IMISSU Single Sign On of Udayana University
Transcript of IMISSU Single Sign On of Udayana University
TEKS
1
PNEUMONIA PADA IMMUNOCOMPROMISE
I Ketut Agus Somia
Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar
PENDAHULUAN
Immunokompromise merupakan keadaan abnormalitas dari sistim
imunitas yang di dapat atau congenital. Pasien mmunokompromise berisiko
tinggi mengalami infeksi yang berat dan mengancam jiwa. Pada beberapa
dekade terakhir terjadi peningkatan populasi immunokompromise akibat
peningkatan pemakaian obat-obat imunosupresif pada keganasan, penyakit
autoimun, penyakit kronis dan juga akibat peningkatan kasus HIV/AIDS.
Paru-paru merupakan salah satu organ yang sering mengalami infeksi pada
pasien dengan imunokompromise baik karena infeksi virus, bakteri, jamur
dan parasit. Manifestasi klinis pneumonia pada pasien immunokompromise
sangat bervariasi, cendrung berat dan fatal. Oleh karena itu diagnosis dini
yang akurat, penatalaksanaan yang cepat dan tepat sangat penting dalam
menekan morbiditas dan mortalitas pneumonia yang sangat tinggi pada
pasien immunokompromise.
TEKS
2
ETIOLOGI
Penyebab pneumonia yan paling sering pada pasien
immunokompromise berkaitan dengan penyakit imunokompromise yang
mendasari. 1,2
Gambar 1. Etiologi Pneumonia pada immunocompromised
PATOGENESIS
Kondisi imunokompromise terjadi oleh karena tiga faktor yaitu:
defek fagosit, defek immunoglobulin dan defek imunitas seluler.1,2
Immunocompr
Defek Fagosit Defek Defek Sel-T
Anemia aplastik
Neutropenia post
chemotherapy
Agammaglobulinemi
a Multiple
myeloma
AIDS
Solid organ
transpant
S. Aureus
P. aeruiginosa
Aspergillus
S. pneumoniae
H. influenza
P. carinii
M.
Tuberculosis
C. Neoformans
Teks
3
Defek fagosit
Sel sel mononuclear terdiri dari monosit, makrofag dan neutrofil
merupakan fagosit yang berperan melindungi tubuh dari bakteri dan jamur.
Sel-sel ini akan bermigrasi ke tempat infeksi, membunuh mikroorganisme,
dan mengeleminasi debris selular. Disamping itu fagosit mononuclear
memproduksi regulator-regulator dan menyajikan antigen pada limfosit dan
membantu menginisiasi dan mengkoordinasi respon imun. Defek kuantitas
fagosit yang paling sering dijumpai adalah neutropenia, yang sering dijumpai
pada leukemia akut, kegagalan sumsum tulang, atau pada pasien yang
mendapat kemoterapi keganasan. Defek kualitatif fagosit menyebabkan
masalah yang sama seperti neutropenia yaitu infeksi bakteri yang berulang,
berat dan fatal. 1,2
Defek antibodi
Terdapat 3 cara antibodi melindungi tubuh dari mikroorganisme yaitu: 1,2
1. Neutralisasi: dimana ikatan antara antibody dengan virus sebelum
masuk dan bereplikasi dalam sel. Neutralisasi juga dapat terjadi
pada bakteri yang bereproduksi dalam sel.
2. Opsonisasi: antibody meliputi permukaan bakteri menstimulasi sel-
sel fagosit untuk mencerna dan membunuh bakteri. Opsonisasi
TEKS
4
merupakan cara yang efektif terhadap bakteri extraseluler- dan
bakteri yang bermultiplikasi diluar sel sel host.
3. Aktivasi komplemen: meningkatkan opsonisasi dan dapat secara
langsung membunuh bakteri.
Pada pasien dengan antibodi yang terganggu berisiko menderita
pneumonia yang disebabkan oleh bakteri berkapsul, yang diselubungi oleh
kapsul polisakarida yang menghambat fagositosis oleh makrofag dan
neutrofil. Opsonisasi bakteri tersebut dengan antibodi atau komplemen
sangat diperlukan sebelum fagosit secara efisien mencerna dan membunuh
bakteri tersebut.
Defek pada imunitas yang diperantai oleh sel (sel-T)
Sel T dapat dibagi menjadi 3 klas fungsional: 1,2
- Sel TC (CD8) yang membunuh sel yang terinfeksi oleh pathogen
(terutama virus) yang bereplikasi dalam sitoplasma sel host.
- Sel TH1 (CD4) yang mengaktivasi makrofag dan kemudian
menghancurkan pathogen seperti M tuberculosis dan P carinii,
yang berada dalam vesikel makrofag
- Sel TH2 (CD4) yang mengaktifkan sel-sel B untuk memproduksi
antibodies.
Teks
5
Dengan demikian sel limfosit T berperan penting dalam imunitas
yang diperantari seluler dan humoral. Meskipun pasien dengan cell-
mediated immunodeficiency sangat rentan terhadap infeksi yang
disebabkan oleh bacteria, fungi, viruses, dan protozoa, namun yang
predominan adalah pathogen pathogen intracellular (cytoplasmic atau
vesicular) seperti mycobacteria, Nocardia asteroides, Legionella species, C
neoformans, H capsulatum, C immitis, varicella zoster virus, herpes simplex
virus, cytomegalovirus, Epstein-Barr virus, P carinii, dan T gondii.
Imunodefisiensi Cell-mediated dapat terjadi primer - inherited—
atau acquired— sebagai akibat dari gangguan lain atau efek samping terapi .
Acquired cell-mediated immunodeficiency (AIDS) karena Infeksi human
immunodeficiency virus (HIV) merupakan jenis imunodefisiensi yang paling
sering ditemukan. Sel CD4 merupakan target infeksi HIV, deplesi sel-sel
jumlah CD4 berkaitan dengan derajat immunosupresi dan berhubungan
langsung dengan jenis infeksi paru yang terjadi.
Berikut akan dibahas secara ringkas manifestasi klinis, diagnosis
dan terapi pneumonia pada pasien imunokompromise, khususnya pada
pasien dengan HIV/AIDS.
PNEUMOCYSTIS JIROVECII (FORMERLY PNEUMOCYSTIS CARINII)
TEKS
6
Pada infeksi HIV gambaran manifestasi PCP meliputi dispneu
progresif subakut, demam, batuk non produktif dan nyeri dada yang
memburuk dalam beberapa hari sampai minggu. Pada PCP ringan,
pemeriksaan paru dalam keadaan istirahat biasanya normal. Dengan
exercise, akan terjadi tachypnea, tachycardia, dan terdengar ronki kering
yang difus. Demam merupakan tanda yang sering dijumpai. PCP sering
disertai dengan koinfeksi candidiasis oral.4
Pada pemeriksaan laboratorium sering dijumpai hypoxemia dari
ringan ( tekanan oksigen arterial [pO2] ≥70 mm Hg atau alveolar-arterial O2
difference, [A-a] DO2 <35 mm Hg), hipoksemia sedang ([A-a] DO2 ≥35 adan
<45 mm Hg) dan hipoksemia berat ([A-a] DO2 ≥45 mm Hg). Peningkatan
kadar lactate dehydrogenase >500 mg/dL tetapi tidak spesifik. 4
Pada foto polos dada tampak infiltrate interstitial yang simetris,
diffuse, bilateral yang memancar dari hilar membentuk gambaran kupu-
kupu. Walaupun demikian gambaran foto polos dada dapat normal pada
awal penyakit. Gambaran yang atipikal dapat berupa nodules, blebs dan
cysts, asymmetric, yang berlokasi di lobus atas, dan pneumothorak.
Pneumothorax spontan pada pasien HIV harus dicurigai karena PCP. Cavitas,
adenopaty intrathoracic dan efusi pleural jarang dijumpai, akan tetapi jika
tidak ditemukan pathogen lain dan keganasan, maka diagnosis alternative
PCP perlu dipkirkan. Hampir sekitar 13% sampai 18% PCP juga disertai
dengan tuberculosis (TB), sarcoma Kaposi atau pneumonia bacterial.12,4
Teks
7
Diagnosis pasti ditegakkan dengan deteksi PCP dari specimen cairan
BAL atau sputum yang diinduksi. PCP dapat terdeteksi dengan pengecatan
giemsa, diff-quik, dan wright (dapat mendeteksi bentuk cystic dan trophic,
tapi tidak mengecat dinding cyst), pengecatan gomori methenamine silver,
gram-weigert, cresyl violet, dan toluidine blue ( dapat mengecat dinding
cyst). Polymerase chain reaction (PCR) specimen BAL memiliki senstifitas
yang tinggi dalam mendiagnosis PCP, namun kemampuan membedakan
dengan kolonisasi PCP masih belum jelas.4
Profilaksis primer, terapi dan profilaksis sekunder PCP4
Profilaksis Primer
Indikasi: pasien HIV remaja, dewasa termasuk hamil dan yang mendapat
ARV dengan kadar CD4 <200 cells/mm3, Pasien HIV dengan riwayat
kandidiasis oropharyngeal, Kadar CD4 cell <14% atau Riwayat dengan AIDS-
defining illness
Pilihan :
Trimethoprim-sulfamethoxazole
(TMP-SMX) 960 mg PO single
dose setiap hari
Alternatif:
TMP-SMX 1 DS PO 3 kali seminggu atau Dapsone 100 mg PO perhari atau 50 mg PO BID atau
Dapsone 50 mg PO per hari + (pyrimethamine 50 mg + leucovorin 25 mg) PO perminggu atau
(Dapsone 200 mg + pyrimethamine 75 mg + leucovorin 25 mg) PO per minggu atau
TEKS
8
Aerosolized pentamidine 300 mg via Respigard II™ nebulizer setiap bulan atau
Atovaquone 1500 mg PO per hari dengan makanan atau
(Atovaquone 1500 mg + pyrimethamine 25 mg + leucovorin 10 mg) PO per minggu dengan makanan.
Profilaksis primer dihentikan bila terjadi peningkatan CD4 dari <200
cells/mm3 menjadi ≥200 cells/mm3 selama 3 bulan
PCP sedang atau berat ( lama terapi 21 hari)
Pilihan:
TMP-SMX (TMP 15–20 mg and
SMX 75–100 mg)/kg/day IV
setiap 6 jam atau 8 jam, diganti
PO setelah perbaikan klinis
Alternative :
Pentamidine 4 mg/kg IV sekali sehari perinfus paling sedikit 60 menit,dosis kemudian diturunkan menjadi 3 mg/kg IV sekali sehari atau
Primaquine 30 mg (base) PO sekali sehari + (Clindamycin [IV 600 q6h atau 900 mg setiap 8 jam] atau
[PO 450 mg setiap 6 jam atau 600 mg setiap 8 jam])
Pada PCP sedang atau berat diberikan kortikosteroid sesegera mungkin
setelah 72 jam mendapat terapi spesifik PCP
Dosis prednison
Teks
9
Hari 1–5 : 40 mg PO BID
Hari 6–10 : 40 mg PO daily
Hari 11–21 : 20 mg PO daily
PCP Ringan sampai sedang ( lama terapi 21 hari
Terapi pilhan
TMP-SMX: (TMP 15–20 mg/kg/hari dan SMX 75–100 mg/kg/hari), diberikan PO dalam 3 dosis terbagi atau
TMP-SMX DS - 2 tablets TID
Terapi Alternatif:
Dapsone 100 mg PO perhari + TMP 15 mg/kg/perhari PO (3 dosis terbagi ) atau
Primaquine 30 mg (base) PO per hari + Clindamycin PO (450 mg setiap 6 jam atau 600 mg setiap 8 jam) atau
Atovaquone 750 mg PO BID dengan makanan
Profilaksis sekunder
Indikasi: pernah terinfeksi PCP
Pilihan:
TMP-SMX, 1 DS PO perhari atau
TMP-SMX, 1 SS PO perhari
Terapi alternative
TMP-SMX 1 DS PO 3 kali seminggu, atau
Dapsonec 100 mg PO per hari atau 50 mg PO BID atau
Dapsoneb 50 mg PO perhari + (pyrimethamine 50 mg + leucovorin 25 mg) PO perminggu atau
(Dapsoneb 200 mg + pyrimethamine 75 mg + leucovorin 25 mg) PO perminggu atau
Aerosolized pentamidine 300 mg via
TEKS
10
Respigard II™ nebulizer per bulan atau
Atovaquone 1500 mg PO perhari dengan makanan atau
(Atovaquone 1500 mg + pyrimethamine 25 mg + leucovorin 10 mg) PO per hari dengan makanan
Indikasi menghentikan profilaksis sekunder:
CD4 meningkat dari <200 cells/mm3 menjadi 200 cells/mm
3 selama >3
bulan sebagai akibat pemberian ART atau
Jika PCP didiagnosis pada saat CD4 ≥ 200 cells/mm3, profilaksis
diteruskan seumur hidup tidak tergantung dari peningkatan CD4 akibat pemberian ART
Indikasi memulai lagi profilaksis sekunder:
CD4 turun kembali <200 cells/mm3 atau
Jika PCP rekuren pada CD4 ≥ 200 cells/mm3,maka profilaksis diberikan seumur hidup
TUBERKULOSIS
HIV merupakan factor risiko terbesar terjadinya TB. Pada pasien
HIV, TB lebih mudah menjadi aktif dan risiko mortalitas yang lebih besar.
HIV juga merupakan faktor risiko progresi TB laten menjadi aktif.
Manifestasi klinis TB pada HIV tergantung dari derajat berat
immunodefisiensi. Semakin berat imunodefisiensi, gambaran TB yang tipikal
dan adanya lesi kavitas akan semakin jarang dijumpai. Pada kondisi tersebut
TB lebih sering dijumpai pada lobus bawah. Inisiasi ARV pada pasien HIV juga
berisiko terjadi rekonstitusi imun unmasking (subclinical) TB dan TB IRIS
paradoksikal pada pasien HIV- TB yang sudah menunjukkan perbaikan
dengan OAT.1,2,4
Teks
11
Pada pasien TB-HIV, perlu dicurigai terjadinya resistensi OAT bila:
pernah terpapar dengan obat TB yang resisten, tinggal di daerah prevalensi
TB resisten yang tinggi atau kejadian kasus baru resisten yang tinggi, BTA
sputum atau kultur sputum tetap positif setelah 4 bulan terapi, dan riwayat
sebelumnya putus OAT atau memakai OAT tidak dipantau secara langsung.4
PNEUMONIA BAKTERIAL
Pathogen bacterial yang menyebabkan pneumonia pada orang
dengan dan tanpa HIV adalah sama. Penyebab pneumonia komunitas yang
paling sering adalah Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenzae, dan
Staphylococcus aureus. Staphylococcus aureus. Sedangkan penyebab
pneumonia nosocomial adalah Pseudomonas aeruginosa, Enterobacter
species, Klebsiella species, Escherichia coli dan Acinetobacter species. Pada
pasien HIV yang terinfeksi S pneumoniae, memiliki risiko mengalami
pneumonia 10-100 kali lebih tinggi dibandingkan tanpa HIV. Manifestasi
klinis dan radiologis pneumonia bacterial pada HIV adalah sama pada
dengan dan tanpa HIV. Pedoman diagnosis dan terapi pneumonia bacterial
pada individu tanpa HIV bisa diaplikasikan pada pasien HIV.4
PNEUMONIA HISTOPLASMA CAPSULATUM
Hampir semua kasus histoplasmosis primer terjadi melalui inhalasi
microconidia yang terbentuk pada fase miselium. Sering terjadi diseminasi
TEKS
12
infeksi asimtomatik di luar paru-paru, dan imunitas seluler sangat penting
dalam mengendalikan infeksi. Ketika imunitas seluler terganggu, maka bisa
terjadi reaktivasi fokus laten infeksi yang sudah didapat beberapa tahun
sebelumnya.
Manifestasi klinis progressive disseminated histoplasmosis pada
pasien HIV meliputi demam, fatigue, penurunan berat badan dan
hepatomegali. Sekitar 50% pasien menunjukkan keluhan batuk, nyeri dada
dan sesak nafas. Pada pasien dengan kadar CD4 > 300 cells/mm3,
histoplasmosis sering terbatas pada saluran nafas yang umumnya ditandai
dengan batuk, nyeri dada dan demam.
Diagnosis ditegakkan dengan deteksi antigen Histoplasma dalam
darah atau urine dengan metode rapid yang sensitif untuk diagnosis
disseminated histoplasmosis dan acute pulmonary histoplasmosis, namun
kurang sensitive pada infeksi kronis paru-paru. Spesimen kultur H.
capsulatum dapat berasal dari darah, sumsum tulang, sekresi respirasi atau
dari tempat-tempat yang terinfeksi. 4
Teks
13
Profilaksis primer, terapi dan profilaksis sekunder pada pneumonia Histoplasma capsulatum
4
Profilaksis primer diindikasikan pada pasien dengan CD4 < 150 sel/uL yang
berisiko tinggi karena paparan pekerjaan atau yang tinggal di daerah
hiperendemik (>10 kasus/100 pasien- tahun)
Pada kasus Acute pulmonary histoplasmosis pada pasien HIV dengan CD4
>300 cells/mm3 ditatalaksana seperti pasien non HIV
Pada kasus sedang sampai berat
Terapi Induksi
selama paling sedikit 2 minggu atau sampai terjadi perbaikan klinis
Terapi pilihan: Liposomal
amphotericin B at 3 mg/kg IV perhari
Terapi alternatif: Amphotericin B
lipid complex atau amphotericin B
cholesteryl sulfate complex 3 mg/kg
IV per hari
Terapi pemeliharan paling sedikit selama 12 bulan
Itraconazole 200 mg PO TID selama 3 hari, kemudian BID
Pada kasus Penyakit disseminasi yang kurang berat
Terapi induksi dan pemeliharaan
Terapi pilihan: Itraconazole 200 mg
PO TID selama 3 hari, dilanjutkan
200 mg PO BID selama 12 bulan
Alternatif : Posaconazole 400 mg PO
BID atau Voriconazole 400 mg PO
BID selama 1 hari, kemudian 200 mg
PO BID atau Fluconazole 800 mg PO
sehari
TEKS
14
Terapi supresi jangka panjang ( profilaksis sekunder)
Indikasi :pasien severe disseminated atau infeksi CNS setelah terapi lengkap
12 bulan, relaps dengan terapi yang sesuai.
Terapi pilihan : Itraconazole 200 mg
PO setiap hari
Terapi alternatif: Fluconazole 400
mg PO setiap hari
Kriteria menghentikan terapi supresi jangka panjang: mendapat terapi azole
>1 tahun, dan kultur darah negative dan antigen Histoplasma serum <2
ng/mL, dan hitung CD4 >150 cells/mm3 selama 6 bulan pada respon dengan
ART
Indikasi memberikan lagi profilaksis sekunder: CD4 count <150 cells/mm3
PNEUMONIA CRYPTOCOCCUS NEOFORMANS
Sebagian besar infeksi cryptococcal pada pasien HIV disebabkan
karena Cryptococcus neoformans, tetapi kadang-kadang juga oleh
Cryptococcus gattii. Pneumonia cryptococcus sering menyebabkan infeksi
yang luas, berat dan disseminate, yang kebanyakan terjadi akibat reaktivasi
infeksi laten.
Infeksi Cryptococcus isolated pada paru ditandai dengan batuk dan
dispneu. Pneumonia Cryptococcus dapat juga tampak seperti acute
respiratory distress syndrome dan menyerupai PCP. Diagnosis ditegakkan
dengan mikroskopis, deteksi antigen (CrAg) dan kultur. Terapi meliputi 3
fase yaitu induksi, konsolidasi dan pemeliharaan. 4
Terapi Pneumonia cryptococcus
Teks
15
Terapi Pneumonia cryptococcus
Terapi induksi (paling sedikit 2 minggu, dilanjutkan dengan terapi konsolidasi
Terapi pilihan Terapi alternatif
Liposomal amphotericin B 3–4 mg/kg IV per hari plus flucytosine 25 mg/kg PO QID atau
Amphotericin B deoxycholate 0.7–1.0 mg/kg IV per hari plus flucytosine 25 mg/kg PO QID
Amphotericin B lipid complex 5 mg/kg IV per hari plus flucytosine 25 mg/kg PO QID atau
Liposomal amphotericin B 3–4 mg/kg IV per hari plus fluconazole 800 mg PO/IV atau
Amphotericin B (deoxycholate 0.7-1.0 mg/kg IV per hari) plus fluconazole 800 mg PO/IV per hari, atau
Liposomal amphotericin B 3–4 mg/kg IV per hari atau
Amphotericin B deoxycholate 0.7–1.0 mg/kg IV per hari atau
Fluconazole 400 mg PO / IV per hari plus flucytosine 25 mg/kg PO QID atau
Fluconazole 800 mg PO /IV per hari plus flucytosine 25 mg/kg PO QID atau
Fluconazole 1200 mg PO / IV per hari
Terapi konsolidasi minimal 8 minggu
Pilihan:
Fluconazole 400 mg PO or IV
sekali sehari
Alternative
Itraconazole 200 mg PO BID
Terapi pemeliharaan
Fluconazole 200 mg PO selama
paling sedikit 1 tahun
TEKS
16
Terapi induksi berhasil bila terjadi perbaikan klinis dan kultur negative.
Terapi pemeliharaan dihentikan bila minimal 1 tahun dan infeksi
cryptokokkus asimtomatik dan kadar CD4 ≥100 cells/μL selama ≥3 bulan
dan HIV RNA tersupresi dengan ART.
Terapi pemeliharaan dimulai lagi bila CD4 ≤100 cells/μL
Terapi cryptococcis non CNS, Focal Pulmonary Disease dan Isolated
Cryptococcal Antigenemia:
Fluconazole 400 mg PO setiap hari selama 12 bulan
PNEUMONIA CYTOMEGALOVIRUS
Cytomegalovirus (CMV) merupakan virus DNA double-stranded
yang termasuk family virus herpes yang dapat menyebabkan penyakit pada
end-organ yang terlokalisir atau disseminata pada pasien HIV dengan
immunosupresi lanjut. Sebagian besar manifestasi klinis terjadi pada
individu yang sebelumnya terinfeksi dengan CMV (seropositive) kemudian
mengalami re-activasi dari infeksi laten atau re-infeksi dengan strain
terbaru. Individu yang terinfeksi terutama dengan jumlah CD4 <50
cells/mm3, yang tidak mendapat atau gagal berespon dengan ART, kadar
CMV viremia yang tinggi dan kadar HIV RNA plasma yang tinggi (>100,000
copies/mL).4 CMV merupakan pathogen yang paling sering (> 50 %)
berhubungan dengan pneumonia viral pada pasien dengan
immunokompromise. Gambaran radiologis yang sering dijumpai adalah
Teks
17
infiltrate interstitial unilateral atau bilateral, konsolidasi alveolar, ground-
glass opacities dan nodular opacities. Beberapa tanda sering tumpang tindih
dengan PCP, walaupun efusi pleural lebih sering dijumpai pada pneumonia
CMV.1
Terapi pneumonia CMV dianjurkan memakai ganciclovir dan
foscarnet, namun lama terapi optimal belum jelas. Dianjurkan mengikuti
dosis seperti pada terapi retinitis CMV yaitu Ganciclovir 5 mg/kg IV setiap
12 jam selama 14–21 hari kemudian 5 mg/kg IV setiap hari atau Foscarnet
60 mg/kg IV setiap 8 jam atau 90 mg/kg IV setiap 12 jam selama 14–21 hari,
kemudian 90–120 mg/kg IV setiap 24 jam.4
PNEUMONIA VARICELLA
Penyebaran visceral virus varicella zoster biasanya terjadi pada
pasien HIV dengan jumlah CD4 < 200 sel/mm3 serta dapat menyebabkan
pneumonitis VZV. Gejala respirasi mungkin mendahului, bersamaan dengan
atau terjadi setelah timbulnya rash. Periode dari onset rash dan timbulnya
gejala respirasi adalah antara 0 – 6 hari. Terdapat korelasi antara gejala
respirasi yang baru muncul dengan pneumonia. Demam yang menetap dan
mulai timbulnya batuk pada saat erupsi lesi masih berlangsung, merupakan
indikator varicella pneumonia. Gambaran radiologis yang khas adalah
tampak infiltrate nodular yang diffuse yang cendrung diskret pada daerah
TEKS
18
perifer dan bergabung di hilar dan basal paru-paru. Diagnosis pneumonia
varicella- zoster umumnya ditegakkan secara klinis. 3,4
Terapi Pneumonia varicella-zoster 4
Varicella berat dan komplikata
Acyclovir 10–15 mg/kg IV setiap 8 jam selama 7–10 hari
switch ke terapi oral famciclovir, valacyclovir,atau acyclovir setelah
defervescence jika tidak ada bukti keterlibatan visceral
Zoster dengan lesi kulit yang luas atau keterlibatan visceral
Acyclovir 10–15 mg/kg IV setiap 8 jam sampai terjadi perbaikan klinis
Switch ke terapi oral (valacyclovir 1 g TID, famciclovir 500 mg TID, atau
acyclovir 800 mg PO 5 kali sehari )— selama 10–14 hari bila pembentukan
lesi baru berkurang dan gejala serta tanda infeksi visceral VZV sudah
membaik
Kepustakaan
1. Zeng X, Zhang G. 2014. Imaging pulmonary infectious disease in immunocompromised patients. Radiology of Infectious Disease;1:37-41
2. Oh YW, Effmann EL, Godwin JD. 2000. Pulmonary Infections in Immunocompromised Hosts: The Importance of Correlating the Conventional Radiologic Appearance with the Clinical Setting. Radiology; 217:647–656.
3. Abba AA. 2005. Varicella Pneumonia in Adult. JK Practitioner;12:2:73-77.
4. NIH. 2015. Guidelines for Prevention and Treatment of Opportunistic Infections in HIV-Infected Adults and Adolescents. Available at http://aidsinfo.nih.gov/guidelines