II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN · TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1....
Transcript of II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN · TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1....
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Kerangka Teori
2.1.1. Masyarakat Pesisir
Menurut Saad dan Basuki (2004), masyarakat pesisir didefinisikan sebagai
kelompok orang yang tinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupan ekonomi
penduduk bergantung secara langsung pada pemanfaatan sumberdaya laut dan
pesisir. Definisi inipun bisa juga dikembangkan lebih jauh karena pada dasarnya
banyak orang yang hidupnya bergantung pada sumberdaya laut. Mereka terdiri
dari nelayan pemilik, buruh nelayan, pembudidaya ikan dan organisme laut
lainnya, pedagang ikan, pengolah ikan, pemasok faktor sarana produksi perikanan.
Dalam bidang non-perikanan, masyarakat pesisir bisa terdiri dari penjual jasa
pariwisata, penjual jasa transportasi, serta kelompok masyarakat lainnya yang
memanfaatkan sumberdaya non-hayati laut dan pesisir untuk menyokong
kehidupannya.
Untuk lebih operasional, Nikijuluw (2002) berpendapat, bahwa definisi
masyarakat pesisir yang luas ini tidak secara keseluruhan diambil, tetapi hanya
difokuskan pada kelompok nelayan dan pembudidaya ikan serta pedagang dan
pengolah ikan. Kelompok ini secara langsung mengusahakan dan memanfaatkan
sumberdaya ikan melalui kegiatan penangkapan dan budidaya. Kelompok ini
pula yang mendominasi pemukiman di wilayah pesisir di seluruh Indonesia,
di pantai pulau-pulau besar dan kecil seantero nusantara. Sebagian besar
masyarakat nelayan pesisir ini adalah pengusaha skala kecil dan menengah.
Namun lebih banyak dari mereka yang bersifat subsisten, menjalani usaha dan
kegiatan ekonominya untuk menghidupi keluarga sendiri, dengan skala yang
begitu kecil sehingga hasilnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam
jangka waktu yang sangat pendek.
Dari sisi skala usaha perikanan, kelompok masyarakat pesisir miskin
di antaranya terdiri dari rumah tangga perikanan yang menangkap ikan
tanpa menggunakan perahu, menggunakan perahu tanpa motor, dan perahu
bermotor tempel. Dengan skala usaha ini, rumah tangga ini hanya mampu
menangkap ikan di daerah dekat pantai. Dalam kasus tertentu, memang mereka
18
dapat pergi jauh dari pantai dengan cara bekerjasama sebagai mitra perusahaan
besar. Namun usaha dengan hubungan kemitraan seperti tidak begitu banyak
dan berarti dibandingkan dengan jumlah rumah tangga yang begitu banyak.
Menurut Mubyarto et. al. (1984) masyarakat pesisir, khususnya nelayan
secara umum, dikategorikan lebih miskin daripada keluarga petani atau pengrajin.
Kemiskinan ini dicirikan oleh pendapatan yang berfluktuasi, pengeluaran yang
konsumtif, tingkat pendidikan masyarakat yang rendah, unit kelembagaan yang
tersedia belum mendukung terjadinya pemerataan pendapatan, potensi tenaga kerja
keluarga (istri dan anak) belum dapat dimanfaatkan dengan baik, serta akses
terhadap permodalan rendah.
Kusnadi (2006) mengemukakan berdasarkan aspek geografis, masyarakat
pesisir merupakan masyarakat yang hidup, tumbuh dan berkembang dikawasan
pesisir. Mereka menggantungkan kelangsungan hidupnya dari upaya mengelola
sumber daya alam yang tersedia dilingkungannya, yakni di kawasan pesisir,
perairan (laut). Secara umum, sumberdaya perikanan (tangkap dan budidaya)
merupakan salah satu sumberdaya yang sangat penting untuk menunjang
kelangsungan hidup masyarakat pesisir.
2.1.2. Pengertian Pemberdayaan
Pemberdayaan atau empowerment merupakan istilah yang akhir-akhir ini
banyak didengar. Ini terkait dengan ketidakpuasan masyarakat terhadap model
pembangunan yang bersifat top down dan centralized, sebagaimana yang telah
dipraktekkan pada jaman Orde Baru. Dengan pendekatan tersebut, maka yang
diuntungkan dalam pembangunan hanya sekelompok kecil masyarakat,
diharapkan dari kelompok kecil tersebut akan muncul efek menetes ke bawah
(trickle down effect). Akan tetapi, sampai dengan runtuhnya rezim Orde
Baru,ternyata trickle down effect itu tidak pernah terjadi, bahkan yang muncul
adalah kesenjangan ekonomi yang cukup besar antara sekelompok elit masyarakat
dengan masyarakat kebanyakan. Selain itu, dengan kebijakan pembangunan yang
bersifat terpusat, maka roda ekonomi hanya cenderung bergerak di pusat,
sementara daerah yang sebenarnya memiliki kekayaan alam yang melimpah, tetap
saja miskin.
19
Nikijuluw (2002), menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah suatu proses
untuk berdaya, memiliki kekuatan, kemampuan dan tenaga untuk menguasai
sesuatu. Sebagai suatu proses, maka pemberdayaan itu tidak habis-habisnya.
Selagi ada masyarakat, maka pemberdayaan masyarakat tetap dilakukan. Bisa saja
masyarakat sudah memiliki kekuatan atau sudah berdaya dalam suatu hal tertentu
tapi kemudian disadari bahwa masih ada aspek-aspek lain yang melekat dengan
masyarakat yang perlu diberdayakan.
Sebagai suatu proses, maka pemberdayaan juga menyangkut kualitas.
Kegiatan pemberdayaan, semula hanya mencapai tataran kualitas tertentu. namun
tahap selanjutnya ingin dicapai kualitas kehidupan atau status sosial ekonomi
yang lebih baik. Masyarakat biasanya tidak puas dengan status ekonomi yang
sudah diraihnya, oleh karena itu pemberdayaan perlu terus dilaksanakan. Menurut
Haque et al. (1996) , seorang ahli pembangunan desa dari Bangladesh, proses
memberdayakan masyarakat adalah membangun mereka. Selanjutnya Haque
mengemukakan bahwa pembangunan masyarakat itu adalah collective action
yang berdampak pada individual welfare, sehingga arti membangun adalah
memberdayakan individu dalam masyarakat. Memberdayakan berarti bahwa
keseluruhan personalitas seseorang yang menyangkut kesejahteraan lahir dan
batin masyarakat, ditingkatkan. Departemen Kelautan dan Perikanan melakukan
perombakan total, yaitu berusaha menggunakan pendekatan berkelanjutan,
holistik dan berbasis pada masyarakat (Dahuri 2002). Pendekatan ini berusaha
untuk semakin menyadari bahwa tanpa keberlanjutan suatu ekosistem, maka
sesungguhnya tidak akan memakmurkan pada kehidupan saat ini maupun saat
mendatang. Pemberdayaan masyarakat adalah suatu proses untuk membuat
masyarakat menjadi berdaya. Pemberdayaan itu diperlukan terutama karena
didasarkan pada asumsi bahwa suatu masyarakat sedang dalam kondisi tidak
berdaya atau kurang berdaya. Adapun secara sosiologis keadaan kurang berdaya
itu diidentikkan dengan keadaan keterbelakangan.
20
2.1.3. Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP)
Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) merupakan
salah satu program pemerintah yang diluncurkan oleh Kementerian Kelautan dan
Perikanan (KKP) yang ditujukan untuk pengentasan kemiskinan di daerah pesisir
melalui pemberdayaan masyarakat. Secara umum, PEMP mempunyai tujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pengembangan
kegiatan ekonomi, peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan penguatan
kelembagaan sosial ekonomi dengan mendayagunakan sumberdaya perikanan dan
kelautan secara optimal dan berkelanjutan (DKP 2003).
Secara khusus, program PEMP mempunyai tujuan sebagai berikut :
1. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan dan pengembangan kegiatan ekonomi masyarakat yang
didampingi dengan pengembangan kegiatan sosial, pelestarian lingkungan
dan pengembangan infrastruktur untuk mendorong kemandirian masyarakat
pesisir.
2. Menciptakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha utnuk meningkatkan
pendapatan masyarakat pesisir yang terkait dengan sumberdaya perikanan
dan kelautan.
3. Mengelola dan memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut secara optimal
dan berkelanjutan sesuai dengan kaidah kelestarian lingkungan.
4. Memperkuat kelembagaan sosial ekonomi masyarakat dan kemitraan dalam
mendukung perkembangan wilayahnya.
5. Mendorong terwujudnya mekanisme manajemen pembangunan yang
partisipasif dan transparan dalam kegiatan masyarakat.
Sasaran PEMP adalah masyarakat pesisir yang memiliki mata pencaharian
atau berusaha dengan memanfaatkan potensi pesisir seperti nelayan, pembudidaya
ikan, pengolah ikan dan kelautan, yang kurang berdaya dalam peningkatan/
penguatan usahanya. PEMP bukan bersifat hadiah, melainkan pemberdayaan
sehingga diharapkan dapat terus berkembang dan menyentuh sebagian besar
masyarakat pesisir yang menjalankan jenis usaha yang memanfaatkan sumberdaya
pesisir dan laut serta usaha lain yang terkait.
21
2.1.4. Pertumbuhan Ekonomi
Tingkat pertumbuhan perekonomian adalah kondisi dimana nilai riil produk
domestik bruto (PDB) mengalami peningkatan (Dornbusch et al, 2008). Penyebab
utama dari pertumbuhan ekonomi adalah tersedianya sejumlah sumber daya dan
peningkatan efisiensi penggunaan faktor produksi.
Pertumbuhan ekonomi dalam pengertian ekonomi makro adalah
penambahan nilai PDB riil, yang berarti peningkatan pendapatan nasional.
Pertumbuhan ekonomi ada dua bentuk: ekstensif yaitu dengan penggunaan lebih
banyak sumber daya atau intensif yaitu dengan penggunaan sejumlah sumber
daya yang lebih efisien (lebih produktif). Ketika pertumbuhan ekonomi dicapai
dengan menggunakan banyak tenaga kerja, hal tersebut tidak menghasilkan
pertumbuhan pendapatan per kapita, karena pertumbuhan ekonomi yang dicapai
harus dibagi juga dengan pertambahan penduduk (dalam hal ini tenaga kerja).
Namun ketika pertumbuhan ekonomi dicapai melalui penggunaan sumberdaya
yang lebih produktif, termasuk tenaga kerja, hal tersebut menghasilkan
pendapatan per kapita yang lebih tinggi dan meningkatkan standar hidup rata-rata
masyarakat.
Nafziger (2006) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah
peningkatan produksi suatu negara atau pendapatan per kapita. Produksi tersebut
dihitung dengan GNP (Gross National Product – Produk Nasional Bruto) atau
GNI (Gross National Income – Pendapatan Nasional Bruto) yang merupakan total
output dari negara tersebut. Pertumbuhan ekonomi berarti juga peningkatan
kapasitas perekonomian suatu wilayah dalam suatu waktu tertentu.
Konsep PDB digunakan pada tingkat nasional, sedangkan untuk tingkat
provinsi dan kabupaten/kota digunakan konsep produk domestik regional bruto
(PDRB). PDB atau PDRB dapat diukur dengan 3 macam pendekatan, yaitu
pendekatan produksi, pendekatan pendapatan dan pendekatan pengeluaran
(Tambunan, 2003). Pendekatan produksi dan pendekatan pendapatan adalah
pendekatan dari sisi penawaran agregat (Aggregate Supply - AS) sedangkan
pendekatan pengeluaran adalah pendekatan dari sisi permintaan agregat
(Aggregate Demand - AD).
22
PDRB adalah jumlah nilai output dari semua sektor ekonomi atau lapangan
usaha jika dilihat dari pendekatan produksi. Penghitungan PDRB dapat
dikelompokkan menjadi 9 sektor lapangan usaha, yaitu:
1. pertanian
2. pertambangan dan penggalian
3. industri pengolahan
4. listik, gas dan air bersih
5. bangunan
6. perdagangan, hotel dan restoran
7. pengangkutan dan komunikasi
8. keuangan, persewaan dan jasa perusahaan
9. jasa-jasa
Sehingga PDRB dapat dirumuskan sebagai:
∑=
=9
1iiNOPDRB (2.1)
dimana: i = 1,2,3, ..., 9
NOi = nilai output sektor ke – i
Penghitungan PDRB dengan pendekatan pendapatan dirumuskan sebagai
jumlah pendapatan yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang digunakan dalam
proses produksi di masing-masing sektor. Pendapatan itu berupa upah/gaji bagi
tenaga kerja, bunga atau hasil investasi bagi pemilik modal, sewa tanah bagi pemilik
lahan dan keuntungan bagi pengusaha.
Sehingga PDRB dapat dirumuskan sebagai
∑=
=9
1iiNTBPDRB (2.2)
dimana: i = 1,2,3, ..., 9
NTBi = nilai tambah bruto sektor ke – i
PDRB menurut pendekatan pengeluaran adalah jmlah dari semua komponen
dari permintaan akhir, yaitu: konsumsi rumahtangga (C), pembentukan modal tetap
23
bruto (I), konsumsi pemerintah (G), ekspor (X) dan impor (M). Sehingga PDRB
dirumuskan sebagai :
MXGICPDRB −+++= (2.3)
Pertumbuhan PDRB atau biasa disebut pertumbuhan ekonomi dirumuskan
sebagai:
1
1
−
−−=∆=t
tt
PDRB
PDRBPDRBPDRBy (2.4)
Dimana:
y = PDRB∆ = pertumbuhan ekonomi
tPDRB = PDRB tahun ke - t
1−tPDRB = PDRB tahun sebelumnya (t-1)
PDRB per kapita dirumuskan sebagai:
pendudukjumlah
PDRBy perkapita = (2.5)
Pertumbuhan PDRB per kapita dirumuskan sebagai:
1
1
−
−−=∆t
ttperkapita y
yyy (2.6)
Sukirno (2004) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah
perkembangan kegiatan ekonomi dari waktu ke waktu dan menyebabkan
pendapatan nasional riil berubah. Tingkat pertumbuhan ekonomi menunjukkan
persentase kenaikan pendapatan nasional riil pada suatu tahun tertentu
dibandingkan dengan pendapatan nasional riil pada tahun sebelumnya.
Pendapatan nasional ini dihitung berdasarkan jumlah seluruh output barang dan
jasa yang dihasilkan oleh perekonomian suatu negara.
Pengaruh program PEMP dalam penelitian ini diukur dengan melakukan
pendekatan kuantitatif pada indikator pembangunan ekonomi. Pertumbuhan
ekonomi seperti yang dijelaskan oleh Sukirno (2004) tersebut, merupakan
indikator yang tepat untuk digunakan dalam penelitian ini, yang dapat diukur
melalui nilai Produk Domestik Bruto (PDB) maupun Produk Domestik Regional
24
Bruto (PDRB). PDB maupun PDRB secara umum digunakan sebagai pendekatan
dalam mengukur kinerja pembangunan ekonomi (Sen, 1988).
PDB merupakan pendapatan total dan pengeluaran total nasional atas
output barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu negara. PDB dapat mengukur
pertumbuhan ekonomi suatu negara, karena PDB merupakan nilai tambah yang
merupakan refleksi dari seluruh kegiatan ekonomi di suatu negara (Mankiw,
2007). Nilai PDB ini merupakan indikator yang umum digunakan sebagai
gambaran tingkat pertumbuhan ekonomi suatu daerah.
2.1.5. Ketimpangan Pendapatan
Ketimpangan pendapatan adalah suatu kondisi dimana distribusi pendapatan
yang diterima masyarakat tidak merata. Ketimpangan ditentukan oleh tingkat
pembangunan, heterogenitas etnis, ketimpangan juga berkaitan dengan kediktatoran
dan pemerintah yang gagal menghargai property rights (Glaeser,2006).
Alesina dan Rodrik (1994) menyatakan bahwa ketimpangan pendapatan
akan menghambat pertumbuhan dan tentunya menyebabkan kebijakan redistribusi
pendapatan akan menjadi mahal.
Sumber: Bourguignon (2004)
Gambar 2.1. The Poverty-Growth-Inequality Triangle
Kemiskinan absolut dan penurunan kemiskinan
“Strategi Pembangunan”
Distribusi dan Perubahan Distribusi pendapatan
Tingkat pendapatan agregat dan pertumbuhan
25
Bourguignon (2004) menyatakan bahwa ketimpangan merujuk pada
adanya disparitas pendapatan relatif penduduk. Disparitas dalam pendapatan ini
didapat setelah menormalisasi seluruh pengamatan dengan rata-rata populasi
sehingga membuatnya sebagai skala yang independen terhadap pendapatan.
Ketimpangan pendapatan memiliki hubungan yang cukup erat dengan
pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan, sehingga dikembangkanlah kerangka
konseptual the poverty-growth-inequality triangle untuk melihat hubungan ketiga
variabel ini (Gambar 2.1).
Ketimpangan pendapatan terjadi apabila sebagian besar penduduk
memperoleh pendapatan yang rendah dan pendapatan yang besar hanya dinikmati
oleh sebagian kecil penduduk. Semakin besar perbedaan pendapatan yang
diterima masing-masing kelompok menunjukkan semakin besarnya ketimpangan.
Adanya ketimpangan yang tinggi antara kelompok kaya dan miskin menurut
Todaro dan Smith (2006) akan menimbulkan setidaknya dua dampak negatif
yaitu:
1. Terjadinya inefisiensi ekonomi. Hal ini dikarenakan semakin banyak
penduduk yang kesulitan mengakses kredit terutama penduduk miskin,
sedangkan penduduk kaya cenderung lebih konsumtif untuk barang mewah.
2. Melemahkan stabilitas dan solidaritas sosial.
Terdapat beragam ukuran dalam menilai ketimpangan pendapatan suatu
wilayah. Indeks gini adalah salah satu ukuran dalam mengukur ketimpangan,
selain itu terdapat beberapa ukuran lainnya, antara lain Indeks Theil, kriteria Bank
Dunia dan Indeks Williamson. Indeks gini merupakan ukuran ketimpangan yang
paling sering digunakan. Hal ini disebabkan penghitungan indeks gini yang relatif
mudah dan dapat menggunakan berbagai pendekatan baik pengeluaran atau
pendapatan, sehingga dapat mengukur perbedaan tingkat daya beli masyarakat
secara riil. Berdasarkan alasan tersebut, penelitian ini menggunakan indeks gini
dalam mengukur ketimpangan pendapatan.
Penghitungan indeks gini menggunakan data pengeluaran rumahtangga
yang dikumpulkan oleh BPS setiap tahun melalui SUSENAS (Survei Sosial
Ekonomi Nasional). Data nilai besarnya pengeluaran digunakan sebagai
26
pendekatan untuk menghitung pendapatan rumahtangga. Pendekatan ini
dianggap lebih mencerminkan keadaan sebenarnya, meskipun ada juga
kelemahan-kelemahan dari pendekatan ini.
Hidayat dan Patunru (2007) mengungkapkan bahwa penghitungan indeks
gini dengan menggunakan data pengeluaran cenderung lebih rendah daripada
indeks gini yang dihitung dengan data pendapatan. Hal ini karena data
pengeluaran kemungkinan hanya dapat menggambarkan besarnya pendapatan
pada penduduk berpendapatan rendah dan menengah, tetapi tidak untuk
penduduk berpendapatan tinggi.
Indeks gini adalah ukuran ketimpangan agregat yang nilainya berkisar antara
nol dan satu. Nilai indeks gini 0 (nol) artinya tidak ada ketimpangan (pemerataan
sempurna) sedangkan nilai 1 (satu) artinya ketimpangan sempurna. Ketimpangan
pendapatan dalam masyarakat dapat dikelompokkan sebagai ketimpangan rendah,
sedang atau tinggi. Pengelompokkan ini sesuai dengan ukuran ketimpangan yang
digunakan. Nilai indeks gini pada negara-negara yang ketimpangannya tinggi
berkisar antara 0,50 hingga 0,70, sedangkan untuk negara-negara yang distribusi
pendapatanya relatif merata, nilainya antara 0,20 hingga 0,35 (Todaro dan Smith,
2006).
Indeks gini dihitung dengan menggunakan Kurva Lorenz. Indeks gini
dirumuskan sebagai rasio antara luas bidang yang terletak antara Kurva Lorenz dan
garis diagonal (luas bidang A) dengan luas separuh segi empat dimana Kurva
Lorenz berada (luas bidang BCD). Rumusan ini di ilustrasikan pada Gambar 2.2. di
bawah ini.
.
(2.7)
Indeks Gini = Luas bidang A
Luas bidang BCD
27
Sumber: Todaro dan Smith (2006)
Gambar 2.2. Kurva Lorenz
Cara lain untuk menghitung Indeks Gini adalah dengan menggunakan
formula berikut (Wodon dan Yitzhaki, 2002):
y
FyCovGini
),(2= (2.8)
dimana:
y = pendapatan individu atau rumahtangga
F = rank individu atau rumahtangga dalam distribusi pendapatan
(nilainya antara 0 = paling miskin dan 1 = paling kaya)
y = pendapatan rata-rata
Indeks Gini relatif mudah untuk diinterpretasikan. Misalkan diketahui Indeks
Gini dalam suatu masyarakat adalah 0,4. Artinya, jika rata-rata pendapatan per
kapita masyarakat tersebut sebesar Rp 1 juta, maka ekspektasi perbedaan pendapatan
per kapita antara dua individu yang diambil secara acak akan sebesar Rp 0,4 juta (0,4
x Rp 1 juta).
Interpretasi melalui kurva Lorenz juga relatif mudah. Jika kurva Lorenz
terletak relatif jauh dari garis 450 , berarti ketimpangan besar. Semakin mendekati
garis 450, maka ketimpangan semakin kecil (semakin merata).
28
2.1.6. Tingkat Pengangguran Terbuka
Salah satu persoalan mendasar dalam aspek ketenagakerjaan adalah
pengangguran. Mulai tahun 2001 definisi pengangguran terbuka mengikuti
rekomendasi International Labour Organization (ILO). Pengangguran Terbuka
(Open Unemployment) adalah orang yang masuk dalam angkatan kerja (15 tahun
keatas) yang sedang mencari pekerjaan, yang mempersiapkan usaha, yang tidak
mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan dan yang
sudah punya pekerjaan tetapi belum mulai bekerja, dan pada waktu yang
bersamaan mereka tidak bekerja (jobless). Penghitungan Tingkat Pengangguran
Terbuka (TPT) menggunakan data ketenagakerjaan yang dikumpulkan oleh
BPS setiap tahun melalui SAKERNAS (Survei Angkatan Kerja Nasional).
TPT dihitung dengan rumus:
(2.9)
Selain pengangguran terbuka, juga dikenal istilah Setengah Pengangguran
(Under Unemployment) yaitu tenaga kerja yang tidak bekerja secara optimal yang
bekerja kurang dari 35 jam selama seminggu. Permasalahan pengangguran dan
setengah pengangguran ini merupakan persoalan serius karena dapat
menyebabkan tingkat pendapatan nasional dan tingkat kemakmuran masyarakat
tidak mencapai potensi maksimal.
Pengangguran dapat dibedakan beberapa jenis berdasarkan penyebabnya
antara lain :
a. Pengangguran Struktural adalah pengangguran yang terjadi karena adanya
perubahan dari struktur perekonomian. Penduduk yang tidak mempunyai
keahlian yang cukup untuk memasuki sektor baru sehingga mereka
menganggur. Contoh : Para petani kehilangan pekerjaan karena daerahnya
berubah fungsi dari daerah agraris menjadi daerah industri.
b. Pengangguran Siklus adalah pengangguran yang terjadi karena menurunnya
kegiatan perekonomian (seperti resesi) sehingga menyebabkan berkurangnya
permintaan masyarakat.
c. Pengangguran Musiman adalah pengangguran yang muncul akibat adanya
pergantian musim misalnya pergantian musim panen ke musim tanam.
29
d. Pengangguran friksional adalah pengangguran yang muncul akibat adanya
ketidaksesuaian antara pemberi kerja dan pencari kerja.
e. Pengangguran teknologi adalah pengangguran yang terjadi karena adanya
penggunaan alat-alat teknologi yang semakin modern sebagai subtitusi tenaga
kerja manusia.
2.1.7. Konsep Kemiskinan
Berbagai konsep mengenai kemiskinan dikemukakan oleh para ahli,
diantaranya Bellinger (2007) yang berpendapat bahwa kemiskinan memiliki dua
dimensi yaitu dimensi pendapatan dan non pendapatan. Kemiskinan dalam
dimensi pendapatan didefinisikan sebagai keluarga yang memiliki pendapatan
rendah, sedangkan dari dimensi non pendapatan ditandai dengan adanya
ketidakmampuan, ketiadaan harapan, tidak adanya perwakilan dan kebebasan.
Kemiskinan dari sisi pendapatan lebih sering didiskusikan karena lebih mudah
diukur, dan dapat dibedakan menjadi kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut.
Todaro dan Smith (2006) berpendapat bahwa kemiskinan absolut adalah
sejumlah penduduk yang tidak mampu mendapatkan sumberdaya yang cukup
untuk memenuhi kebutuhan dasar. Mereka hidup di bawah tingkat pendapatan riil
minimum tertentu, atau dapat dikatakan hidup di bawah garis kemiskinan
internasional, selain kemiskinan absolut, beberapa ekonom mencoba
mengkalkulasikan indikator jurang kemiskinan total yang mengukur pendapatan
total yang diperlukan untuk mengangkat mereka yang masih di bawah garis
kemiskinan ke atas garis tersebut. Kemiskinan relatif merupakan ukuran mengenai
kesenjangan di dalam distribusi pendapatan, biasanya berkaitan dengan ukuran di
bawah tingkat rata-rata distribusi pendapatan nasional, gini rasio merupakan salah
satu contoh ukuran kemiskinan relatif.
Bank Dunia (1990) menyatakan bahwa garis kemiskinan berbeda untuk
tiap negara, tetapi yang umum dijadikan standar untuk membandingkan antar
negara adalah garis kemiskinan internasional yang menggunakan pendapatan
perkapita sebesar US$ 1 per hari. US dollar yang digunakan adalah US $ PPP
(Purchasing Power Parity), bukan nilai tukar resmi (exchange rate). Studi yang
dilakukan oleh Chen dan Ravallion (2008) menyatakan bahwa menurut standar
30
PPP dari International Comparison Program (ICP) tahun 2005 bahwa garis
kemiskinan internasional sebesar US$ 1 per hari tidak lagi sesuai dengan nilai
PPP tahun 2005, untuk itu Chen dan Ravallion menyatakan bahwa garis
kemiskinan internasional yang lebih tepat dengan menggunakan nilai PPP tahun
2005 dari ICP adalah sebesar US$ 1,25 per hari.
Badan Pusat Statistik (2007) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi
seseorang yang hanya dapat memenuhi makannya kurang dari 2100 kalori
perkapita per hari yang setara dengan beras 320 kg/kapita/tahun di pedesaan dan
480 kg/kapita/tahun di daerah perkotaan. Garis kemiskinan yang ditetapkan BPS
pada tahun 2008 sebesar Rp 204,896 untuk daerah perkotaan dan Rp 161,831
untuk daerah pedesaan. Garis kemiskinan juga berbeda-beda untuk tiap daerah
tergantung besarnya biaya hidup minimum masing-masing daerah. Penghitungan
indikator kemiskinan yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tidak
terbatas pada jumlah dan persentase penduduk miskin, BPS juga menghitung rasio
kedalaman kemiskinan (poverty gap ratio) dan Indeks keparahan kemiskinan
(poverty severity index) dengan menggunakan metode Foster-Greer-Thorbecke
(FGT), yang dirumuskan sebagai:
∑=
−=
q
1i
i
z
yz
N
1P
αααα
αααα (2.10)
dimana:
z = besarnya garis kemiskinan yang ditetapkan.
N = jumlah penduduk.
q = banyaknya penduduk yang di bawah garis kemiskinan.
yi = rata-rata pengeluaran perkapita sebulan penduduk yang berada di
bawah garis kemiskinan (i = 1, 2, 3, .......q), yi < q.
α = 0,1 dan 2.
Jika α = 0 maka diperoleh persentase penduduk miskin (P0); jika α = 1
adalah Indeks kedalaman kemiskinan (P1); dan jika α = 2 adalah Indeks keparahan
kemiskinan (P2). Indeks kedalaman kemiskinan P1 merupakan ukuran rata-rata
kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap batas
kemiskinan. Semakin tinggi nilai P1 berarti semakin besar kesenjangan
pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan atau menunjukkan
31
kehidupan ekonomi penduduk miskin semakin terpuruk. Sedangkan P2 sampai
batas tertentu dapat memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran di
antara penduduk miskin, dan dapat juga untuk mengetahui intensitas kemiskinan.
Metode penghitungan penduduk miskin yang dilakukan BPS sejak
pertama kali hingga saat ini menggunakan pendekatan yang sama yaitu
pendekatan kebutuhan dasar (basic needs). Dengan pendekatan ini, kemiskinan
dikonseptualisasikan sebagai ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar.
Dengan kata lain, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi
ekonomi untuk memenuhi kebutuhan makanan maupun non makanan yang
bersifat mendasar.
Beberapa ahli yang mendalami masalah kemiskinan membagi ukuran
kemiskinan tidak hanya berdasarkan P1 dan P2 saja, namun berdasarkan tipe
kemiskinan. Tipe kemiskinan menurut Jalan dan Ravallion (1998) dapat
dibedakan menjadi dua jenis, yaitu chronic poverty dan transient poverty.
Kemiskinan kronis (chronic poverty) dapat diartikan kondisi dimana suatu
individu yang tergolong miskin pada suatu waktu, kemiskinannya terus meningkat
dan berada pada tingkat kesejahteraan yang rendah dalam jangka panjang.
Kemiskinan sementara (transient poverty) adalah kondisi kemiskinan yang terjadi
pada suatu waktu hanya bersifat sementara (tidak permanen), yang dikarenakan
penurunan standar hidup individu dalam jangka pendek. Kebijakan yang berbeda
diperlukan dalam menangani kedua tipe kemiskinan ini. Investasi jangka panjang
untuk orang miskin seperti peningkatan modal fisik maupun modal manusia
merupakan kebijakan yang sesuai untuk menangani kemiskinan chronic poverty,
sedangkan asuransi dan skema stabilisasi pendapatan yang memproteksi
rumahtangga dari guncangan ekonomi (economic shocks) akan menjadi kebijakan
yang penting ketika tipe kemiskinan yang terjadi adalah transient poverty.
32
2.2. Tinjauan Penelitian Terdahulu
2.2.1. Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP)
Penelitian mengenai program PEMP pernah dilakukan oleh Subagio
(2007) dengan tujuan untuk menganalisis dampak PEMP terhadap pendapatan
sasaran program dan mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan
sasaran program. Hasilnya menunjukkan bahwa program PEMP di Subang dan
Cirebon memberikan dampak nyata pada peningkatan pendapatan masyarakat.
Bandjar (2009) meneliti tentang program PEMP dari sisi strategi peningkatan
mutu program PEMP di Kabupaten Maluku Tenggara. Dalam penelitiannya,
Bandjar menggunakan 5 elemen kinerja program antara lain kelembagaan PEMP,
pengelolaan Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir (LEPP), kapasitas
pemanfaat, kemitraan dan pemangku kepentingan. Analisis yang digunakan adalah
Multi Dimentional Scalling (MDS) yang hasilnya menunjukkan bahwa kinerja
program PEMP secara menyuluruh tergolong cukup.
Penelitian Astuti (2004) mengenai Manfaat PEMP terhadap Pendapatan
Masyarakat Nelayan Tradisional di Kabupaten Lamongan memberikan hasil
bahwa selisih pendapatan sesudah dan sebelum mengikuti program PEMP
terdapat perbedaan peningkatan pendapatan nelayan dengan taraf signifikansi
sebesar 0,037.
Penelitian mengenai adanya program PEMP tidak selalu memberikan hasil
yang positif, terutama dari sisi mekanisme pengelolaan program pelaksanaannya.
Kajian yang dilakukan oleh Aisyah et. al. (2010) mengenai Prestasi Program
PEMP di Jakarta Utara diperoleh temuan sebagai berikut: 1)Pelaksanaan program di
tingkat kabupaten dan kecamatan tidak sesuai prosedur yang sudah ditentukan. 2)
Hasil evaluasi menunjukkan bahwa Dana Ekonomi Produktif banyak dimanfaatkan
oleh pedagang yang tidak miskin. 3) Masyarakat pesisir tidak mampu untuk
mengajukan pinjaman, jika meminjam umumnya tidak mampu untuk melunasi
pinjaman.
33
2.2.2. Hubungan antara Pertumbuhan Ekonomi dengan Ketimpangan
Pendapatan
Penelitian mengenai hubungan korelasi yang positif antara pertumbuhan
ekonomi dengan ketimpangan pendapatan dilakukan dengan fokus negara
tunggal. Ravallion dan Datt (1996) menggunakan data time series (1951-1991),
melakukan penelitian di India mengenai dampak pertumbuhan ekonomi sektoral
dan migrasi dari desa ke kota terhadap kemiskinan di daerah perkotaan dan
perdesaan. Sebagai pendekatan pendapatan per kapita, digunakan jumlah produk
domestik (GDP) riil per kapita, sedangkan indikator ketimpangan pendapatan
menggunakan indeks gini yang dihitung berdasarkan konsumsi per kapita. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa selama periode tersebut, rata-rata pendapatan
per kapita meningkat. Sementara itu, pada waktu yang bersamaan tingkat
ketimpangan pendapatan terjadi kecenderungan penurunan.
Wodon (1999) dengan menggunakan spesifikasi model data panel dalam
bentuk log-log dan melibatkan 70 observasi secara nasional (30 observasi untuk
daerah perkotaan dan 40 observasi untuk daerah perdesaan) selama periode tahun
1983-1996, juga melakukan penelitian mengenai pertumbuhan ekonomi,
kemiskinan dan ketimpangan pendapatan baik secara nasional maupun menurut
daerah perkotaan dan daerah perdesaan di Bangladesh. Untuk menggambarkan
hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan ketidakmerataan, Wodon
mengajukan model:
Log Gkt = αk + β Log Rkt + ξkt (2.11)
dimana:
Gkt : indeks Gini untuk area ke k-periode ke t,
Rkt : pertumbuhan ekonomi untuk area ke k periode ke t,
αk : common/fixed/random effect untuk area ke k,
ξkt : disturbance term
Berdasarkan hasil penelitiannya, Wodon menyimpulkan bahwa terdapat
hubungan korelasi yang positif antara pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan
pendapatan baik secara nasional maupun di daerah perkotaan, dimana nilai
estimasi parameternya untuk daerah perkotaan lebih besar daripada secara
34
nasional. Sedangkan untuk daerah perdesaan tidak terdapat hubungan yang
sistematik antara pertumbuhan ekonomi dengan ketidakmerataan pendapatan.
Ketimpangan pendapatan yang telah diterima oleh berbagai kelompok
masyarakat (kondisi awal), dalam jangka panjang akan mengakibatkan terjadinya
ketimpangan dalam distribusi kekayaan. Ketimpangan ini mendorong terjadinya
perbedaan baik dalam kepemilikan aset dan tabungan masyarakat (investasi) serta
status sosial-politik, bahkan dapat mendorong terjadinya ketidakstabilan politik.
Penelitian yang telah dilakukan peneliti-peneliti berikut ini telah menunjukkan
adanya pengaruh dari ketimpangan terhadap pertumbuhan ekonomi.
Alesina dan Rodrik (1994), melakukan penelitian mengenai pengaruh dari
ketidakmerataan pendapatan terhadap pertumbuhan ekonomi melalui ekonomi
politik, yaitu dengan menggunakan indeks Gini pendapatan dan kepemilikan
tanah sebagai dua indikator ketidakmerataan. Hasilnya ketidakmerataan
pendapatan dan kepemilikan tanah mempunyai korelasi negatif dengan laju
pertumbuhan ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa ketidakmerataan pendapatan
dan kepemilikan tanah yang semakin membesar akan mengurangi laju
pertumbuhan ekonomi selanjutnya.
Alesina dan Perotti (1996), meneliti pengaruh ketidakmerataan pendapatan
terhadap pertumbuhan ekonomi melalui ketidakstabilan politik dan investasi.
Hasilnya ketidakmerataan pendapatan meningkatkan ketidakstabilan politik dan
pada gilirannya menurunkan investasi. Konskwensinya, ketidakmerataan
pendapatan dengan investasi mempunyai mempunyai hubungan korelasi yang
negatif. Karena investasi adalah pendorong utama dari pertumbuhan ekonomi,
maka peningkatan ketidakmerataan pendapatan akan menurunkan laju
pertumbuhan ekonomi .
Chambers (2003), meneliti hubungan antara ketidakmerataan pendapatan,
investasi dan pengeluaran pemerintah dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan
ekonomi. Hasilnya adalah tanpa investasi dan atau pengeluaran pemerintah yang
cukup, ketidakmerataan pendapatan yang lebih tinggi justru meningkatkan
pertumbuhan ekonomi selanjutnya. Akan tetapi, jika investasi dan atau
pengeluaran pemerintah adalah hal yang substansil, ketimpangan pendapatan yang
lebih tinggi boleh jadi mengurangi pertumbuhan ekonomi selanjutnya.
35
2.2.3. Hubungan antara Tingkat Kemiskinan, Pertumbuhan Ekonomi dan
Ketimpangan Pendapatan
Dalam penelitiannya mengenai kemiskinan di daerah pedesaan di
Republik Rakyat China (RRC), Lin (2003) menggunakan data time series yang
terdiri dari data pendapatan bersih per kapita, indeks gini, dan berbagai ukuran
kemiskinan, serta dengan mengasumsikan bahwa distribusi pendapatan mengikuti
suatu pola distribusi log normal dan dengan melakukan dekomposisi indeks
pengurangan kemiskinan menurut pendapatan per kapita dan ketimpangan
pendapatan. Lin (2003) menemukan fakta bahwa pertumbuhan ekonomi yang
terjadi di RRC antara tahun 1985 dan 2001 selain mengurangi kemiskinan juga
meningkatkan ketimpangan yang pada akhirnya mengurangi efektifitas
pengurangan kemiskinan.
Telah diuraikan pada bagian sebelumnya bahwa pertumbuhan ekonomi
mempunyai pengaruh yang positif terhadap pengurangan kemiskinan, yang berarti
terdapat hubungan korelasi negatif antara pertumbuhan ekonomi dengan angka
kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi juga diasosiasikan dengan ketidakmerataan
pendapatan, dimana meningkatnya ketidakmerataan pendapatan akan mengurangi
efektifitas pengurangan kemiskinan, terdapat trade-off antara ketidakmerataan
pendapatan dengan pengurangan kemiskinan. Untuk itu telah banyak dilakukan
penelitian dengan tujuan melakukan dekomposisi terhadap pengurangan
kemiskinan, yaitu yang berasal dari pertumbuhan ekonomi dan dari ketimpangan
pendapatan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Lin (2003) di daerah perdesaan
(RRC) menunjukkan adanya konsistensi terhadap komposisi penyebab terjadi
penurunan kemiskinan, dimana pertumbuhan ekonomi selalu mengurangi
kemiskinan sedangkan ketidakmerataan pendapatan juga selalu mengurangi
efektifitas pengurangan kemiskinan yang disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi.
Adam (2004) melakukan penelitian mengenai elastisitas kemiskinan
terhadap pertumbuhan ekonomi (komponen pengurangan kemiskinan yang
berasal dari pertumbuhan ekonomi), yaitu dengan menggunakan panel data 60
negara berkembang (tidak termasuk negara-negara Eropa Timur dan Asia
Tengah), garis kemiskinan sebesar 1 Dollar/ kapita/ hari, dan dengan model first
36
difference log-log. Penelitiannya menghasilkan kesimpulan bahwa elastisitas
kemiskinan terhadap pertumbuhan ekonomi mempunyai nilai berbeda tergantung
proxy terhadap data pertumbuhan ekonomi yang digunakannya. Jika
menggunakan data konsumsi, elastisitasnya adalah -2,79, yang berarti bahwa
kenaikan 10 persen dari konsumsi akan menurunkan kemiskinan sebesar 27,9
persen. Sedangkan bila pertumbuhan ekonomi diukur dengan menggunakan data
perubahan GDP per kapita akan menghasilkan elastisitas sebesar -2,27 (tidak
signifikan).
Wodon (1999) juga melakukan dekomposisi terhadap pengurangan
kemiskinan, yaitu dengan mengukur elastisitas (gross) dari kemiskinan terhadap
pertumbuhan ekonomi (J),elastisitas dari ketidakmerataan pendapatan terhadap
pertumbuhan ekonomi (E), elastisitas dari kemiskinan terhadap ketidakmerataan
pendapatan (G ) dan elastisitas (net) dari kemiskinan terhadap pertumbuhan
ekonomi (O ). Untuk mengukur elastisitas-elastisitas tersebut diatas, Wodon
menggunakan model sebagai berikut:
Log Pkt = ϖ k + γ LogRkt + δ LogGkt + vkt (2.12)
dimana:
ktP : angka kemiskinan (Head Count Index) untuk area ke k, periode ke t,
Rkt : Pertumbuhan ekonomi untuk area ke k, periode ke t,
Gkt : Indeks Gini untuk area ke k, periode ke t,
kϖ : common/fixed/random effect untuk area ke k,
vkt : disturbance term
Hasil penelitian Wodon untuk angka kemiskinan (HCI) dengan
menggunakan batas bawah dari garis kemiskinan dan model fixed effect, terlihat
adanya konsistensi arah (positif/negatif) untuk setiap estimasi parameter
elastisitas baik secara nasional, daerah perkotaan maupun untuk daerah perdesaan.
Namun ada parameter yang tidak signifikan untuk daerah perdesaan, yaitu
parameter antara pertumbuhan ekonomi dengan ketidakmerataan pendapatan.
Pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap penurunan kemiskinan lebih terasa
didaerah perdesaan daripada secara nasional maupun daerah perkotaan.
37
2.2.4. Hubungan antara Kemiskinan, Pertumbuhan Ekonomi, Ketimpangan
Pendapatan dan Pengangguran
Model regresi yang dipakai untuk menjelaskan hubungan antara
kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan dan pengangguran
mengacu kepada model yang dikembangkan oleh Xin Meng dkk pada tahun
2005 dalam penelitiannya yang berjudul “Poverty, Inequality, and Growth in
Urban China, 1986-2000”. Dalam penelitiannya, Xin Meng et. al. (2005)
mengembangkan suatu model kemiskinan, dalam modelnya tersebut kemiskinan
merupakan fungsi dari pendapatan, tingkat ketimpangan, tingkat tabungan, tingkat
kenaikan harga, persentase pengeluaran untuk pendidikan, perumahan dan
kesehatan terhadap total pengeluaran serta fungsi dari suatu variabel kontrol
dalam hal ini pengangguran.
Mengacu kepada model Xin Meng, model persamaan regresi yang
dibentuk yaitu untuk peubah tidak bebas (dependent variable) digunakan
persentase penduduk miskin sedangkan peubah bebasnya (independent variable)
adalah PDRB harga konstan, gini rasio, tingkat pengangguran terbuka (TPT).
Data yang digunakan adalah data kabupaten/kota (cross section).
Model selengkapnya adalah sebagai berikut:
P0it = β 0 + β 1 * (PDRBit ) + β 2 * (Giniit) + β 3* (TPTit ) + eit (2.13)
dimana:
P0 = % penduduk miskin (Head Count Index)
PDRBHK = Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga konstan
Gini = Gini rasio
TPT = Tingkat Pengangguran Terbuka
i = Kabupaten/kota ke-i
t = Tahun pengamatan
eit = disturbance term
38
2.3. Kerangka Pemikiran
Untuk mendapatkan keterkaitan antara program PEMP dengan
pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan, pengangguran dan kemiskinan,
berikut dalam penelitian ini disampaikan kerangka penelitian yang dibangun
(Gambar 2.3).
Gambar 2.3. Kerangka Pemikiran Penelitian
IMPLEMENTASI PROGRAM PEMP
ANALISIS DATA PANEL
ANALISIS PRO POOR GROWTH /GIC
ANALISIS KUADRAN
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Kesimpulan dan Saran
Dinamika Kabupaten/Kota Pesisir
(ANALISIS DESKRIPTIF)
Perekonomian Penyerapan Tenaga Kerja
Peningkatan Pendapatan Riil/Konsumsi Maasyarakat
Peningkatan Pertumbuhan Penurunan
Pengangguran Penurunan Ketimpangan
Pendapatan
PROGRAM PEMP DI KABUPATEN PESISIR
KEBIJAKAN KKP (3 PILAR PEMBANGUNAN KKP)
Penurunan Kemiskinan
39
2.4. Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang disusun dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Program PEMP dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi tingkat regional di
kabupaten/kota pesisir.
2. Program PEMP mampu menurunkan ketimpangan pendapatan masyarakat di
kabupaten/kota pesisir.
3. Program PEMP dapat menurunkan pengangguran melalui penciptaan
lapangan pekerjaan masyarakat di kabupaten/kota pesisir.
4. Program PEMP dapat menurunkan kemiskinan di kabupaten/kota pesisir.
5. Terdapat pola hubungan antara program PEMP, pertumbuhan ekonomi,
ketimpangan pendapatan, pengangguran dan kemiskinan di kabupaten/kota
pesisir.