islam pos

2
MEDIA Islam di Indonesia muncul berbarengan dengan menjalarnya semangat reformasi yang dihembuskan dari kawasan Timur Tengah, awal abad ke-20. Dua majalah terkemuka Mesir, Urwatul Wutsqo dan Al Manar, memberikan inspirasi aktivis gerakan Islam di negeri ini. Melalui gerakan seperti Jami’at al-Khair, Muhammadiyah, Sarekat Dagang Islam, Nahdlatul Ulama, Persatuan Islam, serta Jong Islamienten Bond, kebutuhan akan media perjuangan muncul. Meski demikian perintis media Islam tercatat bukan dari organisasi massa tersebut. Para ulama muda Sumatera Barat justeru yang mempelopori penerbitan media bernama Al-Munir (majalah), terbit pada tahun 1911. Setelah itu, barulah organisasi-organisasi Islam itu menerbitkan media yang menyorot peristiwa-peristiwa kala itu menurut kebijakan organsisasinya. Sarekat Islam, misalnya, menerbitkan Sarotama (Surakarta), Sinar Hindia (Semarang) Persatoean (Banjarmasin), Al- Djihad (Surabaya). Persatuan Islam menerbitkan Pembela Islam. Sedangkan Muhammadiyah menerbitkan majalah Adil. Pada masa pendudukan Jepang, sebagian media itu dibredel. Ada pula yang terpaksa tutup karena manajemen keuangan yang tak imbang. Hingga pascakemerdekaan majalah Adil dan Suara Muhammadiyah-lah yang tumbuh cukup baik. Ada pula majalah Kiblat, Al-Muslimun sebagai pendatang berikutnya. Laporkan iklan? Melihat media Islam bersi fat partisan, pada 1959 Buya Hamka menerbitkan majalah Panji Masyarakat (Panjimas) yang tidak terikat pada ormas Islam tertentu. Majalah ini pada mulanya cukup fenomenal karena sebagian artikelnya kritis pada masalah-masalah yang menimpa umat Islam. Namun, penguasa Orde Baru yang represif dan tak kenal perbedaan menjadikan Panjimas sulit berkembang, meski masih bisa terbit. Pada era 80-an dimana banyak kebijakan Orde Baru selama itu merugikan umat Islam, semangat “perlawanan” pun muncul. Sementara grup majalah Kartini yang melirik pasar keluarga Islam potensial akhirnya menerbitkan majalah Amanah dengan tampilan yang populer, tahun 1986. Di sisi lain, para aktivis Islam, melalui diskusi-diskusi tertutup mendapatkan respons meluas tentang perlunya melakukan perlawanan

description

islaam pos

Transcript of islam pos

Page 1: islam pos

MEDIA Islam di Indonesia muncul berbarengan dengan menjalarnya semangat reformasi yang dihembuskan dari kawasan Timur Tengah, awal abad ke-20. Dua majalah terkemuka Mesir, Urwatul Wutsqo dan Al Manar, memberikan inspirasi aktivis gerakan Islam di negeri ini.

Melalui gerakan seperti Jami’at al-Khair, Muhammadiyah, Sarekat Dagang Islam, Nahdlatul Ulama, Persatuan Islam, serta Jong Islamienten Bond, kebutuhan akan media perjuangan muncul. Meski demikian perintis media Islam tercatat bukan dari organisasi massa tersebut. Para ulama muda Sumatera Barat justeru yang mempelopori penerbitan media bernama Al-Munir (majalah), terbit pada tahun 1911.

Setelah itu, barulah organisasi-organisasi Islam itu menerbitkan media yang menyorot peristiwa-peristiwa kala itu menurut kebijakan organsisasinya. Sarekat Islam, misalnya, menerbitkan Sarotama (Surakarta), Sinar Hindia (Semarang) Persatoean (Banjarmasin), Al-Djihad (Surabaya). Persatuan Islam menerbitkan Pembela Islam. Sedangkan Muhammadiyah menerbitkan majalah Adil.

Pada masa pendudukan Jepang, sebagian media itu dibredel. Ada pula yang terpaksa tutup karena manajemen keuangan yang tak imbang. Hingga pascakemerdekaan majalah Adil dan Suara Muhammadiyah-lah yang tumbuh cukup baik. Ada pula majalah Kiblat, Al-Muslimun sebagai pendatang berikutnya.

Laporkan iklan?

Melihat media Islam bersifat partisan, pada 1959 Buya Hamka menerbitkan majalah Panji Masyarakat (Panjimas) yang tidak terikat pada ormas Islam tertentu. Majalah ini pada mulanya cukup fenomenal karena sebagian artikelnya kritis pada masalah-masalah yang menimpa umat Islam. Namun, penguasa Orde Baru yang represif dan tak kenal perbedaan menjadikan Panjimas sulit berkembang, meski masih bisa terbit.

Pada era 80-an dimana banyak kebijakan Orde Baru selama itu merugikan umat Islam, semangat “perlawanan” pun muncul. Sementara grup majalah Kartini yang melirik pasar keluarga Islam potensial akhirnya menerbitkan majalah Amanah dengan tampilan yang populer, tahun 1986.

Di sisi lain, para aktivis Islam, melalui diskusi-diskusi tertutup mendapatkan respons meluas tentang perlunya melakukan perlawanan terhadap rezim Soeharto. Dari sinilah kemudian muncul gagasan menerbitkan media internal yang mengandung ruh pembebasan umat. Majalah Sabili mempelopori penerbitan media kritis dalam masa-masa kritis itu. Lantas, di kalangan Muslimah dengan simbol agama yang saat dikekang, berbusana Muslimah di tempat umum, muncul majalah Ummi.

Soeharto jatuh media Islam mendapatkan udara segar. Tumbuh bersama media lain tanpa khawatir ditekan penguasa atau ancaman pembredelan. Hanya saja, perkembangannya belum memuaskan. Barangkali perlu waktu untuk tumbuh sehat dulu. [Misroji/islampos]