Isi Pertusis
-
Upload
antoni-de-artz -
Category
Documents
-
view
138 -
download
17
description
Transcript of Isi Pertusis
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Pertusis adalah suatu penyakit akut saluran pernapasan yang banyak
menyerang anak balita dengan kematian yang tertinggi pada anak usia di bawah
satu tahun yang disebabkan infeksi Bordetella pertusis. Seperti halnya penyakit
infeksi saluran pernapasan akut lainnya, pertusis sangat mudah dan cepat
penularannya.Tindakan penanggulangan penyakit ini antara lain dilakukan dengan
pemberian imunisasi. World Health Organitation (WHO) menyarankan sebaiknya
anak pada usia satu tahun telah mendapatkan imunisasi dasar Difteri Pertusis
Tetanus (DPT) sebanyak 3 dosis dengan interval sekurang-kurangnya 4 minggu
dan booster diberikan pada usia 15 - 18 bulan dan 4 - 6 tahun untuk
mempertahankan nilai proteksinya. Di Nederland, pemberian imunisasi dasar pada
umur 3 - 6 bulan dan booster pada umur satu tahun dengan cakupan imunisasi
sebesar 90%, praktis penyakit ini tak tampak lagi. Walaupun demikian banyak
terjadi hambatan, antara lain anak tidak dapat menerima vaksinasi sebanyak tiga
kali dan juga jarak waktu vaksinasinya tidak dapat tepat. Hal ini terutama banyak.
didapat di negara-negara yang sedang berkembang. Menurut perkiraan WHO
(1983) hanya 30% anak-anak negara sedang berkembang yang menerima
vaksinasi DPT sebanyak 3 dosis.
Di Indonsia, penyakit ini menempati urutan ke tiga penyebab kematian
pada anak balita. Secara konvensional pencegahan penyakit ini dilakukan dengan
pemberian imunisasi dasar pada bayi usia 3 bulan dengan selang waktu di antara
dosis satu bulan sebanyak 3 dosis. Booster diberikan pada anak usia 3 dan 5
tahun. Sejak tahun 1975, Indonesia telah mengikuti Program Pengembangan
Imunisasi (PPI) dengan pemberian imunisasi dasar DPT 3 dosis pada anak usia 3-
14 bulan dengan interval 1-3 bulan. Pada pelaksanaannya masih banyak
hambatan, mengingat secara geografis Indonesia beriklim tropis dan terdiri dari
1
beribu-ribu pulau dan fasilitas kesehatan yang kurang memadai, sedang syarat
mutlak keberhasilan program adalah tingginya persentase populasi target yang
harus dicakup yaitu sebesar 80% atau lebih, sehingga sirkulasi kuman patogen
dapat diputuskan.
I .2. Tujuan
Tujuan penulisan refrat ini antara lain untuk mengetahui definisi, etiologi,
transmisi dan epidemiologi, distribusi dan insidens, patologi, patogenesis,
manifestasi klinik, diagnosis, diagnosis banding, komplikasi, pengobatan,
pencegahan dan kontrol, prognosis dari pertusis.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1.Definisi
Pertusis adalah infeksi pernapasan akut yang diuraikan dengan baik pada
tahun 1500. Prevalensi di seluruh dunia sekarang berkurang hanya karena
imunisasi aktif. Syndenham yang pertama kali menggunakan istilah pertusis pada
tahun 1670. Penyakit ini di tandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari batuk yang
sangat spasmodik dan paroksimal disertai nada yang meninggi , karena penderita
berupaya keras untuk menarik nafas sehingga pada akhir batuk sering di sertai
bunyi yang khas (whoop), sehingga penyakit ini disebut Whooping Cough
(Nelson et al, 2000; Hassan dkk, 1985).
Karena tidak semua penderita dengan penyakit ini mengeluarkan bunyi
whoop, maka oleh beberapa ahli, penyakit ini disebut Pertusis yang berarti batuk
yang sangat berat atau batuk yang sangat intensif. Selain penyakit ini juga sering
disebut Tussis Quinta, batuk rejan (Irawan dkk, 2008).
Penyakit ini dapat ditemukan pada semua umur,mulai dari bayi sampai
dewasa. Dengan kemajuan perkembangan antibiotika dan program imunisasi
maka mortalitas dan morbilitas penyakit ini menurun, namun demikian penyakit
ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan bila mengenai bayi – bayi
(Ranuh dkk, 2008).
II.2.Etiologi
3
Pertusis pertama kali dapat di isolasi pada tahun 1900 oleh Bordet dan
Gengou, kemudian pada tahun 1906 kuman pertusis baru dapat dikembangkan
dalam media buatan. Genus Bordetella mempunyai 4 spesies yaitu B. pertusis,
B.parapertusis, B.bronkiseptika, dan B. avium. Penyebab pertusis adalah
Bordetella pertusis dan perlu dibedakan dengan sindrom pertusis yang disebabkan
oleh Bordetella parapertusis dan Aadenovirus (tipe1,2,3 dan 5). Bordetella
pertusis termasuk kokobasilus, Gram negative, kecil, ovoid, ukuran panjang 0,5 –
1 um dan diameter 0,2 – 0,3 um, tidak bergerak, tidak berspora. Dengan
pewarnaan toloidin biru, dapat terlihat granula bipolar metakromatik dan
mempunyai kapsul. Untuk melakukan biakan B. pertusis, diperlukan suatu media
pembenihan yang disebut bordet gengou (potato blood glycerol agar) yang
ditambah penisilin G 0,5 ug/ml untuk menghambat pertumbuhan organism lain.
Dengan sifat – sifat pertumbuhan kuman aerob murni, membentuk asam, tidak
membentuk gas pada media yang mengandung glukosa dan laktosa, sering
menimbulkan hemolisis (Sarah, 2000).
Organisme yang didapatkan umumnya tipe virulen (disebut fase 1). Pasase
dalam biakan dapat merangsang pembentukan varian yang avirulen (fase 2, 3 atau
4). Strain 1 berperan untuk penularan penyakit dan menghasilkan vaksin yang
efektif. Bordetella pertusis dapat mati dengan pemanasan pada suhu 500C selama
setengah jam, tetapi bertahan pada suhu rendah (00 – 100C).
4
Gambar 2.1Kokobasilus, Gram negatif, kecil, ovoid, ukuran panjang 0,5 – 1 um dan diameter
0,2 – 0,3 um, tidak bergerak, tidak berspora (Sarah, 2000)
Faktor-faktor kevirulenan Bordetella pertusis :
Toksin pertussis: histamine sensitizing factor (HSF), lymphocytosis
promoting factor, Islet activating protein (IAP).
Adenilat siklase luarsel.
Hemaglutinin (HA): F-HA (filamentous-HA) , PT-HA (pertussis toxin-
HA).
Toksin tak stabil panas (heat labile toxin).
Secara morfologis terdapat beberapa kuman yang menyerupai Bodetella Pertusis
seperti Bordetella Parapertusis dan Bordetella Bronchoseptica. Untuk
membedakan jenis – jenis kuman ini, maka di tentukan dengan reaksi aglutinasi
yang khas atau tes tertentu (Nelson et al, 2000).
II.3.Transmisi dan Epidemiologi
Pertusis merupakan penyakit menular dengan tingkat penularan yang tinggi,
dimana penularan ini terjadi pada kelompok masyarakat yang padat penduduknya
5
dengan tingkat penularannya mencapai 100%. Pertusis dapat ditularkan melalui
udara secara :
Droplet
Bahan droplet
Memegang benda yang terkontaminasi dengan secret nasofaring.
Sebagai sumber penularan yaitu pada kerier orang dewasa (Rampengan dkk,
1997) .
Epidemi penyakit ini pernah terjadi di beberapa Negara, seperti amerika
serikat selama tahun 1977 – 1980 terdapat 102.500 penderita pertusis. Di Jepang
tahun 1947 terdapat 152.600 pendeirta dengan kematian 17.00 orang. Pada tahun
1983 di Indonesia di perkirakan 819.500 penderita dengan kematian 23.100 orang.
Data yang diambil dari profil kesehatan jawa barat 193, jumlah pertusis tahun
1990 adalah 4.970 kasus dengan CFR (Case Fatality Rate) 0,20%, menurun
menjadi 2.752 kasus pada tahun 1991 dengan CFR 0%, kemudian turun lagi
menjadi 1.379 kasus dengan CFR 0% pada tahun 1992. Pada tahun 1999,
diperkirakan sekitar 48,5 juta kasus pertusis dilaporkan terjadi pada anak-anak di
seluruh dunia. World Health Organitation memperkirakan sekitar 600.000
kematian setiap tahun disebabkan oleh pertusis, terutama pada bayi yang tidak
diimunisasi (Rampengan dkk, 1997).
Usia Dari tahun 1999-2002, dari semua pasien pertusis:
29% berusia kurang dari 1 tahun.
12% berusia 1-4 tahun.
10% berusia 5-9 tahun.
29% berusia 10-19 tahun.
20% berusia lebih dari 20 tahun (James, 2005).
II.4.Distribusi dan Insidens6
Penyebaran penyakit ini terdapat di seluruh dunia dan dapat menyerang
semua umur mulai 2 minggu sampai 77 tahun dan terbanyak pada penderita di
bawah 1 tahun, di mana makin muda usia makin berbahaya. Banyak peneliti
melaporkan bahwa pertusis bervariasi sepanjang tahun mengikuti musim
beberapa Negara. Di amerika serikat dapat di jumpai sepanjang tahun dengan
puncaknya di akhir musim panas (Nelson et al, 2000).
Pertusis lebih sering menyerang anak wanita dari pada anak pria. Banyak
peneliti mengemukakan bahwa bayi kulit lebih hitam pada usia muda mempunyai
insinden lebih tinggi daripada bayi kulit putih, diduga perbedaan rasial ini
dihubungkan dengan tingkat kekebalan (Nelson et al, 2000).
Grafik 2.1Grafik yang menggambarkan tingkat kejadian pertussis terhadap usia
(Nelson et al,2000)
7
Grafik 2.2Grafik yang menunjukan kejadian pertussis dari tahun 1922 hingga 2000
(Nelson et al, 2000)
II.5.Patologi
Penularan terutama melalui saluran pernapasan dimana Bordetella
Pertusis akan terikat pada silia epitel saluran pernapasan, kemudian kuman ini
akan mengalami multiplikasi disertai pengeluaran toksin, sehingga menyebabkan
inflamasi dan nekrose trakea dan bronkus. Mukosa akan mengalami kongesti dan
infiltrasi limfosit dan polimorfonukleus lekosit. Di samping itu terjadi hiperplasi
dari jaringan limfoid peribronkial diikuti oleh proses nekrose yang terjadi pada
lapisan basal dan pertengahan epitel bronkus. Lesi ini merupakan tanda khas pada
pertusis. Pada pemeriksaan postmortem dapat dijumpai infiltrasi peribronkial dan
pneumonia interstitial (Hasan dkk, 1985).
Di samping itu dapat dijumpai perubahan - perubahan patologis di organ
lain seperti hati dan otak. Pada otak dapat dijumpai adanya perdarahan otak atrofi
kortikal. Perdarahan pada otak dapat masif dan mengenai parenkim atau ruang
subaraknoid terutama pada pertusis enselopati (Rampengan, 1997).
8
II.6.Patogenesis
Bordetella pertusis setelah dikeluarkan melalui sekresi udara pernafasan
kemudian melekat pada silia epitel saluran pernafasan. Mekanisme patogenesis
infeksi oleh Bordetella pertusis terjadi melalui 4 tingkatan yaitu perlekatan,
perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan lokal, dan
akhirnya timbul penyakit sistemik (James, 2005).
Filamentous hemaglutinin (FHA), Lymphositosis promoting factor (LPF)/
pertusis toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan dalam perlekatan Bordetella
pertusis pada silia. Setelah terjadi perlekatan Bordetella pertusis, kemudian
bermultiplikasi dan menyebar keseluruh permukaan epitel saluran pernafasan.
Proses ini tidak invasif, oleh karena itu pada pertusis tidak terjadi bakteremia.
Selama pertumbuhan Bordetella pertusis, maka akan menghasilkan toksin yang
akan menyebabkan penyakit yang kita kenal dengan whooping cough. Toksin
terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan oleh karena pertusis
toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toksin sub unit B
selanjutnya berikatan dengan reseptor sel target, kemudian menghasilkan sel unit
A yang aktif pada daerah aktifasi enzim membran sel. Efek LPF menghambat
migrasi limfosit dan magrofag ke daerah infeksi (Nelson et al, 2000).
Toxin mediated adenosine disphosphate (ADP) mempunyai efek pengatur
sintesis protein di dalam membrane sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi
fisiologis dari sel target termasuk limfosit (menjadi lemah dan mati),
meningkatkan pengeluaran histamin dan serotonin, efek memblokir beta
adrenergik dan meningkatkan aktifitas insulin, sehingga akan menurunkan
konsentrasi gula darah (James, 2000).
Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan
limfoid peribronchial dan meningkatkan jumlah mukos pada permukaan silia,
maka fungsi silia sebagai pembersih akan terganggu, sehingga mudah terjadi
infeksi sekunder (tersering oleh Streptococcus Pneumonia, H. influenza dan
Staphylococcus aureus). Penumpukan mukos akan menimbulkan plug yang dapat
9
menyebabkan obstruksi dan kolaps paru. Hipoksemia dan sianosis disebabkan
oleh gangguan pertukaran oksigenisasi pada saat ventilasi dan timbulnya apnue
saat terserang batuk. Terdapat perbedaan pendapat mengenai kerusakan susunan
saraf pusat, apakah akibat pengaruh toksin langsung atakah sekunder akibat
anoksia. Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan tampak bila sel
mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa kurangnya efek
antibiotik terhadap proses penyakit (James, 2000).
Dermonecrotic toxin adalah heat labile cystoplasmic toxin menyebabkan
kontraksi otot polos pembuluh darah dinding trakea sehingga menyebabkan
iskemia dan nekrosis trakea. Sitotoksin bersifat menghambat sintesis DNA,
menyebabkan siliostasis, dan diakhiri dengan kematian sel. Pertusis
lipopolysacharida (endotoksin) tidak terlalu penting dalam hal patogenesis
penyakit ini. Kadang – kadang Bordetella pertusis hanya menyebakan infeksi
yang ringan, karena tidak menghasilkan tosin pertussis (James, 2000).
II.7.Manifestasi Klinik
Masa inkubasi pertusis 6 – 10 hari (rata – rata 7 hari), dimana
perlangsungan penyakit ini 6 – 8 minggu atau lebih. Perjalanan klinis penyakit ini
dapat berlangsung 3 stadium yaitu stadium kataralis (prodromal, preparoksimal),
stadium akut paroksismal (paroksismal, spasmodik), dan stadium konvalesens.
Manisfestasi klinis tergantung dari etiologi spesifik, umur dan status imunisasi.
Gejala pada anak yang berumur <2 tahun yaitu batuk paroksismal (100%),
whoops (60 – 70%), emesis (66 – 80%), dispnue (70 – 80%) dan kejang (20 –
25%). Pada anak yang lebih besar manifestasi klinis tersebut lebih ringan dan
lama sakit lebih pendek, kejang jarang pada anak >2tahun. Suhu jarang >38,40C
pada semua golongan umur. Penyakit yang disebabakan Bordetella parapertusis
atau Bordetella bronkiseptika pada semua golongan umur lebih ringan daipada
Bordetella pertusis dan juga lama sakit lebih pendek. Ketiga stadium pertusis
diuraikan dibawah ini (Hasan dkk, 1985).
II.7.1.Stadium Katalaris (1 – 2 minggu)
10
Gejala awal menyerupai gejala infeksi saluran nafas atas yaitu timbulnya
rinore (pilek) dengan lendir yang cair dan jernih, injeksi pada konjungtiva,
lakrimasi, batuk ringan dan panas tidak begitu tinggi. Pada stadium ini biasanya
diagnosis pertusis belum dapat ditegakan karena sukar dibedakan dengan common
cold. (James, 2005)
Selama stadium ini, sejumlah besar organisme tersebar dalam inti droplet
dan penderita sangat infeksius, namun tidak tampak sakit. Pada tahap ini kuman
paling mudah di isolasi. Selama masa ini penyakit sering tidak dapat dibedakan
dengan coomon cold. (James, 2005)
Batuk yang timbul mula – mula malam hari, kemudian pada siang hari dan
menjadi semakin hebat. Sekret pun banyak dan menjadi kental dan melengket.
Pada bayi lendir dapat viskuos mukoid, sehingga dapat menyebabkan obstruksi
jalan napas, bayi terlihat sakit berat dan iritabel (James, 2005).
II.7.2.Stadium Paroksimal (2 – 4 minggu)
Selama stadium ini, batuk menjadi hebat yang ditandai oleh whoop (batuk
yang berbunyi nyaring) sering terdengar pada saat penderita menarik napas pada
akhir serangan batuk. Batuk dengan sering 5 – 10 kali, selama batuk anak tidak
dapat bernapas dan pada akhir serangan batuk anak menarik napas dengan cepat
dan dalam sehingga terdengar bunyi melengking (whoop) dan diakhiri dengan
muntah. (Irawan dkk, 2008)
Pada anak –anak yang lebih tua, bunyi whoop ini sering tidak terdengar.
Juga pada bayi yang lebih muda serangan batuk hebat tidak di sertai bunyi whoop,
tetapi penderita sering dalam keadaan lemas, lelah, apneu, sianosis, muntah.
(Irawan dkk, 2008)
Batuk paroksimal dapat berlangsung terus menerus, selama beberapa bulan
tanpa adanya infeksi aktif dan dapat menjadi lebih berat. Selama serangan , muka
penderita menjadi merah atau sianotis, mata tampak menonjol, lidah menjulur
keluar dan gelisah. Pada akhir serangan, penderita sering sekali memuntahkan
11
lendir kental. Batuk mudah dibangkitkan oleh stres emosional
(menangis,sedih,gembira) dan aktifitas fisik (Irawan dkk, 2008).
Juga pada serangan batuk nampak pelebaran pembuluh mata yang jelas di
kepala dan leher, bahkan terjadi petekie di wajah,perdarahan subkonjungtiva dan
sklera bahkan ulserasi frenulum lidah (Irawan dkk, 2008).
Walaupun batuknya khas, tetapi di luar serangan batuk, anak akan keliatan
seperti biasa. Setelah 1 – 2 minggu serangan batuk makin meningkat hebat dan
frekuen, kemudian menetap dan biasanya berlangsung 1 – 3 minggu dan
berangsur –angsur menurun sampai whoop dan muntah menghilang (Irawan dkk,
2008).
II.7.3.Stadium Konvalesen (1 – 2 minggu)
Ditandai dengan berhentinya whoop dan muntah – muntah di mana puncak
serangan paroksimal berangsur – angsur menurun. Batuk biasanya masih menetap
untuk beberapa waktu dan akan menghilang sekitar 2 – 3 minggu. Pada beberapa
penderita akan timbul serangan batuk paroksimal kembali dengan gejala whoop
dan muntah – muntah. Episode ini terjadi berulang – ulang untuk beberapa bulan
malahan bisa sampai 1 – 2 tahun (James, 2005).
II.8.Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis , pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan laboratorium. Pada anamnesis penting ditanyakan adakah riwayat
kontak dengan pasien pertusis, adakah serangan khas yaitu paroksismal dan bunyi
whoop yang jelas. Perlu pula ditanyakan mengenai riwayat imunisasi. Gejala
klinis yang didapat pada pemeriksaan fisik tergantung dari stadium saat pasien
diperiksa. Pada pemerikssan laboratorium didapatkan leukositosis 20.000 –
12
50.000/ Ul dengan limfositosis absolut khas pada akhir stadium kataral dan
selama stadium paroksismal. Pada bayi jumlah leukosit tidak menolong untuk
diagnosis, oleh karena respon limfositosis juga terjadi pada infeksi lain. Isolasi
Bordetella pertusis dari sekret nasofaring dipakai untuk membuat diagnosis
pertusis. Biakan positif pada stadium kataral 95 – 100%, stadium parosismal 94%
pada minggu ketiga dan menurun sampai 20% untuk waktu berikutnya. Serologi
untuk antobiodi toksin pertusis. Tes serologi berguna untuk stadium lanjut
penyakit dan untuk menentukan adanya infeksi pada individu dengan biakan. Cara
ELISA dapat dipakai untuk menentukan serum Igm, IgG dan IgA terhadap FHA
dan PT menggambarkan respon imun primer baik disebabakan oleh penyakit atau
vaksinasi (Rampengan, 1997).
IgG toksin pertusis merupakan tes yang paling sensitive dan spesifik untuk
mengetahui infeksi alami dan tidak tampak setealah imunisasi pertusis.
Pemeriksaan lain yaitu toraks dapat memperlihatkan infiltrate perihiler, atelektasis
atau empisema (Irawan dkk, 2008).
II.9.Diagnosis Banding
Bordetella Parapertusis
Penyakitnya lebih ringan, kira- kira 5% dari penderita pertusis. Dapat
diidentifikasi secara khusus dengan tes aglutinasi (Nelson et al, 2000).
Bordetella Bronchoseptica
Gejala penyakitnya sama dengan parapertusis, namun lebih sering
didapatkan pada binatang, dan mungkin ditemukan dalam saluran
pernapasan pada orang yang kontak dengan binatang tersebut (Nelson et
al, 2000).
Infeksi oleh Klamidia
13
Penyebabnya biasanya klamidia trakomatis. Pada bayi menyebabkan
pneumonia, oleh karena terkena infeksi dari ibu. Infeksi saluran
pernapasan terjadi 2 – 12 minggu setelah lahir dengan gejala – gejala
pernapasan cepat, batuk paroksimal, tanpa demam ,eosinofilia. Pada
thorak foto terlihat konsolidasi paru dan hiperinflasi. Diagnosis dengan
isolasi yaitu ditemukannya klamidia dari cairan saluran pernapasan.
Penyakit ini disebut juga Eosinophilic Pertusoid Pneumonitis (Nelson et
al, 2000).
Infeksi oleh Adeno virus tipe 1,2,3,5
Gejala –gejala hampir sama dengan pertusis, seperti penyebab penyakit
sebelumnya. Hanya dapat dibedakan dengan biakan dan kenaikan titer
antibody (Nelson et al, 2000).
II.10.Komplikasi
II.10.1.Pada saluran pernapasan
Bronkopneumonia
Merupakan komplikasi berat yang paling sering terjadi dan menyebabkan
kematian pada anak di bawah 3 tahun terutama bayi yang lebih kecil dari 1
tahun. Gejala ditandai dengan batuk,sesak napas, panas. Pada foto thoraks
terlihat bercak – bercak infiltrate tersebar.
Otitis media
Karena batuk – batuk hebat, kuman masuk ke tuba eustachii kemudian masuk
ke telinga tengah sehingga menyebabkan otitis media.
14
Bronchitis
Batuk mula – mula kering, setelah beberapa hari timbul lendir jernih kemudian
menjadi purulen. Pada auskultasi terdengar suara pernapasan kasar atau ronki
kasar atau ronki kering.
Atelektasis
Timbul karena lendir kental yang dapat menyumbat bronkioli.
Emfisema pulmonum
Terjadi oleah karena batuk – batuk yang hebat sehingga alveoli pecah.
Bronkiektasis
Terjadi karena pelebaran bronkus akibat tersumbat oleh lendir yang kental dan
dapat disertai dengan infeksi sekunder.
Kolaps alveoli paru
Akibat batuk paroksimal yang lama pada anak – anak sehingga dapat
menyebabkan hipoksia berat pada bayi dapat menyebabkan kematian yang tiba
– tiba (Nelson et al, 2000).
II.10.2.Pada Sistem Saraf Pusat
Terjadi kejang karena :
Hipoksi dan anoksia akibat apnue yang lama.
Perdarahan subarachnoid yang massif.
Enselopati akibat atrofi kortikal yang difus.
Gangguan elektrolit karena muntah.
15
II.10.3.Komplikasi – komplikasi yang lain
Hemoptisis, akibat batuk yang hebat sehingga menyebabkan tekanan
venous meningkat dan kapiler pecah.
Epitaksis.
Hernia.
Prolaps rekti.
Malnutirsi karena anoreksia dan infeksi sekunder.
II.11.Pengobatan
II.11.1.Antimikroba
Berbagai antimikroba telah dipakai dalam pengobatan pertusis namun
tidak ada antimikroba yang dapat mengubah perjalanan penyakit ini terutama
diberikan pada stadium paroksimal. Oleh karena itu obat – obat ini lebih
dianjurkan pemakaiannya pada stadium kataralis yang dini (Nelson et al, 2000).
Eritromisin merupakan antimikroba yang lebih efektif dibanding
kloramfenikol maupun tetrasiklin. Kebanyakan peneliti menganjurkan dosis
50mg/kg.bb/hari, dalam 2 – 4 dosis, selama 5 – 7 hari (Nelson et al, 2000)
II.11.2.Kortikosteroid
Beberapa peneliti menggunakan :
Betametason oral dengan dosis 0,05mg/kg.bb/24jam
Hidrokortison suksinat (Solukortef) intramuskuler dengan dosis
30mg/kg.bb/24jam, kemudian diturunkan secara perlahan – lahan dan
diberhentikan pada hari ke 8.
Prednisolon oral 2,5 – 5 mg/hari.
16
Dari beberapa peneliti ternyata bahawa kortikosteroid berfaedah dalam
pengobatan pertusis terutama pada bayi dengan serangan paroksimal.
II.11.3.Salbutamol
Beberapa peneliti menganjurkan bahwa salbutamol efektif terhadap pengobatan
pertusis dengan cara kerja sebagai berikut :
Beta 2 adrenergik stimulant
Mengurangi parokosismal
Mengurangi frekuensi dan lamanya whoop
Mengurangi frekunensi apnue
Dosis yang dianjurkan 0,3 – 0,5mg/kg.bb/hari, dibagi dalam 3 dosis.
II.11.4.Terapi suportif
a. Lingkungan perawatan yang tenang
b. Pemberian makanan, hindari makanan yang sulit ditelan, sebaiknya
diberikan makanan yang berbentuk cair.
c. Bila penderita muntah – muntah sebaiknya diberikan cairan dan
elektrolit secara parenteral.
d. Pembersihan jalna napas.
e. Oksigen, terutama pad asernagan baatuk yang hebat yang disertai
sianosis.
II.12.Pencegahan Dan Kontrol
Cara terbaik untuk mengontrol penyakit ini ialah dengan imunisasi.
Banyak laporan mengemukakan bahwa terdapat penurunan kejadian pertusis
dengan adanya pelaksanaan program imunisasi (Nelson et al, 2000).
17
II.12.1.Imunisasi pasif
Dapat diberikan Human Hiperimmune Globulin, ternyata beberapa
penelitian diklinik tidak efektif sehingga akhir – akhir ini tidak lagi diberikan
sebagai pencegahan atau pengobatan pertussis (Rampengan, 1997).
II.12.2.Imunisasi aktif
Diberikan vaksin pertusis yang terdiri dari kuman Bordetella Pertusis yang
telah dimatikan unrtuk mendapatkan imunisasi aktif. Vaksinasi pertusis diberikan
bersama – sama dengan vaksin difteri dan tetanus. Dosis pada imunisasi dasar
dianjurkan 12 IU dan diberikan tiga kali sejak umur 2 bulan, dengan jarak 8
minggu. Beberapa peneliti menyatakan bawa vaksin pertusis sudah dapat
diberikan pada umur 1 bulan dengan hasil yang baik sedangkan waktu epidemik
dapat diberikan lebih awal lagi yaitu pada umur 2 minggu dengan jarak 4 minggu.
Anak berumur lebih dari tujuh tahun tidak lagi memerlukan imunisasi rutin. Hasil
imunisasi pertusis tidak permanen oleh karena proteksi menurun selama
adolesens, walaupun demikian infeksi pada pasien yang lebih besar biasanya
ringan hanya merupakan sumber infeksi Bordetella pertusis pada bayi non imun.
Vaksin pertusis monovalen (90,25 ml,i.m) telah dipakai untuk mengkontrol
epidemi diantara orang dewasa yang terpapar. Salah satu efek samping setelah
imunisasi pertusis adalah demam (Irawan dkk, 2008).
Untuk mengurangi terjadinya kejang demam dapat diberikan
antikonvulsan setiap 4 – 6 jam untuk selama 48 – 72 jam. Anak dengan kelainan
neurologi yang mempunyai riwayat kejang, 7 kali lebih mudah terjadi kejang
setelah imunisasi DPT dan mempunyai kesempatan 4 kali lebih tinggi bila hanya
mempunyai riwayat kejang dalam keluarga. Maka pada anak dalam keadaan
demikian hendaknya tidak diberikan imunisasi pertusis, jadi hanya berikan
imunisasi DT (Ranuh dkk, 2008).
Kontraindikasi pemberian vaksin pertusis yaitu anak yang mengalami
enselopati dalam 7 hari sebelum imunisasi, kejang demam atau kejang tanpa
18
demam dalm 3 hari sebelum imunisasi, menangis lebih dari 3 jam, high pitch cry
dalam 2 hari, kolaps atau hipotrensi hiporesponsif dalam 2 hari, suhu yang tidak
dapat diterangkan >40,50C dalam 2 hari. eritromisin efektif untuk pencegahan
pertusis pada bayi baru lahir dari ibu dengan pertussis (Irawan dkk, 2008).
Kontak erat pada usia kurang dari 7 tahun yang sebelumnya telah
diberikan imunisasi hendaknya diberi booster. Booster tidak perlu diberikan bila
telah diberikan imunisasi dalam waktu 6 bulan terakhir, juga diberikan eritromisin
50mg/kgBB/24jam dalam 2 – 4 dosis selama 14 hari. kontak erat pada usia lebih
dari 7 tahun juga perlu diberikan erirtromisin sebagai priofilaksis (Irawan dkk,
2008).
Pengobatan eritromisin awal berguna untuk mengurangi penyebaran
infeksi dan mengurangi gejala penyakit. Seseorang yang kontak dengan pasien
pertusis tetapi belum pernah imunisasi petusis hendaknya diberikan imunisasi
pertusis selama 14 hari setelah kontak diputuskan. Jika kontak tidak dapat
diputuskan hemdaknya eritromisin diberikan sampai pasien berhenti batuk atau
setelah pasien mendapat eritromisin selama 7 hari. vaksin pertusis monovalen dan
eritromisin diberikan pada waktu terjadi (Irawan dkk, 2008).
II.13.Prognosis
Prognosis tergantung usia, anak yang lebih tua mempunyai prognosis yang
lebih baik. Pada bayi resiko kemtaian (0,5 – 1 %) disebabkan enselopati. Pada
observasi jangka panjang, apneu atau kejang akan menyebabkan gangguan
intelektual dikemudian hari (Irawan dkk, 2008).
19
BAB III
PENUTUP
III.1.Kesimpulan
Pertusis di tandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari batuk yang sangat
spasmodik dan paroksimal disertai nada yang meninggi. Penyakit ini dapat
ditemukan pada semua umur,mulai dari bayi sampai dewasa. Penyebabnya adalah
Bordetella pertusis. Pertusis merupakan penyakit menular dengan tingkat
penularan yang tinggi, dimana penularan ini terjadi pada kelompok masyarakat
yang padat penduduknya dengan tingkat penularannya mencapai 99%, dapat
20
ditularkan melalui udara secara droplet, bahan droplet, memegang benda yang
terkontaminasi dengan sekret nasofaring.
Penyebaran penyakit ini terdapat di seluruh dunia dan dapat menyerang
semua umur mulai 2 minggu sampai 77 tahun dan terbanyak pada penderita di
bawah 1 tahun, di mana makin muda usia makin berbahaya.
Penularan terutama melalui saluran pernapasan dimana Bordetella Pertusis
akan terikat pada silia epitel saluran pernapasan, kemudian kuman ini akan
mengalami multiplikasi disertai pengeluaran toksin, sehingga menyebabkan
inflamasi dan nekrose trakea dan bronkus. Mekanisme patogenesis infeksi oleh
Bordetella pertusis terjadi melalui 4 tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan
terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan lokal, dan akhirnya timbul
penyakit sistemik.
Masa inkubasi pertusis 6 – 10 hari (rata – rata 7 hari), dimana
perlangsungan penyakit ini 6 – 8 minggu atau lebih. Perjalanan klinis penyakit ini
dapat berlangsung 3 stadium yaitu stadium kataralis (prodromal, preparoksimal),
stadium akut paroksismal (paroksismal, spasmodik), dan stadium konvalesens.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis , pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan laboratorium. Pada anamnesis penting ditanyakan adakah riwayat
kontak dengan pasien pertusis, adakah serangan khas yaitu paroksismal dan bunyi
whoop yang jelas dan perlu pula ditanyakan mengenai riwayat imunisasi. Gejala
klinis yang didapat pada pemeriksaan fisik tergantung dari stadium saat pasien
diperiksa. Pada pemerikssan laboratorium didapatkan leukositosis 20.000 –
50.000/ Ul dengan limfositosis absolut khas pada akhir stadium kataral dan
selama stadium paroksismal.
Diagnosis banding pertusis adalah bordetella parapertusis, bordetella
bronchoseptica, infeksi oleh klamidia, infeksi oleh adeno virus tipe 1,2,3,5
Komplikasi – komplikasi dari pertusis. Pada saluran pernapasan :
bronkopneumoinia, otitis media, bronchitis, atelektasis, emfisema pulmonum,
21
bronkiektasis, kolaps alveoli paru. Pada sistem saraf pusat : kejang. Komplikasi –
komplikasi yang lain : hemoptisis, epitaksis, hernia, prolaps rekti, malnutirsi
karena anoreksia dan infeksi sekunder
Pengobatan pertusis terdiri dari, terapi kausal : antimikroba, eritromisin
merupakan antimikroba yang lebih efektif dibanding kloramfenikol maupun
tetrasiklin dengan dosis 50mg/kg.bb/hari, dalam 2 – 4 dosis, selama 5 – 7 hari.
Kortikosteroid : betametason oral dengan dosis 0,05mg/kg.bb/24jam,
hidrokortison suksinat (Solukortef) dosis 30mg/kg.bb/24jam Prednisolon oral 2,5
– 5 mg/hari. Salbutamol, dosis yang dianjurkan 0,3 – 0,5mg/kg.bb/hari, dibagi
dalam 3 dosis. Terapi suportif yaitu lingkungan perawatan yang tenang,
pemberian makanan, hindari makanan yang sulit ditelan, sebaiknya diberikan
makanan yang berbentuk cair., bila penderita muntah – muntah sebaiknya
diberikan cairan dan elektrolit secara parenteral, pembersihan jalan napas,
oksigen, terutama pada serangan batuk yang hebat yang disertai sianosis.
Pencegahan dan kontrol adalah Imunisasi pasif dapat diberikan Human
Hiperimmune Globulin, Imunisasi aktif diberikan vaksin pertusis yang terdiri dari
kuman Bordetella Pertusis yang telah dimatikan unrtuk mendapatkan imunisasi
aktif. Vaksinasi pertusis diberikan bersama – sama dengan vaksin difteri dan
tetanus. Dosis pada imunisasi dasar dianjurkan 12 IU dan diberikan tiga kali sejak
umur 2 bulan, dengan jarak 8 minggu.
Prognosis tergantung usia, anak yang lebih tua mempunyai prognosis yang
lebih baik. Pada bayi resiko kematian (0,5 – 1 %) disebabkan enselopati. Pada
observasi jangka panjang, apneu atau kejang akan menyebabkan gangguan
intelektual dikemudian hari.
22
Daftar pustaka
Black S. (1997). Epidemiology of pertussis. Pediatr Infect Dis J. Diakses 23 Desember 2011 dari, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9109162.
Cherry JD. (2005). The epidemiology of pertussis: a comparison of the epidemiology of the disease pertussis with the epidemiology of Bordetella pertussis infection. Pediatrics : 115:1422-1427. Diakses 30 Desember 2011 dari, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15867059.
Farizo KM. (1992). Epidemiological features of pertussis in the United States, 1980-1989. Clin Infect Dis ; 14(3):708-19. Diakses 23 Desember 2011 dari, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/1562663.
Garna, Harry. Pertusis. Azhali M.S, dkk. (1993). Ilmu Kesehatan Anak Penyakit Infeksi Tropik. Bandung, Indonesia : FK Unpad : 80-86.
Hassan Rusepno, Alatas Husein, et al. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 7, volume 2, Cetakan XI. Pnerbit Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Jakarta, 1985. Hal : 564 – 568.
23
Heininger, U. (2010). Update on pertussis in children. Expert review of anti-infective therapy 8 (2): 163–73.
Hewlett EL. (2005). Bordetella species. In: Principles and Practice of Infectious Diseases, 6th ed, Mandell GL, Bennett JE, Dolin R (Eds), Churchill Livingstone, Philadelphia. p.2701. Diakses dari, http://www.uptodate.com/contents/microbiology-pathogenesis-and-epidemiology-of-bordetella-pertussis-infection#H3.
Irawan Hindra, Rezeki Sri, Anwar Zarkasih. Buku Ajar Infeksi Dan Pediatrik Tropis. Edisi 2, Cetakan I. Penerbit Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Jakarta, 2008. Hal 331 – 337.
James D. Cherry. [Serial Online] Updated : 2 mei 2005. PEDIATRICS Vol. 115 No. 5 May 2005, pp. 1422-1427. http://www.pediatrics.aappublications.org/cgi/content/full/115/5/1422
Kretsinger K, Broder KR, Cortese MM, et al. (2006). Preventing tetanus, diphtheria, and pertussis among adults: use of tetanus toxoid, reduced diphtheria toxoid and acellular pertussis vaccine. MMWR Recomm Rep. 55(RR-17):1-33. Diakses 30 Januari 2012 dari https://online.epocrates.com/u/2951682/Pertussis/FollowUp/Overview.
Law Barbara J. (1998). Pertussis. Kendig’s : Disorders of Respiratory Tract in Children. WB Saunders. 6th edition. Philadelphia, USA. Chapter 62. h :1018-1023.
Nelson E Waldo , Behrman E Richard, Kliegman Robert, Arvin M Ann. Nelson Textbook Of Pediatric. Edisi 15, volume 2, cetakan I. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 2000. Hal : 960 – 965
Rampengan T.H , Laurents I.R, Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. Edisi 1, Cetakan III. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1997. Hal 20 -33.
Ranuh IGN., Suyitno H., Hadinegoro SRS., Kartasasmita CB., Ismoedijanto, Soedjatmiko (Ed.). Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi Ketiga. Satgas Imunisasi – Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). 2008:144-151.
S. Long, Sarah. (2000). Pertusis. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol II. Jakarta : EGC. 181: 960-965.
Shehab, Ziad M. Pertussis. Taussig-Landau : Pediatric Respiratory Medicine. Missouri, USA. Mosby Inc. 1999. Chapter 42. h: 693-699.
Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. (2005). Pertusis. Staf pengajar I.K.Anak FKUI : Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta, Indonesia. FKUI, 1997. Jilid 2. h: 564-566.
Tejpratap Tiwari. (2005). Recommended Antimicrobial Agents for the Treatment and Postexposure Prophylaxis of Pertussis. CDC Guideline.
24
http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/rr5414a1.htm
Todar, Kenneth. (2011). Bordetella pertussis and Whooping Cough. Diakses dari http://textbookofbacteriology.net/pertussis_2.html.
Update: Vaccine Side Effects, Adverse Reactions, Contraindications, and Precautions Recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices. http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/00046738.htm
25