IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH...
Transcript of IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH...
i
IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN
TERHADAP PERINTAH PENETAPAN TERSANGKA
(Analisis Putusan Praperadilan Nomor: 24/Pid.Prap/2018/PN.Jkt.Sel.)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
SURYA PANDU BASKARA
NIM : 11150480000072
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440H / 2019M
ii
IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN
TERHADAP PERINTAH PENETAPAN TERSANGKA
(Analisis Putusan Praperadilan Nomor: 24/Pid.Prap/2018/PN.Jkt.Sel.)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
Surya Pandu Baskara
NIM 11150480000072
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/ 2019 M
iii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul “IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN
TERHADAP PERINTAH PENETAPAN TERSANGKA (Analisis Putusan
Praperadilan Nomor. 24/Pid.Prap/2018/PN.Jkt.Sel)” telah diajukan dalam
sidang munaqosah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Ilmu Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 23 Juli 2019. Skripsi
ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Ilmu Hukum.
Jakarta, Agustus 2019
Mengesahkan
Dekan,
PANITIA UJIAN MUNAQOSAH
1. Ketua : Dr.M. Ali Hanafiah Selian, S.H.,M.H.
NIP. 19670203 201411 1 001
2. Sekretaris : Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum.
NIP. 19650908 199503 1 001
3. Pembimbing : Dr. Alfitra, S.H.,M.Hum.
NIP. 19720203 200701 1 034
4. Penguji I : Dr. Soefyanto, S.H., M.M., M.H.
NIP. 19531027 197703 1 001
5. Penguji II : Mara Sutan Rambe, M.H.
NIDN. 3175102405850011
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Sumber-sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
v
ABSTRAK
Surya Pandu Baskara. NIM 11150480000072. Implikasi Putusan Praperadilan
Terhadap Perintah Penetapan Tersangka (Analisis Putusan Praperadilan Nomor
24/Pid/Prap/2018/PN.Jkt.Sel.). Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1441 H/ 2019M. Ix
+ 80 halaman
Studi ini bertujuan untuk menganalisis implikasi hukum putusan
praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP), Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-
XII/2014, dan Peraturan Mahakamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 Tentang
Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan dan menjelaskan alasan pihak
ketiga berkepentingan melakukan permohonan praperadilan mengenai
keberlanjutan penegakan hukum tindak pidana korupsi.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif dan menggunakan
pendekatan penelitian yuridis-normatif. Penelitian yang dilakukan dengan
melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, buku-buku, dan
jurnal yang berhubungan dengan judul skripsi ini.
Hasil penelitian menunjukan bahwa hakim memerintahkan KPK selaku
termohon praperadilan untuk menetapkan tersangka terhadap Boediono,
Muliaman D Hadad, Raden Pardede dkk sebagai tersangka tindak pidana korupsi
Bank Century. Hakim memaknai kewenangan praperadilan secara luas, tidak
terbatas pada ketentuan KUHAP, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-
XII/2014, dan Peraturan Mahakamah Agung (PERMA) Nomor 4 Tahun 2016
Tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan. Namun, dengan
hadirnya PERMA Nomor 4 Tahun 2016 telah meniadakan upaya hukum biasa
maupun upaya hukum luar biasa terhadap putusan praperadilan yang berimplikasi
bahwa putusan ini harus dilaksanakan berdasarkan ketentuan yang mengatur.
Kata Kunci : Praperadilan, Perintah Penetapan Tersangka, Penemuan Hukum
Pembimbing Skripsi : Dr. Alfitra, S.H., M.Hum.
Daftar Pustaka : Tahun 1983 sampai 2017
vi
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الرحمان الرحيم
Segala puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah S.W.T atas
berkat dan rahmat Nya yang telah memberikan kemudahan kepada peneliti,
sehingga dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Implikasi Putusan
Praperadilan Terhadap Perintah Penetapan Tersangka (Analisis Putusan
Praperadilan Nomor: 24/Pid.Prap/2018/PN.Jkt.Sel.)”. Sholawat serta salam
peneliti panjatkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam, yang
telah membawa umat manusia dari zaman kegelapan ke zaman yang terang
benderang ini .
Selanjutnya dalam penulisan skripsi ini, peneliti banyak mendapatkan
bimbingan, arahan, serta bantuan dari berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan
ini penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, M.A. Dekan Fakultas Syariah Dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu
Hukum Dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
berkontribusi dalam pembuatan skripsi ini.
3. Dr. Alfitra, S.H., M.Hum. pembimbing skripsi yang telah bersedia meluangkan
waktu, tenaga, dan pikiran untuk membimbing peneliti dalam menyelesaikan
skripsi, sehingga dapat terselesaikan dengan baik.
4. Kepala Pusat Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
membantu dalam menyediakan fasilitas yang memadai untuk peneliti
mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.
5. Pihak-pihak lain yang telah memberi kontribusi kepada peneliti dalam
penyelesaian karya ilmiahnya.
Jakarta, 23 Juli 2019
Peneliti
Surya Pandu Baskara
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN BIMBINGAN ................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI .......................... iii
LEMBAR PERNYATAAN .......................................................................... iv
ABSTRAK ..................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................. viii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ..................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 7
D. Metode Penelitian ...................................................................... 7
E. Rancangan Sistematika Penelitian ............................................. 10
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PRAPERADILAN ............... 12
A. Kerangka Konseptual ................................................................. 12
1. Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana ........................ 12
2. Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Praperadilan .......... 17
3. Tujuan Hukum dalam Putusan Praperadilan ......................... 23
B. Kerangka Teori .......................................................................... 26
1. Teori Penemuan Hukum ........................................................ 26
2. Teori Tujuan Hukum ............................................................. 29
3. Teori Hukum Progresif .......................................................... 31
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ......................................... 32
BAB III PERINTAH PENETAPAN TERSANGKA MELALUI PUTUSAN
PRAPERADILAN ......................................................................... 36
A. Kewenangan Praperadilan dalam Perintah Penetapan
Tersangka ................................................................................... 36
viii
B. Deskripsi Putusan Praperadilan Nomor 24/Pid.Pra/2018/
PN.Jkt.Sel. ................................................................................. 40
BAB IV PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP
PERINTAH PENETAPAN TERSANGKA ............................... 51
A. Alasan Pemohon Mengajukan Permohonan Praperadilan .......... 51
B. Dasar Pertimbangan Hakim Praperadilan dalam
Putusan Nomor 24/Pid.Pra/2018/PN.Jkt.Sel . ............................ 54
C. Implikasi Putusan Praperadilan Nomor 24/Pid.Pra/2018/
PN.Jkt.Sel.Terhadap Perintah Penetapan Tersangka .................. 61
BAB V PENUTUP ..................................................................................... 68
A. Kesimpulan ................................................................................. 68
B. Rekomendasi ............................................................................. 70
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 72
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penegakan hukum merupakan suatu proses yang timbul atas
terjadinya suatu pelanggaran hukum. Terlebih dalam hukum pidana, bahwa
hukum pidana dalam arti luas terbagi menjadi hukum pidana materiil dan
hukum pidana formil. Hukum Acara Pidana merupakan kumpulan suatu
ketentuan-ketentuan tentang cara menyelidik, menyidik, menuntut dan
mengadili seseorang yang dianggap bersalah dan melakukan pelanggaran
hukum pidana. Sistem peradilan pidana merupakan suatu proses yang
dilakukan oleh negara terhadap orang-orang yang melanggar ketentuan dalam
hukum pidana.
Proses penegakkan hukum ini dimulai dari kepolisian, kejaksaan dan
pengadilan. Dalam sistem peradilan pidana setiap institusi penegak hukum
memiliki keberkaitan satu sama lain, sehingga pekerjaan aparatur hukum yang
satu akan berdampak pada pekerjaan aparatur hukum yang lain, mereka
terpadu dan tidak dapat dipisahkan dalam proses penegakkan hukum pidana.1
Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981
Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana telah menimbulkan
perubahan fundamental, baik secara konsepsional maupun secara implemental
terhadap tata cara berperkara di Indonesia. Segala peraturan Perundang-
undangan sepanjang mengatur tentang pelaksanaan daripada Hukum Acara
Pidana dicabut. Didalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana telah
diletakkan dasar-dasar humanisme dan merupakan suatu era baru dalam
lingkungan peradilan di Indonesia dan berlaku secara nasional.2 Hukum
pidana di dalam praktiknya, terdapat serangkaian proses peradilan yang diawali
1 Eddy OS. Hiariej, Beberapa Catatan RUU KUHAP dan Hakim Pemeriksa Pendahuluan
Dalam Konteks Sistem Peradilan Pidana Terpadu. Dalam Problematika Pembaruan Hukum
Pidana Nasional, (Jakarta: Komisi Hukum Nasional RI, 2013), h. 78-79
2 Syafrudin Makmur, Hukum Acara Pidana, (Tangerang: UIN FSH Press, 2016), h. 13
2
dengan proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan yang dilakukan oleh
penuntut umum dan proses pengadilan yang dipimpin oleh hakim.3 Pada
tataran penerapan hukum yang dilakukan oleh hakim, maka hakim dapat dilihat
sebagai manusia yang akan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat. Tugas hakim secara konkret adalah mengadili perkara, yang pada
dasarnya melakukan penafsiran terhadap realitas, disebut juga sebagai
penemuan hukum.4 Selain melakukan penafsiran terhadap realitas, tugas hakim
adalah memberi keputusan dalam setiap perkara atau konflik yang dihadapkan
kepadanya, menetapkan hal-hal seperti hubungan hukum, nilai hukum dari
perilaku, serta kedudukan hukum pihak-pihak yang terlibat dalam suatu
perkara, sehingga untuk dapat menyelesaikan perselisihan atau konflik secara
imparsial berdasarkan hukum yang berlaku, maka hakim harus selalu mandiri
dan bebas dari segala pengaruh pihak manapun, terutama dalam mengambil
sebuah keputusan.5
Proses acara pidana di Indonesia baik prosedur dan tata caranya
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang
diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 yang ditetapkan tanggal
31 Desember 1981. Setelah KUHAP tersebut diundangkan, maka telah
melahirkan suatu lembaga baru yakni lembaga praperadilan yang belum pernah
diatur sebelumnya di dalam hukum acara (IR atau HIR)”. Praperadilan
merupakan lembaga baru yang diperkenalkan melalui Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. Praperadilan dalam hal ini
merupakan suatu mekanisme dalam melindungi hak asasi terdakwa dalam
suatu perkara pidana. Untuk melindungi hak asasi manusia dalam peradilan
pidana diperlukan adanya suatu pengawasan yang dilaksanakan oleh hakim.
3 Sirande Palayukan, Hukum yang Hidup the living law dalam RUU KUHP, Dalam
Problematika Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, (Jakarta; KHN RI, 2013), h. 6
4 Otje Salman dan Anthon F.Susanto, Tinjauan Filsafat Hukum Tentang Penegakkan
Hukum di Indonesia, Dalam Kapita Selekta Hukum Tim Peneliti Pakar Hukum Universitas
Padjadjaran, (Bandung;Widya Padjadjaran, 2009), h. 15-16
5 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif.
(Jakarta; Sinar Grafika, 2010), h. 3
3
Adapun objek praperadilan yang telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yakni
sebagai berikut:
Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus,
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang:
a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan;
b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya
dihentikan pada tingkat penyidikan dan penuntutan.
Dalam hal objek kewenangan mengadili dalam praperadilan
Mahkamah Konstitusi telah menguji ketentuan-ketentuan yang menyangkut
kewenangan praperadilan. Dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi
menambahkan norma dengan memasukkan penetapan status tersangka sebagai
objek praperadilan, penyitaan, dan penggeledahan. Berdasarkan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, Putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut dipertegas oleh Mahkamah Agung dengan mengeluarkan
Peraturan Mahkamah Agung yang termaktub di dalam Peraturan Mahkamah
Agung (PERMA) Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Larangan Peninjauan
Kembali (PK) Putusan Praperadilan yang menyatakan bawah Pasal 77 KUHAP
tidak hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan,
penghentian penyidikan atau penuntutan, tetapi termasuk juga penetapan
tersangka, penyitaan, dan penggeledahan.
Seiring dengan adanya kewenangan ini, munculnya sebuah
permasalahan penetapan tersangka yang dijadikan objek praperadilan, tentunya
memicu adanya pro dan kontra dari berbagai pihak. Dengan adanya putusan
Mahkamah Konstitusi yang terdapat didalam Putusan Nomor 21/PUU-
XII/2014 dan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 4 Tahun 2016
Tentang Larangan Peninjauan Kembali (PK) Putusan Praperadilan yang sudah
memperluas objek praperadilan, maka Pengadilan Negeri juga berwenang
untuk mengadili permohonanan praperadilan atas sah tidaknya penetapan
tersangka. Namun, aturan-aturan tersebut yang terdapat dalam KUHAP,
4
Putusan Mahkamah Konstitusi dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4
Tahun 2016 terjadi sebuah penemuan hukum hakim dalam proses praperadilan
yaitu memerintah penetapan tersangka melalui putusan hakim, yang
tergambarkan dalam Putusan Nomor 24/Pid.Prap/2018/PN.Jkt.Sel.
Pada bulan April 2018, perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi
Indonesia (MAKI) mengajukan permohonan praperadilan di Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan yang diwakilkan oleh Boyamin bin Saiman, Kamaryono dan
Rizki Dwi Cahyo Putra yang dalam mengajukan permohonan praperadilan
tersebut melawan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam hal
kedudukan MAKI sebagai pemohon praperadilan, Mahkamah Konstitusi telah
mengeluarkan putusan 98/PUU/-X/2012 yang menyatakan bahwa MAKI
memiliki kualifikasi secara hukum untuk bertindak sebagai pihak ketiga yang
berkepentingan untuk untuk mengajukan permohonan praperadilan a quo
sebagaimana telah diatur dalam pasal 80 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Berdasarkan atas permohonan praperadilan yang diajukan
perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), hakim dalam salah
satu penetapannya pada poin 3 dan 4 yang menyatakan KPK telah melanggar
aturan dalam Pasal 5 dan 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi, Undang-Undang 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 25 dan Pasal 50, 102 dan 106
KUHAP serta ketentuan Perundang-undangan yang berlaku dalam menangani
korupsi Bank Century berupa tidak ditetapkannya Boediono, Muliaman D
Hadad, Raden Pardede sebagai Tersangka dalam perkara korupsi Bank
Century dan dalam poin 4 memerintahkan KPK untuk melakukan proses
hukum selanjutnya sesuai dengan ketentuan hukum dan Perundang-undangan
yang berlaku atas dugaan tindak pidana korupsi Bank Century dalam bentuk
melakukan Penyidikan dan menetapkan tersangka terhadap Boediono,
Muliaman D Hadad, Raden Pardede dkk dan melanjutkannya dengan
Pendakwaan dan Penuntutan dalam proses persidangan di Pengadilan Tipikor
Jakarta Pusat.
5
Dari penjelasan di atas, hakim melakukan suatu penemuan hukum
yang merupakan suatu terobosan hukum. Namun, jika melihat dari objek
praperadilan yang telah diatur melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana serta penambahan objek
kewenangan yang merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
21/PUU-XII/2014 dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016
memang hakim memutus suatu putusan yang dianggap melebihi objek
kewenangan praperadilan karena di dalam praperadilan memang tidak diatur
objek mengenai kewenangan untuk memerintahkan penetapan tersangka. Hal
inilah yang menjadi ketertarikan peneliti untuk membahas permasalahan ini
dengan judul skripsi IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN
TERHADAP PERINTAH PENETAPAN TERSANGKA (Analisis Putusan
Praperadilan Nomor. 24/Pid.Prap/2018/PN.Jkt.Sel.)
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Dalam tulisan ini peneliti mengidentifikasi berbagai isu yang
mungkin mencakup tema hukum pidana khususnya dalam hal
praperadilan, seperti :
a. Objek praperadilan yang telah diatur di dalam Perundang-undangan
maupun putusan Mahkamah Konstitusi dan Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 4 Tahun 2016
b. Implikasi putusan praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka
c. Prinsip penemuan hukum recht vinding hakim dalam putusan
praperadilan
d. Putusan Praperadilan Nomor 24/Pid.Prap/2018/PN.Jkt.Sel. melebihi
objek kewenangan praperadilan yang telah di atur dalam Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-
XII/2014 dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016
6
2. Pembatasan Masalah
Dari identifikasi masalah tersebut, perlu kiranya peneliti untuk
membatasi masalah yang akan menjadi fokus pembahasan dalam
penelitian ini. Dimana penelitian akan memfokuskan kepada implikasi
putusan Praperadilan Nomor 24/Pid.Prap/2018/PN.Jkt.Sel terhadap
perintah penetapan tersangka.
3. Perumusan Masalah
Masalah utama dalam penelitian ini terkait adanya pertentangan
antara objek praperadilan yang telah diatur oleh Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana maupun
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 dan Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Larangan Peninjauan
Kembali Putusan Praperadilan yang tercermin di dalam putusan
Praperadilan Nomor 24/Pid.Prap/2018/PN.Jkt.Sel. Dimana hakim
praperadilan melakukan penemuan hukum dengan dilandaskan oleh
putusan Kasasi Budi Mulya yang terdapat dalam putusan Nomor 861
K/Pid.Sus/2015, yang mana KPK dianggap menghentikan kasus Bank
Century secara materiil yang dibuktikan dengan berlarut-larut nya proses
penyelesaian hingga bertahun-tahun serta dengan tidak menetapkan
tersangka terhadap Boediono, Muliaman D. Hadad, Raden Pardede
sebagai tersangka kasus Bank Century. Atas dasar itulah hakim tunggal
praperadilan memerintahkan KPK untuk menetapkan status tersangka
terhadap Boediono, Muliaman D. Hadad, Raden Pardede dkk.
Berdasarkan pembahasan dari masalah utama yang telah diuraikan di
atas, maka peneliti merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Apa alasan pihak ketiga berkepentingan melakukan permohonan
praperadilan ?
2. Bagaimana implikasi putusan praperadilan terhadap perintah
penetapan tersangka ?
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini, paling tidak peneliti mendalilkan tujuan
penelitian sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui alasan pihak ketiga berkepentingan melakukan
permohonan praperadilan
b. Untuk mengetahui implikasi putusan praperadilan terhadap perintah
penetapan tersangka
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini secara dikotomi dapat diuraikan
sebagai berikut :
a. Manfaat Teoritis
1) Memberikan manfaat dan sumbangan pemikiran yang dapat
digunakan bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan
Hukum Acara Pidana pada khususnya.
2) Dapat sebagai bahan acuan bagi penelitian yang akan datang
sesuai dengan bidang penelitian.
b. Manfaat Praktis
1) Dapat memberikan informasi tentang pelaksanaan penegakkan
Hukum Acara Pidana khususnya praperadilan
2) Dapat menjadi sumbangsih dalam rangka pembinaan dan
penegakkan hukum nasional
D. Metode Penelitian
Dalam melakukan penelitian agar terlaksana dengan maksimal maka
peneliti menggunakan metode sebagai berikut :
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian skripsi ini
adalah yuridis normatif, yaitu penelitian terhadap atau prinsip-prinsip
hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal,
8
perbandingan hukum, dan sejarah hukum, meneliti norma-norma hukum
positif, asas-asas/prinsip-prinsip, dan doktrin-doktrin hukum.6 Asas-asas
Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis. Deskriptif analitis adalah
memaparkan (medeskripsikan) subjek dan objek penelitian secara analitis.7
Selain menggambarkan dan menguraikan fakta-fakta juga sekaligus
menganalisisnya berdasarkan pendekatan peraturan Perundang-undangan
(statue approach) serta berdasarkan pendekatan kasus (case approach).
Dalam hal ini, objek yuridis normatif terletak di dalam Pasal 77 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Hukum Acara Pidana,
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII, Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Larangan Peninjauan Kembali
Putusan Praperadilan yang terdapat di dalam Putusan Praperadilan Nomor
24/Pid.Pra/2018/PN.Jkt.Sel.
2. Jenis Penelitian
Dalam skripsi ini, peneliti menggunakan penelitian kualitatif yaitu
didasarkan pada relevansi data terhadap permasalahan. Analisis kualitatif
menggunakan norma-norma, asas-asas, prinsip-prinsip, doktrin-doktrin
para ahli yang pandangan-pandangannya berhubungan dengan
praperadilan, juga menganalisis permasalahan ini berdasarkan ketentuan
yuridis yang terdapat di dalam bahan hukum primer sebagaimana telah
disebutkan di atas.
3. Data Penelitian dan Bahan Hukum
Berdasarkan sumbernya maka penelitian ini disusun berdasarkan :
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif berupa peraturan Perundang-undangan. Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
6 Johny Ibrahim, Teori dan Metedologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia
Publishing, 2008), h. 45-62, dan h. 390
7 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 183
9
Pidana (KUHAP), Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-
XII/2014, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 Tentang
Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan, Putusan
Praperadilan Nomor. 24/Pid.Prap/2018/PN.Jkt.Sel..
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang memberi
penjelasan terhadap bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder
biasanya berupa pendapat hukum/doktrin/teori-teori yang diperoleh
dari literatur hukum, hasil penelitian, artikel ilmiah, buku-buku yang
berhubungan dengan tema penelitian, jurnal, makalah, maupun
website yang terkait dengan penelitian.
c. Bahan Hukum Tersier
Merupakan bahan atau rujukan yang memberikan penjelasan dan
petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Biasanya bahan hukum tersier diperoleh dari kamus hukum, kamus
bahasa Indonesia, kamus bahasa Inggris dan sebagainya
4. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan melalui penelaahan berbagai literatur
(kepustakaan), dimana studi kepustakaan merupakan metode tunggal yang
dipergunakan dalam penelitian hukum normatif.8 Dari bahan hukum yang
sudah terkumpul, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum
sekunder diklasifikasikan sesuai dengan isu hukum yang akan dibahas.
Telaah data sekunder dijadikan sebagai telaah awal dari seluruh kegiatan
penelitian yang dilakukan. Telaah sekunder ini dapat melalui buku, teks,
jurnal, makalah-makalah ilmiah dan kepustakaan lain yang relevan dengan
tema.
5. Teknik Pengolahan
Data-data yang diperoleh dikumpulkan sesuai dengan landasan
pustaka yang relevan dengan tema yang diteliti, lalu dikategorikan menjadi
8 Suratman dan Philips Dillah, Metode Penelitian Hukum, (Bandung: Alfabeta, 2012), h.
123
10
bab dan sub-sub dalam penelitian secara rinci agar terstruktur dan
sistematis.
6. Analisis Data
Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif. Jenis
penelitian ini menekankan pada aspek pemahaman suatu norma-norma
yang hidup dan berkembang di masyarakat. Disamping itu, analisis
kualitatif menjadikan berbagai data yang dikumpulkan dan dipilih menurut
kategori penelitian dan selanjutnya dihubungkan satu sama lain atau
ditafsirkan dalam usaha mencari jawaban atas masalah penelitian. Dalam
hal ini masalah penelitian terkait dengan putusan perintah penetapan
tersangka melalui putusan praperadilan.
7. Teknik Penarikan Kesimpulan
Penarikan Kesimpulan pada penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan pola pikir deduktif , yakni dengan menarik kesimpulan
khusus dari pernyataan-pernyataan yang bersifat umum terhadap
permasalahan konkret yang dihadapi.
8. Pedoman Penelitian
Acuan metode penelitian yang peneliti rujuk mengacu kepada
“Pedoman Penelitian Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Tahun 2017”
berdasarkan kaidah-kaidah penelitian yang sudah ditentukan oleh fakultas.
E. Sistematika Penelitian
Secara ringkas, sistematik penelitian sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang, identifikasi pembatasan dan perumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan (review) pustaka terdahulu,
dan metode penelitian.
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PRAPERADILAN DI
DALAM HUKUM ACARA PIDANA
Dalam bab ini peneliti membahas mengenai kajian pustaka,
kerangka konseptual, kerangka teoritis dan tinjauan (review) kajian
11
terdahulu yang terkait dengan praperadilan di dalam Hukum Acara
Pidana.
BAB III DATA PENELITIAN PUTUSAN PRAPERADILAN
TERHADAP PERINTAH PENETAPAN TERSANGKA
Mengenai data penelitian, maka peneliti mencantumkan berbagai
putusan-putusan mengenai penetapan tersangka yang menjadi
objek praperadilan serta proses penyelidikan maupun penyidikan
terhadap kasus Bank Century yang menjadi dasar terhadap putusan
Praperadilan Nomor 24/Pid.Prap/2018/PN.Jkt.Sel.
BAB IV PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH
PENETAPAN TERSANGKA
Analisis yang dihadirkan dalam bab ini berupa gabungan antara
bab II dan bab III mengenai “IMPLIKASI PUTUSAN
PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH PENETAPAN
TERSANGKA”.
BAB V PENUTUP
Dalam bab ini peneliti membuat kesimpulan hasil penelitian dan
rekomendasi. Kesimpulan yang berisi jawaban terhadap inti
masalah penelitian berdasarkan data yang diperoleh.
12
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PRAPERADILAN
A. Kerangka Konseptual
1. Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana
Sistem peradilan pidana pada dasarnya merupakan suatu proses
penegakan hukum pidana, oleh karena itu keberadaan hukum pidana
materiil maupun formiil sangat dibutuhkan dalam sistem peradilan pidana,
karena perundang-undangan pidana pada dasarnya merupakan penegakan
hukum pidana “in abstracto” yang akan diwujudkan dalam penegakan
hukum ”in concreto”.
Peradilan pidana merupakan tempat penegakan hukum serta
penegakan hak asasi manusia dan keadilan yang memiliki ciri khusus,
yakni terdiri dari sub sistem yang bekerja secara terpadu agar dapat
menegakan hukum sesuai dengan harapan masyarakat pencari keadilan.
Proses peradilan pidana yang terdiri dari serangkaian proses tahapan mulai
dari penyelidikan, penyidikan, penangkapan, penahanan, penuntutan dan
pemeriksaan di persidangan, hingga pemidanaan, merupakan suatu proses
yang kompleks.
Melihat begitu kompleksnya sistem peradilan pidana, maka timbul
kebutuhan akan keterpaduan sistem peradilan pidana (Integrated Criminal
Justice System), yaitu suatu sistem yang menjaga keseimbangan antara
kepentingan negara, masyarakat, individu yang termasuk kepentingan
pelaku tindak pidana maupun korban kejahatan. Keterpaduan sistem ini
tidak hanya diarahkan pada tujuan untuk menanggulangi kejahatan, namun
juga bertujuan untuk mengendalikan kejahatan.1 Pada dasarnya sistem
peradilan pidana memiliki dua tujuan utama yakni sebagai upaya
melindungi masyarakat dan sebagai upaya penegakan hukum. Selain dari
1 Rocky Marbun, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Suatu Pengantar, (Malang;
Setara Press, 2015), h. 2-3
13
dua tujuan utama tersebut, sistem peradilan pidana memiliki beberapa
fungsi penting, antara lain :
a) Mencegah tindak kejahatan;
b) Peninjauan ulang terhadap legalitas ukuran pencegahan dan
penindakan;
c) Putusan pengadilan untuk menentukan bersalah atau tidak bersalah
terhadap orang yang ditahan;
d) Lembaga koreksi oleh alat-alat negara yang disetujui oleh
masyarakat terhadap perilaku mereka yang telah melanggar hukum
pidana.2
Berdasarkan tujuan dan fungsi dari sistem peradilan pidana di
Indonesia, perlu diketahui bahwa Indonesia sebagai negara hukum yang
menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia serta menjamin kesetaraan
setiap warga nya didepan hukum (equality before the law), memahami
bahwa perlunya hukum acara pidana yang mengatur tentang segala hak
dan kewajiban pihak-pihak yang terlibat dalam proses penegakan hukum
pidana, baik tersangka maupun pejabat yang memeriksa. Lahirnya
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana pada dasarnya dilandasi oleh dua faktor penting,
yakni menciptakan suatu ketentuan yang dapat mendukung
terselenggaranya suatu peradilan yang adil serta faktor adanya kepentingan
mendesak untuk menggantikan produk hukum acara pidana HIR yang
dinilai sangat kolonialistik.3 Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana terdapat
hal-hal baru yang sebelumnya tidak diatur di dalam HIR yakni mengenai
hak-hak tersangka dan terdakwa, bantuan hukum dalam setiap tingkatan
pemeriksaan (pasal 54 KUHAP), hak untuk segera diperiksa dan diadili
2 Tobib Effendi, Sistem Peradilan Pidana: Perbandingan Komponen dan Proses Sistem
Peradilan Pidana di Beberapa Negara, (Yogyakarta; Pustaka Yustisia, 2013), h. 13-14
3 Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Perspektif Teoritis dan Praktik,
(Bandung; Alumni, 2008), h. 36
14
(Pasal 50 KUHAP), hak untuk diberitahu oleh aparat hukum mengenai
sangkaan yang ditujukan kepadanya (pasal 51 KUHAP), hak untuk
memberikan keterangan secara bebas ( Pasal 52 KUHAP), adanya hak
mengajukan praperadilan (Pasal 77 KUHAP) serta asas praduga tak
bersalah yang terdapat dalam penjelasan umum butir 3c KUHAP dan
berbagai hak-hak lainnya yang diatur oleh KUHAP.4
Selain itu, di dalam KUHAP dijelaskan mengenai aturan di dalam
sistem peradilan pidana dengan memberikan kewenangan kepada 4 unsur
penegak hukum yakni unsur dari kekuasaan untuk melakukan penyidikan,
penuntutan, mengadili dan unsur kekuasaan untuk menjatuhkan putusan.
Unsur-unsur kekuasaan tersebut telah diberikan kewenangan oleh KUHAP
untuk melakukan tindakan upaya paksa penangkapan, penahana, penyitaan
dan penggeledahan. Disisi lain, tindakan tersebut merupakan tindakan
yang membatasi hak-hak tersangka, oleh karenanya pemberian
kewenangan tersebut perlu diatur pengawasan dan mekanisme nya secara
rinci untuk mencegah tindakan sewenang-wenang dari penyidik dan
penuntut umum.
Praperadilan merupakan suatu lembaga yang hadir seiring dengan
disahkan nya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Lembaga praperadilan sebagai
upaya pemenuhan hak asasi manusia serta praperadilan dibentuk sebagai
upaya pengawasan terhadap proses penegakan hukum pidana. Praperadilan
merupakan bagian dari sistem peradilan pidana di Indonesia merupakan
upaya penanggulangan kejahatan yang bersifat penal dengan
menggunakan hukum pidana sebagai sarana utama hukum pidana materiil
dan hukum pidana formiil. Dalam hal pelaksanaan praperadilan ini
merupakan bagian dari suatu prinsip negara hukum yang mana bahwa
suatu negara hukum mempunyai beberapa kriteria, seperti yang di
sampaikan oleh Sri Soemantri, bahwa suatu negara hukum harus
4 Setiyono, Kajian Yuridis Mengenai Interpretasi Pihak Ketiga Yang Berkepentingan
Dalam Praktek Praperadilan, Lex Jurnalica Vol.4 No. 1. Desember 2006, h. 15
15
memenuhi unsur kepastian hukum, adanya jaminan perlindungan hak asasi
manusia, adanya pembagian kekuasaan dalam negara dan adanya
pengawasan dari badan-badan peradilan.5
Sistem peradilan pidana di Indonesia telah mengatur secara rinci
mengenai lembaga praperadilan, yakni yang diatur dalam ketentuan umum
Pasal 1 angka 10 KUHAP yang menyebutkan bahwa Praperadilan adalah
wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut
cara yang diatur dalam Undang-Undang ini, tentang:
a) Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas
permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa
tersangka
b) Sah atau tidaknya penghentian penyelidikan dan penghentian
penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan
c) Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak
diajukan di pengadilan
Secara yuridis, pelaksanaan ketentuan praperadilan diatur di dalam
Pasal 77 sampai dengan Pasal 88 KUHAP. Selain itu, Mahkamah
Konstitusi menambahkan objek kewenangan praperadilan di dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Nomor 21/PUU-XII/2014 yang
menyatakan bawah Pasal 77 KUHAP tidak hanya sebatas pada sah atau
tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau
penuntutan, tetapi termasuk juga penetapan tersangka, penyitaan, dan
penggeledahan.
Sebagai suatu lembaga baru, praperadilan bukan merupakan suatu
lembaga yang berdiri sendiri, menurut Yahya Harahap menjelaskan bahwa
lembaga praperadilan sebagai suatu lembaga baru memiliki karakteristik
yakni eksistensi keberadaan lembaga praperadilan merupakan satu
kesatuan yang melekat pada pengadilan negeri, praperadilan juga
merupakan suatu divisi dari pengadilan negeri, maka dari itu
5 Mien Rukmini. Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas
Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana. (Bandung; Alumni, 2003).
h. 1
16
konsekuensinya sebagai divisi di Pengadilan Negeri perihal administratif
yustisial, personil, peralatan dan finansial menjadi satu dengan Pengadilan
Negeri serta berada dibawah pimpinan dan pengawasan termasuk
pembinaan oleh ketua Pengadilan Negeri. Dalam hal ini, praperadilan
memiliki peran yang sangat penting untuk meminimalisir segala
penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang dalam proses penegakan
hukum. Merujuk pada kewenangan yang terdapat di dalam KUHAP,
maka pada dasarnya lembaga praperadilan berfungsi sebagai lembaga
yang melakukan pengawasan secara horizontal terhadap tindakan yang
dilakukan oleh instansi kepolisian selaku penyidik dan instansi kejaksaan
selaku penuntut umum.
Dalam acara praperadilan terdapat dua pihak yakni pemohon dan
termohon, di dalam KUHAP juga telah dijelaskan yang dapat mengajukan
praperadilan yakni tersangka, keluarga atau kuasa hukumnya; penyidik
atau penuntut umum; pihak ketiga yang berkepentingan.
Mengenai pemaknaan praperadilan, pada dasarnya praperadilan
tidak selalu dimaknai secara dogmatik sebagi suatu perintah Undang-
Undang, tetapi lebih daripada itu harus memperhatikan fakta-fakta sosial
yang terjadi di masyarakat, karena tidak semua aspek kepastian hukum
selalu mencerminkan suatu keadilan, keadilan yang dimaksud bukanlah
keadilan yang bersifat konseptual saja, melainkan harus menghadirkan
keadilan substantif di dalam proses nya.6
Berdasarkan mengenai uraian yang telah dikemukakan di atas yang
menyangkut kedudukan praperadilan di dalam sistem peradilan pidana di
Indonesia, dalam hal ini praperadilan merupakan bagian inti dari
karakteristik prinsip Due Process of law yang memang menjadi tujuan
utama di dalam KUHAP itu sendiri. Prinsip tersebut menekankan pada
lahirnya proses peradilan pidana yang adil serta mengedepankan nilai-nilai
hak asasi manusia yang juga di dalam nya terdapat asas praduga tidak
6 Muntaha, Pengaturan Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana di indonesia,
Mimbar Hukum. Vol. 29, Nomor 3, Oktober 2017, h. 468
17
bersalah, maka praperadilan merupakan lembaga yang berperan penting
dalam mewujudkan prinsip-prinsip yang terdapat dalam sistem peradilan
pidana di Indonesia.
2. Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Praperadilan
Pada dasarnya HAM adalah hak yang bersifat asasi, artinya hak-
hak yang dimiliki oleh manusia berdasarkan kodratnya yang tidak dapat
dipisahkan dari hakikatnya sehingga bersifat suci atau dengan kata lain,
HAM merupakan hak dasar yang dimiliki pribadi manusia sebagai
anugerah dari Tuhan yang dibawa sejak lahir sehingga hak asasi itu tidak
dapat dipisahkan dari eksistensi pribadi manusia itu sendiri.7 Hak asasi
manusia tidak hanya mencakup hak-hak politik dan sipil saja, akan tetapi
ada beberapa hak yang berlaku secara individual seperti hak untuk
mendapatkan pengadilan yang adil. Aspek kemanusiaan yang sangat
mendasar dilihat dari sudut pandang hukum pidana ialah bahwa seseorang
harus dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap mengenai kesalahannya dan seseorang tidak
dapat dipidana tanpa kesalahan. Oleh karena itu untuk seseorang
dinyatakan bersalah oleh badan pengadilan, maka setiap orang berhak
untuk memperoleh peradilan yang bebas, jujur dan tidak berpihak
(independent judiciary and fair trial) dan memperoleh bantuan dari profesi
hukum yang bebas (independent legal professor)8
Dalam pelaksanaan pengawasan terhadap proses peradilan sangat
terkait dengan prinsip atau asas dalam proses peradilan. Yakni asas
equality before the law yang pada prinsipnya bertujuan agar setiap orang
mempunyai kedudukan yang sama dihadapan hukum. Selain itu terdapat
prinsip Due Process Of Law yang pada prinsipnya negara sebagai
7 Indah Kusnowati, Praperadilan dalam Perspektif HAM,
http://radarsemarang.com/2017/12/10/praperadilan-dalam-perspektif-ham/, diakses pada Senin 28
Januari 2018
8 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru, (Jakarta; Kencana Edisi Pertama, 2008), h. 70
18
pemegang kekuasaan tertinggi mempunyai kewenangan penuh untuk
melakukan proses peradilan yang adil dan tidak memihak, maka perlu
adanya pembatasan serta pengawasan terhadap kewenangan tersebut agar
tidak terjadi penyalahgunaan wewenang.9
Terdapat tanggung jawab besar yang di amanatkan kepada negara
terhadap pemberian perlindungan kepada warga negaranya yang termaktub
dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia yang di dalam nya menyebutkan bahwa perlindungan, penegakan
dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab
negara. Bentuk perlindungan ini pun dapat dilihat dalam aspek seperti
pemberian perlindungan Hak Asasi Manusia seperti terhadap tersangka,
saksi bahkan korban sekalipun. Dalam penegakan hukum yang adil pada
dasarnya merupakan tanggung jawab yang melekat dari sistem peradilan
pidana itu sendiri yang ditandai dengan adanya perlindungan terhadap hak-
hak tersangka ataupun terdakwa.10
Pada level internasional, penegakan hukum dengan berlandaskan hak
asasi manusia juga terdapat dalam Universal Declaration of Human Rights
1948, khususnya pasal 9 yang menyatakan “tidak seorang pun boleh
ditangkap, ditahan atau dibuang dengan sewenang-wenang”. Hal ini diatur
lebih lanjut dalam Pasal 9 ICCPR (International Covenant on Civil and
Political Right yang telah diadopsi ke dalam hukum Indonesia yakni di
dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan
ICCPR:
a) Setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan pribadi. Tidak
seorang pun dapat ditangkap atau ditahan secara sewenang-
wenang. Tidak seorang pun dapat dirampas kebebasannya kecuali
berdasarkan alasan-alasan yang sah sesuai engan prosedur yang
ditetapkan oleh hukum
9 Maesa Plangiten, Fungsi dan Wewenang Lembaga Praperadilan Dalam Sistem
Peradilan di Indonesia, Lex Crimen. Vol. II. Nomor 6. Oktober 2013, h. 32
10 Heri Tahir, Proses Hukum yang Adil dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia,
(Yogyakarta; Laksbang Pressindo, 2010), h. 7
19
b) Setiap orang yang ditangkap wajib diberitahu pada saat
penangkapannya dan harus sesegera mungkin dibertahu mengenai
tuduhan yang dikenakan terhadapnya
c) Setiap orang yang ditahan atau ditahan berdasarkan tuduhan
pidana, wajib segera dihadapkan di depan pengadilan atau pejabat
lain yang diberi kewenangan oleh hukum untuk menjalankan
kekuasan peradilan, dan berhak untuk diadili dalam jangka waktu
yang wajar atau dibebaskan. Bukan merupakan suatu ketentuan
umum, bahwa orang yang menunggu diadili harus ditahan, tetapi
pembebasan dapat diberikan atas dasar jaminan untuk hadir pada
waktu sidang, pada setiap tahap pengadilan dan pada pelaksanaan
putusan apabila diputuskan demikian.
d) Siapapun yang dirampas kebebasanya dengan cara penangkapan
atau penahanan berhak untuk disidangkan di depan pengadilan,
yang bertujuan agar pengadilan tanpa menunda-nunda dapat
menentukan keabsahan penangkapannya dan memerintahkan
pembebasannya apabila penahanan tidak sah menurut hukum
e) Setiap orang yang telah menjadi korban penangkapan atau
penahanan yang tidak sah, berhak untuk mendapat ganti kerugian
yang harus dilaksanakan.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagai realisasi
Undang-Undang pokok kekuasaan kehakiman merumuskan aturannya
dengan bersandar pada hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana
seperti hak dari tindakan penuntutan, pembelaan, pemeriksaan pengadilan
maupun perlakuan terhadap tersangka/terdakwa. Setelah berlakunya
KUHAP, penegakan hukum harus berlandaskan keseimbangan yang sesuai
antara orientasi penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia.11
Hukum acara pidana sebagai dasar penyelenggaraan peradilan pidana yang
adil dan manusiawi di dalam suatu negara hukum perlu adanya perangkat
perundang-undangan yang menjamin pelaksanaan penegakan hukum
pidana sesuai dengan fungsi dan wewenangnya masing-masing di dalam
tegaknya hukum, keadilan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia, ketertiban dan kepastian hukum.12
11 M. Yahya Harahap, Proses Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, ... h. 38
12 Al Wisnubroto dan G. Widiantara, Pembaharuan Hukum Acara Pidana, (Bandung;
Citra Aditya Bakti, 2005), h.1
20
Disi lain, penegakan hukum (Law Enforcement) merupakan
rangkaian proses dalam upaya pelaksanaan ketentuan hukum yang berlaku,
baik ketentuan yang bersifat penindakan maupun pencegahan dengan
mencakup teknis ataupun administratif yang dilakukan oleh aparat
penegak hukum, sehingga dengan adanya penegakan hukum tersebut dapat
memberikan rasa aman, damai dan tertib dalam kehidupan bernegara.
Demi untuk kepentingan terlaksananya peradilan tindak pidana, KUHP
dan KUHAP telah memberi kewenangan kepada penyidik dan penuntut
umum untuk melakukan tindakan upaya paksa berupa penangkapan,
penggeledahan, penyitaan, penahanan, penuntutan dan sebagainya. Setiap
upaya paksa merupakan perlakuan yang dibenarkan oleh Undang-Undang
demi pemeriksaan tindak pidana serta segala jenis upaya paksa merupakan
suatu perampasan kemerdekaan dan pembatasan terhadap hak asasi
manusia, maka perlunya kehadiran lembaga yang mengawasi segala upaya
paksa ini.
Praperadilan dimaksudkan sebagai mekanisme kontrol terhadap
kemungkinan tindakan sewenang-wenang penyidik atau penuntut umum
dalam melakukan penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penyidikan,
penuntutan, penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan, baik
yang disertai dengan permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi.
Upaya kontrol ini diharapkan pemeriksaan dalam perkara pidana dapat
berjalan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku
Pada dasarnya kehadiran lembaga praperadilan dalam KUHAP
merupakan upaya perlindungan hak asasi manusia di dalam proses
penegakan hukum pidana. Perlindungan terhadap hak asasi manusia tidak
terbatas dalam arti politik, tetapi juga dalam arti hukum pada umumnya
dan kehidupan hukum pidana pada khususnya, di samping itu hak-hak
tersangka/terdakwa dapat juga dikatakan memiliki tujuan untuk membatasi
kekuasaan atau sebagai rintangan bagi penegak hukum yang berbentuk
represif dalam proses penegakan hukum secara sewenang-wenang atau
21
melawan hukum.13 Sebagai wujud perlindungan terhadap harkat dan
martabat manusia maka KUHAP menegaskan asas-asas dalam hukum
pidana yang mencerminkan adanya perlindungan hak asasi manusia
tersebut yakni:
a) Asas equality before the law
b) Asas legalitas dalam upaya paksa
c) Asas presumpstion of innocence
d) Asas remedy and rehabilitation
e) Asas fair, imparsial, impersonal and objective
f) Asas pemberitahuan yang jelas mengenai dakwaan kepada
terdakwa dan hak-hak yang dimiliki tersangka /terdakwa
g) Asas pengawasan
h) Asas keterbukaan14
Dari asas-asas tersebut terlihat bahwa KUHAP dibentuk atas dasar
penerapan hukum yang mengarah pada perlindungan hak asasi manusia
dalam penegakan hukumnya, yang mengutamakan perlindungan terhadap
hak-hak tersangka/terdakwa dan pengawasan terhadap pejabat berwenang
di dalam penegakan hukum dengan mekanisme yang ketat serta terdapat
instrumen-intstrumen yang mengatur mengenai hadirnya hak asasi
manusia dalam penegakan hukum. Salah satu asas yang terpenting dari
proses penegakan hukum pidana ialah asas praduga tak bersalah
(presumption of inonncence), berdasarkan asas ini, maka sudah sewajarnya
tersangka/terdakwa yang disangka, ditangkap, dituntut dan/atau
dihadapkan di depan Pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai ada
kekuatan hukum yang tetap atas kesalahannya.
Di dalam menjalankan mekanisme penegakan hukum, maka aparat
penegak hukum haruslah mengacu pada ketentuan-ketentuan yang telah di
13 Kadri Husin dan Rizki Husin, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, (Lampung;
Lembaga Penelitian Univesitas Lampung, 2012), h. 174-175
14 Al Wisnubroto dan G. Widiantara, Pembaharuan Hukum Acara Pidana, ... h.11-12
22
atur sebagai pendelegasian kewenangan oleh negara terhadap jalan nya
proses penegakan hukum pidana. Dalam penegakan hukum pidana
haruslah memperlakukan seorang tersangka/terdakwa dengan cara-cara
yang berperikemanusiaan dan sesuai dengan ketentuan hukum yang
berlaku. Bahkan jika yang diperiksa dan diadili adalah seorang
tersangka/terdakwa yang melakukan suatu tindak pidana, mereka tidak
boleh memperlakukan dengan semena-mena dan sewenang-wenang.
Penegakan hukum pidana merupakan kegiatan menyelaraskan
hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah menilai yang
baik dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai, guna
menciptakan, memelihara dan mempertahankan hukum sebagai upaya
mempertahankan kedamaian yang ada di masyarakat.15 Hadirnya lembaga
praperadilan di dalam KUHAP pada dasarnya bertujuan sebagai
pengawasan terhadap perlindungan hak tersangka dalam pemeriksaan
pendahuluan dan diharapkan dapat menjaga harkat dan martabat manusia
dengan memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia Adapun
maksud dan tujuan yang hendak ditegakkan dan dilindungi dalam proses
praperadilan yakni tegaknya hukum dan perlindungan hak asasi tersangka
dalam tingkat pemeriksaan penyidikan dan penuntutan.
Sesuai dengan maksud dan tujuan lembaga praperadilan, dapat
dipahami bahwa sifat dan fungsi dari praperadilan yang khas dan spesifik
serta dengan karakteristik tersebut menjadikan praperadilan sebagai
jembatan penghubung dalam segala usaha pencegahan tindakan upaya
paksa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dan memastikan bahwa
tindakan upaya paksa tersebut sesuai dengan ketentuan hukum yang
berlaku. Fungsi ini akan lebih efektif apabila setiap tindakan/peristiwa
yang menyimpang dari segala ketentuan hukum yang berlaku dapat
dicegah atau dilakukan tindakan hukum terhadap tindakan kesewenangan
tersebut guna meluruskan kembali sesuai dengan ketentuan hukum yang
15 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Bandung;
PT. Rajawali, 1983), h. 18
23
berlaku demi penegakan hukum yang berkeadilan dan berkepastian
hukum.
3. Tujuan Hukum dalam Putusan Praperadilan
Tujuan hukum secara umum adalah sarana untuk menghadirkan
keadilan di dalam masyarakat, yang dapat berupa suatu peraturan maupun
berupa putusan pengadilan. Pada dasarnya putusan pengadilan merupakan
hasil akhir dari suatu jalannya persidangan terhadap suatu kasus perkara,
baik pidana maupun perdata. Putusan pengadilan diambil oleh hakim yang
menangani perkara di pengadilan negeri dimana tempat sidang perkara
tindak pidana berlangsung. Dalam putusan tersebut hakim menyatakan
pendapatnya mengenai hal-hal yang menjadi pertimbangannya dan
putusan itu sendiri.16
Jika melihat tujuan hukum dalam terdapat di dalam Pedoman
Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang memberi penjelasan bahwa :
“Tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah mencari dan mendapatkan
atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran
yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan
menerapkan ketentuan Hukum Acara Pidana secara jujur dan tepat,
dengan tujuan untuk mencari siapa pelaku yang dapat didakwakan
melakukan suatu pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta
pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah
terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang
yang didakwa itu dapat di persalahkan”.17
Praperadilan merupakan konsep yang diperkenalkan dalam KUHAP,
maka praperadilan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari KUHAP
dan praperadilan merupakan pendelegasian kewenangan dari Pengadilan
Negeri yang pada intinya memiliki tujuan yakni melindungi hak asasi
16 Jerio Hallean, Hukum Acara Pidana Tentang Mekanisme Praperadilan,
https://www.academia.edu/27297693/Hukum_Acara_Pidana_tentang_Mekanisme_Praperadilan_d
i_Indonesia, diakses pada Kamis, 31 Januari 2019
17 Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Jakarta;
Departemen Kehakiman Republik indonesia Cetakan Ketiga, 1982), h. 1
24
tersangka terhadap segala pelanggaran syarat formiil maupun materiil
yang dilakukan dalam tingkat penyidikan dan/atau penuntutan yang diatur
di dalam KUHP dan KUHAP. Menurut penjelasan Pasal 80 KUHAP yang
menegaskan “tujuan hukum daripada prapradilan adalah untuk menegakan
hukum, keadilan, kebenaran melalui sarana pengawasan horizontal”.
Sebagai pengawasan horizontal atas tindakan upaya paksa yang dilakukan
terhadap tersangka selama berada dalam pemeriksaan penyidikan dan/atau
penuntutan agar benar bahwa tindakan upaya paksa tersebut sudah
memenuhi ketentuan hukum yang mengatur.
Berdasarkan hal tersebut, tujuan hukum dalam putusan praperadilan
harus memenuhi unsur keadilan dan kebenaran dalam setiap putusannya,
terlebih bahwa praperadilan merupakan bentuk pengawasan terhadap
setiap upaya paksa yang dilakukan aparat penegakan hukum. Jika
mengaitkan dengan gagasan seorang filsuf yakni Gustav Radburch
mengenai konsep tujuan hukum bahwa hukum dalam pengaturan maupun
penerapannya harus berdasarkan pada keadilan, kepastian, kemanfaatan.
Berdasarkan unsur-unsur di atas bahwa tujuan hukum bukanlah hanya
mementingkan unsur kepastian saja, namun juga harus memperhatikan
unsur keadilan bahkan kemanfaatan Untuk mengatasi pertentangan atau
ketegangan yang akan timbul dari pengimplementasian ketiga tujuan
hukum tersebut, maka Gustav Radburch menggunakan asas prioritas yakni
mengedepankan unsur tujuan keadilan hukum, selanjutnya nilai kepastian
hukum dan nilai kemanfaatan hukum. Hal ini menunjukan bahwa Gustav
Radburch menempatkan nilai-nilai keadilan sebagai tujuan hukum yang
paling utama untuk dihadirkan ditengah-tengah masyarakat baik melalui
peraturan, penetapan bahkan putusan pengadilan.18
Mengenai putusan praperadilan, putusan praperadilan memiliki arti
yang begitu spesifik yang telah dijelaskan melalui KUHAP, putusan
18 Sakhiyatu Sova, Tiga Nilai Dasar Hukum Menurut Gustav Radburch,
https://www.scribd.com/doc/170579596/Tiga-Nilai-Dasar-Hukum-Menurut-Gustav-Radbruch,
diakses pada Senin 4 Februari 2019
25
praperadilan adalah putusan hakim praperadilan di pengadilan negeri yang
amar putusannya berisi mengenai putusan tentang sah atau tidaknya
penangkapan atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan
atau penuntutan, diterima atau tidaknya permintaan ganti kerugian atau
rehabilitasi tersangka. Selain itu juga telah diperluas objek mengenai
praperadilan dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
21/PUU-XII/2014 yakni tentang sah atau tidaknya penetapan tersangka,
sah atau tidaknya penyitaan dan sah atau tidaknya penggeledahan19
Pasal 82 Ayat (2), dijelaskan bahwa putusan praperadilan harus
memuat alasan permintaan pemeriksaan yang menjadi dasar pertimbangan
hukum yang kemudian menjadi dasar isi penetapan. Sedangkan dalam
Pasal 82 Ayat (3) KUHAP memberikan penjelasan berupa isi putusan
praperadilan sebagai berikut :
a. Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau
penahanan tidak sah, maka penyidik atau jaksa penuntut umum
pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera
membebaskan tersangka;
b. Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian
penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan
terhadap tersangka wajib dilanjutkan
c. Dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau
penahanan tidak sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah
besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang diberikan, sedangkan
dalam hal suatu penghentian penyidikan atau penuntutan adalah
sah dan tersangkanya tidak ditahan, maka dalam putusan
dicantumkan rehabilitasinya;
d. Dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang
tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan
bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka
atau dan siapa benda itu disita.20
19 Amar Ilyas dan Apriyanti Nusa, Praperadilan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi,
(Yogyakarta; Genta Publishing, 2017), h. 21
20 Ilham, Skripsi, Praperadilan Tentang Penangkapan dan Penahanan dalam Kaitannya
dengan Hak-Hak Tersangka atau Terdakwa Menurut KUHAP (Studi Putusan Nomor
01/Pid/Pra/2009/PN. PLP), (Makassar; Universitas Hasanudin, 2012), h. 32
26
Menurut Pasal 82 Ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa, terhadap
putusan praperadilan tidak dapat dimintakan banding, kecuali terhadap
putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian
penyidikan atau penuntutan. Namun dengan hadirnya Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 dan Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan
Praperadilan yang pada intinya tidak ada upaya hukum apapun dalam
proses praperadilan, maka sudah semestinya hakim dalam memutus
perkara praperadilan dapat menghadirkan tujuan hukum yang utama yakni
dengan menghadrikan keadilan dalam setiap putusan.
B. Kerangka Teori
1. Teori Penemuan Hukum
Dalam menegakan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan,
yaitu kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit),
dan keadilan (gerechtigkeit). Ketiga unsur tersebut oleh Gustav Radbruch'
dikatakan sebagai penopang cita hukum (idee des Rechts). Cita hukum ini
akan membimbing manusia dalam kehidupannya berhukum. Ketiga nilai
dasar tersebut harus ada secara seimbang, namun seringkali ketiga nilai
dasar tersebut tidak selalu berada dalam hubungan yang harmonis satu
sama lain, melainkan berhadapan, bertentangan, ketegangan
(spannungsverhaltnis) satu sama lain. Dalam hal terjadi pertentangan
demikian, yang mestinya diutamakan adalah keadilan. Berkenaan dengan
hal tersebut, Satjipto Rahardjo menawarkan suatu konsep Hukum
Progresif yang bertolak dari dua komponen yang menjadi basis dalam
hukum, yaitu peraturan dan perilaku (rules and behavior). Di sini, hukum
ditempatkan sebagai aspek perilaku, namun juga sekaligus peraturan.
hukum.21
21 Satjpto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif. (Jakarta; Buku Kompas, 2008), h. 265
27
Dalam penyelenggaraan peradilan, hakim melakukan penerapan
hukum yang abstrak sifatnya pada peristiwa yang konkrit. Karena
beraneka ragamnya kegiatan kehidupan masyarakat dan cepatnya
perkembangan dan perubahannya, maka tidak mungkin tercakup dalam
satu peraturan Perundang-undangan dengan tuntas dan jelas. Karena
hukumnya tidak lengkap dan tidak jelas, maka harus dicari dan
diketemukan. Terlebih lagi mengingat ada kemungkinan suatu perkara
yang dihadapkan pada hakim belum ada peraturan hukumnya, atau
peraturan hukumnya ada tetapi tidak jelas, maka hakim dapat melakukan
penemuan hukum. Penemuan hukum oleh hakim sesungguhnya
merupakan instrumen yang digunakan oleh hakim untuk mengisi
kekosongan hukum dengan tidak hanya menerapkan maksud dan bunyi
peraturan perundang-undangan dengan kualifikasi peristiwa atau kasus
konkretnya.22
Hakim tidak dapat dan tidak boleh menolak suatu perkara untuk
diputus dengan alasan karena tidak ada hukum yang mengatur atau karena
hukumnya tidak jelas atau tidak lengkap. Hakim dilarang menolak untuk
menjatuhkan putusan dengan dalih tidak sempurna nya Undang-Undang.
Oleh karena itu, ketidak lengkapan Undang-Undang dalam mengatur
terkait suatu peristiwa konkrit yang tidak lengkap ataupun tidak jelas,
maka dalam hal ini hakim sebagai penegak hukum haruslah mencari dan
menggali hukumnya, hakim harus menemukan hukumnya dengan cara
melakukan suatu penemuan hukum (rechtvinding). Penemuan hukum
lazimnya diartikan sebagai suatu proses pembentukan hukum yang
dilakukan oleh hakim sebagai penegak hukum yang diberi tugas untuk
melaksanakan hukum terhadap peristiwa hukum yang konkrit.
Menurut Bernard L. Tanya keadilan semestinya merupakan unsur
konstitutif dalam hukum, namun ada kalanya, faktual, suatu aturan tidak
memiliki muatan keadilan atau tidak selali memiliki muatau keadilan.
22 Erwi Danil dkk, Menegakan Hukum Tanpa Melanggar Hukum, (Jakarta; Raja Grafindo
Persada, 2015), h. 11
28
Mesikpun hukum dan keadilan merupakan dwitunggal yang tidak dapat
dipisahkan, namun dapat saja terjadi suatu peraturan hukum yang tidak
mengandung keadilan. Dalam menyikapi hal tersebut, seorang hakim
haruslah berusaha sedemikian rupa sehingga jarak antara hukum dan
keadilan dapat diminimalisir, yakni dengan cara menggali, mengkuti dan
memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Dalam
menjalankan tugas untuk mengadili suatu perkara, terdapat kemungkinan
bahwa tidak terdapatnya suatu aturan hukum yang mengatur terhadap
suatu peristiwa konkrit atau dengan kata lain terjadi suatu kekosongan
hukum. Hakim harus berusaha mencari dan menemukan hukum untuk
menyelesaikan suatu peristiwa konkrit tersebut.
Menurut Sudikno Mertokusumo, penemuan hukum merupakan
proses pembentukan hukum yang dilakukan oleh hakim atau petugas-
petugas hukum lainnya yang diberi tugas untuk melaksanakan hukum
trhadap peristiwa konkrit. Lebih konkrit lagi dapat dikatakan bahwa
penemuan hukum merupakan konkretisasi, kristalisasi atau individualisasi
peraturan hukum. Dalam penemuan hukum ini sumber-sumber penemuan
hukum dapat digunakan sesuai dengan tingkatannya, antara lain adalah
Undang-Undang, hukum kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian
Internasional, doktrin, perilaku dan kepentingan manusia. Dengan
demikian hakim harus mempunyai kemampuan dan kreativitas untuk dapat
menyelesaikan dan memutus perkara dengan mencari dan menentukan
hukum dalam suatu perkara yang tidak ada peraturannya atau peraturan
hukum nya tidak jelas. Hakim harus melakukan penemuan hukum guna
dapat memutus perkara sesuai dengan keadilan dan nilai-nilai yang hidup
di dalam masyarakat.23
Tepatlah kiranya penemuan hukum yang mandiri oleh hakim ini
muncul karena merupakan sifat pembentukan hukum dalam tata hukum
23 Siti Malikhatun Badriyah, Penemuan Hukum (Rechtvinding) dan Penciptaan Hukum
(Rechtsschepping) oleh Hakim untuk mewujudkan keadilan, MMH, Jilid 40 No. 3. 3 Juli 2011, h.
387-388
29
modern yang memaksa ke arah pandangan yang dinamis dalam
menemukan hukum oleh hakim atau pejabat-pejabat lainnya yang diberi
wewenang oleh Undang-Undang. Oleh karena itu dalam kekosongan
hukum atau ketidakjelasan substansi dalam Undang-Undang hakim
mempunyai tugas memberi pemecahan dengan menafsirkan substansi di
dalam Undang-Undang itu. Pangkal tolak penemuan hukum tetap pada
sistem hukum, Undang-Undang adalah hukum dan hanya jika ada
kekosongan atau ketidakjelasan dalam Undang-Undang saja hakim boleh
menafsirkan. Penemuan hukum mempelajari tentang interpretasi atau
penafsiran hukum konstruksi hukum, dan hermeneutika hukum. Ketiga
aspek ini menurutnya merupakan metode-metode dalam teori penemuan
hukum.24
2. Teori Tujuan Hukum
Teori tujuan hukum menurut Gustav Radburch, terdiri dari
Keadilan, kemanfaatan dan kepastian. Menurutnya keadilan haruslah
ditempatkan pada posisi pertama dan utama daripada kemanfaatan dan
kepastian. Secara historis, pada awalanya Gustav Radburch tidak
menempatkan keadilan pada posisi pertama, namun menempatkan pada
posisi 2 setelah kepastian. Namun, ia melihat kenyataan bahwa dengan
teorinya tersebut Jerman di bawah kekuasaan Nazi menyalahgunakan
hukum tersebut dengan melegalisasi praktek-praktek yang tidak
berperikemanusiaan pada perang dunia kedua.
Melihat keadaan tersebut, Radburch pun akhirnya meralat teorinya
tersebut dengan menempatkan tujuan keadilan di atas tujuan hukum yang
lain. Bahwa sejatinya hukum dibuat untuk menciptakan suatu ketertiban
melalui peraturan yang adil, yakni pengaturan mengenai kepentingan-
kepentingan yang saling bertentangan dengan seimbang, sehingga setiap
orang memperoleh keadilan. Bahkan dapat dikatakan bahwa seluruh
24 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 61
30
sejarah filsafat hukum memberikan tempat yang istimewa kepada keadilan
sebagai tujuan hukum. Keadilan dan Kepastian merupakan dua nilai yang
diterapkan di dalam hukum. Pemikiran filsafat hukum seringkali
mempersoalkan kedua nilai tersebut, hal inilah yang menimbulkan asumsi
jika keadilan dan kepastian merupakan suatu antinomi, sehingga filsafat
hukum dimaknai sebagai pencarian atas keadilan yang berkepastian atau
kepastian yang berkeadilan.25
Menurut Gustav Radburch, hukum harus mengandung tiga nilai
identitas yang melekat di dalam hukum itu sendiri, yakni adanya keadilan
hukum (gerechtigheit) yang ditinjau melalui sudut filosofis hukum itu
sendiri. Adanya kemanfaatan hukum (zwechmatigheid) yang dintinjau
melalui sudut sosiologis. Dan yang terakhir yakni adanya kepastian hukum
(rechtmatigheid) yang ditinjau melalui sudut yuridis. Radburch
mengatakan bahwa ketiga nilai dasar dalam tujuan hukum tersebut tidak
selalu berada dalam kesatuan yang harmonis satu sama lain. Pada faktanya
keadilan bisa bertabrakan dengan kemanfaatan dan kepastian hukum.
Selain itu, tuntutan kemanfaatan bisa juga bertabrakan dengan keadilan
dan kepastian hukum dan seterusnya.
Gustav Radbruch mengatakan bahwa hukum yang baik adalah ketika
hukum tersebut memuat unsur keadilan, kepastian hukum dan kegunaan.
Artinya, meskipun ketiga unsur tersebut merupakan nilai dasar hukum,
namun pada dasarnya masing-masing nilai mempunyai tuntutan yang
berbeda satu sama lain, sehingga ketiganya mempunyai potensi untuk
saling bertentangan dan menyebabkan adanya ketegangan dan
menyebabkan adanya ketegangan antara ketiga nilai tersebut. Karenanya,
nilai keadilan juga menjadi dasar dari hukum sebagai suatu kesatuan
hukum itu sendiri. Dengan demikian, keadilan memiliki sifat normatif
sekaligus konstitutif bagi hukum. Dalam hal ini, keadilan menjadi
landasan moral hukum dan sekaligus tolok ukur sistem hukum positif.
25 Sidharta, Reformasi Peradilan dan Tanggung Jawab Negara, Bunga Rampai Komisi
Yudisial, Putusan Hakim: Antara Keadilan, Kepastian Hukum, dan Kemanfaatan (Jakarta: Komisi
Yudisial Republik Indonesia, 2010), h. 3
31
Karenanya, kepada keadilanlah, hukum positif berpangkal. Sedangkan
konstitutif, karena keadilan harus menjadi unsur mutlak bagi hukum.
Artinya, ketika di dalam hukum tidak terdapat suatu keadilan, itu
merupakan suatu aturan yang tidak pantas menjadi hukum.
3. Teori Hukum Progresif
Hukum progresif berarti hukum yang bersifat maju. Pengertian
progresif secara harfiah ialah favouring new, modern ideas, happening or
developing steadly, yang berarti menyokong ke arah yang baru, gagasan
modern, peristiwa atau perkembangan yang mantap atau berhasrat maju,
selalu lebih maju, meningkat.26 Istilah hukum progresif di sini adalah
istilah hukum yang diperkenalkan oleh Satjipto Raharjo yang dilandasi
asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia. Adapun pengertian
hukum progresif itu sendiri adalah mengubah secara cepat, melakukan
suatu terobosan hukum. Pemahaman mengenai hukum progresif
didasarkan dengan keinginan dan harapan bahwa lahirnya hukum progresif
dalam khazanah pemikiran hukum berkaitan dengan upaya mengkritisi
realitas pemahaman hukum yang sangat positivistik. Pemahaman ini
menyatakan bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan manusia
untuk hukum dan hukum tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan
sesuatu yang lebih luas yaitu untuk harga diri manusia, kebahagiaan,
kesejahteraan dan kemuliaan manusia.
Melihat dari pengertian di atas, secara lebih sederhana Satjipto
Rahardjo mengatakan bahwa hukum progresif ialah hukum yang
melakukan pembebasan, bebas secara berpikir maupun bertindak dalam
hukum, sehingga di dalam penegakan hukum tidak adanya rekayasa atau
keberpihakn dalam menegakan hukum. Karena menurutnya, hukum
bertujuan untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi semua
26 Pius A Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola,
2001), h. 628
32
rakyat.27 Hukum progresif bermakna hukum yang peduli terhadap
kemanusiaan sehingga hukum bukan hanya sebatas dogmatis saja. Atau
dengan kata lain hukum progresif bersifat pro terhadap kepentingan rakyat
dan merupakan suatu hukum yang berkeadilan. Progresifitas hukum
mengajarkan bahwa hukum bukanlah raja, tetapi alat menjabarkan dasar
kemanusiaan yang berfungsi memberikan rasa keadilan di dalam
masyarakat. Prof. Satjipto Rahardjo menilai bahwa pemikiran hukum perlu
kembali pada filosofis dasarnya, yaitu hukum untuk manusia. Dengan
filosofis tersebut, maka manusialah yang menjadi penentu dan titik
orientasi daripada hukum itu sendiri.
Bagi hukum progresif, proses perubahan tidak lagi berpusat pada
peraturan, tetapi pada kreativitas pelaku hukum mengaktualisasikan
hukum dalam ruang dan waktu yang tepat. Para pelaku hukum progresif
dapat melakukan perubahan dengan melakukan pemaknaan yang
mendalam terhadap peraturan yang ada, tanpa harus menunggu perubahan
peraturan. Pemikiran yang mendasari progresifitas hukum adalah yang
pertama hukum ada untuk manusia dan tidak untuk dirinya sendiri, kedua
ialah hukum selalu berada pada status law in the making dan tidak bersifat
final dan yang ketiga ialah hukum merupakan institusi yang bermoral
kemanusiaan.
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
1. Pembatalan Status Tersangka Pelaku Tindak Pidana Korupsi E-KTP
(Analisis Putusan Praperadilan Nomor 97/Pid.Prap/2017/PN.Jkt.Sel)
Skripsi ini merupakan tugas akhir Khusnus Sa’bani pada tahun 2018,
mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Secara umum skripsi ini menjelaskan terkait
pembatalan status tersangka yang dilakukan melalui mekanisme
praperadilan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum
27 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum dalam Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan
(Surakarta: Muhammadiyah Press University, 2004), h. 17
33
normatif dengan menjadikan pertimbangan hakim praperadilan sebagai
bahan analisis.
Terkait dengan persamaan karya ilmiah, yakni terdapat dalam hal
metode penelitian, yakni metode normatif dengan analisis data kualitatif.
Dalam hal ini, objek yang menjadi masalah yakni terkait dengan putusan
praperadilan yang diputus oleh hakim, membahas mengenai akibat hukum
yang timbul dari putusan praperadilan tersebut.
Adapun perbedaannya yang mendasar antara skripsi ini dan
penelitian yang sedang peneliti lakukan adalah terkait dengan objek
putusan praperadilan, yang mana pada studi terdahulu menggunakan
Putusan Praperadilan Nomor 97/Pid.Pra/2017/PN.Jkt.Sel dan objek
putusan yang peneliti gunakan ialah Putusan Praperadilan Nomor
24/Pid.Prap/2018/PN.Jkt.Sel, selain itu penelitian sebelumnya membahas
mengenai akibat hukum putusan tersebut bagi penyelesaian kasus e-ktp
sedangkan penelitian yang peneliti bahas yakni mengenai akibat hukum
dari putusan praperadilan tersebut bagi proses penyidikan tindak pidana
dalam kasus korupsi Bank Century.
2. Praperadilan Terhadap Penetapan Tersangka dan Implikasinya
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 (Studi
Putusan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel)
Skripsi ini merupakan tugas akhir Ahmad Mukri Aji pada tahun
2016, mahasiswa Fakultasa Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta. Secara umum skripsi ini menjelaskan terkait
kewenangan pengadilan dalam mengadili permohonan sah atau tidaknya
penetapan tersangka melalui mekanisme praperadilan. Penelitian ini
menjelaskan tentang penetapan status tersangka yang tidak masuk ke
dalam ranah praperadilan.
Terkait dengan persamaan karya ilmiah, yakni terdapat dalam hal
metode penelitian, yakni metode normatif dengan analisis data kualitatif.
Penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan Undnag-Undang
34
dan pendekatan kasus Dalam hal ini, objek yang terdapat di dalam putusan
praperadilan.
Adapun perbedaannya yang mendasar antara skripsi ini dan
penelitian yang sedang peneliti lakukan adalah terkait dengan putusan
praperadilan yang berbeda serta objek kewenangan praperadilan pasca
putusan Mahkamah Konstitusi yang telah menjadi dasar pertimbangan
hakim dalam melakukan pemeriksaaan penetapan. Pada penelitian
terdahulu, peneliti tersebut membahas mengenai sah atau tidaknya
penetapan tersangka melalui mekanisme praperadilan, sedangkan pada
penelitian kali ini, peneliti membahas mengenai perintah penetapan
tersangka yang memang belum diatur di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana saat ini beserta dengan Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Larangan Penjinjauan Kembali Putusan
Praperadilan.
3. Sistem Peradilan Pidana di Indonesia dalam Perspektif Pembaruan,
Teori dan Praktik Peradilan
Buku ini ditulis oleh Syaiful Bakhri, buku ini menjelaskan mengenai
sistem peradilan khususnya sistem peradilan pidana. Sistem peradilan
piana merupakan sistem penanganan perkara sejak adanya pihak yang
merasa dirugikan atau sejak adanya sangkaan seseorang telah melakukan
perbuatan pidana hingga pelaksanaan putusan hakim. Buku ini juga
merupakan kajian terkini yang menulis susun guna menjelaskan hal yang
mutakhir berkenaan mengenai perkembangan sistem peradilan pidana di
Indonesia saat ini. Dan di dalam ini selain terdapat materi mengenai sistem
peradilan pidana, juga terdapat materi dari praperadilan.
Dari fikiran dasar tersebut, peneliti gunakan dalam membedah
permasalahan hukum putusan praperadilan yang menjadi bagian dari
pengawasan di dalam sistem peradilan pidana.
35
4. Tinjauan Terhadap Putusan Praperadilan yang Berkaitan dengan
Penetapan Seseorang Menjadi Tersangka
Jurnal ini ditulis oleh Sudarmi mahasiswi Fakultas Hukum
Universitas Atmajaya Yogyakarta pada tahun 2015. Dalam jurnal
ilmiahnya peneliti ini membahas mengenai tinjauan hukum terhadap
putusan praperadilan yang berkaitan dengan penetapan seseorang menjadi
tersangka. Peneliti menjelaskan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 21/PUU-XII/2014 telah menambah objek praperadilan terkait
dengan penetapan tersangka, maka dengan penjelasan yang terdapat di
dalam jurnal ini terdapat kesesuaian pembahasan dengan tema yang
peneliti bahas.
36
BAB III
PERINTAH PENETAPAN TERSANGKA MELALUI PUTUSAN
PRAPERADILAN
A. Penambahan Objek Praperadilan Perintah Penetapan Tersangka
Praperadilan merupakan suatu kontrol terhadap tindakan penyidik
maupun penuntut umum dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dalam
proses penegakan hukum pidana. Pengaturan mengenai objek praperadilan,
pada dasarnya telah di atur di dalam Pasal 1 angka 10 dan Pasal 77 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana. Pasal 1 angka 10 KUHAP menegaskan bahwa praperadilan adalah
wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang
diatur dalam Undang-Undang tentang:
a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan/atau penahan atas permintaan
tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan
atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak
diajukan ke pengadilan.
Pengujian praperadilan di atas, untuk menilai keabsahan tindakan
penegak hukum dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Pada dasarnya
KUHAP sangat mengedepankan asas legalitas dalam setiap proses penegakan
hukum pidana, sehingga semua bentuk kewenangan harus dilaksanakan sesuai
dengan prinsip yang diatur dalam KUHAP itu sendiri. Asas legalitas formil
tersebut memberikan makna, bahwa segala tindakan hukum sebagai langkah
penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, apabila telah
keluar dari prinsip yang diatur di dalam KUHAP, maka dapat dianggap tidak
sah.1
1 Amir Ilyas dan Apriyanto Nusa, Praperadilan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, ...
h. 32
37
Mengenai objek praperadilan yang diatur di dalam Pasal 77 KUHAP
terdapat perluasan objek praperadilan terdapat di dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 yang memperluas objek praperadilan yakni
sah atau tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan.
1) Sah atau tidaknya Penetapan Tersangka
Penetapan tersangka bukanlah rangkaian proses yang berdiri sendiri,
melainkan merupakan akhir dari proses pemeriksaan sebelumnya. Di
dalam hukum pidana terdapat alur seseorang dapat ditetapkan sebagai
tersangka, yakni berawal dari tindakan penyelidikan yang dilakukan oleh
penyelidik untuk mencari dan menemukan ada atau tidaknya suatu tindak
pidana yang kemudian ditentukan dapat atau tidaknya untuk dilanjutkan
ke tingkat penyidikan. Setelah ditemukan adanya unsur tindak pidana pada
tahap penyelidikan, maka dilaksanakan tindakan penyidikan yang
dilakukan oleh penyidik untuk mencari dan mengumpukan bukti serta
menemukan tersangka. Dalam tahap penyidikan inilah penetapan
tersangka dilakukan, atau dengan kata lain penetapan tersangka
merupakan keluaran (output) dari proses penyelidikan dan penyidikan.
Berdasarkan penjelasan tersebut Mahkamah Konstitusi beranggapan
bahwa perlunya pemeriksaan sah atau tidaknya penetapan tersangka agar
menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam proses penegakan
hukum pidana.
2) Sah atau tidaknya Penggeledahan
KUHAP pada dasarnya membagi penggeledahan ke dalam 2 jenis,
yakni penggeledahan rumah dan penggeledahan badan. Penggeledahan
rumah adalah suatu tindakan dari penyidik untuk memasuki rumah tempat
tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan pemeriksaan
dan/atau penyitaan dan/atau penangkapan sesuai dengan Undang-Undang
(Pasal 1 angka 17 KUHAP) dan Penggeledahan badan adalah tindakan
penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan dan/atau pakaian
tersangka untuk mencari benda yang diduga keras pada badannya atau
dibawanya serta untuk disita (Pasal 1 angka 18 KUHAP). Alasan yang bisa
38
dijadikan permohonan praperadilan yakni mengenai keabsahan
penggeledahan yang bergantung pada keadaan penggeledahan dan syarat-
syarat penggeledahan itu sendiri. Syarat-syarat penggeledahan sebagai
berikut :
3) Sah atau Tidaknya Penyitaan
KUHAP telah mendefinisikan mengenai penyitaan yang diatur dalam
Pasal 1 angka 6 KUHAP yang menegaskan bahwa :
“Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih
dan/atau menyimpan di bawah penguasannya benda bergerak atau tidak
bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian
dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan”
Penyitaan terbagi dalam bentuk penyitaan dalam keadaan normal dan
penyitaan dalam keadaan mendesak. Selain itu, terdapat penyitaan dalam
keadaan tertangkap tangan dan penyitaan di luar daerah hukum penyidik.
Dalam konteks sah atau tidaknya penyitaan yang menjadi perhatian lebih
terkait dengan penyitaan yakni penyitaan dalam keadaan normal dan
penyitaan dalam keadaan mendesak.
Tujuan penyitaan ialah untuk kepentingan pembuktian, terutama
ditujukan sebagai barang bukti di persidangan sebagai salah satu
persyaratan untuk dapat melanjutkan perkara ke tahap persidangan. Oleh
karena itu, untuk melengkapi berkas perkara, maka penyidik melakukan
tindakan penyitaan untuk dipergunakan sebagai bukti dalam penyidikan,
penuntutan dan tingkat pemeriksaan persidangan pengadilan.2
Dalam praktiknya terkadang penyidik melakukan penyitaan terhadap
benda yang tidak ada hubungannya dengan sangkaan dari tindak pidana
tersebut. Berdasarkan syarat-syarat dalam penyitaan yang menjadi
prosedur mengikat bagi penyidik terdapat salah satu pelanggaran atau
tidak terpenuhinya syarat tersebut, maka pada konteks inilah tersangka
2 Mohammad Taufik Makarao & Suharsil, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek,
(Bogor; Ghalia Indonesia, 2010), h. 54
39
atau keluarga yang barangnya disita dapat mengajukan permohonan
praperadilan atas sah atau tidaknya penyitaan tersebut.
Dalam hal penambahan objek praperadilan yang terdapat di dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi, seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa
penambahan objek praperadilan yakni sah atau tidaknya penetapan
tersangka, penggeledahan dan penyitaan. Perihal penambahan objek
mengenai sah atau tidaknya penetapan tersangka yang menjadi perhatian
lebih di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, adapun penetapan
tersangka merupakan suatu rangkaian proses penyelidikan dan penyidikan,
maka dari itu rangkaian atau proses hukum acara pidana tersebut tidak
dapat dipisahkan satu sama lain. Pada dasarnya sah atau tidaknya
penetapan tersangka sebagai objek praperadilan adalah agar Hukum Acara
Pidana dilakukan untuk menghindari kesalahan atau kesewenangan
penyidik dalam menetapkan tersangka serta menghindari adanya unfair
prejudice atau penyitaan terhadap barang dengan cara melanggar hukum
dalam proses penyelidikan, penyidikan maupun penuntutan yang tidak
berdasarkan atas hukum serta proses peradilan yang memihak (unlawful
legal evidence).3 Disisi lain terdapat putusan praperadilan yang di dalam
putusannya terdapat frasa memerintahkan penetapan tersangka yang
didasarkan atas penghentian penyidikan secara materiil yang terdapat di
dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor
24/Pid.Prap/2018/PN.Jkt.Sel.
Putusan ini tentu menyita perhatian publik, terbitnya putusan
praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) yang
memerintahkan sejumlah nama untuk ditetapkan sebagai tersangka terkait
kasus dugaan korupi dana talangan Bank Century menimbulkan
kontroversi. Pasalnya, permohonan yang diajukan Masyarakat Anti
Korupsi Indonesia (MAKI) yang diputus Hakim tunggal Effendi Mukhtar
3 Novita Akria Putri, Skripsi, Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Terkait Dengan
Penambahan Norma Penetapan Tersangka Sebagai Objek Praperadilan, (Jakarta; Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2015), h. 38
40
ini dinilai melampaui batas kewenangan seorang hakim praperadilan4
dikarenakan frasa memerintahkan penetapan tersangka belum diatur di
dalam objek praperadilan baik melalui KUHAP maupun Putusan
Mahkamah Konstitusi. Jika dikembalikan pada maksud dan tujuan
lembaga praperadilan untuk mengontrol upaya paksa yang dilakukan
penyidik atau penuntut umum, tampaknya perintah untuk menetapkan
seseorang sebagai tersangka tidak termasuk dalam kompetensi
praperadilan.
Namun, mengingat rasa keadilan masyarakat itu terus berkembang,
bisa saja perintah untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka juga
menjadi kompetensi praperadilan. Mengingat adanya kepentingan korban,
sehubungan terdapat orang-orang 'tertentu' yang tidak/belum ditetapkan
sebagai tersangka. Untuk kepentingan ini perlu dilakukan uji materi,
apakah perintah untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka
merupakan bagian kompetensi praperadilan.5
B. Deskripsi Putusan Praperadilan Nomor 24/Pid.Pra/2018/PN.Jkt.Sel.
Deskripsi perkara dalam sub bab ini sifatnya hanya mendeskripsikan
gambaran kasus di dalam Putusan Praperadilan Nomor
24/Pid.Prap/2018/PN.Jkt.Sel. Pada Maret 2018, pemohon mengajukan
permohonan praperadilan yang memohonkan untuk melanjutkan proses hukum
terkait tindak pidana korupsi Bank Century yang juga di dalam nya mengingikan
adanya penetapan tersangka terhadap kasus tindak pidana korupsi Bank Century.
4 Rofiq Hidayat, Perintah Penetapan Tersangka Lampaui Kewenangan Hakim
Praperadilan, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5acf311185127/perintah-penetapan-
tersangka-lampaui-kewenangan-hakim-praperadilan, diakses pada Senin, 11 Februari 2018
5 Marcus Priyo Gunarto, Polemik Perintah Penetapan Tersangka,
http://mediaindonesia.com/read/detail/155747-polemik-perintah-penetapan-tersangka, diakses pada
Senin, 11 Februari 2019
41
1. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon
Merujuk pada Anggaran Dasar Masyarakat Anti Korupsi Indonesia
(MAKI) Pasal 4 dan Pasal ayat (1), MAKI memilik tujuan untuk
menegakkan hukum dan pembelaan negara dalam menyelamatkan harta
masyarakat dan negara. Bahwa yang tertuang di dalam Anggaran Dasar
MAKI Pasal 5 ayat (2 dan 3), MAKI membela masyarakat untuk
menciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN (Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme) dan memberdayakan masyarakat untuk membantu pemerintah
dalam pencegahan pemberantasan KKN di Indonesia. Selain itu, di dalam
Pasal 6 Anggaran Dasar menyatakan bahwa MAKI berhak mengajukan
praperadilan kepada pihak-pihak terkait “seperti” Kepolisian. Frasa
“seperti” untuk menyebut perwakilan, namun dapat mencakup semua aparat
penegak hukum penyidik ataupun KPK yang menjadi termohon di dalam
praperadilan yang diajukan MAKI.
Pada dasarnya MAKI merupakan “pihak ketiga yang
berkepentingan”, hal ini telah diatur di dalam Pasal 80 KUHAP yang
menyatakan bahwa praperadilan terhadap tidak sahnya penghentian
penyidikan dan penghentian penuntutan dapat diajukan oleh
penyidik/penuntut dan pihak ketiga berkepentingan. Terkait yang dimaksud
dalam frasa “pihak ketiga yang berkepentingan” dalam Pasal 80 KUHAP,
Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya pada perkara nomor No. 98/PUU-
X/2012 yang diucapkan tanggal 21 Mei 2013, dalam Putusannya disebutkan
bahwa MAKI adalah Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia,
yang dijelaskan di dalam amar putusannya menyatakan :
Mengabulkan permohonan pemohon :
1. Frasa “pihak ketiga yang berkepentingan” dalam Pasal 80Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) adalah
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “termasuk saksi
korban atau pelapor, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi
kemasyarakatan”
42
2. Frasa “pihak ketiga yang berkepentingan” dalam Pasal 80 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai
“termasuk saksi korban atau pelapor, lembaga swadaya masyarakat
atau organisasi kemasyarakatan”
Berdasarkan dalil-dalil di atas, maka MAKI memiliki
kualifikasi secara hukum untuk bertindak sebagai pihak ketiga yang
berkepentingan untuk mengajukan permohonan praperadilan a quo.
2. Pokok Permohonan
Berdasarkan telah inkracht nya putusan atas terdakwa Budi Mulya
dengan vonis bersalah, maka perkara tindak pidana korupsi telah memasuki
babak baru. Bahwa dakwaan dalam putusan tersebut mendalilkan bahwa
Budi Mulya bersama-sama Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede
dkk dinyatakan bersalah bersama-sama melakukan korupsi. Dalam
pertimbangan putusan kasasi Mahkamah Agung Nomor 861
K/Pid.Sus/2015 dengan jelas menerima dan membenarkan alasan kasasi
yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan menambahkan
pertimbangan bahwa terdakwa Budi Mulya selaku Deputi Gubernur Bank
Indonesia Bidang Pengelolaan Moneter dan Devisa melakukan perbuatan
melawan hukum secara bersama-sama dengan pejabat yang nama-namanya
disebutkan dalam Surat Dakwaan Jaksa/Penuntut Umum. Namun, termohon
belum menetapkan Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede dkk
sebagai tersangka korupsi Bank Century sejak inkracht nya kasus Budi
Mulya, sehingga perbuatan tersebut dapat dimaknai sebagai penghentian
penyidikan secara materiil.
Bahwa termohon dalam perkara praperadilan ini yakni KPK yang
terbukti telah mengabaikan dan menutup mata atas fakta hukum yang
terdapat dalam putusan inkracht Budi Mulya dengan dalih bahwa tidak ada
ketentuan yang mengatur kapan suatu perkara harus dimulai penyelidikan
43
dan tidak ada ketentuan hukum yang mengatur batasan waktu suatu proses
penyelidikan.penyidikan. Selain itu, dapat dipahami bahwa termohon dalam
hal menangani perkara korupsi Bank Century yang melibatkan banyak
pihak dan sulit pembuktiannya harus melakukan penyelidikan dan
penyidikan dengan cermat dan membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
Untuk mengatasi ketidakpastian dan berlarut-larutnya penyelesaian
perkara Bank Century, maka pemohon memerlukan penemuan hukum
(recht finding) yang dilakukan hakim dalam rangka mengisi kekosongan
hukum atas kebuntuan penanganan perkara korupsi Bank Century oleh
termohon. Bentuk penemuan hukum untuk mengisi kekosongan hukum
tersebut dengan mengabulkan permohonan a quo dan perintah hakim
kepada termohon untuk melakukan proses hukum selanjutnya sesuai dengan
ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku atas
dugaan tindak pidana korupsi Bank Century dalam bentuk melakukan
penyidikan dan menetapkan tersangka terhadap Boediono, Muliaman D
Hadad, Raden Pardede dan melanjutkan pendakwaan dan penuntutan proses
persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat.
Berdasarkan hal di atas, pemohon mengajukan permohonan
praperadilan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, untuk berkenan
memeriksa selanjutnya memutus sebagai berikut:
PRIMAIR :
- Menyatakan menerima dan mengabulkan permohonan pemohon untuk
seluruhnya;
- Menyatakan pemohon sah kedudukannya sebagai pihak ketiga
berkepentingan dan berhak mengajukan permohonan praperadilan
dalam perkara a quo;
- Menyatakan secara hukum termohon telah melanggar ketentuan dalam
Pasal 5 dan 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi, Pasal 25 Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 50,
102, dan 106 KUHAP serta ketentuan ketentuan perundang-undangan
44
yang berlaku dalam menangani korupsi Bank Century, sehingga
pelanggaran a quo merupakan bentuk penghentian penyidikan secara
tidak sah dan batal demi hukum dengan segala akibat hukumnya atas
perkara korupsi Bank Century berupa tidak ditetapkannya Boediono,
Muliaman D Hadad, Raden Pardede dkk sebagai tersangka dalam
perkara korupsi Bank Century;
- Memerintahkan termohon untuk melakukan proses hukum selanjutnya
sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku atas dugaan tindak pidana korupsi Bank Century dalam
bentuk melakukan penyidikan dan menetapkan tersangka terhadap
Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede dkk dan
melanjutkannya dengan pendakwaan dan penuntutan dalam proses
persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat.
3. Eksepsi Termohon
a) Eksepsi Tentang Permohonan Praperadilan Nebis In Idem
Permohonan praperadilan diatur dalam hukum acara pidana
(KUHAP) akan tetapi dalam pelaksanaan persidangan menggunakan
hukum acara perdata (quasi perdata), sehingga asas-asas hukum
perdata berlaku, termasuk asas nebis in idem sebagaimana diatur
dalam Pasal 1917 KUH Perdata sebagai berikut:
“kekuatan suatu putusan Hakim yang telah memperoleh keuatan
hukum yang pasti hanya mengenai pokok perkara yang
bersangkutan. Untuk dapat menggunakan kekuatan itu, soal yang
dituntut harus sama, tuntutan harus didasarkan pada alasan yang
sama, dan harus diajukan oleh pihak yang sama dan terhadap
pihak-pihak yang sama dalam hubungan yang sama pula.”
Pokok perkara dalam praperadilan yang diajukan pemohon yakni
perakara No. 24/Pid.Pra/2018/PN.Jkt.Sel. adalah sama dengan perkara
praperadilan. yang telah berkekuatan hukum tetap, baik subyek maupun
obyek perkara, yaitu kesamaan pemohon (Masyarakat Anti Korupsi
Indonesia, kesamaan termohon (Komisi Pemberantasan Korupsi), dan
45
kesamaan obyek permohonan terkait penghentian penyidikan secara
materiil tidak sah dalam penanganan perkara Bank Century.
Dalam perkara praperadilan No. 12/Pid/Prap/2016/PN.Jkt.Sel.
tersebut, Hakim praperadilan telah memeriksa substansi permohonan
praperadilan yang diajukan oleh pemohon dengan memberikan
pertimbangan sebagai yakni “Menimbang, bahwa namun pada faktanya
dalam persidangan praperadilan ini tidak ada bukti termohon telah
melakukan penyelidikan dan/atau penyidikan yang dihentikan oleh
termohon”
Berdasarkan hal tersebut, dengan demikian telah dilakukan
pemeriksaan terhadap obyek sengketa yang memiliki substansi yang
sama, dan juga telah diadili dan diputus oleh Hakim, sehingga asas
nebis in idem secara mutlak telah terpenuhi. Demi menghindari adanya
pertentangan Putusan Hakim atas obyek sengketa yang sama yang telah
diperiksa dan diputus terdahulu oleh Hakim lainnya, maka sudah
selayaknya apabila Hakim Praperadilan aquo untuk tidak lagi
memeriksa dan memberikan putusan atas perkara praperadilan aquo,
dengan menyatakan bahwa asas nebis in idem telah terpenuhi. Dengan
demikian, sudah selayaknya permohonan praperadilan aquo ditolak
atau setidak-tidaknya harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet
ontvankelijke verklaard).
b) Eksepsi Tentang Permohonan Praperadilan Prematur
Pada dasarnya termohon tidak pernah menerbitkan Surat Perintah
Penghentian Penyidikan (SP3) atas perkara tindak pidana korupsi
sehubungan dengan pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek
(FPJP) kepada PT. Bank Century dan proses penetapan Bank Century
sebagai Bank Gagal Berdampak Sistemik. Bahkan termohon tidak
memiliki kewenangan untuk mengeluarkan Surat Perintah Penghentian
Penyidikan dan Penuntutan (SP3) dalam perkara tindak pidana korupsi,
sehingga tidak dimungkinkan pemohon menghentikan penyidikan.
46
c) Eksepsi Tentang Permohonan Praperadilan Bukan Lingkup
Praperadilan (Error In Objecto)
Pada dasarnya ketentuan Pasal 78 KUHP adalah ketentuan hukum
yang mengatur mengenai jangka waktu daluwarsa penuntutan atas
suatu tindak pidana. ketentuan Pasal 78 KUHP hanyalah mengatur
batas waktu bagi penegak hukum untuk melakukan penuntutan atas
suatu tindak pidana, dan tidaklah mengatur mengenai jangka waktu
penyelidikan ataupun penyidikan terhadap suatu perkara aquo, yaitu
terkait dengan penghentian penyidikan secara materiil. Dalam perkara
tersebut, termohon telah melaksanakan tugas dan kewenangannya
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 dan sebagai bentuk pertanggungjawaban termohon kepada
publik atas pelaksanaan tugasnya maka termohon menyampaikan
laporan secara terbuka dan berkala kepada Presiden RI, DPR RI, dan
BPK.
Pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK pada prinsipnya terbuka
untuk diinformasikan kepada publik termasuk kepada pemohon apabila
mengajukan permintaan informasi kepada KPK, namun demikian
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang
Keterbukaan Informasi Publik, maka terdapat infromasi yang
dikecualikan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 17 huruf a Undang-
Undang Keterbukaan Informasi Publik yang pada intinya informasi
badan publik dapat diakses bagi setiap pemohon informasi publik
kecuali informasi yang diberikan kepada pemohon dapat menghambat
proses penegakan hukum. Berdasarkan ketentuan tersebut, apabila
terdapat data dan informasi terkait dengan penanganan perkara tindak
pidana korupsi Bank Century termasuk pengumpulan bukti maka hal
tersebut termasuk dalam informasi yang dikecualikan, karena jika
dibuka maka dapat menghambat proses penegakan hukum.
47
Selain itu, ruang lingkup kewenangan praperadilan secara limitatif
telah ditentukan dalam Pasal 1 Angka 10 jo. Pasal 77 KUHAP dan
berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014,
lingkup kewenangan mencakup juga praperadilan mengenai sah atau
tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan. Lebih
lanjut, Mahkamah Agung mengatur lingkup praperadilan dalam Pasal
2 Peraturan Mahkamah Agung RI (Perma) Nomor 4 Tahun 2016
Tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan
menyatakan bahwa objek praperadilan terbatas pada sah atau tidaknya
penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan, penetapan tersangka, penyitaan dan penggeledahan, serta
ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara
pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Dengan demikian, sudah jelas bahwa permohonan praperadilan yang
diajukan oleh pemohon tanpa alasan berdasarkan Undang-Undang
karena dalil-dalil yang diajukan oleh pemohon praperadilan bukan
lingkup (obyek) praperadilan atau error in objecto, sehingga
permohonan sudah sepatutnya ditolak atau setidak-tidaknya dinyatakan
tidak dapat diterima.
d) Eksepsi Tentang Permohonan Praperadilan Merupakan Materi
Pokok Perkara
Dalil permohonan praperadilan tersebut yang telah menunjuk orang-
orang tertentu yang seharusnya menjadi tersangka atau turut serta dalam
perkara tindak pidana korupsi Bank Century telah memasuki materi
pokok perkara tindak pidana korupsi. Terkait Putusan Mahkamah
Agung yang telah berkekuatan hukum tetap dalam perkara dengan
Terdakwa Budi Mulya tentu tidak serta merta dapat dilanjutkan untuk
menetapkan seseorang sebagai tersangka dan tidak secara otomatis
berlaku atau diambil alih untuk perkara lainnya, namun harus dimulai
dengan proses yang baru untuk menetapkan seseorang sebagai
48
tersangka. Fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan perlu
dilakukan pendalaman dan analisa lebih lanjut, dan sampai saat ini
termohon masih dilakukan pengumpulan bahan dan keterangan dalam
rangka mendalami dan melakukan analisa terhadap perkara Bank
Century.
Pembuktian keterlibatan orang-orang yang diduga melakukan tindak
pidana atau turut serta melakukan tindak pidana haruslah dilakukan
berdasarkan bukti-bukti yang diperoleh dalam tahap penyelidikan dan
penyidikan serta selanjutnya pembuktian unsur-unsur tidak pidana
dilakukan dalam pemeriksaan persidangan pokok perkaranya dengan
jumlah Majelis Hakim yang lengkap sebagaimana ketentuan Pasal 26
Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi.
Pada dasarnya lembaga praperadilan tidak memiliki kewenangan
untuk menentukan orang-orang yang seharusnya dituntut dalam suatu
perkara, ditetapkan menjadi tersangka, ataupun dinilai turut serta dalam
suatu perkara tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, tidak ada
kewenangan Hakim Praperadilan untuk menilai materi pokok perkara,
mengingat lembaga praperadilan merupakan sarana pengawasan
horizontal yang terbatas melakukan pemeriksaan formil. Dengan
demikian, permohonan praperadilan yang diajukan pemohon adalah
tanpa alasan berdasarkan Undang-Undang karena dalil-dalil yang
diajukan oleh pemohon merupakan materi pokok perkara yang
seharusnya diperiksa, diadili, dan diputus dalam persidangan oleh
Majelis Hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan bukan
kewenangan Hakim Tunggal pada persidangan praperadilan, sehingga
permohonan sudah sepatutnya ditolak atau setidak-tidaknya dinyatakan
tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard).
49
e) Eksepsi Tentang Permohonan Praperadilan Kabur ( Obscuur
Libel)
Secara formil, dalil-dalil dalam permohonan praperadilan atau
Fundamentum Petendi yaitu bagian yang berisi dalil yang
menggambarkan secara jelas adanya hubungan yang menjadi dasar atau
uraian dari suatu tuntutan. Dalam mengajukan suatu tuntutan,
pemohonan/penggugat juga harus menguraikan terlebih dahulu secara
jelas dan tidak kabur alasan-alasan atau dalil-dalil yang melandasi
pengajuan tuntutannya atau dengan kata lain, posita/fundamentum
petendi berisi uraian tentang kejadian perkara atau duduk persoalan
suatu kasus, sedangkan petitum berisi tuntutan atau permohonan yang
dimintakan oleh pemohon kepada hakim untuk dikabulkan. Pemohon
telah mengajukan dalil-dalil permohonan praperadilan yang tidak jelas
dan kabur, karena pemohon tidak menguraikan alasan yang jelas dalam
menyatakan bahwa Zaenal Abidin, Pahla Santoso dan Heru Kristiyana
merupakan pihak yang terlibat sebagai pelaku tindak pidana korupsi
Bank Century.
Dalam obyek permohonan aquo, pemohon telah menyatakan bahwa
Zaenal Abidin, Pahla Santoso dan Heru Kristiyana merupakan pelaku
yang turut serta terlibat dalam tindak pidana korupsi perkara aquo,
tanpa uraian yang jelas, berdasar hukum dan didukung bukti-bukti yang
valid. Padahal, dalam perkara tindak pidana korupsi sehubungan
dengan FPJP Bank Century, pada faktanya Zaenal Abidin, Pahla
Santoso dan Heru Kristiana sama sekali tidak pernah didakwakan
bersama-sama dengan Budi Mulya dalam perkara tindak pidana korupsi
tersebut.
Dengan demikian, posita dan petitum dalam permohonan praperadilan
yang diajukan oleh pemohon adalah kabur, tidak berdasar dan tidak
jelas (obscuur libel), tanpa alasan berdasarkan Undang-Undang,
sehingga permohonan sudah sepatutnya ditolak atau setidak-tidaknya
dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard).
50
4. Putusan Hakim
Pada April 2018, Hakim tunggal Effendi Mukhtar memutus perkara
praperadilan, yang bunyi putusannya sebagai berikut:
MENGADILI
DALAM EKSEPSI
- Menolak Eksepsi Termohon seluruhnya
DALAM POKOK PERKARA
1. Mengabulkan permohonan praperadilan pemohon untuk sebagian ;
2. Memerintahkan Termohon untuk melakukan proses hukum
selanjutnya sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku atas dugaan tindak pidana korupsi Bank
Century dalam bentuk melakukan penyidikan dan menetapkan
tersangka terhadap Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede
dkk, (sebagaimana tertuang dalam surat dakwaan atas nama
Terdakwa BUDI MULYA) atau melimpahkannya kepada
Kepolisian dan/atau Kejaksaan untuk dilanjutkan dengan
Penyelidikan, Penyidikan, dan Penuntutan dalam proses persidangan
di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat;
3. Menolak permohonan Pemohon Praperadilan untuk selain dan
selebihnya;
4. Membebankan biaya perkara kepada Termohon, sebesar NIHIL;
Demikianlah diputuskan pada hari ini Senin, tanggal 9 April 2018,
oleh kami : EFFENDI MUKHTAR, S.H.,M.H, Hakim pada Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan sebagai Hakim Tunggal, untuk memeriksa dan
mengadili perkara Praperadilan ini, putusan mana telah diucapkan dalam
sidang yang terbuka untuk umum oleh Hakim Tunggal Praperadilan
tersebut, dengan dibantu MURATNO, S.H.,M.H, Panitera Pengganti
pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, serta dihadiri oleh Kuasa
Hukum Pemohon dan Kuasa Hukum Termohon.
51
BAB IV
PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH PENETAPAN
TERSANGKA
A. Alasan Pemohon Mengajukan Permohonan Praperadilan
Pada dasarnya penegakan hukum pada kasus korupsi Bank Century
telah dilakukan penyelidikan dan penyidikan dari mulai tahun 2010-2013.
Namun, yang menjadi perhatian publik yakni mengenai perkara tindak pidana
korupsi Bank Century atas nama terdakwa Budi Mulya yang telah berkekuatan
hukum tetap pada tahun 2015. Berkaitan dengan kasus tersebut, dalam
dakwaan Budi Mulya terdapat nama-nama yang disebutkan dan bersama-sama
terlibat dalam tindak pidana korupsi Bank Century yang dalam pertimbangan
putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor. 861 K/Pid.Sus/2015 pada halaman
826 dengan jelas menolak alasan Kasasi yang diajukan Budi Mulya dengan
alasan perbuatan terdakwa yang menyetujui penetapan Bank Century sebagai
bank Gagal Berdampak Sistemik yang mengakibatkan kerugian keuangan
negara merupakan tindak pidana korupsi.
Dengan demikian siapapun pejabat lainnya dari Bank Indonesia
termasuk Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede dkk yang menyetujui
penetapan Bank Century sebagai bank Gagal Berdampak Sistemik sehingga
Bank Century menjadi sakit dan kemudian merugikan negara dalam bentuk
pemberian FPJP sebesar Rp. 689 Milyar dan biaya penyelamatan sebesar Rp.
8,012 Trilyun, haruslah dinyatakan sebagai tersangka dan diprses ke
Pengadilan Tipikor sebagaimana yang sudah terjadi pada Budi Mulya.
Menurut peneliti, terkait dengan putusan kasasi Budi Mulya telah
menjelaskan adanya turut serta dalam tindak pidana korupsi, yang mana
seharusnya pihak-pihak yang turut serta bersama-sama melakukan tindak
pidana korupsi, harus dituntut di muka pengadilan dengan peran nya masing-
masing dalam tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh nya. Penyertaan
sebagaimana dimaksud ialah mengacu pada Pasal 55 KUHP yang menegaskan
dihukum orang yang melakukan tindak pidana orang yang melakukan, yang
52
menyuruh, atau turut melakukan perbuatan itu, orang yang dengan pemberian,
perjanjian, salah memakai kekuasaan atau pengaruh kekerasan, ancaman atau
tipu daya atau dengan memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan
sengaja membujuk untuk melakukan sesuatu perbuatan.
Berdasarkan bunyi ketentuan tersebut, peneliti berpendapat sudah
sepatutnya KPK dalam hal ini melakukan tugas penyelidikan, penyidikan
bahkan penuntutan terhadap nama-nama yang terlibat atau turut serta dalam
tindak pidana korupsi, adapun KPK yang belum melakukan upaya penegakan
hukum lanjutan pasca telah berkekuatan hukum tetap perkara Budi Mulya lebih
kepada masalah etika hukum daripada pelanggaran hukum. Mengenai tidak
dilakukannya proses penyelidikan dan penyidikan terhadap nama-nama yang
didakwakan pada dakwaan Budi Mulya yang telah inkracht pada tahun 2015
yang turut bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi. Hal tersebut dapat
dikatakan sebagai penghentian penyidikan secara materiil sebagaimana yang
telah dikuatkan dalam yurisprudensi hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri
Boyolali Nomor 01/PRA/2014/PN.Byl. yang dalam pertimbangan putusan
hakim apabila terjadi suatu perkara yang menggantung selama bertahun-tahun
mengakibatkan ketidakpastian hukum terhadap perkara tersebut, maka tindakan
tersebut dapat dikualifikasikan sebagai tindakan penghentian penyidikan secara
materiil. Selain itu, jika dikaitkan dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal
5 dan Pasal 6 huruf (c) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi yang menegaskan tugas dan wewenang KPK
yakni berasaskan kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan
umum, dan proporsionalitas. Serta kewajiban melakukan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, peneliti berpendapat bahwa
dengan tidak ditetapkan nya nama-nama yang terlibat/turut serta dalam
melakukan tindak pidana korupsi Bank Century, maka KPK mencederai asas
kepastian hukum yang terdapat dalam Pasal 5 huruf a, yang mana asas
kepastian hukum sangat penting dalam setiap penegakan hukum. Bahkan
Gustav Radburch meletakan asas kepastian hukum sebagai bagian dari cita
53
hukum atau tujuan hukum itu sendiri, penegakan hukum bukan hanya sekedar
menegakan hukum saja, melainkan juga menegakan keadilan dalam setiap
proses penegakan hukum tersebut. Dalam hal ini, perlunya kesadaran dari KPK
untuk bisa lebih cepat memulai penyelidikan dan/atau penyidikan terkait tindak
pidana korupsi Bank Century sehinga dapat melimpahkan perkara tersebut
kepada Penuntut Umum (PU), sehingga perkara tindak pidana korupsi Bank
Century dapat diselesaikan oleh KPK.
Dalam dalil eksepsi nya, KPK mendalilkan dalam melakukan
penyidikan tidak ada batas waktu penyidikan. Peneliti berpendapat bahwa apa
yang menjadi alasan tersebut harus disinkronkan dengan ketentuan yang
terdapat dalam Pasal 78 KUHP mengenai Daluarsa, hal ini dapat dikatakan
sebagai upaya mengulur-ulur waktu haruslah dimaknai juga sebagai upaya
untuk menunggu daluwarsa sehingga perkara secara otomatis berhenti
penyidikannya dan tidak dapat dilakukan penuntutan terhadap nama-nama
yang didakwakan tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 78 Ayat (1) yang
berbunyi:
“Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa:
1. Mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan
percetakan sesudah satu tahun;
2. Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana
kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam
tahun;
3. Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga
tahun, sesudah dua belas tahun;
4. Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun.”
Mengenai ketentuan tersebut, peneliti berpendapat bahwa dalam
Undang-Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang terdapat delik pidana di dalamnya, memang tidak disebutkan
mengenai daluwarsa. Namun, bukan berarti daluwarsa penuntutan tidak ada
untuk tindak pidana korupsi pidana korupsi, melainkan ketentuan ini dapat
merujuk pada aturan yang lebih umum yakni dapat melihat kembali dalam
54
KUHP. Dasar keberlakuannya sebagaimana diatur dalam Pasal 103 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), bahwa ketentuan-ketentuan dalam
Bab I sampai Bab VIII KUHP juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang
oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali
jika oleh undang-undang ditentukan lain.
Berdasarkan alasan tersebut, maka untuk mengatasi ketidakpastian
dan berlarut-larutnya penanganan perkara korupsi Bank Century diperlukan
recht finding (penemuan hukum) dalam rangka mengisi kekosongan hukum
atas kebuntuan penanganan perkara korupsi Bank Century oleh KPK serta
untuk menegakan hukum, keadilan dan kebenaran agar perkara tindak pidana
korupsi yang merugikan negara dengan jumlah yang sangat besar ini dapat
diselesaikan.
B. Dasar Pertimbangan Hakim Praperadilan dalam Putusan Nomor
24/Pid.Pra/2018/PN.Jkt.Sel.
Dalam hal pertimbangan hakim praperadilan dalam pokok perkara
yang pada intinya permohonan praperadilan yang diajukan oleh pemohon
memiliki maksud dan tujuan yang menjadi persoalan utama adalah bahwa
pemohon mendalilkan bahwa termohon telah melakukan seolah-olah
penghentian penyidikan secara materiil karena telah membiarkan berlarut-
larutnya kasus penyelesaian tindak pidana korupsi Bank Century, dimana salah
seorang terdakwa Budi Mulya telah divonis oleh Pengadilan sampai pada
tingkat Kasasi dan telah berkekuatan hukum tetap sejak tahun 2015, namun
terhadap terdakwa lainnya yang didakwakan secara bersama-sama dengan
terdakwa Budi Mulya tidak pernah diproses dan tidak jelas status hukumnya
yang mengakibatkan adanya ketidakpastian dan ketidakadilan serta
pelanggaran terhadap asas hukum pidana dan hak asasi manusia.
Berdasarkan fakta-fakta persidangan dan keterangan ahli dalam
persidangan praperadilan nomor 24/Pid.Pra/2018/PN.Jkt.Sel. maka hakim
dalam hal ini tidak sependapat dengan pemohon bahwa KPK telah melakukan
penghentian penyidikan secara materiil, akan tetapi sebaliknya demi kepastian
55
hukum dan keadilan serta perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM)
hakim memerintahkan kepada KPK melanjutkan pemeriksaan dan penuntutan
perkara terhadap nama-nama yang disebutkan dalam dakwaan perkara Budi
Mulya. Bahwa apapun resikonya, hal itu merupakan konsekuensi logis yang
harus dipertanggungjawabkan oleh KPK kepada masyarakat yakni dalam
melakukan penegakan hukum tidak boleh melanggar prinsip-prinsip dan asas-
asas hukum yang telah diakui dalam teori hukum pidana yang berlaku
universal. Selanjutnya dalam pertimbangannya, hakim juga merasa perlu untuk
mengemukakan pertimbangan tersebut karena apabila Pengadilan Negeri (PN)
mempertimbangkan dasar-dasar dan alasan yuridis putusan ini menjadi jelas,
baik ratio pertimbangan hukum maupun obitur diktum putusan, sehingga dapat
dipahami oleh semua pihak dan masyarakat bahwasanya penegakan hukum
telah dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dalam rangka menegakan
keadilan dan kebenaran, maka semangat pemberantasan korupsi tetap
dilakukan dalam koridor aturan hukum tanpa melanggar hukum itu sendiri.
Pada dasarnya kewenangan hakim praperadilan menurut hukum
positif telah ditentukan secara limitatif dalam Pasal 1 angka 10, Pasal 77 s.d.
Pasal 83, Pasal 95 Ayat (2) dan Ayat (5), Pasal 97 Ayat (3), serta Pasal 124
KUHAP. Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 dan
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Larangan
Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan. Dalam Pasal 2 Ayat (1) Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 tersebut merumuskan bahwa objek
praperadilan adalah sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian
penyidikan, atau penghentian penuntutan; penetapan tersangka; penyitaan dan
penggeledahan; ganti kerugian atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara
pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Secara teoritis
maupun yuridis lembaga praperadilan memang tidak dapat memerintahkan
penetapan seseorang menjadi tersangka, karena kewenangan tersebut
merupakan kewenangan cabang kekuasaan eksekutif. Terkait dengan hal ini,
Putusan Nomor 24/Pid.Pra/2018/PN.Jkt.Sel yang menetapkan tersangka
terhadap Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede dkk tanpa melalui
56
proses penyelidikan dan penyidikan serta tidak berdasarkan bukti permulaan
yang cukup, dalam hal ini ialah dua alat bukti yang sah.
Berkaitan dengan hal tersebut, peneliti berpendapat bahwa tugas
yustisial hakim adalah memeriksa, mengadili dan kemudian menjatuhkan
putusan atas suatu perkara yang dihadapkan padanya, maka yang menjadi
pedoman hakim dalam melaksanakan tugas yustisinya yakni berpedoman pada
peraturan perundang-undangan. Hakim dituntut untuk selalu menemukan
hukum, apabila suatu perundang-undangan tidak jelas atau tidak lengkap
mengatur suatu peristiwa konkrit. Jika dihubungkan dengan Pasal 5 Ayat (1)
dan Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman merumuskan bahwa Pasal 5 Ayat (1) yang menyatakan
bahwa “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”,
kemudian Pasal 10 Ayat (1) “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa,
mengadili dan memutuskan suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
hukumnya tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya”.
Ketentuan dalam pasal ini, memberikan pemahaman bahwa hakim
bertindak sebagai perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup
dalam masyarakat, haruslah memahami nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat dengan turun langsung ke dalam masyarakat itu
sendiri. Sehingga, ketika menghadapi suatu ketentuan undang-undang yang
tidak sesuai dengan nilai-nilai kebenaran, keadilan maupun moralitas, maka
hakim dapat menyampingkan ketentuan dalam Undang-Undang tersebut
(Judge Made Law) dan dapat menjatuhkan putusan yang sesuai dengan nilai-
nilai hukum dan rasa keadilan. Selain itu, ketentuan pasal tersebut
mengindikasikan jika terjadi suatu peraturan perundang-undangan yang belum
jelas mengatur tentang suatu peristiwa hukum, maka hakim harus bertindak
berdasarkan kewenangannya untuk menyelesaikan perkara tersebut, tindakan
tersebut merupakan penemuan hukum oleh hakim.
57
Berkaitan dengan putusan praperadilan yang memerintahkan adanya
penetapan tersangka serta dengan mempertimbangkan adanya upaya
penghentian penyidikan secara materiil, sesungguhnya hakim telah melakukan
suatu penemuan hukum yang progresif. Pada dasarnya penemuan hukum yang
dilakukan oleh hakim adalah peraturan perundang-undangan, hukum
kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian internasional, dan doktrin. Dalam ajaran
penemuan hukum, undang-undang diprioritaskan dari sumber hukum lain,
karena ketika ingin mencari suatu hukum, arti sebuah kata berdasarkan
penjelasan nya, maka dapat mengacu pada apa yang ada dalam undang-undang.
Hal ini merupakan sifat autentik daripada undang-undang itu sendiri yang
menjamin kepastian hukum. Jika ternyata dalam peraturan perundang-
undangan tidak ada ketentuan atau jawabannya, maka barulah dicari dalam
hukum kebiasaan yang merupakan hukum tidak tertulis, yang untuk
menemukannya harus bertanya kepada warga atau tokoh masyarakat yang
dianggap mengerti.
Sumber penemuan hukum yang lainnya adalah yurisprudensi, dapat
dipahami bahwa yurisprudensi diartikan sebagai tiap-tiap putusan hakim, yang
dapat pula berarti kumpulan putusan hakim yang disusun secara sistematis dari
tingkat pengadilan pertama sampai pada kasasi. Dalam kaitan dengan masalah
yurisprudensi tersebut, ada 2 (dua) asas yang dikenal dalam peradilan, yakni
asas precedent dan asas bebas. Asas precedent berarti hakim terikat atau tidak
boleh menyimpangi dari putusan-putusan yang lebih tinggi atau sederajat
tingkatannya. Sedangkan asas bebas adalah hakim tidak terikat pada putusan-
putusan yang lebih tinggi maupun yang sederajat tingkatannya. Menurut Bagir
Manan, sistem peradilan Indonesia tidak menganut asas precedent. Jadi,
hakim-hakim Indonesia bebas mengikuti atau tidak putusan-putusan hakim
terdahulu. Walaupun demikian, dalam praktiknya hakim-hakim menuruti
berbagai yurisprudensi tetap (vaste jurisprudentie), terutama yurisprudensi
Mahkamah Agung.1
1 Bagir Manan, Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, (Bandung; LPPM-UNISBA,
1995), h. 30
58
Penemuan hukum yang progresif pada dasarnya juga harus
memenuhi unsur keadilan, kepastian dan kebermanfaatan seperti yang
dipaparkan oleh Gustav Radburch, sehingga pada akhirnya dapat diperoleh
keadilan total. Hakim dalam memutuskan perkara pada setiap kasus yang
selalu dihadapkan pada ketiga tujuan hukum tersebut, yakni keadilan hukum,
asas kepastian hukum, dan asas kebermanfaatan hukum. Sebagaimana Sudikno
Mertokusumo beranggapan bahwa tujuan hukum tersebut harus dilaksanakan
secara kompromi, yaitu dengan cara menerapkan ketiga-tiganya secara
berimbang atau proporsional, sehingga tidak perlu mengikuti asas prioritas
sebagaimana dimaksud oleh Gustav Radburch, tetapi seharusnya mengikuti
asas prioritas yang bersifat kasuistis atau sesuai dengan kasus yang dihadapi.
Putusan hakim yang sesuai dengan penemuan hukum yang progresif yakni
putusan hakim tidak semata mata bersifat legalistik, meskipun seharusnya
hakim selalu harus berdasarkan peraturan perundang-undangan, namun bukan
berarti hakim tidak dapat melakukan penemuan hukum. Selain itu, putusan
hakim harus berfungsi mendorong perbaikan dalam masyarakat dan
membangun harmonisasi sosial dalam pergaulan.
Berkaitan dengan putusan praperadilan tersebut, hakim telah
melakukan suatu penemuan hukum yang progresif yakni dengan melakukan
penemuan hukum yang visioner dan berani dalam melakukan suatu terobosan
hukum dengan melihat perkembangan masyarakat, berpedoman pada
kebenaran dan keadilan serta perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia
(HAM), sehingga hakim dapat melakukan tindakan contra legem yakni
mengambil putusan yang bertentangan dengan pasal undang-undang yang
mengatur dengan tujuan untuk mencapai kebenaran dan keadilan. Sebagaimana
telah dijelaskan sebelumnya, dapat dipahami bahwa tindakan KPK yang tidak
melakukan penyidikan lebih lanjut mengenai tindak pidana Bank Century
selama bertahun-tahun merupakan langkah yang dapat menimbulkan
ketidakadilan dan ketidakpastian bagi penegakan hukum itu sendiri. Hal inilah
yang dipandang perlu untuk hakim dalam menentukan sikap terhadap
lambatnya penanganan hukum tindak pidana korupsi Bank Century.
59
Menurut peneliti penemuan hukum yang bersifat progresif yang
dilakukan oleh hakim pada dasarnya merupakan langkah untuk menemukan
keadilan bagi para pihak yang berperkara, sebagaimana tujuan akhir dari proses
penegakan hukum dalam proses peradilan adalah untuk menemukan keadilan,
kepastian, dan manfaat penegakan hukum tersebut sehingga oleh karena itu
penegakan hukum harus didasarkan dengan tetap memperhatikan ketentuan-
ketentuan yang terdapat dalam undang-undang dan peraturan yang mengatur
agar terciptanya keadilan.
Apabila merujuk pada pandangan Aristoteles seorang pemikir zaman
klasik, konsep keadilan harus dilihat pada adanya kesamaan hak diantara
orang-orang yang sama, artinya keadilan akan terlaksana bilamana hal-hal yang
sama diperlakukan sama, dan hal-hal yang tidak sama diperlakukan secara
tidak sama. Dalam hal ini, Aristoteles membedakan konsep keadilan menjadi
dua yaitu keadilan distributif dan keadilan komulatif. Keadilan distributif
dipandang sebagai keadilan yang bersifat proporsional, dimana setiap orang
berhak untuk mendapatkan apa yang menjadi haknya. Sedangkan keadilan
komulatif dipandang sebagai keadilan yang menyangkut masalah penentuan
hak yang adil diantara sesama manusia dengan tidak melibatkan adanya
hubungan antara lembaga dengan anggotanya. Dalam pengertian yang lain,
Rudolf Heimanson memandang bahwa keadilan akan selalu melekat dengan
tujuan hukum, sebagaimana hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh
Tourtoulon yang menyatakan “lex injusta non est lex” yang berarti hukum
yang tidak adil bukanlah hukum. Karena pada dasarnya ide keadilan itu
menuntut adanya pemberian pada setiap orang akan haknya berupa hak
perlindungan dan pembelaan diri.2
Ketika dihubungkan dengan perspektif keadilan dalam hukum
nasional Indonesia, maka konsep keadilan dimaksud akan selalu melekat
dengan sumber dasar negara Indonesia yaitu Pancasila. Oleh karena Pancasila
merupakan falsafah dalam bernegara berisikan nilai-nilai luhur yang hidup
2 Bahder Johan Nasution, Kajian Filosofis Tentang Konsep Keadilan dari Pemikiran
Klasik Sampai Pemikiran Modern, Yustisia. Volume. 3 Nomor. 2, Mei-Agustus 2014, h. 120-124
60
dalam masyarakat, dimana ia akan selalu menjadi dasar dalam setiap
penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Keadilan dalam konteks
Pancasila, dapat dilihat dalam sila-silanya yaitu sila kedua “Kemanusiaan yang
adil dan beradab” dan sila kelima “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia”. kedua dari pada sila tersebut mengandung makna keadilan berupa
nilai-nilai yang harus diwujudkan dalam kehidupan bersama, dengan didasari
dan dijiwai oleh hakikat keadilan sosial yaitu hubungan manusia dengan
dirinya sendiri, hubungan manusia dengan sesama, hubungan manusia dengan
bangsa dan negara serta hubungan manusia dengan tuhannya.3
Konsep keadilan yang jika dikaitkan dengan pertimbangan hakim
dan langkah penemuan hukum progresif dalam putusan
24/Pid.Pra/2018/PN.Jkt.Sel. Menurut peneliti, penetapan oleh Majelis Hakim
Pra-peradilan atas dilanjutkannya kembali pemeriksaan terhadap tindak pidana
korupsi Bank Century dan perintah penetapan tersangka terhadap Boediono,
Muliaman D Hadad, Raden Pardede, dkk merupakan langkah progresif hakim
dalam menemukan keadilan dan sebagai upaya dalam mencari penyelesaian
tindak pidana korupsi Bank Century, sebagaimana hal ini sesuai dengan konsep
keadilan dalam hukum nasional Indonesia yang berlandaskan pada sila kedua
dan sila kelima Pancasila, yang diteruskan melalui batang tubuh UUD 1945
yaitu Pasal 24 ayat (1) dan diteruskan melalui ketentuan Pasal 5 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
dimana hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum
dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Berdasarkan ketentuan tersebut, bahwa hakim dalam
menyelenggarakan peradilan tidak hanya berlandaskan pada kepastian saja,
melainkan menghadirkan dan memberikan keadilan dalam setiap penegakan
hukum sesuai dengan proporsionalitasnya sebagaimana yang dikemukakan
Aristoteles, karena sejatinya hukum akan selalu melekat dengan tujuan
3 Ferry Irawan Febriansyah, Keadilan Berdasarkan Pancasila Sebagai Dasar Filosofis
dan Ideologis Bangsa, Dih Jurnal Ilmu Hukum. Volume. 13 Nomor. 25, Februari 2017, h. 7
61
hukumnya yang berkeadilan sebagaimana yang dikemukakan Rudolf
Heimanson dan Tourtoulon.
C. Implikasi Putusan Praperadilan Nomor 24/Pid.Pra/2018/PN.Jkt.Sel
Terhadap Perintah Penetapan Tersangka
Dalam lembaga praperadilan, hakim diberi kewenangan untuk
memeriksa dan memutus suatu perkara yang berkaitan dengan aspek formil.
Hal tersebut menunjukan adanya kebebasan hakim sebagai pelaksana
kekuasaan kehakiman. Dengan kewenangan tersebut, hakim dalam perkara
praperadilan akan lebih banyak menitikberatkan proses pemeriksaan pada alat
bukti surat yang kemudian dijadikan bahan untuk menguji keabsahan suatu
tindakan aparat penegakan hukum dalam melakukan segala tindakan upaya
paksa. Hakim diberi kewenangan untuk mendengarkan keterangan tersangka
atau pemohon dan pejabat yang berwenang selaku termohon. Dengan
singkatnya proses pemeriksaan perkara praperadilan, maka untuk membuktikan
dalil bahwa perlu atau tidaknya seseorang ditetapkan sebagai tersangka, hakim
dalam hal ini hanya menguji dua alat bukti formil yang menjadi dasar
ditetapkannya seseorang menjadi tersangka.
Mengenai Putusan Praperadilan Nomor 24/Pid.Pra/2018/PN.Jkt.Sel.
hakim dalam putusannya pada poin b memerintahkan termohon dalam hal ini
KPK untuk melakukan proses hukum selanjutnya sesuai dengan ketentuan
hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku atas dugaan tindak
pidana korupsi Bank Century dalam bentuk melakukan penyidikan dan
menetapkan tersangka terhadap Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede
sebagaimana tertuang dalam surat dakwaan Budi Mulya atau melimpahkannya
kepada Kepolisian dan atau Kejaksaan untuk dilanjutkan dengan penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan dalam proses persidangan di Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi. Bunyi putusan dalam poin tersebut merupakan suatu
penemuan hukum hakim atas perkara tindak pidana korupsi, namun terdapat
suatu masalah dalam penerapan hukum oleh hakim tersebut, yakni dengan
menambahkan perintah penetapan tersangka terhadap Boediono, Muliaman D
62
Hadad, Raden Pardede dkk. Perintah penetapan tersangka pada dasarnya
bukanlah merupakan kewenangan dari lembaga praperadilan.
Jika dikaitkan dalam konteks Putusan Nomor
24/Pid.Pra/2018/PN.Jkt.Sel. bahwa penyidik KPK telah menghentikan
penyidikan kasus korupsi Bank Century secara materiil yang didasarkan tidak
adanya tersangka baru sejak telah berkekuatan hukum tetap nya kasus Budi
Mulya pada tahun 2015. Hal ini mengindikasikan bahwa KPK telah
menggantungkan perkara yang berlangsung selama bertahun-tahun dan
mengakibatkan ketidakpastian terhadap penegakan hukum tindak pidana
korupsi Bank Century, sehingga tindakan tersebut dapat dipersamakan dengan
melakukan penghentian penyidikan terhadap perkara. Bahwa esensi sejati dari
lembaga praperadilan merupakan fungsi kontrol terhadap jalannya penyidikan
dan untuk adanya kepastian hukum yang berkeadilan terhadap perkara.
Berdasarkan problematika tersebut, maka peneliti berpendapat
bahwa perlu dilakukan proses penyidikan terhadap Boediono, Muliaman D
Hadad, Raden Pardede dkk guna penegakan hukum yang berkeadilan dan
berkepastian serta demi perlindungan terhadap hak asasi manusia. Upaya
progresif dilakukan hakim yang mengadili untuk dapat memerintahkan KPK
menetapkan tersangka terhadap Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede
yang nama nya disebutkan dalam dakwaan kasus Budi Mulya, sehingga
semangat pemberantasan tindak pidana korupsi dapat dilakukan dalam koridor-
koridor aturan hukum tanpa melanggar aturan hukum itu sendiri. Mengenai
pertimbangan hakim yang terdapat dalam putusan a quo, ditanggapi secara
positif oleh beberapa kalangan dengan menganggap bahwa putusan
praperadilan kasus Bank Century ini merupakan bentuk terobosan hukum di
Indonesia. Putusan ini dianggap memberikan jalan keluar terkait tindakan KPK
yang diduga menghentikan penyidikan karena membiarkan berlarut-larut nya
kasus korupsi Bank Century.
Namun, terdapat kontradiksi paradigma mengenai putusan
praperadilan tersebut, seperti yang disampaikan oleh pakar hukum pidana
yakni Yenti Garnasih yang menyatakan bahwa perintah menetapkan tersangka
63
tak masuk dalam kewenangan hakim praperadilan. Menurutnya, kewenangan
untuk menetapkan tersangka merupakan independensi dari penyidik yang tidak
bisa diintervensi oleh siapapun. Hakim praperadilan seharusnya hanya
memiliki kewenangan untuk mengontrol bagaimana proses hukum acara
pidana berjalan sesuai prosedur. Selain itu, perintah hakim praperadilan yang
harus dilaksanakan hanya untuk melanjutkan proses penyidikan perkara.
Sementara, perintah untuk menetapkan tersangka tidak perlu diikuti.4 Hal
demikian juga disampaikan oleh Kepala Biro Hukum dan Hubungan
Masyarakat Mahkamah Agung yakni Abdullah mengatakan bahwa putusan
berupa perintah penetapan tersangka tidak ada di objek praperadilan.5
Mengenai upaya hukum untuk menguji putusan praperadilan, pada
dasarnya telah diatur dalam ketentuan Pasal 83 KUHAP yang menyatakan
bahwa putusan praperadilan tidak dapat dilakukan upaya hukum, kecuali
mengenai sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan yang
dapat dimintakan putusan akhir ke Pengadilan Tinggi. Namun, setelah hadirnya
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, dalam putusan
tersebut Mahkamah Konstitusi meniadakan ketentuan mengenai upaya hukum
terhadap putusan praperadilan seluruhnya. Mengenai hal tersebut, terdapat
celah hukum yang dapat dilalui oleh pemohon atau termohon praperadilan,
yakni adanya upaya hukum luar biasa yakni Peninjauan Kembali (PK).
Berdasarkan perkembangan hukum tersebut, Mahkamah Agung
dalam hal ini menerbitkan peraturan menyangkut upaya hukum praperadilan
yakni dengan menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016
Tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan, sehingga dengan
terbitnya peraturan tersebut menegaskan bahwa tidak adanya upaya hukum,
baik upaya hukum biasa (banding dan kasasi) maupun upaya hukum luar biasa
4 Jarot Bayu dan Yuliawati, Ahli Hukum Anggap KPK Tak Perlu Ikuti Putusan
Praperadilan Century, https://katadata.co.id/berita/2018/04/11/ahli-hukum-anggap-kpk-tak-perlu-
ikuti-putusan-praperadilan-century, diakses pada Senin, 4 Maret 2019
5 Rivki, PN JakseL Perintahkan Tersangkakan Boedono. MA: Tidak Ada Aturannya
https://news.detik.com/berita/3965330/pn-jaksel-perintahkan-tersangkakan-boediono-ma-tidak-
ada-aturannya
64
(peninjauan kembali), maka secara hukum setiap putusan praperadilan
berkekuatan hukum tetap serta harus dijalankan oleh pihak yang diperintahkan
oleh praperadilan.
Mengenai implikasi hukum terhadap putusan praperadilan tersebut,
KPK sebagai lembaga independen yang memiliki kewenangan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan terhadap segala jenis tindak pidana korupsi wajib
tunduk terhadap putusan praperadilan, karena putusan tersebut merupakan
kewenangan hakim yang di atur dalam Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman. Selain itu, tidak adanya upaya hukum baik
biasa maupun luar biasa membuat KPK secara langsung harus menjalankan
putusan tersebut. Sebagaimana telah dikenal asas hukum yakni asas Res
Judicata Pro Veritate Habetur yang berarti segala hal yang diputus oleh hakim
harus dianggap benar. Sudikno Mertokusumo menjelaskan mengenai asas
tersebut memiliki arti bahwa putusan hakim harus dianggap benar, sampai
memperoleh kekuatan hukum yang tetap atau diputus lain oleh pengadilan
yang lebih tinggi (banding atau kasasi).6
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa putusan
praperadilan tersebut memerintahkan KPK untuk melakukan proses hukum
selanjutnya sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku atas dugaan tindak pidana korupsi Bank Century dan
memerintahkan penetapan tersangka terhadap Boediono, Muliaman D Hadad,
Raden Pardede dkk. Jika melihat pada point perintah melanjutkan proses
penyidikan tindak pidana korupsi dapat merujuk pada ketentuan Pasal 83 Ayat
(3) Huruf b KUHAP yang menyatakan “ Dalam hal putusan menetapkan
bahwa sesuatu penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidikan
atau penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan.
Pada dasarnya KUHAP tidak mengatur adanya sanksi bagi pihak
yang tidak melaksanakan putusan praperadilan tersebut. Namun, terdapat
beberapa ketentuan yang dapat dijadikan suatu penjeratan pidana bagi setiap
6 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta; Liberty,
2004), h.9
65
pembangkangan putusan yang terdapat dalam Pasal 216 Ayat (1) KUHP yang
berbunyi:
“Barang siapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan
yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya
mengawasi sesuatu atau yang tugasnya maupun diberi kuasa untuk
mengusut atau memeriksa perbuatan pidana; demikian pula barangsiapa
dengan sengaja mencegah, mengalangi-halangi atau menggagalkan
tindakan guna menjalankan ketentuan undang-undang yang dilakukan
oleh salah seorang pejabat tersebut, diancam dengan pidana penjara
paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak
sembilan ribu rupiah.”
Merujuk pada ketentuan tersebut, maka KPK dalam selaku pihak
yang diperintahkan oleh praperadilan, wajib untuk melanjutkan proses
penyidikan tersebut. Meskipun pada dasarnya praperadilan tidak memiliki
kewenangan untuk dapat memerintahkan seseorang menjadi tersangka, namun
hal ini peneliti berpendapat bahwa dimaknai hakim melakukan penemuan
hukum yang progresif demi tegaknya keadilan dan kepastian hukum dalam
perkara tindak pidana korupsi. Hal ini menunjukan bahwa hakim dalam
menjatuhkan putusannya tidak terpaku pada sifat legalistik hukum saja,
melainkan mencoba menggali dan mencari keadilan dan kebenaran yang hidup
dalam masyarakat seperti yang tergambarkan dalam Pasal 5 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang
menyatakan bahwa “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti,
dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat”.
Mengenai poin yang memerintahkan KPK yang pada akhir proses
hukum tersebut menetapkan tersangka terhadap Boediono, Muliaman D Hadad,
Raden Pardede dkk. Menurut peneliti, kewenangan menetapkan tersangka
tersebut pada dasarnya bukanlah kewenangan dari lembaga praperadilan,
proses tersebut merupakan kewenangan mutlak penyidik KPK untuk dapat
menetapkan tersangka berdasarkan Undang-Undang. Secara yuridis, KPK
berpedoman dalam melaksanan fungsi penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan berdasarkan pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 20
66
Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi,
sehingga KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan
dapat melakukan proses hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang mengatur tanpa perlu mengindahkan perintah penetapan tersangka
tersebut.
Berkaitan dengan putusan praperadilan, bahwa KPK telah menerima
putusan tersebut dan telah membuka perkara Bank Century kembali dengan
meminta keterangan terhadap Boediono pada tanggal 15 November 20157 dan
pemanggilan Muliaman D Hadad pada tanggal 27 Mei 20158. Dapat dipagami
bahwa korupsi merupakan suatu tindak kejahatan yang luar biasa
(extraordinary crime) yang terjadi secara sistematis dan meluas serta
menimbulkan kerugian negara dan dapat menyebabkan lambatnya
pembangunan nasional dalam berbagai bidang. Karena tindak pidana korupsi
merupakan sebuah kejahatan luar biasa, maka penanganannya juga harus luar
biasa, seperti yang terjadi pada tindak pidana korupsi Bank Century.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam lingkup penegakan
hukum tindak pidana korupsi memegang peranan penuh untuk dapat
menjalankan tugas dan wewenangnya dalam bentuk penyelidikan, penyidikan
dan penuntutan yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Dengan hadirnya KPK sebagai
lembaga yang berwenang dalam pemberantasan tindak pidana korupsi,
masyarakat memiliki harapan besar terhadap KPK untuk dapat melaksanakan
tugasnya dengan baik dan benar, sehingga dapat menyelamatkan kekayaan
negara. Ketika KPK tidak menjalankan putusan yang diperintahkan kepadanya
atau tidak menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik dan benar, maka yang
7 Fana Suparman, Kasus Bank Century, KPK Panggil Boediono,
https://www.beritasatu.com/nasional/522487-kasus-bank-century-kpk-panggil-boediono.html ,
diakses pada tanggal 25 Juli 2019
8 Mohammad Bernie, Kasus Century Dibuka Lagi, KPK Panggil Muliaman D Hadad,
https://tirto.id/kasus-century-dibuka-lagi-kpk-panggil-muliaman-hadad-d5u9 , diakses pada
tanggal 25 Juli 2019
67
timbul adalah ketidak percayaan masyarakat terhadap KPK itu sendiri.
Membuka kembali perkara tindak pidana korupsi Bank Century, membuat
perkara tindak pidana korupsi Bank Century menemui titik terang dan dapat
mengungkap fakta yang sebenarnya, sehingga keadilan dan kepastian hukum
dapat hadir ditengah-tengah masyarakat.
68
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan perumusan masalah dan analisis berdasarkan kajian
pustaka yang telah peneliti uraikan sebelumnya, bahwa peneliti melihat adanya
permasalahan dalam Putusan Praperadilan Nomor 24/Pid.Pra/2018/PN.Jkt.Sel.
mengenai perintah untuk melanjutkan proses hukum terhadap perkara tindak
pidana korupsi Bank Century yang pada akhirnya memerintah KPK untuk
melakukan penetapan tersangka yang disimpulkan sebagai berikut:
1. Alasan pihak ketiga berkepentingan melakukan permohonan
praperadilan
Praperadilan merupakan lembaga baru yang diperkenalkan oleh
KUHAP dan merupakan bagian dari Pengadilan Negeri (PN).
Praperadilan menurut kewenangannya memiliki kewenangan untuk
melakukan pengujian melalui hakim tunggal yang mengadili, memeriksa,
dan memutus terhadap keabsahan segala upaya paksa maupun keabsahan
due process of law.
Praperadilan juga merupakan bagian dari prinsip negara hukum
yakni negara hukum harus memenuhi unsur kepastian hukum, adanya
jaminan perlindungan hak asasi manusia, adanya pembagian kekuasaan,
dan adanya pengawasan dari badan-badan peradilan. Dalam hal perkara
praperadilan ini, bahwa pada dasarnya yang menjadi alasan utama
pengajuan permohonan praperadilan ialah tidak berjalannya proses hukum
perkara tindak pidana korupsi Bank Century yang mana salah satu
pelakunya telah menjalani proses hukum yang telah berkekuatan hukum
tetap. Namun, yang menjadi persoalan ialah bahwa Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) yang dalam hal ini memiliki kewenangan penuh untuk
melakukan penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan atas perkara
tindak pidana korupsi, didalam dakwaan yang didakwaan terhadap Budi
69
Mulya terdapat juga nama-nama yang ikut bersama-sama melakukan
tindak pidana korupsi yakni Boediono, Muliaman D Hadad, Raden
Pardede. Namun, nama-nama tersebut tidak dilakukan penyelidikan dan
penyidikan.
2. Implikasi Putusan Praperadilan Terhadap Perintah Penetapan
Tersangka
Pada dasarnya ketentuan yang mengatur mengenai praperadilan
yakni terdapat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 21/PUU-XII/2014, dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4
Tahun 2016 Tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan.
Berdasarkan ketentuan dalam peraturan tersebut pada intinya menyatakan
bahwa terhadap putusan praperadilan tidak dapat dimintakan upaya
hukum, baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa,
sehingga segala permohonan yang diputus melalui mekanisme
praperadilan harus dijalankan oleh pihak yang diperintahkan dalam
putusan.
Mengenai tidak adanya upaya hukum tersebut, pada dasarnya
Mahkamah Agung dapat melakukan suatu pengawasan terhadap setiap
putusan praperadilan. Namun, pengawasan yang dilakukan Mahkamah
Agung tidak berakibat hukum putusan praperadilan menjadi batal, hal ini
disebabkan dalam a quo Mahkamah Agung hanya dapat memberikan
petunjuk, teguran, atau peringatan terhadap hakim yang memutus perkara
praperadilan, maka putusan ini berimplikasi untuk dijalankan oleh pihak
yang diperintahkan melalui putusan praperadilan.
Merujuk pada Pasal 83 Ayat (3) Huruf b KUHAP, maka KPK dalam
selaku pihak yang diperintahkan oleh praperadilan, wajib untuk
melanjutkan proses penyidikan tersebut. Namun, mengenai poin yang
memerintahkan KPK yang pada akhir proses hukum tersebut menetapkan
tersangka terhadap Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede dkk.
70
Menurut peneliti, kewenangan menetapkan tersangka tersebut pada
dasarnya bukanlah kewenangan dari lembaga praperadilan, proses tersebut
merupakan kewenangan mutlak penyidik KPK untuk dapat menetapkan
tersangka berdasarkan Undang-Undang. Secara yuridis, KPK berpedoman
dalam melaksanan fungsi penyelidikan, penyidikan dan penuntutan
berdasarkan pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, sehingga
KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan dapat
melakukan proses hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang mengatur tanpa perlu mengindahkan perintah penetapan tersangka
tersebut.
B. Rekomendasi
Peneliti memahami sebagaimana yang telah diuraikan diatas, bahwa
perkembangan mengenai putusan praperadilan begitu dinamis. Pada dasarnya
mekanisme praperadilan telah diatur melalui KUHAP, Putusan Mahkamah
Konstiusi Nomor 21/PUU-XII/2014, dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor
4 Tahun 2016 Tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan.
Namun untuk mencegah hadirnya suatu putusan yang bertentangan dengan
kewenangan praperadilan, sehingga diperlukan peraturan yang secara khusus
yang dapat memberikan guidence terhadap perkembangan hukum pada
umumnya dan praperadilan pada khsususnya. Berdasarkan penjelasan tersebut,
maka peneliti memberikan rekomendasi sebagai berikut:
1. Menghadirkan suatu ketentuan yang mengatur secara khusus mengenai
substansi hukum dan kewenangan lembaga praperadilan
2. Memasukan muatan yang mengatur praperadilan terhadap segala aturan
perubahannya berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi 21/PUU-
XII/2014 serta Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 ke
dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
71
3. Merevisi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 Tentang
Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan dengan menambahkan
fungsi pengawasan oleh Mahkamah Agung berupa pembatalan putusan
praperadilan yang dianggap menyimpang secara fundamental serta
melampaui kewenangan praperadilan dan mencantumkan batasan waktu
terhadap pelaksanaan putusan praperadilan.
4. KPK dalam membuat dakwaan yang di dalam nya menyertakan nama-
nama yang secara bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi, harus
konsisten untuk melakukan penegakan hukum yang sama, sehingga pada
akhirnya masyarakat dapat menilai keseriusan penegakan tindak pidana
korupsi yang dilakukan oleh KPK.
5. KPK sebagai lembaga independen yang berwenang penuh dalam
melakukan penegakan hukum tindak pidana korupsi harus melaksanakan
putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
72
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ali, Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Amin, S.M, Hukum Acara Pengadilan Negeri, Jakarta: Pradnya Paramita, 1971.
Nawawi, Barda Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru Edisi Pertama, Jakarta: Kencana, 2008.
Danil, Erwin, Menegakkan Hukum Tanpa Melanggar Hukum, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2015.
Effendi, Tobib, Sistem Peradilan Pidana: Perbandingan Komponen dan Proses
Sistem Peradilan Pidana di Beberapa Negara, Yogyakarta: Pustaka
Yustisia, 2013.
Fajar, Mukti dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif
dan Empiris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012
Harahap, Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan
Kembali, Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
. , Proses Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan
Kembali Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Hiariej, Eddy OS, Beberapa Catatan RUU KUHAP dan Hakim Pemeriksa
Pendahuluan Dalam Konteks Sistem Peradilan Pidana Terpadu. Dalam
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional, Jakarta: Komisi
Hukum Nasional RI, 2013.
Husin, Kadri dan Rizki Husin, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia,
Lampung: Lembaga Penelitian Universitas Lampung, 2012.
73
Ibrahim, Johny, Teori dan Metedologi Penelitian Hukum Normatif, Malang:
Bayumedia Publishing, 2008.
Ilyas, Amar dan Apriyanto Nusa, Praperadilan Pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi, Yogyakarta: Genta Publishing, 2017.
Manan, Bagir, Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, Bandung: LPPM-
UNISBA, 1995.
Makarao, Mohammad Taufik dan Suharsil, Hukum Acara Pidana Dalam Teori
dan Praktek, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.
Makmur, Syafrudin, Hukum Acara Pidana, Tangerang: UIN FSH Press
Mertokusumo, Sudikno dan A. Pitlo. 1992, Bab-bab Tentang
Penemuan Hukum, Yogyakarta: Citra Adtya Bakti, 2016
Marbun, Rocky, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Suatu Pengantar,
Malang: Setara Press, 2015.
Mulyadi, Lilik, Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif Teoritis dan
Praktik, Bandung: Alumni, 2008.
Mertokusumo, Sudikno, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta:
Liberty, 2004.
Palayukan, Sirande, Hukum yang Hidup (the living law) dalam RUU KUHP,
Dalam Problematika Pembaharuan Hukum Pidana Nasional,
Jakarta: Komisi Hukum Nasional RI, 2013.
Partanto, A. Pius dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer. Surabaya:
Arkola, 2001.
Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum; Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan,
Surakarta: Muhammadiyah Press University, 2004.
74
, Membedah Hukum Progresif , Jakarta: Buku Kompas, 2008.
Rifai, Ahmad, Penemuan Hukum Oleh Hakim dalam Perspektif Hukum
Progresif, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Rukmini, Mien, Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah
dan Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan
Pidana, Bandung: Alumni, 2003.
Salman, Otje dan Anthon F. Susanto, Tinjauan Filsafat Hukum Tentang
Penegakkan Hukum di Indonesia, Dalam Kapita Selekta Hukum Tim
Peneliti Pakar Hukum Universitas Padjadjaran. Bandung: Widya
Padjadjaran, 2009.
Sidharta, Karakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks Keindonesiaan,.
Bandung: CV Utomo, 2009.
Soekanto, Soerjono, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,
Bandung: Rajawali, 1983.
Soesilo, R, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politeia, 1988.
Sumaryo, Sidik, Kapita Selekta Peradilan Pidana, Malang: Universitas
Muhammadiyah Malang, 2004.
Suratman dan Philips Dillah, Metode Penelitian Hukum, Bandung: Alfabeta,
2012.
Tahir, Heri, Proses Hukum yang Adil dalam Sistem Peradilan Pidana di
Indonesia, Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2010.
Wisnubroto, Al dan G. Widiantara, Pembaharuan Hukum Acara Pidana.
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005.
75
Jurnal
Badriyah, Siti Malikhatun. 2011, Penemuan Hukum (Rechtvinding) dan
Penciptaan Hukum (Rechtsschepping) oleh Hakim untuk mewujudkan
keadilan, MMH, Jilid 40 No. 3
Barama, Michael, 2016, Model Sistem Peradilan Pidana Dalam Perkembangan,
Vol.III No.8.
Febriansyah, Ferry Irawan, Keadilan Berdasarkan Pancasila Sebagai Dasar
Filosofis dan Ideologis Bangsa, Dih Jurnal Ilmu Hukum, Volume. 13
Nomor. 25, Februari 2017.
Muntaha, 2017, Pengaturan Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana di
Indonesia, Mimbar Hukum, Vol. 29. No. 3.
Nasution, Bahder Johan, Kajian Filosofis Tentang Konsep Keadilan dari
Pemikiran Klasik Sampai Pemikiran Modern, Yustisia, Volume. 3 Nomor.
2. Mei-Agustus 2014.
Plangiten, Maesa, 2013, Fungsi dan Wewenang Lembaga Praperadilan Dalam
Sistem Peradilan di Indonesia, Lex Crimen, Vol. II. No. 6.
Setiyono, 2006, Kajian Yuridis Mengenai Interpretasi Pihak Ketiga Yang
Berkepentingan Dalam Praktek Praperadilan, Lex Jurnalica. Vol.4 No. 1.
, 2016, Terciptanya Rasa Keadilan, Kepastian, dan Kemanfaatan
dalam Kehidupan Masyarakat, Jurnal Ilmiah Fenomena, Vol. XIV. No. 2.
Ilham. 2012, Skripsi, Praperadilan Tentang Penangkapan dan Penahanan
dalam Kaitannya dengan Hak-Hak Tersangka atau Terdakwa Menurut
KUHAP (Studi Putusan Nomor 01/Pid/Pra/2009/PN. PLP), Makassar:
Universitas Hasanudin.
Putri, Novita Akria, 2015, Skripsi. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
Terkait Dengan Penambahan Norma Penetapan Tersangka Sebagai Objek
Praperadilan, Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Peraturan Perundang-undangan
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Larangan Peninjauan
Kembali Putusan Praperadilan
76
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana
Pedoman Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab
Hukum Acara Pidana
Putusan Praperadilan Nomor 24/Pid.Pra/2018/PN.Jkt.Sel.
Internet
Indah Kusnowati, Praperadilan dalam Perspektif HAM,
http://radarsemarang.com/2017/12/10/praperadilan-dalam-perspektif-ham/,
diakses pada Senin 28 Januari 2018
Jerio Hallean, Hukum Acara Pidana Tentang Mekanisme Praperadilan,
https://www.academia.edu/27297693/Hukum_Acara_Pidana_tentang_Me
kanisme_Praperadilan_di_Indonesia, diakses pada Kamis, 31 Januari 2019
Sakhiyatu Sova, Tiga Nilai Dasar Hukum Menurut Gustav Radburch,
https://www.scribd.com/doc/170579596/Tiga-Nilai-Dasar-Hukum-
Menurut-Gustav-Radbruch, diakses pada Senin 4 Februari 2019
Rofiq Hidayat, Perintah Penetapan Tersangka Lampaui Kewenangan Hakim
Praperadilan,
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5acf311185127/perintah-
penetapan-tersangka-lampaui-kewenangan-hakim-praperadilan, diakses
pada Senin, 11 Februari 2018
Marcus Priyo Gunarto, Polemik Perintah Penetapan Tersangka,
http://mediaindonesia.com/read/detail/155747-polemik-perintah-
penetapan-tersangka, diakses pada Senin, 11 Februari 2019
Jarot Bayu dan Yuliawati, Ahli Hukum Anggap KPK Tak Perlu Ikuti Putusan
Praperadilan Century, https://katadata.co.id/berita/2018/04/11/ahli-
hukum-anggap-kpk-tak-perlu-ikuti-putusan-praperadilan-century, diakses
pada Senin, 4 Maret 2019
77
Rivki, PN JakseL Perintahkan Tersangkakan Boedono. MA: Tidak Ada
Aturannya https://news.detik.com/berita/3965330/pn-jaksel-perintahkan-
tersangkakan-boediono-ma-tidak-ada-aturannya
Fana Suparman, Kasus Bank Century, KPK Panggil Boediono,
https://www.beritasatu.com/nasional/522487-kasus-bank-century-kpk-
panggil-boediono.html ,
Mohammad Bernie, Kasus Century Dibuka Lagi, KPK Panggil Muliaman D
Hadad, https://tirto.id/kasus-century-dibuka-lagi-kpk-panggil-muliaman-
hadad-d5u9