Hukum Islam Sukri

200
KEDUDUKAN DAN FUNGSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA BAB II PEMBAHASAN A. Sistem Hukum Di Indonesia Negara Republik Indonesia menganut berbagai sistem hukum, yaitu sistem hukum adat, sistem hukum islam, dan sistem hukum eks barat. Ketiga sistem hukum di maksud, berlaku di negara Indonesia sebelum Indonesia merdeka. Namun demikian, sesudah indonesia merdeka ketiga sistem hukum dimaksud akan menjadi bahan baku dalam pembentukan sistem hukum nasional di Indonesia. Demikian asumsi penulis berdasarkan pendekatan yuridis normatif. Lain halnya bila di amati ketiga sistem hukum tersebut dalam pendekatan yuridis empiris, yaitu di sana sini masih tetap berlaku ketiga sistem hukum tersebut. Ketiga sistem hukum yang di sebutkan di atas, merupakan pencerminan dari sistem hukum yang berlaku di beberapa negara di dunia. Di dunia ini sekurang-kurangnya ada lima sistem hukum yang besar yang hidup dan berkembang, yaitu 1) Sistem common law yang di anut di Inggris dan bekas jajahannya yang saat ini pada umumnya, bergabung dalam negara persemakmuran, 2) Sistem civil law yang berasal dari hukum Romawi, yang di anut di Eropa Barat kontinental dan di bawa ke negara jajahan atau bekas jajahannya oleh pemerintah Kolonial Barat dahulu, 3) Sistem hukum adat di negara Asia dan Afrika, 4) Sistem hukum islam yang di anut oleh orang islam di manapun mereka berada, baik di negara islam maupun di negara lain yang penduduknya beragama Islam, 5) Sistem hukum komunis / sosialis yang di laksanakan di negara-negara komunis / sosialis seperti Uni Soviet dan kroninya atau satelitnya Kalau membicarakan sistem hukum di Indonesia perlu mengetahui dan memahami bahwa sistem hukum di maksud adalah yang berasaskan pancasila. Pancasila sebagai asas yang menjadi pedoman dan bintang pemandu terhadap Undang-Undang dasar 1945, Undang-Undang dan peraturan lainnya. Oleh karena itu, pancasila sebagai norma fundamental negara membentuk norma- norma hukum bawahannya secara berjenjang. Norma hukum yang di bawah terbentuk berdasar dan bersumber pada norma hukum yang

Transcript of Hukum Islam Sukri

KEDUDUKAN DAN FUNGSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA

BAB IIPEMBAHASAN

A. Sistem Hukum Di IndonesiaNegara Republik Indonesia menganut berbagai sistem hukum, yaitu sistem hukum adat, sistem hukum islam, dan sistem hukum eks barat. Ketiga sistem hukum di maksud, berlaku di negara Indonesia sebelum Indonesia merdeka. Namun demikian, sesudah indonesia merdeka ketiga sistem hukum dimaksud akan menjadi bahan baku dalam pembentukan sistem hukum nasional di Indonesia. Demikian asumsi penulis berdasarkan pendekatan yuridis normatif. Lain halnya bila di amati ketiga sistem hukum tersebut dalam pendekatan yuridis empiris, yaitu di sana sini masih tetap berlaku ketiga sistem hukum tersebut. Ketiga sistem hukum yang di sebutkan di atas, merupakan pencerminan dari sistem hukum yang berlaku di beberapa negara di dunia. Di dunia ini sekurang-kurangnya ada lima sistem hukum yang besar yang hidup dan berkembang, yaitu1) Sistem common law yang di anut di Inggris dan bekas jajahannya yang saat ini pada umumnya, bergabung dalam negara persemakmuran,2) Sistem civil law yang berasal dari hukum Romawi, yang di anut di Eropa Barat kontinental dan di bawa ke negara jajahan atau bekas jajahannya oleh pemerintah Kolonial Barat dahulu,3) Sistem hukum adat di negara Asia dan Afrika,4) Sistem hukum islam yang di anut oleh orang islam di manapun mereka berada, baik di negara islam maupun di negara lain yang penduduknya beragama Islam,5) Sistem hukum komunis / sosialis yang di laksanakan di negara-negara komunis / sosialis seperti Uni Soviet dan kroninya atau satelitnya Kalau membicarakan sistem hukum di Indonesia perlu mengetahui dan memahami bahwa sistem hukum di maksud adalah yang berasaskan pancasila. Pancasila sebagai asas yang menjadi pedoman dan bintang pemandu terhadap Undang-Undang dasar 1945, Undang-Undang dan peraturan lainnya. Oleh karena itu, pancasila sebagai norma fundamental negara membentuk norma-norma hukum bawahannya secara berjenjang. Norma hukum yang di bawah terbentuk berdasar dan bersumber pada norma hukum yang lebih tinggi, sehingga tidak terdapat pertentangan antara norma hukum yang lebih tinggi dan yang lebih rendah, begitu juga sebaliknya. Hal itu, menunjukkan bahwa pancasila sebagai cita hukum dalam kehidupan hukum bangsa Indonesia di satu pihak lain sebagai sistem norma hukum yang menjadi norma fundamental negara dan aturan tertulisnya terdapat dalam pembukaan dan Batang tubuh UUD 1945, menunjukkan bahwa cita hukum menjadi bintang pemandu dan sistem norma hukum yang terdiri atas berbagai jenjang norma hukum yang secara riil dan konkrit perilaku kehidupan hukum rakyat indonesia. Keduanya di lahirkan bersamaan dan dari satu induk pula, yaitu konsensus para pendiri negara Republik Indonesia pada tanggal 17 agustus 1945. Hukum indonesia sebagai suatu sistem yang berlaku di negara republik indonesia sebelum Indonesia merdeka. Namun, sesudah Indonesia merdeka ketiga sistem tersebut, akan menjadi bahan baku dalam pembentukan sistem hukum nasional di Indonesia.

B. Perbandingan Antara Sistem Hukum Islam Dengan Sistem Hukum Lainnya Perbandingan antara sistem Hukum Islam dengan sistem Hukum Adat dan eks Barat. Ketiga sistem hukum di maksud, akan di bandingkan mengenai apa yang kelihatan dan berlaku di Indonesia. Caranya adalah melihat hal-hal sama dengan menyebut hal yang agama itu, akan kelihatan perbedaannya sebagai berikut :1. Keadaanya

Ketiga sistem hukum yang berlaku di Indonesia yang di maksud, walaupun keadaan dan saat mulai berlakunya tidaklah sama baik pendekatan yuridis normatif maupun pendekatan yuridis empiris.Hukum adat telah lama berlaku di Nusantara ini. Namun, keberlakuannya tidak dapat di ketahui secara pasti, melainkan dapat si katakan bahwa jika di bandingkan dengan kedua hukum lainnya, hukum adatlah yang tertua umurnya. Sebelum tahun 1972 kadaannya biasa saja, hidup dan berkembang dalam masayarakat Indonesia.Hukum islam mulai di kenal oleh penduduk yang mendiami Nusantara ini setelah agama islam di sebarkan di Indonesia. Namun, belum ada kesepakatan para ahli sejarah Indonesia mengenai waktu mulainya masuk agama islam ke Indonesia. Ada yang berpendapat pada abad ke-1 Hijriyah/7 Masehi, islam baru masuk ke Nusantara. Selain itu, ada yang berpendapat abad ke-13 masehi. Walaupun para ahli berbeda pendapat mengenai masuknya islam ke Indonesia. Namun, dapat di katakan bahwa setelah penduduk yang mendiami Nusantara ini memeluk agama Islam, hukum islam telah di ikuti dan di laksanakan oleh pemeluknya. Hal ini dapat di lihat dari studi para pujangga yang hidup pada zaman itu mengenai hukum Islam dan perannya dalam menyelesakan perkara-perkara yang timbul dalam masyarakat. Setelah Belanda menjajah nusantara ini, perkembangan hukum Islam ”dikendalikan” dan sesudah tahun 1927, tatkala teori resepsi mendapat landasan peaturan perundang-undangan (IS 1925), menurut Hazairin yang di kutip oleh Muhammad Daud Ali, perkembangan hukum Islam di hambat di wilayah Nusantara. Hukum eks barat adalah hukum yang berasal dari hukum Romawi yang di anut oleh orang eropa barat kontinental. Hukum dimaksud diperkenalkan pemerintah Kolonial Belanda ketika berdagang di Indonesia. Hukum Barat mula-mula hanya diberlakukan kepada orang Belanda dan orang Eropa saja, lambat laun melalui berbagai upaya peraturan perundang-undangan (pernyataan penundukan dengan sukarela, pemilihan hukum, dan sebagainya), hukum barat itu di nyatakan berlaku juga bagi mereka yang di samakan dengan orang Timur Asing (terutama orang Cina), dan orang Indonesia. Sebagai hukum bagi golongan yang berkuasa pada waktu itu di Nusantara ini keadaan hukum Barat jauh lebih baik dan menguntungkan dari keadaan kedua sistem hukum di atas (Adat dan Islam) bagi pemerintah kolonial Belanda.Hukum Adat dan hukum Islam adalah hukum bagi orang-orang Indonesia asli (Bumiputra) dan mereka yang di samakan dengan penduduk Bumi putra. Keadaan itu di atur oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu sejak tahun 1854 sampai dengan mereka meninggalkan Nusantara ini pada tahun 1942

2. BentuknyaPada dasarnya hukum Adat adalah hukum yang tidak tertulis. Ia tumbuh dan berkembang dan hilang sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat. Pada zaman itu, sedang di adakan usaha-usaha untuk mengangkat Hukum Adat menjadi hukum perundang-undangan dan dengan begitu di usahakan memperoleh bentuk tertulis. Sebagai contoh Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960. namun, hukum Adat yang telah menjadi hukum tertulis menjadi lain bentuknya dari Hukum Adat sebelumnya. Ia menjadi hukum dalam bentuk perundang-undangan. Hukum Islam dalam bentuknya : 1) Hukum islam dalam hal tertentu dapat bermakna syariat islam2) Hukum islam dalam hal lain dapat bermakna fikih yang biasa di sebut hukum fikih3) Hukum islam dalam hal lain lagi dapat bermakna tidak tertulis dalam pengertian tidak tertulis dalam peraturan perundang-undangan seperti halnya Hukum Adat.Hukum Islam dalam pengertian syariah,fikih, dan tidak tertulis dipatuhi oleh sebagian besar umat Islam Indonesia berdasarkan kesadaran dan keyakinan mereka bahwa Hukum Islam itu

adalah hukum yang bersumber dari wahyu dan hadist Nabi sehingga wajib di jadikan pedoman oleh umat Islam.Hukum eks Barat, yang di bandingkan dalam hal ini adalah aspek keperdataan, hukum tertulis dalam bahasa Belanda di dalam perundang-undangan atau Kitab Undang-Undang seperti misalnya Burgelijk Wetboek (BW). Namun, karena bahasa yang di pakai oleh hukum tersebut telah menjadi rintangan bagi berlakunya hukum yang tertulis dalam perundang-undangan aslinya, maka hukum eks Barat itu, kini di terjemahkan kedalam bahasa Indonesia., misalnya BW dengan nama Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Terjemahan di maksud merupakan karya pribadi seseorang dan tidak mempunyai kekuatan mengikat seperti Undang-Undang, maka sesungguhnya di dalam praktik di indonesia hukum perdata eks barat itu telah berubah menjadi hukum tidak tertulis secara tidak di nyatakan dengan sadar. Suasana kehidupan hukum di Indonesia telah menjadikan hukum eks barat itu sebagai hukum yang semu tertulis. Selain itu, terjemahannya yang di konsep atau pengertian semula. Selain dari keadaan, bentuk hukum adat, hukum islam, dan hukum eks Barat yang telah di kemukakan secara singkat di atas, ketiga sistem hukum itu mempunyai tujuan masing-masing.C. Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia 1) Teori Receptio in ComplexuHukum Islam di Indonesia telah lama hidup dalam kesadaran hukum masayarakat islam di Indonesia, seiring dengan pertumbuhan agama Islam. Ini dapat di telusuri pada masa awal-awal Islam masuk Indonesia. Sebelum Islam masuk, dalam masyarakat membudaya kepercayaan animisme dan dinamisme. Kemudian, lahir kerajaan-kerajaan, yang masing-masing di bangun atas dasar agama yang di anut mereka, Hindhu Budha, dan di susul kerajaan-kerajaan, yang di dukung para wali pembawa dan penyiar agama Islam. Antara lain berdirilah kerajaan Demak di pesisir utara Jawa Tengah. Praktis sejak saat itu islam tidak saja berfungsi sebagai keyakinan, tetapi juga sebagai paduan amaliah praktis. Raja pada waktu itu mempunyai tiga fungsi utama, yaitu:1. Pemerintahan umum2. Pertahanan dan keamanan3. Penata bidang agamaOleh karena itu, gelar Raja pada saat itu antara lain adalah :1. Sampeyan Dalem Hingkang Sinuhun2. Sinopati Hing Halogo, yakni panglima tertinggi angkatan perang3. Sayidin Panatagama Khalifatullah, yaitu Khalifah Allah pengatur bidang Agama Simbolisasi dari ketiga fungsi tersebut di gambarkan dalam tata letak, antara alun-alun, kraton (sekarang kabupaten ), dan masjid dalam kerajaan- kerajaan islam di jawa yang hingga sekarang masih bisa di jumpai sisa-sisa peninggalannya. Adanya jabatan kanjeng penghulu,. Penghulu tuanku Mufti, tuanku Kadi di samping para raja dan bupati, sampai jabatan lebai, modin, kaum, dan sebagainya di samping lurah, kepala negara / kampung, tidak lain menunjukkan adanya pengaruh dan watak ketatanegaraan dari pelaksanaan syariat Islam di Indonesia. Hukum Islam pernah di terima oleh masyarakat dan berlaku di Indonesia, kendatipun di dominasi oleh fiqh Syafi’iyah.masalah ini mengundang kontroversi di kalangan sarjana barat G.W.J.Drewes mengemukakan perdebatan seputar masalah tersebut dalam tema ” pemahaman baru tentang kedatangan Islam di Indonesia ?” sementara pendapat yang lain mengatakan bahwa pastilah orang- orang Arab itu berasal dari sebuah negri yang memegang madzab tersebut. Hukum adat setempat dalam keyataannya sering menyesuaikan diri dengan Hukum Islam. Misalnya, di Banten pada kekusaan Sultan Agung Tirtayasa, Hukum Adat dan Hukum Agama tidak ada bedanya. Di Sulawesi, di Wajo, hukum waris di selesaikan dengan menggunakan Hukum Islam dan Hukum Adat. Keduaanya menyatu dan Hukum Adat

menyesuaikan diri dengan Hukum Islam. Dengan kata lain, sosialisasi Hukum Islam pada waktu itu berjalan sangat hebat. Sultan agung menyebut dirinya sebagai Abdul Rahman Khaalifatullah Sayidi Panatagama. Atas dasar penerimaan Hukum Islam sebagai norma hukum yang berlaku dalam masayarakat, muncullah teori Receptio in Complexu yang di introdusir oleh Van den Berg.Kenyataan ini dapat di dukung oleh bukti-bukti historis berikut ini :a. Di daerah bone dan goa sulawesi selatan, di pergunakan kitab muharram dan Pepaken Cirebon serta peraturan lain yang di buat B.J.D. Cloowijk. Jadi selama VOC berkuasa selama dua abad (1602-1800 M), kedudukan Hukum Islam tetap seperti semula, berlaku dan berkembang di kalangan kaum Muslimin Indonesia. b. Dalam status Batavia 1642 m di sebutkan bahwa : ” sengketa warisan antara orang peribumi yang beragama islam harus diselesaikan dengan mempergunakan Hukum Islam, yakni hukum yang dipakai oleh rakyat sehari- hari.” menindaklanjuti klausa tersebut, D.W.Freijer menyusun compendium (buku ringkasan ) mengenai hukum perkawinan dan kewarisan islam, setelah direvisi dan disempurnakan oleh para penghulu, diberlakukan di daerah jajahan VOC, yang kelak dikenal dengan Compedium Freijer.c. Tanggal 25 mei 1760 M, VOC mengeluarkan peraturan senada yang di sebut dengan resolutie der indiscase regeering untuk di berlakukan.d. Salomon Keyzer (1823-1868M) dan Cristian Van De Berg (1845-1927M) membiarkan Hukum Islam berlaku bagi masyarakat islam. Mereka menyatakan bahwa hukum mengikuti agama yang diikuti seseorang. Sebenarnya pada awal abad ke-19 telah muncul sikap- sikap curiga dari sebagian pejabat kolonia. Ketua mahkama agung Belanda, Scholten Van out Harlem misalnya, menasehati para pejabat di Hindia Belanda agar berhati- hati. Namun sejauh itu, ia tetap menegaskan agar bagi kaum muslimin tetap di berlakukan hukum agamanya (pasal 75, regeering reglement, 1854).Untuk kepentingan ini, pemerintah Belanda melakukan pengawasan dengan di keluarkannya peraturan-peraturan sebagaimana di jelaskan Munawir Sjadzali:1. Bulan september 1808 M ada sebuah instruksi dari pemerintah Hindia Belanda kepada para bupati yang berbunyi : ” terhadap urusan – urusan agama orang-orang Jawa tidak akan di lakukan ganguan-gangguan, sedangkan pemuka-pemuka agama mereka di biarkan untuk memutuskan perkara-perkara tertentu dalam bidang perkawinan dan kewarisan dengan syarat tidak ada penyalah gunaan, dan banding dapat dimintakan kepada hakim banding. 2. Tahun 1820 M melalui Staatblad No. 22 pasal 13 di tentukan bahwa Bupati wajib memperhatikan soal-soal agama dapat melakukan tugas mereka sesuai dengan adat kebiasaan orang Jawa seperti soal perkawinan, pembagian pusaka, dan yang sejenis. Dari istilah bupati, dalam ketentuan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa peradilan agama telah ada diseluruh pulau Jawa. 3. Tahun 1823 dengan resolusi gubernur jendral tanggal 3 juni 1823 No. 12 diresmikan pengadilan agama di kota Palembang yang di ketuai oleh pangeran penghulu. Adapun banding dapat di mintakan kepada sultan. Wewenang pengadilan agama Palembang meliputi : (a) perkawinan, (b) perceraian, (c) pembagian harta, (d) kepada siapa di serahkan anak apabila orang tua bercerai, (e) apa hak masing-masing orang tua terhadap anak tersebut, (f) pusaka dan wasiat, (g) perwalian, dan(h) perkara-perkara lain yang menyangkut agama. 4. Tahun 1835M melalui resolusi tanggal 7 desember 1835, stbl. 1835 No. 58 pemerintah mengeluarkan penjelasan tentang pasal 13 stbl. 1820 No. 20 yang isinya sebagai berikut : “ apabila terjadi sengketa antara orang-orang Jawa satu sama lain mengenai soal-soal perkawinan, pembagian harta, dan sengketa-sengketa sejenis, yang harus di putus menurut hukum Islam, para pemuka agama memberi keputusan, tetapi gugatan untuk mendapat

pembayaran yang timbul dari keputusan para pemuka agama itu harus di ajukan kepada pengadilan-pengadilan biasa.”5. Klimaksnya, melalui stbl, 1882 No. 152 karena pemerintah belanda tidak mampu menerapkan undang-undang agama bagi kaum Bumi putera, dibentuklah pengadilan agama dengan nama yang salah, priessteraad atau pengadilan negeri. Wewenangnya meliputi perkara-perkara yang terjadi antara orang-orang Islam dan diselesaikan menurut hokum Islam.

2) Teori ReceptieMasuknya pemerintah kolonia Belanda ke Indonesia, membawa perubahan-perubahan dalam pelaksanaan hokum Islam, meskipun secara formal hokum Islam tetap di berlakukan. Hal ini di dasari oleh adanya kecurigaan dari sebagian pejabat Belanda pada awal abad ke – 19, meskipun mereka relative berhati-hati membuat peryataan. Menurut Daniel S.Lev, ketegangan ini adalah bagian ”politisasi” kekuatan islam menghadapi penguasa-penguasa Non-Islam. Selanjutnya ia mengganbarkan sebagai berikut:“Sejak mula-mula islam melebarkan sayabnya di Indonesia, telah timbul ketegangan- ketegangan, kadang-kadang tampak samar-samar dan tertahan, dan terkadang pula nyata dan kasar, yaitu antara tuntutan ke arah kekuasaan yang kenyataan ke dalam bersifat Non-Islam, maupun yang bersifat sinkretis keagamaan” Kompetisi dari wujud kecurigaan tersebut, pemerintah colonial mengintrodusir istilah het indische adatrecht atau hokum Adat Indonesia. gagasan ini di sponsori oleh Cornelis Van Vollenhoven (1874-1933). Kemudian di kembangkan oleh seorang penasihat pemerintah Hindia Belanda tentang soal-soal Islam dan anak negeri jajahan.Dalam gagasan mereka, intinya bahwa hokum yang berlaku bagi orang Islam adalah hukum Adat mereka masing-masing. Hukum Islam dapat berlaku apabila telah di resepsi atau di terima oleh Hukum Adat. Jadi, hukum adatlah yang menentukan ada tidaknya Hukum Islam. Dari sinilah kemudian lahir teori Receptie.Muatan politik teori Receptie ini ada prinsip divide et impera yang bertujuan untuk menghambat dan menghentikan meluasnya hukum Islam dan membentuk konsep hukum tandingan yang mendukung politik pecah belah pemerintah kolonial. Musuh kolonialisme, menurutnya bukanlah Islam sebagai Agama., melainkan Islam sebagai doktrin politik. Ia melihat kenyataan bahwa Islam seringkali menimbulkan bahaya terhadap kekuasaan Belanda. Seperti kata Daniel s Lev, meskipun ia tahu bahwa islam di indonesia banyak bercampur dengan kepercayaan animisme dan Hindu, ia tahu bahwa orang Islam negeri ini memandang agamanya sebagai alat pengikat kuat yang membedakan diri dari orang lain. Melalui usaha-usaha terus menerus dan sistematis, Hurgronje berhasil mengganti teori Receptio in Complexu menjadi teori Receptie.Dalam wujud peraturan, teori ini mulai di terapkan pada pasal 134 ayat 2 IS yang sama bunyinya dengan artikel pasal 78 R.R. 1855 dan R.R 19076 dan R.R 1919, yang berbunyi: ”Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang islam akan di selesaikan oleh hakim agama Islam apabila keadaan tersebut telah di terimah oleh Hukum Adat mereka dan sejauh tidak di tentukan lain oleh ordonasi.” Dalam teori Receptie, yang ada adalah Hukum Adat sementara Hukum Islam di anggap tidak ada. Hukum Islam di anggap eksis, berarti, dan bermanfaat bagi kepentingan pemeluknya, apabila Hukum Islam tesebut telah di resepsi oleh Hukum Adat.Menindak lanjuti pasal 134 ayat 2 IS tersebut, pada tahun 1929 pasal 134 ayat 2 di ubah menjadi : ” dalam hal ini terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam akan di selesaikan oleh hakim agama Islam apabila Hukum Adat merka menghendakinya, dan sejauh tidak di tentukan lain dengan suatu ordonasi.” dalam Stbl. 1937 No. 116 di nyatakan bahwa : ” pengadilan agama di Jawa dan madura hanya berwenang memeriksa perkara perkawinan saja,

sedangkan perkara waris yang selama beabad-abad menjadi kewenangannya yang di serahkan kepada pengadilan negeri.”Gerakan awal ini setidaknya di dasari oleh anggapan bahwa pusat kekuatan Islam sebagai kekuatan politok, adalah di Jawa dan Madura. Karena itu jika peradilan Agama di Jawa dan Madura telah berhasil dipaksa dengan ”dikebiri” sebagian wewenangnya, maka untuk wilayah luar Jawa dan Madura akan lebih muda di laksanakan.Setelah Jawa dan Madura berhasil ”di jinakkan” pada tahun yang sama serta melalui Stbl. 1937 No. 638 dan 639 .yang formalnya membentuk kerapatan qadhi dan qadhi besar untuk wilayah Kalimantan Selatan, kewenangannya dibatasi sebagaimana peradilan agama di jawa dan madura. Apabila dirinci, kewenangan pengadilan agama Dijawa dan Madura serta Kalimantan selatan berdasarkan stbl.1937 No. 116 adalah :1. Perselisihan antara suami dan istri yang beragama islam 2. Perkara-perkara tentang (a) nikah, (b) talak , (c) cerai rujuk, (d) perceraian antara orang-orang yang beragama islam yang memerlukan perantaraan hakim agama Islam3. memberi keputusan perceraian4. menyatakan bahwa syarat untuk jatuhnya talak yang digantung (taklik talak) sudah ada5. perkara mahar6. perkara tentang keperluan kehidupan istri yang wajib di adakan oleh suamiMasalah-masalah yang berkaitan dengan masalah kebendaan seperti masalah wakaf, waris, wasiat, hibah, hadhanah, sedekah, baitul mal, menjadi wewenang peradilan umum sementara untuk wilayah luar jawa-madura dan kalimantan selatan tetap berlaku hukum islam tanpa ada pembatasan. Di sisi lain, pada tahun 1937 juga dalam stbl. No. 610 di bentuk hof voor islamietische zaken (mahkama islam tinggi), sebagai pengadilan tingkat banding untuk pengadilan agama. Boleh jadi, ini ditempuh sebagai langkah persuasi–untuk tidak mengatakan hati-hati agar tidak terlalu drastis dan mengundang kecurigaan.Kendatipun demikian, kebijakan hurgronje dengan politik islamnya, melalui teori receptie memicu timbulnya reaksi keras dari umat islam Indonesia. Prof. Hazairin misalnya, menyebutnya sebagai teori iblis. Menurut dia teori ini tidak sejalan dengan iman orang islam. Dengan teori ini orang islam diajak untuk tidak mematuhi al-quran dan sunnah rasulnya. Karena jelas sekali tujuan teori receptie adalah merintangi kemajuan Islam Indonesia.Pengaruh teori receptie cukup besar, untuk tidak mengatakan sangat besar. Bukan saja pada para sarjana yang hidup pada masa-masa sebelum kemerdekaan dan di berlakukannya Undang-Undang dasar 1945 yang secara formal menghapus teori tersebut, tetapi juga hingga pertengahan dekade 70-an banyak hakim dalam lingkungan peradilan umum yang diminta menyelesaikan kasus warisan orang islam, diselesaikan menurut Hukum Adat.

3) Teori Receptio a ContrarioGaung dan teori reseptie dalam masyarakat ternyata berjalan cukup ramah dan telah menguasai Hukum Indonesia teori yang menurut Sajuti Tholib, secara formal lahir melalui I.S 1929 pasal 134, hemat menulis bukan saja menguasai pikiran hingga masa-masa menjelang di undangkannya Undang-Undang dasar 1945 , tetapi bahkan hingga akhir dekade 90 an kecenderungan tersebut masih sangat di rasakan dan kelihatan jelas. Memang dalam waktu yang sama telah mulai muncul kesadaran di dalam sebagian masyarakat muslim, bahwa kelahiran UUD 1945 Seharusnya telah menggantikan UU negara jajahan Hindia Belanda. Pada saat BPUPKI merumuskan dasar negara , para pemimipin islam berusaha memulihkan dan memdudukkan Hukum Islam dalam negara Islam yang merdeka. Dalam piagam jakarta 22 juni 1945, disepkati bahwa negara berdasarkan ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Namun demikian atas desakan pihak Kristen atau

versi lain menyebut utusan dari wilayah negara Indonasia bagian timur dengan alasan kesatuan dan persatuan, panitia sembilan akhirnya mengeluarkan tujuh kalimat tersebut dari pembukaan UUD 45 dan diganti dengan kata ”Yang Maha Esa” yang menurt Daud Ali mengandung norma dan garis hukum.

Pada Tahun 1950 Dalam Konfrensi Departemen Kehakiman Di SalaTiga Prof. Hazairin telah mengalah suatu analisis dan pandangan agar Hukum Islam itu berlaku di Indonesia , tidak berdasar pada Hukum Adat. Berlakunya Hukum Islam menuru Hazairin, supaya di sandarkan pada penunjukkan peraturan perundang-undangan sendiri. Sama seperti Hukum Adat selama ini yang dasar memperlakukan Hukum Adat itu sendiri ialah berdasar sokongan peraturan perundang-undangan. Karena itu, haruslah di persiapkan dan di sebutkan perundang-undangan untuk itu.Pada bagian lain, mengomentari pasal 29 UUD 1945 ayat 1 hanya mungkin di tafsirkan, di antaranya sebagai berikut: 1. Dalam negara Indonesia tidak boleh terjadi atau berlaku sesuatu yang bertentngan dengan kaidah-kaidah Islam bagi Islam, atau bertentangan dengan kaidah-kaidah Nasrani bagi umat Nasrani, atau yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama Hindu Budha bagi orang-orang Hindu-Bali, atau yang bertentangan dengan kesusilaan agama Budha bagi orang Budha.2. Negara Republik Indonesia wajib menjalankan syari’at Islam bagi orang Islam, syariat Nasrani bagi orang Nasrani, dan syari’at Hindu Bali bagi orang Hindhu Bali. Sekedar menjalankan syariat tersbut memerlukan perantaraan kekuasaan negara.3. Syariat yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara untuk menjalankannya, dan karena itu dapat di jalankan sendiri oleh setiap pemeluk agama yang bersangkutan, menjadi kewajiban pribadi terhadap Allah bagi setiap orang menjalankannya sendiri menurut agamanya masing-masing. Boleh jadi karena gigihnya perjuangan Hazairin dalam usaha memberlakukan hukum Islam di Indonesia, maka oleh Daniel s. Lev ia dianggap tokoh yang menginginkan pembaharuan di Indonesia secara spektakuler dan radikal untuk melaksanakan ijtihad dalam rangka mengembangkan mazhab Indonesia sendiri. . Tidak informasi yang jelas, mengapa masih ada saja orang-orang islam yang belum menerima dan menyadari kenyataan sejarah tersebut. Ada yang secara terang-terangan ingin mempertahankan teori iblis itu. Bahkan seperti akan dijelaskan nanti, hingga menjelang kelahiran Undang-Undang No 7 tahun 1989 tentang peradialan agama, mereka juga menentang habis-habisan, meskipun pada akirnya harus menerima fakta sejarah yang menginginkanya sejak lama Meskipun harus diakui bahwa kendati hukum Islam telah di terima sebagai sistem yang berlaku sepenuhnya bagi umat islam dengan mengeluarkan Hukum Adat,atau dengan kata lain Hukum Adat baru berlaku apabila tidak bertentangn dengan Hukum Islam, wacana materiilnya terbatas pada hukum-hukum yang diatur dalam perundang-undangan. Dari sinilah dengan teori receptie excit atau receptio a contrario. Pada tahun 1970 keluar Undang-Undang No14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Dalam pasal 10 UU tersebut di jelaskan bahwa dalam negara Republik Indonesia terdapat empat lingkungan peradilan, yaitu (a) peradilan umum, (b) peradialan agama, (c) peradilan tata usaha, dan peradilan militerSecara yuridis formal, klausur tersebut memberikan konsenci hukum bahwa Hukum Islam menjadi dasar hukum materil bagi kaum muslimin yang berurusan di pengadilan Agama. Menindak lanjuti amanat UU no 14 tahun 1970 tersebut, setelah empat tahun lahir Undang-Undang no 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Menurut Prof Mahadi, sejak berlakunya UU No 1/1970 tersebut berarti telah sampailah ajal teori iblis tersebut. Pasal 2 ayat 1 menyartakan bahwa :” perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-

masing agama dan kepercayaannya itu”. Praktis dengan mengacu pada pasal tersebut, ketentuan Hukum Agama, ukur sah tidaknya suatu perkawinan dan segala akibat hukumnya. Dengan kata lain, Hukum Islam, secara langsung berlaku tanpa harus melalui diresipil oleh Hukum adat.Memang Undang-Undang perkawinan tersebut dalam konteks pelaksanaa hukum perkawinan Islam masih punya ”ganjalan”. Pasal 63 UU no 1/1974 menegaskan pengadilan agama baru dapat di eksekusi setelah ada siap eksekusi dari pengadila negeri. Secara teoristis fiat eksekusi tersebut lebih bersifat administratif, tetapi dalam pelaksaanya tidak jarang terjadi pelampauan kewenangan dari pengadilan negeri. Sehingga berakibat menurunkan nilai sebuah keputusan hakim yang berkekuatan Hukum tetap. Artinya, eksekusi terhadap putusan pengadilan agama tidak dapat dijalankan.

D. Kedudukan Hukum Islam dalam Ketatanegaraan Indonesia Kedudukan Hukum Islam dalam Ketatanegaraan Indonesia dalan ketatanegaraan Indonesia dibagi dalam dua periode :1. periode penerimaan hukum islam sebagai sumber persuasif2. periode penerimaan hukum islam sebagai sumber autoritatif1) dalam hukum konstitusi di kenal persuasive-source dan authotive source. Sumber persuasive ialah sumber yang orang harus di yakinkan untuk menerimanya, sedangkan sumber yang autoritatif ialah sumber yang mempunyai kekuatan (authority).Dengan proklamasi kemerdekaan 17 agustus 1945 dan berlakunya UUD 1945, walaupun tanpa memuat ketujuh kata dari Piagam Jakarta, teori resepsi yang dasar hukumnya IS dengan tidak berlakunya UUD 1945, teori resepsi kehilangan dasar hukumnya.Dengan berlakunya UUD 1945 yang aturan peralihannya pasal 11-nya menetapkan, ” segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum di adakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini. ” tidak dengan sendirinya pasal 134 (2) IS itu tetap berlaku karena dasar hokum yang di tetapkan oleh suatu undang-undang dasar yang tidak berlaku lagi tidak dapat di jadikan dasar hokum bagi suatu Undang-Undang Dasar baru yang sama sekali tidak mengatur soal itu.Setelah berlakunya UUD 1945, hokum islam berlaku bagi bangsa Indonesia yang beragama islam karena kedudukan hokum islam itu sendiri, bukan karena ia telah di terima olh hokum adapt. Pasal 29 UUD 1945 mengenai agama menetapkan :1) Negara berdasar atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa.2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadatmenurut agamanya dan kepercayaannya itu.Selama 14 tahun, dari tanggal 22 juni 1945 waktu di tandatangani gentlement agrement antara pemimpin-pemimpin nasionalis sekuler dan nasionalis islam sampai tanggal 5 juli 1959, sebelum Dekrit Presiden RI di undangkan, kedudukan ketentuan ” kewajiban menjalankan syari’at islam bagi pemeluk-pemeluknya” adalah persuasiei source. Sebagaimana semua hasil sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan adalah persuasive source bagi grondwet interpretatie dari UUD 1945 maka piagam Jakarta sebagai salah satu dari sidang badan penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan juga merupakan persuasive source dari UUD 1945. 2) barulah dengan di tempatkannya Piagam Jakarta dalam Dekrit Presiden RI tanggal 5 Juli 1959, Piagam Jakarta atau penerimaan hukum Islam telah menjadi authotive source, sumber autoratif dalam hukum tata negara Indonesia, bukan sekedar persuasive source atau sumber hukum persuasif.Untuk mengetahui dasar hukum Piagam Jakarta dalam konsiderans Dekrit Presiden RI tanggal 15 Juli 1959, perlu di pelajari dasar hukum pendahuluan atau preambule dalam suatu konstitusi dan konsiderans atau timbangan dari suatu peraturan perundangan.

Sebagaimana kita ketahui, Piagam Jakarta itu semula merupakan pembukaan dari Rancangan UUD 1945 yang di buat oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan. Kemudian dalam konsiderans Dekrit Presiden di tetapkan : ” bahwa kami berkenyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 juni 1945 menjiwai UUD 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dalam konstitusi tersebut.”Menurut hukum tata negara Indonesia, preambule atau konsiderans, bahkan penjelasan peraturan perundangan, mempunyai kedudukan UUD adalah rangkaian kesatuan dari suatu konstitusi. Begitu pula, konsiderans dan penjelasan peraturan perundangan adalah bagian integral dari suatu peraturan perundangan. Sebelum adanya UU No. 3/1975 tentang partai politik dan golongan karya, semata-mata merupakan pendapat para sarjana. Dengan penjelasan pasal demi pasal dari pasal 3 UU No.3/1975 di jelaskan : 1) a. yang di maksud dengan UUD 1945 dalam huruf a pasal ini meliputi Pembukaan, Batang Tubuh dan penjelasannya. ” dengan demikian maka preambule atau konsiderans dari UUD dan peraturan perundangan adalah mempunyai kekuatan hukum.Dalam Dekrit Presiden RI 15 Juli 1959 itu, selain di tetapkan Piagam Jakarta dalam konsiderans, dalam diktum di tetapkan pula ” menetapkan UUD 1945 berlaku lagi”. Dengan demikian dasar hukum Piagam Jakarta dalam konsiderans dan dasar hukum UUD 1945 dan peraturan perundangan yang di namakan Dekrit Presiden. Keduanya menurut hukum tata negara indonesia mempunyai kedudukan hukum yang sama.Dengan demikian Presiden RI berkenyakinan, jadi bukan hanya Ir.soekarno pribadi, bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dalam konstitusi tersebut. Dan karena perbedaan Piagam Jakarta dengan pembukaan UUD 1945 hanyalah tujuh kata ” dengan kewajiban menjalankan syari’at islam bagi pemeluk-pemeluknya”, maka itu berarti bahwa ketujuh kata itulah yang menjiwahi UUD 1945 dan merupakan auatu rangkaian kesatuan dalam UUD 1945 itu. Kata ”menjiwai” secara negatif berarti bahwa tidak boleh di buat peraturan perundangan dalam negara RI yang bertentangan dengan syari’at islam bagi pemeluk-pemeluknya. Dan secara positif berarti bahwa pemeluk-pemeluk islam di wajibkan menjalankan syari’at islam. Untuk itu harus di buat undang-undang yang akan memberlakukan hukum islam dalam hukum nasional. Pendapat ini sesuai dengan keterangan perdana mentri juanda pada tahun 1959.: ” pengakuan adanya Piagam Jakarta sebagai dokumen historis, bagi pemerintah berarti pengakuan pula akan pengaruhnya terhadap UUD 1945. jadi pengakuan tersebut tidak mengenai Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Jadi pengakuan tersebut tidak mengenai Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, pasal mana selanjutnya harus menjadi dasar bagi kehidupan di bidang keagamaan. Politik hukum ini terlihat pula pada ketetapan MPRS No. 11/MPRS’1960 di mana dinyatakan dalam persempurnaan hukum perkawinan dan hukum waris supaya di perhatikan adanya faktor-faktor agama.Sampai tidak berlakunya lagi ketetapan MPRS No. 11/MPRS’1960 pada 27 maret 1968 tidak satupun undang-undang muncul di bidang hukum perkawinan dan hukum waris walaupu oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional telah di siapkan RUU Peraturan Pelengkap Pencatatan Perkawinan, RUU Hukum Perkawinan, dan RUU Hukum Waris. Sebaliknya, di yurispundensi dengan Keputusan-keputusan Mahkamah Agung sejak tahun 1959 telah di ciptakan beberapa keputusan dalam bidang hukum waris nasional menurut sistem bilateral secara judge made law. Disini terlihat di bidang hukum waris, nasional yang bilateral lebih mendekakati hukum islam daripada hukum adat.

BAB IIIKESIMPULAN

Negara Republik Indonesia menganut berbagai sistem hukum, yaitu sistem hukum adat, sistem hukum islam, dan sistem hukum eks barat. Ketiga sistem hukum di maksud, berlaku di negara Indonesia sebelum Indonesia merdeka.Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia: 1. Teori Receptio in Complexu Hukum adat setempat dalam keyataannya sering menyesuaikan diri dengan Hukum Islam. Misalnya, di Banten pada kekusaan Sultan Agung Tirtayasa, Hukum Adat dan Hukum Agama tidak ada bedanya. Di Sulawesi, di Wajo, hukum waris di selesaikan dengan menggunakan Hukum Islam dan Hukum Adat. Keduaanya menyatu dan Hukum Adat menyesuaikan diri dengan Hukum Islam. Dengan kata lain, sosialisasi Hukum Islam pada waktu itu berjalan sangat hebat. Sultan agung menyebut dirinya sebagai Abdul Rahman Khaalifatullah Sayidi Panatagama. Atas dasar penerimaan Hukum Islam sebagai norma hukum yang berlaku dalam masayarakat2. Teori Receptie bahwa hokum yang berlaku bagi orang Islam adalah hukum Adat mereka masing-masing. Hukum Islam dapat berlaku apabila telah di resepsi atau di terima oleh Hukum Adat. Jadi, hukum adatlah yang menentukan ada tidaknya Hukum Islam.3. Teori Receptio a Contrario bahwa hukum Islam telah di terima sebagai sistem yang berlaku sepenuhnya bagi umat islam dengan mengeluarkan Hukum Adat,atau dengan kata lain Hukum Adat baru berlaku apabila tidak bertentangn dengan Hukum Islam, wacana materiilnya terbatas pada hukum-hukum yang diatur dalam perundang-undangan.Kedudukan Hukum Islam dalam Ketatanegaraan Indonesia Kedudukan Hukum Islam dalam Ketatanegaraan Indonesia dalan ketatanegaraan Indonesia dibagi dalam dua periode :1. periode penerimaan hukum islam sebagai sumber persuasif2. periode penerimaan hukum islam sebagai sumber autoritatif

DAFTAR PUSTAKA

Daud ali, hokum islam: peradilan agama dan masalahnya, dalam tjun surdjaman. Op.cit hal 74Drs. H. Halim, Abdul, M.A. 2005, Politik Hukum Islam, Ciputat Press.Dr. Rofiq, Ahmad, M.A., 2001, Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta :Gema IndonesiaRofiq, Ahmad, 1995, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Dr, Praja, Juhaya, 1994, Hukum Islam di Indinesia, Bandung: Remaja ResdaSunny, Ismail,S.H.M.C.I Hukum Islam dalam Hukum NasionalDr. Saqaf, Salim, 2004, Penerapan Syari’at Islam di Indonesia, Jakarta: Global MediaSumitro, Warkum, S.H.,M.H, 2005, Perkembangan Hukum Islam, Malang: Bayu MediaDrs, H. Wardi Muslich, Ahmad, 2005, Hukum Politik Islam, Jakarta: Sinar GrafikaH . Z. A. Noeh, Kerukunan Umat Beragama, hal. 20Ditbinbapera, laporan hasil prnelitian. Bagian proyek pengadilan agama . jakarta, tt., 37Daniel s.lev, 1964., hokum kewarisan bilateral menurut quran dan hadist Jakarta : Tinta Mas ,

Sistem Hukum di Indonesia

 

Setiap negara di dunia memiliki sistem hukum yang berbeda - beda. Hal ini menentukan juga jalannya pemerintahan dan hubungan negara tersebut ke negara lain. Indonesia memakai sistem hukum positif, yaitu hukum yang berlaku di suatu wilayah dan waktu tertentu. hukum yang berlaku di Indonesia hampir pasti tidak ada yang menyamai secara keseluruhan, karena Indonesia memiliki sistem hukum yang hanya bisa dterapkan di Indonesia. Begitu juga tergantung pada masa pemerintahan presiden tertentu. memang dasar - dasar dari hukum Indonesia tidak berubah namun penerapannya kan berbeda - beda. Sumber hukum formal pada umumnya dibedakan menjadi lima bagian, yaitu : Undang - Undang, Kebiasaan dan Adat, Traktat, Yurispudensi, dan Doktrin.

Hukum positif di Indonesia terdiri atas hukum tertulis dan tidak tertulis. Hukum tertulis adalah Undang - Undang dan peraturan - peraturan yang tertulis dan diterapkan. Hukum tertulis ini seaakan menjadi pattern dalam melaksanakan sistem hukum di Indonesia, seperti UUD 1945 yang menjadi sumber dari segala sumber hukum. Selain itu, Kitab Undang - Undang Hukum Perdata maupun Pidana juga merupakan contoh dari hukum tertulis di Indonesia. Hukum tidak tertulis merupakan hukum kebiasaan atau hukum ada yang sudah berlaku turun temurun. Hukum ini tidak pernah ditulis dan diarsipkan sebagaimana hukum tertulis, namun berlaku dan menjadi paten di tengah - tengah kehidupan masyarakat.  Selain berlangsungnya hukum tertulis maupun tidak tertulis, di tengah - tengah masyarakat juga berlakui norma - norma yang mempengaruhi tingkah laku manusia. Norma - norma yang berlaku adalah : Norma Agama, Norma Kesusilaan, Norma Kesopanan, dan Norma Hukum[1]. Namun, masyarakat juga menjadi aspek penting dalam pembahasan sistem hukum di Indonesia. Hal ini dikarenakan keperluan dari masyarakat agar menemui tujuan masyarakat yang tentram dan sejahtera adalah berlakunya norma dan hukum yang tepat dan cocok dengan keadaan masyarakat itu. Hukum itu sendiri muncul karena adanya komunitas itu sendiri.

Sebagai masyarakat Indonesia, mempelajari hukum Indonesia merupakan salah satu bentuk kepedulian terhadap negaranya sendiri dan mengetahui bagaimana hukum yang berlaku sekarang. Dalam kehidupan bernegara, kita tidak mungkin lepas dari tata aturan hukum yang berlaku dan segala perilaku kita harus disandarkan pada aturan - aturan tersebut. Pada awalnya, di Indonesia sebelum datangnya Belanda, sudah berlaku hukum adat yang berlaku di masyarakat dan tidak tertulis. Setelah Belanda datang, penduduk asli Indonesia berlaku hukum adat di daerah masing - masing, begitu juga bangsa timur asing (Asia). Namun penduduk Eropa yang tinggal di Indonesia berlaku hukum di negara Belanda[2]. Setelah kemerdekaan 1945, di Indonesia berlaku lima kontitunsi, yaitu : UUD 1945, Konstitusi RIS, UUDS 1950, UUD 1945, dan UUD 1945 yang mengalami amandemen sebanyak empat kali.

Sumber hukum dasar di Indonesia adalah Pancasila sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945 paragraf keempat, karena merupakan dasar fundamental bagi bangsa Indonesia. Dalam TAP MPR No. III/MPR/200 ditentukan urutan - urutan sumber hukum di Indonesia dari atas ke bawah, yaitu :

1. Undang - Undang Dasar 19452. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat3. Undang - Undang yang dibuat oleh DPR bersama Presiden

4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang - Undang5. Peraturan Pemerintah6. Keputusan Presiden7. Peraturan Daerah

 

Seiring berjalannya waktu, tata urutan ini berubah dengan dikeluarkannya UU no. 10 tahun 2004  dimana hal yang cukup menarik adalah tidak disebutkannya lagi TAP MPR yang memiliki kedudukan sangat tinggi, yaitu tepat di bawah UUD 1945.

Apabila membicarakan sistem, maka kita tidak akan lepas dari syarat - syarat yang berlaku. Menurut Fuler dalam bukunya yang berjudul The Morality of Law berisi 8 asas yang harus dipenuhi suatu sistem hukum, asas - asas tersebut adalah : Suatu sistem hukum harus mengandung peraturan - peraturan, tidak boleh sekadar mengandung keputusan ad hoc ; Peraturan - peraturan yang dibuat harus diuumkan ; Peraturan - peraturan tidak bokeh ada yang berlaku surut ; Peraturan - peraturan harus disusun dalam rumusan yang dapat dimengerti ; Suatu sistem tidak boleh menganding peraturan peraturan yang bertentangan satu dengan yang lain ; Peraturan - peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan ; Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah - ubah peraturan sehingga menyebabkan orang kehilangan orientasi ; Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundang - undangkan dengan pelaksanaan sehari - hari.

Eric L. Richard mengatakan bahwa beberapa sistem hukum yang berlaku di dunia antara lain : Civil Law yang merupakan hukum yang berdasar pada kode - kode sipil ; Common Law merupakan hukum yang berdasarkan pada kebiasaan ; Islamic Law ; Socialist Law ; Sub - Sahara African Law ; Far East Law yaitu perpaduan antara Civil Law, Common Law, dan Islamic Law. Dan sistem hukum yang berlaku di Indonesia adalah Far East Law. Sistem hukum Civil atau sistem hukum barat yang diterapkan di Indonesia sejatinya adalah warisan dari masa kolonial Belanda. Peraturan perundang - undangan dari jaman Belanda yang masih dipakai sampai saat ini adalah Burgerlijk Wetboek atau BW yang mengatur hukum perdata dan Wetboek van Strafrecht atau hukum pidana yang masih kental pengaruhnya sampai kini. Sistem adat yang berlangsung juga sedikit terpengaruh pada masa penjajahan, terutama penjajahan Belanda, karena pada masa itu juga sistem - sistem hukum mulai dikenalkan pada masyarakat luas dan diterapkan di daerah masing - masing dengan sajian yang berbeda. Selain itu, akibat dari perdagangan dari daerah jazirah Arab melahirkan sistem - sistem hukum Islam yang masuk ke Indonesia, baik secera asimilasi dan akulturasi.

Walaupun kedatangan Belanda pada awalnya tidak ada hubungannya dengan agama, tidak dapat dipungkiri bahwa ada pergesekan kepentingan dengan para pribumi dalam permasalahan agama. Dengan berlakunya hukum adat, muncul beberapa teori seperti teori Receptio in Complex, Receptie, Receptie Exit, Receptio A Contrario, dan Eksistensi. Teori Receptio in Complex mengatakan bahwa berlaku hukum agamanya masing - masing. Setiap agama berhak untuk menjalankan hukum - hukum yang ada di setiap agamannya masing - masing. Teori Receptie merupakan tentangan terhadap teori sebelumnya, yaitu teori Receptio in Complex. Teori ini mengatakan bahwa hukum Islam tidak hanya berlaku bagi umat Islam saja. Hukum Islam boleh dijalankan apabila telah diterima menjadi hukum adat mereka. Namun teori Receptie ini juga mendapat pertentangan dari ulama Islam, bahwa hukum Islam tidak hanya bisa dijalankan ketika sudah diterima menjadi hukum adat saja. Pertentangan para pemimpin Islam ini memunculkan Piagam Jakarta. Selain pertentangan, teori Receptio

juga memiliki kebalikan, yaitu teori Receptio A Contratio yang mengatakan bahwa hukum adatlah yang tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam dalam pelaksanaannya. Namun, ada pula teori Eksistensi yang menegaskan bahwa hukum Islam merupakan bagian dari tatanan hukun Nasional Indonesia. Keadaan ini merupakan keadaan yang tidak dapat terelakkan lagi, karena mayoritas penduduk Indonesia yang Islam, dan juga banyak sekali hubungan erat antara hukum Islam dengan hukum Nasional Indonesia.

Pengertian Mujtahid

Pengertian mujtahid secara bahasaSecara bahasa mujtahid adalah orang yang melakukan ijtihad. Dan ijtihad secara bahasa yaitu mencurahkan segenap kemampuan dan usaha untuk melakukan sesuatu.Imam Al-Ghazali berkata:

�ف�ة� �ل ك فيه فيم�ا إال� �ع�م�ل� ت �س� ي و�ال� ، �ف�ع�ال األ� من� �فع�ل في ع �و�س� ال اغ ف�ر� ت و�اس� �م�ج�ه�ود ال �ذ�ل ب ع�ن� ة� �ار� ب ع ه�و� : : ��ة د�ل خ�ر� ح�م�ل في �ه�د� ت اج� �ق�ال� ي و�ال� ، ا ح� الر� ح�ج�ر ح�م�ل في �ه�د� ت اج� �ق�ال� ف�ي ، . و�ج�ه�د�

“Ijtihad yaitu mengerahkan segenap kemampuan dan mengeluarkan seluruh usaha untuk melakukan sesuatu. Namun kata ijtihad ini hanya digunakan untuk pekerjaan yang berat dan menguras energi. Misalnya: “Dia berijtihad mengangkat batu penggilingan.” Bukan: “Dia berijtihad mengangkat biji sawi.”1Dengan demikian, mujtahid adalah orang yang mengerahkan segenap kemampuan dan mengeluarkan seluruh usaha demi melakukan sesuatu yang tidak ringan.Pengertian mujtahid secara istilahSecara istilah mujtahid adalah orang yang berkompeten untuk melakukan ijtihad. Dan ijtihad secara istilah yaitu:

ف�و�ق�ه�ا ف�م�ا الظ�ن6 �ة �ب غ�ل ل�ى إ �و�ص�و�ل و�ال ك6 الش� من� �خ�ل<ص �ج�ه�د للت ال �ذ�ل� . ب

“Mengerahkan segenap kemampuan untuk melepaskan diri dari sikap ragu-ragu (setengah mantap dan setengah tidak), hingga mencapai tingkat dhann atau dugaan (75% mantap dan 25% tidak) atau yang lebih tinggi.”2Sementara Imam Al-Ghazali mendefinisikan kata ijtihad dengan:

ريع�ة الش� �ام ح�ك� أ ب �م �عل ال ط�ل�ب في ع�ه� و�س� �هد ت �م�ج� ال �ذ�ل� . ب

“Aktivitas seorang mujtahid yang mengerahkan segenap kemampuannya untuk mengetahui hukum-hukum syariat.”3Lalu dia menambahkan:

�ط�ل�ب م�زيد ع�ن� �ع�ج�ز ال ب ه �ف�س ن من� �حس< ي �ث� ي ح� ب الط�ل�ب في ع� �و�س� ال �ذ�ل� �ب ي �ن� أ �ام< الت ه�اد� ت ج� . و�اال“Dan ijtihad yang sempurna yaitu mengerahkan segenap usaha untuk mengetahui (hukum-hukum syariat), sehingga mujtahid itu merasa bahwa dirinya tidak sanggup lagi untuk melakukan lebih dari itu.”4Dengan demikian ketika seorang mujtahid dihadapkan pada suatu permasalahan, dia tidak tergesa-gesa mengeluarkan fatwa sebelum dia mengerahkan segenap kemampuannya untuk memahami permasalahan tersebut. Hal ini ditegaskan oleh Imam Asy-Syafi’i:“Seorang mujtahid tidak tergesa-gesa mengeluarkan pendapat dalam suatu permasalahan dengan berkata, “Aku tidak tahu.” Sehingga dia mengerahkan segenap kemampuannya dalam menyelami permasalahan itu, dan tidak berhenti begitu saja. (Maksudnya hingga mujtahid tersebut mengetahui hukum permasalahan itu). Sebagaimana dia pun tidak tergesa-gesa berkata, “Aku tahu.” Lalu mujtahid itu menjelaskan pendapatnya, sebelum dia mengerahkan segenap kemampuannya dan mengetahui hukumnya.”5Beberapa kata yang berhubungan dengan mujtahid- Faqih- Ulama1 Al-Mustashfa, Vol. 2 hal. 363.2 Mu’jam Lughah al-Fuqaha’, Vol. I hal. 43.3 Al-Mustashfa, Vol. 2 hal. 363.4 Al-Mustashfa, Vol. 2 hal. 363.5 Al-Ijtihad fi asy-Syari’ah al-Islamiyah, hal. 12.

Diposkan oleh Kuliah Hadits Ahkam di 03:04 Tidak ada komentar:

Beranda

ijma adalah kesepakatan para ulama untuk menentukan / istinbat suatu hukum untuk suatu urusan/perihal yang belum pernah ditemukan saat Nabi SAW hidup.

Contoh Ijma saat masih para sahabat utama hidup dilakukan saat penentuan khalifah pengganti Nabi SAW setelah kewafatannya.Selanjutnya ijma menjadi tradisi dengan cara musyawarah para sahabat yg alim, dan dilanjutkan oleh para alimulama hingga saat ini.

Qiyas adalah upaya unutk menganalogikan/membandingkan sesuatu dengan obyek yg telah ditentukan dalam Quran dan hadits dan kesepakatan Sahabat2. Misal, penentuan jumlah nasab zakat beras, maka diqiyaskan dengan jumlah nasab pada gandum.

IJMA’ dan QIYAS ( ) Presented by : Rikza Adhia N R Jahid Murtadho A 2. Landasan HukumLandasan hukum dalam Islam :• Al-Qur’an• Hadits• Ijma’ (yang tidak bertentangan dengan Al- qur’an dan hadits)• Qiyas (yang tidak bertentangan dengan Al- qur’an dan hadits) 3. Ijma’ 4. Ijma’Ijma’ menurut bahasa mengandung dua arti :• Pengertian pertama : berupaya (tekad) terhadap sesuatu. disebutkan berarti berupaya di atasnya.Seperti firman Allah SWT : ... ...“Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu. (Qs.10:71)• Pengertian kedua, berarti kesepakatan.Perbedaan arti yang pertama dengan yang kedua ini bahwa artipertama berlaku untuk satu orang dan arti kedua lebih dari satu orang. 5. Ijma’• Ijma’ dalam istilah ahli ushul adalah kesepakatan semua para mujtahid dari kaum muslimin dalam suatu masa setelah wafat Rasulullah SAW atas hukum syara.Adapun pengertian Ijma’ dalam istilah teknis hukumatau istilah syar’i terdapat perbedaan rumusan yangmana terletak pada segi siapa yang melakukankesepakatan itu. 6. Kehujjahan ijmaIjma menjadi hujah (pegangan) dengan sendirinya ditempat yang tidak didapati dalil (nash),yakni Al-Qur- an dan Al-Hadist. Dan tidak menjadi ijma kecuali telah disepakati oleh segala ulama Islam,dan selama tidak menyalahi nash yang qathi (Kitabullah dan hadist mutawatir).Kebanyakan ulama berpendapat bahwa nilai kehujahan ijma ialah dzanni, bukan qathi. Oleh karena nilai ijma itu dzanni, maka ijma itu dapat dijadikan hujjah (pegangan) dalam urusan amal, bukan dalam urusan itiqad, sebab urusan itiqad itu mesti dengan dalil yang qathi. 7. Pembagian ijma• Ijma ummat itu dibagi menjadi dua:1. Ijma qauli (ucapan); yaitu ijma dimana para Ulama ijtihad menetapkan pendapatnya baik dengan lisan maupun tulisan yang menerangkan persetujuannya atas pendapat mujtahid lain dimasanya.Ijma ini disebut juga ijma qathi.2. Ijma sukuti (diam); ialah ijma dimana para Ulama ijtihad berdiam diri tiada mengeluarkan pendapatnya atas mujtahid lain dan diamnya itu bukan karena takut atau malu. Ijma ini disebut juga ijma dzanni. Sebagian ulama berpendapat,bahwa suatu penetapan jika yang menetapkan hakim yang berkuasa dan didiamkan oleh para Ulama, belum dapat dijadikan hujjah. Tetapi sesuatu pendapat yang ditetapkan oleh seorang Faqih, lalu didiamkan para Ulama yang lain maka dapat dipandang ijma.Disamping ijma ummat tersebut,masih ada macam-macam ijma yang lain, yaitu (1). Ijma sahabat, (2). Ijma Ulama Medinah, (3). Ijma Ulama Kufah, (4). Ijma Khulafa yang empat, (5). Ijma Abu Bakar dan Umar, dan (6). Ijma itrah, yakni ahli bait= golongan syiah. 8. Ijma’ dalam rumusan Al-GhozaliKesepakatan umat Muhammad SAW secara khusus atas suatu urusan agamaPandangan Imam Al-Ghozali ini mengikuti pandanganImam Syafi’i yang menetapkan Ijma’ itu sebagaikesepakatan umat. Yang mana di dasarkan padakeyakinan bahwa yang terhindar dari kesalahanhanyalah umat secara keseluruhan bukan perorangan.Namun pendapat Imam Syafi’i ini mengalamiperubahan dan perkembangan ditangan pengikutnya dikemudian hari. 9. Rukun Ijma’• Adapun rukun ijma’ dalam definisi di atas adalah adanya kesepakatan para mujtahid kaum muslimin dalam suatu masa atas hukum syara’ .‘Kesepakatan’ itu dapat dikelompokan menjadi empat hal:1. Tidak cukup ijma’ dikeluarkan oleh seorang mujtahid apabila keberadaanya hanya seorang (mujtahid) saja di suatu masa. Karena ‘kesepakatan’ dilakukan lebih dari satu orang, pendapatnya disepakati antara satu dengan yang lain.2. Adanya kesepakatan sesama para mujtahid atas hukum syara’ dalam suatu masalah, dengan melihat negeri, jenis dan kelompok mereka. Andai yang disepakati atas hukum syara’ hanya para mujtahid haramain, para mujtahid Irak saja, Hijaz saja, mujtahid ahlu Sunnah, Mujtahid ahli Syiah, maka secara syara’ kesepakatan khusus ini tidak disebut Ijma’. Karena ijma’ tidak terbentuk kecuali dengan kesepakatan umum dari seluruh mujtahid di dunia Islam dalam suatu masa.

10. Rukun Ijma’3. Hendaknya kesepakatan mereka dimulai setiap pendapat salah seorang mereka dengan pendapat yang jelas apakah dengan dalam bentuk perkataan, fatwa atau perbuatan.4. Kesepakatan itu terwujudkan atas hukum kepada semua para mujtahid. Jika sebagian besar mereka sepakat maka tidak membatalkan kespekatan yang ‘banyak’ secara ijma’ sekalipun jumlah yang berbeda sedikit dan jumlah yang sepakat lebih banyak maka tidak menjadikan kesepakatan yang banyak itu hujjah syar’i yang pasti dan mengikat. 11. Syarat Mujtahid- Para Mujtahid hendaknya sminimal memiliki 3 syarat:• Syarat pertama, memiliki pengetahuan sebagai berikut:a) Memiliki pengetahuan tentang Al Qur’an.b) Memiliki pengetahuan tentang Sunnah.c) Memiliki pengetahuan tentang masalah Ijma’ sebelumnya.• Syarat kedua, memiliki pengetahuan tentang ushul fiqh.• Syarat ketiga, Menguasai ilmu bahasa. 12. Syarat MujtahidAs-syatibi menambahkan syarat selain yang disebutdi atas, yaitu memiliki pengetahuan tentangmaqasid al-Syariah (tujuan syariat).Karena menurutnya, seseorang tidak dapatmencapai tingkatan mujtahid kecuali menguasaidua hal:1. ia harus mampu memahami maqasid al-syariah secara sempurna.2. ia harus memiliki kemampuan menarik kandungan hukum berdasarkan pengetahuan dan pemahamannya atas maqasid al-Syariah. 13. Qiyas 14. Qiyas• Qiyas menurut ulama ushul adalah menerangkan sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al Qur’an dan hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash.• Para ulama ushul juga membuat definisi lain, Qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat hukum. 15. Contoh :• hukum meminum khamar, nash hukumnya telah dijelaskan dalam Al Qur’an yaitu hukumnya haram. Sebagaimana firman Allah Swt:“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum)khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasibdengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Makajauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapatkeberuntungan. (Qs.5:90)“Haramnya meminum khamr berdasar illat hukumnya adalahmemabukan. Maka setiap minuman yang terdapat di dalamnyaillat sama dengan khamar dalam hukumnya maka minumantersebut adalah haram. 16. Pandangan ulama mengenai qiyas ini terbagi menjadi tiga kelompok:1. Kelompok jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal yang tidak jelas nashnya baik dalam Al Qur’an, hadits, pendapat shahabat maupun ijma ulama.2. Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, mereka sama sekali tidak menggunakan qiyas. Mazhab Zhahiri tidak mengakui adalanya illat nash dan tidak berusaha mengetahui sasaran dan tujuan nash termasuk menyingkap alasan-alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan illat. Sebaliknya, mereka menetapkan hukum hanya dari teks nash semata.3. Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha berbagai hal karena persamaan illat. Bahkan dalam kondisi dan masalah tertentu, kelompok ini menerapkan qiyas sebagai pentakhsih dari keumuman dalil Al Qur’an dan hadits. 17. Kehujjahan Qiyas• Jumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syar’i dan termasuk sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat hukum dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma’ dan yang kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara analogi dengan persamaan illat maka berlakulah hukum qiyas dan selanjutnya menjadi hukum syar’i. Diantara ayat Al Qur’an yang dijadikan dalil dasar hukum qiyas adalah firman Allah:“Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampungkampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka, bahwamereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapatmempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepadamereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan

Allahmelemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumahmereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Makaambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyaiwawasan. (Qs.59:2) 18. Rukun QiyasQiyas memiliki rukun yang terdiri dari empat hal:1. Asal (pokok). Yaitu, apa yang terdapat dalam hukum nashnya. Disebut dengan al-maqis alaihi.2. Fara’ (cabang), yaitu sesuatu yang belum terdapat nash hukumnya, disebut pula al-maqîs.3. Hukm al-asal, yaitu hukum syar’i yang terdapat dalam dalam nash dalam hukum asalnya. Yang kemudian menjadi ketetapan hukum untuk fara’.4. Illat, adalah sifat yang didasarkan atas hukum asal atau dasar qiyas yang dibangun atasnya. 19. SELESAI . . . . !! Wassalam . . .

Maslahah berarti menjaga tujuan syara’ dengan jalan menolak mafsadah (kerusakan) atau mudarat dari makhluuk. Sedangkan mursalah berartti terlepas dari daili yang menganggapnya atau dalil yang mengabaikannya. Jadi masalih mursalah yaitu manfaat bagi manusia atau menolak kemudaratan atau kesempitan dari mereka kalau diteliti dalil syara’ maka tidak ada yang menunjukan ada/tidak adanya hukum tersebut

Maslahah itu bersifat umum, bukan untuk kepentingan pribadi artinya penetapan hukum itu memberi manfaat kepada manusia terbanyak atau menolak mudarat dari mereka, bukan untuk kepentingan perorangan.

PEMBAHASAN Al Maslahah Al Mursalah

1. Pengertian Al Maslahah Al Mursalah

Masalahah Mursalah ialah maslahah yang tidak diisyari’atkan hukum oleh syariat untuk mewujudkannya dan tidak ada dalil syara’ yang menganggapnya atau mengabaikannya

Maslahah berarti menjaga tujuan syara’ dengan jalan menolak mafsadah (kerusakan) atau mudarat dari makhluuk. Sedangkan mursalah berartti terlepas dari daili yang menganggapnya atau dalil yang mengabaikannya. Jadi masalih mursalah yaitu manfaat bagi manusia atau menolak kemudaratan atau kesempitan dari mereka kalau diteliti dalil syara’ maka tidak ada yang menunjukan ada/tidak adanya hukum tersebut

Nov

22

makalah

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Munculnya berbagai masalah di zaman yang modern ini menyebabkan ijtihad dalam

menentukan hukum merupakan suatu hal yang manjadi suatu keharusan untuk dilakukan.

Permasalahannya, di zaman sekarang, siapa yang berhak untuk berijtihad? Apakah semua orang

boleh berijtihad untuk menentukan hukum syar'I

Al-Qur'an telah mengajarkan agar umat Islam berijtihad, berupaya menarik kesimpulan hukum

serta menerima pengarahan para ulama dan ahli-ahli pikir mereka. Allah SWT berfirman : "Dan

apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu

menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka,

tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari

mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah

kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu)." [Q.S. al-Nisa':83]. Ayat ini jelas

berisi anjuran yang cukup tegas, untuk beristinbath dan berijtihad, yakni mengambil kesimpulan dan

berusaha mencari hukum dengan mengadakan perbandingan dan lain sebagainya.

Sejarah juga telah menceritakan kapada kita, bagaimana Rasulullah SAW melatih para

sahabatnya dalam memutuskan suatu hukum dan mendorong mereka agar mengerahkan segala

kemampuan daya fikirnya untuk berijtihad. Beliau menenangkan hati para sahabat agar tidak ragu

atau takut salah dalam usaha ijtihadnya. Karena seorang mujtahid yang benar dalam ijtihadnya akan

diberi dua pahala. Dan bagi yang salah dalam ijtihadnya akan memperoleh satu pahala. Allah SWT

berfirman: "Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada

dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha

Penyayang." [QS.Al-Ahzab:5]

Untuk lebih jelasnya mengenai ijtihad akan dibahas pada bab selanjutnya.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah itu ijtihad?

2. Bagaimanakah syarat menjadi mujtahid?

3. Apakah pintu ijtihad masih terbuka atau sudah tertutup?

C. Tujuan Penulisan

Untuk mengetahui pengertian ijtihad, syarat menjadi mujtahid dan memahami pintu ijtihad.

D. Metode Penulisan

Metode penulisan makalah ini adalah kajian kepustakaan dari media atau library research.

BAB II

TERBUKA DAN TERTUTUPNYA PINTU IJTIHAD

A. Pengertian Ijtihad

Ijtihad (اجتهاد) adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa

dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara

yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan

pertimbangan matang.1

Namun pada perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan

para ahli agama Islam .

Tujuan ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam

beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.

Secara harfiah, Ijtihad yang berasal dari kata kerja jahada dapat diartikan dengan kerja keras,

sungguh-sungguh, dan pengetahuan mengenai hukum atau yurisprudensi. Secara terminologi ijtihad

diartikan sebagai mengerahkan segala kemampuan untuk mendapatkan pengetahuan atas hukum-

hukum syara' dengan jalan menggali dari sumbernya (al-ishtinbâth) yang berupa Al-quran Al-sunah.

Adapun isim fâ'il (pelaku/orang yang melakukan) dari ijtihad adalah mujtahid.2

Ijithad telah berkembang sejak zaman Rasulullah SAW fiqih mengandung “pengertian tentag

hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf”3 maka Ijtihad akan terus berkembang

perkembangan ini berkaitan dengan berbuatan manusia yang selalu berubah-ubah baik bentuk

maupun macamnya, dalam hubungan ini, menurut Asy syahstani bahwa keadian dan kasus dalam

peribadatan dan muamalah (tindakan manusia) secara pasti dapat diketahui bahwa tidak setiap

kasus ada nashnya apabila nashnya sudah berakhir sedangkan kejadiannya berlansung terus tanpa

batas ketika sesuatu yang tidak terbatas maka qiyas wajib dipakai sehingga setiap kasus ada ijtihad

mengenainya.

Menurut al Gahzali dalam kitabnya Al Mustasfa jus I : 137 “Istihsan adalah semua hal yang

dianggap baik oleh Mujtahid menurut Akalnya” dlam hal kehujjahannya para ulama berbeda

pendapat, ada yang menggunakan istihsan dan ada yang tidak mengakui adanya istihsan

B. Pensyari'atan Ijtihad

Ijtihad merupakan salah satu pilar pokok tegaknya syari'at islam. Terdapat banyak dalil yang

menganjurkan untuk melaksanakannya, diantaranya adalah firman Allah QS. Al-nisâ' 105.

Artinya: Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran,

supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah allah wahyukan kepadamu, dan

janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang

yang khianat.

Pada ayat ini mengandung ketetapan ijtihad dengan menggunakan metode Qiyas. dan QS. Al-rūm

21.

Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari

jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-nya

diantaramu rasa kasih dan sayang. sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat

tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.

Dan dari al-sunah ialah hadits dari Amr ibn al-'Âsh , ia mendengar utusan Allah bersabda :

Artinya: Jika seorang hakim membuat keputusan (menghukumi) dengan berijtihad kemudian benar,

maka bginya dua pahala, jika menghukumi dengan berijtihad dan ternyata salah, maka baginya satu

pahala. "HR. Bukhari dan Muslim".

Hadis ini secara implisit menunjukkan bahwa hasil ijtihad bisa benar dan bisa salah, tapi baik

yang benar maupun yang salah tetap mendapatkan pahala, dalam artian keduanya mendapat

legitimasi hukum dari syâri' (yang mempunyai syari'at). Oleh karena itu perbedaan pendapat dari

masing-masing imam yang telah mencapai kapasitas untuk berijtihad harus disikapi dengan benar,

jangan dijadikan perpecahan. Karena itu adalah rahmat bagi kita. Nabi SAW bersabda "perbedaan

pendapat umatku adalah suatu rahmat". Dan juga hadits yang diriwayatkan Muazd bin Jabal ketika

mendapat pembekalan oleh nabi sebelum hijrah ke Yaman untuk menjadi qodhi (hakim) di daerah

yaman. Ketika Nabi bertanya, dengan apa kamu memberi keputusan? Muazd menjawab, dengan

kitabullah (Al-quran). Kemudian Nabi berkata, kalau kamu tidak menemukan didalam al-quran? Aku

akan menghukumi dengan sunah Rasul-Nya nabi berkata lagi, kalau dalam sunah tidak kamu

temukan? Aku akan berijtihad dengan ro'yu. Adapun pengertian ijtihad dengan ro'yu dikalangan

sahabat ialah sama artinya dengan ijtihad dalam istilah yang dipakai ushuliyin (ulama' ahli usul).

C. Syarat-Syarat Menjadi Mujtahid

Dalam menentukan kriteria-kriteria seorang mujtahid, para mushonif (pengarang) kitab

berbeda-beda pendapat, namun dari ihktilaf tersebut dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat

seseorang bisa dikatakan mujtahid ketika sudah menguasai delapan bidang pengetahuan.

1. Faham dengan makna ayat-ayat Al-quran yang berkaitan dengan hukum-hukum syari'at, baik secara

lughot (etimologis) atau secara syara' (epistemologis), dan tidak disyaratkan menghafal ayat al-

ahkâm (ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum) apalagi ayat-ayat Al-qurân secara keseluruan.

Cukup hanya mampu merujuknya kembali ketika membutuhkan . Adapun kadar-kadar ayat-ayat

hukum yang dalam Al-qurân menurut Al-ghazali, Al-razi, dan Ibn al-Arabi adalah 500 ayat, kemudian

Al-Zarkasyi menjelaskan bahwa yang dikehendaki oleh Al-ghazali, Al-razi, dan Ibn al-Arabi hanyalah

ayat-ayat yang zhahirnya bermuatan hukum praktis. Lebih dari itu banyak ayat yang apabila digali

akan menghasilkan sintesa hukum, tergantung pada kepiawaian dalam menganalisa dalil4

2. Mengetahui hadits-hadits tentang hukum, secara lughot ataupun syara' seperti yang telah

disebutkan dalam penalaran ayat-ayat Al-qurân. Tidak diharuskan menghafal semua hadits yang

berkaitan dengan hukum dan hadits secara keseluruan.

3. Menguasai persoalan-persoalan yang telah menjadi consensus ulama' terdahulu (ijma'). dalam hal

ini, mujtahid tidak harus hafal permasalahan secara keseluruan yang telah disepakai oleh ulama'

(ijma'). Cukup hanya memastikan bahwa hukum yang dicetuskan tidak melanggar kesepakatan

ulama'.

4. Memahami qiyas serta dapat menggunakannya dalam usaha menghasilkan sebuah hukum

5. Menguasai disiplin ilmu logika (manthiq).

6. Menguasai bahasa Arab dan gramatikanya secara mendalam, seperti ilmu nahwu, sharaf, balaghoh

dan lain sebagainya.

7. Mengetahui nasikh (dalil nash yang menyalin hukum) dan mansukh (dalil nash yang disalin) dari Al-

qurân dan Al-sunah, sehingga tidak akan mencetuskan hukum tidak didasarkan pada nash yang telah

tersalin hukumnya. Untuk persyaratan ini Wahbah al-Zuhaili memberi solusi untuk merujuk pada

kitab-kitab yang menerangkan nasikh dan mansukh. Karena seorang yang akan berijtihad tidak

disyaratkan mengetahui secara keseluruan nasikh dan mansukh, yang menjadi keharusan ialah

mengetahui bahwa yang menja di pijakan hukumnya bukan termasuk dalil- dalil yang di nasikh oleh

nash yang lain.

8. Mengetahui kepribadian para râwi (yang meriwayatkan), sehingga dapat memastikan status

periwayatannya, kuat atau lemah, shahih atau tidak, diterima atau tidak. Dalam hal ini cukup dengan

merujuk pada pendapat imam-imam muhadditsin seperti imam Bukhâri dan Muslim.

Kedelapan syarat ini adalah yang diajukan oleh jumhur ulama', sebenarnya masih terdapat sejumlah

persyaratan yang masih diperdebatkan, diantaranya menguasai usul fiqh, syarat ini diajukan Al-

ghazali, Mengetahui maqâsid al-syari'ah (tujuan-tujuan syariat), persyaratan ini diajukan oleh Al-

syatibiy. Memiliki kedalaman pemahaman teologi (ilmu kalam), Abu Ishaq meriwayatkan bahwa

syarat ini diajukan oleh golongan Qadariyyah. Al-ustazd Abu Mansyur mensyaratkan untuk

mengetahui detil-detil cabangan fikih.

D. Stratifikasi Mujtahid

Ijtihad menempati derajat paling tinggi dalam bidang keilmuan syariat islam, sudah pasti

persyaratan untuk mencapainya sangat ketat. Adapun syarat yang telah kami paparkan dimuka

adalah untuk kualifikasi mujtahid mutlaq. Seiring dengan melemahnya gairah keilmuan islami akhir-

akhir ini, muncullah term ijtihad dengan sandaran-sandaran tertentu, sebagaimana yang akan kami

paparkan dibawah ini.

Pertama, mujtahid mustaqil, yaitu seorang yang mampu menggali hukum langsung dari Al-qurân dan

Al-hadits dengan menggunakan teori usul dan kaidah ciptaan sendiri. seperti qiyas, ihtisan dan

lainnya. Masuk dalam kategori ini yaitu para fuqahâ' sahabat, sebagian tabi'in seperti Sa'id bin al-

Musayyab dan Ibrahim al-Nakha'i, dan imam-imam madzhab seperti Al-auzâ'i, Laits bin Sa'id, Abu

Hanifah, Malik bin Anas, Al-syâfi'i, dan Ahmad bin Hambal. Mereka adalah mujtahid mustaqil

(independen) meskipun banyak pendapat pendapat dari mereka tidak terkodifikasi secara khusus.

Mujtahid mustaqil ini menurut Ibn al-Qayyim sudah terputus semenjak abad ke 4 H. namun Al-suyuti

menyangga asumsi tersebut, ia mengklaim bahwa mujtahid mustaqil tetap wujud sampai akhir

zaman dengan disandarkan pada hadits:

Artinya: Sesungguhnya Allah akan membangkitkan untuk umat ini (islam) pada penghujung

setiap seratus tahun orang-orang yang akan memperbaharui permasalahan agamanya. "HR. Abu

Dâwud dari Abi Hurairah ra."

Kedua, mujtahid mutlaq ghairu mustaqil al-muntasib, yaitu seseorang yang padanya telah

ditemukan syarat-syarat untuk berijtihad, namun belum mampu menciptakan kaidah-kaidah sendiri

dan masih berpegang pada kaidah dan usul imam mazdhabnya. Masuk dalam klasifikasi ini dari

kalangan Hanafiyah yaitu Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan, dan Zâfr, dari Mâlikiyah seperti Abd al-

Rahman bin Qâsim, dan dari Syafi'iyah seperti Al-Buwaithi, Za'farâni, dan Al-Muzani.

Ketiga, mujtahid muqoyyad al-mazdhab atau mujtahid takhrij, yaitu seseorang yang menggali

hukum dari persoalan-persoalan yang belum pernah dibahas oleh imam mujtahidnya. Dengan

memakai kaidah-kaidah dan usul imamnya. Seperti Abu Ishaq al-Syairâzi dan Al-Mawardi.

Keempat, mujtahid tarjih, yaitu seseorang yang mampu melakukan tarjih (penguatan)

terhadap pendapat imam mazdhab dan para muridnya. Seperti Hasan al-Quduriy, Al-Marghinâni

pengarang kitab Al-hidayah dari kalangan Hanafiyah.

Kelima, mujtahid fatwa, yaitu seseorang yang yang peduli akan kelangsungan mazdhab

imamnya, turut melestarikan, mengutip dan mengkaji pendapat imamnya, akan tetapi belum bisa

men-tarjih dan memberikan penilaian kuat dan lemah.

E. Metode Ijtihad

Langkah awal yang harus dilakukan ketika seorang mujtahid dihadapkan pada suatu

permasalahan ialah melakukan akumulasi macam-macam disiplin ilmu yang berkaitan dengan obyek

permasalahan, seperti gramatika arab, ayat-ayat Al-qurân, hadits-hadits Nabi, pendapat ulama'

terdahulu, dan metode-metode qiyas. Kemudian, tanpa terikat dengan fanatisme mazdhab,

dilakukan analisa dengan langkah-langkah sebagai berikut :

Pertama-tama seorang mujtahid harus terlebih dahulu meneliti nash-nash Al-qurân. Tatkala

ditemukan ayat-ayat yang menjelaskannya baik secara nash atau zhahir, maka itulah yang harus

dijadikan sebagai sandaran hukumnya. Dan ketika tidak ditemukan didalam Al-qurân, maka beranjak

pada penelitian sunah Rasulullah, meliputi perkataan, tindakan atau penetapan dan persetujuan

Rasulullah. Bila ditemukan penjelasan didalamnya, maka itulah yang harus di adopsi dan dijadikan

sebagai keputusan hukum. Kemudian meneliti hasil-hasil ijma' yang valid dari para mujtahid

terdahulu. Lalu beralih pada qiyas, dengan menggali illat hukumnya. Sesuai dengan ijtihadnya,

diterapkanlah illat-illat tersebut sesuai dengan masâlik al-illat-nya. secara ringkas inilah pilar-pilar

penunjang ijtihad, yakni Al-qurân, hadits, ijma' dan qiyas, sebagaimana dikemukakan oleh imam Al-

syafi'i. sebagian ulama' menambahkan adanya pengamalan secara kontekstual sesuai dengan ruh

syari'at islam.

Adapun metode-metode yang digunakan oleh para mujtahid secara khusus ialah qiyas, maslahah

mursalah, urf' (adat), istishab, ihtisan, syar'u man qoblana, qoul sahabat, dan lainnya.

F. Terbuka Dan Tertutupnya Pintu Ijtihad

Beberapa ulama banyak yang telah berkomentar mengenai terbuka dan tertutupnya pintu ijtihad.

Pendapat mereka dapat kita lihat seperti dibawah ini dengan menjawab beberapa pertanyaan

tentang keingin tahuan kita terhadap ijtihad.

1. Benarkah pintu ijtihad masih terbuka?

Permasalahan ini sangat menarik untuk kita bahas, karena sebagaian ulama telah mengklaim

bahwa pintu ijtihad telah tertutup dan untuk saat ini seorang mujtahid sudah tidak bisa lagi

ditemukan. Pendapat ini muncul karena di zaman sekarang ini, sebagaimana penuturan Syeikh Yusuf

bin Ismail al-Nabhani dipicu karena banyaknya orang yang mengklaim dirinya sebagai seorang

mujtahid. Bahkan yang lebih heran lagi, mereka mengklaim bahwa dirinya sama seperti Imam Syafi'I,

Malik, Ahmad dan Abu Hanifah al-Nu'man. Padahal syarat-syarat untuk berijtihad sebagaimana yang

telah diuraikan oleh para ulama tidak terpenuhi dalam diri mereka.

Fatwa tertutupnya pintu itihad ini dilontarkan oleh beberapa ulama, di antaranya adalah al-

Imam Ibnu HaJar al-Haitamy, al-Imam al-Sya'rani, al-Imam al-Manawi dan yang lainnya. Mereka

mengatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup sejak bebarapa ratus tahun yang lalu berdasarkan

kesepakatan para ulama dari berbagai madzhab. Imam al-Manawi dalam komentarnya atas kitab al-

Jami' al-Shoghir mengatakan bahwa al-Allamah al-Shihab Ibnu Hajar al-Haitamy berkata: "Ketika al-

Imam al-Suyuthi mendakwakkan ijtihad, maka orang-orang yang semasa dengan beliau bangkit

untuk menulis dan menanyakan kepada beliau beberapa pertanyaan tentang beberapa masalah

yang diglobalkan oleh para murid imam madzhab menjadi dua versi.

Mereka meminta Imam Suyuthi, jika beliau merupakan mujtahid yang paling rendah yakni

mujtahid fatwa untuk mentarjih dari beberapa versi pendapat tersebut mana pendapat yang lebih

unggul berdasarkan dalil dan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh para mujtahid. Maka Imam

suyuthi mengembalikan pertanyan-pertanyaan itu tanpa menulis sesuatu. Beliau mengemukakan

alasan bahwa dirinya mempunyai kesibukan yang menghalangi beliau untuk meneliti masalah-

masalah itu." Selanjutnya Ibnu Hajar berkata: "Renungkanlah kesulitan ijtihad pada tingkatan ini

yakni ijtihad fatwa yang merupakan tingkat ijtihad yang paling rendah, sehingga jelaslah bagimu

bahwa orang yang mendakwakkan ijtihad lebih-lebih ijtihad mutlak sebenarnya pada hakekatnya

mereka sedang dalam kebingungan dan kerancauan dalam cara berfikirnya.

Bahkan Ibnu Sholah dan para pengikutnya mengatakan bahwa Ijtihad telah tertutup sejak tiga

ratus tahun yang lalu." Jadi kalau kita hitung-hitung, pintu ijtihad telah tertutup sejak sekitar abad

ke-3 H, karena Imam Ibnu Sholah hidup pada abad ke-6 H. Imam Ibnu Sholah juga mengutip

pernyataan dari sebagian ulama ushul bahwasanya setelah masa Imam Syafi'i sudah tidak terdapat

lagi seorang Mujtahid Mutstaqil. Lebih lanjut Ibnu Hajar mengatakan bahwa ketika para imam terjadi

pertentangan yang panjang mengenai kedudukan Imam Haramain dan Hujjataul Islam al-Ghazali

apakah keduanya lebih utama dikatakan sebagai Ashahbul Wujuh? Lalu bagaimana dengan selain

mereka berdua? Para imam yang berkomentar tentang Imam al-Ruyani (pengarang kitab al-Bahr)

mengatakan bahwasanya beliau bukanlah termasuk dalam kategori Ashhabul Wujuh, padahal beliau

mengatakan seandainya teks-teks tulisan kitab Imam Syafi'i hilang maka sungguh akan aku diktekan

dari dadaku. Dan ketika mereka sebagai para pembesar madzhab Syafi'i tidak layak untuk

menempati derajat ijtihad al-madzhab, maka bagaimana diperkenankan bagi orang yang tidak faham

sebagian besar istilah mereka mendakwakan diri lebih tinggi dari ijtihad al-madzhab (yakni ijtihad

mutlak). Maha suci Engkau ya Allah, ini adalah kebohongan yang besar.

Di dalam kitab al-Anwar, Imam Rafi'I al-Syafi'I (w. 623) mengatakan bahwa para ulama

sepertinya telah sepakat bahwa pada hari ini tidak ada seorang mujtahid. Ibnu Abi al-Dam setelah

menguraikan syarat-syarat ijtihad mengatakan bahwa syarat-syarat ini jarang sekali ditemukan pada

seorang ulama di zaman kita ini, bahkan sudah tidak ditemukan lagi pada zaman ini seorang

mujtahid mutlak, bahkan mujtahid madzhab sekalipun. Imam al-Qafal ketika menjelaskan tentang

masalah fatwa menyatakan bahwa orang yang telah memenuhi persyaratn ijtihad sudah tidak

ditemukan lagi pada zamanya.

Akan tetapi nampaknya klaim yang mengatakan bahwa tertutupnya pintu ijtihad telah

disepakati oleh para ulama dari berbagai madzhab perlu untuk kita teliti. Buktinya para ulama dari

Madzhab Hanbali menyatakan bahwa suatu zaman tidak boleh sepi dari seorang mujtahid baik itu

mutlak maupuan muqoyyad. Hal itu sebagaimana sabda Rasulullah SAW: "Sekelompok umatku tidak

akan pernah berhenti menampakkan kebenaran sehingga datang urusan Allah SWT (hari kiamat)."

[H.R. Muslim]. Mereka juga mengatakan bahwa ijtihad merupakan fardhu kifayah sehingga

ketiadaanya menyebabkan kaum muslimin untuk sepakat pada sesuatu yang bathil. Bahkan

mengenai hal itu, Ibnul Qayyim mengatakan bahwa mereka (para mujtahid) adalah orang-orang

yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW: "Sesungguhnya Allah SWT akan mengutus bagi umat ini

setiap seratus tahun orang untuk memperbaharui urusan agama mereka." [H.R. Abu Dawud dan

yang lainnya]. Mereka adalah orang-orang yang telah diungkapkan oleh Sayidina Ali RA bahwa dunia

ini tidak akan sepi dari orang yang menegakkan hujjah Allah SWT. Para ulama dari madzhab Hanbali

menyatakan bahwa pintu ijtihad dengan berbagai tingkatannya masih terbuka.

2. Pintu ijtihad tidak pernah tertutup

Ada yang mengatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup sejak sekitar abad ke-2 atau ke-3 H.

jika kita mengatakan bahwa semua pintu ijtihad dengan berbagai macam tingkatan telah tertutup

sejak masa itu, maka hal itu tidak bisa diterima. Sejarah telah membuktikan bahwa setiap masa tidak

akan pernah sepi dari mujaddid. Para ulama mengatakan bahwa mujaddid-mujaddid itu adalah para

mujtahid. Kita ketahui pada abad pertama muncul Umar bin Abdul Azis, sebagaimana pernyataan al-

Imam al-Dzahabi, beliau telah mencapai tingkatan ijtihad. Kemudian pada abad ke-2 muncul Imam

Syafi'i, lalu disusul Ibnu Suraij pada abad ke-3, beliau termasuk pembesar mujtahid dan termasuk

dalam kelompok Ashhab al-Wujuh, sedangkan pada abad ke-4 terdapat Imam Abu Thayib Sahl bin

Muhammad al-Sha'aluki atau Syeikh Abu Hamid sebagai imam penduduk Irak. Keduanya termasuk

mujtahid dan Ashhabal-Wujuh. Selanjutnya pada abad ke-5 terdapat Imam al-Ghazali, sebagaimana

fatwa Ibnu Sholah, beliau termasuk mujtahid. Lalu pada abad ke-6 terdapat Imam Rafi'i, pada abad

ke-7 Syeikh Ibnu Daqiq al-'Id, abad ke-8 Imam al-Bulqini. Kemudian pada generasi selanjutnya

muncul Imam Suyuthi beliau mendakwakan diri telah mencapai tingkat mujtahid, beliau berkata:

"Telah sempurna pada diriku kriteria untuk berijtihad dengan berkat pertolongan Allah SWT,

seandainya aku menghendaki untuk menulis satu karya tentang suatu masalah yang disertai dengan

komentar-komentar, dalil-dali baik secara naqli maupun qiyas dan perbedaan pendapat di antara

madzhab, maka sungguh aku akan mampu untuk melakukannya berkat anugerah Allah SWT."

Dari kedua pendapat yang telah dikemukakan di atas sebenarnya kita bisa mengambil jalan

tengah dari keduanya. Ulama yang memfatwakan bahwa ijtihad telah tertutup dan sudah tidak ada

lagi mujtahid pada zaman ini yang dimaksud mereka adalah ijtihad dan mujtahid muthlak baik yang

mutstaqil maupun ghairu mutstaqil. Sedangkan para ulama yang mengatakan bahwa pintu ijtihad

masih terbuka dan setiap masa tidak boleh sepi dari seorang mujtahid adalah mujtahid yang

tingkatannya berada di bawah mujtahid mutlak. Hal itu dapat kita tinjau dari beberapa hal:

a. Para Ulama yang dianggap sebagai mujtahid mutlak oleh kelompok kedua (yang berpendapat bahwa

pintu ijtihad dengan segala macamnya masih terbuka) telah menyatakan sendiri bahwa mujtahid

mutlak pada zaman mereka sudah tidak ada lagi. Hal itu sebagaimana pernyataan Imam al-Ghazali

sendiri bahwa pada zaman beliau sudah tidak terdapat seorang mujtahid mutlak. Dalam kitabnya al-

Wasith beliau berkata: "Syarat-syarat ini yakni syarat ijtihad (ijtihad mutlak) yang layak disandang

oleh seorang Qadli sungguh sulit ditemukan pada zaman kita sekarang ini." Selain Imam Ghazali,

Imam Rafi'i dan Nawawi juga menyatakan hal yang sama bahwa para ulama sepertinya telah sepakat

bahwa pada masa ini sudah tidak ada lagi seorang mujtahid (mujtahid mutlak).

b. Imam Suyuthi sendiri yang mengklaim dirinya sebagai mujtahid mutlak ternyata tidak bisa

memenuhi persyaratan mujtahid mutlak yang beliau ajukan sendiri. Mengenai syarat ijtihad Imam

Suyuthi mengajukan sekitar lima belas syarat yang harus dipenuhi. Pada syarat kedua belas beliau

menyebutkan bahwa syarat bagi seorang mujtahid mutlak haruslah menguasai ilmu hisab.

Sedangkan beliau sendiri mengakui bahwa beliau tidak menguasai ilmu hisab. Hal itu sebagaimana

penuturan beliau sendiri: "Ilmu hisab (ilmu hitung) adalah ilmu yang sangat sulit bagiku dan paling

jauh dari penalaranku."

Dari uraian di atas dapat kita fahami, betapa sulit dan rumitnya persyaratan yang harus

dipenuhi oleh seorang mujtahid sehingga ia diperbolehkan untuk berijtihad. Sehingga setiap orang

tidak dibenarkan untuk mengkliam dirinya telah berijtihad sedangkan ia sendiri tidak mnguasai alat-

alat yang digunakan sebagai media untuk menggali hukum dari al-Kitab dan al-Sunnah.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Ijtihad (اجتهاد) adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan

oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak

dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan

matang dan orang yang berijtihat disebut mujtahid.

2. Tidak semua orang yang memahami Agama disebut mujtihad, ada syarat/kriteria yang menyatakan

sah nya menjadi seorang mujtihad.

3. Dalam menentukan terbuka atau tertutupnya pintu ijtihad, sebagian ulama menyatakan bahwa

pintu ijtihad telah tertutup dan sebagian lagi menyatakan pintu ijtihad masih terbuka meski berbeda

dalam tingkatanya.

B. Saran

Diharapkan kepada dosen dan pembaca untuk dapat memberikan kritik dan saran yang bersifat

membangun demi perbaikan makalah selanjutnya menjadi lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/Ijtihad,

Sukabul, http://kabulkhan.blogspot.com/2010/02/ijtihad-dalam-islam-makalah-disusun-dan.html

Posted 22nd November 2012 by junaidi fina

JUNAIDI

1.

Nov

22

makalah sejarah isalam

BABI

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejarah peradaban Islam merupakan salah satu bidang kajian studi

Islam yang banyak menarik perhatian para peneliti baik dari kalangan

Muslim maupun non Muslim. Dengan mempelajari sejarah Islam, kita

memungkinkan mengetahui masa-masa atau zaman kejayaan Islam,

sehingga memungkinkan kita untuk bangga dan percaya diri sebagai umat

Islam dan mengambil I’tibar. Demikian pula masa-masa kemunduran Islam

dapat kita ketahui, dan kita dapat mengambil pelajaran dan pengalaman

agar tidak terulang kembali (al muhafadzah ala qadim ash shalih wal

ahdzu bi al jadid al ashlah) serta kita dapat menentukan langkah ke depan

demi menemukan jalan alternatif demi kejayaan Islam. Kita semua sadar

tentunya bahwa al-Islam ya’lu wala yu’la ‘alaihi.

Menyadari hal di atas, bidang kajian sejarah peradaban Islam

merupakan suatu bidang kajian yang cukup signifikan untuk dipelajari.

Untuk itu sebagai kerangka awal di paper ini dicoba dibahas tentang

beberapa konsepsi dasar dari sejarah peradaban Islam, disini diuraikan

tentang relasi islam sebagai wahyu ilahiyyah disatu sisi dan peradaban

yang didalamnya juga termasuk kebudayaan, pada sisi yang lain dan itu

merupakan ranah kemanusiaan (insaniyah).

B. Rumussan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka kami memberi batasan-

batasan dalam makalah kaimi ini diantaranya adalah:

1. Bagaimanakah konsep sejarah Islam?

2. Seperti apakah peradaban Islam?

3. Bagaimana alur peradaban dalam Islam?

BABA II

PEMBAHASAN

A. Konsepsi Sejarah Islam

Sejarah adalah kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi

pada masa yang lampau atau peristiwa penting yang benar-benar

terjadi1[1]. Definisi ini lebih menekankan pada materi peristiwa tanpa

mengaitkan dengan aspek yang lainnya. Sedangkan dalam pengertian

yang lebih luas, sejarah adalah gambaran masa lalu tentang aktivitas

kehidupan manusia sebagai makhluk sosial yang disusun berdasarkan

fakta dan interpretasi terhadap objek peristiwa masa lampau2[2].

Dari sisi epistimologis sejarah yang dalam bahasa arabnya disebut

tarikh, mengandung arti ketentuan masa atau waktu. Ada pula sebagian

orang yang mengajukan pendapat bahwa sejarah sepadan dengan kata

syajarah yang berarti pohon (kehidupan), riwayat, atau kisah, tarikh,

ataupun history dalam bahasa Inggris. Dengan demikian sejarah berarti

gambaran masa lalu tentang aktivitas kehidupan manusia sebagai

makhluk sosial yang disusun berdasarkan fakta dan interpretasi terhadap

obyek peristiwa masa lampau , yang kemudian itu disebut sejarah

kebudayaan. 3[3]

Sedangkan secara terminologi sejarah diartikan sebagai sejumlah

keadaan dan peristiwa yang terjadi dimasa lampau dan yang benar-benar

terjadi pada individu dan masyarakat. Adapun inti pokok dari persoalan

sejarah pada dasarnya selalu berhubungan dengan pengalaman-

pengalaman penting yang menyangkut perkembangan keseluruhan

keadaan masyarakat. Untuk itu sejarah bukanlah peristiwa-peristiwa itu

sendiri melainkan tafsiran-tafsiran dari peristiwa, dan pengertian

1[1] Poerwadarminto,Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1992)887

2[2] Sidi Gazalba,Azas Kebudayaan Islam,(Jakarta; Bulan Bintang 1978) 2

3[3] Dudung abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah,(Jakarta; LOGos, 1999),2-3

mengenai hubungan-hubungan nyata dan tidak nyata yang menjadi

seluruh bagian serta memberikan dinamisme dalam waktu dan tempat

tertentu. 4[4]

Sejarah Islam adalah peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian

yang sungguh terjadi pada masa lampau yang seluruhnya berkaitan

dengan agama Islam. Agama Islam terlalu luas cakupannya, maka sejarah

Islam pun menjadi luas cakupannya. Di antaranya berkaitan dengan

sejarah proses pertumbuhan, perkembangan, dan penyebaran Islam,

tokoh-tokoh yang melakukan perkembangan dan penyebaran agama

Islam, sejarah kemajuan dan kemunduran yang dicapai umat Islam dalam

berbagai bidang, seperti dalam bidang ilmu pengetahuan agama dan

umum, kebudayaan, arsitektur, politik, pemerintahan, peperangan,

pendidikan, ekonomi, dan lain sebagainya.

Dengan demikian, sejarah Islam adalah berbagai peristiwa atau

kejadian yang benarbenar terjadi yang berkaitan dengan pertumbuhan

dan perkembangan Islam dalam berbagai aspek. Dalam kaitan ini, maka

muncullah berbagai istilah yang biasanya digunakan untuk sejarah itu, di

antaranya: Sejarah Islam, Sejarah Kebudayaan Islam dan Sejarah

Peradaban Islam .

B. Identitas Kebudayaan Islam

Dalam ilmu antropologi, kebudayaan adalah bentuk ungkapan

tentang semangat yang mendalam dari suatu masyarakat. Sedangkan

manifestasi-manifestasi dari kemajuan mekanis dari teknologi hal

demikian lebih berkaitan dengan konsepsi peradaban. Kalau kebudayaan

lebih banyak direfleksikan dalam seni, sastra, agama dan moral, maka

peradaban terefleksi dalam politik, ekonomi dan teknologi. Kebudayaan

mempunyai tiga wujud: Pertama, Wujud ideal, yaitu wujud kebudayaan

sebagai suatu komplek individu, gagasan, nilai-nilai, norma-norma,

peraturan dan sebagainya. Kedua, Wujud kelakuan, yaitu wujud

4[4] Sayyid Quthub, Konsepsi Sejarah dalam Islam,(Jakarta;Pedoman ilmu Jaya , 1992, cet II,) 40-55, Terjemahan Tarikhuna fi dzou’il al Islam, penerjemah Nabhan Husein

kebudayaan sebagai suatu komplek aktivitas kelakuan berpola dari

manusia dalam masyarakat. Ketiga, Wujud benda, yaitu wujud

kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya.

Para pakar sepakat bahwa kebudayaan adalah semua hasil karya,

karsa dan cipta masyarakat. Karya masyarakat akan menghasilkan

tekhnologi dan kebudayaan kebendaan yang diperlukan manusia untuk

menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat

diabadikan untuk keperluan masyarakat. Karsa merupakan daya

penggerak (Drive) untuk memotivasi manusia dalam memikirkan segala

sesuatu yang ada dihadapan dan lingkungannya. Disamping itu Karsa

masyarakat dapat merlahirkan norma dan nilai-nilai yang sangat perlu

untuk tata tertib dalam pergaulan kemasyarakatan. Untuk menghadapi

kekuatan-kekuatan buruk, manusia terpaksa melindungi diri dengan cara

menciptakan kaidah-kaidah yang pada hakekatnya merupakan petunjuk-

petunjuk tentang cara bertindak dan berlaku dalam pergaulan hidup.

Kebudayaan pada setiap bangsa atau masyarakat terdiri atas

unsur-unsur besar dan unsur-unsur kecil yang merupakan bagian dari satu

keutuhan yang tidak dapat dipisahkan. Menurut Selo Soemarjan dan

Soelaiman unsur-unsur kebudayaan meliputi: alat-alat teknologi, sistem

ekonomi, keluarga dan kekuasaan politik. Sedang unsur-unsur

kebudayaan menurut C. Kluckhon, sebagaimana dikutip oleh

Koentjaraningrat adalah:

Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, rumah, alat-alat

transportasi)

Mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi

Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi, politik, hukum)

Bahasa (lisan dan tulisan)

Kesenian (seni rupa, seni suara, dan seni gerak)

Sistem pengetahuan

Religi (sistem kepercayaan).

Effat al-Sharqawi mengatakan bahwa kebudayaan adalah bentuk

ungkapan semangat mendalam dari sebuah nilai yang terdapat dan

mendarah daging pada suatu masyarakat. Sedangkan manifestasi-

manifestasi kemajuan mekanis dan tekhnologi lebih berkait dengan

peradaban. Selanjutnya Sharqowi berpendapat bahwa kebudayaan adalah

apa yang kita rindukan (ideal), sedangkan peradaban adalah apa yang

kita pergunakan (real). Dengan kata lain, kebudayaan terefleksi dalam

seni, sastra, religi dan moral. Sedangkan peradaban terefleksi dalam

politik, ekonomi, dan tekhnologi.

Dalam kajian anthropologi, kita mengenal pengertian kebudayaan

secara khusus dan secara umum. Menurut pengertian khusus,

kebudayaan adalah produk manusia di bidang kesenian dan adat istiadat

yang unik. Sedangkan kebudayaan dalam pengertian umum adalah

produk semua aspek kehidupan manusia yang meliputi: sosial, ekonomi,

politik, pengetahuan filosofi, seni dan agama.

Taylor seorang ilmuwan Inggris, merumuskan kebudayaan sebagai

keseluruhan yang kompleks yang meliputi pengetahuan, dogma seni,

nilai-nilai moral, hukum, tradisi, sosial, dan semua produk manusia dalam

kedudukannya sebagai anggota-anggota masyarakat, termasuk dalam

realitas ini adalah agama.

Adapun yang dimaksud dengan Kebudayaan Islam adalah cara

berpikir dan merasa Islam yang menyatakan diri dalam seluruh segi

kehidupan dari segolongan manusia yang membentuk kesatuan sosial

dalam suatu ruang dan suatu waktu inilah pemahaman integralistik,

menempatkan Islam sebagai sumber nilai dan motivasi bagi tumbuhnya

kebudayaan Islam. Dengan demikian yang dimaksud Sejarah Kebudayaan

Islam adalah gambaran produk aktivitas kehidupan ummat Islam pada

masa lampau yang bersumberkan pada nilai–nilai Islam. Hanya saja dalam

berbagai risalah teks-teks literatur yang ada seringkali penulisnya

memberi narasinya dari segi politik. Ini diasumsikan bahwa secara

konseptual, dari sisi politik inilah sumber kebudayaan Islam berputar.

C. Makna Peradaban Islam

Asumsi dasar yang bisa kita bangun, bahwa peradaban berasal dari

kata adab yang dalam pengertian ini mengandung pengertian tata krama,

perilaku atau sopan santun. Dengan demikian peradaban adalah segenap

prilaku sopan santun dan tata krama yang diwujudkan oleh umat Muslim

dari waktu ke waktu baik dalam realitas politik, ekonomi dan sosial

lainnya.

Secara harfiah peradaban Islam itu terjemahan dari bahasa Arab al-

khadlarah al-Islamiyah, atau al-madaniyah al Islamiyah5[5] atau al-

tsaqofah al Islamiyah, yang sering juga diterjemahkan dengan

kebudayaan Islam. Dalam bahasa Inggris ini disebut culture, adapula yang

menyebutnya civilization. Di Indonesia, Arab dan Barat masih banyak yang

mensinonimkan antara peradaban dengan kebudayaan.

Disisi yang lain, akar kata madana lahir kata benda tamaddun yang

secara literal berarti peradaban (civilization) yang berarti juga kota

berlandaskan kebudayaan (city base culture) atau kebudayaan kota

(cultural of the city). Di kalangan penulis Arab, sendiri.perkataan

tamaddun digunakan-kalau tidak salah-untuk pertama kalinya oleh Jurji

Zaydan dalam sebuah judul buku Tarikh al-Tamaddun al-Islami (Sejarah

Peradaban Islam), terbit tahun 1902-1906. Sejak itu perkataan tamaddun

digunakan secara luas dikalangan umat islam.6[6]

Di dunia Melayu tamaddun digunakan untuk pengertian peradaban.

Di Iran orang dengan sedikit berbeda menggunakan istilah tamaddon dan

madaniyat. Namun di Turki orang dengan menggunakan akar madinah

atau madana atau madaniyyah menggunakan istilah medeniyet dan

medeniyeti. Orang-orang Arab sendiri pada masa sekarang ini

menggunakan kata hadharah untuk peradaban, namun kata tersebut tidak

banyak diterima umat Islam non-Arab yang kebanyaan lebih menyukai

5[5] Ahmad Syalaby, Tarikh al Islamiyah al hadzarah al islamiyah,(Kairo; …. cetakan ke IV, 1978), 10

6[6] Yusri Abdul Ghani Abdullah, Historiografi islam;dari klasik hingga modern, (Yakarta;Rajagrafindo, 2004), VII - IX

istilah tamaddun. Di benua Indo-Pakistan tamaddun digunakan hanya

untuk pengetian kultur, sedangkan peradaban menggunakan istilah

tahdhib.

Kata peradaban sering kali dikaitkan dengan kebudayaan, bahkan

banyak penulis barat yang mengidentikan “kebudayaan” dan “peradaban”

islam. Sering kali peradaban islam dihubungkan dengan peradaban Arab,

meskipun sebenarnya antara Arab dan Islam tetap bisa dibedakan.

Adapun yang membedakan antara kebudayaan tersebut adalah dengan

adanya peningkatan peradaban pada masa jahiliyah yang berasal dari

kebodohan. Hal ini pada akhirnya berubah ketika Islam datang yang

dibawa oleh nabi Muhammad SAW di Arab. Sehingga pada masanya

kemudian islam berkembang menjadi suatu peradaban yang menyatu

dengan bangsa Arab, bahkan berkembang pesat kebagian belahan dunia

yang lainnya, Islam tidak hanya sekedar agama yang sempurna melainkan

sumber peradaban islam.Peradaban merupakan kebudayaan yang

berhubungan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimana

kebudayaan tersebut tidak hanya berpengaruh di daerah asalnya, tapi

juga mempengaruhi daerah-daerah lain yang menjadikan kebudayaan

tersebut berkembang

Dengan merujuk pada narasi diatas, maka dapat dikonsepsikan

bahwa Sejarah Peradaban Islam adalah gambaran produk aktivitas

kehidupan umat Islam pada masa lampau yang benar-benar terjadi dalam

aspek politik, ekonomi, dan tekhnologi yang bersumberkan pada nilai-nilai

ajaran Islam. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Peradaban Islam

merupakan identitas ummat Islam sejak masa lampu.

C. Islam sebagai Sumber Budaya dan Peradaban

Sejumlah pihak mengatakan bahwa agama Islam setingkat dengan

kebudayaan Islam. Dalam frame tertentu ini dinilai para pakar Muslim hal

yang dapat menyesatkan dan mengacaukan citra dan kemurnian Islam.

Dengan menyetingkatkan antara Agama Islam dengan Kebudayaan Islam,

maka ini berarti mereka telah menyetingkatkan antara agama (yang

berasal dari Allah) dengan kebudayaan (yang merupakan hasil cipta orang

Islam), yang berarti pula menyetingkatkan antara wahyu dengan akal.

Berpendapat bahwa kebudayaan Islam merupakan bagian dari din Islam

ini berarti menunjukkan bahwa ia telah memasukkan unsur-unsur yang

aqli (hasil cipta orang Islam) ke dalam din Islam, dan ini berarti pula

bahwa mereka telah mencampur adukkan antara wahyu dengan akal

manusia.

Dalam pandangan kelompok fundamentalis, pola pemikiran dan ide

demikian dianggap sangat berbahaya dan menyesatkan, karena dalam

akidah Islam telah dijelaskan bahwa Islam seluruhnya adalah wahyu, tidak

ada bagian-bagian kebudayaan Islam didalamnya. Agama atau wahyu

tidak setingkat dengan kebudayaan Islam, karena agama atau wahyu

berasal dari Allah sedangkan kebudayaan Islam merupakan hasil cipta,

rasa dan karsa manusia. Oleh karena itu, pemikiran dan ide itu harus

ditolak dan tidak dapat dibenarkan.

Sementara itu, para pemikir Barat juga memandang Islam sebagai

produk kebudayaan, misalnya disampaikan oleh H.A.R. Gibb yang

mengatakan bahwa “Islam is indeed much more than a sistem of theology

it is a complete civilization” .(Islam sesungguhnya lebih dari satu sistem

teologi. Ia adalah satu peradaban yang lengkap). Pendapat Gibb ini patut

apabila dikemukakan oleh kelompok orientalis, tetapi apabila begitu saja

ditelan mentah–mentah oleh ilmuan Islam akan melahirkan pemahaman

yang cukup rancu,

Memang diakui bahwa antara agama dan budaya adalah dua

bidang yang berhubungan dan tidak dapat dipisahkan, akan tetapi

keduanya berbeda. Agama bernilai mutlak, tidak berubah karena

perubahan waktu dan tempat. Sedangkan budaya , sekalipun berdasarkan

agama dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat.

Sebagian besar budaya didasarkan pada agama, namun tidak pernah

terjadi sebaliknya, agama berdasarkan pada budaya. Oleh karena itu bisa

dikatakan agama adalah primer dan budaya adalah sekunder. Budaya bisa

merupakan ekspresi hidup keagamaan, karena itu kebudayaan sub ordinat

terhadap agama, dan tidak pernah sebaliknya.

Agama pada hakekatnya mengandung dua kelompok ajaran

yaitu:

Ajaran dasar yang diwahyukan Tuhan melalui para Rasulnya kepada

manusia yang ajarannya terdapat dalam kitab-kitab suci. Karena

merupakan wahyu dari Tuhan, maka ajaran tersebut bersifat absolut,

mutlak benar, kekal, tidak berubah dan tidak bisa diubah.

Ajaran yang berupa penjelasan dari kitab suci (baik mengenai arti maupun

cara pelaksanaan) yang dilakukan oleh pemuka atau ahli agama. Karena

merupakan penjelasan dan hasil pemikiran pemuka atau ahli agama,

maka ajarannya bersifat relatif, nisbi, berubah dan dapat diubah sesuai

dengan perkembangan zaman.

Dalam Islam, kelompok pertama terdapat dalam Al-Qur’an dan

Hadist Mutawatir. AlQur’an terdiri dari 6.300 ayat, tetapi yang mengatur

tentang keimanan, ibadah, muamalah dan hidup kemasyarakatan

manusia, menurut penelitian ulama tidak lebih dari 500 ayat. Ajaran dasar

Islam (al-Qur’an dan al-Sunnah yang periwayatannya shahih) bukan

termasuk budaya, tetapi pemahaman ulama terhadap ajaran dasar agama

merupakan hasil karsa ulama. Oleh karena itu ia merupakan bagian dari

kebudayaan. Akan tetapi umat Islam meyakini bahwa kebudayaan yang

merupakan hasil upaya ulama dalam memahami ajaran dasar agama

Islam, dituntun dan memperoleh petunjuk dari Tuhan, yaitu al-Qur’an dan

Sunnah. Hal inilah yang kemudian disebut sebagai kebudayaan Islam.

Islam dikemukakan oleh Bassam Tibi 7[7] yaitu bahwa Islam

merupakan sistem budaya. Menurutnya Islam sebagai sistem budaya

terdiri atas berbagai simbol yang berkorespondensi dan bergabung untuk

membentuk suatu model untuk realitas. Meski demikian dalam posisi

tersebut agama tidak dapat dipenetrasikan secara eksperimental, tetapi

hanya sebatas interpretatif. Dalam agama, konsepsi manusia mengenai

realitas tidak didasarkan pada pengetahuan tetapi pada keyakinan

terhadap suatu otoritas ketuhanan yang terkonsepsikan dalam kitab suci

(Al-Qur’an). Al-Qur’an inilah yang mendasari semua bentuk realitas.

Selanjutnya konsep– konsep realitas yang dihasilkan manusia ini

7[7] Basssam Tibu, Islam Budaya dan Perubahan Sosial, (Jakarta, Tiara Wacana,…..)….

mengalami perubahan yang paralel. Adaptasi dari konsep–konsep

religiokultural dengan realitas yang berubah kemudian membentuk suatu

komponen sentral dalam asimilasi budaya untuk perubahan. Dengan cara

itulah perubahan terarah, karena orang tidak begitu saja memberikan

reaksi terhadap proses perubahan dengan menggunakan inovasi budaya.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa hakekat agama memiliki

aspek ganda yakni :

Memberikan arti terhadap berbagai aspek realitas sosial dan psikologis

bagi para penganut-penganutnya, sehingga mendapatkan suatu bentuk

konseptual yang obyektif.

Agama dapat berwujud oleh realitas dan pada saat yang sama

membentuk realitas yang sesuai dengan realitas. Artinya interpretasi

simbol-simbol religiokultural membentuk bagian realitas, karena simbol–

simbol tersebut juga mempengaruhi realitas. Pada saat yang sama

perwujudan (pengamalan) dari simbol–simbol kepada realitas empirik

membentuk sebuah pola yang terstruktur dalam bentuknya yang biasa

dikenal dengan kebudayaan dan peradaban.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Islam adalah sumber

dari kebudayaan dan peradaban Islam yang ada. Landasan Peradaban

Islam adalah Kebudayaan Islam, terutama wujud idealnya. Jadi, Islam

bukanlah kebudayaan akan tetapi dapat melahirkan kebudayaan. Kalau

kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia, maka Islam

adalah realitas pewahyuan dari Tuhan.

Dengan mengambil tema Peradaban Islam bukan berarti masalah

Kebudayaan Islam menjadi tidak penting dalam studi Islam (Dirosah

Islamiyyah). Masalah Kebudayaan Islam penting sekali, karena ia

merupakan landasannya. Oleh karenanya mengkaji Peradaban Islam sama

halnya juga mengakaji tentang Kebudayaan Islam.

Banyak penulis (Barat ataupun Timur) mengidentikkan antara

Kebudayaan dan Peradaban Islam dengan Kebudayaan dan Peradaban

Arab. Pada masa klasik, pendapat tersebut dapat dibenarkan, meskipun

sebenarnya antara Arab dan Islam berbeda. Pada masa Klasik, pusat

pemerintahan hanya satu (yaitu bangsa Arab) dan untuk beberapa abad

sangat kuat. Peran bangsa Arab sangat dominan, sehingga ungkapan

budaya yang ada semuanya diekspresikan melalui Bahasa Arab, pada

akhirnya terwujud kesatuan budaya Islam.

Akan tetapi seiring berjalannya waktu, muncullah periode

pertengahan dan periode modern, dimana bangsa non Arab mulai

berpartisipasi dan membina suatu kebudayaan dan peradaban. Walaupun

pada masa tersebut ummat Islam masih memandang wilayah kekuasaan

Islam adalah sebagai tanah airnya. Agama Islam masih dilihat sebagai

tanah air dan kekuasaan.

Berpartisipasinya bangsa non Arab dalam membina kebudayaan

dan peradaban, bukan disebabkan karena terjadinya disintegrasi antara

kekuatan politik Islam dengan beberapa kerajaan di dalam wilayah yang

sangat luas, akan tetapi karena ungkapanungkapan kebudayaan dan

peradaban tidak lagi diekspresikan melalui satu bangsa. Bahasa

administratif pemerintahan Islam mulai berbeda-beda, seperti Persia,

Turki, bahkan peran orang Arab sudah menurun. Tiga kerajaan besar Islam

pada periode pertengahan tidak satupun yang dikuasai oleh bangsa Arab.

Apalagi Islam sangat toleran memperlakukan kebudayaan masyarakat

setempat. Sejauh tidak menyimpang dari prinsipprinsip ajaran Islam yang

telah ada.8[8]

Orang Islam dalam proses menciptakan dan mengembangkan

kebudayaan harus mampu mempelopori dan membimbing terwujudnya

kebudayaan yang belandaskan Islam. Memelihara dan mempertahankan

kebudayaan yang sudah ada selama menunjukkan nilai yang positif dan

berguna bagi kehidupan manusia, membuang nilai-nilai yang

bertentangan dengan ajaran Islam dan menggantikannya dengan yang

baru yang sesuai dengan ajaran Islam (al-muhafadzah ‘ala al-qadim as-

shalih, wal akhdzu bil jadid al–Ashlah). Inilah nilai dasar yang cukup

signifikan untuk dipedomani bagi seorang Muslim yang menaruh simpatik

terhadap kajian Sejarah Islam.

8[8] Badri Yatim,Sejarah Peradaban Islam,(Jakarta;Rajagrafindo,1993):7

Sejarah Peradaban Islam diartikan sebagai perkembangan atau

kemajuan kebudayaan islam dalam perspektif sejarahnya, dan peradaban

islam mempunyai berbagai macam pengertian lain diantaranya, pertama:

sejarah peradaban islam merupakan kemajuan dan tingkat kecerdasan

akal yang dihasilkan dalam satu periode nabi Muhammad SAW sampai

perkembangan kekuasaan islam sekarang.  Kedua: sejarah peradaban

islam merupakan hasil-hasil yang dicapai oleh umat islam dalam lapangan

kesustraan, ilmu pengetahuan dan kesenian. Ketiga: sejarah peradaban

islam merupakan kemajuan politik atau kekuasaan islam yang berperan

melindungi pandangan hidup islam terutama dalam hubungannya dengan

ibadah-ibadah, penggunaan bahasa dan kebiasaan hidup masyarakat.

E. Budaya Islam Vs Budaya Arab                                   

Pada dasrnya agama dan tradisi adalah dua dunia yang berbeda,

masing-masing mempunyai independensi. Memang terkadang wilayah

tradisi dan agama tumpang tindih, satu sisi, wilayah agama berasal dari “

normatifitas wahyu “ dan tradisi berasal dari “buatan manusia”, oleh

sebab itu tradisi cenderung berubah sesuai dengan perkembangan waktu

dan perubahan zaman. Nah, hal ini yang memungkinkan untuk ada

asimilasi perilaku beragama dalam kehidupan sehari – hari yang

disesuaikan dengan tradisi yang berlaku.

Banyak hal yang harus kita pertimbangkan dalam hal memposisikan

nash dengan kebudayaan atau tradisi yang berkembang. Bagaimanapun

harus ada rekonsiliasi antara wahyu Tuhan dengan mempertimbangkan

faktor budaya, atau yang sifatnya kontekstual. Ini yang nantinya

diperlukan pribumisasi islam – meminjam istilah Gus Dur--. Karena, selain

berkaitan dengan tata sosial masyarakat budaya juga banyak yang

bersinggungan dengan perilaku beragama, khususnya yang berkenan

dengan fikih.

Banyak penulis yang mengidentikkan kebudayaan dan peradaban

islam dengan kebudayaan dan peradaban Arab. Pendapat itu mungkin

dapat dibenarkan meskipun sebenarnya antara Arab dan Islam tetap bisa

dibedakan. Pada masa klasik pusat pemerintahan hanya satu dan peran

Arab di dalamnya sangat dominan. Semua wilayah kekuasaan Islam

menggunakan bahasa bahasa Arab. Semua ungkapan – ungkapan budaya

yang diekspresikan melalui bahasa Arab. Meskipun ketika itu bangsa-

bangsa non Arab juga sudah mulai berpartisipasi dalam membina suatu

kebudayaan & peradaban. apalagi orang – orang non muslim juga banyak

menyumbangkan karya budayanya.

Akhir-akhir ini ada semacam gerakan yang cukup masip dan radikal

dengan, Adanya kecenderungan sejumlah pihak yang mengedepankan

konstruksi syari’at islam dalam wajah Arab sambil menafikan realitas

tradisi yang lain. Padahal islam bukanlah identik dengan Arab

sebagaimana Indonesia bukanlah Arab secara sosiokultural dan

politisinya. Walaupun diakui sebenarnya tidak ada yang salah bila

menggunakan kebudayaan Arab dalam mengekspresikan keberagamaan

seseorang, dengan syarat tidak melahirkan sebuah konflik di tengah

masyarakat yang dibingkai dalam pemahaman konseptual yang kokoh..

Tetapi yang menjadi masaalah adalah manakala penggunaan

asumsi bahwa ”warna arab”tersebut merupakan bentuk keberagamaan

tunggal yang dianggap paling absah dan muthlak. Sehingga hukumnya

wajib diterapakan pada semua kondisi dan situasi secara paten. Hal

tersebut tentunya berimbas pada keadaan dimana ekspresi Arab menjadi

dominan, bahkan menghegemoni budaya dan tradisi yang berkembang di

masyarakat lokal. Hal yang lebih menggelisakan lagi adalah munculnya

justifikasi-justifikasi seperti ebelum/tidak kaffah (sempurna), sesat, bid’ah

atau musyrik kepada orang-orang yang tidak menggunakan ekspresi

”warna arab” tersebut. Soal penggunaan Jilbab misalnya, sebagaian orang

yang berjilbab memandang bahwa perempuan yang belum menggunakan

jilbab atau jilbabnya berbeda dengan jilbab yang biasa dipakai di Arab,

berarti Islamnya belum Kaffah.

Fenomena tersebut merupakan bagian dari berbagai macam

fenomena yang menggambarkan adanya konflik dan ketegangan antara

hukum Islam dan budaya. Muncul satu hal yang menjadi persoalan, yaitu

apakah budaya yang berkembang dalam masyarakat harus tunduk dalam

ekspresi hukum islam dalam corak Arab seperti di atas?

F. Islam Normatif dan Islam Historis    

Untuk membedakan wilayah budaya arab dan budaya Islam dapat ditinjau dengan

mengambil sebuah konsep bahwa dalam islam terdapat kumpulan dogma normatifitas dan

Islam pada faktanya merupakan realitas Historis. Disinilah sehingga Budi munawar rahman

dalam (---bukunya Islam dan peradaban--) mengatakan bahwa islam itu terdapat dua

macam nilai yakni islam berdimensi normatif dan islam berdimensi historis. Kedua aspek

ini terdapat hubungan yang menyatu, tidak dapat dipisahkan, tetapi dapat dibedakan.

Pertama; aspek normatif yakni wahyu harus diterima sebagaimana adanya, mengikat semua

pihak dan berlaku universal.Kedua; aspek historis yakni, kekhalifahan senantiasa dapat

berubah, menerinma diskusi karena produk zaman tertentu, dan hal itu bukan hal yang

saklar.

Pengertiaan dari Islam Normatif yakni, Islam dalam dimensi saklar yang diakui

adanya realitas transendemental yang bersifat mutlak dan universal, melampaui ruang dan

waktu atau sering disebut sebagai realitas ke-Tuhan-an. Sedangkan pengertian dari Islam

Historis yakni, islam yang tidak bisa dilepaskan dari kesejarahan dan kehidupan manusia

yang berada dalam ruang dan waktu, Islam yang terangkat oleh konteks kehidupan

pemeluknya, berada di bawah realita ke-Tuhan-an.

Disamping konsepsi normatif dan hostoris untuk menentukan budaya arab dan

budaya Islam memungkinkan juga menggunakan konsepsi Ushul dan furu’. Hal Dogma

agama yang bersifat Ushul adalah normatif yang universal sehingga ini merupakan ruh

ajaran islam . Sementara aspek furu’ adalah nilai – nilai tradisi yang mengandung hal hal

yang bersifat furu’(Cabang) yang tidak bisa diterima secara mentah, akan tetapi harus

diambil nilai substansi yang meliputinya.

G. Babakan Sejarah Peradaban Islam

Di kalangan sejarawan terdapat perbedaan pendapat tentang saat

dimulainya sejarah Islam. Secara umum perbedaan itu dapat dibedakan

menjadi tiga macam. Pertama, sejarah umat Islam dimulai sejak Nabi

Muhammad SAW menerima wahyu pertama kali. Menurut pendapat ini,

selama tiga belas tahun Nabi di Makkah telah lahir masyarakat Muslim,

meskipun belum berdaulat. Kedua, sejarah umat Islam dimulai sejak Nabi

Muhammad SAW hjrah ke Madinah, karena umat Islam baru berdaulat di

Madinah. Ketiga, Peradaban Islam dimulai sejak Nabi Adam karena semua

Nabi yang diutus oleh Tuhan kepada manusia, semuanya adalah Islam

(Muslim).

Di samping perbedaan pendapat itu, sejarawan juga berbeda

pendapat dalam menentukan fase-fase atau periodesasi sejarah Islam

yang dibuat oleh ulama Indonesia. Menurut A. Hasjmy membagi

periodesasi sejarah Islam adalah sebagai berikut :9[9]

. Permulaan Islam (610-661 M)

. Daulah Amawiyah (661-750 M)

. Daulah Abbasiyyah I (740-857 M)

. Daulah Abbasiyyah II (847-946 M)

. Daulah Abbasiyyah III (946-1075 M)

. Daulah Mughol (1261-1520 M)

. Daulah Utsmaniyyah (1520-1801 M)

. Kebangkitan (1801–sekarang).

Berbeda dengan A. Hasjmy, Harun Nasution membagi sejarah Islam

menjadi tiga periode Yaitu masa Klasik (650-1250 M), Pertengahan(1250-

1800 M) dan Modern(1800-sekarang) 10[10] :

1. Periode Klasik (650-1250 M)

9[9] A. Hasjmy Sejarah Kebudayan Islam di Indonesia,(Jakarta: Bulan Bintang, 1993) 55

10[10] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam,;Sejarah Pemikiran dan Gerakan ((Jakarta:Bulan Bintang,1982) 12 - 14

Periode klasik antara tahun 650 -1250 M. Ini diawali dengan

persoalan dalam negeri Arab sendiri terutama tantangan yang ditimbulkan

oleh suku-suku bangsa Arab yang tidak mau tunduk lagi terhadap

pemerintahan Madinah. Hal tersebut disebabkan Karena orang Arab

menganggap bahwa perjanjian yang telah dibuat dengan Nabi Muhammad

telah batal, setelah wafatnya Rasulullah SAW. Setelah persoalan

dalam negeri selesai, maka Abu Bakar mengirim kekuatan keluar Arabia.

Pada masa kepemimpinan Umat Bin Khattab wilayah kekuasaan Islam

sudah meliputi Jazirah Arabia, Palestina, Syiria dan Mesir.

Periode klasik yang berlangsung sejak 650-1250 M. Ini dapat dibagi

lagi menjadi dua: pertama, Masa kemajuan Islam I, Masa kemajuan Islam I

dimulai sejak tahun 650-1000 M. Masa kemajuan Islam I itu tercatat

sejarah perjuangan Nabi Muhammad SAW dari tahun 570–632 M.

Khulafaur Rasyidin dari tahun 632-661 M, Bani Umayyah dari tahun 661-

750 M., Bani Abbas dari tahun 750-1250 M. Dan Kedua,Masa disintegrasi

yaitu tahun 1000-1250.

2. Periode Pertengahan (1250-1800 M)

Periode pertengahan ini berkisar antara tahun 1250-1800 M. pada

masa periode ini merupakan masa kemunduran, dengan diawali jatuhnya

kota Baghdad ke tangan bangsa Spanyol, setelah Khilafah Abasyiah

runtuh akibat serangan tentara Mongol, kekuatan politik Islam mengalami

kemunduran secara drastis.

Pada tahun 1500-1800 M keadaan politik ummat Islam secara

keseluruhan mengalami kemajuan kembali setelah muncul dan

berkembangnya tiga kerajaan besar, yaitu Kerajaan Utsmani di Turki,

Kerajaan Syafawi di Persia, dan Kerajaan Mughal di India. Pada tahun

1700-1800 M, terjadilah kemunduran dari tiga kerajaan tersebut.

Selanjutnya periode pertengahan yang berlangsung dari tahun 1250-

1800 M, dapat dibagi ke dalam dua masa, yaitu:

Pertama, Masa kemunduran I,

Masa kemunduran I berlangsung tahun 1250-1500 M. Di zaman ini

desentralisasi dan disintegrasi serta perbedaan antara Sunni dengan

Syi’ah begitupun juga antara Arab dan Persia sangat mencolok. Dunia

Islam terbagi menjadi dua, pertama, Arab. Bagian Arab terdiri dari Arabia,

Irak, Suria, Palestina, Afrika Utara, dan Mesir sebagai pusatnya. Kedua,

Persia. Kebudayaan Persia mengambil bentuk internasional dan dengan

demikian mendesak lapangan kebudayaan Arab.

Pendapat bahwa pintu ijtihad sudah tertutup makin meluas di

kalangan umat Islam. Demikian juga tarekat dengan pengaruh negatifnya.

Perhatian terhadap ilmu pengetahuan kurang sekali. Umat Islam di

Spanyol dipaksa masuk KRISTEN atau keluar dari daerah itu.

Dan Kedua, Masa tiga kerajaan besar

Masa Tiga Kerajaan Besar berlangsung tahun 1500-1800 M yang

dimulai dengan zaman kemajuan tahun 1500-1700 M dan zaman

kemunduran II tahun 1700-1800 M. Tiga kerajaan yang dimaksud adalah

Kerajaan Ustmani di Turki, kerajaan Safawi di Persia dan kerajaan Mughal

di India. Pada masa kemajuan tiga kerajaan besar tersebut, masingmasing

kerajaan mempunyai kejayaan, terutama dalam bentuk literatur-literatur

dan arsitek.

Di zaman kemunduran, kerajaan Ustmani terpukul oleh kekuatan

Eropa, kerajaan Safawi dihancurkan oleh serangan-serangan suku bangsa

Afghan, sedangkan daerah kekuasaan kerajaan Mughal diperkecil oleh

pukulan-pukulan raja-raja India. Umat Islam dalam keadaan menurun

drastis. Akhirnya, Napoleon di tahun 1798 M, dapat menduduki Mesir,

yang pada saat itu sebagai salah satu peradaban Islam yang terpenting.

3. Periode Modern (1800-sekarang)

Periode Modern dalam sejarah Islam bermula dari tahun 1800 M dan

berlangsung sampai sekarang. Diawal periode ini kondisi Dunia Islam

secara politis berada di bawah penetrasi kolonialisme. Baru pada

pertengahan abad ke-20 M Dunia Islam bangkit memerdekakan negerinya

dari penjajahan Barat.

Periode ini memang merupakan kebangkitan kembali Islam, setelah

mengalami kemunduran di periode pertengahan. Pada periode ini dimulai

bermunculan pemikiran pembaharuan dalam Islam. Gerakan

pembaharuan itu muncul karena dua hal yaitu:

- Timbulnya kesadaran di kalangan ulama bahwa banyak ajaran-ajaran

asing yang masuk dan diterima sebagai ajaran Islam.

- Barat mendominasi Dunia di bidang politik dan peradaban, karena itu

mereka berusaha bangkit dengan mencontoh Barat dalam masalah-

masalah politik dan peradaban untuk menciptakan balance of power.

Periode modern tahun 1800 M dan seterusnya merupakan zaman

kebangkitan umat Islam. Jatuhnya Mesir ke tangan Barat menginsyafkan

Dunia Islam akan kelemahan dan menyadarkan umat Islam bahwa di

Barat telah tumbuh peradaban baru yang lebih tinggi dan merupakan

ancaman bagi Islam. Raja-raja dan pemuka Islam mulai memikirkan

bagaimana meningkatkan mutu dan kekuatan umat Islam kembali. Di

periode Modern inilah timbulnya ide-ide pembaharuan dalam Islam.Ulama

umumnya memakai periodenisasi yang digunakan oleh Harun Nasution

dalam membagi periodenisasi sejarah umat Islam (Atang, Hakim dan

Mubarok, 2000:139). Harun Nasution memulai periodenisasi tahun 650

atau pada zaman Ustman karena pada pemerintahan Ustman timbul

berbagai macam pertentangan baik teologi maupun pertentangan politik.

Berkaitan dengan babakan sejarah diatas ada beberapa catatan yang

perlu dicermati Masalah keterputusan periode klasik dengan masa

Rasulullah. Harun memulai periode klasik dari tahun 650 M, yang terkenal

dengan masa Khalifah Usman (644–656 M). Pertanyaannya adalah

mengapa tidak mulai sejak zaman Rasulullah (611–634) dan tidak juga

pada masa Khalifah Abu Bakar (632–634) dan Umar ibn Khattab (634–644

M).

Padahal oleh banyak peneliti sejarah khususnya dari kalangan

ummat Islam sendiri dikatakan bahwa Rasulullah sampai masa Abu Bakar

dan Umar merupakan masa keemasan yang hakiki dari sudut komitmen

ummatnya kepada Islam, bukankah komitmen ke Islaman itulah yang

melahirkan produk–produk kebudayaan Islam. Harun memulai babakan itu

dari masa Ustman, karena ia menitik beratkan pada saat dimana

pertentangan teologis dan politik mulai tumbuh dan mewarnai masa

berikutnya. Karena itu periodenisasi yang dirumuskan dimuka cocok bila

titik berat diberikan sejarah perkembangan pemikiran Islam.

BAB III

PENUTUP

I. KESIMPULAN

Sejarah peradaban Islam merupakan salah satu bidang kajian studi

Islam yang banyak sangat penting . Sejarah Islam adalah peristiwa-

peristiwa atau kejadian-kejadian yang sungguh terjadi pada masa lampau

yang seluruhnya berkaitan dengan agama Islam. Agama Islam terlalu luas

cakupannya, maka sejarah Islam pun menjadi luas cakupannya. Di

antaranya berkaitan dengan sejarah proses pertumbuhan, perkembangan,

dan penyebaran Islam, tokoh-tokoh yang melakukan perkembangan dan

penyebaran agama Islam, sejarah kemajuan dan kemunduran yang

dicapai umat Islam dalam berbagai bidang, seperti dalam bidang ilmu

pengetahuan agama dan umum, kebudayaan, arsitektur, politik,

pemerintahan, peperangan, pendidikan, ekonomi, dan lain sebagainya.

Sejarah Peradaban Islam adalah gambaran produk aktivitas kehidupan

ummat Islam pada masa lampau yang bersumberkan pada nilai–nilai

Islam.

Pada masa Klasik, pusat pemerintahan hanya satu (yaitu bangsa

Arab) dan untuk beberapa abad sangat kuat. Peran bangsa Arab sangat

dominan, sehingga ungkapan budaya yang ada semuanya diekspresikan

melalui Bahasa Arab, pada akhirnya terwujud kesatuan budaya Islam

yang semuanya dalam dokumentasinya berbentuk bahasa arab.

Untuk membedakan wilayah budaya arab dan budaya Islam dapat

ditinjau dengan mengambil sebuah konsep bahwa dalam islam terdapat

kumpulan dogma normatifitas dan Islam pada faktanya merupakan

realitas Historis. Disamping konsepsi normatif dan hostoris untuk

menentukan budaya arab dan budaya Islam memungkinkan juga

menggunakan konsepsi Ushul dan furu’.

Di kalangan sejarawan terdapat perbedaan pendapat tentang saat

dimulainya sejarah Islam. Yang umum digunakan dalam periodesisasi

sejarah peradaban islam dibagi menjadi tiga masa yakni, klasik,

pertengahan dan modern.

Daftar Pustaka

A. Hasjmy Sejarah Kebudayan Islam di Indonesia,Jakarta: Bulan Bintang, 1993

Ahmad Syalaby, Tarikh al Islamiyah al hadzarah al islamiyah,Kairo; ….

cetakan ke IV, 1978

Badri Yatim,Sejarah Peradaban Islam,Jakarta;Rajagrafindo,1993

Basssam Tibu, Islam Budaya dan Perubahan Sosial, Jakarta, Tiara Wacana,

…..,

Dudung abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah,Jakarta; LOGos, 1999

Harun Nasution

Poerwadarminto,Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka,

1992

Sayyid Quthub, Konsepsi Sejarah dalam Islam,Jakarta;Pedoman ilmu Jaya ,

1992, cet II, Terjemahan Tarikhuna fi dzou’il al Islam, penerjemah Nabhan

Husein

Yusri Abdul Ghani Abdullah, Historiografi islam;dari klasik hingga modern,

Yakarta;Rajagrafindo, 2004

Posted 22nd November 2012 by junaidi fina

2.

Nov

22

ISLAM SEBAGAI DOKTRIN DAN ISLAM SEBAGAI PERADABAN

ISLAM SEBAGAI DOKTRIN DAN ISLAM SEBAGAI PERADABAN

Menurut Amin Abdullah, pangkal tolak kesulitan pengembangan skop wilayah kajian

Islamic Studies atau Dirasah Islamiyah berakar pada kesukaran seorang agamawan untuk

membedakan antara normativitas dan historisitas. Pada dataran normativitas kelihatannya

Islam kurang pas untuk dikatakan sebagai disiplin ilmu, sedangkan untuk dataran historisitas

tampaknya tidak salah.

Ia melanjutkan, pada dataran normativitas studi Islam agaknya masih banyak terbebani

oleh misi keagamaan yang bersifat memihak, romantis dan apologis, sehingga kadar muatan

analisis, kritis, metodologis, historis, empiris, terutama dalam menelaah teks-teks atau

naskah keagamaaan produk sejarah terdahulu kurang begitu ditonjolkan, kecuali dalam

lingkungan para peneliti tertentu yang masih terbatas.[1]

Cara melihat Islam sebagai sebuah norma dapat kita jumpai pada pemikiran Mahmud

Syaltout yang membagi Islam pada urusan akidah dan Muamalah dalam bukunya berjudul

al-Islam Aqidah wa Syari’ah, dan pada pemikiran Maulana Muhammad Ali dalam bukunya

berjudul Dienul Islam yang mengatakan bahwa Islam terdiri dari ajaran keimanan yang

merupakan pokok dan ajaran ibadah yang merupakan cabang.[2]

Di antara tokoh yang melihat Islam dari sudut historis adalah Harun Nasution dan Fajlur

Rahman. dalam bukunya berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Harun Nasution

mengatakan: Islam berlainan dengan apa yang umum diketahui, bukan hanya mempunyai

satu dua aspek, tetapi mempunyai berbagai aspek. Sebenarnya mempunyai aspek teologi,

aspek ibadat, aspek moral, aspek mistisme, aspek moral, aspek filsafat, aspek sejarah, aspek

kebudayaan dan lain sebagainya. Sementara itu, dalam bukunya berjudul Islam, Fajlur

Rahman mengemukakan bahwa: Islam memiliki aspek hukum, teologi, syari’ah, filsafat,

tasawuf dan pendidikan.[3]

Oleh karena itu dilihat dari segi normatif sebagaimana yang terdapat dalam al-Quran

dan al-Hadis, maka Islam lebih merupakan agama yang tidak bisa diberlakukan kepadanya

paradigma ilmu pengetahuan, yaitu paradigma analitis, kritis, metodologis, historis dan

empiris. Sebagai agama, Islam lebih bersifat memihak, romantis, apologis, dan subjektif.

Sedangkan jika dilihat dari aspek historis, yaitu Islam dalam arti yang dipraktikkan oleh

manusia serta tumbuh dan berkembang dalam sejarah kehidupan manusia, maka Islam

dapat dikatakan sebagai sebuah disiplin ilmu, yakni ilmu keislaman atau Islam Studies.[4]

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin. 1996. Studi Agama; Normativitas atau Historisitas?”. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Ali, Maulana Muhammad. Islamologi (Dienul Islam). (terj.) R. Kaelani dan H.M. Bachrun,

(Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1980).

Nasution, Harun. 1979. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press.

Nata, Abuddin. 2006. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Rahman, Fajlur. Islam. (terj.) Senoaji Saleh, (Jakarta: Bina Aksara, 1979).

Syaltout, Mahmud. Al-Islam Aqidah wa Syari’ah.

[1] Amin Abdullah. 1996. Studi Agama; Normativitas atau Historisitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm.106.

[2] Abuddin Nata. 2006. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Hlm.151.

[3] Ibid., hlm.151.

[4] Ibid., hlm.150-151.

Posted 22nd November 2012 by junaidi fina

3.

Nov

22

Kondisi Keagamaan Pada Masa Awal Islam

Kondisi Keagamaan Pada Masa Awal Islam

In Depth

Episode 8

Sebetulnya ada banyak agama di Jazirah Arab pada waktu itu, seperti paganisme, yaitu penyembahan berhala; Hunafa yang mengklaim sebagai penganut agama Ibrahim; Sabea yang menyembah planet-planet; Yudaisme; dan Nusraneya (tidak sama dengan Nasrani). Itulah agama-agama yang ada pada waktu itu yang sangat berpengaruh pada kehidupan Mohamad.

Host:

Para pemirsa TV El Hayat, selamat datang di program “In Depth”. Kami mendapat kehormatan dengan kehadiran Bapak Zakariah Botros. Selamat datang Bapak Botros.

Priest Zakariah Botros: Selamat datang pemirsa.

Host:

Program yang kami sajikan disertai bukti dan fakta yang tidak bisa dibantah. Pak Botros akan melanjutkan episode berikutnya dengan isu-isu yang sangat sensitive. Mari kita teruskan episode yang lalu. Pada episode yang lalu Bapak telah membicarakan hal-hal yang mempengaruhi kehidupan Mohamad, tentang pribadinya, sukunya, dan keadaan politik di sekitarnya. Maukah Bapak kali ini membicarakan keadaan agama di Jazirah Arab secara umum?

Priest Zakaria Botros:

Ya, ini sesuatu yang harus kita pikirkan. Kita harus memberikan perhatian pada hal-hal ini, yaitu situasi agama secara umum di Jazirah Arab yang telah mempengaruhi kehidupan Mohamad. Itu sebabnya, kalau kita mau mempelajari kehidupan Mohamad, kita perlu mengetahui secara umum agama-agama di Jazirah Arab. Sebetulnya ada banyak agama di Jazirah Arab pada waktu itu, seperti paganisme, yaitu penyembahan berhala; Hunafa yang mengklaim sebagai penganut agama Ibrahim; Sabea yang menyembah planet-planet; Yudaisme; dan Nusraneya (tidak sama dengan Nasrani). Itulah agama-agama yang ada pada waktu itu yang sangat berpengaruh pada kehidupan Mohamad.

Host:

Tolong jelaskan bagaimana para penyembah berhala (Pagan) pada waktu itu menyembah dewa-dewa mereka?

Priest Zakaria Botros:

Ya, pada waktu itu di Jazirah Arab penuh dengan agama penyembah berhala. Sebelum saya lanjutkan, saya ingin memberitahukan beberapa referensi supaya kalau pemirsa ingin mengetahui lebih banyak bisa mempelajarinya sendiri.

Host: Amin.

Priest Zakaria Botros:

Ada sumber, ada juga referensi. Sumber yang dipakai adalah buku-buku tradisi zaman dulu, dan referensinya adalah tulisan-tulisan masa kini tentang tradisi dan zaman waktu itu yang bersumber pada buku-buku kuno itu. Tentang sumber-sumber kuno, ada buku “Elasnam”, ditulis oleh Elkelby, direvisi oleh Profesor Ahmed Zaki Pasha, diterbitkan oleh Dar Elkotob Press; buku “Elasnam” yang ditulis oleh Ekjahez; buku “Ketab Nehayet Elerab”, ditulis oleh Elnouwery; itulah buku-buku kuno sebagai sumber yang memberikan gambaran tentang dewa-dewa di Jasirah Arab pada waktu itu. Referensi masa kini yang ada adalah; “Sejarah Islam” oleh Profesor Hasan Ibrahim Hasan, Direktur Universitas Assiut dan Profesor Sejarah Islam di Universitas Kairo; “Elmufassal fe Adyan Elarab Kabl Elislam” oleh Profesor Gawad Aly. Itulah sumber dan referensi yang ada. Para pemirsa bisa menggunakannya untuk informasi lebih lanjut.

Host:

Bagus sekali Pak Botros. Mari kita mulai diskusi kita tentang dewa-dewa orang Pagan di Jazirah Arab.

Priest Zakaria Botros:

Professor Hasan Ibrahim dalam bukunya, “Fareekh Elislam” jilid satu, halaman 60 berkata, “Orang-orang Quraish mempunyai banyak berhala yang ditempatkan di dalam Kaabah, dan juga di sekitar Kaabah. Berhala-berhala itu lebih dari 360 jumlahnya.” Jumlah itu bukan berarti mereka menyembah dewa yang berbeda-beda setiap hari. Dewa-dewa itu banyak sekali karena setiap suku punya berhalanya sendiriyang disimpan di dalam Kaabah itu. Professor Hasan menambahkan, “Alasan mereka

menempatkan dewa-dewa itu di Kaabah adalah karena orang-orang Quraish ingin mengambil manfaat dari para kafilah yang datang ke Mekkah untuk berdagang, karena Mekkah memang pusat perdagangan pada waktu itu. Jadi mereka menempatkan berhala-berhala setiap suku di Kaabah supaya musim haji dan perdagangan terjadi pada waktu yang sama. Mereka mengaitkan perdagangan dengan agama, karena agama adalah faktor dalam kehidupan manusia yang sangat penting dan sangat kuat. Untuk alasan inilah mereka membuat banyak berhala. Professor Gawad Aly dalam bukunya “Elmufassal fe Adyan Elarab” – kita sudah melihat buku ini.– pada halaman 196-291 berbicara tentang dewa-dewa sebelum Islam, yang disembah oleh orang-orang Arab. Pertama-tama ia berbicara tentang Ellat, Eluzza dan Menat – mereka adalah dewa-dewa yang baik dan sangat terkenal, karena itu mereka disebutkan di dalam Quran. Dewa-dewa lainnya adalah Hubl, Wood, Asef, Naela dan seterusnya sampai 360 nama dewa-dewa yang ada di sana.

Host: Tolong jelaskan berhala-berhala itu, dan apa reaksi Mohamad terhadap berhala-berhala itu.

Priest Zakaria Botros:

Ya, akan saya jelaskan satu per satu berhala-berhala atau allah-allah itu menurut pandangan mereka. Dalam buku “Elmufassal” halaman 199, berbicara tentang allah yang namanya “Ellat”. Apa yang dikatakan di sana? “Kata Ellat berasal dari kata Allah. Ellat artinya Allah perempuan. Jadi, Ellat sama dengan Nyonya Allah, atau Bu Allah. Jadi, yang mereka maksudkan adalah ada Allah dan ada istri Allah juga. Juga di halaman 197 dijelaskan bahwa Ellat tinggal di tempat yang sekarang dibangun sebuah Masjid yang diberi nama Eltaef. Ini berarti Masjid Eltaef dibangun di tempat yang sama di mana dulu orang-orang menyembah Ellat. Dikatakan pula bahwa yang mendirikan masjid di lokasi itu adalah orang-orang pagan yang menerima Islam hanya di mulut saja bukan di dalam hati. Hal ini dimaksudkan untuk mengingat dewa Ellat yang dulu tinggal di lokasi itu.. Mereka mengaku Muslim tetapi sebetulnya hatinya tidak. Mereka merasa senang dengan adanya mesjid di lokasi itu. Jadi sampai sekarang masjid itu hanya sekedar monumen yang mengingatkan pada berhala nenek moyang mereka

yaitu Ellat. Rencana yang sangat bagus, ya. Ini artinya, ada banyak orang yang percaya hanya di mulut. Mereka berkata seolah-olah mereka percaya, mereka kompromi karena takut, tetapi hati mereka sebetulnya tidak percaya sama sekali. Dia ingin menyenangkan mereka untuk menjaga hubungan dengan mereka jadi ia datang ke tempat yang sama yang dulunya dipakai untuk menyembah Ellat dan mengubahnya menjadi masjid untuk menunjukkan kepada mereka bahwa dia peduli terhadap tempat ibadah mereka, dengan demikian orang-orang itu merasa disenangkan. Allah dan Ellat keduanya baik, mereka berhubungan satu sama lain. Dari semua ini kita tahu bahwa Mohamad ingin melakukan sesuatu untuk menyenangkan para Pagan agar bisa memenangkan mereka. Disebutkan juga dalam Quran dewa bernama Eluzza. Professor Gawad dalam bukunya, halaman 206-213 berkata, “Eluzza adalah allah perempuan. Juga ada di Taef.” Ia berkata di halaman 208 bahwa nabi Allah mempersembahkan domba putih kepada Eluzza. Ia berkata begini, “Aku telah mempersembahkan seekor domba putih kepada Eluzza.” Apa artinya ini?

Host: Artinya ia penyembah berhala.

Priest Zakaria Botros:

Ya, seorang penyembah berhala. Apa yang dipersembahkan kepada Eluzza?

Host: Persembahan kurban.

Priest Zakaria Botros:

Mohamad mengurbankan seekor domba. Sangat aneh dan sulit dipercaya. Saya rasa para pemirsa tidak tahu hal ini. Jelas di sini bahwa Mohamad dulunya adalah penyembah berhala

dan ia mempersembahkan kurban kepada berhala. Ini ditulis dengan sangat jelas, dan saya bingung sekali waktu membaca ini.

Host: Mengapa Bapak bingung?

Priest Zakaria Botros:

Mengapa saya bingung? Inilah kebingungan saya. Mohamad dikelilingi oleh aura kesucian dari sejak semula. Maksud saya, buku-buku tradisi memberi tahu bahwa he was light in Adam’s back before creation.

Host: Ada hadits yang berkata, ”I was a first of light in Adam’s back.”

Priest Zakaria Botros:

Mereka juga berkata bahwa Mohamad disebutkan di dalam Kitab Taurat dan Kitab Injil. Dikatakan, namanya adalah Ahmad. Dan cahaya keluar dari tubuh ibunya ketika sedang mengandung dia. Cahaya itu mencapai daerah Sham dan Basra. Ini terjadi ketika ia ada di dalam rahim ibunya. Banyak lagi cerita yang lain seperti cerita tentang dua malaikat yang membuka dada dan perutnya untuk mengambil hatinya.

Host: Gumpalan hitam dari dalam dadanya.

Priest Zakaria Botros:

Ya, betul, gumpalan darah berwarna hitam. Cerita ini ditulis dalam buku Seera Ibn Hesham halaman 168, bagian satu. Kalau memang ia sudah dikenal sejak semula, dan bahwa ada cahaya dalam rahim ibunya, dan bahwa ia disebutkan dalam Kitab Taurat, dan cahaya keluar dari perut ibunya—dan malaikat mengeluarkan gumpalan darah berwarana hitam dari dalam hatinya. Mengapa setelah semua itu ia menyembah berhala-berhala? Lebih dari itu, bahkan sesudah itu, ia makan daging domba yang ia persembahkan kepada berhala-berhala itu. Pada waktu yang sama, ada seseorang dari kelompok Hunafa yang tidak mau makan domba yang sudah dipersembahkan kepada berhala-berhala itu. Omaya Ibn Aby Elsalt, ia juga tidak mau makan domba kurban itu. Tidak juga Zeid Ibn Nofel mau makan domba persembahan itu, tetapi aneh, Mohamad kok mau makan daging domba yang sudah dipersembahkan kepada berhala. Semua cerita ini ada di buku Ibn Hesham, bagian satu, halaman 218. Ini betul, betul sangat aneh! Bagaimana Allah telah menolong Zeid untuk tidak makan daging bekas kurban persembahan tetapi tidak menolong Mohamad.” Aneh? Mengapa? Kalau ia sudah terkenal sejak semula dan disebutkan dalam Kitab Taurat dan Kitab Injil, dan ada cahaya yang keluar dari rahim ibunya, yang memancar jauh sampai ke Elsham, tetapi mengapa dia hidup sebagai seorang penyembah berhala? Mengapa Allah membiarkan dia menjadi

penyembah berhala? Bagaimana ia sampai makan makanan bekas persembahan berhala? Suatu hal yang sangat membingungkan. Saya harap ada salah satu dari sarjana-sarjana

Elazhar yang mau memberi penerangan kepada kita tentang isu ini. Saya tunggu jawabannya.

Host:

Anda telah mendengar pertanyaan kami, Anda telah mendengar kebingungan kami. Mudah-mudahan Anda akan menjawab pertanyaan kami. Baiklah, Pak Botros, saya setuju ini memang membingungkan, tetapi kita tidak akan berhenti sampai di sini. Ada berhala yang lainnya?

Priest Zakaria Botros: Ya, pasti ada.

Host: Tolong ceritakan kepada kami.

Priest Zakaria Botros:

Baiklah. Ada berhala yang bernama Menat yang juga disebutkan dalam Quran. “Sudahkah kau lihat Ellat, Eluzza, dan juga Menat?” Professor Hasan Ibrahim Hasan berkata dalam bukunya “Sejarah Islam” bagian satu, halaman 62; seperti dikatakan oleh Professor Gawad Aly dalam buku ini, halaman 207, “Orang-orang Quraish sudah biasa mengelilingi Kaabah – Sambil mengelilingi Kaabah orang-orang Quraish meneriakkan kata-kata Ellat, Eluzza, dan Menat, mereka berdoa dan mohon sesuatu kepada ketiga dewa ini.” Semua ini ada di halaman 207.

Host: Saya ingin melihatnya.

Priest Zakaria Botros:

Di dalam Quran, Surat ELnejm disebutkan juga bahwa ketika orang-orang mengelilingi Kaabah mereka juga meneriakkan kata-kata yang sama yaitu Ellat, Eluzza dan Menat. Apa yang dikatakan dalam Surat Elnejm dalam buku “Asbab Elnezoul” oleh Elwahedy, buku “Eltabakat Elkubra” oleh Ibn Saad bagian satu, halaman 205, dan Hadits tentang “Elgharaneek Eloula” (Lofty Cranes)? Inilah yang dikatakannya, ”Nabi melihat para pengikutnya pergi menjauhi dia, lalu ia duduk sendirian, dan berkata dalam hati, “Aku berharap sesuatu akan dinyatakan kepadaku sehingga mereka tidak bisa menolakku.

Kemudian ia pergi mendekati para pengikutnya, begitu pula para pengikutnya mendekati dia, dan dia tinggal satu hari di rumah salah satu sahabatnya, di sekitar Kaabah dan membaca untuk mereka; “Pernahkah Anda melihat Ellat,Eluzza dan Menat ketiga juga? And the star when it falls until it rests, kemudian si Iblis menaruh dua kata di mulutnya, those lofty cranes, mereka berdoa kepada tiga dewa.” Apa ini? Sama saja!. Jadi, ini kata-kata iblis? Apakah ini kata-kata yang diucapkan peziarah ketika mereka melakukan ritual ziarah? Sungguh cerita yang aneh, sangat aneh. Memang sesudah itu ia berkata bahwa malaikat Jibril menampakkan diri kepadanya dan memberi tahu bahwa ia tidak menaruh kata-kata itu di mulut Mohamad. Dari mana kau dapatkan itu?, Ia berkata, “Si Iblis yang memberikan kata-kata itu kepadaku.” Apapun alasannya, ia tidak bisa membedakan antara kata-kata

malaikat dengan kata-kata Iblis. Tetapi, ia berkata bahwa ia memberi tahu dia, jangan sedih, karena setiap nabi yang memberitahukan sesuatu kepada para pengikutnya, si Iblis akan selalu menaruh bisikan di mulutnya. Sungguh sesuatu yang sangat aneh. Sungguh saya heran dengan kata-kata ini.

Host: Apa komentar Bapak tentang cerita ini?

Priest Zakaria Botros:Pemirsa. apa artinya ini, Iblis akan menaruh kalimat di dalam mulutnya. Kalimat ini adalah kalimat yang biasa digunakan orang Arab, setiap orang Arab tahu kalimat ini. Dari mana kalimat ini? Dari iblis atau hanya dari pikiran dia? Inilah pertanyaan kami yang harus mereka jawab. Apakah ini yang dia hafal karena seringnya diucapkan ketika kali mempersembahkan kurban kepada Eluzza. Atau ini dari iblis? Saya tidak mengerti, saya betul-betul bingung. Dan, bagaimana ia bisa berkata dalam cerita ini bahwa Setan menunggu sampai sore untuk mendatanginya dan bertanya mengapa kau lakukan itu? Ketika malam tiba damai Jibril meliputinya dan berkata, “Apa yang sudah kau lakukan? Kau telah mengatakan kepada orang-orang tentang apa yang tidak kuberikan kepadamu.” Bagaimana ia menunggu sampai malam tiba? Jibrilkah ia? Mengapa nabi tidak menerima wahyu dan langsung mengucapkannya? Mengapa hanya untuk bertanya kepada nabi Jibril harus menunggu sampai malam? Mengapa ia tidak langsung saja menghentikan nabi? Saya harap ada jawaban untuk masalah-masalah seperti ini dan juga masalah-masalah lainnya yang

sungguh-sungguh serius. Saya tidak tahu bagaimana menjawabnya. Pemirsa, di sini ia berkata bahwa iblis menaruh kata-kata di dalam mulutnya. Ini berarti si Iblislah yang menyuruh dia berbicara. Saya ingin membandingkan ini dengan Surat Elnahl ayat 100. Begini bunyinya, “Aku berlindung kepada Allah dari godaan iblis (Elshaytan Elrageem) yang tidak punya kuasa atas orang-orang yang percaya dan bersandar kepada Allah, dan yang berserah kepada Allah; Ia tidak berkuasa atas orang-orang yang menyerahkan diri kepada Tuhan.” Ibn Katheer menjelaskan, mereka adalah orang yang menaati dia, atau menuhankan dia selain Allah, dan juga mereka yang menyembah allah-allah lain. Jadi, bagaimana iblis berbicara melalui mulut nabi kalau iblis tidak punya kuasa atasnya. Apakah dalam hal ini nabi taat kepada dia? Atau, apakah dia menyembah allah lain selain Allah? Ada dua kemungkinan di sini. Ia taat kepada iblis, atau ia menyembah lebih dari satu allah. Bagaimana ini bisa terjadi? Sementara iblis tidak punya kuasa atas mereka yang percaya kepada Allah. Jadi, bagaimana si Iblis bisa punya kuasa untuk menggunakan lidah nabi. Ini pertanyaan yang sangat penting. Saya bertanya langsung kepada para sarjana yang baik untuk menjawabnya.

Host: Betul, Pak. Memang membingungkan. Mari kita kembali ke berhala-berhala itu. Orang Arab menyembah berhala. Ini dijelaskan di dalam Hadits di mana Mohamad juga menyembah berhala. Apa pengaruh paganisme pada diri Mohamad?

Priest Zakaria Botros:

Dia dewa bulan! Pengaruhnya luar biasa. Ada dewa yang sangat mengagumkan yang bernama Woud. Inilah yang dikatakan “Elmufasal” tentang Wood pada halaman 222-275.

Begini, “Woud adalah dewa bulan, dewa yang paling besar.” Sesuatu yang sangat aneh di halaman 222.

Host: Ia Dewa Bulan.

Priest Zakaria Botros: Dan dia dewa yang paling besar.

Host: Paling besar?

Priest Zakaria Botros: Ya, dia yang paling besar.

Host: Pemirsa, saya harap Anda mencatat hal ini karena kita akan kembali ke sini nanti.

Priest Zakaria Botros:

Woud adalah dewa bulan dan dewa besar. Professor Aly menambahkan berkata, “Bulan sabit dipakai sebagai lambang dewa ini.” Lihat halaman 260. Bulan sabit adalah lambangnya. Sulit dipercaya!

Host: Ya, Allah!

Priest Zakaria Botros:

Dewa bulan, dewa yang besar, dan lambangnya adalah bulan sabit. Mohamad mengambil bulan sabit ini sebagai lambang, dan berseru-seru, “Allah u Akbar (Allah mahabesar). Apakah yang dia maksud dewa Woud? Ini pertanyaan saya. Tolong dijawab.

Host: Saya tidak tahu, Pak? Lanjutkan saja, Pak.

Priest Zakaria Botros:

Topik ini sangat penting. Dari buku-buku kita bisa melihat kata-kata “Allah yang penuh Rahmat”. Ini dulunya dewa. Professor Gawad Ali dalam bukunya, halaman 267 berkata, ”Dalam naskah-naskah di Arab bagian selatan ada nama untuk dewa baru yaitu dewa yang penuh rahmat.” Nama dewa baru itu adalah Rahman Baal Saman. Rahman artinya rahmat, dewa surga. Bukankah rahman adalah salah satu dari 99 sifat Allah?

Host: Betul, Pak.

Priest Zakaria Botros:

Allah Elrahim. Professor Gawad Ali berkata dalam bukunya, halaman 283 dan 287, “Allah Rahim seperti Elrahman, dua dari sifat-sifat Allah yang semula adalah nama dewa yaitu Elraouf, Elrahim, dsb. Saya heran mengapa Mohamad mengambil nama dewa-dewa itu, dan menggabungkannya sebagai sifat-sifat Allah khususnya Rahman dan Rahim dan bagaimana keduanya bisa ada di dalam Quran.

Host:

Saya tidak bisa membayangkan apa yang Bapak katakan. Baiklah, Pak, pemirsa sudah menunggu untuk cerita selanjutnya.

Priest Zakaria Botros:

Ya, mari kita lanjutkan. Orang itu menyebutkan ada 360 dewa. Pada halaman 280 disebutkan ada dewa yang bernama Allahum. Luar biasa, tidak masuk akal. Dia berkata bahwa kata Helah disebutkan di Lehyaneya yang artinya Allahum. Dan pada halaman 285 ia berkata, “Helah, kata ini menunjukkan bahwa nama Allah sudah dikenal oleh orang-orang Arab sebelum Islam.” Sangat aneh, Allahum, dan Mohamad menggunakan kata Allahum. Saya yakin dia melakukan hal ini untuk meyakinkan orang-orang agar mereka tertarik kepadanya. Dewa yang lain bernama Rab Elalameen (tuhan semua orang). Gawad Ali, di halaman 286 juga menyebutkan nama Rab Elalameen. Pada halaman 265 dan 290 ia menyebutkan dewa yang sangat aneh namanya Yasin. Dia berkata bahwa nama Yasin disebut-sebut dalam naskah-naskah di Arab bagian selatan yaitu nama dewa besar Hadramout.

Host: Yasin?

Priest Zakaria Botros:

Yasin. Bukankah ini menjelaskan hubungannya dengan surat Yasin? Dewa Yasin dan Surat Yasin. Maksud saya ia memberi tahu orang-orang, inilah dewa Yasin. Apakah ia memberi tahu kita sesuatu? Saya tidak bermaksud apa-apa, saya hanya bertanya. Sekali lagi saya tidak punya maksud apa-apa. Ada banyak sekali nama dalam buku “Elmufassal” yang seharusnya kita pelajari dengan sungguh-sungguh, dan merevisinya dengan aksioma yang kita punya.

Host: Apakah buku itu ada di pasaran?

Priest Zakaria Botros: Ya, ada.

Host:

Sebelum kita akhiri diskusi ini masih adakah tambahan yang lain sebelum kita teruskan ke pelajaran rohani?

Priest Zakaria Botros:

Tidak ada. Mari kita teruskan pada pelajaran rohani saja. Anda yang masih penasaran bisa membeli buku “Elmufassal” dan mempelajarinya sendiri.

Host: Baiklah, Pak. Kami sudah siap dengan pelajaran rohani.

Priest Zakaria Botros:

Kitab Suci mengatakan sesuatu yang sangat indah yang berkaitan dengan yang kita diskusikan sekarang, yaitu dalam surat Korintus yang pertama. Begini, “Mereka berbicara tentang kami bagaimana kami datang kepadamu, dan bagaimana kamu telah berbalik kepada Allah dari penyembahan berhala kepada penyembahan kepada Allah yang benar dan hidup.” Kamu berbalik dari penyembah berhala kepada penyembahan kepada Allah surgawi, dari meyembah berhala-berhala, sekarang menyembah Allah yang benar dan hidup. Dialah Allah yang penuh kasih, yang menyatakan rahmat-Nya kepada kita, Allah yang telah menyelamatkan kita dari kuasa dosa, Allah yang hidup yang mengasihi kita, mempedulikan, memelihara kita, Allah yang hidup yang terus memandang kita sepanjang tahun, dari awal sampai akhir, Allah yang akan menyelamatkan kita dari hukuman neraka untuk mendapatkan berkat-berkat surgawi. Ini pertanyaan saya untuk para pemirsa, adakah berhala dalam hidup Anda? Allah melarang penyembahan berhala. Apakah kita masih memiliki berhala dan menyembahnya? Kalau Anda mencintai sesuatu lebih dari Anda mengasihi Allah maka sesuatu yang Anda miliki dan cintai itu adalah berhala. Saya harap Anda akan meninggalkan cinta yang aneh ini, dan berbalik kepada kasih Allah. Katakan kepada Tuhan bahwa Anda akan mengasihi Dia lebih dari yang lain, dan panggilah Dia sebagai Bapamu. Kami mengasihi-Mu karena Engkau lebih dulu mengasihi kami. Jangan biarkan kasih yang lain mengambil hati kami, juga berhala-berhala modern masa kini dalam bentuk kekayaan, nafsu, seks, dsb. Berilah kami hati hanya untuk mengasihi-Mu. Sekarang aku mau menerima Engkau sebagai Allah dan Rajaku dan Tuhan dalam hidupku. Engkaulah yang telah mengeluarkan aku dari kegelapan dan membawa ke dalam terang-Mu, dan dari penyembahan berhala ke pengetahuan akan pengenalan diri-Mu. Amin.

Host:

Amin. Terima kasih Pak Botros atas topik yang sangat menarik hari ini. Para pemirsa, Anda telah mendengar apa yang dikatakan Pak Botros. Ketika Iblis datang kepada Isa Almasih, Isa Almasih berkata, “Enyahlah kau Setan!” Isa Almasih tidak mau mendengarkan si Iblis, dan Iblis tidak berhasil mencobai Isa Almasih. Kirimlah surat kepada kami kalau masih ada pertanyaan. Kalau Anda perlu Kitab Suci kunjungi website kami, alamatnya ada di layar ini. Kalau ada klarifikasi atau komentar dari para imam Muslim, kami undang Anda datang ke studio, atau bisa telepon kami. Terima kasih, sampai jumpa di episode yang akan datang. Mari!

Posted 22nd November 2012 by junaidi fina

4.

Nov

22

sejarah islam

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar BelakangDalam buku Ensiklopedi Islam, Jilid 2 (Jakarta, Ichtar Baru Van Hoeve) dijelaskan

bahwa sejarah Islam telah melalui tiga periode, yaitu periode klasik (650-1250), periode pertengahan (1250-1800 M), dan periode modern(1800-sekarang).

Pada periode klasik, Islam mengalami kemajuan dan masa keemasan. Hal ini ditandai dengan sangat luasnya wilayah kekuasaan Islam, adanya integrasi antarwilayah Islam, dan adanya kemajuan di bidang ilmu dan sains.

Pada abad pertengahan, Islam mengalami kemunduran. Hal ini ditandai dengan tidak adanya lagi kekuasaan Islam yang utuh yang meliputi seluruh wilayah Islam, dan terpecahnya. Islam menjadi kerajaan-kerajaan yang terpisah. Kerajaan-kerajaan itu antara lain:

a. Kerajaan Ottoman di TurkiKerajaan Ottoman didirikan dan diproklamasikan kemerdekaannya oleh Utsman I

dari bangsa Turki Utsmani, setelah Sultan Alauddin dari Dinasti Saljuk meniggal dunia tahun 1300 M.Utsman I dinobatkan sebagai raja (sultan) pertama dari kerajaan Ottoman, yang disusul derngan raja-raja berikutnya. Kerajaan Ottoman mengalami kemajuan pada masa pemerintahan Sultan Muhammad II (1451-1481 M). Sultan ini berjasa besar, karena telah menyebarluaskan Islam ke Benua Eropa, melalui penaklukan kota Benteng Konstantinopel ibukota Romawi Timur pada tahun 1453 M. Karena keberhasilannya ini, kemudian Sultan Muhammad II mendapat julukan Al-Fatih yang artinya Sang Penakluk.

Kerajaan Ottoman mengalami masa keemasan pada masa pemerintahan Sultan Sulaeman I (1520-1566 M), yang bergelar Sulaeman Agung dan Sulaeman Al-Qanuni. Pada masa pemerintahannya kerajaan Ottoman memiliki wilayah kekuasaan yang cukup luas, yaitu: Afrika Utara, Mesir, Hedzjaz, Irak, Armenia, Asia kecil, Krimea, Balkan, Yunani, Bulgaria, Bosnia, Hongaria, Rumania, sampai ke batas Sungai Danube dengan tiga lautan, yaitu Laut Merah, Laut Tengah, dan Laut Hitam.

Namun, setelah Sulaeman Agung meninggal dunia, kerajaan Ottoman Turki mengalami kemunduransehingga satu demi satu wilayah kekuasaannya melepaskan diri.

b. Kerajaan Mogul di IndiaPeranan umat Islam India dalam penyebarluasan agama Islam dapat dilihat dalam empat

periode, yaitu periode sebelum kerajaan Mogul (705-1526 M), periode Moghul (1526-1858 M), periode masa penjajahan Inggris (1858-1947 M), dan periode negara India Sekuler (1947-sekarang).

Kerajaan Mogul didirikan oleh Zahiruddin Muhammad Babur, keturunan Jengiz Khan bangsa Mongol, pada tahun 1526 M. Kerajaan Mogul berputar di Delhi (India).Kerajaan Mogul diperintah secara silih berganti oleh 15 orang raja (sultan). Sultan Kerajaan Mogul bernama Zahiruddin Muhammad Babur (1526-1530 M) dan sultan terakhirnya bernama Sultan Bahadur Syah II (1837-1858 M). Kerajaan Mogul mencapai puncak kejayaannya tatkala diperintah oleh Akbar Syah I (1556-1605 M), Jahangir atau Nuruddin Muhammad Jahangir (1605-1627 M), Syah Jihan (1627-1658 M), dan Aurangzeb atau Alamgir I (1658-1707 M).

Wilayah kekuasaan Mogul meliputi Kabul, Lahore, Multan, Delhi, Agra, Oud, Allahabad, Ajmer, Guzarat, Melwa, Bihar, Bengal, Khandes, Berar, Ahmad Negar, Ousra, Kashmir, Bajipur, Galkanda, Tajore, dan Trichinopoli.

c. Kerajaan Safawi di Persia (sekarang Iran)Umat Islam menguasai Persia sejak tahun 641 M. Setelah iyu, bangsa Persia yang semula

beragama Zoroaster berbondong-bondong masuk Islam. Dinasti atau kerajaan Islam silih berganti memerintah Persia, sampai dengan bangsa Mongol merebutnya pada abad ke-12 M. Selama tiga abad bangsa Mongol menguasai Persia, hingga pada tahun 1501 M muncul dinasti baru, yaitu dinasti atau Kerajaan Safawi.

Kerajaan Safawi didirikan oleh Syah Ismail Syafawi (Ismai I) pada tahun 907 H (1501 M) di Tabriz. Kerajaan Safawi mencapai puncak kejayaannya tatkala diperintah oleh Syah Abbas (1`585-1628 M). Beliau berjasa mempersatukan seluruh Persia, mengusir Portugis dari kepulauan Hormuz, dan nama pelabuhan Gumran diubah menjadi Bandar Abbas (sampai sekarang). Syah Abbas juga memindahkan ibukota kerajaan dari Qizwan ke Isfahan.

Setelah pemerintahan Syah Ismail Safawi berakhir, silih berganti sultan-sultan Dinasti Safawi melanjutkan pemerintahannya hingga sebanyak 17 sultan. Sultan terakhir kerajaan Safawi bernama Sultan Muhammad.

Tujuan penjajahan bangsa Eropa ada tiga, yaitu: J Gold yang maksudnya agar memperoleh keuntungan besar, khususnya di bidang perdagangan bangsa Eropa, membeli bahan-bahan industri dari wilayah jajahannya dengan harga murah, kemudian menjual hasil industrinya ke wilayah jajahannya dengan harga mahal.

J Glory yang maksudnya untuk mencapai kejayaan di bidang kekuasaan. J Gospel yang artinya usaha menyebarluaskan agama Kristen. Agar meraih keuntungan besar, bangsa Eropa melakukan usaha monopoli di bidang perdagangan, antara lain dengan cara merebut dan menguasai pusat-pusat perdagangan yang semula dikuasai umat Islam. Pusapusat perdagangan itu misalnya: Kota Goa di pantai barat India direbut pada tahun 1510 M dan dijadikannya benteng pangkalan, untuk menyaingi perdagangan umat Islam dengan Afrika Timur.\ Pelabuhan Malaka pada tahun 1511 M dikuasai dan dijadikan sebagai benteng pangkalan untuk menyaingi perdagangan umat Islam di luar Indonesia dengan Indonesia.

Akhirnya, setelah bangsa Eropa bertambah kuat, sedangkan kerajaan-kerajaan Islam dan umat Islam semakin lemah terutama di bidang ekonomi, militer, dan ilmu pengetahuan, maka kerajaan-kerajaan Islam dan umat Islam di berbagai wilayah Asia-Afrika dijadikan negara jajahan oleh bangsa Eropa.

2. Rumusan Masalah1. Bagaimanakah perkembangan ajaran islam pada abad pertengahan?2. Bagaimanakah perkembangan ilmu pengetahuan pada abad pertengahan?

3. Bagaimanakah perkembangan kebudayaan Islam pada abad pertengahan?4. Apakah hikmah sejarah perkembangan Islam pada abad pertengahan?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Perkembangan Ajaran Islam pada Abad Pertengahan (1250-1800) Perkembangan Islam pada abad pertengahan ini dilakukan melalui tiga jalan yang dilalui untuk memperkenalkan Islam pada masyarakat Eropa. Ketiga jalan tersebut adalah :

- Jalan BaratProses melalui jalan barat dimulai dari kawasan Afrika Utara dengan melewati Semenanjung Iberia. Para pejuang Islam yang melalui jalan ini dipimpin oleh Thariq bin Ziyad dan dimulai pada tahun 711 M. Perjalanan Thariq dan rombongannya ini dikenal lantaran prestasinya yang mampu melewati Pegunungan Pirenia yang pada waktu itu terkenal sangat menakutkan. Namun, di kota Poitiers, Thariq dan rombongannya ditahan oleh tentara Prancis yang dipimpin oleh Karel Martel pada 732 M. Akhirnya, rombongan Thariq ini dibebaskan oleh Khalifah Umayyah yang berkuasa di semenanjung Iberia.

- Jalan TengahRute jalan tengah ini dimulai dari kawasan Tunisia. Rombongan yang melewati jalan tengah ini menuju Apenina dengan melalui Sisilia. Sisilia serta Italia Selatan sempat dikuasai oleh pejuang Islam meski tidak terlalu lama. Sebab, pada abad 11, kedua kawasan tersebut berhasil direbut oleh bangsa Nordia.

- Jalan Tiimur Pada 1453, Turki yang dipimpin Sultan Muhammad II mampu mengalahkan Byzantium. Caranya dengan menyerang Konstantinopel melalui laut Hitam yang merupakan bagian belakang Konstantinopel. Hal ini tidak diduga oleh tentara Byzantium sehingga dengan mudah mampu ditundukkan.Setelah menundukkan Byzantium, tentara Turki melanjutkan perjalanan hingga Wina, Austria. Perjalanan dilanjutkan menuju Semenanjung Balkan. Kawasan Balkan sempat dikuasai tentara Islam selama empat abad hingga abad 19. Meski demikian, konstantinopel tetap berada dalam kekuasaan dinasti Umayyah dan berganti nama menjadi Istambul.Perkembangan Islam, mengalami dua fase yaitu fase kemajuan dan fase kemunduran. Fase kemajuan terjadi pada tahun 650 -1250 M yang ditandai dengan sangat luasnya kekuasaan Islam, ilmu dan sain mengalami kemajuan dan penyatuan antar wilayah Islam dan fase kemunduran terjadi pada tahun 1250 – 1500 M. yang ditandai dengan kekuasaan Islam terpecah-pecah dan menjadi kerajaan-kerajaan yang terpisah pisah. Kemunduran Islam pada abad pertengahan, pada umumnya yang menjadi penyebab diantaranya adalah sebagai berikut:

Tidak menjaga dengan baik Wilayah kekuasaan yang luas Penduduknya sangat heteregin sehingga mengalami kendala dalam penyatuan Para penguasanya lemah dalam kepemimpinannya Krisis ekonomi

Dekadensi moral yang tidak terkendali Apatis dan stagnasi dalam dunia iptek Konflik antar kerajaan Islam

Terlebih lagi setelah, pasukan Mughal yang dipimpin oleh Hulagu Khan berhasil membumihanguskan Baghdad yang merupakan pusat kebudayaan dan peradaban Islam yang kaya dengan ilmu pengetahuan, hal ini terjadi pada tahun 1258 M. Saat itu kekhalifahannya dipimpin oleh khalifah Al Mu’tashim, penguasa terakhir Bani Abbas di Baghdad.Setelah Baghdad ditaklukkan Hulagu, umat islam dikuasai oleh Hulagu Khan yang beragama Syamanism tersebut, kekuatan politik Islam mengalami kemunduran yang sangat luar biasa. Wilayah kekuasaannya terpecah-pecah dalam beberapa kerajaan kecil yang tidak bisa bersatu, satu dan lainnya saling memerangi. Peninggalan-peninggalan budaya dan peradaban Islam hancur ditambah lagi kehancurannya setelah diserang oleh pasukan yang dipimpin oleh Timur Lenk.

Masa Tiga Kerajaan Besar (1500-1800)

Keadaan perkembangan Islam secara keseluruhan baru mengalami kemajuan kembali walaupun tidak sebanding dengan masa sebelumnya ( klasik) setelah berkembangnya tiga kerajaan besar yaitu kerajaan Usmani di Turki, kerajaan Mughal di India dan kerajaan Safawi di Persia. Diantara ketiga kerajaan tersebut yang terbesar dan paling lama bertahan adalah kerajaan Usmani.

1. Kerajaan Usmani Kerajaan Utsmani didirikan oleh bangsa Turki dari kabilah Oghuz yang mendiami daerah Mongol dan daerah utara negeri Cina yang bernama Usmani atau Usmani I dan memproklamirkan diri sebagai Padisyah al Usman atau raja besar keluarga Usman tahun 1300 M (699 H). Kerajaan yang didirikan oleh Usmani ini selanjutnya memperluas wilayahnya ke bagian Benua Eropa. Ia menyerang daerah perbatasan Bizantium dan menaklukkan kota Broessa tahun 1317 M sehingga tahun 1326 M dijadikan sebagai Ibukota Negara.Pada masa pemerintahan Orkhan, kerajaan Usmani menaklukkan Azmir tahun 1327 M, Thawasyannly tahun 1330 M, uskandar tahun 1338 M, Ankara 1354 M dan Gallipoli tahun 1356 M. Daerah-daerah tersebut adalah bagian benua Eropa yang pertama kali diduduki kerajaan Usmani.Kerajaan Usmani untuk masa beberapa abad masih dipandang sebagai Negara yang kuat terutama dalam bidang militer. Kemajuan-kemajuan kerajaan Usmani yaitu dalam bidang pemerintahan dan kemiliteran, bidang ilmu pengetahuan dan budaya misalnya kebudayaan Persia, Bizantium dan arab, pembangunan Masjid-Masjid Agung, sekolah-sekolah, rumah sakit, gedung, jembatan, saluran air villa dan pemandian umum dan di bidang keagamaan.misalnya seperti fatwa ulama yang menjadi hukum yang berlaku.Kerajaan Usmani sepeninggal Sultan Al Qanuni, mengalami kemunduran yang disebabkan oleh berbagai problema sebagai berikut:

1. Penduduknya sangat heterogen

2. Tidak dapat menguasai wilayah yang luas3. Kepemimpinannya lemah4. Terjadinya dekadensi moral5. Krisis ekonomi dan6. Ilmu dan tekhnologi stagnan

2. Kerajaan Safawi Di PersiaKerajaan Syafawi, mulanya adalah sebuah gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil

(Azerbaijan). Tarekatnya bernama tarekat Safawiyah, nama ini diambil dari nama pendirinya yang bernama Safi-Al Din dan nama Syafawi dilestarikan setelah gerakannya berhasil mendirikan kerajaan.

Jalan hidup yang ditempuh Al Din adalah jalan sufi dan mengembangkan tasawuf Safawiyah menjadi gerakan keagamaan yang sangat berpengaruh di Persia, Syiria dan Anatolia. Yang semula bertujuan memerangi orang-orang yang ingkar dan memerangi orang-orang yang ahli bid’ah. Lama kelamaan pengikut tarekat Syafawiyah berubah menjadi tentara dan fanatik dalam kepercayaan dan menentang keras terhadap orang selain Syiah.

Dalam perkembangannya, kerajaan Syafawi selanjutnya dipimpin oleh Ismail yang baru berusia tujuh tahun. Ismail beserta pasukannya yang bermarkas di Gilan selama limabelas tahunmempersiapkan kekuatannya dan mengadakan hubungan dengan para pengikutnya di Azerbeijan, Syiria dan Anatolia dan pasukan tersebut dinamai Qizilbash atau baret merah.

Saat kepemimpinan Ismail, pada tahun 1501 M, pasukannya dapat mengalahkan AK Koyunlu di Sharur dan Tabriz sehingga Ismail memproklairkan dirinya menjadi raja pertama dinasti Syafawi dan berkuasa selama 23 tahun.

Masa keemasan kerajaan Syafawi terjadi pada masa kepemimpinan Abbas I yaitu di bidang pilitik, ekonomi, ilmu pengetahuan dan bidang pembangunan fisik dan seni. Kemajuan yang dicapainya membuat kerajaan Syafawi menjadi salah satu dari tiga kerajaan besar Islam yang diperhitungkan oleh lawan-lawannya terutama dibidang politik dan militer.

Setelah mengalami kejayaan, kerajaan Safawi tidak lama kemudian mengalami kemunduran penyebabnya adalah antara lain:

a. Kemerosotan moral para pemimpin kerajaanb. Konflik yang berkepanjangan dengan kerajaan Usmani danc. Pasukan yang dibentuk Raja Abbas I yaitu pasukan Ghulam tidak memiliki jiwa pratirotik

3. Kerajaan Mughal di IndiKerajaan Mughal adalah kerajaan yang termuda diantara tiga kerajaan besar Islam.

Kerajaan ini didirikan oleh Zahiruddin Babur (1482-1530). Babur dengan bantuan Raja Safawi dapat menaklukkan Samarkhad tahun 1494 M. Tahun 1504 M dapat menduduki Kabul ibukota Afganistan. Setelah itu, Raja Babur mengadakan ekspansi terus-menerus.Kemajuan – kemajuan kerajaan mughal diantaranya:

1. Di bidang Ekonomi, mengembangkan program pertanian, pertambangan, dan perdagangan. Masalah sumber keuangan Negara lebih banyak bertumpu pada sektor pertanian

2. Di bidang seni dan budaya misalnya karya sastra gubahan penyair istana, penyair yang terkenal yaitu Malik Muhammad Jayazi dengan karyanya padmavat (karya yang

mengandung pesan kebajikan jiwa manusia), karya-karya arsitektur seperti istana fatpur Sikri di Sikri, vila dan masjid-masjid

Pada tahun 1858 M kerajaan Mughal juga mengalami kemerosotan, penyebabnya antara lain:

1. Kemerosotan moral dan para pejabatnya bermewah-mewahan2. Pewaris kerajaan dalam kepemimpinannya sangat lemah dan3. Kekuatan mililernya juga lemah4. Perkembangan Ilmu Pengetahuan pada Abad Pertengahan

Salah satu hasil yang bisa dilihat dan dirasakan dalam proses perkembangan Islam di Abad pertengahan ini di antaranya adalah majunya ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Diakui atau tidak, ilmu pengetahuan dan kebudayaan Eropa memiliki basis dari Islam. Hal ini terjadi dalam proses masuknya Islam ke kawasan Eropa, baik melalui proses perdagangan maupun dalam peristiwa besar sejarah seperti perang salib.

Ada beberapa sektor penting yang muncul sebagai pengaruh perkembangan Islam di abad pertengahan. Beberapa sektor tersebut diantaranya :

- Bidang PolitikDi bidang politik, kawasan Eropa sempat mengalami balance of power pada tahun

750 M. Hal ini terjadi baik di kawasan barat maupun timur. Di kawasan barat, muncul permusuhan antara bani Umayyah II yang berkuasa di Andalusia dengan kekaisaran Karolong dari Prancis. Sementara di kawasan timur, muncul pula perseteruan antara Bani Abbasyah dengan kekaisaran Byzantium di kawasan Balkan. Di sisi lain, bani Abbasyah juga memiliki perseteruan dengan bani Umayyah. Pun, kekaisaran Karoling berseteru dengan Byzanium timur dalam masalah perebutan wilayah Italia. Akhirnya, muncullah perseketuan pada keempat pihak tersebut. dimana bani Abbasyah bersekutu dengan kekaisaran Karoling. Sedangkan bani Umayyah II menjalin hubungan baik dengan Byzantium timur. Proses persektutuan ini sendiri pecah, pada saat terjadinya perang salib yang terjadi pada tahun 1096-1291.

- Bidang Ekonomi SosialAndalusia yang sudah dikuasai Islam pada 711 M dan konstantinopel pada 1453 M,

menjadikan sektor perdagangan Eropa banyak dikuasai oleh pedagang Islam. Hal ini karena kawasan tersebut kemudian dijadikan sebagai salah satu jalur perdagangan Asia ke Eropa. Kondisi ini menjadikan negara Islam memiliki dominasi dalam sistem perdagangan yang diterapkan di kawasn tersebut.

- Bidang KebudayaanDengan masuknya bangsa Arab ke kawasan Eropa, menjadikan bangsa Eropa mampu

memahami pemikiran kuno yang banyak didominasi dari bangsa Yunani serta Babilonia. Ada beberapa tokoh dari kedua kawasan tersebut yang dianggap sebagai tokoh-tokoh yang mampu mengubah pemikiran dunia. Diantaranya adalah :

Al Farabi (780-863)Al Farabi merupakan tokoh yang mengumpulkan dan menerjemahkan buku-buku

karya Aristoteles. Oleh karenanya, Al Farabi juga dijuluki sebagai guru kedua, sementara

julukan guru pertama diberikan kepada Aristoteles. Selain itu, Al Farabi juga banyak menulis buku yang terkait dengan masalah filsafat dasar yang tidak kalah hebat dengan Aristoteles.

Ibnu Rusyd (1120-1198)Dikenal juga dengan nama Averoos. Pemikirannya di kawasan Eropa dikenal dengan

nama Averoisme yang mengajarkan tentang kebebasan berfikir. Inilah yang menjadi dasar munculnya reformasi pada abad 16 M serta terjadinya gerakan rasionalisme pada abad 17 M. Buku-buku karya Ibnu Rusyd ini bisa ditemukan di perpustakaan Eropa serta Amerika. Karya dari Ibnu Rusyd banyak disebut dengan nama Bidayatul Mujtahid serta Tahafutut Tahaful.

Ibnu Sina (980-1060)Merupakan tokoh yang banyak mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang

kesehatan. Hal ini karen Ibnu Sina yang dikenal juga dengan Avecia adalah dokter yang berasal dari kota Hamzan Persia. Ide Ibnu Sina yang paling terkenal adalah wahdatul wujud atau paham yang memperkenalkan tentang segala sesuatu serba wujud. Bukunya yang banyak berpengaruh dalam ilmu kedokteran dunia adalah Al Qanun fi At Tibb.

Bidang PendidikanBanyak pemuda Eropa yang belajar di universitas-unniversitas Islam di Spanyol seprti

Cordoba, Sevilla, Malaca, Granada dan Salamanca. Selama belajar di universitas-universitas tersebut, mereka aktif menterjemahkan buku-buku karya ilmuwan muslim. Pusat penerjemahan itu adalah Toledo. Setelah mereka pulang ke negerinya, mereka mendirikan seklah dan universitas yang sama. Universitas yang pertama kali berada di Eropa ialah Universitas Paris yang didirikan pada tahun 1213 M dan pada akhir zaman pertengahan di Eropa baru berdiri 18 universitas. Pada universitas tersebut diajarkan ilmu-ilmu yang mereka peroleh dari universitas Islam seperti ilmu kedokteran, ilmu pasti dan ilmu filsafat.

Banyak gambaran berkembangnya Eropa pada saat berada dalam kekuasaan Islam, baik dalm bidang ilmu pengetahuan, tekhnologi, kebudayaan, ekonomi maupun politik. Hal-hal tersebut antara lain sebagai berikut.

1. Seorang sarjana Eropa, petrus Alfonsi (1062 M) belajar ilmu kedokteran pada salah satu fakultas kedokteran di Spanyol dan ketika kembali ke negerinya Inggris ia diangkat menjadi dokter pribadi oleh Raja Henry I (1120 M).

2. Cordoba mempunyai perpustakaan yang berisi 400.000 buku dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan

3. Seorang pendeta kristen Roma dari Inggris bernama Roger Bacon (1214-1292 M) mempelajari bahasa Arab di Paris (1240-1268 M).

4. Seorang sarjana berkebangsaan Perancis bernama Gerbert d’Aurignac (940-1003 M) dan pengikutnya, Gerard de Cremona (1114-1187 M) yang lahir di Cremona, Lombardea, Italia Utara, pernah tinggal di Toledo, Spanyol.

5. Apabila kerajaan-kerajaan non muslim mengalahkan kerajaan-kerajaan Islam, maka yang terjadi adalah pembumihangusan kebudayaan Islam dan pembantaian kaum muslim.

6. Banyak sarjana-sarjana muslim yang berjasa karena telah meneliti dan mengembangkan ilmu pengetahuan, bahkan karya mereka diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa meskipun ironisnya diakui sebagai karya mereka sendiri.

Akibat atau pengaruh dari perkembangan ilmu pengetahuan Islam ini menimbulkan kajian filsafat Yunani di Eropa secara besar-besaran dan akhirnya menimbulkan gerakan kebangkitan atau renaissans pada abad ke-14. berkembangnya pemikiran yunani ini melalui karya-karya terjemahan berbahasa arab yang kemudian diterjemahkan kembali ke dalam bahasa latin. Disamping itu, Islam juga membidani gerakan reformasi pada abad ke-16 M, rasionalisme pada abad ke-17 M, dan aufklarung atau pencerahan pada abad ke-18 M.

Nasib kaum muslim di Spanyol sepeninggal Abu Abdullah Muhammad dihadapakan pada beberapa pilihan antara lain masuk ke dalam kristen atau meninggalkan spanyol. Bangunan-bangunan bersejarah yang dibangun oleh Islam diruntuhkan dan ribuan muslim mati terbunuh secara tragis. Pada tahun 1609 M, Philip III mengeluarkan undang-undang yang berisi pengusiran muslim secara pakasa dari spanyol. Dengan demikian, lenyaplah Islam dari bumi Andalusia, khusunya Cordoba yang menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan di barat sehingga hanya menjadi kenangan.

A. Perkembangan Kebudayaan Islam Pada Abad Pertengahan

Perkembangan kebudayaan Islam timbul setelah diawali sederetan kebudayaan manusia dan seiring dengan sederetan kebudayaan setelahnya. Kebudayaan-kebudayaan Islam pada abad pertengahan yang menonjol diantaranya:

Dalam perkembangan arsitektur Islam berupa bangunan-bangunan Masjid yang indah seperti Masjid Al Muhammadi, Masjid Agung Sulaiman dan Masjid Abi Ayyub Al Anshari dengan hiasan-hiasan kaligrafi yang indah. Selain itu terdapat 235 bangunan dibangun dan dikoordinasi oleh Sinan, arsitek yang berasal dari Anatolia. Perkembangan kebudayaan Islam tersebut terjadi pada masa kerajaan Usmani.

Pada masa kerajaan Safawi telah berhasil membuat Isfahan menjadi ibukota dan kota yang indah yang terdiri dari bangunan-bangunan seperti masjid, rumah-rumah sakit, sekolah-sekolah, jembatan raksasa di atas Zende Rud, dan Istana Chihil Sutun, taman-taman wisata yang ditata dengan indah. Di Isfahan terdapat 162 masjid, 48 akademi, 1802 penginapan dan 273 pemandian umum. Dalam bidang seni, gaya arsitek bangunan-bangunannya sangat kentara, misalnya masjid Shah (1611 M dan masjid Syaikh Lutf Allah (1603 M. Unsur seni lainnya seperti kerajinan tangan, karpet, permadani, pakaian, keramik,tenunan, mode, tembikar, dan seni lukis.

Selain yang tersebut, perkembangan budaya Islam juga berkembang di kerajaan Mongol misalnya karya seni yang menonjol adalah karya sastra gubahan penyair istana, baik yang berbahasaPersia maupun India. Malik Muhammad Jayazi adalah penyair India yang terkenal dan menghasilkan karya besar “Padmavat”, Abu Fadl dengan karyanya Akhbar nama dan Aini Akhbari yang memaparkan sejarah kerajaan Mongol dengan figure kepemimpinannya. Dalam hal seni terdapat karya-karya arsitektur yang indah seperti Istana Fatpur Sikri di Sikri, vila dan masjid-masjid yang megah nan indah seperti masjid yang berlapiskan mutiara dan Taj Mahal di Agra, Masjid Raya Delhi dan istana indah di Lahore.

Pada abad pertengahan muncul nama-nama yang terkenal yaitu para sastrawan yang hidup pada abad pertengahan yaitu diantaranya:

b. Fuzuli dengan karyanya yang berjudul Shikeyetname atau pengasuan. Ia tinggal di Irak dan wafat tahun 1556

c. Jalaluddin Ar Rumi yang mendapat gelar Maulana atau tuan kami dengan karyanya Diwan Syams-I Tabriz yaitu kumpulan puisi yang terdiri dari 33.000 bait dan Masnawi yang terdiri dari 26.660 dan dibuat dalam waktu 10 tahun. Ia lahir di Afganistan tahun 1207 M dan wafat di Turki tahun 1273 M

d. Sa’adi Syiraj yaitu sastrawan dari Persia dengan karyanya yang berjudul Bustan atau kebun buah dan Gulistan yang berisi tentang kata-kata mutiara, kisah-kisah, nasehat-nasehat, renungan dan humor.

e. Fariduddin Al Attar dengan karyanya Mantiq At Tair atau musyawarah bunga, Tadzkiratul Auliya dan Pend Namah atau kitab nasihat.

f. Hamzah Fansuri, Nuruddin Ar Raniri dan Syamsudin Pasai, sunan kalijaga, sunan Bonang dan Kiageng Selo. Karya-karya mereka berisi tentang nasehat-nasehat agama

B. Hikmah Sejarah Perkembangan Islam pada Abad Pertengahan

Ada beberapa manfaat yang dapat kita ambil dari sejarah perkembangan Islam pada abad pertengahan, diantaranya sebagai berikut.

1. Meskipun Bani Umayyah telah dihancurkan oleh Bani Abbasyah, perluasan wilayah Islam masih terus dilanjutkan sehingga dengan demikian kebudayaan Islam tetap berkembang di Eropa. Hal tersebut menandakan bahwa semangat kaum muslim dalam meraih cita-cita sangat tinggi sehingga melahirkan persatuan dan kesatuan yang sangat dibutuhkan dalam mewujudkan hal tersebut. Hal ini terbukti dalam setiap perluasan wilayah, kaum muslim mampu menguasai Spanyol dalam waktu sekitar delapan abad (711-1492 M) dan menguasai Semenanjung Balkan sekitar 4 abad (1453-1918 M)

2. Niat yang tulus ketika melakukan sesuatu karena Allah sangat dibutuhkan, ketika niat telah berubah menjadi orientasi terhadap kekuasaan atau harta, maka dengan cepat kehancuran akan menimpa. Hal tersebut telah banyak dibuktikan pada peristiwa-peristiwa runtuhnya daulah bani Umayyah, bani Abbasyah, dan bani Umayyah II di Andalusia serta kerajaan atau pemerintahan lain dimanapun berada

3. Penaklukan wilayah yang demikian luas dilakukan oleh kaum muslim saat itu berdasarkan pada permintaan penduduk suatu negara yang ditindas oleh pemimpin mereka sendiri. Hal tersebut dikarenakan penduduknya berada dibawah pemerintahan yang zalim atau karena kerajaan tersebut telah mengganggu wilayah-wilayah Islam. Oleh karena itu, kaum muslim telah bertindak sebagai pembebas masyarakat suatu negara dari tindakan pemerintah mereka yang sewenag-wenang dan bukan bertindak sebagai penjajah atas suatu negara. Penduduk yang dibebaskan tetap diberikan keleluasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan mereka masing-masing meskipun upaya penyebaran agama Islam senantiasa dilakukan.

4. Islam memiliki kontribusi yang sangat besar dalam upaya menyebarkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Eropa memiliki kemajuan saat ini salah satunya disebabkan jasa sarjana-

sarjana muslim yang telah menjadi mata rantai perkembangan ilmu pengetahuan kepada masyarakat Eropa saat itu.

BAB III

PENUTUP

- Kesimpulan

Perkembangan Islam pada abad pertengahan ini dilakukan melalui tiga jalan yang dilalui untuk memperkenalkan Islam pada masyarakat Eropa. Ketiga jalan tersebut adalah Jalan Barat , Jalan Tengah , Jalan Tiimur. Perkembangan Islam, mengalami dua fase yaitu fase kemajuan dan fase kemunduran. Keadaan perkembangan Islam secara keseluruhan baru mengalami kemajuan kembali walaupun tidak sebanding dengan masa sebelumnya ( klasik) setelah berkembangnya tiga kerajaan besar yaitu kerajaan Usmani di Turki, kerajaan Mughal di India dan kerajaan Safawi di Persia.

Ada beberapa sektor penting yang muncul sebagai pengaruh perkembangan Islam di abad pertengahan. Beberapa sektor tersebut diantaranya bidang Politik, bidang Ekonomi Sosial, bidang Kebudayaan, bidang Pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA

http://deniz.ucoz.com/news/perkembangan_islam_pada_abad_pertengahan/2009-10-27-22

Diposkan oleh Young Komputer Sindangbarang di 21:03

Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook

Posted 22nd November 2012 by junaidi fina

5.

Nov

22

sejarah islam

Permolaan islam

Bencana ummat islam pada masa awal islam, dimana sudah terjadi perselisihan dan perpecahan antar kekuatan, terutama sekali yang berkaitan dengan politik dan keinginan berkuasa salah satu pihak. Ada yang mengatakan bahwa kejadian-kejadian perselisihan dan perang saudara pada masa awal islam (setelah rasul wafat) membuktikan bahwa islam tidak bisa menjadi pegangan untuk keselamatan pengikutnya apalagi untuk rahmatan lil’alamin. Dengan alasan ini pula para pembenci islam berusaha menjatuhkan citra islam dengan berbagai trik dan pemutarbalikan fakta untuk mendukung misi mereka merontokkkan keyakinan islam.

Beberapa hal yang perlu dicermati dari perselisihan umat islam di masa-masa awal adalah:

1. Banyak pihak asing (non-islam) yang bersekutu dengan orang islam munafiq yang berusaha menyelewengkan ajaran dan aqidah islam. Mereka ini bahkan telah ada semenjak masa rasul masih hidup. Mereka biasa menghasut (provokasi), merusak tatanan yang telah diperintahkan nabi, dan lain sebagainya, sehingga muncul ketidaktentraman sosial yang selanjutnya dengan stabilitas kurang tertata, mereka sedikit demi sedikit membelokkan Alquran dan Sunnah dengan dalih untuk menyelesaikan masalah-masalah baru yang semakin kompleks. Usaha ini banyak

mencapai keberhasilan karena sang pemersatu pemikiran umat islam yaitu Muhammad saw telah wafat. Pemikiranpun berkembang kemana-mana susah untuk diarahkan dan dikendalikan. (Keadaan Indonesia sekarang serupa dengan masa-masa awal islam tersebut, banyak konflik ditambah adanya provokator yang mengail di air keruh).

2. Mulai adanya perubahan tatanan sosial dari islam sederhana ke islam yang kaya, megah dan berwilayah luas. Berkaitan dengan hal ini banyak peraturan yang dimunculkan dengan maksud menyelesaikan masalah tapi selalu saja ada yang menunggangi dan seringkali bermuatan politis. Diantaranya:

a). Khilafah bil intikhab dirubah sepihak menjadi khilafah bil waratsah.

b). Khalifah memakai jasa pengawal (pasukan khusus) bahkan di dalam Masjid.

c). Khalifah menggunakan singgasana dan baju kebesaran.

d). Muncul pembesar-pembesar egois memaksakan kehendak/kewenangannya.

e). dan lain sebagainya (bagi para ahli sejarah silahkan beri contoh lainnya).

Hal-hal tersebut banyak memicu kontroversi bagi umat, ada yang diam, setuju, dan ada yang menolak. Tatanan baru yang dimunculkan dan menjauhi tatanan islam itulah yang memberi celah bagi pihak-pihak tertentu (provokator) untuk mengembangbiakkan konflik dan menjauhkan pola pikir islami. Maka dengan menjauh dari aturan islam itulah yang merusak islam, bukan karena dijalankannya syariat islam.

3. Manusia adalah tempat salah dan lupa. Begitupun orang-orang islam yang dekat dengan masa awal islam. Sebagian ada yang tersilap, terdorong nafsu, dan lain sebagainya, tidak tertutup kemungkinan berbuat salah dan dosa. Ketika manusia yang salah itu tidak mau kembali lagi kepada ketetapan Alquran dan Sunnah maka muncullah anak-turun dan pengikut-pengikut generasi berikutnya yang juga terdidik dengan salah, apalagi didorong rasa cinta yang berlebihan kepada pendahulunya akhirnya memunculkan aliran sempalan baru dan semakin melenceng. Bukan karena menjalankan syariat terjadi perpecahan, tapi karena tidak mengikuti syariat itulah yang menambah keruh permasalahan.

Poin-poin penting yang harus diperhatikan:

1. Perbedaan dalam islam diperbolehkan dan bahkan menjadi rahmat, apabila kita mengerti ilmunya.

2. Islam terpecah karena menjauhi syariat, bukan karena menjalankan syariat.

3. Perusak dan pemecah belah islam pada masa awal islam bukan dimunculkan oleh para sahabat nabi, tapi karena adanya dorongan dari para penghasut (provokator) dari munafiq maupun dari non islam.

4. Komunitas-komunitas islam banyak muncul sempalan adalah dikarenakan kebodohan umat yang mendapat pendidikan dan pengajaran oleh orang-orang sesat.

5. Ketidaktegasan pemimpin umat dalam meredam kegiatan-kegiatan orang-orang dan kelompok sesat dalam menyebarkan ideologi menyimpang mereka.

Semoga bermanfaat.

Posted 22nd November 2012 by junaidi fina

6.

Nov

22

makalah

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Munculnya berbagai masalah di zaman yang modern ini menyebabkan ijtihad dalam

menentukan hukum merupakan suatu hal yang manjadi suatu keharusan untuk dilakukan.

Permasalahannya, di zaman sekarang, siapa yang berhak untuk berijtihad? Apakah semua

orang boleh berijtihad untuk menentukan hukum syar'I

Al-Qur'an telah mengajarkan agar umat Islam berijtihad, berupaya menarik

kesimpulan hukum serta menerima pengarahan para ulama dan ahli-ahli pikir mereka. Allah

SWT berfirman : "Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan

ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada

Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui

kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah

karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali

sebahagian kecil saja (di antaramu)." [Q.S. al-Nisa':83]. Ayat ini jelas berisi anjuran yang

cukup tegas, untuk beristinbath dan berijtihad, yakni mengambil kesimpulan dan berusaha

mencari hukum dengan mengadakan perbandingan dan lain sebagainya.

Sejarah juga telah menceritakan kapada kita, bagaimana Rasulullah SAW melatih para

sahabatnya dalam memutuskan suatu hukum dan mendorong mereka agar mengerahkan

segala kemampuan daya fikirnya untuk berijtihad. Beliau menenangkan hati para sahabat

agar tidak ragu atau takut salah dalam usaha ijtihadnya. Karena seorang mujtahid yang

benar dalam ijtihadnya akan diberi dua pahala. Dan bagi yang salah dalam ijtihadnya akan

memperoleh satu pahala. Allah SWT berfirman: "Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa

yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan

adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." [QS.Al-Ahzab:5]

Untuk lebih jelasnya mengenai ijtihad akan dibahas pada bab selanjutnya.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah itu ijtihad?

2. Bagaimanakah syarat menjadi mujtahid?

3. Apakah pintu ijtihad masih terbuka atau sudah tertutup?

C. Tujuan Penulisan

Untuk mengetahui pengertian ijtihad, syarat menjadi mujtahid dan memahami pintu

ijtihad.

D. Metode Penulisan

Metode penulisan makalah ini adalah kajian kepustakaan dari media atau library

research.

BAB II

TERBUKA DAN TERTUTUPNYA PINTU IJTIHAD

A. Pengertian Ijtihad

Ijtihad (اجتهاد) adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa

dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu

perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal

sehat dan pertimbangan matang.1

Namun pada perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya

dilakukan para ahli agama Islam .

Tujuan ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup

dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.

Secara harfiah, Ijtihad yang berasal dari kata kerja jahada dapat diartikan dengan kerja

keras, sungguh-sungguh, dan pengetahuan mengenai hukum atau yurisprudensi. Secara

terminologi ijtihad diartikan sebagai mengerahkan segala kemampuan untuk mendapatkan

pengetahuan atas hukum-hukum syara' dengan jalan menggali dari sumbernya (al-

ishtinbâth) yang berupa Al-quran Al-sunah. Adapun isim fâ'il (pelaku/orang yang melakukan)

dari ijtihad adalah mujtahid.2

Ijithad telah berkembang sejak zaman Rasulullah SAW fiqih mengandung “pengertian

tentag hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf”3 maka Ijtihad akan terus

berkembang perkembangan ini berkaitan dengan berbuatan manusia yang selalu berubah-

ubah baik bentuk maupun macamnya, dalam hubungan ini, menurut Asy syahstani bahwa

keadian dan kasus dalam peribadatan dan muamalah (tindakan manusia) secara pasti dapat

diketahui bahwa tidak setiap kasus ada nashnya apabila nashnya sudah berakhir sedangkan

kejadiannya berlansung terus tanpa batas ketika sesuatu yang tidak terbatas maka qiyas

wajib dipakai sehingga setiap kasus ada ijtihad mengenainya.

Menurut al Gahzali dalam kitabnya Al Mustasfa jus I : 137 “Istihsan adalah semua hal

yang dianggap baik oleh Mujtahid menurut Akalnya” dlam hal kehujjahannya para ulama

berbeda pendapat, ada yang menggunakan istihsan dan ada yang tidak mengakui adanya

istihsan

B. Pensyari'atan Ijtihad

Ijtihad merupakan salah satu pilar pokok tegaknya syari'at islam. Terdapat banyak dalil yang

menganjurkan untuk melaksanakannya, diantaranya adalah firman Allah QS. Al-nisâ' 105.

Artinya: Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa

kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah allah wahyukan

kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena

(membela) orang-orang yang khianat.

Pada ayat ini mengandung ketetapan ijtihad dengan menggunakan metode Qiyas. dan QS.

Al-rūm 21.

Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-

isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan

dijadikan-nya diantaramu rasa kasih dan sayang. sesungguhnya pada yang demikian itu

benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.

Dan dari al-sunah ialah hadits dari Amr ibn al-'Âsh , ia mendengar utusan Allah

bersabda :

Artinya: Jika seorang hakim membuat keputusan (menghukumi) dengan berijtihad kemudian

benar, maka bginya dua pahala, jika menghukumi dengan berijtihad dan ternyata salah,

maka baginya satu pahala. "HR. Bukhari dan Muslim".

Hadis ini secara implisit menunjukkan bahwa hasil ijtihad bisa benar dan bisa salah,

tapi baik yang benar maupun yang salah tetap mendapatkan pahala, dalam artian keduanya

mendapat legitimasi hukum dari syâri' (yang mempunyai syari'at). Oleh karena itu

perbedaan pendapat dari masing-masing imam yang telah mencapai kapasitas untuk

berijtihad harus disikapi dengan benar, jangan dijadikan perpecahan. Karena itu adalah

rahmat bagi kita. Nabi SAW bersabda "perbedaan pendapat umatku adalah suatu rahmat".

Dan juga hadits yang diriwayatkan Muazd bin Jabal ketika mendapat pembekalan oleh nabi

sebelum hijrah ke Yaman untuk menjadi qodhi (hakim) di daerah yaman. Ketika Nabi

bertanya, dengan apa kamu memberi keputusan? Muazd menjawab, dengan kitabullah (Al-

quran). Kemudian Nabi berkata, kalau kamu tidak menemukan didalam al-quran? Aku akan

menghukumi dengan sunah Rasul-Nya nabi berkata lagi, kalau dalam sunah tidak kamu

temukan? Aku akan berijtihad dengan ro'yu. Adapun pengertian ijtihad dengan ro'yu

dikalangan sahabat ialah sama artinya dengan ijtihad dalam istilah yang dipakai ushuliyin

(ulama' ahli usul).

C. Syarat-Syarat Menjadi Mujtahid

Dalam menentukan kriteria-kriteria seorang mujtahid, para mushonif (pengarang)

kitab berbeda-beda pendapat, namun dari ihktilaf tersebut dapat disimpulkan bahwa syarat-

syarat seseorang bisa dikatakan mujtahid ketika sudah menguasai delapan bidang

pengetahuan.

1. Faham dengan makna ayat-ayat Al-quran yang berkaitan dengan hukum-hukum syari'at, baik

secara lughot (etimologis) atau secara syara' (epistemologis), dan tidak disyaratkan

menghafal ayat al-ahkâm (ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum) apalagi ayat-ayat Al-

qurân secara keseluruan. Cukup hanya mampu merujuknya kembali ketika membutuhkan .

Adapun kadar-kadar ayat-ayat hukum yang dalam Al-qurân menurut Al-ghazali, Al-razi, dan

Ibn al-Arabi adalah 500 ayat, kemudian Al-Zarkasyi menjelaskan bahwa yang dikehendaki

oleh Al-ghazali, Al-razi, dan Ibn al-Arabi hanyalah ayat-ayat yang zhahirnya bermuatan

hukum praktis. Lebih dari itu banyak ayat yang apabila digali akan menghasilkan sintesa

hukum, tergantung pada kepiawaian dalam menganalisa dalil4

2. Mengetahui hadits-hadits tentang hukum, secara lughot ataupun syara' seperti yang telah

disebutkan dalam penalaran ayat-ayat Al-qurân. Tidak diharuskan menghafal semua hadits

yang berkaitan dengan hukum dan hadits secara keseluruan.

3. Menguasai persoalan-persoalan yang telah menjadi consensus ulama' terdahulu (ijma').

dalam hal ini, mujtahid tidak harus hafal permasalahan secara keseluruan yang telah

disepakai oleh ulama' (ijma'). Cukup hanya memastikan bahwa hukum yang dicetuskan tidak

melanggar kesepakatan ulama'.

4. Memahami qiyas serta dapat menggunakannya dalam usaha menghasilkan sebuah hukum

5. Menguasai disiplin ilmu logika (manthiq).

6. Menguasai bahasa Arab dan gramatikanya secara mendalam, seperti ilmu nahwu, sharaf,

balaghoh dan lain sebagainya.

7. Mengetahui nasikh (dalil nash yang menyalin hukum) dan mansukh (dalil nash yang disalin)

dari Al-qurân dan Al-sunah, sehingga tidak akan mencetuskan hukum tidak didasarkan pada

nash yang telah tersalin hukumnya. Untuk persyaratan ini Wahbah al-Zuhaili memberi solusi

untuk merujuk pada kitab-kitab yang menerangkan nasikh dan mansukh. Karena seorang

yang akan berijtihad tidak disyaratkan mengetahui secara keseluruan nasikh dan mansukh,

yang menjadi keharusan ialah mengetahui bahwa yang menja di pijakan hukumnya bukan

termasuk dalil- dalil yang di nasikh oleh nash yang lain.

8. Mengetahui kepribadian para râwi (yang meriwayatkan), sehingga dapat memastikan status

periwayatannya, kuat atau lemah, shahih atau tidak, diterima atau tidak. Dalam hal ini cukup

dengan merujuk pada pendapat imam-imam muhadditsin seperti imam Bukhâri dan Muslim.

Kedelapan syarat ini adalah yang diajukan oleh jumhur ulama', sebenarnya masih terdapat

sejumlah persyaratan yang masih diperdebatkan, diantaranya menguasai usul fiqh, syarat ini

diajukan Al-ghazali, Mengetahui maqâsid al-syari'ah (tujuan-tujuan syariat), persyaratan ini

diajukan oleh Al-syatibiy. Memiliki kedalaman pemahaman teologi (ilmu kalam), Abu Ishaq

meriwayatkan bahwa syarat ini diajukan oleh golongan Qadariyyah. Al-ustazd Abu Mansyur

mensyaratkan untuk mengetahui detil-detil cabangan fikih.

D. Stratifikasi Mujtahid

Ijtihad menempati derajat paling tinggi dalam bidang keilmuan syariat islam, sudah

pasti persyaratan untuk mencapainya sangat ketat. Adapun syarat yang telah kami paparkan

dimuka adalah untuk kualifikasi mujtahid mutlaq. Seiring dengan melemahnya gairah

keilmuan islami akhir-akhir ini, muncullah term ijtihad dengan sandaran-sandaran tertentu,

sebagaimana yang akan kami paparkan dibawah ini.

Pertama, mujtahid mustaqil, yaitu seorang yang mampu menggali hukum langsung dari Al-

qurân dan Al-hadits dengan menggunakan teori usul dan kaidah ciptaan sendiri. seperti

qiyas, ihtisan dan lainnya. Masuk dalam kategori ini yaitu para fuqahâ' sahabat, sebagian

tabi'in seperti Sa'id bin al-Musayyab dan Ibrahim al-Nakha'i, dan imam-imam madzhab

seperti Al-auzâ'i, Laits bin Sa'id, Abu Hanifah, Malik bin Anas, Al-syâfi'i, dan Ahmad bin

Hambal. Mereka adalah mujtahid mustaqil (independen) meskipun banyak pendapat

pendapat dari mereka tidak terkodifikasi secara khusus. Mujtahid mustaqil ini menurut Ibn

al-Qayyim sudah terputus semenjak abad ke 4 H. namun Al-suyuti menyangga asumsi

tersebut, ia mengklaim bahwa mujtahid mustaqil tetap wujud sampai akhir zaman dengan

disandarkan pada hadits:

Artinya: Sesungguhnya Allah akan membangkitkan untuk umat ini (islam) pada

penghujung setiap seratus tahun orang-orang yang akan memperbaharui permasalahan

agamanya. "HR. Abu Dâwud dari Abi Hurairah ra."

Kedua, mujtahid mutlaq ghairu mustaqil al-muntasib, yaitu seseorang yang padanya

telah ditemukan syarat-syarat untuk berijtihad, namun belum mampu menciptakan kaidah-

kaidah sendiri dan masih berpegang pada kaidah dan usul imam mazdhabnya. Masuk dalam

klasifikasi ini dari kalangan Hanafiyah yaitu Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan, dan Zâfr, dari

Mâlikiyah seperti Abd al-Rahman bin Qâsim, dan dari Syafi'iyah seperti Al-Buwaithi,

Za'farâni, dan Al-Muzani.

Ketiga, mujtahid muqoyyad al-mazdhab atau mujtahid takhrij, yaitu seseorang yang

menggali hukum dari persoalan-persoalan yang belum pernah dibahas oleh imam

mujtahidnya. Dengan memakai kaidah-kaidah dan usul imamnya. Seperti Abu Ishaq al-

Syairâzi dan Al-Mawardi.

Keempat, mujtahid tarjih, yaitu seseorang yang mampu melakukan tarjih (penguatan)

terhadap pendapat imam mazdhab dan para muridnya. Seperti Hasan al-Quduriy, Al-

Marghinâni pengarang kitab Al-hidayah dari kalangan Hanafiyah.

Kelima, mujtahid fatwa, yaitu seseorang yang yang peduli akan kelangsungan

mazdhab imamnya, turut melestarikan, mengutip dan mengkaji pendapat imamnya, akan

tetapi belum bisa men-tarjih dan memberikan penilaian kuat dan lemah.

E. Metode Ijtihad

Langkah awal yang harus dilakukan ketika seorang mujtahid dihadapkan pada suatu

permasalahan ialah melakukan akumulasi macam-macam disiplin ilmu yang berkaitan

dengan obyek permasalahan, seperti gramatika arab, ayat-ayat Al-qurân, hadits-hadits Nabi,

pendapat ulama' terdahulu, dan metode-metode qiyas. Kemudian, tanpa terikat dengan

fanatisme mazdhab, dilakukan analisa dengan langkah-langkah sebagai berikut :

Pertama-tama seorang mujtahid harus terlebih dahulu meneliti nash-nash Al-qurân.

Tatkala ditemukan ayat-ayat yang menjelaskannya baik secara nash atau zhahir, maka itulah

yang harus dijadikan sebagai sandaran hukumnya. Dan ketika tidak ditemukan didalam Al-

qurân, maka beranjak pada penelitian sunah Rasulullah, meliputi perkataan, tindakan atau

penetapan dan persetujuan Rasulullah. Bila ditemukan penjelasan didalamnya, maka itulah

yang harus di adopsi dan dijadikan sebagai keputusan hukum. Kemudian meneliti hasil-hasil

ijma' yang valid dari para mujtahid terdahulu. Lalu beralih pada qiyas, dengan menggali illat

hukumnya. Sesuai dengan ijtihadnya, diterapkanlah illat-illat tersebut sesuai dengan masâlik

al-illat-nya. secara ringkas inilah pilar-pilar penunjang ijtihad, yakni Al-qurân, hadits, ijma'

dan qiyas, sebagaimana dikemukakan oleh imam Al-syafi'i. sebagian ulama' menambahkan

adanya pengamalan secara kontekstual sesuai dengan ruh syari'at islam.

Adapun metode-metode yang digunakan oleh para mujtahid secara khusus ialah qiyas,

maslahah mursalah, urf' (adat), istishab, ihtisan, syar'u man qoblana, qoul sahabat, dan

lainnya.

F. Terbuka Dan Tertutupnya Pintu Ijtihad

Beberapa ulama banyak yang telah berkomentar mengenai terbuka dan tertutupnya pintu

ijtihad. Pendapat mereka dapat kita lihat seperti dibawah ini dengan menjawab beberapa

pertanyaan tentang keingin tahuan kita terhadap ijtihad.

1. Benarkah pintu ijtihad masih terbuka?

Permasalahan ini sangat menarik untuk kita bahas, karena sebagaian ulama telah

mengklaim bahwa pintu ijtihad telah tertutup dan untuk saat ini seorang mujtahid sudah

tidak bisa lagi ditemukan. Pendapat ini muncul karena di zaman sekarang ini, sebagaimana

penuturan Syeikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani dipicu karena banyaknya orang yang

mengklaim dirinya sebagai seorang mujtahid. Bahkan yang lebih heran lagi, mereka

mengklaim bahwa dirinya sama seperti Imam Syafi'I, Malik, Ahmad dan Abu Hanifah al-

Nu'man. Padahal syarat-syarat untuk berijtihad sebagaimana yang telah diuraikan oleh para

ulama tidak terpenuhi dalam diri mereka.

Fatwa tertutupnya pintu itihad ini dilontarkan oleh beberapa ulama, di antaranya

adalah al-Imam Ibnu HaJar al-Haitamy, al-Imam al-Sya'rani, al-Imam al-Manawi dan yang

lainnya. Mereka mengatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup sejak bebarapa ratus tahun

yang lalu berdasarkan kesepakatan para ulama dari berbagai madzhab. Imam al-Manawi

dalam komentarnya atas kitab al-Jami' al-Shoghir mengatakan bahwa al-Allamah al-Shihab

Ibnu Hajar al-Haitamy berkata: "Ketika al-Imam al-Suyuthi mendakwakkan ijtihad, maka

orang-orang yang semasa dengan beliau bangkit untuk menulis dan menanyakan kepada

beliau beberapa pertanyaan tentang beberapa masalah yang diglobalkan oleh para murid

imam madzhab menjadi dua versi.

Mereka meminta Imam Suyuthi, jika beliau merupakan mujtahid yang paling rendah

yakni mujtahid fatwa untuk mentarjih dari beberapa versi pendapat tersebut mana

pendapat yang lebih unggul berdasarkan dalil dan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh

para mujtahid. Maka Imam suyuthi mengembalikan pertanyan-pertanyaan itu tanpa menulis

sesuatu. Beliau mengemukakan alasan bahwa dirinya mempunyai kesibukan yang

menghalangi beliau untuk meneliti masalah-masalah itu." Selanjutnya Ibnu Hajar berkata:

"Renungkanlah kesulitan ijtihad pada tingkatan ini yakni ijtihad fatwa yang merupakan

tingkat ijtihad yang paling rendah, sehingga jelaslah bagimu bahwa orang yang

mendakwakkan ijtihad lebih-lebih ijtihad mutlak sebenarnya pada hakekatnya mereka

sedang dalam kebingungan dan kerancauan dalam cara berfikirnya.

Bahkan Ibnu Sholah dan para pengikutnya mengatakan bahwa Ijtihad telah tertutup

sejak tiga ratus tahun yang lalu." Jadi kalau kita hitung-hitung, pintu ijtihad telah tertutup

sejak sekitar abad ke-3 H, karena Imam Ibnu Sholah hidup pada abad ke-6 H. Imam Ibnu

Sholah juga mengutip pernyataan dari sebagian ulama ushul bahwasanya setelah masa

Imam Syafi'i sudah tidak terdapat lagi seorang Mujtahid Mutstaqil. Lebih lanjut Ibnu Hajar

mengatakan bahwa ketika para imam terjadi pertentangan yang panjang mengenai

kedudukan Imam Haramain dan Hujjataul Islam al-Ghazali apakah keduanya lebih utama

dikatakan sebagai Ashahbul Wujuh? Lalu bagaimana dengan selain mereka berdua? Para

imam yang berkomentar tentang Imam al-Ruyani (pengarang kitab al-Bahr) mengatakan

bahwasanya beliau bukanlah termasuk dalam kategori Ashhabul Wujuh, padahal beliau

mengatakan seandainya teks-teks tulisan kitab Imam Syafi'i hilang maka sungguh akan aku

diktekan dari dadaku. Dan ketika mereka sebagai para pembesar madzhab Syafi'i tidak layak

untuk menempati derajat ijtihad al-madzhab, maka bagaimana diperkenankan bagi orang

yang tidak faham sebagian besar istilah mereka mendakwakan diri lebih tinggi dari ijtihad al-

madzhab (yakni ijtihad mutlak). Maha suci Engkau ya Allah, ini adalah kebohongan yang

besar.

Di dalam kitab al-Anwar, Imam Rafi'I al-Syafi'I (w. 623) mengatakan bahwa para ulama

sepertinya telah sepakat bahwa pada hari ini tidak ada seorang mujtahid. Ibnu Abi al-Dam

setelah menguraikan syarat-syarat ijtihad mengatakan bahwa syarat-syarat ini jarang sekali

ditemukan pada seorang ulama di zaman kita ini, bahkan sudah tidak ditemukan lagi pada

zaman ini seorang mujtahid mutlak, bahkan mujtahid madzhab sekalipun. Imam al-Qafal

ketika menjelaskan tentang masalah fatwa menyatakan bahwa orang yang telah memenuhi

persyaratn ijtihad sudah tidak ditemukan lagi pada zamanya.

Akan tetapi nampaknya klaim yang mengatakan bahwa tertutupnya pintu ijtihad telah

disepakati oleh para ulama dari berbagai madzhab perlu untuk kita teliti. Buktinya para

ulama dari Madzhab Hanbali menyatakan bahwa suatu zaman tidak boleh sepi dari seorang

mujtahid baik itu mutlak maupuan muqoyyad. Hal itu sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

"Sekelompok umatku tidak akan pernah berhenti menampakkan kebenaran sehingga datang

urusan Allah SWT (hari kiamat)." [H.R. Muslim]. Mereka juga mengatakan bahwa ijtihad

merupakan fardhu kifayah sehingga ketiadaanya menyebabkan kaum muslimin untuk

sepakat pada sesuatu yang bathil. Bahkan mengenai hal itu, Ibnul Qayyim mengatakan

bahwa mereka (para mujtahid) adalah orang-orang yang telah disabdakan oleh Rasulullah

SAW: "Sesungguhnya Allah SWT akan mengutus bagi umat ini setiap seratus tahun orang

untuk memperbaharui urusan agama mereka." [H.R. Abu Dawud dan yang lainnya]. Mereka

adalah orang-orang yang telah diungkapkan oleh Sayidina Ali RA bahwa dunia ini tidak akan

sepi dari orang yang menegakkan hujjah Allah SWT. Para ulama dari madzhab Hanbali

menyatakan bahwa pintu ijtihad dengan berbagai tingkatannya masih terbuka.

2. Pintu ijtihad tidak pernah tertutup

Ada yang mengatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup sejak sekitar abad ke-2 atau

ke-3 H. jika kita mengatakan bahwa semua pintu ijtihad dengan berbagai macam tingkatan

telah tertutup sejak masa itu, maka hal itu tidak bisa diterima. Sejarah telah membuktikan

bahwa setiap masa tidak akan pernah sepi dari mujaddid. Para ulama mengatakan bahwa

mujaddid-mujaddid itu adalah para mujtahid. Kita ketahui pada abad pertama muncul Umar

bin Abdul Azis, sebagaimana pernyataan al-Imam al-Dzahabi, beliau telah mencapai

tingkatan ijtihad. Kemudian pada abad ke-2 muncul Imam Syafi'i, lalu disusul Ibnu Suraij

pada abad ke-3, beliau termasuk pembesar mujtahid dan termasuk dalam kelompok Ashhab

al-Wujuh, sedangkan pada abad ke-4 terdapat Imam Abu Thayib Sahl bin Muhammad al-

Sha'aluki atau Syeikh Abu Hamid sebagai imam penduduk Irak. Keduanya termasuk mujtahid

dan Ashhabal-Wujuh. Selanjutnya pada abad ke-5 terdapat Imam al-Ghazali, sebagaimana

fatwa Ibnu Sholah, beliau termasuk mujtahid. Lalu pada abad ke-6 terdapat Imam Rafi'i,

pada abad ke-7 Syeikh Ibnu Daqiq al-'Id, abad ke-8 Imam al-Bulqini. Kemudian pada generasi

selanjutnya muncul Imam Suyuthi beliau mendakwakan diri telah mencapai tingkat

mujtahid, beliau berkata: "Telah sempurna pada diriku kriteria untuk berijtihad dengan

berkat pertolongan Allah SWT, seandainya aku menghendaki untuk menulis satu karya

tentang suatu masalah yang disertai dengan komentar-komentar, dalil-dali baik secara naqli

maupun qiyas dan perbedaan pendapat di antara madzhab, maka sungguh aku akan mampu

untuk melakukannya berkat anugerah Allah SWT."

Dari kedua pendapat yang telah dikemukakan di atas sebenarnya kita bisa mengambil

jalan tengah dari keduanya. Ulama yang memfatwakan bahwa ijtihad telah tertutup dan

sudah tidak ada lagi mujtahid pada zaman ini yang dimaksud mereka adalah ijtihad dan

mujtahid muthlak baik yang mutstaqil maupun ghairu mutstaqil. Sedangkan para ulama yang

mengatakan bahwa pintu ijtihad masih terbuka dan setiap masa tidak boleh sepi dari

seorang mujtahid adalah mujtahid yang tingkatannya berada di bawah mujtahid mutlak. Hal

itu dapat kita tinjau dari beberapa hal:

a. Para Ulama yang dianggap sebagai mujtahid mutlak oleh kelompok kedua (yang

berpendapat bahwa pintu ijtihad dengan segala macamnya masih terbuka) telah

menyatakan sendiri bahwa mujtahid mutlak pada zaman mereka sudah tidak ada lagi. Hal itu

sebagaimana pernyataan Imam al-Ghazali sendiri bahwa pada zaman beliau sudah tidak

terdapat seorang mujtahid mutlak. Dalam kitabnya al-Wasith beliau berkata: "Syarat-syarat

ini yakni syarat ijtihad (ijtihad mutlak) yang layak disandang oleh seorang Qadli sungguh sulit

ditemukan pada zaman kita sekarang ini." Selain Imam Ghazali, Imam Rafi'i dan Nawawi juga

menyatakan hal yang sama bahwa para ulama sepertinya telah sepakat bahwa pada masa ini

sudah tidak ada lagi seorang mujtahid (mujtahid mutlak).

b. Imam Suyuthi sendiri yang mengklaim dirinya sebagai mujtahid mutlak ternyata tidak bisa

memenuhi persyaratan mujtahid mutlak yang beliau ajukan sendiri. Mengenai syarat ijtihad

Imam Suyuthi mengajukan sekitar lima belas syarat yang harus dipenuhi. Pada syarat kedua

belas beliau menyebutkan bahwa syarat bagi seorang mujtahid mutlak haruslah menguasai

ilmu hisab. Sedangkan beliau sendiri mengakui bahwa beliau tidak menguasai ilmu hisab. Hal

itu sebagaimana penuturan beliau sendiri: "Ilmu hisab (ilmu hitung) adalah ilmu yang sangat

sulit bagiku dan paling jauh dari penalaranku."

Dari uraian di atas dapat kita fahami, betapa sulit dan rumitnya persyaratan yang

harus dipenuhi oleh seorang mujtahid sehingga ia diperbolehkan untuk berijtihad. Sehingga

setiap orang tidak dibenarkan untuk mengkliam dirinya telah berijtihad sedangkan ia sendiri

tidak mnguasai alat-alat yang digunakan sebagai media untuk menggali hukum dari al-Kitab

dan al-Sunnah.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Ijtihad (اجتهاد) adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa

dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu

perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal

sehat dan pertimbangan matang dan orang yang berijtihat disebut mujtahid.

2. Tidak semua orang yang memahami Agama disebut mujtihad, ada syarat/kriteria yang

menyatakan sah nya menjadi seorang mujtihad.

3. Dalam menentukan terbuka atau tertutupnya pintu ijtihad, sebagian ulama menyatakan

bahwa pintu ijtihad telah tertutup dan sebagian lagi menyatakan pintu ijtihad masih terbuka

meski berbeda dalam tingkatanya.

B. Saran

Diharapkan kepada dosen dan pembaca untuk dapat memberikan kritik dan saran yang

bersifat membangun demi perbaikan makalah selanjutnya menjadi lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/Ijtihad,

Sukabul, http://kabulkhan.blogspot.com/2010/02/ijtihad-dalam-islam-makalah-disusun-dan.html

Posted 22nd November 2012 by junaidi fina

7.

Nov

22

makalah

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Munculnya berbagai masalah di zaman yang modern ini menyebabkan ijtihad dalam

menentukan hukum merupakan suatu hal yang manjadi suatu keharusan untuk dilakukan.

Permasalahannya, di zaman sekarang, siapa yang berhak untuk berijtihad? Apakah semua

orang boleh berijtihad untuk menentukan hukum syar'I

Al-Qur'an telah mengajarkan agar umat Islam berijtihad, berupaya menarik

kesimpulan hukum serta menerima pengarahan para ulama dan ahli-ahli pikir mereka. Allah

SWT berfirman : "Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan

ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada

Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui

kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah

karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali

sebahagian kecil saja (di antaramu)." [Q.S. al-Nisa':83]. Ayat ini jelas berisi anjuran yang

cukup tegas, untuk beristinbath dan berijtihad, yakni mengambil kesimpulan dan berusaha

mencari hukum dengan mengadakan perbandingan dan lain sebagainya.

Sejarah juga telah menceritakan kapada kita, bagaimana Rasulullah SAW melatih para

sahabatnya dalam memutuskan suatu hukum dan mendorong mereka agar mengerahkan

segala kemampuan daya fikirnya untuk berijtihad. Beliau menenangkan hati para sahabat

agar tidak ragu atau takut salah dalam usaha ijtihadnya. Karena seorang mujtahid yang

benar dalam ijtihadnya akan diberi dua pahala. Dan bagi yang salah dalam ijtihadnya akan

memperoleh satu pahala. Allah SWT berfirman: "Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa

yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan

adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." [QS.Al-Ahzab:5]

Untuk lebih jelasnya mengenai ijtihad akan dibahas pada bab selanjutnya.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah itu ijtihad?

2. Bagaimanakah syarat menjadi mujtahid?

3. Apakah pintu ijtihad masih terbuka atau sudah tertutup?

C. Tujuan Penulisan

Untuk mengetahui pengertian ijtihad, syarat menjadi mujtahid dan memahami pintu

ijtihad.

D. Metode Penulisan

Metode penulisan makalah ini adalah kajian kepustakaan dari media atau library

research.

BAB II

TERBUKA DAN TERTUTUPNYA PINTU IJTIHAD

A. Pengertian Ijtihad

Ijtihad (اجتهاد) adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa

dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu

perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal

sehat dan pertimbangan matang.1

Namun pada perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya

dilakukan para ahli agama Islam .

Tujuan ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup

dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.

Secara harfiah, Ijtihad yang berasal dari kata kerja jahada dapat diartikan dengan kerja

keras, sungguh-sungguh, dan pengetahuan mengenai hukum atau yurisprudensi. Secara

terminologi ijtihad diartikan sebagai mengerahkan segala kemampuan untuk mendapatkan

pengetahuan atas hukum-hukum syara' dengan jalan menggali dari sumbernya (al-

ishtinbâth) yang berupa Al-quran Al-sunah. Adapun isim fâ'il (pelaku/orang yang melakukan)

dari ijtihad adalah mujtahid.2

Ijithad telah berkembang sejak zaman Rasulullah SAW fiqih mengandung “pengertian

tentag hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf”3 maka Ijtihad akan terus

berkembang perkembangan ini berkaitan dengan berbuatan manusia yang selalu berubah-

ubah baik bentuk maupun macamnya, dalam hubungan ini, menurut Asy syahstani bahwa

keadian dan kasus dalam peribadatan dan muamalah (tindakan manusia) secara pasti dapat

diketahui bahwa tidak setiap kasus ada nashnya apabila nashnya sudah berakhir sedangkan

kejadiannya berlansung terus tanpa batas ketika sesuatu yang tidak terbatas maka qiyas

wajib dipakai sehingga setiap kasus ada ijtihad mengenainya.

Menurut al Gahzali dalam kitabnya Al Mustasfa jus I : 137 “Istihsan adalah semua hal

yang dianggap baik oleh Mujtahid menurut Akalnya” dlam hal kehujjahannya para ulama

berbeda pendapat, ada yang menggunakan istihsan dan ada yang tidak mengakui adanya

istihsan

B. Pensyari'atan Ijtihad

Ijtihad merupakan salah satu pilar pokok tegaknya syari'at islam. Terdapat banyak dalil yang

menganjurkan untuk melaksanakannya, diantaranya adalah firman Allah QS. Al-nisâ' 105.

Artinya: Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa

kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah allah wahyukan

kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena

(membela) orang-orang yang khianat.

Pada ayat ini mengandung ketetapan ijtihad dengan menggunakan metode Qiyas. dan QS.

Al-rūm 21.

Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-

isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan

dijadikan-nya diantaramu rasa kasih dan sayang. sesungguhnya pada yang demikian itu

benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.

Dan dari al-sunah ialah hadits dari Amr ibn al-'Âsh , ia mendengar utusan Allah

bersabda :

Artinya: Jika seorang hakim membuat keputusan (menghukumi) dengan berijtihad kemudian

benar, maka bginya dua pahala, jika menghukumi dengan berijtihad dan ternyata salah,

maka baginya satu pahala. "HR. Bukhari dan Muslim".

Hadis ini secara implisit menunjukkan bahwa hasil ijtihad bisa benar dan bisa salah,

tapi baik yang benar maupun yang salah tetap mendapatkan pahala, dalam artian keduanya

mendapat legitimasi hukum dari syâri' (yang mempunyai syari'at). Oleh karena itu

perbedaan pendapat dari masing-masing imam yang telah mencapai kapasitas untuk

berijtihad harus disikapi dengan benar, jangan dijadikan perpecahan. Karena itu adalah

rahmat bagi kita. Nabi SAW bersabda "perbedaan pendapat umatku adalah suatu rahmat".

Dan juga hadits yang diriwayatkan Muazd bin Jabal ketika mendapat pembekalan oleh nabi

sebelum hijrah ke Yaman untuk menjadi qodhi (hakim) di daerah yaman. Ketika Nabi

bertanya, dengan apa kamu memberi keputusan? Muazd menjawab, dengan kitabullah (Al-

quran). Kemudian Nabi berkata, kalau kamu tidak menemukan didalam al-quran? Aku akan

menghukumi dengan sunah Rasul-Nya nabi berkata lagi, kalau dalam sunah tidak kamu

temukan? Aku akan berijtihad dengan ro'yu. Adapun pengertian ijtihad dengan ro'yu

dikalangan sahabat ialah sama artinya dengan ijtihad dalam istilah yang dipakai ushuliyin

(ulama' ahli usul).

C. Syarat-Syarat Menjadi Mujtahid

Dalam menentukan kriteria-kriteria seorang mujtahid, para mushonif (pengarang)

kitab berbeda-beda pendapat, namun dari ihktilaf tersebut dapat disimpulkan bahwa syarat-

syarat seseorang bisa dikatakan mujtahid ketika sudah menguasai delapan bidang

pengetahuan.

1. Faham dengan makna ayat-ayat Al-quran yang berkaitan dengan hukum-hukum syari'at, baik

secara lughot (etimologis) atau secara syara' (epistemologis), dan tidak disyaratkan

menghafal ayat al-ahkâm (ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum) apalagi ayat-ayat Al-

qurân secara keseluruan. Cukup hanya mampu merujuknya kembali ketika membutuhkan .

Adapun kadar-kadar ayat-ayat hukum yang dalam Al-qurân menurut Al-ghazali, Al-razi, dan

Ibn al-Arabi adalah 500 ayat, kemudian Al-Zarkasyi menjelaskan bahwa yang dikehendaki

oleh Al-ghazali, Al-razi, dan Ibn al-Arabi hanyalah ayat-ayat yang zhahirnya bermuatan

hukum praktis. Lebih dari itu banyak ayat yang apabila digali akan menghasilkan sintesa

hukum, tergantung pada kepiawaian dalam menganalisa dalil4

2. Mengetahui hadits-hadits tentang hukum, secara lughot ataupun syara' seperti yang telah

disebutkan dalam penalaran ayat-ayat Al-qurân. Tidak diharuskan menghafal semua hadits

yang berkaitan dengan hukum dan hadits secara keseluruan.

3. Menguasai persoalan-persoalan yang telah menjadi consensus ulama' terdahulu (ijma').

dalam hal ini, mujtahid tidak harus hafal permasalahan secara keseluruan yang telah

disepakai oleh ulama' (ijma'). Cukup hanya memastikan bahwa hukum yang dicetuskan tidak

melanggar kesepakatan ulama'.

4. Memahami qiyas serta dapat menggunakannya dalam usaha menghasilkan sebuah hukum

5. Menguasai disiplin ilmu logika (manthiq).

6. Menguasai bahasa Arab dan gramatikanya secara mendalam, seperti ilmu nahwu, sharaf,

balaghoh dan lain sebagainya.

7. Mengetahui nasikh (dalil nash yang menyalin hukum) dan mansukh (dalil nash yang disalin)

dari Al-qurân dan Al-sunah, sehingga tidak akan mencetuskan hukum tidak didasarkan pada

nash yang telah tersalin hukumnya. Untuk persyaratan ini Wahbah al-Zuhaili memberi solusi

untuk merujuk pada kitab-kitab yang menerangkan nasikh dan mansukh. Karena seorang

yang akan berijtihad tidak disyaratkan mengetahui secara keseluruan nasikh dan mansukh,

yang menjadi keharusan ialah mengetahui bahwa yang menja di pijakan hukumnya bukan

termasuk dalil- dalil yang di nasikh oleh nash yang lain.

8. Mengetahui kepribadian para râwi (yang meriwayatkan), sehingga dapat memastikan status

periwayatannya, kuat atau lemah, shahih atau tidak, diterima atau tidak. Dalam hal ini cukup

dengan merujuk pada pendapat imam-imam muhadditsin seperti imam Bukhâri dan Muslim.

Kedelapan syarat ini adalah yang diajukan oleh jumhur ulama', sebenarnya masih terdapat

sejumlah persyaratan yang masih diperdebatkan, diantaranya menguasai usul fiqh, syarat ini

diajukan Al-ghazali, Mengetahui maqâsid al-syari'ah (tujuan-tujuan syariat), persyaratan ini

diajukan oleh Al-syatibiy. Memiliki kedalaman pemahaman teologi (ilmu kalam), Abu Ishaq

meriwayatkan bahwa syarat ini diajukan oleh golongan Qadariyyah. Al-ustazd Abu Mansyur

mensyaratkan untuk mengetahui detil-detil cabangan fikih.

D. Stratifikasi Mujtahid

Ijtihad menempati derajat paling tinggi dalam bidang keilmuan syariat islam, sudah

pasti persyaratan untuk mencapainya sangat ketat. Adapun syarat yang telah kami paparkan

dimuka adalah untuk kualifikasi mujtahid mutlaq. Seiring dengan melemahnya gairah

keilmuan islami akhir-akhir ini, muncullah term ijtihad dengan sandaran-sandaran tertentu,

sebagaimana yang akan kami paparkan dibawah ini.

Pertama, mujtahid mustaqil, yaitu seorang yang mampu menggali hukum langsung dari Al-

qurân dan Al-hadits dengan menggunakan teori usul dan kaidah ciptaan sendiri. seperti

qiyas, ihtisan dan lainnya. Masuk dalam kategori ini yaitu para fuqahâ' sahabat, sebagian

tabi'in seperti Sa'id bin al-Musayyab dan Ibrahim al-Nakha'i, dan imam-imam madzhab

seperti Al-auzâ'i, Laits bin Sa'id, Abu Hanifah, Malik bin Anas, Al-syâfi'i, dan Ahmad bin

Hambal. Mereka adalah mujtahid mustaqil (independen) meskipun banyak pendapat

pendapat dari mereka tidak terkodifikasi secara khusus. Mujtahid mustaqil ini menurut Ibn

al-Qayyim sudah terputus semenjak abad ke 4 H. namun Al-suyuti menyangga asumsi

tersebut, ia mengklaim bahwa mujtahid mustaqil tetap wujud sampai akhir zaman dengan

disandarkan pada hadits:

Artinya: Sesungguhnya Allah akan membangkitkan untuk umat ini (islam) pada

penghujung setiap seratus tahun orang-orang yang akan memperbaharui permasalahan

agamanya. "HR. Abu Dâwud dari Abi Hurairah ra."

Kedua, mujtahid mutlaq ghairu mustaqil al-muntasib, yaitu seseorang yang padanya

telah ditemukan syarat-syarat untuk berijtihad, namun belum mampu menciptakan kaidah-

kaidah sendiri dan masih berpegang pada kaidah dan usul imam mazdhabnya. Masuk dalam

klasifikasi ini dari kalangan Hanafiyah yaitu Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan, dan Zâfr, dari

Mâlikiyah seperti Abd al-Rahman bin Qâsim, dan dari Syafi'iyah seperti Al-Buwaithi,

Za'farâni, dan Al-Muzani.

Ketiga, mujtahid muqoyyad al-mazdhab atau mujtahid takhrij, yaitu seseorang yang

menggali hukum dari persoalan-persoalan yang belum pernah dibahas oleh imam

mujtahidnya. Dengan memakai kaidah-kaidah dan usul imamnya. Seperti Abu Ishaq al-

Syairâzi dan Al-Mawardi.

Keempat, mujtahid tarjih, yaitu seseorang yang mampu melakukan tarjih (penguatan)

terhadap pendapat imam mazdhab dan para muridnya. Seperti Hasan al-Quduriy, Al-

Marghinâni pengarang kitab Al-hidayah dari kalangan Hanafiyah.

Kelima, mujtahid fatwa, yaitu seseorang yang yang peduli akan kelangsungan

mazdhab imamnya, turut melestarikan, mengutip dan mengkaji pendapat imamnya, akan

tetapi belum bisa men-tarjih dan memberikan penilaian kuat dan lemah.

E. Metode Ijtihad

Langkah awal yang harus dilakukan ketika seorang mujtahid dihadapkan pada suatu

permasalahan ialah melakukan akumulasi macam-macam disiplin ilmu yang berkaitan

dengan obyek permasalahan, seperti gramatika arab, ayat-ayat Al-qurân, hadits-hadits Nabi,

pendapat ulama' terdahulu, dan metode-metode qiyas. Kemudian, tanpa terikat dengan

fanatisme mazdhab, dilakukan analisa dengan langkah-langkah sebagai berikut :

Pertama-tama seorang mujtahid harus terlebih dahulu meneliti nash-nash Al-qurân.

Tatkala ditemukan ayat-ayat yang menjelaskannya baik secara nash atau zhahir, maka itulah

yang harus dijadikan sebagai sandaran hukumnya. Dan ketika tidak ditemukan didalam Al-

qurân, maka beranjak pada penelitian sunah Rasulullah, meliputi perkataan, tindakan atau

penetapan dan persetujuan Rasulullah. Bila ditemukan penjelasan didalamnya, maka itulah

yang harus di adopsi dan dijadikan sebagai keputusan hukum. Kemudian meneliti hasil-hasil

ijma' yang valid dari para mujtahid terdahulu. Lalu beralih pada qiyas, dengan menggali illat

hukumnya. Sesuai dengan ijtihadnya, diterapkanlah illat-illat tersebut sesuai dengan masâlik

al-illat-nya. secara ringkas inilah pilar-pilar penunjang ijtihad, yakni Al-qurân, hadits, ijma'

dan qiyas, sebagaimana dikemukakan oleh imam Al-syafi'i. sebagian ulama' menambahkan

adanya pengamalan secara kontekstual sesuai dengan ruh syari'at islam.

Adapun metode-metode yang digunakan oleh para mujtahid secara khusus ialah qiyas,

maslahah mursalah, urf' (adat), istishab, ihtisan, syar'u man qoblana, qoul sahabat, dan

lainnya.

F. Terbuka Dan Tertutupnya Pintu Ijtihad

Beberapa ulama banyak yang telah berkomentar mengenai terbuka dan tertutupnya pintu

ijtihad. Pendapat mereka dapat kita lihat seperti dibawah ini dengan menjawab beberapa

pertanyaan tentang keingin tahuan kita terhadap ijtihad.

1. Benarkah pintu ijtihad masih terbuka?

Permasalahan ini sangat menarik untuk kita bahas, karena sebagaian ulama telah

mengklaim bahwa pintu ijtihad telah tertutup dan untuk saat ini seorang mujtahid sudah

tidak bisa lagi ditemukan. Pendapat ini muncul karena di zaman sekarang ini, sebagaimana

penuturan Syeikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani dipicu karena banyaknya orang yang

mengklaim dirinya sebagai seorang mujtahid. Bahkan yang lebih heran lagi, mereka

mengklaim bahwa dirinya sama seperti Imam Syafi'I, Malik, Ahmad dan Abu Hanifah al-

Nu'man. Padahal syarat-syarat untuk berijtihad sebagaimana yang telah diuraikan oleh para

ulama tidak terpenuhi dalam diri mereka.

Fatwa tertutupnya pintu itihad ini dilontarkan oleh beberapa ulama, di antaranya

adalah al-Imam Ibnu HaJar al-Haitamy, al-Imam al-Sya'rani, al-Imam al-Manawi dan yang

lainnya. Mereka mengatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup sejak bebarapa ratus tahun

yang lalu berdasarkan kesepakatan para ulama dari berbagai madzhab. Imam al-Manawi

dalam komentarnya atas kitab al-Jami' al-Shoghir mengatakan bahwa al-Allamah al-Shihab

Ibnu Hajar al-Haitamy berkata: "Ketika al-Imam al-Suyuthi mendakwakkan ijtihad, maka

orang-orang yang semasa dengan beliau bangkit untuk menulis dan menanyakan kepada

beliau beberapa pertanyaan tentang beberapa masalah yang diglobalkan oleh para murid

imam madzhab menjadi dua versi.

Mereka meminta Imam Suyuthi, jika beliau merupakan mujtahid yang paling rendah

yakni mujtahid fatwa untuk mentarjih dari beberapa versi pendapat tersebut mana

pendapat yang lebih unggul berdasarkan dalil dan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh

para mujtahid. Maka Imam suyuthi mengembalikan pertanyan-pertanyaan itu tanpa menulis

sesuatu. Beliau mengemukakan alasan bahwa dirinya mempunyai kesibukan yang

menghalangi beliau untuk meneliti masalah-masalah itu." Selanjutnya Ibnu Hajar berkata:

"Renungkanlah kesulitan ijtihad pada tingkatan ini yakni ijtihad fatwa yang merupakan

tingkat ijtihad yang paling rendah, sehingga jelaslah bagimu bahwa orang yang

mendakwakkan ijtihad lebih-lebih ijtihad mutlak sebenarnya pada hakekatnya mereka

sedang dalam kebingungan dan kerancauan dalam cara berfikirnya.

Bahkan Ibnu Sholah dan para pengikutnya mengatakan bahwa Ijtihad telah tertutup

sejak tiga ratus tahun yang lalu." Jadi kalau kita hitung-hitung, pintu ijtihad telah tertutup

sejak sekitar abad ke-3 H, karena Imam Ibnu Sholah hidup pada abad ke-6 H. Imam Ibnu

Sholah juga mengutip pernyataan dari sebagian ulama ushul bahwasanya setelah masa

Imam Syafi'i sudah tidak terdapat lagi seorang Mujtahid Mutstaqil. Lebih lanjut Ibnu Hajar

mengatakan bahwa ketika para imam terjadi pertentangan yang panjang mengenai

kedudukan Imam Haramain dan Hujjataul Islam al-Ghazali apakah keduanya lebih utama

dikatakan sebagai Ashahbul Wujuh? Lalu bagaimana dengan selain mereka berdua? Para

imam yang berkomentar tentang Imam al-Ruyani (pengarang kitab al-Bahr) mengatakan

bahwasanya beliau bukanlah termasuk dalam kategori Ashhabul Wujuh, padahal beliau

mengatakan seandainya teks-teks tulisan kitab Imam Syafi'i hilang maka sungguh akan aku

diktekan dari dadaku. Dan ketika mereka sebagai para pembesar madzhab Syafi'i tidak layak

untuk menempati derajat ijtihad al-madzhab, maka bagaimana diperkenankan bagi orang

yang tidak faham sebagian besar istilah mereka mendakwakan diri lebih tinggi dari ijtihad al-

madzhab (yakni ijtihad mutlak). Maha suci Engkau ya Allah, ini adalah kebohongan yang

besar.

Di dalam kitab al-Anwar, Imam Rafi'I al-Syafi'I (w. 623) mengatakan bahwa para ulama

sepertinya telah sepakat bahwa pada hari ini tidak ada seorang mujtahid. Ibnu Abi al-Dam

setelah menguraikan syarat-syarat ijtihad mengatakan bahwa syarat-syarat ini jarang sekali

ditemukan pada seorang ulama di zaman kita ini, bahkan sudah tidak ditemukan lagi pada

zaman ini seorang mujtahid mutlak, bahkan mujtahid madzhab sekalipun. Imam al-Qafal

ketika menjelaskan tentang masalah fatwa menyatakan bahwa orang yang telah memenuhi

persyaratn ijtihad sudah tidak ditemukan lagi pada zamanya.

Akan tetapi nampaknya klaim yang mengatakan bahwa tertutupnya pintu ijtihad telah

disepakati oleh para ulama dari berbagai madzhab perlu untuk kita teliti. Buktinya para

ulama dari Madzhab Hanbali menyatakan bahwa suatu zaman tidak boleh sepi dari seorang

mujtahid baik itu mutlak maupuan muqoyyad. Hal itu sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

"Sekelompok umatku tidak akan pernah berhenti menampakkan kebenaran sehingga datang

urusan Allah SWT (hari kiamat)." [H.R. Muslim]. Mereka juga mengatakan bahwa ijtihad

merupakan fardhu kifayah sehingga ketiadaanya menyebabkan kaum muslimin untuk

sepakat pada sesuatu yang bathil. Bahkan mengenai hal itu, Ibnul Qayyim mengatakan

bahwa mereka (para mujtahid) adalah orang-orang yang telah disabdakan oleh Rasulullah

SAW: "Sesungguhnya Allah SWT akan mengutus bagi umat ini setiap seratus tahun orang

untuk memperbaharui urusan agama mereka." [H.R. Abu Dawud dan yang lainnya]. Mereka

adalah orang-orang yang telah diungkapkan oleh Sayidina Ali RA bahwa dunia ini tidak akan

sepi dari orang yang menegakkan hujjah Allah SWT. Para ulama dari madzhab Hanbali

menyatakan bahwa pintu ijtihad dengan berbagai tingkatannya masih terbuka.

2. Pintu ijtihad tidak pernah tertutup

Ada yang mengatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup sejak sekitar abad ke-2 atau

ke-3 H. jika kita mengatakan bahwa semua pintu ijtihad dengan berbagai macam tingkatan

telah tertutup sejak masa itu, maka hal itu tidak bisa diterima. Sejarah telah membuktikan

bahwa setiap masa tidak akan pernah sepi dari mujaddid. Para ulama mengatakan bahwa

mujaddid-mujaddid itu adalah para mujtahid. Kita ketahui pada abad pertama muncul Umar

bin Abdul Azis, sebagaimana pernyataan al-Imam al-Dzahabi, beliau telah mencapai

tingkatan ijtihad. Kemudian pada abad ke-2 muncul Imam Syafi'i, lalu disusul Ibnu Suraij

pada abad ke-3, beliau termasuk pembesar mujtahid dan termasuk dalam kelompok Ashhab

al-Wujuh, sedangkan pada abad ke-4 terdapat Imam Abu Thayib Sahl bin Muhammad al-

Sha'aluki atau Syeikh Abu Hamid sebagai imam penduduk Irak. Keduanya termasuk mujtahid

dan Ashhabal-Wujuh. Selanjutnya pada abad ke-5 terdapat Imam al-Ghazali, sebagaimana

fatwa Ibnu Sholah, beliau termasuk mujtahid. Lalu pada abad ke-6 terdapat Imam Rafi'i,

pada abad ke-7 Syeikh Ibnu Daqiq al-'Id, abad ke-8 Imam al-Bulqini. Kemudian pada generasi

selanjutnya muncul Imam Suyuthi beliau mendakwakan diri telah mencapai tingkat

mujtahid, beliau berkata: "Telah sempurna pada diriku kriteria untuk berijtihad dengan

berkat pertolongan Allah SWT, seandainya aku menghendaki untuk menulis satu karya

tentang suatu masalah yang disertai dengan komentar-komentar, dalil-dali baik secara naqli

maupun qiyas dan perbedaan pendapat di antara madzhab, maka sungguh aku akan mampu

untuk melakukannya berkat anugerah Allah SWT."

Dari kedua pendapat yang telah dikemukakan di atas sebenarnya kita bisa mengambil

jalan tengah dari keduanya. Ulama yang memfatwakan bahwa ijtihad telah tertutup dan

sudah tidak ada lagi mujtahid pada zaman ini yang dimaksud mereka adalah ijtihad dan

mujtahid muthlak baik yang mutstaqil maupun ghairu mutstaqil. Sedangkan para ulama yang

mengatakan bahwa pintu ijtihad masih terbuka dan setiap masa tidak boleh sepi dari

seorang mujtahid adalah mujtahid yang tingkatannya berada di bawah mujtahid mutlak. Hal

itu dapat kita tinjau dari beberapa hal:

a. Para Ulama yang dianggap sebagai mujtahid mutlak oleh kelompok kedua (yang

berpendapat bahwa pintu ijtihad dengan segala macamnya masih terbuka) telah

menyatakan sendiri bahwa mujtahid mutlak pada zaman mereka sudah tidak ada lagi. Hal itu

sebagaimana pernyataan Imam al-Ghazali sendiri bahwa pada zaman beliau sudah tidak

terdapat seorang mujtahid mutlak. Dalam kitabnya al-Wasith beliau berkata: "Syarat-syarat

ini yakni syarat ijtihad (ijtihad mutlak) yang layak disandang oleh seorang Qadli sungguh sulit

ditemukan pada zaman kita sekarang ini." Selain Imam Ghazali, Imam Rafi'i dan Nawawi juga

menyatakan hal yang sama bahwa para ulama sepertinya telah sepakat bahwa pada masa ini

sudah tidak ada lagi seorang mujtahid (mujtahid mutlak).

b. Imam Suyuthi sendiri yang mengklaim dirinya sebagai mujtahid mutlak ternyata tidak bisa

memenuhi persyaratan mujtahid mutlak yang beliau ajukan sendiri. Mengenai syarat ijtihad

Imam Suyuthi mengajukan sekitar lima belas syarat yang harus dipenuhi. Pada syarat kedua

belas beliau menyebutkan bahwa syarat bagi seorang mujtahid mutlak haruslah menguasai

ilmu hisab. Sedangkan beliau sendiri mengakui bahwa beliau tidak menguasai ilmu hisab. Hal

itu sebagaimana penuturan beliau sendiri: "Ilmu hisab (ilmu hitung) adalah ilmu yang sangat

sulit bagiku dan paling jauh dari penalaranku."

Dari uraian di atas dapat kita fahami, betapa sulit dan rumitnya persyaratan yang

harus dipenuhi oleh seorang mujtahid sehingga ia diperbolehkan untuk berijtihad. Sehingga

setiap orang tidak dibenarkan untuk mengkliam dirinya telah berijtihad sedangkan ia sendiri

tidak mnguasai alat-alat yang digunakan sebagai media untuk menggali hukum dari al-Kitab

dan al-Sunnah.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Ijtihad (اجتهاد) adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa

dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu

perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal

sehat dan pertimbangan matang dan orang yang berijtihat disebut mujtahid.

2. Tidak semua orang yang memahami Agama disebut mujtihad, ada syarat/kriteria yang

menyatakan sah nya menjadi seorang mujtihad.

3. Dalam menentukan terbuka atau tertutupnya pintu ijtihad, sebagian ulama menyatakan

bahwa pintu ijtihad telah tertutup dan sebagian lagi menyatakan pintu ijtihad masih terbuka

meski berbeda dalam tingkatanya.

B. Saran

Diharapkan kepada dosen dan pembaca untuk dapat memberikan kritik dan saran yang

bersifat membangun demi perbaikan makalah selanjutnya menjadi lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/Ijtihad,

Sukabul, http://kabulkhan.blogspot.com/2010/02/ijtihad-dalam-islam-makalah-disusun-dan.html

Posted 22nd November 2012 by junaidi fina

8.

Nov

22

makalah

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Munculnya berbagai masalah di zaman yang modern ini menyebabkan ijtihad dalam

menentukan hukum merupakan suatu hal yang manjadi suatu keharusan untuk dilakukan.

Permasalahannya, di zaman sekarang, siapa yang berhak untuk berijtihad? Apakah semua

orang boleh berijtihad untuk menentukan hukum syar'I

Al-Qur'an telah mengajarkan agar umat Islam berijtihad, berupaya menarik

kesimpulan hukum serta menerima pengarahan para ulama dan ahli-ahli pikir mereka. Allah

SWT berfirman : "Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan

ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada

Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui

kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah

karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali

sebahagian kecil saja (di antaramu)." [Q.S. al-Nisa':83]. Ayat ini jelas berisi anjuran yang

cukup tegas, untuk beristinbath dan berijtihad, yakni mengambil kesimpulan dan berusaha

mencari hukum dengan mengadakan perbandingan dan lain sebagainya.

Sejarah juga telah menceritakan kapada kita, bagaimana Rasulullah SAW melatih para

sahabatnya dalam memutuskan suatu hukum dan mendorong mereka agar mengerahkan

segala kemampuan daya fikirnya untuk berijtihad. Beliau menenangkan hati para sahabat

agar tidak ragu atau takut salah dalam usaha ijtihadnya. Karena seorang mujtahid yang

benar dalam ijtihadnya akan diberi dua pahala. Dan bagi yang salah dalam ijtihadnya akan

memperoleh satu pahala. Allah SWT berfirman: "Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa

yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan

adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." [QS.Al-Ahzab:5]

Untuk lebih jelasnya mengenai ijtihad akan dibahas pada bab selanjutnya.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah itu ijtihad?

2. Bagaimanakah syarat menjadi mujtahid?

3. Apakah pintu ijtihad masih terbuka atau sudah tertutup?

C. Tujuan Penulisan

Untuk mengetahui pengertian ijtihad, syarat menjadi mujtahid dan memahami pintu

ijtihad.

D. Metode Penulisan

Metode penulisan makalah ini adalah kajian kepustakaan dari media atau library

research.

BAB II

TERBUKA DAN TERTUTUPNYA PINTU IJTIHAD

A. Pengertian Ijtihad

Ijtihad (اجتهاد) adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa

dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu

perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal

sehat dan pertimbangan matang.1

Namun pada perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya

dilakukan para ahli agama Islam .

Tujuan ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup

dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.

Secara harfiah, Ijtihad yang berasal dari kata kerja jahada dapat diartikan dengan kerja

keras, sungguh-sungguh, dan pengetahuan mengenai hukum atau yurisprudensi. Secara

terminologi ijtihad diartikan sebagai mengerahkan segala kemampuan untuk mendapatkan

pengetahuan atas hukum-hukum syara' dengan jalan menggali dari sumbernya (al-

ishtinbâth) yang berupa Al-quran Al-sunah. Adapun isim fâ'il (pelaku/orang yang melakukan)

dari ijtihad adalah mujtahid.2

Ijithad telah berkembang sejak zaman Rasulullah SAW fiqih mengandung “pengertian

tentag hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf”3 maka Ijtihad akan terus

berkembang perkembangan ini berkaitan dengan berbuatan manusia yang selalu berubah-

ubah baik bentuk maupun macamnya, dalam hubungan ini, menurut Asy syahstani bahwa

keadian dan kasus dalam peribadatan dan muamalah (tindakan manusia) secara pasti dapat

diketahui bahwa tidak setiap kasus ada nashnya apabila nashnya sudah berakhir sedangkan

kejadiannya berlansung terus tanpa batas ketika sesuatu yang tidak terbatas maka qiyas

wajib dipakai sehingga setiap kasus ada ijtihad mengenainya.

Menurut al Gahzali dalam kitabnya Al Mustasfa jus I : 137 “Istihsan adalah semua hal

yang dianggap baik oleh Mujtahid menurut Akalnya” dlam hal kehujjahannya para ulama

berbeda pendapat, ada yang menggunakan istihsan dan ada yang tidak mengakui adanya

istihsan

B. Pensyari'atan Ijtihad

Ijtihad merupakan salah satu pilar pokok tegaknya syari'at islam. Terdapat banyak dalil yang

menganjurkan untuk melaksanakannya, diantaranya adalah firman Allah QS. Al-nisâ' 105.

Artinya: Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa

kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah allah wahyukan

kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena

(membela) orang-orang yang khianat.

Pada ayat ini mengandung ketetapan ijtihad dengan menggunakan metode Qiyas. dan QS.

Al-rūm 21.

Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-

isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan

dijadikan-nya diantaramu rasa kasih dan sayang. sesungguhnya pada yang demikian itu

benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.

Dan dari al-sunah ialah hadits dari Amr ibn al-'Âsh , ia mendengar utusan Allah

bersabda :

Artinya: Jika seorang hakim membuat keputusan (menghukumi) dengan berijtihad kemudian

benar, maka bginya dua pahala, jika menghukumi dengan berijtihad dan ternyata salah,

maka baginya satu pahala. "HR. Bukhari dan Muslim".

Hadis ini secara implisit menunjukkan bahwa hasil ijtihad bisa benar dan bisa salah,

tapi baik yang benar maupun yang salah tetap mendapatkan pahala, dalam artian keduanya

mendapat legitimasi hukum dari syâri' (yang mempunyai syari'at). Oleh karena itu

perbedaan pendapat dari masing-masing imam yang telah mencapai kapasitas untuk

berijtihad harus disikapi dengan benar, jangan dijadikan perpecahan. Karena itu adalah

rahmat bagi kita. Nabi SAW bersabda "perbedaan pendapat umatku adalah suatu rahmat".

Dan juga hadits yang diriwayatkan Muazd bin Jabal ketika mendapat pembekalan oleh nabi

sebelum hijrah ke Yaman untuk menjadi qodhi (hakim) di daerah yaman. Ketika Nabi

bertanya, dengan apa kamu memberi keputusan? Muazd menjawab, dengan kitabullah (Al-

quran). Kemudian Nabi berkata, kalau kamu tidak menemukan didalam al-quran? Aku akan

menghukumi dengan sunah Rasul-Nya nabi berkata lagi, kalau dalam sunah tidak kamu

temukan? Aku akan berijtihad dengan ro'yu. Adapun pengertian ijtihad dengan ro'yu

dikalangan sahabat ialah sama artinya dengan ijtihad dalam istilah yang dipakai ushuliyin

(ulama' ahli usul).

C. Syarat-Syarat Menjadi Mujtahid

Dalam menentukan kriteria-kriteria seorang mujtahid, para mushonif (pengarang)

kitab berbeda-beda pendapat, namun dari ihktilaf tersebut dapat disimpulkan bahwa syarat-

syarat seseorang bisa dikatakan mujtahid ketika sudah menguasai delapan bidang

pengetahuan.

1. Faham dengan makna ayat-ayat Al-quran yang berkaitan dengan hukum-hukum syari'at, baik

secara lughot (etimologis) atau secara syara' (epistemologis), dan tidak disyaratkan

menghafal ayat al-ahkâm (ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum) apalagi ayat-ayat Al-

qurân secara keseluruan. Cukup hanya mampu merujuknya kembali ketika membutuhkan .

Adapun kadar-kadar ayat-ayat hukum yang dalam Al-qurân menurut Al-ghazali, Al-razi, dan

Ibn al-Arabi adalah 500 ayat, kemudian Al-Zarkasyi menjelaskan bahwa yang dikehendaki

oleh Al-ghazali, Al-razi, dan Ibn al-Arabi hanyalah ayat-ayat yang zhahirnya bermuatan

hukum praktis. Lebih dari itu banyak ayat yang apabila digali akan menghasilkan sintesa

hukum, tergantung pada kepiawaian dalam menganalisa dalil4

2. Mengetahui hadits-hadits tentang hukum, secara lughot ataupun syara' seperti yang telah

disebutkan dalam penalaran ayat-ayat Al-qurân. Tidak diharuskan menghafal semua hadits

yang berkaitan dengan hukum dan hadits secara keseluruan.

3. Menguasai persoalan-persoalan yang telah menjadi consensus ulama' terdahulu (ijma').

dalam hal ini, mujtahid tidak harus hafal permasalahan secara keseluruan yang telah

disepakai oleh ulama' (ijma'). Cukup hanya memastikan bahwa hukum yang dicetuskan tidak

melanggar kesepakatan ulama'.

4. Memahami qiyas serta dapat menggunakannya dalam usaha menghasilkan sebuah hukum

5. Menguasai disiplin ilmu logika (manthiq).

6. Menguasai bahasa Arab dan gramatikanya secara mendalam, seperti ilmu nahwu, sharaf,

balaghoh dan lain sebagainya.

7. Mengetahui nasikh (dalil nash yang menyalin hukum) dan mansukh (dalil nash yang disalin)

dari Al-qurân dan Al-sunah, sehingga tidak akan mencetuskan hukum tidak didasarkan pada

nash yang telah tersalin hukumnya. Untuk persyaratan ini Wahbah al-Zuhaili memberi solusi

untuk merujuk pada kitab-kitab yang menerangkan nasikh dan mansukh. Karena seorang

yang akan berijtihad tidak disyaratkan mengetahui secara keseluruan nasikh dan mansukh,

yang menjadi keharusan ialah mengetahui bahwa yang menja di pijakan hukumnya bukan

termasuk dalil- dalil yang di nasikh oleh nash yang lain.

8. Mengetahui kepribadian para râwi (yang meriwayatkan), sehingga dapat memastikan status

periwayatannya, kuat atau lemah, shahih atau tidak, diterima atau tidak. Dalam hal ini cukup

dengan merujuk pada pendapat imam-imam muhadditsin seperti imam Bukhâri dan Muslim.

Kedelapan syarat ini adalah yang diajukan oleh jumhur ulama', sebenarnya masih terdapat

sejumlah persyaratan yang masih diperdebatkan, diantaranya menguasai usul fiqh, syarat ini

diajukan Al-ghazali, Mengetahui maqâsid al-syari'ah (tujuan-tujuan syariat), persyaratan ini

diajukan oleh Al-syatibiy. Memiliki kedalaman pemahaman teologi (ilmu kalam), Abu Ishaq

meriwayatkan bahwa syarat ini diajukan oleh golongan Qadariyyah. Al-ustazd Abu Mansyur

mensyaratkan untuk mengetahui detil-detil cabangan fikih.

D. Stratifikasi Mujtahid

Ijtihad menempati derajat paling tinggi dalam bidang keilmuan syariat islam, sudah

pasti persyaratan untuk mencapainya sangat ketat. Adapun syarat yang telah kami paparkan

dimuka adalah untuk kualifikasi mujtahid mutlaq. Seiring dengan melemahnya gairah

keilmuan islami akhir-akhir ini, muncullah term ijtihad dengan sandaran-sandaran tertentu,

sebagaimana yang akan kami paparkan dibawah ini.

Pertama, mujtahid mustaqil, yaitu seorang yang mampu menggali hukum langsung dari Al-

qurân dan Al-hadits dengan menggunakan teori usul dan kaidah ciptaan sendiri. seperti

qiyas, ihtisan dan lainnya. Masuk dalam kategori ini yaitu para fuqahâ' sahabat, sebagian

tabi'in seperti Sa'id bin al-Musayyab dan Ibrahim al-Nakha'i, dan imam-imam madzhab

seperti Al-auzâ'i, Laits bin Sa'id, Abu Hanifah, Malik bin Anas, Al-syâfi'i, dan Ahmad bin

Hambal. Mereka adalah mujtahid mustaqil (independen) meskipun banyak pendapat

pendapat dari mereka tidak terkodifikasi secara khusus. Mujtahid mustaqil ini menurut Ibn

al-Qayyim sudah terputus semenjak abad ke 4 H. namun Al-suyuti menyangga asumsi

tersebut, ia mengklaim bahwa mujtahid mustaqil tetap wujud sampai akhir zaman dengan

disandarkan pada hadits:

Artinya: Sesungguhnya Allah akan membangkitkan untuk umat ini (islam) pada

penghujung setiap seratus tahun orang-orang yang akan memperbaharui permasalahan

agamanya. "HR. Abu Dâwud dari Abi Hurairah ra."

Kedua, mujtahid mutlaq ghairu mustaqil al-muntasib, yaitu seseorang yang padanya

telah ditemukan syarat-syarat untuk berijtihad, namun belum mampu menciptakan kaidah-

kaidah sendiri dan masih berpegang pada kaidah dan usul imam mazdhabnya. Masuk dalam

klasifikasi ini dari kalangan Hanafiyah yaitu Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan, dan Zâfr, dari

Mâlikiyah seperti Abd al-Rahman bin Qâsim, dan dari Syafi'iyah seperti Al-Buwaithi,

Za'farâni, dan Al-Muzani.

Ketiga, mujtahid muqoyyad al-mazdhab atau mujtahid takhrij, yaitu seseorang yang

menggali hukum dari persoalan-persoalan yang belum pernah dibahas oleh imam

mujtahidnya. Dengan memakai kaidah-kaidah dan usul imamnya. Seperti Abu Ishaq al-

Syairâzi dan Al-Mawardi.

Keempat, mujtahid tarjih, yaitu seseorang yang mampu melakukan tarjih (penguatan)

terhadap pendapat imam mazdhab dan para muridnya. Seperti Hasan al-Quduriy, Al-

Marghinâni pengarang kitab Al-hidayah dari kalangan Hanafiyah.

Kelima, mujtahid fatwa, yaitu seseorang yang yang peduli akan kelangsungan

mazdhab imamnya, turut melestarikan, mengutip dan mengkaji pendapat imamnya, akan

tetapi belum bisa men-tarjih dan memberikan penilaian kuat dan lemah.

E. Metode Ijtihad

Langkah awal yang harus dilakukan ketika seorang mujtahid dihadapkan pada suatu

permasalahan ialah melakukan akumulasi macam-macam disiplin ilmu yang berkaitan

dengan obyek permasalahan, seperti gramatika arab, ayat-ayat Al-qurân, hadits-hadits Nabi,

pendapat ulama' terdahulu, dan metode-metode qiyas. Kemudian, tanpa terikat dengan

fanatisme mazdhab, dilakukan analisa dengan langkah-langkah sebagai berikut :

Pertama-tama seorang mujtahid harus terlebih dahulu meneliti nash-nash Al-qurân.

Tatkala ditemukan ayat-ayat yang menjelaskannya baik secara nash atau zhahir, maka itulah

yang harus dijadikan sebagai sandaran hukumnya. Dan ketika tidak ditemukan didalam Al-

qurân, maka beranjak pada penelitian sunah Rasulullah, meliputi perkataan, tindakan atau

penetapan dan persetujuan Rasulullah. Bila ditemukan penjelasan didalamnya, maka itulah

yang harus di adopsi dan dijadikan sebagai keputusan hukum. Kemudian meneliti hasil-hasil

ijma' yang valid dari para mujtahid terdahulu. Lalu beralih pada qiyas, dengan menggali illat

hukumnya. Sesuai dengan ijtihadnya, diterapkanlah illat-illat tersebut sesuai dengan masâlik

al-illat-nya. secara ringkas inilah pilar-pilar penunjang ijtihad, yakni Al-qurân, hadits, ijma'

dan qiyas, sebagaimana dikemukakan oleh imam Al-syafi'i. sebagian ulama' menambahkan

adanya pengamalan secara kontekstual sesuai dengan ruh syari'at islam.

Adapun metode-metode yang digunakan oleh para mujtahid secara khusus ialah qiyas,

maslahah mursalah, urf' (adat), istishab, ihtisan, syar'u man qoblana, qoul sahabat, dan

lainnya.

F. Terbuka Dan Tertutupnya Pintu Ijtihad

Beberapa ulama banyak yang telah berkomentar mengenai terbuka dan tertutupnya pintu

ijtihad. Pendapat mereka dapat kita lihat seperti dibawah ini dengan menjawab beberapa

pertanyaan tentang keingin tahuan kita terhadap ijtihad.

1. Benarkah pintu ijtihad masih terbuka?

Permasalahan ini sangat menarik untuk kita bahas, karena sebagaian ulama telah

mengklaim bahwa pintu ijtihad telah tertutup dan untuk saat ini seorang mujtahid sudah

tidak bisa lagi ditemukan. Pendapat ini muncul karena di zaman sekarang ini, sebagaimana

penuturan Syeikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani dipicu karena banyaknya orang yang

mengklaim dirinya sebagai seorang mujtahid. Bahkan yang lebih heran lagi, mereka

mengklaim bahwa dirinya sama seperti Imam Syafi'I, Malik, Ahmad dan Abu Hanifah al-

Nu'man. Padahal syarat-syarat untuk berijtihad sebagaimana yang telah diuraikan oleh para

ulama tidak terpenuhi dalam diri mereka.

Fatwa tertutupnya pintu itihad ini dilontarkan oleh beberapa ulama, di antaranya

adalah al-Imam Ibnu HaJar al-Haitamy, al-Imam al-Sya'rani, al-Imam al-Manawi dan yang

lainnya. Mereka mengatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup sejak bebarapa ratus tahun

yang lalu berdasarkan kesepakatan para ulama dari berbagai madzhab. Imam al-Manawi

dalam komentarnya atas kitab al-Jami' al-Shoghir mengatakan bahwa al-Allamah al-Shihab

Ibnu Hajar al-Haitamy berkata: "Ketika al-Imam al-Suyuthi mendakwakkan ijtihad, maka

orang-orang yang semasa dengan beliau bangkit untuk menulis dan menanyakan kepada

beliau beberapa pertanyaan tentang beberapa masalah yang diglobalkan oleh para murid

imam madzhab menjadi dua versi.

Mereka meminta Imam Suyuthi, jika beliau merupakan mujtahid yang paling rendah

yakni mujtahid fatwa untuk mentarjih dari beberapa versi pendapat tersebut mana

pendapat yang lebih unggul berdasarkan dalil dan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh

para mujtahid. Maka Imam suyuthi mengembalikan pertanyan-pertanyaan itu tanpa menulis

sesuatu. Beliau mengemukakan alasan bahwa dirinya mempunyai kesibukan yang

menghalangi beliau untuk meneliti masalah-masalah itu." Selanjutnya Ibnu Hajar berkata:

"Renungkanlah kesulitan ijtihad pada tingkatan ini yakni ijtihad fatwa yang merupakan

tingkat ijtihad yang paling rendah, sehingga jelaslah bagimu bahwa orang yang

mendakwakkan ijtihad lebih-lebih ijtihad mutlak sebenarnya pada hakekatnya mereka

sedang dalam kebingungan dan kerancauan dalam cara berfikirnya.

Bahkan Ibnu Sholah dan para pengikutnya mengatakan bahwa Ijtihad telah tertutup

sejak tiga ratus tahun yang lalu." Jadi kalau kita hitung-hitung, pintu ijtihad telah tertutup

sejak sekitar abad ke-3 H, karena Imam Ibnu Sholah hidup pada abad ke-6 H. Imam Ibnu

Sholah juga mengutip pernyataan dari sebagian ulama ushul bahwasanya setelah masa

Imam Syafi'i sudah tidak terdapat lagi seorang Mujtahid Mutstaqil. Lebih lanjut Ibnu Hajar

mengatakan bahwa ketika para imam terjadi pertentangan yang panjang mengenai

kedudukan Imam Haramain dan Hujjataul Islam al-Ghazali apakah keduanya lebih utama

dikatakan sebagai Ashahbul Wujuh? Lalu bagaimana dengan selain mereka berdua? Para

imam yang berkomentar tentang Imam al-Ruyani (pengarang kitab al-Bahr) mengatakan

bahwasanya beliau bukanlah termasuk dalam kategori Ashhabul Wujuh, padahal beliau

mengatakan seandainya teks-teks tulisan kitab Imam Syafi'i hilang maka sungguh akan aku

diktekan dari dadaku. Dan ketika mereka sebagai para pembesar madzhab Syafi'i tidak layak

untuk menempati derajat ijtihad al-madzhab, maka bagaimana diperkenankan bagi orang

yang tidak faham sebagian besar istilah mereka mendakwakan diri lebih tinggi dari ijtihad al-

madzhab (yakni ijtihad mutlak). Maha suci Engkau ya Allah, ini adalah kebohongan yang

besar.

Di dalam kitab al-Anwar, Imam Rafi'I al-Syafi'I (w. 623) mengatakan bahwa para ulama

sepertinya telah sepakat bahwa pada hari ini tidak ada seorang mujtahid. Ibnu Abi al-Dam

setelah menguraikan syarat-syarat ijtihad mengatakan bahwa syarat-syarat ini jarang sekali

ditemukan pada seorang ulama di zaman kita ini, bahkan sudah tidak ditemukan lagi pada

zaman ini seorang mujtahid mutlak, bahkan mujtahid madzhab sekalipun. Imam al-Qafal

ketika menjelaskan tentang masalah fatwa menyatakan bahwa orang yang telah memenuhi

persyaratn ijtihad sudah tidak ditemukan lagi pada zamanya.

Akan tetapi nampaknya klaim yang mengatakan bahwa tertutupnya pintu ijtihad telah

disepakati oleh para ulama dari berbagai madzhab perlu untuk kita teliti. Buktinya para

ulama dari Madzhab Hanbali menyatakan bahwa suatu zaman tidak boleh sepi dari seorang

mujtahid baik itu mutlak maupuan muqoyyad. Hal itu sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

"Sekelompok umatku tidak akan pernah berhenti menampakkan kebenaran sehingga datang

urusan Allah SWT (hari kiamat)." [H.R. Muslim]. Mereka juga mengatakan bahwa ijtihad

merupakan fardhu kifayah sehingga ketiadaanya menyebabkan kaum muslimin untuk

sepakat pada sesuatu yang bathil. Bahkan mengenai hal itu, Ibnul Qayyim mengatakan

bahwa mereka (para mujtahid) adalah orang-orang yang telah disabdakan oleh Rasulullah

SAW: "Sesungguhnya Allah SWT akan mengutus bagi umat ini setiap seratus tahun orang

untuk memperbaharui urusan agama mereka." [H.R. Abu Dawud dan yang lainnya]. Mereka

adalah orang-orang yang telah diungkapkan oleh Sayidina Ali RA bahwa dunia ini tidak akan

sepi dari orang yang menegakkan hujjah Allah SWT. Para ulama dari madzhab Hanbali

menyatakan bahwa pintu ijtihad dengan berbagai tingkatannya masih terbuka.

2. Pintu ijtihad tidak pernah tertutup

Ada yang mengatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup sejak sekitar abad ke-2 atau

ke-3 H. jika kita mengatakan bahwa semua pintu ijtihad dengan berbagai macam tingkatan

telah tertutup sejak masa itu, maka hal itu tidak bisa diterima. Sejarah telah membuktikan

bahwa setiap masa tidak akan pernah sepi dari mujaddid. Para ulama mengatakan bahwa

mujaddid-mujaddid itu adalah para mujtahid. Kita ketahui pada abad pertama muncul Umar

bin Abdul Azis, sebagaimana pernyataan al-Imam al-Dzahabi, beliau telah mencapai

tingkatan ijtihad. Kemudian pada abad ke-2 muncul Imam Syafi'i, lalu disusul Ibnu Suraij

pada abad ke-3, beliau termasuk pembesar mujtahid dan termasuk dalam kelompok Ashhab

al-Wujuh, sedangkan pada abad ke-4 terdapat Imam Abu Thayib Sahl bin Muhammad al-

Sha'aluki atau Syeikh Abu Hamid sebagai imam penduduk Irak. Keduanya termasuk mujtahid

dan Ashhabal-Wujuh. Selanjutnya pada abad ke-5 terdapat Imam al-Ghazali, sebagaimana

fatwa Ibnu Sholah, beliau termasuk mujtahid. Lalu pada abad ke-6 terdapat Imam Rafi'i,

pada abad ke-7 Syeikh Ibnu Daqiq al-'Id, abad ke-8 Imam al-Bulqini. Kemudian pada generasi

selanjutnya muncul Imam Suyuthi beliau mendakwakan diri telah mencapai tingkat

mujtahid, beliau berkata: "Telah sempurna pada diriku kriteria untuk berijtihad dengan

berkat pertolongan Allah SWT, seandainya aku menghendaki untuk menulis satu karya

tentang suatu masalah yang disertai dengan komentar-komentar, dalil-dali baik secara naqli

maupun qiyas dan perbedaan pendapat di antara madzhab, maka sungguh aku akan mampu

untuk melakukannya berkat anugerah Allah SWT."

Dari kedua pendapat yang telah dikemukakan di atas sebenarnya kita bisa mengambil

jalan tengah dari keduanya. Ulama yang memfatwakan bahwa ijtihad telah tertutup dan

sudah tidak ada lagi mujtahid pada zaman ini yang dimaksud mereka adalah ijtihad dan

mujtahid muthlak baik yang mutstaqil maupun ghairu mutstaqil. Sedangkan para ulama yang

mengatakan bahwa pintu ijtihad masih terbuka dan setiap masa tidak boleh sepi dari

seorang mujtahid adalah mujtahid yang tingkatannya berada di bawah mujtahid mutlak. Hal

itu dapat kita tinjau dari beberapa hal:

a. Para Ulama yang dianggap sebagai mujtahid mutlak oleh kelompok kedua (yang

berpendapat bahwa pintu ijtihad dengan segala macamnya masih terbuka) telah

menyatakan sendiri bahwa mujtahid mutlak pada zaman mereka sudah tidak ada lagi. Hal itu

sebagaimana pernyataan Imam al-Ghazali sendiri bahwa pada zaman beliau sudah tidak

terdapat seorang mujtahid mutlak. Dalam kitabnya al-Wasith beliau berkata: "Syarat-syarat

ini yakni syarat ijtihad (ijtihad mutlak) yang layak disandang oleh seorang Qadli sungguh sulit

ditemukan pada zaman kita sekarang ini." Selain Imam Ghazali, Imam Rafi'i dan Nawawi juga

menyatakan hal yang sama bahwa para ulama sepertinya telah sepakat bahwa pada masa ini

sudah tidak ada lagi seorang mujtahid (mujtahid mutlak).

b. Imam Suyuthi sendiri yang mengklaim dirinya sebagai mujtahid mutlak ternyata tidak bisa

memenuhi persyaratan mujtahid mutlak yang beliau ajukan sendiri. Mengenai syarat ijtihad

Imam Suyuthi mengajukan sekitar lima belas syarat yang harus dipenuhi. Pada syarat kedua

belas beliau menyebutkan bahwa syarat bagi seorang mujtahid mutlak haruslah menguasai

ilmu hisab. Sedangkan beliau sendiri mengakui bahwa beliau tidak menguasai ilmu hisab. Hal

itu sebagaimana penuturan beliau sendiri: "Ilmu hisab (ilmu hitung) adalah ilmu yang sangat

sulit bagiku dan paling jauh dari penalaranku."

Dari uraian di atas dapat kita fahami, betapa sulit dan rumitnya persyaratan yang

harus dipenuhi oleh seorang mujtahid sehingga ia diperbolehkan untuk berijtihad. Sehingga

setiap orang tidak dibenarkan untuk mengkliam dirinya telah berijtihad sedangkan ia sendiri

tidak mnguasai alat-alat yang digunakan sebagai media untuk menggali hukum dari al-Kitab

dan al-Sunnah.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Ijtihad (اجتهاد) adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa

dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu

perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal

sehat dan pertimbangan matang dan orang yang berijtihat disebut mujtahid.

2. Tidak semua orang yang memahami Agama disebut mujtihad, ada syarat/kriteria yang

menyatakan sah nya menjadi seorang mujtihad.

3. Dalam menentukan terbuka atau tertutupnya pintu ijtihad, sebagian ulama menyatakan

bahwa pintu ijtihad telah tertutup dan sebagian lagi menyatakan pintu ijtihad masih terbuka

meski berbeda dalam tingkatanya.

B. Saran

Diharapkan kepada dosen dan pembaca untuk dapat memberikan kritik dan saran yang

bersifat membangun demi perbaikan makalah selanjutnya menjadi lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/Ijtihad,

Sukabul, http://kabulkhan.blogspot.com/2010/02/ijtihad-dalam-islam-makalah-disusun-dan.html

Posted 22nd November 2012 by junaidi fina

9.

Nov

22

makalah

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Munculnya berbagai masalah di zaman yang modern ini menyebabkan ijtihad dalam

menentukan hukum merupakan suatu hal yang manjadi suatu keharusan untuk dilakukan.

Permasalahannya, di zaman sekarang, siapa yang berhak untuk berijtihad? Apakah semua

orang boleh berijtihad untuk menentukan hukum syar'I

Al-Qur'an telah mengajarkan agar umat Islam berijtihad, berupaya menarik

kesimpulan hukum serta menerima pengarahan para ulama dan ahli-ahli pikir mereka. Allah

SWT berfirman : "Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan

ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada

Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui

kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah

karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali

sebahagian kecil saja (di antaramu)." [Q.S. al-Nisa':83]. Ayat ini jelas berisi anjuran yang

cukup tegas, untuk beristinbath dan berijtihad, yakni mengambil kesimpulan dan berusaha

mencari hukum dengan mengadakan perbandingan dan lain sebagainya.

Sejarah juga telah menceritakan kapada kita, bagaimana Rasulullah SAW melatih para

sahabatnya dalam memutuskan suatu hukum dan mendorong mereka agar mengerahkan

segala kemampuan daya fikirnya untuk berijtihad. Beliau menenangkan hati para sahabat

agar tidak ragu atau takut salah dalam usaha ijtihadnya. Karena seorang mujtahid yang

benar dalam ijtihadnya akan diberi dua pahala. Dan bagi yang salah dalam ijtihadnya akan

memperoleh satu pahala. Allah SWT berfirman: "Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa

yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan

adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." [QS.Al-Ahzab:5]

Untuk lebih jelasnya mengenai ijtihad akan dibahas pada bab selanjutnya.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah itu ijtihad?

2. Bagaimanakah syarat menjadi mujtahid?

3. Apakah pintu ijtihad masih terbuka atau sudah tertutup?

C. Tujuan Penulisan

Untuk mengetahui pengertian ijtihad, syarat menjadi mujtahid dan memahami pintu

ijtihad.

D. Metode Penulisan

Metode penulisan makalah ini adalah kajian kepustakaan dari media atau library

research.

BAB II

TERBUKA DAN TERTUTUPNYA PINTU IJTIHAD

A. Pengertian Ijtihad

Ijtihad (اجتهاد) adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa

dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu

perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal

sehat dan pertimbangan matang.1

Namun pada perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya

dilakukan para ahli agama Islam .

Tujuan ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup

dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.

Secara harfiah, Ijtihad yang berasal dari kata kerja jahada dapat diartikan dengan kerja

keras, sungguh-sungguh, dan pengetahuan mengenai hukum atau yurisprudensi. Secara

terminologi ijtihad diartikan sebagai mengerahkan segala kemampuan untuk mendapatkan

pengetahuan atas hukum-hukum syara' dengan jalan menggali dari sumbernya (al-

ishtinbâth) yang berupa Al-quran Al-sunah. Adapun isim fâ'il (pelaku/orang yang melakukan)

dari ijtihad adalah mujtahid.2

Ijithad telah berkembang sejak zaman Rasulullah SAW fiqih mengandung “pengertian

tentag hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf”3 maka Ijtihad akan terus

berkembang perkembangan ini berkaitan dengan berbuatan manusia yang selalu berubah-

ubah baik bentuk maupun macamnya, dalam hubungan ini, menurut Asy syahstani bahwa

keadian dan kasus dalam peribadatan dan muamalah (tindakan manusia) secara pasti dapat

diketahui bahwa tidak setiap kasus ada nashnya apabila nashnya sudah berakhir sedangkan

kejadiannya berlansung terus tanpa batas ketika sesuatu yang tidak terbatas maka qiyas

wajib dipakai sehingga setiap kasus ada ijtihad mengenainya.

Menurut al Gahzali dalam kitabnya Al Mustasfa jus I : 137 “Istihsan adalah semua hal

yang dianggap baik oleh Mujtahid menurut Akalnya” dlam hal kehujjahannya para ulama

berbeda pendapat, ada yang menggunakan istihsan dan ada yang tidak mengakui adanya

istihsan

B. Pensyari'atan Ijtihad

Ijtihad merupakan salah satu pilar pokok tegaknya syari'at islam. Terdapat banyak dalil yang

menganjurkan untuk melaksanakannya, diantaranya adalah firman Allah QS. Al-nisâ' 105.

Artinya: Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa

kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah allah wahyukan

kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena

(membela) orang-orang yang khianat.

Pada ayat ini mengandung ketetapan ijtihad dengan menggunakan metode Qiyas. dan QS.

Al-rūm 21.

Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-

isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan

dijadikan-nya diantaramu rasa kasih dan sayang. sesungguhnya pada yang demikian itu

benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.

Dan dari al-sunah ialah hadits dari Amr ibn al-'Âsh , ia mendengar utusan Allah

bersabda :

Artinya: Jika seorang hakim membuat keputusan (menghukumi) dengan berijtihad kemudian

benar, maka bginya dua pahala, jika menghukumi dengan berijtihad dan ternyata salah,

maka baginya satu pahala. "HR. Bukhari dan Muslim".

Hadis ini secara implisit menunjukkan bahwa hasil ijtihad bisa benar dan bisa salah,

tapi baik yang benar maupun yang salah tetap mendapatkan pahala, dalam artian keduanya

mendapat legitimasi hukum dari syâri' (yang mempunyai syari'at). Oleh karena itu

perbedaan pendapat dari masing-masing imam yang telah mencapai kapasitas untuk

berijtihad harus disikapi dengan benar, jangan dijadikan perpecahan. Karena itu adalah

rahmat bagi kita. Nabi SAW bersabda "perbedaan pendapat umatku adalah suatu rahmat".

Dan juga hadits yang diriwayatkan Muazd bin Jabal ketika mendapat pembekalan oleh nabi

sebelum hijrah ke Yaman untuk menjadi qodhi (hakim) di daerah yaman. Ketika Nabi

bertanya, dengan apa kamu memberi keputusan? Muazd menjawab, dengan kitabullah (Al-

quran). Kemudian Nabi berkata, kalau kamu tidak menemukan didalam al-quran? Aku akan

menghukumi dengan sunah Rasul-Nya nabi berkata lagi, kalau dalam sunah tidak kamu

temukan? Aku akan berijtihad dengan ro'yu. Adapun pengertian ijtihad dengan ro'yu

dikalangan sahabat ialah sama artinya dengan ijtihad dalam istilah yang dipakai ushuliyin

(ulama' ahli usul).

C. Syarat-Syarat Menjadi Mujtahid

Dalam menentukan kriteria-kriteria seorang mujtahid, para mushonif (pengarang)

kitab berbeda-beda pendapat, namun dari ihktilaf tersebut dapat disimpulkan bahwa syarat-

syarat seseorang bisa dikatakan mujtahid ketika sudah menguasai delapan bidang

pengetahuan.

1. Faham dengan makna ayat-ayat Al-quran yang berkaitan dengan hukum-hukum syari'at, baik

secara lughot (etimologis) atau secara syara' (epistemologis), dan tidak disyaratkan

menghafal ayat al-ahkâm (ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum) apalagi ayat-ayat Al-

qurân secara keseluruan. Cukup hanya mampu merujuknya kembali ketika membutuhkan .

Adapun kadar-kadar ayat-ayat hukum yang dalam Al-qurân menurut Al-ghazali, Al-razi, dan

Ibn al-Arabi adalah 500 ayat, kemudian Al-Zarkasyi menjelaskan bahwa yang dikehendaki

oleh Al-ghazali, Al-razi, dan Ibn al-Arabi hanyalah ayat-ayat yang zhahirnya bermuatan

hukum praktis. Lebih dari itu banyak ayat yang apabila digali akan menghasilkan sintesa

hukum, tergantung pada kepiawaian dalam menganalisa dalil4

2. Mengetahui hadits-hadits tentang hukum, secara lughot ataupun syara' seperti yang telah

disebutkan dalam penalaran ayat-ayat Al-qurân. Tidak diharuskan menghafal semua hadits

yang berkaitan dengan hukum dan hadits secara keseluruan.

3. Menguasai persoalan-persoalan yang telah menjadi consensus ulama' terdahulu (ijma').

dalam hal ini, mujtahid tidak harus hafal permasalahan secara keseluruan yang telah

disepakai oleh ulama' (ijma'). Cukup hanya memastikan bahwa hukum yang dicetuskan tidak

melanggar kesepakatan ulama'.

4. Memahami qiyas serta dapat menggunakannya dalam usaha menghasilkan sebuah hukum

5. Menguasai disiplin ilmu logika (manthiq).

6. Menguasai bahasa Arab dan gramatikanya secara mendalam, seperti ilmu nahwu, sharaf,

balaghoh dan lain sebagainya.

7. Mengetahui nasikh (dalil nash yang menyalin hukum) dan mansukh (dalil nash yang disalin)

dari Al-qurân dan Al-sunah, sehingga tidak akan mencetuskan hukum tidak didasarkan pada

nash yang telah tersalin hukumnya. Untuk persyaratan ini Wahbah al-Zuhaili memberi solusi

untuk merujuk pada kitab-kitab yang menerangkan nasikh dan mansukh. Karena seorang

yang akan berijtihad tidak disyaratkan mengetahui secara keseluruan nasikh dan mansukh,

yang menjadi keharusan ialah mengetahui bahwa yang menja di pijakan hukumnya bukan

termasuk dalil- dalil yang di nasikh oleh nash yang lain.

8. Mengetahui kepribadian para râwi (yang meriwayatkan), sehingga dapat memastikan status

periwayatannya, kuat atau lemah, shahih atau tidak, diterima atau tidak. Dalam hal ini cukup

dengan merujuk pada pendapat imam-imam muhadditsin seperti imam Bukhâri dan Muslim.

Kedelapan syarat ini adalah yang diajukan oleh jumhur ulama', sebenarnya masih terdapat

sejumlah persyaratan yang masih diperdebatkan, diantaranya menguasai usul fiqh, syarat ini

diajukan Al-ghazali, Mengetahui maqâsid al-syari'ah (tujuan-tujuan syariat), persyaratan ini

diajukan oleh Al-syatibiy. Memiliki kedalaman pemahaman teologi (ilmu kalam), Abu Ishaq

meriwayatkan bahwa syarat ini diajukan oleh golongan Qadariyyah. Al-ustazd Abu Mansyur

mensyaratkan untuk mengetahui detil-detil cabangan fikih.

D. Stratifikasi Mujtahid

Ijtihad menempati derajat paling tinggi dalam bidang keilmuan syariat islam, sudah

pasti persyaratan untuk mencapainya sangat ketat. Adapun syarat yang telah kami paparkan

dimuka adalah untuk kualifikasi mujtahid mutlaq. Seiring dengan melemahnya gairah

keilmuan islami akhir-akhir ini, muncullah term ijtihad dengan sandaran-sandaran tertentu,

sebagaimana yang akan kami paparkan dibawah ini.

Pertama, mujtahid mustaqil, yaitu seorang yang mampu menggali hukum langsung dari Al-

qurân dan Al-hadits dengan menggunakan teori usul dan kaidah ciptaan sendiri. seperti

qiyas, ihtisan dan lainnya. Masuk dalam kategori ini yaitu para fuqahâ' sahabat, sebagian

tabi'in seperti Sa'id bin al-Musayyab dan Ibrahim al-Nakha'i, dan imam-imam madzhab

seperti Al-auzâ'i, Laits bin Sa'id, Abu Hanifah, Malik bin Anas, Al-syâfi'i, dan Ahmad bin

Hambal. Mereka adalah mujtahid mustaqil (independen) meskipun banyak pendapat

pendapat dari mereka tidak terkodifikasi secara khusus. Mujtahid mustaqil ini menurut Ibn

al-Qayyim sudah terputus semenjak abad ke 4 H. namun Al-suyuti menyangga asumsi

tersebut, ia mengklaim bahwa mujtahid mustaqil tetap wujud sampai akhir zaman dengan

disandarkan pada hadits:

Artinya: Sesungguhnya Allah akan membangkitkan untuk umat ini (islam) pada

penghujung setiap seratus tahun orang-orang yang akan memperbaharui permasalahan

agamanya. "HR. Abu Dâwud dari Abi Hurairah ra."

Kedua, mujtahid mutlaq ghairu mustaqil al-muntasib, yaitu seseorang yang padanya

telah ditemukan syarat-syarat untuk berijtihad, namun belum mampu menciptakan kaidah-

kaidah sendiri dan masih berpegang pada kaidah dan usul imam mazdhabnya. Masuk dalam

klasifikasi ini dari kalangan Hanafiyah yaitu Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan, dan Zâfr, dari

Mâlikiyah seperti Abd al-Rahman bin Qâsim, dan dari Syafi'iyah seperti Al-Buwaithi,

Za'farâni, dan Al-Muzani.

Ketiga, mujtahid muqoyyad al-mazdhab atau mujtahid takhrij, yaitu seseorang yang

menggali hukum dari persoalan-persoalan yang belum pernah dibahas oleh imam

mujtahidnya. Dengan memakai kaidah-kaidah dan usul imamnya. Seperti Abu Ishaq al-

Syairâzi dan Al-Mawardi.

Keempat, mujtahid tarjih, yaitu seseorang yang mampu melakukan tarjih (penguatan)

terhadap pendapat imam mazdhab dan para muridnya. Seperti Hasan al-Quduriy, Al-

Marghinâni pengarang kitab Al-hidayah dari kalangan Hanafiyah.

Kelima, mujtahid fatwa, yaitu seseorang yang yang peduli akan kelangsungan

mazdhab imamnya, turut melestarikan, mengutip dan mengkaji pendapat imamnya, akan

tetapi belum bisa men-tarjih dan memberikan penilaian kuat dan lemah.

E. Metode Ijtihad

Langkah awal yang harus dilakukan ketika seorang mujtahid dihadapkan pada suatu

permasalahan ialah melakukan akumulasi macam-macam disiplin ilmu yang berkaitan

dengan obyek permasalahan, seperti gramatika arab, ayat-ayat Al-qurân, hadits-hadits Nabi,

pendapat ulama' terdahulu, dan metode-metode qiyas. Kemudian, tanpa terikat dengan

fanatisme mazdhab, dilakukan analisa dengan langkah-langkah sebagai berikut :

Pertama-tama seorang mujtahid harus terlebih dahulu meneliti nash-nash Al-qurân.

Tatkala ditemukan ayat-ayat yang menjelaskannya baik secara nash atau zhahir, maka itulah

yang harus dijadikan sebagai sandaran hukumnya. Dan ketika tidak ditemukan didalam Al-

qurân, maka beranjak pada penelitian sunah Rasulullah, meliputi perkataan, tindakan atau

penetapan dan persetujuan Rasulullah. Bila ditemukan penjelasan didalamnya, maka itulah

yang harus di adopsi dan dijadikan sebagai keputusan hukum. Kemudian meneliti hasil-hasil

ijma' yang valid dari para mujtahid terdahulu. Lalu beralih pada qiyas, dengan menggali illat

hukumnya. Sesuai dengan ijtihadnya, diterapkanlah illat-illat tersebut sesuai dengan masâlik

al-illat-nya. secara ringkas inilah pilar-pilar penunjang ijtihad, yakni Al-qurân, hadits, ijma'

dan qiyas, sebagaimana dikemukakan oleh imam Al-syafi'i. sebagian ulama' menambahkan

adanya pengamalan secara kontekstual sesuai dengan ruh syari'at islam.

Adapun metode-metode yang digunakan oleh para mujtahid secara khusus ialah qiyas,

maslahah mursalah, urf' (adat), istishab, ihtisan, syar'u man qoblana, qoul sahabat, dan

lainnya.

F. Terbuka Dan Tertutupnya Pintu Ijtihad

Beberapa ulama banyak yang telah berkomentar mengenai terbuka dan tertutupnya pintu

ijtihad. Pendapat mereka dapat kita lihat seperti dibawah ini dengan menjawab beberapa

pertanyaan tentang keingin tahuan kita terhadap ijtihad.

1. Benarkah pintu ijtihad masih terbuka?

Permasalahan ini sangat menarik untuk kita bahas, karena sebagaian ulama telah

mengklaim bahwa pintu ijtihad telah tertutup dan untuk saat ini seorang mujtahid sudah

tidak bisa lagi ditemukan. Pendapat ini muncul karena di zaman sekarang ini, sebagaimana

penuturan Syeikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani dipicu karena banyaknya orang yang

mengklaim dirinya sebagai seorang mujtahid. Bahkan yang lebih heran lagi, mereka

mengklaim bahwa dirinya sama seperti Imam Syafi'I, Malik, Ahmad dan Abu Hanifah al-

Nu'man. Padahal syarat-syarat untuk berijtihad sebagaimana yang telah diuraikan oleh para

ulama tidak terpenuhi dalam diri mereka.

Fatwa tertutupnya pintu itihad ini dilontarkan oleh beberapa ulama, di antaranya

adalah al-Imam Ibnu HaJar al-Haitamy, al-Imam al-Sya'rani, al-Imam al-Manawi dan yang

lainnya. Mereka mengatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup sejak bebarapa ratus tahun

yang lalu berdasarkan kesepakatan para ulama dari berbagai madzhab. Imam al-Manawi

dalam komentarnya atas kitab al-Jami' al-Shoghir mengatakan bahwa al-Allamah al-Shihab

Ibnu Hajar al-Haitamy berkata: "Ketika al-Imam al-Suyuthi mendakwakkan ijtihad, maka

orang-orang yang semasa dengan beliau bangkit untuk menulis dan menanyakan kepada

beliau beberapa pertanyaan tentang beberapa masalah yang diglobalkan oleh para murid

imam madzhab menjadi dua versi.

Mereka meminta Imam Suyuthi, jika beliau merupakan mujtahid yang paling rendah

yakni mujtahid fatwa untuk mentarjih dari beberapa versi pendapat tersebut mana

pendapat yang lebih unggul berdasarkan dalil dan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh

para mujtahid. Maka Imam suyuthi mengembalikan pertanyan-pertanyaan itu tanpa menulis

sesuatu. Beliau mengemukakan alasan bahwa dirinya mempunyai kesibukan yang

menghalangi beliau untuk meneliti masalah-masalah itu." Selanjutnya Ibnu Hajar berkata:

"Renungkanlah kesulitan ijtihad pada tingkatan ini yakni ijtihad fatwa yang merupakan

tingkat ijtihad yang paling rendah, sehingga jelaslah bagimu bahwa orang yang

mendakwakkan ijtihad lebih-lebih ijtihad mutlak sebenarnya pada hakekatnya mereka

sedang dalam kebingungan dan kerancauan dalam cara berfikirnya.

Bahkan Ibnu Sholah dan para pengikutnya mengatakan bahwa Ijtihad telah tertutup

sejak tiga ratus tahun yang lalu." Jadi kalau kita hitung-hitung, pintu ijtihad telah tertutup

sejak sekitar abad ke-3 H, karena Imam Ibnu Sholah hidup pada abad ke-6 H. Imam Ibnu

Sholah juga mengutip pernyataan dari sebagian ulama ushul bahwasanya setelah masa

Imam Syafi'i sudah tidak terdapat lagi seorang Mujtahid Mutstaqil. Lebih lanjut Ibnu Hajar

mengatakan bahwa ketika para imam terjadi pertentangan yang panjang mengenai

kedudukan Imam Haramain dan Hujjataul Islam al-Ghazali apakah keduanya lebih utama

dikatakan sebagai Ashahbul Wujuh? Lalu bagaimana dengan selain mereka berdua? Para

imam yang berkomentar tentang Imam al-Ruyani (pengarang kitab al-Bahr) mengatakan

bahwasanya beliau bukanlah termasuk dalam kategori Ashhabul Wujuh, padahal beliau

mengatakan seandainya teks-teks tulisan kitab Imam Syafi'i hilang maka sungguh akan aku

diktekan dari dadaku. Dan ketika mereka sebagai para pembesar madzhab Syafi'i tidak layak

untuk menempati derajat ijtihad al-madzhab, maka bagaimana diperkenankan bagi orang

yang tidak faham sebagian besar istilah mereka mendakwakan diri lebih tinggi dari ijtihad al-

madzhab (yakni ijtihad mutlak). Maha suci Engkau ya Allah, ini adalah kebohongan yang

besar.

Di dalam kitab al-Anwar, Imam Rafi'I al-Syafi'I (w. 623) mengatakan bahwa para ulama

sepertinya telah sepakat bahwa pada hari ini tidak ada seorang mujtahid. Ibnu Abi al-Dam

setelah menguraikan syarat-syarat ijtihad mengatakan bahwa syarat-syarat ini jarang sekali

ditemukan pada seorang ulama di zaman kita ini, bahkan sudah tidak ditemukan lagi pada

zaman ini seorang mujtahid mutlak, bahkan mujtahid madzhab sekalipun. Imam al-Qafal

ketika menjelaskan tentang masalah fatwa menyatakan bahwa orang yang telah memenuhi

persyaratn ijtihad sudah tidak ditemukan lagi pada zamanya.

Akan tetapi nampaknya klaim yang mengatakan bahwa tertutupnya pintu ijtihad telah

disepakati oleh para ulama dari berbagai madzhab perlu untuk kita teliti. Buktinya para

ulama dari Madzhab Hanbali menyatakan bahwa suatu zaman tidak boleh sepi dari seorang

mujtahid baik itu mutlak maupuan muqoyyad. Hal itu sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

"Sekelompok umatku tidak akan pernah berhenti menampakkan kebenaran sehingga datang

urusan Allah SWT (hari kiamat)." [H.R. Muslim]. Mereka juga mengatakan bahwa ijtihad

merupakan fardhu kifayah sehingga ketiadaanya menyebabkan kaum muslimin untuk

sepakat pada sesuatu yang bathil. Bahkan mengenai hal itu, Ibnul Qayyim mengatakan

bahwa mereka (para mujtahid) adalah orang-orang yang telah disabdakan oleh Rasulullah

SAW: "Sesungguhnya Allah SWT akan mengutus bagi umat ini setiap seratus tahun orang

untuk memperbaharui urusan agama mereka." [H.R. Abu Dawud dan yang lainnya]. Mereka

adalah orang-orang yang telah diungkapkan oleh Sayidina Ali RA bahwa dunia ini tidak akan

sepi dari orang yang menegakkan hujjah Allah SWT. Para ulama dari madzhab Hanbali

menyatakan bahwa pintu ijtihad dengan berbagai tingkatannya masih terbuka.

2. Pintu ijtihad tidak pernah tertutup

Ada yang mengatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup sejak sekitar abad ke-2 atau

ke-3 H. jika kita mengatakan bahwa semua pintu ijtihad dengan berbagai macam tingkatan

telah tertutup sejak masa itu, maka hal itu tidak bisa diterima. Sejarah telah membuktikan

bahwa setiap masa tidak akan pernah sepi dari mujaddid. Para ulama mengatakan bahwa

mujaddid-mujaddid itu adalah para mujtahid. Kita ketahui pada abad pertama muncul Umar

bin Abdul Azis, sebagaimana pernyataan al-Imam al-Dzahabi, beliau telah mencapai

tingkatan ijtihad. Kemudian pada abad ke-2 muncul Imam Syafi'i, lalu disusul Ibnu Suraij

pada abad ke-3, beliau termasuk pembesar mujtahid dan termasuk dalam kelompok Ashhab

al-Wujuh, sedangkan pada abad ke-4 terdapat Imam Abu Thayib Sahl bin Muhammad al-

Sha'aluki atau Syeikh Abu Hamid sebagai imam penduduk Irak. Keduanya termasuk mujtahid

dan Ashhabal-Wujuh. Selanjutnya pada abad ke-5 terdapat Imam al-Ghazali, sebagaimana

fatwa Ibnu Sholah, beliau termasuk mujtahid. Lalu pada abad ke-6 terdapat Imam Rafi'i,

pada abad ke-7 Syeikh Ibnu Daqiq al-'Id, abad ke-8 Imam al-Bulqini. Kemudian pada generasi

selanjutnya muncul Imam Suyuthi beliau mendakwakan diri telah mencapai tingkat

mujtahid, beliau berkata: "Telah sempurna pada diriku kriteria untuk berijtihad dengan

berkat pertolongan Allah SWT, seandainya aku menghendaki untuk menulis satu karya

tentang suatu masalah yang disertai dengan komentar-komentar, dalil-dali baik secara naqli

maupun qiyas dan perbedaan pendapat di antara madzhab, maka sungguh aku akan mampu

untuk melakukannya berkat anugerah Allah SWT."

Dari kedua pendapat yang telah dikemukakan di atas sebenarnya kita bisa mengambil

jalan tengah dari keduanya. Ulama yang memfatwakan bahwa ijtihad telah tertutup dan

sudah tidak ada lagi mujtahid pada zaman ini yang dimaksud mereka adalah ijtihad dan

mujtahid muthlak baik yang mutstaqil maupun ghairu mutstaqil. Sedangkan para ulama yang

mengatakan bahwa pintu ijtihad masih terbuka dan setiap masa tidak boleh sepi dari

seorang mujtahid adalah mujtahid yang tingkatannya berada di bawah mujtahid mutlak. Hal

itu dapat kita tinjau dari beberapa hal:

a. Para Ulama yang dianggap sebagai mujtahid mutlak oleh kelompok kedua (yang

berpendapat bahwa pintu ijtihad dengan segala macamnya masih terbuka) telah

menyatakan sendiri bahwa mujtahid mutlak pada zaman mereka sudah tidak ada lagi. Hal itu

sebagaimana pernyataan Imam al-Ghazali sendiri bahwa pada zaman beliau sudah tidak

terdapat seorang mujtahid mutlak. Dalam kitabnya al-Wasith beliau berkata: "Syarat-syarat

ini yakni syarat ijtihad (ijtihad mutlak) yang layak disandang oleh seorang Qadli sungguh sulit

ditemukan pada zaman kita sekarang ini." Selain Imam Ghazali, Imam Rafi'i dan Nawawi juga

menyatakan hal yang sama bahwa para ulama sepertinya telah sepakat bahwa pada masa ini

sudah tidak ada lagi seorang mujtahid (mujtahid mutlak).

b. Imam Suyuthi sendiri yang mengklaim dirinya sebagai mujtahid mutlak ternyata tidak bisa

memenuhi persyaratan mujtahid mutlak yang beliau ajukan sendiri. Mengenai syarat ijtihad

Imam Suyuthi mengajukan sekitar lima belas syarat yang harus dipenuhi. Pada syarat kedua

belas beliau menyebutkan bahwa syarat bagi seorang mujtahid mutlak haruslah menguasai

ilmu hisab. Sedangkan beliau sendiri mengakui bahwa beliau tidak menguasai ilmu hisab. Hal

itu sebagaimana penuturan beliau sendiri: "Ilmu hisab (ilmu hitung) adalah ilmu yang sangat

sulit bagiku dan paling jauh dari penalaranku."

Dari uraian di atas dapat kita fahami, betapa sulit dan rumitnya persyaratan yang

harus dipenuhi oleh seorang mujtahid sehingga ia diperbolehkan untuk berijtihad. Sehingga

setiap orang tidak dibenarkan untuk mengkliam dirinya telah berijtihad sedangkan ia sendiri

tidak mnguasai alat-alat yang digunakan sebagai media untuk menggali hukum dari al-Kitab

dan al-Sunnah.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Ijtihad (اجتهاد) adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa

dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu

perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal

sehat dan pertimbangan matang dan orang yang berijtihat disebut mujtahid.

2. Tidak semua orang yang memahami Agama disebut mujtihad, ada syarat/kriteria yang

menyatakan sah nya menjadi seorang mujtihad.

3. Dalam menentukan terbuka atau tertutupnya pintu ijtihad, sebagian ulama menyatakan

bahwa pintu ijtihad telah tertutup dan sebagian lagi menyatakan pintu ijtihad masih terbuka

meski berbeda dalam tingkatanya.

B. Saran

Diharapkan kepada dosen dan pembaca untuk dapat memberikan kritik dan saran yang

bersifat membangun demi perbaikan makalah selanjutnya menjadi lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/Ijtihad,

Sukabul, http://kabulkhan.blogspot.com/2010/02/ijtihad-dalam-islam-makalah-disusun-dan.html

Posted 22nd November 2012 by junaidi fina

10.

Nov

20

IMAM MALIK DAN KITABNYA AL-MUWATTHA

Imam Malik adalah seorang ulama besar yang dikenal sebagai pendiri mazhab Maliki yang merupakan salah satu mazhab fikih terbesar di dunia Islam. Keahliannya dalam bidang fikih, tidak diragukan lagi, demikian pula keahliannya di bidang Hadis. Karya monumentalnya dalam bidang Hadis adalah kitabnya yang berjudul al-Muwattha. Kitab ini sangat sarat dengan Hadis-Hadis hukum, karena secara definisi ilmu Hadis, al-Muwattha adalah kitab Hadis yang disusun berdasarkan bab fiqih dan masih bercampur dengan qaul sahabat dan tabi’in. Bercampurnya Hadis Rasulullah dengan qaul sahabat dan tabi’in ini membuat keshahihan Hadis dalam kitab al-Muwattha menjadi diragukan.

Para ahli Hadis banyak yang melakukan penelitian tentang keshahihan Hadis yang ada dalam kitab al-Muwattha ini. Salah satunya adalah Ibnu Abdi al-Barr, seorang ulama Hadis yang bermazhab Maliki. Dari hasil penelitiannya, ia menyimpulkan bahwa Hadis-Hadis dha’if yang tercantum dalam kitab al-Muwattha termasuk qaul sahabat dan tabi’’in-nya adalah bersambung sanadnya dari jalur lain. Maka, seluruh Hadis yang ada dalam kitab al-Muwattha karya imam Malik ini adalah shahih.

Pendahuluan

Imam Malik adalah salah seorang ulama fiqih yang terkenal sebagai pendiri mazhab Maliki dalam bidang fiqih. Mazhab ini cukup berkembang di dunia internasional, terutama di Andalusia. Selain sebagai ulama fiqih, ia pun dikenal sebagai ahli Hadis. Salah satu karyanya yang monumental dalam bidang Hadis adalah al–Muwattha. Kitab ini merupakan kitab Hadis yang sangat klasik, sehingga menarik untuk dikaji.

Keahlian imam Malik dalam meriwayatkan Hadis dapat kita lihat dalam kitabnya ini. Apakah sistem periwayatannya memenuhi kriteria kesahihan Hadis menurut jumhur muhadditsin atau tidak. Kitab ini pun sangat sarat dengan qaul sahabat dan tabi’in, sehingga sebagian orang mengkategorikan kitab ini sebagai kitab fiqih, bukan kitab Hadis. Meskipun demikian, jumhur muhadditsin berpendapat bahwa kitab ini dipandang sebagai kitab Hadis karena metode penyusunannya berdasarkan sistem periwayatan Hadis.

Tetapi, sebagai kitab Hadis, kitab ini perlu diteliti keshahihannya. Karenanya, penulis mencoba mengkaji seberapa jauh keshahihan Hadis dalam kitab al-Muwattha ini. Keshahihan sebuah Hadis dapat kita lihat dari metode periwayatan yang digunakan Imam Malik dalam kitabnya, sanad yang digunakannya, serta ketelitian redaksi matannya. Dalam hal ini, penulis hanya akan mengkaji sistem periwayatan dan sanad yang dipakai oleh imam Malik dalam al-Muwattha-nya.

PEMBAHASAN

A. Biografi Imam Malik ibn Anas al-Asbuhy

1. Nasabnya

Ia adalah Imam Dar al-hijrah Abu Abdillah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi Amir ibn ‘Amr ibn al-Harits ibn Ghaiman ibn Khutsail ibn ‘Amr ibn al-Harits. Nasabnya terhenti pada Ya’kub ibn Yasyjub ibn Qahthan al-Asbuhy.[1] Banyak perbedaan pandangan dalam nasab asbuhynya. Al-Qadhi ‘Iyadh, dalam kitabnya “al- Madarik” mengutip banyak pendapat tentang hal ini. Ia berpendapat bahwa tidak ada pertentangan dalam nasabnya ke Qahthan, karenanya Imam Malik adalah orang Arab asli dari Arab Yaman, bukan orang Taimiy sebagaimana yang dikatakan Ibnu Ishaq, tetapi keluarga Imam Malik memang bermitra dengan Utsman ibn Ubaidillah at-Taimiy, saudara Thalhah.[2]

Kakeknya Abu Amir adalah sahabat Rasulullah SAW. dan ikut berjihad pada semua peperangan bersama beliau kecuali perang Badar. Malik, kakeknya yang lain, termasuk ulama tabi’in dan salah seorang yang membawa Utsman RA. ke pemakaman pada malam hari.

Ayah Imam Malik, yaitu Anas ibn Malik bukanlah pembantu Rasulullah SAW. yang terkenal itu. Ayahnya tidak dikenal sebagai seorang yang tekun dalam menuntut ilmu, meskipun ia punya keinginan yang kuat untuk melakukannya dan ia mengetahui beberapa Hadis. Sedangkan ibu Imam Malik bernama ‘Aliyah binti Syarik al-Ajdiah. Dan paman-pamannya adalah Abu Suhail, Nafi’, Uwais, al-Rabi, al-Nadhr, dan anak-anak Abi Amir. Keluarga Imam Malik semuanya menekuni Hadis dan fatwa.[3]

2. Perjalanan Hidup dan Sifatnya

Menurut pendapat yang paling dapat dipercaya, Imam Malik dilahirkan pada tahun 93 H. yaitu tahun wafatnya Anas, pembantu Rasulullah SAW., setelah dikandung ibunya selama tiga tahun.[4]

Di masa kecilnya, ia sudah menghafal al-Qur’an, al-Hadis, mempelajari fatwa sahabat, fikih, dan menolak orang-orang yang mengikuti hawa nafsu. Ia rajin menuntut ilmu, dan Allah telah mengaruniainya kekuatan hafalan. Pada awalnya ia dikenal sebagai orang yang miskin, kemudian setelah itu ia dikaruniai rizki yang melimpah oleh Allah SWT.

Imam Malik belajar fikih dari Rabi’ah. Rabi’ah adalah seorang tabi’in yang cerdas. Nama aslinya adalah Abu Utsman Rabi’ah ibn Abi Abd al-Rahman al-Qurashi, ia disebut juga dengan Rabi’ah al-Ra’yi, karena ia terkenal dalam argumentasi dan analoginya, dan ia juga dikenal sebagai orang yang dapat menyelesaikan masalah yang sulit di kalangan orang Madinah di samping juga sebagai ketua tim fatwa. Para ulama juga bersepakat tentang ke-tsiqah-an dan ketinggian ilmunya. Karena ketinggian ilmunya itulah, maka Imam Malik sampai berkata : “Manisnya fikih hilang setelah meninggalnya Rabi’ah”. Rabi’ah wafat di Madinah -ada juga yang mengatakan di Irak- pada tahun 136 H.[5] Setelah wafatnya Rabi’ah, Imam Malik menuntut ilmu dari banyak guru sehingga al-Nawawi berpendapat bahwa guru Imam Malik berjumlah 900 orang, 300 di antaranya dari kalangan tabi’in dan 600 dari kalangan tabi’it tabi’in. Di antara gurunya yang paling cerdas adalah Abdurrahman ibn Hurmuz al-A’raj dan Nafi’ Maula Abdillah ibn Umar.

Imam Malik belajar dari sejak muda yaitu sekitar umur 17 tahun. Ia memilih masjid Rasulullah SAW. (Masjid Nabawi) di Madinah sebagai tempat belajarnya, tepatnya di tempat yang biasa diduduki khalifah Umar ibn al-Khatab sebagaimana juga biasa diduduki oleh Rasulullah SAW. juga. Dalam perjalanan menuntut ilmu ini, ia tidak pindah belajar ke rumahnya sampai ia terkena sakit. Imam Malik sangat tekun dalam menuntut ilmu sehingga ia sangat cerdas. Oleh karena itu, banyak orang berduyun-duyun mendatanginya untuk menimba ilmu darinya. Bahkan ia mempunyai martabat yang tinggi di kalangan banyak orang.[6] Dasar-dasar mazhabnya sama dengan Imam yang lain: al-Qur’an, al-Sunnah, ijma’,

qiyas, ‘amal ahli Madinah, dan al-Mashalih al-Mursalah. Menurut Imam Malik, ‘amal ahli Madinah lebih kuat daripada Hadis ahad, jika Hadis ahad bertentangan dengan ‘amal ahli Madinah maka ‘amal ahli Madinah lebih didahulukan.[7]

Imam Malik menikah dengan gadis budak. Ia sangat mencintai istri dan anak-anaknya. Dari pernikahannya ia dikaruniai tiga putera dan satu puteri yaitu Muhammad, Hammad, Yahya, dan Fatimah. Fatimah hafal dan menguasai kitab ayahnya al-Muwattha, karena ia suka ikut dan mendengarkan orang yang belajar kepada bapaknya. Puterinya inilah yang mencapai martabat keilmuan yang tinggi yang kemudian disusul oleh anaknya yang lain.[8]

Imam Malik berkulit putih kemerah-merahan, berbadan tinggi, kepala dan jenggotnya beruban, dan bermata biru. Ia suka mengenakan pakaian yang bagus dan sopan serta memakai wewangian.[9] Imam Malik sering shalat di masjid, baik shalat wajib, shalat Jum’at, maupun shalat jenazah. Ia juga sering menjenguk orang yang sakit, menunaikan segala kewajibannya, dan bergaul bersama para sahabatnya.

Majelis Imam Malik adalah majelis yang penuh khidmat. Ia adalah orang yang mulia, sehingga dalam majelisnya tidak ada sedikitpun perdebatan dan suara yang keras. Banyak orang asing yang belajar kepadanya. Ia juga mempunyai seorang sekretaris yang mencetak buku-bukunya, sekretarisnya itu bernama Abu Muhammad Habib ibn Abi Habib. Habib inilah yang suka membacakan Hadis kepada murid-murid Imam Malik.

Imam Malik terkena mihnah pada tahun 147 H. yang menyebabkannya terkena siksaan fisik. Mengenai sebab terjadinya mihnah ini terdapat perberbedaan pendapat, ada yang mengatakan karena ia berfatwa tentang tidak adanya talak mukrah karena mereka membenci orang yang bersumpah talak ketika bai’at sehingga mereka berpendapat bahwa fatwa Imam Malik membuat orang-orang menghalalkan orang yang membatalkan bai’at. Ada juga yang mengatakan bahwa sebabnya berawal dari pertanyaan ibn al-Qasim kepada Imam Malik tentang kebolehan dibunuhnya orang yang membangkang. Imam Malik menjawab pembangkang itu boleh dibunuh jika mereka keluar seperti Umar bn Abdi al-Aziz. Jika tidak demikian, biarkanlah mereka diazab Allah. Fatwa inilah yang menyebabkan terjadinya mihnah kepada Imam Malik dengan mendapat 70 pukulan oleh algojo khalifah al-Manshur di Madinah. Tetapi mihnah ini terjadi tanpa sepengetahuan khalifah al-Manshur, maka ketika berita ini sampai kepada khalifah, ia sangat marah kepada algojonya.[10]

Imam Malik menghasilkan fatwanya setelah penelitian yang lengkap dan ijtihad yang dalam. Ia tidak menganggap fatwanya itulah yang paling

benar, bahkan ia menyuruh orang-orang untuk mengecek kembali kebenaran pendapatnya itu, seperti yang dikatakan Abu Nu’aim di bawah ini :

حدثان محمد بن عاصم قال : سمعت المفضل بن محمد الجندى يقول : سمعت مالك بن أنس يقول : " ماأفتيت حتى شهد لى سبعون أنى أهل لذلك. " ويق§§ول اإلم§§ام مال§§ك : " إن نظن إال

]11ظنا وما نحن بمستيقنين."[

“ Diceritakan pada kami oleh Muhammad ibn ‘Ashim, ia berkata: saya mendengar al-Mufaddhal ibn Muhammad al-Jundi berkata: saya mendengar Imam Malik ibn Anas berkata: Aku tidak berfatwa sampai tujuh puluh orang mengakui kalau aku orang yang ahli dalam hal itu. Kemudian Imam Malik membaca ayat: “ yang kami kira ini hanyalah prasangka dan kami bukanlah orang yang dapat diyakini.”

Imam Malik sakit selama 22 hari, kemudian wafat pada hari Ahad tanggal 10 -ada juga yang mengatakan tanggal 14 -Rabi’ul Awal tahun 179 H., dan dimakamkan di al-Baqi.[12]

3. Guru dan Muridnya

Imam Malik belajar dari banyak guru, yaitu sekitar 900 orang. Di antara mereka adalah: Rabi’ah al-Ra’yi ibn Abi Abdi al-Rahman (wafat 136 H.) yang dikenal keahliannya dalam fikih dan Hadis, Abdurrahman ibn Hurmuz Abu Bakar ibn Abdillah ibn Yazid (wafat 148 H.), Ibnu Syihab al-Zuhri (wafat 124 H.) yang dianggap sebagai tokoh yang mengkodifikasi Hadis, Nafi’ ibn Sarj Abu Abdillah al-Dailami Maula Abdillah ibn Umar, Ja’far ibn Muhammad ibn Ali ibn al-Husain ibn Ali ibn Abi Thalib al-Madani (wafat 148 H.)[13], Ibnu al-Munkadir, dan lain-lain.

Murid Imam Malik berjumlah sekitar 1000 orang yang mangambil Hadits darinya. Di antaranya Ahmad ibn Ismail Abu Huzafah al-Sahmi al-Madani, Hamad ibn Salamah, Khalid ibn Makhlad al-Gatfani, Daud ibn Abdullah al-Ja’fari, Sufyan al-Tsauri, sufyan ibn ‘Uyainah, Syu’bah ibn al-Hajaz, Abdullah ibn al-Mubarok, al-Laits ibn Sa’ad, Muhammad ibn Idris al-Syafi’i, Abu Hanifah al-Nu’man ibn Tsabit, Waqi’ ibn al-Jarah, Yahya ibn Sa’id al-Anshari, anaknya Yahya, Yahya ibn Sa’id al-Qatthan, Abu ‘Urwah al-Zubairi, dan putri Imam Malik yang bernama Ummu al-Banin, dan lain-lain.[14]

4. Perhatiannya Terhadap Hadis Nabi

Para ulama bersepakat akan keahlian dan keagungan Imam Malik dalam Hadis, meneliti perawi, dan menetapkan hukum dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Bahkan sanadnya dalam periwayatan Hadis dianggap sebagai ashahhu al-asanid (sanad yang paling shahih) menurut ulama Hadis, sehingga ia dijuluki dengan silsilah al-dzahab (jalur emas), mereka juga bersepakat bahwa Imam malik adalah seorang perawi yang tsiqah, ‘adil, dhabit, dan teliti dalam menerima Hadis.

Imam Malik teguh dalam memegang Hadis, mengetahui rijal Hadis, sehingga banyak guru dan teman-temannya yang menerima Hadis darinya. Ia tinggal di Madinah sebagai tempat bersumbernya Hadis dan wahyu sehingga Imam Malik tidak melakukan rihlah ke negara lain. Oleh karena itu, kita akan menemukan kebanyakan riwayatnya dari ahli al-Hijaz dan sedikit sekali dari negeri lain. Orang-orang dari segala penjuru dunia banyak yang mendatangi Imam Malik untuk belajar Hadis dan menanyakan berbagai masalah kepadanya karena kecerdasannya dalam ilmu Hadis dan fikih.

Salah satu indikasi kecintaannya kepada Hadis Rasulullah SAW. adalah makruhnya meninggikan suara ketika belajar Hadis. Ia berdalil dengan firman Allah pada surat al-Hujurat ayat 2 sebagai berikut:

يا أيها الذين امنوا ال ترفعوا أصواتكم فوق صوت النبى

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah engkau tinggikan suaramu di hadapan nabi”

Kecintaan Imam Malik kepada Hadis mencakup kecintaannya kepada para sahabat Rasulullah SAW.

Berikut ini komentar para ulama tentang ketinggian dan kecerdasan Imam Malik:

1. Ibnu Mahdi berkata: “tidak ada seorangpun yang lebih tinggi dari Imam malik dalam keshahihan Hadis”.

2. Imam Syafi’i berkata: “Jika datang Hadis, maka Imam Maliklah bintangnya”. Ia juga berkata: “Jika disebut para ulama, maka Imam Maliklah bintangnya.”

3. Al-Bukhari berkata: “Sanad yang paling shahih adalah Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar”.[18]

Imam Malik sangat tawadhu dan sangat mencintai Rasulullah SAW. hingga ia tidak pernah mengendarai atau menunggang kuda di Madinah sebagai penghormatan kepada tanah tempat dikuburkannya jasad Rasulullah SAW. Hal ini menunjukkan kecintaan dan penghormatannya kepada Rasulullah SAW. Salah satu contoh aplikatif perhatiannya terhadap

Hadis nabi adalah karyanya yang monumental dalam bidang Hadis yaitu kitab al-Muwattha yang menghimpun Hadis-Hadis Rasulullah SAW.

5. Karya-Karyanya

Imam Jalaluddin al-Suyuthi menyebutkan dalam kitabnya Tazyin al-Mamalik, bahwa Imam Malik mengarang beberapa kitab, di antaranya kitab al-Muwattha dalam bidang Hadis dan fikih, kitab tafsir Gharib al-Qur’an al-Karim, kitab al-Surur, Risalah Fi al-fatwa , Risalah Fi al-Nujum, Risalah Fi al-Aqdhiyah, Risalah Fi al-Qadar Wa al-Raddu ’ala al-Qadariyah, risalah fi al-Wa’zhi ila al-Khalifah Harun al-Rasyid. Tetapi karya-karya Imam Malik ini masih diragukan kebenarannya kecuali kitab al-Muwattha.

B. Mengenal Kitab Al-Muwattha

1. Definisi al-Muwattha

Al-Muwattha secara etimologi berarti yang dipermudah dan dipersiapkan. Dikatakan dalam kamus :

.ووطأه : هيأه ودمثة وسهله

“Disiapkan dan dimudahkan”.

Lafaz al-Muwattha juga bermakna yang dibentangkan dan diperbaiki (dibetulkan).

Sedangkan al-Muwattha secara terminologi di kalangan ahli Hadis berarti:

الكتاب المرتب عل األبواب الفقهية, ويشتمل عل األحاديث المرفوعة والمو قوفة والمقطوعة,.فهو "كالمصنف" تماما وان اختلفت التسمية

“Kitab yang disusun berdasarkan bab-bab fikih, dan mencakup Hadis-Hadis marfu, mauquf dan maqthu’. Istilah ini sama dengan istilah al-mushannaf meskipun namanya berbeda.”[22]

2. Sebab Penyusunannya

Sebab penamaan kitab ini dengan “al-Muwattha” karena pengarangnya memudahkannya untuk orang-orang. Adapula yang mengatakan bahwa sebab Imam Malik menamakan kitabnya dengan al-

muwattha sebagaimana yang diriwayatkan darinya bahwasanya ia berkata :

عرضت كتابى هذا على س§§بعين فقيه§§ا من فقه§§اء المدين§§ة. فكلهم واط§§أنى علي§§ه-أى وافق§§نى" "عليه-,فسميته الموطأ

“Saya sampaikan kitabku ini kepada tujuh puluh fuqaha Madinah, kemudian mereka semua menyetujuiku, kemudian aku menamakannya “al-Muwattha”.[23]

Di samping itu, Abu Ja’far al-Mansur, salah seorang khalifah Abbasiyah, meminta Imam Malik untuk menghimpun Hadis-Hadis yang ada padanya, agar menyusunnya pada satu buku, dan menyampaikannya kepada orang-orang. Kemudian Imam Malik menyusun kitabnya yang kemudian diberi nama “al-Muwattha”.

Di samping sebab-sebab di atas, kondisi pada masa Imam Malik hidup itu menuntutnya untuk menyusun Hadis dalam sebuah buku, tidak dalam lembaran yang dikhawatirkan tercecer seperti pada abad I Hijriyah. Pada saat yang bersamaan, banyak ulama lain di belahan dunia Islam seperti Mesir, Syam, Irak, Yaman, Khurasan, dan lain-lain juga melakukan hal yang sama dengan Imam Malik.

Imam Malik sangat bersungguh-sungguh dalam menyusun kitabnya ini, sampai ada yang mengatakan ia menyusunnya selama empat puluh tahun sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Abdi al-Barr dari Umar ibn Abdi al-Wahid al-Auza’i, katanya:

عرضنا على مالك الموط§أ فى أربعين يوم§ا فق§ال: كت§اب ألفت§ه فى أربعين س§نة أخ§ذتموه فى.أربعين يوما ما أقل ما تفقهون فيه

“Kami belajar kitab al-Muwattha kepada Imam Malik selama empat puluh hari, lalu Imam Malik berkata: “Kitab yang saya susun selama empat puluh tahun hanya akan engkau pelajari selama empat puluh hari. Betapa sedikit yang kalian kuasai darinya.”

3. Jumlah Hadis al-Muwattha

Para ulama berbeda pendapat dalam menghitung jumlah Hadis dalam kitab al-Muwattha. Ibnu al-Habbab berpendapat bahwa Imam Malik meriwayatkan seratus ribu Hadis, sepuluh ribu di antaranya dihimpun dalam al-Muwattha, kemudian disesuaikan dengan al-Qur’an, al-Sunnah dan atsar sehingga tinggal lima ratus Hadis. Abu Bakar al-Abhari berpendapat bahwa jumlah atsar Nabi, sahabat, dan tabi’in dalam al-Muwattha, seluruhnya seribu tujuh ratus dua puluh Hadis. Dari jumlah tersebut, yang musnad ada enam ratus Hadis, dua ratus dua puluh dua

Hadis mursal, enam ratus tiga belas Hadis mauquf, dan dua ratus delapan puluh lima qaul tabi’in.

Sementara itu, Ibnu Hazm berpendapat bahwa ia menghitung Hadis dalam al-Muwattha dan Hadis Sufyan ibn ‘Uyainah jumlahnya lima ratus Hadis musnad pada setiap kitab tersebut, tiga ratus lebih Hadis mursal, tujuh puluh Hadis lebih yang tidak diamalkan oleh Imam Malik sendiri, dan ada juga Hadis yang dianggap dha’if oleh para ulama.

Perbedaan pendapat ulama dalam menghitung Hadis al-Muwattha ini karena perbedaan perawinya. Ulama yang menghitung Hadis tersebut menghitung sesuai dengan riwayat yang ia terima. Oleh karena itu, al-Suyuthi dalam kitab Tadrib al-Rawi mengutip perkataan al-Hafiz Shalahuddin al-‘Alai sebagai berikut:

روى الموطأ عن مالك جماعات كثيرة وبين رواي§§اتهم اختالف من تق§§ديم وت§§أخير وزي§§ادة ونقص ومن أكبرها زيادات رواية ابن مصعب يعنى نحو مائة حديث. كذلك فى رواية محمد بن الحس§§ن مائة وخمسة وسبعون حديثا زادها من غير طريق مالك منها ثالثة عشر عن أبى حنيفة و أربع§§ة .عن أبى يوسف والباقى عن غيرهما. ومن ذلك اختلفت اقوال الناس فى عد أحاديث الموطأ

“Banyak orang yang meriwatkan al-Muwattha dari Imam Malik, dan terdapat perbedaan dalam periwayatan mereka tersebut seperti ada yang dimajukan, diakhirkan, tambahan, dan pengurangan. Riwayat yang paling banyak tambahannya adalah riwayat Ibnu Mus’ab, yaitu sekitar seratus Hadis. Begitu juga dengan riwayat Muhammad ibn al-Hasan ada sekitar 175 Hadis yang ditambahkan bukan lewat jalur Imam Malik, di antaranya 13 dari Abu Hanifah, 4 dari Abu Yusuf, dan sisanya selain dari keduanya. Oleh karena itu, orang-orang berbeda pendapat dalam menghitung Hadis-hadis al-Muwattha.

4. Riwayat-Riwayat al-Muwattha

Terdapat banyak naskah al-Muwattha, dan yang terkenal mencapai sekitar 30 naskah dengan berbagai perbedaan tambahan dan pengurangan sesuai dengan perawinya. Imam Al-Suyuthi menyebutkan ada 14 naskah yang terkenal, di antaranya: naskah Yahya ibn Yahya al-Laitsi al-Andalusi, Naskah Abi Mus’ab Ahmad ibn Abi Bakr al-Qasim Qadhi Madinah, naskah Imam Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani pengikut Abi Hanifah, naskah Ibnu Wahab, Naskah Ibnu Bakir, naskah Muhammad ibn Mubarak al-Shuri, dan lain-lain.

Dari naskah-naskah al-Muwattha tersebut di atas, riwayat Yahya ibn Yahya ibn Katsir al-Laitsi al-Andalusi lah yang dianggap paling shahih dan paling masyhur. Kitab al-Muwattha yang ada sekarang adalah riwayat Yahya tersebut. Riwayat yang paling besar adalah riwayat Abdullah ibn

Muslim al-Qa’nabi, dan riwayat yang paling banyak tambahannya adalah riwayat Abi Mus’ab Ahmad ibn Abi Bakr al-Qurasyi al-Zuhri Qadhi Madinah. Jumlah Hadis yang paling banyak terdapat pada riwayat Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani, dan pada riwayat ini banyak Hadis-Hadis mudah yang diriwayatkan bukan dari Imam Malik serta tambahan dari riwayat yang masyhur tetapi juga tidak mencantumkan beberapa Hadis yang jelas termaktub pada riwayat lain.

5. Syarah al-Muwattha

Para ulama banyak yang men-syarah-kan (memberikan penjelasan) kitab al-Muwattha, di antaranya:

a. al-Hafiz Abu Umar ibn Abdi al-Barr al-Namiri al-Qurthubi (wafat 463 H.) yang mengarang dua syarah, yaitu “al-Tamhid Lima fi al-Muwattha min al-Ma’ani Wa al-Asanid” yang disusun berdasarkan nama guru (syekh) Imam Malik secara abjad. Dan yang kedua berjudul “Kitab al-Istidzkar fi Syarh Madzahib ‘Ulama al-Amshor”.

b. Jalaluddin al-Suyuthi (wafat 911 H.) yang mensyarah dengan judul “Kasyf al-Mughattha fi Syarh al-Muwattha” yang kemudian diringkasnya dalam “Tanwir al-Hawalik”.

c. Muhammad ibn Abd al-Baqi al-Zarqani al-Mishri al-Maliki (wafat 1014 H.) yang mensyarah dalam tiga jilid buku yang cukup besar.

d. Abu al-Walid Sulaiman ibn Khalaf al-Baji al-Andalusi yang menamakan syarahnya dengan “al-Istifa”.

6. Sanad dan Perawi dalam al-Muwattha

Sanad yang digunakan Imam Malik dalam meriwayatkan Hadis musnad yang terdapat pada kitab al-Muwattha adalah:

a. Hadis Ibnu Umar dari Nabi SAW., biasanya ia riwayatkan dari Nafi’, Abdullah ibn Dinar, dan terkadang Ibnu Umar meriwayatkan dari ayahnya dari Nabi SAW.

b. Hadis Aisyah dari Nabi SAW. -biasanya diriwayatkan melalui jalur Ibnu Syihab dari ‘Urwah, atau melalui Qasim dari Aisyah, dari Hisyam ibn ‘Urwah dari ayahnya, dari Aisyahnya sendiri, atau melalui Yahya ibn Sa’id dari ‘Amrah dari Aisyah.

c. Hadis Abu Hurairah dari Nabi SAW. diriwayatkannya dari beberapa guru, di antaranya: Ibnu Syihab dari Sa’id ibn al-Musayyab dari Abi Hurairah, Ibnu Syihab dari Abi Salamah dari Abi Hurairah, Abu al-Zanad dari al-A’raj dari Abi Hurairah, al-‘A’la ibn Abdirrahman dari ayahnya dari Abi Hurairah, Yahya ibn Sa’id dari Sa’id ibn al-Musayyab dari Abi Hurairah, Suhail ibn Abi Shalih dari ayahnya dari Abi Hurairah, Sumayya dari Abi Shalih dari Abu Hurairah, dan Sa’id ibn Abi Sa’id dari ayahnya dari Abi Hurairah.

d. Hadis Anas dari Nabi SAW. diriwayatkannya dari Ibnu Syihab al-Zuhri, Ishaq ibn Abdillah ibn Abi Thalhah, dan Humaid.

e. Hadis Jabir dari Nabi SAW. diriwayatkan melalui tiga orang tanpa perantara, mereka itu adalah Abu al-Zubair, Wahab ibn Kaisan, dan Humaid al-Thawil, semuanya langsung dari Jabir. Di samping itu, Imam Malik juga meriwayatkan dari Ja’far ibn Muhammad dari ayahnya dari Jabir.

f. Hadis Abi Sa’id al-Khudri dari Nabi SAW. diriwayatkan melalui Abdurrahman ibn Abdullah al-Mazini dari ayahnya dari Abi Sa’id, ‘Amr ibn Yahya al-Mazini dari ayahnya dari Abi Sa’id, dan Muhammad ibn Abdillah ibn Abi Sha’sha’ah dari ayahnya dari Abi Sa’id.

g. Hadis Sahl ibn Sa’ad dari Nabi SAW. biasanya diriwayatkan dari Abi Hazim dari Sahl ibn Sa’ad.

Hampir lima ratus Hadis yang diriwayatkan Imam Malik dengan sanad di atas. Hadis-Hadis tersebut merupakan Hadis yang paling shahih di segala penjuru dunia. Adapun riwayat Imam Malik dari Ali ibn Abi Thalib dan Abdullah ibn Abbas jumlahnya sangat sedikit. Hal ini karena mereka berdua tidak menetap di kota Imam Malik dan ia juga tidak pernah bertemu rijal Hadisnya. Meskipun demikian, ia telah meriwayatkan beberapa Hadisnya.

Imam Malik biasanya meriwayatkan Hadis Ali ibn Abi Thalib melalui Ibnu Syihab dari Abdullah dan al-Hasan, keduanya anak Muhammad ibn al-Hanafiyah dari ayah mereka berdua. Adapun Hadis Ibnu Abbas dari Nabi SAW. biasa diriwayatkan melalui Ibnu Syihab dari Ubaidillah ibn Abdillah ibn ‘Utbah dari ibn Abbas.

Al-Muwattha juga memuat banyak sanad yang disebut “Ashahhu al-Asanid” (Sanad yang paling shahih) oleh para ulama. Beberapa sanad itu adalah:

a. Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar. Dalam al-Muwattha, sanad ini berjumlah sekitar enam puluh lima Hadis.

b. Malik dari Abi al-Zanad dari al-A’raj dari Abi Hurairah. Dalam al-Muwattha, sanad ini tertulis sekitar lima puluh empat Hadis.

c. Malik dari al-Zuhri dari Salim ibn Abdillah ibn Umar dari ayahnya. Sanad ini berjumlah sekitar enam Hadis.

d. Malik dari al-Zuhri dari Ibnu al-Musayyab dari Abi Hurairah. Sanad ini kira-kira ada sembilan Hadis.

e. Malik dari al-Zuhri dari ‘Urwah ibn al-Zubair dari Aisyah. Sanad ini sekitar dua belas Hadis.

f. Malik dari al-Zuhri dari Anas sekitar lima Hadis.[31]

7. Derajat Hadis al-Muwattha

Imam Malik hanya meriwayatkan Hadis dari orang yang ‘adil dan terpercaya dalam sikap, akidahnya, kecerdasan, dan tingkah lakunya. Imam Malik pernah berpesan agar jangan menimba ilmu dari empat golongan, yaitu: dari orang yang dikenal bodoh meskipun terpandang, orang yang sering berdusta meskipun tidak dituduh berdusta kepada Rasulullah SAW., orang yang mengikuti hawa nafsunya sehingga mengajak orang lain untuk menuruti hawa nafsunya, dan juga dari seorang guru meskipun dikenal rajin ibadah dan keagungannya jika ia tidak mengetahui apa yang ia ucapkan.

Di antara kehati-hatiannya dalam menyeleksi perawi yang tsiqah adalah bahwa Imam Malik pernah menemukan tujuh puluh perawi yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW. bersabda demikian, dan mereka adalah orang yang amanah (dapat dipercaya) sehingga jika salah satu dari mereka dipercaya untuk menjaga bait al-mal pasti mereka amanah. Tetapi tidak boleh menimba ilmu dari mereka karena mereka bukan orang yang ahli di bidang Hadis dan fatwa. Dalam bidang Hadis dan fatwa ini dibutuhkan orang yang bertakwa, wara’, profesional, cerdas dan pintar, sehingga mengetahui secara jelas.[32]

Imam Malik dikenal sebagai seorang yang tasyaddud (teliti dan ketat) dalam meriwayatkan Hadis, sehingga ia mensyaratkan perawi Hadis haruslah dapat menghafal kitab sampai dia meyakini bahwa yang ada dalam kitab itu adalah Hadisnya. Banyak metode dalam meriwayatkan Hadis, tetapi dari beberapa metode itu ada kemungkinan terjadi perubahan Hadis atau kurang teliti. Oleh karena itu, Imam Malik hanya menggunakan beberapa metode saja dalam meriwayatkan Hadis. Di antaranya adalah metode sima’, qira’ah kepada syekh (guru), mukatabah, dan munawalah. Semua metode ini yang baik dalam periwayatan Hadis. Tetapi Imam Malik tidak membolehkan metode ijazah, yaitu guru mempersilahkan muridnya untuk meriwayatkan semua atau sebagian Hadisnya secara detail tanpa terjadi perubahan. Ia menolak metode ijazah ini karena ia memberikan syarat agar si al-mujaz lah (murid) yang menerima hadis ini merupakan orang yang menguasai Hadis sehingga tidak mungkin terjadi perubahan atau penyimpangan. Di samping itu, ia juga mensyaratkan supaya Hadis yang diriwayatkan dari kitab syekhnya sesuai dengan yang dimiliki gurunya seolah sama persis. Syarat ketiga yaitu guru yang memberikan ijazah hendaklah orang yang menguasai Hadis yang diriwayatkannya, tsiqah dalam agama dan periwayatannya, serta dikenal mahir.

Setelah mengetahui ketelitian Imam Malik dalam meriwayatkan Hadis di atas, tak heran jika para ulama salaf dan khalaf berpendapat bahwa semua Hadis dalam al-Muwattha adalah shahih, semua sanadnya bersambung, dan semua Hadis mursal dan munqathi’ di dalamnya, sanadnya bersambung dari jalur lain.

Ibn Abdi al-Barr mengarang kitab yang menyambungkan Hadis-Hadis mursal, munqathi’ dan mu’addhal dalam al-Muwattha. Ia berkata:

ما فيه من قوله "بلغنى " ومن قوله "عن الثقة" عنده مما لم يسنده أح§§د وس§§تون ح§§ديثا كله§§ا:مسندة من غير طريق مالك إال أربعة ال تعرف

)2أحدها : إنى ال أنسى ولكن أنسى ألسن (أخرجه فى كتاب السهو، حديث

والثانى: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أرى أعمار الناس قبله، أو ما شاء الل§§ه من ذل§ك، فكأنه تقاصر أعمار أمته أن ال يبلغوا من العمل مثل الذى بلغ غيرهم فى طول العمر، فأعط§§اه

)15الله ليلة القدر خير من ألف شهر (أخرجه فى كتاب االعتكاف، حديث

والثالث: أن معاذ بن جبل قال: آخر ما أوص§§انى ب§§ه رس§§ول الل§§ه ص§§لى الل§§ه علي§§ه وس§§لم حين وضعت رجلى فى الغرز أن قال "أحس§§ن خلق§ك للن§§اس، ي§ا مع§§اذ بن جب§§ل (أخرج§§ه فى كت§§اب

)1حسن الخلق، حديث .

والرابع : إذا أنشأت بحرية ثم تشاءمت فتلك عين غديقة (أخرجه فى كتاب االستس§§قاء، ح§§ديث5].(33[

“Semua perkatan Imam Malik seperti “balaghani” (telah sampai kepadaku) dan “‘an al-tsiqah” yang tidak disambungkan ada 61 Hadis, semuanya bersambung bukan lewat jalur Imam Malik kecuali empat Hadis yang tidak diketahui, yaitu:

Pertama, Sesungguhnya Aku tidak lupa, tetapi Aku lupa ..... (diriwayatkan dalam Bab Sahwi, Hadis kedua)

Kedua, Sesungguhnya Rasulullah SAW. diperlihatkan umur orang-orang sebelumnya, apapun yang Allah kehendaki terhadap hal itu, seolah Allah mengurangi umur umatnya sehingga tidak dapat mencapai amal seperti orang-orang lain yang berumur panjang. Kemudian Allah memberikan lailatul Qadar yang lebih baik dari seribu bulan kepada Rasulullah SAW. (diriwayatkan dalam bab i’tikaf, Hadis kelima belas)

Ketiga, Mu’adz Ibn Jabal berkata: Pesan terakhir yang diwasiatkan Rasulullah SAW. kepadaku ketika aku meyimpan kakiku ke kaki beliau bersabda: “Baguskanlah akhlakmu kepada semua orang, hai Mu’az Ibn Jabal. (diriwayatkan dalam kitab Husn al-khuluq, Hadis pertama)

Keempat, Jika menggumpal di laut, kemudian malang, maka itu adalah hujan lebat (diriwayatkan dalam kitab al-Istisqa, Hadis kelima).”

Akan tetapi, keempat Hadis di atas sudah disambungkan sanadnya oleh Imam ibn al-Shalah, sehingga semua Hadis dalam al-Muwattha shahih. Oleh karena itu, jumhur muhadditsin berpendapat bahwa kedudukan al-Muwattha berada setelah shahihain atau setelah Shahih Bukhari dan Muslim.

PENUTUP

Al-Muwattha sebagai kitab Hadis, perlu diteliti keshahihannya. Keshahihan sebuah Hadis dapat kita lihat dari metode periwayatan yang digunakan Imam Malik dalam kitabnya, sanad yang digunakannya, serta ketelitian redaksi matannya.

Imam Malik hanya meriwayatkan Hadis dari orang yang ‘adil dan terpercaya dalam sikap, akidahnya, kecerdasan, dan tingkah lakunya. Di antara kehati-hatiannya dalam menyeleksi perawi, ia hanya menerima perawi dengan derajat tsiqah.

Imam Malik dikenal sebagai seorang yang tasyaddud (teliti dan ketat) dalam meriwayatkan Hadis, sehingga ia mensyaratkan perawi Hadis haruslah dapat menghafal kitab sampai dia meyakini bahwa yang ada dalam kitab itu adalah Hadisnya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Baqi, Muhammad Fuad, Ta’liq dan Takhrij al-Muwattha (Kitab al-Syu’ab),

Abdullah ibn Muslim ibn Qutaibah Al-Dainuri, Abu Muhammad, al-Ma’arif, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1407 H./1987 M., Cet. 1

Ahmad ibn Abdullah al-Asfahany, Abu Nuaim, Hilyah al-Aulia Wa Thabaqat al-Ashfiya, Beirut: Dar al-Fikr, tt., Juz VI

Ahmad ibn Ali ibn Hajar al-Asqalani, Al-Hafiz, Taqrib al-Tahdzib, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1413 H./1993 M., Cet. 1, Jil. II

Posted 20th November 2012 by junaidi fina

Loading

Send feedback