IDENTIFIKASI KONFLIK PEREBUTAN TANAH ADAT DI DAERAH …eprints.ulm.ac.id/3283/6/NASKAH STRATEGI...
Transcript of IDENTIFIKASI KONFLIK PEREBUTAN TANAH ADAT DI DAERAH …eprints.ulm.ac.id/3283/6/NASKAH STRATEGI...
1
IDENTIFIKASI KONFLIK PEREBUTAN TANAH ADAT DI
DAERAH LAHAN BASAH KABUPATEN BANJAR
Prof. Dr. H. Wahyu,MS
Mariatul Kiptiah, S.Pd., M.Pd
2
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Penelitian
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Agraria
2.2 Sosiologi Pedesaan
2.2.1 Desa
2.2.2 Pengertian Desa
2.2.3 Pemahaman Masyarakat Desa
2.2.4 Konflik dalam Perkembangan Desa
2.2.5 Pencegahan dan Penyelesaian Konflik
2.2.6 Karakteristik Ekosistem Pertanian Lahan Basah
2.2.6.1 Kendala dan Faktor Pembatas
2.2.6.2 Potensi Lahan Rawa
2.3 Peta Jalan Penelitian
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1 Tujuan Penelitian
3.2 Manfaat Penelitian
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Jenis Penelitian
4.2 Lokasi Penelitian
4.3 Populasi dan Sampel
4.4 Sumber Data Penelitian
4.5 Teknik Pengumpulan dan Analisis Data
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Temuan
5.2 Pembahasan
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
6.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berbicara tanah tentu berbicara tentang bagaimana setiap manusia bisa
bertahan hidup karena tanah sesungguhnya menjadi tempat bagi setiap manusia
untuk melakukan aktualisasi diri (UU Agraria No. 5/1960). Dari tanahlah,
manusia kemudian membangun kehidupan. Dari tanah pulalah, manusia mampu
mempertahankan kehidupannya. Tanah menjadi tempat berpijak sehingga ini pun
harus dipertahankan keberlangsungannya. Tentunya, tanah yang diperbincangkan
ini pun juga tidak akan lepas dari perbincangan seputar agraria yang sudah lama
menjadi pembahasan dari masa ke masa. Konflik agraria dalam setiap peradaban
manusia menjadi warna tersendiri yang menentukan sebuah perjalanan bangsa.
Konflik agraria berjalin kelindan dengan bagaimana lahan menjadi ajang
kontestasi (Suhendar dan Winarni, 1998). Dengan kata lain, perebutan lahan terus
menerus bermunculan. Tanah, dalam konteks ini, kemudian menjadi rebutan dan
perebutan sehingga kondisi inilah yang melahirkan konflik. Umumnya, konflik
tentang perebutan tanah muncul ketika ada pihak yang merasa kuat ingin
menguasai tanah padahal lahan tersebut menjadi milik bersama.
Data menunjukkan bahwa di Kalimantan Timur (Kaltim) konflik agraria
umumnya didominasi oleh konflik sektor perkebunan dengan jumlah 30 konflik,
kemudian konflik di sektor kehutanan dengan jumlah 26 konflik, dan konflik
pertambangan sebanyak 5 konflik. Konflik di sektor kehutanan, misalnya, terjadi
akibat perampasan hutan adat oleh perusahaan hutan tanaman industri, padahal
Kementerian Kehutanan telah menyutujui adanya hutan adat seluas 700 Ha dari
11.667 Ha di Masyarakat Adat Modang. Sementara di Kalimantan Selatan
(Kalsel) konflik didominasi oleh konflik di sektor pertambangan dan perkebunan
dengan skala besar dengan masing-masing 7 konflik, kemudian sektor kebijakan
penataan ruang dengan 3 konflik dan 1 konflik di sektor kehutanan. Salah satu
konflik perkebunan besar adalah rencana pembukaan lahan rawa secara besar-
besaran di daerah rawa di beberapa kabupaten seperti Hulu Sungai Utara, Hulu
Sungai Selatan, Tanah Laut dan Tapin. Ekspansi perkebunan besar selain
mengancam pengurangan lahan pertanian juga mengancam mata pencaharian
4
masyarakat di sektor perikanan air tawar. Industri ekstraktif pertambangan batu
bara cukup masif di Kalimantan Selatan walaupun hanya tercatat hanya 7 konflik
tapi diperkirakan jumlahnya mungkin jauh lebih besar. Salah satu konflik dengan
pertambangan adalah di komunitas Dayak Deyah di Kabupaten Tabalong.
Perusahaan pertambangan telah merampas lahan milik masyarakat padahal di sana
terdapat setidaknya ada 6 lokasi makam leluhur mereka. Kini apapun nama
konflik yang memicu tersebut, maka ketika rakyat ingin merebut kembali
tanahnya yang akan dirampas para perampok, hal tersebut sebetulnya dinamakan
konflik restoratif (Sadikin dan Samandawai, 2007).
Selanjutnya hasil penelitian berjudul “Identifikasi Konflik Perebutan Tanah
Adat di Daerah Lahan Basah Kabupaten Banjar” oleh Wahyu, Acep Supriadi, dan
Mariatul Kiptiah (2014) yang merupakan penelitian tahun ke-1 menunjukkan
bahwa konflik tanah yang terkait dengan lahan basah secara lebih persisnya
berada di Kelurahan Gambut dan umumnya mengenai sertifikat berlapis. Yang
mendasari kemunculan konflik tanah dan adanya sertifikat berlapis adalah karena
adanya akses jalan yang sebelumnya tidak ada. Tanah di daerah lahan basah
kelurahan Gambut yang sebelumnya hanya merupakan lahan tidur atau dapat juga
disebut Hutan Galam kemudian bernilai ekonomi tinggi pasca dibukanya akses
jalan. Tanah dengan sertifikat berlapis berlokasi di sepanjang jalan A. Yani di
antara Km. 7 sampai dengan Km. 18 dan Lingkar Utara.
Dengan pertimbangan itulah, maka menjadi penting untuk mendesain pola
penanganan konflik tanah di daerah lahan basah di Kabupaten Banjar dalam
rangka mengantisipasi konflik-konflik laten tentang tanah yang dimungkinkan
muncul suatu waktu tertentu.
1.2 Rumusan Penelitian
Atas dasar tersebut, maka rumusan penelitiannya adalah
1. Bagaimana upaya penanganan konflik tanah di daerah lahan basah
Kabupaten Banjar, khususnya Kecamatan Gambut?
2. Bagaimana model penanganan konflik tanah di daerah lahan basah
Kabupaten Banjar, khususnya Kecamatan Gambut?
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Agraria
Tujuan pembangunan agraria adalah untuk menata kembali struktur
pemilikan, penguasaan, dan pemanfaatan sumber-sumber agraria/sumber daya
alam menuju terciptanya pengelolaan sumber-sumber agraria yang adil,
berkelanjutan, dan menyejahterakan masyarakat (Sumardjono, 2008). Tujuan
pembangunan agraria selanjutnya dapat dikelompokkan dalam tiga sentrum:
a) Tujuan politik
1) Penghapusan penumpukan sumber daya alam secara berlebihan
kepada kelompok tertentu;
2) Memberdayakan petani atau masyarakat setempat dalam
pengelolaan sumber daya alam;
3) Mengurangi ketidakadilan dalam pemilikan/penguasaan tanah dan
sumber-sumber agraria lainnya.
b) Tujuan ekonomi
1) Peningkatan produksi pertanian dan mobilisasi potensi produksi;
2) Mengembangkan peluang pasar lokal dalam pembangunan usaha
mandiri;
3) Diversifikasi produksi;
4) Menciptakan peluang kerja tambahan.
c) Tujuan sosial
1) Pembagian pendapatan dan pemilikan sumber daya alam secara
lebih adil kepada masyarakat pedesaan;
2) Mewujudkan kesejahteraan masyarakat pedesaan, termasuk
peningkatan status sosialnya.
Oleh karenanya dalam rangka menciptakan pembaruan agraria yang
berpihak kepada kepentingan publik, maka berbagai persyaratan untuk
keberhasilan program pembaruan agraria sebagai berikut perlu dilakukan:
a. Pembaruan agraria harus dilaksanakan tepat waktu (tidak tertunda-
tunda);
6
b. Restrukturisasi pemilikan, penguasaan, dan pemanfaatan tanah dan
sumber-sumber agraria lainnya perlu disertai dengan berbagai upaya
lain, yakni tersedianya kredit, pengembangan pemasaran, ketersediaan
tenaga kerja dan modal atau akses pada pasar produksi;
c. Reformasi peraturan perundang-undangan sektoral dalam rangka
mencapai harmonisasi hukum tentang sumber-sumber agraria;
d. Reformasi kelembagaan, yakni penguatan organisasi-organisasi petani,
nelayan, dan sebagainya.
2.2 Sosiologi Pedesaan
Sosiologi berasal dari dua kata, yakni socius dan logos. Socius berarti
berteman dan logos berarti ilmu. Dengan demikian, sosiologi adalah ilmu yang
mempelajari hidup dalam kebersamaan. Sementera menurut August Comte,
sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan perubahan sosial.
Dengan kata lain, sosiologi kemudian mengupas secara tuntas tentang bagaimana
sebuah kehidupan masyarakat dijalin dengan sedemikian rupa dalam sebuah
bangunan bermasyarakat dinamis. Menarik apa yang disampaikan oleh Emile
Durkheim, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari fakta (kenyataan) sosial.
Sementara Max Weber berujar, sosiologi itu dekat dengan ilmu yang mempelajari
dan memahami tindakan-tindakan sosial. Selo Soemardjan mengatakan bahwa ia
adalah ilmu yang mempelajari kemasyarakatan yang berkenaan dengan struktur
sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan sosial itu sendiri (Nain dan
Yusoff, 2003). Ilmu sosiologi berjalin kelindan dengan perdebatan bagaimana
bangunan berpikir masyarakat sebuah komunitas tertentu harus dibentuk dan
berproses. Tatkala sosiologi dibenturkan dalam sebuah keadaan masyarakat
tertentu yang mengalami perubahan cara pandang hidup akibat pengaruh keadaan
baik dari dalam diri maupun dari luar, maka cara berpikir masyarakat kemudian
akan pasti mengalami sebuah perubahan. Sebut saja, bagaimana masyarakat
bertindak, bersikap serta berpikir akan menjadi sebuah hal niscaya. Oleh sebab
itu, dalam rangka membaca kondisi pergerakan kehidupan masyarakat di sebuah
tempat tertentu, sosiologi menjadi kata kunci mendasar yang harus dipedomani.
Karena sosiologi dilahirkan untuk memotret kehidupan masyarakat, maka menjadi
7
sebuah hal niscaya tatkala apapun kondisi masyarakat dengan segala variannya
menjadi sesuatu yang mesti serta perlu dideskripsikan secara lengkap dan jelas.
Selanjutnya bagaimana tentang kata “pedesaan” itu sendiri? Yang jelas,
pembahasan seputar pedesaan adalah sebuah wadah bagaimana sebuah kelompok
masyarakat tertentu melakukan interaksi diri dengan lingkungannya. Pedesaan
yang kemudian lebih dikenal sebagai golongan masyarakat yang berada dalam
kondisi buta aksara tentunya adalah mereka yang kemudian mengalami kesulitan
dalam membangun akses untuk kepentingan kehidupannya yang lebih baik baik.
Masyarakat pedesaan selalu dekat dan lekat dengan cara berpikir yang masih
sangat terbatas serta tradisional (Habib, 2004). Segala hal yang berjalin kelindan
dengan kehidupannya, apakah itu baik dan tidak selalu diserahkan kepada Tuhan
Yang Pencipta. Kondisi demikian tentunya melahirkan sebuah keadaan
masyarakat yang terbelakang dan tak akan mampu menjadi masyarakat maju
sebab cara berpikirnya lebih sangat kolot. Cara berpikirnya yang masih sektarian
atau sektoral tentu sangat menghambat pergerakannya dalam bersosialisasi diri
dan merespon pelbagai kehidupan yang berada di sekitar. Dengan pertimbangan
itulah, penelitian tentang identifikasi konflik perebutan tanah adat antara
masyarakat setempat dan pihak penguasa kemudian perlu diteliti. Dasar teori yang
dibahas inilah menjadi sebuah kerangka dasar bagaimana masyarakat di pedesaan
harus ditinggikan dan dibangun kedaulatannya.
2.2.1 Desa
Masyarakat sebagai sebuah komponen dengan berbagai peranan masing-
masing anggotanya, dengan sendirinya memiliki permasalahan tersendiri.
Perjalanan sebuah masyarakat ibarat perahu layar yang menyinggahi bandar dan
pelabuhan jua, bukan tanpa ombak dan batu karang melintang, tentu saja.
Demikianlah perjalanan dan perkembangan sebuah masyarakat desa. Oleh sebab
itu, adalah keliru bila ada pendapat yang mengatakan bahwa masyarakat pedesaan
itu statis, tetap, dan tak berkembang.
Perkembangan dan perubahan dalam masyarakat justru merupakan salah
satu ciri masyarakat itu sendiri, termasuk masyarakat desa. Untuk masyarakat
desa di Indonesia misalnya, tidak terkecuali terjamah pula perkembangan dan
8
perubahan-perubahan; apalagi pada dekade terakhir baru-baru ini melalui
pembangunan dan modernisasi.
Dalam kaitan itulah, maka pemahaman terhadap masyarakat desa menjadi
semakin perlu sebab dengan pemahaman yang benar akan terjadi penanganan
yang benar pula. Melalui pemahaman dan penanganan yang benar itu,
pembangunan masyarakat pedesaan dapat kita lakukan secara benar.
Pembangunan pedesaan secara benar berarti tidak bertentangan dengan
pemahaman masyarakat itu sendiri, berdasarkan nilai-nilai dan norma-norma yang
ada dalam masyarakat itu.
Dalam pembangunan masyarakat desa, banyak pihak harus dilibatkan
secara aktif, misalnya para pemimpin baik pemimpin formal maupun pemimpin
informal. Tetapi juga anggota masyarakat desa itu sendiri harus terlibat secara
aktif dalam proses pembangunan dan modernisasi.
2.2.2 Pengertian Desa
Desa dapat diberikan pengertian dengan dasar pemikiran dan karakteristik
yaitu aspek morfologi, aspek jumlah penduduk, aspek ekonomi, dan aspek sosial
budaya serta aspek hukum (Asy’ari, 1993). Menurut aspek morfologi, desa ialah
pemanfaatan lahan atau tanah oleh penduduk atau masyarakat yang bersifat
agraris, serta bangunan rumah tinggal yang terpancar (jarang). Dari aspek jumlah
penduduk, desa didiami oleh sejumlah kecil penduduk dengan kepadatan yang
rendah. Dari Aspek ekonomi, desa ialah wilayah yang penduduk atau
masyarakatnya bermatapencaharian pokok di bidang pertanian, bercocok tanam
atau agraria, atau nelayan. Aspek segi sosial budaya, desa itu tampak dari
hubungan sosial antar penduduknya yang bersifat khas, yakni hubungan
kekeluargaan, bersifat pribadi, tidak banyak pilihan dan kurang tampak adanya
pengkotaan, atau dengan kata lain bersifat homogen, serta bergotong-royong. Jika
dilihat dari aspek hukum, desa merupakan kesatuan wilayah hukum tersendiri
(P.J.M.Nas, 1979 dan Soetardjo, 1984).
Menurut Soetardjo (1984), kesatuan hukum masyarakat Indonesia terdiri
dari:
1. Faktor genealogis;
9
2. Faktor teritorial; dan
3. Faktor campuran, yakni faktor genealogis dan teritorial.
Istilah desa menurut Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979, yakni Undang-
Undang tentang Pemerintahan Desa, maka istilah “Desa” menjadi seragam untuk
seluruh wilayah tanah air Indonesia. Jadi desa telah menjadi istilah Nasional,
untuk menunjukkan “kesatuan wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk
sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum
yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat,
dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia”, (Pasal I huruf a, UU No. 5 Tahun 1979).
Selain itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, ialah unsur-unsur
desa. Menurut Bintarto (1984), unsur-unsur desa adalah sebagai berikut:
1. Daerah, dalam arti tanah-tanah yang produktif dan yang tidak, beserta
penggunaannya, termasuk juga unsur lokasi, luas dan batas yang
merupakan lingkungan geografi setempat;
2. Penduduk adalah hal yang meliputi jumlah, pertambahan, kepadatan,
persebaran dan mata pencaharian penduduk desa setempat;
3. Tata kehidupan, dalam hal ini pola tata pergaulan dan ikatan-ikatan
pergaulan warga desa. Jadi, menyangkut seluk beluk kehidupan
masyarakat desa (rural society).
Ketiga unsur desa ini tidak lepas satu sama lain dan ini berarti tidak berdiri
sendiri, melainkan merupakan satu kesatuan. Unsur daerah, penduduk dan tata
kehidupan merupakan suatu kesatuan hidup atau “living unit”. Daerah
menyediakan kemungkinan hidup, penduduk menggunakan kemungkinan yang
disediakan oleh daerah itu guna mempertahankan hidup. Tata kehidupan, dalam
artian yang baik memberikan jaminan akan ketentraman dan keserasian hidup
bersama di desa (Bintarto, 1984).
2.2.3 Pemahaman Masyarakat Desa
Masyarakat desa biasanya juga dianggap sebagai masyarakat yang masih
tergolong kalangan bawah atau kelas bawah, maka mereka belum dianggap
sebagai masyarakat yang seperti sering dimaksudkan banyak orang. Orang desa
10
adalah mereka yang kolot, tertinggal, bodoh, dan memalukan. Oleh sebab itu,
berbicara tentang mereka sebenarnya tidak menguntungkan dan tidak perlu.
Begitulah pendapat yang seringkali muncul.
Tanpa memandang remeh beberapa kenyataan akan kebenaran pendapat
tersebut, maka pemahaman tentang masyarakat desa secara lebih simpatik akan
dipaparkan di bawah ini. Sastrosupono dan Siswo Pangripto (1984)
menggambarkannya sebagai berikut:
a. Masyarakat Beradat
Salah satu ciri masyarakat desa adalah keeratan dan kepatuhan mereka
terhadap adat-istiadat masyarakatnya. Mereka adalah masyarakat yang
terikat erat oleh kebiasaan sebagai salah satu ciri masyarakat desa yang
harus pula dimengerti dan dipahami. Dengan demikian, kita menjadi sadar
bahwa memahami masyarakat desa harus pula memahami adat-istiadat
mereka dan tradisi mereka. Siapapun yang ingin mengerti siapakah
masyarakat desa tertentu, ia harus mau mengerti lebih dahulu kebiasaan
dan kebudayaan masyarakat itu. Memahami kebiasaan dan kebudayaan
masyarakat desa itu, berarti mengerti apa yang dipercaya dan yang
dianggap baik serta tak baik oleh masyarakat tersebut.
Apabila kita dapat mengerti hal-hal tersebut di atas, maka jangan khawatir,
kita akan mampu pula menangkap masyarakat tersebut. Katakanlah kita
akan dapat mendekati mereka, memahami mereka secara lebih simpatik,
diterima mereka dan dapat bersahabat dengan mereka pula.
Ingatlah sekali lagi: “masyarakat desa adalah masyarakat beradat”, artinya
masyarakat yang memegang adat secara teguh. Maka dari itu, kalau kita
ingin diterima mereka dan ingin mengarahkan mereka, kita harus berlaku
dan melakukan seperti apa yang mereka lakukan. Pendek kata janganlah
kita menentang dan menyakitkan hati mereka dengan perkara adat dan
tradisi mereka itu.
Itu berarti agar kita tidak melanggar adat mereka, bila ingin agar mereka
mau mendengar kata-kata kita, nasehat kita ataupun usaha kita
mempengaruhi dan mengarahkan mereka. Melanggar adat memang sebuah
pantangan besar bagi siapapun yang ingin mendekati masyarakat desa,
11
kalaupun tidak menyetujui adat tertentu, lebih baik datanglah dengan cara
seolah menyetujui adat secara umum lebih dahulu, kemudian setelah
mereka mau kita dekati, maka kita baru buka kartu secara pelan-pelan
tentang ketidaksetujuan kita terhadap adat tertentu itu. Tentu saja harus
dengan alasan kuat, memberikan contoh dan melaksanakannya sendiri.
Adat-istiadat sebuah masyarakat memang erat sekali hubungannya dengan
kehidupan seluruh masyarakat itu sendiri. Bukankah kita tahu bahwa adat
menyentuh seluruh eksistensi (keberadaan) hidup kita sebagai manusia?
Sejak kita masih di dalam perut sang ibu, adat telah menyentuh kita,
demikianlah sepanjang hidup manusia di dunia ini bahkan setelah
meninggalkan dunia, adat masih tetap menyertai kita. Ini sungguh sebuah
realitas dalam kehidupan masyarakat desa;
b. Masyarakat Bertutur
Ciri lain di samping adat-istiadat yang kokoh dalam masyarakat desa ialah
tradisi bertutur atau tradisi lisannya. Sebuah masyarakat desa hampir pasti
lebih banyak memegang teguh tradisi lisannya dari pada tradisi menulis.
Itulah sebabnya di mana-mana yang namanya desa lebih banyak
menggunakan kebiasaan bertutur, bercerita dan berkata-kata secara lisan
dalam pengajaran dan pewarisan budayanya.
Lihatlah betapa banyak dan tersebar cerita rakyat dan petuah-petuah lisan
dalam masyarakat desa, sehingga kita hampir dibikin pusing untuk
mengerti yang manakah petuah pokok dan yang mana yang
menyekitarinya. Tetapi berbahagialah mereka yang mampu menelusuri
pandangan masyarakat desa melalui cerita rakyat yang ada, melalui
pepatah dan ungkapan-ungkapan budaya yang ada. Sebab hanya melalui
itu, kita akan ditolong lebih paham dan lebih tepat dalam mengerti
masyarakat desa. Maka jangan sepelekan cerita-cerita dan omongan rakyat
desa, bila kita ingin bergaul dengan mereka.
Berdasarkan pemahaman ini, maka tidak benar pula kalau kita hendak
mendekati masyarakat desa tetapi tidak mau menggunakan kebiasaan
mereka yakni bertutur kata, berbincang-bincang dan bergaul. Meskipun
kita datang dari latarbelakang kota yang lebih cenderung bersikap
12
individualistis, tetapi kita harus segera merubah sikap itu dengan terbuka
dan lebih memperhatikan sesama, lebih ramah, banyak berbicara dengan
siapa saja yang dipertemukan dengan kita.
Lebih bagus lagi, kalau kita bertutur kata dengan mereka menggunakan
pengertian atau konsepsi yang ada dalam masyarakat desa itu sendiri, agar
dengan demikian kita menjadi lebih dekat, akrab dengan mereka dan tak
perlu ada jurang pemisahnya. Ini lebih penting bagi mereka yang diberi
tugas sebagai juru penerang, penyuluh atau petugas pedesaan lainnya.
Masyarakat desa tidak membutuhkan kata-kata muluk dan kata-kata asing,
yang mereka butuhkan adalah kata-kata sederhana, yang mereka dengar
sehari-hari dan dengan cara pengungkapan mereka sendiri. Lebih senang
lagi, kalau mereka menerima kata-kata itu melalui cara dan sikap yang
mereka pahami dan mereka anggap baik dalam masyarakat mereka.
Katakanlah, kita akan berhasil berhubungan atau berkomunikasi dengan
mereka kalau kita menggunakan budaya mereka.
Masyarakat bertutur berarti masyarakat yang memegang tradisi lisan
sebagai tradisi utama. Oleh sebab itu, apa-apa yang terjadi dalam
masyarakat itu cenderung dimengerti dan diselesaikan dengan banyak
menggunakan pembicaraan dan pertemuan anggota masyarakatnya.
Mereka amat menjunjung tinggi peranan pertemuan atau rapat-rapat desa.
Itulah sebabnya “rembug desa” (bahasa menterengnya rapat desa)
merupakan lembaga resmi yang bernilai tinggi, dengan demikian maka
rembug desa menjadi lembaga desa, bahkan lembaga desa tertinggi;
c. Masyarakat Berkerohanian
Di muka telah disinggung bahwa masyarakat desa seringkali disebut
sebagai masyarakat beradat, dan di dalam beradat lekat di sana kait-
mengkait antara adat dan agama maupun kepercayaan kerohanian pada
umumnya.
Masyarakat desa adalah masyarakat berkerohanian, barangkali ungkapan
ini memang tepat dan cukup memberi bobot. Berkerohanian, itu berarti
bahwa masyarakat desa pada umumnya memiliki perhatian yang cukup
terhadap masalah yang berhubungan dengan kerohanian, umpama saja:
13
kepercayaan, kerohanian, kebatinan, dan agama. Katakanlah, bahwa
masyarakat desa relatif lebih rohaniah daripada masyarakat yang tinggal
jauh dari pedesaan.
Oleh sebab itu, bila kita memperhatikan masyarakat desa, kita akan
mendapatkan suasana yang cukup tebal kerohaniannya, kepercayaan
tentang kuasa-kuasa dan roh-roh, misalnya kehidupan keagamaan dan
kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang sangat kentara adanya di
sana. Orang desa tidak akan begitu saja mau berubah kepercayaannya
terhadap apa-apa yang selama ini dianutnya. Begitulah, maka
menyadarkan mereka akan ketahayulan (tahyul) pun bukan perkara
mudah. Salah-salah, kita bisa dituduh mengacau masyarakat. Untuk tidak
jatuh ke dalam bahaya itu, maka kita harus mengenal suasana kehidupan
kerohanian di pedesaan.
2.2.4 Konflik dalam Perkembangan Desa
Pembangunan pedesaan khususnya dan pembangunan masyarakat pada
umumnya, tentu disambut dengan rasa syukur dan gembira. Demikianlah, sebagai
suatu realitas yang ada di dalam kehidupan masyarakat Indonesia sekarang ini.
Kegembiraan itu tentu saja beralasan sebab kenyataannya memang dengan adanya
pembangunan pedesaan nampak kemajuan di sana-sini. Ada suatu perkembangan
yang tak dapat dipungkiri bahwa dengan pembangunan di desa, ada kemajuan
dalam berbagai bidang. Bidang politik terutama dalam hal kesadaran hukumnya,
di bidang ekonomi terutama ekonomi pertaniannya, di bidang sosial budaya
terutama bidang sosialnya, demikian pula di bidang pertahanan dan keamanan.
Kenyataan pembangunan di desa telah menyadarkan mata hati masyarakat
tentang perlunya memahami hidup dan kehidupan ini secara benar. Masyarakat
desa diingatkan kembali tentang bagaimana seharusnya hidup, baik di tengah
pergaulan dengan sesama anggota masyarakat maupun dengan alam dan
lingkungannya. Pada sebelah lain, pembangunan pedesaan memberi tanda awas
terhadap bahaya latent yang selama ini bisa timbul, yaitu kurang diperhatikannya
bidang kerohanian dan kejiwaan. Jadi sekali lagi, adalah wajar kalau masyarakat
menyambutnya secara gegap gempita.
14
Demikianlah, kemajuan demi kemajuan telah kita saksikan keberadaannya
di bumi desa kita. Orang yang dahulu tak melek huruf kini telah tahu merah hijau
dunia melalui media massa cetak yang ada. Orang yang dahulu buta pengetahuan
kini telah makin arif dalam hidupnya. Orang yang dahulu miskin dan papa kini
sudah mampu hidup secara layak. Orang dahulu teramat menderita kini mulai
merasakan apa arti hidup. Cukup banyak daftar keberhasilan yang bisa disodorkan
dalam daftar kita tentu saja.
Perkembangan desa memang tidak pernah tanpa konflik, bagaimanapun
kecilnya konflik itu. Demikianlah juga dengan adanya pembangunan pedesaan, di
sana juga ada konflik. Beberapa konflik di dalam hubungannya dengan perubahan
dan perkembangan masyarakat desa, menurut pendapat Sastrosupono dan Siswo
Pangripto (1984), antara lain seperti di bawah ini:
1. Kemajuan fisik dan kemajuan bidang non fisik
Di pedesaan makin hari, makin nampak jurangnya. Pembangunan
gedung dan rumah-rumah sedemikian megahnya nampak di mana-
mana, tetapi pembangunan mental seringkali nampak tersendat-sendat.
Kemegahan sarana fisik dan kejayaan materi di desa ternyata telah
mengakibatkan beberapa akibat negatif yakni merosotnya akhlak atau
moral manusia. Mengapa demikian? Orang sudah terlalu percaya pada
kemampuan pikir dan kemampuan perhitungan akalnya, terlalu percaya
pada kemampuan ekonomi, sehingga lupa akan aspek rohani.
Walaupun memang tak boleh kita tarik kesimpulan seolah karena
kemajuan ekonomi lantas mengakibatkan kemerosotan mental, tetapi
memang kecenderungan manusia maju selalu begitu. Materi naik dan
maju, rohani mundur dan ditinggalkan. Dalam beberapa hal, maka
konflik itu akan muncul dalam bentuk krisis mental, krisis moralitas
sosial, dan keadaan tak menentu tentang nilai-nilai kebenaran, keadilan
dan kesucian di mata masyarakat;
2. Konflik antara mentalitas lama dengan kemajuan
Masyarakat desa kini dengan adanya rumah yang memiliki WC dan
kamar mandi sendiri, ternyata menjadi kebingungan dan ketagihan
untuk berkerumun lagi ke kali atau sumur di tepi sungai karena ingin
15
bercanda, omong-omong dan mendengar kabar berita masyarakat dan
lingkungan sekitar. Meskipun mereka kini memiliki radio dan bahkan
televisi sekalipun. Lebih nampak lagi ialah perkara bangunan gedung
baru, dengan menggunakan peralatan modern, katakanlah urinoar
(tempat kencing). Dalam prakteknya, kebiasaan jorok masyarakat masih
terbawa. Lihatlah di tempat yang baik itu muncul puntung-puntung
rokok, kertas-kertas bekas, bungkus permen dan lain-lainnya lagi.
Padahal di sebelahnya ada juga tempat sampah, atau tempat kertas-
kertas bekas yang sudah tak digunakan lagi. Dasar mentalitas kita
memang masih dalam taraf berkembang dan mulai maju;
3. Konflik antara tradisi dan budaya omong dengan tradisi dan budaya
tulis dan baca
Konflik antara tradisi dan budaya omong dengan tradisi dan budaya
tulis dan baca. Masyarakat kita memang hebat kalau soal sopan santun
dan keramahtamahannya, demikianlah kata orang. Oleh sebab itu,
kebudayaan kita menjadi kebudayaan omong dan tradisi lisan
memegang peranan cukup besar. Orang tak akan merasa puas dan
selesai kalau belum bertemu dan omong mengenai sesuatu, meskipun
ada sarana komunikasi telepon misalnya. Meskipun kita dibenarkan
angkat telepon saja untuk keperluan tertentu di kantor terhadap
Pimpinan; namun kita merasa belum baik kalau kita hanya omong-
omong lewat telepon saja. Maka dari itu, biasanya kita lalu datang
menghadap kepada Pimpinan, atau sebaliknya, datang menghadap dulu
baru kemudian bertanya atau memperjelas lewat telepon.
Kita sudah terbiasa dengan omong dan omong, kini kita dihadapkan
dengan kebiasaan lain, yakni kebiasaan membaca dan menulis.
Kebudayaan dan tradisi manusia maju membaca dan menulis. Kalau
mau bicara, silahkan asal jangan lama-lama. Kalau mau lebih rinci,
silahkan saja tuliskanlah apa maksudnya dan mau bagaimana, agar
cepat-cepat tulisannya lebih dahulu. Begitu pembicaraan antara Bos
dengan pegawai atau bawahannya. Untunglah masih ada kemungkinan
jembatan yaitu adanya sarana radio dan televisi yang masih
16
menggunakan tradisi lama itu. Masyarakat desa kini sudah lari
mengejar ketinggalannya dari masyarakat kota, kalau tidak mereka akan
tidak lagi dapat mengerti komunikasi dengan lingkungan sekitarnya.
Konflik itu tentu saja mempunyai kaitan dengan tradisi lisan lainnya.
Orang akan merasa kikuk dan lucu kalau bekerja di kantor hanya
berbicara seperlunya saja. Demikianlah, kita merasa menjadi orang
asing kalau kita tidak mengadakan komunikasi lisan. Konflik ini akan
terus berlanjut juga di bidang pendidikan. Seorang siswa atau bahkan
mahasiswa, akan merasa kaku belajar di perpustakaan bila tidak dengan
omong. Maka jangan heran kalau putra-putri kita belajar bersama,
pastilah omong-omongnya lebih banyak dari belajarnya;
4. Konflik antara kepentingan individu dan kepentingan bersama
Konflik antara kepentingan individu dan kepentingan bersama. Dalam
masyarakat desa yang kini sudah kenal pembangunan, ternyata mulai
ada kegelisahan yang menyangkut pemikiran kepentingan diri sendiri
dan kepentingan sesamanya. Orang desa sudah sadar akan hal diri
sendiri dan sadar akan hak milik pribadi. Oleh sebab itu, seringkali kita
tergoda untuk berpikir dan berbuat hanya demi kepentingan diri kita
sendiri dan tidak memperhatikan kepentingan sesama kita. Kita menjadi
amat egoistis dan individualistis dalam kenyataannya sekarang ini.
Konflik antara individu dan sesamanya, konflik antara kepentingan
individu dan kepentingan sosial menjadi semakin nyata di pedesaan
juga. Lihatlah sekarang betapa susahnya mencari tenaga pekerja untuk
suatu program atau pekerjaan yang sifatnya sosial dan gratisan. Orang
cenderung memilih bekerja untuk diri sendiri daripada bekerja untuk
orang lain jika tak ada apa-apanya. Jadi dengan demikian, maka
manusia desapun kini sudah menjadi semakin materialistis. Maka
jangan harapkan proyek padat karya berhasil baik jika tanpa ada apa-
apanya. Bisa saja terlaksana dengan keterpaksaan tentu saja.
Konflik itu menyentuh juga kepada penghargaan dan penyapaan
terhadap orang lain. Kini sedang berkembang kebiasaan baru: orang
tidak lagi perlu mengurus orang lain, uruslah diri sendiri. Maka di
17
desapun omong-omong dalam arti bertandang dan berjamu ke tempat
orang sudah mulai jarang, bila tidak sungguh penting. Hubungan antar
manusia makin tipis dan cenderung menghilang. Padahal, hati nurani
manusia desa masih menuntut hal itu. Inipun sebuah konflik yang besar
dan harus kita perhatikan secara serius;
5. Peranan pemimpin desa
Walaupun pada dasarnya masyarakat itu akan berkembang dan terus
berkembang, akan tetapi ada perubahan dan perkembangan yang asal
berjalan, ada yang direncanakan bahkan dirancang secara cermat.
Dalam hal demikian, maka peranan pemimpin desa sangat menentukan,
paling tidak ikut menentukan.
Pemimpin desa terdiri dari orang-orang yang terpilih secara formal,
biasanya menduduki jabatan-jabatan pemerintah desa; juga para
pemimpin informal seperti para pemuka masyarakat, tokoh agama dan
adat. Mereka semua adalah para pemimpin desa, merekalah yang
seringkali harus dianggap sebagai panutan, tempat bertanya dan
mengikut. Itulah sebabnya, peranan mereka tidak kecil untuk tidak
mengatakan terbesar.
Peranan mereka dapat dalam bentuk formal maupun informal, dapat
dalam bentuk lisan maupun tertulis, resmi ataupun tidak, lewat jalur
pemerintahan maupun tidak. Pemimpin informal misalnya, tentu saja
dapat menyalurkan gagasan dan pendapatnya melalui rembug desa
(rapat desa) atau melalui para pemimpin formal, begitupun sebaliknya.
Banyak hal malahan nampaknya memang harus disalurkan lewat para
pemimpin informal, seperti para ulama, guru, pengusaha, dan tokoh
desa lainnya. Banyak program pemerintah yang juga baru dapat
berjalan kalau para pemimpin informal menyetujuinya, umpama saja
program keluarga berencana (KB), inovasi pertanian dan peternakan
maupun perikanan, masalah perkreditan dan banyak lagi.
Harus diakui bahwa masyarakat desa pada umumnya baru merasa aman
dan mantap untuk melakukan sesuatu yang baru kalau mereka melihat
bukti kebenaran dan kebaikan hal yang baru itu melalui praktek yang
18
sudah ada. Mereka juga menunggu para pemimpin desa berbuat lebih
dahulu, sebab merekapun takut untuk begitu saja berbuat kalau-kalau
melanggar adat yang ada dan perintah-perintah agama misalnya. Itulah
sebabnya mereka lebih suka menunggu sampai para pemimpin berbuat
dahulu, atau menunggu mereka menyerukan dan mengundangkan
bahwa hal baru itu baik dan tidak apa-apa.
2.2.5 Pencegahan dan Penyelesaian Konflik
Konflik dengan segala warna-warninya memiliki ciri khas tersendiri
bagaimana sebuah konflik yang terjadi dala suatu daerah tertentu harus ditangani.
Konflik yang berlandaskan agama tentu akan berbeda penanganannya dengan
konflik yang berlatar belakang suku. Konflik yang bersumber dari politik akan
berbeda pendekatannya dengan konflik yang berakar masalah dari hukum, dan
begitu seterusnya. Pada prinsipnya, para pengambil kebijakan dan masyarakat
yang memiliki kepedulian sangat tinggi terhadap persoalan konflik serta
dampaknya pun harus memiliki pendekatan dan cara pandang tersendiri
bagaimana seharusnya merumuskan upaya-upaya pencegahan serta penyelesaian
konfliknya.
Tentu, menjadi menarik apabila dari sekian konflik yang selama ini
berkembang dan merealitas di republik ini, kita perlu mengambil contoh konflik
yang terjadi di Kalimantan. Konflik yang terjadi saat itu adalah berjalin kelindan
dengan SARA. Keunikan masyarakatnya pun harus menjadi perhatian bagaimana
harus mendekati masyarakat setempat agar tidak terjadi potensi konflik baru.
Berikut ini merupakan pandangan Smith tentang upaya penanggulangan konflik
yang memiliki pendekatan berbeda dalam mencegah dan menyelesaikannya.
Pandangan Smith ini juga diterapkan di Kalimatan:
1. Perlu adanya upaya insitusi pemerintah sebagai bentuk kekuatan
negara;
2. Keterlibatan kelompok-kelompok berbasiskan masyarakat pun harus
dilakukan sebab ia lebih dengan kehidupan masyarakat, yang tentunya
lebih banyak melakukan interaksi dan komunikasi. Kelompok
masyarakat setempat lebih peka dan mampu membaca setiap denyut
19
nadi warga masyarakat setempat yang berkonflik. Kelompok
masyarakat dalam konteks ini lebih mampu memiliki banyak waktu
bergerak dengan pertimbangan karena kedekatan dan sudah lebih
memiliki kekuatan jaringan sipil;
3. Forum keagamaan pun juga harus bergerak dan melebur dalam
kehidupan masyarakat. Diakui maupun tidak, forum keagamaan
berperan penting dalam rangka membangun pandangan hidup terkait
bagaimana mereka harus beragama. Bentuk agama dan beragama
yang dilakukan forum keagamaan dalam kehidupan masyarakat akan
menjadi nilai tersendiri bagaimana seharusnya masyarakat memiliki
bentuk mental yang lebih sabar dan lain sejenisnya. Forum keagamaan
dalam konteks ini bertugas untuk menyisipkan dan memasukkan nilai-
nilai spiritual bagaimana seharusnya masyarakat beradaptasi dan
berinteraksi dengan lingkungan;
4. Forum tradisional/adat. Forum ini berfungsi untuk memupuk kekuatan
sosial dalam rangka terikat dalam kearifan lokal sehingga masyarakat
pun lebih mampu menghargai keutuhan bersama yang dibangun dari
kearifan lokal;
5. Advokasi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Keberadaan LSM
berperan untuk menegakkan dan memperkuat kekuatan sipil.
Sementara menurut Benedict Bunker (2006), ada delapan prinsip dalam
proses kelompok besar dalam rangka menyelesaikan persoalan:
1. Melakukan fokus terhadap akar persoalan, mencari titik kesepakatan
dari perbedaan atau kepentingan masing-masing;
2. Merasionalisasi konflik. Ini berarti melakukan klarifikasi konflik,
membentuk kata setuju menuju area setuju untuk menyelesaikan
konflik;
3. Memperluas pandangan diri terhadap pelbagai pandangan beragama
kelompok untuk bersama menyelesaikan tugas dan mengembangkan
semangat kelompok;
4. Mempromosikan pengembangan hubungan personal;
20
5. Memberikan ruang waktu untuk bersama menyampaikan masa pahit
masin-masing sehingga dari sinilah dijumpai nilai nurani masing-
masing untuk bersatu;
6. Mengelola pendangan publik tentang perbedaan dan konflik.
Memperlakukan setiap pandangan dengan penuh hormat. Semua
berhak untuk mengungkap secara masing-masing tanpa ada yang
mendominasi;
7. Mengelola konflik dengan menghindari isu-isu sensitif;
8. Mengurangi hirarki. Mendorong tanggung jawab bersama untuk
menurun konflik dalam sebuah organisasi agar semunya bertanggung
jawab terhadap tugas masing-masing.
2.2.6 Karakteristik Ekosistem Pertanian Lahan Basah
Pemanfaatan lahan basah (wetlands) secara tradisional untuk kegiatan
pertanian sudah dilakukan masyarakat selama berabad-abad. Pemanfaatan secara
tradisional itu, walaupun masih bersifat spontan, berskala kecil, dan swadaya,
umumnya dicirikan oleh bobot keberlanjutan (sustainability) yang menonjol.
Barangkali fase awal dari pemanfaatan lahan basah ini berupa sistem ladang
berpindah basah (wet shifting cultivation) dengan budidaya padi rawa (swamp
rice) seperti yang diterapkan oleh Suku Dayak di Kalimantan (lihat Dove, 1980).
Fase berikutnya adalah sistem pertanian tradisional lahan basah seperti yang
dipraktikkan oleh para petani Banjar dan Bugis. Beberapa pakar menyebut sistem
pertanian tradisional yang dilakukan petani Banjar itu sebagai Sistem Orang
Banjar (Banjarese System atau Banjarese Rice Cultivation). Sistem Orang Banjar
tersebut merupakan sistem pertanian lahan basah tradisional yang disesuaikan,
memperhatikan dan memanfaatkan fenomena dan karakter alam lahan basah
seperti dinamika hidrologis pasang surut yang terjadi di lahan rawa pesisir.
2.2.6.1 Kendala dan Faktor Pembatas
Lahan basah merupakan salah satu contoh lahan marjinal, yaitu lahan yang
mempunyai potensi rendah sampai sangat rendah untuk menghasilkan suatu
tanaman pertanian. Namun dengan menerapkan suatu teknologi dan sistem
21
pengelolaan yang tepat guna, potensi lahan tersebut dapat ditingkatkan menjadi
lebih produktif dan berkelanjutan dari sebelumnya (Djaenuddin, 1993 dalam
Noor, 1996). Potensi produksi pertanian lahan basah dibatasi oleh sejumlah
kendala berbentuk agrofisik, biologis dan sosial-ekonomik (Rifani, 1998).
Kendala agrofisik lahan rawa itu dapat berupa tanah yang masam, kesuburan
tanah yang rendah, kemungkinan terjadinya keracunan aluminium dan besi,
lapisan pirit yang terdapat pada permukaan tanah, gambut terlalu tebal, fluktuasi
air pasang dan surut (lama dan kedalaman genangan air kadang-kadang
berlebihan), terjadinya perubahan pola kuantitas dan kualitas air dalam musim
hujan dan musim kemarau, dalam musim kemarau ada ancaman intrusi air laut
yang berdampak buruk terhadap tanaman pertanian.
Kendala biologik mencakup serangan hama, penyakit dan gulma. Kendala
sosial-ekonomi meliputi keterbatasan modal dan tenaga kerja (pada saat tanam,
penyiangan gulma dan panen), rendahnya tingkat pendidikan petani, rendahnya
tingkat adopsi teknologi baru, tidak memadainya mutu dan jumlah prasarana yang
ada, serta lembaga pemasaran hasil pertanian yang lambat berkembang. Lahan ini
sering (walaupun tidak selalu) terletak jauh dari pusat pemerintahan dan
keramaian. Penduduk yang menetap di sana umumnya miskin, bermodal kecil dan
mempunyai kesulitan akses untuk memperoleh kredit, masukan dan bantuan
teknis.
Masalah utama di lahan lebak antara lain keadaan iklim yang sulit
diramalkan, tata air belum sepenuhnya dapat dikendalikan sehingga terjadi
ketidakpastian datang dan keluarnya air dari lahan lebak, perkembangan tinggi
genangan yang sering terjadi mendadak, akibatnya luas panen dan rata-rata hasil
tidak stabil setiap tahunnya. Masalah lainnya berupa: lahan usaha tani yang jauh
dari tempat pemukiman, transportasi yang sulit, tenaga kerja yang terbatas dan
serangan hama yang berat (Rifani, 1998).
2.2.6.2 Potensi Lahan Rawa
Menurut Definisi Ramsar (Rifani, 1998) lahan rawa tercakup dalam
pengertian lahan basah. Indonesia memiliki lahan rawa seluas 39,42 juta ha. Dari
luasan tersebut, 14,93 juta ha dinilai berpotensi (sesuai) untuk dijadikan lahan
22
pertanian. Termasuk dalam pengertian lahan rawa adalah lahan pasang surut
(20,1-24,7 juta ha) dan lahan bukan pasang surut (lebak) dengan luas antara 13,3-
14,7 juta ha (Rifani, 1998). Beberapa “keunggulan” yang dimiliki lahan rawa bila
diusahakan sebagai lahan pertanian antara lain (Rifani, 1998):
1. Lokasinya biasanya terdapat di sepanjang tepi sungai utama atau dalam
delta, lahannya luas dan datar;
2. Suhu sesuai untuk pertumbuhan tanaman dataran rendah;
3. Mendapat cukup sinar matahari;
4. Tersedianya bahan organik dan pemupukan berkala oleh air laut yang telah
diencerkan. Yang terakhir ini hanya terjadi pada daerah pesisir yang masih
menerima pengaruh pasang surut air laut secara langsung,;
5. Air terdapat melimpah hampir sepanjang tahun, sehingga dengan
mekanisme pasang surut, pengairan dapat dilakukan tanpa pembuatan
bangunan irigasi yang mahal. Pada musim kemarau yang panjang, lahan
dapat mengalami kekeringan seperti yang terjadi di kawasan Delta Pulau
Petak;
6. Tak terdapat bahaya erosi seperti yang sering terjadi di lahan kering;
7. Saluran-saluran yang ada dapat berfungsi sebagai sarana transportasi yang
murah, membantu pengembangan wilayah, dan pemerataan penyebaran
penduduk.
Walaupun merupakan lahan marjinal, lahan basah penting peranannya dalam
menyangga swasembada pangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa melalui
penerapan teknologi yang tepat dan sistem pengelolaan yang sesuai, lahan rawa
pasang surut cukup produktif bagi pengembangan pertanian. Keberhasilan
pengembangan pertanian lahan rawa pasang surut ditentukan oleh interaksi
ketersediaan teknologi yang sesuai, sarana dan prasarana penunjang, partisipasi
masyarakat serta kebijaksanaan dan program aksi pemerintah. Inventarisasi dan
karakterisasi lahan yang meliputi potensi, kendala dan peluang agrofisik dan
sosial-ekonomi perlu dilakukan secara tuntas untuk keperluan perencanaan,
pemilihan teknologi serta cara dan pengembangannya (Puslitbangtan, 1992).
Terdapat berbagai cara untuk mengelompokkan lahan basah. Secara
sederhana, lahan basah dapat dikelompokkan menjadi lahan basah alami (natural
23
wetlands) dan lahan basah buatan (artificial wetlands, man-made wetlands)
(Rifani, 1998). Menurut Davis (Rifani, 1998) ada 5 (lima) sistem lahan basah
alami utama:
1. Kawasan laut (marine), meliputi kelompok lahan basah pesisir yang berair
asin, termasuk pantai berbatu, terumbu karang dan padang lamun;
2. Kawasan muara/kuala (estuarine), mencakup muara sungai, delta, rawa
pasang surut yang berair payau dan hutan bakau (rawa mangrove);
3. Kawasan danau (lacustrine), meliputi semua lahan basah yang berasosiasi
dengan danau, dan biasanya berair tawar;
4. Kawasan sungai (riverine), meliputi lahan basah yang terdapat di
sepanjang sungai atau perairan yang mengalir;
5. Kawasan rawa (palustrine), meliputi tempat-tempat yang bersifat
“merawa” (berair tergenang atau lembab), misalnya hutan rawa air tawar,
hutan rawa gambut, dan rawa rumput.
Lahan basah buatan terdapat dalam bentuk seperti sawah, tambak ikan/udang,
kolam budidaya, lahan pertanian beririgasi, waduk, dan kanal.
2.3 Peta Jalan Penelitian
Tahun 1 pertama sudah menghasilkan temuan konflik tanah terkait
sertifikat berlapis, maka pada tahun kedua, yakni memberikan solusi atas
terjadinya konflik perebutan tanah. Berikut di bawah ini merupakan roadmap
penelitian untuk tahun kedua:
Hasil penelitian berjudul Tanah Adat dan
Potensi Konflik dalam Komuniti Adat:
Studi Kasus pada Masyarakat Adat
Sentani, Kabupaten Jayapura Propinsi
Papua yang dilakukan Chairil Anwar
(Tanpa Tahun) menunjukkan bahwa akar
konflik sesungguhnya adalah karena
faktor belum terbentuk pranata sosial dan
norma hukum yang menjembatani
kepentingan publik dan masyarakat
setempat
Hasil penelitian berjudul konflik
pemanfaatan sumberdaya tanah ulayat Baduy
pada kawasan hutan lindung oleh Yuliya
Hasanah (2008) menunjukkan bahwa
konflik tentang tanah muncul akibat tidak
mampunya penguasa menghargai alam
serta budaya setempat
24
Melakukan pendampingan terhadap
masyarakat korban akibat konflik tanah
dengan sertifikat berlapis secara
personal dan kolektif melalui komunitas
lintas sektor
Desain pendekatan sosial untuk
daerah yang berada di lahan basah
dalam penyelesaian konflik tanah
dengan sertifikat berlapis
Menyebarluaskan hasil desain
pendekatan sosial tersebut kepada
daerah-daerah lain yang terletak di
daerah lahan basah untuk konflik
serupa
Permasalahan penelitian terjawab dalam hasil temuan dan pembahasan
penelitian
Membentuk Komunitas
Lintas Sektor dalam Upaya
Menjaga Harmoni Sosial
di Kelurahan Gambut
Evaluasi dan penyempurnaan
terhadap desain pendekatan sosial
yang sudah dilakukan
Hasil penelitian berjudul “Identifikasi Konflik Perebutan Tanah Adat di Daerah Lahan
Basah Kabupaten Banjar” oleh Wahyu, Acep Supriadi, dan Mariatul Kiptiah (2014)
menunjukkan bahwa konflik tanah yang terkait dengan lahan basah secara lebih persisnya
berada di Kelurahan Gambut dan umumnya mengenai sertifikat berlapis. Yang mendasari
kemunculan konflik tanah dan adanya sertifikat berlapis adalah karena adanya akses jalan
yang sebelumnya tidak ada. Tanah di daerah lahan basah kelurahan Gambut yang
sebelumnya hanya merupakan lahan tidur atau dapat juga disebut Hutan Galam kemudian
bernilai ekonomi tinggi pasca dibukanya akses jalan. Tanah dengan sertifikat berlapis berlokasi di sepanjang jalan A. Yani di antara Km. 7 sampai dengan Km. 18 dan Lingkar
Utara.
25
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian mencakup dua hal sebagai berikut:
1. Untuk melakukan pemetaan tahapan upaya-upaya dalam penanganan
konflik tanah di daerah lahan basah Kabupaten Banjar, khususnya
Kecamatan Gambut;
2. Untuk membuat model penanganan konflik tanah di daerah lahan basah
Kabupaten Banjar, khususnya Kecamatan Gambut.
3.2 Manfaat Penelitian
Kebermanfaatan penelitian ini setidaknya mencakup dua aspek baik dalam
konteks teoritis maupun praktis:
1. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat memberikan sebuah pandangan
baru terkait pemetaan tahapan upaya-upaya dalam penanganan konflik
tanah di daerah lahan basah Kabupaten Banjar, khususnya Kecamatan
Gambut;
2. Secara praktis, hasil penelitian ini memberikan sumbangan konkret bagi
pemerintah daerah dan pusat tentang model penanganan konflik tanah di
daerah lahan basah Kabupaten Banjar, khususnya Kecamatan Gambut.
26
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini bermaksud untuk mengindentifikasi persoalan yang dihadapi
masyarakat di daerah lahan basah di Kabupaten Banjar terkait perebutan tanah
adat. Oleh karenanya, pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Menurut Fraenkel dan Wallen,
studi ini merupakan penelitian empirik guna mengetahui dan mengamati akar
konflik yang mendasari perebutan tanah adat di daerah lahan basah Kabupaten
Banjar (Fraenkel & Wallen, 2006).
Sebagaimana yang disampaikan pada proposal penelitian sebelumnya
bahwa penelitian ini dilakukan dua tahap, yakni tahap 1 dimana di tahap ini
adalah melakukan identifikasi masalah di lahan basah terkait konflik perebutan
tanah adat, dan tahap kedua mencoba memberikan solusi atas persoalan yang
terjadi dan terpetakan di penelitian pertama, maka penelitian ini kemudian disebut
multi-tahun. Tahun pertama adalah memetakan persoalan dan tahun kedua adalah
memberikan solusi atas terjadinya konflik perebutan tanah adat. Pada hasil
penelitian tahun 1 menunjukkan bahwa konflik tanah yang terkait dengan lahan
basah secara lebih persisnya berada di Kelurahan Gambut dan umumnya
mengenai sertifikat berlapis. Yang kemudian mendasari kemunculan konflik tanah
dan adanya sertifikat berlapis adalah karena adanya akses jalan yang sebelumnya
tidak ada. Tanah di daerah lahan basah kelurahan Gambut yang sebelumnya hanya
merupakan lahan tidur atau dapat juga disebut Hutan Galam kemudian bernilai
ekonomi tinggi pasca dibukanya akses jalan. Tanah dengan sertifikat berlapis
berlokasi di sepanjang jalan A. Yani di antara Km. 7 sampai dengan Km. 18 dan
Lingkar Utara.
4.2 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di daerah lahan basah Kabupaten Banjar yang
sedang terjadi konflik perebutan tanah adat.
27
4.3 Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah semua warga dengan tanah adatnya
yang sedang menjadi lahan perebutan oleh pihak penguasa di daerah lahan basah
Kabupaten Banjar, sedangkan teknik sample yang digunakan dalam penelitian ini
adalah purposive sampling.
4.4 Sumber Data Penelitian
Data yang diambil dalam penelitian ini berasal dari daerah lahan basah
Kabupaten Banjar yang sedang mengalami konflik perebutan tanah adat. Dalam
rangka menghasilkan sample yang representatif, sample yang diperoleh pun juga
mempertimbangkan pertimbangan dari para tokoh masyarakat setempat.
4.5 Teknik Pengumpulan dan Analisis Data
1) Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:
a. Wawancara mendalam
Wawancara mendalam ini dilakukan dalam rangka mendapatkan
permasalahan secara lebih akurat, tajam, dan terpercaya. Tentu, melakukan
validasi hasil wawancara mendalam sebanyak tiga kali dalam rangka
menyamakan persepsi tentang sebuah akar persoalan terkait konflik perebutan
tanah adat kemudian perlu ditunaikan.
b. Observasi langsung
Observasi langsung diperlukan untuk memberikan sebuah validitas data
setelah melakukan wawancara langsung. Observasi langsung ditujukan untuk
menjawab kebenaran dari sebuah hasil wawancara langsung. Tujuannya adalah
mengindentifikasi secara langsung akar-akar konflik perebutan tanah adat.
2) Teknik Analisis Data
Setelah data berupa hasil wawancara mendalam dan observasi langsung
berhasil diperoleh, maka peneliti kemudian melakukan analisa dengan
menggunakan deskriptif-analitis, yakni menggambarkannya dan kemudian
menganalisa obyek penelitian tersebut secara kritis. Setelah itu, dilakukan teknik
28
analisis isi (content analysis), yaitu suatu analisis terhadap isi yang diperoleh.
Menurut Berelson, content analysis is search technique for the objective,
systematic and quatitative description of the manifest content of communication
(Berelson dalam Valerine J.L Kriekkhoff, tt:85). Analisis konten ini diartikan
Valerine J.L Kriekhoff dengan suatu teknik penelitian yang bertujuan guna
mendeskripsikan secara obyektif, sistematis dan kualitatif isi pesan komunikasi
yang tersurat. Di bawah ini adalah alir penelitian dalam bentuk fishbone diagram:
Alir Penelitian
Temuan Penelitian di Tahun
Pertama
Pembentukan tim penelitian
Penyusunan konsep
penelitian (proposal
penelitian) Pengajuan proposal
penelitian
Perizinan penelitian ke
Polsek Kecamatan
Gambut dan Kelurahan
Gambut
Pelaksanaan penelitian:
1. Kelurahan Gambut sebagai
subyek;
2. Diseminasi hasil ke daerah-
daerah lain yang dikategorikan
sebagai lahan basah. Analisis dan pengolahan data
penelitian Laporan akhir data penelitian:
terjawabnya permasalahan yang
diajukan dalam penelitian untuk
tahun kedua
Luaran penelitian:
1. Artikel jurnal ilmiah nasional; dan
2. Modul penyuluhan sosial untuk konflik tanah di daerah lahan basah;
29
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Temuan
Latar belakang konflik tanah di Kabupaten Banjar, terutama di Kelurahan
Gambut adalah terkait dengan dua hal, yakni waris dan pembangunan di bidang
ekonomi. Untuk konflik tanah yang bersumber dari perebutan tanah warisan,
maka dilakukan dengan pendekatan kekeluargaan dimana kelurahan memfasilitasi
kedua belah dalam konteks mencari jalan tengah dengan tujuan agar bisa
mendamaikan dan mencari titik temu yang menyejukkan. Dengan kata lain, lurah
dan atau pembakal mengundang saudara sekandung dari bapak atau ibu untuk
duduk bersama dalam rangka menemukan jalan keluar. Dalam konflik perebutan
tanah warisan, jalan tempuh lebih berorientasi kepada semangat bersama dan
harmoni untuk tetap mempertahankan keutuhan keluarga. Oleh sebab itu, langkah
pertama dengan mengundang saudara sekandung menjadi awal untuk membuka
dialog. Pintu pembuka dialog tersebut kemudian diteruskan dengan meminta
kedua belah pihak untuk saling menceritakan permasalahan yang ada, memulai
dari sumber masalah itu muncul. Dengan menceritakan masalahnya, ini kemudian
diarahkan kepada apa yang menyebabkan masalah atau pemicu kemunculan
masalah tersebut.
Langkah selanjutnya adalah mendudukkan setiap persoalan secara
proporsional dan memberikan tanggapan atas penyampaian kedua belah pihak
juga proporsional, tidak mengundang keberpihakan karena faktor pertimbangan
tertentu. Setelah memberikan umpan balik atau tanggapan balik dari pihak
kelurahan atau pembakal kepada kedua belah pihak yang berkonflik dalam satu
keluarga tersebut, maka kedua belah pihak selanjutnya memberikan penyampaian
ulang. Langkah dan pendekatan dialog tersebut dilakukan secara berulang-ulang
dalam satu kegiatan pem-fasilitasi-an hingga akar persoalan menjadi jelas serta
terukur dan semua pihak bisa saling menerima pendapat masing-masing. Satu
kegiatan pem-fasilitasi-an selesai, maka kedua belah pihak yang berkonflik
dipersilahkan untuk melakukan perenungan secara mendalam demi kepentingan
bersama. Agenda selanjutnya adalah meminta kedua belah pihak untuk
30
menentukan jadwal pertemuan kembali. Selama masa jedah untuk menuju
pertemuan selanjutnya, dipersilahkan agar kedua belah pihak membahasnya
bersama keluarga terkait dengan melaporkan apa yang sudah dimusyawarahkan
bersama kelurahan. Mendiskusi hasil pertemuan dengan kelurahan dalam keluarga
tentunya diharapkan bisa memberikan titik terang arah penyelesaian konflik
tersebut.
Selanjutnya pada pertemuan berikut dimana kelurahan melakukan fasilitasi
terhadap kedua belah pihak, maka kedua belah pihak yang berkonflik tersebut
menyampaikan ulang atas hasil musyawarah dengan keluarga. Umumnya, ada dua
hasil atas fasilitasi kelurahan, yakni sepakat untuk sepakat mengakhiri konflik
secara kekeluargaan dimana konflik tanah dianggap selesai setelah sama-sama
sepakat atas kesepakatan bersama di antara kedua belah pihak dan sepakat untuk
tidak sepakat dimana konflik yang tidak bisa diselesaikan di tingkat kelurahan
diteruskan ke meja pengadilan agama. Ketika sudah masuk ke pengadilan agama,
maka pendekatan hukum positif kemudian menjadi jalan terakhir dengan
mendasarkan diri kepada ilmu waris yang kemudian lebih dikenal disebut ilmu
faraidh.
Selanjutnya mengenai konflik perebutan tanah yang didasarkan pada
sertifikat tumpang tindih, segel dengan sertifikat, surat kepemilikan tanah (SKT)
dan sertifikat tanah yang berorietansi kepada pembangunan ekonomi dimana
sepanjang Jl. A. Yani Gambut di antara Km. 7 sampai dengan Km. 18 dan
Lingkar Utara sudah menjadi bagian dari posisi strategis, maka umumnya, ketika
ada konflik tanah, hal ini kemudian diselesaikan secara kekeluargaan yang
awalnya difasilitasi aparat kelurahan, yakni Lurah dan Ketua RT setempat. Dalam
status ini, kedua belah pihak yang bersengketa kemudian dihadap-hadapkan dan
diajak melakukan dialog dengan kemudian menunjukkan surat tanah yang
dimiliki, misalnya segel atau sertifikat tanah dan surat-surat lain yang bisa
mendukung untuk menguatkan kepemilikan. Tak hanya itu saja, proses dialog
untuk menjembatani ketidakjelasan menuju kejelasan status tanah yang sedang
menjadi konflik juga dilakukan dengan melakukan pengukuran ulang batas tanah
dengan menghadirkan tetangga terdekat yang kebetulan atau tidak dekat dengan
tanah yang sedang menjadi bahan konflik tersebut. Para saksi tersebut adalah
31
tetangga kanan, kiri, depan, dan belakang yang mengitari tanah berkonflik
tersebut. Dengan menggunakan pendekatan tersebut, ini diharapkan bisa
memberikan upaya penjelasan. Selain itu, umur surat tanah pun kemudian menjadi
pertimbangan, apakah segel, surat keterangan tanah, sertifikat tanah, dan
saporadik yang lebih muncul. Dengan kondisi kemunculan yang lebih awal, ini
dapat memperjelas status kepemilikan tanah dan begitu seterusnya.
Tentunya, dialog tahap satu selesai dilaksanakan dan semua pihak yang
berkonflik diharapkan melakukan perenungan diri sebelum melakukan dialog
kekeluargaan atas tanah konflik. Harapannya adalah di dialog tahap kedua ini
kedua belah pihak sudah menemukan titik terang, apakah sepakat untuk
mengakhir konflik dengan mengakui status tanah yang dimiliki oleh surat tanah,
yang lebih awal muncul dan begitu seterusnya. Dengan kata lain, sepakat untuk
sepakat menyelesaikan perdebatan mengenai tanah di tingkat kelurahan saja.
Apabila hasil di dialog tahap kedua kemudian menjadi buntu, maka biasanya akan
mengundang pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk melakukan
pengukuran ulang serta mengecek status surat tanah, manakah yang lebih kuat
baik secara hukum maupun secara usia surat keluarnya tanah.
Selanjutnya, yang biasa dilakukan pasca dialog kekeluargaan ketika tidak
mencapai titik temu, ini kemudian dilanjutkan dengan jalur hukum, yakni
pengadilan negeri. Di dalam pengadilan negeri, maka baik penggugat maupun
tergugat harus mengikuti peraturan yang berlaku dalam persidangan,
menunjukkan fakta-fakta hukum demi kepentingan hukum yang berlaku.
Umumnya, ada beberapa hal yang dilakukan ketika sudah masuk jalur hukum.
Pertama, baik tergugat maupun penggugat harus menyiapkan berkas-berkas
terkait untuk saling menguatkan bukti kepemilikan tanah. Bukti-bukti
kepemilikan tanah tersebut kemudian dilakukan verifikasi secara administratif
melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebelum dikembangkan dan
dilanjutkan dengan survei lapangan. Kedua, baik tergugat maupun penggugat juga
harus menghadirkan para saksi yang bisa menguatkan bukti kepemilikan tanah.
Para saksi tentunya adalah orang yang paling dekat dengan daerah tanah tersebut
menjadi bahan konflik. Saksi adalah yang tinggal di bagian kiri, kanan, depan, dan
belakang tanah yang menjadi sengketa konflik. Ketiga, menunggu hasil dari
32
proses hukum yang berlangsung di pengadilan negeri, siapakah yang menang
(bukan dimenangkan) dengan mempertimbangkan bukti-bukti yang sudah
ditunjukkan di sidang pengadilan.
5.2 Pembahasan
Berdasarkan sejumlah temuan yang diperoleh dari hasil Focus Group
Discussion (FGD) selama dua kali kegiatan, selanjutnya menjadi penting untuk
membangun konsep baru tentang upaya-upaya dan langkah-langkah yang dapat
digunakan dalam menyelesaikan konflik tanah, baik yang merupakan konflik
tanah warisan, tanah ulayat, maupun konflik tanah demi kepentingan umum.
Konflik tanah dalam rentang sejarah dari waktu ke waktu tidak akan
pernah hilang dan terus menerus akan menjadi bagian tak terpisahkan dari
perjalanan kehidupan manusia. Manusia tanpa konflik tidak akan mampu
melakukan adaptasi diri dan melakukan gerak langkah untuk terus melakukan
pembenahan diri demi kepentingan kehidupan yang lebih baik baik diri maupun
lingkungan sekitar. Menurut Limbong (2012), konflik pertanahan di dalam
masyarakat pada umumnya memiliki hubungan tiga hal, yakni:
1) Proses ekspansi dan perluasan skala akumulasi modal, baik modal
domestik maupun internasional.
2) Watak otoriternya negara dalam menyelesaikan kasus agraria.
3) Berubahnya strategi dan orientasi pembangunan masyarakat
menjadi kapitalistik.
Berikut di bawah ini merupakan beberapa model yang dilakukan dalam
penyelesaian konflik tanah yang dapat menjadi acuan:
1. Penyelesaian Melalui Pengadilan
Penyelesaian sengketa tanah melalui jalur pengadilan dilakukan dalam
beberapa tahap sebagai berikut:
a) Pengadilan Negeri
Masa berlangsungnya perkara adalah enam (6) bulan dan bisa lebih.
Oleh karenanya, perkara tanah di tingkat pengadilan negeri sudah
dipastikan memakan waktu yang cukup lama yang kemudian dapat
menggantungkan perkara.
33
b) Pengadilan Tinggi
Masa berlangsungnya perkara di pengadilan tinggi juga tidak jauh
berbeda dengan di pengadilan negeri dan ini kemudian semakin
menambah mandeknya penyelesaian perkara.
c) Tingkat Kasasi
Pada tingkat kasasi sering juga terjadi keterlambatan dalam pemeriksaan.
Gautama mengatakan bahwa untuk dapat diperiksa harus menunggu
bertahun-tahun lamanya dan biasanya tidak kurang dari tiga (3) tahun
sebelum akhirnya diputus dalam kasasi. Ini juga terjadi akibat antrean
pemeriksaan dalam acara kasasi karena banyaknya perkara kasasi yang
ditangani.
d) Peninjauan Kembali (PK)
Pada peninjauan kembali, waktu yang diperlukan umumnya mencapai 8-
9 tahun sebelum perkara ini tiba pada taraf dapat dilakukan eksekusi oleh
pengadilan negeri.
2. Penyelesaian di Luar Pengadilan
a) Musyawarah (negotiation)
Negosiasi merupakan fact of life dan setiap orang melakukan negosiasi
untuk mendapatkan apa yang diinginkan oleh orang lain. Negosiasi
berasal dari kata bahasa Inggris, negotiation yang berarti berunding,
bermusyawarah atau bermufakat. Penyelesaian secara musyawarah
mufakat juga dapat dikenal dengan sebutan penyelesaian secara bipartit,
yakni penyelesaian yang dilakukan oleh para pihak yang sedang
berselisih dan orang yang mengadakan perundingan disebut negotiator.
Menurut Goodpaster, negosiasi adalah suatu proses interaksi dan
komunikasi dinamis serta beragam dengan tujuan menyelesaikan atau
mengurangi persengketaan atau perselisihan. Sedangkan Kanowitz
sebagaimana dikutip Wijaya mengatakan bahwa negosiasi itu sendiri
dapat berjalan sukses ketika melibatkan beberapa hal penting: 1)
kekuatan dari pengetahuan dan keterampilan; 2) kekuatan dari hubungan
yang baik; 3) kekuatan dari alternatif yang baik dalam negosiasi; 4)
34
kekuatan untuk mencapai penyelesaian yang elegan; 5) kekuasaan
legitimasi; dan 6) kekuatan komitmen.
b) Konsiliasi
Konsiliasi merupakan bentuk pengendalian konflik sosial utama.
Pengendalian ini terwujud melalui lembaga tertentu yang
memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan.
Dalam bentuk konsiliasi, konflik pertanahan diselesaikan melalui
parlemen dimana kedua belah pihak berdiskusi dan berdebar secara
terbuka untuk mencapai kesepakatan. Orang yang berkonsiliasi disebut
konsiliator dan yang bersangkutan terdaftar di kantor yang berwenang
menangani masalah pertanahan. Konsiliator harus dapat menyelesaikan
perselisihan tersebut paling lama tiga puluh hari kerja sejak menerima
permintaan penyelesaian konflik. Sehubungan dengan penyelesaian
konflik melalui konsiliasi, maka lembaga konsiliasi harus memenuhi
hal-hal sebagai berikut: 1) bersifat otonom dan independen; 2) bersifat
monopolistis atau hanya lembaga itulah yang berfungsi menyelesaikan
konflik demikian; 3) mampu mengikat kepentingan semua golongan;
dan 4) bersifat demokratis.
c) Mediasi
Mediasi merupakan pengendalian konflik yang dilakukan dengan cara
membuat konsensus di antara dua pihak yang berkonflik untuk mencari
pihak ketiga yang berkedudukan netral sebagai mediator dalam
penyelesaian konflik. Mediator wajib menyelesaikan tugasnya paling
lama 30 hari kerja sejak menerima pendaftaran konflik dari para pihak
d) Arbitrase
Arbitrase merupakan pengendalian konflik yang dilakukan dengan cara
kedua belah pihak yang bertentangan sepakat untuk menerima atau
terpaksa akan hadirnya pihak ketiga yang akan memberikan keputusan
bagi mereka dalam menyelesaikan konflik tersebut. Dalam penyelesaian
secara arbitrase, kedua belah pihal sepakat untuk mendapatkan
keputusan yang bersifat legal sebagai jalan keluar. Selayaknya kasus
perdata di pengadilan, arbitrase termasuk penyelesaian kasus
35
pertanahan, ada Penggugat dan Tergugat. Bedanya adalah disebut
Pemohon dan Termohon. Secara umum, proses persidangan arbitrase
dapat melalui beberapa tahap, yakni mulai dari upaya damai, jawaban
Termohon, tanggapan Pemohon, pemeriksaan bukti, keterangan saksi
dan ahli, kesimpulan akhir para pihak dan terakhir adalah pembacaan
putusan. Putusan arbitrase bersifat final, mempunyai kekuatan hukum
tetap serta mengikat para pihak. Dengan demikian, putusan arbitrase
tidak dapat diajukan banding, kasasi atau peninjauan kembali.
3. Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat
Konflik tanah hak ulayat pada prinsipnya dapat diselesaikan melalui cara
non litigasi atau penyelesaian sengketa alternatif. Secara umum, terbagi
menjadi tiga bagian penting:
1) Tahap Musyawarah
a. Menentukan siapa yang akan menjadi juru penengah yang bertugas
untuk melakukan pemahaman terhadap sengketa yang terjadi,
penentuan tempat penyelesaian, waktu dan pihak-pihak lain yang
akan dilibatkan serta hal-hal lain untuk mendukung musyawarah.
b. Meminta keterangan dari pihak Pemohon/Penggugat dan
Termohon/Tergugat berkaitan dengan sengketa serta mendengar
keterangan dari pasa saksi yang berasal dari pihak Pemohon dan
Termohon.
c. Menyimpulkan pembicaraan, membuat surat pernyataan damai,
penandatanganan kesepakatan oleh para pihak yang bersengketa
(bila sudah disepakati), saksi dan penutupan musyawarah.
2) Tahap Pelaksanaan Hasil Musyawarah
Para pihak akan melaksanakan kesepakatan yang sudah dibuat
secara suka rela.
3) Tahap Penutupan Musyawarah
Musyawarah akan ditutup oleh pihak yang berkompeten dan
biasanya dilakukan oleh pemimpin musyawarah.
36
4. Penyelesaian Sengketa Tanah untuk Kepentingan Umum
Konflik tanah terkait kepentingan umum sering melahirkan dampak sosial
yang tidak sedikit baik secara ekonomi, sosial dan lain sejenisnya. Oleh
karenanya, diperlukan strategi untuk mereduksi dampak negatif dari
konflik tanah untuk kepentingan umum. Ini harus diawali dari perubahan
cara pandang yang biasanya selalu menyebut ganti rugi menjadi
kompensasi. Ganti rugi selama ini dimaknai bahwa pemilik hak atas tanah
telah merugi sebelum melepaskan tanahnya untuk kepentingan umum.
Sementara kompensasi lebih bermaknai positif, yakni balasan atau imbalan
untuk tanah yang dibebaskan. Ada dua bentuk kompensasi yang umumnya
dilakukan, yakni uang dan non uang atau bersifat non fisik. Untuk uang
sesuai dengan jumlah yang harus diterima, hal tersebut merupakan sesuatu
yang bisa dihitung secara matematis dengan pendekatan ekonomi. Namun
untuk non fisik, ini lebih dekat dengan pendekatan sosiologis. Bentuk
kompensasi non fisik adalah sebagai berikut: 1) pembangunan
infrastruktur pemukiman baru yang memadai seperti jalan dan transportasi
umum, pelistrikan, dan lain-lain; 2) pembangunan sarana rekreasi seperti
taman umum, tempat pertemuan umum, dan lain sejenisnya; 3) akses ke
tempat strategis, seperti terminal, pasar, sekolah, dan lain sejenisnya; 4)
pembangunan daerah tangkapan air yang meliputi pengelolaan sumber
DAS, penghutanan kembali, dan lain sejenisnya.
37
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Secara umum, Focus Group Discussion (FGD) selama dua kali kegiatan
menjadi dasar dalam memformulasi model penanganan konflik tanah di daerah
lahan basah. Konflik tanah yang berakar dari sertifikat tumpang tindih, sertifikat
dan segel baik untuk kepentingan pribadi serta umum serta tanah ulayat sudah
mengarah pada penyelesaian baik litigasi maupun non litigasi. Berikut di bawah
ini merupakan hasil akhir yang kemudian disampaikan:
1) Penyelesaian Konflik Tanah Melalui Pengadilan
a) Pengadilan Negeri
b) Pengadilan Tinggi
c) Tingkat Kasasi
d) Peninjauan Kembali (PK)
2) Penyelesaian di Luar Pengadilan
a) Musyawarah (negotiation)
b) Konsiliasi
c) Mediasi
d) Arbitrase
3) Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat
a) Tahap Musyawarah
b) Tahap Pelaksanaan Hasil Musyawarah
c) Tahap Penutupan Musyawarah
4) Penyelesaian Sengketa Tanah untuk Kepentingan Umum dalam bentuk
kompensasi non fisik sebagaiman berikut:
a) Pembangunan infrastruktur pemukiman baru yang memadai seperti
jalan dan transportasi umum, pelistrikan, dan lain-lain;
b) Pembangunan sarana rekreasi seperti taman umum, tempat
pertemuan umum, dan lain sejenisnya;
c) Pembangunan akses ke tempat strategis, seperti terminal, pasar,
sekolah, dan lain sejenisnya; dan
38
d) Pembangunan daerah tangkapan air yang meliputi pengelolaan
sumber DAS, penghutanan kembali, dan lain sejenisnya.
6.2 Saran
Untuk kepentingan penyempurnaan, maka model penanganan konflik
tanah dengan mendasarkan diri pada temuan dan hasil pembajasan selanjutnya
perlu perlu dikaji secara lebih komprehensif dan matang bersama oleh sejumlah
pihak yang berkepentingan sebagaimana berikut:
1) Para pemangku kepentingan di kelurahan Gambut, termasuk tokoh
masyarakat setempat.
2) Pejabat di tingkat kecamatan yang menangani langsung pertanahan.
3) Pejabat tingkat Kabupaten, termasuk di dalamnya Badan
Pertanahan Nasional (BPN) yang berkantor di Martapura.
39
DAFTAR PUSTAKA
Asy’ari, Sapari Imam, 1993. Sosiologi Kota dan Desa. Surabaya: Usaha Nasional.
Bintarto, R, 1984. Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Fraenkel, Jack R, dan Norman E. Wallen. 2006. How to Design and Evaluate
Research in Education. Cet. Ke-6. New York: McGraw-Hill.
Focus Group Discussion (FGD) “Identifikasi Konflik Perebutan Tanah Adat di
Daerah Lahan Basah Kabupaten Banjar”, 2015.
Focus Group Discussion (FGD) “Identifikasi Konflik Perebutan Tanah Adat di
Daerah Lahan Basah Kabupaten Banjar”, 25 Mei 2015.
Gautama, Sudargo. 1999. Undang-Undang Arbritase Baru 1999. Bandung:
Penerbit Citra Aditya Bakti.
Goodpaster, Garry. 1993. Negosiasi dan Mediasi: sebuah Pedoman Negosiasi dan
Penyelesaian Sengketa Melalui Negosiasi. Jakarta: Penerbit Elips Project.
Habib, Achmad. 2004. Konflik Antaretnik di Pedesaan: Pasang Surut Hubungan
Cina-Jawa. Yogyakarta: LKiS.
http://geodata-cso.org/index.php/page/index/6, diakses tanggal 5 Mei 2013.
Kartohadikusumo, Sutardjo, 1984. Desa. Yogyakarta: Balai Pustaka.
Limbong, Bernhard. 2012. Konflik Pertanahan. Jakarta: Pustaka Margaretha.
Nain, Ahmad Shukri Mohd Nain dan Rosman MD Yusoff. 2003. Konsep, Teori,
Dimensi & Isu Pembangunan. Malaysia: Universitas Teknologi
Malaysia.
Noor, M, 1996. Padi Lahan Marjinal. Jakarta: Penebar Swadaya.
Nasikun. 2003. Sistem Sosial Indonesia. Cet. 12. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Puslitbangtan, 1992. Prospek dan Langkah Pengembangan Pertanian Lahan
Rawa Pasang Surut. Bogor: IPB (Seminar).
Rifani, M, 1998. Karakteristik Ekosistem Pertanian Lahan Basah. Jakarta: Dikti-
Depdikbud.
Sadikin dan Sofwan Samandawai. 2007. Konflik Kesehariaan di Pedesaan Jawa.
Bandung: AKATIGA.
40
Suhendar, Endang dan Yohana Budi Winarni. Petani dan Konflik Agraria.
Bandung: AKATIGA.
Sumardjono, Maria S.W. 2008. Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya. Jakarta: Kompas.
Sastrosupono, Suprihadi dan M. Soehartono Siswo Pangripto, 1984. Desa Kita
(Sosiologi Pedesaan). Bandung: Alumni.
Undang Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960.
Wijaya, Mahendra. 2001. Mediasi dan Negosiasi yang Efektif dalam Resolusi
Konflik, Makalah Pelatihan ADR yang diselenggarakan Pusat Penelitian
Lingkungan Hidup, Lembaga Penelitian UNS, Sukarakarta, 9 Oktober-
5 Nopember.