INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG...
Transcript of INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG...
“ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP WALI NIKAH
BAGI ANAK PEREMPUAN HASIL NIKAH HAMIL
( Studi Kasus di KUA Kec. Semarang Tengah Kota Semarang)”
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Program Strata 1 (S-1)
Dalam Ilmu Syai'ah
Oleh : Nama : FATACHUDIN LATIF
NIM / Jurusan : 20101086 / Ahwal Al-Syahsiyah
JURUSAN AHWALUS SYAHSIYAH FAKULTAS SYARI'AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2008
ABSTRAK
Penentuan wali nikah bagi anak perempuan hasil nikah hamil adalah problem
tersendiri dari diperbolehkanya nikah hamil. Ketika wanita hamil karena zina ini
akhirnya menikah dengan laki-laki yang menghamilinya maka masalah berikutnya
adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak yang terlahir dari
perkawinan tersebut adalah seorang gadis. Hal inilah yang kemudian menjadi polemik
antara aturan fiqh dan undang-undang. Polemik ini berawal dari penentuan status anak
yang terlahir dari pernikahan tersebut. Apakah anak ini dinasabkan kepada bapak
ibunya atau hanya kepada ibunya saja. Jika ia dinasabkan kepada bapaknya maka sang
bapak bisa menjadi wali nikah, namun jika tidak maka yang berhak menjadi wali nikah
adalah wali hakim.
Masalahnya adalah ditengah perbedaan antara fiqh dan UUP atau KHI dalam
menentukan status hukum anak akibat nikah hamil kedua orang tuanya, bagaimana
KUA menentukan siapa wali nikahnya jika anak tersebut adalah seorang gadis. Hal
inilah yang menjadi dilema bagi KUA, apakah memilih pendapat fiqh atau UUP/KHI
dalam menentukan wali nikah bagi anak gadis yang lahir akibat peristiwa nikah hamil
kedua orang tuanya.
Problematika diatas, akhirnya menarik penulis untuk melakukan penelitian
bagaimana KUA menetapkan wali nikah bagi anak gadis tersebut. Penelitian ini akan
penulis lakukan di salah satu Kantor Urusan Agama (KUA) di wilayah kota Semarang
yaitu KUA Kec. Semarang Tengah.
Secara umum fokus penelitian ini bertumpu pada praktek Kantor Urusan
Agama (KUA) dalam menentukan wali nikah bagi anak perempuan hasil nikah hamil
kedua orang tuanya. Namun demikian, untuk membatasi ruang lingkup kajian, dari
fokus utama tersebut dirumuskan pokok permasalahan sebagai berikut :1. Bagaimana
KUA (Penghulu) Kec. Semarang Tengah Kota Semarang menentukan wali nikah bagi
anak perempuan hasil nikah hamil kedua orang tuanya ? 2. Apa dasar hukum KUA
(Penghulu) dalam menentukan wali nikah bagi anak perempuan hasil nikah hamil kedua
orang tuanya ?
Hasil penelitian penulis menunjukkan bahwa dalam menyelesaikan kasus
seperti ini, ada dua model/cara yang dikembangkan oleh KUA (penghulu) kota
Semarang, yaitu: (1) Wali nikahnya adalah wali hakim; (2) Wali nikahnya adalah tetap
bapaknya (wali nasab). Menurut penghulu yang memilih aturan fiqh, perkawinan wanita
hamil itu sebenarnya menunjukkan bahwa pembuahan telah terjadi sebelum akad nikah
sebagai sebab kehamilan. Setelah itu terjadilah perkawinan antara wanita dengan pria
yang menghamilinya. Selang beberapa bulan, anak yang dikandung pun lahir. Dengan
kata lain anak itu lahir akibat dari hubungan kedua orang tuanya sebelum adanya akad
perkawinan yang sah. Jika demikian berarti anak tersebut lahir akibat dari perkawinan
yang tidak sah. Oleh karenanya walaupun kemudian orang tuanya menikah secara sah
dan anak tersebut lahir sesudah perkawinan tersebut statusnya tetap dianggap anak tidak
sah. Dengan demikian berarti intisabnya hanya kepada ibunya saja, sehingga suami
ibunya (bapaknya) tidak berhak menjadi wali nikah. Sedangkan bagi para penghulu
yang menggunakan dasar UUP dan KHI, mereka beralasan bahwa jika undang-undang
menganggap sah nikah hamil maka konsekwensinya anak yang dilahirkan pun juga
dianggap sah. Hal ini sesuai dengan UUP No.1/1974 pasal 42 dan KHI pasal 99 . Lebih
lanjut pasal 55 ayat (1) menegaskan bahwa asal-usul seorang anak hanya dapat
dibuktikan dengan Akta kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang
berwenang. Disamping itu UUP dan KHI tidak mengatur batas usia kandungan dalam
penentuan status anak. Oleh karenanya jika konsepsi anak sebagaimana diatur dalam
kitab-kitab fiqh menjadi ukuran dalam menentukan status nasab mestinya UUP dan KHI
memasukkan aturan tersebut dalam pasal-pasalnya, sehingga ada kejelasan hukum
status anak hasil nikah hamil.
Perbedaan pendapat para penghulu (KUA) kota Semarang adalah sebagai
konsekwensi dari ijtihad mereka. Untuk menyelesaikan masalah-masalah perkawinan
yang terjadi dimasyarakat maka dibutuhkan kemampuan para penghulu (KUA) untuk
membuat keputusan serta kemudian mengambil tindakan yang dianggap tepat atau
sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi, yang dilakukan secara bijaksana dan
dengan memperhatikan segala pertimbangan maupun pilihan yang memungkinkan.
Dalam prespektif hukum Islam usaha untuk memecahkan/menemukan masalah hukum
itu di kenal dengan istilah ijtihad.
KATA PENGANTAR
Penentuan wali nikah bagi anak perempuan hasil nikah hamil adalah problem tersendiri dari diperbolehkanya nikah hamil. Ketika wanita hamil karena zina ini akhirnya menikah dengan laki-laki yang menghamilinya maka masalah berikutnya adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak yang terlahir dari perkawinan tersebut adalah seorang gadis. Hal inilah yang kemudian menjadi polemik antara aturan fiqh dan undang-undang. Polemik ini berawal dari penentuan status anak yang terlahir dari pernikahan tersebut. Apakah anak ini dinasabkan kepada bapak ibunya atau hanya kepada ibunya saja. Jika ia dinasabkan kepada bapaknya maka sang bapak bisa menjadi wali nikah, namun jika tidak maka yang berhak menjadi wali nikah adalah wali hakim.
Menurut UUP dan KHI, anak yang terlahir dari pernikahan hamil adalah anak sah karena lahir “dalam” perkawinan yang sah. Jadi secara implisit dapat dipahami, bahwa anak yang lahir dari atau dalam ikatan perkawinan yang sah, baik perkawinan itu darurat, tambelan, penutup malu, tanpa mempertimbangkan tenggang waktu antara akad nikah dan kelahiran si bayi, maka status anaknya adalah sah. Ini membawa implikasi bahwa anak yang “hakikat” nya anak zina, secara formal dianggap sebagai anak sah, selama dapat dibuktikan dengan akte kelahiran dan alat bukti lainya, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Hal ini seperti dijelaskan pada pasal 103 KHI dan pasal 55 UUP. Jika anak tersebut dianggap sah maka ia akan mempunyai hubungan nasab dengan ayahnya sehingga yang berhak menjadi wali nikah dari anak gadis tersebut adalah bapaknya (wali nasab).
Pandangan UUP dan KHI ini tentu saja berbeda dengan pandangan fiqh. Menurut fiqh jika anak gadis tersebut lahirnya kurang dari enam bulan sejak masa perkawinan, maka anak tersebut tidak dapat dihubungkan kekerabatanya dengan bapaknya kendatipun lahir dalam perkawinan yang sah. Ia hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya saja. Oleh karenanya wali nikahnya adalah wali hakim bukan bapaknya (wali nasab).
Masalahnya adalah ditengah perbedaan antara fiqh dan UUP atau KHI dalam menentukan status hukum anak akibat nikah hamil kedua orang tuanya, bagaimana KUA menentukan siapa wali nikahnya jika anak tersebut adalah seorang gadis. Hal inilah yang menjadi dilema bagi KUA, apakah memilih pendapat fiqh atau UUP/KHI dalam menentukan wali nikah bagi anak gadis yang lahir akibat peristiwa nikah hamil kedua orang tuanya.
Problematika diatas, akhirnya menarik penulis untuk melakukan penelitian bagaimana KUA menetapkan wali nikah bagi anak gadis tersebut. Akhirnya tidak lupa penulis ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:
Bapak Prof. Dr. H. Abdul Djamil, MA, selaku Rektor IAIN Walisongo Semarang. Bapak Drs. H. Mukhyidin, MA, selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo
Semarang Bapak Moh. Arifin, S.Ag, M.Hum, selaku pembimbing penulis dalam penulisan
skripsi ini yang telah memberikan arahan dan bimbingan untuk menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah membalas jasa-jasa bapak.
Bapak Drs. H. Achmad Arief Budiman, M.Ag dan Ibu Antin Lathifah, M.Ag, selaku Ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan Ahwal-al-Syakhsiyah Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang
Bapak, Ibu Dosen dan seluruh karyawan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang
Para penghulu dan staff KUA kota Semarang atas kerjasamanya, yang telah membantu penulis dalam memberikan data dan wawancara untuk selesainya skripsi ini.
Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua penulis, Embahku tercinta dan ibuku tercinta, saudara-saudaraku mas Ruchman Bashori, fadhilah, mbak Tri Hidatyati dan adikku Taufiq Ismail
Terima kasih kepada Keluarga Besar mas Muchtasit yang sering memberikan tumpangan untuk berteduh dikala hujan dan panas, mas Imron Jauhari yang membuat aku marah (emosi) sehingga aku jadi semangat menyelesaikan skripsi ini.
Tidak lupa terima kasih kepada sahabat-sahabat pergerakan (PMII) dan teman-teman kampung yang tergabung dalam REMUNA. Dan tiada pernah terlupakan ucapan terima kasih kepada teman-teman yang tidak bisa penulis sebut satu persatu.
Moh. Arifin, S.Ag, M.Hum Perum Griya Lestari B. 3/12 Ngaliyan Semarang Phone (024) 8663784 – 081325669491
Nota Pembimbing Semarang, 16 Januari 2008 Lamp : 5 (lima) lembar Kepada Yth. Hal : Naskah Skripsi Dekan Fakultas Syari’ah a.n. Fatachudin Latif di Semarang
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, maka bersama
ini kami kirimkan naskah skripsi saudara:
Nama : FATACHUDIN LATIF
NIM / Jurusan : 20101086 / Ahwal Al-Syahsiyah
Judul :
“ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP WALI NIKAH
BAGI ANAK PEREMPUAN HASIL NIKAH HAMIL
( Studi Kasus di KUA Kec. Semarang Tengah Kota Semarang)”
Dengan ini saya mohon agar kiranya skripsi saudara tersebut dapat segera
dimunaqasahkan.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Pembimbing
Moh. Arifin, S.Ag, M.Hum NIP. 15027116
PERSEMBAHAN
Skripsi ini aku persembahkan buat:
Embahku tercinta
Ibuku tercinta
Mas Ruchman Basahori
Mbak Tri Hidayati
Fadhilah & Taufik Ismail
Shahabat Pergerakan & Teman-teman REMUNA
MOTTO
Memilih satu pendapat dari madzhab-madzhab hukum
yang ada kemudian mentarjihnya adalah sudah merupakan
ijtihad walaupun itu kecil (Qodri. A. Azizi: 2003:17)
DEKLARASI
Dengan Penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa
Skripsi yang berjudul: “ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP WALI NIKAH
BAGI ANAK PEREMPUAN HASIL NIKAH HAMIL (Studi Kasus di KUA Kec.
Semarang Tengah Kota Semarang)”.
tidak berisi materi yang telah pernah ditulis orang lain atau pernah diterbitkan , kecuali
informasi ilmiah yang dijadikan refrensi.
Semarang, 16 Januari 2008
Fatachudin Latif
PENGESAHAN Skripsi Saudara : FATACHUDIN LATIF NIM : 2101 086 Jurusan : Ahwal al-Syahsiyyah Judul :
“ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP WALI NIKAH
BAGI ANAK PEREMPUAN HASIL NIKAH HAMIL
(Studi Kasus di KUA Kec. Semarang Tengah Kota Semarang)”
Telah dimunaqasyahkan pada Dewan Penguji Fakultas Syari'ah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, dan dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude / baik / cukup, pada tanggal:
29 Januari 2008
Dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) tahun akademik 2007/2008.
Semarang, Februari 2008 Ketua Sidang, Sekretaris Sidang, Drs. H. Muhyiddin, M.Ag. Moh. Arifin, S.Ag. M.Hum. NIP. 150 263 040 NIP. 150 279 720 Penguji I, Penguji II, Drs. H. Nur Khoirin Yd, M. Ag. Drs. Maksun, M.Ag. NIP. 150 254 254 NIP. 150 263 040 Pembimbing I, Moh. Arifin, S.Ag. M.Hum. NIP. 150 279 720
DEPARTEMEN AGAMA RI INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
WALISONGO FAKULTAS SYARI'AH
Jl. Prof. Dr. Hamka Km. 02 Telp. (024) 7601291 Semarang 50185
TRANSLITERASI
,d ض , ا
,t ط b ب
,z ظ t ت
‘ ع th ث
gh غ j ج
f ف ,h ح
q ق kh خ
k ك d د
l ل dh ذ
m م r ر
n ن z ز
w و s س
h ه sh ش
y ي ,s ص
Untuk Mad dan Diftong
ā ا........
..... ā
_...... ī
......... ū
ī ي
Aw ؤ
h ة
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ………………………………………………………… i
NOTA PEMBIMBING ……………………………………………………… ii
PENGESAHAN ……………………………………………………………… iii
HALAMAN ABSTRAKSI ………………………………………………….. iv
KATA PENGANTAR ...…………………………………………………….. vii
MOTTO……………………………………………………………………… ix
DAFTAR ISI ..………………………………………………………………. x
PEDOMAN TRANSLITERASI .…………………………………………… xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ………………………………… 1
B. Rumusan Masalah ………………………………………. 12
C. Tujuan Penelitian ……………………………………….. 13
D. Telaah Pustaka ………………………………………….. 13
E. Metode Penelitian ………………………………………. 16
F. Sistematika Penulisan …………………………………… 18
BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG WALI NIKAH DAN NIKAH HAMIL
A. Wali nikah dalam perkawinan .......................................... 20
1. Pengertian Wali Nikah ................................................ 21
2. Dasar Hukum Wali Nikah .......................................... 21
3. Syarat dan Macam Wali Nikah .................................. 29
B. Nikah hamil ...................................................................... 35
1. Pengertian Nikah Hamil .............................................. 35
2. Pandangan Ulama’ Terhadap Nikah Hamil ................ 35
3. Nikah Hamil Dalam Perspektif KHI............................ 41
BAB III PENENTUAN WALI NIKAH BAGI ANAK PEREMPUAN HASIL NIKAH HAMIL DI KUA KEC. SEMARANG TENGAH KOTA SEMARANG A. Peristiwa Nikah Hamil di Kec. Semarang Tengah
Kota Semarang ........................................................................ 43
1. Peristiwa Nikah dan Profile Penghulu Kota Semarang 43
2. Peristiwa Nikah Hamil di Kec, Semarang Tengah
Kota Semarang .................................................................. 48
B. Penentuan Wali Nikah Bagi Anak Perempuan Hasil Nikah Hamil Di KUA Kec. Semarang Tengah Kota Semarang ................. 53
BAB IV ANALISIS PENENTUAN WALI NIKAH
BAGI ANAK PEREMPUAN HASIL NIKAH HAMIL DI KUA KEC. SEMARANG TENGAH KOTA SEMARANG
A. Analisis Penentuan Wali Nikah Bagi Anak Perempuan Hasil Nikah Hamil di KUA Kec. Semarang Tengah Kota Semarang ..................................................................... 60
B. Analisis Metode Penentuan Wali Nikah Bagi Anak Perempuan
Hasil Nikah Hamil di KUA Kec. Semarang Tengah Kota Semarang .................................................................... 67
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................. 74
B. Saran-saran ............................................................................. 75
C. Penutup .................................................................................. 76
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi
calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya. Walaupun menurut imam
Hanafi perkawinan tanpa wali adalah boleh1, namun mayoritas ulama’ (jumhur) tetap
menjadikan wali nikah sebagai syarat sahnya perkawinan.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), wali nikah diatur pada pasal 19,20,
21,22,dan 23. Pasal 19 menjelaskan:
“Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya”. Sedangkan Undang-undang Perkawinan tidak mengatur tentang wali nikah
secara eksplisit. Hanya dalam pasal 26 ayat (1) dinyatakan:
“Perkawinan yang dilangsungkan di muka Pegawai Pencatat Nikah yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah, atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalanya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami isteri, jaksa, dan suami atau isteri”.
Secara implisit bunyi pasal 26 ayat (1) di atas mengisyaratkan dengan jelas bahwa
perkawinan yang tidak diikuti wali, maka perkawinanya batal atau dapat dibatalkan.
1 Dalam kitab al-Mabsuth ditulis, menurut Abu Hanifah, perkawinan tanpa wali (menikahkan diri
sendiri), atau meminta orang lain di luar wali nasab untuk menikahkan gadis atau janda, sekufu atau tidak, adalah boleh. Hanya saja, kalau tidak sekufu, wali berhak membatalkanya. Sementara menurut Muhammad bin al-Hasan as-Saibani, murid dekat Abu Hanifah, status perkawinanya boleh kalau sekufu dan tidak boleh kalau tidak sekufu. Sedang menurut Abu Yusuf, murid dekat lain, pada awalnya berpendapat tidak boleh secara mutlak kalau masih mempunyai wali, kemudian berkembang, boleh kalau sekufu. Kemudian berkembang lagi, boleh secara mutlak, sekufu atau tidak. Syams al-Din al-Sarakhsi, al-Mabsuth, Beirut, Dar al-Ma’rufah, juz V,1989,hlm. 10.
2
Selanjutnya, wali nikah dibedakan menjadi dua macam: Pertama, wali nasab
yaitu wali yang hak perwalianya didasarkan karena adanya hubungan darah. Kedua,
wali hakim, yaitu wali yang hak perwalianya timbul, karena orang tua mempelai
perempuan menolak (‘adal), atau tidak ada, atau karena sebab lain. Dalam hal ini KHI
merincinya dalam pasal 21, 22 dan 23.
Secarah keseluruhan urutan wali nasab adalah sebagai berikut:
1. Ayah kandung
2. Kakek (dari garis ayah) dan seterusnya keatas dalam garis laki-laki
3. Saudara laki-laki sekandung
4. Saudara laki-laki seayah
5. Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
6. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
7. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
8. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah
9. Saudara laki-laki ayah sekandung (paman)
10. Saudara laki-laki ayah seayah (paman seayah)
11. Anak laki-laki paman sekandung
12. Anak laki-laki paman seayah
13. Saudara laki-laki kakek sekandung
14. Anak laki-laki saudara laki-laki kakek sekandung
15. Anak laki-laki saudara laki-laki kakek seayah 2
Apabila wali-wali tersebut tidak ada, maka hak perwalian pindah kepada
Kepala Negara (Sultan) yang biasa disebut dengan wali hakim. Hal ini sebagaimana
ditegaskan dalam pasal 23 KHI:
2 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Rajawali press, 1998, hlm. 87
3
1. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirinya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adhal atau enggan
2. Dalam hal wali adhal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut.3
Dalam penentuan wali nasab maka hal yang terpenting adalah menentukan
asal-usul anak. Penetapan asal usul anak dalam prespektif hukum Islam memiliki arti
yang sangat penting, karena dengan penetapan itulah dapat diketahui hubungan mahram
(nasab) antara anak dan ayahnya. Dalam prespektif hukum perkawinan, penetapan ini
juga membawa beberapa konsekwensi hukum, seperti wali nikah dan siapa yang boleh
dan tidak boleh dinikahi.
Seorang anak dapat dikatakan sah memiliki hubungan nasab dengan ayahnya
jika terlahir dari perkawinan yang sah. Sebaliknya anak yang lahir di luar perkawinan
yang sah, tidak dapat disebut dengan anak yang sah, atau biasa disebut dengan anak zina
atau anak di luar perkawinan yang sah dan ia hanya memiliki nasab dengan ibunya.
Kendatipun pada hakikatnya setiap anak yang lahir berasal dari sperma seorang laki-laki
dan sejatinya harus menjadi ayahnya, namun hukum Islam memberikan ketentuan lain.
Dalam prespektif fiqh, asal-usul seorang anak (nasab) dapat diketahui dari
salah satu diantara tiga sebab, yaitu: (1) dengan cara al-firasy, yaitu berdasarkan
kelahiran karena adanya perkawinan yang sah; (2) dengan cara iqrar, yaitu pengakuan
yang dilakukan seseorang terhadap seorang anak dengan menyatakan bahwa anak
tersebut adalah anaknya; (3) dengan cara bayyinah, yakni dengan cara pembuktian
dengan berdasarkan bukti-bukti yang sah.
3 Departemen RI, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta, Direktorat Jendral Bimas Islam dan
Penyelenggaraan Haji, 2004, hlm. 136.
4
Ada empat syarat supaya nasab anak itu dianggap sah, yaitu: (1) kehamilan
bagi seorang isteri bukan hal yang mustahil, artinya normal dan wajar untuk hamil.
Namun, Imam Hanafi tidak mensyaratkan seperti itu, menurutnya meskipun suami isteri
tidak melakukan hubungan seksual, apabila anak lahir dari seorang isteri yang dikawini
secara sah, maka anak tersebut adalah anak sah; (2) tenggang waktu kelahiran dengan
pelaksanaan perkawinan sedikitnya enam bulan sejak perkawinan dilaksanakan;
(3) anak yang lahir itu terjadi dalam waktu kurang dari masa sepanjang kehamilan;
(4) suami tidak mengingkari anak tersebut melalui lembaga li’an. Jika seorang laki-laki
ragu tentang batas minimal tidak terpenuhi dalam masalah kehamilan atau batas
maksimal kehamilan terlampui, maka ada alasan bagi suami untuk mengingkari anak
yang dikandung oleh isterinya dengan cara li’an.4
Berkenaan dengan batas minimal masa kehamilan, jumhur ulama’ telah
menetapkanya selama enam bulan. Dasarnya adalah firman Allah surah al-Ahqaf:15
ه آرها ووضعته آرهاووصينا الإنسان بوالديه إحسانا حملته أم
..... ثلاثون شهرا وحمله وفصالهArtinya: “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan”
Selanjutnya di dalam surah Luqman:14, Allah SWT berfirman:
على وهن وفصاله في عامين أن ووصينا الإنسان بوالديه حملته أمه وهنا
اشكر لي ولوالديك إلي المصير
4 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta, Kencana, 2006,
hlm.79
5
Artinya: “Dan kami perintahkan kepada manusia terhadap dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah dan bertambah lemah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu”
Dalam surah al-Ahqaf:15 dijelaskan secara kumulatif, jumlah mengandung
dan menyapih yaitu tiga puluh (30) bulan. Sedangkan dalam surah Luqman dijelaskan
batas maksimal menyapih adalah dua tahun (24) bulan. Jadi masa hamil yang paling
sedikit adalah 30 bulan dikurangi 24 bulan sama dengan enam (6) bulan.5
Menurut Ahmad Rofiq, informasi ini diberikan oleh Ibn Abbas dan disepakati
oleh para ulama’ yang diperoleh dengan menangkap dalil isyarah al-Qur’an.6 Bahkan
Wahbah al-Zuhaili menyebutnya sebagai satu bentuk pengambilan hukum yang shahih.
Pandangan fiqh berkenaan dengan anak sah ini daptlah dipahami bahwa anak
dimulai sejak terjadinya konsepsi atau pembuahan sel telur (ovum) oleh sperma yang
terjadi pada rahim wanita calon ibu dan konsepsi ini haruslah terjadi didalam
perkawinan yang sah. Dari sinilah penetapan anak sah tersebut dilakukan.
Dengan demikian fiqh menegaskan bahwa seorang anak supaya dapat
dianggap sebagai anak yang sah dari suami ibunya, anak itu harus lahir sekurang-
kurangnya enam bulan sesudah pernikahan atau didalam tenggang ‘iddah selama empat
bulan sepuluh hari sesudah perkawinan terputus. Oleh karenanya, apabila bayi lahir
kurang dari enam bulan sejak masa perkawinan, maka anak tersebut tidak dapat
5 Lihat lebih lanjut, Fathurrahman Djamil, “Pengakuan Anak Luar Nikah dan Akibat Hukumnya”,
Problematika Hukum Islam Kontemporer, Chuzaimah T Yanggo dan Hafiz AZ, Jakarta, Firdaus,1999, hlm.104
6 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Rajawali press, 1998, hlm. 224.
6
dihubungkan kekerabatanya dengan bapaknya kendatipun lahir dalam perkawinan yang
sah. Ia hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya saja.7
Dalam UUP No.1/1974, masalah anak sah diantaranya diatur pada pasal 42,43
dan 44. Sebagaimana tercantum di bawah ini:
Pasal 42
“Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah” Masalah penetapan status anak/asal-usul anak ini juga dibahas oleh KHI
seperti dijelaskan pada pasal-pasal sebagai berikut:
Pasal 99:
Anak sah adalah:
a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah b. Hasil pembuahan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan
oleh isteri tersebut Pasal 100:
“Anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya” Jika dicermati materi KHI tentang status anak, terlihat adanya persamaan
dengan UUP dalam merumuskan definisi anak yang sah. Memperhatikakan pasal-pasal
diatas, didalamnya memberi toleransi hukum kepada anak yang lahir dalam perkawinan
yang sah, meskipun jarak antara pernikahan dan kelahiran anak kurang dari batas
minimal usia kandungan sebagaimana dijelaskan oleh fiqh. Jadi selama bayi yang
dikandung tadi lahir pada saat ibunya dalam ikatan perkawinan yang sah, maka anak
tersebut adalah anak sah. Undang-undang tidak mengatur batas minimal usia
kandungan, baik dalam pasal-pasalnya maupun dalam penjelasanya.
7 Al-Syairazi, al-Muhazzab, Beirut, Dar al-Fikr, ttp, Juz II, hlm. 130
7
Pasal 42 UUP dan 99 KHI mengesankan yang menjadi ukuran sah atau
tidaknya seorang anak dilihat pada waktu lahirnya tanpa memperhitungkan kapan
konsepsi terjadi. Pengertian dimana anak sah adalah anak yang lahir “dalam”
perkawinan yang sah ini nampaknya sangat kontroversial. Jelas sekali pengertian ini
tidak menghiraukan terjadinya konsepsi si anak didalam rahim, sebagaimana yang ada
dalam fiqh.
Masalahnya adalah bagaimana dengan anak yang dilahirkan dari pernikahan
hamil kedua orang tuanya. Perkawinan wanita hamil itu sebenarnya menunjukkan
bahwa pembuahan telah terjadi sebelum akad nikah sebagai sebab kehamilan. Setelah
itu terjadilah perkawinan antara wanita dengan pria yang menghamilinya. Selang
beberapa bulan, anak yang dikandung pun lahir.
Dalam prespektif fiqh, masalah nikah hamil/mengawini perempuan hamil
termasuk masalah khilafiyah; ada ulama’ yang membolehkan dan ada pula di antara
ulama’ yang tidak membolehkan. Masing-masing melihat dari titik pandang tertentu dan
alasan-alasan tertentu.
Dari adanya perbedaan pendapat dalam masalah tersebut maka pendapat yang
berkembang sekitar status hukum mengawini perempuan hamil karena zina,
sebagaimana dikutip dari Amir Syarifuddin adalah sebagai berikut:8
1. Abu Hanifah dan muridnya Muhammad berpendapat bahwa mengawini perempuan
hamil karena zina hukumnya adalah boleh; namun si suami tidak boleh menggauli
isterinya itu sampai ia melahirkan anak yang dikandungnya. Dasar kebolehanya
adalah karena tidak ada dalil yang menyatakan haramnya, dasar tidak bolehnya
8 Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad: Isu-isu Penting Hukum Islam Kontemporer di
Indonesia, Jakarta, Ciputat Press, 2002, hlm. 196-197.
8
menggauli perempuan tersebut waktu hamil adalah supaya tidak menumpah air
sperma di tanaman (rahim) orang lain berdasarkan hadis nabi. Pendapat ini dapat
dijumpai dalam kitab Syarah Fath al-Qadir jilid III;241-242.
2. Abu Yusuf dari murid dan pengikut Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak boleh
menikahi perempuan hamil karena zina dan perkawinan yang dilakukan adalah
fasid. Pengarang Syarah Fath al-Qadir mengutip Fatawa Thahiriyah mengatakan
bahwa beda pendapat dikalangan sesama Hanafiyah itu adalah bila yang mengawini
perempuan hamil karena zina adalah orang lain dan bukan laki-laki yang
menyebabkan hamil; sedangkan bila yang mengawini perempuan itu adalah laki-laki
yang menghamilinya, maka kelompok ulama’ ini sepakat menetapkan hukumnya
boleh.
3. Imam Malik sebagaimana terdapat dalam kitab Mazahib al-Arba’ah berpendapat
tidak boleh mengawini perempuan hamil karena zina dan nikah seperti itu adalah
batal. Alasanya ialah bahwa perempuan tersebut harus menjalani masa iddah, namun
tidak dengan melahirkan tetapi dengan tiga kali suci sesudah melahirkan; karena
iddah melahirkan itu adalah bila yang dilahirkan dinasabkan kepada ayahnya
sedangkan anak zina tidak dinasabkan kepada laki-laki yang menyebabkannya
hamil.
4. Imam Syafi’i seperti yang dinukil dalam kitab Mughni al-muhtaj berpendapat bahwa
menikahi perempuan hamil karena zina hukumnya boleh dan boleh pula
menyetubuhinya pada masa hamil itu. Alasanya ialah perbuatan zina itu tidak
menimbulkan hukum haram terhadap yang lain. Kehamilan yang tidak diketahui
nasabnya itu ditangguhkan kepada perbuatan zina yang mendahuluinya. Adanya
9
kewajiban iddah atas perempuan hamil dengan melahirkan, bila anak yang lahir
dapat dinasabkan kepada laki-laki yang menyebabkannya lahir. Anak yang
dikandung karena zina tidak dapat dinasabkan kepada laki-laki yang menyetubuhi
ibunya; oleh karena itu tidak berlaku iddah atas perempuan hamil tersebut. Dengan
demikian perempuan hamil karena zina boleh dikawini.
5. Ahmad ibn Hanbal sebagaimana terdapat dalam kitab al-Mughni berpendapat bahwa
perempuan yang hamil karena zina harus menjalani masa iddah yaitu melahirkan
anak; oleh karena itu tidak boleh dinikahi sebelum anaknya lahir. Alasan yang
dikemukakan oleh Ahmad dan pengikutnya adalah larangan Nabi “menumpahkan
air ditanaman orang lain” dan “larangan menyetubuhi perempuan hamil sampai ia
melahirkan anaknya”.
Dari pandangan para ulama’ tentang status hukum nikah hamil diatas, dapat
diambil kesimpulan seperti dibawah ini:
a. Wanita hamil karena zina boleh dinikahi oleh laki-laki yang menghamili maupun
yang tidak menghamili tanpa harus menunggu kelahiran anak yang dikandung.
b. Boleh dinikahi namun hanya husus oleh laki-laki yang menghamilinya tanpa harus
menunggu kelahiran anaknya.
c. Boleh dinikahi oleh laki-laki yang tidak menghamilinya namun dilarang
berhubungan badan sampai kelahiran anaknya.
d. Tidak boleh dinikahi oleh laki-laki siapapun baik yang mengahamili maupun yang
tidak, sampai menunggu kelahiran anaknya.
e. Tidak boleh dinikahi oleh laki-laki lain yang tidak menghamilinya sampai anaknya
lahir.
10
Dalam kasus nikah hamil seperti diatas, jika yang menikahi wanita hamil
karena zina adalah laki-laki yang menghamilinya, KHI membolehkan untuk
menikahinya seperti dijelaskan pada pasal 53:
1) Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang
menghamilinya
2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan
tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan
perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Berdasarkan penjelasan diatas maka menurut UUP dan KHI, anak yang
terlahir dari pernikahan hamil adalah anak sah karena lahir “dalam” perkawinan yang
sah. Jadi secara implisit dapat dipahami, bahwa anak yang lahir dari atau dalam ikatan
perkawinan yang sah, baik perkawinan itu darurat, tambelan, penutup malu, tanpa
mempertimbangkan tenggang waktu antara akad nikah dan kelahiran si bayi, maka
status anaknya adalah sah. Ini membawa implikasi bahwa anak yang “hakikat” nya anak
zina, secara formal dianggap sebagai anak sah, selama dapat dibuktikan dengan akte
kelahiran dan alat bukti lainya, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Hal ini
seperti dijelaskan pada pasal 103 KHI dan pasal 55 UUP. Jika anak tersebut dianggap
sah maka ia akan mempunyai hubungan nasab dengan ayahnya sehingga yang berhak
menjadi wali nikah dari anak gadis tersebut adalah bapaknya (wali nasab).
Pandangan UUP dan KHI ini tentu saja berbeda dengan pandangan fiqh.
Menurut fiqh jika anak gadis tersebut lahirnya kurang dari enam bulan sejak masa
perkawinan, maka anak tersebut tidak dapat dihubungkan kekerabatanya dengan
11
bapaknya kendatipun lahir dalam perkawinan yang sah. Ia hanya memiliki hubungan
nasab dengan ibunya saja. Oleh karenanya wali nikahnya adalah wali hakim bukan
bapaknya (wali nasab).
Karena wali nikah adalah hal yang sangat penting untuk menentukan sah
tidaknya sebuah perkawinan maka menurut penulis penentuan siapa yang harus menjadi
wali nikah pada gadis yang terlahir dari pernikahan hamil kedua orang tuanya adalah hal
yang sangat penting.
Di Indonesia instatnsi yang mengurusi perkawinan bagi umat Islam adalah
Kantor Urusan Agama (KUA). Pemeriksaan terhadap pihak-pihak yang terkait dalam
perkawinan yang dilakukan oleh KUA dalam hal ini Pegawai Pencatat Nikah (PPN),
menyebabkan perkawinan itu bisa dilaksanakan atau tidak. Kantor Urusan Agama
(KUA) bisa menggagalkan perkawinan dan menolak untuk mencatatnya manakala hasil
pemeriksaanya terhadap pihak-pihak yang terkait dalam perkawinan ditemukan hal-hal
yang tidak sesuai dengan aturan-aturan hukum perkawinan.
Salah satu pemeriksaan yang dilakukan oleh KUA adalah mengenai status wali
dalam hal ini adalah siapa yang berhak menjadi wali nikah gadis yang akan
melangsungkan perkawinan. Hasil pemeriksaan ini nantinya akan digunakan untuk
menetapkan siapa wali nikahnya.
Masalahnya adalah ditengah perbedaan antara fiqh dan UUP atau KHI dalam
menentukan status hukum anak akibat nikah hamil kedua orang tuanya, bagaimana
KUA menentukan siapa wali nikahnya jika anak tersebut adalah seorang gadis. Hal
inilah yang menjadi dilema bagi KUA, apakah memilih pendapat fiqh atau UUP/KHI
12
dalam menentukan wali nikah bagi anak gadis yang lahir akibat peristiwa nikah hamil
kedua orang tuanya.
Problematika diatas, akhirnya menarik penulis untuk melakukan penelitian
bagaimana KUA menetapkan wali nikah bagi anak gadis tersebut. Penelitian ini akan
penulis lakukan di salah satu Kantor Urusan Agama (KUA) di wilayah kota Semarang
yaitu KUA Kec. Semarang Tengah. Selanjutnya penelitian ini penulis tuangkan dalam
bentuk skripsi dengan judul “ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP WALI
NIKAH BAGI ANAK PEREMPUAN HASIL NIKAH HAMIL ( Studi Kasus di
KUA Kec. Semarang Tengah Kota Semarang)”.
B. Rumusan Masalah
Secara umum fokus penelitian ini bertumpu pada praktek Kantor Urusan
Agama (KUA) dalam menentukan wali nikah bagi anak perempuan hasil nikah hamil
kedua orang tuanya. Namun demikian, untuk membatasi ruang lingkup kajian, dari
fokus utama tersebut dirumuskan pokok permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana KUA (Penghulu) Kec. Semarang Tengah Kota Semarang menentukan
wali nikah bagi anak perempuan hasil nikah hamil kedua orang tuanya ?
2. Apa dasar hukum KUA (Penghulu) dalam menentukan wali nikah bagi anak
perempuan hasil nikah hamil kedua orang tuanya ?
C. Tujuan Penelitaian
Selain sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pada Fakultas Syari’ah,
tujuan lain yang hendak dicapai dalam penelitian ini antara lain:
1. Untuk mengetahui wali nikah bagi anak perempuan hasil nikah hamil yang
dicatatkan di KUA Kec. Semarang Tengah Kota Semarang.
13
2. Untuk mengetahui pendapat dan cara KUA (Pegawai Pencatat Nikah/PPN) Kec.
Semarang Tengah Kota Semarang dalam menentukan /menetapkan wali nikah bagi
anak perempuan hasil nikah hamil kedua orang tuanya.
D. Telaah Pustaka
Kajian tentang sekitar problematika nikah hamil dan wali mungkin sudah
banyak dilakukan, baik itu berbentuk buku atau penelitian berbentuk skripsi, tesis
maupun desertasi. Salah satunya adalah penelitian Muhdi yang berjudul; Fenomena
Nikah Hamil, Pasca Sarjana IAIN Walisongo Semarang, 2003 penelitian ini
menjelaskan tentang merebaknya nikah hamil di kecamatan Andong kabupaten Boyolali
pada tahun 2001-2002 yang merupakan hal biasa bagi masyarakat sana. Nikah hamil
adalah merupakan salah satu problem hukum perkawinanan, para ulama’ berbeda
pendapat tentang apakah wanita yang hamil di luar perkawinaan itu diperbolehkan
menikah atau tidak?. Sebagian Ulama’ memperbolehkan menikah dengan orang yang
menghamilinya, namun sebagian yang lain tidak memperbolehkan. Kompilasi Hukum
Islam ( KHI ) pasal 53 mengatur bahwa seorang wanita yang hamil di luar nikah, dapat
dikawinkan dengan pria yang menghamilinya tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran
anaknya. Namum masalahnya tidak berhenti sampai disitu pertanyaan lebih lanjut
adalah bagaimana dengan status hukum anaknya dan bagaimana jika ternyata yang
mengawini adalah bukan laki-laki yang menghamilinya, karena tenyata dilapangan hal
ini banyak terjadi. Dalam hal ini KHI ternyata belum memberikan jalan keluarnya.
Penelitian Muhdi tidak menjelaskan bagaimana pendapat dan penyelesain (ijtihad)
KUA kecamatan Andong terhadap masalah tersebut, ia hanya menjelaskan data-data
nikah hamil dan latarbelakang sosial apa yang melatarbelakanginya.
14
Berbeda dengan penelitian Muhdi, Siti Roichanah Roichanah melakukan
penelitian dengan judul: Problematika Penerapan Pasal 53 Kompilasi Hukum Islam
Dalam Presepsi Kepala KUA Se-Kabupaten Temanggung, Pasca Sarjana IAIN
Walisongo Semarang, 2006. Penelitian ini lebih memfokuskan pada presepsi para
kepala KUA di kab. Temanggung mengenai penerapan pasal 53 KHI tentang nikah
hamil. Dari penelitian ini terungkap bahwa hampir 70 % kepala KUA kab. Temanggung
menggunakan aturan pasal 53 KHI untuk menyelesaikan kasus nikah hamil, 10 %
menolak nikah hamil (tidak mengikuti KHI) dan 20 % lainya dengan terpaksa menerima
nikah hamil dengan terlebih dahulu melakukan penyelidikan yang berkaitan dengan
kondisi wanita hamil tersebut. Jika ternyata wanita hamil tersebut berakhlak tidak baik
atau tuna susila maka beberapa kepala KUA tidak bersedia menikahkan. Namun, jika
wanita baik-baik dan kehamilanya terjadi karena adanya hubungan keterpaksaan maka
pernikahanya akan dilaksanakan selama tidak ada larangan hukum yang menghalangi.
Menurut penulis, penelitian Roichanah hanya sampai pada hukum nikah hamil tetapi
tidak sampai pada konsekwensi hukum yang ditimbulkan dari peristiwa nikah hamil.
Penelitian lain seputar problematika nikah hamil adalah tulisan Rosyidah
dengan judul: Studi Komparatif Tentang Perkawinan Seorang dengan Anak Perempuan
Hasil Perzinaan Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i, Fakultas Syari’ah IAIN
Walisongo Semarang, 2000. Dalam penelitianya Rosyidah mengkaji tentang perbedaan
pendapat antara imam Syafi’i dan imam Hanafi tentang mengawini anak hasil zina.
Menurut imam Syafi’i seorang laki-laki diperbolehkan menikahi anak perempuan dari
hasil perzinaannya dengan wanita lain (ibu si anak). Dengan kata lain anak perempuan
hasil perzinaan boleh dinikahi oleh bapak biologisnya. Imam Syafi’i seperti yang
15
dinukil dalam kitab Mughni al-muhtaj berpendapat bahwa menikahi perempuan hamil
karena zina hukumnya boleh dan boleh pula menyetubuhinya pada masa hamil itu.
Alasanya ialah perbuatan zina itu tidak menimbulkan hukum haram terhadap yang lain.
Kehamilan yang tidak diketahui nasabnya itu ditangguhkan kepada perbuatan zina yang
mendahuluinya. Adanya kewajiban iddah atas perempuan hamil dengan melahirkan,
bila anak yang lahir dapat dinasabkan kepada laki-laki yang menyebabkannya lahir.
Anak yang dikandung karena zina tidak dapat dinasabkan kepada laki-laki yang
menyetubuhi ibunya; oleh karena itu tidak berlaku iddah atas perempuan hamil tersebut.
Dengan demikian perempuan hamil karena zina boleh dikawini.
Penelitian Tazkiyatun Nafisah dengan judul: Analisis hukum Islam Terhadap
Pengulangan Pernikahan Wanita Hamil (Studi Kasus di Kec. Kangkung kab. Kendal),
Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, 2002. Seperti telah dijelaskan pada awal
tulisan ini bahwa para ulama’ berbeda pendapat tentang status nikah hamil. Walaupun
KHI membolehkan untuk menikahinya seperti dijelaskan pada pasal 53 bahwa seorang
wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya,
Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa
menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya, Dengan dilangsungkannya perkawinan pada
saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung
lahir. Namun dalam praktiknya sebagian masyarakat ada yang masih belum menerima
aturan diatas. Oleh karenanya setelah si perempuan yang hamil dinikahi oleh laki-laki
yang menghamilinya maka setelah melahirkan harus dinikahkan kembali (nikah ulang)
Dari hasil telaah pustaka yang bisa penulis lakukan belum ada satu penelitian
yang lebih sepisifik membahas bagaimana Kantor Urusan Agama menetapkan wali
16
nikah bagi anak perempuan yang lahir akibat nikah hamil kedua orang tuanya. Hal
inilah yang membedakan penelitian penulis dengan penelitian-penelitian lain yang telah
penulis sebutkan.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Secara metodologis penelitian ini termasuk dalam lingkup penelitian lapangan
(field research). Oleh karena itu data penelitian ini berdasar pada bahan lapangan yang
ada kaitanya dengan permasalahan yang akan diteliti, yaitu: 1. Siapakah wali nikah bagi
anak perempuan hasil nikah hamil yang dicatatkan di KUA Kec. Semarang Tengah
Kota Semarang; 2. Bagaimana metode/cara Pegawai Pencatat Nikah (PPN) atau
Penghulu KUA kec. Semarang Tengah kota Semarang menentukan wali nikah bagi
anak perempuan hasil nikah hamil kedua orang tuanya. Namun untuk menunjang
penelitian ini , penulis lengkapi juga dengan kajian pustaka (library research).
Penelitian ini juga termasuk dalam jenis penelitian kualitatif. Aplikasi dari
metode kualitatif ini dilakukan pada penelitian ilmu-ilmu sosial dengan langkah-
langkah yaitu merumuskan masalah, mengumpulkan data lapangan, menganalisis data,
merumuskan hasil studi, dan menyusun rekomendasi untuk perbaikan kinerja dalam
bidang ini.9 Oleh karenanya metode kualitatif disini bisa dianggap sebagai prosedur
penelitian yang nantinya bisa menghasilkan data-data diskriptif berupa rangkaian tulisan
dari beberapa orang dan perilaku yang diamati selama mengadakan observasi
dilapangan10.
9 Sudarwan Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif, Bandung : C.V. Pustaka Setia, 2002, hlm 51 10 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, Remaja Rosda Karya, 1991,
hlm. 3
17
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Data kepustakaan (library), yaitu berupa buku, kitab dan tulisan-tulisan lain yang
membahas tentang wali nikah dan nikah hamil.
b. Data lapangan, yaitu data yang penulis dapatkan dari penelitian di lapangan yang
berupa arsip-arsip, hasil wawancara dengan para pegawai pencatat nikah (PPN) di
KUA kec. Semarang Tengah kota Semarang tentang wali nikah bagi anak
perempuan hasil nikah hamil.
3. Metode Pengumpulan data
Penelitian ini penulis lakukan di salah satu Kantor Urusan Agama di wilayah
kota Semarang yaitu KUA Kec. Semarang Tengah. Dalam penelitian ini metode
pengumpulan data dilaksanakan melalui:
a. Wawancara, Tujuan diadakannya wawancara adalah untuk mendapatkan informasi
tentang subyek studi yang seringkali tidak ditemukan secara tertulis dalam literatur
atau sekalipun ada, tidak dilaporkan secara lengkap. Sehingga diperlukan sandaran
informasi berupa pendapat, pengalaman, serta pengetahuan dari individu-individu
yang secara langsung bersentuhan dengan subyek penelitian. Dalam kaitannya
dengan observasi, tujuan wawancara adalah:
1. Mendapatkan informasi yang tidak ditemukan dalam observasi.
2. Mendapatkan garis penghubung (korelasi) antara fakta-fakta guna menyatukan
persepsi hasil data wawancara dengan observasi dilapangan
Adapun pihak-pihak yang diwawancarai dalam penelitian ini adalah kepala KUA
dan penghulu KUA Kec. Semarang Tengah yang penulis jadikan sampel penelitian ini.
18
Disamping itu untuk mendapatkan hasil yang maksimal wawancara juga dilakukan
kepada para penghulu lainya yang bertugas di kota Semarang sebagai pembanding.
b. Dokumentasi, dalam hal ini penulis meneliti arsip-arsip berkas nikah dan register
nikah yang tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA) kec. Semarang Tengah kota
Semarang yang berhubungan dengan nikah hamil dan penentuan wali nikah bagi
anak gadis yang lahir dari peristiwa nikah hamil.
4. Metode Analisis Data.
Metode yang digunakan dalam menganalisa data yang diperoleh adalah
diskriptif, yaitu penelitian yang tujuanya untuk menerangkan apa adanya atau apa yang
telah terjadi sekarang. Hal ini di maksudkan untuk mengeksplorasi dan mengklarifikasi
mengenai suatu fenomena. Jenis penelitian ini tidak sampai mempersoalkan jalinan
hubungan variabel yang ada dan tidak melakukan pengujian hipotesis, bahkan dalam
pengolahan atau analisa data menggunakan analisa yang bersifat diskriptif.11
F. Sistematika Penulisan
Secara garis besar, penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yaitu:
Bab I, merupakan bab pendahuluan, yang terdiri dari latarbelakang masalah,
rumusan masalah, tujuan dan signifikansi penelitian, telaah pustaka, metode penelitian
dan sistematika penulisan
Bab II, bab ini membahas tentang gambaran umum wali nikah dan nikah
hamil sebagai landasan teori. Adapun pembahasanya meliputi: dasar hukum keberadaan
wali dalam perkawinan, macam-macam pembagian wali nikah. Sedangkan pembahasan
11 Sanapiah Faisal, Forma-format Penelitian Sosial, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, Cet. IV,
1999, hlm. 20
19
nikah hamil meliputi: pandangan ulama’ tentang nikah hamil dan pandangan KHI
tentang nikah hamil.
Bab III, dalam bab ini penulis akan memaparkan hasil penelitian tentang
Penentuan KUA kec. Semarang Tengah kota Semarang atas wali nikah bagi anak
perempuan hasil nikah hamil. Yang meliputi pembahasan tentang peristiwa nikah hamil
di kota Semarang secara umum dan hususnya di KUA kec. Semarang Tengah, peristiwa
nikah dan profile penghulu (KUA), Penentuan KUA kec. Semarang Tengah terhadap
wali nikah bagi anak perempuan hasil nikh hamil, metode dan alasan penetapan
tersebut.
Bab IV, bab ini akan membahas tentang analisa terhadap penetapan KUA di
wilayah kota Semarang atas wali nikah bagi anak perempuan hasil nikah hamil kedua
orang tuanya dan analisa terhadap metode istinbath mereka.
Bab V, adalah Penutup yang merupakan jawaban atas rumusan masalah yang
meliputi : kesimpulan, saran-saran, dan penutup.
20
BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG WALI NIKAH DAN NIKAH HAMIL
A. Wali Nikah dalam Perkawinan 1. Pengertian Wali Nikah
Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi
calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya. Walaupun menurut imam
Hanafi perkawinan tanpa wali adalah boleh1, namun mayoritas ulama’ (jumhur) tetap
menjadikan wali nikah sebagai syarat sahnya perkawinan.
2. Dasar Hukum Wali Nikah
Menurut jumhur ulama’ keberadaan wali dalam sebuah perkawinan didasarkan
pada sejumlah nash al-Qur’an dan hadis. Nash al-Qur’an yang digunakan sebagai dalil
adanya wali dalam perkawinan diantaranya adalah al-Baqarah ayat 232, dan al-Nisa’
ayat 25
اجهن إذا تراضوا بينهم إذا طلقتم النساء فبلغن أجلهن فلا تعضلوهن أن ينكحن أزوو
......بالمعروف
Artinya: “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma`ruf”.(QS: 2: 232)
ومن لم يستطع منكم طولا أن ينكح المحصنات المؤمنات فمن ما ملكت أيمانكم من
……انكحوهن بإذن أهلهن فتياتكم المؤمنات والله أعلم بإيمانكم بعضكم من بعض ف
1 Syams ad-Din as-Sarakhsi, al-Mabsuth, Beirut, Dar al-Ma’rufah, juz V,1989,hlm. 10
21
Artinya: “Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka”.(QS: 4: 25) Sementara itu dalil dari hadis Nabi tentang wali nikah yang paling populer ada
tiga yaitu:
قدامة بن أعين حدثنا أبو عبيدة الحداد عن يونس وإسرائيل عن أبي حدثنا محمد بن
نكاح إلا بوليالإسحق عن أبي بردة عن أبي موسى أن النبي صلى الله عليه وسلم قال
2
Artinya: “Muhammad bin Qudamah bin ‘Ayan dan Abu Ubaidah al-Haddad
bercerita kepada kami dari Yunus dan Isroil dari Abu Ishaq dari Abu Burdah dari Abu Musa bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: Tidak sah nikah kecuali dengan wali”
ا سفيان أخبرنا ابن جريج عن سليمان بن موسى عن حدثنا محمد بن آثير أخبرن
أيما امرأة الزهري عن عروة عن عائشة قالت قال رسول الله صلى الله عليه وسلم
ثلاث مرات فإن دخل بها فالمهر لها بما أصاب نكحت بغير إذن مواليها فنكاحها باطل
3 فإن تشاجروا فالسلطان ولي من لا ولي لهمنها
2 Hadis ini diriwayatkan oleh Khamsah dan Ashab al-Sunan dari Abu Musa al-Asy’ari. Lihat Abu
Daud, Sunan Abi Daud, “Kitab al-Nikah”, hadis no.1785, al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, “kitab al-Nikah”, hadis no. 1020, Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, “Kitab al-Nikah”, hadis no.1870, 1871, Ahmad, Musnad Ahmad, “Musnad Kifiyin”, hadis no. 18697, 18911.
3 Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Arbaah kecuali al-Nasai dari ‘Aisyah. Lihat Abu Daud, Sunan Abi Daud, “Kitab al-Nikah”, hadis no.1784, al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, “kitab al-Nikah”, hadis no. 1021, Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, “Kitab al-Nikah”, hadis no.1869, Ahmad, Musnad Ahmad, “Kitab Baqi’ al-Anshar”, hadis no. 23074, 23236, 24162, al-Darimi, Sunan al-Darimi, “Kitab al-Nikah”, hadis no. 2089.
22
Artinya: “Muhammad bin Katsir, Sufyan dan Ibn Juraih menceritakan kepada kami dari Sulaiman bin Musa dari al-Zuhri dari ‘Urwah dari ‘Aisyah bahwa Nabi SAW bersabda: Perempuan mana saja yang menikah tanpa izin walinya maka pernikahanya batal (diulang sampai tiga kali) Apa bila seorang laki-laki mengumpuli perempuan maka perempuan tersebut berhak atas mahar. Apabila wali perempuan tersebut enggan menikahkan maka yang berhak menjadi wali bagi mereka adalah sulthan”
حدثنا جميل بن الحسن العتكي حدثنا محمد بن مروان العقيلي حدثنا هشام بن حسان عن
لا تزوجمحمد بن سيرين عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم
4 المرأة المرأة ولا تزوج المرأة نفسها فإن الزانية هي التي تزوج نفسها Artinya: “Jamil bin Hasan al-‘Ataki, Muhammad bin Marwan al-‘Uqaili dan
Hisyam bin Hasan menceritakan kepada kami dari Muhammad bin Sirrin bahwa Abu Hurairah berkata bahwa Nabi SAW bersabda: Tidak boleh seorang perempuan menikahkan perempuan lain dan juga tidak boleh seorang perempuan menikahkan diri sendirinya. Sesungguhnya perempuan zina adalah seorang perempuan yang menikahkan dirinya sendiri”
Dari ketiga hadis di atas walaupun redaksinya berbeda, namun semua
menunjukkan bahwa keberadaan seorang wali dalam perkawinan adalah mutlak harus
ada. Pernikahan dianggap tidak sah jika tidak ada wali, seorang perempuan yang
menikah tanpa adanya wali maka nikahnya batal dan seorang perempuan tidak sah
menikahkan perempuan lain atau dirinya sendiri. Jika hal itu terjadi maka danggap
mereka telah berzina. Namun demikian, sebagaimana telah disebut pada awal bab
bahwa imam Hanafi tidak menjadikan wali nikah sebagai rukun perkawinan oleh
karenanya perkawinan tanpa wali dianggap sah.
Al-Syarakhsi menjelaskan bahwa menurut Abu Hanifah perkawinan tanpa
wali (menikahkan diri sendiri), atau meminta orang lain di luar wali nasab untuk
4 Hadis ini bersumber dari Abu Hurairah dalam Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, “Kitab al-Nikah,
hadis no. 1872.
23
menikahkan gadis atau janda, sekufu atau tidak, adalah boleh. Hanya saja, kalau tidak
sekufu, wali berhak membatalkanya. Sementara menurut Muhammad bin al-Hasan as-
Saibani, murid dekat Abu Hanifah, status perkawinanya boleh kalau sekufu dan tidak
boleh kalau tidak sekufu. Sedang menurut Abu Yusuf, yang juga merupakan salah satu
murid dekat Abu Hanifah, pada awalnya berpendapat tidak boleh secara mutlak kalau
masih mempunyai wali, kemudian berkembang, boleh kalau sekufu. Kemudian
berkembang lagi, boleh secara mutlak, sekufu atau tidak.5
Lebih lanjut al-Syarakhsi menerangkan bahwa dasar yang membolehkan
perkawinan tanpa wali menurut Abu Hanifah adalah al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Dari
al-Qur’an yaitu al-Baqarah ayat 240, 230 dan 232:
“.........maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal)
membiarkan mereka berbuat yang ma’ruf....”.(QS: 2: 240) “.........hingga dia kawin dengan suami yang lain.......”.(QS: 2: 230) “..........maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi
dengan bakal suaminya.........”.(QS: 2: 232) Ayat-ayat ini disandarkan kepada wanita (hunna), yang berarti akad tersebut
menjadi hak atau kekuasaan mereka. Demikian juga khitab surah al-Baqarah ayat 232
adalah suami-suami, dengan demikian tunjukan ayat ini adalah kalau masa iddah
mantan isterinya sudah habis, mantan suami tidak berhak mencegah mantan isterinya
5 Syams ad-Din as-Sarakhsi, Loc. Cit
24
menikah dengan pria lain.6 Oleh karena itu, ayat ini tidak berhubungan dengan wali,
sebab yang dilarang mempersulit adalah suami-suami.
Adapun dalil Sunnah yang mendukung kebolehan wanita menikah tanpa wali
adalah:
حدثنا سعيد بن منصور وقتيبة بن سعيد قالا حدثنا مالك و حدثنا يحيى بن يحيى حدثك
النبي صلى الله عليه وسلم قال عبد الله بن الفضل عن نافع بن جبير عن ابن عباس أن
7 والبكر تستأذن في نفسها وإذنها صماتها قال نعمالأيم أحق بنفسها من وليها
Artinya: “ Sa’id bin Manshur dan Qutaibah bin Sa’id menceritakan kepada kami dari Malik dan Yahya bin Yahya dari Abdullah bin Fadhal dari Nafi’ bin Jubair dari Ibn Abbas bahwa Nabi SAW bersabda: Wanita yang tidak bersuami (gadis atau janda) berhak atas dirinya sendiri dari walinya dan seorang gadis mengizinkan dirinya dan izinya adalah diamya yang menunjukkan ya (setuju)”
Inti dari hadis di atas adalah الأيم أحق بنفسها من وليها “seorang al-ayyim lebih
berhak kepada dirinya dari pada walinya”. Penyebutan al-ayyim, dalam hadis ini
menurut ahli bahasa adalah “wanita yang tidak mempunyai suami”, baik gadis atau
janda.
بن علي حدثنا عبد الرزاق أخبرنا معمر عن صالح بن آيسان عن نافع بن حدثنا الحسن
جبير بن مطعم عن ابن عباس أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال ليس للولي مع
8 ر واليتيمة تستأمر وصمتها إقرارهاالثيب أم
Artinya: “Hasan bin Ali, Abd. Rozzaq dan Ma’mar menceritakan kepada kami
dari Sholih bin Kasyan dari Nafi’ bin Jubair bin Muth’im dari Ibn Abbas bahwa Rasulullah SAW bersabda: Seorang wali tidak berhak
6 Ibid, hlm. 11-12 7 Hadis ini bersumber dari Abdullah ibn Abbas, dalam Abu Daud, Sunan Abu Daud, “Kitab al-
Nikah”, hadis no.1795, al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, “kitab al-Nikah”, hadis no. 1026, Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, “Kitab al-Nikah”, hadis no.1860, Ahmad, Musnad Ahmad, “Musnad Bani Hasyim”, hadis no. 1790, 2055, Muslim, Sahih Muslim, “Kitab al-Nikah, hadis no. 2545 dan 2546
8 Hadis ini juga bersumber dari ‘Abdullah Ibn Abbas, dalam Abu Daud, Sunan Abu Daud, “Kitab al-Nikah”, hadis no.1796, al-Nasa’i, Sunan al-Nasa’i, “Kitab al-Nikah”, hadis no. 3211.
25
atas seorang janda sedangkan seorang perempuan yatim berhak atas izinya dan diamnya menunjukkan setujunya”
Yang menjadi acuan dari hadis di atas adalah ليس للولي مع الثيب أمر “seorang
wali tidak berhak atas seorang janda”. Dari kedua hadis diatas bagi imam Hanafi
menunjukkan bahwa seorang wanita berhak menikah tanpa adanya wali. Kaitanya
dengan peran wali dan persetujuan gadis dalam perkawinan menurutnya adalah bahwa
persetujuan wanita gadis atau janda harus ada dalam perkawinan. Sebaliknya kalau
mereka menolak, maka akad nikah tidak boleh dilaksanakan, meskipun oleh bapak.9
Berbeda dengan imam Hanafi, imam Malik sebagaimana dikutip oleh Shanun,
mengharuskan izin wali atau wakil terpandang dari keluarga atau hakim untuk akad
nikah. Ketika imam Malik ditanya tentang status perkawinan wanita yang menikahkan
diri sendiri tanpa meminta orang lain untuk menikhkan dirinya, Malik menjawab:
“Perkawinan seperti ini tidak diakui selamanya, dalam kondisi apa pun, bahkan kalau
anaknya sudah lahir sebagai hasil dari perkawinan tersebut, perkawinanya tetap tidak
diakui (tidak sah).10
Meskipun dari keterangan ini belum dapat dipastikan konsep Malik, antara
kehadiran wali dalam perkawinan atau cukup izinya, namun dari keterangan yang sama
dapat dijadikan dasar bahwa Malik tidak membolehkan wanita menikahkan diri sendiri,
baik gadis maupun janda.
Sementara imam Syafi’i berpendapat bahwa kehadiran wali menjadi salah satu
rukun nikah, yang berarti tanpa kehadiran wali ketika melakukan akad nikah
9 Al-Syarakhsi, al-Mabsuth, Juz V, hlm 2 dan 4 10 Sahnun bin Sa’id al-Tanukhi, al-Mudawanah al-Kubra, Beirut, Dar Sadir, Juz III, 1323 H, hlm.
166.
26
perkawinan tidak sah. Bersamaan dengan kewajiban wali dalam perkawinan, wali juga
dilarang mempersulit perkawinan wanita yang ada dibawah perwalianya sepanjang si
wanita mendapat pasangan yang sekufu.11
Dasar keharusan wali, dan sekaligus larangan wali mempersulit, menurut
Syafi’i adalah al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 232, an-Nisa’ ayat 34 dan 25. Dalam
surah al-Baqarah ayat 232, kata yang secara husus menunjukkan larangan mempersulit
sekaligus harus ada persetujuan ridha dari wali adalah فال تعضلوهن . Dengan mencatat
sebab turunya ayat ini, asy-Syafi’i berkesimpulan, ayat ini menunjukkan tiga hal yakini:
(i) keharusan menyelesaikan masa iddah untuk nikah; (ii) larangan wali mempersulit
perkawinan wanita yang ada di bawah perwalianya; dan (iii) harus ada persetujuan
(ridha) wali dalam perkawinan.12
Adapun dasar hadis yang mengharuskan wali dalam perkawinan, sekaligus
sebagai larangan wanita menikahkan dirinya sendiri, menurut as-Syafi’i adalah hadis
yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah , bahwa perkawinan tanpa wali adalah perkawinan yang
tidak sah “أيما امرأة نكحت بغير إذن مواليها فنكاحها باطل”.
Kaitanya dengan kebebasan dan persetujuan wanita (calon isteri) dalam
perkawinan, imam Syafi’i mengklasifikasikan wanita kepada tiga kelompok, yakini: (1)
gadis yang gelum dewasa; (2) gadis dewasa; dan (3) janda. Untuk gadis yang belum
dewasa, seorang bapak boleh menikahkan tanpa seizinya terlebih dahulu, dengan syarat
menguntungkan dan tidak merugikan bagi si anak. Sebaliknya, wali tidak boleh
menikahkan kalau merugikan atau menyusahkan sang anak.
11 Muhammad bin Idris al-Syafi’i, al-Umm, edisi al-Muzani, Juz V, hlm.11. 12 Ibid.
27
Adapun perkawinan anak gadis dewasa, ada hak berimbang antara bapak
(wali) dan anak gadisnya. Adapun perkawinan seorang janda harus ada izin secara tegas
dari yang bersangkutan. Keharusan ini didasarkan pada kasus perkawinan yang ditolak
Nabi karena dikawinkan oleh walinya dengan seorang yang tidak disenangi dan tidak
dimintai persetujuan terlebih dahulu. Ketetapan ini diperkuat dengan hadis lain yaitu
Dengan menyebut lebih berhak pada dirinya “Ahaqqu .”الأيم أحق بنفسها من وليها“
binafsiha” berarti untuk sempurnanya perkawinan harus dengan persetujuanya dan tidak
ada orang lain yang berhak mencegahnya untuk nikah.
Menurut madzhab Hanbali, wali harus ada dalam perkawinan (rukun nikah),
yakni harus hadir ketika melakukan akad nikah. Keharusan ini menurut Ibn Qudamah,
berdasarkan hadis Nabi, bahwa dalam perkawinan harus ada wali. Terhadap hadis yang
dipegangi para ulama’, bahwa yang dipentingkan dalam perkawinan adalah izin wali
bukan kehadiranya, Ibn Qudamah menepis dengan mengatakan bahwa dalil yang
mengharuskan adanya wali bersifat umum, yang berarti berlaku untuk semua.
Sementara hadis yang menyebut hanya butuh izin adalah hadis yang bersifat khusus.
Dalil umum harus didahulukan dari pada dalil khusus. Alasan tambahan, larangan nikah
tanpa wali (perintah harus ada wali) bertujuan menghindari adanya kecenderungan dan
keinginan perempuan kepada pria yang kadang kurang pertimbangan yang matang.
Maka kehadiran wali diharapkan dapat menghindari kecenderungan tersebut.13
Berdasarkan beberapa ayat al-Qur’an: (i) al-Anbiya’ ayat 30, (ii) Ali Imron
ayat 38, Maryam ayat 5, (iv) Ibrahim ayat 39, ditambah sabda Nabi yang
berbunyi انت ومالها البيها bapak adalah orang yang paling berhak menjadi wali
13 Muwaffaqu al-Din Abi Muhammad ‘Abdullah bin Ahmad bin Qudamah (Ibn Qudamah),
al-Mughni wa al-Sharah al-Kabir, Beirut, Dar al-Fikr, Juz VII, 1984, hlm. 338
28
(menikahkan) anak putrinya. Sebab bapak adalah orang yang paling mengenal dan
mengasihi si anak.
Adapun hadis االسلطان ولي من لا ولي له disamping dasar bolehnya posisi wali
nasab diganti wali hakim juga menjadi dalil bolehnya hak wali nikah yang paling dekat
diganti wali yang lebih jauh atau hakim, dengan alasan wali yang lebih dekat
berhalangan atau mempersulit.14 Maksud mempersulit adalah kalau keduanya (calon
mempelai) sudah sekufu dan saling senang, wali tetap-tetap menghalang-halangi, seperti
kasus Ma’qal bin Yasir.15 Selain itu, masuk kelompok mempersulit adalah kalau wali
yang lebih dekat mempunyai tempat tinggal yang jauh sehingga sulit dihubungi, atau
kalau sudah disurati tetapi tidak ada jawaban. Sebaliknya kalau si wanita mendapat
pasangan yang tidak sekufu, larangan wali tidak masuk kelompok mempersulit. Sebab
kalau pasangan tidak sekufu menikah tanpa persetujuan wali, maka wali mempunyai
hak faskh. Sebagai usaha preventif agar jangan terjadi faskh, lebih baik dicegah sejak
awal (sejak dini).
Sementara itu dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), wali nikah diatur pada
pasal 19,20, 21,22,dan 23. Pasal 19 menjelaskan :
“Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya”.
Sedangkan undang-undang perkawinan (UUP) tidak mengatur tentang wali
nikah secara eksplisit. Hanya dalam pasal 26 ayat (1) dinyatakan :
“Perkawinan yang dilangsungkan di muka Pegawai Pencatat Nikah yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah, atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri
14 Ibid, Juz VII, hlm. 368 15 Kasus Ma’qal ini adalah kasus yang menjadi sebab turunya al-Baqarah 323 (ayat larangan bagi
wali mempersulit pernikahan), yang ingin kembali kepada bekas isterinya, tetapi walinya (saudara si wanita) sama sekali menolak, Ibid. hlm 368-369.
29
oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalanya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami isteri, jaksa, dan suami atau isteri”
Jadi secara implisit bunyi pasal di atas mengisyaratkan dengan jelas bahwa
perkawinan yang tidak diikuti wali, maka perkawinanya batal atau dapat dibatalkan.
3. Syarat dan Macam Wali
Karena keberadaan wali nikah merupakan rukun, maka harus dipenuhi
beberapa syarat di antaranya adalah: laki-laki, dewasa (baligh), mempunyai hak
perwalian dan tidak terdapat halangan perwalian.16 Dalam pasal 20 KHI ayat (1)
dirumuskan sebagai berikut: “yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki
yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh”.
Wahbah al-Zuhaili menjelaskan syarat-syarat wali sebagai berikut:17
1. Sempurna keahliyaanya yaitu: baligh, berakal dan merdeka. Oleh karenanya tidak
sah menjadi wali nikah bagi anak kecil, orang gila, lemah akalnya (idiot), orang
pikun dan budak.
2. Adanya persamaan agama antara wali dan calon pengantin putri. Oleh karenanya
jika walinya non muslim maka tidak boleh menjadi wali bagi calon pengantin putri
yang muslim begitu juga sebaliknya. Sebagaimana dijelaskan dalam surah al-Taubah
ayat 71 dan surah al-Anfal ayat 73.
3. Harus laki-laki, syarat ini sebagaimana yang disepakati oleh jumhur ulama’ kecuali
madzhab hanafi. Menurut jumhur perempuan tidak bisa menjadi wali karena ia tidak
berhak menjadi wali atas dirinya sendiri apalagi untuk orang lain. Sedangkan
16 Syarat diatas adalah menurut Jumhur Ulama’ kecuali imam Hanafi yang memperbolehkan
seorang wanita bisa menjadi wali. 17 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiq al-Islami wa Adillatuhu, Juz IX, Mesir, Dar al-Fikr, 1997, hlm. 6700-
6703.
30
menurut madzhab Hanafi, perempuan yang sudah memenuhi syarat yaitu sudah
baligh, aqil maka ia berhak menjadi wali.
4. Harus adil dan pandai yaitu mencarikan suami anak gadisnya yang sekufu dan
maslahah untuk kehidupanya. Kedua syarat tersebut tidak disepakati oleh para
ulama’.
Dalam pelaksanaanya, akad nikah atau ijab dan qobul, penyerahanya
dilakukan oleh wali mempelai perempuan atau yang mewakilinya, dan qobul
(penerimaan) oleh mempelai laki-laki.
Selanjutnya wali nikah dibedakan atas dua macam, pertama, wali nasab yaitu
wali yang hak perwalianya didasarkan karena adanya hubungan darah. Kedua, wali
hakim, yaitu wali yang hak perwalianya timbul, karena orang tua mempelai perempuan
menolak (‘adal), atau tidak ada, atau karena sebab lain. Dalam hal ini KHI merincinya
dalam pasal 21,22 dan 23.
Pasal 21 KHI menjelaskan :
1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita. Pertama,kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya. Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah, dan keturunan laki-laki mereka. Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka.
2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatanya dengan calon mempelai wanita.
3) Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatanya maka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah.
31
4) Apabila dalam satu kelompok derajat kekerabatanya sama yakni sama-sama derajat kandung kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.
Pasal 22 KHI mengatakan:
“Apabila wali nikah yang paling berhak urutanya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah , atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya”.
Secarah keseluruhan urutan wali nasab adalah sebagai berikut:
1. Ayah kandung
2. Kakek (dari garis ayah) dan seterusnya keatas dalam garis laki-laki
3. Saudara laki-laki sekandung
4. Saudara laki-laki seayah
5. Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
6. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
7. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
8. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah
9. Saudara laki-laki ayah sekandung (paman)
10. Saudara laki-laki ayah seayah (paman seayah)
11. Anak laki-laki paman sekandung
12. Anak laki-laki paman seayah
13. Saudara laki-laki kakek sekandung
14. Anak laki-laki saudara laki-laki kakek sekandung
15. Anak laki-laki saudara laki-laki kakek seayah
Apabila wali-wali tersebut tidak ada, maka hak perwalian pindah kepada
Kepala Negara (Sultan) yang biasa disebut dengan wali hakim. Hal ini sebagaimana
ditegaskan dalam pasal 23 KHI:
32
1. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirinya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adhal atau enggan
2. Dalam hal wali adhal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak
sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut
Pertanyaan kemudian adalah siapa yang berhak menjadi wali hakim?.Dalam
hal ini KHI menjelaskan pada pasal 1 huruf b bahwa:
“Wali hakim ialah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah”. KHI memang tidak menyebutkan siapa yang ditunjuk oleh Menteri Agama
untuk bertindak sebagai wali hakim, namun sebelum KHI lahir, telah ada Peraturan
Menteri Agama yang menjelaskan hal ini. Pasal 4 Peraturan Menteri Agama No.2
Tahun 1987 menyebutkan:
1. Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan selaku Pegawai Pencatat Nikah ditunjuk menjadi Wali Hakim dalam wilayahnya untuk menikahkan mempelai wanita sebagai dimaksud pasal 2 ayat (1) peraturan ini
2. Apabila di wilayah ini kecamatan, Kepala Kantor Agama Kecamatan berhalangan atau tidak ada, maka Kepala Seksi Urusan Agama Islam Kabupaten/Kotamadya diberi kuasa untuk atas nama Menteri Agama menunjuk wakil/pembantu Pegawai Pencatat Nikah untuk sementara menjadi Wali Hakim dalam wilayahnya.
Menurut madzhab Syafi’i urut-urutan wali seperti diatas tidak boleh dilanggar.
Artinya tidak dibenarkan seseorang dari mereka bertindak sebagai wali nikah, sementara
masih ada wali yang lebih dekat dalam urut-urutanya. Maka jika seseorang dari mereka
bertindak sebagai wali nikah dengan melanggar urut-urutan itu, nikah tersebut dianggap
tidak sah.
Sebaliknya, menurut madzhab Maliki, urutan wali yang paling berhak seperti
diatas hanya berlaku bagi seorangayah saja. Selain ayah, urutan wali tersebut tidak
33
merupakan hal yang wajib melainkan hanya sebagai anjuran (sunnah). Sehingga
seandainya seorang saudara seayah saja menikahkan adik perempuanya sedangkan
saudaranya sekandung masih ada, maka pernikahan tersebut tetap dianggap sah.
Disamping itu, madzhab Maliki juga menambahkan lagi jumlah para wali
nikah, selain yang disebutkan diatas, dengan “pengasuh” (dalam istilah fiqh disebut
kafil). Karenanya barang siapa mengasuh seorang anak perempuan yang telah
kehilangan kedua orang tua serta keluarganya, lalu ia mengasuhnya dalam waktu yang
cukup lama, seperti seorang ayah kandung kepada anak kandungnya sendiri, dengan
menunjukan kepadanya kasih sayangnya yang penuh, sedemikian sehingga merasa
seperti anaknya sendiri, dan si perempuan juga menganggapnya sebagai ayahnya
sendiri, maka kepadanya dapat diberikan hak perwalian dalam menikahkan si
perempuan tersebut. Bahkan jika yang mengasuhnya itu seorang perempuan sekalipun,
maka ia berhak menjadi walinya dalam pernikahan, meskipun tidak memiliki hak untuk
menikahkan secara langsung, tetapi mewakilkan hal itu kepada seorang laki-laki yang ia
tunjuk.18
Sementara menurut madzhab Hanafi, urutan wali yang paling berhak untuk
menikahkan ataupun mengahalangi pernikahan adalah sama seperti dalam madzhab
Syafi’i. Namun ada perbedaan ketika dalam keadaan para kerabat dekat yang disebut
wali (dari pihak ayah) tersebut tidak ada. Jika menurut madzhab Syafi’i, jika terjadi
kondisi seperti diatas maka kewalianya pindak kepada wali hakim, namun menurut
18 Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’a, Beirut, Dar al-Fikr, Juz IV, hlm. 26
34
madzhab Hanafi, sebelum pindah ke wali hakim masih ada wali lain yaitu para kerabat
terdekat dari pihak ibu si perempuan yang akan menikah.19
Secara berurutan mereka adalah:
1. Ibunya (yakni ibu dari perempuan yang akan menikah)
2. Neneknya (ibu dari ayah, kemudian ibu dari ibu)
3. Anak perempuanya
4. Cucu (anak perempuan dari anak laki-laki)
5. Cucu (anak perempuan dari anak perempuanya)
6. Saudara perempuan seayah seibu
7. Saudara perempuan seayah.
8. Saudara perempuan seibu
9. Kemenakan (anak laki-laki dari saudara perempuanya)
10. Bibi dari pihak ayah (saudara perempuan ayah)
11. Paman dari pihak ibu (saudara laki-laki ibu)
12. Bibi dari pihak ibu (saudara perempuan ibu)
Begitulah seterusnya, yang terdekat hubungan kekerabatanya. Baru setelah
ketiadaan mereka semua, hak perwalian tersebut berpindah kepada hakim. Alasanya
adalah bahwa mereka ini (para kerabat dari pihak ibu) juga sangat berkepentingan
dalam mengupayakan kebahagian dan keharmonisan dalam kehidupan perkawinan
anggota keluarganya, disamping menjaga kehormatan keluarga secara keseluruhan,
serta ikut merasa prihatin apabila salah seorang dari mereka menikah dengan laki-laki
yang tidak kufu.
B. Nikah Hamil
1. Pengertian
19 Ibid. hlm. 27
35
Perkawinan wanita hamil itu sebenarnya menunjukkan bahwa pembuahan
telah terjadi sebelum akad nikah sebagai akibat dari hubungan pra nikah yang
menyebabkan kehamilan. Setelah itu terjadilah perkawinan antara wanita dengan pria
yang menghamilinya atau dengan pria lain. Selang beberapa bulan, anak yang
dikandung pun lahir. Masalahnya adalah bagaimana hukum perkawinan tersebut
2. Pandangan Ulama’ terhadap Nikah Hamil
Dalam prespektif fiqh, masalah nikah hamil/mengawini perempuan hamil
termasuk masalah khilafiyah; ada ulama’ yang membolehkan dan ada pula di antara
ulama’ yang tidak membolehkan. Masing-masing melihat dari titik pandang berbeda
dan alasan-alasan yang berbeda pula.
Perbedaan pendapat dalam masalah ini, berawal dari beda pendapat mereka
tentang apakah persetubuhan dalam bentuk zina itu menyebabkan adanya kewajiban
iddah terhadap perempuan yang berzina atau tidak. Jumhur ulama’ di antaranya
Syafi’iyah berpendapat bahwa persetubuhan dalam bentuk zina tidak menimbulkan
akibat hukum apa-apa sebagaimana yang berlaku dalam persetubuhan dalam bentuk
pernikahan. Akibat hukum itu diantaranya adalah hak nafkah , timbulnya hukum
mushahrah, berlakunya nasab dengan suami. Atas dasar pendapat ini imam Syafi’i
menetapkan bahwa anak tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan laki-laki yang
mezinahi ibunya; dan seandainya ia perempuan boleh saja dikawini oleh laki-laki itu.20
Tidak ada kewajiban iddah bagi perempuan berzina atau dengan kata lain ia tidak
mempunyai iddah.
20 Al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, Juz III, Beirut, Dar al-Fikr, hlm. 175.
36
Golongan Hanafiyah meskipun menetapakan sebagai akibat hukum bagi
perempuan yang berzina seperti hubungan mushaharah, namun dalam hal kewajiban
iddah ia tidak memperlakukan akibat hukum. Hal ini berati bahwa perempuan yang
berzina tidak perlu menjalani iddah sebagaimana yang berlaku terhadap perempuan
yang bercerai dengan suaminya.21
Golongan ulama’ yang mewajibkan iddah atas perempuan yang hamil karena
zina berbeda dalam menetapkan ukuran iddahnya, meskipun untuk perempuan yang
bercerai sudah ada petunjuk yang pasti dalam al-Qur’an yakni sampai melahirkan anak.
Sebagian menetapkannya dengan melahirkan anak sebagaimana yang berlaku terhadap
perempuan yang bercerai dari suaminya. Sebagian lain mengatakan bahwa yang
beriddah dengan melahirkan anak itu hanyalah isteri yang bercerai dari suaminya,
karena anak yang lahir dinasabkan kepada laki-laki yang menceraikanya. Sedangkan
bagi perempuan yang berzina, anak yang dilahirkan tidak dinasabkan kepada laki-laki
yang menghamilinya. Oleh karenanya iddahnya bukan dengan melahirkan anak tetapi
tiga kali suci sesudah melahirkan anak, sebagaimana yang berlaku di kalangan ulama’
Malikiyah.22 Ulama’ mazhab Hanabilah tidak membedakan antara perempuan hamil
karena zina atau bukan dalam hal kewajiban beriddah dengan melahirkan anak yang
dikandungnya.23
Dari adanya perbedaan pendapat dalam masalah tersebut maka pendapat yang
berkembang sekitar status hukum mengawini perempuan hamil karena zina adalah
sebagai berikut:
21 Abi Muhammad Mahmud bin Ahmad al-‘Aini, Al-Bayanah fi al-Syarah al-Hidayah, Beirut, Dar
al-Fikr, Juz III, hlm. 304. 22 Abdurrahman al-Jaziri, Op. Cit. hlm 425 23 Ibid, hlm. 429
37
Abu Hanifah dan muridnya Muhammad berpendapat bahwa mengawini
perempuan hamil karena zina hukumnya adalah boleh; namun si suami tidak boleh
menggauli isterinya itu sampai ia melahirkan anak yang dikandungnya.24 Dasar
kebolehanya adalah karena tidak ada dalil yang menyatakan keharaman menikahinya.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam surah An-Nisa’ ayat 23 dan 24:
حرمت عليكم أمهاتكم وبناتكم وأخواتكم وعماتكم وخالاتكم وبنات الأخ وبنات الأخت
بائبكم اللاتي في وأمهاتكم اللاتي أرضعنكم وأخواتكم من الرضاعة وأمهات نسائكم ور
حجورآم من نسائكم اللاتي دخلتم بهن فإن لم تكونوا دخلتم بهن فلا جناح عليكم وحلائل
قد سلف إن الله آان غفورا أبنائكم الذين من أصلابكم وأن تجمعوا بين الأختين إلا ما
رحيماArtinya: “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang
perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS: 4: 23)
أن والمحصنات من النساء إلا ما ملكت أيمانكم آتاب الله عليكم وأحل لكم ما وراء ذلكم
تبتغوا بأموالكم محصنين غير مسافحين فما استمتعتم به منهن فآتوهن أجورهن فريضة
ولا جناح عليكم فيما تراضيتم به من بعد الفريضة إن الله آان عليما حكيما
24 Abi Muhammad Mahmud bin Ahmad al-‘Aini, Loc. Cit.
38
Artinya: “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu ni`mati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS: 4: 24)
Sedangkan dasar tidak bolehnya menggauli perempuan tersebut waktu hamil
adalah supaya tidak menumpah air sperma di tanaman (rahim) orang lain berdasarkan
hadis nabi bahwa Rasulullah melarang menyirami kebun orang lain yang telah
mempunyai tanaman. Larangan tersebut dapat diartikan sebagai kiasan untuk
menghindari terjadinya percampuran keturunan dalam rahim, sama halnya tidak boleh
menyirami kebun orang lain yang telah mempunyai tanaman.25
Berbeda dengan imam Hanafi, Abu Yusuf (murid dan pengikut Abu Hanifah)
berpendapat bahwa tidak boleh menikahi perempuan hamil karena zina dan perkawinan
yang dilakukan adalah fasid. Pengarang Syarah Fath al-Qadir mengutip Fatawa
Thahiriyah mengatakan bahwa beda pendapat dikalangan sesama Hanafiyah itu adalah
bila yang mengawini perempuan hamil karena zina adalah orang lain dan bukan laki-
laki yang menyebabkan hamil; sedangkan bila yang mengawini perempuan itu adalah
laki-laki yang menghamilinya, maka kelompok ulama’ ini sepakat menetapkan
hukumnya boleh.26
Imam Malik sebagaimana terdapat dalam kitab Mazahib al-Arba’ah
berpendapat tidak boleh mengawini perempuan hamil karena zina dan nikah seperti itu
25 Al-Syaukani, Fath al-Qadir, Beirut: Dar al-Fikr, Juz II, hlm. 241-242 26 Syamuddin al-Syarakhsi, al-Mabsuth, Beirut: Dar al-Fikr, Juz V hlm. 22
39
adalah batal. Alasanya ialah bahwa perempuan tersebut harus menjalani masa iddah,
namun tidak dengan melahirkan tetapi dengan tiga kali suci sesudah melahirkan; karena
iddah melahirkan itu adalah bila yang dilahirkan dinasabkan kepada ayahnya sedangkan
anak zina tidak dinasabkan kepada laki-laki yang menyebabkannya hamil.27
Imam Syafi’i seperti yang dinukil dalam kitab Mughni al-muhtaj berpendapat
bahwa menikahi perempuan hamil karena zina hukumnya boleh dan boleh pula
menyetubuhinya pada masa hamil itu. Alasanya ialah perbuatan zina itu tidak
menimbulkan hukum haram terhadap yang lain. Kehamilan yang tidak diketahui
nasabnya itu ditangguhkan kepada perbuatan zina yang mendahuluinya. Adanya
kewajiban iddah atas perempuan hamil dengan melahirkan, bila anak yang lahir dapat
dinasabkan kepada laki-laki yang menyebabkannya lahir. Anak yang dikandung karena
zina tidak dapat dinasabkan kepada laki-laki yang menyetubuhi ibunya; oleh karena itu
tidak berlaku iddah atas perempuan hamil tersebut. Dengan demikian perempuan hamil
karena zina boleh dikawini.28
Menurut Ahmad ibn Hanbal, sebagaimana dijelaskan oleh Ibn Qudamah 29
berpendapat bahwa wanita yang berzina baik hamil atau tidak dilarang untuk dinikahi
kecuali bila terpenuhi dua syarat:
a. Wanita itu telah habis masa iddahnya, karena baginya berlaku masa tunggu
sebagaimana layaknya iddah wanita yang dicerai atau yang ditinggal mati suami,
yaitu tiga kali haid bagi yang tidak hamil terhitung sejak ia melakukan zina dan
habis iddahnya setelah melahirkan anak bagi yang hamil. Sebelum iddahnya habis ia
27 Abdurrahman al-Jaziri, Op. Cit. hlm 428 28 Al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, Op. Cit, hlm. 178 29 Muwaffaqu al-Din Abi Muhammad ‘Abdullah bin Ahmad bin Qudamah, Op. Cit hlm. 228
40
belum boleh menikah dengan laki-laki manapun. Alasan yang dikemukakan oleh
Ahmad dan pengikutnya adalah larangan Nabi “menumpahkan air ditanaman orang
lain” dan “larangan menyetubuhi perempuan hamil sampai ia melahirkan
anaknya”.30
b. Wanita itu harus bertaubat terlebih dahulu dari perbuatan ma’siat zina. Apabila
belum bertaubat maka tidak boleh dinikahkan dengan laki-laki manapun, meskipun
telah habis masa iddahnya. Bila kedua syarat tersebut telah terpenuhi, maka halal
bagi laki-laki manapun untuk menikahi wanita tersebut, baik laki-laki yang
menghamili atau yang lainya.
Dari pandangan para ulama’ tentang status hukum nikah hamil di atas, dapat
diambil kesimpulan seperti dibawah ini:
a. Wanita hamil karena zina boleh dinikahi oleh laki-laki yang menghamili maupun
yang tidak menghamili tanpa harus menunggu kelahiran anak yang dikandung.
b. Boleh dinikahi namun hanya husus oleh laki-laki yang menghamilinya tanpa harus
menunggu kelahiran anaknya.
c. Boleh dinikahi oleh laki-laki yang tidak menghamilinya namun dilarang
berhubungan badan sampai kelahiran anaknya.
30 Diantara redaksi hadis yang melarang adanya nikah hamil, sebagaiman diriwayatkan oleh Ibn
Majah
لالحوام وطء يعني ] غيره زرع ماءه يسقي فال اآلخر واليوم باهللا يؤمن آان من : [ وسلم عليه اهللا صلى النبي لاق أن [ المسيب بن سعيد وروي عام وهو صحيح ] تضع حتى حامل توطأ ال : [ وسلم عليه اهللا صلى النبي وقول صداقال لها وجعل بينهما ففرق وسلم عليه اهللا صلى النبي إلى ذلك فرفع حبلى وجدها أصابها فلما امرأة تزوج رجال يلم أن يريد لعله : فقال فسطاط باب على مجحا امرأة وسلم عليه اهللا صلى النبي رأى [ و سعيد رواه ] مائة وجلدها
يحل ال وهو يورثه آيف أم له يحل ال وهو يستخدمه آيف قبره معه يدخل لعنا ألعنه أن هممت لقد : قال نعم قالوا بها ملالحوا آسائر نكاحها عليه رمفح غيره من حامل وألنها مسلم أخرجه ] له
41
d. Tidak boleh dinikahi oleh laki-laki siapapun baik yang mengahamili maupun yang
tidak, sampai menunggu kelahiran anaknya.
e. Tidak boleh dinikahi oleh laki-laki lain yang tidak menghamilinya sampai anaknya
lahir.
3. Nikah Hamil dalam perspektif KHI
Mengenai hukum nikah hamil, KHI mengaturnya dalam pasal 53, sebagai
berikut:
1. Seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
2. Perkawinan dengan wanita hamil yang dimaksud pada ayat (1), dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
3. Dengan dilangsungkanya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Kebolehan kawin dengan perempuan hamil menurut ketentuan diatas adalah
terbatas bagi laki-laki yang mengahamilinya. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam
surat al-Nur ayat 3:
ة والزانية لا ينكحها إلا زان أو مشرك وحرم ذلك على الزاني لا ينكح إلا زانية أو مشرآ
المؤمنينArtinya: “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang
berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mu'min”. (QS: 24: 3)
Ayat di atas dapat dipahami bahwa kebolehan kawin dengan perempuan hamil
bagi laki-laki yang mengahmilinya adalah merupakan perkecualian. Karena laki-laki
yang menghamilinya itulah yang tepat menjadi jodoh mereka. Pengidentifikasian
dengan laki-laki musyrik menunjukkan keharaman wanita yang hamil tadi, adalah
isyarat larangan bagi laki-laki baik-baik untuk mengawini mereka (al-Baqarah: 221).
42
Isyarat tersebut dikuatkan lagi dengan kalimat penutup ayat wa hurrima zalika ala
mu’minin. Jadi bagi selain laki-laki yang menghamili perempuan hamil tersebut,
diharamkan untuk menikahinya.
Mengenai sebab turunya ayat tersebut, menurut riwayat Mujahid, Ata’ dan Ibn
Abi Rabah serta Qatadah menyebutkan bahwa “orang-orang Muhajirin tiba di Madinah,
di antara mereka ada orang-orang fakir, tidak memiliki harta dan mata pencaharian, dan
di Madinah terdapat wanita-wanita tuna susila (pelacur) yang menyewakan diri mereka,
mereka pada saat itu termasuk usia subur warga Madinah. Pada tiap-tiap pintunya
seperti papan nama dokter hewan (al-baitar), dimaksudkan agar dikenali bahwa ia
adalah pezina. Tidak ada seorangpun yang masuk kecuali laki-laki pezina dan orang-
orang musyrik. Orang-orang Muhajirin senang terhadap pekerjaan mereka, lalu mereka
berkata: “Kita nikahi mereka hingga Allah menjadikan kita kaya dari mereka”. Mereka
kemudian memohon izin kepada Rasulullah SAW, maka turunlah ayat 3 surat an-Nur di
atas.31
Jelaslah konteks diturunkanya ayat diatas, keharaman menikahi wanita hamil
akibat zina bagi laki-laki yang tidak mengahmilinya, adalah dalam rangka melindungi
nilai dan martabat orang-orang yang beriman. Selain itu, juga untuk mendudukkan
secara sah, mengenai status anak yang lahir akibat zina tersebut. Secara hukum, anak
zina hanya mempunyai hubungan kekerabatan kepada ibunya saja. Seperti juga halnya
anak li’an, yaitu anak yang dinafikan oleh “bapaknya” dengan menuduh ibunya berzina.
31 Al-Nawawi, Marah Labid, al-Tafsir al-Munir li Ma’alim al-Tanzil, Juz 2, Semarang, Usaha Keluarga, tt, hlm. 74.
43
BAB III PENENTUAN WALI NIKAH
BAGI ANAK PEREMPUAN HASIL NIKAH HAMIL DI KUA KEC. SEMARANG TENGAH KOTA SEMARANG
A. Peristiwa Nikah Hamil di Kec. Semarang Tengah Kota Semarang
Sebelum membahas bagaimana penentuan wali nikah bagi anak perempuan
hasil nikah hamil di KUA kec. Semarang Tengah kota Semarang maka perlu kiranya
disampaikan kondisi peristiwa nikah hususnya peristiwa nikah hamil di kota Semarang.
1. Peristiwa Nikah dan Profile Penghulu Kota Semarang
Jumlah penduduk kota Semarang, menurut data statistik yang dikeluarkan oleh
Badan Pusat Statistik (BPS) Pemerintah Kota Semarang tahun 2006-2007, adalah
1.418.324 jiwa, yang tersebar pada 16 Kecamatan. Dari jumlah tersebut, yang beragama
Islam kurang lebih berjumlah 1.177.593 jiwa. Adapun jumlah peristiwa nikah pada
tahun 2007 yang tercatat di 16 Kantor Urusan Agama (KUA) adalah 11.220 peristiwa
nikah dengan perincian seperti dalam tabel dibawah ini
Tabel 1 Banyaknya Peristiwa Nikah, Talak, Cerai & Rujuk
Kota Semarang Tahun 2007
No Kecamatan Nikah Talak Cerai Rujuk 1 Semarang Tengah 414 6 20 - 2 Semarang Utara 1083 16 19 - 3 Semarang Timur 570 2 5 - 4 Semarang Selatan 571 - - - 5 Semarang Barat 1232 - - - 6 Gayamsari 608 2 7 - 7 Candisari 679 - - - 8 Gajahmungkur 395 5 10 1 9 Genuk 687 3 1 -
44
No Kecamatan Nikah Talak Cerai Rujuk 10 Pedurungan 1132 - - - 11 Tembalang 994 4 18 - 12 Banyumanik 854 - - - 13 Gunungpati 545 - - - 14 Mijen 381 18 15 - 15 Ngaliyan 818 6 23 - 16 Tugu 263 2 16 1
Jumlah 11.230 64 134 2 Sumber: Seksi Urusan Agama Islam (Urais) Kantor Dep. Agama Kota Semarang, 2007
Sebelum disahkanya Pengadilan Agama (PA) di samping mengurusi masalah
pernikahan, Kantor Urusan Agama (KUA) juga mengurusi masalah talak, cerai dan
rujuk atau biasa dikenal dengan NTCR. Namun sejak adanya Pengadilan Agama (PA)
masalah talak dan cerai tidak lagi ditangani oleh KUA. Kewenangan atas peristiwa talak
dan cerai selanjutnya ada pada Pengadilan Agama (PA). Posisi KUA dalam urusan talak
dan cerai hanya mendokumentasikan dalam blangko TC setelah mendapatkan kiriman
putusan talak dan cerai dari PA. Setiap terjadi peristiwa talak dan cerai PA akan
mengirimkan putusanya kepada masing-masing KUA yang mengeluarkan Kutipan Akta
Nikah dari pihak-pihak yang berkara di pengadilan. Selanjutnya KUA akan membuat
laporan bulanan yang berisi jumlah peristiwa nikah, talak, cerai dan rujuk (NTCR).
Untuk lebih jelasnya lihat tabel perbandingan jumlah peristiwa Nikah, Talak dan Cerai.
Tabel 2 Perbandingan jumlah Peristiwa Nikah, Talak dan Cerai
Kota Semarang Tahun 2002-2007 No Tahun Jumlah Peristiwa Nikah Jumlah Peristiwa
Talak/Cerai 1 2007 11.230 276 2 2006 10.627 196 3 2005 9.863 98 4 2004 10.264 89 5 2003 7.368 17 6 2002 9.281 Tidak tercantum
Sumber data: Seksi Urusan Agama Islam (Urais) Kantor Dep. Agama Kota Semarang, 2007.
45
Selain urusan nikah dan rujuk (NR) sebagai ujung tombak Departemen
Agama, KUA memiliki tugas yang sangat berat. Hampir semua program kerja Depag
sebagai pelaksananya adalah KUA. Semua program kerja masing-masing bidang/seksi
dalam struktur Depag baik langsung maupun tidak pasti menuntut keterlibatan KUA.
Bidang Urais dengan urusan kepenghuluan, keluarga sakinah, BP4 dan P2A. Bid
Penamas dengan urusan mulai LPTQ/MTQ, kemasjidan/mushalla (BKM)dan Majlis
Ta’lim, Bid. Hazawa dengan urusan zakat, wakaf dan bimbingan manasik haji, Bidang
Pontren dengan TPQ dan madinya. Sedangkan Bidang. Mapenda, walaupun tidak secara
langsung terlibat namun keterkaitan KUA tetap ada karena jika melaksanakan MTQ
tingkat pelajar, secara otomatis akan melibatkan sekolah/madrsah yang ada dalam
wilayah KUA disamping itu PPAI sebagai perwakilan mapenda ngantornya juga di
KUA.
Dalam pelaksanaan hukum perkawinan di Indonesia, eksistensi seorang
penghulu yang bertugas di Kantor Urusan Agama sangatlah penting. Pemeriksaan
terhadap pihak-pihak yang terkait dalam perkawinan yang dilakukan oleh seorang
Penghulu, menyebabkan perkawinan itu bisa dilaksanakan atau tidak. Penghulu bisa
menggagalkan perkawinan dan menolak untuk mencatatnya manakala hasil
pemeriksaanya terhadap pihak-pihak yang terkait dalam perkawinan ditemukan hal-hal
yang tidak sesuai dengan aturan-aturan hukum perkawinan. Karena pentingnya peran
para penghulu di Kantor Urusan Agama maka jabatan penghulu sangat identik dengan
KUA begitu juga sebaliknya.
Sebelum pemberlakuan peraturan baru tentang Jabatan Fungsional Penghulu,
jumlah penghulu kota Semarang adalah 45 orang. Mereka terbagi menjadi dua, yaitu:
46
pertama, penghulu yang sekaligus merangkap sebagai kepala KUA yang dikenal dengan
istilah PPN, jumlahnya ada 16 orang. Kedua, penghulu yang tidak merangkap menjadi
kepala yang dikenal dengan istilah wakil PPN, berjumlah 29 orang. Mereka bertugas di
16 Kantor Urusan Agama, dengan perincian seperti dalam tabel di bawah ini:
Tabel 3
Daftar Profile Penghulu Kota Semarang
NO KUA Kecamatan NAMA PENGHULU PENDIDIKAN KET JML
H. Arwani SP IAIN Kepala/Penghulu M. Taufiq, BA Sarmud 1 Semarang
Tengah Imron Jauhari, S.Ag, M.SI S2 3
H. Samsudin, S.Ag, MH S2 Kepala/Penghulu 2 Semarang Utara Drs. Sugiri S1 3
Suparno Aliyah Kepala/Penghulu 3 Semarang Timur Admin Aliyah 2
Drs. Isnadiyun S1 Kepala/Penghulu 4 Semarang Selatan M. Sholihin, S.Ag S1 2
Drs. H. Usman Effendi S1 Kepala/Penghulu M. Rodhi, SHI S1 5 Semarang
Barat Saefuddin, S.Ag S1 3
H. Agus Salim, S.Ag S1 Kepala/Penghulu H.Sukiyatno, S.PdI S1 6 Gayamsari Mutholif, S.Ag S1
3
Drs. H. Fadlan S1 Kepala/Penghulu 7 Candisari Muhammad Jazuli, BA Sarmud 2
Drs. H. Syamsuri, MH S1 Kepala/Penghulu M. Shobirin Aliyah 8 Gajahmungkur Choirudin Zuhri, SHI S1
3
Drs. Syarif ullah S1 Kepala/Penghulu Mabrur Rohib, S.Ag S1 9 Genuk Abdullah Mukti Aliyah
3
H. Abd. Hamid, S.Ag S1 Kepala/Penghulu Sukma Rukyat S1 10 Pedurungan Fathurrahman, S.Ag S1
3
Drs. H. Labib S1 Kepala/Penghulu Muchtar Aliyah Muslihudin S1 11 Tembalang
Mustaghfirin, S.Ag S1
4
47
NO KUA Kecamatan NAMA PENGHULU PENDIDIKAN KET JML
Drs. Sinwani S1 Kepala/Penghulu Niam Noor SP.IAIN 12 Banyumanik Budi Kuswanto, S.Ag S1
3
Duta Grafika, S.Ag S1 Kepala/Penghulu Muslih PGA 13 Gunungpati Muhramin, S.Ag S1
3
Muadhim, S.Ag S1 Kepala/Penghulu Darodjat, S.Ag S1 14 Ngaliyan Drs. Isnadi S1
3
Drs. Cholid S1 Kepala/Penghulu 15 Mijen Agus Latif, S.Ag S1 2
Darun Hasanah, S.Ag S1 Kepala/Penghulu Slamet Aliyah 16 Tugu Siddaqudin Basya, SHI S1
3
Jumlah 45 Sumber Data: Seksi Urais Kandepag Kota Semarang, 2006.
Setelah peraturan baru tentang penghulu diberlakukan tepatnya pada bulan
Juni 2006, jumlah penghulu kota Semarang yang memenuhi syarat aturan tersebut
adalah 34 orang. Sedangkan jumlah penghulu yang tidak bisa memenuhi aturan Jabatan
Fungsional Penghulu karena belum memiliki jenjang pendidikan S1 adalah 11 orang.
Sesuai dengan Peraturan MENPAN Nomor PER / 62 / M. PAN / 2005,
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Kepala Badan Kepegawaian Nasional (BKN)
Nomor 20 tahun 2005, Nomor 14.A tahun 2005, dan Peraturan Menteri Agama Nomor
31 tahun 2005, duabelas orang penghulu tersebut diatas diberhentikan dengan hormat
dari Jabatan Fungsional Penghulu.
Dari kesebelas penghulu yang tereliminasi itu dua orang diantaranya adalah
menjabat sebagai Kepala KUA Kecamatan. Sesuai dengan peraturan yang ada, maka
bagi kepala KUA yang tidak memenuhi syarat aturan tersebut, tidak dapat di inpassing
kedalam jabatan fungsional penghulu namun tetap menjabat sebagai Kepala KUA
Kecamatan. Sedangkan sembilan penghulu yang tereliminasi lainya ditugaskan kembali
48
menjadi pegawai/ staff pada Kantor Urusan Agama Kecamatan. Di bawah ini daftar
penghulu yang tereliminasi:
Tabel 4
Daftar Penghulu yang tereliminasi
No Nama KUA Kecamatan Ket. 1 M. Taufiq, BA Semarang Tengah Pegawai/Staff 2 Admin Semarang Timur Pegawai/Staff 3 Moch.Arwani Banyumanik Tetap Kepala 4 Suparno Ngaliyan Tetap kepala 5 Mochtar Tembalang Pegawai/Staff 6 Muslih Gunungpati Pegawai/Staff 7 Slamet Tugu Pegawai/Staff 8 Niam Noor Banyumanik Pegawai/Staff 9 Abdullah Mukti Genuk Pegawai/Staff 10 M. Shobirin Gajahmungkur Pegawai/Staff 11 Muhammad Jazuli Candisari Pegawai/Staff
Sumber: Seksi Urais Kandepag Kota Semarang, 2006.
2. Peristiwa Nikah Hamil di KUA Kec. Semarang Tengah Kota Semarang
Kecamatan Semarang Tengah adalah salah satu kecamatan di wilayah kota
Semarang yang terletak di jantung kota Semarang. Wilayahnya mencakup 15 kelurahan
yang terdiri dari 75 Rukun Warga (RW) dan 482 Rukun Tetangga (RW). Jumlah
penduduknya kurang lebih 76.663 jiwa dengan rincian laki-laki 38.078 jiwa dan
perempuan 38.585 jiwa. Sebagian penduduknya beragama Islam dengan rincian umat
Islam sebanyak 48.702 jiwa, Kristen 9.558 jiwa, Katholik 11.393 jiwa, Hindu 1.390
jiwa, Budha 6.835 jiwa, dan lainya 430 jiwa. Didukung pula oleh sarana tempat ibadah
seperti Masjid 33 buah, Langgar 58 buah, Musholla 14 buah, Gereja Kristen 20 buah,
gereja Katholik 1 buah, Wihara 13 buah, Pura 5 buah.
49
Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, Kantor Urusan Agama
(KUA) Kecamatan Semarang Tengah didukung oleh 6 orang personil, terdiri dari 1
orang kepala merangkap penghulu, 2 orang penghulu, 3 orang staff dan 16 pembantu
penghulu.
Selama tahun 2007, peristiwa nikah yang tercatat di Kantor Urusan Agama
(KUA) kec. Semarang Tengah adalah 414 peristiwa. Sedangkan jumlah peristiwa talak-
cerai berjumlah 26 peristiwa. Untuk lebih jelasnya lihat tabel di bawah ini:
Tabel 5 Jumlah Peristiwa Nikah, Talak dan Cerai
Kec. Semarang Tengah Kota Semarang Tahun 2007
Jumlah peristiwa No Kelurahan Nikah Talak Cerai
1 Miroto 26 - 2 2 Brumbungan 21 - 1 3 Jagalan 43 2 - 4 Kranggan 16 - - 5 Gabahan 44 - 1 6 Kembangsari 37 - 3 7 Sekayu 29 - - 8 Pandansari 18 - 3 9 Bangunharjo 20 2 3 10 Kauman 15 - 1 11 Porwodinatan 35 - - 12 Karangkidul 31 1 4 13 Pekunden 16 1 - 14 Pindrikan Kidul 16 - 1 15 Pindrikan Lor 47 - 1
Jumlah 414 6 20 Sumber: Laporan Tahunan (2007) KUA Semarang Tengah
Dari jumlah peristiwa nikah yang tercatat di KUA kec. Semarang Tengah kota
Semarang tidak semuanya berjalan mulus, ada beberapa peristiwa nikah yang pada
awalnya ada kendala-kendala hukum yang membutuhkan kearifan dan kejelian para
penghulu untuk menyelesaikanya. Apalagi pelayanan masyarakat di bidang pernikahan
50
membutuhkan pelayanan yang tepat, cepat dan sesuai dengan aturan hukum yang ada.
Belum lagi tuntutan pelayanan yang harus sesuai dengan kehendak masyarakat dan adat
istiadat yang mereka yakini termasuk masalah waktu pelaksanaan.1
Sejauh ini jumlah data peristiwa nikah hamil di kota Semarang tidak bisa
diketahui secara pasti. Hal ini dikarenakan masing-masing KUA jarang mendata secara
pasti jumlahnya bahkan tidak ada dokumen tertulis yang menyebutkan jumlah peristiwa
nikah hamil. Namun, menurut para penghulu kota Semarang peristiwa nikah hamil
setiap tahun bertambah jumlahnya.2 Hal ini didasarkan pada pengalaman mereka ketika
melakukan pemeriksaan sebelum dilangsungkanya akad nikah.
Ketika melakukan pemeriksaan pra nikah biasanya para penghulu akan
menanyakan sejauh mana hubungan kedua calon pengantin, tentu saja agar tidak
menyinggung perasaan kedua pasangan maka dibutuhkan cara atau trik pertanyaan yang
sifatnya menjebak keduanya. Seperti yang dilakukan Imron Jauhari, seorang penghulu
muda Kec. Semarang Tengah, biasanya pertanyaan yang ia ajukan kepada calon
pengantin putri, ketika akan mengisi status perawan/janda adalah kapan terakhir sang
perempuan ini haid. Biasanya sang perempuan tidak pernah merasa bahwa pertanyaan
ini dalam rangka untuk mengetahui kapan ia terlambat bulan. Jawaban polos dari sang
perempuan ini minimal bisa dipakai dasar bahwa ada sesuatu yang terjadi dengan sang
calon pengantin putri. Bisa saja keterlambatan menstruasi ini disebabkan karena ia
1 Imron Jauhari, Membangun Otoritas Ijtihad Penghulu, Makalah disampaikan pada acara Diskusi
Kajian Hukum Pokja Penghulu Kota Semarang 2007 2 Fenomena banyaknya nikah hamil ini tidak hanya terjadi di kota Semarang namun juga terjadi di
beberapa kota. Sebagai contoh adalah penelitian yang dilakukan Muhdi (2003) di kota Boyolaali Kec. Andong. Penelitian ini menjelaskan tentang merebaknya nikah hamil di kecamatan Andong kabupaten Boyolali pada tahun 2001-2002 yang merupakan hal biasa bagi masyarakat sana. Lihat. Muhdi, Fenomena Nikah Hamil, Tesis Pasca Sarjana IAIN Walisongo Semarang, 2003, hlm 6. Tidak dipublikasikan.
51
sudah isi (hamil) dan bisa juga dikarenakan kebiasaannya terlambat datang bulan. Jika
ternyata sang calon pengantin putri sudah hamil bisanya akan tersipu-sipu malu. Lebih
lanjut, Imron menjalaskan bahwa metode/cara ini mungkin kurang valid, namun hanya
inilah yang bisa dilakukan para penghulu.3
Selanjutnya untuk mengetahui apakah laki-laki yang akan menikahi wanita
tersebut adalah benar-benar yang menghamili atau bukan, maka para penghulu kota
Semarang menggunakan sumpah sebagai alat buktinya.4 Sumpah dilakukan oleh calon
pengantin putra bahwa ia memang benar-benar orang yang menghamili calon pengantin
putri. Menurut mereka, hanya sumpalah yang bisa digunakan sebagai alat meneliti
kebenaran cerita tentang siapa yang menghamili. Walaupun sebenarnya pembuktian
yang paling kuat adalah melalui tes DNA, namun hal ini masih sulit untuk bisa
dilaksanakan.
Setelah positif diketahui bahwa yang akan menikahi adalah laki-laki yang
menghamili sang perempuan maka kebanyakan bahkan hampir semua penghulu kota
Semarang berani/menerima untuk menikahkan perempuan hamil dengan laki-laki yang
menghamilinya.5 Namun, jika yang akan menikahi wanita hamil itu bukan laki-laki
yang menghamilinya maka mereka tidak berani atau menolak untuk menikahkan sampai
3 Wawancara dilakukan pada tanggal 17 Oktober 2007 4 Langkah ini digunakan untuk mengantisipasi penipuan dari calon suami yang berpura-pura
mengaku sebagai laki-laki yang menghamili calon pengantin putri, agar rencana pernikahan mereka tidak ditolak /diterima oleh pihak KUA. Seandainya sumpah calon suami itu bohong maka hal itu adalah urusan mereka dengan Allah. Merekalah yang bertanggung jawab dan menanggung dosa atas sumpah bohongnya.
5 Informasi ini penulis dapatkan dari wawancara dengan H. Syamsudin, (Kepala KUA Semarang Utara) H. Syamsuri (Plt Kepala KUA Semarang Tengah), Muadhim (Kepala KUA Ngaliyan) dan Darun Hasanah (Kepala KUA Tugu)
52
menunggu kelahiran anak tersebut. Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 53 Kompilasi
Hukum Islam (KHI).6
Walaupun, jumlah peristiwa nikah hamil yang terjadi di kota Semarang sulit
diprediksi karena tidak terdokumentasi, namun menurut Drs. H. Syamsuri, MH, selaku
Plt kepala KUA Kec. Semarang Tengah dalam satu tahun kurang lebih 15 sampai 20
peristiwa nikah hamil terjadi di kota Semarang. Bahkan selama bulan Dzulhijah (besar)
tahun 1428 H atau bulan Desember 2007, ia telah menikahkan empat pasang pengantin
yang sudah hamil selama menjadi pejabat pelakasana tugas di KUA kec. Semarang
Tengah.7 Sementara itu menurut Taufiq (penghulu Semarang Tengah), sejak bulan
Januari – Desember 2007, ia telah menikahkan ± 10 wanita hamil, sedangkan Imron
Jauhari ± 6 wanita hamil.8 Jadi jika dijumlah maka selama kurun waktu satu tahun
(2007) peristiwa nikah hamil yang tercatat di KUA Semarang Tengah berjumlah 20
orang.
Pendapat Syamsuri diatas juga diamini oleh beberapa penghulu kota
Semarang, seperti Drs. H. Syamsudin (Kepala KUA Semarang Utara), H. Abd. Hamid
Madyan, S.Ag (Kepala KUA Pedurungan), Muadhim, S.Ag (Kepala KUA Ngaliyan)
dan beberapa penghulu muda seperti Imron Jauhari, M.Ag, Khoirudin Zuhri, SHI dan
6 Berbeda dengan pandangan para penghulu Kota Semarang yang hampir 100% dalam menerapkan
pasal 53 KHI tentang nikah hamil adalah para kepala KUA Kab. Temanggung. Menurut penelitian Roichanah (2006) terungkap bahwa hampir 70 % kepala KUA kab. Temanggung menggunakan aturan pasal 53 KHI untuk menyelesaikan kasus nikah hamil, 10 % menolak nikah hamil (tidak mengikuti KHI) dan 20 % lainya dengan terpaksa menerima nikah hamil dengan terlebih dahulu melakukan penyelidikan yang berkaitan dengan kondisi wanita hamil tersebut. Jika ternyata wanita hamil tersebut berakhlak tidak baik atau tuna susila maka beberapa kepala KUA tidak bersedia menikahkan. Namun, jika wanita baik-baik dan kehamilanya terjadi karena adanya hubungan keterpaksaan maka pernikahanya akan dilaksanakan selama tidak ada larangan hukum yang menghalangi. Roichanah, Presepsi Kepala KUA se Kab. Temanggung Tentang Panerapan Pasal 53 KHI, Tesis Pasca Sarjana IAIN Walisongo Semarang, 2006, hlm. 20. Tidak dipublikasikan.
7 Wawancara dilakukan pada tanggal 30 Desember 2007 8 Wawancara dilakukan pada tanggal 30 Desember 2007
53
Sidaqqudin Basya, SHI. Bahkan menurut Drs. H. Utsaman Efendi (Kepala KUA
Semarang Barat) jumlah yang diperkirakan Syamsuri di atas bisa lebih lagi tergantung
pada banyaknya penduduk dimasing-masing kecamatan (Lihat. Tabel jumlah peristiwa
nikah Kota Semarang tahun 2007). Di samping itu menurut Imron Jauhari pertimbangan
kultur masyarakat masing-masing daerah juga berpengaruh terhadap banyak tidaknya
jumlah peristiwa nikah hamil.
B. Penentuan Wali Nikah Bagi Anak Perempuan Hasil Nikah Hamil Di KUA Kec. Semarang Tengah Kota Semarang
Penentuan wali nikah bagi anak perempuan hasil nikah hamil adalah problem
tersendiri dari diperbolehkanya nikah hamil. Ketika wanita hamil karena zina ini
akhirnya menikah dengan laki-laki yang menghamilinya maka masalah berikutnya
adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak yang terlahir dari
perkawinan tersebut adalah seorang gadis. Hal inilah yang kemudian menjadi polemik
antara aturan fiqh dan undang-undang. Polemik ini berawal dari penentuan status anak
yang terlahir dari pernikahan tersebut. Apakah anak ini dinasabkan kepada bapak
ibunya atau hanya kepada ibunya saja. Jika ia dinasabkan kepada bapaknya maka sang
bapak bisa menjadi wali nikah, namun jika tidak maka yang berhak menjadi wali nikah
adalah wali hakim.
Menentukan siapa yang berhak menjadi wali nikah adalah hal yang sangat
penting bagi sebuah perkawinan. Oleh karenanya dibutuhkan kejelian dan kehati-hatian
para penghulu untuk menentukanya. Salah satunya adalah kasus yang di alami seorang
wanita berinisial RH dengan alamat Jl. Sekayu Baru III/390 C Kel. Sekayu Kec.
Semarang Tengah. Berdasarkan Akta Kelahiran, RH lahir pada tanggal 28 bulan
Nopember 1982, sedangkan dalam Kutipan Akta Nikah orang tuanya tercantum bahwa
54
keduanya menikah pada tanggal 29 bulan September tahun 1982. Dengan bukti ini
maka dapat diketahui bahwa RH lahir setelah dua bulan dari pernikahan kedua orang
tuanya. Jika RH lahir secara normal (usia kandungan sembilan bulan, sebagaimana
umumnya proses kelahiran) maka ketika melangsungkan pernikahan sang ibu sudah
hamil minimal tujuh bulan.
Kasus yang sama dialami seorang wanita berinisial SA dengan alamat
Kabaraya RT 02/XIII Kel. Tandang Kec. Tembalang yang akan melangsungkan
perkawinan dengan seorang berinisial AB. Ketika diadakan pemeriksaan berkas nikah
SA ternyata ditemukan kejanggalan antara tahun kelahiran dengan tahun perkawinan
kedua orang tuanya. Dalam Akta Kelahiran dinyatakan bahwa SA lahir pada tanggal 23
bulan Januari tahun 1981, sedangkan dalam Kutipan Akta Nikah orang tuanya
disebutkan bahwa kedua orang tuanya menikah pada tanggal 29 bulan Agustus tahun
1980. Melihat fakta administratif ini maka dapat diketahui bahwa SA lahir sebelum
enam bulan dari pernikahan kedua orang tuanya tepatnya setelah lima bulan menikah.
Setelah hal ini ditanyakan kepada kedua orang tuanya ternyata dibenarkan bahwa ketika
mereka melangsungkan perkawinan sang isteri telah mengandung empat bulan.9
Masalahnya sekarang adalah siapa yang harus menjadi wali nikah SA? Apakah tetap
bapaknya sebagai wali nikah sesuai dengan akta kelahiran atau menggunakan wali
hakim karena kehamilan ibunya ketika menikah sudah lebih dari enam bulan sesuai
aturan fiqh?
9 Penjelasan ini (sudah hamil empat bulan sebelum menikah) adalah pengakuan sang bapak ketika
ditanya oleh H. Syamsudin (Kepala KUA Tembalang). Menurut Syamsudin, sebelum hari H pernikahan, calon pengantin harus datang ke KUA bersama wali untuk acara pemeriksaan berkas dan penasehatan perkawinan. Pada saat itulah para penghulu mencari informasi tentang hal-hal yang berhubungan dengan aturan hukum perkawinan seperti dalam menentukan wali nikah. Wawancara dilakukan pada tanggal 22 Desember 2007.
55
Menurut para penghulu kota Semarang,10 masalah ini adalah merupakan
problem tersendiri dari penerapan pasal 53 KHI tentang nikah hamil. Pasal ini
menjelaskan bahwa wanita yang sedang hamil boleh dinikahkan dengan laki-laki yang
menghamilinya. Dengan kata lain maka perkawinanya dianggap sah dan anak yang
dilahirkan juga dianggap sah. Jika anak itu dianggap sah oleh perundang-undangan
maka mestinya bapaknya lah yang berhak menjadi wali nikah. Bahkan menurut catatan
sipil seandainya hari ini ada pasangan pengantin yang menikah kemudian besoknya
sang isteri melahirkan maka anaknya tetap dianggap anak sah.11
Dalam menyelesaikan kasus seperti ini, ada dua model/cara yang
dikembangkan oleh penghulu kota Semarang, yaitu: (1) Wali nikahnya adalah wali
hakim; (2) Wali nikahnya adalah tetap bapaknya (wali nasab).
Menurut Drs. H. Syamsuri, S.Ag MH (Plt Kepala KUA Semarang Tengah)
dan mayoritas penghulu kota Semarang dalam menghadapi problem ini, ia lebih
memilih pandangan fiqh dari pada undang-undang. Menurut pandangan jumhur ulama’,
apabila bayi lahir kurang dari enam bulan sejak masa perkawinan, maka anak tersebut
tidak dapat dihubungkan kekerabatanya dengan bapaknya kendatipun lahir dalam
perkawinan yang sah. Ia hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya saja. Oleh
karenanya ia menetapkan bahwa wali nikahnya SA ataupun RH adalah wali hakim
bukan bapaknya.12 Tentu saja menurut mereka (penghulu kota Semarang) butuh kehati-
10 Informasi ini penulis dapatkan dari wawancara dengan H. Syamsudin, (Kepala KUA Semarang
Utara yang juga Plt Kepala KUA Tembalang) H. Syamsuri (Plt Kepala KUA Semarang Tengah), Muadhim (Kepala KUA Ngaliyan) dan Darun Hasanah (Kepala KUA Tugu).
11 Wawancara dengan Drs. Suroto (pegawai Kantor Dinas Kependudukan (Dispenduk) yang dulu dikenal dengan Kantor catatan sipil (KCS) kota Semarang pada tanggal 3 Januari 2008. Menurut Suroto, yang penting ada bukti Kutipan Akta Nikah yang dikeluarkan dari masing-masing KUA maka nama bapak dan ibu akan tetap tercantum pada Akta Kelahiran si anak walaupun dari peristiwa nikah hamil.
12 Bukti berupa form model NB Daftar Pemeriksaan Nikah KUA Kec. Semarang Tengah
56
hatian untuk menerangkan kepada para pihak terutama kepada sang bapak. Karena
masalah ini sangat sensitif.13
Berbeda dengan Syamsuri, Muadhim pengulu KUA kec. Ngaliyan
memutuskan bahwa wali nikahnya tetap bapaknya bukan menggunakan wali hakim.
Alasanya karena menurut undang-undang anak tersebut adalah anak sah dari bapaknya.
Di samping itu, jika anak tersebut tidak bisa intisab kepada bapaknya mengapa fiqh dan
undang-undang memperbolehkan nikah hamil?. Menurutnya jika nikah hamil itu
diperbolehkan maka konsekwensinya anak yang lahir pun bisa intisab kepada
bapaknya.14
Bagi para penghulu yang menggunakan model/cara pertama, keputusan ini
diambil karena berpegang pada aturan fiqh yang menegaskan bahwa seorang anak
supaya dapat dianggap sebagai anak yang sah dari suami ibunya, anak itu harus lahir
sekurang-kurangnya enam bulan sesudah pernikahan atau didalam tenggang ‘iddah
selama empat bulan sepuluh hari sesudah perkawinan terputus. Oleh karenanya, apabila
bayi lahir kurang dari enam bulan sejak masa perkawinan, maka anak tersebut tidak
dapat dihubungkan kekerabatanya dengan bapaknya kendatipun lahir dalam perkawinan
yang sah. Ia hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya saja. Oleh karenanya jika
anak yang lahir dari pernikahan tersebut adalah seorang gadis maka wali nikahnya
adalah wali hakim bukan bapaknya.
13 Informasi ini penulis dapatkan dari wawancara dengan H. Syamsudin, (Kepala KUA Semarang
Utara yang juga Plt Kepala KUA Tembalang) H. Syamsuri (Plt Kepala KUA Semarang Tengah), Muadhim (Kepala KUA Ngaliyan) dan Darun Hasanah (Kepala KUA Tugu) dan penghulu muda kota Semarang seperti Imron Jauhari, Khoirudin Zuhri, Siddaquddin Basya, Muhromin dan Mustaghfirin.
14 Wawancara dengan Muadhim (Kepala KUA Ngaliyan) pada tanggal 28 Desember 2007.
57
Menurut para penghulu,15 keputusan ini diambil setelah melalui penelitian
berkas administrasi kehendak nikah dari calon pengantin putri. Bagi para penghulu,
menentukan apakah calon pengantin putri adalah anak nikah hamil kedua orang tuanya
pada waktu itu adalah pekerjaan yang paling sulit. Hal ini dikarenakan tidak ada catatan
husus dalam kutipan Akta Nikah keduanya yang menunjukkan bahwa mereka dulunya
menikah dalam keadaan hamil, bahkan dalam Register Nikah pun tidak tertulis
peristiwa tersebut. Di samping itu, kebanyaakan orang tua calon pengantin putri akan
merasa malu bila peristiwa terdahulu akan diungkit-ungkit lagi. Oleh kareanya mereka
akan menutupinya serapat mungkin.16
Satu-satunya cara yang bisa dilakukan penghulu untuk mengetahui apakah
calon pengantin putri dalah anak hasil nikah hamil adalah mencocokkan antara tahun
kelahirannya yang tertera pada Akta Kelahiran dengan tahun menikah kedua orang
tuanya yang tertara pada Kutipan Akta Nikah. Dari penelitian inilah kasus nikah hamil
yang dilakukan kedua orang tuanya bisa teredeteksi. Dari penilitian ini pulalalah para
penghulu bisa menentukan apakah calon pengantin putri lahir sebelum enam bulan atau
sesudah enam bulan dari pernikahan kedua orang tuanya. Jika ia lahir sebelum enam
bulan maka sebagaimana aturan fiqh, para penghulu mengambil keputusan untuk
menggunakan wali nasab dalam hal ini adalah bapaknya. Namun, jika ia lahir setelah
enam bulan maka keputusanya adalah menggunakan wali hakim dalam hal ini kepala
KUA.
15 Para penghulu yang menggunakan model/cara pertama seperti H. Syamsudin, (Kepala KUA
Semarang Utara yang juga Plt Kepala KUA Tembalang) H. Syamsuri (Plt Kepala KUA Semarang Tengah), Muadhim (Kepala KUA Ngaliyan) dan Darun Hasanah (Kepala KUA Tugu)
16 Wawancara dengan Imron Jauhari pada tanggal 17 Oktober 2007
58
Sebenarnya cara ini tidak menjadi jaminan atas kebenaran peristiwa nikah
hamil, karena menurut para penghulu sering terjadi manipulasi data atas peristiwa
tersebut. Banyak Akta Kelahiran yang dibuat tidak sesuai dengan waktu kelahiran anak.
Misalnya berdasarkan Akta Nikah, orang tuanya menikah pada bulan Juni 2006 sedang
si anak lahir pada bulan Agustus 2006 maka Akta Kelahiranya tercatat pada bulan Maret
2007. Manipulasi ini dilakukan untuk menutupi aib mereka agar kelak nantinya tidak
diketahui bahwa sebenarnya anak yang dilahirkan adalah hasil nikah hamil.
Jika kebijakan/keputusanya adalah harus menikah dengan wali hakim maka
para penghulu harus hati-hati menyampaikan hal ini kepada pihak-pihak yang
bersangkutan. Jangan sampai ada pihak tersinggung terutama ayah dari calon pengantin
putri mengenai keputusan ini. Oleh karena itu, untuk menutupi aib keluarga para
penghulu sering membuat kesepakatan dengan calon pengantin, yaitu, menikahkan
mereka terlebih dahulu dengan wali hakim, setelah itu di hadapan orang banyak ia
menikahkan keduanya dengan wali bapaknya.17
Keputusan mayoritas penghulu kota Semarang dalam menentukan wali nikah
dari anak nikah hamil ini berbeda dengan beberapa penghulu yang menggunakan
model/cara penyelesaian kedua. Menurut mereka,18 wali nikah dari anak perempuan
nikah hamil adalah tetap bapaknya bukan wali hakim. Jika undang-undang menganggap
sah nikah hamil maka konsekwensinya anak yang dilahirkan pun juga dianggap sah. Hal
ini sesuai dengan UUP No.1/1974 pasal 42 dan KHI pasal 99 bahwa “Anak yang sah
17 Informasi ini penulis dapatkan dari M. Taufiq (Penghulu Semarang Tengah). Sekitar tahun 2005
ia pernah menikahkan seorang wanita yang lahir dari peristiwa nikah hamil orang tuanya. Keputusan ini ia ambil setelah melakukan pemeriksaan sebelum hari pernikahan. Dari hasil pemeriksaan akhirnya diputuskan bahwa wali nikah calon pengantin putri adalah wali hakim. Pada awalnya sang bapak tidak bisa menerima keputusan tersebut, namun setelah diberi penjelasan akhirnya bisa menerimanya. Wawancara dilakukan pada tanggal 18 Desember 2007.
18 Penghulu yang menggunakan model/cara penyelesaian kedua
59
adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Lebih
lanjut pasal 55 ayat (1) menegaskan bahwa asal-usul seorang anak hanya dapat
dibuktikan dengan Akta kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang
berwenang.
Berpijak dari aturan undang-undang di atas maka mereka mengambil
keputusan bahwa meskipun jarak antara pernikahan dan kelahiran anak kurang dari
batas minimal usia kandungan sebagaimana dijelaskan oleh fiqh, namun selama bayi
yang dikandung tadi lahir pada saat ibunya dalam ikatan perkawinan yang sah, maka
anak tersebut adalah anak sah. Undang-undang tidak mengatur batas minimal usia
kandungan, baik dalam pasal-pasalnya maupun dalam penjelasanya. Oleh karenanya
wali nikahnya tetap bapaknya bukan wali hakim.
BAB IV
ANALISIS PENENTUAN WALI NIKAH BAGI ANAK PEREMPUAN HASIL NIKAH HAMIL
DI KUA KEC. SEMARANG TENGAH KOTA SEMARANG
A. Analisis Penentuan Wali Nikah Bagi Anak Perempuan Hasil Nikah Hamil
Di KUA Kec. Semarang tengah Kota Semarang
Salah satu contoh kasus/problem yang menjadikan dilema bagi para penghulu
untuk memilih aturan mana yang harus dipakai, ketika terjadi perbedaan pendapat
antara UUP/KHI dengan fiqh – kitab-kitab fiqh munakahat yang dipegangi oleh
masyarakat Indonesia adalah mengenai kasus Penetapan Wali Nikah Bagi Anak
Perempuan Hasil Nikah Hamil.
Sebagaimana telah dijelaskan pada awal tulisan ini bahwa Pandangan fiqh
berkenaan dengan anak sah ini daptlah dipahami bahwa anak dimulai sejak terjadinya
konsepsi atau pembuahan sel telur (ovum) oleh sperma yang terjadi pada rahim wanita
calon ibu dan konsepsi ini haruslah terjadi didalam perkawinan yang sah. Dari sinilah
penetapan anak sah tersebut dilakukan. Dengan demikian fiqh menegaskan bahwa
seorang anak supaya dapat dianggap sebagai anak yang sah dari suami ibunya, anak itu
harus lahir sekurang-kurangnya enam bulan sesudah pernikahan atau di dalam tenggang
‘iddah selama empat bulan sepuluh hari sesudah perkawinan terputus. Oleh karenanya,
apabila bayi lahir kurang dari enam bulan sejak masa perkawinan, maka anak tersebut
tidak dapat dihubungkan kekerabatanya dengan bapaknya kendatipun lahir dalam
perkawinan yang sah. Ia hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya saja.1 Oleh
1 Al-Syairazi, al-Muhazzab, Beirut, Dar al-Fikr, ttp, Juz II, hlm. 130
61
karenanya sang bapak tidak berhak menjadi wali nikah anak perempuanya sehingga
wali nikahnya adalah wali hakim (Kepala KUA)
Sementara itu, menurut UUP dan KHI, anak yang terlahir dari pernikahan
hamil adalah anak sah karena lahir “dalam” perkawinan yang sah. Jadi secara implisit
dapat dipahami, bahwa anak yang lahir dari atau dalam ikatan perkawinan yang sah,
baik perkawinan itu darurat, tambelan, penutup malu, tanpa mempertimbangkan
tenggang waktu antara akad nikah dan kelahiran si bayi, maka status anaknya adalah
sah. Ini membawa implikasi bahwa anak yang “hakikat” nya anak zina, secara formal
dianggap sebagai anak sah, selama dapat dibuktikan dengan akte kelahiran dan alat
bukti lainya, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Hal ini seperti dijelaskan
pada pasal 103 KHI dan pasal 55 UUP. Jika anak tersebut dianggap sah maka ia akan
mempunyai hubungan nasab dengan ayahnya sehingga yang berhak menjadi wali nikah
dari anak gadis tersebut adalah bapaknya (wali nasab).
Sebagaimana telah dijelaskan pada bab III bahwa penentuan wali nikah bagi
anak perempuan hasil nikah hamil adalah problem tersendiri dari diperbolehkanya
nikah hamil. Ketika wanita hamil karena zina ini akhirnya menikah dengan laki-laki
yang menghamilinya maka masalah berikutnya adalah siapa yang nantinya berhak
menjadi wali nikah, jika anak yang terlahir dari perkawinan tersebut adalah seorang
gadis. Hal inilah yang kemudian menjadi polemik antara aturan fiqh dan undang-
undang. Polemik ini berawal dari penentuan status anak yang terlahir dari pernikahan
tersebut. Apakah anak ini dinasabkan kepada bapak ibunya atau hanya kepada ibunya
saja. Jika ia dinasabkan kepada bapaknya maka sang bapak bisa menjadi wali nikah,
namun jika tidak maka yang berhak menjadi wali nikah adalah wali hakim.
62
Menentukan siapa yang berhak menjadi wali nikah adalah hal yang sangat
penting bagi sebuah perkawinan. Oleh karenanya dibutuhkan kejelian dan kehati-hatian
para penghulu untuk menentukanya. Salah satunya adalah kasus yang di alami seorang
wanita berinisial SA dengan alamat Kabaraya RT 02/XIII Kel. Tandang Kec.
Tembalang yang akan melangsungkan perkawinan dengan seorang berinisial AB.
Ketika diadakan pemeriksaan berkas nikah SA ternyata ditemukan kejanggalan antara
tahun kelahiran dengan tahun perkawinan kedua orang tuanya. Dalam Akta Kelahiran
dinyatakan bahwa SA lahir pada tanggal 23 bulan Januari tahun 1981, sedangkan dalam
Kutipan Akta Nikah orang tuanya disebutkan bahwa kedua orang tuanya menikah pada
tanggal 29 bulan Agustus tahun 1980. Melihat fakta administratif ini maka dapat
diketahui bahwa SA lahir sebelum enam bulan dari pernikahan kedua orang tuanya
tepatnya setelah lima bulan menikah. Setelah hal ini ditanyakan kepada kedua orang
tuanya ternyata dibenarkan bahwa ketika mereka melangsungkan perkawinan sang isteri
telah mengandung empat bulan. Masalahnya sekarang adalah siapa yang harus menjadi
wali nikah SA? Apakah tetap bapaknya sebagai wali nikah sesuai dengan akta kelahiran
atau menggunakan wali hakim karena kehamilan ibunya ketika menikah sudah lebih
dari enam bulan sesuai aturan fiqh?
Kasus yang sama juga dialami oleh seorang wanita berinisial RH dengan
alamat Jl. Sekayu Baru III/390 C Kel. Sekayu Kec. Semarang Tengah. Berdasarkan
Akta Kelahiran, RH lahir pada tanggal 28 bulan Nopember 1982, sedangkan dalam
Kutipan Akta Nikah orang tuanya tercantum bahwa keduanya menikah pada tanggal 29
bulan September tahun 1982. Dengan bukti ini maka dapat diketahui bahwa RH lahir
setelah dua bulan dari pernikahan kedua orang tuanya. Jika RH lahir secara normal (usia
63
kandungan sembilan bulan, sebagaimana umumnya proses kelahiran) maka ketika
melangsungkan pernikahan sang ibu sudah hamil minimal tujuh bulan.
Menurut para penghulu kota Semarang,2 masalah ini adalah merupakan
problem tersendiri dari penerapan pasal 53 KHI tentang nikah hamil. Pasal ini
menjelaskan bahwa wanita yang sedang hamil boleh dinikahkan dengan laki-laki yang
menghamilinya. Dengan kata lain maka perkawinanya dianggap sah dan anak yang
dilahirkan juga dianggap sah. Jika anak itu dianggap sah oleh perundang-undangan
maka mestinya bapaknya lah yang berhak menjadi wali nikah. Bahkan menurut catatan
sipil seandainya hari ini ada pasangan pengantin yang menikah kemudian besoknya
sang isteri melahirkan maka anaknya tetap dianggap anak sah.3
Dalam menyelesaikan kasus seperti ini, ada dua model/cara yang
dikembangkan oleh penghulu kota Semarang, yaitu: (1) Wali nikahnya adalah wali
hakim; (2) Wali nikahnya adalah tetap bapaknya (wali nasab). Dengan kata lain,
penghulu (KUA) kota Semarang berbeda pendapat dalam mensikapi masalah ini.
Menurut penghulu KUA kec. Semarang Tengah kota Semarang dalam
menentukan wali nikah bagi anak perempuan yang lahir dari nikah hamil, mereka lebih
setuju dengan menggunakan model/cara pertama sebagaimana aturan fiqh dimana jika
sang anak gadis tersebut lahir kurang dari enam bulan setelah pernikahan orang tuanya
maka walinya hakim (Kepala KUA), namun jika ia lahir lebih dari enam bulan dari
peristiwa nikah kedua orang tuanya maka wali nikahnya adalah nasab yaitu bapaknya.
2 Informasi ini penulis dapatkan dari wawancara dengan H. Syamsudin, (Kepala KUA Semarang
Utara yang juga Plt Kepala KUA Tembalang) H. Syamsuri (Plt Kepala KUA Semarang Tengah), Muadhim (Kepala KUA Ngaliyan) dan Darun Hasanah (Kepala KUA Tugu).
3 Wawancara dengan Drs. Suroto (pegawai Kantor Dinas Kependudukan (Dispenduk) yang dulu dikenal dengan Kantor catatan sipil (KCS) kota Semarang pada tanggal 3 Januari 2008. Menurut Suroto, yang penting ada bukti Kutipan Akta Nikah yang dikeluarkan dari masing-masing KUA maka nama bapak dan ibu akan tetap tercantum pada Akta Kelahiran si anak walaupun dari peristiwa nikah hamil.
64
Perbedaan pendapat antara UUP, KHI dan aturan-aturan fiqh yang populer
tentang status anak hasil nikah hamil diatas tentu saja membuat bingung terutama bagi
para penghulu. Bagi para penghulu, aturan mana yang harus dipilih, fiqh atau
UUP/KHI?. Jika para penghulu lebih memilih pendapat fiqh maka mereka melanggar
aturan yang ada dalam UUP/KHI. Padahal, sebagai bagian dari aparatur negara, dalam
menjalankan tugas-tugas kepenghuluan mereka harus tunduk terhadap undang-undang.
Namun, jika para penghulu memilih pendapat UUP/KHI maka hal ini jelas-jelas
melanggaran aturan yang ada dalam kitab-kitab fiqh yang telah populer dikalangan
masyarakat. Sebab konsep yang berlaku secara umum dalam masyarakat muslim adalah
konsep yang tertulis dalam kitab-kitab fiqh dan tafsir tradisional, khususnya mazhab
syafi’i bagi masyarakat Indonesia.
Menurut penulis, para penghulu yang memilih aturan fiqh, bukan berarti
mereka melanggar undang-undang. Dalam hal ini yang harus dicermati dari pasal 42
UUP dan pasal 99 KHI adalah klausul “anak yang lahir akibat perkawinan yang sah”
Perkawinan wanita hamil itu sebenarnya menunjukkan bahwa pembuahan telah terjadi
sebelum akad nikah sebagai sebab kehamilan. Setelah itu terjadilah perkawinan antara
wanita dengan pria yang menghamilinya. Selang beberapa bulan, anak yang dikandung
pun lahir. Dengan kata lain anak itu lahir akibat dari hubungan kedua orang tuanya
sebelum adanya akad perkawinan yang sah. Jika demikian berarti anak tersebut lahir
akibat dari perkawinan yang tidak sah. Oleh karenanya walaupun kemudian orang
tuanya menikah secara sah dan anak tersebut lahir sesudah perkawinan tersebut
statusnya tetap dianggap anak tidak sah. Dengan demikian berarti intisabnya hanya
kepada ibunya saja, sehingga suami ibunya (bapaknya) tidak berhak menjadi wali nikah.
65
Namun demikian pertanyaan lain yang harus diajukan kepada para penghulu
yang memilih cara pertama adalah apakah keputusan tersebut dapat dibenarkan jika
hanya berdasar pada pemeriksaan berkas hususnya Kutipan Akta Nikah dan Akta
kelahiran? Padahal tidak bisa dipungkiri bahwa banyak orang tua yang telah menikah
sirri sebelumnya baru kemudian mencatatkan pernikahannya di KUA. Jika mereka
mencatatkan pernikahanya ketika sang isteri telah hamil maka tentu saja antara Kutipan
Akta Nikah keduanya dan Akta Kelahiran sang anak akan terjadi kejanggalan. Misalnya
mereka mencatatkan pernikahan ketika sudah hamil delapan bulan maka tentu saja satu
atau dua bulan kemudian sang anak lahir. Apakah sang bapak kelak tidak bisa menjadi
wali nikah atas anak gadisnya?
Menurut penulis, kesalahan penelitian yang dilakukan para penghulu atas
peristiwa tersebut di luar jangkauan mereka. Mereka telah berusaha untuk melakukan
penelitian semaksimal mungkin secara administratif. Nikah sirri yang dilakukan orang
tua sang anak tidak dapat dibuktikan ketika pemeriksaan, siapa yang menjamin sah
tidaknya pernikahan sirri mereka? Karena untuk menelitanya perlu bukti-bukti atas
peristiwa nikah enam belas atau dua puluh tahun sebelumnya. Menurut penulis, tentu
saja hal ini sulit dilakukan. Oleh karena itu dalam menentukan masalah tersebut kita
berpegang kepada hadis nabi “Nahnu nahkumu bi al-dhawahir”(kita hanya bisa
menghukumi yang nampak saja).4 Secara administratif anak tersebut adalah anak hasil
nikah hamil.
Bagi para penghulu yang menggunakan dasar UUP dan KHI juga tidak bisa
disalahkan karena jika undang-undang menganggap sah nikah hamil maka
4 Lihat Sunan Abi Dawud hadis no. 1720
66
konsekwensinya anak yang dilahirkan pun juga dianggap sah. Hal ini sesuai dengan
UUP No.1/1974 pasal 42 dan KHI pasal 99 bahwa “Anak yang sah adalah anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Lebih lanjut pasal 55 ayat
(1) menegaskan bahwa asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan Akta
kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Disamping itu
UUP dan KHI tidak mengatur batas usia kandungan dalam penentuan status anak. Oleh
karenanya jika konsepsi anak sebagaimana diatur dalam kitab-kitab fiqh menjadi ukuran
dalam menentukan status nasab mestinya UUP dan KHI memasukkan aturan tersebut
dalam pasal-pasalnya, sehingga ada kejelasan hukum status anak hasil nikah hamil.
Berdasarkan sejumlah penelitian,5 aturan perundang-undangan perkawinan
belum sepenuhnya dijadikan sebagai nilai yuridis, filosofis, dan sosiologis sebagian
Muslim, termasuk di dalamnya Muslim Indonesia. Aturan Perundang-undangan
Perkawinan hanya dijadikan nilai pelengkap setelah konsep kitab-kitab fiqh tradisional.
Menurut Prof. Khoiruddin Nasution,6 salah satu penyebab kurang maksimalnya aplikasi
Perundang-undangan Hukum Keluarga Muslim Kontemporer di lapangangan
dikarenakan oleh isi perundang-undangan ada sebagian yang bertentangan atau minimal
tidak sesuai dengan nilai filosofis, yuridis dan sosiologis yang berlaku dalam mayoritas
masyarakat. Sebab konsep yang berlaku secara umum dalam masyarakat muslim adalah
5 Mengenai konflik antara KHI dan Fiqh, lihat penelitian Abdullah Arief Cholil tentang Konflik
dan Ketegangan Antara Fiqh dan Hukum Formal Islam (Studi Kasus Perkawinan di Demak). Tesis Pasca Sarjana IAIN Walisongo Semarang, 2003. Tidak dipublikasikan. Lihat juga penelitian NJ.Coulson dalam bukunya Conflicts And Tentions in Islamic Jurisprodence, Chicago and London, The Chicago Press, 1969. Berdasarkan penelitianya terhadap perjalanan sejarah hukum Islam yang tertuang dalam literatur masa klasik sampai masa modern di dunia Islam, ia sampai pada suatu konklusi bahwa terdapat konflik atau ketegangan antara teori dan praktik dalam hukum Islam. Di ambil dari Imron Jauhari, Membangun Otoritas Ijtihad Penghulu, Makalah disampaikan pada acara Diskusi Kajian Hukum Pokja Penghulu Kota Semarang 2007
6 Khoiruddin Nasution,, Status Wanita di Asia Tenggara; Studi terhadap Perundang-undangan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, Jakarta-Lieden, INIS, 2002, hlm. 274.
67
konsep yang tertulis dalam kitab-kitab fiqh dan tafsir tradisional, khususnya mazhab
syafi’i bagi masyarakat Indonesia. Akibatnya, konsep diluar kitab-kitab tersebut
dianggap tidak sejalan dengan Islam (tidak Islami). Konsekwensinya keyakinan bahwa
konsep yang ada dalam kitab-kitab fiqh dan tafsir tradisional harus dipatuhi, sementra
konsep perundang-undangan boleh dilanggar.
B. Analisis Metode Penentuan Wali Nikah Bagi Anak Perempuan Hasil Nikah Hamil Di KUA Kec. Semarang Tengah Kota Semarang
Sebagaimana telah dijelaskan pada bab III bahwa dalam pelaksanaan hukum
perkawinan di Indonesia, eksistensi seorang penghulu yang bertugas di Kantor Urusan
Agama sangatlah penting. Oleh karenanya Penghulu sangat identik dengan Kantor
Urusan Agama (KUA). Jika kita melakukan penelitian tentang KUA maka sebenarnya
sama dengan penelitian dengan penghulu. Pemeriksaan terhadap pihak-pihak yang
terkait dalam perkawinan yang dilakukan oleh seorang Penghulu, menyebabkan
perkawinan itu bisa dilaksanakan atau tidak. Penghulu bisa menggagalkan perkawinan
dan menolak untuk mencatatnya manakala hasil pemeriksaanya terhadap pihak-pihak
yang terkait dalam perkawinan ditemukan hal-hal yang tidak sesuai dengan aturan-
aturan hukum perkawinan.
Menurut Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 474 tentang Pencatatan
Nikah, Penghulu adalah Pegawai Negeri Sipil sebagai Pegawai Pencatat Nikah yang
diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh Menteri Agama
atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan peraturan perundan-undangan yang berlaku
untuk melakukan pengawasan nikah/rujuk menurut agama Islam dan kegiatan
kepenghuluan. Tugas pokok penghulu adalah: melakukan perencanaan kegiatan
kepenghuluan, pengawasan pencatatan nikah/rujuk, pelaksanaan pelayanan nikah/rujuk,
68
penasihatan dan konsultasi nikah/rujuk, pemantuan pelanggaran ketentuan nikah/rujuk
dan pelayanan fatwa hukum munakahat dan bimbingan mu’amalah.
Bagi seorang penghulu, Undand-Undang Perkawinan (UUP) dan Kompilasi
Hukum Islam (KHI)7 adalah sumber utama pelaksanaan hukum perkawinan Indonesia.
Dalam menjalankan tugasnya seorang penghulu harus berpegang kepada aturan-aturan
yang ada dalam UUP, KHI dan aturan-aturan lain yang berhubungan dengan
kepenghuluan. Dalam hukum Administrasi Negara dijelaskan bahwa penyelenggaraan
pemerintahan harus didasarkan pada undang-undang, yang kemudian dikenal dengan
istilah asas legalitas. Oleh karena itu, undang-undang dijadikan sebagai sendi utama
penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan, dengan kata lain, asas legalitas
memiliki kedudukan sentral sebagai suatu fondamen dari Negara hukum. Untuk itu,
penghulu sebagai aparatur pemerintah juga harus tunduk dengan aturan perundang-
undangan dalam menjalankan tugasnya.
Namun dalam praktiknya tidak semua masalah perkawinan itu bisa
diselesaikan dengan aturan tersebut. Poblematika hukum akan selalu muncul, seiring
dengan perkembangan zaman, begitu juga dengan problematika hukum perkawinan.
Tidak semua problematika hukum perkawinan itu diatur didalam Undang-Undang dan
KHI. Hal ini disebabkan karena aturan-aturan hukum apapun sifatnya adalah terbatas,
sedangkan masalah-masalah sosial yang muncul di masyarakat itu sifatnya tidak
7 Kompilasi Hukum Islam adalah fiqh Indonesia yang mengarah kepada univikasi mazhab dalam hukum Islam. Ia disusun dengan memperhatikan kondisi kebutuhan hukum umat islam Indonesia.Hukum Islam yang dimaksud dalah aturan-aturan hukum yang ada dalam kitab-kitab fiqh yang banyak didalamnya terdapat perbedaan pendapat, kemdian dicoba diunivikasikan ke dalam bentuk kompilasi. Lihat Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, Padang : Angkasa Raya, cet 2, 1993, hlm 25. Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) disahkan melalui Instruksi Persiden RI Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni. Kemudian ditindaklanjuti keputusan Menteri Agama RI Nomor 154 tahun 1991 tanggal 22 juli 1991, dan disebarluaskan melalui Surat Edaran Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Nomor 3694 / EV / HK.003 / AZ / 91 tanggal 25 juli 1991. Lihat A. Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1995
69
terbatas. Kadang-kadang pada kasus tertentu aturan tersebut ternyata tidak bisa
diterapkan. Disisi lain seorang penghulu juga mengalami dilema ketika menghadapi
perbedaan pendapat atau konflik antara KHI sebagai hukum Islam Indonesia dengan
fiqh- kitab-kitab fiqh munakahat yang dipegangi oleh masyarakat Indonesia. Kenyataan
ini jelas menjadi problem tersendiri bagi para penghulu dalam melaksanakan tugasnya.
Oleh karenanya untuk menyelesaikan masalah-masalah perkawinan ini
dibutuhkan kemampuan para penghulu untuk membuat keputusan serta kemudian
mengambil tindakan yang dianggap tepat atau sesuai dengan situasi dan kondisi yang
dihadapi, yang dilakukan secara bijaksana dan dengan memperhatikan segala
pertimbangan maupun pilihan yang memungkinkan.
Dalam prespektif hukum Islam usaha untuk memecahkan/menemukan
masalah hukum itu di kenal dengan istilah ijtihad. Ijtihad memegang peranan yang
sangat penting (signifikan) dalam pembaruan dan pengembangan hukum Islam. Ijtihad
sebagai suatu prinsip dan gerak dinamis dalam khasanah Islam, merupakan aktifitas
daya nalar yang dilakukan oleh para fuqaha dalam menggali hukum Islam.
Pada awalnya al-Qur’an diwahyukan sebagai respon terhadap terhadap
masyarakat saat itu yang kemudian tumbuh dan berkembang lebih luas lagi. Seiring
dengan berkembngnya Islam keberbagai penjuru, maka muncul pula persoalan–
persoalan baru yang berbeda dengan persoalan-persoalan yang dihadapi kaum muslimin
dimasa Rasulullah. Sedangkan al-Qur’an hanya memuat sebagian hukum-hukum yang
terperinci, sementara sunnah hanya terbatas pada kasus-kasus masa Rasulullah, maka
untuk memecahkan persoalan-persolan baru itu diperlukan adanya ijtihad. Meminjam
ungkapan al-Syahrastani dalam bukunya al-Milal wa al-Nihal bahwa teks-teks nash itu
70
terbatas, sedangkan problematika hukum yang memerlukan solusi itu tidak terbatas,
bagaimana nash-nash hukum yang terbatas itu mampu memecahkan problematika
hukum yang tidak terbatas, oleh karenaya diperlukan ijtihad untuk menginterpertasikan
nash yang terbatas itu agar berbagai masalah yang tidak dikemukakan secara eksplisit
dalam nash dapat dicari pemecahanya.8
Menurut Qodri, wujud hukum Islam bermula dari pendapat perseorangan
terhadap pemahaman nash atau pendapat perseorangan tentang upaya menemukan
hukum terhadap suatu kejadian (waqi’ah) yang ada.9 Bermula dari pendapat
perseorangan yang dilengkapi dengan metode, kemudian dikuti oleh orang lain atau
murid-murid yang jumlahnya semakin banyak. Pendapat perseorangan ini kemudian
menjadi pendapat beberapa orang dan begitu seterusnya diikuti oleh orang lain,
kemudian menjadi baku. Pendapat-pendapat inilah yang kemudian dikenal dengan
istilah Fiqh. Oleh karenanya berbicara mengenai hukum Islam adalah berbicara fiqh.10
Dan berbicara mengenai fiqh tidak akan lepas dari pembicaraan mengenai mazhab.
Sedangkan menurut Rofiq, hukum Islam adalah totalitas religious yang
mengatur prilaku kaum muslimin. Jika hal itu difahami sebagai produk pemikiran
Fuqaha, maka lazimnya disebut al-fiqh. Namun bila dipahami sebagai aturan-aturan
hukum yang diwahyukan Allah, maka disebut Syari’ah. Fiqh adalah formula yang
dipahami dari Syari’ah. Syariah tidak bisa dijalankan dengan baik, tanpa dipahami
melalui fiqh. Namun hukum Islam tidak selalu diasosiasikan sebagai fiqh, karena dalam
8 al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, Beirut, Dar al-Fikr, 1967, hlm. 199 9 Qodri A. Azizi, Redifinisi Bermazhab dan Berijtihad : Al-Ijtihad al-ilm al-Asri, Pidato
pengukuhan guru Besar dalam bidang Ilmu Hukum Islam IAIN Walisongo Semarang, 2003, hlm. 17 10 Qodri A. Azizi, The Concept of Mazhab and The question of ItsBoundary, al-Jami’ah, 59. 1996,
hlm 77-92
71
perkembnganya setidaknya masih ada tiga jenis produk hukum Islam yaitu : Fatwa,
Keputusan Pengadilan dan Undang-Undang.11
Berijtihad memang bukan perseoalan yang sederhana, seorang yang akan
melakukan ijtihad harus memiliki kemampuan khusus, yang memungkinkan dirinya
dapat melakukan ijtihad dan hasil ijtihadnya itu dapat diakui dan diterapkan dikalangan
ummat. Dan karena terlalu beratnya syarat-syarat ijtihad itu ada anggapan seakan-
seakan orang tidak bisa melakukan ijtihad.
Selama ini otoritas ijtihad seorang penghulu memang tidak sekuat otoritas
ijtihad seorang hakim. Sejauh ini ketika kitab-kitab fiqh membahas mengenai hakim
(Qadhi) pada setiap lembaga peradilan, kemampuan berijtihad menjadi salah satu
syarat. Al- muzani misalnya, didalam mukhtasarnya 12 menjelaskan bahwa jika seorang
yang akalnya tidak mampu untuk melakukan qiyas (analogi) atau tidak mampu memilah
dan memilih perbedaan- perbedaan maka ia sebaiknya tidak menjadi hakim dan orang
lain hendaknya tidak mengangkatnya sebagai hakim. Al-Syairazi mengatakan bahwa
seseorang yang bodoh atau tidak mengetahui cara-cara (metodologi) pengambilan
hukum Islam tidak dapat menjadi hakim.13 Dalam konteks hukum Indonesia, seorang
hakim mempunyai kewenangan untuk melakukan ijtihad. Ketentuan pasal 14 ayat ( 1 )
Undang-undang ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakimaan menjelaskan, bahwa
pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang
diajukan dengan dalih bahwa hokum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya. Ketentuan pasal ini mengisyaratkan kepada hakim bahwa
apabila terjadi suatu peraturan perundang-undangan yang belum jelas atau belum
11 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1995, hlm. 7-8 12 Al-Muzani, Mukhtasar, didalam Al-Syafi’i, Al-Umm, IX, hlm 315 13 Al-Shirazi, Al-Muhazzab, Beirut, Dar al- Fikr, Juz II, hlm 290
72
mengaturnya, maka hakim harus bertindak berdasarkan inisiatifnya sendiri untuk
menyelesaikan perkara tersebut (ijtihad )
Berbeda dengan seorang penghulu, sejauh ini praktek-praktek ijtihad mereka
tidak begitu nampak dilihat. Hal ini mungkin bisa di mengerti karena UUP dan KHI
hanya menempatkan penghulu sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang tugasnya
mencatat peristiwa nikah dan mendokumentasikanya, atau dengan istilah lain penghulu
hanyalah Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Walaupun dalam prakteknya penghulu itu
tidak hanya sebagai pencatat nikah. Justru dari seorang penghululah problematika
hukum perkawinaan itu harus segera diselesaikan, karena ia orang yang paling dekat
dengan kasus-kasus perkawinan yang terjadi pada masyarakat. Selama ini
kecenderungan masyarakat adalah semaksimal mungkin menghindari lembaga
pengadilan. Mereka biasanya datang ke KUA untuk mencari solusi pemecahan
masalah-masalah yang berhubungan dengan perkawinan. Dan perlu juga diketahui
bahwa proses peradilan membutuhkan waktu, tenaga dan ongkos/biaya yang tidak
sedikit.
Menurut penulis, untuk menyelesaikan masalah-masalah perkawinan yang
terjadi dimasyarakat maka dibutuhkan kemampuan para penghulu untuk membuat
keputusan serta kemudian mengambil tindakan yang dianggap tepat atau sesuai dengan
situasi dan kondisi yang dihadapi, yang dilakukan secara bijaksana dan dengan
memperhatikan segala pertimbangan maupun pilihan yang memungkinkan. Dalam
prespektif hukum Islam usaha untuk memecahkan/menemukan masalah hukum itu di
kenal dengan istilah ijtihad. Masalahnya adalah apakah seorang penghulu memiliki
73
otoritas untuk melakukan ijtihad? Dalam hal ini penulis setuju dengan pendapat Qodri14
bahwa memilih satu pendapat dari madzhab-madzhab hukum yang ada kemudian
mentarjihnya adalah sudah merupakan ijtihad walaupun itu kecil. Oleh karenanya apa
yang dilakukan para penghulu walaupun hanya memilih diantara dua pendapat atau
madzhab hukum adalah sudah merupakan bagian dari sebuah usaha untuk berijtihad
walaupun kecil.
Pada kasus penentuan wali nikah bagi anak perempuan hasil nikah hamil yang
dilakukan KUA kota Semarang dalam hal ini adalah para penghulu adalah bentuk usaha
mereka memilih dua pendapat yaitu antara aturan yang ada dalam kitab-kitab fiqh dan
aturan yang ada dalam UUP dan KHI. Jika kita sepakat dengan pandangan Qodri maka
sebenarnya para penghulu telah melakukan ijtihad walaupun kecil sifatnya.
14 Loc. Cit
74
.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis memaparkan segala persoalan yang berkaitan dengan
Penentuan Wali Nikah Bagi Anak Perempuan Hasil Nikah Hamil Di KUA Kec.
Semarang Tengah Kota Semarang, maka pada bab ini penulis berusaha untuk
memberikan satu konklusi. Dalam hal ini kesimpulan merupakan jawaban atas rumusan
masalah.
1. Ada dua model/cara yang dikembangkan oleh KUA (penghulu) kota Semarang
dalam menentukan siapa yang berhak menjadi wali nikah bagi anak perempuan yang
lahir akibat nikah hamil, yaitu: (1) Wali nikahnya adalah wali hakim; (2) Wali
nikahnya adalah tetap bapaknya (wali nasab). Di KUA kec. Semarang Tengah kota
Semarang penentuan wali nikah bagi anak perempuan yang lahir dari nikah hamil
adalah dengan menggunakan model/cara pertama sebagaimana yang telah diatur
oleh fiqh dimana jika sang anak gadis tersebut lahir kurang dari enam bulan setelah
pernikahan orang tuanya maka walinya hakim (Kepala KUA), namun jika ia lahir
lebih dari enam bulan dari peristiwa nikah kedua orang tuanya maka wali nikahnya
adalah nasab yaitu bapaknya.
75
2. Alasan mereka lebih memilih aturan fiqh dari pada UUP karena perkawinan wanita
hamil itu sebenarnya menunjukkan bahwa pembuahan telah terjadi sebelum akad
nikah sebagai sebab kehamilan. Setelah itu terjadilah perkawinan antara wanita
dengan pria yang menghamilinya. Selang beberapa bulan, anak yang dikandung pun
lahir. Dengan kata lain anak itu lahir akibat dari hubungan kedua orang tuanya
sebelum adanya akad perkawinan yang sah. Jika demikian berarti anak tersebut lahir
akibat dari perkawinan yang tidak sah. Oleh karenanya walaupun kemudian orang
tuanya menikah secara sah dan anak tersebut lahir sesudah perkawinan tersebut
statusnya tetap dianggap anak tidak sah. Dengan demikian berarti intisabnya hanya
kepada ibunya saja, sehingga suami ibunya (bapaknya) tidak berhak menjadi wali
nikah.
B. Saran
Dengan dilandasi oleh kerendahan hati, setelah penulis menyelesaikan
pembahsan sekripsi ini penulis akan memberikan saran-saran. Hal ini dimaksudkan
sebagai kritik konstruktif yang penulis lihat dilapangan yang berkaitan dengan
penentuan wali hikah bagi anak perempuan nikah hamil. Saran tersebut hanya satu yaitu
masalah penentuan wali nikah dari kasus diatas agar kelak diatur didalam perubahan
KHI menjadi Undang-undang, seperti telah dibahas dalam tulisan ini bahwa jika
konsepsi anak sebagaimana diatur dalam kitab-kitab fiqh menjadi ukuran dalam
menentukan status nasab mestinya UUP dan KHI memasukkan aturan tersebut dalam
pasal-pasalnya, sehingga ada kejelasan hukum status anak hasil nikah hamil.
76
C. Penutup
Tiada kata yang pantas terucap dan tertulis kecuali Al-hamdulillah atas ni’mat
yang telah diberikan Allah kepada penulis sehingga mampu menyelesaikan skripsi ini.
Tiada yang sempurna di dunia ini, begitu juga dengan penelitian penulis. Masih banyak
kekurangan disana-sini dalam penulisan skripsi ini. Oleh karenanya kritik dan saran
sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tulisan ini. Semoga penelitian ini
bermanfaat. Amin....
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jaziri, Abdurrahman, Kitab al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, Mesir: Maktabah al-Tijarah al-Kubra.
Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, Mesir, Mustafa al-Babi al-Halabi, 1967 Al-Muzani, Mukhtasar, didalam Al-Syafi’i, Al-Umm, IX Al-Shirazi, Al-Muhazzab, Beirut, Dar al- Fikr, Juz II Ahmad Qodri A. Azizi, Redifinisi Bermazhab dan Berijtihad : Al-Ijtihad al-ilm al-Asri, Pidato pengukuhan guru Besar dalam bidang Ilmu Hukum Islam IAIN WaliSongo Semarang tanggal 12 Juli 2003
The Concept of Mazhab and The question of ItsBoundary, al-Jami’ah, 59. 1996
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta, Kencana, 2006. Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Rajawali press, 1998. Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad: Isu-isu Penting Hukum Islam Kontemporer di Indonesia, Jakarta, Ciputat Press, 2002. Abu Daud, Sunan Abi Daud, Beirut, Dar al-Fikr, ttp al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, Beirut, Dar al-Fikr, ttp al-Nasa’i, Sunan al-Nasa’i, Beirut, Dar al-Fikr, ttp al-Darimi, Sunan al-Darimi, Beirut, Dar al-Fikr, ttp
Fathurrahman Djamil, “Pengakuan Anak Luar Nikah dan Akibat Hukumnya”, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Chuzaimah T Yanggo dan Hafiz AZ, Jakarta, Firdaus,1999. Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Beirut, Dar al-Fikr, ttp Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara; Studi terhadap Perundang-undangan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, Jakarta-Lieden: INIS.2002 Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia ( KMA ) Nomor 477 tahun 2004 tentang Pencatatan Nikah Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, Remaja Rosda Karya, 1991, Muslim, Sahih Muslim, Beirut, Dar al-Fikr, ttp Syams ad-Din as-Sarakhsi, al-Mabsuth, Beirut, Dar al-Ma’rufah, juz V,1989
.
Sudarwan Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif, Bandung : C.V. Pustaka Setia, 2002 Sanapiah Faisal, Forma-format Penelitian Sosial, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, Cet. IV, 1999