II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Minyak Gorengeprints.umm.ac.id/41748/3/BAB II.pdf · 2.1 Minyak Goreng...
Transcript of II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Minyak Gorengeprints.umm.ac.id/41748/3/BAB II.pdf · 2.1 Minyak Goreng...
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Minyak Goreng
Minyak merupakan zat makanan yang penting untuk menjaga kesehatan
tubuh manusia. Selain itu minyak juga merupakan sumber energi yang lebih efektif
dibandingkan karbohidrat dan protein. Satu gram minyak dapat menghasilkan 9
kkal, sedangkan karbohidrat dan protein hanya menghasilkan 4 kkal/gram. Minyak
goreng adalah minyak yang berasal dari lemak tumbuhan atau hewan yang
dimurnikan dan berbentuk cair dalam suhu kamar dan biasanya digunakan untuk
menggoreng bahan makanan (Sitepoe, 2008).
Minyak goreng berfungsi sebagai penghantar panas, penambah rasa gurih,
dan penambah nilai kalori bahan pangan. Minyak goreng merupakan salah satu
kebutuhan pokok manusia sebagai alat pengolah bahan-bahan makanan. Pada
umumnya masyarakat banyak menggunakan jenis minyak goreng yang berasal dari
nabati, seperti: minyak kelapa sawit, kopra, kacang kedelai, biji jagung
(lembaganya), biji bunga matahari, biji zaitun (olive), dan lain-lain (Ketaren, 2008).
2.2 Minyak Goreng Sawit
Minyak goreng kelapa sawit diekstrak dari bagian serabut yang tebal pada
lapisan luar dari pulp bagian buah pohon kelapa sawit (Elaeis guineensis jacq.).
Minyak kelapa sawit yang tidak mengalami pemucatan akan berwarna orange tua
dengan konsistensi yang lembut seperti mentega dan berbau seperti halnya bunga
violet. Kandungan pigmen yang secara alami terdapat dalam minyak sawit adalah
karoten dan yang paling penting adalah β-karoten. Minyak kelapa sawit terutama
mengandung asam palmitat (C 16:0) pada fraksi stearinnya dan asam oleat (C 18:1)
pada fraksi olein (Febriansyah, 2007).
5
Minyak goreng sawit adalah bahan pangan dengan komposisi utama
trigliserida berasal dari minyak sawit, dengan atau tanpa perubahan kimiawi,
termasuk hidrogenasi, pendinginan dan telah melalui proses pemurnian dengan
penambahan vitamin A (SNI, 2012).
Penggunaan minyak goreng sawit sebagai medium penghantar panas,
menambah rasa gurih, menambah nilai gizi dan kalori dalam makanan. Minyak
goreng tersusun dari beberapa senyawa seperti asam lemak dan trigliserida
(Ketaren, 2008).
2.3 Sifat Fisik dan Kimia Minyak Goreng
Parameter kualitas minyak meliputi sifat fisik dan sifat kimia. Sifat fisik
minyak meliputi warna, bau, kelarutan, titik cair dan polimorphism, titik didih, titik
pelunakan, slipping point, shot meltingpoint; bobot jenis, viskositas, indeks bias,
titik kekeruhan (turbidity point), titik asap, titik nyala dan titik api. Standar mutu
adalah merupakan hal yang penting untuk menentukan minyak yang bermutu baik.
(Sutiah dkk., 2008).
Sifat fisik minyak meliputi odor dan flavor, terdapat secara alami dalam
minyak dan juga terjadi karena pembentukan asam-asam yang berantai sangat
pendek. Dari segi kelarutannya minyak tidak larut dalam air kecuali minyak jarak
(castor oil). Dari segi titik cair dan polymorphism, minyak tidak mencair dengan
tepat pada suatu nilai temperatur tertentu. Polymorphism adalah keadaan dimana
terdapat lebih dari satu bentuk kristal. Titik didih (boiling point), titik didih akan
semakin meningkat dengan bertambah panjangnya rantai karbon asam lemak
tersebut. Titik lunak (softening point), dimaksudkan untuk identifikasi minyak
tersebut. Sliping point, digunakan untuk pengenalan minyak serta pengaruh
6
kehadiran komponen-komponennya. Shot melting point, yaitu temperatur pada saat
terjadi tetesan pertama dari minyak atau lemak. Bobot jenis, biasanya ditentukan
pada temperatur 25 oC, dan juga perlu dilakukan pengukuran pada temperatur 40
oC. Titik asap, titik nyala dan titik api, dapat dilakukan apabila minyak dipanaskan.
Merupakan kriteria mutu yang penting dalam hubungannya dengan minyak yang
akan digunakan untuk menggoreng. Titik kekeruhan (turbidity point), ditetapkan
dengan cara mendinginkan campuran minyak dengan pelarut lemak (Anonim,
2011).
Warna minyak sudah lama digunakan sebagai indikator fisik dalam melihat
kerusakan minyak. Namun, sebenarnya tidak tepat menggunakan warna sebagai
indikator kerusakan minyak. Hal ini karena perubahan warna minyak goreng yang
tidak diikuti dengan kenaikan jumlah senyawa hasil degradasi minyak hanya akan
mempengaruhi warna produk dan tidak akan mempengaruhi rasa produk. Pengujian
warna untuk menentukan kualitas minyak goreng dipengaruhi oleh batch dari
minyak, jumlah dan tipe dari makanan yang digoreng, suhu dan tipe penggorengan,
serta jarak estimasi visual dari digunakan warna yang tidak terlihat lampu
(Blumethal, 1996). Warna minyak dapat ditentukan dengan menggunakan lovibond
tintometer. Penentuan dengan menggunakan lovibond bersifat subjektif
(Krishnamurthy dkk, 1996).
Sifat-sifat kimia minyak terdiri dari reaksi hidrolisis yaitu mengubah
minyak menjadi asam–asam lemak bebas dan gliserol. Reaksi hidrolisis dapat
mengakibatkan kerusakan minyak karena terdapat sejumlah air dalam minyak
tersebut. Reaksi oksidasi dapat berlangsung bila terjadi kontak antara sejumlah
oksigen dengan minyak. Terjadinya reaksi oksidasi ini akan mengakibatkan bau
7
tengik pada minyak. Reaksi hidrogenasi sebagai suatu proses industri bertujuan
untuk menjenuhkan ikatan rangkap dari rantai karbon asam lemak pada minyak.
Reaksi esterifikasi bertujuan untuk mengubah asam-asam lemak dari trigliserida
dalam bentuk ester. Reaksi esterifikasi dapat dilakukan melalui reaksi kimia yang
disebut interesterifikasi (Ketaren, 2008).
Reaksi kimia yang dapat terjadi pada minyak goreng selama penggorengan
deep frying adalah hidrolisis, oksidasi dan polimerisasi yang menghasilkan
komponen volatil dan non volatil. Komponen volatil akan menguap ke udara selama
penggorengan dan sebagian lagi terserap kedalam makanan gorengan. Komponen
volatil akan menyebabkan terjadinya perubahan secara fisik dan kimia pada minyak
goreng dan makanan gorengan. Komponen volatil inilah yang mempengaruhi
kestabilan dan mutu, cita rasa dan tekstur makanan selama penyimpanan (Choe dkk,
2007).
Gambar 1. Minyak Goreng (SMART, 2017).
2.4 Kandungan Kimia Minyak Kelapa Sawit
2.4.1 Trigliserida
Seperti halnya lemak dan minyak lainnya, minyak kelapa sawit terdiri atas
trigliserida yang merupakan ester dari gliserol dengan tiga molekul asam lemak
menurut reaksi sebagai berikut:
8
Gambar 2. Reaksi Hidrolisis Trigliserida (Nurhida, 2004).
Bila R1 = R2 = R3 atau ketiga asam lemak penyusunnya sama maka
trigliserida ini disebut trigliserida sederhana, dan apabila salah satu atau lebih asam
lemak penyusunnya tidak sama maka disebut trigliserida campuran (Nurhida,
2004).
Asam lemak merupakan rantai hidrokarbon, yang setiap atom karbonnya
mengikat satu atau dua atom hidrogen kecuali atom karbon terminal mengikat tiga
atom hidrogen, sedangkan atom karbon terminal lainnya mengikat gugus karboksil.
Asam lemak yang pada rantai hidrokarbonnya terdapat ikatan rangkap disebut asam
lemak tidak jenuh, dan apabila tidak terdapat ikatan rangkap pada rantai
hidrokarbonnya maka karbonnya disebut dengan asam lemak jenuh. Secara umum
struktur asam lemak dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 3. Struktur Asam Lemak Jenuh dan Asam Lemak Tidak Jenuh (Nurhida,
2004).
Makin jenuh molekul asam lemak dalam molekul gliserida, semakin tinggi
titik beku atau titik cair minyak tersebut pada suhu kamar biasanya berada pada fase
padat. Sebaliknya semakin tidak jenuh asam lemak dalam molekul trigliserida maka
9
makin rendah titik cair minyak tersebut sehingga pada suhu kamar berada pada fase
cair. Minyak kelapa sawit adalah lemak semi padat yang mempunyai komposisi
yang tetap (Nurhida, 2004).
2.4.2 Asam Lemak
2.4.2.1 Asam Lemak Jenuh
Asam lemak jenuh tersusun atas rantai karbon berikatan tunggal. Struktur
umum asam lemak adalah HOOCR. Gugus R merupakan alkil yang tersusun atas
rantai karbon tunggal menentukan penamaan dari asam lemak tersebut.
Tabel 1. Jenis Asam Lemak Jenuh
Jumlah Rantai C Nama Umum Nama Sistematis
4 Butirat Butanoat
6 Kaproat Heksanoat
8 Kaprilat Oktanoat
10 Kaprat Dekanoal
12 Laurat Dodekanoat
14 Miristat Tetradekanoat
16 Palmitat Heksadekanoat
18 Stearat Oktadekanoat
20 Arakhidat Eikosanoat
22 Lignoserat Dokosanoat
Sumber: Rusdin (2015).
2.4.2.2 Asam Lemak Tak Jenuh
Gugus R pada asam lemak tak jenuh tersusun atas rantai karbon yang
memiliki ikatan ganda. Jumlah atom karbon dan jumlah ikatan rangkapnya
menentukan penamaan dari asam lemak tak jenuh.
Asam lemak tak jenuh ada yang memiliki satu ikatan rangkap, yang disebut
sebagai MUFA (mono unsaturated fatty acid), contohnya asam oleat. Asam lemak
yang memiliki ikatan rangkap lebih dari satu disebut PUFA (poly unsaturad fatty
acid). Asam linoleat adalah contoh PUFA dengan dua ikatan rangkap, dan asam
linolenat memiliki tiga ikatan rangkap (Rusdin, 2015).
10
Tabel 2. Jenis Asam Lemak Tak Jenuh
Jumlah Rantai C dan
Ikatan Rangkap
Nama Umum Nama Sistematis
10:1 Obtusilat 4- Decanoat
10:1 Kaproleat 9- Decanoat
12:1 Linderat 4- Dodecenoat
12:1 Lauroleat 9- Dodecenoat
14:1 Tsuzuat 4- Tetradecenoat
14:1 Physterat 5- Tetradecenoat
14:1 Miristoleat 9- Tetradecenoat
16:1 Palmitoleat 9- Heksadecenoat
18:1 (9c) Oleat 9- Oktadecenoat
18:2 (9c, 12c) Linoleat Cis, cis-9,12-
Oktadekadienoat
18:3 (9c, 12c, 15c) Linolenat Cis, cis, cis-9,12,15-
Oktadekatrienoat
20:5 (5c, 8c, 11c, 14c, 17c) EPA Eicosapentaenoic acid
Sumber: Rusdin (2015).
PUFA dan MUFA merupakan asam lemak esensial karena tidak di produksi
di dalam tubuh manusia, namun sangat dibutuhkan, sehingga untuk memenuhi
kebutuhan tubuh, asam-asam lemak tersebut diperoleh melalui makanan (Rusdin,
2015).
2.5 Komposisi Asam Lemak dan Standar Mutu Minyak Goreng Sawit
Minyak atau lemak tidak mungkin tersusun atas satu jenis asam lemak,
selalu dalam bentuk campuran dari banyak asam lemak. Proporsi campuran asam-
asam lemak tersebut menyebabkan lemak dapat berbentuk cair atau padat, bersifat
sehat atau membahayakan kesehatan, tahan simpan, atau mudah tengik. Pada Tabel
3 menampilkan komposisi asam lemak dari minyak goreng (minyak sawit).
Tabel 3. Komposisi Asam Lemak Minyak Goreng Sawit
Asam Lemak Jumlah (%)
Asam Miristat 1,1-2,5
Asam Palmitat 40-46
Asam Stearat 3,6-4,7
Asam Oleat 30-45
Asam Linoleat 7-11
Sumber: Ketaren (2005).
11
Sebagian besar lemak dalam makanan (termasuk minyak goreng) berbentuk
trigliserida. Jika terurai, trigliserida akan berubah menjadi satu molekul gliserol dan
tiga molekul asam lemak bebas. Semakin banyak trigliserida yang terurai semakin
banyak asam lemak bebas yang dihasilkan (Morton dkk, 1988), pada proses
oksidasi lebih lanjut, asam lemak bebas ini akan menyebabkan lemak atau minyak
menjadi bau tengik (Ketaren, 1986). Biasanya untuk menghilangkan atau
memperlambat oksidasi yang menyababkan bau tengik ini, minyak goreng
ditambahkan dengan vitamin A, C, D atau E (Luciana, 2005). Standar mutu minyak
goreng dapat dilihat di Tabel 4.
Tabel 4. Standar Mutu Minyak Goreng Sawit
Kriteria Uji Satuan Persyaratan
Bau - Normal
Rasa - Normal
Warna (lovibord 5,25
cell)
Merah/kuning Maks. 5,0/50
Kadar Air dan Bahan
Menguap (b/b)
% Maks 0,1
Asam Lemak Bebas % Maks 0,3
Vitamin A IU/g Min. 45
Sumber: SNI (2012).
2.6 Reaksi Kimia Minyak Goreng
Reaksi kimia yang terjadi pada minyak goreng adalah reaksi hidrolisis dan
reaksi oksidasi. Reaksi-reaksi pada minyak goreng melibatkan gugus fungsional
(ester) dan ikatan-ikatan rangkap pada rantai asam lemak.
2.6.1 Reaksi Hidrolisis Minyak Goreng
Reaksi hidrolisis minyak goreng adalah rekasi pelepasan asam lemak bebas
(free fatty acid) dari gliserol dalam struktur molekul minyak. Reaksi hidrolisis dapat
dipicu oleh adanya aktivitas enzim lipase atau pemanasan yang menyebabkan
pemutusan ikatan ester dan pelepasan asam lemak bebas (Feri, 2010).
12
Reaksi hidrolisis minyak dapat terjadi apabila terdapat air dan pemanasan.
Hidrolisis minyak dapat terjadi pada lemak jenuh atau tidak jenuh. Penggunaan
suhu tinggi menghasilkan energi yang tinggi, yang dapat memecah struktur minyak.
Mula-mula minyak akan terhidrolisis membentuk gliserol dan asam lemak bebas,
kemudian akan terjadi reaksi lanjutan yang menyebabkan pemecahan molekul
gliserol dan asam lemak bebas (Kusnandar, 2010). Pemanasan pada suhu tinggi
menyebabkan ikatan pada gliserol pecah sehingga menyebabkan lepasnya dua
molekul air dan membentuk senyawa akrolein. Akreloin bersifat volatil dan
membentuk asap yang dapat mengiritasi mata (Kusnandar, 2010).
2.6.2 Reaksi Oksidasi Minyak Goreng
Oksidasi adalah salah satu reaksi kimia yang menyebabkan kerusakan
minyak goreng, terutama minyak yang mengandung asam lemak tidak jenuh.
Reaksi oksidasi minyak dipicu oleh adanya oksigen, enzim peroksida, cahaya, dan
ion polivalen. Apabila minyak yang mengandung asam lemak tidak jenuh (R-H)
teroksidasi oksigen dan dipicu oleh adanya panas maka ikatan rangkap yang
terdapat pada asam lemak tidak jenuh akan terputus dan oksigen menjadi bagian
dari molekul (Kusnandar, 2010).
Rekasi oksidasi minyak dapat membentuk senyawa peroksida. Senyawa
peroksida adalah senyama yang keberadaannya tak diharapkan pada minyak
goreng, karena senyawa peroksida merupakan salah satu indikasi kerusakan minyak
goreng. Selanjutnya, degradasi hidroperoksida akan membentuk senyawa aldehida
yang bersifat volatil dan berkontribusi dalam pembentukan bau tengik. Jenis
senyawa peroksida dan aldehida yang terbentuk dipengaruhi oleh jenis asam lemak
yang terlibat dalam reaksi oksidasi (Feri, 2010).
13
2.7 Fortifikasi Vitamin A
Fortifikasi pangan adalah penambahan satu atau lebih zat gizi (nutrien) ke
bahan pangan. Tujuan utama adalah untuk meningkatkan tingkat konsumsi dari zat
gizi yang ditambahkan untuk meningkatkan status gizi populasi. The Joint Food
and Agricuktural Organization World Health Organization (FAOIWO) Expert
Commitee on Nutrition (FAO/WHO, 1971) menganggap istilah fortification paling
tepat menggambarkan proses dimana zat gizi makro dan zat gizi mikro ditambahkan
kepada pangan yang dikonsumsi secara umum dengan tujuan untuk
mempertahankan dan memperbaiki kualitas gizi, masing-masing ditambahkan
kepada pangan atau campuran pangan.
Fortifikasi vitamin A merupakan penambahan vitamin A untuk
meningkatkan nilai gizi pada bahan pangan (Sommer dkk, 1996). Pada umumnya
fortifikasi vitamin A dilakukan pada minyak atau lemak karena vitamin A larut dan
stabil pada minyak atau lemak. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa
vitamin A adalah larut lemak yang dapat didistribusikan dalam minyak (Lakyc dkk.,
2002 dalam Riyadi dkk., 2008). Fortifikasi vitamin A pada minyak kelapa
mempunyai stabilitas yang baik (Allen, 2006). Fortifikasi minyak kelapa sawit
mempunyai bio avaibilitas yang tinggi karena suasana lemak (you, 2002 dalam
Riyadi dkk, 2008). Minyak kelapa sawit fortifikasi vitamin A tidak hanya
mengandung vitamin A, juga menyediakan lemak yang mempengaruhi
keberhasilan penyerapan vitamin A (Permaesih, 2008).
Menurut SNI (2012), dosis fortifikasi vitamin A pada minyak goreng adalah
45 IU/gram minyak goreng. Dosis ini berkaitan dengan penyerapan minyak oleh
14
bahan pangan yang digoreng dan yang hilang selama proses penanganan dan
pengolahan (Haryadi, 2002).
Jenis vitamin A yang umumnya ditambahkan pada minyak goreng adalah
vitamin A asetat dan palmitat. Jika dibandingkan dengan retinol murni maka
vitamin A asetat dan palmitat memiliki kestabilan yang lebih baik. Vitamin A
palmitat lebih stabil terhadap pemanasan jika dibandingkan dengan vitamin A
asetat (Bagriansky dkk, 1998).
Produk pangan yang telah difortifikasi dalam hal ini adalah minyak goreng
harus dapat diterima dan dimanfaatkan oleh konsumen sesuai dengan tujuan
penggunaannya (Drajat, 2009) dan memiliki stabilitas yang tinggi atau tidak mudah
rusak selama penyimpanan maupun pemasakan.
2.8 Retensi Vitamin A pada Minyak Goreng
Retensi menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah penyimpanan atau
penahanan (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2005). Dalam hal ini retensi
vitamin A pada minyak goreng adalah kemampuan vitamin A bertahan pada
minyak goreng selama proses penyimpanan dan pengolahan.
Retensi vitamin A dalam minyak goreng adalah hal yang sangat penting
untuk diketahui. Paparan suhu, cahaya dan oksigen merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi stabilitas vitamin A (Hariyadi, 2002). Cara penggorengan
yang dilakukan masyarakat di Indonesia adalah penggorengan yang memungkinkan
minyak goreng terpapar dengan cahaya dan oksigen dengan penggunaan minyak
goreng secara berulang-ulang.
Menurut Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2004), kebutuhan vitamin
A (µg retinol) 375-500 µg, untuk orang dewasa membutuhkan 600 µg, sedangkan
15
ibu hamil dan menyusui 300-350 µg. Retensi vitamin A pada minyak goreng akan
menurun menjadi 81% setelah dilakukan dua kali pengulangan penggorengan, 71%
setelah tiga kali penggorengan, 52% setelah empat kali sampai menjadi 0% setelah
12 kali pengulangan penggorengan (Favaro dkk., 1991 dalam Hariyadi 2002).
Stabilitas minyak menurun akibat semakin jenuhnya lemak yang terkandung,
semakin lama waktu penggorengan dan semakin tingginya kandungan logam
mikro. Vitamin A memiliki retensi yang tinggi jika di dalam minyak goreng
terdapat antioksidan seperti tokoferol, BHA, BHT dan TBHQ (Haryadi, 2002).
2.9 Deep Fat Frying
Menurut Muchtadi (2008), pada penggorengan deep fat frying saat bahan
makanan dimasukkan ke dalam minyak, suhu permukaan bahan akan segera
meningkat dan air menguap, permukaan bahan pangan akan mengering, terjadi
penguapan lebih lanjut dan berbentuk kerak (crust). Suhu permukaan bahan akan
meningkat hingga suhu minyak panas, sedangkan suhu bagian dalam bahan pangan
akan meningkat secara perlahan hingga suhu 100oC. Suhu proses penggorengan
pada tekanan atmosfer terjadi pada suhu titik didih minyak sekitar 180oC-200oC.
Prinsip penggorengan deep fat frying adalah minyak, bahan pangan dan
panas adalah input proses sedangkan outputnya berupa makanan gorengan, uap air,
uap minyak, minyak jelantah dan remah-remah bahan pangan (Robertson, 1967).
Metode ini sangat penting karena prosesnya cepat, mudah dan produknya
mempunyai tekstur dan aroma yang lebih disukai.
16
Gambar 4. Kesetimbangan Masa dan Panas pada Proses Penggorengan secara
Deep Fat Frying (modifikasi Robertsen, 1967).
Akibat proses penggorengan terjadi perubahan-perubahan fisik yang
bersifat spesifik yaitu (1) kenaikan suhu produk ke level yang dikehendaki, (2)
evaporasi air, (3) kenaikan suhu permukaan hingga terjadi pencoklatan dan
terbentuknya karak, (4) perubahan dimensional bahan pangan, (5) terserapnya
minyak kedalam bahan, dan (6) perubahan densitas produk gorengan yang
menyebabkan produk timbul tenggelam selama proses berjalan (Block, 1995).
Reaksi kimia yang dapat terjadi pada minyak goreng selama penggorengan
deep fat frying adalah hidrolisis, oksidasi dan polimerisasi yang menghasilkan
komponen volatil dan non volatil. Komponen volatil akan menguap ke udara selama
penggorengan dan sebagian lagi terserap kedalam makanan gorengan. Komponen
volatil akan menyebabkan terjadinya perubahan secara fisik dan kimia pada minyak
goreng dan makanan gorengan. Komponen volatil inilah yang mempengaruhi
kestabilan dan mutu, cita rasa dan tekstur makanan selama penyimpanan (Choe dkk,
2007).
2.10 Suhu dan Intensitas Penggorengan
Kerusakan oksidasi terjadi pada asam lemak tak jenuh, tetapi bila minyak
dipanaskan suhu 100oC atau lebih, asam lemak jenuh pun dapat teroksidasi.
Oksidasi pada penggorengan suhu 200oC menimbulkan kerusakan lebih mudah
17
pada minyak dengan derajat ketidakjenuhan tinggi, sedangkan hidrolisis mudah
terjadi pada minyak dengan asam lemak jenuh rantai panjang (Makara, 2009).
Gliserol dapat menguap pada suhu diatas 150oC. Asam lemak yang lepas dari
gliserol disebut sebagai asam lemak bebas. Terbebasnya asam lemak dari gliserol
menjadi petunjuk dalam menganalisis tingkat kerusakan hidrolitik, yaitu melalui
analisis angka asam dan angka asam lemak bebas (Harini, 2005).
Proses pemanasan secara terus-menerus pada suhu tinggi serta terjadinya
kontak dengan oksigen dari udara luar akan memudahkan terjadinya reaksi oksidasi
pada minyak (Ketaren, 1986). Isomer geometris terbentuk apabila ikatan rangkap
cis (struktur bengkok) terisomerisasi menjadi konfigurasi trans (struktur lebih
linier) yang secara termodinamik sifatnya lebih stabil daripada cis, seperti asam
oleat menjadi asam elaidat (Puspitasari, 1996). Bentuk isomer trans lebih
menyerupai asam lemak jenuh daripada asam lemak tak jenuh. Secara kimiawi,
konfigurasi asam lemak tak jenuh trans mengikat atom hidrogen secara
berseberangan (opposite), sedangkan bentuk cis sebaliknya (Mayes, 2003).
Intensitas penggorengan mempengaruhi kualitas minyak yang digunakan
dan bahan makanan yang digoreng. Semakin sering minyak digunakan untuk
menggoreng maka semakin rendah kualitas minyak dan bahan yang digoreng.
Semua provitamin A yang ada dalam minyak sawit akan hilang, setelah 12 kali
berturut-turut digunakan untuk menggoreng (Nestel dkk, 2003).
Minyak yang digunakan berulang kali memiliki angka iod yang sangat
rendah sehingga terjadi perubahan mutu pada bilangan iod. Hal ini dikarenakan
jumlah ikatan rangkap dalam minyak goreng bekas semakin kecil sebagai akibat
dari pemanasan dengan suhu tinggi dan pemakaian minyak yang lebih dari 5 kali
18
penggorengan atau mengalami reaksi oksidasi serta menghasilkan asam lemak
bebas, alkohol, aldehid, radikal bebas dan ikatan tunggal (Austutik, 2010).
2.11 Karkas Daging Ayam
Daging ayam merupakan salah satu hasil ternak yang umum dikonsumsi
oleh masyarakat. Produk daging ayam banyak dikonsumsi masyarakat global
karena tidak ada faktor pembatas dengan kultur budaya dan kepercayaan tertentu.
Soeparno (2005), menjelaskan bahwa selain sebagai penganekaragaman sumber
pangan, daging juga dapat memberikan kepuasan atau kenikmatan bagi yang
memakannya karena kandungan gizinya lengkap sehingga keseimbangan gizi untuk
hidup dapat terpenuhi. Proses pengolahan daging merupakan salah satu upaya untuk
memperpanjang masa simpan daging. Salah satu proses pengolahan yang umum
dilakukan yaitu dengan proses penggorengan.
Penggunaan minyak goreng berulang bukan hanya mengakibatkan minyak
tersebut rusak, tetapi mempengaruhi bahan pangan yang digoreng. Hal tersebut
disampaikan oleh Ketaren (2008), yang menyatakan bahwa kerusakan minyak
selama proses penggorengan akan mempengaruhi mutu dan nilai gizi dari bahan
yang digoreng. Pernyataan tersebut diperjelas oleh Almatsier (2001) yang
menyatakan bahwa struktur protein pada umumnya labil, sehingga dalam larutan
mudah berubah bila mengalami perubahan pH, radiasi, cahaya, suhu tinggi, dan
sebagainya.
Gambar 5. Karkas Dada Ayam (SNI, 2012).
19
2.12 FFA (Free Fatty Acid)
FFA (Free Fatty Acid) merupakan salah satu parameter penting untuk
menentukan kualitas minyak goreng kelapa sawit. Peningkatan FFA terjadi apabila
minyak goreng teroksidasi ataupun terhidrolisis sehingga ikatan rangkap yang
terdapat pada minyak goreng menjadi jenuh. Selama penggorengan makanan terjadi
perubahan fisikokimia, baik pada makanan yang digoreng maupun minyak yang
dipakai sebagai media untuk menggoreng (memanaskan). Apabila suhu pemanasan
lebih tinggi dari suhu normal (168-196) oC, maka akan terjadi percepatan proses
degradasi dan oksidasi minyak goreng. Ketaren (2010), mengatakan bahwa
kerusakan minyak diakibatkan oleh proses penggorengan pada suhu tinggi (200-
250) oC.
Kandungan asam lemak bebas yang terkandung pada minyak goreng
berbeda-beda tergantung bahan baku kelapa sawit dan proses pengolahan yang
digunakan. Menurut SNI (2012), kadar asam lemak bebas pada minyak goreng
maksimal 0,3 %. Asam lemak bebas terbentuk karena terjadinya hidrolisa minyak
menjadi asam-asamnya. Asam lemak bebas merupakan indikator kesegaran suatu
minyak goreng, meskipun bukan menjadi satu-satunya indikator kerusakan.
Air dapat menghidrolisa minyak menjadi gliserol dan asam lemak bebas.
Proses ini dibantu oleh adanya asam, alkali, uap air, temperatur tinggi dan enzim.
Kandungan asam lemak bebas minyak meningkat selama pemanasan, disebabkan
peristiwa oksidasi dan hidrolisis. Pada proses ini terjadi pemutusan rantai
trigliserida menjadi asam-asam lemak bebas dan gliserol (Anonim, 2009).