Husnul Khatimah Dan Su

4
Husnul Khatimah Dan Su’ul Khatimah Husnul Khatimah berarti kesudahan yang baik, yakni kematian dalam keadaan iman kepada Allah. Lawannya adalah Su’ul Khatimah. Kedua istilah ini tidak dikenal dalam Al-Qur’an, tapi ada sekian banyak hadits yang mengarah pada maknanya. Imam Muslim, melalui Abu Hurairah, meriwayatkan bahwa seseorang boleh jadi melakukan amal-amal penghuni surga dalam waktu yang lama tapi dia menutup amalnya dengan amalan penghuni neraka, demikian pula sebaliknya. Dalam konteks ini Nabi saw. Bersabda: Innama al-A’malu bil Khawatim (HR. Bukhari melalui Sahl bin Sa’ad), yakni “seseorang dinilai sesuai akhir amalnya.” Nah, yang amal pungkasannya adalah amal penghuni neraka itulah, yang kematiannya dinamai su’ul khatimah. Dan yang amal terakhirnya merupakan amalan penghuni surga, kematiannya husnul khatimah. Banyak ulama menggarisbawahi bahwa su’ul khatimah tidak akan dialami seseorang selama secara lahir dan batin amal-amalnya baik dan tulus kepada Allah SWT. Kesudahan buruk itu bisa terjadi bagi mereka yang tidak tulus, atau seringkali melakukan dosa besar, walau dalam saat lain perjalanan hidupnya ia melakukan amal-amal baik. Mereka itulah yang berhasil diperdaya oleh setan pada detik-detik akhir hidupnya sehingga dia terjerumus dalam su’ul khatimah. Di sisi lain perlu diingat, hati manusia berbolak-balik. Hati tidak dinamai qalbu yang secara harfiah berarti berbalik, kecuali karena dia berbolak-balik. Yang tidak mantap dapat berubah, sekali senang dan sekali susah, sekali percaya dan di kali lain ingkar walau terhadap objek yang sama. Karena itu Rasul saw. Seringkali berdoa: Ya Muqallibal Qulub, Tsabbit Qalby ‘ala. Tha’atika / Wahai Tuhan yang membolak-balikkan hati, mantapkanlah hatiku dalam ketaatan kepada-Mu. Istri beliau, Aisyah r.a., pernah bertanya kepada beliau, “Wahai Rasul, engkau seringkali berdoa demikian, apakah engkau takut?” Beliau menjawab,”Apa yang menjadikan aku merasa aman, padahal hati hamba-hamba Allah berada ‘antara dua jari Allah Yang Maha Perkasa’. Kalau Dia berkehendak Dia dapat membolak baliknya.” (HR. Ahmad melalui Aisyah).

description

assalam

Transcript of Husnul Khatimah Dan Su

Page 1: Husnul Khatimah Dan Su

 Husnul Khatimah Dan Su’ul Khatimah

Husnul Khatimah berarti kesudahan yang baik, yakni kematian dalam keadaan iman kepada Allah. Lawannya adalah Su’ul Khatimah. Kedua istilah ini tidak dikenal dalam Al-Qur’an, tapi ada sekian banyak hadits yang mengarah pada maknanya. Imam Muslim, melalui Abu Hurairah, meriwayatkan bahwa seseorang boleh jadi melakukan amal-amal penghuni surga dalam waktu yang lama tapi dia menutup amalnya dengan amalan penghuni neraka, demikian pula sebaliknya. Dalam konteks ini Nabi saw. Bersabda: Innama al-A’malu bil Khawatim (HR. Bukhari melalui Sahl bin Sa’ad), yakni “seseorang dinilai sesuai akhir amalnya.” Nah, yang amal pungkasannya adalah amal penghuni neraka itulah, yang kematiannya dinamai su’ul khatimah. Dan yang amal terakhirnya merupakan amalan penghuni surga, kematiannya husnul khatimah.

Banyak ulama menggarisbawahi bahwa su’ul khatimah tidak akan dialami seseorang selama secara lahir dan batin amal-amalnya baik dan tulus kepada Allah SWT. Kesudahan buruk itu bisa terjadi bagi mereka yang tidak tulus, atau seringkali melakukan dosa besar, walau dalam saat lain perjalanan hidupnya ia melakukan amal-amal baik. Mereka itulah yang berhasil diperdaya oleh setan pada detik-detik akhir hidupnya sehingga dia terjerumus dalam su’ul khatimah.

Di sisi lain perlu diingat, hati manusia berbolak-balik. Hati tidak dinamai qalbu yang secara harfiah berarti berbalik, kecuali karena dia berbolak-balik. Yang tidak mantap dapat berubah, sekali senang dan sekali susah, sekali percaya dan di kali lain ingkar walau terhadap objek yang sama. Karena itu Rasul saw. Seringkali berdoa: Ya Muqallibal Qulub, Tsabbit Qalby ‘ala. Tha’atika / Wahai Tuhan yang membolak-balikkan hati, mantapkanlah hatiku dalam ketaatan kepada-Mu. Istri beliau, Aisyah r.a., pernah bertanya kepada beliau, “Wahai Rasul, engkau seringkali berdoa demikian, apakah engkau takut?” Beliau menjawab,”Apa yang menjadikan aku merasa aman, padahal hati hamba-hamba Allah berada ‘antara dua jari Allah Yang Maha Perkasa’. Kalau Dia berkehendak Dia dapat membolak baliknya.” (HR. Ahmad melalui Aisyah).

Pembolak-balikan hati itu, tentu saja tidak dilakukan Allah sewenang-wenang, tetapi melihat lubuk jiwa terdalam seseorang, melihat ketulusan dan keikhlasan, menilai riya’ dan pamrihnya. Karena itu, seseorang tidak boleh merasa yakin dengan amal-amalnya atau berbangga dengannya. Allah berpesan: Janganlah kamu menyatakan diri kamu suci, Dia (Allah) yang lebih mengetahui tentang siapa yang bertaqwa. (QS. An-Najm [53]:32). Sekian banyak bunga yang mekar, tiba-tiba layu dan kering ditimpa teriknya matahari. Sekian banyak orang di pagi hari salat di masjid bersama hamba-hamba Allah yang taat, dan di malam hari berada di klub malam, bergelimang dosa bersama para setan dan jin.

Kehadiran ajal tidak diketahui oleh siapa pun. Siapa tahu kehadirannya pada saat seseorang berada dalam lingkungan dosa, sehingga kematiannya tercatat sebagai su’ul khatimah.

Al-Qur’an Al-Karim mengabadikan dalam surah Al-Baqarah [2]:132, pesan Nabi Ibrahim a.s kepada anak cucunya – yang ditujukan juga kepada Nabi Muhammad saw. Dan ummatnya - : “Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagi kamu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam.”

Pesan ini berarti jangan kamu meninggalkan agama itu walau sesaat pun. Sehingga dengan demikian, kapan pun saatnya kematian datang kepada kamu, kamu semua tetap menganutnya. Kematian tidak dapat diduga datangnya. Jika kamu melepaskan ajaran ini dalam salah satu detik hidupmu, jangan-jangan sampai pada detik itu kematian datang merenggut nyawamu, sehingga kamu mati tidak dalam keadaan berserah diri. Karena itu, jangan sampai ada saat dalam hidup kamu, yang tidak disertai oleh ajaran ini.

Page 2: Husnul Khatimah Dan Su

Sebelum mengakhiri ini, perlu dicatat bahwa terdapat riwayat-riwayat yang mengisyaratkan tentang sifat dan keadaan seorang yang mati dalam husnul khatimah atau su’ul khatimah. Misalnya, “Seorang mukmin wafat dengan keringat di dahinya.” (HR. Ibnu Majah dan At-Tirmidzy melalui Buraidah). Hadits ini dinilai banyak ulama sebagai hadits shahih. Ada juga yang menyatakan bahwa: “Saksikanlah mayat saat meninggalnya. Jika dahinya berkeringat, matanya basah, dan melebar hidungnya, maka itu adalah rahmat dari Allah. Sedangkan bila ia mengeluarkan suara seperti suara sapi/unta yang tercekik, wajahnya berubah, dan berbusa ujung mulutnya, maka itu adalah siksa yang sedang menimpanya.” Hadits ini dinukil oleh Al-Qurthuby sambil menguraikan pendapat ulama tentang sebab tanda-tanda tersebut.

Tetapi sebenarnya uraiannya tidak terlalu penting, karena hadits kedua ini dhaif, sehingga tidak dapat menjadi pertanda kematian yang baik dan buruk. Hadits pertama, walau dari segi rentetan perawinya dinilai shahih oleh sebagian ulama, tetapi para penilainya, antara lain Al-Hakim, dinilai banyak ulama sebagai sangat mudah dan murah penilaiannya (kurang berbobot).

Kendati penulis tidak menemukan riwayat yang dapat dipertanggung jawabkan keshahihannya tentang tanda-tanda dimaksud, tetapi agaknya kita dapat berkata bahwa ketenangan yang menyertai kematian, keceriaan yang nampak pada air muka yang wafat serta pujian orang atas amal-amalnya, dapat menjadi indikator-indikator kesudahan yang baik. Untuk yang terakhir, diriwayatnya oleh Imam Bukhari bahwa suatu ketika ada jenazah yang lewat di hadapan Nabi saw. Sahabat-sahabat beliau memuji yang wafat itu. Maka Nabi saw. Berkomentar singkat: “Wajabat.” Lalu lewat lagi jenazah berikutnya, dan kali ini sahabat-sahabat beliau menyebut keburukannya. Nabi pun berucap: “Wajabat.” Umar bin Khathtab r.a. bertanya kepada beliau: Apakah Wajabat? Nabi saw menjawab: “Yang ini kalian puji, maka wajarlah baginya memperoleh surga, dan yang itu kalian cela, maka wajar pula baginya neraka. Kalian adalah saksi-saksi Allah di permukaan bumi.” (HR. Bukhari melalui Anas bin Malik).

Akhirnya, perlu diingat pesan Rasul saw. Agar setiap orang bersangka baik terhadap Allah swt. Khususnya saat-saat ia sakit atau menjelang kematiannya. Pengkhususan itu diperlukan agar seseorang tidak mengandalkan sangka baiknya sejak dini yang dapat menghilangkan rasa takutnya, lebih-lebih bagi yang berpotensi untuk melakukan pelanggaran, misalnya dalam usia muda dan segar bugar.

Shahabat Nabi saw. Bernama Jabir bin Abdillah menuturkan bahwa tiga hari sebelum Rasulullah saw. Wafat, beliau berpesan: “Janganlah salah seorang di antara kamu wafat, kecuali bersangka baik kepada Allah.” (HR.Bukhari). Tentu saja sangka baik itu hendaknya dibarengi dengan upaya-upaya sungguh-sungguh, bukan hanya bermodalkan sangka baik, dengan mengandalkan hadits-hadits semacam ini, apalagi hadits-hadits yang nilainya lemah. Salah satu dari sekian banyak hadits lemah dalam konteks ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah melalui sahabat Nabi, Anas bin Malik r.a., bahwa Rasul saw. Menjenguk seorang anak muda yang sedang menghadapi maut, lalu beliau bertanya: “Bagaimana keadaanmu?”. Pemuda itu menjawab:”Aku mengharap (rahmat) Allah, tetapi aku takut (karena) dosa-dosaku.” Nabi saw. Bersabda: “Tidaklah (kedua hal itu) berhimpun pada hati seorang mukmin dalam situasi semacam ini, kecuali Allah menganugerahkan kepadanya apa yang diharapkan serta memberinya rasa aman dari apa yang ditakutinya.” (Hadits ini diriwayatkan juga oleh At-Tirmidzy, tetapi dalam rangkaian perawinya terdapat Abu Laila yang dinilai sangat buruk hafalannya, dan dengan demikian hadits ini lemah).

Sumber: Diambil dari buku “Perjalanan Menuju Keabadian” karya M. Quraish Shihab, penerbit Lentera Hati, II, 2004.