Hutan Bambu Ponorogo

34
AGRITEK VOL. 17 NO. 6 NOPEMBER 2009 ISSN. 0852-5426 MODEL KAWASAN HUTAN RAKYAT BERBASIS BAMBU DI KABUPATEN PONOROGO Model of the Bamboo Based Social Forestry in Ponorogo Regency Soemarno Dosen Jurusan Tanah FP UB ABSTRACT Bamboo social-forestry systems in Ponorogo suggest any good prospects ecologically and economically. A number of strength in developing bambo social-forestry are (1) availability of any raw materials supported by the comparative advantage of agroecological resources and social institutions, (2) competitive advantages of bamboo craft- products, (3) availability of land resources that is suitable for bamboo forestry, (4) availability of physical infrastructures and supporting social institutions , (5) a high potency of local market, regional market and national market, (6) a high opportunities in improving farmer income through any bamboo crafting systems, and (7) a high sustainability of any bamboo social-forestry. Outcomes expected from the bamboo social-forestry development are: (a) improving agroforestry activities of bamboo involving any cluster of stakeholders, (b) financial institution of Cooperation which can coordinate any production-cluster and distribution-cluster, (c) bamboo processing activities produce any kinds of bamboo craft- products , (d) improving competitiveness of bamboo craft products. Keywords: bamboo social-forestry ABSTRAK Sistem hutan rakyat berbasis bambu di wilayah Ponorogo, Jawa Timur mempunyai prospektif yang sangat baik secara ekologis dan ekonmis. Beberapa kekuatan dalam pengembangan hutan rakyat bambu: (a). ketersediaan bahan baku yang didukung oleh keunggulan komparatif kondisi agroekologi dan 1213

description

Hutan Bambu Ponorogo

Transcript of Hutan Bambu Ponorogo

Page 1: Hutan Bambu Ponorogo

AGRITEK VOL. 17 NO. 6 NOPEMBER 2009 ISSN. 0852-5426

MODEL KAWASAN HUTAN RAKYAT BERBASIS BAMBU DI KABUPATEN PONOROGO

Model of the Bamboo Based Social Forestry in Ponorogo Regency

Soemarno Dosen Jurusan Tanah FP UB

ABSTRACT

Bamboo social-forestry systems in Ponorogo suggest any good prospects ecologically and economically. A number of strength in developing bambo social-forestry are (1) availability of any raw materials supported by the comparative advantage of agroecological resources and social institutions, (2) competitive advantages of bamboo craft-products, (3) availability of land resources that is suitable for bamboo forestry, (4) availability of physical infrastructures and supporting social institutions , (5) a high potency of local market, regional market and national market, (6) a high opportunities in improving farmer income through any bamboo crafting systems, and (7) a high sustainability of any bamboo social-forestry.

Outcomes expected from the bamboo social-forestry development are: (a) improving agroforestry activities of bamboo involving any cluster of stakeholders, (b) financial institution of Cooperation which can coordinate any production-cluster and distribution-cluster, (c) bamboo processing activities produce any kinds of bamboo craft-products , (d) improving competitiveness of bamboo craft products.

Keywords: bamboo social-forestry

ABSTRAK

Sistem hutan rakyat berbasis bambu di wilayah Ponorogo, Jawa Timur mempunyai prospektif yang sangat baik secara ekologis dan ekonmis. Beberapa kekuatan dalam pengembangan hutan rakyat bambu: (a). ketersediaan bahan baku yang didukung oleh keunggulan komparatif kondisi agroekologi dan kelembagaan usahatani masyarakat (social forestry), (b) sifat unggul komoditi hutan rakyat bambu dan pohon – industrinya, (c) ketersediaan Sumberdaya Lahan yang sesuai bagi tanaman bambu, (d) sarana /prasarana dan kelembagaan penunjang yang komitmennya tinggi terhadap hutan rakyat dan industri pengolahannya, (e) potensi pasar domestik, regional dan nasional yang sangat besar, (f) peluang memperbaiki kesejahteraan petani dan masyarakat yang sangat besar kalau dikelola secara profesional dan berkeadilan, dan (g) keberlanjutannya sangat terjamin karena masyarakat ikut memiliki.

Beberapa peluang yang dapat diaktualisasikan dalam pengembangan hutan rakyat bambu (a) pasar domestik (lokal, regional dan nasional) sangat terbuka, ( b) diversifikasi produk-produk industri hutan rakyat bambu sangat potensial, (c) kebutuhan pengembangan keterkaitan antara cluster usahatani dengan cluster olahannya dalam kelembagaan Kawasan Industri kerajinan bambu, (d) kebutuhan Pemberdayaan sistem kelembagaan produksi hutan rakyat bambu.

Outcome yang dapat diperoleh dari pengembangan HUTRA bambu : (a) berkembangnya hutan rakyat bambu dengan keterkaitan yang adil di antara cluster-cluster yang ada, (b) terbentuknya Koperasi pengelola hutan rakyat yang mampu

1213

Page 2: Hutan Bambu Ponorogo

AGRITEK VOL. 17 NO. 6 NOPEMBER 2009 ISSN. 0852-5426

mengkoordinasikan sistem produksi dan sistem distribusi produk-produk olahannya, (c) berkembangnya industri kerajinan bambu milik masyarakat , (d) meningkatnya citra dan keunggulan produk domestik kerajinan bambu.

Kata kunci: Hutan rakyat bambu

PENDAHULUAN

Visi yang sekarang diemban dalam pengelolaan sumberdaya dan kawasan hutan adalah “HUTAN UNTUK KEMAK-MURAN RAKYAT SECARA BER-KEADILAN DAN BERKELANJUTAN”. Dengan visi seperti ini upaya-upaya menciptakan kemakmuran masyarakat melalui pengelolaan hutan dilaksanakan secara adil, dan memberi kesempatan yang luas kepada masyarakat. Selanjutnya dalam rangka memberdayakan masyarakat di sekitar kawasan hutan, telah diberikan peluang bagi masyarakat untuk turut serta mengelola hutan melalui wadah koperasi untuk meningkatkan kesejahteraannya melalui peningkatan pengusahaan hasil hutan non kayu oleh usaha kecil dan koperasi. Oleh karena itu kemampuan kelembagaan masyarakat dalam pengu-sahaan hasil hutan non kayu perlu diting-katkan agar dapat memberikan keuntungan ekonomis dan ekologis yang maksimal. Dalam konteks inilah maka perlu disusun Rancangan Model Pengusahaan Hasil Hutan Non Kayu (Bambu) oleh Usaha Kecil dan Koperasi dalam wadah KAHURA yang diharapkan dapat dipergu-nakan sebagai acuan dalam pelaksanaan kegiatan di lapangan.

Bambu adalah tanaman jenis rumput-rumputan yang mempunyai batang berongga dan beruas-ruas, banyak sekali jenisnya dan banyak juga memberikan manfaat pada manusia. Nama lain dari bambu adalah buluh, aur, dan eru. Dalam kehidupan masyarakat pedesaan, bambu memegang peranan sangat penting. Bahan bambu dikenal oleh masyarakat memiliki sifat-sifat yang baik untuk dimanfaatkan, antara lain batangnya kuat, ulet, lurus,

rata, keras, mudah dibelah, mudah dibentuk dan mudah dikerjakan serta ringan sehingga mudah diangkut. Selain itu bambu juga relatif murah dibandingkan dengan bahan bangunan lain karena banyak ditemukan di sekitar pemukiman pedesaan. Bambu menjadi tanaman serbaguna bagi masyarakat pedesaan. Bambu dalam bentuk bulat dipakai untuk berbagai macam konstruksi seperti rumah, gudang, jembatan, tangga, pipa saluran air, tempat air, serta alat-alat rumah tangga. Dalam bentuk belahan dapat dibuat bilik, dinding atau lantai, reng, pagar, kerajinan dan sebagainya. Beberapa jenis bambu akhir-akhir ini mulai banyak digunakan sebagai bahan penghara industri supit, alat ibadah, serta barang kerajinan, peralatan dapur, topi, tas, kap lampu, alat musik, tirai dan lain-lain.

Dari kurang lebih 1.000 species bambu dalam 80 genera, sekitar 200 species dari 20 genera ditemukan di Asia Tenggara (Dransfield dan Widjaja, 1995), sedangkan di Indonesia ditemukan sekitar 60 jenis. Tanaman bambu Indonesia ditemukan di dataran rendah sampai pegunungan dengan ketinggian sekitar 300 m dpl. Pada umumnya ditemukan ditempat-tempat terbuka dan daerahnya bebas dari genangan air.

Tanaman bambu hidup merumpun, kadang-kadang ditemui berbaris mem-bentuk suatu garis pembatas dari suatu wilayah desa yang identik dengan batas desa. Penduduk desa sering menanam bambu disekitar rumahnya untuk berbagai keperluan. Bermacam-macam jenis bambu bercampur ditanam di pekarangan rumah. Pada umumnya yang sering digunakan oleh masyarakat di Indonesia adalah bambu tali, bambu petung, bambu

1214

Page 3: Hutan Bambu Ponorogo

AGRITEK VOL. 17 NO. 6 NOPEMBER 2009 ISSN. 0852-5426

andong dan bambu hitam. Bambu mempunyai ruas dan buku. Pada setiap ruas tumbuh cabang-cabang yang berukuran jauh lebih kecil diban-dingkan dengan buluhnya sendiri. Pada ruas-ruas ini pula tumbuh akar-akar sehingga pada bambu dimungkinkan untuk memperbanyak tanaman dari potongan-potongan setiap ruasnya, disamping tunas-tunas rimpangnya.

Dalam penggunaannya di masyarakat, bahan bambu kadang-kadang menemui beberapa keterbatasan. Sebagai bahan bangunan, faktor yang sangat mem-pengaruhi bahan bambu adalah sifat fisik bambu yang membuatnya sukar dikerjakan secara mekanis, variasi dimensi dan ketidakseragaman panjang ruasnya serta ketidakawetan bahan bambu tersebut menjadikan bambu tidak dipilih sebagai bahan komponen rumah. Sering ditemui barang-barang yang berasal dari bambu yang dikuliti khususnya dalam keadaan basah mudah diserang oleh jamur biru dan bulukan sedangkan bambu bulat utuh dalam keadaan kering dapat diserang oleh serangga bubuk kering dan rayap kayu kering.

Tanaman bambu di Indonesia merupakan tanaman bambu simpodial, yaitu batang-batangnya cenderung me-ngumpul didalam rumpun karena per-cabangan rhizomnya di dalam tanah cenderung mengumpul. Batang bambu yang lebih tua berada di tengah rumpun, sehingga kurang menguntungkan dalam proses penebangannya. Metode pemanenan tanaman bambu adalah dengan metode tebang habis dan tebang pilih. Pada metode tebang habis, semua batang bambu ditebang baik yang tua maupun yang muda, sehingga kualitas batang bambu yang diperoleh bercampur antara bambu yang tua dan yang muda. Selain itu metode ini juga menimbulkan pengaruh terhadap sistem perebungan bambu, sehingga ke-langsungan tanaman bambu terganggu, karena sistem perebungan bambu dipengaruhi juga oleh batang bambu yang ditinggalkan. Pada

beberapa jenis tanaman bambu metode tebang habis menyebabkan rumpun menjadi kering dan mati, tetapi pada jenis yang lain masih mampu menumbuhkan rebungnya tetapi dengan diameter rebung tidak besar dan junlahnya tidak banyak.

Bambu dapat diklasifikasikan ke dalam generasi-generasi yaitu : generasi I (berumur 3 - 4 tahun), generasi II (berumur 2 - 3 tahun), generasi III (berumur 1 - 2 tahun) dan generasi IV (berumur 0 - 1 tahun). Pengklasifikasian ini tidak menyer-takan batang dalam suatu rumpun yang lebih dari 4 tahun, karena umumnya batang bambu pada umur tersebut sudah ditebang karena sudah masak tebang. Informasi yang diberikan adalah bahwa sistem tebang pilih yang disarankan untuk dilakukan adalah yang pertama menebang semua batang generasi I, kedua menebang batang generasi I + II + III dan yang ketiga menebang semua batang generasi I + II.

Selain itu perlu diperhatikan bahwa metode penebangan bukan merupakan satu-satunya faktor yang menentukan perebung-an suatu tanaman bambu, melainkan dipengaruhi juga oleh banyaknya batang yang ditinggalkan pada tiap rumpun. Batang yang sebaiknya ditinggalkan dalam suatu pemanenan adalah generasi II, III dan IV dari suatu rumpun yang dipanen, dengan perbandingan generasi IV lebih banyak yang ditinggalkan daripada generasi lain-nya.

Pembangunan Kawasan Hutan RAKYAT (KAHURA) bambu pada hakekatnya adalah kegiatan awal untuk memacu pembangunan ekonomi rakyat di wilayah pedesaan. Secara bertahap kegiatan produksi diupayakan untuk diikuti oleh muncul dan berkembangannya kegiatan ekonomi terkait, sehingga menumbuhkan perekonomian masyarakat. Rancangan KAHURA Bambu, yang meliputi lima komponen utama, yaitu:(1) Unit produksi bambu dan Kelem-

bagaan Pengelolanya (KSP),

1215

Page 4: Hutan Bambu Ponorogo

AGRITEK VOL. 17 NO. 6 NOPEMBER 2009 ISSN. 0852-5426

(2). Unit Industri Pengolahan Produk Bambu,

(3). Unit Industri Perdagangan: Kemas/ Packaging, Promosi, Pemasaran

(4). Unit Industri Pupuk Organik /Pakan ternak.

(5). Unit Penunjang: Kebun Teknologi, Lembaga Pendampingan dan Lembaga Investasi

METODE PENELITIAN

Dalam penelitian ini dilakukan beberapa kegiatan, antara lain:a. Kajian terhadap peraturan-peraturan

yang menyangkut pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya lahan pertanian.

b. Melakukan identifikasi beragam potensi yang dapat membawa dampak terhadap pengembangan hutan rakyat bambu.

c. Melakukan identifikasi model/metode yang cocok untuk melakukan proses pengembangan dan pengelolaan hutan rakyat bambu.

d. Melakukan penentuan model/metode rehabilitasi kerusakan hutan yang cocok dan sesuai dengan kondisi pada wilayah penelitian.

e. Melakukan analisis wilayah yang mempunyai potensi yang sesuai dengan pola hutan rakyat bambu.

f. Menyusun konsep-konsep pengem bangan dan pelestarian hutan rakyat bambu.

Beberapa kajian terhadap aspek yang berkaitan dengan Kegiatan Penelitian Hutan rakyat bambu adalah:a. Melakukan identifikasi terhadap

wilayah yang akan dijadikan obyek Studi Pene litian di Kabupaten Ponorogo. Tahapan ini dilakukan melalui kegiatan observasi lapangan guna mendapatkan gambaran detail mengenai kondisi fisik wilayah studi.

b. Kajian terhadap kebijaksanaan tata ruang wilayah (RTRW) Kabupaten

Ponorogo berkaitan dengan pengem bangan wilayah untuk menghindari adanya penyimpangan gambaran yang diperoleh.

c. Penyusunan tahapan implementasi program yang dilaksanakan berdasarkan hasil analisa kelayakan lahan untuk pengembangan hutan rakyat bambu. Gambaran yang diperoleh, merupakan langkah-langkah awal yang akan ditempuh dalam menyelesaikan seluruh tahapan rencana pengembangan kawas an.

d. Kajian terhadap aspek kependudukan berkaitan dengan struktur kepen dudukan wilayah studi secara kese luruhan, yang meliputi komposisi pekerjaan, komposisi pendidikan, kepa datan penduduk, dan laju pertumbuhan penduduk.

e. Kajian terhadap aspek ekonomi masya rakat pada wilayah yang merupakan daerah studi. Gambaran mengenai potensi pengembangan usaha hutan rakyat bambu yang mengarah pada proses peningkatan sektor ekonomi masya rakat.

Beberapa langkah yang dilakukan untuk memperoleh berbagai informasi berkaitan dengan studi ini, seperti:

1. Kegiatan Observasi LapanganBerorientasi pada pengamatan

daerah Kabupaten Ponorogo yang direncanakan sebagai wilayah pengembangan kawasan melinjo , dalam hal ini:a. Pengamatan terhadap letak geografis

wilayah rencanana termasuk penentuan batas administrasi dan posisi wilayah berdasarkan garis lintang dan garis bujur.

b. Pengamatan terhadap kondisi topografi wilayah untuk mengetahui tingkat kemiringan dan tinggi permukaan tanah.

c. Pengamatan terhadap kondisi klima tologi wilayah terutama dalam penen tuan curah hujan, kelembaban udara dan suhu udara.

1216

Page 5: Hutan Bambu Ponorogo

AGRITEK VOL. 17 NO. 6 NOPEMBER 2009 ISSN. 0852-5426

d. Pengamatan terhadap kondisi per ekonomian wilayah dalam hal pengiden tifikasian terhadap tingkat kesejahteraan dan pendapatan per kapita penduduk.

e. Pengamatan terhadap kondisi sosiologi wilayah dalam hal interaksi antar pelaku ruang yang terdapat dalam wilayah rencana dengan pelaku ruang yang terdapat di luar wilayah rencana termasuk penentuan tingkat kemajuan wilayah dalam bidang ilmu dan teknologi.

2. Kegiatan Interview/WawancaraMerupakan bagian dari sistem penca

rian data melalui wawancara langsung maupun penyebaran kuisioner kepada penduduk yang berda di wilayah rencana secara random, dalam hal:

a. Pengidentifikasian tingkat pen-dapatan per hari.

b. Pengidentifikasian tingkat pendi-dikan.

c. Pengidentifikasian terhadap jenis pekerjaan yang sedang dijalani untuk menghidupi keluarga.

d. Pengidentifikasian terhadap kon-disi lingkungan.

e. Pengidentifikasian terhadap aspi-rasi penduduk dalam mendukung percepatan pembangunan wilayah rencana.

HASIL DAN PEMBAHASAN

RANCANGAN MODEL KAHUTRA BAMBU

Bambu mempunyai banyak ke-unggulan untuk dijadikan pengganti kayu sebagai bahan bangunan serta mebel. Bambu mudah ditanam dan tidak memerlukan pemeliharaan secara khusus. Untuk melakukan budidaya bambu, tidak diperlukan investasi yang besar, setelah tanaman sudah mantap, hasilnya dapat

diperoleh secara menerus tanpa menanam lagi. Budidaya bambu dapat dilakukan sebarang orang, dengan peralatan sederhana dan tidak memerlukan bekal pengetahuan yang tinggi.

Bambu mudah tumbuh tanpa bantuan pestisida maupun pupuk kimia buatan. Bambu juga mempunyai struktur akar yang kuat untuk menahan terjadinya erosi sehingga bagus ditanam di lahan miring. Bambu mempunyai kecepatan fotosintesis 35% lebih dibanding tumbuhan yang lain sehingga dapat memproduksi oksigen lebih banyak. Sekali ditanam, bambu tidak perlu ditanami lagi karena otomatis beranak-pinak, tentu saja dengan pola panen yang teratur dan bijaksana disesuaikan dengan pertumbuhannya. Melihat keunggulan-keunggulan tersebut pohon bambu nampak dapat menjadi kandidat yang bagus untuk pelestarian lingkungan dan sekaligus sumber penghasilan.

Bambu merupakan jenis tanaman yang sangat penting bagi kehidupan sehari-hari bagi masyarakat khususnya di pedesaan. Meskipun sebagaitanaman penting, hingga saat ini bambu belum mendapat prioritas untuk dikembangkan oleh Pemerintah. Hingga saat ini bambu belum dibudidayakan secara intensif. Pada prakteknya petani masih menggunakan teknologi yang sederhana. Bambu betung (Dendrocal mus asper) adalah salah satu jenis yang mempunyai nilai potensi ekonomi. Tanaman ini dapat dijumpai tumbuh mulai dari daerah dataran rendah hingga dataran tinggi (2000 meter), dan akan tumbuh lebih baik bila ditanam di tanah subur pada lahan basah. Beberapa permasalahan dapat dijumpai di lapangan selama pertumbuhannya. Salah satu di antaranya adalah rendahnya teknologi budidaya yang dipraktekkan oleh petani. Untuk memecahkan permasalahan tersebut teknologi perbanyakan tanaman perlu dikembangkan.

1217

Page 6: Hutan Bambu Ponorogo

AGRITEK VOL. 17 NO. 6 NOPEMBER 2009 ISSN. 0852-5426

1. Unit Produksi Fisik (KSP Bambu)

1.1. Sekala Usaha

KSP Pertanaman bambu monokultur

seluas 500 ha dalam kawasan hutan (15-20 KUBA) Pertanaman campuran bambu

seluas 50 - 250 ha lahan milik (pekarangan & tegalan)

KUBA BAMBU Pertanaman bambu monokultur25 RTP seluas 25 ha dalam kawasan hutan

Pertanaman campuran bambu seluas 2.5-12.5 ha lahan milik (pekarangan & tegalan)

RTP BAMBU Pertanaman bambu monokulturseluas 1 ha dalam kawasan hutanPertanaman campuran bambu seluas 0.1-0.5 ha lahan milik (pekarangan & tegalan)

Pengelolaan bambu dalam kawasan hutan dilakukan bekerjasama secara kemitraan dengan PERHUTANI setempat dengan sistem bagi hasil yang disepakati bersama. Secara kelembagaan diperlukan adanya perjanjian kontrak kerja antara PERHUTANI dengan Koperasi Agribisnis Bambu.

Pertanaman bambu pada lahan milik (lahan pekarangan dan tegalan) diutamakan pada petrak-petak lahan yang miring (slope > 25%), bantaran sungai, batas pemilikan lahan, lahan pekarangan sekitar rumah.

1.2. Lokasi dan Potensi LahanLokasi lahan yang disarankan untuk

KSP Bambu (di Kabupaten Ponorogo)

tersebar di wilayah kecamatan sekitar kawasan hutan.

1.3. JENIS TANAMAN

A. Tanaman Utama: Bambu de-ngan aneka kultivar ekonomis.

1. Bambu Sembilang (Dendrocalamus giganteus), berwarna hijau muda hingga hijau tua, panjang ruas 50-60 cm, diameter batang hingga ke-tinggian 4 meter mencapai 20-25 cm, ketebalan di bagian pangkal 3 cm, cocok untuk bahan baku kertas, pulp, chopstick, particle board, pelapis dinding bangunan. Umur panen 1-1.5 tahun. Jenis bambu ini disarankan

1218

Page 7: Hutan Bambu Ponorogo

AGRITEK VOL. 17 NO. 6 NOPEMBER 2009 ISSN. 0852-5426

untuk ditanam di dalam kawasan hutan.

2. Bambu Petung, cocok untuk ditanam di kawasan hutan dan lahan-lahan milik yang curam

3. Bambu Apus, batangnya cocok untuk bahan anyaman

4. Bambu Jepang (Dracaena god-seffiana), jenis bambu hias dalam ruangan, pertumbuhannya tahan naungan, mudah diperbanyak dengan stek.

5. Bambu taman (Arundinaria suberecta), bambu kerdil, bambu hias untuk taman-taman terbuka, daunnya kecil-kecil, tahan kering.

6. Bambu kuning (Bambusa vulgaris), batangnya kuning keemasan bergaris hijau, panjangnya mencapai 500 - 700 cm , diameternya 8-10 cm, cocok untuk bahan/ material bangunan

7. Bambu Jawa (Gigantochloa aspera), batangnya sangat cocok untuk bahan bangunan, warnanya hijau, panjangnya mencapai 12-15 m, diameternya 15-20 cm

8. Bambu Loreng (Ochlandra maculata), batangnya loreng coklat, panjangnya mencapai 20 m, daunnya besar-panjang-lebar, digunakan seba-gai bahan meubeler (furniture)

Sifat Fisis dan Mekanis BambuSifat fisis dan mekanis merupakan

informasi penting guna memberi petunjuk tentang cara pengerjaan maupun sifat barang yang dihasilkan. Hasil pengujian sifat fisis dan mekanis bambu telah dilakukan meskipun masif dalam taraf pendahuluan. Pengujian dilakukan pada bambu apus (Gigantochloa apus Kurz.) dan bambu hitam (Gigantochloa nigrocillata Kurz.). Beberapa hal yang mempengaruhi sifat fisis dan mekanis bambu adalah umur, posisi ketinggian, diameter, tebal daging bambu, posisi beban (pada buku atau ruas), posisi radial dari luas sampai ke bagian dalam dan kadar air bambu. Hail pengujian sifat fisis mekanis bambu hitam dan bambu apus terdapat pada Tabel 1.

Tabel 1. Sifat fisis dan mekanis bambu hitam dan bambu apus

No. Sifat Bambu hitam Bambu apus

1. Keteguhan lentur statik a. Tegangan pada batas proporsi (kg/cm2) 447 327 b. Tegangan pada batas patah (kg/cm2) 663 546 c. Modulus elastisitas (kg/cm2) 99000 101000 d. Usaha pada batas proporsi (kg/dcm3) 1,2 0,8 e. Usaha pada batas patah (kg/dm3) 3,6 3,3

2. Keteguhan tekan sejajar serat (tegangan maximum, kg/cm2)

489 504

3. Keteguhan geser (kg/cm2) 61,4 39,5 4. Keteguhan tarik tegak lurus serat (kg/cm2) 28,7 28,3 5. Keteguhan belah (kg/cm2) 41,4 58,2 6. Berat Jenis

a. KA pada saat pengujian 0,83 KA : 28% 0,69 KA : 19,11% b. KA kering tanur 0,65 KA : 17% 0,58 KA : 16,42%

7. Keteguhan pukul a. Pada bagian dalam (kg/dm3) 32,53 45,1 b. Arah tangensial (kg/dm3) 31,76 31,9 c. Pada bagian luar (kg/dm3) 17,23 31,5

Sumber : Ginoga (1977)

1219

Page 8: Hutan Bambu Ponorogo

AGRITEK VOL. 17 NO. 6 NOPEMBER 2009 ISSN. 0852-5426

Pengujian dilakukan pada tiga jenis bambu, yaitu bambu andong (Gigantochloa verticillata), bambu bitung (Dendro-calamus asper Back.) dan bambu ater (Gigantochloa ater Kurz.) Hasilnya menunjukkan bahwa bambu ater mempunyai berat jenis dan sifat kekuatan yang lebih tinggi dibandingkan bambu

bitung dan bambu andong. Nilai rata-rata keteguhan lentur maksimum, keteguhan tekan sejajar serat dan berat jenis tidak berbeda nyata pada buku dan ruas, sedangkan antar jenis berbeda nyata. Nilai rata-rata sifat fisis dan mekanis bambu terdapat pada Tabel 2.

Tabel 2. Nilai sifat fisis dan mekanis bambu

No.

Sifat fisis dan mekanis

Bambu ater kg/cm2

Bambu bitung kg/cm2

Bambu andong kg/cm2

1. Keteguhan lentur maksimum

533,05 342,47 128,31

2. Modulus elastisitas 89152,5 53173,0 23775,0

3. Keteguhan tekan sejajar serat

584,31 416,57 293,25

4. Berat jenis 0,71 0,68 0,55 Sumber : Hadjib dan Karnasudirdja (1986)

Keawetan dan Keterawetan

Penelitian keawetan bahan bambu telah dilakukan oleh para peneliti. Bambu ampel (Bambusa vulgaris) paling rentan terhadap serangan bubuk, kemudian bambu andong (Gigantochloa pseudo-arundinacea), bambu hitam (Gigantochloa atroviolaceae) dan bambu terung (Gigantochloa nitrocilliata). Sedangkan bambu atter (Gigantochloa

atter) dan bambu apus/tali (Gigantochloa apus) relatif tahan terhadap serangan bubuk. Jenis bubuk bambu yang banyak ditemukan menyerang bambu adalah Dinoderus sp., sedangkan jenis bubuk yang paling sedikit ditemukan menyerang bambu adalah Lyctus sp. Kuantitas bubuk yang ditemukan pada bambu terdapat pada Tabel 4, sedangkan penyebaran jenis bubuk pada bambu terdapat pada Tabel 5.

Tabel 3. Analisis kimia 10 jenis bambu

1220

Page 9: Hutan Bambu Ponorogo

AGRITEK VOL. 17 NO. 6 NOPEMBER 2009 ISSN. 0852-5426

Kelarutan dalam , (%)

Jenis BambuSelu-losa(%)

Lignin(%)

Pentosan(%)

Abu (%)

Silika(%)

Air di-ngin

Air pana

s

Alkohol

- benzene

NaOH1%

Phyllostachys reticulata (bambu madake)

48,3 22,2 21,2 1,24 0,54 5,3 9,4 4,3 24,5

Dendrocalamus asper (bambu petung)

52,9 24,8 18,8 2,63 0,20 4,5 6,1 0,9 22,2

Gigantochloa apus (bambu batu)

52,1 24,9 19,3 2,75 0,37 5,2 6,4 1,4 25,1

Gigantochloa nigrociliata (bambu batu)

52,2 26,6 19,2 3,77 1,09 4,6 5,3 2,5 23,1

Gigantochloa verticillata (bambu peting)

49,5 23,9 17,8 1,87 0,52 9,9 10,7 6,9 28,0

Bambusa vulgaris (bambu ampel)

45,3 25,6 20,4 3,09 1,78 8,3 9,4 5,2 29,8

Bambusa bambos (bambu bambos)

50,8 23,5 20,5 1,99 0,10 4,6 6,3 2,0 24,8

Bambusa polymorpha (bambu kyathaung)

53,8 20,8 17,7 1,83 0,32 4,9 6,9 1,9 22,4

Chephalostachyum pergraciles (bambu tinwa)

48,7 19,8 17,5 2,51 0,51 9,8 11,8 6,7 29,3

Melocanna bambusoides 42,4 24,7 21,5 2,19 0,33 7,3 9,7 4,0 28,4

Sumber : Gusmailina dan Sumadiwangsa (1988)

Tabel 4. Bubuk yang ditemukan pada bambu

Jml srangga Ttal sranggaNo

Jenis Bambu P (e) T (e) U (e) S (e) R

(%) Y (b)

DS (%)

1. Bambusa vulgaris 415 375 800 30,48 2312 100 10 2. Gigantochloa apus 125 25 156 5,94 252 40 6 3. Gigantochloa atroviolaceae 257 295 554 21,10 997 90 2 4. Gigantochloa atter 175 30 213 8,11 484 40 8 5. Gigantochloa nigrocilliata 180 48 228 8,69 1176 70 - 6. Gigantochloa robusta 177 60 237 9,03 655 70 - 7. Gigantochloa pseodoarundinacea 227 202 457 16,65 1982 90 8

Sumber : Jasni dan Sumarni (1999) Keterangan : P : pangkal e : ekor R : jumlah dalam % T : tengah b : buah Y : lubang gerek U : ujung S : jumlah individu DS: derajat serangan

Tabel 5. Penyebaran jenis bubuk pada bambu

1221

Page 10: Hutan Bambu Ponorogo

AGRITEK VOL. 17 NO. 6 NOPEMBER 2009 ISSN. 0852-5426

Jenis bambu JumlahNo. Jenis bubuk A B C D E F G H I

- - + + + - + 327 12,33 2. Lyctus sp. - - + - + + + 35 1,32 3. Dinodeus + + + + + + + 1946 73,23 4. Minthea sp. - - + + + + + 369 13,93

Sumber : Jasni dan Sumarni (1999) Keterangan : A : bambu ampel D : bambu atter G : bambu andong B : bambu apus (tali) E : bambu terung + : ditemukan C : bambu hitam F : bambu mayan - : tidak ditemukan

K e u n g g u l a n B a m b u

1. Bambu mudah ditanam dan tidak memerlukan pemeliharaan secara khusus. Untuk melakukan budidaya bambu, tidak diperlukan investasi yang besar, setelah tanaman sudah mantap, hasilnya dapat diperoleh secara menerus tanpa menanam lagi. Budidaya bambu dapat dilakukan sembarang orang, dengan peralatan sederhana dan tidak memerlukan bekal pengetahuan yang tinggi.

2. Pada masa pertumbuhan, bambu tertentu dapat tumbuh vertikal 5 cm per jam, atau 120 cm per hari. Bambu dapat dimanfaatkan dalam banyak hal. Berbeda dengan pohon kayu hutan yang baru siap ditebang dengan kualitas baik setelah berumur 40-50 tahun, maka bambu dengan kualitas baik diperoleh umur 3-5 tahun.

3. Tanaman bambu mempunyai ketahanan yang luar biasa. Rumpun bambu yang telah dibakar, masih dapat tumbuh lagi, bahkan pada saat Hiroshima dijatuhi bom atom sampai rata dengan tanah, bambu adalah satu-satunya jenis tanaman yang masih dapat bertahan hidup.

4. Bambu mempunyai kekuatan cukup tinggi, kuat tariknya dapat dipersaingkan dengan baja. sekalipun demikian kekuatan bambu yang tinggi ini belum dimanfaatkan dengan baik karena biasanya batang-batang struktur bambu dirangkaikan dengan pasak atau tali yang kekuatannya rendah

5. Bambu berbentuk pipa sehingga momen kelembabannya tinggi, oleh karena itu bambu cukup baik untuk memikul momen lentur. Ditambah dengan sifat bambu yang elastis, struktur bambu mempunyai ketahan yang tinggi baik terhadap angin maupun gempa.

K e l e m a h a n B a m b u Sekalipun bambu memiliki banyak

keunggu!an, kiranya perlu juga diingat bahwa upaya menjadikan bambu sebagai pengganti kayu menghadapi beberapa kendala, yaitu :

1. Bambu mempunyai durabilitas yang sangat rendah, bambu sangat potensial untuk diserang kumbang bubuk, sehingga bangunan atau perabot yang terbuat dari bambu tidak awet. Oleh karena itu rangka bangunan dari bambu, yang tidak diawetkan, hanya dipandang sebagai komponen bangunan sementara yang hanya tahan tidak lebih dari 5 tahun. Hal ini merupakan kendala yang sangat serius karena minat orang pada bambu jadi berkurang. Betapa ganasnya kumbang bubuk ini dapat diberikan contoh kejadian di pabrik angklung Saung Udjo yang berlokasi di Bandung. Perusahaan ini tiap tahun mendatangkan bambu sampai sekitar 12 truk, tetapi hampir 40 persen dari bambu tersebut telah rusak diserang kumbang bubuk sebelum sempat dijadikan angklung. Mengingat produk bambu kini sudah mulai menjadi komoditi ekspor, maka upaya untuk mencegah serangan bubuk perlu memperoleh perhatian secara

1222

Page 11: Hutan Bambu Ponorogo

AGRITEK VOL. 17 NO. 6 NOPEMBER 2009 ISSN. 0852-5426

khusus agar barang-barang yang terbuat dari bambu tidak mengecewakan pemakainya.

2. Kekuatan sambungan bambu yang pada umumnya sangat rendah karena perangkaian batang-batang struktur bambu sering kali dilakukan secara konvensional memakai paku, pasak, atau tali ijuk. Pada perangkaian batang-batang struktur dari bambu yang dilakukan dengan paku atau pasak, maka serat yang sejajar dengan kekuatan geser yang rendah menjadikan bambu mudah pecah karena paku atau pasak. Penyambungan memakai tali sangat tergantung pada keterampilan pelaksana. Kekuatan sambungan hanya didasarkan pada kekuatan gesek antara tali dan bambu atau antara bambu yang satu dengan bambu lainnya Dengan demikian penyambungan bambu secara konvensional kekuatannya rendah, sehingga kekuatan bambu tidak dapat dimanfaatkan secara optimal. Pada saat tali kendor sebagai akibat kembang susut karena perubahan temperatur, kekuatan gesek itu akan turun, dan bangunan dapat runtuh. Oleh karena itu sambungan bambu yang memakai tali perlu dicek secara berkala, dan tali harus selalu disetel agar tidak kendor.

3. Kelangkaan buku petunjuk perancangan atau standar berkaitan dengan bangunan yang terbuat dari bambu.

4. Sifat bambu yang mudah terbakar. Sekalipun ada cara-cara untuk menjadikan bambu tahan terhadap api, namun biaya yang dikeluarkan relatif cukup mahal.

5. Bersifat sosial berkaitan dengan opini masyarakat yang sering meng-hubungkan bambu dengan kemiskinan, sehingga orang segan tinggal di rumah bambu karena takut dianggap miskin. Orang baru mau tinggal di rumah bambu jika tidak ada pilihan lain. Untuk mengatasi kendala ini maka perlu dilibatkan arsitek, agar rumah yang dibuat dari bambu terlihat menarik. Upaya ini tampak pada bangunan-bangunan wisata

yang berupa bungalo dan rumah makan yang berhasil menarik wisatawan mancanegara.

1.4. Pola Pengusahaan

Pola Penanaman: Bambu(1). Tanaman Monokultur dalam

kawasan hutanPada saat tanaman bambu masih

muda dapat dilakukan sistem tumpangsari, dan pada saat tanaman bambu sudah dewasa dapat ditempuh sistem penanaman di bawah tegakan.

(2). Cara Pertanaman Lorong menurut Garis Tinggi

Saat penanaman sebaiknya tanah dibuat lorong (hedge-row) lebih dahulu mengikuti garis tinggi. Jarak dalam baris pada tinggi yang sama dapat ditentukan misalnya 10-15 m, tetapi jarak dari lorong yang satu ke lorong lain disesuaikan dengan keadaan lapangan.

(3). Sistem Kebun Campuran / Pertanaman campuran

Pada lahan pekarangan dan lahan tegalan bambu ditanam dalam sistem campuran dengan tanaman yang telah ada. Penanaman bambu pada batas-batas pemilikan lahan, pada petak-petak lahan yang solumnya sangat tipis, atau pada petak - petak lahan yang curam (slope > 25%).

Pembibitan dan Penanaman bibitPembibitan bambu dapat dilakukan

dengna metode GGPC, yang terdiri atas dua tahapan, yaitu (1) Tahap pesemaian mata tunas (2-3 bulan), dan (2) pembesaran bibit dalam polibag (3-4 bulan).

Usahatani bambuDari segi ekonomis bambu sangat

menguntungkan, demikian bambu yang ditanam tumbuh menjadi rumpun, selanjutnya rumpun bambu akan berfungsi

1223

Page 12: Hutan Bambu Ponorogo

AGRITEK VOL. 17 NO. 6 NOPEMBER 2009 ISSN. 0852-5426

sebagai bank. Setiap kali diperlukan, batang bambu dapat ditebang seperti halnya orang mengambil bunga deposito. Lebih dari itu, sekalipun seluruh rumpun ditebang, rumpun baru dapat tumbuh lagi. Hal ini berarti bahwa sekali tanam bambu, hasilnya dapat diambil terus-menerus.

Permintaan bambu di Indonesia kini semakin meningkat. Kalau dulu orang memakai bambu karena kurang mampu, sekarang sedikit demi sedikit bambu telah bergeser menjadi barang seni yang dibeli karena keindahannya. Perlengkapan rumah seperti meja, kursi, dipan, sekat dari bambu sudah masuk ke hotel-hotel berbintang dan bangunan,-bangunan wisata. Lebih dari itu perabot rumah dari bambu juga mulai menjadi komoditi ekspor. Perajin bambu sudah mulai merasakan kesulitan dalam membeli bambu dengan umur yang cukup, karena budidaya bambu di Indonesia masih sangat langka.

Perkembangan jumlah penduduk mengakibatkan naiknya kebutuhan perumahan, yang juga berarti meningkatnya kebutuhan kayu, apalagi kalau dilihat bahwa kayu dalam bentuk kayu lapis juga dipakai sebagai sumber devisa negara. Kebutuhan kayu yang berlebihan akan dapat mangakibatkan penebangan kayu hutan dalam jumlah banyak dan membahayakan kelestarian hutan. Untuk kelestarian hutan, kiranya perlu dicari bahan bangunan lain sebagai pengganti kayu hutan.

Dengan memperhatikan kekuatan bambu yang tinggi, dan bambu dengan kualitas yang baik dapat diperoleh pada umur 3-5 tahun, suatu kurun waktu yang relatif singkat, serta mengingat bahwa bambu mudah ditanam, dan tidak memerlukan perawatan khusus, bahkan sering dijumpai di desa-desa, rumpun bambu yang sudah dibakar pun masih dapat tumbuh Iagi, maka bambu nempunyai peluang yang besar untuk menggantikan kayu yang baru siap ditebang setelah berumur sekitar 50 tahun.

Sistem Usahatani Kebun Bambu MonokulturTanaman bambu mulai dapat

dipanen pada umur satu tahun sampai dengan mencapai produksi maksimum mulai umur 5 hingga 15 tahun. Modal investasi usahatani dibutuhkan sampai tanaman berumur satu tahun (sebelum berproduksi). Analisis cash-flow usahatani kebun bambu monokultur Jenis Petung (populasi 100 rumpun/ha) menunjukkan biaya produksi per tahun per hektar sampai dengan umur lima tahun adalah sekitar Rp.250.000 hingga Rp 450.000. Pada tingkat usahatani kebun bambu monokultur umumnya dapat diperoleh keuntungan yang memadai, dengan Net B/C (DF 18%) 2.75 - 4.50, NPV (DF 18%) Rp.2.500.000 - Rp 5.500.000,- dan IRR umumnya lebih dari 30%. Sistem penanaman tumpangsari dan PLBT (Penanaman Lahan di bawah Tegakan) akan menghasilkan profit finansial yang lebih baik.

(1). Sifat PengusahaanSecara agroekologis wilayah

Kabupaten Ponorogo bagian selatan dan sekitarnya cocok untuk budidaya kebun bambu monokultur dan juga pemeliharaannya tidak terlalu sulit. Tanaman bambu umumnya ditanam petani dalam sistem campuran pada lahan pekarangan dan tegalan, sistem budidaya bambu dalam kebun monokultur belum dilakukan oleh petani secara intensif.

(2). Intensitas PengusahaanPerawatan kebun bambu monokultur

relatif sangat mudah, mulai dari pembuatan pesemaian/pembibitan, pembuatan lubang tanam, penanaman bibit, pemupukan organik dan pupuk buatan sebagai starter, penyiangan gulma dan pembumbunan BAMBU muda seperlunya.

(3). Analisa Biaya dan Pendapatan.Kebun bambu monokultur dapat

dipelihara secara intensif oleh petani.

1224

Page 13: Hutan Bambu Ponorogo

AGRITEK VOL. 17 NO. 6 NOPEMBER 2009 ISSN. 0852-5426

Oleh karena itu dikenal dua macam model, yaitu kebun bambu monokultur pada lahan kawasan hutan dengan pemeliharaan secara intensif dan pertanaman bambu campuran yang tidak melakukan usaha pemeliharaan sama sekali. Untuk golongan pertama, biaya pemeliharaan tahun pertama untuk satu rumpun sekitar Rp. 2.000 - 2.250.

Kelembagaan Pengelola Unit Produksi : KSP bambu

1. Jenis dan Mekanisme Kerja Kelembagaan

Kelembagaan pengelola unit produksi bambu tersusun atas Rumah Tangga Petani (RTP), Kelompok Usaha Bersama (KUBA), dan Koperasi Produsen Bambu. Keterkaitan kelembagaan ini diabstraksikan sbb:

RTP Mengelola usahatani bambu: sekitar 1 ha lahan dalam

kawasan dan lahan miliknya

KUBA: Mengkoordinasi kegiatan usaha25 RTP sekala 25 ha lahan kawasan

sekitar 5-10 ha pertanaman bambu campuran di pekarangan / tegalan

Koperasi Mengelola KSP BambuPRODUSEN BAMBU: dengan sekala usaha 20 KUBA 500 ha lahan kawasan dan

sekitar 250 ha lahan desa

Dinas HUTBUNPEMDAINSTANSI TEKNIS TERKAITPERBANKAN

Kelompok Usaha Bersama (KUBA)

Pengertian kelompokKelompok merupakan kumpulan

penduduk (Rumah Tangga Petani, RTP) setempat yang menyatukan diri dalam usaha produksi bambu untuk meningkatkan kesejahteraan,

keswadayaan, dan kegotong-royongan mereka. Kelompok merupakan milik anggota, untuk mengatasi masalah bersama serta mengembangkan usaha bersama anggota. Kelompok ber-anggotakan sekitar 25-30 RTP dan berada di desa/kelurahan, atau di bawah tingkat desa/ kelurahan yaitu dusun, lingkungan, RW, atau RT. Dalam satu desa dapat

1225

Page 14: Hutan Bambu Ponorogo

AGRITEK VOL. 17 NO. 6 NOPEMBER 2009 ISSN. 0852-5426

ditumbuhkan beberapa kelompok seusai dengan kebutuhan. Kelompok dapat tumbuh dari kelompok tradisional yang telah ada, seperti kelompok arisan, aseptor KB, kelompok sinoman, kelompok pengajian, dan kalau belum ada segera ditumbuhkan dan dibina secara khusus.

Pembinaan Kelembagaan KUBAPembinaan / pemberdayaan juga

sering disebut dengan pendampingan, pada dasarnya merupakan proses kegiatan yang bersifat berkelanjutan.

Organisasi dan Manajemen

Rancangan KOPERASI BAMBUPengembangan produk-produk

bambu dalam rangka untuk memberdayakan ekonomi rakyat setempat dapat dilakukan melalui pendekatan pemberdayaan “Ko-perasi Agribisnis” sebagai “LEMBAGA EKONOMI RAKYAT YANG MENGAKAR & MANDIRI”. Koperasi seperti ini dapat dikembangkan dari lembaga-lembaga ekonomi tradisional yang telah ada, atau melalui rekayasa sosial yang sesuai. Konsep pemberdayaan koperasi agribisnis bagi produsen bambu dapat diabstraksikan dalam bagan berikut.

Kelompok sasaran dan Lingkup Kegiatan

Kelompok sasaran bagi anggota koperasi:

a. Kelembagaan sosial -tradisional yang ada di masyarakat, seperti koperasi, kelompok tani, kelompok peternak, Paguyuban dan lainnya

b. Lembaga Kelompok tani komoditas yang telah ada.

c. Warung pengecer bahan pokok, baik milik perorangan, kelompok (pra koperasi), maupun waserda milik

koperasi untuk diberdayakan / dikembangkan usahanya.

d. Pengusaha / Pengrajin Kecil, baik perorangan maupun kelompok, yang bergerak di bidang produksi agribisnis/ agroindustri untuk diberdayakan supaya dapat memperluas kesempatan kerja (menyerap tenaga kerja).

e. Tenaga Kerja Terampil untuk dilatih dan ditempatkan sebagai pendamping dan atau tenaga profesional / pengelola unit-unit usaha.

Disain usaha agribisnis bagi KUBADisain sistem usaha agribisnis bambu

bagi kelompok masyarakat ini dirancang dengan tujuan pengentasan kelompok masyarakat perdesaan dengan usaha pengembangan agribisnis bambu dalam kawasan hutan dan pada lahan milik.

Kelembagaan Pendampingan

KAHURA BAMBU ini dimaksudkan untuk menumbuhkan dan memperkuat kemampuan masyarakat miskin untuk meningkatkan taraf hidupnya dengan membuka keterisolasian dan kesempatan berusaha dengan melibatkan komoditas BAMBU. Program ini diarahkan pada pengembangan kegiatan sosial ekonomi untuk mewujudkan kemandirian masyarakat perdesaan, dengan menerapkan prinsip-prinsip sekala ekonomi, usaha kelompok, keswadayaan dan partisipasi, serta me-nerapkan semangat dan kegiatan kooperatif dalam bentuk Kelompok Usaha Bersama.

Pembinaan masyarakat melalui KUBA memerlukan mekanisme pendampingan yang handal. Untuk dapat melaksanakan tugasnya secara efektif, tenaga pendamping ini harus siap bekerja secara purna waktu.

1226

Page 15: Hutan Bambu Ponorogo

AGRITEK VOL. 17 NO. 6 NOPEMBER 2009 ISSN. 0852-5426

Sumber Sumber Birokrasi Informasi Modal/Kapital

TOKOH PANUTAN / KEPERCAYAAN RAKYAT -------------------------------------------------------

MANAJEMEN PROFESIONALRAKYAT RAKYAT

KOPERASI KAHURA BAMBU

UNIT PERMODALAN

UNIT USAHA UNIT LEMBAGA PRODUKTIF: INOVASI & DISTRIBUSI:

- KSP - Waserda - KUBA - Grosir/ Pengecer - RTP - POSYANTEK

Tenaga Pendamping

PengertianPendamping adalah tenaga lapangan

pada tingkat desa berasal dari berbagai departemen atau dari masyarakat, yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan sesuai dengan kebutuhan untuk mengem-bangkan usaha agribisnis. Tenaga pendamping ini dapat berkualifikasi

“Sarjana Agrokompleks” yang bertugas purna waktu.

Tugas PendampinganTenaga Pendamping bertugas antara

lain (1) membina penduduk yang bergabung dalam KUBA sehingga menjadi suatu kebersamaan yang berorientasi pada upaya perbaikan kehidupan, (2) sebagai pemandu (fasilitator), penghubung (komunikator),

1227

Page 16: Hutan Bambu Ponorogo

AGRITEK VOL. 17 NO. 6 NOPEMBER 2009 ISSN. 0852-5426

dan penggerak (dinamisator) dalam pembentukan KUBA ; (3) pendamping KUBA dalam mengembangkan kegiatan usaha agribisnis bambu: manajemen produksi, manajemen modal/keuangan

dan manajemen pemasaran; dan (4) mengembangkan KEBUN TEKNOLOGI: Pusat Pelayanan Informasi Teknologi Tepat Guna.

Hubungan Kerja Pendampingan

KUBA KUBA KUBA ......

KOPERASI KAHURA BAMBU

Kontrak kerja pendampingan

LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT

Tenaga Pendamping:- Manajemen Produksi- Manajemen Pemasaran- Manajemen modal/keuangan

Mekanisme supervisi dan pengendalian

PEMERINTAH DAERAH, INSTANSI TEKNIS TERKAIT

Kegiatan Utama Pendampingan

a. Pemahaman berbagai maslaah yang terkait

b. Menyusun Jadwal Kerjac. Membantu Pendataan Penduduk

Miskind. Membantu Pemberdayaan KUBAe. Membimbing Pilihan Jenis dan

Mengembangkan Mutu Usaha

f. Membimbing Perencanaan Kegiatan Usaha KUBA

g. Mengusahakan Bantuan Teknik h. Membantu Pencairan Dana

Bantuan/Krediti. Membina kegiatan usaha agribisnis

bambuj. Membina Mekanisme Perguliran

1228

Page 17: Hutan Bambu Ponorogo

AGRITEK VOL. 17 NO. 6 NOPEMBER 2009 ISSN. 0852-5426

KOPERASI KAHURA BAMBU

ANGGOTA LSMTenaga Pendamping

LITBANG DEPT. KEBUN TEKNOLOGI. LPP BPPT BLK-BLK DIVISI-DIVISI TEKNOLOGI PTN/PTS SUASTA

POKMAS ANGGOTA KUBA KOPERASI

4. Unit Pemasaran dan Informasi Pasar

1. Lembaga Pemasaran.a. Petani Produsenb. Penebas dan Tengkulak I.c. Tengkulak II (TK II)d. Pedagang Pengumpul.e. Pengecer

2. Saluran PemasaranSaluran tataniaga bambu dari petani

sampai dengan konsumen yang utama adalah: Petani, penebas/Tengkulak I,

Tengkulak II, Pedagang pengumpul, dan pengecer

3. Transaksi PenjualanPetani umumnya menjual batangan

bambu. Cara tebasan nampak lebih dominan, pembayarannya dilakukan secara kontan. Dalam penentuan harga antara pembeli dan penjual biasanya dilakukan dengan tawar menawar dan sebagian kecil lainnya ada yang memperoleh informasi harga dari pasar atau biasanya pihak penjual sudah mengetahui harga dari tetangganya.

1229

Page 18: Hutan Bambu Ponorogo

AGRITEK VOL. 17 NO. 6 NOPEMBER 2009 ISSN. 0852-5426

4. Keterkaitan Kelembagaan PEMASARAN BAMBU

RTP

KUBA

KOPERASI KAHURA BAMBU

LEMBAGA PERHUTANI KOPERASI PEMASARAN PEMILIK LAHAN PEGRAJIN YANG ADA BAMBU

Mekanisme kemitraan: Bapak Angkat

PASAR EKSPORTIRDOMESTIK

Sistem Informasi PasarDalam rangka untuk menguasai dan

mengakses informasi pasar bagi produk-produk bambu dan olahannya, diperlukan adanya suatu Sistem Informasi Manajemen Pemasaran Bambu (SIMPB) yang menjalin networking dengan sistem informasi pasar yang ada di Dati II dan Dati I dan bahkan nasional yang dikembangkan oleh jajaran DEPERINDAG.

Kelembagaan Keuangan Penunjang KAHURA Bambu

1. Beberapa Model Lembaga Keuangan

I. P4K (Proyek Peningkatan Pendapatan Petani Kecil)

II. KUT: Kredit Usaha TaniIII. KREDIT UMUM PEDESAAN

(KUPEDES)IV.KREDIT KEPADA KOPERASI

PRIMER BAGI ANGGOTA-NYA (KPPA)

V. Lembaga Keuangan Pedesaan Bagi Orang Miskin (LKOM): Grameen Bank

1230

Page 19: Hutan Bambu Ponorogo

AGRITEK VOL. 17 NO. 6 NOPEMBER 2009 ISSN. 0852-5426

2. Hubungan kerja kelembagaan

BRI-UD

1 2 3 1

PENDAMPING 4 KOPERASI 4 PENDAMPING KAHURA BAMBU

5 6 7 5

KUBA BAMBU

8 9 10 8

RTP BAMBU

Keterangan:1 : Informasi tentang skim kredit dan mekanismenya2 : Mekanisme Pengajuan kredit; 3 : Mekanisme Pencairan kredit4. Pendampingan manajemen kredit usaha produktif5. Pendampingan mekanisme penyaluran, perguliran dan pembayaran6. Mekanisme penyaluran kredit ke KUBA7. Mekanisme pembayaran kredit dari KUBA ke Koperasi8. Pendampingan pemanfaatan kredit dalam manajemen produksi.

KESIMPULAN DAN SARAN

Sistem hutan rakyat berbasis bambu di wilayah Ponorogo, Jawa Timur mempunyai prospektif yang sangat baik secara ekologis dan ekonmis. Beberapa kekuatan dalam pengembangan hutan rakyat bambu: (a). ketersediaan bahan baku yang didukung oleh keunggulan komparatif kondisi agroekologi dan kelembagaan usahatani masyarakat (social forestry), (b) sifat unggul komoditi hutan rakyat bambu dan pohon – industrinya, (c) ketersediaan Sumberdaya Lahan yang

sesuai bagi tanaman bambu, (d) sarana /prasarana dan kelembagaan penunjang yang komitmennya tinggi terhadap hutan rakyat dan industri pengolahannya, (e) potensi pasar domestik, regional dan nasional yang sangat besar, (f) peluang memperbaiki kesejahteraan petani dan masyarakat yang sangat besar kalau dikelola secara profesional dan berkeadilan, dan (g) keberlanjutannya sangat terjamin karena masyarakat ikut memiliki.

1231

Page 20: Hutan Bambu Ponorogo

AGRITEK VOL. 17 NO. 6 NOPEMBER 2009 ISSN. 0852-5426

DAFTAR PUSTAKA

Ades, G. 1999. Important discovery of lesser bamboo bat roosting site in Hong Kong. Porcupine! 19: 22.

Arsyad, I dan S. Rahoo. 2004. Pengelolasn Hutan Lestari: Pembelajaran Dari hnplementasi Manajemen Kolabo-ratif Dalam Pengelolaan Hutan Konservasi dan Hutan Lindung Dalam : Prosiding Workshop Penguatan Desentralisasi Sektor Kehutanan Di Indonesia (ed. L. Siswanty et.al.). Badan Planologi Kehutanan Departemen Kehutanan. Jakarta.

Basri, E. 1997. Pedoman Teknis Penge-ringan Bambu . Laporan Proyek Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat. Pusat Penelitian Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor.

Bystriakova, N., N. Bystriakova, V. Kapos, I. Lysenko and C.M.A. Stapleton. 2003. Distribution and conservation status of forest bamboo biodiversity in the Asia-Pacific Region. Biodiversity and Conservation 12 (9): 1833–1841.

Bystriakova, N., V. Kapos & I. Lysenko. 2004. Bamboo biodiversity: Africa, Madgascar and the Americas. UNEP-WCMC/INBAR, Biodiversity Series 19. UK: Swaingrove Imaging. http://www.-ourplanet.-com/wcmc/19.html

Bystriakova, N., V. Kapos, C. Stapleton & I. Lysenko. 2003. Bamboo biodiversity: information for plan-ning conservation and management in the Asia-Pacific region. UNEPWCMC/ INBAR, Bio-diversity Series 14. UK: Swaingrove Imaging. http://www.ourplanet.-com/wcmc/14.html

Cahyaningsih, N., G. Pasya dan Warsito. 2006. Hutan Kemasyarakatan

Kabupaten Lampung Barat Panduan Cara Memproses, Perijinan dan Kiat Sukses Menghadapi Evaluasi. World Agroforestry Centre. Lampung Barat.

Dransfield, S. 2002b. Sirochloa, a new bamboo genus from Madagascar (Poaceae- Bambusoideae). Kew Bulletin 57: 963-970.

Dunkelberg, Klaus. 1992. Bamboo as a building material, in: IL31 Bambus, Karl Krämer Verlag Stuttgart .

Farelly, David. 1984. The book of bamboo. Sierra Club Books, 530 Bush Street, San Francisco, CA.

Farrelly, David . 1984. The Book of Bam-boo. Sierra Club Books. ISBN 087156825X.

Fijten, F. 1975. A taxonomic revision of Buergersiochloa Pilger (Gramineae). Blumea 22: 415-418.

Filgueiras, T.S. 1988. Bambus nativos (Poaceae: Bambusoideae) do Distrito Federal, Brasil. Revista Brasileira de Botânica 11: 47-66.

Franklin, D. C. 2005. Vegetative phenology and growth of a facultatively deciduous bamboo in a monsoonal climate. Biotropica 37: 343-350.

Grass Phylogeny Working Group. 2001. Phylogeny and subfamilial classi-fication of the grasses (Poaceae). Ann. Missouri Bot. Gard. 88: 373-457.

Gratani, Loretta; Maria Fiore Crescente, Laura Varone, Giuseppe Fabrini, and Eleonora Digiulio. 2008. Growth pattern and photosynthetic activity of different bamboo species growing in the Botanical Garden of Rome. Flora 203: 77–84..

Guo, Z.-H. & D.-Z. Li. 2002. Phylogenetic studies on Thamnocalamus Group and its allies (Poaceae: Bam-busoideae)

1232

Page 21: Hutan Bambu Ponorogo

AGRITEK VOL. 17 NO. 6 NOPEMBER 2009 ISSN. 0852-5426

based on ITS sequence data. Mol. Phyl. Evol. 22: 20-30.

Guo, Z.-H. & D.-Z. Li. 2004. Phylogenetics of the Thamnocalamus Group and its allies (Gramineae: Bambusoideae): infe-rence from sequences of GBSSI gene and ITS spacer. Mol. Phyl. Evol. 24: 1-12.

Hanafi, H. Soeharsono, dan Kurnianita, 2005. Pengembangan Kelembagaan Dan Perubahan Sosial Petani Di Kawasan Hutan Kemasyarakatan (Hkm) Di Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Prosiding Seminar Nasional BPTP Yogyakarta – LIPI – UGM. Imple-mentasi Hasil Penelitian Dan Pengembangan Pertanian Untuk Peningkatan Kesejahteraan Masya-rakat. Yogyakarta 10 September 2005.

Ismanto, A dan Sutiyono. 1992. Studi Kesesuaian Jenis Bambu Sebagai Bahan Baku Sumpit. Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pohon Serbaguna. Kerjasama Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Project Winrock Internasional. Bogor.

Kliwon, S. 1997. Pembuatan Bambu Lapis Dari Bambu Tali (Gigantlocoa apus). Buletin Penelitian Hasil Hutan 15 (3) : 190-199.

Krisdianto, G. Sumarni dan A. Ismanto. 2000. Sari Hasil Penelitian Bambu. Pusat Penelitian Hasil Hutan. Bogor.

Kumar, M. 2004. Field Guide: The Bamboo Book. NMBA, TIFAC, New Delhi. 58 pp.

Li, D.-Z. & J.-R. Xue. 1997. The biodiversity and conservation of bamboos in Yunnan, China, pp. 83-94 in G.P. Chapman (ed.), The Bamboos. New York: Academic Press.

Londoño, X., G.C. Camayo, N.M. Riaño & Y. Lopez. 2002.

Characterization of the anatomy of Guadua angustifolia (Poaceae: Bambusoideae) culms. Bamboo Science & Culture 16: 18-31.

Muhammd Yakub, 2009. Analisis Pem-berdayaan, Partisipasi dan Keman-dirian Masyarakat Dalam Penge-lolaan Sumberdaya Hutan. Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya. Ponorogo

Mutschler, T. and C.L. Tan. 2003. Hapalemur, bamboo or gentle lemurs, pp. 1324-1329 in S. M. Goodman and J. P. Benstead (eds.), The Natural History of Mada-gascar. Chicago: The University of Chicago Press.

Ndaraha, T. 1982. Metodologi Penelitian Pembangunan Desa. Bina Aksara. Jakarta.

Noviana Khususiyah dan Suyanto. 2009. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan PHBM: Kemiskinan, Gender dan Kelembagaan (Studi Kasus di DAS Konto Ponorogo). Makalah Seminar dan Dialog Interaktif. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Ponorogo

Nurhayati, T. 1990. Pembuatan Arang Empat Jenis Bambu Dengan Cara Timbun. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 3 (3) : 7-12.

Recht, Christine, and Max F. Wetterwald. 1992. Bamboos. Timber Press, Portland, OR. 1992. Sunset Books. Sunset western garden book. Lane Publishing Company, Menlo Park, CA.

Seethalakshmi, K.K. & M.S. Muktesh Kumar. 1998. Bamboos of India: A Compendium. Peechi, India: Kerala Forest Research Institute and New Delhi: International Network for Bamboo and Rattan.

Septiaji, D. dan F. Fuadi, 2004. HKm Meretas Jalan. Konsorsium Pengem-bangan Hutan Kemasyarakatan (KPHKm) Kabupaten Gunungkidul.

1233

Page 22: Hutan Bambu Ponorogo

AGRITEK VOL. 17 NO. 6 NOPEMBER 2009 ISSN. 0852-5426

Soderstrom, T.R. & R.P. Ellis. 1987. The position of bamboo genera and allies in a system of grass classification, pp. 225-238 in T. R. Soderstrom et al. (eds.), Grass systematics and evolution. Washington, D. C.: Smithsonian Institution Press.

Soderstrom, T.R. & S.M. Young. 1983. A guide to collecting bamboos. Ann. Missouri Bot. Gard. 70: 128-136.

Soemarno. 2005. MODEL KONSEP PENGEMBANGAN KIM-HUT (KAWASAN INDUSTRI MASYA-RAKAT PERHUTANAN) . Labo-ratorium Penginderaan Jauh dan Pemetaan, Jurusan Ilmu Tanah, FAPERTA Universitas Brawijaya, Ponorogo.

Soenyono. 2006. Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan. Jurnal AGRITEK, Vol.14 No. 1. Edisi Maret, LP3M Institut Pertanian Ponorogo. hal 34-39

Stapleton, C.M.A. & N.H. Xia. 2004. Qiongzhuea and Dendrocalamopsis (Poaceae- Bambusoideae): publication by descriptio generico-specifico and typification. Taxon 53: 526-528.

Stapleton, C.M.A., G. Ní Chonghaile & T.R. Hodkinson. 2004. Sar-ocalamus, a new Sino-Himalayan bamboo genus (Poaceae–Bam-busoideae). Novon 14: 345–349.

Sulastiningsih, I. M, N. Hajidjib dan P. Sutigno.1996. Pengaruh Jumlah Lapisan Terhadap Sifat Bambu Lamina. Buletin Penelitian Hasil Hutan 14 (9) : 366-373.

Thomas R. Soderstrom; Cleofe E. Calderon; Thomas R. Soderstrom; Cleofe E. Calderon; T.R. Soderstrom, C.E. Calderon .1979. A Commentary on the Bamboos (Poaceae: Bambusoideae). Bio-tropica 11 (3): 161–172.

Wahyu Andayani dan Lukman Priyo Sembodo. 2004. Analisis Sistem Bagi Hasil Pola Pengusahaan

Hutan Program PHBM DI KPH PePonorogo. Jurnal HUTAN RAKYAT, Vol.VI No.1, hal 14. Fakultas Kehutanan UGM. Jogya-karta

Widjaja, E. A. 1998. Bamboo diversity in Flores. In H. Simbolon, The Natural Resources of Flores Island. :38-50.

Widjaja, E. A. 2001. Identikit Jenis-jenis Bambu di Kepulauan Sunda Kecil. Bogor: Herbarium Bogoriense, Ba-litbang Botani, Puslitbang Biologi-LIPI.

Widjaja, E.A. 1987. A revision of Malesian Gigantochloa (Poaceae – Bambu-soideae). Reinwardtia 10: 291-380.

Widjaja, E.A., I. Pudjiastuti & I.B.K. Arinasa. 2005. New species of the Balinese bamboos. Reinwardtia 12: 199-204.

Widodo R. DS. 2004. Peran Kabupaten Dalam Rangka Pengelolaan Kawasan Hutan Di Jawa Timur. Jurnal Litbang Jawa Timur,Vol. 3 No 1. hal 40-46

Villejas, Marcelo. 1990. Tropical bamboos. Rizzoli International Pub., NY.

Wong, K.M. 1995. The morphology, anatomy, biology and classification of Peninsular Malaysian bamboos. University of Malaya Botanical Monographs 1: 1-189.

Yunus,M. 2006. Ekonomi Politik Kebijakan Pemanfaatan Hasil Hutan Di Indonesia. Jurnal AGRITEK, LPPM Institut Pertanian Ponorogo. Vol.14 No.1, hal. 218.

Zhang, W. & L.G. Clark. 2000. Phylogeny and classification of the Bambusoideae (Poaceae), pp. 35-42 in S. W. L. Jacobs and J. Everett, Grass systematics and evolution. Melbourne, Australia: CSIRO Publishing.

1234

Page 23: Hutan Bambu Ponorogo

AGRITEK VOL. 17 NO. 6 NOPEMBER 2009 ISSN. 0852-5426

1235