IMPLEMENTASI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DALAM KONTEKS DESENTRALISASI PEMBANGUNAN TERHADAP...
-
Upload
jerry-makawimbang -
Category
Documents
-
view
565 -
download
12
Transcript of IMPLEMENTASI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DALAM KONTEKS DESENTRALISASI PEMBANGUNAN TERHADAP...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sehari sesudah merdeka, Negara Kesatuan RI pada dasarnya telah
menetapkan pilihannya secara formal pada dianutnya asas desentralisasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan
kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Hal itu dapat
disimpulkan dari bunyi Bab IV, pasal 18 UUD 1945 dan penjelasannya. Dalam
pasal 18 UUD 1945, antara lain dinyatakan bahwa “pembagian daerah Indonesia
atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan susunan pemerintahannya
ditetapkan dengan undang-undang”. Sementara, dalam penjelasan pasal tersebut
antara lain dikemukakan bahwa : “…oleh karena negara Indonesia itu suatu
“eenheidsstaat”, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam
lingkungannya yang bersifat staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam
daerah propinsi dan daerah yang lebih kecil. Daerah itu bersifat otonom (streck
dan locale rechtsgemeenchappen) atau bersifat daerah administrasi belaka,
semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang”. Dalam
amandemen kedua UUD 1945, ketentuan tersebut mengalami perubahan.
Perubahan tersebut tidak merubah esensinya, tapi lebih bersifat mempertegas,
memperjelas dan melengkapi. Disebutkan, misalnya, “Negara Kesatuan RI dibagi
atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan
kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan
daerah” (pasal 18 ayat 1). Pemerintah daerah tersebut mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (pasal
18 ayat 2). Selanjutnya, dikatakan bahwa pemerintahan daerah menjalankan
otonomi seluas - luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang - undang
ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat (pasal 18 ayat 5 UUD 1945). Secara
etimologi, perkataan otonomi berasal dari bahasa latin “autos” yang berarti sendiri
dan “nomos” yang berarti aturan. Dengan demikian, mula-mula otonomi berarti
mempunyai “peraturan sendiri” atau mempunyai hak/kekuasaan/kewenangan
untuk membuat peraturan sendiri. Kemudian arti ini berkembang menjadi
2
“pemerintahan sendiri”. Pemerintahan sendiri ini meliputi pengaturan atau
perundang-undangan sendiri, pelaksanaan sendiri, dan dalam batas-batas tertentu
juga pengadilan dan kepolisian sendiri (Josep Riwu Kaho,1991:14). Sementara
itu, dalam UU No. 32/ 2004 tentang Pemerintah Daerah ditegaskan bahwa
otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat yang diatur dan diurus tersebut meliputi
kewenangan-kewenangan yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada daerah-
daerah untuk diselenggarakan menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat. Josef Riwu Kaho (1991:15-17) menyebutkan berbagai teknik untuk
menetapkan bidang mana yang menjadi urusan pemerintah pusat dan mana yang
merupakan wewenang pemerintah daerah, yaitu (a) sistem residu, (b) sistem
material, (c) sistem formal, (d) sistem otonomi riil, dan (e) prinsip otonomi yang
nyata, dinamis dan bertanggung jawab. Dalam sistem residu, secara umum telah
ditentukan lebih dahulu tugas-tugas yang menjadi wewenang pemerintah pusat,
sedangkan sisanya menjadi urusan rumah tangga daerah. Kebaikannya terutama
terletak pada saat timbulnya keperluan-keperluan baru, pemerintah daerah dapat
dengan cepat mengambil keputusan dan tindakan yang dipandang perlu, tanpa
menunggu perintah dari pusat. Sebaliknya, sistem ini dapat pula menimbulkan
kesulitan mengingat kemampuan daerah yang satu dengan yang lainnya tidak
sama dalam pelbagai lapangan atau bidang. Akibatnya, bidang atau tugas yang
dirumuskan secara umum ini dapat menjadi terlalu sempit bagi daerah yang
kemampuannya terbatas. Sementara, dalam sistem material, tugas pemerintah
daerah ditetapkan satu persatu secara limitatif atau terinci. Di luar tugas yang telah
ditentukan, merupakan urusan pemerintah pusat. Kelemahannya, sistem ini
kurang fleksibel karena setiap perubahan tugas dan wewenang daerah harus
dilakukannya melalui prosedur yang lama dan berbelit-belit. Akibatnya,
memghambat kemajuan daerah, karena mereka harus menunggu penyerahan yang
nyata bagi setiap urusan. Kadang-kadang suatu urusan menjadi terbengkelai, tidak
diurus oleh pemerintah pusat dan tidak pula oleh pemerintah daerah. Sedangkan
dalam sistem formal, daerah boleh mengatur dan mengurus segala sesuatu yang
3
dianggap penting bagi daerahnya, asal saja tidak mencakup urusan yang telah
diatur dan diurus oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang lebih tinggi
tingkatannya. Dengan kata lain, urusan rumah tangga daerah dibatasi oleh
peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Dalam sistem
otonomi riil, penyerahan urusan atau tugas dan kewenangan kepada daerah
didasarkan pada faktor yang nyata atau riil, sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan yang riil dari daerah maupun pemerintah pusat serta pertumbuhan
kehidupan masyarakat yang terjadi. Karena pemberian tugas dan kewajiban serta
wewenang ini didasarkan pada keadaan riil di dalam masyarakat, maka
kemungkinan yang dapat ditimbulkannya ialah bahwa tugas atau urusan yang
selama ini menjadi wewenang pemerintah pusat dapat diserahkan kepada
pemerintah daerah dengan melihat kepada kemampuan dan keperluannya untuk
diatur dan diurus sendiri. Sebaliknya, tugas yang kini menjadi wewenang daerah,
pada suatu ketika, bilamana dipandang perlu dapat diserahkan kembali kepada
pemerintah pusat atau ditarik kembali dari daerah . Prinsip otonomi yang nyata,
dinamis dan bertanggung jawab dikenal dalam UU No.5 tahun 1974 sebagai salah
satu variasi dari sistem otonomi riil. Agar otonomi daerah dapat dilaksanakan
sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai, Pemerintah wajib melakukan
pembinaan yang berupa pemberian pedoman seperti dalam penelitian,
pengembangan, perencanaan dan pengawasan. Di samping itu diberikan pula
standar, arahan, bimbingan, pelatihan, supervisi, pengendalian, koordinasi,
pemantauan dan evaluasi. Bersamaan dengan itu, Pemerintah wajib memberikan
fasilitasi berupa pemberian peluang, kemudahan, bantuan, dan dorongan kepada
daerah agar dalam melaksanakan otonomi dapat dilakukan secara efisien dan
efektif sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Konsekuensi logis dari
Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tersebut adalah bahwa manajemen
pendidikan harus disesuaikan dengan jiwa dan semangat otonomi. Penyesuaian
dengan jiwa dan semangat otonomi itu, antara lain terwujud dalam bentuk
perubahan arah paradigma pendidikan, dari paradigma lama ke paradigma baru,
yang tentu juga berdampak pada paradigma perencanaan pendidikannya. Secara
ideal, paradigma baru pendidikan tersebut mestinya mewarnai kebijakan
pendidikan baik kebijakan pendidikan yang bersifat substantif maupun
4
implementatif. Seperti yang dinyatakan oleh Azyumardi Azra (2002: xii) bahwa
dengan era otonomi daerah : ”lembaga-lembaga pendidikan, seperti sekolah,
madrasah, pesantren, universitas (perguruan tinggi), dan lainnya – yang
terintegrasi dalam pendidikan nasional- haruslah melakukan reorientasi,
rekonstruksi kritis, restrukturisasi, dan reposisi, serta berusaha untuk menerapkan
paradigma baru pendidikan nasional”. Selain itu, implementasi kebijakan tersebut
diharapkan berdampak positif terhadap kemajuan pendidikan di daerah dan di
tingkat satuan pendidikan. Agar dampak positif dapat benar-benar terwujud,
kemampuan perencanaan pendidikan yang baik di daerah sangatlah diperlukan.
Dengan kemampuan perencanaan pendidikan yang baik diharapkan dapat
mengurangi kemungkinan timbulnya permasalahan yang serius. Fiske (1996)
menyatakan bahwa berdasarkan pengalaman berbagai negara sedang berkembang
yang menerapkan otonomi di bidang pendidikan, otonomi berpotensi
memunculkan masalah: perbenturan kepentingan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah, menurunnya mutu pendidikan, inefisiensi dalam pengelolaan pendidikan,
ketimpangan dalam pemerataan pendidikan, terbatasnya gerak dan ruang
partisipasi masyarakat dalam pendidikan, serta berkurangnya tuntutan
akuntabilitas pendidikan oleh pemerintah serta meningkatnya akuntabilitas
pendidikan oleh masyarakat. Selain itu, dengan perencanaan yang baik, konon,
merupakan separoh dari kesuksesan dalam pengelolaan dan penyelenggaraan
pendidikan yang telah diotonomikan di daerah. Sayangnya, kata Abdul Madjid
dalam tulisannya ”Pendidikan Tanpa Planning” (Kedaulatan Rakyat, 2006),
bahwa rendahnya mutu pendidikan kita disebabkan oleh belum komprehensifnya
pendekatan perencanaan yang digunakan. Perencanaan pendidikan, katanya,
hanya dijadikan faktor pelengkap atau dokumen ”tanpa makna” sehingga sering
terjadi tujuan yang ditetapkan tidak tercapai secara optimal. Dapat juga terjadi,
seperti dinyatakan H. Noeng Muhadjir (2003:89), bahwa ”pembuatan
implementasi kebijakan berupa perencanaan, mungkin saja dilakukan oleh para
eksekutif tanpa penelitian lebih dahulu. Kemungkinan resikonya beragam,
misalnya membuat kesalahan yang sama dengan eksekutif terdahulu, tidak
realistis, tidak menjawab masalah yang dihadapi masyarakat, sampai ke dugaan
manipulatif – koruptif”. Berdasarkan masalah yang ada maka peneliti akan
5
melaksanakan satu penelitian tentang : IMPLEMENTASI PELAKSANAAN
OTONOMI DAERAH DALAM KONTEKS DESENTRALISASI
PEMBANGUNAN TERHADAP PERENCANAAN PENDIDIKAN DI
KABUPATEN KEPULAUAN SANGIHE.
1.2 Fokus penelitian
Sebagai patokan dalam penelitian ini maka penulis membatasi permasalahan
pada penelitian ini hanya terfokus pada Implementasi Pelaksanaan Otonomi
Daerah Dalam Konteks Desentralisasi Pembangunan Terhadap Perencanaan
Pendidikan Di Kabupaten Kepulauan Sangihe.
1.3 Rumusan Masalah
Bagaimana pelaksanaan Otonomi Daerah Dalam Konteks Desentralisasi
Pembangunan Terhadap Perencanaan Pendidikan Di Kabupaten Kepulauan
Sangihe ?
1.4 Tujuan Penelitian
Agar penelitian ini dapat memberikan arah yang baik, maka penelitian
dilaksanakan dengan tujuan :
1. Untuk mengetahui pelaksanaan otonomisasi daerah dalam konteks
desentralisasi pembangunan.
2. Untuk mengetahui perencanaan pendidikan diera otonomi daerah
3. Untuk mengetahui pelaksanaan otonomisasi daerah dalam konteks
desentralisasi pembangunan terhadap perencanaan pendidikan
1.5 Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Bermanfaat bagi pengembangan ilmu pendidikan, khususnya ilmu manajenen
pendidikan. Hal ini disebabkan karena penelitian ini menganalisis mengenai
kebijakan pemerintah dibidang pendidikan diera otonomi daerah dalam kaitannya
dengan perencanaan pendidikan.
6
2. Manfaat praktis
1. Bermanfaat bagi pemerintah dalam menetapkan kebijakan pemerintah
dibidang pendidikan.
2. Bermanfaat bagi penyelenggara pendidikan, lebih khusus dinas
pendidikan nasional dalam perencanaan pendidikan.
7
BAB II
ACUAN TEORITIK
2.1 Otonomi Daerah
A. Konsep Otonomi Daerah
Otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang
diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut aspirasi masyarakat
untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan
dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan yang dimaksud dengan
daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas
wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat. Pelaksanaan otonomi daerah selain berlandaskan pada acuan hukum,
juga sebagai implementasi tuntutan globalisasi yang harus diberdayakan dengan
cara memberikan daerah kewenangan yang lebih luas, lebih nyata dan
bertanggung jawab, terutama dalam mengatur, memanfaatkan dan menggali
sumber-sumber potensi yang ada di daerahnya masing-masing. Otonomi Daerah
adalah wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah, yang
melekat pada Negara kesatuan maupun pada Negara federasi. Di Negara kesatuan
otonomi daerah lebih terbatas dari pada di Negara yang berbentuk federasi.
Kewenangan mengantar dan mengurus rumah tangga daerah di Negara kesatuan
meliputi segenap kewenangan pemerintahan kecuali beberapa urusan yang
dipegang oleh Pemerintah Pusat seperti
1. Hubungan luar negeri
2. Pengadilan
3. Moneter dan keuangan
4. Pertahanan dan keamanan
B. Dasar Pelaksanaan Otonomi
8
Terselenggaranya Otonomisasi Daerah ternyata didasari oleh beberapa hal
berikut ini :
1. Bahwa sistem ketatanegaraan Indonesia tidak menganut paham sentralisme,
tetapi membagi daerah Indonesia ke dalam katagori daerah besar dan kecil
yang akan diatur dengan undang‐undang.;
2. Pengaturan dalam UU tersebut harus berlandaskan g pada permusyawaratan
dalam sistem pemerintahan negara, dan mempertimbangkan hak‐hak, asal‐
usul dalam daerah‐daerah yang bersifat istimewa.;
3. Daerah besar dan kecil bukan merupakan ‘negara bagian’, melainkan daerah
yang tidak terpisahkan dan dibentuk dalam kerangka yang tidak terpisahkan,
serta dalam kerangka “negara kesatuan” (eenheidstaat);
4. Corak daerah besar dan kecil itu ada yang bersifat ‘otonom’ (streek en locale
rechtsgemeenschappen),dan ada yang bersifat daerah administrasi belaka.;
5. Sebagai konsekuensi daerah yang bersifat otonom, akan dibentuk Badan
Perwakilan Daerah (BPD) karena di daerah pun pemerintahan akan
bersendikan atas azas permusyawaratan;
6. Daerah yang hak‐hak asal‐usul yang bersifat istimewa adalah ‘swapraja’
(zelfbesturende landschappen), dan ‘desa’ atau nama lain semacam itu yang
disebut volksgemeenchappen;
7. Negara Republik Indonesia akan menghormati kedudukan daerah‐daerah
yang mempunyai hak‐hak asal‐usul yang bersifat istimewa;
8. Batas‐batas, isi dan luas otonomi yang diberikan kepada daerah, kebijakan
dasarnya merujuk kepada prinsip‐prinsip yang terkandung dalam alinea
pertama penjelasan pasal 18 kitab UUD/1945.
C. Prinsip Otonomi Daerah
Pelaksanaan Otonomi daerah dapatberjalan dengan baik harus sesuai dengan
prinsip – prinsip Otonomisasi Daerah, yaitu :
1. Otonomi seluas‐luasnya. Daerah diberikan kewenangan mengurus dan
mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan
pemerintah. Di samping itu, daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan
daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan
9
pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan
rakyat;
2. Otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Nyata dalam arti prinsip untuk
menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang
dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh,
hidup, dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah.
Bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus
benar‐benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada
dasarnya memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat;
3. Keserasian hubungan. Bahwa otonomi yang dilaksanakan harus mampu
membangun kerjasama antar daerah untuk meningkatkan kesejahteraan
bersama dan mencegah ketimpangan antar daerah. Di samping itu, keserasian
hubungan antar daerah tersebut harus serasi pula dengan Pemerintah dalam
memelihara dan menjaga keutuhan wilayah NKRI;
4. Pemerintah wajib memberikan pembinaan yang berupa pemberian pedoman
seperti dalam penelitian, pengembangan, perencanaan dan pengawasan,
melalu penetapan standar, arahan, bimbingan, pelatihan, supervisi,
pengendalian, koordinasi, pemantauan, dan evaluasi. Karena itu, Pemerintah
wajib pula memberikan fasilitasi yang berupa pemberian peluang kemudahan,
bantuan dan dorongan kepada daerah agar dalam melaksanakan otonomi
dapat dilakukan secara efisien dan efektif sesuai dengan peraturan perundang‐
undangan.
2.2 Konsep Desentralisasi Pendidikan
Bila otonomi daerah menunjuk pada hak, wewenang dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat, maka hal tersebut hanya mungkin jika Pemerintah Pusat
mendesentralisasikan atau menyerahkan wewenang pemerintahan kepada daerah
otonom. Inilah yang disebut dengan desentralisasi. Mengenai asas desentralisasi,
ada banyak definisi. Secara etimologis, istilah tersebut berasal dari bahasa Latin
“de”, artinya lepas dan “centrum”, yang berarti pusat, sehingga bisa diartikan
10
melepaskan dari pusat. Sementara, dalam Undang-undang No. 32 tahun 2004, bab
I, pasal 1 disebutkan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang
pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonomi untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan RI. Sedangkan
menurut Jose Endriga (Verania Andria & Yulia Indrawati Sari,2000:iii)
desentralisasi diartikan sebagai “systematic and rasional dispersal of
governmental powers and authority to lower level institutions so as to allow
multi–sectoral decision making as close as possible to problem area”. Lain
halnya dengan Nuril Huda (1998:4), dia mengartikan desentralisasi sebagai
“delegations of responsibilities and powers to authorities at the lower levels” .
Secara konseptual, penerapan asas desentralisasi didasari oleh keinginan
menciptakan demokrasi, pemerataan dan efisiensi. Diasumsikan bahwa
desentralisasi akan menciptakan demokrasi melalui partisipasi masyarakat lokal.
Dengan sistem yang demokratis ini diharapkan akan mendorong tercapainya
pemerataan pembangunan terutama di daerah pedesaan dimana sebagian besar
masyarakat tinggal. Sedangkan efisiensi dapat meningkat karena jarak antara
pemerintah lokal dengan masyarakat menjadi lebih dekat, penggunaan sumber
daya digunakan saat dibutuhkan dan masalah diidentifikasi oleh masyarakat lokal
sehingga tak perlu birokrasi yang besar untuk mendukung pemerintah lokal.
Sementara itu, Kotter (1997) dalam buku “Leading Change”, menyatakan bahwa
lembaga yang terdesentralisasi memiliki beberapa keunggulan, antara lain : (1)
lebih fleksibel, dapat memberikan respon dengan cepat terhadap lingkungan dan
kebutuhan yang selalu berubah, (2) lebih efektif, (3) lebih inovatif, dan (4)
menghasilkan semangat kerja yang lebih tinggi, lebih komitmen dan lebih
produktif. Sedangkan Achmad Budiono, M.Irfan & Yuli Andi (1998:216)
menyatakan bahwa dengan pengambilan keputusan dalam organisasi ke tingkat
yang lebih rendah maka akan cenderung memperoleh keputusan yang lebih baik.
Desentralisasi bukan saja memperbaiki kualitas keputusan tetapi juga kualitas
pengambilan keputusan. Dengan desentralisasi, pengambilan keputusan lebih
cepat, lebih luwes dan konstruktif. Istilah desentralisasi muncul dalam paket UU
tentang otonomi daerah yang pelaksanaannya dilatarbelakangi oleh keinginan
segenap lapisan masyarakat untuk melakukan reformasi dalam semua bidang
11
pemerintahan. Menurut Bray dan Fiske (Depdiknas, 2001:3) desentralisasi
pendidikan adalah suatu proses di mana suatu lembaga yang lebih rendah
kedudukannya menerima pelimpahan kewenangan untuk melaksanakan segala
tugas pelaksanaan pendidikan, termasuk pemanfaatan segala fasilitas yang ada
serta penyusunan kebijakan dan pembiayaan. Senada dengan itu, Husen &
Postlethwaite (1994:1407) mengartikan desentralisasi pendidikan sebagai “the
devolution of authority from a higher level of government, such as a departement
of education or local education authority, to a lower organizational level, such as
individual schools”. Sementara itu, menurut Fakry Gaffar (1990:18) desentralisasi
pendidikan merupakan sistem manajemen untuk mewujudkan pembangunan
pendidikan yang menekankan pada keberagaman, dan sekaligus sebagai
pelimpahan wewenang dan kekuasaan dalam pembuatan keputusan untuk
memecahkan berbagai problematika sebagai akibat ketidaksamaan geografis dan
budaya, baik menyangkut substansi nasional, internasional atau universal
sekalipun. Bila dicermati, esensi terpenting dari berbagai pengertian di atas adalah
otoritas yang diserahkan. Williams (Depdiknas, 2001:3-4) membedakan adanya
dua macam otoritas (kewenangan dan tanggung jawab) yang diserahkan dari
pemerintah pusat ke pemerintah yang lebih rendah, yaitu desentralisasi politis
(political decentralization) dan desentralisasi administrasi (administrative
decentralization). Perbedaan antar keduanya terletak dalam hal tingkat
kewenangan yang dilimpahkan. Pada desentralisasi politik, kewenangan yang
dilimpahkan bersifat mutlak. Pemda menerima kewenangan melaksanakan
tanggung jawab secara menyeluruh. Ia memegang otoritas untuk menentukan
segala kebijakan tentang penyelenggaraan pendidikan untuk masyarakatnya. Hal
itu mencakup kewenangan untuk menentukan model, jenis, sistem pendidikan,
pembiayaan, serta lembaga apa yang akan melaksanakan kewenangan-
kewenangan tersebut. Sedangkan dalam desentralisasi administrasi, kewenangan
yang dilimpahkan hanya berupa strategi pelaksanaan tugas-tugas pendidikan di
daerah. Dengan kata lain, kewenangan yang diserahkan berupa strategi
pengelolaan yang bersifat implementatif untuk melaksanakan suatu fungsi
pendidikan. Dalam desentralisasi model ini, pemerintah pusat masih memegang
kekuasaan tertinggi dalam menentukan kebijakan makro, sedangkan pemerintah
12
daerah mempunyai kewajiban dan kewenangan untuk merencanakan, mengatur,
menyediakan dana dan fungsi-fungsi implementasi kebijakan lainnya. Mengapa
bidang pendidikan didesentralisasikan? Tentang hal itu, ada berbagai pendapat
dari para ahli. Husen & Postlethwaite (1994:1407) menguraikan mengenai alasan
desentralisasi (reasons for decentralization), yaitu : (a) the improvement of
schools, (b) the belief that local participation is a logical form of governance in a
democracy, dan (c) in relation to fundamental values of liberty, equality,
fraternity, efficiency, and economic growth. Sementara itu, setelah melakukan
studi di berbagai negara, Fiske (1998:24-47) menyebutkan sekurang-kurangnya
ada empat alasan rasional diterapkannya sistem desentralisasi, termasuk
pendidikan, yaitu (a) alasan politis, seperti untuk mempertahankan stabilitas
dalam rangka memperoleh legitimasi pemerintah pusat dari masyarakat daerah,
sebagai wujud penerapan ideologi sosialis dan laissez-faire dan untuk
menumbuhkan kehidupan demokrasi, (b) alasan sosio-kultural, yakni untuk
memberdayakan masyarakat lokal, (c) alasan teknis administratif dan paedagogis,
seperti untuk memangkas manajemen lapisan tengah agar dapat membayar gaji
guru tepat waktu atau untuk meningkatkan antusiasme guru dalam proses belajar
mengajar, (d) alasan ekonomis-finansial, seperti meningkatkan sumber daya
tambahan untuk pembiayaan pendidikan dan sebagai alat pembangunan ekonomi.
Sementara itu, Kacung Marijan (Abdurrahmansyah, 2001:58) melihat penerapan
desentralisasi pendidikan di Indonesia justru sebagai gejala keputusasaan
pemerintah dalam menghadapi persoalan keuangan. Sedangkan Arbi Sanit
(2000:1) memandang penerapan desentralisasi secara umum sebagai “jalan
keluar” bagi problematik ketimpangan kekuasaan antara pemerintah nasional dan
pemerintah lokal. Karena itu, menurutnya, konsep desentralisasi bertolak dari
asumsi pemberian sebagian kekuasaan pemerintah pusat kepada pemerintah lokal
atau yang lebih rendah dalam rangka mencapai tujuan nasional. Pemberian
sebagian kekuasaan tersebut untuk mengatasi kekecewaan daerah terhadap
pemerintah pusat, yang berakar pada persoalan: (1) ketimpangan struktur ekonomi
Jawa-Luar Jawa, (2) sentralisasi politik, (3) korupsi birokrasi, (4) eksploitasi
SDA, (5) represi dan pelanggaran HAM, dan (6) penyeragaman politik hingga
kultural. Tujuan desentralisasi pendidikan adalah untuk memperbaiki proses
13
pengambilan keputusan dengan melibatkan lebih banyak stakeholders di daerah,
untuk menghasilkan integrasi sekolah dengan masyarakat lokal secara terus
menerus, untuk mendekatkan sekolah dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat,
dan akhirnya untuk memperbaiki motivasi, kehadiran dan pencapaian murid.
Selain itu, desentralisasi tersebut juga dalam rangka memberi kesempatan kepada
rakyat atau masyarakat luas untuk berpartisipasi secara aktif dan kreatif sehingga
pendidikan mampu menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas yang
akan bermanfaat bagi pembangunan daerah.
2.2.1 Paradigma Baru Pendidikan.
Era otonomi daerah telah mengakibatkan terjadinya pergeseran arah
paradigma pendidikan, dari paradigma lama ke paradigma baru, meliputi berbagai
aspek mendasar yang saling berkaitan, yaitu (1) dari sentralistik menjadi
desentralistik, (2) dari kebijakan yang top down ke kebijakan yang bottom up, (3)
dari orientasi pengembangan parsial menjadi orientasi pengembangan holistik, (4)
dari peran pemerintah sangat dominan ke meningkatnya peranserta masyarakat
secara kualitatif dan kuantitatif, serta (5) dari lemahnya peran institusi non
sekolah ke pemberdayaan institusi masyarakat, baik keluarga, LSM, pesantren,
maupun dunia usaha (Fasli Jalal, 2001: 5). Agak berbeda dengan hal tersebut,
dalam buku Depdiknas (2002:10) tentang Materi Pelatihan Terpadu untuk Kepala
Dinas Kabupaten/Kota, selain perubahan paradigma dari “sentralistik ke
desentralistik” dan orientasi pendekatan “dari atas ke bawah” (top down
approach) ke pendekatan “dari bawah ke atas” (bottom up approach) sebagaimana
yang sudah disebut dalam buku Fasli Jalal, juga disebutkan tiga paradigma baru
pendidikan lainnya, yaitu dari “birokrasi berlebihan” ke “debirokratisasi”, dari
“Manajemen Tertutup” (Closed Management) ke “Manajemen Terbuka” (Open
Management), dan pengembangan pendidikan, termasuk biayanya, “terbesar
menjadi tanggung jawab pemerintah” berubah ke “sebagian besar menjadi
tanggung jawab orang tua siswa dan masyarakat (stakeholders).
Bila kedua pendapat di atas dianalisis dan disintesakan, maka wujud pergeseran
paradigma pendidikan tersebut meliputi sebagai berikut :
A. Dari sentralisasi ke desentralisasi pendidikan
14
Sebelum otonomi, pengelolaan pendidikan sangat sentralistik. Hampir seluruh
kebijakan pendidikan dan pengelolaan pelaksanaan pendidikan diatur dari
Depdikbud. Seluruh jajaran, tingkat Kanwil Depdikbud, tingkat Kakandep Dikbud
Kabupaten/Kota, bahkan sampai di sekolah-sekolah harus mengikuti dan taat
terhadap kebijakan-kebijakan yang seragam secara nasional, dan petunjuk-
petunjuk pelaksanaannya. Kakandep dan sekolah-sekolah tidak diperkenankan
merubah, menambah dan mengurangi yang sudah ditetapkan oleh
Depdikbud/Kanwil Depdikbud, sekalipun tidak sesuai dengan kondisi, potensi,
kebutuhan sekolah dan masyarakat di daerah. Dalam era reformasi, paradigma
sentralistik berubah ke desentralistik. Desentralistik dalam arti pelimpahan
sebagian wewenang dan tanggung jawab dari Depdiknas ke Dinas Pendidikan
Propinsi, dan sebagian lainnya kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, bahkan
juga kepada sekolah-sekolah. Pada perguruan tinggi negeri/swasta dilimpahkan
kepada rektor, bahkan juga pada fakultas, dan juga pada jurusan/program studi.
Dengan UU dan Peraturan Pemerintah mengenai otonomi daerah,
Kabupaten/Kota dan DPRD Kabupaten/Kota, diberi wewenang membuat
Peraturan-Peraturan Daerah, mengenai pendidikan tingkat Kabupaten/Kota.
Dengan desentralisasi manajemen pendidikan tersebut, Dinas Pendidikan tingkat
Kabupaten/Kota sebagai perangkat pemerintah Kabupaten/Kota yang otonom,
dapat membuat kebijakan-kebijakan pendidikan, masing-masing sesuai wewenang
yang dilimpahkan kepada pemerintah Kabupaten/Kota dalam bidang pendidikan.
Bahkan dalam pengelolaan pendidikan pada tingkat Kabupaten/Kota, setiap
sekolah juga diberi peluang untuk membuat kebijakan sekolah (school policy)
masing-masing atas dasar konsep “manajemen berbasis sekolah” dan “pendidikan
berbasis masyarakat” Dengan demikian, sebagian perubahan dan kemajuan
pendidikan tingkat Kabupaten/Kota sangat bergantung pada kemampuan
mengembangkan kebijakan pendidikan dari masing-masing Kepala Dinas
Pendidikan tingkat Kabupaten/Kota. Desentralisasi manajemen pendidikan
tersebut, dilaksanakan sejalan dengan proses demokratisasi, sebagai proses
distribusi tugas dan tanggung jawab dari Depdiknas sampai di unit-unit satuan
pendidikan. Iklim dan suasana serta mekanisme demokratis bertumbuh dan
berkembang pada seluruh tingkat dan jalur pengelolaan pendidikan, termasuk di
15
sekolah-sekolah dan di kelas-kelas ruang belajar. Dari kebijakan yang top down
ke kebijakan yang bottom up; Sebelum otonomi, pendekatan pengembangan dan
pembinaan pendidikan dilakukan dengan mekanisme pendekatan “dari atas ke
bawah” (top down approach) Berbagai kebijakan pengembangan/ pembinaan
pendidikan hampir seluruhnya ditentukan oleh Depdikbud, dan dalam hal khusus
di Propinsi ditentukan oleh Kanwil Depdikbud, dan dalam hal khusus lainnya di
Kabupaten/Kota ditentukan oleh Kakandepdikbud, untuk dilaksanakan oleh
seluruh jajaran pelaksana di wilayah, termasuk di sekolah-sekolah. Lain halnya
dalam era reformasi, sebagian besar upaya pengembangan pendidikan dilakukan
dengan orientasi pendekatan “dari bawah ke atas” (bottom up approach).
Pendekatan bottom up harus terjadi dalam pengambilan keputusan di setiap level
instansi, misalnya sekolah, Dinas Kabupaten/Kota, yayasan penyelenggara
pendidikan, dan sebagainya. Berbagai aspirasi dan kebutuhan yang menjadi
kepentingan umum, sesuai kondisi, potensi dan prospek sekolah, diakomodasi
oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, sesuai wewenang dan tanggung
jawabnya. Dan hal-hal lainnya yang menjadi wewenang dan tanggung jawab
Dinas Propinsi diselesaikan pada tingkat Depdiknas. Oleh karenanya, tidak heran
bila di Kabupaten/Kota sering terjadi “unjuk rasa” para guru, siswa, orang tua
siswa, dan masyarakat menuntut perbaikan kebijakan pendidikan yang tidak
sesuai dengan harapan mereka. Dan berbagai aspirasi yang baik sudah seyogyanya
diterima oleh Kepala Dinas Kabupaten/Kota untuk ditindak lanjuti.
B. Dari orientasi pengembangan yang parsial ke orientasi pengembangan
yang holistik
Sebelum otonomi, orientasi pengembangan bersifat parsial. Misalnya,
pendidikan lebih ditekankan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi,
menciptakan stabilitas politik dan teknologi perakitan (Fasli Jalal, 2001:5).
Pendidikan juga terlalu menekankan segi kognitif, sedangkan segi spiritual,
emosional, sosial, fisik dan seni kurang mendapatkan tekanan (Paul Suparno,
2003:98). Akibatnya anak didik kurang berkembang secara menyeluruh. Dalam
pembelajaran yang ditekankan hanya to know (untuk tahu), sedangkan unsur
pendidikan yang lain to do (melakukan), to live together (hidup bersama), to be
16
(menjadi) kurang menonjol. Di Indonesia kesadaran akan hidup bersama kurang
mendapat tekanan, dengan akibat anak didik lebih suka mementingkan hidupnya
sendiri. Selain itu, pendekatan dan pengajaran di sekolah kebanyakan terpisah-
pisah dan kurang integrated. Setiap mata pelajaran berdiri sendiri, seakan tidak
ada kaitan dengan pelajaran lain. Berbeda dengan itu, setelah reformasi orientasi
pengembangan bersifat holistik. Pendidikan diarahkan untuk pengembangan
kesadaran untuk bersatu dalam kemajemukan budaya, menjunjung tinggi nilai
moral, kemanusiaan dan agama, kesadaran kreatif, produktif, dan kesadaran
hukum (Fasli Jalal, 2001:5). Menurut Paul Suparno (2003:100), pendidikan
holistik dipengaruhi oleh pandangan filsafat holisme, yang cirinya adalah
keterkaitan (connectedness), keutuhan (wholeness), dan proses menjadi (being).
Konsep saling keterkaitan mengungkapkan bahwa saling keterkaitan antara suatu
bagian dari suatu sistem dengan bagian-bagian lain dan dengan keseluruhannya.
Maka tidak mungkin suatu bagian dari suatu sistem lepas sendiri dari sistem itu
dan lepas dari bagian-bagian yang lain. Saling keterkaitan dapat dijabarkan dalam
beberapa konsep berikut, yaitu interdependensi, interrelasi, partisipasi dan non
linier (Hent, 2001). Interdependensi adalah saling ketergantungan satu unsur
dengan yang lain. Masing-masing tidak akan menjadi penuh berkembang tanpa
yang lain. Ada saling ketergantungan antara guru dengan siswa, antara siswa
dengan siswa lain, antara guru dengan guru lain, dan lain-lain. Interrelasi
dimaksudkan sebagai adanya saling kaitan, saling berhubungan antara unsur yang
satu dengan yang lain dalam pendidikan. Ada hubungan antara pendidik dengan
yang dididik, antara siswa dengan siswa lain, antara pendidik dengan pendidik
lain. Relasi ini bukan hanya relasi berkaitan dengan pengajaran tetapi juga relasi
sebagai manusia, sebagai pribadi. Partisipasi dimaksudkan sebagai keterlibatan,
ikut andil dalam sistem itu. Dalam pendidikan secara nyata siswa hanya akan
berkembang bila terlibat, ikut aktif didalamnya. Non linier menunjukkan bahwa
tidak dapat ditentukan secara linier serba jelas sebelumnya. Ada banyak hal yang
tidak dapat diprediksikan sebelumnya dalam pendidikan, meski kita telah
menentukan unsur-unsurnya. Kita dapat membantu anak-anak dengan segala
macam nilai yang baik, namun dapat terjadi mereka berkembang tidak baik.
Pendekatan pendidikan yang mekanistis tidak tepat lagi. Pendidikan tidak
17
dipikirkan lagi secara linier, seakan-akan bila langkah-langkahnya jelas lalu
hasilnya menjadi jelas; tetapi lebih kompleks dan ada keterbukaan terhadap unsur
yang tidak dapat ditentukan sebelumnya. Prinsip keutuhan menyatakan bahwa
keseluruhan adalah lebih besar daripada penjumlahan bagian-bagiannya. Prinsip
keutuhan sangat jelas diwujudkan dengan memperhatikan semua segi kehidupan
dalam membantu perkembangan pribadi siswa secara menyeluruh dan utuh.
Maka, segi intelektual, sosial, emosional, spiritual, fisik, seni, semua mendapat
porsi yang seimbang. Salah satu unsur tidak lebih tinggi dari yang lain sehingga
mengabaikan yang lain. Kurikulum dibuat lebih menyeluruh dan memasukkan
banyak segi. Pendekatan terhadap siswapun lebih utuh dengan memperhatikan
unsur pribadi, lingkungan dan budaya. Pembelajaran lebih menggunakan
inteligensi ganda, dengan mengembangkan IQ, SQ, dan EQ secara integral.
Prinsip ”proses menjadi” mengungkapkan bahwa manusia memang terus
berkembang menjadi semakin penuh. Dalam proses menjadi penuh itu unsur
partisipasi, keaktifan, tanggung jawab, kreativitas, pertumbuhan, refleksi, dan
kemampuan mengambil keputusan sangat penting. Proses itu terus-menerus dan
selalu terbuka terhadap perkembangan baru. Dalam pendidikan, prinsip
kemenjadian ini ditonjolkan dengan pendekatan proses, siswa diaktifkan untuk
mencari, menemukan dan berkembang sesuai dengan keputusan dan
tanggungjawabnya. Dalam proses itu, siswa diajak lebih banyak mengalami
sendiri, berefleksi dan mengambil makna bagi hidupnya. Dalam proses ini siswa
dibantu sungguh menjadi manusia yang utuh, bukan hanya menjadi calon pekerja
atau pengisi lowongan kerja.
C. Dari peran pemerintah yang dominan ke meningkatnya peranserta
masyarakat secara kualitatif dan kuantitatif.
Sebelum otonomi, peran pemerintah sangat dominan. Hampir semua aspek
dari pendidikan diputuskan kebijakan dan perencanaannya di tingkat Pusat,
sehingga daerah terkondisikan lebih hanya sebagai pelaksana (Sumarno, 2001:3).
Pendidikan dikelola tanpa mengembangkan kemampuan kreativitas masyarakat,
malah cenderung meniadakan partisipasi masyarakat di dalam pengelolaan
pendidikan. Lembaga pendidikan terisolasi dan tanggung jawab sepenuhnya ada
pada pemerintah pusat. Sedangkan masyarakat tidak mempunyai wewenang untuk
18
mengontrol jalannya pendidikan. Selain itu, dengan sendirinya orang tua dan
masyarakat, sebagai constituent dari sistem pendidikan nasional yang terpenting,
telah kehilangan peranannya dan tanggung jawabnya. Mereka, termasuk peserta
didik, telah menjadi korban, yaitu sebagai obyek dari sistem yang otoriter. (Tilaar,
1999:113)
Sesudah otonomi, ada perluasan peluang bagi peran serta masyarakat dalam
pendidikan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Oleh karena itu, untuk
mendorong partisipasi masyarakat, di tingkat Kabupaten/Kota dibentuk Dewan
Pendidikan, sedangkan di tingkat sekolah dibentuk komite sekolah. Pembentukan
komite sekolah didasarkan pada keputusan Mendiknas No.044/U/2002 tentang
panduan pembentukan komite sekolah. Menurut panduan, pembentukan komite
sekolah dilakukan secara transparan, akuntabel, dan demokratis. Transparan
berarti bahwa komite sekolah harus dibentuk secara terbuka dan diketahui oleh
masyarakat secara luas mulai dari tahap pembentukan panitia persiapan, proses
sosialisasi oleh panitia persiapan, kriteria calon anggota, proses seleksi calon
anggota, pengumuman calon anggota, proses pemilihan, dan penyampaian hasil
pemilihan. Akuntabel berarti bahwa panitia persiapan pembentukan komite
sekolah hendaknya menyampikan laporan pertanggungjawaban kinerjanya
maupun penggunaan dan kepanitiaan. Sedangkan secara demokratis berarti bahwa
dalam proses pemilihan anggota dan pengurus dilakukan dengan musyawarah
mufakat. Jika dipandang perlu, dapat dilakukan melalui pemungutan suara.
D. Dari lemahnya peran institusi non sekolah ke pemberdayaan institusi
masyarakat.
Sebelum era otonomi, peran institusi non sekolah sangat lemah. Dalam era
otonomi, masyarakat diberdayakan dengan segenap institusi sosial yang ada di
dalamnya, terutama institusi yang dilekatkan dengan fungsi mendidik generasi
penerus bangsa. Berbagai institusi kemasyarakatan ditingkatkan wawasan, sikap,
kemampuan, dan komitmennya sehingga dapat berperan serta secara aktif dan
bertanggung jawab dalam pendidikan. Institusi pendidikan tradisionil seperti
pesantren, keluarga, lembaga adat, berbagai wadah organisasi pemuda bahkan
partai politik bukan hanya diberdayakan sehingga dapat mengembangkan fungsi
pendidikan dengan lebih baik, melainkan juga diupayakan untuk menjadi bagian
19
yang terpadu dari pendidikan nasional. Demikian juga, ada upaya peningkatan
partisipasi dunia usaha/industri dan sektor swasta dalam pendidikan karena
sebagai pengguna sudah semestinya dunia usaha juga ikut bertanggung jawab
dalam penyelenggaraan pendidikan. Apabila lebih banyak institusi
kemasyarakatan peduli terhadap pendidikan maka pendidikan akan lebih mampu
menjangkau berbagai kelompok sasaran khusus seperti kelompok wanita dan
anak-anak kurang beruntung (miskin, berkelainan, tinggal di daerah terpencil dan
sebagainya). Dalam upaya pemberdayaan masyarakat, perlu dilakukan
pembenahan sebagai kebijakan dasar, yaitu pengembangan kesadaran tunggal
dalam kemajemukan, pengembangan kebijakan sosial, pengayaan berkelanjutan
(continuous enrichment) dan pengembangan kebijakan afirmatif (affirmative
policy) (Fasli Jalal, 2001:72-73).
E. Dari ”birokrasi berlebihan” ke ”debirokratisasi”.
Sebelum otonomi, berbagai kegiatan pengembangan dan pembinaan diatur
dan dikontrol oleh pejabat-pejabat (birokrat-birokrat) melalui prosedur dan aturan-
aturan (regulasi) yang ketat, bahkan sebagiannya sangat ketat dan kaku oleh
Kandepdikbud/Kanwildikbud. Hal ini mempengaruhi pengelolaan sebagian
sekolah-sekolah, dalam iklim ”birokrasi berlebihan”. Dalam kondisi yang
demikian, tidak jarang ditemukan adanya ”kasus birokrasi yang berlebihan” dari
sebagian pejabat birokrat yang menggunakan ”kekuasaan berlebihan” dalam
pembinaan guru, siswa, dan pihak-pihak lainnya. Keadaan ini telah mematikan
prakarsa, daya cipta, dan karya inovatif di sekolah-sekolah. Dalam era reformasi,
terjadi proses ”debirokratisasi” dengan jalan memperpendek jalur birokrasi dalam
penyelesaian masalah-masalah pendidikan secara profesional, bukan atas dasar
”kekuasaan” atau peraturan belaka. Hal ini sesuai dengan prinsip profesionalisme
dalam pendidikan, dan juga pelimpahan wewenang dan tanggung jawab dalam
desentralisasi. Di samping itu juga dilakukan ”deregulasi”, dalam arti
”pengurangan” aturan-aturan kebijakan pendidikan yang tidak sesuai dengan
kondisi, potensi, dan prospek sekolah, dan kepentingan masyarakat (stakeholders)
untuk berpartisipasi terhadap sekolah, dalam bentuk gagasan penyempurnaan
kurikulum, peningkatan mutu guru, dana dan prasarana/sarana untuk sekolah.
20
F. Dari ”manajemen tertutup” (close management) ke ”management
terbuka” (open management).
Sebelum otonomi, diterapkan bentuk-bentuk ”manajemen tertutup”, sehingga
tidak transparan, tidak ada akuntabilitas kepada publik dalam pengelolaan
pendidikan. Dalam era reformasi, manajemen pendidikan menerapkan
”manajemen terbuka” dari pembuatan kebijakan, pelaksanaan kebijakan sampai
pada evaluasi, bahkan perbaikan kebijakan. Seluruh sumber daya yang digunakan
dalam pendidikan dipertanggungjawabkan secara terbuka kepada seluruh
kelompok masyarakat (stakeholders), dan selanjutnya terbuka untuk menerima
kritikan perbaikan bila ditemukan hal-hal yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
G. Dari pengembangan pendidikan ”terbesar menjadi tanggung jawab
pemerintah” berubah ke ”sebagian besar menjadi tanggung jawab orang
tua siswa dan masyarakat (stakeholders)
Sebelum otonomi, pengembangan pendidikan, termasuk pembiayaan, terbesar
menjadi tanggung jawab pemerintah, dibandingkan dengan menjadi tanggung
jawab orang tua siswa dan masyarakat (stakeholders). Dalam era reformasi,
pengembangan pendidikan, termasuk pembiayaan pendidikan, berupa gaji
honorarium/tunjangan mengajar, penataran/pelatihan, rehabilitasi gedung dan
lain-lain, diupayakan supaya sebagian besar akan menjadi tanggung jawab orang
tua siswa dan masyarakat (stakeholders). Kemajuan pendidikan tingkat
Kabupaten/Kota akan banyak bergantung pada partisipasi orang tua siswa dan
masyarakat serta pemerintah Kabupaten/Kota masing-masing, di samping proyek-
proyek khusus, dan juga kemudahan dan pengendalian mutu dan hal-hal
kepentingan nasional lainnya dari DEPDIKNAS, dan dari Dinas Propinsi.
2.2.2 Paradigma Baru Perencanaan Pendidikan diera Otonomi
Dengan terjadinya perubahan paradigma baru pendidikan, maka sistem
perencanaan pendidikan dalam iklim pemerintahan yang sentralistik, sudah tidak
sesuai lagi dengan kebutuhan perencanaan pendidikan pada era otonomi daerah,
sehingga diperlukan paradigma baru perencanaan pendidikan. Menurut Mulyani
A. Nurhadi (2001:2), perubahan paradigma dalam sistem perencanaan pendidikan
21
di daerah setidak-tidaknya akan menyentuh lima aspek, yaitu sifat, pendekatan,
kewenangan pengambilan keputusan, produk serta pola perencanaan anggaran.
Dari segi sifat perencanaan pendidikan, maka perencanaan pendidikan pada
tingkat daerah sebagai kegiatan awal dari proses pengelolaan pendidikan termasuk
kegiatan yang wajib dilaksanakan oleh daerah. Sementara itu, Pemerintah Pusat
berkewajiban merumuskan kebijakan tentang perencanaan nasional, yang dalam
pelaksanaannya telah dituangkan dalam bentuk Undang-Undang RI No.25 tahun
2000 tentang Program Pembangunan Nasional. Pada tingkat Departemen,
Propenas ini dijabarkan lebih lanjut ke dalam dokumen Rencana Strategis
(Renstra) yang memuat strategi umum untuk mencapai tujuan program
pembangunan di bidang masing-masing dan dituangkan dalam Keputusan
Menteri. Berdasarkan Renstra itu, Pemerintah Pusat menyusun Program
pembangunan tahunan yang disingkat Propeta yang dituangkan dalam Keputusan
Menteri, sesuai dengan lingkup tugas dan kewenangan masing-masing. Selain itu,
pada era otonomi daerah diharapkan akan lebih tumbuh kreativitas dan prakarsa,
serta mendorong peran serta masyarakat sesuai dengan potensi dan kemampuan
masing-masing daerah. Ini berarti bahwa dalam membangun pendidikan di daerah
Kabupaten/Kota perlu dilandasi dengan perencanaan pendidikan tingkat daerah
yang baik dan distinktif, tidak hanya bertumpu kepada perencanaan nasional yang
makro, tetapi juga dapat mempertimbangkan keunikan, kemampuan, dan budaya
daerah masing-masing sehingga mampu menumbuhkan prakarsa dan kreativitas
daerah. Perencanaan program pendidikan di daerah bukan lagi merupakan bagian
atau fotokopi dari perencanaan program tingkat nasional maupun propinsi, tetapi
merupakan perencanaan pendidikan yang unik dan mandiri sehingga beragam,
walaupun disusun atas dasar rambu-rambu kebijakan perencanaan nasional. Dari
segi pendekatan perencanaan pendidikan, era otonomi telah merubah paradigma
dalam pendekatan perencanaan pendidikan di daerah dari pendekatan diskrit
sektoral menjadi integrated dengan sektor lainnya di daerah. Sebelum otonomi,
sistem alokasi anggaran pendidikan di daerah diperoleh dari APBN pusat secara
sektoral pada sektor pendidikan, Pemuda dan Olahraga, serta Kepercayaan
Kepada Tuhan Yang Maha Esa, namun setelah otonomi diperoleh dari APBD
yang berasal dari berbagai sumber sebagai bagian dari dana Daerah untuk seluruh
22
sektor yang menjadi tanggung jawab daerah. Sumber-sumber itu meliputi dana
bagi hasil, dana alokasi umum, dana dekonsentrasi, dana perbantuan, pendapatan
asli daerah, dan bantuan masyarakat. Dengan demikian, telah terjadi perubahan
sumber anggaran yang semula bersifat tunggal-hierarkhi-sektoral sekarang
menjadi jamak-fungsional-regional, tetapi dalam persaingan antar sektor. Dari
segi kewenangan pengambilan keputusan, sistem perencanaan pendidikan yang
sentralistik telah menutup kewenangan Daerah dalam pengambilan keputusan di
bidang pendidikan baik pada tataran kebijakan, skala prioritas, jenis program,
jenis kegiatan, bahkan dalam hal rincian alokasi anggaran. Namun, dalam era
otonomi Daerah dapat dan harus menetapkan kebijakan, program, skala prioritas,
jenis kegiatan sampai dengan alokasi anggarannya sesuai dengan kemampuan
Daerah, sepanjang tidak bertentangan dengan kebijakan nasional yang antara lain
dalam bentuk Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang ditetapkan. Sementara dari
segi produk perencanaan pendidikan, pada era desentralisasi produk perencanaan
pendidikan diharapkan merupakan bagian tak terpisahkan dari perencanaan
pembangunan Daerah secara lintas sektoral. Oleh karena itu, produk Dalam UU
tersebut, yang dimaksud dengan Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah adalah
satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-
rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka pendek, dan tahunan yang
dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat Pusat
dan Daerah. Dalam penjelasan UU tersebut, perencanaan partisipatif disebut
hanya sebagai salah satu dari lima pendekatan dalam Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional. Keempat pendekatan lainnya adalah pendekatan politik,
teknokratik, atas-bawah (top-down) dan bawah-atas (bottom–up). Perencanaan
dengan pendekatan partisipatif dilaksanakan dengan melibatkan semua pihak yang
berkepentingan (stakeholders) terhadap pembangunan. Pelibatan mereka adalah
untuk mendapatkan aspirasi dan menciptakan rasa memiliki perencanaan
pendidikan yang dihasilkan harus mencakup seluruh komponen perencanaan
pendidikan yang meliputi: kebijakan, rencana strategis, skala prioritas, program,
sasaran dan kegiatan, serta alokasi anggarannya dalam konteks perencanaan
pembangunan Daerah secara terpadu. Semua komponen itu perlu dikembangkan
secara spesifik sesuai dengan kemampuan dan kharakteristik Daerah, sejauh tidak
23
bertentangan dengan kebijakan umum, prioritas nasional, dan program-program
strategis yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
2.3 Perencanaan Pendidikan
2.3.1 Konsep Perencanaan Pendidikan
Adapun defenisi Perencanaan Pendidikan menurut para ahli atau para pakar
manajemen adalah antara lain :
a. Menurut, Prof. Dr. Yusuf Enoch Perencanaan Pendidikan, merupakan suatu
proses yang yang mempersiapkan seperangkat alternative keputusan bagi
kegiatan masa depan yang diarahkan kepadanpencapaian tujuan dengan usaha
yang optimal dan mempertimbangkan kenyataan-kenyataan yang ada di
bidang ekonomi, sosial budaya serta menyeluruh suatu Negara.
b. Beeby, C.E. Perencanaan Pendidikan merupakan suatu usaha melihat ke masa
depan ke masa depan dalam hal menentukan kebijaksanaan prioritas, dan
biaya pendidikan yang mempertimbangkan kenyataan kegiatan yang ada
dalam bidang ekonomi, social, dan politik untuk mengembangkan potensi
system pendidikan nasioanal memenuhi kebutuhan bangsa dan anak didik
yang dilayani oleh system tersebut.
c. Menurut Guruge (1972), Perencanaan Pendidikan merupakan proses
mempersiapkan kegiatan di masa depan dalam bidang pembangunan
pendidikan.
d. Menurut Albert Waterson (Don Adam 1975) Perencanaan Pendidikan adalah
investasi pendidikan yang dapat dijalankan oleh kegiatan-kegiatan
pembangunan lain yang di dasarkan atas pertimbangan ekonomi dan biaya
serta keuntungan sosial.
e. Menurut Coombs (1982), Perencanaan pendidikan suatu penerapan yang
rasional dianalisis sistematis proses perkembangan pendidikan dengan tujuan
agar pendidikan itu lebih efektif dan efisien dan efisien serta sesuai dengan
kebutuhan dan tujuan para peserta didik dan masyarakat.
f. Menurut Y. Dror (1975), Perencanaan Pendidikan merupakan suatu proses
mempersiapkan seperangkat keputusan untuk kegiatan-kegiatan di masa
depan yang di arahkan untuk mencapai tujuan-tujuan dengan cara-cara
24
optimal untuk pembangunan ekonomi dan social secara menyeluruh dari suatu
Negara.
Jadi, definisi perencanaan pendidikan apabila disimpulkan dari beberapa
pendapat tersebut, adalah suatu proses intelektual yang berkesinambungan dalam
menganalisis, merumuskan, dan menimbang serta memutuskan dengan keputusan
yang diambil harus mempunyai konsistensi (taat asas) internal yang berhubungan
secara sistematis dengan keputusan-keputusan lain, baik dalam bidang-bidang itu
sendiri maupun dalam bidang-bidang lain dalam pembangunan, dan tidak ada
batas waktu untuk satu jenis kegiatan, serta tidak harus selalu satu kegiatan
mendahului dan didahului oleh kegiatan lain.
Secara konsepsional, bahwa perencanaan pendidikan itu sangat ditentukan
oleh cara, sifat, dan proses pengambilan keputusan, sehingga nampaknya dalam
hal ini terdapat banyak komponen yang ikut memproses di dalamnya. Adapun
komponen-komponen yang ikut serta dalam proses ini adalah :
1. Tujuan pembangunan nasional bangsa yang akan mengambil keputusan dalam
rangka kebijaksanaan nasional dalam rangka kebijaksanaan nasional dalam
bidang pendidikan.
2. Masalah strategi adalah termasuk penanganan kebijakan (policy) secara
operasional yang akan mewarnai proses pelaksanaan dari perencanaan
pendidikan.
Maka ketepatan pelaksanaan dari perencanaan pendidikan. Dalam penentuan
kebijakan sampai kepada palaksanaan perencanaan pendidikan ada beberapa hal
yang harus diperhatikan, yaitu : siapa yang memegang kekuasaan, siapa yang
menentukan keputusan, dan faktor-faktor apa saja yang perlu diperhatikan dalam
pengambilan keputusan. Terutama dalam hal pemegang kekuasaan sebagai
sumber lahirnya keputusan, perlu memperoleh perhatian, misalnya mengenai
system kenegaraan yang merupakan bentuk dan system manajemennya,
bagaimana dan siapa atau kepada siapa dibebankan tugas-tugas yang terkandung
dalam kebijakan itu. Juga masalah bobot untuk jaminan dapat terlaksananya
perencanaan pendidikan. Hal ini dapat diketahui melalui output atau hasil system
25
dari pelaksanaan perencanaan pendidikan itu sendiri, yaitu dokumen rencana
pendidikan.
Dari beberapa rumusan tentang perencanaan pendidikan tadi dapat dimaklumi
bahwa masalah yang menonjol adalah suatu proses untuk menyiapkan suatu
konsep keputusan yang akan dilaksanakan di masa depan. Dengan demikian,
perencanaan pendidikan dalam pelaksanaan tidak dapat diukur dan dinilai secara
cepat, tapi memerlukan waktu yang cukup lama, khususnya dalam kegiatan atau
bidang pendidikan yang bersifat kualitatif, apalagi dari sudut kepentingan
nasional.
A. Tujuan Perencanaan
Pada dasarnya tujuan perencanaan adalah sebagai pedoman untuk mencapai
sasaran yang telah ditetapkan. Sebagai suatu alat ukur di dalam membandingkan
antara hasil yang dicapai dengan harapan. Dilihat dari pengambilan keputusan
tujuan perencanaan adalah :
1. Penyajian rancangan keputusan-keputusan atasan untuk disetujui pejabat
tingkat nasional yang berwenang.
2. Menyediakan pola kegiatan-kegiatan secara matang bagi berbagai
bidang/satuan kerja yang bertanggung jawab untuk melakukan kebijaksanaan.
B. Fungsi Perencanaan
Fungsi perencanaan adalah sebagai pedoman pelaksanaan dan pengendalian,
sebagai alat bagi pengembangan quality assurance, menghindari pemborosan
sumber daya, menghindari pemborosan sumber daya, dan sebagai upaya untuk
memenuhi accountability kelembagaan. Jadi yang terpenting di dalam menyusun
suatu rencana, adalah berhubungan dengan masa depan, seperangkat kegiatan,
proses yang sistematis, dan hasil serta tujuan tertentu.
C. Proses Perencanaan
Perencanaan merupakan siklus tertentu dan dan melalui siklus tersebut suatu
perencanaan bias dievaluasi sejak awal persiapan sampai pelaksanaan dan
penyelesaian perencanaan. Dan secara umum, ada beberapa langkah penting yang
perlu diperhatikan di dalam perencanaan yang baik, yaitu :
26
1. Perencanaan yang efektif dimulai dengan tujuan secara lengkap dan jelas.
2. Adanya rumusan kebijaksanaan, yaitu memperhatikan dan menyesuaikan
tindakan-tindakan yang akan dilakukan dengan factor-faktor lingkungan
apabila tujuan itu tercapai.
3. Analisis dan penetapan cara dan sarana untuk mencapai tujuan dalam
kerangka kebijaksanaan yang telah dirumuskan.
4. Penunjukan orang - orang yang akan menerima tanggung jawab pelaksanaan
(pimpinan) termasuk juga orang yang akan mengadakan pengawasan.
5. Penentuan system pengendalian yang memungkinkan pengukuran dan
pembandingan apa yang harus dicapai, dengan apa ya ng telah tercapai,
berdasarkan criteria yang telah ditetapkan.
2.3.2 Isu-Isu Perencanaan Pendidikan
A. Perencanaan Pendidikan itu baik yang buruk adalah implementasinya.
Sebelum kita bahas masalah tersebut, ada baiknya kita pahami terlebih dahulu
pengertian atau definisi dari perencanaan tersebut, ada beberapa pengertian atau
definisi dari perencanaan yaitu : Seperangkat tindakan untuk memecahkan
berbagai permasalahan, khususnya masalah sosial dan ekonomi pada satu periode
rencana, yang berorientasi pada horison waktu ‘yang akan datang’, pada jenis dan
tingkatan perencanaan tertentu, di masa yang akan datang (Alden, 1974: 1-2),
Cara berpikir tentang masalah-masalah sosial dan ekonomi, yang berorientasi
pada waktu yang akan datang, terkonsentrasi pada suatu tujuan dan keputusan
bersama, serta berusaha untuk mewujudkan program dan keputusan bersama
(Friedmann,1964) • Sebuah proses untuk menentukan tindakan-tindakan bagi
masa depan yang diinginkan melalui serangkaian pilihan-pilihan yang logis
(Davidoff,1962 in Faludi, 1983: 11) Sebuah proses untuk mengarahkan aktivitas
manusia dan kekuatan alam dengan mengacu pada kondisi masa depan yang
diinginkan (Branch, 1998: 2) Suatu lingkaran proses yang berulang dari
serangkaian tahapan-tahapan yang logis (Meise and Volwahsen, 1980: 3-5) Dari
sekian banyak definisi atau pengertian tentang perencanaan, dapat disarikan
sebagai berikut : Perancanaan adalah seperangkat prosedur untuk memecahkan
permasalahan fisik, sosial, dan ekonomi, yang harus meliputi prinsip-prinsip
27
sebagai berikut:– Seperangkat tindakan – Upaya untuk memecahkan masalah –
Memiliki dimensi waktu dan berorientasi ke masa yang akan datang – Suatu
proses berputar dengan adanya umpan balik – Melibatkan beberapa alternatif
untuk mencari pemecahan.
Dari definisi atau pengertian tentang perencanaan tersebut, maka dapat kita
simpulkan bahwa perencanaan tersebut disusun agar dapat menuju kearah yang
lebih baik, walaupun demikian tidak semua perencanaan tersebut berjalan sesuai
rencana, terkadang sesuatu yang telah kita perhitungkan dengan matang, tapi pada
kenyataanya kadang kala terdapat masalah yang diluar perkiraan kita, oleh karena
itulah perencanaan tersebut akan terus dievaluasi dalam kurun waktu tertentu agar
tujuan yang ingin dicapai dapat terwujud dan terlaksana dengan baik.
Berkaitan dengan isu-isu atau pendapat tentang perencanaan pendidikan yang
dikatakan baik, tapi buruk dalam implementasinya, mungkin ada benarnya
pendapat tersebut jika dilihat dari hasil yang terjadi yang berkaitan dengan
perencanaan pendidikan tersebut, salah satu diantara perencanaan pendidikan
yang implementasinya tidak sesuai dengan perencanaan adalah Program Wajib
Belajar 9 tahun misalnya, dimana pada Program Wajib Belajar 9 tahun ini,
pemerintah pusat dalam hal ini Departeman Pendidikan Nasional, untuk
menuntaskan progam wajar 9 tahun ini, pemerintah pusat memberikan bantuan
pendidikan kepada siswa yang dikenal dengan BOS (Bantuan Operasional
Sekolah), harapan dari Pemerintah Pusat dengan adannya program ini, maka
seluruh anak bangsa yang ada diseluruh pelosok negeri ini dapat
menikmati/mengenyam pendidikan minimal pendidikan dasar 9 tahun, tapi
kenyataannya program BOS tersebut, belum menunjukkan hasil yang sangat
signifikan, karena masih banyak siswa-siswa usia sekolah yang belum dapat
menikmati pendidikan sampai 9 tahun tersebut, hal ini mungkin disebabkan oleh
belum mencukupinya biaya BOS yang digunakan buat siswa dalam melaksanakan
pendidikannya, sehingga siswa masih dibebani biaya lagi untuk menutupi
kekurangan dari dana BOS tersebut, akibatnya banyak siswa-siswa yang putus
sekolah karena tidak sanggup menanggung biaya tambahan tersebut. Mungkin
pemerintah harus memikirkan kembali besaran dana BOS tersebut, hingga dana
28
tersebut benar-benar dapat digunakan untuk mencukupi siswa dalam
melaksanakan pendidikan dasar 9 tahun itu.
B. Mutu Pendidikan rendah karena kebijakan yang berganti-ganti.
Kebijakan yang sering berganti-ganti bukanlah satu-satunya penyebab
rendahnya mutu pendidikan saat ini, ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi
rendahnya mutu pendidikan, diantara faktor-faktor tersebut misalnya adalah
rendahnya kualitas/profesionalisme guru selaku tenaga pendidik, kurangnya
sarana prasarana pendidikan, kurangnya perhatian orang tua/partisipasi
masyarakat juga dapat menyebabkan rendahnya mutu pendidikan.
Rendahnya kualitas/profesionalisme guru dapat disebabkan karena banyak
sekali guru yang tidak fokus kepada profesinya dikarenakan rendahnya income
yang diperoleh guru tersebut, hingga mereka mengajar hanya untuk memenuhi
kewajiban saja, mereka tidak mempunyai beban moral atau tanggung jawab untuk
mencerdaskan anak didik mereka, karena yang terpenting bagi mereka adalah
bagaimana mereka dapat mencari penghasilan tambahan untuk mencukupi
kebutuhan hidup sehari-hari.
Kurangnya sarana prasarana juga menjadi salah satu faktor yang
menyebabkan rendahnya mutu pendidikan, hal ini disebabkan terbatasnya
anggaran pendidikan, hingga saat ini pemerintah belum sanggup untuk
merealisasikan anggaran pendidikan sebesar minimal 20% dari APBN
sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang, hingga banyak sekali program-
program yang tidak dapat direalisasikan karena terbatasnya anggaran pendidikan
tersebut.Mungkin salah satu penyebab dari kebijakan pemerintah yang sering
berganti-ganti, hingga menyebabkan rendahnya mutu pendidikan adalah adannya
kebijakan dalam hal kurikulum yang selalu berubah-ubah hingga menyebabkan
ketidakpastian/kebingunan dalam melaksanakan kurikulum tersebut, seringkali
guru menjadi bingung dengan adanya kurikulum yang berubah-ubah tersebut,
karena dengan pergantian kurikulum tersebut, secara otomatis guru tersebut harus
menyesuaikan kembali dengan kurikulum yang baru itu, proses penyesuaian ini
memerlukan waktu yang cukup lama, karena guru-guru tersebut harus memahami
isi dari kurikulum tersebut, agar dapat di implementasikan dalam kegiatan belajar
29
mengajar. Karena itulah perubahan kebijakan yang dilakukan ditengah jalan
sebaiknya seminimal mungkin kalau bisa dihindarkan, hingga tidak menjadikan
salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan.
C. Visi Diknas : Insan Cerdas dan Kompetitif
Sesuai dengan Renstra Departemen Pendidikan Nasional tahun 2005-2009,
bahwa Depdiknas memiliki Visi yaitu : Terwujudnya Sistem Pendidikan Nasional
sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua
warga negara Indonesia, berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga
mampu dan proaktif menjawab tantangan jaman yang selalu berubah-ubah.
Dalam pembangunan jangka panjang tahun 2025 telah dicanangkan visi yang
lebih spesifik yaitu : Insan Indonesia yang Cerdas dan Kompetitif. Yang dimaksud
dengan Insan Indonesia Cerdas adalah insan yang cerdas secara komprehensif
yang meliputi :
a. Cerdas Spiritual, yang dapat diaktualisasikan melalui hati untuk
menumbuhkan dan memperkuat keimanan, ketaqwaan, akhlak mulia termasuk
didalamnya budi pekerti yang luhur.
b. Cerdas Emosional, yang dapat diaktualisasikan melalui rasa untuk
meningkatkan sensitivitas dan apresiatif akan keindahan seni.
c. Cerdas Sosial, dapat diaktualisasikan melalui interaksi sosial untuk membina
dan memupuk hubungan timbal balik, simpatik, demokratis dan lain-lain.
d. Cerdas Intelektual, dapat diaktualisasikan melalui olah pikir supaya menjadi
insan kreatif, berpengetahuan dan mempunyai daya imajinatif.
e. Cerdas Kinetis, dapat diaktualisasikan melalui olahraga untuk
memuwujudkan insan yang sehat, bugar dan berdaya tahan.
Sedangkan makna Kompetitif adalah :
a. Berkepribadian unggul.
b. Bersemangat tinggi.
c. Mandiri.
d. Pantang Menyerah.
e. Membangun dan membina jejaring.
30
f. Bersahabat dengan perubahan.
g. Inovatif dan menjadi agen perubahan.
h. Produktif dan sadar mutu.
i. Berorientasi global.
j. Pembelajaran sepanjang hayat.
Pada dasarnya visi Depdiknas tersebut menekankan pada pendidikan yang
dapat mentransformasikan dari masyarakat yang sedang berkembang menuju ke
masyarakat madani, pendidikan harus terus menerus dilakukan dengan mengikuti
perkembangan dan perubahan jaman.Untuk mewujudkan visinya Departemen
Pendidikan Nasional memiliki 3 pilar pembangunan pendidikan yaitu :1).
Pemerataan dan perluasan akses. 2). Peningkatan mutu dan relevansi serta daya
saing keluaran pendidikan. 3). Peningkatan tata kelola, akuntabilitas dan citra
publik pengelolaan pendidikan.
Pendidikan yang berkualitas dapat diwujudkan jika ditopang oleh beberapa
faktor yaitu :1). Kurikulum yang berkelanjutan. 2). Kualitas guru yang memadai.
3). Prasarana dan sarana terbangun terjaga dan berkembang terus 4). Manajemen
pengelolaan yang baik, transparan dan akuntabel sehingga menimbulkan
pencitraan publik yang positif.
Dengan adannya visi dari Depdiknas tentang Insan Cerdas yang Kompetitif,
saya setuju dengan visi tersebut jika dapat dilaksanakan dan di implementasikan
dengan baik, karena visi itu dapat mengarahkan bangsa Indonesia kearah yang
lebih dan memiliki daya saing yang tinggi dengan bangsa lain.
31
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Pendekatan yang digunakan
Fokus penelitian ini adalah untuk mengungkap sejauh mana Implementasi
Pelaksanaan Otonomi Daerah Dalam Konteks Desentralisasi Pembangunan
Terhadap Perencanaan Pendidikan Di Kabupaten Kepulauan Sangihe.
Oleh karena itu untuk mendapatkan data yang lengkap, mendalam dan
memberi jawaban yang tepat terhadap masalah yang akan diteliti digunakan
penelitian kualitatif. Gambaran karakteristik yang dijelaskan tersebut sesuai
dengan maksud dari penelitian ini, karena yang diamati adalah Implementasi
Pelaksanaan Otonomi Daerah Dalam Konteks Desentralisasi Pembangunan
Terhadap Perencanaan Pendidikan Di Kabupaten Kepulauan Sangihe.
Hal ini apabila menggunakan pendekatan kuantitatif kurang sesuai karena
penelitian ini bersifat independent, tidak berintegrasi langsung dengan subyek
sehingga akan sangat sulit sekali diungkapkan proses kegiatan yang berlangsung.
Nasution (1992) mengemukakan bahwa “ Pada hakekatnya penelitian kualitatif
mengamati orang dalam lingkungannya, berinteraksi dengan mereka dan berusaha
memahami bahasa serta tafsiran mereka sendiri tentang dunia yang ada
disekitarnya. Dengan menggunakan metode kulitatif, dapat ditemukan data yang
tidak teramati dan terukur secara kuantitatif, seperti nilai, sikap mental, kebiasaan,
keyakinan dan budaya yang dianut oleh seseorang atau kelompok dalam
lingkungan tertentu. Demikian pula Mc. Cracken ( 1988 ) dalam Julia Brannen
( 1997 ) mengemukakan bahwa : “ Di dalam penelirtian kualitatif konsep dan
kategorilah yang dipersoalkan bukan kejadian atau frekuensinya. Dengan kata lain
penelitian kualitatif tidak meneliti suatu lahan kosong, tetapi ia menggalinya.
Dalam hal ini peneliti akan mengumpulkan data dalam situasi yang wajar,
langsung apa adanya tanpa dipengaruhi oleh unsur-unsur lain dari luar
lingkungan. Untuk itu peneliti berhubungan langsung dengan situasi dan sumber
data yang akan diselidiki. Peneliti tidak menggunakan angka-angka, tetapi
mengumpulkan data deskriptif dalam bentuk laporan dan uraian untuk mencari
makna, walaupun tidak menolak angka-angka sebagai penunjang penelitian.
32
Penelitian kualitatif menggunakan pendekatan analisis induktif dengan
mengesampingkan hipotesis awal penelitian, tetapi mencari pola , bentuk dan
tema-tema untuk dapat mengungkapkan data secara sistematis.
3.2 Tempat dan waktu penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di kantor dinas DIKPORA Kabupaten Kepulauan
Sangihe yang teletek dikelurahan Tona 2 kecamatan Tahuna Timur Kabupaten
Kepulauan Sangihe dengan alasan perencanaan pendidikan di Kabupaten
kepulauan sangihe seluruhnya terpusat dikantor yang dimaksud dengan demikian
peneliti dapat melakukan analisis kebijakan pemerintah dibidang pendidikan
dalam kaitan perencanaan pendidikan yang dilakukan kantor dinas DIKPORA
Kabupaten kepulauan Sangihe.
Penelitian ini akan dilaksanakan pada minggu kedua bulan Januari 2012
sampai bulan Juni 2012. Peneliti mengawali penelitian ini dengan observasi
langsung dilokasi penelitian kantor dinas DIKPORA Kabupaten kepulauan
Sangihe. Waktu penelitiansampai dengan penulisan laporan dilaksanakan selama
lima bulan dengan tidak mengganggu keja pegawai dikantor dinas DIKPORA
Kabupaten kepulauan Sangihe.
3.3 Data dan Sumber data
Informan atau subjek penelitian ada kepala dinas DIKPORA Kabupaten
kepulauan Sangihe, sekretaris dinas DIKPORA Kabupaten kepulauan Sangihe,
dan kepala bidang perencanaan dinas DIKPORA Kabupaten kepulauan Sangihe.
Penelitiakan berusaha mencermati para informan dengan teliti dengan cara
berupaya menemukan informasi dari informan yang paling mengetahui pokok
masalah yang akan diteliti.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Metode yang paling umum digunakan dalam penelitian kualitatif adalah
wawancara dan observasi. Kemampuan melakukan wawancara dan observasi
merupakan kemampuan dasar yang perlu dimiliki oleh peneliti kualitatif. Dasar
ketrampilan wawancara dan observasi berperan besar dalam pelaksanaan
33
metodemetode yang lebih praktis (Poerwandari, 2001, h. 64). Di dalam penelitian
ini, akan digunakan empat macam metode pengumpulan data, yaitu: wawancara,
observasi, materi audiovisual, dan dokumen. Berikut ini adalah penjelasan dari
masing-masing metode yang akan digunakan dalam penelitian ini.
1. Wawancara
Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk
mencapai tujuan tertentu. Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud
untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami
individu berkaitan dengan topik yang diteliti (Poerwandari, 2001, h. 75).
Wawancara pada dasarnya dibagi menjadi tiga, yaitu: wawancara terstruktur,
semi-terstruktur, dan tidak terstruktur. Di dalam penelitian ini, akan digunakan
wawancara dengan bentuk semi-terstruktur. Wawancara untuk penelitian ini akan
dilakukan dengan cara berhadapan langsung dengan subjek penelitian. Di dalam
proses wawancara ada pedoman wawancara yang sangat umum, dengan
mencantumkan hal-hal penting yang harus ditanyakan tanpa menentukan urutan
pertanyaan. Pedoman wawancara ini digunakan untuk mengingatkan mengenai
aspek-aspek yang harus dibahas sekaligus menjadi daftar pengecek aspek relevan
yang perlu dibahas atau ditanyakan (Patton dikutip dalam Poerwandari, 2001, h.
76). Guba dan Lincoln (dikutip dalam Moleong, 2002, h. 137) menyatakan bahwa
untuk penelitian kualitatif sebaiknya digunakan wawancara terbuka. Wawancara
terbuka maksudnya adalah subjek mengetahui bahwa mereka sedang
diwawancarai dan mengetahui pula apa maksud wawancara tersebut. Di dalam
penelitian ini akan digunakan jenis wawancara tersebut. Menurut Smith et al
(dikutip dalam Poerwandari, 2001, h. 77) di dalam menyusun pertanyaan untuk
wawancara, harus diperhatikan beberapa aspek, antara lain: pewawancara harus
bersifat netral, tidak diwarnai nilai-nilai tertentu, dan tidak mengarahkan.
Kemudian juga perlu dihindari penggunaan istilah-istilah yang canggih, resmi,
ataupun tinggi, serta perlunya menggunakan pertanyaan terbuka, bukan
pertanyaan tertutup. Pertanyaan perlu diformulasikan secara jelas, sederhana,
singkat, dan tidak mengandung beberapa pesan pertanyaan sekaligus. Di dalam
pelaksanaan wawancara, ada beberapa hal yang juga harus diperhatikan, yaitu:
menyiapkan diri menjadi penerima informasi yang baik; menghindari banyak
34
bicara; mencoba untuk melakukan probe, yaitu teknik tersamar untuk memancing
subjek berbicara, probe ini harus bersifat netral atau tidak mengarahkan jawaban
subjek, peneliti juga perlu untuk bersikap peka dalam menghadapi subjek. Di
dalam pengambilan data nantinya, perlu menjalin rapport (hubungan baik) dengan
orang yang akan diwawancarai sekaligus menjaga netralitas data.
2. Observasi
Observasi dikaitkan dengan kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat
fenomena yang muncul, dan mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam
fenomena tersebut (Poerwandari, 2001, h. 70). Observasi sering dianggap mudah
oleh para peneliti, padahal sebenarnya dibutuhkan latihan agar bisa mahir dalam
observasi. Alat perekam pun tidak sepenuhnya sempurna, karena kadang-kadang
ada proses yang tidak terekam kamera atau tape recorder. Kesulitan ini bisa
diatasi dengan menyediakan lembaran - lembaran khusus untuk dicatat di
lapangan. Memori peneliti sangat terbatas dan mudah terganggu dengan
banyaknya informasi dari luar sehingga perlu untuk dilakukan pencatatan
langsung setelah observasi. Buford Junker (dikutip dalam Moleong, 2002, h. 127)
membagi peran pengamat dalam sebuah observasi penelitian menjadi tiga. Peran
yang akan digunakan adalah peran yang ketiga, yaitu subjek mengetahui bahwa
dirinya sedang diobservasi untuk sebuah penelitian. Oleh karena itu, diharapkan
subjek tetap bisa berlaku seperti adanya dan memberikan informasi yang
diperlukan oleh pengamat sekaligus peneliti. Catatan observasi akan dilaporkan
secara faktual, deskriptif dan akurat. Hasil observasi dicatat pada catatan lapangan
dengan menuliskan pula tanggal dan waktu pencatatan.
3. Materi audiovisual
Materi audiovisual adalah salah satu metode penunjang wawancara dan
observasi yang sangat penting yang digunakan untuk menyimpan apa yang dilihat
dan didengarkan agar lebih awet dan bisa diulang kapan saja. Peralatan
audiovisual yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah recorder dan
kamera. Recorder akan digunakan untuk merekam wawancara dengan subjek
maupun dengan narasumber secara audio, sedangkan kamera akan digunakan
35
untuk mengambil beberapa foto subjek. Satu hal yang penting dalam penyiapan
alat audiovisual adalah dengan benar-benar memeriksa dan menguji coba alat
tersebut terlebih dahulu agar nantinya dalam pelaksanaan wawancara dan
observasi tidak terjadi kesalahan-kesalahan yang akan merugikan peneliti sendiri.
4. Dokumen
Metode pengumpulan data yang keempat adalah penggunaan dokumen.
Dokumen yang akan digunakan adalah dokumen publik yang sifatnya resmi,
seperti SK pengangkatan CPNS, SK pengangkatan PNS, SK kenaikan pangkat
dan golongan, dan juga ijazah tanda lulus kuliah. Penggunaan dokumen bisa
digunakan untuk bukti keberadaan subjek dan analisis data (Poerwandari, 2001, h.
69).
3.5 Analisis Data
Data penelitian kualitatif tidak berbentuk angka, melainkan narasi,
deskripsi,cerita, dokumen tertulis dan tidak tertulis, ataupun bentuk-bentuk data
nonangka lainnya. Ketika wawancara dan observasi, maka akan didapatkan data
mentah yang harus dianalisis. Analisis data ini akan tergantung pada pengetahuan
yang dimiliki oleh masing-masing peneliti. Pengetahuan kita nantinya akan
menunjuk pada empat arah, yaitu: pengetahuan teoretis, pengalaman di lapangan,
pengetahuan akan konteks, dan pengetahuan teknik analisis data (Moleong, 2002,
h. 190). Di dalam analisis data, ada urutan-urutan yang bisa dilakukan untuk
menganalisis data. Urutan-urutan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Membuat dan mengatur data yang sudah dikumpulkan
Pengolahan atau analisis data dimulai dengan mengorganisasikan atau
mengatur data. Pengaturan data yang sistematis akan menguntungkan karena akan
diperoleh kualitas data yang baik. Proses selanjutnya adalah mendokumentasikan
analisis yang dilakukan, serta menyimpan data dan analisis yang berkaitan dalam
penyelesaian penelitian. Hasil wawancara danobservasi akan ditranskripsikan dan
dalam transkrip hasil wawancara dituliskan dengan teratur. Pengaturan data inilah
yang bisa membantu dalam analisis data berikutnya.
36
2. Membaca dengan teliti data yang sudah diatur
Transkrip yang telah disusun dibaca dan diperiksa kembali. Proses ini
umumnya disebut koding. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasi dan
mensistemasikan data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat
memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari. Oleh karena itu, akan
didapatkan insight tentang tema-tema penting dalam pernyataan subjek. Semua
peneliti kualitatif menganggap bahwa koding ini sebagai tahap yang penting,
karena dengan demikian bisa didapatkan makna dari data yang dikumpulkannya.
3. Deskripsi pengalaman peneliti di lapangan
Pada bagian awal analisis, akan dideskripsikan pengalaman peneliti di
lapangan. Deskripsi pengalaman ini dimaksudkan untuk menggambarkan situasi
penelitian dan konteks yang dapat membantu dalam memahami pernyataan-
pernyataan subjek.
4. Horisonalisasi
Langkah yang berikutnya dilakukan adalah dengan memeriksa kembali
transkrip wawancara yang telah dibuat. Pemeriksaan ini dilakukan untuk
mengidentifikasikan ucapan-ucapan yang relevan dan tidak relevan bagi
penelitian ini. Salah satu cara yang nantinya akan digunakan adalah dengan
menebalkan ucapan-ucapan subjek yang sesuai dengan penelitian ini. Hasil
identifikasi ini nantinya akan ditulis terpisah dalam kolom yang lain.
5. Unit-unit makna
Unit-unit makna akan terus ditentukan dengan terus melakukan dan merevisi
hasil koding. Berdasarkan keseluruhan transkrip, diharapkan bisa ditemukan
beberapa unit makna.
6. Deskripsi tekstural
Unit-unit makna yang telah ditemukan, nantinya akan dideskripsikan.
Deskripsi pertama yang akan dilakukan adalah deskripsi tekstural, yaitu deskripsi
37
yang didasarkan pada ucapan subjek yang asli/orisinil/harfiah/verbatim. Ucapan-
ucapan subjek ini bisa didapatkan dari horisonalisasi.
7. Deskripsi struktural
Deskripsi struktural adalah deskripsi kedua yang harus dilakukan dalam
melakukan analisis data penelitian kualitatif. Deskripsi struktural nantinya akan
berisi interpretasi atau penafsiran peneliti terhadap ucapan/perkataan subjek yang
verbatim. Oleh karena itu, deskripsi struktural ini bisa juga ditulis sesudah ucapan
verbatim subjek.
8. Makna/esensi
Pada bagian ini, yang akan dilakukan adalah mencari inti atau makna atau
esensi dari pengalaman subjek. Pemberian makna atau inti ini didapatkan
darikeseluruhan unit-unit makna, deskripsi tekstural, dan deskripsi struktural.
Dengan demikian, diri pengalaman subjek dapat dipahami sebenar-benarnya.
3.6 Verifikasi Data
Verifikasi mempunyai makna yang hampir sama dengan konsep validitas dan
reliabilitas dalam penelitian kuantitatif. Verifikasi merupakan upaya untuk
menunjukkan bahwa penelitian ini sudah berjalan dengan benar. Verifikasi
disebut juga trustworthiness (kelayakan data) atau keabsahan data. Lincoln dan
Guba (Moleong, 2002, h. 173) mengemukakan empat macam standar verifikasi,
yaitu: kredibilitas, transferabilitas, dependabilitas, dan konfirmbilitas. Dalam tiap
standar itu, ada beberapa teknik yang digunakan untuk menunjangnya. Berikut ini
adalah teknik yang akan digunakan peneliti dalam verifikasi data.
1. Kredibilitas
Kredibilitas disebut juga sebagai taraf kepercayaan. Kredibilitas ini digunakan
untuk melihat apakah penelitian yang dilakukan sudah berjalan dengan benar atau
belum. Ada beberapa hal akan dilakukan untuk menunjang kredibilitas, yaitu:
38
a. Keterlibatan dan pengalaman berkesinambungan
Pada bagian ini, ada beberapa kegiatan yang perlu dilakukan untuk memenuhi
kredibilitas. Kegiatan tersebut antara lain:
1) Survai dan terlibat langsung di lapangan untuk membangun rapport dengan
subjek penelitiannya.
2) Mempelajari lingkungan sosial dan budaya di lingkungan subjek.
3) Merasa yakin pada diri sendiri bahwa penelitian yang akan dilakukan benar-
benar bisa dilanjutkan.
b. Triangulasi
Triangulasi berarti bahwa peneliti berusaha mencari sumber dari berbagai
sudut pandang. Hal ini diperlukan untuk melakukan pengecekan mengenai
kebenaran penelitian yang dilakukan. Berbagai macam sudut pandang ini akan
diperoleh dari: buku-buku, para tokoh/pakar yang berkompeten, peneliti-peneliti
lain, dan keluarga subjek.
c. Peer debriefing atau p eer review
Peer sering diartikan sebagai teman sejawat atau teman sebaya, maka peer
debriefing atau peer review dapat diartikan sebagai pengecekan hasil penelitian
oleh teman sebaya. Teman sebaya yang diharapkan adalah teman yang bisa
memeriksa persepsi, insight, dan analisis yang dibuat oleh peneliti. Oleh karena
itu, akan dibutuhkan teman yang mempunyai pandangan atau pemahaman umum
akan penelitian ini.
d. Cek anggota ( m ember check )
Cek anggota dilakukan dengan cara peneliti kembali datang menemui
responden atau subjek penelitiannya untuk memeriksa kebenaran data dan
interpretasi yang dilakukan oleh peneliti. Cara ini diperlukan agar tidak terjadi
kekeliruan peneliti dalam mengartikan dunia pengalaman subjek. Kekeliruan
penafsiran ini terjadi karena ketidaksesuaian peneliti dalam mengartikan dunia
pengalaman subjek dengan kejadian atau apa yang benar-benar dialami oleh
subjek.
39
2. Transferabilitas
Transferabilitas disebut juga daya transfer atau kemampuan hasil penelitian
untuk ditransfer pada situasi lain. Manfaat dari transferabilitas ini adalah peneliti
dapat membantu pembaca untuk melihat kemungkinannya menerapkannya dalam
situasi lain yang mirip. Oleh karena itu, tranferabilitas sering disebut
generalisabilitas, yaitu kemampuan hasil penelitian untuk digeneralisasikan pada
subjek lain yang mirip. Ada beberapa cara yang akan dilakukan peneliti untuk
menunjang transferabilitas, yaitu:
a. Deskripsi yang tebal
Penelitian kualitatif membutuhkan deskripsi yang mendetail, oleh karena itu
laporannya biasanya lebih tebal. Deskripsi yang mendetail ini akan memberi lebih
banyak kesempatan pada hasil penelitian kita untuk ditransfer pada situasi lain
yang mirip.
b. Sampling purposif dengan karakteristik subjek yang jelas
Jika karakteristik subjek dibuat dengan jelas, maka hasil penelitian kita akan
semakin mungkin ditransfer atau digeneralisasikan pada subjek lain yang
mempunyai karakteristik yang hampir sama.
3. Dependabilitas
Dependabilitas adalah daya konsistensi dari hasil penelitian kita. Standar ini
penting karena digunakan untuk menyakinkan pembaca bahwa penelitian kita
konsisten. Dependabilitas diartikan bahwa penelitian kita dapat diulang pada
subjek yang sama/mirip dalam konteks yang sama/mirip dan dengan hasil yang
sama/mirip pula. Ada satu hal yang penting untuk dilakukan untuk menunjang
dependabilitas, yaitu audit eksternal. Audit eksternal dilakukan dengan cara
menemui konsultan atau auditor, yang memahami metode penelitian kualitatif,
untuk memeriksa proses dan hasil penelitian kita agar penelitian ini tidak
dianggap subjektif. Audit eksternal yang akan dilakukan adalah dengan dosen
pembimbing.
40
4. Konfirmabilitas
Konfirmabilitas disebut juga daya kenetralan. Konsep konfirmabilitas
diusulkan untuk mengganti konsep tradisional tentang objektivitas (Poerwandari,
2002, h. 174). Secara sederhana, konfirmabilitas dapat diartikan sebagai
kemampuan hasil penelitian untuk disetujui atau dinyatakan tidak bias. Ada
beberapa penunjang konfirmabilitas agar penelitian ini dikatakan tidak bias, yaitu:
a. Data mentah hasil wawancara yang meliputi hasil rekaman dan catatan –
catatan di lapangan. Data mentah ini digunakan sebagai bukti yang akan
ditunjukkan pada dosen pembimbing.
b. Proses analisis yang benar dari horisonalisasi sampai makna/esensi.
c. Pembahasan yang benar dalam Bab 5, untuk menghadapkan hasil analisis
penelitian ini pada teori atau penelitian lain. Hasil analisis dari penelitian ini,
bisa menguatkan atau bahkan melemahkan hasil penelitian lain.
d. Pemeriksaan materi audiovisual yang berkaitan dengan proses wawancara dan
observasi.
e. Pemeriksaan asumsi pribadi, yaitu dosen pembimbing melihat apakah peneliti
telah berhasil melakukan bracketing atau belum. Ada satu cara yang bisa
digunakan untuk memeriksa asumsi pribadi itu, yaitu dengan analisis kasus
negatif. Analisis kasus negatif dilakukan dengan mencari - cari kelemahan
dari hasil pekerjaan peneliti sendiri.
41
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahmansyah. (2001). Desentralisasi: Harapan dan tantangan bagi dunia pendidikan.
Achmad Budiyono, M. Irfan, &Yuli Andi. (1998). Evaluasi pelaksanaan kebijakan uji coba otonomi daerah. Jurnal Penelitian Ilmu -Ilmu Sosial, PPS Universitas Brawijaya,2, 209-218.
Alisjahbana, A.S. (2000). Otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan. Jurnal Analisis Sosial, AKATIGA,1,29-38.
Arbi Sanit. Et al. (2000). Penelitian paradigma baru hubungan pusat daerah di Indonesia: Format otonomi daerah masa depan.Jakarta: Laporan penelitian.
Azyumardi Azra. 2002. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Depdiknas. (2001). Desentralisasi Pendidikan. Jakarta: Komisi Nasional Pendidikan.
________. 2002. Memiliki Wawasan Tentang Model-Model Perencanaan Tingkat Kabupaten/Kota. (Materi Pelatihan Terpadu Untuk Kepala Dinas Kabupaten/Kota).
________. 2002. Menyerasikan Perencanaan Pendidikan Tingkat Mikro dan Makro.
________. 2002. Mengembangkan Kebijakan Pendidikan Tingkat Kabupaten/Kota.
Dodi Nandika. 2007. Pendidikan di tengah gelombang perubahan. Jakarta: LP3ES.
Djaenuri. 2003. Hubungan Pusat dan Daerah, Pusat Penerbitan Universitas Terbuka : Jakarta.
Engkoswara, H., & Komariah, A. 2010. Administrasi Pendidikan. Alfabeta : Bandung.
Fattah, Nanang (2000), Manajemen Berbasis Sekolah : Strategi Pemberdayaan Sekolah dalam Rangka Peningkatan Mutu dan Kemandirian Sekolah. Bandung : CV Andira
_____________ 2004. Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Dewan Sekolah. Bandung: Pustaka Bani Quraisy.
42
_____________ (2000) Manajemen Berbasis Sekolah : Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan. Bandung : Rosda Karya
____________. (2004) Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Dewan Sekolah. Bandung : Pustaka Bani Quraisy
____________. (2006) Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung : Rosda Karya
George R. Terry & Leslie W. Rue (1999), Dasar-Dasar Manajemen, Alih Bahasa G. A. Ticoalu. Jakarta : Bumi Aksara
Hasbullah (2006). Otonomi Pendidikan : Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya terhadap Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta : Rajawali
Hadi, Sutrisno. 1991. Metodologi Research Jilid I. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Hadiyanto. (2004), Mencari Sosok Desentralisasi Manajemen Pendidikan di Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta
Hasibuan, Malayu S.P. 1989. Manajemen: Dasar, Pengertian, dan Masalah. Jakarta: Haji Masagung.
Himpunan Peraturan Perundang – undangan. 2008. Standar Nasional Pendidikan. Fokusmedia : Bandung
Himpunan Peraturan Perundang – undangan. 2000. UU Otonomi Daerah 1999. Citra Umbara : Bandung.
Husaini, Usman. 2006. Manajemen Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan. Bumi Aksara, Jakarta.
Ihsan, F. 2010. Dasar – dasar Kependidikan komponen MKDK. Rineka Cipta : Jakarta.
.............. 2010. Filsafat Ilmu. Rineka Cipta : Jakarta.
Kambey, D. 2010. Landasan Teori Administrasi/Manajemen. Ganesha Nusantara : Jakarta
Katono, K. 1997. Tinjauan Politik mengenai Sistem Pendidikan Nasional, Pradnya Paramita : Jakarta
Ranupandojo. H, 1987.Teori dan konsep Manajemen.UPP AMPYKPN : Yogyakarta
43
Rifa'i, M. 2011. Sejarah Pendidikan Nasional dari Masa Klasik hingga Modern, Ar-RUZZMEDIA : Yogyakarta
Rohman, A. 2009. Politik Ideologi Pendidikan. Laksbang Mediatama : Yogyakarta
Rosyada, D. 2004. Paradigma Pendidikan Demokratis, Kencana
Tirtarahardja, U., dan La Sulo L. 2008. Pengantar Pendidikan. Rineka Cipta : Jakarta.
Widjaya. 1995. Administrasi Kepegawaian. Rajawali Pers : Jakarta.
Wiiliams, Gareth. 1977. Towards Lifelong Education: A New Role for Higher Education Institutions. Paris : UNESCO