Iddah Perempuan Hamil Karena Zina Studi Pasal 53 KHI-0035017
-
Upload
hawaridarman -
Category
Documents
-
view
480 -
download
6
description
Transcript of Iddah Perempuan Hamil Karena Zina Studi Pasal 53 KHI-0035017
‘IDDAH PEREMPUAN HAMIL KARENA ZINA :
STUDI PASAL 53 KHI
SKRIPSI
DIAJUKAN KEPADA FAKULTAS SYARI’AH
GUNA MEMENUHI SEBAGIAN SYARAT-SYARAT UNTUK
MEMPEROLEH GELAR SARJANA STRATA SATU DALAM HUKUM
ISLAM
DISUSUN OLEH :
MUHAMAD ISNA WAHYUDINIM : 00350175
DI BAWAH BIMBINGAN :
1. Drs. MAKHRUS MUNAJAT, M.Hum
2. FATMA AMILIA, S.Ag, M.Si
AL-AHWAL ASY-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH
2004 M / 1425 H
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Hukum merupakan esensi yang disaring dari peradaban suatu bangsa dan
sekaligus mencerminkan jiwa suatu bangsa secara lebih jelas dari lembaga lain
yang ada.1( Kedudukan hukum dalam Islam adalah sebagai inti dan saripati ajaran
Islam itu sendiri. Sehingga sangatlah tidak mungkin untuk dapat memahami
Islam tanpa memahami hukum Islam.2)
Hukum Islam3) dalam catatan sejarah telah mengalami pertumbuhan dan
perkembangan. Hal tersebut menunjukkan suatu dinamika pemikiran keagamaan
itu sendiri dan menggambarkan benturan-benturan agama dengan perkembangan
sosial budaya dimana hukum itu tumbuh.4) Karena pada dasarnya ijtihad dalam
hukum Islam merupakan hasil interaksi antara pemikir hukum dengan faktor
sosial-budaya dan faktor sosial-politik yang mengitarinya.5)
1) J.N.D. Anderson, Islamic Law in the Modern World, (New York:New York University Press, 1959), hlm.17
2) Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, (Oxford:Oxford University Press, 1964), hlm.1
33) Kata hukum Islam tidak ditemukan sama sekali di dalam al-Qur’an dan literatur hukum dalam Islam. Yang ada dalam al-Qur’an adalah kata syari’ah, fiqh, hukum Allah dan yang seakar dengannya. Kata-kata hukum Islam merupakan terjemahan dari term “Islamic Law”dari literatur Barat. Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm.11. Adapun kata syari’ah mencakup arti luas dan sempit. Syari>’ah dalam pengertian luas adalah agama itu sendiri sedangkan syari’ah dalam arti sempit berarti fiqh. Mahmu>d Syaltu>t, al-Isla>m ‘Aqi>dah wa Syari>’ah, (t.t p: Dar al-Qalam, 1966), hlm.77. Kata hukum Islam dalam tulisan ini adalah dalam pengertian fiqh.
4) Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqh Islam : Suatu Pengantar, cet.II, (Surabaya:Risalah Gusti, 1996), hlm.1
5) ‘Atho’ Mudzhar, Social History Approach to Islamic Law, Al-Jami’ah, No.61 (1998), hlm.79
Sejarah Islam pada masa modern ini diwarnai oleh peristiwa – peristiwa
yang sangat mendasar dan besar sekali pengaruhnya terhadap perkembangan
pemikiran hukum Islam pada masa-masa mendatang. Pertama, peristiwa
merembesnya ide-ide modern yang berasal dari Barat seperti ide nasionalisme,
rasionalisme, demokrasi, emansipasi, sekularisasi, dan lain-lain yang pada
akhirnya ide-ide tersebut mengubah struktur kebudayaan Islam klasik pada tingkat
sosial kemasyarakatan maupun pada tingkat politik kenegaraan. Kedua, peristiwa
runtuhnya tradisi sistem khilafah berganti dengan sistem kekuasaan negara
nasional. Ummat Islam yang sebelumnya bersatu dalam kekuasaan imperium
Islam dan akhirnya jatuh dalam dominasi kekuasaan kolonialis Barat, setelah
merdeka mereka mempunyai kesempatan membangun corak kehidupan
masyarakat yang mereka kehendaki. Konsekuensi logis dari berdirinya negara-
negara muslim tersebut melahirkan upaya perancangan sistem hukum nasional
sesuai aspirasi sosial politik masing-masing.6)
Pada dewasa ini pembaharuan hukum Islam telah menjadi suatu kebutuhan
di negara-negara muslim.7) Meskipun pada kenyataannya pembaharuan hukum
Islam di negara-negara muslim masih terbatas pada wilayah hukum keluarga,
setidaknya fenomena tersebut mencerminkan bahwa aktifitas ijtihad masih tetap
hidup pada era globalisasi ini. Karena tanpa adanya ijtihad pasti hukum Islam
6) Ghufron Ajib Mas’adi,Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, cet.II,(Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 1998), hlm.4
7) Menurut Anderson tipologi pembaharuan hukum Islam di negara-negara muslim dapat dibedakan menjadi tiga : 1) negara-negara yang masih menerapkan syari’ah secara utuh, 2) negara-negara yang berusaha mengganti syari’ah dengan hukum Barat, dan 3) negara-negara yang mengkombinasikan hukum Barat dengan syari’ah. J.N.D Anderson, Islamic, hlm.82-83
akan kehilangan sifat elastis dan akomodatifnya dalam merespon permasalahan
baru yang muncul seiring dengan perubahan zaman.
Di Indonesia upaya pembaharuan hukum Islam telah menghasilkan wujud
yang konkret. Salah satunya adalah Kompilasi Hukum Islam yang patut dinilai
sebagai ijma’ ulama Indonesia.8) Namun mencermati gagasan-gagasan yang ada
dalam KHI, kesimpulan yang dapat diperoleh adalah pemanfaatan lembaga talfiq
dan takhayyur dalam fomulasi hukumnya. Nilai lebih dari proses penyusunan
KHI adalah referensi dari 38 buah kitab dari berbagai mazhab fiqh yang ada, studi
banding ke negara-negara muslim Timur Tengah, telaah yurisprudensi dan
serangkaian wawancara dengan para ulama Indonesia.9)
Dasar hukum KHI adalah Instruksi Presiden No.1 tahun 1991 yang
dikeluarkan pada tanggal 10 Juni 1991. Kemudian ditindaklanjuti dengan
Keputusan Menteri Agama No.154 tahun 1991 mengenai penyebarluasan
Kompilasi Hukum Islam.10) Meskipun KHI oleh pakar hukum di Indonesia tidak
dinyatakan sebagai hukum perundang – undangan yang berlaku di Indonesia
namun seluruh jajaran peradilan agama di Indonesia sudah mengakuinya sebagai
8) Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, (Padang:Angkasa Raya, 1990), hlm.138-139
9) Epistemologi Syara’ : Mencari Format Baru Fiqh Indonesia, Noer Ahmad dkk,cet.I (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 110. Tentang proses perumusan dan sumber rujukan dapat dilihat Ahmad Rofiq,Hukum Islam di Indonesia,cet.IV (Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 35-54
10) Kekuatan hukum yang berupa Inpres dengan isinya yang menyatakan perintah penyebarluasan bukan perintah pelaksanaan telah menyebabkan implementasi KHI bersifat fakultatif. Dalam arti tidak secara a priori mengikat dan memaksa warga negara Indonesia, khususnya umat Islam. Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Mazhab Negara : Kritik Atas Politik Hukum di Indonesia, editor : Nurul Huda, cet.1,(Yogyakarta:LKIS Yogyakarta, 2001),hlm.202-207.
hukum dan pedoman yang harus dijalankan dan dipatuhi oleh umat Islam
sehingga KHI dapat disebut sebagai undang – undang Islam.11)
Adapun pendekatan yang digunakan di dalam penyusunan KHI mencakup
beberapa pendekatan. Pertama, pendekatan normatif. Yaitu bahwa perumusan
KHI mengambil bahan sumber utama dari nas{s} al-Qur’an dan Sunnah.
Kedua, mengutamakan pemecahan problema masa kini. Ketiga, unity dan variety.
Dan keempat, pendekatan kompromi dengan hukum adat.12) Keempat pendekatan
tersebut digunakan di dalam merumuskan KHI yang terdiri dari tiga kitab hukum.
Buku I tentang Perkawinan, Buku II tentang Kewarisan dan Buku III tentang
Perwakafan.
Dalam pendekatan yang lebih mengutamakan pemecahan problema masa
kini dimaksudkan bahwa di dalam perumusan KHI sejauh mungkin dihindari
perdebatan di dalam mempersoalkan perbedaan pendapat ulama. Akan tetapi
langsung diarahkan kepada masalah yang dihadapi dalam kehidupan masyarakat,
kemudian baru dicari dan dipilih pendapat yang paling potensial untuk
memecahkan problema ketidaktertiban yang dihadapi selama ini.13) Dalam hal ini
tampak sekali pemanfaatan lembaga talfi>q dan takhayyur dalam formulasi
hukum KHI.
Akhir-akhir ini perubahan peradaban manusia semakin akseleratif. Sejalan
dengan tuntutan perkembangan jaman, manusia semakin banyak kehilangan nilai-
11) Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad : Isu – isu Penting Hukum Islam Kontemporer di Indonesia, cet.I, (Jakarta:Ciputat Press, 2002), hlm.45 – 46
12) M.Yahya Harahap, “Materi KHI”, dalam Dadan Muttaqien dkk (ed), Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, edisi II (Yogyakarta:UII Press,2000), hlm.82 – 92
13) Ibid, hlm.87
nilai yang diyakini sebelumnya. Manusia semakin dihadapkan pada perbenturan
dan erosi nilai-nilai moral dan keluhuran. Budaya permisif dan serba terbuka
memerangkap manusia hingga berkubang di dunia kemaksiatan.
Pergaulan bebas hingga free sex melanda kalangan muda-mudi hingga
resiko kehamilan di luar nikah. Sementara pihak yang mengalami selalu berusaha
untuk menutupi kehamilan di luar nikah tersebut dengan terpaksa mengawinkan
anak perempuannya dengan laki-laki yang menghamili maupun yang bukan
menghamili.
Sebenarnya masalah ‘iddah secara umum adalah sesuatu yang sudah
disepakati oleh para ulama selain juga telah dijelaskan secara eksplisit oleh nass
al-Qur’an maupun Sunnah. Akan tetapi ketika ‘iddah tersebut dihadapkan pada
suatu peristiwa yang tidak lazim, seperti seorang perempuan yang hamil karena
zina maka ‘iddah tersebut menjadi sebuah masalah yang membutuhkan
pengkajian secara cermat.
Bagaimanapun ‘iddah bagi perempuan hamil karena zina tersebut akan
membawa implikasi pada kebolehan akad nikah, dalam arti syah atau tidaknya
perkawinan tersebut. Selain itu ‘iddah perempuan hamil karena zina tidak
dijelaskan secara eksplisit baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah sehingga
mengundang perbedaan pendapat dikalangan ulama.
Menurut Sya>fi’iyyah dan H}anafiyyah perempuan hamil karena
zina tidak diwajibkan untuk menjalankan ‘iddah, karena ‘iddah bertujuan untuk
menjaga nasab sementara persetubuhan dalam bentuk zina tidak menyebabkan
hubungan nasab dengan laki – laki yang menyebabkan hamil.14)
Sebagian ulama H>>}anafiyyah menambahkan bahwa terdapat
larangan bagi suami untuk menggauli isterinya itu selama masih dalam keadaan
hamil sampai isterinya melahirkan.15) Adapun menurut Sya>fi’iyyah tidak ada
larangan untuk menggauli isterinya tersebut meskipun masih dalam keadaan
hamil.16)
Ulama Ma>likiyyah berpendapat bahwa perempuan yang dicampuri
dalam bentuk zina sama hukumnya dengan perempuan yang dicampuri secara
syubhat, berdasarkan akad yang batil maupun fasid yaitu dia harus menyucikan
dirinya dalam waktu yang sama dengan ‘iddah kecuali jika dikehendaki untuk
dilakukan hadd atas dirinya, maka ia cukup menyucikan dirinya dengan satu kali
haid.17)
Ulama H}ana>bilah menyatakan bahwa ‘iddah perempuan hamil
karena zina seperti halnya ‘iddah yang berlaku bagi isteri yang dicerai oleh
suaminya dalam keadaan hamil yaitu sampai dengan melahirkan.18) Konsekuensi
dari pendapat ini adalah larangan untuk menikahi perempuan tersebut pada waktu
hamil. Pendapat ini didasarkan pada hadis\ Nabi :14) As-Sayyid Sa>>>>>biq, Fiqh as-Sunnah, cet.IV (Beirut : Da>r al-Fikr, 1983),
II : 282-283
15) Abd ar-Rah}}}ma>n al-Ja>ziri>, Kita>b al-Fiqh ‘ala> Maz\a>hib al-Arba’ah, (Mesir : Maktabah at-Tija>>>riyyah al-Kubra>,1969), IV : 521.
16) Ibid, hlm.523
17) Abd ar-Rah}}ma>n al-Ja>ziri>,Kita>b al-Fiqh,IV : 516.
18) Ibn Quda>>>mah, al-Mughni>, (t.tp : Maktabah al-Jumhu>riyyah al-‘Arabiyah,t.t), VI : 601-602
زرع م;;اءه يسقى ان اآلخر واليوم بالله يؤمن إلمرئ اليحل
19) غيره
ح��تى حمل ذات غير , وال تضع حتى حامل التوطأ
حيضة تحيض (20
Sementara itu jika meninjau hukum positif di Indonesia ‘iddah bagi
perempuan hamil karena zina secara implisit diatur dalam pasal 53 KHI sebagai
berikut :
Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang
menghamilinya.
Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat
dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak
diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Dari pasal 53 ayat 2 di atas dapat dipahami bahwa tidak ada kewajiban ‘iddah
bagi perempuan hamil karena zina jika ia dikawinkan dengan pria yang
menghamilinya. Persoalan yang kemudian muncul adalah jika perempuan
hamil karena zina tersebut menikah dengan laki-laki yang tidak
menghamilinya. Dalam hal ini KHI belum memberikan penjelasan.
19) Abi>>>>> Da>wud Sulaima>n, Sunan Abi> Da>wud, “Kita>b an-Nika>h”, ba>b fi> wat’i as-S}aba>ya, (t.tp:Da>>>r al-Fikr, t.t.), II: 248. Hadis nomor 2158. Hadis diriwayatkan oleh Ruwaifi’ bin S\|a>bit al-Ans}a>ri>.
20) Abi>>>> Da>wud Sulaima>n, Sunan Abi> Da>wud, “Kita>b an-Nika>h”, ba>b fi> wat’i as-S}aba>ya, (t.tp:Da>>r al-Fikr, t.t.), II: 248. Hadis nomor 2157. Hadis riwayat Abi Sa’I>d al-Khuz}ri.
Berangkat dari persoalan di atas penyusun ingin melakukan analisis terhadap
ketentuan pasal 53 ayat 2 KHI tentang ‘iddah perempuan hamil karena zina.
Pokok Masalah
Bagaimana ‘iddah perempuan hamil karena zina dalam Kompilasi Hukum
Islam ?
Bagaimana analisis hukum ‘iddah perempuan hamil karena zina dalam
Kompilasi Hukum Islam ?
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan ‘iddah perempuan hamil
karena zina dalam Kompilasi Hukum Islam.
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan analisis hukum ‘iddah
perempuan hamil karena zina dalam Kompilasi Hukum Islam.
Kegunaan
Terapan
Penelitian ini diharapkan mampu memperkaya wacana intelektual bagi
para peminat dan pengkaji hukum Islam khususnya dalam bidang
perkawinan.
Ilmiah
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pertimbangan di dalam
perumusan ketentuan ‘iddah perempuan hamil karena zina.
D. Telaah PustakaBahan pustaka yang digunakan dalam penelitian ini dapat
dikelompokkan menjadi dua kategori. Pertama, bahan pustaka yang
membahas tentang ‘iddah perempuan hamil karena zina. Kedua,bahan
pustaka yang membahas seputar KHI.
Diantara bahan pustaka yang termasuk dalam kategori pertama
adalah buku Hukum Perkawinan Islam.21) Dalam buku tersebut dijelaskan
prbedaan pendapat yang berkembang di kalangan fuqaha tentang ‘iddah
perempuan hamil karena zina. Menurut pendapat Abu Hanifah, Muhammad
bin Hasan dan Syafi’i perkawinan wanita hamil karena zina dengan laki-laki
kawan berzinanya itu dapat dilakukan seketika tanpa harus menunggu
sampai melahirkan kandungan sebab wanita tersebut tidak disebutkan
dalam al-Qur’an termasuk wanita yang haram dinikah sebagaimana
dijelaskan dalam Surat an-Nisa>’: 24. Dalam ayat itu dinyatakan bahwa
selain yang telah disebutkan sebelumnya halal dikawin. Sedangkan Abu
Yusuf, Zufar, Malik, dan Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa
perempuan yang hamil karena zina wajib menjalankan ‘iddah yaitu sampai
melahirkan.
Kemudian buku Hubungan Seks Menurut Islam22). Dalam bab kelima
tentang zina terdapat uraian perbedaan pendapat tentang ‘iddah perempuan
hamil karena zina di kalangan fuqaha. Imam Ahmad dan Malik mewajibkan
‘iddah bagi perempuan hamil karena zina sementara Abu Hanifah dan
Syafi’i tidak mewajibkan ‘iddah bagi perempuan hamil karena zina. Akan
tetapi seorang ulama Hanafiyah yaitu Abu Yusuf, berpendapat bahwa
perempuan hamil karena zina wajib menjalankan ‘iddah.
21) Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, cet. IX (Yogyakarta: UII Press, 1999), hlm.35-36.
22) M. Bukhori, Hubungan Seks Menurut Islam, cet. I(Jakarta:Bumi Aksara, 1994), hlm.97-98.
Selanjutnya buku Kontroversi Perkawinan Wanita Hamil.23) Dalam
buku ini juga dijelaskan perbedaan pendapat fuqaha berkaitan dengan
‘iddah perempuan hamil karena zina. Selain menjelaskan pendapat fuqaha
sebagaimana telah dijelaskan dalam buku-buku sebelumnya, dalam buku ini
dijelaskan pendapat An-Nawawi bahwa seorang wanita yang berzina tidak
wajib ber’iddah baik sedang dalam keadaan hamil atau tidak. Sedangkan
Ibn Hazm seorang ulama mazhab Z|a>hiri berpendapat bahwa wanita
hamil karena zina boleh dikawinkan walaupun belum melahirkan anaknya.
Buku Meretas Kebekuan Ijtihad : Isu-isu Penting Hukum Islam
Kontemporer di Indonesia.24) Dalam buku ini juga terdapat uraian seputar
perbedaan pendapat yang berkembang di kalangan fuqaha tentang ‘iddah
perempuan hamil karena zina sebagaimana dijelaskan dalam buku-buku
sebelumnya.
Selain buku-buku di atas juga terdapat beberapa kitab fiqh yang
menjelaskan masalah ‘iddah perempuan hamil karena zina, antara lain
adalah Kita>>>>b al-Fiqh ‘ala> Maz\a>hib al-Arba’ah.25)
Dalam juz IV Kita>b at-T}ala>q dijelaskan perbedaan pendapat
tentang ‘iddah perempuan hamil karena zina dari keempat imam
maz}hab Sunni sebagaimana yang telah dijelaskan dalam buku-buku
sebelumnya.
Dalam kitab Bida>>>yah al-Mujtahid wa Niha>yah al-
Muqtas}id,26)dijelaskan bahwa terjadinya perbedaan pendapat antara
yuris Ma>likiyah dengan yuris-yuris pada umumnya (jumhur) dalam
masalah ‘iddah perempuan hamil karena zina disebabkan karena perbedaan
mereka dalam memahami larangan mengawini wanita yang berzina
23) Mukhlisin Muzarie, Kontroversi Pekawinan Wanita Hamil, cet. I(Yogyakarta:Pustaka Dinamika, 2002), hlm. 105-107.
24) Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad, hlm. 195-197
25) Abd ar-Rah}}ma>n al-Ja>ziri>, Kita>b al-Fiqh, IV : 519-532.
26) Ibn Rusyd, Bida>yah al-Mujtahid wa Niha>yah al-Muqtas}id,(Beirut : Da>>>r al-Fikr, 1995), II : 32-33.
(Q.S.An-Nu>r (24) : 3), apakah hanya bersifat mencela atau
mengharamkan. Sebagian besar mereka menangkap pesan ayat tersebut
sebagai celaan saja dengan bukti bahwa penah terjadi kasus penyelewengan
seorang isteri yang disarankan oleh Nabi agar diceraikan tetapi suaminya
merasa keberatan hingga akhirnya Nabi merestui meneruskan rumah
tangganya tanpa istibra>’ lagi.
Selanjutnya dalam kitab al-Mughni>,27)dijelaskan pendapat ulama
H}ana>bilah bahwa ‘iddah perempuan hamil karena zina seperti ‘iddah
yang berlaku bagi isteri yang dicerai oleh suaminya dalam keadaan hamil
yaitu sampai melahirkan. Kemudian Fiqh as-Sunnah,28)dalam kitab ini
dijelaskan bahwa menurut ulama H}anafiyyah dan Sya>fi’iyyah
perempuan hamil karena zina tidak diwajibkan ‘iddah karena ‘iddah
bertujuan untuk menjaga nasab sedangkan persetubuhan dalam bentuk zina
tidak menyebabkan hubungan nasab dengan laki-laki yang menyebabkan
hamil. Sedangkan menurut Malik dan Ahmad perempuan hamil karena zina
wajib menjalankan ‘iddah, baik dengan tiga kali haid atau cukup sekali haid
untuk mengetahui kebersihan rahim.
Adapun bahan pustaka yang termasuk dalam kategori kedua
misalnya buku Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata
Hukum di Indonesia.29) Dalam tulisan Harahap tentang “Materi KHI”
dijelaskan pendekatan yang ditempuh dalam merumuskan kebolehan kawin
hamil, yaitu berdasarkan pendekatan kompromistis dengan hukum adat.
Selain itu tujuan utama kebolehan kawin hamil adalah untuk memberikan
perlindungan hukum yang pasti kepada anak yang dalam kandungan.
Selanjutnya buku Hukum Islam di Indonesia.30) Dalam buku ini terdapat
27) Ibn Quda>>>>mah, al-Mughni>, VI : 601-602. 28) As-Sayyid Sa>>biq,Fiqh as-Sunnah, II : 282-283.
29) M.Yahya Harahap, “Materi KHI”, dalam Dadan Muttaqien dkk (ed), Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, hlm.82 – 92
30) Ahmad Rofiq, Hukum, hlm. 35-54. Tentang latar belakang historis dan proses penyusunan KHI dapat dilihat Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, cet.I (Yogyakarta:Gama Media,2001),hlm.79-96.
penjelasan tentang proses perumusan dan sumber rujukan KHI yang terdiri
dari 38 buah kitab fiqh dari berbagai mazhab fiqh yang ada. Adapun proses
perumusan KHI mencakup studi terhadap berbagai kitab fiqh, studi banding
ke negara-negara muslim Timur Tengah, telaah yurisprudensi, dan
serangkaian wawancara dengan para ulama Indonesia.
Sejauh pengetahuan penyusun, sedikitnya ada tiga skripsi yang pernah
membahas masalah ‘iddah perempuan hamil karena zina. Pertama , skripsi yang
berjudul “ ‘Iddah Perempuan yang Berzina Antara Imam Syafi’i dengan Imam
Ahmad bin Hanbal”. 31) Dalam skripsi tersebut dijelaskan bahwa menurut Imam
Syafi’i perempuan hamil karena zina tidak wajib menjalankan ‘iddah dan boleh
dicampuri meskipun dalam keadaan hamil. Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal
bependapat bahwa perempuan hamil karena zina wajib menjalankan ‘iddah
sampai melahirkan. Kedua, skripsi yang berjudul “Analisis terhadap pendapat
Imam Ahmad bin Hanbal tentang ‘Iddah Bagi Wanita Zina dan Implikasinya di
Indonesia”.32). Menurut Imam Ahmad bin Hanbal, perempuan hamil karena zina
wajib melaksanakan ‘iddah sampai melahirkan dan penyusun skripsi ini
berkesimpulan bahwa jika pendapat Imam Ahmad bin Hanbal ini diterapkan
dalam konteks masyarakat Indonesia akan menyebabkan kesenjangan sosial. Dan
yang terakhir, skripsi yang berjudul “ Pandangan Mazhab Maliki Terhadap ‘Iddah
Perempuan Yang Berzina Dan Aplikasinya di Indonesia”.33) Dalam skripsi
31) Husnul Arifin, “ ‘Iddah Perempuan yang Berzina Antara Imam Syafi’i dengan Imam Ahmad bin Hanbal,” skripsi IAIN Sunan Kalijaga (2001).
32) Saiful Anwar, “Analisis terhadap pendapat Imam Ahmad bin Hanbal tentang ‘Iddah Bagi Wanita Zina dan Implikasinya di Indonesia,” skripsi IAIN Sunan Kalijaga (2001)
33) Siti Zahrotun, “ Pandangan Mazhab Maliki Terhadap ‘Iddah Perempuan Yang Berzina Dan Aplikasinya di Indonesia,” skripsi IAIN Sunan Kalijaga (2003)
tersebut didiskripsikan metode istinbat hukum yang digunakan oleh mazhab
Maliki dalam menetapkan ‘iddah yaitu berdasarkan qiyas disertai dengan
bagaimana aplikasi pendapat Maliki tersebut di Indonesia. Menurut penyusun
skripsi tersebut pendapat Maliki tidak relevan jika diterapkan di Indonesia karena
akan menimbulkan kesenjangan sosial.
Adapun kajian yang membahas pasal 53 ayat 2 KHI tentang ‘iddah
perempuan hamil karena zina dengan memberikan analisis hukum, sejauh
pengetahuan penyusun masih jarang, untuk tidak mengatakan belum pernah ada.
E. Kerangka TeoretikSebagaimana diketahui bahwa ‘iddah bagi perempuan hamil dapat
dibedakan menjadi dua. Pertama, apabila isteri dicerai suaminya dalam keadaan
hamil maka ‘iddahnya sampai melahirkan berdasarkan firman Allah:
ثلثة فعدتهن ارتبتم ان نسائكم من المحيض من يئسن والئي
يحضن لم والئي حملهن جاشهر يضعن ان اجلهن االحمال ت جواوال
يسرا امره من له يجعل الله يتق 34) ومن
Kedua, apabila isteri ditinggal mati oleh suaminya dalam keadaan hamil.
Mayoritas ulama menurut Ibn Rusyd35) berpendapat bahwa masa ‘iddah
perempuan tersebut adalah sampai melahirkan, meskipun selisih waktu kematian
suami hingga ia melahirkan hanya setengah bulan atau kurang dari empat bulan
34) At-T>>}}}ala>q (65): 4.
35) Ibn Rusyd, Bida>yah., II: 77.
sepuluh hari.36) Sementara menurut Ma>lik dan Ibn ‘Abba>s masa ‘iddah
perempuan tersebut diambil waktu yang terlama dari dua jenis ‘iddah tersebut
apakah empat bulan sepuluh hari atau sampai melahirkan.
Sepanjang kedua jenis ‘iddah bagi perempuan diatas mungkin tidak
begitu banyak mengundang kontroversi karena masing-masing telah dijelaskan
oleh nass secara eksplisit. Akan tetapi dalam hal ’iddah bagi perempuan hamil
karena zina maka tidak ada penjelasan secara eksplisit oleh nas. Sebagai
konsekuensinya maka muncul perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang ada
tidaknya kewajiban ‘iddah bagi perempuan tersebut ataupun tenggang waktu masa
‘iddah tersebut.
Mengenai ada atau tidaknya kewajiban ‘iddah bagi perempuan hamil
karena zina, maka ulama telah bersepakat bahwa jika perempuan hamil karena
zina tersebut menikah dengan laki-laki yang menghamilinya tidak diwajibkan
‘iddah.37) Sedangkan apabila menikah dengan laki-laki yang tidak menghamilinya
terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Menurut ulama Sya>fi’iyyah dan sebagian ulama H}anafiyyah
berpendapat bahwa perempuan tersebut tidak wajib menjalankan ‘iddah. Dalam
arti bahwa perempuan tersebut dapat langsung dikawini pada waktu hamil, akan
tetapi menurut H}anafiyyah selama isteri tersebut masih dalam keadaan hamil
terdapat larangan bagi suami untuk menggaulinya berdasarkan pada hadis\ Nabi :
36) Ketentuan empat bulan sepuluh hari adalah ‘iddah bagi perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya berdasarkan Q.S. Al-Baqarah (2):234
37) Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuh, cet. IV (Damaskus : Da>r al-Fikr, 1997 M/1418 H), IX : 6648.
زرع م;;اءه يسقى ان اآلخر واليوم بالله يؤمن إلمرئ اليحل
38) غيره
Sedangkan Imam Sya>fi’i menyatakan bahwa tidak ada larangan bagi
suami untuk menggauli isterinya itu pada pada waktu masih dalam keadaan hamil,
tetapi status anak itu tidak dapat dinasabkan kepada suaminya.39) Adapun ulama
Ma>likiyah dan H}ana>bilah mewajibkan perempuan yang hamil karena
zina untuk menjalankan ‘iddah, akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang
tenggang waktu ‘iddah tersebut. Menurut ulama H}ana>bilah tidak ada
perbedaan antara perempuan hamil karena zina atau bukan dalam hal ber’iddah
yaitu sampai melahirkan anak yang dikandungnya.40) Sedangkan ulama
Ma>likiyyah berpendapat bahwa perempuan yang dicampuri dalam bentuk zina
sama hukumnya dengan perempuan yang dicampuri secara syubhat, berdasarkan
akad yang batil maupun fasid yaitu dia harus menyucikan dirinya dalam waktu
yang sama dengan ‘iddah kecuali jika dikehendaki untuk dilakukan hadd atas
dirinya, maka ia cukup menyucikan dirinya dengan satu kali haid.41)
Sedangkan di dalam KHI pasal 53 tidak terdapat penjelasan jika
perempuan yang hamil karena zina tersebut menikah dengan laki-laki yang tidak
menghamilinya.
38) Abi>>>> Da>wud Sulaima>n, Sunan Abi> Da>wud, “Kita>b an-Nika>h”, Ba>b fi> Wat’i as-S}aba>ya, (t.tp.: Da>r al-Fikr, t.t.), II: 248. Hadis nomor 2158. Hadis diriwayatkan oleh Ruwaifi’ bin S||a>bit al-Ans}}}a>ri.
39) Ibn Quda>>>>>>>>mah, al-Mughni>, VI : 602.
40
?) Ibid.
41) Abd ar-Rah}}>ma>>n al-Ja>ziri>, Kita>b al-Fiqh, IV : 516.
Sejauh pemahaman penyusun jika perempuan yang berzina tersebut sudah
terlanjur hamil, sementara laki-laki yang menghamilinya tidak bertanggung jawab
maka lebih baik dinikahkan meskipun dengan laki-laki yang tidak menghamilinya
tanpa harus menunggu kelahiran anak yang ada dalam kandungan. Karena selain
dapat menutup aib baik bagi perempuan tersebut maupun keluarganya juga dapat
meringankan beban psikologis yang nantinya akan ditanggung oleh anak yang ada
dalam kandungan pada masa-masa pertumbuhannya. Dalam hal ini berlaku kaidah
fiqh :
) 42المصالح جلب من اولى المفاسد درء
Kondisi perempuan yang sudah terlanjur hamil sangat membutuhkan
dukungan psikologis maupun ekonomi demi anak yang ada di dalam kandungan.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian pustaka (library research),
yaitu suatu jenis penelitian yang didalam memperoleh bahan dilakukan
dengan cara menelusuri bahan-bahan pustaka. Dalam penelitian ini cukup
ditempuh dengan penelitian pustaka karena sebagian besar data yang
diperlukan berasal dari bahan pustaka baik berupa buku maupun hasil
penelitian. Misalnya untuk mendiskripsikan ‘iddah perempuan hamil
42) Zain al-‘A>bidi>n Ibn Ibra>hi>m Ibn Naji>m, al-Asybah wa an-Naz}a>’ir, cet. I (Beirut:Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah,1413H / 1993 M(, hlm.90
karena zina dapat diperoleh dari kitab-kitab fiqih konvensional, kemudian
untuk mengetahui ketentuan ‘iddah tersebut menurut KHI dapat dilihat
pada KHI.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif-analitis. Setelah data terkumpul
akan dideskripsikan terlebih dahulu seputar masalah ‘iddah secara umum.
Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan pada pokok masalah tentang
‘iddah perempuan hamil karena zina dan terakhir akan dianalisis ketentuan
yang terdapat dalam KHI berkaitan dengan ‘iddah tersebut.
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang ditempuh dalam penelitian ini adalah pendekatan
yuridis-normatif-sosiologis. Pendekatan yuridis digunakan untuk
mengetahui ketentuan ‘iddah perempuan hamil karena zina di dalam KHI.
Sementara untuk mengetahui dalil-dalil dari nass baik al-Qur’an maupun
Sunnah tentang ‘iddah serta pendapat ulama dalam kitab-kitab fiqh
konvensional digunakan pendekatan normatif. Adapun untuk mengkaji
dampak yang muncul dalam interaksi sosial ditempuh pendekatan
sosiologis.
4. Pengumpulan Data
Sesuai dengan jenis penelitian ini maka data-data yang dibutuhkan
dikumpulkan dengan cara menelusuri buku-buku maupun hasil penelitian
yang memiliki kesesuaian dengan pokok masalah.
5. Analisa Data
Data-data yang telah diperoleh akan dianalisa secara kualitatif
dengan mengunakan metode induktif. Metode induktif adalah suatu
metode penalaran yang bertitik tolak dari premis-premis khusus kemudian
digeneralisasikan sehingga menghasilkan kesimpulan umum. Dengan
memperhatikan faktor psikologis maupun sosiologis dihubungkan dengan
kondisi perempuan hamil karena zina serta pendapat yang berkembang di
kalangan ulama akan ditarik suatu kesimpulan.
G. Sistematika Pembahasan
Pembahasan skripsi ini dibagi menjadi lima bab. Setiap bab terdiri dari sub-
sub bab.
Bab satu berisi pendahuluan untuk mengantarkan pembahasan skripsi
secara keseluruhan. Bab ini terdiri dari enam sub bab : latar belakang masalah,
pokok masalah, tujuan dan kegunaan, telaah pustaka, kerangka teoretik, metode
penelitian.
Selanjutnya pada bab dua akan dideskripsikan tinjauan umum tentang
‘iddah. Bab ini terdiri dari beberapa sub bab, antara lain : pengertian dan dasar
hukum ‘iddah, macam-macam ‘iddah, dan hikmah ‘iddah dan ‘iddah perempuan
hamil karena zina dalam pandangan ulama. Urgensi dari bab kedua ini adalah
untuk memperoleh pemahaman tentang ‘iddah dan hikmah ditetapkannya
semantara pemaparan pandangan ulama terhadap ‘iddah perempuan hamil karena
zina akan digunakan sebagi suatu penilaian dalam menganalisis ‘iddah perempuan
hamil karena zina dalam KHI sebagaimana akan dijelaskan dalam bab ketiga.
Bab tiga menjelaskan ketentuan ‘iddah yang terdapat di dalam KHI, baik
‘iddah yang telah dijelaskan secara eksplisit oleh nas}s} maupun ‘iddah yang
masih mengundang kontroversi pendapat, yaitu ‘iddah perempuan hamil karena
zina. Dalam menjelaskan ketentuan ‘iddah perempuan hamil karena zina dalam
KHI ini akan dibagi menjadi dua pasal. Pertama, ‘iddah perempuan hamil karena
zina jika dikawinkan dengan laki-laki yang menghamilinya. Kedua, ‘iddah
perempuan hamil karena zina jika dikawinkan dengan laki-laki yang tidak
menghamilinya. Bab tiga ini akan menjadi bahan yang akan dianalisis pada bab
selanjutnya.
Pada bab empat akan diberikan analisis terhadap ketentuan ‘iddah
perempuan hamil karena zina baik yang menikah dengan laki-laki yang
menghamilinya atau bukan. Akan tetapi sebelumnya akan diuraikan latar belakang
perumusan pasal 53 KHI untuk mengetahui pendekatan yang digunakan maupun
tujuan perumusan pasal tersebut.
Kemudian pada bab lima sebagai penutup akan diberikan kesimpulan akhir
disertai dengan saran-saran.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG ‘IDDAH
Bagi seorang perempuan yang putus perkawinannya baik karena
talak, fasakh, khulu’, li’an maupun ditinggal mati oleh suaminya maka wajib
menjalankan ‘iddah. Akan tetapi ketentuan ini tidak berlaku bagi laki-laki
berdasarkan makna ‘iddah menurut istilah, sehingga dibolehkan bagi laki-
laki untuk menikah secara langsung dengan perempuan lain setelah
perceraian selama tidak ada larangan syara’ seperti penikahan dengan
orang yang tidak dibolehkan baginya untuk dikumpulkan dengan isteri yang
pertama dan pernikahan dengan kerabat-kerabatnya yang termasuk
mahram seperti saudara perempuan kandung, saudara perempuan
ayah,saudara perempuan ibu, anak perempuan saudara laki-laki, anak
perempuan saudara perempuan meskipun berasal dari pernikahan yang
fasid atau dalam bentuk akad yang syubhat. Dan menikahi isteri yang kelima
pada masa masih berlaku ‘iddah bagi isteri yang keempat yang
diceraikannya sampai habis ‘iddahnya, dan menikahi isteri yang telah
ditalak tiga kali sebelum ada terpenuhi syarat yang menghalalkannya.
Secara sepintas memang tampak adanya diskriminasi terhadap
perempuan berkaitan dengan masalah kewajiban ‘iddah ini, akan tetapi
sebenarnya terdapat hikmah yang agung dibalik penetapan ‘iddah bagi
perempuan.1) Untuk dapat memahami hikmah tersebut maka di dalam bab
kedua ini akan diberikan gambaran umum tentang ‘iddah yang mencakup
pengertian dan dasar hukum ‘iddah, macam-macam ‘iddah, hikmah ‘iddah
dan ‘iddah perempuan hamil karena zina dalam pandangan ulama.
1) Menurut Abd Moqsith Ghazali, dengan pertimbangan etik-moral sebenarnya ‘iddah memiliki fungsi pelindungan terhadap perempuan. Petama, untuk menggantikan cara-cara ber’iddah dan berihdad yang di luar batas kewajaran – seperti pada masa Arab Jahiliyyah yang melarang perempuan mu’taddah untuk menyisir rambut, memotong kuku bahkan harus mengisolasi diri dalam ruang terpisah selama satu tahun penuh – pada cara yang lebih berperikemanusiaan. Kedua, agar setelah diceraikan perempuan tidak segera tercampakkan dan kehilangan hak-haknya. Karena dalam batas waktu ‘iddah itu perempuan masih behak untuk mendapat perlindungan ekonomi dan social. Abdul Moqsith Ghazali “ ‘Iddah dan Ihdad : Pertimbangan Legal-Formal dan Etik-Moral dalam Abdul Moqsith Ghazali dkk,Tubuh, Seksualitas,dan Kedaulatan Perempuan, editor : Amiruddin Arani dan Faqihudin Abdul Qodir,cet.I(Yogyakarta:LKIS,2002), hlm.162-167.
A. Pengertian dan Dasar Hukum ‘Iddah
Menurut bahasa kata ‘iddah berasal dari kata al-‘adad. Sedangkan kata
al-‘adad merupakan bentuk masdar dari kata kerja ‘adda-ya’uddu yang berarti
menghitung. Kata al-‘adad memiliki arti ukuran dari sesuatu yang dihitung dan
jumlahnya. Adapun bentuk jama’ dari kata al-‘adad adalah al-a’da>d begitu
pula bentuk jama’ dari kata ‘iddah adalah al-‘idad. Dan dikatakan juga bahwa
seorang perempuan telah ber’iddah karena kematian suaminya atau talak suami
kepadanya.2)
Menurut Sayyid Sa>biq yang dimaksud dengan ‘iddah dari segi bahasa
adalah perempuan (isteri) menghitung hari-harinya dan masa bersihnya.3)
Sementara al-Ja>ziri> menyatakan bahwa kata ‘iddah mutlak digunakan untuk
menyebut hari-hari haid perempuan atau hari-hari sucinya.4)
Dari sisi terminologi maka terdapat beberapa definisi ‘iddah yang
dikemukakan oleh para fuqaha. Meskipun dalam redaksi yang berbeda, berbagai
definisi tersebut memiliki kesamaan secara garis besarnya.
Menurut al-Ja>ziri> ‘iddah secara syar’i memiliki makna yang lebih luas
dari pada makna bahasa yaitu masa tunggu seorang perempuan yang tidak hanya
didasarkan pada masa haid atau sucinya tetapi kadang-kadang juga didasarkan
2) Ibn Munz}ir, Lisa>n al-‘Arab, ( ttp : tnp, t.t), hlm.702-703.
3) As-Sayid Sa>biq, Fiqh as-Sunnah, II : 277. Ali> H}asaballah,al-Furqah baina az-Zawjaini wa Ma> Yata’allaqu biha> min ‘iddatin wa nas}ab,cet, I(t.tp:Da>r al-Fikr al-‘Arabiy,1387H / 1968 M(,hlm. 187. H}asaballah memberikan pengertian ‘iddah menurut istilah fuqaha sebagai masa tunggu bagi perempuan (isteri) setelah terjadi sebab perceraian yang dalam masa itu seorang perempuan dilarang untuk menikah dan dengan menyelesaikan masa tunggu ini dapat menghapus apa yang tersisa akibat perkawinan.
4) Abd ar-Rahma>n al-Ja>ziri>, Kita>b al-Fiqh, IV : 513.
pada bilangan bulan atau dengan melahirkan dan selama masa tersebut seorang
perempuan dilarang untuk menikah dengan laki-laki lain.5) Sementara itu Sayyid
Sa>biq menjelaskan bahwa ‘iddah merupakan sebuah nama bagi masa lamanya
perempuan (isteri) menunggu dan tidak boleh kawin setelah kematian suaminya
atau setelah pisah dari suaminya.6)
Abu> Yahya> Zakariyya> al-Ans}a>ri memberikan definisi ‘iddah
sebagai masa tunggu seorang perempuan untuk mengetahui kesucian rahim atau
untuk ta’abbud (beribadah) atau untuk tafajju’ (bela sungkawa) terhadap
suaminya.7) Dalam definisi lain dijelaskan bahwa ‘iddah menurut ‘urf syara’
adalah nama untuk suatu masa yang ditetapkan untuk mengakhiri apa yang tersisa
dari pengaruh-pengaruh pernikahan.8)
Muhammad Zaid al-Ibya>ni menjelaskan bahwa ‘iddah memiliki tiga
makna yaitu makna secara bahasa, secara syar’i dan dalam istilah fuqaha. Menurut
makna bahasa berarti menghitung sedangkan secara syar’i adalah masa tunggu
yang diwajibkan bagi perempuan maupun laki-laki ketika terdapat sebab. Adapun
dalam istilah fuqaha yaitu masa tunggu yang diwajibkan bagi perempuan ketika
putus perkawinan atau karena perkawinannya syubhat.9)
5) Ibid 6) As-Sayyid Sa>biq, Fiqh as-Sunnah,II : 277. Bandingkan As-S}an’a>ni, Subul as-
Sala>m, ( Beirut : Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.t), III : 196. 7) Abu> Yahya> Zakariyya> al-Ans}a>ri, Fath al-Wahha>b, ( Semarang : Toha
Putra, t.t), II : 103. 8) Abu> Bakar Ibn Mas’u>d al-Kasa>ni>, Bada>’i’ S}ana>’i fi> Tarti>b asy-
Syara>’i, cet.I. ( Beirut : Da>r al-Fikr, 1996), III : 277. Bandingkan Muhammad Abu> Zahrah, Al-Ah}wa>l asy-Syakhs}iyyah, (ttp : Da>r al-Fikr al-‘Arabi, t.t), hlm.435. Ahmad Gundur, At-T}ala>q fi> Syari>’ah al-Isla>miyyah wa al-Qa>nu>n, cet.I (Mesir : Da>r al-Ma’a>rif, 1967),hlm.291
9) Muhammad Zaid al-Ibyani, Syarh al-Ahka>m asy-Syari>’ah fi> Ah}wa>l asy-Syakhs}iyyah,( Beirut : Maktabah an-Nahd}ah, t.t), I : 426.
Dari berbagai definisi ‘iddah yang telah dikemukakan diatas maka dapat
dirumuskan sebuah pengertian yang komprehensif tentang ‘iddah yaitu masa
tunggu yang ditetapkan bagi perempuan setelah kematian suami atau putus
perkawinan baik berdasarkan masa haid atau suci, bilangan bulan atau dengan
melahirkan untuk mengetahui kesucian rahim, beribadah (ta’abbud) maupun bela
sungkawa atas suaminya. Selama masa tersebut perempuan (isteri) dilarang
menikah dengan laki-laki lain.
Kewajiban menjalankan ‘iddah bagi seorang perempuan setelah
kematian suaminya atau setelah pisah dengan suaminya dijelaskan secara
eksplisit dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Diantara nas}s} al-Qur’an
yang menjelaskan tentang ‘iddah antara lain :
10(.... قروء ثة ثال بانفسهن يتربصن والمطلقت
يتربص���ن ازواج���ا وي���ذرون منكم يتوف���ون وال���ذين
11(....وعشرا اشهر اربعة بانفسهن
(10 ) Al-Baqarah (2) : 228. Menurut ulama Syafi’iyyah lafal quru’ berarti suci sehingga tenggang waktu ‘iddah relatif lebih pendek jika dibandingkan dengan pendapat Abu Hanifah yang mengartikan lafal quru’ dengan haid. As-Sayyid Sa>biq, Fiqh as-Sunnah, II : 279-280.
11) Al-Baqarah (2) : 234.
12) Al-Ah}za>b (33) :49
13) At-T}ala>q (65) : 4
14) Tirmiz\i>, Sunan at-Tirmiz\i>, “ Kita>b at-T}ala>q wa Li’a>n”, Ba>b Ma> Ja>’a fi>>> ‘lddati al-Mutawaffa> ‘anha> Zaujaha>, (Makkah : Maktabah at-Tija>riyyah, t.t), III : 500. Hadis nomor 1196. Hadis diriwayatkan oleh Zainab.
15) Tirmiz\i>, Sunan at-Tirmiz\i>, “Kita>b an-Nika>h”, Ba>b Ma> Ja>’a an La> Yakhtuba ‘ala> Khitbati Akhi>hi, III : 440. Hadis nomor 1135. Hadis diriwayatkan oleh Fa>t}imah binti Qais.
طلقتم��وهن ثم المؤمنت نكحتم إذا امنوا الذين ياايها
تعتدونها عدة من عليهن فمالكم تمسوهن ان قبل من
....)12
ارتبتم ان نس����ائكم من المحيض من يئس����ن ئى والال
واوالت ج يحض���ن لم والالئى اش���هر ثالث���ة فع���دتهن
13(.... حملهن يضعن ان اجلهن االحمال
Sementara itu masalah ‘iddah juga dijelaskan dalam Sunnah Nabi :
ف;وق ميت على تح;د ان االخ;ر واليوم باالله تؤمن إلمرأة يحل ال
14)....وعشرا اشهر اربعة زوج على اال ليال ثالث
15).... مكتوم ام ابن بيت فى اعتدى
Nas}s} al-Qur’an maupun Sunnah diatas merupakan dasar hukum
penetapan ‘iddah. Berdasarkan nas}s} al-Qur’an dan Sunnah tersebut maka
para ulama telah sepakat (ijma’) bahwa ‘iddah hukumnya wajib. Mereka hanya
berbeda dalam masalah tafsil (perincian ) dalam beberapa persoalan saja.
Selama dalam ketentuan ‘iddah yang telah dijelaskan secara eksplisit oleh
nas al-Qur’an maupun Sunnah tidak banyak mengundang perbedaan pendapat
dikalangan ulama. Tetapi ketika ketentuan ‘iddah tersebut dihadapkan pada suatu
persoalan yang belum ada penjelasannya baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah
seperti ‘iddah bagi perempuan hamil karena zina telah menimbulkan perbedaan
pendapat dikalangan ulama sebagaimana akan dibahas nanti.
B. Macam – macam ‘Iddah
Berdasarkan penjelasan tentang ‘iddah yang terdapat dalam nas al-Qur’an
maka para fuqaha dalam kitab-kitab fikih konvensional membagi ‘iddah menjadi
tiga yaitu berdasarkan masa haid atau suci, bilangan bulan dan dengan
melahirkan. Kalau dicermati penentuan ‘iddah itu sendiri sebenarnya disesuaikan
dengan sebab putusnnya perkawinan, keadaan isteri dan akad perkawinan.16)
Sebab putusnya perkawinan dapat dibedakan karena kematian suami, talaq
bain sughra maupun kubra dan faskh (pembatalan) seperti murtadnya suami atau
khiya>r bulu>g perempuan.
Keadaan isteri dapat dibedakan menjadi isteri yang sudah dicampuri
atau belum, isteri masih mengalami haid atau belum bahkan sudah
menopause, isteri dalam keadaan hamil atau tidak, isteri seorang yang
merdeka atau dari hamba sahaya, dan isteri seorang muslim atau kitabiyah.
Sedangkan ditinjau dari jenis akad maka dapat dibagi menjadi akad shahih
dan akad fasid.
Secara umum maka ‘iddah dapat dibedakan sebagai berikut :17)
1. ‘Iddah seorang isteri yang masih mengalami haid yaitu dengan tiga kali
haid
2. ‘Iddah seorang isteri yang sudah tidak haid (menopause) yaitu tiga bulan
3. ‘Iddah seorang isteri yang ditinggal mati oleh suaminya adalah empat
bulan sepuluh hari jika ia tidak dalam keadaan hamil
4. ‘Iddah seorang isteri yang hamil yaitu sampai melahirkan
Adapun secara rinci pembagian ‘iddah dapat dijelaskan sebagai berikut :
16) Muhammad Zaid al-Ibya>ni, Syarh, I : 429 17) As-Sayyid Sa>biq, Fiqh as-Sunnah, II : 277-278
a. ‘Iddah berdasarkan haid
Apabila terjadi putus perkawinan disebabkan karena talaq baik raj’i
maupun bain, baik bain sughra maupun kubra atau karena fasakh seperti
murtadnya suami atau khiya>r bulu>g dari perempuan sedangkan isteri masih
mengalami haid maka ‘iddahnya dengan tiga kali haid. Akan tetapi hal tersebut
berlaku bagi seorang isteri yang memenuhi syarat-syarat diantaranya :
1. Isteri yang merdeka, sedangkan bagi isteri yang hamba sahaya ‘iddahnya
selesai dengan dua kali haid.
2. Isteri tersebut dalam keadaan tidak hamil (ha>’il). Sedangkan apabila ia
hamil ‘iddahnya selesai sampai ia melahirkan.
3. Isteri tersebut telah dicampuri secara hakiki atau hukmi (khalwat) berdasarkan
akad yang shahih dan tidak ada perbedaan baik isteri tersebut seorang muslim
atau kitabiyah. Ulama H}anafiyyah, H}ana>bilah, dan Khulafa> ar-
Ra>syidu>n berpendapat bahwa khalwat berdasarkan akad yang s}ahih
dianggap dukhul yang mewajibkan ‘iddah. Sedangkan ulama Sya>fi’iyyah
dalam mazhab yang baru (qaul al-jadi>d) berpendapat bahwa khalwat tidak
mewajibkan ‘iddah.18)
Penetapan ‘iddah dengan haid ini juga berlaku bagi isteri yang ditinggal
mati oleh suaminya dan ia tidak dalam keadaan hamil dalam dua keadaan.
Pertama, apabila ia dicampuri secara syubhat dan sebelum putus perkawinannya
suaminya meninggal maka ia wajib ber’iddah berdasarkan haid. Kedua, apabila
akadnya fasid dan suaminya meninggal maka ia ber’iddah dengan berdasarkan
18) As-Sayyid Sa>biq, Fiqh as-Sunnah, II : 278.
haid tidak dengan empat bulan sepuluh hari yang merupakan ‘iddah atas kematian
suami karena hikmah ‘iddah di sini adalah untuk mengetahui kebersihan rahim
dan tidak untuk berduka terhadap suami karena dalam hal mencampuri secara
syubhat tidak ada suami dan dalam akad yang fasid tidak ada suami secara syar’i
maka tidak wajib berduka atas suami.
b. ‘Iddah berdasarkan bilangan bulan
Apabila perempuan (isteri) merdeka dalam keadaan tidak hamil dan
telah dicampuri baik secara hakiki atau hukmi dalam bentuk perkawinan
sahih dan dia tidak mengalami haid karena sebab apapun baik karena dia
masih belum dewasa atau sudah dewasa tetapi telah menopause yaitu sekitar
umur 55 tahun atau telah mencapai umur 15 tahun dan belum haid
kemudian putus perkawinan antara dia dengan suaminya karena talak, atau
fasakh atau berdasarkan sebab-sebab yang lain maka ‘iddahnya adalah tiga
bulan penuh berdasarkan firman Allah dalam Surat at-T}ala>q (65) : 4.
Dalam hal ini bagi perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya dan ia
tidak dalam keadaan hamil dan masih mengalami haid ‘iddahnya empat
bulan sepuluh hari berdasarkan firman Allah dalam Surat al-Baqarah (2) :
234.
c. ‘Iddah karena kematian suaminya
Sementara itu jika putusnya perkawinan disebabkan karena kematian
suami maka apabila isteri dalam keadaan hamil ‘iddahnya sampai melahirkan.
Mayoritas ulama menurut Ibn Rusyd berpendapat bahwa masa ‘iddah perempuan
tersebut adalah sampai melahirkan, meskipun selisih waktu kematian suami
hingga ia melahirkan hanya setengah bulan atau kurang dari empat bulan sepuluh
hari. Sementara menurut Ma>lik dan Ibn ‘Abba>s dan Ali> bin Abi>
T}a>lib masa ‘iddah perempuan tersebut diambil waktu yang terlama dari dua
jenis ‘iddah tersebut apakah empat bulan sepuluh hari atau sampai melahirkan.19)
Menurut jumhur ulama antara lain H}anafiyyah dan jumhur shahabat telah
diriwayatkan bahwa Umar dan Abdullah bin Mas’u>d dan Zaid bin S|a>bit
dan Abdullah bin Umar dan Abu> Hurairah mengatakan : “ ‘iddahnya ialah
dengan melahirkan kandungan yang ada di dalam perutnya meskipun suaminya
ketika itu masih berada di atas kasur tempat membaringkan mayatnya.” Ini berarti
bahwa ayat dari Surat at-T}ala>q mentakhsis ayat Surat al-Baqarah yang
menjelaskan ‘iddah bagi isteri yang ditinggal mati oleh suaminya adalah empat
bulan sepuluh hari. Hal ini karena ayat Surat at-T}a>laq diturunkan setelah ayat
Surat al-Baqarah.20)
Dan bagi isteri yang tidak dalam keadaan hamil ‘iddahnya adalah empat
bulan sepuluh hari berdasarkan Surat al-Baqarah (2) : 234. Dalam hal ini tidak ada
perbedaan baik isteri masih kecil atau sudah dewasa, muslim atau kitabiyah begitu
pula apakah sudah melakukan hubungan atau belum karena ‘iddah dalam kondisi
seperti ini adalah untuk menunjukkan kesedihan dan rasa belas kasih atas
kematian suami sehingga disyaratkan bahwa akadnya s}ahi>h, jika akadnya
fasid maka ‘iddahnya dengan haid karena untuk mengetahui kebersihan rahim.
Semua ketentuan ini adalah bagi isteri yang merdeka sementara jika isteri adalah
hamba sahaya dan hamil maka ‘iddahnya sama dengan isteri yang merdeka yaitu
sampai melahirkan dan jika tidak hamil dan masih mengalami haid ‘iddahnya
adalah dua kali haid berdasarkan hadis\ Nabi :
19) Ibn Rusyd, Bida>yah., II: 77.20) Muhammad Yu>suf Mu>sa, Ahka>m al-Ah}wa>l asy-Syakhs}iyyah fi>
Fiqh al-Isla>mi, cetI ( Mesir : Da>r al-Kita>b al-‘Arabi, 1957M/1376H), hlm.349
21) حيضتان وقرؤها تطليقتان االمة طالق
d. ‘Iddah bagi isteri qabla ad-dukhu>l
Adapun jika putusnya perkawinan terjadi sebelum dukhul (hubungan seks)
apabila disebabkan oleh kematian suami maka wajib bagi isteri untuk ber’iddah
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Dan jika putusnya perkawinan
disebabkan karena talaq atau fasakh maka tidak ada kewajiban ‘iddah bagi isteri.
Jika nikahnya berdasarkan akad sahih tidak disyaratkan adanya hubungan seks (
dukhul) hakiki akan tetapi adanya khalwat shahih sudah mewajibkan untuk
ber’iddah sebaliknya jika berdasarkan akad fasid maka tidak wajib ber’iddah
kecuali telah terjadi dukhu>l hakiki ( hubungan seks). Dan tidak ada kewajiban
‘iddah bagi isteri yang dicerai sebelum dicampuri ( qabla ad-dukhu>l)
berdasarkan firman Allah dalam Surat al-Ahzab (33) : 49.
C. Hikmah ‘Iddah
Perlu dimengerti bahwa Allah tidaklah meninggalkan perintah bagi
kita maupun kaidah-kaidah penetapan hukum kecuali di dalamnya terdapat
hikmah yang tinggi untuk menolong manusia di dunia maupun akhirat.
Adapun hikmah disyari’atkannya ‘iddah antara lain :
1. Mengetahui kebersihan rahim dan kesuciannya sehingga tidak berkumpul
benih dua laki-laki dalam satu rahim yang menyebabkan bercampurnya
keturunan.
(21 (Ibn Ma>jah, Sunan Ibn Ma>jah, “Kita>b At-T}ala>q, Ba>b fi> T}ala>q Al-Ammah wa ‘Iddatiha>, (Semarang : Toha Putra, t.t), I : 672. Hadis\ no. 2080. Hadis Riwayat Muhammad bin Basyar. Dalam riwayat lain ditulis حيضتان وعدتها . Tirmiz\i>, Sunan at-Tirmiz\i>, “Kita>b at-T}ala>q wa Li’a>n”, Ba>b Ma> Ja>’a anna T}ala>q al-Amati T}at}li>qata>ni”, (Makkah : Maktabah at-Tija>riyah, t.t), III : 488. Hadis nomor 1135. Hadis diriwayatkan oleh Fa>t}imah binti Qais.
2. Menunjukkan penghormatan terhadap akad dan mengagungkannya.
3. Memperpanjang waktu untuk ruju’ bagi suami yang menjatuhkan talaq raj’i.
4. Menghormati hak suami yang meninggal dengan menunjukkan rasa sedih atas
kepergiannya.
5. Kehati-hatian (ihtiyat) terhadap hak suami yang kedua.22)
6. Memberikan kesempatan kepada keduanya secara bersama-sama untuk
memulai kehidupan keluarga dengan akad baru jika dalam bentuk talak
ba’in.23)
7. Ihdad bagi isteri atas kematian suaminya.24)
8. Memuliakan isteri merdeka dari pada isteri hamba sahaya.25)
9. Perlindungan terhadap penyakit seks menular.43
Sebenarnya dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
khususnya dalam bidang kedokteran, untuk mengetahui hamil atau tidaknya
seorang perempuan tidak harus menunggu minimal sampai satu kali haid, akan
tetapi dalam hal ini terdapat hikmah bahwa diantara maksud ditetapkannya ‘iddah
adalah untuk memberikan waktu bagi kedua belah pihak untuk saling berpikir dan
22) Ali> Ah}mad al-Jurja>wi>, Hikmah at-Tasyri>’ wa Falsafatuh, (ttp : Da>r al-Fikr,t.t),II : 84-85. Menurut Ibn Hazm perintah ‘iddah termasuk masalah ta’abbudi sehingga tinggal diterima dan dilaksanakan dan tidak ada hikmah didalamnya.Ali> H}asaballah, al-Furqah,hlm. 187.
2
23) Muhammad Yu>suf Mu>sa>, Ahka>m, hlm.346
24) Ah}mad Gundu>r, at-T}ala>q, hlm. 291
25) Muhammad Zaid al-Ibya>ni, Syarh, hlm. 430.
43) Javed Jamil “ Extraordinary Importance of Iddah in Family-Health” in Islam and the Modern Age,2000, III : 117-124.
introspeksi terhadap diri sehingga dapat membenahi dan mewujudkan kembali
kehidupan rumah tangga yang bahagia. Selain itu dengan ditetapkannya ‘iddah
menunjukkan bahwa ikatan perkawinan adalah ikatan yang kokoh dan suci ( mis\
a>qan gali>z}an) yang tidak mudah putus hanya dengan jatuhnya talak.
Karena talak adalah sesuatu yang boleh dilakukan tetapi sangat dibenci di sisi
Allah.
D. ‘Iddah Perempuan Hamil Karena Zina Dalam Pandangan
Ulama
Sepanjang kedua jenis ‘iddah bagi perempuan hamil sebagai akibat dari
perkawinan yang sah, baik karena kematian suaminya atau talak tidak begitu
banyak mengundang kontroversi karena masing-masing telah dijelaskan oleh nass
secara eksplisit. Akan tetapi dalam hal ’iddah bagi perempuan hamil karena zina
maka tidak ada penjelasan secara eksplisit oleh nass. Sebagai konsekuensinya
maka muncul perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang ada tidaknya
kewajiban ‘iddah bagi perempuan tersebut ataupun tenggang waktu masa ‘iddah
tersebut. Pada dasarnya ulama telah sepakat bahwa jika perempuan hamil karena
zina menikah dengan orang yang menghamilinya tidak berlaku kewajiban ‘iddah.
Sedangkan jika perempuan hamil karena zina menikah dengan laki-laki yang tidak
menghamilinya maka terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama sebagai
berikut :
1. Pandangan ulama Ma>likiyyah terhadap ‘iddah perempuan hamil karena
zina
Ulama Ma>likiyyah berpendapat bahwa perempuan yang dicampuri
dalam bentuk zina sama hukumnya dengan perempuan yang dicampuri secara
syubhat, berdasarkan akad yang batil maupun fasid yaitu dia harus
menyucikan dirinya dalam waktu yang sama dengan ‘iddah kecuali jika
dikehendaki untuk dilakukan hadd atas dirinya, maka ia cukup menyucikan
dirinya dengan satu kali haid.27) Adapun bagi perempuan hamil karena zina
maka perempuan tersebut wajib menjalankan ‘iddah dengan tiga kali haid atau
dengan tenggang waktu tiga bulan, baik bagi perempuan yang telah tampak
kehamilannya maupun belum. Adapun yang pertama (telah tampak
kehamilannya) berdasarkan hadis\ :
28)غيره ولد مأه يسقي فال االخر واليوم بالله يؤمن كان من
Sedangkan yang kedua (belum tampak kehamilannya) karena untuk
menghindari bercampurnya keturunan.29)
27) Muhammad Ja>wad al-Mugniyyah, al-Ah}wa>l asy-Syakhs}iyyah, cet. I (Bairu>t : Da>r al-‘Ilmi li al-Mala>yin, 1964), hlm. 152-153. Badra>n Abu> ‘Ainain Badra>n, az-Zawa>j wa T}ala>q fi> al-Isla>m : Fiqh Maqa>rin baina al –Maz\a>hib al-Arba’ah as-Sunnah wa al-Maz\hab al-Jaghfari> wa al-Qa>nu>n, ( Iskandaria : Muasasah Syaba>b al-Ja>mi’ah, t.t), hlm.471. Abd ar-Rahma>n al-Ja>ziri>, Kita>b al-Fiqh,II : 516.
(28) Imam at-Tirmiz\i>, Sunan at-Tirmiz\i>, “ Kita>b an-Nika>h “, Ba>b Ma> Ja>’a fi> ar-Rajuli Yasytari> al-Ja>riyah wa hiya Ha>mil,(ttp : Da>r al-Fikr,t.t), III : 437. Hadis nomor 1131. Hadis diriwayatkan dari ar-Ruwaifi’ ibn S|a>bit.
29) Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuh, cet. IV (Damaskus : Da>r al-Fikr, 1997 M/1418 H), IX : 6650.
Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa seorang perempuan hamil karena
zina maka ketentuan ‘iddahnya adalah sampai dengan melahirkan.30)
Berdasarkan firman Allah :
)44.... حملهن يضعن ان اجلهن االحمال واوالت
2. Pandangan ulama H}anafiyyah terhadap ‘iddah perempuan hamil karena
zina
Ulama H}anafiyyah berpendapat bahwa perempuan hamil karena
zina tidak diwajibkan untuk menjalankan ‘iddah, karena ‘iddah bertujuan
untuk menjaga nasab sementara persetubuhan dalam bentuk zina tidak
menyebabkan hubungan nasab dengan laki – laki yang menyebabkan hamil.31)
Sehingga boleh menikahi perempuan hamil karena zina tanpa harus menunggu
‘iddah. Pendapat ini didasarkan pada dua alasan.32) Pertama, laki-laki yang
berzina dengan perempuan tersebut tidak disebutkan sebagai muharramat
maka hukumnya mubah berdasarkan firman Allah :
.... ذل�كم ماورأ ل�كم 33(واحل
Kedua, tidak ada penghargaan bagi air mani
dalam hubungan zina dengan alasan air
30) Ibn Quda>mah, al-Mugni>, VI : 601. Al-Qa>d}i ‘Abd al-Wahhab al-Bagda>di>, Al-Ma’u>natu ‘ala> Maz}hab ‘Alim al-Madi>nati al-Ima>m Ma>lik ibn Anas,cet. III (Beirut:Da>r al-Fikr,1415 H/ 1995 M(, II : 794.
44) At-T}ala>q (65( : 4 31) As-Sayyid Sa>biq,Fiqh as-Sunnah, II : 282-283
32) Wahbah az-Zuhaili>, Al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuh, IX : 6649
(33(An-Nisa (4) : 24.
tersebut tidak menetapkan nasab
berdasarkan hadis :
الحجر وللعاهر للفراش 34(الولد
Akan tetapi menurut Abu Yusuf (salah seorang ulama Hanafiyah)
‘iddah bagi perempuan hamil karena zina adalah sampai dengan melahirkan.35)
Sebagian ulama H}anafiyyah menambahkan bahwa terdapat
larangan bagi suami untuk menggauli isterinya itu selama masih dalam
keadaan hamil sampai isterinya melahirkan.36) Adapun larangan untuk
mencampuri selama perempuan tersebut masih dalam keadaan hamil
didasarkan pada hadis\ :
37)غيره ولد مأه يسقي فال خر اال واليوم بالله يؤمن كان من
(34) Imam Muslim, S}ahi>h Muslim, “ Kita>b ar-Rada> “, Ba>b al-Waladu Li al-Fira>si wa Tauqi asy-Syubhat, (ttp : al-Qana>’ah, t.t), I : 619. Hadis diriwayatkan dari Abu> Hurairah. Ulama berbeda pendapat mengenai makna “firasy”. Menurut jumhur firasy adalah nama bagi perempuan yang dicampuri, sedangkan menurut Abu> H}ani>fah firasy adalah nama bagi laki-laki yang mencampuri (zawj). As}-S}an’a>ni,Subul as-Sala>m, III : 210-211. Adapun cara menetapkan nasab ada tiga macam, yaitu berdasarkan firasy, pengakuan(iqra>r), dan bukti(bayyinah). Dalam menetapkan nasab berdasarkan firasy terdapat beberapa kaidah antara lain : 1) dengan melihat kserupaan anak dengan ayahnya. 2) dengan adanya akad tanpa disyaratkan terjadi dukhul menurut Hanafiyah. 3) dengan adanya akan disertai kemungkinan terjadi dukhul menurut jumhur fuqaha antara lain Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanabilah. 4) berdasarkan dukhul hakiki menurut Ibn Taimiyah. Muhammad Yu>suf Mu>sa>, an-Nasab wa A>s\aruhu,cet. II, (Kairo : Da>r al-Marifah,1967), hlm.7-26.
35) Ibn Quda>mah, al-Mugni>, VI : 601. Ibn al-Huma>m al-H}anafi>,Fath al-Qodi>rI,cet. II,(t.tp:Da>r al-Fikr,1379 H/ 1977 M),IV : 323.
36) Abd ar-Rahma>n al-Ja>ziri>, Kita>b al-Fiqh, IV : 521. Muhammad Ja>wad al-Mugniyyah, al-Ah}wa>l, hlm.152-153. Badra>n Abu> ‘Ainain Badra>n, az-Zawa>j wa T}ala>q, hlm.471. Ibn ‘A>bidi>n, Radd al-Mukhtar’ala> al-Dur al-Mukhtar,(Beirut:Da>r al-Ih}ya>’al-Turuki al-‘Arabiy,1407 H/1987 M), II : 599.
(37( Imam at-Tirmiz\i>, Sunan at-Tirmiz\i>, “ Kita>b an-Nika>h “, Ba>b Ma> Ja>’a fi> ar-Rajuli Yasytari> al-Ja>riyah wa hiya Ha>mil,(ttp : Da>r al-Fikr,t.t), III : 437. Hadis nomor 1131. Hadis diriwayatkan dari ar-Ruwaifi’ ibn S|a>bit.
3. Pandangan ulama Sya>fi’iyyah terhadap ‘iddah perempuan hamil karena
zina
Menurut ulama Sya>fi’iyyah perempuan yang dicampuri secara
zina maka tidak ada kewajiban ‘iddah baginya dan diperbolehkan untuk
menikahi perempuan hamil karena zina serta mencampurinya.38) Pendapat ini
didasarkan pada hadis :
39( الحالل الحرام اليحرم
Karena mencampuri dalam bentuk zina tidak menyebabkan hubungan
nasab maka tidak diharamkan menikahi perempuan tersebut seperti halnya jika
tidak hamil.40)
4. Pandangan ulama H}ana>bilah terhadap ‘iddah perempuan hamil karena
zina
Ulama H}ana>bilah menyatakan bahwa ‘iddah perempuan hamil
karena zina seperti halnya ‘iddah yang berlaku bagi isteri yang dicerai oleh
suaminya dalam keadaan hamil yaitu sampai dengan melahirkan.41) Selain itu
38) Abd ar-Rahma>n al-Ja>ziri>, Kita>b al-Fiqh, IV : 523. Muhammad> al-Khati>b as-Syarbi>ni>, Mugni> al-Muhta>j, (Mesir : Mustafa> al-Ba>b al-Ha>labi wa Aula>duh,1958), III : 288.
(39 (Ibn Ma>jah, Sunan Ibn Ma>jah, “ Kita>b an-Nika>h “, Ba>b La> Yuharrimu al-Hara>m al-Hala>l, ( Beirut : Da>r al-Fikr, t.t ), I : 622. Hadis nomor 2041. Hadis diriwayatkan dari Ibn ‘Umar.
40) Ibn Quda>mah, al-Mugni>, VI : 601.
41) Ibn Quda>mah, al-Mugni>, VI : 601-602. Ibn Quda>mah,al-Ka>fi> fi> Fiqh al-Ima>m al-Mujabbal Ahmad ibn Hanbal,(ttp: al-Maktabah al-Islam,t.t(,III : 311.
masih terdapat satu syarat lagi yaitu taubat. Konsekuensi dari pendapat ini
adalah larangan untuk menikahi perempuan tersebut pada waktu hamil.
Pendapat ini didasarkan pada hadis\ Nabi :
زرع م;;اءه يسقى ان اآلخر واليوم بالله يؤمن إلمرئ اليحل
42)غيره
تحيض حتى حمل ذات غير , وال تضع حتى حامل التوطأ
43)حيضة
Perbedaan pendapat yang muncul di
kalangan ulama di atas kalau dikelompokkan
dapat dibagi menjadi dua yaitu pendapat
yang mewajibkan ‘iddah dan tidak
mewajibkan ‘iddah terhadap perempuan
hamil karena zina. Sementara mengenai
dengan siapa perempuan hamil tersebut akan
dikawinkan, apakah dengan laki-laki yang
menghamili atau bukan sehingga
mempengaruhi boleh dan tidaknya
mencampuri perempuan tersebut pada waktu
hamil, tidak ada penjelasan secara eksplisit.
(42) Abi> Da>wud Sulaima>n, Sunan Abi> Da>wud, “Kita>b an-Nika>h”, Ba>b fi> wat’i as-S}aba>ya, (t.tp.: Da>r al-Fikr, t.t.), II: 248. Hadis nomor 2158. Hadis diriwayatkan oleh Ruwaifi’ bin S}a>bit al-Ans}a>ri.
(43) Abi> Da>wud Sulaima>n, Sunan Abi> Da>wud, “Kita>b an-Nika>h”, Ba>b fi> wat’i as-S}aba>ya, (t.tp.: Da>r al-Fikr, t.t.), II: 248. Hadis nomor 2157. Hadis riwayat Abi> Sa’I>d al-Khud}ri.
Dari sisi sosiologi memang pendapat yang tidak mewajibkan adanya ‘iddah (
H}anafi dan Sya>fi’i ) menguntungkan pihak wanita karena dapat menutup
aibnya dan tidak menanggung malu. Sedangkan pendapat Ma>lik dan Ah}mad
yang mewajibkan adanya ‘iddah jika ditinjau dari segi tegaknya hukum, cukup
positif, karena orang lebih berhati-hati dalam pergaulan, baik bagi muda-mudi
maupun orang tua dalam mengawasi putera-puteri mereka. Di sini orang yang
terlanjur melakukan zina sampai hamil memang dikorbankan, akan tetapi menjaga
masyarakat banyak lebih utama dari pada perorangan. Biarlah satu orang menjadi
korban, tetapi masyarakat tetap baik dan kasusnya menjadi pelajaran. 4 4) Pendapat
Ma >lik dan Ah}mad ini apabila dianut akan lebih menjamin terpeliharanya
nilai-nilai akhlak dalam masyarakat. 4 5) BAB III
‘IDDAH PEREMPUAN HAMIL KARENA ZINA DALAM KHI
Masalah ‘iddah dalam KHI diatur pada Bab XVII tentang Akibat
Putusnya Perkawinan bagian kedua yaitu waktu tunggu pasal 153, 154, dan
155. Akan tetapi ‘iddah yang dijelaskan dalam pasal-pasal tersebut hanyalah
‘iddah yang telah disepakati oleh para ulama. Sedangkan masalah ‘iddah
perempuan hamil karena zina tidak ada penjelasan secara eksplisit di dalam
KHI. Namun kalau dicermati, ketentuan ‘iddah perempuan hamil karena
zina tersebut sebenarnya dijelaskan secara implisit oleh KHI dalam pasal 53
yang mengatur masalah kawin hamil khususnya ayat kedua.
Dalam hal ini ‘iddah perempuan hamil karena zina dapat dibagi
berdasarkan dengan siapa perempuan tersebut akan dikawinkan. Pertama,
‘iddah perempuan hamil karena zina jika dikawinkan dengan laki-laki yang
menghamili. Kedua, ‘iddah perempuan hamil karena zina jika dikawinkan
dengan laki-laki yang tidak menghamilinya.
A. Ketentuan ‘Iddah Dalam KHI
44) Cut Aswar “Hukum Menikahi Wanita Hamil Karena Zina” dalam Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary A.Z (ed), Problematika Hukum Islam Kontemporer II,cet.II ( Jakarta : Pustaka Firdaus, 1996), hlm.55
45) Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan, hlm.36.
Dalam Kompilasi Hukum Islam, masalah ‘iddah atau waktu tunggu
dijelaskan dalam pasal 153, 154 dan 155. Pasal 153 ayat (1) KHI menyatakan
: “ bagi seorang isteri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau
‘iddah, kecuali qabla ad-dukhu>l dan perkawinannya putus bukan karena
kematian suami.”
Adapun macam – macam ‘iddah dalam KHI dijelaskan sebagai
berikut :
1. Putus perkawinan karena ditinggal mati suami
Pasal 153 ayat (2) huruf a KHI menjelaskan : “ apabila perkawinan
putus karena kematian, walaupun qabla ad-dukhu>l, waktu tunggu
ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari”. Ini berdasarkan Surat al-Baqarah
(2) : 234.
Ketentuan di atas berlaku bagi isteri yang ditinggal mati suaminya
dalam keadaan tidak hamil. Sedangkan apabila isteri tersebut dalam
keadaan hamil, maka waktu tunggu bagi mereka adalah sampai ia
melahirkan sebagaimana dijelaskan dalam pasal 153 ayat (2) huruf d KHI.
Hal ini didasarkan pada Surat at-Talaq (65) : 4.
Persoalan yang muncul kemudian adalah apabila isteri dalam
keadaan hamil tersebut melahirkan dalam waktu tidak sampai empat bulan
sepuluh hari. Dalam hal ini tidak terdapat penjelasan di dalam KHI.
Sementara itu mayoritas ulama berpendapat bahwa masa ‘iddah perempuan
tersebut adalah sampai melahirkan meskipun selisih waktu kematian suami
hingga ia melahirkan hanya setengah bulan.
Adapun menurut Ma>lik dari Ibn ‘Abba>s berpendapat bahwa
‘iddah bagi perempuan tersebut adalah berdasarkan waktu yang paling
lama dari dua jenis ‘iddah tersebut, apakah 130 hari atau melahirkan. Ali>
bin Abi> T}a>lib sependapat dengan pendapat Ma>lik tersebut.
Argumentasi yang dikemukakan adalah mengkompromikan kedua ayat
tentang ‘iddah hamil (at-T}a>laq (65) : 4 dan ayat tentang isteri yang
ditinggal mati suaminya (al-Baqarah (2) : 234).1)
Pendapat Ma>lik diatas tampak lebih rasional yaitu untuk
memberikan tenggang waktu berbela sungkawa relatif lebih lama. Karena
kematian suami bagaimanapun bukanlah persoalan yang dapat segera
dilupakan, namun ia membawa dampak psikologis yang memerlukan waktu
untuk memulihkannya.2)
2. Putus perkawinan karena perceraian
Isteri yang dicerai suaminya dapat berlaku beberapa kemungkinan
waktu tunggu sesuai dengan keadaannya :
a. Dalam keadaan hamil.
Apabila isteri dicerai suaminya dalam keadaan hamil maka
‘iddahnya sampai ia melahirkan kandungannya seperti
dijelaskan dalam pasal 153 ayat (2) huruf c KHI.
b. Apabila dicerai suaminya setelah terjadi hubungan kelamin
(dukhul) :
1) Bagi yang masih datang bulan, waktu tunggunya
adalah tiga kali suci dengan sekurang-kurangnya 90
hari (pasal 153 ayat (2) huruf b KHI).
2) Bagi yang tidak atau belum datang bulan masa
‘iddahnya tiga bulan atau 90 (sembilan puluh)
hari(pasal 153 ayat (2) huruf b KHI).
3) Bagi isteri yang pernah haid sedang pada waktu
menjalani ‘iddah tidak haid karena menyusui maka
1) Ibn Rusyd, II : 77.
2) Ahmad Rofiq, Hukum, hlm.314.
‘iddahnya tiga kali waktu suci (pasal 153 ayat (5)
KHI).
4) Dalam keadaan pada ayat (5) tersebut bukan karena
menyusui maka ‘iddahnya selama satu tahun, akan
tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia berhaid
kembali, maka ‘iddahnya menjadi tiga kali suci (pasal
153 ayat (6) KHI).
3. Putus perkawinan karena faskh, khulu>’ dan li’a>n
Waktu ‘iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena khulu’
(cerai gugat atas dasar tebusan atau ‘iwad} dari isteri), fasakh, atau li’a>n,
maka waktu tunggu berlaku seperti ‘iddah talak (pasal 155 KHI).
4. Isteri ditalak raj’i kemudian ditinggal mati suami dalam masa ‘iddah
Apabila isteri tertalak raj’i kemudian dalam waktu ‘iddah
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) huruf b, ayat (5) dan ayat (6)
pasal 153 KHI ditinggal mati oleh suaminya, maka ‘iddahnya berubah
menjadi empat bulan sepuluh hari (130 hari) terhitung saat matinya bekas
suami (pasal 154 KHI).
Selanjutnya dalam pasal 153 ayat (4) KHI menjelaskan bahwa bagi
perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung
sejak jatuhnya Putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan
hukum tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian,
tenggang waktu dihitung sejak kematian suami.
B. ‘Iddah Perempuan Hamil Karena Zina dalam KHI
1. ‘Iddah Perempuan Hamil Karena Zina jika Menikah
dengan Laki-laki yang Menghamilinya.
Secara implisit ketentuan ‘iddah perempuan hamil karena zina jika
menikah dengan laki-laki yang menghamilinya dijelaskan dalam pasal 53
ayat 2. Adapun pasal 53 KHI tersebut berbunyi :
1. Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang
menghamilinya.
2. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat
dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
3. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak
diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Dalam pasal 53 ayat 2 diatas dapat diperoleh penjelasan secara
implisit bahwa jika perempuan hamil karena zina menikah dengan laki-laki
yang menghamilinya tidak ada kewajiban untuk menjalankan ‘iddah yaitu
sampai melahirkan. Seperti dijelaskan dalam ayat 2 bahwa perempuan
tersebut dapat langsung dikawinkan dengan laki-laki yang menghamilinya
tanpa harus menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
Memang ketentuan yang terdapat dalam pasal 53 ayat 2 merupakan
suatu bagian integral dari pasal 53. Dalam arti bahwa antara ayat yang satu
dengan ayat yang lain merupakan satu kesatuan. Sehingga tidak mungkin
terjadi kontradiksi antar ayat dalam pasal 53. Karena ketentuan ayat 2
tersebut sangat terkait dengan kebolehan kawin hamil. Maka seandainya ada
kewajiban untuk menjalankan ‘iddah (sampai melahirkan) berarti
bertentangan dengan pasal 53 ayat 1 tentang kebolehan kawin hamil.
2. ‘Iddah Perempuan Hamil Karena Zina jika Menikah
dengan Laki-laki yang Tidak Menghamilinya
Ketentuan ‘iddah perempuan hamil karena zina jika menikah dengan laki-laki
yang tidak menghamilinya juga tidak dijelaskan secara eksplisit di dalam KHI.
Sementara dalam pasal 53 ayat 2 sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, secara
implisit hanya menjelaskan ketentuan ‘iddah bagi perempuan hamil karena zina
yang menikah dengan laki-laki yang menghamilinya.
Tetapi jika dikaji lebih jauh sebenarnya ketentuan dalam pasal 53 ayat 2
tersebut membuka peluang bagi kebolehan kawin hamil dengan laki-laki yang
tidak menghamili. Seandainya laki-laki tersebut bersedia mengawini dan tidak
disanggah oleh perempuan yang bersangkutan maka telah dianggap benar sebagai
laki-laki yang menghamili. Sehingga kemungkinan pernikahan antara seorang
laki-laki yang tidak menghamili perempuan hamil tersebut, sebagai bapak formal,
sebagai pengganti karena laki-laki yang menghamilinya tidak bertanggung jawab,
bisa terjadi untuk tidak mengatakan sering.45) Pernikahan seperti ini dalam adat
Jawa disebut nikah Tambelan, sedangkan di dalam masyarakat Bugis disebut
Pattongkok Siriq.46)
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah uraian pada bab-bab sebelumnya
yang mencakup pendahuluan, tinjauan
umum tentang ‘iddah, ‘iddah perempuan
hamil karena zina dalam KHI dan analisis
terhadap ketentuan ‘iddah perempuan hamil
45) Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, hlm. 166
46) Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, cet.II (Jakarta : Pradnya Paramita, 2000), hlm.31
karena zina dalam KHI maka dapat
dirumuskan kesimpulan sebagai berikut :
1. Pasal 53 ayat 2 KHI menjelaskan bahwa tidak ada kewajiban ‘iddah bagi
perempuan hamil karena zina dengan dapat dikawinkan langsung dengan
laki-laki yang menghamilinya tanpa harus menunggu terlebih dahulu
kelahiran anak yang ada dalam kandungan. Adapun dalam hal perkawinan
dengan laki-laki yang bukan menghamilinya tidak ada penjelasan. Akan
tetapi tidak menutup kemungkinan ketentuan ini juga berlaku bagi laki-
laki yang tidak menghamilinya. Karena seandainya laki-laki tersebut
besedia menikahi dan tidak disanggah oleh perempuan yang bersangkutan
maka telah dianggap benar sebagai laki-laki yang menghamili.
2. Pada dasarnya tidak ada kewajiban ‘iddah bagi perempuan hamil karena
zina jika menikah baik dengan laki-laki yang menghamilinya atau bukan.
Untuk yang pertama memang telah dijelaskan oleh KHI dalam pasal 53
ayat 2 dan telah disepakati oleh ulama. Sedangkan yang kedua,tidak
dijelaskan oleh KHI dan terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Ulama Syafi’iyyah dan Hanafiyyah tidak mewajibkan ‘iddah sedangkan
ulama Malikiyyah dan Hanabilah mewajibkan ‘iddah yaitu sampai
melahirkan. Akan tetapi mengingat dampak psikologis maupun sosiologis
yang akan ditimbulkan, maka akan lebih baik kalau perempuan hamil
karena zina tidak diwajibkan ‘iddah meski menikah dengan laki-laki yang
tidak menghamilinya, karena laki-laki yang menghamilinya tidak
bertanggung jawab.
B. Saran-saran
1. Perlu dipahami bahwa jenis perkawinan perempuan
hamil karena zina baik dengan laki-laki yang menghamilinya atau bukan
adalah jenis perkawinan darurat, sehingga jangan sampai dijadikan tradisi.
2. Berkaitan dengan kebolehan kawin hamil ini kita
tidak boleh terpaku kepada legalitas hukum, akan tetapi merumuskan
bagaimana agar tidak membuka peluang yang lebih besar bagi perzinaan
merupakan hal yang sangat perlu untuk dipikirkan.
3. Dengan perhatian orang tua di dalam mendidik anak
khususnya tentang agama, moral dan budi pekerti serta partisipasi
masyarakat untuk ikut mencegah pornografi, serta pergaulan bebas di
kalangan muda-mudi diharapkan dapat mengurangi maraknya perzinaan.
Akan tetapi, sebenarnya hal ini kembali kepada masing-masing individu,
sejauh mana penghayatan dan pengamalan keimanan dan keberagamaan
mereka.
DAFTAR PUSTAKA
1. Al-Qur’an
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta : Yayasan Penyelenggaraan Penterjemahaan al-Qur’an, 1989
2. Kelompok Hadits :
Majah, Ibn, Sunan Ibnu Majah, “Kitab At-Talaq, Bab fi Talaq Al-Ammah wa ‘Iddatiha, Semarang : Taha Putra, t.t, 2 juz
Muslim, Imam, Sahih Muslim, “ Kitab ar-Rada “, Bab al-Waladu Li al-Firasi wa Tauqi asy-Syubhat, ttp : al-Qana’ah, t.t, 2 juz
Sulaiman, Abi Dawud, Sunan Abi Dawud, “Kitab an-Nikah”, bab fi wat’i as-Sabaya, t.tp.: Dar al-Fikr, t.t., 4 juz
Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, “ Kitab at-Talaq wa Li’an”, Bab Ma Ja’a fi ‘lddati al-Mutawaffa ‘anha Zaujaha, Makkah : Maktabah at-Tijariyah, t.t, 5 juz
3. Kelompok Fiqh dan Ushul Fiqh :
‘Abidin, Ibn, Radd al-Mukhtar’ala al-Dur al-Mukhtar,(Beirut:Dar al-Ihya’ al-Turuki al-‘Arabiy,1407 H/1987 M, 5 juz
Ahmad, Noer dkk, Epistemologi Syara : Mencari Format Baru Fiqh Indonesia, cet. I, Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2000
al-H}anafi, Ibn al-Huma>m >,Fath al-Qodi>rI,cet. II,(t.tp:Da>r al-Fikr,1379 H/ 1977 M),4 juz
al-Bagda>di, Al-Qa>d}i ‘Abd al-Wahhab, Al-Ma’u>natu ‘ala> Maz}hab ‘Alim al-Madi>nati al-Ima>m Ma>lik ibn Anas,cet. III Beirut:Da>r al-Fikr,1415 H/ 1995 M, 2 juz
Ibn As\i>r, An-Niha>yah fi> Gari>b al-H}adi>s\ wa al-As\ar, Beirut:Maktabah al-‘Ilmiyyah,t.t, 5 juz
al-Jauziyyah, Ibn al-Qoyyim,I’la>m al-Muwaqqi’i>n ‘an Rabb al-‘A>lami>n,Beirut:Da>r al-Fikr ,t.t, 2 juz
Anderson, J.N.D, Islamic Law in the Modern World, New York : New York University Press,1959
Ansari, Abu Yahya Zakariya, Fath al-Wahhab, Semarang : Toha Putra, t.t
Ansary, Hafiz A.Z dan Chuzaimah T. Yanggo (ed), Problematika Hukum Islam Kontemporer II, cet. II Jakarta : Pustaka Firdaus, 1996
, Problematika Hukum Islam Kontemporer I, cet. II Jakarta : Pustaka Firdaus, 1996
Badran, Badran Abu ‘Ainain, az-Zawaj wa Talaq fi al-Islam : Fiqh Maqarin baina al-Mazhahib al-Arba’ah as-Sunnah wa al-Mazhab al-Jaghfari wa al-Qonun, Iskandaria : Muasasah Syabab al-Jami’ah, t.t
Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, cet. IX Yogyakarta:UII Press,1999
Bukhori, M. Hubungan Seks Menurut Islam, cet. I Jakarta : Bumi Aksara,1994
Djamil, Fathurrahman, Filasafat Hukum Islam, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999
Ghazali, Abdul Moqsith, dkk, Tubuh, Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan, editor : Amiruddin Arani dan Faqihudin Abdul Qodir,cet.I Yogyakarta:LKIS,2002
Gundur, Ahmad, At-Talaq fi Syari’ah al-Islamiyah wa al-Qonun, cet. I Mesir : Dar al-Ma’arif, 1967
Hasaballah, Ali, al-Furqah Baina az-Zawjaini wa Ma Yata’allaqu biha min ‘Iddatin wa Nasab,t.tp:Dar al-Fikr al-‘Arabiy,t.t
Hasan, M.Ali, Masail Fiqhiyah al-Hadisah : Masalah – Masalah Kontemporer, cet. II Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1997
Ibn Naji>m ,Zain al-‘A>bidi>n Ibn Ibra>hi>m, al-Asybah wa an-Naz}a>’ir, cet. I Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah,1413H / 1993 M
Ibyani, Muhammad Zaid, Syarh al-Ahkam asy-Syari’ah fi al-Ahwal asy-Syakhsiyah, Beirut : Maktabah an-Nahdah, t.t, 3 juz
Jaziri, Abdurrahman, Kitab al-Fiqh ‘ala Mazhahib al-Arba’ah, Mesir : Maktabah
at-tijariyah al-Kubra, 1969, 5 juz
Jamil, Javed, “ Extraordinary Importance of Iddah in Family-Health” in Islam and the Modern Age,2000, 4 Vol
Jurjawi, Ali Ahmad, Hikmah at-Tasyri’ wa Falsafatuh, t.tp : Dar al-Fikr, t.t, 2 juz
Kasani, Abu Bakar Ibn Mas’ud, Bada’I Sana’I fi Tartib asy-Syara’I, cet. I Beirut : Dar al-Fikr, 1996, 7 juz
Mas’adi, Ghufron Ajib, Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, cet.II Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1998
Mughniyyah, Muhammad Jawad, Al-Ahwal asy-Syakhsiyyah, cet. I Beirut : Dar al-‘Ilmi Li al-Malayin, 1964
Musa, Muhammad Yusuf, Ahkam al-Ahwal asy-Syakhsiyyah fi Fiqh al-Islami, cet. I Mesir : Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1957 M/1376 H
Muzarie, Mukhlisin, Kontroversi Perkawinan wanita Hamil, cet. I Yogyakarta : Pustaka Dinamika, 2002
Muhdlor, A. Zuhdi, Memahami Hukum Perkawinan Islam (Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk),cet.II Bandung:al-Bayan,1995
Mu’alim, Amir dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, editor : M.B Mukhlisin dan Sobirin Malian, cet. II Yogyakarta:UII Press,2001
Qudamah, Ibn, al-Mughni, t.tp : Maktabah al-Jumhuriyyah al-‘Arabiyah, t.t, 9 juz
_________, al-Ka>fi> fi> Fiqh al-Ima>m al-Mujabbal Ahmad ibn Hanbal,(ttp: al-Maktabah al-Islam,t.t(, 3juz
Rahman, Fatchur, Ilmu Waris, cet. IV Bandung : al-Ma’arif, t.t
Rusyd, Ibn, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, Beirut : Dar al-Fikr, 1995, 2 juz
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia,cet.IV, Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, 2000
Rofiq, Ahmad Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, cet.I (Yogyakarta: Gama Media,2001),hlm.79-96.
Rumadi, dan Marzuki Wahid, Fiqh Mazhab Negara : Kritik Atas Politik Hukum di Indonesia, editor : Nurul Huda, cet.1,Yogyakarta:LKIS Yogyakarta, 2001
Sabiq, Sayid, Fiqh as-Sunah, cet. IV Beirut : Dar al-Fikr, 1983, 3 juz
San’ani, Subul as-Salam, Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.t, 4 juz
Schacht, Joseph, An Introduction to Islamic Law, Oxford : Oxford University Press, 1964
Sirry, Mun’im A, Sejarah Fiqh Islam : Suatu Pengantar, cet. II Surabaya : Risalah Gusti, 1996
Syarifuddin, Amir, Meretas Kebekuan Ijtihad : Isu-Isu Penting Hukum Islam Kontemporer di Indonesia, editor : Abdul Halim cet. I Jakarta : Ciputat Press, 2002
________________, Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam, Padang : Angkasa Raya, 1990
Sudirman Tebba, Sosiologi Hukum Islam, cet.I (Yogyakarta:UII Press, 2003),hlm.52
Zahrah, Muhammad Abu, Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah, ttp : Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t
Az-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, cet. IV Damaskus : Dar al-Fikr, 1997 M/1418 H, 11 juz
4. Kelompok Umum :
Bisri, Cik Hasan (et.al); editor : Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia, cet.II Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999
Muhammad, Bushar, Pokok-Pokok Hukum Adat, cet.II Jakarta : Pradnya Paramita, 2000
Muttaqien, Dadan dkk (ed), Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, edisi II Yogyakarta : UII Press,2000
Ibn Mundzir, Lisan al-‘Arab, ttp : tnp, t.t
Kompilasi Hukum Islam
Undang – Undang Perkawinan di Indonesia, Surabaya : Arkola,t.t
5. Kelompok Jurnal dan Artikel :
Mudzhar, ‘Atho’, Social History Approach to Islamic Law, Al-Jami’ah, No.61, 1998
TERJEMAHAN
No Hlm Foot note
Terjemahan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
7
7
14
15
17
25
25
25
25
25
19
20
34
38
42
10
11
12
13
14
BAB I
Tidak halal bagi seorang laki-laki yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menumpahkan
air ( mani) nya diatas benih orang lain.
Jangan dicampuri perempuan yang hamil sebelum melahirkan dan perempuan yang tidak hamil
sebelum berhaid satu kali
Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi( Menopause) diantara perempuan-
perempuanmu jika kamu ragu-ragu tentang masa ‘iddahnya ) maka ‘iddah mereka adalah tiga bulan,
dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu
‘iddah mereka itu sampai melahirkan kandungannya, dan barang siapa yang bertaqwa kepada Allah
niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.
Sama dengan foot note no 19
Menghindari kerusakan lebih utama dari pada menarik kemaslahatan
BAB II
Wanita-wanita yang tertalak hendaklah menahan diri ( menunggu) tiga kali quru’
Orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan meninggalkan istri-istri ( hendaklah para
istri itu) menangguhkan dirinya ( ber’iddah) empat bulan sepuluh hari
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu
mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang minta
menyempurnakanya.
Sama dengan foot note no. 34
Tidak halal bagi perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir berihdad lebih dari tiga malam terhadap orang yang meninngal, kecuali terhadap
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
30
34
35
35
36
36
37
37
48
48
51
52
53
15
21
28
33
34
37
39
42
43
6
7
11
12
14
suami yang meningal maka ia harus berihdad empat bulan sepuluh hari
Ber’iddahlah dirumah anak umi makum
Talak bagi hamba sahaya adalah dua kali
Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka jangan menumpahkan airnya ( sperma)
diatas janin orang lain
Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian
Anak adalah milik ibu yang dicampuri dan bagi pezina adalah al-khaibah ( tidak dihargai
spermanya)
Sama dengan foot note no : 28
Sesuatu yang haram tidak mengharamkan sesuatu yang halal
Sama dengan foot note no : 19
Sama dengan foot note no : 20
BAB IV
Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina atau perempuan musyrik,
dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas
orang-orang yang beriman.
Sama dengan foot note no : 39
Sama dengan foot note no : 33
Sama dengan foot note no : 34
Menghindari kerusakan lebih utama dari pada menarik kemaslahatan.
BIOGRAFI ULAMA
1. Ahmad Azhar BasyirBeliau lahir di Jogjakarta pada tanggal 21 November 1928 beliau
adalah alumnus PTAIN Jogjakarta ( 1956) dan memperoleh gelar Magister dalam studi Islam pada universitas Cairo (1965). Mengikuti pendidikan
purna sarjana dalam bidang Filasafat di Universitas Gajah Madah (1971-1972). Beliau juga menjabat lector pada almamater yang sama dalam bidang Filsafat Islam dengan merangkap Islamologi, Hukum Islam dan pendidikan
agama Islam, dosen luar biasa di IAIN, UII, dan UMY.Diantara karyanya adalah hukum perkawinan Islam, Hukum Waris
Islam, Ikhtisar Figh Jinayat, Asas-asas Muamalat dan lain-lain.
2. As-Sayyid SabiqSeorang ulama Mesir yang memiliki reputasi Internasional di bidang
Fiqh dan dakwah Islam terutama melalui karyanya yang monumental yaitu Fiqh as-Sunnah, al-Tikami. Lahir di Islanka bertemu dengan khalifa ketiga Usman Bin Affan. Menganut mazhab Syafi’i termasuk keluarga as-Sayid Sabiq namun as-Sayyid Sabiq lebih memilih mengambil mazhab Hanafi di
Universitas Ummu al Qarra’ Makkah sampai sekarang.
3. Ibn RusydNama lengkapnya adalah Muhammad Ibn Ahmad Ibn Rusyd al-
Qurtubi lahir di Cardova beliau adalah seorang dokter, ahli hukum dan Filosof, di Barat ia lebih dikenal dengan sebutan Averous, ilmu-ilmu yang
ditekuninya meliputi fisika, kimia, astronomi, logika dan lain-lain karyanya yang terkenal adalah Bidayah al- Mujtahid wa Nihayah al Muqtasid
4. Ibn QudamahNama lengkapnya adalah Muaffaq ad- Din Abu Muhammad Abdillah
Ibn Ahmad Ibn Muhammad Bin Qudamah Magdisi, lahir dan meninggal di Damaskus( 541H/1147-620H/1224M) beliau adalah ulama besar di bidang
ilmu Fiqh. Beliau belajar ilmu Fiqh kepada Syekh Abd-Qadi Al Jailani selama empat tahun di Bagdad, menurut sejarawan beliau termasuk
keturunan Khalifah Umar Ibn Khattab beliau juga belajar kepada Ibn Al Manni’ seorang ahli Fiqh dan Ushul Fiqh dari Mazhab Hambali di Bagdad,
diantara karyanya adalah al-Mugni ( kitab Fiqh satandar dalam mazhab Hanbali) al-Kabir almugni Raudah an Nazir fi Ushul Fiqh dan lain-lain
muridnya yang paling terkenal adalah Abu al Faraj dan al ahmad al Magdisi
5. Muhammad Abu ZahrahBeliau adalah guru besar hukum Islam di universitas al Azhar Mesir,
termasuk orang pertama ilmu perbandingan Mazhab, beliau sangat produktif menulis buku dalam berbagai disiplin ilmu keislaman, terutama
hukum Islam, karyanya antara lain:Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah, Ushul al-Fiqh, dan buku-buku biografi
Imam–Imam Mujtahid
CURRICULUM VITAE :
Nama : Muhammad Isna Wahyudi
NIM : 00350175
Tempat/Tgl.Lahir : Semarang, 02 Mei 1981
Alamat : Ngempon RT 05 / I Bergas Semarang 50552
Pendidikan : - SD Negeri Ngempon 1 lulus tahun 1993
- SMP Negeri I Karang Jati lulus tahun 1996
- Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Modern
Islam Assalaam Sukoharjo 4 tahun lulus tahun
2000
- IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta masuk tahun
2000