Identifikasi Tanah Longsor & Mtigasi
-
Upload
ilanovskie -
Category
Documents
-
view
97 -
download
5
description
Transcript of Identifikasi Tanah Longsor & Mtigasi
Prosiding Ekspose BP2TPDAS-IBB Surakarta Kebumen, 3 Agustus 2004
66
IDENTIFIKASI TANAH LONGSOR DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA STUDI KASUS DI KULONPROGO, PURWOREJO DAN KEBUMEN
Oleh:
Agus Wuryanta, Sukresno dan Sunaryo
Abstrak
Bencana alam tanah longsor sering melanda beberapa wilayah di Indonesia. Secara umum hal
tersebut disebabkan karena letak geografis wilayah Indonesia yang dilewati “cincin api”, Iklim dan penutup lahan. Bencana tanah longsor yang terjadi di berbagai lokasi di Indonesia, umumnya terjadi pada musim penghujan, sehingga dampak yang ditimbulkan tidak hanya terjadi setempat (on site) namun juga disebelah hilirnya (off site), yaitu berupa hasil sedimen yang jumlahnya cukup besar untuk suatu kejadian hujan tertentu. Penyebab tanah longsor terutama disebabkan oleh ketahanan geser batuan yang menurun tajam jauh melebihi tekanan geser dan yang terjadi seiring dengan meningkatnya tekanan air akibat pembasahan atau peningkatan kadar air, disamping juga karena adanya peningkatan muka air tanah. Identifikasi lahan berpotensi longsor sangat diperlukan untuk mengetahui sebaran daerah yang rawan longsor sehingga dapat dilakukan upaya penanganannya. Data yang diperoleh dari teknologi PJ dalam hal ini Citra Landsat 7 ETM+ yang dilakukan penajaman dengan filter 7 x 7 dapat digunakan untuk identifikasi lahan berpotensi longsor. Disamping itu, teknik yang diujicobakan untuk menanggulangi lahan berpotensi longsor yaitu teknik pengendalian kaki tebing/lereng dengan bronjong kawat yang diisi batu kali, masing-masing lokasi dicobakan bangunan tersebut untuk panjang 6 m dan 7 m, lebar 1 m dan tinggi 2.5 m dan 2.0 m, perbaikan sistem drainase permukaan pada lereng yang telah mengalami gejala adanya retakan tanah dengan pembuatan SPA yang diperkuat dengan drop strukture dari batu, perbaikan sistem drainase dalam pada tanah diatas bidang lincir dengan lereng terjal melalui pembuatan saluran drainase horizontal yang terbuat dari pipa peralon Ø 3/4".
Kata kunci: Identifikasi Lahan berpotensi longsor, Citra Landsat 7 ETM+, Teknik
Pengendalian Lahan berpotensi longsor.
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Bencana alam tanah longsor sering melanda beberapa wilayah di tanah air.
Beberapa faktor alami yang menyebabkan seringnya terjadi bencana tersebut antara lain
banyak dijumpainya gunung api baik yang masih aktif maupun yang non aktif terutama
Pulau Sumatera bagian barat dan Pulau Jawa bagian selatan. Kedua wilayah tersebut
merupakan bagian dari �cincin api� yang melingkari cekung Samudera Pasifik dari
Benua Asia sampai Benua Amerika. Selain itu, wilayah Indonesia merupakan pertemuan
3 lempeng Australia, Eurasia dan Pasifik sehingga sering dilanda gempa bumi tektonik.
Guncangan gempa tersebut dapat mengakibatkan terjadinya tanah longsor pada daerah
Prosiding Ekspose BP2TPDAS-IBB Surakarta Kebumen, 3 Agustus 2004
67
perbukitan dengan lereng yang curam (Kompas, 14 Desember 2002). Bencana tanah
longsor yang terjadi di berbagai lokasi di Indonesia, umumnya terjadi pada musim
penghujan, sehingga dampak yang ditimbulkan tidak hanya terjadi setempat (on site)
namun juga disebelah hilirnya (off site), yaitu berupa hasil sedimen yang jumlahnya
cukup besar untuk suatu kejadian hujan tertentu. Penyebab tanah longsor terutama
disebabkan oleh ketahanan geser batuan yang menurun tajam jauh melebihi tekanan
geser dan yang terjadi seiring dengan meningkatnya tekanan air akibat pembasahan atau
peningkatan kadar air, disamping juga karena adanya peningkatan muka air tanah.
Selanjutnya batuan/tanah penyusun lereng tersebut kondisinya menjadi kritis-labil dan
cenderung mudah longsor (Hirmawan, 1994).
Bencana tanah longsor selain menimbulkan korban jiwa, harta benda dan material
lain yang tidak sedikit juga menimbulkan dampak negatif jangka panjang yaitu
berkurangnya (hilangnya) lapisan permukaan tanah (top soil) yang subur sehingga
produktifitas tanah menurun. Menurut Soebroto, dkk.(1981), faktor � faktor yang
menyebabkan terjadinya gerakan tanah (tanah longsor) adalah topografi (kemiringan
lereng), keadaan tanah (tekstur, struktur perlapisan), keairan termasuk curah hujan,
gempa bumi dan keadaan vegetasi/hutan dan penggunaan lahan.
Dari uraian di atas diperlukan identivikasi tanah yang berpotensi longsor serta
berbagai cara pengendaliannya. Pada kajian ini dilakukan identivikasi tanah berpotensi
longsor dengan menggunakan teknik Penginderaan Jauh (PJ) yaitu citra Landsat 7
ETM+. Sedangkan teknik pengendaliannya digunakan berbagai metode yang adaptif
dengan lingkungan setempat, a.l.: 1) teknik penutupan retakan tanah dengan tanah liat,
2) teknik pengendalian sudut lereng, 3) teknik pemadatan tanah, 4) teknik pengendalian
aliran air permukaan dan bawah permukaan/drainase tanah, 5) teknik perbaikan kualitas
tanah, dan 6) teknik pengendalian vegetasi/jenis tegakan penutup tanah.
B. Tujuan Tujuan kajian adalah untuk mendapatkan metode pemrosesan data penginderaan
jauh (PJ) untuk memudahkan di dalam melakukan zonasi daerah rawan longsor serta
metode dan teknik pengendalian tanah longsor yang efektif dan efisien.
Prosiding Ekspose BP2TPDAS-IBB Surakarta Kebumen, 3 Agustus 2004
68
II. METODOLOGI
Lokasi Kajian
Untuk kajian identifikasi lahan berpotensi longsor dengan citra PJ dalam hal ini
citra digital landsat 7 ETM+ dilaksanakan di wilayah Kabupaten Kebumen. Sedangkan
berdasarkan letak geografis pada koordinat 109o25� BT dan 7o45�LS sampai dengan
109o40�BT dan 7o30�LS. Wilayah kajian meliputi beberapa kecamatan yaitu kecamatan
Sadang, Kec. Karang Sambung, Kec. Karang Gayam, Kec. Karang anyar, Kec.Sempor
dan Kec. Ayah. Topografi daerah kajian bervariasi dari datar (di sebelah selatan jalan
utama Kebumen � Purwokerto ke arah pantai selatan kecuali di daerah kec. Ayah),
berbukit kecil sampai pegunungan dengan kemiringan lereng mulai landai
sampai terjal (di sebelah utara jalan utama Kebumen � Purwokerto).
Gambar 1. Lokasi kajian di Kabupaten Kebumen dan sekitarnya
Sedangkan lokasi teknik pengendalian tanah longsor terletak di wilayah
administratif kabupaten Purworejo-Propinsi Jawa Tengah dan kabupaten Kulonprogo-
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Lokasi kajian di kabupaten Purworejo
terletak di desa Kemanukan, kecamatan Bagelen pada koordinat 110o02'20"-110o02'30"
BT dan 7o25'35"-7o45'45" LS, sedang lokasi di kabupaten Kulonprogo terletak di desa
Purwoharjo, kecamatan Samigaluh pada koordinat 110o12'30"-110o12'40" BT dan
7o42'30"-7o42'40" LS.
Lokasi Kajian
Prosiding Ekspose BP2TPDAS-IBB Surakarta Kebumen, 3 Agustus 2004
69
B. Bahan dan Alat Bahan dan alat yang digunakan untuk kegiatan kajian ini antara lain :
! Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) dan peta topografi skala 1 : 25.000 dan 1 :
50.000
! Peta geologi skala 1 : 100.000
! Citra digital landsat 7 ETM perekaman tanggal 21 Juni 2000
! Alat tulis seperti pensil, balpoint dan alat tulis untuk penafsiran citra yaitu OHP
fine full color, selotip dan plastik astralon.
! Kertas plotter, kertas printer dan tinta warna (cartridengane) untuk warna hitam,
kuning, magenta dan cyan.
! Peralatan survei lapangan seperti tally sheet, kompas, abney level dan pH stik
! Peralatan untuk pengolahan data digital dan SIG, antara lain
• Perangkat keras (hard ware) berupa komputer
• Perangkat lunak (soft ware) untuk analisis citra yaitu
ErdasImagine versi 8.2 dan PC Arc/Info versi 3.4D plus untuk
analisa SIG. Untuk tabulasi diperlukan Exel, microsoft word
dan DBASE IIIPlus.
• Penakar hujan (otomatis/manual)
• Bahan perlakuan (bronjong kawat, batu kali, bambu, dan peralon
C. Metode Penelitian 1. Identifikasi Tanah Berpotensi Longsor dengan Citra Landsat 7 ETM+
Tahapan kegiatan kajian sebagai berikut :
• Image enhancement, perbaikan citra dengan koreksi geometri dan
koreksi radiometri.
• Penajaman citra dan pemrosesan citra dengan metode filtering
• Dijitasi peta situasi dan peta dasar lainnya serta peta � peta pendukung
lainnya seperti peta geologi, peta jaringan jalan dan sungai
Prosiding Ekspose BP2TPDAS-IBB Surakarta Kebumen, 3 Agustus 2004
70
• Klasifikasi awal daerah rawan longsor dan erosi jurang pada citra satelit
Landsat TM secara visual dengan metode tidak berbantuan
(unsupervised classification method).
• Kegiatan lapangan, untuk mengumpulkan data lapangan (seperti data
koordinat penutup lahan, data curah hujan, kemiringan lereng, solum
tanah dll) disamping itu untuk mengecek akurasi hasil klasifikasi awal
seperti tersebut di atas.
• Data hasil kegiatan lapangan digunakan untuk melakukan klasifikasi
ulang (reklasifikasi) dengan metode klasifikasi berbantuan (supervised
classification method)
• Tumpang susun (overlay) hasil klasifikasi berbantuan dengan peta
tematik digital seperti peta geologi, peta jaringan jalan dll.
• Analisa hasil
• Pencetakan peta hasil kegiatan
2. Teknik Pengendalian Tanah Berpotensi Longsor
Pelaksanaan kajian tahun I dilakukan melalui tahapan kegiatan sebagai berikut:
• Inventarisasi daerah berpotensi longsor di Purworejo dan Kulonprogo
dengan menggunakan bantuan citra satelit (landsat) atau foto udara,
kemudian ditumpangtindihkan dengan peta topografi dan peta daerah rawan
longsor/geologi.
• Desa-desa terpilih dijadikan lokasi kajian, yaitu di desa Kemanukan-
kecamatan Bagelen dan desa Purwoharjo-kecamatan Samigaluh.
• Plot/site kajian ditetapkan berdasarkan kejadian bencana terakhir yang
terjadi, yaitu tanggal 5 Nopember 2000 di desa Kemanukan dan 20
Nopember 2001 di desa Purwoharjo.
• Penyelidikan geoteknik (sifat mekanika tanah) dilakukan untuk menetapkan
dan menghitung kekuatan geser masa tanah/batuan (r), tegangan geser (t),
Prosiding Ekspose BP2TPDAS-IBB Surakarta Kebumen, 3 Agustus 2004
71
kohesi (c), dan sudut geser (α) tanah dari contoh tanah yang berada diatas
bidang luncur.
• Penyelidikan gerak masa tanah dilakukan dengan menggunakan metode
pengukuran lubang bor yang beri stik dari basi baja dan diukur tingkat
gerakannya (perubahan kemiringan) dengan kedalaman vertical lubang bor
berkisar antara 0.5-2 m.
• Penentuan tingkat kandungan air tanah yang dapat didrainasekan dilakukan
dengan menggunakan sulingan yang terbuat dari peralon yang dilobangi
seperti seruling. Peralon tersebut secara horizontal ditancapkan kedalam
dinding/lereng sedalam sampai pada batuan keras/bidang luncur.
• Rencana (design) teknis untuk pengendalian tanah berpotensi longsor
dilakukan dengan tujuan untuk menetapkan rencana teknik pengendalian
yang akan diterapkan yang disesuaikan dengan kondisi lokasi, tingkat
potensi bahaya tanah longsor, sosial-ekonomi-budaya masyarakat setempat
yang meliputi:
- penutupan retakan tanah (sebelum hujan) dengan tanah liat
- pengendalian sudut lereng (tebing) dengan bronjong kawat yang diisi
dengan batu kali.
- pengaturan drainase air permukaan dengan pembuatan saluran
pembuangan air (SPA) yang dilengkapi dengan drop structure
(terjunan) dari batu.
- Pengaturan drainase bawah permukaan tanah dengan pembuatan
sulingan yang terbuat dari pipa pralon yang ditusukkan secara
horizontal pada lereng/tebing sampai pada batuan keras.
• Peralatan pemantau hujan, gerak masa tanah, dan efektivitas kerja dari
sulingan dilakukan di masing-masing lokasi daerah rawan longsor di desa
Kemanukan dan desa Purwoharjo.
Prosiding Ekspose BP2TPDAS-IBB Surakarta Kebumen, 3 Agustus 2004
72
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Metode Penajaman Citra Digital Landsat 7 ETM+ Untuk Identifikasi Lahan Berpotensi Longsor
Penajaman yang diterapkan pada citra digital untuk kajian tersebut adalah
metode penapisan (filtering). Secara umum metode tersebut ada 2 macam yaitu low pass
filtering dan high pass filtering. Sedangkan kombinasi dari kedua metode tersebut
adalah penajaman kenampakan pada arah horisontal, vertikal, deteksi kenampakan garis
(edengane detect) dan penajaman kenampakan garis (edengane enhance). Untuk kajian
ini digunakan high pass filtering untuk menajamkan kenampakan garis. Pelaksanaan
penajaman dapat dilakukan dengan menggunakan software ErdasImagine.
Pemilihan ukuran matrik (window size) untuk pelaksanaan filter tersedia dengan
ukuran 3 X 3, 5 X 5, 7 X 7, 9 X 9 dst. Disamping itu pengguna dapat membuat formula
matrik tersendiri. Di bawah ini matrik yang diterapkan pada citra untuk kajian tersebut :
-1 -1 -1
Matrik dengan ukuran 3 X 3 -1 17 -1
-1 -1 -1
-1 -1 -1 -1 -1
-1 -1 -1 -1 -1
Matrik dengan ukuran 5 X 5 -1 -1 49 -1 -1
-1 -1 -1 -1 -1
-1 -1 -1 -1 -1
-1 -1 -1 -1 -1 -1 -1
-1 -1 -1 -1 -1 -1 -1
-1 -1 -1 -1 -1 -1 -1
Matrik dengan ukuran 7 X 7 -1 -1 -1 97 -1 -1 -1
-1 -1 -1 -1 -1 -1 -1
-1 -1 -1 -1 -1 -1 -1
-1 -1 -1 -1 -1 -1 -1
Prosiding Ekspose BP2TPDAS-IBB Surakarta Kebumen, 3 Agustus 2004
73
Penerapan ketiga matrik tersebut di atas pada citra akan merubah tampilan citra pada
layar (screen) komputer, disamping itu akan merubah juga nilai digital citra satelit. Oleh
karena itu setelah proses filtering, citra tersebut sebaiknya tidak dilakukan klasifikasi
secara digital.
Dengan metode ini dimungkinkan untuk memperjelas kenampakan garis
(edengane enhancement) seperti jalan, jaringan sungai dan alur � alurnya sehingga
sangat membantu dalam membedakan kelerengan dan topografi. Gambar di bawah ini
citra yang belum dilakukan proses filtering.
Gambar 2. Citra digital Landsat 7 ETM+ sebelum proses filter.
Pada gambar di atas terdapat kelemahan dan keuntungan, antaralain:
Kelemahan :
• Kenampakan garis seperti jaringan jalan, alur sungai tidak tampak dengan jelas
sehingga menyulitkan di dalam pembedaan topografi.
• Identifikasi daerah yang berpotensi longsor sulit dilakukan
Keuntungan :
• Citra digital asli dapat digunakan untuk klasifikasi penutupan lahan secara
digital.
Prosiding Ekspose BP2TPDAS-IBB Surakarta Kebumen, 3 Agustus 2004
74
Metode filtering citra digital dengan matrik 3 X 3 seperti tersebut di dalam bab
IV di atas adalah tipe high pass filter untuk menajamkan kenampakan garis (edengane
enhance). Ukuran matrik yang dipakai adalah ukuran yang paling kecil. Hasil proses
tersebut terdapat pada gambar di bawah ini.
Gambar3. Citra digital landsat 7 ETM+ hasil proses filtering 3 X 3.
Kelemahan :
• Sangat tergantung pada kualitas citra. Kalau citra asli berkualitas kurang baik
(banyak tertutup awan, bergaris - garis/stipping line dll) hasil filteringnya
kurang optimal.
• Merubah nilai digital yang asli sehingga tidak dapat digunakan untuk analisa
digital yang lain tidak seperti klasifikasi.
Keuntungan : • Tidak mengurangi jumlah bands
• Kenampakan garis pada citra seperti jalan alaur sungai lebih kontras
dibandingkan dengan citra asli.
Prosiding Ekspose BP2TPDAS-IBB Surakarta Kebumen, 3 Agustus 2004
75
Gambar 4. Citra digital landsat 7 ETM+ hasil proses filtering 5 X 5
Kelemahan filtering 5 X 5:
• Penajaman akan mengakibatkan perubahan nilai pixel sehingga tidak bisa
digunakan untuk klasifikasi digital.
• Sangat tergantung pada kualitas citra. Kalau citra asli berkualitas kurang baik
(banyak tertutup awan, bergaris - garis/stipping line dll) hasil filteringnya
kurang optimal.
Keuntungan filtering 5 X 5:
• Jumlah band (channel) pada citra tetap sehingga dimungkinkan pembentukan
kombinasi band untuk menyusun citra color composit
Prosiding Ekspose BP2TPDAS-IBB Surakarta Kebumen, 3 Agustus 2004
76
Gambar 5. Citra digital landsat 7 ETM+ hasil proses filtering 7 X 7
Keuntungan
• Citra hasil filter sesuai untuk deliniasi kenampakan garis seperti jalan dan alur
sungai.
• Tidak mengurangi jumlah band sehingga tidak mengganggu di dalam pembuatan
kombinasi color composite.
• Untuk membedakan daerah yang berbeda topografinya lebih mudah
dibandingkan dengan 2 metode filter tersebut di atas.
• Membantu di dalam identifikasi dan zonasi daerah rawan longsor.
Kelemahan
• Penajaman akan mengakibatkan perubahan nilai pixel sehingga tidak bisa
digunakan untuk klasifikasi digital.
• Sangat tergantung pada kualitas citra. Kalau citra asli kualitasnya kurang baik
(banyak tertutup awan, bergaris - garis/stripping line dll) hasil filteringnya
kurang optimal.
B. Identifikasi lahan berpotensi longsor melalui citra landsat
Faktor � faktor terjadinya gerakan tanah (tanah longsor) adalah topografi/lereng,
Keadaan tanah/batuan termasuk struktur, Keairan termasuk curah hujan, Gempa bumi
(baik tektonik maupun vulkanis), keadaan vegetasi dan penggunaan lahan. Tidak semua
Prosiding Ekspose BP2TPDAS-IBB Surakarta Kebumen, 3 Agustus 2004
77
faktor tersebut dapat diperoleh dari citra landsat 7 ETM+ seperti gempa bumi, curah
hujan dan keadaan tanah, oleh karena itu diperlukan data dan peta penunjang seperti peta
geologi, peta tanah dan data curah hujan. Peta geologi menggambarkan jenis batuan dan
kenampakan tektonis seperti jalur patahan, sesar (fault), sinklinal dan antiklinal. Hal
tersebut menunjukkan bahwa daerah kajian merupakan daerah yang rawan bencana
gerakan tanah secara tektonik. Untuk jalur sinklinal, antiklinal dan jalur perbukitan
lipatan dapat dikenali pada citra landsat.
Sedangkan topografi/ lereng dapat diinterpretasi pada citra. Daerah dengan
topografi datar dapat dibedakan dengan daerah perbukitan dan pegunungan, yaitu
dengan melihat alur - alur sungai yang tampak pada citra. Sedangkan penutupan lahan
seperti lahan berhutan dan tidak berhutan (tegalan, lahan kosong, sawah dan
pemukiman) dapat diinterpretasi pada citra. Di dalam kajian ini penutupan lahan
merupakan salah satu faktor yang digunakan untuk menentukan tingkat kerawanan tanah
longsor dan erosi jurang. Disamping itu kegiatan lapangan (survei lapangan) digunakan
untuk mengumpulkan data lapangan dan mengecek hasil deliniasi awal pada citra.
Beberapa data yang diamati dan diukur serta dicatat di lapangan untuk kajian ini
antaralain koordinat, bentuk lahan, kemiringan lereng, tingkat erosi, relief, batuan
singkapan, batuan permukaan, jenis erosi, kedalaman solum tanah, regolit, warna tanah,
tekstur drainase permeabilitas dan penutupan lahan dan kerapatan vegetasi.
Dari hasil pemrosesan citra, kenampakan lapangan serta data lapangan yang
berhasil dikumpulkan, digunakan untuk klasifikasi secara visual daerah rawan longsor
dan erosi jurang pada citra satelit. Klasifikasi citra secara visual dibagi menjadi 2 tema
yaitu klasifikasi daerah rawan longsor dan klasifikasi untuk daerah yang rawan erosi
jurang. Klasifikasi citra satelit untuk identifikasi dan pemetaan daerah rawan longsor
didasarkan pada hasil pembobotan (scoring) parameter yang dikumpulkan di lapangan.
Sistem pengharkatan seperti terdapat pada tabel 1 di bawah ini.
Prosiding Ekspose BP2TPDAS-IBB Surakarta Kebumen, 3 Agustus 2004
78
Tabel 1. Pembobotan parameter pengaruh tanah longsor Skor
No
Faktor Pengaruh
Parameter Pengaruh
Bobot Maks. Min.
1 Bentuk lahan Proses 10 50 10
2 Lereng Kemiringan lereng 10 50 10
3 Geologi Tingkat pelapukan 1 5 1
4. Tanah Ketebalan solum
Tekstur
Drainase
Stabilitas
1
1
1
1
5
5
5
5
1
1
1
1
5. Penggunaan Lahan Penggunaan lahan
Kerapatan Vegetasi
1
1
5
5
1
1
Jumlah 27 135 27
Sumber : Analisis Studio PSBA UGM.2001 (dengan modifikasi)
Sedangkan penentuan interval kelas kerawanan tanah longsor ditentukan berdasarkan
perhitungan jumlah nilai maksimum dikurangi jumlah nilai minimum dibagi jumlah
klas. Klas kerawanan tanah longsor pada kajian ini ada 3 yaitu rendah, sedang dan
tinggi. Berdasarkan perhitungan tersebut diperoleh interval nilai tingkat kerawanan
tanah longsor yaitu interval nilai 27 � 63 termasuk di dalam klas rendah, 64 � 100 klas
sedang dan lebih besar dari 101 klas tinggi. Tabel 2 di bawah ini menunjukkan hasil
perhitungan parameter tanah longsor.
Prosiding Ekspose BP2TPDAS-IBB Surakarta Kebumen, 3 Agustus 2004
79
Tabel 2. Pembobotan parameter tanah longsor pada titik sampel
NO. BL Slope Tk.lapuk Solum Tekstur Drainase Stb PL K.Veg Jumlah Lokasi
1 40 25 5 4 3 3 2 3 5 90 Seling 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Widoro 3 40 45 5 1 3 4 1 5 5 109 Kaligending 4 40 45 5 5 4 5 5 5 5 119 Kr.Sambung 5 40 45 5 3 3 3 3 4 5 111 G.Paras 6 50 45 5 5 4 5 3 5 5 127 G.Penusupan7 40 35 5 5 4 5 3 5 5 107 Kr.Anyar 8 40 45 4 3 3 3 5 5 5 113 Muntuk 9 40 35 4 2 4 5 2 1 1 94 Karangmojo
10 40 40 5 5 4 4 1 1 1 101 Karangmojo 11 10 10 5 5 4 5 1 5 5 50 Kr.Gayam 12 30 25 1 1 2 1 1 5 5 71 Argopeni 13 40 45 5 4 4 4 5 4 3 114 Kr.Duwur 14 40 45 5 4 4 4 5 4 3 114 Jintung 15 40 45 5 4 4 4 5 4 3 114 Jintung 16 40 35 3 2 3 2 5 4 4 93 Kalidondong 17 40 25 5 5 5 5 5 5 5 100 Keteng 19 30 15 5 5 5 5 2 1 1 74 Gedang kulon20 40 20 5 5 5 5 4 5 5 94 Berpasangan21 40 20 5 5 5 5 4 5 5 94 Kalitengah
Sumber : data primer
C. Metode Pengendalian Lahan Berpotensi Longsor
Sebelum menentukan metode pengendalian lahanberpotensi longsor terlebih
dahulu diteliti sifat � sifat mekanika tanahnya, meliputi parameter: tekstur, bulk density,
plastisitas (PI), konsistensi, cohesi (c), sudut geser (α), kekuatan geser (r) dan tegangan
geser (t). Sample tanah diambil pada sekitar site tanah longsor yang telah ada dan pada
bekas longsoran di desa Kemanukan-Purworejo dan desa Purwoharjo-Kulonprogo.
Sampel tanah diambil pada kedalaman sampai + 1 m dengan menggunakan tabung
(ring) dan contoh tanah terganggu dengan menggunakan karung plastik. Pengambilan
dilakukan 2 kali yaitu saat musim kemarau (sebelum tanah basah) dan saat musim
penghujan (saat tanah telah basah) sehingga dapat diketahui kondisi tanah pada 2
kondisi kadar air yang berbeda. Hasil analisis sample tanah di 2 lokasi disajikan pada
Tabel 3.
Prosiding Ekspose BP2TPDAS-IBB Surakarta Kebumen, 3 Agustus 2004
80
Tabel 3. Hasil analisis sifat-sifat fisik tanah daerah berpotensi longsor
No. Kedalaman KA PI BJ r t c α
(m) (%) (%) g/cm3 (kN/m2) (kN/m2) (kN/m2) (û)
Kelas Tekstur
1. PURWOHARJO-KULONPROGO
a. Sebelum Musim Hujan 2 15 12,34 17,48 2,63 0,26 0,39 0,31 20,91 SC 2 75 23,73 26,17 2,64 0,26 0,39 0,31 20,91 SC 3 15 12,99 17,14 2,48 0,26 0,33 0,24 20,99 CL 4 15 13,89 23,12 2,51 0,26 0,40 0,33 17,18 CL 4 75 16,67 12,59 2,53 0,26 0,40 0,33 17,18 ML 5 15 25,44 22,99 2,59 0,26 0,33 0,24 20,72 MH 6 15 15,00 23,52 2,56 0,26 0,27 0,16 25,71 MH 7 15 16,42 15,25 2,52 0,26 0,31 0,26 12,21 SC
Rata2 17,06 19,78 2,56 0,26 0,35 0,27 19,48 b. Musim Hujan
1 15 47,19 10,44 2,44 0,26 0,32 0,20 24,26 ML 2 15 40,93 4,84 2,52 0,26 0,30 0,26 6,38 ML 3 15 44,85 9,72 2,72 0,26 0,27 0,24 6,22 ML
Rata2 44,32 8,33 2,56 0,26 0,30 0,23 12,29
2. KEMANUKAN-PURWOREJO a. Sebelum Musim Hujan
1 15 36,96 24,65 2,27 0,26 0,33 0,17 31,42 MH 1 100 34,12 19,11 2,58 0,26 0,33 0,17 31,42 MH 2 15 31,80 26,63 2,20 0,26 0,32 0,15 33,21 MH 2 100 34,42 22,93 2,33 0,26 0,32 0,15 33,21 CL 3 15 17,33 21,05 2,36 0,26 0,34 0,18 31,73 SC 3 100 25,93 16,55 2,40 0,26 0,34 0,18 33,73 MH 4 100 11,97 20,04 2,24 0,26 0,30 0,17 25,48 SC 5 100 16,94 23,10 2,34 0,26 0,36 0,21 28,61 MH 6 15 12,23 6,63 2,34 0,26 0,33 0,20 31,42 SM 6 100 12,01 4,95 2,26 0,26 0,33 0,20 31,42 SM
Rata2 23,37 18,56 2,33 0,26 0,33 0,18 31,17 b. Musim Hujan
1 15 43,46 16,85 2,53 0,26 0,34 0,23 23,48 ML 2 15 39,36 7,77 2,50 0,26 0,29 0,17 25,55 ML 3 15 40,25 6,49 2,53 0,26 0,26 0,19 15,25 ML 4 15 62,54 27,15 2,73 0,26 0,25 0,18 14,67 MH 5 15 34,39 6,00 2,50 0,26 0,29 0,20 19,88 ML
Rata2 44,00 12,85 2,56 0,26 0,29 0,19 19,77 Sumber : data primer Keterangan: MH = Lanau/lempung plastisitas tinggi CL = Lempung plastisitas rendah ML = Lanau/lempung plastisitas rendah SM = Pasir berlanau SC = Pasir berlempung/berlanau
Prosiding Ekspose BP2TPDAS-IBB Surakarta Kebumen, 3 Agustus 2004
81
Ujicoba teknik pengendalian tanah berpotensi longsor yang disepakati baik di
desa Kemanukan maupun Purwoharjo yang dilakukan sebagai tindak lanjut dari hasil
pertemuan dan diskusi, yaitu: a) Ujicoba teknik pengendalian kaki tebing/lereng dengan bronjong kawat yang
diisi batu kali, masing-masing lokasi dicobakan bangunan tersebut untuk
panjang 6 m dan 7 m, lebar 1 m dan tinggi 2.5 m dan 2.0 m (gambar 6).
b) Ujicoba perbaikan sistem drainase permukaan pada lereng yang telah
mengalami gejala adanya retakan tanah dengan pembuatan SPA yang
diperkuat dengan drop strukture dari batu (gambar 7).
c) Ujicoba perbaikan sistem drainase dalam pada tanah diatas bidang lincir
dengan lereng terjal melalui pembuatan saluran drainase horizontal yang
terbuat dari pipa peralon Ø 3/4" (gambar 8).
d)
Gambar 6. Pengendalian tebing dengan bronjong kawat
Gambar 7. Perbaikan SPA dengan drop
Gambar 8. Perbaikan sistem drainase dalam tanah dengan sulingan
Prosiding Ekspose BP2TPDAS-IBB Surakarta Kebumen, 3 Agustus 2004
82
IV. KESIMPULAN
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa :
1. Metode penajaman dengan menggunakan filter berukuran matrik 7 X 7
menghasilkan citra yang paling kontras untuk membedakan kenampakan
topografi dan sungai serta jalan.
2. Survei lapangan dengan bantuan GPS (Global Positioning System) sangat
membantu di dalam menentukan posisi dan koordinat suatu tempat.
3. Sosialisasi dan penggalian informasi dari penduduk yang tinggal di daerah
bencana tanah longsor dan daerah sekitarnya dilakukan melalui pertemuan dan
diskusi dengan penduduk dengan materi berupa langkah-langkah penanganan
awal dan jenis uji-coba yang dapat diterapkan, a.l.: 1) pengendalian tebing curam
bronjong kawat yang diisi batu (gabion) dengan panjang 6-7 m, lebar 1 m dan
tinggi 2.0-2.5 m., 2) perbaikan saluran air permukaan (SPA) dengan lebar 0.5-1.0
m yang dilengkapi dengan drop structure, dan 3) pembuatan sulingan dari pipa
peralon Ø 3/4" panjang 0.5 - 2.0 m yang disuntikkan secara horizontal untuk
pengatusan air tanah bawah permukaan.
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat DTL. 1981. Gerakan Tanah di Indonesia. Ditjen Pertambangan Umum, Dep. Pertambangan dan Energi, Bandung.
Elsie M.J. and R.A.Zuidan. 1998. Remote Sensing, Synergism and Geographical
Information System for Desertification Analysis : an example from northwest Patagonia, Argentina,ITC Journal 1998:134.
Hirmawan, F. 1994. Pemahaman Sistem Dinamis Kestabilan Lereng untuk Mitigasi
Kebencanaan Longsor. Makalah Penunjang No. 17 Simposium Nasional Mitigasi Bencana Alam. Kerjasama F-Geografi UGM-Bakornas Penanggulangan Bencana, Yogyakarta.
Jensen, R. 1986. Introductory Digital Image Processing, A Remote Sensing Perspective.
Prentice-Hall, Englewood Cliffs, New Jersey 07632.
Prosiding Ekspose BP2TPDAS-IBB Surakarta Kebumen, 3 Agustus 2004
83
Karnawati, D. 2000. Ditemukan 13 Lokasi Baru Rawan Longsor di Purworejo. Kompas,
20-11-2000). Koesmaryono, Y., R. Boer, H. Pawitan, Yusmin dan I. Las. 1999. Pendekatan IPTEK
dalam Mengantisipasi Penyimpangan Iklim. Prosiding Diskusi Panel Strategi Antisipasi Menghadapi Gejala Alam La-Nina dan El-Nino untuk Pembangunan Pertanian, PERHIMPI-FMIPA IPB-PPTA-ICSA, Bogor.
Lillesand,T.M. dan Kiefer. 1986. Remote Sensing and Image Interpretation. John
Wilew and Son Soemarsono, 1999. Kebijakan Departemen Kehutanan dan Perkebunan di Bidang
Pengendalian Kebakaran Hutan dan Kebun. Prosiding Diskusi Panel Strategi Antisipasi Menghadapi Gejala Alam La-Nina dan El-Nino untuk Pembangunan Pertanian, PERHIMPI-FMIPA IPB-PPTA-ICSA, Bogor.
Sutikno. 2000. Kondisi Tanah Longsor di Indonesia. Kompas, 11-12-2000.
Tjojudo, S. 1994. Teknik Penentuan Bidang Longsoran. Makalah Penunjang No. 13 Simposium Nasional Mitigasi Bencana Alam. Kerjasama F-Geografi UGM-Bakornas Penanggulangan Bencana, Yogyakarta.
Wahyono. 1994. Zonasi Kerentanan Longsoran Daerah Cianjur Selatan Jabar Lewat
Citra Satelit SPOT. Makalah Penunjang No. 11 Simposium Nasional Mitigasi Bencana Alam. Kerjasama F-Geografi UGM-Bakornas Penanggulangan Bencana, Yogyakarta.