DATA - [SMERU] Trend Sektor Kesehatan Berdasarkan SUSENAS 1995-2006
ICASERD WORKING PAPER No -...
Transcript of ICASERD WORKING PAPER No -...
ICASERD WORKING PAPER No.56
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian
ANALISIS PERILAKU KONSUMSI PANGAN SUMBER PROTEIN HEWANI DAN NABATI PADA MASA KRISIS EKONOMI DI JAWA
Ening Ariningsih Juli 2004
ICASERD WORKING PAPER No. 56
ANALISIS PERILAKU KONSUMSI PANGAN SUMBER PROTEIN HEWANI DAN NABATI PADA MASA KRISIS EKONOMI DI JAWA
Ening Ariningsih Juli 2004
Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian mengenai hasil penelitian, gagasan ilmiah, opini, pengembangan metodologi, pengembangan alat analisis, argumentasi kebijakan, pandangan ilmiah, dan review hasil penelitian. Penanggung jawab Working Paper adalah Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, dengan Pengelola : Dr. Handewi P. Saliem, Dr. A. Rozany Nurmanaf, Ir. Tri Pranadji MSi, dan Dr. Yusmichad Yusdja. Redaksi: Ir. Wahyuning K. Sejati MSi; Ashari SP MSi; Siti Fajar Ningrum SS, Kardjono dan Edi Ahmad Saubari. Alamat Redaksi : Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Jalan A. Yani No. 70 Bogor 16161, Telp. 0251-333964, Fax. 0251-314496 E-mail : [email protected]
No. Dok.075.56.05.04
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian
1
ANALISIS PERILAKU KONSUMSI PANGAN SUMBER PROTEIN HEWANI DAN NABATI PADA MASA KRISIS EKONOMI DI JAWA
Ening Ariningsih
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani 70 Bogor 16161
ABSTRACT
The objective of this paper was to analyze consumption behavior of animal and
vegetable protein sourced food in Java during economic crisis. National Socio-Economic Survey 1999 data of BPS - Statistics Indonesia were used in this study. A descriptive analysis was applied to learn expenditure pattern and an econometric analysis of Linear Approximation Almost Ideal Demand System (LA/AIDS) was also applied to identify animal and vegetable protein sourced food demand. The results of the study showed that: (1) expenditure share of animal protein sourced food was very low; in contrast to expenditure share of vegetable protein sourced food; (2) the expenditure share of animal protein sourced food increased in line to increasing income, on the contrary to the expenditure share of vegetable protein sourced food; (3) demand response of animal and vegetable protein sourced food was inelastic towards income changes; (4) except for cereals, response demand of animal and vegetable protein sourced food towards price changes was also inelastic; (5) in general, demand response of animal and vegetable protein sourced food towards price changes was more elastic for rural households compared to those of urban households; and (6) cereals’ prices strongly affected other food group demand. Considering that most animal and vegetable protein sourced food consumption in rural areas and lower income group response was much stronger towards income and the food prices changes, policies on food and nutrition should be more focused on that group. Keywords: animal and vegetable protein, economic crisis, Java
ABSTRAK
Makalah ini bertujuan untuk menganalisis perilaku konsumsi pangan sumber protein
hewani dan nabati rumah tangga di Jawa pada masa krisis ekonomi. Data yang digunakan adalah data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 1999 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik. Untuk mempelajari pola pengeluaran digunakan metode deskriptif, sedangkan untuk mempelajari permintaan pangan sumber protein hewani dan nabati digunakan analisis ekonometrika sistem persamaan permintaan Linear Approximation Almost Ideal Demand System (LA/AIDS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) pangsa pengeluaran pangan sumber protein hewani sangat rendah; sebaliknya pangsa pengeluaran pangan sumber protein nabati dominan, (2) pangsa pengeluaran pangan sumber protein hewani meningkat seiring dengan meningkatnya pendapatan, dan sebaliknya untuk pangsa pengeluaran pangan sumber protein nabati, (3) respon permintaan kelompok pangan sumber protein hewani dan nabati bersifat inelastis terhadap perubahan pendapatan, (4) kecuali untuk kelompok serealia, respon permintaan pangan sumber protein hewani dan nabati terhadap perubahan harga bersifat inelastis, (5) pada umumnya respon permintaan pangan sumber protein hewani dan nabati terhadap perubahan harga bagi rumah tangga di pedesaan lebih elastis dibanding rumah tangga di perkotaan, dan (6) harga serealia berpengaruh kuat terhadap permintaan kelompok pangan lainnya. Mengingat untuk sebagian besar jenis pangan sumber protein hewani dan nabati di daerah pedesaan dan kelompok penduduk berpendapatan rendah memiliki respon yang lebih kuat terhadap perubahan pendapatan maupun harga-harga komoditas pangan tersebut, maka prioritas kebijakan di bidang pangan (dan gizi) perlu lebih memfokuskan pada kelompok tersebut.
Kata kunci: protein hewani dan nabati, krisis ekonomi, Jawa
2
PENDAHULUAN
Protein merupakan salah satu zat gizi yang paling penting peranannya dalam
pembangunan sumberdaya manusia. Bersama-sama dengan energi, kecukupan
protein dapat digunakan sebagai indikator untuk melihat kondisi gizi masyarakat dan
juga keberhasilan pemerintah dalam pembangunan pangan, pertanian, kesehatan
dan sosial ekonomi secara terintegrasi (Moeloek, 1999). Protein dapat diperoleh dari
bahan pangan nabati maupun hewani, namun dibandingkan dengan protein nabati,
protein hewani mempunyai beberapa keunggulan. Salah satu yang terpenting adalah
pembawa sifat keturunan dari generasi ke generasi dan berperan pula dalam proses
perkembangan kecerdasan manusia. Oleh sebab itu, protein hewani dipandang dari
sudut peranannya layak dianggap sebagai agent of development bagi pembangunan
bangsa, baik untuk masa sekarang maupun masa mendatang (Soehadji, 1994).
Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) menunjukkan bahwa salah
satu permasalahan penting konsumsi pangan di Indonesia adalah masih sangat
rendahnya kontribusi pangan sumber protein hewani dalam menu makanan sehari-
hari, serta ketergantungan yang tinggi terhadap pangan sumber protein nabati,
khususnya serealia (beras). Rendahnya konsumsi pangan sumber protein hewani
tersebut terkait erat dengan harga pangan sumber protein hewani yang relatif mahal
dibandingkan dengan pangan sumber protein nabati nabati. Oleh karena itu, faktor
daya beli sangat menentukan tingkat konsumsi pangan sumber protein hewani,
dimana semakin tinggi pendapatan maka konsumsi pangan sumber protein hewani
cenderung semakin tinggi (lihat misalnya Martianto, 1995; Hermanto et al., 1996;
dan Erwidodo et al.,1998). Krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 mengakibatkan
harga pangan (termasuk pangan sumber protein) dan bukan pangan meningkat. Di
sisi lain, pendapatan riil rumah tangga menurun, yang mengakibatkan terjadinya
penurunan daya beli rumah tangga. Penurunan daya beli mengakibatkan terjadinya
penurunan konsumsi pangan (termasuk pangan sumber protein), sekalipun rumah
tangga akan memprioritaskan pemenuhan pangan dibandingkan bukan pangan
kecuali untuk kebutuhan yang sangat mendasar. Dalam hal penurunan konsumsi
pangan ini, bukan hanya kuantitasnya yang menurun, tetapi juga kualitas maupun
keseimbangan konsumsi pangan rumah tangga, yang kesemuanya berdampak pada
penurunan status gizi keluarga.
3
Menurut Saliem (2002), adanya krisis ekonomi bagi penduduk miskin di
daerah perkotaan maupun pedesaan secara mikro dapat diartikan menurunnya
anggaran belanja untuk pangan. Hal ini berarti kuantitas dan atau kualitas makanan
berkurang. Bagi penduduk dewasa, pengurangan makanan berarti daya tahan tubuh
berkurang dan pada gilirannya dapat menurunkan produktivitas kerja. Bagi anak-
anak balita dan ibu hamil/menyusui, penurunan kuantitas/kualitas makanan
berdampak sangat panjang karena mengganggu pertumbuhan sel-sel otak, yang
akan menentukan tingkat kecerdasan manusia di masa mendatang.
Jawa menjadi fokus perhatian karena hasil studi Warr (1999) menunjukkan
bahwa baik daerah perkotaan maupun pedesaan di Jawa sangat terpengaruh oleh
krisis ekonomi. Hal tersebut menjadi sangat penting karena berdasarkan hasil
SUPAS 1995 (BPS, 1996) sekitar 59 persen penduduk tinggal di Pulau Jawa.
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dikemukakan di atas,
maka secara umum makalah ini bertujuan untuk menganalisis perilaku konsumsi
pangan sumber protein hewani dan nabati pada masa krisis ekonomi di Jawa. Secara
spesifik menganalisis: (1) Pola pengeluaran pangan sumber protein hewani dan
nabati yang dikonsumsi oleh rumah tangga dan (2) Respon permintaan pangan
sumber protein hewani dan nabati terhadap perubahan harga sendiri, harga pangan
lain, dan pengeluaran.
METODE ANALISIS
Data dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam makalah ini adalah data sekunder, yaitu data
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 1999 yang dilakukan oleh Badan
Pusat Statistik (BPS). Data yang dianalisis adalah data lima provinsi di wilayah Jawa
(DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur), yang
mencakup data pengeluaran dan konsumsi pangan rumah tangga, serta karakteristik
sosiodemografi rumah tangga (pendidikan isteri dan ukuran keluarga).
Pangan sumber protein hewani dan nabati yang dianalisis dikelompokkan
menjadi delapan kelompok, yaitu ikan segar, ikan awetan, daging ternak, daging
unggas, telur, susu, kacang-kacangan, dan serealia. Dalam pengelompokan
komoditas-komoditas tersebut terlebih dahulu dilakukan kesesuaian bentuk dan
satuan dengan menggunakan konversi tertentu. Dilihat dari kandungan proteinnya,
4
kandungan protein serealia sebenarnya jauh lebih rendah daripada kandungan
protein kacang-kacangan yang dikenal sebagai sumber protein nabati. Kelompok
serealia lebih tepat disebut sebagai sumber kalori, akan tetapi karena dikonsumsi
dalam jumlah yang besar maka kelompok tersebut menjadi sumber protein utama
bagi pemenuhan kebutuhan protein penduduk Indonesia. Oleh karena itu, kelompok
serealia juga turut dianalisis dalam penelitian ini. Komoditas-komoditas lainnya yang
tidak dikategorikan ke dalam pangan sumber protein hewani dan nabati
digabungkan ke dalam pangan lainnya.
Untuk menghindari nilai nol yang dapat mengganggu perhitungan model log
seperti yang digunakan dalam makalah ini, maka dibuat suatu Primary Sampling Unit
(PSU), yaitu dengan mengelompokkan 16 rumah tangga contoh dalam satu blok
sensus (segmen) menjadi satu unit PSU dan menganggapnya sebagai satu unit
contoh. Pengelompokan seperti itu telah banyak dilakukan, misalnya oleh Deaton
(1989), Rachmat dan Erwidodo (1993), dan Hermanto et al. (1996).
Selanjutnya, untuk pengolahan data digunakan nilai rata-rata (pengeluaran,
konsumsi protein, konsumsi pangan sumber protein nabati dan hewani, pendidikan
isteri, maupun ukuran keluarga) dari setiap kelompok rumah tangga (PSU) yang
dipilih. Angka tersebut diperoleh dengan membagi nilai total dari observasi dengan
jumlah total dari seluruh rumah tangga dalam kelompok itu. Analisis perilaku
konsumsi pangan sumber protein hewani dan nabati dibedakan menurut wilayah
(perkotaan dan pedesaan) dan kelompok pendapatan yang diproksi dari pengeluaran
total rumah tangga (rendah [40% terendah], sedang [40% menengah], dan tinggi
[20% tertinggi]).
Analisis Data
Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis
ekonometrika. Analisis deskriptif digunakan untuk melihat pola pengeluaran pangan
sumber protein hewani dan nabati, sedangkan analisis ekonometrika digunakan
untuk menjelaskan respon permintaan pangan terhadap perubahan harga sendiri,
harga komoditas lain, dan pengeluaran/pendapatan.
5
Spesifikasi Model Analisis
Model yang digunakan adalah model AIDS (Deaton dan Muellbauer, 1980)
dalam bentuk aproksimasi linier (LA/AIDS) dan dimodifikasi dengan memasukkan
variabel ukuran rumah tangga dan tingkat pendidikan isteri.
Model LA/AIDS tersebut diformulasikan sebagai berikut:
wi = α*i + Σγij log pj + βi log (x/P*) + θi log S + φi log E j dimana:
i, j = 1, 2, …, 8, yang masing-masing menunjukkan kelompok komoditas ikan segar, ikan awetan, daging ternak, daging unggas, telur, susu, kacang-kacangan, dan serealia
wi = pangsa dari kelompok pangan sumber protein ke-i terhadap total pengeluaran pangan sumber protein hewani dan nabati (wi = piqi/x)
α, β, γ, θ, φ = parameter regresi berturut-turut untuk intersep, pengeluaran, harga agregat, ukuran rumah tangga, dan tingkat pendidikan isteri
pj = harga terbobot kelompok pangan sumber protein hewani dan nabati ke-j (pj = Σ wkpk)
x = pengeluaran total kelompok pangan sumber protein hewani dan nabati
P* = indeks harga Stone, dimana log P* = Σ wi log pi S = ukuran rumah tangga E = tingkat pendidikan isteri
Untuk memenuhi teori permintaan (asumsi memaksimumkan kepuasan tidak
dilanggar), dalam pendugaan model LA/AIDS tersebut diterapkan restriksi-restriksi
sebagai berikut:
(i) Simetri : γij = γji
(ii) Homogenitas : Σγij = 0 j (iii) Adding-up : Σαi = 1, Σγij = 0, Σβi = 0, Σθi =0, Σφi =0 i i i i i Rumus yang digunakan untuk menghitung elastisitas permintaan dari Model
LA/AIDS dalam penelitian ini mengikuti Chalfant (1987), yang juga digunakan oleh
Harianto (1994), yaitu sebagai berikut:
(1) elastisitas harga sendiri : εii = (γii - βiwi)/wi -1
(2) elastisitas harga silang : εij = (γij - βiwj)/wi ; i ≠ j
(3) elastisitas pengeluaran : ηi = βi/wi +1
6
Untuk memperoleh elastisitas pengeluaran total rumah tangga dari masing-
masing kelompok bahan pangan sumber protein hewani dan nabati, nilai elastisitas
pengeluaran hasil perhitungan dengan model LA/AIDS dikalikan dengan nilai
elastisitas pengeluaran kelompok bahan pangan sumber protein hewani dan nabati
terhadap pengeluaran total rumah tangga.
Elastisitas pengeluaran pangan sumber protein hewani dan nabati terhadap
pengeluaran total rumah tangga diduga melalui model logaritma linier sebagai
berikut:
ln wprot = a + b ln YT
ηprot = (ln wprot/ln YT) = b
dimana:
wprot = pangsa pengeluaran pangan sumber rotein hewani dan nabati terhadap pengeluaran total rumah tangga
YT = pengeluaran total rumah tangga
Selanjutnya elastisitas pengeluaran kelompok pangan sumber protein hewani
dan nabati tertentu terhadap pengeluaran total (pendapatan) rumah tangga dapat
dihitung berdasarkan rumus:
ηiT = ηprot . ηi
dimana:
ηiT = elastisitas pengeluaran kelompok pangan sumber protein hewani dan nabati ke-i
ηprot= elastisitas pengeluaran pangan sumber protein hewani dan nabati terhadap total pengeluaran rumah tangga
ηi = elastisitas pengeluaran kelompok pangan sumber protein hewani dan nabati ke-i terhadap total pengeluaran pangan sumber protein hewani dan nabati (hasil analisis model LA/AIDS)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pola Pengeluaran Rumah Tangga
Tabel 1 menunjukkan bahwa pengeluaran total rumah tangga di daerah
perkotaan lebih tinggi daripada daerah pedesaan. Pada tabel tersebut juga terlihat
adanya kesenjangan pengeluaran total antara rumah tangga berpendapatan rendah
dan sedang dengan rumah tangga berpendapatan tinggi, dimana pengeluaran total
7
rumah tangga berpendapatan tinggi mencapai lebih dari tiga kali lipat dibandingkan
rumah tangga berpendapatan rendah. Kesenjangan tersebut akan mempengaruhi
pola pengeluaran pangannya.
Tabel 1. Rata-rata Pengeluaran Total dan Pangsa Pengeluaran Pangan Rumah Tangga di Jawa Menurut Wilayah dan Kelompok Pendapatan, Tahun 1999
Sumber: BPS, Susenas 1999 (Raw data, diolah)
Secara garis besar kebutuhan rumah tangga dapat dikelompokkan ke dalam
dua kategori besar, yaitu pangan dan bukan pangan. Dengan demikian, pada tingkat
pendapatan tertentu, rumah tangga akan mengalokasikan pendapatannya untuk
memenuhi kebutuhan pangan dan bukan pangan. Menurut Harianto (1994), apabila
pendapatan rendah/sedikit, rumah tangga cenderung membelanjakan sebagian
besar pendapatannya tersebut, atau bahkan pada kasus-kasus yang ekstrim semua
pendapatannya, untuk pangan dan mengabaikan kebutuhan lainnya. Ketika
pendapatan meningkat, porsi yang lebih besar dari pendapatan akan dibelanjakan
untuk bukan pangan. Secara alamiah, kuantitas pangan yang dibutuhkan seseorang
akan mencapai titik jenuh sementara kebutuhan akan bukan pangan, termasuk
kualitas pangan tidak terbatasi dengan cara yang sama. Dengan demikian, pola
pengeluaran pangan, atau lebih spesifik sebagai persentase pendapatan (atau
pengeluaran total) yang dibelanjakan untuk pangan dari suatu rumah tangga dapat
digunakan sebagai petunjuk tingkat kesejahteraan rumah tangga. Dalam hal ini,
semakin tinggi pangsa pengeluaran pangan, berarti semakin kurang sejahtera rumah
tangga yang bersangkutan.
Data empiris menunjukkan bahwa pangsa pengeluaran pangan semakin
menurun dengan semakin tingginya pendapatan. Demikian pula pangsa
pengeluaran pangan di daerah perkotaan lebih rendah daripada di daerah
pedesaan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tingkat kesejahteraan rata-
rata rumah tangga di daerah perkotaan Jawa lebih tinggi daripada di daerah
Wilayah Kelompok pendapatan Kelompok pangan Jawa Kota Desa Rendah Sedang Tinggi
Pengeluaran total (Rp/kap/bulan) 170.006 223.156 127.331 96.055 161.364 334.749
Pangsa pengeluaran pangan dari total pengeluaran (%)
50,57 46,28 56,61 65,08 53,29 39,66
8
pedesaan. Pola tersebut sejalan pula dengan pangsa pengeluaran pangan di tingkat
nasional (Ariani et al., 2000).
Pada Tabel 2 disajikan pola (proporsi) pengeluaran pangan penduduk di
Jawa, yang dianalisis menurut wilayah dan kelompok pendapatan. Menurut
Rachman (2001), pengetahuan tentang besarnya pangsa masing-masing jenis
pangan terhadap struktur pengeluaran pangan, dapat mengidentifikasi peranan
pangan tersebut dalam alokasi pendapatan pangan rumah tangga. Informasi
tersebut dapat digunakan sebagai salah satu acuan pertimbangan pengambil
keputusan di bidang pangan dan gizi, terutama dikaitkan dengan kebijakan harga
pangan maupun program penyediaan dan distribusi pangan. Hal ini didasarkan pada
kenyataan bahwa pangsa pengeluaran jenis pangan tertentu merupakan proporsi
dari jumlah komoditas/jenis pangan yang dikonsumsi dikalikan dengan harga pangan
tersebut terhadap pendapatan rumah tangga yang dialokasikan untuk pangan
(secara keseluruhan).
Tabel 2. Pola Pengeluaran Pangan Rumah Tangga di Jawa Menurut Wilayah dan
Kelompok Pendapatan, Tahun 1999 (%)
Wilayah Kelompok pendapatan Kelompok pangan Jawa
Kota Desa Rendah Sedang Tinggi Hewani 14,54 16,91 11,80 10,25 14,06 19,15
-Ikan segar 3,94 4,70 3,07 2,42 3,84 5,49 -Ikan awetan 1,85 1,37 2,42 2,30 1,99 1,26 -Daging ternak 1,61 2,17 0,96 0,72 1,48 2,61 -Daging unggas 2,28 2,76 1,72 1,38 2,20 3,21 -Telur 2,96 3,13 2,75 2,67 2,97 3,20 -Susu 1,90 2,78 0,88 0,76 1,58 3,38
Nabati 30,88 25,44 37,15 39,42 32,16 21,23 -Kacang-kacangan 4,90 4,48 5,39 5,67 5,27 3,71 -Serealia 25,98 20,96 31,76 33,75 26,89 17,52
Total hewani dan nabati 45,42 42,35 48,95 49,67 46,22 40,38Pangan lainnya 54,58 57,65 51,05 50,33 53,78 59,62Total pangan 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00Sumber: BPS, Susenas 1999 (Raw data, diolah)
Pangsa pengeluaran untuk pangan sumber protein hewani sangat rendah;
sebaliknya pangsa pengeluaran pangan sumber protein nabati lebih dominan (Tabel
2). Seperti telah disinggung sebelumnya, rendahnya pangsa pengeluaran pangan
sumber protein hewani disebabkan oleh harganya yang relatif mahal, sehingga
9
rumah tangga akan lebih memprioritaskan pangan yang lebih pokok seperti serealia.
Namun seiring dengan meningkatnya pendapatan, pangsa pengeluaran pangan
sumber protein hewani meningkat, dan sebaliknya untuk pangsa pengeluaran
pangan sumber protein nabati. Dengan demikian, peningkatan pendapatan
merupakan kunci bagi peningkatan konsumsi pangan sumber protein hewani, yang
pada akhirnya berdampak pada peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Terkait
dengan pendapatan tersebut, pangsa pengeluaran pangan sumber protein hewani
lebih tinggi di daerah perkotaan yang rata-rata pendapatannya penduduknya lebih
tinggi, dan sebaliknya untuk pangsa pengeluaran sumber protein nabati.
Di antara keenam kelompok pangan yang dikategorikan sebagai pangan
sumber protein hewani, nampak bahwa pola pengeluaran untuk ikan awetan berbeda
dengan kelima kelompok lainnya. Jika dipilah antar daerah, maka pangsa
pengeluaran untuk ikan awetan lebih tinggi di daerah pedesaan. Jika dipilah antar
kelompok pendapatan, maka pangsa pengeluaran ikan awetan semakin rendah
dengan semakin tingginya pendapatan. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa ikan
awetan akan semakin ditinggalkan ketika pendapatan meningkat.
Pola pengeluaran ikan awetan tersebut terkait dengan relatif murahnya harga
ikan awetan dibandingkan dengan harga ikan segar ataupun pangan sumber protein
hewani lainnya. Oleh karena itulah ikan awetan lebih dominan pada pola konsumsi
rumah tangga berpendapatan rendah. Seiring dengan meningkatnya pendapatan,
dominasi ikan awetan akan mulai tergeser oleh pangan hewani lainnya yang lebih
berkualitas dan dianggap mempunyai gengsi lebih tinggi. Di samping itu,
pendapatan rata-rata rumah tangga di pedesaan yang lebih rendah daripada
pendapatan rata-rata rumah tangga di perkotaan menyebabkan ikan awetan lebih
dominan di daerah pedesaan.
Dugaan Parameter Permintaan
Sebagian besar dugaan parameter model sistem permintaan pangan sumber
protein hewani dan nabati nyata pada taraf nyata 1 persen, yang menunjukkan
bahwa pengaruh perubahan harga, pengeluaran, dan variabel demografi adalah
nyata terhadap pangsa pengeluaran masing-masing komoditas (kelompok) pangan,
seperti terlihat pada Lampiran 1 sampai 6. Dugaan parameter pengeluaran
seluruhnya nyata pada taraf 1 persen. Sebagian besar koefisien pengeluaran
tersebut bertanda negatif, yang berarti meningkatnya pengeluaran pangan sumber
10
protein hewani dan nabati akan diikuti oleh penurunan pangsa pengeluaran
kelompok pangan yang dugaan parameternya bertanda negatif tadi, yaitu daging
ternak, daging unggas, telur, susu, dan kacang-kacangan. Dugaan parameter harga sebagian besar nyata pada taraf 1 persen, yang
berarti pengaruh perubahan harga terhadap pangsa pengeluaran kelompok-
kelompok pangan yang dianalisis adalah nyata, kecuali untuk daging unggas yang
nyata pada taraf 10 persen. Untuk harga sendiri, hanya dugaan parameter harga
serealia yang bertanda negatif sementara untuk ketujuh kelompok lainnya bertanda
positif.
Sebagian besar dugaan parameter variabel ukuran rumah tangga nyata pada
taraf 1 persen, yang menunjukkan nyatanya pengaruh perubahan ukuran rumah
tangga terhadap pangsa pengeluaran kelompok pangan yang dianalisis. Dugaan
parameter ukuran rumah tangga lebih banyak yang bertanda negatif, yang berarti
semakin besar ukuran rumah tangga, maka semakin rendah pangsa pengeluaran
untuk berbagai jenis pangan tersebut atau “efek pendapatan” mendominasi “efek
spesifik”. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pada masa krisis rumah tangga
cenderung menjadi lebih miskin karena untuk memenuhi kebutuhan akan pangan
pokok (serealia), rumah tangga tidak bisa berbuat lain kecuali mengurangi pangsa
pengeluaran untuk pangan sumber protein hewani (kecuali ikan yang harganya relatif
murah dibandingkan pangan sumber protein hewani lainnya) dan juga kacang-
kacangan.
Dugaan parameter variabel pendidikan isteri seluruhnya nyata pada taraf 1
persen, yang menunjukkan kuatnya hubungan antara variabel tersebut dengan
konsumsi pangan sumber protein hewani dan nabati yang dianalisis. Dari tanda
dugaan parameter dapat disimpulkan bahwa dengan semakin tingginya pendidikan
isteri (yang dapat diinterpretasikan dengan semakin meningkatnya pengetahuan
tentang pangan dan gizi) akan terjadi perubahan pola konsumsi dimana alokasi
pengeluaran untuk ikan awetan, serealia dan kacang-kacangan menurun dan
dialihkan ke pangan lain yang lebih bermutu (ikan segar, daging ternak, daging
unggas, telur, dan susu).
Elastisitas Pendapatan
Kecuali susu, kelompok pangan sumber protein hewani dan nabati yang
dianalisis mempunyai elastisitas pendapatan yang positif, yang berarti kelompok
11
komoditas tersebut merupakan barang normal. Susu yang juga dihipotesiskan
bersifat barang normal, dalam penelitian ini ternyata mempunyai tanda elastisitas
pendapatan yang negatif (inferior). Tanda negatif tersebut dapat disebabkan karena
mahalnya komoditas tersebut, sehingga karena terbatasnya pendapatan, khususnya
bagi penduduk berpendapatan rendah dan sedang, adanya peningkatan pendapatan
dialokasikan untuk konsumsi pangan yang lain yang lebih pokok. Selain itu, menurut
Khomsan (2002), budaya minum susu belum tertanam di kalangan masyarakat
Indonesia. Hasil studi Sumarno et al. (1997) menunjukkan bahwa susu hampir tidak
pernah dikonsumsi oleh sebagian besar rumah tangga di Indonesia, kecuali susu
kental manis, itupun dalam frekuensi yang sangat jarang. Bahkan rumah tangga
dengan desil pengeluaran tertinggi pun hanya mengkonsumsi susu kental manis 1-3
kali sebulan.
Secara agregat wilayah Jawa, respon permintaan semua kelompok pangan
sumber protein hewani dan nabati yang dianalisis bersifat inelastis terhadap
perubahan pendapatan. Jika dipilah menurut wilayah, elastisitas pendapatan untuk
ikan segar, daging unggas, dan serealia lebih tinggi di daerah pedesaan daripada di
perkotaan, dan sebaliknya untuk ikan awetan, telur, dan kacang-kacangan. Hal
tersebut menunjukkan bahwa apabila terjadi kenaikan pengeluaran, maka rumah
tangga di perkotaan akan lebih memprioritaskan alokasi peningkatan
pengeluarannya untuk ikan awetan, telur, dan kacang-kacangan (yang harganya
relatif murah) dengan besaran yang lebih elastis dari-pada rumah tangga di
pedesaan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dampak krisis bagi rumah
tangga di perkotaan lebih nyata daripada di pedesaan.
Jika dipilah antar kelompok pendapatan, terlihat bahwa nilai elastisitas
pendapatan ikan segar, daging ternak, dan serealia paling tinggi pada kelompok
pendapatan rendah, dan menurun pada kelompok pendapatan yang lebih tinggi.
Temuan itu dapat diinterpretasikan bahwa permintaan komoditas-komoditas tersebut
pada rumah tangga berpendapatan rendah lebih responsif terhadap perubahan
pendapatan dibanding kelompok pendapatan tinggi. Implikasi dari temuan tersebut
adalah perlunya prioritas kebijakan yang mendorong peningkatan pendapatan (dan
atau stabilisasi harga pangan) bagi kelompok penduduk berpendapatan rendah.
12
Tabel 3. Elastisitas Pendapatan Pangan Sumber Protein Hewani dan Nabati di Jawa Menurut Wilayah dan Kelompok Pendapatan, Tahun 1999
Wilayah Kelompok pendapatan Kelompok pangan Total
Kota Desa Rendah Sedang Tinggi
Ikan segar 0,788 0,660 1,248 0,881 0,467 0,029 Ikan awetan 0,770 0,869* 0,641 0,3812 0,667 0,043 Daging ternak 0,538 0,462 0,593 0,480 0,307 0,024* Daging unggas 0,288 0,274 0,382 0,052 0,133 0,0191 Telur 0,333 0,355 0,329 0,193 0,235 0,017 Susu -0,369 -0,273 -0,261 -0,350 -0,336 -0,005 Kacang2an 0,224 0,400 0,050 0,088 0,110 0,022* Serealia 0,698 0,571 0,722 0,612 0,427 0,029 Keterangan: 1taraf nyata 5%, 2taraf nyata 10%, *tidak nyata,
tanpa catatan: taraf nyata 1 % Sumber: BPS, Susenas 1999 (Raw data, diolah)
Elastisitas Harga Sendiri
Perubahan harga suatu komoditas mempunyai dua efek, yaitu “efek
substitusi” dan “efek pendapatan”. “Efek substitusi” adalah perubahan dalam
mengkonsumsi suatu komoditas akibat perubahan harga komoditas tersebut atau
komoditas lain, dimana tingkat utilitas adalah konstan. “Efek pendapatan” terjadi
karena perubahan harga suatu komoditas menyebabkan adanya perubahan dalam
kekuatan daya belinya. Untuk barang normal (normal goods) “efek
pendapatan” berdampak positif terhadap barang yang dikonsumsi, sebaliknya untuk
barang inferior (inferior goods) berdampak negatif.
Tabel 4 memperlihatkan besaran elastisitas harga sendiri komoditas pangan
sumber protein hewani dan nabati di Jawa secara total, menurut daerah dan
kelompok pendapatan. Dilihat dari segi tanda, semua nilai elastisitas harga sendiri
bertanda negatif, yang berarti naik turunnya harga komoditas akan direspon dengan
arah berlawanan oleh permintaan konsumen akan komoditas tersebut. Secara
agregat wilayah Jawa, sebagian besar komoditas yang dianalisis bersifat inelastis,
yang dapat diinterpretasikan bahwa komoditas-komoditas tersebut merupakan
barang kebutuhan (necessities). Respon perubahan jumlah yang diminta untuk
komoditas-komoditas tersebut, persentasenya lebih kecil dibanding persentase
perubahan harga.
Menarik untuk dibahas adalah nilai elastisitas harga sendiri kelompok serealia
yang tergolong elastis. Hasil-hasil studi terdahulu tentang elastisitas harga sendiri
13
beras menunjukkan bahwa hingga pertengahan tahun 1980-an respon permintaan
beras terhadap perubahan harga sendiri beras umumnya adalah elastis (Timmer dan
Alderman, 1979; Kuntjoro, 1984; Daud, 1986), namun sejak tahun 1980-an pada
umumnya adalah inelastis (Rachmat dan Erwidodo, 1993; Harianto, 1994; Rachman
2001). Respon permintaan kelompok serealia yang elastis pada studi ini dapat
terjadi karena tarikan serealia lain selain beras. Studi Rachman (2001) menunjukkan
bahwa permintaan serelia lain dan mie/terigu elastis terhadap perubahan harga
sendiri. Sesuai hasil-hasil studi terdahulu seperti Rachmat dan Erwidodo (1993) dan
Rachman dan Erwidodo (1994), pada umumnya respon permintaan pangan sumber
protein hewani dan nabati terhadap perubahan harga bagi rumah tangga di
pedesaan lebih elastis dibanding rumah tangga di perkotaan. Pengecualian terjadi
pada komoditas kacang-kacangan yang mempunyai nilai elastisitas harga yang lebih
rendah di daerah pedesaan.
Tabel 4. Elastisitas Harga Sendiri Pangan Sumber Protein Hewani dan Nabati di Jawa Menurut Wilayah dan Kelompok Pendapatan, Tahun 1999
Wilayah Kelompok pendapatan Kelompok pangan Total
Kota Desa Rendah Sedang Tinggi
Ikan segar -0,689 -0,617 -1,131 -1,2222 -0,730 -0,390 Ikan awetan -0,689 -0,588 -0,634 -0,8512 -0,483 -0,577 Daging ternak -0,478 -0,404 -0,630 -0,7352 -0,273 -0,284 Daging unggas -0,8452 -0,8001 -0,848* -0,6522 -0,852* -0,531 Telur -0,825 -0,939* -0,7912 -0,7662 -1,124* -0,549 Susu -0,701 -0,664 -0,650 -0,576 -0,603 -0,540 Kacang2an -0,691 -0,814 -0,671 -0,678 -0,726 -0,8712 Serealia -1,266 -1,198 -1,197 -1,122 -1,154* -1,126* Keterangan: 1taraf nyata 5%, 2taraf nyata 10%, *tidak nyata,
tanpa catatan: taraf nyata 1 % Sumber: BPS, Susenas (Raw data, diolah)
Membahas pola elastisitas harga antar kelompok pendapatan akan lebih
kompleks dibandingkan dengan membahas pola elastisitas pendapatan karena
seperti telah diuraikan sebelumnya respon perubahan harga mencakup “efek
substitusi” dan “efek pendapatan”, sedangkan perubahan pendapatan itu sendiri
mencakup kuantitas dan kualitas komoditas yang dikonsumsi oleh rumah tangga.
Dengan demikian, dapat dipahami mengapa pola elastisitas harga terlihat lebih
bervariasi daripada pola elastisitas pendapatan. Harianto (1994) menemukan bahwa
14
elastisitas kualitas secara umum bernilai positif yang menunjukkan bahwa dengan
meningkatnya pendapatan rumah tangga cenderung membeli berbagai pangan yang
lebih mahal. Kenyataannya elastisitas harga berkaitan dengan tingkat substitusi
kuantitatif–kualitatif, di mana rumah tangga mengkonsumsi barang-barang yang lebih
mahal dengan kuantitas yang lebih sedikit daripada konsumsi barang-barang yang
tidak mahal. Hal ini terkait dengan perilaku rumah tangga dalam hal selera,
kenyamanan berbelanja, kemasan, penyimpanan, dan sebagainya.
Elastisitas Harga Silang
Pada Tabel 5 disajikan elastisitas harga silang pangan sumber protein hewani
dan nabati untuk agregat wilayah Jawa, yang dipilah menurut wilayah dan kelompok
pendapatan. Terlihat bahwa nilai elastisitas harga silang ada yang bertanda positif
dan ada yang bertanda negatif, sehingga diantara satu komoditas pangan dengan
komoditas pangan yang lain ada yang mempunyai hubungan substitusi dan ada yang
komplementer. Baik hubungan substitusi maupun komplementer di antara
komoditas-komoditas pangan tersebut pada umumnya relatif lemah (kurang begitu
kuat) karena pada umumnya nilai elastisitas harga silang komoditas-komoditas
tersebut harga mutlaknya kurang dari satu (inelastis) dan pada umumnya nilai
elastisitas harga silang tersebut relatif rendah (harga mutlaknya kurang dari 0,5).
Tabel 5. Elastisitas Harga Silang Pangan Sumber Protein Hewani dan Nabati di Jawa, Tahun 1999
Harga Kelompok
pangan Ikan segar
Ikan awetan
Daging ternak
Dagingunggas
Telur
Susu
Kacang2
an Serealia
Ikan segar 0,870 -0,019* -0,122 -0,088 -0,0882 -0,124 -0,385 Ikan awetan 0,473 -0,026* 0,106 0,132 0,0462 -0,378 1,042 Daging ternak 0,041* 0,011* -0,261 -0,194 -0,228 -0,241 1,126 Daging unggas -0,141 0,134 -0,184 -0,333 -0,208 0,043* 1,020 Telur -0,044 0,119 -0,102 -0,238 -0,825 0,0952 0,555 Susu 0,028 0,1382 -0,166 -0,210 -0,198 0,428 1,970 Kacang2an -0,006 -0,097 -0,068 0,022* 0,0652 -0,080 0,455 Serealia -0,036 -0,066 0,025 0,043 0,017 0,045 -0,010
Keterangan: 1taraf nyata 5%, 2taraf nyata 10%, *tidak nyata, tanpa catatan: taraf nyata 1 % Sumber: BPS, Susenas (diolah)
Menarik untuk dikaji lebih lanjut adalah pengaruh perubahan harga serealia
terhadap permintaan komoditas pangan lainnya yang cukup besar, sementara
15
pengaruh perubahan harga kelompok pangan lain terhadap permintaan serealia
sangat kecil. Temuan tersebut, seperti juga didapatkan oleh Harianto (1994),
mendukung observasi sebelumnya bahwa konsumsi pangan di Indonesia sangat
berpusat pada beras, yang merupakan serealia yang dominan dalam konsumsi
pangan penduduk Indonesia. Harga beras, khususnya, menentukan pola konsumsi
pangan.
Dilihat dari nilai elastisitasnya, hubungan sepasang (kelompok) komoditas
yang sama dapat berbeda (substitusi atau komplementer) apabila dilihat dari sudut
pandang yang berbeda, meskipun pasangan komoditas tersebut mempunyai besaran
dan tanda efek substusi yang sama (simetri). Sebagai contoh, hubungan antara
serealia dengan ikan awetan seperti ditunjukkan pada Tabel 5. Dilihat dari tanda
efek substitusinya, seperti terlihat pada Lampiran 1, pasangan komoditas tersebut
mempunyai efek substitusi yang negatif yang berarti bahwa keduanya adalah
komplemen satu sama lain. Akan tetapi, jika dilihat dari tanda elastisitas harga
silangnya terlihat bahwa apabila dilihat dari sudut pandang serealia, kenaikan harga
ikan awetan akan menyebabkan permintaan serealia menurun (hubungan
komplementer), sedangkan apabila dilihat dari sudut pandang ikan awetan, kenaikan
harga serealia akan berdampak pada meningkatnya permintaan ikan awetan
(hubungan substitusi). Perbedaan ini disebabkan karena perbedaan preferensi
konsumen terhadap serealia dan ikan awetan, dimana ikan awetan lebih disukai
daripada serealia. Secara teoritis, hal tersebut disebabkan karena efek pendapatan
yang disebabkan oleh perubahan harga ikan awetan lebih kuat daripada efek
substitusinya, dan sebaliknya untuk efek pendapatan yang disebabkan perubahan
harga serealia.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Kesimpulan
Pangsa pengeluaran untuk pangan sumber protein hewani sangat rendah;
sebaliknya pangsa pengeluaran pangan sumber protein nabati lebih dominan
Pangsa pengeluaran pangan sumber protein hewani meningkat seiring dengan
meningkatnya pendapatan, dan sebaliknya untuk pangsa pengeluaran pangan
sumber protein nabati. Pangsa pengeluaran pangan sumber protein hewani lebih
16
tinggi di daerah perkotaan, dan sebaliknya untuk pangsa pengeluaran pangan
sumber protein nabati.
Kecuali susu, komoditas pangan sumber protein hewani dan nabati
merupakan barang normal. Respon permintaan kelompok pangan sumber protein
hewani dan nabati yang dianalisis bersifat inelastis terhadap perubahan pendapatan.
Nilai elastisitas pendapatan untuk ikan segar, daging unggas, dan serealia lebih
tinggi di daerah pedesaan daripada di perkotaan, dan sebaliknya untuk ikan awetan,
telur, dan kacang-kacangan. Nilai elastisitas pendapatan ikan segar, daging ternak,
dan serealia paling tinggi pada kelompok pendapatan rendah, dan menurun pada
kelompok pendapatan yang lebih tinggi.
Sebagian besar respon permintaan pangan sumber protein hewani dan
nabati terhadap perubahan harga bersifat inelastis, kecuali untuk kelompok serealia
yang tergolong elastis. Pada umumnya respon permintaan pangan sumber protein
hewani dan nabati terhadap perubahan harga bagi rumah tangga di pedesaan lebih
elastis dibanding rumah tangga di perkotaan, sedangkan pola elastisitas harga antar
kelompok pendapatan lebih bervariasi.
Diantara satu komoditas pangan dengan komoditas pangan yang lain ada
yang mempunyai hubungan substitusi dan ada yang komplementer, namun
hubungan tersebut pada umumnya relatif lemah (kurang begitu kuat). Hanya
pengaruh perubahan harga serealia terhadap permintaan komoditas pangan lainnya
yang cukup besar, sementara pengaruh perubahan harga kelompok pangan lain
terhadap permintaan serealia sangat kecil.
Implikasi Kebijakan
Mengingat untuk sebagian besar jenis pangan sumber protein hewani dan
nabati di daerah pedesaan dan kelompok penduduk berpendapatan rendah memiliki
respon yang lebih kuat terhadap perubahan pendapatan maupun harga-harga
komoditas pangan tersebut. Oleh karena itu, prioritas kebijakan di bidang pangan
(dan gizi) perlu lebih memfokuskan pada kelompok tersebut. Mengingat pentingnya
pangan sumber protein dalam peningkatan kualitas sumberdaya manusia Indonesia,
maka perlu diupayakan jaminan ketersediaan pangan sumber protein tersebut, baik
dari segi kuantitas, kualitas, pemerataan distribusi, serta harga yang terjangkau, yang
disertai dengan penyuluhan tentang masalah gizi kepada masyarakat.
17
DAFTAR PUSTAKA
Ariani, M., H.P. Salim, S.H. Suhartini, Wahida, dan M.H. Sawit. 2000. Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Konsumsi Pangan Rumah Tangga. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 1996. Statistik Indonesia 1996. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
Chalfant, J. 1987. A Globaly Flexible, Almost Ideal Demand System. Journal of Business and Economic Statistics 5:233-242.
Daud, L.A. 1986. Kajian Sistem Permintaan Makanan Penting di Indonesia, Suatu Penerapan Model Almost Ideal Demand System (AIDS) dengan Data Susenas 1981. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Deaton, M. 1989. Price Elasticities from Survey Data: Estimation and Indonesian Results. LSTS Working Paper No. 69. World Bank. Washington, D.C.
Deaton, M. and J. Muellbauer. 1980. An Almost Ideal Demand System. American Economis Review 70(3):312-326.
Erwidodo, B. Santoso, M. Ariani, E. Ariningsih, dan V. Siagian. 1998. Perubahan Pola Konsumsi Sumber Protein Hewani di Indonesia: Analisis Data Susenas. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Harianto. 1994. An Empirical Analysis of Food Demand in Indonesia: A Cross-Sectional Study. Thesis for Doctor of Philosophy. La Trobe University. Bundoora, Victoria.
Hermanto, T. Sudaryanto, dan A. Purwoto. 1996. Pola Konsumsi dan Pendugaan Elastisitas Produk Peternakan. Dalam S. Hastiono et al. (eds.). Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Cisarua, 7-8 Nopember 1995. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
Khomsan, A. 2002. Budaya Minum Susu dan Peringkat SDM Kita. Kompas, 22 Mei 2002, hal. 13, kol. 1-8.
Kuntjoro, S.U. 1984. Permintaan Bahan Pangan Penting di Indonesia. Disertasi Doktor. Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Martianto, D. 1995. Konsumsi dan Permintaan Pangan Hewani di Berbagai Provinsi di Indonesia. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Moeloek, F.A. 1999. Gizi Sebagai Basis Pengembangan Sumberdaya Manusia Menuju Indonesia Sehat 2000. Dalam Pengembangan Gizi dan Pangan dari Perspektif Kemandirian Lokal. Persatuan Peminat Pangan dan Gizi dan Center for Regional Resources Development and Community Empowerment, Jakarta.
Rachman, H.P.S. 2001. Kajian Pola Konsumsi dan Permintaan Pangan di Kawasan Timur Indonesia. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Rachman, H.P.S. dan Erwidodo. 1994. Kajian Sistem Permintaan Pangan di Indonesia. Jurnal Agroekonomi 15(2):72-79.
Rachmat, M. dan Erwidodo. 1993. Kajian Sistem Permintaan Pangan Utama di Indonesia. Penerapan Model Almost Ideal Demand System dengan Data Susenas 1990. Jurnal Agroekonomi 13(2):72-89.
Saliem, H.P.S. 2002. Analisis Permintaan Pangan di Kawasan Timur Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi 20(2):64-91.
Soehadji. 1994. Tanggapan dan Pembahasan Makalah Prof. Dr. Michael Crawford, Prof. Dr. Boedhi-Darmojo, dan Prof Dr. Soekirman. Dalam M.A. Rifai et al. (eds.). Risalah
18
Widyakarya Pangan dan Gizi V. Jakarta, 20-22 April 1993. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta.
Sumarno, I., S. Latinulu, dan E. Saraswati. 1997. Pola Konsumsi Makanan Rumah Tangga Indonesia. Gizi Indonesia 22: 39-61.
Timmer, C.P. and H. Alderman. 1979. Estimating Consumption Parameters for Food Policy Analysis. American Journal of Agricultural Economics 61(5):982-987.
Warr, P. 1999. Indonesia’s Crisis and the Agricultural Sector. In P. Simatupang et al. (eds.). Seminar Proceeding on Indonesia’s Economic Crisis Effects on Agriculture and Policy Responses. Center for Agro-Socio Economic Research, Bogor.
19
Lampiran 1. Dugaan Parameter Model LA/AIDS Permintaan Pangan Sumber Protein Hewani dan Nabati di Jawa, Tahun 1999
Harga Kelompok pangan
Konstanta
Penge- luaran Ikan
segar Ikan
awetan Daging ternak
Daging unggas
Telur
Susu
Kacang2
an Serealia
Ukuran RT
Pend. isteri
Ikan segar -0,0856 0,0309 0,0121 0,0206 -0,0005* -0,0078 -0,0047 -0,00342 -0,0058 -0,0105 0,0321 0,0321Ikan awetan -0,01722 0,0155 0,0206 0,0134 -0,0006* 0,0050 0,0064 0,00242 -0,0138 -0,0335 0,0013* -0,0151 Dgg. ternak 0,0760 -0,0230 -0,0005* -0,0006* 0,0148 -0,0087 -0,0072 -0,0075 -0,0097 0,0195 -0,0083 0,0222 Dgg. unggas 0,1032 -0,0213 -0,0078 0,0050 -0,0087 0,00592 -0,0160 -0,0099 -0,0005* 0,0321 -0,0064* 0,0295 Telur 0,1531 -0,0253 -0,0078 0,0064 -0,0072 -0,0160 0,0094 -0,0106 0,00312 0,0196 -0,0145 0,0163 Susu 0,1702 -0,0581 -0,0047 0,00242 -0,0075 -0,0099 -0,0106 0,0084 -0,0114 0,0319 -0,0182 0,0294 Kacang2an 0,3163 -0,0678 -0,0058 -0,0138 -0,0097 -0,0005* 0,00312 -0,0114 0,0272 0,0109 -0,0077* -0,0083 Serealia 0,2839 0,1490 -0,0105 -0,0335 0,0195 0,0321 0,0196 0,0319 0,0109 -0,0700 0,02162 -0,1061
Lampiran 2. Dugaan Parameter Model LA/AIDS Permintaan Pangan Sumber Protein Hewani dan Nabati di Daerah Perkotaan Jawa, Tahun 1999
Harga
Kelompok pangan
Konstanta
Penge- luaran Ikan
segar Ikan
awetan Daging ternak
Daging unggas
Telur
Susu
Kacang2
an Serealia
Ukuran RT
Pend. isteri
Ikan segar -0,0782 0,0383 0,0419 0,0208 -0,0002* -0,0093 -0,0086 -0,0005* -0,0056* -0,0385 -0,0030* 0,0392 Ikan awetan -0,0389 0,0264 0,0208 0,0140 -0,0060 0,0012* 0,0064 0,00371 -0,0125 -0,0275 0,0039* -0,0139 Dgg. ternak 0,0620 -0,0160 -0,0002* -0,0060 -0,0257 -0,0039* -0,0035* -0,0107 -0,0132 0,0119 -0,0242 0,0315 Dgg. unggas 0,1204 -0,0252 -0,0093 -0,0012* -0,0039* 0,01041 -0,0219 -0,0132 -0,0006* 0,0373 -0,0167 0,0378 Telur 0,1359 -0,0184 -0,0086 0,0064 -0,0035* -0,0219 0,0031* -0,0054 0,0088 0,0211 -0,0156 0,0190 Susu 0,2569 -0,0906 -0,0005* 0,00371 -0,0107 -0,0132 -0,0054 0,0141 -0,0145 0,0265 -0,0421 0,0354 Kacang2an 0,2314 -0,0179 -0,0056* -0,0125 -0,0132 -0,0006* 0,0088 -0,0145 0,0187 0,0189 -0,0019* -0,0174 Serealia 0,3104 0,1035 -0,0385 -0,0275 0,0119 0,0373 0,0211 0,0265 0,0189 -0,0496 0,0997 -0,1315
Keterangan: 1 taraf nyata 5%, 2 taraf nyata 10%, * tidak nyata, tanpa catatan: taraf nyata 1%
20
Lampiran 3. Dugaan Parameter Model LA/AIDS Permintaan Pangan Sumber Protein Hewani dan Nabati di Daerah Pedesaan Jawa, Tahun 1999
Harga
Kelompok pangan
Konstanta
Penge- luaran Ikan
segar Ikan
awetan Daging ternak
Daging unggas
Telur
Susu
Kacang2
an Serealia
Ukuran RT
Pend. isteri
Ikan segar -0,1329 0,0588 -0,0040 0,0163 -0,00342 -0,0039* 0,0001* -0,00282 -0,0003* -0,0020* 0,0436 0,00552
Ikan awetan 0,0140* 0,0026* 0,0163 0,0178 0,0015* 0,0036* 0,0026* -0,0014* -0,0126 -0,0277 0,0021* -0,0086 Dgg. ternak 0,0733 -0,0170 -0,00342 0,0015* 0,0063 -0,0080 -0,0080 -0,0041 -0,0052 0,0209 -0,0047* 0,0093 Dgg. unggas 0,0600 -0,0119 -0,0039* 0,0036* -0,0080 0,0044* -0,0103 -0,0019* -0,0029* 0,0190 -0,0005* 0,0205 Telur 0,1589 -0,0253 0,0001* 0,0026* -0,0080 -0,0103 0,01012 -0,0080 -0,0036* 0,0171 -0,0210 0,0110 Susu 0,0571 -0,0241 -0,00282 -0,0014* -0,0041 -0,0019* -0,0080 0,0055 -0,0052 0,0180 0,00752 0,0159 Kacang2an 0,3973 -0,1055 -0,0003* -0,0126 -0,0052 -0,0029* -0,0036* -0,0052 0,0257 0,0040* -0,0249 -0,0003*Serealia 0,3723 0,1224 -0,0020* -0,0277 0,0209 0,0190 0,0171 0,0180 0,0040* -0,0494 -0,0022 -0,0533
Lampiran 4. Dugaan Parameter Model LA/AIDS Permintaan Pangan Sumber Protein Hewani dan Nabati pada Kelompok Pendapatan Rendah di Jawa, Tahun 1999
Harga
Kelompok pangan
Konstanta
Penge- luaran Ikan
segar Ikan
awetan Daging ternak
Daging unggas
Telur
Susu
Kacang2
an Serealia
Ukuran RT
Pend. isteri
Ikan segar -0,1018 0,0359 -0,00842 0,0125 0,0024* 0,0013* -0,0004* 0,0003* 0,0046* -0,01232 0,0447 -0,00682
Ikan awetan 0,0587 -0,01022 0,0125 0,00642 -0,0012* 0,00542 0,0060 -0,0017* -0,0111 -0,0162 -0,0012* -0,0091 Dgg. ternak 0,0330 -0,0151 0,0024* -0,0012* 0,00352 -0,00412 -0,0020* -0,0013* -0,0013* 0,0040* 0,0094 0,0045 Dgg. unggas 0,0585 -0,0238 0,0013* 0,00542 -0,00412 0,00862 -0,0131 0,0005* 0,0031* -0,0016* 0,0008* 0,0133 Telur 0,1561 -0,0323 -0,0004* 0,0060 -0,0020* -0,0131 0,01072 -0,0052 -0,0007* 0,0047* -0,0234 0,0097 Susu 0,0372 -0,0257 0,0003* -0,0017* -0,0013* 0,0005* -0,0052 0,0060 0,0265 0,00612 0,0162 0,0091 Kacang2an 0,3357 -0,0969 0,0046* -0,0111 -0,0013* 0,0031* -0,0007* -0,0047 0,0265 -0,0164 -0,01782 0,0033*Serealia 0,4225 0,1681 -0,01232 -0,0162 0,0040* -0,0016* 0,0047* 0,00612 -0,0164 0,0317 -0,02872 -0,0239
Keterangan: 1 taraf nyata 5%, 2 taraf nyata 10%, * tidak nyata, tanpa catatan: taraf nyata 1%
21
Lampiran 5. Dugaan Parameter Model LA/AIDS Permintaan Pangan Sumber Protein Hewani dan Nabati pada Kelompok Pendapatan Sedang di Jawa, Tahun 1999
Harga Kelompok
pangan Konstanta
Penge- luaran Ikan
segar Ikan
awetan Daging ternak
Daging unggas
Telur
Susu
Kacang2
an Serealia
Ukuran RT
Pend. isteri
Ikan segar -0,1177 0,0318 0,0237 0,0155 0,0018* -0,0028* 0,0046* 0,0008* -0,0030* -0,0407 0,0500 0,0122 Ikan awetan -0,0655 0,0412 0,0155 0,0230 -0,0013* -0,0018* 0,00442 -0,00342 -0,0099 -0,0263 0,0062* -0,0130 Dgg. ternak 0,1247 -0,0466 0,0018* -0,0013* 0,0212 -0,0018* -0,00492 -0,0057 -0,0137 0,0044* -0,0145 0,0104 Dgg. unggas 0,0980 -0,0275 -0,0028* -0,0018* -0,0018* 0,0055* -0,00842 -0,0013* -0,0041* 0,0148 -0,0092* 0,0235 Telur 0,1125 -0,0188 0,0046* 0,00442 -0,00492 -0,00842 -0,0091* -0,0023* 0,00492 0,01082 -0,0071* 0,0149 Susu 0,1588 -0,0670 0,0008* -0,00342 -0,0057 -0,0013* -0,0023* 0,0110 -0,0132 0,0141 -0,0019* 0,0160 Kacang2an 0,3626 -0,0787 -0,0030* -0,0099 -0,0137 -0,0041* 0,00492 -0,0132 0,0229 0,0161 -0,0143* -0,00792
Serealia 0,3266 0,1656 -0,0407 -0,0263 0,0044* 0,0148 0,01082 0,0141 0,0161 0,0069* -0,0089* -0,0562
Lampiran 6. Dugaan Parameter Model LA/AIDS Permintaan Pangan Sumber Protein Hewani dan Nabati pada Kelompok Pendapatan Tinggi di Jawa, Tahun 1999
Harga Kelompok
pangan Konstanta
Penge- luaran Ikan
segar Ikan
awetan Daging ternak
Daging unggas
Telur
Susu
Kacang2
an Serealia
Ukuran RT
Pend. isteri
Ikan segar -0,0366* 0,0275 0,0819 0,0236 -0,01072 -0,0174 -0,0200 -0,0043* -0,0140 -0,0391 0,0088* 0,0363 Ikan awetan -0,0181* 0,0247 0,0236 0,0141 -0,00472 0,0002* 0,00542 0,0042* -0,0147 -0,0281 0,0045* -0,0259 Dgg. ternak -0,0038* 0,0025* -0,01072 -0,00472 0,0410 -0,0055* -0,0046* -0,0039* -0,0133 0,0016* -0,0387 0,0480 Dgg. unggas 0,0810 -0,01481 -0,0174 0,0002* 0,0055* 0,0342 -0,0177 -0,0163 -0,0045* 0,0269 -0,0055* 0,0378 Telur 0,1480 -0,0247 -0,0200 0,00542 -0,0046* -0,0177 0,0340 -0,0121 0,0009* 0,0141 -0,0053* 0,0125 Susu 0,2391 -0,0954 -0,0043* 0,0042* -0,0039* -0,0163 -0,0121 0,0285 -0,0021* 0,0059* -0,0639 0,0569 Kacang2an 0,2000 -0,0068* -0,0140 -0,0147 -0,0133 -0,0045* 0,0009* -0,0021* 0,01162 0,0362 -0,0037* -0,0164 Serealia 0,3905 0,0870 -0,0391 -0,0281 0,0016* 0,0269 0,0141 0,0059* 0,0362 -0,0176* 0,1038 -0,1492
Keterangan: 1 taraf nyata 5%, 2 taraf nyata 10%, * tidak nyata, tanpa catatan: taraf nyata 1%