Imunisasi dalam pandangan
-
Upload
rhandy-septianto -
Category
Documents
-
view
18 -
download
3
Transcript of Imunisasi dalam pandangan
Imunisasi dalam pandangan “Dokter muslim”
Ilmu kedokteran pada era sekarang ini mengalami perkembangan yang sangat pesat, akan
tetapi perkembangan tersebut sering sekali terbentur dengan beberapa kaedah islam yang jika
dikaji secara awam akan terlihat salah tetapi apabila dikaji lebih lanjut dengan ilmu keislaman
yang lebih dalam maka tidak semua anggapan itu benar karena islam adalah agama rahmat bagi
seluruh alam dan ilmu islam luas sehingga jika dikaji lebih mendalam maka akan dapat dirasakan
terapan-terapan ilmu kedokteran yang sangat sesuai dengan kaidah islam , sebagaimana
dijelaskan dalam alqur’an “Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan.” (Al-Hajj:78).
Ilmu kedokteran Islam didefinisikan sebagai ilmu pengobatan yang model dasar, konsep,
nilai, dan prosedur- prosedurnya sesuai atau tidak berlawanan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Prosedur medis atau alat pengobatan yang digunakan tidak spesifik pada tempat atau waktu
tertentu. Ilmu kedokteran Islam itu universal, mencakup semua aspek, fleksibel, dan
mengizinkan pertumbuhan serta perkembangan berbagai metode investigasi dan pengobatan
penyakit.
Islam mengajarkan bahwa seorang dokter dalam melakukan tindakan medis harus
mengutamakan “pencegahan” sebagaimana dalam kaidah fiqhiyah: “Alwiqoyah khoirun minal
i’laj” (pencegahan lebih baik daripada mengobati) dan kaidah fiqhiyah : “ Alman’u ashalu minar
rop’i (mencegah itu lebih mudah dari pada menghilangkan), kaidah fiqhiyah tersebut
menunjukkan bahwa betapa islam sangat mengawasi berjalannya penerapan ilmu kedokteran
sesuai dengan kaidah yang benar yaitu mengutamakan pencegahan berbagai penyakit.
Imunisasi merupakan salah satu cara pencegahan berbagai penyakit yang telah teruji
secara medis, banyak jenis immunisasi yang sangat bermanfaat bagi manusia untuk mencegah
munculnya berbagai penyakit berbahaya di kemudian hari dan juga immunisasi yang ditujukan
memberi kekebalan tubuh bagi manusia yang melakukan immunisasi sehingga tubuh lebih
terjaga dari kontaminasi virus, bakteri ataupun mikroorganisme lainnya yang berbahaya bagi
manusia itu sendiri, bahkan dengan imunisasi akan sangat berdampak pada penekanan angka
kematian karena beberapa penyakit berbahaya tertentu.
Di indonesia, negara yang merupakan salah satu negara yang mayoritas islam sangat
kritis dalam menerima munculnya imunisasi ada yang berpendapat bahwa imunisasi halal namun
ada juga yang berpendapat haram dengan beberapa alasan tertentu sehingga sangat perlu dikaji
mengenai hukum islam tentang imunisasi agar tidak terjadi perbedaan pendapat yang sesat
ataupun salah kaprah yang justru merugikan umat manusia sendiri.
Status halal-haram imunisasi dan vaksinasi menjadi perdebatan yang sengit dan bahkan
“panas”. Bak di luar negeri maupun di Indonesia, terlebih lagi negara kita mayoritas muslim,
beberapa fakta mengenai hasil kajian para ulama mungkin sangat perlu kita ketahui sebagai
seorang mahasiswa kedokteran di universitas yang juga merupakan universitas islam yang kelak
insyaAllah kita akan menjadi dokter yang diharapkan memiliki pengetahuan islam yang
bermanfaat bagi diri sendiri dalam kehidupan dan profesi juga bermanfaat bagi masyarakat.
Vaksin Haram
Ini yang cukup meresahkan karena Indonesia sebagian besar muslim. Namun mari kita
kaji, kita ambil contoh vaksin polio atau vaksin meningitis dengan produksinya menggunakan
enzim tripsin dari serum babi..
Perubahan Benda Najis atau Haram Menjadi Suci
Istilah “istihalah” yaitu perubahan benda najis atau haram menjadi benda yang suci yang
telah berubah sifat dan namanya. Contohnya adalah kulit bangkai yang najis dan haram jika
disamak menjadi suci atau ataupun khamr jika menjadi cuka maka menjadi suci misalnya dengan
penyulingan. Pada enzim babi vaksin tersebut telah berubah nama dan sifatnya atau bahkan
hanya sebagai katalisator pemisah, maka yang menjadi patokan adalah sifat benda tersebut
sekarang.
Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah rahimahullah menjelaskan masalah istihalah,
– ب�ل� – ، ل� ص�� ب�األ� ة� ب�ر� ع� و�ال� ، الط�ي�ب� م�ن� ب�يث� ال�خ� و� ب�يث� ال�خ� م�ن� الط�ي�ب� ر�ج� ي�خ� ت�ع�ال�ى ا�لل�ه� و�
ه� ف� و�و�ص� ه� م� اس� ال� ز� د� و�ق� ب�ث� ال�خ� ك�م� ح� اء� ب�ق� ت�ن�ع� م� ال�م� و�م�ن� ه�، س� ن�ف� ف�ي ء� ي� الش� ،ب�و�ص�ف�
“dan Allah Ta’ala mengeluarkan benda yang suci dari benda yang najis dan mengeluarkan benda
yang najis dari benda yang suci. Patokan bukan pada benda asalnya, tetapi pada sifatnya yang
terkandung pada benda tersebut (saat itu). Dan tidak boleh menetapkan hukum najis jika telah
hilang sifat dan berganti namanya.” (I’lamul muwaqqin ‘an rabbil ‘alamin)
Percampuran benda najis atau haram dengan benda suci
Kemudian juga ada istilah (استحالك) “istihlak” yaitu bercampurnya benda najis atau haram pada
benda yang suci sehingga mengalahkannya sifat najis baik rasa, warna dan baunya. Misalnya
hanya beberapa tetes khamr pada air yang sangat banyak. Maka tidak membuat haram air
tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ال� ور9 ط�ه� اء� �ل�م� ا إ�ن�
ء9 ي� ش� ه� س� ي�ن�ج�
“Air itu suci, tidak ada yang menajiskannya sesuatu pun.” (Bulughul Maram, Bab miyah no.2)
– : ي�ن�ج�س� – ل�م� Bظ ل�ف� و�ف�ي ب�ث� �ل�خ� ا م�ل� ي�ح� ل�م� ل�ت�ي�ن� ق� اء� �ل�م� ا ك�ان�
“jika air mencapai dua qullah tidak mengandung najis –diriwayat yang lain- tidak najis”
(Bulughul Maram, Bab miyah no.5)
Maka enzim babi vaksin yang hanya sekedar katalisator yang sudah hilang melalui proses
pencucian, pemurnian dan penyulingan sudah minimal terkalahkan sifatnya.
Jika Kita Berpendapat Vaksin Adalah Haram
Berdasarkan fatwa MUI bahwa vaksin haram tetapi boleh digunakan jika darurat.
Berobat dengan yang Haram
Jika kita masih berkeyakinan bahwa vaksin haram, mari kita kaji lebih lanjut. Bahwa ada kaidah
fiqhiyah, “Darurat itu membolehkan suatu yang dilarang”
Kaidah ini dengan syarat:
1. Tidak ada pengganti lainnya yang mubah
2. Digunakan sekadar mancukupi saja untuk memenuhi kebutuhan
Inilah landasan yang digunakan MUI, jika kita kaji sesuai dengan syarat:
1. Saat itu belum ada pengganti vaksin lainnya
Adapun yang berdalil dengan daya tahan tubuh bisa dengan jamu, habbatussauda, madu (bukan
berarti kami merendahkan pengobatan nabi dan tradisional), maka kita jawab itu adalah
pengobatan yang bersifat umum tidak spesifik, sebagaimana jika kita mengobati virus tertentu,
maka secara teori bisa sembuh dengan meningkatkan daya tahan tubuh, akan tetapi bisa sangat
lama dan banyak faktor. Bisa saja ia mati sebelum daya tahan tubuh meningkat. Apalagi untuk
jamaah haji syarat satu-satunya adalah vaksin.
1. Enzim babi pada vaksin hanya sebagai katalisator, sekedar penggunaannya saja.
Jika ada yang berdalil dengan hadist,
”Sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan obatnya. Maka berobatlah, dan jangan berobat
dengan sesuatu yang haram” (HR. Thabrani, hasan)
Maka, pendapat terkuat bahwa pada pada asalnya tidak boleh berobat dengan benda-benda
haram kecuali dalam kondisi darurat, dengan syarat:
1. Penyakit tersebut penyakit yang harus diobati
2. Benar-benar yakin bahwa obat ini sangat bermanfaat pada penyakit tersebut.
3. Tidak ada pengganti lainnya yang mubah
Hal ini berlandaskan pada kaidah fiqhiyah,
أخفهما دفع ضرران تعارض .إذا
” Jika ada dua mudharat (bahaya) saling berhadapan maka di ambil yang paling ringan “
Dan Maha Benar Allah yang memang menciptakan penyakit pasti ada obatnya, tidak ada obatnya
sekarang karena manusia belum menemukannya . Islam adalah rahmatan lil a’lamin dan kita
umat islam khususnya calon dokter hendaklah terus memperkaya ilmu baik ilmu duniawi
ataupun ilmu-ilmu keislaman agar kita sukses di dunia dan akhirat.