IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ANTI KORUPSI DI DINAS …lib.unnes.ac.id/31904/1/3312413043.pdf ·...
Transcript of IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ANTI KORUPSI DI DINAS …lib.unnes.ac.id/31904/1/3312413043.pdf ·...
i
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ANTI KORUPSI DI DINAS KESEHATAN PROVINSI JAWA TENGAH
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana
Oleh
Ilham Said Maulidina 3312413043
JURUSAN POLITIK DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2017
ii
iii
iv
v
MOTTO
My religious philosophy is kindness. Try to be kind. That's something worth
achieving (Pierce Brosnan). Saya yakin kebaikan akan memberikan dampak yang
baik bagi sekitar. "Sesungguhnya Allah SWT menyuruh berlaku adil dan berbuat
kebaikan dan memberi kepada kaum kerabat dan melarang dari perbuatan keji,
dan hal yang tidak disenangi, dan memberontak. Dia memberi kamu nasihat
supaya kamu mengambil pelajaran." (Q.S. An-Nahl : 91).
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya dedikasikan kepada:
1. Kakek dari Ibu, Bapak H. M. A. Karim dan Nenek Hj. Itoh yang senantiasa
memanjatkan doa dan mendukung dalam segala bentuk materi yang ada.
2. Kedua orang tua, Ayah Drs. H. R. Abdul Mutholib, M.Ag dan Ibu Hj. Holidah
yang selalu mendoakan dan memberikan semangat untuk tidak menyerah.
3. Kedua adik, Abdul Fathoni dan Khalisa Putri Humaira yang bisa memberikan
hiburan dan rasa rindu kepada keluarga.
4. Adik dari Ibu, Tante Hj. Nonih Novita, S.E dan Paman H. Ade Roshadi, S.E
yang selalu meluangkan waktu untuk berbagi saran dalam menjalani
perkuliahan. Beserta seluruh keluarga besar dari Ibu, Mega Puspita yang
selalu ada setiap waktu dan semua keluarga besar Ayah.
5. Semua pihak lainnya yang telah membantu termasuk teman-teman Ilmu
Politik angkatan 2013, PKL, dan KKN atas pengalamannya.
vi
SARI
Maulidina, Ilham Said. 2017. Implementasi Kebijakan Anti Korupsi Di Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Skripsi. Jurusan Politik dan Kewarganegaraan.
Fakultas Ilmu Sosial. Universitas Negeri Semarang. Martien Herna Susanti, S.Sos,
M.Si dan Dr Eko Handoyo, M.Si. Halaman 114.
Kata Kunci: Implementasi, Kebijakan, Anti korupsi, Dinas Kesehatan Korupsi memiliki dampak yang sangat besar terhadap kerugian negara dari
berbagai macam sektor yang ada. Korupsi yang kerap dilakukan pejabat
pemerintahan hanya untuk kepentingan tertentu. Dampak yang ditimbulkan bisa
menyebar luas di masyarakat. Merupakan tindakan yang tidak bermoral dan tidak
terpuji. Bahkan di Indonesia mengenai pemberantasan korupsi sudah gencar
dilakukan, dengan keluarnya Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi yang antara lain berisu
instruksi kepada para Menteri, Jaksa Agung, Panglima TNI, Kapolri, Para Kepala
Lembaga Pemerintahan Non Departemen, Para Gubernur, serta para Bupati dan
Walikota untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi. Maka dengan begitu
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah menetapkan pula suatu visi Pemerintahan yaitu
menuju Jawa Tengah sejahtera dan berdikari dan sesuai dengan slogannya mboten
korupsi, mboten ngapusi untuk mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan
Provinsi Jawa Tengah yang bersih, jujur dan transparan. Merupakan suatu
perhatian pemerintah dalam menegakkan pelayanan pemerintah yang bebas dari
korupsi dengan anti korupsi untuk seluruh jajaran SKPD menegakkan anti korupsi
di lingkungan kerjanya. Salah satunya tujuan dari penelitian ini yang menjadi
perhatian ialah Dinas Kesehtan Provinsi Jawa Tengah. Untuk mengetahui
kebijakan anti korupsi yang ada di Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah dalam
mewujudkan visi pemerintah provinsi mboten korupsi, mboten ngapusi. Lalu,
mengartikan implementasi kebijakan anti korupsi di Dinas Kesehatan dalam
perspektif teori implementasi kebijakan dari Edward.
Sekretaris Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah dan Inspektur Pembantu
Khusus Inspektorat Provinsi Jawa Tengah yang menjadi sumber data primer
dengan metode wawancara. Data kemudian diperiksa dengan membandingkan dan
ditarik sebuah kesimpulan, dalam bentuk deskripsi.
Hasil dari penelitian menjelaskan bahwa kebijakan yang ada lalu
diimplementasi dalam bentuk suatu kegiatan dan program anti korupsi di Dinas
Kesehatan. Ada suatu perubahan yang terjadi setelah kegiatan dan program
selesai, kinerja pegawai menjadi cenderung lebih membaik.
Memberikan penghargaan (reward) karena komitmen tidak hanya berupa
kepatuhan dalam menjalankan tugas, tapi harus diikuti dengan komitmen untuk
mengapresiasi pegawai, diikuti dengan adanya tolak ukur yang jelas atau suatu
indikator penilaian dalam membuktikan kinerja pegawai.
vii
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberi rahmat dan hidayaNya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul
“Implementasi Kebijakan Anti Korupsi Di Dinas Kesehetan Provinsi Jawa
Tengah”.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat disusun dengan baik karena
bantuan dari berbagai pihak, oleh akrena itu penulis mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Fathur Rokhman, M.Hum, Rektor Universitas Negeri Semarang.
2. Drs. Moh. Solehatul Mustofa, M.A, Dekan Fakultas Ilmu Sosial.
3. Drs. Tijan, M.Si, Ketua Jurusan Politik dan Kewarganegaraan.
4. Moh. Aris Munandar, S.Sos, MM, Ketua Program Studi Ilmu Politik.
5. Martien Herna Susanti, S.Sos, M.Si, sebagai Dosen Pembimbing I yang selalu
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Dr. Eko Handoyo, M.Si, sebagai Dosen Pembimbing II yang telah banyak
memberikan saran dalam penulisan dan arahan kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
7. dr. Yulianto Prabowo, M.Kes, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah
yang telah berkenan untuk melakukan penelitian dalam penyelesaikan skripsi.
viii
8. Suharsi, SKM, M.Kes, selaku Sekretaris Dinas Kesehatan Provinsi Jawa
Tengah yang telah banyak meluangkan waktu untuk berkenan di wawancara
dan memberikan data guna menyelesaikan skripsi ini.
9. Drs. Soeharsono, M.Si, Inspektur pembantu khusus, Inspektorat Provinsi Jawa
Tengah yang telah berkenan untuk memberikan data yang dibutuhkan guna
menyelesaikan skripsi ini.
10. Semua pihak beserta staf di Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah dan
Inspektorat Provinsi Jawa Tengah yang telah membantu melaksanakan
penelitian hingga penulisan skripsi ini selesai.
Semarang, 16 Juni 2017
Penyusun
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................................... ii
PENGESAHAN KELULUSAN ........................................................................................... iii
PERNYATAAN .................................................................................................................... iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ......................................................................................... v
SARI ...................................................................................................................................... vi
PRAKATA ........................................................................................................................... vii
DAFTAR ISI ......................................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ................................................................................................................ xii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah .......................................................................................... 1
1.2.Rumusan Masalah ................................................................................................... 9
1.3.Tujuan Penelitian .................................................................................................... 9
1.4.Manfaat Penelitian .................................................................................................. 9
1.5.Batasan Istilah ....................................................................................................... 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Deskripsi Teoritis ................................................................................................. 16
2.1.1 Pengertian Kebijakan dan Implementasi Kebijakan ................................... 16
2.1.2 Pengertian Korupsi dengan Anti Korupsi ................................................... 24
2.1.3 Pengertian Pemerintah dan Pemerintahan .................................................. 34
x
2.2. Kerangka Berpikir ................................................................................................. 40
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Latar Penelitian .................................................................................................... 44
3.2. Fokus Penelitian ................................................................................................... 47
3.3. Sumber Data ......................................................................................................... 47
3.4. Alat dan Teknik Pengumpulan Data .................................................................... 48
3.5. Uji Validitas Data ................................................................................................. 51
3.6. Teknik Analisis Data ............................................................................................ 52
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Objek Penelitian ..................................................................... 54
4.1.1 Letak Geografis .......................................................................................... 54
4.1.1 Organisasi Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah ................................... 56
4.2. Hasil Penelitian .................................................................................................... 58
4.2.1 Kebijakan Mengenai Anti Korupsi .............................................................. 58
4.2.2 Upaya Dinas Kesehatan Dalam Anti Korupsi .............................................. 63
4.3. Pembahasan .......................................................................................................... 72
4.3.1Kebijakan Anti Korupsi Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah .............. 72
4.3.2Keputusan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Nomor:
900/406/2016/1.4 ................................................................................................. 75
4.3.3Keputusan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Nomor:
900/1255/2016/1.4 ............................................................................................... 78
xi
4.3.4 Implementasi Kebijakan Keputusan Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Tengah Nomor: 900/1255/2016/1.4 Dalam Perspektif
Edward: Komunikasi (Communication) .............................................................. 91
4.3.5 Implementasi Kebijakan Keputusan Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Tengah Nomor: 900/1255/2016/1.4 Dalam Perspektif
Edward: Sumber Daya (Resource) ...................................................................... 95
4.3.6 Implementasi Kebijakan Keputusan Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Tengah Nomor: 900/1255/2016/1.4 Dalam Perspektif
Edward: Struktur Organisasi (Bureaucratic Structures) ................................... 100
4.3.7 Implementasi Kebijakan Keputusan Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Tengah Nomor: 900/1255/2016/1.4 Dalam Perspektif
Edward: Komitmen (Dispotition Of Attitudes) .................................................. 104
BAB V PENUTUP
5.1. Simpulan ............................................................................................................ 108
5.2. Saran ................................................................................................................... 109
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 110
LAMPIRAN ....................................................................................................................... 115
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Tabel Struktur Organisasi Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah ...................... 57
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Model Implementasi Kebijakan Edward ............................................................ 22
Gambar 2. Kerangka Berpikir Penelitian ............................................................................. 43
Gambar 3. Letak Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah di Kota Semarang..................... 55
Gambar 4. Konsep Kadar Integritas ..................................................................................... 66
Gambar 5. Stuktur Birokrasi Tunas Integritas Dinas Kesehatan Provinsi Jawa
Tengah.............. .................................................................................................................. 101
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Instrumen Penelitian ...................................................................................... 115
Lampiran 2. Hasil Wawancara Pertama Ibu Suharsi, SKM, M.Kes .................................. 122
Lampiran 3. Hasil Wawancara Kedua Ibu Suharsi, SKM, M.Kes ..................................... 128
Lampiran 4. Hasil wawancara dengan Bapak Drs. Soeharsono, M.Si ............................... 138
Lampiran 5. Keputusan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah ......................... 140
Lampiran 6. Dokumentasi Sosialisasi Gerakan Nasional
Revolusi Mental (GNRM) Dan Internalisasi Nilai-Nilai Integritas Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Tengah.............. ......................................................................... 145
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Permasalahan korupsi merupakan hal serius yang dapat merusak suatu
bangsa dan negara. Sejak tahun 1998, masalah pemberantasan dan pencegahan
korupsi telah ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia sebagai salah satu agenda reformasi. Dalam mengatasi korupsi ini,
apabila tidak ada perbaikan maka kondisi keadaan bangsa dan negara menjadi
kacau. Akar kata korupsi dan pengertian secara etimologis, korupsi berasal
dari bahasa Latin corruption atau corruptus. Berarti jika dalam Muangthai
adalah makan bangsa, dalam bahasa Jepang berarti kerja kotor menurut KPK
(dalam Handoyo, 2013: 19).
Di Indonesia korupsi merupakan musuh bersama masyarakat dan bangsa
Indonesia. Sejak pemerintahan orde lama hingga reformasi, telah diupayakan
berbagai cara untuk memberantas korupsi sampai ke akarnya. Korupsi
melibatkan penyalahgunaan kepercayaan, yang umumnya melibatkan
kekuasaan publik untuk keuntungan pribadi. Johnson (dalam Handoyo, 2013:
20) mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan peran, jabatan publik
atau sumber untuk keuntungan pribadi. Dalam rangka mewujudkan kehidupan
berbangsa dan bernegara yang lebih bersih dari korupsi perlu adanya
transparasi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan serta perlu
adanya kesamaan visi, persepsi dan misi dari seluruh Penyelenggara Negara
dan masyarakat dalam memerangi korupsi. Memberantas korupsi sudah
2
menjadi langkah yang dilakukan sejak dahulu, seperti adanya Peraturan
Daerah Provinsi Jawa Tengah No. 6 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Dinas Daerah Provinsi Jawa Tengah, diikuti dengan Undang-undang
No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Selanjutnya dengan ada Instruksi Presiden
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan
Korupsi dan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2014 tentang Aksi
Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi. Dengan keluarnya Instruksi Presiden
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan
Korupsi yang berisi mengenai instruksi kepada para Menteri, Jaksa Agung,
Panglima TNI, Kapolri, Para Kepala Lembaga Pemerintahan Non
Departemen, Para Gubernur, serta para Bupati dan Walikota untuk
mendukung upaya pemberantasan korupsi.
Sesuai dengan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun
2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi yang salah satunya
diinstruksikan kepada Gubernur. Provinsi Jawa Tengah menetapkan pula
suatu Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah nomor 5 tahun 2014 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tahun 2013 –
2018, dokumen tersebut sebagai acuan seluruh Satuan kerja Perangkat Daerah
(SKPD) dalam menyusun Rencana Strategis (Renstra). Pasal 25 ayat 1
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2008 tentang
Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan
Rencana Pembangunan Daerah, menyebutkan bahwa setiap SKPD wajib
3
menyusun Rencana Strategis yang memuat Visi, Misi, tujuan, strategi,
kebijakan, program dan kegiatan pembangunan sesuai dengan tugas dan
fungsinya dan ditetapkan oleh Kepala SKPD yang sesuai visi Provinsi Jawa
Tengah yaitu menuju Jawa Tengah sejahtera dan berdikari dan sesuai dengan
slogannya “Mboten Korupsi, Mboten Ngapusi” untuk mewujudkan
penyelenggaraan pemerintahan Provinsi Jawa Tengah yang bersih, jujur dan
transparan. Untuk mewujudkan reformasi birokrasi melalui penyelenggaraan
pemerintahan yang transparan dan akuntabel, dengan didukung sumber daya
aparatur yang profesional, kelembagaan yang tepat fungsi dan ukuran, sistem
kerja yang jelas dan terukur, kebijakan penganggaran yang efisien, serta
pemanfaatan teknologi informasi untuk mencapai pelayanan prima.
Percepatan Pemberantasan Korupsi sesuai Instruksi Presiden tersebut,
menjadikan pemicu di setiap daerah untuk mewujudkan pemerintahan yang
anti korupsi. Anti korupsi sendiri merupakan kebijakan untuk mencegah dan
menghilangkan peluang bagi berkembangnya korupsi menurut Maheka (dalam
Handoyo, 2013: 32). Pencegahan yang berarti meningkatkan kesadaran
individu untuk tidak melakukan korupsi dan menyelamatkan uang serta aset
negara agar tidak disalah gunakan. Anti korupsi ini pula di Provinsi Jawa
Tengah di sampaikan bahkan menjadi suatu misi untuk mewujudkan visi yang
ada di Jawa Tengah yaitu menuju Jawa Tengah sejahtera dan berdikari. Misi
yang ada ialah mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan Provinsi Jawa
Tengah yang bersih, jujur dan transparan.
4
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dalam mewujudkan visinya yaitu
menuju Jawa Tengah sejahtera dan berdikari, dengan slogan/sebutan khusus
“Mboten Korupsi, Mboten Nagpusi” merupakan suatu bentuk nyata perhatian
pemerintah dalam menegakkan pelayanan pemerintah yang bebas dari
korupsi. Perilaku korupsi yang dilakukan pejabat publik/penyelenggara
pemerintahan memang tidak jauh untuk kepentingan memperkaya diri
sendiri/golongan. Mengenai memperkaya diri sendiri Istiqomah, Kebijakan
Formulasi Pengaturan Illicit Enrichment Sebagai Upaya Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, jurnal Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (hal.
80-83) mengatakan ada suatu kebijakan yang mengatur mengenai perbuatan
memperkaya diri sendiri yang diatur oleh UNSAC (United Nation Convention
Againts Corruption) tahun 2003 terdiri dari beberapa pasal. Indonesia
merupakan negara pihak ke 57 yang menandatangani UNSAC pada tanggal 18
Desember 2003 dan meratifikasi melalui Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 7 tahun 2006 tentang pengesahan United Nation Convention Againts
Corruption, 2003 pada tanggal 18 April 2006.
Kebijakan UNSAC dikeluarkan dan ditetapkan secara internasional dari
maraknya praktik korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik. Kebijakan
tersebut mengatur mengenai illicit enrichment, secara umum merupakan suatu
perbuatan memperkaya diri sendiri yang merupakan tindak pidana yang
berdiri sendiri. Illicit enrichment itu dapat pula diartikan sebagai instrument
hukum yang mengkriminalisasi pejabat publik yang memiliki kekayaan
dan/atau pengingkatan kekayaan yang tidak wajar (tidak sesuai dengan
5
sumber pemasukannya) tanpa mampu membuktikan bahwa aset tersebut
diperoleh secara legal/sah (bukan berasal dari tindak pidana). Bisa dipahami
kebijakan yang telah diatur dan dikeluarkan oleh UNSAC (dalam Istiqomah,
2016: 80) itu memang suatu kebijakan untuk mengatur para pejabat publik
untuk tidak menyalahgunakan jabatannya.
Mewujudkan pemerintahan yang tidak korupsi sesuai visi Gubernur Jawa
Tengah merupakan suatu upaya untuk menegakkan dan menjalankan
pemerintahan yang bersih. Untuk menjalankan pemerintahan yang bersih dari
korupsi memang perlunya suatu kebijakan sama seperti kebijakan UNSAC
(dalam Istiqomah, 2016: 80) dikeluarkan dan ditetapkan secara internasional
karena maraknya praktik korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik.
Memiliki tujuan sama untuk mencegah korupsi bagi para pejabat publik atau
penyelenggara pemerintah. Gerakan anti korupsi seperti itu sudah banyak
dilakukan oleh organisasi tertentu di dunia maupun di Indonesia. Merupakan
suatu bentuk, usaha dan upaya agar korupsi itu tidak menjadi sifat manusia.
Terutama perilaku korupsi yang terjadi di kantor pemerintahan, seperti dalam
Firmansyah, Jejaring Advokasi Kebijakan Dalam Mendukung Gerakan Anti
Korupsi Di Daerah Studi Tentang Aktor dan Strategi Kelompok, jurnal
kebijakan dan administrasi publik (hal. 1-18) terdapat suatu bahasan mengenai
korupsi dan pemberantasannya. Jelas hal itu merupakan suatu langkah dan
tindakan anti korupsi. Bisa kita ketahui dari jurnal tersebut, dalam
perkembangan di dunia internasional telah tercapai sebuah kesepakatan
mengenai adanya kerjasama dalam pemberantasan korupsi. Ditandai dengan
6
adanya Konferensi Anti Korupsi di Lima, Peru yang berlangsung pada tanggal
7-11 September pada tahun 1997 silam. Konferensi yang bertajuk
“Declaration of the Conference Against Corruption” dihadiri oleh 93
negara.
Deklarasi yang berlangsung di Peru bertajuk “Declaration of the
Conference Against Corruption” (dalam Firmansyah, 2016: 3) terdapat
kesepakatan bahwa korupsi mengerosi tatanan moral masyarakat, mengingkari
hak-hak sosial dan ekonomi dari kalangan kurang mampu dan lemah.
Demikian pula korupsi itu dianggap menggerogoti demokrasi, merusak aturan
hukum yang merupakan dasar dari setiap masyarakat, memundurkan
pembangunan, dan menjauhkan masyarakat dari manfaat persaingan bebas
dan terbuka, khusunya bagi kalangan kurang mampu. Korupsi memang dapat
merusak keutuhan suatu bangsa dan negara, negara di luarpun sudah banyak
mengeluarkan kebijakan/kesepakatan untuk anti korupsi. Korupsi dapat
memundurkan pembangunan, mengerosi tatanan moral masyarakat,
mengingkari hak-hak sosial dan ekonomi dari kalangan kurang mampu dan
lemah Firmansyah (2016).
Korupsi yang terjadi bisa memundurkan pembangunan dari segala bidang,
apalagi terhadap bidang kesehatan warga masyarakat. Maka dari itu perlunya
integritas yang tinggi terhadap kepemimpinan yang ada untuk memberantas
korupsi. Pemimpin yang berhasil, selalu dilandasi dengan integritas yang
tinggi. Mengenai integritas seperti yang disampaikan Suharsi, Integritas
Kompetensi, artikel Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah menyampaikan
7
integritas kompetensi bukan tentang kompetensi integritas (soft competence).
Seperti layaknya tubuh kita yang terdiri dari ruh, rasa, raga dan rasio maka
kompetensipun terdiri dari pengetahuan, keterampilan dan sikap.
Rembuk integritas nasional telah menyepakati bahwa integritas pribadi
adalah keselarasan atau kesatuan antara pola pikir (rasio), emosi (rasa), ucapan
dan tindakan (raga) dengan nurani (ruh). Semua unsur dalam diri manusia
utuh dan selaras sebagai satu kesatuan. Begitupun juga dengan integritas
kompetensi, maka unsur kompetensi menjadi satu kesatuan yang selaras dan
utuh, tidak terpisah pisah dalam masing masing bentuk pengetahuan,
keterampilan dan sikap. Makan Suharsi menyimpulkan jika integritas ini
benar-benar menjadi tolok ukur kinerja, sudah pasti akan berbanding lurus
dengan slogan ”Jateng Gayeng, Mboten Korupsi Mboten Ngapusi”. Diikuti
pula dengan adanya pakta integritas bagi para pegawai yang harus
ditandatangani, menunjukan untuk bekerja secara profesional.
Perilaku korupsi dapat memundurkan pembangunan di segala bidang.
Salah satunya bidang pembangunan kesehatan, yang dilaksanakan dengan
tujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat
bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-
tingginya. Seperti kasus korupsi yang terjadi terhadap pengadaan sarana dan
prasarana alat kesehatan Provinsi Banten 2011-2013, dimana Ratu Atut
merupakan tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan
(alkes) di Provinsi Banten, yang diperkirakan merugikan negara Rp 5,4 miliar.
Dengan pasal yang dikenakan, pasal 2 ayat 1 dan atau pasal 3 Undang-Undang
8
No. 20 Tahun 2001 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto
Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Ancaman Pasal 2 adalah pidana penjara 4-20
tahun dan denda Rp 200 juta-Rp 1 miliar. Sedangkan Pasal 3 pidana penjara
selama 1-20 tahun dan denda Rp 50 juta-Rp 1 miliar. Berarti jika seperti itu,
perilaku korupsi yang bersifat koruptif dapat memundurkan pembangunan,
dapat berakibat terbelakangnya pembangunan kesehatan. Terutama
pembangunan kesehatan di Provinsi Jawa Tengah yang bertujuan
meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap
orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang tinggi. Dalam rangka
mencapai tujuan tersebut, pembangunan kesehatan dilaksanakan secara
sistematis dan berkesinambungan (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah:
2014). Guna mencapai tujuan pembangunan kesehatan yang sesusngguhnya di
Provinsi Jawa Tengah, maka visi menuju Jawa Tengah sejahtera dan berdikari
“Mboten Korupsi, Mboten Ngapusi”. Ini menandakan suatu perhatian besar
Gubernur Jawa Tengah secara luas dalam menjalankan pemerintahan jangan
berperilaku korupsi, bagi semua Satuan kerja Perangkat Daerah (SKPD).
Khusunya perangkat daerah yang dimaksud ini adalah Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Tengah. Maka penulis tertarik akan diadakan penelitian dengan
judul: “Implementasi Kebijakan Anti Korupsi di Kantor Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Tengah”.
9
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, rumusan masalah yang
diteliti adalah:
1. Kebijakan anti korupsi apa saja di Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah
dalam mewujudkan visi pemerintah provinsi “Mboten Korupsi, Mboten
Ngapusi”?
2. Bagaimana implementasi kebijakan anti korupsi di Dinas Kesehatan dalam
perspektif teori implementasi kebijakan dari Edward?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada judul dan rumusan masalah yang ada, tujuan penelitian
yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui kebijakan anti korupsi yang ada di Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Tengah dalam mewujudkan visi pemerintah provinsi
“Mboten Korupsi, Mboten Ngapusi”.
2. Mengartikan implementasi kebijakan anti korupsi di Dinas Kesehatan
dalam perspektif teori implementasi kebijakan dari Edward.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap pihak yang
ada, diantaranya:
10
1. Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian ini dapat memberikan kontribusi dalam
menjelaskan implementasi kebijakan anti korupsi di Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Tengah. Melalui perspektif teori implementasi kebijakan
dari Edward.
2. Manfaat Praktis
Dari penelitian ini, ada satu manfaat praktis yang bisa menjadi dasar
pedoman. Maupun bermanfaat untuk acuan dan kritikan, ialah:
a. Bagi Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah
Hasil penelitian ini bisa menjadikan suatu acuan terhadap berjalannya
suatu kebijakan mengenai anti korupsi, sehingga bisa sebagai tolak
ukur untuk terus melakukan perbaikan agar bisa menciptakan
lingkungan pemerintahan yang bersih, jujur dan transparan. Agar
adanya kesesuaian dengan visi pemerintah provinsi “Mboten Korupsi,
Mboten Ngapusi”.
E. Batasan Istilah
1. Pengertian Kebijakan
Secara umum istilah kebijakan atau policy digunakan untuk menunjuk
perilaku seorang aktor atau bisa kita pahami ialah pejabat, suatu kelompok
maupun lembaga pemerintah menurut Anderson (dalam Winarno, 2014:
19). Dari jabatan yang ada di pemerintah, para aktor itu memiliki peran
dengan adanya perilaku khusus terhadap suatu putusan berupa kebijakan.
11
Dari kebijakan yang ada, hal itu menandakan suatu perilaku pejabat itu
sendiri yang ada di pemerintah. Perilaku yang menandakan bentuk
perhatian terhadap suatu persoalan, dengan adanya suatu kebijakan.
Anderson mengatakan (dalam Winarno, 2014: 21) kebijakan
merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh
seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau
suatu persoalan. Kebijakan itu mencakup arah tindakan atau apa yang
dilakukan dan tidak semata-mata menyangkut usulan tindakan. Dari
seorang aktor yang di pemerintah, memiliki jabatan. Lalu bertindak
dengan mempunyai maksud dan tujuan dalam mengatasi masalah atau
persoalan. Hal itu merupakan suatu kebijakan dari seorang aktor, dengan
arah tindakan yang jelas maksud dan tujuannya.
2. Pengertian Implementasi Kebijakan
Riple dan Franklin (dalam Winarno, 2014: 148) berpendapat bahwa
implementasi adalah apa yang terjadi setelah undang-undang ditetapkan
yang memberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan (benefit), atau
suatu jenis keluaran yang nyata (tangible output). Implementasi kebijakan
itu merupakan tahapan yang penting dalam proses kebijakan yang ada.
Suatu program kebijakan harus diimplementasikan agar mempunyai
dampak atau tujuan yang diinginkan. Setelah undang-undang ditetapkan
lalu terjadi dan dilakukannya otoritas program atau adanya keuntungan
dan keluaran yang nyata. Sehingga undang-undang yang telah ditetapkan
12
yang berupa kebijakan itu terlaksana dan berjalan sesuai apa yang
dirumuskan dan ditetapkan.
Pandangan Lester dan Stewart (dalam Winarno, 2014: 147) dipandang
secara luas mempunyai makna pelaksanaan undang-undang di mana
berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik bekerja sama untuk
menjalankan kebijakan dalam upaya untuk meraih tujuan-tujuan kebijakan
yang sudah di tetapkan. Undang-undang yang dilaksanakan oleh berbagai
aktor dan beragam teknik kerjasamanya senantiasa untuk mencapai tujuan
dari kebijakan yang sebelumnya sudah dirumuskan hingga ditetapkan.
Dari pelaksanaan suatu undang-undang atau kebijakan, ada suatu
keterlibatan di dalamnya terhadap aktor, organisasi, prosedur dan teknik
bekerja sama. Hal itu untuk mencapai tujuan yang ada dalam undang-
undang atau kebijakan.
3. Pengertian Korupsi dengan Anti Korupsi
Akar kata korupsi dan pengertian secara etimologis, korupsi berasal
dari bahasa Latin corruption atau corruptus. Berarti jika dalam Muangthai
adalah makan bangsa, dalam bahasa Jepang berarti kerja kotor menurut
KPK (dalam Handoyo, 2013: 19). Korupsi merupakan suatu tindakan yang
merusak bahkan menimbulkan kerugian yang besar. Munculnya kerugian
besar karena tindakan korupsi, hal itu merupakan suatu pekerjaan yang
kotor. Mengotori bangsa, dan menimbulkan kerugian karena tindakan
korupsi yang memang hal itu cenderung bersikap koruptif atau
pemborosan.
13
Johnson (dalam Handoyo, 2013: 20) mendefinisikan korupsi sebagai
penyalahgunaan peran, jabatan publik atau sumber untuk keuntungan
pribadi. Kedudukan yang dimiliki sebagai pejabat publik, dengan memiliki
peran penting. Tetapi hal itu disalahgunakan untuk keuntungan pribadi,
merupakan suatu sikap koruptif dari pejabat publik tersebut. Tidak merasa
puas akan jabatan yang dimiliki, sehingga menyalahgunakan
kedudukannya untuk keperluan pribadi sehingga menguntungkan diri
sendiri tetapi merugikan publik atau negara. Jika Klitgaard, Maclean-
Abaroa dan Parris (dalam Handoyo, 2013: 24) memaknai korupsi dalam
suatu rumus korupsi yaitu C = M + D – A. Korupsi yang disimbolkan
dengan C = Corruption sama dengan kekuasaan monopoli dalam simbol
M = Monopoly power ditambah wewenang pejabat atau yang disimbolkan
dengan D = Discretion by officials minus atau kurangnya akuntabilitas
yang disimbolkan A = Accountabillity.
Pengertian korupsi jika dijelaskan dalam 13 buah Pasal dalam UU No.
31 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001. Dirumuskan ke dalam tiga
puluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Bentuk/jenis tindak pidana
korupsi tersebut dikelompokkan sebagai berikut:
a. Kerugian keuangan negara
b. Suap-menyuap
c. Penggelapan dalam jabatan
d. Pemerasan
e. Perbuatan curang
14
f. Benturan kepentingan dalam pengadaan
g. Gratifikasi
Sedangkan anti korupsi sendiri merupakan kebijakan untuk mencegah
dan menghilangkan peluang bagi berkembangnya korupsi menurut
Maheka (dalam Handoyo, 2013: 32). Adanya tindakan korupsi yang
merusak dan merugikan negara harus ada upaya untuk mencegah dan
menghilangkannya dengan suatu kebijakan yang bisa menjerat para pelaku
tindak korupsi. Agar sikap koruptif dari para pejabat publik atau yang
memiliki peran penting di pemerintah bisa berkurang. Dengan adanya
suatu Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah No. 6 Tahun 2008 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Provinsi Jawa Tengah, diikuti
dengan Undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Selanjutnya dengan ada Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi dan Instruksi
Presiden Nomor 2 Tahun 2014 tentang Aksi Pencegahan dan
Pemberantasan Korupsi. Hal itu semua merupakan upaya dalam anti
terhadap korupsi, apalagi dengan adanya UU Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidanan Korupsi. Merupakan suatu
kebijakan yang ada untuk mencegah dan menghilangkan peluang bagi
berkembangnya korupsi sesuai pernyataan Maheka (dalam Handoyo,
2013: 32).
15
Anti korupsi merupakan suatu upaya yang paling utama ialah dengan
adanya keyakinan penuh, mengadaptasi produk hukum dan
mengidentifikasi kegiatan. Selain itu mengenai anti korupsi perlu adanya
upaya penanaman nilai-nilai anti korupsi terhadap generasi muda. Nilai-
nilai anti korupsi itu seperti berikut:
a. Kejujuran
b. Tanggung Jawab
c. Keberanian
d. Keadilan
e. Keterbukaan
f. Kedisiplinan
g. Kesederhanaan
h. Kerja keras
i. Kepedulian
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Deskripsi Teoritis
1. Pengertian Kebijakan dan Implementasi Kebijakan
Menurut Charles O. Jones (dalam Winarno, 2014: 19) istilah kebijakan
(policy term) biasa digunakan dalam hidup sehari-sehari, tetapi
digunakannya untuk menggantikan kegiatan atau keputusan yang sangat
berbeda. Istilah seperti ini sering dipertukarkan dengan tujuan (goals),
program, keputusan (decisions), standard, proposal dan grand design.
Menurut Charles itu mengenai kebijakan, dalam terbentuknya ada suatu
keputusan. Kebijakan yang memang berasal dari keputusan berbeda. Dari
putusan itulah bisa menciptakan suatu kebijakan.
Keputusan merupakan suatu hasil dan produk keluaran dalam politik.
Ciri khas dari politik memang suatu keputusan yang di keluarkan dari
proses politik yang bersifat mengikat (otoritatif) Surbakti (2010: 243), dan
dimaksudkan untuk kebaikan bersama masyarakat umum. Keputusan itu
ialah keputusan yang untuk mengikat, menyangkut, dan memengaruhi
masyarakat umum. Hal yang mengikat, menyangkut, dan memengaruhi
masyarakat umum itu biasanya diurus dan diselenggarakan dengan
lembaga-lembaga pemerintahan, pernyataan ini sesuai dengan pernyataan
Surbakti (2010: 243). Lembaga-lembaga pemerintahan yaitu mengurus
dan menyelenggarakan mengenai suatu keputusan yang ada, dikarenakan
lembaga tersebut masuk dalam ranah politik, ciri khas dari politik apa
17
yang dikatakan Surbakti sebelumnya memang suatu keputusan yang di
keluarkan dari proses politik yang bersifat mengikat (otoricatif), dan
dimaksudkan untuk kebaikan bersama masyarakat umum.
Istilah kebijakan atau policy digunakan untuk menunjuk perilaku
seorang aktor atau bisa kita pahami ialah pejabat, suatu kelompok maupun
lembaga pemerintah menurut Anderson (dalam Winarno, 2014: 19).
Pernyataan ini sesuai dengan pernyataan Surbakti (2010: 243) suatu
putusan yang mengikat, menyangkut, dan memengaruhi masyarakat umum
itu biasanya diurus dan diselenggarakan dengan lembaga-lembaga
pemerintahan. Lembaga-lembaga pemerintahan itu ada suatu aktor atau
bisa kita pahami ialah pejabat. Kebijakan merupakan suatu hasil putusan
yang sudah ditetapkan, dari suatu keputusan yang sangat berbeda.
Carl Friedrich (dalam Winarno, 2014: 20) memiliki suatu pandangan
mengenai kebijakan dimana sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan
oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan
tertentu yang memberikan hambatan-hambatan dan peluang-peluang
terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi
dalam rangka mencapai suatu tujuan atau merealisasikan suatu sasaran
atau suatu maksud tertentu. Kebijakan (policy) ini adalah suatu kumpulan
keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok politik, dalam
usaha memilih tujuan dan cara untuk mencapai tujuan itu Budiardjo (2008:
20). Ini sejalan dengan pernyataan Carl Friedrich, bahwa kebijakan
sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau
18
pemerintah. Seperti Charles O. Jones (dalam Winarno, 2014: 19) istilah
kebijakan (policy term) digunakannya untuk menggantikan kegiatan atau
keputusan yang sangat berbeda. Keputusan itu yang dikeluarkan dari
proses politik yang bersifat mengikat (otoritatif) Surbakti (2010: 243), dan
dimaksudkan untuk kebaikan bersama masyarakat umum.
Pernyataan Anderson (dalam Winarno, 2014: 19) kebijakan atau policy
digunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor atau bisa kita pahami
ialah pejabat, suatu kelompok maupun lembaga pemerintah. Sesuai dengan
pernyataan Surbakti (2010: 243) suatu putusan yang mengikat,
menyangkut, dan memengaruhi masyarakat umum itu biasanya diurus dan
diselenggarakan dengan lembaga-lembaga pemerintahan. Dengan begitu
suatu kebijakan itu dikeluarkan oleh pemerintah, menjadikan suatu produk
kebijakan pemerintah itu. Kebijakan pemerintah itu merupakan obyek dari
ilmu politik, dari proses terbentuknya, serta akibatnya. Menurut
Hoogewerf (dalam Budiardjo, 2008: 21) kebijakan itu membangun
masyarakat secara terarah melalui pemakaian kekuasaan (doelbewuste
vormgeving aan de samenleving door middel van machtsuitoefening).
Anderson (dalam Winarno, 2014: 21) menjelaskan bahwa kebijakan
merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh
seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau
suatu persoalan. Suatu masalah atau persoalan yang bisa mengenai
masyarakat luas atau penyelenggara pemerintahan itu sendiri. Kebijakan
itu berawal dari suatu keputusan (decisions) yang sangat berbeda Menurut
19
Charles O. Jones (dalam Winarno, 2014: 19), sehingga pembentukan
kebijakan itu merupakan usulan oleh seseorang, kelompok atau
pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu yang memberikan hambatan-
hambatan dan peluang-peluang terhadap kebijakan yang diusulkan untuk
menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau
merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu Carl Friedrich
(dalam Winarno, 2014: 20). Hal itu sepadan dengan suatu awal dari
putusan yang ada dan sangat berbeda.
Kebijakan (policy) ini adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil
oleh seorang pelaku atau kelompok politik, dalam usaha memilih tujuan
dan cara untuk mencapai tujuan itu Budiardjo (2008: 20). Tujuan yang di
mana agar arah tindakan sesuai dan terukur, dari suatu adanya pesoalan
dan masalah yang ada. Arah tindakan yang mempunyai maksud yang
ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu
masalah atau suatu persoalan Anderson (dalam Winarno, 2014: 21). Aktor
yang dimaksud itu ialah pemerintah, sehingga kebijakan yang dikeluarkan
oleh pemerintah, menjadikannya suatu produk kebijakan pemerintah yang
memiliki arah dan tujuan terhadap masalah atau persoalan yang ada.
Suatu kebijakan pemerintah yang sudah dikeluarkan ada suatu tahapan
yang penting, agar bisa diketahui secara bersama penyelenggaraan
kebijakan itu seperti apa. Suatu program kebijakan harus
diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan.
Riple dan Franklin (dalam Winarno, 2014: 148) berpendapat bahwa
20
implementasi adalah apa yang terjadi setelah undang-undang ditetapkan
yang memberikanotoritas program, kebijakan, keuntungan (benefit), atau
suatu jenis keluaran yang nyata (tangible output). Suatu bentuk nyata yang
dilakukan dan sesuai dengan kebijakan yang sudah terbentuk. Merupakan
suatu bentuk implementasi terhadap kebijakan yang ada.
Kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan pemerintah saja, jika
kebijakan pemerintah itu tidak diimplementasikan. Oleh karena itu
kebijakan yang telah diambil sebagai pemecah masalah harus
diimplementasikan, dengan dilaksanakan oleh badan-badan administrasi
maupun agen pemerintah di tingkat bawahnya. Menurut Winarno (2014:
37) kebijakan yang telah diambil harus dilaksanakan oleh unit-unit
administrasi yang memobilisasikan sumber daya finansial dan manusia.
Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian luas, merupakan
tahap dari proses kebijakan segera setelah penetapan. Implementasi
dipandang secara luas mempunyai makna pelaksanaan undang-undang di
mana berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik bekerja sama untuk
menjalankan kebijakan dalam upaya untuk meraih tujuan-tujuan kebijakan
yang sudah di tetapkan itu sepadan dengan apa yang dikatakan Lester dan
Stewart (dalam Winarno, 2014: 147). Dengan demikian implementasi
kebijakan merupakan suatu langkah yang dimana kebijakan itu dilakukan
dengan sesuai.
Menurut Edwards (dalam Winarno, 2014: 177) implementasi
kebijakan adalah salah satu tahap kebijakan publik, antara pembentukan
21
kebijakan dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang
dipengaruhinya. Suatu kebijakan itu bisa tidak tepat atau tidak dapat
mengurangi masalah yang merupakan sasaran dari dari kebijakan itu.
Kebijakan pula bisa saja mengalami kegagalan, jika kebijakan itu kurang
diimplementasikan dengan baik oleh pelaksana kebijakan itu. Edwards
mengkaji implementasi kebijakan dengan mengajukan pertanyaan (dalam
Winarno, 2014: 177), yaitu:
a. Prakondisi-prakondisi apa yang diperlukan sehingga suatu
implementasi kebijakan berhasil?
b. Hambatan-hambatan utama apa yang mengakibatkan suatu
implementasi gagal?
Edwards pun menjawab dua pertanyaan itu dengan membicarakan
empat faktor atau variabel dalam implementasi kebijakan. Faktor-faktor
atau variabel yang Edwards sampaikan (dalam Winarno, 2014: 177)
diantaranya adalah:
a. Komunikasi
b. Sumber-sumber
c. Kecenderungan-kecenderungan
d. Struktur birokrasi
Akan tetapi Edward menyampaikan (dalam Nugroho, 2012: 191)
masalah yang paling utama terhadap kurangnya perhatian terhadap
implementasi kebijakan publik Tanpa implementasi yang efektif,
keputusan pembuat kebijakan akan tidak berhasil dilakukan. Kemudian
22
Edward menyampaikan implementasi harus ada perhatian terhadap empat
variabel yang seperti di atas: komunikasi, sumber-sumber atau lebih
tepatnya sumber daya, kecenderungan-kecenderungan atau sikap disposisi,
dan struktur birokrasi. Bisa kita lihat model implementasi kebijakan
Edward (dalam Nugroho, 2012: 191) seperti berikut:
Gambar 1. Model implementasi kebijakan Edward
Komunikasi adalah mengenai bagaimana kebijakan yang
dikomunikasikan kepada masyarakat untuk mendapatkan tanggapan dari
pihak-pihak yang terlibat. Sumber daya yang dalam hal ketersediaan
sumber daya terutama kompetensi sumber daya manusia dan kemampuan
untuk melaksanakan kebijakan secara efektif. Sikap disposisi adalah dalam
hal kemauan pelaku untuk melaksanakan pelaksanaan kebijakan. Ini
adalah tentang komitmen, lebih dari kompetensi dan kemampuan. Dengan
kata lain Edward menyampaikan (dalam Widodo, 2010: 98) bahwa
disposisi itu suatu keinginan, kemauan dan kecenderungan para pelaku
kebijakan untuk melaksanakan serta mewujudkan kebijakan secara
sungguh-sungguh. Jika struktur birokrasi adalah dalam hal struktur
Communication Resource
Dispotition of
attitudes
Bureaucratic
structures
23
organisasi pelaksana kebijakan yang menghadapi tantangan untuk tidak
menjadi birokrasi fragmentasi, karena menolak efektivitas pelaksanaan
kebijakan.
Implementasi kebijakan itu merupakan proses kegiatan administratif
yang dilakukan setelah kebijakan ditetapkan/disetujui menurut Tachjan
(2006: 25). Kegiatan itu terletak di antara perumusan kebijakan dan
evaluasi kebijakan. Implementasi kebijakan mengandung logika yang top-
down, dengan maksud menurunkan/menafsirkan alternatif-alternatif yang
masih abstrak atau makro menjadi alternatif yang bersifat konkrit atau
mikro. Tetapi jika formulasi dalam kebijakan mengandung logika bottom-
up, dalam arti proses ini diawali dengan pemetaan kebutuhan publik atau
pengakomodasian tuntutan lingkungan lalu diikuti dengan pencarian dan
pemilihan alternatif cara pemecahannya, kemudian diusulkan untuk
ditetapkan. Pada garis besarnya siklus kebijakan itu memang terdiri dari
tiga kegiatan pokok sesuai yang disampaikan Mustopadidjaja (dalam
Tachjan, 2006: 20) terdiri dari :
a. Perumusan kebijakan
b. Implementasi kebijakan
c. Pengawasan dan penilaian pelaksanaan kebijakan
Jadi dilihat dari prosesnya, efektivitas kebijakan publik akan
ditentukan/dipengaruhi oleh pertama, proses perumusan kebijakannya;
kedua oleh proses implementasinya atau pelaksanaannya; dan ketiga, oleh
24
proses evaluasinya. Ketiga tahapan kebijakan tersebut mempunyai
hubungan kausal dan siklikal.
2. Pengertian Korupsi dengan Anti Korupsi
Secara etimologis, korupsi berasal dari bahasa Latin corruption atau
corruptus. Dalam bahasa Muangthai adalah makan bangsa, dalam bahasa
Jepang berarti kerja kotor (Handoyo, 2013: 19). Sama halnya mengenai
asal kata korupsi secara etimologis yang disampaikan Fockema Andreae
(dalam Andi Hamzah, 2005: 4) istilah korupsi berasal dari bahasa latin
corruption atau corruptus. Corruption berasal dari kata corrumpere, kata
Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin tersebut turun ke banyak bahasa
Eropa, seperti Inggris, yaitu corruption, corrupt; Perancis, yaitu
corruption dan Belanda, yaitu corruptie, korruptie. Dari bahasa Belanda
kata itu turun ke bahasa Indonesia, yaitu korupsi. Korupsi merupakan
suatu tindakan yang merusak bahkan menimbulkan kerugian yang besar.
Akibatnya adalah jatah yang sudah dialokasikan tidak dipergunakan
dengan semestinya sehingga harus mengalokasikannya kembali, bisa
disebut suatu penyalahgunaan.
Johnson (dalam Handoyo, 2013: 20) mendefinisikan korupsi sebagai
penyalahgunaan peran, jabatan publik atau sumber untuk keuntungan
pribadi. Pope (2007: 6) memaknai korupsi sebagai menyalahgunakan
kekuasaan kepercayaan untuk keuntungan pribadi. Istilah penyalahgunaan
(misuse) merujuk pada perilaku yang menyimpang, baik dari tugas-tugas
formasl kedinasan dari peran publik maupun yang bertengatangan dengan
25
aturan informal Handoyo (2013: 21). Dari pernyataan para tokoh yang
mendefinisikan makna korupsi, ada suatu bentuk pemahaman yang dapat
mempermudah mengartikan korupsi. Klitgaard, Maclean-Abaroa dan
Parris (dalam Handoyo, 2013: 24) menjelaskan suatu rumus korupsi yaitu
C = M + D – A. Korupsi yang disimbolkan dengan C = Corruption sama
dengan kekuasaan monopoli dalam simbol M = Monopoly power ditambah
wewenang pejabat atau yang disimbolkan dengan D = Discretion by
officials minus atau kurangnya akuntabilitas yang disimbolkan A =
Accountabillity. Bisa dengan mudah dipahami bahwa jika seseorang yang
memiliki atau berpegang pada monopoli atas barang dan atau jasa dengan
memiliki suatu kewenangan untuk memutuskan dan menetapkan terhadap
siapa yang berhak mendapatkan barang dan atau jasa, dengan tidak adanya
akuntabilitas. Hal seperti itu menurut Klitgaard, Maclean-Abaroa dan
Parris dapat ditemukan adanya perilaku korupsi.
Menurut perspektif hukum KPK (2006: 19) pengertian korupsi secara
gamblang telah dijelaskan dalam 13 buah Pasal dalam UU No. 31 Tahun
1999 dan UU No. 20 Tahun 2001. Berdasarkan pasal-pasal tersebut,
korupsi dirumuskan ke dalam tiga puluh bentuk/jenis tindak pidana
korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai
perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena korupsi.
Bentuk/jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
a. Kerugian keuangan negara
26
b. Suap-menyuap
c. Penggelapan dalam jabatan
d. Pemerasan
e. Perbuatan curang
f. Benturan kepentingan dalam pengadaan
g. Gratifikasi
Terdapat pada Pasal 12 B UU No. 20 Tahun 2001 menurut pasal ini
dijelaskan suatu tindakan yang dikatakan termasuk tindak korupsi ialah
jika memenuhi unsur seperti berikut: (KPK, 2006: 95)
a. Pegawai negeri atau penyelenggara negara
b. Menerima gratifikasi
c. Yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban
atau tugasnya
d. Penerimaan gratifikasi tersebut tidak dilaporkan kepada KPK dalam
jangka waktu 30 hari sejak diterimanya gratifikasi.
Mengenai gratifikasi di salah satu Provinsi di Negara Indonesia ada
peraturan gubernur yang mengatur mengenai gratifikasi. Provinsi Jawa
Tengah memiliki Peraturan Gubernur Jawa Tengah No. 59 tahun 2014
tentang Pedoman Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Pemerintah
Provinsi Jawa Tengah. Dikatakan dalam peraturan tersebut gratifikasi
adalah pemberian dalam arti luas, yaitu meliputi penerimaan atau
pemberian uang/setara uang, barang, rabat (discount) komisi, pinjaman
tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata,
27
pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Juga mengatakan gratifikasi
yang dianggap suap adalah gratifikasi yang diterima oleh pejabat/pegawai
Pemerintah Daerah, yang berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan
dengan kewajiban atau tugasnya.
Pengertian korupsi menurut Medalla dalam jurnal Anti-Corruption and
Governance: The Philippine Experience, artikel anti korupsi negara
anggota kerjasama ekonomi asia pasifik. Menyatakan bahwa korupsi
adalah masalah pemerintahan karena melibatkan efektif berfungsi lembaga
dan manajemen masyarakat melalui mekanisme yang politik, ekonomi,
sosial dan peradilan. Korupsi jelas berhubungan dengan pembangunan.
Studi yang melibatkan berbagai negara telah menunjukkan bahwa semakin
korup pemerintah, menjadi negara yang lebih berkembang. Korupsi
menumbuhkan lingkungan anti-demokratis yang ditandai dengan
ketidakpastian, ketidakpastian, penurunan nilai-nilai moral dan tidak
menghormati Konstitusi lembaga dan otoritas. Korupsi mewujudkan,
bukan hanya defisit pemerintahan, tetapi juga amputasi nilai-nilai
demokrasi dan hak asasi manusia, mengakibatkan kemiskinan dan
mengancam keamanan manusia.
Jurnal mengenai perpsektif korupsi dengan pandangan yang berbeda
yang disampaikan oleh Azra, Korupsi Dalam Perspektif Good
Governance, jurnal kriminologi Universitas Indonesia (hal. 31-36).
Korupsi selama ini mengacu pada berbagai tindakan yang tidak
sepantasnya (illicit or illegal activities) untuk mendapatkan keuntungan
28
pribadi atau kelompok. Disampaikan di sini ada tiga identifikasi
pengertian luas yang paling sering digunakan dalam berbagai pembahasan
korupsi, diantaranya:
a. Korupsi itu berpusat pada kantor publik (public office-centered
corruption).
b. Korupsi yang berpusat pada dampaknya terhadap kepentingan umum
(public interest-centered).
c. Korupsi yang berpusat pada pasar (market-centered)
Perspektif lain memandang korupsi itu seperti berikut “corruption is the
abuse of trust in the interest of private gain”. Dengan adanya beberapa
tipologi korupsi seperti berikut:
a. Korupsi transaktif
b. Korupsi ekstortif
c. Korupsi investasi
d. Korupsi nepotisik
e. Korupsi otogenik
f. Korupsi suportif
Di Indonesia banyaknya peraturan yang mengatur secara hukum
mengenai tindakan korupsi maupun tentang upaya anti korupsi seperti
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah No. 6 Tahun 2008 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Provinsi Jawa Tengah, diikuti
dengan Undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
29
Selanjutnya dengan ada Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi dan Instruksi
Presiden Nomor 2 Tahun 2014 tentang Aksi Pencegahan dan
Pemberantasan Korupsi, tetapi masih saja korupsi itu kerap terjadi karena
perilaku yang koruptif. Seperti yang disampaikan Nugraha dan Tri
Hanurita (2005: 116) yang mencatat 7 alasan di negara berkembang
korupsi itu tumbuh dan berkembang, diantaranya seperti berikut:
a. Kemiskinan
b. Keserakahan
c. Budaya
d. Ketidaktahuan
e. Rendahnya kualitas moral masyarakat
f. Lemahnya kelembagaan politik suatu negara
g. Karena penyakit bersama
Johnson (dalam Handoyo, 2013: 20) mendefinisikan korupsi sebagai
penyalahgunaan peran, jabatan publik atau sumber untuk keuntungan
pribadi. Anti korupsi adalah kebijakan untuk mencegah dan
menghilangkan peluang bagi berkembangnya korupsi (Handoyo, 2013:
32). Pencegahan yang berarti meningkatkan kesadaran individu untuk
tidak melakukan korupsi dan menyelamatkan uang serta aset negara agar
tidak disalahgunakan, sehingga bisa menjadikannya bebas dari
penyalahgunaan, atau kerakusan para penyelenggara pemerintah.
30
Bentuk dari anti korupsi kebijakan korupsi di Provinsi Jawa Tengah
salah satunya ialah Peraturan Gubernur Jawa Tengah No. 59 tahun 2014
tentang Pedoman Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Pemerintah
Provinsi Jawa Tengah. Suatu bentuk yang dikeluarkan untuk bertindak
dengan anti korupsi. Bahkan dalam peraturan itu diatur secara khusu
mengenai pengendali gratifikasi di kantor Pemerintah Provinsi Jawa
Tengah yang disebut Unit Pengendalian Gratifikasi selanjutnya disingkat
UPG adalah suatu unit yang dibentuk untuk melakukan tugas dan fungsi
proses pengendalian terhadap penerimaan, penolakan dan pemberian
gratifikasi serta pelaporannya. Aksi tersebut bentuk pencegahan yang
berarti meningkatkan kesadaran individu untuk tidak melakukan korupsi
dan menyelamatkan uang serta aset negara agar tidak disalah gunakan.
Untuk mencapai keberhasilan dalam anti korupsi perlu adanya upaya.
Upaya yang bisa dilakukan agar anti korupsi bisa benar-benar dilakukan.
Sehingga bisa membawa kehidupan yang bebas dari tindak korupsi. Upaya
anti korupsi yang bisa dilakukan sama seperti yang dikatakan Pope (2007:
31) untuk mencapai keberhasilan diantaranya:
a. Adanya keyakinan penuh di pihak pemimpin politik untuk
memberantas korupsi dimanapun terjadi dan untuk diperiksa.
b. Menekankan pencegahan korupsi di masa datang dan perbaikan
sistem, agar sistem yang rusak tidak terus terjadi.
c. Mengadaptasi produk hukum mengenai antikorupsi yang menyeluruh
dan ditegakkan oleh lembaga yang berintegritas.
31
d. Mengidentifikasi kegiatan pemerintahan yang berpeluang untuk
korupsi dan meninjau kembali produk hukum mengenai administrasi.
e. Program untuk memastikan bahwa gaji pegawai dan pemimpin politik
mencerminkan tanggung jawab jabatan masing-masing dan tidak jauh
berbeda dari gaji sektor swasta.
f. Penelitian mengenai upaya perbaikan hukum dan administrasi yang
memastikan upaya hukum dan administrasi bersangkutan cukup
mampu berfungsi sebagai penangkal korupsi.
g. Melakukan kerja sama antara pemerintah dan masyarakat sipil.
h. Menjadikan korupsi sebagai perbuatan beresiko tinggi dan berlaba
rendah.
i. Mengembangkan gaya manajemen yang selalu berubah agar
memperkecil kesempatan untuk korupsi.
Dengan upaya seperti itu, maka apa yang dikatakan oleh Maheka
(dalam Handoyo, 2013: 32) bahwa kebijakan anti korupsi untuk mencegah
dan menghilangkan peluang bagi berkembangnya korupsi. Dalam
melaksanakan anti korupsi upaya yang paling utama itu ialah adanya
adanya keyakinan penuh, mengadaptasi produk hukum dan
mengidentifikasi kegiatan. Selain itu mengenai anti korupsi perlu adanya
upaya penanaman nilai-nilai anti korupsi terhadap generasi muda. Agar
ada dorongan untuk mengembangkan sikap menolak secara tegas setiap
bentuk korupsi. Dalam nilai-nilai anti korupsi, nilai yang dimaksud di sini
adalah sesuatu yang menarik, sesuatu yang dicari, sesuatu yang
32
menyenangkan, sesuatu yang disukai atau sesuatu yang baik menurut
Bertens (dalam Handoyo, 2013: 35). Nilai-niali anti korupsi yang ada di
antaranya: (Handoyo, 2013: 35)
a. Kejujuran
Kejujuran merupakan dasar setiap usaha untuk menjadi orang kuat
secara moral menurut Suseno (dalam Handoyo, 2013: 36). Berperilaku
sesuai yang sebenernya terjadi, menyampaikan dengan setulus hati dan
kelurusan hati.
b. Tanggung Jawab
Merupakan suatu perilaku terhadap tugas yang membebani kita,
dimana kita merasa terikat untuk menyelesaikannya demi tugas itu
sendiri menurut Suseno (dalam Handoyo, 2013: 37). Sikap tanggung
jawab itu berupa sikap yang melaksanakan sesuatu dengan
sesungguhnya, tanpa lalai atau mengesampingkan.
c. Keberanian
Keberanian atau berani berarti mempunyai hati yang mantap dan rasa
percaya diri yang besar dalam menghadapi bahaya, kesulitan, dan
sebagainya (Pusat Bahasa Depdiknas, 2002: 138). Keberanian yang
dilakukan untuk membela kebenaran dan berani dengan mempunyai
hati yang penuh keyakinan untuk menghadapi segala rintangan demi
suatu kebenaran.
d. Keadilan
33
Keadilan adalah memperlakukan seseorang sesuai dengan kebutuhan
dan haknya menurut Surono (dalam Handoyo, 2013: 39). Bersifat adil
tidak ada pembatas untuk membedakan, semua diperlakukan sama.
e. Keterbukaan
Keterbukaan atau terbuka berarti tidak menyembunyikan wajah kita
yang sebenarnya, dengan berarti orang lain mengetahui tanpa ada yang
ditutupi Handoyo (2013: 40).
f. Kedisiplinan
Menurut Tamrin (dalam Handoyo, 2013: 40) kedisiplinan itu adalah
berupa komitmen, tepat waktu, prioritas, perencanaan, taat, fokus,
tekun dan konsisten. Melakukan segala kewajiban dengan tepat dan
cepat.
g. Kesederhanaan
Menurut Tamrin (dalam Handoyo, 2013: 41) kesederhanaan itu
bersahaja, tidak berlebihan, sesuai kebutuhan, apa adnaya, dan rendah
hati. Bentuk kesederhanaan itu dengan bersikap sesungguhnya tidak
berlebihan atau tidak boros.
h. Kerja Keras
Kerja keras itu semangat, gigih, usaha, keyakinan, tabah, keras
pendirian, pantang menyerah, terus berharap, dan mempunyai impian
menurut Bahri (dalam Handoyo, 2013: 42). Memiliki suatu keyakinan
tanpa mengenal lelah, untuk terus berusaha dan berupaya sebaik-
baiknya.
34
i. Kepedulian
Kepedulian bermakna berperilaku dan memperlakukan orang lain dan
lingkungan sekitarnya, sehingga bermanfaat bagi semua pihak menurut
Surono (dalam Handoyo, 2013: 42). Perilaku yang bisa membantu dan
turut bermanfaat bagi orang sekitar tanpa merugikan pihak lain.
3. Pengertian Pemerintah dan Pemerintahan
Kata pemerintah berasal dari bahasa jawa yaitu titah. Jika dalam
bahasa Inggris ialah government dari kata govern. Merupakan suatu
institusi/lembaga beserta jajarannya yang memiliki tugas, fungsi,
wewenang dan tanggung jawab untuk mengurus tugas dan menjalankan
kehendak rakyat, Mustafa (2013: 76). Pemerintah dalam arti luas bisa kita
pahami sebagai lembaga negara yang ada dan menjalankan sesuai
fungsinya. Osborne David dan Plastrik (2000: 55) mengatakan bahwa
pemerintah merupakan lembaga yang besar, kompleks, dan ruwet.
Menurut Balai Pustaka (dalam Mustafa, 2013: 76) pemerintah adalah
sistem menjalankan wewenang dalam kekuasaan atau sistem menjalankan
perintah, yang memerintah. Bisa kita pahami bahwa pemerintah itu
merupakan suatu sistem yang ada dengan dijalankan penuh wewenang dan
adanya kekuasaan. Berbeda halnya dengan pemerintahan, pemerintah
dipahami sebagai lembaga negara yang ada dan menjalankan tugas
pemerintah sesuai fungsinya. Pemerintahan adalah seluruh aktivitas atau
kegiatan pemerintah saja, sehingga apapun yang dilakukan oleh
35
pemerintah, itulah pemerintahan Mustafa (2013: 77). Pemerintahan dapat
dikelompokkan menjadi empat, seperti berikut ini:
a. Sacred-centralized
Sentralisasi ini merupakan bentuk pemerintahan yang mutlak atau
sentralisasi mutlak. Tidak tercampuri oleh apapun, sesuai dengan apa
yang ada di pemerintah. Bentuknya berupa konstitusi yang mutlak
tidak bisa diganggu gugat. Dalam arti kata lain adanya aturan hukum
yang mengikat secara sentralisasi atau terpusat.
b. Sacred-decentralized
Merupakan bentuk desentralisasi yang mutlak, pelimpahan
kewenangan dari pemerintah pusat yang meliputi hak mengatur dan
mengurus kepentingan rumah tangga sendiri bagi badan-badan politik
di daerah yang dipilih oleh rakyat dalam daerah-daerah tertentu.
Pengertian lainnya bisa dipahami sebagai desentralisasi politik. Semua
urusan daerah dilimpahkan terhadap pemerintah daerah. Dengan tidak
adanya campur tangan, karena pelimpahan kewenangan yang bersifat
mutlak mengenai urusan daerah.
c. Secular-centralized
Bentuk sentralisasi dengan adanya pembeda, tidak bersifat mutlak dan
tidak disamaratakan. Tetapi tetap bersifat terpusat, segala urusan yang
ada hanya dibedakan. Berupa urusan-urusan yang bidang kajiannya
berbeda. Seperti kata lainnya ialah bentuk kementrian yang ada.
36
Merupakan sentralisasi dari pusat, tapi sesuai porsi urusan masing-
masing kementrian.
d. Secular-desentralized
Desentralisasi yang dibedakan, berbeda dari segala urusannya. Seperti
pemberian hak kepada golongangolongan minoritas dalam masyarakat
untuk menyelenggarakan kebudayaan sendiri, seperti ritual
kebudayaan. Bentuk penyerahan kepada tiap daerah, yang dilanjutkan
dengan pembeda urusannya di dalam daerah tersebut.
Pengertian pemerintah dan pemerintahan bisa dipahami bahwa
pemerintah itu suatu lembaga yang memiliki fungsi, tugas, wewenang dan
tanggung jawab dalam kekuasaan. Jika pemerintahan itu ialah aktivitas
atau kegiatannya. Dibentuknya pemerintahan pasti memiliki tujuan.
Mustafa (2013: 79) menyampaikan tujuan pemerintah untuk menjaga
suatu sistem ketertiban umum di dalam mana setiap warga masyarakat
dapat menjalankan kehidupannya secara wajar. Hadir dan diciptakan untuk
melayani masyarakat, menciptakan kondisi yang baik, aman dan
mensejahterakan. Menurut Ndraha (2003: 74), pemerintah dapat
didefinisikan seperti berikut:
a. Pemerintah adalah badan publik
b. Pemerintah adalah lembaga negara yang diatur konstitusi
c. Pemerintah adalah semua lembaga negara pemegang kekuasaan
pemerintahan
d. Lembaga Negara yang memegang kekuasaan eksekutif
37
e. Lembaga negara yang memegang fungsi birokrasi
f. Pemerintah adalah pelayan, dan
g. Lembaga yang memproses jasa publik dan layanan sipil
Beberapa definisi pemerintah ialah berupa suatu lembaga yang
memiliki fungsi. Bahkan dikatakan sebagai pelayan, berkaitan dengan itu.
Jika kita memahami pemerintahan ialah suatu bentuk kegiatan oleh
pemerintah, maka pemerintahan itu memiliki tugas pokok seperti yang
dikatakan Rasyid (2002: 14) yang mencakup tujuh bidang:
a. Menjamin keamanan negara dari segala serangan
b. Memelihara ketertiban dengan mencegah perselisihan
c. Menjamin perlakuan yang adil terhadap warga
d. Melakukan pekerjaan umum dan memberi pelayanan atau
menyediakan fasilitas penunjang
e. Berupaya dalam meningkatkan kesehteraan
f. Menerapkan kebijakan ekonomi, dan
g. Menerapkan kebijakan pemeliharaan sumber daya alam dan
lingkungan hidup.
Menurut Osborne David dan Plastrik (2000: 55) bahwa pemerintah
merupakan lembaga yang besar, kompleks, dan ruwet. Dibalik itu,
pemerintah memiliki tugas, fungsi, wewenang dan tanggung jawab untuk
mengurus tugas dan menjalankan kehendak rakyat (Mustafa, 2013: 76).
Fungsi pemerintah menurut Rewansyah (2010: 133) diantaranya:
a. Fungsi pengaturan/regulasi
38
b. Fungsi pelayanan (public service)
c. Fungsi pemberdayaan (empowering people)
d. Fungsi pemberdayaan aset/kekayaan negara
e. Fungsi keamanan
Fungsi dari pemerintah tersebut merupakan suatu fungsi yang memang
dimana hal itu merupakan suatu proses yang dijalankan. Salah satunya
ialah pengaturan/regulasi. Hal ini berkaitan dengan pembentukan
kebijakan. Kebijakan yang dibuat sesuai kehendak rakyat guna mencapai
tujuan bersama. Sesuai UUD 1945 pasal 1 ayat (3) ditetapkan bahwa
negara indonesia adalah negara hukum, maka segala aspek kehidupan
dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan termasuk
pemerintahan harus senantiasa berdasarkan hukum yang diatur. Terutama
terkait kebijakan yang dimaksud disini ialah kebijakan pemerintah daerah,
tepatnya kebijakan anti korupsi di kantor Pemerintahan Provinsi Jawa
Tengah.
Pemerintahan daerah diartikan sebagai penyelenggara urusan
pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asa otonomi
dan tugas pembantuan dengan rpinsip otonomi seluas-luasnya dalam
sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Pernyataan tersebut mengenai pemerintahan daerah terdapat
pada Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah No. 6 Tahun 2008 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Provinsi Jawa Tengah. Jika
39
pemerintah daerah dalam peraturan daerah tersebut ialah Gubernur dan
perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Gubernur yang dimaksud ialah Gubernur Jawa Tengah. Dengan segala
perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah di
Jawa Tengah yaitu melalui Dinas Daerah, merupakan Dinas Daerah
Provinsi Jawa Tengah yang terdiri dari Dinas Pendidikan, Dinas
Kesehatan, Dinas Sosial, Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi Dan
Kependudukan, Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata, Dinas Koperasi Dan
Usaha Mikro Kecil Dan Menengah, Dinas Pemuda Dan Olahraga, Dinas
Perindustrian Dan Perdagangan, Dinas Pendapatan Dan Pengelolaan Aset
Daerah, Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air, Dinas Bina Marga, Dinas
Cipta Karya Dan Tata Ruang, Dinas Energi Dan Sumber Daya Mineral,
Dinas Perhubungan, Komunikasi Dan Informatika, Dinas Pertanian
Tanaman Pangan Dan Hortikultura, Dinas Peternakan Dan Kesehatan
Hewan, Kepala Dinas Kehutanan, Dinas Perkebunan, dan Dinas Kelautan
Dan Perikanan.
Bisa dilihat dari pemerintahan di Singapura, penelitian yang dilakukan
Voskanyan, dalam A Study Of The Effect Of Corruption On Economic and
Political Develpoment Of Armenia, thesis and dissertation American
University Of Armenia (2000). Pemerintahan Singapura yang telah
menjalankan fungsi pemerintahannya dalam pengaturan/regulasi terhadap
mengurangi korupsi dengan meningkatkan gaji. Dengan demikian
reformasi layanan sipil adalah salah satu bagian yang paling penting dalam
40
memerangi korupsi, beberapa cara pengaturan/regulasi lainnya
disampaikan dengan cara berikut:
a. Mereformasi sistem peradilan
b. Reformasi anggaran
c. Manajemen keuangan dengan baik
d. Audit dan kontrol
e. Pajak dan Cukai Departemen
f. Masyarakat sipil dan media
g. Memulai kampanye anti-korupsi.
B. Kerangka Berpikir
Istilah kebijakan atau policy digunakan untuk menunjuk perilaku seorang
aktor atau bisa kita pahami ialah pejabat, suatu kelompok maupun lembaga
pemerintah menurut Anderson (dalam Winarno, 2014: 19). Pernyataan ini
sesuai dengan pernyataan Surbakti (2010: 243) suatu putusan yang mengikat,
menyangkut, dan memengaruhi masyarakat umum itu biasanya diurus dan
diselenggarakan dengan lembaga-lembaga pemerintahan. Lembaga-lembaga
pemerintahan itu ada suatu aktor atau bisa kita pahami ialah pejabat.
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah memiliki suatu kebijakan yang
mengikat dalam kebijakan mengenai Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah
nomor 5 tahun 2014 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD) tahun 2013 – 2018, dokumen tersebut sebagai acuan seluruh Satuan
kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam menyusun Rencana Strategis
41
(Renstra). Pasal 25 ayat 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8
Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan
Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah, menyebutkan bahwa
setiap SKPD wajib menyusun Rencana Strategis yang memuat Visi, Misi,
tujuan, strategi, kebijakan, program dan kegiatan pembangunan sesuai dengan
tugas dan fungsinya dan ditetapkan oleh Kepala SKPD yang sesuai visi
Provinsi Jawa Tengah yaitu menuju Jawa Tengah sejahtera dan berdikari dan
sesuai dengan slogannya “Mboten Korupsi, Mboten Ngapusi” untuk
mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan Provinsi Jawa Tengah yang
bersih, jujur dan transparan.
Kebijakan yang baik mempunyai tujuan yang rasional dan diinginkan,
asumsi yang realistis, serta informasi yang relevan dan lengkap (Abidin, 2012:
163). Namun, tanpa adanya implementasi yang baik, sebuah rumusan
kebijakan yang baik hanya akan menjadi suatu dokumen yang tidak
mempunyai banyak arti. Menurut Edwards (dalam Winarno, 2014: 177)
implementasi kebijakan adalah salah satu tahap kebijakan publik, antara
pembentukan kebijakan dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi
masyarakat yang dipengaruhinya. Seperti halnya setiap kegiatan SKPD dan
lain halnya yang diatur dalam kebijakan yang ada harus ada kesesuaian
dengan visi pemerintah provinsi.
Implementasi kebijakan merupakan langkah yang sangat penting dalam
proses kebijakan. Tanpa implementasi, suatu kebijakan hanya menjadi
dokumen yang tidak bermakna. Seperti adanya Peraturan Daerah Provinsi
42
Jawa Tengah No. 6 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas
Daerah Provinsi Jawa Tengah, diikuti dengan Undang-undang No. 28 Tahun
1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme. Selanjutnya dengan ada Instruksi Presiden Republik
Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi
dan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2014 tentang Aksi Pencegahan dan
Pemberantasan Korupsi. Lalu diikuti Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah
No 5 tahun 2014 setiap SKPD harus sesuai dengan visi pemerintah provinsi,
akan tidak bermakna jika SKPD yang ada tidak ada implementasinya. Dalam
penelitian ini SKPD yang dimaksud ialah Dinas Kesehatan Provinsi Jawa
Tengah. Mengingat tugas dan fungsi Dinas Kesehatan salah satunya dalam
pembangunan kesehatan, yang dilaksanakan dengan tujuan untuk
meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap
orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Apapun bentuk kegiatan atau yang dilakukan Dinas Kesehatan lainnya harus
bebas dari tindak pidana korupsi yang sudah diatur pula dengan UU Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidanan Korupsi. Sehingga untuk
mengimplementasikan kebijakan anti korupsi yang dimiliki Pemerintah
Provinsi Jawa Tengah tergambarkan dalam sebuah visinya yaitu “Mboten
Korupsi, Mboten Ngapusi”. Maka kerangka berpikir dalam penelitian ini
seperti berikut:
43
Gambar 2. Kerangka berpikir penelitian
Kebijakan Anti Korupsi
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah
Visi Pemerintah Provinsi Jawa Tengah
Menuju Jawa Tengah Sejahtera dan Berdikari
“Mboten Korupsi, Mboten Ngapusi”
Hasil outcome dari kebijakan
anti korupsi
Implementasi Kebijakan
Dalam Perspektif Edward
108
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
1. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah guna mendukung kebijakan anti
korupsi Provinsi Jawa Tengah dengan mengeluarkan Keputusan Kepala
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Nomor: 900/1255/2016/1.4
tentang Penetapan Nama-Nama Tunas Integritas Dinas Kesehatan Provinsi
Jawa Tengah. Memiliki tugas pokok untuk menumbuhkembangkan sistem
integritas menuju wilayah bebas korupsi di lingkungan Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Tengah guna mendukung dan sejalan dengan tagline serta
visi Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, yaitu: Menuju Jawa Tengah
Sejahtera dan Berdikari “Mboten Korupsi Mboten Ngapusi”. Tunas
integritas itu sebagai motor penggerak bahwa korupsi itu tidak terjadi di
lingkungan kerjanya, dengan menyebarkan nilai-nilai integritas yang
dimiliki.
2. Implementasi dari segala bentuk kegiatan anti korupsi berupa sosialisasi
dan workshop yang memiliki suatu kejelasan dalam tujuan akhir atau
outcome lerning dalam kurikulum dan RPP. Semua dilakukan berawal dari
struktur organisasi di Dinas Kesehatan hingga ke unit pelaksana di daerah.
Di Dinas Kesehatan sumber dayanya yang sebagai fasilitator dilakukan
secara bergantian antar bagian dan seksi yang ada. Jika ke daerah itu
sumber dayanya yang sebagai fasilitator hanya terpilih delapan orang dari
nama-nama tunas integritas lalu menjadi kader pilihan dengan team
109
leadernya Sekretaris Dinas Kesehatan. Dilakukan sosialisasi dengan tujuan
agar ada pemahaman mengenai pentingnya memiliki nilai-nilai integritas
yang ada dan lingkungan kerjapun bersih dari korupsi. Jika workshop
bertujuan sesuai kurikulum yang ada untuk meningkatkan pemahaman
tentang makna integritas, menumbuhkan semangat berubah ke arah yang
lebih baik, dan membangun komitmen bersama. Membahas juga tahapan
level of angegement atau bisa dipahami sebagai tingkatan keterlibatan.
Rangkaian sosialisasi dan workshop diakhiri dengan simulasi yang
disampaikan dalam bentuk bersenang-senang sampai pada akhirnya
deklarasi bersama. Deklarasi yang berupa suatu komitmen bersama untuk
memiliki nilai-nilai integritas.
B. Saran
1. Memberikan penghargaan (reward) karena komitmen tidak hanya berupa
kepatuhan dalam menjalankan tugas, tapi harus diikuti dengan komitmen
untuk mengapresiasi pegawai yang dalam kurun waktu tertentu bersih atau
berprilaku baik.
2. Diikuti dengan adanya tolak ukur yang jelas atau suatu indikator penilaian
dalam membuktikan kinerja pegawai bersih sepenuhnya atau bisa
dikatakan berperilaku baik. Dari adanya tolak ukur atau indikator yang
dibuat, untuk terciptanya suatu bentuk apresiasi kinerja pegawai.
110
DAFTAR PUSTAKA Buku:
Abidin, Zainal. 2012. Kebijakan Publik: Edisi 2. Jakarta: Salemba Humanika.
Andi, Hamzah. 2005. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Arikunto, Suharsimi. 2001. Prosedur Penelitian. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Budiardjo, Meriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Handoyo, Eko. 2013. Pendidikan Anti Korupsi. Yogyakarta: Ombak.
----- 2012. Kebijakan Publik. Semarang: Widya Karya.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 2006. Memahami Untuk Membasmi. Jakarta: KPK.
Moleong, Lexy J. 2007. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Mustafa, Delly. 2013. Birokrasi Pemerintahan. Bandung: Alfabeta.
Ndraha, Taliziduhu. 2005. Kybernologi: Ilmu Pemerintahan Baru. Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
Nugraha D, Riant dan Tri Hanurita S. 2005. Tantangan Indonesia Solusi Pembangunan Politik Negara Berkembang. Jakarta: Elex Media
Komputindo.
Nugroho, Riant. 2012. Public Policy For The Developing Countries. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Pope, Jeremy. 2007. Strategi Memberantas Korupsi Elemen Sistem Integritas Nasional. Diterjemahkan Masri Maris. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Osborne, David dan Plastrik Peter. 2000. Memangkas Birokrasi. Jakarta: PPM.
Rasyid, Ryaas, Mohammad. 2002. Makna Pemerintahan: Tinjauan dari segi Etika dan Kepemimpinan. Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya.
Rustanto, Bambang. 2015. Penelitian Kualitatif: Pekerjaan Sosial. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
111
Surbakti, Ramlan. 2010. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia
Widiasarana Indonesia.
Tachjan. 2006. Implementasi Kebijakan Publik. Bandung: TRUENORTH.
Winarno, Budi. 2014. Kebijakan Publik: Teori, Proses, dan Studi Kasus.
Yogyakarta: CAPS.
Widodo, Joko. 2010. Analisis Kebijakan Publik: Konsep dan Aplikasi Analisis Kebijakan Publik. Malang: Bayu Media.
Artikel dan Jurnal
Abboud. 2004. ‘Transforming the culture of corruption’. eJurnal USA Issues of Democracy Vol. 11 No. 12. Hal. 5-7.
Akib, Haedar. 2010. ‘Implementasi Kebijakan: Apa, Mengapa, dan Bagaimana’. No. 1. Hal 02.
Amundsen, Inge. 2000. ‘Political Corruption: An Introduction to the Issues’. Articles Michelsen Institute. Hal. 20.
Azra, Azyumardi. 2002. ‘Korupsi Dalam Perspektif Good Governance’. Dalam
Kriminologi Indonesia. No. 1. Hal. 31 – 36.
Burhanudin. 2013. ‘Tindak Pidana Korupsi Sebagai Kejahatan Korporasi’. Jurnal Cita Hukum Vol. 1 No. I. Hal. 75-84.
Cargo, Margaret. 2009. ‘Policy Implementation: Implications for Evaluation’. Articles Willey Interscience. Hal. 47-60.
Firmansyah, Hery. 2010. ‘Jejaring Advokasi Kebijakan Dalam Mendukung Gerakan Anti Korupsi Di Daerah’. Jurnal Kebijakan dan Administrasi
Publik Vol. 15 No. I. Hal. 1-18.
Fritsch, Oliver. 2016. ‘Studying the implementation of the Water Framework Directive in Europe’. Articles jurnal Ecology and Society Vol. 21 No. 2.
Hal. 19.
Fixsen, dkk. 2005. ‘Implementation Research: A Synthesis of the Literature’. Articles University Of South Florida. Hal. 70-77.
Imurana, Braimah. 2014. ‘The Politics of Public Policy and Problems of Implementation in Africa: An Appraisal of Ghana’s National Health
112
Insurance Scheme in Ga East District’. Dalam International Journal of Humanities and Social Science Vol. 4 No. 4. Hal. 196-207.
Istiqomah, Milda. 2016. ‘Kebijakan Formulasi Pengaturan Illicit Enrichment Sebagai Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi’. Jurnal Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Vol. 23 No. I. Hal. 80-83.
Kennedy, David. 2000. ‘The Internatioanal Anti Corruption Campaign’. Dalam jurnal Internatioanal Harvard Law School Vol. 15.
Liando, Daud. 2012. ‘Implementasi Kebijakan Pembentukan Daerah Otonomi Baru dan Dampaknya Bagi Kualitas Pelayanan Publik’. Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik Vol. 16 No. 2. Hal. 47-61.
Medalla, Erlinda. 2006. ‘Anti-Corruption and Governance: The Philippine Experience’. Artikel anti korupsi negara anggota kerjasama ekonomi asia
pasifik.
Rioseco, Diego. 2013. ‘Why Do States Adopt Inefficient Institutions?: Explaining The Emergence Of The International Anti-Corruption Regime’. Journal of
Public Management Vol. 2 No. 2. Hal. 439-462.
Santoso, Amir. 2007. ‘Faktor-Faktor Politik, Administrasi dan Budaya Dalam Masalah Korupsi Di Indonesia’. Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik
Vol. 11 No. I. Hal. 87-98.
Tacker, Strom. 2004. ‘Political Institusions and Corruption: The Role of Unitarism and Parliamentarism’. Jurnal Cambridge University. Hal. 300-
310.
Tanzi, Vito. 2000. ‘Corruption Around the World: Causes, Consequences, Scope, and Cures’. Articles International Monetary Fund. Hal. 17-20.
Tummers, dkk. 2012. ‘Public professionals and policy implementation: conceptualizing and measuring three types of role conflicts’. Dalam jurnal International Public Management Review Vol. 14 No. 2. Hal. 1041-1059.
Veronesi, Ginaluca. 2009. ‘Policy implementation and stakeholder involvement within the National Health Service’. Dalam jurnal International The University of Leeds.
Vorster, Schalk. 2013. ‘Fighting corruption: a philosophical approach’. Dalam jurnal International North West University Vol. 47 No. I. Hal. 1-7.
113
Tesis dan Disertasi
Sugiana, Puji. 2012. ‘Implementasi Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Melalui Program Pemberdayaan Ekonomi Kelompok Usaha Bersama (KUBE) di Jakarta Selatan’. Tesis Universitas Indonesia.
Viskanyan, Frunzik. 2000. ‘A Study Of The Effect Of Corruption On Economic and Political Develpoment Of Armenia’. Thesis and dissertation American
University Of Armenia.
Peraturan:
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah No. 6 Tahun 2008 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Dinas Daerah Provinsi Jawa Tengah.
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah No. 5 Tahun 2014 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tahun 2013 – 2018.
Peraturan Gubernur Jawa Tengah No. 59 Tahun 2014 tentang Pedoman
Pengendalian Gratifikasi Di Lingkungan Pemerintahan Provinsi Jawa
Tengah.
Peraturan Gubernur Jawa Tengah No. 50 Tahun 2015 tentang Pemberian Jasa
Pelayanan Pada Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan Provinsi Jawa
Tengah.
Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 1952 tentang Pelaksanaan Penyerahan
Sebagai Urusan Pemerintah Pusat Mengenai Kesehatan Kepada Daerah-
Daerah Swatantra Provinsi Di Jawa.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 8 Tahun 2008 tentang Tahapan,
Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana
Pembangunan Daerah.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat
Daerah.
Undang-Undang No 10 Tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi Jawa Tengah.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
114
Sumber Lain:
Artikel Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Suharsi, Integritas Kompetensi. http://www.dinkesjatengprov.go.id/v2015/index.php/component/content/art
icle/39-rokcontent/frontpage/341-ik (20 Mar. 2017).
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. 2014. Rencana Strategis Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Tengah tahun 2013-2018.
http://www.dinkesjatengprov.go.id/v2015/dokumen/renstra_smt1_15/REN
STRA%20dinkes%20prov.pdf (01 Mar 2017).
Jakarta: SIPD Kementrian Dalam Negeri.
http://sipd.bangda.kemendagri.go.id/dokumen/uploads/visimisi_209_2016.
pdf (22 Feb. 2017).