Isi Autisme

42
BAB I PENDAHULUAN Autisme adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan gangguan perkembangan pervasive pada anak, yang mengakibatkan gangguan pada bidang bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial. 1 Dewasa ini terdapat kecenderungan peningkatan kasus-kasus autisme pada anak (autisme infantil). Umumnya keluhan utama yang disampaikan oleh orang tua adalah keterlambatan bicara, perilaku aneh dan acuh tak acuh, atau cemas apakah anaknya tuli. 2 Mencoba memahami anak yang mengidap autisme berarti harus membayangkan anak yang terisolir dari dunianya. Anak yang tidak bisa membentuk ikatan emosional dengan orang-orang disekitarnya, sehingga tampak beda, aneh dan seakan terasing. Walau gejala autisme sangat beragam, namun kebanyakan dari mereka tidak mampu untuk mengerti apa yang dipikirkan, dirasakan dan diinginkan orang lain. Bahkan seringkali karena kecerdasan dan kemampuan bahasanya tidak berkembang sempurna, maka komunikasi dan hubungan sosialnya menjadi semakin sulit. Disamping itu tanda yang cukup menonjol adalah umumnya mereka melakukan aktivitas yang berulang-ulang (obsesif, stereotipik) seperti bicara dengan kalimat yang diulang-ulang, gerakan seperti menepuk-nepuk, memukul-mukul, bahkan kadang membenturkan kepalanya ke tembok. 2 Gangguan ini ditemukan oleh Leo Kanner pada tahun 1943. Autisme terdapat pada semua negara di dunia, serta tidak 1

description

autisme

Transcript of Isi Autisme

BAB I

PENDAHULUAN

Autisme adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan gangguan

perkembangan pervasive pada anak, yang mengakibatkan gangguan pada bidang bahasa,

perilaku, komunikasi dan interaksi sosial.1

Dewasa ini terdapat kecenderungan peningkatan kasus-kasus autisme pada anak

(autisme infantil). Umumnya keluhan utama yang disampaikan oleh orang tua adalah

keterlambatan bicara, perilaku aneh dan acuh tak acuh, atau cemas apakah anaknya tuli.2

Mencoba memahami anak yang mengidap autisme berarti harus membayangkan anak

yang terisolir dari dunianya. Anak yang tidak bisa membentuk ikatan emosional dengan

orang-orang disekitarnya, sehingga tampak beda, aneh dan seakan terasing. Walau gejala

autisme sangat beragam, namun kebanyakan dari mereka tidak mampu untuk mengerti apa

yang dipikirkan, dirasakan dan diinginkan orang lain. Bahkan seringkali karena kecerdasan

dan kemampuan bahasanya tidak berkembang sempurna, maka komunikasi dan hubungan

sosialnya menjadi semakin sulit. Disamping itu tanda yang cukup menonjol adalah umumnya

mereka melakukan aktivitas yang berulang-ulang (obsesif, stereotipik) seperti bicara dengan

kalimat yang diulang-ulang, gerakan seperti menepuk-nepuk, memukul-mukul, bahkan

kadang membenturkan kepalanya ke tembok.2

Gangguan ini ditemukan oleh Leo Kanner pada tahun 1943. Autisme terdapat pada

semua negara di dunia, serta tidak memandang ras, etnis, agama maupun latar belakang sosial

ekonomi.1,2 Secara global prevalensinya berkisar 4 per 10.000 penduduk, dan pengidap

autisme laki-laki lebih banyak dibandingkan wanita (± 4 kalinya). Pada wanita seringkali

lebih berat dan ditemukan adanya riwayat keluarga dengan gangguan kognitif. Dalam

klasifikasi penyakit, gangguan ini termasuk kelompok PPD (Pervasive Developmental

Disorders) dan Autistic Spectum Disorders. Di Indonesia belum ada angka yang tepat

mengenai angka kejadian autisme.3 Banyak penyandang autisme terutama yang ringan tidak

terdiagnosis atau bahkan mendapat diagnosis yang salah. Hal ini tentu saja merugikan anak

tersebut. Di sisi lain, ada kekuatiran bahwa terjadi overdiagnosis dari autisme.4

Autisme bukanlah gangguan fungsional semata, namun didasari oleh gangguan

organik dalam perkembangan otak.2 Beberapa studi mengemukakan terjadi gangguan

neurobiologik yang meliputi tanda dan gejala neurologik yang samar, adanya perubahan

neurokimiawi, kelainan neuroanatomi, faktor genetik dan kemungkinan berhubungan dengan

beberapa penyakit atau keadaan seperti fenilketonuria, rubella, tuberosklerosis, sindroma

1

Fragile-X dan sindroma Rett. Namun penyebab spesifik dari autisme pada 90-95% adalah

tidak diketahui.1 Sehingga penanganan maupun riset autisme ini melibatkan banyak bidang,

baik kedokteran, pendidikan, psikologi, sosial dan sebagainya.2

2

BAB II

AUTISME

II.1. DEFINISI

Autisme berasal dari bahasa Yunani, auto yang berarti “sendiri” merupakan suatu

gangguan perkembangan fungsi otak yang mencakup bidang sosial dan afek, komunikasi

verbal dan non-verbal, imajinasi, fleksibilitas, lingkup interest (minat), kognisi dan atensi, ini

merupakan suatu kelainan dengan ciri perkembangan yang terlambat atau yang abnormal dari

hubungan sosial dan bahasa.1,2

Autisme secara tipikal ditandai sebagai bagian dari kelompok gangguan yang terdiri

dari sindrom Asperger (AS) dan gangguan menetap / pervasive developmental disorders

(PDD) lainnya. AS dibedakan dari gangguan autistik oleh keterlambatan yang bermakna

secara klinik dalam perkembangan bahasa (1 kata pada umur 2 tahun), selain gejala-gejala

kegagalan interaksi sosial dan tingkah laku, perhatian/aktifitas yang terbatas dan berulang

yang menandai “autism-spectrum disorders” (ASDs). PDD digunakan untuk

mengkategorikan anak-anak yang kriterianya kurang sesuai untuk autisme tetapi mereka

sangat mendekati diagnosis autisme dengan 2-3 gejala autisme. Autisme infantil (autisme

pada masa anak-anak) adalah PDD yang awitannya muncul sebelum umur 30-36 bulan dan

kegagalan pada interaksi sosial dan komunikasi berhubungan dengan pola tingkah laku yang

terbatas, berulang (repetisi) dan stereotipi.5

Adapun gangguan-gangguan yang timbul pada penderita autisme dapat meliputi

berbagai bidang, diantaranya:4

1. Gangguan dalam bidang komunikasi verbal maupun non verbal.

Terlambat bicara atau tidak dapat bicara.

Mengeluarkan kata-kata yang tak dapat dimengerti oleh orang lain yang sering

disebut sebagai “bahasa planet”.

Tidak mengerti dan tidak menggunakan kata-kata dalam konteks yang sesuai.

Meniru (ekolalia) tanpa mengerti artinya.

Kadang bicaranya monoton seperti robot dan mimik datar.

2. Gangguan dalam bidang interaksi sosial.

Menolak atau menghindar untuk bertatap mata.

Tidak menoleh bila dipanggil, sehingga sering dikira mengalami ketulian.

Merasa tidak senang bila dipeluk.

Tidak ada usaha untuk melakukan interaksi dengan orang.

3

Bila menginginkan sesuatu maka ia menarik lengan orang yang terdekat dan

mengharapkan tangan tersebut melakukan sesuatu untuknya.

Bila didekati untuk bermain justru menjauh.

Tidak berbagi kesenangan dengan orang lain.

3. Gangguan dalam bidang perilaku dan bermain.

Umumnya seperti tidak mengerti cara bermain.

Anak dapat terlihat hiperaktif (tidak bisa diam, melompat, berputar), sehingga

sering salah diagnosis dengan ADHD (attention deficit hyperactivity disorder).

Kadang anak terlalu diam (duduk diam dengan tatapan mata yang kosong).

4. Gangguan dalam bidang perasaan/emosi.

Tidak ada atau kurangnya rasa empati.

Tertawa-tawa sendiri, menangis atau marah tanpa sebab yang nyata.

Sering mengamuk tak terkendali (temper tantrum), terutama bila tidak bisa

mendapatkan apa yang diinginkan, bahkan bisa menjadi agresif dan destruktif.

5. Gangguan dalam persepsi sensoris.

Mencium-cium, menggigit atau menjilat mainan atau benda apa saja.

Bila mendengar suara keras langsung menutup telinga.

Tidak menyukai rabaan atau pelukan. Bila digendong cenderung merosot untuk

melepaskan diri dari pelukan.

Merasa sangat tidak nyaman bila memakai pakaian dari bahan tertentu.

II.2. PREVALENSI

Autisme terdapat pada semua negara di dunia, serta tidak memandang ras, etnis,

agama, maupun latar belakang sosial ekonomi.2 Secara global prevalensinya berkisar 4 per

10.000 penduduk, dan pengidap autisme laki-laki lebih banyak dibandingkan wanita (lebih

kurang 4 kalinya). Pada wanita seringkali lebih berat dan ditemukan adanya riwayat keluarga

dengan gangguan kognitif. Di Indonesia belum ada angka yang tepat mengenai angka

kejadian autisme.3

II.3. ETIOLOGI

Autisme bukanlah gangguan fungsional semata, namun didasari oleh gangguan

organik dalam perkembangan otak.2 penyebab spesifik dari autisme pada 90-95% adalah

tidak diketahui.1 Sehingga penanganan maupun riset autisme ini melibatkan banyak bidang,

4

baik kedokteran, pendidikan, psikologi, sosial dan sebagainya.2 Ada beberapa bukti yang

sudah terkumpul untuk mendukung penyebab autisme:6

1. Faktor psikodinamik dan keluarga.

2. Kelainan organik-neurologik-biologik.

3. Faktor genetik.

4. Faktor imunologik.

5. Faktor perinatal.

6. Faktor neuroanatomi.

7. Faktor biokimia.

Secara umum autisme disebabkan adanya gangguan perkembangan “neurobiologik”

yang mengakibatkan adanya gangguan struktur maupun fungsi otak. Beberapa bagian otak

yang diduga terlibat dalam autisme adalah amigdala, yaitu pusat pengendalian emosional

terhadap rangsangan dari luar dan hipokampus yang penting dalam fungsi memori. sel-sel

saraf yang terdapat di amigdala ditemukan bentuknya kecil, abnormal dan tampak lebih padat

dibanding sel normal. Dari hasil penelitian juga ditemukan adanya sirkulasi darah yang lebih

lambat pada beberapa bagian lapisan luar otak (korteks), dan menurunnya jumlah sel yang

bertugas meneruskan sinyal-sinyal penghambat gerakan tubuh yang berpusat di otak kecil

(serebelum) ke korteks. Dengan foto MRI didapat gambaran pengisutan (hipoplasi)

serebelum dan sisterna limbik. Tanda-tanda ini mengarahkan para ahli pada suatu hipotesis,

bahwa awal terjadinya autisme infantil adalah sebelum lahir.7

Akhir-akhir ini ditemukan bahwa pada otak penderita autisme, secara makroskopis

ukuran otaknya lebih besar dibanding normal. Dicurigai pembesaran ini karena kegagalan

proses perampingan/pemangkasan sel-sel saraf (apoptosis) yang tidak diperlukan lagi pada

saat perkembangan otak berlangsung. Jawaban yang lebih pasti dan rinci atas pertanyaan

dimana dan bagaimana bentuk gangguan otak anak autisme sampai sekarang belumlah

diketahui secara pasti.7

5

Pada pemeriksaan menggunakan PET ditemukan penurunan sintesis 5-HT di korteks

dan thalamus. Namun di plasma maupun di platelet ditemukan peningkatan kadar serotonin

yang bisa mencapai 25%. Diperkirakan bahwa gangguan metabolisme serotonin sangat

berperan dalam patologi autisme. Menurunkan triptofan dengan menginhibisi pengambilan

kembali 5-HT adalah salah satu usaha untuk memperbaiki simptom autisme.3

Peningkatan opioid endogen ada kaitannya dengan perilaku melukai sendiri dan ini

akan berkontribusi ke simptom lain dari autisme melalui serotoninergik dan aksis

hypothalamicpituitary adrenal (HPA) secara tidak langsung sehingga terjadi sekresi

proopiomelanokortin,kortisol dan oksitosin. Defisiensi melatonin menyebabkan gangguan

tidur.3

II.4 DIAGNOSIS AUTISME.

Diagnostic and Statistical Manual IV atau DSM-IV merupakan suatu system diagnosis yang

dibuat oleh perhimpunan psikiater Amerika, sedangkan International Classification of

Diseases-10 atau ICD-10 merupakan suatu sistem diagnosis yang dibuat oleh WHO. Kedua

sistem ini menyebutkan tentang Pervasive Developmental Disorder. Seorang anak dapat

disebut mengalami Gangguan Autistik harus memenuhi kriteria dibawah ini :

A. Klasifikasi Autisme

Enam atau Lebih Gejala dari (1),(2),dan (3) dengan paling sedikit 2 dari (1) dan 1 dari

masing-masing (2) dan (3)

6

Sumber : http://www.wsusignpost.com/category/science-tech/health/

1. Gangguan kualitatif interaksi sosial, yang terlihat sebagai paling sedikit 2 dari gejala

berikut :

(1) Gangguan yang jelas dalam perilaku non-verbal (perilaku yang dilakukan tanpa

bicara) misalnya kontak mata, ekspresi wajah, posisi tubuh, dan mimik untuk

mengatur interaksi sosial

(2)  Tidak bermain dengan teman seumurnya, dengan cara yang sesuai

(3) Tidak berbagi kesenangan, minat, atau kemampuan mencapai sesuatu hal dengan

orang lain, misalnya tidak memperlihatkan mainan pada orang tua, tidak menunjuk ke

suatu benda yang menarik, tidak berbagi kesenangan dengan orang tua.

(4) Kurangnya interaksi social timbal balik, misalnya tidak berpartisipasi aktif dalam

bermain, lebih senang bermain sendiri

2. Gangguan kualitatif komunikasi yang terlihat sebagai paling tidak satu dari gejala berikut :

(1) Keterlambatan atau belum dapat mengucapkan kata-kata berbicara, tanpa disertai

usaha kompensasi dengan cara lain, misalnya mimik dan bahasa tubuh

(2) Bila dapat berbicara, terlihat gangguan kesanggupan memulai atau mempertahankan

komunikasi dengan orang lain

(3)  Penggunaan bahasa yang stereotipik dan berulang, atau bahasa yang tidak dapat

dimengerti

(4) Tidak adanya cara bermain yang bervariasi dan spontan, atau bermain meniru secara

sosial yang sesuai dengan umur perkembangannya

3. Pola perilaku, minat, dan aktivitas yang terbatas, berulang, dan tidak berubah (stereotipik),

yang ditunjukkan dengan adanya 2 dari gejala berikut :

(1) Minat yang terbatas, stereotipik dan menetap dan abnormal dalam intensitas dan focus

(2) Keterikatan pada ritual yang spesifik tetapi tidak fungsional secara kaku dan tidak

fleksibel

(3) Gerakan motorik yang stereotipik dan berulang, misalnya flapping tangan dan jari,

gerakan tubuh yang kompleks

(4) Preokupasi terhadap bagian dari benda.8

B. Tanda Awal Autisme

Usia anak Gejala

Bayi lahir usia 6 bulan Anak terlalu tenang/baik

7

Mudah terangsang (irritable)

Banyak menangis terutama

malam, susah ditenangkan

Jarang menyodorkan kedua

lengan untuk minta diangkat

Jarang mengoceh

Jarang menunjukkan senyuman

social

Jarang menunjukkan kontak

mata

Perkembangan gerakan kasar

tampak normal

Usia 6 bulan – 2 tahun Tidak mau dipeluk, atau

menjadi tegang bila diangkat

Acuh menghadapi kedua orang

tuanya

Tidak mau mengikuti

permainan sederhana seperti “ciluk ba,

bye-bye”

Tidak berupaya menggunakan

kata-kata

Seperti tidak tertarik pada

boneka atau binatang mainan untuk

bayi

Bisa sangat tertarik pada kedua

tangnnya sendiri

Mungkin menolak makanan

keras atau tidak mengunyah

Usia 2 – 3 tahun Tidak tertarik (terbatas) atau

menunjukkan perhatian khusu

8

Meganggap orang lain sebagai

alat atau benda

Menunjukkan kontak mata

yang terbatas

Mungkin mencium atau

menjilati benda-benda

Menolak untuk dipeluk dan

menjadi tegang atau sebaliknya (tubuh

menjadi lemas)

Relatif cuek menghadapi kedua

orang tuanya

Usia 4-5 tahun Bila anak akhirnya berbicara,

tidak jarang echolalic

Menunjukkan nada suara yang

aneh (biasanya bernada tinggi dan

monoton)

Merasa sangat terganggu bila

terjadiperubahan rutin pad kegiatan

sehari-hari

Kontak mata masih sangat

terbatas, walaupun bisa terjadi

perbaikan\

Tantrum dan agresi

berkelanjutan tetapi bisa juga

berangsur-angsur berkurang

Melukai diri sendiri

Merangsang diri sendiri

Menurut PPDGJ III, kelompok gangguan perkembangan pervasive ini ditandai

dengan kelainan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik dan dalam pola

komunikasi, serta minat dn aktivitas yang terbatas, streotipik, berulang. Kelainan kualitatif ini

9

menunjukkan gambaran yang pervasif dari fungsi-fungsi individu dalam semua situasi,

meskipun dapat berbeda dalam derajat keparahannya.8

F 84.0 Autisme masa kanak8

Gangguan perkembangan pervasif yang ditandai oleh adanya kelainan dan/atau

hendaya perkembangan yang muncul sebelum usia 3 tahun, dan dengan ciri kelainan

fungsi dalam 3 bidang : interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku yang terbatas dan

berulang.8

Biasanya tidak jelas ada perkembangan yang normal sebelumny, tetapi bila ada,

kelainan perkembangan sudah menjadi jelas sebelum usia 3 tahun, sehingga

diagnosis sudah dapat ditegakkan. Tetapi gejala-gejalanya (sindrom) dapat di

diagnosis pada semua kelompok umur.8

Selalu ada hendaya kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik (reciprocal

social interaction). Ini berbentuk apresiasi yang tidak adekuat terhadap isyarat sosio-

emosional, yang tampak sebagai kurangnya respon terhadap emosi orang lain

dan/atau kurangnya modulasi trhadap perlaku dalam konteks sosial, buruk dalam

menggunakan isyarat sosial dan integritas yang lemah dalam perilaku sosial,

emosional dan komunikatif, dan khususnya, kurangnya respons timbal balik sosio-

emosional.8

Demikian juga terdapat hendaya kualitatif dalam komunikasi. Ini berbentuk

kurangnya pengguanaan keterampilan bahasa yang dimiliki di dalam hubungan sosial,

hendaya dalam permainan imaginative dan imitasi sosial, keserasian yang buruk dan

kurangnya interaksi timbal balik dalam percakapan, buruknya keluwesan dalam

bahasa ekspresif dan kreativitas dan fantsai dalam proses pikir yang relatif kurang,

kurangnya respon emosional terhadap ungkapan verbal dan non-verbal orang lain,

hendaya dalam mengguanakan variasi iramaatau penekanan sebagai modulasi

komunikatif, dan kurangnya isyarat tubuh untuk menekankan atau memberi arti

tambahan dalam komunikasi lisan.8

Kondisi ini juga di tandai oleh pola perialku, minat, dan kegiatan yang terbatas,

berulang dan streotipik. Ini bentuk kecenderungan untuk bersikap kaku dan rutin

dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari, ini biasanya berlaku untuk kegiatan baru

dan juga kebiasaaan sehari-hari serta pola bermain.8

Semua tingkatan IQ dapat ditemukan dalam hubungannya dengan autism, tetapi

pada tiga perempat kasus secara signifikan terdapat retardasi mental.8

F 84.1 Autisme tak khas

10

Gangguan perkembangan pervasif yang berbeda dari autism dalam hal onset maupun

tidak terpenuhinya ketiga kriteria diagnostik. Jadi kelainan dan atau hendaya

perkembangan menjadi jelas untuk pertama kalinya pada usia setelah 3 tahun,

dan/atau tidak cukup menunjukkan kelainan dalam satu atau dua dari tiga bidang

psikopatologi yang dibutuhkan untuk diagnosis autism (interaksi sosial timbal-balik,

komunikasi, dan perilaku terbatas, streotipik, dan berulang) meskipun terdapat

kelainan yang khas dalam bidang lain.8

Autisme tidak khas sering muncul pada individu dengan retardasi mental yang berat,

yang sangat rendah kemampuannya, sehingga psien tidak mampu menampakkan

gejala yang cukup untuk menegakkan diagnosis autisme, ini juga tampak pada

individu dengan gangguan perkembangan yang khas dari bahasa resptif yang berat.8

C. Pemeriksaan Penunjang

Tidak ada pemeriksaan medis yang dapat memastikan suatu diagnosis autism pada

anak. Tetapi terdapat beberapa pemeriksaan yang dapat menunjang diagnosis yang dapat

digunakan sebagai dasar intervensi.

Elektroensefalogram (EEG)

EEG untuk memeriksa gelombang otak yang mennujukkan gangguan kejang, diindikasikan

pada kelainan tumor dan gangguan otak.

Skrening Metabolik

Pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan darah dan urine untuk melihat metabolisme

makanan di dalam tubuh dan pengaruhnya pada tumbuh kembang anak. Beberapa spectrum

autism dapat disembuhkan dengan diet khusus.

Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan Computer Assited Axial Tomography (CT

Scan)

MRI atau CAT Scans sangat menolong untuk mendiagnosis kelainan struktur otak, karena

dapat melihat struktur otak secara lebih detail.

Pemeriksaan Genetik

Pemeriksaan darah untuk melihat kelainan genetik, yang dapat menyebabkan gangguan

perkembangan. Beberapa penelitian menunjukkkan bahwa penderita autism telah dapat

ditemukan pola DNA dalam tubuhnya.

II.5 DIAGNOSIS BANDING.9

11

A. Skizofrenia dengan onset masa anak-anak

Skizofrenia jarang pada anak-anak di bawah 5 tahun. Skizofrenia disertai dengan

halusinasi atau waham, dengan insidensi kejang dan retardasi mental yang lebih rendah dan

dengan I.Q yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak autistik.9

Kriteria Gangguan Autistik Skizofrenia dengan onset

masa anak-anak

Usia onset <38 bulan >5 tahun

Insidensi 2-5 dalam 10.000 Tidak diketahui,

kemungkinan sama atau

bahkan lebih jarang

Rasio jenis kelamin

(L:P)

3-4:1 1,67:1

Riwayat keluarga

Skizofrenia

Tidak naik atau kemungkinan

tidak naik

Naik

Status sosioekonomi Terlalu mewakili kelompok

SSE tinggi (artefak)

Lebih sering pada SSE

Rendah

Penyulit prenatal dan

perinatal dan

disfungsi otak

Lebih sering pada gangguan

autistic

Lebih jarang pada

skizofrenia

karakteristik perilaku Gagal untuk

mengembangkan hubungan

: tidak ada bicara (ekolalia);

frasa stereotipik; tidak ada

atau buruknya pemahaman

bahasa; kegigihan atas

kesamaan dan stereotipik.

Halusinasi dan waham,

gangguan pikiran

fungsi adaptif Biasanya selalu terganggu Pemburukan fungsi

Tingkat inteligensi Pada sebagian besar kasus

subnormal, sering terganggu

parah (70%)

Dalam rentang normal,

sebagian besar normal bodoh

(15%-70%)

Pola I.Q. Jelas tidak rata Lebih rata

Kejang Grand mal 4-32% Tidak ada atau insidensi

12

Rendah

B. Retardasi mental dengan gangguan emosional/perilaku

Kira-kira 40% anak autistik adalah teretardasi sedang, berat atau sangat berat, dan

anak yang teretardasi mungkin memiliki gejala perilaku yang termasuk ciri autistik. Ciri

utama yang membedakan antara gangguan autistik dan retardasi mental adalah :9

1. Anak teretardasi mental biasanya berhubungan dengan orang tua atau anak-anak lain

dengan cara yang sesuai dengan umur mentalnya.

2. Mereka menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dengan orang lain.

3. Mereka memilki sifat gangguan yang relatif tetap tanpa pembelahan fungsi.9

C. Gangguan bahasa reseptif /ekspresif campuranSekelompok anak dengan gangguan bahasa reseptif/ekspresif memiliki ciri mirip autistik.9

Kriteria Gangguan autistik Gangguan bahasa

reseptif/ekspresif

campuran

Insidensi 2-5 dalam 10.000 5 dalam 10.000

Ratio jenis kelamin (L:P) 3-4 : 1 sama atau hampir sama

Riwayat keluarga adanya

keterlambatan bicara /

gangguan bahasa

25 % kasus 25 % kasus

Ketulian yang

Berhubungan

sangat jarang tidak jarang

Komunikasi nonverbal

(gerak gerik, dll)

tidak ada/rudimenter Ada

Kelainan bahasa

(misalnya ekolalia, frasa

stereotipik diluar

konteks)

lebih sering lebih jarang

Gangguan artikulasi lebih jarang lebih sering

Tingkat intelegensia sering terganggu parah Walaupun mungkin

terganggu, seringkali

kurang parah

13

Pola test IQ tidak rata, rendah pada

skor verbal, rendah pada

sub test pemahaman

lebih rata, walaupun IQ

verbal lebih rendah dari

IQ kinerja

Perilaku autistik,

gangguan kehuidupan

sosial, aktivitas

stereotipik dan ritualistik

lebih sering dan lebih

parah

tidak ada atau jika ada,

kurang parah

Permainan imaginatif tidak ada/rudimenter biasanya ada

D. Afasia didapat dengan kejang

Afasia didapat dengan kejang adalah kondisi yang jarang yang kadang sulit dibedakan

dari gangguan autistik dan gangguan disintegratif masa anak-anak. Anak-anak dengan

kondisi ini normal untuk beberapa tahun sebelum kehilangan bahasa reseptif dan

ekspresifnya selama periode beberapa minggu atau beberapa bulan. Sebagian akan

mengalami kejang dan kelainan EEG menyeluruh pada saat onset, tetapi tanda tersebut

biasanya tidak menetap. Suatu gangguan yang jelas dalam pemahaman bahasa yang terjadi

kemudian, ditandai oleh pola berbicara yang menyimpang dan gangguan bicara. Beberapa

anak pulih tetapi dengan gangguan bahasa residual yang cukup besar.9

E. Ketulian kongenital atau gangguan pendengaraan parah

Anak-anak autistik sering kali dianggap tuli oleh karena anak-anak tersebut sering

membisu atau menunjukkan tidak adanya minat secara selektif terhadap bahasa ucapan. Ciri-

ciri yang membedakan yaitu bayi autistik mungkin jarang berceloteh sedangkan bayi yang

tuli memiliki riwayat celoteh yang relatif normal dan selanjutnya secara bertahap menghilang

dan berhenti pada usia 6 bulan – 1 tahun. Anak yang tuli berespon hanya terhadap suara yang

keras, sedangkan anak autistik mungkin mengabaikan suara keras atau normal dan berespon

hanya terhadap suara lunak atau lemah. Hal yang terpenting, audiogram atau potensial

cetusan auditorik menyatakan kehilangan yang bermakna pada anak yang tuli. Tidak seperti

anak-anak autistik, anak-anak tuli biasanya dekat dengan orang tuanya, mencari kasih sayang

orang tua dan sebagai bayi senang digendong.9

F. Pemutusan psikososial

14

Gangguan parah dalam lingkungan fisik dan emosional (seperti pemisahan dari ibu,

kekerdilan psikososial, perawatan di rumah sakit, dan gagal tumbuh) dapat menyebabkan

anak tampak apatis, menarik diri, dan terasing. Keterampilan bahasa dan motorik dapat

terlambat. Anak-anak dengan tanda tersebut hamper selalu membaik dengan cepat jika

ditempatkan dalam lingkungan psikososial yang menyenangkan dan diperkaya, yang tidak

terjadi pada anak autistik.9

BAB III. MANAJEMEN AUTISME

Pengelolaan anak dengan autisme infantil memerlukan pendekatan lintas sektoral,

agar anak bisa berkembang optimal dan hidup mandiri.1 Yang perlu ditekankan bahwa tidak

ada satu metode pun yang dewasa ini dapat menyembuhkan autisme, namun hanya

mengembangkan potensi dasar anak ke arah yang optimal.2

“Penyembuhan” seorang anak dimulai dengan diagnosa dini yang tepat. Diagnosa

yang salah akan sangat merugikan anak tersebut, oleh karena dengan tatalaksana yang tidak

tepat anak tak akan mendapatkan kemajuan yang diinginkan. Setelah seorang anak

terdiagnosa dengan autisme, maka secepat mungkin harus dilakukan intervensi dini.

Sangatlah penting bahwa anak mendapatkan stimulasi semaksimal mungkin dan keluar dari

“dunianya”. Kemudian dilakukan assessment yang lengkap pada anak tersebut untuk

mengetahui taraf gangguan perkembangan yang dideritanya, untuk kemudian mendapatkan

15

terapi sesuai kebutuhannya.10 Secara garis besar penanganan autisme dapat dibagi dalam

beberapa kelompok sebagai berikut:

III.1. NON MEDIKAMENTOSA

III.1.1. TERAPI PERKEMBANGAN / INTERVENSI DINI

Para ahli menemukan bahwa anak autisme paling baik belajar pada lingkungan yang

mengembangkan minat dan ketrampilan mereka dengan cara merujuk kebutuhan-kebutuhan

mereka, berupa intervensi yang konsisten dan terstruktur sesuai tingkat perkembangan

anak.1,2 Hal-hal yang esensial antara lain metode pembelajaran yang terstruktur untuk

memberikan perhatian terhadap stimuli lingkungan, orang lain, imitation motorik dan verbal,

penggunaan bahasa, bagaimana cara bermain dengan mainan dan cara berinteraksi sosial

dengan yang lain.1 Aktivitas latihan fisik di kelompok membantu mereka untuk

mengembangkan keseimbangan tubuh, koordinasi dan ketrampilan motorik. Pada saat

istirahat (snack time), pelatih mendorong interaksi sosial anak, misalnya dengan

mengembangkan model penggunaan bahasa bagaimana cara minta tambahan snack, dan

sebagainya. Jadwal yang konsisten membuat anak autisme dapat merencanakan aktivitas

harian mereka berdasarkan pengalaman-pengalaman yang diperoleh.2 Diperlukan perhatian

yang optimal dari para “pelatih”, perbandingan antara pelatih dengan penyandang autisme

yang diharapkan adalah 1:2 atau 1:1.1,10

III.1.2. TERAPI PERILAKU

Gangguan perilaku pada autisme biasanya merupakan satu gejala yang membuat

orangtua menyadari bahwa anaknya berbeda perkembangannya dengan anak lain seusianya.

Selain hiperaktivitas, impulsivitas, gerakan stereotipik, cara bermain yang tidak sama dengan

anak lain, juga adanya agresivitas, temper tantrum dan perilaku yang cenderung melukai diri

sendiri. Kondisi ini sangat menguras tenaga maupun psikis orang-orang disekitarnya.12

Pendekatan perilaku bertujuan untuk mengurangi stereotipi, kekakuan, agresifitas dan self

injury behaviour. Terapi perilaku ini juga disesuaikan untuk masing-masing anak sesuai

dengan gangguannya.1 Apapun metodenya sebaiknya sesegera dan seintensif mungkin,

Sebaiknya memang dilakukan terpadu dengan terapi-terapi lain, apabila terdapat perilaku

yang sulit dikendalikan, mungkin intervensi medikamentosa diperlukan terlebih dahulu, agar

anak dapat diberi terapi yang lain.12

Bila seseorang mendapat “reward” yang menyenangkan atas apa yang dilakukannya

(aktifitas atau perilaku tertentu), maka akan cenderung untuk mengulangi atau melanjutkan

16

perilaku / aktifitas tersebut. Dasar inilah yang dikembangkan menjadi suatu metode terapi

oleh Dr. O. Ivar Lovaas sejak ± 28 tahun silam. Metode tersebut bercirikan sangat intensif

dalam waktu, terstruktur dan melalui tahap-tahap ulangan dimana anak diberikan suatu

perintah dan senantiasa mendapat “reward” bila mengerjakannya dengan benar. Metode ini

dapat diterapkan dalam toilet training pada anak dengan autisme.2

Untuk mencapai tujuan yang telah disebutkan diatas, kita harus mencapai tujuan

antara, yaitu berbagai kemampuan perilaku yang terdiri dari:11

Komunikasi dua arah secara aktif, artinya anak harus mampu memulai suatu topik

pembicaraan lebih dahulu secara aktif.

Sosialisasi ke dalam setiap lingkungan, dimulai dengan lingkungan keluarga dan

teman-temannya.

Menghilangkan atau meminimalkan perilaku autistiknya.

Kemampuan (pre)akademik, sesuai dengan perkembangan umur dan kecerdasan

(IQ)nya.

Kemampuan bantu diri (bina diri) yang memadai, sehingga mampu merawat diri

sendiri secara mandiri.

Untuk mencapai tujuan antara ini, dengan sendirinya setiap anak harus mampu menguasai

kemampuan-kemampuan perilaku dasar, seperti: kepatuhan, kontak mata, menirukan, bahasa

reseptif (kognitif) dan bahasa ekspresif. Dengan memiliki kemampuan-kemampuan dasar dari

perilaku ini, diharapkan anak akan lebih mudah dan lancar menerima pelatihan perilaku yang

semakin kompleks.11

III.1.3. TERAPI WICARA

Keterlambatan dan abnormalitas dalam berbahasa dan berbicara merupakan keluhan

yang sering diajukan para orangtua, hampir 100% mengalami hal ini. Komunikasi non verbal

juga mengalami gangguan, sering tidak dapat menggunakan gerakan tubuh dalam

berkomunikasi, seperti menggeleng, mengangguk, menunjuk, melambai dan mengangkat

alis.12

Intervensi dalam bentuk terapi wicara perlu dilakukan, seperti diketahui bahwa tidak

semua individu dengan autisme akan dapat berkomunikasi dengan cara verbal, sekitar 25-

10% kemungkinan tetap non verbal. Terapi wicara yang diberikan pada individu dengan

autisme berbeda dengan gangguan lain, sehingga diperlukan pengetahuan yang baik

mengenai ciri-ciri bicara dan berbahasa anak autistik. Terapi ini harus diberikan sejak dini

dan dengan intensif, bersama dengan terapi-terapi yang lain.12

17

III.1.4. TERAPI EDUKASI

Hambatan pada individu dengan autisme terutama pada interaksi sosialnya. Hal ini

akan berlanjut bila tidak segera ditangani pada usia sekolah, anak akan mengalami kesulitan

dalam berkomunikasi, bersosialisasi dengan lingkungan barunya (teman, guru). Oleh karena

itu sebaiknya anak sesegera mungkin dikenalkan dengan lingkungannya.12

Intervensi dalam berbagai bentuk pelatihan ketrampilan sosial, ketrampilan sehari-

hari agar anak jadi mandiri (self care). Berbagai metode pengajaran telah diuji cobakan pada

gangguan ini. Antara lain metode TEACCH (Treatment and Education of Autistic and

Related Communication Handicapped Children). Dikembangkan oleh Eric Schopler pada

awal tahun 1970an, merupakan suatu sistem pendidikan khusus untuk anak dengan autisme,

di School of Psychiatry at the University of North Carolina in Chapel Hill. Metode ini

merupakan suatu program yang sangat terstruktur yang mengintegrasikan metode klasikal

yang individual, metode pengajaran yang sistematik, terjadwal dan dalam ruang kelas yang

ditata secara khusus.12

III.1.5. TERAPI OKUPASI

Ketrampilan motorik pada individu dengan autisme sering terganggu, baik motorik

kasar maupun halus. Diperlukan intervensi terapi okupasi / fisik agar individu dengan

autisme dapat melakukan gerakan, memegang, menggunting, menulis, melompat dengan

terkontrol dan teratur sesuai kebutuhan saat itu.12

III.1.6. AIT (Auditory Integration Training)

Banyak individu dengan autisme mengalami hipersensitivitas terhadap suara dan

mengganggu pendengaran mereka, Mereka sering tampak menutup telinga dengan kedua

tangan bila mendengar nada suara tertentu, yang untuk orang lain tidak menimbulkan

masalah. Suara-suara tersebut dapat sedemikian “menyakitkan”, sehingga mereka dapat

berteriak, menjerit tiba-tiba, tetapi setelah suara-suara tersebut hilang, mereka kembali biasa

seperti tidak pernah terjadi sesuatu. Contoh: suara pengering rambut, mesin cuci, penyedot

debu, mixer, bahkan suara microwave.12

Pada intervensi AIT awalnya ditentukan suara yang mengganggu pendengaran dengan

perangkat audiometer. Lalu diikuti dengan seri terapi yang memperdengarkan suara-suara

yang direkam, tapi tidak disertai dengan suara yang menyakitkan. Selanjutnya dilakukan

desensitisasi terhadap suara-suara yang menyakitkan tersebut.12

18

Berbagai jenis terapi lain telah dicoba dan dikembangkan seperti: holding therapy,

brain gym, visual therapy, aversive therapy, dan lain-lain. Yang patut diingat adalah semua

terapi pada dasarnya adalah baik, namun harus dipertimbangkan sesuai atau tidak sesuai

dengan si anak.12

III.1.7. INTERVENSI KELUARGA

Yang dimaksud keluarga disini bisa hanya keluarga inti (ayah + ibu, ayah atau ibu

saja + anak-anak), namun dapat pula ditambah dengan anggota keluarga lain yang memiliki

pengaruh pada pengasuhan seorang anak, bisa kakek atau nenek, paman atau bibi, dan

lainnya.12

Pada dasarnya anak hidup dalam keluarga, perlu bantuan keluarga baik perlindungan,

pengasuhan, pendidikan maupun dorongan untuk dapat tercapainya perkembangan yang

optimal dari seoang anak, mandiri dan dapat bersosialisasi dengan lingkungannya. Untuk itu

dibutuhkan keluarga yang dapat berinteraksi positif satu sama lain (antar anggota keluarga)

dan saling mendukung. Oleh karena itu pengolahan keuarga dalam kaitannya dengan

manajemen terapi menjadi sangat pentin, tanpa dukungan keluarga rasanya sulit sekali kita

dapat melaksanakan terapi apapun pada individu dengan autisme.12

III.1.8. PERBAIKAN METABOLISME

Gangguan pencernaan harus diperbaiki dengan menyeimbangkan lagi flora usus,

dengan membasmi jamur atau kuman patologis yang ditemukan pada pemeriksaan feses.

Kemudian sangat penting untuk memberi tambahan lacyobacillus untuk mencegah

tumbuhnya jamur secara berlebihan. Multiple food allergi harus diperbaiki dengan diet yang

ketat, hindari makan yang menyebabkan alergi pada anak tersebut.10

III.1.9. TERAPI DIET

Anak-anak autisme pada umumnya menderita multiple food allergy. Hal ini akan

terungkap bila dilakukan pemeriksaan darah untuk “comprehensive food allergy”. Protein

dari susu sapi (casein) dan gandum (gluten) adalah rangkaian asam amino yang sulit dicerna.

Bila pencernaan anak sempurna maka casein maupun gluten akan dilepas seluruh rantainya

sehingga terjadilah asam amino yang kemudian diserap oleh tubuh guna pertumbuhan.

Namun bila pencernaan tidak sempurna, maka rantai tersebut tak lepas seluruhnya. Masih ada

rantai pendek, 2 atau 3 asam amino yang bergandengan yang disebut peptide.10

19

Sebagiaan dari peptide masuk aliran darah, kemudian dikeluarkan dengan urin, namun

sebagian masuk ke otak, menembus sawar otak. Di otak peptide tersebut disergap oleh

opioid-receptor dan kemudian berfungsi seperti morphin. Hal ini mempengaruhi aspek

perilaku, atensi, kognisi dan sensoris anak. Oleh karena itu tidak ada salahnya untuk tidak

mengkonsumsi susu sapi dan tepung terigu. Anak dibiasakan makanan yang lebih sehat dan

variatif sehingga kebutuhan gizi tetap terpenuhi.10

III.1.10. DETOKSIFIKASI LOGAM BERAT

Logam berat yang neurotoksik dengan kadar yang tinggi seperti Hg dan Pb, harus

dikeluarkan dengan cara detoksifikasi. Bila logam berat itu tidak dikeluarkan, maka

kerusakan sel-sel otak akan terus berlanjut. Sebelum melakukan detoksifikasi, seluruh

metabolisme tubuh harus diperbaiki dahulu, terutama keadaan traktus gastrointestinal. Jenis

detoks yang dilakukan sebaiknya yang tidak menimbulkan trauma pada anak dan dengan efek

samping yang minimal, yaitu dengan dikonsumsi per oral saja. Lamanya detoks tergantung

dari kadar keracunan si anak. Bila kadar keracunan berat maka bisa sampai 2 tahun

lamanya.10

Di Indonesia hal ini sudah mulai dilakukan, namun baru beberapa bulan terakhir saja.

Dimana pengeluaran logam berat yang dilakukan masih dalam taraf pengeluaran logam yang

dalam tubuh sehingga belum bisa dilihat benar kemajuan yang dicapai pada anak. Pada taraf

detoks berikutnya baru dikeluarkan logam berat dari otak. Menurut laporan di Amerika,

detoks mempunyai efek yang sangat dramatis, terutama pada anak-anak yang timbulnya

gejala autisme dipacu oleh keracunan logam berat.10

III.1.11. TERAPI SENSORI INTEGRASI

Terapi sensori integrasi adalah pengorganisasian informasi melalui sensori-sensori

(sentuhan, gerakan, kesadaran tubuh dan gravitasinya, penciuman, pengecapan, penglihatan

dan pendengaran) yang sangat berguna untuk menghasilkan respons yang bermakna.13

Terapi sensori integrasi seperti yang dianjurkan oleh DR. Ayres, dilakukan dalam

ruang terapi khusus. Dalam ruangan tersebut tersedia berbagai alat yang dapat

memfasilitasikan aktifitas-aktifitas yang akan memberi masukan input-input sensorik,

mendukung terjadinya respons adaptif dan memperbaiki fungsi batang otak dan talamus.12

Setiap anak memiliki masalah yang berbeda sehingga aktivitas yang diberikan pun

berbeda dari anak yang satu dengan lainnya. Pemberian aktivitas disesuaikan dengan kondisi

anak yang bersangkutan. Pada pendekatan sensori integrasi, okupasi terapi harus bekerja

20

berdasarkan urutan perkembangan, stabilitas digunakan sebagai dasar untuk meningkatkan

mobilitas. Urutan yang harus diikuti adalah:13

1. Kemampuan untuk mempertahankan dalam posisi awal.

2. Meningkatkan stabilitas pada posisi yang telah dicapai.

3. Kemampuan untuk bergerak dari posisi gerakan lurus.

4. Integrasi gerakan yang telah dikuasai dengan gerakan rotasi.

Terapi sensori integrasi dapat memperbaiki fungsi otak anak-anak dengan autisme, sehingga

perilaku anak-anak tersebut jadi membaik dan lebih adaptif. Setelah terapi sensori integrasi

ini berhasil, anak dapat memproses berbagai informasi sensorik yang kompleks dengan lebih

baik. Maka anak akan mampu menyimak dan merespons usaha orang tua atau pengasuhnya

untuk melakukan interaksi sosial dan selanjutnya membantu perkembangan emosi dan

kognitifnya. Tentu saja hal-hal tersebut akan memberikan pengaruh yang besar bagi

kemampuan anak untuk melakukan berbagai aktifitas sehari-hari.12

Masalah regulasi seperti pola tidur, pola makan dan eliminasi, biasanya paling dahulu

berkurang pada bulan-bulan pertama terapi. Perbaikan dalam fungsi yang mendasar ini

seringkali diikuti dengan perbaikan kesahatan anak secara keseluruhan dan anak tampil lebih

”cerah”, nada ekspresi muka jadi lebih bervariasi dan anak lebih terbuka untuk diajak

berinteraksi; meskipun pada mulanya hanya berupa interaksi singkat pada tahap non verbal.

Kemajuan dalam dorogan untuk melakukan interaksi ini biasanya mulai terlihat pada

munculnya ”joint attention”. Maka anak jadi lebih mudah diajari, karena menarik perhatian si

anak menjadi lebih mudah.12

III.1.12. SNOEZELEN

Snoezelen adalah sebuah aktivitas yang dirancang untuk mempengaruhi sistem saraf

pusat (SSP) melalui pemberian stimuli yang cukup pada sistem sensori primer seperti

penglihatan, pendengaran, peraba, perasa lidah dan pembau, juga pada sistem sensori internal

seperti vestibular dan proprioseptif dalam rangka mencapai maksud relaksasi atau aktivasi

pada seseorang dengan tujuan memperbaiki kualitas hidupnya. Kondisi untuk mencapai sesi

snozolen yang optimum:14

The right fundamental attitude.

Anak yang akan melakukan aktivitas, sedangkan terapis melakukan aktivitas,

mengobservasi dan memberikan arahan (bukan memaksa).

The right guidance.

21

Terapis bersikap respek dan memberikan dorongan atau membesarkan hati atau

semangat anak.

The right atmosphere.

Menciptakan suasana yang cocok dengan kebutuhan anak.

Offering stimuli in a selective way.

Menciptakan stimuli yang aman dan menghilangkan stimuli yang kontradiksi dengan

kebutuhan anak.

The right direction.

Durasi bergantung pada reaksi anak di ruang snoezelen.

Repetition.

Diperbolehkan bagi anak mengulang aktivitas dengan objek yang sama.

The possibility to determine the speed.

Anak memiliki waktu yang cukup untuk mengindetifikasi stimuli yang berbeda.

III.1.13. OLAH MUSIK

Aktivitas utama anak-anak pada umumnya adalah bermain. Lingkungan dan suasana

yang menyenangkan dan familiar digunakan sebagai pendekatan yang mudah diterima oleh

anak, yaitu menggabungkan kegiatan bermain dengan berolah musik.15

Dalam hal ini musik diperkenalkan melalui lagu atau bunyi, sehingga merangsang

kemampuan pendengaran dan kemampuan verbal dengan menirukan lagu bunyi yang

diperdengarkan. Selanjutnya, anak mendapatkan stimulasi untuk melakukan gerakan sesuai

dengan irama lagu (melatih koordinasi tubuh). Suasana musikal yang dihasilkan dapat

membantu terciptanya komunikasi dan interaksi sosial.15

III.1.14. TERAPI OROFARING

Pada penderita autisme organ sensoris tidak mampu melakukan proses registrasi dan

modulasi informasi sensoris pada tahapan yang nyaman untuk anak. Anak ini akan belajar

melalui informasi yang tidak terorganisir. Umpan balik sensoris tidak adekuat, membentuk

22

lingkaran misinformasi yang akan mempengaruhi proses belajar oromotor, menghasilkan

gerakan primitif dan kadangkala abnormal.16

Problem oromotor yang disebabkan oleh gangguan sensory processing hanyalah salah

satu masalah yang dihadapi oleh penderita autisme, selain masalah defisit kognitif,

komunikasi, sosial dan tingkah laku. Sehingga penanganan problem oromotor dapat

dipisahkan dan harus terintegrasi dengan penanganan autisme secara keseluruhan. Tujuan

penatalaksanaan problem oromotor adalah mempertahankan nutrisi peroral secara optimal,

menghasilkan respon perilaku adaptif yang lebih fleksibel, terorganisir, terampil dan

produktif. Kemampuan menghasilkan respon adaptif merupakan tanda independensi terhadap

perubahan lingkungan.16

Ada berbagai pendekatan terapi yang dapat diaplikasikan, diantaranya: Metode Farber

(1982), Moris dan Klein (1987), Ayres (1989), Glass dan Wolf (1992). Apapun jenis terapi

yang akan diberikan hendaknya didasari pada pemahaman yang mendalam terhadap ilmu

neuroanatomi dan neurofisiologi.16

III.2. TERAPI MEDIKAMENTOSA

Obat hanyalah terapi pendamping, bukan yang utama. Perlu dinyatakan bahwa belum

ada obat yang dapat menyembuhkan autisme.7,17 Obat dibutuhkan hanya untuk membantu

mengatasi masalah-masalah yang timbul yang tidak dapat diatasi dengan metoda non obat,

seperti hiperaktivitas, agresivitas, menyakiti diri dan insomnia.10 Atau bila metoda intervensi

non obat dikombinasikan dengan obat, diharapkan intervensinya dapat maksimal.7 Obat-obat

yang sering dipakai adalah:

III.2.1. STIMULAN17,18

Inatensi mungkin merupakan satu gejala yang mengganggu proses belajar. Harus dibedakan

antara inatensi yang merupakan bagian dari gejala autisme dengan inatensi sebagai gejala

gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD).

Deksamfetamin dan Levoamfetamin.

Metilfenidat.

Dapat meningkatkan atensi dan mengurangi distraktibilitas. Dosis: 0,3 mg/kg.

III.2.2. AGONIS RESEPTOR ALPHA ADRENERGIK12,17

23

Agonis reseptor alpha adrenergik (Klonidin) dilaporkan dapat menurunkan agresivitas,

temper tantrum, impulsivitas dan hiperaktivitas. Mulai dengan dosis rendah: 0,025-0,05 mg 2

kali/hari dinaikkan secara bertaap sampai dosis maksimum 0,3-0,6 mg/hari dalam 3-4

kali/hari.

III.2.3. BETA ADRENERGIK BLOCKER12,17

Beta adrenergik blocker (Propanolol) dipakai dalam mengatasi agresivitas terutama yang

disertai dengan agitasi dan anxietas. Dosis: 1-5 mg/kg/hari atau lebih.

III.2.4. POTENT LONG ACTING OPIOID ANTAGONIST12,17

Potent long acting opioid antagonist (Naltrekson) memiliki potensi untuk mengatasi perilaku

melukai diri sendiri dan ritual, dosis: 0,5-2 mg/kg/hari.

III.2.5. SPESIFIK SEROTONIN REUPTAKE INHIBITOR (SSRI)7,12,15

SSRI digunakan untuk mengatasi perilaku stereotipik seperti perilaku yang melukai diri

sendiri, resisten terhadap perubahan hal-hal rutin, ritual obsesif dengan anxietas yang tinggi.

Pemberian SSRI dimulai dari dosis terkecil dan secara bertahap dinaikkan sampai mencapai

dosis terapeutik.

Fluoxetine.

Fluvoksamin.

III.2.6. NEUROLEPTIK7,12,17,18

Neuroleptik tipikal potensi rendah (Thioridazine).

Dapat menurunkan agreivitas dan agitasi. Dosis: 0,5-3 mh/kg/hari, dibagi dalam 2-3 kali/hari.

Neuroleptik tipikal potensi tinggi (Haloperidol dan Pimozide).

Dalam dosis kecil: 0,25-3 mg/hari, dapat menurunkan agresivitas, hiperaktivitas, iritabilitas

dan stereotipik.

Neuroleptik atipikal (Risperidon).

Bila digunakan dalam dosis yang direkomendasikan: 0,5-3 mg/hari dibagi dalam 2-3

kali/hari, dapat dinaikkan 0,25 mg setiap 3-5 hari sampai dosis inisial tercapai 1-2 mg/hari

dalam 4-6 minggu, akan tampak perbaikan pada hubungan sosial, atensi dan gejala obsesif.

III.2.7. ANTI EPILEPSI7

24

Anti epilepsi (Asam valproat) digunakan bila penderita autisme mengalami epilepsi (1/3

kasus autisme mengidap epilepsi).

III.2.8. NOOTROPIK7

Nootropik (Pirasetam) digunakan untuk memperbaiki gangguan perkembangan bahasa,

karena terbukti obat ini mampu memperbaiki fungsi hemisfer kiri otak.

BAB IV

PENUTUP

Pemahaman mengenai etiologi, diagnosis dan penatalaksanaan autisme pada anak-

anak selalu berubah secara dramatis sejak 2 dekade terakhir. Dari berbagai penelitian yang

telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan bahwa diagnosis dini autisme merupakan hal

penting yang akan mempengaruhi outcome dari penatalaksanaan autisme.

Pada individu dengan autisme diperlukan bantuan manajemen terapi yang

komprehensif dan terpadu antar disiplin ilmu yang terkait, agar dapat tercapai target terapi

seperti yang diharapkan. Mengingat masing-masing individu dengan autisme adalah unik,

tidak ada yang sama satu dengan yang lain (kembar sekalipun), maka pendekatan manajemen

terapi yang diberikan juga sebaiknya disesuaikan dengan masing-masing kondisi anak.

Dukungan keluarga sangat diperlukan untuk mendukung keberhasilan terapi.

25

Sebaiknya tidak menunda pemberian terapi, sedini mungkin, agar anak dapat

menerima yang sesuai dan adekuat sehingga dapat berkembang seoptimal mungkin. Tidak

ada kata terlambat, lebih baik terlambat daripada tidak diterapi sama sekali.

DAFTAR PUSTAKA

1. Rahmawati D. Gangguan Berbahasa dan Bicara Pada Anak Dengan Autisme Infantil:

Kumpulan Makalah Simposium Neuropediatri “The Child Who Does Not Speak”.

Penerbit FK Undip Semarang, 2002: 15-23.

2. Hartono B. Aspek Medik Autisme Infantil. Media Medika Indonesiana, Vol.33, No.4,

Penerbit FK Undip Semarang, 1998: 209-213.

3. Purba JS. Patogenesis Autisme Menuju Tatalaksana Holistik dan Terintegrasi. Dalam:

Penatalaksanaan Holistik Autisme. Jakarta. 2000: 321-325.

4. Hardiono P. Autisme: Bagaimana Mengenal dan Menegakkan Diagnosis. Balai

Penerbit FKUI. Jakarta. 2002: 47-62.

26

5. Faradz SMH. Genetic Evaluation of Autism with Special Reference to Fragile-X

Syndrome. Dalam: Konferensi Nasional Autisme I. Jakarta. 2003: 8-14.

6. Edi TMSO. Diagnosis Dini Autisme. Dalam: Penatalaksanaan Holistik Autisme.

Jakarta. 2000: 9-12.

7. Hartono B, Rahmawati D, Muhartomo H. Masalah-Masalah Neurobehaviour pada

Infantil. Dalam: Seminar dan Workshop on Fragile-X, Mental Retardation, Autism

and Related Disorders. Semarang. 2002: 104-112.

8. American Psychiatric Association. (2000) Diagnostic and Statistical Manual of

Mental Disorders Fourth Edition Text Revision, DSM-IV-TR. Arlington,VA:

American Psychiatric Association.

9. Sadock, Benjamin James; Sadock, Virginia Alcott.2007. Kaplan & Sadock's Synopsis

of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. New york; p

1192-99.

10. Budhiman M. Penanganan Autisme Secara Komprehensif. Dalam: Seminar dan

Workshop on Fragile-X, Mental Retardation, Autism and Related disorders.

Semarang. 2002: 46-60.

11. Handojo Y. Manajemen Tata Laksana Terapi Perilaku Anak Dengan Kebutuhan

Khusus (Autisme). Dalam: Penatalaksanaan Holistik Autisme. Kongres Nasional

Autisme Indonesia Pertama. Penerbit Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta.

2003: 153-163.

12. Widyawati I. Manajemen Multidisplin Pada Individu Autisme. Dalam: Konferensi

Nasional Autisme I. Jakarta. 2003: 61-66.

13. Setiyono A. Terapi Sensori Terintegrasi. Dalam: Penatalaksanaan Holistik Autisme.

Kongres Nasional Autisme Indonesia Pertama. Penerbit Bagian Ilmu Penyakit Dalam

FKUI. Jakarta. 2003: 35-41.

14. Gunadi T. Snoezelen. Dalam: Penatalaksanaan Holistik Autisme. Kongres Nasional

Autisme Indonesia Pertama. Penerbit Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta.

2003: 43-51.

15. Setyowatie FFS. Olah Musik Bagi Anak Dengan Kebutuhan Khusus (Autisme).

Dalam: Penatalaksanaan Holistik Autisme. Kongres Nasional Autisme Indonesia

Pertama. Penerbit Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta. 2003: 185-203.

16. Wahyuni LK. Penatalaksanaan Problem Oromotor Pada Autisme. Dalam:

Penatalaksanaan Holistik Autisme. Kongres Nasional Autisme Indonesia Pertama.

Penerbit Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta. 2003: 43-51.

27

17. Bryson SE, Rogers SJ, Fombonne E. Autism : Early Detection, Intervention,

Education, and Psychopharmacological Management. Can J Psychiatry, Vol 48, No 8,

September 2003 : 506-514.

18. Supargo A. Farmakoterapi Pada Autisme. Dalam: Penatalaksanaan Holistik Autisme.

Kongres Nasional Autisme Indonesia Pertama. Penerbit Bagian Ilmu Penyakit Dalam

FKUI. Jakarta. 2003: 43-51.

28