Isi Referat Batang Otak & Ms
-
Upload
made-helen-virginia -
Category
Documents
-
view
315 -
download
13
Transcript of Isi Referat Batang Otak & Ms
BAB I. BATANG OTAK
Secara anatomis Batang Otak meliputi seluruh struktur di atas Medula spinalis kecuali Cerebrum,
Cerebellum, dan Substansia Alba. Jadi Batang Otak terdiri dari Medulla Oblongata, Pons,
Mesencephalon, Thalamus, dan Ganglia Basalis. Tetapi Thalamus dan Ganglia Basalis lebih menjurus
pada fungsi cerebral dan hubungan antara Cerebellum dan Cerebrum. Fungsi motoris dari Batang Otak
terutama mengontrol tonus otot dan sikap tubuh. Batang Otak juga penting dalam reaksi keseimbangan.
Batang Otak merupakan sumber energi motoris yang sangat kuat yang dikontrol oleh pusat-pusat
yang lebih tinggi selama aktivitas motoriknya. Bilamana kontrol dari pusat-pusat yang lebih tinggi
terhadap aktivitas motoris batang otak dihilangkan maka energi motorik dari batang otak tak terbendung
dan menjadi manifestasi sebagai kekakuan (decerebrate rigidity). Bila dilakukan pemotongan setinggi
interkolikulus dari mesensefalon sehingga bagian rostral Mesencephalon, Thalamus dan Corteks Cerebri
dihilangkan fungsinya maka akan terjadi hipertonia yang hebat dari seluruh otot-otot ekstensor.
Ekstremitas akan mengalami ekstensi yang kaku, punggung kaku dan lurus, sedang kepala terangkat ke
atas dan sedikit ke belakang. Kekakuan akibat deserebrasi ini terjadi akibat lepasnya pusat-pusat motoris
Batang Otak dari kontrol pusat motoris yang lebih tinggi yang terletak di tempat pemotongan.
Formasi retikularis merupakan bagian dari Batang Otak yang meluas dari bagian kaudal Medulla
Oblongata, melalui Pons dan Mesencephalon ke dalam Thalamus. Formasi Retikularis terbentuk dari
konglomerasi yang difus dari sel-sel saraf dan serabut-serabut saraf dengan berbagai macam ukuran dan
jenis, sehingga ia merupakan suatu matriks yang kompleks. Dilihat dari pengaruhnya terhadap refleks-
refleks spinal, Formasio Retikularis dapat dibagi dua yaitu Formasio Retikularis Fasilitatoris (FRF) dan
Formasi Retikularis Inhibitoris (FRI). FRF menerima asupan eksitatoris yang kuat dari :
1. Serabut sensoris ascendens, yang melalui Batang Otak menuju ke Thalamus dan Cortex
Cerebri
2. Serabut saraf Vestibulo-cochlear (N.VIII)
Kedua sumber ini memberikan asupan eksitatoris tonik terhadap FRF sehingga FRF cenderung
untuk menghasilkan aktivitas yang kuat. Tetapi dengan adanya pengaruh dari Cortex Motoris, Ganglia
Basalis, dan Cerebellum aktivitas FRF dapat dikontrol. Tanpa adanya kontrol dari struktur yang lebih
tinggi tersebut maka FRF akan lepas, dan terjadilah peningkatan impuls yang menuju ke bawah dan
mempengaruhi refleks-refleks spinal. Impuls dari FRF menuju ke bawah melalui Traktus
Retikulospinalis, Traktus Vestibulospinalis, dan Traktus Tektospinalis. Pengaruh dari FRF terutama
ditujukan pada refleks-refleks ekstensi, walaupun kadang-kadang refleks fleksi juga ditingkatkan.
Umumnya pengaruh FRF bersifat resiprokal, yaitu ia menyebabkan fasilitasi ekstensor dan inhibisi
fleksor. Salah satu fungsi motoris dari Batang Otak adalah mengontrol sikap tubuh. Jadi pengaruh FRF
terhadap ekstensor memang diharapkan, oleh karena ekstensorlah yang paling penting di dalam
mempertahankan sikap tubuh. Berbeda dengan FRF yang dikontrol atau ditekan fungsinya oleh Cortex
1
Motorik, Ganglia Basalis, dan Cerebellum, maka FRI justru membutuhkan ketiga pusat motoris ini untuk
merangsangnya menjadi aktif. Tanpa pengaruh dari pusat-pusat motoris ini maka FRI tak mampu
mempengaruhi refleks-refleks spinal. Pengaruh FRI terhadap refleks-refleks spinal biasanya bersifat
resiprokal pula yaitu inhibisi ekstensor dan fasilitasi fleksor. Dengan mempelajari fungsi formasi
retikularis maka kekakuan akibat deserebrasi yang disebut di atas disebabkan oleh :
1. Hilangnya kontrol terhadap pengaruh Batang Otak pada tonus ekstensor (FRF)
2. Hilangnya pengaruh inhibisi dari Batang Otak terhadap tonus ekstensor (FRI)
REFLEKS ORIENTASI TUBUH
Salah satu fungsi motoris Batang Otak yang penting adalah mengontrol keseimbangan tubuh dan
orientasi dalam ruang. Fungsi Batang Otak di dalam mempertahankan stabilitas mekanis dilaksanakan
melalui refleks orientasi tubuh. Terdapat 3 kelompok refleks orientasi tubuh :
1. Refleks yang berasal dari reseptor labyrinth yang terletak pada telinga bagian dalam
2. Refleks yang berasal dari reseptor visual
3. Refleks yang berasal dari proprioseptor dan mungkin dari eksteroseptor
Impuls sensoris dari berbagai reseptor ini menimbulkan sejumlah refleks keseimbangan dan
ketepatan. Demikian pula dengan refleks sebagai respons terhadap akselerasi linier dan angular.
LESI BATANG OTAK
Batang otak merupakan suatu struktur yang secara anatomi kompak, secara fungsional barmacam-
macam, dan secara klinis penting. Bahkan suatu lesi tunggal yang relatif kecilpun hampir selalu merusak
beberapa nukleus, pusat refleks, traktus, atau jaras. Lesi seperti itu seringkali bersifat vaskular (misalnya,
perdarahan, iskemia oklusif), tetapi tumor, trauma, dan proses degeneratif atau demielinasi dapat juga
merusak batang otak.
Di Batang Otak daerah susunan piramidal dilintasi oleh akar saraf otak ke-3, ke-6, ke-7 dan ke-12,
sehingga lesi yang merusak kawasan piramidal batang otak sesisi mengakibatkan hemiplegi yang
melibatkan saraf otak secara khas dan dinamakan hemiplegi alternans. Lesi sesisi atau hemilesi yang
sering terjadi di otak jarang dijumpai di medula spinalis, sehingga kelumpuhan UMN akibat lesi di
medula spinalis pada umumnya berupa tetraplegia atau paraplegia. Hemiplegia alternans akibat hemilesi
di batang otak dapat dirinci dalam :
1. Sindrom Hemiplegia alternans di mesencephalon
2. Sindrom Hemiplegia alternans di pons
3. Sindrom Hemiplegia alternans di medula spinalis
Kerusakan unilateral pada jaras kortikobulbar/kortikospinal di tingkat batang otak menimbulkan
sindrom hemiplegia alternans. Sindrom tersebut terdiri atas kelumpuhan UMN yang melanda otot-otot
belahan tubuh kontralateral yang berada di bawah tingkat lesi, sedangkan setingkat lesinya terdapat
2
kelumpuhan LMN, yang melanda otot-otot yang disarafi oleh saraf kranial yang terlibat dalam lesi.
Tergantung pada lokasi lesi paralitiknya, dapatlah dijumpai sindrom hemiplegia alternans di
Mesencephalon, Pons dan Medula Oblongata.
Sindrom Hemiplegia Alternans di Mesencephalon
Gambaran penyakit tersebut di atas dijumpai bilamana hemilesi di batang otak menduduki pedunkulus
serebri di tingkat Mesencephalon. Nervus okulomotorius (N.III) yang hendak meninggalkan
Mesencephalon melalui permukaan ventral melintasi daerah yang terkena lesi, sehingga ikut terganggu
fungsinya. Hemiplegia alternans dimana Nervus Okulomotorius ipsilateral ikut terlibat dikenal sebagai
hemiplegia alternans N.Okulomotorius atau Sindrom dari Weber. Adapun manifestasi kelumpuhan n.III
itu ialah (a) paralisis M.Rektus Internus (medialis), M.Rektus Superior, M.Rektus Inferior, M.Oblikus
Inferior dan M.Levator Palpebrae Superioris sehingga terdapat STRABISMUS DIVERGENS,
DIPLOPIA jika melihat ke seluruh jurusan dan PTOSIS (b) paralisis M.Sfingter Pupilae, sehingga
terdapat pupil yang melebar (MIDRIASIS). Jika salah satu cabang dari rami Perforantes paramedialis
A.Basilaris yang tersumbat, maka infark akan ditemukan di daerah yang mencakup dua per tiga bagian
lateral pedunkulus serebri dan daerah nukleus ruber. Oleh karena itu, maka hemiparesis alternans yang
ringan sekali tidak saja disertai paresis ringan N.III, akan tetapi dilengkapi juga dengan adanya gerakan
involuntar pada lengan dan tungkai yang paretik ringan (di sisi kontralateral) itu. Sindrom ini dikenal
sebagai Sindrom Benedikt.
Sindrom Pedunkularis
Disebut juga hemiplegia okulomotorik alternan dan sindrom weber di otak tengah bagian basal,
melibatkan saraf III dan bagian-bagian dari pedunkulus serebralis
Sindrom Benedikt
Terletak didalam tegmentum dari otak tengah, mungkin merusak lemnikus medialis, nukleus
ruber, dan saraf III dan nukleusnya dan traktus-traktus yang berhubungan.
Sindrom Hemiplegia Alternans di Pons
Disebabkan oleh lesi vaskular unilateral. Selaras dengan pola percabangan arteri-arteri, maka lesi
vaskular di pons dapat dibagi dalam :
1. Lesi paramedian akibat penyumbatan salah satu cabang dari rami perforantes medialis A.
Basilaris
2. Lesi Lateral, yang sesuai dengan kawasan pendarahan cabang sirkumferens yang pendek
3. Lesi di tegmentum bagian rostral pons akibat penyumbatan A.Serebeli Superior
4. Lesi di Tegmentum bagian kaudal Pons yang sesuai dengan kawasan pendarahan cabang
sirkumferens yang panjang
3
Hemiplegia alternans akibat lesi di Pons adalah selamanya kelumpuhan UMN yang melibatkan belahan
tubuh sisi kontralateral, yang berada di bawah tingkat lesi, yang berkombinasi dengan kelumpuhan LMN
pada otot-otot yang disarafi oleh N.Abdusens (N.VI) atau N.Facialis (N.VII). Jenis-jenis hemiplegia
alternans di Pons berbeda karena adanya selisih derajat kelumpuhan UMN yang melanda lengan dan
tungkai berikut dengan gejala pelengkapnya yang terdiri atas kelumpuhan (LMN) n.VI atau n.VII dan
gejala-gejala okular yang akan dibahas di bawah ini. Penyumbatan parsial terhadap salah satu cabang dari
rami perforantes medialis A. Basilaris sering disusul oleh terjadinya lesi-lesi paramedian. Jika lesi
paramedian itu bersifat unilateral dan luas adanya, maka jaras kortikobulbar/kortikospinal berikut dengan
inti-inti pes pontis serta serabut-serabut pontoserebelar akan terusak. Tegmentum pontis tidak terlibat
dalam lesi tersebut. Manifestasi lesi semacam itu ialah hemiplegia kontralateral, yang pada lengan lebih
berat ketimbang pada tungkai. Jika lesi paramedian itu terjadi secara bilateral, maka kelumpuhan terlukis
di atas terjadi pada kedua belah tubuh. Jika lesi paramedian terletak pada bagian kaudal pons, maka akar
N.Abdusens tentu terlibat. Maka dari itu pada sisi lesi terdapat kelumpuhan LMN m.Rektus lateralis,
yang membangkitkan strabismus konvergens ipsilateral dan kelumpuhan UMN yang melanda belahan
tubuh kontralateral, yang mencakup lengan tungkai sisi kontralateral berikut dengan otot-otot yang
disarafi oleh n.VII, n.IX, n.X, n.XI dan n.XII sisi kontralateral. Dapat juga terjadi suatu lesi unilateral di
pes pontis yang meluas ke samping, sehingga melibatkan juga daerah yang dilintasi n.Fasialis. Sindrom
hemiplegia alternans padamana pada sisi ipsilateral terdapat kelumpuhan LMN, yang melanda otot-otot
yang disarafi n.Abdusens dan n.Fasialis dikenal dengan nama Sindrom Millard Gubler. Jika serabut-
serabut kortikobulbar untuk n.Abdusens ikut terlibat dalam lesi, maka deviation conjugee mengiringi
Sindrom Millard Gubler. Kelumpuhan gerak bola mata yang konyugat itu dikenal sebagai Sindrom
Foville. Sehingga hemiplegia alternans n.Abdusens et fasialis yang disertai dengan Sindrom Foville itu
disebut sindrom Foville-Millard Gubler.
Sindrom Pontin Basalis
Dapat melibatkan baik traktus kortikospinalis maupun saraf kranial (VI, VII, atau V) dibagian
yang terkena, tergantung pada luas dan derajat dari lesi. Jika lesi besar maka mungkin lemnikus
medialis juga terkena.
Sindrom Pons Dorsalis
Mengenai saraf VI atau VII atau nukleusnya masing-masing, dengan atau tanpa melibatkan
lemnikus medialis, traktus spinotalamikus, atau lemnikus lateralis. “pusat tatapan lateral”
seringkali terkena. Ditingkat yang lebih rostral, saraf V dan nukleus-nukleusnya mungkin tidak
berfungsi lagi.
Kelumpuhan tatapan vertikal(ketidakmampuan menggerakan mata keatas atau kebawah).
Disebut juga sindrom Parinaud, disebabkan oleh kompresi dari tektum dan bagian-bagian yang
berdekatan (misalnya, oleh tumor dari glandula pineal)
4
Sindrom Hempilegia Alternans akibat lesi di Medula Oblongata
Kawasan-kawasan vaskularisasi di medula oblongata ternyata sesuai dengan area lesi-lesi yang mendasari
sindrom hemiplegia alternans di medula oblongata. Bagian paramedian medula oblongata diperdarahi
oleh cabang A.Vertebralis. Bagian lateralnya mendapat vaskularisasi dari A.Serebeli Inferior Posterior,
sedangkan bagian dorsalnya diperdarahi oleh A.Spinalis Posterior dan A.Serebeli Inferior Posterior. Lesi
Unilateral yang menghasilkan hemiplegia alternans sudah jelas harus menduduki kawasan piramis sesisi
dan harus dilintasi oleh radiks nervus hipoglosus. Maka dari itu kelumpuhan UMN yang terjadi melanda
belahan tubuh kontralateral yang berada di bawah tingkat leher dan diiringi oleh kelumpuhan LMN pada
belahan lidah ipsilateral. Itulah sindrom hemiplegia alternans nervus hipoglosus atau Sindrom Medular
Medial. Dejerine telah melukis sindrom tersebut berikut dengan sindrom kuadriplegia UMN, yang
disertai oleh kelumpuhan LMN bilateral pada lidah. Sindrom itu disebabkan oleh lesi median yang
bilateral. Di samping sindrom medular medial, di klinik juga dikenal Sindrom medular lateral, yang di
kalangan kedokteran kontinental dikenal sebagai Sindrom Wallenberg.
Sindrom Medularis Medial (basal)
Biasanya mengenai piramis, sebagian atau seluruh lemnikus medialis, dan saraf XII. Jika
unilateral, maka sindrom ini dikenal juga sebagai hemiplegia hipoglosus alternan. Istilah ini
mengacu pada penemuan bahwa kelemahan saraf kranial terletak pada sisi yang sama dengan lesi,
sedangkan paralisis tubuh adalah pada sisi yang berlawanan dengan lesi. Lesi dapat juga
mengakibatkan defek bilateral
Sindrom Medularis Lateral atau Wallenberg
Melibatkan beberapa (atau semua) struktur berikut didalam medula oblongata yang terbuka pada
sisi dorsolateral: pedunkulus serebelaris inverior, nukleus vestibularis, serabut atau nukleus dari
saraf IX dan X, nukleus dan traktus spinalis dari daraf V, traktus spinotalamikus, dan jaras
simpatetik. (terlibatnya jaras simpatetik mungkin menimbulkan sindrom horner). Bagian yang
terkena diperdarahi oleh cabang-cabang dari arteri vertebralis atau arteri serebelaris inferior
posterior.
5
BAB II. MEDULA SPINALIS
Sistem saraf perifer dibentuk oleh saraf cranial dan saraf spinal. Sedangkan system saraf pusat
dibentuk oleh neuron di medulla spinalis, batang otak, serebellum dan serebrum.
Medulla spinalis dapat dibagi menjadi 4 regio yang berbeda : C1-C5, C6-T2 (plexus brachialis),
T3-L3 dan L4-S2 (plexus lumbosacral). Gejala disfungsi dari medulla spinalis tergantung lokasi dari lesi.
Distribution of cutaneous nerves. Ventral aspect.
Distribution of cutaneous nerves. Dorsal aspect
Lesi medulla spinal (mielopathy) pada C1-C5 hanya memberikan gejala nyeri pada leher atau
bilateral/unilateral tetraparesis/plegia. Terdapat tanda-tanda UMN (hiperrefleksi, tonus ekstensor
meningkat) pada keempat ekstremitas dan refleks withdrawal pada keempat ekstremitas tidak ada
kelainan.
Lesi pada C6-T2 memberikan gejala unilateral atau bilateral tetraparesis/plegia dan hilangnya sensasi
proprioceptive. Jika lesi berlangsung lama dapat menyebabkan quadriplegia dan distress pernafasan
karena keterlibatan dari LMN pada otot pernafasan.
Lesi pada T3-L3 menunjukkan menrunnya rangsang proprioseptive, ataxia anggota tubuh bagian bawah
dan paresis/paralysis dengan refleks spinal yang normal atau meningkat (tanda UMN). Sensasi pada
anggota tubuh bagian bawah dapat menurun atau tidak ada sama sekali.
6
Lesi pada medulla spinalis segmen L4-S2 menyebabkan ataxia pada anggota tubuh bagian bawah,
menurunnya sensasi proprioseptive dan paresis/paralysis dengan menurun atau tidak adanya refleks
spinal dan tonus otot (tanda LMN). Di bawah dari lesi sensasi menurun atau tidak ada.
Saraf sensoris dari system saraf perifer atau neuron afferent membawa informasi seperti nosiseptive,
proprioseptive, rasa, pendengaran, keseimbnagan, penglihatan dan penciuman ke medulla spinalis atau
batang otak. Sedangkan saraf sensoris dari system saraf pusat membawa informasi ke cerebellum,
batang otak dan cerebrum. Traktus sensoris yang penting pada medulla spinalis dan batang otak
adalah spinocerebellar, spinothalamicus dan traktus spinoreticular. Tractus spinoreticular mulai pada
medulla spinalis dan berakhir di formatio reticular medulla oblongata. Jalur sensoris yang penting
juga terdapat di fasciculus gracilus dan cuneatus dari medulla spinalis dan lemniscus lateral/medial
dari batang otak.
LMN dari system saraf simpatis keluar melalui saraf spinalis torakolumbal (T1-L4) untuk
mempersarafi otot polos di pupil, kelopak mata, orbita, folikel rambut, pembuluh darah dan alat
dalaman. Sindroma Horner’s (ptosis, miosis dan enophthalmus) berhubungan dengan hilangnya
persarafan simpatis pada mata.
LMN dari system saraf parasimpatis keluar dari saraf cranial III untuk mempersarafi otot polos pupil
dan kelopak mata, saraf cranial VII untuk glandula lakrimasi dan salivatorius, saraf cranial IX ke
glandula salivatorius dan sraf cranial X ke otot jantung dan kelenjar dan otot polos pada abdomen dan
colon transversa. Juga keluar dari dari segmen sakralis ke visera dari abdomen bawah, termasuk
kandung kemih dan kolon. Lesi pada segmen sacral biasa menyebabkan hilangnya refleks kandung
kemih.
System saraf perifer medulla spinalais membentuk pleksus brachialis yang ke anggota badab bagian
thorakal; plexus lumbosacrallis ke anggota tubuh bagian pelvis; dan cauda eqiuna yang ke kandung
kemih dan anus . Lesi pada plexus brachialis dan lumbosacral menyebabkan paresis atau paralysis dari
anggota badan bagian thorakal dan pelvis, berturut-turut dengan berkurangnya atau tidak adanya
refleks spinal dan sensasi pada anggota tubuh. Lesi pada cauda equina menyebabkan atonia kandung
kemih dan dilatasi anus. Lesi pada seluruh saraf spinalis (acute polyradiculoneuritis) menyebabkan
paresis atau paralysis dari keempat lengan dan kaki (quadriparesis/quadriplegia) dengan penurunan
7
atau tidak adanya refleks spinal dan berubahnya sensasi pada anggota tubuh.
Gambaran klinis lesi medulla spinalis :
1. Mielopati transversa dimana seluruh jaras ascenden dan descenden terkena. Sehingga terjadi
gangguan motorik, sensorik dan vegetatif yang luas. Penyebab yang tersering adalah trauma, tumor,
multiple sclerosis dan penyakit pembuluh darah. Penyakit lainnya adalah hematoma epidural, abses,
hernis discuc intervertebralis, sindroma parainfeksi dan post vaksinasi.
2. Lesi yang mengenai bagian sentral medulla spinalis. Contohnya siringomielli, hydromieli, tumor
intramedular. Medulla spinal dapat terganggu mulai dari sentral kemudian meluas ke struktur lain
dari medulla spinalis. Gambaran khasnya adalah suatu disosiasi sensibilitas. Dengan berjalannya
penyakit, bagian anterior dapat terkena pada tingkat lesinya dan mengakibatkan atrofi neurogenik
sentral, parese dan arefleksia. Perluasan ke lateral dapat menyebabkan sindroma Horner’s ipsilateral
(bila mengenai pusat siliospinal pada lesi di C8-T2), kiposkoliosis (bila mengenai nucleus motorik
dari dorsomedian dan ventromedian yang mempersarafi otot paraspinal), paralisa spastik di bawah
lesi bila traktus kortikospinal terkena. Perluasan ke dorsal akan mengakibatkan putusnya jaras
dorsalis (untuk sensasi posisi dan rasa getar ipsilateral) dan dengan terkenanya juga daerah
ventrolateral akan menyebabkan gangguan suhu dan nyeri pada medulla spinalis di bawah lesi.
Karena secara laminasi traktus spinothalamikus sensasi sevikal terletak dorsomedial dan sensasi
sacral terletak ventrolateral, pada lesi intraparenkimal dapat terjadi sensasi sacral tidak terkena.
3. Lesi di kolumna posterolateral. Dapat terjadi secara selektif pada penyakit Subacute combine
degeneration pada defisiensi vitamin B12 mielopativaskuolar oleh sebab AIDS, servikal spondylosis.
Terjadi gangguan propioseptif dan sensasi vibrasi pada tungkai sebagai ataksia sensorik. Gangguan
traktus kortikospinal bilateral akan mengakibatkan spastisitas, hiperefleksi dan refleks ekstensor
bilateral. Akan tetapi reflek dapat negatif atau menurun bila disertai neropati perifer.
4. Lesi di kolumna posterior, sering terjadi pada penyakit tabes dorsalis (neurosifilis). Terjadi gangguan
sensasi vibrasi dan posisi dan penurunana rasa raba, juga mengakibatkan ambang sensasi mekanik,
taktil, postural, halusinasi, arah gerak dan posisi, sehingga akan timbul ataksia sensorik dan Romberg
yang positif. Cara berjalan yang ataksik. Pasien mengeluh nyeri ‘lancinating’ terutama tungkai.
Dapat terjadi inkontinensia urine, refleks patella dan refleks achilles yang negatif. Terdapat
Lhermitte’s sign yang disebabkan peningkatan sensitifitas mekanik pada kolumna dorsalis dimana
fleksi leher akan mengakibatkan peningkatan secara spontan unit-unit sensoris yang aktif dan ikut
sertanya serabut saraf yang lain.
5. Lesi kornu anterior. Penyakit yang menyerang secar diffuse kornu anterior misalnya adalah spinal
muscular atrophy (infantile spinal muscular atrophy in motor neuron disease). Bila bagian kornu
anterior terkena secara difus terjadi kelemahan secara difus, atrofi, fasikulasi terjadi pada otot batang
8
tubuh dan ekstremitas. Tonus otot menurun dan ketegangan otot dapat menurun atau hilang.
Gangguan sensorik tidak terjadi karena jaras sensorik tidak terkena.
6. Kombinasi lesi di kornu anterior dan traktus piramidalis. Hal ini secara karakteristik terjadi pada
Amyotrophic lateral sclerosis. Terjadi gangguan secara difus dari lower motor neuron (progessive
muscular atrophy, parese, fasikulasi) yang berlawanan dengan gejala lesi UMN (parese, spastisitas,
reflek plantar ekstensor). Tidak ada gangguan sphincter urine dan rectal.
Secara umum, lesi medulla spinal digambarkan sebagai :
Jika setinggi lesi (efek pada ventral horn dan serta saraf ventral) memberikan gejala LMN
Jika dibawah lesi (efek pada traktus kortikospinal) memberikan gejala UMN
Penyebab lesi pada Medula Spinalis
Usia > 50 tahun mielopathy sering disebabkan karena spondilosis servikalis. Penyakit degeneratif
(osteoarthrosis) pada segmen servikalis dapat menyebabkan kompresi, karena :
Kalsifikasi, degenerasi dan penonjolan dari discus intervertebralis
Pertumbuhan tulang (osteofit)
Kalsifikasi dan penebalan dari ligamentum longitudinal
Pada pasien dengan usia < 40 tahun, mielopathy lebih sering disebabkan karena multiple sclerosis.
Penyakit Medulla Spinalis
1. Lesi Ekstrinsik dan Intrinsik
Kompresi dari luar medulla spinal misalnya karena tumor ata prolaps discus intervertebralis,
secara tipikal menyebabkan hilangnya rangsang sensoris tergantung dimana dermatom yang terkena
(saddle anesthesia). Ini disebabkan karena bagian dari traktus spinothalamicus lebih dekat ke
permukaan medulla (membawa informasi sensoris sesuai dengan dermatom lumbosacral) sehingga
lebih mudah terkena efek dari kompresi ekaternal.
Lesi Instrinsik dari medulla spinalis lebih cenderung lebih dahulu menyebabkan kerusakan pada
daerah sentral dari traktus spinothalamicus (sacral sparing).
9
10
2. Syringomieli
Merupakan suatu penyakit dimana terjadi perubahan patologik yang terdiri dari gliosis, nekrosis
dan kavitasi pada bagian sentral medula spinalis dan sering meluas ke medula (siringobulbi). Sering
terjadi dengan kelainan pada batang otak dan cerebellum (Arnold-Chiari malformation) dimana terdapat
elongasi tonsila cereberalis dan penonjolan ke foramen magnum (cerebellar ectopia).
Degenerasi terjadi pada pelebaran servikal dan dimulai pada regio ireguler. Kanalnya sendiri tidak selalu
ikut dengan proses. Onset dapat terjadi pada usia 25-40 tahun, dapat terjadi beberapa bulan sampai 20
tahun sesudah terjadinya trauma, 15 tahun setelah arakhnoiditid TBC. Gejala klinis:
Dengan terkenanya jaras dekusatio sensorik gambaran utamanya adalah hilangnya rasa nyeri dan
suhu pada dermatom tersebut sedangkan rasa raba masih baik.
Bila proses sudah mengenai bagian kornu anterior akan terjadi parese fokal, atrofi dan fasikulasi juga
terganggunya kolumna intermedilateral dengan akibat terganggunya sistem otonom
Selanjutnya dapat terjadi kerusakan pada kedua jaras kortikospinalis dan tanduk anterior di segmen
servikal sehingga mengakibatkan spastic paraparesis tetapi dengan gejala LMN pada anggota tubuh
bagian atas.
Terapi dapat dilakukan dengan dekompresi dan drainage syrinx melalui syringostomy.
3. Brown-Séquard syndrome
Dengan karakteristik berkurangnya rangsang sensorik dan motorik bila lesi menyebabkan
kerusakan hanya pada satu sisi dari medulla spinalis. Dapat disebabkan karena hemiseksi dari
medulla spinalis.
11
4. Penyakit degeneratif yang mengenai medula spinalis
Penyakit degeneratif adalah istilah yang secara medis digunakan untuk menerangkan adanya
suatu proses kemunduran fungsi sel saraf tanpa sebab yang diketahui, yaitu dari keadaan normal
sebelumnya ke keadaan yang lebih buruk. Penyebab penyakit sering tidak diketahui, termasuk
diantaranya kelompok penyakit yang dipengaruhi oleh faktor genetik atau paling sedikit terjadi pada
salah satu anggota keluarga (faktor familial) sehingga sering disebut penyakit heredodegeneratif.
Cowers tahun 1902 menekankan adanya istilah abiotrophy untuk penyakit seperti tersebut di atas
yang artinya menunjukkan adanya penurunan daya tahan sel neuron dan mengakibatkan kematian
dini. Konsep di atas mewujudkan hipotesa bahwa proses penuaan (usia) dan penyakit degeneratif
dari sel mempunyai proses dasar yang sama.
Syndrome progressive dementia in combination with other neurologic abnormalities.
1. Cortical spinal degeneration (Jakob) and the Dementia-Parkinson-Amytrophic lateral
sclerosis complex
2. Familial dementia with spastic paraparesis
Syndrome of progressive ataxia
1. Predominantly spinal forms of hereditary ataxia
Friedreich ataxia
Strumpell-Lorrain
12
Syndorme of slowly developing muscular weakness and atrophy (nuclear amiotrophy). Without
sensory changes:
Amytrophic lateral sclerosis
Progressive spinal muscular atrophy
Progressive bulbar palsy
Primary Lateral sclerosis
Heriditary forms of progressive muscular atrophy and spastic paraplegia
Amytrophic lateral sclerosis
Adalah penyakit degeneratif yang progresif akibat degenerasi motor neuron di kornu anterior
medula spinalis, batang otak dan korteks serebri, dengan manifestasi berupa kelemahan dan atrofi dari
otot-otot yang dipersarafi, disertai tanda-tanda gangguan (degenerasi) traktus kortikospinalis dan
beberapa variasi lainnya. Biasanya tanpa atau hanya sedikit gangguan sensibilitas atau serabut non motor
lainnya.
Etiologi diketahui pasti, ada dugaan penyebabya adalah suatu infeksi virus (misalnya polio virus
latent), toksin dari lingkungan (Beta methyl amino L alanine), faktor genetik, ada hubungannya dengan
lymphoma, logam berat (Pb, Mn, Co, Fe, Zn, Hg), trauma, gangguan pada DNA, imunologi, gangguan
metabolisme glutamat.
Angka kejadian diperkirakan antara 0,4-1,4 kasus tiap 100.000 populasi dengan rata-rata
menyerang dekade ke IV, V, VI, VII. Jarang pada usia kurang dari 35 tahun. Perbandingan laki-laki dan
wanita berkisar antara 1,1:1 sampai 2:1. Lebih banyak mengenai kulit putih dibandingkan kulit hitam.
Secara klinis ALS dibagi dalam beberapa tipe yaitu:
1. Progressive muscular atrophy
Pada tipe ini terjadi proses degeneratif dari motorneuron di kornu anterior medula spinalis dengan
manifestasi klinis kelemahan dan atrofi otot-otot badan dan anggota gerak yang terlihat pada stadium
awal dari penyakitnya. Lesi yang terjadi biasanya mulai dari daerah servikal medula spinalis, dengan
kelemahan, atrofi dan fasikulasi otot-otot intrinsik tangan, walaupun bisa juga dimulai di sembarang
tempat di kornu anterior medula spinalis. Sebagai gejala awal bisa juga dimulai dengan kelemahan
dan atrofi otot-otot kaki dan paha, sedang otototot ekstremitas atas masih baik. Kasus yang jarang,
kelemahan dimulai dari pada lengan bagian proksimal yang kemudian meluas ke distal. Pada tipe ini
traktus kortikospinalis tidak terkena, sehingga reflek tendo menurun atau negatif. Fasikulasi otot
bervariasi antara ada dan tidak. Perbandingan antara pria : wanita yaitu 3,6 ; 1. Five years survival
rate 72% bila onset kurang dari 50 tahun dan bila 40% bila onset lebih dari 50 tahun.
2. Progressive bulbar palsy
13
Adalah tipe ALS dimana terjadi proses degeneratif pada inti-inti saraf otak di batang otak,
terutama bagian bawah. Manifestasi klinis:
Kelemahan dan atrofi dari otot-otot faring, lidah dan wajah. Pada stadium awal akan
memberikan gejala atau kesukaran untuk mengucapkan t,n,r,l b,m,p,f, dan k,g, yang akhirnya
suara penderita menjadi tidak dipahami. Bicara sulit juga disebabkan karena spastisitas dari
lidah, pharing dan laring yang kemudian diikuti kelemahan atrofi.
Reflek pharing menghilang dan gerakan palatum serta pita suara tidak sempurna waktu sedang
bicara. Terdapat gangguan mengunyah, menelan, otot-otot paring tidak bisa mendorong
makanan masuk ke oesophagus, sehingga air dan makanan akan masuk ke trakhea atau kembali
lagi ke hidung. Dapat terlihat fasikulasi lidah dan jaw jerk yang positif.
3. Primary lateral sclerosis
Tipe ini sangat jarang. Proses degeneratif yang terjadi di korteks cerebri pada area Broadman 4
dan 6, dan terlihat proses degeneratif sekunder pada traktus kortikospinalis. Gejala yang timbul
berupa:
Kelemahan dan spastisitas dari otot-otot badan dan anggota gerak, biasanya dimulai pada
ekstremitas bawah
Tidak dijumpai atrofi dan fasikulasi
Reflek regang yang meningkat dan reflek plantar ekstensor bilateral
Hilangnya reflek superfisial tetapi tidak ada gangguan sensoris.
4. Tipe campuran
Sering dijumpai dengan gambaran klinis merupakan kombinasi dari bentuk 1,2,3. Pada
pemeriksaan didapatkan adanya atrofi, fasikulasi, kelemahan anggota gerak bawah, atas, peningkatan
reflek tendon dan ekstensor plantar positif bilateral. Selanjutnya bila inti batang otak terkena akan
menyebabkan disfagi disartri dan kelemahan otot wajah, tidak terdapat gangguan sensorik.
5. Spinal monomelic amyotrophic
Didapatkan adanya unilateral amyotrophic yang terbatas pada 1 anggota gerak. Kriteria ALS
menurut El Escorial:
Diagnosis ALS memerlukan tanda-tanda:
1. Tanda LMN
2. Tanda UMN
3. Terdapat progresifitas dari penyakit
Subklasifikasi untuk kriteria diagnostik:
1. Definite ALS:
UMN + LMN dengan 3 regio* seperti ALS yang tipikal
2. Probable ALS:
UMN + LMN dengan 2 regio dengan tanda UMN dan tanda LMN
14
3. Possible ALS:
UMN + tanda LMN dengan 1 regio atau tanda UMN dengan 2 atau 3 regio, seperti
monomelic ALS, Progressive bulbar palsy, dan Primary lateral sclerosis.
4. Suspected ALS:
LMN dengan 2 atau 3 regio seperti progressive muscular atrophy atau sindroma motorik
lain.
*Regio termasuk: batang otak, brachial, thoraks, batang tubuh, inguinal.
Diagnostik:
Harus disingkirkan penyakit lainnya melalui pemeriksaan penunjang:
EMG: menunjukkan adanya fibrilasi, fasikulasi, atrofi dan denervasi, KHST normal, kadang-kadang
dijumpai adanya giant action potential
Biopsi otot: terdapat atrofi dari fasikulus otot bercampur dengan fasikulus yang normal
Peningkatan enzim otot
LP: LCS normal
Mielografi: normal
MRI: terdapat peningkatan intensitas signal
Penanganan ALS:
Karena sampai sekarang etiologi masih belum jelas, belum ada pengobatan yang tepat.
Penanganan yang dapat dilakukan adalah terapi konservatif dan fisioterapi.
Prognosa:
Pasien dapat hidup 10-15 tahun dari awitan. Bila terdapat gangguan pada otot-otot
untuk menelan prognosanya lebih jelek.
Penyakit yang oleh De Jong juga dimasukkan dalam penyakit degeneratif yaitu:
1. Tabes Dorsalis
Penyakit ini merupakan suatu bentuk neurosiphilis yang secara patologis ditandai dengan
terjadinya degenerasi pada radiks posterior dan kolumna dorsalis medula spinalis. Keadaan ini
merupakan 1,3 – 5% dari penderita neurosiphilis. Gejala klinis timbul sesudah lebih dari 10 sampai
20 tahun infeksi primer, sehingga umumnya penderita Tabes dorsalis berumur 40-60 tahun. Gejala
klinis:
Hilangnya sensasi proprioseptif mengakibatkan ataksia sensoris (sekunder terhadap kerusakan
funikulus dorsalis.
Terkenanya radiks posterior dan ganglion dorsalis menyebabkan nyeri radiks, rasa terikat,
penurunan reflek dan terlambatnya reaksi nyeri
Dapat terjadi gangguan fungsi kandung kemih tipe atonik, inkontinentia alvi, impotens,
gangguan tropik dengan akibat timbulnya lesi ulseratif dan atropati tip charchot.
15
2. Multipel sklerosis
Merupakan penyakit yang dapat menyerang secara luas sistem saraf pusat dan belum diketahui
dengan jelas sebabnya. Penyakit ini ditandai dengan bercak-bercak demielinisasi yang tersebar
terutamapada masa putih. Bercak ini pada tingkat lanjut berupa bercak sklerotik yang tersebar
perivaskuler. Angka kejadian sklerosis ditemukan sangat tinggi di Eropa Barat, dapat mencapai
80/100.000 penduduk. Umumnya serangan pertama terjadi pada umur muda 20-40 tahun, kadang-
kadang umur 12-15 tahun. Laki-laki lebih sering dari wanita. Keadaan ini pada 60-90% penderita
diikuti gejala remisi dan relaps. Gejala klinis:
Neuromielitis optika, selain adanya neuritis optika (biasanya unilateral 45%) juga disertai
adanya mielopati yang progresif disertai nyeri dan parestesi
Terdapat 3 bentuk spinal dari multipel sklerosis:
1. Bentuk spinal dengan gejala paraplegia spastik yang progresif
2. Bentuk dengan lesi spinal unilateral sehingga gejala klinis dapat berupa gejala brown
sequard yang parsial
3. Bentuk sakral. Bercak lesi terdapat di konus sehingga terdapat gejala konus. Lesi medula
spinalis dapat berupa mielitis tranversa atau ascending.
Gejala motorik umumnya terdapat kelemahan otot tanpa atrofi (spastik parese), bila ditemukan
atrofi umumnya hanya pada otot kecil tangan.
Reflek regang meningkat, hilangnya reflek superfisial, gangguan piramidal disertai gangguan
proprioseptif dan ataksi sensorik.
Gejala Lhermitte yang positif dan bermacam gejala sensibilitas
Kontrol spincter sering terganggu
Pada 70% penderita terdapat gejala nistagmus, tremor intension dan bicara meletup-letup dan
disebut sindroma charcot.
Gambaran patologi: terjadi gliosis dan demielinisasi pada fasikulus grasilis dan juga atrofi dari
ganglion. Terjadi perivascular lymphocytic cuffing dan dapat terjadi iskemi sekunder yang
menyebabkan gangguan proprioseptif dan kelemahan yang progresif dari ekstremitas bawah.
BAB III. TRAUMA MEDULLA SPINALIS
16
Trauma pada tulang belakang yang disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, terjatuh, olagraga
menyelam, kecelakaan industri, luka tembak, luka bacok dan ledakan bom dapat menyebabkan trauma
pada medulla spinalis. Efek trauma yang terjadi pada tulang belakang bisa berupa fraktur – dislokasi,
fraktur, maupun dislokasi. Meskipun tidak tampak jelas, tetapi penderita menunjukkan gejala neurologis
yang nyata. Fraktur ini dapat menyebabkan laserasi atau sobeknya medulla spinalis. Pada dislokasi maka
akan menimbulkan penekanan atau kompresi pada medulla spinalis atau radiks saraf spinalis karena
kanalis vertebralis menyempit. Dislokasi itu cenderung terjadi pada tempat – tempat yaitu antara bagian
yang sangat mobile dengan bagian yang sangat terfiksasi, seperti vertebra C1-2, C5-6 dan T11-12.
Meskipun tidak terdapat kerusakan yang nyata pada tulang belakang, efek traumatiknya bisa
mengakibatkan lesi yang nyata pada medulla spinalis. Kelainan neurologik yang nyata tanpa adanya
kelainan tulang belakang yang jelas dapat ditimbulkan oleh trauma tidak langsung, misalnya trauma
“gerak lecut” atau “whiplash” yaitu gerakan dorsofleksi diikuti anterofleksi atau sebaliknya berlebihan
dari tulang belakang secara cepat dan mendadak bagaikan gerakan memecut, trauma ini biasanya terjadi
pada servikal bawah, misalnya sewaktu duduk di kendaraan yang melaju dengan cepat, kemudian
berhenti secara mendadak, jatuh terduduk atau dengan badan berdiri, atau terlempar oleh gaya eksplosi
bom
ANATOMI
Medulla spinalis merupakan massa jaringan saraf yang berbentuk silindris memanjang dan
menempati ⅔ atas canalis vertebra yaitu dari batas superior atlas (C1) sampai batas atas vertebra lumbalis
kedua (L2), kemudian medulla spinalis akan berlanjut menjadi medulla oblongata. Pada waktu bayi lahir,
panjang medulla spinalis setinggi ± Lumbal ketiga (L3).
Medulla spinalis dibungkus oleh duramater, arachnoid, dan piamater.
Hubungan anatomi antara medulla spinalis dengan tulang vertebra pada orang dewasa yaitu :
Segmen medulla
spinalis
Corpus vertebra Prosessus spinosus
C8 batas bawah C6 & batas atas
C7
C6
T6 Batas bawah T3 & batas atas
T4
T3
T12 T9 T8
L5 T11 T10
S T12 & L1 T12 & L1
Medulla spinalis mendapat perdarahan dari :
17
- A. Spinalis anterior : cabang arteri vertebralis, berjalan dari permukaan anterior medulla spinalis
cervicalis sampai dekat T4.
- A. Spinalis lateralis : cab. A. Vertebralis, mempardarahi segmen medulla spinalis C7-T2.
- A. Spinalis medialis anterior : merupakan percabangan A. Spinalis anterior di bawah segmen medulla
spinalis T4.
- A. Radicularis magna (A. Adamkiewicz) : memperdarahi T8-L4, biasanya timbul di kiri dan pada
beberapa keadaan memperdarahi belahan bawah medulla spinalis.
- A. Spinalis posterior atau A. Spinalis posterolateralis : memperdarahi columna alba posterior dan bagian
posterior dari columna grisea posterior.
- A. Sulcalis anterior : memperdarahi columna anterior dan lateralis pada salah satu sisi medulla spinalis
PATOGENESIS
Medulla spinalis dan radiks dapat rusak melalui 4 mekanisme:
1. Kompresi oleh tulang belakang, ligamentum, herniasi discus intervertebralis dan hematom. Yang
paling berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang dan kompresi oleh korpus vertebra yang
mengalami dislokasi ke posterior dan trauma hiperekstensi.
2. Regangan jaringan yang berlebihan akan mengakibatkan gangguan pada jaringan, hal ini terjadi
pada hiperfleksi
3. Edema pada medulla spinalis yang timbul segera setelah trauma menyebabkan gannguan aliran
darah kapiler dan vena.
4. Gangguan sirkulasi akibat kompresi tulang atau system arteri spinalis anterior dan posterior.
MANIFESTASI TRAUMA MEDULLA SPINALIS
1. Commotio medulla spinalis
Commotio medulla spinalis merupakan kelainan yang jarang terjadi dan dianggap analog dengan
commotio otak, suatu keadaan dimana fungsi medulla spinalis hilang sementara akibat trauma dengan
atau tanpa disertai fraktur atau dislokasi, yang dapat sembuh sempurna setelah beberapa jam atau
beberapa hari tanpa menimbulkan gejala sisa.
Hilangnya fungsi medulla spinalis menyebabkan paralisis motorik, menghilangnya sensasi dan paralisis
sphincter yang akan dapat pulih kembali/reversibel. Dapat terjadi edema, petechiae dengan sirkulasi
medulla spinalis yang berubah, perdarahan perivaskuler kecil – kecil dan infark disekitar pembuluh
darah. Bila paralysis total dan hilangnya sensibilitas menetap lebih dari 48 jam maka kemungkinan
sembuh sempurna menipis dan perubahan pada medulla spinalis lebih mengarah ke perubahan anatomic
daripada fisiologik.
18
2. Contusio medulla spinalis
Contusio medulla spinalis terjadi setelah fraktur atau dislokasi tulang belakang, atau akibat hiperekstensi,
hiperfleksi, atau rotasi tulang belakang tanpa kelainan tulang belakang pada foto Rontgen.
Pada keadaan ini dijumpai kerusakan makroskopik dan mikroskopik pada medulla spinalis berupa
perdarahan, edema, perubahan neuron dan dapat menimbulkan adanya reaksi peradangan. Perdarahan
disubstansia alba memperlihatkan adanya bercak – bercak degenerasi Waller dan pada kornu anterior
terjadi hilangnya neuron yang diikuti proliferasi mikroglia dan astrosit.
Edem dan perdarahan ringan pada piamater dan arachnoid dapat dijumpai pada pemeriksaan patologi.
Gejala berat yaitu hilangnya fungsi medulla spinalis dini, namun derajat akhir dari kepulihannya hanya
dapat dinilai setelah observasi lama. Pada stadium akut biasanya disertai LCS yang berdarah. Pada
stadium akut conyusio ini disertai liquor cerebrospinalis yang berdarah.
Posisi / Jolly’s sign menunjukkan lesi unilateral pada segmen radiks C7. Lengan bawah penderita dalam
keadaan fleksi dengan abduksi bahu. Bila kelainan ini bilateral, dinamakan Bradburne’s sign atau
Thornburn sign’s.
3. Laseratio medulla spinalis
Laseratio medulla spinalis yaitu robeknya medulla spinalis, biasanya disebabkan oleh trauma langsung
seperti terkena peluru / luka tembak, benda tajam/ bacok / tusukan, atau fragmen tulang/ fraktur dislokasi
vertebra. Pada pungsi lumbal ditemukan LCS yang bercampur banyak darah.
4. Compressi medulla spinalis
Compresi medulla spinalis dapat terjadi akibat dislokasi fraktur pada tulang belakang maupun perdarahan
epi dan subdural, cenderung menyebabkan kompresi tranversal yang dapat total kalau terjadi cedera
tulang derajat berat.
Pada fase akut, LCS berdarah, kemudian menjadi xantochrom, Quekenstedt negatif, kadar protein
yang meningkat (sindrom Froin). Pada kompresi medulla spinalis dapat terjadi blok total atau parsial di
dalam saluran subarachoid. Sering terdapat sequele. Hilangnya fungsi di bawah level lesi bersifat total.
Biasanya terdapat kerusakan parenkim yang parah dan ireversibel, fibrosis elemen saraf, glia,
perlengketan meningen.
Gambaran klinisnya didapati nyeri radikuler dan paralysis flaksid setinggi lesi akibat kompresi
pada radiks saraf tepi. Hiperekstensi, hiperfleksi, dislokasi, fraktur dan whiplash dapat menyebabkan
radiks saraf tepi dapat tertarik dan mengalami jejas (reksis).
19
Pada trauma lecutan radiks C5-7 dapat timbul nyeri radikuler spontan. Di bawah lesi kompresi
medulla spinalis akan didapati paralysis spastic dan gangguan sensorik serta otonom sesuai dengan
derajat beratnya kompresi.
Kompresi konus medularis terjadi akibat fraktur – dislokasi vertebra L1, yang menyebabkan
rusaknya segmen sakralis medulla spinalis. Biasanya tidak dijumpai gangguan motorik yang menetap
tetapi terdapat gangguan sensorik pada segmen sakralis yang terutama mengenai daerah sadel, perineum
dan bokong. Juga dijumpai gangguan otonom berupa retensio urin serta pada pria didapatkan impotensi
Kompresi kauda equine akan menimbulkan gejala tergantung pada serabut saraf spinalis mana yang
terlibat. Akan dijumpai paralisi flaksid dan atrofi otot. Gangguan sensorik sesuai dengan dermatom yang
terlibat.
Kompresi pada saraf spinalis S2, S3 dan S4 akan menyebabkan retensio urin, Infeksi traktus
urinarius merupakan komplikasi yang umum terjadi dan dapat berbahaya, dan hilangnya control volunter
vesika urinaria, inkontinensia alvi dan impotensi.
5. Hematomielia
Hematomielia yaitu ditemukan hematom di dalam medulla spinalis, biasanya berbentuk lonjong,
terletak di substansia grisea. Biasanya disebabkan oleh “whiplash”, jatuh dari ketinggian dengan posisi
berdiri, jatuh duduk, fraktur-dislokasi tulang belakang.
Hiperekstensi, hiperfleksi, dislokasi, fraktur dan trauma “whiplash”, dapat mengakibatkan
tertariknya radiks saraf spinalis sehingga timbul gejala nyeri radikuler spontan yang bersifat hiperpatia.
Keadaan ini disebut neuralgia radikularis tarumatik yang bersifat reversibel. Pada trauma “whiplash”
sering mengenai C5-7. Radiks saraf spinalis dapat pula terputus sehingga menimbulkan defisit sensorik
dan motoril yang bersifat radikular.
6. Perdarahan
Akibat trauma, medulla spinalis dapat mengalami perdarahan epidural, subdural, maupun
hematomieli. Hematom epidural dan subdural dapat terjadi akibat trauma maupun akibat anesthesia
epidural dan sepsis. Gambaran klinisnya adalah adanya trauma yang relative ringan tetapi segera diikuti
paralisi flaksid berat akibat penekanan medulla spinalis. Keadaan ini memerlukan tindakan darurat bedah.
7. Hemiseksi medulla spinalis
Biasanya dijumpai pada luka tembak atau luka tusuk/bacok di medulla spinalis. Gambaran klinisnya
berupa sindrom Brown Sequard yaitu setinggi lesi terdapat kelumpuhan neuron motorik perifer (LMN)
ipsilateral pada otot – otot yang disarafi oleh motorneuron yang terkena hemilesi. Setinggi lesi dijumpai
deficit sensorik ipsilateral yang terbatas pada kawasan sensorik segmen yang terkena hemilesi. Dibawah
20
tingkat lesi dijumpai pada sisi ipsilateral kelumpuhan UMN dan defisit sensorik propioseptik,sedangkan
pada sisi kontralateral terdapat defisit sensorik protopatik.
8. Sindrom medulla spinalis bagian anterior
Sindrom ini mempunyai cirri khas paralysis dan hilangnya sensibilitas protopatik di bawah tingkat lesi.
9. Sindrom medulla spinalis bagian posterior
Ciri khas sindrom ini adalah adanya defisit motorik yang lebih berat pada lengan daripada tungkai dan
disertai defisit sensorik. Defisit motorik lebih jelas pada tangan diakibatkan rusaknya sel motorik di
kornu anterior medulla spinalis segmen servikal atau akibat terlibatnya serabut traktus kortikospinalis
yang terletak lebih medial di kolumna lateralis medulla spinalis. Sindrom ini sering dijumpai pada
spondilosis servikal.
10. Transeksi medulla spinalis
Bila medulla spinalis secara mendadak rusak total akibat lesi transversal maka akan dijumpai 3 macam
gangguan yang muncul serentak yaitu:
a. Semua gerakan volunteer pada bagian tubuh yang terletak di bawah lesi akan hilang
fungsinya secara mendadak dan menetap.
b. Semua sensibilitas daerah di bawah lesi menghilang.
c. Semua fungsi reflektorik pada semua segmen di bawah lesi akan hilang. Efek ini disebut
renjatan spinal yang melibatkan refleks tendon maupun refleks otonom. Fase renjatan ini
berlangsung beberapa minggu sampai beberapa bulan.
Pada anak – anak fase syok spinal berlangsung lebih singkat yaitu kurang dari 1 minggu. bila terdapat
dekubitus, infeksi traktus urinarius atau keadaan metabolic yang terganggu, malnutrisi, sepsis, maka fase
syok ini akan berlangsung lama.
GEJALA
Tergantung dari lesi, komplit atau tidak komplit, dan tingginya. Lesi yang mengenai separuh segmen kiri
atau kanan medulla spinalis menimbulkan sindroma Brown Sequard. Hematomieli bergejal
siringomieli, lesi yang komplit menimbulkan paralysis dan anestesi total di bawah tempat lesi. Lesi di
torakal terdapat paraplegi dan dangguan sensibilitas di bawah lesi. Lesi komplit di servikal timbul
tetraplegi dengan anestesi di bawah lesi, serta gangguan vegetatif. Lesi di servikal atas yaitu C1-4 sangat
berbahaya karena timbul paralisis N. Phrenicus, yang menyebabkan lumpuhnya otot diafragma yang
dapat menimbulkan kematian dengan cepat. Lesi daerah C8-T1 dapat disertai gejala sindrom Horner.
Lesi di konus medularis, kauda ekuina bergejala paraplegi/paraparesis, gangguan sensibilitas dan
21
vegetatif, tanda Laseque positif. Lesi hanya di kauda ekuina bergejala motorik dan sensorik perifer
dengan tanda Laseque positif.
DIAGNOSIS
1. Radiologik
Foto polos posisi antero – posterior dan lateral pada daerah yang diperkirakan mengalami trauma akan
memperlihatkan adanya fraktur dan mungkin disertai dengan dislokasi. Pada trauma daerah servikal foto
dengan posisi mulut terbuka dapat membantu dalam memeriksa adanya kemungkinan fraktur vertebra
C1-C2.
2. Pungsi lumbal
Berguna pada fase akut trauma medulla spinalis. Sedikit peningkatan tekanan LCS dan adanya blockade
pada tindakan Queckenstedt menggambarkan beratnya derajat edema medulla spinalis.
3. Mielografi
Tindakan ini tidak mempunyai indikasi pada fase akut trauma medulla spinalis. Tetapi mielografi
dianjurkan pada penderita yang telah sembuh dari trauma pada daerah lumbal, sebab sering terjadi
herniasi discus intervertebralis.
PENATALAKSANAAN
1. Pengobatan konservatif (perawatan dan konservatif)
Pada umumnya pengobatan trauma medulla spinalis adalah konservatif dan simtomatik. Manajemen
mempunyai tujuan mempertahankan fungsi medulla spinalis yang masih ada dan memperbaiki kondisi
untuk penyembuhan jaringan medulla spinalis yang mengalami trauma tersebut.
Prinsip tatalaksana yaitu:
a. Segera imobilisasi dan diagnosis dini.
b. Stabilisasi daerah tulang yang mengalami trauma.
c. Pencegahan progresivitas gangguan medulla spinalis.
d. Rehabilitasi dini.
- Postural reduction untuk tulang belakang
yaitu tidur di alas keras dan ganjal kaki. Untuk daerah lumbal diperlukan bantal lumbal, daerah servikal
digunakan bantal servikal. Dipertimbangkan traksi Iis Glisson dan head collar untuk subluxatio di daerah
servikal.
Penderita yang diperkirakan mengalami trauma pada dearah servikal harus difiksasi dengan kerah
servikal (servikal collar). Bila servikal collar tidak tersedia, maka kepala dan leher difiksasidengan
menggunakan bantal pasir pada sisi kanan kiri kepala serta leher, sedang penderita dibaringkan dalam
posisi terlentang pada alas yang keras.
22
- cegah perluasan lesi dengan mengangkat badan dengan hati-hati, jangan bungkuk, terutama hari
pertama.
- Bila tekanan oksigen medulla spinalis atau aliran darah berkurang, maka lesi medulla spinalis bisa
memburuk. Pemberian cairan intravena segera dilakukan untuk mencegah terjadinya hipotensi.
- Trauma medulla spinalis segmen servikal dapat menyebabkan paralysis otot – otot intercostalis.
Oleh karena itu dapat terjadi gangguan pernafasan bahkan kadang kala apnea. Bila perlu
dilakukan intubasi nasotrakeal bila pemberian oksigen saja tidak efektif membantu penderita.
Pada trauma servikal, hilangnya control vasomotor menyebabkan pengumpulan darah di
pembuluh darah abdomen, anggota gerak bawah dan visera yang mengalami dilatasi,
menyebabkan timbulnya hipotensi.
- Pipa nasogastrik dipasang untuk mencegah distensi abdomen akibat dilatasi gaster akut. Bila tidak
dilakukan dapat berakibat adanya vomitus lalu aspirasi dan akan memperberat pernafasan.
Dilakukan pemasang kateter foley untuk mencegah timbulnya infeksi traktus urinarius akibat
retensio urin.
- Pada stadium awal dimana terjadi dilatasi gastrointestinal, diperlukan pemberian enema.
Kemudian bila peristaltic timbul kembali dapat diberikan obat pelunak feses. Bila traktus
gastrointestinal menjadi lebih aktif lagi enema dapat diganti dengan sopositoria. Untuk
mencegahtimbulnya dekubitus perlu dilakukan alih baring tiap 2 jam.
- Pemberian kortikosteroid untuk mengurangi edema medulla masih controversial. Bila timbul
spastisitas dapat digunakan diazepam, baklofen, dan dantrolen sodium untuk mengatasinya.
- Cegah komplikasi seperti dekubitus, ISK, ostoporosis, batu ginjal, dan kontraktur.
2. Pembedahan
Bertujuan untuk dekompresi, kadang-kadang untuk fiksasi vertebra atau reposisi dislokasi.
Pada saat ini laminektomi kompresif tidak dianjurkan kecuali pada kasus – kasus tertentu. Indikasi
operasi pada saat ini adalah:
a. Reduksi terbuka dislokasi dengan atau tanpa disertai fraktur pada daerah servikal,
bilamana traksi dan manipulasi gagal.
b. Adanya fraktur servikal dengan lesi parsial medulla spinalis dengan fragmen tulang tetap
menekan permukaan anterior medulla spinalis meskipun telah dilakukan traksi yang
adekuat.
c. Trauma servikal dengan lesi parsial medulla spinalis, dimana tidak tampak adanya
fragmen tulang dan diduga terdapar penekanan medulla spinalis oleh herniasi discus
intervertebralis.
d. Fragmen yang menekan lengkung saraf.
e. Adanya benda asing atau fragmen tulang dalam kanalis spinalis.
23
f. Lesi parsial medulla spinalis yang berangsur – angsur memburuk setelah padamulanya
dengan cara konservatif yang maksimal menujukkan perbaikan, harus dicurigai hematoma.
Tindakan bedah jarang dilakukan bila tidak ada indikasi dan trauma yang sudah lebih dari 2 bulan.
Indikasi yaitu :
a. Bila terdapat halangan pada jalan LCS, diketahui melalui percobaan Quickenstedt pada pungsi lumbal.
b. Adanya pecahan-pecahan tulang yang masuk ke dalam kanalis vertebralis. Adanya fraktur terbuka
(komplit)
c. Bila gejala bertambah berat secara progresif.
3. Rehabilitasi
Dilakukan sedini mungkin untuk mencegah sequele dan cacat. Mengurangi cacat, mencegah timbulnya
komplikasi, dan menyiapkan penderita untuk kembali ke masyarakat.
Terbagi 2 tahap yaitu pada fase akut (early rehabilitation), dilanjutkan dengan rehabilitasi jangka panjang.
A. Rehabilitasi fase akut adalah tindakan rehabilitasi sewaktu penderita dalam pengobatan intensif.
Terutama dilakukan oleh fisioterapis dan perawat. Bertujuan untuk mempertahankan dan memperbaiki
keadaan umum penderita dan menghindari atau mengurangi kecacatan yang mungkin timbul. Tindakan
berupa latihan (execise), massase, elektroterapi, memelihara jalan pernapasan, merawat gangguan
sensibilitas dan merawat gangguan miksi. Tindakan ini terutama dilakukan oleh fisioterapis dan perawat.
B. Program rehabilitasi jangka panjang melibatkan perawat, fisioterapis, pekerja sosial, dll.
Bertujuan untuk memasyarakatkan penderita kembali. Tindakan berupa latihan teratur di poliklinik,
ruangan, gimnasium, latihan kegiatan sehari-hari(makan, berpakaian, BAB, BAK), latihan menggunakan
alat (tongkat).
PROGNOSIS
Dubia ad malam kecuali commotio medulla spinalis, karena daya regenerasi serabut-serabut saraf di
medulla spinalis sangat sedikit.
BAB IV. TUMOR OTAK24
Tumor otak atau tumor intracranial adalah neoplasma atau proses desak ruang (space occupying
lesion) yang timbul di dalam rongga tengkorak baik di dalam kompartemen supratentorial maupun
infratentorial, mencakup tumor-tumor primer pada korteks, meningens, vaskuler, kelenjar hipofise,
epifise, saraf otak, jaringan penyangga, serta tumor metastasis dari bagian tubuh lainnya.
Klasifikasi tumor menurut :
Cushing Kernohan
Astrositoma Astrositoma grade I & II
Oligodendroglioma Oligodendroglioma grade I-IV
Ependimoma EPendimoma
Meduloblastoma Meduloblastoma
Glioblastoma multiforme Astrositoma grade II & IV
Pinealoma (teratoma) Pinealoma
Ganglioneuroma (glioma) Neuroastrositoma grade I
Neuroblastoma Neuroastrositoma grade II & III
Papiloma pleksus khoroid Tumor campur
Tumor “unclassified”
Papiloma pleksus khoroid
Sifat-sifat keganasan tumor otak didasari oleh morfologi makroskopis dan histologis neoplasma,
dikelompokkan :
1. Benign (jinak) : makroskopis menunjukkan batas yang jelas, tidak infiltratif, dan hanya
mendesak organ-organ sekitarnya, biasanya dijumpai pembentukan kapsul serta tidak adanya
metastasis maupun rekurensi setelah dilakukan pengangkatan total. Histologis menunjukkan
struktur sel yang regular, pertumbuhan lambat tanpa mitosis, dentsitas sel yang rendah dengan
diferensiasi struktur yang jelas parenkim, stroma yang tersusun teratur tanpa adanya formasi
baru.
2. Maligna (ganas) : makroskopis yang infiltratif atau ekspansi destruktif tanpa batas yang jelas,
tumbuh cepat serta cenderung membentuk metastasis dan rekurensi pasca-pengangkatan total.
Histologis menunjukkan meningkatnya selularitas, pleomorfisme, walaupun susunan sel dan
jaringan masih baik, diferensiasi sel kurang begitu jelas, disproporsi rasio nucleus terhadap
sitoplasma, multinukleus, formasi sel-sel raksasa, tumbuh cepat dengan mitosis yang banyak,
area nekrosis, pertumbuhan patologis dan neoformasi terutama seperti bentuk-bentuk fistula
atau sinusoidal (pintas arteri-vena)
25
Yang menjadi criteria keganasan klinis tumor otak adalah tampilan tingkah laku yang diinduksi
serta diperankan oleh :
- volume efektif tumor (termasuk edema sekelilingnya)
- efek massa yang ada (termasuk herniasi)
- keterlibatan dengan aliran likuor (hidrosefalus)
- keterlibatan arteri (infark)
- keterlibatan pusat-pusat vital (hipotalamus, batang otak)
Umumnya kasus tumor otak merupakan manifestasi dari peninggian intracranial, sebaliknya
gejala neurologist yang bersifat progresif, walaupun tidak jelas ada tanda-tanda peninggian intracranial,
perlu dicurigai adanya tumor otak.
Tekanan Tinggi Intrakranial
Trias gejala klasik dari sindroma tekanan tinggi intracranial yaitu nyeri kepala, muntah proyektil dan
papil edema. Keluhan nyeri kepala bersifat intermiten, tumpul, berdenyut, dan tidak terlalu hebat
terutama pada pagi hari, lokasi di sekitar daerah frontal atau oksipital, sering disertai muntah proyektil.
Tumor otak pada bayi menyumbat aliran LCS sering ditampilkan dengan pembesaran lingkar kepala yang
progresif dan ubun-ubun besar yang menonjol, sedangkan pada anak-anak yang lebih besar di mana
suturanya relative sudah merapat, biasanya gejala papil edema lebih menonjol.
Kejang
Khususnya di daerah supratentorial dapat berupa kejang umum, psikomotor, maupun kejang fokal. Dapat
merupakan gejala awal yang tunggal dari neoplasma hemisfer otak dan menetap sampai gejala lain
timbul.
Perdarahan Intrakranial
Biasanya diawali perdarahan intracranial-subarachnoid, intraventrikuler atau intraserebral.
Gejala disfungsi umum
Bervariasi mulai dari gangguan fungsi intelektual sampai koma. Penyebab umum yaitu tekanan
intracranial yang meninggi dan pergeseran otak akibat gumpalan tumor dan edema perifokal dari
sekitarnya atau hidrosefalus sekunder.
Gejala neurologist fokal
Perubahan personalitas dan gangguan mental biasanya menyertai tumor yang mengenai daerah frontal,
temporal dan hipotalamus, sehingga sering diduga penyakit non organik atau fungsionil. Gejala afasia
jarang, terutama pada tumor hemisfer kiri (dominant). Tumor-tumor daerah supraselar, nervus optikus
26
dan hipotalamus dapat mengganggu akuitas visus. Kelumpuhan saraf okulomotorius khas pada tumor
paraselar dan dengan tekanan intracranial tinggi sering disertai kelumpuhan saraf abdusen. Nistagmus
timbul pada tumor fossa posterior, sedangkan tumor supraselar atau paraselar kadang menyebabkan
gejala patognomonik berupa see-saw nistagmus: gerakan mata diskonjugat, vertical dan rotasional
dimana masing-masing mata geraknya saling berlawanan. Kelemahan wajah dan hemiparesis berkaitan
dengan gangguan sensorik dan kadang defek visual merupakan refleksi kerusakan yang melibatkan
kapsula interna atau korteks yang terkait Ataksia trukal adalah petanda suatu tumor fosa posterior yang
terletak di garis tengah. Gangguan endokrin menunjukkan adanya kelainan pada hipotalamus-hipofise.
Pemeriksaan penunjang diagnostic tumor otak
MRI dan CT scan untuk mendeteksi adanya tumor intracranial, dapat diketahui letak lokasi tumor dan
pengaruhnya terhadap jaringan sekitar.
Penanganan tumor otak
a. Terapi operatif
Bertujuan untuk mendapatkan diagnosa pasti dan dekompresi internal karena obat antiedema otak
tidak dapat diberikan terus-menerus. Pada kasus peninggian tekanan intracranial harus diwaspadai
terhadap kemungkinan terjadinya herniasi otak pada waktu mulai dilakukan induksi anestesi. Kadang
kala diperlukan pemberian steroid dan mannitol 15-30 menit sebelum tindakan operasi. Insisi kulit
disesuaikan dengan lokasi tumornya dan sisakan satu arteri tetap intak untuk pemulihan pasca operasi
pada luka di kulit. Kranioplasti osteo-plastik lebih baik dibanding free bone flap. Penggunaan kauter
bipolar untuk mengatasi perdarahan pada jaringan otak dan duramater.
b. Terapi konservatif
Radioterapi
Tujuannya untuk menghancurkan tumor dengan dosis yang masih dapat ditoleransi oleh jaringan
normal yang ditembusnya. Saat ini banyak dipakai Co60 dan akselerator linier. Keberhasilannya
dipengaruhi oleh :
1) Terapi yang baik dan tidak melukai struktur kritis lainnya
2) Sensitivitas sel tumor dengan sel normal
3) Tipe sel yang disinar
4) Metastasis yang ada
5) Kemampuan sel normal untuk repopulasi
6) Restrukturisasi dan reparasi sel kanker sewaktu interval antarfraksi radiasi.
Tipe cedera radiasi yaitu :
- edem pada hari-hari pertama dan akhir terapi radiasi, dapat diatasi dengan pemberian
glukokortikoid
27
- gejala deficit neurologist akibat demielinisasi saraf yang berlangsung berminggu-minggu sampai
setelah terapi radiasi berakhir, berlangsung sementara dan sembuh spontan.
- Nekrosis radiasi, biasanya pascaradiasi dengan dosis lebih dari 6000 rad, mulai dari beberapa
bulan pertama sampai puncak waktu 1-3 tahun pascaterapi, mirip dengan gejala rekurensi tumor,
dibedakan hanya dengan radiology.
Kemoterapi
Potensi kemoterapi pada susunan saraf didasarkan oleh farmakologi dan farmakokinetiknya
(transportasi organ mencapai target) mengingat adanya sawar darah otak. Pemberiannya melalui
intra arterial (infuse, perfusi), intratekal / intraventrikuler (punksi lumbal, punksi sisterna, via
pudentz/Omyama reservoir), atau intratumoral.
Immunoterapi
Diharapkan dengan melakukan restorasi system imun akan dapat menekan pertumbuhan tumor.
Pemberian imunoterapi secara terapi adjuvant diterapkan untuk kasus tumor jenis glioma (di mana
system imun menurun) yang mempunyai survival panjang. Jenis obat yang sering digunakan
sebagai imuno modulator yaitu BCG / Levamizole, Visivanil, dan PS / K
Jenis tumor otak pada lokasi spesifik
Tumor pada system ventrikel
Pada ventrikel lateral: Ependimoma (dari ependim), Papiloma (dari pleksus khoroid), tumor
congenital / embrional (epidermoid, teratoma, oligodendroglioma).
Pada ventrikel II (diensefalon): ependimoma, kraniofaringioma, kista koloid.
Bagian belakang ventrikel II: pinealoma, pendimoma, papiloma, meningioma.
Ventrikel IV biasanya mengenai anak-anak: ependimoma, papiloma, meduloblastoma, meningioma,
epidermoid.
Tumor jenis papiloma, epidermoid, meningioma sering masih memiliki kesempatan untuk dioperasi
untuk mengambil tumornya, tapi untuk jenis yang infiltratif, tindakan operasi hanya ditujukan untuk
dekompresi dan melancarkan aliran likuor yang selanjutnya diberikan radiasi atau kemoterapi.
Tumor pada daerah thalamus2.1
Sering dijumpai pada anak-anak. Berdasarkan sitologi dan lokasi diklasifikasikan menjadi
astrositoma, glioblastoma, ependimoma, brainstem gliomas. Gejala klinis berupa peninggian tekanan
intracranial yang tinggi disertai gejala gangguan thalamus, lama kelamaan bisa menjadi hidrosefalus.
Gejala pada brainstem glioma antara lain refleks babinsky positif, hemiparesis, hiperrefleks. Tindakan
operatif untuk dekompresi, kecuali untuk kista koloid atau tumor noninfiltratif.
28
Tumor pada Khiasma / Sella Tursika
Lesi massa pada daerah selar atau parasellar dicurigai sebagai tumor jenis adenoma hipofise,
kraniofaringioma, meningioma, glioma optic, epidermoid, pinealoma ektopik, arachnoiditis opto-
khasmatika.
Tumor daerah pineal / epifise
Sering dijumpai pinealoma. Gejala klinis yaitu peninggian tekanan intracranial, tanda Perinaud,
fenomena Bell, fenomena Puppenkoft (Doll’s eye test), pupil Argyl Robertson, pubertas prekoks,
diabetes insipidus.
Tumor batang otak
Yaitu tumor yang terletak di daerah ganglia basalis (korpus striatum, nucleus kaudatus, nucleus
lentiformis, putamen, dan globus palidus), mesensefalon, pons, dan medulla oblongata. Gejala klinis
yaitu kesadaran menurun, gangguan N. III, sindrom Weber, sindrom Benedict, dan Sindrom Claude.
Ekstensi tumor ke daerah medulla oblongata menimbulkan gangguan menelan, gangguan bicara, paralisa
lidah (sindrom Avelli, sindrom Jackson).
Tumor daerah serebelum
Umumnya menimbulkan obstruksi langsung aliran LCS di akuaduktus sehingga gejala peninggian
tekanan intracranial menjadi amat prominen. Bahaya herniasi serebeler yang mengancam merupakan
indikasi tindakan operasi cito. Jenis tumor yang sering dijumpai : meduloblastoma, astrositoma,
hemangioblastoma.
Tumor sudut serebelo-pontin
Keluhan yang khas yaitu gangguan pendengaran (tinnitus), disamping gejala lain : gangguan N.
V, N. VII, N. VI. Jenis yang tersering yaitu neurinoma akustik.
Tumor Kongenital
Merupakan tumor yang tumbuh dari sisa-sisa jaringan embrional, yaitu : kraningioma, khordoma
(dari notokor), tumor pearly (Perlee / epidermoid/ kholesteatoma yang berasal dari ectoderm), dermoid,
dan teratoma.
Tumor metastasis pada otak
Fokus primer yang tersering yaitu tumor paru (karsinoma bronkhogenik). Kebanyakan tumor
metastasis ditampilkan sebagai lesi masa intracranial yang multiple, merupakan refleksi dari stadium
terminal suatu keganasan.
29
GRANULOMA
Memiliki konotasi sebagai proses desak ruang karena peradangan spesifik seperti TBC, penyakit
kelamin, dan infeksi lain.
Tuberkuloma merupakan metastasis sekunder dari TBC paru-paru. Pada dewasa predileksinya di
supratentorial (hemisfer) dan batang otak, sedangkan pada anak di serebelum.
Penanganannya merupakan kombinasi tindakan operasi dan medikamentosa spesifik.
Gumma jarang dijumpai, umumnya soliter, membesar di sekitar dura akibat perjalanan lanjut dari
sifilis.
Granuloma fungus dari jamur : aktinomises, kriptokokus, dll.
ASTROSITOMA
Merupakan tumor SSP otak primer kedua terbanyak setelah glioblastoma.\
Astrositoma serebri dapat terjadi pada semua golongan umur, rata-rata usia 35-40 tahun.
Astrositoma yang diferensiasi baik cenderung pada kelompok usia lebih muda, sedang yang anaplastik
pada kelompok usia menengah. Predileksi kasus usia dewasa sedikit didominasi oleh laki-laki.
Patologi anatomi
Astrositoma fibriler secara makroskopis berupa neoplasma difus, lunak berwarna kelabu putih
yang menginfiltrasi luas ke dalam otak, sering mengandung kista kecil. Pada dewasa sering melibatkan
hemisfer serebral, pada anak di batang otak. Astrositoma protoplasmic cenderung di korteks, lebih ganas
daripada tipe fibriler tapi lebih jinak dari glioblastoma.
Presentasi klinis-Investigasi diagnostic
Gejala klinis berupa sakit kepala ipsilateral terhadap tumor dan muntah. Gejala awal tersering
yaitu kejang baik umum maupun fokal, akibat insufisiensi aliran darah yang sesaat yang menimbulkan
bangkitan elektrik yang berlebihan. Gejala lain yaitu deficit neurologist fokal, seperti parese, gangguan
penglihatan, vertigo, disfasia, diplopia, hemianopsia homonimus, gangguan sensorik. Kadang-kadang
terdapat gangguan mental dan penurunan kesadaran.
CT scan memiliki akurasi 100% untuk tumor supratentorial. Grade I menunjukan penurunan
densitas, sedikit atau tidak ada edem perifokal. Grade II menunjukkan lesi yang hipodens dibanding
sekitarnya, edem lebih menonjol.
MRI dapat mendeteksi astrositoma yang tidak terdeteksi pada CT scan.
Penanganan dan hasil terapi
Tindakan operasi radikal biasanya dilakukan pada tumor di daerah aman (lobus frontal hemisfer
non dominant), biopsy lebih baik dilakukan pada daerah yang berbahaya (girus motorik). Angka
30
mortalitas tergantung pada keadaan prabedah pasien, steroid, dan antiedem sebelumnya. Radioterapi
memperbaiki harapan hidup penderita. Dosis radiasi antara 4500-6000 rad (whole brain) dengan booster
1000 rad pada tumornya sendiri.
Tindakan terbaru yaitu dengan radio surgery (gamma knife surgery) bagi tumor astrositoma di
daerah sulit (batang otak ) dan tidak bisa dijangkau dengan pisau.
GLIOBLASTOMA
Menurut definisinya astrositoma bila asal tumor berhasil diidentifikasi dari sel astrosit, sedangkan
glioblastoma bila asalnya tidak diketahui. Glioblastoma berjumlah kira-kira seperempat dari seluruh
tumor intracranial dan separuh dari semua glioma. Kasus terbanyak melibatkan kelompok usia rata-rata
41-60 tahun.
Patologi Anatomi
Tampil sebagai massa yang berbatas tegas atau neoplasma yang infiltratif secara difus. 60%
berupa massa solid dan sisanya kistik. Potongan tumor dapat berupa massa lunak berwarna keabuan atau
kemerahan atau berupa daerah nekrosis dengan konsistensi seperti krim kekuningan, atau berupa suatu
daerah bekas perdarahan berwarna coklat kemerahan. Sel neoplasma ini mengadakan infiltrasi ke sel
normal atau tumbuh invasive mendesak sel normal, bila sampai melibatkan seluruh hemisfer disebut
sebagai gliomatosis serebri.
Presentasi Klinis-Investigasi diagnostic
Nyeri kepala merupakan keluhan utama. Gangguan motorik sebagai keluhan awal. Terdapat
perubahan mental, kejang, abnormalitas neurologist berupa refleks abnormal, konfusi dan disorientasi,
papiledema, kesadaran yang menurun, gangguan lapang pandang, koma dan parese N. III dan N. VI.
CT scan dan MRI merupakan pemeriksaan penunjang yang terbaik. Glioma non anaplastik
biasanya merupakan lesi yang hipodens yang batasnya agak jelas dan bentuknya lebih regular serta
edema perifokal di sekitar neoplasma. Pada lesi anaplastik kadang tampak edema yang menyerupai jari
tangan (fingers like edema) yang meluas ke dalam massa putih otak. Adanya perdarahan intratumoral
ditampilkan dengan peningkatan densitas lesi. Pada glioblastoma dengan pemeriksaan CT scan akan
memiliki gambaran yang lusen, dimana perburukan keadaan klinis penderita memiliki korelasi dengan
pembesaran ukuran di daerah ini.
Penanganan dan hasil terapi
Dilakukan operasi dan radioterapi serta kemoterapi. Pada operasi, tumor perlu dibuang sebanyak
mungkin untuk mengatasi desakan pada otak dan tidak menambah atau mengakibatkan deficit neurolis
yang lebih berat. Reseksi agresif memberikan five years survival rate lebih panjang, dan meningkatkan
31
efektivitas radiasi karena sel-sel neoplasma yang anoksik merupakan sel yang radioresisten dapat
dibuang.
MENINGIOMA
Berasal dari lapisan arachnoid. Relatif sering dijumpai pada orang dewasa, dengan sifat khas yaitu
tumbuh lambat dan cenderung meningkatkan vaskularisasi tulang yang berdekatan, hyperostosis
tengkorak serta menekan jaringan otak sekitarnya, insidensinya cenderung meningkat seiring
meningkatnya usia penderita. Wanita 2x lebih tinggi risikonya daripada pria.
Patologi Anatomi
Meningioma intracranial sering mempunyai predileksi lokasi terbanyak di parasagital, selain di
sphenoid, konveksitas, dan fossa posterior. Klasifikasi paling sederhana menurut Kernohan dan Sayre
adalah meningoteliomatosa, fibromatosa, dan tipe maligna.
Tumor meningioma psammomatosa merupakan subtype kelompok meningioteliomatosa, dan
yang paling angioblastik adalah hemangioprositoma sehubungan dengan agresivitasnya.Tumor tipe ini
sering dijumpai di ventrikel.
Presentasi klinis dan investigasi diagnostic
Gejala yang timbul akibat tekanan terhadap jaringan atau saraf otak di dekatnya. Tumor ini
tumbuh lambat sehingga gejala klinis tidak terlalu menonjol. Kadang ada hyperostosis tulang di
sekitarnya, pada foto polos kepala terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial yang berupa
hyperostosis tulang, peningkatan vaskularitas, kalsifikasi tipe dan destruksi tulang (jarang).
CT scan menampilkan sebagai massa hiperdens yang homogen dengan enhancement zat kontras
yang merata.
Penanganan dan hasil terapi
Terapi operatif radikal maksimal merupakan penanganan terpilih. Secara umum meningioma
merupakan tumor yang relative radioresisten.
MEDULOBLASTOMA
Merupakan tumor awal otak primer yang terjadi pada serebelum dan terdiri dari sel-sel kecil yang
uniform dan gambaran mitosis yang banyak (spongioblastoma serebeli).
Wanita memiliki risiko lebih tinggi dibanding pria. Meduloblastoma yang terletak di lateral
umumnya berusia dewasa, sedangkan yang terletak di tengah umumnya anak-anak.
Patologi Anatomi
Merupakan tumor yang biasanya tumbuh di daerah atap ventrikel IV sebagai lesi yang berbatas
tegas dan cenderung untuk menyusup sampai tonsil serebelum dan ekspansi keluar foramen magnum.
32
Konsistensinya lunak, kadang-kadang kenyal. Sering metastasis ke rongga subarachnoid via LCS dan
menampilkan bercak-bercak opaque pada subarachnoid atau nodul-nodul seperti kancing.
Presentasi klinis-Investigasi diagnostic
Gejala awal berupa peninggian tekanan intracranial yaitu nyeri kepala, mual, muntah, gangguan
penglihatan. Gejala lain yaitu gejala serebeler (gangguan gaya berjalan).
CT scan dan MRI merupakan investigasi diagnostic terpilih.
Penanganan dan hasil terapi
Dilakukan tindakan operasi pengangkatan tumor minimal sampai sumbatan likuor dapat lancar
kembali. Radioterapi dapat meningkatkan five year survival penderita meduloblastoma. Dosis total yang
diberikan yaitu 5500 rad terhadap fosa posterior dan 4000-4500 rad pada neuro-aksis.
EPENDIMOMA
Merupakan neoplasma glia yang susunannya didominasi oleh sel-sel ependim. Usia penderita
rata-rata 20 tahun dan didominasi oleh pria. Umumnya memiliki predileksi di kompartemen infratentorial
dan ventrikel IV. Pada anak umumnya di infratentorial, sedang pada dewasa di supratentorial.
Patologi Anatomi
Makroskopis berupa suatu massa yang lunak, pucat, kadang noduler. Tumor intraventrikuler
memiliki bentuk sesuai contour ventrikuler atau terpendam dalam massa putih otak. 25 % tumor
intraventrikuler terletak dalam ventrikel III, 75 % di dalam atau dekat ventrikel lateral. Tumor ini dapat
menembus jaringan otak dan menginvasi dura serta tulang. Ependimoma supratentorial mempunyai
komponen kistik, sebaliknya di fossa posterior jarang kistik.
Klasifikasi WHO mengelompokkan tumor ini menjadi 4 jenis yaitu miksopapiler, papiler,
subependimoma tipe non-anaplastik, ependimoma anaplastik. Kebanyakan yang menimbulkan gejala
klinis yaitu jenis papiler atau anaplastik, sedangkan tipe meksopapiler banyak terdapat di daerah kauda
ekuina.
Presentasi klinis-Investigasi diagnostic
Tumor yang terletak inratentorial memiliki durasi lebih panjang dibanding yang supratentorial,
hal ini menandakan sifat yang invasive. Tumor intraventrikuler tidak bergejala sampai menjadi besar
sekali. Gejala umumnya papiledema, nyeri kepala, mual, muntah, gejala serebeler (vertigo, ataksia).
Kejang jarang dijumpai. Gejala utama dari tumor ventrikel IV adalah keluhan nyeri kepala dan muntah,
sedangkan tumor ventrikel lateral sering menampilkan deficit neurologist fokal. CT scan dan MRI
merupakan pemeriksaan yang terpilih.
33
Penanganan dan hasil terapi
Tindakan operasi bertujuan untuk dekompresi, menghilangkan obstruksi aliran LCS, reduksi
terhadap jaringan otak sekitarnya dan menegakkan diagnosa terhadap derajat anaplasia.
Indikasi terapi radiasi yaitu konfirmasi adanya tumor. Ependimoma sensitive terhadap radiasi
nomor dua setelah meduloblastoma. Pemberian radiasi pascaoperasi eksisi menimbulkan nekrosis tumor,
sedang radiasi tanpa operasi dapat meremisi gejala serta pengecilan tumor.
Tumor ventrikel IV memiliki risiko lebih besar dibanding tumor supratentorial.
TUMOR PLEKSUS KHOROID
Secara embriologis berasal dari lapisan ependimal tabung neural. Insiden meningkat pada
penderita Von Recklinghausen. Gejala radiologist yang khas yaitu hipertrofi dan kalsifikasi pleksus
khoroid. Ventrikel III dan IV merupakan predileksi lokasi pada kasus usia dewasa, sedang pada anak-
anak di ventrikel lateral.
Patologi Anatomi
Makroskopis berupa massa dengan konsistensi lunak, vaskuler, ireguler mirip kembang kol,
cenderung berbentuk sesuai contour ventrikel yang ditempati dan berekstensi melalui foramen dalam
ventrikel lain sekitarnya atau rongga subarachnoid. Biasanya tumor ini tumbuh mendesak jaringan otak
tetapi tidak menginvasi.
Hidrosefalus sering dijumpai kemungkinan karena hipersekresi produksi likuor, dan kadang
menetap setelah tumor diangkat.
Presentasi klinis-Investigasi diagnostic
Berupa tanda peninggian tekanan intracranial tanpa disertai gejala neurologist fokal. Tumor
intraventrikel IV kadang bergejala nistagmus dan ataksia.
Investigasi diagnostic denga CT scan.
Penanganan dan hasil terapi
Dilakukan pengangkatan tumor, kadang juga dilakukan tindakan pemasangan Ventrikel-peritoneal
shunting sebelum dilakukan operasi definitf. Radiasi tidak berperan pada tumor ini.
ADENOMA HIPOFISE2.1
Merupakan satu-satunya adenoma primer asli dari kavitas cranial sehingga dikelompokkan dalam
neoplasma epitel. Puncak distribusi pada umur 35-45 tahun. Klasifikasi berdasarkan histologis yaitu
eosinifili pada akromegali (dipengaruhi oleh Growth hormone) dan basofilik terdapat pada Cushing
syndrome (dipengaruhi oleh ACTH). Selain itu juga dapat menyebabkan prolaktinemia karena adenoma
34
hipofise menghasilkan hormone prolaktin jika berlebihan. Panhipopituarism terjadi jika adenoma hipofise
tidak berfungsi sama sekali.
Patologi Anatomi
Tumbuh ekspansif keluar dari fossa hipofise sehingga duramater dan dinding tulang terdesak ke
samping bawah sampai sinus sphenoid, dan menekan khiasma dan saraf optic. Bila membesar dapat
melibatkan arteri karotis, ke fosa frontal dan ke temporal. Biasanya dibungkus oleh kapsul liat dan
mengadung kalsifikasi dan berwarna kecoklatan karena perdarahan intratumoral.
Presentasi klinis-Investigasi diagnostic
Gejala klinis karena hiper- atau hiposekresi dari hormone hipofise. Keluhan umumnya berupa
gangguan penglihatan secara perlahan, nyeri kepala terutama pada wanita akromegali dan tidak memiliki
korelasi dengan ukuran adenoma, pada funduskopi terdapat discus optic yang pucat, lapang pandang
terganggu berupa hemianopsia bitemporal. Papiledema jarang dijumpai. Proptosis merupakan tanda stasis
vaskuler di sinus kavernosus atau telah meluas dari fisura orbitalis superior. Kadang terdapat paresis otot
ekstra okuler, terutama mengenai N.III.
Pemeriksaan neuroradiologis untuk membedakan dalam 4 stadium evolusi : mikroadenoma,
adenoma dengan pembesaran sella-invasif local, adenoma destruktif, adenoma panivasif.
Gambaran foto polos menampilkan dasar sella yang ganda, dorsum sella menipis dan cekung pada
garis tengah. CT scan hanya menampilkan adenoma yang telah berekstensi ke suprasellar.
Penanganan dan hasil terapi
Tujuannya yaitu dekomprasi struktuf saraf khususnya traktus penglihatan dan restorasi sekresi
hormonal yang normal. 3 metode dasar terapi :
a. terapi operatif : ekstirpasi transkranial, ekstirpasi trasfenoidal (melalui sela tursika), destruksi
stereotaksik
b. terapi radiasi : radiasi volatase tinggi perkutaneus, radiasi partikel berat, implantasi isotop
stereotaksik, gamma knife surgery
c. terapi medikamentosa : bromokriptin pada prolaktinoma
Hasil terapi ditentukan oleh keadaan tumor, ukuran, dan sifat-sifat pertumbuhan sebelumnya.
Komplikasi pascatindakan antara lain :
a. operasi intra/transkranial : hematom intracranial, edema serebri, infeksi luka, meningitis,
hidrosefalus, gangguan serebro-vaskuler, gangguan saraf otak, kejang, rinore likuor, gangguan
personalitas.
b. Operasi transfenoidal : hemtom intra-/ekstra-selaar, rinore likuor, meningitis, gangguan saraf
otak, sinusitis, rhinitis atrofik, kerusakan gigi.
c. Prosedur stereotaksik : perdarahan intratumoral, rinore likuor, meningitis, gangguan saraf otak.
35
d. Radioterapi : pembengkakan tumor (oprasi cito), nekrosis, radio hipotalamus, pituitary, n. optic.
e. Terapi medika mentosa : nausea, muntah, nyeri ulu hati.
KRANIOFARINGIOMA2.1
Berasal dari bagian inferior kantong Rathke. Lebih sering terjadi pada anak-anak.
Patologi Anatomi
Merupakan tumor supraselar mengandung 2 kompunen yaitu padat dan kistik. Bagian padat
merupakan massa dengan permukaan rata, lunak, berwarna abu kemerahan, sedangkan bagian kistik
konsistensi dan warna tergantung dari ketebalan dindingnya. Adanya deposit kalsium menjadikan tumor
mengeras.
Presentasi Klinis-Investigasi Diagnostik
Durasinya rata-rata 1 tahun. Regio supra sellar menyebabkan gejala deficit neurologist seperti
gangguan penglihatan, gangguan endokrin, peninggian intracranial, gangguan psikiatri. Pertumbuhan
ekstensif ke frontal atau lobus temporal dapat menimbulkan anosmia atau kejang, ke fossa posterior
menyebabkan abnormalitas fungsi saraf otak IV, V, dan VI, traktus piramidalis dan serebelum. Keluhan
tersering adalah nyeri kepala, gangguan penglihatan, muntah.
Tampilan radiologist pada foto polos tengkorak yaitu perubahan sella, adanya kalsifikasi tumor,
pelebaran kanalis optikus, pelebaran sutura, digital marking pada tengkorak. Pada CT scan tampak
sebagai massa yang bulat dan berlobul-lobul. Cairan kista memiliki densitas antara likuor dan karingan
otak (sesuai dengan kandungan kristal di dalamnya).
Pengobatan dan hasil terapi
Dilakukan terapi operatif dengan approach melalui subfrontal, subtemporal, transfenoidal atau
transvesikuler. Juga dapat dilakukan operasi total terutama pada anak-anak, tetapi dapat menyebabkan
gangguan endokrin. Kombinasi terapi dan radiasi cukup berperan untuk memperpanjang survival dan
menghambat tumbuhnya tumor rekuran, serta menekan produksi cairan kista.
PHACOMATOSES2
Merupakan penyakit autosomal dominant. Efeknya terhadap kulit dan otak. Penyakitnya yaitu
neurofibromatosis (Von Recklinghausen’s disease), tuberous sclerosis (bourneville’s disease), Hippel-
Lindau disease.
NEUROMA AKUSTIK / NEUROFIBROMA
Merupakan tumor otak primer di daerah sudut serebelo-pontin yang paling banyak dijumpai, dibentuk
oleh sel Schwann sarung saraf otak VIII yang sebelumnya dikenal schwanomma, neurilemma, perineural
36
fibro-blastoma. Umumnya tumbuh unilateral, usia rata-rata 47 tahun. Adanya kehamilan diduga
mengakselerasi pertumbuhannya.
Patologi Anatomi
Makroskopis permukaan rata, berkapsul, noduler, berwarna abu kemerahan atau abu kekuningan.
Konsistensinya dari keras dan fibrosa sampai kenyal-lunak, tergantung perubahan regresif terutama
degenerasi lemak.
Presentasi klinis
Gejala awal yaitu gangguan pendengaran yang bertahap. Gejala lain : tinnitus, pusing, gangguan
keseimbangan, rasa penuh di dalam telinga, nyeri kepala. Tumor yang besar dapat menimbulkan gejala
diplopia, suara serak, kesulitan menelan, nyeri pada wajah, ataksia atau sindrom hidrosefalus
normotensif.
Investigasi diagnostic awal ideal yaitu mencakup pemeriksaan auditory evoke response dan CT
scan. Gambaran CT scan yaitu massa homogen hipodens padat bulat atau oval di daerah meatus akustikus
internus dan kadang perluasannya ke kanalis auditorius.
Penanganan dan Hasil Terapi
Terapi standar yaitu dengan tindakan operasi mikro melalui pendekatan suboksipital-transmeatal,
translabirin, suboksipital-translabirin, fossa media, fossa media-transtentorial-translabirin, subtemporal-
transtentorial, yang disesuaikan dengan ukuran tumor, gejala audiologist dan gejala neurologist penderita.
Berdasarkan ukuran dan ekstensi kranialnya, tindakan operatif yaitu :
- tumor kecil : neuironoma akustik intrakanalikuler atau hanya melibatkan n. VII dan VIII.
Tindakan yang terpilih yaitu suboksipital-transmeatal atau translabirin.
- Tumor medium : diameter 2-3 cm, sudah mulai menekan batang otak dan ada gejal n. V.
Tindakan operasi yaitu suboksipital-transmeatal.
- Tumor besar : berukuran > 3 cm, disertai hidrosefalus. Tndakan operasi yaitu suboksipital-
transmeatal.
TUBEROUS SKLEROSIS
Gejala klinis berupa kelainan kulit, epilepsy, dan retardasi mental. Merupakan astrositoma dengan
giant cell yang tidak lazim. Tumor ini berdegenerasi ke glioma maligna. Radioterapi tidak dianjurkan.
Dapat bermetastasis ke organ lainnya seperti di hati, mepedu, ovarium, testis, tiroid, dan retina.
Tindakan operasi untuk menyingkirkan tumor intraventrikuler yang membesar dengan cara insisi
transcallosal dan trasckotikal.
37
HIPPEL - LINDAU DISEASE
Merupakan penyakit herediter dan timbul pada waktu dewasa, bahkan setelah memiliki anak.
Manifestasi klinis yaitu hemangioblastoma serebelar merupakan yang tersering, biasanya berupa
kistikdengan nodul dan menekan fossa posterior atau hidrosefalus. Lesi yang berhubungan yaitu angioma
retinal, angioblastik meningioma, renal cell carcinoma, feokromositoma, glioma konus, siringomielia,
ependimoma.
Diagnostik dengan CT scan, oftalmoskopi indirek dengan fluoresensi pada retinal angioma, juga
harus di fotokoagulasi untuk mencegah hemorrhagic intraocular yang berat.
Terapi yaitu berupa operasi eksisional nodul.
DIAGNOSA BANDING TUMOR OTAK
Yaitu encephalitis, epidular hematome, stroke hemorrhagic, stroke ischaemic, subdural hematoma
MEDIKAMENTOSA
- kortikosteroid : dexamethasone untuk vasogenic general edema, hidrocortison untuk efek
mineralo dan glukocorticoid.
- Furosemide dan mannitol : untuk menurunkan tekanan rongga subarachnoid dengan membuat
gradasi osmotic antara LCS di arachnoid dan plasma (tidak digunakan untuk penyakit kronik).
38
BAB V. TUMOR MEDULLA SPINALIS
PEMBAGIAN
A. Tumor primer.
1. Ekstramedullar (90%) : neurofibroma, meningioma
▪ ekstradural
▪ intradural
2. Intrameduler (10%)
B. Tumor sekunder, metastase dari pparabronchus, mammae, prostate.
GEJALA
▪ Bersifat kronik progresif
▪ Yang pertama kali dirasa:
- rasa lemas, kaku, berat pada ekstremitas
- nyeri radikuler yang bertambah apabila batuk atau mengejan
▪ Gejala lain:
- parastesia, hipestesia
- kesulitan BAK/BAB
▪ Pada pemeriksaan didapatkan :
- kelumpuhan tetra/paraparese
- gangguan sensorik segmental
- gangguan otonom
▪ Gangguan neurologik disebabkan oleh :
- kompresi langsung
- iskemia : karena obstruksi arteri / vena
- infiltrasi tumor (tumor intrameduller)
▪ Tumor di daerah cauda equine menyebabkan parastesi pada daerah selangkangan.
Tumor di daerah konus medullaris menyebabkan paraparese tidak simetrik, vesika urinaria atonik.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Lumbal pungsi : bila positif tumor, pada LCS di dapatkan warna xantokrom, dan protein
meningkat. Pada tes queckenstedt (dihubungkan dengan manometer) dilihat adanya blok LCS
total / parsial.
2. X-ray vertebrae dilihat adakah destruksi korpus atau hilangnya pedikel.
3. Myelo CT-scan
39
4. MRI
TERAPI
1. Simptomatik
2. Operatif : laminektomi
3. Radiasi
PROGNOSA
Tergantung dari :
- Jenis tumor
- Berat ringannya kompresi.
40
BAB VI. MYELITIS
DEFINISI
Myelitis adalah radang pada medulla spinalis / myelum
JENIS
1. Myelitis transversa :
Terjadi peradangan yang terbatas pada satu atau dua segmen sehingga menimbulkan kerusakan total dan
terjadi gangguan sensibilitas segmental yang jelas.
2. Myelitis diseminata
Peradangan tersebar pada beberapa segmen medulla spinalis sehingga lokasi gangguan sensibilitas
menjadi tidak jelas.
3. Myelitis diffusa
Peradangan tersebar pada seluruh medulla spinalis, lokasi gangguan sensibilitas menjadi tidak jelas
ETIOLOGI
1. stafilokokus
2. streptokokus
3. pneumokokus
4. haemofillus influenza
PATOGENESIS
1. Langsung
- emboli septic ( terjadi emboli ditempat lain, lepas dan masuk
medulla spinalis )
- luka terbuka / fraktur terbuka pada tulang belakang
- osteomielitis tulang belakang
2. Tidak langsung
- sifilis meningovaskuler = penyumbatan arteri
- reaksi imunologik : paska varisella, variola, morbili
- arthritis ( didapatkan dari turunan )
GEJALA
Gejala menyerupai pada umumnya lesi di medulla spinalis, berupa :
1. gangguan motorik
41
- segmen cervical atas C1-C4 : tetraplegia tipe UMN
- segmen cervical bawah C3-Th1 : tetraplegia lengan tipe LMN, tungkai tipe UMN
- segmen thoraks : paraplegia tipe UMN ( lengan tidak terkena )
- segmen lumbal ; paraplegia tipe LMN ( lengan tidak terkena )
2. gangguan sensorik
gangguan sensorik yang terjadi bersifat segmental sesuai dengan dermatom yang terkena, berupa
hipestesis / anesthesia dari segmen medulla spinalis yang terkene ke bawah, setinggi :
- clavikula : segmen Th1
- papilla mammae : segmen Th4
- proc.xyphoideus : segmen Th5
- arcus costae : segmen Th 6
- umbilicus : segmen Th 10
- inguinal ; segmen Th 12
3. gangguan vegetatif / otonam
- retensio urin at alvi pada stsdium akut, belum menunjukan gejala tipe ke UMN annya
- inkontinensia urine et alvi
DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan :
- gejala klinis
- pemeriksaan lumbal fungsi : sel dan protein meninggi
PENATALAKSANAAN
1. antibiotic
2. kortikosteroid untuk mencegah perlengketan
3. fisioterapi
42
BAB VII. LESI DEGENERATIF MEDULA SPINALIS
Penyakit degeneratif adalah istilah yang secara medis digunakan untuk menerangkan adanya suatu
proses kemunduran fungsi sel saraf tanpa sebab yang diketahui, yaitu dari keadaan normal sebelumnya ke
keadaan yang lebih buruk. Penyebab penyakit sering tidak diketahui, termasuk diantaranya kelompok
penyakit yang dipengaruhi oleh faktor genetik atau paling sedikit terjadi pada salah satu anggota keluarga
(faktor familial) sehingga sering disebut penyakit heredodegeneratif. Cowers tahun 1902 menekankan
adanya istilah abiotrophy untuk penyakit seperti tersebut di atas yang artinya menunjukkan adanya
penurunan daya tahan sel neuron dan mengakibatkan kematian dini. Konsep di atas mewujudkan hipotesa
bahwa proses penuaan (usia) dan penyakit degeneratif dari sel mempunyai proses dasar yang sama. Ada
beberapa penyakit yang dahulu dimasukkan ke dalam penyakit degeneratif, tetapi sekarang diketahui
mempunyai suatu dasar gangguan metabolik, toksik dan nutrisi (defisiensi zat tertentu) atau disebabkan
suatu slow virus. Dengan berkembangnya ilmu, memang banyak penyakit yang dulu penyebabnya tidak
diketahui akhirnya diketahui sehingga tidak termasuk penyakit degeneratif. Sedangkan penyakit yang
penyebabnya tidak diketahui dan mempunyai kesamaan dimana terdapat disintegrasi yang berjalan
progresif lambat dari sistem susunan saraf dimasukkan ke dalam golongan ini.
Istilah yang agak membingungkan yaitu pemakaian yang tidak konsisten dari istilah atrofi dan
degeneratif, dua istilah ini digunakan pada penyakit degeneratif. Spatz mengatakan bahwa gambarannya
secara histopatologis berbeda. Atrofi gambaran khasnya berupa proses pembusukan dan hilangnya
neuron dan tidak dijumpai produk degeneratif, hanya jarak antar sel yang melebar dan terjadi fibrous
gliosis. Degeneratif menunjukkan proses yang lebih cepat dari kerusakan neuron, mielin dan jaringan
dengan akibat timbulnya produk-produk degeneratif dan reaksi fagositosis yang hebat dan gliosis selular.
Jadi perbedaan atrofi dan proses degeneratif yaitu pada kecepatan terjadinya dan tipe kerusakannya.
Banyak penyakit yang merupakan proses degeneratif ternyata diketahui kemudian penyebabnya adalah
proses metabolik. Tetapi ternyata pada kejadian atrofi, ada beberapa yang dasarnya adalah gangguan
metabolik juga.
Gambaran klinis umum penyakit degeneratif:
1. Perjalanan penyakit lambat, setelah waktu yang lama dari fungsi saraf yang normal, kemudian diikuti
kemunduran fungsi susunan saraf tertentu yang bersifat progresif lambat yang dapat berlanjut sampai
beberapa tahun atau puluhan tahun. Pasien sulit menentukan kapan penyakit mulai timbul. Adanya
riwayat kejadian yang dapat mempresipitasi terjadinya penyakit degeneratif, misalnya kecelakaan,
infeksi atau kejadian lain yang diingat sebagai penyakit.
2. Kejadian penyakit yang sama dalam keluarga (bersifat familial)
43
3. Pada umumnya penyakit degeneratif pada sistem saraf akan terjadi terus menerus, tidak dapat
diperbaiki oleh tindakan medis atau bedah, kadangkadang penyakit ini ditandai dengan periode yang
stabil untuk beberapa lama. Beberapa gejala dapat dikurangi dengan penatalaksanaan yang baik,
tetapi penyakitnya sendiri tetap progresif.
4. Bilateral simetris. Meskipun kadang-kadang misalnya pada Amyotrophic lateral skelerosis mula-
mula hanya mengenai satu anggota gerak atau salah satu sisi tubuh, tapi dalam proses selanjutnya
menjadi simetris.
5. Hanya mengenai daerah anatomis/fisiologi susunan saraf pusat secara selektif. Misalnya ALS yang
termasuk dalam Motor Neuron Disease yang terkena adalah motor neuron di kortek serebral, batang
otak dan medula spinalis dan terjadi ataksia yang progresif dimana hanya sel purkinye yang terkena.
6. Secara histologis bukan hanya sel-sel neuron saja yang hilang tapi juga dendrit, axon, selubung
mielin yang tidak berhubungan dengan reaksi jaringan dan respon selular.
7. Pada likuor serebrospinalis kadang-kadang terdapat sedikit peningkatan protein, tetapi pada
umumnya tidak menunjukkan kelainan yang berarti.
8. Karena menyebabkan kehilangan jaringan secara radiologis terdapat pengecilan volume disertai
perluasan ruang likuor serebrospinalis. Permeabilitas sawar darah otak tidak berubah.
9. Laboratorium atau pemeriksaan penunjang lain sering memberikan hasil yang negatif. Berbeda
dengan penyakit susunan saraf pusat progresif lain seperti tumor, infeksi, proses inflamasi lain.
10. Pemeriksaan neuroimaging dapat menunjukkan kelainan tertentu, sehingga dapat membantu
menyingkirkan golongan penyakit lain. Lesi pada medula spinalis termasuk proses degeneratif akan
memberikan gejala suatu lesi intrameduler karena proses degeneratif memang terjadi pada medula
spinalis secara selektif.
Gambaran klinis lesi medula spinalis
1. Mielopati transversa dimana sekuruh jaras asenden dan desenden terkena. Sehingga terjadi gangguan
motorik, sensorik dan vegetatif yang luas. Penyebab yang tersering adalah trauma, tumor, multiple
sklerosis, dan penyakit pembuluh darah. Penyebab lainnya hematom epidural, abses, hernia diskus
intervertebralis, sindroma parainfeksi dan post vaksinasi.
2. Lesi yang mengenai bagian sentral medula spinalis. Contohnya syringomieli, hydromieli, tumor
intramedular. Medula spinalis dapat terganggu mulai dari sentral kemudian meluas ke struktur lain
dari medula spinalis. Gambaran khasnya dalah suatu disosiasi sensibilitas. Dengan berjalannya
penyakit bagian anterior dapat terkena pada tingkat lesinya dan mengakibatkan atrofi neurogenik
sentral, parese dan arefleksia. Perluasan ke lateral dapat menyebabkan sindrome Horner’s ipsilateral
(bila mengenai pusat siliospinal pada lesi di C8-T2), kiposkoliosis (bila mengenai nukleus motorik
dari dorsomedian dan ventromedian yang mempersarafi otot para spinal), paralisa spastik di bawah
lesi bila traktus kortikospinalis terkena. Perluasan ke dorsal akan mengakibatkan putusnya jaras
44
dorsalis (untuk sensasi posisi dan rasa getar ipsilateral) dan dengan terkenanya juga daerah
ventrolateral akan menyebabkan gangguan suhu dan nyeri pada medula spinalis di bawah lesi. Karena
secara laminasi traktus spinothalamikus sensasi servikal terletak dorsomedial dan sensasi sakral
terletak ventrolateral, pada lesi intraparenkimal dapat terjadi sensasi sakral tidak terkena.
3. Lesi di kolumna posterolateral. Dapat terjadi secara selektif pada penyakit Subacute combine
degeneration pada defisiensi Vitamin B12 mielopati vakuolar oleh sebab AIDS, servikal spondylosis.
Terjadi gangguan proprioseptif dan sensasi vibrarsi pada tungkai sebagai ataksia sensorik. Ganguan
traktus kortikospinal bilateral akan mengakibatkan spasitisitas, hiperreflesi, dan refleks ekstensor
bilateral. Akan tetapi reflek dapat negatif atau menurun bila disertai neuropati perifer
4. Lesi di kolumna posterior, sering terjadi pada penyakit Tabes dorsalis (neurosyphillis). Terjadi
gangguan sensasi vibrasi dan posisi dan penurunan rasa raba, juga mengakibatkan ambang sensasi
mekanik, taktil, postural, halusinasi, arah gerak dan posisi, sehingga akan timbul staksia sensorik dan
Romberg yang positif. Cara berjalan yang ataksik. Pasien mengeluh nyeri ‘lancinating’ terutama
tungkai. Dapat terjadi inkontinens urine, reflek KPR dan APR yang negatif. Terdapat Lhermitte’s
sign yang disebabkan peningkatan sensitifitas mekanik pada kolumna dorsalis dimana fleksi leher
akan mengakibatkan peningkatan secara spontan unit-unit sensoris yang aktif dan ikut sertanya
serabut saraf yang lain.
5. Lesi di kornu anterior. Penyakit yang menyerang secara difus kornu anterior misalnya adalah spinal
muskular atrofi (misalnya infantile spinal muscular atrophy in motor neuron disease). Bila bagian
kornu anterior terkena secara difus terjadi kelemahan secara difus, atrofi, fasikulasi terjadi pada otot
batang tubuh dan ekstremitas. Tonus otot menurun dan ketegangan otot dapat menurun atau hilang.
Gangguan sensorik tidak terjadi karena jaras sensorik tidak terkena.
6. Kombinasi lesi di kornu anterior dantraktus piramidalis. Hal ini secara karakteristik terjadi pada
Amyotrophic lateral sclerosis. Terjadi gangguan secara difus dari lower motor neuron (progressive
muscular atrophy, parese, fasikulasi) yang bersamaan dengan gejala lesi UMN (parese, spastisitas,
reflek plantar ekstensor). Tidak ada gangguan sphincter urine dan rektal tidak ada.
Klasifikasi penyakit degeneratif yang mengenai medula spinalis
I. Syndrome progressive dementia in combination with other neurologic abnormalities.
A. Cortical spinal degeneration (Jakob) and the Dementia-Parkinson-Amytrophic lateral sclerosis
complex (gumanian and others)
B. Familial dementia with spastic paraparesis
II. Syndrome of progressive ataxia
A. Predominantly spinal forms of hereditary ataxia
1. Friedreich ataxia
2. Strumpell-Lorrain
45
III. Syndorme of slowly developing muscular weakness and atrophy (nuclear amiotrophy). Without
sensory changes:
1. Amytrophic lateral sclerosis
2. Progressive spinal muscular atrophy
3. Progressive bulbar palsy
4. Primary Lateral sclerosis
5. Heriditary forms of progressive muscular atrophy and spastic paraplegia
Corticostriatospinal degeneration (Parkinson-Dementia) and Amytrophic lateral sclerosis complex.
Merupakan penyakit kronik yang mengenai pertengahan danakhir masa dewasa dan secara klinis
gambarannya adanya gangguan intelek dan tingkah laku, kelemahan, ataksia, spastisitas anggota gerak
dan gejala ekstrapiramidal: rigiditas, gerakanjadi lambat, tremor, postur athetotic, disartri,
likuorserebrospinalis normal. Lesi terdapat difus dan terutama terdapat pada neuron terluar di frontal,
temporal dan girus motorik sentralis, korpus striatum, thalamus ventral, nucleus motorik batang otak.
Pada salah satu dari kasus Jakob perubahan terutama terjadi pada kornu anterior dan traktus
kortikospinalis dari medula spinalis seperti ALS. Penemuan tersebut menjadikan konsep penyakit ini
adalah suatu proses degeneratif pada kortikospinalis dan sering merupakan penyakit yang terjadi dalam
hubungan keluarga sehingga disebut Creutzfeldt-Jakob disease. Pasien akan mengalami rigiditas yang
hebat, tanda piramidal, ALS yang berkembang dalam beberapa tahun. Pada stadium akhir dari penyakit
biasanya pasien sadar, tetapi selalu harus dibantu dalam mengerjakan sesuatu, pasien tidak dapat bicara,
menelan dan menggerakkan anggota tubuh dan hanya dapat menggerakkan bola mata. Fungsi intelek
kurang terganggu dibanding motorik. Penyakit berlangsung progresif dan berakhir fatal dalam 5 – 10
tahun.
Familial dementia with spastic paraparesis
Sering terjadi dengan pada anggota keluarga yang sama pada usia pertengahan, dimana terjadi
paraparese spastik dengan gangguan intelek secara gradual. Kapasitas mental pasien berkurang secara
gradual dan kapasitas untuk berpikir tingkat tinggi terganggu. Timbul reflek tendo yang meningkat,
klonus, babinski. Berbeda dengan tipe yang dominan, tipe yang diturunkan secara resesif sering
mengenai lebih banyak sistem saraf dan menimbulkan demnetia, ataksia serebeller dan epilepsi.
Gambaran patologi: selain plak senile, dan perubahan neurofibrillary, terdapat demielinisasi pada masa
putih subkortikal dan korpus kalosum, area yang bercak-bercak tapi meluas dari pembengkakan arteriol,
yang dengan pewarnaan menunjukkan suatu amyloid. Familial spastic paraplegia dapat juga disertai
ataksia cerebellar yang progresif dimana terjadi pula degenerasi spinocerebellar.
46
Ataksia Friedreich
Adam memasukkan pula sindrome ataksia yang progresif yaitu ataksia herediter dengan
predominan pada medula spinalis. Penyakit yang termasuk di sini adalah Ataksia Friedreich. Penyakit ini
menurun secara resesif dengan perubahan patologis dominan pada kolomna posterior, traktus
spinoserebellaris, dan traktus kortikospinalis. Gejala umumnya timbul pada usia muda, 50% terdapat
pada usia kurang dari 10 tahun. Penyakit ini berjalan secara progresif dan biasanya setelah 5 tahun pasien
tak dapat berjalan lagi. Laki-laki lebih sering terkena dari pada wanita. Rata-rata usia kematian adalah
26,5 pada penyakit yang diturunkan secara resesif, dan 39,5 tahun pada penyakit yang diturunkan secara
dominan.
Gejala klinis:
1. Terjadi ataksia sensorik maupun serebeller, terjadi inkoordinasi dari kedua tungkai bawah.
Mula-mula pasien sulit berdiri cepat dan berlari, kemudian timbul kelelahan, nyeri pada
tungkai, kaku setelah latihan berat. Dapat terjadi kelemahan pada tangan setelah gangguan
berjalan, kemudian bicara jadi rero, lambat, tidak jelas dan eksposif, lengan jadi ataksik
dan dapat disertai intensio tremor. Akhirnya bicara, bernafas, menelan dan tertawa jadi tak
terkoordinasi.
2. Rasa getar dan posisi dapat terganggu selanjutnya rasa raba, suhu dan nyeri terganggu.
Romberg positif
3. Reflek tendo kedua tungkai ini menghilang akibat terputusnya jaras sensorik dari lengkung
reflek
4. Refleks Babinski +
5. Sering terjadi deformitas pada kaki. Terjadi pes cavus dengan arkus plantar yang tinggidan
terjadi retraksi pada sensi jari dan fleksi sendi interphlalang
6. Nystagmus + (biasanya horisontal)
7. Peningkatan reflek rahang
8. Dapat disertai ketulian, vertigo, otik atrofi, kardiopati (pada setengah kasus). Gejala
tersebut mirip dengan penyakit degenerasi spinocerebeller yang herediter, tetapi biasanya
pada penyakit ini reflek meningkat.
Gambaran patologi
Medula spinalis tampak mengecil, kolumna posterior, traktus kortikospinalis, dan spinocerebeller
mengandung jaringan medula dan terdapat gliosis fibrosis. Sel saraf pada kolumna Clarks dan sel saraf
yang panjang dari ganglia rasiks dorsalis terutama daerah lumbosakral berkurang. Sel Betz berkurang
tetapi traktus kortikospinalis relatif tak terganggu. Terdapat pengurangan sel-sel saraf pada saraf otak
VIII, X, XII. Hilangnya sel saraf tingkat ringan sampai sedang juga terjadi pada nukleus dentatus dan
47
pedunkulus sereblaris superior. Penyusutan sel Purkinye di vermis superior dan neuron-neuron yang
berhubungan dengan nukleus olivari inferior. Otot miokardial juga mengalami degenerasi dan diganti
oleh mippag dan fibroblas.
Therapi: Therapi trial dengan Physostigmin tablet 60 mg/hari, Thyrotropin releasing hormon, choline
chloride, lecithin, 5 hidroksi triptophan dan benserazide tidak memperoleh hasil yang memuaskan.
Strumpell Lorrain yaitu bentuk familial spastic paraplegia disertai dengan atrofi optik dan spastisitas yang
berat.
Motor system disease.
Istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan kelainan degeneratif pada medula spinalis,
batang otak, korteks motorik, yang secara klinis ditandai dengan kelemahan otot, atrofi, tanda traktus
kortikospinalis pada beberapa variasi kombinasi. Penyakit mengenai usia pertengahan dan hampir
semuanya kematian terjadi dalam 2 – 6 tahun atau lebih tergantung kasusnya.
Amytrophic lateral sclerosis
Adalah penyakit degeneratif yang progresif akibat degenerasi motor neuron di kornu anterior
medula spinalis, batang otak dan korteks serebri, dengan manifestasi berupa kelemahan dan atrofi dari
otot-otot yang dipersarafi, disertai tanda-tanda gangguan (degenerasi) traktus kortikospinalis dan
beberapa variasi lainnya. Biasanya tanpa atau hanya sedikit gangguan sensibilitas atau serabut non motor
lainnya. Etiologi diketahui pasti, ada dugaan penyebabya adalah suatu infeksi virus (misalnya polio virus
latent), toksin dari lingkungan (Beta methyl amino L alanine), faktor genetik, ada hubungannya dengan
lymphoma, logam berat (Pb, Mn, Co, Fe, Zn, Hg), trauma, gangguan pada DNA, imunologi, gangguan
metabolisme glutamat. Angka kejadian diperkirakan antara 0,4-1,4 kasus tiap 100.000 populasi dengan
rata-rata menyerang dekade ke IV, V, VI, VII. Jarang pada usia kurang dari 35 tahun. Perbandingan laki-
laki dan wanita berkisar antara 1,1:1 sampai 2:1. Lebih banyak mengenai kulit putih dibandingkan kulit
hitam.
Secara klinis ALS dibagi dalam beberapa tipe yaitu:
1. Progressive muscular atrophy
Pada tipe ini terjadi proses degeneratif dari motorneuron di kornu anterior medula spinalis dengan
manifestasi klinis kelemahan dan atrofi otot-otot badan dan anggota gerak yang terlihat pada stadium
awal dari penyakitnya. Lesi yang terjadi biasanya mulai dari daerah servikal medula spinalis, dengan
kelemahan, atrofi dan fasikulasi otot-otot intrinsik tangan, walaupun bisa juga dimulai di sembarang
tempat di kornu anterior medula spinalis. Sebagai gejala awal bisa juga dimulai dengan kelemahan dan
atrofi otot-otot kaki dan paha, sedang otot-otot ekstremitas atas masih baik. Kasus yang jarang,
48
kelemahan dimulai dari pada lengan bagian proksimal yang kemudian meluas ke distal. Pada tipe ini
traktus kortikospinalis tidak terkena, sehingga reflek tendo menurun atau negatif. Fasikulasi otot
bervariasi antara ada dan tidak. Perbandingan antara pria : wanita yaitu 3,6 ; 1. Five years survival rate
72% bila onset kurang dari 50 tahun dan bila 40% bila onset lebih dari 50 tahun.
2. Progressive bulbar palsy
Adalah tipe ALS dimana terjadi proses degeneratif pada inti-inti saraf otak di batang otak, terutama
bagian bawah.
Manifestasi klinis:
♥ Kelemahan dan atrofi dari otot-otot faring, lidah dan wajah. Pada stadium awal akan memberikan
gejala atau kesukaran untuk mengucapkan t,n,r,l,b,m,p,f, dan k,g, yang akhirnya suara penderita
menjadi tidak dipahami. Bicara sulit juga disebabkan karena spastisitas dari lidah, pharing dan
laring yang kemudian diikuti kelemahan atrofi.
♥ Reflek pharing menghilang dan gerakan palatum serta pita suara tidak sempurna waktu sedang
bicara. Terdapat gangguan mengunyah, menelan, otot-otot paring tidak bisa mendorong makanan
masuk ke oesophagus, sehingga air dan makanan akan masuk ke trakhea atau kembali lagi ke
hidung. Dapat terlihat fasikulasi lidah dan jawjerk yang positif.
3. Primary lateral sclerosis
Tipe ini sangat jarang. Proses degeneratif yang terjadi di korteks cerebri pada area Broadman’s 4 dan 6,
dan terlihat proses degeneratif sekunder pada traktus kortikospinalis. Gejala yang timbul berupa:
♥ Kelemahan dan spastisitas dari otot-otot badan dan anggota gerak, biasnya dimulai pada
ekstremitas bawah
♥ Tidak dijumpai atrofi dan fasikulasi
♥ Reflek regang yang meningkat dan reflek plantar ekstensor bilateral
♥ Hilangnya reflek superfisial tetapi tidak ada gangguan sensoris.
4. Tipe campuran
Sering dijumpai dengan gambaran klinis merupakan kombinasi dari bentuk 1,2,3. Pada pemeriksaan
didapatkan adanya atrofi, fasikulasi, kelemahan anggota gerak bawah, atas, peningkatan reflek tendon
dan ekstensor plantar positif bilateral. Selanjutnya bila inti batang otak terkena akan menyebabkan disfagi
disartri dan kelemahan otot wajah, tidak terdapat gangguan sensorik.
5. Spinal monomelic amyotrophic
Didapatkan adanya unilateral amyotrophic yang terbatas pada 1 anggota gerak.
49
Kriteria ALS menurut El Escorial:
Diagnosis ALS memerlukan tanda-tanda:
1. Tanda LMN
2. Tanda UMN
3. Terdapat progresifitas dari penyakit
Subklasifikasi untuk kriteria diagnostik:
♥ Definite ALS: UMN + LMN dengan 3 regio* seperti ALS yang tipikal
♥ Probable ALS: UMN + LMN dengan 2 regio dengan tanda UMN dan tanda LMN
♥ Possible ALS: UMN + tanda LMN dengan 1 regio atau tanda UMN dengan 2 atau 3 regio,
seperti monomelic ALS, Progressive bulbar palsy, dan Primary lateral sclerosis.
♥ Suspected ALS: LMN dengan 2 atau 3 regio seperti progressive muscular atrophy atau
sindroma motorik lain.
*Regio termasuk: batang otak, brachial, thoraks, trunk, crural.
Patologi:
Gambaran patologi dasar dari ALS yang telah lama dikenal adalah sebagai berikut:
♥ Hilangnya motor neuron di kornu anterior medula spinalis dan batang otak
♥ Hilangnya sel Betz pada korteks serebri dan degenerasi pada traktus kortikospinalis.
Ditemukan hilangnya sel saraf pada kornu anterior medula spinalis. Sisa sel yang bertahan bentuknya
kecil dan penuh dengan lipofuchsin. Hilangnya sel diganti dengan jaringan fibrosit dari astrosit. Sel saraf
yang besar dan panjang terkena lebih dahulu dari yang berukuran lebih kecil. Radiks anterior menjadi
kecil dan kehilangan serabut bermielinisasi besar pada saraf motorik. Otot-otot memperlihatkan
gambaran atrofi karena denervasi pada berbagai stadium. Whitehouse et all menemukan berkurangnya
reseptor muskarinik, kolinergik, glisinergik, benzodiazepam pada medula spinalis dimana terjadi proses
degenerasi pada motor neuronnya. Degenerasi pada traktus kortikospinalis lebih sering terjadi pada
bagian bawah medula spinalis. Dengan pewarnaan lemak terlihat akumulasi makrofag sebagai respon
adanya degenerasi mielin. Terdapat hilangnya sel Betz di kortek motorik. Serabut pada funikuli ventral
dan lateral berkurang, mengakibatkan gambaran yang pucat pada pewarnaan mielin. Mc-Menemey
menginterpretasikan bila mengenai juga bagian non-motor neuron disebut sebagai motor system disease.
Tetapi peneliti lain menganggap bahwa hal tersebut dikarenakan hilangnya kolateral dari motor neuron
pada lamina propria. Pada ALS dengan demensia terdapat kehilangan neuron yang luas dan gliosis di
premotor area terutama girus superior frontal dan korteks inferolateral dari lobus temporal.
Diagnostik:
Harus disingkirkan penyakit lainnya melalui pemeriksaan penunjang:
50
1. EMG: menunjukkan adanya fibrilasi, fasikulasi, atrofi dan denervasi, KHST normal, kadang-
kadang dijumpai adanya giant action potential
2. Biopsi otot: terdapat atrofi dari fasikulus otot bercampur dengan fasikulus yang normal
3. Peningkatan enzim otot
4. LP: LCS normal
5. Mielografi: normal
6. MRI: terdapat peningkatan intensitas signal
Penanganan ALS:
Karena sampai sekarang etiologi masih belum jelas, belum ada pengobatan yang tepat. Penanganan yang
dapat dilakukan adalah terapi konservatif dan fisioterapi.
Prognosa:
Pasien dapat hidup 10-15 tahun dari awitan. Bila terdapat gangguan pada otot-otot untuk menelan
prognosanya lebih jelek.
Heredofamilial forms of progressive muscular atrophy and spastic parpaplegia Wednig Hoffman Disease
(Infantile progressive spinal muscular atrophy) Merupakan bentuk klasik dari spinal muskular atrofi tipe
herediter (Tipe I). SMA ini ditandai dengan kelemahan akibat terkenanya seluruh otot sebelum usia 3
tahun. Diturunkan secara autosomal resesif, insiden 1:20.000 kelahiran hidup, dan 1/3 kasus sudah
terlihat pada saat lahir karena kurangnya aktifitas dan adanya deformitas. 95% dari kasus onset dimulai
sebelum usia 4 bulan. Kelemahan umum, hipotoni, sukar makan adalah gejala utama. Bila terdapat
kesusahan bernapas merupakan gejala fatal. Pasien ini umumnya bertahan sampai 6 bulan sesudah onset
dan 95% meninggal pada usia 18 bulan. Fasikulasi terlihat jelas pada lidah atau tempat lain maupun pada
pemeriksaan EMG. Secara patologis didapat kerusakan motor neuron yang berat tetapi sel tetap ada, yang
terjadi adalah pembesaran sel dan kromatolisis, atrofi radiks motorik sedang radiks sensorik normal. Pada
otot skeletal terjadi denervasi yang berat dan hampir merata.
Spinal muscular atrophy type II (infantil kronik/late infantil) Onset relatif lambat dibanding tipe I,
umumnya muncul sebelum usia 2 tahun. Gambaran klinis: terjadinya kelemahan otot. Kira-kira 25% bayi
dapat duduk tanpa dibantu dan dapat belajar berjalan. Fasikulasi dan atrofi lidah positif tapi fasikulasi tak
ditemui pada anggota gerak. Reflek tendon menghilang. Progresifitas lambat usia harapan hidup
bervariasi dari 14-30 tahun. Skoliosis terjadi pada pasien yang tidak difisioterapi, lebih lanjut terjadi
gangguan respirasi, adanya deformitas akan memperburuk keadaan.
51
Chronic proximal spinal muscular atrophy (PSMA, Wohlfart-Kugelberg-Welander Syndorme) Gangguan
mengenai otot proksimal dari anggota gerak dan berkembang sangat lambat. Sepertiga kasus terjadi
sebelum usia 2 tahun dan 50% antara 3-18 tahun. Laki-laki lebih sering terkena, terutama pada usia
remaja dan tua. Bentuk ini diturunkan pada gen autosom resesif dan sexlinked. Kelemahan dan atrofi
biasanya terjadi secara lambat dimulai digelang panggul dan otot proksimal lengan. Biasanya simetris
sejak awal penyakit. Fasikulasi dijumpai pada setengah dari status. Bila bagian distal dari anggota gerak
terkena maka reflek tendon hilang, otot bulbar dan traktus kortikospinalis tidak terkena, meskipun
Babinski dapat muncul dan berhubungan dengan ophthalmoplegia. Pada EMG dapat ditemukan fasikulasi
spontan dan denerval khronis, pada biopsi otot ditemukan atrofi neural dan hipertrofi serabut dan
hilangnya dan proses degenratif pada kornu anterior. Pada pemeriksaan enzim didapatkan enzim CPK
yang meninggi.
Bentuk fokal penyakit ini:
1. Scapulohumeral. Biasanya jinak tetapi dapat berkembang dengan cepat. Pada orang
dewasa kematian terjadi dalam 3 tahun oleh karena respiratory failure.
2. Scapuloperoneal. Bentuk ini terdapat pada dewasa muda dan dewasa. Atrofi melibatkan
otot scapula dan pariscapula dan bagian anterior dari tungkai.
3. Miopati okuler. Otot yang terkena adalah otot wajah dan okuler (biasanya hanya satu otot
yang terkena), terdapat pada anak dan dewasa
4. Fazio Londe. Bentuk yang paling progresif, dimulai dari usia dini, atrofi otot yang
meliputi neuron motorik bulbar sehingga terjadi kelemahan otot okuler, wajah, faring.
Kematian biasanya karena respiratory faulure.
Hereditary spatic paraplegia or diplegia
Penyakit diturunkan secara otosomal dominan, jarang resesif dan onset dapat dimulai sejak masa kanak-
kanak sampai orang tua.
Gambaran klinis:
♥ Timbulnya keleahan yang bersifat spastik secara gradual pada tungkai yang mengakibatkan
kesukaran berjalan
♥ Reflek tendon yang meningkat dengan reflek plantar ekstensor
♥ Sensorik dan fungsi saraf lain normal. Bila terjadi mulai kanak-kanak, kaki jadi melengkung
dan memendek dan terdapat pseudokontraktur dari otot betis, mengakibatkan jalannya
menggunakan ujung jari-jari. Kadang-kadang lutut tampak fleksi ringan dan lengan ekstensi serta
adduksi
♥ Otot lengan terkena dalam berbagai tingkatan. Tangan jadi kaku, lemah, bicara disartri
52
♥ Fungsi sphincter tak terganggu
♥ Sering bersamaan dengan nistagmus, kelemahan saraf otak, optik atrofi, degenerasi makular
pigmentasi, ataksia, epilepsi, dementia
♥ Gambaran patologi menunjukkan degenerasi dari traktus kortikospinalis, penipisan dari
kolumna Goll, terutama regio lumbal dan traktus spinocerebellaris. Dilaporkan juga terdapat
berkurangnya sel Betz di kornu anterior.
Variants of familial spastic paraplegia
1. Hereditary spastic paraplegia with spinocerebellar and ocular synptoms. Terjadi
gangguan gaze. Manifestasi ataksia spinocerebellar dimulai pada dekade 4 dan 5 dimana
terjadi kelemahan tungkai, perubahan mood, tertawa dan menangis yang patologik, disartri
dan diplopia, disetesia anggota gerak, dan terganggunya kontrol kandung kencing. Reflek
tendon positif dengan bilateral babinski. Gangguan sensorik dimulai pada ujung distal
ekstremitas
2. Hereditary spastic paraplegia with ekstrapiramidal symptoms. Terdapat tremor saat
istirahat dan bekerja, rigiditas parkinson, gerakan lidah yang distonia dan gerakan athetoid
dari anggota gerak.
3. Hereditary spastic paraplegia with optic atrophy (Behr syndrome)
4. Hereditary spastic paraplegia with retinal degeneration. (Kjellin syndrome).
Paraplegi spastik dengan amiotrophy, oligophrenia dan degenerasi retina sentral. Bila
terdapat ophtalmoplegi disebut Barnard Scholz syndrome
5. Hereditary spastic paraplegia with mental retardation or dementia
6. Hereditary spastic paraplegia with polyneuropathy
Penyakit yang oleh De Jong juga dimasukkan dalam penyakit degeneratif yaitu:
1. Tabes dorsalis
Penyakit ini merupakan suatu bentuk neurosiphilis yang secara patologis ditandai dengan
terjadinya degenerasi pada radiks posterior dan kolumna dorsalis medula spinalis. Keadaan ini
merupakan 1,3 – 5% dari penderita neurosiphilis. Gejala klinis timbul sesudah lebih dari 10 sampai 20
tahun infeksi primer, sehingga umumnya penderita Tabes dorsalis berumur 40-60 tahun.
Gejala klinis:
♥ Hilangnya sensasi proprioseptif mengakibatkan ataksia sensoris (sekunder terhadap kerusakan
funikulus dorsalis)
53
♥ Terkenanya radiks posterior dan ganglion dorsalis menyebabkan nyeri radiks, rasa terikat,
penurunan reflek dan terlambatnya reaksi nyeri
♥ Dapat terjadi gangguan fungsi kandung kemih tipe atonik, inkontinentia alvi, impotens,
gangguan tropik dengan akibat timbulnya lesi ulseratif dan atropati tip charchot.
2. Multipel sklerosis
Merupakan penyakit yang dapat menyerang secara luas sistem saraf pusat danbelum diketahui
dengan jelas sebabnya. Penyakit ini ditandai dengan bercak-bercak demielinisasi yang tersebar
terutamapada masa putih. Bercak ini pada tingkat lanjut berupa bercak sklerotik yang tersebar
perivaskuler. Angka kejadian sklerosis ditemukan sangat tinggi di Eropa Barat, dapat mencapai
80/100.000 penduduk. Umumnya serangan pertama terjadi pada umur muda 20-40 tahun, kadang-kadang
umur 12-15 tahun. Laki-laki lebih sering dari wanita. Keadaan ini pada 60-90% penderita diikuti gejala
remisis dan relaps.
Gejala klinis:
♥ Neuromielitis optika, selain adanya neuritis optika (biasanya unilateral 45%) juga disertai
adanya mielopati yang progresif disertai nyeri dan parestesi
♥ Terdapat 3 bentuk spinal dari multipel sklerosis:
1. Bentuk spinal dengan gejala paraplegia spastik yang progresif
2. Bentuk dengan lesi spinal unilateral sehingga gejala klinis dapat berupa gejala
brownn sequard yang parsial
3. Bentuk sakral. Bercak lesi terdapat di konus sehingga terdapat gejala konus. Lesi
medula spinalis dapat berupa mielitis tranversa atau ascending.
♥ Gejala motorik umumnya terdapat kelemahan otot tanpa atrofi (spastik parese), bila ditemukan
atrofi umumnya hanya pada otot kecil tangan.
♥ Reflek regang meningkat, hilangnya reflek superfisial, gangguan piramidal disertai gangguan
proprioseptif dan ataksi sensorik.
♥ Gejala Lhermitte yang positif danbermacam gejala sensibilitas
♥ Kontrol spincter sering terganggu
♥ Pada 70% penderita terdapat gejala nistagmus, tremor intension dan bicara meletup-letup dan
disebut sindroma charcot.
Gambaran patologi: terjadi gliosis dan demielinisasi pada fasikulus grasilis dan juga atrofi dari ganglion.
Terjadi perivascular lymphocytic cuffing dan dapat terjadi iskemi sekunder yang menyebabkan gangguan
proprioseptif dan kelemahan yang progresif dari ekstremitas bawah.
3. Posterolateral sklerosis
54
Ditandai dengan perubahan patologis yang mengenai terutama kolumna lateral (jaras piramidal)
dan funikulus posterior.
Gambaran klinis ditandai dengan kelemahan dan hiperrefleksi akibat terganggunya traktus piramidalis,
hilangnya sensasi propioseptif dengan ataksia sensoris, dapat terjadi gangguan otonomik dari kandung
kencing dan rektum dan impotensi.
Penyakit tersebut diatas sering berhubungan dengan anemi pernisiosa, gangguan defisiensi lain
seperti pellagra, DM, ketuaan, multipel sklerosis. Contoh penyakit yang terkenal adalah subacute
combined degeneration dan Mieloneuropati tropika (yang terdiri atas tropikal ataksi neuropati dan
tropikal spastik paraparese)
a. Subacute combined degeneration
Terjadi pada 16% pasien dengan defisiensi vitamin B12. Patologi: Kekurangan vitamin B12 akan
mengganggu melalui siklus Krebs sehingga terbentuk asam lemak yang tidak normal dan
mengganggu pembentukan mielin.
Gejala klinis:
♥ Parestesi dimulai dari bagian distal ke proksimal dengan distribusi simetris pada keempat
anggota gerak
♥ Terdapat parese yang spastik akibat gangguan traktus kortikospinalis
♥ Reflek tendon bisa menurun atau meningkat, reflek patologis positif (50%)
♥ Dapat terjadi disfungsi kandung kemih, gangguan mental dan visual
b. Mieloneuropati tropika dibagi atas 2 grup:
1. Tropikal ataksi neuropati dengan gejala utama sensori ataksia
2. Tropikal spastik paraparese dengan predominan spastic paraplegi dengan minimal
defisit neurologi
Etilogi mieloneuropati tropika: defisiensi Vitamin B12, keracunan cassava, viral, pemakaian daun
Lathyrus.
1. Tropikal ataksi neuropati
Faktor predisposisi adalah kehamilan, laktasi, penyakit malnutrisi. Gejala klinis dimulai dengan
parestesi bagian distal tungkai, disertai baal, gangguan sensorik pada kolumna posterior, perubahan tonus
otot, gait ataksia, bilateral optik atrofi (hilangnya visus), tuli perseptif dan gejala LMN.
2. Tropikal spastik paraparese
55
Gangguan terutama adalah terkenanya traktus piramidalis dan dapat pula mengenai kolumna
posterior. Predominan dapat mengenai lumbal mengakibatkan gangguan berjalan, jalan jadi lemah dan
kaku, lebih dari setengahnya asimetris, hiperrefleksi dan babinski bilateral. Perjalanan penyakit
berlangsung subakut sampai kronis. Dapat timbul defisit sensorik terutama nyeri dan suhu dengan
segmental tidak jelas. Menurut penelitian dapat terjadi pada infeksi Human-Tlimphotropic Virus Tipe I
dan terjadi mielopati yang bersifat khronis progresif. Angka kejadian yaitu 1/250 penderita HTLV-1.
Gambaran patologi: terjadi degenerasi dan demielinisasi yang mengenai traktus piramidalis,
dpinicerebeller, spinothlamikus. Terjadi penebalan hyelinoid dari tunika adventitta dan media pembuluh
darah otak, medula spinalis dan ruang subrahnois dimana pembuluh darah tampak dikelilingi lekosit,
astrosit gliosis dan makrofag dan terjadi vakuolisasi di pinggir dari lesi.
3. Siringomieli
Merupakan suatu penyakit dimana terjadi perubahan patologik yang terdiri dari gliosis, nekrosis
dan kavitasi pada bagian sentral medula spinalis dan sering meluas ke medula ( siringobulbi). Sering
terjadi dengan kelainan perkembangan dan gangguan pembuluh darah yang mengakibatkan insufisiensi
vaskuler pada area yang terkena. Dapat terjadi pada trauma, kompresi, lesi ekstrameduler, post infeksi
yang dapat dibedakan dari siringomieli. Degenerasi terjadi pada pelebaran servikal dan dimulai pada
regio ireguler. Kanalnya sendiri tidak selalu ikut dengan proses. Onset dapat terjadi pada usia 25-40
tahun, dapat terjadi beberapa bulan sampai 20 tahun sesudah terjadinya trauma, 15 tahun setelah
arakhnoiditid TBC.
Gejala klinis:
♥ Dengan terkenanya jaras dekusatio sensorik gambaran utamanya adalah hilangnya rasa nyeri
dan suhu pada dermatom tersebut sedangkan rasa raba masih baik.
♥ Bila proses sudah mengenai bagian kornu anterior akan terjadi parese fokal, atrofi dan fasikulasi
juga terganggunya kolumna intermedilateral dengan akibat terganggunya sistem otonom
♥ Selanjutnya dapat terjadi penekanan jaras kortikospinalis dengan parese tipe UMN dan
terputusnya jaras spinotalamikus lateral dengan akibat gangguan tropik.
56
DAFTAR PUSTAKA
1. Chusid, JG. Neuroanatomi korelatif dan Neurologi fungsional bagian I. In: Medulla spinalis
Terj : dr. Andri Hartono. Gajah Mada University Press. 1983. Jogjakarta. p112-48.
2. Markam, S. Penuntun Neurologi. In : Trauma susunan saraf sentral . Binarupa Aksara. 1992.
Jakarta. p93-8.
3. Hadinoto, S. Kapita Selekta Neurologi. Edisi dua. In: Trauma Medulla Spinalis, Gajah Mada
University Press. 2003. Jogjakarta. P319-328.
4. Mardjono, M. Neurologi Klinis Dasar. In: Trauma Tulang Belakang, Dian Rakyat. 2004.
Jakarta. P26-35.
5. Mardjono, M. Neurologi Klinis Dasar. In: Trauma Tulang Belakang, Dian Rakyat. 2004.
Jakarta. P260-263.
6. Adam RD, Viktor M. Principle of Neuorology. 4th ed. Singapore : Mac Graw
Hill. 1989, p. 746-751
7. Alan, E.H. Emery. Diagnositic criteria for neuromuscular disorders.
Netherlands: ENMC, 1994, p. 48-52, 62-69
8. Alister, I. Syringomieli, In : Baker’s clinical neurology vol. 3, revised Ed.
Philadelphia : Harper & Row, 1987, Chapter 45.
9. Campbell MJ, Liversade LA. The motor neuron disease, In : John Walton,
Disorder of voluntry muscle. 4th ed. New York : ChurchilLivingstone, 1981, p. 725-745
10. De Jong, The Russel N. de Jong, neurologic examination. 4th ed. Philadelphia
: Harper & Row Hangersteron, 1979, p. 589-591
11. Gilroy J. Basic neurology. 3rd ed. New York : Mc Millam. 1975, p. 165-195
12. -----------. Medical neurology. 3rd ed. New York : Mc Millan. 1979, p. 175-228
13. John Walton. Brain’s disease of the nervous system. 9th ed. Oxford : Oxford
University Press, 1985, p. 9-11, 370-386
14. Paul W. Braziz, et all. Localization in clinical neurology. 2nd ed. Boston ;
Little, Brown, 1990, p.76-83
15. Pola penyakit medula spinalis di Lab/UPF Ilmu Penyakit saraf RSHS
periode 1981-1984. Tesis akhir dr Airiza Ahmad, halaman 99-138
16. Robert M, Richard A. Multiple sklerosis and related condition, In : Baker’s
clinical neurology vol. 3, revised Ed. Philadelphia : Harper & Row,1987, Chapter 43
17. Rowland, LP. Amiotrophic lateral sclerosis and other motor neuron diseases,
In Advanced neurology. New York : Raven Press, 1991, p. 5-1457
58