industri tempe

download industri tempe

of 91

description

umkm

Transcript of industri tempe

  • SKRIPSI

    STUDI PROFIL INDUSTRI TEMPE BERDASARKAN TINGKAT

    KESUKSESAN

    (Studi Kasus Industri Tempe di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor)

    Oleh

    ENDAR SUTRISNO

    F24101055

    2006

    DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN

    FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    BOGOR

  • Endar Sutrisno. F24101055. Studi Profil Industri Tempe Berdasarkan Tingkat Kesuksesan (Studi Kasus Industri Tempe di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor). Di bawah bimbingan Ir. Darwin Kadarisman, MS dan Tjahja Muhandri, STP, MT. 2006

    RINGKASAN

    Industri tempe merupakan industri kecil yang mampu menyerap sejumlah besar tenaga kerja baik yang terkait langsung dalam proses produksi maupun yang terkait dengan perdagangan bahan yang merupakan masukan maupun produk hasil olahannya. Prospek industri tempe sangat baik dimana pertumbuhan permintaan tempe setelah tahun 1998 dperkirakan mencapai 4 persen per tahun. Industri tempe memiliki peran yang sangat besar didalam usaha pemerataan kesempatan kerja, kesempatan usaha dan peningkatan pendapatan.

    Industri tempe pada umumnya dikelola dalam bentuk industri rumah tangga, sehingga perkembangannya selalu dihadapkan dengan permasalahan yang menyangkut bahan baku yaitu kedelai, ketersediaan dan kualitas faktor produksi, tingkat keuntungan, pemasaran serta permodalan.

    Penelitian ini bertujuan untuk melakukan pengelompokan industri tempe berdasarkan tingkat kesuksesannya di lokasi penelitian, mengetahui profil industri tempe di lokasi penelitian (Kecamatan parung) ditinjau dari beberapa aspek yaitu ketersediaan bahan baku, teknis maupun manajemen dan mengidentifikasi faktor-faktor kunci sukses industri tempe.

    Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode penelitian survei, pengamatan langsung dan wawancara terhadap responden. Masalah yang diteliti adalah profil dan faktor-faktor kunci sukses dari industri tempe yang berada di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor. Proses pengkajian masalah khusus ini terdiri dari kegiatan-kegiatan yang dimulai dengan penentuan tujuan penelitian, studi pustaka, pemilihan lokasi dan waktu penelitian, pengambilan sampel, pembuatan kuesioner, pengumpulan data, tabulasi data, analisis data, dan pembuatan laporan.

    Untuk mendapatkan faktor kunci sukses dari wirausaha tempe maka perlu diketahui tingkat kesuksesannya. Dalam mengidentifikasi kesuksesan industri kecil tempe indikator yang digunakan adalah perkembangan pemakaian bahan baku. Setelah diketahui rata-rata pemakaian bahan baku dan rata-rata kenaikan bahan baku dari setiap responden maka selanjutnya menentukan posisi industri kecil tempe. Salah satu cara yang digunakan dalam menentukan posisi industri kecil tempe adalah dengan menggunakan diagram cartesius perkembangan pemakaian bahan baku.

    Industri kecil tempe yang berada pada kuadran I (berpeluang sukses) adalah Casmani, Mito, Kartubi, Warniah, Karsiban, dan Sarwo. Industri yang berada pada kuadran II (sangat sukses) adalah Tambar. Industri yang berada pada kuadran III (sukses) adalah Rutaji, Carsian, Rayubi, H. Abdul Karim, Udi Susanto, Sumitro, dan Sukarnen. Industri kecil yang berada pada kuadran I (kurang sukses) adalah Caridi, Tasheri, Sigit, Suheri, Syawal, dan H. Munaji.

  • Dari Dari 22 faktor yang diidentifikasi, dianalisa dan dilakukan

    verifikasi di lapangan maka faktor-faktor yang diduga menjadi faktor kunci sukses dalam berwirausaha tempe di lokasi penelitian adalah target Pemasaran, lama usaha, pencatatan keuangan, pembagian peran sumberdaya manusia, anggaran dana khusus pemilik, tenaga pemasar yang tetap, dan cara menentukan harga. Sedangkan faktor lain yang tidak berpengaruh terhadap kesuksesan industri kecil tempe adalah tingkat pendidikan pengusaha, keikutsertaan dalam pelatihan kewirausahaan keanggotaan KOPTI, asal kedelai, sumber modal, pembinaan terhadap karyawan, Penambahan modal dari keuntungan, anggaran biaya pemeliharaan peralatan, alat transportasi pemasaran, evaluasi kegiatan pemasaran, cara pembayaran bahan baku, jarak tempat membeli kedelai dengan lokasi usaha, pemisahan uang pribadi dan uang usaha, modal awal, dan persyaratan kedelai.

    Dari penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat 4 kelompok industri kecil tempe di lokasi penelitian, dimana dari 20 responden yang dijadikan sampel, 30% responden tergolong industri berpeluang sukses, 5% responden tergolong industri sangat sukses, 35% responden tergolong industri sukses dan 30% responden tergolong industri kurang sukses. Industri kecil tempe sukses dan sangat sukses memiliki profil yang relatif sama, diantaranya dalam hal pencatatan keuangan usaha, target pemasaran, pembagian peran sumberdaya manusia, cara menentuan harga tempe , dan sudah terdapat tenaga pemasar khusus yang tetap, sedangkan hal yang membedakan adalah dalam hal jumlah dan perkembangan pemakaian bahan baku kedelai, lama usaha dan aktivitas penambahan modal. Hal-hal yang diduga menjadi faktor kunci sukses dari industri tempe di lokasi penelitan adalah target Pemasaran, lama usaha, pencatatan keuangan, pembagian peran sumberdaya manusia, anggaran dana khusus pemilik, tenaga pemasar yang tetap, dan cara menentukan harga.

  • STUDI PROFIL INDUSTRI TEMPE BERDASARKAN TINGKAT

    KESUKSESAN

    (Studi Kasus Industri Tempe di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor)

    SKRIPSI

    Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

    SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

    Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

    Fakultas Teknologi Pertanian

    Institut Pertanian Bogor

    Oleh

    ENDAR SUTRISNO

    F24101055

    2006

    DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN

    FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    BOGOR

  • STUDI PROFIL INDUSTRI TEMPE BERDASARKAN TINGKAT

    KESUKSESAN

    (Studi Kasus Industri Tempe di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor)

    SKRIPSI

    Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

    SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

    Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

    Fakultas Teknologi Pertanian

    Institut Pertanian Bogor

    Oleh

    ENDAR SUTRISNO

    F24101055

    Dilahirkan Di Sragen pada tanggal 25 Maret 1982

    Tanggal lulus : Juni 2006

    Menyetujui,

    Bogor, Juni 2006

    Tjahja Muhandri, STP, MT Ir. H. Darwin Kadarisman, MS

    Dosen Pembimbing II Dosen Pembimbing I

    Mengetahui,

    Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc

    Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

  • RIWAYAT HIDUP

    Penulis dilahirkan di Sragen pada tanggal 25 maret 1982

    sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan

    Supardi dan Rusmini. Pada tahun 1989 penulis memulai

    Pendidikannya di SDN Pringanom III Masaran hingga tahun

    1995. Pada tahun 1995 1998 penulis menempuh

    pendidikan lanjutan pertama di SMP Negeri 1 Sidoharjo. Pada tahun 1998 2001

    penulis melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 2 Sragen. Pada tahun 2001

    penulis diterima di Institut Pertanian Bogor jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan

    melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama kuliah penulis

    pernah aktif di beberapa organisasi diantaranya di Himpunan Mahasiswa Ilmu dan

    Teknologi Pangan (HIMITEPA) dan Forum Bina Islami Fateta (FBI-F). Selain itu

    penulis juga pernah menjadi asisten praktikum Pendidikan Agama Islam (PAI)

    dan beberapa kegiatan seperti Lepas Landas Sarjana Fateta, Baur HIMITEPA, dan

    Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan HIMITEPA. Untuk menyelesaikan studi di

    Depertemen Ilmu dan Teknologi Pangan FATETA-IPB penulis melaksanakan

    penelitian survei dengan judul: Studi Profil Industri Tempe Berdasarkan Tingkat

    Kesuksesan (Studi Kasus Industri Tempe di Kecamatan Parung, Kabupaten

    Bogor).

  • I. PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Sektor perindustrian merupakan sektor yang cukup diandalkan dalam

    perekonomian di Indonesia, karena sektor ini mampu menjadi salah satu

    penyumbang devisa negara yang cukup besar nilainya. Sejak tahun 1991

    sektor perindustrian telah mampu melewati sektor pertanian dalam

    menyumbang pembentukan PDB Indonesia (Sarah, 2001). Sektor industri

    memiliki peran yang penting dalam memperluas kesempatan kerja,

    meningkatkan pendapatan perkapita, menumbuhkan keahlian, menunjang

    pembangunan daerah, serta memanfaatkan sumber daya alam (SDA), energi

    dan sumber daya manusia (SDM).

    Keterkaitan antara sektor pertanian dengan sektor perindustrian perlu

    terus ditingkatkan dengan mengembangkan agroindustri. Pengembangan

    agroindustri diharapkan mampu meningkatkan pertumbuhan industri kecil

    sekaligus untuk mengentaskan kemiskinan. Sejarah membuktikan bahwa

    keberhasilan ekonomi sebuah negara tidak hanya tertumpu pada industri

    manufaktur dan jasanya tetapi juga tangguh dalam agroindustrinya seperti

    Amerika Serikat dan Australia, sedangkan negara yang menomorduakan

    sektor pertanian mengalami kekurangan pangan yang cukup besar sehingga

    mengalami kemunduran perekonomian seperti yang dialami oleh Rusia.

    Menurut Darwis et al (1983), agroindustri adalah kegiatan industri yang

    memanfaatkan hasil-hasil pertanian sebagai bahan baku, merancang dan

    menyediakan peralatan seperti mesin dan alat-alat pertanian serta menciptakan

    jasa untuk kegiatan tersebut dalam hal ini kegiatan pemasarannya. Dengan

    demikian agroindustri meliputi industri pengolahan hasil pertanian, industri

    peralatan dan mesin pertanian serta industri jasa.

    Salah satu agroindustri yang cukup potensial adalah industri tempe.

    Umumnya tempe digunakan sebagai lauk-pauk dan sebagai makanan

    tambahan atau jajanan. Potensi tempe dalam meningkatkan kesehatan dan

    harganya relatif murah memberikan alternatif pilihan dalam pengadaan

    makanan bergizi yang dapat dijangkau oleh segala lapisan masyarakat.

  • Industri tempe merupakan industri kecil yang mampu menyerap

    sejumlah besar tenaga kerja baik yang terkait langsung dalam proses produksi

    maupun yang terkait dengan perdagangan bahan yang merupakan masukan

    maupun produk hasil olahannya. Prospek industri tempe sangat baik dimana

    pertumbuhan permintaan tempe setelah tahun 1998 dperkirakan mencapai 4

    persen per tahun (Solahudin, 1998). Industri tempe memiliki peran yang

    sangat besar didalam usaha pemerataan kesempatan kerja, kesempatan usaha

    dan peningkatan pendapatan.

    Menurut Ambarwati (1994), industri tempe pada umumnya dikelola

    dalam bentuk industri rumah tangga, sehingga perkembangannya selalu

    dihadapkan dengan permasalahan yang menyangkut bahan baku yaitu kedelai,

    ketersediaan dan kualitas faktor produksi, tingkat keuntungan, pemasaran serta

    permodalan.

    Pendapatan para pengrajin tempe sangat tergantung dari penjualan dan

    biaya yang dikeluarkan. Penjualan yang dilakukan pengrajin tempe belum

    mampu mendatangkan keuntungan yang optimal karena harganya yang murah,

    dan disisi lain biaya yang dikeluarkan untuk bahan baku semakin besar dengan

    adanya krisis ekonomi. Keberadaan ini sangat mempengaruhi efisiensi usaha

    pengrajin tempe, sehingga banyak pengrajin tempe yang tidak mampu

    berproduksi lagi (Sari, 2002).

    Penelitian yang dilakukan Sebayang (1994) di Bogor menunjukkan

    bahwa kondisi tempe cenderung bersifat statis artinya pengusaha industri

    tempe merasa cukup dengan kondisi yang ada, serta berusaha dengan

    pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dari keluarga maupun

    kenalannya. Meskipun demikian, kesimpulan ini belum tentu tepat, karena ada

    kemungkinan bahwa sifat statis lebih disebabkan oleh karakteristik usaha itu

    sendiri.

    Posisi industri tempe kian terpuruk akibat sistem penjualan secara

    tradisional dengan kemasan yang kurang menarik dan tempat penjualan yang

    kurang bersih dan kurang strategis. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap

    penjualan tempe sehingga kegiatan usaha tempe belum mampu memberikan

    keuntungan yang optimal.

  • Usaha tempe sangat tergantung pada kedelai impor. Ketergantungan

    dari kedelai impor ini terjadi karena tempe yang dihasilkan dari kedelai impor

    memiliki penampilan dan rasa yang lebih unggul, tidak menghasilkan bau

    langu atau bau khas yang terdapat pada tempe yang menggunakan kedelai

    lokal dan tidak menghasilkan rasa pahit (Nurhayati, 2001).

    Peningkatan harga kedelai impor memberikan dampak yang besar

    terhadap industri tempe dimana biaya bahan baku ini mengambil porsi

    sebanyak 82,99 persen dari total biaya produksi (Dermawan, 1999).

    Peningkatan harga kedelai impor mengakibatkan pengrajin tempe di beberapa

    wilayah tidak berproduksi lagi dan pindah ke usaha lain. Hal ini diduga terjadi

    karena modal yang dimiliki terbatas untuk membeli kedelai akibat fluktuasi

    harga kedelai. Namun kondisi seperti ini ternyata masih dapat disiasati oleh

    beberapa pengrajin tempe di beberapa tempat di Indonesia. Beberapa

    pengrajin masih dapat bertahan dan bahkan berkembang. Berdasarkan hasil

    penelitian dibeberapa daerah memang telah dijumpai pengusaha tempe yang

    memiliki kapasitas produksi riel jauh berada di atas rata-rata industri tempe

    yaitu diatas 2.000 kilogram bahan baku kedelai untuk setiap harinya,

    sementara sebagian besar pengrajin masih berada dibawah 100 kilogram

    perhari (Soetrisno dan Sapuan, 1996).

    Dari uraian di atas, masalah yang akan diteliti adalah kondisi usaha

    tempe sekarang ini di lokasi penelitian, kunci sukses dari pengrajin tempe

    yang masih dapat bertahan dan bahkan berkembang ditengah kondisi sekarang

    ini.

    B. Tujuan Penelitian

    Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk:

    1. Melakukan pengelompokan industri tempe berdasarkan tingkat

    kesuksesannya di lokasi penelitian

    2. Mengetahui profil industri tempe di lokasi penelitian (Kecamatan parung)

    ditinjau dari beberapa aspek yaitu ketersediaan bahan baku, teknis maupun

    manajemen.

    3. Mengidentifikasi faktor-faktor kunci sukses industri tempe.

  • C. Manfaat Penelitian

    1. Bagi para pengrajin tempe merupakan bahan masukan dalam mengelola

    dan mengembangkan usahanya.

    2. Bagi pembuat kebijakan (lembaga/instansi) merupakan bahan masukan

    dan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan pengembangan industri

    kecil tempe.

    3. Bagi kalangan akademisi seperti mahasiswa, dosen dan peneliti merupakan

    bahan referensi untuk penelitian lebih lanjut dalam rangka pengembangan

    sektor industri kecil tempe.

  • II. TINJAUAN PUSTAKA

    A. KEADAAN INDUSTRI KECIL DI INDONESIA

    1. Definisi dan Kriteria

    Perusahaan atau usaha industri adalah suatu unit usaha yang

    melakukan kegiatan ekonomi, yang bertujuan menghasilkan barang atau

    jasa (BPS, 1995). Sedangkan kegiatan ekonomi adalah kegiatan yang

    bertujuan untuk memperoleh keuntungan. Dengan demikian industri kecil

    merupakan perusahaan atau unit usaha industri yang melakukan kegiatan

    ekonomi dalam skala kecil.

    Menurut surat keputusan Menteri Perindustrian Nomor :

    13/M/SK/3/1990 dinyatakan bahwa industri kecil adalah industri yang

    memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam kriteria bidang usaha yaitu

    kelompok industri yang mempunyai investasi tidak lebih dari 600 juta

    rupiah (mencakup bangunan, mesin dan peralatan) dan pemiliknya adalah

    warga negara Indonesia.

    Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri mendefinisikan

    perusahaan kecil adalah badan usaha yang karena terbatasnya kemampuan

    mengelola dan berorganisasi, modal serta keterampilan, hanya mampu

    melakukan kegiatan usaha di bidang tertentu yang kecil dan terbatas.

    Selanjutnya dikatakan ciri umum dari industri kecil adalah modal usaha

    terbatas, manajemen dan administrasi yang belum baik, sarana dalam

    mengelola pemasaran masih terbatas, dan pengetahuan pemasaran yang

    masih kurang

    Menurut Departemen Koperasi dan Usaha kecil Menengah usaha

    kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat beskala kecil dengan kriteria sebagai

    berikut : 1) kekayaan bersih maksimal Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta

    rupiah) tidak temasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau 2) penjualan

    tahunan maksimal Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) 3) milik warga

    negara Indonesia 4) berdiri sendiri dan bukan merupakan anak perusahaan

    atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik

  • langsung maupun tidak langsung dengan usaha menengah maupun usaha

    besar.

    Dilihat dari sistem manajemen kelompok ini biasanya masih

    berbentuk organisasi tradisional yang didasarkan pada sistem

    kekeluargaan, efisiensi produk sangat rendah, sistem administrasi

    keuangan kurang tertata baik. Dari segi pemasaran, pengusaha belum

    mengembangkan produknya pada mutu dan standar yang baku,

    kemampuan mendesain produk yang masih rendah, pengiriman kurang

    tepat, serta belum dapat memenuhi kuantitas produk yang diinginkan oleh

    konsumen. Kendala teknologi juga menjadi faktor yang menyebabkan

    produk yang dihasilkan bersifat monoton dan sulit berkembang (Susidarto,

    1995).

    2. Jumlah Industri Kecil

    Data Departemen Koperasi dan Usaha Kecil Menengah pada tahun

    2003 memperlihatkan bahwa jumlah industri kecil di Indonesia sebanyak

    42.326.519 unit yang terdiri dari 24.735.693 unit pada sektor pertanian,

    perikanan dan peternakan, 379.141 unit pada sektor pertambangan dan

    penggalian, 2.560.846 unit pada sektor industri pengolahan, 9.185 unit

    pada sektor listrik, gas dan air bersih, 170.359 unit pada sektor bangunan,

    8.456 unit pada sektor perdagangan, hotel dan restoran, 2.963.768 unit

    pada sektor pengangkutan dan komunikasi, 29.508 unit pada sektor

    keuangan, persewaan jasa perusahaan, dan 3.021.955 unit pada sektor jasa-

    jasa. Industri tempe termasuk dalam kategori industri pengolahan non migas. Data jumlah industri kecil berdasarkan sektor ekonomi dapat dilihat pada tabel 1.

  • Tabel 1. Jumlah industri kecil berdasarkan sektor ekonomi tahun 1999 s/d Tahun

    2003

    Sektor Tahun 1999 Tahun 2000

    Tahun 2001

    Tahun 2002

    Tahun 2003

    Pertanian, peternakan dan

    perikanan 23.174.579 23.516.865 24.012.534 24.619.874 24.735.693

    Pertambangan dan panggalian 132.617 150.495 199.382 285.752 379.141

    Industri pengolahan 2.526.163 2.536.886 2.551.347 2.556.693 2.560.846

    Listrik,gas dan air bersih 4.492 3.868 4.372 8.099 9.185

    Bangunan 102.332 120.750 111.033 187.360 170.359

    Perdagangan,hotel dan restoran 8.688.215 8.675.045 8.477.380 8.466.650 8.456.064

    Pengangkutan dan komunikasi 1.707.762 1.868.081 1.779.150 2.295.984 2.963.768

    Keuangan, perseroan, jasa

    perusahaan 24.143 25.034 25.667 27.392 29.508

    Jasa-jasa 1.499.206 1.699.416 1.692.876 2.258.472 3.021.955

    Jumlah 37.859.509 38.669.355 38..853.741 40.705.676 42.326.519

    Sumber : Departemen Koperasi dan Usaha Kecil Menengah tahun 2004 (diolah)

    3. Permasalahan Yang Dihadapi

    Permasalahan yang timbul dalam pengembangan industri kecil dan

    rumah tangga (khususnya agroindustri) adalah pengadaan bahan baku,

    modal, manajemen dan pemasaran. Menurut Apretty (2000), permasalahan

    dalam pengadaan bahan baku disebabkan karena berbagai hal, antara lain

    sifat produk pertanian yang musiman, tingkat keragaman yang tinggi,

    jumlah produksi yang melimpah pada suatu waktu, mudah rusak dan tidak

    tahan lama.

  • Permasalahan lain yang sering dihadapi oleh usaha kecil dan rumah

    tangga adalah rendahnya kemampuan dalam mengakses kepada sumber-

    sumber permodalan, baik yang berbentuk lembaga keuangan bank maupun

    bukan-bank. Ketidakseimbangan akses bagi usaha kecil dan rumah tangga

    dalam mendapatkan sumber-sumber permodalan untuk mengembangkan

    usahanya menyebabkan produk usaha kecil dan rumah tangga kurang

    mampu bersaing di pasar. Sistem perbankan dengan persyaratan-

    persyaratan teknis yang diberlakukan bagi calon peminjam tidak

    berkesesuaian dengan kondisi sebagian besar usaha kecil dan rumah

    tangga yang ada.

    Pemasaran pada industri kecil umumnya kurang atau tidak

    mengetahui jenis produk yang sedang gencar di pasaran. Terkadang

    pengusaha tidak menghasilkan produk dengan mutu yang sesuai dengan

    tuntutan pasar dan selera konsumen dan juga kurang mampu untuk

    memproduksi dalam jumlah yang besar dalam waktu yang cepat sehingga

    permintaan pasar tidak dapat dipenuhi. Selain itu strategi pemasaran yang

    dijalankan relatif sangat sederhana serta wilayah pemasaran yang terbatas

    pada daerah yang dekat dengan lokasi usaha (Apretty, 2000).

    Masalah manajemen usaha bagi industri kecil merupakan unsur

    penting bagi pengembangan usaha. Menurut Sarah (2001), pengelolaan

    industri kecil umumnya masih bersifat tradisional dan belum berorentasi

    pada manajemen usaha yang profesional. Pola manajemen tradisional

    biasanya ditandai dengan masih sulitnya memisahkan antara aktivitas

    keluarga dengan aktivitas perusahaan. Selain itu manajemen usaha pada

    industri kecil umumnya juga belum bisa mengembangkan manajemen

    keuangan dan personalia dengan baik.

  • B. KEADAAN INDUSTRI KECIL PANGAN DI INDONESIA

    1. Jumlah Industri Kecil Pangan

    Industri pangan berskala kecil dan rumah tangga terus berguguran

    dan gulung tikar karena tidak mampu meningkatkan daya saing.

    Ketidakmampuan usaha berskala kecil dan rumah tangga meningkatkan

    daya saing itu lebih disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang belum

    sepenuhnya memihak kepada pengusaha kecil (Anonim, 2004).

    Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2003, jumlah

    industri pangan, khususnya yang berskala kecil dan rumah tangga, turun

    sejak tahun 2000 sampai 2002, kata Direktur Eksekutif Gabungan

    Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) Thomas

    Darmawan di Jakarta, akhir pekan lalu (Anonim, 2004).

    Thomas menjelaskan, jumlah industri pangan berskala kecil tahun

    2002 sebanyak 49.530 industri. Jumlah ini menurun dari tahun 2001 yang

    mencapai 60.020 industri dan tahun 2000 berjumlah 63.613 industri.

    Sementara jumlah industri pangan berskala rumah tangga tahun 2002

    sebanyak 789.251. Tahun 2001 jumlah industri tersebut sebanyak 798.201

    dan tahun 2000 sebanyak 814.037 (Anonim, 2004).

    2. Permasalahan Yang Dihadapi

    Penurunan jumlah industri pangan berskala kecil dan rumah tangga

    disebabkan beberapa faktor, diantaranya kebijakan pemerintah untuk

    melindungi komoditas pertanian melalui penerapan tarif yang tinggi dan

    tata niaga, beredarnya produk pangan impor ilegal, dan masuknya

    perusahaan multinasional dalam industri pangan (Anonim, 2004).

    Selain itu juga biaya yang tinggi seperti untuk listrik, bahan bakar

    minyak (BBM), serta penerapan standar produk yang kurang dapat

    dipenuhi industri kecil. Sebagai contoh ketentuan tata niaga impor gula.

    Dengan ketentuan itu, industri besar dapat mengimpor gula dengan

    volume yang besar. Dengan demikian, harga pun menjadi lebih murah.

    Sementara itu, industri kecil yang tidak mampu mengimpor tetap harus

  • membeli gula dari pasar dalam negeri dengan harga yang lebih tinggi

    (Anonim, 2004).

    Selain itu, dengan masuknya investasi asing, beberapa industri

    kecil semakin terjepit. Misalnya, kehadiran hipermarket yang menjual

    banyak produk termasuk produk pangan dari luar negeri. Ada juga

    perusahaan multinasional yang mengakuisisi perusahaan lokal sehingga

    industri lokal tidak tumbuh.

    Dengan penurunan jumlah industri pangan berskala kecil, jumlah

    tenaga kerja pun berkurang. Jumlah tenaga kerja industri pangan berskala

    kecil pada tahun 2002 sebanyak 391.450 orang dan tahun 2001 sebanyak

    474.356 orang. Sementara jumlah tenaga kerja industri pangan berskala

    rumah tangga pada tahun 2002 sebanyak 1.623.568 orang dan pada tahun

    2001 sebanyak 1.641.979 orang (Anonim, 2004).

    C. KRITERIA KEBERHASILAN INDUSTRI KECIL

    Keberhasilan perusahaan dapat dinilai dari analisis keuangan dalam

    bentuk rasio keuangan. Data keuangan yang digunakan adalah dari laporan

    neraca keuangan, laporan laba rugi serta laporan pendapatan (Riyanto,

    1990).

    Menurut Departemen Perindustrian (1990) di dalam Asri (1994),

    keberhasilan usaha dapat dilihat dari perkembangan usaha. Usaha yang

    berkembang dapat diketahui melalui beberapa elemen yang mendukung

    pada aktivitas perkembangan usaha, yaitu perkembangan pemasaran,

    perkembangan pembeli, perkembangan tenaga kerja, perkembangan modal

    kerja, perkembangan keuntungan, perkembangan pemakaian bahan dan

    perkembangan hasil produksi. Hal ini didasarkan pada sifat industri kecil

    tersebut yakni bersifat padat karya. Menurut Nurhayati (1984) di dalam

    Diano (1990), kriteria keberhasilan suatu perusahaan dapat diartikan secara

    kuantitatif dan kualitatif. Perkembangan kuantitatif diantaranya adalah

    perkembangan omset dan jumlah tenaga kerja pada periode tertentu.

    Perkembangan kualitatif diantaranya adalah peningkatan dari mutu produk,

    peningkatan kualitas moral pimpinan atau buruh. Peningkatan mutu produk

  • yang dihasilkan industri kecil dapat diketahui melalui persentase pemenuhan

    standar produk menurut permintaan konsumen. Dalam pengertian semakin

    besar tingkat persentase pemenuhan standar produk, maka mutu produk

    industri kecil meningkat.

    Menurut Asri (1994), sikap kewiraswastaan memiliki hubungan

    positif dengan tingkat keberhasilan pengusaha kecil. Indikator keberhasilan

    usaha yang biasa ditinjau dari nilai penjualan, sangat dipengaruhi oleh sikap

    kewiraswastaan pengusaha. Sikap kewiraswastaan pengusaha itu meliputi

    pembinaan modal, faktor manajemen, faktor kesediaan dalam mengambil

    resiko dan faktor inovasi. Dalam pembinaan modal ditandai dengan

    pemanfaatan keuntungan untuk mengembangkan usaha seperti pembelian

    alat dan peningkatan pemasaran, sedangkan dari faktor manajemen ditandai

    dengan adanya sikap mengkoordinir, merencanakan, dan menyusun jadwal

    dari berbagai kegiatan produksi. Sikap kepemimpinan dapat juga dilihat dari

    sikap pengusaha dalam kegiatan kemasyarakatan. Dari faktor kesediaan

    dalam mengambil resiko dicirikan oleh keinginan pengusaha untuk

    berprestasi tinggi dan keberanian dalam mengambil resiko dalam

    berwiraswasta, tetapi tidak menyukai kegiatan yang hasilnya sama sekali

    diluar kemampuan atau kegiatan yang mengandung resiko sangat tinggi.

    Dari faktor inovasi dicirikan oleh sikap pengusaha yang bersedia menerima

    perubahan, dan selalu mencoba berbagai alternatif serta mengembangkan

    inovasi untuk barang dan jasa dalam bidang usaha lain.

    D. KEADAAN INDUSTRI TEMPE DI BOGOR

    1. Jumlah dan Sebaran Industri Tempe

    Industri tempe umumnya merupakan sektor informal yang

    jumlahnya sulit diketahui secara pasti. Hanya sedikit industri tempe yang

    mendaftarkan usahanya ke Departemen Perindustrian. Akan tetapi

    kebanyakan industri tempe tercatat dalam keanggotaan KOPTI ( Koperasi

    Tahu Tempe Indonesia). Berdasarkan data yang diperoleh dari KOPTI,

    sampai saat ini di Kabupaten Bogor terdapat 786 penggrajin tempe dengan

    persentase peningkatan 10% pertahun sampai dengan tahun 1999.

  • Sedangkan di wilayah kotamadya terdapat 165 pengrajin tempe. Berbeda

    dengan Kabupaten Bogor, kotamadya Bogor mengalami penurunan jumlah

    pengrajin tempe sebesar 50%. Penurunan ini terjadi karena beberapa

    wilayah pelayanan yang dulu tergabung dalam KOPTI kotamadya Bogor

    sekarang berpindah ke KOPTI daerah masing-masing seperti Kabupaten

    Bogor, Sukabumi dan Cianjur. Industri tempe yang tergabung dalam

    keanggotaan KOPTI Kotamadya Bogor tersebar dalam 17 wilayah

    pelayanan yang terdapat dalam 5 kecamatan yaitu Bogor barat, Bogor

    timur, Bogor tengah, Bogor selatan dan Bogor utara, sedangkan di

    Kabupaten Bogor tersebar kedalam 19 wilayah pelayanan. Setiap wilayah

    pelayanan dikepalai oleh seorang kepala wilayah pelayanan kedelai (KWP)

    yang ditetapkan dari KOPTI. Wilayah pelayanan kedelai di Kabupaten

    Bogor meliputi Cimanggis, Citeureup, Cibinong, Sawangan 1 dan 2, Parung

    1 dan 2, Depok 1 dan 2, Semplak, Kedung Halang, Cimanggu 1 dan 2,

    Ciawi, Caringin, Pancasan, Cikreteg, Leuwiliang, dan Ciampea. Jumlah

    industri tempe yang terdapat pada Kabupaten bogor dapat dilihat pada tabel

    2.

  • Tabel 2. Rekapitulasi jumlah Anggota KOPTI Kabupaten Bogor No Wilayah pelayanan Jumlah anggota 1 Cimanggis 65 2 Citeureup 107 3 Cibinong 56 4 Sawangan 1 63 5 Sawangan 2 17 6 Parung 1 62 7 Parung 2 42 8 Depok 1 69 9 Depok 2 120 10 Semplak 28 11 Kedung Halang 21 12 Cimanggu 1 18 13 Cimanggu 2 22 14 Ciawi 8 15 Caringin 2 16 Pancasan 7 17 Cikreteg 16 18 Leuwiliang 30 19 Ciampea 33

    Jumlah 786 Sumber : KOPTI Kabupaten Bogor tahun 1999 (diolah)

    2. Skala Pemakaian Bahan Baku

    Sebelum monopoli BULOG atas kedelai impor dicabut para

    pengrajin tempe mendapatkan kedelai dari KOPTI. Setiap anggota KOPTI

    berhak memperoleh jatah yang telah ditetapkan. Untuk mempermudah

    pengambilan jatah, setiap wilayah memiliki seorang kepala wilayah

    pelayanan yang akan mendistribusikan kedelai dari KOPTI. Akan tetapi

    setelah monopoli BULOG dicabut para pengrajin tempe mendapatkan

    kedelai dari luar KOPTI yaitu di toko-toko Cina. Dari semua anggota

    KOPTI, 70% pengrajin tempe membeli kedelai dari pedagang Cina dan

    30% pengrajin tempe memperoleh kedelai dari KOPTI. Pada akhir tahun

    2005 KOPTI melakukan pendataan pemakain bahan baku ke wilayah-

    wilayah pelayanan. Dari hasil pendataan diperoleh skala kebutuhan kedelai

    di Kabupaten Bogor antara 50-800 kg/hari dengan rata-rata pemakaian 75

    kg/hari. Dalam sebulan kedelai yang dipakai untuk produksi tempe sekitar

  • 875 ton. Sedangkan di Kotamadaya Bogor skala kebutuhan bahan baku

    antara 10-150 kg/hari dengan rata-rata pemakaian 75 kg/hari. Dalam

    sebulan kebutuhan bahan baku kedelai di Kotamadya Bogor sebesar 300

    ton. Hampir sama dengan di Kabupaten sumber perolehan bahan baku

    kedelai pengrajim berasal dari pedagang Cina, hanya 10% pengrajin tempe

    yang mengambil bahan baku kedelai dari KOPTI.

    3. Permasalahan Industri Tempe di Bogor

    Masalah utama yang dihadapi para pengrajin tempe adalah biaya

    produksi yang semakin tinggi. Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM)

    menjadikan harga kedelai dan harga bahan-bahan seperti kemasan baik

    plastik maupun daun, ragi dan minyak tanah menjadi naik. Kenaikan harga

    barang-barang tersebut telah menyebabkan biaya produksi yang dikeluarkan

    juga semakin besar. Kondisi ini sangat dirasakan oleh para pengrajin tempe

    yang mempunyai modal pas-pasan sehingga jalan keluar yang terbaik untuk

    bertahan dalam industri tempe adalah dengan mengurangi volume produksi.

    Pemasaran untuk menyalurkan tempe dari produsen ke konsumen

    pada industri tempe masih merupakan masalah. Hal ini dikarenakan kurang

    dikuasainya informasi pasar yang berkaitan dengan pola permintaan

    konsumen baik jenis, jumlah, mutu dan harga produk. Selain itu kurangnya

    kemampuan dalam strategi pemasaran serta terbatasnya wilayah pemasaran

    juga menjadi masalah di industri tempe.

    Masalah lain dari industri tempe adalah kurangnya rasa memiliki

    anggota terhadap KOPTI. Padahal dengan partisipasi anggota terhadap

    KOPTI maka peran-peran KOPTI seperti pembinaan, penyuluhan, adanya

    simpanan kesejahteraan, dan tunjangan kesejahteraan akan sangat

    membantu kesejahteraan pengrajin tempe.

  • III. METODOLOGI PENELITIAN

    A. Kerangka Pemikiran

    Keterangan :

    I : industri kecil tempe berpeluang sukses II : industri kecil tempe sangat sukses III : industri kecil tempe sukses IV : industri tempe kurang sukses

    Gambar 1 . Kerangka berfikir penelitian

    Kelompok industri

    II

    Kelompok industri

    IV

    Pengelompokan Industri

    Diagram cartesius Perkembangan

    pemakaian bahan baku

    Industri tempe

    Kelompok industri

    III

    Kelompok industri

    I

    Eksplorasi 6 aspek pendukung sukses

    Pembandingan

    Faktor kunci sukses

    Verifikasi di lapangan

  • Industri tempe merupakan salah satu agroindustri rumah tangga yang

    sangat potensial untuk dikembangkan. Hal ini dikarenakan industri tempe

    telah mampu menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan, dan

    meningkatkan perekonomian masyarakat pedesaan. Ditengah-tengah

    persaingan dengan industri rumah tangga lain baik yang dalam bidang pangan

    maupun non pangan serta iklim usaha yang semakin sulit menuntut industri

    tempe untuk lebih kreaktif dalam menjalankan usaha. Agar dapat bertahan dan

    berkembang industri tempe perlu mengetahui faktor kunci sukses dalam

    berwiraswasta tempe. Pengetahuan faktor kunci sukses berwirausaha tempe

    akan membantu para pengrajin tempe dalam menjalankan usaha. Selain itu

    pengetahuan faktor kunci sukses dalam berwirausaha tempe juga akan

    membantu pihak-pihak yang terkait dalam pembinaan untuk membina para

    pengrajin tempe secara efektif dan efisien.

    Untuk mengetahui informasi tentang faktor kunci sukses dalam

    berwirausaha tempe perlu diadakan suatu penelitian survei. Faktor kunci

    sukses diperoleh dengan mengeksplorasi enam faktor pendukung kesuksesan

    yang meliputi aspek umum, pengadaan bahan baku, SDM, finansial, produksi

    dan pemasaran. Dari eksplorasi akan diketahui kondisi umum industri tempe

    di lokasi penelitian. Setelah diketahui kondisi umum industri tempe, kemudian

    industri tempe dikelompokkan kedalam empat kelompok industri yaitu

    industri berpeluang sukses, industri sangat sukses, industri sukses dan industri

    kurang sukses. Pengelompokan menggunakan diagram cartesius

    perkembangan pemakaian bahan baku selama empat tahun terakhir. Alasan

    pemakaian bahan baku digunakan sebagai parameter adalah karena bahan

    baku merupakan faktor yang sangat kritis dalam industri tempe. Ketersediaan

    kedelai impor sangat berpengaruh terhadap kelangsungan usaha tempe. Dari

    kelompok-kelompok industri tempe tersebut kemudian akan dibandingkan

    faktor pendukung kesuksesan usaha. Untuk memperkuat dugaan terhadap hal-

    hal yang menjadi faktor kunci sukses, maka dilakukan verifikasi di lapangan.

  • B. Langkah-langkah Penelitian

    Gambar 2. Langkah-langkah penelitian

    Penentuan tujuan penelitian

    Studi pustaka ( metode penelitian survei, cara

    penyusunan kuesioner, penyebaran industri tempe)

    Pengumpulan data

    Pembuatan kuesioner

    Tabulasi data

    Pemilihan lokasi dan waktu penelitian

    Pengambilan sampel

    Analisa data

    Pembuatan laporan

  • Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode penelitian

    survei, pengamatan langsung dan wawancara terhadap responden. Masalah

    yang diteliti adalah profil dan faktor-faktor kunci sukses dari industri tempe

    yang berada di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor.

    Proses pengkajian masalah khusus ini terdiri dari kegiatan-kegiatan

    yang dimulai dengan penentuan tujuan penelitian, studi pustaka, pemilihan

    lokasi dan waktu penelitian, pengambilan sampel, pembuatan kuesioner,

    pengumpulan data, tabulasi data, analisis data, dan pembuatan laporan.

    Langkah-langkah penelitian secara terperinci ialah :

    1. Penentuan tujuan penelitian

    Tujuan penelitian merupakan hal yang mendasari landasan berfikir

    untuk menentukan langkah-langkah penelitian dan pemecahan masalah yang

    ingin dicapai sehingga penelitian akan menjadi terarah.

    2. Studi pustaka

    Studi pustaka dilakukan untuk mendapatkan pengetahuan dan

    wawasan mengenai topik yang dikaji dalam hal ini berkaitan dengan profil

    industri tempe berdasarkan tingkat kesuksesannya. Selain itu studi pustaka

    juga digunakan untuk mendapatkan informasi tentang metode penelitian,

    yaitu metode survei. Studi pustaka diperoleh dari buku-buku, internet,

    skripsi maupun laporan-laporan lain yang berhubungan dengan topik

    penelitian.

    3. Pemilihan lokasi dan waktu penelitian

    Pemilihan lokasi pada penelitian ini dilakukan secara sengaja

    (purposive) yaitu di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa

    Barat. Dalam penentuan lokasi ini berdasarkan pada pertimbangan : (1)

    daerah tersebut merupakan salah satu daerah sentra produksi tempe di

    Kabupaten Bogor ; (2) daerah tersebut relatif dekat dengan tempat tinggal

    peneliti sehingga dapat menekan biaya penelitian.

    Waktu penelitian dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama

    mengumpulkan data sekunder yang diperlukan dan dilaksanakan pada bulan

    Juni-Juli 2005, sedangkan tahap kedua mengumpulkan data primer di

  • lapang yang dilaksanakan pada bulan Agustus-Oktober 2005. Tahap akhir

    yaitu pengolahan dan analisa data, serta pembuatan laporan.

    4. Pengambilan sampel

    Industri kecil tempe yang dijadikan sampel dalam penelitian

    adalah industri tempe yang berada di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor

    yang terdaftar di Koperasi Tahu Tempe Indonesia (KOPTI) Kabupaten

    Bogor maupun yang tidak terdaftar pada instansi tersebut. Industri yang

    dimaksud dalam penelitian ini adalah industri yang memenuhi kriteria

    Undang-Undang no 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil yang menyatakan

    bahwa industri kecil merupakan kegiatan ekonomi rakyat yang memiliki

    kekayaan bersih paling banyak Rp 200 juta tidak termasuk bangunan tempat

    usaha dan memiliki omset tahunan paling banyak Rp 1 milyar.

    Jumlah sampel yang diambil sebanyak 20 responden dari 104

    responden pengrajin tempe yang ada di Kecamatan Parung (19 persen dari

    populasi). Cara pengambilan sampel ini didasarkan pada pendapat Gay

    (1981) di dalam Ruseffendi (1994) yang menyatakan bahwa ukuran sampel

    minimum yang dapat diterima dalam penelitian survei atau deskriptif adalah

    10 persen dari jumlah populasi yang besar (lebih dari 50) sedangkan untuk

    populasi kecil (kurang dari 50) minimum 20 persen dari jumlah populasi.

    Pengambilan sampel tersebut dilakukan secara acak sederhana,

    yaitu sebuah sampe yang diambil sedemikian rupa sehingga tiap unit

    penelitian atau satuan elementer dari populasi mempunyai kesempatan yang

    sama untuk dipilih sebagai sampel (Singarimbun dan Effendi, 1989). Namun

    dari penelitian ini juka suatu industri kecil tempe tidak berhasil

    diwawancarai, baik karena industri sudah tutup, pindah maupun tidak

    bersedia, maka diganti dengan industri lain sebagai sampel.

    5. Pembuatan kuesioner

    Kuesioner merupakan salah satu instrumen dalam penelitian,

    terutama penelitian survei. Pembuatan kuesioner disesuaikan dengan tujuan

    dari penelitian yakni untuk mengkaji profil industri tempe berdasarkan

    tingkat kesuksesan, (dilihat dari enam aspek yang telah disebutkan diatas).

  • Keenam aspek tersebut dijabarkan menjadi 22 faktor pendukung sukses,

    sehingga kuesioner yang disusun memuat pertanyaan-pertanyaan :

    a. Kondisi umum meliputi lama usaha, investasi, sumber modal, dan

    legalitas dari pemerintah.

    b. Pengadaan bahan baku meliputi jenis kedelai, sistem pembayaran, asal

    kedelai, jarak lokasi usaha dengan tempat pembelian, cara pembayaran

    bahan baku, dan persyaratan kedelai.

    c. Sumber daya manusia meliputi perkembangan jumlah tenaga kerja,

    pendidikan tenaga kerja, sistem pengupahan, dan pembagian peran.

    d. Finansial meliputi pencatatan keuangan , pemisahan uang pribadi dan

    uang usaha, penambahan modal dari setiap keuntungan, dana khusus

    untuk pemilik, dan penentuan harga produk.

    e. Produksi meliputi kapasitas produksi, penanganan terhadap limbah,

    perhatian terhadap peralatan dan penanganan terhadap produk yang

    tidak terjual ataupun produk rijek.

    f. Pemasaran meliputi wilayah pemasaran, sasaran pasar, tenaga pemasar,

    alat transportasi, dan evaluasi kegiatan pemasaran.

    Pertanyaan yang disusun terdiri dari pertanyaan yang bersifat semi

    terbuka (jawaban sudah tersusun tetapi masih ada kemungkinan tambahan

    jawaban).

    6. Pengumpulan data

    Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer

    dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara mendalam

    terhadap responden dengan menggunakan kuesioner serta pengamatan

    langsung ke industri. Wawancara dilakukan dengan mendatangi satu persatu

    ke responden pengrajin tempe.

    Sedangkan data sekunder diperoleh dari Kantor Kecamatan Parung,

    Dinas Perindustrian, Dinas Kesatuan Bangsa serta Koperasi Tahu Tempe

    Indonesia (KOPTI) Kotamadya dan Kabupaten Bogor.

    7. Tabulasi data

    Data yang diperoleh dari hasil survei, diskusi dan pengamatan

    langsung akan ditabulasikan dengan menggunakan perangkat komputer

  • (program microsoft office word) sehingga diharapkan akan mempermudah

    dalam melakukan analisa data.

    8. Analisa data

    Analisis data terdiri dari :

    a. Pengelompokan industri tempe berdasarkan tingkat kesuksesan

    Dalam menentukan tingkat kesuksesan dari industri tempe,

    masing-masing industri tempe dipetakan ke dalam diagram cartesius

    perkembangan pemakaian bahan baku, dimana sumbu mendatar (X)

    menunjukkan rata-rata jumlah pemakaian bahan baku responden,

    sedangkan sumbu tegak (Y) menunjukkan rata-rata kenaikan jumlah

    pemakaian bahan baku responden.

    Y

    tinggi berpeluang sukses sangat sukses

    (I) (II)

    Y

    rendah kurang sukses sukses

    (IV) (III)

    rendah X tinggi X

    Rata-rata jumlah pemakaian bahan baku per hari selama empat tahun terakhir (kg/hari)

    Gambar 3. Diagram cartesius perkembangan pemakaian

    bahan baku

    Rat

    a-ra

    ta k

    enai

    kan/

    penu

    runa

    n pe

    mak

    aian

    bah

    an b

    aku

    sela

    ma

    empa

    t tah

    un te

    rakh

    ir (k

    g/4

    tahu

    n)

  • Keterangan :

    X = Rata-rata pemakaian bahan baku seluruh responden pengrajin tempe

    selama empat tahun terakhir

    Y = Rata-rata kenaikan atau penurunan pemakaian bahan baku seluruh

    responden selama empat tahun terakhir.

    Rumus X dan Y adalah sebagai berikut :

    n = jumlah responden

    X = n

    Xin

    i=1 Y =

    n

    Yin

    i=1

    Dari gambar 3 tersebut dapat dijelaskan pengelompokkan industri tempe

    berdasarkan tingkat keberhasilannya sebagai berikut :

    I. Industri berpeluang sukses

    Industri yang berada pada kuadran ini dapat dikatakan

    berpeluang sukses karena walaupun rata-rata jumlah pemakaian

    bahan baku yang rendah, namun memiliki rata-rata kenaikan

    pemakaian bahan baku yang tinggi.

    II. Industri sangat sukses

    Industri kecil yang berada pada kuadran ini merupakan

    industri kecil yang sangat sukses. Hal ini ditandai dengan rata-rata

    jumlah pemakaian bahan baku yang tinggi dan rata-rata kenaikan

    pemakaian bahan baku yang juga tinggi.

    III. Industri sukses

    Industri kecil yang berada pada kuadran ini dapat

    dikatakan sukses, karena memiliki rata-rata jumlah pemakaian

    bahan baku yang tinggi, walaupun tidak ada peningkatan

    pemakaian bahan baku.

  • IV. Industri kurang sukses

    Industri kecil yang berada pada kuadran ini dapat dikatakan

    kurang sukses. Hal ini ditandai dengan rendahnya rata-rata jumlah

    pemakaian bahan baku dan rendahnya rata-rata kenaikan

    pemakaian bahan baku. Pada kelompok ini juga ditandai dengan

    penurunan pemakaian bahan baku.

    b. Penentuan faktor kunci sukses dari industri kecil tempe

    Faktor kunci sukses diperoleh dengan cara membandingkan

    antara industri kecil tempe yang tergolong sangat sukses dan sukses

    dengan industri kecil tempe yang lainnya. Pembandingan dilakukan

    dengan melihat hal yang membedakan antar kelompok industri, dari

    enam aspek yang dijabarkan menjadi 22 faktor. Hal-hal yang dilakukan

    oleh industri yang sangat sukses dan sukses, yang umumnya tidak

    dilakukan industri yang kurang sukses ditentukan sebagai faktor kunci

    sukses industri kecil tempe.

    9. Pembuatan laporan

    Hasil penelitian ini akan didokumentasikan dalam bentuk laporan

    tertulis yakni laporan skripsi.

  • IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

    A. IDENTIFIKASI TINGKAT KESUKSESAN INDUSTRI KECIL TEMPE

    Dalam mengidentifikasi kesuksesan industri kecil tempe indikator

    yang digunakan adalah perkembangan pemakaian bahan baku. Penentuan

    kriteria ini mengambil asumsi bahwa perkembangan pemakaian bahan akan

    berpengaruh terhadap perkembangan omset dan juga keuntungan dari indsutri

    kecil tempe. Berdasarkan kriteria Departemen Perindsutrian perkembangan

    pemakaian bahan juga merupakan salah satu indikator keberhasilan industri

    kecil. Hal lain yang menjadi pertimbangan adalah seperti yang telah

    dikemukakan sebelumnya bahwa para pengrajin tempe sangat tergantung

    kepada kedelai impor yang harganya semakin naik setelah terjadinya krisis

    ekonomi dan subsidi dari pemerintah dicabut sejak September 1998.

    Peningkatan harga kedelai impor mengakibatkan beberapa pengrajin tempe di

    lokasi penelitian tidak berproduksi lagi. Berdasarkan hal tersebut maka

    kemampuan mengakses dan menggunakan bahan baku kedelai impor

    merupakan salah satu indikator kesuksesan industri kecil tempe.

    Perkembangan pemakaian bahan baku kedelai impor selama empat

    tahun dari setiap responden dapat dilihat pada tabel 3 .

  • Tabel 3. Perkembangan pemakain bahan baku

    No Nama

    responden

    Pemakaian bahan baku (kg/hari) pada tahun

    2002 2003 2004 2005 1 Rutaji 150 150 150 150 2 Carsian 300 300 300 300 3 Casmani 25 25 35 100 4 Caridi 50 50 50 50 5 Mito 15 30 40 100 6 Tasheri 80 100 80 75 7 Rayubi 125 125 125 125 8 Kartubi 80 100 80 100 9 Sigit 40 55 40 40

    10 H. Abdul Karim 200 200 200 200

    11 Warniah 20 40 90 70 12 Suheri 100 100 100 100 13 Karsiban 60 60 80 75 14 Syawal 100 100 100 100 15 H. Munaji 80 60 80 20 16 Sarwo 40 50 60 80 17 Udi Susanto 150 150 100 100 18 Tambar 170 180 190 200 19 Sumitro 250 250 250 250 20 Sukarnen 150 150 150 150

    Untuk mengetahui tingkat kesuksesan dari setiap responden pengrajin

    tempe, terlebih dahulu harus diketahui rata-rata pemakaian bahan baku dan

    rata-rata kenaikan pemakaian bahan baku. Sedangkan kecenderungan

    pemakain bahan baku diperoleh dengan cara regresi linier. Rata-rata

    pemakaian bahan baku dan rata-rata kenaikan bahan baku dari setiap

    responden dapat dilihat pada tabel 4.

  • Tabel 4. Rata-rata pemakaian bahan baku dan kenaikan pemakaian bahan baku

    dari setiap responden

    No Nama

    responden

    X

    (kg/hari)

    Y

    (kg / 4 tahun) Kecenderungan

    1 Rutaji 150 0 tetap 2 Carsian 300 0 tetap 3 Casmani 46.25 17.63 naik 4 Caridi 50 0 tetap 5 Mito 46.25 19.88 naik 6 Tasheri 83.75 -2.63 turun 7 Rayubi 125 0 tetap 8 Kartubi 90 3 naik 9 Sigit 43.75 -1.13 turun 10 H. Abdul Karim 200 0 tetap 11 Warniah 55 15 naik 12 Suheri 100 0 tetap 13 Karsiban 68.75 4.88 naik 14 Syawal 100 0 tetap 15 H. Munaji 60 -12 turun 16 Sarwo 57.5 9.75 naik 17 Udi Susanto 125 -15 turun 18 Tambar 185 7.5 naik 19 Sumitro 250 0 tetap 20 Sukarnen 150 0 tetap

    Rata-rata 114 ( X ) 2.19 (Y )

  • Keterangan :

    X = Rata-rata pemakaian bahan baku selama empat tahun terakhir setiap

    responden pengrajin tempe.

    Y = Rata-rata kenaikan atau penurunan pemakaian bahan baku selama

    empat tahun terakhir dari setiap responden pengrajin tempe.

    X = Rata-rata pemakaian bahan baku seluruh responden pengrajin tempe

    selama 4 tahun terakhir.

    Y = Rata-rata kenaikan atau penurunan pemakaian bahan baku seluruh

    responden selama 4 tahun terakhir.

    Setelah diketahui rata-rata pemakaian bahan baku dan rata-rata

    kenaikan bahan baku dari setiap responden maka selanjutnya menentukan

    posisi industri kecil tempe. Salah satu cara yang digunakan dalam menentukan

    posisi industri kecil tempe adalah dengan menggunakan diagram cartesius

    perkembangan pemakaian bahan baku. Pada sumbu vertikal yang menjadi

    ukuran adalah rata-rata kenaikan pemakaian bahan baku selama empat tahun

    terakhir, sedangkan sumbu horizontal yang menjadi ukuran adalah rata-rata

    pemakaian bahan baku selama empat tahun terakhir.

    Industri kecil yang berada pada kuadran I adalah Casmani, Mito,

    Kartubi, Warniah, Karsiban, dan Sarwo. Responden pada posisi ini dapat

    dikatakan berpeluang sukses, karena walaupun rata-rata pemakaian bahan

    baku rendah tetapi memiliki rata-rata kenaikan pemakaian bahan baku yang

    tinggi. Industri kecil tempe yang berada pada kuadran ini jika dapat terus

    mengoptimalkan pemakaian bahan bakunya pada waktu-waktu mendatang

    tentu akan sukses.

    Industri yang berada pada kuadran II adalah Tambar. Responden di

    posisi ini dikatakan sangat sukses karena dengan rata-rata pemakaian bahan

    baku yang tinggi juga disertai rata-rata kenaikan pemakaian bahan baku yang

    tinggi juga atau diatas rata-rata kenaikan pemakaian bahan baku yaitu diatas

    2.19. Pada waktu mendatang jika kenaikan pemakain bahan baku terus

    bertambah dan dapat memperluas pasar serta konsumen maka industri akan

    berkembang semakin pesat.

  • Industri kecil yang berada pada kuadran III adalah Rutaji, Carsian,

    Rayubi, H. Abdul Karim, Udi Susanto, Sumitro, dan Sukarnen. Industri tempe

    yang berada pada posisi ini tergolong sukses karena memiliki rata-rata

    pemakaian bahan baku selama empat tahun terakhir yang tinggi atau diatas

    rata-rata responden industri kecil tempe yaitu diatas 114 kg/hari, walaupun

    tidak ada kenaikan pemakaian bahan baku selama empat tahun terakhir atau

    jika ada rata-rata kenaikan pemakaian bahan baku berada dibawah rata-rata

    kenaikan pemakaian bahan baku responden di lokasi penelitian. Kondisi

    pemakaian bahan baku yang tetap yang ini dikarenakan konsumen dan pasar

    yang tidak berubah. Para pengrajin pada kuadran ini umumnya takut tidak

    terjual produknya ketika pemakaian bahan baku dinaikkan.

    Industri kecil yang berada pada kuadran IV ditandai dengan jumlah

    pemakaian bahan baku selama empat tahun terakhir yang rendah atau dibawah

    rata-rata pemakaian bahan baku responden industri kecil tempe di lokasi

    penelitian, serta tidak ada kenaikan pemakaian bahan baku atau pun jika ada

    rendah dan bahkan mengalami penurunan. Pada kuadran ini yang menempati

    adalah Caridi, Tasheri, Sigit, Suheri, Syawal, dan H. Munaji. Pada kondisi ini

    industri kecil dikatakan kurang sukses. Hal ini dikarenakan selama kurun

    empat tahun terakhir tidak dapat menaikan pemakaian bahan baku dan rata-

    rata pemakaian bahan baku juga rendah. Kondisi ini selain disebabkan pasar

    yang tetap, juga karena kalah bersaing dengan industri kecil tempe yang

    sukses.

    Hasil pemetaaan responden ke dalam diagram cartesius perkembangan

    pemakaian bahan baku dapat dilihat pada gambar 4.

  • -18

    -16

    -14

    -12

    -10

    -8

    -6-4-2

    0

    2

    4

    6

    8

    10

    12

    14

    16

    18

    20

    22

    20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 3206

    III

    II I

    IV

    Gambar 4. Posisi kesuksesan industri kecil tempe

    Keterangan : 1. Rutaji 10. H. Abdul karim 19. Sumitro 2. Carsian 11. Warniah 20. Sukarnen 3. Casmani 12. Suheri 4. Caridi 13. Karsiban 5. Mito 14. Syawal 6. Tasheri 15. H. Munaji 7. Rayubi 16. Sarwo 8. Kartubi 17. Udi susanto 9. Sigit 18. Tambar

    I. Industri kecil tempe berpeluang sukses II. Industri kecil tempe sangat sukses III. Industri kecil tempe sukses IV. Industri kecil tempe kurang sukses

    1/20 2 12/14

    5

    9 4

    3

    7 8

    10

    11

    13

    15

    16

    17

    18

    19

    Rata-rata pemakaian bahan baku (kg/hari) selama 4 tahun terakhir

    Rat

    a-ra

    ta p

    erke

    mbn

    agan

    pem

    akai

    an b

    ahan

    bak

    u (k

    g/4

    tahu

    n) se

    lam

    a 4

    tahu

    n te

    rakh

    ir

    Y

    X

  • B. PROFIL INDUSTRI TEMPE DAN IDENTIFIKASI FAKTOR YANG

    DIDUGA MENJADI KUNCI SUKSES

    Deskripsi profil industri tempe diperoleh berdasarkan hasil wawancara

    dan diskusi yang dibantu dengan kuesioner, yang dilakukan pada pengrajin

    tempe, baik yang terdaftar sebagai anggota KOPTI maupun bukan anggota

    KOPTI di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor. Dalam mendiskripsikan

    profil, industri tempe yang tergolong sukses dan sangat sukses dikelompokan

    menjadi satu kedalam kelompok industri tempe sukses sedangkan industri

    tempe berpeluang sukses dan kurang sukses dikelompokan menjadi industri

    tempe kurang sukses. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan dalam

    mengidentifikasi faktor kunci sukses. Profil industri tempe yang didentifikasi

    meliputi 22 faktor seperti yang tertera pada tabel 5.

    Tabel 5. Profil masing-masing kelompok industri kecil tempe No Faktor

    pendukung sukses

    Industri berpeluang

    Industri sangat sukses

    Industri sukses

    Industri kurang sukses

    1 Tingkat pendidikan pengusaha

    tidak tamat SD (2) SD (3) SLTP (1)

    SD (1) tidak tamat SD (1) SD (5) SLTA (1)

    tidak tamat SD ( 2) SD (3) SLTP (1)

    2 Keikutsertaan dalam pelatihan kewirausahaan

    ya (1) tidak (6)

    ya (1) ya (3) tidak (4)

    ya (1) tidak (5)

    3 Keanggotaan KOPTI

    ya (2) tidak (4)

    ya (1) ya (7) ya (4) tidak (2)

    4 Asal kedelai importir Cina (4) pedagang kedelai (2)

    pedagang kedelai (1)

    importir Cina (7)

    importr Cina (3) koperasi (1) pedagang kedelai (2)

    5 Sumber modal sendiri (5) pinjaman (1)

    sendiri dan pinjaman (1)

    sendiri (5) sendiri dan pinjaman (2)

    sendiri (6)

  • Lanjutan tabel 5. Profil masing-masing kelompok industri kecil tempe No Faktor

    pendukung sukses

    Industri berpeluang

    Industri sangat sukses

    Industri sukses

    Industrikurang sukses

    6 Pembinaan terhadap karyawan

    ya (3) tidak (3)

    ya (1) ya (6) tidak (1)

    ya (3) tidak (3)

    7 Penambahan modal dari keuntungan

    ya (2) tidak (4)

    ya (1) ya (2) tidak (5)

    ya (1) tidak (5)

    8 Anggaran biaya pemeliharaan peralatan

    ya (3) tidak (3)

    tidak (1) ya (2) tidak (5)

    ya (2) tidak (4)

    9 Target pemasaran

    Pedagang sayur dan konsumen akhir (1) Pedagang sayur (5)

    Pedagang sayur, warteg, perumahan, konsumen akhir(1)

    Pedagang sayur, warteg, perumahan, konsumen akhir (4) Pedang sayur dan konsumen akhir(3)

    Konsumen akhir (1) Pedagang sayur dan konsumen akhir (1) dititipkan ke warung (2) pedagang sayur (2)

    10 Alat transportasi pemasaran

    gerobak (3), motor (1), motor dan gerobak (1), mobil pick up (1)

    motor (1) gerobak (4) motor (1) mobil pick up (2)

    sepeda (1) gerobak (4) motor (1)

    11 Evaluasi kegiatan pemasaran

    ya (5) tidak (1)

    ya (1) ya (6) tidak (1)

    ya (4) tidak (2)

    12 Cara pembayaran bahan baku

    kredit(5) tunai (1)

    kredit (1) kredit (5) tunai (2)

    kredit (5) tunai (1)

    13 Jarak tempat beli kedelai dengan lokasi usaha

    > 10 km (3) < 1 km (2) 1-5 km (1)

    1-5 km (1) > 10 km (2) 5-10 km (1) < 1 km (1) 1-5 km (3)

    < 1 km (2) 1-5 km (1) > 10 km (3)

    14 Pemisahan uang pribadi dan uang usaha

    ya (4) tidak (2)

    ya (1) ya (6) tidak (1)

    ya (5) tidak (1)

    15 Lama usaha < 10 tahun (4) 10-15 tahun (1) > 20 tahun (1)

    15-20 tahun (1)

    15-20 tahun (1) >20 tahun (6)

    5-10 tahun (2) 15-20 tahun (1) > 20 tahun (3)

  • Lanjutan tabel 5. Profil masing-masing kelompok industri kecil tempe No Faktor

    pendukung sukses

    Industri berpeluang

    Industri sangat sukses

    Industri sukses

    Industri kurang sukses

    16 Modal awal < 1 juta (5) 1-2 juta (1)

    < 1 juta (1)

    < 1 juta (3) 1-2 juta (3) > 2 juta (1)

    1-2 juta (4) < 1 juta (2)

    17 Pencatatan keuangan

    belum ada (6)

    sudah ada (1)

    sudah ada (6) belum ada (1)

    sudah ada (4) belum ada (2)

    18 Pembagian peran SDM

    belum ada (3) sudah ada (3), tetapi masih sering bergantian

    sudah ada , sudah bersifat kontinyu terutama bagian pemasaran dan produksi (1)

    sudah ada (7), sudah bersifat kontinyu terutama bagian pemasaran dan produksi

    belum ada (3) sudah ada (3), tetapi masih sering bergantian

    19 Persyaratan kedelai

    tidak meminta syarat mutu khusus (5) meminta syarat mutu khususu (1)

    meminta syarat mutu khusus seperti kedelai utuh, besar dan tidak banyak kotoran (1)

    meminta syarat mutu khusus (6) tidak meminta syarat mutu khusus (1)

    meminta syarat mutu khusus (3) tidak meminta syarat mutu khusus (3)

    20 Anggaran dana khusus pemilik

    belum ada (5) sudah ada (1)

    sudah ada (1)

    belum ada (4) sudah ada (3)

    belum ada (6)

    21 Tenaga pemasar khusus

    sudah ada (4), tetapi masih sering bergantian dengan bagian produksi belum ada (2)

    sudah ada dan bersifat kontinyu (1)

    sudah ada dan bersifat kontinyu (7)

    sudah ada (4), tetapi masih bergantian dengan bagian produksi belum ada (2)

    22 Cara penentuan harga

    tergantung harga pasar (5) berdasarkan biaya produksi (1)

    berdasarkan biaya produksi (1)

    berdasarkan biaya produksi (7)

    tergantung harga pasar (6)

  • 1. Tingkat Pendidikan Pengusaha

    Tingkat pendidikan yang telah dicapai oleh seseorang dapat

    mempengaruhi tingkat pengetahuan, pola pikir, sikap dan cara pengambilan

    keputusan. Namun demikian, di lokasi penelitian pendidikan tidak memiliki

    pengaruh signifikan terhadap kesuksesan industri kecil tempe. Dari data

    diketahui bahwa baik industri tempe sukses maupun kurang sukses umumnya

    berpendidikan SD.

    2. Keikutsertaan Dalam Pelatihan Kewirausahaan

    Dilihat dari segi keikutsertaan dalam pelatihan kewirausahaan, 50 %

    responden pengrajin tempe sukses pernah mengikuti pelatihan kewirausahaan

    sedangkan responden pengrajin tempe yang kurang sukses, hanya 16.67%

    yang pernah mengikuti pelatihan kewirausahaan. Walaupun demikian,

    pelatihan tidak begitu berpengaruh terhadap kesuksesan usaha. Hal ini

    dikarenakan pelatihan yang diikuti biasanya ketika diselenggarakan oleh

    KOPTI saja. Padahal semenjak tahun 1998 pelatihan sudah jarang

    diselenggarakan karena banyak anggota KOPTI yang sudah tidak aktif lagi.

    Selain itu keahlian yang dimiliki oleh para pengrajin umumnya berasal dari

    orang tua, teman atau magang di pengrajin tempe yang lain.

    3. Keanggotaan KOPTI

    Dari hasil wawancara diketahui semua responden pengrajin tempe

    yang sukses terdaftar sebagai anggota KOPTI, sedangkan responden pengrajin

    tempe yang kurang sukses hanya 50% yang mendaftarkan diri sebagai anggota

    KOPTI. Alasan yang dikemukakan ketika mereka mendaftarkan diri sebagai

    anggota KOPTI adalah mudah mendapatkan bahan baku, mendapatkan

    pinjaman modal, pembinaan, mendapatkan bonus sembako tiap akhir bulan

    dan mendapatkan simpanan uang setiap membeli bahan baku.

    Kondisi KOPTI berubah dan cenderung menurun perannya terhadap

    anggota ketika pemerintah mencabut subsidi kedelai impor sejak 1 September

    1998. Hal ini menyebabkan KOPTI tidak mampu lagi menjual kedelai impor

  • dengan harga seperti ketika mendapatkan subsidi dari pemerintah. Ditambah

    lagi dengan maraknya pedagang kedelai impor di pasar. Para pedagang kedelai

    impor tersebut dapat menjual kedelai impor dengan harga yang lebih murah

    dari KOPTI. Sehingga beberapa responden yang memulai usahaya setelah

    pemerintah mencabut subsidi, tidak ada yang mendaftar sebagai anggota

    KOPTI. Alasan mereka adalah mahalnya harga kedelai yang ada di KOPTI

    bila dibandingkan di luar KOPTI. Sejak tahun 2000 hampir sebagian besar

    anggota KOPTI tidak aktif lagi, sehingga keanggotaan KOPTI tidak

    berpengaruh terhadap kesuksesan usaha tempe.

    4. Asal Kedelai

    Para pengrajin tempe membeli kedelai dari berbagai tempat.

    Berdasarkan hasil wawancara, ada tiga tempat pembelian kedelai yang

    dilakukan oleh responden. Ada yag berasal dari importir Cina, pedagang

    kedelai non Cina dan koperasi. Responden pengrajin tempe sukses maupun

    yang kurang sukses umumnya membeli kedelai dari importir Cina. Hal ini

    sangat berbeda ketika koperasi masih mendapatkan subsidi kedelai impor dari

    pemerintah, hampir semua pengrajin membeli kedelai dari KOPTI. Alasan

    para pengrajin membeli kedelai di luar KOPTI adalah karena harga kedelai di

    luar KOPTI lebih murah. Selain itu mereka mendapatkan kemudahan dalam

    pelayanan dan tidak jarang mereka mendapatkan bonus pada waktu-waktu

    tertentu misalnya pada hari raya. Dari temuan di lapangan ini maka asal

    kedelai diduga bukan merupakan faktor kunci sukses dalam berwirausaha

    tempe.

    5. Sumber Modal

    Modal merupakan salah satu unsur yang sangat penting bagi industri

    kecil. Modal usaha tempe diperoleh pengrajin dengan berbagai macam cara.

    Sebagian pengrajin memodali usahanya dengan modal milik sendiri dan

    sebagian lagi menggunakan modal pinjaman baik dari tetangga, teman,

    saudara dan beberapa dari KOPTI. Kelompok industri tempe yang sukses

    maupun kelompok kurang sukses umumnya menggunakan modal yang berasal

  • dari milik sendiri, sehingga sumber modal tidak berpengaruh terhadap

    kesuksesan industri kecil tempe dan diduga bukan merupakan faktor kunci

    sukses.

    6. Pembinaan terhadap Karyawan

    Pembinaan atau pelatihan diberikan secara tidak langsung kepada para

    pekerja yang mayoritas dari anggota keluarga. Para pekerja diajari bagaimana

    cara membuat tempe dan bisnis tempe secara umum. Hal ini dengan harapan

    kelak mereka dapat mandiri. Terhadap karyawan yang sering absent atau

    malas biasanya pemilik hanya akan menegur dan hal ini jarang terjadi, karena

    pekerja mayoritas berasal dari anggota keluarga dan tinggal satu rumah

    sehingga mudah dalam melakukan pengontrolan. Dari data didapatkan ada

    beda antara industri kecil tempe yang sukses dan kurang sukses berkenaan

    dengan pembinaan terhadap karyawan. Perbedaan yang terjadi antara industri

    sukses dan kurang sukses disebabkan karena terdapat beberapa industri kurang

    sukses yang tidak mempekerjakan karyawan atau usaha tempe ditangani

    sendiri. Pembinaan yang dilakukan industri tempe cukup sederhana seperti

    yang disebutkan diatas dan tidak ada program khusus dari pemilik usaha untuk

    pekerjanya , sehingga pembinaan terhadap karyawan diduga bukan merupakan

    faktor kunci sukses usaha tempe.

    7. Penambahan Modal dari Keuntungan

    Dari segi penambahan modal, para responden pengrajin tempe, baik

    yang sukses maupun kurang sukses umumnya tidak melakukan penambahan

    modal dari keuntungan yang didapatkan. Hanya 37.5% responden pengrajin

    tempe sukses yang melakukan penambahan modal, sedangkan industi tempe

    kurang sukses sebesar 25% yang melakukan penambahan modal. Tidak

    dilakukannya penambahan modal ini terkait dengan konsumen dan pasar yang

    relatif sama/tetap. Para pengrajin takut ketika produknya tidak terjual jika

    modal mereka ditambah, yang berarti juga meningkatkan skala produksi. Dari

    data ini maka aktivitas penambahan modal dari keuntungan yang diperoleh

    diduga bukan merupakan faktor kunci sukses.

  • 8. Anggaran Biaya Pemeliharaan Peralatan

    Dalam pembuatan tempe peralatan sebagian besar diperoleh dengan

    membeli di pasar atau di toko. Alat-alat yang dipakai adalah drum besar untuk

    merebus, bak untuk merendam, ayakan untuk mengeringkan, sipatan untuk

    mencetak, kompor atau tungku, mesin pengupas kedelai, rak fermentasi,

    plastik dan daun pisang sebagai pembungkus. Para pengrajin tempe masih

    lemah dalam manajemen pengalokasian dana pemeliharaan atau penggantian

    peralatan. Dari hasil wawancara diketahui 62.5% responden pengrajin tempe

    sukses tidak menganggarkan biaya pemeliharaan atau penggantian peralatan

    dan hanya 35% responden pengrajin tempe yang menganggarkan dana untuk

    pemeliharan atau penggantian peralatan. Sedangkan 58.33% responden

    industri tempe kurang sukses juga tidak menganggarkan dana untuk

    pemeliharaan atau pergantian peralatan. Seacara umum baik industri tempe

    yang sukses maupun kurang sukses tidak menganggarkan dana untuk biaya

    pemeliharaan atau penggantian peralatan. Jika terjadi kerusakan alat biasanya

    akan diganti dengan yang baru atau diperbaiki tapi tidak ada anggaran dana

    khusus untuk penggantian. Sehingga dari data ini diduga angggaran dana

    untuk pemeliharaan atau penggantian peralatan bukan merupakan faktor kunci

    sukses dari wiarausaha tempe.

    9. Target Pemasaran

    Pemasaran merupakan merupakan aspek yang sangat penting dalam

    industri kecil tempe. Hal ini dikarenakan karakteristik industri tempe yang

    hampir sama yaitu yang berkaitan dengan bahan baku kedelai yang umumnya

    berasal dari Amerika Serikat, produk yang dihasilkan adalah tempe segar, dan

    pengetahuan dan ketrampilan yang hampir sama. Karakteristik dari industri

    tempe yang sama ini menyebabkan para pengrajin tempe harus bersaing

    dalam pemasaran. Wilayah pemasaran dari industri tempe umumnya tidak

    jauh dari lokasi usaha atau berada di pasar dalam satu wilayah Kecamatan.

    Tetapi terdapat terdapat juga beberapa pengrajin yang menjual tempe di

    pasar-pasar wilayah Kecamatan lain. Terdapat perbedaan target pemasaran

    antara industri tempe yang tergolong sukses dengan yang kurang sukses.

  • Industri tempe sukses memiliki target pemasaran yang lebih banyak dari

    industri tempe yang kurang sukses. Industri tempe yang sukses umumnya

    memiliki target pemasaran para pedagang sayur, warteg, perumahan, dan

    konsumen akhir. Dari data ini diduga target pemasaran merupakan salah satu

    faktor kunci sukses dalam wirausaha tempe.

    10. Alat Transportasi Pemasaran

    Alat transportasi pemasaran industri tempe di lokasi penelitian terdiri

    dari gerobak, sepeda, sepeda motor dan mobil pick up. Alat transortasi

    pemasaran diduga bukan merupakan faktor kunci sukses wirausaha tempe.

    Karena pada umumnya baik industri tempe yang sukses maupun kurang

    sukses memakai gerobak sebagai alat tarnsportasi pemasaran. Hal ini

    dikarenakan lokasi pasar yang dekat dengan lokasi usaha sehingga akan

    menghemat biaya.

    11. Evaluasi Kegiatan Pemasaran

    Sebagian besar responden pengrajin tempe baik yang tergolong

    sukses maupu kurang sukses umumnya sudah melakukan evaluasi kegiatan

    pemasaran, walaupun tidak secara rutin. Evaluasi dilakukan ketika ada gejolak

    di pasar saja., misalnya pada musim panen jengkol, buah-buahan atau terjadi

    peristiwa khusus seperti ketika terjadi krisis moneter atau kenaikan harga

    BBM. Sehingga dari data ini, evaluasi kegiatan pemasaran diduga bukan

    merupakan faktor kunci sukses industri tempe.

    12. Cara Pembayaran Bahan Baku

    Sistem pembayaran kedelai dilakukan dengan berbagai cara, antara

    lain dengan cara tunai dan kredit. Sistem kredit yang dilakukan di industri

    tempe adalah dengan Pembayaran dibelakang setelah tempe terjual. Mayoritas

    pengrajin tempe, baik yang tergolong sukses maupun kurang sukses

    membayar kedelai dengan cara yang kedua yaitu membayar setelah tempe

    terjual. Sehingga cara pembayaran kedelai diduga bukan merupakan faktor

  • kunci sukses, karena semua kelompok industri umumnya melakukan hal yang

    sama.

    13. Jarak Tempat Membeli Kedelai dengan Lokasi Usaha.

    Jarak lokasi penjual kedelai atau importir kedelai dengan lokasi usaha

    dari setiap responden bervariasi. Jarak tempat pembelian kedelai dengan

    lokasi usaha mayoritas kelompok industri tempe sukses adalah 1-5 km,

    sedangkan kelompok industri tempe kurang sukses jarak tempat pembelian

    kedelai dengan lokasi usaha umumnnya adalah > 10 km. Dari data ini terdapat

    perbedaan antara industri tempe sukses dan kurang sukses, namun demikian

    jarak tempat pembelian dengan lokasi usaha diduga bukan merupakan faktor

    kunci sukses. Hal ini dikarenakan untuk jarak yang jauh para pedagang

    kedelai bersedia mengantar sampai ke tempat pengrajin tempe. Jarak tidak

    berpengaruh terhadap kelancaran proses produksi, walaupun terdapat

    pengrajin yang mengambil kedelainya dari Ciputat atau Jakarta. Selain itu

    sistem pembayaran dibelakang yang dilakukan kebanyakan pengrajin juga

    cukup memudahkan mereka dalam memproduksi tempe.

    14. Pemisahan Uang Pribadi dan Uang Usaha

    Dari segi pemisahan uang pribadi dan uang usaha mayoritas

    resonden pengrajin tempe sudah memisahkan antara uang pribadi dan uang

    usaha walaupun sangat sederhana. Biasanya pemisahan dilakukan pada dana

    untuk modal dan uang untuk kebutuhan sehari-hari. Namun terkadang ketika

    kebutuhan mendesak uang modal terpaksa dipakai dahulu untuk menutupinya.

    Dari temuan data ini aktivitas pemisahan uang pribadi dan usaha diduga bukan

    merupakan faktor kunci sukses.

    15. Lama Usaha

    Dari hasil wawancara dan diskusi diketahui bahwa 75% responden

    pengrajin tempe sukses sudah memulai usahanya > 20 tahun, sedangkan

    responden industri tempe kurang sukses umumnya (50%) < 10 tahun. Dari

    data ini terlihat perbedaan antar dua kelompok industri. Menurut Ningsih

  • (2004) Pengalaman berusaha di suatu bidang akan memberikan tambahan

    pengetahuan yang akan mempengaruhi sikap pengusaha dalam menjalankan

    usahanya. Pengalaman ini diperoleh langsung saat menjalankan usaha.

    Wilayah pemasaran industri tempe di lokasi penelitian relatif sama antar

    kelompok industri yaitu di pasar Parung atau pasar yang dekat dengan lokai

    usaha, hal ini menjadikan kelompok industri tempe sukses yang umumnya

    sudah memulai usaha lebih dahulu dapat menguasai pasar dan pelanggan,

    sehingga diduga lama usaha menjadi salah satu faktor kunci sukses.

    16. Modal Awal

    Ketika memulai usaha, 50% responden pengrajin tempe sukses

    menyatakan bahwa modal awal mereka < 1 juta, sedangkan responden

    pengrajin tempe kurang sukses sebanyak 58% juga menggunakan modal < 1

    juta ketika memulai usaha. Data ini menunjukkan bahwa antar kedua

    kelompok industri tempe relatif sama dalam menggunakan modal awal,

    sehingga dari data ini diduga bahwa penggunaan modal awal bukan

    merupakan faktor kunci sukses usaha tempe. Selain itu modal utama bagi

    usaha tempe adalah bahan baku, dan umumnya dibeli dengan sistem kredit.

    Banyak sedikit modal terutama untuk memproduksi kedelai sangat tergantung

    dari banyaknya pelanggan dan luasan pasar yang dimiliki.

    17. Pencatatan Keuangan

    Dari segi pencatatan keuangan, 87.5% responden pengrajin tempe

    sukses sudah melakukan pencatatan keuangan dalam usahanya, sedangkan

    responden pengrajin tempe yang kurang sukses hanya 33.33% yang

    melakukan pencatatan keuangan. Industri sukses memiliki pembukuan

    keuangan terutama untuk bahan baku kedelai, modal, omset, keuntungan serta

    pengeluaran setiap hari, sedangkan industri tempe kurang sukses umumnya

    belum melakukan pembukuan keuangan. Pengelolaan keuangan usaha hanya

    berdasarkan perkiraan saja. Dari data ini terlihat perbedaan antar kedua

    kelompok industri, sehigga pencatatan keuangan diduga menjadi faktor kunci

    sukses dalam berwirausaha tempe.

  • 18. Pembagian Peran Sumberdaya Manusia

    Pembagian peran tenaga kerja di industri tempe tergolong sangat

    sederhana. Sumberdaya manusia umumnya terbagi menjadi sumberdaya

    manusia bagian produksi dan pemasaran. Di bidang produksi biasanya

    dikerjakan secara bersama-sama dan kadang-kadang juga bergantian. Dari

    data terlihat perbedaan antara industri yang tergolong sukses dan kurang

    sukses. Kelompok industri sukses semua melakukan pembagian peran

    sumberdaya manusia sedangkan kelompok industri kurang sukses hanya 50%

    yang melakukan pembagian peran sumberdaya manusia. Aktivitas usaha

    tempe sangat padat dari mulai produks sampai dengan pemasaran. Aktivitas

    yang padat ini membutuhkan sumberdaya manusia yang memedahi dan bisa

    lebih fokus. Sehingga pembagian peran sumberdaya manusia diduga menjadi

    faktor kunci sukses usaha tempe.

    19. Persyaratan Kedelai

    Dalam hal persyaratan bahan baku kedelai, 87.5% responden pengrajin

    tempe mensyaratkan adanya persyaratan-persyaratan tertentu seperti besar dan

    utuh, sedangkan responden pengrajin tempe yang kurang sukses hanya

    33.33% yang meminta persyaratan mutu kedelai. Dari data ini terlihat

    perbedaan antara kelompok industri sukses dan kurang sukses. Namun

    demikian setelah dilakukan verifikasi kembali di lapangan ternyata walaupun

    tidak meminta persyaratan mutu kedelai, hal ini tidak begitu berpengaruh

    terhadap mutu dari tempe. Hal ini disebabkan antara kelompok industri tempe

    yang sukses dan kurang sukses sama-sama memakai kedelai impor dari

    Amerika Serikat. Mutu tempe sangat tergantung dari kemampuan pengrajin

    dalam proses pembuatan tempe, sehingga persyaratan kedelai diduga bukan

    merupakan faktor kunci sukses dalam berwirausaha tempe.

    20. Anggaran Dana Khusus Pemilik

    Anggaran dana khusus pemilik diduga menjadi faktor kunci sukses

    wirausaha tempe. Hal ini dikarenakan, terdapat perbedaan antara industri

    tempe yang sukses dan kurang sukses. Responden pengrajin tempe sukses

  • sudah ada anggaran dana khusus pemilik sebanyak 50%, sedangkan responden

    pengrajin tempe yang kurang sukses hanya 8.33% yang menganggarkan dana

    khusus pemilik. Anggaran dana khusus pemilik berkaitan dengan pencatatan

    keuangan usaha, yang juga diduga menjadi salah satu faktor kunci sukses

    usaha tempe. Selain itu anggaran dana khusus pemilik juga merupakan wujud

    penghargaan terhadap pekerjaan pemilik usaha yang umumnya jarang

    mendapatkan perhatian dari pengrajin tempe yang kurang sukses.

    21. Tenaga Pemasar Tetap

    Pemasaran merupakan faktor yang paling penting dari wirausaha

    tempe di lokasi penelitian. Hal ini dikarenakan karakteristik usaha yang sama

    yaitu produk yang dijual adalah tempe segar, ruang lingkup pasar yang sama

    dan target pemasaran yang hampir sama juga. Dengan karakteristik yang

    hampir sama tersebut menuntut sistem pemasaran yang baik, dan sumberdaya

    manusia memegang peranan cukup penting dalam pemasaran di industri kecil

    tempe. Tenaga pemasar biasanya langsung dipegang oleh pemilik usaha,

    karena berhubungan dengan keuangan dan kepercayaan dari konsumen. Dari

    hasil wawancara diketahui bahwa semua responden pengrajin tempe sukses

    sudah memakai tenaga pemasar khusus dan bersifat kontinyu. Hal ini berbeda

    dengan responden pengrajin tempe yang belum semua memakai tenaga

    pemasar khusus, dimana hanya sebesar 66.67% yang memakai tenaga

    pemasar khusus dan itu pun masih sering bergantian dengan yang lain. Di

    kelompok industri tempe sukses, tenaga pemasar bertanggung jawab terhadap

    penjualan tempe yang ada di pasar, merespon terhadap kondisi pasar dan

    permintaan konsumen. Jika pemasar yang tetap berhalangan, maka pemasar

    tersebut akan memberitahu kepada pelanggan agar tetap percaya terhadap

    tempe yang dijual..

    22. Cara Penentuan Harga

    Pendapatan para pengrajin tempe sangat tergantung dari penjualan

    dan biaya yang dikeluarkan. Penentuan harga jual dari setiap produk tempe

    sangat berpengaruh terhadap keuntungan yang diperoleh para pengrajin tempe.

  • Dalam wirausaha tempe persaingan harga antar pengrajin cukup ketat dan

    tidak terdapat standar harga. Dari hasil wawancara diketahui semua responden

    pengrajin tempe sukses mendasarkan harga tempe pada biaya produksi yang

    dikeluarkan dan bahkan terkadang berani menjual dengan harga yang lebih

    miring, Sedangkan responden pengrajin tempe yang kurang sukses umumnya

    (91.67%) menentukan harga tempe hanya berdasarkan pada tren pasar yang

    ada. Para pengarajin tempe yang sukses umumnya memiliki skala produksi

    yang besar, sehingga walaupun menjual tempe dengan harga yang miring para

    pengrajin masih mendapatkan keuntungan. Disamping itu para pengrajin

    tempe yang sukses umumnya juga memiliki usaha sampingan seperti menjaul

    kedelai, plastik dan ragi yang dapat menambah keuntungan usaha. Dari

    perbedaan ini diduga cara menentukan harga tempe merupakan salah satu

    faktor kunci sukses.

    Dari 22 faktor yang diidentifikasi, dianalisa dan dilakukan verifikasi di

    lapangan maka faktor-faktor yang diduga menjadi faktor kunci sukses dalam

    berwirausaha tempe di lokasi penelitian adalah target Pemasaran, lama usaha,

    pencatatan keuangan, pembagian peran sumberdaya manusia, anggaran dana

    khusus pemilik, tenaga pemasar yang tetap, dan cara menentukan harga.

  • V. KESIMPULAN DAN SARAN

    A. KESIMPULAN

    Dari penelitian dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :

    1. Terdapat 4 kelompok industri kecil tempe di lokasi penelitian, dimana dari

    20 responden yang dijadikan sampel, 30% responden tergolong industri

    berpeluang sukses, 5% responden tergolong industri sangat sukses, 35%

    responden tergolong industri sukses dan 30% responden tergolong industri

    kurang sukses.

    2. Industri kecil tempe sukses dan sangat sukses memiliki profil yang relatif

    sama, diantaranya dalam hal pencatatan keuangan usaha, target pemasaran,

    pembagian peran sumberdaya manusia, cara menentuan harga tempe , dan

    sudah terdapat tenaga pemasar khusus yang tetap, sedangkan hal yang

    membedakan adalah dalam hal jumlah dan perkembangan pemakaian

    bahan baku kedelai, lama usaha dan aktivitas penambahan modal.

    3. Hal-hal yang diduga menjadi faktor kunci sukses dari industri tempe di

    lokasi penelitan adalah target Pemasaran, lama usaha, pencatatan

    keuangan, pembagian peran sumberdaya manusia, anggaran dana khusus

    pemilik, tenaga pemasar yang tetap, dan cara menentukan harga.

    B. SARAN

    Berdasarkan penelitian, maka beberapa hal yang dapat disarankan adalah :

    1. Melakukan penelitian lanjutan dari masing-masing faktor kunci sukses

    secara mendalam dan spesifik, baik di lokasi yang sama atau berbeda.

    2. Melakukan penelitian lanjutan tentang strategi pengembangan industri

    tempe dilihat dari beberapa aspek secara komprehensif serta

    memperhatikan karakteristik khusus dari industri kecil tempe.

    3. Melakukan penelitian lanjutan tentang pemasaran industri tempe serta

    strategi pengembangannya.

  • 4. Industri tempe perlu memperhatikan dan menerapkan faktor-faktor kunci

    sukses dalam berwirausaha tempe agar dapat terus berkembang dan

    mampu bersaing.

    5. Pemerintah sebaiknya memfokuskan pembinaan pada hal-hal yang menjadi

    faktor kunci sukses dalam wirausaha tempe seperti target Pemasaran, lama

    usaha, pencatatan keuangan, pembagian peran sumberdaya manusia,

    anggaran dana khusus pemilik, tenaga pemasar yang tetap, dan cara

    menentukan harga.

  • DAFTAR PUSTAKA

    Ambarwati, S. R. R. 1994. Beberapa Aspek Ekonomi pada Industri Tahu dan Tempe, Studi Kasus Industri Tahu dan Tempe di Kecamatan Parung Kabupaten Bogor. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

    Anonim. 2004. Semakin Banyak Industri Pangan Skala Kecil Gulung Tikar

    www.kompas.com. (Senin 1 maret 2004). Apretty, J. B. 2000. Analisis Dampak Krisis Ekonomi Pada Industri Tempe Skala

    Kecil (Studi Kasus : Di desa Citereup, Kecamatan Citereup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat). Skripsi. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

    Asri, P. 1994. Studi Porfil dan Pola Pengembangan Pembinaan Kewiraswastaan

    Pengusaha Kecil (Studi Kasus Industri Tahu Tempe di Kotamadya Bogor). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

    Badan Pusat Statistik. 1995. Statistika Pertanian. Jakarta. Darwis A. A., B. Djatmiko, Eriyatno, D. Somaatmadja, A. T. Tajib, Soedarmo, S.

    Harjo, S. Widjandi, Kuswandi dan E. G. Said. 1983. Pengembangan Agroindustri Indonesia, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

    Departemen Perindustrian. 1990. Undang-Undang dan Peraturan di bidang

    Perindustrian. Biro Perencanaan Departemen Perindustrian, Jakarta. Di dalam Asri, P. 1994. Studi Profil dan Pola Pengembangan Pembinaan Kewiraswastaan Pengusaha Kecil (Studi Kasus Industri Tahu Tempe di kotamadya Bogor). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

    Dermawan, Ahmad. 1999. Analisa Pendapatan Usaha Tani Kedelai Serta Nilai

    Tambah Industri Tahu danTempe. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

    Gay. 1981. Di dalam Ruseffendi. 1994. Dasar-Dasar Penelitian Penididikan dan

    Bidang Non-Eksakta Lainnya. IKIP Semarang Press. Semarang. Ningsih, E. 2004. Mempelajari Strategi Pemasaran industri Kecil Keripik di

    Wilayah Bogor. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

  • Nurhayati. 1984. Mencari Variabel Struktur Organisasi Yang Mempengaruhi Keberhasilan Dengan Analisa Komponen Utama. Skripsi. Fakultas Teknik Industri. ITB, Bandung. Di dalam : Candra, D. 1990. Analisa Faktor Eksternal dan Internal yang berpengaruh pada Keberhasilan Industri Kecil Rotan (Studi Kasus Di Sentra Industri Kecil Rotan Tegalwangi). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

    Nurhayati, W. 2001. Identifikasi dan Karakterisasi Komponen Pahit Pada Tempe

    Kedelai. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

    Riyanto, B. 1990. Dasar-dasar Pembelanjaan. Gajah Mada Press. Yogyakarta. Sarah, N. 2001. Studi Profil Industri (Studi Kasus Industri Tahu Di Jakarta

    Timur). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. Sari, Y. P. 2002. Analisis Efisiensi dan Pendapatan Pengrajin Tempe Anggota

    KOPTI Kotamadya Bogor Propinsi Jawa Barat. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

    Sebayang, B. N. 1994. Keragaan Ekonomi Industri Kecil Pengolahan Kedelai Di

    Kabupaten Bogor. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

    Singarimbun, M dan S. Effendi. 1989. Metode Penelitian Survei. Edisi Revisi.

    LP3ES. Jakarta. Soetrisno, N dan Sapuan. Bunga Rampai Tempe Indonesia. 1996. Yayasan Tempe

    Indonesia. Jakarta. 151-168. Solahudin, S. 1998. Visi Pembangunan Pertanian. IPB Press. Bogor. Susidarto, 1995. Mencari Bentuk Keterkaitan Dalam Pembiayaan Industri Kecil.

    Harian Bisnis Indonesia. No 2996 Tahun X. 16 Januari 1995.

  • Lampiran 1. Daftar pertanyaan wawancara

    BAGIAN I

    Informasi tentang diri responden dan informasi umum dari industri tempe.

    A. Latar Belakang responden

    1. Nama industri :..................................................... .....

    2. Nama pemilik :...........................................................

    3. Alamat :...........................................................

    :.............................................................

    4.