Isoniazid - salbutamol
Click here to load reader
-
Upload
anna-rumaisyah -
Category
Documents
-
view
384 -
download
8
description
Transcript of Isoniazid - salbutamol
1. Isoniazid
a. Jenis
Isoniazid merupakan obat anti tuberkulosa golongan lini ke satu.
b. Farmakodinamik
Isoniazid ini bersifat bakterisid , mekanisme kerja INH terlibat dalam
penghambatan enzim esensial untuk sintesis asam mikolat dan dinding sel
mikrobakterium. INH dan piridoksin dan strukturnya analog, dan INH bersifat
antagonis kompetitif pada reaksi yang dikatalisis piridoksin pada Escherichia coli.
Namun demikian, mekanisme ini tidak terlibat pada kerja antituberkulosis.
Pemberian piridoksin dalam dosis besar penderita yang mendapat INH tidak
mempengaruhi kerja antituberkulotik INH, tetapi obat ini mencegah neuritis
(Katzung, 2010).
c. Farmakokinetik
Isoniazid atau biasa disebut INH segera diabsorpsi dari saluran pencernaan.
Pemberian dosis biasa (5 mg/kg/hari) menghasilkan konsentrasi puncak plasma 3-5
µg/ml dalam 1-2 ja. INH bedifusi segera ke dalam seluruh cairan tubuh dan jaringan.
Konsentrasi di susunan saraf pusat dan cairan serebrospinal lebih kurang 1/5 dari
kadar plasma. Kadar obat di intraseluler dan ekstraseluler sama (Katzung, 2010).
Metabolisme terutama asetilasi dari INH yaitu di bawah control gen.
konsentrasi rata-rata INH aktif dalam plasma dari inaktivator cepat lebih kurang 1/3-
1/2 dari konsentrasi rata-rata inaktivator lambat. Waktu penuh rata-rata INH pada
inaktivator cepat kurang dari1-1/2 jam, sedangkan pada inaktivator lambat yaitu 3
jam. Telah ditunjukkan bahwa pada asetilator cepat lebih cenderung mendapat
toksisitas hepatic dari INH, tetapi hal tersebut belum dikonfirmasikan. Kecepatan
asetilasi sedikit pengaruhnya dalam regimen disis harian tetapi mungkin
mengganggu aktivitas antimikrobakteri pada pemberian INH intermiten (1-2 kali
seminggu) (Katzung, 2010).
INH diekskresikan terutama dalam urin sebagian besar dalam bentuk obat
utuh, sebagian sebagai konyugat lain. Jumlah bentuk utuh, yaitu INH bebas dalam
urin lebih tinggi daripada inaktivator lambat. Pada gagal ginjal, dosis normal INH
biasanya dapat diberikan, tetapi pada insufiensi hepatic berat, dosis obat ini harus
diturunkan (Katzung, 2010).
a. Sediaan
Sediaan isoniazid adalah tablet
b. Dosis
Dosis biasa yaitu 5 mg/kg/hari (maksimal untuk dewasa 300 mg/hari). Dua
kali dosis tersebut sering digunakan pada penyakit berat dan meningitis, tetapi
terdapat sedikit bukti bahwa dosis yang lebih tinggi lebih efektif pada orang dewasa
(10 mg/kg/hari). Anak-anak harus mendapatkan 10 mg/kg/hari, dan untuk terapi
rumatan setelah perbaikan awal seringkali diberikan 2x15 mg/kg/minggu. Piridoksin
harus diberikan 10 mg/100 mg isoniazid untuk mencegah neuritis (Katzung, 2010).
Penderita yang mengalai perubahan uji kulit berkulin negative menjadi
positif, diberikan INH 5-10 mg/kg/hari (maksimum 300 mg/hari), selama 1 tahun
untuk profilaksis terhadap 5-15% risiko terkena meningitis atau penyebaran milier
(Katzung, 2010).
c. Efek Samping
Insiden dan beratnya efek samping dari INH berkaitan dengan dosis dan
lamanya pemberian. Reaksi alergi biasanya terjadi demam, kulit kemerahan, dan
hepaptitis jarang terjadi. Toksisitas langsung yakni efek toksik uang paling sering
(10-20%) sering terjadi pada sistem saraf di perifer dan pusat. Hal tersebut didukung
dengan adanya defisiensi piridoksin, mungkin merupakan hasil kompetisi INH
dengan piridoksal fosfat terhadap enzim apotriptofanase. Reaksi toksik ini termasuk
neuritis perifer, insomnia, lesu, retensi urin, dan bahkan konvulsi serta episode
psikotik. Kebanyakan dari komplikasi ini dapat dicegah dengan pemberian piridoksin
(Katzung, 2010).
d. Indikasi dan Kontraindikasi
Indikasi isoniazid diberikan kepada pemgobatan dan pencegahan tuberculosis
dalam bentuk pengobatan tunggal maupun kombinasi dengan obat tuberculosis
lainnya Kontraindikasi isoniazid pada graviditas, usia balita, gangguan fungsi ginjal
dan optikus (Schmitz,et al, 2008).
e. Contoh penulisan resep
R/ Isoniazid mg 300 tab No. XXI
S. 1 dd tab III o. N
Salbutamol
a. Jenis
Salbutamol termasuk obat asma golongan agonis selektif reseptor β2.
b. Farmakodinamik
Salbutamol merupakan beta selektif 2. Agonis menyediakan short-acting (4-6
jam) bronkodilator dengan onset cepat (dalam 5 menit) di saluran napas reversible
obstruksi. Pada dosis terapeutik, bertindak berdasarkan beta2 -Adrenoseptor dari
bronchial otot. Salbutamol menyediakan short-acting (4-6 jam) bronchodilatation
dengan cepat onset (dalam 5 menit) pada obstruksi saluran napas reversible (Anonim,
2010).
a. Farmakokinetik
Salbutamol mudah diserap dari saluran pencernaan, konsentrasi plasma
maksimum terjadi dalam waktu 2,5 jam. Metabolisme pertama terjadi di
hati. Plasma Waktu paruh berkisar 2,7-7,0 jam.Penghapusan terjadi oleh kedua
metabolisme dan ekskresi urin. 76% dari dosis oral diekskresikan lebih dari 3 hari
dengan mayoritas dari dosis diekskresikan dalam 24 jam pertama (Anonim, 2010).
Salbutamol dimetabolisme ke konjugat sulfat sebesar 50% dari dosis
oral. Sekitar setengah diekskresikan dalam urin sebagai konjugat sulfat tidak aktif,
setelah pemberian oral (sisanya tidak berubah salbutamol), sedangkan agak kurang
diekskresikan sebagai konjugat setelah pemberian intravena. Tidak seperti
isoprenalin, salbutamol tidak aktif oleh katekol-o-metil-transferase (COMT) atau
enzim sulphatase (Anonim, 2010).
Setelah terapi inhalasi, penyerapan sistemik rendah, konsentrasi serum
maksimum terjadi dalam waktu 2-4 jam. Salbutamol tidak muncul yang akan
dimetabolisme di paru-paru, oleh karena itu inhalasi berikut tergantung pada metode
penyampaian yang dipergunakan, yang menentukan proporsi relatif salbutamol
inhalasi untuk proporsi secara tidak sengaja tertelan (Anonim, 2010)
Hasil urin mengindikasikan eliminasi waktu paruh sekitar empat jam. Dari
jumlah itu yang diserap, 72% diekskresikan dengan 24 jam dalam urin, 28% sebagai
salbutamol tidak berubah dan 44% sebagai konjugat sulfat. Salbutamol tidak dapat
menembus sawar darah-otak (Anonim, 2010).
b. Sediaan
Salbutamol juga telah tersedia dalam berbagai bentuk sediaan mulai dari
sediaan oral (tablet, sirup, kapsul), inhalasi aerosol, inhalasi cair sampai injeksi.
e. Dosis
1. Sediaan oral
Anak < 2 tahun : 200 mcg/kg BB diminum 4 kali sehari
Anak 2-6 tahun : 1-2 mg 3-4 kali sehari
Anak 6-12 tahun : 2 mg diminum 3-4 kali sehari
Dewasa : 4 mg diminum 3-4 kali sehari, dosis maksimal 1 kali
minum sebesar 8 mg.
Catatan : dosis awal untuk usia lanjut dan penderita yang sensitif sebesar 2 mg
2. Inhalasi aerosol
Anak : 100 mcg (1 hisapan) dan dapat dinaikkan menjadi 200 mcg (2
hisapan) bila perlu.
Dewasa : 100-200 mcg (1-2 hisapan), 3-4 kali sehari
3. Inhalasi cair
Dewasa dan anak >18 bulan : 2,5 mg diberikan sampai 4 kali sehari atau 5 kali
bila perlu.
Catatan : manfaat terapi ini pada anak < 18 bulan masih diragukan.
4. Injeksi subkutan atau intramuscular
Dosis : 500 mcg diulang tiap 4 jam bila perlu
5. Injeksi intravena lambat
Dosis : 250 mcg, diulang bila perlu
Sediaan inhalasi cair banyak digunakan di rumah sakit untuk mengatasi asma akut
yang berat, sedangkan injeksi digunakan untuk mengatasi penyempitan saluran nafas
yang berat. Bentuk sediaan lain, seperti tablet, sirup dan kapsul digunakan untuk
penderita asma yang tidak dapat menggunakan cara inhalasi. Dari berbagai bentuk
sediaan yang ada, pemberian salbutamol dalam bentuk inhalasi aerosol cenderung
lebih disukai karena selain efeknya yang cepat, efek samping yang ditimbulkan lebih
kecil jika dibandingkan sediaan oral seperti tablet. Bentuk sediaan ini cukup efektif
untuk mengatasi serangan asma ringan sampai sedang, dan pada dosis yang
dianjurkan, efeknya mampu bertahan selama 3-5 jam (Anonim,2000).
f. Efek Samping
Efek samping yang mungkin timbul karena pamakaian salbutamol, antara
lain: gangguan sistem saraf (gelisah, gemetar, pusing, sakit kepala, kejang,
insomnia); nyeri dada; mual, muntah; diare; anorexia; mulut kering; iritasi
tenggorokan; batuk; gatal; dan ruam pada kulit (skin rush). Untuk penderita asma
yang disertai dengan penyakit lainnya seperti: hipertiroidisme, diabetes mellitus,
gangguan jantung termasuk insufisiensi miokard maupun hipertensi, perlu adanya
pengawasan yang lebih ketat karena penggunaan salbutamol bisa memperparah
keadaan dan meningkatkan resiko efek samping. Pengawasan juga perlu dilakukan
pada penderita asma yang sedang hamil dan menyusui karena salbutamol dapat
menembus sawar plasenta. Untuk meminimalkan efek samping maka untuk wanita
hamil, sediaan inhalasi aeorosol bisa dijadikan pilihan pertama. Penggunaan
salbutamol dalam bentuk sediaan oral pada usia lanjut sebaiknya dihindari mengingat
efek samping yang mungkin muncul (Anonim, 2000).
g. Indikasi dan Kontraindikasi
Salbutamol diindikasikan untuk pengobatan ringan sampai parah dan
bronkospasme reversible obstruksi saluran udara. Kontraindikasi pada hipertiroid,
insufisiensi miokardial, aritmia, rentan terhadap perpanjangan interval QT,
hipertensi, kehamilan (dosis tinggi sebaiknya diberikan melalui inhalasi karena
pemberian melalui pembuluh darah dapat mempengaruhi miometrium dan
dapat mengakibatkan gangguan jantung), menyusui; diabetes mellitus,
terutama pemberian melalui pembuluh darah (pantau kadar gula
darah, dilaporkan ketoasidosis.
Untuk asma jika dosis tinggi diperlukan selama kehamilan maka sebaiknya
diberikan dengan inhalasi karena pemberian intravena dapat mempengaruhi
miometrium. Mungkin muncul di ASI; pabrik menyarankan untuk dihindari
kecuali manfaat jauh lebih besar dari risiko- jumlah dari obat yang diinhalasi
pada ASI mungkin terlalu kecil untuk membahayakan (Anonim, 1995).
h. Contoh Peresepan Obat
R/ Salbutamol mg 4 tab No. XXI
S. 3 dd tab 1