II. TINJAUAN PUSTAKAeprints.mercubuana-yogya.ac.id/5166/3/BAB 2.pdf · roti. Biasanya mutu terigu...
Transcript of II. TINJAUAN PUSTAKAeprints.mercubuana-yogya.ac.id/5166/3/BAB 2.pdf · roti. Biasanya mutu terigu...
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Cookies
Cookies atau kue kering merupakan salah satu jenis biskuit yang dibuat dari
adonan lunak, berkadar lemak tinggi, relatif renyah bila dipatahkan dan penampang
potongannya bertekstur padat (Anonim, 2011). Cookies berbeda dengan roti karena
mengandung lemak lebih tinggi, sehingga menghasilkan cookies dengan tekstur yang
rapuh dan garing. Cookies yang baik terasa ringan dan rapuh. Ketika pembuatan
cookies tipis, pembuatan harus diperhatikan secara hati-hati ketika mencampurkan
lemak dan terigu sebelum ditambahkan cairan, sehingga bubuk terigu telah bercampur
dengan lemak dan tidak berubah menjadi gluten. Namun sebaliknya, mencampurkan
terlalu lama membuat cookies menjadi keras (Ngabito, 2014).
Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 01-2973-1992, ada empat jenis
biskuit yaitu: biskuit keras, crackers, cookies, dan wafer. Cookies merupakan produk
kue kering yang tidak memerlukan sifat pengembangan yang tinggi seperti cake
(Estiningtyas, 2012). Cookies merupakan salah satu contoh produk yang tahan lama.
Cookies dapat disimpan untuk jangka waktu yang lama berkisar antara 3-6 bulan.
Secara umum, mutu cookies yaitu berstruktur renyah, rapuh, kering, berwarna kuning
kecoklatan atau sesuai bahan yang digunakan, beraroma harum khas, serta terasa lezat,
gurih dan manis. Prinsipnya cookies dibuat dari adonan tepung, telur, lemak, dan gula
yang dicetak dan dibakar. Dua bagian utama dari proses pembuatan cookies adalah
pembuatan adonan dan pembakaran (Adikhairani, 2012).
5
Syarat mutu cookies di Indonesia tercantum menurut SNI 01-2973-1992 dan 2011
sebagai berikut :
Tabel 1. Syarat Mutu Cookies
Kriteria Uji Syarat
Energi (kkal/100 gram) Min. 400
Air (%) Maks. 5
Protein (%) Min. 5
Lemak (%) Min. 9,5
Karbohidrat (%) Min. 70
Abu (%) Maks. 1,6
Serat Kasar (%) Maks 0,5
Logam Berbahaya Negatif
Bau dan rasa Normal dan Tidak tengik
Warna Normal
Sumber : Anonim, 2011
Berdasarkan cara pencampuran dan resepnya, cookies digolongkan menjadi dua
yaitu untuk jenis adonan dan jenis busanya (butter type dan foam type). Cookies jenis
adonan meliputi kue kering yang dapat disemprot atau dicetak. Cookies jenis ini
menggunakan bahan dasar tepung terigu, lemak, gula halus, dan telur. Lemak yang
digunakan dalam pembuatan cookies ini lebih dari 50% sehingga adonan menjadi
lembek dan lembab ketika dibakar. Agar diperoleh susunan yang baik pada produksi
akhir maka ditambahkan beberapa persen tepung terigu dan telur, hal ini membantu
untuk mencapai kepadatan adonan yang sesuai dengan yang diperlukan agar bentuk
cookies tetap teguh (Suhardjito, 2016).
B. Proses Pembuatan Cookies
Prinsip pembuatan cookies dan pembentukkan kerangka cookies dibagi menjadi
3 tahap yaitu pembuatan adonan, pencetakan dan pemanggangan. Pembentukkan
6
kerangka cookies diawali sejak pembuatan adonan. Selama pencampuran terjadi
penyerapan air oleh protein terigu sehingga terbentuk gluten yang akan membentuk
struktur cookies sampai terbentuk adonan yang homogen, tahapan yang kedua
pencetakan dan terakhir adalah pemanggangan (Pertiwi, 2006).
Pada tahap awal pemanggangan terjadi kenaikan suhu yang menyebabkan
melelehnya lemak sehingga konsistensi adonan menurun dan adonan cookies
mengalami penyebaran ditandai dengan perubahan diameter dan ketebalan cookies.
Ketika suhu mendekati titik didih air, protein dalam susu dan putih telur terkoagulasi
dan diikuti gelatinisasi pati sebagian karena kandungan airnya yang rendah. Pada saat
suhu didih air tercapai pembentukkan uap air meningkat diikuti kenaikan volume
cookies. Pemantapan struktur cookies diakhiri dengan gelatinisasi pati, koagulasi
protein dan penurunan kadar air (Indiyah, 1992).
1. Bahan Pembuatan Cookies
a. Tepung terigu
Tepung terigu merupakan tepung yang berasal dari bahan dasar gandum yang
diperoleh dengan cara penggilingan gandum yang banyak digunakan dalam industri
pangan. Komponen terbanyak dari tepung terigu adalah pati, sekitar 70% yang
terdiri dari amilosa dan amilopektin. Besarnya kandungan amilosa dalam pati ialah
sekitar 20% dengan suhu gelatinisasi 56-620C (Belitz, 1987).
Tepung terigu merupakan dasar dalam pembuatan roti dan mie. Keistimewaan
terigu diatara serealia lain adalah adanya gluten yang merupakan protein yang
menggumpal, elastis serta mengembang bila dicampur dengan air. Gluten
7
digunakan sebagai bahan tambahan untuk mempertinggi kandungan protein dalam
roti. Biasanya mutu terigu yang dikehendaki adalah terigu yang memiliki kadar air
14%, kadar protein 8 - 12%, kadar abu 0,25 - 0,60% dan gluten basah 24-36%
(Astawan, 2004).
Terigu yang beredar di pasaran dapat dibedakan menjadi 3 macam berdasarkan
kandungan proteinnya, yaitu (Astawan, 2004):
1. Hard flour, terigu ini berkualitas paling baik, kandungan proteinnya 12-13%.
Terigu ini biasa digunakan untuk pembuatan roti dan mie yang berkualitas tinggi,
contohnya terigu cakra kembar.
2. Medium flour, terigu jenis ini mengandung protein 9,4-11%. Terigu ini
banyak digunakan untuk pembuatan roti, mie dan macam macam kue, serta biskuit,
contohnya terigu segitiga biru.
3. Soft flour, terigu ini mengandung protein 7-8,5%. Penggunaannya cocok
sebagai bahan pembuat kue dan biskuit, contohnya terigu kunci biru.
Tepung terigu dalam pembuatan produk makanan biasanya berfungsi untuk
membentuk adonan, mengikat bahan lain, membentuk struktur yang kuat dan
membentuk cita rasa (Matz, 1978). Tepung terigu mengandung protein 5
diantaranya gluten, gliadin, albumin, globulin dan protease yang akan membentuk
massa lengket dan elastis apabila dicampurkan dengan cairan (Faridah, 2008).
Gluten merupakan kompleks protein yang tidak larut dalam air tetapi mengikat
air dan berfungsi sebagai pembentuk struktur kerangka. Gluten terdiri atas
komponen gliadin dan glutenin yang menghasilkan sifat viskoelastis. Gliadin
8
berperan dalam ikatan antar molekul (cross-linking) membentuk ikatan hidrogen,
sedangkan pada glutenin dimana sub unit dihubungkan dengan ikatan disulfide (SS).
Gliadin menyebabkan gluten memiliki sifat ekstenbilitas yang tinggi, sedangkan
pada glutenin menyebabkan gluten memiliki sifat elastisitas yang tinggi.
Karakteristik yang terdapat pada gluten tersebut membuat adonan mampu dibuat
lembaran, digiling ataupun dibuat mengembang (Pomeranz dkk., 1971).
Protein tepung gandum sangat unik, bila tepung gandum dicampur dengan air
dalam perbandingan tertentu, maka protein akan membentuk suatu massa atau
adonan koloidal yang plastis. Hal tersebut dapat menahan gas dan akan membentuk
struktur spons bila dipanggang untuk mencapai suatu kehalusan yang memuaskan.
Jenis tepung gandum yang berbeda memerlukan jumlah pencampuran (air) yang
berbeda (Desrosier, 1988). Struktur kimia gluten dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Struktur Gluten
Mutu tepung terigu ditentukan oleh setiap komposisi kimia yang ada
didalamnya. Adapun komposisi tepung terigu dapat dilihat pada Tabel 2.
9
Tabel 2. Komposisi kimia tepung terigu (per 100 g bahan)
Komposisi Jumlah
Energi (kal) 365
Protein (g) 8,9
Lemak (g) 1,3
Karbohidrat (g) 77,3
Air (g) 12
Lemak (g) 1,3
Kalsium (mg)
Fe (mg)
P (mg)
Bdd
16
1,2
106
100
Sumber : Anonim (1996).
b. Margarin
Penambahan margarin (lemak) yang ada pada pembuatan cookies akan
mengubah tekstur, rasa, dan flavor cookies. Lemak tersebut dapat berinteraksi
dengan granula pati dan mencegah hidrasi sehingga meningkatkan viskositas bahan
menjadi rendah. Mekanisme penghambatannya adalah lemak akan membuat lapisan
pada bagian luar granula pati dan menghambat penetrasi air ke dalam granula.
Penetrasi air yang lebih sedikit akan menghasilkan gel yang tinggi dan akan
membentuk cookies yang kurang mengembang dengan tekstur yang lebih
padat/kompak (Oktavia, 2008).
Kandungan lemak dalam adonan cookies merupakan salah satu faktor yang
berkontribusi pada variasi berbagai tipe cookies. Di dalam adonan, lemak
memberikan fungsi shortening dan fungsi memperbaiki tesktur sehingga cookies
atau biskuit menjadi lebih lembut. Selain itu, lemak juga berfungsi sebagai pemberi
flavor. Selama proses pencampuran adonan, air berinteraksi dengan protein tepung
10
terigu dan membentuk jaringan teguh serta berpadu. Pada saat lemak melapisi
tepung, jaringan tersebut diputus sehingga karakteristik makan setelah
pemanggangan menjadi tidak keras, lebih pendek dan lebih cepat meleleh di dalam
mulut. Lemak yang biasanya digunakan pada pembuatan cookies adalah mentega
(butter) dan margarin. Lemak yang sebanyak 65 – 75 % dari jumlah tepung.
Persentase ini akan menghasilkan kue yang rapuh, kering, gurih, dan warna kue
kuning mengkilat. Untuk mendapatkan rasa dan aroma dalam pembuatan cookies
dan biskuit, mentega dan margarin dapat dicampur, penggunaan mentega 80% dan
margarin 20% akan menghasilkan rasa kue yang gurih dan lezat. Lemak yang
digunakan tidak berlebihan, agar kue tidak melebar dan mudah hancur, sedangkan
jumlah lemak terlalu sedikit akan menghasilkan kue bertekstur keras dengan rasa
seret dimulut (Faridah, 2008).
c. Gula
Gula merupakan bahan yang banyak digunakan dalam pembuatan cookies.
Jumlah gula yang ditambahkan biasanya berpengaruh terhadap tesktur dan
penampilan cookies. Fungsi gula dalam proses pembuatan cookies selain sebagai
pemberi rasa manis, juga berfungsi memperbaiki tesktur, memberikan warna pada
permukaan cookies, dan mempengaruhi cookies. Peningkatan kadar gula di dalam
adonan cookies, akan mengakibatkan cookies menjadi semakin keras. Dengan
adanya gula, maka waktu pembakaran harus sesingkat mungkin agar tidak hangus
karena sisa gula yang masih terdapat dalam adonan dapat mempercepat proses
pembentukan warna. Jenis gula yang umum digunakan seperti gula bubuk (icing
11
sugar) untuk adonan lunak. Gula kastor gula pasir yang halus butirannya. Jenis gula
lain yang dapat digunakan untuk memberikan karakteristik flavor yang berbeda,
antara lain: madu, brown sugar, molase, malt, dan sirup jagung. Cookies sebaiknya
menggunakan gula halus atau tepung gula. Jenis gula ini akan menghasilkan kue
berpori - pori kecil dan halus. Di dalam pembuatan adonan cookies, gula berfungsi
sebagai pemberi rasa, dan berperan dalam menentukan penyebaran dan struktur
rekahan kue. Untuk cookies, sebaiknya menggunakan gula halus karena mudah
dicampur dengan bahan - bahan lain dan menghasilkan tekstur kue dengan pori –
pori kecil dan halus. Sebaliknya tekstur pori–pori yang besar dan kasar akan
terbentuk jika menggunakan gula pasir. Gula digunakan sesuai ketentuan resep,
pemakaian gula yang berlebih menjadikan kue cepat menjadi browning akibat dari
reaksi karamelisasi. Dampak yang lain kue akan melebar sewaktu dipanggang.
Industri cookies biasanya menggunakan gula cair. Keuntungan dari gula cair adalah
bisa ditimbang lebih akurat dan lebih efisien karena tahap awal dari proses produksi,
yaitu pelarutan gula sudah dilakukan sebelum proses pembuatan adonan dimulai.
Gula cair biasanya terdiri dari 67% padatan dan mengandung kurang dari 5%
gula invert untuk menghindari kristalisasi. Gula cair ini disimpan pada suhu ruang
dan karena konsentrasinya yang cukup tinggi, timbulnya jamur juga dapat dicegah.
Sirup sukrosa adalah sirup yang merupakan campuran dari sukrosa dan invers sirup.
Sirup yang biasanya digunakan dalam industri biskuit atau cookies mempunyai 60%
padatan sebagai invers, 40% sebagai sukrosa dan 1% – 2% adalah bahan organik.
pH dari invers sirup biasanya 5,5. Suhu pemanggangan dipertahankan pada 400ºC
12
agar mudah dipompa. Madu adalah jenis sirup yang sangat istimewa dan paling
mahal digunakan dalam industri biskuit/cookies. Madu digunakan biasanya karena
flavornya yang spesifik (Faridah dkk., 2008).
d. Telur
Telur merupakan salah satu komposisi yang harus ditambahkan pada
pembuatan cookies. Telur dan tepung membentuk kerangka atau tekstur cookies dan
menyumbangkan kelembaban (mengandung 75% air dan 25% solid), sehingga
cookies menjadi empuk, aroma, penambah rasa, peningkatan gizi, pengembangan
atau peningkatan volume serta mempengaruhi warna dari cookies. Lesitin dalam
telur mempunyai daya emulsi, sedangkan lutein berperan dalam pembentukan
warna pada produk. Selain itu, telur yang digunakan adalah kuning telur.
Penggunaan kuning telur akan menghasilkan cookies yang lebih empuk dan renyah
dibandingkan dengan penggunaan telur utuh karena putih telur memiliki reaksi
mengikat sehingga cookies akan mengembang dan keras. Karakteristik telur yang
baik dalam pembuatan cookies yaitu baru, bersih, masih dalam keadaan utuh
(Fatmawati, 2012).
e. Susu skim
Susu skim berbentuk padatan (serbuk) memiliki aroma khas kuat dan sering
digunakan pada pembuatan cookies. Skim merupakan bagian susu yang
mengandung protein paling tinggi yaitu sebesar 36,4%. Susu skim berfungsi
memberikan aroma, memperbaiki tesktur, dan warna permukaan. Laktosa yang
terkandung di dalam susu skim merupakan disakarida pereduksi, yang jika
13
berkombinasi dengan protein melalui reaksi Maillard dan adanya proses pemanasan
akan memberikan warna cokelat menarik pada permukaan cookies setelah
dipanggang (Faridah, 2008).
f. Bahan pengembang
Kelompok leavening agents (pengembang adonan) merupakan kelompok
senyawa kimia yang akan terurai menghasilkan gas di dalam adonan. Salah satu
leavening agents yang sering digunakan dalam pengolahan cookies adalah baking
powder. Baking powder memiliki sifat cepat larut pada suhu kamar dan tahan selama
pengolahan (Faridah, 2008).
Kombinasi sodium bikarbonat dan asam dimaksudkan untuk memproduksi gas
karbondioksida baik sebelum dipanggang atau pada saat dipanaskan pada oven.
Bahan pengasam yang digunakan tidak selalu berupa asam, yang penting dapat
memberikan ion hydrogen (H+ ) agar dapat melepas CO2 dari NaHCO3. Seperti
garam alumunium-sulfat bila bereaksi dengan air akan menghasilkan asam sulfat.
Pereaksi asam yang digunakan adalah garam asam dari asam tartarat, asam fosfat,
atau senyawa alumunium. Fungsi bahan pengembang adalah mengaerasi adonan,
sehingga menjadi ringan dan berpori, menghasilkan cookies yang renyah dan halus
teksturnya (Faridah, 2008).
2. Proses Pembuatan Cookies
Pada umumnya, cookies terbuat dari terigu rendah protein. Tiga tahapan penting
pembuatan cookies yaitu pembuatan adonan, pencetakan, dan pemanggangan. Proses
pembuatan adonan cookies yang merupakan adonan lunak, dilakukan berdasarkan
14
metode adonan krim (Lasmini, 2002). Metode pengkriman merupakan metode
pencampuran bertahap. Kualitas adonan tergantung dari komposisi adonan, kondisi
pencampuran (mixing), dan suhu. Adonan lunak mengalami pencampuran yang
minimal setelah tepung ditambahkan (Manley, 2001). Hal pertama yang dilakukan
adalah pencampuran lemak dengan gula dengan menggunakan hand mixer dengan
kecepatan rendah selama 30 detik, kemudian kecepatan ditambah sampai medium
selama 2 menit. Setelah itu, pencampuran telur utuh dengan krim campuran lemak-gula
tersebut. Kemudian, campuran tersebut dikocok selama 1,5 menit. Penambahan bahan
kering lainnya ke dalam adonan tersebut dilakukan terakhir. Metode tersebut baik
digunakan dalam pembuatan cookies karena dapat menghasilkan adonan yang bersifat
membatasi pengembangan gluten yang berlebihan seperti pada pembuatan roti
(Pratiwi, 2008).
Setelah adonan terbentuk, biasanya adonan mengalami aging (penuaan) 15 menit
(Lallemand, 2000). Pengistirahatan diperlukan untuk memberi kesempatan kepada
bahan pengembang untuk bekerja. Sebelum pencetakan adonan mengalami penipisan
terlebih dahulu sampai dengan ketebalan ± 0.5 cm kemudian dicetak dengan bentuk
tertentu. Adonan yang telah dicetak selanjutnya ditata dalam loyang untuk dipanggang
dalam oven. Semakin sedikit jumlah gula dan lemak yang digunakan dalam adonan,
maka suhu pemanggangan dapat dibuat lebih tinggi (177⁰C-204ºC). Suhu dan lama
pemanggangan akan memperngaruhi kadar air cookies (Pratiwi, 2008).
15
Perubahan secara kompleks terjadi selama pemanggangan. Pada awal
pemanggangan belum terjadi perubahan, tetapi setelah lemak meleleh pada suhu 37⁰C
- 40ºC, ada tiga perubahan yang terjadi, yaitu lemak menjadi bentuk tetesan, emulsi air
dalam minyak (W/O) berubah menjadi minyak dalam air (O/W), dan gelembung udara
bergerak dari fase lemak ke fase cair. Pada suhu 52-99ºC terjadi gelatinisasi pati. Udara
dibebaskan dari adonan selama pada suhu 65ºC. selanjutnya, pada suhu 70ºC terjadi
penguapan air serta denaturasi dan koagulasi protein. Pada waktu pemanggangan,
struktur cookies akan terbentuk akibat gas yang dilepaskan oleh bahan pengembang
dan uap air akibat kenaikan suhu. Kadar air dari 21% menjadi lebih kecil dari 1,5%
(Pratiwi, 2008).
Pada umumnya, suhu di dalam oven akan naik ke puncak tertentu di bagian tengah
oven dan turun mendekati pintu masuk oven. Cookies wire cut akan menyebar dan
mengalami peningkatan ukuran selama pemanggangan (Lallemand, 2000). Fluktuasi
panas dalam oven selama pemanggangan dapat menyebabkan pengembangan dan
pembentukan produk gagal (Manley, 2001). Setelah keluar dari oven, cookies harus
cepat didinginkan untuk menurunkan suhu dan mengeraskan cookies akibat pemadatan
gula dan lemak. Waktu mendinginkan biasanya 2-3 kali lebih lama daripada waktu
pemanggangan (Manley 1983 diacu dalam Pratiwi 2008).
3. Syarat Mutu Cookies
Mutu cookies yang dihasilkan dipengaruhi oleh komposisi yang digunakan dan
proses pembuatannya. Komposisi yang tidak sesuai dapat menyebabkan
16
penyimpangan pada produk cookies yang dihasilkan. Proses pembuatan yang tidak baik
seperti pencampuran yang tidak merata atau pemanggangan yang yang terlalu cepat
dapat menyebabkan cookies yang tidak baik. Penyimpangan yang dapat terjadi pada
cookies seperti halnya pada biskuit dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Penyimpangan Produk Akhir Biskuit dan Penyebabnya
Jenis Penyimpangan Penyebab
Keras Kurang lemak, kurang air
Pucat Proporsi bahan kurang tepat, oven kurang panas
Bentuk Tidak Rata Pencampuran tidak rata
Penanganan tidak hati-hati
Panas tidak merata
Warna Coklat Tidak Merata Bentuk tidak seragam, panas tidak merata
Hambar dan Berat Proporsi bahan penyusun tidak seimbang
Keras dan Porous Pencampuran tidak tepat
Kasar dan Kering Pencampuran tidak tepat
Adonan terlalu keras dan kenyal
Permukaan Keras Penanganan terlalu lama
Pemanggangan terlalu lama
Berminyak dan Rapuh Suhu terlalu tinggi, terlalu banyak lemak
Sumber : Widjayanti (2005)
C. Singkong (Manihot esculenta)
Ubi kayu biasa disebut juga ketela pohon atau singkong. Singkong memiliki
nama botani Manihot esculenta tetapi lebih dikenal dengan nama Manihot utilissima
merupakan komoditi yang banyak ditanam di Indonesia. Ubi kayu (Manihot esculenta)
mempunyai arti terpenting dibandingkan dengan jenis umbi-umbian yang lain. Ubi
kayu berbentuk seperti silinder yang ujungnya mengecil dengan diameter rata-rata 2-5
cm dan panjang sekitar 20–30 cm. Ubi kayu biasanya diperdagangkan dalam bentuk
masih berkulit. Umbinya memiliki kulit yang terdiri dari dua lapis yaitu kulit luar dan
17
kulit dalam. Daging ubi berwarna putih atau kuning. Dibagian tengah daging umbi
terdapat suatu jaringan yang tersusun atas serat. Ubi kayu segar banyak mengandung
air dan pati. Pengeringan umbi-umbian sering dilakukan sebagai usaha pengawetan
(Muchtadi, 1989). Morfologi singkong dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Singkong
Tanaman singkong termasuk ke dalam :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Famili : Euphorbiaceae
Genus : Manihot
Spesies : Esculenta crantz (Rukmana, 1997).
Pada masa pertumbuhan, kandungan karbohidrat pada umbi singkong semakin
meningkat dan mencapai titik optimal saat umbi siap dipanen. Singkong tidak
bertambah besar dan kualitasnya akan menurun apabila sampai berumur 12 bulan
18
belum dipanen. Kadar air singkong akan meningkat sedangkan kadar protein, HCN,
dan tepung akan menurun apabila pada umur 13 bulan singkong belum dipanen juga,
(Suprapti, 2005).
Umbi ketela umumnya dapat dipanen saat tanaman berumur 6-12 bulan setelah
tanam. Umbi ketela segar tidak dapat simpan lama. Masa simpan umbi ketela segar
hanyalah berkisar antara 4-5 hari. Umbi ketela yang disimpan lebih dari masa simpan
segarnya akan berubah warna menjadi hitam atau biru (Soetanto, 2008). Komposisi
kimia singkong dapat dilihat pada tabel 4:
Tabel 4. Komposisi kimia singkong (per 100 g bahan)
Komponen Singkong
Kalori (kkal) 146,00
Protein (g) 0,80
Lemak (g) 0,30
Karbohidrat (g) 4,70
Air (g) 62,50
Kalsium (mg) 33,00
Fosfor (mg) 40,00
Besi (mg) 0,70
Asam askorbat (mg) 30,00
Thiamin (mg) 0,06
Vitamin A (IU) 0,00
Bagian yang dimakan (%) 75,00
Sumber : Anonim (2005)
Menurut Soetanto (2008), ubi kayu umumnya diolah menjadi olahan pangan dan
olahan non pangan. Umbi singkong selain dikukus, direbus atau digoreng dapat
digunakan sebagai bahan baku industri pangan, kimia, farmasi, dan tekstil. Selain
umbi, batang dan daun singkong juga dapat dimanfaatkan. Daunnya yang masih muda
19
banyak mengandung vitamin A sehingga baik untuk hidangan sayur, sedangkan
batangnya dapat dipakai untuk bahan bakar atau sebagai stek tanaman baru dan pagar
rumah.
Hampir seluruh bagian dari tanaman singkong dapat dimanfaatkan. Namun,
hingga saat ini tanaman ini masih jarang dikonsumsi masyarakat. Kelemahan utama
yang menyebabkan singkong kurang diterima secara menyeluruh dan hanya
dimanfaatkan sebagai makanan pokok di daerah pedesaan disebabkan karena
kandungan racun glikosida sianogenik (linamarin). Glikosida tersebut tidak bersifat
racun, tetapi asam sianida (HCN) yang dibebaskan oleh enzim linamerase secara
hidrolisis yang bersifat racun (Tjokroadikoesoemo, 1985).
Menurut Astawan (2004), walaupun ubi kayu mengandung racun yang
membahayakan, namun ubi kayu telah dikonsumsi secara umum tanpa adanya efek
keracunan yang berarti. Hal ini dikarenakan metode pengolahan secara tradisional
mampu mengurangi kandungan sianida umbi hingga batas yang tidak membahayakan
kesehatan. Proses pengolahan yang mampu mereduksi kandungan sianida dalam ubi
kayu adalah perendaman, pengeringan, perebusan, fermentasi, dan kombinasi dari
proses-proses tersebut. Perendaman yang diikuti dengan perebusan dapat
menghilangkan seluruh sianida bebas karena proses pencucian dalam air mengalir dan
pemanasan yang cukup ampuh untuk mencegah terbentuknya HCN yang beracun.
Menurut Soetanto (2008), beberapa kelebihan tanaman singkong diantaranya
sangat mudah didapat, karena singkong sangat mudah ditanam di Indonesia.
20
Produktivitas singkong juga cukup tinggi yaitu 12,2 ton/ha, sedangkan padi 3,8 ton/ha
dan gandum 1,8 ton/ha. Selain itu, data dari BPS 2016 menunjukkan tingkat produksi
singkong yang terus meningkat sejak tahun 2010-2015, seperti yang pada Tabel 5.
Tabel 5. Data produksi singkong Indonesia 2010-2015 (dalam ton)
Tahun Produksi
2010 23.918.118
2011 24.044.025
2012 24.177.372
2013 23.936.921
2014 23.436.384
2015 21.801.415
Sumber : Anonim (2016)
Singkong adalah salah satu potensi dari sebagian besar wilayah Indonesia yang
dapat tumbuh subur dengan produksi berlimpah. Dengan dilakukan pengolahan yang
baik, singkong dapat dijadikan berbagai jenis produk makanan olahan, baik berupa
semi produk maupun produk seperti tepung tapioka, mocaf (modified cassava flour)
dan keripik singkong (Putri, 2011).
D. Mocaf
Mocaf merupakan tepung yang dibuat secara langsung dari singkong yang
terlebih dahulu dibuat chips, difermentasi, kemudian dikeringkan dan dijadikan tepung.
Tepung inilah yang selanjutnya diolah menjadi produk pangan yang beraneka ragam
(Putri, 2011).
Mikroba yang tumbuh akan menghasilkan enzim pektinolitik dan selullolitik
yang dapat menghancurkan dinding sel ubi kayu sedemikian rupa sehingga terjadi
21
liberasi granula pati. Proses liberasi tersebut akan mengubah karakteristik tepung
antara lain: naiknya viskositas, kemampuan gelasi, daya rehidrasi, dan kemudahan
melarut. Selanjutnya granula pati tersebut akan mengalami hidrolisis yang
menghasilkan monosakarida sebagai bahan baku untuk menghasilkan asam-asam
organik. Senyawa ini akan terimbibisi dalam bahan, dan ketika bahan tersebut diolah
akan dapat menghasilkan citarasa dan aroma khas yang dapat menutupi aroma khas ubi
kayu yang cenderung kurang menyenangkan. Selama proses fermentasi terjadi pula
penghilangan komponen penimbul warna, seperti pigmen (khususnya pada ketela
kuning), dan protein yang dapat menyebabkan warna coklat ketika pemanasan.
Dampaknya adalah warna mocaf yang dihasilkan lebih putih jika dibandingkan dengan
warna tepung ubi kayu biasa. Selain itu, proses ini akan menghasilkan tepung yang
secara karakteristik dan kualitas hampir menyerupai tepung dari terigu. Produk mocaf
sangat cocok untuk menggantikan bahan terigu untuk kebutuhan industri makanan
(Gusti, 2009).
Mocaf dapat digolongkan sebagai produk olahan edible cassava yang dapat
dimakan. Oleh karena itu, syarat mutu mocaf dapat mengacu pada codex stan 176-1989
(Rev.1–1995) tentang edible cassava flour. Selain itu, tepung mocaf memiliki beberapa
keunggulan dibanding dengan jenis tepung lain, diantaranya : (1) Kandungan serat
terlarut lebih tinggi daripada tepung gaplek, (2) Kandungan kalsium lebih tinggi
dibanding padi/gandum, (3) Mempunyai daya kembang setara dengan gandum tipe II
(kadar protein menengah). (4) Daya cerna lebih tinggi dibanding tapioka gaplek
22
(Anonim, 2012). Adapun syarat mutu tepung mocaf menurut SNI 7622-2011 dapat
dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Syarat Mutu Tepung Mocaf SNI No. 7622:2011
Kriteria Uji Satuan Persyaratan
Bentuk - Serbuk halus
Bau - Netral
Warna - Putih
Benda asing - Tidak ada
Lolos ayakan 100 mesh % b/b Min 90
Lolos ayakan 80 mesh % b/b 100
Kadar air % b/b Maks 13
Abu % b/b Maks 1,5
Serat kasar % b/b Maks 2,0
Derajat putih (MgO = 100) - Min 87
Belerang dioksida (SO2) % b/b Negatif
Derajat asam Ml NaOH 1 N 100 g Maks 4,0
HCN mg/kg Maks 10
Cemaran logam
Cadmium (Cd) mg/kg Maks 0,2
Timbal (Pb) mg/kg Maks 0,3
Timah (Sn) mg/kg Maks 40,0
Merkuri (Hg) mg/kg Maks 0,05
Cemaran Arsen (As) mg/kg Maks 0,5
Cemaran mikroba
Angka Lempeng Total (350C, 48 jam) Koloni/g Maks 1x100
Escherichia coli APM/g Maks 10
Bacillus cereus Koloni/g < 1x104
Kapang Koloni/g Maks 1x104
Sumber : Anonim (2011)
Tepung mocaf memiliki prospek pengembangan yang bagus. Hal ini dapat dilihat
dari ketersediaan bahan baku yang melimpah, sehingga sangat kecil kemungkinan
terjadi kelangkaan bahan baku. Uji coba substitusi tepung terigu dengan mocaf dengan
skala pabrik telah dilakukan. Hasilnya menunjukkan bahwa hingga 15% mocaf dapat
menstubtitusi terigu pada mie dengan mutu baik, dan hingga 25% untuk mie berkelas
23
rendah, baik dari mutu fisik maupun organoleptik. Secara teknis pun, proses pembuatan
mie tidak mengalami kendala yang berarti jika mocaf digunakan untuk menstubtitusi
terigu (Adry, 2013). Walaupun termasuk produk olahan yang dapat dimakan,
karakteristik tepung mocaf tidak sama persis dengan tepung terigu. Perbedaan
komposisi tepung mocaf dengan tepung terigu dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Perbedaan Komposisi Mocaf dengan Tepung terigu
Parameter Mocaf Tepung Terigu
Air (%) Max. 13 Max. 13
Protein (%) Max 1,0 Max 1,2
Serat (%) 1,9-3,4 0,4
Lemak (%) 0,4-0,8 0,85
HCN (mg/kg) Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi
Abu (%) Max 0,2 Max. 2
Pati (%) 82-85 69,32
Sumber : Codex Stan 176-1989 dalam Subagio (2006).
Variasi formulasi cookies dari substitusi tepung terigu : tepung mocaf (100%:0%
; 55%:45% ; 50%:50% ; 45%:55%) dan difortifikasi dengan tepung kacang hijau (0%,
5%, 10%, 15%) mempengaruhi karakteristik kimia cookies yang
dihasilkan. Semakin tinggi subtistusi tepung mocaf semakin tinggi kadar abu,
kadar karbohidrat, sedangkan kadar air, kadar protein, kadar lemak semakin
menurun. Semakin tinggi fortifikasi tepung kacang hijau yang ditambahkan akan
meningkatkan kadar air, kadar abu, kadar lemak, dan kadar protein, sedangkan
kadar karbohidratnya menurun (Normasari, 2010).
Hasil organoleptik untuk parameter warna, rasa, aroma dan keseluruhan yang
paling mendapatkan penilaian paling tinggi adalah cookies dengan substitusi
24
tepung terigu : tepung mocaf 55% : 45% dan difortifikasi dengan tepung kacang
hijau 5% (Normasari, 2010).
Pada penelitian yang dilakukan Vernanda dkk., (2015) perlakuan paling diterima
yaitu perlakuan dengan konsentrasi 50% tepung mocaf dan 50% tepung beras pecah
kulit dengan 25% penambahan sari kurma yang memiliki energi: 443,93 kkal dengan
kandungan protein: 5,12%, lemak: 11,85%, karbohidrat: 79,2%, kalium: 123 mg,
kalsium: 29,5 dan serat makanan: 3,09% dengan kadar air: 2,65% dan kadar abu:1,20%.
E. Kelor
Kelor (Moringa oleifera) tumbuh di dataran rendah maupun dataran tinggi
sampai di ketinggian ± 1000 dpl. Kelor banyak ditanam sebagai tapal batas atau pagar
di halaman rumah atau ladang. Daun kelor dapat dipanen setelah tanaman tumbuh 1,5
hingga 2m yang biasanya memakan waktu 3 sampai 6 bln. Namun dalam budidaya
intensif yang bertujuan untuk produksi daunnya, kelor dipelihara dengan ketinggian
tidak lebih dari 1 m. Pemanenan dilakukan dengan cara memetik batang daun dari
cabang atau dengan memotong cabangnya dengan jarak 20 sampai 40 cm di atas tanah
(Kurniasih, 2014).
Daun kelor di Indonesia dikonsumsi sebagai sayuran dengan rasa yang khas,
yang memiliki rasa langu dan juga digunakan untuk pakan ternak karena dapat
meningkatkan perkembangbiakan ternak khususnya unggas. Selain dikonsumsi, daun
kelor juga dijadikan obat-obatan dan penjernih air. Adapun morfologi daun kelor dapat
dilihat pada Gambar 3.
25
Gambar 3. Daun kelor
Menurut Roloff (2009) dalam Nugraha (2013), klasifikasi tanaman kelor adalah
sebagai berikut :
Regnum : Plantae
Division : Spermatophyta
Subdivision : Angiospermae
Classis : Dicotyledoneae
Subclassis : Dialypetalae
Ordo :Rhoeadales (Brassicales)
Familia : Moringaceae
Genus : Moringa
Species : Moringa oleifera
Kandungan kimia yang dimiliki kelor yakni asam amino yang berbentuk asam
aspartat, asam glutamat, alanin, valin, leusin, isoleusin, histidin, lisin, arginin,
venilalanin, triftopan, sistein dan methionin. Daun kelor juga mengandung makro
elemen seperti potassium, kalsium, magnesium, sodium, dan fosfor, serta mikro elemen
seperti mangan, zinc, dan besi. Daun kelor merupakan sumber provitamin A, vitamin
B, vitamin C, mineral terutama zat besi (Simbolan dkk., 2007). Kandungan kimia kelor
per 100 g dapat dilihat pada Tabel 8.
26
Tabel 8. Komposisi Kimia Daun Kelor (per 100 g)
Komponen Komposisi
Air (g) 75
Energi (kal) 92
Protein (g) 6,8
Lemak (g) 1,7
Karbohidrat (g) 12,5
Serat (g) 0,9
Kalsium (mg) 440
Potassium (mg) 259
Fosfor (mg) 70
Besi (mg) 7
Zinc (mg) 0,16
β-karoten (mg) 6,78
Tiamin (vitamin B1) (mg) 0,06
Riboflavin (vitamin B2) (mg) 0,05
Niacin (vitamin B3) (mg) 0,8
Vitamin C (mg) 220
Sumber : Fuglie (2001)
Kandungan kimia yang dimiliki daun kelor antara lain asam amino yang
berbentuk asam aspartat, asam glutamat, alanin, valin, leusin, isoleusin, histidin, lisin,
arginin, venilalanin, triftopan, sistein dan methionin (Simbolan dkk. 2007). Senyawa
antinutrisi yang banyak terkandung dalam daun kelor antara lain saponin, tanin dan
fenol. Menurut Foild dkk. (2007) daun kelor segar mengandung 5% saponin sedangkan
daun kelor yang telah diekstraksi dengan alkohol mengandung saponin sebesar 0,2%.
Fenol banyak terdapat dalam tanaman dan biasanya pada saat diekstraksi dapat bersifat
larut dalam alkohol. Kandungan fenol dalam daun kelor segar sebesar 3,4% sedangkan
pada daun kelor yang telah diekstrak sebesar 1,6% (Foild dkk., 2007). Hasil penelitian
di Afrika menunjukkan bahwa daun kelor mengandung vitamin C tujuh kali lebih
banyak dari buah jeruk, mengandung empat kali kalsium lebih banyak dari susu
27
disamping kandungan protein daunnya yang dapat mencapai 43% jika diekstrak
dengan ethanol (Soetanto, 2008).
Pada penelitian Dewi dkk., (2016) cookies terpilih terdapat pada perlakuan
penambahan konsentrasi tepung daun kelor 3% dengan suhu pemanggangan 140°C
mengandung kadar protein 13,47%, kadar air 3,48%, kadar vitamin C 300mg/ml, kadar
kalsium 300 mg dan nilai rata-rata IC50 3190,89 ppm (lemah).
Pada penelitian yang berjudul “Substitusi tepung daun kelor (Moringa oleifera
L.) pada cookies terhadap sifat fisik, sifat organoleptik, kadar proksimat, dan kadar Fe”
oleh Dewi (2018) menunjukkan adanya pengaruh substitusi tepung daun kelor
(Moringa oleifera L.) pada pembuatan cookies terhadap sifat organoleptik, kadar
proksimat dan kadar Fe. Cookies tepung daun kelor yang dapat dikembangkan untuk
pencegahan anemia adalah cookies dengan substitusi 40% tepung daun kelor dengan
kadar Fe 22,68 ppm.
Cookies dengan substitusi tepung keladi termodifikasi dan protein daun kelor
berkisar 98.5g : 1.5% merupakan perlakuan cookies terpilih dengan skor penilaian pada
produk cookies yang dihasilkan dengan nilai tertinggi terhadap warna sebesar 4.58
(sangat suka), aroma 4.42 (suka), tekstur 4.50 (suka) dan rasa 4.55 (sangat suka).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa penambahan konsentrat protein daun kelor
berpengaruh terhadap kualitas cookies yang dihasilkan (Sahoola, dkk., 2017).
Penelitian Suarti dkk., (2015) yang berjudul “Penambahan tepung daun kelor dan
lama pemanggangan terhadap mutu biskuit dari mocaf “ hasil analisis secara statistik
pada masing-masing parameter memberi kesimpulan sebagai berikut : kandungan
28
protein dan karbohidrat tertinggi terdapat pada perlakuan kelor 9% dengan waktu
pemanggangan 20 menit dan kandungan terendah terdapat pada perlakuan kontrol
dengan waktu pemanggangan 5 menit. Hasil uji kesukaan warna, aroma dan rasa
tertinggi terdapat pada perlakuan tanpa penambahan kelor dengan waktu
pemanggangan 20 menit dan yang terendah terdapat pada perlakuan penambahan kelor
9% dengan waktu pemanggangan 5 menit.
F. Antioksidan
Antioksidan dalam pengertian kimia adalah senyawa pemberi elektron (electron
donors) dan secara biologis antioksidan merupakan senyawa yang mampu mengatasi
dampak negatif oksidan dalam tubuh seperti kerusakan elemen vital sel tubuh.
Keseimbangan antara oksidan dan antioksidan sangat penting karena berkaitan dengan
kerja fungsi sistem imunitas tubuh, terutama untuk menjaga integritas dan berfungsinya
membran lipid, protein sel, dan asam nukleat, serta mengontrol tranduksi signal dan
ekspresi gen dalam sel imun (Winarsi, 2007).
Produksi antioksidan di dalam tubuh manusia terjadi selama alami untuk
mengimbangi produksi radikal bebas. Antioksidan tersebut kemudian berfungsi
sebagai sistem pertahanan terhadap radikal bebas, namun peningkatan produksi radikal
bebas yang terbentuk akibat faktor stres, radiasi UV, polusi udara dan lingkungan
mengakibatkan sistem pertahanan tersebut kurang memadai, sehingga diperlukan
tambahan antioksidan dari luar (Muchtadi, 2013).
Antioksidan di luar tubuh dapat diperoleh dalam bentuk sintetis dan alami.
Antioksidan sintetis seperti buthylatedhydroxytoluene (BHT), buthylated hidrokxianol
29
(BHA), dan ters-butylhydroquinone (TBHQ) secara efektif dapat menghambat
oksidasi. Namun penggunaan antioksidan sintetik dibatasi oleh aturan pemerintah
karena, jika penggunaan melebihi batas justru dapat mengakibatkan racun dalam tubuh
dan bersifat karsinogenik, sehingga dibutuhkan antioksidan alami yang aman. Salah
satu sumber potensial antioksidan alami adalah tanaman karena mengandung senyawa
flavonoid, klorofil dan tanin (Lie Jin, 2012).
Fungsi utama antioksidan adalah memperkecil terjadinya proses oksidasi dari
lemak dan minyak, memperkecil terjadinya proses kerusakan dalam makanan,
memperpanjang masa pemakaian dalam industri makanan, meningkatkan stabilitas
lemak yang terkandung dalam makanan serta mencegah hilangnya kualitas sensori dan
nutrisi (Apriandi, 2011). Antioksidan berdasarkan mekanisme reaksinya dibagi
menjadi tiga macam, yaitu antioksidan primer, antioksidan sekunder dan antioksidan
tersier :
a. Antioksidan Primer
Antioksidan primer merupakan zat atau senyawa yang dapat menghentikan
reaksi berantai pembentukan radikal bebas yang melepaskan hidrogen.
Antioksidan primer dapat berasal dari alam atau sintetis. Contoh antioksidan
primer adalah Butylated hidroxytoluene (BHT) (Winarsi, 2007).
Reaksi antioksidan primer terjadi pemutusan rantai radikal bebas yang reaktif,
kemudian diubah menjadi senyawa stabil atau tidak reaktif. Antioksidan ini dapat
berperan sebagai donor hidrogen atau CB-D (Chain breaking donor) dan dapat
30
berperan sebagai akseptor elektron atau CB-A (Chain breaking acceptor)
(Triyem, 2010).
b. Antioksidan sekunder
Antioksidan sekunder disebut juga antioksidan eksogeneus atau non
enzimatis. Antioksidan ini menghambat pembentukan senyawa oksigen reaktif
dengan cara pengelatan metal, atau dirusak pembentukannya. Prinsip kerja
sistem antioksidan non enzimatis yaitu dengan cara memotong reaksi oksidasi
berantai dari radikal bebas atau dengan menangkap radikal tersebut, sehingga
radikal bebas tidak akan bereaksi dengan komponen seluler (Winarsi, 2007).
Antioksidan sekunder diantaranya adalah vitamin E, vitamin C, beta karoten,
flavonid, asam lipoat, asam urat, bilirubin, melatonin dan sebagainya (Muchtadi,
2013).
c. Antioksidan Tersier
Kelompok antioksidan tersier meliputi sistem enzim DNA-Repair dan
metionin sulfoksida reduktase. Enzim-enzim ini berperan dalam perbaikan
biomolekuler yang rusak akibat reaktivitas radikal bebas. Kerusakan DNA yang
terinduksi senyawa radikal bebas dicirikan oleh rusaknya single dan double
strand baik gugus non-basa maupun basa (Winarsi, 2007).
G. Uji Aktivitas Antioksidan metode DPPH
Aktivitas antioksidan suatu senyawa dapat diukur dari kemampuannya
menagkap radikal bebas. Radikal bebas yang biasa digunakan sebagai model dalam
mengukur daya penangkapan radikal bebas adalah 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH).
31
DPPH merupakan radikal bebas yang stabil dan tidak membentuk dimer akibat
delokalisasi dari elektron bebas pada seluruh molekul (Molyneux, 2004). Delokalisasi
elektron bebas ini juga mengakibatkan terbentuknya warna ungu pada larutan DPPH,
sehingga bisa diukur absorbansinya pada panjang gelombang sekitar 520 nm. Ketika
larutan DPPH dicampur dengan senyawa yang dapat mendonorkan atom hidrogen,
maka warna ungu dari larutan akan hilang seiring dengan tereduksinya DPPH.
Shivaprasad dkk. (2005) menyatakan bahwa metode paling sering dilaporkan
digunakan untuk screening aktivitas antioksidan dari berbagai tanaman obat. Metode
peredaman radikal bebas DPPH didasarkan pada reduksi dari radikal bebas DPPH yang
berwarna oleh penghambat radikal bebas. Prosedur ini melibatkan pengukuran
penurunan serapan DPPH pada panjang gelombang maksimalnya, yang sebanding
terhadap konsentrasi penghambat radikal bebas yang ditambahkan ke larutan reagen
DPPH. Aktivitas tersebut dinyatakan sebagai konsentrasi efektif (effective
concentration), EC50 atau IC50 (inhibitory concentration).
IC50 merupakan bilangan yang menunjukkan konsentrasi sampel (ppm) yang
mampu menghambat proses oksidasi sebesar 50%. Semakin kecil nilai IC50 berarti
semakin tinggi aktivitas antioksidan. Secara spesifik suatu senyawa dikatakan sebagai
antioksidan sangat kuat jika nilai IC50 kurang dari 50 ppm, kuat untuk IC50 bernilai 50-
100 ppm, sedang jika bernilai 100-150 ppm, dan lemah jika nilai IC50 bernilai 151-200
ppm (Blois, 1958).
DPPH merupakan radikal bebas yang bebas stabil pada suhu kamar, berbentuk
kristal berwarna ungu dan sering digunakan untuk mengevaluasi aktivitas antioksidan
32
beberapa senyawa atau ekstrak bahan alam (Desmiaty, 2008). Radikal bebas DPPH
akan oleh senyawa antioksidan melalui reaksi penangkapan atom hidrogen dari
senyawa antioksidan oleh radikal bebas untuk mendapatkan pasangan elektron dan
mengubahnya menjadi difenil pikrilhidrazin (DPPH-H). Radikal ini mempunyai
keaktifan rendah, sehingga dapat mengurangi radikal bebas yang bersifat toxic. DPPH
menerima elektron atau radikal hidrogen akan membentuk molekul diamanagnetik
yang stabil. Interaksi antioksidan dengan DPPH baik secara transfer elektron atau
radikal hidrogen pada DPPH, akan menetralkan karakter radikal bebas dari DPPH
(Utami dkk., 2009). Struktur molekul senyawa radikal bebas DPPH sebelum dan
sesudah berikatan dengan elektron dari senyawa lain dapat dilihat pada Gambar 4.
DPPH radikal
DPPH non radikal (Molyneux, 2004)
Gambar 4. Struktur kimia senyawa DPPH radikal dan non radikal
Adapun reaksi peredaman DPPH dengan senyawa antiradikal bebas dapat dilihat pada
contoh Gambar 5.
33
Difenil Pikrilhidrazil (ungu) Difenil Pikrilhidrazin (kuning)
Gambar 5. Reduksi DPPH dari senyawa peredam radikal bebas
[sumber : Prakash et al. (2001) dalam Amelia, 2011]
H. Sifat Fisik
Sifat fisik yang memiliki hubungan erat dengan sifat dari bahan pangan antara
lain sifat alometrik, tekstur, kekenyalan, koefisien gesek, dan konduktivitas panas. Sifat
fisik memiliki kaitan sangat erat dengan mutu bahan pangan karena dapat digunakan
sebagai informasi dasar dalam menentukan tingkat metode penanganan dan atau
bagaimana mendesain peralatan pengolahan terutama peralatan pengolahan yang
bersifat otomatis. Beberapa sifat 2 fisik dalam pangan adalah berat jenis, titik beku,
titik gelatinisasi (proses pembengkakan granula pati contohnya mie instan) pati,
bilangan penyabunan, dan indeks bias. Dengan kata lain sifat fisik berhubungan dengan
karakteristik bahan dan komponennya (Anonim, 2016).
Beberapa sifat cookies yang berhubungan dengan tekstur cookies adalah
hardness atau firmness, brittleness, crumbly, dan sticky. Kekerasan (hardness atau
firmness) menunjukkan kemampuan cookies untuk mempertahankan bentuk bila
dikenai suatu gaya. Kerapuhan (brittleness) yaitu suatu sifat cookies yang mudah pecah
34
bila dikenai suatu gaya, sedangkan crumbly adalah sifat cookies yang mudah hancur
menjadi partikel-partikel kecil. Istilah sticky menunjukkan sifat partikel-partikel
cookies yang lengket di mulut (Gaines, 1994).
de Mand (1997) membagi kekerasan menjadi tiga yaitu kerenyahan (termasuk
kerapuhan dan keserbukan), kelembaban (termasuk kering dan kelengketan), dan
keliatan (termasuk lunak). Kekerasan dimiliki oleh produk kue, coklat, es krim beku,
sayur keras, keripik jagung, buah keras, dan es air beku (de Mand 1997). Kerenyahan
merupakan mutu utama produk cookies (Manley 2001). Cookies memiliki kadar air 1-
5% dan aw yang rendah (Pareyt dkk. 2009) sehingga teksturnya dapat menjadi renyah.
Menurut Arpah (2001), kerusakan produk jenis biskuit seperti cookies, lebih sering
dihubungkan dengan kerusakan tekstur.
I. Uji Organoleptik
Uji organoleptik adalah cara untuk mengukur, menilai atau menguji mutu
komoditas dengan menggunakan kepekaan alat indra manusia, yaitu mata, hidung,
mulut dan ujung jari tangan. Uji organoleptik juga disebut pengukuran subyektif karena
didasarkan pada respon subyektif manusia sebagai alat ukur (Soekarto, 1990). Rahayu
(1998), menjelaskan bahwa untuk melaksanakan penilaian organoleptik diperlukan
panel. Dalam penilaian suatu mutu atau analisis sifat-sifat sensorik atau komoditi, panel
bertindak sebagai instrumen atau alat. Panel ini terdiri dari orang atau kelompok yang
bertugas menilai sifat atau mutu komoditi berdasarkan kesan subyektif dan orang yang
menjadi panel disebut panelis. Parameter bahan yang dinilai panelis meliputi :
35
1. Rasa
Rasa makanan dapat dikenali dan dibedakan oleh kuncup-kuncup kecapan
yang terletak pada papilla yaitu bagian noda merah jingga pada lidah. Rasa
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu senyawa kimia, suhu, konsentrasi dan
interaksi dengan komponen rasa yang lain. Suhu makanan akan mempengaruhi
kemampuan kuncup kecapan untuk menangkap rangsangan rasa. Makanan
yang terlalu panas akan membakar lidah dan merusak kepekaan kuncup
kecapan, sedangkan makanan yang dingin dapat membius kuncup sehingga
tidak peka lagi (Winarno, 2004).
2. Aroma
Istilah aroma diartikan sebagai sensasi bau yang ditimbulkan oleh
rangsangan kimia senyawa volatil yang tercium oleh syaraf-syaraf oilfaktori
yang berbeda dirongga hidung ketika bahan pangan masuk ke mulut. Sensi atau
rangsangan tersebut senantiasa akan menimbulkan kelezatan, yang kemudian
dapat mempengaruhi tingkat atau daya terima panelis atau konsumen terhadap
suatu produk pangan tertentu (Winarno, 1992).
3. Warna
Faktor-faktor yang mempengaruhi suatu bahan makanan antara lain
tekstur, warna, cita rasa, dan nilai gizinya. Sebelum faktor-faktor yang lain
dipertimbangkan secara visual. Faktor warna lebih berpengaruh dan kadang-
kadang sangat menentukan suatu bahan pangan yang dinilai enak, bergizi, dan
teksturnya sangat baik, tidak akan dimakan apabila memiliki warna yang tidak
36
dipandang atau memberi kesan telah menyimpang dari warna yang seharusnya
(Winarno,1995).
4. Tekstur
Menurut Winarno (1992), tekstur dan konsistensi suatu bahan akan
mempengaruhi citarasa yang ditimbulkan oleh bahan tersebut. Dari penelitian-
penelitian yang dilakukan diperoleh bahwa perubahan tekstur atau viskositas
bahan dapat mengubah rasa dan bau yang timbul karena dapat mempengaruhi
kecepatan timbulnya rangsangan terhadap sel reseptor oilfaktori dan kelenjar
air liur.
J. Hipotesis
Fortifikasi tepung kelor diduga berpengaruh terhadap sifat fisik, aktivitas
antioksidan dan tingkat kesukaan cookies substitusi mocaf.