IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENERTIBAN PEDAGANG KAKI LIMA …repository.utu.ac.id/809/1/I-V.pdf · Namun...
Transcript of IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENERTIBAN PEDAGANG KAKI LIMA …repository.utu.ac.id/809/1/I-V.pdf · Namun...
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENERTIBAN
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
DI KOTA MEULABOH
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan
memenuhi syarat-syarat guna memperoleh gelar
Sarjana Ilmu Administrasi Negara
OLEH
EKA DARMA SURYADI
07C20201037
PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS TEUKU UMAR
MEULABOH - ACEH BARAT
TAHUN 2013
i
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENERTIBAN
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
DI KOTA MEULABOH
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan
memenuhi syarat-syarat guna memperoleh gelar
Sarjana Ilmu Administrasi Negara
OLEH
EKA DARMA SURYADI
07C20201037
PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS TEUKU UMAR
MEULABOH - ACEH BARAT
TAHUN 2013
ii
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Skripsi : IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENERTIBAN
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
DI KOTA MEULABOH
Nama Mahasiswa : Eka Darma Suryadi
NIM : 07C20201037
Program Studi : Ilmu Administrasi Negara
Menyetujui,
Komisi Pembimbing
Pembimbing I
Drs.H. Moenawar Iha, MM
NIDN. 01-1206-5202
Pembimbing II
Andi Sayumitra, S.Sos
NIDN. 01-0508-8701
Mengetahui,
Ketua
Program Studi Ilmu Administrasi Negara
Saiful Asra, M.Soc.Sc
NIDN. 01-1305-8201
Dekan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politk
Sudarman Alwy, M.Ag
NIDN. 01-2504-7601
Tanggal Sidang : 28 September 2013
iii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI
Skripsi dengan judul :
“IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENERTIBAN
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KOTA MEULABOH”
Yang disusun oleh :
Nama Mahasiswa : Eka Darma Suryadi
NIM : 07C20201037
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Program Studi : Ilmu Administrasi Negara
Telah dipertahankan di depan dewan penguji pada tanggal 28 September 2013 dan
dinyatakan memenuhi syarat untuk diterima.
SUSUNAN DEWAN PENGUJI :
1. Drs.H. Moenawar Iha, MM
NIDN. 01-1206-5202
…………………….
Ketua
2. Andi Sayumitra, S.Sos
NIDN. 01-0508-8701
…………………….
Sekretaris
3. Maria Baren, MM
NIDN. 01-1103-7502
…………………….
Anggota
4. Nurlian, S.Sos
NIDN. 01-2404-8202
…………………….
Anggota
Alue Peunyaring, 28 September 2013
Ketua Program Studi Ilmu Administrasi Negara
Saiful Asra, M.Soc.Sc
NIDN. 01-1305-8201
iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Eka Darma Suryadi
Tempat/Tgl. Lahir : Tapak Tuan, 23 Februari 1973
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Alamat : Jl. Syiah Kuala Suak Ribee, Kecamatan Johan Pahlawan
Kabupaten Aceh Barat
Nama Orang Tua :
Ayah : Syamsuar
Ibu : Alm. Rosniar
Riwayat Pendidikan :
SD Negeri 2 Meulaboh lulus Tahun 1985
SMP Negeri 2 Meulaboh lulus Tahun 1988
SMA Negeri 2 Meulaboh lulus Tahun 1991
v
ABSTRAK
Eka Darma Suryadi, 2013. Implementasi Kebijakan Penertiban Pedagang Kaki
Lima (PKL) di Kota Meulaboh. Dibawah bimbingan Drs.H. Moenawar Iha, MM
dan Andi Sayumitra, S.Sos.
Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan fenomena umum yang terjadi di kota-kota
besar di Indonesia. Kasus PKL ini dinilai banyak pihak sebagai suatu bentuk dari
kegagalan pemerintah menyediakan lapangan kerja untuk kaum miskin. Kota
Meulaboh merupakan salah satu kota yang juga banyak dihuni oleh para
Pedagang Kaki Lima. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan
kualitatif, penulis turun ke lapangan melakukan observasi dan wawancara
langsung dengan informan penelitian. Keberadaan PKL di Kota Meulaboh selama
ini telah menimbulkan banyak permasalahan, diantaranya membuat kota menjadi
tidak tertib, kotor dan menimbulkan kemacetan. Selama ini tindakan penertiban
telah dilakukan oleh aparatur Satpol PP. Kegiatan penertiban yang dilakukan oleh
para aparatur penertiban biasanya dalam bentuk pengusiran terhadap para PKL
tersebut. Tidak jarang juga aparat penertiban melakukan penggusuran dan
penyitaan terhadap tempat berjualan PKL yang masih membandel dan tidak
mendengarkan para petugas. Namun penertiban Pedagang Kaki Lima (PKL) di
Kota Meulaboh selama ini dilakukan belum berjalan dengan maksimal. Hal
tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, seperti: (1) Belum adanya hukuman
yang tegas terhadap para PKL yang masih tetap berjualan dipinggir jalan
walaupun telah berulang kali diperingati oleh petugas. Hukuman yang diberikan
selama ini hanya bersifat administratif atau teguran-teguran, pengusiran dan
penyitaan barang PKL untuk sementara waktu. (2) Pemerintah Kabupaten Aceh
Barat belum konsisten dan kompak dalam menyikapi keberadaan PKL di Kota
Meulaboh. Hal ini terlihat dengan dilakukannya kutipan retribusi terhadap para
PKL yang berjualan di pinggir jalan,sedangkan keberadaan PKL itu sendiri
dilarang dalam qanun Kabupaten Aceh Barat tentang ketertiban umum.
Kata Kunci : Implementasi, Penertiban dan Pedagang Kaki Lima (PKL)
vi
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT. yang telah
menganugerahkan segala rahmat dan petunjuk-Nya kepada penulis, sehingga
dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Implementasi Kebijakan
Penertiban Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Meulaboh” ini dengan baik.
Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan
bantuan dan bimbingan, baik moril maupun materil dari berbagai pihak. Pada
kesempatan ini juga dengan segala kerendahan hati penulis ingin menyampaikan
ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang turut
mengambil dalam membatu peneliti menyelesaikan laporan ini, mulai dari
pengarahan di kampus sampai praktek sesungguhnya di lapangan kepada:
1. Bapak Drs. Alfian Ibrahin, M.Si selaku Rektor Universitas Teuku Umar.
2. Bapak Sudarman Alwy, M.Ag selaku dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Teuku Umar sekaligus pembimbing I yang telah
banyak memberi arahan dan masukan.
3. Bapak Ketua Prodi Ilmu Administrasi Negara, Saiful Asra, M.Soc.Sc yang
telah memberikan rekomendasi serta pembekalan untuk menyelesaikan
skripsi ini.
4. Bapak Drs. Munawar Iha, MM dan Bapak Andi Sayumitra, S.Sos selaku
dosen pembimbing yang penuh kesabaran dan perhatian membimbing
penulis menyelesaikan skripsi ini.
vii
5. Bapak dan Ibu Dosen pada Prodi Ilmu Administrasi Negara FISIP UTU
yang telah banyak memberikan bekal ilmu kepada penulis.
6. Teman-teman seperjuangan pada Prodi Ilmu Administrasi Negara FISIP
UTU khususnya angkatan 2007, terima kasih atas berbagai masukannya
dan terus jaga kekompakan dan kebersamaan.
7. Teristimewa kepada orang tua penulis Ibunda, Ayahanda dan Istri tercinta
beserta anak-anakku yang tersayang dan seluruh keluarga yang telah
membantu terutama dari segi materi, doa dan motivasi.
Sebagai penulis pemula, kami mengakui bahwa dalam penulisan karya
ilmiah ini masih banyak terdapat kekurangan. Untuk itu, kami mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari semua pihak dalam penyempurnaan karya
ilmiah ini.
Akhirnya hanya kepada Allah SWT kita kembalikan semua urusan dan
semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi
penulis dan para pembaca pada umumnya, semoga Allah SWT meridhoi dan
dicatat sebagai ibadah disisi-Nya, amin
Alue Peunyaring, September 2013
Penulis
EKA DARMA SURYADI
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ........................................................ iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ..................................................................... iv
ABSTRAK ..................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................. viii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. ix
vi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah.......................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................. 5
1.3 Tujuan penelitian ................................................................................... 6
1.4 Manfaat penelitian ................................................................................. 6
1.5 Sistematika Penulisan . ........................................................................... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Implementasi Kebijakan ........................................................................ 8
2.2 Pedagang Kaki Lima (PKL) . ................................................................. 16
2.3 Ketertiban Umum ................................................................................... 18
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian ................................................................................... 21
3.2 Lokasi Penelitian .................................................................................. 22
3.3 Unit Analisis dan Informan Penelitian ................................................. 22
3.4 Sumber Data .......................................................................................... 23
3.5 Teknik Pengumpulan Data ..................................................................... 24
3.6 Instrumen Penelitian .............................................................................. 27
3.7 Teknik Analisa Data ............................................................................... 27
3.8 Pengujian Kredibilitas Data ................................................................... 29
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian .................................................................... 32
4.2 Hasil Penelitian ...................................................................................... 34
4.3 Pembahasan ........................................................................................... 45
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ............................................................................................. 50
5.2 Saran ....................................................................................................... 51
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 53
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Surat permohonan judul proposal penelitian
Lampiran 2 : Surat penelitian di lapangan
Lampiran 3 : Surat telah melakukan penelitian dari Kantor Satpol PP dan WH
Lampiran 4 : Pedoman/panduan wawancara
Lampiran 5 : Qanun atau Peraturan Bupati Aceh Barat Nomor 9 Tahun 2010
Lampiran 6 : Profil PKL yang menjadi informan penelitian
Lampiran 7 : Foto-foto penelitian di Lapangan
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Setiap manusia menginginkan kehidupan yang baik dalam hidupnya dan
mempunyai kehidupan yang layak untuk kesejahteraannya bersama keluarga.
Namun faktanya tidak semua mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan
keinginan dan harapannya tersebut. Banyak faktor yang menjadi penyebab baik
secara langsung maupun tidak langsung, seperti bekal pendidikan formal yang
rendah, keterampilan yang tidak memadai, ketimpangan pembangunan secara
geografis yang meningkatkan urbanisasi, dan lain sebagainya. Seiring dengan hal
tersebut, pemenuhan kebutuhan primer tidak dapat ditunda dan terus mendesak.
Hal itulah kemudian mendorong tumbuh suburnya kegiatan ekonomi informal
dalam berbagai bentuk, sebagai alternatif upaya pemenuhan kebutuhan primer
yang dikembangkan oleh masyarakat sendiri.
Salah satu bentuk yang populer di Indonesia adalah pedagang kaki lima
(PKL), yang dalam perkembangannya seperti buah simalakama, dibutuhkan
sekaligus menimbulkan permasalahan. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga
maka sebagian para penganggur terjun dalam kegiatan sektor informal seperti
Pedagang Kaki Lima (PKL), sehingga peranan sektor informal menyerap PKL
menjadi urgen sebagai upaya untuk bertahan hidup. PKL tergolong usaha kecil
dalam sektor informal yang melakukan kegiatan usaha di trotoar dan jalan-jalan
umum.
2
Masalah Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan masalah yang pelik
dalam penataan perkotaan. Penanganan dengan jalan pintas melalui penertiban
dengan cara penggusuran seringkali mengundang protes dari berbagai pihak. Cara
tersebut berangkat dari asumsi bahwa PKL bagian dari masalah perkotaan yang
harus dihentikan. Kenyataan menunjukkan bahwa solusi yang demikian tidak
menuju kepada perbaikan penataan perkotaan. Oleh karena itu, dipandang perlu
mencari solusi lain yang lebih manusiawi, yang memandang PKL adalah aset
ekonomi bangsa (Limbong, 2006:1).
PKL sebagai salah satu kelompok sektor informal diakui memiliki
keunggulan kompetitif dibandingkan dengan kelompok lainnya. Keunggulan
kompetitif yang dimiliki adalah kemauannya untuk tetap bertahan dalam kondisi
ekonomi yang sulit. Namun, keberadaanya tidak dibina, tidak ditata, dan tidak
diberi perlindungan yang serius oleh pihak pemerintah. Bahkan sektor ini
dianggap sebagai sumber masalah dalam kebersihan, ketertiban dan kemacetan
lalu lintas, keindahan kota dan sebagainya. Dengan persepsi bahwa PKL sebagai
sumber masalah dalam penataan lingkungan kota, maka pemerintah melakukan
penertiban terhadap PKL dengan cara pembersihan, pengusiran dan penggusuran.
Kebijakan pemerintah yang hanya melakukan tindakan penertiban yang
berakibat penggusuran dan kehilangan tempat berjualan dapat dimengerti karena
para PKL ini merupakan pelaku ekonomi sektor informal dalam menjalankan
usahanya tanpa memiliki alas hak yang dilegitimasi oleh hukum formal. Kegiatan
sektor informal biasanya berlangsung di tempat yang sangat terbatas ruang dan
waktunya. Keterbatasan ruang dan waktu inilah yang terpaksa menjadikan PKL
3
untuk melakukan kegiatan di tempat-tempat umum. Di atas ruang yang sangat
terbatas itu pula kadang-kadang para pelaku sektor informal ini harus saling
memberi tempat dengan sesama pelaku sektor informal lainnya atau dengan
pelaku sektor ekonomi formal. Keterbatasan kemampuan sektor informal sebagai
pelaku kegiatan ekonomi modern ditambah dengan keterbatasan ruang dan waktu
untuk melalukan kegiatan membuat sektor ini dicurigai menjadi penyumbang
terhadap kebersihan, ketidaktertiban, bahkan pada kerusakan lingkungan.
Berbagai hal yang serba terbatas membuat sektor informal menjadi rentan
terhadap kegiatan yang berpotensi untuk mengganggu kelestarian fungsi
lingkungan hidup. Hal ini menjadi tantangan yang menarik untuk dapat
mewujudkan praktek kegiatan/ usaha yang berwawasan lingkungan.
Upaya penggusuran/penertiban terhadap PKL yang terjadi di Kota
Meulaboh yang dilakukan para aparat berdasarkan Peraturan Bupati Aceh Barat
No 9 Tahun 2010 tentang Ketertiban Umum. Pada Pasal 23 Ayat 2 disebutkan
bahwa,
“Setiap orang atau badan dilarang berdagang, berusaha dibagian
jalan/trotoar, halte, dan tempat-tempat untuk kepentingan umum lainnya di
luar ketentuan sebagaimana dimaksud”
Keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Meulaboh telah lama,
namun tidak jelas kapan kegiatan itu mulai eksis di wilayah tersebut. Ada
beberapa daerah yang menjadi tempat favorit para PKL dalam melaksanakan
kegiatan, diantaranya adalah di Jalan Manek roo, Jalan Nasional, Jalan Teuku
Umar dan Jalan H. Daud Dariah II, yang semuanya terletak di pusat Kota
4
Meulaboh Kabupaten Aceh Barat. Keberhasilan pembangunan kota selalu
diindikasikan dengan pertumbuhan ekonomi yang meningkat, dimana dalam
aspek spasial ditunjukkan akan selalu diikuti dengan peningkatan luasan
pemanfaatan lahan. Penambah luasan ini pada titik tertentu akan menimbulkan
permasalahan kota, karena kemampuan kota untuk menyediakan lahan bagi
aktifitas penduduknya sangat terbatas, dibandingkan dengan kebutuhan yang
harus dipenuhi. (LPPM USU, 2002:1).
Salah satu penyebab PKL adalah terbatasnya serapan tenaga kerja di
sektor formal, sedangkan jumlah angkatan kerja tinggi, maka sebagian besar
tenaga kerja tersebut masuk kedalam sektor informal termasuk Pedagang Kaki
Lima (PKL). Mengingat kegiatan ini mudah dilakukan dan kurang membutuhkan
keahlian/keterampilan tertentu, kemudian tidak membutuhkan modal yang besar
serta hasilnya dapat memenuhi kebutuhan pokok keluarga.
Dengan munculnya kegiatan PKL maka Pemerintah Kabupaten Aceh
Barat harus menyambutnya dengan menyediakan sarana dan prasarana termasuk
ketersediaan ruang untuk PKL. Pemerintah harus terbuka dalam membuat
kebijakan pembangunan terutama terhadap kegiatan usaha sektor informal yang
selama ini belum mendapat perhatian yang layak. Sektor informal terbukti telah
mampu sebagai katup pengamanan perekonomian pada waktu Indonesia
mengalami krisis ekonomi nasional. Oleh karena itu, saat ini pemerintah
seharusnya tidak boleh lagi menutup mata terhadap keberadaan sektor informal
tersebut. Sektor informal harus dipandang sebagai aset ekonomi bangsa.
Konsekuensinya, PKL sebagai salah satu bentuk sektor informal di Kota
5
Meulaboh juga harus dikelola sebagai bagian integrasi dari kegiatan ekonomi di
Kota Meulaboh.
Peran PKL sebagai aset ekonomi serta kenyataan kegiatannya yang sering
menimbulkan masalah lingkungan hidup terutama kemacetan lalu lintas dan
kegiatan penertiban/penggusuran yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota.
Berangkat dari fenomena diatas, berdasarkan Peraturan Bupati Aceh Barat No. 9
Tahun 2010 Pasal 23 tentang pemakaian tempat berjualan di atas, ternyata masih
banyak pedagang yang tidak mematuhi peraturan yang sudah berlaku, dan
kurangnya perhatian pemerintah terhadap pemberdayaan sektor informal
khususnya PKL. Maka dari itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan
judul: “Implementasi Kebijakan Penertiban Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota
Meulaboh”.
1.2. Perumusan Masalah
Perumusan masalah diperlukan agar penelitian dapat dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya, jelas dari mana harus memulai, kemana harus pergi dan dengan
apa penelitian tersebut dilakukan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
pentingnya perumusan masalah adalah agar diketahui arah jalan suatu penelitian.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dalam melakukan penelitian ini penulis
merumuskan masalah penelitian sebagai berikut;
1. Bagaimana implementasi kebijakan penertiban Pedagang Kaki Lima
(PKL) di Kota Meulaboh Kabupaten Aceh Barat?
6
2. Faktor-faktor apasajakah yang mendukung atau menghambat dalam
implementasi kebijakan penertiban pedagang kaki lima (PKL) di Kota
Meulaboh Kabupaten Aceh Barat?
I.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui bagaimanakah implementasi kebijakan penertiban
Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Meulaboh Kabupaten Aceh Barat.
2. Untuk Mengetahui faktor-faktor pendukung atau penghambat dalam
implementasi kebijakan penertiban Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota
Meulaboh Kabupaten Aceh Barat.
I.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dilakukan agar dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Secara teoritis/akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat
memperkaya khasanah kepustakaan pendidikan, khususnya mengenai
implementasi penertiban Pedagang Kaki Lima.
2. Sebagai bahan masukan bagi pelengkap referensi maupun bahan
perbandingan bagi mahasiswa yang ingin mengadakan penelitian di bidang
yang sama.
3. Sebagai masukan bagi pemerintah Kabupaten Aceh Barat dalam
implementasi kebijakan penertiban Pedagang Kaki Lima (PKL).
7
I.5. Sistematika Penulisan
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini memuat latar belakang, perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini akan memaparkan konsep-konsep teori yang berhubungan
dengan penelitian yang akan dilakukan.
BAB III : METODE PENELITIAN
Bab ini memuat tentang bentuk penelitian, lokasi penelitian,
populasi dan sampel, teknik pengumpulan data dan teknik analisa
data.
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini memuat hasil penelitian yang diperoleh dari lapangan dan
dokumentasi seperti jawaban dari informan dan tertulis. Selain
itu, bab ini juga berisi tentang pembahasan dan uraian data-data
yang diperoleh setelah melakukan penelitian
BAB VI : PENUTUP
Bab ini memuat kesimpulan dan saran atas hasil penelitian yang
dilakukan.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Implementasi Kebijakan
Setelah sebuah kebijakan publik dibuat atau dirumuskan, baik menyangkut
program maupun kegiatan-kegiatan, maka tahapan selanjutnya adalah tindakan
pelaksanaan atau implementasi. Sebab kebijakan publik yang tidak
diimplementasikan hanya menjadi sebatas kumpulan aturan-aturan pemerintah
yang tidak berfungsi sama sekali. Oleh karena itu, pelaksanaan atau implementasi
kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan jauh lebih penting daripada
pembuatan kebijakan. Menurut Cheema dan Rondinelli (dalam Wibawa, 2004:15)
menyatakan bahwa dalam pengertian yang luas, implementasi maksudnya adalah
pelaksanaan dan melakukan suatu program kebijaksanaan dan dijelaskan bahwa
satu proses interaksi di antara dan menentukan seseorang yang diinginkan.
Tangkilisan (2003:42) menguraikan kerangka proses kebijakan meliputi
persepsi/defenisi, organisasi, representasi, penyusunan agenda, formulasi,
legitimasi, pelaksanaan/implementasi menjadi program, evaluasi, dan
penyesuaian/terminasi.
Implementasi menurut Meter dan Horn dikutip oleh Safaruddin (2006:51)
adalah, “tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu atau pejabat-
pejabat, atau kelompok-kelompok pemerintah/swasta pada tercapainya tujuan-
tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan.” Sedangkan
Mazmanian dan Sabatier (Putra, 2003:84) menyatakan bahwa:
9
Mengkaji masalah implementasi berarti berusaha memahami apa yang
nyata terjadi sesudah program diberlakukan atau dirumuskan, yakni
peristiwa-peristiwa atau kegiatan-kegiatan yang terjadi setelah proses
mengesahkan kebijakan, baik yang menyangkut usaha-usaha
mengadministrasikannya maupun yang menimbulkan dampak nyata
pada masyarakat atau kejadian-kejadian tertentu.
Berdasarkan pandangan-pandangan di atas, dapat dirumuskan bahwa
proses implementasi kebijakan itu sesungguhnya tidak hanya menyangkut
perilaku badan administratif yang bertanggung jawab untuk melaksanakan
program dan menimbulkan ketaatan pada diri kelompok sasaran, melainkan
menyangkut jaringan kekuatan-kekuatan politik, ekonomi, dan sosial yang
langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku dari semua pihak
yang terlibat, pada akhirnya berpengaruh pada kebijakan baik yang negatif
maupun positif (Soenarko, 2002:13).
Ada beberapa model implementasi kebijakan publik yang dapat digunakan
sebagai rujukan sebagaimana diuraikan (dalam Tangkilisan, 2003 :43-45)
diantaranya:
1. Model Meter dan Horn
Meter dan Horn mengemukakan model implementasi kebijakan yang
dipengaruhi oleh enam faktor, yaitu: (1) standar kebijakan dan sasaran yang akan
menjelaskan rincian tujuan keputusan kebijakan secara menyeluruh; (2) sumber
daya kebijakan berupa dana pendukung implementasi; (3) komunikasi inter
organsisasi dan aktivitas pengukuran digunakan oleh pelaksana untuk memakai
tujuan yang hendak dicapai; (4) karakteristik pelaksanaan, artinya karateristik
organisasi merupakan faktor krusial yang akan menentukan berhasil tidaknya
suatu program; (5) kondisi sosial ekonomi dan politik yang dapat mempengaruhi
10
hasil kebijakan; dan (6) sikap pelakasanaan dalam memahami kebijakan yang
akan ditetapkan.
2. Model Deskriptif
Menurut Tangkilisan, (2003:45) model kebijakan dapat diperbandingkan
dan dipertimbangkan menurut sejumlah banyak asumsi, yang paling penting di
antaranya adalah: (1) perbedaan menurut tujuan; (2) bentuk penyajian; dan (3)
fungsi metodologis model. Dua bentuk pokok dari model kebijakan adalah: (1)
Model deskriptif; dan (2) Model normatif. Tujuan model deskriptif adalah
menjelaskan dan atau meramalkan sebab dan akibat pilihan-pilihan kebijakan.
Model kebijakan ini digunakan untuk memonitor hasil tindakan dalam suatu
kebijakan misalnya penyampaian laporan tahunan tentang keberhasilan dan
kegagalan pelaksanaan di lapangan.
Pada dasarnya semua pihak baik pemerintah maupun masyarakat memiliki
harapan yang sama bahwa suatu kebijakan harus berhasil dalam proses
implementasinya. Sabatier dan Mazmanian, dikutip oleh Tangkilisan (2003:47)
mencoba mengidentifikasikan dua variabel yang dianggap sebagai kondisi yang
akan menentukan keberhasilan implementasi sesuai tujuan atau sasaran kebijakan
yang telah ditetapkan, yakni:
1. Variabel peraturan (statutory variables), mencakup: (a) kejelasan dan
konsistensi sasaran; (b) kepaduan dari teori kausal yang memadai; (c)
sumber daya keuangan, (d) integrasi hierarkis dengan dan antar lembaga
pelaksana; (e) peraturan keputusan dari agen pelaksana; dan (f) rekrutmen
dari pejabat pelaksana; dan (g) akses formal;
2. Variabel Non Peraturan (Non Statutory Variable), (a) kondisi sosial,
ekonomi, dan teknologi; (b) perhatian media terhadap masalah yang
hendak diselesaikan; (c) dukungan publik; (d) sikap sumber daya
kelompok sasaran utama; dan (f) komitmen dan kemampuan pejabat
pelaksana.
11
Untuk mengimplementasikan kebijakan, secara rinci Casley dan Kumar,
(dalam Wibawa, 2004:16) menawarkan sebuah metode dengan enam langkah
sebagai berikut:
1. Identifikasi masalah. Batasilah masalah yang akan dipecahkan atau
dikelola dan pisahkan masalah dari gejala yang mendukungnya.
Rumuskan sebuah hipotesis;
2. Tentukan faktor-faktor yang menjadikan adanya masalah tersebut.
Kumpulkan data kuantitatif maupun kualitatif yang memperkuat hipotesis;
3. Kajilah hambatan dalam pembuatan keputusan. Analisislah situasi politik
dan organisasi yang dahulu mempengaruhi pembuatan kebijakan.
Pertimbangkan berbagai variabel seperti komposisi staf, moral dan
kemampuan staf, tekanan politik, kepekaan budaya, kemauan penduduk
dan efektivitas manajemen. Hindari diskusi yang tidak realistis;
4. Kembangkan solusi-solusi alternatif;
5. Perkirakan solusi yang paling banyak. Tentukan kriteria dengan jelas dan
terapkan (applicable) untuk menguji kelebihan dan kekurangan setiap
solusi alternatif; dan
6. Pantaulah terus umpan balik dari tindakan yang telah dilakukan guna
menentukan tindakan yang perlu diambil berikutnya.
Suatu kebijakan publik dikatakan berhasil bila dalam implementasinya
mampu menyentuh kebutuhan kepentingan publik. Jadi, ketika suatu kebijakan
tidak lagi memenuhi kepentingan publik, bagaimana bisa disebut sebagai
kebijakan yang berhasil. Tangkilisan (2003:46-47) mengatakan bahwa:
Implementasi kebijakan yang gagal disebabkan beberapa faktor, yaitu
informasi, dimana kekurangan informasi dengan mudah mengakibatkan
adanya gambaran yang kurang tepat baik kepada objek kebijakan maupun
kepada para pelaksana isi kebijakan itu; isi kebijakan, dimana
implementasi kebijakan dapat gagal karena masih samanya isi atau tujuan
kebijakan atau ketidaktepatan atau ketidaktegasan intern ataupun ekstern
kebijakan itu sendiri; dukungan, dimana implementasi kebijakan publik
akan sangat sulit bila pada pelaksanannya tidak cukup dukungan untuk
kebijakan tersebut; pembagian potensi, dimana hal ini terkait dengan
pembagian potensi diantaranya para aktor implementasi dan juga
mengenai organisasi pelaksana dalam kaitannya dengan differensiasi tugas
dan wewenang.
12
Ada beberapa pendekatan yang digunakan terhadap implementasi
kebijakan publik. Pendekatan yang digunakan untuk implementasi kebijakan
publik di mulai dari debuah intisari yang menanyakan: apakah prakondisi untuk
implementasi kebijakan yang berhasil? Apakah rintangan untuk implementasi
kebijakan tersebut? Maka untuk menjawab pertanyaan tersebut ada empat faktor
atau variabel kritis dalam mengimplementasikan kebijakan publik yaitu:
komunikasi, sumberdaya, disposisi atau sikap, dan struktur birokrasi (Tangkilisan,
2003:11). Adapun keempat faktor tersebut adalah:
1. Komunikasi
Agar implementasi menjadi efektif, maka mereka yang tanggungjawabnya
untuk mengimplementasikan sebuah keputusan mesti harus tahu apa yang
seharusnya mereka kerjakan. Komunikasi yang tidak cukup juga memberikan
implementator dengan kewenangan ketika mereka mencoba untuk membalik
kebijakan umum menjadi tindakan-tindakan khusus. Kewenangan ini tidak akan
perlu dilakukan untuk memajukan tujuan pembuatan keputusan. Dengan
demikian, perintah-perintah implementasi yang tidak ditransmisikan, tidak pasti
atau yang tidak konsisten mendatangkan rintangan-rintangan yang serius bagi
implementasi kebijakan. Sebaliknya, ukuran-ukuran yang terlalu akurat akan
merintangi implementasi dengan perubahan kreatifitas dan sumber daya
adaptasinya.
2. Sumber daya
Tidak menjadi soal betapa jelas dan konsisten komando implementasi ini
tidak akan menjadi soal betapa akuratnya komando ini ditranmisikan, jika
13
personalia yang bertanggungjawab dalam melaksanakan semua kebijkan kurang
sumberdaya untuk melakukan sebuah opekerjaan efektif, implementasi tidak akan
efektif pula. Sumberdaya yang penting meliputi staf ukuran yang tepat dengan
keahlian yang diperlukan; informasi yang relevan dan cukup tentang cara untuk
mengimplementaskan kebijakan dan dalam penyesuaian lainya yang terlibat
dalam implementasi. Sumberdaya yang tidak cukup akan berarti bahwa undang-
undang tidak akan dikembangkan.
3. Disposisi
Disposisi atau sikap dari implementator adalah faktor kritis dalam
implementasi kebijakan publik. Jika implementasi adalah untuk melanjutkan
secara efektif, bukan saja mesti para implementator tahu apa yang harus
dikerjakan dan memiliki kapasitas untuk melakukan hal ini, melaikan mereka juga
bertindak untuk melakukan suatu kebijakan. Para implementator kebanyakan bisa
melakukan seleksi yang layak dalam implementasi kebijakan. Salah satu alasan
untuk ini adalah indepedensinya dari atasan yang merumuskan kebijakan.
4. Struktur Birokrasi
Sumber daya yang cukup untuk mengimplementasikan suatu kebijakan
akan terhalang karena masih kurang dalam struktur birokrasi. Fragmentasi
organisasi mungkin merintangi koordinasi yang perlu unk mengimplementasikan
dengan sukses sebuah kebijakan kompleks yang mensyaratkan kerjasama banyak
orang, dan mungkin juga menciptakan kekacauan. Sebagaimana unit-unit
organisasional selenggarakan kebijakan mereka mengembangkan prosedur untuk
menangani situasi rutin dan pola hubungan yang beraturan.
14
Winarno dalam Limbong (2006:190) menyatakan bahwa implementasi
kebijakan adalah suatu proses melaksanakan atau menerapkan kebijakan setelah
kebijakan itu disahkan untuk menghasilkan outcome yang diinginkan.
Berdasarkan pengertian di atas, maka implementasi merupakan suatu proses
melaksanakan kebijakan baik tingkat lokal maupun nasional melalui serangkaian
program atau proyek dengan implikasi pengaturan dan pengalokasian sumber
daya tertentu serta konsekuensi dan dampak yang ditentukannya. Limbong
(2006:194) ada 3 (tiga) variabel independen/faktor yang mempegaruhi dalam
proses implementasi kebijakan, yaitu:
1 Variabel kebijakan, yakni kejelasan tujuan dari kebijakan, transmisi
(penyampaian kebijakan). Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah
adalah Penertiban Pedagang Kaki Lima (PKL), yang bertujuan untuk
menciptakan ketertiban. Agar kehidupan dalam masyarakat berjalan
dengan tertib dan teratur, perlu didukung oleh suatu tatanan/ kebijakan,
dengan kebijakan tersebut kehidupan PKL lebih menjadi tertib.
2 Variabel organisasi, yakni suatu kebijakan publik harus dilaksanakan
melalui sebuah alat serta wahana tertentu. Instrumen untuk melaksanakan
kebijakan publik di dalam konteks administrasi negara dilaksanakan
melalui organisasi publik. Kebijakan publik merupakan sesuatu hal yang
diputuskan oleh pemerintah. Definisi seperti ini menunjukkan bahwa
seolah-olah pemerintahlah sebagai satu-satunya pihak yang memiliki
otoritas untuk membuat kebijakan. Dalam membuat kebijakan, pemerintah
cenderung menggunakan pendekatan top-down. Idealnya proses
15
pembuatan kebijakan merupakan hasil dari dialog yang dilakukan antara
masyarakat dengan pemerintah. Dengan pendekatan dialog,
memungkinkan proses pembuatan kebijakan berjalan secara dua arah.
3 Variabel lingkungan implementasi. Ini berbentuk kondisi ekonmi
masyarakat, kondisi sosial, serta kondisi politik. Keberadaan PKL
sebenarnya adalah wujud geliat masyarakat, terutama dari golongan
masyarakat kecil, untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi secara
keseluruhan. PKL seharusnya tetap diakui sebagai salah satu faktor
penyangga ekonomi untuk mengatasi tingginya kesenjangan antara suplai
tenaga kerja dengan permintaannya. Para pelaku ekonomi mikro itu
melakoni usaha sebagai pedagang di ruang-ruang publik, karena mereka
tidak terserap di lapangan kerja formal. Munculnya PKL-PKL adalah
wujud upaya masyarakat sendiri untuk mengatasi masalah pengangguran
yang masih dihadapi bangsa ini, ketika pemerintah dan dunia usaha swasta
formal belum dapat mengatasinya. Dampak positif keberadaan PKL
lainnya adalah adanya suplai barang dan jasa yang murah bagi masyarakat
umum. Selama ini, beban rakyat masih berat mengingat tingkat
pendapatan rata-rata masyarakat masih rendah. Harga jual komoditas PKL
yang relatif murah dapat mengurangi beban masyarakat untuk memenuhi
kebutuhan hidup masyarakat.
16
2.2. Pedagang Kaki Lima (PKL)
Pedagang kaki lima atau disingkat PKL adalah istilah untuk menyebut
penjaja dagangan yang menggunakan gerobak. Istilah itu sering ditafsirkan karena
jumlah kaki pedagangnya ada lima. Lima kaki tersebut adalah dua kaki pedagang
ditambah tiga "kaki" gerobak (yang sebenarnya adalah tiga roda atau dua roda dan
satu kaki). Saat ini istilah PKL juga digunakan untuk pedagang di jalanan pada
umumnya (Djaali, 2001:23).
Sebenarnya istilah kaki lima berasal dari masa penjajahan kolonial
Belanda. Peraturan pemerintahan waktu itu menetapkan bahwa setiap jalan raya
yang dibangun hendaknya menyediakan sarana untuk pejalan kaki. Lebar ruas
untuk pejalan adalah lima kaki atau sekitar satu setengah meter. Pedagang kaki
lima (PKL) merupakan usaha informal yang bergerak dalam distribusi barang dan
jasa. PKL, di satu sisi merupakan salah satu penggerak dalam perekonomian
masyarakat pinggiran. Dalam bidang ini pedagang kaki lima hanya berpengaruh
sebagai produsen yang penting bagi masyarakat Medan mengingat akan
banyaknya masyarakat menengah maupun menengah ke bawah. (www.iman-
nugraha.net/wp-content/files/PKL).
Kegiatan pedagang kaki lima yang merupakan usaha perdagangan sektor
informal perlu diberdayakan guna menunjang pertumbuhan ekonomi masyarakat
dan sekaligus salah satu pilihan dalam menyediakan barang dagangan yang
dibutuhkan oleh masyarakat dengan harga yang relatif murah. Keberadaan
pedagang kaki lima bagi masyarakat sangatlah penting sebagai penyediaan barang
dagangan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Pedangan kaki lima sangat
17
mempengaruhi pola pasar dan sosial masyarakat Kota Meulaboh. Pengaruhnya
meliputi ekonomi, sosial-budaya dan kebijakan yang diberlakukan oleh
Pemerintah Kabupaten Aceh Barat.
Pedagang kaki lima (PKL) dalam sektor ekonomi (LPPM USU, 2002:10)
dapat dikemukan sebagai berikut:
1. Penggunaan ruang publik seperti jalan-jalan umum bukan untuk fungsi
semestinya dapat membahayakan orang lain maupun PKL itu sendiri.
2. Pencemaran yang dilakukan sering diabaikan oleh PKL, pola kegiatanya tidak
teratur, baik dalam arti lokasi maupun jam kerjanya.
3. Sebagian besar PKL tidak mendapat perlindungan dari ancaman jiwa,
kesehatan maupun jaminan masa depan. Resiko semacam itu belum mendapat
perhatian, karena perhatian masih tertuju pada pemenuhan kebutuhan pokok.
4. Kemungkinan terjadinya persaingan tidak sehat antara pengusaha yang
membayar pajak resmi dengan pelaku ekonomi informal yang tidak
membayar pajak resmi (walaupun mereka sering membayar ”pajak tidak
resmi/pungutan liar”), contohnya ada dugaan bahwa pemodal besar dengan
berbagai pertimbangan memilih melakukan kegiatan ekonominya secara
informal dengan menyebarkan operasinya melalui unit-unit PKL.
5. Ketiadaan perlindungan hukum menyebabkan pekerja di ekonomi informal
rentan eksploitasi, baik pelaku di PKL itu sendiri, rekanan usaha dari sektor
formal maupun dari oknum tertentu baik dari pemegang kebijakan lokal yang
resmi maupun preman.
18
6. Sumber dana modal usaha pada umumnya berasal dari tabungan sendiri atau
lembaga tidak resmi, dan perputaran modal usaha relatif kecil, sehingga skala
operasinya juga relatif kecil.
7. Timbulnya ”parallel structure” yaitu kerangka aliran uang yang berupa
setoran diluar aliran uang resmi atau pajak ke pemerintah. Hal tersebut
menyebabkan ketergantungan sebagian oknum pemerintah pada keberadaan
PKL.
Oleh sebab itu, PKL dapat dianggap sebagai kegiatan ekonomi masyarakat
kelas bawah. PKL memang pelaku ekonomi di pinggir jalan dan merupakan
masyarakat miskin dan masyarakat marjinal. PKL dalam melakukan aktivitasnya
dimana barang daganganya diangkut dengan gerobak dorong, bersifat sementara,
dengan alas tikar tanpa meja serta memakai atau tanpa memakai tempat
gantungan untuk memajang barang-barang jualannya, dan atau tanpa tenda,
kebanyakan jarak tempat usahanya antara mereka tidak dibatasi oleh batas-batas
yang jelas. Para PKL kini tidak mempunyai kepastian hak atas tempat usahanya.
2.3. Ketertiban Umum
Ketertiban umum dikenal dengan berbagai istilah, dalam bahasa Prancis
“orde publik”, dalam bahasa Jerman “vorbehhaltklausel”, dan di negara-negara
dengan sistem commom law disebut publik policy. Istilah policy dipergunakan
untuk menunjukkan pengaruh yang besar dari faktor-faktor politik, dalam hal
menentukan ada tidaknya ketertiban umum. Ketertiban umum memegang peranan
penting, dalam arti setiap sistem hukum negara manapun memerlukan ancaman
19
atau “rem darurat” yang disebut dengan istilah ketertiban umum (Limbong,
2006:113).
Menurut Kantaatmadja (Dalam Limbong, 2006:34) ketertiban umum
dalam arti luas merupakan kata lain dari kepentingan umum, adalah untuk
mencapai tujuan negara “masyarakat adil dan makmur”. Aspek ketertiban umum
merupakan salah satu kebutuhan masyarakat baik masyarakat kota maupun
masyarakat pedesaan. Dengan ketertiban umum terdapat suatu keadaan yang
menyangkut penyelenggaraan kehidupan manusia sebagai kehidupan bersama.
Keadaan tertib yang umum sebagai suatu kepantasan minimal yang diperlukan,
supaya kehidupan bersama tidak berubah menjadi anarki. Meningkatnya kegiatan
PKL hingga menguasai trotoar maupun sebagian besar badan jalan dapat
mengganggu kepentingan kehidupan bersama, dimana para pejalan kaki
terganggu kenyamanannya sebab trotoar dimanfaatkan untuk tempat berdagang
(Soegeng, 2005:15).
Pada dasarnya PKL mengetahui berdagang di trotoar, jalan sangat
mengganggu ketertiban umum. Adanya pengetahuan PKL terhadap ketertiban
umum ternyata tidak menimbulkan adanya kesadaran hukum akan ketertiban
lingkungan. Hal tersebut karena dorongan rasa lapar para PKL. Di samping itu,
kepedulian pemerintah terhadap golongan masyarakat tersebut sangatlah kurang,
sehingga dengan melihat ruang kosong dan mempunyai potensi ekonomi maka
para PKL memanfaatkan lokasi tersebut untuk berjualan (LPPM USU, 2002:13).
Pada dasarnya PKL mengetahui adanya larangan berjualan di pinggir jalan
umum atau bahkan memanfaatkan sebagian badan jalan untuk berjualan dapat
20
mengganggu ketertiban umum terutama mengganggu kelancaran lalu lintas yang
menyebakan kemacetan lalu lintas, namun kenyataannya tetap saja para pedagang
tersebut melakukan aktivitas. Hal ini menunjukkan seakan-akan para PKL tidak
peduli terhadap ketentuan peraturan yang melarang aktivitas berjualan.
Dari kenyataan tersebut, ada beberapa hal yang teridentifikasi mengapa
para PKL tidak tergganggu dengan adanya larangan berjulan tersebut adalah:
1. Para penegak hukum tidak tegas dalam menerapkan sanksi hukum.
2. Para PKL merasa bahwa mereka sebagai pedagang legal berjualan di
kaki lima karena kutipan retribusi dilakukan oleh petugas dari
pemerintah daerah.
3. Para PKL tidak mempunyai pilihan lain untuk mencari nafkah, jika
pedagang tersebut terkena kegiatan penertiban maka hal ini dianggap
sebagai hari yang “naas” yang tidak perlu disesalkan, karena setelah
itu pedagang tersebut masih dapat berjualan.
21
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan untuk menjawab penelitian ini adalah
metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Narbuko dan Achmadi
(2004:44) memberikan pengertian penelitian deskriptif sebagai penelitian yang
berusaha untuk menuturkan pemecahan masalah yang ada sekarang berdasarkan
data-data, jadi ia juga menyajikan data, menganalisis dan menginterpretasi; ia juga
bisa bersifat komperatif dan korelatif. Danim (2002:41) memberikan beberapa ciri
dominan dari penelitian deskriptif yaitu:
1. Bersifat mendeskripsikan kejadian atau peristiwa yang bersifat faktual.
Adakalanya penelitian ini dimaksudkan hanya membuat deskripsi atau
narasi semata-mata dari suatu fenomena, tidak untuk mencari hubungan
antar variabel, menguji hipotesis, atau membuat ramalan.
2. Dilakukan secara survei. Oleh karena itu penelitian deskriptif sering
disebut juga sebagai penelitian survei. Dalam arti luas, penelitian
deskriptif dapat mencakup seluruh metode penelitian, kecuali yang bersifat
historis dan eksperimental.
3. Bersifat mencari informasi faktual dan dilakukan secara mendetail.
4. Mengidentifikasi masalah-masalah untuk mendapatkan keadaan dan
praktek-praktek yang sedang berlangsung; dan
5. Mendeskripsikan subjek yang sedang dikelola oleh kelompok orang
tertentu dalam waktu yang bersamaan.
22
3.2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kota Meulaboh Kabupaten Aceh Barat Provinsi
Aceh. Daerah tersebut dipilih karena merupakan salah satu Ibu Kota Kabupaten
yang banyak munculnya para Pedagang Kaki Lima (PKL).
3.3. Unit Analisis Dan Informan Penelitian
Unit analisis adalah satuan yang diteliti yang bisa berupa individu,
kelompok, benda atau suatu peristiwa sosial misalnya aktivitas individu atau
kelompok sebagai subjek penelitian. Dari cara mengungkap unit analisis data
dengan menetapkan kriteria responden tersebut, penelitian kualitatif dengan
sendirinya akan memperoleh siapa saja yang menjadi subjek penelitiannya.
Berapa jumlah responden atau informan dalam penelitian kualitatif belum
diketahui sebelum peneliti melakukan kegiatan pengumpulan data di lapangan.
Yang demikian pengumpulan data di lapangan dimaksudkan untuk tercapainya
kualitas data yang memadai sehingga sampai ke informan keberapa data tidak
berkualitas lagi atau sudah mencapai titik jenuh karena tidak memperoleh
informasi baru lagi. (Sugiyono, 2006:75)
Untuk dapat memperoleh informasi yang lebih jelas mengenai masalah
penelitian yang sedang dibahas, maka dari keseluruhan unit analisis peneliti
mengambil beberapa orang informan. Informan adalah seseorang yang benar-
benar mengetahui suatu persoalan atau permasalahan tertentu yang darinya dapat
diperoleh informasi yang jelas, akurat dan terpercaya baik berupa pernyataan-
pernyataan, keterangan atau data-data yang dapat membantu dalam memahami
persoalan atau permasalahan tersebut.
23
Adapun informan yang diambil dari unit analisis dalam penelitian ini
adalah: Aparat Penertiban Umum sebanyak 5 orang, Aparatur UPTD Pasar
Meulaboh sebanyak 2 orang, Tokoh Masyarakat sebanyak 5 orang dan Pedagang
Kaki Lima (PKL) yang ada di Kota Meulaboh sebanyak 8 orang. Jadi, jumlah
informan penelitian dalam penelitian ini secara keseluruhan adalah sebanyak 20
orang. Jumlah tersebut ditetapkan karena para informan penelitian dalam
penelitian ini telah memberikan jawaban yang sama atas permasalahan yang
penulis tanyakan atau telah mencapai titik jenuh, sehingga telah dapat diambil
kesimpulan.
3.4. Sumber Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder.
a. Data Primer, yaitu data yang langsung diperoleh dari lapangan yang
diperoleh melalui:
1. Observasi, yaitu suatu teknik dengan mengamati langsung serta
mencatat hal-hal yang berkaitan dengan masalah yang diteliti
(Chalid Narbuko dan Abu Achmadi, 2004: 76-77); Pada penelitian
kualitatif, observasi merupakan salah satu mengumpulkan data
yang populer. Untuk terlaksananya observasi dengan baik perlu
disusun instrumen, yaitu pedoman observasi. Pedoman tersebut
biasanya dalam bentuk daftar cek (chek list) atau daftar isian.
Adapaun aspek yang diobservasi meliputi keperilakuan, keadaan
24
fisik, pertumbuhan dan perkembangan subjek tertentu dan
sebagainya. (Danim, 2002: 140)
2. Wawancara, teknik pengumpulan data dengan sebuah percakapan
antara dua orang atau lebih, yang pertanyaannya diajukan oleh
peneliti kepada subjek atau sekelompok subjek penelitian untuk
dijawab (Danim, 2002: 130). Instrumen yang digunakan dalam
melakukan wawancara yaitu pedoman wawancara. Wawancara
biasanya dilakukan kepada sejumlah informan yang jumlahnya
relatif terbatas dan memungkinkan bagi peneliti untuk mengadakan
kontak langsung secara berulang-ulang sesuai dengan keperluan.
b. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh baik yang belum diolah maupun
telah diolah, baik dalam bentuk angka maupun uraian. Dalam penelitian
ini data-data sekunder yang diperlukan antara lain literatur yang relevan
dengan judul penelitian seperti buku-buku, artikel, makalah, perarutan-
peraturan, struktur organisasi, jadwal, waktu, petunjuk pelaksana, petunjuk
teknis dan lain-lain yang memiliki relevansi dengan masalah yang diteliti.
3.5. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Observasi, yaitu suatu teknik dengan mengamati langsung serta mencatat
hal-hal yang berkaitan dengan masalah yang diteliti (Chalid Narbuko dan
Abu Achmadi, 2004: 76-77); Pada penelitian kualitatif, observasi
merupakan salah satu mengumpulkan data yang populer. Untuk
25
terlaksananya observasi dengan baik perlu disusun instrumen, yaitu
pedoman observasi. Pedoman tersebut biasanya dalam bentuk daftar cek
(chek list) atau daftar isian. Adapaun aspek yang diobservasi meliputi
keperilakuan, keadaan fisik, pertumbuhan dan perkembangan subjek
tertentu dan sebagainya. (Danim, 2002: 140). Dalam hal ini, pengamatan
dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu:
1) Pengamat berperan serta, yaitu seorang pengamat melakukan dua
peran sekaligus sebagai pengamat dan menjadi anggota resmi dari
objek atau kelompok yang diamati.
2) Pengamatan tanpa berperan serta, yaitu seorang pengamat hanya
berfungsi untuk melakukan pengamatan saja, tanpa ikut menjadi
anggota dari objek yang diteliti.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode observasi langsung
yaitu Pengamatan dilakukan sendiri secara langsung ditempat yang
menjadi objek penelitian, sedangkan objek yang diamati adalah aktifitas
para pedagang kaki lima (PKL) dan aparatur pemerintah daerah
Kabupaten Aceh Barat dalam menjalankan wewenangnya masing-masing.
2. Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu
dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang
mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang
memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2002:135). Ada
bermacam-macam cara pembagian jenis wawancara yang dikemukakan
26
dalam kepustakaan, diantaranya dikemukakan oleh Patton (dalam
Moleong, 2002:197) dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dua
model wawancara yaitu :
a. Pendekatan menggunakan petunjuk umum wawancara, yaitu jenis
wawancara yang mempunyai karakteristik sebagai berikut :
1) Pewawancara membuat kerangka dan garis besar pokok-pokok
yang dinyatakan dalam proses wawancara
2) Penyusunan pokok-pokok itu dilakukan sebelum wawancara
dilakukan.
3) Pokok-pokok yang dirumuskan tidak perlu ditanyakan secara
berurutan.
4) Penggunaan dan pemilihan kata-kata untuk wawancara dalam hal
tertentu tidak perlu dilakukan sebelumnya.
5) Petunjuk wawancara hanya berisi petunjuk secara garis besar
tentang proses dan isi wawancara untuk menjaga agar pokok-
pokok yang direncanakan dapat tercakup seluruhnya.
b. Wawancara baku terbuka, yaitu jenis wawancara yang menggunakan
seperangkat pertanyaan baku. Urutan pertanyaan, kata-katanya dan cara
penyajiannya pun sama untuk setiap responden.
3. Dokumentasi
Teknik dokumentasi adalah teknik mengumpulkan data melalui
peninggalan tertulis, seperti arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku
tentang pendapat, teori, dalil atau hukum-hukum dan lain-lain yang
27
berhubungan dengan masalah penelitian. Dokumen dalam penelitian ini
digunakan sebagai sumber data karena dalam banyak hal dokumen sebagai
sumber data dapat dimanfaatkan untuk menguji, menafsir, bahkan untuk
meramalkan (Moleong, 2002:191).
Pada dasarnya proses studi dokumentasi bukan merupakan kegiatan yang
berdiri sendiri, akan tetapi seringkali bersamaan dengan penggunaan
teknik pengumpulan data yang lainnya.
3.6. Instrumen Penelitian
Penelitian yang menggunakan metode kualitatif adalah suatu metode
penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alami, maka
peneliti adalah sebagai instrumen kunci (Moleong, 2002;4). Peneliti merupakan
instrumen kunci utama, karena peneliti sendirilah yang menentukan keseluruhan
skenario penelitian serta langsung turun ke lapangan melakukan pengamatan dan
wawancara dengan informan.
Penggunaan peneliti sebagai instrumen penelitian dimaksudkan untuk
mendapatkan data-data yang valid dan realible. Namun, untuk membantu
kelancaran dalam melaksanakannya, peneliti juga didukung oleh instrumen
pembantu sebagai panduan wawancara. Oleh karena itu, sebelum turun ke
lapangan maka peneliti akan membuat terlebih dahulu panduan wawancara untuk
memudahkan pelaksanaan penelitian di lapangan. Alat bantu yang digunakan
dalam pengumpulan data yaitu dokumen, laporan-laporan dan lain sebagainya.
28
3.7. Teknik Analisa Data
Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data
kedalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema
dan dapat dirumuskan hipotesis kerja (Moleong, 2002:103). Analisa data
menggunakan metode deskriptif kualitatif, dimana pembahasan penelitian serta
hasilnya diuraikan melalui kata-kata berdasarkan data empiris yang diperoleh.
Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah data yang bersifat kualitatif, maka
analisis data yang digunakan non statistik.
Analisis data dalam penelitian kualitatif berlangsung secara interaktif,
dimana pada setiap tahapan kegiatan tidak berjalan sendiri-sendiri. Meskipun
tahap penelitian dilakukan sesuai dengan kegiatan yang direncanakan, akan tetapi
kegiatan ini tetap harus dilakukan secara berulang antara kegiatam pengumpulan
data, reduksi data, penyajian data serat verifikasi atau penarikan suatu
kesimpulan.
Untuk menganalisa data dalam penelitian ini, digunakan langkah-langkah
atau alur yang terjadi bersamaan yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian
data dan penarikan kesimpulan atau balur verifikasi data (Miles, 2002:15-19).
1. Reduksi data, adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan data kasar yang muncul dari catatan-
catatan yang tertulis di lapangan (Miles dan Huberman, 2002:17). Reduksi
data ini bertujuan untuk menganalisis data yang lebih mengarahkan,
membuang yang tidak perlu dan mengorganisasikan data agar diperoleh
kesimpilan yang dapat ditarik atau verifikasi. Dalam penelitian ini, proses
29
reduksi data dilakukan dengan mengumpulkan data dari hasil wawancara,
observasi dan dokumentasi kemudian dipilih dan dikelompokkan
berdasarkan kemiripan data.
2. Penyajian data, adalah pengumpulan informasi tersusun yang memberikan
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan
(Miles dan Huberman, 2002:18). Dalam hal ini, data yang telah
dikategorikan tersebut kemudian diorganisasikan sebagai bahan penyajian
data. Data tersebut disajikan secara deskriptif yang didasarkan pada aspek
yang diteliti.
3. Verifikasi data dan penarikan kesimpulan. Verifikasi data adalah sebagian
dari suatu kegiatan utuh, artinya makna-makna yang muncul dari data
telah disajikan dan diuji kebenarannya, kekokohannya dan kecocokannya
(Miles dan Huberman, 2007:19). Penarikan kesimpulan berdasarkan pada
pemahaman terhadap data yang disajikan dan dibuat dalam pernyataan
singkat dan mudah dipahami dengan mengacu pada pokok permasalahan
yang diteliti.
3.8. Pengujian Kredibilitas Data
Uji kredibilitas data atau kepercayaan terhadap data hasil penelitian
kualitatif antara lain dilakukan dengan perpanjangan pengamatan, peningkatan
ketentuan dalam penelitian, triangulasi, diskusi dengan teman sejawat dan
member check. Digunakannya uji ini dimaksudkan untuk mendapatkan data yang
lebih mendalam mengenai subyek penelitian (Sugiyono, 2008:270). Adapun
pengujian kredibilitas data adalah sebagai berikut :
30
1. Perpanjangan Pengamatan. Perpanjangan pengamatan perlu dilakukan
karena berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, dirasakan data yang
diperoleh masih kurang memadai. Menurut Moleong (2002:327)
perpanjangan pengamatan berarti peneliti tinggal di lapangan penelitian
sampai kejenuhan pengumpulan data tercapai.
2. Peningkatan ketekunan, berarti melakukan pengamatan secara lebih
mendalam untuk memperoleh kepastian data. Meningkatkan ketekunan
dilakukan dengan membaca berbagai referensi baik buku maupun
dokumen yang terkait dengan temuan yang diteliti sehingga berguna untuk
memeriksa data apakah benar dan bisa dipercaya atau tidak.
3. Triangulasi. Analisa triangulasi merupakan suatu metode analisis untuk
mengatasi masalah akibat dari kajian mengandalkan suatu teori saja, satu
macam data atau satu metode penelitian saja (Sugiyono, 2006:225).
Menurut (Sugiyono, 2008:273-274), terdapat minimal 3 (tiga) macam
triangulasi, yaitu :
a) Triangulasi sumber data. Pada triangulasi ini, data di cek
kredibilitasnya dari berbagai sumber data yang berbeda dengan
teknik yang sama, misalnya mengecek sumber data antara
bawahan, atasan dan teman.
b) Triangulasi teknik pengumpulan data. Data di cek kredibilitasnya
dengan menggunakan berbagai teknik yang berbeda dengan
sumber data yang sama.
31
c) Triangulasi waktu pengumpulan data. Data di cek kredibilitasnya
dengan waktu yang berbeda-beda namun dengan sumber data dan
teknik yang sama. Triangulasi menjadikan data yang diperoleh
dalam penelitian menjadi lebih konsisten, tuntas dan pasti serta
meningkatkan kekuatan data (Sugiyono, 2008:241)
4. Pemeriksaan teman sejawat. Dilakukan dengan mendiskusikan data hasil
temuan dengan rekan-rekan sesama mahasiswa maupun teman yang bukan
mahasiswa. Melalui diskusi ini diharapkan akan ada saran atau masukan
yang berguna untuk proses penelitian.
5. Analisis kasus negatif. Menurut Sugiyono (2008:275) melakukan analisis
kasus negatif berarti peneliti mencari data yang berbeda atau bahkan
bertentangan dengan data yang telah ditemukan.
6. Member Check. Dilakukan dengan cara mendiskusikan hasil penelitian
kepada sumber-sumber yang telah memberikan data untuk mengecek
kebenaran data dan interprestasinya. Menurut Moleong (2002:336)
pengecekan dilakukan dengan jalan :
a. Penilaian dilakukan oleh responden
b. Mengkoreksi kekeliruan
c. Menyediakan tambahan informasi
d. Memasukkan responden dalam kancah penelitian, menciptakan
kesempatan untuk mengikhtisarkan sebagai langkah awal analisa data
e. Menilai kecukupan menyeluruh data yang dikumpulkan
32
Pengujian kredibilitas (credibility) bertujuan untuk menilai kebenaran dari
temuan penelitian kualitatif. Kredibilitas ditunjukkkan ketika partisipan
mengungkapkan bahwa transkrip penelitian memang benar-benar sebagai
pengalaman dirinya sendiri.
33
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
Meulaboh adalah ibu kota Kabupaten Aceh Barat, Aceh, Indonesia. Kota
ini terletak sekitar 175 km tenggara Kota Banda Aceh di Pulau Sumatera. Kota
Meulaboh meliputi Kecamatan, yaitu Kecamatan Johan Pahlawan, sebagian
Kaway XVI dan Kecamatan Meureubo. Meulaboh adalah kota kelahiran
Pahlawan Nasional Teuku Umar Johan Pahlawan. Sebelum dikenal dengan
sebutan Meulaboh, dahulunya kawasan tanjung ini bernama Pasi Karam.
Penyebutan Meulaboh diduga kuat terkait dengan letaknya yang berdekatan
dengan laut sehingga menjadikannya sebagai kawasan pelabuhan yang strategis.
Disamping itu, ada juga pendapat yang mengatakan bahwa penyebutan
Meulaboh terkait dengan sejarah eksodusnya sejumlah warga minangkabau dari
Sumatera Barat yang ketika itu berada dibawah cengkeraman penjajah belanda ke
sejumlah titik di sepanjang pesisir Barat dan Selatan Aceh. Dalam versi ini,
dikisahkan bahwa diantara gelombang besar eksodus tersebut terdapat kelompok
kecil yang berlabuh di Pesisir Kota Meulaboh sekarang, lalu peristiwa pendaratan
ini dikait-kaitkan dengan asal-muasal penamaan meulaboh, mengingat kata
meulaboh sendiri dalam bahasa Aceh berarti berlabuh. Meulaboh tercatat sebagai
daerah ramai pertama Aceh Barat di abad ke-16 yang pada saat itu diperintah raja
bergelar Teuku Keujruen Meulaboh. Meulaboh sebelum bencana gempa tsunami
banyak ditemukan tempat sejarah seperti makam kolonial Belanda tepatnya
34
didepan Makorem Meulaboh, juga ditemukan peninggalan Jepang seperti Bunker
pertahanan.
Meulaboh merupakan kota terbesar di pesisir barat-selatan Aceh dan salah
satu area terparah akibat bencana tsunami yang dipicu oleh gempa bumi Samudra
Hindia Tahun 2004 lalu. Pekerjaan sebagian besar penduduk Meulaboh
mencerminkan kehidupan perkotaan, yakni perdagangan dan jasa. Kota Meulaboh
masuk dalam teritorial wilayah Kabupaten Aceh Barat yang memiliki luas
wilayah 2.987,95 KM2 dan secara geografis terletak pada 04
006
I - 04
047
I Lintang
Utara dan 95052
I – 96
030
I Bujur Timur dengan batas wilayah sebagai berikut;
a. Sebelah utara berbatasan dengan kabupaten Aceh Jaya dan kabupaten
Pidie
b. Sebelah selatan berbatasan dengan samudera Indonesia dan kabupaten
Nagan Raya
c. Sebelah timur berbatasan dengan kabupaten Aceh Tengah dan kabupaten
Nagan Raya
d. Sebelah barat berbatasan dengan Samudera Hindia
Kota ini sudah dapat dicapai melalui tiga jenis angkutan. Angkutan darat
dari arah barat (via Banda Aceh), dari arah utara (via Bereuneun) dan arah timur
(via Tapaktuan). Angkutan laut melalui pelabuhan Ujong Karang (biasanya
membawa barang). Angkutan udara yang belum lama ini beroperasi adalah
Bandara Cut Nyak Dhien, walaupun sebenarnya sekarang berada dalam wilayah
Kabupaten Nagan Raya, namun jarak tempuh yang tidak jauh (15-25 menit dari
Kota Meulaboh dengan angkutan darat).
35
Ada beberapa jalan utama di kota ini, antara lain Jalan Nasional, Jalan
Teuku Umar, Jalan Iskandar Muda, Jalan Singgahmata, Jalan Manekroo, Jalan
Imam Bonjol, Jalan Sisingamangaraja, dan Jalan Gajah Mada. Selain merupakan
jalan utama, jalan-jalan tersebut adalah daerah pemusatan ekonomi daerah ini,
termasuk Jalan Daod Dariyah sebagai pusat pasar rakyat.
4.2. Hasil Penelitian
Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan fenomena umum yang terjadi di
kota-kota besar di Indonesia. Kasus PKL ini dinilai banyak pihak sebagai suatu
bentuk dari kegagalan pemerintah menyediakan lapangan kerja untuk kaum
miskin. Kota Meulaboh merupakan salah satu kota yang juga banyak dihuni oleh
para Pedagang Kaki Lima. Keberadaan PKL di Kota Meulaboh terlihat terus
berkembang setiap tahunnya.
Gambar Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Meulaboh
36
Ketika ditanyakan tentang perkembangan keberadaan Pedagang Kaki
Lima (PKL) di Kota Meulaboh, para informan memberikan tanggapannya melalui
petikan wawancara berikut ini;
“Menurut pengamatan kami, selama ini memang perkembangan
keberadaan PKL di Kota Meulaboh semakin manjamur. Hal ini dapat
kita lihat setiap sudut jalan Kota Meulaboh mulai dihuni oleh para PKL
yang menjajakan dagangannya” (Syarwanizar, Masyarakat Kota
Meulaboh)
“Kalau saya lihat selama ini keberadaan PKL di Kota Meulaboh
semakin banyak dan semakin beragam saja. Tidak hanya di wilayah
pasar saja yang banyak PKL nya, tapi dibeberapa jalan utama di Kota
Meulaboh juga telah banyak PKL yang berjualan” (Khairuzzadi, S.STP,
Kasat Pol PP dan WH)
“Berdasarkan pengamatan dan data yang ada pada kami memang selama
ini jumlah Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Meulaboh semakin
berkembang dan bertambah dari tahun ke tahun. Hal ini dapat kita lihat
dibeberapa jalan utama di Kota Meulaboh yang semakin dipenuhi oleh
PKL” (Chairizal Ramli, Kasi Trantib Pol PP dan WH)
Keberadaan PKL di Kota Meulaboh yang semakin menjamur tentunya
memunculkan pandangan berbeda-beda di dalam masyarakat. Ada masyarakat
yang menganggap PKL itu sesuatu kegiatan informal yang mengganggu
ketertiban umum, ada juga masyarakat yang menganggap PKL itu sesuatu hal
yang positif karena membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Ketika
ditanyakan tentang pandangan informan tentang keberadaan PKL, maka para
informan penelitian membrikan tanggapannya sebagai berikut;
“Menurut saya, Pemerintah selama ini menganggap bahwa PKL
merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang tidak formal atau tidak
diakui. Keberadaan PKL dianggap dapat merusak atau mengganggu
ketertiban umum, terutama bagi para pengguna jalan. Sehingga
pemerintah telah mengeluarkan peraturan untuk melarang para PKL
melakukan aktifitasnya karena dianggap mengganggu ketertiban umum”
(Khairuzzadi, S.STP, Kasat Pol PP dan WH)
37
“Menurut pandangan saya, PKL merupakan sebuah kegiatan ekonomi
masyarakat yang dilakukan tidak pada tempatnya. Keberadaan PKL
selama ini sangat mengganggu ketertiban kota, karena keberadaan PKL
selama ini telah memakan ruas jalan-jalan utama di Kota Meulaboh,
sehingga mengganggu kenyamanan masyarakat pengguna jalan”
(Husaini, Masyarakat Kota Meulaboh)
“Keberadaan PKL pada dasarnya sangat membantu masyarakat kecil
yang menggantungkan hidupnya dengan berjualan, namum
perkembangannya selama ini PKL terlihat semakin tidak tertib dan
semeraut, sehingga keberadaan PKL selama ini telah meresahkan
masyarakat lainnya, terutama para pengguna jalan” (Edi Faisal,
Masyarakat Kota Meulaboh)
“Keberadaan PKL selama ini saya lihat telah menggangu pemandangan
dan keindahan kota meulaboh. Disetiap sudut kota telah banyak dihuni
oleh PKL sehingga kota nampak tidak teratur dan tidak tertib”
(Sulaiman D, Anggota Satpol PP dan WH)
Ketika ditanyakan tentang permasalahan yang akan ditimbulkan dari
keberadaan PKL di Kota Meulaboh, para informan memberikan jawabannya
melalui petikan wawancara berikut ini:
“Tentunya banyak permasalahan yang ditimbulkan dari keberadaan PKL
ini, terutama masalah ketertiban umum. Keberadaan PKL membuat Kota
Meulaboh tidak tertib. Selain itu, keberadaan PKL yang memakan
hampir sebagian ruas jalan utama sering sekali menimbulkan kemacetan
dan tidak jarang menyebabkan kecelakaan oleh para pengguna jalan”
(Chairizal Ramli, Kasi Trantib Pol PP dan WH)
“Menurut saya ada beberapa permasalahan yang dimunculkan dengan
keberadaan PKL ini, diantaranya adalah masalah keindahan Kota
Meulaboh yang sudah tidak terlihat lagi. Dengan menjamurnya PKL
maka Kota Meulaboh terlihat semberaut dan tidak teratur. Kemudian
juga masalah kebersihan. Keberadaan PKL biasanya menimbulkan
banyak sampah yang berserakan dijalan-jalan sehingga Kota terlihat
sangat kotor” (Syarwanizar, Masyarakat Kota Meulaboh)
“Menurut pandangan saya, keberadaan PKL memang menimbulkan
beberapa masalah seperti seringnya terjadi kecelakaan dibeberapa ruas
jalan karena hampir sebagian besar jalan dihuni oleh para pedagang
sehingga membuat jalan menjadi sempit. Keberadaan PKL juga
membuat Kota tidak tertib dan tidak teratur” (Khairuzzadi, S.STP, Kasat
Pol PP dan WH)
38
“Ada beberapa masalah yang ditimbulkan oleh PKL selama ini, yaitu
masalah kebersihan kota, ketertiban kota, dan jalan kota yang semakin
sempit karena telah ditempati oleh para pedagang kali lima” (Aidy
Faudi, Anggota Satpol PP dan WH)
“Keberadaan PKL selama ini memang menguntungkan bagi sebagian
orang, terutama para pedagang. Namun permasalahan atau kerugian
yang ditimbulkan jauh lebih besar, terutama bagi masyarakat umum di
Kota Meulaboh. Keberadaan PKL membuat Kota menjadi tidak tertib
dan mengganggu ketertiban umum, yaitu bagi pengguna jalan yang
selama ini sangat resah dengan keberadaan PKL yang menempati
sebagian ruas jalan, sehingga jalan semakin sempit dan memunculkan
kemacetan dan kecelakaan” (Edi Faisal, Masyarakat Kota Meulaboh)
Dari pemaparan di atas, kita melihat bahwa banyak permasalahan yang
timbul dari keberadaan PKL ini, namun keberadaan PKL di Kota Meulaboh
samakin berkembang. Para Pedagang Kaki Lima seakan tidak perduli terhadap
dampak yang ditimbulkan dari keberadaan mereka.
Salah seorang Pedagang Kaki Lima (PKL) di Jalan Manek Roo sedang
menawarkan barang dagangannya kepada pembeli
39
Ditanyakan alasan para pedagang berjualan di pinggir jalan umum, maka
informan memberikan jawabannya sebagai berikut;
“Kalau berjualan disini biasanya barang dagangan lebih banyak laku,
karena pembeli tidak harus masuk kepasar untuk membeli barang yang
dibutuhkan. Keberadaan kami sebanarnya juga membantu masyarakat
agar tidak capek-capek ke pasar” (Asnudin, PKL di Jalan Manek Roo)
“Berjualan dipinggir jalan ini lebih mudah dan pembelinya lebih banyak.
Kalau ada yang mau beli, tinggal singgah aja dipinggir jalan, tanpa harus
masuk ke pasar. Kalau ke pasarkan lebih repot, harus berjalan kaki lagi”
(Siti Maria, PKL di Jalan Daud Dariah)
“Menurut saya, alasan ekonomis yang membuat para pedagang berjualan
dipinggir jalan, yaitu barang yang dijual biasanya lebih cepat laku,
karena setiap orang yang lewat akan melihat barang dagangan tersebut
dan tertarik untuk membelinya. Artinya, berjualan dipinggir jalan lebih
mudah dijangkau oleh masyarakat umum” (Husaini, Masyarakat Kota
Meulaboh)
Ketika ditanyakan apakah para PKL mengetahui tentang larangan
berjualan dipinggir jalan umum, para informan memberikan tanggapannya
melalui petikan wawancara sebagai berikut;
“Tahu, kami mengetahui bahwa dilarang berjualan di sekitar sini.
Kawan-kawan lain yang berjualan disini juga tahu, tapi ya coba-coba
aja, selama belum diusir petugas” (Razali, PKL di Jalan Manek Roo)
“Iya, saya tahu. Ada sering beberapa petugas penertiban yang datang
untuk memberitahu dan menempelkan selebaran-selebaran berupa
larangan berjualan disini” (Hamdani, PKL di Jalan Daud Dariah)
“Saya fikir para pedagang kaki lima tersebut sudah tahu kalau dilarang
berjualan dipinggir-pinggir jalan umum, namum mereka tidak peduli
dengan larangan tersebut, yang terpenting bagimana barangnya laku”
(Juriah, Masyarakat Kota Meulaboh)
“Kami pastikan bahwa mereka mengetahui kalau tidak boleh berjualan
di sembarang tempat dan berjualan dipinggir jalan umum, namun
mereka tidak mau mematuhi aturan-aturan yang telah dibuat” (Chairizal
Ramli, Kasi Trantib Pol PP dan WH)
40
Gambar Lapak Pedagang Kaki Lima (PKL) yang memakan sebagian ruas jalan
utama di Kota Meulaboh. Para PKL tetap berjualan walaupun telah memdapat
larangan dari para aparat penertiban.
Larangan tentang berjualan kepada para PKL telah tertuang dalam
peraturan daerah/qanun Kabupaten Aceh Barat. Pemerintah melalui aparaturnya
melakukan kegiatan sosialisasi kepada para pedagang tentang larangan berjualan
di pinggir jalan umum. Ketika ditanyakan tentang sosialisai terhadap larangan
berjualan di pinggir jalan umum terhadap para PKL, informan penelitian
memberikan jawabannya sebagai berikut:
“Selama ini kami dari pihak pemerintah telah melakukan sosialisasi
kepada para PKL tentang larangan berjualan di jalan umum. Kegiatan
sosialisasi tersebut kami lakukan melalui himbauan secara langsung
melalui pengeras suara, mendatangi langsung para PKL untuk
memberitahukan larangan tersebut dan melalui selebaran-selebaran yang
kami tempelkan ditempat-tempat umum” (Khairuzzadi, S.STP, Kasat
Pol PP dan WH)
“Menurut pengamatan saya, pemerintah melalui aparat penertiban umum
telah melakukan sosialisasi kepada para pedagang tentang larangan
berjualan di ruas jalan umum. Para aparat terlihat mendatangi satu
41
persatu para pedagang kaki lima untuk memberitahukan larangan
berjualan di jalan-jalan umum” (Husaini, Masyarakat Kota Meulaboh)
“Ada, selama ini pemerintah kabupaten telah melakukan sosialisasi
tentang larangan berjualan di ruas-ruas jalan umum. Sosialisasi tersebut
biasanya melalui selebaran-selebaran yang dibagikan kepada para
pedagang kaki lima. Ada juga hibauan dalam bentuk baliho yang
dipajang di tempat para PKL melakukan aktifitasnya” (Chairizal Ramli,
Kasi Trantib Pol PP dan WH)
“Iya, harus diakui memang pemerintah Aceh Barat telah melakukan
sosialisasi kepada kami tentang larangan berjualan dipinggir jalan
melalui selebaran-selebaran yang dibagikan dan spanduk yang
ditempelkan” (Asnudin, PKL di Jalan Manek Roo)
Ketika ditanyakan tentang sikap para PKL terhadap larangan dari
pemerintah untuk berjualan dipinggir jalan, maka informan memberikan
jawabannya;
“Sikap yang ditunjukkan oleh PKL selama ini menurut saya masih diluar
apa yang kita harapkan, PKL tidak memperdulikan larangan tersebut.
Mereka tetap menjalankan aktifitasnya seperti biasa” (Chairizal Ramli,
Kasi Trantib Pol PP dan WH)
“Tidak ada perubahan apapun ketika larangan berjualan itu telah
disampaikan, justru terlihat keberadaan PKL semakin banyak
menempati tiap ruas jalan yang ada di Kota Meulaboh” (Anhar, Anggota
Satpol PP dan WH)
Dengan kondisi seperti itu, tentunya harus ada sikap tegas dari pemerintah
untuk melakukan penertiban terhadap para PKL tersebut. Ditanyakan apakah
selama ini pemerintah telah melakukan penertiban, maka para informan
memberikan tanggapannya sebagai berikut;
“Iya, setelah sosialisasi yang kami sampaikan tidak didengar oleh para
PKL, maka kami selanjutnya melakukan penertiban sesuai dengan
peraturan yang ada. Hal ini kami lakukan demi terciptanya kenyamanan
masyarakat di Kota Meulaboh” (Khairuzzadi, S.STP, Kasat Pol PP dan
WH)
42
“Ada, selaian melakukan sosialisasi dan larangan kepada para PKL,
pemerintah melalui aparatur penertiban juga melakukan penertiban
terhadap para PKL. Penertiban ini dilakukan dalam rangka menciptakan
keteraturan dan keindahan kota” (Edi Faisal, Masyarakat Kota
Meulaboh)
“Iya, pemerintah melalui petugas Satpol PP sering melakukan penertiban
terhadap kami para PKL disini. Mereka datang beramai-ramai dengan
menggunakan mobil patrol keamanan dan berpakaian dinas lengkap”
(Razali, PKL di Jalan Manek Roo)
Ketika ditanyakan dalam bentuk apa kegiatan penertiban itu dilakukan,
maka para informan secara keseluruhan memberikan tanggapan yang hampir
sama, berikut petikan wawancaranya;
“Kegiatan penertiban yang kami lakukan biasanya dalam bentuk
pengusiran terhadap para PKL tersebut. Tidak jarang juga kami dari
aparat penertiban melakukan penggusuran dan penyitaan terhadap
tempat berjualan PKL yang masih membandel dan tidak mendengarkan
para petugas” (Chairizal Ramli, Kasi Trantib Pol PP dan WH)
“Penertiban yang dilakukan berupa pengusiran PKL dari tempat mereka
berjualan, penggusuran tempat berjualan, pembersihan tempat berjualan
dan melakukan penyitaan terhadap tempat dan bahan dagangan para
PKL. Hal itu biasanya kami lakukan kalau memang PKL yang
bersangkutan tidak mau mematuhi dan mendengarkan arahan kami”
(Sulaiman D, Anggota Satpol PP dan WH)
“Kalau saya lihat, bentuk penertiban PKL di Kota Meulaboh selama ini
yang dilakukan oleh Satpol PP sama seperti daerah lain, seperti
pengusiran dan penggusuran tempat berjualan para PKL” (Syarwanizar,
Masyarakat Kota Meulaboh)
Ketika ditanyakan tentang hukuman yang diberikan kepada PKL yang
tetap berjualan meskipun telah mengetahui larangan berjulan di jalan umum,
informan memberikan jawabannya sebagai berikut;
“Hukuman yang selama ini diberikan adalah berupa peringatan kepada
para pedagang kaki lima tersebut melalui surat teguran secara tertulis.
Kemudian pengusiran terhadap mereka yang masih berjualan serta
penyitaan barang PKL untuk didata dan diberi pengarahan dan
bimbingan” (Khairuzzadi, S.STP, Kasat Pol PP dan WH)
43
“Belum terlihat suatu hukuman yang tegas atau berat dari aparat
penertiban, hukuman selama ini hanya bersifat administrative atau
teguran-teguran, pengusiran dan penyitaan barang PKL untuk sementara,
yang kemudian nanti dikembalikan kepada pemiliknya setelah diberikan
pengarahan” (Husaini, Masyarakat Kota Meulaboh)
Penertiban yang dilakukan oleh aparatur Satpol PP tentunya diharapkan
mampu memberikan efek jera kepada para PKL untuk tidak lagi menjalankan
aktifitasnya di jalam umum. Ketika ditanyakan apakah selama ini penertiban yang
dilakukan memberikan efek jera kepada para PKL, para informan memberikan
tanggapannya melalui petikan wawancara berikut ini;
“Menurut pengamatan kami, penertiban yang dilakukan selama ini tidak
memberikan efek jera kepada para PKL. Kalau pun ada, itu hanya untuk
sesaat. besok-besok pasti mereka kembali berjualan” (Juriah,
Masyarakat Kota Meulaboh)
“Menurut pengamatan saya selama ini, penertiban yang dilakukan belum
memberikan efek jera kepada para pedagang kaki lima. Mereka terlihat
tetap berjualan ketika sudah tidak ada lagi petugas. Penertiban yang
dilakukan seolah-olah hanya untuk sesaat saja” (Anhar, Anggota Satpol
PP dan WH)
“Menurut saya tidak, karena beberapa rekan kami yang dulu pernah kena
dalam penertiban, sekarang telah kembali lagi berjualan. Kami ini kan
cuma mencari makan, jangan lah diusir-usir. Kalau pun diusir, kami
akan tetap berjualan juga, kalau tidak disini, ya ditempat lain” (Razali,
PKL di Jalan Manek Roo)
Dari penjelasan di atas, kita melihat bahwa PKL di Kota Meulaboh seakan
tidak takut terhadap larangan-larangan dari pemerintah setempat, hal ini terlihat
dari keberadaan PKL yang masih saja ada walaupun pemerintah melalui
aparaturnya telah melakukan kegiatan-kegiatan penertiban. Dari hasil penelitian
melalui observasi di lapangan, para PKL merasa kalau mereka mendapatkan izin
berjualan di pinggir jalan karena telah membayarkan retribusi kepada petugas.
44
Ketika ditanyakan apakah pemerintah Kabupaten Aceh Barat melakukan
pungutan retribusi kepada para PKL, maka informan penelitian memberikan
tanggapannya melalui petikan wawancara berikut ini;
“Ada, setiap hari ada petugas yang berpakaian lengkap mengutip
pajak/retribusi kepada kami, dan kami setiap hari memberikannya, tidak
pernah absen, ini contoh karcis retribusinya (sambil menunjukkan
sepotong kertas bukti pembayaran retribusi berwarna kuning)” (Siti
Maria, PKL di Jalan Daut Dariah)
“Kami selalu dikutip uang retribusi setiap hari, makanya kami santai saja
berjualan disini, karena kami sudah bayar pajaknya kepada petugas,
berarti secara tidak langsung kan kami telah boleh berjualan disini”
(Asnudin, PKL di Jalan Manek Roo)
“Kutipan retribusi selalu dilakukan oleh pemerintah melalui
pegawainya. Pasti ada petugas yang datang mengutip iuaran pajak setiap
hari” (Sulaiman D, Anggota Satpol PP dan WH)
“Menurut pengamatan saya, memang selama ini para pedagang kaki
lima dikutip retribusi oleh para petugas. Hal ini juga yang mengherankan
bagi saya, PKL dilarang berjualan oleh petugas penertiban, tetapi
petugas lain melakukan pungutan retribusi” (Husaini, Masyarakat Kota
Meulaboh)
“Iya, ada. Pengutipan itu memang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten
Aceh Barat melalui petugas yang bekerja pada Dinas Pengelolaan
Keuangan dan Kekayaan Daerah” (Chairizal Ramli, Kasi Trantib Pol PP
dan WH)
“Iya, petugas kami selama ini yang melakukan kutipan retribusi kepada
para PKL. Kami hanya menjalankan perintah atasan saja, mengenai
kebijakan lain kami tidak tahu” (Maman, Kepala UPTD Pasar
Meulaboh)
Ketika ditanya mengenai tanggapan para informan terhadap kutipan yang
dilakukan oleh para petugas, maka masing-masing informan memberikan
jawabannya sebagai berikut;
“Kalau kami tidak jadi masalah, yang penting kami bisa berjualan dan
mencari nafkah. Kamudian, karena kami sudah bayar, jadi kepada
pemerintah jangan lah mengusir-ngusir kami berjualan. Jangan sampai
45
uang kami di ambil, tapi kami dilarang berjualan” (Asnudin, PKL di
Jalan Manek Roo)
“Itulah yang mengherankan bagi kami, disuatu sisi kami diharuskan
melakukan penertiban, tapi disisi lain petugas pemerintah melakukan
kutipan. Bagaimana kita mau melakukan penertiban karena kalau
pemerintah melakukan kutipan retribusi, berarti pemerintah mengakui
keberadaan PKL tersebut dan berarti tidak ada maslah kalau mereka
berjualan di jalan umum” (Khairuzzadi, S.STP, Kasat Pol PP dan WH)
“Hal tersebut perlu dilakukan pengkajian ulang. Karena memang terlihat
pemerintah belum konsisten atau belum satu suara dalam menanggapi
keberadaan PKL yang semakin hari semakin menjamur di Kota
Meulaboh” (Chairizal Ramli, Kasi Trantib Pol PP dan WH)
“Melakukan kutipan retribusi kepada PKL merupakan kesalah dari
pemerintah daerah, karena itu sama dengan memberikan izin kepada
mereka untuk berjualan di pinggir-pinggir jalan utama Kota Meulaboh,
dan hal tersebut sangat bertentangan dengan peraturan yang dibuat oleh
pemerintah itu sendiri” (Syarwanizar, Masyarakat Kota Meulaboh)
Ketika ditanyakan bagaimanakah pelaksanaan penertiban PKL secara
keseluruhan yang telah berlangsung di Kota Meulaboh, para informan
memnerikan jawabannya melalui prtikan wawancara berikut ini;
“Menurut saya, secara keseluruhan pelaksanaan penertiban Pedagang
Kaki Lima di Kota Meulaboh belum berjalan dengan baik atau belum
maksimal. Karena samapai saat ini kita masih melihat keberadaan PKL
di beberapa ruas jalan utama di Kota Meulaboh” (Edi Faisal, Masyarakat
Kota Meulaboh)
“Penertiban PKL selama ini telah dilakukan sebagaimana mestinya,
walaupun hasilnya masih belum maksimal. Hal ini tidak terlepas dari
kebijakan melakukan kutipan retribusi yang dilakukan oleh petugas
pasar kepada para PKL, sehingga para aparatur penertiban sulit untuk
menertibkan PKL” (Chairizal Ramli, Kasi Trantib Pol PP dan WH)
“Menurut pendapat saya, penertiban PKL di Kota Meulaboh belum
berjalan dengan maksimal. Hal ini terjadi karena pemerintah belum
konsisten dan kompak dalam menyikapi tentang keberadaan PKL ini.
Kutipan retribusi yang dilakukan oleh petugas pasar menjadi salah satu
penyebab sulitnya menertibkan PKL di Kota Meulaboh, karena kutipan
retribusi tersebut secara mengakui keberadaan PKL di Kota Meulaboh”
(Husaini, Masyarakat Kota Meulaboh)
46
4.3. Pembahasan
Implementasi merupakan tahapan proses kebijakan publik yang memiliki
banyak pengertian. Implementasi kebijakan merupakan sesuatu yang penting,
bahkan lebih penting dari sekedar impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi
dalam arsip kalau tidak diimplementasikan. Implementasi kebijakan
sesungguhnya bukanlah sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran
keputusan-keputusan politik kedalam prosedur-prosedur rutin melalui saluran
birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut konflik, keputusan, dan siapa
yang memperoleh apa dari suatu kebijakan. Winarno dalam Limbong (2006:190)
menyatakan bahwa implementasi kebijakan adalah suatu proses melaksanakan
atau menerapkan kebijakan setelah kebijakan itu disahkan untuk menghasilkan
outcome yang diinginkan.
Fenomena menjamurnya Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota-kota besar
di Indoenesia memunculkan berbagai permasalahan. Masalah PKL merupakan
dilema bagi semua pihak, di satu sisi PKL sebagai sarana jual beli yang sebagian
besar masyarakat menggunakan jasanya, di sisi lain PKL dapak membuat kota
menjadi semberawut. Berbagai kebijakan dan peraturan telah dibuat dalam rangka
menangani keberadaan PKL ini, namun keberadaan PKL masih saja belum dapat
teratasi dengan baik. Implementasi kebijakan penertiban di lapangan sering sekali
mendapat berbagai kendala, baik yang muncul dari pemerintah sebagai
pelaksanaan kebijakan, lingkungan masyarakat dan PKL itu sendiri.
Kota Meulaboh merupakan salah satu kota yang juga banyak dihuni oleh
para Pedagang Kaki Lima. Dari hasil penelitian di lapangan ditemukan fakta
47
bahwa keberadaan PKL di Kota Meulaboh terlihat terus berkembang setiap
tahunnya. Hal ini dapat kita lihat dibeberapa jalan utama di Kota Meulaboh yang
semakin dipenuhi oleh PKL. Keberadaan PKL di Kota Meulaboh yang semakin
menjamur tentunya memunculkan pandangan berbeda-beda di dalam masyarakat.
Ada masyarakat yang menganggap PKL itu sesuatu kegiatan informal yang
mengganggu ketertiban umum, ada juga masyarakat yang menganggap PKL itu
sesuatu hal yang positif karena membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat.
4.3.1. Implementasi Kebijakan Penertiban PKL
Dari hasil penelitian di lapangan, secara keseluruhan para informan
penelitian baik yang berasal dari masyarakat maupun pemerintah memberikan
pandangan yang sama terhadap keberadaan PKL ini, yaitu PKL merupakan salah
satu kegiatan ekonomi yang tidak formal atau tidak diakui. Keberadaan PKL
dianggap dapat mengganggu ketertiban umum, menggangu pemandangan dan
keindahan kota.
Keberadaan PKL di Kota Meulaboh selama ini telah menimbulkan banyak
permasalahan, keberadaan PKL membuat Kota Meulaboh menjadi tidak tertib dan
menimbulkan banyak sampah yang berserakan dijalan-jalan sehingga Kota terlihat
sangat kotor. Selain itu, keberadaan PKL yang memakan hampir sebagian ruas
jalan utama sering sekali menimbulkan kemacetan dan tidak jarang menyebabkan
kecelakaan oleh para pengguna jalan. Dari penjelasan di atas, kita melihat bahwa
banyak permasalahan yang timbul dari keberadaan PKL ini, namun demikian
keberadaan PKL di Kota Meulaboh samakin berkembang. Para Pedagang Kaki
48
Lima seakan tidak perduli terhadap dampak yang ditimbulkan dari keberadaan
mereka.
Hal ini tentunya bukan tanpa alasan, terdapat beberapa hal yang
menyebabkan para PKL tetap menjalankan aktifitasnya. Dari hasil penelitian
ditemukan fakta bahwa alasan ekonomis yang membuat para PKL tetap bertahan
untuk berjualan di pinggir jalan. Berjualan dipinggir jalan ini lebih mudah dan
pembelinya lebih banyak. Masyarakat tidak harus masuk ke pasar untuk membeli
barang yang diinginkan. Para PKL mengetahui tentang larangan berjualan
dipinggir jalan umum, namun alasan ekonomis inilah yang membuat sampai saat
ini para PKL masih tetap bertahan. Pemerintah Kabupaten Aceh Barat melalui
aparaturnya telah melakukan kegiatan sosialisasi kepada para pedagang tentang
larangan berjualan di pinggir jalan umum.
Kegiatan sosialisasi tersebut dilakukan melalui himbauan secara langsung
melalui pengeras suara, mendatangi langsung para PKL untuk memberitahukan
larangan tersebut dan melalui selebaran-selebaran yang kami tempelkan ditempat-
tempat umum. Selain itu, terdapat juga hibauan dalam bentuk baliho tentang
larangan berjualan di tempat umum yang dipajang di tempat para PKL melakukan
aktifitasnya.
Tindakan sosialisasi yang dilakukan oleh para aparatur pemerintah selama
ini terkesan hanya sia-sia. Dari hasil penelitian di lapangan, terlihat bahwa sikap
yang ditunjukkan oleh PKL selama ini menurut saya masih diluar apa yang
diharapkan, PKL tidak memperdulikan larangan tersebut. Mereka tetap
menjalankan aktifitasnya seperti biasa. Tidak ada perubahan apapun ketika
49
larangan berjualan itu telah disampaikan, justru terlihat keberadaan PKL semakin
banyak menempati tiap ruas jalan yang ada di Kota Meulaboh. Dengan kondisi
seperti itu, tentunya harus ada sikap tegas dari pemerintah Kabupaten Aceh Barat.
Selama ini tindakan yang dilakukan oleh aparatur Satpol PP adalah dengan
melakukan penertiban terhadap para PKL tersebut. Penertiban dilakukan demi
terciptanya keteraturan, keindahan kota dan kenyamanan masyarakat di Kota
Meulaboh. Kegiatan penertiban yang dilakukan oleh para aparatur penertiban
biasanya dalam bentuk pengusiran terhadap para PKL tersebut. Tidak jarang juga
aparat penertiban melakukan penggusuran dan penyitaan terhadap tempat
berjualan PKL yang masih membandel dan tidak mendengarkan para petugas.
Selain tindakan penertiban, pemerintah Kabupaten Aceh Barat melalui
aparatur penertiban juga memberikan hukuman kepada para PKL yang berulang
kali melaksanakan aktifitasnya walaupun sudah mendapatkan peringatan dari
aparat. Hukuman yang diberikan selama ini hanya bersifat administratif atau
teguran-teguran, pengusiran dan penyitaan barang PKL untuk sementara, yang
kemudian nanti dikembalikan kepada pemiliknya setelah didata, diberikan
pengarahan dan bimbingan. Sampai saat ini belum terlihat pemberian hukuman
yang tegas kepada para PKL, sehingga apa yang telah dilakukan oleh aparatur
penertiban selama ini tidak memberikan efek jera kepada para PKL, mereka akan
kembali berjualan setelah dilakukan penertiban,pengarahan dan pembinaan seperti
yang telah dijelaskan di atas.
50
4.3.2. Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan Penertiban PKL
Dari penjelasan di atas, maka terlihat para PKL di Kota Meulaboh selama
ini cukup sulit untuk ditertibkan. Sikap yang ditunjukkan para PKL tersebut
bukannya tanpa alasan, selama ini para PKL merasa mereka adalah pelaku
ekonomi formal dan diakui oleh pemerintah daerah Kabupaten Aceh Barat, karena
meraka. Para PKL merasa kalau mereka mendapatkan izin berjualan di pinggir
jalan karena telah membayarkan retribusi kepada petugas. Dari hasil penelitian
yang penulis lakukan, ditemukan fakta bahwa selama ini memang pemerintah
Kabupaten Aceh Barat melalui dinas terkait melakukan kutipan retribusi kepada
para PKL. Kutipan tersebut dilakukan setiap hari oleh petugas dari Unit Pengelola
Teknis Daerah (UPTD) Pasar Meulaboh. Bagi para PKL, kutipan retribusi
tersebut tidak menjadi masalah, mereka selalu membayarkan retribusi tersebut,
bagi mereka yang penting bisa berjualan dan mencari nafkah. Harapan PKL,
karena mereka sudah membayar retribusi, jadi kepada pemerintah untuk tidak
mengusir para PKL yang berjualan.
Melakukan kutipan retribusi kepada PKL merupakan kesalah dari
pemerintah daerah, karena itu sama dengan memberikan izin kepada mereka
untuk berjualan di pinggir-pinggir jalan utama Kota Meulaboh, dan hal tersebut
sangat bertentangan dengan peraturan yang dibuat oleh pemerintah Kabupaten
Aceh Barat sendiri. Hal tersebut juga mengherankan bagi para aparatur penertiban
khususnya Satpol PP, disuatu sisi mereka diharuskan melakukan penertiban
terhadap para PKL, namun disisi lain petugas pemerintah yang lain juga
melakukan kutipan. Bagaimana mungkin penertiban berhasil dilakukan kalau
51
pemerintah sendiri mengakui keberadaan PKL tersebut dengan melakukan kutipan
retribusi. Oleh karena itu, sangat wajar apabila penertiban yang dilakukan selama
ini belum berjalan dengan maksimal. Pemerintah belum konsisten dan kompak
dalam menyikapi tentang keberadaan PKL ini. Kutipan retribusi yang dilakukan
oleh petugas pasar menjadi salah satu penyebab sulitnya menertibkan PKL di
Kota Meulaboh, karena kutipan retribusi tersebut secara mengakui keberadaan
PKL di Kota Meulaboh.
52
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Dari pembahasan pada bagian sebelumnya, maka dapat diambil beberapa
keseimpulan sebagai berikut;
1. Implementasi penertiban Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Meulaboh
selama ini belum berjalan dengan maksimal. Hal tersebut dapat dilihat dari
masih banyaknya para PKL yang berjualan dipinggir jalan utama di Kota
Meulaboh dan jumlahnya pun terus mengalami peningkatan setiap tahun.
2. Terdapat beberapa faktor yang menjadi penghambat dalam implementasi
kebijakan penertiban pedagang kaki lima (PKL) di Kota Meulaboh
Kabupaten Aceh Barat, yaitu :
a) Belum adanya hukuman yang tegas terhadap para PKL yang masih
tetap berjualan dipinggir jalan walaupun telah berulang kali diperingati
oleh petugas. Hukuman yang diberikan selama ini hanya bersifat
administratif atau teguran-teguran, pengusiran dan penyitaan barang
PKL untuk sementara, yang kemudian nanti dikembalikan kepada
pemiliknya setelah didata, diberikan pengarahan dan bimbingan,
sehingga hal tersebut tidak memberikan efek jera kepada para
Pedagang Kaki Lima (PKL).
b) Pemerintah Kabupaten Aceh Barat belum konsisten dan kompak dalam
menyikapi keberadaan PKL di Kota Meulaboh. Hal ini terlihat dengan
dilakukannya kutipan retribusi terhadap para PKL yang berjualan di
53
pinggir jalan. Melakukan kutipan retribusi kepada PKL merupakan
kesalahan dari pemerintah daerah, karena itu sama dengan
memberikan izin kepada mereka untuk berjualan di pinggir-pinggir
jalan utama Kota Meulaboh, dan hal tersebut sangat bertentangan
dengan peraturan yang dibuat oleh pemerintah Kabupaten Aceh Barat
sendiri. Kutipan retribusi yang dilakukan oleh petugas pasar menjadi
salah satu penyebab sulitnya menertibkan PKL di Kota Meulaboh.
Disuatu sisi Petugas penertiban Satpol PP diharuskan melakukan
penertiban terhadap para PKL, namun disisi lain petugas pemerintah
yang lain juga melakukan kutipan retribusi. Bagaimana mungkin
penertiban berhasil dilakukan kalau pemerintah sendiri mengakui
keberadaan PKL tersebut dengan melakukan kutipan retribusi.
5.2. Saran
Berdasarkan uraian di atas, melalui kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan beberapa saran atau rekomendasi yang kiranya dapat digunakan
untuk perbaikan dalam menangani keberadaan PKL di Kota Meulaboh di masa
yang akan datang sebagai berikut:
1. Dalam rangka memberikan efek jera kepada para Pedagang Kaki Lima
(PKL), maka pemerintah dirasa perlu untuk membuat sebuah hukuman
atau sanksi yang tegas (tidak hanya hukuman administratif) terhadap para
PKL yang tetap melakukan aktifitasnya walaupun telah mendapat
peringatan dari petugas.
54
2. Perlu dilakukan pengkajian ulang terhadap kebijakan pengutipan retribusi
kepada para Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Meulaboh karena di
pandang bertentangan dengan peraturan yang telah dibuat oleh pemerintah
Kabupaten Aceh Barat.
3. Pemerintah harus lebih konsisten dan kompak terutama antara instansi
DPKKD dengan Kantor Satpol PP dan WH serta Dinas Perhubungan
dalam menyikapi keberadaan PKL di Kota Meulaboh serta menjalankan
peraturan yang telah dibuat sendiri oleh pemerintah.
4. Kepada Pemerintah Kabupaten Aceh Barat melalui instansi terkait
hendaknya dapat melakukan relokasi terhadap para PKL sehingga mereka
mendapatkan tempat berjualan yang layak dan permanen.
55
DAFTAR PUSTAKA
Danim, Sudarwan. 2002, Menjadi Peneliti Kualitatif, Bandung: Pustaka Setia.
Djaali, dkk, 2001, Wawasan Pengembangan Masyarakat dan Pembinaan Sektor
Informal, Jakarta, PT. Penebar Swadaya
Lexy,J Moleong, 2002, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja
Rosda Karya
Limbong, Dayat. 2006, Penataan Lahan PK-5 Ketertiban vs Kelangsungan hidup,
Jakarta: Pustaka Bangsa Press.
LPPM USU, 2002, Studi Penataan Dan Pembinaan Usaha Kaki Lima Di Kota
Medan, Pemko-Medan.
Mardalis. 2003, Metode penelitian: Suatu Pendekatan Proposal, Jakarta: Bumi
Aksara.
Milles, MB & Hubberman, AM, 2002, Analisis Data Kualitatif , Terjemahan oleh
Tjetjep Rohidi dan mulyarto, Jakarta, UI Percetakan
Narbuko, Cholid, dan Abu Achmadi. 2004, Metodologi Penelitian, Jakarta: Bumi
Aksara.
Putra, Fadillah, 2003, Paradigma Kritis Dalam Studi Kebijakan Publik,
Yogyakarta.
Safaruddin, 2006, Implementasi Kebijakan Pembentukan Kabupaten Aceh Barat
Daya Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Medan.
Soegeng Sarjadi, 2005. Kaum Pinggiran, Kelas Menengah Quo Vadis?, Jakarta,
BalaiPustaka.
56
Soenarko, 2002, Kebijaksanaan Perintah, Yogyakarta, Aditya Cipta Media,
Sugiyono, 2006. Metode Penelitian Administrasi, Bandung: Alfabeta.
------------, 2008. Metode Penelitian Administrasi, Bandung: Alfabeta.
Tangkilisan, Hessel Nogi. 2003, Implementasi Kebijakan Publik, Yogyakarta:
Lukman Offset dan Yayasan Pembaharuan Administrasi Publik.
Wibawa, Samudra. 2004, Evaluasi Kebijakan Publik, Jakarta: Raja Grafindo.
Kebijaksanaan Negara, Malang: Pustaka Bangsa.
Sumber lain:
Peraturan Bupati Aceh Barat Nomor 9 Tahun 2010
Hadiman Rico, Kebijakan Nasional dalam Penataan Ruang Kota, http://
www.bakosurtanal.go.id
http/www.arikresna.org/blog/online/penataan/pkl
http://www.pemkabacehbarat.go.id/sejarah/kota/meulaboh
http://www.iman-nugraha.net/content/files/PKL%20Riwayatmu%20Kini.20
Januari 2009
http://www.wikipwdia.com