II. TINJAUAN PUSTAKA - digilib.unila.ac.iddigilib.unila.ac.id/16171/15/BAB II.pdf · 11 II....
Transcript of II. TINJAUAN PUSTAKA - digilib.unila.ac.iddigilib.unila.ac.id/16171/15/BAB II.pdf · 11 II....
11
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Bencana Geologi, Pergerakan Tanah, dan Longsor
Proses-proses geologi baik yang berasal dari dalam bumi (endogen) maupun dari
luar bumi (eksogen) dapat berdampak negatif bagi mahluk hidup yang berada di
sekitarnya. Dampak negatif ini akibat timbulnya bahaya dan bahkan bencana
geologi (geological hazards), seperti tanah longsor, letusan gunung berapi, gempa
bumi, tsunami, erosi, salinasi, dan banjir. Bencana geologi berdampak buruk bagi
aktivitas manusia yaitu dapat menyebabkan korban jiwa dan kerugian material
(harta benda) (Noor, 2006).
Selanjutnya menurut Noor (2006), pergerakan tanah berupa longsoran dari massa
batuan/tanah adalah proses perpindahan suatu massa batuan/tanah akibat gaya
gravitasi. Adanya gerakan tanah pada wilayah pemukiman yang dibangun di
daerah perbukitan yang kurang memperhatikan kestabilan lereng, struktur batuan,
dan proses geologi yang mungkin terjadi sering menimbulkan kerusakan
bangunan, rumah, dan fasilitas umum.
Menurut Harjadi (2013), proses terjadinya longsor apabila suatu wilayah dengan
kelerengan yang curam (>45%),pada bagian bawah permukaan tanah tersebut
bersifat kedap air yang dapat berperan sebagai bidang luncur. Sebelum
terjadinya longsor biasanya didahului dengan curah hujan yang tinggi (>300 mm)
12
selama tiga hari berturut-turut, air hujan yang jatuh masuk ke dalam pori-pori
tanah di atas lapisan batuan kedap sehingga tekanan tanah terhadap lereng
meningkat (Paimin, dkk., 2009). Selanjutnya longsor terjadi jika tahanan geser
massa tanah atau batuan lebih kecil dari tekanan geser pada sepanjang bidang
longsoran yang disebabkan oleh adanya peningkatan kejenuhan air tanah (Pakasi,
dkk., 2015).
Menurut Harjadi, dkk. (2007), longsoran merupakan salah satu jenis gerakan
massa tanah atau batuan, ataupun percampuran keduanya, menuruni atau keluar
lereng akibat dari terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng
tersebut. Ada 6 jenis tanah longsor, yakni: (1) longsoran translasi, (2) longsoran
rotasi, (3) pergerakan blok, (4) runtuhan batu, (5) rayapan tanah, dan (6) aliran
bahan rombakan. Jenis longsoran translasi dan rotasi paling banyak terjadi di
Indonesia. Sedangkan longsoran yang paling banyak memakan korban jiwa
manusia adalah aliran bahan rombakan.
B. Tipe-tipe Gerakan Tanah/Longsor
Menurut Noor (2006), gerakan tanah dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) yaitu:
1. Gerakan tanah tipe aliran lambat (slow flowage), yang terdiri dari:
a. Rayapan (creep), yaitu perpindahan material batuan dan tanah ke arah
lereng dengan pergerakan yang sangat lambat.
b. Rayapan tanah (soil creep), merupakan perpindahan material tanah ke
arah kaki lereng.
c. Rayapan talus (Talus creep), merupakan perpindahan ke arah kaki
lereng dari material talus/scree.
13
d. Rayapan batuan (Rock creep), merupakan perpindahan ke arah kaki
lereng dari blok-blok batuan.
e. Rayapan batuan glacier (Rock-glacier creep), merupakan perpindahan
ke arah kaki lereng dari limbah batuan.
f. Solifluction/Liquefaction, merupakan aliran yang sangat perlahan ke
arah kaki lereng dari material debris batuan yang jenuh air.
2. Gerakan tanah tipe aliran cepat (rapid flowage), terdiri dari:
a. Aliran lumpur (mudflow), merupakan perpindahan dari material
lempung dan lanau yang jenuh air pada teras yang berlereng landai.
b. Aliran tanah dan batuan (earthflow), merupakan perpindahan secara
cepat material debris batuan yang jenuh air.
c. Aliran cepat massa tanah dan batuan (Debris avalance), merupakan
suatu aliran yang meluncur dari debris batuan pada celah yang sempit
dan berlereng terjal.
3. Gerakan tanah tipe longsor (landslides), terdiri dari:
a. Nendatan (slump), merupakan longsoran ke bawah dari satu atau
beberapa bagian debris batuan, umumnya membentuk gerakan rotasional.
b. Longsoran dari campuran massa tanah dan batuan (debris slide),
merupakan longsoran yang sangat cepat ke arah kaki lereng dari material
tanah yang tidak terkonsolidasi (debris) dan hasil luncuran ini ditandai
oleh suatu bidang rotasi pada bagian belakang bidang luncurnya.
c. Gerakan jatuh bebas dari campuran massa tanah dan batuan (debris
fall), merupakan longsoran material debris tanah secara vertikal akibat
gravitasi.
14
d. Longsoran masa batuan (rock slide), merupakan luncuran dari massa
batuan melalui bidang perlapisan, joint (kekar), atau permukaan
patahan/sesar.
e. Gerakan jatuh bebas massa batuan (rock fall), merupakan luncuran
jatuh bebas dari blok batuan pada lereng-lereng yang terjal.
f. Amblesan (subsidence), merupakan penurunan tanah yang disebabkan
oleh pemadatan dan isostasi/gravitasi.
Menurut Arsyad (2010) dan Asdak (2002, dalam Banuwa, 2013), longsor
merupakan suatu bentuk erosi dengan proses pengangkutan atau pemindahan
tanah terjadi pada suatu saat dalam volume yang besar. Longsor terjadi sebagai
akibat meluncurnya suatu volume tanah yang jenuh air di atas lapisan kedap air.
Lapisan tersebut mengandung liat yang tinggi yang setelah jenuh air berperan
sebagai bidang luncur.
Selanjutnya menurut Banuwa (2013), penyebab longsor adalah: (1) lereng yang
cukup curam, (2) terdapat lapisan di bawah permukaan tanah yang agak kedap air
dan lunak yang akan berperan sebagai bidang luncur; dan (3) terdapat cukup air
dalam tanah sehingga lapisan tanah tepat di atas lapisan kedap air menjadi jenuh.
Bentuk kejadian yang mirip longsor adalah tanah merayap (soil creep),
perbedaannya adalah massa tanah pindah ke bagian bawah pada bidang yang
sama.
C. Faktor-faktor Penyebab Gerakan Tanah
Menurut Noor (2006), faktor-faktor yang mempengaruhi gerakan tanah dapat
dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu:
15
1. Faktor yang bersifat pasif pada gerakan tanah adalah:
a. Litologi, yaitu material yang tidak terkonsolidasi atau rentan dan mudah
meluncur karena basah akibat masuknya air ke dalam tanah.
b. Stratigrafi, merupakan lapisan batuan dan perselingan batuan antara
batuan lunak dan batuan keras atau perselingan antara batuan yang
permeabel dan batuan yang impermeabel.
Gambar 2. Tipe-tipe gerakan tanah
Sumber: Noor (2006)
16
c. Stratigrafi, merupakan lapisan batuan dan perselingan batuan antara
batuan lunak dan batuan keras atau perselingan antara batuan yang
permeabel dan batuan yang impermeabel.
d. Struktur Geologi, yaitu jarak antara rekahan/joint pada batuan patahan,
zona hancuran, bidang foliasi, dan kemiringan lapisan batu yang besar.
e. Topografi, terjadi pada lereng yang terjal atau vertikal.
f. Iklim yaitu perubahan temperatur tahunan yang ekstrim dengan frekuensi
hujan yang intensif.
g. Material organik, yaitu kondisi lebat atau jarangnya vegetasi penutup
lahan.
h. Faktor yang bersifat aktif pada gerakan tanah, antara lain:
a. Gangguan yang tejadi secara alamiah ataupun buatan.
b. Lereng yang terjal akan semakin terjal karena terjadinya erosi air.
c. Proses infilitrasi air hujan yang meresap ke dalam tanah, yang melebihi
kapasitasnya sehingga tanah menjadi jenuh air.
d. Getaran-getaran tanah yang diakibatkan oleh seismisitas atau kendaraan
berat.
Selanjutnya Noor (2006) menyebutkan adanya faktor internal yang dapat
menyebabkan terjadinya gerakan tanah adalah daya ikat (kohesi) tanah/batuan
yang lemah sehingga butiran-butiran tanah/batuan mudah terlepas dari ikatannya
dan meluncur ke bawah dengan menyeret butiran lainnya yang ada di sekitarnya
serta membentuk massa yang lebih besar. Lemahnya daya ikat tanah ini
disebabkan sifat porositas dan kelolosan air (permeabilitas) tanah/batuan maupun
rekahan yang intensif dari masa tanah/batuan tersebut. Selain itu, adanya faktor
17
eksternal yang dapat mempercepat dan memicu terjadinya gerakan tanah antara
lain: (1) sudut kemiringan lereng, (2) perubahan kelembaban tanah/batuan karena
masuknya air hujan, (3) tutupan dan pola pengolahan lahan, (4) pengikisan oleh
air tanah, (5) aktivitas manusia seperti penggalian dan sebagainya (Noor, 2006)
D. Faktor-faktor Alami Penyebab Longsor
Menurut Paimin, dkk. (2009), faktor utama penyebab longsor adalah, yaitu faktor
alami dan faktor manajemen. Faktor alami merupakan faktor-faktor yang berasal
dari kondisi alam, yaitu: (1) curah hujan, (2) kondisi geologi, (3) keberadaan
patahan/sesar/gawir, (4) kedalaman tanah (regolit). Faktor manajemen terdiri
dari: (1) penggunaan lahan, (2) infrastruktur jalan, dan (3) kepadatan pemukiman.
1. Curah Hujan
Terdapat dua tipe hujan pemicu terjadinya longsoran, yaitu hujan deras yang
mencapai 70 – 100 mm per hari (Heath dan Sarosa,1988, dalam Subhan, 2008)
dan hujan kurang deras namun berlangsung terus-menerus selama beberapa jam
hingga beberapa hari yang kemudian disusul dengan hujan deras sesaat. Menurut
Karnawati, dkk. (2011), seluruh kejadian bencana alam gerakan tanah di tahun
2001 umumnya terjadi setelah hujan turun selama beberapa jam hingga beberapa
hari yang kemudian disusul hujan deras sesaat (1 – 2 jam). Selanjutnya
Karnawati, dkk. (2011), menyatakan bahwa faktor curah hujan yang mempenga-
ruhi terjadinya tanah longsor mencakup terjadinya peningkatan curah hujan yang
menyebabkan tekanan air pori bertambah besar, kandungan air dalam tanah naik
dan terjadi pengembangan liat dan mengurangi tegangan geser, lapisan tanah
18
jenuh air. Selain itu, curah hujan yang tinggi menyebabkan rembesan air masuk
dalam retakan tanah serta menyebabkan terjadinya genangan air. Wilayah
Indonesia mengalami curah hujan maksimum pada bulan Oktober – Januari,
sehingga apabila dihubungkan dengan kejadian gerakan tanah yang selalu terjadi
pada musim hujan, maka sebagai pemicu penyebab terjadinya gerakan tanah
adalah adanya curah hujan yang tinggi. Hujan deras yang terjadi merupakan salah
satu pemicu terjadinya tanah longsor yang terjadi di Banjarnegara, Jawa Tengah
(Kompas.com, 2014). Peristiwa longsor di Kelurahan Bumi Raya, Kecamatan
Bumi Waras, Kota Bandar Lampung juga dipicu oleh hujan deras (Merdeka.com,
2013).
Peristiwa tanah longsor di suatu wilayah dengan kelerengan terjal (kemiringan
>45%), pada umumnya didahului oleh kejadian hujan dengan intensitas hujan
tinggi (Muntohar, 2009). Berbagai hasil penelitian menentukan batas curah hujan
dalam hal intensitas curah hujan, durasi dengan rasio intensitas curah hujan, curah
hujan kumulatif pada waktu tertentu, rasio curah hujan dengan curah hujan harian,
curah hujan sebelumnya dengan curah hujan rata-rata tahunan, dan curah hujan
harian dengan maksimum rasio curah hujan sebelumnya. Hasil penelitian
Wieczorek (1987) di La Honda California Amerika Serikat, longsor belum terjadi
bila curah hujan kurang dari 28 cm (280 mm), karena kondisi ini belum cukup
menyebabkan kejenuhan air tanah yang memicu longsor. Faktor yang penting
selain intensitas hujan adalah lamanya hujan yang berpengaruh nyata terhadap
longsor.
Hasil penelitian Sarya dkk. (2014), menunjukkan bahwa curah hujan di atas 50
mm per jam menyebabkan tanah longsor dangkal di Desa Wonodadi Kulon,
19
Kabupaten Pacitan. Curah hujan rata- rata pada Bulan Mei menunjukkan curah
hujan sebesar 314 mm dan total curah hujan mencapai 184 mm atau mencapai
61% dari curah hujan rata-rata. Selanjutnya Sarya dkk. (2014), menetapkan kurva
ambang batas intensitas (I)-durasi (D) curah hujan untuk tanah longsor di Desa
Wonodadi Kulon tersebut dengan persamaan yaitu I = 52D-0,79. Penelitian
Hasnawir (2012), curah hujan antara 101 sampai 298 mm terjadi hanya dalam 2
hari dengan intensitas curah hujan maksimum berkisar antara 41 mm/jam hingga
79 mm/jam, menunjukkan bahwa curah hujan di atas 50 mm per jam
menyebabkan tanah longsor di Sulawesi Selatan.
2. Kondisi Geologi
Menurut Ahmad, dkk. (2014), faktor geologi yang mempengaruhi terjadinya
gerakan tanah adalah struktur geologi, sifat bawaan batuan, hilangnya perekat
tanah karena proses alami (pelarutan), dan gempa. Struktur geologi yang
mempengaruhi terjadinya gerakan tanah adalah kontak batuan dasar dengan
pelapukan batuan, retakan/rekahan, perlapisan batuan, dan patahan. Zona patahan
merupakan zona lemah yang mengakibatkan kekuatan batuan berkurang sehingga
menimbulkan banyak retakan yang memudahkan air meresap. Gempa bumi
adalah getaran pada kulit bumi yang disebabkan oleh pelepasan energi akibat
aktivitas lempeng-lempeng kerak bumi atau pun kegiatan patahan di darat atau
dasar laut. Dampak dari gempa bumi dapat berupa goncangan permukaan tanah
(ground shaking), pergeseran permukaan tanah (ground faulting) dan tsunami.
Goncangan permukaan tanah dapat mengakibatkan tanah longsor/gerakan tanah
dan penurunan permukaan tanah.
20
Gerakan tanah disebabkan oleh faktor penahan lateral yang hilang, kelebihan
beban, getaran, tahanan bagian bawah hilang. Menurut Direktorat Geologi Tata
Lingkungan (2000, dalam Subhan, 2008), faktor-faktor utama penyebab gerakan
tanah terdapat pada Tabel 2.
Tabel 2. Faktor-faktor utama penyebab gerakan tanah
No. Faktor Penyebab Mekanisme Utama
1 Hilangnya penahan lateral a. Aktivitas erosi
b. Pelapukan
c. Kemiringan bertambah akibat gerakan
d. Pemotongan bagian bawah
2 Kelebihan beban tanah a. Air hujan yang meresap pada tanah
b. Penimbunan bangunan
c. Adanya genangan air di lereng bagian
atas
3. Getaran a. Gempa bumi
b. Getaran karena ulah manusia
4 Hilangnya tahanan bagian
bawah
a. Pengikisan oleh air bawah
b. Pemotongan lereng bagian bawah
c. Erosi
d. Penambangan/pembuatan terowongan.
5 Tekanan lateral a. Pengisian air di pori-pori antar butir
tanah
b. Pengembangan tanah
Sumber: Direktorat Geologi Tata Lingkungan, Bandung, 2000 (dalam Subhan,
2008).
Hasil Penelitian Ahmad, dkk. (2014) yang dilaksanakan di Sub DAS Salo Lebbo,
DAS Budong-budong, Kabupaten Mamuju Tengah, menunjukkan proses aktif
geomorfologi banyak dipengaruhi oleh proses struktur geologi dan sebagian oleh
proses denudasi yang dihasilkan dari aktivitas iklim yang banyak memberikan
pengaruh terhadap hasil akhir bentuk morfologi.
Bergeraknya massa batuan pada lereng tergantung juga kondisi resistensi/ke-
kompakan/kekuatan batuan. Batu lempung jenis smektit dan monmorilonit, napal,
21
serpih, batuan malihan (metamorfik) akibat alterasi hidrotermal (kaolinisasi, argi-
litisasi, dan sebagainya) merupakan batuan yang tidak stabil dan mudah bergerak
jika bercampur air, yang sangat berperan sebagai massa/bidang luncur. Secara
umum batuan-batuan tersebut mengeras dan retak-retak pada kondisi kering,
sedangkan pada kondisi basah akan mengembang karena menyerap air sangat
tinggi. Endapan koluvial merupakan campuran material berukuran lempung,
bongkah yang bersifat lepas (loose), sebagai hasil transportasi secara gravitasi dan
diendapan pada lereng purba (dahulu). Endapan koluvial dapat menyimpan air
dan jika menumpang di atas lapisan tanah dan/atau batuan yang plastis sebagai
bidang gelincir, maka massa tersebut akan bergerak (Sukresno, 2006).
i. Keberadaan Patahan/Sesar/Gawir
Sesar adalah kekar (joint) yang dinding sebelah menyebelahnya sudah saling
bergeser satu sama lain disebabkan oleh gaya kompresi. Kekar (joint) adalah
bagian permukaan atau bidang yang memisahkan batuan, dan sepanjang bidang
tersebut belum terjadi pergeseran. Di samping merupakan bidang datar, kekar
dapat pula merupakan bidang lengkung. Berdasarkan atas arah gerakan relatif
bagian-bagian yang bergerak, sesar dapat diklasifikasikan menjadi sesar normal
atau sesar turun (normal fault), sesar naik (reverse fault), sesar geser mendatar
(strike-slip fault), sesar diagonal (diagonal fault, obligue-slip fault), Splintery fault
(hinge fault) (Billings, 1953 dalam Sutoto, 2013) (Gambar 3).
Menurut Harjadi, dkk. (2007), Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng/-
kulit bumi aktif yaitu lempeng Indo‐Australia di bagian selatan, Lempeng Euro‐
Asia di bagian utara dan Lempeng Pasifik di bagian Timur. Ketiga lempeng
22
tektonik tersebut bergerak dan saling bertumbukan sehingga lempeng Indo‐
Australia menujam ke bawah lempeng Euro‐Asia dan menimbulkan gempa bumi,
jalur gunung api, dan sesar atau patahan. Penujaman (subduction) lempeng
Indo‐Australia yang bergerak relatif ke utara dengan lempeng Euro‐Asia yang
bergerak ke selatan menimbulkan jalur gempa bumi dan rangkaian gunung api
aktif sepanjang Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara sejajar
a. Sebelum Terjadinya Sesar
b. Setelah terjadinya sesar 1. Sesar Normal: α = dip = kemiringan bidang sesar; β = 90˚; t=throw = AB;
h=heave=BC
2. Reverse Fault = sesar terbalik
3. Sesar Strike-slip dengan gerakan
horisontal
4. Sesar Oblique-slip, sesar dengan
gerakan vertikal dan horisontal
5. Sesar Hinge: Sebuah sesar dengan
perpindahan menerobos keluar
sepanjang bidang patahan dan
berakhir pada titik tertentu
Gambar 3. Jenis-jenis sesar
(Sumber: Billings, 1953 dalam Sutoto, 2013)
23
dengan jalur penujaman kedua lempeng. Di samping itu jalur gempa bumi juga
terjadi sejajar dengan jalur penujaman, maupun pada jalur sesar regional seperti
Sesar Sumatera/Semangko (Harjadi, dkk, 2007).
Pegunungan yang terbentuk akibat proses penujaman lempeng ini merupakan
morfologi muda dengan batuan penyusun berupa material gunung api muda
yang mengalami pelapukan kuat akibat kondisi iklim tropis. Keadaan ini sangat
rawan terjadinya bencana tanah longsor serta banjir khususnya banjir bandang.
Perubahan lingkungan yang drastis terutama perubahan dalam pemanfaatan
lahan khususnya dari areal hutan alam menjadi daerah budidaya (perkebunan,
pertanian, ladang) dan pemukiman yang berpengaruh besar terhadap terjadinya
bencana pada waktu belakangan ini.
Hasil penelitian Ahmad, dkk. (2014) tentang pola longsoran Di Sub DAS Salo
Lebbo, DAS Budong-Budong, Kabupaten Mamuju Tengah, Provinsi Sulawesi
Barat, yang menunjukkan adanya struktur geologi di daerah penelitian adalah
sesar mendatar (strike slip fault) yang berpasangan berarah NE-SW (Timur Laut-
Barat Daya) dan NW-SE (Barat Laut-Tenggara) dengan arah tegasan utama
adalah N-S (Utara-Selatan). Sebagian besar litologi telah mengalami pengkekaran
dan satuan tufa adalah litologi yang paling kuat mengalami penurunan shear
strength; Longsor yang terjadi di lapangan umumnya dipicu oleh pergerakan
satuan tufa pada lereng >40%; Litologi yang paling besar mengalami penurunan
shear strength di lokasi penelitian adalah satuan tufa dan menjadi pemicu
pergerakan massa dengan tipe pergerakan rock slide dan debris slide. Pergerakan
massa membentuk bidang cekung pada litologi yang sejenis yang telah mengalami
perbedaan kestabilan. Sedangkan pergerakan massa membentuk bidang cembung
24
pada litologi yang berbeda jenis dengan tingkat kestabilan litologi lebih massif
pada bagian bawah. Pergerakan massa tanah akibat kerentanan batuan dapat
dihambat dengan penerapan metode vegetatif.
j. Kedalaman Tanah (Regolit)
Menurut Hardjowigeno (2007), tanah (soil) adalah kumpulan dari benda alam di
permukaan bumi yang tersusun dalam horison-horison, terdiri dari campuran
bahan mineral, bahan organik, air, dan udara, dan merupakan media tumbuhnya
tanaman.
Proses pembentukan tanah berasal pelapukan batuan induk, dari batuan keras
(batuan beku, batuan sedimen tua, batuan metamorf) yang melapuk, atau dari
bahan-bahan yang lebih lunak dan lepas seperti abu vulkan, bahan endapan baru
dan lain-lain, menjadi bahan induk. Proses pelapukan terhadap permukaan batuan
yang keras menjadi hancur dan berubah menjadi bahan yang lunak yang disebut
regolit. Dalam definisi regolit adalah bahan-bahan lepas (termasuk tanah) di atas
batuan yang keras.
Menurut Sutanto (2005), regolit merupakan bahan tak padu (unconsolidated
material) yang berada di atas batuan induk (parent rock), yang terdiri dari lapisan-
lapisan (solum) A (akumulasi), lapisan E (eluviasi) dan lapisan B (iluviasi).
Lapisan akumulasi dan eluviasi disebut sebagai epipedon. Lapisan epipedon
sering disebut sebagai lapisan permukaan atau lapisan bajak (lapisan olah).
Sedangkan lapisan eluviasi disebut sebagai lapisan bawah permukaan atau lapisan
bawah (sub soil). Kedalaman regolit dipengaruhi oleh proses pembentukan tanah.
25
Semakin dalam regolit yang mengandung liat (clay) maka semakin berpeluang
sebagai penyebab terjadinya longsor tanah (Noor, 2006).
Menurut Sukresno (2006) tanah sebagai material yang bergerak dalam kejadian
gerakan massa, memiliki sifat yang beragam. Secara umum, sifat tanah utama
yang berperan pada gerakan tanah adalah ketebalan solum, batas cair, dan
kekuatan geser. Tanah yang solumnya tebal, batas cair dan kekuatan geser yang
kecil berpotensi untuk mengalami gerakan tanah. Kejadian gerakan massa tanah
memerlukan adanya pemicu dari faktor lain yaitu curah hujan, kemiringan lereng,
dan penggunaan lahan. Lereng dengan tumpukan tanah yang lebih tebal relatif
lebih rentan terhadap gerakan tanah. Air hujan/air permukaan yang meresap ke
dalam tanah dapat meningkatkan penjenuhan sehingga terjadi tekanan air yang
merenggangkan ikatan butir-butir tanah. Apabila didukung oleh interaksi dengan
kemiringan lereng dan parameter lainnya mengakibatkan massa tanah terangkut
oleh aliran air dalam lereng.
E. Faktor-Faktor Manajemen Penyebab Longsor
Menurut Paimin, dkk., (2009), faktor manajemen yang menyebabkan terjadinya
longsor terdiri dari: (1) penggunaan lahan, (2) infrastruktur, dan (3) kepadatan
pemukiman. Penggunan lahan yang tidak kondusif terhadap pencegahan longsor
merupakan faktor penyebab terjadinya bencana longsor. Bencana longsor yang
terjadi di lahan pertanian penduduk berada pada ketinggian lebih rendah (kurang
dari 1.000 m dpl) dan dengan kemiringan lereng yang juga lebih landai dibanding-
kan dengan tanah longsor di kawasan hutan lindung. Secara prinsip tanah longsor
di lahan pertanian terjadi karena kelembaban tanah sangat tinggi pada tanah
26
latosol (kedalaman tanah sekitar 3 m) dengan kemiringan lereng relatif besar.
Dua kondisi rentan longsor ini diperparah dengan kenyataan bahwa pada lahan
pertanian ini tidak disertai tanaman keras (pohon) sehingga tidak ada mekanisme
pengikatan agregat tanah oleh sistem perakaran pohon (Asdak, 2003 dalam
Subhan, 2008).
Menurut Sukresno (2006), sawah dan kolam-kolam berpotensi untuk meresapkan
air ke dalam lereng, sehingga tingkat kejenuhan dan tekanan hidrostatis dalam
lereng meningkat. Pohon yang berakar serabut dan tanaman pertanian yang
dibudidayakan dapat menggemburkan tanah, sehingga air dapat mudah meresap
ke dalam dan meningkatkan tekanan hidrostatis air dalam tanah. Pohon berakar
tunggang dapat sebagai penambah beban pada lereng miring yang memicu
terjadinya gerakan massa lereng, apabila lapisan tanahnya tebal, akar tidak
mengikat batuan dasar atau minimal pada horison C (regolit) tanah.
Vegetasi merupakan faktor yang penting dalam menjaga kemantapan lahan.
Hilangnya tumbuhan atau pohon-pohon di daerah pegunungan akan
mempengaruhi proses longsor. Akar tumbuhan berfungsi mengikat butir-butir
tanah sekaligus menjaga pori-pori tanah, sehingga infiltrasi air hujan berjalan
lancar (Naryanto, 2001 dalam Subhan, 2008). Menurut Hirnawan (1997 dalam
Subhan, 2008), vegetasi berpengaruh positif terhadap ketahanan massa tanah
melalui penstabilan agregat tanah, sehingga pada musim hujan penurunan kohesi
maupun sudut geser dalam diperkecil (penurunannya berkurang).
Menurut Sitorus (2006), vegetasai berpengaruh terhadap aliran permukaan, erosi,
dan longsor melalui (1) intersepsi hujan oleh tajuk vegetasi/tanaman, (2) Batang
27
mengurangi kecepatan aliran permukaan dan kanopi mengurangi kekuatan
merusak butir hujan, (3) akar meningkatkan stabilitas struktur tanah dan
pergerakan tanah, (4) transpirasi mengakibatkan kandungan air tanah berkurang.
Keseluruhan hal ini dapat mencegah dan mengurangi terjadinya erosi dan longsor.
Menurut Paimin, dkk. (2009), adanya infrastruktur seperti jalan yang memotong
lereng atau lereng yang terpotong jalan dapat menyebabkan longsor tanah.
Sedangkan suatu wilayah berlereng yang dihuni penduduk, semakin padat
penduduk wilayah tersebut maka akan semakin tinggi kerawanan wilayah tersebut
terhadap longsor.
F. Identifikasi Kerawanan Tanah Longsor
Paimin, dkk. (2009) menerangkan proses identifikasi daerah rawan tanah longsor
melalui peta dan data yang tersedia, secara skematis seperti Diagram yang tertera
pada Gambar 4. Selanjutnya Paimin, dkk., (2009) menyatakan bahwa untuk
mengidentifikasi daerah yang rentan tanah longsor dapat menggunakan Formula
Kerentanan Tanah Longsor (KTL), sebagai berikut:
KTL =0,25(HHK)+0,15(LH)+0,1(G)+0,05(PS)+0,05(KTR)+0,20PL+0,15(I)+0,05(KP)
Keterangan: HHK = 3 hari hujan kumulatif; LH = lereng lahan; G = Geologi (batuan); PS
= keberadaan patahan/sesar/gawir; KTR = Kedalaman tanah regolit PL =
penggunaan lahan; I = Infrastruktur Jalan; KP = kepadatan penduduk
G. Wilayah Kota Bandar Lampung
1. Batas Administratif dan Jumlah Penduduk
Badan Pusat Statistika Kota Bandar Lampung (2014) dan Laman Kota Bandar
Lampung (2015), menyatakan secara geografis Kota Bandar Lampung terletak
28
Gambar 4. Diagram alir identifikasi kerawanan tanah longsor
Sumber: Paimin, dkk. (2009)
pada koordinat 5º20’– 5º30’ Lintang Selatan dan 105º28’– 105º37’ Bujur Timur
(Gambar 5), dengan batas wilayah sebagai berikut:
(1) di sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung
Selatan;
(2) di sebelah Selatan berbatasan dengan Teluk Lampung;
(3) di sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Gedong Tataan, Kabupaten
Pesawaran;
(4) di sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Tanjungbintang, Kabupaten
Lampung Selatan.
Kota Bandar Lampung memiliki luas wilayah 197,22 km2 yang terdiri dari 20
kecamatan. Jumlah penduduk dan kepadatan penduduk tiap km2 secara rinci
disajikan pada Tabel 3.
Infrastruktur (Peta rupa bumi)
Daerah Rawan
Longsor
Kelas Lereng
Kepadatan Pemukiman, Data Penduduk
Regolit (Peta Tanah)
Hujan 3-Harian(maksimum)
Geologi dan Sesar
(Peta Geologi)
Penggunaan dan Penutupan
Lahan (Citra/Foto Satelit)
29
Wilayah Kota Bandar Lampung secara administrasi terbagi dalam 20 kecamatan,
dengan jumlah kelurahan sebanyak 126 kelurahan, total luas wilayah 197,2 km2,
jumlah penduduk 942.039 jiwa, serta kepadatan penduduk sebesar 4.777 jiwa per
km2. Letak Ibukota Kecamatan di Kota Bandar Lampung ketinggian antara 50 –
250 meter di atas pemukaan laut (dpl).
Gambar 5. Peta administratif wilayah kota Bandar Lampung
Sumber: Bappeda Kota Bandar Lampung (2013).
Tabel 3. Kecamatan, ibukota kecamatan, ketinggian dan luas wilayah, jumlah
penduduk, dan kepadatan penduduk di wilayah Kota Bandar Lampung.
No. Kecamatan Ibukota
Ketinggi-
an
(m dpl)
Jumlah
Kelura-
han
Luas
Wilayah
(km2)
Jumlah
Penduduk
(jiwa)
Kepadatan
Penduduk
(jiwa/km2)
1. Teluk Betung
Barat
Bakung 100 5 11,02 28.671 2.602
2. Teluk Betung
Timur
Sukamaju 50 6 14,83 40.070 2.702
3. Teluk Betung
Selatan
Gedong
Pakuon
50 6 3,79 37.864 9.991
30
Tabel 3 (Lanjutan).
No. Kecamatan Ibukota Ketinggi-
an
(m dpl)
Jumlah
Kelura-
han
Luas
Wilayah
(km2)
Jumlah
Penduduk
(jiwa)
Kepadatan
Penduduk
(jiwa/km2)
4. Bumi Waras Sukaraja 50 5 3,75 54.595 14.559
5. Panjang Karang
Maritim
50 8 15,75 71.495 4.539
6. Tanjungkarang
Timur
Kota Baru 100 5 2,03 35.703 17.588
7. Kedamaian Kedamaian 100 7 8,21 50.601 6.163
8. Teluk Betung
Utara
Kupang Kota 50 6 4,33 48.679 11.242
9. Tanjungkarang
Pusat
Palapa 100 7 4,05 49.189 12.145
10. Enggal Enggal 100 6 3,49 27.019 7.742
11. Tanjungkarang
Barat
Gedong Air 200 7 14,99 52.640 3.512
12. Kemiling Beringin Jaya 250 9 24,24 63.153 2.605
13. Langkapura Langkapura 200 5 6,12 32.657 5.336
14. Kedaton Kedaton 100 7 4,79 47.197 9.853
15. Rajabasa Rajabasa
Nunyai
100 7 13,53 46.210 3.415
16. Tanjung Senang Tanjung
Senang
100 5 10,63 44.042 4.143
17. Labuhan Ratu Kampung
Baru Raya
150 6 7,97 43.145 5.413
18. Sukarame Sukarame 100 6 14,75 54.765 3.713
19. Sukabumi Sukabumi 100 7 23,6 55.182 2.338
20. Way Halim Wah Halim
Permai
100 6 5,35 59.162 11.058
Jumlah
Rata-rata
- 126
-
197,22
-
942.039
-
4.777
Sumber: BPS Kota Bandar Lampung (2014).
2. Iklim
Menurut BPS Kota Bandar Lampung (2014), berdasarkan klasifikasi Schmidt dan
Fergusson (1951), iklim di Kota Bandar Lampung termasuk tipe A; sedangkan
menurut Zone Agroklimat Oldemann (1978), tergolong Zone D3, yang berarti
lembab sepanjang tahun. Curah hujan berkisar antara 2.257 – 2.454 mm/tahun.
Jumlah hari hujan 76 – 166 hari/tahun. Kelembaban udara berkisar 60 – 85%, dan
suhu udara 23 – 37°C. Kecepatan angin berkisar 2,78 – 3,80 knot dengan arah
31
dominan dari Barat (Nopember-Januari), Utara (Maret-Mei), Timur (Juni-
Agustus), dan Selatan (September-Oktober) (BPS Kota Bandar Lampung, 2014).
Parameter iklim yang sangat relevan untuk perencanaan wilayah perkotaan adalah
curah hujan maksimum, karena terkait langsung dengan kejadian banjir dan
desain sistem drainase. Berdasarkan data selama 14 tahun yang tercatat di stasiun
klimatologi Pahoman dan Sumur Putri (Kecamatan Teluk Betung Utara), dan
Sukamaju Kubang (Kecamatan Panjang), curah hujan maksimum terjadi antara
bulan Desember sampai dengan April, dan dapat mencapai 185 mm/hari (Tabel 4)
(id.wikipedia.org, 2015).
Tabel 4. Data suhu dan presipitasi (curah hujan) di Kota Bandar Lampung
Bulan
Rataan
Jan
Feb
Mar
Ap
r
Mei
Ju
n
Ju
l
Agt
Sep
Ok
t
Nov
Des
Tah
u-
nan
Tertinggi
°C
29 30 31 31 31 31 30 30 30 31 31 30 30
Terendah
°C
22 21 22 22 21 21 21 21 21 21 22 22 21
Presipitasi
mm
285 319 301 171 128 122 89 64 82 144 111 304 2119
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Bandar_Lampung (2015)
3. Topografi
Menurut Wikipedia.org (2015), topografi Kota Bandar Lampung sangat beragam,
mulai dari dataran pantai sampai kawasan perbukitan hingga bergunung, dengan
ketinggian permukaan antara 0 sampai 500 m daerah dengan topografi perbukitan
hinggga bergunung membentang dari arah Barat ke Timur dengan puncak
tertinggi pada Gunung Betung sebelah Barat dan Gunung Dibalau serta perbukitan
Batu Serampok disebelah Timur. Topografi tiap-tiap wilayah di Kota Bandar
Lampung adalah sebagai berikut:
32
• Wilayah pantai terdapat disekitar Teluk Betung dan Panjang dan pulau di
bagian Selatan.
• Wilayah landai/dataran terdapat disekitar Kedaton dan Sukarame di bagian
Utara.
• Wilayah perbukitan terdapat di sekitar Teluk Betung bagian Utara.
• Wilayah dataran tinggi dan sedikit bergunung terdapat disekitar Tanjung
Karang bagian Barat yaitu wilayah Gunung Betung, Sukadana Ham, dan
Gunung Dibalau serta perbukitan Batu Serampok di bagian Timur.
Berdasarkan data ketinggian tempat yang ada, Kecamatan Kedaton dan Rajabasa
merupakan wilayah yang tertinggi yaitu 700 m dpl dibandingkan dengan
kecamatan-kecamatan lainnya. Kecamatan Teluk Betung Selatan dan Kecamatan
Panjang terletak pada ketinggian 50 mdpl atau kecamatan dengan ketinggian
paling rendah/minimum (http://id.wikipedia.org, 2015).
Berdasarkan Peta Kemiringan Lahan yang diterbitkan oleh Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah Kota Bandar Lampung (2013), luasan wilayah daratan
dengan kondisi kemiringan lereng, yaitu: (1) wilayah dengan kondisi datar
(kemiringan 0 – 5%) 7.137,00 ha (36,19%); (2) wilayah perbukitan (5 – 15%)
6.301,39 ha (31,95%), (3) perbukitan sedang (kemiringan 15 – 40%) 4.558,74 ha
(23,27%); dan (4) perbukitan terjal (kemiringan>40%) 1,694,77 ha (8,59%).
Wilayah-wilayah yang memiliki kemiringan lereng>40% (perbukitan terjal)
yaitu: (1) Kecamatan Bumi Waras 25 ha; Kecamatan Kemiling 757,50 ha; (3)
Kecamatan Panjang 98,44 ha; (4) Kecamatan Sukabumi 168,57 ha; (5) Kecamatan
33
Tanjung Karang Barat 107,07 ha; (6) Kecamatan Teluk Betung Barat 220,40 ha;
dan (7) Kecamatan Teluk Betung Timur 317,79 ha.
4. Geologi Wilayah Kota Bandar Lampung
Menurut Mangga dkk. (1994), peta geologi wilayah Kotamadya Bandar Lampung
masuk dalam Lembar Tanjungkarang. Secara fisiografi, Wilayah Kota Bandar
Lampung dengan satuan morfologi dataran rendah dan perbukitan bergelombang,
wilayah ini termasuk wilayah yang terletak dalam jalur iklim Indo-Australia,
bercirikan suhu yang umumnya tinggi, kelembaban dan curah hujan yang
berubah-ubah. Musim hujan berlangsung dari Oktober /November sampai
Maret/April dan musim kemarau dari Juni sampai September. Berdasarkan Peta
Geologi (Mangga,dkk., 1994), uraian geologi wilayah Kota Bandar Lampung
tertera pada Tabel 5.
Tabel 5. Uraian kode geologi wilayah Kota Bandar Lampung
No. Kode Umur Satuan Litologi
1. Pzgk Paleozoikum Kompleks
Gunung
Kasih
Runtunan sedimen malih dan batuan beku-malih
terdiri dari batuan kuarsit, pualam, dan gneis
sedikit migmatit. Jenis batuan kuarsit berwarna
putih kecoklatan sampai kemerahan, berbutir
sedang sampai kasar, tektur granoblastik jelas,
sedimen malih tak murni, kuarsa, feldspr, mika
serisit, mineral gelap umumnya terubah oksida
besi.
2. Pzgs Paleozoikum Kompleks
Gunung
Kasih
Runtunan sedimen malih dan batuan beku-malih
terdiri dari batuan sekis, pualam, dan gneis sedikit
migmatit. Jenis batuan sekis terdiri dari dua jenis
sekis, yaitu sekis kuarsa- mika grafit dan sekis
amfibol. Semula ditafsirkan sebagai sedimen
malih, kemudian sebagai batuan gunung api
malih. Warna tergantung minerologinya, sekis
mika didominasi biotit serisit dengan pengubah
grafit. Sekis basa hijau sampai hijau kehitaman,
didominasi oleh amfibol dan klorit.
34
Tabel 5. (Lanjutan).
No. Kode Umur Satuan Litologi
3. QTl Plio-
plistosen
Formasi
Lampung
Tufa riolit-dasit dan vulkanoklastika tufan.
Tufa berbatu apung, kelabu kekuningan sampai
putih kelabu, berbutir sedang sampai kasar,
terpilah buruk (poorly sorted), terutama terdiri
dari batu apung dan keratan batu apung. Tufa
putih sampai putih kecoklatan, riolitan,
setempat gunung api, relatif keras terkekarkan
(relatively hard and well joined). Batupasir
tufan, putih kusam kekuningan, berbutir halus-
sedang, terpilah buruk, membundar tanggung,
sebagian berbatu apung, agak lunak, sering
memperlihatkan struktur silang siur, umumnya
bersusun dasit.
4. Qhvp Plistosen
dan Holosen
Satuan
Gunung
Api Muda
Lava andesit-basal, breksi dan tufa. Lava,
kelabu kehitaman, afantik dan porfirtik dengan
fenokris plagioklas dan augit dalam massa dasar
kaca gunungapi dan/atau felspar mikrolit.
Terdapat sedikit olivin di dalam basal.
Breksi, kelabu kehitaman, terpilah buruk,
kepingan menyudut batuan gunung api
berukuran kerakal (volcanic pebble) sampai
bongkah.
Tufa, tufa batuan dan tufa kacuk. Tufa batuan,
kelabu kekuningan-kecoklatan, terutama terdiri
dari lava, kaca gunung api dan bahan karbonan
dalam massa dasar tufan. Tufa kacuk: putih
kusam sampai kelabu, terpilah buruk, kepingan
lava menyudut membundar tanggung, oksida
besi dan bahan karbonan dalam massa dasar tufa
pasiran.
5. Qa Holosen Aluvium Bongkahan, kerikil, pasir, lempung (lanau),
lumpur, dan liat.
6. Tmgr Miosen
Tengah
Batuan
Granit tak
Terpisahkan
Granit, merah dengan bintik hijau, abu-abu
kehijauan, porfirtik, retak-retak, terdiri dari
kuarsa, ortoklas, biotit dan hornblende.
7. Tpoc Paleosen-
Oligosen
awal
Formasi
Campang
Perselingan batuan liat, serpih, kalkarenit, tufa
dan breksi. Batuan liat, kelabu kehitaman, padat,
dan berlapis baik, tebal 5 – 10 cm, perlapisan
sejajar dan menggelombang.
Serpih, hitam-kelabu kecoklatan, padat dan
berlapis baik 5 – 10 cm, perlapisan internal.
Kalkarenit, kelabu kecoklatan, berlapis baik dan
terkekarkan, memperlihatkan struktur perlapisan
menggelombang internal dan perlapisan sejajar.
Kalsilutit, kelabu kehitaman berlapis baik tebal 2
– 15 cm, perlapisan sejajar.
Tufa, kehijauan-putih kemerahan, berbutir halus,
35
Tabel 5. (Lanjutan).
No. Kode Umur Satuan Litologi
padat dan stempat terkersikan. Batuan lempung, kelabu kehijauan, padat.
8. Tpot Paleosen – Oligosen Awal
Formasi Tarahan
Tufa dan breksi dikuasai oleh sisipan tufit. Tufa, ungu dan hijau muda, relatif pejal tetapi terkekarkan, dan khas terabak mengandung struktur mata ikan. Breksi, kelabu kekuningan kecoklatan, keras terpilah buruk, terdiri dari kepingan lava andesit menyudut, batuliat dan batu lempung (lanau). Setempat terkersikkan. Tufit, putih, berbutir sangat halus, padat dan berlapis baik tebal 5 – 10 cm.
Sumber: Mangga, dkk. (1994).
Peta Geologi Wilayah Kota Bandar Lampung tertera pada Gambar 6. Peta
tersebut berasal dari Pusat Survei Geologi, Badan Geologi, Bandung (Mangga,
dkk.,1994).
5. Hidrologi
Menurut http://id.Wikipedia.org (2015), dilihat secara hidrologi maka Kota
Bandar Lampung mempunyai 2 sungai besar yaitu Way Kuripan dan Way Kuala,
dan 23 sungai-sungai kecil. Semua sungai tersebut berada dalam wilayah Kota
Bandar Lampung dan bermuara di Teluk Lampung.
Dilihat dari akuifer yang dimilikinya, air tanah di Kota Bandar Lampung dapat
dibagi dalam beberapa bagian berdasarkan pourusitas dan permaebilitas yaitu:
• Akuifer dengan produktivitas sedang, berada di kawasan pesisir Kota Bandar
Lampung, yaitu di Kecamatan Panjang, Teluk Betung Selatan, dan Teluk
Betung Barat.
• Air tanah dengan akuifer produktif, berada di Kecamatan Kedaton dan
Tanjung Senang, bagian selatan Kecamatan Kemiling, bagian selatan Tanjung
Karang Barat, dan sebagian kecil wilayah Kecamatan Sukabumi.
36
37
• Akuifer dengan produktivitas sedang dan penyebaran luas, berada di bagian
utara Kecamatan Kemiling, bagian utara Tanjung Karang Barat, Tanjung
Karang Pusat, Teluk Betung Utara, dan sebagian kecil Kecamatan Tanjung
Karang Timur.
• Akuifer dengan produktivitas tinggi dan penyebaran luas, berada di sebagian
besar Kecamatan Rajabasa dan Tanjung Karang Timur.
• Akuifer dengan produktivitas rendah, berada di bagian utara Kecamatan
Panjang, Tanjung Karang Timur, dan bagian barat Kecamatan Teluk Betung
Selatan.
• Air tanah langka, berada di Kecamatan Panjang.
Kondisi resapan air di Wilayah Kota Bandar Lampung tertera pada Tabel 6.
Tabel 6. Kondisi resapan air di wilayah Kota Bandar Lampung
Zona Kategori Serapan Wilayah
I Recharge Area Kemiling dan Teluk Betung Barat
II Area Penyangga Kecamatan Tanjung Karang Barat, Tanjung
Karang Timur, Panjang, Tanjung Karang
Pusat, Teluk Betung Utara, dan Teluk Betung
Selatan.
III Resapan Rendah Kedaton, Sukarame, Tanjung Karang Barat
IV Resapan Sedang Tanjung Karang Pusat, Sukabumi, Tanjung Karang Timur
V Resapan Tinggi Sukabumi dan Sukarame
VI Kawasan Dipengaruhi
Air Laut
Pesisir Teluk Lampung, Teluk Betung
Selatan, Panjang, Teluk Betung Barat
Sumber: Bappeda Kota Bandar Lampung (2013)
H. Mitigasi Longsor
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam,
manusia dan atau keduanya yang mengakibatkan korban penderitaan manusia,
kerugian harta benda, kerusakan lingkungan, kerusakan sarana dan prasarana dan
38
fasilitas umum serta menimbulkan gangguan terhadap tata kehidupan dan
penghidupan masyarakat (Ristanto, 2006, dalam Sukresno, 2006).
Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007
menyatakan, bencana alam antara lain berupa gempa bumi karena alam, letusan
gunung berapi, angin topan, tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan/lahan
karena faktor alam, hama penyakit tanaman, epidemi, wabah, kejadian luar biasa,
dan kejadian antariksa/benda-benda angkasa (Menteri Hukum dan Hak Azasi
Manusia, 2007.)
Mitigasi bencana adalah tindakan-tindakan yang bertujuan untuk mereduksi,
mengurangi, dan meredakan dampak bencana; yang dilakukan sebelum, saat dan
pascabencana; bersifat sangat komplek; dan dapat berupa kegiatan non fisik dan
kegiatan fisik (Ashari, 2006). Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 24 Tahun 2007 (Menteri Hukum dan HAM, 2007) tentang
Penanggulangan Bencana, pada Pasal 47, Ayat (1) menyebutkan: mitigasi
dilakukan untuk mengurangi risiko bencana bagi masyarakat yang berada pada
kawasan rawan bencana. Pada Ayat (2), Kegiatan mitigasi dilakukan melalui:
a. pelaksanaan penataan ruang;
b. pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur, tata bangunan; dan
c. penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan, dan pelatihan baik secara
konvensional maupun moderen.
Menurut Harjadi, dkk., (2007), mitigasi adalah serangkaian upaya untuk
mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran
dan peningkatan kemampuan masyarakat dalam menghadapi ancaman bencana.
39
Selanjutnya menurut Somantri (2008), mitigasi bencana longsor adalah suatu
usaha memperkecil jatuhnya korban manusia dan atau kerugian harta benda akibat
peristiwa atau rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, manusia, dan oleh
keduanya yang mengakibatkan korban, penderitaan manusia, kerugian harta
benda, kerusakan sarana dan prasarana dan fasilitas umum serta menimbulkan
gangguan terhadap tata kehidupan dan penghidupan masyarakat.
Menurut Somantri (2008), beberapa tindakan manusia yang dapat menyebabkan
longsor antara lain:
(1) Menebang pohon di lereng pegunungan;
(2) Mencetak sawah dan membuat kolam pada lereng bagian atas di dekat
pemukiman;
(3) Mendirikan pemukiman di tebing yang terjal;
(4) Melakukan penggalian di bawah tebing yang terjal.
Menurut Somantri (2008), mitigasi bencana longsor bertujuan untuk
meminimumkan dampak bencana tersebut, salah satunya dengan kegiatan
peringatan dini (early warning). Mitigasi bencana meliputi sebelum, saat terjadi,
dan setelah bencana, sebagai berikut:
1. Sebelum bencana antara lain dengan peringatan dini (early warning system)
secara optimal dan terus menerus pada masyarakat secara:
a. Mendata daerah rawan longsor berdasarkan tingkat kerentanannya;
b. Memberi tanda khusus pada daerah rawan longsor;
c. Memanfaatkan peta-peta kajian tanah longsor;
d. Pemukiman sebaiknya menjauhi tebing;
e. Melakukan reboisasi pada hutan yang pada saat ini dalam keadaan
gundul, menanam pohon-pohon penyangga, melakukan penghijauan pada
lahan terbuka;
40
f. Membuat terasering atau sengkedan pada lahan yang memiliki
kemiringan yang relatif curam;
g. Membatasi lahan untuk pertanian;
h. Membuat saluran pembuangan air menurut kontur tanah;
i. Menggunakan teknik penanaman dengan sistem kontur tanah;
j. Waspada gejala tanah longsor (retakan, penurunan tanah) terutama di
musim hujan.
2. Saat bencana, berupaya menyelamatkan diri dan ke arah mana jalur evakuasi
yang harus diketahui oleh masyarakat.
3. Sesudah bencana antara lain, kegiatan pemulihan (recovery) dan masyarakat
harus dilibatkan, yaitu:
a. Penyelamatan korban secepatnya ke daerah yang lebih aman.
b. Penyelamatan harta benda yang mungkin masih bisa diselamatkan.
c. Menyiapkan tempat-tempat penampungan sementara atau tenda-tenda
darurat bagi para pengungsi.
d. Menyediakan dapur-dapur umum.
e. Menyediakan air bersih dan sarana kesehatan.
f. Memberikan dorongan semangat bagi para korban bencana agar korban
tersebut tidak frustrasi dan lain-lain.
g. Koordinasi secepatnya dengan aparat pengendali bencana.
Menurut Paimin, dkk. (2009) teknik peringatan dini dalam memitigasi longsor secara
umum dapat diketahui sebagai berikut (disesuaikan dengan jenis potensi tanah
longsor yang ada):
41
a. Adanya retakan-retakan tanah pada lahan (pertanian, hutan, kebun, pemukiman)
dan atau jalan yang cenderung semakin besar, dengan mudah bisa dilihat secara
visual.
b. Adanya penggelembungan/amblesan pada jalan aspal - terlihat secara visual.
c. Pemasangan penakar hujan di sekitar daerah rawan tanah longsor. Apabila curah
hujan kumulatif secara berurutan selama 2 hari melebihi 200 mm sedangkan hari
ke-3 masih nampak terlihat akan terjadi hujan maka masyarakat harus waspada.
d. Adanya rembesan air pada kaki lereng, tebing jalan, tebing halaman rumah
(sebelumnya belum pernah terjadi rembesan) atau aliran rembesannya (debit)
lebih besar dari sebelumnya.
e. Adanya pohon yang posisinya condong kearah bawah bukit.
f. Adanya perubahan penutupan lahan (dari hutan ke non-hutan) pada lahan
berlereng curam dan kedalaman lapisan tanah sedang.
g. Adanya pemotongan tebing untuk jalan dan atau perumahan pada lahan
berlereng curam dan lapisan tanah dalam.
Menurut Harjadi, dkk. (2007), upaya mitigasi dan pengurangan bencana dengan
cara:
1. Hindarkan daerah rawan bencana untuk pembangunan permukiman dan
fasilitas utama lainnya.
2. Mengurangi tingkat keterjalan lereng.
3. Meningkatkan/memperbaiki dan memelihara drainase baik air permukaan
maupun air tanah (fungsi drainase adalah untuk menjauhkan air dari lereng,
menghindari air meresap ke dalam lereng atau menguras air dalam lereng ke
42
luar lereng. Jadi drainase harus dijaga agar jangan sampai tersumbat atau
meresapkan air ke dalam tanah).
4. Pembuatan bangunan penahan, jangkar (anchor) dan pilling.
5. Terasering dengan sistem drainase yang tepat (drainase pada teras‐teras dijaga
jangan sampai menjadi jalan meresapnya air ke dalam tanah), karena air yang
meresap ke dalam tanah dapat menjenuhi regolit dan dapat memicu longsor.
6. Penghijauan dengan tanaman yang sistem perakarannya dalam dan jarak
tanam yang tepat (khusus untuk lereng curam, dengan kemiringan lebih dari
40 derajat atau sekitar 80 % sebaiknya tanaman tidak terlalu rapat serta
diselingi dengan tanaman-tanaman yang lebih pendek dan ringan, di bagian
dasar ditanam rumput).
7. Sebaiknya dipilih tanaman lokal yang digemari masyarakat, dan tanaman
tersebut harus secara teratur dipangkas ranting‐rantingnya/ cabang-cabangnya
atau dipanen.
8. Khusus untuk aliran butir dapat diarahkan dengan pembuatan saluran.
9. Khusus untuk runtuhan batu dapat dibuatkan tanggul penahan baik berupa
bangunan konstruksi, tanaman maupun parit.
10. Pengenalan daerah yang rawan longsor.
11. Identifikasi daerah yang aktif bergerak, dapat dikenali dengan adanya
rekahan- rekahan berbentuk ladam (tapal kuda).
12. Hindarkan pembangunan di daerah yang rawan longsor.
13. Mendirikan bangunan dengan fondasi yang kuat.
14. Melakukan pemadatan tanah disekitar perumahan.
15. Stabilisasi lereng dengan pembuatan terase dan penghijauan.
43
16. Pembuatan tanggul penahan untuk runtuhan batuan (rock fall).
17. Penutupan rekahan-rekahan diatas lereng untuk mencegah air masuk secara
cepat kedalam tanah.
18. Pondasi tiang pancang sangat disarankan untuk menghindari bahaya
liquifaction.
19. Pondasi yang menyatu, untuk menghindari penurunan yang tidak seragam
(differential settlement).
20. Utilitas yang ada didalam tanah harus bersifat fleksibel.
21. Dalam beberapa kasus relokasi penduduk sangat disarankan.
I. Pengambilan Keputusan dalam Upaya Mitigasi Bahaya Longsor
Berdasarkan informasi faktor-faktor penyebab tanah longsor, maka diperlukan
upaya-upaya mitigasi sebagaimana diuraikan di atas (Paimin, dkk., 2009; Harjadi,
dkk., 2007). Kegiatan mitigasi ini merupakan upaya pengendalian faktor-faktor
penyebab dan penanganan bahaya longsor yang mungkin terjadi di wilayah rawan
longsor di Kota Bandar Lampung. Prosedur yang dapat dilakukan adalah dengan
merumuskan strategi dalam pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan
dengan menggunakan metode analisis hierarki proses (AHP) dengan bantuan
perangkat lunak Expert Choice. Analisis ini digunakan untuk menentukan
prioritas strategi pengendalian tanah longsor di Wilayah Kota Bandar Lampung.
Analisis AHP dilakukan dengan cara memberikan nilai kemenarikan relatif
(Attractive Score) pada masing-masing faktor.
Analisis Hirarki Proses (AHP) dapat digunakan untuk pengambilan keputusan
melalui pendekatan sistem, yang diharapkan dapat memahami kondisi sistem yang
44
diprediksi, sehingga hasil keputusannya bisa menyelesaikan permasalahan yang
ada. Menurut Marimin (2004), prinsip kerja AHP dalam menyelesaikan
permasalahan dilakukan dengan beberapa tahapan, sebagai berikut:
1. Penyusunan hierarki permasalahan yang akan diselesaikan, diuraikan
menjadi unsur-unsur yaitu kriteria alternatif, kemudian disusun menjadi
struktur hierarki. Gambar diagram di bawah ini mempresentasikan keputusan
untuk mencari solusi.
Gambar 7. Contoh struktur hierarki dalam AHP
Sumber: Marimin (2004)
2. Penilaian kriteria dan alternatif. Kriteria dan alternatif dinilai melalui
perbandingan berpasangan. Nilai dan definisi kualitatif dari Skala
Perbandingan Saaty, tertera padaTabel 7.
3. Penentuan prioritas. Setiap kriteria dan alternatif perlu dilakukan
perbandingan berpasangan (pairwise comparative). Nilai-nilai perbandingan
relatif kemudian diolah untuk menentukan peringkat relatif dari seluruh
alternatif.
4. Konsistensi logis dengan mengelompokkan dan diberikan peringkat secara
konsisten sesuai dengan kriteria logis.
Memilih
suatu solusi Tujuan (goal)
Kriteria 1 Kriteria ke-n Kriteria
Alternatif 1 Alternatif ke-n Alternatif
Kriteria 2
Alternatif 2
45
di mana : gX = rata-rata geometrik
n = jumlah responen
i
X = penilaian responden ke-i
fi = Jumlah responden yang memilih skor Xi
n
n
i
f
igiXX ∏
=
=
1
Tabel 7. Skala perbandingan Saaty
Nilai Skala Keterangan
1 Kriteria/alternatif A sama penting dengan kriteria B
3 Kriteria/alternatif A sedikit lebih penting daripada B
5 Kriteria/alternatif A jelas lebih penting daripada B
7 Kriteria/alternatif A sangat lebih penting daripada B
9 Kriteria/alternatif A mutlak lebih penting daripada B
2, 4, 6, 8 Nilai di antara dua nilai
Sumber: Saaty, 1993 (dalam Marimin, 2004).
Selanjutnya menurut Marimin (2004), pada dasarnya AHP dapat digunakan untuk
mengolah data dari satu responden ahli. Namun demikian dalam penerapannya
penilaian kriteria dan alternatif dilakukan oleh beberapa ahli multidisipliner.
Konsekuensinya pendapat beberapa ahli tersebut perlu dicek konsistensinya satu
per satu. Pendapat yang konsisten kemudian digabungkan dengan menggunakan
rata-rata geometrik, sebagai berikut: