IBD
-
Upload
martingani -
Category
Documents
-
view
213 -
download
0
description
Transcript of IBD
Pertimbangan Pelayanan Kesehatan Primer dalam Mengelola Pasien dengan Penyakit Inflamasi Usus
Emory Manten, Jesse A. Green, Catherine Bartholomew
Beberapa interaksi farmakologis ditemukan pada pengobatan penyakit inflamasi usus atau Inflammatory Bowel Disease (IBD) dan obat-obatan yang digunakan untuk mengobati penyakit yang lebih umum. Dalam upaya untuk mengevaluasi tingkat kepentingan ini, efek samping klinis yang signifikan, database Lexi-Comp dan Epocrates digunakan untuk menganalisis interaksi antara pengobatan IBD dengan dan beberapa kondisi umum (hipertensi, diabetes, asma, dislipidemia, dan nyeri kronis). Selain itu, penelusuran pada Pub Med juga dilakukan untuk mengevaluasi literatur terbaru yang membahas tentang hubungan antara IBD dan komorbiditas-komorbiditas tersebut.
Pendahuluan
Pengelolaan penyakit inflamasi usus (IBD) dalam pengaturan layanan
kesehatan primer seringkali menemui kesulitan karena potensi interaksi antara
obat IBD dan obat-obatan yang biasa digunakan untuk mengelola proses penyakit
umum. Kejadian IBD di benua Amerika Utara berkisar 2,2-14,3 kasus per
100.000 orang-tahun untuk UC dan 3,1-14,6 kasus per 100.000 orang-tahun untuk
CD (1). Sebaliknya, hipertensi (HTN) mempengaruhi sekitar 30% dari populasi
(2), saat ini diperkirakan bahwa risiko terkena diabetes selama hidup sebesar 33-
39% di Amerika Serikat (3). Satu atau lebih dari proses-proses penyakit medis
umum ini dapat terjadi pada pasien dengan IBD secara bersamaan. Rejimen
pengobatan IBD termasuk kortikosteroid, obat 5-ASA, imunomodulator, agen
metotreksat dan biologis, yang semuanya dapat berinteraksi dengan obat yang
biasa ditemui dalam pengaturan layanan kesehatan primer. Database Lexi-Comp
dan Epocrates digunakan untuk menganalisis kemungkinan interaksi diantara
berbagai kelas obat. Selain itu, penelusuran Pub Med juga dilakukan untuk
mengevaluasi literatur terbaru yang berkaitan dengan manajemen IBD dengan
kondisi medis ini.
Pengobatan IBD
IBD biasanya dikelola dengan golongan obat seperti kortikosteroid, agen 5-
ASA, agen biologis, metotreksat dan imunomodulator. Masing-masing agen
1
bekerja dengan mekanisme yang berbeda dalam mengubah proses penyakit.
Kortikosteroid bertindak melalui penurunan sitokin inflamasi, efek samping
sekunder dapat terjadi ketika ada perubahan status kekebalan dan supresi adrenal.
Obat 5-ASA bekerja melalui mekanisme anti-inflamasi yang secara langsung
beraksi pada mukosa kolon. Kelas obat ini umumnya digunakan dalam terapi
pemeliharaan pada pasien dengan kolitis ulserativa. Agen imunologi seperti
mercaptopurine menghambat sintesis DNA dan biologis seperti infliximab yang
mengubah sitokin inflamasi (TNF-alpha).
Preparat 5ASA (mesalamine) dianggap sebagai obat Kehamilan Kelas B,
dengan pengecualian dari merek AsacolR, yang dianggap sebagai obat Kelas C
yang meliputi obat resin EudragitR. Secara keseluruhan, pengobatan dengan kelas
obat ini umumnya dapat ditoleransi dengan baik. Reaksi yang paling umum
meliputi sakit kepala, mual, dan peningkatan ringan pada Bun / Cr. Efek samping
utama, meskipun jarang, meliputi gagal ginjal, hepatotoksisitas, perikarditis, dan
anemia aplastik. Karena perubahan potensial pada Bun / Cr, adalah tepat untuk
melakukan pemantauan berkala pada status ginjal. Pasien dengan gangguan ginjal
membutuhkan pengawasan lebih sering.
Mercaptopurine dianggap sebagai obat Kelas D yang digunakan selama
kehamilan. Distress GI ringan termasuk mual dan diare adalah reaksi yang paling
umum tetapi dapat juga terjadi anemia. Reaksi utama terhadap pengobatan di
kelas obat ini meliputi myelosupresi imunosupresi, pankreatitis, dan
hepatotoksisitas. Nilai laboratorium awal untuk anemia dan tes fungsi hati harus
dievaluasi sebelum memulai menggunakan obat tersebut dan kemudian diikuti
dengan interval penggunaan yang tepat.
Azathioprine dianggap obat Kelas D selama kehamilan. Reaksi yang umum
adalah mual, diare, dan ruam. Reaksi utama meliputi leukopenia,
myelosupression, pankreatitis, hepatotoksisitas, dan limfoma. Sekali lagi perlu
dipertimbangkan kemungkinan perubahan yang signifikan dalam myelopoesis
serta hepatotoksisitas, dianjurkan melakukan monitoring dengan CBCs dan kimia
hati.
2
Tabel 1. Interaksi obat hipertensi dan IBD
Infliximab dianggap sebagai obat Kelas B selama kehamilan. Pengobatan
dengan subclass anti-TNF ini masing-masing memiliki efek samping yang cukup
signifikan, beberapa di antaranya mungkin untuk obat tertentu. Sebelum memulai
pengobatan dalam subclass obat ini, tuberkulosis dan virus hepatitis B harus
diskrining dan dirawat dengan benar. Infliximab sendiri memiliki reaksi yang
besar diantaranya meliputi peningkatan risiko limfoma, peningkatan risiko infeksi
oportunistik, photosensitivity, re-aktivasi virus Hepatitis B, dan kejang. Efek
samping yang lebih umum meliputi demam, menggigil, mialgia, ruam,
peningkatan LFT, edema wajah dan ekstremitas.
Yang terakhir yaitu methotrexate yang dianggap sebagai Kelas X selama
kehamilan. Oleh karena itu, harus dihindari pada semua wanita usia subur. Reaksi
serius obat kelas ini bisa meliputi leukopenia, hepatotoksisitas, nefrotoksisitas,
fibrosis paru, dan reaksi kulit termasuk Stevens-Johnson Syndrome.
Hipertensi
Dalam dekade terakhir, prevalensi hipertensi di Amerika Serikat telah
diperkirakan berkisar antara 29-31 persen (2). Hipertensi merupakan faktor utama
untuk penyakit arteri koroner dini, gagal jantung, stroke iskemik, dan penyakit
ginjal kronis. Ada berbagai obat yang digunakan untuk mengobati kondisi medis
yang meliputi kelas obat-obatan seperti beta blockers, diuretik, calcium channel
blockers, ACEInhibitors, angiotensin receptor blocker, dan nitrat. Dalam
mengevaluasi interaksi obat-obat ini, database Lexi-Comp dan Epocrates
3
digunakan untuk menganalisis interaksi antara obat untuk hipertensi dan obat
IBD. Obat HTN yang dievaluasi meliputi metoprolol, lisinopril, nifedipine,
diuretik (HCTZ, spironolactone). Sedangkan untuk obat IBD meliputi prednisone,
5-ASA, biologis, dan agen imunomodulator. Kortikosteroid sendiri, dapat
mengakibatkan peningkatan tekanan darah. Telah ditemukan adanya interaksi
antara obat-obatan yang termasuk dalam kelas diuretik dan prednison. Kombinasi
dari obat-obat ini ber potensi mengurangi efikasi diuretik dan meningkatkan risiko
hipokalemia. Interaksi obat yang paling signifikan ditunjukkan adalah dari
lisinopril dan azathioprine, yang dapat menyebabkan peningkatan risiko
leukopenia dan toksisitas hematologi yang signifikan.
Istilah MESH Hipertensi, IBD, Penyakit inflamasi usus, penyakit Crohn,
Ulcerative colitis ditelusuri secara bersamaan menggunakan database PubMed
dengan filter pertanyaan klinis. Sebuah paper melaporkan bahwa pasien dengan
IBD refrakter yang menerima siklosporin berisiko pada peningkatan hipertensi
dan gagal ginjal (10), kejang merupakan resiko tambahan dari agen ini. Makalah
lain membahas peningkatan risiko efek samping, termasuk hipertensi, pada pasien
yang menggunakan Tacrolimus untuk mengobati IBD (11).
Tabel 2. Interaksi antara obat IBD dengan obat diabetes
Diabetes
Selama tiga puluh tahun terakhir, kejadian diabetes di Amerika Serikat telah
meningkat sebesar 176% (4) dan peningkatan kejadian tersebut menurut
peningkatan usia adalah 151% (4). Lebih dari itu, diabetes menyebabkan
4
peningkatan risiko untuk pengembangan penyakit kardiovaskular, penyakit ginjal
progresif, dan status kekebalan. Tujuan utama dalam pengelolaan penyakit ini
adalah untuk mempertahankan kadar glikemik yang konsisten.
Kortikosteroid sering digunakan dalam pengobatan IBD flare dan dapat
menyebabkan gangguan yang signifikan pada kadar glikemik. Selain itu, setiap
pasien diabetes yang menggunakan agen biologis dan imunologi berada pada
peningkatan risiko infeksi oportunistik lebih lanjut. Obat-obatan yang digunakan
untuk mengobati diabetes meliputi bigauanides, sulfonilurea (metformin),
thiazolidinediones, dan tindakan insulin jangka panjang/pendek. Dalam
mengevaluasi interaksi obat ini database Lexi-Comp digunakan untuk
mengevaluasi interaksi antara obat Diabetes dan obat IBD. Obat yang dievaluasi
untuk IBD meliputi prednisone, 5-ASA, mercaptopurine, azathioprine, infliximab,
dan methotrexate.
Pengobatan flare IBD terkadang melibatkan penggunaan steroid IV yang
diikuti oleh taper prednison oral. Salah satu efek samping utama dari
kortikosteroid adalah hiperglikemia yang signifikan. Penggunaan steroid dan
prednison secara umum dapat menyebabkan penurunan keberhasilan dalam semua
obat yang digunakan untuk mengobati diabetes karena hyperglycemia. Efek
samping lain yang signifikan termasuk yang ditimbulkan oleh interaksi antara
mesalamine dengan metformin dan metotreksat dengan metformin, kedua
kombinasi ini dapat menyebabkan peningkatan kadar metformin. Peningkatan
kadar metformin secara teoritis dapat menyebabkan asidosis laktat yang
signifikan, terutama pada pasien dengan penyakit ginjal yang mendasarinya. Pada
semua pasien yang menggunakan kombinasi obat ini fungsi dasar ginjal dapat
diidentifikasikan harus dicatat dan dipantau. Yang terakhir adalah kombinasi
infliximab dan glyburide dapat menyebabkan penurunan kadar sulfonilurea karena
inhibitor TNF menurunkan regulasi enzim CYP450.
Istilah MESH Diabetes, IBD, penyakit inflamasi usus, penyakit Crohn, dan
Ulcerative Colitis ditelusuru secara bersama-sama menggunakan Database
PubMed. Pencarian menemukan literatur terbaru termasuk yang menilai
kejadian gangguan autoimun secara bersamaan (12). Salah satu artikel terbaru
5
mengevaluasi prevalensi sindrom metabolik pada pasien Turki dengan IBD (13).
Artikel lain melihat adanya kesulitan status gizi pada pasien dengan IBD (14).
Artikel lainnya lagi menguji luas-genome hubungannya dengan temuan penelitian
yang menunjukkan beberapa lokus gen yang serupa antara IBD dan gangguan
autoimun lainnya termasuk diabetes. Satu artikel menunjukkan bahwa ada risiko
yang lebih tinggi untuk mengembangkan gangguan autoimun pada pasien yang
diketahui memiliki IBD (15).
Dislipidemia
Kolesterol LDL pada pasien dengan atau tanpa penyakit kardiovaskular
diketahui telah terbukti menyebabkan peningkatan risiko penyakit jantung koroner
(7). Studi Meta Analisis telah menunjukkan bahwa penurunan
kadar LDL menurunkan risiko seseorang dari penyakit jantung koroner (6).
Pedoman ATP III dapat digunakan untuk stratifikasi risiko penyakit pasien dan
menentukan LDL dan HDL target. Pada pasien yang melakukan diet dan olahraga
tidak menunjukkan peningkatan kadar lipid, berbagai obat kolesterol dapat
digunakan. Obat dislipidemia meliputi HMG-COA inhibitor reduktase,
sequestrants asam empedu, fibrates dan niacin. Database Lexi-Comp dan
Epocrates digunakan untuk mengevaluasi interaksi antara obat Dislipidemia
dengan obat IBD. Obat untuk IBD yang dievaluasi meliputi prednisone, 5-ASA,
mercaptopurine, azathioprine, infliximab, dan methotrexate.
Setelah analisis, kombinasi berbagai golongan obat menghasilkan beberapa
interaksi. Terapi andalan dislipidemia saat ini adalah HMGCoA reduktase
inhibitor atau statin, yang bekerja dengan cara menghambat 3-hydroxy-3
methylglutaryl koenzim. Salah satu efek samping yang tercatat dari interaksi
antara simvastatin dan infliximab adalah penurunan regulasi enzim CYP450 yang
menyebabkan penurunan kadar statin. Interaksi yang paling signifikan ditemukan
diantara kelas-kelas ini adalah pada interaksi antara prednison dan cholestyramine
karena sekuestran asam empedu, kekurangan asam empedu dapat mengurangi
penyerapan kortikosteroid. Disarankan untuk pasien yang menggunakan
6
kombinasi obat steroid setidaknya diberikan satu jam sebelum atau empat puluh
enam jam setelah sekuestran asam empedu untuk menghindari interaksi.
Istilah MESH Dislipidemia, Radang usus, IBD, Penyakit Crohn, Ulcerative
colitis ditelusuri secara bersama-sama menggunakan Database PubMed. Hasil
pencarian menemukan sebuah artikel penelitian retrospektif yang baru saja
dilakukan dalam Journal of Clinical Lipidology yang menunjukkan secara rinci
aktivitas penurunan enzim lipoprotein lipase yang menyebabkan peningkatan dan
penurunan kadar LDL yang dapat menjamin manajemen medis lebih agresif (16).
Tabel 3. Interaksi obat IBD dengan obat dislipidemia
Pengobatan Nyeri
Nyeri kronis adalah salah satu alasan paling umum pada pasien yang datang ke
dokter layanan kesehatan primer (9). Nyeri dapat dikelola dalam berbagai cara
termasuk pemberian PO, IV, dan obat nyeri topikal, rehabilitasi dengan berfokus
pada latihan, terapi berbasis kognitif dan bahkan intervensi bedah (8). Obat nyeri
yang umum meliputi OAINS, PO dan agonis reseptor opioid IV, acetaminophen,
dan Tramadol. Tramadol adalah obat yang bekerja melalui mekanisme yang agak
tidak jelas yang melibatkan pengikatan reseptor muopioid untuk menghilangkan
nyeri. Dengan menggunakan database Lexi-Comp dan Epocrates dilakukan
evaluasi dari interaksi obat nyeri dan obat IBD. Obat IBD yang dievaluasi
meliputi Prednisone, 5-ASA, mercaptopurine, azathioprine, infliximab, dan
methotrexate.
Non-steroid anti-inflammatory drugs (NSAIDS) tampaknya memiliki
interaksi terbesar dengan obat IBD. Seperti pada pasien tanpa IBD, penggunaan
kronis obat NSAID dapat menyebabkan peningkatan risiko perdarahan GI
termasuk penyakit ulkus peptikum, toksisitas salisilat, dan cedera ginjal. Dasar
7
laboratorium termasuk Hemoglobin, Hematokrit, dan Bun / Cr harus dilakukan
sebelum memulai OAINS kronis. Interaksi tertentu ditemukan pada penggunaan
OAINS dan kelompok pengobatan IBD. Kombinasi aspirin dan 5-ASA dapat
berpotensi pada risiko toksisitas salisilat. Kombinasi OAINS dan metotreksat
dosis tinggi dapat menyebabkan peningkatan kadar serum methotrexate. Status
ginjal pada pasien, terutama orang tua, harus diawasi secara ketat. Dosis Tramadol
dapat ditingkatkan bila digunakan dengan infliximab. Dengan demikian, kimia
hati harus dipantau. Terakhir, infliximab dapat menurunkan kadar fentanil ketika
digunakan bersama-sama.
Istilah MESH Nyeri Kronis, Pengobatan Sakit kronis, penyakit radang usus,
IBD, Penyakit Crohn, Ulcerative colitis ditelusuri secara bersamaan menggunakan
Database PubMed. Sebuah artikel ditemukan membahas penggunaan narkotik
kronis pada pasien IBD (17).
Tabel 4. Interaksi obat nyeri dan obat IBD
Asma
Prevalensi asma sepanjang hidup di Amerika Serikat per 2010 menurut
survei CDC adalah sekitar 13,5% (18). Terapi asma biasanya didasarkan pada
frekuensi, keparahan, dan waktu hari gejala asma. Terapi andalan untuk asma
meliputi aksi jangka pendek dan jangka panjang dari inhalasi beta 2 agonis
reseptor adrenergik (albuterol, salmeterol), antikolinergik (ipratropium),
glukokortikoid inhalasi (budesonide, flutikason), antagonis reseptor leukotrien
(montelukast), teofilin, dan terapi anti IgE (omalizumab). Database Lexi-Comp
8
dan Epocrates digunakan untuk mengevaluasi interaksi antara obat Asma dan obat
IBD.
Obat IBD yang dievaluasi meliputi termasuk prednisone, 5-ASA,
mercaptopurine, azathioprine, infliximab, dan methotrexate. Interaksi prednison
dengan tindakan jangka panjang atau pendek inhalasi beta 2 agonis reseptor dapat
meningkatkan risiko hipokalemia. Kombinasi infliximab dan teofilin dapat
menyebabkan penurunan jumlah kadar teofilin karena perubahan metabolisme
hati. Methotrexate harus dihindari pada pasien asma karena dapat meningkatkan
risiko fibrosis paru. Akhirnya efek samping yang signifikan ditunjukkan oleh
kombinasi metotreksat dan teofilin. Penggunaan obat ini secara bersamaan dapat
meningkatkan kadar teofilin dan menurunkan methotrexate.
Istilah MESH Asma, Radang usus, ditelusuri bersamaan menggunakan
database PubMed. Sebuah studi pediatrik dari Mayo Clinic mencari hubungan Sel
T-Helper 2 dengan IBD (20).
Tabel 5. Interaksi obat asma dan IBD
Kesimpulan
Ada interaksi yang signifikan antara beberapa obat IBD dengan obat-obatan
untuk penyakit umum lainnya. Dalam mengevaluasi obat Hipertensi, Diabetes,
Dislipidemia, Asma dan Nyeri secara bersamaan, adalah penting untuk
mengetahui bahwa sebagian besar obat dapat digunakan bersama-sama dengan
efek samping minimal. Harus sangat hati-hati ketika menggunakan OAINS pada
pasien dengan IBD, dan potensi obat diabetes dapat dipengaruhi oleh obat IBD.
Sebagian obat Hipertensi, asma dan dislipidemia memiliki interaksi kecil dengan
obat IBD.
9