BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Sindroma ...
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Karakteristik kentangeprints.mercubuana-yogya.ac.id/3962/3/BAB II (TINJAUAN...
Transcript of II. TINJAUAN PUSTAKA A. Karakteristik kentangeprints.mercubuana-yogya.ac.id/3962/3/BAB II (TINJAUAN...
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Karakteristik kentang
Kentang (Solanum tuberosum L.) termasuk jenis sayuran semusim, berumur
pendek, dan berbentuk perdu atau semak. Kentang termasuk tanaman semusim
karena hanya satu kali berproduksi dan setelah itu mati. Umur tanaman relatif
pendek, hanya 90–180 hari. Spesies Solanum tuberosum L. mempunyai banyak
varietas. Umur tanaman kentang bervariasi menurut varietasnya. Kentang varietas
genjah berumur 90–120 hari, varietas medium berumur 120–150 hari, dan varietas
dalam berumur 150–180 hari (Setiadi, 2009).
Dalam sistematika tumbuhan (taksonomi), kentang diklasifikasikan sebagai
berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Tubiflorae
Famili : Solanaceae
Genus : Solanum
Spesies : Solanum tuberosum L. (Samadi, 2007)
Kentang memiliki kadar air yang cukup tinggi sekitar 78%. Setiap 100 g
kentang mengandung kalori 374 kal, protein 0,3 g, lemak 0,1 g, karbohidrat 85,6,
kalsium 20 mg, fosfor 30 mg, zat besi 0,5 mg, dan vitamin B 0,04 mg.
Berdasarkan nilai kandungan gizi tersebut, kentang merupakan sumber utama
karbohidrat, seingga sangat bermanfaat untuk meningkatkan energi di dalam tubuh
(Samadi, 2007).
1. Daun
Tanaman kentang umumnya berdaun rimbun. Helaian daun berbentuk
poling atau bulat lonjong, dengan ujung meruncing, memiliki anak daun primer dan
sekunder, tersusun dalam tangkai daun secara berhadap-hadapan yang menyirip
ganjil. Warna daun hijau keputih–putihan. Posisi tangkai utama terhadap batang
tanaman membentuk sudut kurang dari 45o atau lebih besar 45o. Pada dasar tangkai
daun terdapat tunas ketiak yang dapat berkembang menjadi cabang sekunder. Daun
berkerut–kerut dan permukaan bagian bawah daun berbulu. Daun tanaman
berfungsi sebagai tempat proses asimilasi untuk pembentukan karbohidrat, lemak,
protein dan vitamin yang digunakan untuk pertumbuhan vegetatif, respirasi dan
persediaan tanaman (Rukmana, 1997)
2. Batang
Batang tanaman kentang berbentuk segi empat atau segi lima, tergantung pada
jenis varietasnya. Batang tanaman memiliki buku–buku, berongga, dan tidak
berkayu, namun agak keras bila dipijat. Diameter batang kecil dengan tinggi dapat
mencapai 50–120 cm, batang tumbuh menjalar. Warna batang hijau kemerah-
merahan atau hijau keungu–unguan. Batang tanaman berfungsi sebagai jalan zat–
zat hara dari tanah ke daun dan untuk menyalurkan hasil fotosintesis dari daun ke
bagian tanaman yang lain (Rukmana, 1997).
3. Akar
Tanaman kentang memiliki sistem perakaran tunggang dan serabut. Akar
tunggang dapat menembus tanah sampai kedalaman 45 cm, sedangkan akar serabut
umumnya tumbuh menyebar ke arah samping dan menembus tanah dangkal. Akar
tanaman berwarna keputih– putihan dan halus berukuran sangat kecil. Di antara
akar–akar tersebut ada yang akan berubah bentuk dan fungsinya menjadi umbi
(stolon) yang selanjutnya akan menjadi umbi kentang. Akar tanaman berfungsi
menyerap zat–zat yang diperlukan tanaman dan untuk memperkokoh berdirinya
tanaman (Samadi, 1997).
4. Bunga
Bunga kentang berkelamin dua (hermaphroditus) yang tersusun dalam
rangkaian bunga atau karangan bunga yang tumbuh pada ujung batang dengan tiap
karangan bunga memiliki 7–15 kuntum bunga. Warna bunga bervariasi : putih,
merah, biru. Struktur bunga terdiri dari daun kelopak (calyx), daun mahkota
(corolla), benang sari (stamen), yang masing–masing berjumlah 5 buah serta putih
1 buah. Bunga bersifat protogami, takni putik lebih cepat masak daripada tepung
sari. Sistem penyerbukannya dapat menyerbuk sendiri ataupun silang (Rukmana,
1997).
Menurut Samadi (1997) Bunga kentang yang telah mengalami penyerbukan
akan menghasilkan buah dan biji–biji. Buah kentang berbentuk bulat, bergaris
tengah kurang lebih 2,5 cm, berwarna hijau tua sampai keungu–unguan dan tiap
buah berisi 500 bakal biji. Bakal biji yang dapat menjadi biji hanya berkisar 10
butir sampai dengan 300 butir. Biji kentang berukuran kecil, bergaris tengah kurang
lebih 0,5 mm, berwarna krem, dan memiliki masa istirahat (dormansi) sekitar 6
bulan.
5. Umbi
Umbi terbentuk dari cabang samping diantara akar–akar. Proses pembentukan
umbi ditandai dengan terhentinya pertumbuhan memanjang dari rhizome atau
stolon yang diikuti pembesaran sehingga rhizome membengkak. Umbi berfungsi
menyimpan bahan makanan seperti karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral,
dan air (Samadi, 1997).
Selain mengandung zat gizi, umbi kentang mengandung zat solanin yang
beracun dan berbahaya bagi yang memakannya. Racun solanin akan berkurang atau
hilang apabila umbi telah tua sehingga aman untuk dimakan. Tetapi racun solanin tidak
dapat hilang apabila umbi tersebut keluar dari tanah dan terkena sinar matahari. Umbi
kentang yang masih mengandung racun solanin berwarna hijau walaupun telah tua
(Samadi, 1997).
Kondisi topografi yang mendukung usaha tani kentang, tidak serta merta dapat
meningkatkan produktivitas kentang yang dihasilkan. Beberapa kendala yang
menyebabkan kurang berhasilnya usahatani kentang adalah rendahnya kualitas bibit
yang digunakan, produktivitas rendah, teknik bercocok tanam yang kurang baik
khususnya pemupukan kurang tepat, baik dosis maupun waktunya, dan keadaan
lingkungan yang memang berbeda dengan daerah asal kentang (Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Yogyakarta 2004).
Menurut Samadi (2007), kentang dibedakan menjadi tiga golongan berdasarkan
warna umbinya, yaitu:
1. Kentang putih, yaitu jenis kentang dengan warna kulit dan daging umbi putih,
misalnya varietas Atlantic, Marita, Donata, dan lainnya.
2. Kentang kuning, yaitu jenis kentang yang umbi dan kulitnya berwarna kuning,
misalnya varietas Granola, Cipanas, Cosima, dan lainnya.
3. Kentang merah, yaitu kentang dengan warna kulit dan daging umbi merah,
misalnya varietas Desiree dan Arka.
B. Syarat Tumbuh Tanaman Kentang
1. Iklim
Tanaman kentang (Solanum tuberosum L.) menghendaki iklim dengan suhu
udara dingin dan lembab. Untuk tumbuh dengan baik tanaman memerlukan curah
hujan rata-rata 1500 mm/tahun. Lama penyinaran matahari penuh yang dibutuhkan
adalah 9-10 jam dengan intensitas cahaya rendah, kelembapan 70-90 % dan ketinggian
tempat antara 1000- 3000 mdpl. Suhu yang paling tepat untuk pertumbuhan kentang
adalah 20oC-24oC pada siang hari, sedangkan pada malam hari yaitu 8oC-12oC. Suhu
yang cocok selama periode pertumbuhan dari mulai bertunas sampai stadium primordia
bunga yaitu 12oC-16oC. Sedangkan setelah stadium primordia bunga suhu yang cocok
yaitu 19oC-20oC. Kentang dapat tumbuh baik pada suhu rata-rata 15oC-20oC, jika suhu
rata-rata melebihi 23oC daun biasanya akan menjadi kecil serta jarak antar ruas menjadi
Panjang (Soelarso, 1997).
Kentang sangat peka terhadap air, sehingga penanamannya dianjurkan pada
akhir musim hujan. Kelembaban di dalam tanah berpengaruh besar, jika intensitasnya
meningkat dapat menyebabkan pertumbuhan umbi tidak normal dan banyak
mengeluarkan cabang-cabang. Angin kencang dapat membuat batang tidak kuat dan
mudah patah, sehingga pada daerah yang memiliki potensi angin yang tinggi budidaya
dilakukan di dalam green house (Neni, 2010).
2. Kesuburan Tanah
Kentang menghendaki tanah yang subur dengan kandungan bahan organik yang
tinggi. Jenis tanah andisol merupakan pilihan yang tepat, jenis tanah ini umumnya
ditemukan di dataran tinggi atau dilereng-lereng yang tinggi (Hartus, 2001).
Kesuburan tanah memegang peranan penting untuk budidaya tanaman kentang,
fungsi tanah sebagai penyangga akar, penyedia air, zat hara dan udara untuk pernafasan
akar tanaman. Kondisi media tumbuh yang dibutuhkan tanaman kentang adalah
berstruktur remah, gembur dan banyak mengandung bahan organik. Areal lahan
penanaman untuk budidaya komoditas ini harus berdrainase baik dan memiliki lapisan
olah yang dalam agar perakaran dapat menembus tanah untuk mengambil unsur hara
dan melakukan fotosintesis, sehingga didapatkan makanan untuk seluruh bagian
tanaman. Kondisi keasaman tanah yang dikehendaki oleh kentang adalah 5,8-7.
Pengapuran dilakukan apabila pH kurang dari 5,8 dengan kapur dolomit yang
berstruktur rapuh, remah dan mudah mengikat asam (Neni, 2010).
C. Budidaya Tanaman Kentang
1. Persiapan Bibit
Dalam mempersiapkan bibit perlu dilakukan pemeliharaan terhadap bibit
sebelum dilaksanakannya penanaman, dalam hal ini yang dilakukan yaitu membuang
yang rusak atau sakit secara visual atau terlihat oleh mata telanjang sehingga akan
diperoleh bibit yang berkualitas baik dan dapat berproduksi tinggi serta memberikan
keuntungan yang besar.
Menurut Rukmana (1997), bibit kentang bermutu harus memenuhi syarat
sebagai berikut:
1) Bibit bebas hama dan penyakit
2) Bibit tidak tercampur varietas lain atau klon lain (murni)
3) Ukuran umbi 30–45 g berdiameter 35–45 mm (bibit kelas 1) dan 45–60 g
berdiameter 45–55 mm (bibit kelas 2) atau umbi belah dengan berat minimal
30 g
4) Umbi bibit tidak cacat dan kulitnya kuat.
Ciri umbi bibit yang siap tanam adalah telah melampaui istirahat atau masa
dormansi selama 4 bulan sampai 6 bulan dan telah bertunas sekitar 2 cm. penanaman
umbi bibit yang masih dalam masa dormansi atau belum bertunas pertumbuhannya
akan lambat dan produktivitasnya rendah. Umbi bibit yang disimpan terlalu lama
sampai pertumbuhan tunasnya panjang harus dilakukan perompesan lebih dulu yang
dikerjakan sebelum masa tanam. Jika tidak dilakukan perompesan, tanaman akan
tumbuh lemah.
2. Penyiapan Lahan
Lokasi penanaman kentang yang paling baik adalah tanah bekas sawah karena
hama dan penyakit berkurang akibat sawah selalu berada dalam kondisi anaerob.
Kegiatan persiapan lahan tanaman kentang hingga siap tanam dilakukan melalui
beberapa tahap. Tahap awal dari kegiatan tersebut adalah perencanaan yang meliputi
penentuan arah bedengan, terutama pada lahan berbukit, pembuatan selokan,
pemeliharaan tanaman dan pemupukan (Samadi, 1997).
Tahap berikutnya adalah pengolahan tanah dengan cara pembajakan atau
pencangkulan sedalam kurang lebih 30 cm hingga gembur, kemudian diistirahatkan
selama 1–2 minggu. Pengolahan tanah dapat diulangi sekali lagi hingga tanah benar–
benar gembur sambil meratakan tanah dengan garu atau cangkul untuk memecah
bongkahan tanah berukuran besar. Setelah pembajakan tanah dan penggemburan
dilakukan pembuatan bedengan dan selokan untuk irigasi atau pengairan. Bedengan
dibuat membujur searah Timur–Barat, agar penyebaran cahaya matahari dapat merata
mengenai seluruh tanaman. Bedengan berukuran lebar 70–100 cm, tinggi 30 cm, jarak
antar bedeng yang merupakan lebar selokan adalah 40 cm dan panjangnya disesuaikan
dengan kondisi lahan. Kedalaman selokan sama dengan tinggi bedengan (30 cm).
Selanjutnya di sekeliling petak– petak bedengan dibuat selokan untuk pembuangan air
(drainase) sedalam 50 cm dengan lebar 50 cm (Handayani, 2009).
3. Pemupukan
Pemupukan dasar adalah tahapan terakhir dari kegiatan persiapan lahan. Pupuk
dasar yang terdiri dari pupuk organik dan pupuk anorganik diberikan sebelum tanam.
Pupuk organik diberikan pada permukaan bedengan kira–kira satu minggu sebelum
tanam. ketika penggemburan tanah terakhir dan dengan diberikan pada lubang tanam.
Pupuk anorganik yang berupa TSP diberikan sebagai pupuk dasar sebanyak 300 kg
sampai 350 kg per hektar bersamaan dengan pemberian pupuk organik. Kebutuhan
pupuk organik mencapai 20–30 ton per hektar, Pemupukan susulan dilakukan pada saat
sebelum pembumbunan yaitu menggunakan kombinasi Urea, TSP, KCl, atau ZA, TSP,
KCl dengan waktu dan dosis pemberian pupuk (Samadi, 1997).
4. Penanaman
Waktu tanam yang sesuai sangat berpengaruh terhadap produktivitas tanaman.
Waktu tanam yang paling baik di daerah dataran tinggi adalah pada kondisi cerah.
Khusus di dataran menengah waktu tanam yang paling baik adalah musim kemarau
agar pada saat pembentukan umbi kentang keadaan suhu malam hari paling rendah.
Penanaman bibit kentang yang paling baik dilakukan pada pagi atau sore hari.
Penanaman pada siang hari dapat menyebabkan kelayuan sehingga tanaman terhambat
pertumbuhannya, bahkan tanaman menjadi mati (Rukmana, 1997).
Penanaman bibit kentang yang paling sederhana yaitu dengan cara umbi bibit
diletakkan dalam alur tepat di tengah–tengah dengan posisi tunas menghadap keatas
dan jarak antara umbi bibit dalam alur adalah 25–30 cm. Khusus di dataran menengah,
jarak tanam diatur 50–30 cm untuk sistem bedengan atau 60–70 cm x 30 cm untuk
sistem guludan (Sutabradja, 2008).
5. Pemeliharan Tanaman
1) Pengairan
Pada awal pertumbuhan diperlukan ketersediaan air yang memadai.
Pengairan harus kontinyu sekali seminggu atau tiap hari, tergantung cuaca dan
keadaan air. Waktu pengairan yang paling baik adalah pagi hari atau sore hari
saat udara dan penguapan tidak terlalu tinggi dan penyinaran matahari tidak
terlalu terik. Cara pengairan adalah dengan sistem dileb (digenangi) hingga air
basah, kemudian air dibuang melalui saluran pembuangan air (Rukmana,
1997).
2) Penyiangan
Penyiangan dilakukan segera setelah terlihat adanya pertumbuhan
rumput dengan memperhitungkan pula bila selesai kegiatan ini akan dilanjutkan
dengan pembumbunan. Waktu penyiangan umumnya saat tanaman kentang
berumur 1 bulan. Cara menyiangi adalah mencabuti atau membersihkan rumput
dengan alat bantu tangan atau kored. Penyiangan dilakukan secara berhati–hati
agar tidak merusak perakaran tanaman kentang. Penyiangan sebaiknya
dilakukan pada daerah kira– kira 15 cm disekitar tanaman (Rukmana, 1997).
3) Pembumbunan
Pembumbunan dilakukan sebanyak 1 kali selama satu musim tanam,
pembumbunan yang pertama dilakukan setelah umur 40 hari setelah tanam.
Tujuan pembumbunan ialah memberi kesempatan agar stolon dan umbi
berkembang dengan baik, memperbaiki drainase tanah, mencegah umbi
kentang yang terbentuk terkena sinar matahari dan mencegah serangan hama
penggerek umbi (Phithorimaea opercuella). Cara pembumbunan adalah
menimbun bagian pangkal tanaman dengan tanah sehingga terbentuk guludan–
guludan (Rukmana, 1997). Ketebalan pembumbunan pertama kira – kira 10 cm,
pembumbunan kedua juga kira-kira 10 cm sehingga ketinggian pembumbunan
mencapai kira–kira 20 cm (Suseno, 2014).
6. Pengendalian Hama Terpadu
Pada budidaya kentang, sering terdapat gangguan seperti masalah teknis dan
Organisme Pengganggu Tanaman. Centre International Potato bekerjasama
dengan Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) Lembang telah mengiventarisasi
OPT pada kentang yang menghasilkan 72 jenis, terdiri dari 4 bakteri patogen, 13
cendawan patogen, 15 jenis virus patogen, 8 jenis penyakit fisiologi, 31 jenis hama dan
1 jenis mikoplasma patogen. Jumlah sebanyak itu dikumpulkan dari beberapa negara
maupun daerah penghasil utama kentang (Semangun, 2007).
Pengendalian terhadap Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) pada kentang
perlu dilakukan secara berkala. Pada musim hujan seringkali mengalami serangan
penyakit tetapi sebaliknya pada musim kemarau hama sering menimbulkan masalah
yang serius. Disadari bahwa penggunaan pestisida yang berlebihan akan memberikan
dampak yang merugikan. Untuk menghadapi permasalahan tersebut dalam upaya
meningkatkan produktivitas kentang sebaiknya para petani perlu dibekali pengendalian
hama terpadu (Semangun, 2007).
7. Panen
Tanaman kentang dipanen pada umur 90-160 hari setelah tanam (HST) dan
hasilnya beragam tergantung kultivar, wilayah produksi, dan kondisi pemasaran.
Kultivar adalah sekelompok tanaman yang memiliki satu atau lebih ciri yang dapat
dibedakan secara jelas, tetap mempertahankan ciri-ciri yang khas, dan sistem
reproduksinya secara seksual dan aseksual. Hasil yang tinggi biasanya dicapai oleh
kultivar umur dalam dan musim tanam yang panjang. Panen dilakukan sebelum terjadi
senescence daun atau kematian akibat bunga es dan umbi belum berkembang penuh
(Rukmana, 1997).
D. Penyakit Hawar Daun (Phytophthora infestans)
1. Klasifikasi penyakit busuk daun :
Kingdom : Chromalveolata
Divisio : Eukaryota
Kelas : Oomycetes
Ordo : Peronosporales
Famili : Pyhtiaceae
Genus : Phytophthora
Spesies : Phytophthora infestans (Cahyadi, 2009).
Tipe Gejala penyakit : Gejala nekrotik
Patogen penyebab penyakit : Jamur
Inang utama : Kentang
Inang alternatif : Melon, tomat
Penyakit hawar daun sangat merusak dan sulit dikendalikan,
karena Phytophthora infestans merupakan jamur patogen yang memiliki patogenisitas
beragam. Pada umumnya patogen ini berkembang biak secara aseksual dengan
oospora. Jamur ini bersifat heterotalik, artinya perkembangbiakan secara seksual atau
pembentukan oospora hanya terjadi bila terjadi perkawinan silang (matting) antara dua
isolat Phytophthora infestans yang memiliki matting tipe beda (Purwanti, 2002).
Penyakit hawar daun dapat masuk kedaerah baru melalui umbi bibit terinfeksi
atau tanaman famili Solanaceae seperti tomat, cabai, dan terung yang terinfeksi.
Penyakit ini menunjukkan gejala pada daun, berupa bercak seperti basah berwarna
hijau terang kemudian berubah menjadi coklat yang kemudian seluruhnya tertutupi
bercak ini. Biasanya juga menyerang kentang melalui spora yang jatuh ketanah
(Sugiarto, 2001).
Menurut Djafarudin (2000), penyakit hawar daun tanaman kentang sangat
berpotensi terjadi pada daerah dingin dan lembab karena jumlah patogen yang
menyebabkanya mudah tumbuh dan berkembang baik pada kondisi dingin. Penyebab
penyakit hawar daun ini adalah patogen Phytophthora infestans. Patogen dapat
menyerang daun, batang, juga umbi di dalam tanah. Patogen Phytophthora infestans
bukan kapang asli tanah, namun biasa menyerang organ-organ tanaman kentang
didalam tanah dan diatas tanah (daun, batang, cabang, akar, umbi).
Penyebaran spora patogen melalui angin, air atau serangga. Jika spora sampai
ke daun basah ia akan berkecambah dengan mengeluarkan zoospore atau langsung
membentuk tabung kecambah, kemudian masuk ke bagian tanaman, dan akhirnya
terjadi infeksi. Spora yang jatuh ke tanah akan menginfeksi umbi, dan pembusukanya
bisa terjadi di dalam tanah atau di tempat penyimpanan. Kasus penyakit busuk daun
biasanya sering terjadi di daerah dataran tinggi yang bersuhu rendah dengan kelembaan
tinggi (Alexopoulos et al., 1996). Selain itu penyebaran spora patogen Phytophthora
infestans dipicu oleh keadaan lingkungan udara yang relatif lembab (diatas 80%).
Patogen tersebut juga dapat bertahan hidup didalam umbi dan batang kentang sehingga
infeksi pada umbi dapat terbawa sampai ke Gudang penyimanan (Adijaya, 2001).
2. Gejala serangan
Gejala awal bercak pada bagian tepi dan ujung daun, bercak melebar dan
terbentuk daerah nekrotik yang berwarna coklat. Bercak dikelilingi oleh massa
sporangium yang berwarna putih dengan belakang hijau kelabu. Serangan dapat
menyebar ke batang, tangkai, dan umbi. Perkembangan bercak penyakit pada daun
paling cepat terjadi pada suhu 18˚C - 20˚C. Pada suhu udara 30˚C perkembangan
bercak terhambat. Oleh karena itu didataran rendah (kurang dari 500 mdpl) penyakit
hawar daun tidak merupakan masalah. Epidemi penyakit hawar daun biasanya terjadi
pada suhu 16˚C - 24˚C. Di dataran tinggi di jawa, hawar daun terutama berkembang
hebat pada musim hujan yang dingin, antara bulan desember dan februari.
Daun-daun yang sakit mempunyai bercak-bercak nekrotik pada tepi dan
ujungnya, kalau suhu tidak terlalu rendah dan kelembapan cukup tinggi. Bercak-bercak
tadi akan meluas dengan cepat dan mematikan seluruh daun. Bahkan kalau cuaca
sedemikian berlangsung lama, seluruh bagian tanaman dapat mengalami kematian.
Dalam cuaca yang kering jumlah bercak terbatas, segera mengering dan tidak meluas,
umumnya gejala baru tampak bila tanaman berumur lebih dari satu bulan, meskipun
kadang-kadang sudah terlihat pada tanaman yang berumur 3 minggu.
3. Morfologi dan Daur Penyakit Hawar Daun
1) Morfologi
Phytophthora infestans memiliki bentuk miselium interseluler tidak bersekat,
mempunyai banyak houstorium, konidiofor keluar dari mulut dan kulit, berkumpul 1-
5, dengan percabangan sympodial, mempunyai bengkakan yang khas, konidium
berbentuk buah peer, 22-32x16-24 µm, berinti banyak 7-32. Konidium berkecambah
secara tidak langsung dengan membentuk hifa (benang) baru atau secara tidak langsung
dengan membentuk spora kembaran, konidium dapat juga disebut sebagai sporangium
atau zoosporangium. Cendawan ini dapat membentuk oospore meski ini agak jarang
(Djafarudin, 2000).
2) Siklus Hidup
Patogen dapat tersebar sampai ke batang dengan sangat cepat dalam jaringan
korteks yang menyebabkan kerusakan sel di dalamnya. Selanjutnya, miselium tumbuh
diantara isi sel batang, tetapi jarang terdapat dalam jaringan vascular. Miselium tumbuh
menembus batang sampai ke permukaan tanah. Ketika miselium mencapai udara di
sekitar bagian tanaman miselium memproduksi sporangiospore yang dapat menembus
stomata dan menetap serta menyebar melalui daun. Sporangiospor akan terlepas dan
menyebabkan infeksi baru, sporangiospore timbul dari stomata dan memproduksi
banyak sporangia yang dapat menginfeksi tanaman baru. Selama musim hujan,
sporangia terbawa sampai ke tanah. Umbi dekat permukaan tanah dapat terserang
zoospore yang bertunas dan berpenetrasi pada umbi menembus inti sel atau melalui
luka alami atau luka akibat serangga dan alat pertanian (Djafarudin, 2000).
Cendawan Phytophthora infestans dapat mempertahankan diri dari musim ke
musim dalam umbi-umbi yang sakit, jika umbi yang sakit ditanam, cendawan ini dapat
naik ke tunas muda yang baru saja tumbuh dan membentuk banyak konidium atau
sporangium. Demikian pula umbi-umbi sakit yang dibuang, dalam keadaan yang cocok
dapat bertunas dan menyebarkan konidium. Karena cendawan ini dapat membentuk
oospora, maka cendawan dapat mempertahankan diri dalam bentuk ini juga, dan
konidium dapat dipencarkan oleh angin dari sumber infeksi ke tanaman lain (Adijaya,
2001)
Daur hidup dimulai saat sporangium terbawa oleh angin. Jika jatuh pada
setetes air pada tanaman yang rentan, sporangium akan mengeluarkan spora kembara
(zoospora), yang seterusnya membentuk pembuluh kecambah yang mengadakan
infeksi. Ini terjadi ketika berada dalam kondisi basah dan dingin yang disebut dengan
perkecambahan tidak langsung. Spora ini akan berenang sampai menemukan tempat
inangnya. Ketika keadaan lebih panas, Phytophthora infestans akan menginfeksi
tanaman dengan perkecambahan langsung, yaitu germ tube yang terbentuk dari
sporangium akan menembus jaringan inang yang akan membiarkan parasit tersebut
untuk memperoleh nutrient dari tubuh inangnya (Djafarudin, 2000).
E. Fungisida
Fungisida adalah senyawa kimia beracun untuk memberantas dan mencegah
perkembangan fungi atau jamur. Penggunaan fungisida adalah termasuk dalam
pengendalian secara kimiawi (Djodjosumarto, 2000).
Fungisida merupakan salah satu cara dalam pengendalian yang dilakukan
dalam budidaya. Fungisida biasanya digunakan untuk menekan pertumbuhan jamur,
baik yang disemprotkan maupun dengan perlakuan benih. Selain itu, beberapa jenis
fungisida dilaporkan dapat digunakan sebagai pemacu pertumbuhan tanaman. Aplikasi
3 g L-1 dan 4,5 g L-1 mancozeb dilaporkan mampu menghasilkan ubi bertunas pada 3
BSP yang lebih tinggi dan presentase busuk kering ubi yang lebih rendah dibandingkan
dengan tanpa fungisida (Hamidin et al., 2009).
Fungisida telah lama digunakan dalam mengurangi kerugian tanaman yang
terinfeksi cendawan patogen. Fungisida dibedakan ke dalam dua kelas berdasarkan
sasarannya terhadap patogen. Kelas pertama termasuk anorganik di antaranya
campuran Bordeaux, belerang dan senyawa tembaga. Kelas kedua yaitu senyawa
organik, seperti phythalimide, ditiokarbamat, dinitrofenols, dan aromatik hidrokarbon
yang secara umum bersifat kontak. Fungisida kontak disebut juga protektan yang
melindungi tanaman dari serangan patogen pada tempat aplikasi (permukaan tanaman).
Fungisida jenis ini tidak dapat menyembuhkan tanaman yang sudah sakit. Fungisida
kontak berbahan aktif tembaga (Cu) bekerja dengan cara denaturasi protein yang
menyebabkan kematian sel cendawan. Fungisida ditiokarbamat, bekerja sebagai agen
pengkhelat unsur yang dibutuhkan oleh cendawan sehingga terjadi penghambatan
pertumbuhan. Mekanisme kerja yang demikian disebut multi sites action atau bekerja
pada berbagai organel sel cendawan, atau bekerja secara nonspesifik (FRAC, 2015).
Perkembangan dan penemuan fungisida sejak tahun 1960 an mulai digunakan
fungisida yang bersifat sistemik. Pengenalan fungisida sistemik dengan cara kerja
spesifik (spesifik mode of action) dapat menyelamatkan produksi tanaman (Ortuno et
al. 2008). Fungisida ini dapat diserap oleh jaringan dan ditranslokasikan ke seluruh
bagian tanaman. Fungisida ini bersifat kuratif yang dapat mengendalikan patogen
setelah terjadinya infeksi dan menghambat perkembangan patogen (Deising et al.,
2008). Fungisida spesifik ini bekerja pada tempat tertentu seperti menghambat sintesis
DNA, memengaruhi respirasi, menghambat sintesis kitin, menghambat sintesis
ergosterol dan lainnya (FRAC, 2015). Fungisida sistemik bersifat kuratif atau disebut
juga dengan terapeutan yaitu senyawa yang dapat menekan pertumbuhan patogen
setelah terjadinya infeksi dan mengurangi terjadinya infeksi lebih lanjut (Deising et al.,
2008). Penggunaan fungisida sintetik dalam mengurangi kerugian akibat infeksi
cendawan merupakan pengendalian yang paling umum digunakan oleh petani.
Pengendalian menggunakan fungisida sintetik dipilih karena mudah dalam aplikasi dan
terlihat lebih menjamin keberhasilan. Permintaan pasar yang mensyaratkan produk
yang secara penampilan bagus tanpa ada kerusakan fisik sehingga aplikasi fungisida
dilakukan secara berkala. Pemilihan jenis fungisida yang digunakan oleh petani
kebanyakan hanya berdasarkan informasi sesama penanam, dan cenderung fanatik
terhadap satu jenis fungisida yang paling efektif (Darajat 2014). Penggunaan fungisida
tidak disertai dengan dasar pengetahuan tentang keefektifan sehingga satu jenis bahan
aktif fungisida secara terus menerus selalu digunakan sepanjang musim tanam hal ini
memicu resistensi patogen terhadap bahan aktif tersebut (Suganda 2001).
F. Jenis Fungisida
Terdapat beberapa jenis fungisida yang sering digunakan dalam pengendalian
penyakit yaitu :
a. Metalaksil
Fungisida yang berbahan aktif Metalaksil merupakan fungisida sistemik
dengan formulasi ES (Emulsifiable solution). Fungisida ini dari golongan
benzenoid yang dapat digunakan sebagai fungisida tular tanah (soil treatment) dan
tular benih (seed treatment) untuk mengendalikan penyakit rebah kecambah.
Fungisida ini dapat menekan pertumbuhan patogen golongan Oomycetes, serta
penyakit hawar daun, rebah kecambah, dan busuk daun (Magallona et al., 1991)
dalam Sembiring (2008).
b. Dimetomorf
Bahan aktif Dimetomorf merupakan fungisida yang sistemik dengan formulasi
SC (Suspension concentrate). Bahan aktif ini dapat mengganggu sintesis membran
lipid pada patogen. Penyakit sasaran bercak daun pada tanaman jagung, lanas,
busuk daun, dan embun bulu (Moekesan, 2012).
c. Fenamidone
Fenamidone merupakan senyawa kimia dari kelompok Imidazolines dari
Rhône Poulenc dikembangkan dan diperkenalkan pada tahun 2001. Formulasi
Fenamidone adalah SC (Suspencion Concentrate). Fungisida ini dapat
mengendalikan penyakit becak daun pada kentang dan penyakit hawar daun pada
tomat (Anonim, 2015).
d. Hydroxy Amino Benzimidazole
HAB merupakan fungisida yang masuk dalam kelompok benzimidazole.
Benzimidazole berpengaruh pada pembelahan inti dengan mengikat mikrotubulus
sehingga benang gelendong tidak terorganisir. Antibiotik apolioksin dan kitazin
menghambat sintesis khitin patogen (Agrios, 2004).
e. Mancozeb+Cymoxanil
Mancozeb merupakan bahan aktif campuran maneb dan zink. Mancozeb
termasuk dalam golongan dithiokarbamat. Mancozeb memiliki keunggulan yaitu
dalam membasmi berbagai patogen tanaman (Magallona et al., (1991) dalam
Sembiring (2008)) Fungisida ini termasuk dalam fungisida kontak. Fungisida ini
memiliki cara kerja dengan menghambat kegiatan enzim yang ada pada jamur
dengan menghasilkan lapisan enzim dengan unsur logam yang berperan dalam
pembentukan ATP. Thompson (1992) dalam Sembiring (2008). Cremlyn (1978)
melaporkan Fungisida ditiokarbamat, misalnya mankozeb, bekerja sebagai agen
penghelat unsur yang dibutuhkan oleh jamur sehingga terjadi penghambatan
pertumbuhan.
G. Cara Kerja Fungisida
Berdasarkan cara kerjanya dalam tanaman, fungisida dibagi menjadi fungisida
kontak (non-sistemik) dan sistemik, yang mempunyai mekanisme kerja yang berbeda.
Fungisida kontak disebut juga protektan melindungi tanaman dari serangan patogen
pada tempat aplikasi (permukaan tanaman). Fungisida jenis ini tidak dapat
menyembuhkan tanaman yang sudah sakit. Fungisida kontak berbahan aktif tembaga
(Cu) seperti Cupravit, bekerja dengan cara denaturasi protein yang menyebabkan
kematian sel jamur.
Fungisida ditiokarbamat, misalnya mankozeb, bekerja sebagai agen pengkhelat
unsur yang dibutuhkan oleh jamur sehingga terjadi penghambatan pertumbuhan
(Cremlyn, 1978). Diubah menjadi metabolitnya yaitu isotiosianat yang menginaktifasi
enzim karena mengikat gugus SH pada asam amino dalam sel jamur. Fungisida Daconil
(klorotalonil) yang mempunyai pengaruh fungistatik juga bekerja pada gugus SH dari
enzim (Corbettetal., 1984; Agrios,1997). Mekanisme kerja yang demikian disebut
multi sitesaction atau bekerja pada banyak tempat dari tubuh jamur, atau bekerja secara
non spesifik.
Sebaliknya fungisida sistemik bekerja sampai jauh dari tempat aplikasi dan
dapat menyembuhkan tanaman yang sudah sakit. Fungisida ini terserap oleh jaringan
tanaman dan ditranslokasikan ke seluruh bagian tanaman. Fungisida sistemik bekerja.
Fungisida sistemik hanya bekerja pada satu tempat dari bagian sel jamur sehingga
disebut mempunyai cara kerja single siteaction atau spesifik. Misalnya, Oksatin yang
menghambat suksinat dehidrogenase yang penting dalam proses respirasi didalam
mitokondria. Bensimidasol berpengaruh pada pembelahan inti dengan mengikat
mikrotubulus sehingga benang gelendong tidak terorganisir. Antibiotik apolioksin dan
kitazin menghambat sintesis khitin patogen (Agrios, 1997).
Di masa lalu, fungisida yang berbahan aktif metalaksil sangat efektif untuk
mengendalikan penyakit hawar daun. Tetapi penggunaannya yang berkepanjangan
telah mengakibatkan munculnya strain Phytophthora infestans yang resisten terhadap
senyawa metalaksil. Davidse et al. (1983) melaporkan bahwa dari 222 isolat
Phytophthora infestans yang diisolasi dari daun kentang dan umbi yang berasal dari 12
daerah yang berbeda, 41 isolat di antaranya resisten terhadap metalaksil, dengan
konsentrasi 100 ppm atau lebih. Di Israel juga dilaporkan bahwa beberapa isolat
Phytophthora infestans asal Israel resisten terhadap metalaxyl dengan konsentrasi 100
ppm (Bilha et al., 1989). menemukan empat isolat Phytophthora infestans dari
Indonesia yang resisten terhadap metalaksil; dua isolat tahan terhadap metalaksil
dengan konsentrasi >10 ppm, sedangkan dua isolat lainnya tahan terhadap metalaksil
dengan konsentrasi >100 ppm (Nishimura et al., 1999).
H. Ketahanan Patogen terhadap Fungisida
Organisme, termasuk jamur patogen mempunyai sifat untuk mempertahankan
diri pada keadaan yang buruk, termasukk paparan pestisida. Penyesuaian diri tersebut
menimbulkan strain tahan terhadap pestisida. Penyebab timbulnya strain tahan adalah
pemakaian yang berulang-ulang dengan dosis subletal dari fungisida sistemik.
Fungisida yang sering digunakan menjadi tekanan seleksi bagi populasi patogen
(Dekker & Georgopoulos, 1982).
Faktor-faktor penyebab timbulnya ketahanan terhadap jamur adalah daur
patogen yang pendek, produksi spora melimpah, kemudahan perubahan sifat genetis
patogen, pertanaman monokultur, dan aplikasi fungsida yang sudah cukup lama
(Slawson, 1999). Berdasarkan kedua cara kerja yang berbeda seperti tersebut di atas
terdapat perbedaan dalam hal timbulnya ketahanan terhadap fungisida kontak dan
sistemik. Struktur sel memegang peranan penting dalam mekanisme kerja fungisida.
Untuk dapat menghambat perkembangan jamur atau membunuh jamur, fungisida
kontak maupun sistemik harus dapat menembus dinding sel dan membran sel jamur,
masuk kedalam sitoplasma dan merusak sel tersebut.
1. Ketahanan Patogen Terhadap Fungisida Kontak
Menurut sejarahnya fungisida kontak lebih dahulu dipakai dibandingkan
dengan fungisida sistemik, sehingga paparan fungisida kontak pada jamur telah lebih
lama terjadi dibandingkan dengan fungisida sistemik. Beberapa hasil penelitian
laboratorium menunjukkan adanya adaptasi jamur Sclerotium rolfsii terhadap
mancozeb dan fentinasetat (Anilkumar, 1976).
Penelitian di rumah kaca di Colorado menunjukkan adanya strain Botrytis yang
toleran terhadap mankozeb (Gillman & James, 1980). Bubur Bordeaux telah dipakai
sejak tahun 1952 dalam pengendalian penyakit blas di Jepang, namun sampai dengan
tahun 1982 belum ditemukan strain yang tahan. Sebaliknya pemakaian dengan
antibiotik kasugamisin pada periode yang sama telah menimbulkan strain tahan
(Uesugi, 1994).
Penggunaan fungisida berbahan aktif tembaga telah dilakukan untuk
pengendalian penyakit cacar teh sejak tahun 1950-an dan belum ditemukan strain
Exobasidium vexans yang tahan. Namun, Phytophthora palmivora yang diperlakukan
dengan fungisida Alfosetil dan metalaksil lebih tahan terhadap fungisida dibandingkan
dengan yang diperlakukan dengan fungisida tembaga, mancozeb, atau campurannya
(Sumardiyono, 1994). Walaupun secara teori timbulnya strain jamur tahan terhadap
fungisida kontak lebih relatif lebih lambat fenomena ini perlu diwaspadai mengingat
kemungkinan tersebut tetap ada.
2. Ketahanan Terhadap Fungisida Sistemik
Fungisida sistemik mempunyai mode of action yang spesifik. Telah sejak lama
dilaporkan bahwa benomil dan metil tiofanat yang merupakan satu kelompok
benzimidazol, menduduki peringkat tertinggi bagi timbulnya strain tahan
(Dekker,1977). Beberapa laporan menunjukkan adanya strain baru yang timbul dan
tahan terhadap fungisida sistemik. Strain Sclerotinia homeocarpa penyebab penyakit
dollar spot pada bentgrass dilaporkan tahan terhadap benomil, metiltiofanat, dan
propikonazol. Saat itu, perlakuan dengan fungisida fluazinam yang bersifat kontak
tidak menimbulkan strain tahan (Burpee, 1997).
Pengendalian penyakit Sigatoka pada pisang di Guadeloupe menggunakan
benomil telah memicu timbulnya strain Colletotrichum musae penyebab penyakit
antraknos yang tahan terhadap fungisida thiabendazol (de Ballaire, 1997), selain
menumpuknya residu pada buah pisang Colletotrichum musae adalah penyebab
penyakit antraknos pada pisang. Bila pada saat aplikasi fungisida juga terdapat patogen
tersebut, maka paparan ini memicu Colletotrichum musae untuk membentuk strain
tahan. Penggunaan benomil dan triadimefon telah menimbulkan strain jamur
Sphaerotheca fuliginea tahan terhadap kedua fungisida tersebut (McGrath, 1996).
Penggunaan iprodione selama tiga tahun untuk pengendalian Alternaria alternate p.v.
citri di Israel dan Florida telah menimbulkan strain jamur tahan iprodione (Solel et al.,
1995).
I. Resiko Timbulnya Ketahanan Jamur terhadap fungisida
Risiko timbulnya ketahanan terhadap fungisida baik kontak maupun sistemik
berbeda. Fungisida golongan benzimidazol, dikarboksimid, fenilamid mempunyai
resiko tinggi. Golongan fungisida karboksanilid fosforotiolat, anilinopirimidin,
fenilpirol, dan stobilurin beresiko medium, sedangkan golongan tembaga,
ditiokarbamat, penghambat melanin, dan belerang beresiko rendah. Berkaitan dengan
hal tersebut risiko timbulnya strain tahan juga berbeda untuk tiap patogen. Ustilago,
Phyrenophora, karat serealia, dan hawar upih daun padi beresiko rendah. Septoria
pada gandum dan Rhynchosporium beresiko medium. Penyebab penyakit kudis pada
apel (Venturia anaequalis), Sigatoka pada pisang (Mycosphaerella musicola), Botrytis,
busuk daun pada kentang (Phytophthora infestans), Penicillium pada jeruk dan blas
pada padi mempunyai risiko tinggi Hollomon (2002).
Hasil penelitian di Yogyakarta menunjukan adanya strain jamur yang tahan
terhadap beberapa fungisida secara invitro dan dirumah kaca. Penggunaan metalaksil
secara intensif untuk pengendalian penyakit bulai pada jagung telah menimbulkan
strain Peronosclerospora maydis yang tahan. Penggunaan fungisida metalaksil secara
berulang-ulang pada P.palmivora akan menimbulkan strain jamur yang tahan
(Sumardiyono et al., 1995). Penggunaan iprodione dan karbendazim secara tunggal
tidak mampu untuk mengendalikan penyakit blas pada padi, sedangkan bila kedua
fungisida tersebut dicampur dengan perbandingan 0,4 kg/ha+0 ,1l/ha, dapat
meningkatkan kemampuan pengendalian (Prihatiningsih & Djatmiko, 2001).
Kemungkinan hal ini terjadi karena telah terdapat strain jamur tahan terhadap
karbendazim maupun iprodion.
Mekanisme timbulnya strain tahan terhadap sejumlah fungisida adalah
penurunan permeabilitas sel patogen untuk menyerap senyawa kimia, detoksifikasi
senyawa kimia oleh sel patogen, penurunan perubahan menjadi metabolit yang lebih
toksik, penurunan afinitas pada sel patogen, pembelokan (by passing) urutan reaksi
dalam proses metabolisme, produksi enzim pengganti yang telah dihambat oleh
perlakuan dengan senyawa kimia (Agrios, 1997).
J. Resistensi Cendawan Patogen terhadap Fungisida
Aplikasi fungisida pada tanaman bagi cendawan merupakan suatu keadaan
yang tidak menguntungkan dan berusaha untuk menyesuaikan diri pada keadaan
tersebut yang menyebabkan terjadinya ketahanan atau resistensi terhadap fungisida.
Fungisida yang umum digunakan dibeberapa kabupaten di Bandung sudah menurun
tingkat keefektifannya dalam menekan penyakit tumbuhan (Suganda 2001). Kumar et
al., (2007) melaporkan terjadinya perkembangan ketahanan patogen antraknosa
mangga terhadap fungisida karena penggunaan yang terus menerus tanpa ada rotasi
dengan fungisida lain. Penggunaan fungisida metalaksil untuk menekan penyakit bulai
(Peronosclerospora maydis) pada tanaman jagung telah dilaporkan menyebabkan
timbulnya ras baru pada patogen tersebut. Fungisida metalaksil sudah digunakan sejak
tahun 1980 untuk mengendalikan patogen bulai pada jagung dan hal ini memicu
timbulnya ras baru di suatu lokasi dengan penggunaan fungisida yang intensif (Astuti,
2014).
Menurut Ziogas et al., (2005) ketergantungan pada fungisida sintetik
menyebabkan patogen resisten terhadap fungisida tersebut. Resistensi cendawan
patogen yang terjadi ditandai dengan menurunnya sensitivitasnya terhadap fungisida
(Suganda 2001). Kongtragoul et al., (2011) melaporkan fenotip patogen yang sangat
resisten terhadap bahan aktif fungisida memiliki daya adaptasi yang tinggi sehingga
masih tetap bertahan bahkan pada konsentrasi yang tinggi.
Resistensi patogen terhadap fungisida adalah salah satu isu yang paling penting
dalam pertanian modern. Mekanisme munculnya strain tahan terhadap sejumlah
fungisida disebabkan karena penurunan permeabilitas sel patogen untuk menyerap
senyawa kimia, terjadinya detoksifikasi senyawa kimia oleh sel patogen, penurunan
afinitas pada sel patogen, pembelokan urutan reaksi dalam proses metabolisme, dan
produksi enzim pengganti yang telah dihambat oleh senyawa kimia dari fungisida
(Sumardiyono 2013). Hal tersebut diduga memicu terjadinya mutasi gen yang mengode
target fungisida (resistensi fungisida kualitatif) atau mekanisme yang disebabkan oleh
tekanan fungisida pada konsentrasi subletal. Mekanisme ini menghasilkan tingkat dan
variasi yang berbeda dari resistensi (perlawanan fungisida kuantitatif) (Deising et al.,
2008). Pengembangan marka molekuler untuk menandai terjadinya mutasi yang
disebabkan karena pemakaian fungisida banyak dipelajari untuk membedakan patotipe
yang telah berevolusi. Beberapa peneliti melaporkan patogen yang tahan terhadap
fungisida golongan benzimidazol terjadi perubahan nukleotidanya dengan analisis
menggunakan runutan parsial gen β-tubulin (Kongtragoul et al., 2011). Penentuan
marka molekuler untuk fungisida-fungisida dengan multi site mode of action agak sulit
dilakukan karena akan melibatkan banyak mutasi gen sehingga perubahan pada gen
sulit diprediksi.
Fungisida dengan mekanisme multi site mode of action secara umum bersifat
non sistemik yang memiliki resiko yang rendah untuk berkembangnya resistensi
cendawan terhadap bahan aktif tersebut (Kumar et al. 2007). Resistensi yang terjadi
melibatkan banyak mutasi gen sehingga perubahan pada gen sulit diprediksi.
Perkembangan resistensi terhadap bahan aktif yang memiliki mekanisme site mode of
action terjadi karena patogen terus-menerus terkena paparan bahan aktif tersebut secara
terus menerus (Lim dan Choi 2006). Secara umum resistensi terjadi dengan cepat pada
C. gloeosporioides baik pada bahan aktif benomil isolat TGM 1105, propineb isolat
CKB 15. Menurut Peres et al., (2004) C. gloeosporioides cenderung sensitif terhadap
bahan aktif fungisida bahkan pada konsentrasi rendah tetapi potensi berkembangnya
resistensi secara cepat. Keragaman genetika C. gloeosporioides yang tinggi
menyebabkan perkembangan resistensi dengan cepat. Resistensi terjadi pada patogen
yang mempunyai tingkat keragaman genetika dan adaptasi yang tinggi (Kumar dan
Rani 2013). C. gloeosporioides yang menginfeksi buah cabai terdiri atas dua strain
sehingga mampu menginfeksi buah yang masih muda (hijau) dan matang (merah), C.
gloeosporioides juga memiliki kisaran inang yang luas (Park et al. 1987).
Menurut Kumar et al. (2007) tingkat sensitivitas isolat Colletotrichum spp.
terhadap bahan aktif fungisida ditentukan berdasarkan tingkat hambatan relatif (THR)
yaitu sebagai berikut;
➢ Sangat sensitif (SS) : THR > 90%
➢ Sensitif (S) : 75% < THR ≤ 90%
➢ Resisten sedang (RS) : 60% < THR ≤ 75%
➢ Resisten (S) : 40% < THR ≤ 60%
➢ Sangat Resisten (SR) : THR ≤ 40%
Desta Andryani (2017) isolat Collectrichum sudah sangat resisten terhadap
bahan aktif klorotalonil, isolat collectrichum sudah resisten terhadap bahan aktif
mankozeb dan propineb, isolat collectrichum masih sensitif dan sangat sensitif
terhadap bahan aktif benomil.
Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa telah terjadi kasus resistensi
Botritis cinerea terhadap fungisida dari kelompok dikarboksamid dan MCB. Yourman
dan Jeffers (1999) melaporkan kepekaan isolate Botritis cinerea di lahan pertanian
strowberi dan menunjukan bahwa lebih dari 80% dari isolat yang dianalisis telah tahan
terhadap fungisida jenis tiophanat-metil. Selanjutnya, telah dibuktikan bahwa
terjadinya multi-resisten terhadap fungisida jenis dicarboksamid dan bensimidasol. La
Mondia dan Douglas (1997) menemukan bahwa 70% dari isolat Botritis cinerea yang
diisolasi dari rumah kaca telah tahan terhadap fungisida jenis benomil dan thiophanate-
metil, sementara sekitar 35% dari isolat telah tahan terhadap fungisida iprodione.
Resistensi jamur jenis ini ke dikarboksamid dan fungisida MBC merupakan hal yang
umum terjadi, dan ada laporan kasus isolat yang resisten terhadap thiophane-metil,
piraclostrobin, boscalid, cyprodinil, fenhexamid, iprodione, dan fludioxonil secara
bersamaan. (Fernandez. et al. 2014)
K. Hipotesis Penelitian
Penggunaan fungisida untuk mengendalikan penyakit hawar daun dalam
jangka waktu yang lama dan secara terus menerus serta penggunaanya yang beragam
diduga telah menyebabkan resistensi penyakit hawar hawar daun (Phytophthora
infestans) terhadap fungisida di Kecamatan Kayu Aro Barat, Kabupaten Kerinci,
Provinsi Jambi.