IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...
Transcript of IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...
![Page 1: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/1.jpg)
IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO
DI TAHUN 2019: DEKONSTRUKSI JACQUES DERRIDA
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Yohanes Juan Antony Sijabat
164114004
PRODI SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
Januari 2021
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 2: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/2.jpg)
i
IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO
DI TAHUN 2019: DEKONSTRUKSI JACQUES DERRIDA
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Yohanes Juan Antony Sijabat
164114004
PRODI SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
Januari 2021
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 3: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/3.jpg)
vi
PERSEMBAHAN
Saya mempersembahkan ini untuk kedua orang tua saya,
Yustina Prihantini dan Nestor Simon Sijabat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 4: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/4.jpg)
vii
MOTO
He who fears death will never do anything worth of a man who is alive.
-Seneca-
That’s the other thing I learned that day, that the truth, however shocking or
uncomfortable, in the end leads to liberation and dignity.
-Ricky Gervais-
That which does not kill us makes us stronger.
-Friedrich Nietzsche-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 5: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/5.jpg)
x
ABSTRAK
Sijabat, Yohanes Juan Antony, 2020. “Ideologi Tiga Cerpen Indra Tranggono
di Tahun 2019: Dekonstruksi Jacques Derrida”. Skripsi Strata Satu (S-
1). Program Studi Sastra Indonesia. Fakultas Sastra. Universitas
Sanata Dharma.
Penelitian ini berisi dekonstruksi cerpen karya Indra Tranggono di tahun
2019. Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji ideologi tiga cerpen karya Indra
Tranggono di tahun 2019 dan mendeskripsikan proses decentering dan diseminasi
dalam cerpen tersebut.
Paradigma penelitian ini menggunakan paradigma M. H. Abrams dengan
pendekatan diskursif. Penelitian ini merupakan penelitian post-struktural yang
menggunakan teori dekonstruksi Jacques Derrida. Penelitian ini menggunakan
metode analisis teks dengan teknik double reading. Penelitian ini menghasilkan dua
hal utama. Pertama adalah ideologi teks yang disimpulkan dari hierarki metafisik
dan oposisi biner yang ada dalam teks. Kedua, proses dekonstruksi yang berupa
proses decentering dan diseminasi.
Proses pertama dekonstruksi menghasilkan ideologi yang terdapat di dalam
teks. Ideologi teks dalam cerpen “Profesor Pogob” adalah (i) keberanian Profesor
Pogob dalam membela koruptor. Ideologi teks dalam cerpen “Elegi Ampas Kopi”
adalah (ii) ketabahan Bangsa Kopi dalam menghadapi penderitaan. Ideologi teks
dalam cerpen “Di Atas Tanah Retak” adalah (iii) kemalangan Maruti dalam
hidupnya. Proses kedua dekonstruksi menghasilkan ideologi baru dan makna-
makna baru yang terdapat di dalam teks. Cerpen “Profesor Pogob” memiliki
ideologi baru yaitu keegoisan Profesor Pogob. Makna baru yang dihasilkan adalah
(i) tidak tahu malu, (ii) Profesor Pogob bermulut besar, (iii) kepengecutan. Cerpen
“Elegi Ampas Kopi” memiliki ideologi baru yaitu keluhan Bangsa Kopi terhadap
nasibnya. Makna baru yang dihasilkan adalah (i) sikap narsis menimbulkan
kekecewaan, (ii) Penderitaan diperlukan untuk meraih potensi, (iii) Jeritan adalah
tindakan yang sia-sia. Cerpen “Di Atas Tanah Retak” memiliki ideologi baru yaitu
ketakutan Maruti terhadap Dargo. Makna baru yang dihasilkan adalah (i) Stigma
dari masyarakat membatasi ekspresi diri, (ii) Tindakan nekat menyebabkan
kemalangan, (iii) Kepasrahan hanya memperparah masalah. Dari hasil dekonstruksi
tersebut, ideologi kerakyatan merupakan ideologi yang ingin dicapai di dalam tiga
teks cerpen. Ketiga cerpen tersebut menggambarkan bagaimana penindasan dan
pragmatisme bisa dilawan dengan ideologi kerakyatan yang mementingkan
kepentingan bersama.
Kata kunci: dekonstruksi, hierarki metafisik, ideologi teks, decentering,
diseminasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 6: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/6.jpg)
xi
ABSTRACK
Sijabat, Yohanes Juan Antony, 2020. “The Ideology of Indra Tranggono’s
Three Short Stories in 2019: Jacques Derrida’s Deconstruction”.
Bachelor Degree. Indonesian Letters Study Program. Faculty of
Letters. Sanata Dharma University.
This research discusses deconstructions on three short stories of Indra
Tranggono in 2019. The purpose of this research is to explain the ideology of Indra
Tranggono’s three short stories in 2019 and to describe the decentering process and
dissemination from that three short stories.
This research uses M. H. Abrams paradigm with a discursive approach. This
research is post-structural research using Jacques Derrida deconstruction theory.
This research uses text analysis method with the double reading technique. This
research has two main results. First is text ideology is concluded from metaphysics
hierarchy and the binary oppositions inside the text. Second, the deconstruction
process that including decentering process and dissemination.
The first deconstruction process produces the ideology contained in the text.
Text ideology from “Profesor Pogob” short story are (i) Profesor Pogob’s bravery
in defending corruptor. Text ideology from “Elegi Ampas Kopi” short story is (ii)
Bangsa Kopi fortitude in facing the suffering. Text ideology from “Di Atas Tanah
Retak” short story is (iii) Maruti’s misfortune in her life. The second process of
deconstruction produces new ideologies and new meanings contained in the text.
“Profesor Pogob” short story has a new ideology. The ideology is Profesor Pogob’s
selfishness. The new produced meanings are (i) no shame, (ii) Profesor Pogob’s big
mouth, (iii) cowardice. “Elegi Ampas Kopi” has a new ideology. The ideology is
Bangsa Kopi complaints about their fate. The new produced meanings are (i)
narcissism causes disappointment, (ii) suffering is a necessary to reach potential,
(iii) screaming is a futile act. “Di Atas Tanah Retak” has a new ideology. The
ideology is Maruti’s fear of Dargo. The new produced meanings are (i) society's
stigma is self-limiting, (ii) reckless action leads to misfortune, (iii) resignation only
makes matters worse. From the results of the deconstruction, the populist ideology
is the ideology to be achieved in the three short story texts. The three short stories
illustrate how oppression and pragmatism can be countered by a popular ideology
that emphasizes common interests.
Keywords: deconstruction, hierarchy metaphysics, text ideology, decentering,
dissemination
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 7: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/7.jpg)
xii
DAFTAR ISI
halaman
HALAMAN PENGESAHAN PENDAMPING ..................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ........................................... iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI .............................. v
HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................ vi
MOTO... ................................................................................................................ vii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... viii
ABSTRAK .............................................................................................................. x
ABSTRACK .......................................................................................................... xi
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xii
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xiv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xv
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ..................................................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ............................................................................................. 6
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................................. 6
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................................... 7
1.5 Tinjauan Pustaka ................................................................................................. 7
1.6 Pendekatan Penelitian .......................................................................................... 9
1.7 Landasan Teori .................................................................................................. 10
1.8 Metode Penelitian .............................................................................................. 14
1.8.1 Metode Pengumpulan Data ....................................................................... 14
1.8.2 Metode Analisis Data ................................................................................ 15
1.8.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data ...................................................... 15
1.8 Sistematika Penyajian ........................................................................................ 15
BAB II HIERARKI METAFISIK DAN IDEOLOGI TEKS DALAM TIGA
CERPEN INDRA TRANGGONO TAHUN 2019 .............................. 17
2.1 Pengantar ........................................................................................................... 17
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 8: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/8.jpg)
xiii
2.2 Hierarki Metafisik dan Ideologi dalam Cerpen “Profesor Pogob” .................... 18
2.2.1 Alur ........................................................................................................... 18
2.2.2 Oposisi Biner, Unsur Undecidable, dan Hierarki Metafisik ..................... 19
2.2.3 Ideologi Teks ............................................................................................ 24
2.3 Hierarki Metafisik dan Ideologi dalam Cerpen “Elegi Ampas Kopi” ............... 25
2.3.1 Alur ........................................................................................................... 25
2.3.2 Oposisi Biner, Unsur Undecidable dan Hierarki Metafisik ...................... 26
2.3.3 Ideologi Teks ............................................................................................ 32
2.4 Hierarki Metafisik dan Ideologi dalam Cerpen “Di Atas Tanah Retak” ........... 33
2.4.1 Alur ........................................................................................................... 33
2.4.2 Oposisi Biner, Unsur Undecidable, dan Hierarki Metafisik ..................... 36
2.4.3 Ideologi Teks Cerpen “Di Atas Tanah Retak” .......................................... 41
2.5 Rangkuman ........................................................................................................ 42
BAB III DECENTERING DAN DISEMINASI DALAM TIGA CERPEN
INDRA TRANGGONO TAHUN 2019 ............................................... 44
3.1 Pengantar ........................................................................................................... 44
3.2 Decentering dan Diseminasi dalam Cerpen “Professor Pogob” ........................ 44
3.2.1 Pembalikan Hierarki Metafisik dan Ideologi Baru ................................... 45
3.2.2 Diseminasi dan Pemaknaan Baru .............................................................. 46
3.3 Decentering dan Diseminasi dalam Cerpen “Elegi Ampas Kopi” .................... 49
3.3.1 Pembalikan Hierarki Metafisik dan Ideologi Baru ................................... 49
3.3.2 Diseminasi dan Pemaknaan Baru .............................................................. 51
3.4 Decentering dan Diseminasi dalam Cerpen “Di Atas Tanah Retak” ................ 54
3.4.1 Pembalikan Hierarki Metafisik dan Ideologi Baru ................................... 55
3.4.2 Diseminasi dan Pemaknaan Baru .............................................................. 57
3.5 Rangkuman ........................................................................................................ 60
BAB IV PENUTUP ............................................................................................. 63
4.1 Kesimpulan ............................................................................................................. 63
4.2 Saran ....................................................................................................................... 65
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 67
BIOGRAFI PENULIS ........................................................................................ 69
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 9: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/9.jpg)
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Oposisi Biner Cerpen “Profesor Pogob”...................................................19
Tabel 2 Oposisi Biner Cerpen “Elegi Ampas Kopi”..............................................27
Tabel 3 Oposisi Biner Cerpen “Di Atas Tanah Retak”..........................................36
Tabel 4 Hierarki Metafisik dan Ideologi Teks.......................................................63
Tabel 5 Proses Decentering dan Diseminasi..........................................................64
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 10: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/10.jpg)
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Ilustrasi Pembalikan Hierarki dalam Cerpen “Profesor Pogob”...........45
Gambar 2 Ilustrasi Pembalikan Hierarki dalam Cerpen “Elegi Ampas Kopi”......50
Gambar 3 Ilustrasi Pembalikan Hierarki dalam Cerpen “Di Atas Tanah Retak”..55
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 11: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/11.jpg)
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karya sastra merupakan sebuah seni bahasa sehingga karya sastra bisa
dinikmati oleh para pembaca dan dengan pemahaman yang dalam akan karya
tersebut karya sastra tidak hanya suatu hal untuk dinikmati, tetapi dimaknai. Sastra
sebagai suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia
dan kehidupannya menggunakan bahasa sebagai mediumnya (Semi, 1988: 8).
Karya sastra mengandung perasaan, semangat, keprihatinan, keyakinan dan banyak
lagi karena sastra tidak terbatas.
Karya sastra memang adalah hal fiksi yang muncul dari imajinasi penulis,
tetapi tidak hanya sekadar imajinasi dalam bentuk kata-kata yang indah, ada juga
tuangan jiwa dan pengalaman yang bisa dipelajari oleh penikmat karya tersebut
(Taum, 1997: 13). Cerita dalam karya sastra merupakan realitas alternatif yang
tanpa belenggu. Hal itu bisa menjadi sebuah keresahan penulis terhadap realitas
sebenarnya yang ada di dunia. Keresahan tersebut bisa meliputi banyak hal seperti
keresahan sosial, lingkungan, keadilan sehingga karya sastra merupakan suara
untuk mengajak para pembaca untuk turut peduli dan bersama-sama menyelesaikan
permasalahan tersebut.
Kritik sastra Indonesia merupakan sebuah disiplin yang belum berkembang
secara maksimal. Hampir semua pakar sastra mengungkapkan kekecewaannya
terhadap perkembangan teori kritik sastra di Indonesia. Kritik sastra di Indonesia
cenderung mendewakan unsur-unsur intrinsik di dalam teks, dan terbatas pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 12: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/12.jpg)
2
kajian teks dan konteks, tema, alur, dan latar, padahal perkembangan ilmu
pengetahuan dan paragdimanya sudah berkembang pesat (Taum, 2017). Hal
tersebut menyebabkan kritik sastra tidak mendapatkan apresiasi yang layak.
Perkembangan paradigma kritik sastra sudah meliputi objek kajian pengarang,
pembaca, dan teks. Bahkan saat ini kritik sastra sudah memasuki masa
poststruktural dengan menggunakan pendekatan diskursif. Kritik sastra makin
meluas dan tidak lagi terjebak pada pengarang, pembaca, dan teks, tetapi juga
mengenai hal-hal aktual, aliran tertentu, dan paradigma yang baru.
Penelitian ini menggunakan teori dekonstruksi dari Jacques Derrida.
Derrida lahir di kota El-Biar, Aljazair sebagai seorang Yahudi Sefradis. Dia besar
di sana dan akhirnya pindah ke Prancis. Setelah menyelesaikan pendidikannya
Derrida menjadi seorang filsuf. Teori Dekonstruksi dari Derrida memberikan
kebebasan interpretasi dalam mempermainkan kata-kata dan selalu
mempertanyakan kebenaran absolut (Al-Fayddl, 2011: 8). Awalnya teori ini
digunakan dalam pembacaan filsafat, tetapi dalam perkembangannya digunakan
juga untuk menganalisis berita, wacana, hingga teks-teks sastra.
Teori Dekonstruksi dari Jacques Derrida pada awalnya dianggap absurd.
Derrida berpendapat bahwa tidak ada apa-apa di luar teks. Dekonstruksi adalah
sebuah cara untuk menggeser ideologi teks yang berperan sebagai acuan dan
membuka peluang pada pemikiran-pemikiran yang dikesampingkan untuk berperan
(Sudiarja: 2005). Dekonstruksi sendiri dilakukan karena setiap teks retak dan tidak
imbang, sehingga selalu terjadi diseminasi/atau penyebaran makna. Dekonstruksi
diawali dengan pembacaan kritis. Setelah membaca pertama dilakukan kembali
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 13: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/13.jpg)
3
pembacaan dengan melihat keberpihakan yang kemudian hierarkinya dibongkar
dengan melihat oposisi biner teks. Kemudian dilakukan pembalikan teks
(decentering) dengan meletakkan oposisi biner ke tempat semula. Teks akan
berhasil jika pemaknaan baru tampak asing dan jauh dari pemaknaan sebelumnya.
Pada tahun 2019, terdapat 4 cerpen karya Indra Tranggono yang
dipublikasikan oleh koran di Indonesia. Penelitian ini menggunakan objek material
berupa tiga cerpen karya Indra Tranggono di tahun 2019, yaitu “Profesor Pogob”,
“Elegi Ampas Kopi”, dan “Di Atas Tanah Retak”. Penulis tidak memasukkan
cerpen “Bilik Suara” yang juga dipublikasikan pada tahun 2019 karena cerpen
tersebut memiliki tema yang sama dengan cerpen “Profesor Pogob”, yaitu tema
politik. Cerpen “Bilik Suara” tidak penulis jadikan objek penelitian karena
penggambaran akan politik di Indonesia sudah diwakilkan oleh cerpen “Profesor
Pogob”
Ketiga objek material tersebut dimuat pada tiga koran yang berbeda.
Cerpen “Profesor Pogob” dimuat di koran Kedaulatan Rakyat pada tanggal 27
Oktober 2019, cerpen “Elegi Ampas Kopi” dimuat di koran Jawa Pos pada tanggal
27 Januari 2019, dan cerpen “Di Atas Tanah Retak” dimuat di koran Kompas pada
tanggal 23 Juni 2019. Penulis memilih cerpen karya Indra Tranggono di tahun 2019
karena cerpen ini mewakili gambaran tiga hal di tahun 2019, yaitu politik, gaya
hidup, dan budaya.
Cerpen harus berbentuk padat, di dalamnya pengarang menciptakan
karakter-karakter, semesta mereka, dan tindakan-tindakannya sekaligus secara
bersamaan (Stanton, 2012: 76). Cerpen memiliki semestanya dan kebenarannya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 14: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/14.jpg)
4
sendiri. Cerpen bisa menjadi sebuah media menyampaikan sebuah gagasan tertentu
yang secara sadar maupun tidak akan mempengaruhi cara pandang pembaca
terhadap suatu peristiwa. Keberpihakan teks akan menggiring opini tertentu kepada
pembaca. Hal ini menjadi sangat efektif karena cerpen cepat dibaca, ditambah lagi
dengan penyebaran yang luas karena banyak cerpen yang dimuat di dalam koran-
koran.
Cerpen-cerpen tersebut sudah dimuat di dalam koran di Indonesia. Hal itu
menunjukkan kualitas cerpen Indra Tranggono, bahkan sudah banyak cerpen
karangan dia yang dimuat di dalam koran. Sebelum dimuat di koran, setiap cerpen
yang masuk akan diseleksi oleh redaksi koran tersebut. Cerpen yang lolos adalah
cerpen yang kualitasnya sudah sesuai dengan standar redaksi dan juga memiliki
ideologi yang sesuai yang dimiliki oleh koran tersebut. Cerpen karangan Indra
Tranggono adalah salah satunya, karena itu penulis ingin tahu ideologi apa yang
dimuat di dalam cerpen lalu mendekonstruksinya untuk menambah sudut pandang
dalam melihat cerpen itu.
Ketiga cerpen tersebut dipilih karena banyak alasan. Salah satunya adalah
karena cerpen tersebut tidak hanya menarik dibaca, tetapi memiliki plot yang tragis.
Ketiganya juga selalu memenangkan sang penguasa di akhir cerita sedangkan para
korban hanya pasrah dengan keadaan. Selain itu, cerita di dalam cerpen-cerpen
tersebut juga memiliki hegemoni yang kuat, sehingga teks memiliki keberpihakan
dan kebenaran tunggal yang cocok untuk didekonstruksi. Penulis tertarik untuk
menggali lebih dalam lagi tentang ideologi dan makna-makna yang tersembunyi di
dalam teks akibat adanya logosentrisme.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 15: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/15.jpg)
5
Ketiga cerpen yang penulis pilih memiliki tema besar yang sama, yaitu
tentang kekuasaan dan kepasrahan. Cerpen “Profesor Pogob” bercerita tentang
seorang profesor yang dipanggil presiden untuk menenangkan keadaan negara yang
kacau akibat sebuah kebijakan kontroversial. Profesor itu akhirnya malah
memprovokasi rakyat sehingga menimbulkan kekacauan di mana-mana. Cerpen
ke-dua yang berjudul “Elegi Ampas Kopi” bercerita tentang personifikasi bangsa
kopi ketika akan diseduh oleh seorang penyair. Pengarang memberikan gambaran
betapa tersiksanya biji-biji kopi itu dari tahap mereka dipanen hingga diseduh
dengan air panas. Cerpen ke-tiga “Di Atas Tanah Retak” bercerita tentang seorang
gadis yang mati tergantung di pohon. Orang-orang menyangka dia bunuh diri
karena sering berbicara demikian, tetapi kenyataannya dia dibunuh oleh
sekelompok orang karena hamil setelah diperkosa oleh orang yang berpengaruh di
desanya.
Penulis memilih topik “Ideologi Tiga Cerpen Indra Tranggono di Tahun
2019: Dekonstruksi Jacques Derrida” karena beberapa alasan. Pertama,
penggunaan teori dekonstruksi masih sedikit, padahal teori ini memiliki manfaat
yang besar. Pengaplikasian teori dekonstruksi sangat luas, tidak hanya terbatas pada
teks sastra saja, tetapi pada setiap teks. Teori dekonstruksi juga sangat sesuai di era
postmodern, karena kemudahan informasi yang tidak terbatas memerlukan
kebijakan pembaca untuk memahami dan mengambil sebuah kesimpulan terhadap
suatu teks.
Kedua, cerpen karya Indra Tranggono sudah dimuat di dalam koran-koran
sejak tahun awal tahun 2000, tetapi hanya sedikit penelitian yang menggunakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 16: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/16.jpg)
6
cerpen-cerpen karya Tranggono. Hal ini mendorong penulis untuk menjadikan
cerpen karya Indra Tranggono sebagai objek material, dan mencari tahu ideologi-
ideologi apa saja yang terdapat dalam karyanya.
Dekonstruksi pada cerpen karya Indra Tranggono di tahun 2019 penting
untuk dilakukan, karena cerpen tersebut merupakan salah satu gambaran keresahan
pengarang terhadap keadaan sosialnya. Keresahan pengarang tidak sepenuhnya bisa
dipahami dengan sempurna karena ketidakhadiran pengarang saat seseorang
membaca, dan itulah kekuatan sekaligus kelemahan dari teks cerpen. Setiap latar
belakang pembaca terhadap jejak-jejak tiap kata pada teks akan berbeda, dan untuk
lebih mendalaminya perlu dibongkar dan disusun kembali dengan menggunakan
teori dekonstruksi. Setelah didekonstruksi makna pada tiap cerpen akan menyebar,
memperkaya, dan memperdalam pembaca dalam melihat sebuah kejadian.
1.2 Perumusan Masalah
a. Bagaimana hierarki metafisik dan ideologi teks yang terdapat pada tiga
cerpen karya Indra Tranggono di tahun 2019?
b. Bagaimana proses decentering dan diseminasi pada tiga cerpen karya Indra
Tranggono di tahun 2019?
1.3 Tujuan Penelitian
a. Menjabarkan hierarki metafisik dan ideologi teks yang terdapat pada tiga
cerpen karya Indra Tranggono di tahun 2019.
b. Menjabarkan proses decentering dan diseminasi pada tiga cerpen karya
Indra Tranggono di tahun 2019.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 17: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/17.jpg)
7
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan praktis. Secara teoritis hasil
penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk memperkaya kajian teks sastra dengan
menggunakan teori dekonstruksi. Kajian ini juga diharapkan bisa memperkaya
kajian sastra menggunakan pendekatan diskursif. Penelitian ini diharapkan bisa
digunakan sebagai referensi penelitian dengan objek material tiga cerpen karya
Indra Tranggono. Penelitian ini juga diharapkan bermanfaat sebagai referensi
penelitian dengan objek formal teori dekonstruksi Jacques Derrida.
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan menambah aset dalam hal
studi teks dalam ilmu sastra. Penelitian ini juga diharapkan bisa menjadi bacaan
oleh para kurator dan juri dalam menilai sebuah karya sastra. Penelitian ini
diharapkan juga bermanfaat dalam memberikan sudut pandang lain dalam sebuah
karya sastra, sehingga membuat pembaca menjadi lebih kritis dalam melihat sebuah
karya sastra dan tidak terperangkap dengan satu pemaknaan.
1.5 Tinjauan Pustaka
Terdapat beberapa penelitian lain yang digunakan penulis sebagai referensi
untuk melakukan penelitian ini. Penelitian yang digunakan sebagai referensi karena
memiliki objek formal yang sama adalah skripsi dari Respati (2018) dengan judul
“Dekonstruksi Tiga Cerpen Pilihan Kompas Tahun 2013 : Klub Solidaritas Suami
Hilang : Perspektif Jacques Derrida”. Penelitian tersebut menjelaskan ideologi yang
ada dalam tiga cerpen pilihan kompas tahun 2013 dan menjelaskan hasil diseminasi
pada tiap cerpennya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 18: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/18.jpg)
8
Penelitian selanjutnya adalah artikel berjudul “Analisis Dekonstruksi
Derrida pada Tokoh Margio dalam Novel Lelaki Harimau” karya Hajar dan Wazib
(2018). Penelitian tersebut menunjukkan bahwa tokoh Margio dalam novel Lelaki
Harimau digambarkan sebagai protagonis dan ditempatkan sebagai titik ordinat
dalam penceritaan. Pembunuhan yang dilakukan Margio terhadap Anwar sadat
menggambarkan sebuah sikap heroisme dan patriotisme.
Penelitian selanjutnya berasal dari artikel dalam jurnal karya Ghofur (2014)
dengan judul “Analisis Dekonstruksi Tokoh Takeshi dan Mitsusaburo Dalam Novel
Silent Cry Karya Kenzaburo Oe: Perspektif Jacques Derrida”. Penelitian tersebut
berfokus pada oposisi biner dan membongkar sisi dalam novel Silent Cry, dan
menghasilkan makna lain yang berbeda dari teks yang sebenarnya.
Penelitian selanjutnya adalah artikel jurnal karya Asmarani (2008) dengan
judul “Pendekatan Feminis Dekonstruktif-Kultural Terhadap Anna and the King”.
Penelitian ini menggunakan pendekatan dekonstruksi dengan perspektif feminis
untuk menganalisis dua budaya yang berbeda, yaitu Inggris dan Siam yang
mempunyai interaksi panjang dalam novel Anna and the King.
Penelitian lain yang digunakan sebagai referensi adalah penelitian yang
memiliki objek material dari pengarang yang sama, yaitu cerpen Tikus karya Indra
Tranggono. Penelitian tersebut ialah artikel jurnal berjudul “Formasi Ideologi
Dalam Cerpen Tikus Karya Indra Tranggono” karya Rokhmansyah (2019).
Penelitian tersebut bertujuan untuk mengungkapkan bagaimana hubungan
ideologi-ideologi yang terdapat dalam cerpen Tikus. Penelitian tersebut
menggunakan teori Hegemoni Gramsci.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 19: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/19.jpg)
9
Kelima penelitian tersebut membantu penulis sebagai referensi penggunaan
teori dekonstruksi dalam berbagai karya sastra. Penelitian dengan objek material
yang sama juga membantu penulis dalam memahami lebih dalam mengenai
ideologi cerpen yang terdapat pada karya Indra Tranggono. Penelitian ini berjudul
“Ideologi Tiga Cerpen Indra Tranggono di Tahun 2019: Dekonstruksi Jacques
Derrida”. Penelitian ini ditulis untuk mengungkapkan hierarki metafisik yang
terkandung di dalam teks dan mendekonstruksinya dengan melakukan proses
decentering. Penelitian ini juga akan mengungkapkan makna-makna lain yang
tersembunyi di dalam novel, sehingga bisa diketahui penyebaran maknanya
(diseminasi). Hasil penelitian ini juga bisa digunakan sebagai referensi pemaknaan
teks dan menambah kajian poststruktural dalam teks sastra.
1.6 Pendekatan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan
paradigma penelitian M. H. Abrams. Paraigma M. H. Abrams memiliki empat
pendekatan yaitu pendekatan objektif, pendekatan ekspresif, pendekatan mimetik,
dan pendekatan pragmatik (Taum, 1997: 17) untuk melihat karya sastra secara
menyeluruh. Terdapat dua pendekatan lain hasil reposisi oleh Taum, yaitu
pendekatan ekletik dan pendekatan diskursif. Pendekatan diskursif sendiri adalah
pendekatan objektif yang direposisi oleh Taum yang menjadikan teks sebagai
sumber penelitian. Pendekatan diskursif juga menyertakan hasil pemikiran peneliti
terhadap teks tersebut. Istilah diskursif berasal dari “wacana”. Kritik sastra diskursif
membuat karya sastra yang dikaji menjadi bagian dari wacana itu sendiri. Hal ini
memperluas objek penelitian sastra yang belum diteliti oleh teori kritik sastra
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 20: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/20.jpg)
10
lainya, yaitu teks-teks sastra dan teks-teks nonsastra sebagai perwakilan kekuasaan
berdasarkan praktik-praktik diskursif (Taum, 2017: 5).
Pendekatan diskursif bisa digunakan pada teori-teori postmodern. Penelitian
ini menggunakan teori dekonstruksi Jacques Derrida. Inti teori Derrida adalah
mengkaji persebaran makna (polisemi) dalam sebuah teks. Dekonstruksi bertujuan
membongkar ideologi yang kaku.
1.7 Landasan Teori
Dekonstruksi adalah sebuah teori yang diciptakan oleh Jacques Derrida
yaitu seorang pemikir besar dalam filsafat. Dekonstruksi adalah cara membaca teks
(sastra maupun filsafat) menurut pandangan filsafat Derrida, yang terpengaruh oleh
pandangan fenomenologi (Heidegger) dan skeptisisme (Nietzche). Derrida
menciptakan teori ini untuk menentang teori-teori struktural-semiotik Ferdinand de
Saussure yang menganggap bahwa sebuah teks memiliki makna yang utuh di dalam
sistem bahasa tertentu. Hal ini membuat teori dekonstruksi Derrida termasuk
Poststructuralism (Taum,1997: 42).
Dekonstruksi adalah pembelaan terhadap makna lain yang terepresi oleh
kuasa kepengarangan. Dekonstruksi mempertanyakan segala sesuatu yang telah
disetujui secara masif tanpa a priori (yang membentuk pemahaman manusia).
Derrida tahu sadar atas hal yang disetujui tersebut bersifat tidak netral, karena lahir
dari kuasa (sosial-kultural-politis) yang hegemonik dan intoleran terhadap
perbedaan. Dekonstruksi adalah testimoni terbuka kapada mereka yang kalah dan
terpinggirkan oleh stabilitas rezim bernama pengarang. Maka, sebuah dekonstruksi
adalah gerak perjalanan menuju hidup itu sendiri (Al-Fayyadl, 2012: 232).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 21: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/21.jpg)
11
Setiap teks meninggalkan residu, serpihan-serpihan debu, sisa-sisa dari
kehadiran yang telah sirna dan tertunda. Karena itu, tak ada lagi yang perlu
dilakukan selain memungut residu itu – tinggal abu, il y a la cendre. (Al-Fayyadl,
2012: 109). Pemikiran tersebut muncul atas ketidaksetujuan Derrida terhadap
sistem pemikiran yang meminggirkan dan merepresi dampak-dampak bahasa yang
dianggap oleh para filsuf mengganggu. Oleh karena itu, tujuan Derrida adalah
menunjukkan dampak-dampak ini dengan melakukan pembacaan kritis yang
mendalam, untuk memahami detail terkecil yang tersembunyi. Menurut Derrida,
Dekonstruksi dilakukan untuk menghilangkan ide-ide ilusif yang menguasai
metafisika Barat, yaitu nalar bisa lepas dari bahasa dan sampai pada kebenaran
(logos) (Norris, 2006: 56).
Derida menemukan bahwa upaya Saussure untuk memperkenalkan konsep
“tulisan fonetis” hendak menegaskan bahwa tulisan tetap berinduk pada bunyi dan
tidak dapat memisahkan diri dari unsur-unsur tuturan. Tulisan tidak mungkin
menjadi sistem tersendiri yang otonom dari bunyi (Al-Fayydl, 2012: 49). Posisi
bunyi dalam pemikiran Saussure sangat sentral. Menurutnya unsur terpenting
dalam kegiatan berbahasa adalah adanya citra akustik yang memungkinkan seorang
penutur menyampaikan gagasannya (Al-Fayydl, 2012: 43). Hal tersebut membuat
peran punutur sangatlah besar dan menjadi tidak sesuai jika diimplementasikan ke
dalam tulisan. Ketika membaca tulisan, penutur tidak bisa hadir selain di dalam
imajinasi pembaca. Saussure meletakkan bunyi di atas tulisan sehingga
menghadirkan fonosentrisme yang sangat kental dengan logos.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 22: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/22.jpg)
12
Kebenaran yang mutlak adalah hal yang ingin dilawan oleh dekonstruksi.
Logos sendiri muncul bila bahasa dilihat secara struktural. Bahasa ada karena
sistem perbedaan yang berintikan oposisi biner. Oposisi antara penanda/petanda,
tuturan/tulisan, langue/parole. Oposisi biner hadir secara berdampingan dan
menyebabkan superioritas suatu oposisi. Setiap makna dalam teks tidak utuh dan
retak. Meskipun begitu Derrida mengganggap tulisan lebih istimewa daripada
tuturan. Tulisan dalam sudut pandang lain merupakan prakondisi dari bahasa, dan
bahkan telah ada sebelum oral. Tulisan adalah bentuk permainan bebas unsur-unsur
bahasa dan komunikasi. Tulisan selalu mengalami perubahan makna, dan hal ini
yang membuat tulisan tidak masuk di dalam kebenaran mutlak (logos) (Norris,
2006: 9-10).
Sebuah oposisi akan bermasalah jika sebuah istilah menjadi lebih unggul.
Misalnya, istilah motor akan menjadi inferior jika disandingkan dengan istilah
mobil. Sebaliknya, istilah mobil akan menjadi lebih superior dibandingkan istilah
motor. Makna istilah motor akan mengalami krisis dan degradasi makna. Mobil
tampak lebih bergengsi dibanding dengan motor. Oposisi biner yang seperti ini
yang ingin dibongkar oleh Derrida karena memunculkan hierarki. Derrida
menganggap hubungan tersebut sebagai hierarki yang brutal (Respati, 2018).
Semakin banyak oposisi dalam sebuah teks, maka semakin kuat logos di dalamnya.
Hal tersebut membuat dekonstruksi semakin diperlukan untuk menetralkan teks.
Langkah awal dalam dekonstruksi adalah menemukan pusat dari teks.
Langkah ini dinilai problematis karena operasi teks menolak penunggalan.
Dekonstruksi menetralkan teks dengan cara melakukan proses decentering, yaitu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 23: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/23.jpg)
13
membalikkan oposisi-oposisi biner yang ada di dalam teks. Pusat teks akan
mengalami desentralisasi; pusat-pusat teks akan menyebar ke segala arah,
membiak, dan memroduksi tanda-tanda yang membangun teksnya sendiri (Al-
Fayydl, 2012: 77-78).
Dalam dekonstruksi, penyebaran makna disebut dengan diseminasi. Makna
di dalam teks tidak mungkin ditemukan, kecuali jika teks dilihat sebagai sebuah
permainan yang selalu berubah-ubah dan berkembang dari penanda lama ke
penanda baru. Dengan mempermainkan tanda, maka referens yang hendak
disimpulkan dalam teks dengan sendirinya tertunda. Penyebaran ini membuat
seluruh tatanan teks yang ingin distabilkan menjadi berantakan (Al-Fayadll, 2012:
79).
Di dalam teks hanya terdapat residu, abu, atau jejak-jejak kehadiran yang
selalu tertunda maknanya. Jejak-jejak dalam teks tersebut disebut oleh Derrida
sebagai differance. Derida mengakui bahwa differance bukanlah kata-kata maupun
konsep, karena kata-kata dan konsep memiliki referens yang tetap. Karena itu,
differance tidak memiliki eksistensi, melainkan hanya sebuah strategi untuk
menunjukkan perbedaan implisit sekaligus menantang totalitas makna di dalam
teks. Differance dapat ditemukan dalam setiap sistem pemikiran yang berusaha
memberikan tafsiran tunggal terhadap realitas yang ada di dalam teks. Selama itu
dipahami sebagai teks, maka teks tersebut bisa dibaca, dibongkar, dan ditafsirkan
ulang secara tidak terhingga (Al-Fayyadl, 2012: 111).
Maka Derrida dengan tajam membalik prioritas tuturan menjadi tulisan.
Dengan tulisan, makna berkembang dalam permainan teks yang tak terhingga, akan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 24: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/24.jpg)
14
selalu mengalami lompatan tafsir-tafsir yang tak terduga, sebuah pembukaan diri
terhadap yang tak teramalkan. Sesuatu yang teramalkan akan menjadi oposisi biner,
mendamba kejelasan dan keutuhan yang baku. Hal yang demikian akan mustahil
direngkuh, karena diterpa différance. Sebuah momen kematian makna dari
pengarang, tuturan yang mendominasi filsafat Barat dibalik menjadi permainan-
permainan teks yang terbuka pada ambiguitas, dan ketidakpastian makna. Makna
jatuh dalam pembacaan dan tafsir yang terus bergerak dan tak teramalkan. Sebuah
momen runtuhnya hierarki metafisik yang tersirat dalam oposisi biner, momen
merayakan kematian dan keruntuhan metafisika. (Muther, 2018)
Untuk mengganti makna-makna tersembunyi teks, teks bisa didekonstruksi
melalui tangkah-tangkah sederhana sebagai berikut: Pertama, mengidentifikasi
oposisi biner (op-bin) yang dihadirkan teks. Kemudian mengganti asumsi yang
melandasi op-bin tersebut. Setelah itu dilakukan 'sous roture' (pemberian tanda
silang) secara imaginer pada bagian tertentu untuk mengkritisi maknanya.
Akhirnya, membatik struktur hierarkis op-bin tersebut untuk menghasilkan makna
baru. Dalam dekonstruksi Derridean ini kreativitas untuk menggali makna yang
berbeda yang tersembunyi sangatlah diperlukan (Asmarani, 2008: 18).
1.8 Metode Penelitian
Metode penelitian ini menggunakan tiga tahap, yaitu : (i) pengumpulan data,
(ii) analisis data, (iii) penyajian data.
1.8.1 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode studi pustaka.
Penulis mengumpulkan data dengan mengadakan studi terhadap buku-buku,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 25: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/25.jpg)
15
literatur-literatur, dan catatan-catatan yang berhubungan dengan topik penelitian
ini, baik dari objek formal maupun objek material.
1.8.2 Metode Analisis Data
Metode atau teknik yang digunakan dalam penelitian dekonstruksi adalah
double reading. Double reading adalah teknik pembacaan cermat sebuah teks dua
kali. Pembacaan pertama adalah memahami teks dan menyimpulkan tafsiran
dominan yang berupa ideologi teks. Tahap ini mengidentifikasi hierarki metafisik
beserta oposisi binernya. Tahap selanjutnya adalah mejauhi tafsiran dominan yang
pertama dengan melakukan decentering. Tahap ini ideologi teks dibalik dan
hierarki metafisik dihancurkan (Critchley Via A. Sumarwan 2005: 14). Setiap
oposisi biner yang terdapat dalam teks menjadi netral. Makna teks pun menjadi
tersebar dan pusat teks digeser (disseminasi). Proses ini dianggap berhasil jika
mampu mengubah pandangan pembaca terhadap teks. Teks yang tidak diubah sama
sekali menjadi memiliki makna yang berbeda.
1.8.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dalam menyajikan
hasil analisis data. Penulis menyajikan hasil analisis dari penelitan ini dengan
mendeskripsikan data-data secara sistematis.
1.8 Sistematika Penyajian
Bab I berisikan tentang pendahuluan penelitian, dimulai dengan (1) latar
belakang masalah yang menjelaskan alasan penelitian ini dilaksanakan. (2)
Rumusan masalah yang menjelaskan permasalahan apa yang akan diteliti. (3)
Tujuan Penelitian yang menjelaskan tujuan penelitian ini. (4) Manfaat hasil
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 26: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/26.jpg)
16
penelitian untuk menjelaskan dampak dari penelitian ini baik secara teoritis maupun
praktis. (5) Tinjauan pustaka menjabarkan penelitian yang mirip dan digunakan
sebagai referensi. (6) Landasan teori, menjabarkan teori-teori yang akan digunakan
dalam penelitian. (7) Metode penelitian, menjelaskan metode serta teknik yang
digunakan. (8) Sistematika penyajian, menguraikan sistem penyajian dalam tiap
bab.
Bab II berisikan tentang deskripsi ideologi teks pada tokoh Bodhi yang
terdapat dalam tiga cerpen Indra Tranggono di tahun 2019.
Bab III berisikan deskripsi proses decentering dan diseminasi pada tokoh
Bodhi dalam tiga cerpen Indra Tranggono di tahun 2019.
Bab IV berisikan penutup, kesimpulan dari penelitian, serta saran kepada
peneliti, penulis dan masyarakat berdasarkan penelitian ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 27: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/27.jpg)
17
BAB II
HIERARKI METAFISIK DAN IDEOLOGI TEKS
DALAM TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO TAHUN 2019
2.1 Pengantar
Di Bab II ini penulis akan menganalisis ideologi dan hierarki metafisik yang
terdapat dalam tiga cerpen karya Indra Tranggono di tahun 2019. Cerpen tersebut
meliputi “Profesor Pogob”, “Elegi Ampas Kopi”, dan “Di Atas Tanah Retak”.
Ketiga cerpen ini mempunyai kesamaan tema, yaitu mengenai penindasan yang
dilakukan oleh penguasa.
Penulis menentukan ideologi dalam teks dengan melakukan double reading.
Seperti yang sudah dijelaskan pada landasan teori, double reading pada tahap
pertama dilakukan untuk menemukan tafsiran dominan. Hal tersebut didapatkan
dengan memahami alur cerita, konflik, dan tokoh dalam kesan pertama. Setelah itu
dilanjutkan dengan mengidentifikasi hierarki metafisik yang ada di dalam cerita.
Hierarki metafisik ditemukan dengan melihat oposisi biner dari tiap kata, yaitu
kata-kata yang memiliki makna berlawanan dan melihat keberpihakan dari kata-
kata tersebut. Meskipun memang mungkin ditemukan kata-kata yang undecidable
atau tidak bisa ditentukan keberpihakannya. Ideologi pun akan terlihat setelah
oposisi biner ditemukan, karena ideologi terbentuk dari alur dan keberpihakan
cerita.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 28: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/28.jpg)
18
2.2 Hierarki Metafisik dan Ideologi dalam Cerpen “Profesor Pogob”
2.2.1 Alur
Cerita dimulai dengan Profesor Pogob yang tersenyum melihat umpatan,
cacian, dan kutukan di media sosial miliknya. Menurutnya, hal tersebut diperlukan
dalam demokrasi. Hal ini bermula dari pernyataan Profesor Pogob yang membela
para koruptor. Pernyataan tersebut berkaitan dengan pengesahan undang-undang
tindak pidana korupsi oleh Pemerintah Republik Bragallbaz dan Dewan Perwakilan
Tinggi Rakyat, dimana setiap kebijakan tersebut menguntungkan para koruptor.
Kebijakan tersebut menyebabkan kekacauan. Jalan-jalan penuh dengan
kerusuhan. Presiden pun memanggil Profesor Pogob untuk mendinginkan suasana.
Pada jumpa pers di istana, Profesor Pogob justru mengeluarkan pernyataan yang
memprovokasi. Dia menyatakan bahwa memanusiakan para koruptor itu penting
karena jasa yang telah mereka lakukan terhadap Republik Bragallbaz. Uang-uang
yang mereka korupsi bukanlah masalah besar.
Dampak dari ucapan Profesor Pogob memperparah emosi para demonstran.
Fasilitas-fasilitas umum pun rusak dan korban-korban berjatuhan. Dr Gizza
Arlittea, anggota staf ahli presiden, mempertanyakan alasan dari pernyataan
Profesor Pogob yang bisa menyebabkan terjadinya revolusi. Profesor Pogob
menjawab bahwa revolusi tidak akan terjadi dan kemarahan rakyat memang
diperlukan.
Berkali-kali Profesor Pogob melakukan hal seperti ini. Dengan tersenyum,
para koruptor pun rela mengirim uang ke rekening Profesor Pogob. Para koruptor
pun semakin berkobar-kobar untuk korupsi. Gembong-gembong koruptor terus
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 29: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/29.jpg)
19
mengasah pisau untuk merobek urat nadi jutaan orang miskin yang pontang-panting
dihajar penderitaan karena negara sangat jarang hadir dalam hidup mereka.
2.2.2 Oposisi Biner, Unsur Undecidable, dan Hierarki Metafisik
Sebelum menentukan hierarki yang terdapat dalam teks, perlu ditemukan
oposisi biner pada tiap makna kata di dalam teks cerpen. Penentuan ini dilakukan
untuk membuktikan bahwa setiap kata yang beroposisi di dalam teks memiliki
keunggulan tersendiri. Ada makna kata yang lebih kuat dibandingkan makna kata
yang lain. Hal ini yang membuat teks menjadi tidak stabil karena pembelaan
terhadap kubu tertentu. Berikut adalah tabel yang berisikan oposisi biner pada
cerpen “Profesor Pogob”.
Tabel 1
Oposisi Biner Cerpen “Profesor Pogob”
Kubu Profesor Pogob Kubu Demonstran
Berkobar Lelah
Tinggi Rendah
Rela Marah
Ringan Berat
Pemerintah Rakyat
Polisi Demonstran
Mendinginkan Ngompori
Tabel tersebut adalah bukti dari ketidakstabilan dalam teks cerpen “Profesor
Pogob”. Kata berkobar yang seakan lebih baik dibandingkan dengan lelah. Kata
berkobar digambarkan sebagai sebuah tindakan yang penuh dengan semangat
dalam melakukan sesuatu sedangkan lelah sebuah keputusasaan. Padahal kata
berkobar bisa saja bermakna suatu tindakan yang terlalu ambisius dan impulsif
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 30: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/30.jpg)
20
sedangkan kata lelah bisa bermakna sebagai sebuah dampak dari usaha yang
dilakukan terus-menerus.
Kata tinggi dalam teks juga seakan lebih baik dibandingkan kata rendah.
Kata tinggi digambarkan sebagai sifat yang lebih agung dibandingkan kata rendah.
Padahal kata tinggi juga bisa berkesan muluk dan rendah bisa dimaknai sebagai
kesederhanaan. Kemudian kata rela seakan superior dibandingkan kata marah. Rela
digambarkan sebagai kebaikan hati dan marah sebagai kedengkian. Padahal rela
juga bisa dilihat sebagai tindakan menyerah dan kata marah juga bisa dilihat sebagai
rasa tidak terima terhadap ketidakadilan.
Kata ringan di dalam teks cerpen juga terlihat lebih baik daripada kata berat.
Kata ringan digambarkan sebagai kemurahan hati dan kata berat bermakna
sebaliknya. Padahal kata ringan juga bisa bermakna rapuh dan kata berat bermakna
kuat dan kokoh. Kata pemerintah digambarkan lebih baik dibandingkan dengan
kata rakyat. Kata pemerintah seakan bermakna berkuasa dan bertanggungjawab
sedangkan kata rakyat seakan berkesan orang-orang yang banyak menuntut dan
mudah tersulut. Padahal kata pemerintah juga bisa berkesan semena-mena dan kata
rakyat sebagai orang kecil dan tidak berdaya.
Kata polisi di dalam teks juga berkesan lebih baik dibanding kata
demonstran. Kata polisi seakan memiliki makna orang yang menjaga ketertiban dan
melindungi masyarakat sedangkan kata demonstran sebagai orang-orang yang
rusuh dan perusak. Padahal kata polisi juga bisa dilihat sebagai pekerjaan yang
sewenang-wenang dan demonstran adalah kelompok pembela kepentingan rakyat.
Kata mendinginkan di dalam teks juga terlihat lebih baik dibandingkan kata
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 31: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/31.jpg)
21
ngompori. Kata mendinginkan berkesan menenangkan dan kata ngompori
bermakna sebaliknya. Padahal kata mendinginkan bisa bermakna mengacuhkan
sedangkan ngompori bisa bermakna memberikan semangat.
Tabel 1 berisi oposisi biner dari cerpen “Profesor Pogob”. Bagian kiri tabel
menunjukkan kata-kata yang menggambarkan kubu pertama dan bagian kanan
adalah kubu kedua. Bagian kiri menunjukkan bahwa struktur di dalam teks
cenderung berpihak kepada pihak dari kubu pertama. Keberpihakan ini terlihat dari
makna yang terdapat pada bagian kiri tabel memiliki keunggulan tersendiri
terhadap makna yang berada di bagian kanan tabel. Keberpihakan itulah yang
mengakibatkan goyahnya pemaknaan di dalam cerpen.
Meskipun pemaknaan kata di dalam teks cerpen sudah teridentifikasikan,
tetapi masih ada kata yang tidak bisa ditentukan keberpihakannya. Kata tersebut
ialah kata koruptor. Hal tersebut terlihat pada dua kutipan berikut.
“...Tidak semua koruptor harus dihukum berat. Sangat banyak dari
mereka adalah aset bangsa. Kalau mereka semua masuk penjara, negara kita
akan macet. Perkara mereka korup satu atau dua miliar, ya tidak masalah.
Uang segitu terlalu rendah dibanding jasa-jasa tinggi mereka terhadap
Republik Bragallbaz!...” (Tranggono, 2019)
“...Sementara itu, gembong-gembong koruptor terus mengasah
pisau untuk merobek urat nadi jutaan orang miskin yang pontang-panting
dihajar penderitaan karena negara sangat jarang hadir dalam hidup mereka.”
(Tranggono, 2019)
Kutipan pertama dan kedua memiliki makna yang berbeda terhadap kata
koruptor. Pada kutipan pertama dijelaskan bahwa koruptor memiliki peran yang
penting terhadap Negara Republik Bragallbaz. Ketidakhadiran para koruptor
memiliki dampak yang besar terhadap negara. Kutipan tersebut juga menjelaskan
bahwa koruptor harus diselamatkan demi kepentingan negara.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 32: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/32.jpg)
22
Berbeda dengan kutipan pertama, kutipan kedua menggambarkan
kekejaman para koruptor. Kutipan itu memperlihatkan bahwa koruptor adalah
orang yang jahat karena rela menyengsarakan orang miskin yang sudah menderita.
Hal tersebut membuat pemaknaan kata koruptor pada kutipan pertama dan kedua
berlawanan. Pemaknaan kata koruptor tidak pasti antara orang yang penting dan
harus diselamatkan demi kepentingan negara atau orang yang kejam dan sadis yang
rela menindas orang lemah. Hal tersebut membuat kata koruptor undecidable dan
tidak utuh.
Setelah menemukan oposisi biner di dalam teks, dapat disimpulkan bahwa
cerpen “Profesor Pogob” memiliki dua kubu beserta hierarki metafisiknya. Kubu
pertama adalah kubu yang memihak koruptor, yaitu Profesor Pogob, Pemerintah
Negara Republik Bragallbaz, Dewan Perwakilan Tinggi Rakyat, dan para koruptor.
Kubu ini mendukung undang-undang tersebut karena mendapatkan keuntungan dan
tujuan tertentu. Hal tersebut terlihat dalam kutipan-kutipan berikut.
“SENYUM Profesor Pagob berulang kali mengembang, saat
menatap dada monitor handphone android-nya. Di medsos, kata-kata kasar,
umpatan, caci-maki, bahkan kutukan bertaburan menghajar dirinya. Juga
foto dan gambar yang merendahkan martabatnya. Namun, dia tetap
tersenyum. “Dalam demokrasi rakyat punya hak marah. Demokrasi semakin
cepat matang di tangan rakyat yang progesif.” Dia membatin. (Tranggono,
2019)
“Undang-undang tindak pidana korupsi yang berlaku sekarang ini
justru bagus. Memanusiakan koruptor. Tidak semua koruptor harus
dihukum berat. Sangat banyak dari mereka adalah aset bangsa. Kalau
mereka semua masuk penjara, negara kita akan macet. Perkara mereka
korup satu atau dua miliar, ya tidak masalah. Uang segitu terlalu rendah
dibanding jasa-jasa tinggi mereka terhadap Republik Bragallbaz!” ujar Prof
Pagob dalam jumpa pers di Istana.” (Tranggono, 2019)
“Berkali-kali Prof Pagob berani pasang badan demi membela rezim
berkuasa. Ia pun rela jadi sansak. Dipukuli. Dimaki. Diludahi. “Aku
memang bukan idealis seperti para pemimpi tolol,” Prof Pagob tertawa.”
(Tranggono, 2019)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 33: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/33.jpg)
23
Kutipan pertama merupakan paragraf pembuka di dalam cerpen. Kutipan
itu langsung menunjukkan sifat dan gambaran Profesor Pogob di dalam cerita.
Profesor terlihat sabar dalam menghadapi berbagai makian, bahkan dia justru
tersenyum melihat makian itu. Menurut Profesor Pogob, amarah merupakan hak
rakyat untuk menjadi rakyat yang progesif dan mematangkan demokrasi. Hal ini
menunjukkan kepandaian Profesor Pogob dalam memandang sesuatu, karena dia
memikirkan beberapa langkah ke depan. Selain itu, kutipan itu juga menunjukkan
sisi heroik dari Profesor Pogob, yaitu ketika dia rela dimaki demi kemajuan
demokrasi di negara itu.
Kutipan kedua menceritakan pembelaan Profesor Pogob terhadap undang-
undang tindak pidana korupsi. Profesor Pogob berpedapat bahwa memanusiakan
koruptor lebih penting daripada menghukumnya dengan hukuman berat. Menurut
dia, koruptor mempunyai jasa yang besar terhadap Republik Bargallbaz dibanding
dengan milyaran uang yang dikorupsi.
Kutipan ketiga menceritakan tentang Profesor Pogob yang berani
melindungi rezim penguasa, bahkan dia rela mengorbankan fisik dan
kehormatannya. Profesor Pogob juga menjelaskan sendiri bahwa dirinya bukan
orang yang idealis dan pemimpi. Dari keseluruhan cerita bisa disimpulkan bahwa
Profesor Pogob bersifat sebaliknya. Dia adalah orang yang praktis dan realistis.
Berbeda dengan kutipan mengenai Profesor Pogob, para koruptor di cerita
justru memiliki peran yang tidak begitu banyak. Akan tetapi, diceritakan bahwa
para koruptor adalah orang yang juga tahu cara membalas budi. Hal tersebut
terbukti dari kutipan berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 34: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/34.jpg)
24
“Para koruptor tersenyum. Mereka rela mengirim uang ke rekening
Prof Pagob...” (Tranggono, 2019)
Kubu kedua adalah kubu yang berisikan demonstran dan mahasiswa. Kubu
yang melawan undang-undang tindak pidana korupsi. Cerita di dalam cerpen
menunjukkan bahwa rakyat beserta mahasiswa adalah orang-orang yang mudah
tersulut emosi dan merusak. Hal tersebut dibuktikan dengan kutipan-kutipan
berikut.
“Amuk massa, terutama mahasiswa, tumpah di jalan-jalan. Ratusan
korban jatuh disambar timah panas atau dihajar polisi.” (Tranggono, 2019)
“Emosi para demonstran terbakar. Mereka ngamuk. Merusak
fasilitas umum. Polisi bergerak. Terjadi gesekan. Korban-korban pun
berjatuhan.” (Tranggono, 2019)
Berdasarkan kutipan pertama, demonstran mengamuk atas undang-undang
tindak pidana korupsi. Hal itu menyebabkan polisi turun dan menyambar mereka
dengan peluru dan menghajarnya. Kutipan kedua juga menunjukkan amukan
demonstran akibat pernyataan Profesor Pogob. Hal tersebut menunjukkan betapa
mudahnya emosi mereka tersulut dan berakhir dengan kekerasan. Tindakan itu pula
yang menyebabkan jatuhnya banyak korban.
2.2.3 Ideologi Teks
Ideologi teks perlu diketahui karena akan digunakan sebagai dasar
pembalikan makna dalam dekonstruksi. Penentuan ideologi ditentukan dengan
menganalisis hierarki metafisik, oposisi biner, dan unsur undecidable dalam teks
dengan momen klimaks di dalam cerita. Cerpen “Profesor Pogob” karya Indra
Tranggono memiliki momen klimaks ketika tokoh Profesor Pogob menyatakan
bahwa dirinya bukan seorang idealis dan pemimpi tolol. Hal tersebut bisa dilihat
dari kutipan berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 35: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/35.jpg)
25
“Berkali-kali Prof Pagob berani pasang badan demi membela rezim
berkuasa. Ia pun rela jadi sansak. Dipukuli. Dimaki. Diludahi. “Aku
memang bukan idealis seperti para pemimpi tolol,” Prof Pagob tertawa
“Para koruptor tersenyum. Mereka rela mengirim uang ke rekening
Prof Pagob. Kakek 38 cucu itu pun semakin berkobar-kobar membela
koruptor. Sementara itu, gembong-gembong koruptor terus mengasah pisau
untuk merobek urat nadi jutaan orang miskin yang pontang-panting dihajar
penderitaan karena negara sangat jarang hadir dalam hidup mereka.”
(Tranggono, 2019)
Kutipan tersebut adalah dua paragraf akhir cerpen. Dari situ bisa
disimpulkan bahwa ideologi teks adalah keberanian Profesor Pogob dalam
membela koruptor. Tindakan pembelaan yang dilakukan oleh Profesor Pogob
memiliki risiko, bahkan hal itu menyebabkan dia dipukuli, dimaki, dan diludahi.
Akan tetapi pada bagian akhir, Profesor Pogob mendapatkan kiriman uang dari
koruptor yang membuatnya semakin semangat melakukan tindakkannya. Ideologi
yang ditemukan akan dibalik pada proses dekonstruksi selanjutnya. Pemaknaan
akan keberanian Profesor Pogob yang menjadi objek akan dibalik dan dimaknai
ulang dalam proses decentering.
2.3 Hierarki Metafisik dan Ideologi dalam Cerpen “Elegi Ampas Kopi”
2.3.1 Alur
Cerita bermula dengan curhatan para ampas kopi yang menderita dan
menunggu waktu untuk dibuang. Para ampas kopi mempertanyakan hasil dari sari-
sari kopinya yang diminum oleh seorang penyair. Mereka ingin tahu, apakah setelah
meminum kopi penyair itu menghasilkan sebuah puisi.
Cerita pun mundur di pagi hari. Pagi itu bangsa kopi bertemu kembali
dengan penyair. Penyair itu kesiangan karena semalaman dia beribadah puisi.
Penyair bersiap membuat secangkir kopi. Para kopi pun tersiksa ketika penyair
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 36: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/36.jpg)
26
mengguyur mereka dengan air panas. Air panas menghancurkan tiap butir kopi dan
meleburkan jiwa mereka. Setiap harum uap kopi yang penyair hirup merupakan
jeritan jiwa mereka.
Nenek moyang kopi bercerita bahwa sejarah kopi merupakan sejarah
penderitaan. Kedaulatan mereka sebagai pohon direnggut ketika buah-buah yang
menyatu di dalam tubuh pohon dipetik para petani. Pohon kopi kesakitan karena
buah-buahnya diambil paksa. Tak berhenti di situ, buah-buah mereka pun dikuliti,
lalu dijemur berhari-hari sampai kering. Setelah itu mereka berhadapan dengan
panas wajan penggorengan ketika tubuh mereka disangrai. Lalu tubuh mereka
ditumbuk. Tubuh dan jiwa mereka remuk dan hancur. Jeritan mereka pun dilibas
deru mesin penggiling atau talu besi penumbuk. Para kopi mempertanyakan alasan
Tuhan menciptakan manusia yang begitu kejam. Para kopi ingin mundur sebagai
bangsa kopi. Tuhan yang mendengar jeritan mereka hanya tersenyum. Para kopi
pun paham, bahwa mereka harus tetap teguh menjadi bangsa kopi selamanya dan
melanjutkan penderitaan mereka selanjutnya.
2.3.2 Oposisi Biner, Unsur Undecidable dan Hierarki Metafisik
Setelah menentukan unsur hierarki metafisik yang terdapat di dalam cerpen,
langkah pertama adalah menentukan oposisi binernya. Oposisi biner di dalam teks
akan menunjukkan bagaimana setiap kata di dalam teks cerpen saling berlawanan.
Terjadi pelemahan makna kata maupun penguatan makna kata yang tersebar dalam
teks. Untuk menunjukannya, penulis membuat tabel untuk menunjukkan kata mana
saja yang saling beroposisi di dalam teks cerpen “Elegi Ampas Kopi”.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 37: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/37.jpg)
27
Tabel 2
Oposisi Biner cerpen “Elegi Ampas Kopi”
Kubu Bangsa Kopi Kubu Manusia
Rela Paksa
Bertemu Pergi
Jiwa Tubuh
Teguh Remuk
Menyatu Melebur
Hangat Panas
Membawa Dibuang
Melanjutkan Mengundurkan
Tabel 2 di atas menunjukkan kata-kata yang beroposisi di dalam cerpen
“Elegi Ampas Kopi”. Oposisi dalam kata tersebut menunjukkan bahwa makna yang
ada di dalam teks tidak stabil. Kata rela dan paksa memiliki sifat pemaknaan yang
seakan berbeda. Kata rela lebih berkesan baik dibandingkan paksa. Padahal kata
paksa juga bisa berarti melakukan sesuatu dengan melampai batasan-batasan. Kata
bertemu juga seakan lebih baik dibanding kata pergi. Kata bertemu berkesan sebuah
harapan sedangkan kata pergi bisa berkesan melarikan diri dari tanggung jawab.
Kata jiwa memiliki makna yang lebih baik dibandingkan tubuh. Kata jiwa
berkesan suci dan kekal sedangkan tubuh berkesan fana. Padahal kata jiwa juga bisa
bersifat kotor dan tubuh bisa bersifat suci. Kemudian kata teguh juga terlihat lebih
baik dibandingkan kata remuk. Kata teguh berkesan kuat sedangkan remuk
sebaliknya. Padahal kata teguh juga bisa terkesan kaku dan kata remuk sebagai
dampak dari sebuah pengorbanan.
Kemudian kata menyatu terlihat lebih kuat dibandingkan kata melebur,
padahal yang menyatu belum tentu menghasilkan sesuatu yang harmoni yang mana
bisa dicapai dalam hal yang melebur. Kata hangat juga memiliki kesan lebih baik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 38: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/38.jpg)
28
dibandingkan kata panas. Kata hangat bisa dilihat sebagai kondisi yang
memberikan kenyamanan sedangkan kata hangat sebagai perusak. Padahal kata
panas juga bisa dilihat sebagai hal yang tanggung dan tidak maksimal sedangkan
kata panas bisa dilihat sebagai hal yang mematangkan.
Kata membawa dilihat lebih baik dibandingkan dengan kata dibuang. Kata
membawa di dalam teks digambarkan sebagai tindakan yang mendatangkan hal
baik sedangkan dibuang sebagai tindakan menelantarkan. Padahal kata membawa
bisa juga mendatangkan hal-hal buruk dan dibuang sebagai tindakan untuk
menjauhkan diri terhadap hal-hal buruk. Kata melanjutkan terlihat lebih baik
dibandingkan kata mengundurkan. Kata melanjutkan digambarkan sebagai
tindakan yang penuh perjuangan sedangkan kata mengundurkan adalah tindakan
menyerah. Padahal kata melanjutkan juga bisa berkesan memaksakan dan kata
mengundurkan bisa sebagai tindakan untuk mengganti hal yang baru.
Sisi kiri pada tabel 2 menunjukkan penggambaran teks terhadap bangsa
kopi. Kata-kata tersebut melemahkan oposisi maknanya, sehingga memperlihatkan
penderitaan yang dialami bangsa kopi lebih dominan di dalam teks cerpen. Padahal
kedua oposisi kata tersebut berada di dalam satu teks. Hal ini berdampak dengan
penggambaran kubu Penyair dan Petani yang hanya diceritakan sedikit dengan
kata-kata yang berkesan tidak lebih baik dengan gambaran kata-kata pada kubu
Bangsa Kopi. Kubu ini menjadi terlihat sebagai kelompok yang menindas.
Meskipun sudah dianalisis oposisi biner dari teks ini, tetapi masih
ditemukan kata yang undecidable, yaitu kata penderitaan. Kata penderitaan tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 39: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/39.jpg)
29
bisa ditentukan posisinya dalam tabel di atas. Konsep penderitaan di dalam teks
memiliki beberapa makna yang ditunjukan dalam tiga kutipan berikut.
“Sejarah bangsa kopi adalah sejarah penderitaan. Begitu nenek
moyang kopi pernah bilang. Ya, penderitaan...” (Tranggono, 2019)
“Ternyata itu baru penderitaan awal. Buah-buah kami pun dikuliti,
lalu dijemur berhari-hari hingga kering. Setelah itu kami harus menghadapi
panasnya wajan penggorengan ketika tubuh-tubuh kami disangrai. Kami
pikir penderitaan itu sudah selesai. Ternyata kami pun harus tabah untuk
digiling atau ditumbuk...” (Tranggono, 2019)
“...Kami pun paham. Kami harus tetap teguh menjadi bangsa kopi,
selamanya. Dan harus melanjutkan episode-episode penderitaan kami.”
(Tranggono, 2019)
Pada kutipan pertama diceritakan bahwa penderitaan adalah hal yang terjadi
di masa lampau leluhur mereka. Kutipan kedua menceritakan bahwa penderitaan
adalah pengalaman yang tidak menyenangkan dan diharap untuk segera usai.
Kutipan pertama dan kedua memiliki pemaknaan yang tidak berlawanan dan bisa
digabungkan, yaitu Bangsa kopi mengharapkan penderitaan yang mereka alami
sejak dahulu kala hingga sekarang segera usai.
Pemaknaan konsep penderitaan tersebut berbeda di kutipan ketiga. Kutipan
ketiga menjelaskan penderitaan sebagai hal yang akan terjadi selamanya dan
Bangsa Kopi harus teguh menjalaninya. Hal ini lah yang membuat pemaknaan dari
konsep penderitaan bertabrakan di dalam teks dan tidak bisa ditentukan
keberpihakannya. Dari penjelasan tersebut bisa disimpulkan bahwa kata
penderitaan di dalam teks cerpen Elegi Ampas Kopi merupakan unsur undecidable
dan tidak utuh dalam menemukan makna tentang penderitaan itu sendiri.
Setelah menemukan oposisi biner dan unsur undecidable dalam cerpen
Elegi Ampas Kopi, bisa disimpulkan bahwa terdapat dua kubu yang saling
berlawanan di dalam cerita. Kubu pertama adalah Bangsa kopi, baik saat dia masih
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 40: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/40.jpg)
30
menjadi pohon hingga menjadi Ampas Kopi. Di dalam cerpen, kubu pertama ini
digambarkan menjadi pihak yang menderita karena tindakan dari kubu kedua yaitu
Penyair dan Petani.
Hierarki Metafisik yang terdapat dalam cerpen Elegi Ampas Kopi sudah
terlihat dari paragaraf pertama. Dalam paragraf tersebut pembaca dibuat bersimpati
dengan kondisi ampas kopi. Hal tersebut dibuktikan dengan pernyataan berikut.
“Sekarang kami hanyalah adonan ampas kopi. Tak ada lagi puja-puji
lewat lagu atau lirik puisi. Kami tak lebih dari residu yang ngilu dirajam air
mendidih tinggi suhu. Dibuang pun hanya menunggu waktu.” (Tranggono,
2019)
Kutipan tersebut menceritakan penderitaan yang dialami ampas kopi.
Ampas kopi tidak hanya disiksa dengan air panas tetapi juga dibuang oleh Penyair.
Di sisi lain, hal tersebut menunjukkan kekejaman Penyair terhadap ampas kopi
sehingga posisi antara Ampas kopi dan Penyair saling berlawanan. Ampas kopi
yang berkedudukan sebagai korban dan Penyair sebagai pelaku. Tidak hanya
kutipan itu saja, terdapat banyak kutipan lain yang semakin mempertegas
penderitaan dari kubu pertama. Berikut kutipan tersebut.
“Penyair itu tak pernah membayangkan betapa pedihnya tubuh-
tubuh kami diguyur air mendidih 100 derajat Celsius dalam cangkir mungil
itu. Tanpa permisi, genangan air panas itu menghajar setiap butiran kopi
kami hingga hancur dan menjelma jadi bubur. Lalu mereka pun tanpa
ampun mengisap dan melebur jiwa rasa kami. Maka, ketika engkau
mencium aroma sedap harum uap kopi, sadarlah bahwa yang kaucium itu
sesungguhnya jeritan jiwa kami.” (Tranggono, 2019)
“...Kami yang semula memiliki kedaulatan sebagai pohon harus rela
ketika buah-buah kami dipetik para petani. Sangat menyakitkan ketika
buah-buah kami yang menyatu dengan tubuh kami harus diambil paksa.
Bayangkan jika hidung, daun telinga, atau apa saja yang tumbuh di tubuhmu
mendadak direnggut. Sakit. Sangat sakit.” (Tranggono, 2019)
“...Kami pikir penderitaan itu sudah selesai. Ternyata kami pun
harus tabah untuk digiling atau ditumbuk. Tubuh kami remuk. Jiwa kami
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 41: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/41.jpg)
31
hancur. Kami menjerit, tapi jeritan kami dilibas deru mesin penggiling atau
talu besi penumbuk.” (Tranggono, 2019)
Ketiga kutipan di atas memperlihatkan ketidakberdayaan Bangsa Kopi.
Pada kutipan pertama, Bangsa Kopi tidak bisa melawan dan hanya bisa menahan
rasa sakit diguyur air panas. Dalam kutipan kedua, pohon kopi juga tidak bisa
melawan ketika buah-buahnya diambil paksa. Kutipan ketiga menceritakan rasa
sakit Bangsa Kopi yang tetap digiling atau ditumbuk meskipun mereka sudah
menjerit kesakitan. Dari ketiga kutipan tersebut bisa disimpulkan bahwa
penderitaan yang dialami oleh bangsa kopi beragam bentuknya dan terjadi pada
setiap tahap dalam hidup Bangsa Kopi. Bangsa kopi tidak bisa melawan dan hanya
bisa pasrah terhadap nasib.
Di sisi lain, kutipan di atas juga menunjukkan bagaimana sikap kubu kedua,
yaitu Penyair dan Petani terhadap kubu pertama. Kutipan kedua dan ketiga
memperlihatkan kekejaman dari tokoh Petani. Dalam kutipan kedua petani terlihat
semena-mena terhadap pohon kopi. Petani langsung mencabut biji-biji kopi tanpa
ijin dan mempedulikan rasa sakit yang dialami pohon kopi. Di kutipan ketiga,
petani tetap menggiling atau menumbuk biji-biji kopi yang sudah menjerit. Hal
tersebut menunjukkan bahwa petani tidak punya kepedulian sedikit pun terhadap
bangsa kopi.
Tidak hanya petani, penyair juga berperilaku sama kejamnya. Dalam
kutipan pertama, Penyair dengan kejam mengguyur biji-biji kopi dengan air panas.
Tidak hanya sampai disitu, Penyair juga menikmati aroma uap kopi yang
merupakan jeritan jiwa Bangsa Kopi. Hal itu menunjukkan perilaku sadis dari
Penyair.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 42: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/42.jpg)
32
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kubu pertama adalah kubu
yang ditindas oleh kubu kedua. Pembaca dibuat bersimpati terhadap penderitaan
yang Bangsa kopi alami. Sebaliknya, pembaca merasa kubu kedua adalah kubu
yang kejam. Kubu yang melakukan tindak kekerasan demi mendapatkan
keuntungan. Keuntungan penyair adalah cita rasa dari secangkir kopi, dan
keuntungan Petani adalah uang-uang dari hasil penjualan kopi olahan. Pembaca pun
merasa bahwa kubu kedua adalah kubu yang jahat.
2.3.3 Ideologi Teks
Langkah selanjutnya setelah menentukan oposisi biner adalah mencari
ideologi teks. Dalam dekonstruksi, ideologi akan dibalik untuk menemukan makna-
makna baru. Ideologi ditemukan dengan melihat momen puncak yang ada di dalam
cerpen. Momen puncak yang ada di dalam cerpen “Elegi Ampas Kopi” adalah
ketika Bangsa Kopi ingin menyerah dari identitasnya. Momen puncak tersebut
berada pada kutipan berikut.
Ya Tuhan, kenapa Engkau harus menciptakan manusia yang begitu
kejam? Rasanya kami ingin mengundurkan diri dari bangsa kopi.
Mendengar jeritan kami, Tuhan hanya tersenyum. Kami pun paham. Kami
harus tetap teguh menjadi bangsa kopi, selamanya. Dan harus melanjutkan
episode-episode penderitaan kami. (Tranggono, 2019)
Setelah mengungkapkan perasaan mereka kepada Tuhan, bangsa kopi pun
paham bahwa mereka harus teguh menjalani penderitaan mereka. Penderitaan yang
banyak ditampilkan di dalam teks meneguhkan bahwa ideologi dari cerita adalah
ketabahan Bangsa Kopi dalam menghadapi penderitaan. Penderitaan yang Bangsa
Kopi terjadi sejak mereka masih berupa buah hingga ampas yang dibuang.
Penderitaan itu sudah lama terjadi dan akan terus berlanjut selamanya. Di akhir
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 43: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/43.jpg)
33
cerita bangsa kopi memilih untuk menerima nasibnya dan meneguhkan diri dalam
menghadapi kelanjutan dari penderitaan mereka.
2.4 Hierarki Metafisik dan Ideologi dalam Cerpen “Di Atas Tanah Retak”
2.4.1 Alur
Cerita dibuka dengan ditemukannya mayat Maruti oleh warga Desa Sela
Cengkar di pagi hari. Mayat gadis itu tergantung di dahan pohon dengan leher yang
terikat tali tambang. Keluarga Maruti menangis. Warga pun menurunkan mayat
Maruti. Warga tidak heran karena sudah berkali-kali Maruti inging gantung diri.
Mayat Maruti pun dibawa pulang untuk disucikan.
Cerita lalu mundur ke masa kecil Maruti. Maruti hanya seorang gadis desa
biasa. Sepulang sekolah ia selalu bejalan berkilo-kilo meter untuk mencari air
karena desanya mengalami kekeringan. Selebihnya dia menunggu pengumuman
dari kelurahan mengenai datangnya truk tangki air dari kota. Ketika ada
pengumuman, Maruti dan gadis-gadis lain berlari ke kelurahan dan mengantri
pembagian air. Maruti baru akan kembali ke rumah ketika sore tiba, dan dia
melakukan hal tersebut setiap hari selama musim kemarau datang hingga dia
tumbuh menjadi perawan.
Meskipun sering berpanas-panasan, kulit Maruti tidak terlalu gelap. Dia
tumbuh menjadi gadis yang cantik. Setelah lulus SMA, Maruti bekerja sebagai
pelayan toko besi dekat pasar. Meskipun gajinya pas-pasan, Maruti masih
memberikan sedikit uangnya pada ibunya yang bekerja sebagai penari tayub
pimpinan Widarso, seorang tokoh adat di Desa Sela Cengkar.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 44: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/44.jpg)
34
Ibu Maruti mendadak menyuruh Maruti untuk menari tayub minggu depan.
Maruti disuruh menggantikan Darsi yang sedang mengurus perceraiannya. Ibu
Maruti langsung mengeluarkan pakaian tari, kain, kebaya, dan selendang. Maruti
hanya terdiam dan tidak membantah ibunya.
Pentas ledek tayub disambut hangat. Tarian itu disukai oleh para penonton,
petinggi desa dan kecamatan. Akan tetapi hal yang paling menjadi perhatian utama
adalah kecantikan Maruti. Tarian Maruti membuat para tamu terhormat turun dan
ikut ngibing (menari) silih berganti bersama Maruti. Dargo sejak awal tarian selalu
mengamati Maruti. Tangan kanannya memutar-mutar tasbih dengan mulut komat-
kamit. Namun matanya tak pernah lepas dari tubuh Maruti yang bergoyang.
Pak Kepala Desa mengajak Dargo untuk ikut menari, tetapi Dargo menolak
karena orang seperti dirinya tabu untuk ikut menari. Dargo takut orang-orang marah
karena dia sudah dicap sebagai pendoa dan jadi panutan. Dargo pun akhirnya
meminta Pak Kades untuk mengenalkan dirinya dengan Maruti.
Setelah pentas tayub selesai, seluruh rombongan penari dan pemusik makan
di ruang depan kelurahan, kecuali Maruti yang makan di dalam kamar bersama
Dargo dan Pak Kades. Dargo tampak bergairah berbicara dengan Maruti yang lelah.
Beberapa ucapan nakal terlontar dari mulut Dargo, tetapi maruti hanya
membalasnya dengan senyuman.
Alur cerita pun maju kembali. Kematian Maruti menambah deretan kasus
gantung diri di desa Sela Cengkar. Orang-orang menghubungkan kasus itu dengan
mitos pulung gantung. Pulung gantung akan muncul di saat tertentu dan jatuh di
pemukiman warga. Rumah yang kejatuhan pulung gantung akan memilih mati
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 45: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/45.jpg)
35
dengan cara gantung diri. Untuk menghindari musibah itu, setiap pulung gantung
muncul di langit, warga akan memukul kentungan. Namun tetap saja ada orang
bunuh diri. Biasanya orang yang gantung diri punya masalah di hidupnya.
Di acara selamatan 40 hari kematian Maruti, nenek Maruti berkata bahwa
sudah lama Maruti inging gantung diri. Tiba-tiba tubuh nenek Maruti menegang.
Dia berteriak-teriak sambil mengayunkan kerisnya lalu tumbang. Warga pun
menghampiri untuk menolong.
Beberapa hari setelah kematian Maruti, nenek Maruti bercerita bahwa tiap
malam Maruti didatangi raksasa berwajah api. Raksasa itu menyerang dan
meringkus tubuh Maruti. Nenek Maruti langsung mengibaskan kerisnya hingga
jeritan Maruti hilang.
Cerita kembali ke latar waktu sebelum kematian Maruti. Saat Maruti tertidur
sendirian di kamar, mendadak tubuhnya disekap sosok hitam dengan wajah dibebat
kain. Maruti mencoba melawan, tetapi sosok itu lebih kuat. Sosok itu pun melucuti
pakaian Maruti dan memperkosanya. Setelah sosok itu puas, Maruti membuka
paksa kain yang membebat wajah sosok itu. Setelah terbuka, Maruti lantas
mengumpat dan menyebut nama Dargo.
Maruti tak berani lapor polisi karena Dargo merupakan orang kuat di desa
itu dengan pengikut yang banyak dan sangar. Dia hanya berani bercerita kepada
bapak, ibu, dan neneknya. Beberapa bulan kemudian, dokter puskesmas
menyatakan bahwa Maruti hamil. Maruti pun nekat menemui Dargo yang hanya
menyeringai. Maruti pun marah dan meludahi wajah Dargo.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 46: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/46.jpg)
36
Pada suatu malam, empat sosok lelaki mengendap-endap. Mereka membuka
paksa pintu rumah Maruti. Mereka melihat Maruti tertidur dan langsung mumukul
tengkuk Maruti dengan lonjoran besi. Maruti pun tewas seketika. Lalu mereka pun
membawa tubuh Maruti ke hutan. Paginya orang-orang menemukan tubuh Maruti
tergantung di dahan pohon randu alas yang terkenal angker. Orang-orang pun
menghubungkan peristiwa itu dengan pulung gantung yang melesat di rumah
Maruti.
2.4.2 Oposisi Biner, Unsur Undecidable, dan Hierarki Metafisik
Sebelum menemukan hierarki metafisik dalam teks, oposisi biner yang
terdapat dalam teks perlu untuk ditemukan. Oposisi biner di dalam teks akan
menunjukkan penggambaran antar kubu yang berlawanan. Kata-kata di dalam teks
saling berlawanan, saling menguatkan dan melemahkan. Di bawah ini adalah tabel
yang menunjukkan oposisi biner yang terdapat didalam cerpen Di Atas Tanah
Retak.
Tabel 3
Oposisi Biner Dalam Cerpen “Di Atas Tanah Retak”
Kubu Maruti Kubu Dargo
Gadis Laki-laki
Berisi Gemuk
Lemah Kuat
Kijang Serigala
Penari Pendoa
Lugu Nakal
Diam Tertawa
Kata yang berada di dalam kiri tabel menunjukkan kata yang
mengggambarankan tokoh Maruti dan sebelah kanan adalah kata yang
menggambarkan tokoh Dargo. Terjadi pertentangan makna antara kata yang berada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 47: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/47.jpg)
37
di dalam kiri dan kanan tabel. Kata yang berada di dalam kiri tabel seolah memiliki
makna yang lebih baik dibandingkan dengan kata yang ada di kanan tabel. Kata
gadis yang di dalam teks dimaknai dengan gender yang lebih lembut dan indah
dibandingkan laki-laki. Padahal kata kata gadis juga bisa dimaknai sebagai
kelemahan dan ketidakberdayaan.
Kata berisi dianggap lebih baik karena menggambarkan keindahan yang
tidak berlebihan dan tidak kurang, sedangkan gemuk adalah kondisi badan yang
berlebihan. Padahal kata berisi bisa dimaknai sebagai kondisi yang biasa saja dan
tidak unik. Kata lembut juga dilihat seakan lebih baik dibandingkan kata kuat. Kata
lembut digambarkan sebagai sifat yang lembut sedangkan kata kuat digambarkan
cenderung seenaknya. Padahal lemah juga bisa dilihat sebagai kemalasan untuk
berusaha berkembang sedangkan kuat sebagai hasil dari usaha keras.
Kata kijang terlihat lebih baik dibandingkan kata serigala. Kata kijang
digambarkan memiliki sifat yang menawan sedangkan serigala bersifat bengis.
Padahal kata kijang juga bisa menjadi simbol keangkuhan dan kata serigala sebagai
kekompakkan. Kata selanjutnya adalah pemaknaan dari kata penari dengan pendoa.
Pemaknaan kata penari lebih bebas. Penari digambarkan sebagai orang-orang yang
bebas mengeskpresikan diri mereka lewat tarian di depan banyak orang, tidak
seperti pemaknaan kata pendoa yang terbatas untuk melakukan sesuatu. Padahal
kata penari juga bisa dilihat sebagai pekerjaan rendahan dibanding kata pendoa
yang lebih tinggi derajatnya dan terhormat.
Kata lugu juga digambarkan lebih baik di dalam teks dibandingkan kata
nakal. Teks menggambarkan kata lugu sebagai kemurnian sedangkan nakal adalah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 48: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/48.jpg)
38
perbuatan yang kurang baik. Padahal lugu juga bisa dilihat sebagai hal yang
monoton dan kata nakal dilihat sebaliknya. Kata diam terlihat lebih baik
dibandingkan tertawa. Kata diam terlihat sebagai tindakan yang santun sedangkan
kata tertawa terlihat sebagai tindakan meremehkan. Padahal kata diam bisa dilihat
sebagai ketidakberanian dan ketidakpedulian sedangkan kata tertawa sebagai
sebuah kebahagiaan.
Setelah menentukan oposisi biner di dalam teks, ternyata masih ada kata
yang tidak bisa ditentukan keberpihakkannya. Kata tersebut ialah kata tubuh. Kata
tubuh memiliki beberapa pemaknaan seperti yang ditunjukan dalam beberapa
kutipan berikut.
“Pentas ledek tayup itu disambut hangat. Para penonton dan petinggi
desa dan kecamatan sangat suka. Terutama melihat kecantikan Maruti.
Dengan rias tipis, tanpa bulu mata palsu, wajah gadis itu tampak ayu.
Tubuhnya bersih. Lumayan padat dan berisi...” (Tranggono, 2019)
“Dargo, laki-laki gemuk berpeci hitam, sejak awal pertunjukan
selalu mengamati Maruti. Tangan kanannya tampak memutar-mutar tasbih.
Mulutnya komat-kamit. Namun, matanya tak pernah lepas membidik tubuh
Maruti yang bergoyang. Beberapa kali Dargo menahan napas.” (Tranggono,
2019)
“Beberapa hari setelah kematian Maruti, nenek Maruti bercerita,
cucunya itu setiap malam didatangi raksasa berwajah api. Raksasa itu
menyerang dan meringkus tubuh Maruti.” (Tranggono, 2019)
”..Dalam sekejap ada tangan berkelebat, memukul tengkuk Maruti
dengan lonjoran besi. Maut merenggut nyawa Maruti dengan sangat tenang.
Lalu, mereka langsung membawa tubuh Maruti keluar. Menembus malam.
Masuk hutan di pinggir desa.” (Tranggono, 2019)
“Paginya, orang-orang menemukan mayat Maruti tergantung di
dahan pohon randu alas yang terkenal angker. Lidahnya menjulur.
Tubuhnya bergenteyongan...” (Tranggono, 2019)
Kutipan pertama dan kedua memperlihatkan pemaknaan bahwa tubuh yang
indah adalah sesuatu yang dikagumi oleh banyak orang. Tubuh memiliki sebuah
kenikmatan tersendiri saat dipandang. Tubuh adalah sesuatu yang mengundang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 49: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/49.jpg)
39
gairah. Kutipan ketiga memiliki pelebaran makna dari kedua kutipan sebelumnya.
tubuh tidak hanya dinikmati dengan dipandang, tetapi juga untuk dimiliki.
Berbeda dengan kutipan sebelumnya, kutipan keempat dan kelima
mempunyai makna bahwa tubuh juga bisa menjadi sesuatu yang tidak diingkan.
Tubuh Maruti yang sudah tidak bernyawa sudah tidak lagi mengundang gairah,
sehingga tubuhnya pun dibuang di tengah hutan dengan kondisi menggantung. Kata
tubuh tidak bisa ditentukan keberpihakannya di dalam teks. Dari hasil penjelasan
tersebut bisa disimpulkan bahwa kata tubuh termasuk sebagai unsur undicidable
dan tidak bisa menemukan maknanya sendiri.
Setelah menentukan oposisi biner dan unsur undecidable, bisa disimpulkan
bahwa cerpen “Di Atas Tanah Retak” memiliki dua kubu yang memiliki kedudukan
berbeda di dalam teks. Kubu pertama adalah kubu dari Maruti. Teks
menggambarkan Maruti sebagai seorang gadis dari keluarga yang miskin. Meski
begitu Maruti adalah orang yang pekerja keras dan patuh terhadap orangtuanya. Hal
ini membuat Maruti mendapatkan simpati yang lebih dari pembaca. Hal tersebut
dibuktikan dengan kutipan berikut.
“Maruti masih diam. Tak bereaksi ketika ibunya mengeluarkan
pakaian tari, kain, dan kebaya. Juga selendang.
“Aku yakin kamu bisa. Minggu depan rombongan kita ditanggap di
kelurahan. Katanya, untuk bersih desa dan upacara minta hujan. Kamu harus
ikut nari.”
Maruti tak membantah.” (Tranggono, 2019)
“Beberapa ucapan nakal pun sempat terlontar, tapi Maruti
menanggapinya dengan tersenyum. Dari ibunya, Maruti pernah mendengar,
kebanyakan laki-laki itu berubah nakal bila ada kesempatan. Kamu mesti
hati-hati, Maruti.” (Tranggono, 2019)
“Maruti tak berani lapor polisi karena Dargo orang kuat di desa itu.
Pengikutnya pun banyak dan sangar. Ia hanya berani mengungkapkan
peristiwa naas itu kepada bapak, ibu, dan neneknya.” (Tranggono, 2019)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 50: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/50.jpg)
40
“Beberapa bulan kemudian, jantung Maruti terasa berhenti berdetak
setelah mendengar ucapan dokter puskesmas bahwa dia hamil. Jiwa Maruti
terasa dihantam martil besar dan berat. Ia pun nekat menemui Dargo.
Namun, Dargo hanya menyeringai. Pamer taring. Kemarahan Maruti tak
terkendali.
Ia meludahi wajah Dargo.” (Tranggono, 2019)
Beberapa kutipan tersebut menunjukkan bagaimana teks membentuk tokoh
Maruti dan perilaku tokoh-tokoh lain terhadap Maruti. Kutipan pertama
memperlihatkan bagaimana Maruti adalah anak yang taat. Dia menuruti ibunya dan
tidak membantah sama sekali. Kutipan kedua memperlihatkan Maruti yang tidak
melawan kata-kata nakal yang dilontarkan oleh Dargo. Maruti hanya tersenyum dan
tidak melawan ucapan yang melecehkan dia karena dia mengikuti ajaran ibunya,
yaitu untuk berhati-hati terhadap lelaki. Hal tersebut memperlihatkan Maruti
sebagai tokoh yang tertindas dan membuat pembaca menjadi kasihan dengan
nasibnya.
Kutipan ketiga menceritakan tentang Maruti yang tidak berani melaporkan
tindak pemerkosaan yang dilakukan oleh Dargo karena kekuatan sosial yang
dimiliki oleh Dargo. Hal ini menunjukkan ketidakberdayaan Maruti dan
superioritas yang dimiliki oleh Dargo. Sedikit berbeda di kutipan terakhir, Maruti
akhirnya berani mendatangi Dargo dan berani melawan dengan meludahinya. Akan
tetapi, perlawanan yang dilakukan oleh Maruti berakhir dengan hilangnya nyawa
Maruti. Hal ini menunjukkan kelemahan Maruti dan kekuasaan Dargo yang
kembali unggul.
Kubu selanjutnya adalah kubu dari Dargo. Dargo merupakan kubu yang
lebih berkuasa dibandingkan dengan kubu Maruti. Hal tersebut dikarenakan Dargo
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 51: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/51.jpg)
41
memiliki kekuatan sosial dan gender yang berada di atas Maruti. Hal tersebut
dibuktikan dengan kutipan-kutipan berikut.
“Dargo tertawa kecil. “Orang macam saya ini mana pantas nari
tayup? Tidak ilok. Tabu.”” (Tranggono, 2019)
“Usai pentas tayup, seluruh rombongan penari dan pemusik makan
di ruang depan kelurahan. Hanya Maruti yang diperbolehkan makan di
dalam kamar bersama Dargo dan Pak Kades. Dargo punya kesempatan
untuk mengamati kecantikan Maruti. Juga menikmati suara, tutur katanya
yang halus. Beberapa kali Dargo menahan napas. Mereka pun ngobrol.
Dargo tampak bergairah bicara tanpa peduli pada Maruti yang lelah.”
(Tranggono, 2019)
Kutipan pertama menunjukkan keengganan Dargo untuk ikut ngibing
karena Dargo menganggap hal itu tabu. Ungkapan tersebut dilontarkan Dargo untuk
mempertegas statusnya sebagai seorang pendoa dan panutan di desa. Dargo takut
mencoreng namanya di tempat umum. Berbeda dengan kutipan kedua. Dargo lebih
berani melakukan apa yang dia mau karena berada di tempat yang lebih privat.
Dargo pun terlihat egois karena tidak memedulikan Maruti yang masih kelelahan.
Dari setiap penjelasan di atas bisa disimpulkan bahwa kubu Dargo memiliki
hierarki yang lebih tinggi dari kubu Maruti. Hal tersebut diakibatkan status Dargo
sebagai panutan desa dan kekuatan sosialnya yang tinggi. Berbeda dengan Maruti
yang hanya gadis desa biasa. Dargo dengan semena-mena memanfaatkan
kekuasaanya terhadap Maruti. Pembaca menjadi jengkel dan membenci Dargo. Hal
ini makin menguatkan simpati pembaca terhadap maruti yang menderita di akhir
hidupnya.
2.4.3 Ideologi Teks
Langkah selanjutnya setelah menentukan oposisi biner adalah mencari
ideologi teks. Dalam dekonstruksi, ideologi akan dibalik untuk menemukan makna-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 52: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/52.jpg)
42
makna baru. Ideologi ditemukan dengan melihat momen puncak yang ada di dalam
cerpen. Momen puncak yang ada di dalam cerpen Di Atas Tanah Retak adalah
ketika Maruti terbunuh. Momen puncak tersebut berada pada kutipan berikut.
“Malam tanpa bulan. Tanpa bintang. Empat sosok lelaki
mengendap-endap. Membuka paksa pintu rumah Maruti. Mereka melihat
Maruti tergolek di atas ranjang kayu. Dalam sekejap ada tangan berkelebat,
memukul tengkuk Maruti dengan lonjoran besi. Maut merenggut nyawa
Maruti dengan sangat tenang. Lalu, mereka langsung membawa tubuh
Maruti keluar. Menembus malam. Masuk hutan di pinggir desa.”
(Tranggono, 2019)
Kematian Maruti menunjukkan betapa malangnya nasib dia. Maruti
meninggal dengan keadaan hamil. Kehamilan dia pun karena diperkosa Dargo.
Orang-orang mengira Maruti menggantung dirinya sendiri, padahal kenyataannya
dia dibunuh. Maruti dibunuh tanpa melakukan kesalahan. Hidup Maruti yang
sederhana, dan ketaatan dia pada ibu dan keluarganya berakhir tragis dengan
kematian dirinya. Hal ini menegaskan bahwa ideologi yang ada di dalam cerpen ini
adalah kemalangan Maruti dalam hidupnya.
2.5 Rangkuman
Dalam Bab II ini telah dilakukan pengkajian struktural terhadap tiga cerpen
yaitu “Profesor Pogob”, “Elegi Ampas Kopi”, dan “Di Atas Tanah Retak”. Hasil
dari pengkajian tersebut ialah alur cerita, hierarki metafisik, oposisi biner, dan
ideologi teks. Pengkajian ini diperlukan untuk melakukan tahap selanjutnya, yaitu
proses decentering dan diseminasi di bab selanjutnya.
Dalam cerpen “Profesor Pogob”, hierarki metafisik terbangun oleh dua
kubu yaitu tokoh Profesor Pogob yang berusaha membela koruptor dengan para
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 53: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/53.jpg)
43
demonstran. Ideologi dalam teks ini adalah keberanian Profesor Pogob dalam
membela koruptor.
Dalam cerpen “Elegi Ampas Kopi”, hierarki metafisik terbangun oleh dua
kubu yaitu Bangsa Kopi yang nasibnya tertindas dan manusia (Penyair dan Petani).
Ideologi dalam teks ini adalah ketabahan Bangsa Kopi dalam menghadapi
penderitaan.
Dalam cerpen “Di Atas Tanah Retak”, hierarki metafisik terbangun oleh dua
kubu yaitu Maruti yang malang dengan Dargo yang semena-mena. Ideologi dalam
teks ini adalah kemalangan Maruti dalam hidupnya.
Di Bab selanjutnya akan dilakukan proses decentering dan diseminasi.
Proses decentering akan membalik hierarki metafisik yang sudah terbangun di
dalam teks sehingga memunculkan perspektif dan pemaknaan baru. Kemudian akan
dilakukan proses diseminasi, yaitu menyebarkan pemaknaan baru tersebut ke dalam
struktur cerita.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 54: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/54.jpg)
44
BAB III
DECENTERING DAN DISEMINASI
DALAM TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO TAHUN 2019
3.1 Pengantar
Dalam Bab ini akan dibahas langkah selanjutnya dalam melakukan
dekonstruksi, yaitu decentering dan diseminasi. Proses decentering akan membalik
hierarki dan ideologi yang sudah didapat dalam bab sebelumnya. Pembalikan ini
akan mengangkat hierarki yang sebelumnya ada di bawah dan menguatkan
ideologi-ideologi yang tertimbun oleh pemaknaan ideologi sebelumnya. Tahapan
itu juga berdampak dengan penggambaran tokoh di dalam cerita, karena setelah
dilakukan decentering tokoh yang sebelumnya tersingkirkan akan memiliki porsi
yang lebih dominan. Hal itu dilakukan untuk memberikan sebuah pandangan lain
terhadap teks cerpen.
Proses decentering akan memunculkan pemaknaan-pemaknaan baru yang
menyebar, atau biasa disebut dengan diseminasi. Pemaknaan ini akan muncul
karena terjadinya penundaan makna terhadap makna sebelumnya. Tahap ini
dilakukan untuk menetralkan teks dari pemaknaan tunggal. Teks yang sebelumnya
terkesan mendukung sebuah ideologi akan menjadi teks lebih beragam, karena
memiliki banyak makna yang berbeda.
3.2 Decentering dan Diseminasi dalam Cerpen “Professor Pogob”
Proses decentering memiliki dua tahap. Tahap pertama adalah mencari
ideologi baru yang terdapat di dalam teks. Tahap selanjutnya adalah mencari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 55: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/55.jpg)
45
penyebaran makna baru yang tersebar di dalam teks. Berikut penjelasan dari tiap
tahap tersebut.
3.2.1 Pembalikan Hierarki Metafisik dan Ideologi Baru
Pembacaan pertama pada teks cerpen memperlihatkan bahwa hierarki
metafisik yang lebih tinggi ada pada kubu Profesor Pogob. Profesor Pogob terlihat
sebagai orang yang disalahpahami meskipun dia rela berkorban demi kemajuan
bangsa. Hal itu berbeda dengan kubu demonstran yang meliputi mahasiswa dan
rakyat. Para demonstran terlihat sebagai orang yang mudah tersulut emosi dan
pengrusak. Hierarki tersebut akan dihapuskan dan dibalik. Tindakan Profesor
Pogob akan dipertanyakan ulang dan sentimen terhadap para demonstran akan
dihilangkan. Hal itu akan memperbarui cara pandang teks dan memunculkan
pemaknaan-pemaknaan baru. Berikut ilustrasi dari pembalikan hierarki yang ada di
dalam teks.
Gambar 1
Ilustrasi Pembalikan Hierarki dalam Cerpen “Profesor Pogob”
Profesor Pogob adalah pusat dari inti teks. Perjuangan Profesor Pogob
membela para koruptor selalu disalahkan oleh rakyat, bahkan dimaki-maki. Dalam
tahap ini, para demonstran akan menjadi pusat dari teks menggantikan Profesor
Pogob.
Profesor Pogob
(Koruptor, Pemerintah)
Demostran
(rakyat)
Profesor Pogob
(Koruptor, Pemerintah)
Demostran
(rakyat)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 56: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/56.jpg)
46
Dalam Bab II ditemukan bahwa ideologi cerpen “Profesor Pogob” adalah
keberanian Profesor Pogob dalam membela koruptor. Ideologi ini muncul karena
tokoh Profesor Pogob adalah pusat di dalam teks. Dalam pembahasan ini, pusat
tersebut akan digantikan oleh para demonstran. Lewat kutipan ini bisa dibuktikan
bahwa pusat teks merupakan para demonstran.
“Namun bukannya dingin, suasana justru bertambah panas. Emosi
para demonstran terbakar. Mereka ngamuk. Merusak fasilitas umum. Polisi
bergerak. Terjadi gesekan. Korban-korban pun berjatuhan.” (Tranggono,
2019)
Kutipan tersebut menunjukkan perjuangan yang dilakukan oleh para
demonstran. Mereka mengamuk karena ketidakadilan pada undang-undang terbaru.
Perjuangan mereka pun berakhir dengan tindakan represi yang dilakukan oleh
polisi. Tindakan perusakan yang dilakukan oleh para demonstran hanya dilihat
sekadar itu saja.
Pembelaan yang dilakukan oleh Profesor Pogob terhadap para koruptor pun
menjadi hal yang dipertanyakan, karena menyebabkan banyaknya korban
berjatuhan. Profesor Pogob membela koruptor atas dasar kemanusiaan, tetapi dia
tidak memedulikan rakyat yang menjadi korban koruptor. Berdasarkan penjelasan
tersebut, dapat disimpulkan bahwa ideologi dari teks ini adalah keegoisan Profesor
Pogob.
3.2.2 Diseminasi dan Pemaknaan Baru
Pada tahap ini, ideologi lama sudah digantikan dengan ideologi baru. Proses
decentering memunculkan makna-makna baru, karena tergesernya pusat dari teks.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 57: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/57.jpg)
47
Profesor Pogob bukan lagi dilihat sebagai seseorang yang pemberani tetapi egois.
Selanjutnya penyebaran makna baru akan dijelaskan di bawah.
3.2.2.1 Tidak Tahu Malu
Pembalikan pusat menyebabkan keberanian dari tokoh Profesor Pogob
sudah tidak berlaku. Senyum Profesor Pogob saat membaca umpatan terhadap
dirinya di media sosial bukan lagi dilihat sebagai kesabaran, tetapi sebuah sikap
tidak tahu malu. Tindakan Profesor Pogob menimbulkan banyak korban, tetapi dia
menolak bahwa hal tersebut dampak dari tindakannya dan malah beranggapan
bahwa kemarahan tersebut dibutuhkan demi kamajuan rakyat. Hal tersebut
dibuktikan dalam kutipan berikut.
“SENYUM Profesor Pagob berulang kali mengembang, saat
menatap dada monitor handhone android-nya. Di medsos, kata-kata kasar,
umpatan, caci-maki, bahkan kutukan bertaburan menghajar dirinya. Juga
foto dan gambar yang merendahkan martabatnya. Namun, dia tetap
tersenyum. “Dalam demokrasi rakyat punya hak marah. Demokrasi semakin
cepat matang di tangan rakyat yang progesif.” Dia membatin.” ( Tranggono,
2019)
Sampai di akhir cerita, Profesor Pogob tetap membela rezim penguasa.
Profesor Pogob tidak pernah malu, bahkan dia dengan bangga mengakui dirinya
bukan lah idealis dan pemimpi tolol. Profesor Pogob hanya mementingkan apa yang
dia dapatkan dari rezim penguasa. Hal itulah yang menyebabkan rakyat marah dan
memaki dia di sosial media, tetapi hal tersebut juga diacuhkan oleh Profesor Pogob.
Dari penjelasan tersebut bisa disimpulkan bahwa Profesor Pogob adalah orang yang
tidak tahu malu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 58: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/58.jpg)
48
3.2.2.2 Profesor Pogob Bermulut Besar
Melalui pembacaan dekonstruksi, tokoh Profesor Pogob sudah bukan
menjadi tokoh yang dominan. Hal ini membuat setiap ucapannya tidak mutlak
mengandung kebenaran, bahkan dipertanyakan. Profesor Pogob bukanlah orang
yang jenius, dia hanya bermulut besar dan tidak bertanggung jawab. Hal tersebut
terbukti dalam kutipan berikut.
““Kenapa Prof Pagob malah ngompori demonstran? Ini bahaya.
Sangat bahaya. Bisa memicu revolusi!!” ujar Dr Gizza Arlittea, anggota staf
ahli presiden.
“Tenang, nona cantik. Tidak akan terjadi revolusi! Ini hanya riak-
riak demokrasi.”
“Tapi kerusakan semakin meluas. Sangat banyak fasilitas publik
hancur, Prof…”
“Biarkan mereka merusak agar mereka katarsis. Sekali-sekali
pemerintah mesti keluarkan duit untuk membiayai kemarahan rakyat. Nanti
rakyat lelah sendiri..”
“Saya tak paham logika Anda…” ujar Gizza pergi.” (Tranggono,
2019)
Dari kutipan di atas, terlihat bahwa setiap jawaban dari Profesor Pogob
hanyalah bualan saja. Dia menganggap enteng dan tidak memberikan sebuah solusi
yang dibutuhkan. Dr Gizza tidak mengerti logika Profesor Pogob karena memang
ucapan tersebut adalah logika bebal yang tidak memedulikan dampak terhadap
orang lain. Profesor Pogob selalu berkata bahwa setiap amarah dan perusakan yang
dilakukan oleh rakyat merupakan hal yang dibutuhkan untuk kemajuan demokrasi.
kenyataannya hal tersebut tidak terbukti. Rakyat tidak menjadi seperti apa yang
Profesor Pogob katakan, tetapi malah makin menjadi menderita.
3.2.2.3 Kepengecutan
Pada pembacaan pertama pada teks, Profesor Pogob terlihat berani pasang
badan untuk pemerintah. Akan tetapi setelah didekonstruksi, tindakan tersebut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 59: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/59.jpg)
49
terjadi bukan karena keberanian melainkan kepengecutan. Risiko dari tindakan
Profesor Pogob hanyalah umpatan di media sosial dan orang-orang yang Profesor
Pogob bela adalah para penguasa. Hal tersebut dibuktikan pada kutipan berikut.
“Berkali-kali Prof Pagob berani pasang badan demi membela rezim
berkuasa. Ia pun rela jadi sansak. Dipukuli. Dimaki. Diludahi. “Aku
memang bukan idealis seperti para pemimpi tolol,” Prof Pagob tertawa.”
(Tranggono, 2019)
Pembelaan yang dilakukan oleh Profesor Pogob akan sangat berbeda jika
orang yang dia bela adalah rakyat. Risiko yang dialami akan menjadi lebih besar
karena orang yang akan dia hadapi adalah para penguasa. Risikonya tidak hanya
berupa makian di sosial media, tetapi hal-hal yang lebih menakutkan seperti
pembunuhan. Berdasarkan penjelasan tersebut bisa disimpulkan bahwa Profesor
Pogob adalah seorang pengecut. Dia hanya berani melakukan sesuatu atas perintah
dari penguasa untuk mencari aman.
3.3 Decentering dan Diseminasi dalam Cerpen “Elegi Ampas Kopi”
Proses decentering memiliki dua tahap. Tahap pertama adalah mencari
ideologi baru yang terdapat di dalam teks. Tahap selanjutnya adalah mencari
penyebaran makna baru yang tersebar di dalam teks. Berikut penjelasan dari tiap
tahap tersebut.
3.3.1 Pembalikan Hierarki Metafisik dan Ideologi Baru
Pembacaan pertama pada teks cerpen memperlihatkan bahwa hierarki
metafisik yang lebih tinggi ada pada kubu Bangsa Kopi. Bangsa Kopi diperlihatkan
sebagai kelompok yang tertindas dan menderita. Berbeda dengan Penyair dan
Petani yang diperlihatkan menindas Bangsa Kopi demi keuntungan pribadi. Dalam
tahap ini, hierarki tersebut akan dibalik. Penderitaan yang dialami oleh Bangsa Kopi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 60: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/60.jpg)
50
akan dilihat kembali dan sentimen terhadap Penyair dan Petani akan dihilangkan.
Hal tersebut akan memperbarui pandangan terhadap teks dan memunculkan
pemaknaan baru. Berikut adalah ilustrasi pembalikan hierarki.
Gambar 2
Ilustrasi Pembalikan Hierarki dalam Cerpen “Elegi Ampas Kopi”
Pada pembacaan pertama, Bangsa Kopi terlihat sebagai pihak yang lemah
sedangkan Penyair dan Petani adalah pihak yang semena-mena. Setelah
membalikkan hierarki teks, Bangsa Kopi tidak lagi dilihat sebagai pusat dalam teks.
Pusat teks akan digantikan oleh Penyair dan Petani. Hal tersebut menyebabkan
Bangsa Kopi tidak lagi dilihat sebagai pihak yang harus dikasihani.
Dalam Bab II disimpulkan bahwa ideologi dari cerpen “Elegi Ampas Kopi”
adalah ketabahan Bangsa Kopi dalam menjalani penderitaan. Hal tersebut muncul
karena pusat di dalam teks adalah Bangsa Kopi. Pada tahap ini Bangsa Kopi
bukanlah pusat dari teks, pusat teks adalah Penyair dan Petani. Hal tersebut
dibuktikan pada kutipan berikut.
“Sekarang kami hanyalah adonan ampas kopi. Tak ada lagi puja-puji
lewat lagu atau lirik puisi. Kami tak lebih dari residu yang ngilu dirajam air
mendidih tinggi suhu. Dibuang pun hanya menunggu waktu….”
(Tranggono, 2019)
Bangsa Kopi
Manusia
(Penyair dan Petani)
Bangsa Kopi
Manusia
(Penyair dan Petani)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 61: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/61.jpg)
51
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa kondisi Bangsa Kopi sudah menjadi
ampas yang sudah tidak memiliki fungsi lagi, akan tetapi Bangsa Kopi masih
mengharapkan pujian. Selanjutnya Bangsa Kopi pun mengeluh tentang nasib yang
dia alami. Hal tersebut membuat posisi Penyair seakan-akan kejam, padahal
memang Bangsa Kopi sudah tidak memiliki kepentingan lagi bagi Penyair.
Pembacaan dekonstruksi memunculkan perspektif baru, sehingga terlihat
bahwa penderitaan yang dialami oleh Bangsa Kopi adalah hal lalu yang dilebih-
lebihkan. Bangsa Kopi merasa bahwa mereka adalah makhluk yang paling
menderita dan menunjukkan dirinya sebagai korban. Hal ini membuat ideologi teks
bergeser. Ideologi teks bukan lagi tentang ketabahan yang dialami oleh Bangsa
Kopi, akan tetapi keluhan Bangsa Kopi terhadap nasibnya.
3.3.2 Diseminasi dan Pemaknaan Baru
Pada tahap ini, ideologi lama sudah digantikan dengan ideologi baru. Proses
decentering memunculkan makna-makna baru, karena tergesernya pusat dari teks.
Cerita tidak lagi mengenai ketabahan Bangsa Kopi tetapi keluhannya. Selanjutnya
penyebaran makna baru akan dijelaskan di bawah.
3.3.2.1 Sikap Narsis Menimbulkan Kekecewaan
Setelah dilakukan decentering, ideologi di dalam teks bukan lagi mengenai
ketabahan yang dialami bangsa kopi. Perspektif yang baru pun muncul, begitu pula
dengan makna baru. Salah satu makna yang muncul adalah mengenai sikap narsis
yang dimiliki oleh Bangsa Kopi. Hal tersebut dibuktikan pada kutipan berikut.
“Ke mana para pencinta kopi itu pergi membawa seluruh kekayaan
cita rasa kami? Apakah mereka di rumah menyeduh kami menjadi puisi?
Lalu tersaji secangkir kopi hangat yang terbuat dari remah-remah rindu dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 62: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/62.jpg)
52
dipersembahkan bagi kerabat, handai tolan, dan kekasih.” (Tranggono,
2019)
Bangsa Kopi terlihat percaya diri terhadap cita rasa mereka. Pertanyaan
mereka menunjukkan bagaimana mereka melihat diri mereka. Bangsa Kopi
menganggap bahwa cita rasa mereka adalah hal yang istimewa karena mereka
disajikan untuk sebuah karya puisi atau untuk orang yang istimewa. Padahal kopi
bisa saja dilihat sebagai sekadar minuman saja.
Bangsa Kopi terlihat melebih-lebihkan nilai mereka, sehingga
menghilangkan nilai praktis dan fungsi dari kopi itu sendiri. Penyair meminum kopi
saat menulis puisi bukan untuk sebuah inspirasi, tetapi untuk menahan rasa kantuk.
Kopi yang diminum bersama kerabat, handai tolan, dan kekasih bukan untuk
menunjukkan rindu, tetapi sebagai pelengkap bahkan formalitas semata.
Sikap narsis Bangsa Kopi lah yang membuat setiap tindakan yang dilakukan
oleh Penyair dan Petani terkesan salah. Bangsa Kopi selalu ingin diperlakukan
istimewa. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut.
“Sekarang kami hanyalah adonan ampas kopi. Tak ada lagi puja-puji
lewat lagu atau lirik puisi. Kami tak lebih dari residu yang ngilu dirajam air
mendidih tinggi suhu. Dibuang pun hanya menunggu waktu….”
(Tranggono, 2019)
Kutipan tersebut memperlihatkan bahwa Bangsa Kopi sudah menjadi ampas
kopi. Mereka kecewa mengetahui bahwa mereka akan dibuang. Mereka masih haus
akan pujian, padahal mereka tidak memiliki manfaat lagi bagi Penyair. Hal ini
menunjukkan sikap narsis Bangsa Kopi. Mereka ingin selalu mendapatkan pujian
dan diutamakan, bukan dibuang. Kekecewaan itu pun berlanjut dengan berbagai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 63: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/63.jpg)
53
keluhan. Dari penjelasan tersebut, bisa disimpulkan bahwa sikap narsis
menyebabkan kekecewaan.
3.3.2.2 Penderitaan Diperlukan untuk Meraih Potensi
Sebelum dilakukan decentering, penderitaan yang dialami oleh Bangsa
Kopi terlihat sebagai hal-hal yang menyedihkan. Proses pembalikan pusat dari
Bangsa Kopi ke Penyair dan Petani memberikan perspektif baru dalam melihat
penderitaan tersebut. Sentimen terhadap tindakan yang disebut penderitaan oleh
Bangsa Kopi dihilangkan. Hal tersebut memunculkan sebuah pemaknaan baru,
yaitu tindakan yang dilakukan oleh Penyair dan Petani bukan merupakan
penyiksaan tetapi sebagai sebuah proses untuk mencapai potensi rasa dari Bangsa
Kopi. Hal tersebut dibuktikan dalam kutipan berikut.
“Ternyata itu baru penderitaan awal. Buah-buah kami pun dikuliti,
lalu dijemur berhari-hari hingga kering. Setelah itu kami harus menghadapi
panasnya wajan penggorengan ketika tubuh-tubuh kami disangrai. Kami
pikir penderitaan itu sudah selesai. Ternyata kami pun harus tabah untuk
digiling atau ditumbuk.” (Tranggono, 2019)
“Penyair itu tak pernah membayangkan betapa pedihnya tubuh-
tubuh kami diguyur air mendidih 100 derajat Celsius dalam cangkir mungil
itu. Tanpa permisi, genangan air panas itu menghajar setiap butiran kopi
kami hingga hancur dan menjelma jadi bubur. Lalu mereka pun tanpa
ampun mengisap dan melebur jiwa rasa kami. Maka, ketika engkau
mencium aroma sedap harum uap kopi, sadarlah bahwa yang kaucium itu
sesungguhnya jeritan jiwa kami.” (Tranggono, 2019)
Kutipan pertama memperlihatkan proses yang dilakukan oleh Petani kepada
Bangsa Kopi. Petani menguliti kulit buah kopi, menjemur, menyangrai, dan
menggiling untuk mengubah biji kopi menjadi bubuk kopi. selanjutnya
memperlihatkan bagaimana Penyair menyeduh bubuk kopi. Proses tersebut
membuat kopi menjadi memiliki rasa yang nikmat dan aroma yang sedap. Tanpa
melalui proses tersebut bangsa kopi hanya akan menjadi buah biasa di pohon.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 64: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/64.jpg)
54
Proses tersebutlah yang membuat bangsa kopi menjadi istimewa dan memiliki
tujuan serta manfaat, yaitu untuk dinikmati. Dari penjelasan tersebut bisa
disimpulkan bahwa penderitaan diperlukan untuk mendapatkan potensi.
3.3.2.3 Jeritan adalah Tindakan yang Sia-Sia
Pada Bab II dijelaskan bahwa ideologi dari cerpen “Elegi Ampas Kopi”
adalah ketabahan bangsa kopi menghadapi penderitaan. Pembalikan pusat teks
menyebabkan ideologi tersebut tidak berlaku. Ketabahan yang dimiliki oleh Bangsa
Kopi pun dipertanyakan ulang, sehingga memunculkan pemaknaan baru. Bangsa
Kopi tidak memiliki ketabahan, akan tetapi selalu mengeluh terhadap hal-hal yang
mereka alami. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut.
“...Maka, ketika engkau mencium aroma sedap harum uap kopi, sadarlah
bahwa yang kaucium itu sesungguhnya jeritan jiwa kami.” (Tranggono, 2019)
“...Ternyata kami pun harus tabah untuk digiling atau ditumbuk. Tubuh
kami remuk. Jiwa kami hancur. Kami menjerit, tapi jeritan kami dilibas deru mesin
penggiling atau talu besi penumbuk...” (Tranggono, 2019)
Dari dua kutipan tersebut terlihat bahwa dalam menghadapi penderitaannya,
Bangsa Kopi hanya menjerit. Jeritan dan keluhan selalu muncul pada tiap
penderitaan. Mereka hanya menjerit dan menyerah. Bangsa Kopi tidak mencoba
menggunakan cara lain seperti mencoba berkomunikasi atau melawan Penyair dan
Petani. Dari penjelasan tersebut bisa disimpulkan bahwa jeritan tidak
menyelesaikan permasalahan.
3.4 Decentering dan Diseminasi dalam Cerpen “Di Atas Tanah Retak”
Proses decentering memiliki dua tahap. Tahap pertama adalah mencari
ideologi baru yang terdapat di dalam teks. Tahap selanjutnya adalah mencari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 65: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/65.jpg)
55
penyebaran makna baru yang tersebar di dalam teks. Berikut penjelasan dari tiap
tahap tersebut.
3.4.1 Pembalikan Hierarki Metafisik dan Ideologi Baru
Pembacaan pertama pada teks cerpen memperlihatkan bahwa hierarki
metafisik yang lebih tinggi ada pada kubu Maruti. Maruti diperlihatkan sebagai
orang yang tertindas dan menderita sehingga simpati pembaca terpusat pada Maruti.
Hal tersebut bertolak belakang dengan tokoh Dargo yang diperlihatkan sebagai
orang yang mesum dan tidak bertanggung jawab. Dalam tahap ini hierarki tersebut
akan dibalik. Tokoh Maruti akan dilihat kembali, dan sentimen terhadap tokoh
Dargo akan dihilangkan. Hal ini akan memunculkan perspektif dan pemaknaan baru
terhadap teks. Berikut adalah ilustrasi pembalikan hierarki teks.
Gambar 3
Ilustrasi Pembalikan Hierarki dalam Cerpen “Di Atas Tanah Retak”
Pada pembacaan pertama, Maruti terlihat sebagai pihak yang lemah
sedangkan Dargo adalah pihak yang semena-mena. Setelah membalikkan hierarki
teks, Maruti tidak lagi dilihat sebagai pusat dalam teks. Pusat teks akan digantikan
oleh Dargo sehingga Maruti tidak lagi dilihat sebagai pihak yang harus dikasihani.
Dalam Bab II disimpulkan bahwa ideologi dari cerpen “Di Atas Tanah
Retak” adalah kemalangan Maruti dalam hidupnya. Hal tersebut muncul karena
Maruti
Dargo
Maruti
Dargo
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 66: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/66.jpg)
56
pusat di dalam teks adalah Maruti. Pada tahap ini Maruti bukanlah pusat dari teks,
pusat teks adalah Dargo. Hal tersebut dibuktikan pada kutipan berikut.
“Usai pentas tayup, seluruh rombongan penari dan pemusik makan
di ruang depan kelurahan. Hanya Maruti yang diperbolehkan makan di
dalam kamar bersama Dargo dan Pak Kades. Dargo punya kesempatan
untuk mengamati kecantikan Maruti. Juga menikmati suara, tutur katanya
yang halus. Beberapa kali Dargo menahan napas. Mereka pun ngobrol.
Dargo tampak bergairah bicara tanpa peduli pada Maruti yang lelah.
Beberapa ucapan nakal pun sempat terlontar, tapi Maruti menanggapinya
dengan tersenyum. Dari ibunya, Maruti pernah mendengar, kebanyakan
laki-laki itu berubah nakal bila ada kesempatan. Kamu mesti hati-hati,
Maruti.” (Tranggono, 2019)
Kutipan di atas menceritakan bagaimana Dargo tertarik dengan Maruti.
Dargo yang bergairah pun menggoda Maruti dengan ucapan nakal. Rasa tertarik
yang dimiliki oleh Dargo tidak bisa disalahkan. Kata nakal yang diucapkan Dargo
juga bisa dilihat sebagai menggoda dan bermain-main bukan untuk melecehkan.
Maruti hanya menanggapi Dargo dengan senyuman, sehingga Dargo jadi
menganggap bahwa apa yang ia lakukan tidak mengganggu Maruti.
Maruti mau untuk diajak makan di kamar bersama Dargo dan Pak Kades.
Hal ini menunjukkan bahwa Maruti hanya pasrah saja terhadap tindakkan orang
lain. Kepasrahan inilah yang menyebabkan dia menjadi sasaran empuk Dargo. Jika
saja Maruti berani melawan dengan menceritakan perbuatan Dargo ke masyarakat,
mungkin saja Dargo tidak akan mengganggu Maruti karena Dargo sangat
mementingkan nama baiknya. Hal tersebut dibuktikan dengan kutipan berikut.
“Ya, ndak bisa…. Nanti orang-orang bisa marah. Saya kan telanjur
dicap sebagai pendoa dan jadi panutan….” (Tranggono, 2019)
Dari penjelasan di atas bisa disimpulkan bahwa ideologi teks yang baru
adalah tentang ketakutan Maruti dalam menghadapi Dargo. Dalam pembahasan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 67: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/67.jpg)
57
selanjutnya, pusat teks adalah tokoh Dargo. Segala macam pemaknaan akan
berporos pada tokoh Dargo.
3.4.2 Diseminasi dan Pemaknaan Baru
Pada tahap ini, ideologi lama sudah digantikan dengan ideologi baru. Proses
decentering memunculkan makna-makna baru, karena tergesernya pusat dari teks.
Ideologi di dalam teks bukan lagi mengenai kemalangan Maruti tetapi ketakutan
Maruti. Pusat teks juga sudah tergeser, sehingga menimbulkan perspektif baru.
Selanjutnya penyebaran makna baru akan dijelaskan di bawah.
3.4.2.1 Stigma dari Masyarakat Membatasi Ekspresi Diri
Dargo memiliki posisi kuat di desa akan tetapi hal itu juga mengakibatkan
dirinya tidak bisa mengekspresikan dirinya. Masyarakat melihat Dargo sebagai
pendoa dan panutan sehingga Dargo memiliki batasan-batasan yang
membelenggunya. Hal tersebut dibuktikan pada kutipan berikut.
““Ya, ndak bisa…. Nanti orang-orang bisa marah. Saya kan telanjur
dicap sebagai pendoa dan jadi panutan….”” (Tranggono, 2019)
“Dargo, laki-laki gemuk berpeci hitam, sejak awal pertunjukan
selalu mengamati Maruti. Tangan kanannya tampak memutar-mutar tasbih.
Mulutnya komat-kamit. Namun, matanya tak pernah lepas membidik tubuh
Maruti yang bergoyang. Beberapa kali Dargo menahan napas.” (Tranggono,
2019)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa Dargo juga memiliki ketakutan. Dia
takut nama baiknya rusak. Hal itulah yang menyebabkan Dargo memilih untuk
duduk saja, seperti yang terlihat pada kutipan kedua. Kutipan di atas juga
menunjukkan bagaimana Dargo yang selalu membidik tubuh Maruti. Hal ini juga
bisa diartikan bahwa Dargo menikmati goyangan yang Maruti lakukan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 68: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/68.jpg)
58
3.4.2.2 Tindakan Nekat Menyebabkan Kemalangan
Sebelum dilakukan pembalikan pusat teks, Maruti terlihat sebagai tokoh
yang tidak mempunyai celah. Setelah dilakukan decentering kesalahan yang
dilakukan oleh Maruti pun terlihat di dalam teks, terbukti dengan kutipan berikut.
“Maruti tak berani lapor polisi karena Dargo orang kuat di desa itu.
Pengikutnya pun banyak dan sangar. Ia hanya berani mengungkapkan
peristiwa naas itu kepada bapak, ibu, dan neneknya.
Beberapa bulan kemudian, jantung Maruti terasa berhenti berdetak
setelah mendengar ucapan dokter puskesmas bahwa dia hamil. Jiwa Maruti
terasa dihantam martil besar dan berat. Ia pun nekat menemui Dargo.
Namun, Dargo hanya menyeringai. Pamer taring. Kemarahan Maruti tak
terkendali.
Ia meludahi wajah Dargo.” (Tranggono, 2019)
Awalnya Maruti tidak berani melawan Dargo karena Dargo merupakan
orang kuat di desa. Akan tetapi ketika mengetahui tentang kehamilan dirinya,
Maruti langsung nekat menemui Dargo. Pertimbangan awal yang dia
pertimbangkan mengenai posisi Dargo dilupakan begitu saja. Maruti datang
menghampiri Dargo tanpa persiapan dan rencana. Amarahnya pun menyebabkan
Maruti juga nekat meludahi Dargo. Hal tersebut jelas membuat Dargo naik pitam.
Tindakan yang dilakukan Maruti juga membuat Dargo menjadi tahu
kehamilan dirinya. Dargo menghamili Maruti bukan dari pernikahan, tetapi
pemerkosaan. Hal tersebut pasti akan membuat nama baik Dargo hancur bahkan
berakhir dengan tindak pidana. Untuk menutupi aibnya tersebut, Dargo mengirim
anak buahnya untuk mengakhiri hidup Maruti.
3.4.2.3 Kepasrahan Hanya Memperparah Masalah
Pada pembacaan pertama Maruti diperlihatkan sebagai orang yang taat dan
polos, tetapi hasil dari pembacaan dekonstruksi Maruti terlihat sebagai orang yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 69: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/69.jpg)
59
pasrah dan tak mau memperjuangkan keinginnannya. Hal tersebut dibuktikan
dengan beberapa kutipan berikut.
““Aku yakin kamu bisa. Minggu depan rombongan
kita ditanggap di kelurahan. Katanya, untuk bersih desa dan upacara minta
hujan. Kamu harus ikut nari.”
Maruti tak membantah.” (Tranggono, 2019)
“Beberapa ucapan nakal pun sempat terlontar, tapi Maruti
menanggapinya dengan tersenyum. Dari ibunya, Maruti pernah mendengar,
kebanyakan laki-laki itu berubah nakal bila ada kesempatan. Kamu mesti
hati-hati, Maruti.” (Tranggono, 2019)
“Maruti tak berani lapor polisi karena Dargo orang kuat di desa itu.
Pengikutnya pun banyak dan sangar. Ia hanya berani mengungkapkan
peristiwa naas itu kepada bapak, ibu, dan neneknya.” (Tranggono, 2019)
Dalam kutipan pertama terlihat bahwa Maruti hanya terdiam mendengar
permintaan ibunya. Maruti tidak mempunyai kewajiban untuk ikut menari, akan
tetapi dia hanya terdiam. Dia tidak mengiyakan maupun menolak. Pada kutipan
selanjutnya Maruti juga melakukan hal yang sama. Dia hanya tersenyum
menghadapi perilaku Dargo, padahal Maruti juga bisa melawan.
Kutipan ketiga juga memperlihatkan kepasrahan Maruti setelah dia
diperkosa oleh Dargo. Maruti memang sudah menghadapi Dargo untuk meminta
pertanggungjawaban, tetapi Dargo menolak. Setelah itu Maruti tetap tidak
melaporkan Dargo ke polisi.
Setiap kali Maruti hanya terdiam, dia mendapatkan nasib sial. Tidak hanya
Maruti saja, keluarga Maruti juga hanya pasrah menghadapi kematian Maruti.
Hingga mati Maruti tidak mendapatkan keadilan karena memang dia tidak
memperjuangkannya. Sikap pasrah dan diam tersebutlah yang menyebabkan
kemalangan mengerubungi diri Maruti.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 70: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/70.jpg)
60
3.5 Rangkuman
Dalam Bab III ini sudah dilakukan proses decentering dan diseminasi pada
tiga cerpen, yaitu cerpen “Profesor Pogob”, “Elegi Ampas Kopi”, dan “Di Atas
Tanah Retak”. Hasil dari kajian tersebut adalah pembalikan hierarki metafisik dan
poros cerita yang memunculkan ideologi baru di dalam cerita. Ideologi baru ini
memunculkan perspektif baru di dalam cerpen, sehingga menetralkan oposisi biner
yang lama dan menghasilkan pemaknaan baru yang tersebar untuk membangun
struktur makna dalam teks (diseminasi).
Dalam cerpen “Profesor Pogob” ideologi baru yang muncul adalah
keegoisan Profesor Pogob. Dari ideologi baru tersebut muncul tiga makna baru
dalam teks yakni 1) Tidak tahu malu, 2) Profesor Pogob bermulut besar, 3)
Kepengecutan.
Dalam cerpen “Elegi Ampas Kopi” ideologi baru yang muncul adalah
keluhan Bangsa Kopi terhadap nasibnya. Dari ideologi baru tersebut muncul tiga
makna baru dalam teks yaitu 1) Sikap narsis menimbulkan kekecewaan, 2)
Penderitaan diperlukan untuk meraih potensi, 3) Jeritan adalah tindakan yang sia-
sia.
Dalam cerpen “Di Atas Tanah Retak” ideologi baru yang muncul adalah
ketakutan Maruti terhadap Dargo. Dari ideologi baru tersebut muncul tigak makna
baru dalam teks yaitu 1) Stigma dari masyarakat membatasi ekspresi diri, 2)
Tindakan nekat menyebabkan kemalangan, 3) Kepasrahan hanya memperparah
masalah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 71: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/71.jpg)
61
Makna-makna baru di atas adalah hasil dari dekonstruksi teks. Meskipun
begitu, dekonstruksi tidak bisa dikatakan selesai, karena dekonstruksi tidak pernah
selesai. Hal tersebut terjadi karena hasil dekonstruksi pun juga bisa didekonstruksi.
Dekonstruksi pun menjadi tidak terhingga. Hal ini sesuai dengan tujuan dari
dekonstruksi, yaitu menghindar dari logosentrisme.
Dari ketiga cerpen tersebut ditemukan kesamaan yaitu mengenai bagaimana
para tokoh menghadapi penindasan. Dari hasil ideologi yang sudah didekonstruksi,
cerpen tidak lagi menceritakan tentang kekalahan para orang kecil tetapi mengenai
hal-hal yang harus dihindari untuk menghadapi penindasan. Ideologi lama teks
sangat kental dengan pragmatisme. Hal tersebut terlihat dari alasan tokoh Profesor
Pogob memilih membela koruptor karena lebih menguntungkan dirinya sendiri,
penyair dan petani yang mengeksploitasi kopi, dan Maruti yang takut menghadapi
Dargo yang terpandang.
Dalam ideologi baru ketiga cerpen tersebut, diperlihatkan bahwa tindakan-
tindakan yang dilakukan para tokoh merupakan hal yang perlu dihindari. Ideologi
pragmatisme perlu dihindari dan diganti dengan ideologi kerakyatan. Keegoisan
Profesor Pogob, keluhan Bangsa Kopi, dan ketakutan dari Maruti adalah hal yang
perlu dihindari untuk mencapai kepentingan bersama. Keegoisan Profesor Pogob
perlu diubah menjadi empati dan kepedulian terhadap rakyat. Keluhan Bangsa Kopi
perlu diubah menjadi keteguhan dalam menghadapi proses yang sulit demi
kepentingan bersama. Ketakutan Maruti perlu diubah menjadi keberanian melawan
Dargo yang menyalahgunakan pengaruhnya supaya tidak ada korban-korban
selanjutnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 72: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/72.jpg)
62
Dari hasil dekonstruksi tersebut, ideologi kerakyatan merupakan ideologi
yang ingin dicapai di dalam tiga teks cerpen tersebut. Ketiga cerpen tersebut
menggambarkan bagaimana penindasan dan pragmatisme bisa dilawan dengan
ideologi kerakyatan yang mementingkan kepentingan bersama.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 73: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/73.jpg)
63
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Penelitian ini menggunakan metode double reading dalam penerapan teori
dekonstruksi. Metode double reading digunakan karena seusai dengan teori
dekonstruksi yang memerlukan pembacaan dengan perspektif yang berbeda. Tahap
pembacaan pertama diterapkan untuk mengidentifikasi hierarki metafisik dan
oposisi biner yang kemudian menjadi ideologi teks. Pembacaan tahap kedua
diterapkan untuk mengidentifikasi ideologi baru yang muncul akibat decentering.
Dari dua tahap tersebut didapatkan makna-makna baru yang sebelumnya
tersembunyi di dalam teks.
Pembacaan pertama menghasilkan oposisi biner, hierarki metafisiki, dan
ideologi teks. Hasil dari pembacaan pertama dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4
Hierarki Metafisik dan Ideologi Teks
No Judul Teks Hierarki Metafisik Ideologi Teks
1. Profesor Pogob 1. Profesor Pogob (koruptor
dan pemerintah)
2. Demonstran (rakyat)
Keberanian Profesor
Pogob dalam membela
koruptor
2. Elegi Ampas
Kopi
1. Bangsa Kopi
2. Manusia (Penyair dan
Petani)
Ketabahan Bangsa
Kopi dalam
menghadapi
penderitaan
3. Di Atas Tanah
Retak
1. Maruti
2. Dargo
Kemalangan Maruti
dalam hidupnya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 74: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/74.jpg)
64
Pembacaan kedua mempunyai hasil yang berbeda karena pembacaan ini
merupakan pembacaan yang sudah didekonstruksi. Hasil pembacaan ini adalah
ideologi baru yang terdapat di dalam teks dan makna-makna baru. Hasil pembacaan
kedua dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 5
Proses Decentering dan Diseminasi
No Judul Teks Ideologi Lama Ideologi Baru Makna-Makna
Baru
1. Profesor Pogob Keberanian
Profesor Pogob
dalam membela
koruptor
Keegoisan
Profesor
Pogob
1) Tidak tahu malu
2) Profesor Pogob
bermulut besar
3) Kepengecutan
2. Elegi Ampas
Kopi
Ketabahan
Bangsa Kopi
dalam
menghadapi
penderitaan
Keluhan
Bangsa Kopi
terhadap
nasibnya
1) Sikap narsis
menimbulkan
kekecewaan
2) Penderitaan
diperlukan untuk
meraih potensi
3) Jeritan adalah
tindakan yang sia-
sia
3. Di Atas Tanah
Retak
Kemalangan
Maruti dalam
hidupnya
ketakutan
Maruti
terhadap
Dargo
1) Stigma dari
masyarakat
membatasi ekspresi
diri
2) Tindakan nekat
menyebabkan
kemalangan
3) Kepasrahan
hanya
memperparah
masalah
Dalam cerpen “Profesor Pogob” ideologi baru yang muncul adalah
keegoisan Profesor Pogob. Dari ideologi baru tersebut muncul tiga makna baru
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 75: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/75.jpg)
65
dalam teks yakni 1) Tidak tahu malu, 2) Profesor Pogob bermulut besar, 3)
Kepengecutan.
Dalam cerpen “Elegi Ampas Kopi” ideologi baru yang muncul adalah
keluhan Bangsa Kopi. Dari ideologi baru tersebut muncul tiga makna baru dalam
teks yaitu 1) Sikap narsis menimbulkan kekecewaan, 2) Penderitaan diperlukan
untuk meraih potensi, 3) Jeritan tidak menyelesaikan masalah.
Dalam cerpen “Di Atas Tanah Retak” ideologi baru yang muncul adalah
ketakutan Maruti terhadap Dargo. Dari ideologi baru tersebut muncul tigak makna
baru dalam teks yaitu 1) Cap dari masyarakat membatasi ekspresi diri, 2) Tindakan
nekat menyebabkan kemalangan, 3) Kepasrahan hanya memperparah masalah.
Dari hasil dekonstruksi tersebut, ideologi kerakyatan merupakan ideologi
yang ingin dicapai di dalam tiga teks cerpen tersebut. Ketiga cerpen tersebut
menggambarkan bagaimana penindasan dan pragmatisme bisa dilawan dengan
ideologi kerakyatan yang mementingkan kepentingan bersama.
4.2 Saran
Dari hasil penelitian ini, penulis memiliki beberapa saran kepada peneliti-
peneliti selanjutnya yang akan menggunakan teori dekonstruksi. Derrida tidak
pernah menuliskan bentuk metode yang digunakan dalam melakukan dekonstruksi,
sehingga sangat disarankan untuk banyak membaca penelitian-penelitan
dekonstruksi lain sebagai referensi. Cerpen karya Indra Tranggono banyak yang
menggambarkan kondisi sosial budaya di Indonesia, sehingga juga cocok untuk
dikaji dengan teori lain seperti sosiologi sastra, dan kritik sastra feminis.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 76: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/76.jpg)
66
Teori dekonstruksi merupakan teori yang fleksibel dalam pemilihan objek
material. Penulis menyarankan untuk memilih objek material yang berupa sastra
kanon karena berkemungkinan memiliki unsur logosentrisme yang kuat. Selain itu,
peneliti selanjutnya juga bisa mencoba menggunakan objek material selain cerpen,
seperti puisi, naskah drama, dan film sehingga akan memperkaya perspektif dalam
karya-karya tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 77: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/77.jpg)
67
DAFTAR PUSTAKA
Al-Fayyadl, Muhammad. 2011. Derrida. Yogyakarta : LkiS
Asmarani, Ratna. “Pendekatan Feminis Dekonstruktif-Kultural Terhadap Anna and
the King”. Dalam Jurnal Ilmiah Kajian Sastra, Vol.32.No. 1, Januari 2008,
hlm. 18.
Ghofur, Abd. 2014. “Analisis Dekonstruksi Tokoh Takeshi dan Mitsusaburo Dalam
Novel Silent Cry Karya Kenzaburo Oe Perspektif Jacques Derrida”. Dalam
Jurnal Ilmiah Jurnal Okara, Vol. I. Madura: Pusat Pengembangan Bahasa
IAIN Madura.
Hajar, Ibnu dan Abdul Wazib. 2018. “Analisis Dekonstruksi Derrida pada Tokoh
Margio dalam Novel “Lelaki Harimau”” Jurnal Al-Khitabah, Vol. IV, No.
1. Makasar: Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Alauddin.
Haryatmoko. 2016. Membongkar Rezim Kepastian : Pemikiran Kritis Post-
Strukturalis. Yogyakarta : Kanisius.
Muther, Ridwanul Hakim Authonul. “Derrida, Teks, dan Hantu-hantu Ke-pernah-
hadir-an”. https://lsfdiscourse.org/derrida-teks-dan-hantu-hantu-ke-pernah-
hadir-an/#_ftn12 Diakses pada tanggal 21 November jam 12.39 WIB
Norris, Christopher. 2006. Membongkar Teori Dekonstruksi : Jacques Derrida.
Yogyakarta: Gajah Mada Unitversity Press
Respati, Agustinus Rangga. 2018. “Dekonstruksi Tiga Cerpen Pilihan Kompas
Tahun 2013 : Klub Solidaritas Suami Hilang : Perspektif Jacques Derrida”
Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma
Rokhmansyah, Alfian. 2019. “Formasi Ideologi Dalam Cerpen Tikus Karya Indra
Tranggono”. Artikel dalam jurnal Lingua Vol. XV, No.2, Juli 2019, hlm.
146-153.
Semi, M. Atar. 1988. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya
Stanton, Robert. 2012. Teori Fiksi Robert Stanton (Terjemahan Sugihastuti dan
Rosi Abi Al Irsyad). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sudiarja, A. 2005. Jacques Derrida: Setahun Sesudah Kematiannya pada majalah
BASIS edisi November-Desember 2005
Sumarwan, A. 2005. Membongkar yang Lama Menenun yang Baru pada majalah
BASIS edisi November-Desember 2005
Taum, Yoseph Yapi. 1997. Pengantar Teori Sastra. Ende: Penerbit Nusa Indah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 78: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/78.jpg)
68
-----------------------. 2017. Kritik Sastra Diskursif: Sebuah Reposisi. Makalah
Seminar Nasional Kritik Sastra “Kritik Sastra yang Memotivasi dan
Menginspirasi” yang diselenggarakan Badan Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Jakarta, 15-16 Agustus 2017
Wellek, Rene & Austin Warren. 2016. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
![Page 79: IDEOLOGI TIGA CERPEN INDRA TRANGGONO DI TAHUN 2019 ...](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072700/62df7ec79bc8857ee7363bb6/html5/thumbnails/79.jpg)
69
BIOGRAFI PENULIS
Yohanes Juan Antony Sijabat. Penulis lahir 16 Januari
1998 di Bekasi. Penulis merupakan anak pertama dari
pasangan Nestor Simon Sijabat dan Yustina Prihantini.
Menempuh pendidikan Sekolah Dasar (SD) di SDN 3
Jumapolo dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di
SMPN 1 Jumapolo. Kemudian penulis melanjutkan
pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMAN 1
Karanganyar hingga akhirnya menjadi mahasiswa Sastra
Indonesia di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Pada tahun 2017, mengikuti UKM PT Radio Masdha sebagai penyiar
selama dua tahun sekaligus sebagi wakil general manager di tahun 2017-2018, dan
general manager di tahun 2018-2019. Pada tahun 2019, menjadi aktor dalam
pertunjukan Lakon Dua Dekade yang diadakan oleh Bengkel Sastra. Pada tahun
2020, menjadi penulis naskah dan sutradara bersama Daur Lingkar, dan mengikuti
beberapa festival film tingkat nasional. Penulis berjejaring lewat akun Instagram
@juanesia dan surel [email protected].
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI