IQRA' Ed. 2.pdf

12
Dede Permana L ayaknya udara segar yang membuat tubuh kita sehat, pemahaman yang tepat terhadap al-Quran adalah panduan utama yang akan membawa kita kepada keyakinan yang benar. Jika kesegaran udara harus selalu dijaga agar kita tidak terserang penyakit, maka upaya untuk memahami al-Quran dengan benar juga harus kita perhatikan agar tidak terasuki pemikiran- pemikiran asing yang membuat kita menjauh dari kebenaran. Infiltrasi asing ini, dalam kajian studi al-Quran disebut sebagai “al-Dakhîl”. Secara etimologi, kata “al-dakhîl” diartikan oleh Ibnu Mandhur sebagai sesua- tu yang masuk ke dalam sistem organ manusia, sehingga menimbulkan suatu kerusakan. Kerusakan itu bisa mengenai otak (akal) ataupun tubuh. Sementara secara terminologis, Ibrahim Khalifah, seorang pakar Tafsir di Universitas al-Azhar mengartikannya sebagai segala riwayat yang tidak benar dan bertentangan dengan pokok- pokok utama ajaran Islam (syariat); atau hasil pema- haman seseorang yang bersumber dari pemikiran yang rusak. Dari pengertian ini, dakhil kemudian dibagi menjadi dua, yaitu dakhil dalam tataran riwayat (al-dakhîl fi al-manqûl) dan dakhil dalam tataran hasil pemikiran (al-dakhîl fi al- ma‟qûl). Sejarah perkembangan dakhil dalam Tafsir Dalam sejarahnya, masyarakat Arab Quraisy sebelum Islam lahir adalah masyarakat yang memiliki hubungan cukup erat dengan bangsa Yahudi dan Nasrani lewat kebiasaan berdagang yang dilakukan bangsa Quraisy dua kali dalam setiap tahun, yaitu perjalanan pada musim dingin ke Yaman, pada musim panas ke Syam. Pada masa-masa dagang seperti ini kaum Yahudi dan Nasrani memanfaatkan kesempatan itu untuk mentransfer penge- tahuan yang mereka miliki dari kitab suci mereka kepada masyarakatt Quraisy yang belum banyak mengerti baca dan tulis. Selanjutnya, tatkala Muhammad SAW mendeklarasikan hadirnya suatu agama baru yang ber- sumber dari Allah SWT, masyarakat Arab menemukan ada beberapa persamaan antara apa yang dibawa oleh al- Quran dengan apa yang mereka dapat- kan dari kitab suci Yahudi dan Nasrani. Ten- tang kisah- Mewaspadai Infiltrasi Asing dalam Penafsiran al-Quran E D I S I I I D alam hidup ini, suka dan duka adalah sebuah keniscayaan. Keduanya selalu bergantian datang, bahkan sesekali bergandengan dan hadir bersamaan. Saat mendapatkan sebuah nikmat, kita sering terlalu bahagia, sehingga lupa apa yang seharusnya kita lakukan dengan nikmat itu. Sedangkan ketika musibah datang, kita putus asa sehingga melupakan rahmat Allah yang luas membentang tak teringga. “Siksa-Ku akan Kutimpakan kepada siapa yang Aku kehendaki, dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami.” (QS al- A‟raf: 156). Dalam bukunya “al- Hikam” Ibnu „Athaillah al- Sakandari menegaskan bahwa nikmat yang kita dapatkan NADHRAH SEBAGAI PEDOMAN DAFTAR ISI HIKMAH DZIKRA KAJIAN AL-I’JAZ IKPM CABANG KAIRO Bersambung ke hlm 8 N O V E M B E R 2 0 1 2 Bersambung ke hlm 5 MEWASPADAI INFILTRASI ASING DALAM PENAFSIRAN AL-QURAN NADHRAH 1 MENSYUKURI KARUNIA AKAL TAHNIAH 2 MENOLAK PENGHAPUSAN AYAT-AYAT AL-QURAN MARJA 11 MUHAMMAD MUSTHAFA AL-MARAGHI: MUFASIR HANDAL, PEMBAHARU AL-AZHAR UDHAMA 10 MELURUSKAN MAKNA SHIRFAH IBNU SAYYAR AL-NADDZAM 6 MABHATS KEMUNAFIKAN INTELEKTUAL SALAM 12 Hilmy Mubarak DI BALIK MUSIBAH

Transcript of IQRA' Ed. 2.pdf

Dede Permana

L ayaknya udara segar yang membuat tubuh kita sehat, pemahaman yang tepat terhadap al-Quran adalah panduan utama yang akan membawa

kita kepada keyakinan yang benar. Jika kesegaran udara harus selalu dijaga agar kita tidak terserang penyakit, maka upaya untuk memahami al-Quran dengan benar juga harus kita perhatikan agar tidak terasuki pemikiran-pemikiran asing yang membuat kita menjauh dari kebenaran. Infiltrasi asing ini, dalam kajian studi al-Quran disebut sebagai “al-Dakhîl”.

Secara etimologi, kata “al-dakhîl” diartikan oleh Ibnu Mandhur sebagai sesua-tu yang masuk ke dalam sistem organ manusia, sehingga menimbulkan suatu kerusakan. Kerusakan itu bisa mengenai otak (akal) ataupun tubuh. Sementara secara terminologis, Ibrahim Khalifah, seorang pakar Tafsir di Universitas al-Azhar mengartikannya sebagai segala riwayat yang tidak benar dan bertentangan dengan pokok-pokok utama ajaran Islam (syariat); atau hasil pema-haman seseorang yang bersumber dari pemikiran yang rusak. Dari pengertian ini, dakhil kemudian dibagi menjadi dua, yaitu dakhil dalam

tataran riwayat (al-dakhîl fi al-manqûl) dan dakhil dalam tataran hasil pemikiran (al-dakhîl fi al-ma‟qûl).

Sejarah perkembangan dakhil dalam Tafsir

Dalam sejarahnya, masyarakat Arab Quraisy sebelum Islam lahir adalah masyarakat yang memiliki hubungan cukup erat dengan bangsa Yahudi dan Nasrani lewat kebiasaan berdagang yang dilakukan bangsa Quraisy dua kali dalam setiap tahun, yaitu perjalanan pada musim dingin ke Yaman, pada musim panas ke Syam. Pada masa-masa dagang seperti ini

kaum Yahudi dan Nasrani memanfaatkan kesempatan itu untuk mentransfer penge-

tahuan yang mereka miliki dari kitab suci mereka kepada masyarakatt

Quraisy yang belum banyak mengerti baca dan tulis.

Selanjutnya, tatkala Muhammad SAW mendeklarasikan hadirnya

suatu agama baru yang ber-sumber dari Allah SWT,

masyarakat Arab menemukan ada beberapa

persamaan antara apa yang dibawa oleh al-

Quran dengan apa yang mereka dapat-

kan dari kitab suci Yahudi dan

Nasrani. Ten-tang kisah-

Mewaspadai Infiltrasi Asing dalam Penafsiran al-Quran

E D I S I I I

D alam hidup ini, suka dan duka adalah sebuah keniscayaan.

Keduanya selalu bergantian datang, bahkan sesekali bergandengan dan hadir bersamaan. Saat mendapatkan sebuah nikmat, kita sering terlalu bahagia, sehingga lupa

apa yang seharusnya kita lakukan dengan nikmat itu. Sedangkan ketika musibah datang, kita putus asa sehingga melupakan rahmat Allah yang luas membentang tak teringga. “Siksa-Ku akan Kutimpakan kepada siapa yang Aku kehendaki, dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan

rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami.” (QS al-A‟raf: 156).

Dalam bukunya “al-Hikam” Ibnu „Athaillah al-Sakandari menegaskan bahwa nikmat yang kita dapatkan

N A D H R A H

A L - Q U R A N

S E B A G A I P E D O M A N

DAFTAR ISI

HIKMAH

D Z I K R A

K A J I A N A L - I ’ J A Z

I K P M C A B A N G

K A I R O

Bersambung ke hlm 8

N O V E M B E R 2 0 1 2

Bersambung ke hlm 5

M E W A S P A D A I

I N F I L T R A S I A S I N G

D A L A M P E N A F S I R A N

A L - Q U R A N

NADHRAH 1

M E N S Y U K U R I

K A R U N I A A K A L

TAHNIAH 2

M E N O L A K

P E N G H A P U S A N

A Y A T - A Y A T

A L - Q U R A N

MARJA 11

M U H A M M A D M U S T H A F A

A L - M A R A G H I :

M U F A S I R H A N D A L ,

P E M B A H A R U A L - A Z H A R

UDHAMA 10

M E L U R U S K A N

M A K N A S H I R F A H

I B N U S A Y Y A R

A L - N A D D Z A M

6 MABHATS

K E M U N A F I K A N

I N T E L E K T U A L

SALAM 12

Hilmy Mubarak

DI BALIK MUSIBAH

“Akal dan wahyu adalah

dua entitas yang saling

melengkapi. Bahkan

menurut Imam al-Ghazali,

saling menyatu dan tidak bisa

dipisahkan. Menyatukan

antara keduanya akan membawa kita

pada kebenaran

hakiki yang disebut oleh

Allah SWT sebagai cahaya

di atas cahaya.”

Mensyukuri Nikmat Akal

B U L E T I N I Q R A ’ , E D I S I I I , N O V E M B E R 2 0 1 2

2 T A H N I A H

S ungguh beruntung kita sebagai manusia. Setelah diciptakan dengan sebaik-baik penciptaan (ahsan

taqwîm), Allah SWT juga memuliakan kita dengan kelebi-han yang sempurna atas makhluk-makhluk lainnya. Allah SWT berfirman, “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik, dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS al-Isra’: 70). Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menyatakan bahwa “kelebihan

yang sempurna” dalam ayat di atas menyangkut banyak hal. Namun yang paling utama dari semua kelebihan yang sempurna itu adalah kemampuan manusia untuk ber-pikir, membedakan antara salah dan benar, baik dan buruk, serta manfaat dan mudharat. Semua kemampuan itu tidak lain bertumpu pada karunia akal yang telah Allah berikan kepada manusia.

Akal dalam Islam bukan semata-mata logika. Konsep akal dalam Islam adalah cahaya ilahi yang Allah curahkan dalam hati manusia, yang meliputi pengetahuan yang luas dan keimanan yang mantap. Akal dalam Islam bukan semata kerja otak, tapi juga melibatkan hati sebagai “rasul Allah” dalam diri setiap manusia. Karena itu, dalam al-Quran Allah menisbatkan kata “tafaqquh” (memahami kepada hati (qulub). “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami [ayat-ayat Allah] dan mereka mempunyai mata [tetapi] tidak dipergunakan untuk melihat [tanda-tanda kekuasaan Allah] dan mereka mempunyai telinga [tetapi] tidak dipergunakan untuk mendengar [ayat-ayat Allah]. Mereka itu seperti binatang ternakan, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A'raaf: 179).

Kedudukan akal sangat penting

Susunan Redaksi Buletin IQRA Kajian AL-I’JAZ IKPM Kairo

Dewan Penasehat: Ketua IKPM Cabang Kairo; Pembimbing: Bagian Keilmuan IKPM Cabang Kairo; Pemimpin Umum: Rusydiana Tsani;

Pemimpin Redaksi: Saeful Luthfy; Editor: Jauhar Ridloni Marzuq, Novan Hariansyah; Layouter: Risky Maratul; Kru: Dede Permana, Faiq

Aziz, Hilmy Mubarak, Alfina Wildah, Umar Muhammad, Jauharotun Naqiyah, Maulidatul Hifdhiyah, Anisa Nur Rohmah, Ari Kurniawati.

Alamat Redaksi: Swessry B - Gami', Hay 10, Nasr City, Egypt 32206

dalam Islam karena akal adalah pintu utama masuknya kewajiban melaksanakan perintah agama (taklîf). Karena itu, al-Quran memuat banyak sekali ajakan kepada manusia untuk berpikir dan menggunakan akal mereka. Bahkan al-Quran sebagai mukjizat terbesar yang pernah Allah berikan kepada para nabi disebut sebagai mukjizat akal. Artinya, seperti dikatakan oleh Muhammad Imarah, untuk memahami keagun-gan makna al-Quran, kita harus mempergunakan akal kita. Akal yang benar-benar digunakan untuk berpikir akan membawa pemiliknya pada keyakinan bahwa al-Quran tidak mungkin lahir dari manusia, melainkan dari Pencipta manusia.

Lalu bagaimana caranya kita mensyuku-ri karunia akal tersebut? Tak lain adalah dengan menggunakannya untuk memahami keagungan ayat-ayat Allah, baik berupa ayat qauliyah (al-Quran) maupun ayat kauniyah (alam semesta). Dengan memperhatikan, merenungi, dan memikirkan pesan-pesan al-Quran dan fenomena-fenomena alam, kita akan sampai pada kesimpulan bahwa Tuhan yang patut dis-embah hanyalah Allah SWT. Dengan mengaktifkan peran akal kita juga mampu me-mahami syariat-syariat agama sehingga tidak terjebak dalam taklid yang dilarang oleh Allah SWT. Allah SWT berfirman, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati akan dimintai pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra: 36).

Meski demikian, kita tidak boleh sem-barangan mengunakan akal. Akal harus diselaraskan dengan wahyu. Akal dalam Islam ibarat mata, sedangkan wahyu adalah cahaya. Mata tak akan mampu melihat tanpa adanya cahaya, begitu juga cahaya tanpa mata tidak ada gunanya. Wahyu tak akan bisa dipahami tanpa peran akal, dan akal akan tersesat tanpa tun-tunan wahyu. Akal dan wahyu adalah dua entitas yang saling melengkapi. Bahkan menurut Imam al-Ghazali, saling menyatu dan tidak bisa dipisahkan. Menyatukan antara keduanya akan membawa kita pada kebenaran hakiki yang disebut oleh Allah SWT sebagai cahaya di atas cahaya (nūrun ala nūr). Wallahu a‟lam bisshawab.

Tadabur al-Quran

A l-Quran adalah kitab suci yang berbicara ten-tang seluruh dimensi kehidupan manusia. Ayat-ayatnya banyak menyimpan hikmah yang harus ditadaburkan dan dihayati oleh kita sebagai

manusia yang berpedoman kepada al-Quran. Dalam firmanNya, Allah SWT telah menjelaskan

bahwa al-Quran diturunkan tidak lain supaya manusia menadaburkan maknanya. “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memper-hatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (QS. Shaad: 29). “Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Quran ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad: 24). “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang ban-yak di dalamnya.” (QS. an-Nisa‟: 82).

Ketiga ayat di atas merupakan perintah Allah SWT kepada manusia untuk selalu menadaburkan kan-dungan ayat-ayat al-Quran. Hanya dengan menadaburkann-ya kita dapat memahami isi dan makna al-Quran yang sebenarnya. Ketika kita menadaburkan al-Quran, kita akan semakin yakin bahwa al-Quran merupakan wahyu Allah yang mempunyai keindahan bahasa, keagungan hikmah dan keluasan ilmu pengetahuan yang mencakup alam fisika maupun metafisika.

Rasulullah SAW dan generasi terbaik setelah beliau (Sahabat) telah memberi contoh pentingnya mena-daburkan al-Quran. Dalam mempelajari al-Quran, mereka tidak pernah melewatkan atau berpindah ke ayat lain kecua-li mereka benar-benar memahami dan melaksanakan isi kandungan ayat yang sedang dibaca. Ibnu Mas‟ud berkata, “Ketika kami belajar al-Quran, maka kami tidak akan melewati sepuluh ayat kecuali setelah menguasinya, mengerti dan mengamal-kan isinya.” Diriwatkan juga dari para Tabiin seperti Sa‟id bin Jubair dan Rabi‟ bin Khutsaim, sebagian mereka berka-ta, “Setiap ayat yang tidak saya pahami, dan hati saya merasa tidak menghayatinya (menadaburkan), maka saya merasa tidak mendapatkan pahala.”

Imam Ghazali dalam bukunya “Ihya Ulumiddin” menjelaskan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum menadaburkan al-Quran. Pertama, memahami keagungan dan kemuliaan al-Quran. Menurut Imam al-Ghazali, al-Quran merupakan kalam Allah yang tidak ada satu makhluk hidup pun yang bisa membuat semisalnya. Al-Quran juga merupakan satu-satunya alat interaksi antara manusia dan Penciptanya. Kedua, mengagungkan Allah SWT. Di kala kita membaca al-Quran, seyogyanya kita bersifat khudhu‟ (merendah) karena yang sedang kita baca (al-Quran) adalah perkataan Allah SWT. Ketiga, menghayat-inya dengan seksama. Penghayatan terhadap al-Quran

merupakan salah satu kunci ketenangan jiwa dan hati ketika membacanya; selain juga mampu menjauhkan pikiran dari selain al-Quran. Keempat, tadabur al-Quran. Tadabbur di sini, adalah tingkatan paling tinggi dalam memahami dan menghayati dan merenungi kandungan al-Quran.

Selain menjelaskan apa-apa yang harus dilakukan seseorang agar sebelum menadaburkan al-Quran, Imam al-Ghazali juga menjelaskan empat hal yang menghalangi manusia dari tadabur al-Quran. Pertama, adanya keraguan dalam tentang keaslian al-Quran. Faktor inilah yang selalu diperbuat oleh syaitan agar manusia jauh dari memahami makna al-Quran. Kedua, terlalu fanatik terhadap suatu mazhab tanpa ia tahu asal usulnya. Ketiga, banyak berbuat maksiat dan lebih mengedepankan hawa nafsu. Keempat, memaknai al-Quran secara dhahir maknanya saja, tanpa mau memahaminya lebih dalam lagi.

Di zaman yang penuh dengan nilai-nilai hedon-isme seperti sekarang ini, umat Islam semakin banyak yang melupakan al-Quran. Sebagian dari mereka mungkin masih membacanya, namun tidak pernah berusaha untuk menadaburkannya. Lebih dari itu, bahkan banyak di antara mereka yang menjadikan al-Quran hanya sebatas hiasan dan pajangan rumah. Mereka lupa bahwa al-Quran di-turunkan bukan untuk itu, melainkan sebagai pedoman mereka dalam menjalani kehiupan di dunia. Sikap ini tidak jauh berbeda dengan sikap orang-orang kafir yang selalu berpaling dari al-Quran. Mereka (kaum Kafir) tidak dapat memahami ayat-ayat al-Quran yang mereka dengar, dan tidak dapat pula mengambil pelajaran dari tanda-tanda kebesaran Allah yang mereka lihat di cakrawala, di per-mukaan bumi dan pada diri mereka sendiri. “Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.” (QS. al-Baqarah: 7).

Di sinilah, kita diwajibkan untuk menadaburkan

al-Quran agar membedakan antara kita dengan orang-

orang kafir yang disebutkan dalam surat al-Baqarah di atas.

Dengan sering-sering menadaburkan al-Quran, hati kita

akan selalu bersih dan terhindar dari segala perbuatan

tercela dan merugikan. Dengan al-Quran, hidup kita akan

terasa tentram dan penuh kedamaian. “Sesungguhnya orang-

orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah

gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya

bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada

Tuhanlah mereka bertawakkal.” (QS. al –Anfaal : 2). Semoga

kita termasuk bagian dari orang yang disebutkan Allah

dalam ayat ini. Amin.

3 F I K R A H

B U L E T I N I Q R A ’ , E D I S I I I , N O V E M B E R 2 0 1 2

Saeful Luthfy

Membangun Peradaban Ilmu 4 Q A D H A Y A

B U L E T I N I Q R A ’ , E D I S I I I , N O V E M B E R 2 0 1 2

M ayoritas ulama sepakat bahwa ayat al-Quran yang pertama kali turun adalah surat al-Alaq 1-5. Turunnya ayat yang diawali dengan perintah membaca ini, menurut Raghib al-Sirjani dalam

“al-Ilmu wa Binâ‟ al-Umam” sangat aneh. Setidaknya, ada tiga alasan yang mendasari pandangan ini. Pertama, dari sekian ribu tema yang bisa diangkat, al-Quran ternyata memilih tema tentang baca-tulis. Padahal, Nabi Muhammad sebagai orang pertama yang menerima ayat itu adalah seorang buta huruf. Kedua, al-Quran mengajak bangsa Arab -yang mayoritas masyarakatnya buta huruf- untuk memperhatikan suatu masa-lah yang sama sekali jarang mereka perhatikan. Seperti tertulis dalam banyak buku sejarah, bangsa Arab ketika al-Quran

Novan Hariansyah

diturunkan adalah masyarakat primitif yang hidupnya dipenuhi oleh urusan takhayul, khurafat dan kebodohan. Karena itu, turunnya al-Quran dengan perintah membaca adalah suatu keanehan. Sedangkan ketiga, untuk menjadi media transformasi ilmu, al-Quran memilih media yang sangat berat bagi masyarakat Arab saat itu, yaitu membaca.

Dengan tiga alasan tersebut, maka Raghib al-Sirjani kemudian berkesimpulan bahwa fenomena ini tentu memiliki rahasia yang perlu diungkap dan diketahui. Se-bagai kitab petunjuk, Allah tidak mungkin memilih tema sembarangan untuk menjadi permulaan penurunan kalam-Nya. Salah satu alasannya, menurut al-Sirjani, adalah se-bagai bukti paling jelas bahwa Islam adalah sebuah agama yang bersandar kepada ilmu pengetahuan dan menolak kebodohan. Permulaan ayat ini juga menjelaskan bahwa membaca adalah kunci untuk memahami agama baru ini, sekaligus menjadi syarat utama yang harus dimiliki oleh manusia untuk mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat.

Ilmu sebagai sifat utama kenabian

Sebagai seorang pemimpin, nabi adalah aktor utama pembangun peradaban dalam Islam. Jika Islam secara substansif telah ada sejak Nabi Adam, maka nabi yang harus diyakini oleh umat Islam adalah Nabi Adam hingga Nabi Muhammad SAW. Keseluruhan jumlah nabi memang tidak dijelaskan oleh al-Quran. Namun dalam beberapa cerita yang disebutkan al-Quran, Allah selalu mengaitkan mereka dengan ilmu. Dalam surat al-Baqarah, Nabi Adam digambarkan sebagai orang diajarkan (diberi ilmu) oleh Allah nama-nama segala sesuatu (QS al-Baqarah 21); Nabi Luth diberi hikmah (kenabian) dan ilmu (QS al-Anbiya: 74); Nabi Musa, Nabi Yusuf dan Nabi Sulaiman juga diberi hikmah dan ilmu (QS Qashash: 14, QS Yusuf: 22 dan QS al-Anbiya: 79); Nabi Ya‟qub diajari banyak ilmu (QS Yusuf 68); Nabi Isa diajari al-Kitab, hikmah, Taurat dan Injil (QS al-Maidah: 110); dan Nabi Muhammad di-ajari oleh Allah apa-apa yang tidak beliau ketahui (al-Nisa 113).

Di sini dapat disimpulkan bahwa salah satu sifat utama kenabian adalah berilmu, karena tanpa ilmu seorang nabi tidak akan pernah bisa mengajarkan sesuatu. Sebuah pepatah mengatakan, “Orang yang tidak memiliki tidak akan bisa memberi.”

Dalam perjalanan sejarah selanjutnya, al-Quran

ر أولو األلباب قل هل يستوي الذيه يعلمون والذيه ال يعلمون إوما يتذك

“Katakanlah: „Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?‟ Sesungguhnya

orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS. al-Zumar:9)

5 Q A D H A Y A

B U L E T I N I Q R A ’ , E D I S I I I , N O V E M B E R 2 0 1 2

seharusnya tidak kita masukkan ke dalam hati. Dalam artian, kita tidak diperbolehkan terlalu berbangga sehingga lupa diri. Jika kita memasukkannya ke dalam hati, maka kita akan merasa bersedih, menyesal, bahkan marah kepada Allah saat nikmat itu diambil kembali. Menurut Ibnu Athaillah, yang harus kita lakukan adalah tidak menyalahgunakan nikmat tersebut untuk hal-hal maksiat, karena itu adalah salah satu bentuk kesyukuran kita atas nikmat yang Allah SWT yang tidak pernah terhitung jumlahnya. Allah berfirman: “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya…” (QS an-Nahl: 18).

Meski ayat ini begitu gamblang menjelaskan betapa besar kasih sayang Allah kepada kita, tapi sebagai manusia yang imannya naik-turun terkadang kita lupa bersyukur ketika suatu keburukan menimpa kita. Dengan kata lain, kita hanya menginginkan yang enak-enak saja menurut pandangan kita. Padahal, justru dalam nikmat itulah letak „musibah‟ yang sebenarnya. Seorang ulama pernah berpendapat, “Ujian dengan nikmat itu lebih besar daripada ujian dengan kehilangan nikmat tersebut.” Baik atau buruk suatu hal yang menimpa kita hanya Allah Ta‟ala yang tahu, sehingga satu-satu cara yang bisa kita lakukan ketika mendapatkan nikmat adalah mensyukuri dan melakukan apa yang dituliskan untuk kita. Semua yang menimpa kita,

baik ataupun buruk, tidak lain adalah atas kehendak Allah SWT. Jika kita meyakini bahwa Allah tidak akan pernah menganiaya hamba-Nya, maka kita harus yakin bahwa semua itu diberikan oleh Allah untuk kebaikan kita, meskipun kita sering tidak menyadarinya. Dalam al-Quran Allah berfirman, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216).

Contoh paling anyar terkait adanya berkah di balik musibah adalah munculnya film “Innocence of Muslim” yang dengan sangat tidak beradab merendahkan Rasulullah SAW. Meski secara sepintas film itu sangat buruk karena dengan sangat jelas merendahkan martabat Nabi Muhammad SAW, tetapi disadari atau tidak, film tersebut juga membawa sebuah berkah tersendiri. Tanpa kita prediksi, film ini justru membuka mata dunia untuk lebih dalam mengkaji sosok Muhammad SAW. Ketika mereka menemukan bahwa Muhammad bukanlah seperti yang digambarkan dalam film tersebut (bahkan sebaliknya), mereka pun berbondong-bondong masuk Islam. Bukankah ini hikmah yang besar di balik mushibah yang menimpa kita? “Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. QS:Al-Baqarah: 216).

Berkah di Balik Musibah….. Sambungan dari hlm. 1

kemudian memuat banyak sekali ayat yang mengajak manusia untuk mencari ilmu pengetahuan. Al-Quran juga dalam banyak kesempatan mencela kebohodohan dan kejumudan. Meski tidak bisa baca tulis, dalam banyak riwayat Hadis, Rasulullah memerintahkan beberapa Sa-habat untuk belajar membaca dan menulis. Usai Perang Badar, Rasulullah bahkan menjadikan pembelajaran baca-tulis sebagai media tebusan para tawanan perang.

Di sinilah, Islam kemudian hadir sebagai kekuatan baru untuk mengubah tatanan hidup masyarakat Arab Jahiliyah menuju tatatan hidup baru yang berperada-ban, dengan berlandaskan pada nilai-nilai ilmu penge-tahuan yang bersumber dari al-Quran.

Tradisi ini kemudian terwariskan dari generasi ke generasi sehingga membentuk sebuah pandangan hidup. Pandangan hidup seperti inilah yang kemudian menjadi-kan Islam mampu mengambil alih kepemimpinan perada-ban dari tangan Romawi Persia hingga lebih dari 1000 tahun lamanya.

Ilmu sebagai syarat utama menguasai dunia

Salah satu tujuan utama diciptakannya manusia adalah untuk menjadi khalifah di bumi. Namun, posisi dan kedudukan khalifah yang diberikan Allah kepada mereka bukanlah tanpa syarat. Dalam surat al-Baqarah Allah menjelaskan bahwa ditunjuknya Adam (bapak seluruh manusia) sebagai khalifah adalah karena kelebihan ilmu yang dimilikinya. Malaikat yang pada awalnya „keberatan‟ dengan penunjukan Adam akhirnya menerima, karena mengakui bahwa Adam memiliki ilmu yang yang tidak mereka miliki.

Fenomena seperti ini berlaku juga pada kisah penunjukan Thalut sebagai raja (QS al-Baqarah: 247), seorang hamba shalih sebagai pemenang sayembara pen-galihan singgasana Bilqis (QS al-Naml: 39), Sulaiman sebagai penguasa (QS al-Naml: 42), dan Khidhir sebagai guru Nabi Musa (QS al-Kahfi: 65).

Dengan demikian, terlihat jelas bagaimana al-Quran sangat menjunjung tinggi kedudukan ilmu. Menurut Hamid Fahmy Zarkasyi, peradaban Islam sebenarnya dimulai dari komunitas kecil yang bergiat mempelajari al-Quran dan Sunnah. Komunitas yang di-pengaruhi oleh pandangan hidup al-Quran itu kemudian berstambah besar dengan membentuk kekuatan militer yang akhirnya menjadi institusi negara. Karena universali-tas ajaran Islam, maka negara bangsa yang berdasarkan ras dilebur bersama bangsa-bangsa lain di bawah naungan Islam. Kekuatan pemersatu bangsa-bangsa itu adalah pandangan hidup Islam yang teratur dan rasional, serta bahasa Arab.

Dengan demikian, maka dapat diambil benang merah bahwa untuk membangun kembali peradaban Islam harus diawali dengan membangun peradaban ilmu. Karena asas peradaban Islam adalah ilmu pengetahuan yang bersumber pada al-Quran dan Sunnah, maka peranan ilmu pengetahuan yang sangat sentral dalam keseluruhan struktur konsep peradaban Islam, seperti pendapat Hamid Fahmy, perlu dikembalikan sebagaimana aslinya. Dalam hal ini, al-Quran adalah landasan utama yang kita jadikan sebagai acuan, bukan filsafat-filsafat asing yang lebih banyak merusak daripada membangun. Wallahu a‟lam.

“Terlepas dari berbagai opini

yang dilontarkan oleh para ulama

tentang shirfah yang mereka

nisbatkan kepada al-Naddzam,

penulis menyimpulkan

bahwa apa yang

diinginkan oleh al-Naddzam sangat

bertolak belakang dengan apa yang

dipahami oleh para ulama

setelahnya.”

6 M A B H A T S

B U L E T I N I Q R A ’ , E D I S I I I , N O V E M B E R 2 0 1 2

A l-Quran adalah kalam Tuhan yang sangat istimewa. Selain ber-peran sebagai mukjizat

utama Rasulullah SAW, al-Quran juga menjadi pedoman bagi seluruh umat Islam. Sebagai mukjizat yang kekal atau non-temporal, al-Quran memiliki berbagai kelebihan yang tidak dimiliki oleh mukjizat-mukjizat lainnya yang bersifat temporal. Salah satunya, al-Quran menjadikan poin inti kemukjizatannya ada pada sisi kebahasaan, yang mana masalah ini menjadi tema perdebatan yang sampai saat ini belum tuntas dikaji.

Nilai-nilai sastra yang dibawa oleh al-Quran begitu indah. Kandungan maknanya yang diinginkan pun tepat dan mendalam. Karena itu, masyarakat Arab yang terkenal jumawa dalam masa-lah sastra merasa tertantang untuk menghasilkan karya sepadan dengan al-Quran. Meski berbagai usaha mereka lakukan, mereka ternyata tidak pernah mampu menandingi kehebatan al-Quran. Bahkan untuk mendekati atau yang hampir serupa pun tidak bisa. Ketidakmampuan ini, oleh sebagian ulama dianggap sebagai salah satu nilai kemukjizatan al-Quran itu sendiri. Dari pandangan inilah kemudian muncul paham shirfah.

Shirfah secara etimologi be-rasal dari kata “sharafa-yashrifu” yang artinya memalingkan. Sedangkan secara terminologi, sebagaian besar ulama memahaminya sebagai sebuah paham yang mengatakan bahwa ketidakmam-puan masyarakat Arab dalam menan-dingi kehebatan al-Quran adalah karena Allah memalingkan potensi yang ada pada diri mereka. Konsep shirfah dengan pengertian seperti inilah yang menjadi perdebatan di kalangan ulama pengkaji al-Quran sejak dulu hingga sekarang. Munculnya paham ini, menurut sebagian pihak, berimplikasi pada pendapat turunan yang menga-takan bahwa nilai kemukjizatan al-Quran bukanlah dari al-Quran itu

sendiri, melainkan dari unsur lain di luar al-Quran. Dengan demikian, maka bisa dipa-hami bahwa pada dasarnya al-Quran bisa dtandingi, tapi Allah menghilangkan kemam-puan manusia sehingga mereka tidak lagi bisa menandinginya.

Berbicara tentang konsep shirfah, pikiran kita akan dibawa pada salah satu tokoh Muktazilah bernama Ibrahim bin Sayyar al-Naddzam (w. 231 H). Al-Naddzam adalah salah satu pentolan Muk-tazilah yang lahir pada tahun 185 H dan dan dikenal sebagai pembesar ahli fikih, pemikir, sastrawan dan cendekiawan handal. Terkait penisbatan paham ini kepada al-Naddzam, para ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan bahwa al-Naddzam mengutip paham shirfah ini dari Isa bin Shabih al-Mazdar yang dijuluki sebagai rahib Muk-tazilah. Pendapat ini selanjutnya lebih dikenal sebagai pendapat al-Naddzam kare-na al-Naddzam sering menyebutkannya. Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa teori ini dipopulerkan oleh al-Jahidz, salah satu murid terdekat al-Naddzam. Dalam salah satu karyanya, al-Jahidz menyebutkan bahwa gurunya mengaggap poin kemukjizatan al-Quran ada pada konsep shirfah.

Terlepas dari mana teori ini berkembang, mayoritas ulama sepakat mem-bantah konsep shirfah yang dikemukakan al-Naddzam ini. Mereka memahami konsep shirfah dengan artian bahwa Allah me-malingkan semua ilmu, kemampuan, dan faktor-faktor lain yang masyarakat Arab butuhkan untuk menciptakan karya sekelas al-Quran. Berangkat dari pemahaman inilah, mereka mengatakan bahwa al-Naddzam mengingkari kemukjizatan al-Quran. Pa-dahal, dengan adanya unsur tahaddiy, al-Quran telah berhasil menjadikan masyarakat Arab saat itu takluk dan kemudian memeluk Islam.

Tidak hanya itu, beberapa kalangan, seperti Abu Hudzail, al-Jubbaiy, al-Iskafiy, Abu Hasan al-Asyariy, al-Qalansiy serta Abu Bakar al-Baqilaniy bahkan mengafirkan al-Naddzam akibat pemahaman tersebut. Selanjutnya, mereka juga menulis berbagai judul buku dalam rangka menyudutkan al-Naddzam dan menolak paham shirfah yang

Meluruskan Makna Shirfah

Maulidatul Hifdhiyah Malik

Ibnu Sayyar al-Naddzam

dicetuskannya. Meski demikian, ada beberapa ulama yang

menerima konsep shifrah yang digaungkan oleh al-Naddzam. Sebut saja di antaranya adalah Syarif al-Murtadha dan Ibnu Sinan al-Khafajiy dari golongan Syiah; Abu Ishaq al-Isfarainiy dan Ibnu Hazm al-Dhahiriy dari Asy‟ariyah. Mereka juga sepakat bahwa shirfah merupakan salah satu nilai kemukjizatan yang dimiliki al-Quran.

Melihat pertentangan di antara ulama tersebut, Ibnu Hamzah al-Alawiy dalam kitabnya “al-Thurrâz” mengatakan bahwa shirfah yang menjadi bahan perde-batan para ulama tersebut memiliki tiga penafsiran. Per-tama, shirfah bermakna bahwa Allah menghilangkan unsur-unsur yang diperlukan masyarakat Arab untuk menentang tantangan al-Quran, padahal adanya unsur tersebut sangat mereka perlukan untuk menciptakan karya selevel al-Quran. Kedua, Allah mengambil ilmu-ilmu yang mereka butuhkan untuk menciptakan tandingan al-Quran. Penafsiran ini, menurut mayoritas ulama, adalah shirfah yang dikemukakan oleh Ibnu Sinan al-Khafajiy. Sedangkan ketiga, Allah menghalangi upaya masyarakat Arab untuk menentang al-Quran, padahal mereka mampu melakukannya –jika halangan itu dihilangkan. Untuk hal

7 M A B H A T S

B U L E T I N I Q R A ’ , E D I S I I I , N O V E M B E R 2 0 1 2

Qur‟an” mengatakan bahwa paham shirfah yang sebenarn-ya diinginkan oleh al-Naddzam tidak sesuai dengan apa yang dipahami para ulama. Bila ulama memahami shirfah dengan makna yang telah disebutkan di atas, maka shirfah yang dimaksud al-Naddzam sebenarnya adalah Allah SWT memalingkan masyarakat Arab dari segala bentuk perla-wanan mereka, agar kisah tersebut tidak membingungkan bagi masyarakat Arab Badui atau kaum-kaum lain yang semisal dengan mereka.

Terlepas dari berbagai opini ulama tentang shirfah

yang mereka nisbatkan kepada al-Naddzam, penulis me-

nyimpulkan bahwa apa yang diinginkan oleh al-Naddzam

sangat bertolak belakang dengan apa yang dipahami oleh

para ulama setelahnya. Ini artinya, pembahasan shirfah

yang selalu meruncing dan tidak pernah menemui titik

tidak mungkin apabila ulama sekelas al-Naddzam, al-Jahidz, al-Khafajiy, Murta-dha serta Ibnu Hazm menilai kemukjizatan al-Quran serendah itu. Pendapat ini didasarkan pada biografi mereka yang merupakan ulama-ulama brilian yang berpegang teguh pada ajaran al-Quran dan Hadis. Apalagi, dalam salah satu riwayat, al-Naddzam pernah menyatakan bahwa aspek kemukjizatan al-Quran terletak pada sisi kebahasaan dan pemberitaan hal-hal ghaib, baik yang masa lalu maupun masa depan. Maka, bagaimana mungkin al-Naddzam mengemukakan paham shirfah dengan maksud demikian?

Berdasarkan fakta-fakta di atas, al-Bayyumi berkesimpulan bahwa shirfah yang dimaksud al-Naddzam adalah masyarakat Arab memalingkan diri mereka sendiri (bukan Allah yang memalingkan) dari upaya untuk menentang al-Quran. Mereka merasa „minder‟ untuk menentang al-Quran setelah mengetahui ketinggian dan keindahan bahasa al-Quran yang jauh di atas kemampuan mere-ka. Mereka juga urung menentang al-Quran sebab mereka tahu bahwa sekeras apapun upaya yang mereka lakukan untuk menandingi al-Quran, mereka tidak akan pernah berhasil. Lebih lanjut, Ali al-Umariy dalam bukunya “Haula I‟jaz al-

ini, Allah kemudian mengambil kekuatan dan segala daya mereka untuk menentang al-Quran. Penafsiran yang tera-khir ini, menurut Ibnu Hamzah al-Alawiy adalah penafsiran yang paling masyhur dan dipahami oleh mayoritas ulama sebagai shirfah yang mereka nisbatkan kepada al-Naddzam.

Sementara itu, Muhammad Rajab al-Bayyumi, salah satu guru besar sastra Arab di al-Azhar, dalam kitab-nya yang berjudul “al-Mausû‟ah al-Qur‟âniyyah al-Mutakhasshishah” justru melontarkan penafsiran lain tentang shirfah yang dinisbatkan kepada al-Naddzam ini. Menurut al-Bayyumi, sangat tidak masuk akal apabila seorang seperti al-Naddzam memahami konsep shirfah seperti yang diartikan oleh para ulama di atas. Salah satu alasan al-Bayyumi melontarkan pendapat demikian disebabkan tidak ditemukannya satu pun perkataan shirfah dalam seluruh karya al-Naddzam yang sekarang bisa diru-juk. Al-Naddzam juga, dalam pandangan al-Bayyumi, tidak pernah menuturkan paham shirfah, kecuali dari apa yang diceritakan oleh al-Jahidz. Keterangan yang diperoleh dari Jahidz pun tidak menyinggung secara jelas arti shirfah yang dimaksud oleh al-Naddzam.

Lebih lanjut, al-Bayyumi juga menyatakan sangat

temu tersebut, sudah tidak layak lagi untuk dibahas atau

bahkan diperdebatkan. Apalagi sampai harus mengafirkan

seorang al-Naddzam yang terkenal brilian dan berpegang

teguh pada nilai-nilai al-Quran dan Sunnah. Dari pembaha-

san singkat ini, kita menemukan bahwa para ulama yang

menyalahkan konsep shirfah terbukti hanya mengikuti

praduga dan pandangan mayoritas, tanpa pernah

menemukan bukti nyata tentang apa yang diinginkan oleh

seorang al-Naddzam. Menurut penulis, energi mereka akan

lebih berguna untuk dicurahkan untuk membahas masalah-

masalah lain yang lebih urgen, melihat masih banyaknya

syubhat-syubhat yang terus berkembang dewasa ini. Teru-

tama, syubhat-syubhat yang berkaitan dengan tema

kemukjizatan al-Quran. Wallahu a‟lam bi al-shawab.

Mu

ha

mm

ad

Ra

jab

al-

Ba

yy

um

i

“Dampak yang ditimbulkan dari infiltrasi asing inipun sangat fatal. Dengan adanya sumber-sumber penafsiran dari israiliyyât, Islam digambarkan oleh pemeluk agama lain sebagai agama yang sangat tidak rasional dan penuh dengan takhayul serta khurafat.”

Sambungan Mewaspadai Infiltrasi Asing…..

kisah para Nabi, misalnya, banyak kisah-kisah yang serupa atau bahkan sama dengan apa yang tertulis di Taurat dan Injil. Bedanya, metode yang digunakan oleh al-Quran dalam mencertikan kisah-kisah tersebut hanya secara global, lang-sung kepada poin mauidhah dan i‟tibar yang diinginkan dari kisah itu. Sedangkan dua kitab suci sebelumnya banyak menjelaskan hal-hal yang kecil dan remeh secara terper-inci dan detail, seperti ukuran perahu Nabi Nuh dan jenis kayunya, warna anjing yang menemani Ashabul Kahfi di gua, bagian dari sapi betina mana yang dipakai untuk menghidupkan orang yang telah terbunuh pada zaman Nabi Musa AS, dan lain se-bagainya. Dengan metode pengisahan al-Quran yang bersifat global tersebut, mere-ka yang memiliki rasa ingin tahu lebih, bertanya kepada para Ahli Kitab tentang penjelasan detail dari apa yang diceritakan oleh al-Quran secara global.

Kemudian seiring dengan ma-suknya para Ahli Kitab ke dalam Islam, ajaran agama Yahudi dan Nasrani yang mereka bawa dapat dengan mudah dic-eritakan kepada kaum Muslimin. Puncak-nya terjadi pada masa pembunuhan Ust-man bin Affan tahun 41 H, di mana kaum Ahli Kitab yang masuk Islam secara munafik mulai berani memasukkan ajaran-ajaran baru yang merusak kemurnian ajaran Islam dengan terang-terangan. Pada masa ini dan setelahnya, riwayat-riwayat israiliyyat dan hadis-hadis palsu mulai tersebar dengan mudah. Masyarakat se-makin dibuat bingung untuk membedakan antara Hadis yang benar-benar bersumber dari Rasulullah dan riwayat-riwayat palsu

yang diselundupkan oleh golongan munafikin dan para pembenci Islam. Inilah yang menjadi faktor utama lahirnya dakhil dalam tataran riwayat (al-dakhîl fi al-manqûl). Sementara faktor yang men-jadi penggerak utama lahirn-ya dakhil dalam tataran pemikiran (al-dakhîl fi al-ma‟qûl) dimulai ketika kaum Muslimin terpecah menjadi banyak sekte dan golongan, akibat kekacauan politik yang saat itu terjadi. Untuk menguatkan paham yang mereka usung, masing-masing dari mereka menafsirkan al-Quran sesuai

8 N A D H R A H

B U L E T I N I Q R A ’ , E D I S I I I , N O V E M B E R 2 0 1 2

dengan doktrin masing-masing golongan. Dalam praktiknya, mereka pun memaksakan doktrin yang mereka pahami untuk membaca al-Quran, sehing-ga lahirlah pemahaman-pemahaman menyimpang yang jauh dari makna yang dikandung oleh al-Quran yang sebenarnya.

Pada zaman Tabiin, kaum Yahudi, Nasra-ni, dan orang-orang non-Arab semakin banyak yang memeluk Islam. Kisah-kisah tentang is-railiyyât dan ajaran-ajaran agama lama mereka pun semakin mudah membaur dengan ajaran Islam. Dengan fenomena seperti ini, disadari ataupun tidak, riwayat-riwayat bohong dan paham-paham yang menyimpang mulai merasuk dalam halakah-halakah penafsiran al-Quran. Pada masa Tabi Tabi‟in, riwayat-riwayat ini dengan mudah masuk ke buku-buku tafsir, karena sebagian mereka tidak peduli (sengaja) memasukkan cerita-cerita tersebut untuk menafsirkan ayat-ayat al-Quran yang menceritakan sebuah kisah secara global. Di antara para penafsir yang banyak memasukkan ad-Dakhîl adalah tafsir mereka adalah Muhammad bin as Saib al Kalbi, Abdul Malik bin Abdul „Aziz bin Juraih, dan juga Muqatil bin Sulaiman.

Dampak yang ditimbulkan dari infiltrasi asing inipun sangat fatal. Dengan adanya sumber-sumber penafsiran dari israiliyyât, Islam digam-barkan sebagai agama yang sangat tidak rasional dan penuh dengan takhayul serta khurafat. Belum lagi, cerita tentang Allah yang pernah lelah ketika menciptakan alam juga akan mengakibatkan keya-kinan kita terhadap keesaan Allah luntur. Dit-ambah pula riwayat-riwayat tentang Nabi Daud yang berzina dengan istri panglimanya, atau Nabi Luth yang tidur dengan putrinya, juga akan meruntuhkan doktrin fundmental tentang kesucian (ishmah) para nabi dan rasul. Sementara itu, infiltra-si dalam tataran pemikiran juga tak kalah besar dampaknya, terutama ketika ayat-ayat al-Quran dijadikan sebagai tunggungan kepentingan sektari-an kelompok tertentu. Muktazilah yang dalam salah satu ajaranya menolak sifat kalam, misalnya, menakwilkan ayat yang menceritakan bahwa Allah berbicara kepada Musa AS menjadi Musa yang berbicara kepada Allah. Faktor-faktor terjadinya infiltrasi pemikiran

Seperti disinggung pada pembahasan sebelumnya, faktor utama yang mempengaruhi lairnya infiltrasi „asing‟ dalam tataran pemikiran adalah lahirnya beragam sekte yang memaksakan paham mereka untuk dijadikan landasan me-mahami al-Quran. Selain dari faktor utama itu, menurut Ibrahim Khalifah, setidaknya ada tujuh faktor lain yang melaatarbelakangi lahirnya infiltrasi pemikiran dalam tafsir. Pertama, pemahaman salah yang lahir dari seseorang yang belum memenuhi syarat-syarat berijtihad. Kedua, menggunakan pen-

alaran akal bukan pada tempatnya, dengan menafikan mak-na dhahir suatu ayat menuju makna lain yang dipaksakan. Ketiga, berpikiran tekstualis dengan menghilangkan peran akal dalam memahami suatu ayat. Keempat, terlalu ekstrim dalam menggunakan akal (tafalsuf) saat memahami al-Quran, sehingga menjauhkan maknanya dari apa yang dikandung secara dhahir. Kelima, terlalu menggebu-gebu dalam me-mahami susunan kalimat dalam suatu ayat, sehingga me-lahirkan pemikiran-pemikiran „baru‟ yang terasa dipaksakan terhadap al-Quran. Keenam, terlalu semangat dalam me-mahami nilai-nilai kemukjizatan al-Quran, seperti yang banyak terjadi dalam penafsiran-penafsiran saintifik yang sekarang banyak berkembang. Dan ketujuh, niat busuk untuk menghancurkan Islam dan berpaling dari ayat-ayat al-Quran.

Sumber-sumber otoritatif dalam menafsirkan al-Quran

Sebagai antonim dari kata “al-dakhîl”, dalam ranah keilmuan tafsir ada istilah “al-ashîl”, yaitu sumber-sumber otoritatif yang disepakati oleh para ulama dalam menafsir-kan al-Quran. Karena dakhil terdiri dari riwâyah dan dirâyah (pemikiran atau ijtihad), maka ashil pun terbagi menjadi dua, yaitu ashil riwayah dan ashil dirayah.

B U L E T I N I Q R A ’ , E D I S I I I , N O V E M B E R 2 0 1 2

Secara riwayah, setidaknya ada empat sumber yang dianggap otoritatif dalam menafsirkan al-Quran. Pertama, menafsirkan al-Quran dengan al-Quran; kedua, menafsirkan al-Quran dengan Sunnah; ketiga, penafsiran al-Quran dengan perkataan Sahabat; dan keempat, menafsirkan al-Quran dengan perkataan Tabiin. Meski sebagian ulama mempermasalahkan sumber terakhir ini, namun menurut penulis, perkataan para Tabiin dapat dijadikan sumber penafsiran al-Quran karena Tabiin hidup sezaman dengan para Sahabat, sehingga mereka banyak mewarisi keilmuan mereka (Sahabat). Selain itu, masa Tabi‟in merupakan salah satu generasi unggul yang ditahbiskan oleh Rasulullah ketika bersbda, “Sebaik-baik masa adalah masaku, kemudian masa yang datang setelahnya (masa Sahabat), kemudian masa yang datang setelahnya lagi (masa Tabi‟in).”

Tidak terbatas pada metode riwâyah, Islam juga mengakui otoritas akal dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran. Al-Qur‟an membuka peluang bagi akal untuk dapat berijtihad dalam memahami kandungan ayat-ayatnya. Namun, untuk diperbolehkan menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan ijtihad, seseorang diwajibkan untuk memenuhi beberapa syarat, seperti harus berakidah yang benar, mengetahui kaidah-kaidah ilmu bahasa Arab, me-mahami teori-teori pengambilan hukum (Ushul Fiqh), dan menguasai ilmu-ilmu Ulumul Quran. Jika penggunaan akal dalam menafsirkan al-Quran dilakukan tanpa syarat-syarat di atas, maka hasil penafsiran tersebut akan digo-longkan sebagai infiltrasi penafsiran (al-dakhîl fi al-tafsîr).

Waspada!

Keistimewaan al-Quran sebagai kitab yang ber-sumber dari Allah -baik dari sisi redaksi maupun maknan-ya- mengharuskan umat Islam untuk menempuh metod-

ologi khusus yang sejalan dengan konsep wahyu dalam Islam. Menurut Henri Shalahuddin, seorang peneliti INSITS yang consern di bidang studi al-Quran, konsep wahyu dalam Islam secara selektif menolak segala metode penafsiran liar yang bertentangan dengan sifat dasar wahyu. Dengan demikian, maka sangat diperlukan kehati-hatian dalam memahami ayat-ayat al-Quran agar seusai dengan maksud yang benar-benar diinginkan oleh Allah SWT.

Jika infiltrasi penafsiran klasik lebih banyak berupa riwayat-riwayat israiliyyat yang bersumber dari riwâyah, untuk saat ini, infiltrasi penafsiran lebih banyak membidik tataran dirâyah. Metode-metode penafsiran liar sedemikian getol dijejalkan di perguruan-perguruan tinggi Islam, sehingga menjadi kurikulum wajib setiap maha-siswanya. Lebih parah dari itu, metode-metode penafsiran klasik yang otoritatif sebagai hasil karya ulama kita, mere-ka singkirkan dengan alasan sudah basi dan ketinggalan zaman.

Memang, kita tidak sepatutunya menolak men-tah-mentah apa yang datang dari luar Islam. Namun sebagai seorang cendekiawan Muslim sejati (real Muslim scholar), kita harus waspada dan kritis dengan pemikiran-pemikiran baru yang banyak dijadikan sebagai senjata untuk menyerang Islam dari dalam. Apalagi, selama ini telah terbukti bahwa infiltrasi asing dalam menafsirkan al-Quran lebih banyak menimbulkan keburukan daripada kebaikan. Toh, tanpa metode-metode impor tersebut, kita sebenarnya sudah sangat cukup dengan metode-metode “hasil karya sendiri” yang lebih otoritatif dan terbukti telah melahirkan kebaikan yang sangat besar. Wallahu a‟lam.

9 N A D H R A H

1 0 U D H A M A

“Selain sebagai pembaharu, al-

Maraghi juga dikenal sebagai seorang mufasir

handal. Terpengaruh

dengan ide-ide gurunya,

Muhammad Abduh, al-Maraghi

mencoba untuk mengkaji al-Quran

dengan pendekatan baru agar

memudahkan pembaca untuk

mencapai maksud yang diinginkan oleh al-Quran. ”

Mufasir Handal, Pembaharu al-Azhar

A lkisah, pada tahun 1945, Raja Faruk yang saat itu berkuasa di Mesir menceraikan istrinya, Ratu Faridah. Usai menc-

eraikannya, Raja Faruk ingin melarang Ratu Faridah untuk menikah lagi dengan orang lain. Untuk mencari legalitas dari Islam, dia pun mencari seorang ulama agar mengeluarkan fatwa pengharaman nikah lagi bagi Ratu Faridah. Dikrimkan-lah segerombolan petugas istana untuk menemui seorang syekh yang ketika itu sedang terbaring di Rumah Sakit Is-kandariyah. Perwakilan istana itu meminta kepada sang syekh untuk mengeluarkan fatwa yang diinginkan oleh Raja Faruk.

Dengan tegas, sang syekh menolak. Dia tidak mau mengeluarkan fatwa apapun tentang masalah ini karena melarang bekas istri untuk menikah lagi adalah perbuatan haram. Akhirnya Raja Faruk pun datang sendiri untuk menemui sang syekh. Dengan berbacai cara, dia mendesak sang syekh untuk mengeluarkan fatwa yang dia inginkan. Namun lagi-lagi, sang Syekh menolak. Dengan lantang dia berka-ta, “Kalau masalah Anda menceraikan istri Anda, saya setuju. Tapi untuk melarang dia menikah dengan orang lain, saya tidak bisa. Sungguh, al-Maraghi tidak akan mau mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah!”

Sang syekh itu adalah Syekh Muhammad Mustafa al-Maraghi. Al-Maraghi lahir pada tahun 1881 di Maraghah, salah satu kawasan di Provinsi Suhag, Mesir. Al-Maraghi lahir dari keluarga yang sangat mencintai ilmu. Bapaknya adalah seorang tokoh terpandang di kampungnya. Sejak kecil, al-Maraghi telah dididik dengan ilmu-ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum lainnya. Melihat kecer-dasan sang anak, dan kemampuannya dalam me-mahami pelajaran yang di atas rata-rata, sang ayah pun mengutusnya untuk belajar di al-Azhar. Di al-

Azhar, al-Maraghi menerima banyak ilmu dari para sesepuh dan ulama-ulama al-Azhar, termasuk dari Imam Muhammad Abduh. Dari Muhammad Abduh, al-Maraghi banyak belajar tentang Tafsir, Akidah, Sastra Arab, dan ide-ide pembaha-ruan keislaman.

Pada tahun 1322, yang bertepatan dengan 26 Mei 1904, di tengah kondisi tubuh yang kurang sehat, al-Maraghi berhasil meraih gelar sarjana (gelar sarjana saat itu setara dengan gelar doktoral saat ini). Saat meraih gelar itu, usia al-Maraghi baru menginjak 24 tahun; usia yang sangat muda bagi seorang azhari untuk mendapat gelar tersebut.

Usai berhasil melangsungkan ujian, di-tunjuk oleh Muhammad Abduh untuk menjadi hakim di Sudan yang saat itu masih masuk bagian Mesir. Selama bertugas di

Sudan, hubungan al-Maraghi dengan Muhammad Abduh masih berjalan sangat erat. Beberapa kali mereka bertukar surat membicarakan problemat-ika-problematika kontemporer yang saat itu sedang berkembang di dunia Islam. Tak lama bertugas di Sudan, al-Maraghi mengundurkan diri karena berselisih dengan pimpinan militer Inggris yang bertugas di sana.

Pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun 1346 H/Mei 1928 M al-Maraghi ditunjuk sebagai syeikh al-Azhar. Saat menerima posisi prestisius ini, al-Margahi berniat untuk melakukan pemba-haruan terhadap al-Azhar, terutama dalam masa-lah sistem pendidikan yang saat itu terbilang ketinggalan zaman. Titik bidik utama al-Maraghi adalah jenjang sarjana yang kemudian ia bagi menjadi tiga kelompok, yaitu Fakultas Syariah Islamiyah, Fakultas Ushuluddin, dan Fakultas Bahasa Arab. Di tengah perjuangannya melakukan pembaharuan di al-Azhar, al-Maraghi menerima tantangan yang sangat berat dari berbagai pihak. Karena merasa kebebasannya untuk mengatur al-Azhar terkekang, al-Maraghi akhirnya mengajukan pengunduran diri pada Oktober 1929.

Namun tak lama setalah mengundurkan diri, masyarakat Mesir melakukan demontrasi ke pemerintah. Karena desakan masyarakat yang begitu kuat, pemerintah akhirnya kembali menujuk al-Maraghi sebagai syekh al-Azhar lima tahun setelah pengunduran dirinya, yaitu pada tahun 1935. Saat menerima posisi syekh al-Azhar untuk yang kedua kalinya ini, Syekh al-Maraghi lebih leluasa melalukan pembaharuan dan gerakan-gerakan peningkatan mutu pendidikan al-Azhar.

Selain sebagai pembaharu, al-Maraghi juga dikenal sebagai seorang mufasir handal. Terpengaruh dengan ide-ide gurunya, Muham-mad Abduh, al-Maraghi mencoba untuk mengkaji al-Quran dengan pendekatan baru agar memu-dahkan pembaca untuk mencapai maksud yang diingnkan oleh al-Quran. Di antara metode yang digunakan al-Maraghi dalam tafsirnya adalah menjauhi istilah-istilah yang membingungkan, sekaligus memperbaharui gaya bahasa ulama-ulama klasik yang susah dipahami oleh masyara-kat kontemporer. Tafsir yang ditulis oleh al-Maraghi ini berjumlah 30 jilid, dengan setiap juz dia jadikan sebagai satu jilid.

Pada tahun 1945, kesehatan al-Maraghi

menurun drastis setelah mendapatkan tekanan

keras dari berbagai pihak, terutama dari pihak

istana yang memintanya untuk mengeluarkan

fatwa larangan menikah bagi Ratu Faridah. Al-

Maraghi akhirnya meninggal dunia dengan mem-

bawa nama harum sebagai seorang mufasir han-

dal dan penggagas pembaharuan di al-Azhar.

B U L E T I N I Q R A ’ , E D I S I P E R D A N A , O K T O B E R 2 0 1 2

Muhammad Musthafa al-Maraghi:

Jauhar Ridloni Marzuq

J ika al-Quran dalam doktrin utama umat Islam adalah kitab segala zaman (kitâb al-zamân kullihi), maka sejatinya nilai-nilai al-Quran disetting agar selalu relevan untuk diterapkan dalam segala tempat dan zaman. Nilai-nilai yang dibawa oleh al-Quran tetap bisa diterap-kan untuk masa sekarang, seperti halnya ia telah berhasil diaplikasikan pada masa kenabi-

an. Dalam kajian Ulumul Quran, ada satu tema yang sampai saat ini masih mengalami

perbedabatan sengit antar ulama, yaitu tema Naskh dan Mansukh. Saking sengitnya perdebatan masalah ini, menurut suatu penelitian ilmiah ditemukan bahwa para ulama tidak pernah mengeluarkan kata sepakat (ijma) dalam masalah ini. Perdebatan itu terus terwariskan hingga saat ini, dan bahkan semakin memanas. Di sinilah, Muhammad Imarah mencoba untuk ikut bermain dalam percaturan ini dengan bukunya “Haqâiq wa al-Syubuhât haula Ma‟na al-Naskh fi al-Qur‟an al-Karîm”.

Dalam kancah pemikiran Islam internasional, nama Muhammad Imarah sudah cukup dikenal oleh para pemerhati pemikiran Islam. Karya cendekiawan kelahiran Kafr al-Syaikh 1931 M ini telah mencapai lebih dari 200 judul, yang sebagian besarnya berbicara tentang pemikiran Islam kontemporer dan biografi tokoh-tokoh pembaharu.

Secara garis besar, dalam buku ini Muhammad Imarah ingin menegaskan bahwa tidak ada satupun ayat al-Quran yang terhapus, baik secara lafal, makna, atau lafal dan makna sekaligus. Istilah naskh yang banyak disebutkan dalam buku-buku ulama klasik tidaklah seperti

apa yang banyak dipahami oleh para ulama kontemporer. Jika naskh saat ini diistilahkan sebagai penghapusan hukum syar‟i dengan hukum syar‟i lainnya yang datang belakangan, para ulama klasik tidak memaksudkan istilah naskh dengan arti demikian. Dengan mengutip banyak pendapat ulama, baik dari para mufassi-run maupun ushuliyyun, Muhammad Imarah menegaskan bahwa naskh bukanlah pengha-pusan hukum yang dikandung oleh ayat-ayat al-Quran, karena hukum itu tetap berlaku sam-pai kapanpun, melainkan penghapusan hukum ayat itu dari keterkaitannya dengan seorang mukallaf (raf‟u ta‟alluq al-hukmi bil al-mukallaf).

Dalam memberikan pandangan ini, Muhammad Imarah mencoba meneliti makna naskh dari sisi etimologi dan terminologi, kemudian dikuatkan dengan argumen-argumen teologis baik dari al-Quran maupun Sunnah. Menurut Imarah, arti naskh secara etimologi sejatinya bermakna menetapkan, bukan menghapuskan. Pendapat ini diambil dari beberapa ulama seperti Abu Muslim al-Asfahani dan Abu Baqa‟. Sementara secara terminologi, Muhammad Imarah menguraikan banyak sekali pendapat para ulama, baik dari ahli Tafsir maupun ahli Ushul Fikih, yang menegaskan bahwa maksud dari terminologi naskh bukanlah menghapuskan makna atau hukum ayat, melainkan menghilangkan ikatan hukum tersebut dari seorang mukallaf dengan sebab yang datang dari mukallaf itu sendiri. Dengan demikian, hukum yang ada dalam al-Quran masih tetap berlaku, selama syarat-

syarat taklîf masih melekat pada diri seorang mukallaf.

Sementara itu terkait surat al-Baqarah 106 yang menjadi argumen para pendukung naskh dijawab oleh Muhammad Imarah dengan mengatakan bahwa kata “âyah” bukan dimaksudkan untuk ayat-ayat al-Quran, melainkan ayat dalam artian muk-jizat kenabian. Pendapat didasarkan pada penelitian banyak ulama bahwa semua kata “âyah” yang disebutkan dalam al-Quran berarti mukjizat, bukan ayat. Selain itu, konteks keterkaitan antara ayat ini dengan ayat sebelum dan sesudahnya juga menegas-kan bahwa yang dimaksud dengan kata “ayah” adalah berbicara tentang mukjizat kenabian. Argumen ini dikuatkan pula dengan penelitian banyak ulama bahwa semua ayat yang dianggap terhapus pada hakikatnya tidak terhapus, melainkan redaksi umum yang dikhususkan dengan ayat lainnya, global yang dirincikan, mutlaq yang dibatasi dengan ayat lain, dan lain sebagainya. Apa yang menjadi jawaban Muhammad Imarah untuk QS al-Baqarah 106 juga menjadi jawaban terhadap argumen para pendukung naskh dalam QS al-Nahl 101.

Pada statemen akhir dalam buku ini, Muhammad Abduh menegaskan bahwa naskh dalam arti penghapusan tidaklah pernah ada dalam al-Quran. Selain dikuatkan dengan argumen linguistik, pendapat ini juga didasarkan pada argumen logis dan teologis berdasarkan ayat-ayat al-Quran itu sendiri. Dengan demikian, menurut Imarah, pan-dangan ini adalah sebuah terobosan yang harus diapresiasi, karena ia menjadi bukti penjagaan Allah terhadap al-Quran, sekaligus upaya untuk membentengi al-Quran dari serangan-serangan “mufasir awam” dan para pembenci Islam.

MENOLAK PENGHAPUSAN AYAT-AYAT AL-QURAN ARI KURNIAWATI

Data Buku: Judul buku: Haqâiq wa al-Syuhubuhât haula Ma’na al-Naskh fi al-Qur’ân

Penulis: DR. Imarah Penerbit: Darussalam Tahun: 2010 M Tebal: 224 halaman

1 1 M A R J A

B U L E T I N I Q R A ’ , E D I S I I I , N O V E M B E R 2 0 1 2

N amanya Akhnas bin Syarik al-Tsaqafi. Dia dikenal sebagai sosok yang selalu berpenampilan menarik dan murah senyum. Akhnas pandai sekali beretorika dan menyusun kata-kata dengan gaya bahasa yang men-

gagumkan, penuh humor, tapi sangat menusuk perasaan. Gayanya yang santai, sesekali diselingi humor-humor kecil dan senyuman yang renyah membuat orang terpikat dan tak ada alasan untuk mencurigainya.

Ketika pasukan Islam terdesak dalam suatu pertempuran, Akhnas dan seorang temannya memanfaatkan momen ini untuk menampakkan kebusukan yang selama ini dia pendam. Kepada kaum Muslimin yang saat itu sedang dalam kondisi terpukul akibat kalah berperang, Akhnas berkata: “Celakalah mereka yang terpe-daya dan terbujuk mengikuti ajaran Muhammad, sehingga mereka terbunuh dan akhirnya mereka tidak bisa hidup tenteram lagi bersama keluarga dan sanak saudaranya.”

Tak lama setelah perkataan itu keluar, Allah pun menurunkan ayat al-Quran yang artinya: “Dan di antara manusia ada orang-orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penentang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari muk-amu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan.” (QS al-Baqarah: 205).

Setelah ayat itu turun, kaum Muslimin pun tahu siapa sebenarnya Akhnas al-Tsaqafi. Tokoh yang satu ini ternyata seorang munafik yang sangat gigih menentang penyebaran ajaran Islam dengan cara mengadu domba sesama kaum Muslimin. Dia sengaja masuk Islam untuk meruntuhkan Islam dari dalam.

Menggunting dalam lipatan

Dalam sejarahnya, musuh yang paling berbahaya bagi Islam adalah kemunafikan. Sejak zaman Rasulullah, telah ada segolongan orang yang hidupnya “mencla-mencle” tidak punya pendirian. Selain Akhnas al-Tsaqafi, tokoh munafik lain yang sangat berbahaya adalah Abdullah bin Ubay bin Salul. Tokoh munafik satu ini sangat getol menghancurkan Islam dengan cara menggunting dalam lipatan. Berkali-kali dia menyebarkan fitnah bohong yang membuat kaum Muslimin terpecah. Tak tanggung-tanggung, istri Rasulullah SAW, Aisyah RA pun dia fitnah dengan menuduhnya berselingkuh dengan Shafwan bin Mu‟aththal usai Perang Bani Musthaliq. Kejadian itu benar-benar membuat kekacauan di Madi-nah, sehingga Allah menurunkan al-Quran untuk menjawabnya.

Pada masa Khulafa Rasyidin, tipu daya kaum Munafik semakin kentara. Karena ulah mereka Islam terpecah menjadi sekte-sekte kecil yang saling mengafirkan sesama. Golongan-golongan itu diadu domba, dipanas-panasi, dan dipertentangkan sehingga terjadilah fitnah yang mengakibatkan terbunuhnya Khalifah Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.

Lebih jauh setelah itu, keruntuhan kekhalifahan Utsmani yang merupakan akhir kehalifahan dalam Islam juga tak lain akibat tipu daya kaum hipokrit ini. Adalah Mustafa Kamal yang menjadi biang kerok di balik bencana paling besar yang diderita oleh kaum Muslimin pada abad ke-20 ini. Dengan masih mengaku Muslim, Mustafa Kemal justru memberangus Islam dari daratan Euro-Asia tersebut. Syiar-syiar Islam dilarang, masjid-masjid dikosongkan, dan adzan diganti dengan bahasa Turki.

Akhnas baru dalam ranah keilmuan

Dalam konteks dunia keilmuan Islam kontemporer, Akhnas-Aknas baru ternyata banyak sekali ditemukan. Dengan kata-kata manis bersulam sutra, seorang yang mengaku Muslim dengan lantang mengatakan bahwa hukum Tuhan itu tidak ada. Menurut

mereka, hukum-hukum yang dianggap sebagai hukum Tuhan pada hakikatnya adalah hukum manusia yang “dituhankan”. Mereka dengan mudah memutarbalikkan ayat-ayat al-Quran untuk menyerang al-Quran itu sendiri. Ya, mereka mengaku Muslim, tapi mereka justru bersekongkol dengan pembenci Islam untuk menghancurkan Islam.

Mereka duduk di kursi-kursi penting pemerintahan dan pos-pos tinggi dalam dunia pendidikan. Ada yang berpangkat rektor universitas Islam; ada yang berlabel profesor Tafsir dan Ulumul Quran; ada yang bergelar guru besar Syariah Islamiyah; dan lain sebagainya. Meski membawa nama Islam dan keilmuan Islam, mereka justru menggerogoti nilai-nilai Islam.

Mereka mengaku wanita Muslimah, namun melarang penggunaan kerudung dan membolehkan lesbian. Kata mereka, menutup kepala adalah kebiasaan masyarakat jahiliyah, sedangkan lesbian adalah gaya hidup masyarakat modern. Mereka mengaku sebagai cendekiawan Muslim, namun menolak penegakan syariat karena dianggap sudah ketinggalan zaman. Mereka mengaku sebagai guru besar dan pemerhati Studi al-Quran, namun mereka berangga-pan bahwa al-Quran adalah hasil rekayasa tim kodifikasi pada masa Utsman, bukan sebagai kalam Tuhan.

Di sinilah, umat Islam dibuat bingung, sementara pembenci Islam dibuat girang tak kepalang. Bagaimana tidak girang, jika mereka (para pembenci Islam) tak perlu repot-repot menyerang, karena mereka mempunyai prajurit dari barisan Islam sendiri. Cukup dengan memberi amplop berisi dolar, mereka bisa duduk manis menonton dari jauh „kurusuhan‟ yang ditimbulkan oleh prajurit-prajurit mereka itu.

Karena sedemikian besar bahaya kaum munafik, maka tak salah jika al-Quran memuat banyak sekali ayat yang membongkar kebusukan hati mererka. Setidaknya, ada empat tipu daya kaum munafik yang diceritakan oleh al-Quran.

Pertama, mereka menggunakan kata-kata indah saat ber-bicara, sehingga orang yang mendengarnya terpesona dan ter-pengaruh. Melalui pengaruh kata-kata dan permainan logika, kaum Muslimin awan akan dengan mudah terpedaya. “Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata, kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar.” (QS al-Munafiqun: 4).

Kedua, kaum munafik sangat mudah bersumpah. Untuk meyakinkan orang lain, mereka tak segan-segan menyebarkan fitnah dengan mengatasnamakan Allah. Dengan cara itu, mereka merasa memperdayai Allah dan kaum Muslimin, tanpa sadar bahwa sebenarn-ya mereka sendirilah yang terpedaya. “Sesungguhnya orang-orang munafik memperdayakan Allah, padahal Allah memperdayakan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan bermalas-malasan. Mereka riya (ingin dilihat) oleh manusia, dan mereka tidaklah mengingat Allah melain-kan sedikit.” (QS. an-Nisaa: 142).

Ketiga, mereka seolah-olah menjadi para pembaharu yang menginginkan kebaikan, padahal sejatinya mereka adalah perusak dan aktor di balik timbulnya banyak kerusakan, terutama kerusakan moral dan intelektual. “Dan apabila dikatakan kepada mereka, janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, mereka berkata: `Sesungguhnya kami sedang membangun'. Ingatlah, bahwa sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang merusak, akan tetapi mereka tidak sadar.” (al-Baqarah: 11–12).

Keempat, mereka suka mengeluarkan kata-kata keji untuk menghina orang Muslim yang taat dengan agamanya. Orang yang ingin mencegah kemungkaran mereka anggap radikal, orang yang mengajak untuk berjihad mereka bilang teroris, orang yang mengajak untuk menegakkan syariat Islam mereka anggap bodoh, berpikiran sempit, jumud, fundamentalis, dan kata-kata serampangan lainnya. “Dan apabila dikatakan kepada mereka, „Berimanlah seperti orang-orang lain beriman‟ mereka berkata, „Apakah kami harus beriman seperti orang-orang bodoh itu beriman?‟ Seseungguhnya mereka itulah orang-orang bodoh tetapi mereka tidak mengetahui.” (QS al-Baqarah: 17).

Kemunafikan Intelektual 1 2 S A L A M

Jauhar Ridloni Marzuq

B U L E T I N I Q R A ’ , E D I S I I I , N O V E M B E R 2 0 1 2