I. Pengantar - Direktori File...

43
1 HAND BOOK SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI PEMBANGUNAN OLEH : DRA. LELI YULIFAR, M.Pd. I. Pengantar Kehidupan manusia dapat dikaji baik melalui Sosiologi maupun Antropologi. Hal ini menjadikan kedua disiplin ilmu tersebut susah untuk dipisahkan. Banyak para ahli Sosiologi merangkap menjadi antropolog, dan sebaliknya. Kendati demikian, kajian Antropologi yang berhubungan langsung dengan Sosiologi, hanya yang berkenaan dengan Antropologi budaya saja. Dalam hal ini, khusus kajian yang berkenaan dengan aspek manusia sebagai mahluk sosial budaya, yang diidentifikasi bahwa manusia memiliki perilaku sosial yang melembaga. Antropologi Budaya berobjekan manusia sebagai mahluk sosial, yang hidup dalam kelompok masyarakat pendukung dan pengembang kebudayaan di dalam upaya mempertahankan kelangsungan hidupnya. Pembangunan sebagai konsep politik, ekonomi dan sosial di dalam mengarahkan proses perubahan yang diinginkan suatu bangsa akan melibatkan semua pemikiran, ilmu pengetahuan dan teknologi. Abad ke-21 ditandai dengan pesatnya perubahan dalam berbagai aspek kehidupan manusia, sebagai akibat perkembangan Teknologi Informasi. Implikasinya, di dalam upaya perubahan yang direncanakan, yang dikenal dengan istilah Pembangunan, masalah-masalah sosial budaya, sosial ekonomi dan sosial politik tersebut akan melebur dalam satu telaah yang berada dalam ranah Sosiologi dan Antropologi. Masalah pembangunan tidak hanya merujuk kepada aspek kwalitas, tetapi juga kwantitas. Isu-isu tentang pemerataan, perubahan sosial, potensi konflik, disintegrasi, pembangunan fisik dan spiritual dalam kerangka multikultural dalam ruang global tampak menjadi semakin krusial untuk dijadikan bahan diskusi.Untuk memperkuat pemikiran para mahasiswa dalam menganalisis implikasi pembangunan sebuah Negara, termasuk Indonesia, perkuliahan dimulai dengan membahas berbagai teori pembangunan, yang akan digunakan dalam membedah permasalahan kasus-kasus pembangunan sebagai implikasi dari perubahan yang terencana tersebut.

Transcript of I. Pengantar - Direktori File...

1

HAND BOOK

SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI PEMBANGUNAN

OLEH : DRA. LELI YULIFAR, M.Pd.

I. Pengantar

Kehidupan manusia dapat dikaji baik melalui Sosiologi maupun Antropologi. Hal ini

menjadikan kedua disiplin ilmu tersebut susah untuk dipisahkan. Banyak para ahli

Sosiologi merangkap menjadi antropolog, dan sebaliknya. Kendati demikian, kajian

Antropologi yang berhubungan langsung dengan Sosiologi, hanya yang berkenaan dengan

Antropologi budaya saja. Dalam hal ini, khusus kajian yang berkenaan dengan aspek

manusia sebagai mahluk sosial budaya, yang diidentifikasi bahwa manusia memiliki

perilaku sosial yang melembaga. Antropologi Budaya berobjekan manusia sebagai mahluk

sosial, yang hidup dalam kelompok masyarakat pendukung dan pengembang kebudayaan

di dalam upaya mempertahankan kelangsungan hidupnya.

Pembangunan sebagai konsep politik, ekonomi dan sosial di dalam

mengarahkan proses perubahan yang diinginkan suatu bangsa akan melibatkan

semua pemikiran, ilmu pengetahuan dan teknologi. Abad ke-21 ditandai dengan

pesatnya perubahan dalam berbagai aspek kehidupan manusia, sebagai akibat

perkembangan Teknologi Informasi. Implikasinya, di dalam upaya perubahan yang

direncanakan, yang dikenal dengan istilah Pembangunan, masalah-masalah sosial

budaya, sosial ekonomi dan sosial politik tersebut akan melebur dalam satu telaah

yang berada dalam ranah Sosiologi dan Antropologi. Masalah pembangunan tidak

hanya merujuk kepada aspek kwalitas, tetapi juga kwantitas.

Isu-isu tentang pemerataan, perubahan sosial, potensi konflik, disintegrasi,

pembangunan fisik dan spiritual dalam kerangka multikultural dalam ruang global

tampak menjadi semakin krusial untuk dijadikan bahan diskusi.Untuk memperkuat

pemikiran para mahasiswa dalam menganalisis implikasi pembangunan sebuah

Negara, termasuk Indonesia, perkuliahan dimulai dengan membahas berbagai teori

pembangunan, yang akan digunakan dalam membedah permasalahan kasus-kasus

pembangunan sebagai implikasi dari perubahan yang terencana tersebut.

2

Tulisan ini berisikan beberapa telaah terhadap teori-teori pembangunan dan

implikasinya, yang juga merupakan pengembangan dari silabus dan hand out

perkuliahan Sosiologi dan Antropologi Pembangunan. Tujuan penulisan

dimaksudkan untuk membantu para mahasiswa, terutama dalam mengikuti

perkuliahan tatap muka di kelas, melalui gambaran mengenai content perkuliahan,

sehingga melalui tulisan ini diharapkan dapat memotivasi mereka untuk mencari

dan mengembangkan pokok-pokok pikiran ini lebih mendalam dan lebih luas lagi.

Lebih lanjut lagi, upaya pengayaan yang dilakukan mereka tersebut diharapkan

dapat dengan aktif berperan serta dalam melakukan analisis dan sintesis terhadap

materi-materi diskusi yang berkenaan dengan implikasi pembangunan sebagai

sebuah upaya terencana tersebut. Materi yang didiskusikan tersebut dilakukan pada

paruh semester terakhir perkuliahan ini.

II. Definisi Pembangunan dan Tiga Golongan Kebutuhan Dasar

Pertumbuhan dan perkembangan umat manusia mendorong Sosiologi dan

Antropologi melakukan pengkajian dan analisis setiap fenomena yang terdapat di

dalamnya yang akhirnya membentuk tema-tema tersendiri sebagai spesialisasi dari ilmu-

ilmu yang bersangkutan. Sosiologi dan Antropologi (budaya) mempelajari manusia yang

berkenaan dengan individu, masyarakat, ataupun pranata sosial seperti keluarga,

agama dan politik (Gurniwan, 1999 : 33). Kedua disiplin ilmu ini, beserta ilmu-ilmu sosial

lainnya berupaya untuk mencoba menjawab setiap masalah yang berhubungan dengan

kehidupan manusia, termasuk bagaimana mereka melakukan suatu perubahan,

khususnya yang dilakukan dengan sengaja dan terencana.

Setiap upaya perubahan yang direncanakan, disebut pembangunan (Kartasasmita,

1996). Di sisi lain, pembangunan tersebut akan menimbulkan perubahan. Karena itu,

antara pembangunan dan perubahan akan merupakan dua unsur yang saling berkaitan

erat. Sementara itu, berbicara tentang tujuan pembangunan, Otto Soemarwoto (2001),

mengatakan bahwa pembangunan bertujuan untuk menaikan tingkat hidup dan

kesejahteraan rakyat, yang di dalamnya mengandung makna untuk meningkatkan mutu

hidup rakyat. Karena mutu hidup dapat diartikan sebagai derajat dipenuhinya kebutuhan

dasar. Pembangunan menurut Sumarwoto dapat diartikan sebagai usaha untuk

3

memenuhi kebutuhan dasar rakyat dengan lebih baik. Selanjutnya dijelaskan bahwa

kebutuhan dasar merupakan kebutuhan yang esensial, yang terdiri dari tiga bagian.

Pertama, kebutuhan dasar untuk kelangsungan hidup hayati. Kedua, kehidupan dasar

untuk untuk kelangsungan kehidupan yang manusiawi dan yang ketiga adalah kebutuhan

akan derajat kebebasan untuk memilih.

Parsudi Suparlan dalam tulisannnya tentang Antropologi Pembangunan, sebagai

penghormatan kepada Koentjaraningrat (1997) mendefinisikan pembangunan sebagai

serangkaian upaya yang direncanakan dan dilaksanakan oleh pemerintah, badan-badan

atau lembaga-lembaga internasional, nasional atau lokal yang terwujud dalam bentuk-

bentuk kebijaksanaan, program, atau proyek, yang secara terencana mengubah cara-

cara hidup atau kebudayaan dari sesuatu masyarakat sehingga warga masyarakat

tersebut dapat hidup lebih baik atau lebih sejahtera daripada sebelum adanya

pembangunan tersebut. Program-program tersebut di antaranya meliputi program-

program pembangunan ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi , yang mencakup

program-program peningkatan kesejahteraan hidup atau mutu, senada dengan

Sumarwoto di atas, tentang basic need yang pada gilirannya akan menjadi basic drive

setiap individu. Menurut Sumarwoto (2001), pembagian kebutuhan dasar di atas dibagi

secara khierarkis berturut-turut dari atas ke bawah, sehingga menjadi tiga golongan.

Kelangsungan hidup yang manusiawi dan derajat kebebasan memilih hanyalah

mungkin apabila kelangsungan kehidupan hayati telah terpenuhi dan terjamin. Oleh

karena itu, kelangsungan kehidupan hayati adalah hal yang paling pokok dan mempunyai

bobot yang paling tinggi di antara ketiga golongan kebutuhan dasar. Pada saat kebutuhan

dasar yang pertama ini telah terpenuhi, orang sering tidak merasakan adanya kebutuhan

dasar pada tahap ini. Akan tetapi, jika karena suatu hal, kebutuhan dasar yang pertama ini

tidak terpenuhi, orang akan berusaha mendapatkannya, sampai-sampai bersedia untuk

mengorbankan kebutuhan dasar yang lainnya. Misalnya, seseorang tersesat di di padang

alang-alang yang luas dan kehabisan air, akan bersedia untuk memberikan pakaiannya,

rumahnya dan apa saja kepada orang yang dapat memberikan air kepada dirinya.

Batas antara kebutuhan dasar golongan pertama dan kedua tidaklah jelas, melainkan

merupakan sebuah daerah peralihan. Dalam daerah peralihan ini kebutuhan dasar

4

dapatlah dikategorikan sebagai kebutuhan dasar untuk kelangsungan kehidupan hayati,

maupun sebagai kebutuhan dasar untuk kelangsungan hidup yang manusiawi.

A. Kebutuhan Dasar Untuk Kelangsungan Hidup Hayati

Mahluk hidup selalu berusaha untuk selalu menjaga kelangsungan hidupnya, tidak

saja secara individu tetapi juga sebagai jenis. Kelangsungan hidup sebagai jenis bahkan

memiliki bobot yang lebih tinggi dibandingkan kehidupan individual. Sehingga kita akan

Menjumpai kelakuan altruism, yaitu pengorbanan diri untuk mempertahankan

kelangsungan hidup jenis.

Pada manusia, altruism ini dapat terlihat antara lain dalam peperangan. Misalnya

para pejuang kita dalam berperang melawan Belanda telah membentuk pasukan berani

mati. Mereka bersedia mengorbankan diri demi menyelamatkan pasukan lain atau demi

rakyat. Para penerbang Jepang kamikaze telah mengorbankan jiwanya untuk keselamatan

Negara dan kaisarnya. Banyak Negara memiliki tradisi untuk menawarkan kepada anggota

tentaranya untuk secara sukarela mengerjakan suatu pekerjaan perang yang sangat

berbahaya yang mungkin sekali akan menyebabkan kematian.

Untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidup secara hayati, manusia haruslah

mendapatkan air, udara dan pangan dalam kwantitas dan kwalitas tertentu. Kebutuhan

dasar ini bersifat mutlak. Kemudian, ia harus terhindar dari serangan organism berbahaya,

pathogen, parasit, dan vector penyakit. Di samping itu, manusia harus dapat mempunyai

keturunan untuk menjaga kelangsungan hidup jenisnya.

B. Kebutuhan Dasar untuk Kelangsungan Hidup yang Manusiawi

Berbeda dengan mahluk hidup yang lain, manusia tidak cukup sekedar hidup secara

hayati, melainkan karena kebudayaannya ia harus ia harus hidup secara manusiawi.

Misalnya, pangan tidak hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh, melainkan harus

disajikan dalam rasa, warna dan bentuk yang menarik. Sebenarnya manusia dapat hidup

dengan tumbuhan dan daging yang mentah, tetapi itu tidaklah manusiawi. Di dalam

kondisi iklim di Indonesia, manusia juga dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya

tanpa pakaian dan rumah, tetapi itupun tidak manusiawi. Jadi jelaslah bahwa sifat

manusiawi itu merupakan juga unsure penting dalam mutu lingkungan.

5

Kebutuhan dasar untuk hidup yang manusiawi sebagian bersifat materil dan sebagian

lagi non-materiil. Bentuk Non-materil berkembang sangat kuat dan menonjol

berkembang pada manusia sehingga berbeda dari hewan. Pada awal perkembangan

budayanya, manusia mengembangkan pranata yang mengatur kehidupan sosial kelompok

manusia. Pada hewan, sebenarnya ada semacam pranata, tetapi pengaturan pada

manusia lebih maju dan lebih tinggi, karena masyarakat manusia lebih kompleks daripada

‘masyarakat’ hewan serta memiliki kemampuan otak yang lebih besar dari pada hewan.

Pada masyarakat manusia berikutnya berkembang ranah hukum, sebagai cermin

dari hakekat dan martabat tentang dirinya sebagai pribadi dalam berhubungan dengan

manusia lain, juga bagaimana dalam hubungannya dengan alam, dan tuhan yang

tercermin di dalam kehidupan beragama. Kehidupan dasar yang manusiawi tercermin

juga dari kebutuhan manusia akan seni, berbudaya, berfilsafat, pendidikan, pakaian,

rumah dan energi (misalnya api).

C. Kebutuhan Dasar untuk Memilih

Kemampuan memilih merupakan sifat hakiki mahluk untuk dpat mempertahankan

kelangsungan hidupnya, baik pada tumbuhan, hewan dan manusia. Akar tumbuhan dapat

memilih unsur mana yang diserap banyak dan mana yang diserap sedikit. Kemampuan

memilih ini memungkinkan kita untuk menggunakan tumbuhan sebagai indikator adanya

zat tertentu di dalam tanah. Hewan juga memilih apa yang dimakannya. Kambing

memiliki pilihan yang lebih luas disbanding hama wereng yang hanya menyukai padi.

Pada manusia kemampuan memilih berkembang melampaui tujuan

mempertahankan hidup hayatinya, yakni melalui ekspresi hasil budi dan dayanya yang

dikenal dengan istilah kebudayaan. Mulai dari jenis makanan yang beraneka ragam,

pakaian yang bermode, arsitektur rumah/bangunan, aneka seni dan sebagainya.

Keanekaragaman ini mengindikasikan bahwa manusia memiliki kesempatan yang banyak

untuk memilih.

Memilih merupakan hal yang essensial dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu,

menjadi bagian dari kebutuhan dasar, terutama untuk memenuhi kelangsungan

hidupnya yang manusiawi. Keanekaragaman pilihan ini harus dipelihara, karena akan

menjamin atau paling tidak mengurangi kemungkinan tertutupnya pilihan kita di masa

6

yang akan datang. Kesempatan memilih itu meliputi keputusan menentukan nasib

dirinya, keluarganya, dan masyarakatnya. Mereka dapat memilih bidang-bidang

pekerjaan atau predikatnya sesuai dengan bakat dan minat serta kondisi-kondisi lainnya.

Misalnya, pilihan-pilihan untuk menjadi seorang pendidik, insinyur sipil, dokter,

paramedis, akuntan, dll.

III. Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable development)

Konsep pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) merupakan

konsep yang dideklarasikan pada penyelenggaraan Earth summit 1992 di Rio De Janeiro.

Penggagas konsep ini berasal dari World Commission on Environment and development

(Asosiasi SYLFF, 2006). Selain semakin disadarinya bahwa keterkaitan lingkungan hidup

dengan permasalahan ekonomi dan sosial, juga kesadaran bahwa analisis dan pemecahan

permasalahan serta implementasi pembangunan merupakan upaya yang tidak terputus.

Oleh karena itu, berbagai disiplin ilmu semakin berkembang dan digunakan sebagai

pendekatan multi dan interdisipliner.

Dalam kerangka ‘sustsainable development’, Ginanjar Kartasasmita (1996)

mengatakan bahwa suatu pembangunan dapat berkesinambungan apabila ekonomi

rakyat berkembang. Posisi penting pengembangan ekonomi rakyat bagi pembangunan

yang berkelanjutan menunjukkan adanya keterpaduan antara pemerataan dan

pertumbuhan. Pendapat ini merujuk pada konsep pembangunan yang dititikberatkan

pada bidang ekonomi. Padahal, aspek politik dan sosial menjadi bagian yang tidak

terpisahkan dari perubahan perekonomian. Sehingga, setiap perubahan yang

direncanakan, yang disebut pembangunan pada dasarnya merupakan unsur yang tidak

terpisahkan antara ketiga aspek tersebut. Di sinilah kajian Sosiologi dan Antropologi akan

berperan, sehingga pembangunan akan dirasakan sebagai konsep yang tidak melulu

menekankan pada pembangunan ekonomi, baik dalam telaah maupun implikasinya.

Aspek lingkungan Sosial-budaya dan ekonomi memang sangatlah penting untuk

kesinambungan pembangunan berkelanjutan. Pembangunan dilakukan oleh dan untuk

manusia yang hidup di dalam kondisi sosial budaya dan kondisi ekonomi tertentu. Faktor

ekonomi perlu mendapat perhatian, karena pembangunan tidak akan dapat

7

berkelanjutan apabila ekonomi tidak mendukungnya. Kendati demikian, kerap kali faktor

sosial budaya diabaikan.

Begitu pentingnya faktor sosial budaya untuk diperhatikan, berikut ini terdapat

beberapa kasus yang dicatat sejarah, yang memperlihatkan kedua faktor tersebut

berkonstelasi dengan kondisi pembangunan. Di antaranya disebabkan karena faktor

sosial budaya yang tidak mendukung atau kontra produktif terhadap pembangunan yang

berkelanjutan. Contohnya, pembangunan yang dilakukan di bawah kepemimpinan Syah

Iran tidak berkelanjutan karena tidak didukung oleh kondisi sosial budaya, yang

membawa kemaharajaan ini kepada situasi hancur dan ambruk. Atau, Ketidakserasian

suku Tamil dan Singalese membuat pembangunan di Srilangka yang tadinya

berkecenderungan positif, terancam ambruk karena faktor sosial/politik tersebut. Oleh

karena itu, sangatlah jelas pentingnya faktor sosial budaya dijadikan fokus perhatian,

sama pentingnya dengan bidang ekonomi.

IV. Teori-Teori yang Digunakan Dalam Menganalisis Pembangunan

Untuk memahami manusia beserta seluruh fenomena di dalam kehidupannya

dapat dilakukan melalui kegiatan menganalisis bagaimana sekelompok manusia berupaya

membangun bangsanya, melalui penggunaan teori-teori. Di dalam menganalisis

fenomena sosial tersebut tidak cukup dengan hanya menggunakan satu teori, tetapi bisa

bersifat multi atau interdisipliner. Pemilihan teori didasarkan pada pertimbangan

kesesuaian dengan kebutuhan (need. Contohnya, untuk mengetahui kehidupan manusia

sebagai mahluk sosial, maka teori-teori ilmu sosial yang dipilih. Teori ilmu sosial

didefinisikan sebagai seperangkat andaian mengenai masyarakat, fenomena sosial dan

tingkah laku manusia (Gurniwan, 1999). Sedangkan fungsi Teori menurut Zamroni dalam

Gurniwan (1999) ialah untuk :

1. Sistemisasi pengetahuan

2. Eksplanasi, prediksi, kontrol sosial dan

3. Mengembangkan hipotesis.

Sehubungan dengan penjelasan tentang arti dan peran teori tersebut di atas, berikut

ini akan dipilihkan 3 teori yang cukup populer digunakan dalam menganalisis

8

pembangunan. Teori tersebut terdiri dari Teori modernisasi, Teori Dependensi

(Ketergantungan) dan Teori Sistem Dunia.

Berikut ini disajikan uraian ketiga teori pembangunan tersebut sebagai hasil kajian

Alvin Y. So dan Suwarsono dalam Bukunya tentang Perubahan Sosial dan Pembangunan

(2006, ed. Revisi).

A. Teori Modernisasi Klasik

Modernisasi sebagai proses transformasi yang sistemik , dilakukan secara immanent

(terus-menerus) dan cenderung menekankan pada faktor yang berasal dari dalam

(internal resources). Untuk mencapai kondisi modern, teori modernisasi klasik

mensyaratkan bahwa seluruh nila-nilai tradisional harus diganti oleh seperangkat

struktur yang modern. Karena itu, Huntington (1976) menganggap bahwa antara nilai-

nilai tradisional dan modern adalah hal yang saling bertentangan. Dalam arti, jika

modernisasi ingin dicapai, maka nilai-nilai tradsional harus dirombak total alias

dilenyapkan! Modernisasi melibatkan perubahan pada hampir seluruh aspek perilaku

sosial, termasuk industrialisasi, urbanisasi, diferensiasi, sekularisasi dan sentralisasi pada

satu tempat yang mengakibatkan terjadinya pengelompokan, sehingga modernisasi

bercirikan keteraturan dan tidak dalam kondisi yang terpisah-pisah.

Awal modernisasi dicatat oleh peristiwa sejarah yang monumental, yakni beberapa

temuan teknologi yang melandasi industrialisasi pada berbagai bidang kehidupan

masyarakat Eropa yang kemudian dikenal dengan peristiwa Revolusi Industri. Kemudian

disusul dengan munculnya Revolusi Perancis yang mengusung nilai-nilai demokratis

sebagai bentuk perlawanan terhadap hak-hak istimewa yang dimiliki kelompok feodal.

Perkembangan selanjutnya, modernisasi melanda juga segmen kehidupan yang lain,

seperti munculnya kemajuan berbagai ilmu pengetahuan yang diikuti perkembangan

teknologi. Perobahan ini harus diimbangi oleh sikap mental dan proses adaptasi, sehingga

tidak dianggap sebagai orang yang ketinggalan jaman atau ‘mabuk’ modernisasi.

Menurut Alvin Y. So dan Suwarsono (2001) yang mengutif pendapat para tokoh

Amerika Serikat, Teori Modernisasi lahir sebagai produk 3 peristiwa penting, yakni :

9

1. Munculnya AS sebagai kekuatan dominan sejak pelaksanaan Marshal Plan untuk

membangun kembali Eropa Barat sebagai akibat kekalahan dalam PD II. Sementara,

Negara-negara Eropa lainnya, seprti Inggris, Perancis, dan Jerman justru semakin

melemah.

2. Pada saat hampir bersamaan, terjadi perluasan gerakan komunis sedunia. Uni Soviet

berhasil memperluas pengaruhnya keropa Timur, bahkan ke Asia (Cina dan Korea di

antaranya. Secara tidak langsung kondisi ini membuat AS ingin membendung pengaruh

Komunis, dengan cara berusaha memperluas pengaruh politkinya pada belahan dunia

yang lain.

3. Lahirnya Negara-negara merdeka baru di Asia, Afrika dan Amerika Latin, yang

sebelumnya merupakan daerah jajahan Eropa . Negara-negara ini secara serempak

mencari model-model pembangunan ekonominya dalam usaha mempercepat pencapaian

kemerdekaan politiknya.

Oleh karena itu, pasca Perang Dunia ke-2 ditandai dengan besarnya perhatian

para ilmuwan AS kepada Negara-negara Dunia ketiga yang mendapat dukungan dari

pemerintah AS, dan organisasi swasta . Satu generasi baru ilmuwan, ilmuwan politik,

ekonomi dan para ahli Sosiologi, Psikologi, Antropologi serta ahli kependudukan

menghasilkan karya-karya disertasi dan monografi tentang Dunia ketiga. Satu aliran

pemikiran antar disiplin yang tergabung dalam ajaran modernisasi terbentuk dalam tahun

1950-an. Sehingga, karya kajian modernisasi merupakan ‘industri yang tumbuh segar ‘

sampai pertengahan tahun 1960-an. Karya kajian modernisasi dikategorikan sebagai

suatu aliran pemikiran atau a school of thouhht.

Teori modernisasi memiliki paling tidak dua warisan pemikiran, yakni pewarisan

pemikiran struktur fungsionalisme dan pola pikir teori evolusi. Menurut Teori evolusi,

perubahan sosial pada dasarnya merupakan gerakan yang linear, searah, progresif dan

perlahan-lahan yang akan membawa masyarakat primitif kepada tahapan yang lebih

maju, dan membuat ‘wajah’ masyarakat yang beragam menjadi memiliki bentuk dan

struktur yang seragam.

10

Salah seorang penganut teori modernisasi, Levy mempercayai bahwa seiring

dengan perkembangan waktu, di antara kita akan saling mirip satu sama lain, karena

teori modernisasi mengatakan bahwa semakin modern tahapan yang dilalui, maka akan

semakin serupa bentuk dan karakter masyarakat yang terlibat dalam perubahan ini.

Berdasar pada premis itu, maka teori Rostow memiliki gerakan seperti yang digambarkan

teori evolusi : Bergerak dari tatanan masyarakat primitif/sederhana ke masyarakat yang

lebih maju atau kompleks.

Teori fungsionalisme merupakan pemikiran Talcott Parsons, yang memandang

manusia ibarat organ tubuh manusia, sehingga masyarakat manusia pun bisa dipelajari

sebagaimana sebuah organ. Tidak mengherankan jika Parson memiliki pandangan ini

mengingat latar belakangnya sebagai ilmuwan Biologi.

Parsons memandang bahwa sebagaimana halnya tubuh manusia, masyarakat

memiliki unsur-unsur yang saling berhubungan satu sama lainnya dalam kaitan yang

sistemik, memiliki fungsi pokok dan keseimbangan dinamis-statsioner (homeostatic

equilibrium). Parson, dengan menganalogkan tubuh manusia, menggunakan konsep

sistem untuk menggambarkan koordinasi harmonis antar kelembagaan yang ada pada

masyarakat. Fungsi pokok (fungsional imperative) diimaksudkan untuk menggambarkan 4

macam tugas utama yang harus dilakukan agar masyarakat tidak mati. Keempat hal

tersebut dikenal dalam istilah AGIL (Adaptation to the environment, goal attainment,

integration, and latency). Lembaga ekonomi sebagai pelaksana adaptasi lingkungan,

pemerintah berfungsi untuk pencapaian tujuan umum, lembaga hukum dan agama

menjalankan fungsi integrasi, dan keluarga serta lembaga pendidikan berfungsi untuk

usaha pemeliharaan.

Masyarakat selalu mengalami perubahan yang teratur. Perubahan sosial pada

sebuah lembaga akan mengakibatkan perubahan pada lembaga yang lain untuk mencapai

keseimbangan baru. Di sinilah peran-peran homeostatic equilibrium dibutuhkan.

Dalam menjelaskan perbedaan masyarakat tradisional dan modern, Talcott

Parsons merumuskan konsep faktor kebakukan dan pengukur (pattern variables), yang

menjadi alat utama untuk memahami hubungan sosial yang langgeng, berulang dan

mewujud dalam sistem kebudayaan. Masyarakat tradisional cenderung memilliki

11

hubungan ‘kecintaan’ yang bersifap pribadi dan emosional. Sedangkan masyarakat

modern memiliki hubungan ‘kenetralan’, yaitu hubungan kerja yang tidak langsung, tidak

mempribadi dan berjarak. Selanjutnya Parsons merumuskan hubungan “ kekhususan dan

universal” (particularistic dan universalistic). Masyarakat tradisional cenderung

berhubungan dengan anggota masyarakat dari satu kelompok tertentu, sehingga menjadi

ada perasaan kebersamaan, memikul tanggung jawab bersama-sama. Sementara

masyarakat modern, berhubungan satu sama lain dalam batas norma-norma

universal,tidak terikat tanggung jawab kelompok dan kekhususan. Masyarakat tradisional

biasanya lebih terikat oleh kewajiban-kewajiban kekeluargaan, komunitas dan kesukuan

( orientasi kolektif). Sedangkan masyarat modern lebih bersifat individualistik (orientasi

pada diri sendiri/ self orientasi). Kemudian, masyarakat tradisional menurut Parsons lebih

melihat pentingnya status warisan dan bawaan (ascription), sedangkan masyarakat

modern lebih memperhatikan pencapaian prestasi (achievement), dalam situasi yang

penuh persaingan dan sangat ketat. Pada masyarakat tradisional, belum terdapat

rumusan yang jelas tentang fungsi-fungsi kelembagaan ( functionally diffused) yang akan

menyebabkan ketidakefisienan. Sebaliknya, pada masyarakat modern telah terjadi

perumusan yang jelas tentang fungsi-fungsi kelembagaan (functionally specific). Berikut

ini disajikan perbedaan antara masyarakat tradisional dan modern yang diidentifikasi

Talcott Parssons sebagai pattern variables dalam bentuk tabel

Unsur Masyarakat Tradisional Masyarakat Modern

Kecintaan dan kenetralan

Hubungan kecintaan yang mempribadi dan emosional

Kenetralan dengan hubungan kerja yang tidak langsung, tidak mempribadi dan berjarak

Kekhususan dan universal

Terikat tanggung jawab kelompok, yang memikul beban bersama-sama.

Lebih tidak terikat tanggung jawab terhadap kelompok, mengusung nilai-nilai universal

Pandangan terhadap diri

Berorientasi kolektif Berorientasi pada diri-sendiri/self orientation

Status warisan dan prestasi

Memandang penting status warisan dan bawaan

Memperhatikan prestasi (achievement) dalam persaingan yang ketat

Fungsi-fungsi kelembagaan

Belum merumuskan fungsi-fungsi kelembagaan secara jelas (functionally diffused)

Sudah merumuskan tugas-tugas masing-masing kelembagaan secara jelas (functionally specific)

12

Uraian di atas dimaksudkan agar kita lebih mudah dalam memahami teori

modernisasi sehubungan dengan beragamnya pola pikir dan rumitnya dalam

mengidentifikasi ciri-ciri pokok teori modernisasi. Selanjutnya akan dibahas 3 pemikiran

yang berasal dari 3 latar belakang disiplin yang berbeda (Sosiologi, Ekonomi dan Politik)

yang mencoba menjelaskan jalannya modernisasi di Negara Dunia Ketiga yang

berorientasi kepada Teori Modernisasi Klasik.

1. Diferensiasi Struktural dari Smelser (Sosiolog)

Di dalam menjawab pertanyaan yang dirumuskannya, Smelser menggunakan konsep

bagaimana modernisasi bisa terjadi, perbedaan antara masyarakat tradisional dan

modern bagaimana prospek modernisasi di Negara Dunia Ketiga, dan apa akibat lanjut

dari proses modernisasi.

Menurut Smelser, proses modernisasi akan selalu melibatkan diferensiasi

struktural.Ketidakteruran struktur masyarakat yang menjalankan berbagai fungsi

sekaligus akan dibagi ke dalam sub struktur untuk menjalankan satu fungsi yang lebih

khusus. Bangunan baru tersebut sebagai satu kesatuan yang terdiri dari berbagai sub

struktur yang menjalankan keseluruhan fungsi yang dilakukan oleh bangunan struktur

lama. Setelah terdapat diferensiasi struktural, pelaksanaan fungsi akan dapat dijalankan

secara lebih efisien. Sebagai contoh, keluarga tradisional memiliki struktur yang tidak

teratur dan rumit. Di dalam satu atap berdiam banyak keluarga yang terdiri dari beberapa

generasi. Di Indonesia dicontohkan model keluarga yang mendiami rumah gadang di

daerah Padang (Sumbar).

Keluarga tradisional tidak hanya bertanggung jawab terhadap beban penerusan

keturunan dan penanggungan emosi bersama, tetapi juga bertanggung jawab terhadap

produktifitas kerja (ladang pertanian bersama), pendidikan (proses sosialisasi),

kesejahteraan (perawatan terhadap orang tua yang berusia lanjut), dan pendidikan

agama (pemujaan terhadap arwah orang tua).

13

Dalam masyarakat modern, keluarga memiliki struktur yang lebih sederhana, lebih

kecil karena hanya terdiri dari keluarga inti (batih). Di sini sudah terjadi diferensiasi

strukural, sehingga banyak fungsi dari lembaga keluaraga tradisional tidak dilakukan.

Sebagai contoh, lembaga perekonomian telah berfungsi sebagai institusi yang

bertanggung jawab terhadap produktifitas kerja, lembaga pendidikan berfungsi untuk

pewarisan nilai dan pengajaran, pemerintah memiliki fungsi untuk kesejahteraan dll.

Diambilalihnya fungsi-fungsi yang tadinya dilakukan keluarga tradisional, oleh lembaga

khusus menjadikan keluarga modern lebih produktif dibanding keluarga tradisional.

Setiap perubahan akan menimbulkan akibat. Sebagai contoh, sebagai akibat

diferensiasi struktural akan mengakibatkan persoalan baru, yang berhubungan dengan

masalah integrasi.Dihadapkan pada masalah ini, smelser menyarankan untuk membentuk

semacam lembaga khusus yang menjembatani dan mengkoordinasikan kegiatan dan

kebutuhan masyarakat yang telah terdiferensiasi. Misalnya, lembaga semacam Depnaker

yang akan menghubungkan para pencari kerja dengan lembaga ekonomi (dunia kerja)

baik swasta maupun negeri.

Bahwa masalah integrasi bukan masalah sederhana, diakui Smelser karena terdapat

beberapa variable yang saling mempengaruhi. Misalnya, konflik nilai antara lembaga

penghubung dengan pencari kerja yang masing memiliki orientasi kepada nilai warisan

bawaan, akan berbenturan dengan lembaga penghubung yang menganut netralitas dan

prestasi. Kondisi ini akan menimbulkan angka pengangguran yang berikutnya akan

menimbulkan akibat-akibat lain yang lebih rumit.

Memang masalah integrasi tidak akan dapat diatasi secara total, sebab terdapatnya

ketidaseimbangan antara perkembanngan pembangunan dan kelembagaan

kemasyarakatan yang diperlukan. Jika dibiarkan, menurut Smelser, kondisi ini akan

menimbulkan kerusuhan sosial. Berbagai kekacauan bisa terjadi, seperti agitasi politik

damai sampai kekerasan di dalam kerusuhan.

Dapat dicontohkan, efek samping modernisasi di Negara Dunia ketiga dalam

pembangunan masyarakat desa akan memunculkan petani miskin lahan yang tersisihkan

sebagai akibat cepatnya perubahan dan mobilitas vertikal. Kita semua tau, bahwa

kemiskinan merupakan ladang yang subur untuk komunisme. Menyimak analisis Smelser,

14

memperlihatkan sebuah kerangka teori yang dibangun sebagai upaya mengamati proses

modernisasi di negara Dunia ketiga berikut beberapa efek samping dan alternatif

pemecahannya, atau untuk mengurangi dan menekan efek perubahan yang negatif.

2. Tahapan Pertumbuhan Ekonomi dari Rostow

Dalam karya klasiknya yang berjudul The Stages of Economic Growth, W.W. Rostow

menyatakan terdapat 5 tahapan pembangunan ekonomi, yakni :

a. Masyarakat Tradisional

b. Prakondisi tinggal landas

c. Tahapan tinggal landas

d. Kematangan pertumbuhan

e. Konsumsi massa tinggi

Analisis Rostow terhadap pembangunan ekonomi di Dunia ketiga diawali dengan

identifikasi terhadap kondisi masyarakat tradisional yang dipandang hanya sedikit

mengalami perubahan sosial atau bahkan sama sekali mandeg. Perlahan-

lahan,mengalami perubahan dengan mulai tumbuhnya para usahawan, perluasan pasar,

dan pembangunan industri. Ini artinya memasuki tahap prakondisi, sebagai tahap untuk

memasuki lepas landas. Seiring dengan itu, kesejahteraan dan kesehatan meningkat

sehingga tingkat kematian menjadi kecil . Keadaan ini tidak mendukung ke arah

momentum mempertahankan dan pencapaian pertumbuhan ekonomi yang otonom dan

berkelanjutan (self-sustained economic growth), karena beban jumlah penduduk yang

banyak malah menyerap habis surplus pendapatan ekonomi. Untuk itu, Rostow

menyarankan agar Negara Dunia ketiga memiliki struktur ekonomi tertentu, yakni

mampu memobilisasi seluruh kemampuan modal dan sumber daya alamnya sehingga

mampu mencapai tingkat investasi produktif sampai sebesar 10 % dari pendapatan

nasionalnya. Jika tidak, maka pertumbuhan penduduk tidak akan dapat diimbangi.

Tetapi menjadi sebuah pertanyaan bagi negara Dunia Ketiga, tentang perolehan

sumber daya investasi. Rostow menyarankan beberapa hal. Pertama, pemindahan

sumber dana secara radikal, atau melalui kebijakan pungutan pajak seperti yang

15

dilakukan Jepang pada jaman Meiji. Di Rusia, terjadi penyitaan hak atas tanah dari tuan

tanah, sehingga terjadi pemindahan investasi ke perkotaan. Kedua, dana investasi yang

berasal dari lembaga keuangan seperti perbankan, pasar uang dan modal atau obligasi

pemerintah yang dibuat untuk memindahkan dana nasional yang terpendam untuk

kegiatan yang produktif.Ketiga, Perolehan dari perdagangan internasional. Pendapatan

devisa dari kegiatan ekspor bisa dipergunakan untuk membayar tenaga asing dan

teknologinya. Keempat. Dana investasi yang diperoleh dari investasi modal asing untuk

ditanamkan misalnya untuk pembangunan prasarana atau pembukaan tambang dan

sektor produktif lainnya.

Jika pertumbuhan ekonomi telah otonom, menurut Rostow akan terbuka

kesempatan kerja, meningkatnya pendapatan nasional, peningkatan kesempatan

konsumen dan terbentuknya pasar domestik yang tangguh. Ini adalah kondisi puncak

tahapan yang oleh Rostow disebut ‘masyarakat dengan konsumsi massa tinggi!’

Memperhatikan saran Rostow tentang perolehan dana investasi produktif, melalui

investasi langsung moda asing, sebagai faktor yang dijadikan alasan Amerika Serikat untuk

‘membantu’ Negara Dunia ketiga di dalam mencapai kondisi lepas landas, dengan cara

meminjamkan dana investasi dan mengirim ratusan bahkan ribuan para ahli, dengan alas

an untuk membangun prasarana dan sarana industri. Pinjaman ini tentu sarat dengan

prasarat yang diketahui pada akhirnya Negara Dunia ketiga tetap berada dalam kondisi

yang stagnan, dan malahan menjadi Negara yang penuh ketergantungan kepada Negara

pemberi pinjaman modal tersebut

3.Telaah Coleman Terhadap Pembangunan Politik di Dunia ketiga

Modernisasi politik menurut Coleman merujuk kepada diferensiasi struktur

politik dan sekularisasi budaya politik yang mengarah kepada ethos keadilan yang

bertujuan akhir ke arah penguatan kapasitas sistem politik. Pokok-pokok pikiran Coleman

paling tidak terdiri dari 3 hal yang terdiri dari :

a. Diferensiasi politik sebagai kecenderungan dominan sejarah perkembangan

sistem politik modern. Jika berhasil, diferensiasi politik akan dengan tegas

menghasilkan perbedaan antar fungsi masing-masing lembaga secara tegas, yang

akan mengakibatkan semakin kompleksnya struktur politik, sementara pada saat

16

bersamaan diferensiasi politik akan melahirkan situasi yang saling terkait dan saling

ketergantungan di antara lembaga tersebut secara sehat dan berkesinambungan.

Contoh pembedaan dan pemisahan tersebut ialah : norma-norma hukum yang

universal dengan agama, pemisahan antara fungsi administratif pemerintahan dan

persaingan kepemimpinan politik untuk mencapai kedudukan dan pemerintahan.

b. Prinsip kesamaan dan keadilan merupakan etos masyarakat modern. Misalnya,

prinsip keadilan dalam distribusi (bidang ekonomi), kemantapan dan meratanya

pelaksanaan norma-norma hukum universal di dalam kerangka hubungan politik

antara pemerintah dan rakyat. Proses keadilan dalam kesempatan memperoleh

promosi jabatan dalam administrasi dan politik yang berdasar pada prestasi.

Kemudian, prinsip keadilan dalam penumbuhkembangan angka partisipasi rakyat

dalam proses pengambilan keputusan politik atau keadilan dalam berpartisipasi.

c. Modernisasi harus dilihat sebagai usaha progresif dalam penguatan kapasitas

sistem politik. Contohnya, menguatnya kekuatan politik suatu

komunitas,menunjukkan semakin kuatnya agregasi kepentingan politik dan sebagai

tanda pelembagaan organisasi politik untuk menyalurkan tuntutan politik baru;

Contoh lainnya, terdapatnya kemantapan pelaksanaan keputusan politik dan daya

penetrasi pemerintah pusat yang kuat.

Sebagaimana Smelser, Coleman mengingatkan akibat yang ditimbulkan oleh upaya

diferensiasi ini. Diferensiasi politk memungkinkan terjadinnya ketegangan dan keter

pecahbelahan sistem politik, sehingga perlu kesiapan yang matang dalam menghadapi

masalah-masalah tersebut, manakala dunia ketiga akan melanjutkan proses

modernisasinya.

Berikut ini beberapa kemungkinan terjadinya dampak negatif dari proses

modernisasi dalam sistem politik menurut Coleman :

a.1. Krisis identitas nasional dalam masa perlaihan dari masyarakat primordial

menuju masyarakat modern,

a.2. Krisis legitimasi pemerintah pusat terhadap daerah-daerah.

17

a.3. Ketidakmampuan pemerintah pusat untuk melaksanakan secara efisien

keputusan politiknya ke seluruh pelosok.

a.5. Krisis rendahnya, yang disebabkan tidak adanya lembaga penghubung dan

penyalur suara rakyat terhadap pemerintah.

a.6. Krisis integrasi dan koordinasi berbagai kelompok politik dominan dan

a.7. Krisis ekonomi serta pemerataan hasilnya yang sesuai dengan keinginan

masyarakat.

Menyimak berbagai tesis dari ketiga ahli yang berbeda latar belakang disiplin ilmu

tersebut, dapat disimpulkan bahwa masing-masing disiplin memiliki kekhasan di dalam

mengidentifikasi masalah-masalah pokok modernisasi dan dalam memberikan jalan ke

luarnya. Sosiolog menitikberatkan pada diferensiasi struktural, ekonom memberikan

tekanan pada pentingnya investasi produktif. Sedangkan ahli politik memperhatikan

kebutuhan penguatan pada kapasitas sistem politik.

Telah diungkapkan bahwa teori modernisasi dibentuk secara historis oleh dua teori

yaitu teori Evolusi dan Struktur fungsional. Sehubungan dengan itu,dalam implikasinya

terhadap pembangunan, kedua teori tersebut telah memberikan ciri-ciri teori modernisasi

berikut :

1. Memiliki gerakan yang searah dan linear.

2. Menuju kepada proses homogenisasi.

3. Kecenderungan ke arah proses Eropanisasi atau Amerikanisasi (Barat).

4. Proses yang tidak beregerak mundur (regresif).

5. Bergerak maju (progresif).

6. Memerlukan waktu yang panjang (lama).

Di samping itu, kedua teori tersebut memperlihatkan hal berikut di dalam pengkajian

pembangunan, yakni :

Cenderung mengkaji persoalan Dunia ketiga secara abstrak dan bertendensi untuk

mengambil kesimpulan-kesimpulan umum dalam pola (model) yang dibakukan. Sementara

itu, faktor kesejarahan Negara setempat diabaikan. Sebagai sebuah kekuatan yang bukan

hanya sebat as akademis, teori modernisasi dirumuskan dalam konteks sejarah perubahan

18

kekuatan kepemimpinan dan kekuatan dunia setelah Amerika serikat mengambil alih

kekuatan pasca PD II. Oleh karena itu, dengan menggunakan unit analisis batasan sebuah

Negara, teori modernisasi memberikan rumusan kebijakan pembangunan dengan

implikasinya sebagai berikut :

1. Secara implisit membantu pembenaran hubungan kekuatan yang bertolak-belakang

antara masyarakat tradisional dan modern. Amerika dan Negara-negara Eropa Barat

mewakili Negara-negara modern (maju), sedangkan Negara-negara Dunia ke-3 sebagai

Negara dalam kelompok tradisional (Negara terbelakang). Oleh karena itu, Negara-

negara Dunia ketiga perlu menjadikan Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat

Sebagai panutan dan model di dalam melakukan proses pembangunan negaranya.

2. Komunisme dipandang teori modernisasi sebagai ancaman terhadap pembangunan

Negara Dunia ketiga, dan disarankan selain harus meninggalkan nilai-nilai tradisional,

juga harus melembagakan demokrasi politik.

3. Teori Modernisasi memberikan legitimasi terhadap perlunya bantuan asing, sebagai

pemenuhan investasi produktif untuk membangun negaranya. Untuk pengenalan nilai-

nilai modern, maka amerika Serikat dan Negara maju lainnya berbondong-bondong

memberikan ‘bantuan’ tersebut berupa pinjaman dana dan tenaga ahli, bahkan mesin-

mesin produksi.

Sebelumnya telah diungkapkan 3 pemikiran dari Smelser, Rostow dan Coleman

tentang teori modernisasi ditinjau ari 3 disiplin ilmu (sosiologi, ekonomi dan politik).

Kajian- kajian dari beragam ahli disiplin Ilmu sosial yang lainpun ikut memperkaya

khasanah pengetahuan dan keilmuan serta implikasi dari teori modernisasi. Kajian yang

berupa penelitian tersebut dimaksudkan untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan-

pertanyaan yang berkenaan dengan faktor-faktor yang bertanggung jawab terhadap

modernisasi di Negara Dunia Ketiga serta dampak dari modernisasi tersebut.

Penelitian yang dimaksudkan di antaranya dicontohkan thesisnya David McClelland

yang menghubungkan antara kebutuhan berprestasi (need for achievement) dengan

pembangunan ekonomi. Menurut McClelland, yang bertanggung jawab terhadap proses

modernisasi Negara-negara berkembang adalah kaum wiraswastawan domestik,

bukanlah para politikus atau para penasihat ahli dari Negara maju. Implikasinya, bahwa

19

para penentu kebijakan jangan membatas investasi hanya untuk pembangunan

prasarana dan sarana ekonomi, tetapi juga harus melakukan investasi pada

pengembangan sumber daya manusia. Sehubungan dengan motivasi berprestasi,

Herman Soewardi mengatakan bahwa bangsa Indonesia memiliki karsa yang lemah.

Sementara itu, Robert N. Bellah melihat adanya peranan agama Tokugawa pada

pembangunan ekonomi Jepang. Lipset mengkaji tentang kemungkinan pembangunan

ekononomi terhadap proses demokratisasi di Negara Dunia Ketiga. Kemudian, Inkeles

melihat akibat modernisaasi terhadap perilaku seseorang. Berikut ini adalah ciri-ciri

manusia modern menurut Inkeles :

1. Terbuka terhadap pengalaman baru.

2. Memiliki sikap yang independen terhadap otoritas tradisional, seperti kepada orang

tua,kepala suku (etnis) dan raja.

3. Percaya kepada ilmu pengetahuan dan keyakinan dapat menguasai alam.

4. Memiliki orientasi mobilitas, ambisi hidup yang tinggi, dan memiliki keinginan untuk

memperoleh jenjang pekerjaan.

5. Memiliki rencana jangka panjang.

6. Aktif dalam arena politik, melibatkan diri dalam organisasi kekeluargaan dan urusan

masyarakat lokal.

a. Kritik Terhadap Teori Modernisasi Klasik

Bagi kelompok yang bersebrangan dengan pendukung teori modernisasi, seperti

pendukung Neo-Marxisme, melihat bahwa para pengusung teori modernisasi sebenarnya

merupakan upaya Amerika dan negara Barat di dalam melakukan upaya ke arah

Neokolonialisme yang dikemas secara ilmiah. Perhatian teori modernisasi pada hal-hal

internal yang lebih melihat negara Dunia Ketiga dari sisi internal (nilai tradisional,

kurangnya investasi produktif dll), sehingga mengabaikan unsur eksternal seperti

ketidakseimbangan nilai tukar, perusahaan mulinasional, fenomena neokolonialisme.

Pada saat ini, budaya Barat sangat mendominasi Negara Dunia Ketiga.

20

B. Teori Modernisasi Baru

Akhir tahun 1970-an, perdebatan antara berbagai perspektif pokok pembangunan

mulai mereda. Pada saat ini muncul pandangan dari pengusung teori modernisasi Baru

yang merupakan revisi terhadap berbagai asumsi dasar teori modernisasi klasik. Hasil

kajian baru teori modernisasi tersebut telah menemukan beberapa wilayah kajian yang

baru pula. Perbedaan utama dari teori Modernisasi Klasik adalah terletak pada hal-hal

berikut :

1. Pada teori Modernisasi Baru, aspek yang berkenaan dengan tradisi tidak

dipandang sebagai penghambat pembangunan. Malahan dipandang sebagai

faktor positif. Sehingga tidak mempertentangkan dengan tajam antara nilai-

nilai tradisional dan modern.

2. Tidak lagi menjadikan Negara-negara Barat sebagai satu-satunya model dan

arah pembangunan. Hal ini disebabkan secara metodologis lebih

memperhatikan hal-hal yang nyata dibanding sebelumnya yang lebih abstrak

dan tipologis. Faktor kesejarahan sangat dipertimbangkan di dalam

menjelaskan pola perkembangan Negara tertentu.

3. Lebih memperhatikan faktor internasional yang dianggap mempengaruhi

pembangunan di Dunia Ketiga, di samping lebih memperhatikan faktor konflik

kelas, dominasi ideologi dan peranan agama.

Perbedaan paradigma tersebut dapat dilihat dari beberapa penelitian yang antara

lain dilakukan oleh Wong yang mengkaji tentang kekuatan yang luarbiasa dari nilai-nilai

tradisional China terhadap kewiraswastaan, yang akan berimplikasi terhadap pembangunan

ekonomi. Wong menguji dengan cermat tentang pengaruh pranata keluarga terhadap

berbagai organisasi badan usaha milik etnis China di Hongkong. Faktor yang diamati adalah

tentang ideologi dan praktek manajamen paternalistik, tenaga kerja keluarga, dan

pemilikan keluarga. Di dalam teori modernisasi klasik, nilai-nilai tradisional China diakui

sangat dahsyat dan menimbulkan nepotisme, merendahkan disiplin kerja, menghalangi

proses seleksi tenaga kerja di pasar bebas, mengurangi insentif individual untuk investasi,

21

menghalangi proses tumbuhnya berpikir rasional dan merintangi tumbuhnya norma-norma

bisnis universal.

Dalam penelitian Wong, thesis tentang nilai-nilai tradisional yang kontra produktif

terhadap upaya pembangunan ekonomi tersebut berhasil dijawab dengan sebuah bukti riil,

justru metafora pranata keluarga telah cukup memberikan alasan untuk legalitas

hubungan antara patron (tuan/pemilik) dengan Klien (pekerja). Secara ekonomis, hubungan

paternalisme yang penuh dengan kebajikan itu telah membantu para usahawan untuk

menarik dan mempertahankan tenaga kerja yang ada di dalam industri yang sangat

fluktuatif. Secara politis, jika para pekerja merasa tidak puas terhadap kebijakan

pengusaha, maka tidak aka nada perlawanan secara kelompok, seperti melalui demo.

Tetapi lebih diekspresikan secara pribadi. Misalnya, dengan cara mangkir dari tempat kerja

atau mengundurkan diri.

Nepotisme, bagi Wong dalam penelitiannya memperlihatkan sisi positif. Melalui

nepotisme, berbagai badan usaha di Hongkong berhasil mempertahankan eksistensinya.

Melalui sistem penggajian dan pembagian kerja, serta lama bekerja yang fleksibel, dan

pengusaha dapat memiliki kekuatan dan posisi yang kuat di dalam persaingan antar

perusahaan. Karena , di saat perusahaan mengalami masa kritis, para pekerja yang cakap,

terdiri dari sanak keluarga bisa dibayar murah atau ditunda bayarannya. Ketika posisi

perusahaan menjadi lebih baik bahkan tumbuh kembang ke arah yang bagus, maka

perusahaan membayar hutang mereka kepada para pekerja dan mencoba lebih

mensejahterakannya. Jika ada anggota keluarga menduduki posisi manejerial, usahawan

etnis Cina tersebut akan memberikan dan mencukupi segala kebutuhannya, dan

melengkapinya dengan pendidikan formal sekaligus kesempatan untuk magang. Oleh

karena itu, menurut Wong, tenaga menejer keluarga sangat jarang memiliki standar mutu

yang rendah.

Untuk segi investasi, wong menemukan bahwa pada tahun 1978, permodalan

perusahaan kecil dimiliki oleh individual atau keluarga mereka dalam kisaran 60%. Model

pemilikan keluarga ini sangat membantu keberhasilan usaha etnis Cina dI

Hongkong. Di samping itu, tingginya tingkat kepercayaan terhadap antar anggota keluarga,

kemudahan mencapai konsensus, kemampuan menutupi rahasia dan pengambilan

keputusan yang sangat cepat membuat perusahaan keluarga memiliki daya saing yang kuat.

22

Oleh karena itu, berdasar temuannya tersebut, Wong menyebutkan tiga

karakteristik pokok dari etos usaha keluarga. Pertama, konsentrasi yang sangat tinggi dalam

dalam proses pengambilan keputusan, kendati dalam saat yang sama terdapat rendahnya

derajat usaha untuk memmformalkan struktur organisasi. Kedua, Otonomi dihargai sangat

tinggi dan lebih menyukai bekerja secara mandiri dalam bentuk hubungan kerja yang

paternalistik, pengawasan yang ketat dengan delegasi wewenang yang sekecil mungkin.

Sejalan dengan pendapat Wong, Dove mengatakan bahwa unsur tradisional sangat

terkait dengan proses perubahan ekonomi, sosial dan politik. Sehingga,bagi Dove nilai-nilai

tradisional tidak identik dengan keterbelakangan dan sebagai penghambat kemajuan sosial

ekonomi, malahan dalam konteks tertentu, budaya tradisional dipandang memberikan

kontribusi terhadap proses pembangunan.

Melalui kajian antropologis, Dove dan kawan-kawan mencoba melihat interaksi

antara kebijakan pembangunan nasional Indonesia dengan berbagai budaya lokal yang ada

di Indonesia. Oleh karena itu, sangat tidak beralasan jika terdapat upaya ke arah devaluasi,

depresiasi bahkan pengeliminasian terhadap budaya lokal, yang ironisnya banyak

dilakukan oleh para ilmuwan Sosial lokal. Di samping itu, terdapat fenomena di mana para

peneliti sosial lokal kerap dihadapkan pada kondisi lapangan yang membuat mereka tidak

dapat melakukan penelitian secara akurat. Hambatan dari iklim penelitian dari para

birokrat telah melahirkan hasil-hasil penelitian ‘pesanan’ atau sebaliknya, sama sekali tidak

dapat langsung mengamati objek penelitian.

Menurut Dove dkk. ‘agama-agama’ kecil yang dipandang inferior dibanding agama-

agama superior sebenarnya secara empiris telah memiliki ajaran yang cukup memadai

tentang tradisi, adat, dan ilmu pengetahuan (Contoh kepercayaan tradisional di Wana

Sulawesi Tengah dan Samin di Jawa Tengah). Bahkan, untuk penganut Samin, agama

mereka dalam hal ilmu pengetahuan memiliki keunggulan dalam pengetahuan tentang

pengobatan dan penyakit.

Dalam hal mata pencaharian (ekonomi), sistem berladang yang berpindah-pindah

seperti petani di Bima (Sumbawa) atau Punan di Kalimantan, menurut peneliti justru

sangat mendukung terhadap upaya-upaya pelestarian lingkungan hidup. Ketika para

pendukung budaya local tersebut dihadapkan pada nilai-nilai modern, sesungguhnya

23

mereka tidak serta-merta meninggalkan budaya nenek moyangnya. Oleh karena itu,

perubahan sosial yang terjadi karena faktor eksternal tidak secara keseluruhan mengubah

faktor internal (budaya lokal) mereka. Sementara itu, Davis berpendapat bahwa agama

rakyat dan agama lainnya akan dapat tetap hidup berdampingan (damai dan konflik)

dengan pranata ekonomi dan sosial modern, dan atau mungkin juga terus bekerja sama

dengan pranata masyarakat modern, baik untuk kepentingan masing-masing atau untuk

kepentingan keduanya.

Pada tahun 1960-an, Lipset mengungkapkan bahwa terdapat keterkaitan positif

antara pembangunan ekonomi dan demokrasi. Diasumsikan, bahwa semakin maju sebuah

negara secara ekonomis, semakin besar peluang yang dimilikinya untuk menegakkan

tatanan politik yang demokratis. Namun, tahun 1970-an, banyak pemerintahan yang

demokratis tumbang membuat para penganut teori modernisasi merasa pesimis terhadap

masa depan demokrasi politik di Dunia Ketiga. Tetapi, pada tahun 1980-an, ketika

pembangunan demokrasi di Dunia Ketiga, bangkit lagi, terdapat kecenderungan untuk

mengkaji masa transisi bangkitnya pembangunan demokrasi.

Akhirnya, dapat disimpulkan Modernisasi Baru dalam koreksinya terhadap Teori

Modernisasi Klasik adalah bahwa pentingnya kembali kepada peran-peran nilai

tradisional dan kembali kepada analisis sejarah. Melalui analisis sejarah, akan lebih

memberikan perhatian kepada keunikan dari setiap kasus untuk menjelaskan dan

mendukung keabsahan teori. Kemudian, menghindari penyajian analisa dan pernyataan

yang simplisistik, dan hanya mengandalkan analisa pada satu variable. Tetapi harus

mengamati keseluruhan fenomena secara simultan, dari berbagai pranata sosial (sosial,

budaya, agama dan politik), berbagai arah pembangunan, serta interaksi internal dan

eksternal.

C.Teori Dependensi Klasik

Teori dependensi muncul untuk pertama kali di Amerika Latin. Teori ini berbeda

dengan teori modernisasi yang melihat permasalahan pembangunan dari sudut

kepentingan Amerika Serikat. Teori ini menyatakan bahwa keterbelakangan Dunia Ketiga

sebagai fokus perhatian. Sehingga, teori ini lebih dipandang sebagai teori yang lebih

berpihak kepada suara Negara Dunia Ketiga.

24

Teori ini dilatarbelakangi oleh kegagalan program KEPPBAL (Komisi Ekonomi

Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Amerika Latin/United Nation Economic Commission for

Latin America/ECCLA), dalam menerapkan proses industrialisasi melalui program

Industrialisasi Substitusi Import (ISI). Melalui program ini diharapkan dapat memberikan

keberhasilan pembangunan yang berkelanjutan untuk pertumbuhan ekonomi, sekaligus

pemerataan pembangunan hasil pembangunan dan peningkatan kesejahteraan rakyat,

yang diharapkan dapat memberikan daya dorong terhadap pembangunan politik yang

demokratis.

Peristiwa kritisnya teori Marxis Ortodox di Amerika Latin, yang tidak lagi meyakini

bahwa tahapan revolusi ‘borjuis’ diawali oleh revolusi sosialis ‘proletar’. Peristiwa di Cina

dan Kuba (1949 dan 1950-an) membuktikan bahwa revolusi bisa terjadi tanpa harus

melalui tahapan-tahapan tersebut. Oleh karena itu, negara-negara di Amerika Latin dapat

langsung menuju ke Revolusi sosialis.Teori ini dengan cepat menyebar ke belahan Amerika

Utara pada akhir tahun 1960-an yang dipopulerkan oleh Andre Gunder Frank melalui

tulisannya di Monthly Review.

Menurut perspektif dependensi, pemerintah kolonial didirikan dengan tujuan

untuk menjaga stabilitas negara jajahan, sehingga kelancaran pengambilan bahan mentah

ke negara mereka terjamin lancar, begitu juga dalam hal pengiriman barang-barang yang

diproduksi negara kolonial ke negara pinggiran (Negara Dunia Ketiga) tidak terdapat

hambatan.Sebagai negara metropolis, dunia Barat (Eropa dan Amerika), memposisikan

negara Dunia Ketiga sebagai negara pinggiran (satelit) yang memiliki ketergantungan

kepada mereka. Oleh karena itu, tidak pernah mereka memiliki tujuan untuk membangun

negara pinggiran.

Di dalam prakteknya, pemerintah kolonial kerap kali melakukan kekerasan untuk

menciptakan situasi kondusif negara jajahan, bahkan sejarah mencatat bagaimana

Spanyol memusnahkan penduduk Aztecs di Amerika Latin, eksploitasi kasar para pemodal

Inggris di India dan deindustrialisasi negara ini, dengan mengangkut bahan mentah (katun),

membanjiri India dengan barang-barang produksi Inggris, aturan tarif impor,

menghancurkan sektor agraria dll.

25

Menurut Paul Baran, kebijaksanaan ekonomi pemerintah kolonial Inggris di India

membuat segala pranata ekonomi India runtuh yang mengakibatkan hancurnya seluruh

pranata sosial negara tersebut.Di dalam teori depensi Klasik, Kolonialisme dinyatakan

sebagai variable utama di dalam membentuk keterbelakangan negara-negara jajahan. Atas

dasar pokok perhatian pada keterbelakangan dan ketergantungan Negara Dunia Ketiga

inilah yang membedakan teori Dependensi Klasik dengan teori modernisasi yang pada

hakekatnya merupakan bentuk dari neokolonialisme di Negara Dunia Ketiga, termasuk di

Asia Timur.

a. Tumbuhnya Imperialisme di Asia Timur

Lansberg menganalisis bahwa pembangunan di Negara Dunia Ketiga tidak

berhasil oleh upaya yang oleh Dunia Barat diklaim sebagai pendamping atau

penolong. Karena banyaknya faktor yang berkenaan dengan hal-hal berikut :

1. Lemahnya dasar-dasar pengembangan industri, dan adanya paksaan terhadap

Negara Dunia Ketiga untuk mebelanjakan devisa yang besar untuk mengimpor

barang konsumsi.

2. Devisa yang dibelanjakan tersebut diambil dari penjualan ekspor produk primer

seperti gula, teh, kopi, karet ,rotan, coklat dll yang sangat rentan terhadap

flutuasi harga pasar dengan kendali harga dari negara-negara maju.

3. Defisit dari devisa membuat negara dunia Ketiga dalam mengumpulkan devisa

membuat negara pinggiran tersebut terjebak hutang luar negeri yang membuat

mudahnya dominasi asing di dalam negaranya.

Oleh karena itu, kebijakan orientasi ekspor (IOE) di Korea, Taiwan, Singapura,

dan Hongkong diidentifikasi Lansberg menjadikan negara-negara di kawasan Asia

Timur ini berada dalam posisi negara yang industri yang tergantung, untuk

menyebut kata lain dari industri yang tidak mandiri. Menurut Lansberg, kendati IOE

‘membantu’ tumbuhnya industri dan ketersediaan lapangan kerja di negara-negara

Dunia Ketiga, tetapi strategi IOE tidak menumbuhkan terjadinya akumulasi modal

pembangunan ekonomi yang mandiri dan tangguh. Kondisi ini mendorong agar

kebijakan ISI (Industri Substitusi Import) Negara Dunia Ketiga dapat melepaskan

diri dari ketergantungan terhadap ekspor primer.Melalui ISI juga diharapkan agar

26

negara-negara berkembang tidak mengimport lagi barang-barang konsumsi, karena

kebijakan ISI akan menjamin ketersediaan barang-barang jenis ini di samping akan

mempercepat pertumbuhan industri dalam negeri.

Namun demikian, pada awal 1960-an, kebijakan ISi dipandang mengalami

kegagalan yang menurut Lansberg disebabkan karena :

1. Kondisi penduduk Negara Dunia Ketiga masih miskin, membuat sempitnya

pasar domestik. Berkembang produk dalam negeri hanya diserap sebagian

kecil penduduk kota yang lebih menyerap produk barang mewah dan barang

konsumsi tahan lama.

2. Borjuis domestik tidak cukup memiliki modal dan teknologi untuk memulai

proses industrialisasi yang direncanakan.Akibatnya, bergantung pada pemodal

asing, yang menimbulkan dominasi asing.

3. Pengurangan atau penghentian terhadap barang konsumsi import disertai

dengan besarnya modal asing dan teknologi yang harus dibayar dengan devisa.

Oleh karena itu, terdapat ketidakseimbangan dalam neraca perdagangan yang

lebih memperlihatkan surplus untuk negara maju.

b. Analisis Ketergantungan dalam Pembangunan Sosial ekonomi Indonesia

Analisis pembangunan sosial-ekonomi dengan menggunakan teori ketergantungan

dilakukan oleh Sritua Arief dan Adi Sasono pada thun 1980-an. Kajian dimulai dengan

analisis sejarah yang mengamati warisan Kolonial Belanda, yakni bangunan struktural

sejak dilakukannya tanam paksa. Tumbuh suburnya kemiskinan dan keterbelakangan di

Indonesia diwariskan dari sistem ini. Pendapatan eksport Belanda yang besar diperoleh

melalui tanam paksa. Pada saat ini terjadi pengalihan surplus ekonomi Indonesia ke

Belanda dalam jumlah sangat besar. Di samping itu, tanam paksa telah membantu

memperbanyak ‘kaum proletariat desa’, sementara petani yang berkecukupan semakin

sedikit.

Dalam pelaksanaan sistem tanam paksa telah terjadi kerjasama antara pemerintah

kolonial Belanda dengan kaum feodal lokal. Kaum feodal (aritrokrat) memperoleh

keuntungan walaupun masih sangat jauh lebih kecil dengan yang diterima kaum

kolonial. Sayangnya, kajian kesejarahan ini meloncat langsung pada fase kemerdekaan,

yakni sekitar 1966 sd 1970-an. Sehingga pada jaman kolonial Jepang bahkan pada

27

jaman Orde Lama (Pemerintahan Soekarno), tidak terdapat analilis pembangunan

sosial-ekonomi.

Analisis kedua peneliti terhadap pembangunan Orde Baru pada periode tahun 1970

sd 1976-an adalah sebagai berikut :

1. Jurang pemisah antara si kaya dan si miskin semakin lebar. Rakyat miskin terutama

di pedesaan tidak menikmati pertumbuhan ekonomi, Industri kecil di pedesaan

hancur, peluang pekerjaan di sektor pertanian yang berkurang tidak diimbangi oleh

kesempatan bekerja di perkotaan.

2. Tingkat pengangguran yang tinggi dengan percepatan yang tinggi juga. Teknologi

padat modal tidak seimbang dalam menyerap tenaga kerja, sementara sektor

pertanian semakin sempit dalam menampung tenaga kerja produktif.Tenaga kerja

yang tidak memiliki pilihan akhirnya lebih memilih bekerja pada sektor jasa.

3. Industrialisasi di Indonesia tergolong kepada industrialisasi ekstraversi. ISI memiliki

ketergantungan yang sangat tinggi terhadap modal dan teknologi asing. Sehingga

nyatalah ketergantungan negara kita kepada negara asing.

4. Kondisi pada point c. menyebabkan bangsa kita memiliki ketergantungan keuangan

dari luar negeri. Pinjaman ataupun investasi dari luar digunakan untuk membiayai

resources gap atau foreign exchange gap, yaitu membiayai surplus import dalam

perkiraan neraca pembayaran yang sedang berjalan.

5. Sekalipun Indonesia pada tahun 1985 an menacapai swasembada pangan, tetapi

analisis pembangunan sosial-ekonomi dengan menggunakan teori ketergantungan

telah memperlihatkan bahwa situasi ketergantungan dan keterbelakangan di

Indonesia telah mewujud sebagai negara bekas jajahan dan sebuah negara dengan

banyak unsur yang tidak egalitarian.

Uraian tersebut di atas menunjukkan bahwa ketergantungan pembangunan berasal

dari luar, sehingga sulit dijangkau dan dikendalikan oleh negara yang bergantung serta

mengakibatkan keterbelakangan pembangunan ekonomi. Secara tegas dan rinci, teori

dependensi menguraikan akibat buruk dari kolonialisme dan pembagian kerja

internasional. Ketidakseimbangan hubungan internasional akan mengakibatkan

ketergantungan dan keterbelakangan Dunia Ketiga tidak terselesaikan. Oleh karena itu,

untuk mengatasi permasalahan ini, teori dependensi mengajukan usul yang radikal :

melakukan revolusi sosialis!

28

Teori dependensi kemunculannya didorong juga sebagai upaya mengkritisi para

pendukung teori modernisasi dan pengusung kebijakan modernisasi, yang dianggap

sebagai pembenaran ilmiah terhadap ideologi Barat dalam mengeksploitasi negara

Dunia Ketiga. Para pendukung teori modernisasi menjawabnya dengan keras, bahwa

pendukung teori dependensi sebenarnya bukan merupakan karya ilmiah, tetapi

propaganda politik yang mendukung ideologi revolusioner Marxisme.

Ketidakmampuan teori dependensi dalam bertarung pada ranah ilmiah membuat

mereka lari ke hal-hal yang bersifat retorika.

Kritik lainnya terhadap teori dependensi dari pendukung teori modernisasi adalah

bahwa teori dependensi bersifat abstrak, analisis ketergantungan yang seragam, tidak

ada pendekatan sejarah yang membedakan keunikan tiap negara, sehingga tidak dapat

menunjukan faktor-faktor yang khas dari arah pembangunan dari negara yang berbeda.

Situasi ketergantungan dilihat sebagai fenomena global (faktor eksternal), sehingga

mengabaikan hal-hal yang bersifat nasional (faktor internal).Kemudian, tidak semua

negara-negara yang bergantung menjadi terbelakang. Contohnya Korea Selatan yang

bergantung kepada Jepang, mencapai pembangunan ekonominya pada pasca PD II,

begitu juga yang terjadi di Kanada.

D. Teori Dependensi Baru

Dalam menjawab kritik terhadap teori dependensi, para pendukung teori tersebut

mengemukakan beberapa tesis sebagai hasil telaah, yang kemudian dikenal dengan teori

Dependensi Baru. Jawaban tersebut disajikan berturut-turut mulai dari tanggapan dari

Cardoso, Penellitian Gold, Studi Koo, dan penelitian Mohtar Mas’oed.

1. Tanggapan Cardoso

a. Cardoso menyebutnya sebagai metode historis structural, karena menggunakan

analisis sejarah dalam ilmu-ilmu sosial. Istilah ketergantungan digunakan Cardoso

sebagai alat analisis untuk menjelaskan situasi konkrit di Dunia Ketiga. Berbeda

dengan dependensi klasik yang menganggap keterbelakangan sebagai analisis yang

selalu digunakan untuk menjelaskan semua keterbelakangan di Dunia Ketiga.

b. Cardoso member perhatian yang cukup terhadap faktor internal (nasional) di

samping faktor eksternal (global). Dalam Dependensi klasik hanya fokus pada faktor

29

eksternal (bahwa semua keterbelakangan dan ketergantungan berasal dari

luar/kolonoalis).Tesisnya, bahwa kekuatan eksternal akan mewujud menjadi

kekuatan internal melalui perilaku sosial dan kelas sosial yang dominan yang akan

memaksakan ketercapaian tujuan dan dominasi asing.

c. Cardoso melihat situasi ketergantungan sebagai proses yang memiliki berbagai

kemungkinan akhir yang terbuka. Sementara, teori dependensi klasik menekankan

kepastian ketergantungan struktural. Oleh karena itu, Cardoso masih melihat

dengan jelas bahwa Negara Dunia Ketiga masih memiliki peluang untuk apa yang

dia sebut sebagai situasi pembangunan yang bergantung (associated-dependen

depelovment). Oleh karena itu, sekaligus untuk menjawab situasi yang terjadi di

Korea Selatan dan Kanada, bahkan di negara-negara Asia lainnya yang kemudian

mencapai pembangunan ekonominya dengan melepaskan diri dari ketergantungan

yang dominan dari negara metropolis, seperti Cina, Hongkong, Malaysia,Taiwan

dan yang paling mutakhir adalah Vietnam!

Tentang penggunaan modal asing, bagi negara-negara yang bergantung, menurut

Cardoso bahwa dalam batas-batas tertentu, bersesuaian dengan kemakmuran negara-

negara pinggiran. Dalam arti, perusahaan multinasional (investor asing) diasumsikan

membantu proses pembangunan negara-negara pinggiran.Hal ini dilihat dari aspek bahwa

perusahaan multi nasional lebih berorientasi kepada usaha produksi dan penjualan

barang-barang produksi untuk kepentingan domestik. Kendati demikian, Cardoso tidak

setuju terhadap tesis teori modernisasi, bahwa kondisi ini akan membawa Negara Dunia

Ketiga pada proses kemandirian, karena ongkos sosialnya dan biaya pembangunan terlalu

tinggi. Di samping itu, Cardoso mencoba mengaitkan antara dinamika politik di negara

bergantung melalui penelitiannya di Brazilia. Menurutnya, terdapat 3 macam kekuatan

politik : negara birokratis- teknokratis militer , perubahan multi nasional dan borjuis lokal.

2. Penelitian Gold

Gold meneliti Taiwan menggunakan konsep dependensi dengan menguji dan

menjelaskan pertumbuhan ekonomi dan kestabilan politik di Taiwan. Peneliti ini tidak

mengabaikan kondisi Taiwan yg pada awalnaya adalah negara pinggiran, yang

kemudian dinyatakan sebagai sebuah ‘keajaiban’ dalam pembangunan politik dan

ekonomi di negara tersebut. Meskipun pola pendekatannya mengadopsi pemikiran

30

Cardoso dalam metodologi pengkajian pembangunan di Amerika latin, tetapi peneliti

ini Menyatakan bahwa metodologi tersebut tidak harus terikat oleh wilayah geografis.

Gold pada awalnya melihat bahwa arah pembangunan Taiwan terdapat kemiripan

dengan Amerika latin seperti hasil penelitan Cardoso.Gold mengungkapkan tesis

tentang kondisi Taiwan sebagai sebuah negara yang bercirikan ketergantungan yang

dinamis. Hali ini mengingat bagaimana negara tersebut menilai kebutuhan dan

kemampuan masyarakatnya dan menghubungkannya dengan sistem ekonomi dunia

dengan cara tertentu yang telah mereka persiapkan, dan berhasil dengan baik

mencapai tujuan pembangunan ekonominya.

Strategi yang dilakukan Taiwan ialah dengan melakukan pendalaman industrialisasi

( deepening industrialization), yakni kebijaksanaan yang secara horizontal berusaha

untuk melakukan semua perbaikan semua aspek program industrialisasi untuk

mencapai efisiensi yang lebih tinggi, sementara itu, secara vertikal dilakukan integrasi

industri. Sejak 1978 sampai dengan 1981, negara menyusun Rencana Pembangunan

Enam Tahun.Penekanan berada pada pembangunan industri besar dan padat modal,

seperti industri petro kimia dan baja dan melakukan modernisasi pada pembangunan

Proyek 10 Besar.Pada tahun 1980-an, mereka mulai mementingkan pembangunan

industri strategis yang bersifat teknologi maju seperti industri komputer,

telekomunikasi dan robot. Kemudian mereka berkeinginan untuk membentuk zona

ekonomi yang padat teknologi maju dan industri informasi.

3. Studi Koo

Koo mencoba melihat pembangunan Korea Selatan dalam konteks terus

menerus antara negara, kelas sosial, dan sistem dunia. Pembahasannya ditujukan pada

pengaruh kumulatif dari ketiga faktor tersebut secara bersamaan.

a. Korea terintegrasi dalam tatanan ekonomi kapitalis dunia sejak invansi Jepang pada

akhir abad ke-19.Tahun 1910-1945 Korea menjadi jajahan Jepang. Sejak itu struktur

ekonominya tidak terlepaskan dari pembagian kerja regional yang mengacu kepada

kepentingan ekonomi Jepang. Integrasi Korea Selatan dalam sistem ekonomi dunia

dimulai dari integrasi politik, baru setelah itu secara perlahan-lahan terlibat

sepenuhnya dalam jaringan sistem ekonomi kapitalis dunia. Pada tahun 1950-an,

Korea mencapai integrasi dalam ekonomi. Keberhasilan Korea Selatan ini sulit

31

dimiliki oleh negara Dunia Ketiga lainnya. Menurut Koo, perubahan ekonomi Korea

terjadi karena melalui interaksi variable internal, yakni melalui struktur kelas sosial

dan negara.Hal ini disebabkan faktor berikut :

Kolonialisme Jepang memiliki pengaruh yang kuat terhadap struktur kelas di Korea

Selatan. Pengambilan surplus ekonomi Korea Selatan, Jepang menekankan pada

peranan birokrat negara dibanding dengan para pemilik modal. Dengan demikian,

pada masa kolonial ini, peran negara sangat kuat, sementara peran tuan tanah

melemah. Peran petani di desa semakin kuat setelah pembagian 70 % tanah yang

tersedia dibagikan terhadap para petani pedesaan sekitar tahun 1948 sampai

dengan 1959.Faktor inilah yang menjadikan pembangunan negara tersebut terjadi

dengan dinamis.

4. Penelitian Mas’oed

Dengan menggunakan konsep NBO yang dikembangkan oleh O’Donell dan

menggabungkannya dengan konsep korporetisme, Mas’oed mencoba menjawab

pertanyaan pokok sebagai berikut : pertama, Mengapa sistem politik otoriter lahir

kembali pada periode 1966-1971? Kedua, Apa karakteristik sistem politik yang

otoriter?

a. Lahirnya kembali politik otoriter di Indonesia pada periode ini menurut

Mas’oed disebabkan terjadinya krisis politik dan ekonomi pada pertengahan

tahun 1960-an. Struktur politik sebelumnya cenderung memberikan kekuasaan

yang berlebihan pada kekuasaan. Pada masa ini Orde Baru ingin dengan cepat

memperoleh legitimasi politiknya atas pengaruh penguasa (Soekarno)

sebelumnya, sementara itu, kondisi ekonomi negara hampir runtuh.

b. Koalisi intern Orde Baru memaksa untuk segera melaksanakan restrukturisasi

ekonomi secara radikal. Orde Baru lebih memilih untuk memberikan peluang

yang besar terhadap modal domestik dan internasional untuk terlibat dalam

pembangunan ekonomi yang ternyata harus dibayar dengan mahal.

c. Orientasi ekonomi ke luar (eksternal) yang dirumuskan Orde Baru pada akhir

1960-an sampai dengan 1970-an, telah mendesak pemerintah untuk

melaksanakan NBO (Negara Birokratik Militer), menjadikan bangunan politik

32

demokratis yang didengungkan sejak awal hanya harapan yang tidak realistik

kalau tidak ingin disebut sebagai khalayan.

Berbeda dengan O’ donnell, pendalaman industrialisasi di Indonesia, kebijaksanaan

vertikal di Indonesia belum terjadi. Oleh karena itu, untuk kasus Indonesia, faktor

krisis politik lebih bertanggung jawab terhadap lahirnya pemerintah yang otoriter

dari Orde Baru dibanding variable ekonomi. Hal ini berdasarkan pengamatan

bahwa : pemerintah Orde Baru hampir berada di bawah kendali militer secara

organisatoris yang bekerjasama dengan teknokrat sipil. Kemudian, modal swasta

yangb besar (para konglomerat) memiliki hubungan khusus dengan negara dan

modal internasional yang berperan ekonomis sangat besar. Di samping itu, hampir

seluruh kebijakan pembangunan yang dilahirkan, sejak proses perencanaan sampai

dengan evaluasi hampir sepenuhnya berada di tangan para birokrat dan para

teknokrat. Demobilisasi massa dilakukan pemerintah Orde baru secara terencana

dalam kebijaksanaan masa mengambang, dan melakukan politik represif pada

mereka yang dianggap menentang pemerintah. Satu hal yang menjadi ciri khas di

Indonesia adalah besarnya otonomi kantor kepresidenan, sehingga wewenang yang

begitu luas berada di Sekretariat Negara. Kondisi-kondisi ini menyebabkan Mas’oed

menyebutnya sebagai ‘super birokrasi’.

Secara keseluruhan, teori dependensi baru ini terlihat lebih dapat mengakomodasi

permasalahan pembangunan di Negara Dunia Ketiga dibanding teori Dependensi Klasik. Hal

ini dapat dilihat antara lain dengan lahirnya beberapa kategori ilmiah yang baru yang tidak

ada dalam teori sebelumnya, yakni tentang pembangunan yang bergantung, negara

Birokratik Otoriter, Aliansi Tiga Kelompok, dan Pembangunan yang Dinamis.

E. Teori sistem Dunia (Teori sistem Kapitalis Dunia)

Kelahiran teori sistem dunia dilatarbelakangi oleh situasi pertentangan di antara

pendukung teori modernisasi dan dependensi, yang lahir sebagai wawasan alternatif pada

tahun 1970-an. Tokohnya yang bernama Immanuel Wallerstein muncul dengan gagasan

baru yang radikal, dengan menunjuk bahwa banyak peristiwa sejarah yang di dalam

Tatanan Ekonomi Kapitalis Dunia (TEKD) tidak dapat dijelaskan oleh kedua perspektif

33

pembangunan yang telah mapan tersebut secara memuaskan, khususnya oleh teori

dependensi yang klasik maupun yang baru. Hal ini mengingat hal-hal berikut :

a. Negara-negara di Asia Timur (Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Hongkong, dan singapura)

terus mencapi pertumbuhan ekonomi tinggi. Sulit untuk mengaitkan bahwa ini sebagai

hasil kerja para imperialis, pembangunan yang bergantung, atau ketergantungan yang

dinamis, karena industri di kawasan ini secara nyata menjadi sebuah tantangan bagi

Amerika serikat.

b. Krisis di berbagai negara sosialis, yakni perpecahan Republik Rakyat China dan Uni

soviet. Kegagalan Revolusi Kebudayaan, stagnasi ekonomi di negara-negara sosialis,

perkembangan yang evolutif dan mulainya negara sosialis menerima investasi modal

asing yang kavitalistik. Fenomena tersebut menandai kegagalan Marxisme revolusioner

dan revolusi Marxisme.

c. Munculnya krisis di Amerika Serikat, Perang Vietnam, Krisis Watergate, embargo minyak

tahun 1975, inflasi ekonomi Amerika pada akhir 1070-an, kebijaksanaan perdagangan

dan investasi produktif, defisit anggaran belanja pemerintah, defisit neraca

pembayaran yang makin meluas pada tahun 1980-an menandai hancurnya hegemony

politik ekonomi Amerika.

Dari tiga teori pembangunan, hanya teori sistem dunia yang secara jelas

menggunakan dunia sebagai alat analisa. Dengan demikian, pendekatan ini akan dapat

menguji dinamika global yang sebelumnya tidak diperhatikan oleh teori dependensi dan

modernisasi. Dengan berdasar pada asumsi bahwa semua proses perekonomian terjadi

dalam kerangka sistem ekonomi- kapitalis dunia, Wallerstein berpendapat bahwa

pembangunan atau keterbelakangan dari suatu wilayah geografis tertentu tidak dapat

dianalisis tanpa meletakan wilayah geografis tersebut dalama konteks irama siklus dan

kecenderungan perputaran ekonomi dunia secara keseluruhan. Dengan kata lain perspektif

system dunia lebih memperhatikan dinamika global dunia di luar batas wilayah

kenegaraan. Dalam upayanya untuk menguji ulang dinamika global dunia, perspektif ini

memakai perangkat metode penelitian khas untuk mengamati siklus jangka panjang. Dalam

pelaksanaannya serta untuk mendapatkan hasil yang cermat dari dinamika jangka panjang

system ekonomi-kapitalis dunia, perspektif ini menuntut disediakannya satu perangkat data

baru.

34

Dalam setiap hasil penelitian teori sistem dunia telah dan akan selalu menggunakan

pendekatan analisa sejarah jangka panjang. Teori ini tidak mengamati gejala sosial untuk

untuk jangka waktu satu atau dua dekade, tetapi lebih memberikan keseluruhan

perhatiannya dalam menganalisa kecenderungan putaran dan siklus jangka panjang bola

dunia yang biasanya berlangsung lebih dari satu abad. Sebagai contoh, hasil karya Bergesen

dan Schoenberg telah menguji gelombang panjang kolonialisme yang mencakup daftar dan

jumlah negara yang dijajah, baik mulai maupun berakhirnya sebagai daerah jajahan yang

berkisar antara tahun 1415 sampai dengan 1969.

Teori sistem dunia telah memberikan sumbangan yang bermakna dalam

merumuskan agenda penelitian yang baru yakni untuk menguji gerak putar dunia.

Kemudian, teori ini juga menegaskan untuk selalu mengamati jangka panjang dari setiap

gejala sosial skala global. Dalam penelitiannya, wallerstein menguji bagaimana pasang surut

ekonomi kapitalis dunia pada abad ke 17 M bertanggung jawab terhadap tumbuh

kembangnya tiga wilayah politik ekonomi dunia, yang terdiri dari sentral, semi pinggiran

dan pinggiran, sejalan dengan Bergesen dan Schoenberg yang mengamati bagaimana

karakteristik sistem ekonomi dunia yang tercermin dalam penyebaran dan pemusatan

kekuasaan di wilayah sentralnya mempengaruhi timbulnya akibat sistemik dari kolonisasi

dan dekolonisasi di wilayah negara pinggiran.

Pada tahun 1970-an para pengkritik teori sistem dunia mengatakan bahwa

perspektif sistem dunia telah menyajikan seolah-olah sistem dunia itu sesuatu yang riil dan

materiil, sementara di sisi lain, perspektif sistem dunia telah meninggalkan spesifikasi

sejarah perkembangan tingkat nasional. Di samping itu, perspektif ini dipandang terlalu

menonjolkan analisa stratifikasi dengan meninggalkan analisa kelas.

V. Hubungan Konsep Membangun dengan Kebudayaan

A. Konstelasi Antara Kebudayaan, Pembangunan dalam Masyarakat Sederhana,

transisional dan Masyarakat Modern

Masyarakat atau Society diartikan sebagai orang-orang yang hidup bersama yang

menghasilkan kebudayaan (Selo Sumarjan,1974). Sedangkan Koentjaraningrat (1994),

masyarakat merujuk pada kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut satu sistem

adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan terikat oleh suatu rasa identitas yang

35

sama, Sementara itu, Ralph Linton mengatakan bahwa masyarakat adalah kelompok

manusia yang hidup dan bekerja sama dalam waktu yang relatif lama dan mampu

membuat keteraturan dalam kehidupan bersama dan menganggap mereka sebagai satu

kesatuan.

Melalui definisi tersebut di atas, diketahui bahwa masyarakat bercirikan aspek-

aspek : Terdiri dari dua orang atau lebih yang hidup bersama, bergaul dalam waktu yang

relatif lama, kesadaran setiap anggota sebagai satu kesatuan, dan membangun sebuah

kebudayaan yang membuat keteraturan dalam kehidupan bersama. Oleh karena itu, antara

masyarakat dan kebudayaan memiliki keterikaitan sangat erat, seperti dua sisi mata uang

yang saling bersisian, karena kebudayaan merupakan produk dari aktifitas cipta, rasa, dan

karya manusia. Sedangkan isi kebudayaan meliputi beberapa sistem nilai, yakni peralatan

(teknologi), ekonomi, organisasi, ilmu pengetahuan, kesenian, kepercayaan, dan sistem

bahasa.

Nilai-nilai budaya yang perlu dimiliki oleh seluruh bangsa dan seluruh lapisan

masyarakat adalah nilai budaya yang berorientasi ke masa yang akan datang. Nilai budaya

ini akan menjadikan pendorong di dalam merencanakan dan menata masa depan misalnya

melakukan akumulasi modal. Kemudian, nilai budaya yang berhasrat untuk mengeksplorasi

llingkungan dan kekuatan alam. Nilai budaya ini akan mendorong manusia untuk

melakukan inovasi, di antaranya inovasi dalam bidang teknologi. Misalnya, pada saat ini

teknologi informasi telah membawa seluruh bangsa di dunia ini seperti tanpa sekat, yang

dikenal dengan era global! Kondisi ini menimbulkan suasana kompetitif dalam berbagai

segmen. Oleh karena itu, inovasi dalam berbagai aspek mutlak dilakukan jika ingin tetap

eksis dalam tataran globalisasi.

Berdasar struktur sosial dan kebudayaan, masyarakat bisa diidentifikasi ke dalam

tahapan tradisional, transisi dan modern. Masyarakat tradisional adalah masyarakat yang

tertutup dan padu monopolitik. Padu monopolitik dimaksudkan sebagai masyarakat yang di

dalamnya terdapat seperangkat pemikiran dan nilai-nilai dari suatu bidang kehidupan yang

meresapi, mengatur, menguasai dan menyatukan semua bidang-bidang kebudayaan yang

ada. Kemudian, pandangan dan nilai-nilai dari bidang aliran kepercayaan animistis

menguasai seluruh kegiatan dan pengalaman serta pengetahuan mereka.

36

Ke dalam kelompok masyarakat tradisional yang juga disebut masyarakat

berkebudayaan pra-industri dimasukan kelompok masyarakat primitif (sederhana), yang

memiliki ciri-ciri dalam pemenuhan kehidupan hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-

hari, sehingga rendah dalam aspek produksi. Kalaupun memproduksi barang hanya

terbatas untuk melengkapi kebutuhan sendiri, dengan berbahan baku yang tersedia dari

alam. Kehidupannya mengandalkan dari upaya berburu, mengumpulkan makanan atau

menangkap ikan. Mereka berjumlah terbatas, jarang berhubungan dengan masyarakat lain

dan terisolasi. Kemudian, Mereka belum memiliki spesialisasi pekerjaan, sehingga tidak

banyak terjadi difrensiasi sosial yang tegas dan relatif homogen. Solidaritas mekanik,

seperti gotong royong menjadi ciri yang sangat menonjol dalam kelompok ini.

Masyarakat desa di daerah peradaban lama sudah berorientasi pada pertanian,

mereka lebih maju dibanding masyarakat sederhana. Kelompok ini merupakan peralihan

(transisi) ke dalam bentuk masyarakat agraris, sehingga telah terdapat diferensiasi sosial

walau masih dalam kerangka mata pencaharian agraris.Selanjutnya, terdapat masyarakat

desa yang walaupun masih memiliki ciri kehidupan gemeinschaft (paguyuban), dengan

ikatan tradisi sebagai norma dan kebiasaan, tetapi dengan pertumbuhan penduduk yang

pesat, dan pengaruh dari daya tarik kota membuat mereka berada paada masyarakat

transisi dengan memilih melakukan urbanisasi.

Kelompok masyarakat perkotaan mewakili kelompok masyarakat yang dikatakan

berkebudayaan modern (kekinian). Kelompok ini berorientasi pada sektor industri dan jasa,

sehingga dimasukan sebagai masyarakat industri. Sudah terjadi diferensiasi sosial yang

beragam. Pilihan-pilihan bidang pekerjaan yang beragam, seperti buruh atau karyawan,

pekerja kantoran, bidang hukum, pendidikan, perbankan, wirausaha dll. Hal ini akan

melahirkan stratifikasi sosial yang kompleks.Tentang variable pembeda antara masyarakat

tradisional dan modern bandingkan dengan pendapat Talcott Parson dan Smelser yang

telah diuraikan sebelumnya!

Selo Sumarjan (Soekanto, 1984), membagi masyarakat ke dalam tahapan berikut :

1. Masyarakat Sederhana (Bersahaja).

37

Kelompok masyarakat ini masih sederhana dan serba tradisional, dengan

perkembangan yang lambat dibanding kelompok masyarakat yang lain. Ciri lebih

detailnya adalah sbb :

1.1. Hubungan yang erat dalam keluarga maupun masyarakat.

1.2. Organisasi sosial didasarkan pada adat istiadat yang berbentuk tradisi secara

turun temurun.

1.3. Percaya adanya kekuatan ghaib yang mempengaruhi kehidupan mereka, tetapi

mereka sendiri tidak sanggup menghadapi kekuatan tersebut.

1.4. Tidak terdapat lembaga khusus yang mengatur bidang-bidang pendidikan, dalam

masyarakat tetapi ketrampilan yang mereka miliki diperoleh melalui pendidikan di

dalam keluarga (informal) dan masyarakat melalui praktek langsung (sedikit atau

tanpa teori). Pengetahuan yang dipeorleh bukan melalui pengalaman empirik

atau hasil eksperimen melainkan melalui pengalaman yang kebenaran secara

umum diperoleh secara kebetulan.

1.5. Tingkat buta huruf yang tinggi, karena tidak ada pendidikan sekolah yang masuk

kepada kehidupan mereka.

1.6. Hukum yang berlaku pada masyarakat dapat difahami dan dimengerti oleh

anggotanya yang sudah dewasa.

1.7. Kegiatan perekonomian masyarakat sebagian besar di bidang produksi yang

dikonsumsi untuk memilih kebutuhan sendiri atau sedikit yang dipasarkan. Harga

barang-barang kebutuhan yang dihasilkan masyarakat memiliki nilai terbatas.

1.8. Kegiatan perekonomian dan sosial memerlukan kerjasama yang dilakukan oleh

orang banyak dan secara tradisional dengan sistem gotong royong, hubungan

kerjasama dengan sistem ini tanpa adanya hubungan buruh dengan majikan.

2. Masyarakat Madya

Masyarakat yang berada pada tahap transisi, telah mengalami perkembangan

dibandingkan dengan masyarakat sederhana, dengan ciri-ciri sebagai berikut :

2.1. Hubungan keluarga tetap kuat, tetapi hubungan antar anggota masyarakat sudah

mulai mengendur dan mulai didasarkan pada kepentingan untung rugi atas dasar

38

kepentingan ekonomi.

2.2. Adat istiadat yang berlaku pada masyarakat masih dihormati, mulai terbuka terhadap

pengaruh luar.

2.3. Timbulnya pemikiran rasional, menyebabkan kepercayaan terhadap kekuatan ghaib

sudah mulai berkurang, tetapi kepercayaan akan muncul kembali apabila apabila

lingkungannya.

2.4. Lembaga-lembaga pendidikan mulai muncul dengan adanya pendidikan dasar dan

menengah, tetapi belum Nampak adanya pendidikan luar sekolah.

2.5. Mulai terdapatnya pendidikan sekolah menyebabkan tingkat buta huruf bergerak

turun.

2.6. Hukum tertulis dan hukum yang tidak tertulis berdampingan dengan serasi.

2.7. Ekonomi yang berorientasi pasar mulai menambah persaingan di bidang produksi, hal

ini mempengaruhi perbedaan struktur sosial di masyarakat, sehingga nilai uang

memegang peranan penting

2.8. Gotong royong masih berlaku, tetapi di kalangan keluarga besar atau tetangga-

tetangga terdekat, sedangkan pembangunan prasarana dan sarana untuk kepentingan

umum sudah berdasarkan upah. Nilai komersil sudah diperhitungkan.

3. Masyarakat pramodern-modern

Kelompok masyarakat pramodern-modern, bercirikan :

3.1. Hubungan antar masyarakat didasarkan pada kepentingan pribadi dan

kebutuhan-kebutuhan individu.

39

3.2. Hubungan antar masyarakat dilakukan secara terbuka dalam suasana saling

mempengaruhi, kecuali dalaam menjaga rahasia hasil penemuan baru.

3.3. Masyarakat sangat percaya terhadap manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi,

karena sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan hidup.

3.4. Masyarakatnya terdiri dari berbagai profesi dan keahlian yang dapat

ditingkatkan atau dipelajari melalui pendidikan luar sekolah atau sekolah

kejuruan.

3.5. Tingkat pendidikan sekolah relatif tinggi dan merata.

3.6. Hukum yang berlaku di masyarakat adalah hukum tertulis yang sangat

kompleks.

3.7. Ekonomi hamper seluruhnya berorientasi kepada pasar yang didasarkan

kepada penggunaan uang dan alat pembayaran lain (kartu kredit, check, giro,

dsb.).

B. Ciri-ciri manusia Bermental Membangun, Unsur-unsur tradisional yang Mendukung

Pembangunan serta Kendala Budaya yang Menghambat Pembangunan dan

alternatif Solusinya

Abad ke-21 ditandai sebagai abad teknologi informasi. Pesatnya perkembangan

dalam ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut telah mengubah wajah dunia

demikian cepat. Apa yang terjadi di belahan dunia lain dengan cepat sampai di seluruh

pelosok bumi. Dihadapkan pada kondisi ini, diperlukan manusia-manusia Indonesia

yang bermental membangun. Mentalitas membangun yang mengglobal diperlukan,

karena kebudayaan nasional akan berhadapan langsung dengan peradaban dunia yang

semakin canggih, kompetitif dan serba cepat. Salah satu mentalitas pembangunan

yang diduga memiliki respon yang positif terhadap perubahan, dikenal dengan

pengembangan mental melalui modernisasi.

Di dalam perkembangan kehidupan masyarakat menuju kepada mental

pembangunan mungkin saja akan terdapat unsur budaya sebagai berikut :

1. Unsur-unsur budaya yang telah memenuhi syarat sebagai mental

pembangunan.

2. Unsur-unsur yang menghambat pencapaian pembangunan secara optimal.

40

Oleh karena itu, untuk unsur yang pertama, kita perlu memelihara dan

mengembangkan potensi tersebut sehingga keberlangsungan (sustainability) dalam

pembangunan akan tercapai dengan mudah. Sedangkan poin yang kedua,

diperlukan penyesuaian, kalau perlu diganti dengan nilai-nilai budaya yang sama

sekali baru. Contohnya melalui pendidikan (yang sengaja dipelajari), dienkulturasi,

didesiminasikan, ditransformaskan, atau pengadopsian yang sebanyak dan seluas

mungkin kepada seluruh masyarakat.

Koentjaraningrat (1985) mengungkapkan bahwa nilai budaya yang perlu dimiliki

bangsa Indonesia adalah nilai budaya yang berorientasi ke depan, bukan mentalitas

yang bersifat vertikal. Yakni terlampau berorientasi kepada atasan, senior,

berkedudukan tinggi dan berharta. Oleh karena itu, seyogyanya, mentalitas yang

membangun berorientasi ke arah achievement, dan berhasrat eksploratif untuk

mempertinggi inovasi dan kreatifitas.

Semangat gotong royong dalam masyarakat paguyuban yang juga terbawa ke kota

oleh para urbanisan terkadang dianggap menghambat pembangunan karena ada

unsur ketergantungan sosial, melemahkan semangat bekerja individu, hasil yang

harus merata, melemahkan timbulnya gagasan dan keunggulan individu.Tetapi,

bagi Wong, Dove dan Davis (Alvin, Y. so, 2000), melalui kajian-kajian yang

melahirkan konsep familiisme (Wong), budaya lokal (Dove), dan teori barikade

(Davis) yang masing-masing mengamati bagaimana pola kekerabatan di Hongkong

menjadi kekuatan bisnis keluarga. Bagaimana kekuatan budaya lokal di Indonesia

berinteraksi dengan kebijakan pembangunan nasional. Kemudian, Davis

mengamati bagaimana pengaruh agama di Jepang terhadap pembangunan

ekonominya sebagaimana weber mengamati etika Protestan Puritan yang sangat

memperhatikan keselamatan jiwa telah memberikan jawaban etis bagi Eropa barat

di dalam melahirkan satu embrio adanya kemampuan untuk mengatasi segala

rintangan ekonomis, politis dan psikologis dalam berpacu mencapai status

kapitalisme modern.

VI. Penutup

Sosiologi dan Antropologi (khususnya Antropologi Budaya) merupakan

disiplin ilmu yang mencoba menelaah aktifitas manusia sebagai mahluk sosial

41

budaya yang diidentifikasi memiliki perilaku sosial yang melembaga. Salah satu

perilaku sosial yang melembaga tersebut adalah bagaimana manusia berkelompok

dan bermasyarakat, dengan melakukan perubahan-perubahan yang direncanakan,

yang kemudian dikenal sebagai aktifitas pembangunan. Pembangunan sebagai

konsep politik, ekonomi dan sosial di dalam mengarahkan proses perubahan

yang diinginkan suatu bangsa akan melibatkan semua pemikiran, ilmu

pengetahuan dan teknologi.

Masalah pembangunan tidak hanya merujuk kepada aspek kwalitas,

tetapi juga kwantitas.Oleh karena itu, perlu dikembangkan parameter atau

ukuran-ukuran ketercapaian pembangunan dari dua aspek tersebut, sehingga

hasilnya bisa dijadikan sebagai bahan untuk melakukan recovery ataupun

revitalisasi dan bahkan merencanakan program-program pembangunan

berikutnya. Di sinilah perlu dilibatkan berbagai sudut disiplin ilmu yang

integratif.

Melalui penelaahan terhadap berbagai teori dan studi yang selama ini

dilakukan para ahli Ilmu-ilmu Sosial di dalam mengkaji permasalahan

pembangunan, diharapkan kita dapat menganalisis bagaimana sebuah

perubahan terencana dikembangkan di negara-negara Dunia Ketiga

khususnya, antara lain dengan mengkaji teori modernisasi, dependensi dan

sistem ekonomi dunia.

Di dalam membedah permasalahan kasus-kasus pembangunan

sebagai implikasi dari perubahan yang terencana tersebut, pemahaman

terhadap kelompok masyarakat pendukung pembangunan menjadi poin yang

penting untuk menjadi fokus perhatian kita. Karena sustainability

(keberlangsungan) pembangunan berada pada kelompok manusia yang

disebut masyarakat. Oleh karena itu, mengenali berbagai bentuk masyarakat,

tahapan perkembangannya dengan segala potensi yang dimilikinya, akan

membantu kita di dalam memahami bagaimana upaya pembangunan

dilakukan oleh kelompok masyarakat pendukung pembangunan tersebut.

42

DAFTAR PUSTAKA

Alvin Y. So, Suwarsono ,2000, Perubahan sosial dan Pembangunan, LP3S, Jakarta.

Barlinti, Yeni Salma dkk (Ed.),2006, Sustainable Development, Beberapa Catatan Tambahan,

Asosiasi SYLFF, Jakarta.

Pasya, Gurniwan Kamil, 1999, Kapita Selekta Sosiologi dan antropologi, Buana Nusa, Bandung.

-----------------------------,Awan Mutakin,2000,Masyarakat Indonesia Dalam Dinamika,Buana Nusa,

Bandung

Kartasasmita,(1976, Pembangunan untuk Rakyat, Cides, Jakarta.

Koentjaraningrat, 1985, Bunga Rampai Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, Gramedia,

Jakarta.

----------------------, 2004, Manusia dan kebudayaan di Indonesia, Djambatan, Jakarta.

Laurer, Robert H, 1993, Perspektif tentang Perubahan sosial, Rineka Cipta, Jakarta.erty

Mantra, Ida Bagoes , 2000, Demografi Umum, Pustaka Jaya, Jakarta.

Sumarwoto, Otto, 2000, Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Djambatan, Jakarta.

Susanto, astrid S, 1995, Sosiologi Pembangunan, Bina Cipta, Jakarta.

Suparlan, Parsudi,1997, Pandangan Terhadap Antropologi dan Pembangunan dalam

Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia,Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

43

HAND BOOK

SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI PEMBANGUNAN

SEJ 406 (2 SKS)

Oleh

Dra. Leli Yulifar, M.Pd.

NIP.196412041990012002

Disusun Untuk Kebutuhan Internal Mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah

yang mengontrak Mata Kuliah Sosiologi dan antropologi Pembangunan

JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS PENDIDIKAN DAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

2010