II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kebijakan Publik, Implementasi ...digilib.unila.ac.id/6412/15/BAB II.pdf ·...

32
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kebijakan Publik, Implementasi Kebijakan Publik, dan Analisis Kebijakan Publik 1. Kebijakan Publik Istilah kebijakan publik adalah terjemahan istilah “Public Policy”. Kata “policy” ada yang menerjemahkan menjadi “kebijakan” (Wibawa, 1994; Darwin; dalam Lembaga Administrasi Negara (LAN), 2008: 4) dan ada juga yang menerjemahkan menjadi “kebijaksanaan” (Islamy, 2001; Wahab, 1990; dalam LAN, 2008: 4). Saat ini kecenderungan untuk “policy” diartikan dalam istilah “kebijakan” (LAN, 2008: 4). Pengertian kebijakan publik dapat dilihat dari beberapa pendapat para ahli, antara lain sebagai berikut. a. Menurut Thomas R. Dye (LAN, 2008: 4-5), “Public policy is whatever the goverment choose to do or not to do” (Kebijakan publik adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu). Menurut Dye, apabila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu, maka tentunya ada tujuannya, karena kebijakan publik merupakan tindakan pemerintah. Apabila pemerintah memilih untuk tidak melakukan sesuatu, ini merupakan kebijakan publik yang tentunya ada tujuannya.

Transcript of II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kebijakan Publik, Implementasi ...digilib.unila.ac.id/6412/15/BAB II.pdf ·...

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kebijakan Publik, Implementasi Kebijakan Publik, dan

Analisis Kebijakan Publik

1. Kebijakan Publik

Istilah kebijakan publik adalah terjemahan istilah “Public Policy”. Kata “policy”

ada yang menerjemahkan menjadi “kebijakan” (Wibawa, 1994; Darwin; dalam

Lembaga Administrasi Negara (LAN), 2008: 4) dan ada juga yang

menerjemahkan menjadi “kebijaksanaan” (Islamy, 2001; Wahab, 1990; dalam

LAN, 2008: 4). Saat ini kecenderungan untuk “policy” diartikan dalam istilah

“kebijakan” (LAN, 2008: 4).

Pengertian kebijakan publik dapat dilihat dari beberapa pendapat para ahli, antara

lain sebagai berikut.

a. Menurut Thomas R. Dye (LAN, 2008: 4-5), “Public policy is whatever the

goverment choose to do or not to do” (Kebijakan publik adalah apapun

pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu).

Menurut Dye, apabila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu, maka

tentunya ada tujuannya, karena kebijakan publik merupakan tindakan

pemerintah. Apabila pemerintah memilih untuk tidak melakukan sesuatu, ini

merupakan kebijakan publik yang tentunya ada tujuannya.

11

b. Menurut James E. Anderson (LAN, 2008: 5), “Public policies are those

policies developed by governmental bodies and official” (Kebijakan publik

adalah kebijakan-kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan

pejabat-pejabat pemerintah).

c. Menurut David Easton (LAN, 2008: 5), “Public policy is the authoritative

allocation of values for the whole society” (Kebijakan publik adalah

pengalokasian nilai-nilai secara sah kepada seluruh anggota masyarakat).

Adapun berdasarkan pendapat-pendapat para ahli di atas mengenai pengertian

kebijakan publik, maka dapat disimpulkan kebijakan publik merupakan kebijakan

yang dibuat oleh pemerintah yang berupa tindakan-tindakan pemerintah.

Kebijakan tersebut diartikan baik untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu

dengan mempunyai tujuan tertentu dan ditujukan untuk kepentingan masyarakat.

Menurut James L. Anderson dalam LAN (2008: 6-8), jenis-jenis kebijakan publik

dapat dikelompokkan, antara lain sebagai berikut.

a. Substantive and Procedural Policies

Substantive policy yang dimaksud adalah suatu kebijakan yang dilihat dari

substansi masalah yang dihadapi oleh pemerintah, seperti kebijakan

pendidikan, kebijakan ekonomi, dan lain sebagainya.

Procedural policy yang dimaksud adalah suatu kebijakan yang dilihat dari

pihak-pihak yang terlibat dalam perumusannya (policy stakeholders).

12

Adapun dalam hal ini pembuatan suatu kebijakan publik meskipun ada

instansi/organisasi pemerintah yang secara fungsional berwenang

membuatnya, tetapi dalam pelaksanaan pembuatannya banyak

instansi/organisasi lain yang terlibat.

b. Distributive, Retributive, and Regulatory Policies

Distributive policy yang dimaksud adalah suatu kebijakan yang mengatur

tentang pemberian pelayanan atau keuntungan kepada individu-individu,

kelompok-kelompok, atau perusahaan-perusahaan.

Retributive policy yang dimaksud adalah suatu kebijakan yang mengatur

tentang pemindahan alokasi kekayaan, kepemilikan, atau hak-hak.

Contohnya adalah kebijakan tentang pembebasan tanah untuk kepentingan

umum.

Regulatory policy yang dimaksud adalah suatu kebijakan yang mengatur

tentang pembatasan atau pelarangan terhadap perbuatan atau tindakan.

Contohnya adalah kebijakan tentang larangan memiliki dan menggunakan

senjata api.

c. Material Policy

Material policy yang dimaksud adalah suatu kebijakan yang mengatur

tentang pengalokasian/penyediaan sumber-sumber material yang nyata bagi

penerimanya.

13

d. Public Goods and Private Goods Policies

Public goods policy yang dimaksud adalah suatu kebijakan yang mengatur

tentang penyediaan barang-barang atau pelayanan-pelayanan oleh

pemerintah, untuk kepentingan orang banyak. Contohnya kebijakan tentang

perlindungan keamanan dan penyediaan jalan umum.

Private goods policy yang dimaksud adalah suatu kebijakan yang mengatur

tentang penyediaan barang-barang atau pelayanan-pelayanan oleh pihak

swasta, untuk kepentingan individu-individu (perorangan) di pasar bebas

dengan imbalan. Contohnya kebijakan pengadaan tempat hiburan, hotel, dan

lain sebagainya.

Menurut Hogwood dan Gunn dalam LAN (2008: 8-10), istilah “kebijakan” dapat

dikelompokkan berdasarkan penggunaannya, antara lain sebagai berikut.

a. Kebijakan sebagai label untuk suatu bidang kegiatan tertentu. Dalam konteks

ini kata kebijakan digunakan untuk menjelaskan bidang kegiatan di mana

pemerintah terlibat didalamnya, seperti kebijakan ekonomi atau kebijakan

luar negeri.

b. Kebijakan sebagai ekspresi mengenai tujuan umum atau keadaan yang

dikehendaki. Di sini kebijakan digunakan untuk menyatakan kehendak dan

kondisi yang dituju. Contohnya pernyataan tentang tujuan pembangunan di

bidang sumberdaya manusia untuk menunjukkan aparatur yang bersih.

c. Kebijakan sebagai proposal di bidang tertentu. Dalam konteks ini, kebijakan

lebih berupa proposal, contohnya usulan Rancangan Undang-Undang (RUU)

14

di Bidang Keamanan dan Pertahanan atau RUU tentang Kepegawaian. Di

dalam kebijakan tersebut dijelaskan tujuan dan cara mencapai tujuan.

d. Kebijakan sebagai keputusan yang dibuat oleh pemerintah. Sebagai contoh

adalah keputusan untuk melaksanakan perombakan terhadap sistem

administrasi negara. Keputusan tersebut masih perlu dituangkan dalam

bentuk Peraturan Perundang-undangan.

e. Kebijakan sabagai pengesahan formal (formal authorization). Di sini

kebijakan tidak lagi dianggap sebagai usulan, namun keputusan yang salah.

Sebagai contoh Undang-Undang (UU) Nomor 22/1999 yang merupakan

keputusan yang sah dalam rangka penyerahan sebagian urusan pusat ke

daerah.

f. Kebijakan sebagai program yaitu sebagai contoh program peningkatan

Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) yang menjelaskan kegiatan-kegiatan

yang akan dilakukan termasuk cara pengorganisasian, pelaksanaan, serta

pembiayaannya.

g. Kebijakan sebagai output, atau apa yang dihasilkan. Yang dimaksud di sini

adalah output yang akan dihasilkan dari suatu kegiatan. Sebagai contoh

pelayanan yang murah dan cepat atau Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang

profesional, dan lain sebagainya.

h. Kebijakan sebagai outcome, yaitu kebijakan yang menyatakan dampak yang

diharapkan dari suatu kegiatan, seperti pemerintahan yang efisien.

i. Kebijakan sebagai teori atau model. Kebijakan di sini menggambarkan

model dari suatu keadaan, dengan asumsi tentang apa yang dapat dilakukan

oleh pemerintah dan apa konsekwensi dari tindakan pemerintah tersebut.

15

Sebagai contoh, kalau pajak dinaikkan X%, maka revenue diperkirakan naik

Y% atau kalau X dilakukan maka dampak yang timbul adalah Y.

j. Kebijakan sebagai proses atau tahapan yang perlu dilaksanakan.

Menurut Makhya (2006: 83-84) ada beberapa aspek yang perlu dicermati dalam

memahami definisi kebijakan publik. Pertama, kebijakan publik adalah tindakan

yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah. Jadi, dalam pemahaman

ini, maka yang memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan adalah

pemerintah. Maka pihak swasta atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tidak

memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan publik. Kedua, tidak semua

tindakan pemerintah bisa dikategorikan dalam pengertian kebijakan publik.

Istilah publik, menjadi kata kunci untuk memberikan pengertian bahwa tindakan

pemerintah walaupun secara prosedural mengatasnamakan untuk kepentingan

publik, tetapi tindakannya bersifat kepentingan personal, maka tidak bisa

dikategorikan sebagai kebijakan publik. Ketiga, setiap kebijakan pemerintah

harus mengikat pada publik. Kebijakan-kebijakan yang tidak mengikat hanya

bersifat simbolis (Symbolic Policies). Keempat, kebijaksanaan pemerintah harus

ditujukan kepada kepentingan publik dan didasarkan pada tujuan-tujuan tertentu.

Adapun dalam hal ini, yang akan dikaji oleh peneliti adalah kebijakan

penggunaan lahan pesisir di Kabupaten Lampung Timur dan permasalahan yang

timbul akibat dari kebijakan tersebut. Kebijakan yang dimaksud adalah kebijakan

publik terhadap lingkungan (kebijakan lingkungan). Menurut Akib (2010: 27)

kebijakan lingkungan merupakan setiap tindakan yang dilakukan atau tidak

dilakukan pemerintah untuk mencapai tujuan dan sasaran tertentu di bidang

16

lingkungan serta bagaimana cara dan dengan sarana apa pengelolaan lingkungan

dilaksanakan untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut.

Agustino (2008: 29) membedakan antara pembuat kebijakan primer dan pembuat

kebijakan suplementer/sekunder/pendukung. Pembuat kebijakan primer adalah

aktor-aktor atau stakeholder yang mempunyai wewenang konstitusional langsung

untuk bertindak; misalnya, wewenang bertindak di parlemen yang tidak harus

tergantung pada unit pemerintah lainnya, sedangkan pembuat kebijakan

suplementer/sekunder/pendukung, seperti: instansi administrasi, harus mendapat

wewenang untuk bertindaknya dari lembaga yang lainnya (pembuat kebijakan

primer) dan karena itu, paling tidak secara potensial, ia tergantung atau dapat

dikendalikan oleh mereka (pembuat kebijakan primer).

Jika kita melihat dalam proses pembuatan kebijakan publik sangat berkaitan

dengan politik, karena tidak hanya dari kalangan pemerintah saja, akan tetapi dari

kalangan non pemerintah pun dapat mempengaruhi proses pembuatan kebijakan

publik. Kaelola (2009:258) menegaskan bahwa politik adalah segala kegiatan

untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan publik atau masyarakat

umum.Maka tidaklah mengherankan apabila terjadi suatu konflik kebijakan

karena setiap aktor pembuat kebijakan memiliki kepentingan yang berbeda-beda.

2. Implementasi Kebijakan Publik

Implementasi merupakan suatu proses yang dinamis, yang pelaksana

kebijakannya melalui aktivitas atau kegiatan pada akhirnya akan mendapatkan

17

suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kegiatan itu sendiri.

Implementasi kebijakan publik merupakan kajian mengenai pelaksanaan dari

suatu kebijakan pemerintah. Setelah sebuah kebijakan dirumuskan dan disetujui,

langkah berikutnya adalah bagaimana agar kebijakan tersebut dapat mencapai

tujuan. Implementasi dari suatu program melibatkan upaya-upaya policy maker

untuk mempengaruhi perilaku birokrat pelaksana agar bersedia memberikan

pelayanan dan mengatur perilaku kelompok sasaran (Subarsono, 2010: 87).

Kamus Webster (Wahab, 2005: 64) merumuskan implementasi secara pendek

bahwa yaitu “to implement (mengimplementasikan) berarti to provide the means

for carriying out; (menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu); to give

practical effect to (menimbulkan dampak atau akibat terhadap sesuatu)”.

Mazmanian dan Sabatier (Wahab, 2005: 65) menjelaskan makna implementasi

dengan mengatakan bahwa:

“Memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program

dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian

implementasi kebijaksanaan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-

kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman

kebijaksanaan negara, yang mencakup baik usaha-usaha untuk

mengadministrasikan maupun untuk menimbulkan akibat atau dampak

nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian.”

Keberhasilan suatu implementasi kebijakan dapat diukur atau dilihat dari proses

dan pencapaian tujuan hasil akhir (output), yaitu tercapai atau tidaknya tujuan-

tujuan yang ingin diraih. Hal ini tak jauh berbeda dengan apa yang diutarakan

oleh Gerindle (Agustino, 2008: 139) sebagai berikut:

18

“Pengukuran keberhasilan implementasi dapat dilihat dari prosesnya, dengan

mempertanyakan apakah pelaksanaan program sesuai dengan yang telah

ditentukan yaitu melihat pada action program tersebut tercapai.”

Sedangkan Meter dan Horn (Wahab, 2005: 65) merumuskan proses implementasi

sebagai:

“Tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu atau pejabat-

pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan

pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan

kebijaksanaan.”

Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa implementasi

kebijakan adalah suatu proses dalam penerapan atau pelaksanaan kebijakan

dengan berbagai metode dan sumberdaya-sumberdaya yang dibutuhkan untuk

mencapai suatu tujuan yang pada akhirnya akan terlihat dampak atau perubahan-

perubahan atas apa yang sudah dihasilkan oleh para implementor.

Terkait dengan konsep dan pengertian implementasi kebijakan, menurut

Linebery(dalam http://dickta. wordpress.com/author/dickta/di akses pada tanggal

5 November 2014 pukul21.11 WIB) mengatakan bahwa proses implementasi

setidak-tidaknya memiliki elemen-elemen sebagai berikut.

a. Pembentukan unit organisasi baru dan pelaksana

b. Penjabaran tujuan ke dalam berbagai aturan pelaksana (standard operating

procedures/SOP)

c. Koordinasi berbagai sumber dan pengeluaran pada kelompok sasaran,

pembagian tugas di dalam dan di antara dinas-dinas dan badan pelaksana

19

d. Pengalokasian sumber-sumber untuk mencapai tujuan.

Berdasarkan elemen-elemen di atas menunjukkan bahwa untuk mencapai suatu

keberhasilan dalam mengimplementasikan suatu kebijakan perlu adanya

koordinasi yang kuat di dalam suatu organisasi baik dalam pembagian tugas

maupun pemenuhan sumberdaya-sumberdaya yang dibutuhkan yang tentunya

harus disesuaikan dan dimuat dalam SOP (Standard Operating Procedures) yang

telah disepakati.

Implementasi melibatkan usaha dari policy maker untuk mempengaruhi apa yang

oleh Lipsky disebut “Street Level Bureaucrats” untuk memberikan pelayanan

atau mengatur perilaku kelompok sasaran. Untuk kebijakan yang sederhana,

implementasi hanya melibatkan satu badan yang berfungsi sebagai implementor.

Sebaliknya untuk kebijakan makro, usaha-usaha implementasi akan melibatkan

berbagai institusi, seperti birokrasi kabupaten, kecamatan, dan pemerintah desa.

Mengenai keterlibatan berbagai aktor dalam implementasi, Ripley dan Franklin

(Subarsono, 2010: 89) menulis sebagai berikut.

“Implementation process involve many important actor holding diffuse

and competing goals and expectations who work within a contexts of an

increasingly large and complex mix of goverment programs that require

perticippation from numerous layers and units of goverment and who are

affected by powerful factors beyond their control”.

Sebuah kebijakan tidak selamanya dapat dilaksanakan dengan berjalan lancar

karena terdapat beberapa faktor penentu yang dapat mempengaruhinya yaitu

faktor penentu pemenuhan kebijakan dan faktor penentu penolakan atau

penundaan kebijakan. Faktor pemenuhan kebijakan terdiri dari respeknya anggota

masyarakat pada otoritas dan kepuasan pemerintah, adanya kesadaran untuk

20

menerima kebijakan, adanya sanksi hukum, adanya kepentingan publik, adanya

kepentingan pribadi, dan masalah waktu (Agustino, 2008: 157). Sedangkan faktor

penentu penolakan atau penundaan kebijakan terdiri dari adanya kebijakan yang

bertentangan dengan sistem nilai yang ada, tidak adanya kepastian hukum, adanya

keanggotaan seseorang dalam suatu organisasi, dan adanya konsep

ketidakpatuhan selektif terhadap hukum (Agustino, 2008: 160).

Kebijakan yang telah direkomendasikan untuk dipilih oleh policy maker bukanlah

jaminan bahwa kebijakan tersebut pasti berhasil dalam implementasinya.

Kompleksitas implementasi bukan saja ditunjukkan oleh banyaknya aktor atau

unit organisasi yang terlibat, tetapi juga dikarenakan proses implementasi

dipengaruhi oleh berbagai variabel yang kompleks, baik variabel yang individual

maupun variabel organisasional, dan diantaranya saling berinteraksi satu sama

lain. Untuk memperkaya pemahaman tentang berbagai variabel yang terlibat di

dalam implementasi, terdapat beberapa teori implementasi yaitu sebagai berikut.

a. Teori George C. Edward III (1980)

Menurut Edward (Subarsono, 2010: 90), implementasi kebijakan dipengaruhi oleh

4 (empat) variabel, antara lain sebagai berikut.

1) Komunikasi yaitu keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar

implementator mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi

tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran

(target group) sehingga akan mengurangi distorsi implementasi.

21

2) Sumberdaya adalah faktor penting untuk implementasi kebijakan agar efektif.

sumberdaya tersebut dapat berwujud sumberdaya manusia dan sumberdaya

finansial.

3) Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementator,

seperti komitmen, kejujuran, dan sifat demokratis.

4) Struktur birokrasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki

pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu aspek

struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi

standar (standard operating procedures atau SOP).

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam

mengimplementasikan suatu kebijakan sangat dipengaruhi oleh adanya

komunikasi yang jelas baik antar individu maupun lembaga yang terkait,

pemenuhan sumberdaya yang dibutuhkan, perilaku para implementor yang baik,

serta struktur birokrasi yang dinamis, artinya tidak kaku atau berbelit-belit.

b. Teori Merilee S. Grindle (1980)

Keberhasilan implementasi menurut Grindle (dalam Subarsono,2010: 93)

dipengaruhi oleh 2 (dua) variabel, antara lain sebagai berikut.

1) Isi kebijakan (content of policy) yang mencakup sejauh mana kepentingan

kelompok sasaran termuat dalam isi kebijakan, jenis manfaat yang diterima

oleh target groups, sejauh mana perubahan yang diinginkan dari sebuah

kebijakan, apakah letak sebuah program sudah tepat, apakah sebuah

22

kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan rinci, dan apakah

sebuah program didukung oleh sumberdaya yang memadai.

2) Lingkungan kebijakan yang mencakup seberapa besar kekuasaan,

kepentingan, dan strategi yang dimiliki oleh para aktor yang terlibat,

karakteristik institusi dan rezim yang sedang berkuasa, tingkat kepatuhan dan

responsivitas kelompok sasaran.

Keberhasilan implementasi suatu kebijakan publik dapat diukur dari proses

pencapaian hasil akhir (outcomes), yaitu tercapai atau tidaknya tujuan yang ingin

diraih. Hal ini dikemukakan oleh Grindle dalam Agustino (2008: 154),

pengukuran implementasi kebijakan tersebut dapat dilihat dari dua hal, yaitu:

pertama dilihat dari prosesnya, dengan mempertanyakan apakah pelaksanaan

kebijakan sesuai dengan yang ditentukan (design) dengan merujuk pada aksi

kebijakannya. Kedua apakah tujuan kebijakan tercapai.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam

mengimplementasikan suatu kebijakan harus terlihat jelas isi dari suatu kebijakan

tersebut dan mampu melihat situasi lingkungan kebijakan dengan

mempertimbangkan berbagai aspek yang dapat mempengaruhi proses

implementasinya serta faktor pendukung yang dibutuhkan dalam pencapaian

tujuan.

23

c. Teori Daniel S. Van Meter dan Carl E. Van Horn (1975)

Menurut Meter dan Horn (Subarsono, 2010: 99) ada 6 (enam) variabel yang

mempengaruhi kinerja implementasi, antara lain sebagai berikut.

1) Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat

direalisir.

2) Implementasi kebijakan perlu dukungan sumberdaya baik sumberdaya

manusia maupun sumberdaya non manusia.

3) Hubungan antar organisasi artinya sebuah program perlu dukungan dan

koordinasi dengan instansi lain.

4) Karakteristik agen pelaksana yaitu mencakup struktur birokrasi, norma-

norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang akan

mempengaruhi implementasi suatu program.

5) Kondisi sosial, politik, dan ekonomi yang mencakup sumberdaya ekonomi

lingkungan, kelompok kepentingan yang memberi dukungan, karakteristik

para partisipan, sifat opini publik.

6) Disposisi implementor yang mencakup respon implementor, pemahaman

terhadap kebijakan dan prefensi nilai yang dimiliki oleh implementor.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam

mengimplementasikan suatu kebijakan harus ada kejelasan standar dan sasaran

kebijakan, pemenuhan sumberdaya yang dibutuhkan, koordinasi yang kuat baik

antar individu dalam suatu organisasi maupun dengan instansi lain, disposisi

implementor yang baik, dan kondisi lingkungan yang mempengaruhinya.

24

d. Teori G. Shabbir Cheerna dan Dennis A. Roninelli (1983)

Menurut Cheerna dan Rondinelli (Subarsono, 2010: 101), ada 4 (empat)

kelompok variabel yang dapat mempengaruhi kinerja dan dampak suatu program,

yakni kondisi lingkungan, hubungan antar organisasi, sumberdaya organisasi

untuk implementasi program, serta karakteristik dan kemampuan agen pelaksana.

e. Teori David L. Weimer dan Aidan R. Vining (1999)

Menurut Weimer dan Vining (Subarsono, 2010: 103), ada 3 (tiga) kelompok

variabel besar yang dapat mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu

program, antara lain sebagai berikut.

1) Logika sari suatu kebijakan yang dimaksudkan agar suatu kebijakan yang

ditetapkan masuk akal (reasonable) dan mendapat dukungan teoritis.

2) Lingkungan tempat kebijakan dioperasikan akan mempengaruhi keberhasilan

implementasi yang mencakup lingkungan sosial, politik, ekonomi, hankam,

dan fisik atau geografis.

3) Kemampuan implementor artinya keberhasilan suatu kebijakan dapat

dipengaruhi oleh tingkat kompetensi dan keterampilan dari para implementor

kebijakan.

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam

mengimplementasikan suatu kebijakan harus sesuai dengan logika artinya apakah

kebijakan itu masuk akal atau tidak untuk diterapkan, sehingga dapat diterima

oleh masyarakat di lingkungan tempat kebijakan tersebut diimplementasikan.

Oleh karena itu, lingkungan juga dapat mempengaruhi proses implementasi.

25

Selain itu juga harus didukung oleh sumberdaya manusia yang berkualitas, artinya

dituntut pada implementor yang berkompeten dalam menjalankan suatu

kebijakan.

Adapun pada umumnya teori-teori implementasi yang telah dikemukakan di atas,

secara garis besar maksud dan tujuannya adalah sama yaitu variabel yang dapat

mempengaruhi implementasi kebijakan adalah struktur dan koordinasi dalam

suatu organisasi, kemampuan dan sikap para implementor, sumberdaya-

sumberdaya yang dibutuhkan serta kondisi lingkungan baik kondisi sosial,

ekonomi, maupun politik.

f. Teori Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier

Menurut Mazmanian dan Sabatier (Subarsono, 2010: 94), ada tiga kelompok

variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi, antara lain sebagai

berikut.

1) Karakteristik Masalah (tractability of the problems). Masalah publik dalam

Subarsono (2010: 95) memiliki beberapa karakteristik yaitu tingkat kesulitan

teknis dari masalah yang bersangkutan, tingkat kemajemukan dari kelompok

sasaran, proporsi kelompok sasaran terhadap total populasi, dan cakupan

perubahan perilaku yang diharapkan.

2) Karakteristik Kebijakan (ability of status to structure implementation).

Kebijakan publik dalam Subarsono (2010: 97) memiliki beberapa

karakteristik yaitu kejelasan isi kebijakan, seberapa jauh kebijakan memiliki

26

dukungan teoritis, besarnya alokasi sumberdaya finansial terhadap kebijakan

tersebut, seberapa besar adanya keterpautan dukungan antar berbagai institusi

pelaksana, kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan pelaksana,

tingkat komitmen aparat terhadap tujuan kebijakan, dan seberapa luas akses

kelompok-kelompok luar untuk berpartisipasi dalam implementasi kebijakan.

3) Variabel Lingkungan (nonstatutory variables affecting implementation).

Lingkungan kebijakan publik dalam Subarsono (2010: 98) memiliki beberapa

karakteristik yaitu kondisi sosial ekonomi masyarakat dan tingkat kemajuan

teknologi, dukungan publik terhadap sebuah kebijakan, sikap dari kelompok

pemilik (Consituency Groups), dan tingkat komitmen dan keterampilan dari

aparat dan implementor.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam

mengimplementasikan suatu kebijakan terlebih dahulu harus menganalisis

masalah yang ada untuk mengetahui mudah atau tidaknya masalah tersebut

diselesaikan. Setelah itu mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang dibutuhkan

dalam proses implementasinya dan lingkungan kebijakan yang mempengaruhinya

baik secara internal maupun eksternal.

Selain itu proses implementasi ini juga harus ditinjau menurut tahapan-

tahapannya, antara lain sebagai berikut.

1) Output-output kebijaksanaan (keputusan-keputusan) dari badan-badan

pelaksana.

2) Kepatuhan kelompok-kelompok sasaran terhadap keputusan tersebut.

27

3) Dampak nyata keputusan-keputusan badan-badan pelaksana.

4) Persepsi terhadap dampak keputusan-keputusan tersebut.

5) Evaluasi sistem politik terhadap undang-undang baik berupa perbaikan-

perbaikan mendasar (upaya untuk melaksanakan perbaikan) dalam muatan

atau isinya.

Kesemua tahapan di atas seringkali digabung menjadi satu di bawah pokok

bahasan mekanisme umpan balik. Namun, di sini terdapat 2 (dua) proses yang

terpisah. Jika seseorang hanya tertarik pada persoalan sejauh mana dampak nyata

suatu implementasi program sejalan dengan tujuan-tujuan program, maka yang

penting diperhatikan hanyalah tiga tahap yang disebutkan pertama. Kendatipun

demikian, ada baiknya jika diperhatikan pula evaluasi yang dilakukan oleh sistem

politik terhadap undang-undang atau kebijaksanaan itu, dan hal ini tercakup dalam

dua tahap yang disebut terakhir. Masing-masing tahap tersebut dapat disebut

sebagai titik akhir (end point) atau variabel tergantung (Agustino, 2008: 102).

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan teori implementasi menurut

Mazmanian dan Sabatier karena dengan menggunakan teori tiga kelompok

variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi, maka akan menjawab

tujuan penelitian ini, yaitu pertama mendeskripsikan implementasi Peraturan

Daerah Kabupaten Lampung Timur Nomor 07 Tahun 2013 di Kecamatan Pasir

Sakti dan yang kedua mendeskripsikan permasalahan yang ada terkait dengan

implementasi kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di

Kecamatan Pasir Sakti Kabupaten Lampung Timur.

28

3. Analisis Kebijakan Publik

Berikut ini adalah beberapa pengertian analisis kebijakan publik menurut para

ahli.

a. Menurut William N. Dunn dalam LAN (2008: 42), analisis kebijakan publik

adalah suatu disiplin ilmu sosial, terapan, yang menggunakan berbagai

macam metodologi penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan

mentransformasikan informasi yang relevan dengan kebijkan. Kebijakan

tersebut digunakan dalam lingkungan politik tertentu untuk memecahkan

masalah-masalah kebijakan.

b. Menurut E. S. Quade dalam LAN (2008: 42), analisis kebijakan publik dalam

arti luas adalah suatu bentuk penelitian terapan untuk memahami secara

mendalam berbagai permasalahan sosaial guna mendapatkan pemecahan yang

lebih baik.

c. Menurut Stuart S. Nagel, kebijakan publik adalah penentuan dalam rangka

hubungan antara berbagai alternatif kebijakan dan tujuan-tujuan kebijakan,

manakah di antara berbagai alternatif kebijakan, keputusan, dan cara-cara

lainnya yang terbaik untuk mencapai sejumlah tujuan-tujuan tertentu.

Adapun berdasarkan pendapat-pendapat para ahli mengenai pengertian analisis

kebijakan publik di atas, maka dapat disimpulkan bahwa analisis kebijakan publik

adalah:

a. penelitian untuk mendapatkan data dan informasi yang berkaitan dengan

permasalahan yang dihadapi,

29

b. mencari dan mengkaji berbagai alternatif pemecahan masalah atau

pencapaian tujuan,

c. tambahan dari William N. Dunn, keduanya dilakukan secara multidisiplin.

Apa sesungguhnya yang menjadi tujuan dari analisis kebijakan publik ini tidak

lain adalah untuk memperbaiki kualitas dan efektivitas tindakan-tindakan

kebijakan. “....the purpose of policy analysis is to improve the quality and

effectiveness of policy measures,” (UN, 1979: 3; dalam Makhya, 2006: 85).

Setiap argumen kebijakan mempunyai 6 (enam) elemen: informasi yang relevan

dengan kebijakan, klaim kebijakan, pembenaran, dukungan, bantahan, dan

penguat. Analisis kebijakan umumnya bersifat kognitif, sedangkan pembuat

kebijakan bersifat politis. Sistem kebijakan bersifat dialektis, merupakan kreasi

subjektif dari pelaku kebijakan, merupakan realitas objektif, dan para pelaku

kebijakan merupakan produk dari sistem kebijakan (Ritonga, 2010: 2).

Hal-hal yang menjadi latar belakang perlunya menganalisis kebijakan antara lain

karenaadanya masalah dalam merumuskan kebijakan, pelaksanaan kebijakan

(policy implementation), dan memprediksikan akibat dari kebijakan.Menurut

Makhya (2006: 89) analisis mengenai pelaksanaan kebijakan (policy

implementation) mencoba mempelajari sebab-sebab keberhasilan atau kegagalan

kebijakasanaan publik melalui pembahasan mengenai faktor-faktor yang

mempengaruhi pelaksanaan kebijakan seperti masalah kepemimpinan dan

interaksi politik di antara pelaksana kebijaksanaan. Aspek ini berkembang

30

sebagai akibat kesadaran di kalangan ilmuwan kebijaksanaan bahwa implementasi

suatu program tidak hanya bersifat teknis dan administratif. Implementasi

kebijakan ternyata melibatkan masalah-masalah politik yang sering menjadi faktor

yang mempengaruhi pelaksanaan suatu program.

Menurut Santoso dalam LAN (2008: 45-47), terdapat 3 (tiga) aspek dalam analisis

kebijakan publik, antara lain sebagai berikut.

a. Analisis mengenai Perumusan Kebijakan

Analisis perumusan kebijakan, misalnya hubungan antara lembaga-lembaga

atau badan-badan pemerintah, di mana dalam kebijakan tersebut dirumuskan

hubungan antara badan-badan eksekutif dan legislatif, selama proses

perumusan tersebut berlangsung.

Analisis ini mencoba menjawab pertanyaan, misalnya “Bagaimana kebijakan

dibuat? Mengapa pemerintah memiliki alternatif A dan bukan alternatif B

sebagai kebijakannya? Siapa saja yang terlibat dalam perumusan tersebut dan

siapa yang paling dominan? Mengapa orang itu atau golongan itu paling

dominan?”.

b. Analisis mengenai Implementasi Kebijakan

Analisis implementasi kebijakan mencoba mempelajari sebab-sebab

keberhasilan atau kegagalan kebijakan publik melalui pembahasan mengenai

faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan, seperti masalah

kepemimpinan dan interaksi politik di antara pelaksanan kebijakan. Aspek

ini berkembang akibat kesadaran di kalangan ilmuwan kebijakan bahwa

implementasi suatu kebijakan atau program tidak hanya bersifat teknis dan

31

administratif belaka. Implementasi kebijakan ternyata melibatkan masalah-

masalah politik yang sering merupakan faktor yang mempengaruhi

implementasi suatu kebijakan atau program.

c. Analisis mengenai Evaluasi Kebijakan

Evaluasi kebijakan mengkasi akibat-akibat suatu kebijakan atau mencari

jawaban atas pertanyaan “apa yang terjadi sebagai akibat dari implementasi

suatu kebijakan?”

Analisis evaluasi kebijakan sering juga disebut analisis dampak kebijakan

yang mengevaluasi akibat-akibat implementasi suatu kebijakan dan

membahas “hubungan di antara cara yang digunakan dan hasil yang dicapai”.

Misalnya, “Apakah pelayanan terhadap penumpang kendaraan umum

menjadi lebih baik setelah dikeluarkan kebijakan mengenai perbaikan

transportasi umum?

Gordon, Lewis, and Gunn (Wayne Persons) dalam LAN (2008: 47-48)

mengemukanan adanya macam-macam analisis kebijkan seperti yang terlihat pada

gambar berikut ini.

Gambar 2. Macam-macam analisis kebijakan

Analysis of

Policy

Analysis for

Policy

Analysis of

Policy Determination

Analysis of

Policy

Content

Policy

Monitoring

and

Evaluation

Information

for Policy

Policy

Advocacy

32

Analysis of policy meliputi policy determination dan policy content. Policy

determination adalah analisis yang berkaitan dengan bagaimana kebijakan itu

dibuat, mengapa dibuat, kapan dibuat, dan untuk siapa dibuat. Policy content

adalah terkait dengan deskripsi suatu kebijakan tertentu, dan bagaimana kebijakan

tersebut dibuat dalam kaitannya dengan kebijakan-kebijakan lain yang telah lalu.

Policy monitoring adalah mengkaji bagaimana kebijakan itu diimplementasikan,

dikaitkan dengan tujuan kebijakan. Sedangkan policy evaluation adalah apa

dampak kebijakan tersebut terhadap permasalahan tertentu.

Analysis for policy terdiri atas policy advocacy dan information for policy. Policy

advocacy adalah terkait dengan riset dan argumen yang bertujuan untuk

mempengaruhi policy agenda, baik di luar maupun di dalam pemerintah.

Information for policy adalah suatu bentuk analisis yang ditujukan untuk

mendukung kegiatan pembuatan kebijakan dalam bentuk hasil penelitian.

B.Model Analisis Kebijakan Publik

Menurut Saul I. Gass dan Roger L. Sisson (1974), Martin Greenberger, Mathew

A. Crenson dan Brian L. Crissey (1976); dalam Dunn (2003: 232) model

kebijakan diartikan sebagai representasi sederhana mengenai aspek-aspek yang

terpilih dari suatu kondisi masalah yang disusun untuk tujuan-tujuan tertentu.

Menurut Dunn (2003: 234-241) tipe-tipe model kebijakan antara lain adalah

sebagai berikut.

33

1. Model Deskriptif (Descriptive Model)

Model yang disusun untuk tujuan menjelaskan dan/atau memprediksikan

konsekwensi-konsekwensi dari pilihan-pilihan kebijakan.

2. Model normatif (Normative Model)

Model yang dirumuskan untuk maksud mengoptimalkan pencapaian utilitas

(nilai).

3. Model Verbal (Verbal Model)

Sebuah model yang diekspresikan dalam bahasa sehari-hari ketimbang logika

simbolis dan matematika simbolis: sama atau ekuivalen dengan masalah

substantif.

4. Model Simbolis (Symbolic Model)

Sebuah model yang diekspresikan dalam bahasa logika atau matematika

simbolis; sama atau ekuivalen dengan masalah formal.

5. Model Prosedural (Procedural Model)

Model yang diekspresikan dalam bentuk prosedur-prosedur elementer yang

diciptakan untuk menampilkan hubungan yang dinamis.

6. Model sebagai Pengganti dan Perspektif

Model kebijakan, lepas dari tujuan atau bentuk ekspresinya, dapat dipandang

sebagai pengganti (surrogates) atau sebagai perspektif (perspectives)

(Strauch; dalam Dunn, 2003). Model pengganti (surrogate model)

diasumsikan sebagai pengganti dari masalah-masalah substantif. Sebaliknya,

model perspektif (perspective models) dipandang sebagai satu dari cara

banyak lain yang dapat digunakan untuk merumuskan masalah substantif.

34

Adapun dari tipe-tipe model kebijakan di atas, 2 (dua) bentuk utama model

kebijakan menurut Dunn (2003: 234) adalah deskriptif dan normatif. Berikut

adalah 2 (dua) bentuk utama model kebijakannya.

1. Model Deskriptif

Model ini dapatmenjelaskan atau memprediksi setiap permasalahan-

permasalah dari Kebijakan Pemerintah Kabupaten Lampung Timur terhadap

penggunaan lahan pesisir. Seperti contoh,Peraturan Daerah Kabupaten

Lampung Timur Nomor 03 Tahun 2002 tentang Rehabilitasi Pesisir, Pantai,

dan Laut masih belum diketahui pengaruhimplementasinya, karena sampai

dengan tahun 2013 kondisi daerah lahan pesisir tersebut mengalami

kerusakan.

2. Model Normatif

Model ini bermanfaat karena memberikan dalil dan rekomendasi untuk

mengoptimalkan pencapaian beberapa utilitas (nilai) dari Kebijakan

Pemerintah Kabupaten Lampung Timur tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup. Seperti contoh, apabila daerah lahan pesisir

hanya mengutamakan aspek perekonomian yaitu menjadikan areal-areal

tambak yang lebih luas serta tidak ada kontrol atas kegiatan pertambangan

pasir maka terjadi kerusakan lahan pesisir. Hal tersebut berarti pengutamaan

aspek ekonomi yang tidak memperhatikan aspek ekologi suatu lahan pesisir.

Dengan demikian tidak ada jaminan atas keberlanjutan pemerolehan

35

sumberdaya alam setempat karena pengambilan manfaat atas lahan pesisir

tidak dilakukan secara lestari.

D. Lahan Pesisir

Berikut ini adalah beberapa pengertian terkait dengan lahan pesisir menurut

Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan

Pulau-pulau Kecil.

1. Wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang

dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.

2. Kawasan pemanfaatan umum adalah bagian dari wilayah pesisir yang

ditetapkan peruntukkannyabagi berbagai sektor kegiatan.

3. Hak Pengusahaan Perairan Pesisir, selanjutnyadisebut HP-3, adalah hak atas

bagian-bagiantertentu dari perairan pesisir untuk usahakelautan dan

perikanan, serta usaha lain yangterkait dengan pemanfaatan sumber

dayapesisirdan pulau-pulau kecil yang mencakup atas permukaan laut dan

kolam air sampai denganpermukaan dasar laut pada batas keluasantertentu.

4. Kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah kawasan

pesisir dan pulau-pulaukecil dengan ciri khas tertentu yangdilindungi untuk

mewujudkan pengelolaan wilayahpesisir dan pulau-pulau kecil secara

berkelanjutan.

5. Sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepianyang lebarnya proporsional

dengan bentuk dankondisi fisik pantai, minimal 100 (seratus) meterdari titik

pasang tertinggi ke arah darat.

36

6. Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan olehorang dalam rangka

meningkatkan manfaatsumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungandan

sosial ekonomi dengan cara pengurugan,pengeringan lahan atau drainase.

7. Dampak besar adalah terjadinya perubahannegatif fungsi lingkungan dalam

skala yang luasdan intensitas lama yang diakibatkan oleh suatuusaha dan/atau

kegiatan di wilayah pesisir danpulau-pulau kecil.

8. Pencemaran pesisir adalah masuknya ataudimasukkannya makhluk hidup,

zat, energi,dan/atau komponen lain ke dalam lingkunganpesisir akibat adanya

kegiatan orang sehinggakualitas pesisir turun sampai ke tingkat tertentuyang

menyebabkan lingkungan pesisir tidak dapatberfungsi sesuai dengan

peruntukannya.

9. Ruang lingkup pengaturan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil meliputi

daerah peralihan antara ekosistemdarat dan laut yang dipengaruhi oleh

perubahan didarat dan laut, ke arah darat mencakup

wilayahadministrasikecamatan dan ke arah laut sejauh 12(dua belas) mil laut

diukur dari garis pantai.

Kawasan pesisir dapat dikatakan memiliki potensi alam sangat besar karena kaya

akan sumberdaya hayati maupun sumberdaya non hayati sehingga kawasan pesisir

potensial untuk dijadikan kawasan perekonomian masyarakat (Departemen Energi

dan Mineral, 2006).Perencanaan pembangunan dan pengembangan kawasan

pesisir Kabupaten Lampung Timur harus ditunjang oleh keberadaan data

pendukung dan data unggulan untuk mempertahankan dan melestarikan potensi

sumber daya laut sehingga dapat memperkecil kerugian yang terjadi akibat salah

37

perencanaan. Salah satu perubahan lingkungan akibat suatu pembangunan di

kawasan pesisir adalah masalah abrasi dan sedimentasi.

Purwoko (2009: 1-6) menyatakanlahan dikawasan pesisir yang awalnya berupa

hutan mangrove primer terjadi peralihfungsian lahan karena adanya bentuk

pemanfaatan dan/atau eksploitasi yang selain ilegal bahkan secara teknis

dilakukan secara tidak lestari. Bentuk konversi yang sering terjadi di areal pesisir

diantaranya:

1. belukar rawa

2. hutan mangrove

3. kebun campuran

4. pemukiman

5. perkebunan

6. pertanian lahan kering

7. sawah

8. tambak

9. tubuh air.

Mangrove merupakan salah satu dari beberapa tipe hutan berada pada formasi

terdepan dipinggir pulau menghadap laut. Dari sini dapat di lihat bahwa

mangrove merupakan sebagai benteng pertahanan utama dari terjangan ombak.

Onrizal (2002: 1) menambahkan,“mangrove sebagai salah satu komponen

ekosistem pesisir memegang peranan yang cukup penting, baik di dalam

memelihara produktivitas perairan pesisir maupun di dalam menunjang kehidupan

penduduk di wilayah tersebut. Bagi wilayah pesisir, keberadaan hutan

38

mangroveterutama sebagai jalur hijau di sepanjang pantai/muara sungai sangatlah

penting untuk suplai kayu bakar, nener/ikan dan udang serta mempertahankan

kualitas ekosistem pertanian, perikanan dan permukiman yang berada di

belakangnya dari gangguan abrasi, instrusi dan angin laut yang kencang”.

Novrizal (2004: 2) menegaskan bahwa pantai sebagai suatu daerah dimana

daratan dan proses di laut saling mempengaruhi sehingga menyebabkan dinamika

geomorfologi yang menetukan kondisi ekologis. Daerah ini merupakan suatu

jalur daratan yang dibatasi oleh laut dan terbentang sampai pengaruh laut tidak

dirasakan lagi.

Perubahan garis pantai terjadi sebagai akibat dari dua kejadian yaituakresi dan

abrasi. Parjaman dalam Novrizal (2004: 2)menyebutkan bahwa akresi pantai

adalah kondisi semakinmajunya pantai sebagai akibat dari pertambahan material

dari hasil endapan dari sungai dan laut. Sedangkan abrasi pantai adalah kerusakan

pantai yang mengakibatkan semakin mundurnya pantai akibat kegiatan air laut,

seperti hembusan air laut dan gelombang. Selain karena proses alami perubahan

pantai juga dipengaruhi oleh kegiatan manusia antara lain perubahan garis pantai

yang disebabkan oleh penggalian, pengerukan dan penambangan sendimen pantai

dan laut, reklamasi (pengurungan pantai), penanggulan pantai (shore protection),

penggundulan dan penanaman hutan pantai dan pengaturan pola aliran sungai

(Ongkosono, 1979: 2).

Kondisi lahan di daerah pesisir sangat bergantung terhadap pemerintah, karena

pemerintah merupakan aktor terpenting yang dapat mengatur bagaimana

39

sebaiknya agar lahan di daerah pesisir dapat bermanfaat, tidak hanya dari satu

aspek tetapi dari berbagai aspek. Seperti contoh daerah lahan pesisir dapat

dimanfaatkan untuk areal tambak, akan tetapi lahan-lahan tambak tersebut

berdampak pada rusaknya mangrove di daerah pesisir. Apabila ekosistem

mangrove rusak, maka dapat mengakibatkan abrasi pantai, intrusi laut, dan

tsunami.

E. Kerangka Pikir

Berdasarkan tinjauan awal yang telah dilakukan terdapat pandangan umum bahwa

kondisi lahan pesisir Lampung Timur mengalami kerusakan.Peraturan Daerah

Kabupaten Lampung Timur Nomor 07 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana yang tertera dalam draft

peraturannya seharusnya dapat memberikan dampak yang positif terhadap

pelestarian lingkungan hidup di Kecamatan Pasir Sakti Kabupaten Lampung

Timur. Diketahui lebih lanjut kerusakan lahan pesisir di Lampung Timur

disebabkan oleh kondisi lahan terbuka di antaranya termasuk di Kecamatan Pasir

Sakti yang terdiri atas pengusahaan tambak dankegiatan pertambangan pasir

(galian C).

Adapun analisis implementasi kebijakan dalam penelitian ini dilakukan dengan

mendeskripsikan sebab-sebab keberhasilan atau kegagalan kebijakan publik

melalui pembahasan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi

kebijakan tersebut sesuai dengan teori Mazmanian dan Sabatier dalam Subarsono

(2010: 94)yang mengatakan bahwa ada tiga kelompok yang mempengaruhi

40

keberhasilan implementasi yaitu karakteristik masalah, karakteristik kebijakan,

dan variabel lingkungan. Dalam hal ini kebijakan yang dimaksud adalah

Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Timur Nomor 07 Tahun 2013 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Analisis hasil pembahasan dengan menggunakan tiga kelompok variabel yang

mempengaruhi keberhasilan implementasi menurut teori Mazmanian dan Sabatier,

maka dalam hal ini tentu akan menjawab tujuan dari penelitian ini yaitu.

1. Deskripsi implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Timur Nomor

07 Tahun 2013 di Kecamatan Pasir Sakti.

2. Deskripsi masalah terkait dengan implementasi kebijakan perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup di Kecamatan Pasir Sakti.

41

1. Deskripsi implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Timur Nomor

07 Tahun 2013 di Kecamatan Pasir Sakti

2. Deskripsi masalah terkait dengan implementasi kebijakan perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup di Kecamatan Pasir Sakti

Gambar 3. Kerangka pikir

Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Timur

Nomor 07 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup

(Implementasinya di Kecamatan Pasir Sakti)

Analisis Hasil Pembahasan

(berdasarkan tiga kelompok variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi

menurut Mazmanian dan Sabatier)

Karakteristik masalah

(mudah atau tidaknya masalah

dikendalikan)

Karakteristik kebijakan

(kemampuan kebijaksanaan

untuk menstrukturkan proses

implementasi)

Variabel Lingkungan

(Variabel di luar

kebijaksanaan yang

mempengaruhi proses

implementasi)