub

elemen ini merupakan faktor kendala yang berada

pada sektor independent yang memiliki pengaruh

besar terhadap faktor lain. Hal ini berarti bahwa

berjalannya sistem pengelolaan sagu di Ka-

bupaten Kepulauan Meranti sangat diperlukan

adanya sub elemen tersebut dan mendorong

semua kendala yang ada dalam pengelolaan sagu

untuk mendukung berjalannya sistem.

Sektor berikutnya yakni sektor lingkage

terdiri dari: K1 (teknik pengeringan pati sagu); K4

(penggunaan teknologi pengolahan air); K6

(budaya pemanenan sagu); K7 (akses kelompok

tani kelembaga ke-uangan); K8 (regulasi tata guna

lahan); K12 (sumber modal); K5 (persentase

Analisis Struktur Kendala Dalam Pengelolaan Sagu Berkelanjutan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau (Mamun Murod, et al.)

109

penduduk dibawah garis kemiskinan); K9 (pola

kemitraan dan pemantapan kelembagaan petani);

dan K16 (kesesuaian lahan). Sub elemen pada

sektor ini berpengaruh dalam mendorong

berjalannya sistem pengelolaan sagu.

Sektor dependent hanya terdapat satu sub

elemen yakni K15 (asosiasi vegetasi). Sektor ini

sangat dipengaruhi oleh faktor yang berada pada

sektor independent, artinya dengan daya gerak

yang besar dan ketergantungan terhadap sistem

rendah, keterlibatan elemen pada sektor

independent akan mendorong keterlibatan elemen

lain dalam sistem pengelolaan sagu.

Struktur Hirarki

Berdasarkan matriks tersebut dibuat

hirarki untuk membagi dalam tahapan

pengelolaan berjangka. Hirarki tersebut disajikan

pada Gambar 4.

Gambar 4. Strukturisasi elemen dalam pengelolaan sagu

Figure 4. The structure of the element in management of sago

Gambar 4 menunjukkan struktur hirarki

sub elemen kendala yang berpengaruh terhadap

pengelolaan sagu berkelanjutan dari level

terendah (level 1) yang pengaruhnya kurang

sensitif, sampai dengan level tertinggi (level 5)

yang pengaruhnya paling kuat. Wawancara

mendalam kepada para pakar dilaksanakan untuk

menyusun formulasi kebijakan pengelolaan sagu

berkelanjutan terhadap faktor pengungkit yang

berada di sektor independent atau pada struktur

hirarki level 4 dan 5. Hasil wawancara tersebut

dipergunakan untuk menyusun kebijakan,

program dan kegiatan sebagai strategi kebijakan

dalam implementasi pengelolaan sagu

berkelanjutan di Kabupaten Kepulauan Meranti

sebagaimana disajikan pada Tabel 5. Penjelasan

masing masing sub elemen kendala pengungkit

(leverage factor) dalam pengelolaan sagu sebagai

berikut :

Pemanfaatan dan pengolahan limbah

Perkembangan dalam bidang pertanian

dan industri pertanian seringkali menimbulkan

peningkatan limbah pertanian yang sebagian besar

merupakan limbah berligno-selulosa. Secara kimia

limbah berligno-selulosa kaya akan selulosa yang

dapat diolah menjadi produk-produk yang

bernilai ekonomi. Ditinjau dari jenis limbah,

limbah sagu mengandung lignoselulosa yang kaya

akan selulosa dan pati, sehingga dapat

dimanfaatkan secara optimal sebagai sumber

karbon. Peningkatan jumlah produksi sagu

berbanding lurus dengan peningkatan jumlah

limbah yang dihasilkan. Pengolahan limbah yang

belum maksimal dan masih menggunakan sistem

konvensional menyebabkan pencemaran di sekitar

sungai. Oleh karena itu, perlunya pemahaman

pemanfaatan dan pengolahan limbah yang

terpadu, agar hasil limbah yang dihasilkan dari

sagu dapat bernilai ekonomi dan meminimalisir

Level 1

Level 2

Level 3

Level 4

Level 5

Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 101 - 116

110

pencemaran lingkungan. Pengelolaan limbah cair

berupa air hasil ekstraksi sagu mampu

diminimalisir pencemarannya dengan meng-

gunakan teknik aerasi, ion logam dan mikro-

organisme (Rashid et al., 2010; Quek et al., 1998;

Ayyasamy et al., 2008; Kandasamy et al., 2014;

Gunasekar et al., 2014) dan bahkan mampu

menghasilkan biogas (Sangeetha dan Sivakumar,

2016). Pemanfaatan limbah sebagai pakan ternak

dapat menjadi salah satu strategi pengembangan.

Menurut Sisriyanni et al., (2017) pemberian lim-

bah sagu yang difermentasi mampu mensubtitusi

pakan hingga 75%, hal tersebut sangat meng-

untungkan peternak sapi karena mampu

mengurangi ketergantungan terhadap pakan

konvensional. Menurut Simanihuruk et al., (2013)

penggunaan 40% ampas sagu mampu diberikan

sebagai pakan alternatif untuk ternak kambing.

Sistem ijon

Menurut Susanti et al., (2018) masyarakat

yang hanya mendapatkan pendapatan dari satu

komoditas yang ditanam secara monokultur akan

melakukan sistem ijon. Menurunnya harga dari

komoditas yang diusahakan berdampak pada

pendapatan. Situasi lebih buruk karena sebagian

besar rumah tangga tidak memiliki akses kredit

bunga rendah seperti kredit dari bank pemerintah

atau kerja sama. Hal tersebut membuka jalan bagi

tengkulak atau disebut dengan ‘toke’ menyediakan

layanan keuangan dengan bunga yang lebih tinggi

antara 15% - 60%. Widodo et al., (2016)

menyatakan bahwa sagu di desa Sungai Tohor

merupakan sagu yang dibudidayakan oleh

masyarakat. Pada masa awal budidaya sagu,

sistem dalam budidaya sagu masih menggunakan

sistem ijon. Sistem ijon merupakan suatu sistem

yang masyarakatnya menanam pohon sagu dan

para pedagang dari keturunan cina membeli

pohon-pohon sagu mereka yang masih muda.

Sistem tersebut cukup merugikan para petani sagu

di Desa Sungai Tohor. Akhirnya, sistem ijon di-

hentikan dengan dibangunnya kilang-kilang sagu

di Desa Sungai Tohor.

Para petani sagu kini tidak perlu menjual

pohon sagunya, tetapi cukup dengan menjual tual-

tual sagu yang dipanen dari pohonnya. Para

petani akan menjual tual-tual tersebut ke para pe-

milik kilang dan para pemilik kilang akan

membeli tual-tual sagu. Selain itu, konsep

budidaya yang dilakukan petani sagu juga

difokuskan dalam rangka pemilihan lahan,

penanaman sagu, pengairan, dan penangan hama.

Menurut Salampessy et al., (2017) sistem hipotek

pohon merupakan salah satu bentuk kesepakatan

antara petani pala sebagai pelaku utama dan

pengepul sebagai agen. Kesepakatan atau

perjanjian tersebut terdiri atas sejumlah pohon

pala yang digunakan sebagai jaminan untuk

meminjam uang. Perjanjian dapat terlaksana

karena kerugian ekonomi dan kebutuhan rumah

tangga di kalangan petani. Petani membutuhkan

modal dalam keadaan tertentu untuk membiayai

berbagai kewajiban keluarga, seperti biaya sekolah

atau kuliah anak-anak, perbaikan rumah dan acara

seremonial seperti pernikahan. Menurut

Hutabarat (2013) terdapat 2 hipotesis petani

melakukan penjualan menggunakan sistem ijon.

Hipotesis yang pertama yaitu pendapatan petani

hanya diterima setiap musim panen, sedangkan

pengeluaran harus diadakan setiap hari, setiap

minggu bahkan pada waktu-waktu yang

mendesak sebelum panen tiba sehingga petani

terjebak pada sistem ijon. Hipotesis yang ke dua

yaitu biaya produksi sangat berpengaruh terhadap

penjualan ke tengkulak. Petani membutuhkan

uang tunai pada masa produksi, maupun untuk

kebutuhan konsumtif seperti hajatan dan

selamatan.

Ketersediaan, distribusi dan segmentasi pasar

Pengembangan sagu di Indonesia khu-

susnya di Kabupaten Kepulauan Meranti

bertujuan mengoptimalkan sumberdaya dan

pengolahan berkelanjutan. Menurut Nursodik et

al., (2016) pengalaman petani dalam usahatani

sagu menjadi indikator dalam mengelola

usahatani sagu secara mandiri. Sasaran yang

penting dicapai dalam pengembangan sagu ini

Analisis Struktur Kendala Dalam Pengelolaan Sagu Berkelanjutan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau (Mamun Murod, et al.)

111

diantaranya peningkatan produktivitas sagu,

diversifikasi produk, dan peningkatan pendapatan

petani sagu. Segmentasi pasar sangat diperlukan

dalam mengoptimalkan pemanfaatan sagu yang

ada di Indonesia, agar masyarakat umum lebih

mengenal produk olahan sagu. Penguatan pangan

lokal berbasis sagu perlu disinkronkan dengan

program-program pemerintah seperti bantuan

pangan bencana alam dengan memasukkan

pangan lokal khususnya sagu. Menurut Hardono

(2014) strategi yang dapat dilakukan dalam

pengembangan diversifikasi pangan berbasis

pangan lokal yaitu menyelaraskan kebijakan

produksi dan industri pangan dengan kebijakan

konsumsi pangan; promosi pangan lokal yang

sehat, komprehensif, dan terus menerus;

penciptaan pasar pangan lokal di tingkat nasional

dan wilayah; serta diikuti penyediaan produk

pangan lokal yang mampu bersaing dengan

produk asing.

Tata kelola air

Suriadikarta (2012) menyatakan bahwa

teknologi pengelolaan tanah dan air merupakan

kunci utama keberhasilan usahatani pertanian di

lahan rawa gambut. Tata air makro dan mikro

mencakup saluran primer, sekunder dan tersier

sangat mempengaruhi kondisi tanah. Sistem tata

air tertutup di lahan rawa gambut cocok dilakukan

karena sistem tata air dapat dikontrol, sistem

tersebut dilengkapi dengan tanggul dan bangunan

pintu air. Menurut Ritzema et al. (2014) strategi

pada lahan gambut tropis yang dikeringkan dapat

dilakukan dengan strategi penyekatan kanal.

Tujuan penyekatan kanal yaitu 1) untuk

menaikkan muka air di lahan gambut; 2)

mengurangi limpasan melalui saluran dan sebagai

gantinya untuk membangun kembali aliran darat

alami dari puncak kubah gambut menuju sungai

yang berdekatan; 3) mengurangi kecepatan aliran

di kanal sebanyak mungkin untuk menghindari

erosi.

Tanaman sagu layak secara ekologi, ekonomi

dan sosial dalam mengkonservasi dan rehabilitasi

lahan gambut, sehingga mampu menjadi tanaman

unggulan dan menjadi komoditas strategis

khususnya pangan dan energi (Herman, 2016).

Menurut Ibrahim dan Gunawan (2015) areal

sagu saat ini menjadi lahan sasaran untuk

dikonversi menjadi lahan non pertanian. Salah

satu contohnya di Halmahera Barat pedagang sulit

mendapatkan pati sagu karena konversi lahan

sagu menjadi lahan sawah. Sagu di lahan gambut

banyak yang dikonversi menjadi tanaman

perkebunan lain.

Pengolahan produk turunan dan design kemasan

Pengolahan produk dan mendesain kemasan

merupakan rangkaian kegiatan untuk

meningkatkan nilai tambah ekonomi suatu

komoditas. Menurut Yasin et al., (2005)

pengembangan agribisnis sagu di Kabupaten

Kepulauan Meranti mampu mendukung

diversifikasi pangan dan agroindustri sehingga

meningkatkan ekonomi masyarakat. Menurut

Hadi (2014) di sektor pertanian, penciptaan nilai

tambah terjadi di sektor tengah dari sistem

agribisnis yaitu pengolahan hasil pertanian

(agroindustri). Hal ini disebabkan usaha di tingkat

sektor tengah lebih menguasai teknologi pencipta

nilai tambah dan akses pasar dibanding usaha di

tingkat hulu (petani/nelayan). Selain itu,

pengembangan produk dan promosi yang sesuai

dengan kebutuhan target pasar juga merupakan

kunci sukses dari strategi pemasaran. Produk

yang berhasil adalah produk yang dapat diterima

konsumen dengan harga, atribut dan tampilan

yang memenuhi kebutuhan konsumen.

Memasarkan sebuah produk, tidak hanya dari segi

kualitas saja, namun perlu memperhatikan atribut

produk tersebut. Perancangan desain kemasan

yang kreatif dan inovatif diperlukan dalam

meningkatkan strategi pemasaran produk sagu.

Menurut Cenadi (2000) kemasan menjadi tampilan

dari sebuah produk untuk menarik konsumen.

Kemasan menuntut banyak pertimbangan dalam

proses pembuatannya karena mempertimbangkan

faktor estetis dan fungsionalnya serta menarik

perhatian konsumen dan memenangkan

persaingan pasar. Menurut Irrubai (2016)

Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 101 - 116

112

walaupun labeling, packaging dan marketing di

pedesaan masih tradisional tetapi dari waktu ke

waktu mengalami peningkatan yang lebih baik.

Stabilitas harga

Stabilitas harga sagu perlu dijaga untuk

mendukung ketahanan pangan, sehingga harga

pangan terutama sagu tetap berada pada titik yang

terjangkau oleh konsumen. Ditinjau dari sisi

stabilitas harga, sagu merupakan komoditas yang

mempunyai harga relatif stabil, dari tahun 2004 –

2010 dan mengalami peningkatan tahun 2011

(Linda, et al. 2014). Namun demikian, stabilitas

harga sagu perlu dijaga, dengan mendorong

beberapa kebijakan. Kebijakan stabilitas harga

dapat didefinisikan sebagai usaha-usaha untuk

memperbaiki keseimbangan antara penawaran

dan permintaan agregat dalam perekonomian,

dengan tujuan untuk mengurangi inflasi dan

memperkuat posisi neraca pembayaran

internasional. Cara lain yang dapat dilakukan

yaitu mendorong peningkatan diversifikasi

konsumsi produk turunan sagu (Bantacut 2011).

Menurut Bantacut, (2014) pengembangan sagu di

Indonesia akan mampu memecahkan masalah

keamanan dan kedaulatan pangan karena

memiliki beragam produk turunan. Produk

turunan yang beragam akan meningkatkan

konsumsi sagu dan berdampak pada peningkatan

produksi di petani, sehingga kestabilan harga

dapat terjadi.

Arahan Kebijakan Berdasarkan Kendala Prioritas

Berdasarkan hasil kajian di atas, maka

arahan kebijakan yang dapat digunakan untuk

mengatasi kendala dalam pengelolaan sagu

berkelanjutan kedepannya diperlukan tahapan

perencanaan berdasarkan kendala prioritas

terpilih. Strategi kebijakan dalam implementasi

pengelolaan sagu disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Strategi kebijakan dalam implementasi pengelolaan sagu di Kabupaten Kepulauan Meranti.

Table 4. Policy strategy in the implementation of sago managemen in Meranti Islands Regency

No Kendala Kebijakan Program Kegiatan

1 Pemanfaatan dan pengelolaan limbah Waste utilization and management

Pengelolaan limbah sagu Handling of sago waste

Pilot Projek pengelolaan limbah Waste management pilot project

1. Pengolahan limbah padat menjadi pakan ternak dan energi terbarukan. Processing of solid waste into animal feed and renewable energy

2. Pengolahan limbah cair untuk budidaya alga Liquid waste treatment for algae cultivation

2 Sistem ijon Ijon system

Optimalisasi pemanfaatan lahan Optimization of land use

1. Penanaman tum-pangsari pada gawangankebun sagu

Planting with “tumpang sari” in sago garden

2. Diversifikasi usa-ha tani

Diversification farming

3. Pemanfaatan lahan pekarangan petani

Utilization of farmyard

4. Pelatihan pengrajin industri penunjang ekonomi keluarga

Home industry trai-ning for supporting economy of family.

1. Penanaman tanaman pangan pala-wija (jagung, cabe, terong) di gawangan kebun sagu

Food crops planting (corn,chili,eggplant) in sidelines of plants sago.

2. Kombinasi sagu-ternak, sagu-ikan, sagu-tanaman hutan (rotan, gaharu)

Combination of sago-farms, sago-fish, sago-forestry plants (rattan,gaharu).

3. Penanaman tanaman pekarangan (apotek hidup, cabe, bayam, kacang panjang dan lain-lain)

Planting yard crops (herbal plant, chile,spinach, beans etc.)

4. Pelatihan industri makanan/kuliner:

aneka mie, kue kering, gula cair sagu, kerupuk dan lain-lain

Culinary training: noodles, pastry, liquid sugar, cracker,etc

5. Pelatihan keterampilan penunjang

Analisis Struktur Kendala Dalam Pengelolaan Sagu Berkelanjutan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau (Mamun Murod, et al.)

113

No Kendala Kebijakan Program Kegiatan

ekonomi keluarga, kerajinan tangan, souvenir, rajut, membuat jala ikan.

Training other skills family economic supporting handicrafts, souvenir, knitting, make a fish.

3 Ketersediaan, distribusi dan segmentasi pasar Availibility, dis-tribution and market segmentation

Kampanye pangan sehat Healthy food campaign

Pengembangan produk pangan sehat berbasis sagu Development of sago-based healthy food products

1. Sertifikasi pangan sehat Healthy food certification 2. Pembinaan kepada pelaku usaha

dan masyarakat Knowledge development to busi-

nessman and communities

4 Tata kelola air Water mana-gement

Pengembalian lingkungan tumbuh sagu sesuai per-syaratan kon-disinya Repayment growing sago environment in accordance with requirements condition

1. Pembasahan lahan Re-Wetting land

1. Pembuatan trio tata air jika belum tertata/terbuat yaitu : saluran, tanggul, pintu klep.

Triangle water management construction : cannal, barrier, and valve

2. Pembuatan sekat kanal. Cannal partition construction. 3. Pengairan pada lahan sagu yang

jauh dari badan air Watering on land sago that is far from a

body of water

2. Penataan ruang tumbuh sagu

Spatial planning growing sago

1. Pemetaan kelas lahan kesesuaian sagu.

Mapping of land suitability sago. 2. Penanaman sagu sesuai habitatnya Planting sago in their habitat.

5 Pengolahan produk turunan dan desain kemasan

Peningkatan kualitas daya saing Improving the quality of compe-titiveness

1. Diversifikasi produk

Product diversifi-cation

2. Peningkatan mutu kemasan

Improving packaging quality

1. Desain kemasan Packaging design 2. Diversifikasi pengolahan Processing diversification

6 Stabilitas harga Penguatan ke-lembagaan pe-masaran sagu Institutional establishment of sago marketing

1. Penetapan formu-lasi harga dasar

Determanation of basic price formula-tions

2. Penguatan kelembagaan pemasaran sagu

Institutional streng-thening of sago marketing

1. Pembangunan sentra industry terpadu sagu

Development of integrated sago industrial centers

2. Pembangunan home industry Development of home industry 3. Pembangunan pasar penyangga

(Bulog) Construction of a buffer market (Bulog)

Berdasarkan Tabel 4, penelitian yang

dilakukan memiliki nilai penting dan strategis

dalam perumuskan kebijakan pengelolaan sagu

yang berkelanjutan bagi pemerintah dalam hal : a)

mendorong terbitnya kebijakan kuota sagu sebagai

barang substitusi impor; b) mendorong

pemerintah daerah dalam pengembangan dan

pengelolaan sagu dari hulu ke hilir; c) mendorong

pengelolaan limbah sagu; d) mendorong

penguatan kelembagaan pemasaran sagu; e)

mendorong peningkatan infrastruktur yang

mendukung pengembangan sagu; f) menjadikan

isu sagu sebagai pangan pokok pengganti beras.

Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 101 - 116

114

KESIMPULAN

Untuk mewujudkaan strategi pengelolaan

sagu berkelanjutan di Kabupaten Kepulauan

Meranti melalui analisis struktur kendala, maka

dapat disimpulkan bahwa:

1. Berdasarkan hasil Focus Group Discussion (FGD)

diperoleh enam belas sub elemen yang

berpengaruh dalam pengelolaan sagu yaitu : K1

(teknik pengeringan sagu); K2 (pengolahan

produk turunan dan desain kemasan); K3

(pemanfaatan dan pengolahan limbah); K4

(penggunaan teknologi pengolahan air); K5

(persentase penduduk dibawah garis

kemiskinan); K6 (budaya pemanenan sagu); K7

(akses kelompok tani kelembaga keuangan); K8

(regulasi tata guna lahan); K9 (pola kemitraan

dan pemantapan kelembagaan petani); K10

(sistem ijon); K11 (stabilitas harga); K12 (sumber

modal); K13 (ketersediaan, distribusi dan

segmentasi pasar); K14 (tata kelola air); K15

(asosiasi vegetasi); K16 (kesesuaian lahan);

2. Analisis ISM menghasilkan enam sub elemen

kendala pengungkit yang harus diperhatikan

dalam pengelolaan sagu yaitu: pemanfaatan

dan pengolahan limbah; sistem ijon;

ketersediaan, distribusi dan segmentasi pasar;

tata kelola air; pengolahan produk turunan dan

desain kemasan; dan stabilitas harga.

3. Faktor pengungkit (Leverage factor) dominan

dalam pengelolaan sagu berkelanjutan adalah

pemanfaatan dan pengolahan limbah; sistem

ijon; ketersediaan, distribusi dan segmentasi

pasar; dan tata kelola air.

SARAN

1. Perlu kajian lebih lanjut tentang produk

turunan dari sagu terutama dukungan

teknologi, pelatihan dan penguatan

kelembagaan.

2. Perlu kajian lebih lanjut tentang kelangsungan

usaha pengrajin industri makanan rumah

tangga yang memerlukan tepung sagu basah

sebagai bahan baku berkaitan dengan kondisi

sekarang industri kilang sagu dominan

menghasilkan tepung sagu kering yang dijual

ke luar daerah.

3. Perlu kajian lebih lanjut dalam upaya

peningkatan produktivitas, mengurangi lama

masa panen dan menghapuskan ijon.

DAFTAR PUSTAKA

Alfons, J.B., A.A. Rivaie. 2011. Sagu men-dukung

ketahanan pangan dalam menghadapi

dampak perubahan iklim. Perspektif. 10(2):81-

91.

Asthutiirundu, A. Lay. 2013. Analisis kelayakan

finansial pengolahan tepung sagu menjadi

produk kue bagea (studi kasus pada industri

rumah tangga di Minahasa Selatan). Buletin

Palma. 14(1):61-68.

Ayyasamy, P.M., R. Banuregha, G.

Vivekanandhan, S. Rajakumar, R. Yasodha, S.

Lee, P. Lakshmana-perumalsamy. 2008.

Bioremediation of sago industry effluent and

its impact on seed germination (green gram

and maize). World J Microbiol Biotechnol.

24(11):2677-2684.

Bantacut, T. 2011. Sagu: sumberdaya untuk

penganekaragaman pangan pokok. Pangan.

20(1):27-40.

Bantacut, T. 2014. Indonesian staple food

adaptations for sustainability in continuosly

changing climates. Journal of Environment

and Earth Science. 4(21):202-215.

[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Kepulauan

Meranti. 2018. Kabupaten Kepulauan

Meranti Dalam Angka 2018. Selatpanjang

Bukhari, N.A., S.K. Loh, N.A. Bakar, M. Ismail.

2017. Hydrolysis of residual starch from sago

pith residue and its fermentation to bioethanol.

Sains Malaysiana. 46(8):1269-1278.

Cenadi, C.S. 2000. Peranan desain kemasan dalam

dunia pemasaran. Nirmana. 2(1):92-103.

Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem. Meningkatkan Mutu

dan Efektivitas Manajemen. Jilid 1 Edisi

Ketiga. Bogor. IPB Press.

Flach, M. 1997. Sago Palm, Metroxylon Sagu,

Rottb. International Plant Generic

Resources Institute: Pro-moting The

Conservation and The Use of Under

Utilized and Neglected Crops. Rome.

Analisis Struktur Kendala Dalam Pengelolaan Sagu Berkelanjutan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau (Mamun Murod, et al.)

115

Gunasekar, V., K. Madhuri., N. Apoorva., G.

Sailaja., V. Ponnusami. 2014.

Bioremediation of sago industry waste. Bio

Technology An Indian Journal. 9(2):73-78.

Hadi, P.U. 2014. Reformasi Kebijakan Penciptaan

Nilai Tambah Produk Pertanian Indonesia. P.

303-316. Dalam Haryono, Pasandaran E.,

Rachmat M., Mardianto S., Salim S.H.P., dan

Heriadi A (Editor). Reformasi Kebijakan

Menuju Transformasi Pembangunan. Badan

Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Jakarta; IAARD Press.

Hardono, G.S. 2014. Strategi pengembangan

diversifikasi pangan lokal. Analisis Kebijakan

Pertanian. 12(1):1-17.

Herman. 2016. Upaya konservasi dan rehabilitasi

lahan gambut melalui pengembangan industri

perkebunan sagu. Soendjoto MA, Dharmono,

Riefani MK, editor. Potensi, Peluang dan

Tantangan Pengelolaan Lingkungan Lahan

Basah Secara Berkelanjutan. Prosiding Seminar

Nasional Lahan Basah 2016; 2016 Nov 5,

Banjarmasin. Banjarmasin (ID): Lambung

Mangkurat University Press.

Hoque, M.E., T.J. Ye, L.C. Yong., and K.M. Dahlan.

2013. Sago starch-mixed low-density

polyethylen biodegradable polymer: synthesis

and characterization. Journal of Materials. 1-8.

Hutabarat H. 2013. Analisis faktor-faktor yang

mempengaruhi petani dalam penjualan padi

ke tengkulak di Kecamatan Jatilawang

Kabupaten Banyumas. Agritech. 15(2):87-104.

Ibrahim, K., H. Gunawan. 2015. Dampak kebijakan

konversi lahan sagu sebagai upaya

mendukung program pengem-bangan padi

sawah di Kabupaten Halmahera Barat,

Maluku Utara. Prosiding Seminar Nasional

Masyarakat Biodiversitas Indonesia.

Semarang, 9 Mei 2015. 11 hlm.

Irrubai, M.L. 2016. Strategi labeling, packaging,

dan marketing produksi hasil industri rumah

tangga. Social Science Education Journal.

3(1):17-26.

Kandasamy, S., B. Dananjeyan, and K.

Krishnamurthy. 2014. Biodegradation of

cyanide and starch by individual bacterial

strains and mixed bacterial consortium

isolated from cassava sago wastewater.

Research Journal of Chemistry and

Environment. 18(6):13-18.

Konuma, H., R. Rolle., and S. Boromthanarat. 2013.

Correlation of browning of starch extracted

from sago palm (Metroxylon sagu Rottb.) to the

phenolic content and ecosystem conditions of

growth. Journal of Agricultural Technology.

9(1):193-200.

Kumar, M., and S. Manivannan. 2015.

Biomanagement of sago bagasse with biogas

plant slurry using an indigenous earthworms

perionyx ceylanensis Mich. And lampito

mauritii (kinberg) for nutrients recovery.

Pelagia Research Library. 5(12):12-17.

Linda T., M. Turukay., dan N.F. Wenno. 2014.

Analisis Permintaan Beras di Provisi Maluku.

Jurnal Agrilan (Agribisnis Kepulauan). 2(1):78-

87.

Louhenapessy, J.E., M. Luhukay., S. Talakua., H.

Salampessy., dan J. Riry. 2010. Sagu Harapan

dan Tantangan. PT. Bumi Aksara, Jakarta.

Marimin. 2004. Teknik Aplikasi Pengambilan

Keputusan Kreteria Majemuk. Grasindo.

Jakarta.

Nursodik, R., Rosnita., dan E. Sayamar. 2016.

Kemandirian petani dalam berusahatani sagu

di Desa Tanjung Kecamatan Tebing Tinggi

Barat Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi

Riau. SEPA. 13(1):28-39.

Quek, S.Y., D.A.J. Wase., and C.F. Forster. 1998.

The use of sago waste for the sorption of lead

and copper. Water SA. 24(3):251-256.

Rahim, A., Mappiratu., dan A. Noviyanti. 2009.

Sifat fisikokimia dan sensoris sohun instan

dari pati sagu. Jurnal Agroland. 16(2):124-129.

Rashid, W.A., H. Musa., W.S. King., and K. Bujang.

2010. The potential of extended aeration

system for sago effluent treatment. Amerina

Journal of Applied Sciences. 7(5):616-619.

Ritzema, H., S. Limin., K. Kusin., J. Jauhiainen., H.

Wosten. 2014. Canal blocking strategies for

hydrological restoration of degraded tropical

peatlands in Central Kalimantan, Indonesia.

Catena. 114:11-20.

Salampessy M.L., I.G. Febryano., D. Zulfiani. 2017.

Bound by debt: nutmeg trees and changing

relations between farmers and agents in a

Moluccan agroforestry systems. Forest and

Society. 1(2):137-143.

Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 101 - 116

116

Sangeetha, V., V. Sivakumar. 2016. Biogas

production from synthetic sago wastewater by

anaerobic digestion: optimization and

treatment. Chem. Ind. Chem. Eng. Q. 22(1):33-

39.

Sexana., J.P. Sushil, and P. Vrat. 1992. Scenario

Buliding: A Critical Study of Energy

Conservation in The Indian Cement Industry.

Technological Forecasting and Social Change.

41:121-146.

Simanihuruk, K., Antonius., dan J. Sirait. 2013.

Penggunaan ampas sagu sebagai campuran

pakan komplit kambing Boerka fase

pertumbuhan. Inovasi Teknologi Peternakan

dan Veteriner Berbasis Sumberdaya Lokal

yang Adaptif dan Mitigasi Terhadap

Perubahan Iklim. Prosiding Seminar Nasional

Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013; 2013

Sept 3-5, Medan. Medan (ID): IAARD Press.

Singhal, R.S., J.F. Kennedy., S.M. Gopalakrishnan.,

A. Kaczmarek., C.J. Knill., and P.F. Akmar.

2007. Industrial production, processing, and

utilization of sago palm-derived products.

Carbohydrate Polymers. 72:1-20.

Sisriyanni, D., A. Simanjuntak., dan T. Adelina.

2017. Potensi dan penggunaan limbah sagu

fermentasi sebagai pakan sapi di Kabupaten

Kepulauan Meranti. Teknologi Peternakan dan

Veteriner Mendukung Diversifikasi Sumber

Protein Asal Ternak. Prosiding Seminar

Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner

2017; 2017Agust 8-9, Bogor. Bogor (ID):

IAARD Press.

Situmorang, R.O.P., dan A.H. Harianja. 2018.

Tingkat preferensi masyarakat mengelola sagu

di Kabupaten Asahan, serta faktor-faktor yang

memengaruhinya. Jurnal Penelitian Sosial dan

Ekonomi Kehutanan. 15(2):129-147.

Suriadikarta, D.A. 2012. Teknologi pengelolaan

lahan rawa berkelanjutan: studi kasus

kawasan ex PLG Kalimantan Tengah. Jurnal

Sumberdaya Lahan. 6(1):45-54.

Susanti, A., O. Karyanto., A. Affianto., Ismail., S.

Pudyatmoko., T. Aditya., Haerudin., H.A.

Nainggolan. 2018. Understanding the impacts

of recurrent peat fires in Padang Island – Riau

Province, Indonesia. Jurnal Ilmu Kehutanan.

12:117-126.

Tarigan, D.D. 2001. Sagu memantapkan

swasembada pangan. Warta Penelitian dan

Pengembangan Pertanian. 23(5):1-3.

Trisia, M.A., A.P. Metaragakusuma., K. Osozawa.,

and H. Bai. 2016. Promoting sago palm in the

context of national level: chalenges and

strategies to adapt to climate change in

Indonesia. International Journal Sustainable

Future for Human Security. 4(2):54-63.

Tiro, B.M.W., P.A. Beding., and Y. Baliadi. 2018.

The utilization of sago waste as cattle feed. IOP

Conf. Ser.: Earth Environ. Sci. 119:1-9.

Utami, A.S., T.C. Sunarti., N. Isono., M.

Hisamatsu., and H. Ehara. 2014. Preparation of

biodegradable foam from sago residue. Sago

Palm. 22:1-5.

Walpole, R.E. 1995. Pengantar statistika Edisi ke

3. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama.

Wang, W.J., A.D. Powell., and C.G. Oates. 1996.

Sago starch as a biomass source raw sago

starch hydrolysis by commercial enzymes.

Bioresource Technology. 55: 55-61.

Widodo A.C., K. Damayanti., MFRH. Rambey.,

P.D. Novitasari., dan S. Bonata. 2016. Upaya

petani sagu dalam usaha budidaya sagu pasca-

proyek kanalisasi: studi di Desa Sungai Tohor,

Riau. Jurnal Indonesia Student Research &

Summit 2016. 2:32-41.

Yadaf, R., and G. Garg. 2013. A review on Indian

sago starch and its pharmacuetical

applications. International Journal of

Pharmaceutical and Life Sciences. 2(3):99-106.

Yasin, A.Z.F., A. Rifai., E. Maharani., S. Hutabarat.,

N. Haska. 2005. A study on sago agribusiness

in Riau Province, Indonesia. Sago Palm. 13:1-8.

Zawawi, Z.A.M., N.F. Akam., D. Dose., S. Alyssa.,

R.A. Ahmad., and Z. Yussof. 2017.

Biodegradable plastics from sago starch.

Journal of Mechanical Engineering

Department PKS. 1(1):46-54.

117

Analisis Kelayakan Finansial Pengolahan Gula Cair Pati Sagu

Di Kabupaten Konawe Selatan

Financial Analysis Of Processing Sago Liquid Sugar At South Konawe Regency

ZAINAL ABIDIN

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara

Jl. Prof. Muh. Yamin No. 89 Puwatu Kendari Email : [email protected]

Diterima 25 Mei 2018 / Direvisi 17 Juli 2018 / Disetujui 26 November 2018

ABSTRAK

Swasembada gula telah dicanangkan oleh pemerintah untuk dicapai tahun 2019. Penelitian dilakukan di Desa Lamokula Kecamatan Moramo Utara Kab. Konawe Selatan pada bulan Juli – Oktober 2016. Penelitian dilakukan untuk mengetahui aspek ekonomi pembuatan gula cair pati sagu dan penerimaan masyarakat terhadap gula cair pati sagu. Penelitian menggunakan uji coba pembuatan gula cair pati sagu. Uji organoleptik dilakukan oleh 85 orang panelis yang menguji tentang rasa, warna dan bau gula cair pati sagu serta pemanfaatannya pada minuman es teler. Hasil analisis menunjukkan bahwa usaha gula cair pati sagu dengan skala 200 kg per bulan layak secara ekonomi dengan nilai RCR 1,79dengan pendapatan bersih per bulan sekitar Rp. 1.590.000, dan nilai TIP sebesar 112 liter dan TIH sebesar Rp. 10.050. Produksi gula cair sagu tetap layak dilaksanakan meskipun terjadi perubahan harga input berupa bahan baku sagu naik hingga 30%, bahan bakar gas hingga 10%, tenaga kerja dan kemasan hingga 20% meskipun produksi turun hingga 10%, akan tetapi harga naik minimal 10%. Hasil uji organoleptik menunjukkan bahwa gula cair sagu memiliki rasa, warna dan bau yang dapat di terima baik oleh masyarakat. Demikian pula halnya jika gula cair sagu digunakan dalam minuman es teler dengan parameter rasa dan bau, di anggap baik oleh panelis. Ke depan gula cair sagu dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif dalam upaya pencapaian swasembada gula. Kata Kunci : gula cair sagu, uji organoleptik, analisis ekonomi

ABSTRACT

Sugar is a one of commodity that goverment already decided to reach national self sufficient in 2019. One effort that was conducted is using sago starchto produce liguid sugar. Research was done in Lamokula Village, North Moramo Sub Distric, South Konawe Regency at July – October 2016. The research was conducted to know the economic analysis and organoleptic test of producing liquid sugar from sago starch. Research usedtesting of producion sago liquid sugar in home scale. Besides that organoleptic test was conducted using questionare for 85 panelists that threat the taste, color and smell of sago liquid sugar and also application of sago liquid sugar in drinks. The result of research showed that producing sago liquid sugar from sago starch with capacity 200 kg was feasible with value of RCR 1,79 and net income reach Rp. 1.590.000, with BEP from production side 112 liters and BEP from price side Rp. 10.050. Production of sago liqud sugar still feasible even price of wet sago increase until 30%, gas fuel until 10%, labour and packaging until 20% eventhoug production decrease 10% but price of sago liquid sugar increase minimum 10%. The yield of organoleptic test show that sago liquid sugar have taste, color and smell that can be good accepted by community. Even that if sago liquid sugar apply in fruit ice drinks, the taste and smell of fruit ice drinks is good. For the next sago liquid sugar can substitute sugar cane and also other sweetener and support the the effort to reach national self sufficient of sugar. Key Words: sago liquid sugar, organoleptic test, economic analysis

Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 117 - 125

118

PENDAHULUAN

Gula merupakan salah satu komoditas

strategis nasional yang permintaannya terus berkembang seiring dengan pertumbuhan penduduk dansebagianbesar harus dipenuhi dari impor, sehingga membebani devisa negara. Upaya peningkatan produksi gula terus dilakukan pemerintah dengan berbagai program yang secara spesifik berbasis pada pengembangan tebu sebagai komoditas penghasil gula, tetapi pabrik gula berbasis tebu cenderung memiliki biaya operasional yang tinggi sehingga kurang efisien. Selain itu kebijakan gula nasional cenderung tidak terintegrasi antar berbagai elemen yang berkepentingan (Sawit, 2010). Pada tahun 2017 kebutuhan gula industri diprediksikan sebesar 3,5 juta ton, sedangkan kebutuhan gula baik dalam bentuk kristal maupun cair mencapai 2,7 juta ton (Widiarto et al., 2017). Pemanfaatan gula khusus pada sektor industri sangat diperlukan dalam proses produksi bahan makanan dan minuman, seperti dalam pembuatan permen, biskuit, es krim, bumbu masak, sirup dan kecap. Gula juga digunakan sebagai substituen karena mengandung karbohidrat atau gula pereduksi, misalnya dalam industri fermentasi memproduksi etanol dan asam sitrat (Bantacut, 2010; Susila dan Sinaga, 2005)

Upaya pencapaian swasembada gula secara nasional perlu pula didukung dengan pemanfataan sumber-sumber gula dari tanaman selain tebu yang memproduksi pati. Secara teoritis, gula dapat dihasilkan pada proses hidrolisis dari pati yang dihasilkan oleh berbagai tanaman (Hartiati dan Yoga, 2015). Sagu merupakan salah satu komoditas penghasil pati terbesar sekitar 25 – 40 ton/ha/tahun memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai alternatif pembuatan gula (Bintoro, 2014; Syakir, 2014; Tirta et al., 2013; Kumoro et al., 2008; Tyanjani dan Yunianta, 2015). Lebih lanjut Linggang et al., (2012) menyatakan ampas sagu yang selama ini masih merupakan biomassa yang terbuang juga memiliki potensi untuk diolah menjadi gula cair. Pengolahannya sagu menjadi gula cair dapat dilakukan melalui proses hidrolisis menggunakanasam ataupun enzim. Penggunaan enzim menjadi alternatif paling menguntungkan karena biayanya relatifmurah dan enzim yang dapat digunakan diantaranya adalah α-amylase dan β-glokosidase (Budiyanto, 2015; Mogea, 1991 dalam Pontoh dan Nicholas 1995; Karim et al., 2008). Pengolahan sagu menjadi gula cair dapat menjadi alternatif dalam mendorong pencapaian swasembada gula nasional. Gula cair sagu memiliki potensi untuk

mensubtitusi pemanfaatan gula dalam industri makanan dan minuman (Abidin dan Asaad, 2017).

Ahmad (2014) bahwa Indonesia merupakan produsen terbesar sagu di dunia dengan produksi mencapai 585,093 ton per tahun dengan luas areal pertanaman mencapai 1.843.287 ha yang tersebar di beberapa pulau terutama P. Papua, Kep. Maluku. P. Sumatera, P. Kalimantan dan P. Sulawesi. Kabupaten Konawe Selatan merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara yang memiliki areal pertanaman sagu yang cukup luas yakni 1.218 ha, memiliki potensi pengembangan industri gula berbasis sagu. Pengolahan tepung sagu di wilayah ini, pada umumnya masih dilakukan secara konvensional dengan produk utama yakni produksi tepung sagu basah. Penebangan dilakukan menggunakan mesin, demikian juga pemotongan batang sagu menjadi bagian yang lebih pendek (ukuran 0,75 – 1 m). Selanjutnya pemarutan dilakukan dengan menggunakan mesin parut yang dirakit yang Ekstraksi tepung masih dilakukan secara manual, yang selanjutnya diendapkan pada wadah yang telah dibentuk menjadi “kolam”. Pengendapan dilakukan sekaligus juga sebagai tempat pengumpulan pati sagu sebelum dipasarkan. Panen pati dilakukan dengan cara memasukkan dalam karung dengan berat berkisar antara 30 – 33 kg/karung. Pemasaran dilakukan baik secara langsung ditempat pengolahan, maupun ke beberapa wilayah di Sulawesi Tenggara, dengan harga sekitar Rp. 100.000 per karung.

Meskipun memiliki prospek yang baik, akan tetapi industri pembuatan gula cair dari sagu masih terbatas, karena kurangnya pengetahuan masyarakat, serta belum diketahuinya kelayakan ekonomi dalam pengolahan sagu menjadi gula cair.Penelitian bertujuan untuk menganalisis secara finansial pengolahan pati sagu menjadi gula cair serta menguji respon masyarakat terhadap gula cair sagu melalui uji organoleptik.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan di Desa Lamokula,

Kecamatan Moramo Utara, Kabupaten Konawe Selatan pada bulan Juli – Oktober 2016. Pengolahan gula cair dilakukan dalam skala rumah tangga, melibatkan satu kelompok usaha pengolahan hasil sagu yang terdiri dari 7 orang anggota.

Prosedur pembuatan gula cair sagu merujuk pada Budiyanto, (2015) sebagai berikut :

Analisa Kelayakan Finansial Pengolahan Gula Cair Pati Sagu di Kabupaten Konawe Selatan (Zainal Abidin)

119

1. Pati sagu dicuci dan diendapkan sekitar 5 – 6 kali hingga rasa asam pada pati sagu hilang.

2. Pati sagu diencerkan dengan menambahkan air dalam perbandingan 1 kg sagu : 4 liter air kemudian ditambahkan enzim amylase sebanyak 1 ml/kg pati sagu.

3. Pemanasan dilakukan dengan nyala api sedang sambil terus diaduk hingga mendidih Kemudian dilakukan pendinginan

dilakukan sekitar 1 – 2 jam.

4. Pemberian enzim glukoamylase dengan konsentrasi 1 ml/kg pati sagu, kemudian dilakukan pemeraman selama 24 jam.

5. Penyaringan dilakukan untuk memisahkan padatan sagu maupun kotoran yang masih tersisa. Penyaringan dilakukan menggunakan kain yang tebal.

6. Penguapan melalui pemanasan dengan nyala api kecil hingga gula cair terbentuk. Biasanya 1 kg pati sagu akan menghasilkan 1 liter gula cair.

7. Pengemasan dilakukan dalam bentuk botol ukuran 500 ml.

Variabel yang diamati adalah input dan

output yang dihasilkan dalam proses pengolahan pati sagu menjadi gula cair, diantaranya jumlah sagu yang digunakan (kg), jumlah tenaga kerja yang digunakan (HOK), jumlah enzim (ml) serta produksi gula cair (liter). Analisis pendapatan menggunakan metode (Abidin dan Harnowo, 2014; Abidin et al., 2016) dengan persamaan sebagai berikut :

Π = Q x pQ - ∑X x Px Keterangan : Π = Keuntungan (Rp/ha) Q = Jumlah produksi yang dihasilkan (Kg GKG/ha (ka.23%)) pQ = Harga produksi (Rp/kg) X = Jumlah input (kg/liter/HOK) pX = harga input (Rp/(kg/liter/HOK)

Selanjutnya dilakukan analisis kelayakan

ekonomi dengan menggunakan formula Astutiirundu dan Lay (2013) sebagai berikut :

BCR = 𝑄 𝑥 𝑃𝑞−𝑋𝑥𝑃𝑥

𝑋 𝑥 𝑃𝑥

RCR = 𝑄 𝑥 𝑃𝑞

𝑋 𝑥 𝑃𝑥

Keterangan : RCR = Revenue Cost Ratio BCR = Benefict Cost Ratio Q = Jumlah produksi yang dihasilkan (Kg GKG/ha (ka.23%)) pQ = Harga produksi (Rp/kg) X = Jumlah input (kg/liter/HOK) pX = Harga input (Rp/(kg/liter/HOK))

Kriteria penilaian untuk kelayakan usaha pengolahan gula cair pati sagu mengacu pada (Rusdin dan Agussalim, 2012; Hendayana, 2016): RCR > 1 berarti usaha pengolahan gula cair pati sagu layak diusahakan RCR < 1 berarti usaha pengolahan gula cair pati sagu tidak layak diusahakan

Analisis titik impas baik titik impas harga, maupun titik impas produksi dilakukan untuk mendapatkan gambaran jumlah produk ataupun harga minimal yang harus dicapai dalam usaha produksi gula cair tersebut, sehingga usaha tersebut tidak mengalami kerugian dan juga tidak mengalami keuntungan. Persamaan Titik Impas Produksi (TIP) dan Titik Impas Harga (TIH) mengacu pada Abidin (2011) dan Hendayana ( 2016) yaitu :

TIP = (∑ X.Px)/Pq TIH = (∑ X.Px)/Q

Keterangan : TIP = Titik impas produksi TIH = Titik impas harga Q = Produksi (kg/ha) Pq = Harga produksi (Rp/kg) X = Faktor produksi (kg,ltr) Px =Harga faktor produksi (Rp/kg/ltr)

Selanjutnya dilakukan analisis sensivitas

yang akan menunjukkan kelayakan usaha akibat adanya fluktuasi harga dan produksi (Hendayana, 2016). Analisis sentifvitas usaha pembuatan gula cair pati sagu dilakukan dalam 3 skenario, seperti pada Tabel 1.

Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 117 - 125

120

Tabel 1. Skenario perubahan harga bahan baku, produksiserta harga produksi dalam usaha pengolahan

gula cairpati sagu Table 1. The Scenario of input price, output and output price changing in processing business of sago liquid sugar

Uraian

Description Skenario 1 Scenario 1

Skenario 2 Scenario 2

Skenario 3 Scenario 3

Sagu Basah (kg) Wet Sago (kg) + 10% + 30% + 30% Bahan Bakar Gas Liquid Petroleum Gas + 5% + 10% + 10% Tenaga Kerja Labor +10% +20% +20% Kemasan Packaging + 10% + 20% + 20% Produksi Production 0% -10 % -10 % Harga Price 0% +10 % -10 %

Selanjutnya dilakukan uji

organoleptikyang akan memberikan indikasi penerimaan konsumen terhadap gula cair pati sagu. Uji organoleptik dilakukan oleh 45 orang responden. Sementara itu uji organoleptik pemanfaatan gula cair pada produk minuman es teler menggunakan 40 orang responden. Pengujian organoleptik meliputi warna, aroma, dan rasa, menggunakan skor 1 sampai 3 (1= tidak baik, 2= baik, 3 = sangat baik) (Lestari dan Susilawati, 2015).

HASIL DAN PEMBAHASAN Proses Pengolahan Gula Cair Pati Sagu

Pengolahan gula cair pati sagu di Desa Lamokula Kecamatan Moramo Utara Kab. Konawe Selatan masihrelatif baru, diperkenalkan oleh Tim BPTP Sulawesi Tenggara. Usaha ini merupakan salah satu cara untuk meningkatkan nilai tambah pati sagu basah sebagai sumber mata pencaharian masyarakat.

Bahan dan alat yang digunakan dalam pengolahan gula cair pati sagu adalah : sagu basah, enzim, air bersih, bahan bakar gas, kompor, panci, kain penyaring serta botol kemasan. Khusus botol kemasan, digunakan ukuran 500 dan 1.000 ml.

Proses pengolahan gula cair dalam sekali

siklus produksi berlangsung sekitar8 jam untuk kapasitas produksi 10 kg sagu. Proses yang membutuhkan waktu paling lama adalah penguapan yang bisa berlangsung sekitar 5 jam. Sementara itu proses likuifikasi berlangsung relative lebih singkat yaitu hanya sekitar 3 jam. Pemeraman dilakukan selama 24 jam untuk mendapatkan kondisi yang optimal.

Proses pembuatan gula cair pati sagu memerlukan waktu dan curahan kerja yang lebih besar, terutama pada proses pemanasan dan penguapan. Oleh karena itu, kedepannya perlu diupayakan adanya energi alternatif yang dapat menurunkan biaya produksi ini.

Analisis Ekonomi Pengolahan Gula Cair Pati Sagu

Analisis ekonomi menjadi sangat penting terutama untuk produk-produk baru yang menggambarkan feasibility dari produk tersebut. Dalam analisis ini digunakan skala produksi 100 liter. Selanjutnya harga bahan dan biaya tenaga kerja menggunakan harga pada wilayah setempat, sementara harga produk gula cair menggunakan harga gula cair produksi perusahaan Rose Brand yaitu sebesar Rp. 18.000 per liter. Hasil analisis ekonomi disajikan pada Tabel 2.

Analisa Kelayakan Finansial Pengolahan Gula Cair Pati Sagu di Kabupaten Konawe Selatan (Zainal Abidin)

121

Tabel 2. Analisa Ekonomi Pembuatan Gula Cair Pati Sagu di DesaLamokulaKabupaten Konawe Selatan,

2016 Table 2. Economic analysis of processing sago liquid sugar in Lamokula Village South Konawe, 2016

Uraian Description

Jumlah Amount

Harga (Rp) Price

Nilai (Rp) Value

Proporsi (%) terhadap The proporsional (%) for

Biaya Cost

Penerimaan Revenue

A. Bahan Material

950.000 47% 26%

1. Sagu Basah (kg) Wet sago (kg) 200 3.000 600.000 30% 17%

2. Bahan Bakar Gas Liquid Petroleum Gas

150.000 7% 4%

3. Enzim ( ml) Enzim (ml) 400 500 200.000 10% 6%

B. Tenaga Kerja Labor 8 70.000 560.000 28% 16%

C. Kemasan Packaging 200 2500 500.000 25% 14%

Total Biaya Total cost

2.010.000 100% 56%

Produksi Gula Cair (liter) Production of liquid sugar (liter)

Pendapatan Revenue 200 18.000 3.600.000

100%

Keuntungan Benefit

1.590.000

Rasio Penerimaan atas Biaya Revenue Cost Ratio (RCR)

1,79

Rasio Keuntungan atas Biaya Benefit Cost Ratio (BCR)

0,79

Titik Impas Harga (Rp) Break Even from price side ((IDR)

10050

Titik Impas Produksi (Liter) Break even from production side (liter)

112

Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa secara

umum usaha produksi gula cair pati sagu layak dilaksanakan dengan nilai RCR > 1, yang menunjukkan bahwa penerimaan yang diperoleh lebih besar dibandingkan dengan biaya-biaya yang dikeluarkan, sehingga masih memberikan keuntungan. Namun demikian Hendayana (2016) bahwa karena adanya faktor resiko dalam usaha, maka kelayakan suatu usaha mestinya memiliki nilai RCR yang berkisar antara 1,2 – 1,4. Berdasarkan kriteria tersebut usaha gula cair sagu masih dapat dikatakan layak. Akan tetapi usaha produksi gula cair pati sagu memiliki nilai BCR < 1. Hal ini menunjukkan bahwa manfaat ekonomi dari usaha tersebut relatif masih rendah, sehingga masih diperlukan langkah-langkah teknis yang memungkinkan nilai BCR > 1 melalui efisiensi bahan baku, tenaga kerja maupun efisiensi dalam pembelian kemasan dalam skala besar sehingga harga kemasan dapat ditekan. Selain itu perlu

mencari sumber daya alternatif dalam pemanasan dan penguapan sehingga dapat menekan biaya gas serta tenaga kerja yang akan menurunkan biaya secara keseluruhan.

Lebih lanjut dapat dilihat bahwa keuntungan bersih yang dapat diperoleh dari usaha tersebut sekitar Rp. 1.590.000untuk kapasitas produksi 200 kg, bahkan keuntungan tersebut dapat saja meningkat karena penggunaan tenaga kerja biasaya adalah tenaga kerja dalam keluarga yang besarnya sekitar Rp. 420.000. Jika siklus produksi bisa berlangsung hingga 4 kali dalam sebulan, maka pendapatan bersih yang dapat dinikmati oleh petani adalah sekitar Rp. 2.520.000. Pendapatan tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan nilai Upah Minimum Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2016 yang mencapai Rp. 1.850.000 (BPS, 2016).

Titik impas harga maupun titik impas produksi yang diperoleh masih jauh dibawah dari

Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 117 - 125

122

produksi yang berhasil dicapai dalam kegiatan ini. Hal ini sekaligus menegaskan bahwa usaha produksi gula cair sagu layak dikembangkan.

Proporsi biaya untuk sarana produksi nampaknya masih yang tertinggi, disusul tenaga kerja dan kemasan. Hal ini menunjukkan usaha tersebut tergolong padat modal. Proporsi modal terbesar adalah sagu basah yang merupakan salah satu komoditas potensial wilayah, sehingga dengan pengolahan ini diharapkan dapat memberikan peningkatan nilai tambah dari sagu. Dari analisis tersebut juga nampak bahwa proporsi tenaga kerja sekitar 28%. Hal ini menunjukkan bahwa usaha pembuatan gula cair tersebut dapat menjadi salah satu peluang kerja di pedesaan.

Lebih lanjut dapat dilihat bahwa proporsi penerimaan terhadap biaya secara total mencapai 56%. Hal ini menunjukkan bahwa keuntungan usaha produksi gula cair sagu cukup signifikan, karena hanya 56% dari penerimaan tersebut sudah dapat menutupi seluruh biaya-biaya usaha.

Keuntungan usaha sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor internal dan eksternal terutama adaya perubahan-perubahan harga input dan output. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil analisis sensitivitas pada tigaskenario sepertipada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil analisis sensitivitas usaha pengolahan gula cair pati sagu, 2016 Table 3. The result of sensitivitas analysis of processing business sago liquid sugar, 2016

Uraian Description

Skenario 1 Scenario 1

Skenario 2 Scenario 2

Skenario 3 Scenario 3

a. Keuntungan Benefit

1.356.500 1.111.000 456.000

b. Rasio Penerimaan atas Biaya Revenue Cost Ratio (RCR)

1,60 1,46 1,19

c. Rasio Keuntungan atas Biaya Benefit Cost Ratio (BCR)

0,60 0,46 0,19

d. Titik Impas Harga Break Even from Price side

11.218 13.428 13. 667

e. Titik Impas Produksi Break Even from Production side

125 123 152

Hasil analisis sensitivitas menunjukkan

bahwa usaha pembuatan gula cair pati sagu tetap menguntungkan dan layak diusahakan, meskipun terjadi kenaikan bahan baku berupa pati sagu basah hingga 10%, bahan bakar gas 5%, tenaga kerja 10%, kemasan 10% dengan asumsi produksi tetap dan harga produksi juga tetap (skenario 1). Demikian pula halnya jika bahan baku berupa sagu basah, bahan bakar gas, tenaga kerja dan kemasan naik masing-masing 30%, 10%, 20%,20% meskipun produksi turun hingga 10% akan tetapi harga gula cair naik 10% (skenario 2), maka usaha gula cair pati sagu juga tetap menguntungkan dan layak. Dengan demikian usaha pembuatan gula cair sagu cukup stabil meskipun terjadi perubahan-perubahan harga baik input maupu output. Akan tetapi jika produksi turun 10%, harga gula cair turun 10% dan harga bahan baku sagu basah, bahan bakar gas, tenaga kerja dan kemasan naik masing-masing 30%, 20%, 25%,20% (skenario 3) maka usaha gula cair meskipun menguntungkan, akan tetapi keuntungan tersebut relative rendah dan kurang memberikan insentif

yang cukup bagi pelaku usaha produksi gula cair. Meskipun nilai RCR skenario tersebut >1, akan tetapi lebih rendah dari ambang batas RCR yang telah memperhitungkan faktor resiko. Hal tersebut sebagaimana yang dikemukanan Hendayana, (2016) bahwa karena adanya faktor resiko, maka nilai RCR mestinya berkisar antara 1,2 – 1,4. Uji Organoleptik Gula Cair Pati Sagu

Uji organoleptik yang digunakan yaitu uji hedonik (uji kesukaan) terhadap gula cair sagu. Panelis dimintakan tanggapan pribadinya tentang kesukaan atau sebaliknya (ketidaksukaan). Tingkat-tingkat kesukaan disebut sebagai skala hedonik. Skala hedonik dapat direntangkan atau diciutkan menurut rentangan skala yang dikehendakinya. Skala hedonik dapat juga diubah menjadi skala numerik dengan angka mutu menurut tingkat kesukaan. Pada penelitian ini, parameter sampel yang dilakukan uji hedonik meliputi parameter warna, aroma dan rasa. Hal tersebut sebagaimana pada Tabel 4.

Analisa Kelayakan Finansial Pengolahan Gula Cair Pati Sagu di Kabupaten Konawe Selatan (Zainal Abidin)

123

Tabel 4. Hasil uji organoleptik gula cair pati sagu, 2016 Table 4. The result of organoleptic test for sago liquid sugar, 2016

Parameter Parameters

Baik (%) Good (%)

Kurang Baik (%) Less (%)

Tidak baik (%) Bad (%)

Warna

Color

87 13 0

Rasa

Taste

93 7 0

Aroma

Flavour

90 10 0

Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa dari sisi

warna sebagian besar responden menyatakan baik. Hal ini karena gula cair sagu berwarna kemerahan yang menjadi ciri spesifik dari gula cair sagu tersebut. Warna merupakan visualisasi suatu produk yang langsung terlihat lebih dahulu dibandingkan dengan variabel lainnya. Warna secara langsung akan mempengaruhi persepsi panelis. Menurut Winarno (2002), secara visual faktor warna akan tampil lebih dahulu dan sering kali menentukan nilai suatu produk. Berkaitan dengan hal tersebut, maka aspek warna dapat menjadi salah satu faktor diterimanya ataupun ditolaknya suatu produk. Hasil analisis ini menunjukan bahwa warna gula cair sagu dapat diterima baik oleh masyarakat.

Selanjutnya dari penilaian rasa, umumnya panelis memberikan klasifikasi yang baik. Panelis

merasa gula cair sagu memiliki rasa khas yang berbeda dengan gula pada umumnya (gula merah dan gula pasir). Secara umum panelis menyatakan bahwa rasa gula cair dapat diterima, sehingga memiliki prospek yang baik ke depan.

Kemudian dari segi aroma, ternyata masih ada aroma khas pati sagu. Panelis merasa masih terdapat aroma sagu yang “halus”. Hal ini menjadi salah satu faktor yang dapat mengurangi nilai dari gula cair tersebut. Untuk mengurangi aroma khas sagu tersebut, maka diperlukan pemanfaatan arang aktif.

Selanjutnya pada uji coba gula cair pati sagu pada es teler dengan jumlah responden 45 orang dengan dua parameter (rasa dan bau) dengan tiga kategori (enak, cukup, tidak enak) dapat dilihatpada Tabel 5.

Tabel 5. Respon panelis terhadap penggunaan gula cair sagu pada minuman es teler, 2016. Table 5. The panelist respon for application sago liquid sugar in fruit ice drinks, 2016.

Parameter Parameters

Enak (%) Nice (%)

Cukup (%) Enough (%)

Tidak enak (%) Undelicious (%)

A. Rasa Taste 90 10 0

B. Aroma Flavour

95 5 0

Hasil uji organoleptik menunjukkan

bahwa dari sisi rasa, sebagian besar panelis menyatakan bahwa rasa es teler yang di beri gula cair sagu sebagai pengganti gula merah yang selama ini digunakan terasa enak dan tidak berbeda dengan rasa es teler yang yang menggunakan gula merah sebagaimana yang selama ini digunakan dalam pembuatan es teler. Demikian pula halnya dengan parameter bau, dimana panelis menyatakan bahwa es teler yang diberi gula cair pati sagu menunjukkan bau yang

enak yang berarti bahwa bau sagu yang cenderung masih ada pada gula cair secara tersendiri ternyata setelah digunakan dalam minuman es teler ternyata sudah tidak ada lagi atau yang berarti bau gula sagu ternyata “hilang” dalam campuran es teler. Dengan demikian gula cair sagu dapat menggantikan penggunaan gula merah ataupun pemanis lain yang digunakan selama ini.

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terimakasih kami sampaikan

kepada Dr. Ir. Ansharullah, M.Sc (Universitas

Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 117 - 125

124

Haluoleo Kendari), serta Bapak Ir. Rachmat Hendayana, MS (Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian) yang telah banyak memberikan masukan dalam pelaksanaan kegiatan penelitian serta penulisan makalah ini.

KESIMPULAN

Produksi gula cair sagu layak diusahakan

dengan nilai keuntungan bersih mencapai Rp. 1.590.000 untuk skala usaha 200 kg sagu per bulan, dengan nilai RCR mencapai 1,79 dan titik impas harga yakni pada RP.10.050 per liter dan titik impas produksi sebesar 112 liter. Usaha produksi gula cari sagu cukup stabil meskipun terjadi perubahan harga input maupun output. Usaha produksi gula cair tetap menguntungkan meskipun terjadi kenaikan harga bahan baku berupa sagu basah hingga 30%, bahan bakar gas hingga 10%, tenaga kerja hinga 20% dan kemasan hingga 20% meskipun produksi turun hingga 10% akan tetapi harga naik minimal 10%. Akan tetapi jika harga bahan baku sagu basah, bahan bakar gas, tenaga kerja dan kemasan naik masing-masing 30%, 20%, 25%,20% sementara produksi harga harga turun masing-masing 10%, maka usaha produksi gula cair tidak layak diusahakan.

Hasil uji organoleptik terhadap gula cair pati sagu menunjukkan bahwa panelis menilai parameter warna, rasa dan aroma gula cair pati sagu tergolong baik. Demikian juga gula cair pati sagu diaplikasikan kepada minuman es teller, rasa dan aroma disukai panelis. Dengan demikian gula cair sagu secara organoleptik dianggap oleh panelis dapat menggantikan penggunaan gula pasir ataupunpemanis lainnya untuk pembuatan minuman. Ke depan usaha gula cair mesti dikembangkan lebih besar untuk mencapai economic size serta diharapkan dapat menjadi alternatif dalam pencapaian swasembada gula nasional.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z. 2011. Kajian Laba dan Titik Impas Usahatani Padi Hibrida di Sulawesi Tenggara. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Vol. 14(3):160 - 170.

Abidin, Z., dan D. Harnowo. 2014. Analisis Finansial dan Persepsi Petani terhadap Penangkaran Benih Kedelai di Sulawesi Tenggara. Jurnal Pengkajian dan

Pengembangan Teknologi Pertanian Vol. 17 No. (3) . Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Bogor. Hal : 243 - 249.

Abidin, Z., dan Muh. Asaad. 2017. Prospek pengembangan sagu sebagai bahan baku gula cair mendukung swasembada gula nasional. Buku Bioindustri sagu. Editor. Lintje Hutahaean, Rubiyo dan Rahmat hendayana. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Bogor. 105-120.

Ahmad M. 2014. Farmer Empowerment to Increase Productivity of Sago (Metroxylon sago spp) Farming. International journal on advanced science enggineering information technology. 4(3): 5- 9.

Asthutiirundu., dan A. Lay. 2013. Analisis Kelayakan Finansial Pengolahan Tepung Sagu Menjadi Produk Kue Bagea (Studi Kasus pada Industri Rumah Tangga di Minahasa Selatan). Buletin Palma. 14 (1): 61 – 68.

Badan Pusat Statistik. 2016. Upah Minimum Regional/Provinsi (UMR/UMP) dan rata-rata Nasional per tahun (Dalam Rupiah), 1997-2016. BPS Indonesia. Jakarta.

Bantacut, T. 2010. Swasembada Gula: Prospek dan Strategi Pencapaiannya. Pangan. 19(3):245 – 256.

Bintoro, H.M.H. 2014. Prospek Pengembangan Sagu. Makalah disampaikan pada Makalah disampaikan pada Focus Group Discussion (FGD) Sagu sebagai komoditas potensial, pilar kedaulatan pangan dan energi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Badan Litbang Pertanian.Jakarta.

Budiyanto, A. 2015. Bioindustri sagu. Disampaikan pada pelatihan Diversifikasi Olahan Sagu di BPTP Sulawesi Tenggara, Kendari tanggal 23 Oktober 2015.

Dirjen Perkebunan. 2017. Statistik Perkebunan Indonesia 2015 - 2017. Sagu. Dirjen Perkebunan. Jakarta.

Hartiati A., dan IW. Gede Sedana Yoga. 2015.Pemanfaatan Umbi Minor Gadung sebagai Bahan Baku Produksi Gula Cair Menggunakan Proses Likuifikasi dan Sakarifikasi Secara Enzimatis. Prosiding Seminar Agroindustri dan Lokakarya Nasional FKPT-TPI. Universitas Trunoloyo Madura. 147-154

Hendayana, R. 2016. Analisis Data Pengkajian. IAARD Press. Jakarta.

Analisa Kelayakan Finansial Pengolahan Gula Cair Pati Sagu di Kabupaten Konawe Selatan (Zainal Abidin)

125

Karim A.A., A. Pei-Lang Tie, D.M.A. Manan, and I.S.M. Zaidu. 2008. Starch from the Sago (Metroxylon sagu) Palm Tree—Properties, Prospects, and Challenges as a New Industrial Source for Food and Other Uses. Comprehensive Reviews In Food Science And Food Safety. 7:215 – 228.

Kumoro A.C., G.C. Ngoh., M. Hasan., C. H. Ong., and E.C. Teoh. 2008. Conversion of fibrous sago (Metroxylon sago) waste into Fermentable Sugar via Acid and Enzymatic Hydrolisis. Asian Journal of Scientific Research. 1(4): 412 – 420.

Linggang, S., L. Y. Phang., M. H. Wasoh., and S. Abd-Aziz. 2012. Sago Pith Residue as an Alternative Cheap Substrate for Fermentable Sugars Production. Appl Biochem Biotechnol. 167:122–131.

Pontoh, J., dan Nicholas 1995. Glucose syrup production from Indonesian palm and cassava starch. Food Research International. 28(4): 379-385.

Rusdin., dan Agussalim, 2012. Analisis pendapatan usahatani padi varietas unggul baru di Kab. Kolaka Sulawesi Tenggara. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 15(3):241 - 249.

Sawit H. 2010. Kebijakan swasembada gula: apanya yang kurang?. Analisis Kebijakan Pertanian. 8(4): 285-302.

Sri Lestari, S.S., dan P. N. Susilawati. 2015. Uji organoleptik mi basah berbahan dasar tepung talas beneng (Xantoshoma undipes) untuk meningkatkan nilai tambah bahan pangan lokal Banten. Prosiding Seminar Nasional Biodiversifikasi Indonesia. 1(4): 941-946.

Susila, W. R., dan Sinaga B., M. 2005. Jurnal Litbang Pertanian. 24 (1):1 – 9.

Syakir, M. 2014. Peluang Pengembangan dan Status Teknologi Komoditas Sagu di Indonesia. Makalah disampaikan pada Focus Group Discussion (FGD) Sagu sebagai komoditas potensial, pilar kedaulatan pangan dan energi.Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Bogor Badan Litbang Pertanian.

Tirta P. W.W.K., Novita I., dan Riyanti E. 2013. Potensi Tanaman Sagu {Metroxylon sp.) dalam Mendukung Ketahanan Pangan di Indonesia. Jurnal Pangan. 22(1): 61 – 76.

Tyanjani E. F., dan Yunianta. 2015. Pembuatan Dekstrin dari Pati Sagu (Metroxylon sagus Rottb) dengan Enzim β – Amilase Terhadap Sifat Fisiko Kimia. Jurnal Pangan dan Agroindustri. 3(3):1119-1127.

Widiarto, E., Andini dan A. Fidyasari. 2017.

Produksi Glukosa Cair Dan Karakterisasi Tepung Jagung, Tepung Sagu dan Tepung Tapioka. Seminar Nasional dan Gelar Produk. Universitas Muhammadiyah Malang.

Winarno, F.G. 2002. Pangan Gizi, Teknologi, dan Konsumen. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

127

Pengaruh Jarak Tanam Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Jagung (Zea mayz.L) Pada Tingkat Umur

Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq)

The Effect Spacing of Growth and Yield Corn (Zea mayz.L) of The Palm Oil (Elaeis guineensis Jacq) Grade Aged

M.NUR1, ASRUL2, DAN RAFIUDDIN2

1Magister Agroteknologi , Fakultas Pertanian UniversitasHasanuddin, Makassar 2Prodi Magister Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin, Makassar

Email : [email protected]

Diterima 05 Juni 2018 / Direvisi 05 Juni 2018 / Disetujui 12 Desember 2018

ABSTRAK

Penelitian pengaruh jarak tanam terhadap pertumbuhan dan hasil jagung pada tingkat umur kelapa sawit dilakukan untuk mengetahui pengaruh jarak tanam dan tingkat umur kelapa sawit serta interaksi antara jarak tanam dan tingkat umur kelapa sawit terhadap pertumbuhan dan hasil jagung. Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Mamuju Tengah Propinsi Sulawesi Barat, dari bulan Juli sampai Oktober tahun 2016. Percobaan dalam bentuk Rancangan Acak Kelompok 1 faktor, perlakuannya adalah jarak tanam 50 cm x 25 cm, 60 cm x 25 cm dan 70 cm x 25 cm. Perlakuan dilakukan pada kelapa sawit umur 1,5 tahun, 2,5 tahun dan 3,5 tahun dan tanpa kelapa sawit, dan 3 ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Jarak tanam 70 cm x 25 cm terbaik pada semua tingkat umur, dan jagung pada kelapa sawit umur 2,5 tahun secara umum terbaik, terutama pada laju tumbuh relatif (9,93 g tan2.minggu-1) , hasil biji pipilan (5,58 ton ha-1), dan ada interaksi.

Kata kunci : Pertumbuhan vegetatif, indeks luas daun, Intensitas cahaya, hasil biji, indeks panen.

ABSTRACT

The research spacing of corn growth and yield of the palm oil various aged is to know the effect of the spacing, palm oil grade aged, and interaction. The research was conducted in Central Mamuju regency. West Sulawesi from July to October, 2016. Experiments in the form of RAK 1 factor , the treatment is spacing of 50 cm x 25 cm, 60 cm x 25 cm and 70 cm x 25 cm, performed on palm oil aged 1.5 years, 2.5 years, 3.5 years and without palm oil, and repeated 3. The result showed for 70 cm x 25 cm is the best for all grade aged. The best especially in general for, relative growth rate ( 9.93 g. plant-2.week- 1 ), grain yield (5.58ton ha-1) of corm of aged 2.5 yr palm oil and there is interaction. Keywords: Vegetative growth, life area index, sunlight intensity, grain yield, harvest index

Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 127 - 146

128

PENDAHULUAN

Indonesia mempunyai luas areal sawit

mencapai 12,3 juta hektarare (ha). Jumlah tersebut

terdiri Perkebunan Rakyat (PR) 4,76 juta ha,

Perkebunan Negara Besar (PNB) 753 ribu ha dan

Perkebunan Swasta Besar (PBS) 6,8 juta ha, dan

luas lahan kelapa sawit belum menghasilkan

sekitar 2,4 juta ha. Adapun produksi minyak sawit

nasional mencapai 35,36 juta ton dengan

produktivitas 3,82 kg/ha. (BPS, 2017).

Pada tahun 2017 Indonesia mengimpor

jagung pipil untuk kebutuhan ternak sebesar 290

ribu ton jagung pipil untuk kebutuhan pakan

ternak. Akan tetapi merupakan jagung untuk

bahan pemanis sweetener dan gluten pada

industri makanan dan minuman. Artinya sudah

swasembada jagung karena seluruh kebutuhan

jagung pakan ternak sudah diproduksi sendiri

(BPS, 2017). Impor jagung Indonesia pada periode

September 2018 mencapai 72.710.184 kilogram

atau 72.710 ton. Secara tahunan dari Januari

hingga September, impor jagung mencapai 481.471

ton naik jika dibandingkan posisi yang sama pada

tahun lalu sebesar 360.355 ton. Nilai impor jagung

tahun ini sampai September mencapai USD 105

juta, sementara tahun lalu USD 80 juta. Adapun

negara terbesar pemasok jagung ke Indonesia

adalah Argentina sebesar 217.382 ton sejak awal

tahun hingga September. Kemudian disusul

berturut-turut oleh Amerika Serikat (AS), Brasil,

Australia, dan Thailand, (BPS 2018).

Permintaan hasil komoditas jagung terus

meningkat dari tahun ke tahun baik untuk pangan,

maupun untuk pakan ternak. Peningkatan

permintaan jagung untuk pangan sebesar 4,57 %

dan untuk pakan ternak adalah sebesar 7,38 % per

tahun (Bappenas, 2014). Namun demikian

produksi jagung hanya mengalami peningkatan

sebesar 3,08 % pada tahun 2014 dan 3,18 % pada

tahun 2015 dengan produksi jagung sekitar 19,61

juta ton sehingga masih diperlukan inpor sekitar 3

juta ton untuk kebutuhan ternak (BPS, 2016). Hal

ini menunjukkan bahwa produksi jagung nasional

belum mampu memenuhi kebutuhan dalam

negeri, baik untuk pangan maupun untuk pakan

ternak, oleh karena itu peningkatan produksi

jagung sangat perlu dilakukan.

Sistem tanam polikultur kelapa sawit

adalah mengusahakan tanaman perkebunan,

hortikultura, dan tanaman semusim sebagai

tanaman sela diantara kelapa sawit. Jenis tanaman

sela tergantung kondisi kelapa sawit, lahan, iklim,

status teknologi, dan bentuk usaha taninya. Pola

tanam polikultur kelapa sawit lebih

menguntungkan dibandingkan dengan sistem

monokultur apabila dilakukan dengan benar dan

tepat. Keuntungan polikultur kelapa sawit yaitu

produktivitas lahan lebih tinggi, jenis komoditas

yang dihasilkan beragam, memperoleh hasil

tambahan, memperbaiki kesuburan tanah,

mencegah erosi, hemat dalam pemakaian sarana

produksi dan resiko kegagalan dapat dikurangi.

Subah dan Tayeb (1999) melaporkan

bahwa pada pertanaman kelapa sawit umur 0 - 1

tahun, 1 - 2 tahun dan 2 - 3 tahun, luas lahan yang

dapat dimanfaatkan untuk tanaman sela berturut-

turut adalah 50 - 80%, 35 - 50% dan 15 - 35%. Hasil

penelitian Broughton (1976), menjelaskan bahwa

panjang pelepah dan akar kelapa sawit sampai

umur 2 tahun tidak lebih dari 2 m sehingga masih

memungkinkan untuk ditanami tanaman sela.

Pernyataan yang sama oleh Tjahyana et al., (2000)

dalam Ruskandi, (2003), bahwa tumpangsari

tanaman dapat meningkatkan jumlah bunga

betina dan buah kelapa yang satu famili dengan

tanaman kelapa sawit pada setiap tahunnya,

peningkatan jumlah bunga betina sebesar 30 %

dan buah jadi 20 %.

Penerapan teknologi pola tanam

polikultur kelapa sawit akan meningkatkan

produktivitas lahan dan pendapatan petani.

Peningkatan produktivitas lahan dikawasan

perkebunan kelapa sawit muda dalam jangka

panjang akan membantu mewujudkan ketahanan

pangan nasional, khususnya swasembada jagung

di Indonesia.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

pengaruh jarak tanam dan tingkat umur kelapa

sawit dan interaksinya terhadap pertumbuhan dan

hasil jagung.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di Desa Karossa,

Desa Mora Kecamatan Karossa, Kabupaten

Pengaruh Jarak Tanam Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Jagung (Zea Mayz.L) Pada Tingkat Umur Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jacq) (M. Nur, et al.)

129

Mamuju Tengah, Sulawesi Barat pada bulan Juli

sampai Oktober 2016.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini

adalah benih jagung varietas P35, pupuk Urea,

SP36, KCL, herbisida, Insektisida, Rodentisida, dan

tanaman kelapa sawit belum menghasilkan (TBM)

varietas unggul Simalungun dari Medan yang

berumur 1,5 tahun, 2,5 tahun, dan 3,5 tahun.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini

adalah hand sprayer, cangkul, parang, warning

net, bambu, balok, plat seng, cat, pilox, meteran,

tali rapiah, patok, kayu penugal, alat pengebor

tanah, oven, Miniatur Spectrometer, timbangan

analitik, camera, Moisture content, dan Chlorophil

Content meter, papan pengalas, spidol, mistar, dan

alat tulis menulis.

Penelitian dilaksanakan dalam bentuk

percobaan Rancangan Acak Kelompok 1 faktor,

perlakuannya adalah jarak tanam, yaitu jarak

tanam 50 cm x 25 cm, 60 cm x 25 cm, dan

70 cm x 25 cm. Perlakuan dilakukan pada 4 lokasi

yaitu: tanpa kelapa sawit, lokasi kelapa sawit

umur 1,5 tahun, lokasi kelapa sawit umur 2,5

tahun, dan lokasi kelapa sawit umur 3,5 tahun.

Setiap perlakuan diulang sebanyak tiga kali.

Ukuran petak percobaan tanaman jagung adalah 5

x 5 m, ditanam 1 biji per lubang. Pengolahan tanah

adalah sistem tanpa olah tanah (TOT), benih

direndam dengan insektisida Regent 80 WG dosis

1.6 g/ 15 liter air untuk 10 kg benih. Pemupukan

dilakukan dengan dosis Urea 300 kg ha-1, SP 36

100 kg ha-1, dan KCl 100 kg ha-1. Pemupukan

pertama diberikan pada saat tanaman umur 10

HST, dengan dosis Urea 150 kg, ha-1, SP36 50 kg

ha-1, dan KCl 50 kg ha-1, sedangkan pada

pemupukan kedua dilaksanakan pada umur pada

saat tanaman 30 HST menggunakan dosis yang

sama. Penyiangan dilakukan dengan

menggunakan herbisida.

Parameter yang diamati pada

pertumbuhan vegetatif tanaman jagung meliputi:

indeks luas daun, jumlah serapan intensitas

cahaya matahari, bobot kering total tanaman (g),

laju tumbuh relatif, indeks klorofil daun, bobot

1000 biji kering (g), bobot hasil biji kering (ton ha-1)

dan indeks panen.

1. Indeks luas daun ( ILD )

Dihitung berdasarkan perbandingan luas daun

total, terhadap luas area tanah yang ditutupi

tajuk ( canopy ) dengan rumus :

ILD = LD / GA

Dimana :

LD = Luas Daun Total

GA = Luas Penutupan Tajuk

Dilakukan pada saat tanaman jagung berumur

3 MST, 6 MST, 9 MST, dan 12 MST.

2. Bobot kering total tanaman sampel ( g.tan-1 )

Tanaman sampel dibersihkan, kemudian

dikering ovenkan pada suhu 80ºC selama 2 x

24 jam sampai bobotnya tetap (konstanta),

selanjutnya bahan tanaman ditimbang,

dilakukan pada umur 3 MST, 6 MST, 9 MST

dan 12MST.

3. Intensitas cahaya matahari ( x 100 Lux )

Pengukuran intensitas cahaya matahari pada

tanaman jagung dilakukan pada umur

3 MST, 6 MST, 9 MST, dan 12 MST. Pengamatan

dilakukan pada pukul 08.00 pagi, 13.30 siang,

dan 16.00 sore dengan menggunakan Digital

Light meter. Posisi pengukurannya yaitu satu

Digital Light Meter diletakkan dibawah tajuk

tanaman yang terletak pada sepertiga tajuk dari

atas, dan satu Digital Light Meter lagi diletakkan

tepat diatas tajuk tanaman pada selama 2 menit

pada masing-masing sampel tanaman.

4. Relative Growth Rate ( RGR )

Relative growth rate ( RGR ) atau Laju tumbuh

relatif ( LTR ), dengan rumus sebagai berikut:

RGR = ( g .m-2.hari-1 )

Dimana:

W1 : Bobot kering total tanaman pada saat

pengamatan pertama (g)

W2 : Bobot kering total tanaman pada saat

pengamatan kedua (g)

T1 : Waktu pengamatan pertama ( hari )

T2 : Waktu pengamatan kedua ( hari ).

Dilakukan pada saat tanaman jagung berumur

3 MST, 6 MST, 9 MST dan 12 MST.

Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 127 - 146

130

5. Bobot 1000 biji kering (g)

Bobot 1000 biji kering dihitung setelah biji

jagung dipipil, diambil secara acak dan

dikeringkan hingga kadar air 14% dengan

menggunakan alat pengukur kadar air yaitu

Moisture Content, kemudian biji ditimbang

masing-masing per sampel sebanyak 1000 biji,

bobot masing – masing dihitung pada saat

panen.

6. Bobot hasil biji pipilan (ton ha-1)

Bobot hasil biji diperoleh dari hasil pipilan pada

luas petak sampel yang dikonversikan dalam

satuan ton ha-1.

Konversi ton ha-1 = x bobot biji

jagung pada petak

7. Indeks panen

Indeks panen merupakan parameter yang

menunjukkan efisiensi translokasi fotosintat

kebiji. Indeks panen diperoleh dengan rumus

berikut (Gardner et al., 2008)

Indeks Panen (IP) =

Data hasil pengamatan yang diperoleh dari

penelitian dianalisis menggunakan program STAR

(Statistik Tool Agriculture Research).

Data penunjang pada penelitian adalah hasil

analisis kimia tanah dari Departemen Ilmu Tanah

Universitas Hasanuddin Makassar pada Tabel 1,

dan Rata-rata pertumbuhan vegetatif kelapa sawit

berbagai umur pada Tabel 2.

Hasil analisis kimia tanah menunjukkan

bahwa kandungan N Kjeldahl (%), K₂ O HCI 2 % (

mg l00gr ), dan pH tanah relatif sama kecuali

pada kandungan P₂ O₅ HCI 25 % ( mg l00gr ),

tertinggi kandungan P₂ O₅ HCI 25 % ( mg l00gr )

adalah terdapat pada lokasi kelapa sawit umur 3,6

tahun. Hasil analisis kimia tanah berbagai lokasi

kelapa sawit disajikan pada Tabel 1.

Rata-rata pertumbuhan vegetatif kelapa

sawit (TBM) pada berbagai umur menunjukkan

bahwa pertumbuhan vegetatif kelapa sawit

tertinggi terdapat pada kelapa sawit umur 3,6

tahun. Pertumbuhan vegetatif kelapa sawit (TBM)

terdapat pada Tabel 2.

Tabel 1. Hasil analisis kimia tanah sebelum penelitian pada berbagai jarak tanam pada uji multilokasi untuk

pertumbuhan dan hasil tanaman jagung Table 1. Result of pre-research soil chemical analysis in various spacing on multi-location test for growth and corn

yield

Parameter Tanah

Soil parameter

Hasil analisa tanah pada uji multi lokasi Result of soil analysis on multi-location test

Tanpa Kelapa sawit Palm oil no

Kelapa sawit umur 1,6 tahun

Palm oil aged 1.6 yr

Kelapa sawit umur 2,6 tahun

Palm oil aged 2.6 yr

Kelapa sawit umur 3,6 tahun

Palm oil aged 3.6 yr

N Kjeldahl (%)

P₂ O₅ HCI 25 % (mg l00gr )

K₂ O HCI 2 % ( mg l00gr )

pH

0,11

( rendah ) low

22,78

( sedang ) medium

19,17

( sangat rendah ) Very low

4,8

( masam ) Sour

0,13

( rendah ) low

18,72

( rendah ) low

20,44

( sangat rendah ) Very low

4,78

( masam ) sour

0,11

( rendah ) low

20,92

( rendah ) low

20,35

( sangat rendah ) Very low

4,7

( masam ) sour

0,11

( rendah ) low

23,71

( sedang ) medium

19,75

( sangat rendah ) Very low

4,9

( masam ) sour

Pengaruh Jarak Tanam Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Jagung (Zea Mayz.L) Pada Tingkat Umur Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jacq) (M. Nur, et al.)

131

Tabel 2. Rata – rata pertumbuhan vegetatif kelapa sawit tanaman belum menghasil ( TBM ) pada

berbagai tingkat umur

Table 2. Mean of palm oil vegetative growth of immature plant in various grade aged

Umur Aged

Jumlah pelepah

(helai/sheet) Number of

midrib

Panjang pelepah

(cm) Length of

midrib

Panjang petiol (cm)

Length of petiol

Luas Tajuk (cm2)

Width of crown

panjang anak daun

(cm) Length of sub-leave

Jumlah anak daun

kiri (helai/sheet) Sub-number of left leave

Jumlah anak daun kanan

(helai/sheet) Sub-number of

right leave

Kelapa sawit 1,5 tahun Palm oil aged 1.5 yr

20,33 153,42 38,44 37505,88 49,17 42,49 41,08

Kelapa sawit 2,5 tahun Palm oil aged 2.5 yr

38,92 256,61 73,07 165758,00 68,58 94,86 94,41

Kelapa sawit 3,5 tahun Palm oil aged 3.5 yr

51,67 341,90 101,36 300242,70 83,90 104,94 104,86

HASIL DAN PEMBAHASAN

Komponen pertumbuhan vegetatif jagung

Indeks Luas Daun Hasil penelitian menunjukkan bahwa jarak

tanam pada kelapa sawit berbagai umur

berpengaruh nyata terhadap indeks luas daun pada umur 9 MST dan ada interaksi antara jarak tanam dan umur kelapa sawit. Pengaruh jarak tanam pada kelapa sawit berbagai umur disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Indeks luas daun tanaman jagung pada umur 9 MST, berbagai jarak tanam pada kelapa sawit

berbagai tingkat umur.

Tabel 3. Leaf area index of corn plant for aged 9 week-1, in various spacing for palm oil various grade aged

Jarak tanam Spacing

Indeks luas daun pada Leaf area index for

Tanpa kelapa

sawit Without palm oil

Kelapa sawit umur 1,5 tahun

Palm oil aged 1.5 yr

Kelapa sawit umur 2,5 tahun

Palm oil aged 2.5 yr

Kelapa sawit umur 3,5 tahun

Palm oil aged 3.5 yr

50 cm x 25 cm 60 cm x 25 cm 70 cm x 25 cm

2,22 d 2,52 c 2,74 b

2,27 d 2,71 b 3,12 a

2,17 de 2,43 c 2,77 b

2,07 de 2,35 c 2,65 b

BNT0.05 0,13 Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak

berbeda nyata berdasarkan uji BNT pada taraf 5%. Note: Numbers in the column followed by different lettery are significantly difference at HSD 0.05

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada

umur 9 MST, indeks luas daun tertinggi diperoleh

pada jagung yang ditanam diantara kelapa sawit

umur 1,5 tahun dengan jarak tanam 70 cm x 25 cm

yaitu 3,12 dan berbeda nyata dengan perlakuan

lainnya dan ada interaksi antara jarak tanam dan

tingkat umur kelapa sawit. Interaksi antara tingkat

umur kelapa sawit dengan indeks luas daun pada

berbagai jarak tanam terlihat bahwa indeks luas

daun tanaman jagung semakin menurun seiring

dengan bertambahnya umur tanaman jagung.

Secara umum terlihat bahwa tanaman jagung yang

ditanam diantara kelapa sawit umur 1,5 tahun

dengan jarak tanam 70 cm x 25 cm memiliki indeks

Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 127 - 146

132

luas daun yang tertinggi. Interaksi antara tingkat

umur kelapa sawit dengan indeks luas daun pada

berbagai jarak tanam menunjukkan adanya

perbedaan tingkat kenaikan indeks luas.

Gambaran interaksi antara tingkat umur kelapa

sawit dengan indeks luas daun pada berbagi jarak

tanam terlihat pada Gambar 1.

Pada gambar 1 menunjukkan bahwa

jagung yang ditanam pada jarak tanam 70 cm x 25

cm meningkat pada umur 6 MST dan tertinggi

pada umur 9 MST, kemudian menurun pada

umur 12 MST.Hal ini diduga karena pada jarak

tanam yang lebar, luas penutupan tajuk proposinal

dengan luas lahan yang dinaungi oleh tajuk kelapa

sawit, akibatnya air dan unsur hara dalam tanah

tersedia sehingga energi untuk pertumbuhan

vegetatif jagung besar dan menyebabkan

pertumbuhan vegetatif juga tinggi. (Maruapey

2011). Mnx,

Selain dipengaruhi oleh jarak tanam, juga

diduga dipengaruhi oleh tingkat umur kelapa

sawit. Pada kelapa sawit umur 1,5 tahun, luas

penutupan tajuk kelapa sawit proposional dengan

luas pertanaman jagung yang dinaungi sehingga

kelembaban tanah terjaga sehingga air dan unsur

hara tersedia akibatnya energi untuk pertumbuhan

vegetatif jagung besar dan menyebabkan indeks

luas daun jagung besar.

Kisaran indeks luas daun optimal bagi

tanaman budidaya adalah sekitar 3 sampai 5,

indeks luas daun tertinggi yang diperoleh tidak

optimal dan lebih rendah dari hasil penelitian

yang sama oleh Wahyudin dkk ( 2015 ) berbagai

jarak tanam dengan pupuk kandang pada jagung

hybrida P-12, diperoleh hasil indeks luas daun

tertinggi sebesar 6,18 yaitu di atas indeks luas

daun tanaman budidaya pada umumnya. Hal ini

diduga karena pada lokasi pelaksanaan penelitian

adalah lahan tadah hujan pada tanah ultisol, dan

nilai pH 4,7 - 4,9 ( masam ), N total 0,11% – 0,13%

( rendah ), P2O5 18,72 – 23.71 % ( rendah ), dan

K2O HCl 25% (sangat rendah ). Hal ini diperkuat

oleh pernyataan yang dikemukakan oleh

Goldsworthy dan Fischer ( 1992 ) dalam Agrita

(2012) bahwa faktor yang mempengaruhi besarnya

indeks luas daun antara lain adalah jarak tanam

dan ketersediaan unsur hara nitrogen. Jarak tanam

secara langsung dapat mempengaruhi kerapatan

populasi suatu tanaman. Nitrogen adalah salah

satu unsur hara makro esensial bagi tanaman yang

diperlukan dalam pembentukan dan pertumbuhan

vegetatif tanaman dan sebagai bahan dasar

penyusunan protein serta pembentukan klorofil.

Hal tersebut dipertegas oleh Gardner et

al.,(2008) bahwa jagung merupakan tanaman yang

sangat peka terhadap pemupukan. Kekurangan N

pada tanaman akan mengalami pertumbuhan

lambat, kerdil, daun hijau menjadi kekuningan,

daunnya sempit, daun-daun tua menjadi cepat

menguning dan mati. Unsur N merupakan bahan

penyusun asam amino, amida, dan basa nitrogen

seperti purin serta nucleoprotein yang berperan

dalam proses pembesaran dan pembelahan sel.

Unsur N juga berperan sebagai senyawa

pembentuk klorofil oleh karena itu unsur N sangat

penting dalam mendukung pertumbuhan tanaman

termasuk tinggi tanaman.

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

3.5

IND

EK

S L

UA

S D

AU

N

PERLAKUAN

3 MST

6 MST

9 MST

12 MST

Gambar 1. Diagram batang indeks luas daun jagung umur 6 MST, 9 MST, dan 12 MST pada berbagai jarak tanam dan

tingkat umur kelapa sawit.

Figure 1. Diagram bole of leaf area index of corn for aged 6 week-1, 9 week-1, and 12 week-1 for spacing various and grade aged

Pengaruh Jarak Tanam Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Jagung (Zea Mayz.L) Pada Tingkat Umur Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jacq) (M. Nur, et al.)

133

Intensitas Cahaya Matahari ( x 100 Lux )

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jarak

tanam berpengaruh nyata terhadap jumlah

serapan intensitas cahaya matahari yang diterima

tanaman pada umur 3 MST dan ada interaksi

antara jarak tanam jagung dengan tingkat umur

kelapa sawit. Pengaruh jarak tanam pada tingkat

umur kelapa sawit terhadap jumlah serapan

intensitas cahaya matahari, disajikan pada Tabel 4.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara

umum intensitas cahaya matahari yang diterima

tanaman jagung semakin menurun seiring dengan

bertambahnya umur tanaman jagung. Jumlah

intensitas cahaya matahari yang diterima oleh

tanaman jagung, tertinggi yang ditanam pada

lokasi tanpa kelapa sawit pada jarak tanam

70 cm x 25 cm, yaitu sebesar 841,33 lux dan

berbeda nyata dengan perlakuan lainnya dan ada

interaksi dengan tingkat umur kelapa sawit.

Penurunan penerimaan intensitas cahaya matahari

pada berbagai jarak tanam dan tingkat umur

kelapa sawit dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2, menunjukkan bahwa pada

umur 3 MST, tanaman jagung yang ditanam pada

lahan tanpa kelapa sawit dengan jarak tanam

70 cm x 25 cm, jumlah intensitas cahaya matahari

yang diterima adalah sebesar 841,33 lux,

selanjutnya menurun pada umur 6 MST yaitu

sebesar 747,42 lux, dan paling rendah pada umur

12 MST yaitu sebesar 745,92 lux. Hal ini diduga

dipengaruhi oleh jarak tanam, pada jarak tanam

70 cm x 25 cm adalah jarak tanam yang lebar

sehingga tidak terjadi persaingan antara tajuk

tanaman, akibatnya jumlah intensitas cahaya yang

diterima maksimal jika dibandingkan dengan jarak

tanam lainnya sehingga mempunyai jumlah

intensitas cahaya matahari yang tertinggi diserap

oleh tanaman.

Selain dipengaruhi oleh jarak tanam juga

diduga dipengaruhi oleh tingkat umur kelapa

sawit. Pada jagung yang ditanam pada area tanpa

kelapa sawit jumlah intensitas cahaya matahari

yang diserap lebih banyak karna tidak dinaungi

oleh tajuk kelapa sawit, sebaliknya jagung yang

ditanam diantara kelapa sawit berbagai tigkat

umur ternaungi sehingga jumlah instensitas

cahaya matahari yang diserap oleh tanaman tidak

optimal.

Tabel 4. Jumlah intensitas cahaya matahari yang diserap tanaman jagung pada umur 3 MST pada

berbagai jarak tanam dan tingkat umur kelapa sawit. Table 4. Total sunlight intensity thay absorbed by corn plant for aged 3 weeks-1 in various spacing and palm oil

grade aged

Jarak tanam

Spacing

Jumlah intensitas cahaya matahari yang diserap tanaman ( x 100 lux ) pada

Total sunlight intensity that absorbed by plant ( x 100 lux ) for

Tanpa Kelapa sawit

Without palm oil

Kelapa sawit umur 1,5 tahun

Palm oil aged 1.5 yr

Kelapa sawit umur 2,5 tahun

Palm oil aged 2.5 yr

Kelapa sawit umur 3,5 tahun

Palm oil aged 3.5 yr

50 cm x 25 cm

60 cm x 25 cm

70 cm x 25 cm

790,00 de

824,67 b

841,33 a

784,67 de

795,00 cd

806,00 c

686,00 i

711,00 h

734,00 f

628,00 j

679,00 i

726,00 g

BNT0.05 11,06

Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom dan baris menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT pada taraf 5%.

Note: Numbers in the column followed by different lettery are significantly difference at HSD 0.05

Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 127 - 146

134

Gambar 2. Diagram batang intensitas cahaya matahari yang diserap jagung umur 3 MST, 6 MST, 9 MST,

dan 12 MST, pada berbagai jarak tanam dan tingkat umur kelapa sawit . Figure 2. Diagram bole of total sunlight intensity that absorbed by corn ( x 100 lux ) for aged 3 week-1, 6 week-1, 9

week-1, and 12 week-1 for various spacing and grade aged.

Gambar 2, menunjukkan bahwa pada

umur 3 MST, tanaman jagung yang ditanam pada

lahan tanpa kelapa sawit dengan jarak tanam 70

cm x 25 cm, jumlah intensitas cahaya matahari

yang diterima adalah sebesar 841,33 lux,

selanjutnya menurun pada umur 6 MST yaitu

sebesar 747,42 lux, dan paling rendah pada umur

12 MST yaitu sebesar 745,92 lux. Hal ini diduga

dipengaruhi oleh jarak tanam, pada jarak tanam 70

cm x 25 cm adalah jarak tanam yang lebar

sehingga tidak terjadi persaingan antara tajuk

tanaman, akibatnya pertumbuhan luas daun total

lebih maksima. Penyerapan cahaya matahari oleh

tanaman dipengaruhi oleh luas daun tanaman.

Luas daun total tanaman bergantung pada

perubahan jumlah dan ukuran daun (Sektiwi dkk.,

2012). Luas daun bertambah berarti meningkat

pula penyerapan cahaya oleh daun, sehingga

berpengaruh pada proses fotosintesis untuk

menghasilkan asimilat yang digunakan sebagai

sumber energi pertumbuhan dalam membentuk

organ-organ vegetatif fase pertumbuhan,

sedangkan pada fase generaif asimilat yang

disimpan pada jaringan organ-organ vegetatif

akan diremobilisasi dalam pembentukan organ

reproduktif, seperti pengisian biji (Board dan

Kahlon, 2012).

Selain dipengaruhi oleh jarak tanam juga

diduga dipengaruhi oleh tingkat umur kelapa

sawit. Pada jagung yang ditanam pada area tanpa

kelapa sawit jumlah intensitas cahaya matahari

yang diserap lebih banyak karna tidak dinaungi

oleh tajuk kelapa sawit, sebaliknya jagung yang

ditanam diantara kelapa sawit berbagai tigkat

umur ternaungi sehingga jumlah instensitas

cahaya matahari yang diserap oleh tanaman tidak

optimal. Radiasi matahari yang ditangkap klorofil

pada tanaman yang mempunyai hijau daun

merupakan energi dalam proses fotosintesis.

Hal ini sesuai dengan pernyataan Jumin

(2008) bahwa pengaruh unsur cahaya pada

tanaman tertuju pada pertumbuhan vegetatif dan

generatif. Tanggapan tanaman terhadap cahaya

ditentukan oleh sintesis hijau daun, kegiatan

stomata ( respirasi, transpirasi), pembentukan

anthosianin, suhu dari organ-organ

permukaan, absorpsi mineral hara, permeabilitas,

laju pernafasan, dan aliran protoplasma. Secara

teoritis, semakin besar jumlah energi yang tersedia

akan memperbesar jumlah hasil fotosintesis.

Pernyataan yang senada dikemukakan

oleh Tjasjono, (1995) bahwa hasil fotosintesis

adalah bahan utama dalam pertumbuhan dan

produksi tanaman pangan. Selain meningkatkan

laju fotosintesis, peningkatan cahaya matahari

biasanya mempercepat pembungaan dan

pembuahan. Sebaliknya, penurunan intensitas

radiasi matahari akan memperpanjang masa

pertumbuhan tanaman.

Hal tersebut dipertegas oleh AAK, (1983)

bahwa sinar matahari merupakan sumber dari

energi yang menyebabkan tanaman dapat

membentuk gula. Tanpa bantuan dari sinar

matahari, tanaman tidak dapat memasak makanan

yang diserap oleh tanah, yang mengakibatkan

tanaman menjadi lemah atau mati.

Pengaruh Jarak Tanam Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Jagung (Zea Mayz.L) Pada Tingkat Umur Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jacq) (M. Nur, et al.)

135

Bobot Kering Total Tanaman (g)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jarak tanam berpengaruh nyata terhadap bobot kering total tanaman pada umur 12 MST dan ada

interaksi antara jarak tanam dengan tingkat umur kelapa sawit. Pengaruh jarak tanam pada kelapa sawit berbagai tingkat umur terhadap bobot kering total tanaman disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Bobot kering total jagung umur 12 MST pada berbagai jarak tanam dan tingkat umur kelapa sawit Table 5. Total dry weight of corn for aged 12 week-1 in various spacing and palm oil grade aged

Jarak tanam

Spacing

Bobot kering total tanaman (g) pada

Total dry weight of plant (g) for

Tanpa kelapa sawit

Without palm oil

Kelapa sawit

umur 1,5 tahun

Palm oil aged 1.5 yr

Kelapa sawit

umur 2,5 tahun

Palm oil aged 2.5 yr

Kelapa sawit

umur 3,5 tahun

Palm oil aged 3.5 yr

50 cm x 25 cm

60 cm x 25 cm

70 cm x 25 cm

246,80 ef

254,43 ef

270,00 d

238,53 efg

259,63 de

308,63 b

251,93 ef

281,13 c

338,73 a

168,43 h

190,07 g

220,67 g

BNT0.05 19,94

Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT pada taraf 5%.

Note: Numbers in the column followed by different lettery are significantly difference at HSD 0.05

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bobot

kering total tanaman yang dimiliki oleh tanaman

jagung semakin bertambah seiring dengan

bertambahnya umur tanaman. Bobot kering total

tanaman (g) tertinggi diperoleh pada umur

12 MST yaitu pada jagung yang ditanam dengan

jarak tanam 70 cm x 25 cm diantara kelapa sawit

umur 2,5 tahun (338,75 g) dan berbeda nyata

dengan perlakuan lainnya, dan ada interaksi

antara jarak tanam dan tingkat umur kelapa sawit.

Interaksi yang nyata antara jarak tanam

pada kelapa sawit berbagai tingkat umur terhadap

bobot kering total tanaman menunjukkan bahwa

adanya perbedaan tingkat kenaikan bobot kering

total tanaman pada interaksi berbagai jarak tanam

dengan tingkat umur kelapa sawit. Gambaran

interaksi antara jarak tanam dan tingkat umur

kelapa sawit terhadap bobot kering tanaman

terlihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Diagram batang bobot kering total tanaman jagung (g) pada umur 3 MST, 6 MST, 9 MST, dan

12 MST, pada berbagai jarak tanam dan tingkat umur kelapa sawit. Figure 3. Diagram bole total dry weight of corn for aged 3 week-1, 6 week-1, 9 week-1 and 12 week-1 in various

spacing and palm oil grade aged

Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 127 - 146

136

Pada Gambar 3, menunjukkan bahwa

bobot kering total tanaman semakin meningkat

dengan semakin bertambahnya umur tanaman

(3,6,9 dan 12 , MST). Hal ini diduga dipengaruhi

oleh jarak tanam, pada jarak tanam yang lebar,

tidak terjadi persaingan antara tanaman dalam

menyerap intensitas cahaya matahari, air dan

unsur hara, sehingga energi pertumbuhan

tanaman pada bobot kering total tanaman besar.

Selain dipengaruhi oleh jarak tanam, juga

diduga dipengaruhi oleh tingkat umur kelapa

sawit. Jagung yang ditanam diantara kelapa sawit

umur 2,5 tahun, luas tajuk kelapa sawit yang

menutupi pertanaman jagung proposional

sehingga kelembaban tanah terutama pada musim

kemarau optimal, sehingga air dan unsur hara

menjadi tersedia bagi tanaman dan menyebabkan

bobot kering total tanaman besar pada umur

12 MST. Hal ini sependapat dengan

Surbakti et al., (2013) yang menyatakan dalam

kondisi lingkungan yang baik untuk melakukan

fotosintesis dapat menghasilkan ( 60 - 80 )% hasil

asimilatnya ditranslokasikan kebagian tanaman

yang lainnya pada organ pertumbuhan dan

produksi. Pertumbuhan dan produksi akan

meningkat apabila didukung oleh faktor

lingkungan misalnya cahaya dan air (Bunyamin

dan Aqil 2009), tetapi pada saat penelitian ini

kebutuhan air tidak dapat tercukupi karena pada

saat penelitian ini dilaksanakan bertepatan dengan

mulainya musim kering pada saat fase

pertumbuhan tanaman sudah mengalami

kekurangan air jadi pertumbuhan dan produksi

tanaman tidak mendapatkan hasil dengan

maksimal.

Pernyataan tersebut dipertegas oleh

Kresnatinta et al., (2013) bahwa jagung merupakan

tanaman yang sangat peka terhadap pemupukan,

kekurangan atau kelebihan salah satu jenis unsur

makro akan menyebabkan perubahan secara

fisiologis pada tanaman. Absorbsi N oleh tanaman

jagung berlangsung selama pertumbuhannya, oleh

karena itu untuk mendapatkan hasil yang baik

maka unsur hara makro dan mikro dalam tanah

harus cukup tersedia selama fase pertumbuhan

tersebut.

Laju Tumbuh Relatif (g.tan-2.minggu-1)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jarak

tanam pada kelapa sawit berbagai tingkat umur

berpengaruh nyata terhadap laju tumbuh relatif

pada umur 9 – 12 MST dan ada interaksi antara

jarak tanam dengan tingkat umur kelapa sawit.

Pengaruh jarak tanam pada tingkat umur kelapa

sawit disajikan pada Tabel 6.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada

umur 9 – 12 MST, laju tumbuh relatif tertinggi

terdapat pada tanaman jagung yang ditanam

dengan jarak tanam 70 cm x 25 cm diantara

kelapa sawit umur 2,5 tahun (9.93 g.tan-2.minggu-1)

dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya dan

ada interaksi antara jarak tanam dan tingkat umur

kelapa sawit. Secara umum terlihat bahwa laju

tumbuh relatif tertinggi terdapat pada jagung yang

ditanam pada jarak tanam 70 cm x 25 cm.

Interaksi yang nyata antara jarak tanam

dengan tingkat umur kelapa sawit terhadap laju

tumbuh relatif tanaman jagung menunjukkan

bahwa adanya perbedaan tingkat laju tumbuh

relatif. Gambaran interaksi antara jarak tanam

dengan tingkat umur kelapa sawit terhadap laju

tumbuh relatif dapat dilihat pada Gambar 4.

Pengaruh Jarak Tanam Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Jagung (Zea Mayz.L) Pada Tingkat Umur Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jacq) (M. Nur, et al.)

137

Tabel 6. Laju tumbuh relatif tanaman jagung umur 9 - 12 MST pada berbagai jarak tanam pada kelapa sawit berbagai tingkat umur.

Table 6. Relative growth rate of corn plant for aged 9 – 12 week-1 in various spacing and palm oil grade aged

Jarak tanam Spacing

Laju tumbuh relatif ( g.tan-2.minggu- 1 ) pada Relative growth rate ( g.plant-2.wk- 1 ) for

Tanpa kelapa sawit Without palm oil

Kelapa sawit umur 1,5 tahun Palm oil aged 1.5 yr

Kelapa sawit umur 2,5 tahun Palm oil aged 2.5 yr

Kelapa sawit umur 3,6 tahun Palm oil aged 3.5 yr

50 cm x 25 cm

60 cm x 25 cm

70 cm x 25 cm

8,26 bc

7,96 bcde

8,04 bcd

6,54 h

7,75 bcdef

8,55 b

6,88 fghi

7,24 defgh

9,93 a

5,86 b

6,43 fgh

7,61 cdefg

BNT0.05 0,88

Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT pada taraf 5%.

Note: Numbers in the column followed by different lettery are significantly difference at HSD 0.05

Gambar 4. Diagram batang laju tumbuh relatif jagung pada umur 6 – 9 MST, dan 9 – 12 MST, pada berbagai jarak tanam dan tingkat umur kelapa sawit. Figure 4. Diagram bole of relative growth rate of corn for aged 3 – 6 week-1, 6 – 9 week-1 and 9 – 12 week-1 in

various spacing and palm oil grade aged.

Gambar 4, menunjukkan bahwa pada umur

3 - 6 MST, tanaman jagung yang ditanam diantara

kelapa sawit umur 2,5 tahun pada jarak tanam

70 cm x 25 cm, mempunyai laju tumbuh relatif

sebesar 1,73 g.tan-2.minggu-1, dan meningkat pada

umur 6 – 9 MST (3.47 g.tan-2.minggu-1), dan

tertinggi pada umur 9 – 12 MST (9.93 g.tan-

2.minggu-1). Hal ini diduga dipengaruhi oleh jarak

tanam, pada jarak tanam yang lebar tidak terjadi

persaingan antara tanaman dalam menyerap air,

intensitas cahaya matahari dan unsur hara

sehingga energi pertumbuhan vegetatif tanaman

jagung besar, akibatnya laju tumbuh relatif

tanaman besar.

Selain dipengaruhi oleh jarak tanam, juga

diduga dipengaruhi oleh tingkat umur kelapa

sawit. Tanaman jagung yang ditanam diantara

kelapa sawit umur 1,5 tahun, terserang penyakit

bulai pada umur 9 MST sehingga laju

pertumbuhan jagung terhambat, akibatnya tidak

optimal. Pada jagung yang ditanam diantara

kelapa sawit umur 2,5 tahun, luas penutupan tajuk

kelapa sawit cukup proposional dengan luas

pertanaman yang dinaungi tajuk sehingga

kelembaban tanah cukup stabil akibatnya air dan

unsur hara cukup tersedia dan menyebabkan

energi pertumbuhan jagung maksimal. Pada

kelapa sawit umur 3,5 tahun, luas penutupan tajuk

kelapa sawit terhadap luas pertanaman jagung

tidak proposional sehingga jumlah intensitas

cahaya matahari yang diterima jagung tidak

maksimal akibatnya energi pertumbuhan rendah,

Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 127 - 146

138

sebaliknya pada lokasi tadah hujan yang tanpa

kelapa sawit terjadi kekeringan pada puncak

musim kemarau akibatnya kelembaban tanah

rendah sehingga air dan unsur hara juga rendah

dan menyebabkan pertumbuhan tanaman tidak

maksimal.

Hal ini sesuai dengan pernyataan Bunyamin

dan Aqil (2009), pertumbuhan dan produksi akan

meningkat apabila didukung oleh faktor

lingkungan misalnya cahaya dan air, tetapi pada

saat penelitian ini kebutuhan air tidak dapat

tercukupi karena pada saat penelitian ini

dilaksanakan bertepatan dengan mulainya musim

kering yang mana pada saat fase pertumbuhan

tanaman sudah mengalami kekurangan air dan

terserang penyakit bulai sehingga energi

pertumbuhan dan hasil jagung tidak mendapatkan

hasil dengan maksimal.

Berikut gambar penampilan vegetatif jagung

pada berbagai jarak tanam dan pada kelapa sawit

berbagai tingkat umur terdapat pada Gambar 5.

Gambar 5 a. Penampilan vegetatif jagung pada berbagai jarak tanam pada lokasi tanpa kelapa sawit

Figure 5 a. Figure vegetative of corn for various spacing for location without of palm oil

Gambar 5 b. Penampilan vegetatif jagung pada berbagai jarak tanam pada kelapa sawit umur 1,5 tahun Figure 5 b. Figure vegetative of corn for various spacing for palm oil aged 1.5 year

Gambar 5 c. Penampilan vegetatif jagung pada berbagai jarak tanam pada kelapa sawit umur 2,5 tahun Figure 5 c. Figure vegetative of corn for various spacing for palm oil aged 2.5 year

JT. 60 CM X 25 CM JT. 50 CM X 25 CM JT. 70 CM X 25 CM

JT. 60 CM X 25 CM JT. 70 CM X 25 CM JT. 50 CM X 25 CM

JT. 50 CM X 25 CM JT. 60 CM X 25 CM JT. 70 CM X 25 CM

Pengaruh Jarak Tanam Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Jagung (Zea Mayz.L) Pada Tingkat Umur Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jacq) (M. Nur, et al.)

139

Gambar 5 d. Penampilan vegetatif jagung pada berbagai jarak tanam pada kelapa sawit umur 3,5 tahun Figure 5 d. Figure vegetative of corn for various spacing for palm oil aged 3.5 year. Komponen Hasil Jagung

Bobot 1000 biji (g) Hasil penelitian menunjukkan bahwa jarak

tanam pada kelapa sawit berbagai tingkat umur berpengaruh nyata terhadap bobot 1000 biji (g)

dan ada interaksi antara jarak tanam dengan tingkat umur kelapa sawit. Pengaruh jarak tanam pada kelapa sawit berbagai tingkat umur disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Bobot 1000 biji (g) jagung pada berbagai jarak tanam pada kelapa sawit berbagai tingkat umur Table 8. Grain yield 1000 (g), in various spacing of corn for palm oil various grade aged

Jarak tanam Spacing

Bobot 1000 biji (g) tanaman jagung pada Grain yield 1000 (g) of corn plant, for

Tanpa kelapa

sawit Without palm oil

Kelapa sawit umur 1,5 tahun

Palm oil aged 1.5 yr

Kelapa sawit umur 2,5 tahun

Palm oil aged 2.5 yr

Kelapa sawit umur 3,5 tahun

Palm oil aged 3.5 yr

50 cm x 25 cm

60 cm x 25 cm

70 cm x 25 cm

2630,00 g

2670,00 f

2790,00 c

2370,79 jk

2399,33 i

2902,49 b

2688,43 e

2736,27 d

3118,80 a

2332,34 l

2382,76 ij

2423,87 h

BNT0.05 17.90

Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT pada taraf 5%.

Note: Numbers in the column followed by different lettery are significantly difference at HSD 0.05.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bobot

kering 1000 biji tertinggi terdapat pada tanaman

jagung yang ditanam dengan jarak tanam

70 cm x 25 cm diantara kelapa sawit umur 2,5

tahun (3118.80 g) dan berbeda nyata dengan

tanaman jagung yang ditanam pada jarak tanam

60 cm x 25 cm ( 2736.27 g ), maupun pada jarak

tanam 50 cm x 25 cm ( 2688.43 g ). Hal ini diduga

dipengaruhi oleh jarak tanam, pada jarak tanam

70 cm x 25 cm kerapatan tanaman lebar, jumlah

cahaya matahari yang diserap proposional dengan

luas tanah yang dinaungi oleh tajuk tanaman

jagung sehingga tajuk tanaman tidak saling

menaungi, akibatnya tidak terjadi persaingan

terhadap cahaya matahari untuk fotosintesis, tidak

adanya persaingan menyebabkan tanaman akan

memperoleh energi secara maksimal untuk energi

pertumbuhan organ generatif pada bobot kering

1000 biji. Sebaliknya pada jarak tanam yang rapat,

terjadi persaingan pada cahaya, air dan unsur hara

dalam tanah sehingga energi pertumbuhan

generatif tanaman jagung rendah, akibatnya

pertumbuhan generatif rendah. Fotosintesis

dipengaruhi oleh faktor lingkungan, yaitu cahaya

JT. 60 CM X 25 CM JT. 70 CM X 25 CM JT. 50 CM X 25 CM

Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 127 - 146

140

matahari, CO2, suhu, air dan unsur hara. Bilamana

salah satu faktor kurang tersedia atau kelebihan

maka akan memberikan pengaruh negatif pada

laju fotosintesis dan mengakibatkan pertumbuhan

dan hasil rendah .

Selain dipengaruhi oleh jarak tanam, juga

diduga dipengaruhi oleh tingkat umur kelapa

sawiti. Pada fase generatif tanaman sangat

membutuhkan sumberdaya lingkungan yang

optimal, tetapi pada lokasi penelitian adalah lokasi

tadah hujan dan terjadi kekurangan air karena

puncak musim kemarau. Pada kelapa sawit umur

2,5 tahun mempunyai luas tajuk yang proposional

dengan luas tanah yang dinaungi pada

pertanaman jagung sehingga kelembaban tanah

optimal, akibatnya air dan unsur hara cukup

tersedia sehingga energi pertumbuhan generatif

lebih maksimal dibanding dengan jagung yang

ditanam diantara kelapa sawit umur 1,5 tahun,

kelapa sawit umur 3,5 tahun maupun pada jagung

yang tanpa kelapa sawit.

Wahyudin dkk., (2016) pada perlakuan

berbagai jarak tanam pada jenis jagung Pioneer,

yaitu sebesar 300 g pada bobot 1000 biji. Hal ini

diduga dipengaruhi oleh kerapatan jarak tanam

dan lingkungan tumbuh tanaman. Jarak tanam

yang lebih lebar dan waktu penelitian berlangsung

pada pertengahan musim kemarau dan berada

pada area diantara kelapa sawit umur 2,5 tahun,

sehingga serapan cahaya dan kelembaban tanah

proposional dengan luas tanah yang ditutupi oleh

tajuk kelapa sawit sehingga tidak terjadi

persaingan antara tanaman terhadap cahaya

matahari, air dan unsur hara dan menyebabkan

fotosintesis tanaman besar, akibatnya energi untuk

pertumbuhan vegetatif dan generatif besar dan

mengakibatkan bobot kering biji lebih besar.

Sebaliknya pada jarak tanam yang lebih rapat

terjadi persaingan terhadap cahaya matahari, air

dan unsur hara, dan sebaliknya jika terlalu lebar

dan tanpa naungan akan terjadi defisit air

sehingga pertumbuhan dan hasil akhir tanaman

menjadi rendah.

Pernyataan tersebut diperkuat oleh

pendapat yang dikemukakan oleh Agrita ( 2012 ),

bahwa komponen hasil bobot 1000 biji

dipengaruhi oleh faktor genotip dan lingkungan.

Ukuran biji maksimum dapat tercapai pada suhu

rata - rata 25 °C.

Hasil biji pipilan (ton ha-1)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jarak

tanam pada kelapa sawit berbagai tingkat umur

berpengaruh nyata terhadap hasil biji pipilan dan

ada interaksi antara jarak tanam dan tingkat umur

kelapa sawit. Pengaruh jarak tanam pada kelapa

sawit berbagai tingkat umur disajikan pada

Tabel 9.

Tabel 9. Hasil biji pipilan jagung, berbagai jarak tanam pada kelapa sawit berbagai tingkat umur Table 9. Grain yield (ton ha-1) in various spacing on palm oil for various aged grade

Jarak tanam Spacing

Hasil biji (ton ha-1) jagung pada Grain yield (ton ha-1) corn for

Tanpa kelapa

sawit Without palm oil

Kelapa sawit umur 1,5 tahun

Palm oil aged 1.5 yr

Kelapa sawit umur 2,5 tahun

Palm oil aged 2.5 yr

Kelapa sawit umur 3,5 tahun

Palm oil aged 3.5 yr

50 cm x 25 cm

60 cm x 25 cm

70 cm x 25 cm

4,04 gh

4,43 e

4,68 c

3,81 i

4,21 f

4,62 cd

4,12 fg

4,87 b

5,58 a

3,22 k

3,49 j

4,00 gh

BNT0.05 0,16

Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT pada taraf 5%.

Note: Numbers in the column followed by different lettery are significantly difference at HSD 0.05

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil

biji tertinggi terdapat pada tanaman jagung yang

ditanam dengan jarak tanam 70 cm x 25 cm

diantara kelapa sawit umur 2,5 tahun, yaitu 5,58

Pengaruh Jarak Tanam Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Jagung (Zea Mayz.L) Pada Tingkat Umur Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jacq) (M. Nur, et al.)

141

ton ha-1, dan berbeda nyata dengan semua

perlakuan lainnya.

Hal ini diduga dipengaruhi oleh jarak

tanam, pada jarak tanam yang lebar tidak terjadi

persaingan dalam mengambil cahaya matahari, air

dan unsur hara sehingga energi untuk

pertumbuhan organ generatif lebih maksimal

dibandingkan dengan jagung yang ditanam

dengan jarak tanam yang lebih rapat.

Selain dipengaruhi oleh jarak tanam, juga

diduga dipengaruhi oleh tingkat umur kelapa

sawit. Pada fase generatif tanaman sangat

membutuhkan sumberdaya lingkungan yang

optimal, tetapi pada lokasi penelitian adalah lokasi

tadah hujan dan terjadi kekurangan air karena

puncak musim kemarau. Pada kelapa sawit umur

2,5 tahun mempunyai luas tajuk yang proposional

dengan luas tanah yang dinaungi pada

pertanaman jagung sehingga kelembaban tanah

optimal, akibatnya air dan unsur hara cukup

tersedia sehingga energi pertumbuhan generatif

jagung lebih maksimal dibanding dengan kelapa

sawit umur 1,5 tahun, kelapa sawit umur 3,5 tahun

maupun pada jagung yang tanpa kelapa sawit.

Hasil penelitian sama dengan hasil

penelitian Bunyamin dan Awaluddin (2012)

bahwa jumlah populasi 71.429 tanaman ha-1 atau

jarak tanam 70 x 20 cm yang terbaik terhadap

pertumbuhan dan hasil jagung semi (baby corn)

dibanding dengan jumlah populasi 83.333 atau

jarak tanam 60 x 20 cm maupun pada jumlah

populasi 100.000 atau jarak tanam 50 x 20 cm.

Selanjutnya hasil penelitian Effendi (2008) bahwa

terjadi interaksi antara perlakuan jarak tanam dan

defoliasi bunga jantan pada peubah diameter

tongkol. Perlakuan kombinasi jarak tanam 70 x 20

cm dan defoliasi bunga jantan diperoleh diameter

tongkol yang lebih besar dibandingkan dengan

kombinasi perlakuan lainya sebesar 14.50 cm.

Hasil penelitian yang sama Ilham

wahyudin dkk (2016) menunjukkan bahwa

penggunaan jarak tanam 100 x 30 cm pada varietas

yang sama Pioneer menghasilkan pertumbuhan

dan produksi (berat tongkol 155.24g, panjang

tongkol 14.95 cm, dan berat 100 biji 30 g) tertinggi

dari pada hasil pertumbuhan dan produksi pada

jarak tanam 70 x 30 cm maupun jarak tanam 40 x

30 cm.

Hal ini sejalan dengan pernyataan yang

oleh Silaban (2013) bahwa jarak tanam pada

tanaman jagung berhubungan dengan luas atau

ruang tumbuh yang ditempatinya dalam

penyediaan unsur hara, air dan cahaya. Jarak

tanam yang terlalu lebar kurang efisien dalam

pemanfaatan lahan, bila terlalu sempit akan terjadi

persaingan yang tinggi yang mengakibatkan

produktivitas rendah. Pengaturan kepadatan

populasi tanaman dan pengaturan jarak tanam

pada tanaman budidaya dimaksudkan untuk

menekan kompetisi antara tanaman. Setiap jenis

tanaman mempunyai kepadatan populasi tanaman

yang optimum untuk mendapatkan produksi yang

maksimum. Apabila tingkat kesuburan tanah dan

air tersedia cukup, maka kepadatan populasi

tanaman yang optimum ditentukan oleh kompetisi

di atas tanah daripada di dalam tanah atau

sebaliknya.

Hal ini sejalan dengan pernyataan

Karokaro, dkk (2015) bahwa jarak tanam akan

berpengaruh terhadap produksi tanaman karena

berkaitan dengan ketersediaan unsur hara, cahaya

matahari serta ruang bagi tanaman. Jika terjadi

kompetisi pada tanaman maka pertumbuhan

vegetatif dan generatif terganggu dan

mengakibatkan hasil seperti ukuran biji kecil

sehingga bobot biji pipilan kering per tanaman

rendah.

Hal yang senada dikemukan oleh

Salisbury dan Ross (2011) bahwa jika tidak

terdapat penyinaran atau kurang mendapat

cahaya dari matahari maka hasilnya akan

berkurang. Temperatur optimum untuk

pertumbuhan jagung adalah antara 23 - 27 C.

Pertumbuhan tanaman jagung sangat

membutuhkan sinar matahari. Tanaman jagung

yang ternaungi, pertumbuhannya akan

terhambat/ merana, dan memberikan hasil biji

yang kurang baik bahkan tidak dapat membentuk

buah.

Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan

Anonim (2013) bahwa selain dipengaruhi oleh

jarak tanam juga dipengaruhi oleh kesuburan

tanah yang merupakn factor produksi yang

mempunyai sumbangan cukup besar yaitu sekitar

55% terhadap hasil produksi dan pengaturan jarak

tanam pada tanaman budidaya dimaksudkan

untuk menekan kompetisi antara tanaman. Setiap

Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 127 - 146

142

jenis tanaman mempunyai kepadatan populasi

tanaman yang optimum untuk mendapatkan

produksi yang maksimum. Apabila tingkat

kesuburan tanah dan air tersedia cukup, maka

kepadatan populasi tanaman yang optimum

ditentukan oleh kompetisi di atas tanah daripada

di dalam tanah atau sebaliknya.

Pernyataan yang sama dikemukakan oleh

Akil dan Hadijah ( 2007 ), bahwa hasil pipilan

kering yang tinggi dapat berkaitan dengan jarak

tanam yang digunakan dengan anjuran jarak

tanam optimal yaitu dengan jarak tanam 75 cm x

20 cm dengan satu tanaman per lubang, atau jarak

tanam 75 cm x 40 cm dengan dua tanaman per

lubang.

Hal yang senada dikemukan oleh Salisbury

dan Ross (2011) bahwa jika tidak terdapat

penyinaran dari matahari, hasilnya akan

berkurang. Temperatur optimum untuk

pertumbuhan jagung adalah antara 23 - 27 0C.

Pertumbuhan tanaman jagung sangat

membutuhkan sinar matahari. Tanaman jagung

yang ternaungi, pertumbuhannya akan

terhambat/merana, dan memberikan hasil biji

yang kurang baik bahkan tidak dapat membentuk

buah.

Hal tersebut dipertegas oleh Williams (2013)

bahawa pengaturan jarak tanam sangat

berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil

tanaman. Hal ini akan berpengaruh pada luas

daun, berat kering tanaman, sistem perakaran,

banyaknya sinar matahari yang diterima, dan

banyaknya unsur hara yang diserap dari dalam

tanah. Penggunaan jarak tanam yang tepat akan

menaikkan hasil, tetapi penggunaan jarak tanam

yang kurang tepat akan menurunkan hasil.

Selain pengaturan jarak tanam, faktor

kesuburan tanah merupakan faktor produksi yang

mempunyai sumbangan cukup besar (sekitar 55

%) terhadap keberhasilan produksi (Anonim,

2013).

Indeks panen

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jarak

tanam pada kelapa sawit berbagai tingkat umur

berpengaruh nyata terhadap indeks panen dan ada

interaksi antara jarak tanam dengan tingkat umur

kelapa sawit. Pengaruh jarak tanam pada kelapa

sawit berbagai tingkat umur disajikan pada

Tabel 10.

Tabel 10. Indeks panen jagung pada berbagai jarak tanam pada kelapa sawit berbagai tingkat umur Table 10. Harvest indeks in various spacing of corn and of palm oil in various grade aged

Jarak tanam Spacing

Indeks panen jagung pada Harvest indeks corn for

Tanpa kelapa sawit

Without Palm oil

Kelapa sawit umur 1,5 tahun

Palm oil aged 1.5 yr

Kelapa sawit umur 2,5 tahun

Palm oil aged 2.5 yr

Kelapa sawit umur 3,5 tahun

Palm oil aged 3.5 yr

50 cm x 25 cm

60 cm x 25 cm

170 cm x 25 cm

0,42 de

0,46 bc

0,47 b

0,38 fg

0,39 f

0,45 bcd

0,47 b

0,51 a

0,53 a

0,35 hi

0,36 fgh

0,39 f

BNT0.05 0,03

Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT pada taraf 5%.

Note: Numbers in the column followed by different lettery are significantly difference at HSD 0.05

Hasil penelitian menunjukkan bahwa indeks

panen tertinggi terdapat pada tanaman jagung

yang ditanam diantara kelapa sawit umur

2,5 tahun dengan jarak tanam 70 cm x 25 cm, yaitu

sebesar 0,53, dan berbeda nyata dengan perlakuan

lainnya dan ada interaksi antara jarak tanam dan

umur kelapa sawit.Hal ini diduga dipengaruhi

oleh jarak tanam, pada jarak tanam yang lebar

tidak terjadi persaingan dalam mengambil

sumberdaya lingkungan yang dibutuhkan seperti

Pengaruh Jarak Tanam Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Jagung (Zea Mayz.L) Pada Tingkat Umur Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jacq) (M. Nur, et al.)

143

cahaya matahari, air dan unsur hara sehingga

energi pertumbuhan lebih maksimal, sebaliknya

pada jagung yang ditanam dengan jarak tanam

yang rapat terjadi persaingan dalam menperoleh

cahaya matahari, air dan unsur hara sehingga

energi pertumbuhan tidak maksimal akibatnya

indeks panen tanaman jagung rendah.

Selain dipengaruhi oleh jarak tanam, juga

diduga dipengaruhi oleh umur kelapa sawit. Pada

lokasi penelitian adalah tadah hujan, pada lokasi

tanpa kelapa sawit, pada umur 3 HST sampai

umur 25 HST tidak ada air hujan sehingga

tanaman mengalami stress kekeringan, akibatnya

pertumbuhan awal tanama tidak optimal bahkan

kerdil dan menyebabkan pertumbuhan generatif

juga tidak maksimal. Pada jagung yang ditanam

diantara kelapa sawit umur 1,5 tahun pada umur 9

MST terserang penyakit bulai sehingga energi

pertumbuhan dan hasil tidak maksimal,

sedangkan jagung yang ditanam pada kelapa

sawit umur 3,5 tahun, intensitas cahaya matahari

rendah sehingga menyebabkan translokasi

potosintat rendah akibatnya pertumbuhan dan

hasil rendah. Pada kelapa sawit umur 2,5 tahun,

luas penutupan tajuk kelapa sawit cukup

proposional dengan luas tanah pertanaman jagung

yang dinaungi sehingga kelembaban tanah pada

musim kemarau cukup optimal akibatnya jumlah

air dan unsur hara tersedia sehingga energi untuk

pertumbuhan dan hasil jagung optimal.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa

indeks panen tertinggi terdapat pada tanaman

jagung yang ditanam diantara kelapa sawit umur

2,5 tahun dengan jarak tanam 70 cm x 25 cm, yaitu

sebesar 0,53, dan berbeda nyata dengan perlakuan

lainnya dan ada interaksi antara jarak tanam dan

umur kelapa sawit.Hal ini diduga dipengaruhi

oleh jarak tanam, pada jarak tanam yang lebar

tidak terjadi persaingan dalam mengambil

sumberdaya lingkungan yang dibutuhkan seperti

cahaya matahari, air dan unsur hara sehingga

energi pertumbuhan lebih maksimal, sebaliknya

pada jagung yang ditanam dengan jarak tanam

yang rapat terjadi persaingan dalam menperoleh

cahaya matahari, air dan unsur hara sehingga

energi pertumbuhan tidak maksimal akibatnya

indeks panen tanaman jagung rendah.

Selain dipengaruhi oleh jarak tanam, juga

diduga dipengaruhi oleh umur kelapa sawit. Pada

lokasi penelitian adalah tadah hujan, pada lokasi

tanpa kelapa sawit, pada umur 3 HST sampai

umur 25 HST tidak ada air hujan sehingga

tanaman mengalami stress kekeringan, akibatnya

pertumbuhan awal tanama tidak optimal bahkan

kerdil dan menyebabkan pertumbuhan generatif

juga tidak maksimal. Pada jagung yang ditanam

diantara kelapa sawit umur 1,5 tahun pada umur 9

MST terserang penyakit bulai sehingga energi

pertumbuhan dan hasil tidak maksimal,

sedangkan jagung yang ditanam pada kelapa

sawit umur 3,5 tahun, intensitas cahaya matahari

rendah sehingga menyebabkan translokasi

potosintat rendah akibatnya pertumbuhan dan

hasil rendah. Pada kelapa sawit umur 2,5 tahun,

luas penutupan tajuk kelapa sawit cukup

proposional dengan luas tanah pertanaman jagung

yang dinaungi sehingga kelembaban tanah pada

musim kemarau cukup optimal akibatnya jumlah

air dan unsur hara tersedia sehingga energi untuk

pertumbuhan dan hasil jagung optimal.

Hal sesuai dengan hasil penelitian yang

diperoleh Asrol dan Fahrulrosi ( 2015 )

bahwa jarak tanam yang lebih lebar pada lahan

ultisol memberikan pengaruh terbaik terhadap

pertumbuhan dan produksi tanaman jagung.

Secara teoritis makin tinggi hasil biji kering

tanaman maka makin besar pula indeks panennya.

Hal tersebut dipertegas oleh pernyataan

Surbakti et al, ( 2013 ) bahwa dalam kondisi

lingkungan yang baik untuk melakukan

fotosintesis akan menghasilkan 60 - 80 %

hasil asimilatnya ditranslokasikan kebagian

tanaman yang lainnya pada organ pertumbuhan

dan produksi. Pertumbuhan dan produksi akan

meningkat apabila didukung oleh faktor

lingkungan misalnya cahaya dan air ( Bunyamin

dan Aqil 2009 ), tetapi pada saat penelitian ini

kebutuhan air tidak dapat tercukupi karena pada

saat penelitian ini dilaksanakan bertepatan dengan

mulainya musim kering yang mana pada saat fase

pertumbuhan tanaman sudah mengalami

kekurangan air jadi pertumbuhan dan produksi

tanaman tidak mendapatkan hasil dengan

maksimal.

Selain dari penyinaran, unsur hara juga

berperan penting dalam pertumbuhan dan

produksi tanaman jagung (Sirappa dan Razak

2010). Dengan jarak tanam 70 cm x 25 cm

Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 127 - 146

144

persaingan untuk mendapatkan unsur hara dapat

terhindari, persaingan untuk mendapatkan unsur

hara bukan saja terjadi antar tanaman dengan

gulma tetapi dapat juga terjadi pada antar sesama

tanaman ( Franky et al. 2010 ). Hal ini sependapat

dengan Catharina (2009) yang menyatakan bahwa

pada jarak tanam tertentu akan mengakibatkan

persaingan yang sangat ketat yang mengakibatkan

adanya penurunan produksi yang diakibatkan

oleh persaingan dalam memperebutkan unsur

hara. Kerapatan menggambarkan jumlah atau

banyaknya jenis suatu individu dalam satuan luas

tertentu. Kerapatan ini ditentukan berdasarkan

jumlah individu rata-rata dibagi luas area

pengamatan.

Hal tersebut sejalan dengan penelitian

Saragih dkk, ( 2013 ) dalam Wahyudi ( 2017 )

bahwa tanaman jagung mengambil N sepanjang

hidupnya, maka untuk mendapatkan hasil yang

baik maka unsur hara N harus cukup tersedia

dalam media tanam jagung. Defisiensi unsur hara

N pada masa vegetatif dapat mempengaruhi

kemampuan tanaman untuk menyerap unsur P (

Pracaya, 2008).

Berikut gambar pertumbuhan generatif

jagung pada berbagai jarak tanam dan tingkat

umur kelapa sawit pada Gambar 6 berikut.

Gambar 6 a. Penampilan hasil tongkol biji jagung pada berbagai jarak tanam di lokasi tanpa kelapa sawit

Figure 6 a. Figure yield cob seed of corn for various spacing for location without of palm oil

Gambar 6 b. Penampilan tongkol biji jagung pada berbagai jarak tanam diantara kelapa sawit umur 1,5 tahun Figure 6 b. Figure yield cob seed of corn for various spacing between of palm oil aged 1.5 year

Gambar 6 c. Penampilan hasil tongkol jagung pada berbagai jarak tanam diantara kelapa sawit umur 2,5

tahun. Figure 6 c. Figure yield cob seed of corn for various spacing between of palm oil aged 2.5 year

JT. 50 cm x 25 cm JT. 60 cm x 25

cm

cm

JT. 70 cm x 25

cm

cm

JT. 50 cm x 25 cm JT. 60 cm x 25

cm

cm

JT. 70 cm x 25

cm

cm

JT. 50 cm x 25 cm JT. 60 cm x 25 cm JT. 70 cm x 25 cm

Pengaruh Jarak Tanam Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Jagung (Zea Mayz.L) Pada Tingkat Umur Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jacq) (M. Nur, et al.)

145

Gambar 6 d. Penampilan hasil tongkol biji jagung pada berbagai jarak tanam diantara kelapa sawit umur 3,5 tahun

Figure 6 d. Figure yield cob seed of corn for various spacing between of palm oil aged 3.5 year

KESIMPULAN 1. Jarak tanam 70 cm x 25 cm adalah stabil dan

terbaik pada semua lokasi penanaman jagung. 2. Jagung yang ditanam diantara kelapa sawit

umur 2,5 tahun secara umum terbaik, terutama hadap, laju tumbuh relatif ( 9,93 g tan2.minggu-1 ), dan hasil biji ( 5,58 ton ha-1 ) dan ada interaksi antara jarak tanam dengan tingkat umur kelapa sawit.

3. Untuk pola pertumbuhan yang optimal antara kelapa sawit belum menghasilkan dengan jagung maka disarankan menggunakan jarak

tanam 70 cm x 25 cm.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Badan Litbang Kementerian Pertanian yang telah memberi kesempatan dan biaya pendidikan kepada saya sampai selesai, demikian juga bapak kepala Balai Penelitian Tanaman Palma Bapak Dr. Ir. Ismail Maskromo, M.Si dan semua teman-teman peneliti Bapak Fatrik Pasang dkk, yang telah memberikan arahan bimbingan dan motivasi selama saya kuliah. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Pak Mansyur, Pak Syarif, Pak Rote dan Pak Budi yang telah membantu selama di lapangan penelitian demikian juga Ibu Fivi yang telah membantu selama di labaroratorium jurusan Budidaya tanaman Unhas serta pak Basri, teknisi jurusan Budidaya Tanaman Unhas.

DAFTAR PUSTAKA

AAK. 1983. Dasar-Dasar Bercocok Tanam. Yogyakarta: Kanisius.

Agrita, D. A, 2012. Pengaruh Kombinasi Pupuk Fospat dengan Pupuk Kotoran Ayam terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Jagung (Zea mays L.) Hibrida Varietas Bisi-2

pada Inceptisol Jatinangor, Sumedang. Jurnal Kultivasi 12 (1) 2012.

Akil, M. dan A.D. Hadijah, 2007. Budidaya Jagung dan Diseminasi Teknologi. Balai Penelitian Tanaman Serealia Maros, Maros.

Anonim, 2013. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ( RPJMN ) Bidang Pangan dan Pertanian 2015-2019. Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta.

Asrol, dan Fahrulrozi, 2015. Produksi Tanaman Jagung (Zea mays L.) pada Berbagai Jarak Tanam di Tanah Ultisol. Jurnal Lahan Suboptimal ISSN: 2252-6188 (Print), ISSN: 2302-3015 (Online, www.jlsuboptimal.unsri.ac.id) Vol. 4, No.1: 66-70, April 2015

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2014. Direktorat Pangan dan Pertanian Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional : Jakarta Pusat.

Board, J. E. and Kahlon, C.S.2012. Contribution of Remobilized Total Dry Matter to Soybean Yield. Journal of Crop Improvement Volume 26, Issue 5 pages 641-654.

BPS. 2016. Badan Pusat Statistik Indonesia. www.bps.go.id. Diakses pada tanggal 27 Juni 2018.

BPS. 2017. Badan Pusat Statistik Indonesia. www.bps.go.id. Diakses pada tanggal 5 Desember 2018.

BPS. 2018. Badan Pusat Statistik Indonesia. www.bps.go.id. Diakses pada tanggal 5 Desember 2018.

Bunyamin Z dan Aqil M. 2009 Pengaruh sistem pertanaman sisipan terhadap pertumbuhan tanaman jagung. Prosiding Seminar Nasional Serelia.

Bunyamin Z, dan Awaluddin. 2012. Pengaruh Populasi Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Jagung Semi (Baby corn). Prosiding Seminar Nasional Balai Serealia di Makassar, 2012.

Broughton, W. J. 1976. Effect of various covers on the performance of Elaeis guineensis Jacq. On

JT. 50 cm x 25 cm JT. 60 cm x 25 cm JT. 70 cm x 25 cm

Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 127 - 146

146

different soils. The proceedings of the Malaysian international agriculture of oil palm conference. The incorporated society of planters, Kuala Lumpur. P: 501-525.

Catharina TS. 2009. Respon tanaman jagung pada sistem monokultur dengan tumpangsari kacang-kacangan terhadap ketersediaan unsur hara N dan nilai kesetaraan lahan di lahan kering. Ganec Swara Edisi Khusus 3(3).

Effendi,S.2008. Cropping system suatu cara untuk stabilisasi produksi pertanian. Penataran PPS Bidang Agronomi dalam pola bertanam. Lembaga Penelitian Bogor.

Franky JP; Johanes EX, Rogi dan Runtunuwu SD. 2010. Model pertumbuhan dan produksi jagung hibrida pada perlakuan pemberian nitrogen serta pemangkasan tasel. Eugenia 16(3).

Gardner, F., P. Pearce and R. B. Mitchell. 2008. Fisiologi Tanaman Budidaya. UI Press. Jakarta, p 428.

Goldsworthy dan Fisher. 1992. Fisiologi Tanaman Budidaya. Tropik (terjemahan dari The Physiology of Tropical Field Crops oleh Tohari). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

I.Wahyuddin.H. Hawalid, E. Hawayanti, 2016. Respon Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Jagung Hibrida (Zea mays L.) Pada Pemberian Pupuk Hayati Dengan Jarak Tanam Berbeda diahan Lebak. Jurnal Klorofil XI - 1 : 20 – 25, Juni 2016. ISSN 2085-9600.

Jiyanto, 2012. Teknologi Budidaya Jagung. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat.

Jumin, H.B. 2008. Dasar-Dasar Agronomi. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada

Karokaro, S. J. E.X. Rogi D. S. dan Tumewu. R.P. 2015. Pengaturan Jarak Tanam Padi (Oryza Sativa L.) Pada Sistem Tanam Jajar Legowo. Jurnal penelitian. http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/cocos/artic le/download /9570/9150. Diakses tanggal 11Dember 2018.

Kresnatita, S., Koesriharti dan M. Santoso. 2013. Pengaruh Rabuk Organik Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Jagung Manis. Indonesian Green Technology Journal. 2 (1): 8 – 17.

Maruapey A. 2011. Pengaruh jarak tanam dan jenis pupuk kanang terhadap pertumbuhan gulma dan hasil jagung manis. Seminar Nasional Serelia 2011.

Pracaya. 2008. Hama dan Penyakit Tanaman hal: 394-396. Penebar Swadaya. Jakarta

Sirappa MP dan Razak N. 2010. Peningkatan produktivitas jagung melalui pemberian pupuk NPK dan pupuk kandang pada lahan kering di Maluku. Prosiding Pekan Serelia Nasional.

Silaban, E.T. Purba, E. dan Ginting J. 2013. Pertumbuhan Dan Produksi Jagung Manis (Zea mays sacaratha Sturt. L) Pada Berbagai Jarak Tanam Dan Waktu Olah Tanah. Jurnal Online Agroekoteknologi. Juni 2013. 1(3) ISSN No. 2337-6597.

Subah, I and O. M. Tayeb, 1999. Crops integration in oil palm. Comference papers. Seminar on maximizing land use through integrated farming, Kuala Lumpur.

Surbakti MF, Ginting S, dan Ginting J. 2013. Pertumbuhan dan produksi jagung Zea mays l. parietas pioner-12 dengan pemangkasan daun dan pemberian pupuk NPKMg. Jurnal Online Agroteknologi 1(3).

Sektiwi, T Ariya., N Aini., dan H.S. Sebayang, 2012. Kajian Model Tanam dan Waktu Tanam dalam Sistem Tumpangsari terhadap Pertumbuhan dan produksi Benih Jagung. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang. Artikel Penelitian 15 hlm.

Tjahyana et al, 2000. Manipulasi jarak dan sistem tanam kelapa untuk pola tanam. Laporan Hasil Penelitian Bagian Proyek Penelitian Pola tanam Kelapa. Loka Penelitian Pola Tanam Kelapa, Pokuwen.

Tjasjono Bayong. 1995. Klomatologi Umum. Bandung: Penerbit ITB Bandung.

Wahyuddin.H. Hawalid, E. Hawayanti, 2015. Respon Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Jagung Hibrida (Zea mays L.) Pada Pemberian Pupuk Hayati Dengan Jarak Tanam Berbeda diahan Lebak. Jurnal Klorofil XI - 1 : 20 – 25, Juni 2016. ISSN 2085-9600.

Wahyuddin.H. Hawalid, E. Hawayanti, 2016. Respon Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Jagung Hibrida (Zea mays L.) Pada Pemberian Pupuk Hayati Dengan Jarak Tanam Berbeda diahan Lebak. Jurnal Klorofil XI - 1 : 20 – 25, Juni 2016. ISSN 2085-9600.

Wahyudin, A. ∙ Y. Yuwariah ∙ F.Y. Wicaksono ∙ R.A.G. Bajri, 2017. Respons jagung (Zea mays L.) akibat jarak tanam pada sistem tanam legowo (2:1) dan berbagai dosis pupuk nitrogen pada tanah inceptisol Jatinangor, Jurnal Kultivasi Vol. 16 (3) Desember 2017.

147

INDEKS SUBJEK/SUBJECT INDEX

Buletin Palma Volume 19, Tahun 2018

Air kelapa/coconut water

Karakteristik kemasan/ packaging characteristic 57 Penyimpanan irisan daging kelapa muda/storage of young coconut meat slice 57

Bahan Organik / Organic material Bioaktivator /Bioactivator 33 Rasio C/N /C/N ratio 33 Unsur hara/Nutrients 33

Daging Buah Kelapa / Coconut meat Asam amino esensial/ essential amino acids 27 Dalam mapanget/Mapanget tall 27 Mikroba / Microbes 27 Organoleptik / Organoleptic 27

Dosis Pemupukan / Fertilizer dose

Genjah salak/ Salak dwarf 47 Pertumbuhan vegetatif/Vegetative growth 47 Unsur hara makro / Macro nutrient element 47 Unsur hara mikro / Micro nutrient element 47

Interpretative Structural Modelling (ISM)/Interpretative Structural Modelling (ISM) 101

Pengolahan Sagu/cultivation sago 101 sagu(MetroxylonSagu)/Sago(Metroxylon Sago) 101 Struktur kendala/constraint structure 101 VAXO/VAXO 101

Kinerja Alat/Performance of tool

Air kepala muda/young coconut water 69 Penyimpanan/storage 69 Alat/tool 69

Pertumbuhan vegetatif/vegetatif growth

Indeks luas daun/leave area index 101 Intensitas cahaya/sunlight intensity 101 Hasil biji/grain yield 101 Indeks panen/harvest index 101

Pinang wangi/Wangi arecanut

Pinang lokal/Local arecanut 15 Produksi buah/Fruit production 15 Seleksi/Selection 15 Sidik lintas/Path 15

Tanaman produktif/Productive coconut Entomopatogen/Entomopatogen 1 Ketinggian tempat/Elevation place 1 Parasitoid/Parasitoid 1 Predator/Predator 1

Uji organoleptik/organoleptic

Aspek ekonomi/economic analysis 117 Minuman es teler/teler ice drinks 117

Ulat Api/nette caterpillar

Limacodidae/ Limacodidae 89 Produksi Kelapa/Coconut Production 89 Kerusakan tanaman kelapa / Coconut palm damage 89 Respon petani/farmer response 89

Viabilitas/Viability 79

Patogenitas/patogenicity 79 Kerapatan konidium/density of condition 79 Kelapa/coconut 79

148

INDEKS PENULIS/AUTHOR INDEX

Buletin Palma Volume 19, Tahun 2018

Adhitya Yudha Pradhana, 33 Alfred Pahala Manambangtua 47 Andriko N. Susanto 89 Budi Santosa 27 Cecep Kusmana 1, 101 D. Soetopo 89 Dina Hervina 15 Endang Hilmi 101 Engelbert Manaroinsong 9,57 Firman Mantau 15 Fredy Lala 89 I.M. Trisawa 79 Linda Trivana 33, 47 Mamun Murod 101

Meldy L.A Hosang 1, 89 Miftahorrachman 15 Muhamad Hasjim Bintoro 101 Nicolas Tumbel 69 Novalisa T.E. Lumentut 1 Rindengan Barlina 57 Siswanto 79 Sri Karindah 1 Steivie Karouw 27 Supardi Manurung 1,69 Suryani Lahea 57 Widiatmaka 101 Yulianus Rompah Matana 47 Zainal Abidin 117

149

UCAPAN TERIMA KASIH

Redaksi Buletin Palma mengucapkan terima kasih kepada Mitra Bestari yang telah berpartisipasi dalam menelaah naskah yang dipublikasi pada Buletin Palma Volume 19 Tahun 2018. Kontribusi Mitra Bestari membantu menjamin kualitas publikasi ilmiah ini.

1. Prof.Dr.Ir. Max Tulung, MS (Entomologi)

Universitas Sam Ratulangi Manado Jln. Kampus Unsrat Bahu, Manado 95115

2. Prof. Dr.Ir. Elna Karmawati, MS (Entomologi)

Pusat Penelitian dan Perkembangan Perkebunan-Badan Litbang Pertanian-Kementerian Pertanian Jln. Tentara Pelajar No.1 Cimanggu, Bogor 16111

3. Ir. Jantje Gustaf Kindengan, MS (Ekonomi Pertanian)

BPTP Balitbangtan Sulawesi Utara- Kementerian Pertanian Jln Kampus Pertanian Kalasey, KotakPos 1345, Manado

151

ABSTRAK /ABSTRACT

BULETIN PALMA VOLUME 19, TAHUN 2018

Buletin Palma Volume 19 No. 1, Juni 2018: 1 - 14

Kelimpahan Brontispa longissima Gestro (Coleoptera:

Chrysomelidae) dan Musuh Alami pada Tanaman Kelapa

The Abundance of Brontispa longissima Gestro (Coleoptera:

Chrysomelidae) and Natural Enemies on Coconut Palms

Novalisa Lumentut, Sri Karindah dan Meldy L.A. Hosang

Kelimpahan Brontispa longissima dan musuh alaminya pada tanaman kelapa telah dieksplorasi di Kabupaten Minahasa Utara, Minahasa Selatan dan Minahasa Tenggara pada bulan Februari 2012 - Januari 2013. Penelitian bertujuan untuk mempelajari kelimpahan B. longissima dan musuh alaminya pada pertanaman kelapa. Penelitian dilaksanakan pada tanaman kelapa belum berproduksi dan tanaman kelapa produktif. Pengambilan contoh dilakukan secara acak berlapis atau Stratified random sampling dengan menggunakan sistem kuadran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelimpahan B. longissima berfluktuasi, kelimpahan tertinggi terjadi pada bulan Agustus dan September 2012 pada tanaman belum berproduksi. Pada tanaman produktif kelimpahan B. longissima tertinggi berturut-turut pada ketinggian tempat 300-600 m dpl terjadi pada bulan Agustus 2012, yaitu 70,30 individu/pelepah, kemudian pada ketingian tempat >600 m dpl terjadi pada bulan September 2012, yaitu 64 individu/pelepah dan pada ketinggian <300 m dpl terjadi pada bulan Juni 2012, yaitu 62 individu/pelepah. Musuh alami B. longissima yang ditemukan pada ketinggian tempat <300 m dpl, 300-600 m dpl, dan >600 m dpl pada tanaman belum berproduksi adalah parasitoid Tetrastichus brontispae, predator Chelisoches morio, dan entomopatogen Metarhizium anisopliae var. anisopliae. Musuh alami yang ditemukan pada tanaman berproduktif diketiga ketinggian tempat tersebut adalah parasitoid Tetrastichus brontispae, dan predator Chelisoches morio. Entomopatogen M. anisopliae var. anisopliae tidak dijumpai pada tanaman produktif diketiga ketinggian tempat tersebut. Kelimpahan musuh alami dan persentase parasitisme di tiga ketinggian tempat tersebut baik pada tanaman belum berproduksi maupun tanaman produktif ternyata rendah yaitu antara 0,33-14,47%. Hal ini disebabkan pengaruh faktor abiotik dan biotik terhadap kelimpahan B. longissima.

Kata kunci: Tanaman produktif, ketinggian tempat, parasitoid, predator, entomopatogen, parasitoid

The abundance of Brontispa longissima and its natural enemies on coconut palms have been explored in North Minahasa,South Minahasa and Southeast Minahasa Districts in February 2012 - January 2013. The aims of the research were to study the abundance of B. longissima an natural enemies in the field. The research was conducted on unproduced coconut palm and productive coconut palm. Sampling is done randomly plated or Stratified random sampling using quadrant system. The results showed that the abundance of B. longissima fluctuated, the highest abundance occurred in August and September 2012 in unproductive palms. In productive palms, the highest abundance of B. longissima at the altitude of 300-600 m above sea level occurred in August 2012, which was 70.3 individuals / young leaves, then at altitude > 600 m above sea level occurred in September 2012, ie 64 individuals / young leaves, and at an altitude of <300 m above sea level occurred in June 2012, which is 62 individuals / young leaves. Brontispa longissima natural enemies found at altitudes <300 m above sea level, 300-600 m above sea level, and> 600 m above sea level in unproduced coconut palms are parasitoid Tetrastichus brontispae, Chelisoches morio predator, and entomopathogen Metarhizium anisopliae var. anisopliae. The natural enemies found in productive coconut palm at three different altitudes are Tetrastichus brontispae parasitoids, and Chelisoches morio predators. Entomopatogen M. aanisopliae var. anisopliae is not found on the productive coconut

palms at all three altitudes. The abundance of natural enemies and percentage of parasitism in the three different altitudes both in unproductive coconut palm and productive coconut palm was low is between 0.33-14.47%. This is due to the influence of abiotic and biotic factors on the abundance of B. longissima. Keywords: Productive coconut, elevation place, parasitoid, predator,

entomopatogen, parasitoid

Buletin Palma Volume 19 No. 1, Juni 2018: 15 - 25

Evaluasi Karakter Morfologi untuk Perbaikan Genetik Tanaman Pinang (Areca Cathecu L.) di Padang Pariaman

Evaluation Of Morphological Characters For Arecanut (Areca Cathecu L.) Genetic Improvment In Padang Pariaman

Miftahorrachman, Firman Mantau dan Dina Hervina

Evaluasi karakter morfologi yang berpengaruh langsung terhadap hasil merupakan langkah awal untuk perbaikan genetik tanaman pinang, membutuhkan pengetahuan tentang hubungan karakter morfologi, terutama produksi. Karakter morfologi yang berpengaruh langsung terhadap hasil diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai dasar seleksi untuk meningkatkan produksi tanaman. Penelitian bertujuan mengetahui karakter morfologi yang berpengaruh secara langsung terhadap jumlah buah per tandan sebagai dasar seleksi perbaikan tanaman. Penelitian dilakukan di Korong Koto Padang dan Korong Toboh, Nagari Sikucua, Kecamatan V Koto Kampung Dalam, Kabupaten Padang Pariaman, Provinsi Sumatera Barat pada bulan Desember tahun 2017. Analisa sidik lintas antara sebelas karakter morfologi dan komponen buah dengan jumlah buah menggunakan rumus dari Singh dan Chaudary.Hasil analisis sidik lintas menunjukkan bahwa karakter lingkar batang (r = 0,4190), jumlah tandan (r = 0,4488), panjang equatorial buah utuh (r = 0,8420), berat kernel (r = 0,5451), panjang equatorial kernel (r = 0,6785), dan panjang polar kernel (r = 0,8443) berpengaruh langsung terhadap produksi buah untuk pinang Lokal. Pada pinang Wangi hanya diperoleh satu karakter yaitu panjang equatorial buah (r = 0,4984) yang berpengaruh langsung terhadap produksi buah. Penampilan karakter pinang Lokal yang beragammenyebabkan peluang seleksi lebih besar dibanding pinang Wangi. Hasil penelitian menunjukan bahwa untuk pinang Lokal, karakter lingkar batang, jumlah tandan, panjang equatorial buah utuh, berat kernel, panjang equatorial kernel, dan panjang polar kernel dapat dijadikan dasar seleksi perbaikan produksi, sedangkan untuk pinang Wangi hanya karakter panjang equatorial buah utuh yang dapat dijadikan dasar seleksi.

Kata kunci: Pinang wangi, pinang lokal, sidik lintas, produksi buah, seleksi.

Evaluation of morphological characters that directly affect the yield is the first step in genetic improvement of areca nut requiring knowledge of the relationship of morphological characters especially production. Morphological characters that are affected directly to yield will be utilized as a basis for selection to increase crop production. The aim of this research is to know morphological characters that directly influence the number of fruits per bunchas the basis of selection for plant improvement. The research was conducted in Korong Koto Padang and Korong Toboh, Nagari Sikucua, V Koto Kampung Dalam District, Padang Pariaman District, West Sumatera Province in December 2017. The result of path analysis indicated that character of girth (r = 0,4190), number of bunches (r = 0,4488), equatorial length of fruit (r = 0,8420), kernel weight (r = 0,5451), equatorial length of kernel (r = 0,6785), and polar length of kernel (r = 0,8443) has a direct effect on fruit

Buletin Palma Volume 17 No. 2, Desember 2016: 189 - 198

152

production of Local arecanut. For Wangi arecanut only obtained one character that is equatorial length of fruit (r = 0.4984) that directly affect fruit production. The variety of appearance of Local areca nut characters leads to greater selection opportunities compared to Wangi arecanut.The research showed that for Local areca nut, the character of girth, number of bunches, equatorial length of whole fruit, kernel weight, equatorial length of kernel, and polar length of kernel can be used as the selection for the production, while for Wangi arecanut only characters of equatorial length of fruit can be used as the basis of selection.

Keywords: Wangi arecanut, local arecanut, path, fruit production, selection.

Buletin Palma Volume 19 No. 1, Juni 2018: 27 - 32

Stabilitas Santan Kelapa pada Variasi Penambahan Emulsifier Natrium Kaseinat Stability of Coconut Milk on Various Addition of Sodium Caseinate as Emulsifier

Steivie Karouw dan Budi Santosa

Daging buah kelapa merupakan bagian buah kelapa yang telah dimanfaatkan secara luas sebagai produk pangan. Santan kelapa merupakan salah satu produk yang dapat diolah dari daging buah kelapa. Tujuan penelitian ini yaitu mengetahui karateristik daging buah kelapa dan stabilitas santan kelapa dengan penambahan emulsifier natrium kaseinat. Penelitian dilakukan sejak bulan Januari sampai Desember 2013 di Laboratorium Pascapanen Balai Penelitian Tanaman Palma Manado, Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian dan Laboratorium LPPT, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta serta Laboratorium Pusat antar Universitas, Institut Pertanian Bogor(IPB), Bogor. Bahan baku utama yang digunakan yaitu buah kelapa varietas Dalam Mapanget (DMT) dengan umur buah 11-12 bulan yang diperoleh dari KP Kima Atas, Sulawesi Utara. Santan yang diperoleh dari buah kelapa DMT ditambahkan natrium kaseinat 0,6%, 0,8% dan 1,0% kemudian disimpan pada suhu 8C selama 0, 7, 14, 21, dan 28 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daging buah kelapa dari varietas Dalam Mapanget mengandung 15 jenis asam amino dan 10 di antaranya adalah asam amino esensial. Asam glutamat merupakan asam amino dengan proporsi tertinggi yaitu 1,22%, disusul arginin dan tirosin masing-masing 0,89% dan 0,62%. Santan kelapa yang dihasilkan pada variasi konsentrasi emulsifier natrium kaseinat tahan simpan 28 hari pada suhu 8oC yang ditunjukkan dengan jumlah mikroba sebanyak 100 -300 cfu sampai penyimpanan 28 hari. Hasil pengujian organoleptik menunjukkan bahwa santan kelapa memiliki warna biasa sampai suka, aroma biasa sampai suka dan rasa tidak suka sampai suka. Susu kelapa yang dihasilkan tanpa penambahan emulsifier natrium kaseinat cenderung lebih stabil dibanding yang ditambahkan natrium kaseinat

Kata kunci : Daging buah kelapa, dalam mapanget, asam amino esensial, mikroba, organoleptik

Coconut meat is a part of the coconut that has been widely used as a food product. Coconut milk is one of the products that can be processed from coconut meat. The purpose of this study is to evaluate the characteristics of coconut meat and coconut milk stability with the addition of sodium casein as emulsifier. The research was conducted from January to December 2013 at Laboratory of Indonesian Palm Crops Research Institute, Laboratory of Faculty of Agricultural Technology and Laboratory of LPPT, Gadjah Mada University, Yogyakarta and Laboratoty of Pusat Antar Universitas, IPB, Bogor. The main raw materials used are meat of Mapanget Tall coconut variety with fruit age of 11-12 months obtained from KP Kima Atas, North Sulawesi. The results showed that coconut meat of Mapanget Tall which was used as raw materials contained 15 types of amino acids and 10 of them are essential amino acids.

Glutamic acid is an amino acid with the highest proportion of 1.22%, followed by arginine and tyrosine respectively 0.89% and 0.62%. Coconut milk produced on the various concentration of sodium caseinate was safe to be consumed until 28 days of storage at 8oC, which indicated by the total of microbes of 100 - 300 cfu. The results of organoleptic testing showed that coconut milk has an ordinary color to like, the aroma was usual to likes and taste was dislikes to likes. Coconut milk produced without addition of sodium casein emulsifier tends to be more stable than that of added sodium caseinate. Keywords : Coconut meat, mapanget tall, essential amino acids,

microbes, organoleptic.

Buletin Palma Volume 19 No. 1, Juni 2018: 33 - 46

Pengaruh Rasio Debu Sabut Kelapa dan Kotoran Kambing terhadap Waktu Pengomposan dan Kualitas Pupuk Organik

The Effects of Coconut Coir Dust-Goat Debris Rasio on Composting Time and Organic Fertilizer Quality

Linda Trivana dan Adhitya Yudha Pradhana

Debu sabut mengandung unsur hara yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik. Kadar N dan P debu sabut masih rendah sehingga membutuhkan tambahan bahan organik lain seperti kotoran kambing. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh waktu pengomposan campuran debu sabut kelapa dan kotoran kambing terhadap kualitas pupuk organik. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan lima perlakuan dan lima ulangan sehingga diperolah 25 satuan percobaan dan setiap perlakuan ditambahkan bioaktivator EM4 sebanyak 20 ml. Perlakuan yang diuji adalah komposisi debu sabut (DS)-kotoran kambing (KK) yang terdiri atas A (80:20), B (60:40), C (50:50), D (40:60), dan E (20:80). Suhu puncak pengomposan untuk pupuk organik dengan komposisi DS-KK 80:20 dan 60:40 terjadi pada hari ke-21, sedangkan pupuk organik dengan komposisi DS-KK 50:50, 40:60, dan 20:80 pada hari ke-12. Pupuk organik dengan komposisi DS-KK 80:20 dan 60:40 selama pengomposan 21 hari tidak memenuhi standar SNI (rasio C/N 10-20), yaitu 21,28 dan 21,10. Pupuk organik dengan komposisi DS-KK 80:20 dan 60:40 memerlukan waktu pengomposan yang lebih lama (lebih dari 21 hari). Pupuk organik dengan komposisi DS-KK 50:50 dan 40:60 memenuhi standar SNI 19-7030-2004 pada waktu pengomposan 21 hari. Pupuk organik dengan komposisi DS-KK 20:80 pada pengomposan 7, 14, dan 21 hari tidak memenuhi standar SNI, karena nilai rasio C/N pupuk E tidak sesuai dengan SNI (rasio C/N 10-20), yaitu masing masing sebesar 28,64, 21,89 dan 7,93. Waktu ideal pengomposan untuk pupuk E antara 14-21 hari. Kata kunci: Bahan organik, unsur hara, rasio C/N, bioaktivator.

The coconut coir dust nutrients suitable for use as organic fertilizer. Nitrogen and phosporus levels in coir dust is still low, so it’s requires additional organic materials, such as goat debris. The purpose of this research was to determine the influence of composting time of coconut coir dust and goat debris mixture on organic fertilizer quality. The study used a Completely Randomized Design with 5 treatments and 5 replications so that 25 units of experiments were obtained, and each treatment added 20 ml EM4 bioactivator. The mixture of coir dust- goat debris consist of: A (80:20), B (60:40), C (50:50), D (40:60), and E (20:80). The peak temperature of composting of organic fertilizer with ratio of coir dust- goat debris 80:20 and 60:40 occured on the 21st-days of composting, while organic fertilizer with ratio of coir dust- goat debris 50:50, 40:60, 20:80 on the 12th days of compositing. Organic fertilizer with ratio of coir dust- goat debris 80:20 and 60:40 during composting time 21 days didn’t in accordance SNI standards (C/N ratio 10-20), namely 21.28 and 21.10. Organic fertilizer with ratio of coir dust- goat debris 80:20 and 60:40 were require longer composting time more than 21 days. Organic fertilizer with ratio of coir dust- goat debris 50:50 and 40:60 that’s unqualified SNI 19-7030-2004 standard at composting time 21 days. Organic fertilizer with

Abstrak/Abstract

153

ratio of coir dust - goat debris 20:80 on composting that’s 7th, 14th, and 21st days unqualified SNI standard, because C/N ratio do not meet SNI standard (C/N ratio 10-20), that is 28.64, 21.89 and 7.93 respectively. The ideal time of composting for organic fertilizer with ratio of coir dust- goat debris 20:80 between 14 - 21 days Keywords: Organic material, nutrients, C/N ratio, and bioactivator.

Buletin Palma Volume 19 No. 1, Juni 2018: 47 - 56

Respon Pertumbuhan Bibit Kelapa Genjah Terhadap Berbagai Dosis Pupuk Organik

The Response of Growth Dwarf Coconut Seedling on the Different Dose of Organic Fertilizer

Alfred P. Manambangtua, Linda Trivana dan Yulianus R. Matana

Salah satu cara untuk mengurangi dampak negatif dari penggunaan pupuk anorganik adalah penggunaan pupuk organik. Pupuk organik dalam bentuk yang telah dikomposkan berperan penting dalam perbaikan sifat kimia, fisika, dan biologi tanah serta sebagai sumber nutrisi tanaman. Pupuk organik yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari debu sabut kelapa dan pengomposan kotoran kambing. Debu sabut mengandung unsur hara seperti N, P, K, Ca, Mg, Fe, Na, Mn, Cu, Zn, dan Al. Kotoran kambing mengandung unsur hara yang relatif tinggi karena kotoran kambing tercampur urine yang juga mengandung nutrisi. Debu sabut merupakan limbah dari penyeratan sabut kelapa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon pertumbuhan bibit kelapa genjah terhadap pemupukan organik. Penelitian dilaksanakan di Rumah Kaca, Balai Penelitian Tanaman Palma, Manado dari bulan September-Maret 2017. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan lima perlakuan dan enam ulangan sehingga diperoleh 30 satuan percobaan. Perlakuan yang diuji adalah dosis pupuk organik perbibit, yang terdiri atas tanpa pemberian pupuk organik (kontrol), pupuk organik 250 g, pupuk organik 500 g, pupuk organik 750 g, pupuk organik 1.000 g. Pemberian pupuk organik memberi pengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, lingkar batang, dan kandungan unsur K dalam jaringan tanaman. Namun pemupukan pupuk organik tidak mempengaruhi untuk jumlah daun, berat kering akar, berat kering batang, kandungan unsur N dan P pada tanaman secara nyata. Penggunaan pupuk organik pada bibit kelapa dapat mengurangi biaya pemupukan menggunakan pupuk anorganik dan memperbaiki struktur tanah. Kata kunci : Dosis pemupukan, pertumbuhan vegetatif, unsur hara

makro, unsur hara mikro, genjah salak

One of the way to reduce the negative impact of the use of inorganic fertilizer is the using of organic fertilizer. Organic fertilizer in compsted form of compos has an important role in the improvement of chemical, physical, and biological of the soil and as a source plants nutriens. The organic fertilizer used in this research comes from coconut coir dust and composting of goat manure. Dust husk contains nutrient elements such as N, P, K, Ca, Fe, Mg, Na, Mn, Cu, Zn and Al. Goat manure contains relatively high nutrients because the goat muck is mixed with urine which also contains nutrients. Coir dust is a waste of coconut fiber. This research aims to determine the response of seedling growth of coconut seedling to organic fertilization. The research was conducted at Greenhouse, Indonesian Palma Plant Research Institute, from September to March 2017. The research used Completely Randomized Design (RAL) with five treatments and six replications to obtain 30 experimental units. The treatment tested was the dosage of organic fertilizer seedlings, consisting of no organic fertilizer (control), 250 g organic fertilizer, 500 g organic fertilizer, organic fertilizer 750 g, organic fertilizer 1.000 g. Organic fertilizer gives a real effect on plant height, stem circumference, and the content of K elements in the plant tissue. However, organic fertilizer fertilization does not affect for the number of leaves, root dry weight, dry weight of stem, the content of N

and P elements in plants significantly. The use of organic fertilizer on coconut seeds can reduce the cost of fertilization using inorganic fertilizers and improve soil structure. Keywords : Fertilizer dose, vegetative growth, macro nutrient

elements, micro nutrient element, salak dwarf

Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 57 - 68

Pengolahan Edible Film Nata de Coco dan Aplikasinya sebagai Coating pada Daging Kelapa Muda Processing of Edible Film Nata de Coco and its Application as a Coating on Young Coconut Meat Rindengan Barlina, Suryani Lahea dan Engelbert Manaroinsong Bioselulosa nata de cocomerupakan bahan bakupotensial untuk pengolahan edible film sebagai kemasan yang ramah lingkungan. Aplikasi edible film pada bahan pangan dapat memperpanjang masa simpan produk. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui formulasi dan karakteristik yang baik dari pengolahan edible film berbahan baku bioselulosa nata de coco yang sesuai untuk bahan kemasan serta perubahan mutu daging buah kelapa muda yang diaplikasi edible coating selama penyimpanan. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Palma, dan Laboratorium Rekayasa Teknologi Hasil Pertanian, UGM-Yogyakarta pada bulan bulan Januari sampai Desember 2016.. Penelitian dilakukan dalam dua tahap, tahap pertama formulasi pengolahan edible fim, dilakukanmenggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan perlakuan:perbandingan antara bioselulosa nata de coco (BS) : CMC dan gliserol (GLI), sebagai berikut : 1) Formula A= BIS:CMC:GLI=100:0:0; 2) Formula B=BIS:CMC:GLI= 99,5:0,5:0; 3) Formula C=BIS:CMC:GLI= 99,0:1,0:0; 4) Formula D=BIS:CMC: LI=98,5:0,5 :1; 5) Formula E=BIS:CMC:GLI= 98,0:1,0:1,0; 6) Formula F=BIS:CMC:GLI= 98,0:5:1,5; 7) Formula G=BIS:CMC:GLI= 97,5:1,0:1,5; 8) Formula H=BIS:CMC: GLI=97,5:0,5:2,0; dan 9) Formula I=BIS:CMC:GLI= 97,0:1,0:2,0. Ulangan tiga kali sehingga ada 27 satuan percobaan. Tahap kedua aplikasi edible film yang memiliki karakterisik yang baik pada irisan daging kelapa muda terolah minimal. Kemudian dikemas secara vacum dan disimpan sampai tiga bulan di dalam Refrigerator dan Freezer. Hasil penelitian menujukkan bahwa, edible film berbahan baku bioselulosa nata de coco (BIS)dengan penambahan carboxymethylcellulose (CMC) dan gliserol (GLI) perbandingan BIS : CMC : GLI= 97,5: 1,0 :1,5 cukup baik, memiliki karakateristik ketebalan 0,0551 mm, kuat tarik 19,0747 Mpa, elongation 18,2618%, laju transmisi uap air 16,878 (g/m2/24 jam) dan nilai kecerahan yang lebih baik (bening). Aplikasi edible coating bioselulosa nata pada irisan daging kelapa muda terolah minimal yang dikemas secara vacum dan disimpan dalam Freezer dapat mereduksi perkembangan total mikroba dan sampai 3 bulan dan masih disukai panelis.

Kata kunci: edible film, coating, karakteristik, daging kelapa muda, penyimpanan

Biocellulose nata de coco is a potential raw material for edible film processing as an environmentally friendly packaging. Edible film applications on foodstuffs can extend the shelf life of the product. This study aims to determine the formulation and good characteristics of the processing of raw materials of bioselulose nata de coco edible film which are suitable for packaging materials as well as changes in the quality of tender coconut meat applied by edible coating during storage. The research was conducted at the Laboratory of Palm Research Institute and Laboratory of Agricultural Product Technology Engineering, UGM-Yogyakarta in January to December 2016. The study was conducted in two stages, the first stage is formulation and processing of the edible fim, using Completely Randomized Design (RAL), with the treatment comparison between biocelulose nata de coco (BS): CMC and glycerol (GLI), as follows: Formula 1 = BIS: CMC: GLI = 100: 0: 0; Formula 2 = BIS: CMC: GLI = 99.5: 0.5: 0; Formula 3 = BIS: CMC: GLI = 99.0:

Buletin Palma Volume 17 No. 2, Desember 2016: 189 - 198

154

1.0: 0; Formula 4 = BIS: CMC: LI = 98.5: 0.5: 1; Formula 5 = BIS: CMC: GLI = 98,0: 1,0: 1,0; Formula 6 = BIS: CMC: GLI = 98.0: 5: 1,5; Formula = BIS: CMC: GLI = 97.5: 1.0: 1.5; Formula 8 = BIS: CMC: GLI = 97.5: 0.5: 2.0; and Formula 9 = BIS: CMC: GLI = 97.0: 1.0: 2.0. The second stage, edible film application that has a good characteristic on young coconut meat slices, then packed using vacuum method and stored for three months in Refrigerator and Freezer. The results showed that, edible film comparison: CMC: GLI = 97.5: 1.0: 1.5 is acceptable and has 0,0551 mm in thickness, tensile strength 19,0747 Mpa, elongation 18,2618%, vapor transmission rate 16,878 (g / m2 / 24 hour) and better brightness value (clear). The application of edible coating biocellulose nata atslices on young coconut meat and stored in Freezer can reduce total microbial growth and up to 3 months and is still favored by panelists. Keywords: edible film, coating,characteristic, young meat coconut, storage

Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018 : 69 - 78

Disain dan Kinerja Mesin Pemotong Sabut Kelapa Muda Design and Performance Of Tender Cocunut Husk Trimmer Machine Nicolas Tumbel dan Supardi Manurung

Buah kelapa memiliki sifat yang kamba sehingga memerlukan banyak tempat pada saat dilakukan pengemasan. Kelapa muda dalam penyajiannya diperlukan bentuk yang menarik sehingga pelanggan lebih tertarik untuk minum air kelapa muda. Kegiatan ini dilaksanakan di Baristand Industri Manado pada bulan Maret-Desember 2015. Kegiatan rekayasa alat mesin pemotong sabut kelapa muda telah dilaksanakan dengan tujuan untuk merancang dan menguji kinerja alat pemotong sabut kelapa muda. Kelapa muda dibentuk menyerupai berlian dengan maksud untuk menghilangkan sifat kamba pada sabut kelapa serta memberikan bentuk yang lebih elegan dan menarik. Pembuatannya dilakukan dengan cara memotong sebagian permukaan sabut kelapa dengan menggunakan mesin pemotong. Alat pemotong kelapa muda yang dirancang memiliki dimensi panjang 95 cm, lebar 60 cm dan tinggi 142 cm. Alat terbuat dari bahan stainless steel, dilengkapi dengan tuas/pengungkit bawah dan atas, dudukan kelapa bentuk panah, 2 buah pisau pemotong (bagian badan dan bahu), pisau pemotongan bagian dasar dan puncak, motor listrik 1 HP/1420 rpm, dan rangka/dudukan alat. Letak pisau pada alat pengupas atau pemotong sabut kelapa muda bagian badan (body) kelapa dengan sudut kemiringan bagian dalam 95° sedangkan bagian luar 85°. Pisau pemotong bahu dengan sudut kemiringan bagian dalam 45° sedangkan bagian luar 45°. Waktu yang digunakan untuk pemotongan sabut untuk kelapa yang berumur penyimpanan 0 hari adalah 172 detik, penyimpanan 2 hari dengan waktu 178 detik, dan penyimpanan 4 hari adalah 204 detik. Alat mesin yang dihasilkan mampu untuk memotong 21 buah kelapa muda per jam dengan bagian yang tidak terkupas adalah 1,1-11,27%. Penggunaan mesin pemotong sabut kelapa ini sesuai untuk Usaha Kecil Menengah (UKM), restoran/cafe dan pedagang kelapa muda.

Kata kunci: Disain mesin pemotong sabut kelapa, Sabut kelapa muda, Kinerja alat.

Coconut fruit has an enormous size that requires a spacious place to pack. Serving young coconut required an fascinating shape so the customers are more interested to drink young coconut water. This activity was held in Baristand Industri Manado in March-December 2015. Engineering activities of coconut coir tool machine have been conducted with the aim to design and test the performance of coconut coir cutters. Young coconuts are shaped like diamonds by eliminating a part of coconut coir providing a more elegant and attractive shape. The

process is done by cutting some coconut husk surface with cutting machine tool. This machine has a dimension of 95 cm of length, 60 cm of width and 142 cm of height. The machine built using stainless steel, equipped with a bottom and top lever, an arrow-shaped holder, 2 cutting knives (body and shoulders parts), cutting knife on both the bottom and the top, 1 HP/1420 rpm electric motor and frame/stand. The position of the blade on body part has inner slope of 95 ° while the outer slope 85 °. Shoulder-cutting knife with an inner slope angle of 45° while the outer 45°. The time used for cutting coconut coir for 0 days storage is 172 seconds, 2 days storage is 178 seconds, and 4 days storage is 204 seconds. This machine is able to cut 21 young coconuts per hour, with unpeeled portion is around 1.1-11.27%. This machine is suitable for Small Medium Enterprises (SMEs), restaurants/cafes and young coconut traders. Keywords: Coconut Coir Cutting Machine Design, Coconut Coir,

Performance of tool.

Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 79 - 88

Uji Mutu Dan Keefektifan Metarhizium Anisopliae Isolat Kalteng Terhadap Oryctes Rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae)

Test The Quality And Effectiveness Of M. Anisopliae Isolates From Central Kalimantan Against O. Rhinocerus (Coleoptera: Scarabaeidae)

Siswanto dan I.M. Trisawa Hama Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae) merupakan hama penting tanaman kelapa . Pengendalian O. rhinoceros dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu secara fisik, mekanik, hayati, dan kimiawi. Cendawan Metarhizium anisopliae merupakan agens hayati yang dapat menekan perkembangan hama O. rhinoceros. Efektivitas cendawan M. anisopliae sangat ditentukan oleh kualitas/mutu konidia cendawan tersebut yang meliputi kerapatan, viabilitas dan patogenitasnya terhadap hama sasaran. Untuk itu telah dilakukan penelitian untuk mengetahui mutu dan keefektifan agens pengendali hayati M. anisopliae isolat Kalimantan Tengah terhadap O. rhinoceros. Pengujian dilakukan di Laboratorium Hama Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) dan di sekitar rumah kasa di Balittro, Bogor. Isolat cendawan M. anisopliae yang digunakan berasal dari Kalteng, sedangkan larva O. rhinoceros berasal dari Yogyakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Cendawan M. anisopliae isolat Kalteng memiliki kerapatan konidium di atas 108, sedangkan viabilitasnya di atas 90%. Patogenisitas terhadap larva O. rhinoceros > 50%. Karakter ini menunjukkan mutu yang baik dari cendawan tersebut sebagai agens pengendali hayati. Cendawan M. anisopliae isolat Kalteng pada konsentrasi 106 dan 108 dapat mematikan 90% larva O. rhinoceros instar 3 pada kondisi lapangan. Sehingga kedua konsentrasi tersebut dapat digunakan dalam mengendalikan O. rhinoceros di lapangan..

Kata Kunci: viabilitas, patogenitas, kerapatan konidium, kelapa Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae) is an importan pest on coconut trees. Control of O. rhinoceros can be done in various ways, such as by physical, mechanical, biological, and chemical. The fungus Metarhizium anisopliae is a biological agent that can suppress the development of the O. rhinoceros . Effectiveness of M. anisopliae fungus is largely determined by the quality/grade conidia of the fungus consist of its density, viability and patogenicity against the target pest. For that, studies have been conducted to determine the quality and effectiveness biological control of M. anisopliae isolates Kalteng (Central Kalimantan) against O. rhinoceros. Tests conducted in the Entomology Laboratory of Research Institute for Spices and

Abstrak/Abstract

155

Medicinal Crops (Balittro), and around the home screen in Balittro, Bogor. The fungus M. anisopliae isolates originating from Central Kalimantan (Kalteng), while the larvae of O. rhinoceros from Yogyakarta. The results showed that the fungus conidium M. anisopliae isolates Kalteng has a density of over 108, while the viability above 90%. Pathogenicity to larvae of O. Rhinoceros > 50%. This character indicates a good quality of these fungi as biological control agent. The fungus of M. anisopliae isolates Kalteng at concentrations of 106 and 108 can killed up to 90% third instar O. rhinoceros larvae in field conditions. So both these concentrations can be used in the control of O. rhinoceros in the field.

Keywords: viability, patogenicity, a density of, coconut

Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 89 - 100

Teknologi Pengendalian Hayati dengan Nucleo Polyhedrosis Virus (NPV) Terhadap Hama Kelapa Thosea monoloncha Meyrich

Biological Control Technology with Nucleo Polyhedrosis Virus (NPV) To Coconut Pest Thosea Monoloncha Meyrich

Fredy Lala, Andriko N. Susanto, Meldy L.A. Hosang, dan D. Soetopo

Hama ulat api Thosea monoloncha (Limacodidae: Lepidoptera) telah menyerang tanaman kelapa di Pulau Tolonuo, Kabupaten Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara dengan intensitas kerusakan bervariasi dari ringan sampai sangat berat. Penelitian bertujuan untuk mengendalikan populasi hama ulat api T. monoloncha dan respon petani terhadap teknologi pemanfaatan Nucleo Polyhedrosis Virus (NPV). Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2014 sampai November 2015. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi ektrak NPV dapat menurunkan populasi hama kelapa T. monoloncha, menurunkan intesitas kerusakan dari kerusakan sangat berat, berat dan sedang menjadi kerusakan ringan, meningkatkan jumlah pelepah dan buah kelapa dari 14 butir menjadi 45 butir per pohon. Respon petani terhadap berbagai aspek teknologi berada pada kisaran 63,5-97,5%.

Kata kunci: Kelapa, T. monoloncha, NPV, respon petani

The nettle caterpillars pest Thosea monoloncha (Limacodidae: Lepidoptera) has attacked the coconut plant in Tolonuo Island, North Halmahera district, North Maluku Province with the intensity of attacked varied from light minor damage to very severe damage. The study aims to control the population of nettle caterpillars T. monoloncha and the response of farmers to technology of using. Nucleo Polyhedrosis Virus (NPV). The study was conducted from December 2014 to November 2015. The results showed that the application of NPV extract can decrease the population of coconut pest T. monoloncha, the intensity of the damage decrease from very severe, heavy and moderate to light damage. In oposit, increase the amount of frond and coconut production increase from 14 to 45 nuts per tree. Farmers' responses to various aspects of technology varied from 63.5-97.5%.

Keywords: Coconut, T. monoloncha, NPV, farmer response

Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 101 - 116

Analisis Struktur Kendala Dalam Pengelolaan Sagu Berkelanjutan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau

Structure Analysis of the Contstraint Sago Sustainable Management in Kepulauan Meranti Regency Riau Province

Mamun Murod, Cecep Kusmana, Mochamad Hasjim Bintoro, Widiatmaka dan Endang Hilmi

Tanaman sagu (Metroxylon sp.) memiliki peran penting dalam kehidupan dan perekonomian masyarakat di Kabupaten Kepulauan Meranti. Pengembangan usaha sagu di Kabupaten ini pada masa yang akan datang memiliki prospek yang menjanjikan, karena pengembangan industrialisasi sagu belum optimal pelaksanaannya. Tanaman sagu saat ini luasnya 53.456 ha atau 43% dari lahan yang tersedia. Pengolahan sagu masih berjalan secara konvensional, yaitu hanya menghasilkan produk berupa pati sagu. Produksi pati sagu pada tahun 2017 sebesar 171.429 ton. Pengembangan produk hilirnya masih terbatas yaitu hanya mie, sohun dan kerupuk. Produk sampingnya berupa limbah dari ampas (repu) dan kulit (uyung) belum dimanfaatkan secara optimal. Dalam rangka mengembangkan sagu agar berkelanjutan, diperlukan desain struktur kendala. Pemodelan struktur kendala dilakukan dengan menggunakan Interpretative Structural Modelling (ISM). ISM adalah teknik pemodelan strategis yang dapat memotret kondisi sistem secara komprehensif. Penelitian ini bertujuan untuk menyusun strategi yang tepat berdasarkan analisis struktur kendala yang berpengaruh dalam pengelolaan sagu berkelanjutan di Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau. Hasil analisis ISM menunjukkan bahwa dalam pengelolaan sagu berkelanjutan terdapat 6 sub elemen kendala kunci, di antaranya: (1) Pemanfaatan dan pengolahan limbah; (2) Sistem ijon ; (3) Ketersediaan, distribusi dan segmentasi pasar; (4) Tata kelola air, (5) Pengolahan produk turunan dan desain kemasan; dan (6) Stabilitas harga. Demi tercapainya tujuan dalam pengelolaan sagu berkelanjutan, diperlukan dukungan dari semua stakeholders terkait baik dari pemerintah, akademisi, pengusaha, petani, lembaga keuangan dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) agar pengelolaan sagu berjalan secara baik dan berkelanjutan. Kata kunci : Interpretative Structural Modelling (ISM),

pengolahan sagu, sagu (Metroxylon Sagu), struktur kendala, VAXO.

Sago (Metroxylon sp.) has an important role and society economy in Meranti Island Regency. The development of sago business in the regency in the future has a promising aspect, because the development of the sago industrialization area has not been optimal. Currently the sago platns have wide area around 53.456 ha or 43% from the exist area. Cultivation sago is still conventional, it is only produce starch sago. In 2017 the starch sago has 171.429 ton. The development of downstream still limited that are noodle, vermicelli, and crackers. The by-product are waste from pulp (repu) and peel (uyung) is not be used optimaly yet. In order to develop sago to be sustainable, that required structure constraint design. Those model has done with method Interpretative Structural Modelling (ISM). Method ISM is the strategic model technic that can be seen system condition comprehensively. This research is purpose to set the appropriate strategy based on structure constraint design that has an effect in sustainable sago development in Meranti Island Regency, Riau Province. The result of ISM analysis shows that sustainable sago development has 6 sub element of key constraint, there are : (1) Waste utilization and management; (2) Ijon system; (3) Availability, distribution, and market

Buletin Palma Volume 17 No. 2, Desember 2016: 189 - 198

156

segmentation; (4) Water management; (5) processing of derivative product and packaging design, and (6) price stability, (7). To reach the sustainable cultivation sago, it is required support from every stakeholders both governments, academics, entrepreneurs, farmers, financial insitutions and non-governmental organization so that, sago cultivation run well and sustainable.

Keywords: Interpretative Structural Modelling (ISM), pengolahan sagu, sagu (Metroxylon Sagu), struktur kendala. VAXO

Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 117 - 126

Analisis Kelayakan Finansial Pengolahan Gula Cair Pati Sagu Di Kabupaten Konawe Selatan Financial Analysis Of Processing Sago Liquid Sugar At South Konawe Regency Zainal Abidin Swasembada gula telah dicanangkan oleh pemerintah untuk dicapai tahun 2019. Penelitian dilakukan di Desa Lamokula Kecamatan Moramo Utara Kab. Konawe Selatan pada bulan Juli – Oktober 2016. Penelitian dilakukan untuk mengetahui aspek ekonomi pembuatan gula cair pati sagu dan penerimaan masyarakat terhadap gula cair pati sagu. Penelitian menggunakan uji coba pembuatan gula cair pati sagu. Uji organoleptik dilakukan oleh85 orang panelis yang menguji tentang rasa, warna dan bau gula cair pati sagu serta pemanfaatannya pada minuman es teler. Hasil analisis menunjukkan bahwa usaha gula cair sagu dengan skala 200 kg per bulan layak secara ekonomi dengan nilai RCR 1,79dengan pendapatan bersih per bulan sekitar Rp. 1.590.000, dan nilai TIP sebesar 112 liter dan TIH sebesar Rp. 10.050. Produksi gula cair sagu tetap layak dilaksanakan meskipun terjadi perubahan harga input berupa bahan baku sagu naik hingga 30%, bahan bakar gas hingga 10%, tenaga kerja dan kemasan hingga 20% meskipun produksi turun hingga 10%, akan tetapi harga naik minimal 10%. Hasil uji organoleptik menunjukkan bahwa gula cair sagu memiliki rasa, warna dan bau yang dapat di terima baik oleh masyarakat. Demikian pula halnya jika gula cair sagu di gunakan dalam minuman es teler dengan parameter rasa dan bau, di anggap baik oleh panelis. Ke depan gula cair sagu dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif dalam upaya pencapaian swasembada gula.

Kata kunci: uji organoleptik, aspek ekonomi, minuman es teler.

Sugar is a one of commodity that goverment already decided to reach national self sufficient in 2019. One effort that was conducted is using sago starchto produce liguid sugar. Research was done in Lamokula Village, North Moramo Sub Distric, South Konawe Regency at July – October 2016. The research was conducted to know the economic analysis and organoleptic test of producing liquid sugar from sago starch. Research usedtesting of producion sago liquid sugar in home scale. Besides that organoleptic test was conducted using questionare for 85 panelists that threat the taste, color and smell of sago liquid sugar and also application of sago liquid sugar in drinks. The result of research showed that producing sago liquid sugar from sago starch with capacity 200 kg was feasible with value of RCR 1,79and net income reach Rp. 1.590.000, with BEP from production side 112 liters and BEP from price side Rp. 10.050. Production of sago liqud sugar still feasible even price of wet sago increase until 30%, gas fuel until 10%, labour and packaging until 20% eventhoug production decrease 10% but price of sago liquid sugar increase minimum 10%. The yield of organoleptic test show that sago liquid sugar have taste, color and smell that can be good accepted by community. Even that if sago liquid sugar apply in ice drinks, the taste and smell

of ice drinks is good. For the next sago liquid sugar can substitute sugar cane and also other sweetener and support the the effort to reach national self sufficient of sugar.

Keywords: organoleptic test, economic analysis, teler ice drinks

Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 127 - 145

Pengaruh Jarak Tanam Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Jagung (Zea mayz.L) Pada Tingkat Umur Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) The Effect Spacing of Growth and Yield Corn (Zea mayz.L) of The Palm Oil (Elaeis guineensis Jacq) Grade Aged M.Nur, Asrul, Dan Rafiuddin

Penelitian pengaruh jarak tanam terhadap pertumbuhan dan hasil jagung pada tingkat umur kelapa sawit dilakukan untuk mengetahui pengaruh jarak tanam dan tingkat umur kelapa sawit serta interaksi antara jarak tanam dan tingkat umur kelapa sawit terhadap pertumbuhan dan hasil jagung. Penelitian dilaksanakan di Desa Karossa Kecamatan Karossa, Kabupaten Mamuju Tengah Propinsi Sulawesi Barat, dari bulan Juli sampai Oktober tahun 2016. Percobaan dalam bentuk Rancangan Acak Kelompok 1 faktor, perlakuannya adalah jarak tanam 50 cm x 25 cm, 60 cm x 25 cm dan 70 cm x 25 cm. Perlakuan dilakukan pada kelapa sawit umur 1,5 tahun, 2,5 tahun dan 3,5 tahun dan tanpa kelapa sawit, dan 3 ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Jarak tanam 70 cm x 25 cm terbaik pada semua tingkat umur, dan jagung pada kelapa sawit umur 2,5 tahun secara umum terbaik, terutama pada bobot kering total tanaman (338,73 g), laju tumbuh relatif (9,93 g tan2.minggu-1), bobot kering 1000 biji (3118,80g), hasil biji pipilan (5,58 ton ha-1), dan ada interaksi antara jarak tanam dan tingkat umur kelapa sawit. Kata kunci : Pertumbuhan vegetatif, indeks luas daun, Intensitas

cahaya, hasil biji, indeks panen.

The research spacing of corn growth and yield of the palm oil various aged is to know the effect of the spacing, palm oil grade aged, and interaction. The research was conducted in Karossa village, the district of Karossa, Central Mamuju regency. West Sulawesi from July to October, 2016. Experiments in the form of RAK 1 factor , the treatment is spacing of 50 cm x 25 cm, 60 cm x 25 cm and 70 cm x 25 cm, performed on palm oil aged 1.5 years, 2.5 years, 3.5 years and no palm oil, and repeated 3. The result showed for 70 cm x 25 cm is the best for all grade aged. The best especially in general for total dry weight ( 338.73 g ), relative growth rate ( 9.93 g. plant-2.week- 1 ), weight of yield 1000 (312.67g), grain yield (5.58ton ha-1) of corm of aged 2.5 yr palm oil and there is interaction. Keywords: Vegetative growth, life area index, sunglight intensity,

grain yield, harvest indeks

Pedoman Penulisan Buletin Palma

1. Buletin Palma adalah publikasi ilmiah primer yang memuat hasil penelitian primer komoditas kelapa dan palma lain, yang belum pernah dimuat pada media apapun, diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan.

2. Naskah diketik menggunakan program Microsoft Word dengan ukuran kertas A4, jenis huruf Book Antiqua 10, jarak 1,5 spasi, jarak dari tepi kertas masing-masing 3 cm, maksimal 20 halaman.

3. Susunan naskah sebagai berikut : Judul, Nama dan Institusi Penulis, Abstrak berbahasa Indonesia, Kata Kunci, Abstract berbahasa Inggris, Keywords, Pendahuluan, Bahan dan Metode, Hasil dan Pembahasan, Kesimpulan, Ucapan Terima Kasih (jika ada) dan Daftar Pustaka.

4. Judul: Singkat, jelas, menggambarkan isi naskah, terdiri dari 5 sampai dengan 15 kata, menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris yang baik dan benar serta ditulis dengan huruf besar.

5. Nama dan Institusi Penulis: Nama penulis ditulis lengkap tanpa gelar, nama penulis pertama merupakan penulis utama, institusi penulis pertama, kedua dan seterusnya ditulis secara lengkap.

6. Abstrak dan Abstract: Memuat perumusan masalah, tujuan, metodologi, hasil utama, kesimpulan, dan implikasi hasil penelitian dengan jumlah tidak lebih dari 250 kata. Abstract berbahasa Inggris merupakan terjemahan dari abstrak berbahasa Indonesia. Dibawah abstrak dicantumkan kata kunci yang merupakan terjemahan dari keywords dengan jumlah antara 5-8 kata.

7. Pendahuluan: Memuat latar belakang, perumusan masalah yang akan dipecahkan, hipotesa, pendekatan, sitasi pustaka yang relevan dan tujuan.

8. Bahan dan Metode: Memuat uraian tentang bahan dan peralatan, tempat dan waktu penelitian, serta metode penelitian (desain penelitian, perlakuan, rancangan percobaan, metode analisis) yang digunakan.

9. Hasil dan Pembahasan: Data yang ditampilkan sudah dianalisis dan relevan, pembahasan menjelaskan kaitannya dengan teori/hipotesis, dan menjelaskan pentingnya hasil yang diperoleh untuk kepentingan pengembangan penelitian selanjutnya/penerapan teknologi/ rekomendasi rumusan kebijakan.

a. Judul tabel dan isinya singkat ditulis dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris) sehingga tabel dapat berdiri sendiri. Tabel diberi nomor urut sesuai dengan keterangan di dalam teks. Keterangan tabel diletakkan dibawah tabel. Huruf a, b, c, dan seterusnya digunakan untuk tanda signifikansi sedangkan angka 1, 2, 3 dan seterusnya digunakan untuk keterangan tabel.

b. Judul gambar dan grafik beserta isinya ditulis dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris), diberi nomor urut serta penjelasannya. Data grafik agar dilampirkan dan dibuat dengan menggunakan program Microsoft Excel. Gambar berupa foto hitam putih atau berwarna ditampilkan dengan kontras. Jumlah halaman tabel dan gambar tidak melebihi 30% dari jumlah halaman artikel.

10. Kesimpulan: Mengemukakan hasil (output) terpenting yang dihasilkan (teori/inovasi terbaru), dan menjawab tujuan, hipotesis serta temuan lain selama penelitian.

11. Daftar Pustaka: Jumlah sumber daftar pustaka minimal 10 dan pustaka primer minimal 80% dari referensi terbitan 5 tahun terakhir. Urutan penulisan daftar pustaka disesuaikan dengan urutan abjad.

Contoh penlulisan sitasi dan daftar pustakanya:

Artikel Jurnal (Jurnal Primer)

Pandin, D.S. 2010. Keragaman Genetik Kelapa Dalam Bali (DBI) dan Dalam Sawarna (DSA) Berdasarkan Penanda Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD). Jurnal Penelitian Tanaman Industri. 16(2): 83-89.

Buku

O’Brien, J.A. 2002. Management Information Systems: Managing information technology in the e-business enterprise. 4th Edition. New York: McGraw-Hill Inc.

Artikel dalam buku

Novarianto, H., Akuba RH., Mashud, N., Tenda, E., and Kumaunang J. 2005. Status of Coconut Genetic Resouces Research in Indonesia. P. 608-617. In Batugal P., Ramanatha Rao V., and Oliver J. (Eds.). Coconut Genetic Resources. IPGRI.

Skripsi/Tesis/Disertasi

Noli L. Barri. 2012. Transmisi radiasi matahari dan profil iklim mikro serta hubungannya dengan pertumbuhan dan produksi tanaman sela pada beberapa umur kelapa. [Disertasi]. Sekolah Pasca sarjana IPB. Bogor.

Naskah Prosiding

Alouw, J.C., Meldy L.A. Hosang, dan Bambang Heliyanto. 2010. Hama Brontispa longissima (Coleoptera: Chrysomelidae) : Masalah dan pengendaliannya. Prosiding Konperensi Nasional Kelapa VII Buku I, Manado, 26-27 Mei 2010. p. 107-117.

Naskah online

Nasseri, T. 1996. Knowledge leverage: the ultimate advantage.http://cmypiles/nasseri.htm. [diakses tanggal 14 Maret 2008].

12. Pengiriman Naskah: Naskah (print out) dikirim 2 rangkap ke Redaksi melalui pos dan file-nya dikirim melalui e-mail. Keputusan Dewan Redaksi tentang penerimaan naskah akan disampaikan melalui e-mail.

Alamat Redaksi:

Redaksi Buletin Palma,

Balai Penelitian Tanaman Palma Manado

Jln. Raya Mapanget Kotak Pos 1004 Manado 95001

Telp: (0431) 312830, Fax. (0431) 812017

E-mail : [email protected]