II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · terdapat di Jawa, Madura, dan Bali, Indonesia, Bos...

18
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banteng 2.1.1 Taksonomi dan Morfologi Banteng Menurut Lekagul dan McNeely (1977) banteng diklasifikasikan ke dalam dunia Animalia, filum Chordata, kelas Mammalia, ordo Artiodactyla, Famili Bovidae, genus Bos, spesies Bos Javanicus, subspesies Bos javanicus javanicus terdapat di Jawa, Madura, dan Bali, Indonesia, Bos javanicus lowi terdapat di Kalimantan dan Bos javanicus birmanicus terdapat di Indocina. Banteng memiliki morfologi tubuh yang tegap, besar dan kuat dengan bahu bagian depannya lebih tinggi dari pada bagian belakang tubuhnya dan memiliki tinggi pundak mencapai 120-170 cm. Bagian dada banteng memiliki gelambir yang dimulai dari pangkal kaki depan sampai bagian leher, tetapi tidak mencapai daerah kerongkongan (Lekagul dan McNeely 1977). Maryanto et al. (2008) menyatakan bahwa bentuk tubuh betina banteng lebih kecil dibandingkan dengan jantan, tinggi jantan mencapai 1.9 m dengan bobot badan 825 kg, sedangkan tinggi betinanya 1.6 m dengan bobot badan 635 kg. Lekagul dan McNeely (1977) menyatakan bahwa banteng jantan berwarna hitam, semakin tua umurnya semakin hitam warna tubuhnya, sedangkan banteng betina berwarna coklat kemerah-merahan, semakin tua umurnya, maka warnanya akan semakin gelap menjadi coklat tua. Alikodra (1983) dan Maryanto et al. (2008) juga menambahkan bahwa banteng memiliki sepasang tanduk yang dapat membedakan jenis kelamin dan umur banteng, tanduk pada banteng jantan berwarna hitam mengilap, runcing dan melengkung simetris ke dalam, sedangkan pada banteng betina memiliki ukuran tanduk yang lebih kecil. 2.1.2 Populasi dan Penyebaran Tarumingkeng (1994) menyatakan bahwa populasi adalah kelompok individu suatu jenis makhluk hidup yang tergolong dalam satu spesies (atau kelompok lain yang dapat melangsungkan interaksi genetik dengan jenis yang bersangkutan), dan pada suatu waktu tertentu menghuni suatu wilayah atau tata ruang tertentu. Begon et al. (2006) menyatakan bahwa populasi adalah organisme

Transcript of II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · terdapat di Jawa, Madura, dan Bali, Indonesia, Bos...

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Banteng

2.1.1 Taksonomi dan Morfologi Banteng

Menurut Lekagul dan McNeely (1977) banteng diklasifikasikan ke dalam

dunia Animalia, filum Chordata, kelas Mammalia, ordo Artiodactyla, Famili

Bovidae, genus Bos, spesies Bos Javanicus, subspesies Bos javanicus javanicus

terdapat di Jawa, Madura, dan Bali, Indonesia, Bos javanicus lowi terdapat di

Kalimantan dan Bos javanicus birmanicus terdapat di Indocina. Banteng memiliki

morfologi tubuh yang tegap, besar dan kuat dengan bahu bagian depannya lebih

tinggi dari pada bagian belakang tubuhnya dan memiliki tinggi pundak mencapai

120-170 cm. Bagian dada banteng memiliki gelambir yang dimulai dari pangkal

kaki depan sampai bagian leher, tetapi tidak mencapai daerah kerongkongan

(Lekagul dan McNeely 1977). Maryanto et al. (2008) menyatakan bahwa bentuk

tubuh betina banteng lebih kecil dibandingkan dengan jantan, tinggi jantan

mencapai 1.9 m dengan bobot badan 825 kg, sedangkan tinggi betinanya 1.6 m

dengan bobot badan 635 kg.

Lekagul dan McNeely (1977) menyatakan bahwa banteng jantan berwarna

hitam, semakin tua umurnya semakin hitam warna tubuhnya, sedangkan banteng

betina berwarna coklat kemerah-merahan, semakin tua umurnya, maka warnanya

akan semakin gelap menjadi coklat tua. Alikodra (1983) dan Maryanto et al.

(2008) juga menambahkan bahwa banteng memiliki sepasang tanduk yang dapat

membedakan jenis kelamin dan umur banteng, tanduk pada banteng jantan

berwarna hitam mengilap, runcing dan melengkung simetris ke dalam, sedangkan

pada banteng betina memiliki ukuran tanduk yang lebih kecil.

2.1.2 Populasi dan Penyebaran

Tarumingkeng (1994) menyatakan bahwa populasi adalah kelompok

individu suatu jenis makhluk hidup yang tergolong dalam satu spesies (atau

kelompok lain yang dapat melangsungkan interaksi genetik dengan jenis yang

bersangkutan), dan pada suatu waktu tertentu menghuni suatu wilayah atau tata

ruang tertentu. Begon et al. (2006) menyatakan bahwa populasi adalah organisme

8

yang terdiri dari satu spesies, saling berinteraksi dan melakukan

perkembangbiakkan pada waktu dan tempat yang sama dan menghasilkan

keturunan yang sama dengan tetuanya. Populasi banteng di Indonesia mengalami

penurunan yang disebabkan oleh beberapa faktor, seperti perburuan dan aktivitas

manusia sekitar habitat banteng sehingga mempengaruhi keberadaan populasi

banteng.

Imron et al. (2007) mengukur populasi banteng di Taman Nasional Alas

Purwo berdasarkan jumlah jejak yang ditemukan, ternyata jumlah jejak banteng

lebih banyak ditemukan di lokasi yang aktivitas manusianya lebih rendah. Suhadi

(2009) dan Pudyatmoko et al. (2007) menyatakan bahwa populasi banteng di

Taman Nasional Baluran dari tahun ke tahun mulai tahun 2003 sampai 2006

mengalami penurunan disebabkan tingginya aktivitas manusia, kurang stabilnya

ketersediaan rumput di padang penggembalan Bekol dan adanya predator.

Mardi (1995) dan Subroto (1996) menyatakan bahwa penurunan populasi

banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang diperkirakan terjadi karena rusaknya

padang penggembalaan. Jenuyanti (2002) menambahkan bahwa penurunan

tersebut diakibatkan telah berubah fungsinya padang penggembalaan menjadi

ladang garapan petani yang menyebabkan berkurangnya ketersediaan pakan

banteng, sehingga membuat kondisi populasi dan penyebarannya mengalami

perubahan dan berakibat adanya perburuan liar. Penurunan populasi banteng di

Cagar Alam Leuweung Sancang dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Penurunan populasi banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang

Tahun Jumlah Sumber

1988 200 Ashby dan Santiapillai 1988

2000 10 Kompas 28 Nov 2003

2003 Punah Kompas 28 Nov 2003

Sumber: Permenhut No. 58 tahun 2011 tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Banteng

2011-2020

Hoogerwerf (1970) mengemukakan bahwa wilayah penyebaran banteng

meliputi Burma, Thai, Indocina, Semenanjung Malaya dan Indonesia (Kalimantan

dan jawa) dan memperkirakan bahwa populasi banteng sekitar pada tahun 1940

sekitar 2000 ekor, sebagian besar terdapat dalam kawasan perlindungan dan di

dataran rendah sebelah selatan Jawa. Populasi tersebut dari tahun ke tahun terus

9

mengalami penurunan hingga tahun 1978 populasi banteng yang ada di Pulau

Jawa diperkirakan tidak lebih dari 1500 ekor.

Lekagul & McNeely (1977) berpendapat bahwa sebelum tahun 1940,

banteng dapat ditemukan pada semua dataran rendah di Pulau Jawa, walaupun

beberapa waktu kemudian hanya ditemukan di suaka dan cagar alam yang ada di

Pulau Jawa. Hal ini dikuatkan oleh hasil penelitian Alikodra (1983) bahwa

banteng di Pulau Jawa hanya dapat ditemukan di kawasan pelestarian alam seperti

Taman Nasional Ujung Kulon, Suaka Margasatawa Cikamurang, Suaka

Margasatwa Cikepuh, Cagar Alam Pananjung Pangandaran, Cagar Alam

Leuweung Sancang, Taman Nasional Alas Purwo dan Taman Nasional Meru

Betiri. Beberapa referensi dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 58 Tahun

2011 tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Nasional Banteng Tahun

2010-2020 dikatakan bahwa banteng selain di kawasan konservasi pernah dan

diduga masih ada sampai saat ini ditemukan di beberapa lokasi, seperti Bojong

Larang-Jayanti, Cikamurang, Kediri, Pantai Blitar, Pantai Malang, Perkebunan

Treblasara-Jatim, Kawasan Hutan Lindung Londo Lampesan, Kabupaten

Nunukan, Malinau dan Berau.

Beberapa tempat penyebaran banteng yang dikemukakan oleh beberapa

peneliti di atas, saat ini telah mengalami pengurangan yang cukup tinggi ditandai

dengan hilangnya populasi di beberapa kawasan tersebut. Saat ini status sebaran

dibagi dalam empat kategori yaitu kawasan yang dapat dipastikan sebagai habitat

banteng (confirmed range), kawasan yang mungkin menjadi habitat banteng

(possible range), kawasan yang diragukan menjadi habitat banteng (doubtful

range) dan kawasan yang pernah menjadi habitat banteng (former range atau

extirpated). Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2.

Banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang berdasarkan beberapa penelitian

mengenai jejak tanda-tanda keberadaannya, terdapat di enam padang

penggembalaan yang berada di dalam kawasan, sedangkan penyebaran di luar

kawasan, yaitu areal Perusahaan Terbatas Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII

Mira Mare yang berbatasan langsung dengan kawasan Cagar Alam Leuweung

Sancang. Kawasan perbatasan tersebut, antara lain Cibunigeulis, blok 23, blok

Bekanta, blok Meranti dan blok 20 (Mardi 1995; Subroto 1996).

10

Sumber: Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 58 Tahun 2011 tentang Strategi dan Rencana

Aksi Konservasi Banteng 2011-2020

Gambar 2. Peta status sebaran banteng di Indonesia

2.1.3 Habitat

Alikodra (2002) menyatakan bahwa habitat merupakan suatu kawasan yang

terdiri dari beberapa kawasan, baik fisik (iklim, suhu, kelembaban, tanah dan

sebagainya) maupun biotik (organisme yang hidup) yang merupakan satu

kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembangbiaknya satwa

liar. Alikodra (2002) juga menambahkan bahwa ukuran dari kelengkapan suatu

habitat adalah mampu menyediakan berbagai keperluan bagi suatu spesies

termasuk sumber makanan, air dan perlindungan (cover) yang diperlukan oleh

spesies hidupan liar untuk bertahan hidup dan melangsungkan reproduksinya

secara normal.

Subroto (1996) dan Kusnandar (1997) menyatakan bahwa kebutuhan pakan

banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang diperoleh dari enam padang

penggembalaan yang tersebar di seluruh kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang

dengan luas total 130 ha dan SBKSDA Jabar II (1993a) menjelaskan bahwa luas

masing-masing enam padang penggembalaan tersebut, yaitu blok Cipalawah 30

ha, Cijeruk 10 ha, Cibako 20 ha, Ciporeang 20 ha, Cipadaruum 20 ha dan Cidahon

11

30 ha. Subroto (1996) menyatakan bahwa kegiatan pemeliharaan terhadap padang

penggembalaan Cibako, Cipadaruum, Ciporeang dan Cidahon sudah sejak lama

tidak dilakukan, sedangkan pemeliharaan secara intensif hanya dilakukan pada

blok Cijeruk dan Cipalawah sampai pada tahun 1992. Kebutuhan banteng akan air

di dipenuhi dari sungai-sungai yang mengalir di sekitar kawasan Cagar Alam

Leuweung Sancang, seperti Sungai Cipadaruum, anak Sungai Cipangikisan dan

Sungai Cikolomberan (Subroto 1996).

2.1.4 Perilaku

Alikodra (2002) menyatakan bahwa perilaku adalah semua gerakan atau

kegiatan satwa untuk melestarikan atau mempertahankan hidupnya dan dapat

diartikan sebagai ekspresi suatu binatang yang disebabkan atau ditimbulkan oleh

semua faktor yang mempengaruhinya. Alikodra (1983) menyatakan bahwa

banteng merupakan satwa liar yang kurang selektif terhadap jenis tumbuhan yang

dimakannya dan lebih bersifat sebagai satwa pemakan rumput (grazer)

dibandingkan dengan pemakan daun dan atau semak (browser). Beberapa jenis

rumput yang merupakan pakan banteng adalah domdoman (Chrysopogon

aciculatus), kakawatan (Ischaemum muticum), rumput jarum (Chrysopogon sp.)

dan rumput teki (Cyperus brevifolia). Sancayaningsih et al. (1983) dalam

Destriana (2008) menyatakan bahwa banteng merupakan herbivora yang memiliki

periode memamahbiak lebih kurang 2-5 jam/hari dengan kecepatan mengunyah

selama periode tersebut 48-56 kali/menit.

Alikodra (1983) menyatakan bahwa banteng di Taman Nasional Ujung

Kulon untuk memenuhi kebutuhannya, seperti mencari makan, minum, istirahat

atau mencari tempat-tempat untuk bernaung dari teriknya matahari dan

membesarkan anaknya dilakukan di padang penggembalaan. Hal ini berbeda

dengan Santosa et al. (2007) yang menyatakan bahwa banteng di Taman Nasional

Alas Purwo melakukan kegiatan-kegiatan tersebut di hutan tanaman. Perbedaan

ini diperkirakan karena adanya perbedaan kondisi habitat yang dapat menyediakan

kebutuhan banteng.

Hoogerwerf (1970) menyatakan bahwa banteng mulai berkembangbiak pada

umur tiga tahun dan mulai melakukan perkawinan setelah berumur enam tahun.

12

Banteng mengandung bayinya sekitar 9.5-10 bulan dengan jumlah anak per

kelahiran 1-2 ekor, tetapi mayoritas 1 ekor setiap induk. Alikodra (1983)

menyatakan bahwa musim kawin banteng di Taman Nasional Ujung Kulon terjadi

pada bulan Agustus dan September dan perkawinan tersebut terjadi di padang

penggembalaan antara jam 15.00 sampai dengan 17.00 dengan banteng jantan

lebih agresif dibandingkan banteng betina, yang ditandai dengan mengeluarkan

suara lebih banyak dari biasanya, mengikuti banteng betina sambil menjilat bagian

pantat betina dan sering mendongakkan kepalanya ke atas, mengusir banteng

jantan lain yang berada di dekatnya serta sering menanduk pohon ataupun semak

sambil berjalan berputar-putar.

Lekagul dan McNeely (1977) menyatakan bahwa musim melahirkan atau

berkembangbiak banteng di Thailand adalah bulan Mei dan Juni, sedangkan

Hoogerwerf (1970) di Cijungkulon atau Taman Nasional Ujung Kulon adalah

bulan Mei dan Juni, sedangkan Alikodra (1983) musim melahirkan banteng di

Cijungkulon adalah bulan Mei, Juni dan Juli. Hal ini terlihat bahwa musim

melahirkan di Taman Nasional ujung Kulon lebih lama dibandingkan dengan

banteng di Thailand yang diperkirakan terdapat perbedaan pada masa interval

beranak banteng dan musim kawin yang tergantung kondisi dan keamanan

habitatnya.

Hoogerwerf (1970) menyatakan bahwa banteng termasuk satwa monoestrus

artinya mempunyai satu musim kawin dalam satu tahun. Lama hidup banteng

sekitar 21-25 tahun, sehingga seekor banteng betina sepanjang umurnya dapat

melahirkan sebanyak 21 kali. Alikodra (1983) menyatakan bahwa kondisi anak

banteng akan dapat berdiri dalam waktu 40 menit kemudian setelah dilahirkan

dalam 1 menit. Induknya akan menyusui anaknya setelah 60 dari proses

melahirkan dan dilakukan penyapihan sampai berumur 10 bulan. Alikodra (1983)

dan Destriana (2008) menambahkan bahwa banteng di Taman Nasional Ujung

Kulonn merupakan hewan yang berkelompok dan dapat hidup berkelompok

dengan satwa lainnya, seperti rusa dan herbivora lainnya, demikian juga dengan

banteng yang hidup di Taman Nasional Alas Purwo (Santosa et al. 2007 dan

Baluran (Suhadi 2009).

13

2.1.5 Status Konservasi dan Kepunahan

Peraturan Perlindungan Binatang Liar 1931 pada jaman Belanda tentang

Dierenbeschermings-Or-Donantie 1931 JIS Dierenbeschermings Verordening

untuk daerah di luar Jawa dan Madura, banteng merupakan kategori satwa yang

dilindungi oleh undang-undang dengan nama yang tertulis Bos sondaicus.

Perlindungan terhadap banteng ini dinyatakan dengan pasal 1 bahwa “dilarang

memburu, menangkap, membunuh, memperniagakan hidup atau mati, ataupun

memiliki satwa liar yang termasuk dalam kategori dilindungi undang-undang”.

Banteng dalam undang-undang dan Peraturan Perburuan Jawa dan Madura

tahun 1940 atau dalam bahasa Belanda adalah Jachtverordening Java En Madura

1940 (Staatsblad 1940 Nr 247) tentang Peraturan Perburuan merupakan satwa liar

elok sama dengan satwa liar lainnya, yaitu kerbau liar, rusa/menjangan,

kijang/muncak dan burung merak. Banteng dalam Peraturan Perburuan tersebut

diperbolehkan untuk diburu selama bulan September sampai dengan Desember

dengan syarat pemburu memiliki sertifikat berburu E (berlaku untuk memburu 2

ekor banteng dewasa atau 1 ekor kerbau dewasa dan 1 ekor banteng dewasa).

SK Menteri Pertanian No.327/Kpts/Um/7/1972 tentang Penetapan

Tambahan Jenis-Jenis Binatang Liar yang Dilindungi Disamping Jenis-jenis

Binatang Liar yang Telah Dilindungi berdasarkan Dierenbeschermings-Or-

Donantie 1931 JIS Dierenbeschermings Verordening 1931 dan Surat Keputusan

menteri pertanian No. 421/Kpts/Um/8/1970 yang menyatakan bahwa banteng

termasuk dalam daftar jenis satwa yang dilindungi sesuai dengan Peraturan

Perlindungan Binatang Liar Tahun 1931 Nomor 266. IUCN (1972) menyatakan

bahwa banteng termasuk dalam kategori “vulnerable” artinya populasinya sedang

menuju tahap membahayakan bagi kelestariannya (penurunan populasi).

Penurunan populasi tersebut disebabkan karena adanya pengambilan yang

berlebihan, perusakan habitat dan lingkungannya.

Tahun 1999, pemerintah kembali menguatkan bahwa banteng merupakan

salah satu satwa yang dilindungi dengan nama Bos sondaicus (banteng) melalui

Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1999 tentang Pengawetan jenis Tumbuhan dan

Satwa. Status internasional melalui IUCN Red Data List sejak tahun 1996

memasukkan banteng dalam status konservasi „endangered‟ artinya populasinya

14

mengalami resiko kepunahan yang sangat tinggi di alam dan akan terjadi

kepunahan jika dalam waktu dekat tindakan perlindungan yang cukup berarti

terhadap populasinya tidak dilakukan. Hal ini berdasarkan pada penurunan

populasi yang melebihi kisaran 80% dalam tiga generasi terakhir (IUCN 2004).

Ancaman utama terhadap kelestarian banteng menurut IUCN (2004) adalah:

1. Hilangnya atau rusaknya habitat yang disebabkan oleh kegiatan pertanian dan

perkebunan serta pembangunan pemukiman penduduk.

2. Spesies asing invasif (yang berpengaruh secara langsung terhadap spesies dan

munculnya kompetitor).

3. Perburuan, yaitu pengambilan berlebihan terhadap spesies yang dilakukan oleh

manusia.

4. Perubahan dalam dinamika spesies asli, yaitu dengan adanya domestikasi dan

hibridisasi serta adanya penyakit/pathogen.

Kondisi banteng yang mengalami penurunan setiap tahunnya mendorong

CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna

and Flora) sejak tahun 1996 mengusulkan banteng terdaftar dalam CITES

Apendiks I, artinya semua jenis kehidupan liar yang terancam (threatened) dari

kepunahan (extinction) yang dapat atau kemungkinan dapat disebabkan oleh

adanya tindakan perdagangan, sehingga tidak diperbolehkan adanya perdagangan

terhadap spesies tersebut. Hal ini disebabkan karena adanya ancaman perburuan

yang sangat tinggi sehingga dikhawatirkan mengancam kepunahannya.

Kepunahan menurut Redlist IUCN (2010) adalah status konservasi yang

diberikan kepada spesies yang terbukti (tidak ada keraguan lagi) bahwa individu

terakhir spesies tersebut sudah mati atau tidak ditemukan lagi. Kepunahan di alam

liar (extinct in the wild) adalah status konservasi yang diberikan kepada spesies

yang hanya diketahui berada di tempat penangkaran atau di luar habitat alami

mereka. Kepunahan menurut PP nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis

Tumbuhan dan Satwaliar adalah ketika suatu spesies tidak ada satu pun individu

dari spesies itu yang masih hidup di dunia. Tingkat kepunahan antara lain:

a. Punah dalam skala global : jika beberapa individu suatu spesies hanya dijumpai

di dalam kurungan atau pada situasi yang diatur oleh manusia, sehingga dapat

dikatakan spesies tersebut telah punah di alam.

15

b. Punah dalam skala lokal (extirpated): jika tidak ditemukan di tempat

mereka dulu berada tetapi masih ditemukan di tempat lain di alam, seperti

banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang.

c. Punah secara ekologi: jika terdapat dalam jumlah yang sedemikian sedikit

sehingga efeknya pada spesies lain di dalam komunitas dapat diabaikan.

d. Kepunahan yang terutang (extinction debt) : hilangnya spesies di masa

depan akibat kegiatan manusia pada saat ini

Kepunahan akan terjadi pada suatu spesies setelah mengalami pengurangan

jumlah yang sangat tajam, perusakan atau penyempitan habitat dan menyebabkan

kematian. Kriteria spesies yang sangat rentan terhadap kematian hingga punah

menurut PP nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan

Satwaliar terbagi ke dalam beberapa kelompok, antara lain: (a) mempunyai

populasi yang kecil, (b) adanya penurunan yang tajam pada jumlah Individu

dialam, dan (c) daerah penyebarannya yang terbatas (endemik). Alikodra (2002)

menyatakan bahwa faktor kematian yang dapat mengurangi kepadatan populasi

satwa liar adalah:

1. Keadaan alam, seperti penyakit, pemangsaan, kebakaran dan kelaparan.

2. Kecelakaan, misalnya tenggelam, tertimbun tanah longsor atau tertimpa batu

dan kecelakaan yang menyebabkan infeksi sehingga mengalami kematian.

3. Perkelahian dengan jenis yang sama untuk mendapatkan ruang, makanan, dan

air, serta persaingan untuk menguasai kawasan.

4. Aktivitas manusia, perusakan habitat, perburuan, pencemaran, dan kecelakaan

lalu lintas, terperangkap dan sebagainya.

Soemarwoto (1997) menyatakan bahwa kepunahan spesies disebabkan oleh

pertumbuhan populasi dan aktivitas manusia yang sangat tinggi sehingga

menyebabkan kerusakan habitat akibat adanya eksploitasi terhadap sumber daya

alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Nursahid (1999) menambahkan

bahwa kegiatan manusia tersebut, yaitu pertambangan, perburuan, pertanian,

perumahan hingga industri serta Indrawan et al. (2007) menambahkan kegiatan

manusia yang telah mengubah, mendegradasi, dan merusak bentang alam dalam

skala luas sehingga menyebabkan terjadinya kerusakan habitat, fragmentasi

habitat, degradasi habitat (termasuk populasi), perubahan iklim global,

16

pemanfaatan spesies yang berlebihan untuk kepentingan manusia, invasi spesies-

spesies asing dan meningkatnya penyebaran penyakit serta sinergi dari faktor-

faktor tersebut. Alikodra (2010) menyatakan bahwa faktor utama penyebab

kepunahan adalah penyempitan dan kerusakan habitat, pemburuan tidak

terkendali, dan pencemaran lingkungan. Kepunahan tersebut akan terjadi pada

suatu spesies jika populasi spesies tersebut telah mengalami pengurangan jumlah

yang sangat tajam dan menyebabkan kematian.

Hoogerwerf (1970) menyatakan bahwa populasi banteng tertekan oleh

kerusakan habitat dan tidak terkontrolnya perburuan, sedangkan Alikodra (1983)

menyatakan bahwa penurunan populasi banteng di Taman Nasional Ujung Kulon

disebabkan penurunan jumlah dan luas kawasan padang penggembalaan, adanya

pemangsaan yang intensif terutama terhadap anak banteng dan angka kelahiran

yang rendah dan kematian banteng yang disebabkan oleh penyakit, parasit, diburu,

kaeracunan, pemangsaan dan mati karena umur tua. MacKinnon et al. (1990)

menyatakan bahwa untuk mencegah kepunahan suatu spesies yang berada di

dalam cagar diperlukan suatu pengelolaan yang intensif dan dilakukan secara

berkala, seperti kegiatan monitoring habitat, pengamanan kawasan, penyuluhan

masyarakat dan sebagainya.

2.2 Sosial Ekonomi Masyarakat dan Sumber Daya Alam

Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan

mendefinisikan masyarakat adalah orang seorang, kelompok orang, termasuk

masyarakat hukum adat atau badan hukum. Sosial ekonomi masyarakat sangat

berkaitan erat dengan lingkungan di sekitarnya termasuk dalam pemanfaatan

sumber daya alam.

Soemarwoto (1997) menyatakan bahwa dalam sejarah hidup manusia,

ekologi dan faktor lain seperti ekonomi, teknologi bahkan faktor yang tidak

bernilai material seperti sistem sosial, budaya dan religius menjadi arena bagi

manusia dalam menemukan pengetahuan-pengetahuan kunci untuk mengelola

lingkungan hidup. Interaksi yang panjang, teratur dan terus menerus antara

manusia dengan alam melahirkan pengalaman-pengalaman hidup di alam

berkaitan dengan pemanfaatan alam untuk sumber kehidupan dan

17

mempertahankan alam agar senantiasa memberikan layanan ekologisnya. Dengan

demikian dikatakan bahwa alam sebagai lingkungan tempat hidup manusia di

muka bumi merupakan suatu media pengetahuan yang melahirkan kebudayaan

manusia, sehingga dapat mengelola sumber daya alam sekitarnya secara lestari,

termasuk cagar alam.

Manan (1998) menyatakan bahwa masyarakat merupakan bagian dari

mahluk hidup yang memegang peranan dalam menentukan kelestarian dan

keseimbangan ekosistem, yang mencakup komponen makhluk hidup (hewan,

jasad renik, tumbuh-tumbuhan) dan lingkungan yang tidak hidup (udara, energi

matahari, air, tanah, angin, panas, cahaya, mineral dan sebagainya), yang

keduanya saling berinteraksi dan berhubungan timbal balik, juga diantara sesama

makhluk hidup tersebut, baik di ekosistem daratan maupun ekosistem perairan

yang berada dalam keseimbangan dinamis.

Manan (1998) juga menyatakan bahwa ekosistem hutan, sebagaimana

halnya dengan ekosistem lainnya, seperti ekosistem padang rumput dan perairan,

memang harus dimanfaatkan oleh manusia sebagai penghuninya demi untuk

kesejahteraan hidup, akan tetapi cara-cara pemanfaatan yang berlebihan, semena-

mena, mengakibatkan terganggunya keseimbangan, bahkan hancurnya ekosistem

hutan. Fokus dalam hubungan makhluk hidup dengan lingkungannya adalah

hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya karena ruang lingkup hubungan

manusia dengan lingkungan hidupnya mencakup lingkungan fisik serta tumbuhan

dan hewan sebagai materi di dalam hidup manusia, oleh karena dalam

pengelolaan lingkungan yang menjadi fokus adalah ekologi manusia.

2.3 Kawasan Konservasi

IUCN (2008) mendefinisikan kawasan konservasi sebagai kawasan lindung,

yaitu sebuah area tanah dan atau laut khusus diperuntukkan untuk melindungi dan

memelihara keanekaragaman hayati, dan sumber daya alam dan sumber daya yang

berkaitan dengan budaya, dan dikelola dengan resmi atau dimaksud efektivitas

lainnya, sedangkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

bahwa kawasan konservasi merupakan kawasan hutan dengan ciri khas tertentu,

18

yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa

serta ekosistemnya.

IUCN (2008) dan pemerintahan Indonesia memiliki nama kategori maupun

definisi yang diberikan keduanya agak berbeda tetapi berdasarkan tujuan

pengelolaannya, kategori-kategori dari kedua sistem klasifikasi tersebut dapat

saling dipadankan walaupun tidak berarti semua kategori dari sistem klasifikasi

tersebut bisa dipadankan secara tepat karena mungkin saja kriteria tujuan

pengelolaan dari suatu kategori dalam sistem IUCN ternyata terdapat pada lebih

sari satu kategori dalam sistem Indonesia. Perlindungan kawasan konservasi

dilakukan untuk melindungi keanekaragaman biota, tipe ekosistem, gejala dan

keunikan alam bagi kepentingan plasma nutfah, ilmu pengetahuan dan

pembangunan pada umumnya. IUCN (2008) dalam pedoman manajemen terdapat

dua prinsip mendasar untuk menentukan luasan kawasan konservasi, yaitu daerah

tersebut harus cukup luas untuk memelihara spesies dan dapat mendukung proses

ekologi.

MacKinnon et al. (1990) menyatakan bahwa kawasan konservasi memiliki

beberapa dasar sebagai berikut:

1. Karakteristik suatu ekosistem, misalnya hutan hujan dataran rendah, ekosistem

pegunungan tropika.

2. Spesies khusus yang memiliki nilai, kelangkaan, atau ancaman misalnya badak,

harimau sumatera dan satwa lainnya.

3. Habitat yang memiliki keanekaragaman spesies.

4. Ciri geografik yang bernilai estetik atau pengetahuan, misalnya glaiser, mata

air panas, air terjun dan sebagainya.

5. Memiliki fungsi perlindungan hidrologi: tanah, air, iklim.

6. Memiliki potensi rekreasi alam dan wisata, misalnya danau, pantai,

pegunungan, satwa liar dan sebagainya.

7. Tempat peninggalan budaya, misalnya candi, kuil, atau galian purbakala.

Kategori kawasan konservasi berdasarkan tujuan pengelolaannya di

Indonesia yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang

Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Undang-Undang

Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28

19

Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian

Alam dikelompokkan sebagai berikut:

1. Kawasan Suaka Alam

a. Cagar Alam (CA), adalah kawasan suaka alam yang karena keadaaan

alamnya mempunyai kekhasan/keuinikan jenis tumbuhan dan/atau

keanekaragaman tumbuhan beserta gejala alam dan ekosistemnya yang

memerlukan upaya perlindungan dan pelestarian agar keberadaan dan

perkembangannya dapat berlangsung secara alami. Cagar alam dapat

dimanfaatkan untuk beberapa kegiatan, antara lain: (a) penelitian dan

pengembangan ilmu pengetahuan, (b) pendidikan dan peningkatan

kesadartahuan konservasi alam, (c) penyerapan dan/atau penyimpanan

karbon, dan (d) pemanfaatan sumber plasma nutfah untuk penunjang

budidaya.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber

Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya menyatakan bahwa di dalam cagar

alam setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan

perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam, karena cagar alam hanya

dapat dimanfaatkan secara langsung untuk kepentingan penelitian dan

pengembangan ilmu pengetahuan dan budidaya. Cagar alam memiliki

keutamaan pelestarian yang tinggi serta keunikan alam yang merupakan

habitat dari spesies langka tertentu; merupakan habitat rapuh yang tidak

terganggu. Kawasan ini memerlukan perlindungan mutlak (MacKinnon et

al. 1990).

b. Suaka Margasatwa (SM), adalah kawasan suaka alam yang mempunyai

kekhasan/keunikan jenis satwa liar dan/atau keanekaragaman satwa liar

yang untuk kelangsungan hidupnya memerlukan upaya perlindungan dan

pembinaan terhadap populasi dan habitatnya. Suaka margasatwa dapat

dimanfaatkan untuk: (a) penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan,

(b) pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam, (c)

penyimpanan dan/atau penyerapan karbon, pemanfaatan air serta energi air,

panas, dan angin serta wisata alam terbatas, dan (d) pemanfaatan sumber

plasma nutfah untuk penunjang budidaya.

20

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Kehutanan

menyatakan bahwa di dalam suaka margasatwa dapat dilakukan berbagai

kegiatan bagi kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan,

pendidikan, wisata dalam jumlah yang terbatas (menikmati keindahan

dengan syarat tertentu) serta kegiatan lainnya yang menunjang budidaya.

MacKinnon et al. (1990) juga menambahkan di dalam suaka margasatwa

dapat dilakukan pengelolaan habitat yang bertujuan untuk perlindungan

spesies, populasi atau komunitas satwa serta mempertahankan fisik

lingkungan yang penting walaupun dengan cara manipulasi habitat.

2. Kawasan Pelestarian Alam (KPA) adalah kawasan dengan ciri khas tertentu,

baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok perlindungan

sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan

satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan

ekosistemnya. Kawasan pelestarian alam terdiri dari Taman Nasional (TN),

Taman Wisata Alam (TWA) dan Taman Hutan Rakyat (Tahura).

3. Hutan Lindung, adalah kawasan hutan yang memiliki habitat alami atau hutan

tanaman yang berukuran sedang sampai besar, pada lokasi yang curam, tinggi,

mudah terjadi erosi, serta tanah yang mudah tercuci oleh air hujan sehingga

kawasan ini diutamakan untuk melindungi daerah tangkapan air, mencegah

erosi dan longsor (MacKinnon et al. 1990).

4. Taman Buru, adalah kawasan hutan yang telah ditetapkan untuk

diselenggarakannya perburuan satwa secara teratur (PP Nomor 13 Tahun 1994

tentang Perburuan Satwa Buru). Habitat yang ada bersifat alami atau semi

alami berukuran sedang sampai besar, memiliki potensi satwa buru yang

jumlah populasinya cukup besar, tersedianya fasilitas buru yang memadai dan

lokasinya mudah dijangkau (MacKinnon et al. 1990).

2.4 Pengelolaan Cagar Alam dan Suaka Margasatwa

2.4.1. Pengelolaan Cagar Alam

IUCN (2008) menyatakan bahwa penetapan suatu kawasan yang dilindungi

membutuhkan adanya tujuan pelestarian yang jelas, sehingga tujuan pengelolaan

cagar alam, meliputi: (1) Melindungi habitat, ekosistem dan spesies dalam kondisi

21

alaminya; (2) Mempertahankan sumberdaya genetik dalam keadaan yang dinamis;

(3) Mempertahankan proses ekologi; (4) Melindungi struktur lansekap atau

bebatuan; (5) Mengamankan contoh-contoh lingkungan alami untuk penelitian,

monitor lingkungan dan pendidikan, termasuk batas kawasan dengan aksesibilitas

tinggi; (6) Meminimalkan gangguan melalui perencanaan dan penelitian serta

kegiatan-kegiatan dengan berhati-hati; (7) Membatasi akses manusia. Pemerintah

Indonesia mengadopsi kategori IUCN tersebut dan untuk mencapai tujuan

sebagaimana disebutkan di atas, memberlakukan pengelolaan cagar alam yang

tidak memperkenankan adanya campur tangan manusia di dalam kawasan

tersebut.

Suatu kawasan ditunjuk sebagai kawasan cagar alam, apabila telah

memenuhi kriteria sebagai berikut (Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998

tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam):

a. Mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa dan tipe ekosistem.

b. Mewakili formasi biota tertentu dan atau unit-unit penyusunnya.

c. Mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan atau

belum diganggu manusia.

d. Mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu agar menunjang pengelolaan

yang efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami.

e. Mempunyai ciri khas potensi, dan dapat merupakan contoh ekosistem yang

keberadaannya memerlukan upaya konservasi.

f. Mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya yang

langka atau yang keberadaannya terancam punah.

Prinsip pengelolaan cagar alam dengan berdasarkan peraturan perundangan

di Indonesia adalah tidak diperkenankan adanya kegiatan pendayagunaan potensi

dan pengembangan sarana dan prasarana. Kegiatan yang diperkenankan hanya

pembangunan sarana prasarana yang dapat mendukung kegiatan monitoring dan

perlindungan kawasan. Pendayagunaan potensi cagar alam diupayakan

sedemikian rupa agar tidak mengurangi luasan kawasan, tidak mengganggu fungsi

kawasan dan tidak memasukkan jenis tumbuhan atau satwa yang tidak asli.

Tujuan dari pengelolaan kawasan adalah melindungi kehidupan alamiah dalam

suatu kawasan yang tidak terganggu, dengan harapan didapatkannya perwakilan

22

ekologis dari lingkungan dan perkembangan kondisi lingkungan. Untuk mencapai

tujuan tersebut, setiap kegiatan termasuk kegiatan penelitian harus terencana

dengan baik dan dilaksanakan secara hati-hati untuk meminimalkan gangguan.

IUCN (2008) mengemukakan beberapa kriteria dalam pengelolaan cagar

alam, sebagai berikut:

1. Kawasan tertutup bagi masuknya pengunjung untuk rekreasi maupun untuk

tourisme

2. Proses alamiah yang terjadi bebas dari pengaruh keikutsertaan manusia secara

langsung

3. Proses yang terjadi, yang merubah sistem ekologis dan ciri-ciri fisiologis, pada

setiap waktu sebagai akibat terjadinya kebakaran, suksesi, serangan hama,

badai gempa bumi dan lain sebagainya hanyalah terjadi secara alamiah bukan

karena gangguan manusia.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

Pokok Agraria menyebutkan bahwa pengelolaan kawasan suaka alam ditekankan

dalam aspek pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan atau jenis satwa

beserta ekosistemnya. Usaha pengawetan dalam kawasan suaka alam tersebut

dilakukan dalam bentuk kegiatan:

1. Perlindungan dan pengamanan kawasan.

2. Inventarisasi potensi kawasan.

3. Penelitian dan pengembangan dalam menunjang pengawetan.

IUCN (2008) menyatakan bahwa cagar alam dikategorikan ke dalam Ia

(Scientific Reserve / Strict Naure Reserve-Strict Protection), yaitu suatu kawasan

pinjaman dari generasi mendatang kepada generasi sekarang yang suatu saat harus

dikembalikan atau merupakan tanggungan atau pinjaman dari generasai sekarang

untuk generasi mendatang. Adanya paradigma tersebut harus mempertimbangkan

azas pemanfaatan disamping untuk tujuan pelestarian, artinya keberadaan cagar

alam dapat bermanfaat bagi masyarakat dengan tetap menjamin kelestariannya.

2.4.2 Pengelolaan Suaka Margasatwa

Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam

dan Kawasan Pelestarian Alam menyatakan bahwa suatu kawasan ditunjuk

23

sebagai Kawasan Suaka Margasatwa apabila telah memenuhi kriteriasebagai

berikut:

a. Merupakan tempat hidup dan perkembangbiakan dari jenis satwa yangperlu

dilakukan upaya konservasinya.

b. Memiliki keanekaragaman dan populasi satwa yang tinggi.

c. Merupakan habitat dari suatu jenis satwa langka dan atau dikhawatirkan akan

punah.

d. Merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu.

e. Mempunyai luas yangcukup sebagai habitat jenis satwa yang bersangkutan.

Upaya pengawetan kawasan Suaka Margasatwa selain memiliki perihal

yang sama dengan Cagar Alam, yaitu dilaksanakan dalam bentuk kegiatan

perlindungan dan pengamanan kawasan, inventarisasi potensi kawasan dan

penelitian dan pengembangan dalam menunjang pengawetan juga dalam rangka

pembinaan habitat dan populasi, antara lain:

a. Pembinaan padang rumput untuk makanan satwa.

b. Pembuatan fasilitas air minum dan atau tempat berkubang dan mandi satwa.

c. Penanaman dan pemeliharaan pohon-pohon pelindung dan pohon-pohon

sumber makanan satwa.

d. Penjarangan populasi satwa.

e. Penambahan tumbuhan atau satwa asli.

f. Pemberantasan jenis tumbuhan dan satwa pengganggu.

Kawasan Suaka Margasatwa dapat dimanfaatkan untuk keperluan:

a. Penelitian dan pengembangan, meliputi penelitian dasar dan penunujang

pemanfaatan dan budidaya.

b. Ilmu pengetahuan.

c. Pendidikan.

d. Wisata alam terbatas.

e. Kegiatan penunjang budidaya.

24