IDENTIFIKASI SINGLE NUCLEOTIDE POLYMORPHISM KODON 1042 GEN …digilib.unila.ac.id/55466/3/SKRIPSI...
Transcript of IDENTIFIKASI SINGLE NUCLEOTIDE POLYMORPHISM KODON 1042 GEN …digilib.unila.ac.id/55466/3/SKRIPSI...
IDENTIFIKASI SINGLE NUCLEOTIDE POLYMORPHISM KODON 1042
GEN Pfmdr1 PADA PENDERITA Malaria falciparum DI KABUPATEN
PESAWARAN
(Skripsi)
Oleh
FITRIA PUTRIDEWI ABIDIN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
IDENTIFIKASI SINGLE NUCLEOTIDE POLYMORPHISM KODON 1042
GEN Pfmdr1 PADA PENDERITA Malaria falciparum DI KABUPATEN
PESAWARAN
Oleh
FITRIA PUTRIDEWI
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar
SARJANA KEDOKTERAN
Pada
Program Studi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
Judul Skripsi : IDENTIFIKASI SINGLE NUCLEOTIDE
POLYMORPHISM KODON 1042 GEN Pfmdr1
PADA PENDERITA Malaria falciparum DI
KABUPATEN PESAWARAN
Nama Mahasiswa : Fitria Putridewi Abidin
No. Pokok Mahasiswa : 1518011083
Program Studi : Pendidikan Dokter
Fakultas : Kedokteran
MENYETUJUI
1. Komisi Pembimbing
Dr.dr. Jhons Fatriyadi Suwandi, S.Ked.,M.Kes
NIP 197608312003121003
dr. Ratna Dewi Puspita Sari, S.Ked., Sp.OG
NIP 198004152014042001
MENGETAHUI
1. Dekan Fakultas Kedokteran
Dr. dr. Muhartono, S.Ked., M.Kes., Sp.PA.
NIP 197012082001121001
MENGESAHKAN
1. Tim Penguji
Ketua : Dr.dr. Jhons Fatriyadi Suwandi, S.Ked.,M.Kes.
Sekretaris : dr. Ratna Dewi Puspita Sari, S.Ked., Sp.OG
Penguji : dr. Hanna Mutiara, S.Ked., M.Kes.
2. Dekan Fakultas Kedokteran
Dr. dr. Muhartono, S.Ked., M.Kes., Sp.PA.
NIP 197012082001121001
Tanggal Lulus Ujian Skripsi:
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan dengan sebenarnya, bahwa:
1. Skripsi dengan judul “IDENTIFIKASI SINGLE NUCLEOTIDE
POLYMORPHISM KODON 1042 GEN Pfmdr1 PADA PENDERITA
Malaria falciparum DI KABUPATEN PESAWARAN” adalah hasil karya
sendiri dan tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan atas karya penulis
lain dengan cara tidak sesuai tata etika ilmiah yang berlaku dalam masyarakat
akademik atau yang disebut plagiarism.
2. Hak intelektual atas karya ilmiah ini diserahkan sepenuhnya kepada
Universitas Lampung.
Atas pernyataan ini, apabila di kemudian hari ternyata ditemukan adanya
ketidakbenaran, saya bersedia menanggung akibat dan sanksi yang diberikan
kepada saya.
Bandar Lampung, Januari 2019
Pembuat pernyataan
Fitria Putridewi Abidin
NPM 1518011083
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tanjung Karang, Bandar Lampung pada 16 Februari 1996,
sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara, dari Bapak Dr. Ir. Zainal Abidin, M.E.S.
dan Ibu Dr. Dra. Dewi Lengkana, M.Sc.
Penulis menyelesaikan pendidikan di Taman Kanak-kanak (TK) Al-Kautsar Bandar
Lampung pada tahun 2002, Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SD Al-Kautsar,
Bandar Lampung pada tahun 2008, Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP
Negeri 2 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2011, dan Sekolah Menengah
Atas (SMA) di SMA Negeri 2 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2014.
Pada tahun 2015, penulis terdaftar sebagai mahasiswa pada Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung (FK Unila). Pada masa perkuliahan penulis mengikuti
beberapa lembaga kemahasiswaan yaitu Forum Studi Islam Ibnu Sina (FSIIS)
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM)
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung, dan Lampung University Medical
Research (LUNAR). Pada tahun 2017-2018, penulis terdaftar sebagai asisten dosen
anatomi.
SANWACANA
Puji dan syukur Penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan
hidayah-Nya skripsi ini dapat diselesaikan. Sholawat serta salam semoga selalu
tercurahkan kepada Nabi Muhammad S.A.W.
Skripsi dengan judul “Identifikasi Single Nucleotide Polyorphism Kodon 1042 Gen
Pfmdr1 Pada Penderita Malaria falciparum di Kabupaten Pesawaran” adalah
salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Kedokteran di Universitas
Lampung.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Allah SWT yang maha pemurah lagi maha penyayang, yang selalu
memberikan limpahan rezeki tak terhingga kepada penulis.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, M.P., selaku Rektor Universitas
Lampung.
3. Dr. dr. Muhartono, M.Kes, Sp.PA., selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung.
4. Dr. dr. Jhons Fatriyadi Suwandi, S.Ked., M.Kes., selaku Pembimbing Utama
yang selalu bersedia menyempatkan waktu untuk membimbing, mengarahkan,
memberi masukan dan nasihat selama proses penyelesaian penelitian serta ilmu
yang begitu bermanfaat selama penelitian skripsi ini.
5. dr. Ratna Dewi Puspita Sari, S.Ked., Sp.OG, selaku Pembimbing Kedua atas
kesabaran dan kesediaan memberikan bimbingan, ilmu, saran, dan kritik dalam
proses penyelesaian skripsi ini.
6. dr. Hanna Mutiara, S.Ked., M.Kes., selaku Penguji Utama untuk masukan dan
saran-saran yang telah diberikan pada pada proses penyelesaian skripsi ini.
7. dr. Mukhlis Imanto, S.Ked., M.Kes., Sp.THT-KL, selaku pembimbing
akademik atas motivasi, perhatian, saran dan masukan selama ini.
8. Terima kasih kepada para laboran Laboratorium Biomolekular FK Unila, Ibu
Nuriyah dan Mbak Yani, atas seluruh bantuan serta bimbingan dalam
pelaksanaan penelitian ini. Terima kasih atas ilmu dan kesabaran yang selalu
diberikan kepada kami selama ini.
9. Seluruh staf dosen dan civitas akademika Fakultas Kedokteran Universitas
Lampung atas ilmu dan waktu yang telah diberikan selama perkuliahan.
10. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Ibu (Dr. Dra. Dewi Lengkana,
M.Sc), Ayah (Dr. Ir .Zainal Abidin, M.E.S) dan Kakak (Mufti Kandaga
Abidin dan Muhammad Fajarrizky Abidin) yang selama ini telah memberikan
segala kasih sayang, perhatian, dukungan, motivasi dan nasihat serta setiap
doa selama ini. Terima kasih telah menjadi “support system” terbaik bagi
penulis dalam suasana apapun.
11. Seluruh keluarga besar yang telah membantu dalam berbagai hal, doa,
dukungan dan motivasi.
12. Terima kasih kepada teman seperjuangan, Puji Indah Permatasari dan Syfa
Dinia Putri atas perjalanan dan pengalaman penelitan selama ini. Terima kasih
telah menjadi tim yang kompak dan saling membantu selama proses
penelitian.
13. Terima kasih kepada sahabat-sahabat yang selalu memberi dukungan: Agnes,
Dinda, Alinta, Winda, Chika, dan Mutia
14. Keluarga Besar FK Unila 2015 (ENDOM15IUM), teman sejawat yang telah
sama-sama berjuang sedari awal. Semoga kebersamaan ini tetap terjalin.
Penulis menyadari skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan dan jauh dari
kesempurnaan. Namun, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat dan
pengetahuan baru kepada setiap orang yang membacanya. Semoga segala
perhatian, kebaikan dan keikhlasan yang diberikan selama ini mendapat balasan
dari Allah SWT. Aamiin.
Bandar Lampung, Januari 2019
Penulis,
Fitria Putridewi Abidin
Surely, with hardship comes ease
Surely, with hardship comes ease
So when you have finished (with your immediate task), still strive hard, (then toil)
And to your Lord turn (all) your attention
- Surah Inshirah, Chapter 94, Verses 5-8
In The Name of Allah,
The Beneficent,
The Merciful
This script is just a tiny fraction of His knowledge
"Seek knowledge and wisdom, or whatever the vessel from which it flows, you will never be the loser."
ABSTRACT
IDENTIFICATION OF CODON 1042 Pfmdr1 GENE SINGLE
NUCLEOTIDE POLYMORPHISM ON MALARIA PATIENTS IN
PESAWARAN DISTRICT
By
Fitria Putridewi Abidin
Background: Plasmodium falciparum caused malaria falciparum which is resistant
to chloroquine antimalarial drugs due to genetic mutations. The presence of Single
Nucleotide Polymorphism codon 1042 of Plasmodium falciparum Multidrug
Resistance 1 (Pfmdr1) gene can be a genetic marker of drug resistance. Polymerase
Chain Reaction (PCR) and sequencing are used to detect gene polymorphism
spesifically and accurately.
Method:. Research used a survey research design with descriptive method. There
are 22 Archived Biological Materials (ABM) used as sample. The examination was
carried out using the PCR method, followed by sequencing to detect polymorphism.
Result: 12 from 22 samples had been successfully Nested PCR and sequenced. The
characteristic of codon 1042 Pfmdr1 gene are proved wild-type in all sample.
Conclusion: There are no Single Nucleotide Polymorphism codon 1042
Plasmodium falciparum Multidrug Resistance 1 (Pfmdr1).
Keyword: Codon, Plasmodium falciparum Multidrug Resistance 1 (Pfmdr1),
Polymerase Chain Reaction (PCR).
ABSTRAK
IDENTIFIKASI SINGLE NUCLEOTIDE POLYMORPHISM KODON 1042
GEN Pfmdr1 PADA PENDERITA Malaria falciparum DI KABUPATEN
PESAWARAN
Oleh
Fitria Putridewi Abidin
Latar Belakang: Plasmodium falciparum merupakan penyebab penyakit malaria
falciparum yang resisten terhadap obat antimalaria klorokuin disebabkan adanya
mutasi genetik. Adanya Single Nucleotide Polymorphism kodon 1042 gen
Plasmodium falciparum Multidrug Resistance 1 (Pfmdr1) dapat menjadi penanda
genetik resistensi obat. Teknologi Polymerase Chain Reaction (PCR) dan
sekuensing digunakan untuk mendeteksi polimorfisme gen secara spesifik dan
akurat.
Metode: Jenis penelitian ini menggunakan rancangan penelitian survey dan
bersifat deskriptif. Sampel penelitian diperoleh dari Bahan Biologi Tersimpan
(BBT) sebanyak 22 sampel. Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan metode
PCR yang dilanjutkan dengan sekuensing untuk mendeteksi polimorfisme.
Hasil: Sebanyak 12 dari 22 sampel telah berhasil dilakukan Nested PCR dan
sekuensing dengan hasil kodon 1042 gen Pfmdr1 pada sampel bersifat wild-type.
Kesimpulan: Tidak terdapat Single Nucleotide Polymorphism kodon 1042 gen
Plasmodium falciparum Multidrug Resistance 1 (Pfmdr1)
Kata Kunci: Kodon, Plasmodium falciparum Multidrug Resistance 1 (Pfmdr1),
Polymerase Chain Reaction (PCR).
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI……...……………………………………………………………... i
DAFTAR GAMBAR………………..………………………………………..…iii
DAFTAR TABEL….………………...…………………………………….….....v
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………….……vi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 4
1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 5
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................... 5
BAB I TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Malaria Secara Umum .............................................................................. 6
2.2 Pengobatan Malaria ................................................................................ 12
2.3 Klorokuin ................................................................................................ 17
2.4 Genetika Secara Umum .......................................................................... 18
2.5 Mutasi Genetik Secara Umum ............................................................... 26
2.6 Resistensi Plasmodium falciparum terhadap Klorokuin ........................ 29
2.7 Polymerase Chain Reaction (PCR) ........................................................ 40
2.8 Kerangka Teori ....................................................................................... 44
2.9 Kerangka Konsep ................................................................................... 45
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian ....................................................................................... 46
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................ 46
3.3 Subjek Penelitian dan Sampel ................................................................ 46
ii
3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi .................................................................. 47
3.5 Definisi Operasional ............................................................................... 47
3.6 Alat dan Bahan ....................................................................................... 48
3.7 Prosedur Penelitian ................................................................................. 51
3.8 Alur Penelitian ........................................................................................ 57
3.9 Analisis Data .......................................................................................... 57
3.10 Etika Penelitian ....................................................................................... 58
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian ....................................................................................... 59
4.2 Pembahasan Hasil Penelitian .................................................................. 64
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan ............................................................................................. 71
5.2 Saran ....................................................................................................... 71
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 85
LAMPIRAN
iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Siklus Hidup Plasmodium. .................................................................................. 7
2. Plasmodium falciparum Stadium Sporozoit Perbesaran 1000x (Anak Panah) ... 8
3. Trofozoid Plasmodium falciparum Perbesaran 1000x (Anak Panah) ................ 9
4. Skizon Plasmodium falciparum Perbesaran 1125x (Anak Panah) ................... 10
5. Plasmodium falciparum stadium Gemetosit Perbesaran 1125x........................ 11
6. Struktur Kimia Primakuin ................................................................................. 14
7. Struktur Kimia Artemisinin............................................................................... 15
8. Struktur Kimia Klorokuin. ................................................................................ 17
9. Struktur DNA dan Susunan Molekul Penyusun DNA. ..................................... 19
10. Pasangan Basa Nitrogen. ................................................................................. 20
11. Proses Replikasi DNA..................................................................................... 22
12. Proses Transkripsi dan Translasi. .................................................................... 24
13. Tabel Triplet Kodon dan Asam Amino ........................................................... 25
14. Jenis-Jenis Mutasi Titik. (a) Mutasi Substitusi: Mutasi Diam, Salah Arti; dan
Tanpa Arti, (b) Mutasi Insersi-Delesi. .................................................................. 28
15. Model Alur Transport Obat Antimalaria dan Lokasi Target Obat. ................. 32
16. Struktur Molekul P-Glycoprotein. .................................................................. 36
17. Struktur Tiga Dimensi Gen Pfmdr1 ................................................................ 38
iv
18. Kerangka Teori................................................................................................ 44
19. Kerangka Konsep ............................................................................................ 45
20. Diagram Alur Penelitian ................................................................................. 57
21. Hasil Elektoforesis PCR Nested 1 ................................................................... 59
22. Hasil Elektroforesis PCR Nested 1 (Lanjutan)................................................ 60
23. Hasil Elektroforesis PCR Nested 1 (Lanjutan)................................................ 60
24. Hasil Elektroforesis PCR Nested 2 ................................................................. 61
25. Hasil Elektroforesis PCR Nested 2 (Lanjutan)................................................ 61
26. Hasil Analisis Basa. ........................................................................................ 63
29. Hasil Translasi Basa Sampel. .......................................................................... 64
v
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Definisi Operasional Gen Pfmdr1 ..................................................................... 48
2. Daftar Primer Berdasarkan Literatur ................................................................. 50
3. Kondisi PCR pada saat Amplifikasi (Setelah Optimasi)................................... 54
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Persetujuan Etik
Lampiran 2 Surat Permintaan Bahan biologi Tersimpan (BBT)
Lampiran 3 Surat Izin Permohonan Penggunaan Laboratorium Biologi
Molekuler Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
Lampiran 4 Surat Permohonan Peminjaman Alat Laboratorium Biologi
Molekuler Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
Lampiran 5 Hasil BLAST Primer Pfmdr1
Lampiran 6 Dokumentasi Penelitian
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh protozoa
dari genus Plasmodium. Terdapat lima pesies dari Plasmodium yang dapat
menyebabkan penyakit malaria yaitu Plasmodium vivax, Plasmodium
malariae, Plasmodium knowlesi, Plasmodium ovale dan Plasmodium
falciparum. Dari semua jenis plasmodium penyebab malaria di Indonesia,
Plasmodium falciparum merupakan penyebab infeksi malaria dengan gejala
klinis yang paling berat bahkan dapat menyebabkan kematian (Sumarmo et
al, 2018).
Malaria adalah salah satu penyakit infeksi yang menjadi perhatian khusus
di seluruh dunia. Penyakit ini masih menjadi masalah terutama pada negara-
negara berkembang. Menurut WHO terdapat 300-500 juta kasus malaria
setiap tahun dengan lebih dari 1 juta kematian di seluruh dunia. Sebagian
besar kasus terjadi pada anak dan balita dengan lebih dari 3000 kematian
setiap harinya (Liwan, 2015).
2
Dampak langsung dari penyakit malaria adalah disabilitas. Akibat langsung
dari disabilitas ini adalah hilangnya hari kerja yang berdampak pada
hilangnya hari produktif dan kerugian ekonomi. Malaria dapat
menimbulkan kerugian sebesar Rp 390.620.016 dari hilangnya satu hari
kerja akibat penyakit (Andiarsa et al, 2015).
Morbiditas malaria dalam suatu wilayah ditentukan dengan Annual Paracite
Incidence (API). Secara umum, morbiditas malaria di Indonesia mengalami
penurunan dari tahun 2009-2016 yaitu dari angka 1,8 per 1000 penduduk
beresiko tahun 2009 menjadi 0,84 per 1000 penduduk tahun 2016. Angka
API di Provinsi Lampung adalah rendah yaitu sebesar 0,40. Walaupun
angka API nasional dan Provinsi Lampung terbilang rendah, angka API di
kabupaten Pesawaran masih tinggi, yaitu sebesar 6,36 (Depkes 2015;
Kemenkes RI 2016).
Pada tahun 1990, kasus resistensi Plasmodium falciparum terhadap obat
antimalaria seperti klorokuin, sulfadoksin-pirimetamin muncul dan
merebak di seluruh dunia. Hal ini memperparah morbiditas dan mortalitas
terkait malaria di negara-negara endemis malaria. Untuk menanggulangi hal
ini, regimen terapi malaria menggunakan artemisinin dikenalkan oleh WHO
di regional Asia Tenggara pada pertengahan tahun 1990. Kombinasi terapi
ini ditambah dengan penggunaan kelambu yang diberikan insektisida telah
berhasil menurunkan angka mortalitas dan morbiditas malaria global
(Ashley et al, 2014).
3
Terjadinya resistensi pada Plasmodium falciparum merupakan penghambat
dalam eradikasi malaria. Salah satu faktor penyebab terjadinya resistensi
pada Plasmodium falciparum adalah adanya mutasi gen. Penelitan
molekuler telah mengidentifikasi adanya beberapa gen pada Plasmodium
falciparum yang dapat mengalami mutasi dan mengakibatkan terjadinya
resistensi klorokuin pada parasit mutan. Salah satu di antaranya adalah gen
Plasmodium falciparum Multi-Drug Resistance protein 1 (Pfmdr1) (Ruetz,
1996). Mutasi pada gen ini dapat terjadi pada beberapa posisi kodon yaitu
kodon 86 (asparagin dengan kodon AAU atau AAC menjadi tirosin dengan
kodon UAU atau UAC), kodon 1034 (serin dengan kodon UCU, UCC,
UCA, atau UCG menjadi sistein dengan kodon UGU atau UGC), kodon
1042 (asparagin dengan kodon AAU atau AAC menjadi asam aspartat
dengan kodon GAU, GAC, GAA atau GAG ), dan kodon 1246 (asam
aspartat dengan kodon GAU, GAC, GAA atau GAG menjadi tirosin dengan
kodon UAU atau UAC) (Mehlotra et al, 2008).
Saat ini tatalaksana farmakologi bagi penderita Malaria falciparum di
Indonesia adalah terapi kombinasi derivat Artemisinin dikenal dengan
Artemisinine-Based Combination Therapy (ACT) untuk menanggulangi
Plasmodium falciparum yang sudah resisten dengan klorokuin. Terapi
kombinasi ini mulai digunakan di Indonesia mulai tahun 2004 (Kemenkes
RI 2017).
4
Sejak dimulainya terapi kombinasi derivat Artemisinin pada tahun 2004
hingga tahun 2018, penggunaan obat klorokuin dihentikan. Adanya jeda
penggunaan obat klorokuin selama 14 tahun ini memungkinkan adanya
spesies Plasmodium falciparum wild-type yang rentan terhadap klorokuin
untuk muncul kembali setelah paparan terhadap klorokuin menghilang.
Adanya spesies Plasmodium falciparum yang rentan terhadap klorokuin
memungkinkan penggunaan kembali obat klorokuin sebagai tatalaksana
farmakologi Malaria falciparum.
Berdasarkan penjelasan tersebut diperlukan penelitian terkait identifikasi
adanya single nucleotide polymorphism kodon 1042 gen Pfmdr1 pada
penderita Malaria falciparum yang terdapat di daerah endemis yaitu pada
Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung untuk mengetahui adanya
kemungkinan munculnya kembali Plasmodium falciparum wild-type yang
rentan terhadap klorokuin.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah “Apakah terdapat single
nucleotide polymorphism kodon 1042 gen Pfmdr1 pada penderita Malaria
falciparum di Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung?”.
5
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi adanya single
nucleotide polymorphism kodon 1042 gen Pfmdr1 pada penderita Malaria
falciparum di Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung.
1.4 Manfaat Penelitian
1) Manfaat bagi Peneliti
Penelitian ini dapat meningkatkan keterampilan peneliti dalam
melakukan penelitian khususnya dalam bidang parasitologi molekuler
Plasmodium falciparum dan memberikan pengalaman yang berguna
bagi penulis dalam menerapkan ilmu-ilmu yang telah penulis dapatkan
di bangku perkuliahan. Penelitian ini juga dapat dijadikan referensi
pustaka mengenai polimorfisme kodon 1042 gen Pfmdr1 Malaria
falciparum bagi penelitian selanjutnya.
2) Manfaat bagi Institusi
Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan tambahan informasi pada
bidang keilmuan parasitologi khususnya mengenai polimorfisme kodon
1042 gen Pfmdr1 pada Plasmodium falciparum.
3) Manfaat bagi Pemerintah
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai baseline data kodon 1042
gen Pfmdr1 pada Plasmodium falciparum yang terdapat di Pesawaran,
Lampung.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Malaria
Malaria adalah penyakit menular yang disebabkan oleh protozoa dari genus
Plasmodium. Terdapat 5 spesies Plasmodium yang dapat menyebabkan
penyakit malaria pada manusia yaitu Plasmodium falciparum, Plasmodium
vivax, Plasmodium malariae, Plasmodium ovale, dan Plasmodium
knowlesi. Dari semua spesies plasmodium yang dapat menyebabkan
penyakit malaria, Plasmodium falciparum dapat menyebabkan gejala
malaria yang paling berat bahkan fatal. Spesies Plasmodium falciparum
menyebabkan malaria tropika, Plasmodium vivax menyebabkan malaria
tertiana, Plasmodium malariae menyebabkan malaria kuartana, dan
Plasmodium ovale menyebabkan malaria ovale (Sumarmo et al, 2012).
Taksonomi dari spesies Plasmodium falciparum adalah sebagai berikut.
Plasmodium falciparum termasuk ke dalam filum apicomplexa, kelas
Sporozoa, sub kelas Cocidiidae, Ordo Eucocidiidae, sub ordo
Haemosporiidiidae, Famili Plasmodiidae, dan Genus Plasmodium (Antinori
et al. 2012)
7
Siklus hidup dari kelima spesies Plasmodium yang menyebabkan malaria
pada manusia umumnya sama. Plasmodium membutuhkan dua hospes yaitu
nyamuk Anopheles betina sebagai hospes invertebrata dan primata sebagai
hospes vertebrata. Pada Plasmodium falciparum, hospes vertebrata adalah
manusia. Daur hidup Plasmodium terdiri atas fase seksual eksogen
(sporogoni) dalam badan nyamuk Anopheles dan fase aseksual (skizogoni)
dalam badan hospes perantara (manusia) (Sutanto et al, 2012; Galinski,
2013). Skema siklus hidup Plasmodium falciparum secara umum dijelaskan
pada gambar satu.
(CDC, 2018)
Gambar 1. Siklus Hidup Plasmodium.
Fase aseksual mempunyai dua daur yaitu 1) daur eritrosit dalam darah
(skizogoni eritrosit) dan 2) daur dalam sel parenkim hari (skizogoni
eksoeritrosit), atau stadium jaringan dengan a) skizogoni praeritrosit
8
(skizogoni eksoeritrosit primer) setelah sporozoit masuk ke dalam sel hati
dan b) skizogoni eritrosit sekunder yang berlangsung dalam hati. Pada
penelitian terdapat sporozoit yang secara langsung melanjutkan
perkembangan ke fase selanjutnya dan ada sporozoit yang mengalami
dormansi selama periode tertentu yang disebut dengan hipnozoid sampai
menjadi aktif kembali dan mengalami skizogoni (Sumarmo et al, 2012).
Bentuk sporozoit secara mikroskopis dapat dilihat pada gambar 2.
Weir, 2013
Gambar 2. Plasmodium falciparum Stadium Sporozoit Perbesaran 1000x
(Anak Panah).
Bila nyamuk Anopheles betina yang mengandung parasit malaria menusuk
hospes, sporozoit yang berada di dalam kelenjar air liur akan keluar dan
memasuki tubuh hospes melalui proboscis yang ditusukkan. Sporozoit akan
masuk ke dalam sirkulasi darah. Parasit yang masuk akan mengikuti
sirkulasi tubuh dan terbawa ke dalam kapiler sinusoid di hepar. Pada tahap
ini, beberapa sporozoit akan melakukan penetrasi ke dalam sel fagosit (sel
Kupffer) (Galinski et al, 2013). Mekanisme invasi parasit pada sel Kupffer
9
melibatkan protein tertentu yang ada pada permukaan sel parait dan sel
Kupffer (Fujioka & Aikawa, 2002). Selanjutnya parasit akan menginvasi sel
hati dan memulai fase ekstraeritositer. Proses ini disebut skizogoni
praeritrosit. Sporozoit yang telah menginvasi sel hepar akan berdifferensiasi
menjadi trofozoid ( Sumarmo et al, 2012). Gambaran mikroskopis trofozoid
dapat dilihat pada gambar 3.
(CDC, 2018)
Gambar 3. Trofozoid Plasmodium falciparum Perbesaran 1000x (Anak Panah).
Trofozoid akan tumbuh melanjutkan perkembangannya menjadi skizon. Inti
skizon akan melakukan pembelahan berulang-ulang. Skizon yang berbentuk
bulat atau lonjong, akan membesar sampai berukuran 45 mikron.
Pembelahan inti disertai pembelahan sitoplasma yang mengelilingi setiap
inti terus berlangsung sehingga pada akhir fase ini, skizon telah
berdifferensiasi menjadi beribu-ribu merozoid invasif berinti satu dengan
10
ukuran 1,0 sampai 1,8 mikron (Galinski et al, 2013; Sumarmo et al, 2012).
Bentuk skizon secara mikroskopis dapat dilihat pada gambar 4.
(CDC, 2018)
Gambar 4. Skizon Plasmodium falciparum Perbesaran 1125x (Anak Panah).
Pada akhir fase praeritrosit skizon pecah menyebabkan terjadinya
pengeluaran merozoid. Merozoid beredar di sirkulasi darah dan akan
menginvasi eritrosit, kemudian berkembang menjadi tropozoid di dalam
eritrosit. Trofozoid akan melakukan remodelling pada eritrosit untuk
menyediakan lingkungan yang sesuai bagi perkembangan parasit. Inti
trofozoid membelah menjadi sejumlah inti yang lebih kecil, kemudian
dilanjutkan dengan pembelahan sitoplasma untuk membentuk skizon.
Skizon akan menjadi matang dan akhirnya pecah. Skizon yang pecah
selanjutnya akan melepaskan merozoid ke dalam sirkulasi darah. Merozoid
kemudian akan menginvasi eritrosit dan selanjutnya siklus akan dimulai
kembali. Invasi merozoid pada sel eritrosit berhubungan dengan reseptor
11
yang ada pada permukaan sel eritrosit dan ligan yang terdapat pada
permukaan merozoid (Fujioka & Aikawa, 2002; Galinski et al, 2013;
Sumarmo et al, 2012)
Beberapa merozoid telah terprogram untuk bertransformasi menjadi bentuk
seksual. Proses ini disebut gametogoni (gametositogenesis). Terdapat dua
bentuk seksual dari merozoid, yaitu makrogametosit dan mikrogametosit.
Kedua gamet ini selanjutnya akan diihisap oleh nyamuk Anopheles yang
mengigit manusia terinfeksi malaria (Galinski et al, 2013; Sumarmo et al,
2012). Bentuk gamet dari Plasmodium falciparum dapat dilihat pada
gambar 5.
(CDC, 2018).
Gambar 5. Plasmodium falciparum stadium Gemetosit Perbesaran 1125x
(Anak Panah).
12
Dalam tubuh nyamuk parasit akan berkembang secara seksual (sporogoni).
Perkembangan ini membutuhkan waktu antara 8-12 hari. Makrogametosit
dan mikrogametosit yang dihisap oleh nyamuk Anopheles selanjutnya akan
berubah menjadi makrogamet dan mikrogamet di dalam lambung nyamuk.
Kemudian, keduanya akan membentuk ookinet, yang selanjutnya akan
bergerak menembus dinding lambung dan berubah menjadi ookista yang
mengandung banyak sporozoit. Kemudian sporozoit akan bergerak menuju
kelenjar liur air nyamuk dan siap dilepaskan kembali ke dalam tubuh
manusia (Sumarmo et al, 2018).
Pasien malaria pada umumnya mengeluhkan demam akut yang bersifat
paroksisimal, didahului dengan stadium dingin (mengigil), diikuti dengan
demam tinggi kemudian berkeringat banyak. Selain gejala klasik tersebut,
pasien biasanya mengeluh adanya nyeri kepala, mual, muntah, diare, pegal-
pegal, dan nyeri otot. Malaria yang tidak ditangani segera dapat
menyebabkan anemia, dan malaria berat yang dapat menyebabkan kematian
(Kemenkes RI, 2017).
2.2 Pengobatan Malaria
Terdapat beberapa obat-obatan yang dapat digunakan sebagai terapi
farmakologis pada penyakit malaria. Obat-obatan ini dapat diklasifikasikan
sesuai dengan efek obat tersebut pada siklus hidup malaria. Beberapa
klasifikasi dari obat malaria adalah skizontosida jaringan dengan target
berupa parasit dorman atau yang sedang berkembang pada jaringan hepar,
13
skizontosida darah dengan target parasit eritrositik, dan gametosida dengan
target parasit pada stadium seksual yang sekaligus akan mencegah transmisi
parasit ke dalam nyamuk Anopheles. Beberapa jenis obat-obatan bekerja
sebagai agen profilaksis yang dapat mencegah penyakit (Katzung et al,
2012).
Salah satu contoh obat golongan skizontisida jaringan adalah primaquin.
Obat ini mengeradikasi bentuk skizontisida primer dari Plasmodium
falciparum dan Plasmodium vivax, serta bentuk eksoeritrositik sekunder
malaria yang kambuh. Obat ini biasanya diberikan dalam bentuk kombinasi
dengan skizontisida darah seperti klorokuin, quinin, meflokuin, atau
pirimetamin. Mekanisme kerja obat ini belum dapat dijelaskan secara detail
tetapi obat ini diduga bekerja sebagai oksidan yang bertanggung jawab atas
kerja skizontisidal dan juga hemolisis atau methemoglobinemia yang
ditemukan sebagai toksisitas. Obat ini diabsorbsi dengan baik dengan
pemberian oral, tidak terakumulasi di dalam jaringan, dan dioksidasi secara
cepat menjadi beberapa senyawa. Obat ini diekskresikan melalui urin
(Harvey & Champe, 2009). Struktur obat primakuin dapat dilihat pada
gambar 6.
14
(Li et al, 2014)
Gambar 6. Struktur Kimia Primakuin.
Salah satu contoh obat golongan skizontisida jaringan yang lain adalah
klorokuin, meflokuin, quinin, quinidin, dan artemisinin. Klorokuin bekerja
pada vakuola makanan parasit. Mekanisme kerja meflokuin belum diketahui
dengan pasti tetapi diduga bekerja dengan cara mengganggu kerja membran
sel parasit. Quinin dan quinidin bekerja dengan cara mengganggu
polimerisasi heme sehingga menyebabkan kematian parasit plasmodium
bentuk eritrositik. Artemisinin bekerja dengan cara melibatkan produksi
radikal bebas di dalam vakuola makanan plasmodium sesudah pembelahan
jembatan endoperoksida obat oleh heme besi di dalam eritrosit yang
terparasitisasi (Harvey & Champe, 2009). Struktur kimia obat artemisinin
dapat dilihat pada gambar 7.
15
(Li et al, 2015)
Gambar 7. Struktur Kimia Artemisinin.
Obat-obatan antimalarial juga dapat diklasifikasikan berdasarkan target
metabolisme parasit. Salah satu golongan obat jenis ini adalah obat yang
mengganggu jalur folat dalam sitoplasma parasit. Yang termasuk dalam
golongan obat ini adalah kombinasi sulfadoksil-pirimetamin dan kombinasi
klorproguanil-dapson (Simamora & Fitri, 2007). Sulfadoksil bekerja dengan
cara menghambat enzim dihidropteroat sintetase, suatu enzim yang bekerja
pada awal rangkaian sintesis folat. Pirimetamin bekerja dengan cara
menghambat enzim dihidrofolat reduktase yang penting dalam sintesis
fosfat (Tahita et al. 2015). Di Afrika, kombinasi obat sulfadoksil-
pirimetamin digunakan pada ibu hamin dan sebagai kemoprofilaksi untuk
menghadapi musim malaria pada daerah yang masih sensitif terhadap obat
ini (Cui et al. 2015).
16
Salah satu golongan obat yang mengacaukan metabolisme parasit lainnya
adalah atovaquone. Obat ini memiliki struktur yang mirip dengan
ubiquinolon. Obat ini akan berikatan dengan sitokrom B pada parasit. Ikatan
ini akan menyebabkan gagalnya proses respirasi pada parasit dan
mengacaukan potensial membran dari membrane transmitokondrial (Bakshi
et al, 2018). Obat ini digunakan pada pengobatan malaria tanpa komplikasi
pada anak-anak dan sebagai kemoprofilaksis di Amerika (Nixon et al, 2013)
Sebagian besar obat malaria hanya bekerja spesifik terhadap salah satu
siklus hidup dari parasit. Hal ini rentan menyebabkan resistensi. Resistensi
malaria merupakan ancaman bagi upaya eleminasi dan eradikasi malaria.
Untuk mencegah terjadinya resistensi, WHO pada tahun 2006
merekomendasikan terapi kombinasi obat. Kombinasi obat ini disebut
dengan ACT (Artemisinin Combination Treatment) (Harijanto, 2011;
Staines & Krishna, 2012).
Pengobatan dengan kombinasi ACT mempunyai keunikan. Keunikan
pengobatan ini antara lain dapat menurunkan biomass parasit dengan cepat,
dapat menghilangkan gejala dengan cepat, efektif terhadap parasit yang
sudah resisten, efektif terhadap semua bentuk dan stadium parasit, efek
samping minimal, dan dapat menghambat transmisi gamet serta belum
ditemukan adanya resistensi pada obat ini (Harijanto, 2011).
17
Pengobatan malaria yang digunakan di Indonesia saat ini adalah dengan
penggunaan ACT (Kemenkes RI, 2017). Terdapat beberapa kombinasi obat
ACT yang tersedia di Indonesia. Kombinasi pertama adalah artesunat
dengan amodiaquin (AS+AQ), kombinasi kedua adalah artemether dengan
lumefantrin (AL), dan kombinasi ketiga adalah dihidroartemisinin dan
piperakuin (DHP) (Depkes, 2011).
2.3 Klorokuin
Klorokuin merupakan salah satu pilihan terapi farmakologi pada
pengobatan malaria. Obat ini termasuk dalam golongan obat 4-aminoquilin
(Simamora & Fitri, 2007). Sejak pengembangan obat ini pada tahun 1940,
harganya yang murah, pembuatannya yang mudah, dan keamanannya yang
tinggi, telah membuat klorokuin menjadi popular dan banyak digunakan
sebagai terapi farmakologi pada malaria (Slater, 1993). Struktur kimia dari
klorokuin diperlihatkan pada gambar 8.
(Nilsen et al. 2012)
Gambar 8. Struktur Kimia Klorokuin.
18
Klorokuin merupakan derivat dari senyawa quinin dengan berat molekul
320, dan merupakan basa lemah amfifilik yang larut dalam air. Obat ini
diabsorbsi secara total dengan penggunaan oral setelah 2-4 jam. Absorbsi
obat ini tidak terpengaruh jika dikonsumsi bersamaan dengan makanan.
Obat ini terdistribusi secara luas di jaringan tubuh dengan kadar obat
maksimal dalam plasma dicapai setelah 3-12 jam dikonsumsi secara oral.
Obat ini dimetabolisme di hati dan diekskresikan melalui hati dan ginjal
(Browning, 2014).
Obat ini bekerja dengan mengacaukan proses pencernaan parasit. Pada
parasit terdapat enzim yang sifatnya esensial, diantaranya adalah aspartic
protease dikenal dengan plasmepsin yang secara in vitro maupun in vivo
dapat menginisiasi degradasi haemoglobin (Simamora & Fitri, 2007).
Klorokuin bekerja dengan menghambat proses pencernaan haemoglobin
dalam vakuola makanan dengan cara mengikat cincin feriprotoporfirin XI,
suatu hematin yang merupakan hasil metabolisme eritrosit di dalam parasit.
Adanya ikatan klorokuin dan feriprotoporfirin dapan menyebabkan lisis
pada parasit sehingga perkembangan parasit dapat dihambat (Kublin et al,
2003).
2.4 Genetika Secara Umum
Istilah genetika berasal dari bahasa latin genos yang artinya asal usul.
Menurut sumber lain genetika berasal dari kata genno yang berarti
melahirkan. Secara istilah genetika adalah ilmu yang mempelajari berbagai
19
aspek yang menyangkut pewarisan sifat dan variasinya baik pada tingkat
organisme maupun sub-organisme (seperti virus dan prion). Dalam genetika
dikenal suatu istilah yaitu gen. Gen adalah satuan diskret informasi herediter
genetik yang terdiri dari sekuens nukleotida spesifik di dalam DNA atau
RNA pada beberapa virus (Campbell et al, 2017). Struktur DNA dapat
dilihat pada gambar 9.
(Campbell et al, 2017)
Gambar 9. Struktur DNA dan Susunan Molekul Penyusun DNA.
Penyusun utama dari DNA dikenal sebagai nukleotida yang terdiri dari gula
lima karbon deoksiribosa dengan satu fosfat teresterifikasi pada posisi 5’
dari cincin gula dan satu basa nitrogen terikat pada posisi 1’. Terdapat dua
jenis basa nitrogen pada nukleotida yaitu basa pirimidin yang mengandung
satu cincin dan basa purin yang mengandung dua cincin. Pada DNA terdapat
dua jenis basa pirimidin yaitu timin (T) dan sitosin (C) dan dua jenis basa
purin yaitu guanin (G) dan adenin (A). Adenin pada untai yang satu akan
20
selalu berikatan dengan timin pada untai yang lain dan guanin pada untai
satu akan selalu berikatan dengan sitosin pada untai yang lain. Jumlah ikatan
basa ini yang menentukan ukuran gen. Pada manusia, ukurannya berkisar
antara 1000 sampai 2300 kilo basa (Karp, 2015; Ravi et al, 2013). Gambar
pasangan basa dapat dilihat pada gambar 10.
(Karp, 2015)
Gambar 10. Pasangan Basa Nitrogen.
Chargaff menemukan bahwa rasio dari keempat basa nitrogen bervariasi
antar organisme lain, tetapi konstan pada sampel jaringan berbeda yang
diambil dari individu yang sama. Jumlah basa purin sama dengan jumlah
basa pirimidin. Lebih spesifik lagi, jumlah adenin selalu sama dengan
21
jumlah timin sedangkan jumlah guanin selalu sama dengan jumlah sitosin.
Hal ini dapat dirumuskan dengan persamaan sebagai berikut:
[A] = [T], [G] = [C], [A] + [T] ≠ [G] + [C]
(Forsdyke & Mortimer, 2000)
Nukleotida-nukleotida ini berikatan secara kovalen satu sama lain
membentuk polimer linier atau untaian dengan gula dan fosfat sebagai
‘tulang punggung’ dengan ikatan 3’-5’-fosfodiester membentuk struktur
polar. Ujung yang memiliki fosfat disebut ujung 5’ dan ujung yang lain
disebut ujung 3’ (Alberts et al, 2014).
Terdapat tiga fungsi DNA sebagai materi genetik yaitu 1) sebagai wadah
penyimpanan materi genetik, 2) replikasi dan pewarisan, dan 3) ekspresi
dari kode genetik. Pertama, DNA harus bisa menyimpan rekaman instruksi
yang akan menentukan semua karakteristik pada organisme. Pada tingkat
molekuler, DNA harus memiliki informasi mengenai urutan spesifik asam
amino pada semua protein yang disintesis oleh organisme. Kedua, DNA
harus mempunyai informasi untuk mensintesis untai DNA baru (replikasi).
Replikasi DNA memungkinkan instruksi genetik untuk diturunkan pada sel
anakan atau dari organisme induk ke organisme anakan. Ketiga, untai DNA
tidak hanya berfungsi sebagai materi genetik tetapi juga berfungsi sebagai
petunjuk dalam aktivitas sel. Informasi pada DNA digunakan untuk
mengarahkan urutan asam amino yang akan dirangkai dalam polipeptida
(Karp, 2015).
22
Replikasi molekul DNA dimulai dari tempat khusus yang disebut titik mula
replikasi. Protein-protein yang memulai proses replikasi DNA akan
mengenali sekuens ini dan melekat ke DNA. Kemudian DNA akan memisah
dari rantai ganda menjadi rantai tunggal dan terbentuk gelembung replikasi.
Pemisahan ini dibantu oleh enzim helikase, protein pengikatan berantai-
tunggal, dan enzim topoisomerase. Selanjutnya enzim-enzim yang disebut
DNA polimerase akan mengkatalis sintesis DNA yang baru dengan cara
menambahkan nukleotida-nukleotida ke rantai yang telah ada sebelumnya.
Untai DNA dapat dibuat dengan dua mekanisme yaitu untai maju (leading
strand) dan untai lamban (lagging strand) (Campbell et al, 2017; Karp,
2015). Proses replikasi DNA dapat dilihat pada gambar 11.
(Campbell et al, 2017)
Gambar 11. Proses Replikasi DNA.
23
Selama replikasi DNA, DNA polimerase akan mengecek setiap nukleotida
terhadap cetakannya setelah nukleotida ditambahkan pada untai yang
sedang disusun. Ketika terdapat kesalahan, polimerase akan menyingkirkan
nukleotida itu dan melanjutkan kembali proses replikasi DNA (Alberts et
al, 2014; Campbell et al, 2017; Karp, 2015).
Gen menyediakan informasi yang dibutuhkan untuk menyusun protein
tertentu. Akan tetapi, gen tidak membangun protein secara langsung. Untuk
membuat protein, diperlukan tahapan-tahapan tertentu. Tahapan ini ada dua,
yaitu transkripsi dan translasi (Campbell et al, 2017; Karp, 2015).
Sama seperti DNA, RNA merupakan polimer linier yang terdiri dari subunit
berupa nukleotida yang dihubungkan dengan ikatan fosfodiester.
Nukleotida pada RNA adalah ribonukleotida yang terdiri dari basa adenine
(A), guanine (G), sitosin (C), dan urasil (U). Jika DNA terdiri dari untai
ganda dengan bentuk terpilin seperti tangga, RNA berbentuk rantai tunggal
(Alberts et al, 2014).
Transkripsi adalah sintesis RNA melalui arahan dari DNA. Selama
transkripsi, DNA menentukan urutan basa-basa di sepanjang untai RNA.
Molekul RNA adalah komplementer dengan DNA (bukan identik) karena
basa-basa RNA disusun sesuai dengan aturan pemasangan basa.
Perpasangan ini serupa dengan replikasi DNA, hanya saja basa nitrogen
adenin pada DNA akan komplemen dengan urasil (bukan timin) pada
24
mRNA. Selain itu, nukleotida mRNA adalah gula ribosa bukan deoksiribosa
seperti pada DNA (Campbell et al, 2017; Karp, 2015)
Translasi adalah proses sintesis polipeptida dengan cara menerjemahkan
triplet basa mRNA menjadi asam amino spesifik. Triplet basa ini disebut
dengan kodon. Kodon dibaca oleh mekanisme translasi dengan arah 5’→3’
di sepanjang mRNA. Proses pembacaan kodon berjalan terus-menerus
sehingga asam amino akan tersusun membentuk untaian dan akhirnya akan
membentuk suatu polipeptida (Campbell et al, 2017; Karp 2015). Proses
transkripsi dan translasi dapat dilihat pada gambar 12.
(Campbell et al, 2017)
Gambar 12. Proses Transkripsi dan Translasi.
25
Setiap kodon akan mengkode asam amino tertentu. Karena kodon terdiri
dari tiga basa nukleotida, maka terdapat 64 kemungkinan kombinasi basa
nukleotida yang akan membentuk kodon (43). Karena asam amino yang
dapat dikodekan oleh kodon hanya 20 jenis, terdapat 44 kodon yang akan
mengkodekan asam amino yang sama (Karp, 2015). Kodon beserta asam
amino yang dapat dikode terdapat pada gambar 13.
(Campbell et al, 2017)
Gambar 13. Tabel Triplet Kodon dan Asam Amino.
26
Ketiga basa kodon mRNA dibaca dari arah 5’ ke 3’ di sepanjang mRNA.
Kodon UUU dan UUC akan mengkodekan fenialanin (F), kodon UUA,
UUG, CUU, CUC, CUA, dan CUG akan mengkodekan leusin (L), kodon
AUU, AUC, dan AUA akan mengkodekan isoleusin (I), kodon AUG
berfungsi sebagai sinyal memulai proses translasi, kodon GUU, GUC,
GUA, GUG akan mengkodekan valin (V), kodon UCU, UCC, UCA, UCG,
AGU, AGC akan mengkodekan serin (S), kodon CCU, CCC, CCA, dan
CCG mengkodekan prolin (P), kodon ACU, ACC, ACA, dan ACG
mengkodekan threonin (T), kodon GCU, GCC, GCA, dan GCG
mengkodekan alanin (A), kodon UAU dan UAC mengkodekan tirosin (Y),
kodon UAA, UAG dan UGA mengkodekan sinyal stop, kodon CAU dan
CAC mengkodekan histidin (H), kodon CAA dan CAG mengkodekan
glutamin (Q), kodon AAU dan AAC mengkodekan asparagin (N), kodon
AAA dan AAG mengkodekan lisin (K), kodon GAU dan GAC
mengkodekan asam aspartat (D), kodon GAA dan GAG mengkodekan asam
glutamat, kodon UGU dan UGC mengkodekan sistein (C), kodon UGG
mengkodekan triptofan (W), kodon CGU, CGC, CGA, CGG, AGA, dan
AGG mengkodekan arginin (R), dan kodon GGU, GGC, GGA, GGG yang
mengkodekan glisin (G) (Campbell et al, 2017; Karp, 2015).
2.5 Mutasi Genetik Secara Umum
Mutasi didefinisikan sebagai perubahan sekuens nukleotida DNA suatu
organisme yang menimbulkan keanekaragaman genetik. Mutasi yang
mengakibatkan perubahan pada satu pasangan basa disebut dengan mutasi
27
titik (point mutation). Jika mutasi titik terjadi pada sel gamet atau sel yang
menghasilkan gamet, perubahan ini dapat diteruskan pada generasi
selanjutnya (Campbell et al, 2017).
Terdapat beberapa macam tipe mutasi titik, yaitu 1) substitusi atau
penggantian pasangan basa dan 2) insersi (penambahan) atau delesi
(pengurangan) pasangan basa. Pada mutasi titik tipe substitusi, terjadi
penggantian satu pasangan basa nukleotida dengan pasangan basa
nukleotida lain. Hal ini dapat menimbulkan tiga efek: 1) mutasi diam, 2)
mutasi salah arti, dan 3) mutasi tanpa arti. Pada mutasi diam, terjadi
penggantian basa nukleotida tetapi perubahan ini tidak merubah hasil
translasi dan tidak mengubah asam amino yang akan dihasilkan. Pada
mutasi salah arti, terjadi penggantian basa nukleotida dan perubahan ini
akan merubah hasil translasi dan akan mengubah asam amino yang
dihasilkan. Hal ini dapat memunculkan protein dengan kemampuan baru
ataupun menghasilkan protein yang tidak fungsional dan membahayakan
organisme mutan. Pada mutasi tanpa arti, terjadi penggantian basa
nukleotida yang akan mengubah kodon menjadi kodon stop. Hal ini
membuat proses translasi akan berhenti dengan prematur dan menghasilkan
untai polipeptida yang lebih pendek dari sebelumnya. Seringkali, hal ini
menghasilkan protein yang tidak fungsional. Pada mutasi titik tipe insersi
dan delesi, terdapat penambahan atau pengurangan pasangan basa
nukleotida. Hal ini akan menyebabkan pergeseran dalam bingkai
pembacaan pesan genetik pada saat translasi. Hal ini akan menyebabkan
28
kesalahan pembacaan yang masif (Szalai et al, 2014). Ilustrasi tipe-tipe
mutasi titik dijelaskan pada gambar 14.
(Campbell et al, 2017).
Gambar 14. Jenis-Jenis Mutasi Titik. (a) Mutasi Substitusi: Mutasi Diam, Salah Arti;
dan Tanpa Arti, (b) Mutasi Insersi-Delesi.
Adanya mutasi menyebabkan adanya variasi genetik. Situs pasangan basa
tunggal tempat ditemukannya variasi pada setidaknya 1% populasi disebut
polimorfisme nukleotida tunggal (single nucleotide polymorphism, SNP)
(Szalai et al, 2014). Polimorfisme nukleotida tunggal dapat ditemukan
dalam sekuens DNA pengode ataupun sekuens DNA bukan pengode
(Campbell et al, 2017).
29
2.6 Resistensi Plasmodium falciparum terhadap Klorokuin
Kasus resistensi klorokuin terhadap Plasmodium falciparum ditemukan
pertama kali di Kalimantan Timur pada tahun 1973. Selanjutnya kasus
resistensi ini meluas ke seluruh Indonesia dengan derajat resistensi RI-RIII.
(Tjitra et al, 2012) Terjadinya resistensi ini menjadi masalah di daerah
endemik. Adanya resistensi menyebabkan tingginya angka morbiditas dan
mortalitas karena adanya resistensi menyebabkan pengobatan menjadi
kurang efektif (Olliaro, 2001).
Obat-obatan antimalaria bekerja pada organel target yang berbeda-beda
sesuai dengan mekanisme kerjanya. Organel-organel yang menjadi target
antara lain vakuola makanan, sitosol, mitokondria, aprikoplas, dan
membran parasit. Pada umumnya, sel eukariotik menghindari toksisitas
xenobiotik dengan cara memasukkannya ke dalam vakuola makanan
ataupun lisosom agar dapat diproses ataupun dikeluarkan dari sel (Dobson
et al, 2009).
Pada Plasmodium, terdapat beberapa jenis protein pembawa yang akan
membawa klorokuin dari sitoplasma parasit ke dalam vakuola makanan
parasit (Triwani, 2010). Protein pembawa yang dimaksud adalah Drug
Metabolite Trasporter (DMT) dan transporter terkait P-glycoprotein.
Protein yang termasuk di dalam kelompok DMT dipresentasikan oleh gen
Pfcrt (Plasmodium falciparum Chloroquine Resistance Transporter),
sedangkan transporter terkait P-glycoprotein dipresentasikan oleh gen
30
Pfmrp (Plasmodium falciparum Multidrug Resistance-Associated Protein),
dan gen Pfmdr (Plasmodium falciparum Multi Drug Resistance) (Ibraheem
et al, 2014; Petersen et al, 2011).
Gen Pfcrt, gen Pfmrp, dan gen Pfmdr1 merupakan determinan utama dalam
menentukan resistensi parasit terhadap berbagai macam obat malaria utama.
Protein Pfcrt dan Pfmdr1 terletak di vakuola membran parasit, sedangkan
protein Pmfrp terletak di membran plasma parasit. Karakteristik protein
Pfcrt dan Prmdr yang bersifat asam menentukan pentingnya protein ini
dalam memodulasi sensitivitas obat. Diduga protein ini dapat bekerja
sebagai kopartemen yang akan melakukan sekuestrasi pada obat atau
sebagai kopartemen yang akan melindungi parasit dari obat dengan cara
menurunkan laju transport obat ke dalam vakuola makanan. Protein Pfmrp
yang terletak di membran plasma berfungsi sebagai pompa effluks obat
secara umum (Petersen et al, 2011).
Terdapat bebetapa gen lain yang diasosiasikan dengan terjadinya resistensi
obat pada malaria. Gen-gen tersebut adalah gen Pfnhe1 (Plasmodium
falciparum Sodium Hydrogen Exchanger), gen Pfdhfr-ts (Plasmodium
falciparum Bifunctional Dihydrofolate Reductase-Thymidylate Synthase),
gen Pfdhps (Plasmodium falciparum Dihydroprotease Synthetase), dan
protein kelch 13 (Antony & Parija, 2016).
31
Gen Pfnhe1 terletak pada kromosom 13 dan memiliki 2 ekson dan
mengkodekan protein yang berfungsi sebagai pompa sodium-hidrogen.
Protein yang dikodekan oleh gen ini terletak di membrane plasma parasit.
Polimorfisme pada gen ini yang terletak di region ms470 akan menurunkan
sensitivitas parasit terhadap obat kuinin (Antony & Parija, 2016).
Gen Pfdhfr-ts terletak pada kromosom 4 dan mempunyai pasangan basa
sebesar 1827. Gen ini akan memproduksi enzim yang terlibat dalam jalur
metabolisme folat. Resistensi obat pirimetamin dikaitkan dengan adanya
mutasi pada kodon S108D, N51I, C59N, dan I164L Selain itu, mutasi ganda
pada posisi A16V dan S108T dihubungkan dengan resistensi obat
sikloguanil (Antony & Parija, 2016).
Gen Pfdhps terletak pada kromosom 8 dan mempunyai 3 ekson. Gen ini
akan mengkodekan protein dhps yang akan mengkatalis reaksi asam p-
aminobenzoic (PABA) yang berperan pada sintesis pirimidin (Antony dan
Parija, 2016). Adanya mutasi pada titik A437G pada gen ini dibarengi
dengan mutasi pada titik N511, C59R, dan S108N gen Pfdhfr-ts
diasosiasikan dengan kegagalan pengobatan dengan obat kombinasi
sulfadoksil-pirimetamin (Berzosa et al. 2017)
Protein kelch13 terletak pada kromosom 13 dan memiliki satu ekson.
Protein kelch mempunyai beragam fungsi yang berhubungan dengan
interaksi antar protein. Pada isolat, mutasi titik F446I, Y493H, P574L,
32
R539T, dan C580Y berkontribusi pada peningkatan resistensi parasit
terhadap artemisinin. Frekuensi mutasi pada titik C580Y lebih tinggi
daripada mutasi pada titik lainnya dan bersihan parasit dengan mutasi titik
ini lebih lama daripada bersihan parasit pada titik lainnya (Antony & Parija,
2016)
Sensitivitas parasit terhadap lima obat antimalaria (klorokuin, amodiakuin,
meflokuin, lumefantrin, dan artemisinin) utama ditentukan oleh tiga protein
yang dikodekan oleh tiga gen yaitu gen Pfcrt, gen Pfmdr, dan gen Pfmrp
(Petersen et al, 2011). Lokasi target obat yang diketahui dari letak
akumulasi obat dalam parasit dijelaskan pada gambar 15.
(Petersen et al, 2011)
Gambar 15. Model Alur Transpor Obat Antimalaria dan Lokasi Target Obat.
33
Gambar A mendemonstrasikan resistensi silang antara klorokuin dan
amodiakuin yang mempunyai struktur yang mirip yaitu struktur 4-
amodiakuin. Obat ini juga melalui mekanisme transport yang sama
(Humphreys et al, 2007). Sebagian besar obat terakumulasi di dalam
vakuola makanan dengan cara difusi sederhana tetapi akumulasi ini dapat
meningkat dengan overekspresi gen Pfmdr1 sehingga sensitivitas parasit
meningkat (Petersen et al, 2011). Resistensi parasit terhadap klorokuin
terjadi jika terdapat mutasi pada gen Pfcrt K76T yang akan melakukan
effluks obat keluar dari vakuola makanan yang merupakan lokasi target
obat. Tetapi variasi kekuatan resistensi terhadap amodiakuin dapat terjadi
jika terdapat tambahan mutasi pada gen Pfmdr1, terutama pada asam amino
72-75 (Bennett et al, 2004). Polimorfisme N86Y pada gen Pfmdr1 dapat
meningkatkan resistensi parastit secara putatif dengan cara menurunkan laju
transport aktif ke dalam vakuola makanan. Gen Pfmrp juga membantu
terjadinya effluks pada klorokuin (Petersen et al, 2011).
Pada gambar B, determinan utama penentu resistensi pada meflokuin adalah
gen Pfmdr1. Adanya overekspresi pada gen ini menyebabkan transpor obat
ke dalam vakuola makanan sehingga obat tidak terakumulasi di sitoplasma
parasite yang merupakan lokasi target obat (Petersen et al, 2011). Tetapi
pada penelitian lain menunjukkan bahwa ekspresi heterologi dari mutasi gen
Pfmdr1 pada kodon 1034 dan 1042 menurunkan resistensi parasit terhadap
meflokuin walaupun hasilnya bervariasi sehingga tidak dapat dijelaskan
secara pasti (Nathalie et al, 2014). Pfmrp bekerja sebagai pompa efflux
34
umum yang mengurangi konsentrasi meflokuin di dalam parasit (Petersen
et al, 2011).
Gambar C menjelaskan resistensi silang invers lumefantin dengan klorokuin
dan pengaruh gen Pfcrt dan gen pfmdr1 haplotype pada sensitivitas
lumefantin. Gen Pfmdr1 wild-type dengan haplotype (N86) dan amplifikasi
gen Pfmdr1 dapat menyebabkan resistensi pada lumefantin. Turunnya
sensitifitas pada obat ini juga ditunjukan pada parasit wild-type K76T.
Meskipun belum diujikan, protein Pfmrp diduga dapat melakukan transport
aktif pada lumefantin (Petersen et al, 2011)
Gambar D menjelaskan jalur transport artemisinin. Meskipun lokasi target
pada obat artemisinin dan turunannya belum diketahui, diduga bahwa
artemisinin akan teraktivasi oleh molekul besi dan beberapa molekul alkil
seperti heme dan akan mengganggu proses metabolisme parasit. Terdapat
molekul besi pada vakuola makanan dan sitoplasma parasit. Karena itu, obat
ini dapat teraktivasi pada kedua kopartemen tersebut. Amplifikasi gen
Pfmdr1 menyebabkan turunnya sensitivitas artemisinin secara lemah,
sehingga diduga terjadi akumulasi artemisinin pada vakuola makanan.
Hilangnya gen Pfmrp meningkatkan sensitifitas parasit terhadap artemisinin
(Petersen et al, 2011).
Gen Pfcrt (Plasmodium falciparum Chloroquine Resistance Transporter)
terletak pada kromosom 7 dan mempunyai 13 ekson. Gen ini mengkodekan
35
424 asam amino protein transmembran dengan berat molekul sebesar 48,6
kDa. Gen ini merupakan salah satu dari protein pembawa DMT pada
vakuola makanan dan mempunyai 10 domain transmembran dengan rantai
N- dan C- berada pada sisi yang menghadap sitosol. Beberapa studi
biokimia pada vakuola makanan parasit, dengan membandingkan parasit
mutan Pfcrt dengan parasit wild-type menemukan bahwa dibandingkan
dengan tipe mutan akumulasi klorokuin pada vakuola makanan pada parasit
wild-type lebih sedikit. Hal ini menandakan bahwa pada parasit tipe mutan
gen Pfcrt berperan dalam transport klorokuin keluar dari vakuola makanan
agar obat tidak terakumulasi di dalam tubuh parasit. Pada penelitian terbaru,
gen rekombinan protein sensitif klorokuin Pfcrt3D7 dan gen protein resisten
yaitu PfcrtDd2, Pfcrt7G8, Pfcrtk76t dimurnikan dan diketahui bahwa baik
pada gen mutan dan gen wild type sama-sama memindahkan molekul
klorokuin tetapi diketahui pada gen protein resistan terjadi penurunan
afinitas klorokuin disertai dengan peningkatan transport molekul keluar
vakuola makanan parasit (Antony & Parija, 2016; Petersen et al, 2011).
Mutasi pada gen Pfcrt menjadi penanda signifikan untuk menentukan
resistensi klorokuin dan fenotipenya. Mutasi K76T menjadi determinan
utama dalam kerentanan dan resistensi parasit terhadap klorokuin. Mutasi
K76T terletak pada domain pertama protein transmembran oleh gen Pfcrt.
Mutasi ini terjadi ketika lisin yang mempunyai muatan positif digantikan
oleh treonin yang tidak bermuatan menyebabkan efflux dari proton
klorokuin keluar dari vakuola membran. Daerah lain yang sering terjadi
36
mutasi yaitu C72S, M74I, N75E, A220S, Q271E, N326S, I356T, dan R371I
juga menyebabkan resistensi tetapi hanya terjadi bila terdapat asosiasi pada
daerah K76T (Antony & Parija, 2016).
P-glycoprotein transporter, atau dapat disebut juga dengan ABC transporter
(ATP dependant Cassete Transporter), adalah protein pembawa yang
dimediasi oleh energi dengan kemampuan memompa bahan xenobiotik
keluar dari sitosol. Protein ini mempunyai sisi aktif yang dapat
menyesuaikan dengan molekul berukuran 300-2000 kDa. Protein pembawa
ini bersifat amphipatik, dengan bagian hidropobik melekat pada sisi aktif
yang tertanam pada membran dan bagian hidrofilik melekat pada sisi yang
terekspos lingkungan sitosol (Ibraheem et al, 2014). Struktur molekul P-
Glycoprotein dapat dilihat pada gambar 16.
(Ibraheem et al, 2014)
Gambar 16. Struktur Molekul P-Glycoprotein.
37
Gen Pfmrp (Plasmodium falciparum Multidrug Resistance-Associated
Protein) merupakan salah satu dari kelompok ABC transporter (ATP
dependant Cassete Transporter). Gen ini terletak pada kromosom 1, dan
mengkode asam amino 1822 sebesar 214 kDa. Gen ini diperkirakan
mempunyai dua daerah ikatan nukleotida dan dua daerah membran yang
masing-masing memiliki enam daerah transmembran. Asam amino yang
telah terkode akan menetap di membran plasma dan vesikel terkait
membran di dalam parasit pada fase eritrositik aseksual dan seksual
(Petersen et al, 2011).
Gen Pfmrp akan mengkode protein yang membantu transport bahan anionic
organik seperti glutation teroksidasi, glukuronat, konjugat sulfat, dan juga
dalam transport obat. Adanya mutasi titik pada gen ini dapat menurunkan
sensitivitas parasit terhadap klorokuin dan quinin. Diduga terjadinya
penurunan sensitivitas ini disebabkan modifikasi pada transporter yang
mempengaruhi efflux obat dan metabolit lain keluar dari tubuh parasit. Dua
mutasi pada titik Y191H dan A437S pada gen ini diasosiasikan dengan
resistensi klorokuin dan kuinin. Hilangnya gen ini pada parasit yang telah
resistens menunjukkan sensitivitas yang tinggi pada beberapa obat
antimalaria seperti klorokuin, primakuin, kuinin, dan artemisinin. Gen
Pfmrp terlibat dalam berbagai tingkatan resistensi terhadap obat antimalaria
tetapi bukan menjadi determinan utama dalam menentukan status resistensi.
Gen ini diperkirakan menyebabkan efflux berbagai macam obat antimalaria
38
dengan berasosiasi dengan protein transmembran lainnya (Antony & Parija,
2016; Petersen et al, 2011)
Gen Pfmdr1 (Plasmodium falciparum Multidrug Resistance Transporter)
sebelumnya diidentifikasi sebagai kandidat gen untuk menentukan homolog
dari kelompok transporter MDR, yang terkait dengan resistensi obat pada
sel tumor mamalia. Gen ini dipresentasikan pada kromosom lima dan
mengkode protein ABC (ATP Dependant Cassete Transporter) dengan
1419 untai asam amino dan 162 kDa. Protein ini terdiri dari 12 membran
heliks berputar dengan ujung N- dan ujung C- timbul pada sitosol (Petersen
et al, 2011). Struktur tiga dimensi gen Pfmdr1 dapat dilihat pada gambar 17.
(ModBase, 2015).
Gambar 17. Struktur Tiga Dimensi Gen Pfmdr1.
Fungsi endogen pada gen homolog MDR pada organisme lain meliputi
translokasi berbagai macam substrat, termasuk di dalamnya adalah gula,
asam amino, peptida, protein, metal, ion anorganik, toksin, dan antibiotik
melalui membran sel. Polimorfisme, amplifikasi, dan variasi pada ekspresi
39
mrNA gen ini telah menyebabkan resistensi terhadap berbagai macam obat
antimalaria dan timbulnya parasit yang resisten terhadap berbagai macam
obat malaria (multidrug resistance paracite). Mutasi pada transporter MDR
pada mamalia menyebabkan penurunan akumulasi obat pada sel,
peningkatan efflux obat, dan resistensi silang obat (Antony & Parija, 2016;
Petersen et al, 2011)
Dari analisis isolat lapangan, terdapat lima posisi asam amino (86, 184,
1034, 1042, dan 1246) yang telah dilaporkan dapat mempengaruhi
sensitivitas parasit terhadap lumefantrin, artemisin, quinin, meflokuin dan
halofantrin. (Petersen et al, 2011). Adanya amplifikasi pada gen ini menjadi
penyebab utama resistensi Malaria falciparum terhadap meflokuin (Price et
al, 2004)
Gen Pfmdr1 akan mengkode protein pembawa yang dimediasi oleh energi
yang terletak pada vakuola makanan parasit (Pirahmadi et al, 2013).
Adanya mutasi pada gen ini, bersamaan dengan mutasi pada gen Pfcrt
menyebabkan efflux klorokuin ke dalam sitoplasma dan modifikasi dari
keasamannya, yang berperan penting dalam resistensi Plasmodium
falciparum terhadap klorokuin (Saleh et al, 2014; Ibraheem et al, 2014).
40
2.7 Polymerase Chain Reaction (PCR)
Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah suatu metode enzimatis untuk
amplifikasi DNA dengan cara in vitro. Teknologi PCR mulai berkembang
sejak ditemukannya DNA polimerase pertama pada tahun 1955. Enzim
DNA polymerase tersebut dapat dimurnikan pada tahun 1958, tetapi
teknologi PCR secara automatisasi baru mulai dikembangkan pada tahun
1985. Penemuan enzim polimerase yang bersifat termostabil membuat
revolusi dalam perkembangan teknologi PCR sehingga proses amplifikasi
DNA dapat dilakukan secara otomatisasi dengan waktu yang relatif singkat
(Beringham & Luettich, 2003).
Amplifikasi DNA dilakukan oleh PCR melalui suatu siklus yang dilakukan
secara berulang-ulang. Terdapat tiga proses penting dalam amplifikasi
DNA. Yang pertama adalah denaturasi. Pada tahap ini, DNA target akan
dipanaskan dengan suhu 95ºC-98 ºC selama satu detik. Hal ini bertujuan
untuk membuka ikatan pada DNA sehingga DNA terurai dari rantai ganda
menjadi rantai tunggal. Proses selanjutnya adalah penempelan primer
(annealing). Pada tahap ini, suhu PCR akan diturunkan menjadi 37ºC-50 ºC
selama 60-120 detik dan primer akan ditambahkan ke dalam campuran
reaksi. Adanya penurunan temperatur ini akan membuat primer dapat
menempel pada DNA target. Proses ketiga adalah pemanjangan primer
(extension). Pada tahap ini, ditambahkan enzim DNA polimerase yang
bersifat termostabil. Enzim ini akan memperpanjang ujung 3’ dari DNA
primer. Tahap ini biasanya berlangsung selama 60-120 menit dengan
41
kondisi PCR pada 72 ºC. Pada akhir siklus, penggandaan DNA target telah
tercapai dengan hasil berupa dua DNA untai ganda (Giasuddin, 1995).
Pada proses amplifikasi DNA menggunakan PCR, dibutuhkan beberapa
komponen penting. Komponen tersebut adalah DNA cetakan,
oligonukleotida primer, deoksiribonukleat trifosfat (dNTP), enzim DNA
polimerase, dan komponen pendukung lain. DNA cetakan adalah DNA
target yang akan dilipatgandakan melalui proses amplifikasi.
Oligonukleotida primer adalah suatu sekuens oligonukleotida pendek (18-
28 basa nukleotida) yang digunakan untuk mengawali sintesis rantai DNA
dan mempunyai kandungan G+C sebesar 50-60%. Deoksiribonukleat
trifosfat, terdiri dari dATP, dTCP, dGTP, dTTP, dan dNTP adalah bahan
pensintesis molekul nukleotida. Enzim DNA polimerase bekerja sebagai
katalis untuk melakukan sintesis rantai DNA. Komponen pendukung lain
adalah senyawa buffer, terdiri dari larutan tris-HCL, larutan KCL, gelatin
atau BSA (Bovine Serum Albumin), Tween/Triton, dan MgCL2 (Yusuf K,
2010).
Ada beberapa tahapan yang dilakukan untuk mendesain primer. Tahap
pertama adalah mencari dan menentukan sekuens dari gen yang akan
diamplifikasi dari gene bank. Tahap kedua adalah memasukkan data
tersebut ke dalam web tertentu untuk mengetahui pilihan primer yang dapat
digunakan. Tahap ketiga adalah menentukan primer yang paling tepat.
Syarat-syarat penentuan primer adalah sebagai berikut: 1) pasangan primer
42
merupakan rangkaian basa nukleotida yang unik dan diusahakan memiliki
ukuran 18-30 basa, 2) pasangan primer tidak memiliki selisih suhu leleh
yang tinggi, 3) reaksi PCR sebaiknya tidak mengandung struktur sekunder,
4) primer mempunyai rangkaian basa nukleotida yang unik pada DNA
template, 5) panjang amplicon tidak lebih dari 2000 basa, dan 6) persen basa
G dan C pada primer berkisar antara 40% hingga 60% (Borah, 2011)
Suhu leleh atau Primer Melting Temperature (Tm) adalah suhu yang
dibutuhkan untuk primer untuk dapat melepas ikatan. Suhu primer yang
digunakan harus sama untuk memastikan kinerja yang konsisten pada
pasangan primer (Borah, 2011; Sasmito et al, 2014). Menurut Wallace,
rumus untuk penentuan suhu leleh adalah sebagai berikut.
Tmw (P) = (nG + nC) x 4 + (nA + nT) x2
Pada tahap annealing, suhu PCR akan diturunkan agar primer dapat
menempel secara optimal. Suhu pada kondisi ini dinamakan Primer
Annealing Temperatura (Ta). Suhu yang terlalu tinggi akan menyulitkan
ikatan primer dengan template DNA, sedangkan suhu yang terlalu rendah
dapat menyebabkan penempelan primer pada sekuens yang tidak diinginkan
(Borah, 2011; Sasmito et al, 2014). Suhu pada tahap annealing menurut
Rychlik dapat ditentukan dengan cara sebagai berikut.
Ta = 0,3 x Tm (Primer) + 0,7 x Tm (produk) – 14,9
43
Teknologi PCR memiliki beberapa jenis sesuai dengan tujuannya.
Teknologi PCR standar bertujuan untuk mengamplifikasi suatu sekuens
khusus sebagai persiapan penelitian, multiplex PCR dilakukan dengan cara
mencampurkan beberapa primer ke dalam campuran reaksi. Hal ini
bertujuan untuk mendeteksi keabnormalan multipel oleh agen infeksius.
Metode konversi RNA menjadi DNA bertujuan untuk menganalisis ekspresi
gen dikenal sebagai reverse-transcriptase PCR. Metode reamplifikasi
produk PCR dengan cara menggunakan dua primer dikenal sebagai Nested
PCR. Differensiasi PCR dilakukan dengan cara mengamplifikasi DNA
target dan DNA kontrol secara bersamaan sehingga dapat dilakukan analisis
secara bersamaan. Selain itu, masih banyak lagi teknologi PCR lainnya
(Giasuddin, 1995).
44
2.8 Kerangka Teori
Gambar 18. Kerangka Teori.
Kerangka teori pada penelitian ini dijelaskan pada gambar 18. Plasmodium
falciparum menyebabkan infeksi malaria pada manusia. Infeksi ini diterapi
dengan klorokuin. Adanya paparan klorokuin dalam waktu lama
menyebabkan terjadinya resistensi klorokuin pada Plasmodium falciparum
sehingga terapi ACT diterapkan untuk menggantikan klorokuin. Adanya
Keterangan
: Menyebabkan/berdampak pada
: Tujuan penelitian
Plasmodium
falciparum
Infeksi
malaria
Terjadi
resistensi
Klorokuin
Terapi
dengan ACT
Penghentian
terapi dengan
klorokuin
Terdapat jeda
penggunaan
selama lebih
dari 10 tahun
Terapi dengan
Klorokuin
Plasmodium
falciparum wild-
type
teridentifikasi
Gambaran
genetik berubah
45
penghentian terapi dengan klorokuin menyebabkan terjadinya jeda paparan
klorokuin pada populasi Plasmodium falciparum selama lebih dari 10 tahun.
Adanya jeda ini memungkinkan munculnya kembali Plasmodium
falciparum wild-type yang dapat diketahui dengan gambaran genetik yang
berubah.
2.9 Kerangka Konsep
Gambar 19. Kerangka Konsep.
Kerangka konsep pada penelitian ini dijelaskan melalui gambar 19.
Penelitian ini akan menggunakan kodon 1042 gen Pfmdr1 yang terdapat
dalam sampel darah penderita Malaria falciparum di Kabupaten Pesawaran
Provinsi Lampung sebagai variabel bebas. Variabel terikat akan dicari
dengan cara sekuensing. Dengan cara ini, urutan basa pada kodon 1042 gen
Pfmdr1 dapat diketahui. Jika pada urutan basa ditemukan triplet kodon yang
mengkodekan aspargin maka pada sampel darah tersebut telah
teridentifikasi Plasmodium falciparum wild-type.
Sampel darah penderita malaria
dalam bentuk BBT dari Kabupaten
Pesawaran, Provinsi Lampung Pada
Populasi Bebas Kloroquin selama
12 Tahun
Triplet kodon yang
mengkodekan asparagin
teridentifikasi
Plasmodium falciparum
wild-type teridentifikasi Keterangan
: Menyebabkan/berdampak pada
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
rancangan penelitian survey yang bersifat deskriptif untuk mendeteksi
adanya wild-type gen Pfmdr1 pada penderita Malaria falciparum di
Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Biologi Molekuler Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung dan dilaksanakan pada bulan Oktober
sampai Desember 2018.
3.3 Subjek Penelitian dan Sampel
Sampel penelitian adalah Bahan Biologi Tersimpan (BBT) yang terdapat di
Laboratorium Mikrobiologi-Parasit Fakultas Kedokteran Universitas
Lampung yang diambil dari penderita malaria di Kabupaten Pesawaran pada
tahun 2016.
47
3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
1) Kriteria Inklusi
Sampel yang digunakan pada penelitian adalah sampel dengan
volume yang mencukupi sesuai dengan protokol pada kit isolasi
DNA.
2) Kriteria Eksklusi
Sampel yang tidak digunakan pada penelitian adalah sampel yang
telah terkontaminasi olah bahan pengotor. Sampel yang telah
terkontaminasi diketahui dari kemasan sampel yang rusak, warna
dan konsistensi sampel yang berubah, atau terbentuk endapan pada
sampel.
3.5 Definisi Operasional
Pada penelitian ini didapatkan satu variabel, yaitu gen Plasmodium
falciparum Multi-Drug Resistace 1 (Pfmdr1) kodon 1042. Variabel ini yang
akan dijadikan indikator dalam penentuan adanya single nucleotide
polymorphism.
48
Tabel 1. Definisi Operasional Gen Pfmdr1.
Variabel Definisi
Operasional Alat Ukur Cara Ukur
Hasil
Ukur Skala
Gen
Plasmodium
falciparum
Multi-Drug
Resistace 1
(Pfmdr1)
kodon 1042
Gen Pfmdr1
kodon 1042
adalah
fragmen gen
Pfmdr1 yang
merupakan
produk PCR
dengan
panjang
produk
sebesar 864
bp
Polymerase
Chain
Reaction dan
elektroforesis
Amplifikasi
dan
sekuensing
DNA
Urutan
basa DNA
pada hasil
sekuensing
Kategorik
3.6 Alat dan Bahan
Penelitian ini dilakukan dengan empat tahap. Tahap pertama adalah isolasi
DNA dari sampel darah penderita Malaria falciparum di Kabupaten
Pesawaran, tahap kedua dan ketiga adalah amplifikasi gen Pfmdr1
menggunakan PCR konvesional (dilakukan dua kali), dan tahap keempat
adalah elektroforesis. Alat dan bahan yang digunakan dibedakan sesuai
dengan tahapan yang akan dilakukan.
Tahap isolasi DNA dapat dilakukan menggunakan dua cara yaitu
mendapatkan bahan-bahan yang dibutuhkan dalam proses isolasi DNA
secara terpisah, atau menggunakan bahan yang sudah ada dalam satu
kemasan atau lebih dikenal dengan sebutan kit. Di dalam kit seluruh
prosedur serta bahan yang diperlukan dalam isolasi DNA sudah tersedia,
termasuk penggunaan setiap bahan, baik pengenceran dan cara penggunaan.
49
Tahap isolasi DNA pada penelitian ini menggunakan QIAamp® DNA Kit
(Qiagen). Bahan-bahan yang diperlukan dalam isolasi DNA adalah
QIAmp® DNA Kit yang terdiri dari; Proteinase K; Buffer AL; Buffer AW1;
Buffer AW2; dan Buffer AE, Etanol (100%), sampel darah, dan air murni
(aquabidest). Adapun alat yang dibutuhkan pada penelitian ini adalah pulse-
vortexing, spindown, QIAamp spin column, collection tube 2 ml, centrifuge,
microcentrifuge tube, makropipet berukuran 100-1000µl maupun
mikropipet berukuran 10-100 µl, blue tips, yellow tips, stopwatch, dan
waterbath 56°C.
Tahap berikutnya setelah isolasi DNA yaitu amplifikasi. Proses amplifikasi
ini bertujuan untuk memperbanyak fragmen DNA target yang telah
diisolasi. Proses amplifikasi pada penelitian ini menggunakan teknik Nested
Polymerase Chain Reaction (PCR). Alat PCR yang digunakan adalah
Rotor-Gene® Q (Qiagen), mikropipet 0,5-10 µl dan mikropipet 10-100 µl,
small tips dan yellow tips ukuran 0,2 µl, microsentrifuge tube, nampan, rak
dingin, ice box ataupun lemari pendingin, vortex, dan spindown. Penelitian
ini menggunakan satu merk kit untuk dilakukan proses amplifikasi yaitu
menggunakan MyFi™ DNA Polymerase (Bioline). Bahan-bahan yang yang
dibutuhkan dalam proses ini adalah aqua for Injection, DNA template, dan
primer DNA target (forward dan reverse primer).
Primer yang digunakan pada penelitian ini serta kondisi PCR yang
digunakan berdasarkan literatur tercantum dalam tabel sebagai berikut.
50
Tabel 2. Daftar Primer Berdasarkan Literatur.
Nama Primer Sequence Primer
Panjang
Produk
PCR
(bp)
Outer Forward
MDRFR2F1 5’-GTGTATTTGCTGTAAGAGCT-3’
958
Outer Reverse
MDRFR2R1 5’-GACATATTAAATAACATGGGTTC-3’
Nested
Forward
MDRFR2F2
5’-CAGATGATGAAATGTTTAAAGATC-3’
864
Nested
Reverse
MDRFR2R2
5’-TAAATAACATGGGTTCTTGACT-3’
(Humphreys et al, 2007)
Tahapan terakhir adalah elektroforesis. Bahan yang diperlukan untuk
melakukan elektroforesis adalah agarose gel 0,8% (agarose 800 mg dengan
TBE 1× 100 ml), loading dye 6×, TBE 1×, red gel, aquabidest. Adapun alat
yang digunakan dalam elektroforesis pada penelitian ini yaitu berupa satu
set alat elektroforesis, solatip atau parafilm, tabung erlenmayer, hot plate,
stabillizer, mikropipet berukuran 0,5-10 µl, small tips, dan uv
transluminator.
51
3.7 Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap. Tahapan penelitian yang
dilakukan adalah isolasi DNA, amplifikasi Pfmdr1 menggunakan PCR dan
elektroforesis.
a. Isolasi DNA
1. Memasukan 20µl QIAGEN Protease (atau K Proteinase) ke dalam
1.5 ml microcentrifuge tube;
2. Menambahkan 200µl sampel ke microcentrifuge tube;
3. Menambahkan 200µl buffer AL ke dalam sampel, kemudian di
vortex selama 15 detik;
4. Menginkubasi selama 10 menit dalam suhu 56°C pada waterbath;
5. Melakukan spindown 1.5 ml microcentrifuge tube untuk
menghilangkan cairan yang terdapat pada tutup tube;
6. Menambahkan 200µl etanol (100%) ke dalam sampel, kemudian
divortex menggunakan pulse-vortexing selama 15 detik. Setelah
itu, kembali melakukan spindown untuk menghilangkan cairan
yang terdapat pada tutup tube;
7. Memindahkan campuran larutan tersebut ke QIAamp Spin Column
(2 ml collection tube) tanpa membasahi pinggiran tube, menutup
tube, lalu dicentrifuge dalam 6000 x g (8000 rpm) selama satu
menit. Kemudian membuang hasil filter yang terdapat pada
collection tube;
52
8. Menambahkan 500µl buffer AW1 pada QIAamp Spin Column
tanpa membasahi pinggiran tabung. Tutup, lalu lakukan centrifuge
dalam 6000 x g (8000rpm) selama satu menit. Membuang hasil
filter yang terdapat pada collection tube;
9. Menambahkan 500µl buffer AW2 pada QIAamp Spin Column
tanpa membasahi pinggiran tabung. Tutup, lalu lakukan centrifuge
dalam kecepatan penuh 20000 x g (14000rpm) selama tiga menit;
10. Meletakkan QIAamp Spin Column kedalam 1.5ml microcentrifuge
tube dan menyingkirkan collection tube yang terdapat filter.
menambahkan 200µl buffer AE pada QIAamp Spin Column.
Menginkubasi dalam suhu ruangan (15-25°C) selama satu menit,
lalu melakukan centrifuge dalam 6000 x g (8000rpm) selama satu
menit;
11. Membuang QIAamp Spin Column dan menutup 1,5 ml
microsentrifuge tube, hasil ekstraksi dapat disimpan pada lemari
pendingin.
b. Persiapan Amflipikasi Pertama Pfmdr1 Menggunakan PCR
1. Membuat campuran reaksi dengan perhitungan: 25 μL per reaksi ×
(total nomor reaksi + 1);
2. Menghitung jumlah setiap bahan yang dibutuhkan pada setiap
reaksi, volume setiap bahan dikalikan dengan reaksi (total nomor
reaksi + 1). Volume yang dibutuhkan pada setiap kit, berikut
rincian volume pada masing-masing kit:
53
3. MyFi™ DNA Polymerase (Bioline) :
5X MyFi Reaction Buffer : 5 µL
20 µM Forward Primer : 0,5 µL
20 µM Reverse Primer : 0,5 µL
DNA Template : 1 µL
MyFi DNA Polymerase : 1 µL
Aqua for Injection : 17 µL;
4. Mencampurkan setiap bahan dengan volume sesuai dengan
perhitungan total reaksi ke dalam microsentrifuge tube, kecuali
DNA template. Selama pengerjaan, seluruh bahan diletakkan pada
nampan dan rak dingin, untuk menjaga suhu;
5. Melakukan aliquot campuran reaksi tersebut sebanyak 24 μL pada
setiap 0,2 ml microsentrifuge tube;
6. Menambahkan DNA template sebanyak 1 μL pada setiap tube
7. Menempatkan tube ke dalam rotor, kemudian memasukkan rotor
ke dalam Rotor-Gene® Q (Qiagen);
8. Menjalankan reaksi PCR sesuai dengan kondisi PCR yang telah
ditentukan.
c. Persiapan Amflipikasi Kedua (Nested) Pfmdr1 Menggunakan PCR
1. Melakukan kembali langkah satu sampai empat seperti pada
amplifikasi pertama;
2. Menambahkan 1 μL hasil amplifikasi pertama pada setiap tube;
54
3. Menempatkan tube ke dalam rotor, kemudian memasukkan rotor
ke dalam Rotor-Gene® Q (Qiagen);
4. Menjalankan reaksi PCR sesuai dengan kondisi PCR yang telah
ditentukan.
d. Cycling Parameter pada PCR
terjadi tiga proses utama pada tahap ini yaitu denaturasi, annealing dan
extension dari materi genetik sampel. Setiap tahapan pada PCR ini
membutuhkan suhu tertentu yang berbeda-beda. Suhu serta waktu yang
dibutuhkan pada setiap tahapan, baik pada amplifikasi pertama dan
kedua dijelaskan pada tabel 3.
Tabel 3. Kondisi PCR pada saat Amplifikasi (Setelah Optimasi).
No
Proses Suhu
(ºC) Waktu Jumlah Siklus
Nested Pertama
1
2
3
4
5
Predenaturasi
Denaturasi
Annealing
Extension
Final ekstension
95
94
55
72
72
5 menit
1 menit
1 menit
1 menit 15 detik
5 menit
1 kali
35 kali
35 kali
35 kali
1 kali
Nested Kedua
1
2
3
4
5
Predenaturasi
Denaturasi
Annealing
Extension
Final ekstension
95
94
55
72
72
5 menit
1 menit
1 menit
1 menit 15 detik
5 menit
1 kali
35 kali
35 kali
35 kali
1 kali
Tahap denaturasi, anneling dan extension diulangi sebanyak 34 siklus
pada amplifikasi pertama dan 29 siklus pada amplifikasi kedua dengan
menggunakan MyFi™ DNA Polymerase Bioline. Setelah selesai
55
seluruh tahapan, hasil dapat didiamkan pada suhu ruangan atau
disimpan pada lemari pendingin.
Semua tahapan PCR merupakan kondisi perkiraan. Oleh karena itu,
akan dilakukan optimasi untuk mencari kondisi terbaik yang akan
memberikan hasil optimal pada penelitian ini.
e. Pembuatan Gel Agarose untuk Elektroforesis
1. Membuat gel agarosa dengan konsentrasi 0,8%.
2. Pembuatan gel agarosa dimulai dengan mencampurkan 800 mg gel
agarose dengan 100 ml TBE 1x.
3. Selanjutnya mendidihkan campuran dalam microwave selama 25
menit pada ± 80˚C. Lalu membiarkan campuran hingga suhunya
turun sampai dengan 55˚C.
4. Mempersiapkan bilik elektroforesis dengan memasang pembatas
pada setiap sisi baki sebagai pencetak agarose sembari menunggu
turunnya suhu campuran.
5. Menuangkan agarose ke dalam baki tersebut setelah agarose
mencapai suhu yang sesuai dan meletakkan comb pada salah satu
ujung sisi baki (pada kutub negatif). Membiarkan agarose hingga
mengeras menjadi gel yang padat. Mencabut comb setelah gel
mengeras sempurna.
56
6. Kemudian melepaskan pembatas baki pada setiap sisi dan
meletakkan baki ke dalam bilik elektroforesis yang telah terisi
larutan buffer.
f. Elektroforesis
1. Menyiapkan kertas parafilm atau solatip pada meja;
2. Meletakkan 2 μL loading dye pada parafilm atau solatip;
3. Mengambil 3 μL hasil amplifikasi kedua, kemudian
mencampurkannya dengan loading dye;
4. Mengambil 5 μL hasil campuran tersebut, kemudian
memasukkannya ke dalam sumur pada gel agarose;
5. Menyambungkan alat elektroforesis dengan sumber listrik dengan
pengaturan pada alat elektroforesis, yaitu 100 V, 50 Watt dan 250
mA selama 55 menit;
6. Setelah selesai, didiamkan beberapa saat dan mengangkat agarose
dari bilik elektroforesis dan meletakkannya pada alat UV
transilluminator untuk divisualisasikan.
57
3.8 Alur Penelitian
Adapun alur penelitian ini dijelaskan pada gambar 20.
Gambar 20. Diagram Alur Penelitian.
3.9 Analisis Data
Data yang didapatkan pada penelitian ini akan dianalisis menggunakan
sekuensing DNA untuk mengetahui urutan basa nitrogen pada DNA sampel.
Metode sekuensing yang digunakan adalah metode Sanger dengan
automatisasi. Pada metode ini, sampel akan diamplifikasi dalam PCR dan
ditambahkan ddNTP yang bertindak sebagai penanda pada saat yang
bersamaan. Penambahan ddNTP bertanda akan membuat proses amplifikasi
berhenti pada urutan basa nukleotida tertentu. Hasil dari amplifikasi ini
adalah untai DNA cetakan dengan panjang yang berbeda-beda. Selanjutnya
Isolasi DNA pada 23 Sampel darah dari BBT
Pembuatan surat izin untuk melakukan penelitian di laboratorium Biomolekuler
Fakultas Kedokteran Univesitas Lampung
Persiapan alat dan bahan penelitian
Melakukan Amplifikasi dan Nested PCR pada DNA hasil Isolasi
Visualisasi menggunakan elektroforesis
Analisis urutan Basa dengan Sekuensing DNA
Hasil dan kesimpulan penelitian
58
sampel akan dilihat cahaya fluorosensi yang berasal dari ddNTP penanda
menggunakan mesin. Dengan menggunakan perangkat lunak komputer,
urutan basa DNA pada sampel dapat diketahui dan dapat dibandingkan
dengan urutan basa DNA kontrol. Jika hasil perbandingan urutan basa DNA
sampel dan DNA kontrol adalah sama, hal ini menandakan ditemukannya
Plasmodium falciparum wild-type
3.10 Etika Penelitian
Sesuai dengan Pedoman Nasional Etik Penelitian Kesehatan, penggunaan
Bahan Biologi Tersimpan (BBT) dilakukan atas persetujuan etik. Pada
penelitian ini, digunakan sampel yang telah tersimpan sebagai bentuk BBT
yang diambil pada tahun 2016. Sesuai dengan pedoman tersebut,
pemanfaatan BBT sebagai sampel harus memenuhi persetujuan dari pemilik
pertama BBT. Karena itu, peneliti akan mengajukan surat permohonan
penggunaan bahan BBT kepada pemilik pertama sampel BBT pada
penelitian ini.
Etik penelitian ini telah diajukan kepada bagian etik dari Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung. Etik penelitian ini telah disetujui oleh
bagian etik dari Fakultas Kedokteran Universitas Lampung dengan nomor
surat No: 3534/UN26.18/PP.05.02.00/2018. Bukti persetujuan etik
terlampir pada lampiran kesatu.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah tidak terdapat single nucleotide
polymorphism pada kodon 1042 gen Pfmdr1 pada penderita malaria
falciparum di Kabupaten Pesawaran, Lampung.
5.2 Saran
Adapun saran yang dapat diberikan terkait penelitian ini adalah sebagai
berikut.
1. Sampel yang digunakan sebaiknya dari daerah yang berbeda-beda
untuk mengetahui demografis polimorfisme nukleotida tunggal di
setiap wilayah.
2. Sampel penelitian sebaiknya dilakukan fotometri agar kandungan DNA
pada masing-masing sampel dapat diseragamkan
DAFTAR PUSTAKA
Alberts, Johnson, Lewis, Raff, Robert, Walter. 2014. Molecular biology of the cell
4th edition. 6th ed. Vol. 53. New York: Garland Science
Andiarsa D, Suryatinah Y, Indriyati L, Hairani B, Meliyanie G. 2015. Pengaruh
kejadian malaria terhadap hilangnya hari produktif masyarakat indonesia. Bul
Penelit Sist Kesehat. 18 (1):169–77.
Antinori S, Galimberti L, Milazzo L, Corbellino M. 2012. Biology of human
malaria plasmodia including Plasmodium knowlesi. Mediterr J Hematol Infect
Dis. 4(1): 1-12.
Antony H, Parija S. 2016. Antimalarial drug resistance: an overview. Trop
Parasitol. 6(1):30–41.
Ashley EA, Dhorda M, Fairhurst RM, Amaratunga C, Lim P, Suon S, et al. 2014.
Spread of artemisinin resistance in Plasmodium falciparum malaria. N Engl J
Med. 371(5):411–23.
Bakshi RP, Tatham LM, Savage AC, Tripathi AK, Mlambo G, Ippolito MM, et al.
2018. Long-acting injectable atovaquone nanomedicines for malaria
prophylaxis. Nat Commun. 9(1):1–8.
Bennett TN, Kosar AD, Ursos LMB, Dzekunov S, Bir A, Sidhu S, et al. 2004. Drug
resistance-associated pfCRT mutations confer decreased Plasmodium
falciparum digestive vacuolar pH. Mol Biochem Parasitol. 133:99–114.
Beringham, Luettich. 2003. Polymerase chain reaction and its application. Curr
Diagnostic Pathol. 9(1):159–64.
73
Berzosa P, Cantos AE, García L, González V, Navarro M, Fernández T, et al. 2017.
Profile of molecular mutations in pfdhfr , pfdhps , pfmdr1 , and pfcrt genes of
Plasmodium falciparum related to resistance to different anti ‑ malarial drugs
in the Bata District ( Equatorial Guinea ). Malar J. :1–10.
Bir A, Sidhu S, Valderramos SG, Fidock DA. 2005. Pfmdr1 mutations contribute
to quinin resistance and enhance meflokuin and artemisinin sensitivity in
Plasmodium falciparum. 57:913–26.
Borah P. 2011. Primer designing for PCR. Sci Vis. 11(3):134–6.
Browning DJ. 2014. Pharmacology of Chloroquine and Hydroxychloroquine.
Hydroxychloroquine and Chloroquine Retinopathy. New York: Springer.
Campbell N, Reece J, Urry L, Cain M, Wasserman S, Minorsky P, et al. 2017.
Biologi Edisi Kesebelas Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
Cui L, Mharakurwa S, Ndiaye D, Rathod PK, Rosenthal PJ. 2015. Antimalarial
drug resistance: Literature review and activities and findings of the ICEMR
network. Am J Trop Med Hyg. 93(3):57–68.
Das S, Mahapatra SK, Tripathy S, Chattopadhyay S, Dash SK, Mandal D, et al.
2014. Double mutation in the pfmdr1 gene is associated with emergence of
chloroquine-resistant Plasmodium falciparum malaria in eastern india.
Antimicrob Agents Chemother. 58(10):5909–15.
Depkes. 2015. Profil Kesehatan Lampung. Bandar Lampung: Dinas Keseharan
Provinsi Lampung.
Depkes. 2011. Epidemiologi malaria di indonesia. Bul Jendela Data dan Inf
Kesehat. 1:1–16.
Dobson PD, Lanthaler K, Oliver SG, Kell DB. 2009. Implication of the Dominant
Role of Transporters in Drug Uptake by Cells. Curr Top Med Chem. 9(2):163–
81.
Forsdyke DR, Mortimer JR. 2000. Chargaff ’ s legacy. Gene. 261(1):127–37.
74
Fujioka H, Aikawa M. 2002. Structure and life cycle. Chem Immunol. 80(1):1–26.
Gadalla NB, Tavera G, Mu J, Kabyemela ER, Fried M, Duffy PE, et al. 2015.
Prevalence of Plasmodium falciparum anti-malarial resistance-associated
polymorphisms in pfcrt , pfmdr1 and pfnhe1 in muheza , tanzania , prior to
introduction of artemisinin combination therapy. Malar J. 14(129):1–10.
Galinski M, Meyer E, Barnwell J. 2013. Advances in Parasitology. In: Hay S, Price
R, Baird JK, editors. Advances in Parasitology. 81st ed. Georgia, USA:
Elsevier B.V.; p. 2–20.
Gama BE, Oliveira NKA De, Souza JM De, Santos F, Carvalho LJM De, Melo
YFC, et al. 2010. Brazilian Plasmodium falciparum isolates : investigation of
candidate polymorphisms for artemisinin resistance before introduction of
artemisinin-based combination therapy. Malar J. 9(1):1–5.
Giasuddin A. 1995. Polymerase Chain Reaction Technique: fundamental aspects
and applications in clinical diagnostics. Curr Diagnostic Pathol. :29–32.
Haggarty WC. 2013. The beautiful complexity of the malaria parasite. Science
[Online Journal] [diunduh 16 januari 2019]. Tersedia dalam
https://mostlyscience.com/2013/06/the-beautiful-complexity-of-the-malaria-
parasite/
Harijanto. 2011. ACT sebagai Obat Pilihan Malaria Ringan di indonesia. Cdk 182.
38(2):112–4.
Harvey R, Champe P. 2009. Lippincott’s illustrated reviews: pharmacology, 4th
edition. USA: Lippincott William & Wilkins.
Humphreys GS, Merinopoulos I, Ahmed J, Whitty CJM, Mutabingwa TK,
Sutherland CJ, et al. 2007. Amodiaquine and artemether-lumefantrin select
distinct alleles of the Plasmodium falciparum mdr1 gene in Tanzanian children
treated for uncomplicated malaria. Antimicrob Agents Chemother. 51(3):991–
7.
Ibraheem ZO, Majid RA, Noor SM, Sedik HM, Basir R. 2014. Role of different
pfcrt and pf mdr1 mutations in conferring resistance to antimalaria drugs in
Plasmodium falciparum. Malar Res Treat. 2014(1):1–17.
75
Karp G. 2013. Cell and molecular biology: concepts and experiments 7th edition.
New York: J. Wiley
Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ. 2012. Basic and clinical pharmacology 12th
edition. USA: McGraw-Hills.
Kemenkes RI. 2016. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Kemenkes RI. 2017. Buku Saku Penatalaksanaan Kasus Malaria. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI.
Kublin JG, Cortese JF, Njunju EM, G. Mukadam RA, Wirima JJ, Kazembe PN, et
al. 2003. Reemergence of chloroquine‐sensitive Plasmodium falciparum
malaria after cessation of chloroquine use in malawi. J Infect Dis [Internet].
187(12):1870–5.
Li J, Chen J, Xie D, Eyi UM, Matesa RA, Obono MMO, et al. 2015. Molecular
mutation profile of Pfcrt and Pfmdr1 in Plasmodium falciparum isolates from
Bioko Island, Equatorial Guinea. Infect Genet Evol. 36(1):552–6.
Li Q, O’Neil M, Xie L, Caridha D, Zeng Q, Zhang J, et al. 2014. Assessment of the
prophylactic activity and pharmacokinetic profile of oral tafenoquine
compared to primaquine for inhibition of liver stage malaria infections. Malar
J. 13(1):1–13.
Liwan AS. 2015. Diagnosis dan penatalaksanaan malaria tanpa komplikasi pada
anak. CDK-229. 42(6):425–9.
Mehlotra RK, Mattera G, Bockarie MJ, Maguire JD, Baird JK, Sharma YD, et al.
2008. Discordant patterns of genetic variation at two chloroquine resistance
loci in worldwide populations of the malaria parasite Plasmodium falciparum.
Antimicrob Agents Chemother. 52(6):2212–22.
Montenegro M, Neal AT, Posada M, Salas BD Las, Lopera Mesa TM, Fairhurst
RM, et al. 2017. K13 propeller alleles, mdr1 polymorphism, and drug
effectiveness at day 3 after artemether-lumefantrin treatment for Plasmodium
falciparum malaria in colombia, 2014-2015. Antimicrob Agents Chemother.
61(12):1–10.
76
Muhamad P, Phompradit P, Sornjai W, Maensathian T, Chaijaroenkul W,
Rueangweerayut R, et al. 2011. Polymorphisms of molecular markers of
antimalarial drug resistance and relationship with artesunate-meflokuin
combination therapy in patients with uncomplicated Plasmodium falciparum
malaria in Thailand. Am J Trop Med Hyg. 85(3):568–72.
Nathalie W, Fall B, Pascual A, Fall M. 2014. Role of pfmdr1 in in vitro Plasmodium
falciparum susceptibility to chloroquine, quinin, monodesethylamodiaquine,
meflokuin, lumefantrin, and dihydroartemisinin. Antimicrob Agents
Chemother. 58(12):7032–7040.
Nilsen A, Doggett JS, Health O, Meermeier E, Health O. 2012. Sontochin as a guide
to the development of drugs against resistant malaria. Antimicrob Agents
Chemother. 56(7):3475–80.
Nixon GL, Moss DM, Shone AE, Lalloo DG, Fisher N, O’neill PM, et al. 2013.
Antimalarial pharmacology and therapeutics of atovaquone. J Antimicrob
Chemother. 68(5):977–85.
Olliaro B. 2001. Clinical and public health implications of antimalarial drug
resistance. Antimalarial chemotherapy: mechanisms of action, resistance, and
new directions in drug discovery. Br J Clin Pharmacol. 52(4):464.
Petersen I, Eastman R, Lanzer M. 2011. Drug-resistant malaria: Molecular
mechanisms and implications for public health. FEBS Lett. 585(11):1551–62.
Pickard AL, Wongsrichanalai C, Purfield A, Kamwendo D, Emery K, Zalewski C,
et al. 2003. Resistance to antimalarials in southeast asia and genetic
polymorphisms in pfmdr1. Antimicrob Agents Chemother. 47(8):2418–23.
Pirahmadi S, Zakeri S, Afsharpad M, Djadid ND. 2013. Mutation analysis in
pfmdr1 and pfmrp1 as potential candidate genes for artemisinin resistance in
Plasmodium falciparum clinical isolates 4years after implementation of
artemisinin combination therapy in Iran. Infect Genet Evol [Internet].
14(1):327–34.
Price RN, Uhlemann AC, Brockman A, McGready R, Eelizabeth A, Phaipun L, et
al. 2004. Meflokuin resistance in Plasmodium falciparum and increased
pfmdr1 gene copy number. Lancet. 364(1):438–47.
77
Saleh I, Handayani D, Anwar C. 2014. Polymorphism in the pfcrt and pfmdr1 genes
in Plasmodium falciparum Isolates from South Sumatera, Indonesia. 23(1):3–
8.
Sasmito DEK, Muhimmah I, Kurniawan R. 2014. Karakteristik primer pada
olymerase chain reaction (pcr) untuk sekuensing dna: mini review. Seminar
Nasional Informatika Medis 2014.
Simamora, Fitri. 2007. Resistensi obat malaria: mekanisme dan peran obat
kombinasi obat antimalaria untuk mencegah. J Kedokt Brawijaya. 23(2):82–
91.
Slater AFG. 1993. Chloroquine: mechanism of drug action and resistance in
Plasmodium falciparum. Pharmac Ther. 57(1):203–35.
Sondo P, Derra K, Nakanabo SD, Tarnagda Z. 2016. Artesunate-amodiaquine and
artemether- lumefantrin herapies and selection of pfcrt and pfmdr1 alleles in
nanoro , burkina faso. PLoS One. 11(3):1–10.
Staines HM, Krishna S. 2012. Treatment and prevention of malaria. October.
London: Springer;
Sumarmo, Soedarmo P, Garna H, Rezeki S, Hadinegoro S, Satari H, et al. 2012.
Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis.
Sutanto, Inge, Ismid S, Sjarifuddin P, Sungkar S. 2018. Buku Ajar Parasitologi
Kedokteran Edisi Keempat. 4th ed. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
Syafruddin D, Asih PB, Casey GJ, Maguire J, Baird JK. 2005. Molecular
epidemiology of Plasmodium falciparum resistance to antimalarial drugs in
indonesia. Am J Trop Med Hyg. 72(2):174–81.
Syaifudin M, Darlina, Nurhayati S, Rahardjo T, Nugroho HE, Asih PBS, et al. 2018.
Baseline parasite profile in developing irradiation malaria vaccine in
indonesia: molecular analysis of papua samples. Adv Sci Lett. 24(9):6409–13.
Szalai C, László V, Oberfrank F, Pap E, Tóth S, Falus A. 2014. Genetics and
78
genomics. Genetics and genomics. Budapest: Typotex Kiadó.
Tahita MC, Tinto H, Erhart A, Kazienga A, Fitzhenry R, VanOvermeir C, et al.
2015. Prevalence of the dhfr and dhps mutations among pregnant women in
rural Burkina Faso five years after the introduction of intermittent preventive
treatment with sulfadoxine-pyrimethamine. PLoS One. 10(9):1–9.
Tjitra E, Gunawan S, Laihad F, Marwoto H, Sulaksono S, Arjoso S, et al. 2012.
Evaluation of antimalarial drugs in Indonesia, 1981-1995. Bul Penelit Kesehat.
25(1):1981–95.
Triwani. Deteksi resistensi Plasmodium falciparum terhadap klorokuin dengan
marka situs polimorfik Lys76Tyr gen pfcrt menggunakan pcr-rflp. FK Univ
Sriwij. :1–8.
Wong RPM, Karunajeewa H, Mueller I, Siba P, Zimmerman PA, Davis TME. 2011.
Molecular assessment of Plasmodium falciparum resistance to antimalarial
drugs in papua new guinea using an extended ligase detection reaction
fluorescent microsphere assa. Antimicrob Agents Chemother. 55(2):798–805.
Yusuf K Z. 2010. Polymerase chain reaction (PCR). Saintek. 5(6):3.