Ibnu Taimiyyah tentang Pemimpin Non-Muslim

16
4Artikel berita 1 Ibnu Taimiyyah tentang Pemimpin Non-Muslim Kamis , 17 Maret 2016, 18:00 WIB Setiap kali ada peristiwa pemilihan kepala daerah atau pre siden di Indonesia, salah satu wacana yang sering dimuncul kan adalah mengenai kepe mimpinan non-Muslim di ne geri yang mayoritas Muslim ini. Pada 2017 mendatang akan diselenggarakan pilkada di DKI Jakarta, ibu kota Republik Indone sia. Pilkada DKI kali ini mendapatkan perhatian lebih bukan hanya kerena posisi strategis ibu kota negara, tetapi juga disebabkan calon incumbent (pejawat) yang non- Muslim.Ahok akan maju kembali dalam Pilkada kali ini. Seperti biasa, segera muncul prokontra tentang kepemimpinan non-Muslim di tengah-tengah penduduk yang mayoritas Muslim. Sebagian kalangan kemudian membela kepemimpinan non- Muslim dengan alasan yang diulang-ulang, yaitu menolak ayat-ayat yang menyebutkan haramnya umat Islam memilih pemimpin kafir. Selain itu, argumen lain yang juga selalu diulang-ulang adalah pendapat Ibnu Taimiyyah dalam bukunya Al-Hisbah fî Al- Islâm aw Wazhîfah Al-Hukûmah Al- Islâmiyyah (hlm 7 cetakan Dar El-Kutub El-Imiyyah Libanon). Biasanya, yang dikutip dari buku itu adalah penggalan kalimat: Allah akan menolong negara yang adil sekali pun kafir dan akan membinasakan negara yang za lim sekali pun beriman. "Mengenai ar gu men bahwa tidak ada ayat-ayat atau ha dis yang tegas yang melarang kepemim pin an non-Muslim jelas ini merupakan pendapat yang syâdz (nyleneh, menyimpang) dalam tradisi pemikiran politik Islam. Sebab, dalam masalah ini telah ter jadi ijmak (kesepakatan) di antara para ulama. Tidak ada satu pun ulama di masa lalu maupun sekarang yang membolehkan secara mutlak kepemimpinan non-Muslim atas kaum Muslim. Shalah Al-Shawidalam Al-Wajîz fî Al-Fiqh Al- Khilâfah (Dar Al- I'lam Al-Dauly [tt.] hlm 22-23) menyebutkan bahwa syarat "Islam" bagi calon pemimpin kaum Muslim merupakan sesuatu yang dapat dimengerti dari hukum Islam secara sangat mudah ('ulima min ahkâm al-imâmah bi al-dharûrah). Tugas kepemimpinan di dalam Islam, salah satunya, adalah menegakkan agama Islam (iqâmah al-dîn al-islâmy). Bagaimana mungkin orang yang tidak mengimani (kafir) terhadap ajaran Islam dapat menegakkan Islam? Oleh sebab masalahnya sesederhana itu, juga ditopang oleh dalil yang sangat banyak didalam Alquran (bukan hanya satu atau dua ayat) maka tidak mengherankan apabila para ulama bersepakat atas wajibnya syarat "Islam" bagi pemimpin kaum Muslim. Al- Qadhi Iyadh berkata, "Para ulama berse pakat bahwa kepemimpinan (Islam) tidak sah diberikan kepada orang kafir; dan bahkan bila pemimpin (Muslim) kemudian keluar dari Islam (kafir), maka dia harus turun." (Shahih Muslim bi Syarh Al-Na wâwi jilid 12 hlm 229). Ibnu Mundzir

Transcript of Ibnu Taimiyyah tentang Pemimpin Non-Muslim

Page 1: Ibnu Taimiyyah tentang Pemimpin Non-Muslim

4Artikel berita 1

Ibnu Taimiyyah tentang Pemimpin Non-Muslim

Kamis , 17 Maret 2016, 18:00 WIB

Setiap kali ada peristiwa pemilihan kepala daerah atau pre siden di Indonesia, salah satu wacana

yang sering dimuncul kan adalah mengenai kepe mimpinan non-Muslim di ne geri yang

mayoritas Muslim ini. Pada 2017 mendatang akan diselenggarakan pilkada di DKI Jakarta, ibu

kota Republik Indone sia. Pilkada DKI kali ini mendapatkan perhatian lebih bukan hanya kerena

posisi strategis ibu kota negara, tetapi juga disebabkan calon incumbent (pejawat) yang non-

Muslim.Ahok akan maju kembali dalam Pilkada kali ini.

Seperti biasa, segera muncul prokontra tentang kepemimpinan non-Muslim di tengah-tengah

penduduk yang mayoritas Muslim. Sebagian kalangan kemudian membela kepemimpinan non-

Muslim dengan alasan yang diulang-ulang, yaitu menolak ayat-ayat yang menyebutkan

haramnya umat Islam memilih pemimpin kafir. Selain itu, argumen lain yang juga selalu

diulang-ulang adalah pendapat Ibnu Taimiyyah dalam bukunya Al-Hisbah fî Al- Islâm aw

Wazhîfah Al-Hukûmah Al- Islâmiyyah (hlm 7 cetakan Dar El-Kutub El-Imiyyah Libanon).

Biasanya, yang dikutip dari buku itu adalah penggalan kalimat: Allah akan menolong negara

yang adil sekali pun kafir dan akan membinasakan negara yang za lim sekali pun beriman.

"Mengenai ar gu men bahwa tidak ada ayat-ayat atau ha dis yang tegas yang melarang kepemim

pin an non-Muslim jelas ini merupakan pendapat yang syâdz (nyleneh, menyimpang) dalam

tradisi pemikiran politik Islam. Sebab, dalam masalah ini telah ter jadi ijmak (kesepakatan) di

antara para ulama.

Tidak ada satu pun ulama di masa lalu maupun sekarang yang membolehkan secara mutlak

kepemimpinan non-Muslim atas kaum Muslim. Shalah Al-Shawidalam Al-Wajîz fî Al-Fiqh Al-

Khilâfah (Dar Al- I'lam Al-Dauly [tt.] hlm 22-23) menyebutkan bahwa syarat "Islam" bagi calon

pemimpin kaum Muslim merupakan sesuatu yang dapat dimengerti dari hukum Islam secara

sangat mudah ('ulima min ahkâm al-imâmah bi al-dharûrah). Tugas kepemimpinan di dalam

Islam, salah satunya, adalah menegakkan agama Islam (iqâmah al-dîn al-islâmy).

Bagaimana mungkin orang yang tidak mengimani (kafir) terhadap ajaran Islam dapat

menegakkan Islam? Oleh sebab masalahnya sesederhana itu, juga ditopang oleh dalil yang

sangat banyak didalam Alquran (bukan hanya satu atau dua ayat) maka tidak mengherankan

apabila para ulama bersepakat atas wajibnya syarat "Islam" bagi pemimpin kaum Muslim. Al-

Qadhi Iyadh berkata, "Para ulama berse pakat bahwa kepemimpinan (Islam) tidak sah diberikan

kepada orang kafir; dan bahkan bila pemimpin (Muslim) kemudian keluar dari Islam (kafir),

maka dia harus turun." (Shahih Muslim bi Syarh Al-Na wâwi jilid 12 hlm 229). Ibnu Mundzir

Page 2: Ibnu Taimiyyah tentang Pemimpin Non-Muslim

juga mengatakan, "Seluruh ahli ilmu bersepakat bahwa orang kafir sama sekali tidak boleh

menjadi pemimpin bagi kaum Muslim dalam keadaan apa pun." (Ahkâm Ahl Al- Dzimmah li

Ibn Qayyim Al-Jauziyyah jilid II hlm 414).

Dalam sistem hukum Islam, ijmak merupakan salah satu sumber hukum yang paling kuat setelah

Alquran dan sunah Nabi SAW. Seandainya benar terdapat ijmak di kalangan ulama mengenai

kewajiban syarat "Islam" bagi pemimpin kaum Muslim, lalu timbul pertanyaan, apakah benar

bahwa Ibnu Taimiyyah berbeda pendapat mengenai masalah ini? Salah satu buktinya adalah

kutipan di atas. Kalau memang benar, berarti klaim ijmak gugur dengan sendirinya. Inilah yang

akan dibahas secara lebih mendalam pada tulisan ini. Untuk membahas masalah ini, ada dua hal

yang harus didudukkan, yaitu bagaimana pandangan Ibnu Taimiyyah terhadap syarat seorang

pemimpin kaum Muslim dan dalam konteks apa ia mengatakan pernya taannya tersebut.

Syarat Pemimpin

Hal yang cukup menyulitkan untuk memastikan apa yang dipersyaratkan bagi seorang pemimpin

kaum Muslim menurut Ibnu Taimiyyah adalah gaya Ibnu Taimiy yah dalam membahas masalah

ini. Dalam kitab-kitab fikih siyasah yang umum, se perti tulisan Al-Mawardi Al-Ahkâm Al-Sul

thâniyyah, biasanya dibahas secara gamblang dan khusus mengenai syarat-syarat yang harus

dipenuhi bagi seorang pemim pin, sehingga para pembaca segera dapat mengetahui pendapatnya

mengenai masa lah ini. Sementara, Ibnu Taimiyyah di dalam buku-bukunya yang khusus

berkenaan dengan siyasah, yaitu Al-Siyâsah Al- Syar'iyyah, Al-Hisbah fî Al-Islâm, dan Al-

Khilâfah wa Al-Mulk tidak menyebutkannya secara khusus.

Oleh sebab itu, para pembaca harus membacanya secara mendalam dan hatihati untuk

mengetahui bagaimana pandangan Ibnu Taimiyyah mengenai masalah ini. Dalam disertasinya di

Universitas Kairo yang kemudian diterbitkan Dar Al-Akhil la'Dammam KSA (1994: hlm 95-97)

berjudul Al-Nazhariyyah Al-Siyâsah 'inda Ibn Al-Taimiyyah, Hasan Konakata me nya takan

bahwa dari berbagai tulisannya dapat disimpulkan bahwa Ibnu Taimiyyah menetapkan dua

syarat umum bagi se orang pemimpin Muslim, yaitu al-quwwah waalamânah (kekuatan dan

amanah). Kesim pulan ini diambil dari pernyataan Ibnu Taimiyyah sendiri di dalam Al-Siyâsah

Al- Syar'iyyah (Dar Al-Afaq Al-Jadidah Beirut, 1998: 15), "Fa innaal-wilâ yah lahâ ruk nâni: al-

quwwah wa al-amâ nah."

Yang dimaksud dengan "kekuatan" oleh Ibnu Taimiyyah adalah kemampuan yang harus di

miliki seorang pemimpin di lapangan yang dipimpinnya. Ia mencontohkan seorang panglima

perang harus memiliki keberanian dan pengetahuan strategi perang. Tanpa kedua hal itu, dia

tidak akan mampu melaksanakan tugasnya sebagai pemimpin pasukan tempur. Sementara, orang

yang akan memangku amanah memimpin manusia harus mengetahui ilmu tentang keadilan yang

diajarkan di dalam Alquran dan sunah; juga harus memiliki kemampuan untuk menerapkannya

di tengah-tengah manusia. (Al-Siyasah Al-Syar'iyyah, 1998: 16). Adapun yang dimaksud dengan

Page 3: Ibnu Taimiyyah tentang Pemimpin Non-Muslim

"amanah" adalah sikap takut hanya kepada Allah, tidak memperjualbelikan ayat-ayat Allah

dengan harga yang sedikit dan tidak takut pada manusia. Definisi ini ia dasarkan pada firman

Allah SWT, "Janganlah kalian takut pada manusia, takutlah pada-Ku; dan janganlah kalian

memperjualbelikan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Siapa yang tidak berhukum

dengan apa yang diturunkan Allah maka mereka adalah orang-orang yang kafir. (QS al-Ma'idah:

44). (Al- Siyâsah Al-Syar'iyyah, 1998: 16).

Merujuk pada syarat "amanah" ini, agak sulit dimengerti jika Ibnu Taimiyyah tidak

mempersyaratkan pemimpin harus seorang "Muslim". Kalau bukan Muslim, bagaimana mungkin

dia bisa takut pada Allah dan memperjualbelikan ayat-ayat Allah? Bahkan, syarat yang

ditetapkan Ibnu Taimiyyah ini lebih dari sekadar harus "Muslim". Dia harus memiliki sifat-sifat

yang utama sekelas sifat seoang ulama, yaitu "takut kepada Allah SWT". Pen jelasan mengenai

syarat-syarat men jadi pemimpin kaum Muslim semacam ini memang agak berbeda dengan

penulispenulis lain.

Namun, maksud yang ingin disampaikan Ibnu Taimiyyah sama dengan ulama-ulama yang lain.

Bila dibandingkan dengan penjelasan Al-Mawardi, misalnya, kita akan segera bisa

menyimpulkan bahwa kriteria Ibnu Taimiyyah telah merangkum syarat-syarat yang ditetapkan

Al-Mawardi. Dalam Al-Ahkam Al-Sulthâniyyah (Dar Ibn Qutaibah Kuwait, 1989: 3-5), Al-Ma

wardi menyebutkan bahwa kepemimpinan politik dalam Islam bertujuan untuk mene ruskan misi

kenabian dalam menegakkan agama dan mengatur urusan dunia.

Untuk itu, orang yang akan memangku amanah ini harus memiliki syarat, antara lain, adil

(dengan berbagai syaratnya, termasuk di dalamnya beragama Islam), memiliki ilmu yang dapat

mengantarkannya melakukan ijtihad, sehat pancaindra, sehat anggota tubuh, memiliki

kecerdasan, dan memiliki keberanian untuk menerapkan berbagai aturan. Dari keenam syarat

yang ditetapkan Al-Mawardi ini, esensinya hanya dua seperti yang disebut Ibnu Taimiyyah, yaitu

memiliki kekuatan (alquwwah) dan amanah.

"Islam" pasti merupakan salah satu syarat mutlak di dalamnya karena tujuan dari kepemimpinan

itu sendiri adalah untuk menegakkan agama sebagaimana tugas para Nabi. Kalau kita telaah lagi

semua tulisan Ibnu Taimiyyah tentang masalah politik ini akan semakin jelas bahwa sama sekali

ia tidak pernah memberikan ruang bagi dibolehkannya pemim pin kafir. Salah satu yang semakin

menguatkan kesimpulan ini dapat dilihat dalam Al-Khilâfah wa Al-Mulk (Maktabah Al- Manar

Yordan, 1994: 43). Ia menulis satu bab "Al-AmîrYatawallâ Imâmah Al-Shalâh wa Al-Jihâd"

(Seorang Amir Harus Me mim pin Shalat dan Jihad). Seandainya Ibnu Taimiyyah membolehkan

diangkatnya pemimpin non-Muslim, mengapa ia begitu yakin menulis kewajiban pemimpin

semacam ini yang tidak mungkin dikerjakan kecuali oleh seorang Muslim?

Page 4: Ibnu Taimiyyah tentang Pemimpin Non-Muslim

Konteks Ibnu Taimiyah

Hal berikutnya yang harus diklarifikasi adalah tentang pernyataan Ibnu Taimiyyah di atas. Amat

disayangkan bahwa pernyataan Ibnu Taimiyyah ini hanya dikutip dan dipahami sepotong-

sepotong. Seandainya dilihat secara utuh, baik dalam konteks keseluruhan pemikiran Ibnu

Taimiyyah maupun dalam konteks di mana kalimat yang dikutip tersebut maka para pembaca

yang jujur akan segera mengerti bahwa Ibnu Taimiyyah sama se kali tidak memaksudkan

ucapannya sebagai kebolehan orang kafir dijadikan pemimpin kaum Muslim. Apalagi, kalau

kutipan ini dipandang secara lebih kritis, bisa jadi ungkapan ini akan tertolak dengan sendirinya.

Akan kita urai mengenai masalah ini sebagai berikut. Pertama, dilihat dari cara Ibnu Taimiyyah

mengungkapkan kalimat ini, ia hanya menyebutkan dengan kata yurwâ (diriwayatkan), tapi sama

sekali tidak menyebut diriwayatkan dari siapa; apakah dari Rasulullah, sahabat, tabiin, atau

tokoh ulama lainnya? Ibnu Taimiyya ha dalah orang yang sangat kritis terhadap riwayat-riwayat

yang digunakannya untuk menyusun argumentasi. Ia terkategori ahl al-hadîts yang sama sekali

tidak menoleransi riwayat-riwayat yang lemah dan tidak jelas; apalagi riwayat palsu.

Amat sangat disayangkan, kali ini Ibnu Taimiyyah sama sekali tidak menyebutkan ini riwayat

semacam apa. Kalau menggunakan metode kritik Ibnu Taimiyyah terhadap riwayat-riwayat,

kutipan yang tidak jelas sumbernya semacam ini seharusnya sudah tertolak sejak awal. Kedua,

seandai nya kita mau berhusnuzhan bahwa ini ad alah pendapat Ibnu Taimiyyah sendiri maka

kita harus memaknainya dalam kon teks pembahasan yang tengah dibahas olehnya dan dari

pokok pikirannya ten tang kepe mim pinan dalam Islam. Ung ka pan itu se cara utuh disimpan

dalam pembahasannya tentang tujuan dari kekuasaan dalam Islam. Pada awal wacana Ibnu Tai

miyyah menulis, "Ini adalah kaidah-kaidah tentang hisbah. Tujuannya adalah untuk memberikan

pengetahuan bahwa segala bentuk kekua saan dalam Islam tujuannya adalah agar seluruh

pelaksanaan agama hanyalah dipersembahkan untuk Allah SWT dan agar kalimat Allah menjadi

kali mat tertinggi…." (Al-Hisbah fî Al-Islâm, tt: 6).

Lalu, pembahasan dilanjutkan dengan penjelasan bahwa hal itu harus dilakukan dengan ketaatan

sepenuhnya pada Allah SWT, baik dalam perkara agama maupun dunia. Akan tetapi, dalam

pelaksanaannya, ada orang yang benar, ada juga yang salah, sehingga perlu ada yang memegang

pe ranan dalam amar makruf dan nahi mun kar. Inilah yang dimaksud hisbah di dalam Islam.

Setelah menjelaskan hal tersebut, Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa orang yang berbeda-beda

agama dan keyakinan memiliki pandangan yang berbeda-beda terhadap masalah agama dan

dunia. Akan tetapi, dalam masalah keadilan dan kezaliman, semua orang memiliki pandangan

sama, yaitu bahwa kezaliman akan ber akibat buruk bagi kehidupan manusia, sedangkan

keadilan akan berakibat sebaliknya. Setelah itu, baru ia katakan bahwa ada riwayat yang

menyatakan seperti ungkap annya di atas. Kalau memperhati kan konteksnya, Ibnu Taimiy yah

sama se kali tidak sedang membicarakan pemim pin Islam atau kafir, tapi sedang membi carakan

Page 5: Ibnu Taimiyyah tentang Pemimpin Non-Muslim

masalah keadilan.

Dalam hal-hal duniawi, ada dimensidimensi keadilan yang rumusnya disepakati bersama oleh

orang-orang yang berbeda-beda keyakinan sekali pun. Dalam hal demikian, bila keadilan

ditegakkan sekali pun, penegaknya itu adalah "negara yang kafir" maka akan ada pertolongan

Allah SWT, dalam arti akan berbuah halhal yang baik. Sementara, bila tidak dite gak kan,

walaupun di "negara yang Mus lim", pasti akan berakibat keburukan. Bo leh dikatakan bahwa

maksud Ibnu Tai miyyah adalah ingin memberi tekanan kepada keadilan, bukan membicarakan

mengenai boleh atau tidaknya pemimpin yang kafir. Sebab, di kalangan para ulama memang

tidak terpikirkan untuk membolehkan seorang kafir menyerahkan urusan kepemimpinan kepada

orang kafir. Wallâhu A'lam.

Page 6: Ibnu Taimiyyah tentang Pemimpin Non-Muslim

Artikel berita 2

Ucapan Kasar Ahok Sebarkan Pengaruh Negatif

Jumat , 20 Maret 2016, 14:42 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sikap dan perkataan keras yang sering dilontarkan oleh

Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama atau Ahok bisa menyebarkan pengaruh negatif

kepada masyarakat. Sebab, aksi keras Ahok kerap terekam kamera dan disebar luaskan sehingga

mudah dilihat dan diakses banyak orang.

“Omongan pemimpin sekarang direkam oleh media, akhirnya setiap perkataan yang keluar

mempengaruhi masyarakat,” ujar Ketua Umum Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT), Tuty

Alawiyah, saat dihubungi ROL, Jumat (20/3).

Ia menyayangkan sikap yang ditujukkan sejumlah pejabat publik seperti Ahok. Banyak dari

mereka, kata dia, yang berkata seenaknya sehingga tidak layak ditiru dan didengar. “Perkataan

keras itu membuat orang tersinggung dan sedih,” jelas Tuty.

Menurutnya, jika seorang pemimpin ingin menyampaikan suatu kebenaran, bisa dilakukan

dengan ucapan yang baik dan bisa diterima. Sehingga ucapan yang baik tersebut juga akan

memberikan pengaruh baik dan positif bagi masyarakat yang dipimpinnya.

Page 7: Ibnu Taimiyyah tentang Pemimpin Non-Muslim

Artikel berita 3

Anggota DPRD Sebut Gaya Kepemimpinan Ahok Sulit Dimengerti

Selasa , 26 April 2016, 21:39 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota DPRD DKI

Prabowo Soenirman mengatakan, gaya kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta, Basuki

Tjahaja Purnama alias Ahok sulit dimengerti. Sebab gaya kepemiminannya bisa memberikan

contoh tidak bagus sebagai pemimpin.

"Saya bilang satu kondisi yang seharusnya diubah," kata dia.

Dia meminta Ahok dapat mengubah sikapnya dan menata kata-katanya dalam berbicara.

Sehingga tidak menyakiti orang lain.

Menurut Prabowo, gaya kepemimpinan setiap orang berbeda-beda. Namun gaya

kepemimpinan jangan sampai membuat contoh tidak baik terhadap generasi bangsa.

Kemudian, terkait dengan kinerja Ahok jika dibandingkan dengan ucapannya sendiri,

Prabowo menjawab tergantung daripada hasil yang dilakukan. "Tapi kenyataannya sampai

saat ini, anggaran tidak terpenuhin, gitu aja," kata dia.

Page 8: Ibnu Taimiyyah tentang Pemimpin Non-Muslim

Artikel berita 4

Gaya Komunikasi Ahok Dinilai tak Mencerdaskan Bangsa

Rabu , 27 April 2016, 15:56 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengajar Komunikasi Paska Sarjana Universitas

Muhammadiyah Jakarta Harmonis mengatakan, seorang pejabat publik harus memiliki karakter

komunikasi yang cerdas. Itu sesuai dengan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tentang

mencerdaskan bangsa. Menurutnya, gaya komunikasi pejabat publik saat ini tidak mencerdaskan

bangsa.

Harmonis mengatakan, gaya kepemimpinan Gubernur DKI Basuki Tjatjaha Purnama atau Ahok

yang tidak baik cenderung diikuti orang-orang disekelilingnya. Selain itu, pemimpin di daerah

lain juga ikut menggunakan gaya komunikasi yang sama. "Sekarang Pasha Ungu juga marah-

marah," katanya, Rabu (27/4).

Seorang pemimpin, tambahnya, harus memberi contoh yang baik, tidak menunjuk-nunjuk

bawahannya di depan orang banyak. Dengan begitu, akan terlihat kecerdasan karakter bangsa.

Kecerdasan menurutnya tidak hanya jenjang pendidikan yang tinggi, tapi juga kecerdasan

berkomunikasi.

Gaya kepimpinan Ahok menurut Harmonis dipertahankan oleh orang-orang disekelilingnya.

Yang menjadi masalah adalah beberapa orang malah suka dengan karakter komunikasi yang

keras tersebut. "Inner circle-nya yang mempertahankan gaya komunikasi Pak Ahok," katanya.

Karena itu, menurutnya yang terpenting saat ini adalah pendidikan komunikasi politik. Ia

mengatakan, dalam waktu dekat ini Ikatan Sarjana Ilmu Komunikasi Indonesia akan

mengadakan simposium yang bertema 'Kecerdasan Komunikasi'. "Ini menjadi kegalauan saya

pribadi dan teman-teman melihat komunikasi pejabat kok seperti itu," tambahnya.

Page 9: Ibnu Taimiyyah tentang Pemimpin Non-Muslim

Artikel berita 5

Survei: Gaya Kepemimpinan Ahok Kasar

Sabtu , 14 Mei 2016, 18:42 WIB

JAKARTA -- Lembaga survei Media Survei Indonesi Nasional (Median) menunjukkan data

43,40 persen masyarakat Jakarta menilai, sikap kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Basuki

Tjahaja Purnama alias Ahok termasuk kasar.

"Tapi, ada 45,40 persen yang menilai kepemimpinan Ahok tegas," kata Direktur Riset Median

Sudarto di Jakarta, Jumat (13/5).

Menurut Sudarto, dalam survei tersebut juga menunjukkan, hanya 39,80 persen masyarakat

Jakarta yang menginginkan mantan bupati Belitung Timur tersebut kembali menjadi gubernur

DKI Jakarta periode 2017-2022. Adapun, sekitar 40,60 persen masyarakat ingin sosok selain

Ahok menjabat gubernur DKI dan 19,60 persen lainnya memilih tidak menjawab.

Sudarto mengatakan, hasil survei menunjukkan tingkat kepuasan masyarakat terhadap

kepemimpinan Ahok berakhir terbelah. Itu lantaran 45,2 persen masyarakat menyatakan puas

dan 46,2 persen menyatakan tidak puas. "Yang tidak tahu, ada 8,60 persen," ujarnya.

Median juga menyurvei 20 tokoh yang dinilai berpotensi besar ikut bertarung dalam pesta

demokrasi di Ibu Kota tahun depan. Dalam hal popularitas, menurut Sudarto, Ahok masih

menempati posisi teratas dengan raihan 91,0 persen. Pejawat (incumbent) mengungguli Yusril

Ihza Mahendra yang mendapat 76,6 persen dan Tri Ris maharini 72,6 persen.

Hal yang mengejutkan, popula ritas tertinggi setelah Ahok diduduki musisi Ahmad Dhani yang

sempat mau maju melalui Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). "Kalau Ahmad Dhani berada di

posisi kedua 80,6 persen, ini wajar karena dia artis," katanya.

Menurut Sudarto, survei tersebut berlangsung mulai 24 April sampai 4 Mei 2016 dengan

melibatkan sebanyak 500 responden yang dipilih secara acak. Sudarto menyatakan, survei ini

menggunakan kuisioner dengan metode face to face interviewdi lima wilayah, yakni Jakarta

Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Pusat, Jakarta Barat, dan Jakarta Utara.

Selain itu, terdapat beberapa tokoh lainnya yang masuk dalam survei yang diurut secara

berurutan, yaitu Ridwan Kamil dengan 75,6 persen, Djarot Saiful Hidayat 56,0 persen, Abraham

Page 10: Ibnu Taimiyyah tentang Pemimpin Non-Muslim

Lunggana atau Lulung 56,0 persen, Ganjar Pranowo 54,0 persen, Adhyaksa Dault 52,0 persen,

dan Sandiaga Uno 48,6 persen.

Sementara itu, Cyrus Network juga mengadakan survei untuk mengetahui popularitas dan

elektabilitas Ahok dengan jumlah 1.000 resonden.

Hasilnya, tingkat popularitas dan elekta bilitas Ahok menempati urutan pertama, meski pun

media beberapa bulan belakangan ini memba has kasus Rumah Sakit Sumber Waras dan

reklamasi di Teluk Jakarta.

Page 11: Ibnu Taimiyyah tentang Pemimpin Non-Muslim

Artikel berita 6

Amir Syamsuddin: Secara Kriteria, Ahok Sangat Pas Jadi Gubernur DKI

Selasa, 15 Maret 2016 | 19:05 WIB

Indra Akuntono/KOMPAS.com

JAKARTA, KOMPAS.com — Partai Demokrat hingga kini belum memutuskan sosok yang

akan diusung pada Pilkada DKI Jakarta 2017.

Namun, Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat Amir Syamsuddin menilai Gubernur DKI

Jakarta saat ini, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, adalah sosok yang ideal untuk memimpin

DKI.

"Kalau calon gubernur Jakarta, kriteria seorang Ahok itu sudah pas (jadi gubernur)," kata Amir

saat dijumpai seusai menghadiri seminar nasional "Anti-Corruption and Democracy Outlook

2016" di Jakarta, Selasa (15/3/2016).

Kriteria yang dimaksud Amir yakni dari sisi elektabilitas, popularitas, hingga

ketegasan Ahok dalam memimpin Jakarta saat ini.

(Baca: Wakil Ketua KPK: Ratna Sarumpaet Lo Tanggepin, Ngapain?)

Meski demikian, ia menegaskan, Ahok perlu membangun komunikasi yang baik jika ingin

didukung Demokrat.

"Tidak dengan cara mengatakan, meski sudah diralat, kayak uang mahar ratusan miliar rupiah

yang membuat kami terheran-heran. Dari mana itu?" ujar mantan Menkumham itu.

Saat disinggung apakah ada kemungkinan Demokrat mendukung Ahok saat Pilkada mendatang,

Amir tak menjawab secara tegas. (Baca: Ruhut: Laju Ahok Sulit Dicegah meski Syarat Calon

Independen Diperberat)

"Tentu akan kami bicarakan bahwa kriteria kinerja seorang Ahok itu sangat pas," kata Amir.

Page 12: Ibnu Taimiyyah tentang Pemimpin Non-Muslim

Artikel berita 7

Gerakan Dukung “Ahok untuk Gubernur DKI Jakarta” Muncul di AS

Selasa, 19 April 2016 | 10:58 WIB

Diana Daulima untuk Kompas.com

Deklarasi masyarakat Indonesia di Amerika Serikat mendukung Ahok

WASHINGTON DC, KOMPAS.com — Gerakan spontan sekelompok masyarakat Indonesia

di Amerika Serikat muncul untuk mendukung pasangan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dan

Heru Budi Hartono menjadi calon gubernur-wakil gubernur DKI Jakarta.

Heru adalah Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah DKI Jakarta.

Diana Daulima dari pihak penyelanggara gerakan tersebut mengabarkan

kepada Kompas.com pada Selasa (19/4/2016).

Ibu dari empat anak laki-laki itu mengonfirmasi kabar burung yang masih simpang siur, yang

kami terima pertama kali sejak Minggu (17/4/2016).

“Ya benar acara ini sudah dilaksanakan pada 17 April di Washington DC. Tepatnya di Monumen

Washington pada pukul tiga sore (15.00) waktu setempat,” katanya lewat pesan WhatsApp.

Deklarasi akbar yang bertajuk “USA for Ahok, Washington DC for Ahok, Indonesian American

for Ahok” itu diadakan di Monumen Washington, di depan Gedung Capitol, dan di depan

Gedung Putih.

Deklarasi masyarakat Indonesia di Amerika Serikat mendukung Ahok

Hari Minggu (17/4/2016), Kompas.com mendapat informasi dari beberapa rekan di AS, baik di

Virginia, Washington DC, Los Angeles, maupun New York. Namun, umumnya mereka tidak

hadir acara itu.

Harya Setyaka Dillon, mahasiswa program doktoral di sebuah perguruan tinggi di AS,

mengatakan, dia mendapat broadcast undangan agar menghadiri deklarasi dukung Ahok-Heru.

Namun, Harya tidak bisa datang. Sebuah pesan gambar undangan masuk ke teleponnya. Harya

meneruskan image itu ke WhatsApp kami.

“Undangan Foto Bersama Dukung Ahok sebagai Cagub DKI Jakarta. KTP Gue Buat Ahok,”

begitu tertulis dalam pesan bergambar itu.

"Dukungan moral selalu diperlukan. Mereka menunjukkan bahwa mereka peduli walaupun

tinggal jauh. Yang jauh saja peduli, maka yang dekat harus semakin peduli," kata NKN, seorang

WNI yang bekerja di Washington DC, lewat pesan singkatnya.

NKN meminta namanya tidak disebut lengkap. Ia mendapat undangan itu, tetapi karena

kesibukan tidak bisa menghadiri deklarasi. "Jarang di Indonesia ada pemimpin yang benar-benar

peduli," katanya.

Peserta disarankan memakai baju Betawi. “Tidak harus, tetapi sangat disarankan. Silakan

berkreasi,” tulis di undangan tentang dress code acara itu. “Saya tidak bisa datang,” kata Harya.

Menurut Diana, deklarasi itu dihadiri 30 orang. Sebenarnya banyak yang mau datang, tetapi

karena kesibukan, mereka hanya memberikan dukungan moril.

Page 13: Ibnu Taimiyyah tentang Pemimpin Non-Muslim

“Ini murni gerakan spontanitas masyarakat Jakarta-Indonesia (di AS) untuk

mendukung Ahok dan Heru (untuk maju dalam Pilkada DKI Jakarta) 2017,” kata Diana.

Menurut wanita pekerja di AS ini, “Tujuannya adalah memberikan dukungan moral untuk Ahok-

Heru untuk gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta pada 2017.”

Deklarasi masyarakat Indonesia di Amerika Serikat mendukung Ahok

Diana mengatakan, “Gerakan ini kita lakukan karena melihat kerinduan masyarakat Jakarta-

Indonesia pada umumnya yang semangat mengikuti perkembangan Pilgub DKI Jakarta.”

“Kami melihat perubahan Jakarta yang sangat signifikan menuju perbaikan yang

positif. Ahok kami yakini merupakan figur yang bersih, berani, konsisten, dan pekerjaannya

sangat nyata,” kata Diana.

Menurut Diana, warga Jakarta dan Indonesia di AS menginginkan perubahan yang positif bagi

Jakarta, ibu kota negara. Perubahan itu sudah mulai terlihat nyata di tangan Ahok untuk menata

Jakarta yang lebih baik.

Diana mengatakan, WNI yang berkumpul dalam deklarasi mewakili yang lain di AS. Mereka

berasal dari kalangan pekerja, mahasiswa, dan intelektual yang memiliki KTP DKI dan KTP

daerah lain di sekitar DKI Jakarta, serta Indonesia umumnya.

Page 14: Ibnu Taimiyyah tentang Pemimpin Non-Muslim

Artikel berita 8

Sutiyoso Tidak Persoalkan Gaya Ahok yang Meledak-ledak

Selasa, 26 April 2016 | 18:59 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso tidak mempersoalkan

gaya kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta saat ini, Basuki Tjahaja Purnama atau yang akrab

disapa Ahok.

Menurut pria yang kini menjabat Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) itu, setiap pemimpin

memang memiliki gaya kepemimpinan yang berbeda-beda.

"Kalau gaya Ahok seperti itu juga enggak masalah. Pemimpin itu berhak untuk menerapkan

kepemimpinannya masing-masing. Apakah tepat atau tidak, yang menilai bukan saya," ujar dia

di Istana, Selasa (26/4/2016).

(Baca: Cerita Ahok soal Geng Golf dan Lobi Jabatan PNS DKI)

Pernyataan Sutiyoso itu terkait pernyataan Ahok sebelumnya. Ahok mengatakan, pada era

kepemimpinan gubernur terdahulu, seorang pejabat akan sulit naik jabatan jika bukan bagian dari

geng golf dan tidak bisa bermain golf.

Ahok mengatakan, satu-satunya anggota geng golf yang kini masih memiliki jabatan adalah Wali

Kota Jakarta Utara Rustam Effendi yang akhir pekan lalu mengeluhkan cara

kepemimpinan Ahok di media sosial.

Belakangan, Rustam mengundurkan diri dari jabatan Wali Kota Jakarta Utara. Soal mundurnya

Rustam, Sutiyoso mengatakan, hal itu patut dipertanyakan. Pasti ada sebabnya.

(Baca: Rustam Effendi Akui Main Golf, tetapi Tak Tahu soal Geng Golf) Namun, Sutiyoso tidak mau mengaitkan peristiwa mundurnya Rustam itu dengan gaya

kepemimpinan Ahok. Sutiyoso mengatakan, saat dirinya menjabat Gubernur DKI Jakarta dahulu,

gaya kepemimpinannya berbeda dari Ahok.

"Kalau saya kan, saya dekati hatinya. Anak buah saya itu keluarga saya. Kalau salah saya

marahi, tapi kalau benar harus saya puji. Itu kan reward and punishment. Di mana pun saya

terapkan," ujar dia.

"Sekarang memang ada orang yang saya maki? Kan enggak pernah. Karena gaya saya seperti itu,

walau saya dari Kopassus. Tidak berarti saya sembarang tempeleng, maki orang. Kalau

gaya Ahok seperti itu juga enggak masalah," lanjut Sutiyoso.

Page 15: Ibnu Taimiyyah tentang Pemimpin Non-Muslim

Artikel berita 9

Gaya Kepemimpinan Ahok yang Mengejutkan

Sabtu, 29 November 2016 | 16:49 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Guru Besar Universitas Pertahanan Salim Said mengatakan,

masyarakat tengah dikejutkan dengan gaya kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja

Purnama (Ahok). Pasalnya, Jakarta terakhir memiliki pemimpin yang ceplas-ceplos pada masa

Ali Sadikin.

"Kita ini terkejut karena kita sudah lama diperbudak. Di awal Orde Baru, kita sudah terbiasa

dengan Ali Sadikin karena kita menyadari keluar dari ketertindasan Orde Lama," kata Salim

dalam acara diskusi yang diselenggarakan di Gado-Gado Boplo, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu

(29/11/2014).

Menurut Salim, di kala Ali Sadikin resmi menjadi orang nomor 1 di DKI, keterkejutan itu

perlahan-lahan diterima masyarakat Jakarta. Kini, masyarakat Jakarta kembali mendapatkan

pemimpin yang memiliki gaya seperti Ali Sadikin.

Namun, masyarakat belum terbiasa dengan gaya Ahok. Untuk itu, kata dia, masyarakat harus

bersabar, belajar, dan menilai keberhasilan Ahok dengan gaya kepemimpinannya.

Jika Ahok mencapai keberhasilan, lanjut dia, masyarakat tidak usah kembali meributkan gaya

bicaranya. "Persoalannya adalah kita sudah terlalu lama dininabobokan dan tidak berani

mengangkat dagu kita. Sekarang kita ada demokratisasi, jadi menurut saya Ahok itu by product

of democratization," tutur dia.

Mantan Ketua Dewan Kesenian Jakarta ini pun menyatakan, masyarakat harus menunggu

realisasi janji atau amarah Ahok untuk bisa melahirkan kesuksesan.

Salim pun berucap, bila Ahok sukses dalam memimpin Jakarta di tiga tahun sisa masa

jabatannya, dia akan memilih kembali Ahok pada Pilkada selanjutnya. "Kalau Ahok perform ya

biarlah dia mau ngoceh apalah. Bolehlah itu, kebebasan kok. Kalau kita, (Ahok) melanggar ya

kita adukan ke pengadilan," ujar dia.

Page 16: Ibnu Taimiyyah tentang Pemimpin Non-Muslim

Artikel berita 10

Djarot Juga Pernah Kritik Gaya Kepemimpinan Ahok

Jumat, 16 Desember 2016 | 07:09 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Calon gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan kerap mengkritik

gaya pemerintahan pasangan petahana, Basuki Tajahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat

dalam dalam program "Rosi dan Kandidat Pemimpin Jakarta" yang disiarkan Kompas TV di

Djakarta Theater, Kamis (15/12/2016).

Salah satu kritik yang dilontarkan Anies adalah soal pemerintahan Ahok-Djarot yang terlalu

fokus pada infrastruktur, tetapi mengesampingkan pembangunan manusia. Menurut Anies,

berdasarkan catatannya, Djarot sendiri pun dahulu kerap menkritik gaya kepemimpinan Ahok.

Namun, ia tidak menjelaskan secara rinci apa yang dikritik Djarot kepada Ahok.

"Bahkan bukan hanya orang luar yang mengkritik. Dalam catatan sejarah wakil gubernurnya

(Djarot) pun sering mengkritik Pak Gubernurnya (Ahok) dan wakil gubernurnya bukan

pengamat loh, dia orang bekerja," ujar Anies seusai acara tersebut, Kamis malam.

Anies menilai, dengan dirinya mengkritik pasangan petahana, ia ingin dianggap warga bahwa dia

tidak sependapat dengan apa yang dilakukan Ahok-Djarot saat memimpin Ibu Kota. Jika dirinya

terpilih bersama Sandiaga Uno, kata Anies, akan membuat Jakarta lebih baik kedepannya.

"Kami tunjukan kepada warga bahwa kami berlawanan, kami berbeda, kami tunjukan

perbedaannya dan kami siap mengatakan secara terus terang secara lugas dan jelas," ucap dia.

(Baca: Ahok Kritik Cara Penyampaian Anies Dapat Membentuk Opini Publik yang Buruk)

Anies menyampaikan, data-data yang dilontarkannya saat mengkritik Ahok adalah data yang

akurat. Apalagi, mengenai data pendidikan yang ia sampaikan di hadapan Ahok-Djarot saat acara

debat tersebut.

"Tadi sudah disampaikan bahwa data-data misalnya, kita memiliki data yang konkret itu. Anda

bisa lihat kok datanya tersedia, apalagi yang menyangkut data pendidikan," kata Anies.