Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional · hasiswa yang mengambil mata kuliah hukum diplomatik...
Transcript of Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional · hasiswa yang mengambil mata kuliah hukum diplomatik...
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional i
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin ii
BUKU AJAR
HUKUM DIPLOMATIK &
HUBUNGAN INTERNASIONAL
Tim Penulis : Prof. Dr. S.M. Noor, S.H., M.H.
Birkah Latif, S.H., M.H., LL.M.
Kadarudin, S.H., M.H.
Desain Sampul : Pustaka Pena
Gambar Sampul Diambil dari : http://www.nasional.sindonews.com
Tata Letak : Pustaka Pena
Diterbitkan pertama kali dalam Bahasa Indonesia, oleh :
Pustaka Pena Press
Anggota IKAPI Sul-Sel
Jl. Kejayaan Selatan Blok K, No. 85 BTP, Makassar 90245
Telp. 08124130091, E-mail: [email protected]
Cetakan Kesatu, Nopember 2016
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
Katalog Dalam Terbitan (KDT)
ISBN: 978-602-6332-06-6
xii + 273 hlm
Hak Cipta@2016, ada pada Tim Penulis
Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang.
All right reserved
Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Tim Penulis dan/atau Penerbit
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional iii
BUKU AJAR HUKUM DIPLOMATIK & HUBUNGAN INTERNASIONAL
TIM PENULIS
PROF. DR. S.M. NOOR, S.H., M.H.
BIRKAH LATIF, S.H., M.H., LL.M.
KADARUDIN, S.H., M.H.
Penerbit Pustaka Pena Press, 2016
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin iv
UNDANG-UNDANG RI NOMOR 28 TAHUN 2014
TENTANG HAK CIPTA
Pasal 8
Hak ekonomi merupakan hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk
mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan.
Pasal 9
1. Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 me-miliki hak ekonomi untuk melakukan: (a) penerbitan Ciptaan; (b) Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya; (c) penerjemahan Ciptaan; (d) pengadaptasi-an, pengaransemenan, atau pentransformasian Ciptaan; (e) Pendistribusian Ciptaan atau salinannya; (f) pertunjukan Ciptaan; (g) Pengumuman Ciptaan;
(h) Komunikasi Ciptaan; dan (i) penyewaan Ciptaan. 2. Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta. 3. Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang mela-
kukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan.
SANKSI PELANGGARAN
Pasal 113
1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi se-bagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp.100. 000.000 (seratus juta rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau peme-gang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau peme-gang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000. 000,00 (satu miliar rupiah).
4. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang
dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.4.000.000. 000,00 (empat miliar rupiah).
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional v
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kesempa-
tan dan kemudahan yang diberikan sehingga Buku dengan judul “Hukum
Diplomatik dan Hubungan Internasional” dapat selesai, walaupun dalam wujud
yang sangat sederhana. Materi Buku ini merupakan hasil pengayaan materi dan
bahan-bahan kuliah yang diajarkan sehari-hari oleh tim penulis kepada para ma-
hasiswa yang mengambil mata kuliah hukum diplomatik dan hubungan interna-
sional, sehingga sangat berguna bagi para mahasiswa sebagai buku pegangan
dalam membantu memahami dan menambah referensi dalam mengikuti proses
perkuliahan.
Penulisan buku ajar dengan judul Hukum Diplomatik dan Hubungan Inter-
nasional ini disamping sebagai pegangan bagi para mahasiswa yang mengambil
mata kuliah hukum diplomatik dan hubungan internasional juga dalam penulisan-
nya memang mengikuti program dan format buku panduan dari Lembaga Kajian
dan Pengembangan Pendidikan (LKPP) Universitas Hasanuddin. Selain itu juga,
LKPP memang memprogramkan bagi para dosen di lingkungan Universitas
Hasanuddin untuk membuat buku ajar di Tahun 2016.
Beberapa materi dalam buku inipun merupakan himpunan dari be-berapa
artikel yang ditulis oleh beberapa penulis lain yang sangat relevan dengan materi
kuliah Hukum Diplomatik dan Hubungan Internasional, khu-susnya pada materi-
materi pada bab-bab hubungan internasional. Buku ini tersusun menjadi 8 bab
utama, dimana bab-bab dimaksud terdiri dari : Bab 1 Hukum Diplomatik dan Per-
kembangan Kodifikasi (Pengertian Hukum Diplomatik, Perkembangan Kodifikasi
Hukum Diplomatik), Bab 2 Sumber Hukum Diplomatik (Konvensi Wina Tahun
1961, Konvensi Wina Tahun 1963, Konvensi New York Tahun 1969, Konvensi
New York Tahun 1973, Konvensi Wina Tahun 1975), Bab 3 Kekebalan dan Keis-
timewaan Diplomatik (Latar Belakang Timbulnya Kekebalan dan Keistimewaan
Diplomatik, Landasan Hukum bagi Pemberian Kekebalan dan Keistimewaan Dip-
lomatik, Mulai dan Berakhirnya Kekebalan dan Keistimewaan Diplomatik), Bab 4
Suaka, Persona Grata, dan Persona Non Grata (Suaka, Persona Grata, dan Per-
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin vi
sona Non Grata), Bab 5 Realisme dan Liberalisme dalam Hubungan Interna-
sional (Realisme, Liberalisme), Bab 6 Masyarakat Internasional (Ketertiban dan
Keadilan, Negarawan dan Tanggungjawabnya, Kritik Terhadap Masyarakat Inter-
nasional), Bab 7 Ekonomi Politik Internasional (Pembangunan dan Keterbelaka-
ngan di Dunia Ketiga, Globalisasi Ekonomi dan Peranan Negara yang Berubah),
dan terakhir pada Bab 8 Isu-Isu Baru dalam Hubungan Internasional (Lingku-
ngan, Gender, Kedaulatan).
Tim Penulis menyadari bahwa buku ini masih jauh dari kesempurnaan,
untuk itu dengan segala kerendahan hati tim penulis mengharapkan kritik dan
masukan yang sifatnya membangun guna perbaikan dan penyempurnaan penuli-
san buku-buku selanjutnya. Harapan kami, semoga buku ini dapat berguna da-
lam perkembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum, khususnya bidang
hukum internasional di masa yang akan datang.
Akhir kata, Selamat membaca . . .
Makassar, 05 Nopember 2016
Tim Penulis
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional vii
DAFTAR ISI
halaman
KATA PENGANTAR…………………………………………………………... v
DAFTAR ISI…………………………………………………………………….. vii
BAB I HUKUM DIPLOMATIK DAN PERKEMBANGAN KODIFIKASI .... 1
A. Pendahuluan ............................................................................ 1
1. Sasaran Pembelajaran ........................................................ 1
2. Kemampuan Mahasiswa yang Menjadi Prasyarat ............... 1
3. Keterkaitan Bahan Pembelajaran dengan Pokok Bahasan
Lainnya ................................................................................ 1
4. Manfaat Bahan Pembelajaran .............................................. 1
5. Petunjuk Belajar Mahasiswa ................................................ 2
B. Penyajian Materi Bahasan ....................................................... 2
1. Pengertian Hukum Diplomatik .............................................. 2
2. Perkembangan Kodifikasi Hukum Diplomatik ...................... 7
3. Rangkuman .......................................................................... 12
C. Penutup ................................................................................... 13
1. Soal Latihan ........................................................................ 13
2. Umpan Balik ........................................................................ 13
3. Daftar Pustaka .................................................................... 13
BAB II SUMBER HUKUM DIPLOMATIK ................................................. 15
A. Pendahuluan ............................................................................ 15
1. Sasaran Pembelajaran ........................................................ 15
2. Kemampuan Mahasiswa yang Menjadi Prasyarat ............... 15
3. Keterkaitan Bahan Pembelajaran dengan Pokok Bahasan
Lainnya ................................................................................ 15
4. Manfaat Bahan Pembelajaran .............................................. 15
5. Petunjuk Belajar Mahasiswa ................................................ 16
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin viii
B. Penyajian Materi Bahasan ....................................................... 16
1. Konvensi Wina Tahun 1961 ................................................ 16
2. Konvensi Wina Tahun 1963 ................................................ 42
3. Konvensi New York Tahun 1969 ........................................ 84
4. Konvensi New York Tahun 1973 ........................................ 114
5. Konvensi Wina Tahun 1975 ................................................ 122
6. Kesimpulan ......................................................................... 130
C. Penutup ................................................................................... 133
1. Soal Latihan ........................................................................ 133
2. Umpan Balik ........................................................................ 133
3. Daftar Pustaka .................................................................... 133
BAB III KEKEBALAN DAN KEISTIMEWAAN DIPLOMATIK .................. 135
A. Pendahuluan ............................................................................ 135
1. Sasaran Pembelajaran ........................................................ 135
2. Kemampuan Mahasiswa yang Menjadi Prasyarat ............... 135
3. Keterkaitan Bahan Pembelajaran dengan Pokok Bahasan
Lainnya ................................................................................ 135
4. Manfaat Bahan Pembelajaran .............................................. 135
5. Petunjuk Belajar Mahasiswa ................................................ 135
B. Penyajian Materi Bahasan ....................................................... 136
1. Latar Belakang Timbulnya Kekebalan dan Keistimewaan
Diplomatik ............................................................................ 136
2. Landasan Hukum bagi Pemberian Kekebalan dan
Keistimewaan Diplomatik ..................................................... 139
3. Mulai dan Berakhirnya Kekebalan dan Keistimewaan
Diplomatik ............................................................................ 158
4. Rangkuman .......................................................................... 161
C. Penutup ................................................................................... 163
1. Soal Latihan ........................................................................ 163
2. Umpan Balik ........................................................................ 163
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional ix
3. Daftar Pustaka .................................................................... 164
BAB IV SUAKA, PERSONA GRATA, DAN PERSONA NON GRATA .... 167
A. Pendahuluan ............................................................................ 167
1. Sasaran Pembelajaran ........................................................ 167
2. Kemampuan Mahasiswa yang Menjadi Prasyarat ............... 167
3. Keterkaitan Bahan Pembelajaran dengan Pokok Bahasan
Lainnya ................................................................................ 167
4. Manfaat Bahan Pembelajaran .............................................. 167
5. Petunjuk Belajar Mahasiswa ................................................ 168
B. Penyajian Materi Bahasan ....................................................... 168
1. Suaka ................................................................................... 168
2. Persona Grata ...................................................................... 179
3. Persona Non Grata .............................................................. 180
4. Rangkuman .......................................................................... 184
C. Penutup ................................................................................... 184
1. Soal Latihan ........................................................................ 184
2. Umpan Balik ........................................................................ 185
3. Daftar Pustaka .................................................................... 185
BAB V REALISME DAN LIBERALISME DALAM HUBUNGAN
INTERNASIONAL ........................................................................ 187
A. Pendahuluan ............................................................................ 187
1. Sasaran Pembelajaran ........................................................ 187
2. Kemampuan Mahasiswa yang Menjadi Prasyarat ............... 187
3. Keterkaitan Bahan Pembelajaran dengan Pokok Bahasan
Lainnya ................................................................................ 187
4. Manfaat Bahan Pembelajaran .............................................. 187
5. Petunjuk Belajar Mahasiswa ................................................ 187
B. Penyajian Materi Bahasan ....................................................... 188
1. Realisme .............................................................................. 188
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin x
2. Liberalisme........................................................................... 208
3. Rangkuman .......................................................................... 215
C. Penutup ................................................................................... 216
1. Soal Latihan ........................................................................ 216
2. Umpan Balik ........................................................................ 216
3. Daftar Pustaka .................................................................... 216
BAB VI MASYARAKAT INTERNASIONAL ............................................. 219
A. Pendahuluan ............................................................................ 219
1. Sasaran Pembelajaran ........................................................ 219
2. Kemampuan Mahasiswa yang Menjadi Prasyarat ............... 219
3. Keterkaitan Bahan Pembelajaran dengan Pokok Bahasan
Lainnya ................................................................................ 219
4. Manfaat Bahan Pembelajaran .............................................. 219
5. Petunjuk Belajar Mahasiswa ................................................ 219
B. Penyajian Materi Bahasan ....................................................... 220
1. Ketertiban dan Keadilan ....................................................... 224
2. Negarawan dan Tanggungjawabnya ................................... 230
3. Kritik terhadap Masyarakat Internasional ............................. 231
4. Rangkuman .......................................................................... 232
C. Penutup ................................................................................... 233
1. Soal Latihan ........................................................................ 233
2. Umpan Balik ........................................................................ 233
3. Daftar Pustaka .................................................................... 233
BAB VII EKONOMI POLITIK INTERNASIONAL ..................................... 235
A. Pendahuluan ............................................................................ 235
1. Sasaran Pembelajaran ........................................................ 235
2. Kemampuan Mahasiswa yang Menjadi Prasyarat ............... 235
3. Keterkaitan Bahan Pembelajaran dengan Pokok Bahasan
Lainnya ................................................................................ 235
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional xi
4. Manfaat Bahan Pembelajaran .............................................. 235
5. Petunjuk Belajar Mahasiswa ................................................ 235
B. Penyajian Materi Bahasan ....................................................... 236
1. Pembangunan dan Keterbelakangan di Dunia Ketiga ......... 236
2. Globalisasi Ekonomi dan Peranan Negara yang Berubah ... 243
3. Rangkuman .......................................................................... 247
C. Penutup ................................................................................... 248
1. Soal Latihan ........................................................................ 248
2. Umpan Balik ........................................................................ 249
3. Daftar Pustaka .................................................................... 249
BAB VIII ISU-ISU BARU DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL ........ 251
A. Pendahuluan ............................................................................ 251
1. Sasaran Pembelajaran ........................................................ 251
2. Kemampuan Mahasiswa yang Menjadi Prasyarat ............... 251
3. Keterkaitan Bahan Pembelajaran dengan Pokok Bahasan
Lainnya ................................................................................ 251
4. Manfaat Bahan Pembelajaran .............................................. 251
5. Petunjuk Belajar Mahasiswa ................................................ 251
B. Penyajian Materi Bahasan ....................................................... 252
1. Lingkungan .......................................................................... 252
2. Gender ................................................................................. 257
3. Kedaulatan ........................................................................... 261
4. Rangkuman .......................................................................... 263
C. Penutup ................................................................................... 165
1. Soal Latihan ........................................................................ 265
2. Umpan Balik ........................................................................ 265
3. Daftar Pustaka .................................................................... 265
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin xii
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 167
SENARAI KATA PENTING
INDEKS
TIM PENULIS
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 1
BAB I
HUKUM DIPLOMATIK DAN
PERKEMBANGAN KODIFIKASI
A. PENDAHULUAN
1. Sasaran Pembelajaran
Mahasiswa mampu menguraikan pengertian Hukum Diplomatik, dan per-
kembangan kodifikasi hukum diplomatik, serta mampu menelaah ilmu-ilmu yang
berkaitan dengan hukum diplomatik.
2. Kemampuan Mahasiswa yang Menjadi Prasyarat
Sebelum mempelajari materi ini mahasiswa harus mempunyai pengetahu-
an awal tentang dasar-dasar ilmu hukum dan sebagai prasyarat mahasiswa telah
lulus mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum, Hukum Internasional, Hukum Perjanji-
an Internasional. Selain itu mahasiswa harus mempunyai kemampuan kongintif,
psikomotorik dan afektif dalam mempelajari ruang lingkup hukum diplomatik.
3. Keterkaitan Bahan Pembelajaran dengan Pokok Bahasan Lainnya
Bahan pembelajaran ini memberikan pemahaman awal kepada mahasis-
wa tentang karakterisrik hukum diplomati menyangkut pengertian, sifat, perkem-
bangan kodifikasi, serta ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hukum diplomatik se-
hingga akan lebih mudah mahasiswa untuk memahami atau mempelajari pokok
bahasan selanjutnya tentang sumber hukum diplomatik.
4. Manfaat Bahan Pembelajaran
Setelah mengikuti dan memahami materi bahasan ini maka mahasiswa
mampu menguraikan pengertian hukum diplomatik, dan perkembangan kodifi-
kasi hukum diplomatik, serta mampu menelaah ilmu-ilmu yang berkaitan dengan
hukum diplomatik.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 2
5. Petunjuk Belajar Mahasiswa
Sebelum mengikuti perkuliahan mahasiswa diwajibkan membaca materi
dalam buku ajar ini. Setelah pemaparan materi bahasan tersebut di atas maha-
siswa diberi kesempatan bertanya atau membentuk kelompok diskusi, serta ma-
hasiswa dibebaskan untuk mengemukakan pendapat seluas-luasnya dan berta-
nya kepada fasilitator jika ada materi yang kurang. Selain itu mahasiswa juga
diberikan tugas mandiri dalam bentuk mahasiswa melakukan penelusuran bahan
pustaka terkait hukum diplomatik, dan dibahas berdasarkan ruang lingkup materi
yang telah diajarkan.
B. PENYAJIAN MATERI BAHASAN
HUKUM DIPLOMATIK DAN PERKEMBANGAN KODIFIKASI
1. Pengertian Hukum Diplomatik
Hukum diplomatik merupakan kata atau istilah yang tidak asing lagi dide-
ngar bagi kita, beberapa pemberitaan baik di media elektronik maupun media
cetak tidak sedikit memberitakan masalah diplomatik. Persoalan diplomatik wa-
laupun tidak banyak orang yang tertarik untuk membahas, karena seakan-akan
‘alergi’ dengan kata diplomatik yang selalu dihubungkan dengan persoalan luar
negeri, dan pembahasannyapun bagi sebagian orang seperti mengawang-awa-
ng, namun terlepas itu semua, kita tidak akan dapat menghindar dari pembaha-
san mengenai persoalan diplomatik. Apalagi dewasa ini sumber informasi sa-
ngatlah banyak dan banyak pula pemberitaan yang menulis dan memberitakan
masalah-masalah politik luar negeri dan hubungan antar negara. Maka dari itu,
sebagai warga negara (Indonesia) yang baik sudah seyogiyanyalah kita kritis
dan tidak gagap informasi utamanya mengenai persoalan luar negeri dimana
Indonesia ikut terlibat didalamnya.
Sejarah membuktikan bahwa sifat hubungan antar negara dengan negara
lain senantiasa berubah-ubah menurut perubahan masa dan keadaan, tetapi ca-
ra memelihara dan menghidupkan perhubungan itu adalah satu, yaitu dengan
mempergunakan cara diplomasi. Dan dengan adanya perwakilan diplomatik
ataupun legasi-legasi, pos-pos yang tetap, menimbulkan kebutuhan untuk men-
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 3
ciptakan kelas satu golongan pegawai baru yang disebut diplomat. Tetapi
pemakaian istilah diplomat dan diplomasi baru menjadi umum pada kira-kira
abad ke-18.1 Pengertian “hukum diplomatik” masih belum banyak diungkapkan.
Para sarjana hukum internasional masih belum banyak menuliskan secara khu-
sus, karena pada hakikatnya hukum diplomatik merupakan bagian dari hukum
internasional yang mempunyai sebagian sumber hukum yang sama seperti kon-
vensi-konvensi internasional yang ada. Namun apa yang ditulis oleh Eileen
Denza mengenai “Diplomatic Law” pada hakikatnya hanya menyangkut komen-
tar terhadap Konvensi Wina mengenai hubungan diplomati.2 Ada pula yang
memberikan batasan bahwa hukum diplomatik merupakan cabang dari hukum
kebiasaan internasional yang terdiri dari seperangkat aturan-aturan dan norma-
norma hukum yang menetapkan kedudukan dan fungsi para diplomat termasuk
bentuk-bentuk organisasional dari dinas diplomatik.3
Diplomasi dapat berarti politik luar negeri, misalnya jika dikatakan diplo-
masi Republik Indonesia di Afrika perlu ditingkatkan, dapat pula berarti perundi-
ngan, misalnya jika dikatakan masalah timur tengah hanya dapat diselesaikan
melalui diplomasi, dan sebagainya. Bertolak dari itu semua, diplomasi merupa-
kan cara komunikasi yang dilakukan antara berbagai pihak termasuk negosiasi
antara wakil-wakil yang sudah diakui, di mana praktik-praktik semacam itu telah
diakui sejak dahulu. Diplomasi berarti menggunakan segala kebijaksanaan dan
kecendikiawanan dalam melaksanakan dan memelihara perhubungan-perhubu-
ngan resmi antara pemerintah-pemerintah dan negara-negara yang merdeka.
Ada berbagai definisi dari diplomasi, apabila dilihat rumusan pokok, bahwa diplo-
masi adalah pengadaan hubungan antara pemerintah dengan cara perdamaian
1 J. Badri, Perwakilan Diplomatik dan Konsuler, Tintamas, Jakarta, 1960, hlm. 19
sebagaimana dikutip dalam buku Edy Suryono dan Moenir Arisoendha, Hukum Diplomatik, Kekebalan dan Keistimewaan, Angkasa, Bandung, 1986, hlm. 13
2 Eileen Denza, Diplomatic Law, Commentary on the Vienna Convention on Diplomatic
Relations, Oceania Publication, Inc. Dobbs Ferry, New York, 1976, sebagaimana dikutip dalam buku Sumaryo Suryokusumo, Hukum Diplomatik, Teori dan Kasus, Alumni, Bandung, 2005, hlm. 1
3 Edmund Jan Osmanczyk, Encyclopedia of the United Nations and International
Agreements, Taylor and Francis, London, 1995, sebagaimana dikutip dalam buku Sumaryo Suryokusumo, Ibid.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 4
(the conduct of bussines states by pecefull means), antara lain: Diplomacy (skill
in) management of relation, skill in dealing with people so that bussiness is done
Smoothly. Adapun yang dimaksud diplomasi adalah kecakapan dalam pengelo-
laan hubungan, kecakapan dalam melakukan perjanjian dengan orang lain se-
hingga urusan terselesaikan dengan lancar.4 Diplomaticy is the management of
foreign affairs (diplomasi adalah pembinaan urusan-urusan luar negeri).5 Se-
dangkan Sir Ernest Satow, dalam bukunya “Satow’s Guide to Diplomatic Practi-
ce”. Diplomacy as application of intelligence and tact to the conduct of official
relations between the government of independent states (diplomasi adalah peng-
gunaan kecendikiawanan dan kebijaksanan dalam melaksanakan dan memeliha-
ra perhubungan-perhubungan resmi antara pemerintah-pemerintah dari negara-
negara yang merdeka).6
Dari adanya berbagai batasan tersebut, arti diplomasi yang cukup mena-
rik, yaitu:7
- The management of internal relations by means of negotiations (Pe-
ngelolaan hubungan internal dengan cara negoisasi);
- The method by wich these relations are adjusted and managed by am-
bassador and envoys (cara dari pada pengendalian serta pemeliha-
raan hubungan-hubungan internasional itu oleh para duta-duta besar
dan duta-duta);
- The bussiness or art of the diplomatist (pekerjaan ataupun pengeta-
huan serta kebijaksanaan seorang diplomat);
- Skill or address in conduct of international intercourse and negotiations
(keahlian atau kemampuan berbicara dalam memimpin hubungan dan
perundingan).
4 Oxford Progressive Dictionary 5 Encyclopedia Britannica 6 Gore-Booth, D. Pakenham, Satow’s Guide to Diplomatic Practice, Fifth Edition, Logman
Group, Ltd. London, 1979, hlm. 3 7 Oxford English Dictionary menurut Harold Nicholson, sebagaimana dikutip oleh Sigit
Fahrudin, Pengertian dan Sumber Hukum Diplomatik, (Artikel Lepas) Tahun 2009.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 5
Dari batasan dan pengertian di atas, maka terdapat beberapa faktor yang
penting, yaitu hubungan antar bangsa untuk merintis kerjasama dan persahaba-
tan, hubungan dilakukan melalui pertukaran misi diplomatik termasuk para peja-
batnya, para pejabat harus diakui statusnya sebagai pejabat diplomatik dan agar
para pejabat itu dapat melakukan tugas diplomatiknya dengan efisien. Diplomat
perlu diberikan hak-hak istimewa dan kekebalan yang didasarkan atas aturan-
aturan dalam hukum kebiasaan internasional serta perjanjian-perjanjian lainnya
yang menyangkut hubungan diplomatik antar negara. Dengan demikian hukum
diplomatik adalah ketentuan atau prinsip-prinsip hukum internasional yang me-
ngatur hubungan diplomatik antar negara yang dilakukan atas dasar permufaka-
tan bersama dan ketentuan atau prinsip-prinsip yang dituangkan di dalam instru-
men-instrumen hukum sebagai hasil kodifikasi hukum kebiasaan Sumber hukum
diplomatik di dalam pembahasannya tidak dapat dipisahkan dari apa yang terse-
but dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional, yaitu :8
a. International convention, whether general or particular, establishing ru-
les expressly recognized by the contesting state (Perjanjian internasio-
nal, baik yang bersifat umum maupun khusus).
b. International custom, as evidence of a general practice accepted as a
law (Kebiasaan internasional, terbukti dalam praktik-praktik umum dan
diterima sebagai hukum).
c. The general principles of law recognized by civilized nations (Asas-
asas umum hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab).
d. Subject to the provisions of article 59, judicial decisions and the tea-
ching of the most highly qualified publicists of the various nations, as a
subsidiary means for the determination of rules of law (Keputusan-ke-
putusan hakim dan ajaran-ajaran para ahli hukum internasional dari
berbagai negara sebagai alat tambahan untuk menentukan hukum).
Peraturan-peraturan yang ditegaskan dalam Pasal 38 ayat 1 Statuta Mah-
kamah Internasional inilah yang oleh Mochtar Kusumaatmadja disebut sebagai
sumber hukum formil. Kebiasaan dan perjanjian internasional, keduanya dapat
8 Fahrudin, Ibid.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 6
merupakan sumber pokok dalam hukum diplomatik, sedangkan sumber hukum
lainnya seperti prinsip-prinsip umum dalam hukum yang diakui oleh negara-
negara dan keputusan-keputusan mahkamah lebih bersifat subsider.9 Pengertian
lain dari hukum diplomatik, disebutkan bahwa “The conduct by goverment offi-
cials of negotiations and other relations between nationas; the art of science of
conducting such negotiations; skill in managing negotiations, handling of people
so that there is little or no ill-will tact”.10 Dan “...diplomacy comprises any means
by which states establish or maintain mutual relations, communicate with each
other, or carry out political or legal transactions, in each case through their autho-
rized agents”.11 Jika ditinjau dari pengertian secara tradisionalnya, hukum diplo-
matik digunakan untuk merujuk pada norma-norma hukum internasional yang
mengatur tentang kedudukan dan fungsi misi diplomatik yang dipertukarkan oleh
negara-negara yang telah membina hubungan diplomatik. Pengertian hukum
diplomatik secara tradisional itu kini telah meluas karena hukum diplomatik seka-
rang bukan sekedar mencakup hubungan diplomatik dan konsuler antar negara,
akan tetapi juga meliputi keterwakilan negara dalam hubungannya dengan orga-
nisasi-organisasi internasional. Ada beberapa faktor penting yang didapatkan
dari pengertian hukum diplomatik yang telah disebutkan sebelumnya diatas, yai-
tu hubungan antar bangsa untuk merintis kerja sama dan persahabatan.
Hubungan itu dilakukan dengan pertukaran misi diplomatik. Para pejabat yang
bersangkutan harus diakui statusnya sebagai wakil diplomatik. Dari faktor-faktor
yang telah disebutkan di atas, maka pengertian hukum diplomatik pada hakikat-
nya merupakan ketentuan atau prinsip-prinsip hukum internasional yang menga-
tur hubungan diplomatik antar negara yang dilakukan atas dasar permufakatan
bersama dan ketentuan atau prinsip-prinsip tersebut dituangkan dalam instru-
9 Ibid. 10 Random House Dictionary 11 James Crawford, Brownlie’s Principles of Public International Law, Eight Edition,
Oxford University Press, Oxford, 2012, hlm. 399
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 7
men-instrumen hukum sebagai hasil dari kodifikasi hukum kebiasaan internasio-
nal dan pengembangan kemajuan hukum internasional.12
Sedangkan khusus mengenai diplomasi sendiri secara sederhana dapat
diartikan sebagai suatu cara komunikasi yang dilakukan antara berbagai pihak
termasuk komunikasi antar wakil-wakil yang sudah diakui. Praktik-praktik negara
semacam itu sudah melembaga sejak dahulu dan kemudian menjelma sebagai
aturan-aturan hukum internasional.13 Pengertian-pengertian di atas telah dapat
menggambarkan bagaimana rumitnya bagi seorang pelajar dalam memahami
pengertian dasar dari hukum diplomatik, tidak adanya keseragaman pendapat
yang dipengaruhi oleh sudut pandang dan bacaan yang dimiliki, namun setidak-
nya dapat memberikan pemahaman awal bagi kita bahwa yang dimaksud de-
ngan hukum diplomatik adalah serangkaian aturan atau kaidah hukum mengatur
tentang kedudukan dan fungsi misi diplomatik yang dipertukarkan oleh negara-
negara yang telah membangun komunikasi dalam bentuk hubungan diplomatik.
2. Perkembangan Kodifikasi Hukum Diplomatik
Dalam pergaulan masyarakat, negara sudah mengenal semacam misi-mi-
si konsuler dan diplomatik dalam arti yang sangat umum seperti yang dikenal se-
karang pada abad ke-16 dan ke-17, dan penggolongan Kepala Perwakilan Diplo-
matik telah ditetapkan dalam Kongres Wina 1815 sebagai berikut :14
1. Duta-duta besar dan para utusan (ambassadors and legate)
2. Minister plenipoteniary dan envoys extraordinary
3. Kuasa Usaha (charge d' affaires)
Dan setelah PBB didirikan pada tahun 1945, dua tahun kemudian telah di-
bentuk Komisi Hukum Internasional. Setelah tiga puluh tahun (1949-1979), komi-
12 Makaramah, Pengertian, Sejarah, dan Sumber Hukum Diplomatik, (Artikel Lepas)
Tahun 2015 13 Sumaryo Suryokusumo, Op.Cit., hlm. 2 14 Makaramah, Loc.Cit
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 8
si telah menangani 27 topik dan subtopik hukum internasional, 7 diantaranya
adalah menyangkut hukum diplomatik, yaitu :15
1. Pergaulan dan kekebalan diplomatik;
2. Pergaulan dan kekebalan konsuler;
3. Misi-misi khusus;
4. Hubungan antara negara bagian dan organisasi internasional;
5. Masalah perlindungan dan tidak diganggu gugatnya pejabat diploma-
tik dan orang lain yang memperoleh perlindungan khusus menurut hu-
kum internasional;
6. Status kurir diplomatik dan kantong diplomatik yang diikutsertakan pa-
da kurir diplomatik;
7. Hubungan antara negara dengan organisasi internasional
Hingga kini setidaknya ada lima aturan internasional yang menjadi rujukan
dalam melakukan hubungan diplomatik antar negara, kelima aturan tersebut
adalah sebagai berikut :16
1. Konvensi Wina 1961 mengenai Hubungan Diplomatik
Setelah berdirinya PBB pada tahun 1945, untuk pertama kalinya pe-
ngembangan kodifikasi hukum internasional termasuk hukum diploma-
tik telah dimulai pada tahun 1949 secara intensif oleh Komisi Hukum
Internasional khususnya mengenai ketentuan-ketentuan yang me-
nyangkut kekebalan dan pergaulan diplomatik yang telah digariskan
secara rinci. Konvensi Wina 1961 ini terdiri dari 53 pasal yang meliputi
hampir semua aspek penting dari hubungan diplomatik secara perma-
nen antar negara. Di samping itu, juga terdapat 2 protokol pilihan me-
ngenai masalah kewarganegaraan dan keharusan untuk menyelesai-
kan sengketa yang masing-masing terdiri dari 8-10 pasal. Konvensi
Wina 1961 itu beserta dengan dua protokolnya telah diberlakukan
sejak tanggal 24 April 1964 hingga 31 Desember 1987. Ada total 151
negara yang menjadi para pihak dalam Konvensi tersebut dimana 42
15 Ibid. 16 Ibid.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 9
di antaranya adalah pihak dalam protokol pilihan mengenai perolehan
kewarganegaraan dan 52 negara telah menjadi pihak dalam protokol
pilihan tentang keharusan untuk menyelesaikan sengketa.
Pasal 1-19 Konvensi Wina 1961 menyangkut pembentukan misi-misi
diplomatik, hak dan cara-cara untuk pengangkatan serta penyerahan
surat-surat kepercayaan dari Kepala Perwakilan Diplomatik (Dubes);
pasal 20-28 mengenai kekebalan dan keistimewaan bagi misi-misi
diplomatik termasuk di dalamnya pembebasan atas berbagai pajak.
Pasal 29-36 adalah mengenai kekebalan dan keistimewaan yang
diberikan kepada para diplomat dan keistimewaan bagi anggota ke-
luarganya serta staf pelayanan yang bekerja pada mereka dan pasal
48-53 berisi tentang berbagai ketentuan mengenai penandatanganan,
aksesi, ratifikasi dan mulai berlakunya Konvensi itu.
2. Konvensi Wina 1963 mengenai Hubungan Konsuler
Untuk pertama kalinya usaha guna mengadakan kodifikasi peraturan-
peraturan tentang lembaga konsul telah dilakukan dalam Konverensi
negara-negara Amerika tahun 1928 di Havana, Kuba, di mana dalam
tahun itu telah disetujui Convention on Consular Agents. Setelah itu,
dirasakan belum ada suatu usaha yang cukup serius untuk mengada-
kan kodifikasi lebih lanjut tentang peraturan-peraturan tentang hubu-
ngan konsuler kecuali setelah Majelis Umum PBB meminta kepada
Komisi Hukum Internasional untuk melakukan kodifikasi mengenai
masalah tersebut.
3. Konvensi New York 1969 mengenai Misi Khusus
Konvensi ini Wina tahun 1961 dan 1963 telah mengutamakan kodi-
fikasi dari hukum kebiasaan yang ada, sementara konvensi ini bertuju-
an untuk memberi peraturan yang lebih mengatur mengenai misi-misi
khusus yang memiliki tujuan terbatas yang berbeda dengan misi
diplomatik yang sifatnya permanen.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 10
4. Konvensi New York Tahun 1973 mengenai Pencegahan dan Penghu-
kuman Kejahatan terhadap Orang-Orang yang Menurut Hukum Inter-
nasional termasuk Para Diplomat.
Dalam perkembangannya, hukum diplomatik telah mencatat kemajuan
lebih lanjut dengan secara khusus mengharuskan melalui sebuah kon-
vensi, suatu kewajiban penting bagi negara penerima untuk mence-
gah setiap serangan yang ditujukan pada seseorang, kebebasan dan
kehormatan para diplomat serta untuk melindungi gedung perwakilan
diplomatik. Dalam tahun 1971, Organisasi Negara-negara Amerika te-
lah menyetujui suatu konvensi tentang masalah tersebut. Dalam si-
dang-nya yang ke-24 dalam tahun 1971, sehubungan dengan mening-
katnya kejahatan yang dilakukan kepada misi diplomatik termasuk ju-
ga para diplomatnya, Majelis Umum PBB telah meminta Komisi Hu-
kum Internasional untuk mempersiapkan rancangan pasal-pasal me-
ngenai pencegahan dan penghukuman kejahatan-kejahatan yang dila-
kukan terhadap orang-orang yang dilindungi secara hukum internasio-
nal. Konvensi mengenai masalah itu akhirnya disetujui oleh Majelis
Umum PBB di New York pada tanggal 14 Desember 1973 dengan
rseolusi 3166(XXVII).
Dalam mukadimahnya, ditekankan akan pentingnya aturan-aturan hu-
kum internasional mengenai tidak boleh diganggu gugatnya dan perlu-
nya proteksi secara khusus bagi orang-orang yang menurut hukum
internasional harus dilindungi termasuk kewajiban-kewajiban negara
dalam menangani dan mengatasi masalah itu. Konvensi New York
1973 ini terdiri dari 20 pasal dan walaupun hanya beberapa ketentuan
tetapi cukup untuk mencakup berbagai aspek yang berkaitan dengan
perlindungan dan penghukuman terhadap pelanggaran.
5. Konvensi Wina 1975 mengenai Keterwakilan Negara dalam Hubu-
ngannya dengan Organisasi Internasional yang Bersifat Universal.
Pentingnya perumusan konvensi ini sebenarnya didorong dengan
adanya situasi dimana pertumbuhan organisasi internasional yang be-
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 11
gitu cepatnya baik dalam jumlah maupun lingkup masalah hukumnya
yang timbul akibat hubungan negara dengan organisasi internasional.
Dalam perkembangannya lebih lanjut, ada permasalahan dalam persida-
ngan tahun 1971 yang mengajukan tiga masalah, yaitu :17
(1) Dampak yang mungkin terjadi dalam keadaan yang luar biasa seperti
tidak adanya pengakuan, tidak adanya putusan, hubungan diplomatik
dan konsuler atau adanya pertikaian senjata di antara anggota-
anggota organisasi internasional itu sendiri.
(2) Perlu dimasukkannya ketentuan-ketentuan mengenai penyelesaian
sengketa.
(3) Delegasi peninjau dari negara-negara ke berbagai badan dan konfe-
rensi.
Indonesia lebih banyak mengadakan peraturan tentang keistimewaan
ataupun kelonggaran diplomatik melalui peraturan pemerintah, peraturan peme-
rintah pengganti undang-undang, maupun keputusan-keputusan lainnya yang
dikeluarkan oleh menteri-menteri yang bersangkutan, bahkan dalam berbagai
kasus hanya dengan surat edaran dalam nota diplomatik. Sedangkan dalam ma-
salah kekebalan diplomatik, khususnya tidak banyak dituangkan dalam peraturan
perundangan kecuali masalah-masalah lainnya yang menyangkut kekebalan dip-
lomatik yang tidak diatur secara tersendiri dalam peraturan perundangan, pelak-
sanaannya didasarkan pada hukum kebiasaan dan praktik-praktik yang telah
lama berlaku. Namun setelah meratifikasi konvensi Wina 1961 mengenai Hubu-
ngan Diplomatik dan Konvensi Wina 1963 mengenai hubungan konsuler, pene-
rapan terhadap kekebalan dan keistimewaan diplomatik sudah tentu didasarkan
ketentuan-ketentuan dalam kedua konvensi tersebut yang telah diundangkan
melalui UU RI Nomor 1 Tahun 1982 (tanggal 25 Januari 1982). Atas dasar un-
dang-undang ini, Indonesia dapat pula menetapkan aspek-aspek kekebalan dan
keistimewaan diplomatik dalam peraturan-peraturan pemerintah ataupun seje-
nisnya.18
17 Ibid. 18 Sumaryo Suryokusumo, Op.Cit., hlm. 49
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 12
3. Rangkuman :
3.1 Hukum diplomatik adalah serangkaian aturan atau kaidah hukum menga-
tur tentang kedudukan dan fungsi misi diplomatik yang dipertukarkan oleh
negara-negara yang telah membangun komunikasi dalam bentuk hubu-
ngan diplomatik. Sedangkan diplomasi sendiri secara sederhana dapat
diartikan sebagai suatu cara komunikasi yang dilakukan antara berbagai
pihak termasuk komunikasi antar wakil-wakil yang sudah diakui. Praktik-
praktik negara semacam itu sudah melembaga sejak dahulu dan kemu-
dian menjelma sebagai aturan-aturan hukum internasional.
3.2 Dalam pergaulan masyarakat, negara sudah mengenal semacam misi-
misi konsuler dan diplomatik dalam arti yang sangat umum seperti yang
dikenal sekarang pada abad ke-16 dan ke-17, dan penggolongan Kepala
Perwakilan Diplomatik telah ditetapkan dalam Kongres Wina 1815, dan
setelah PBB didirikan pada tahun 1945, dua tahun kemudian telah diben-
tuk Komisi Hukum Internasional. Setelah tiga puluh tahun (1949-1979),
komisi telah menangani 27 topik dan subtopik hukum internasional, 7
diantaranya adalah menyangkut hukum diplomatik. Hingga kini setidaknya
ada lima aturan internasional yang menjadi rujukan dalam melakukan
hubungan diplomatik antar negara, kelima aturan tersebut adalah (1)
Konvensi Wina 1961 mengenai hubungan diplomatik; (2) Konvensi Wina
1963 mengenai hubungan konsuler; (3) Konvensi New York 1969 menge-
nai misi khusus; (4) Konvensi New York mengenai pencegahan dan peng-
hukuman kejahatan terhadap orang-orang yang menurut hukum interna-
sional termasuk para diplomat; dan (5) Konvensi Wina 1975 mengenai
keterwakilan negara dalam hubungannya dengan Organisasi Internasional
yang bersifat universal.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 13
C. PENUTUP
1. Soal Latihan
Fasilitator memberikan tes formatif untuk mengetahui tingkat penguasaan
pengetahuan yang diperoleh mahasiswa pada materi bahasan ini dengan mem-
berikan pertanyaan antara lain sebagai berikut:
1.1 Jelaskan pengertian hukum diplomatik berikut sumber rujukannya !
1.2 Apa yang dimaksud dengan diplomasi !
1.3 Bagaimanakah awal perkembangan kodifikasi hukum diplomatik !
1.4 Sebutkan sejumlah aturan internasional yang digunakan saat ini dalam
melakukan hubungan diplomatik !
1.5 Apakah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Wina 1961 dan 1963 !
2. Umpan Balik :
Mahasiswa dapat mengajukan hal tentang kondisi yang dialami dan diha-
rapkannya untuk memahami materi bahasan terkait. Beberapa tugas mandiri
mahasiswa direspon dengan memberikan tanggapan balik terkait materi pokok
bahasan.
3. Daftar Pustaka
Edmund Jan Osmanczyk, Encyclopedia of the United Nations and International
Agreements, Taylor and Francis, London, 1995.
Edy Suryono dan Moenir Arisoendha, Hukum Diplomatik, Kekebalan dan
Keistimewaan, Angkasa, Bandung, 1986.
Eileen Denza, Diplomatic Law, Commentary on the Vienna Convention on
Diplomatic Relations, Oceania Publication, Inc. Dobbs Ferry, New York,
1976.
Encyclopedia Britannica
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 14
Gore-Booth, D. Pakenham, Satow’s Guide to Diplomatic Practice, Fifth Edition,
Logman Group, Ltd. London, 1979.
J. Badri, Perwakilan Diplomatik dan Konsuler, Tintamas, Jakarta, 1960.
James Crawford, Brownlie’s Principles of Public International Law, Eight Edition,
Oxford University Press, Oxford, 2012.
Makaramah, Pengertian, Sejarah, dan Sumber Hukum Diplomatik, (Artikel
Lepas) Tahun 2015.
Oxford English Dictionary
Oxford Progressive Dictionary
Random House Dictionary
Sigit Fahrudin, Pengertian dan Sumber Hukum Diplomatik, (Artikel Lepas) Tahun
2009.
Sumaryo Suryokusumo, Hukum Diplomatik, Teori dan Kasus, Alumni, Bandung,
2005.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 15
BAB II
SUMBER HUKUM DIPLOMATIK
A. PENDAHULUAN
1. Sasaran Pembelajaran
Mahasiswa mampu menyebut dan menguraikan instrumen-instrumen hu-
kum internasional yang menjadi sumber hukum diplomatik.
2. Kemampuan Mahasiswa yang Menjadi Prasyarat
Sebelum mempelajari materi ini mahasiswa harus mempunyai pengeta-
huan awal tentang pengertian hukum diplomatik, perkembangan kodifikasi hu-
kum diplomatik, dan sebagai prasyarat mahasiswa telah lulus mata kuliah Pe-
ngantar Ilmu Hukum, Hukum Internasional, dan Hukum Perjanjian Internasional.
Selain itu mahasiswa harus mempunyai kemampuan kongintif, psikomotorik dan
afektif dalam mempelajari cakupan sumber-sumber hukum diplomatik.
3. Keterkaitan Bahan Pembelajaran dengan Pokok Bahasan Lainnya
Bahan pembelajaran ini memberikan pemahaman kepada mahasiswa ten-
tang isi materi Konvensi Wina 1961 mengenai hubungan diplomatik, Konvensi
Wina 1963 mengenai hubungan konsuler, Konvensi New York 1969 mengenai
misi khusus, Konvensi New York mengenai pencegahan dan penghukuman keja-
hatan terhadap orang-orang yang menurut hukum internasional termasuk para
diplomat, dan Konvensi Wina 1975 mengenai keterwakilan negara dalam hubu-
ngannya dengan Organisasi Internasional yang bersifat universal, sehingga akan
lebih mudah mahasiswa untuk memahami atau mempelajari pokok bahasan
selanjutnya tentang kekebalan dan keistimewaan diplomatik.
4. Manfaat Bahan Pembelajaran
Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa mampu menyebut dan
menguraikan instrumen-instrumen hukum internasional yang menjadi sumber
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 16
hukum diplomatik, sehingga mahasiswa dapat mengetahui secara jelas dimana
sandaran hukum bagi negara-negara dalam melakukan hubungan diplomatik
dan sebagai panduan bagi wakil-wakil negara yang sah di forum-forum interna-
sional.
5. Petunjuk Belajar Mahasiswa
Sebelum mengikuti perkuliahan mahasiswa diwajibkan membaca materi
dalam buku ajar ini. Setelah pemaparan materi bahasan tersebut di atas maha-
siswa diberi kesempatan bertanya atau membentuk kelompok diskusi, serta ma-
hasiswa dibebaskan untuk mengemukakan pendapat seluas-luasnya dan berta-
nya kepada fasilitator jika ada materi yang kurang. Selain itu mahasiswa juga
diberikan tugas mandiri dalam bentuk mahasiswa melakukan penelusuran bahan
pustaka terkait hukum diplomatik, dan dibahas berdasarkan ruang lingkup materi
yang telah diajarkan.
B. PENYAJIAN MATERI BAHASAN
SUMBER-SUMBER HUKUM DIPLOMATIK
1. Konvensi Wina Tahun 1961 tentang Hubungan Diplomatik, dan
Protokol Tambahannya
Setelah berdirinya PBB pada tahun 1945, untuk pertama kalinya pengem-
bangan kodifikasi hukum internasional termasuk hukum diplomatik telah dimulai
pada tahun 1949 secara intensif oleh Komisi Hukum Internasional khususnya
mengenai ketentuan-ketentuan yang menyangkut kekebalan dan pergaulan dip-
lomatik yang telah digariskan secara rinci.Konvensi Wina 1961 ini terdiri dari 53
pasal yang meliputi hampir semua aspek penting dari hubungan diplomatik seca-
ra permanen antar negara. Di samping itu, juga terdapat 2 protokol pilihan me-
ngenai masalah kewarganegaraan dan keharusan untuk menyelesaikan sengke-
ta yang masing-masing terdiri dari 8-10 pasal. Konvensi Wina 1961 itu beserta
dengan dua protokolnya telah diberlakukan sejak tanggal 24 April 1964 hingga
31 Desember 1987. Ada total 151 negara yang menjadi para pihak dalam Kon-
vensi tersebut dimana 42 di antaranya adalah pihak dalam protokol pilihan me-
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 17
ngenai perolehan kewarganegaraan dan 52 negara telah menjadi pihak dalam
protokol pilihan tentang keharusan untuk menyelesaikan sengketa. Pasal 1-19
Konvensi Wina 1961 menyangkut pembentukan misi-misi diplomatik, hak dan
cara-cara untuk pengangkatan serta penyerahan surat-surat kepercayaan dari
Kepala Perwakilan Diplomatik (Dubes); Pasal 20-28 mengenai kekebalan dan
keistimewaan bagi misi-misi diplomatik termasuk di dalamnya pembebasan atas
berbagai pajak. Pasal 29-36 adalah mengenai kekebalan dan keistimewaan yang
diberikan kepada para diplomat dan keistimewaan bagi anggota keluarganya
serta staf pelayanan yang bekerja pada mereka dan Pasal 48-53 berisi tentang
berbagai ketentuan mengenai penandatanganan, aksesi, ratifikasi dan mulai ber-
lakunya Konvensi itu.19 Berikut isi lengkap dari naskah Konvensi Wina Tahun
1961 tentang Hubungan Diplomatik :20
VIENNA CONVENTION ON DIPLOMATIC RELATIONS.
DONE AT VIENNA, ON APRIL 1961
- The States Parties to the present Convention,
- Recalling that peoples of all nations from ancient times have recognized the
status of diplomatic agents,
- Having in mind the purposes and principles of the Charter of the United
Nations concerning the sovereign equality of States, the maintenance of in-
ternational peace and security, and the promotion of friendly relations among
nations,
- Believing that an international convention on diplomatic intercourse, privile-
ges and immunities would contribute to the development of friendly relations
among nations, irrespective of their differing constitutional and social sys-
tems,
- Realizing that the purpose of such privileges and immunities is not to benefit
individuals but to ensure the efficient performance of the functions of diplo-
matic missions as representing States,
19 http://referensi.elsam.or.id 20 http://pih.kemlu.go.id/
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 18
- Affirming that the rules of customary international law should continue to
govern questions not expressly regulated by the provisions of the present
Convention,
- Have agreed as follows :
Article 1
For the purpose of the present Convention, the following expressions shall
have the meanings hereunder assigned to them :
(a) the "head of the mission" is the person charged by the sending State with
the duty of acting in that capacity;
(b) the "members of the mission" are the head of the mission and the mem-
bers of the staff of the mission;
(c) the "members of the staff of the mission" are the members of the diplo-
matic staff, of the administrative and technical staff and of the service staff
of the mission;
(d) the "members of the diplomatic staff" are the members of the staff of the
mission having diplomatic rank;
(e) a "diplomatic agent" is the head of the mission or a member of the diplo-
matic staff of the mission;
(f) the "members of the administrative and technical staff" are the members
of the staff of the mission employed in the administrative and technical
service of the mission;
(g) the "members of the service staff" are the members of the staff of the
mission in the domestic service of the mission;
(h) a "private servant" is a person who is in the domestic service of a member
of the mission and who is not an employee of the sending State;
(i) the "premises of the mission" are the buildings or parts of buildings and
the land ancillary thereto, irrespective of ownership, used for the purposes
of the mission including the residence of the head of the mission.
Article 2
The establishment of diplomatic relations between States, and of perma-
nent diplomatic missions, takes place by mutual consent.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 19
Article 3
1. The functions of a diplomatic mission consist, inter alia, in :
(a) representing the sending State in the receiving State;
(b) protecting in the receiving State the interests of the sending State and of
its nationals, within the limits permitted by international law;
(c) negotiating with the Government of the receiving State;
(d) ascertaining by all lawful means conditions and developments in the
receiving State, and reporting thereon to the Government of the sending
State;
(e) promoting friendly relations between the sending State and the receiving
State, and developing their economic, cultural and scientific relations.
2. Noting in the present Convention shall be construed as preventing the
performance of consular functions by a diplomatic mission.
Article 4
1. The sending State must make certain that the agrement of the receiving State
has been given for the person it proposes to accredit as head of the mission to
that State.
2. The receiving State is not obliged to give reasons to the sending State for a
refusal of agreement.
Article 5
1. The sending State may, after it has given due notification to the receiving Sta-
tes concerned, accredit a head of mission or assign any member of the diplo-
matic staff, as the case may be, to more than one State, unless there is ex-
press objection by any of the receiving States.
2. If the sending State accredits a head of mission to one or more other States it
may establish a diplomatic mission headed by a charge d'affaires ad interim in
each State where the head of mission has not his permanent seat.
3. A head of mission or any member of the diplomatic staff of the mission may
act as representative of the sending State to any international organization.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 20
Article 6
Two or more States may accredit the same person as head of mission to
another State, unless objection is offered by the receiving State.
Article 7
Subject to the provisions of Articles 5, 8, 9 and 11, the sending State may
freely appoint the members of the staff of the mission. In the case of military,
naval or air attaches, the receiving State may require their names to be
submitted beforehand, for its approval.
Article 8
1. Members of the diplomatic staff of the mission should in principle be of the
nationality of the sending State.
2. Members of the diplomatic staff of the mission may not be appointed from
among persons having the nationality of the receiving State, except with the
consent of that State which may be withdrawn at any time.
3. The receiving State may reserve the same right with regard to nationals of a
third State who are not also nationals of the sending State.
Article 9
1. The receiving State may at any time and without having to explain its decision,
notify the sending State that the head of the mission or any member of the
diplomatic staff of the mission is persona non grata or that any other member
of the staff of the mission is not acceptable. In any such case, the sending
State shall, as appropriate, either recall the person concerned or terminate his
functions with the mission. A person may be declared non grata or not accep-
table before arriving in the territory of the receiving State.
2. If the sending State refuses or fails within a reasonable period to carry out its
obligations under paragraph 1 of this Article, the receiving State may refuse to
recognize the person concerned as a member of the mission.
Article 10
1. The Ministry for Foreign Affairs of the receiving State, or such other ministry as
may be agreed, shall be notified of :
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 21
(a) the appointment of members of the mission, their arrival and their
final departure or the termination of their functions with the mission.
(b) the arrival and final departure of a person belonging to the family of a
member of the mission and, where appropriate, the fact that a person
becomes or ceases to be a member of the family of a member of the
mission.
(c) the arrival and final departure of private servants in the employ of
persons referred to in sub-paragraph (a) of this paragraph and, whe-
re appropriate, the fact that they are leaving the employ of such per-
sons.
(d) the engagement and discharge of persons resident in the receiving
State as members of the mission or private servants entitled to privy-
leges and immunities.
2. Where possible, prior notification of arrival and final departure shall also be gi-
ven.
Article 11
1. In the absence of specific agreement as to the size of the mission, the recei-
ving State may require that the size of a mission be kept within limits consi-
dered by it to be reasonable and normal, having regard to circumstances and
conditions in the receiving State and to the needs of the particular mission.
2. The receiving State may equally, within similar bounds and on a non discrimi-
natory basis, refuse to accept officials of a particular category.
Article 12
The sending State may not, without the prior express consent of the recei-
ving State, establish offices forming part of the mission in localities other than
those in which the mission itself is established.
Article 13
1. The head of the mission is considered as having taken up his functions in the
receiving State either when he has presented his credentials or when he has
notified his arrival and a true copy of his credentials has been presented to the
Ministry for Foreign Affairs of the receiving State, or such other ministry as
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 22
may be agreed, in accordance with the practice prevailing in the receiving Sta-
te which shall be applied in a uniform manner.
2. The order of presentation of credentials or of a true copy thereof will be deter-
mined by the date and time of the arrival of the head of the mission.
Article 14
1. Heads of mission are divided into three classes, namely:
(a) that of ambassadors or nuncios accredited to Heads of State, and ot-
her heads of mission of equivalent rank;
(b) that of envoys, ministers and internuncios accredited to Heads of Sta-
te;
(c) that of charges d'affaires accredited to Ministers for Foreign Affairs.
2. Except as concerns precedence and etiquette, there shall be no differentiation
between heads of mission by reason of their class.
Article 15
The class to which the heads of their missions are to be assigned shall be
agreed between States.
Article 16
1. Heads of mission shall take precedence in their respective classes in the order
of the date and time of taking up their functions in accordance with Article 13.
2. Alterations in the credentials of a head of mission not involving any change of
class shall not affect his precedence.
3. This article is without prejudice to any practice accepted by the receiving State
regarding the precedence of the representative of the Holy See.
Article 17
The precedence of the members of the diplomatic staff of the mission shall
be notified by the head of the mission to the Ministry for Foreign Affairs or such
other ministry as may be agreed.
Article 18
The procedure to be observed in each State for the reception of heads of
mission shall be uniform in respect of each class.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 23
Article 19
1. If the post of head of the mission is vacant, or if the head of the mission is
unable to perform his functions, a charge d'affaires ad interim shall act
provisionally as head of the mission. The name of the charge d'affaires ad
interim shall be notified, either by the head of the mission or, in case he is
unable to do so, by the Ministry for Foreign Affairs of the sending State to the
Ministry for Foreign Affairs of the receiving State or such other ministry as may
be agreed.
2. In cases where no member of the diplomatic staff of the mission is present in
the receiving State, a member of the administrative and technical staff may,
with the consent of the receiving State, be designated by the sending State to
be in charge of the current administrative affairs of the mission.
Article 20
The mission and its head shall have the right to use the flag and emblem
of the sending State on the premises of the mission, including the residence of
the head of the mission, and on his means of transport.
Article 21
1. The receiving State shall either facilitate the acquisition on its territory, in ac-
cordance with its laws, by the sending State of premises necessary for its mis-
sion or assist the latter in obtaining accommodation in some other way.
2. It shall also, where necessary, assist missions in obtaining suitable accommo-
dation for their members.
Article 22
1. The premises of the mission shall be inviolable. The agents of the receiving
State may not enter them, except with the consent of the head of the mission.
2. The receiving State is under a special duty to take all appropriate steps to
protect the premises of the mission against any intrusion or damage and to
prevent any disturbance of the peace of the mission or impairment of its dig-
nity.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 24
3. The premises of the mission, their furnishings and other property thereon and
the means of transport of the mission shall be immune from search, requisi-
tion, attachment or execution.
Article 23
1. The sending State and the head of the mission shall be exempt from all na-
tional, regional or municipal dues and taxes in respect of the premises of the
mission, whether owned or leased, other than such as represent payment for
specific services rendered.
2. The exemption from taxation referred to in this Article shall not apply to such
dues and taxes payable under the law of the receiving State by persons con-
tracting with the sending State or the head of the mission.
Article 24
The archives and documents of the mission shall be inviolable at any time
and wherever they may be.
Article 25
The receiving State shall accord full facilities for the performance of the
functions of the mission.
Article 26
Subject to its laws and regulations concerning zones entry into which is
prohibited or regulated for reasons of national security, the receiving State shall
ensure to all members of the mission freedom of movement and travel in its
territory.
Article 27
1. The receiving State shall permit and protect free communication on the part
of the mission for all official purposes. In communicating with the Govern-
ment and the other missions and consulates of the sending State, wherever
situated, the mission may employ all appropriate means, including diplo-
matic couriers and messages in code or cipher. However, the mission may
install and use a wireless transmitter only with the consent of the receiving
State.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 25
2. The official correspondence of the mission shall be inviolable. Official cor-
respondence means all correspondence relating to the mission and its
functions.
3. The diplomatic bag shall not be opened or detained.
4. The packages constituting the diplomatic bag must bear visible external
marks of their character and may contain only diplomatic documents or ar-
ticles intended for official use.
5. The diplomatic courier, who shall be provided with an official document in-
dicating his status and the number of packages constituting the diplomatic
bag, shall be protected by the receiving State in the performance of his
functions. He shall enjoy personal inviolability and shall not be liable to any
form of arrest or detention.
6. The sending State or the mission may designate diplomatic couriers ad hoc.
In such cases the provisions of paragraph 5 of this Article shall also apply,
except that the immunities therein mentioned shall cease to apply when
such a courier has delivered to the consignee the diplomatic bag in his
charge.
7. A diplomatic bag may be entrusted to the captain of a commercial aircraft
scheduled to land at an authorized port of entry. He shall be provided with
an official document indicating the number of packages constituting the bag
but he shall not be considered to be a diplomatic courier. The mission may
send one of its members to take possession of the diplomatic bag directly
and freely from the captain of the aircraft.
Article 28
The fees and charges levied by the mission in the course of its official du-
ties shall be exempt from all dues and taxes.
Article 29
The person of a diplomatic agent shall be inviolable. He shall not be liable
to any form of arrest or detention. The receiving State shall treat him with due
respect and shall take all appropriate steps to prevent any attack on his person,
freedom or dignity.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 26
Article 30
1. The private residence of a diplomatic agent shall enjoy the same inviola-
bility and protection as the premises of the mission.
2. His papers, correspondence and, except as provided in paragraph 3 of Ar-
ticle 31, his property, shall likewise enjoy inviolability.
Article 31
1. A diplomatic agent shall enjoy immunity from the criminal jurisdiction of the
receiving State. He shall also enjoy immunity from its civil and administrative
jurisdiction, except in the case of :
(a) a real action relating to private immovable property situated in the
territory of the receiving State, unless he holds it on behalf of the
sending State for the purposes of the mission;
(b) an action relating to succession in which the diplomatic agent is
involved as executor, administrator, heir or legatee as a private per-
son and not on behalf of the sending State;
(c) an action relating to any professional or commercial activity exerci-
sed by the diplomatic agent in the receiving State outside his official
functions.
2. A diplomatic agent is not obliged to give evidence as a witness.
3. No measures of execution may be taken in respect of a diplomatic agent ex-
cept in the cases coming under sub-paragraphs (a), (b) and (c) of paragraph 1
of this Article, and provided that the measures concerned can be taken without
infringing the inviolability of his person or of his residence.
4. The immunity of a diplomatic agent from the jurisdiction of the receiving State
does not exempt him from the jurisdiction of the sending State,
Article 32
1. The immunity from jurisdiction of diplomatic agents and of persons enjoying
immunity under Article 37 may be waived by the sending State.
2. Waiver must always be express.
3. The initiation of proceedings by a diplomatic agent or by a person enjoying
immunity from jurisdiction under Article 37 shall preclude him from invoking
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 27
immunity from jurisdiction in respect of any counter-claim directly connected
with the principal claim.
4. Waiver of immunity from jurisdiction in respect of civil or administrative procee-
dings shall not be held to imply waiver of immunity in respect of the execution
of the judgement, for which a separate waiver shall be necessary.
Article 33
1. Subject to the provisions of paragraph 3 of this Article, a diplomatic agent shall
with respect to services rendered for the sending State be exempt from social
security provisions which may be in force in the receiving State.
2. The exemption provided for in paragraph 1 of this Article shall also apply to
private servants who are in the sole employ of a diplomatic agent, on condi-
tion:
(a) that they are not nationals of or permanently resident in the receiving
State; and.
(b) that they are covered by the social security provisions which may be in
force in the sending State or a third State.
3. A diplomatic agent who employs persons to whom the exemption provided for
in paragraph 2 of this Article does not apply shall observe the obligations whi-
ch the social security provisions of the receiving State impose upon employ-
yers.
4. The exemption provided for in paragraphs 1 and 2 of this Article shall not pre-
clude voluntary participation in the social security system of the receiving State
provided that such participation is permitted by that State.
5. The provisions of this Article shall not affect bilateral or multilateral agreements
concerning social security concluded previously and shall not prevent the
conclusion of such agreements in the future.
Article 34
A diplomatic agent shall be exempt from all dues and taxes, personal or
real, national, regional or municipal, except :
(a) indirect taxes of a kind which are normally incorporated in the price of
goods or services;
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 28
(b) dues and taxes on private immovable property situated in the territory
of the receiving State, unless he holds it on behalf of the sending State
for the purposes of the mission;
(c) estate, succession or inheritance duties levied by the receiving State,
subject to the provisions of paragraph 4 of Article 39;
(d) dues and taxes on private income having its source in the receiving
State and capital taxes on investments made in commercial underta-
kings in the receiving State;
(e) charges levied for specific services rendered;
(f) registration, court or record fees, mortgage dues and stamp duty, with
respect to immovable property, subject to the provisions of Article 23.
Article 35
The receiving State shall exempt diplomatic agents from all personal ser-
vices, from all public service of any kind whatsoever, and from military obligations
such as those connected with requisitioning, military contributions and billeting.
Article 36
1. The receiving State shall, in accordance with such laws and regulations as it
may adopt, permit entry of and grant exemption from all customs duties, taxes,
and related charges other than charges for storage, cartage and similar servi-
ces, on :
(a) articles for the official use of the mission;
(b) articles for the personal use of a diplomatic agent or members of his
family forming part of his household, including articles intended for his
establishment;
2. The personal baggage of a diplomatic agent shall be exempt from inspection,
unless there are serious grounds for presuming that it contains articles not co-
vered by the exemptions mentioned in paragraph 1 of this Article, or articles
the import or export of which is prohibited by the law or controlled by the qua-
rantine regulations of the receiving State. Such inspection shall be conducted
only in the presence of the diplomatic agent or of his authorized represent-
tative.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 29
Article 37
1. The members of the family of a diplomatic agent forming part of his house-
hold shall, if they are not nationals of the receiving State, enjoy the privile-
ges and immunities specified in Articles 29 to 36.
2. Members of the administrative and technical staff of the mission, together
with members of their families forming part of their respective households,
shall, if they are not nationals of or permanently resident in the receiving
State, enjoy the privileges and immunities specified in Articles 29 to 35, ex-
cept that the immunity from civil and administrative jurisdiction of the recei-
ving State specified in paragraph 1 of Article 31 shall not extend to acts per-
formed outside the course of their duties. They shall also enjoy the privile-
ges specified in Article 36, paragraph 1, in respect of articles imported at
the time of first installation.
3. Members of the service staff of the mission who are not nationals of or
permanently resident in the receiving State shall enjoy immunity in respect
of acts performed in the course of their duties, exemption from dues and
taxes on the emoluments they receive by reason of their employment and
the exemption contained in Article 33.
4. Private servants of members of the mission shall, if they are not nationals of
or permanently resident in the receiving State, be exempt from dues and
taxes on the emoluments they receive by reason of their employment. In
other respects, they may enjoy privileges and immunities only to the extent
admitted by the receiving State. However, the receiving State must exercise
its jurisdiction over those persons in such a manner as not to interfere
unduly with the performance of the functions of the mission.
Article 38
1. Except insofar as additional privileges and immunities may be granted by
the receiving State, a diplomatic agent who is a national of or permanently
resident in that State shall enjoy only immunity from jurisdiction, and invio-
lability, in respect of official acts performed in the exercise of his functions.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 30
2. Other members of the staff of the mission and private servants who are
nationals of or permanently resident in the receiving State shall enjoy
privileges and immunities only to the extent admitted by the receiving State.
However, the receiving State must exercise its jurisdiction over those per-
sons in such a manner as not to interfere unduly with the performance of
the functions of the mission.
Article 39
1. Every person entitled to privileges and immunities shall enjoy them from
the moment he enters the territory of the receiving State on proceeding to
take up his post or, if already in its territory, from the moment when his
appointment is notified to the Ministry for Foreign Affairs or such other
ministry as may be agreed.
2. When the functions of a person enjoying privileges and immunities have
come to an end, such privileges and immunities shall normally cease at
the moment when he leaves the country, or on expiry of a reasonable
period in which to do so, but shall subsist until that time, even in case of
armed conflict. However, with respect to acts performed by such a person
in the exercise of his functions as a member of the mission, immunity shall
continue to subsist.
3. In case of the death of a member of the mission, the members of his
family shall continue to enjoy the privileges and immunities to which they
are entitled until the expiry of a reasonable period in which to leave the
country.
4. In the event of the death of a member of the mission not a national of or
permanently resident in the receiving State or a member of his family
forming part of his household, the receiving State shall permit the with-
drawal of the movable property of the deceased, with the exception of any
property acquired in the country the export of which was prohibited at the
time of his death. Estate, succession and inheritance duties shall not be
levied on movable property the presence of which in the receiving State
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 31
was due solely to the presence there of the deceased as a member of the
mission or as a member of the family of a member of the mission.
Article 40
1. If a diplomatic agent passes through or is in the territory of a third State,
which has granted him a passport visa if such visa was necessary, while
proceeding to take up or to return to his post, or when returning to his own
country, the third State shall accord him inviolability and such other immu-
nities as may be required to ensure his transit or return. The same shall
apply in the case of any members of his family enjoying privileges or
immunities who are accompanying the diplomatic agent, or traveling sepa-
rately to join him or to return to their country.
2. In circumstances similar to those specified in paragraph 1 of this Article,
third States shall not hinder the passage of members of the administrative
and technical or service staff of a mission, and of members of their
families, through their territories.
3. Third States shall accord to official correspondence and other official
communications in transit, including messages in code or cipher, the same
freedom and protection as is accorded by the receiving State. They shall
accord to diplomatic couriers, who have been granted a passport visa if
such visa was necessary, and diplomatic bags in transit the same inviola-
bility and protection as the receiving State is bound to accord.
4. The obligations of third States under paragraphs 1, 2 and 3 of this Article
shall also apply to the persons mentioned respectively in those parag-
raphs, and to official communications and diplomatic bags, whose presen-
ce in the territory of the third State is due to force majeure.
Article 41
1. Without prejudice to their privileges and immunities, it is the duty of all
persons enjoying such privileges and immunities to respect the laws and
regulations of the receiving State. They also have a duty not to interfere in
the internal affairs of that State.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 32
2. All official business with the receiving State entrusted to the mission by the
sending State shall be conducted with or through the Ministry for Foreign
Affairs of the receiving State or such other ministry as may be agreed.
3. The premises of the mission must not be used in any manner incompatible
with the functions of the mission as laid down in the present Convention or
by other rules of general international law or by any special agreements in
force between the sending and the receiving State.
Article 42
A diplomatic agent shall not in the receiving State practice for personal
profit any professional or commercial activity.
Article 43
The function of a diplomatic agent comes to an end, inter alia
(a) on notification by the sending State to the receiving State that the
function of the diplomatic agent has come to an end
(b) on notification by the receiving State to the sending State that, in
accordance with paragraph 2 of Article 9, it refuses to recognize the
diplomatic agent as a member of the mission.
Article 44
The receiving State must, even in case of armed conflict, grant facilities in
order to enable persons enjoying privileges and immunities, other than nationals
of the receiving State, and members of the families of such persons irrespective
of their nationality, to leave at the earliest possible moment. It must, in particular,
in case of need, place at their disposal the necessary means of transport for
themselves and their property.
Article 45
If diplomatic relations are broken off between two States, or if a mission is
permanently or temporarily recalled :
(a) the receiving State must, even in case of armed conflict, respect and
protect the premises of the mission, together with its property and
archives;
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 33
(b) the sending State may entrust the custody of the premises of the
mission, together with its property and archives, to a third State ac-
ceptable to the receiving State;
(c) the sending State may entrust the protection of its interests and tho-
se of its nationals to a third State acceptable to the receiving State.
Article 46
A sending State may with the prior consent of a receiving State, and at the
request of a third State not represented in the receiving State, undertake the
temporary protection of the interests of the third State and of its nationals.
Article 47
1. In the application of the provisions of the present Convention, the receiving
State shall not discriminate as between States.
2. However, discrimination shall not be regarded as taking place :
(a) where the receiving State applies any of the provisions of the present
Convention restrictively because of a restrictive application of that pro-
vision to its mission in the sending State;
(b) where by custom or agreement States extend to each other more fa-
vourable treatment than is required by the provisions of the present
Convention.
Article 48
The present Convention shall be open for signature by all States Members
of the United Nations or of any of the specialized agencies or Parties to the
Statute of the International Court of Justice, and by any other State invited by the
General Assembly of the United Nations to become a Party to the Convention, as
follows: until 31 October 1961 at the Federal Ministry for Foreign Affairs of Aus-
tria and subsequently, until 31 March 1962, at the United Nations Headquarters
in New York.
Article 49
The present Convention is subject to ratification. The instruments of ratify-
cation shall be deposited with the Secretary-General of the United Nations.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 34
Article 50
The present Convention shall remain open for accession by any State
belonging to any of the four categories mentioned in Article 48. The instruments
of accession shall be deposited with the Secretary-General of the United Nations.
Article 51
1. The present Convention shall enter into force on the thirtieth day following the
date of deposit of the twenty-second instrument of ratification or accession
with the SecretaryGeneral of the United Nations.
2. For each State ratifying or acceding to the Convention after the deposit of the
twenty-second instrument of ratification or accession, the Convention shall
enter into force on the thirtieth day after deposit by such State of its instrument
of ratification or accession.
Article 52
The Secretary-General of the United Nations shall inform all States be-
longing to any of the four categories mentioned in Article 48 :
(a) of signatures to the present Convention and of the deposit of instru-
ments of ratification or accession, in accordance with Articles 48, 49
and 50;
(b) of the date on which the present Convention will enter into force, in
accordance with Article 51;
Article 53
The original of the present Convention, of which the Chinese, English,
French, Russian and Spanish texts are equally authentic, shall be deposited with
the Secretary-General of the United Nations, who shall send certified copies
thereof to all States belonging to any of the four categories mentioned in Article
48.
- IN WITNESS WHEREOF the undersigned Plenipotentiaries, being duly au-
thorized thereto by their respective Governments, have signed the present
Convention.
- DONE at Vienna, this eighteenth day of April one thousand nine hundred and
sixty-one.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 35
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 antara lain menggariskan agar
Pemerintah Negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan selu-
ruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, men-
cerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang ber-
dasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Ketetapan Maje-
lis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1978 tentang
Garis-garis Besar Haluan Negara menegaskan tentang Hubungan Luar Negeri
Republik Indonesia sebagai berikut :21
a. pelaksanaan politik luar negeri yang bebas aktif diabdikan kepada ke-
pentingan nasional, terutama untuk kepentingan pembangunan dise-
gala bidang;
b. meneruskan usaha-usaha pemantapan stabilitas dan kerjasama di wi-
layah Asia Tenggara dan Pasifik Barat Daya, khususnya dalam lingku-
ngan ASEAN, dalam rangka mempertinggi tingkat ketahanan nasional
untuk mencapai ketahanan regional;
c. meningkatkan peranan Indonesia di dunia internasional dalam rangka
membina dan meningkatkan persahabatan dan kerjasama yang saling
bermanfaat antara Bangsa-Bangsa;
d. memperkokoh kesetiakawanan, persatuan dan kerjasama ekonomi
diantara negara-negara yang sedang membangun lainnya untuk mem-
percepat terwujudnya Tata Ekonomi Dunia Baru;
e. meningkatkan kerjasama antar negara untuk menggalang perdamaian
dan ketertiban dunia demi kesejahteraan umat manusia berdasarkan
kemerdekaan dan keadilan sosial.
Dalam rangka melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif untuk
menjamin dan memelihara kepentingan nasional Indonesia dan ikut membantu
tercapainya ketertiban dunia serta memajukan kerjasama dan hubungan per-
sahabatan dengan semua bangsa di dunia, Pemerintah Indonesia membuka dan
21 Penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1982 tentang
Pengesahan Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik Beserta Protokol Opsionalnya mengenai hal memperoleh kewarganegaraan dan Pengesahan Konvensi Wina tentang Hubu-ngan Konsuler Beserta Protokol Opsionalnya mengenai hal memperoleh kewarganegaraan
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 36
menempatkan perwakilan diplomatik dan perwakilan konsuler diberbagai negara.
Disamping itu pemerintah Indonesia menerima pula perwakilan diplomatik dan
perwakilan konsuler negara lain. Pengaturan hubungan diplomatik dan perwa-
kilan diplomatik sudah lama diadakan yaitu sejak Kongres Wina Tahun 1815
yang diubah oleh Protokol Aix-la-Chapelle tahun 1818. Kemudian atas prakarsa
Perserikatan Bangsa-bangsa diadakan konperensi mengenai hubungan diploma-
tik di Wina dari tanggal 2 Maret 1961. Konperensi tersebut membahas ranca-
ngan pasal-pasal yang dipersiapkan oleh Komisi Hukum Internasional Perserika-
tan Bangsa-bangsa dan menerima baik suatu Konvensi mengenai Hubungan
diplomatik, yang terdiri dari 53 pasal yang mengatur hubungan diplomatik, hak-
hak istimewa dan kekebalan-kekebalannya. Konvensi yang mencerminkan pe-
laksanaan hubungan diplomatik ini akan dapat meningkatkan hubungan persa-
habatan antara bangsa-bangsa di dunia tanpa membedakan ideologi, sistim
politik atau sistim sosialnya. Konvensi menetapkan antara lain maksud memberi-
kan hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik tersebut tidaklah untuk kepen-
tingan perseorangan, melainkan guna menjamin kelancaran pelaksanaan fungsi
perwakilan diplomatik sebagai wakil negara. Secara Wajib. Indonesia dapat me-
nerima seluruh isi Konvensi Wina mengenai Hubungan Diplomatik Beserta Pro-
tokol Opsionalnya mengenai hal memperoleh Kewarganegaraan dan Konvensi
Wina mengenai Hubungan Konsuler Beserta Protokol Opsionalnya mengenai hal
memperoleh Kewarganegaraan, kecuali Protokol Opsional mengenai Penyele-
saian sengketa Secara Wajib. Pengecualian ini karena Pemerintah Indonesia
lebih mengutamakan penyelesaian sengketa melalui perundingan dan konsultasi
atau musyawarah antara negara-negara yang bersengketa. Protokol Opsional
mengenai hal memperoleh Kewarganegaraan mengatur bahwa anggota-anggota
perwakilan diplomatik dan perwakilan konsuler yang bukan warganegara pene-
rima dan perwakilan konsuler yang bukan warganegara penerima dan keluarga-
nya tidak akan memperoleh kewarganegaraan negara penerima tersebut sema-
ta-mata karena berlakunya hukum negara penerima tersebut.22 Berdasarkan hal
22 Penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1982 tentang
Pengesahan Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik Beserta Protokol Opsionalnya
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 37
tersebut, kita dapat memahami bahwa negara Indonesia sangat berkomitmen
untuk ikut melakukan hubungan internasional dengan negara-negara lain, bukti
komitmen ini dituangkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 1982 tentang Pengesahan Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik
Beserta Protokol Opsionalnya mengenai hal memperoleh kewarganegaraan dan
Pengesahan Konvensi Wina tentang Hubungan Konsuler Beserta Protokol
Opsionalnya mengenai hal memperoleh kewarganegaraan, sehingga hanya ku-
rang dari 20 (dua puluh) tahun sejak konvensi dibuat, Indonesia sudah ikut
mengikatkan diri dengan meratifikasinya, hal yang sangat berbeda di praktikkan
oleh beberapa negara anggota PBB lainnya.
Berikut Protokol Tambahan dari Konvensi Wina Tahun 1961 tentang
Hubungan Diplomatik mengenai hal memperoleh kewarganegaraan :23
OPTIONAL PROTOCOL TO THE VIENNA CONVENTION ON DIPLOMATIC
RELATIONS, CONCERNING ACQUISITION OF NATIONALITY,
DONE AT VIENNA, ON 15 APRIL 1961
- The States Parties to the present Protocol and to the Vienna Convention on
Diplomatic Relations, herein after referred to as ‘the Convention”, adopted by
the United Nations Conference held at Vienna from 2 March to 14 April 1961.
- Expressing their wish to establish rules between them concerning acquisition
of nationality by the members of their diplomatic missions and of the families
forming part of the household of those members,
- Have agreed as follows :
Article I
For the purpose of the present Protocol, the expression “members of the
mission” shall have the meaning assigned to it in Article 1, sub paragraph (b), of
the Convention, namely “the head of the mission and the members of the staff of
the mission”.
mengenai hal memperoleh kewarganegaraan dan Pengesahan Konvensi Wina tentang Hubu-ngan Konsuler Beserta Protokol Opsionalnya mengenai hal memperoleh kewarganegaraan
23 http://pih.kemlu.go.id/
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 38
Article II
Members of the mission not being nationals of the receiving State, and
members of their families forming part of their household, shall not, solely by the
operation of the Law of the receiving State, acquire the nationality of that State.
Article III
The present Protocol shall be open for signature by all States which may
become Parties to the Convention, as follows: until 31 October 1961, at the Fe-
deral Ministry for Foreign Affairs of Austria and subsequently, until 31 March
1962 at the United Nations Headquarters in New York.
Article IV
The present Protocol is subject to ratification. The Instruments of ratifica-
tion shall be deposited with the Secretary-General of the United Nations.
Article V
The present Protocol shall remain open for accession b all States which
may become Parties to the Convention. The instruments of accession shall be
deposited with the Secretary-General of the United Nations.
Article VI
1. The present Protocol shall enter into force on the name day as the
Convention or on the thirtieth day following the date of deposit of the second
instrument of ratifications or accession to the Protocol with the Secretary-General
of the United Nations, whichever date is the later.
2. For each State ratifying or acceding to the present Protocol after its
entry into force in accordance with paragraph 1 of this Article, the Protocol shall
enter into force on the thirtieth day after deposit by such State of its instrument of
ratification or accession.
Article VII
The Secretary-General of the United Nations shall inform all States which
may become Parties to the Convention :
(a) of signature to the present Protocol and of the deposit of instruments
of ratification or accession, in accordance with Articles III, IV and V;
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 39
(b) of the date on which the present Protocol will enter into force, in
accordance with Article VI;
Article VIII
The original of the present Protocol of which the Chinese, English, French,
Russian and Spanish texts are equally authentic, shall be deposited with the
Secretary-General of the United Nations, who shall send certified copies thereof
to all States referred to in Article III.
- In witness whereof the undersigned Plenipotentiaries, being duly authorized
there to by their respective Governments, have signed the present Protocol.
- Done at Vienna, this eighteenth day of April one thousand nine hundred and
sixty-one.
Berdasarkan aturan-aturan dalam Konvensi Wina Tahun 1961 tentang
Hubungan Diplomatik dan Protokol Tambahan dari Konvensi Wina Tahun 1961
tentang Hubungan Diplomatik mengenai hal memperoleh kewarganegaran,
maka dapat ditarik poin-poin penting yang umumnya harus diketahui oleh para
mahasiswa yang mengambil mata kuliah hukum diplomatik dan hubungan inter-
nasional. Poin-poin penting dimaksud adalah hubungan diplomatik dilakukan
oleh perwakilan diplomatik yang dipimpin oleh Duta Besar (Ambassa-
dor). Ambassador mewakili negara dalam mengurusi kepentingan publik dalam
Konvensi Wina yang dihadiri kepala negara dari negara-negara Eropa sehingga
dicapai persetujuan mengenai perwakilan diplomatik. Kepala Perwakilan Diplo-
matik memiliki tiga tingkatan, yakni :
1. Duta Besar (ambassador)
2. Duta Berkuasa Penuh
3. Kuasa usaha
(Dalam Konggres di Aix-la-chappele tahun 1818 disetujui adanya tam-
bahan tingkat Kepala Perwakilan Diplomatik yaitu Ministers resident, yang
ditempatkan diantara Duta Berkuasa penuh dan Kuasa Usaha).
Dalam Konvensi Wina tanggal 18 April 1961 (Pasal 14 konvensi wina)
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 40
Berdasarkan Pasal 14 Konvensi Wina Tahun 1961 tentang Hubungan Dip-
lomatik diatur 3 tingkatan bagi seorang Kepala perwakilan diplomatik, 3 tingkatan
dimaksud adalah sebagai berikut :
1. Duta Besar yang ditempatkan pada Kepala negara dan Kepala Misi yang
tingkatannya sama
2. Envoys Ministers dan internuncois yang ditempatkan pada kepala Negara
3. Kuasa Usaha yang ditempatkan pada Menteri Luar Negeri
(Saat ini setiap negara yang merdeka dan berdaulat hampir selalu
menempatkan perwakilan diplomatiknya disetiap negara)
Menurut kebiasaan internasional, semua wakil-wakil diplomatik yang di-
tempatkan pada suatu negara diketuai oleh salah seorang duta besar yang ber-
tugas paling lama di negara tersebut, yang dikenal dengan sebutan Doyen. Se-
tiap negara mempunyai hak perwalian (right of leation). Dalam praktik, ada dua
macam hak perwalian, yakni :
i. Hak perwalian pasif adalah hak suatu negara untuk menerima wakil
diplomatik negara lain, hak perwalian ini dititik beratkan kepada negara
penerima; dan
ii. Hak perwakilan aktif adalah hak suatu negara untuk mengirimkan wakil
diplomatik ke negara lain, hak perwalian ini dititik beratkan kepada ne-
gara pengirim.
Ditempatkannya perwakilan diplomatik di negara lain, maka hal tersebut
adalah bukti secara de jure bahwa suatu negara telah menjalin hubungan inter-
nasional dengan negara lain, dengan demikian, maka ditempatkannya perwaki-
lan diplomatik suatu negara ke negara lain hanya dapat dilakukan atas kesepa-
katan bersama (mutual consent) antar negara yang bersangkutan. Mengenai
prosedur penerimaan duta besar dari suatu negara ke negara lain adalah de-
ngan cara negara pengirim terlebih dahulu menawarkan calon tersebut yang
akan ditetapkan. Negara yang akan ditempati membalas apakah bersedia me-
nerima calon tersebut atau tidak (hal ini pada praktik, umumnya negara-negara
penerima menyelidiki track record dari si calon sehingga memiliki dasar pertim-
bangan untuk menerima si calon atau tidak). Jika negara penerima menolak ca-
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 41
lon itu, maka calon yang bersangkutan disebut persona non grata (orang yang
tidak disukai). Jika hal ini terjadi, maka negara penerima tidak perlu memberikan
suatu alasan formal mengenai penolakan itu. Namun apabila negara penerima
setuju untuk menerimanya, maka calon duta besar itu dinamakan persona grata,
sedangkan persetujuan dari negara penerima itu diberikan dalam bentuk surat
yang dinamakan “agreement”. Setelah calon dinyatakan dapat diterima oleh
negara yang akan ditempati maka pemerintah negara pengirim lalu menyiapkan
surat kepercayaan untuk calon yang bersangkutan. Surat kepercayaan ini di
kenal dengan nama “letter of oredence”.
Berdasarkan aturan-aturan yang diatur dalam Konvensi Wina Tahun 1961
tentang Hubungan Diplomatik, fungsi dari misi diplomatik diantaranya :
1. Mewakili kepentingan negara pengirim di negara penerima, hal ini
adalah fungsi utama dari misi diplomatik;
2. Melindungi kepentingan-kepentingan negara pengirim dan warga ne-
garanya di dalam negara penerima dalam batas-batas yang diizinkan
oleh hukum internasional, hal ini merupakan tindak lanjut dari fungsi
utama yakni mewakili kepentingan negara pengirim di negara pene-
rima;
3. Berunding dengan pemerintah negara penerima, hal ini tentu meng-
efisienkan tugas dari kepala negara, karena kedudukan seorang yang
menjalankan misi diplomatic dipersamakan dengan wakil negara yang
sah;
4. Mengetahui keadaan dan perkembangan di dalam negara penerima
menurut cara-cara yang sah, dan melaporkannya kepada pemerintah
negara pengirim, hal ini yang menjadi dilematis dan sering dlanggar
oleh beberapa negara, karena adanya praktik spionase (memantau
perkembangan negara penerima dengan cara yang tidak sah);
5. Memajukan hubungan bersahabat antara negara pengirim dengan
negara penerima, serta membangun hubungan-hubungan ekonomi,
kebudayaan dan ilmiah, hal ini juga merupakan bagian dari misi
diplomatik, karena hubungan ekonomi, kebudayaan, dan pendidikan
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 42
sangat dibutuhkan oleh setiap negara utamanya bagi negara-negara
berkembang.
Sedangkan ketentuan Pasal 43 Konvensi Wina Tahun 1961 diatur me-
ngenai akhir dari tugas atau fungsi seseorang diplomat atau wakil-wakil diploma-
tik, karena alasan-alasan sebagai berikut :
1. Pemberitahuan oleh negara penerima kepada negara pengirim bahwa
negara penerima menolak mengakui agen diplomatik itu sebagai seo-
rang anggota misi, hal ini dimungkinkan terjadi, utamanya karena ala-
san keamanan negara atau tidak jelasnya rekam jejak dari agen dip-
lomatik negara pengirim.
2. Pemberitahuan oleh negara pengirim kepada negara penerima bahwa
fungsi agen diplomatik tersebut berakhir, hal ini umum terjadi karena
wakil-wakil diplomatik yang menjalankan misi diplomatik memiliki masa
tugas.
3. Tujuan dari misi tersebut telah terpenuhi, alasan ini biasa digunakan
bagi wakil-wakil diplomatik yang menjalankan misi perdamaian.
4. Masa berlaku Surat Kepercayaan yang diberikan telah berakhir.
2. Konvensi Wina Tahun 1963 tentang Hubungan Konsuler, dan Pro-
tokol Tambahannya
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahwa selain Konvensi Wina
Tahun 1961 tentang Hubungan Diplomatik, terdapat juga padanan konvensi
yang mengatur hubungan konsuler negara-negara yakni Konvensi Wina Tahun
1963. Konvensi Wina Tahun 1963 ini memang selain melengkapi Konvensi Wina
Tahun 1961, juga beberapa aturannya ada yang sifatnya sama dengan Konvensi
Wina Tahun 1961. Namun demikian, Konvensi Wina Tahun 1963 ini menjadi
penting karena praktik negara-negara selama ini utamanya negara berkembang
dan negara maju hampir keseluruhan memiliki hubungan konsuler dengan nega-
ra lain, dan dalam dinamika ekonomi global seperti saat ini, maka hubungan kon-
suler bukan lagi sebagai hubungan yang sifatnya eksklusif dan hanya negara-
negara tertentu saja yang membutuhkannya, namun saat ini semua negara di
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 43
semua belahan dunia membutuhkan hubungan konsuler demi menjamin eksis-
tensi dan kebutuhan warga negaranya yang sudah semakin kompleks.
Berikut dipaparkan secara jelas mengenai Konvensi Wina Tahun 1963
tentang Hubungan konsuler :24
VIENNA CONVENTION ON CONSULAR RELATIONS
DONE AT VIENNA, ON 24 APRIL 1963
- The States Parties to the present Convention,
- Recalling that consular relations have been established between peoples
since ancient times,
- Having in mind the Purposes and Principles of the Charter of the United
Nation concerning the sovereign equality of States, the maintenance of inter-
national peace and security, and the promotion of friendly relations among
nations,
- Considering that the United Nations Conference on Diplomatic Intercourse
and Immunities adopted the Vienna Convention on Diplomatic Relations whi-
ch was opened for signature on 18 April 1961,
- Believing that an international convention on consular relations, privileges
and immunities would also contribute to the development of friendly relations
among nations, irrespective of their differing constitutional and social sys-
tems,
- Realizing that the purpose of such privileges and immunities is not to benefit
individuals but to ensure the efficient performance of functions by consular
posts on behalf of their respective States,
- Affirming that the rules of customary international law continue to govern
matters not expressly regulated by the provisions of the present Convention,
Have agreed as follows :
24 http://pih.kemlu.go.id/
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 44
Article 1
Definitions
1. For the purposes of the present Convention, the following expressions shall
have the meanings hereunder assigned to them :
(a) "consular post" means any consulate-general, consulate, vice-consu-
late or consular agency;
(b) "consular district" means the area assigned to a consular post for the
exercise of consular functions;
(c) "head of consular post" means the person charged with the duty of
acting in that capacity;
(d) "consular officer" means any person, including the head of a consular
post, entrusted in that capacity with the exercise of consular func-
tions;
(e) "consular employee" means any person employed in the adminis-
trative or technical service of a consular post;
(f) "member of the service staff" means any person employed in the do-
mestic service of a consular post;
(g) "members of the consular post" means consular officers, consular
employees and members of the service staff;
(h) "members of the consular staff" means consular officers, other than
the head of a consular post, consular employees and members of
the service staff;
(i) "member of the private staff" means a person who is employed ex-
clusively in the private service of a member of the consular post;
(j) "consular premises" means the buildings or parts of buildings and the
land ancillary thereto, irrespective of ownership, used exclusively for
the purposes of the consular post;
(k) "consular archives" includes all the papers, documents, correspond-
dence, books, films, tapes and registers of the consular post, toge-
ther with the ciphers and codes, the card-indexes and any article of
furniture intended for their protection or safekeeping.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 45
2. Consular officers are of two categories, namely career consular officers and
honorary consular officers. The provisions of Chapter II of the present Conven-
tion apply to consular posts headed by career consular officers; the provisions
of Chapter III govern consular posts headed by honorary consular officers.
3. The particular status of members of the consular posts who are nationals or
permanent residents of the receiving State is governed by Article 71 of the
present Convention.
CHAPTER I.
CONSULAR RELATIONS IN GENERAL
Section. I ESTABLISHMENT AND CONDUCT OF CONSULAR RELATIONS
Article 2
Establishment of consular relations
1. The establishment of consular relations between States takes place by
mutual consent.
2. The consent given to the establishment of diplomatic relations bet-
ween two States implies, unless otherwise stated, consent to the esta-
blishment of consular relations.
3. The severance of diplomatic relations shall not ipso facto involve the
severance of consular relations.
Article 3
Exercise of consular functions Consular functions are exercised by con-
sular posts. They are also exercised by diplomatic missions in accordance with
the provisions of the present Convention.
Article 4
Establishment of a consular post
1. A consular post may be established in the territory of the receiving
State only with that State's consent.
2. The seat of the consular post, its classification and the consular district
shall be established by the sending State and shall be subject to the
approval of the receiving State.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 46
3. Subsequent changes in the seat of the consular post, its classification
or the consular district may be made by the sending State only with
the consent of the receiving State.
4. The consent of the receiving State shall also be required if a consu-
late-general or a consulate desires to open a vice-consulate or a con-
sular agency in a locality other than that in which it is itself established.
5. The prior express consent of the receiving State shall also be required
for the opening of an office forming part of an existing consular post
elsewhere than at the seat thereof.
Article 5
Consular functions
Consular functions consist in :
(a) protecting in the receiving State the interests of the sending State and of
its nationals, both individuals and bodies corporate, within the limits per-
mitted by international law;
(b) furthering the development of commercial, economic, cultural and scien-
tific relations between the sending State and the receiving State and other-
wise promoting friendly relations between them in accordance with the
provisions of the present Convention;
(c) ascertaining by all lawful means conditions and developments in the com-
mercial, economic, cultural and scientific life of the receiving State, repor-
ting thereon to the Government of the sending State and giving informa-
tion to persons interested;
(d) issuing passports and travel documents to nationals of the sending State,
and visas or appropriate documents to persons wishing to travel to the
sending State;
(e) helping and assisting nationals, both individuals and bodies corporate, of
the sending State;
(f) acting as notary and civil registrar and in capacities of a similar kind, and
performing certain functions of an administrative nature, provided that the-
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 47
re is nothing contrary thereto in the laws and regulations of the receiving
State;
(g) safeguarding the interests of nationals, both individuals and bodies corpo-
rate, of the sending State in cases of succession mortis causa in the terri-
tory of the receiving State, in accordance with the laws and regulations of
the receiving State;
(h) safeguarding, within the limits imposed by the laws and regulations of the
receiving State, the interests of minors and other persons lacking full
capacity who are nationals of the sending State, particularly where any
guardianship or trusteeship is required with respect to such persons;
(i) subject to the practices and procedures obtaining in the receiving State,
representing or arranging appropriate representation for nationals of the
sending State before the tribunals and other authorities of the receiving
State, for the purpose of obtaining, in accordance with the laws and regu-
lations of the receiving State, provisional measures for the preservation of
the rights and interests of these nationals, where, because of absence or
any other reason, such nationals are unable at the proper time to assume
the defence of their rights and interests;
(j) transmitting judicial and extra-judicial documents or executing letters roga-
tory or commissions to take evidence for the courts of the sending State in
accordance with international agreements in force or, in the absence of
such international agreements, in any other manner compatible with the
laws and regulations of the receiving State;
(k) exercising rights of supervision and inspection provided for in the laws and
regulations of the sending State in respect of vessels having the nationa-
lity of the sending State, and of aircraft registered in that State, and in
respect of their crews;
(l) extending assistance to vessels and aircraft mentioned in sub-paragraph
(k) of this Article and to their crews, taking statements regarding the
voyage of a vessel, examining and stamping the ship's papers, and, with-
out prejudice to the powers of the authorities of the receiving State, con-
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 48
ducting investigations into any incidents which occurred during the voya-
ge, and settling disputes of any kind between the master, the officers and
the seamen in so far as this may be authorized by the laws and regula-
tions of the sending State;
(m) performing any other functions entrusted to a consular post by the sending
State which are not prohibited by the laws and regulations of the receiving
State or to which no objection is taken by the receiving State or which are
referred to in the international agreements in force between the sending
State and the receiving.
Article 6
Exercise of consular functions outside the consular district.
A consular officer may, in special circumstances, with the consent of the
receiving State, exercise his functions outside his consular district.
Article 7
Exercise of consular functions in a third State.
The sending State may, after notifying the States concerned, entrust a
consular post established in a particular State with the exercise of consular func-
tions in another State, unless there is express objection by one of the States
concerned.
Article 8.
Exercise of consular functions on behalf of a third State
Upon appropriate notification to the receiving State, a consular post of the
sending State may, unless the receiving State objects, exercise consular functi-
ons in the receiving State on behalf of a third State.
Article 9
Classes of heads of consular posts
1. Heads of consular posts are divided into four classes, namely :
(a) consuls-general;
(b) consuls;
(c) vice-consuls;
(d) consular agents.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 49
2. Paragraph 1 of this Article in no way restricts the right of any of the Contracting
Parties to fix the designation of consular officers other than the heads of con-
sular posts.
Article 10
Appointment and admission of heads of consular posts.
1. Heads of consular posts are appointed by the sending State and are admitted
to the exercise of their functions by the receiving State.
2. Subject to the provisions of the present Convention, the formalities for the ap-
pointment and for the admission of the head of a consular post are determined
by the laws, regulations and usages of the sending State and of the receiving
State respectively.
Article 11
The consular commission or notification of appointment
1. The head of a consular post shall be provided by the sending State with a do-
cument, in the form of a commission or similar instrument, made out for each
appointment, certifying his capacity and showing, as a general rule, his full
name, his category and class, the consular district and the seat of the consular
post.
2. The sending State shall transmit the commission or similar instrument through
the diplomatic or other appropriate channel to the Government of the State in
whose territory the head of a consular post is to exercise his functions.
3. If the receiving State agrees, the sending State may, instead of a commission
or similar instrument, send to the receiving State a notification containing the
particulars required by paragraph 1 of this Article.
Article 12
The exequatur
1. The head of a consular post is admitted to the exercise of his functions by an
authorization from the receiving State termed an exequatur, whatever the form
of this authorization.
2. A State which refuses to grant an exequatur is not obliged to give to the
sending State reasons for such refusal.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 50
3. Subject to the provisions of Articles 13 and 15, the head of a consular post
shall not enter upon his duties until he has received an exequatur.
Article 13
Provisional admission of heads of consular posts
Pending delivery of the exequatur, the head of a consular post may be
admitted on a provisional basis to the exercise of his functions. In that case, the
provisions of the present Convention shall apply.
Article 14
Notification to the authorities of the consular district
As soon as the head of a consular post is admitted even provisionally to
the exercise of his functions, the receiving State shall immediately notify the
competent authorities of the consular district. It shall also ensure that the
necessary measures are taken to enable the head of a consular post to carry out
the duties of his office and to have the benefit of the provisions of the present
Convention.
Article 15
Temporary exercise of the functions of the head of a consular post
1. If the head of a consular post is unable to carry out his functions or the position
of head of consular post is vacant, an acting head of post may act provisio-
nally as head of the consular post.
2. The full name of the acting head of post shall be notified either by the dip-
lomatic mission of the sending State or, if that State has no such mission in
the receiving State, by the head of the consular post, or, if he is unable to do
so, by any competent authority of the sending State, to the Ministry for Foreign
Affairs of the receiving State or to the authority designated by that Ministry. As
a general rule, this notification shall be given in advance. The receiving State
may make the admission as acting head of post of a person who is neither a
diplomatic agent nor a consular officer of the sending State in the receiving
State conditional on its consent.
3. The competent authorities of the receiving State shall afford assistance and
protection to the acting head of post. While he is in charge of the post, the
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 51
provisions of the present Convention shall apply to him on the same basis as
to the head of the consular post concerned. The receiving State shall not,
however, be obliged to grant to an acting head of post any facility, privilege or
immunity which the head of the consular post enjoys only subject to conditions
not fulfilled by the acting head of post.
4. When, in the circumstances referred to in paragraph 1 of this Article, a mem-
ber of the diplomatic staff of the diplomatic mission of the sending State in the
receiving State is designated by the sending State as an acting head of post,
he shall, if the receiving State does not object thereto, continue to enjoy diplo-
matic privileges and immunities.
Article 16
Precedence as between heads of consular posts
1. Heads of consular posts shall rank in each class according to the date of the
grant of the exequatur.
2. If, however, the head of a consular post before obtaining the exequatur is
admitted to the exercise of his functions provisionally, his precedence shall be
determined according to the date of the provisional admission; this prece-
dence shall be maintained after the granting of the exequatur.
3. The order of precedence as between two or more heads of consular posts who
obtained the exequatur or provisional admission on the same date shall be
determined according to the dates on which their commissions or similar ins-
truments or the notifications referred to in paragraph 3 of Article 11 were pre-
sented to the receiving State.
4. Acting heads of posts shall rank after all heads of consular posts and, as bet-
ween themselves, they shall rank according to the dates on which they assu-
med their functions as acting heads of posts as indicated in the notifications
given under paragraph 2 of Article 15.
5. Honorary consular officers who are heads of consular posts shall rank in each
class after career heads of consular posts, in the order and according to the
rules laid down in the foregoing paragraphs.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 52
6. Heads of consular posts shall have precedence over consular officers not ha-
ving that status.
Article 17
Performance of diplomatic acts by consular officers
1. In a State where the sending State has no diplomatic mission and is not repre-
sented by a diplomatic mission of a third State, a consular officer may, with the
consent of the receiving State, and without affecting his consular status, be
authorized to perform diplomatic acts. The performance of such acts by a
consular officer shall not confer upon him any right to claim diplomatic privile-
ges and immunities.
2. A consular officer may, after notification addressed to the receiving State, act
as representative of the sending State to any inter-governmental organization.
When so acting, he shall be entitled to enjoy any privileges and immunities
accorded to such a representative by customary international law or by
international agreements; however, in respect of the performance by him of
any consular function, he shall not be entitled to any greater immunity from
jurisdiction than that to which a consular officer is entitled under the present
Convention.
Article 18
Appointment of the same person by two or more States as a consular
officer Two or more States may, with the consent of the receiving State, appoint
the same person as a consular officer in that State.
Article 19
Appointment of members of consular staff
1. Subject to the provisions of Articles 20, 22 and 23, the sending State may
freely appoint the members of the consular staff.
2. The full name, category and class of all consular officers, other than the head
of a consular post, shall be notified by the sending State to the receiving State
in sufficient time for the receiving State, if it so wishes, to exercise its rights
under paragraph 3 of Article 23.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 53
3. The sending State may, if required by its laws and regulations, request the
receiving State to grant an exequatur to a consular officer other than the head
of a consular post.
4. The receiving State may, if required by its laws and regulations, grant an
exequatur to a consular officer other than the head of a consular post.
Article 20
Size of the consular staff
In the absence of an express agreement as to the size of the consular
staff, the receiving State may require that the size of the staff be kept within limits
considered by it to be reasonable and normal, having regard to circumstances
and conditions in the consular district and to the needs of the particular post.
Article 21
Precedence as between consular officers of a consular post
The order of precedence as between the consular officers of a consular
post and any change thereof shall be notified by the diplomatic mission of the
sending State or, if that State has no such mission in the receiving State, by the
head of the consular post, to the Ministry for Foreign Affairs of the receiving State
or to the authority designated by that Ministry.
Article 22
Nationality of consular officers
1. Consular officers should, in principle, have the nationality of the sending State.
2. Consular officers may not be appointed from among persons having the
nationality of the receiving State except with the express consent of that State
which may be withdrawn at any time.
3. The receiving State may reserve the same right with regard to nationals of a
third State who are not also nationals of the sending State.
Article 23
Persons declared "non grata"
1. The receiving State may at any time notify the sending State that a consular
officer is persona non grata or that any other member of the consular staff is
not acceptable. In that event, the sending State shall, as the case may be,
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 54
either recall the person concerned or terminate his functions with the consular
post.
2. If the sending State refuses or fails within a reasonable time to carry out its
obligations under paragraph 1 of this Article, the receiving State may, as the
case may be, either withdraw the exequatur from the person concerned or
cease to consider him as a member of the consular staff.
3. A person appointed as a member of a consular post may be declared unac-
ceptable before arriving in the territory of the receiving State or, if already in
the receiving State, before entering on his duties with the consular post. In any
such case, the sending State shall withdraw his appointment.
4. In the cases mentioned in paragraphs 1 and 3 of this Article, the receiving
State is not obliged to give to the sending State reasons for its decision.
Article 24
Notification to the receiving State of appointments, arrivals and departures
1. The Ministry for Foreign Affairs of the receiving State or the authority design-
nated by that Ministry shall be notified of:
(a) the appointment of members of a consular post, their arrival after ap-
pointment to the consular post, their final departure or the termination
of their functions and any other changes affecting their status that
may occur in the course of their service with the consular post;
(b) the arrival and final departure of a person belonging to the family of a
member of a consular post forming part of his household and, where
appropriate, the fact that a person becomes or ceases to be such a
member of the family;
(c) the arrival and final departure of members of the private staff and,
where appropriate, the termination of their service as such;
(d) the engagement and discharge of persons resident in the receiving
State as members of a consular post or as members of the private
staff entitled to privileges and immunities.
2. When possible, prior notification of arrival and final departure shall also be
given.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 55
Section II. END OF CONSULAR FUNCTIONS
Article 25
Termination of the functions of a member of a consular post
The functions of a member of a consular post shall come to an end inter alia:
(a) on notification by the sending State to the receiving State that his
functions have come to an end;
(b) on withdrawal of the exequatur;
(c) on notification by the receiving State to the sending State that the
receiving State has ceased to consider him as a member of the
consular staff.
Article 26
Departure from the territory of the receiving State
The receiving State shall, even in case of armed conflict, grant to mem-
bers of the consular post and members of the private staff, other than nationals
of the receiving State, and to members of their families forming part of their
households irrespective of nationality, the necessary time and facilities to enable
them to prepare their departure and to leave at the earliest possible moment after
the termination of the functions of the members concerned. In particular, it shall,
in case of need, place at their disposal the necessary means of transport for
themselves and their property other than property acquired in the receiving State
the export of which is prohibited at the time of departure.
Article 27
Protection of consular premises and archives and of the interests of the
sending State in exceptional circumstances
1. In the event of the severance of consular relations between two States:
(a) the receiving State shall, even in case of armed conflict, respect and
protect the consular premises, together with the property of the con-
sular post and the consular archives;
(b) the sending State may entrust the custody of the consular premises,
together with the property contained therein and the consular archi-
ves, to a third State acceptable to the receiving State;
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 56
(c) the sending State may entrust the protection of its interests and tho-
se of its nationals to a third State acceptable to the receiving State.
2. In the event of the temporary or permanent closure of a consular post, the
provisions of subparagraph (a) of paragraph 1 of this Article shall apply. In
addition,
(a) if the sending State, although not represented in the receiving State
by a diplomatic mission, has another consular post in the territory of
that State, that consular post may be entrusted with the custody of
the premises of the consular post which has been closed, together
with the property contained therein and the consular archives, and,
with the consent of the receiving State, with the exercise of consular
functions in the district of that consular post; or
(b) if the sending State has no diplomatic mission and no other consular
post in the receiving State, the provisions of sub-paragraphs (b) and
(c) of paragraph 1 of this Article shall apply.
CHAPTER II.
FACILITIES, PRIVILEGES AND IMMUNITIES RELATING TO CONSULAR
POSTS, CAREER CONSULAR OFFICERS AND OTHER MEMBERS OF A
CONSULAR POST
Section I. FACILITIES, PRIVILEGES AND IMMUNITIES RELATING
TO A CONSULAR POST
Article 28
Facilities for the work of the consular post
The receiving State shall accord full facilities for the performance of the
functions of the consular post.
Article 29
Use of national flag and coat-of-arms
1. The sending State shall have the right to the use of its national flag and coat-
of-arms in the receiving State in accordance with the provisions of this Article.
2. The national flag of the sending State may be flown and its coat-of-arms
displayed on the building occupied by the consular post and at the entrance
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 57
door thereof, on the residence of the head of the consular post and on his
means of transport when used on official business.
3. In the exercise of the right accorded by this Article regard shall be had to the
laws, regulations and usages of the receiving State.
Article 30
Accommodation
1. The receiving State shall either facilitate the acquisition on its territory, in
accordance with its laws and regulations, by the sending State of premises
necessary for its consular post or assist the latter in obtaining accommodation
in some other way.
2. It shall also, where necessary, assist the consular post in obtaining suitable
accommodation for its members.
Article 31
Inviolability of the consular premises
1. Consular premises shall be inviolable to the extent provided in this Article.
2. The authorities of the receiving State shall not enter that part of the consular
premises which is used exclusively for the purpose of the work of the consular
post except with the consent of the head of the consular post or of his
designee or of the head of the diplomatic mission of the sending State. The
consent of the head of the consular post may, however, be assumed in case
of fire or other disaster requiring prompt protective action.
3. Subject to the provisions of paragraph 2 of this Article, the receiving State is
under a special duty to take all appropriate steps to protect the consular pre-
mises against any intrusion or damage and to prevent any disturbance of the
peace of the consular post or impairment of its dignity.
4. The consular premises, their furnishings, the property of the consular post and
its means of transport shall be immune from any form of requisition for pur-
poses of national defence or public utility. If expropriation is necessary for
such purposes, all possible steps shall be taken to avoid impeding the perfor-
mance of consular functions, and prompt, adequate and effective compensa-
tion shall be paid to the sending State.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 58
Article 32
Exemption from taxation of consular premises
1. Consular premises and the residence of the career head of consular post of
which the sending State or any person acting on its behalf is the owner or
lessee shall be exempt from all national, regional or municipal dues and taxes
whatsoever, other than such as represent payment for specific services
rendered.
2. The exemption from taxation referred to in paragraph 1 of this Article shall not
apply to such dues and taxes if, under the law of the receiving State, they are
payable by the person who contracted with the sending State or with the
person acting on its behalf.
Article 33
Inviolability of the consular archives and documents
The consular archives and documents shall be inviolable at all times and
wherever they may be.
Article 34
Freedom of movement
Subject to its laws and regulations concerning zones entry into which is
prohibited or regulated for reasons of national security, the receiving State shall
ensure freedom of movement and travel in its territory to all members of the
consular post.
Article 35
Freedom of communication
1. The receiving State shall permit and protect freedom of communication on the
part of the consular post for all official purposes. In communicating with the
Government, the diplomatic missions and other consular posts, wherever
situated, of the sending State, the consular post may employ all appropriate
means, including diplomatic or consular couriers, diplomatic or consular bags
and messages in code or cipher. However, the consular post may install and
use a wireless transmitter only with the consent of the receiving State.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 59
2. The official correspondence of the consular post shall be inviolable. Official
correspondence means all correspondence relating to the consular post and
its functions.
3. The consular bag shall be neither opened nor detained. Nevertheless, if the
competent authorities of the receiving State have serious reason to believe
that the bag contains something other than the correspondence, documents or
articles referred to in paragraph 4 of this Article, they may request that the bag
be opened in their presence by an authorized representative of the sending
State. If this request is refused by the authorities of the sending State, the bag
shall be returned to its place of origin.
4. The packages constituting the consular bag shall bear visible external marks
of their character and may contain only official correspondence and docu-
ments or articles intended exclusively for official use.
5. The consular courier shall be provided with an official document indicating his
status and the number of packages constituting the consular bag. Except with
the consent of the receiving State he shall be neither a national of the recei-
ving State, nor, unless he is a national of the sending State, a permanent resi-
dent of the receiving State. In the performance of his functions he shall be pro-
tected by the receiving State. He shall enjoy personal inviolability and shall not
be liable to any form of arrest or detention.
6. The sending State, its diplomatic missions and its consular posts may design-
nate consular couriers ad hoc. In such cases the provisions of paragraph 5 of
this Article shall also apply except that the immunities therein mentioned shall
cease to apply when such a courier has delivered to the consignee the con-
sular bag in his charge.
7. A consular bag may be entrusted to the captain of a ship or of a commercial
aircraft scheduled to land at an authorized port of entry. He shall be provided
with an official document indicating the number of packages constituting the
bag, but he shall not be considered to be a consular courier. By arrangement
with the appropriate local authorities, the consular post may send one of its
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 60
members to take possession of the bag directly and freely from the captain of
the ship or of the aircraft.
Article 36
Communication and contact with nationals of the sending State
1. With a view to facilitating the exercise of consular functions relating to nation-
als of the sending State:
(a) consular officers shall be free to communicate with nationals of the
sending State and to have access to them. Nationals of the sending
State shall have the same freedom with respect to communication
with and access to consular officers of the sending State;
(b) if he so requests, the competent authorities of the receiving State
shall, without delay, inform the consular post of the sending State if,
within its consular district, a national of that State is arrested or
committed to prison or to custody pending trial or is detained in any
other manner. Any communication addressed to the consular post by
the person arrested, in prison, custody or detention shall also be
forwarded by the said authorities without delay. The said authorities
shall inform the person concerned without delay of his rights under
this sub-paragraph;
(c) consular officers shall have the right to visit a national of the sending
State who is in prison, custody or detention, to converse and corres-
pond with him and to arrange for his legal representation. They shall
also have the right to visit any national of the sending State who is in
prison, custody or detention in their district in pursuance of a judg-
ment. Nevertheless, consular officers shall refrain from taking action
on behalf of a national who is in prison, custody or detention if he
expressly opposes such action.
2. The rights referred to in paragraph 1 of this Article shall be exercised in con-
formity with the laws and regulations of the receiving State, subject to the pro-
viso, however, that the said laws and regulations must enable full effect to be
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 61
given to the purposes for which the rights accorded under this Article are
intended.
Article 37
Information in cases of deaths, guardianship or trusteeship, wrecks and air
accidents If the relevant information is available to the competent authorities of
the receiving State, such authorities shall have the duty:
(a) in the case of the death of a national of the sending State, to inform
without delay the consular post in whose district the death occurred;
(b) to inform the competent consular post without delay of any case
where the appointment of a guardian or trustee appears to be in the
interests of a minor or other person lacking full capacity who is a na-
tional of the sending State. The giving of this information shall, howe-
ver, be without prejudice to the operation of the laws and regulations
of the receiving State concerning such appointments;
(c) if a vessel, having the nationality of the sending State, is wrecked or
runs aground in the territorial sea or internal waters of the receiving
State, or if an aircraft registered in the sending State suffers an acci-
dent on the territory of the receiving State, to inform without delay the
consular post nearest to the scene of the occurrence.
Article 38
Communication with the authorities of the receiving State
In the exercise of their functions, consular officers may address :
(a) the competent local authorities of their consular district;
(b) the competent central authorities of the receiving State if and to the
extent that this is allowed by the laws, regulations and usages of the
receiving State or by the relevant international agreements.
Article 39
Consular fees and charges
1. The consular post may levy in the territory of the receiving State the fees and
charges provided by the laws and regulations of the sending State for consular
acts.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 62
2. The sums collected in the form of the fees and charges referred to in parag-
raph 1 of this Article, and the receipts for such fees and charges, shall be
exempt from all dues and taxes in the receiving State.
Section II. FACILITIES, PRIVILEGES AND IMMUNITIES RELATING TO
CAREER CONSULAR OFFICERS AND OTHER MEMBERS OF A CONSULAR
POST
Article 40
Protection of consular officers
The receiving State shall treat consular officers with due respect and shall
take all appropriate steps to prevent any attack on their person, freedom or
dignity.
Article 41
Personal inviolability of consular officers
1. Consular officers shall not be liable to arrest or detention pending trial, except
in the case of a grave crime and pursuant to a decision by the competent
judicial authority.
2. Except in the case specified in paragraph 1 of this Article, consular officers
shall not be committed to prison or liable to any other form of restriction on
their personal freedom save in execution of a judicial decision of final effect.
3. If criminal proceedings are instituted against a consular officer, he must
appear before the competent authorities. Nevertheless, the proceedings shall
be conducted with the respect due to him by reason of his official position and,
except in the case specified in paragraph 1 of this Article, in a manner which
will hamper the exercise of consular functions as little as possible. When, in
the circumstances mentioned in paragraph 1 of this Article, it has become
necessary to detain a consular officer, the proceedings against him shall be
instituted with the minimum of delay.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 63
Article 42
Notification of arrest, detention or prosecution
In the event of the arrest or detention, pending trial, of a member of the
consular staff, or of criminal proceedings being instituted against him, the recei-
ving State shall promptly notify the head of the consular post. Should the latter be
himself the object of any such measure, the receiving State shall notify the
sending State through the diplomatic channel.
Article 43
Immunity from jurisdiction
1. Consular officers and consular employees shall not be amenable to the juris-
diction of the judicial or administrative authorities of the receiving State in
respect of acts performed in the exercise of consular functions.
2. The provisions of paragraph 1 of this Article shall not, however, apply in res-
pect of a civil action either:
(a) arising out of a contract concluded by a consular officer or a consular
employee in which he did not contract expressly or impliedly as an
agent of the sending State; or
(b) by a third party for damage arising from an accident in the receiving
State caused by a vehicle, vessel or aircraft.
Article 44
Liability to give evidence
1. Members of a consular post may be called upon to attend as witnesses in the
course of judicial or administrative proceedings. A consular employee or a
member of the service staff shall not, except in the cases mentioned in parag-
raph 3 of this Article, decline to give evidence. If a consular officer should
decline to do so, no coercive measure or penalty may be applied to him.
2. The authority requiring the evidence of a consular officer shall avoid inter-
ference with the performance of his functions. It may, when possible, take
such evidence at his residence or at the consular post or accept a statement
from him in writing.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 64
3. Members of a consular post are under no obligation to give evidence concer-
ning matters connected with the exercise of their functions or to produce offi-
cial correspondence and documents relating thereto. They are also entitled to
decline to give evidence as expert witnesses with regard to the law of the
sending State.
Article 45
Waiver of privileges and immunities
1. The sending State may waive, with regard to a member of the consular post,
any of the privileges and immunities provided for in Articles 41, 43 and 44.
2. The waiver shall in all cases be express, except as provided in paragraph 3 of
this Article, and shall be communicated to the receiving State in writing.
3. The initiation of proceedings by a consular officer or a consular employee in a
matter where he might enjoy immunity from jurisdiction under Article 43 shall
preclude him from invoking immunity from jurisdiction in respect of any
counter-claim directly connected with the principal claim.
4. The waiver of immunity from jurisdiction for the purposes of civil or adminis-
trative proceedings shall not be deemed to imply the waiver of immunity from
the measures of execution resulting from the judicial decision; in respect of
such measures, a separate waiver shall be necessary.
Article 46
Exemption from registration of aliens and residence permits
1. Consular officers and consular employees and members of their families for-
ming part of their households shall be exempt from all obligations under the
laws and regulations of the receiving State in regard to the registration of
aliens and residence permits.
2. The provisions of paragraph 1 of this Article shall not, however, apply to any
consular employee who is not a permanent employee of the sending State or
who carries on any private gainful occupation in the receiving State or to any
member of the family of any such employee.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 65
Article 47
Exemption from work permits
1. Members of the consular post shall, with respect to services rendered for the
sending State, be exempt from any obligations in regard to work permits impo-
sed by the laws and regulations of the receiving State concerning the employ-
ment of foreign labour.
2. Members of the private staff of consular officers and of consular employees
shall, if they do not carry on any other gainful occupation in the receiving Sta-
te, be exempt from the obligations referred to in paragraph 1 of this Article.
Article 48
Social security exemption
1. Subject to the provisions of paragraph 3 of this Article, members of the consu-
lar post with respect to services rendered by them for the sending State, and
members of their families forming part of their households, shall be exempt
from social security provisions which may be in force in the receiving State.
2. The exemption provided for in paragraph 1 of this Article shall apply also to
members of the private staff who are in the sole employ of members of the
consular post, on condition:
(a) that they are not nationals of or permanently resident in the receiving
State; and
(b) that they are covered by the social security provisions which are in
force in the sending State or a third State.
3. Members of the consular post who employ persons to whom the exemption
provided for in paragraph 2 of this Article does not apply shall observe the
obligations which the social security provisions of the receiving State impose
upon employers.
4. The exemption provided for in paragraphs 1 and 2 of this Article shall not
preclude voluntary participation in the social security system of the receiving
State, provided that such participation is permitted by that State.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 66
Article 49
Exemption from taxation
1. Consular officers and consular employees and members of their families for-
ming part of their households shall be exempt from all dues and taxes, perso-
nal or real, national, regional or municipal, except:
(a) indirect taxes of a kind which are normally incorporated in the price of
goods or services;
(b) dues or taxes on private immovable property situated in the territory
of the receiving State, subject to the provisions of Article 32;
(c) estate, succession or inheritance duties, and duties on transfers, levi-
ed by the receiving State, subject to the provisions of paragraph (b)
of Article 51;
(d) dues and taxes on private income, including capital gains, having its
source in the receiving State and capital taxes relating to invest-
ments made in commercial or financial undertakings in the receiving
State;
(e) charges levied for specific services rendered;
(f) registration, court or record fees, mortgage dues and stamp duties,
subject to the provisions of Article 32.
2. Members of the service staff shall be exempt from dues and taxes on the wa-
ges which they receive for their services.
3. Members of the consular post who employ persons whose wages or salaries
are not exempt from income tax in the receiving State shall observe the oblige-
tions which the laws and regulations of that State impose upon employers
concerning the levying of income tax.
Article 50
Exemption from customs duties and inspection
1. The receiving State shall, in accordance with such laws and regulations as it
may adopt, permit entry of and grant exemption from all customs duties, taxes,
and related charges other than charges for storage, cartage and similar ser-
vices, on:
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 67
(a) articles for the official use of the consular post;
(b) articles for the personal use of a consular officer or members of his
family forming part of his household, including articles intended for his
establishment. The articles intended for consumption shall not exceed
the quantities necessary for direct utilization by the persons concer-
ned.
2. Consular employees shall enjoy the privileges and exemptions specified in
paragraph 1 of this Article in respect of articles imported at the time of first
installation.
3. Personal baggage accompanying consular officers and members of their
families forming part of their households shall be exempt from inspection. It
may be inspected only if there is serious reason to believe that it contains ar-
ticles other than those referred to in sub-paragraph (b) of paragraph 1 of this
Article, or articles the import or export of which is prohibited by the laws and
regulations of the receiving State or which are subject to its quarantine laws
and regulations. Such inspection shall be carried out in the presence of the
consular officer or member of his family concerned.
Article 51
Estate of a member of the consular post or of a member of his family
In the event of the death of a member of the consular post or of a member
of his family forming part of his household, the receiving State:
(a) shall permit the export of the movable property of the deceased, with
the exception of any such property acquired in the receiving State
the export of which was prohibited at the time of his death;
(b) shall not levy national, regional or municipal estate, succession or in-
heritance duties, and duties on transfers, on movable property the
presence of which in the receiving State was due solely to the pre-
sence in that State of the deceased as a member of the consular
post or as a member of the family of a member of the consular post.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 68
Article 52
Exemption from personal services and contributions
The receiving State shall exempt members of the consular post and mem-
bers of their families forming part of their households from all personal services,
from all public service of any kind whatsoever, and from military obligations such
as those connected with requisitioning, military contributions and billeting.
Article 53
Beginning and end of consular privileges and immunities
1. Every member of the consular post shall enjoy the privileges and immunities
provided in the present Convention from the moment he enters the territory of
the receiving State on proceeding to take up his post or, if already in its terri-
tory, from the moment when he enters on his duties with the consular post.
2. Members of the family of a member of the consular post forming part of his
household and members of his private staff shall receive the privileges and
immunities provided in the present Convention from the date from which he
enjoys privileges and immunities in accordance with paragraph 1 of this Article
or from the date of their entry into the territory of the receiving State or from
the date of their becoming a member of such family or private staff, whichever
is the latest.
3. When the functions of a member of the consular post have come to an end,
his privileges and immunities and those of a member of his family forming part
of his household or a member of his private staff shall normally cease at the
moment when the person concerned leaves the receiving State or on the
expiry of a reasonable period in which to do so, whichever is the sooner, but
shall subsist until that time, even in case of armed conflict. In the case of the
persons referred to in paragraph 2 of this Article, their privileges and immu-
nities shall come to an end when they cease to belong to the household or to
be in the service of a member of the consular post provided, however, that if
such persons intend leaving the receiving State within a reasonable period
thereafter, their privileges and immunities shall subsist until the time of their
departure.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 69
4. However, with respect to acts performed by a consular officer or a consular
employee in the exercise of his functions, immunity from jurisdiction shall
continue to subsist without limitation of time.
5. In the event of the death of a member of the consular post, the members of his
family forming part of his household shall continue to enjoy the privileges and
immunities accorded to them until they leave the receiving State or until the
expiry of a reasonable period enabling them to do so, whichever is the sooner.
Article 54
Obligations of third States
1. If a consular officer passes through or is in the territory of a third State, which
has granted him a visa if a visa was necessary, while proceeding to take up
or return to his post or when returning to the sending State, the third State
shall accord to him all immunities provided for by the other Articles of the
present Convention as may be required to ensure his transit or return. The
same shall apply in the case of any member of his family forming part of his
household enjoying such privileges and immunities who are accompanying
the consular officer or traveling separately to join him or to return to the sen-
ding State.
2. In circumstances similar to those specified in paragraph 1 of this Article, third
States shall not hinder the transit through their territory of other members of
the consular post or of members of their families forming part of their house-
holds.
3. Third States shall accord to official correspondence and to other official com-
munications in transit, including messages in code or cipher, the same free-
dom and protection as the receiving State is bound to accord under the pre-
sent Convention. They shall accord to consular couriers who have been
granted a visa, if a visa was necessary, and to consular bags in transit, the
same inviolability and protection as the receiving State is bound to accord
under the present Convention.
4. The obligations of third States under paragraphs 1, 2 and 3 of this Article shall
also apply to the persons mentioned respectively in those paragraphs, and to
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 70
official communications and to consular bags, whose presence in the territory
of the third State is due to force majeure.
Article 55
Respect for the laws and regulations of the receiving State
1. Without prejudice to their privileges and immunities, it is the duty of all per-
sons enjoying such privileges and immunities to respect the laws and regula-
tions of the receiving State. They also have a duty not to interfere in the in-
ternal affairs of that State.
2. The consular premises shall not be used in any manner incompatible with the
exercise of consular functions.
3. The provisions of paragraph 2 of this Article shall not exclude the possibility
of offices of other institutions or agencies being installed in part of the buil-
ding in which the consular premises are situated, provided that the premises
assigned to them are separate from those used by the consular post. In that
event, the said offices shall not, for the purposes of the present Convention,
be considered to form part of the consular premises.
Article 56
Insurance against third party risks
Members of the consular post shall comply with any requirement imposed
by the laws and regulations of the receiving State in respect of insurance against
third party risks arising from the use of any vehicle, vessel or aircraft.
Article 57
Special provisions concerning private gainful occupation
1. Career consular officers shall not carry on for personal profit any professional
or commercial activity in the receiving State.
2. Privileges and immunities provided in this Chapter shall not be accorded:
(a) to consular employees or to members of the service staff who carry
on any private gainful occupation in the receiving State;
(b) to members of the family of a person referred to in sub-paragraph (a)
of this paragraph or to members of his private staff;
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 71
(c) to members of the family of a member of a consular post who them-
selves carry on any private gainful occupation in the receiving State.
CHAPTER III.
REGIME RELATING TO HONORARY CONSULAR OFFICERS
AND CONSULAR POSTS HEADED BY SUCH OFFICERS
Article 58
General provisions relating to facilities, privileges and immunities
1. Articles 28, 29, 30, 34, 35, 36, 37, 38 and 39, paragraph 3 of Article 54
and paragraphs 2 and 3 of Article 55 shall apply to consular posts
headed by an honorary consular officer. In addition, the facilities,
privileges and immunities of such consular posts shall be governed by
Articles 59, 60, 61 and 62.
2. Articles 42 and 43, paragraph 3 of Article 44, Articles 45 and 53 and
paragraph 1 of Article 55 shall apply to honorary consular officers. In
addition, the facilities, privileges and immunities of such consular
officers shall be governed by Articles 63, 64, 65, 66 and 67.
3. Privileges and immunities provided in the present Convention shall not
be accorded to members of the family of an honorary consular officer
or of a consular employee employed at a consular post headed by an
honorary consular officer.
4. The exchange of consular bags between two consular posts headed
by honorary consular officers in different States shall not be allowed
without the consent of the two receiving States concerned.
Article 59
Protection of the consular premises
The receiving State shall take such steps as may be necessary to protect
the consular premises of a consular post headed by an honorary consular officer
against any intrusion or damage and to prevent any disturbance of the peace of
the consular post or impairment of its dignity.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 72
Article 60
Exemption from taxation of consular premises
1. Consular premises of a consular post headed by an honorary consular officer
of which the sending State is the owner or lessee shall be exempt from all
national, regional or municipal dues and taxes whatsoever, other than such as
represent payment for specific services rendered.
2. The exemption from taxation referred to in paragraph 1 of this Article shall not
apply to such dues and taxes if, under the laws and regulations of the recei-
ving State, they are payable by the person who contracted with the sending
State.
Article 61
Inviolability of consular archives and documents
The consular archives and documents of a consular post headed by an
honorary consular officer shall be inviolable at all times and wherever they may
be, provided that they are kept separate from other papers and documents and,
in particular, from the private correspondence of the head of a consular post and
of any person working with him, and from the materials, books or documents
relating to their profession or trade.
Article 62
Exemption from customs duties
The receiving State shall, in accordance with such laws and regulations as
it may adopt, permit entry of, and grant exemption from all customs duties, taxes,
and related charges other than charges for storage, cartage and similar services
on the following articles, provided that they are for the official use of a consular
post headed by an honorary consular officer: coats-of-arms, flags, signboards,
seals and stamps, books, official printed matter, office furniture, office equipment
and similar articles supplied by or at the instance of the sending State to the con-
sular post.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 73
Article 63
Criminal proceedings
If criminal proceedings are instituted against an honorary consular officer,
he must appear before the competent authorities. Nevertheless, the proceedings
shall be conducted with the respect due to him by reason of his official position
and, except when he is under arrest or detention, in a manner which will hamper
the exercise of consular functions as little as possible. When it has become
necessary to detain an honorary consular officer, the proceedings against him
shall be instituted with the minimum of delay.
Article 64
Protection of honorary consular officers
The receiving State is under a duty to accord to an honorary consular
officer such protection as may be required by reason of his official position.
Article 65
Exemption from registration of aliens and residence permits
Honorary consular officers, with the exception of those who carry on for
personal profit any professional or commercial activity in the receiving State,
shall be exempt from all obligations under the laws and regulations of the recei-
ving State in regard to the registration of aliens and residence permits.
Article 66
Exemption from taxation
An honorary consular officer shall be exempt from all dues and taxes on
the remuneration and emoluments which he receives from the sending State in
respect of the exercise of consular functions.
Article 67
Exemption from personal services and contributions
The receiving State shall exempt honorary consular officers from all perso-
nal services and from all public services of any kind whatsoever and from military
obligations such as those connected with requisitioning, military contributions and
billeting.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 74
Article 68
Optional character of the institution of honorary consular officers Each Sta-
te is free to decide whether it will appoint or receive honorary consular officers.
CHAPTER IV.
GENERAL PROVISIONS
Article 69
Consular agents who are not heads of consular posts
1. Each State is free to decide whether it will establish or admit consular agen-
cies conducted by consular agents not designated as heads of consular post
by the sending State.
2. The conditions under which the consular agencies referred to in paragraph 1
of this Article may carry on their activities and the privileges and immunities
which may be enjoyed by the consular agents in charge of them shall be de-
termined by agreement between the sending State and the receiving State.
Article 70
Exercise of consular functions by diplomatic missions
1. The provisions of the present Convention apply also, so far as the context
permits, to the exercise of consular functions by a diplomatic mission.
2. The names of members of a diplomatic mission assigned to the consular sec-
tion or otherwise charged with the exercise of the consular functions of the
mission shall be notified to the Ministry for Foreign Affairs of the receiving
State or to the authority designated by that Ministry.
3. In the exercise of consular functions a diplomatic mission may address:
(a) the local authorities of the consular district;
(b) the central authorities of the receiving State if this is allowed by the laws,
regulations and usages of the receiving State or by relevant international
agreements.
4. The privileges and immunities of the members of a diplomatic mission referred
to in paragraph 2 of this Article shall continue to be governed by the rules of
international law concerning diplomatic relations.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 75
Article 71
Nationals or permanent residents of the receiving State
1. Except in so far as additional facilities, privileges and immunities may be gran-
ted by the receiving State, consular officers who are nationals of or perma-
nently resident in the receiving State shall enjoy only immunity from jurisdiction
and personal inviolability in respect of official acts performed in the exercise of
their functions, and the privilege provided in paragraph 3 of Article 44. So far
as these consular officers are concerned, the receiving State shall likewise be
bound by the obligation laid down in Article 42. If criminal proceedings are
instituted against such a consular officer, the proceedings shall, except when
he is under arrest or detention, be conducted in a manner which will hamper
the exercise of consular functions as little as possible.
2. Other members of the consular post who are nationals of or permanently resi-
dent in the receiving State and members of their families, as well as members
of the families of consular officers referred to in paragraph 1 of this Article,
shall enjoy facilities, privileges and immunities only in so far as these are gran-
ted to them by the receiving State. Those members of the families of members
of the consular post and those members of the private staff who are themsel-
ves nationals of or permanently resident in the receiving State shall likewise
enjoy facilities, privileges and immunities only in so far as these are granted to
them by the receiving State. The receiving State shall, however, exercise its
jurisdiction over those persons in such a way as not to hinder unduly the
performance of the functions of the consular post.
Article 72
Non-discrimination
1. In the application of the provisions of the present Convention the receiving
State shall not discriminate as between States.
2. However, discrimination shall not be regarded as taking place:
(a) where the receiving State applies any of the provisions of the present
Convention restrictively because of a restrictive application of that
provision to its consular posts in the sending State;
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 76
(b) where by custom or agreement States extend to each other more fa-
vourable treatment than is required by the provisions of the present
Convention.
Article 73
Relationship between the present convention and other international agreements
1. The provisions of the present Convention shall not affect other interna-
tional agreements in force as between States parties to them.
2. Nothing in the present Convention shall preclude States from conclu-
ding international agreements confirming or supplementing or exten-
ding or amplifying the provisions thereof.
CHAPTER V
FINAL PROVISIONS
Article 74
Signature
The present Convention shall be open for signature by all States Members
of the United Nations or of any of the specialized agencies or Parties to the
Statute of the International Court of Justice, and by any other State invited by the
General Assembly of the United Nations to become a Party to the Convention, as
follows until 31 October 1963 at the Federal Ministry for Foreign Affairs of the
Republic of Austria and subsequently, until 31 March 1964, at the United Nations
Headquarters in New York.
Article 75
Ratification
The present Convention is subject to ratification. The instruments of ratify-
cation shall be deposited with the Secretary-General of the United Nations.
Article 76
Accession
The present Convention shall remain open for accession by any State be-
longing to any of the four categories mentioned in Article 74. The instruments of
accession shall be deposited with the Secretary-General of the United Nations.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 77
Article 77
Entry into force
1. The present Convention shall enter into force on the thirtieth day follo-
wing the date of deposit of the twenty-second instrument of ratification
or accession with the Secretary-General of the United Nations.
2. For each State ratifying or acceding to the Convention after the depo-
sit of the twenty-second instrument of ratification or accession, the
Convention shall enter into force on the thirtieth day after deposit by
such State of its instrument of ratification or accession.
Article 78
Notifications by the Secretary-General
The Secretary-General of the United Nations shall inform all States belo-
nging to any of the four categories mentioned in Article 74:
(a) of signatures to the present Convention and of the deposit of instru-
ments of ratification or accession, in accordance with Articles 74, 75
and 76;
(b) of the date on which the present Convention will enter into force, in
accordance with Article 77.
Article 79
Authentic texts
The original of the present Convention, of which the Chinese, English, Fre-
nch, Russian and Spanish texts are equally authentic, shall be deposited with the
Secretary-General of the United Nations, who shall send certified copies thereof
to all States belonging to any of the four categories mentioned in Article 74.
- IN WITNESS WHEREOF the undersigned Plenipotentiaries, being duly
authorized thereto by their respective Governments, have signed the present
Convention.
- DONE at Vienna, this twenty-fourth day of April, one thousand nine hundred
and sixty-three.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 78
Pengaturan Hubungan Konsuler dan Perwakilan Konsuler yang dalam se-
jarah berkembang melalui tahap-tahap pertumbuhan hukum kebiasaan interna-
sional baru dikodifikasikan pada tahun 1963 dalam Konvensi Wina mengenai Hu-
bungan Konsuler yang disponsori oleh Perserikatan Bangsa-bangsa. Diadakan-
nya Konvensi ini yang terdiri dari 79 pasal yang keseluruhannya mengenai hu-
bungan konsuler, hak-hak istimewa dan kekebalan-kekebalannya akan mening-
katkan hubungan persahabatan antara bangsa-bangsa tanpa membedakan ide-
ologi, sistim politik atau sistim sosialnya. Hak istimewa dan kekebalan tersebut
diberikan hanyalah guna mnjamin pelaksanaan fungsi perwakilan konsuler
secara efisien Konvensi mengatur antara lain hubungan-hubungan konsuler pa-
da umumnya, fasilitas, hak-hak istimewa dan kekebalan kantor perwakilan kon-
suler, pejabat konsuler dan anggota perwakilan konsuler lainnya serta tentang
pejabat-pejabat konsul kehormatan dan konsulat-konsulat kehormatan. Baik
Konvensi Wina mengenai Hubungan Diplomatik maupun Konvensi Wina menge-
nai Hubungan Konsuler masing-masing dilengkapi dengan Protokol Opsional
mengenai hal Memperoleh Kewarganegaraan dan Protokol Opsional mengenai
Penyelesaian Sengketa.25
Berikut isi dari Protokol Opsional Konvensi Wina Tahun 1963 tentang
Hubungan Konsuler mengenai hal Memperoleh Kewarganegaraan:26
OPTIONAL PROTOCOL TO THE VIENNA CONVENTION ON CONSULAR
RELATIONS CONCERNING ACQUISITION OF NATIONALITY.
DONE AT VIENNA, ON 24 APRIL 1963
- The States Parties to the present Protocol and to the Vienna Convention on
Consular Relations, hereinafter referred to as "the Convention", adopted by
the United Nations Conference held at Vienna from 4 March to 22 April 1963,
25 Penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1982 tentang
Pengesahan Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik Beserta Protokol Opsionalnya mengenai hal memperoleh kewarganegaraan dan Pengesahan Konvensi Wina tentang Hubungan Konsuler Beserta Protokol Opsionalnya mengenai hal memperoleh kewarganegaraan
26 http://pih.kemlu.go.id/
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 79
- Expressing their wish to establish rules between them concerning acquisition
of nationality by members of the consular post and by members of their
families forming part of their households, Have agreed as follows:
Article I
For the purposes of the present Protocol, the expression "members of the
consular post" shall have the meaning assigned to it in sub-paragraph (g) of
paragraph 1 of Article 1 of the Convention, namely, "consular officers, consular
employees and members of the service staff".
Article II
Members of the consular post not being nationals of the receiving State,
and members of their families forming part of their households, shall not, solely
by the operation of the law of the receiving State, acquire the nationality of that
State.
Article III
The present Protocol shall be open for signature by all States which may
become Parties to the Convention, as follows: until 31 October 1963 at the
Federal Ministry for Foreign Affairs of the Republic of Austria and, subsequently,
until 31 March 1964, at the United Nations Headquarters in New York.
Article IV
The present Protocol is subject to ratification. The instruments of ratifica-
tion shall be deposited with the Secretary-General of the United Nations.
Article V
The present Protocol shall remain open for accession by all States which
may become Parties to the Convention. The instruments of accession shall be
deposited with the Secretary-General of the United Nations.
Article VI
1. The present Protocol shall enter into force on the same day as the Convention
or on the thirtieth day following the date of deposit of the second instrument of
ratification of or accession to the Protocol with the Secretary-General of the
United Nations, whichever date is the later.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 80
2. For each State ratifying or acceding to the present Protocol after its entry into
force in accordance with paragraph 1 of this Article, the Protocol shall enter
into force on the thirtieth day after deposit by such State of its instrument of
ratification or accession.
Article VII
The Secretary-General of the United Nations shall inform all States which
may become Parties to the Convention:
b. of signatures to the present Protocol and of the deposit of instru-
ments of ratification or accession, in accordance with Articles III, IV
and V;
c. of the date on which the present Protocol will enter into force, in ac-
cordance with Article VI.
Article VIII
The original of the present Protocol, of which the Chinese, English, Fre-
nch, Russian and Spanish texts are equally authentic, shall be deposited with the
Secretary-General of the United Nations, who shall send certified copies thereof
to all States referred to in Article III.
- IN WITNESS WHEREOF the undersigned plenipotentiaries, being duly au-
thorized thereto by their respective Governments, have signed the present
Protocol.
- DONE at Vienna, this twenty-fourth day of April, one thousand nine hundred
and sixty-three.
Selain hubungan diplomatik, dalam tata pergaulan internasional juga dike-
nal hubungan konsuler. Hubungan antar negara dibidang perdagangan dan pe-
layaran disebut dengan hubungan konsuler. Semula konsul itu hanya seseorang
mengurusi kepentingan-kepentingan sekelompok orang (warga negara) yang
ada di negara penerima. Pengurusan ini dilakukan atas nama negaranya. Bidang
tugasnya yang terutama adalah masalah privat, bukan kepentingan negara atau
publik. Di dalam praktik perkembangannya, seorang konsul yang ditugaskan
disuatu negara tidaklah hanya mewakili negaranya di bidang perdagangan saja,
tetapi juga melayani para warganegaranya yang berada di negara penerima di
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 81
mana ia ditempatkan. Terdapat beberapa istilah penting yang digunakan dalam
Konvensi Wina Tahun 1963 tentang Hubungan Konsuler, istilah-istilah dimaksud
adalah sebagai berikut :
- Consuler Post, berarti setiap konsulat jenderal, konsulat, wakil-konsulat
atau kantor konsuler;
- Consuler Distrik, berarti daerah yang ditetapkan untuk menjalankan fungsi
konsuler;
- Kepala Konsuler Pos, berarti orang yang diberikan kepercayaan untuk
bertindak dalam kapasitasnya sebagai wakil negara pengirim;
- Petugas konsuler, berarti setiap orang, termasuk kepala konsuler pos,
yang dipercayakan untuk melaksanakan fungsi konsuler;
- "Karyawan Konsuler, berarti setiap orang yang bekerja di pelayanan
teknis administratif atau sebuah kantor konsuler;
- Anggota staf layanan, berarti setiap orang yang bekerja di pelayanan
domestik konsuler;
- Anggota konsuler berarti, petugas konsuler, konsuler karyawan dan ang-
gota staf pelayanan;
- Anggota staf konsuler, berarti petugas konsuler, selain kepala konsuler
pos, konsuler karyawan dan anggota staf layanan;
- Anggota staf pribadi, berarti seseorang yang bekerja secara eksklusif di
layanan swasta dari anggota pos konsuler;
- Konsuler bangunan, adalah bangunan atau bagian bangunan dan tanah
pendukung untuk menjalankan fungsi konsuler, terlepas dari kepemilikan,
digunakan khusus untuk keperluan pos konsuler;
- Konsuler arsip, meliputi semua surat-surat, dokumen, korespondensi, bu-
ku, film, kaset dan bersama-sama dengan sandi atau kode, kartu-indeks
dan setiap artikel perabot dimaksudkan untuk perlindungan petugas kon-
suler agar tetap aman.
Pasal 9 Konvensi Wina Tahun 1963 tentang Hubungan Konsuler meng-
atur tingkatan atau klasifikasi dari konsul, yakni :
1. Konsul-Jenderal.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 82
2. Konsul
3. Wakil-Konsul
4. Agen Konsuler.
Pasal 2 Konvensi Wina Tahun 1963 tentang Hubungan Konsuler meng-
atur tentang pembentukan hubungan konsuler antara negara dilakukan atas da-
sar kesepakatan atau persetujuan bersama. Persetujuan yang diberikan untuk
pembukaan hubungan diplomatik antara dua negara berarti pula persetujuan
pembukaan hubungan konsuler, kecuali dinyatakan lain. Pemutusan hubungan
diplomatik oleh suatu negara, tidak akan melibatkan pemutusan hubungan kon-
suler. Sedangkan pada Pasal 5 Konvensi Wina Tahun 1963 tentang Hubungan
Konsuler diatur mengenai fungsi-fungsi konsuler, yakni :
1. Melindungi kepentingan-kepentingan negara pengirim dan para warga
negaranya serta badan-badan hukum yang ada di negara penerima, di
dalam batas-batas yang diperbolehkan oleh Hukum Internasional. Hal
ini merupakan fungsi utama dari hubungan konsuler;
2. Memajukan pembangunan hubungan dagang, ekonomi, budaya dan
ilmiah, antara kedua negara (negara pengirim dan negara penerima)
serta memajukan hubungan bersahabat diantara mereka, fungsi ini ber-
arti bahwa diadakannya hubungan konsuler akibat kebutuhan masing-
masing negara untuk itu;
3. Mengetahui melalui cara yang sah, keadaan dan perkembangan-per-
kembangan kehidupan dagang, ekonomi, kebudayaan, ilmiah dari ne-
gara penerima, serta melaporkannya kepada pemerintah negara pengi-
rim, fungsi ini hampir sama dengan misi diplomatik, hanya saja objek
dalam tugas yang berbeda;
4. Mengeluarkan dokumen perjalanan dan paspor kepada para warga-
negara dari negara pengirim, serta visa atau dokumen-dokumen yang
sah untuk orang-orang yang akan pergi ke negara pengirim;
5. Memberikan pertolongan dan bantuan kepada para warganegara dan
badan-badan hukum dari negara pengirim;
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 83
6. Melaksanakan hak-hak pengawasan dan pemeriksaan yang disyarat-
kan di dalam hukum dan peraturan negara penerima terhadap kapal-
kapal kebangsaan negara pengirim, dan kapal udara-kapal udara yang
didaftarkan di negara tersebut, serta terhadap para awak kapalnya, hal
ini merupakan fungsi turunan dari poin pertama;
7. Mengulurkan bantuan kepada kapal-kapal dan pesawat udara tersebut,
serta kepada para awak kapalnya, mengadakan pernyataan mengenai
pelayaran suatu kapal, memeriksa dan mencap kertas-kertas kapal,
tanpa merugikan pemerintah negara penerima, melakukan penyelidikan
atas suatu kecelakaan yang terjadi selama pelayaran, dan menyelesai-
kan perselisihan apapun diantara pemimpin, perwira dan pelaut sejauh
hal ini diwenangkan oleh hukum dan peraturan di negara pengirim, hal
ini membutuhkan koordinasi yang intens antara wakil konsuler dan
wakil pemerintah negara penerima;
8. Melakukan fungsi-fungsi lainnya yang dipercayakan kepada kantor kon-
suler oleh negara penerima atau yang ditentukan di dalam perjanjian in-
ternasional yang berlaku diantara negara pengirim dan negara pene-
rima, hal ini berarti konsuler dapat berfungsi untuk segala hal selama
hal tersebut diperjanjikan dan memenuhi kausa halal dalam hukum
internasional.
Pasal 10 Konvensi Wina Tahun 1963 tentang Hubungan Konsuler menga-
tur bahwa kepala konsuler pos ditunjuk oleh negara pengirim dan diakui pelak-
sanaan fungsi mereka oleh negara penerima. Wakil konsuler tunduk pada ke-
tentuan Konvensi ini. Formalitas untuk penunjukan dan penerimaan kepala kon-
suler pos ditentukan oleh undang-undang, peraturan dan kebiasaan dari negara
pengirim dan negara penerima. Sedangkan pengaturan mengenai berakhirnya
fungsi dari wakil konsuler adalah karena alasan-alasan sebagai berikut :
1. Pemberitahuan oleh negara pengirim ke negara penerima bahwa
fungsi konsuler telah berakhir;
2. Penarikan exequatur.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 84
3. Pemberitahuan oleh negara penerima kepada negara pengirim bahwa
negara penerima tidak menganggap wakil konsuler tersebut sebagai
agen konsuler resmi karena alasan tertentu.
3. Konvensi New York Tahun 1969 tentang Misi Khusus
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 antara lain menggariskan agar
Pemerintah Negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan selu-
ruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, men-
cerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang ber-
dasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Ketetapan Maje-
lis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1978 tentang
Garis-garis Besar Haluan Negara menegaskan bahwa landasan kebijaksanaan
politik luar negeri Republik Indonesia sebagai berikut :27
Tentang Hubungan Luar Negeri Republik Indonesia sebagai berikut :
a. pelaksanaan politik luar negeri yang bebas aktif diabdikan kepada ke-
pentingan nasional, terutama untuk kepentingan pembangunan dise-
gala bidang;
b. meneruskan usaha-usaha pemantapan stabilitas dan kerjasama di
wilayah Asia Tenggara dan Pasifik Barat Daya, khususnya dalam ling-
kungan ASEAN, dalam rangka mempertinggi tingkat ketahanan nasio-
nal untuk mencapai ketahanan regional;
c. meningkatkan peranan Indonesia di dunia internasional dalam rangka
membina dan meningkatkan persahabatan dan kerjasama yang saling
bermanfaat antara Bangsa-bangsa;
d. memperkokoh kesetiakawanan, persatuan dan kerjasama ekonomi
diantara negara-negara yang sedang membangun lainnya untuk
mempercepat terwujudnya Tata Ekonomi Dunia Baru;
27 Penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1982 tentang
Pengesahan Konvensi New York tentang Misi Khusus
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 85
e. meningkatkan kerjasama antar negara untuk menggalang perdamaian
dan ketertiban dunia demi kesejahteraan umat manusia berdasarkan
kemerdekaan dan keadilan sosial.
Dalam rangka melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif untuk
menjamin dan memelihara kepentingan nasional Indonesia dan ikut membantu
tercapainya ketertiban dunia serta memajukan kerjasama dan hubungan per-
sahabatan dengan semua bangsa di dunia, Pemerintah Indonesia mengirim misi
khusus ke berbagai negara dan meneima misi khusus dari negara lain. Pengi-
riman dan penerimaan misi khusus dan utusan-utusan keliling dengan dengan
tugas diplomatik khusus yang bersifat sementara merupakan suatu gejala yang
semakin meningkat dalam hubungan internasional. Pada tanggal 8 Desember
1969 Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa menerima baik Konvensi me-
ngenai Misi Khusus dan suatu Protokol Opsional mengenai Penyelesaian Seng-
keta Secara Wajib. Konvensi mengenai Misi Khusus terbuka bagi penanda-
tangan pada tanggal 16 Desember 1969. Konvensi yang terdiri dari suatu pem-
bukaan dan 55 pasal menentukan aturan-aturan hukum yang berlaku untuk pe-
ngiriman dan pemerimaan misi khusus, yaitu misi ke negara lain dengan
persetujuan negara tersebut, dengan tujuan mengenai masalah khusus atau
menjalankan hal-hal yang behubungan dengan tugas khusus.28
Indonesia dapat menerima seluruh isi Konvensi mengenai Misi Khusus
kecuali Protokol Opsional mengenai Penyelesaian Sengketa Secara Wajib.
Pengecualian ini karena Pemeintah Indonesia lebih mengutamakan penyelesai-
an sengketa melalui perundingan dan konsultasi atau musyawaah antara nega-
ra-negara yang bersengketa. Konvensi mengenai Misi Khusus yang dimaksud-
kan untuk melengkapi Konvensi Wina tahun 1961 mengenai Hubungan Diplo-
matik dan Konvensi Wina tahun 1963 mengenai Hubungan Konsuler akan dapat
membantu meningkatkan hubungan pesahabatan antara bangsa-bangsa di
dunia tanpa membedakan ideologi, sistim politik atau sistim sosialnya.29
28 Ibid. 29 Ibid.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 86
Konvensi New York Tahun 1969 tentang Misi Khusus ini melengkapi Kon-
vensi Wina Tahun 1961 tentang Hubungan Diplomatik dan Konvensi Wina Tahun
1963 tentang Hubungan Konsuler sebagi sumber hukum internasional bagi
setiap negara yang hendak menjalankan atau membuka hubungan diplomatik
dan konsuler dengan negara lain. Bagi Indonesia sendiri, Konvensi New York
Tahun 1969 tentang Misi Khusus, Konvensi Wina Tahun 1961 tentang Hubungan
Diplomatik dan Konvensi Wina Tahun 1963 tentang Hubungan Konsuler begitu
sangat penting apalagi kehadiran 3 konvensi ini lahir setelah Indonesia baru
merdeka kurang lebih 15 tahun sehingga dibutuhkan panduan sebagai rambu-
rambu dalam melakukan hubungan internasional dengan negara lain sebagai
negara baru merdeka yang memiliki kedaulatan penuh. Dibukanya hubungan
diplomatik atau hubungan konsuler atau kedua-duanya serta penerimaan pem-
bukaan hubungan internasional tersebut oleh negara lain (negara penerima)
adalah bukti secara de jure bahwa negara yang hendak menjalin hubungan inter-
nasional tersebut diakui sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Dengan
demikian, diratifikasinya ketiga konvensi ini oleh Indonesia sebagai pembuktian
bahwa Indonesia juga telah diakui secara de jure oleh negara-negara di dunia.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa Konvensi New York
Tahun 1969 tentang Misi Khusus menentukan aturan-aturan hukum yang berlaku
untuk pengiriman dan pemerimaan misi khusus, yaitu misi ke negara lain dengan
persetujuan negara tersebut, dengan tujuan mengenai masalah khusus atau
menjalankan hal-hal yang behubungan dengan tugas khusus. Berikut isi dari
Konvensi New York Tahun 1969 :30
CONVENTION ON SPECIAL MISSIONS
- The States Parties to the present Convention,
- Recalling that special treatment has always been accorded to special mis-
sions,
- Having in mind the purposes and principles of the Charter of the United
Nations concerning the sovereign equality of States, the maintenance of
30 http://pih.kemlu.go.id/
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 87
international peace and security and the development of friendly relations
and cooperation among States,
- Recalling that the importance of the question of special missions was re-
cognized during the United Nations Conference on Diplomatic Intercourse
and Immunities and in resolution I adopted by the Conference on 10 April
1961,
- Considering that the United Nations Conference on Diplomatic Intercourse
and Immunities adopted the Vienna Convention on Diplomatic Relations,
which was opened for signature on 18 April 1961,
- Considering that the United Nations Conference on Consular Relations
adopted the Vienna Convention on Consular Relations, which was opened
for signature on 24 April 1963,
- Believing that an international convention on special missions would
complement those two Conventions and would contribute to the development
of friendly relations among nations, whatever their constitutional and social
systems,
- Realizing that the purpose of privileges and immunities relating to special
missions is not to benefit individuals but to ensure the efficient performance
of the functions of special missions as missions representing the State,
- Affirming that the rules of customary international law continue to govern
questions not regulated by the provisions of the present Convention,
- Have agreed as follows :
ARTICLE I
USE OF TERMS
For the purposes of the present Convention:
a. a "special mission" is a temporary mission, representing the State which
is sent by one State to another State with the consent of the latter for
the purpose of dealing with it on specific questions or of performing in
relation to it a specific task;
b. a "permanent diplomatic mission" is a diplomatic mission within the
meaning of the Vienna Convention on Diplomatic Relations;
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 88
c. a "consular post" is any consulate-general, consulate, vice-consulate or
consular agency;
d. the "head of a special mission" is the person charged by the sending
State with the duty of acting in that capacity;
e. a "representative of the sending State in the special mission" is any
person on whom the sending State has conferred that capacity;
f. the "members of a special mission" are the head of the special mission,
the representatives of the sending State in the special mission and the
members of the staff of the special mission;
g. the "members of the staff of the special mission" are the members of
the diplomatic staff, the administrative and technical staff and the
service staff of the special missions;
h. the "members of the diplomatic staff" are the members of the staff of the
special mission who have diplomatic status for the purposes of the
special mission;
i. the "members of the administrative and technical staff" are the mem-
bers of the staff of the special mission employed in the administrative
and technical service of the special mission;
j. the "members of the service staff" are the members of the staff of the
special mission employed by it as household workers or for similar
tasks; the "private staff" are persons employed exclusively in the private
service of the members of the special mission.
ARTICLE 2
SENDING OF A SPECIAL MISSION
A State may send a special mission to another State with the consent of the lat-
ter, previously obtained through the diplomatic or another agreed or mutually
acceptable channel.
ARTICLE 3
FUNCTIONS OF A SPECIAL MISSION
The functions of a special mission shall be determined by the mutual consent of
the sending and the receiving State.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 89
ARTICLE 4
SENDING OF THE SAME SPECIAL MISSION TO TWO OR MORE STATES
A State which wishes to send the same special mission to two or more States
shall so inform each receiving State when seeking the consent of that State.
ARTICLE 5
SENDING OF A JOINT SPECIAL MISSION BY TWO OR MORE STATES
Two or more States which wish to send a joint special mission to another State
shall so inform the receiving State when seeking the consent of that State.
ARTICLE 6
SENDING OF SPECIAL MISSIONS BY TWO OR MORE STATES IN ORDER
TO DEAL WITH A QUESTION OF COMMON INTEREST
Two or more States may each send a special mission at the same time to ano-
ther State with the consent of that State obtained in accordance with article 2, in
order to deal together, with the agreement of all of these States, with a question
of common interest to all of them.
ARTICLE 7
NON-EXISTENCE OF DIPLOMATIC OR CONSULAR RELATIONS
The existence of diplomatic or consular relations is not necessary for the sending
or reception of a special mission
ARTICLE 8
APPOINTMENT OF THE MEMBERS OF THE SPECIAL MISSION
Subject to the provisions of articles 10, 11 and 12, the sending State may freely
appoint the members of the special mission after having given to the receiving
State all necessary information concerning the size and composition of the spe-
cial mission, and in particular the names and designations of the persons it in-
tends to appoint. The receiving State may decline to accept a special mission of
a size that is not considered by it to be reasonable, having regard to circums-
tances and conditions in the receiving State and to the needs of the particular
mission. It may also, without giving reasons, decline to accept any person as a
member of the special mission.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 90
ARTICLE 9
COMPOSITION OF THE SPECIAL MISSION
1. A special mission shall consist of one or more representatives of the sending
State from among whom the sending State may appoint a head. It may also
include diplomatic staff, administrative and technical staff and service staff.
2. When members of a permanent diplomatic mission or of a consular post in the
receiving State are included in a special mission, they shall retain their
privileges and immunities as members of their permanent diplomatic mission
or consular post in addition to the privileges and immunities accorded by the
present Convention.
ARTICLE 10
NATIONALITY OF THE MEMBERS OF THE SPECIAL MISSION
1. The representatives of the sending State in the special mission and the mem-
bers of its diplomatic staff should in principle be of the nationality of the sen-
ding State.
2. Nationals of the receiving State may not be appointed to a special mission
except with the consent of that State, which may be withdrawn at any time.
3. The receiving State may reserve the right provided for in paragraph 2 of this
article with regard to nationals of a third State who are not also nationals of the
sending State.
ARTICLE 11
NOTIFICATIONS
1. The Ministry of Foreign Affairs of the receiving State, or such other organ of
that State as may be agreed, shall be notified of:
a. the composition of the special mission and any subsequent changes the-
rein;
b. the arrival and final departure of members of the mission and the termi-
nation of their functions with the mission;
c. the arrival and final departure of any person accompanying a member of
the mission;
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 91
d. the engagement and discharge of persons resident in the receiving State
as members of the mission or as private staff;
e. the appointment of the head of the special mission or, if there is none, of
the representative referred to in paragraph 1 of article 14, and of any
substitute for them;
f. the location of the premises occupied by the special mission and of the
private acccommodation enjoying inviolability under articles 30, 36 and 39
as well as any other information that may be necessary to identify such
premises and accommodation.
2. Unless it is impossible, notification of arrival and final departure must be given
in advance.
ARTICLE 12
PERSONS DECLARED ‘NON GRATA' OR NOT ACCEPTABLE
1. The receiving State may, at any time and without having to explain its deci-
sion, notify the sending State that any representative of the sending State in
the special mission or any member of its diplomatic staff is persona non grata
or that any other member of the staff of the mission is not acceptable. In any
such case, the sending State shall, as appropriate, either recall the person
concerned or terminate his functions with the mission. A person may be dec-
lared non grata or not acceptable before arriving in the territory of the receiving
State.
2. If the sending State refuses, or fails within a reasonable period, to carry out its
obligations under paragraph 1 of this article, the receiving State may refuse to
recognize the person concerned as a member of the special mission.
ARTICLE 13
COMMENCEMENT OF THE FUNCTIONS OF A SPECIAL MISSION
1. The functions of a special mission shall commence as soon as the mission
enters into official contact with the Ministry of Foreign Affairs or with such other
organ of the receiving State as may be agreed.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 92
2. The commencement of the functions of a special mission shall not depend
upon presentation of the mission by the permanent diplomatic mission of the
sending State or upon the submission of letters of credence or full powers.
ARTICLE 14
AUTHORITY TO ACT ON BEHALF OF THE SPECIAL MISSION
1. The head of the special mission or, if the sending State has not appointed a
head, one of the representatives of the sending State designated by the latter
is authorized to act on behalf of the special mission and to address commu-
nications to the receiving State. The receiving State shall address communi-
cations concerning the special mission to the head of the mission, or, if there
is none, to the representative referred to above, either direct or through the
permanent diplomatic mission.
2. However, a member of the special mission may be authorized by the sending
State, by the head of the special mission or, if there is none, by the represen-
tative referred to in paragraph 1 of this article, either to substitute for the head
of the special mission or for the aforesaid representative or to perform
particular acts on behalf of the mission.
ARTICLE 15
ORGAN OF THE RECEIVING STATE WITH WHICH
OFFICIAL BUSINESS IS CONDUCTED
All official business with the receiving State entrusted to the special mission by
the sending State shall be conducted with or through the Ministry of Foreign Affa-
irs or with such other organ of the receiving State as may be agreed.
ARTICLE 16
RULES CONCERNING PRECEDENCE
1. Where two or more special missions meet in the territory of the receiving State
or of a third State, precedence among the missions shall be determined, in the
absence of a special agreement, according to the alphabetical order of the
names of the States used by the protocol of the State in whose territory the
missions are meeting.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 93
2. Precedence among two or more special missions which meet on a ceremonial
or formal occasion shall be governed by the protocol in force in the receiving
State.
3. Precedence among the members of the same special mission shall be that
which is notified to the receiving State or to the third State in whose territory
two or more special missions are meeting.
ARTICLE 17
SEAT OF THE SPECIAL MISSION
1. A special mission shall have its seat in the locality agreed by the States
concerned.
2. In the absence of agreement, the special mission shall have its seat in the
locality where the Ministry of Foreign Affairs of the receiving State is situated.
3. If the special mission performs its functions in different localities, the States
concerned may agree that it shall have more than one seat from among which
they may choose one as the principal seat.
ARTICLE 18
MEETING OF SPECIAL MISSIONS IN THE TERRITORY OF A THIRD STATE
1. Special missions from two or more States may meet in the territory of a third
State only after obtaining the express consent of that State, which retains the
right to withdraw it.
2. In giving its consent, the third State may lay down conditions which shall be
observed by the sending States.
3. The third State shall assume in respect of the sending States the rights and
obligations of a receiving State to the extent that it indicates in giving its
consent.
ARTICLE 19
RIGHT OF THE SPECIAL MISSION TO USE THE FLAG AND EMBLEM
OF THE SENDING STATE
1. A special mission shall have the right to use the flag and emblem of the
sending State on the premises occupied by the mission, and on its means of
transport when used on official business.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 94
2. In the exercise of the right accorded by this article, regard shall be had to the
laws, regulations and usages of the receiving State.
ARTICLE 20
END OF THE FUNCTIONS OF A SPECIAL MISSION
1. The functions of a special mission shall come to an end, inter alia, upon:
a. the agreement of the State concerned;
b. the completion of the task of the special mission;
c. the expiry of the duration assigned for the special mission, unless it is
expressly extended;
d. notification by the sending State that it is terminating or recalling the spe-
cial mission; notification by the receiving State that it considers the special
mission terminated.
2. The severance of diplomatic or consular relations between the sending State
and the receiving State shall not of itself have the effect of terminating special
missions existing at the time of such severance.
ARTICLE 21
STATUS OF THE HEAD OF STATE AND PERSONS OF HIGH RANK
1. The Head of the sending State, when he leads a special mission, shall enjoy in
the receiving State or in a third State the facilities, privileges and immunities
accorded by international law to Heads of State on an official visit.
2. The Head of the Government, the Minister for Foreign Affairs and other per-
sons of high rank, when they take part in a special mission of the sending
State, shall enjoy in the receiving State or in a third State, in addition to what is
granted by the present Convention, the facilities, privileges and immunities
accorded by international law
ARTICLE 22
GENERAL FACILITIES
The reeiving State shall accord to the special mission the facilities required for
the performance of its functions, having regard to the nature and task of the
special mission.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 95
ARTICLE 23
PREMISES AND ACCOMMODATION
The receiving State shall assist the special mission, if it so requests, in procuring
the necessary premises and obtaining suitable accommodation for its members.
ARTICLE 24
EXEMPTION OF THE PREMISES OF THE SPECIAL MISSION FROM
TAXATION
1. To the extent compatible with the nature and duration of the functions perfor-
med by the special mission, the sending State and the members of the special
mission acting on behalf of the mission shall be exempt from all national,
regional or municipal dues and taxes in respect of the premises occupied by
the special mission, other than such as represent payment for specific ser-
vices rendered.
2. The exemption from taxation referred to in this article shall not apply to such
dues and taxes payable under the law of the receiving State by persons con-
tracting with the sending State or with a member of the special mission.
ARTICLE 25
INVIOLABILITY OF THE PREMISES
1. The premises where the special mission is established in accordance with the
present Convention shall be inviolable. The agents of the receiving State may
not enter the said premises, except with the consent of the head of the special
mission or, if appropriate, of the head of the permanent diplomatic mission of
the sending State accredited to the receiving State. Such consent may be
assumed in case of fire or other disaster that seriously endangers public
safety, and only in the event that it has not been possible to obtain the express
consent of the head of the special mission or, where appropriate, of the head
of the permanent mission.
2. The receiving State is under a special duty to take all appropriate steps to
protect the premises of the special mission against any intrusion or damage
and to prevent any disturbance of the peace of the mission or impairment of its
dignity.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 96
3. The premises of the special mission, their furnishings, other property used in
the operation of the special mission and its means of transport shall be
immune from search, requisition, attachment or execution.
ARTICLE 26
INVIOLABILITY OF ARCHIVES AND DOCUMENTS
The archives and documents of the special mission shall be inviolable at all times
and wherever they may be. They should, when necessary, bear visible external
marks of identification.
ARTICLE 27
FREEDOM OF MOVEMENT
Subject to its laws and regulations concerning zones entry into which is prohibit-
ed or regulated for reasons of national security, the receiving State shall ensure
to all members of the special mission such freedom of movement and travel in its
territory as is necessary for the performance of the functions of the special
mission.
ARTICLE 28
FREEDOM OF COMMUNICATION
1. The receiving State shall permit and protect free communication on the part of
the special mission for all official purposes. In communicating with the Govern-
ment of the sending State, its diplomatic missions, its consular posts and its
other special missions or with sections of the same mission, wherever situa-
ted, the special mission may employ all appropriate means, including couriers
and messages in code or cipher. However, the special mission may install and
use a wireless transmitter only with the consent of the receiving State.
2. The official correspondence of the special mission shall be inviolable. Official
correspondence means all correspondence relating to the special mission and
its functions. Where practicable, the special mission shall use the means of
communication, including the bag and the courier, of the permanent diplomatic
mission of the sendingState.
3. The bag of the special mission shall not be opened or detained.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 97
4. The packages constituting the bag of the special mission must bear visible
external marks of their character and may contain only documents or articles
intended for theofficial use of the special mission.
5. The courrier of the special mission, who shall be provided with an official
document indicating his status and the number of packages constituting the
bag, shall be protected by the receiving State in the performance of his
functions. He shall enjoy personal inviolability and shall not be liable to any
form of arrest or detention.
6. The sending State or the special mission may designate couriers ad hoc of the
special mission. In such cases the provisions of paragraph 6 of this article
shall also apply, except that the immunities therein mentioned shall cease to
apply when the courrier ad hoc has delivered to the consignee the special
mission's bag in his charge.
7. The bag of the special mission may be entrusted to the captain of a ship or of
a commercial aircraft scheduled to land at an authorized port of entry. The
captain shall be provided with an official document indicating the number of
packages constituting the bag, but he shall not be considered to be a courrier
of the special mission. By arrangement with the appropriate authorities, the
special mission may send one of its members to take possession of the bag
directly and freely from the capitain of the ship or of the aircraft.
ARTICLE 29
PERSONAL INVIOLABILITY
The persons of the representatives of the sending State in the special mission
and of the members of its diplomatic staff shall be inviolable. They shall not be
liable to any form of arrest or detention. The receiving State shall treat them with
due respect and shall take all appropriate steps to prevent any attack on their
persons, freedom or dignity.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 98
ARTICLE 30
INVIOLABILITY OF THE PRIVATE ACCOMMODATION
1. The private accommodation of the representatives of the sending State in the
special mission and of the members of its diplomatic staff shall enjoy the same
inviolability and protection as the premises of the special mission.
2. Their papers, their correspondence and, except as provided in paragraph 4 of
article 31, their property shall likewise enjoy inviolability.
ARTICLE 31
IMMUNITY FROM JURISDICTION
1. The representatives of the sending State in the special mission and the mem-
bers of its diplomatic staff shall enjoy immunity from the criminal jurisdiction of
the receiving State.
2. They shall also enjoy immunity from the civil and administrative jurisdiction of
the receiving State, except in the case of:
a. a real action relating to private immovable property situated in the territory
of the receiving State, unless the person concerned holds it on behalf of
the sending State for the purposes of the mission;
b. an action relating to succession in which the person concerned is involved
as executor, administrator, heir or legatee as a private person and not on
behalf of the sending State;
c. an action relating to any professional or commercial activity exercised by
the person concerned in the receiving State outside his official functions;
d. an action for damages arising out of an accident caused by a vehicle used
outside the official functions of the person concerned.
3. The representatives of the sending State in the special mission and the mem-
bers of its diplomatic staff are not obliged to give evidence as witnesses.
4. No measures of execution may be taken in respect of a representative of the
sending State in the special mission or a member of its diplomatic staff except
in the cases coming under subparagraphs (a), (b), (c) and (d) of paragraph 2
of this article and provided that the measures concerned can be taken without
infringing the inviolability of his person or his accommodation.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 99
5. The immunity from jurisdiction of the representatives of the sending State in
the special mission and of the members of its diplomatic staff does not exempt
them from the jurisdiction of the sending State.
ARTICLE 32
EXEMPTION FROM SOCIAL SECURITY LEGISLATION
1. Subject to the provisions of paragraph 3 of this article, representatives of the
sending State in the special mission and members of its diplomatic staff shall,
in respect of services rendered for the sending State, be exempt from social
security provisions which may be in force in the receiving State.
2. The exemption provided for in paragraph 1 of this article shall also apply to
persons who are in the sole private employ of a representative of the sending
State in the special mission or of a member of its diplomatic staff on condition:
a. that such employed persons are not nationals of or permanently resident in
the receiving State; and b. that they are covered by the social security
provisions which may be in force in the sending State or a third State.
3. Representatives of the sending State in the special mission and members of
its diplomatic staff who employ persons to whom the exemption provided for in
paragrah 2 of this article does not apply shall observe the obligations which
the social security provisions of the receiving State impose under employers.
4. The exemption provided for in paragraphs 1 and 2 of this article shall not
preclude voluntary participation in the social security system of the receiving
State where such participation is permitted by that State.
5. The provisions of this article shall not affect bilateral or multilateral agreements
concerning social security concluded previously and shall not prevent the
conclusion of such agreements in the future.
ARTICLE 33
EXEMPTION FROM DUES AND TAXES
The representatives of the sending State in the special mssion and the members
of its diplomatic staff shall be exempt from all dues and taxes, personal or real,
national, regional or municipal, except:
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 100
A. indirect taxes of a kind which are normally incorporated in the price of
goods or services;
B. dues and taxes on private immovable property situated in the territory of
the receiving State, unless the person concerned holds it on behalf of the
sending State for the purposes of the mission;
C. estate, succession or inheritance duties levied by the receiving State,
subject to the provisions of article 44;
D. dues and taxes on private income having its source in the receiving State
and capital taxes on investments made in commercial undertakings in the
receiving State;
E. charges levied for specific services rendered; registration, course or re-
cord fees, mortgage dues and stamp duty, subject to the provisions of
article 24.
ARTICLE 34
EXEMPTION FROM PERSONAL SERVICES
The receiving State shall exempt the representatives of the sending State in the
special mission and the members of its diplomatic staff from all personal servi-
ces, from all public service of any kind whatsoever, and from military obligations
such as those connected with requisitioning, military contributions and billeting.
ARTICLE 35
EXEMPTION FROM CUSTOMS DUTIES AND INSPECTION
1. Within the limits of such laws and regulations as it may adopt, the receiving
State shall permit entry of, and grant exemption from all customs duties, taxes
and related charges other than charges for storage, cartage and similar servi-
ces, on:
a. articles for the official use of the special mission;
b. articles for the personal use of the representatives of the sending State in
the special mission and the members of its diplomatic staff.
2. The personal baggage of the representatives of the sending State in the spe-
cial mission and of the members of its diplomatic staff shall be exempt from
inspection, unless there are serious grounds for presuming that it contains
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 101
articles not covered by the exemptions mentioned in paragraph 1 of this
article, or articles the import or export of which is prohibited by the law or
controlled by the quarantine regulations of the receiving State. In such cases,
inspection shall be conducted only in the presence of the person concerned or
of his authorized representative.
ARTICLE 36
ADMINISTRATIVE AND TECHNICAL STAFF
Members of the administrative and technical staff of the special mission shall
enjoy the privileges and immunities specified in articles 29 to 34, except that the
immunity from civil and administrative jurisdiction of the receiving State specified
in paragraph 2 of article 31 shall not extend to acts performed outside the course
of their duties. They shall also enjoy the privileges mentioned in paragraph 1 of
article 35 in respect of articles imported at the time of their first entry into the
territory of the receiving State.
ARTICLE 37
SERVICE STAFF
Members of the service staff of the special mission shall enjoy immunity from the
jurisdiction of the receiving State in respect of acts performed in the course of
their duties, exemption from dues and taxes on the emoluments they receive by
reason of their employment, and exemption from social security legislation as
provided in article 32.
ARTICLE 38
PRIVATE STAFF
Private staff of the members of the special mission shall be exempt from dues
and taxes on the emoluments they receive by reason of their employment. In all
other respects, they may enjoy privileges and immunities only to the extent
permitted by the receiving State. However, the receiving State must exercise its
jurisdiction over these persons in such a manner as to interfere unduly with the
performance of the functions of the special mission.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 102
ARTICLE 39
MEMBERS OF THE FAMILY
1. Members of the families of representatives of the sending State in the special
mission and of members of its diplomatic staff shall, if they accompany such
members of the special mission, enjoy the privileges and immunities specified
in articles 29 to 35 provided that they are not nationals of or permanently
resident in the receiving State.
2. Members of the families of members of the administrative and technical staff of
the special mission shall, if they accompany such members of the special
mission, enjoy the privileges and immunities specified in article 36 provided
that they are not nationals of or permanently resident in the receiving State.
ARTICLE 40
NATIONALS OF THE RECEIVING STATE AND PERSONS PERMANENTLY
RESIDENT IN THE RECEIVING STATE
1. Except in so far as additional privileges and immunities may be granted by the
receiving State, the representatives of the sending State in the special mission
and the members of its diplomatic staff who are nationals of or permanently
resident in the receiving State shall enjoy only immunity from jurisdication and
inviolability in respect of official acts performed in the exercise of their func-
tions.
2. Other members of the special mission and private staff who are nations of or
permanently resident in the receiving State shall enjoy privileges and immuni-
ties only to the extent granted to them by that State. However, the receiving
State must exercise its jurisdiction over those persons in such a manner as not
to interfere unduly with the performance of the functions of the special mission.
ARTICLE 41
WAIVER OF IMMUNITY
1. The sending State may waive the immunity from jurisdiction of its represent-
tatives in the special mission, of the members of its diplomatic staff, and of
other persons enjoying immunity under articles 36 to 40.
2. Waiver must always be express.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 103
3. The initiation of proceedings by any of the persons referred to in paragraph 1
of this article shall preclude him from invoking immunity from jurisdiction in
respect of any counter-claim directly connected with the principal claim.
4. Waiver of immunity from jurisdiction in respect of civil or administrative procee-
dings shall not be held to imply waiver of immunity in respect of the execution
of the judgement, for which a separate waiver shall be necessary.
ARTICLE 42
TRANSIT THROUGH THE TERRITORY OF A THIRD STATE
1. If a representative of the sending State in the special mission or a member of
its diplomatic staff passes through or is in the territory of a third State while
proceeding to take up his functions or returning to the sending State, the third
State shall accord him inviolability and such other immunities as may be
required to ensure his transit or return. The same shall apply in the case of
any members of his family enjoying privileges or immunities who are accom-
panying the person referred to in this paragraph, whether travelling with him or
travelling separately to join him or to return to their country.
2. In circumstances similar to those specified in paragraph 1 of this article, third
States shall not hinder the transit of members of the administrative and techni-
cal or service staff of the special mission, or of members of their families,
through their territories.
3. Third States shall accord to official correspondence and other official commu-
nications in transit, including messages in code or cipher, the same freedom
and protection as the receiving State is bound to accord under the present
Convention. Subject to the provisions of paragraph 4 of this article, they shall
accord to the couriers and bags of the special mission in transit the same
inviolability and protection as the receiving State is bound to accord under the
present Convention.
4. The third State shall be bound to comply with its obligations in respect of the
persons mentioned in paragraphs 1, 2 and 3 of this article only if it has been
informed in advance, either in the visa application or by notification, of the
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 104
transit of those persons as members of the special mission, members of their
families or couriers, and has raised no objection to it.
5. The obligations of third States under paragraphs 1, 2 and 3 of this article shall
also apply to the persons mentioned respectively in those paragraphs, and to
the official communications and the bags of the special mission, when the use
of the territory of the third State is due to force majeure.
ARTICLE 43
DURATION OF PRIVILEGES AND IMMUNITIES
1. Every member of the special mission shall enjoy the privileges and immunities
to which he is entitled from the moment he enters the territory of the receiving
State for the purpose of performing his functions in the special mission or, if he
is already in its territory, from the moment when his appointment is notified to
the Ministry of Foreign Affairs or such other organ of the receiving State as
may be agreed.
2. When the functions of a member of the special mission have come to an end,
his privileges and immunities shall normally cease at the moment when he
leaves the territory of the receiving State, or on the expiry of a reasonable
period in which to do so, but shall subsist until that time, even in case of armed
conflict. However, in respect of acts performed by such a member in the
exercise of his functions, immunity shall continue to subsist.
3. In the event of the death of a member of the special mission, the members of
his family shall continue to enjoy the privileges and immunities to which they
are entitled until the expiry of a reasonable period in which to leave the
territory of the receiving State.
ARTICLE 44
PROPERTY OF A MEMBER OF THE SPECIAL MISSION OR OF
A MEMBER OF HIS FAMILY IN THE EVENT OF DEATH
1. In the event of the death of a member of the special mission or of a member of
his family accompanying him, if the deceased was not a national of or
permanently resident in the receiving State, the receiving State shall permit
the withdrawal of the movable property of the deceased, with the exception of
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 105
any property acquired in the country the export of which was prohibited at the
time of his death.
2. Estate, succession and inheritance duties shall not be levied on movable
property which is in the receiving State solely because of the presence there
of the deceased as a member of the special mission or of the family of a
member of the mission.
ARTICLE 45
FACILITIES TO LEAVE THE TERRITORY OF THE RECEIVING STATE
AND TO REMOVE THE ARCHIVES OF THE SPECIAL MISSION
1. The receiving State must, even in case of armed conflict, grant facilities to
enable persons enjoying privileges and immunities, other than nationals of the
receiving State, and members of the families of such persons, irrespective of
their nationality, to leave at the earliest possible moment. In particular it must,
in case of need, place at their disposal the necessary means of transport for
themselves and their property.
2. The receiving State must grant the sending State facilities for removing the
archives of the special mission from the territory of the receiving State.
ARTICLE 46
CONSEQUENCES OF THE CESSATION OF THE FUNCTIONS
OF THE SPECIAL MISSION
1. When the functions of a special mission come to an end, the receiving State
must respect and protect the premises of the special misssion so long as they
are assigned to it, as well as the property and archives of the special mission.
The sending State must withdraw the property and archives within a rea-
sonable period of time.
2. In case of the absence or severance of diplomatic or consular relations
between the sending State and the receiving State and if the functions of the
special mission have come to an end, the sending State may, even if there is
an armed conflict, entrust the custody of the property and archives of the
special mission to a third State acceptable to the receiving State.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 106
ARTICLE 47
RESPECT FOR THE LAWS AND REGULATIONS OF THE RECEIVING STATE
AND USE OF THE PREMISES OF THE SPECIAL MISSION
1. Without prejudice to their privileges and immunities, it is the duty of all persons
enjoying these privileges and immunities under the present Convention to res-
pect the laws and regulations of the receiving State. They also have a duty not
to interfere in the internal affairs of that State.
2. The premises of the special mission must not be used in any manner incom-
patible with the functions of the special mission as envisaged in the present
Convention, in other rules of general international law or in any special agree-
ments in force between the sending and the receiving State.
ARTICLE 48
PROFESSIONAL OR COMMERCIAL ACTIVITY
The representatives of the sending State in the special mission and the members
of its diplomatic staff shall not practise for personal profit any professional or
commercial activity in the receiving State.
ARTICLE 49
NON-DISCRIMINATION
1. In the application of the provisions of the present Convention, no discrimina-
tion shall be made as between States.
2. However, discrimination shall not be regarded as taking place:
a. Where the receiving State applies any of the provisions of the present
Convention restrictively because of a restrictive application of that provisi-
on to its special mission in the sending State;
b. Where States modify among themselves, by custom or agreement, the ex-
tent of facilities, privileges and immunities for their special missions, altho-
ugh such a modification has not been agreed with other States, provided
that it is not incompatible with the object and purpose of the present Con-
vention and does not affect the enjoyment of the rights or the performance
of the obligations of third States.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 107
ARTICLE 50
SIGNATURE
The present Convention shall be open for signature by all States Members of the
United Nations or of any of the specialized agencies or of the International Ato-
mic Energy Agency or Parties to the Statute of the International Court of Justice,
and by any other State invited by the General Assembly of the United Nations to
become a Party to the Convention, until 31 December 1970 at United Nations
Headquarters in New York.
ARTICLE 51
RATIFICATION
The present Convention is subject to ratification. The instruments of ratification
shall be deposited with the Secretary-General of the United Nations.
ARTICLE 52
ACCESSION
The present Convention shall remain open for accession by any State belonging
to any of the categories mentioned in article 50. The instruments of accession
shall be deposited with the Secretary-General of the United Nations.
ARTICLE 53
ENTRY INTO FORCE
1. The present Convention shall enter into force on the thirtieth day following the
date of deposit of the twenty-second instrument of ratification or accession
with the Secretary-General of the United Nations.
2. For each State ratifying or acceding to the Convention after the deposit of the
twenty-second instrument of ratification or accession, the Convention shall
enter into force on the thirtieth day after deposit by such State of its instrument
of ratification or accession.
ARTICLE 54
NOTIFICATION BY THE DEPOSITARY
a. The Secretary-General of the United Nations shall inform all States belonging
to any of the categories mentioned in article 50:
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 108
b. of signatures to the present Convention and of the deposit of instruments of
ratification or accession in accordance with articles 50, 51 and 52;
c. of the date on which the present Convention will enter into force in accordance
with article 53.
ARTICLE 55
AUTHENTIC TEXTS
The original of the present Convention, of which the Chinese, English, French,
Russian and Spanish texts are equally authentic, shall be deposited with the
Secretary-General of the United Nations, who shall send certified copies thereof
to all States belonging to any of the categories mentioned in article 50.
- IN WITNESS WHEREOF the undersigned, being duly authorized thereto by
their respective Governments, have signed the present Convention, opened
for signature at New York on 16 December 1969.
- The Convention entered into force on 21 June 1985
Pada konvensi Wina mengenai hubungan diplomatik (1961), dan hubu-
ngan konsuler (1963) telah mengutamakan kodifikasi dari hukum kebiasaan in-
ternasional yang ada dapat diselesaikan, maka komisi hukum internasional PBB
menyadari bahwa hubungan diplomatik bukan hanya terdiri dari masalah-ma-
salah yang berkaitan dengan pertukaran misi yang sifatnya permanen, tapi juga
menyangkut pengiriman utusan atau misi dengan tujuan terbatas yang dikenal
sebagai diplomasi ad hoc. Komisi hukum internasional kemudian meminta repor-
ter khusus, Mr. Bartos untuk mempelajari masalah ini. Setelah mendapatkan
laporannya, pada tahun 1960, komisi hukum internasional telah menyetujui satu
rancangan tiga pasal mengenai “Misi Khusus” yang harus dimasukkan dalam
konvensi mengenai hubungan diplomatik. Mr. Bartos, sebagai reporter khusus
yang ditunjuk oleh panitia hukum internasional PBB, ditugaskan untuk memper-
siapkan draft artikel mengenai masalah itu, yang harus didasarkan pada keten-
tuan-ketentuan dalam konvensi Wina mengenai hubungan diplomatik dengan
memperhatikan bahwa misi khusus yang karena sifat tugasnya haruslah dibe-
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 109
dakan dengan misi diplomatik yang bersifat permanen.31 Sehingga dapat dibeda-
kan antara misi diplomatik, fungsi konsuler, dan misi khsusus.
Beberapa tahun setelah dibahas dalam Panitia Hukum Internasional dan
dibicarakan secara panjang lebar dalam Komite VI majelis Umum PBB, maka
dirumuskan 50 pasal yang kemudian pada 1967 disampaikan dalam sidang
Majelis Umum yang ke-24. Majelis Umum PBB pada 8 Desember 1969 telah
menyetujui Resolusi 2530 (XXIV) yang menyertakan teks konvensi mengenai
misi khusus dan menyatakan terbuka untuk penandatanganan, ratifikasi dan
aksesi. Konvensi mengenai misi khusus ini merupakan pelengkap Konvensi
Wina 1961 dan 1963, dimaksudkan agar dapat menjadi sumbangan bagi pe-
ngembangan hubungan baik semua negara. Konvensi New York 1969 beserta
protokol pilihannya mengenai kewajiban untuk menyelesaikan pertikaian yang
sudah berlaku sejak 21 Juni 1985 telah diratifikasi oleh 23 negara.32 Hasil ratifi-
kasi ini (termasuk Indonesia) kemudian dijadikan landasan bagi negara untuk
mengirimkan tentaranya dalam mengirimkan pasukan-pasukan perdamaian di
negara konflik, hal ini sebagai bukti keseriusan suatu negara dalam menjalankan
secara konsisten mengenai misis khusus.
Misi khusus dalam hukum internasional ini didasarkan pada atau memiliki
pijakan hukum pada Konvensi New York 1969 yang secara khusus membahas
mengenai special mission atau misi khusus. Mengenai kekebalan dari Misi
Khusus (Special Missions) pengaturannya dikenal dengan The Convention on
Special Missions 1969. Dalam banyak hal negara-negara akan atau dapat
mengirim dan mengutus misi khusus atau misi ad hoc ke negara-negara tertentu
untuk membicarakan suatu isu yang telah ditentukan di samping mempercaya-
kannya kepada staff perwakilan diplomatik dan konsuler yang sifatnya perma-
nen. Dalam keadaan demikian utusan khusus (special missions) entah semata-
mata bersifat teknis atau secara politis penting dapat mengandalkan adanya
kekebalan-kekebalan tertentu yang pada dasarnya berasal (derived from) dari
Konvensi-Konvensi Wina dengan cara menggunakan analogi disertai modifikasi
31 Indriani Darwis, Special Mission, (Artikel Lepas) Tahun 2015 32 Ibid.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 110
seperlunya. Berdasarkan ketentuan Pasal 8 dari the Convention on Special Mis-
sions 1969, negara pengirim harus membiarkan negara penerima (the host state)
mengetahui besarnya (size) serta komposisi dari misi tersebut, sementara
menurut Pasal 17 misi tadi harus hadir di suatu tempat yang disetujui oleh
negara-negara yang bersangkutan atau di Kementerian Luar Negeri dari negara
penerima.33 Hal ini harus diperhatikan, karena walaupun misi khusus diperboleh-
kan dalam hukum internasional namun lagi-lagi kesepakatan dengan negara
penerima adalah salah satu prasyarat utama yang harus dipenuhi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 31 para anggota dari special missions tidak
memiliki imunitas menyangkut klaim yang timbul dari suatu kecelakaan akibat
suatu kendaraan yang digunakan di luar tugas resmi dari orang yang bersangku-
tan dan berdasarkan ketentuan Pasal 27 maka kebebasan bergerak dan beper-
gian yang diperkenankan hanyalah kebebasan bergerak dan bepergian yang
diperlukan untuk menjalankan fungsi-fungsi dari misi khusus. Adapun pengertian
misi khusus yang terdapat dalam konvensi Tahun 1969 tersebut adalah “Misi
Khusus (special mission) ialah suatu misi yang bersifat sementara, mewakili
negara, yang dikirim oleh suatu negara ke negara lain atas persetujuan negara
terakhir untuk tujuan menyelesaikan persoalan khusus.” Selain istilah misi khu-
sus, terdapat istilah lain lagi dalam konvensi ini, yaitu :34
- Misi Diplomatik Permanen (Permanent diplomatic mission) ialah suatu
misi diplomatik dalam artian seperti yang tercantum pada konvensi
Wina mengenai hubungan diplomatik.
- Pos Konsuler (consular post) adalah suatu konsulat jenderal, konsulat,
wakil konsulat atau perwakilan konsulat.
- Kepala Misi Khusus (head of a special mission) adalah orang yang
diberi kekuasaan oleh negara pengirim melakukan tugas untuk bertin-
dak dalam kapasitas itu.
33 Ibid. 34 Ibid.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 111
- Seorang wakil negara pengirim (representative of the sending state in
the special mission) dalam misi khusus, adalah setiap orang, yang oleh
negara pengirim diberi tugas untuk bertindak dalam kapasitas itu.
- Anggota-anggota misi khusus (member of a special mission) ialah ke-
pala misi khusus, wakil-wakil negara pengirim di dalam misi khusus,
dan anggota-anggota staf misi khusus.
- Anggota-anggota staaf misi khusus (member of the staff of the mission)
adalah anggota-anggota staf diplomatik, staf administrasi dan teknik
dan staf pelayanan khusus.
- Anggota-anggota staf diplomatik (members of the diplomatic staff)
adalah anggota-anggota staf misi khusus yang mempunyai status diplo-
matik untuk keperluan misi khusus.
- Anggota-anggota taf administrasi dan teknik (members of the adminis-
trative and technical staff) adalah anggota-anggota staf misi khusus
yang dipekerjakan dalam pelayanan administrasi dan teknik misi khu-
sus.
- Anggota-anggota staf pelayanan (members of the service staff) ialah
anggota-anggota staf misi khusus, yang dipekerjakan sebagai pekerja
rumah tangga atau tugas-tugas serupa.
- Staf pribadi (private staff) adalah orang-orang yang dipekerjakan
khusus dalam pelayanan pribadi anggota-anggota misi khusus.
Tugas-tugas misi khusus dimulai saat misi mengadakan hubungan resmi
dengan menteri luar negeri atau dengan instansi lain negara penerima sebagai-
mana telah disetujui. Permulaan tugas misi khusus tidak tergantung pada pre-
sentasi misi oleh misi diplomatik permanen negara pengirim atau pada penye-
rahan surat-surat kepercayaan atau kekuasaan penuh. Misi khusus secara jelas
mempunyai tugas dan fungsi, yaitu sebagai berikut :35
a. Tugas misi khusus ini, sudah ditegaskan dalam Pasal 2 konvensi,
bahwa tugas misi khusus ditentukan oleh persetujuan bersama antara
negara pengirim dan negara penerima.
35 Ibid.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 112
b. Kepala misi khusus, atau, kalau negara pengirim tidak mengangkat
seorang kepala, seorang wakil negara pengirim, yang oleh negara itu
ditunjuk berhak bertindak atas nama misi khusus dan untuk menyam-
paikan komunikasi kepada negara penerima. Negara penerima me-
nyampaikan komunikasi yang menyangkut misi khusus kepada kepala
misi khusus, atau kalau tidak ada, kepala utusan yang disebut diatas,
baik secara langsung maupun lewat misi diplomatik permanen.
c. Akan tetapi, seorang misi khusus dapat diberi kuasa oleh negara
pengirim, oleh kepala misi khusus, atau wakil yang disebut di atas,
baik mengganti kepala misi atau wakil diatas atau melakukan tindakan
tertentu atas nama misi (Pasal 14).
Keistimewaan dari misi khusus adalah terdapat dalam Pasal 21 Status of
the head of state and persons of high rank, konvensi menentukan:36
a) Kepala negara pengirim, jika memimpin misi khusus di negara pene-
rima atau di negara ketiga menikmati hak-hak istimewa dan kekebalan
diplomatik yang diberikan menurut hukum internasional kepada kepa-
la-kepala negara yang sedang berkunjung.
b) Kepala pemerintahan, menteri luar negeri dan lain-lain orang yang
berpangkat tinggi, jika ikut serta dalam misi khusus negara pengirim,
di negara penerima atau negara ketiga, sebagai tambahan pada apa
yang diberikan oleh konvensi ini, fasilitas, hak-hak dan kekebalan
yang ditentukan oleh hukum internasional.
c) Negara penerima memberikan kepada misi khusus fasilitas-fasilitas
yang diperlukan untuk melaksanakan tugas-tugasnya dengan mem-
perhatikan sifat serta tugas misi (Pasal 22).
d) Negara penerima membantu misi khusus, jika diminta dalam penga-
daan gedung misi dan mendapatkan akomodasi yang diperlukan
untuk anggota-anggotanya (pasal 23).
Kemudian dalam pasal 24 konvensi mengenai Extemption of the premises
of the special mission from taxation, menetapkan :37
36 Ibid.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 113
a. Sampai batas-batas yang sesuai dengan sifat dan waku tugas-tugas
yang dilaksanakan oleh misi khusus dibebaskan dari pungutan dan
pajak nasional, regional dan kota praja, sehubungan dengan gedung
yang ditempati misi, selain pembayaran-pembayaran untuk pelayanan-
pelayanan yang diberikan.
b. Pembebasan pajak yang disebut dalam pasal ini tidak berlaku bagi
pungutan dan pajak-pajak yang harus dibayar menurut Undang-undang
negara penerima oleh orang-orang yang mengadakan kontrak dengan
negara pengirim atau dengan anggota misi khusus.
Cara-cara pengiriman misi khusus adalah sebagai berikut :38
- Suatu negara dapat mengirim misi khusus ke negara lain dengan per-
setujuan negara terakhir, yang didapatkan sebelumnya melalui salu-
ran diplomatik atau persetujuan bersama (Pasal 2).
- Bisa juga dilakukan, suatu negara yang hendak mengirim satu misi
khusus kepada dua negara atau lebih memberi tahu negara penerima
masing-masing pada waktu minta persetujuan (Pasal 4).
- Dua negara atau lebih yang hendak mengirim suatu misi khusus
bersama kepada negara lain akan memberi tahu negara pengirim,
pada waktu meminta persetujuan negara itu (Pasal 5).
- Dua negara atau lebih dapat pada waktu yang bersamaan mengirim
suatu misi khusus kepada negara lain dengan persetujuan yang
diperolehnya dari negara itu sesuai dengan Pasal 2, untuk merunding-
kan bersama-sama, persoalan yang menyangkut kepentingan bersa-
ma, dengan persetujuan semua negara ini (Pasal 6).
Tugas misi khusus berakhir antara lain berdasarkan pada (Pasal 20) :39
a) Persetujuan negara-negara yang bersangkutan
b) Penyelesaian tugas misi khusus
37 Ibid. 38 Ibid. 39 Ibid.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 114
c) Berakhirnya waktu yang dijadwalkan untuk misi khusus, kecuali bila
ada perpanjangan waktu
d) Pemberitahuan negara pengirim bahwa misi khusus diakhiri atau
dipanggil kembali
e) Pemberitahuan dari negara penerima, bahwa ia menganggap bahwa
misi khusus telah berakhir
Selain itu dengan pemutusan hubungan diplomatik atau konsuler antara
negara pengirim dan negara penerima tidak akan menyebabkan berakhirnya misi
khusus yang sedang bertugas saat pemutusan hubungan. Fungsi Misi Khusus
baru berakhir bila tugas-tugas misi khusus berakhir, negara penerima harus
menghormati dan melindungi misi khusus selama diperlukan untuk keperluan itu.
Hak milik dan arsip di dalam batas waktu yang pantas. Selain itu juga jika Dalam
keadaan tidak ada atau putusnya hubungan diplomatik atau konsuler antara
kedua negara pengirim dan negara penerima dan jika tugas-tugas misi khusus
berakhir, negara pengirim dapat, meskipun dalam keadaan konflik bersenjata,
menyerahkan kekuasaan terhadap hal milik dan arsip misi khusus kepada
negara ketiga yang dapat disetujui negara penerima (Pasal 46).40 Dengan demi-
kian keterlibatan negara ketiga dalam pelaksanaan misi khusus suatu negara ke
negara lain diperbolehkan oleh Konvensi New York Tahun 1969, namun dengan
demikian keterlibatan negara ketiga inipun harus sesuai dengan kaidah-kaidah
hukum internasional yang berlaku.
4. Konvensi Wina Tahun 1973 tentang Pencegahan dan Penghuku-
man atas Kejahatan terhadap Orang-Orang yang Dilindungi Secara
Internasional, Termasuk Agen Diplomatik
Konvensi ini dilaksanakan di New York, Amerika Serikat pada tahun 1973
sebagai respons atas berbagai kasus pembunuhan dan penculikan yang terjadi
40 Ibid.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 115
pada beberapa diplomat pada tahun 1960an. Menurut Pasal 2 Konvensi ini,
kejahatan adalah:41
1) Tindakan yang disengaja berupa:
a. Pembunuhan, penculikan, atau serangan lainnya terhadap orang
atau kebebasan dari orang yang dilindungi secara internasional;
b. Suatu serangan kekerasan terhadap tempat-tempat resmi, akomo-
dasi privat atau alat transport dari orang yang dilindungi secara
internasional yang mungkin membahayakan orang tersebut atau
kebebasannya;
c. Suatu ancaman untuk melakukan serangan demikian;
d. Suatu usaha untuk melakukan tiap serangan demikian; dan
e. Suatu tindakan berupa partisipasi sebagai tindakan penyertaan da-
lam tiap serangan demikian yang ditetapkan oleh Negara Peserta
sebagai kejahatan berdasarkan hukum nasionalnya.
Berikut isi naskah Konvensi Wina Tahun 1973 tentang Pencegahan dan
Penghukuman atas Kejahatan terhadap Orang-Orang yang Dilindungi Secara
Internasional, Termasuk Agen Diplomatik :42
Convention on the Prevention and Punishment of Crimes against Internationally
Protected Persons, Including Diplomatic Agents,
Annexed to General Assembly resolution 3166 (XVIII) of 14 December 1973
- The States Parties to this Convention,
- Having in mind the purposes and principles of the Charter of the United
Nations concerning the maintenance of international peace and the promo-
tion of friendly relations and cooperation among States,
- Considering that crimes against diplomatic agents and other internationally
protected persons jeopardizing the safety of these persons create a serious
41 Lidya Rosaline Kaligis, Perlindungan Terhadap Diplomat dari Serangan Teroris, Jurnal
Lex et Societatis, Vol. III Nomor 4, Edisi Mei Tahun 2015, hlm. 7 42 http://www.ilp.gov.la/database/PDF/I.6.5.pdf
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 116
threat to the maintenance of normal international relations which are neces-
sary for cooperation among States,
- Believing that the commission of such crimes is a matter of grave concern to
the international community, Convinced that there is an urgent need to adopt
appropriate and effective measures for the prevention and punishment of
such crimes,
- Have agreed as follows:
Article 1
For the purposes of this Convention :
1. “Internationally protected person” means:
(a) A Head of State, including any member of a collegial body performing the
functions of a Head of State under the constitution of the State concerned,
a Head of Government or a Minister for Foreign Affairs, whenever any
such person is in a foreign State, as well as members of his family who
accompany him;
(b) Any representative or official of a State or any official or other agent of an
international organization of an intergovernmental character who, at the
time when and in the place where a crime against him, his official premi-
ses, his private accommodation or his means of transport is committed, is
entitled pursuant to international law to special protection from any attack
on his person, freedom or dignity, as well as members of his family
forming part of his household.
2. “Alleged offender” means a person as to whom there is sufficient evidence to
determine prima facie that he has committed or participated in one or more of
the crimes set forth in article 2.
Article 2
1. The intentional commission of:
(a) A murder, kidnapping or other attack upon the person or liberty of an
internationally protected person;
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 117
(b) A violent attack upon the official premises, the private accommodation or
the means of transport of an internationally protected person likely to
endanger his person or liberty;
(c) A threat to commit any such attack;
(d) An attempt to commit any such attack; and
(e) An act constituting participation as an accomplice in any such attack shall
be made by each State Party a crime under its internal law.
2. Each State Party shall make these crimes punishable by appropriate penalties
which take into account their grave nature.
3. Paragraphs 1 and 2 of this article in no way derogate from the obligations of
States Parties under international law to take all appropriate measures to
prevent other attacks on the person, freedom or dignity of an internationally
protected person.
Article 3
1. Each State Party shall take such measures as may be necessary to establish
its jurisdiction over the crimes set forth in article 2 in the following cases:
(a) When the crime is committed in the territory of that State or on board a
ship or aircraft registered in that State;
(b) When the alleged offender is a national of that State;
(c) When the crime is committed against an internationally protected person
as defined in article 1 who enjoys his status as such by virtue of functions
which he exercises on behalf of that State.
2. Each State Party shall likewise take such measures as may be necessary to
establish its jurisdiction over these crimes in cases where the alleged offender
is present in its territory and it does not extradite him pursuant to article 8 to
any of the States mentioned in paragraph 1 of this article.
3. This Convention does not exclude any criminal jurisdiction exercised in accor-
dance with internal law. Article 4 States Parties shall cooperate in the preven-
tion of the crimes set forth in article 2, particularly by:
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 118
(d) taking all practicable measures to prevent preparations in their respective
territories for the commission of those crimes within or outside their
territories;
(e) exchanging information and coordinating the taking of administrative and
other measures as appropriate to prevent the commission of those crimes.
Article 5
1. The State Party in which any of the crimes set forth in article 2 has been com-
mitted shall, if it has reason to believe that an alleged offender has fled from its
territory, communicate to all other States concerned, directly or through the
Secretary-General of the United Nations, all the pertinent facts regarding the
crime committed and all available information regarding the identity of the
alleged offender.
2. Whenever any of the crimes set forth in article 2 has been committed against
an internationally protected person, any State Party which has information
concerning the victim and the circumstances of the crime shall endeavour to
transmit it, under the conditions provided for in its internal law, fully and
promptly to the State Party on whose behalf he was exercising his functions.
Article 6
1. Upon being satisfied that the circumstances so warrant, the State Party in
whose territory the alleged offender is present shall take the appropriate
measures under its internal law so as to ensure his presence for the purpose
of prosecution or extradition. Such measures shall be notified without delay
directly or through the Secretary-General of the United Nations to:
(a) The State where the crime was committed;
(b) The State or States of which the alleged offender is a national or, if he is a
stateless person, in whose territory he permanently resides;
(c) The State or States of which the internationally protected person concer-
ned is a national or on whose behalf he was exercising his functions;
(d) All other States concerned; and
(e) The international organization of which the internationally protected per-
son concerned is an official or an agent.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 119
2. Any person regarding whom the measures referred to in paragraph 1 of this
article are being taken shall be entitled:
(a) To communicate without delay with the nearest appropriate representative of
the State of which he is a national or which is otherwise entitled to protect his
rights or, if he is a stateless person, which he requests and which is willing to
protect his rights; and
(b) To be visited by a representative of that State. Article 7 The State Party in
whose territory the alleged offender is present shall, if it does not extradite
him, submit, without exception whatsoever and without undue delay, the
case to its competent authorities for the purpose of prosecution, through
proceedings in accordance with the laws of that State.
Article 8
1. To the extent that the crimes set forth in article 2 are not listed as extraditable
offences in any extradition treaty existing between States Parties, they shall be
deemed to be included as such therein. States Parties undertake to include
those crimes as extraditable offences in every future extradition treaty to be
concluded between them.
2. If a State Party which makes extradition conditional on the existence of a
treaty receives a request for extradition from another State Party with which it
has no extradition treaty, it may, if it decides to extradite, consider this Con-
vention as the legal basis for extradition in respect of those crimes. Extradition
shall be subject to the procedural provisions and the other conditions of the
law of the requested State.
3. States Parties which do not make extradition conditional on the existence of a
treaty shall recognize those crimes as extraditable offences between themsel-
ves subject to the procedural provisions and the other conditions of the law of
the requested State.
4. Each of the crimes shall be treated, for the purpose of extradition between Sta-
tes Parties, as if it had been committed not only in the place in which it occur-
red but also in the territories of the States required to establish their jurisdiction
in accordance with paragraph 1 of article 3.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 120
Article 9
Any person regarding whom proceedings are being carried out in connection with
any of the crimes set forth in article 2 shall be guaranteed fair treatment at all
stages of the proceedings.
Article 10
1. States Parties shall afford one another the greatest measure of assistance in
connection with criminal proceedings brought in respect of the crimes set forth
in article 2, including the supply of all evidence at their disposal necessary for
the proceedings.
2. The provisions of paragraph 1 of this article shall not affect obligations concer-
ning mutual judicial assistance embodied in any other treaty.
Article 11
The State Party where an alleged offender is prosecuted shall communicate the
final outcome of the proceedings to the Secretary-General of the United Nations,
who shall transmit the information to the other States Parties.
Article 12
The provisions of this Convention shall not affect the application of the Treaties
on Asylum, in force at the date of the adoption of this Convention, as between
the States which are parties to those Treaties; but a State Party to this Conven-
tion may not invoke those Treaties with respect to another State Party to this
Convention which is not a party to those Treaties.
Article 13
1. Any dispute between two or more States Parties concerning the interpretation
or application of this Convention which is not settled by negotiation shall, at
the request of one of them, be submitted to arbitration. If within six months
from the date of the request for arbitration the parties are unable to agree on
the organization of the arbitration, any one of those parties may refer the
dispute to the International Court of Justice by request in conformity with the
Statute of the Court.
2. Each State Party may at the time of signature or ratification of this Convention
or accession thereto declare that it does not consider itself bound by parag-
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 121
raph 1 of this article. The other States Parties shall not be bound by paragraph
1 of this article with respect to any State Party which has made such a reser-
vation.
3. Any State Party which has made a reservation in accordance with paragraph 2
of this article may at any time withdraw that reservation by notification to the
Secretary-General of the United Nations.
Article 14
This Convention shall be open for signature by all States, until 31 December
1974, at United Nations Headquarters in New York.
Article 15
This Convention is subject to ratification. The instruments of ratification shall be
deposited with the Secretary-General of the United Nations.
Article 16
This Convention shall remain open for accession by any State. The instruments
of accession shall be deposited with the Secretary-General of the United Nations.
Article 17
1. This Convention shall enter into force on the thirtieth day following the date of
deposit of the twentysecond instrument of ratification or accession with the
Secretary-General of the United Nations.
2. For each State ratifying or acceding to the Convention after the deposit of the
twenty-second instrument of ratification or accession, the Convention shall
enter into force on the thirtieth day after deposit by such State of its instrument
of ratification or accession.
Article 18
1. Any State Party may denounce this Convention by written notification to the
Secretary-General of the United Nations.
2. Denunciation shall take effect six months following the date on which
notification is received by the Secretary-General of the United Nations.
Article 19
The Secretary-General of the United Nations shall inform all States, inter alia:
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 122
(a) Of signatures to this Convention, of the deposit of instruments of ratification or
accession in accordance with articles 14, 15 and 16 and of notifications
made under article 18;
(b) Of the date on which this Convention will enter into force in accordance with
article 17.
Article 20
The original of this Convention, of which the Chinese, English, French, Russian
and Spanish texts are equally authentic, shall be deposited with the Secretary-
General of the United Nations, who shall send certified copies thereof to all
States.
IN WITNESS WHEREOF the undersigned, being duty authorized thereto by their
respective Governments, have signed this Convention, opened for signature at
New York on 14 December 1973.
Berdasarkan isi naskah Konvensi Wina Tahun 1973 tentang Pencegahan
dan Penghukuman atas Kejahatan terhadap Orang-Orang yang Dilindungi Seca-
ra Internasional, Termasuk Agen Diplomatik tersebut di atas, maka dapat diketa-
hui bahwa betapa pentingnya perlindungan terhadap orang-orang tertentu yang
dilindungi oleh hukum internasional. Dalam mukadimah konvensi ini, ditekankan
akan pentingnya aturan-aturan hukum internasional mengenai tidak boleh
diganggu gugatnya dan perlunya proteksi secara khusus bagi orang-orang yang
menurut hukum internasional harus dilindungi termasuk kewajiban-kewajiban
negara dalam menangani dan mengatasi masalah penghukuman atas kejahatan
terhadap orang-orang yang harus dilindungi menurut hukum internasional.
5. Konvensi Wina Tahun 1975 tentang Keterwakilan Negara dalam
Hubungannya dengan Organisasi Internasional yang Bersifat Uni-
versal
Keterwakilan negara dalam hubungannya dengan organisasi internasional
yang bersifat universal seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa, Mahkamah Interna-
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 123
sional, Mahkamah Pidana Internasional, dan sejumlah organisasi lainnya sangat-
lah penting dari sisi kontivitas antara negara dengan organisasi-organisasi di-
maksud. Oleh karena, organisasi-organisasi ini merupakan bentukan dari atau
organ utama PBB, maka kesepakatan dalam bentuk instrumen internasional
yang dijadikan panduan oleh negara-negara dalam mengirimkan utusannya atau
wakil-wakilnya di organisasi tersebut dapat terwujud, maka digulirkanlah perjanji-
an internasional dalam bentuk Konvensi Wina Tahun 1975 ini.
Pengakuan oleh negara lain merupakan salah satu syarat agar sebuah
negara menjadi merdeka atau berdaulat sepenuhnya, hal ini dikarenakan pen-
tingnya hubungan antar bangsa. Salah satu faktor yang menunjukkan pentingnya
hubungan antar bangsa adalah perlunya merintis kerja sama dan persahabatan
dalam rangka menjamin terciptanya perdamaian dan keamanan anatr negara
sehingga tercipta keamanan internasional. Hubungan antar negara tersebut dila-
kukan melalui pertukaran misi diplomatic termasuk juga didalamnya pejabat yang
bersangkitan. Para pejabat tersebut statusnya diakui sebagai pejabat diplomatic,
agar pejabat diplomatic tersebut dapat menjalankan tugasnya secara efektif dan
efisien maka diberikanlah kekebalan dan keistimewaan yang didasarkan kepada
suatu aturan tertentu. Pada tahun 1953 majelis umum PBB menerima resolusi
yang meminta komisi hukum internasional memberikan prioritas untuk melaku-
kan kodifikasi mengenai hubungan dan kekebalan diplomatik, hal ini didasarkan
kepada seringnya terjadi insiden diplomatic sebagai akibat perang dingin dan
dilanggarnya ketentuan-ketentuan tentang hubungan diplomatik.43
Kemudian pada tahun 1954, komisi mulai membahas masalah-masalah
hubungan dan kekebalan diplomatik, hingga disahkan Convention on diplomatic
relation pada 18 April 1961 yang diselenggarakan di kota wina. Wina dipilih kare-
na pertimbangan historis kota tersebut. Konvensi Wina 1961 diterima oleh 72
negara tidak ada yang menolak dan satu negara abstain. Hampir semua ne-gara
telah meratifikasi konvensi tersebut termasuk indonsia yang meratifikasi meng-
gunakan Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1982. Setelah dibuatnya Konvensi
43 Zaqiah Darojad, dkk, AnaIisa Mengenai Vienna Convention on the Representation of
States in their Relations with International Organizations of a Universal Character 1975, Univer-sitas Airlangga Surabaya, tanpa tahun, hlm. 1
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 124
Wina 1961 maka dibuatlah beberapa konvensi lanjutan, seperti konvensi wina
1963 serta Konvensi New York mengenai pencegahan dan penghukuman
kejahatan terhadap orang-orang yang menurut hukum internasional dilindungi.
Konvensi mengenai keterwakilan negara dalam hubungannya dengan organisasi
internasional yang bersifat universal kemudian lebih dikenal dengan konvensi
1975. Urgensi perumusan konvensi ini sebenernya didorong oleh situasi dimana
pertumbuhan hukum internasional begitu cepat, baik jumlah nya maupun lingkup
masalah hukum yang timbul akibat hubungan negara denga organisasi inter-
nasional. Perumusan konvensi tersebut tidak seperti dalam Konvensi Wina 1961
karena melibatkan tiga aspek subjek hukum, yaitu bukan hanya organisasi
internasional dan negara-negara anggotanya, melainkan juga negara tuan rumah
tempat markas besar organisasi itu berada. Situasi yang sangat komplek seperti
ini benar-benar memerlukan hak dan kewajiban dari para pihak yang sangat adil
dan memadai.44
Sejak hal ini diusulkan untuk dibahas pada tahun 1958 barulah dilakukan
pembahasan secara subtansif pada tahun 1968. Komisi hukum internasional
kemudian menyetujui draft articles sebanyak 21 pasal dengan komentar menge-
nai ruang lingkup dan hal-hal lainnya yang menyangkut draft articles secara
keseluruhan, termasuk perwakilan tetap pada organisasi internasional secara
umum. Selama 1969 dan 1970, setelah melanjutkan pembahasan mengenai to-
pik tersebut, komisi hukum internasional telah menyetujui draft articles lagi
tentang kekebalan, keistimewaan, dan fasilitas diplomatik bagi perwakilan diplo-
matik bagi perwakilan tetap, termasuk kedudukan, kekebalan, keistimewaan dan
kemudahan bagi perwakilan peninjau tetap, serta delegasi ke berbagai badan
dan konferensi. Dalam perkembangannya terdapat permasalahan baru dalam
persidangan 1971 di mana telah dimajukan tiga masalah, yaitu :45
1. Dampak yang mungkin terjadi dalam keadaan yang luar biasa seperti
tidak adanya pengakuan, putusnya hubungan diplomatik, dan konsuler,
44 Ibid., hlm. 2 45 Ibid.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 125
atau adanya pertikaian bersenjata di antara anggota-anggota organisasi
internasional sendiri;
2. Perlu dimasukkannya ketentuan-ketentuan mengenai penyelesaian seng-
keta;
3. Delegasi peninjau dari negara-negara ke berbagai badan dan konferensi.
Pada tahun 1972 kemudian majelis umum PBB memutuskan untuk me-
nyelenggarakan konferensi internasional secepatnya. Pada tahun 1973 majelis
umum memberikan waktu agar konferensi tersebut dilaksankan pada tahun 1975
di wina. Konferensi PBB mengenai keterwakilan negara-negara dalam
hubungannya dengan organisasi internasional yang bersifat universal telah
diselenggarakan di Wina, Austria sejak 4 febuari-14 maret 1975 yang dihadiri
oleh 81 negara, 2 negara peninjau, 7 badan khusus, 3 organisasi antar pemerin-
tah, dan 7 wakil dari organisasi pembebasan nasional yang dilakukan oleh orga-
nisasi persatuan afrika atau liga arab. Konferensi kemudian menyetujui konvensi
tersebut yang terdiri dari 92 pasal dan terbuka untuk penandatanganan sejak 14
maret 1975 ssampai 30 april 1975 di kementrian luar negeri Austria, kemudian
diperpanjang s.d. 30 maret 1976 di PBB new york. Dalam Konvensi Wina ini,
yang dimaksud dengan Organisasi Internasional yang bersifat universal adalah
Organisasi Internasional PBB, badan-badan khusus yang berada di bawah
PBB dan organisasi lainnya yang keanggotaannya dan tingkat pertanggung-
jawabannya bersakala internasional. Ruang lingkup yang diatur dalam kon-
vensi ini berdasarkan Pasal 2 adalah meliputi perwakilan suatu negara da-
lam hubungannya dengan setiap organisasi internasional yang bersifat uni-
versal dan keberadaan perwakilannya dalam menghadiri konferensi-konferensi
yang diatur atau berada di bawah perlindungan dari organisasi tersebut.46
Kekebalan dan keistimewaan pejabat Organisasi Internasional dalam
Konvensi Wina 1975 dibagi menjadi dua bagian, yaitu kekebalan dan keisti-
mewaan yang diberikan kepada pejabat Organisasi Internasional yang bersifat
permanen serta kekebalan dan keistimewaan yang diberikan kepada pejabat
Organisasi Internasional yang bersifat sementara, yaitu delegasi suatu negara
46 Ibid., hlm. 3 dan 5
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 126
yang dikirim oleh negaranya menghadiri suatu acara yang diadakan oleh
organ-organ tertentu atau untuk menghadiri konferensi. Beberapa kekebalan dan
keistimewaan yang diatur dalam konvensi ini antara lain seperti yang disebut-
kan dalam Pasal 28 bahwa pimpinan misi dan anggota-anggota dari staf
diplomatik misi adalah bersifat tidak dapat diganggu gugat. Mereka tidak dapat
ditangkap atau ditahan. Selain kekebalan pribadi, seorang pejabat Organisasi
Internasional juga mempunyai kebebasan bergerak (Pasal 26) dan kebeba-
san berkomunikasi (Pasal 27) serta beberapa kekebalan dan keistimewaan
lain seperti yang diatur dalam Pasal 32-35 untuk seorang pejabat Organi-
sasi Internasional yang bersifat permanen.47 Dalam keanggotaan suatu negara
dalam organisasi internasional maka negara anggota atau pemerintahan negara
anggota tidak mungkin hadir secara fisik pada pertemuan yang diadakan oleh
organisasi internasional, sehingga negara anggota harus diwakili oleh utusan
yang ditunjuk oleh negara tersebut. Keanggotaan dari suatu utusan atau dele-
gasi pada suatu organisasi internasional bermacam-macam, suatu delegasi da-
pat terdiri dari seorang utusan dengan didampingi oleh wakilnya, penasehat atau
seorang ahli. Dapat juga suatu delegasi terdiri dari seorang ketua didampingi
oleh anggota delegasi. Ketua delegasi mempunyai hak untuk mewakili nega-
ranya, sedangkan tugas dari suatu anggota delegasi telah ditentukan dalam
suatu surat penunjukan.48
Delegasi dari negara anggota tidak bertindak atas nama sendiri, tetapi
tindakan mereka merupakan tindakan dari negara anggota yang mengurusnya.
Oleh karena itu, negara pengirim akan memeberikan petunjuk kepada delegasi-
nya tentang apa yang dilakukan. Petunjuk yang diberikan pada delegasi itu bia-
sanya mencerminkan kepentingan nasional negara anggota. Biasanya dalam
praktik petunjuk itu diberikan dengan sangat luas, sehingga masih ada kemung-
kinan bagi delegasi untuk bertindak lebih leluasa, tetapi masih tetap dalam
kebijaksanaan yang digariskan oleh negara. Menurut Pasal 46 dalam Konvensi
47 Ibid., hlm. 5 48 Agnes Simbolon, Perwakilan Negara Pada Organisasi Internasional, (Artikel Lepas)
Tahun 2015
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 127
Wina tahun 1975, banyaknya delegasi suata negara tidak melebihi jumlah yang
layak sesuai dengan tugas delegasi tersebut. Pada prinsipnya suatu organisasi
internasional berkepentingan agar delegasi dari negara anggota dapat membe-
rikan suaranya sesuai dengan kepentingan negara anggota yang bersangkutan.
Negara anggota memilih anggota delegasinya berdasarkan pada masalah yang
akan dibicarakan sesuai dengan acara dalam agenda pertemuan. Negara yang
mengirim delegasinya harus mengetahui kemampuan utusannya untuk mempe-
rjuangkan kepentingan negaranya. Pengetahuan anggota delegasi harus sesuai
dengan masalah yang akan dibicarakan dan kepentingan organisasi. Oleh kare-
na itu, anggota delegasi di antaranya dapat ditunjuk oleh seorang atau lebih dip-
lomat yang mempunyai pengetahuan politik yang secara luas. Delegasi pada
perundingan-perundingan yang diadakan oleh organisasi internasioanl biasanya
disertai dengan pedoman perundingan yang berisikan petunjuk-petunjuk bagi de-
legasi mengenai kebijaksanaan pemerintah negara pengirim tentang masalah
yang dibicarakan dalam perundingan. Terkadang dalam anggaran dasar suatu
organisasi internasional pada perundingan-perundingan tertentu hanya dapat
dihadiri oleh kepala negara atau pada alat perlengkapan utama dari suatu orga-
nisasi internasional menentukan bahwa perundingan-perundingan yang diada-
kan hanya dapat dihadiri oleh anggota kabinet suatu negara, tergantung pada
topik yang dibicarakan. Sebagai contoh dalam Dewan Eropa (Council of Europe)
diminta kehadiran menteri luar negri negara anggota.49
Pada prinsipnya utusan diplomatik untuk untuk suatu organisasi interna-
sional adalah warga negara pengirim, namun untuk kepentingan tertentu ke-
mungkinan negara telah menunjuk utusan negara yang terdiri dari utusan yang
bukan warga negaranya tapi duduk dalam delegasi negaranya. Utusan tersebut
dapat berbicara atas nama delegasinya, dapat mengajukan pertanyaan dan
mengajukan pernyataan resmi atas nama negara pengirimnya. Pada delegasi
yang majemuk pada umumnya akan terdiri dari delegasi masing-masing negara,
yang ditunjuk sebagai wakil negaranya. Dengan demikian bukan suatu delegasi
untuk beberapa negara tetapi sejumlah delegasi merupakan kombinasi untuk
49 Ibid., hlm. 5
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 128
kepentingan-kepentingan tertentu. Kombinasi tersebut berguna untuk negara
kecil. Kadang-kadang beberapa negara mempunyai kepentingan yang sama da-
lam suatu organisasi internasioanl, dalam hal demikian ada kemungkianan akan
dibentuk suatu utusan yang sifatnya umum. 50
Dalam Konvensi Wina ini dijelaskan bahwa konferensi diadakan oleh atau
dibawah naungan suatu organisasi internasional seperti yang dituliskan pada Pa-
sal 1 dan 2. Ketentuan-ketentuan yang ada dalam konvensi ini adalah peraturan
yang relevan dan tidak mempengaruhi perjanjian internasional yang sudah ber-
laku sebelumnya, antar negara atau antara negara dengan organisasi interna-
sional yang bersifat universal, serta perjanjian mengenai perwakilan negara, se-
suai dengan isi dari Pasal 3 dan 4. Seorang perwakilan dari negara anggota
berhak membuat misi permanen dengan seizin organisasi internasional, fungsi
dari misi-misi (tercantum dalam Pasal 6) tersebut antara lain: 51
a. menjamin perwakilan dari Negara pengirim kepada Organisasi;
b. menjaga hubungan antara negara pengirim dan Organisasi;
c. bernegosiasi dengan dan di dalam Organisasi;
d. memastikan aktivitas dan melaporkan pada Negara pengirim;
e. memastikan partisipasi dari Negara pengirim dalam kegiatan Organi-
sasi;
f. melindungi kepentingan Negara pengirim dalam kaitannya dengan Or-
ganisasi;
g. mempromosikan realisasi tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip Organisasi
dengan bekerja sama dengan dan di dalam Organisasi.
Sedangkan untuk non-negara anggota berhak membuat pengamat misi
permanen jika mendapatkan izin dari organisasi dan sesuai dengan fungsi pada
pasal 7, yakni: 52
a. menjamin perwakilan dari Negara pengirim dan menjaga kepentingan
dalam kaitannya dengan Organisasi;
50 Ibid., hlm. 5 51 Zaqiah Darojad, dkk, Loc.Cit., hlm. 5-6 52 Ibid., hlm. 5
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 129
b. memastikan aktivitas dan melaporkannya pada negara pengirim;
c. mempromosikan kerjasama dengan Organisasi dan negosiasi.
Pada Pasal 9 menjelaskan bahwa, sesuai dengan ketentuan pasal 14 dan
pasal 73, negara pengirim dapat dengan bebas menunjuk anggota misi, mandat
dari kepala misi akan dikeluarkan oleh kepala negara melalui menteri luar negeri.
Isi dari pasal 14 menyebutkan bahwa misi yang dibuat harus sewajarnya dan
tidak berlebihan dengan memperhatikan fungsi organisasi, kebutuhan misinya,
serta kondisi suatu negara. Pada pasal 20 dan 21 juga dijelaskan bahwa orga-
nisasi juga harus siap membantu seorang misi dalam memperoleh akomodasi
yang layak. Salah satu bentuk implementasi dari konvensi tersebut ialah Konfe-
rensi Internasional tentang Melawan Diskriminasi di tahun 2009 yang diadakan di
Bandung yang diikuti sebanyak 115 delegasi dari 50 negara di dunia. Konferensi
yang diselenggarakan UNESCO ini diadakan selama dua hari di Gedung Mer-
deka yang menjadi tempat besejarah pelaksanaan Konferensi Asia Afrika, dibuka
oleh Asisten Direktur Jendral Unesco Pierre Sane. Dilihat dari sudut pandang
konvensi Wina 1975 yang terkait dengan pasal 20 dan 21. Organisasi Internasio-
nal disini ialah UNESCO yang mengadakan konferensi tersebut. Indonesia seba-
gai tuan rumah harus siap menyediakan general facilities untuk menunjang ke-
berlangsungan konferensi. Para delegasi dari berbagai negara diberikan ke-
kebalan dan keistimewaan yang bersifat sementara, yaitu delegasi suatu negara
yang dikirim oleh negaranya menghadiri suatu acara yang diadakan oleh or-
gan-organ tertentu atau untuk menghadiri konferensi. Beberapa kekebalan dan
keistimewaan yang diatur dalam konvensi ini antara lain seperti yang dise-
butkan dalam Pasal 28 bahwa pimpinan misi dan anggota-anggota dari staf
diplomatik misi adalah bersifat tidak dapat diganggu gugat.53 Perwakilan negara
pada organisasi internasional dapat dibedakan menjadi dua, yakni perwakilan
tetap (bagi negara anggota) dan perwakilan peninjau tetap (bagi negara bukan
anggota). Kepala perwakilan jenis ini mempunyai pangkat diplomatik, suatu
negara pengirim dapat mengangkat seseorang sebagai kepala perwakilan pada
satu atau lebih organisasi internasional (dengan mempertimbangkan efisiensi
53 Ibid., hlm. 6-7
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 130
dan kemampuan keuangan negara), karena kepala perwakilan ini mempunyai
status diplomatik, maka ia juga menikmati keistimewaan dan kekebalan di nega-
ra di mana markas besar organisasi internasional itu berada. Namun perwakilan
negara selain di organisasi internasional dan negara lain, atau perwakilan negara
untuk negara lain yang tidak mempunyai status diplomatik, seperti misi olah-ra-
ga, perwakilan ini belum mendapatkan pengaturan dalam hukum internasional,
seiring dengan perkembangan dan kebutuhan suatu negara maka bukan suatu
hal yang mustahil jika kedepannya misi-misi dimaksud juga mendapat penga-
kuan dalam bentuk instrumen internasional yang disepakati oleh negara-negara.
6. Rangkuman
6.1 Berdasarkan aturan-aturan dalam Konvensi Wina Tahun 1961 tentang Hu-
bungan Diplomatik dan Protokol Tambahan dari Konvensi Wina Tahun 1961
tentang Hubungan Diplomatik mengenai hal memperoleh kewarganegaran,
maka dapat ditarik poin-poin penting yakni hubungan diplomatik dilakukan
oleh perwakilan diplomatik yang dipimpin oleh Duta Besar (Ambassa-
dor). Ambassador mewakili negara dalam mengurusi kepentingan publik da-
lam Konvensi Wina yang dihadiri kepala negara dari negara-negara Eropa
sehingga dicapai persetujuan mengenai perwakilan diplomatik. Berdasarkan
Pasal 14 Konvensi Wina Tahun 1961 tentang Hubungan Diplomatik diatur 3
tingkatan bagi seorang Kepala perwakilan diplomatik, 3 tingkatan dimaksud
adalah sebagai berikut : (1) Duta Besar yang ditempatkan pada Kepala
negara dan Kepala Misi yang tingkatannya sama; (2) Envoys Ministers dan
internuncois yang ditempatkan pada kepala Negara; dan (3) Kuasa Usaha
yang ditempatkan pada Menteri Luar Negeri (Saat ini setiap negara yang
merdeka dan berdaulat hampir selalu menempatkan perwakilan diploma-
tiknya disetiap negara).
6.2 Pengaturan Hubungan Konsuler dan Perwakilan Konsuler yang dalam seja-
rah berkembang melalui tahap-tahap pertumbuhan hukum kebiasaan interna-
sional baru dikodifikasikan pada tahun 1963 dalam Konvensi Wina mengenai
Hubungan Konsuler yang disponsori oleh Perserikatan Bangsa-bangsa. Dia-
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 131
dakannya Konvensi ini yang terdiri dari 79 pasal yang keseluruhannya me-
ngenai hubungan konsuler, hak-hak istimewa dan kekebalan-kekebalannya
akan meningkatkan hubungan persahabatan antara bangsa-bangsa tanpa
membedakan ideologi, sistim politik atau sistim sosialnya. Hak istimewa dan
kekebalan tersebut diberikan hanyalah guna mnjamin pelaksanaan fungsi
perwakilan konsuler secara efisien Konvensi mengatur antara lain hubungan-
hubungan konsuler pada umumnya, fasilitas, hak-hak istimewa dan keke-
balan kantor perwakilan konsuler, pejabat konsuler dan anggota perwakilan
konsuler lainnya serta tentang pejabat-pejabat konsul kehormatan dan kon-
sulat-konsulat kehormatan. Baik Konvensi Wina mengenai Hubungan Diplo-
matik maupun Konvensi Wina mengenai Hubungan Konsuler masing-masing
dilengkapi dengan Protokol Opsional mengenai hal Memperoleh Kewargane-
garaan.
6.3 Misi khusus dalam hukum internasional ini didasarkan pada atau memiliki
pijakan hukum pada Konvensi New York 1969 yang secara khusus memba-
has mengenai special mission atau misi khusus. Mengenai kekebalan dari
Misi Khusus (Special Missions) pengaturannya dikenal dengan The Conven-
tion on Special Missions 1969. Dalam banyak hal negara-negara akan atau
dapat mengirim dan mengutus misi khusus atau misi ad hoc ke negara-ne-
gara tertentu untuk membicarakan suatu isu yang telah ditentukan di samping
mempercayakannya kepada staff perwakilan diplomatik dan konsuler yang
sifatnya permanen. Dalam keadaan demikian utusan khusus (special missi-
ons) entah semata-mata bersifat teknis atau secara politis penting dapat
mengandalkan adanya kekebalan-kekebalan tertentu yang pada dasarnya
berasal (derived from) dari Konvensi-Konvensi Wina dengan cara mengguna-
kan analogi disertai modifikasi seperlunya. Berdasarkan ketentuan Pasal 8
dari the Convention on Special Missions 1969, negara pengirim harus membi-
arkan negara penerima (the host state) mengetahui besarnya (size) serta
komposisi dari misi tersebut, sementara menurut Pasal 17 misi tadi harus
hadir di suatu tempat yang disetujui oleh negara-negara yang bersangkutan
atau di Kementerian Luar Negeri dari negara penerima.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 132
6.4 Berdasarkan isi naskah Konvensi Wina Tahun 1973 tentang Pencegahan dan
Penghukuman atas Kejahatan terhadap Orang-Orang yang Dilindungi Secara
Internasional, Termasuk Agen Diplomatik tersebut di atas, maka dapat diketa-
hui bahwa betapa pentingnya perlindungan terhadap orang-orang tertentu
yang dilindungi oleh hukum internasional. Dalam mukadimah konvensi ini,
ditekankan akan pentingnya aturan-aturan hukum internasional mengenai
tidak boleh diganggu gugatnya dan perlunya proteksi secara khusus bagi
orang-orang yang menurut hukum internasional harus dilindungi termasuk
kewajiban-kewajiban negara dalam menangani dan mengatasi masalah Pe-
nghukuman atas kejahatan terhadap orang-orang yang harus dilindungi me-
nurut hukum internasional.
6.5 Konferensi PBB mengenai keterwakilan negara-negara dalam hubungannya
dengan organisasi internasional yang bersifat universal telah diselenggarakan
di wina, Austria sejak 4 febuari-14 maret 1975 yang dihadiri oleh 81 negara, 2
negara peninjau, 7 badan khusus, 3 organisasi antarpemerintah, dan 7 wakil
dari organisasi pembebasan nasional yang dilakukan oleh organisasi persa-
tuan afrika atau liga arab. Konferensi kemudian menyetujui konvensi tersebut
yang terdiri dari 92 pasal dan terbuka untuk penandatanganan sejak 14 maret
1975 ssampai 30 april 1975 di kementrian luar negeri Austria, kemudian
diperpanjang s.d. 30 maret 1976 di PBB new york. Dalam Konvensi Wina ini,
yang dimaksud dengan Organisasi Internasional yang bersifat universal
adalah Organisasi Internasional PBB, badan-badan khusus yang berada di
bawah PBB dan organisasi lainnya yang keanggotaannya dan tingkat per-
tanggungjawabannya bersakala internasional. Ruang lingkup yang diatur
dalam konvensi ini berdasarkan Pasal 2 adalah meliputi perwakilan sua-
tu negara dalam hubungannya dengan setiap organisasi internasional yang
bersifat universal dan keberadaan perwakilannya dalam menghadiri konfe-
rensi-konferensi yang diatur atau berada di bawah perlindungan dari organi-
sasi tersebut.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 133
C. PENUTUP
1. Soal Latihan
Fasilitator memberikan tes formatif untuk mengetahui tingkat penguasaan
pengetahuan yang diperoleh mahasiswa pada materi bahasan ini dengan mem-
berikan pertanyaan antara lain sebagai berikut:
1.1 Jelaskan perbedaan hubungan diplomatik dan hubungan konsuler !
1.2 Jelaskan atas dasar apa suatu negara dapat menempatkan wakil-wakilnya
untuk menjalankan misi khusus di negara lain !
1.3 Sebutkan orang-orang yang dilindungi dalam Konvensi Wina Tahun 1973 !
1.4 Bagaimanakah prosedur penempatan seorang calon wakil diplomatik di
negara penerima !
1.5 Jelaskan pentingnya keterwakilan negara dalam organisasi internasional !
2. Umpan Balik
Mahasiswa dapat mengajukan hal tentang kondisi yang dialami dan diha-
rapkannya untuk memahami materi bahasan terkait.
3. Daftar Pustaka
Agnes Simbolon, Perwakilan Negara Pada Organisasi Internasional, (Artikel
Lepas) Tahun 2015.
http://referensi.elsam.or.id
http://pih.kemlu.go.id/
http://www.ilp.gov.la/database/PDF/I.6.5.pdf
Indriani Darwis, Special Mission, (Artikel Lepas) Tahun 2015
Lidya Rosaline Kaligis, Perlindungan Terhadap Diplomat dari Serangan Teroris,
Jurnal Lex et Societatis, Vol. III Nomor 4, Edisi Mei Tahun 2015.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 134
Zaqiah Darojad, dkk, AnaIisa Mengenai Vienna Convention on the Representa-
tion of States in their Relations with International Organizations of a
Universal Character 1975, Universitas Airlangga Surabaya, tanpa tahun.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 135
BAB III
KEKEBALAN DAN KEISTIMEWAAN DIPLOMATIK
A. PENDAHULUAN
1. Sasaran Pembelajaran
Mahasiswa mampu menguraikan dan menganalisis mengenai latar bela-
kang timbulnya kekebalan dan keistimewaan diplomatik, landasan hukum bagi
pemberian kekebalan dan keistimewaan diplomatik, serta mulai dan berakhirnya
kekebalan dan keistimewaan diplomatik.
2. Kemampuan Mahasiswa yang Menjadi Prasyarat
Sebelum mempelajari materi ini mahasiswa harus mempunyai pengetahu-
an awal tentang hukum diplomatik, perkembangan kodifikasi hukum diplomatik,
dan sumber hukum diplomatik.
3. Keterkaitan Bahan Pembelajaran dengan Pokok Bahasan Lainnya
Bahan pembelajaran ini memberikan pemahaman kepada mahasiswa ten-
tang kekebalan dan keistimewaan diplimatik sehingga akan lebih mudah maha-
siswa untuk memahami atau mempelajari pokok bahasan selanjutnya tentang
suaka, persona grata, dan persona non grata.
4. Manfaat Bahan Pembelajaran
Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa mampu menguraikan
kekebalan dan keistimewaan diplomatik, sehingga mahasiswa dapat menganali-
sisnya dalam setiap kasus yang berkaitan dengan pelanggaran kekebalan dan
keistimewaan diplomatik di negara penerima.
5. Petunjuk Belajar Mahasiswa
Sebelum mengikuti perkuliahan mahasiswa diwajibkan membaca materi
dalam buku ajar ini. Setelah pemaparan materi bahasan tersebut di atas maha-
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 136
siswa diberi kesempatan bertanya atau membentuk kelompok diskusi, serta ma-
hasiswa dibebaskan untuk mengemukakan pendapat seluas-luasnya dan berta-
nya kepada fasilitator jika ada materi yang kurang. Selain itu mahasiswa juga
diberikan tugas mandiri dalam bentuk mahasiswa melakukan penelusuran bahan
pustaka terkait hukum diplomatik, dan dibahas berdasarkan ruang lingkup materi
yang telah diajarkan.
B. PENYAJIAN MATERI BAHASAN
KEKEBALAN DAN KEISTIMEWAAN DIPLOMATIK
1. Latar Belakang Timbulnya Kekebalan dan Keistimewaan Diploma-
tik
Suatu wakil-wakil negara baik yang menjalankan misi-misi diplomatik, atau
yang sedang menjalankan fungsi konsuler, maupun yang sedang bertugas da-
lam misi khusus dari negara pengirim membutuhkan suatu jaminan agar misi-
misi diplomatik, fungsi konsuler, maupun misi khusus yang sedang dilaksanakan-
nya dapat berjalan lancar dan sesuai dengan harapan dari negara pengirim. Ja-
minan tersebut harus dipastikan terlaksana sehingga seseorang yang ditugaskan
untuk itu dapat menjalankan tugasnya dengan maksimal.
Dalam Abad ke-16 dan 17 pada waktu pertukaran duta-duta besar secara
permanen antar negara-negara di Eropa, sudah mulai menjadi umum, kekebalan
dan keistimewaan diplomatik telah diterima sebagai praktik-praktik negara dan
bahkan telah diterima oleh para ahli hukum internasional meskipun jika terbukti
bahwa seorang duta besar telah terlibat dalam komplotan atau penghianatan
lawan kedaulatan negara penerima. Seorang duta besar dapat diusir, tetapi tidak
dapat ditangkap atau diadili. Prinsip untuk memberikan kekebalan dan keistime-
waan yang khusus semacam itu telah dilakukan oleh negara atas dasar timbal
balik, hal itu diperlukan guna menjamin agar perwakilan atau misi asing di suatu
negara dapat menjalankan tugas misinya secara bebas dan aman. Kekebalan
duta besar dari yurisdiksi pidana di negara penerima telah mulai dilakukan oleh
banyak negara dalam abad ke-17 sebagai kebiasaan internasional. Dalam
Tahun 1706 pernah terjadi satu kasus dimana duta Rusia di Britania Raya telah
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 137
ditangkap dengan tuduhan suatu penipuan. Segera setelah terjadi peristiwa itu,
kaisar Rusia telah mengirimkan ultimatum kepada Ratu Anne dari Inggris bahwa
Rusia akan mengumumkan perang terhadap Britania Raya kecuali jika Peme-
rintah Inggris mengajukan permintaan maaf. Namun demikian, Pemerintah Ing-
gris kemudia telah mengajukan Rancangan Undang-Undang dikedua majelis
parlemen yang menyatakan “Bahwa setiap wakil asing haruslah dianggap suci
dan tidak dapat diganggu gugat”. Disamping itu undang-undang juga memuat
ketentuan bahwa para diplomat asing dibebaskan dari jurisdiksi perdata dan
pidana. Undang-undang tersebut kemudian terkenal sebagai “7 Anne, Cap.
12.2/706, yang ternyata dokumen tersebut menjadi dasar bagi kekebalan dan
keistimewaan para diplomat”.54
Kekebalan diplomatik dinikmati tidak saja oleh Kepala-Kepala Perwakilan
(seperti Duta Besar, Duta, atau Kuasa Usaha), tetapi juga oleh anggota ke-
luarganya yang tingal bersama dia, termasuk para diplomat lainnya yang menjadi
anggota perwakilan (seperti Counsellor, para Sekretaris, Atase, dan sebagainya)
dan kadang-kadang dalam keadaan yang jarang sekali oleh para staf adminis-
trasi dari perwakilan dan “staf pembantu lainnya” (juru masak, supir, pelayan,
penjaga dan lainnya yang serupa).55 Para pejabat diplomatik yang dikirmkan oleh
suatu negara ke negara lainnya telah dianggap memiliki suatu sifat suci yang
khusus. Sebagai konsekuensinya, mereka telah diberikan kekebalan dan keisti-
mewaan diplomatik. Pada masa Yunani kuno, misalnya, gangguan terhadap seo-
rang duta besar dianggap merupakan pelanggaran yang paling berat. Demikian
pula di zaman Romawi para penulis telah sepakat mengenai anggapan bahwa
terjadinya cedera terhadap seseorang wakil dari negara pada hakikatnya meru-
pakan pelanggaran secara sengaja terhadap jus gentium.56 Kemudian pada per-
54 Narinden Mehta, International Organization and Diplomacy, Jullundur, India: Hindi
Press, 1976, hlm. 24 sebagaimana dikutip oleh Sumaryo Suryokusumo, Hukum Diplomatik, Teori dan Kasus, Bandung: Alumni, 2005, hlm. 50-51
55 Gutteridge, Immunities of the Subordinate Diplomatic Staff, Britania Y.B. International
Law, 1947, hlm. 148 sebagaimana dikutip oleh Sumaryo Suryokusumo, Ibid., hlm. 51-52 56 Phillipson, International Law and Custom of Ancient Greece and Rome, London, 1911,
hlm. 328 sebagaimana dikutip oleh Sumaryo Suryokusumo, Ibid., hlm. 51-52
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 138
tengahan abad ke-18, aturan-aturan kebiasaan hukum internasional mengenai
kekebalan dan keistimewaan diplomatik telah mulai ditetapkan, termasuk harta
milik, gedung, dan komunikasi para diplomat. Untuk menunjukan totalitas keke-
balan dan keistimewaan diplomatik tersebut, sering digunakan istilah exterritoria-
lity atau extra-territoriality. Istilah ini mencerminkan kenyataan bahwa para diplo-
mat hampir dalam segala hal harus diperlakukan sebagaimana mereka tidak be-
rada di dalam wilayah negara penerima. Sifat exterritoriality itu diberikan kepada
para diplomat oleh hukum nasional negara penerima, didasarkan adanya keper-
luan bagi mereka untuk menjalankan tugasnya, bebas dari jurisdiksi, pengawa-
san negara setempat57.
Gedung yang dipakai oleh suatu perwakilan diplomatik, baik gedung itu
milik negara pengirim atau kepala perwakilan, maupun disewa dari perorangan
biasanya dingggap tidak dapat diganggu gugat oleh para penguasa negara pe-
nerima, dibebaskan dari perpajakan, kecuali bagi pajak-pajak dalam bentuk khu-
sus seperti tarif air.58 Demikian juga arsip perwakilan dan sejenisnya dianggap
tidak dapat diganggu gugat (seperti korespondensi diplomatik, setidak-tidaknya
jika dibawa oleh kurir diplomatik). Namun demikian, kuranglah tepat bahwa ge-
dung-gedung perwakilan dianggap sebagai eksteritorial atau sebagai “bagian
wilayah dari suatu negara pengirim”.59 Hugo Grotius juga memberikan tanggapan
bahwa para duta besar, menurut khayalan hukum, dianggap berada di luar wila-
yah negara tempat mereka tinggal, tetapi apabila khayalan ini sudah mengambil
sifat sebagai aturan, maka hal itu dilihat sebagai sesuatu yang menyesatkan dan
membahayakan.60 Meskipun aturan-aturan yang luas mengenai kekebalan dan
57 Sumaryo Suryokusumo, Ibid. hlm. 52-53 58 Dehaussy, The Inviolability of Diplomatic Residence, 83 Journal de Droit International
(Cluent) 1956, hlm. 597 sebagaimana dikutip oleh Sumaryo Suryokusumo, Ibid., hlm. 53 59 Dalam kasus suaka (Colombia-Peru), 1950 I.C.J. Repl. 226, menyatakan bahwa
seseorang yang mencari suaka di perwakilan diplomatik asing tetap di dalam wilayah negara dimana orang itu terlibat. Menganggap bahwa suatu Kedutaan Besar bukanlah exterritorial dan dapat dimasuki polisi, kecuali Kedutaan Besar yang bersangkutan menyetujui, lihat Fatemi v. United States, 192 A. 2d 525 (DC.Ct.Cpp. 1963).
60 De Jure Belli ac Paris, II, XVIII, iv. 5 sebagaimana dikutip oleh Sumaryo Suryokusumo,
Ibid., hlm. 53
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 139
keistimewaan para diplomat tetap tidak diubah, pada abad ke-18, aturan-aturan
itu telah berkembang secara terperinci menurut variasi masing-masing yang dila-
kukan oleh beberapa negara. Ada beberapa kodifikasi dari aturan-aturan dalam
hukum diplomatik, dua di antaranya yang paling penting Havana Convention on
1928, dan Harvard Research Draft Convention on Diplomatic Privileges and Im-
munities, yang diterbitkan dalam tahun 1932.61 Berdasarkan pemaparan terse-
but, maka dapat diketahui bahwa persoalan mengenai kekebalan dan keistime-
waan diplomatik suatu wakil-wakil negara adalah sesuatu hal yang sangat dihar-
gai dan dihormati dalam praktik-praktik internasional, jauh sebelum adanya atu-
ran tertulis yang mengatur seperti dalam Konvensi Wina Tahun 1961 dan Kon-
vensi Wina Tahun 1963 maka praktik penghormatan kepada para wakil-wakil ne-
gara lain di suatu negara sangatlah dihormati dan telah menjadi kebiasaan inter-
nasional.
2. Landasan Hukum bagi Pemberian Kekebalan dan Keistimewaan
Diplomatik
Setiap negara-negara di dunia memiliki perbedaan, baik itu perbedaan
filsafat, sejarah, struktur pemerintahan, kekuatan ekonomi, pendidikan, kebuda-
yaan, dan perbedaan sumber daya alam yang dihasilkan tiap negara. Perbedaan
inilah yang membuat setiap negara-negara di dunia itu satu sama lain melakukan
hubungan internasional Hubungan Internasional yang dilakukan oleh negara
dapat dilakukan dengan berbagai cara baik itu dengan perjanjian internasional,
membentuk suatu organisasi internasional maupun mengirimkan perwakilannya
ke negara lain yang sering disebut perwakilan diplomatik Untuk melindungi per-
wakilan diplomat dalam melaksanakan tugasnya di negara penerima, maka
dibuat ketentuan hak-hak kekebalan kepada para diplomatik.62 Berbicara tentang
sumber hukum diplomatik, maka tidak akan terlepas dari hukum internasional
publik. Hukum Internasional Publik diibaratkan seperti pohon dan hukum diplo-
61 Sumaryo Suryokusumo, Ibid., hal. 54. 62 Natasa Fransiska Elisabeth Siahaan, Pelanggaran Hak Kekebalan Diplomatik atas
Duta Besar Italia yang Ditahan di India Ditinjau dari Hukum Internasional, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2013, hlm. 1
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 140
matik merupakan cabangnya. Untuk itu, sumber hukum diplomatik tidak dapat
dipisahkan dari ketentuan Pasal 38 (1) Statuta ICJ yang telah diakui oleh para
ahli hukum internasional sebagai sumber hukum internasional.Selain hukum in-
ternasional publik, hukum diplomatik juga memiliki kekhususan tersendiri. Kekhu-
susan hukum diplomatik ini terdiri dari beberapa bentuk :63
1. The Final Act of the Congress of Vienna on Diplomatik Rank
2. Vienna Convention on Diplomatic Relation and Optional Protocol 1961
3. Vienna Convention on Consular Relations and Optional Protocol 1963
4. Convention on Special Missions and Optional Protocol 1969
5. Convention on the Prevention and Punishment of Crimes against In-
ternationally Protected Persons, including Diplomatik Agents 1973
6. Vienna Convention on the Representation of State in Their Relations
with International Organization of a Universal Character (1975)
Selain konvensi-konvensi diatas, terdapat juga resolusi-resolusi dan dek-
larasi yang dikeluarkan oleh organ-organ PBB. Kebiasaan internasional juga me-
rupakan bagian dari sumber hukum diplomatik, walaupun kebiasaan interna-
sional ini tidak terkodifikasi secara tertulis, namun banyak negara-negara yang
mematuhi kebiasaan internasional. Prinsip-prinsip hukum umum dan keputusan
pengadilan juga merupakan sumber hukum diplomatik. Khusus mengenai kepu-
tusan pengadilan ini pada hakikatnya tidak mempunyai kekuatan mengikat ke-
cuali pihak-pihak yang bersangkutan.sebagai contoh, enam keputusan Mahka-
mah Internasional pada 24 Mei 1980, dalam kasus yang menyangkut staf per-
wakilan diplomatik dan konsuler Amerika Serikat di Teheran, yang disetujui oleh
13 suara dan 2 suara menolak. Hal-hal diatas inilah yang menjadi sumber hukum
diplomatik untuk mengatur berjalannya hubungan diplomatik yang berada di
dunia. Dari ketentuan-ketentuan diatas, yang mengatur tentang kekebalan dan
keistimewaan diplomatik terdapat dalam Konvensi Wina 1961. Banyaknya keten-
tuan yang mengatur diplomatik namun masih banyak pihak-pihak yang melaku-
kan pelanggaran diplomatik. Tahun 1980-an tindakan terorisme cukup menonjol.
63 Edy Suryono, Perkembangan Hukum Diplomatik, Bandung: Mandar Madju, 1992, hlm.
3 sebagaimana dikutip oleh Natasa Fransiska Elisabeth Siahaan, Ibid., hlm. 1-2
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 141
Hal ini dapat mengancam para diplomat-diplomat asing didalam menjalankan
tugas-tugasnya. Tercatat empat ratus terorisme yang ditujukan kepada diplomat
dan konsuler yang meliputi enam puluh negara, tindakan-tindakan yang ditimbul-
kan para teroris ini tercatat menelan banyak korban dan kerusakan-kerusakan
harta benda dan bangunan pada perwakilan asing. Dengan situasi membahaya-
kan yang telah terjadi membuat Majelis Umum PBB membuat tindakan yang
tegas dan langkah cepat agar tidak terjadi pelanggaran hukum diplomatik lagi.
Majelis Umum PBB pun mendesak kepada setiap anggotanya untuk mematuhi
setiap peraturan-peraturan hukum diplomatik dan konsuler serta menghimbau
bagi negara-negara yang belum meratifikasi hukum diplomatik untuk segera
meratifikasi hukum diplomatik.64
Berdasarkan aturan-aturan kebiasaan dalam hukum internasional, para
diplomat yang mewakili negaranya memiliki kekebalan yang kuat dari yurisdiksi
negara pengirim. Dalam hukum internasional, pemberian kekebalan dan keisti-
mewaan diplomatik dikenal beberapa teori yang diperkenalkan oleh Connel
dalam bukunya “International Law, Vol. II 196565. Terdapat tiga teori mengenai
landasan hukum pemberian kekebalan diplomatik di luar negeri, yaitu :66
- Teori Eksterritorialitas,
Dalam teori ini seorang pejabat diplomatik dianggap seolah-olah tidak
meninggalkan negaranya, ia berada di luar wilayah negara penerima,
namun kenyataannya ia sudah jelas berada di luar negeri sedang men-
jalankan tugas-tugas di negara di mana ia ditempatkan. Teori ini dida-
sarkan pada suatu fiksi dan bukan realita yang sebenarnya sehingga
tidak diterima masyarakat internasional. Dalam literature lain, teori ini
juga dikenal dengan Exterritoriality Theory. Menurut teori ini gedung
dan pejabat perwakilan dianggap tidak berada di negara penerima me-
lainkan berada dalam negara pengirim dan mencerminkan semacam
64 Natasa Fransiska Elisabeth Siahaan, Ibid., hlm. 2-3 65 D.P.O. Connel, International Law, Vol. II, sebagaimana dikutip oleh Syahmin AK,
Hukum Diplomatik Suatu Pengantar, Bandung: CV Armico, 1988, hlm. 69. 66 Rosalina Pertiwi Gultom, Landasan Yuridis Kekebalan dan Keistimewaan Diplomatik,
(Artikel Lepas) Tahun 2016.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 142
perluasan wilayahnya di negara penerima.67 Pada abad ke-16 dan 17
teori exterritoriality ini sangat menonjol dipergunakan bagi pemberian
kekebalan dan keistimewaan diplomatik, di mana wakil diplomatik dia-
nggap bukan sebagai subyek hukum negara penerima.68 Sebagai kon-
sekuensi daripada prinsip ini adalah sangat berat untuk dapat diterima
karena sukar untuk menyesuaikan diri dengan teori exterritorialty ini.
Terbukti dalam hal peraturan lalu lintas jalan raya misalnya, dalam
praktiknya sudah diterima secara umum bahwa seorang pejabat
diplomatik itu harus tunduk pada peraturan lalu lintas negara setempat.
Walaupun dalam negara penerima seseorang mesti berjalan di sebelah
kanan, dan peraturan lalu lintas di negara si diplomat mengaharuskan
berjalan di sebelah kiri, maka diplomat itu pun harus mengikuti aturan
lalu lintas negara setempat, jika tidak ia sendiri akan merasakan
akibatnya, misalnya mengalami tabrakan.69 Dengan adanya ketidakse-
suaian dalam praktik pemberian kekebalan dan keistimewaan diplo-
matik dalam pergaulan antar negara, maka teori ini dalam bentuk asal-
nya tidak dapat dipertahankan lagi. Namun demikian kebanyakan para
ahli hukum internasional sekarang ini masih menggunakan teori
exterritoriality hanya sekedar untuk menunjukan prinsip bahwa negara
penerima tidak mempunyai wewenang untuk menegakkan kedaulatan-
nya di gedung kedutaan ataupun rumah kediaman perwakilan asing
sebagai konsepsi terbatas, dan tidak pula mencakup pengertian bahwa
kejahatan dan transaksi hukum yang terjadi di tempat kedutaan asing
harus dianggap sebagai terjadi di wilayah negara pengirim.70
67 Sumaryo Suryokusumo, Op.Cit. hlm. 57. 68 Castel J.G., International Law, dalam Syahmin AK, Op.Cit. hlm. 70 69 Syahmin AK, Ibid. 70 Marcelino Heryanto Latuputty, Latar Belakang Hak Kekebalan dan Keistimewaan
Diplomatik, Makalah Fakultas Hukum Universitas Atmajaya Yogyakarta, 2015, hlm 9-10
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 143
- Teori Representatif,
Dalam teori ini baik pejabat diplomatik maupun perwakilan diplomatik
asing dapat menikmati hak-hak istimewanya dan kekebalan-kekebalan
di negara penerima. Dengan memberikan hak-hak istimewa dan keke-
balan kepada pejabat-pejabat diplomatik asing berarti negara penerima
menghormati negara pengirim, kebesaran, kedaulatan, serta kepala
negaranya. Namun, dalam pemberian kekebalan diplomatik tidak mem-
punyai batas yang jelas sehingga menimbulkan ketidakharmonisasian
dalam hukum. Dalam literatur lain, teori ini juga disebut sebagai teori
Representative Character Theory. Menurut teori ini, agen diplomatik
dianggap sebagai simbol (wakil) negara yang mengutusnya, maka
setiap sikap tindakannya merupakan tindakan negara yang diwakili-
nya.71 Dalam hukum internasional dikenal suatu adagium yang berbu-
nyi “Par im parem habet imperium”72, maksudnya suatu negara berdau-
lat tidak dapat melaksanakan jurisdiksinya terhadap negara berdaulat
lainnya. Berkaitan dengan adagium ini, jika seorang agen diplomatik
dianggap sebagai perwakilan negara yang mengirimnya (sending sta-
te), maka ia kebal atau tidak dapat diberlakukan hukum dan jurisdiksi
dari negara yang menerimanya (receiving state). Sehingga dalam teori
sifat seorang diplomat sebagai simbol negara, pada hakekatnya pejabat
diplomatik dipersamakan dengan kedudukan seorang kepala negara
atau negara pengirim yang bersangkutan.73
- Teori Kebutuhan Fungsional
Dalam teori ini memuat bahwa hak-hak istimewa dan kekebalan-keke-
balan diplomatik dan misi diplomatik hanya didasarkan pada kebutu-
han-kebutuhan fungsional agar para pejabat perwakilan diplomatik da-
pat menjalankan tugasnya dengan baik dan lancar. Teori ini membe-
71 Syahmin AK, Op.Cit., hlm. 71. 72 F Ijswara, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Alumni, 1972, sebagaimana
dikutip oleh Syahmin AK, Ibid. hal 71. 73 Marcelino Heryanto Latuputty, Loc.Cit., hlm 10
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 144
rikan tekanan pada kepentingan fungsi sehingga timbul pembatasan-
pembatasan hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik. Dalam lite-
ratur lainnya teori ini juga dikenal dengan Functional Necessity Theory.
Teori ini mendasarkan pemberian kekebalan dan keistimewaan kepada
wakil-wakil diplomatik atas fungsi dari wakil-wakil diplomatik agar wakil
diplomatik yang bersangkutan dapat menjalankan fungsinya dengan
baik dan sempurna, maka kekebalan dan keistimewaan yang dimiliki-
nya itu adalah untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya di dalam
melaksanakan tugas tanpa ada gangguan.74 Teori fungsional dianggap
sangat mendekati kebenaran, dengan alasan yang cukup sederhana
bahwa dalam penilaian sebelumnya, seorang diplomat tidak mungkin
dapat menjalankan tugasnya jika tidak diberikan kepadanya kekebalan
dan keistimewaan tertentu.75
Sir Gerald Fitzmaurice, reporter khusus yang ditunjuk oleh Komisi Hukum
Internasional untuk merumuskan rancangan Konvensi wina 1961 menyadari bah-
wa functional theory tidak saja teori yang benar, sebaliknya ia beranggapan
bahwa exterritoriality theory tidak akan mendekatkan penyelidikan, demikian pula
tanggapan dari anggota-anggota lainnya yang bahkan mengkritik yang cukup
tajam. Sehubungan dengan tanggapan-tanggapan tersebut, Komisi Hukum Inter-
nasional kemudian membatasi diri memberikan tanggapan terhadap rancangan
pasal-pasal mengenai kekebalan dan keistimewaan tanpa adanya ikatan-ika-
tan:76
a. Di antara teori-teori yang telah dikemukakan dalam memberikan per-
timbangan bagi pengembangan kekebalan dan keistimewaan diplo-
matik, Komisi Hukum Internasional akan menyinggung exterritoriality
theory sesuai anggapan bahwa gedung perwakilan merupakan sema-
cam perluasan dari wilayah negara pengirim, dan representative cha-
74 Syahmin AK., Op.Cit., hlm. 71 75 Yearbook of the international Law Commision (I.L.C.) 1957, Vol. I, sebagaimana dikutip
oleh Sumaryo Suryokusumo, Op.Cit. hlm. 58 76 Marcelino Heryanto Latuputty, Loc.Cit., hlm 11-12
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 145
racter theory yang melandasi kekebalan dan keistimewaan diartikan
bahwa perwakilan diplomatik melambangkan negara pengirim
b. Kini terdapat teori ketiga yang muncul sebagai landasan yang kecen-
derungannya didukung di dalam masa sekarang yaitu functional
necessity theory yang membenarkan bahwa kekebalan dan keistime-
waan merupakan keperluan agar perwakilan dapat menunaikan tugas-
tugasnya.
c. Komisi Hukum Internasional telah menganut teori ketiga ini dalam
menyelesaikan masalah-masalah di dalam praktik tidak dapat membe-
rikan keterangan secara jelas, di samping memperhatikan juga sifat
perwakilan dari kepala perwakilan dan dari perwakilannya sendiri.77
Selain ketiga teori yang telah disebutkan di atas, salah satu prinsip yang
penting dalam hubungan diplomatik adalah prinsip resiprositas/reciprocity prin-
ciple atau prinsip timbal balik, yaitu apabila suatu negara ingin mendapat per-
lakuan yang baik dari suatu negara, maka negara tersebut juga harus bersikap
baik dan sopan terhadap negara lain. Berkaitan dengan perwakilan diplomatik,
apabila negara (sending state) menginginkan utusannnya atau wakilnya diberi-
kan hak kekebalan dan keistimewaan oleh negara penerima (receiving state),
maka negara yang bersangkutan juga harus mau memberikan hak kekebalan
dan kesitimewaan terhadap agen diplomatik atau perwakilan yang diutus dari
negara lain.78
Dalam mukaddimah Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik
dirumuskan “…that the purpose of such privileges and immunities is not to
benefit individuals but to ensure the efficient performance of the functions of dip-
lomatic missions as representing states”. Secara garis besarnya, pemberian ke-
kebalan dan keistimewaan diplomatik dikategorikan menjadi dua, yaitu :79
77 Yearbook of the International Law Commision (I.L.C.), 1958, Vol. II, sebagaimana
dikutip oleh Sumaryo Suryokusumo Op.Cit., hlm. 60 78 Marcelino Heryanto Latuputty, Loc.Cit., hlm. 12 79 Rosalina Pertiwi Gultom, Loc.Cit.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 146
- Inviolability, hanya ditujukan kekebalan terhadap organ-organ pemerin-
tah dan/atau alat kekuasaan negara penerima, dan kekebalan terhadap
segala gangguan yang merugikan serta hak mendapatkan perlindungan
dari aparat pemerintah negara penerima.
- Immunity, kekebalan terhadap yurisdiksi pengadilan negara penerima
baik dalam bidang hukum pidana maupun bidang keperdataan.
Diplomatic Immunity dapat dikatakan merupakan suatu hak yang tidak bo-
leh diganggu gugat seorang agen diplomatik dalam melaksanakan tugas di ne-
gara asing. Kekebalan dan keistimewaan diplomatik yang diberikan pada perwa-
kilan diplomatik sesuai dengan Konvensi Wina 1961, yaitu :80
- Kekebalan diri pribadi,
- Kekebalan yurisdiksional,
- Kekebalan dari kewajiban untuk menjadi saksi,
- Kekebalan kantor kediaman dan tempat kediaman,
- Kekebalan korespondensi,
- Kekebalan dan keistimewaan diplomatik negara ketiga,
- Penanggalan kekebalan diplomatik,
- Pembebasan terhadap pajak dan bea cukai/bea masuk.
Di Indonesia, pelaksanaan serta pengakuan atas hak-hak kekebalan dan
hak-hak istimewa diplomatik juga berpedoman pada Konvensi Wina 1961, serta
dimuat dalam Pedoman Tertib Diplomatik dan Tertib Protokol Bp.03 tahun 1969
yang dikeluarkan oleh Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia.81 Majelis
Umum PBB juga menghimbau apabila terjadi pelanggaran hukum diplomatik
maka kepada negara-negara yang bersangkutan diminta untuk melaporkannya
kepada sekjen PBB. Dengan maksud agar PBB dapat turut campur menangkap
dan mengadili para pelanggar dan mengambil usaha-usaha agar tidak terjadi
pelanggaran yang serupa. Di samping itu negara-negara yang menjadi korban
peristiwa tersebut diminta untuk memberikan laporan tentang hasil-hasil terakhir
80 Ibid. 81 Ibid.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 147
mengenai proses peradilan lokal (exhaustion of local remedies).82 Salah satu
kasus pelanggaran diplomatik terdapat dalam kasus Penahanan Diplomatik Italia
di India, dimana kasus ini dipicu dengan tidak dipulangkannya marinir Italia ke
India untuk diadili atas kasus penembakan kedua nelayan India. Hal ini mempe-
ngaruhi rasa saling percaya antara kedua negara ini.Yang memicu penahanan
Diplomat Italia yang melakukan perjanjian terhadap India untuk memulangkan
marinir tersebut kembali ke India, India pun melakukan tindakan penahanan ter-
hadap Diplomat Italia itu untuk tidak meninggalkan wilayah India tanpa perse-
tujuan India dan melakukan pemutusan hubungan diplomatik sementara dengan
menarik diplomatnya dari negara Italia. Sesuai dengan ketentuan yang terdapat
dalam Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik maka tentunya hal ini
bertentangan dengan hak kekebalan diplomatik.83
Hak kekebalan dan keistimewaan diplomatik dapat ditemukan dalam
pasal-pasal Konvensi Wina 1961, diantaranya :84
a. Berkaitan dengan personal: seorang diplomat tidak dapat diganggu
berdasarkan Pasal 29 Konvensi Wina dan ia tidak dapat ditahan atau
ditangkap. Prinsip ini adalah aturan yang paling mendasar dan tertua
dari hukum diplomatik.85 Contoh yang paling mencolok dari pelang-
garan kewajiban untuk melindungi diplomat adalah penahanan diplo-
mat-diplomat AS sebagai sandera di Iran pada 1979-1980, di mana
Pengadilan Internasional menyatakan bahwa cuci tangan pemerintah
Iran menghadapi penahanan diplomat-diplomat AS dan staf konsulat
82 Syahmin AK, Hukum Internasional Publik, Jilid 3, Edisi Pertama, Bandung: Binacipta,
1996, hlm. 361 sebagaimana dikutip oleh Natasa Fransiska Elisabeth Siahaan, Op.Cit., hlm. 1-2 83 Fransiska Elisabeth Siahaan, Op.Cit., hlm. 3-4 84 Ibid. 85 Perhatikan bahwa dengan pasal 26 negara penerima harus memberikan semua
anggota utusan kebebasan bergerak dan bepergian di wilayahnya, tunduk pada hukum dan peraturan mengenai zona terlarang atau zona yang diatur karena alasan keamanan nasional. Vienna convention 1961, article 26 and 29. Dalam resolusi 53/97 Januari 1999, misalnya, Majelis Umum PBB mengutuk keras tindakan kekerasan terhadap delegasi dan wakil-wakil diplomatik dan konsuler, sementara Dewan Keamanan mengeluarkan pernyataan resmi, mengutuk pembunuhan sembilan diplomat Iran di Afghanistan. Negara-negara mengakui bahwa perlindungan diplomat adalah kepentingan bersama yang dibangun di atas kebutuhan fungsional dan hubungan timbal balik.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 148
untuk waktu yang cukup lama merupakan sebuah ‘pelanggaran nyata
dan serius’ atas pasal 29.86; Pasal 31 ayat (1) Konvensi menetapkan
bahwa diplomat kebal dari yurisdiksi pidana, yurisdiksi perdata dan
administrasi negara di mana mereka bertugas;87 Pasal 31 ayat (3)
tidak ada tindakan eksekusi dapat dilakukan terhadap mereka kecuali
dalam kasus yang disebut dalam pasal 31 ayat (1) a, b dan c dan
dengan ketentuan bahwa tindakan-tindakan yang bersangkutan dapat
dilakukan tanpa melanggar hak tidak dapat diganggunya diplomat atau
tempat tinggalnya;88 Pasal 37 mengatur bahwa anggota keluarga agen
diplomatik yang menjadi bagian dari rumah tangganya akan menikmati
hak istimewa dan kekebalan sebagaimana ditentukan dalam pasal 29-
36 Konvensi jika bukan warga negara dari negara penerima.89 Dalam
praktik di AS, istilah ‘spouse (pasangan)’ bisa ditafsirkan untuk meliputi
lebih dari satu istri dalam perkawinan poligami yang merupakan bagian
dari rumah tangga diplomat dan bisa pula meliputi mitra yang tidak
menikah dengan diplomat;90 Pasal 40 memberikan kekebalan di mana
agen diplomatik berada di wilayah transit antara negara asalnya dan
negara ketiga di mana ia akan ditempatkan.91 Setelah masa pencu-
likan diplomat, Konvensi PBB tentang Pencegahan dan Penghukuman
86 I.C.J. Reports, 1980 hal. 3, 32, 35-7, 61 dalam Malcolm N. Shaw QC, International
Law. 87 Pengecualian terhadap pasal ini ada tiga hal, yaitu: pertama, di mana perbuatan
berkaitan dengan dengan properti pribadi yang tidak bergerak yang berada dalam negara tuan rumah (kecuali untuk tujuan misi); kedua, dalam proses pengadilan yang berkaitan dengan masalah pengalihan di mana diplomat terlibat sebagai pribadi (misalnya sebagai pelaksananya atau ahli waris); ketiga, sehubungan dengan kegiatan profesi atau komersial tidak resmi yang melibatkan delegasi. Vienna convention 1961, article 31 (1).
88 Vienna Convention 1961, Article 31 (3). 89 Vienna Convention 1961, Article 37. 90 Malcolm N. Shaw QC, International Law, Terjemahan Derta Sri Widowatie, Imam
Baehaqi dan M. Khozim, Bandung: Nusa Media, 2013, hlm. 768 91 Vienna Convention 1961, Article 40.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 149
atas Kejahatan terhadap Orang-orang yang secara Internasional Dilin-
dungi, termasuk Agen Diplomatik diadakan pada 1973.
b. Berkaitan dengan gedung kedutaan dan properti: Pasal 22 Konvensi
secara khusus menyatakan bahwa kantor utusan tidak dapat diganggu
dan bahwa agen-agen negara penerima tidak diijinkan masuk tanpa
ijin.92 Pada 8 Mei 1999, selama kampanye Kosovo, Kedutaan Besar
China di Beograd dibom oleh AS. AS menyatakan bahwa itu tidak
disengaja dan meminta maaf. Pada Desember 1999, AS dan China
menandatangani Perjanjian yang memberikan kompensasi yang harus
dibayar AS kepada China sebesar 28 milyar dollar. Pada saat yang
sama, China setuju untuk membayar 2,87 milyar dollar kepada AS un-
tuk menyelesaikan tuntutan yang timbul dari kerusuhan dan serangan
terhadap Kedutaan Besar AS di Beijing, kediaman Konsulat AS di
Chengdu dan konsulat di Guangzhu;93 menurut Pasal 23, sehubungan
dengan tempat tinggal delegasi, pengecualian berlaku untuk pajak;94
Pasal 24 konvensi, arsip dan dokumen duta tidak dapat diganggu
kapan sajan dan dimana saja berada;95 Pasal 45 (a) menyatakan
bahwa setelah putusnya hubungan diplomatik ‘negara penerima harus
menghormati dan melindungi kantor utusan’.96 Contoh kasus untuk
Pasal 22 dapat melihat insiden yang terjadi pada tahun 1984 ketika
terjadi penembakan dari gedung Biro Rakyat Libya di London terhadap
para demonstran di luar gedung Biro tersebut yang menewaskan
seorang petugas polisi wanita. Pemerintah Inggris menahan diri untuk
tidak memerintahkan dimasukinya gedung-gedung tersebut, tetapi me-
92 Vienna Convention 1961, Article 22. Untuk contoh lebih lanjut, dapat melihat kasus
Sun Yat Sen tahun 1896. 93 Selain itu, AS sebelumnya melakukan sejumlah pembayaran ex gratia pada orang-
orang yang terluka dan kepada keluarga korban meninggal dalam pengeboman Kedutaan. Lihat Malcolm N. Shaw QC, Op.Cit., hlm. 763
94 Vienna Convention 1961, Article 23. 95 Vienna Convention 1961, Article 24. 96 Vienna Convention 1961, Article 45(a).
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 150
nuntut pemulangan staff biro tersebut, yang dengan tindakan demikian
benar-benar menaati prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh International
Court of Justice97.
c. Berkaitan dengan tas diplomat: Pasal 27 mengatur bahwa negara pe-
nerima mengijinkan dan melindungi komunikasi bebas atas nama
utusan untuk semua tujuan kenegaraan.98 Komunikasi resmi seperti ini
tidak dapat diganggu dan dapat mencakup penggunaan kurir diplo-
matik dan pesan dalam kode dan sandi, meskipun diperlukan ijin dari
negara penerima untuk pemancar nirkabel;99 Pasal 27 ayat (3) dan (4)
berkaitan dengan tas diplomat, dan menyatakan bahwa tas tersebut
tidak boleh dibuka atau ditahan100, dan bahwa paket yang merupakan
tas diplomatik ‘harus kelihatan sifat-sifatnya dari luar dan hany boleh
berisi dokumen-dokumen diplomatik atau berkas-berkas yang diguna-
kan untuk tujuan kenegaraan.101
Berdasarkan paparan di atas, kesemuanya menjelaskan tentang kekeba-
lan dan keistimewaan diplomatik secara bersamaan, untuk mengetahui perbe-
daan kekebalan yang dimiliki oleh wakil negara dan keitimewaan diplomatik yang
dapat dinikmatinya, maka dapat dibedakan sebagai berikut :102
Bahwa didalam istilah kekebalan terkandung dua pengertian, yaitu keke-
balan (immunity), dan tidak dapat diganggugugat atau inviolabilitas (Inviolability)
adalah kekebalan diplomat terhadap alat-alat kekuasaan negara penerima dan
kekebalan terhadap segala gangguan yang merugikan. Sedangkan immunity di-
97 J. G. Starke, An Introduction to International Law, Jakarta: Sinar Grafika, 1989, hlm.
568 98 Vienna Convention 1961, Article 27.
99 Ada perbedaan pendapat di Konferensi Wina antara negara-negara maju dan
berkembang mengenai hal ini. Negara-negara maju berpendapat bahwa hak untuk memasang dan menggunakan komunikasi nir-kabel tidak membutuhkan ijin.
100 Vienna Convention 1961, Article 27(3). 101 Vienna Convention 1961, Article 27(4). 102 Teori Kekebalan Diplomatik dan Keistimewaan Pejabat Misi Diplomatik, lihat pada
website : http://www.landasanteori.com/2015/09/teori-kekebalan-diplomatik-dan.html
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 151
artikan sebagai kekebalan terhadap Juridiksi dari negara penerima, baik hukum
pidana maupun hukum perdata.
1. Kekebalan pribadi
Ketentuan-ketentuan yang bermaksud melindungi diri pribadi seorang
wakill diplomatik atau kekebalan-kekebalan memngenai diri pribadi
seorang wakil diplomatik diatur dalam Pasal 29 Konvensi Wina 1961
yang menyatakan “the Person of a diplomatik agent shall be inviolable.
He shall not be liable to any form of arrest or detention. The receiving
state shall terat him with due respect and shall tahe all propriate steps
to prevent ant attack on his person, freedom or dignity” (Konvensi Wina
1961). Berarti bahwa pejabat diplomatik adalah inviolable. Ia tidak da-
pat ditangkap dan ditahan.
Jadi, sesuai dengan pengertian inviolabilitiy sebagai kekebalan terha-
dap alat-alat kekuasaan dari negara penerima, maka pejabat diplomatik
atau seorang wakil diplomatik mempunyai hak untuk tidak dapat dike-
nakan tindakan kekuasaan oleh alat-alat kekuasaan negara penerima
yaitu misalnya berupa penahanan dan penangkapan.
a. Yurisdiksi pidana
Kekebalan terhadap yurisdiksi pengadilan pidana yang dapat di-
nikmati oleh para pejabat diplomatik ditentukan didalam Konvensi
Wina 1961 sebagai berikut: “seorang pejabat diplomatik kebal dari
yurisdiksi pidana negara penerima” (Pasal 31 ayat 1 Konvensi
Wina 1961).
Apabila seorang pejabat diplomatik membuat kesalahan yang da-
pat mengganggu keamanan atau ketertiban dalam negeri atau tu-
rut dalam suatu komplotan yang ditujukan kepada negara pene-
rima, maka untuk menjaga agar tindakan-tindakannya itu tidak
akan membawa akibat yang tidak diinginkan, negara penerima un-
tuk sementara dapat menahan, walaupun kemudian ia masih ha-
rus dikirim pulang kembali ke negrinya. Dan menurut hukum
kebiasaan internasional bahwa negara penerima tidak mempunyai
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 152
hak, dalam keadaan yang menuntut dan menghukum seorang
pejabat diplomatik.103
b. Yurisdiksi perdata dan adminisrasi
Hukum kebiasaan internasional tidak saja memberikan kekebala
dari yurisdiksi pidana dari negara penerima, tetapi juga para pe-
jabat diplomatik kebal dari yurisdiksi perdata dan administrasi. Ke-
tentuan yang mengatur adanya kekebalan seorang pejabat diplo-
matik dari yurisdiksi perdata atau sipil, terdapat dalam ketentuan
Pasal 31 ayat (1) Konvensi Wina 1961, sebagai berikut: “he shall
also enjoy immunity from its civil and administrative jurisdiction”.
Tuntutan perdata dan administrasi dalam bentuk apapun tidak da-
pat dilakukan terhadap seorang pejabat diplomatik dan tidak ada
tindakan atau eksekusi apapun yang berhubungnan dengan hu-
tang-hutang dan lain-lainnya yang serupa dapat diajukan terhadap
para pejabat diplomatik didepan pengadian perdata atau penga-
dilan administrasi negara penerima.104
2. Kekebalan keluarga seorang wakil diplomatik
Kekebalan-kekebalan dan hak-hak istimewa yang diberikan pada seo-
rang wakil diplomatik tidaklah berbatas pada diri pribadi saja melainkan
juga anggota-anggota keluarganya turut pula menikmati kekebalan dan
hak-hak istimewa tersebut.
Ketentuan mengenai kekebalan keluarga pejabat diplomatik terdapat
dalam Pasal 37 ayat (1) Konvensi Wina 1961 yang menyatakan “the
members of family of a diplomatik agent forming part of his household
shall, if they are not nationals of the receiving state, enjoy the privileges
and immunities specifies in article 29 to 36” (anggota keluarga dari seo-
rang wakil diplomatik yang merupakan bagian dari rumah tangganya,
103 Edy Suryono dan Moenir Arissoendha, Hukum Diplomatik Kekebalan dan
Keistimewaannya, Bandung: Angkasa, 1991, hlm. 47-48 104 Ibid., hlm. 47-48
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 153
yang bukan berwarganegara penerima akan meikmati hak-hak istime-
wa dan kekebalan sebagaimana diatur dalam Pasal 29 sampai 36).
Dengan demikian agar seorang dapat dianggap sebagai anggota ke-
luarga pejabat diplomatik, maka tidak hanya adanya sesuatu hubungan
darah atau perkawinan yang mencantumkan kedudukan anggota ke-
luarganya, tetapi ia harus bertempat tinggal bersama pejabat diplomatik
atau merupakan bagian dari rumah tangganya dan bahkan pula bukan
berwarganegara Negara penerima. Keluarga pejabat diplomatik yang
dapat menerima kekebalan dan keistimewaan diplomatik ini, termasuk
pula pelayanan-pelayanan perwakilan dan pelayan rumah tangga.
3. Kekebalan dari kewajiban menjadi saksi
Dalam Pasal 31 ayat 2 Konvensi Wina 1961 terdapat suatu ketentuaan
yang berbunyi sebagai berikut. “a diplomatic agent is not obliged to give
as a withness” maka seeorang wakil diplomatik tidak boleh diwajibkan
untuk menjadi saksi di muka pengadilan negara setempat, baik yang
menyangkut perkara perdata maupun menyangkut perkara pidana, dan
administasi.105
Seorang wakil diplomatik tidak dapat dipaksanakan untuk bertindak se-
bagai seorang saksi dan untuk memberikaan kesaksiannya di depan
pengadilan, hal mana termasuk pula anggota keluarga dan pengikut-
pengikutnya, juga tidak dapat dipaksa untuk bertindak sebagai saksi
didepan pengadilan.
Kemungkinan yang terjadi dalam hubungannya dengan persolan keke-
balan seorang wakil diplomatik dari kewajiban untuk menjadi saksi wakil
diplomatik tersebut secara sukarela (voluntarily) memberikan kesak-
siannya didepan peradilan atas perintah dan persetujuan dari peme-
rintahnya
4. Kekebalan korespondensi
Kekebalan korespondensi adalah kekebalan dari pihak perwakilan
asing sesuatu negara yaitu pejabat diplomatiknya untuk mengadakan
105 Ibid., hlm. 51
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 154
komunikasi dengan bebas guna kepentingan tujuan-tujuan resmi atau
official purposes dari perwakilan asing tersebut, tanpa mendapat hala-
ngan yang berupa tindakan pemeriksaan atau tindakan penggeledahan
yang dilakukan oleh negara-negara lainnya.
Pasal 27 Konvensi Wina 1961 menjamin komunikasi bebas dari misi
perwakilan asing dengan maksud yang layak. Dimaksud dengan hak
untuk berhubungan bebas ini adalah hak seorang diplomatik untuk
bebas dalam kegiatan surat- menyurat, mengirim telegram dan berba-
gai macam perhubunngan komunikasi. Hubungan bebas ini dapat ber-
langsung antara pejabat diplomatik tersebut dengan pemerintahnya
sendiri, dengan pemerintah negara penerima, maupun dengan perwa-
kilan diplomatik asing lainnya.
Selanjutnya di dalam pasal 27 ayat 2 Konvensi Wina 1961 ditetapkan
bahwa korespondansi didalam arti yang luas atau resmi adalah dinya-
takan kebal atau tidak dapat diganggu gugat. Tetapi harus dingat bah-
wa kebebasan hubungan komunikasi tersebut haruslah dijalankan
didalam hubungan yang resmi dan berkaitan dengan misi perwakilan
dan fungsinya.
5. Kekebalan kantor perwakilan Asing dan tempat kediaman seorang wakil
diplomatik
Dalam Konvensi Wina 1961 telah dicantumkan mengenai pengakuan
secara universal tentang kekebalan diplomatik yang meliputi tempat
kediaman dan tempat kerja atau kantor perwakilan pejabat diplomatik.
Secara jelas terdapat di dalam Pasal 22 dan 30 Konvensi Wina 1961.
Dapat dilihat bahwa kekebalan diplomatik atas kantor perwakilan dan
tempat kediaman secara tegas diakui oleh Konvensi Wina 1961.
Namun, hak kekebalan disini diartikan sebagai suatu hak dari gedung
perwakilan atau tempat kerja dan tempat kediaman seorang pejabat
diplomatik utnuk mendapatkan perlindungan special dari negara pene-
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 155
rima, gedung perwakilan dan tempat kediaman dari pejabat diplomatik
dinyatakan tidak dapat diganggu gugat atau inviolable.106
6. Kekebalan para pejabat diplomatik pada waktu transit.
Secara substansial kekebalan para pejabat diplomatik in transit bia-
sanya diberikan. Masalah itu sebelumnya tidak diberikan namun bebe-
rapa negara seperti Belanda dan Perancis telah meneytujui untuk me-
masukkan ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan masing-
masing mengenai perlakuan para diplomat yang ditempatkan di negara
tersebut.
Didalam Konvensi Wina 1961 telah mengambil pendekatan Fungsional
secara tegas dalam memberikan hak kekebalan dan keistimewaan bagi
pada diplomat yang berpergian melalui negara ketiga baik menuju atau
dari posnya. Negara ketiga hanya wajib memberikan hak tidak digang-
gu gugatnya dan kekebalan-kekebalan lainnya yang diperlukan dalam
rangka menjamin perjalanan diplomat itu dalam transit atau kembali.
Hak-hak yang sama juga diperlukan dalam hal anggota keluarga diplo-
mat yang menyertainya atau kepergian secara terpisah untuk berga-
bung dengannya atau dalam perjalanan kembali ke negaranya. Para
diplomat beserta anggota keluarganya yang dalam perjalanan transit
juga memperoleh perlindungan khusus dan bebas dari penahanan se-
suai dengan haknya yang tidak dapat diganggu-gugat, tetapi dapat pula
kepada mereka diadakan tuntutan terhadap perkara perdata dengan
ketentuan bahwa tuntutan ini tidak melibatkan penahana mereka dan
mereka tidak mempunyai keistimewaan seperti bebas dari pemeriksaan
koper milik mereka.107
7. Perjalanan karena force majeure
Seorang diplomat diberikan kekebalan terbatas semacam itu tanpa me-
lihat hubungan antara penerima dan pengirim di satu pihak dan negara
ketiga di lain pihak. Kewajiban-kewajiban di dalam ketentuan Konvensi
106 Ibid., hlm. 47-48 107 Ibid., hlm. 70
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 156
Wina 1961 tersebut dapat diterapkan bahwa dalam hal diplomat itu
terpaksa harus transit karena force majeure antara lain adanya pesawat
yang dipaksakam harus mendarat dinegara ketiga. Dalam kasus R.V.
Governer of Pentoville Prison pada tahun 1971. Pengadilan di inggris
menolak untuk memberikan kekebalan terhadap proses ekstradisi
kepada seorang mata-mata dari Costa Rica yang bernama Dr. Teja,
pemegang paspor diplomatik, dimana ia tidak ditempatkan atau tidak
menjadi tamu pemerintah sesuatu negara. Penting pula bahwa diplomat
harus diangkat oleh pemerintahnya yang pengangkatannya juga diakui
oleh negara ketiga.108
Pengertian keistimewaan adalah berbagai hak istimewa privilege yang
melekat pada perwakilan diplomatik (sebagai institusi) dan anggota misi (se-
bagai individu) di negara penerima.109
1. Pembebasan pajak-pajak
Keistimewaan pembebasan pajak-pajak ini dapat dinikmati oleh pejabat
diplomatik beserta keluarganya, staf administrasi dan teknik, staf pela-
yanan, pembantu-pembantu rumah tangga berdasarkan daftar yang
diserahkan kepada kementerian luar negeri setempat. Pada umumnya
keistimewaan dalam perpajakan ini meliputi pembebasan pajak-pajak
langsung, pajak penghasilan, pajak atas barang pribadi bergerak seper-
ti kendaraan bermotor, perabot, bagasi dan sebagainya.110
Dalam Konvensi Wina 1961 dikatakan bahwa, seorang pejabat diplo-
matik akan dibebaskan dari semua pajak pribadi baik regional, nasional
kecuali:
- Pajak tidak langsung, sehingga tak berlaku pada pembelian barang
di toko umum yang pajak penjualannya telah diperhitungkan dida-
lamnya.
108 Ibid., hlm. 73 109 Wasito, Konvensi-Konvensi Wina, Yogyakarta: Andi Offset, 1999, hlm. 5 110 Ibid., hlm. 64
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 157
- Pajak atas barang-barang yang tidak bergerak yang terletak dida-
lam daerah negara penerima, misalnya rumah, tanah, kecuali yang
dikuasai oleh pejabat-pejabat diplomatik tersebut atas nama negara
pengirim untuk keperluan dan maksud yang resmi dari misi per-
wakilan.
- Pajak untuk jasa-jasa pelayanan yang diberikan.
- Registrasi, pembayaran pengafilan, hipotek, pajak perangko sehu-
bungan dengan barang-barang bergerak.
2. Pembebasan dari bea cukai dan bagasi.
Pada umumnya pembebasan bea cukai dan bagasi ini meliputi barang-
barang yang diimpor untuk keperluan perwakilan diplomatik dan keper-
luan rumah tangga para pejabat diplomatik. Dalam hubungan ini pula
bagasi-bagasi milik para pejabat diplomatik bebas dari pemeriksaan
petugas.
Pembebasan bea cukai dan bagasi ini diakui pula dalam Konvensi
Wina 1961, yang memberikan pembebasan bea cukai dan bagasi, baik
bea masuk maupun bea keluar dari pajak-pajak lainnya yang mempu-
nyai hubungan dnegan itu, tanpa memasukkan biaya penyimpangan
atau pajak yang ada hubungannya dengan pelayangan terhadap :111
- Barang-barang keperluan dinas perwakilan diplomatik
- Barang-barang untuk keperluan pribadi dari pejabat diplomatik atau
anggota keluarganya sebagai barang keperluan rumah tangga,
termasuk barang-barang yang dipergunakan untuk keperluan ru-
mah tangga.
3. Pembebasan dari kewajiban keamanan sosial
Pembebasan dari kewajiban keamanan sosial dimaksudkan bahwa pa-
ra pejabat diplomatik bebas daripada ketentuan kewajiban kemanan
sosial yang mungkin berlaku di dalam negara penerima, seperti kewa-
jiban siskamling, jaga malam dan lain lain. Pembebasan demikian juga
111 Ibid., hlm. 65
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 158
berlaku untuk pelayan-pelayan pribadi yang turut serta didalam mela-
yani kepentingan seorang pejabat diplomatik.112
4. Pembebasan dri pelayanan pribadi, pelayanan umum dan militer.
Pembebasan dari pelayanan pribadi, pelayanan umum dan militer disini
dijamin oleh Konvensi Wina 1961 yang menyatakan bahwa negara pe-
nerima harus memmbebaskan para pejabat diplomatik dari semua pela-
yanan pribadi, pelayanan umum macam apapun dan dari kewajiban
militer seperti yang berhubungan dengan pengambilalihan, sumbangan
militer.113
5. Pembebasan dari kewarganegaraan
Dalam protokol opsional Konvensi Wina 1961 mengenai hal memper-
oleh kewarganegaraan mengatur bahwa anggota-anggota perwakilan
diplomatik yang bukan warga negara Negara penerima dan keluarga-
nya tidak akan memperoleh kewarganegaraan Negara penerima terse-
but semata-mata karena berlakunya hukum negara penerima tersebut.
Dengan demikian terhadap kelahiran anak seorang pejabat diplomatik
dinegara penerima maka anak tersebut tidak akan memperoleh kewar-
ganegaraan negara penerima yang semata-mata karena berlakunya
negara penerima, anak tersebut tetap mengikuti kewarganegaraann
orang tuanya.114
3. Mulai dan Berakhirnya Kekebalan dan Keistimewaan Diplomatik
Kekebalan dan Keistimewaan pejabat missi diplomatik ini mulai berlaku
sejak mereka memasuki wilayah negara penerima dalam rangka proses menem-
pati pos kedinasannya untuk melaksanakan fungsi resminya, atau jika sebelum
diangkat oleh negara pengirim untuk menduduki jabatan diplomatik tertentu me-
reka telah berkedudukan di negara penerima maka awal berlakunya kekebalan
hukum dan hak-hak istimewa diplomatik dianggap telah ada sejak mereka
112 Ibid., hlm. 66 113 Ibid., hlm. 67 114 Ibid.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 159
diangkat oleh negara pengirim atau dapat dikatakan pula sejak calon diplomat
mendapatkan letter of credentials dari pemerintahnya maka hak kekebalan dan
keistimewaan pejabat missi diplomatik sudah dapat diberikan kepada calon
diplomat tersebut. Pengangkatan pejabat tersebut harus diberitahukan oleh
negara pengirim kepada negara penerima melalui kementrian luar negeri negara
penerima atau kementerian lain yang ditunjuk. Hal tersebut diatur dalam Pasal
39 ayat (1) Konvensi Wina 1961 secara jelas berbunyi “Setiap orang yang
berhak akan kekebalan hukum dan hak-hak istimewa akan mendapatnya sejak
saat ia memasuki wilayah Negara penerima dalam proses menempati posnya,
atau jika ia sudah di dalam wilayahnya, sejak saat pengangkatannya itu
diberitahukan kepada Kementerian Luar Negeri atau kementerian lainnya yang
disetujui.” Ketentuan mengenai awal dinikmatinya kekebalan dan keistimewaan
diplomatik bagi orang-orang yang berhak menikmati ini sesuai dengan ke-
tentuan Pasal 22 Konvensi Havana tahun 1928 tentang Diplomatic Officer Pasal
14 menyebutkan petugas diplomatik harus terhormat untuk orang-orang mereka,
tempat tinggal mereka, swasta atau pejabat, dan harta benda mereka. Diganggu
gugat ini meliputi :115
a. Semua kelas petugas diplomatik;
b. Seluruh personil resmi misi diplomatik;
c. Para anggota keluarga masing-hidup di bawah atap yang sama;
d. Kertas, arsip dan korespondensi misi.
Serta pada Pasal 22 tentang kapan hak diplomatic officer dapat dinikmati
“Petugas diplomatik dapat kenikmatan kekebalan mereka dari saat mereka me-
lewati perbatasan negara di mana mereka akan menjalani misinya dan dimana
posisi mereka telah diketahui. Hak kekebalan akan terus ada selama periode
misi dan bahkan setelah itu akan dihentikan, untuk waktu yang diperlukan bagi
petugas diplomasi dalam misi. Sehingga dapat dikatakan bahwa keistimewaan
dan kekebalan diplomatik berlaku sejak diplomat memasuki wilayah negara
115 Kekebalan Diplomatik dan Keistimewaan Pejabat Misi Diplomatik, mulai dan berak-
hirnya, lihat pada website : http://www.landasanteori.com/2015/09/kekebalan-dan-keistimewaan-pejabat.html
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 160
penerima dalam rangka melaksanakan fungsi resminya. Dengan diberlakukan
pemberitahuan terlebih dahulu terhadap negara penerima.116
Pada Pasal 39 ayat (2) menegaskan, jika fungsi-fungsi dari orang- orang
yang memperoleh kekebalan dan keistimewaan diplomatik itu berakhir maka ke-
kebalan dan keistimewaan yang melekat padanya secara normal akan berakhir,
yaitu pada saat ia meninggalkan negara penerima, atau pada saat berakhirnya
suatu periode yang layak, akan tetapi kekebalan dan keistimewaan akan terus
ada sampai saat berakhirnya periode yang dimaksud tersebut, bahkan dalam hal
terjadinya konflik bersenjata antara negara penerima dengan negara pengirim
pun kekebalan dan keistimewaan tetap ada. Namun, atas perbuatan- perbuatan
yang dilakukan oleh orang-orang tersebut dalam rangka pelaksanaan fungsinya
sebagai seorang anggota misi, kekebalan dan keistimewaannya akan terus
disandang. Untuk menentukan berapa lama rentang waktu yang dianggap seba-
gai suatu periode yang layak sangat sulit karena Konvensi Wina sendiri tidak
menjelaskan kuantitasnya, karena itu untuk menentukan lamanya waktu berda-
sarkan kesepakatan negara terkait, dan pemberian waktu tersebut didasarkan
pada kebiasaan serta sopan santun internasional. Lalu berakhirnya hak tersebut
dapat juga diakibatkan atas penanggalan hak kekebalan dan keistimewaan oleh
negara pengirim. Menurut Pasal 32 ayat (1), kekebalan dan keistimewaan harus
ditanggalkan oleh negara penerima. Penanggalan atas hak tersebut harus dila-
kukan secara tegas (Pasal 32 ayat (2)). Kekebalan dan keistimewaan diplomatik
bersumber pada hukum internasional sehingga yang mempunyai hak untuk
memberi dan menanggalkannya adalah subjek hukum internasional, sehingga
dalam konteks ini subjek hukum internasional adalah negara, bukan diplomat
karena posisi diplomat dalam hal ini sebagai alat negara, bukan individu. Dapat
ditarik kesimpulan bahwa kekebalan dan hak- hak istimewa kepala perwakilan,
penanggalan dapat dilakukan oleh kepala negara pengirim melalui menteri luar
negeri, karena untuk pengurusan perwakilan diplomatik ini kepala negara telah
mempercayakan pada menteri luar negeri. Sedangkan yang memutuskan apa-
kah penanggalan kekebalan dan keistimewaan diplomatik atas kepala perwa-
116 Ibid.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 161
kilan tersebut, tetap berada pada kewenangan kepala negara berdasar pada ke-
wenangan kepala negara berdasar pada pengaduan negara penerima dan
pertimbangan-pertimbangan yang diberikan oleh menteri luar negeri negara pe-
ngirim dan mungkin berdasarkan saran dan pendapat anggota parlemen negara
terkait.117
4. Rangkuman
4.1. Dalam Abad ke-16 dan 17 pada waktu pertukaran duta-duta besar secara
permanen antar negara-negara di Eropa, sudah mulai menjadi umum,
kekebalan dan keistimewaan diplomatik telah diterima sebagai praktik-
praktik negara dan bahkan telah diterima oleh para ahli hukum internasional
meskipun jika terbukti bahwa seorang duta besar telah terlibat dalam
komplotan atau penghianatan lawan kedaulatan negara penerima. Seorang
duta besar dapat diusir, tetapi tidak dapat ditangkap atau diadili. Prinsip
untuk memberikan kekebalan dan keistimewaan yang khusus semacam itu
telah dilakukan oleh negara atas dasar timbal balik, hal itu diperlukan guna
menjamin agar perwakilan atau misi asing di suatu negara dapat menjalan-
kan tugas misinya secara bebas dan aman. Kekebalan duta besar dari
yurisdiksi pidana di negara penerima telah mulai dilakukan oleh banyak
negara dalam abad ke-17 sebagai kebiasaan internasional. Dalam Tahun
1706 pernah terjadi satu kasus dimana duta Rusia di Britania Raya telah
ditangkap dengan tuduhan suatu penipuan. Segera setelah terjadi peristiwa
itu, kaisar Rusia telah mengirimkan ultimatum kepada Ratu Anne dari
Inggris bahwa Rusia akan mengumumkan perang terhadap Britania Raya
kecuali jika Pemerintah Inggris mengajukan permintaan maaf. Namun demi-
kian, Pemerintah Inggris kemudia telah mengajukan Rancangan Undang-
Undang dikedua majelis parlemen yang menyatakan “Bahwa setiap wakil
asing haruslah dianggap suci dan tidak dapat diganggu gugat”. Disamping
itu undang-undang juga memuat ketentuan bahwa para diplomat asing
dibebaskan dari jurisdiksi perdata dan pidana. Undang-undang tersebut
117 Ibid.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 162
kemudian terkenal sebagai “7 Anne, Cap. 12.2/706, yang ternyata dokumen
tersebut menjadi dasar bagi kekebalan dan keistimewaan para diplomat”.
Gedung yang dipakai oleh suatu perwakilan diplomatik, baik gedung itu
milik negara pengirim atau kepala perwakilan, maupun disewa dari perora-
ngan biasanya dingggap tidak dapat diganggu gugat oleh para penguasa
negara penerima, dibebaskan dari perpajakan, kecuali bagi pajak-pajak
dalam bentuk khusus seperti tarif air. Demikian juga arsip perwakilan dan
sejenisnya dianggap tidak dapat diganggu gugat (seperti korespondensi
diplomatik, setidak-tidaknya jika dibawa oleh kurir diplomatik). Namun demi-
kian, kuranglah tepat bahwa gedung-gedung perwakilan dianggap sebagai
eksteritorial atau sebagai “bagian wilayah dari suatu negara pengirim”.
Hugo Grotius juga memberikan tanggapan bahwa para duta besar, menurut
khayalan hukum, dianggap berada di luar wilayah negara tempat mereka
tinggal, tetapi apabila khayalan ini sudah mengambil sifat sebagai aturan,
maka hal itu dilihat sebagai sesuatu yang menyesatkan dan membahaya-
kan. Meskipun aturan-aturan yang luas mengenai kekebalan dan keistime-
waan para diplomat tetap tidak diubah, pada abad ke-18, aturan-aturan itu
telah berkembang secara terperinci menurut variasi masing-masing yang
dilakukan oleh beberapa negara. Ada beberapa kodifikasi dari aturan-
aturan dalam hukum diplomatik, dua di antaranya yang paling penting
Havana Convention on 1928, dan Harvard Research Draft Convention on
Diplomatic Privileges and Immunities, yang diterbitkan dalam tahun 1932.
4.2 Dalam praktik saat ini, hak kekebalan dan keistimewaan diplomatik dapat di-
temukan dalam pasal-pasal Konvensi Wina 1961 dan Konvensi Wina 1963.
Istilah kekebalan terkandung dua pengertian, yaitu kekebalan (immunity),
dan tidak dapat diganggugugat atau inviolabilitas (Inviolability) adalah keke-
balan diplomat terhadap alat-alat kekuasaan negara penerima dan kekeba-
lan terhadap segala gangguan yang merugikan. Sedangkan immunity diar-
tikan sebagai kekebalan terhadap Juridiksi dari negara penerima, baik hu-
kum pidana maupun hukum perdata. Sedangkan keistimewaan adalah ber-
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 163
bagai hak istimewa privilege yang melekat pada perwakilan diplomatik
(sebagai institusi) dan anggota misi (sebagai individu) di negara penerima
4.3. Kekebalan dan hak- hak istimewa kepala perwakilan, penanggalan dapat
dilakukan oleh kepala negara pengirim melalui menteri luar negeri, karena
untuk pengurusan perwakilan diplomatik ini kepala negara telah memper-
cayakan pada menteri luar negeri. Sedangkan yang memutuskan apakah
penanggalan kekebalan dan keistimewaan diplomatik atas kepala perwaki-
lan tersebut, tetap berada pada kewenangan kepala negara berdasar pada
kewenangan kepala negara berdasar pada pengaduan negara penerima
dan pertimbangan-pertimbangan yang diberikan oleh menteri luar negeri
negara pengirim dan mungkin berdasarkan saran dan pendapat anggota
parlemen negara terkait
C. PENUTUP
1. Soal Latihan
Fasilitator memberikan tes formatif untuk mengetahui tingkat penguasaan
pengetahuan yang diperoleh mahasiswa pada materi bahasan ini dengan mem-
berikan pertanyaan antara lain sebagai berikut:
1.1. Jelaskan sejarah lahirnya kekebalan dan keistimewaan diplomatik !
1.2. Apakah dasar hukum yang pertama kali dijadikan landasan suatu
negara terkait dengan kekebalan dan keistimewaan diplomatik !
1.3. Praktik saat ini, instrument manakah yang dijadikan dasar dalam
menikmati kekebalan dan keistimewaan diplomatik !
1.4. Jelaskan perbedaan antara kekebalan diplomatik dan keistimewaan
diplomatik !
1.5. Jelaskan kapan berakhirnya kekebalan dan keistimewaan diplomatik
yang dinikmati oleh seorang wakil negara !
2. Umpan Balik
Mahasiswa dapat mengajukan hal tentang kondisi yang dialami dan
diharapkannya untuk memahami materi bahasan terkait.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 164
3. Daftar Pustaka
D.P.O. Connel, International Law, Vol. II.
De Jure Belli ac Paris, II, XVIII, iv. 5
Dehaussy, The Inviolability of Diplomatic Residence, 83 Journal de Droit
International (Cluent) 1956.
Edy Suryono, Perkembangan Hukum Diplomatik, Bandung: Mandar Madju,
1992.
___________ dan Moenir Arissoendha, Hukum Diplomatik Kekebalan dan
Keistimewaannya, Bandung: Angkasa, 1991.
Gutteridge, Immunities of the Subordinate Diplomatic Staff, Britania Y.B.
International Law, 1947.
http://www.landasanteori.com/2015/09/teori-kekebalan-diplomatik-dan.html
http://www.landasanteori.com/2015/09/kekebalan-dan-keistimewaan-
pejabat.html
I.C.J. Repl. 226
I.C.J. Reports, 1980.
Ijswara, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Alumni, 1972.
J. G. Starke, An Introduction to International Law, Jakarta: Sinar Grafika, 1989.
Malcolm N. Shaw QC, International Law, Terjemahan Derta Sri Widowatie, Imam
Baehaqi dan M. Khozim, Bandung: Nusa Media, 2013.
Marcelino Heryanto Latuputty, Latar Belakang Hak Kekebalan dan Keistimewaan
Diplomatik, Makalah Fakultas Hukum Universitas Atmajaya Yogyakarta,
2015.
Narinden Mehta, International Organization and Diplomacy, Jullundur, India:
Hindi Press, 1976.
Natasa Fransiska Elisabeth Siahaan, Pelanggaran Hak Kekebalan Diplomatik
atas Duta Besar Italia yang Ditahan di India Ditinjau dari Hukum
Internasional, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2013.
Pertiwi Gultom, Landasan Yuridis Kekebalan dan Keistimewaan Diplomatik,
(Artikel Lepas) Tahun 2016.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 165
Phillipson, International Law and Custom of Ancient Greece and Rome, London,
1911.
Sumaryo Suryokusumo, Hukum Diplomatik, Teori dan Kasus, Bandung: Alumni,
2005.
Syahmin AK, Hukum Diplomatik Suatu Pengantar, Bandung: CV Armico, 1988.
__________, Hukum Internasional Publik, Jilid 3, Edisi Pertama, Bandung:
Binacipta, 1996.
Wasito, Konvensi-Konvensi Wina, Yogyakarta: Andi Offset, 1999.
Yearbook of the international Law Commision (I.L.C.) 1957, Vol. I.
Yearbook of the International Law Commision (I.L.C.), 1958, Vol. II.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 166
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 167
BAB IV
SUAKA, PERSONA GRATA, DAN
PERSONA NON GRATA
A. PENDAHULUAN
1. Sasaran Pembelajaran
Mahasiswa mampu menelaskan mengenai suaka diplomatik dan mampu
mebedakan antara persona grata dan persona non grata.
2. Kemampuan Mahasiswa yang Menjadi Prasyarat
Sebelum mempelajari materi ini mahasiswa harus mempunyai pengeta-
huan awal tentang hukum diplomatik, perkembangan kodifikasi hukum diploma-
tik, sumber hukum diplomatik, serta kekebalan dan keistimewaan diplomatik.
3. Keterkaitan Bahan Pembelajaran dengan Pokok Bahasan lainnya
Bahan pembelajaran ini memberikan pemahaman kepada mahasiswa
tentang Pengertian suaka, uraian tentang persona grata dan persona non grata
sehingga akan lebih mudah mahasiswa untuk memahami atau mempelajari po-
kok bahasan selanjutnya tentang masyarakat internasional.
4. Manfaat Bahan Pembelajaran
Setelah mahasiswa mengikuti dan memahami materi bahasan ini maka
mahasiswa mampu menguraikan dan menganalisis Pengertian suaka, uraian
tentang persona grata dan persona non grata sehingga mahasiswa dapat mem-
bedakan dan kapan digunakan untuk istilah-istilah tersebut dalam kaitannya de-
ngan hubungan diplomatik.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 168
5. Petunjuk Belajar Mahasiswa
Sebelum mengikuti perkuliahan mahasiswa diwajibkan membaca materi
dalam buku ajar ini. Setelah pemaparan materi bahasan tersebut di atas maha-
siswa diberi kesempatan bertanya atau membentuk kelompok diskusi, serta ma-
hasiswa dibebaskan untuk mengemukakan pendapat seluas-luasnya dan berta-
nya kepada fasilitator jika ada materi yang kurang. Selain itu mahasiswa juga
diberikan tugas mandiri dalam bentuk mahasiswa melakukan penelusuran bahan
pustaka terkait hukum diplomatik, dan dibahas berdasarkan ruang lingkup materi
yang telah diajarkan.
B. PENYAJIAN MATERI BAHASAN
SUAKA, PERSONA GRATA, DAN PERSONA NON GRATA
1. Suaka
Sampai saat ini belum ada batasan atau definisi baku yang dijadikan
rujukan bagi peristilahan suaka di dunia, oleh karenanya para pakar berdasarkan
instrumen internasional atau praktik-praktik negara dalam hukum internasional
yang telah menjadi kebiasaan internasional itulah kemudian memberikan bata-
san-batasan tentang arti dari suaka. Dengan demikian, maka beberapa batasan
pengertian yang diberikan oleh para pakar tersebut belumlah dapat dijadikan
pedoman baku untuk semua kasus namun setidak-tidaknya dapat memberikan
gambaran bagi kita tentang apa makna dari suaka tersebut.
Kata ”asylon” dalam bahasa Yunani atau ”asylum” dalam bahasa latin
berarti ”sebuah tempat terhormat dimana seorang yang sedang dikejar berlin-
dung. Berdasarkan alasan baik itu agama dan sipil, hak memberikan perlindu-
ngan ini diberikan kepada tempat-tempat ibadah dan kepada Negara terhadap
seorang warga negara asing yang berada dalam status buronan tanpa memper-
timbangkan jenis perbuatan kriminal atau pelanggaran yang telah dilakukannnya.
Sehingga, dalam waktu yang lama, kejahatankejahatan umum (ordinary crime)
tidak dapat di-ekstradisi-kan. Baru sejak abad ke tujuh belas beberapa ilmuwan
termasuk ahli hukum dari Belanda Hugo Grotius membedakan antara kejahatan
bersifat politik dan kejahatan umum, selanjutnya status Asylum hanya dapat
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 169
digunakan oleh mereka yang menghadapi penuntutan (prosecution) karena ala-
san politik dan keagamaan. Sampai dengan pertengahan abad ke sembilan
belas hampir semua Perjanjian Ekstradisi mengakui prinsip Non-Ekstradisi terha-
dap pelaku kejahatan politik, namun dengan pengecualian terhadap mereka
yang melakukan kejahatan-kejahatan terhadap Kepala Negara”.118 Hal inilah
yang memunculkan pendapat bahwa pemberian suaka terhadap pelaku kejaha-
tan politik disebut dengan suaka politik (yang menjadi salah satu varian suaka
dalam hukum internasional), walaupun penulis tidak sepakat bahwa kejahatan
politik dikategorikan sebagai suatu kejahatan.
Asylum adalah sebuah lembaga yang lahir karena kemanusiaan (humani-
tarian) dan juga hukum (legal nature). Asylum merupakan lembaga kemanusiaan
karena dimaksudkan untuk menyelamatkan seseorang dari penuntutan atau
kemungkinan penuntutan. Asylum juga merupakan instrumen hukum karena se-
kali Asylum diberikan maka seseorang yang mendapatkan status sebagai pene-
rima suaka (asylee) akan melekat padanya hak dan kewajiban yang dapat dija-
lankan dan dipaksakan oleh Negara pemberi Asylum berdasarkan hukum nasio-
nalnya ataupun berdasarkan aturan Hukum Internasional dan atau aturan hukum
regional yang mempunyai kekuatan hukum mengikat.119 Sampai saat ini dalam
instrumen Hukum Internasional tidak terdapat satu definisi yang diterima secara
umum mengenai pengertian Asylum, namun demikian sebagai langkah awal
Institute of International Law120 dalam sebuah sesi pertemuannya di Bath, tahun
1950, mencoba mendefinisikan pengertian Asylum sebagai berikut: ”Asylum is
the protection which a State grants on its territory or in some other places under
the control of its organs, to a person who comes to seek it”.
118 Sofjan Aga Khan, Sadruddin, “United Nations High Commissioner for Refugees”,
Lectures on Legal Problems relating to Refugees and Displaced Persons, given at the Hague Academy of International Law, 4-6 August, p.24, sebagaimana dikutip oleh Enny Soeprapto, “International Protection of Refugees and Basic Principles of Refugee Law, an Analysis”, Makalah, 1989, hlm. 38; dalam Iman Prihandono, Pemberian Suaka oleh Negara: Kasus Pemberian Suaka oleh Pemerintah Australia Kepada 42 WNI Asal Papua, (Artikel) Tahun 2008, hlm. 4
119 Enny Soeprapto, hlm. 40 dalam Iman Prihandono, Ibid. 120 Enny Soeprapto, hlm. 39 dalam Iman Prihandono, Ibid., hlm. 5
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 170
Pengertian yang hampir sama diberikan oleh Sumaryo Suryokusumo,121
sebagai berikut:
”Suaka adalah dimana seorang pengungsi/pelarian politik mencari perlin-
dungan baik di wilayah suatu negara maupun didalam lingkungan gedung
perwakilan diplomatik dari suatu negara. Jika perlindungan diberikan, pen-
cari suaka itu dapat kebal dari proses hukum dari negara dimana dia
berasal”.
Nampak bahwa dari kedua pengertian diatas secara tegas mengandung
dua jenis suaka, yaitu suaka territorial dan diplomatik. Sedangkan menurut Sulai-
man Hamid:122
”Suaka adalah suatu perlindungan yang diberikan oleh suatu negara ke-
pada individu yang memohonnya dan alasan mengapa individu-individu itu
diberikan perlindungan adalah berdasarkan alasan perikemanusiaan, aga-
ma, diskriminasi ras, politik dan sebagainya”.
Sementara itu J.G. Starke123 menulis bahwa konsep Asylum dalam Hu-
kum Internasional mengandung setidaknya dua elemen, yaitu :
a). Tempat perlindungan (shelter), yang bukan hanya sekedar tempat
berlindung sementara; dan
b). Sebuah usaha perlindungan aktif (active protection) sebagai bagian
dari kewenangan pemegang kekuasaan di wilayah teritorial dimana
Asylum tersebut diberikan.
Pemberian Asylum dapat berupa teritorial (internal), contohnya diberikan
oleh sebuah Negara pemberi suaka (asylum-granting state) dalam wilayah terito-
rialnya; atau dapat juga berupa extra-terrotorial, contohnya diberikan oleh utusan
diplomatik/kedutaan, gedung konsuler, markas besar organisasi internasional,
kapal perang, kapal-kapal dagang kepada pengungsi (refugee) yang berasal dari
121 Sumaryo Suryokusumo, “Hukum Diplomatik Teori dan Kasus”, Penerbit Alumni, Ban-
dung, 1995, hlm. 163 dalam Iman Prihandono, Ibid. 122 Sulaiman Hamid, ”Lembaga Suaka Dalam Hukum Internasional”, PT Rajagrafindo
Persada, Jakarta, 2002, hlm. 46, dalam Iman Prihandono, Ibid. 123 Starke, J.G., “An Introduction to International Law”, Eighth Edition, London, Butter-
worths, 1977, p. 387, dalam Iman Prihandono, Ibid.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 171
Negara yang berkuasa di wilayah teritorial dimana utusan diplomatik/kedutaan,
gedung konsuler, markas besar organisasi internasional, kapal perang dan ka-
pal-kapal dagang tersebut sedang berada. Pada prinsipnya setiap negara
mempunyai hak penuh untuk memberikan suaka teritorial (territorial asylum),
kecuali kalau negara dimaksud telah menerima suatu pembatasan tertentu mela-
lui sebuah traktat atau perjanjian Internasional lainnya. Suaka teritorial adalah
suatu kenyataan bahwa kekuasaan pemberian suaka teritorial merupakan pelak-
sanaan kedaulatan wilayah oleh negara penerima suaka. Pemerintah Australia
dalam kasus pemberian suaka kepada 42 WNI asal Papua menerapkan prinsip
suaka teritorial ini. Berbeda dengan suaka teritorial, pemberian suaka extra-
territorial di dalam gedung kedutaan tidak mendapatkan pengakuan secara luas
dari Hukum Internasional.124 Konvensi Wina Tahun 1961 tentang Hubungan
Diplomatik, menentukan bahwa gedung-gedung suatu misi diplomatik tidak boleh
dipergunakan untuk cara yang ”tidak ada hubungannya” dengan fungsi-fungsi
dari misi tersebut. Tugas dan fungsi perwakilan diplomatik berdasarkan Konvensi
ini adalah :
a. Mewakili negara pengirim di negara penerima;
b. Melindungi kepentingan negara pengirim dan kepentingan warga ne-
garanya di negara penerima dalam batas-batas yang diperbolehkan
hukum internasional;
c. Melakukan perundingan dengan pemerintah negara penerima;
d. Memperoleh kepastian dengan semua cara yang sah tentang keada-
an dan perkembangan negara penerima dan melaporkannya kepada
pemerintah negara pengirim;
e. Meningkatkan hubungan persahabatan antara negara pengirim dan
negara penerima serta mengembangkan hubungan ekonomi, kebuda-
yaan dan ilmu pengetahuan.
Mengenai pemberian suaka oleh perwakilan diplomatik ini, terdapat seti-
daknya dua pendapat yang berbeda. Pendapat pertama menyatakan bahwa per-
wakilan diplomatik merupakan ''perpanjangan'' dari wilayah negara yang mengi-
124 Iman Prihandono, Ibid., hlm. 6
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 172
rimkan wakil diplomatik. Dengan begitu, suaka bisa diberikan baik di wilayah teri-
torial maupun wilayah perwakilan diplomatik negara itu di mana pun. Mengikuti
pandangan ini, perwakilan diplomatik dianggap secara penuh berada di bawah
jurisdiksi negara yang memiliki perwakilan itu. Dengan kata lain, perwakilan
diplomatik memiliki kekebalan mutlak terhadap jurisdiksi negara tempat ia secara
de facto berada. Pendapat kedua menyatakan bahwa kekebalan yang dimiliki
oleh suatu perwakilan diplomatik tidaklah bersifat mutlak. Kekebalan-kekebalan
dimiliki oleh perwakilan diplomatik bukan karena wilayah perwakilan merupakan
bagian dari wilayah negara yang mengirimkan perwakilan, melainkan karena di-
berikan oleh negara tempat perwakilan itu berada semata-mata supaya perwa-
kilan itu bisa menjalankan fungsinya secara baik. Jadi, menurut pandangan ini,
perwakilan diplomatik bukanlah merupakan wilayah yang secara absolut tidak
bisa diganggu gugat (not absolutely inviolable). Sebagai konsekuensinya, kalau
kepentingan negara tempat perwakilan diplomatik itu berada menghendaki, ke-
kebalan itu pun bisa diterobos sehingga pada dasarnya suaka tidak bisa dibe-
rikan di wilayah perwakilan.125 Dalam sengketa pemberian suaka diplomatik an-
tara Columbia dan Peru atau lebih dikenal dengan Asylum Case 1950, Mahka-
mah Internasional memutuskan bahwa:
''Diplomatic asylum withdraws the offender from the jurisdiction of the terri-
torial state and constitutes an intervention in matters which are exclusively
within the competence of that state. Such derogation from territorial sove-
reignty cannot be recognized...''.126
Dari amar putusan tersebut tampak Mahkamah Internasional menyatakan
bahwa suaka diplomatik dapat menghindarkan pelaku kejahatan dari yurisdiksi
Negara teritorial dan merupakan bentuk intervensi terhadap kompetensi mutlak
Negara teritorial tersebut. Tindakan pelanggaran kedaulatan teritorial semacam
ini tidak dapat dibenarkan, dengan demikian Mahkamah mengakui bahwa wila-
125 Ari Siswanto, ”Suaka Diplomatik Dalam Hukum Internasional”, Suara Pembaruan On-
line, 6 Maret 1997, diakses tanggal 24 April 2006, melalui: http://www.hamline.edu/apakabar/ basisdata /1997/03/07/0015.html dalam Iman Prihandono, Ibid.
126 International Court of Justice, “Case Summaries, Asylum Case”, Judgment of 20
November 1950, diakses tanggal 24 April 2006, melalui: http://www.icjcij.org/icjwww/idecisions/ isummaries/icp summary501120.htm dalam Iman Prihandono, Ibid., hlm. 7
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 173
yah perwakilan diplomatik merupakan bagian dari wilayah teritorial negara
tempat perwakilan itu berada. Namun praktek yang berbeda dalam Hukum Inter-
nasional mengenai suaka diplomatik ini dapat ditemukan di kawasan Amerika
Latin. Negara-negara di kawasan ini secara tegas mengakui praktek pemberian
suaka di tempat-tempat perwakilan diplomatik. Pengakuan itu bahkan dituangkan
ke dalam dua konvensi yang diadakan di antara negara-negara Amerika Latin,
yaitu Konvensi Havana 1928 tentang Suaka dan Konvensi Montevideo 1933
tentang Suaka Politik. Bahkan seluruh negara peserta wajib menghormati pem-
berian suaka diplomatik oleh perwakilan diplomatik negara peserta lainnya. Hal
ini dipertegas dalam Pasal 1 Konvensi Caracas 1954 tentang Suaka Diplomatik
yang merupakan pelengkap dari Konvesi Havana 1928, sebagai berikut :
”Asylum granted in legations, war vessels, and military camps or air crafts
to persons being sought for political reasons or for political offences shall
be respected by the territorial State in accordance with the provisions of
this Convention”.
Dengan demikian berdasarkan aturan Hukum Internasional serta dalam
praktik dan kebiasaan-kebiasaan internasional, apabila ditinjau dari tempat dima-
na suaka diberikan dapat dibedakan :127
1. Dalam kasus teritorial asylum tempat pemberian suaka adalah di
wilayah territorial Negara pemberi suaka (asylum-granting state); dan
2. Dalam kasus suaka diplomatik tempat pemberian suaka adalah tempat
yang digunakan untuk tujuan khusus oleh Negara pemberi suaka yang
berada dalam wilayah teritorial negara lain, tempat tersebut antara lain :
a). Gedung misi diplomatik dan konsuler;
b). Tempat tinggal Duta Besar atau Konsulat Jenderal;
c). Tempat lain yang disediakan oleh Negara pemberi suaka dalam hal
kedua tempat diatas tidak mampu menampung penerima suaka
dalam jumlah yang besar;
d). Basis atau perkemahan Militer;
127 Enny Soeprapto, Op.Cit., hlm. 40, dalam Iman Prihandono, Ibid.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 174
e). Kapal Laut dan Pesawat milik pemerintah yang bukan digunakan
untuk kepentingan perdagangan.
Suaka adalah lembaga yang sama tuanya dengan peradapan manusia.
Bermula pada tradisi masyarakat sederhana, suaka kemudian dikenal dalam
perkembangan agama-agama besar di dunia. Selanjutnya, lembaga suaka hidup
dalam praktek hubungan antar bangsa dan, akhirnya, sekarang ini, menjadi
lembaga yang diakui dan dihormati sebagai lembaga hukum kebiasaan interna-
sional. Negara-negara di kawasan Amerika Latin dan Karabia telah mengakui
dan menghormati lembaga suaka dalam hubungan antar mereka sudah sejak
abad ke-19, sebagaimana terefleksikan dalam Perjanjian Montevideo tentang
Hukum Pidana Internasional, 1889, yang memuat ketentuan yang mengakui dan
menghormati prinsip lembaga suaka (Pasal 15-18). Prinsip lembaga suaka terus
menerus dikukuhkan oleh negara-negara di kawasan tersebut dengan inkorpora-
sinya ke dalam, dan kemudian dibuatnya secara khusus perjanjian regional yang
mengatur masalah suaka, seperti :128
- Persetujuan Caracas tentang Esktradisi, 1911 (Pasal 18),
- Konvensi Havana tentang Suaka (Diplomatik), 1928,
- Konvensi Montevido tentang Suaka Politik, 1933,
- Deklarasi Bogota tentang Hak dan Kewajiban Manusia, 1984 (Pasal
27)
- Konvensi Caracas tentang Suaka Diplomatik, 1954,
- Konvensi Caracas tentang Suaka Teritorial, 1954,
- Konvensi San Jose tentang Hak Asasi Manusia, 1969 (Pasal 22), dan
- Konvensi Antar-Amerika tentang Ekstradisi, Caracas, 1981 (Pasal 6).
Di Afrika, negara-negara kawasan ini mengukuhkan prinsip lembaga sua-
ka dalam instrumen yuridis regional, yakni Konvensi Organisasi Persatuan Afrika
(OPA) yang mengatur Aspek Spesifik Masalah Pengungsi di Afrika. Di Eropa,
pentingnya penghormatan prinsip lembaga suaka beberapa kali ditandaskan
oleh negara-negara di kawasan tersebut, antara lain, dalam Resolusi 14 (1967)
128 Lucy Gerungan, Lembaga Suaka dalam Hukum Internasional, Jurnal Hukum Unsrat
Volume XVIII Nomor 1, Edisi Januari-April 2010, hlm. 5-6
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 175
tentang Suaka bagi orang-orang yang berada dalam bahaya persekusi, yang
diterima oleh Komite Menteri-menteri Dewan Eropa pada 1967 dan Deklarasi
tentang Suaka Teritorial yang diterima oleh Komite Menteri-menteri Dewan
Eropa pada 1977. Di tingkat internasional, Deklarasi Universal Hak Asasi Manu-
sia (Pasal 14), yang diproklamasikan oleh Majelis Umum PBB pada 1948, meru-
pakan instrumen internasional tertulis utama sebagai sumber penerapan dan
pembangunan lembaga suaka dalam hubungan antar bangsa. Konvensi menge-
nai Status Pengungsi, 1951, walaupun merupakan instrumen yuridis internasio-
nal yang mengatur masalah pengungsi, jadi bukan masalah suaka, dan bahkan
sama sekali tidak memuat istilah ”suaka” dalam batang tubuhnya, memuat prin-
sip lembaga suaka yang justru paling fundamental, yakni prinsip tidak akan di-
kembalikannya seseorang ke negara tempat ia mengalami persekusi atau meng-
hadapi ancaman persekusi. Prinsip ini, yang terkenal dengan sebutan prinsip
”non-refoulement” tercantum dalam Pasal 33 Konvensi 1951 tersebut. Selain
sebagai prinsip yang paling fundamental dalam lembaga suaka, prinsip “non-
refoulement” merupakan jantung sistem perlindungan internasional pengungsi
menurut hukum pengungsi internasional. Instrumen Internasional yang meskipun
bukan merupakan instrumen yuridis, yang menggariskan dan menendaskan
prinsip-prinsip lembaga suaka adalah Deklarasi tentang Suaka Teritorial, yang
diterima oleh Majelis Umum PBB pada 1967. Selain dicantumkan atau diatur
oleh berbagai instrumen internasional dan regional tersebut di atas, baik yang
bersifat yuridis maupun non yuridis, penganutan dan penghormatan prinsip lem-
baga suaka juga refleksi dalam setiap perjanjian ekstradisi, baik bilateral maupun
regional, dengan senantiasa terdapatnya ketentuan dalam perjanjian tersebut
yang menetapkan tidak akan diekstradisikannya seseorang yang disangka atau
dituduh melakukan tindak pidana yang bukan tindak pidana biasa, yang sering
disebut “tindak pidana politik”. Gambaran di atas menunjukan telah diakui dan
dihormatinya lembaga suaka oleh masyarakat bangsa-bangsa sebagai aturan
hukum kebiasaan internasional.129
129 Ibid.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 176
Indonesia merupakan salah satu negara yang harus berhadapan dengan
permasalahan orang asing seperti banyaknya pencari suaka yang singgah dan
bahkan tinggal di Indonesia. Dengan konsekuensi letak geografis yang strategis,
Indonesia merupakan tempat persinggahan favorit bagi gelombang pencari
suaka ke negara tujuan yaitu Australia. Suaka adalah bentuk perlindungan dari
dipulangkannya seseorang ke suatu Negara yang ditakuti, yang memungkinkan
pengungsi dapat memenuhi syarat untuk menetap disuatu Negara yang pada
akhirnya dapat menjadi penduduk tetap yang sah. Kadangkala Seorang pencari
suaka adalah seseorang yang menyebut dirinya sebagai pengungsi. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia Suaka berarti tempat mengungsi (berlindung),
menumpang atau menumpang hidup dengan meminta kepada Negara lain.
Pencari suaka adalah orang yang telah mengajukan permohonan untuk menda-
patkan perlindungan namun permohonannya sedang dalam proses penentuan.
Apabila permohonan seorang pencari suaka itu diterima, maka ia akan disebut
sebagai pengungsi, dan ini memberinya hak serta kewajiban sesuai dengan
undang-undang negara yang menerimanya. Penentuan praktis apakah seseo-
rang disebut pengungsi atau tidak, diberikan oleh badan khusus pemerintah di
negara yang ia singgahi atau badan PBB untuk pengungsi (UNHCR). Presentase
permohonan suaka yang diterima sangat beragam dari satu negara ke negara
lain, bahkan untuk satu negara yang sama. Setelah menunggu proses selama
bertahun-tahun, para pencari suaka yang mendapatkan jawaban negatif tidak
dapat dipulangkan ke negara asalnya, yang membuat mereka terlantar. Para
pencari suaka yang tidak meninggalkan negara yang disinggahinya biasanya
dianggap sebagai imigran tanpa dokumen. Pencari suaka, terutama mereka
yang permohonannya tidak diterima, semakin banyak yang ditampung di rumah
detensi. Sangat tidak memungkinkan bagi pencari suaka untuk meninggalkan
negeri asal mereka tanpa membawa dokumen yang memadai dan visa. Maka,
banyak pencari suaka terpaksa memilih perjalanan yang mahal dan berbahaya
untuk memasuki negara-negara secara tidak wajar di mana mereka dapat mem-
peroleh status pengungsi.130
130 http://www.unhcr.or.id
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 177
Di Indonesia, lembaga suaka diakui untuk pertama kali pada 1956 dengan
dikeluarkannya Surat Edaran Perdana Menteri No. 11/P.M./1956 tentang ”Per-
lakuan Pelarian Politik” pada 2 September 1956. Pada 1998, atau 42 tahun
kemudian, pengakuan lenbaga suaka dumantapkan oleh Majelis Permusyawara-
tan Rakyat dalam Ketetapan no. XVII/MPR/1998 13 Nopember 1998 tentang Hak
Asasi Manusia, yang mengakui hak seseorang guna ”mencari suaka untuk mem-
peroleh perlindungan politik dari negara lain”, sebagaimana tercantum dalam
Pasal 24 Piagam Hak Asasi Manusia yang dilampirkan pada ketetapan tersebut.
Setahun kemudian, prinsip lembaga suaka secara yuridis diatur dalam Undang-
undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Pasal 28). Dengan
demikian, di tingkat nasional pun lembaga suaka telah memperoleh tumpuan
yang kukuh, karena telah diinkorporasikan dalam undang-undang. Pengakuan,
penghormatan, dan perkembangan lembaga suaka di tingkat internasional yang
telah merupakan lembaga hukum kebiasaan internasional serta pengakuan lem-
baga tersebut dalam peraturan perundang-undangan Indonesia sendiri menun-
jukan makin meningkatnya kesadaran masyarakat bangsa-bangsa, termasuk
masyarakat Indonesia, akan pentingnya penghormatan prinsip lembaga suaka
yang telah diterima secara universal itu. Perkembangan demikian sejalan
dengan meningkatnya kepedulian bangsa-bangsa akan pentingnya penghorma-
tan pada Hak Asai Manusia, yang pelanggarannya merupakan sebab utama
timbulnya situasi yang mendorong seseorang untuk terpaksa mencari suaka di
negara lain. Masalah merupakan masalah yang sangat serius yang dihadapi oleh
masyarakat internasional yang penanggulangannya memerlukan kerja sama
masyarakat internasional secara keseluruhan pula. Keseriusan masalah ini dapat
dilihat, antara lain, pada bagian dunia, yang berarti bahwa, pada 1999, terdapat
21,5 juta orang telah memperoleh suaka di negara lain, yang berarti pula pada
tahun 1999, satu dari tiap 280 orang di dunia ini telah terpaksa meninggalkan
atau berada di luar negara asalnya dan menjadi pencari suaka atau pesuaka.131
131 Lucy Gerungan, Lembaga Suaka dalam Hukum Internasional, Jurnal Hukum Unsrat
Volume XVIII Nomor 1, Edisi Januari-April 2010, hlm. 7-8
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 178
Ternyata di dalam negara-negara masih saja selalu terjadi pertentangan-
pertentangan antara individu, individu-individu dan atau sekelompok masyarakat
dengan pemerintah yang sah atau ketika mana terjadi pergantian kekuasaan
pemerintah/negara adakalanya menimbulkan pertentangan, sehinggah oleh ka-
rena adanya ancaman-ancaman terhadap kebebasan nasib dan martabat manu-
sia mana individu, individu-individu, kelompok masyarakat tadi terpaksa meminta
perlindungan di Kedutaan Besar Asing, Badan-Badan atau Lembaga-Lembaga
Asing yang ada di negaranya sendiri atau individu, individu-individu, kelompok
masyarakat ini lari/meninggalkan tanah airnya masuk ke negara lain dan me-
minta perlindungan di Kedutaan Besar Asing, Badan-Badan atau Lembaga-Lem-
baga Asing yang di negara lain itu. Dari praktik-praktik internasional menghadapi
masalah permintaan dan pemberian suaka, kenyataannya lembaga atau asas
suaka tersebut mempunyai karakteristik atau prinsip-prinsip yang umum pada
suaka yaitu, sebagai berikut :132
a. Suaka bukan sesuatu yang dapat diklaim oleh seseorang sebagai
hak;
b. Hak seseorang hanya terbatas mencari suaka dan, kalau memper-
olehnya, menikmatinya;
c. Pemberian atau penolakan suaka adalah hak negara-negara berda-
sarkan kedaulatannya;
d. Pemberian suaka merupakan tindakan yang harus diterima sebagai
tindakan damai dan humaniter. Oleh karena itu, pemberian suaka oleh
suatu negara tidak boleh dipandang sebagai tindakan yang bersifat
bersahabat terhadap negara asal pencari suaka.
e. Sebagai lembaga yang bersifat humaniter, suaka tidak boleh tunduk
pada asas timbal balik.
f. Suaka mengandung prinsip penghormatan pada asas-asas sebagai
berikut :
1. Larangan Pengusiran (non expulsion);
132 Enny Soeprapto dalam Lucy Gerungan, Ibid.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 179
2. Larangan Pengembalian paksa ke negara asal (non refolement),
termasuk penolakan diperbatasan (rejection at the frontairs);
3. Non extradisi pesuaka (asylee);
g. Bilamana suatu negara menghadapi kesulitan untuk memberikan sua-
ka kepada seseorang secara permanen atau untuk jangka waktu
panjang, negara tersebut setidak-tidaknya harus bersedia memberi-
kan suak kepada pencari suaka yang bersangkutan untuk sementara
waktu sampai ia memperoleh suaka di negara lain;
h. Suaka tidak dapat diberikan dalam kasus-kasus tindak-tindak pidana
non politis dan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan asas
PBB, yang meliputi :
1. Tindak pidana biasa;
2. Tindak pidana menentang perdamaian, tindak pidana perang (war
crimes) dan tindak pidana menentang kemanusiaan (crimes against
humanity), sebagaimana dirumuskan dalam instrumen-instrumen
internasional yang bersangkutan.
i. Pemberian suaka mengandung ketentuan yang mewajibkan pesuaka
untuk tunduk pada hukum dan peraturan perundang-undangan negara
pemberi suaka; dan
j. Pesuaka tidak boleh melakukan kegiatan yang bersifat menentang
negara asalnya atau yang dapat mengakibatkan ketegangan-ketega-
ngan antara negara pemberi suaka dan negara asal pesuaka.
2. Persona Grata
Persona Grata adalah pernyataan penerimaan oleh negara penerima atas
usulan wakil diplomatik yang diusulkan oleh negara pengirim untuk menjalankan
misi diplomatik atau fungsi konsuler, kebalikan dari persona grata ini adalah
persona non grata yang berarti penolakan dari negara penerima. Dalam praktik
hukum diplomatik, persona grata adalah syarat utama bagi calon wakil perwa-
kilan sebelum memasuki wilayah negara pengirim tempat dimana ia akan bertu-
gas. Sehingga dengan demikian persona grata ini akan menjadi kado istimewa
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 180
bagi calon wakil-wakil diplomatik setelah ia ditunjuk oleh negara (negara pengi-
rim) untuk melaksanakan tugas barunya.
Pengangkatan wakil diplomatik memerlukan ritus-ritus tertentu. Prosedur
seremonial adalah menu wajib yang mesti dilakukan suatu negara buat mene-
rima perutusan diplomatik dari negara lain. Jika suatu negara telah menyetujui
pembukaan hubungan diplomatik (persona grata) dengan negara lain atas dasar
asas timbal-balik (principle of reciprocity), negara tersebut mesti memikirkan pula
penyusunan keanggotaan perwakilan tersebut, baik dalam tingkatannya maupun
dalam jumlah anggota staf perwakilan yang disepakati bersama.133 Meski dike-
cualikan hanya pada pengangkatan Duta Besar dan Atase Pertahanan, peng-
angkatan anggota staf perutusan diplomatik umumnya tak memerlukan perse-
tujuan dari negara penerima.Negara pengirim dapat secara bebas mengang-
katnya dengan cukup memberitahukan kepada Kementerian Luar Negeri negara
penerima melalui nota diplomatik mengenai nama, kedudukan,pangkat diploma-
tik, anggota keluarga, dan tanggal kedatangannya.134 Pengangkatan seorang
diplomat diwujudkan dalam bentuk Surat Kepercayaan (Letters of Credence)
yang ditujukan buat negara penerima. Bisa pula disertakan dokumen-dokumen
Kuasa Penuh yangberkaitan dengan negosiasi-negosiasi tertentu atau instruksi-
instruksi tertulis khusus lainnya.135
3. Persona Non Grata
Apabila seorang pejabat diplomatik melakukan pelanggaran, ada bebe-
rapa hal yang dapat dilakukan. Apabila pelanggaran yang dilakukan merupakan
pelanggaran dari tugasnya sebagai perwakilan diplomatik negara penerima
berhak untuk menyatakan persona non grata terhadap pejabat maupun staf
133 Konvensi Wina 1961 mengenai Hubungan Diplomatik, “Pasal 2 dan 11”, Lihat juga
Sumaryo Suryokusumo, Hukum Diplomatik: Teori dan Kasus, Bandung: Alumni, 2005, hlm. 108 dalam AP Edi Atmaja, Persona Non Grata dan Kekebalan Diplomatik, Analisis atas Peristiwa Pengusiran Diplomat Iran oleh Kuwait, Artikel Akademia, tanpa tahun, hlm. 2
134 Konvensi Wina 1961 mengenai Hubungan Diplomatik, “Pasal 7 dan 11”, Ibid. 135 J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional: Jilid 2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004),
hal. 566 dalam AP Edi Atmaja, Ibid.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 181
diplomatik yang bersangkutan. Persona non grata berarti bahwa pejabat maupun
staf diplomatik yang bersangkutan dianggap sebagai orang yang tidak disukai
dan oleh negara penerima dikembalikan ke negara asalnya untuk kemudian
diganti dengan pejabat maupun staf yang lain. Dasar bagi negara penerima
untuk melakukan persona non grata terhadap perwakilan diplomatik diatur dalam
Pasal 9 Konvensi Wina Tahun 1961 tentang Hubungan Diplomatik.
Penolakan perutusan diplomatik (persona non-grata) merupakan hak
suatu negara dikarenakanlatarbelakang atau dasar sifat pribadi dari pejabat
diplomatik yang, menurut negara itu, bermasalah. Ex eo ob quod mittitur adalah
ungkapan diplomatik yang menjelaskan bahwa bisa saja suatu negara menolak
wakil diplomatik dari negara lain. Negara penerima bisa sewaktu-waktu dan
tanpa memberi penjelasan mempersonanongratakansalah seorang anggota staf
diplomatik negara pengirim, dan karena itu harus dipanggil kembali atau meng-
akhiri tugasnya di kantor perwakilan.136 Menurut Nerider Mehta dalam Interna-
tional Organizations and Diplomacy, penolakan suatu negarauntuk menerima
calon duta besar atau pejabat diplomatik dari negara pengirim dapat disebabkan
oleh beberapa faktor :137
- Pertama, calon duta besar dapat ditolak jika dianggap dapat meng-
ganggu hak kedaulatan negara iaakan diakreditasikan lantaran sikap
pribadinya yang disangsikan. Contoh untuk ini terlihat dalamkasus
Duke of Buckingham, calon duta besar Inggris untuk Prancis, yang
ditolak oleh pemerintah Prancis karena alasan “sangat menjeng-
kelkan” (proved obnoxious) terhadap pemerintah Prancis. Apalacur, ia
dianggap telah mencintai Ratu Prancis.
- Kedua, calon duta besar dapat ditolak jika menunjukkan rasa permu-
suhan (hostile act), baik terhadaprakyat maupun lembaga negara
ia akan diakreditasikan. Seperti dalam kasus Mr Keiley, calon duta
136 Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, Bandung: Alumni, 2005, hlm. 533 dalam AP Edi Atmaja, Ibid. 137 Sumaryo Suryokusumo, Op.Cit., hlm. 119 dalam AP Edi Atmaja, Ibid.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 182
besar Amerika Serikat untuk Italia, karena pada 1881, ia pernah mem-
protes aneksasi Papal State oleh Italia.
- Ketiga, calon duta besar dapat ditolak jika ia menjadi pokok persoalan
di negara penerima dannegara akreditasi tersebut tidak mau memberi-
nya kekebalan-kekebalan sebagai seorang duta besar.
Konvensi Wina 1961 mengemukakan ketentuan lain soal sejauhmana se-
buah negara dapat mengenakan persona non-grata kepada duta besar ataupun
anggota perutusan misi diplomatiklainnya. Konvensi mendasarkan pada tiga
kegiatan sebelum negara berhak mem-persona non grata-kan wakil diploma-
tik.138 Pengadilan Kuwait tak bisa dengan serta-merta melakukan upaya hukum
terhadap para diplomatIran lantaran kekebalan diplomatik (diplomatic immunity)
yang disandang mereka. Perutusan-perutusan diplomatik menikmati pengecua-
lian dari yurisdiksi pidana dan perdata setempat.
- Pertama, kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh wakil diplomatik itu
bersifat politis maupunsubversif yang bukan saja dapat merugikan ke-
pentingan nasional, melainkan juga melanggarkedaulatan negara pe-
nerima. Sebagai contoh, dalam tahun 1915, pemerintah Amerika
Serikat meminta penarikan Mr Dunba, duta besar Austro-Hongaria
di Washington. Sang duta besar mengaku mengusulkan kepada
pemerintahnya hendak menghasut pemogokan pabrik mesin di Ame-
rika Serikat.
- Kedua, kegiatan yang dilakukan itu jelas-jelas melanggar pelanggar
hukum dan perundang-undangan negara penerima. Tentang ini akan
kita bahas segera, dalam kajian tentang kekebalan diplomatik dan
contoh-contoh penyalahgunaannya.
- Ketiga, kegiatan-kegiatan yang dilakukan dapat digolongkan sebagai
kegiatan mata-mata (spionase) yang dianggap dapat mengganggu
stabilitas maupun keamanan nasional negara penerima.
Jelaslah, dengan mendasarkan pada ketentuan Konvensi Wina 1961 ini,
pemerintah Kuwait sahsecara yuridis tatkala mengusir dan mem-persona non
138 Sumaryo Suryokusumo, Ibid., hlm. 121 dalam AP Edi Atmaja, Ibid.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 183
grata-kan para diplomat Iran. Meski cuma sebatas dugaan, pemerintah Kuwait
berhak meminta pemerintah Iran menarik kembali diplomat-diplomatnya karena
alasan spionase seperti termaktub dalam ketentuan Konvensi Wina 1961.Pun
bagi Iran. Ia sah-sah saja melakukan hal serupa pada diplomat Kuwait karena
dalam hubungandiplomatik memang berlaku asas timbal-balik (principle of
reciprocity). Upaya tersebut memangseharusnya ditempuh selain buat memper-
tanyakan sikap pemerintah Kuwait, juga demi mempertegas kedaulatan Iran di
Kuwait.139 Contoh lain, adalah kasus Ryan Fogle yang di persona non grata kan
oleh negara penerima tempat dimana ia bertugas. Jika kita flash back sebelum
terbongkarnya kasus spionase yang dilakukan oleh Amerika Serikat terhadap
puluhan negara di dunia, maka praktik semacam ini (spionase) sudah sering
terjadi di negara-negara, dapat kita jumpai pada pertengahan tahun 2013,
tepatnya pada bulan Mei, kasus Ryan Fogle (seorang diplomat Amerika Serikat)
yang kemudian di persona non grata oleh Pemerintah Rusia setelah sempat di
tahan oleh pihak berwenang atas aksi spionasenya yang di ketahui oleh
Pemerintah Rusia, Ryan Fogle pun diperintahkan untuk meninggalkan Rusia
secepatnya dan di serahkan kepada para pejabat Amerika Serikat.140 Kegiatan-
kegiatan spionase untuk kepentingan negara pengirim merupakan pelanggaran
yang sudah biasa terjadi terhadap kewajiban para anggota staf perwakilan asing
untuk menghormati tata hukum di negara penerima. Kegiatan mata-mata oleh
seorang diplomat merupakan salah satu pelanggaran kejahatan dalam keke-
balan diplomatik, jika kejadian itu terungkap, diplomat itu dapat di tarik kembali
oleh negaranya atau di nyatakan persona non grata oleh negara penerima.141
139 AP Edi Atmaja, Ibid. 140 Kadarudin, Persona Non Grata Dalam Praktik Hukum Internasional, Jurnal Hukum
“Justitia” Volume I Nomor 1 Edisi September 2013, Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo. hlm. 10
141 Kadarudin, Praktik Spionase, Antara Kebutuhan Nasional dengan Pelanggaran
Internasional, Jurnal Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Volume I Nomor 2 Edisi Nopember 2013, hlm. 212
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 184
4. Rangkuman
4.1. Asylum is the protection which a State grants on its territory or in some other
places under the control of its organs, to a person who comes to seek it.
Suaka adalah dimana seorang pengungsi/pelarian politik mencari perlindu-
ngan baik di wilayah suatu negara maupun didalam lingkungan gedung
perwakilan diplomatik dari suatu negara. Jika perlindungan diberikan, pencari
suaka itu dapat kebal dari proses hukum dari negara dimana dia berasal,
dari kedua pengertian diatas secara tegas mengandung dua jenis suaka,
yaitu suaka territorial dan diplomatik.
4.2. Persona Grata adalah pernyataan penerimaan oleh negara penerima atas
usulan wakil diplomatik yang diusulkan oleh negara pengirim untuk menja-
lankan misi diplomatik atau fungsi konsuler, kebalikan dari persona grata ini
adalah persona non grata yang berarti penolakan dari negara penerima.
4.3.Persona non grata berarti bahwa pejabat maupun staf diplomatik yang ber-
sangkutan dianggap sebagai orang yang tidak disukai dan oleh negara
penerima dikembalikan ke negara asalnya untuk kemudian diganti dengan
pejabat maupun staf yang lain. Dasar bagi negara penerima untuk melaku-
kan persona non grata terhadap perwakilan diplomatik diatur dalam Pasal 9
Konvensi Wina Tahun 1961 tentang Hubungan Diplomatik.
C. PENUTUP
1. Soal Latihan
Fasilitator memberikan tes formatif untuk mengetahui tingkat penguasaan
pengetahuan yang diperoleh mahasiswa pada materi bahasan ini dengan mem-
berikan pertanyaan antara lain sebagai berikut:
1.1. Jelaskan pengertian suaka?
1.2 Jelaskan perbedaan antara suaka teritorial dan suaka diplomatik?
1.3 Jelaskan perbedaan antara suaka teritorial dan suaka extra-teritorial?
1.4. Jelaskan perbedaan antara persona grata dan persona non grata?
1.5. Jelaskan dan sebutkan kasus persona non grata yang pernah terjadi?
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 185
2. Umpan Balik
Mahasiswa dapat mengajukan hal tentang kondisi yang dialami dan diha-
rapkannya untuk memahami materi bahasan terkait.
3. Daftar Pustaka
A.P. Edi Atmaja, Persona Non Grata dan Kekebalan Diplomatik, Analisis atas
Peristiwa Pengusiran Diplomat Iran oleh Kuwait, Artikel Akademia.
Ari Siswanto, ”Suaka Diplomatik dalam Hukum Internasional”, Suara Pembaruan
Online, 6 Maret 1997, melalui: http://www.hamline.edu/apakabar/basis
data/1997/03/07/0015.html
Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, Bandung: Alumni, 2005.
Enny Soeprapto, “International Protection of Refugees and Basic Principles of
Refugee Law, an Analysis”, Makalah, 1989.
Iman Prihandono, Pemberian Suaka oleh Negara: Kasus Pemberian Suaka oleh
Pemerintah Australia Kepada 42 WNI Asal Papua, (Artikel) Tahun 2008.
International Court of Justice, “Case Summaries, Asylum Case”, Judgment of 20
November 1950, melalui: http://www.icjcij.org/icjwww/idecisions/isumma
ries/icp summary501120.htm
J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional: Jilid 2, Jakarta: Sinar Grafika,
2004.
Kadarudin, Persona Non Grata Dalam Praktik Hukum Internasional, Jurnal
Hukum “Justitia” Volume I Nomor 1 Edisi September 2013, Fakultas
Hukum Universitas Ichsan Gorontalo.
________, Praktik Spionase, Antara Kebutuhan Nasional dengan Pelanggaran
Internasional, Jurnal Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin, Volume I Nomor 2 Edisi Nopember 2013.
Lucy Gerungan, Lembaga Suaka dalam Hukum Internasional, Jurnal Hukum
Unsrat Volume XVIII Nomor 1, Edisi Januari-April 2010.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 186
Sofjan Aga Khan, Sadruddin, “United Nations High Commissioner for Refugees”,
Lectures on Legal Problems relating to Refugees and Displaced Persons,
given at the Hague Academy of International Law, 4-6 August.
Sulaiman Hamid, ”Lembaga Suaka dalam Hukum Internasional”, PT Rajagrafin-
do Persada, Jakarta, 2002.
Sumaryo Suryokusumo, “Hukum Diplomatik Teori dan Kasus”, Penerbit Alumni,
Bandung, 1995.
Starke, J.G., “An Introduction to International Law”, Eighth Edition, London,
Butterworths, 1977.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 187
BAB V
REALISME DAN LIBERALISME
DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL
A. PENDAHULUAN
1. Sasaran Pembelajaran
Mahasiswa mampu menjelaskan dan menguraikan aliran realisme dan
liberalisme dalam praktik hubungan internasional.
2. Kemampuan Mahasiswa yang Menjadi Prasyarat
Sebelum mempelajari materi ini mahasiswa harus mempunyai pengeta-
huan awal tentang hubungan internasional sebagai prasyarat mahasiswa telah
lulus mata kuliah hukum internasional dan hukum perjanjian internasional.
3. Keterikatan Bahan Pembelajaran dengan Pokok Bahasan lainnya
Bahan pembelajaran ini memberikan pemahaman kepada mahasiswa
tentang aliran-aliran pemikiran dalam kaitannya dengan hubungan antar negara,
karena dalam praktik hubungan internasional, aliran pemikiran inilah yang akan
mempengaruhi kebijakan dan cara pandang suatu negara dengan negara lain,
sehingga akan lebih mudah mahasiswa untuk memahami atau mempelajari
pokok bahasan selanjutnya tentang masyarakat internasional.
4. Manfaat Bahan Pembelajaran
Setelah mahasiswa mengikuti dan memahami materi bahasan ini maka
mampu menjelaskan dan menguraikan aliran realisme dan liberalisme dalam
praktik hubungan internasional.
5. Petunjuk Belajar Mahsasiswa
Sebelum mengikuti perkuliahan mahasiswa diwajibkan membaca materi
dalam buku ajar ini. Setelah pemaparan materi bahasan tersebut di atas
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 188
mahasiswa diberi kesempatan bertanya atau membentuk kelompok diskusi,
serta mahasiswa dibebaskan untuk mengemukakan pendapat seluas-luasnya
dan bertanya kepada fasilitator jika ada materi yang kurang. Selain itu maha-
siswa juga diberikan tugas mandiri dalam bentuk mahasiswa melakukan penelu-
suran bahan pustaka terkait hubungan internasional, dan dibahas berdasarkan
ruang lingkup materi yang telah diajarkan.
B. PENYAJIAN MATERI BAHASAN
REALISME DAN LIBERALISME DALAM HUBUNGAN
INTERNASIONAL
1. Realisme142
Ilmu hubungan internasional telah menjadi bidang ilmu yang menarik
banyak pakar di dunia, sehingga perkembangan sangat pesat baik sebelum
terjadinya perang dunia maupun setelah terjadi perang dunia. Ilmu hubungan
internasional ini juga menjadi objek kajian di beberapa universitas yang
mengajarkan ilmu-ilmu sosial, bukan hanya karena ilmu ini penting untuk
dipelajari dan dikaji, juga keberadaannya yang dibutuhkan oleh negara dalam
mempersiapkan diri sebelum melakukan interaksi dengan negara lain. Salah
satu perspektif dalam ilmu Hubungan Internasional yang mengalami banyak
perkembangan adalah Realisme. Perspektif realis banyak membahas tentang
perang dan keamanan yang berkaitan dengan militer dan power. Realisme
berkembang dan mendasar pada pemikiran bahwa man is evil. Aktor dalam
perspektif realisme adalah negara, sebagai satu individual yang tidak akan
bekerjasama dengan aktor lain tanpa ada maksud tertentu (self-interested) dan
akan selalu berusaha untuk memperkuat dirinya sendiri. Berawal dari sejarah
studi Hubungan Internasional yang muncul antara Perang Dunia I dan II,
realisme hadir sebagai arus utama pendekatan hubungan internasional akibat
ketidaksempurnaan pendekatan idealis. Pandangan-pandangan yang menjadi
142 Isi dari sub bab realisme ini merupakan saduran dari tulisan artikel Arief Rahman,
Realisme dalam Hubungan Internasional, (Artikel) Tahun 2012, namun terdapat beberapa penambahan oleh penulis
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 189
fundasi aliran ini posisinya berseberangan dengan pemikiran para penganut
idealisme. Adapun pandangan atau asumsi dasar dari prespektif realisme, antara
lain :
(1) memandang secara pesimistis terhadap sifat dasar manusia yang
cenderung berbuat baik. Prespektif ini berkeyakinan bahwa manusia
itu bersifat jahat, berambisi untuk berkuasa, bereperang, dan tidak
mau bekerjasama;
(2) bersikap skeptis terhadap kemajuan politik internasional dan politik
domestik;
(3) meyakini bahwa hubungan internasional bersifat konfliktual atau
berpotensi menghasilkan konflik. Dan konflik-konflik internasional
yang terjadi hanya bisa diselesaikan dengan jalan perang;
(4) menjunjung tinggi nilai-nilai keamanan nasional dan eksistensi atau
kelangsungan hidup negara.
Sikap pesimistis terhadap sifat dasar manusia yang cenderung berbuat
baik dalam menjadi patokan dalam pandangan para pemikir realis terhadap
konsep-konsepnya. Para pemikir realis juga menempatkan keamanan nasional
sebagai prioritas atau fokus utama dalam prespektif realisme. Dalam kacamata
realis, keamanan militer dan isu-isu strategis tergolong kepentingan utama dan
mengacu ke dalam kategori high politics. Sedangkan ekonomi dan isu-isu sosial
dilihat oleh kaum realis sebagai hal yang biasa, yang termasuk ke dalam kategori
low politics. Realisme juga memfokuskan analisisnya pada power dan otonomi
dalam interaksi internasional serta tentang tidak adanya keharmonisan diantara
negara-negara, sehingga konsep self-help di sini menjadi penting. Dan kemam-
puan yang paling relevan, yaitu kemampuan di bidang militer. Realis tidak
menolak prinsip-prinsip moral, Hanya saja dalam prakteknya, moralitas individual
dikalahkan oleh kepentingan akan kelangsungan hidup negara dan penduduknya
dan tentu saja kepentingan nasional itu sendiri Bagi kaum realis, negara meru-
pakan aktor utama dalam panggung internasional. Sebagai aktor utama, negara
berkewajiban mempertahankan kepentingan nasionalnya dalam kancah politik
internasional. Negara dalam konteks ini diasumsikan sebagai entitas yang ber-
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 190
sifat tunggal dan rasional. Maksudnya adalah dalam tataran negara, perbedaan
pandangan politis telah diselesaikan hingga menghasilkan satu suara. Sedang-
kan negara dianggap rasional karena mampu mengkalkulasikan bagaimana cara
mencapai kepentingan agar mendapat hasil maksimal. Seorang realis juga
biasanya memusatkan perhatian pada potensi konflik yang ada di antara aktor
negara, dalam rangka memperhatikan atau menjaga stabilitas internasional, me-
ngantisipasi kemungkinan kegagalan upaya penjagaan stabilitas, memperhitung-
kan manfaat dari tindakan paksaan sebagai salah satu cara pemecahan terha-
dap perselisihan, dan memberikan perlindungan terhadap tindakan pelanggaran
wilayah perbatasan. Oleh karena itu, power adalah konsep kunci dalam hal ini.
Dasar Normatif realisme adalah keamanan nasional dan kelangsungan hidup
negara: ini merupakan nilai-nilai yang menggerakkan doktrin kaum realis dan
kebijakan luar negeri kaum realis.
Negara dipandang esensial bagi kehidupan warganegaranya: tanpa
negara yang menjamin alat-alat dan kondisi-kondisi keamanan dan yang mema-
jukan kesejahteraan, kehidupan manusia dibatasi menjadi seperti, seperti yang
tersurat dalam pernyataan Thomas Hobbes yang terkenal terpencil, miskin, dan
sangat tidak menyenangkan, tidak berperikemanusiaan, dan singkat. dengan
demikian negara dipandang sebagai pelindung wilayahnya, penduduknya, dan
cara hidupnya yang khas dan berharga. Kepentingan nasional adalah wasit
terakhir dalam menentukan kebijakan luar negeri. Masyarakat dan moralitas
manusia dibatasi pada negara dan tidak meluas pada hubungan internasional
yang merupakan arena politik dari kekacauan yang besar, perselisihan, konflik
antar negara-negara yang berkekuatan besar mendominasi pihak-pihak lain.
Sehingga dengan demikian, negara menjadi dominan dan sangat dibutuhkan
action nya oleh masyarakat.
Fakta bahwa semua negara harus mengejar kepentingan nasionalnya
sendiri berarti bahwa negara dan pemerintahan lainnya tidak akan pernah dapat
diharapkan sepenuhnya. Seluruh kesepakatan internasional bersifat sementara
dan kondisional atas dasar keinginan negara-negara untuk mematuhinya. Se-
mua negara harus siap mengorbankan kewajiban internasionalnya yang berda-
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 191
sar pada kepentingannya sendiri jika dua negara terlibat dalam konflik. Hal itu
menjadikan perjanjian-perjanjian dan semua persetujuan, konvensi, kebiasaan,
aturan dan hukum lainnya, antara negara-negara hanyalah berupa pengaturan
yang bijaksana yang dapat dan akan dikesampingkan jika semua itu bersebe-
rangan dengan kepentingan negara. Tidak ada kewajiban internasional dalam
pengertian moral dari kata itu (yaitu terikat kewajiban timbal balik) antara negara-
negara merdeka. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, satu-satunya tang-
gung jawab mendasar warga negara adalah meningkatkan dan mempertahan-
kan kepentingan nasional.
Mazhab realisme terbagi menjadi dua bagian, yakni realisme atau sering
juga disebut dengan realisme klasik dan neo-realisme atau realisme kontem-
porer. Apa yang secara eksplisit diakui sebagai teori hubungan internasional
tidak dikembangkan sampai setelah Perang Dunia I, Namun, teori Hubungan
Internasional memiliki tradisi panjang menggunakan karya ilmu-ilmu sosial
lainnya Penggunaan huruf besar “H” dan “I” dalam hubungan internasional bertu-
juan untuk membedakan disiplin Hubungan Internasional dari fenomena hubu-
ngan internasional Banyak yang mengutip Sejarah Perang Peloponnesia karya
Thucydides sebagai inspirasi bagi teori realis, dengan Leviathan karya Hobbes
dan The Prince karya Machiavelli memberikan pengembangan lebih lanjut.
Pengklasifikaiannnya bisa berdasarkan pada tahun kemunculannya, yaitu
klasik (hingga abad 20) dengan Hobbes, Kaum realis klasik hidup dalam banyak
periode sejarah yang berbeda; dari Yunani kuno sampai saat ini. Key Thinkers
pada jaman itupun sudah banyak mengungkapkan teori tentang realisme politik
yang menjadi haluan bagi pemikir-pemikir kunci realisme pada masa sekarang.
pemikiran mereka sudah diawali sejak jaman Thucydides (The Melian Dialogue
460-406 BC), Nicollo Machiavelli (1496-1527), Thomas. Hobbes (1588-1679)
dan J.J. Rosseau (1712-78), yang disebut classic-realism. Realisme klasik me-
nawarkan konsep raison d’etat (state excuse), dimana negara memiliki dalih
untuk melindungi negaranya (Sebagaimana doktrin militer pre-emptative strike
Amerika Serikat pada masa postcontaintment Perang Dingin). Machiavelli dan
Thucydides sebagai tokohnya yang setuju bahwa kondisi manusia tidak aman
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 192
dan penuh konflik, adanya kumpulan pengetahuan politik/ kebijaksanaan untuk
menghadapi masalah keamanan, dan tidak ada solusi permanen atau akhir dari
masalah politik.
Hans J. Morgenthau adalah pencetus utama realisme neoklasik. Kutipan
yang terkenal mengenai substansi pemikiran Morgenthau adalah :
“Politik adalah perjuangan untuk kekuasaan atas manusia, dan apapun tu-
juan akhirnya, kekuasaan adalah tujuan terpentingnya, dan cara-cara
memperoleh, memelihara, dan menunjukan kekuasaan menentukan tek-
nik aksi politik”.
Disini Morgenthau banyak mengungkapkan kritisisme mengenai keper-
cayaan Woodrow Wilson mengenai kepercayaanya dalam menganalogikan dan
“menyarankan” untuk mengaplikasikan etika pribadi kedalam etika politik. Realis-
me neoklasik sendiri di definisikan oleh Baylis sebagai drive for power and the
will to dominate that are held to be fundamental aspects of human nature realis-
me neo-klasik dengan Hans Morgenthau sebagai tokoh yg berpendapat, politik
dianggap berakar dalam sifat manusia yang self-(centered, regarding, dan inte-
rested), pemimpin politik tidak mempunyai kebebasan melakukan yang benar
seperti rakyatnya, dan rasa pesimis muncul karena keterbatasan manusia. Neo
Klasik Realisme pada dasarnya merupakan pendekatan ilmiah dan memfo-
kuskan pada struktur atau sistem internasional. Doktrin ini pada awalnya berawal
dan meluas di Amerika (meskipun tidak secara khusus). memfokuskan analisis-
nya pada pengejaran terhadap power dan otonomi dalam interaksi internasional
dan tidak adanya keharmonisan interest diantara negara-negara sehingga kon-
sep self help menjadi penting dan kemampuan yang paling relevan adalah ke-
mampuan dibidang militer. Realis tidak menafikan prinsip-prinsip moral, hanya
saja dalam prakteknya moralitas individual dikalahkan oleh kelangsungan hidup
negara dan penduduknya serta pencapaian kepentingan nasional.
Neo-realisme mengasumsikan sistem internasional yang anarki membe-
rikan pengaruh terhadap perilaku Negara. Neo-realisme (1979-sampai sekarang)
yang merupakan karya Kenneh Waltz. Perbedaannya dengan realis adalah tidak
menyetujui penjelasan perilaku dalam hubungan internasional, dan tentu saja
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 193
berusaha ilmiah dan lebih positivis karena neo-realis ingin mensistemasikan
realisme politik ke dalam teori sistem yang kuat dan deduktif dari politik inter-
nasional. Neo-Realisme (Disebut juga sebagai Struktural Realism). Pada da-
sarnya substansi pemikiran kaum realis (klasik) masih menjadi dasar dalam
pemikiran realisme baru (Neo Realisme) ini. Perbedaanya dengan realisme
klasik maupun realisme neoklasik adalah pendekatan dari dua paham realisme
sebelum neorealis adalah pendekatan yang non-sistemik. Pendekatan non-sis-
temik yang dimaksud adalah, yang “dipersalahkan” atas segala chaos yang
terjadi di dunia internasional adalah actor (baik state sebagai aktor utama
maupun sifat dasar manusia Animus Dominandi). Berbeda dengan pendahulu-
nya, kaum neorealis lebih cenderung “mempersalahkan” sistem, sebagai faktor
utama yang mendorong state-actor. Hal serupa juga diungkapkan oleh Kenneth
Waltz dalam bukunya Theory of International Politics. Waltz menyatakan the
international structure acts as a constraint on state behaviour, so that only states
whose outcomes fall within an expected range survive. Jadi menurut hemat
neorealis. Sistem internasional yang menentukan perilaku negara. Oleh karena
sistem internasional (pada saat ini) dalam kondisi ketidakadaan government
above the states, maka keadaan anarki yang menetukan perilaku setiap actor-
aktornya, dalam perspektif realisme disebut sebagai state.
Dari sini neo-realisme berpandangan bahwa dimungkinkan adanya kerja-
sama didalam sistem yang anarki namun relative gain adalah tujuan dari negara-
negara yang terlibat di dalamnya bukan absolute gain. Mengapa demikian? kare-
na dalam suatu kerjasama dalam sistem anarki tidak ada badan supranasional
yang bisa memberikan jaminan bahwa anggotanya tidak melakukan kecurangan
satu dengan yang lainnya juga negara-negara yang terlibat didalamnya tidak
dapat meramalkan apakah teman di masa sekarang tetap menjadi teman di
masa yang akan datang, ada kemungkinan teman kita hari ini menjadi musuh
kita dikeesokan hari. Maka dengan demikian negara yang terlibat dalam kerja-
sama tersebut tidak akan rela apabila negara lain mengambil keuntungan yang
lebih besar dari apa yang ia dapatkan, terutama bagi negara-negara yang memi-
liki power kuat, dia akan mempertahankan kondisi anarki dan kerjasama yang
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 194
sedemikian, karena ia diuntungkan. Persamaannya dengan realis kontemporer
yaitu anarki dan ketiadaaan lembaga sentral menjadi ciri struktur sistem, nega-
ra sebagai aktor utama, bertindak dengan prinsip menolong diri sendiri dan
mengusahakan agar bisa bertahan dengan kekuatannya, karena itu negara
sama dalam tugas yang dihadapinya, yang berbeda adalah kapabilitas posisi
negara dalam sistem dan distribusi dalam mendefinisikan sistem struktur.
Perubahan dalam distribusi kapabilitas merangsang perubahan dalam struktur
sistem seperti konfigurasi kekuatan multipolar ke bipolar atau menuju unipolar.
Namun merebut kekuasaan dengan usaha internal seperti meningkatkan eko-
nomi, militer, strategi yang lebih pintar serta usaha eksternal seperti mem-
perluas aliansi atau membubarkan aliansi musuhnya. tidak dianggap tujuan
dan tidak lagi dilihat sebagai karakter manusia yang sangat dasar seperti dalam
realisme klasik. Asumsinya adalah bahwasanya Keseimbangan kekuatan mun-
cul secara otomatis dari instink kebutuhan dasar untuk bertahan.
Mengenai kritik terhadap realism, perdebatan besar terdapat pada titik
perdebatan liberalisme dan realisme. Titik perdebatan kedua pendangan ini
dapat dilihat dalam dua garis permasalahan besar. Permasalahan pertama ialah
mengenai sifat dasar manusia. Kaum realis beranggapan bahwa pada dasarnya
manusia itu bersifat egois dan menghalalkan segala cara untuk mencapai
kepentingannya, meskipun itu artinya harus mengorbankan orang lain. Hal ini
diilustrasikan oleh cerita stag hunt yang dikemukakan oleh Waltz mengutip
Rousseau. Dikisahkan ada lima orang yang tersesat di pegunungan. Mereka
kelaparan dan kemudian sepakat untuk bekerjasama menangkap rusa dewasa
agar cukup untuk berlima. Kemudian muncul seekor rusa dengan anaknya.
Karena berada dalam jangkauannya, salah seorang dari mereka menangkap
anak rusa tersebut, dan tidak mempedulikan bahwa akibat perbuatannya sang
rusa dewasa akhirnya lepas. Dia hanya mementingkan diri sendiri dan lupa
dengan perjanjian sebelumnya.
Sedangkan kaum idealis lebih optimistis dalam melihat sifat dasar
manusia. Mereka beranggapan manusia sebagai makhluk sosial, senang beker-
jasama dan memiliki rasa kemanusiaan terhadap sesamanya. Seperti misalnya,
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 195
dikisahkan seorang pria sedang bersama kekasihnya mengalami kecelakaan.
Mobil yang mereka naiki berada dibibir jurang yang dalam dan hampir terjatuh.
Pria itu kemudian berusaha sekuat tenaga untuk menolong sang kekasih
tercinta. Sang kekasih akhirnya dapat terselamatkan dengan didorong keluar
oleh pria tersebut. Tetapi malang, si pria itu tidak sempat keluar dan akhirnya
tewas, jatuh ke jurang bersama Ferrari Maranello yang baru dibelinya…Dari
cerita tersebut bisa disimpulkan bahwa ketika compassion (perasaan) seperti
cinta dan kasih sayang terlibat, maka manusia dapat mengorbankan kepentingan
dirinya sendiri. Perbedaan pandangan dasar inilah yang kemudian mempenga-
ruhi analisis kedua aliran ini. Realisme mengedepankan survival (usaha untuk
mempertahankan kelangsungan hidup) dan self help (hanya mengandalkan diri
sendiri dalam mencapai tujuannya di dunia yang anarkis). Sedangkan idealisme
mengutamakan kerjasama dengan pihak lain dalam mencapai tujuan bersama
seperti menciptakan perdamaian, dengan berusaha membentuk organisasi
internasional.
Sementara itu garis besar permasalahan kedua terletak pada masalah
diplomasi dan collective security. Woodrow Wilson mengemukakan dalam Four-
teen Points-nya bahwa hendaknya praktik diplomasi dilakukan secara terbuka
dan menggantikan praktik diplomasi rahasia, yang menghasilkan kesepakatan-
kesepakatan rahasia antar-negara mengenai siapa yang akan mendapatkan
wilayah apa pasca Perang Dunia Pertama. Wilson juga meyakini bahwa perang
dapat dihindari dengan menciptakan sebuah organisasi internasional, yang
berlandaskan prinsip collective security. Skema yang ia bangun untuk League of
Nations (LBB) bertumpu pada negara-negara anggota yang ‘cinta damai’ yang
menganggap setiap ancaman terhadap perdamaian dunia sebagai tindakan
agresi yang mengancam mereka semua, dan oleh karenanya harus direspon
secara kolektif. Aliran realis tidak setuju dengan pendapat yang disampaikan
oleh Wilson ini. Mereka berpendapat bahwa dalam dunia politik internasional
akan selalu ada kesepakatan-kesepakatan tertutup demi mencapai kepentingan
nasional. Bahkan sampai sekarang praktik spionase masih terus berlangsung,
meski dikategorikan sebagai tindakan yang buruk, tetapi dianggap bukan sesu-
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 196
atu yang salah. Kemudian realis juga tidak percaya bahwa organisasi interna-
sional dan hukum internasional dapat mewujudkan perdamaian. Menurut mere-
ka, negara-negara turut serta dalam organisasi internasional selama masih seja-
lan dengan kepentingan nasionalnya, bila tidak sejalan pasti akan mereka ting-
galkan. Mengenai kegagalan organisasi internasional ini terbukti dengan kega-
galan yang dialami oleh LBB itu sendiri.
Perdebatan pertama. Peristiwa ini memunculkan Perdebatan pertama
adalah antara realisme dengan liberalisme utopian (idealisme). Perdebatan ini
memang sudah mulai terjadi di tengah-tengah Perang Dunia 1. Kondisi interna-
sional yang carut marut membawa kaum liberalis pada sebuah pemikiran bahwa
upaya perdamaian dapat dicapai dengan membentuk sebuah collective po-
wer yang tercermin dari dibentuknya Liga Bangsa-Bangsa. Menurut kaum libe-
ralis hal ini dapat menghentikan perang yang telah berlangsung. Namun kaum
realis bepikiran bahwa perang yang tejadi adalah lebih karena sifat dasar
manusia yang selalu ingin mengejar kekuasaan yang pada akhirnya sangat
mudah menimbulkan agresi. Kaum realis menganggap bahwa pemikiran kaum
liberal yang menyatakan bahwa perang dapat dihentikan melalui pembentukan
Liga Bangsa-Bangsa guna menciptakan perdamaian dunia adalah suatu hal
yang terlalu utopis. Hal ini dibuktikan dengan kegagalan Liga Bangsa-Bangsa
dalam menjaga perdamaian dunia sehingga Perang Dunia 2 akhirnya pecah.
Munculnya realisme sebagai penentang dari teori Idealisme Liberal mem-
beri warna tersendiri dalam studi HI. Pemikiran tentang realisme ini hidup di atas
perdebatan-perdebatan dan mengalami perubahan-perubahan konsep, dari
realisme klasik hingga akhirnya muncullah konsep baru yang biasa disebut
neorealisme. Berawal dari konsep realisme klasik yang diprakarsai oleh Thucy-
dides, Machiavelli, dan Hobbes yang menggagas nilai-nilai realisme sebagai
suatu paham yang percaya bahwa kondisi manusia adalah kondisi yang tidak
aman dan berkonflik yang harus diperhatikan dan dihadapi, terdapat pula sekum-
pulan pengetahuan politik, atau kebijaksanaan, untuk menghadapi masalah
keamanan, dan masing-masing dari mereka mencoba untuk mengidentifikasikan
elemen-elemen pokoknya, serta tidak adanya pelarian akhir dari kondisi manusia
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 197
yang merupakan bentuk permanen kehidupan manusia. Mereka menganggap
politik dan sejarah politik sebagai siklus sebab dan akibat yang prosesnya dapat
dianalisa dan dimengerti, tetapi tidak mungkin dipengaruhi secara intelektual.
Konsep yang berkembang pada tahun 1930-1950-an yang memenangkan Great
Debate Pertama ini diakui sebagai petunjuk paling baik dalam Hubungan
Internasional karena terbukti benar adanya kemampuan dominasi perspektif rea-
lisme mengenai keamanan ini juga ditunjukkan dengan caranya untuk beradap-
tasi dan menjawab kritik yang diberikan kepadanya. Kritik pertama adalah realis-
me dinilai tidak mampu menjelaskan perubahan-perubahan penting dalam sis-
tem internasional seperti perubahan ide mengenai kedaulatan dari ja-
man medieval ke jaman modern, realis menjawab bahwa konsep kedaulatan
boleh saja mengalami pergeseran namun pola mengenai struggle for security,
pentingnya power, ancaman dan balance of power tetap sama dan signifikan.
Kritik kedua adalah realisme dianggap mengabaikan pentingnya budaya
dan identitas dalam politik internasional, realis merespon dengan menggaris
bawahi bahwa biarpun terdapat perbedaan dalam budaya dan identitas, hal
tersebut tidak menghalangi suatu negara untuk berperilaku sama seperti asumsi-
asumsi realis. Kritik ketiga menyatakan bahwa realisme mengabaikan implikasi
moral, realis merespon dengan penolakannya terhadap konsep kerjasama inter-
nasional dan realis menggaris bawahi bahwa mengenali batas-batas percobaan
untuk mengubah politik internasional lebih baik daripada merubah sistem yang
telah ada. Kritik keempat adalah mengutuk teori realis yang mengatakan bahwa
negara adalah aktor penting dalam politik internasional padahal MNC dan aktor-
aktor transnasional banyak bermunculan, realis menjawabnya dengan membuat
perbandingan bahwa British East India Company atau VOC dimasa lalu lebih
hebat dibanding MNC-MNC yang ada sekarang dan bahwa negaralah yang
membuat regulasi untuk perusahaan multinasional, ditambahkan bahwa realis
tidak menyatakan negara sebagai satu-satunya aktor namun sebagai aktor
utama.
Perdebatan kedua. Setelah kemenangannya dalam Great Debate pertama
muncullah perdebatan baru setelah perang dunia II antara tradisionalis dan
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 198
behavioralis. Perdebatan kedua yang lebih menitikberatkan pada metodologi,
antara aliran tradisional dengan aliran behavioral (scientific/positivisme),hal ini
kemudian menghasilkan apa yg disebut dengan Neo-Realisme kemudian.
Tradisionalisme merupakan metodologi yang normatif-historis, legal-formal,
filosofis dan hasil penelitiannya bersifat subjektif. Tradisionalis mengasumsikan
bahwa fakta dan kebenaran sudah terdapat di dalam diri manusia. Pendekatan
tradisionalis, tidak memiliki metodologi yang eksplisit, tidak mengajukan hipotesis
dan tidak menggunakan perangkat penelitian formal. Pendekatan ini memiliki
beberapa asumsi diantaranya : jika kita membatasi diri pada standarisasi yang
ketat maka kita hanya akan memiliki sedikit hal penting dalam hubungan
internasional, pengetahuan mengenai hubungan internasional harus berasal dari
proses ilmiah yang tidak sempurna sehingga melibatkan persepsi dan intuisi, dan
generalisasi mengenai hubungan internasional harus selalu bersifat tentatif.
Bertentangan dengan asumsi tersebut, kaum positivis (model pengetahuan yang
sudah mendominasi) lebih bersifat empiris, mengedepankan objektivitas dan
kuantitatif dan menggunakan metode dimana dilakukan pengujian secara empiris
atau menggunakan metode ilmiah. Elemen-elemen dari pendekatan positivis
adalah manusia secara individual adalah unit dasar yang analis. Positivis
memandang bahwa politik hanya sebagai salah satu aspek dari perilaku
manusia. Hal-hal yang menjadi inti menurut kaum positivis adalah kekuatan
penjelasan atau eksplanasi, pola-pola yang berulang, konsep-konsep yang
operasional dengan referensi empiris yang terukur, kerangka yang konseptual,
teknik pengumpulan data yang pasti dan pengukuran data serta presentasi.
Asumsi dari pendekatan ini adalah bahwa kebenaran dan fakta terdapat
diluar sana dan temukanlah itu. Secara ringkas metodologi yang dipahami dalam
konsep tradisionalis adalah memahami norma dan nilai, serta menggunakan
penilaian sehingga mendapatkan pengetahuan yang historis. Sementara, dalam
konsep positivis metodologi yang dipahami adalah menjelaskan (eksplanasi) dan
pengumpulan data sehingga menghasilkan pengetahuan ilmiah (scientific
knowledge). Tidak ada pemenang dalam perdebatan kedua ini. Namun, terjadi
evolusi behavioralis yang akhirnya seperti dikethui kemudian melahirkan kon-
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 199
sep neoralisme. Behavioralis yang menekankan teorinya pada fakta yang dapat
diamati agar mendapatkan pola perilaku yang berulang pada ‘hukum-hukum
hubungan Internasional ini didukung oleh para penstudi Amerika Serikat yang
pada akhirnya membuka jalan bagi formulasi baik realisme maupun liberalisme
yang sangat dipengaruhi oleh metodelogi kaum behavioralis. Formulasi dari
realis dan liberalis ini disebut neo-liberalis dan neo-realis. Perubahan dalam
liberalis menjadi neo-liberalis terletak pada penggunaan teori-teori dan pema-
kaian metode-metode baru yang ilmiah yang sebelumnya tidak digunakan dalam
teori liberalis klasik. Selain itu neo-liberal juga menolak pandangan idealisme
yang ada sebelumnya. Dalam teori neo-liberalis juga muncul cabang aliran-aliran
liberal yakni liberalisme sosiologis, interdependensi, institusional, dan republikan.
Walaupun memiliki konsep yang berbeda tentang liberalisme baru ini. Namun
aliran yang berbeda ini saling mendukung dalam memberikan suatu argumen
menyeluruh yang konsisten untuk Hubungan Internasional yang lebih damai dan
kooperatif. Sedangkan dalam neorealis ditekankan pada struktur sistem, pada
unit-unitnya yang berinteraksi, dan pada kesinambungan dan perubahan sistem.
Para pencetus neorealis seperti Kenneth Waltz menyebutkan bahwa bentuk
dasar hubungan Internasional adalah struktur anarki yang tersebar di antara
negara-negara. Negara-negara serupa dalam semua hal fungsi dasarnya.
Pendekatan neoralis ini tidak menyediakan membahas pada sifat-sifat manusia
seperti yang ada pada teori realis klasik, teori ini menekankan lebih pada struktur
sistem. Noerealis juga mengilhami nilai-nilai yang bersifat lebih bersifat normatif.
Perdebatan ketiga, interparadigm Debate: Pluralisme vs. Realisme vs.
Globalisme / strukturalisme. Inti dari perdebatan ini adalah mengenai aktor yang
paling penting dalam hubungan internasional, yaitu antara negara dan transna-
tional actors atau state centric dan non-state centric. Perdebatan besar ketiga ini
berlangsung di antara realisme, pluralisme, dan strukturalisme/globalisme.
Menurut kaum realis, aktor-aktor selain negara tidak memainkan peran yang
signifikan, atau setidaknya berada di bawah negara (subordinat), sedangkan
kaum pluralis menekankan pentingnya aktor-aktor transnasional, seperti individu,
organisasi internasional, dan Multinational Corporations. Pertentangan lain yang
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 200
terdapat di antara ketiganya yaitu mengenai dinamika dan variabel-variabel
dependen. Pemikiran realisme dapat dilacak hingga tulisan Thucydides, Machia-
velli, Hobbes, dan Clausewitz. Realisme menekankan keutamaan peran negara
di dalam hubungan internasional dan mensubordinatkan aktor-aktor lainnya.
Oleh karena itu, realisme merupakan paradigma yang bersifat state-cen-
tric. Asumsi-asumsi realisme yang lain adalah negara bersifat manunggal
atau unitary dan rasional, serta menekankan power politics. Dalam dinamikanya,
kaum realis menekankan power sebagai tujuan maupun instrumen untuk men-
capai tujuan. Model hubungan internasional menurut kaum realis adalah model
bola biliard atau billiard ball.
Pluralisme menyatakan menentang pemusatan perhatian pada negara
yang dilakukan oleh kaum realis. Sebaliknya, kaum pluralis berpendapat bahwa
hubungan internasional bersifat multi-centric, bukan state-centric maupun global
centric. Mereka menekankan pentingnya peran aktor-aktor transnasional, teruta-
ma dalam bidang ekonomi yang ditandai dengan meningkatnya interdependensi
atau saling ketergantungan di antara negara dan aktor-aktor transnasional,
termasuk di dalamnya aktor-aktor di dalam negara (subnational actors).
Pluralisme juga menolak asumsi realis mengenai negara yang manunggal dan
rasional. Tindakan negara terkadang bukan merupakan representasi dari kepen-
tingan negara secara keseluruhan, melainkan kepentingan pihak-pihak di dalam
negara yang seringkali bertentangan satu sama lain. Oleh karenanya kaum
pluralis menganggap bahwa kepentingan nasional adalah suatu konsep yang
menyesatkan karena tidak pernah ada kebijakan atau perumusan mengenai
kepentingan negara sebagai suatu keseluruhan. Negara pun terkadang mela-
kukan tindakan-tindakan yang tidak memperhitungkan untung-rugi karena dipe-
ngaruhi oleh faktor idiosinkretik pemimpinnya. Dalam dinamika hubungan inter-
nasional, kaum pluralis menekankan gerakan sosial yang kompleks. Model
hubungan internasional menurut kaum pluralis bersifat kompleks, yaitu model
jaring laba-laba (cobweb). Globalisme atau strukturalisme disebut juga World
System Theory menentang asumsi state-centric maupun multi-centric dari kaum
realis dan pluralis, melainkan berpendapat bahwa aktor utama dalam hubungan
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 201
internasional adalah kelas. Berdasarkan pandangan ini, hubungan internasional
adalah mengenai eksploitasi kelas kapitalis (negara-negara kaya yang menerap-
kan sistem ekonomi kapitalisme, Dunia Utara atau Dunia Pertama) terhadap
kelas proletar (negara-negara miskin di Dunia Selatan). Eksploitasi kaum kapi-
talis terhadap kaum proletar yang merupakan konsep dari Karl Marx juga
dijadikan oleh kaum buruh dalam melakukan setiap aksinya dengan tujuan kelu-
hannya dapat di dengar oleh negara.
Pandangan globalisme mereduksi semua permasalahan menjadi perma-
salahan ekonomi dan menganggap bahwa isu-isu lain, seperti keamanan dan
politik hanya berada di permukaan saja. Model hubungan internasional menurut
kaum Globalis adalah model gurita berkepala banyak (octopus model) di mana
kepala gurita tersebut mewakili negara-negara kapitalis kaya yang menjulurkan
tentakel-tentakelnya kepada negara-negara miskin dalam proses eksploitasi
yang tiada akhir.
Tabel Perbandingan antara realisme, pluralisme, dan globalisme
Fokus Realisme Pluralisme Globalisme
Aktor
Aktor utama adalah negara,
aktor-aktor di luar negara tidak
penting, negara bersifat
manunggal dan rasional
Selain negara, aktor-aktor
transnasional juga memainkan
peranan penting dalam hubungan
internasional, negara tidak manunggal,
melainkan plural dan tidak selalu
rasional
Aktor yang berperan adalah
kelas
Isu dan dinamika
Isu yang utama adalah keamanan dan permasalahan
militer-strategis (high politics)
Menekankan pentingnya isu-isu
lain di luar keamanan, mencakup
ekonomi dan sosial (low politics)
Semua isu bermuara pada perekonomian
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 202
Variabel dan konsep
Power, hubungan antarnegara
Gerakan sosial yang kompleks, interdependensi
Dependensi, eksploitasi negara
kaya terhadap negara miskin dan
jurang di antara mereka
Model hubungan antarnegara
Bilyar ball model
Cobweb model
Octopus model
Mengenai relevansi realisme dalam fenomena internasional. Di dalam
realisme klasik dan modern terdapat tiga kesepahaman, Triple S yaitu Statism,
Survival, Self – help. Statism : focus dari relisme dimana terdapat dua klaim yang
dinamis dalam kestatisan hubungan antar bangsa, secara teori dalam world
politics, pertama, negara sebagai actor utama yang dimana actor lain tidak
memiliki signifikansi yang sama dengan state. Kedua, kadaulatan negara sebgai
komunitas politik mandiri. Intinya dlam statism ini, negara menjadi aktor utama
yang paling dominan dalam dunia internasional dan proses dalam HI. Survival :
Tujuan pengorganisasian negara adalah keteraturan dalam mempertahankan
kehidupan masyarakat. Jadi survival adalah hal yang hakiki dalam dunia inter-
nasional dan dalam proses HI, dimana setiap negara harus dapat bertahan
ditengah arus dunia internasional. Self – help : Tidak ada satu negarapun yang
berani menjamin eksistensinya secara struktural baik dibidang domestik dan
internasional, dalam hal ini tidak ada musuh atau teman yang abadi, yang ada
hanya kepentingan nasional negara. Jadi yang didapatkan negara adalah hasil
jerih payah mereka sendiri, apa yang ditabur, itulah yang dipetik.
Intinya, bahwa satu-satunya aktor yang berperan dalam dunia
internasional adalah negara dimana perspektif terhadap dunia bersifat anarkis
yang menganggap perang dan damai adalah fenomena dunia yang wajar, yang
berangkat dari indivdu yang membentuk negara tersebutdan dengan kekuatan
balance of power yang berfungsi sebagai penyeimbang keadaan dunia interna-
sional yaitu pemusatan pada kekuasaan dan proses politik internasionalnya
untuk mewujudkan kepentingan nasional negara. Globalisasi adalah bentuk real
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 203
dari kegiatan suatu negara dalam memperluas kekuasaanya. Fenomena globa-
lisasi ini dapat diartikan bagaimana kerasnya dunia internasional dan membuat
suatu negara harus mengusahakan suatu kegiatan yang dapat digunakan untuk
mencapai kepentingan nasional negara. Dan globalisasi ini dapat diartikan
sebagai proses pembawa nilai tertentu dari negara asal untuk dipahami atau
diaplikasikan dan suatu keberhasilan apabila nilai tersebut berkuasa di negara
tujuan. Globalisasi dipandang oleh pemikir realisme sebagai sesuatu yang harus
diupayakan oleh negara, behitu kerasnya pertentangan dan persaingan di antara
negara-negara sehingga salah satu syarat agar negara dapat survive dengan
melakukan persaingan.
Stabilitas Keamanan Regional. Meningkatnya ketergantungan ekonomi
suatu sistem terhadap sistem lain memunculkan fenomena atau faham-faham
kawasan, dimana sistem-negara saling bekerjasama, utamanya dibidang pere-
konomian. Kemajuan perekonomian suatu sistem tidak terlepas dari upaya di
segala bidang dalam mendukung hal tersebut. Selain aspek sumber daya alam,
sumber daya manusia, dan teknologi yang dimiliki, sebuah sistem juga harus
memperhitungkan aspek keamanan yang merupakan penjamin untuk suksesnya
sebuah pertumbuhan ekonomi Faktor keamanan nasional sangat diperlukan
agar para pelaku ekonomi dapat terus menanamkan modal dan usahanya.
Keamanan nasional menuntut adanya kemampuan untuk mempertahankan
negaranya dari serangan atas wilayah daratan, laut territorial dan wilayah udara,
baik serangan yang berasal dari dalam maupun dari luar. & Kondisi keamanan
regional suatu ystem akan menjadi ystem pendukung dari kondisi keamanan
regional atau kawasan. Ketidakstabilan sistem juga dapat menyebabkan terjadi-
nya perselisihan regional Untuk itu diperlukan ketahanan nasional yang kuat dari
masing-masing sistem dalam suatu kawasan.
Bila sistem-negara dalam suatu kawasan dapat menjalankan ketahanan
nasionalnya dengan baik maka stabilitas regional dapat pula terjaga. Sehingga
dalam hal ini ketahanan nasional dapat berkembang menjadi ketahanan regio-
nal, Ketahanan regional itulah yang selanjutnya akan mendukung tetap terpeli-
haranya stabilitas kawasan yang bersumber dari ketahanan nasional. Hal ini
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 204
sering dikemukakan bahwa, Ketahanan regional merupakan penyesuaian lanju-
tan dari ketahanan nasional serta kondisi dinamik kelompok bangsa dalam suatu
kawasan, berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan
memantapkan ketahanan nasional masing-masing anggota dengan dijiwai oleh
semangat solidaritas kerjasama dan loyalitas regional Terdapat dua perspektif
dalam mengkaji konsep keamanan kawasan yaitu perspektif realis dan perspektif
liberal. Aktivitas internasional yang dijalankan oleh suatu negara menjadi gam-
baran atau cerminan tentang apa yang terjadi di internal negaranya, sehingga
jika keamanan regional terjaga maka sudah pasti stabilitas keamanan negaranya
juga kuat.
Dalam perspektif realis, sistem internasional adalah anarkis, yang lebih
menggunakan pendekatan pada masalah kekuasaan dan keamanan. Interaksi
sistem-negara di dunia lebih menitikberatkan pada keamanan nasional. Hal ini
tercermin dalam kebijakan luar negeri dalam upaya mencapai dan melindungi
kepentingan nasional. Sistem internasional yang bersifat anarkis, yaitu suatu
ystem yang terdiri dari system-negara berdaulat yang tujuan utamanya adalah
mempertahankan diri dan kepentingan nasionalnya Dalam perspektif ini, sistem
dan perilakunya tidak mengenal batas-batas institusi internasional apapun,
akibatnya setiap system diperhadapkan pada ketidakpastian tentang keamanan
mereka. Paradigma realis memandang kemampuan nasional adalah kemam-
puan untuk memberikan perlindungan fisik dari ancaman luar, sehingga langkah-
langkah yang biasa diambil adalah, meningkatkan kekuatan militer, membentuk
aliansi, dan langkah strategis lainnya. Biasanya juga langkah-langkah seperti ini
akan menimbulkan ambivalensi dikarenakan langkah-langkah seperti ini akan
dipandang sebagai sebuah ancaman oleh ystem lain, dan akan menjadi sebuah
ystem keamanan dalam hubungan antar Negara.
Dengan pandangan seperti di atas, sistem realis melihat perang dan
damai sebagai sebuah fenomena yang wajar dalam hubungan internasional.
Stabilitas nasional dilihat sebagai sebuah fungsi keseimbangan kekuatan antar
bangsa. Maka kekuatan militer akan merupakan unsur yang penting dari kekua-
tan sistem dalam interaksi internasional walaupun Sebaliknya dalam perspektif
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 205
liberal memandang setiap system kini hidup dalam situasi ketergantungan,
kepentingan suatu ystem tidak terlepas dari kepentingan system lain. Pandangan
liberal berasumsi bahwa hubungan antar system didasarkan atas dasar kepen-
tingan bersama untuk memajukan kepentingan ekonomi. Mencegah perang,
memajukan nilai-nilai demokrasi, dan mengembangkan norma-norma kerjasama
internasional Suatu kawasan membutuhkan adanya stabilitas yang kuat untuk
menjamin terlaksananya hubungan-hubungan antar ystem dengan baik. Dalam
hal ini pencapaian stabilitas suatu kawasan memerlukan kesepakatan satu sama
lain sehingga lingkungan kawasan tersebut dapat aman. Suatu konsep menge-
nai stabilitas kawasan dikemukakan oleh Stabilitas kawasan adalah adanya
kesepakatan diantara ystem-negara mengenai perbedaan-perbedaan diantara
mereka dengan tujuan untuk mempertahankan sistem internasional yang telah
ada.
Contoh Kasus Terkini : Nuklir Korea Utara dan Iran. Negara yang bebera-
pa waktu lalu memberikan banyak ketidakpastian politik dan keamanan Interna-
sional, karena meninggalnya pimpinan mereka Kim Jong Il, yang kemudian
menempatkan seorang anak muda Kim Jong un, di tampuk penguasa Negara
dengan tingkat kemiskinan yg buruk namun mempunyai kekuatan Nuklir yg
cukup mengancam dan membuat barat sedikit kalang kabut karena kemisteriu-
san dinasti Kim masih terpelihara terhadapa pimpinan terpilih ini. Tindakan
Korea Utara dalam kasus pengembangan teknologi nuklirnya bukannya tanpa
alasan yang kuat dan rasional. Setelah dilakukan analisis melalui pendekatan
realis, Korea Utara memiliki alasan mengapa pengembangan teknologi nuklir
menjadi agenda utama Negara komunis tersebut. Yaitu karena Korea Utara
hidup lemah ditengah-tengah dunia yang anarki, sehingga rentan akan
pendominasian dari kekuatan yang lebih kuat yaitu globalisasi yang di usung
oleh Negara-negara barat dengan segala ide kapitalis liberalnya sementara
Korea Utara sendiri merupakan Negara komunis murni yang menentang ide-ide
barat tersebut. Oleh karena itu, Korea Utara harus mempertahankan eksisten-
sinya dengan cara meningkatkan kekuatan nasionalnya, demi tercapainya
kepentingan nasionalnya. Dan pengembangan teknologi nuklir merupakan salah
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 206
satu jalan yang rasional untuk diambil Korea Utara dengan alasan-alasan diatas.
Itu mungkin merupakan alasan kuat a Korea Utara bersih keras akan terus
memperjuangkan haknya untuk mengembangkan nuklirnya sendiri, walaupun
sangsi PBB sudah diberlakukan. Bagi Korea Utara tindakan PBB ini merupakan
konverter dari kebijakan AS semata yang tidak menginginkan satu kekuatan baru
muncul sebagai penantang AS dan akan mengancam kepentingan AS. Di sisi
lain China dan Rusia masih berdiri dibelakang Korea Utara sebagai satu hege-
moni yang sempat hancur. Dengan kata lain Korea Utara sebagai Negara
komunis disini berupaya untuk menghindarkan dirinya dari objek dominasi
imperialisme kapitalis liberal dunia yang dibawa AS, dan jika memang memung-
kinkan keadaan bisa diseimbangkan dengan adanya peningkatan nuklir Korea
Utara sehingga tidak menutup kemungkinan kebangkitan Korea Utara akan
mengundang kebangkitan komunisme dunia dan pada akhirnya dunia akan
menuju kepada sistem bipolar kembali seperti layaknya perang dingin silam. Hal
ini Juga sepertinya merupakan Basic motives yg sama dengan apa yg di lakukan
oleh Iran dengan pengembangan Kekuatan Nuklir yang walaupun di akui secara
resmi oleh pemerintah Iran adalah untuk pengembangan sumber daya Energi
non-sejata, namun tetap saja membuat Negara kaya Minyak itu berada dibawah
lampu sorot Dunia.
Masalah proliferasi nuklir Iran ini menjadi perhatian dan perdebatan ter-
sendiri dalam komunitas internasional. Isu tersebut mulai menjadi polemik ketika
Negara-negara Barat yang dipelopori oleh Amerika melaporkan masalah terse-
but ke DK-PBB. Sejak saat itu masalah proliferasi Iran memicu terjadinya pro
kontra diantara masyarakat internasional. Pihak Iran sendiri mati-matian telah
melansir masalah tersebut dengan menyatakan bahwa nuklir yang dimilikinya
adalah semata-mata untuk tujuan damai yaitu untuk kesejahteraan dan kepen-
tingan rakyatnya. Namun, pernyataan tersebut tidak membuat banyak pihak
yakin terutama Amerika Serikat. Beberapa negara masih meyakini bahwa nuklir
yang dikembangkan oleh Iran memiliki tujuan lain yaitu untuk menciptakan
senjata pemusnah masal yang akan mengancam kestabilan dan keamanan
internasional sehingga hal tersebut memunculkan polemik dan kekhawatiran
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 207
tersendiri bagi mereka yang menyebabkan dilakukan berbagai upaya untuk
menghentikan proliferasi nuklir iran tersebut. Namun, Iran disini nampak tidak
gentar menghadapi serangan dan tekanan masyarakat internasional yang
merasa terancam dan khawatir dengan proliferasi nuklirnya. Ini disinyalir karena
adanya faktor-faktor pendukung krusial yang melatarbelakngi kebijakan Iran
tersebut, salah satunya adalah motif ekonomi dan kebutuhan energi Iran yang
cukup besar.
Apa yg di lakukan Iran sangat sesuai dengan Teori ini, memandang
bahwa pada dasarnya tiap-tiap individu itu ‘selfish’ dan selalu berupaya untuk
mempertahankan eksistensinya dengan berbagai cara tak terkecuali pada
perilaku Negara-negara di dunia. Realisme juga melihat dunia ini sebagai tempat
yang anarki dimana masing-masing negara sebagai pemegang kedaulatan
tertinggi memiliki kebebasan untuk mendapatkan kepentingannya sekalipun de-
ngan cara-cara yang mengancam eksistensi dan keamanan aktor lain. Realisme
juga menekankan kepada dua hal penting yang harus dikejar oleh suatu negara
agar dapat ‘survive’ di lingkungan internasional yang anarki yaitu power dan
state security. Power yang dapat diartikan sebagai kekuatan atau kapasitas
negara, merupakan hal terpenting yang harus dimiliki untuk dapat menjamin
eksistensi negara, karena dengan power inilah suatu negara dapat menciptakan
kemanan Negaranya serta dapat survive (state survival is paramount). Sebagai
Mana Realisme yag telah kita bahas, Premis utama yang ditekankan oleh teori
realisme ini adalah rasionalitas dan “state-centrism”. Rasionalitas merupakan
dasar yang melandasi tindakan suatu aktor (Negara sebagai pusat) atas
pertimbangan untung rugi. Dalam teori ini diterangkan tentang penting-
nya cost dan benefit dari suatu kebijakan Negara, bahwasanya dalam suatu
tindakan akan selalu ada cost dan benefit yang diperoleh, dan karena teori ini
menekankan pada rasionalistas maka tentunya benefit yang diperoleh harus
sesuai atau lebih besar daripada cost yang keluarkan.
Berbeda walau mempunyai beberapa persamaan Seperti Korea Utara,
Iran berupaya untuk tetap mengembangkan nuklirnya dengan berbagai pertimba-
ngan yang krusial, yaitu menyangkut kesejahteraan rakyatnya serta pertimba-
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 208
ngan gain yang akan diperoleh. Iran memutuskan untuk melakukan penghema-
tan minyak untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri dan menjual minyak
buminya kepada Negara lain yang membutuhkan, dan sebagai gantinya, Iran
menggunakan nuklir sebagai sumber pemenuhan kebutuhan energi karena cost
yang dikeluarkan menjadi lebih ringan. Oleh karenanya, Iran tetap mempertahan-
kan posisinya dengan teguh ditengah kecaman komunitas internasional atas
proliferasi nuklir yang dilakukannya. Kasus tersebut, memberikan gambaran
kepada kita bagaimana sekuritas negara perlu diupayakan walaupun mendapat
pertentangan oleh banyak negara, karena sekali lagi dasar pemikiran kaum
realis adalah keamanan nasional merupakan salah satu faktor penting dalam
interaksi internasional sehingga negara dapat survive.
2. Liberalisme
Sebagai antitesa dari paham realisme, maka di waktu yang hampir ber-
samaan berkembanglah juga paham yang menolak paham realisme menjadi
paham ideal bagi suatu negara, pahaman dimaksud adalah paham liberalisme.
Paham liberalisme sebagai antitesa dari realisme menjadikan konsep-konsep
yang ditawarkan oleh paham realisme merupakan cerminan yang berlawanan
bagi paham realisme, sehingga ketika paham realisme meletakkan keamanan
nasional dan anggapan pesimis bagi setiap individu sebagai dasar dalam
bertindak dan berinteraksi, maka paham liberalisme meletakkan kebebasan
individu debagai dasar penilaiannya.
Hubungan internasional merupakan sebuah studi yang berdiri atas
berbagai macam teori. Teori pada hubungan internasional tersebut digunakan
sebagai dasar atau landasan dalam mempelajari studi hubungan internasional itu
sendiri.143 Salah satu teori besar dalam studi hubungan internasional adalah
liberalisme. Sebagai teori terbesar kedua dalam studi hubungan internasional,
liberalisme telah banyak memberikan pemikirannya dalam perkembangan hubu-
143 Dugis, Vinsensio, 2014. Week 1. Theories of IR. Materi disampaikan pada kuliah teori
hubungan internasional, Departemen Hubungan Internasional, Universitas Airlangga. 6 Maret 2014 dalam Mohammad Reza Ferizmanda, Perspektif Liberalisme dalam Teori Hubungan Internasional, (Artikel) Tahun 2014.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 209
ngan internasional.144 Terdapat beberapa pengertian tentang liberalisme. Perta-
ma, liberalisme diartikan sebagai sebuah ideologi yang mana menjunjung tinggi
kebebasan individu, disamping itu liberalisme juga diartikan sebagai sebuah teori
dari pemerintah, yang berusaha untuk memberikan ketertiban dan keadilan
dalam masyarakat tertentu.145 Lebih lanjut lagi, Jackson and Sorensen menya-
takan bahwa liberalisme adalah suatu perspektif yang memiliki pandangan positif
tentang sifat manusia.146 Clark mengatakan bahwa liberalisme dikenal sebagai
paham optimisme.147 Sedangkan Wardhani148 dalam penjelasannya menyatakan
bahwa liberalisme adalah perspektif dalam hubungan internasional yang
berfokus pada permasalahan international peace dan human rights. Tokoh dari
liberalisme ini antara lain Woodrow Wilson dan Norman Angell.
Liberalisme sebagai suatu perspektif berawal dari John Locke di abad ke
tujuh belas yang melihat perkembangan negara-negara dalam menjamin kebe-
basan tiap individu.149 Namun, apabila dipandang sebagai perspektif keilmuan,
liberalisme baru muncul pada awal abad kedua puluh, sebagai adanya rasa
trauma atas terjadinya perang dunia.150 Hoffman mengatakan bahwa esensi dari
liberalisme adalah pengendalian diri, moderasi, kompromi dan perdamaian.151
Terdapat tiga asumsi dasar dari liberalisme antara lain yang pertama pandangan
positif tentang sifat manusia, yang kedua keyakinan bahwa hubungan interna-
sional dapat bersifat kooperatif daripada konfliktual, dan yang ketiga percaya
144 Wardhani, Baiq, 2014. Week 3. Liberalisme. Materi disampaikan pada kuliah teori
hubungan internasional, Departemen Hubungan Internasional, Universitas Airlangga. 20 Maret 2014. dalam Mohammad Reza Ferizmanda, Ibid.
145 Dunne, Tim, 2001, in Baylis, John & Smith, Steve (eds.) (2001), The Globalization of
World Politics, 2nd edition, Oxford University Press dalam Mohammad Reza Ferizmanda, Ibid. 146 Jackson, R., &. Sorensen, G. 1999, Introduction to International Relations, Oxford
University Press dalam Mohammad Reza Ferizmanda, Ibid. 147 Dunne, Op.Cit. dalam Mohammad Reza Ferizmanda, Ibid. 148 Wardhani, Baiq, Op.Cit. dalam Mohammad Reza Ferizmanda, Ibid. 149 Jackson, R., &. Sorensen, G. Op.Cit. dalam Mohammad Reza Ferizmanda, Ibid. 150 Wardhani, Baiq, Op.Cit. dalam Mohammad Reza Ferizmanda, Ibid. 151 Dunne, Op.Cit. dalam Mohammad Reza Ferizmanda, Ibid.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 210
terhadap kemajuan.152 Liberalisme sendiri memiliki beberapa karakteristik yang
membedakannya dengan perspektif lain, yaitu yang pertama pandangan positif
pada human nature, kedua, percaya bahwa sejarah bisa dirubah dan mampu
memberikan progres dari sejarah, ketiga berfokus pada tatanan politik interna-
sional maupaun politik domestik, yang artinya kaum liberal menganggap kedudu-
kan politik internasional dan politik domestik adalah sama penting, keempat
memiliki klaim bahwa ketergantungan ekonomi antarnegara akan dapat mengu-
rangi atau bahkan mencegah terjadinya peperangan, dan yang kelima menekan-
kan pada efek positif dalam hubungan internasional.153
Para kaum liberal memiliki keyakinan besar terhadap akal pikiran manusia
dan mereka yakin bahwa prinsip-prinsip rasional dapat dipakai pada masalah-
masalah internasional. Kaum liberal melihat sistem internasional berkembang
dalam sistem anarki, dan mengakui bahwa individu selalu mementingkan diri
sendiri dan bersaing terhadap suatu hal, namun mereka juga percaya bahwa
individu-individu memiliki banyak kepentingan dan dengan demikian dapat
terlibat dalam aksi sosial yang kolaboratif dan kooperatif baik domestik maupun
internasional. Hal tersebut didasarkan pada pandangan liberal terhadap manusia
dan masyarakat manusia, bahwa manusia adalah rasional, menempatkan kebe-
basan individu di atas segalanya, berpandangan positif terhadap karakteristik
manusia, yakin terhadap kemajuan, dan menentang pembagian antara wilayah
domestik dan internasional serta manusia memiliki kemampuan untuk memben-
tuk organisasi internasional bagi keuntungan semua pihak.154 Dalam perspek-
tifnya, liberalis tidak hanya menganggap negara sebagai satuan tertinggi dalam
hubungan internasional yang digunakan untuk merepresentasikan power dari
suatu negara, namun lebih jauh lagi liberalis melihat negara dapat bersatu
melalui kerjasama dengan negara lain untuk menciptakan suatu perdamaian di
dunia. Hal tersebut berasal dari pemikirannya yaitu pendekatan ketergantungan
yang menyatakan bahwa pada dasarnya masyarakat suatu negara merupakan
152 Jackson, R., &. Sorensen, G. Op.Cit. dalam Mohammad Reza Ferizmanda, Ibid. 153 Wardhani, Baiq, Op.Cit. dalam Mohammad Reza Ferizmanda, Ibid. 154 Jackson, R., &. Sorensen, G. Op.Cit. dalam Mohammad Reza Ferizmanda, Ibid.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 211
bagian dari masyarakat global yang terhubung melalui beberapa hubu-
ngan transgovermental dan channels.155 Sebanyak apapun faktor lain, kaum
liberal mendukung demokrasi karena mereka sangat curiga kepada bentuk-
bentuk kekuasaan yang terpusat, khususnya kekuasaan negara. Ketika melihat
sistem internasional, kaum liberal abad ke-19 dan awal abad ke-20 melihat
kekuasaan digunakan untuk kepentingan elit pemerintah saja dan untuk
melawan keinginan massa.156 Sehingga demikian, maka jelaslah bahwa pemi-
kiran kaum liberal sangat fokus pada kebebasan individu dan cenderung tidak
percaya kepada negara.
Paham realisme sangat fokus pada negara sebagai aktor penting dalam
berinteraksi sesame aktor negara. Dalam perspektif liberalisme, aktor dalam
hubungan antarnegara bukan hanya sebatas negara, namun liberalisme juga
menganggap pentingnya keberadaan aktor lain seperti aktor non-negara dalam
proses hubungan antarnegara. Tidak seperti realisme, Liberalisme mengedepan-
kan proses kerjasama antar aktor dalam proses pemenuhan kebutuhan tiap
negara. Liberal melihat bahwa pada dasarnya setiap negara dalam dunia inter-
nasional memiliki keterbatasan dalam proses pemenuhan kebutuhan masya-
rakatnya, oleh karenanya diperlukan aktor lain untuk proses menutupi keterba-
tasan yang dimiliki oleh suatu negara. Liberalisme menganggap kerjasama
merupakan suatu hal yang penting dalam hubungan antarnegara dan meng-
anggap peperangan sebagai suatu hal yang tidak memiliki keuntungan.157 Dalam
hubungan internasional, liberalisme menganggap adanya integrasi regional,
institusi multilateral, dan kerjasama dalam sistem anarki merupakan hal yang
penting. Hal itu terjadi, karena menurut kaum liberal, kerjasama dalam sistem
anarki dan integrasi regional dapat mencegah terjadinya peperangan antar-
negara, karena ketika satu negara melakukan integrasi dan kerjasama dengan
negara lain, maka negara-negara tersebut akan saling mengetahui karakteristik
155 Wardhani, Baiq, Op.Cit. dalam Mohammad Reza Ferizmanda, Ibid. 156 Scott Burchill & Andrew Linklater, Teori-Teori Hubungan Internasional, (Penerjemah
M. Sobirin), Bandung, Nusa Media, 2015, hlm. 52 157 Wardhani, Baiq, Op.Cit. dalam Mohammad Reza Ferizmanda, Ibid.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 212
masing-masing negara dan tidak akan terjadi peperangan diantara keduanya.
Hal ini diasumsikan dengan sifat manusia yang apabila terdapat dua manusia
yang saling mengetahui karakteristik satu sama lain, maka akan sangat kecil
kemungkinan kedua manusia tersebut untuk berkelahi.158
Terdapat tiga bentuk dari liberalisme, yaitu liberal institusionalisme, liberal
internationalisme dan idealisme.159 Pertama liberal institusionalisme. Pemikiran-
pemikiran liberal institusionalisme adalah pentingnya pruralisme aktor dalam
hubungan internasional seperti MNCs, IGOs, dan NGOs, yang menganggap pe-
ran serta aktor non-negara dalam hubungan antarnegara adalah suatu hal yang
penting, serta menekankan pentingnya adanya suatu bentuk interaksi baru
antarnegara seperti integrasi dan kerjasama. Integrasi dan kerjasama transna-
sional merupakan hal yang diperlukan karena setiap negara memiliki kekurangan
dan keterbatasan, sehingga dalam menghindari keterbatasan tersebut suatu
negara melakukan kerjasama dengan negara lain. Liberal institusionalisme
mengharapkan dalam setiap kerjasama dalam satu bidang dapat menjadi ber-
kembang menjadi sebuah kerjasama dalam banyak bidang. Kedua liberal inter-
nasionalisme. Liberal internasionalisme berfokus pada ketergantungan ekonomi
antar negara. Liberal internasionalisme menganggap kapitalisme adalah sesuatu
yang menguntungkan bagi semua pihak. Inti dari liberal ini adalah menekankan
kerjasama ekonomi bagi kemashlahatan manusia. Ketiga, idealisme. Kaum
idealis memiliki anggapan bahwa perdamaian di dunia bukan merupakan
sesuatu yang terjadi secara natural, namun perdamaian adalah sesuatu yang
harus diperjuangkan melalui proses collective security. Idealisme menekankan
penggunaan sistem yang sama pada politik internasional dan politik domestik.160
Selain itu, Idealisme juga menyatakan pentingnya sebuah perdamaian di dunia
dalam rangka penciptaan dunia yang lebih baik, serta pentingnya keterlibatan
158 Ibid. 159 Dunne, Op.Cit. dalam Mohammad Reza Ferizmanda, Ibid. 160 Wardhani, Baiq, Op.Cit. dalam Mohammad Reza Ferizmanda, Ibid.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 213
suatu negara dalam organisasi internasional.161 Liberalisme telah menjadi suatu
paham yang besar dengan perannya dalam pembuatan serta penentuan-penen-
tuan hal-hal besar dalam hubungan internasional. Pada abad ke dua puluh pemi-
kiran-pemikiran kaum liberal berperan besar dalam pembuatan berbagai kebija-
kan yang menyangkut hubungan internasional, Misalnya seperti perannya dalam
pembuatan berbagai kebijakan dalam hubungan internasional dalam LBB dan
PBB (Dunne, 2001).162
Liberalisme dalam memberikan jawaban mengenai permasalahan dalam
menjaga perdamaian dan kestabilan internasional adalah dengan pengguna-
an collective security, yang menjamin perdamaian dan kebebasan bagi semua
pihak. Konsep ini diusung oleh Immanuel Kant yang merupakan sebuah konsep
kebersamaan yang bersifat sementara diantara banyak negara dimana kebersa-
maan tersebut akan mendatangkan keuntungan melawan aggressor. Berbeda
dengan konsep aliansi yang diusung realisme untuk memperbesar power, kon-
sep collective security ini lebih menekankan pada proses kerjasama yang saling
menguntungkan antarnegara. Selain itu untuk mendukung proses menjaga per-
damaian dan kebebasan bagi semua pihak melalui collective securety tersebut,
liberalisme memperkenalkan atau membawa konsep ideologi demokrasi. De-
mokrasi dipilih dan digunakan oleh liberalisme karena menurut perspektif ini,
demokrasi merupakan sebuah ideologi yang membawa dan mengutamakan
perdamaian bagi tiap individu di dalamnya. Terdapat dua agenda utama dalam
perspektif liberalisme, yaitu yang pertama adalah untuk mempromosikan dan
menyebarkan permasalahan mengenai hak asasi manusia dan penyelesaian-
penyelesaian konflik. Hal tersebut diwujudkan liberalisme dalam peranannya
melalui pembuatan lembaga-lembaga terkait seperti LBB, PBB ataupun lemba-
ga-lembaga terkait lainnya. Dan yang kedua menekankan proses perdagangan
global atau pasar liberal melalui badan WTO.163
161 Jackson, R., &. Sorensen, G. Op.Cit. dalam Mohammad Reza Ferizmanda, Ibid. 162 Dunne, Op.Cit. dalam Mohammad Reza Ferizmanda, Ibid. 163 Wardhani, Baiq, Op.Cit. dalam Mohammad Reza Ferizmanda, Ibid.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 214
Liberalisme sering pula disebut sebagai liberalis utopian karena banyak
pihak yang mengatakan, terlebih kaum realis menganggap pemikiran-pemikiran
liberalis hanya merupakan sebuah mimpi yang sulit untuk menjadi kenyataan.
Namun semua kritik tersebut dirasa salah sebab melihat perkembangan dunia
internasional kini yang semakin mengarah kepada proses perdamaian serta
terus berkembangnya kerjasama antarnegara menunjukkan bahwa perspektif
liberalisme masih relevan dan bahakn dapat diterima dala proses hubungan
internasional kini. Kesimpulannya, liberalisme merupakan sebuah perspektif
dalam hubungan internasional yang berfokus pada permasalahan international
peace dan human rights. Para kaum liberal memiliki keyakinan besar terhadap
akal pikiran manusia dan mereka yakin bahwa prinsip-prinsip rasional dapat
dipakai pada masalah-masalah internasional. Kaum liberal melihat sistem
internasional berkembang dalam sistem anarki, dan mengakui bahwa individu
selalu mementingkan diri sendiri dan bersaing terhadap suatu hal, tetapi mereka
juga percaya bahwa individu-individu memiliki banyak kepentingan dan dengan
demikian dapat terlibat dalam aksi sosial yang kolaboratif dan kooperatif baik
domestik maupun internasional. Sehingga disini liberalis tidak hanya mengang-
gap negara sebagai satuan tertinggi dalam hubungan internasional namun lebih
jauh lagi liberalis melihat negara dapat bersatu melalui kerjasama dengan
negara lain untuk menciptakan suatu perdamaian di dunia. Dalam memberikan
jawaban mengenai permasalahan dalam menjaga perdamaian dan kestabilan
internasional adalah dengan penggunaan collective security, yang menjamin
perdamaian dan kebebasan bagi semua pihak. Terdapat dua agenda utama
dalam perspektif liberalisme, yaitu yang pertama adalah untuk mempromosikan
dan menyebarkan permasalahan mengenai hak asasi manusia dan penyele-
saian-penyelesaian konflik. Hal tersebut diwujudkan liberalisme dalam peranan-
nya melalui pembuatan lembaga-lembaga terkait seperti LBB, PBB ataupun
lembaga-lembaga terkait lainnya. Dan yang kedua menekankan proses perdaga-
ngan global atau pasar liberal melalui badan WTO. Reza Ferizmanda berpenda-
pat, dalam proses mempelajari perspektif dalam studi hubungan internasional,
adalah suatu hal yang penting untuk mengerti nilai-nilai yang terdapat dalam
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 215
setiap perspektif, hal tersebut diperlukan agar dalam menyelesaikan suatu per-
masalahan internasional penstudi dapat mempertimbangkan segala aspek mela-
lui perspektif yang telah dipelajari agar kedepannya selalu tercipta hubungan
antarnegara yang baik dan damai.164 Perlu ditekankan pula disini baik bagi
paham liberal maupun realisme, kedua-duanya merupakan pahaman yang
memiliki sisi positif dan negatif masing-masing, sehingga perlu sikap bijak dalam
mengintegrasikan sisi positif dari kedua pahaman agar kebebasan yang ada
tidak melanggar kemanan nasional dan menciptakan hubungan inetrnasional
yang harmonis antar negara.
3. Rangkuman
3.1. Para pemikir realis juga menempatkan keamanan nasional sebagai prioritas
atau fokus utama dalam prespektif realisme. Dalam kacamata realis,
keamanan militer dan isu-isu strategis tergolong kepentingan utama dan
mengacu ke dalam kategori high politics. Sedangkan ekonomi dan isu-isu
sosial dilihat oleh kaum realis sebagai hal yang biasa, yang termasuk ke
dalam kategori low politics. Realisme juga memfokuskan analisisnya pada
power dan otonomi dalam interaksi internasional serta tentang tidak adanya
keharmonisan diantara negara-negara, sehingga konsep self-help di sini
menjadi penting. Dan kemampuan yang paling relevan, yaitu kemampuan
di bidang militer. Realis tidak menolak prinsip-prinsip moral, Hanya saja
dalam prakteknya, moralitas individual dikalahkan oleh kepentingan akan
kelangsungan hidup negara dan penduduknya dan tentu saja kepentingan
nasional itu sendiri Bagi kaum realis, negara merupakan aktor utama dalam
panggung internasional.
3.2. Liberalisme merupakan sebuah perspektif dalam hubungan internasional
yang berfokus pada permasalahan international peace dan human rights.
Para kaum liberal memiliki keyakinan besar terhadap akal pikiran manusia
dan mereka yakin bahwa prinsip-prinsip rasional dapat dipakai pada
masalah-masalah internasional. Kaum liberal melihat sistem internasional
164 Ibid.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 216
berkembang dalam sistem anarki, dan mengakui bahwa individu selalu
mementingkan diri sendiri dan bersaing terhadap suatu hal, tetapi mereka
juga percaya bahwa individu-individu memiliki banyak kepentingan dan
dengan demikian dapat terlibat dalam aksi sosial yang kolaboratif dan
kooperatif baik domestik maupun internasional. Sehingga disini liberalis
tidak hanya menganggap negara sebagai satuan tertinggi dalam hubungan
internasional namun lebih jauh lagi liberalis melihat negara dapat bersatu
melalui kerjasama dengan negara lain untuk menciptakan suatu perdamai-
an di dunia. Terdapat tiga bentuk dari liberalisme, yaitu liberal institusiona-
lisme, liberal internasionalisme dan idealisme.
C. PENUTUP
1. Soal Latihan
Fasilitator memberikan tes formatif untuk mengetahui tingkat penguasaan
pengetahuan yang diperoleh mahasiswa pada materi bahasan ini dengan mem-
berikan pertanyaan antara lain sebagai berikut:
1.1. Jelaskan dasar pemikiran dari paham realisme?
1.2. Jelaskan apa yang menjadi kepentingan utama bagi paham relaisme?
1.3. Jelaskan dasar pemikiran dari paham liberalisme?
1.4. Jelaskan fokus utama dari pemikiran liberalisme?
1.5. Jelaskan perbedaan liberal institusionalisme, internasionalisme, dan
idealisme?
2. Umpan Balik
Mahasiswa dapat mengajukan hal tentang kondisi yang dialami dan diha-
rapkannya untuk memahami materi bahasan terkait.
3. Daftar Pustaka
Arief Rahman, Realisme dalam Hubungan Internasional, (Artikel) Tahun 2012.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 217
Dugis, Vinsensio, 2014. Week 1. Theories of IR. Materi disampaikan pada kuliah
teori hubungan internasional, Departemen Hubungan Internasional,
Universitas Airlangga. 6 Maret 2014.
Mohammad Reza Ferizmanda, Perspektif Liberalisme dalam Teori Hubungan
Internasional, (Artikel) Tahun 2014.
Wardhani, Baiq, 2014. Week 3. Liberalisme. Materi disampaikan pada kuliah
teori hubungan internasional, Departemen Hubungan Internasional,
Universitas Airlangga. 20 Maret 2014.
Dunne, Tim, 2001, in Baylis, John & Smith, Steve (eds.) (2001), The Globaliza-
tion of World Politics, 2nd edition, Oxford University Press.
Jackson, R., &. Sorensen, G. 1999, Introduction to International Relati-
ons, Oxford University Press.
Scott Burchill & Andrew Linklater, Teori-Teori Hubungan Internasional, (Penerje-
mah M. Sobirin), Bandung, Nusa Media, 2015.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 218
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 219
BAB VI
MASYARAKAT INTERNASIONAL
A. PENDAHULUAN
1. Sasaran Pembelajaran
Mahasiswa mampu menguraikan dan menjelaskan tentang masyarakat
internasional.
2. Kemampuan Mahasiswa yang Menjadi Prasyarat
Sebelum mempelajari materi ini mahasiswa harus mempunyai pengeta-
huan awal tentang hubungan internasional.
3. Keterkaitan Bahan Pembelajaran dengan Pokok Bahasan lainnya
Bahan pembelajaran ini memberikan pemahaman awal kepada mahasis-
wa tentang ketertiban dan keadilan, negarawan dan tanggung jawabnya, kritik
terhadap masyarakat internasional, sehingga akan lebih mudah mahasiswa un-
tuk memahami atau mempelajari pokok bahasan selanjutnya tentang ekonomi
politik internasional
4. Manfaat Bahan Pembelajaran
Setelah mahasiswa mengikuti dan memahami materi bahasan ini maka
mahasiswa mampu menguraikan ketertiban dan keadilan, negarawan dan tang-
gung jawabnya, kritik terhadap masyarakat internasional.
5. Petunjuk Belajar Mahasiswa
Sebelum mengikuti perkuliahan mahasiswa diwajibkan membaca materi
dalam buku ajar ini. Setelah pemaparan materi bahasan tersebut di atas maha-
siswa diberi kesempatan bertanya atau membentuk kelompok diskusi, serta
mahasiswa dibebaskan untuk mengemukakan pendapat seluas-luasnya dan
bertanya kepada fasilitator jika ada materi yang kurang. Selain itu mahasiswa
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 220
juga diberikan tugas mandiri dalam bentuk mahasiswa melakukan penelusuran
bahan pustaka terkait hubungan internasional, dan dibahas berdasarkan ruang
lingkup materi yang telah diajarkan.
B. PENYAJIAN MATERI BAHASAN
MASYARAKAT INTERNASIONAL
Usai perdebatan panjang neorealisme dan neoliberalisme, banyak pakar
hubungan internasional yang mencoba memberikan kritik kepada dua teori besar
hubungan internasional sebelumnya. sebuah teori muncul dan menjadi center of
point para pakar hubungan internasional terutama yang pada awalnya muncul di
Inggris. Teori ini sering disebut dengan Masyarakat Internasional (International
Society). Selain istilah International Society,teori ini juga terkenal dengan sebu-
tan English School Theory karena kemunculan gagasan teori ini bermula di
Inggris tepatnya di Departemen Hubungan Internasional, London School of
Economics (LSE). Pencetus istilah English School adalah Roy E. Jones dari
Wales. Sejarah kemunculan teori ini bermula dari gagasan Charles A. Manning
dari Departemen Hubungan Internasional LSE. Kemudian beberapa pakar mulai
berinisiatif untuk mendirikan sebuah forum diskusi yang disebut British Commit-
tee of International School yang diprakarsai oleh Herbert Butterfield seorang
pakar sejarah dari Cambridge University. Dalam perkembangan konseptuali-
sasi English School Theory, muncul pula tokoh-tokoh lain seperti Martin Wight
dan Hedley Bull. Bull menekankan pada dua nilai paling fundamental: ketertiban
internasional dan keadilan internasional,165 sedangkan fokus Wight mengacu
pada tiga konsep yang mengkontruksi gagasan English School Theory: realisme,
rasionalisme, dan revolusionisme. British Committee of International School
mengadakan pertemuan dan diskusi rutin antara pakar-pakar hubungan interna-
sional di Inggris terutama dari tiga universitas utama; London School of Econo-
mics, Cambridge University, dan Oxford University. Dari tercetusnya British
165 Jackson, R., &. Sorensen, G. 1999, Introduction to International Relations, Oxford
University Press dalam Rizky Kendra Anjani, Mayarakat Internasional dalam Perkembangan Teori Hubungan Internasional, (Artikel) Tahun 2012
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 221
Committee of International School inilah pada akhirnya teori Masyarakat Inter-
nasional mendapat sebutan baru yaitu British Institutionalism karena segala ga-
gasan yang dilahirkan dari forum diskusi tersebut.166
Secara global fokus English School Theory adalah isu-isu internasional
masyarakat internasional. Teori ini menyatakan bahwa negarawan merupakan
aktor sentral yang bertanggungjawab atas penentuan kebijakan luar negeri. Ia
menolak gagasan tentang realisme yang bersifat egosentris yang menyatakan
bahwa national interest merupakan tujuan utama dan komsep world chaos serta
menolak pandangan kaum liberalis yang optimistis dan utopis memandang
hubungan internasional sebagai keadaan yang kondusif dengan kerjasama yang
saling memberikan manfaat. Alih-alih tidak menentukan kejelasan antara memilih
gagasan liberalis dan realis, English School Theory memilih “jalan tengah” di
antara dua teori tersebut namun menempatkan dan membangun gagasannya di
tempat tersendiri. English School Theory sebagaimana dijelaskan oleh Martin
Wight dibangun dalam tiga fondasi dasar yaitu realisme, rasionalisme, dan revo-
lusionisme. Dari sudut pandang realisme, hubungan internasional merupakan
hubungan instrumental dimana kepentingan masing-masing negara menjadi
prioritas utama. Dari kacamata rasionalisme hubungan internasional dipandang
sebagai aktivitas aturan-perintah berdasarkan kekuatan berdaulat yang saling
mendapatkan pengakuan. Terakhir dari konsep revolusionisme menyatakan bah-
wa hubungan internasional tidak sekadar bentuk masyarakat negara namun
secara esensial merupakan bentuk komunitas manusia. Tesis-tesis English
School Theory dan perkembangannya adalah hal yang juga perlu diperhatikan.
Tim Dunne menjelaskan sejarah English School Theorydibagi menjadi dua
fase; classical theory berkembang di era 1950-1980-an dimana gagasan-
gagasan tentang masyarakat internasional dicetuskan oleh para pakar berke-
bangsaan Inggris atau pertama kali digagas di Inggris. Fase kedua adalah post-
classical theory, berkembang pada 1990 hingga saat ini dan konseptualisasi
166 Rizky Kendra Anjani, Ibid.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 222
tidak hanya dilakukan oleh pakar berkebangsaan Inggris ataupun bertempatkan
di Inggris saja.167
Berbeda dengan Tim Dunne, Barry Buzan membagi fase perkemba-
ngan English School Theory menjadi empat fase. Pertama era tahun 1959-1966
yang menandai terlembaganya forum diskusi tentang masyarakat internasional
dan diplomatic investigation. 1966-1977 dijelaskan Buzan sebagai fase konsoli-
dasi yang menyatakan bahwa English School Theorymemiliki cara berpikir sa-
ngat kuat dengan munculnya pakar baru yaitu Hedley Bull. Bull di era ini berjasa
dalam menduniakan perspektif English School. Era tahun 1977-1992 English
School Theory secara resmi dimasukkan dalam kajian teori hubungan interna-
sional setelah sekian lama hanya menjadi diskusi lepas antar para pakar. Hal ini
menyebabkan Hubungan Internasional terutama dalam kajian Teori Hubungan
Internasional identik dengan English School Theory. Periodesasi Buzan yang
yang terakhir, era 1992 hingga sekarang menjelaskan bahwa perkemba-
ngan English School Theory sudah tidak terkoneksi dengan institusi-institusi
Inggris. Periodesasi Czaputoniez kurang lebih sama seperti yang dibentuk
Dunne dan Buzan, perkembangannya mencakup kelahiran konsep internasional
sebagai instrumen memahami konseep English School Theory, kemunculan
konsep western international society yang menguatkan diri dan mendominasi
cara berpikir English School Theory, terjadinya regenerasi konseptualisasi
English School Theory dengan adanya penguatan identitas teori ini di institusi-
institusi di luar Inggris, dan terakhir ekspansi English School Theory dengan
indikasi masyarakat yang mampu mengontraskan teori ini dengan perspektif lain
yang berkembang.168
Dengan bertitik tolak pada ungkapan klasik seperti yang dikemukakan
oleh Aristoteles, seorang filsuf zaman Yunani Kuno, ubi societas ibi ius (dimana
ada masyarakat, disana ada hukum). Demikian pula halnya dengan hukum
internasional yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat internasional.
Dalam hubungan ini, yang dimaksud dengan masyarakat internasional adalah
167 Ibid. 168 Ibid.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 223
subyek-subyek hukum internasional yang saling mengadakan hubungan satu
dengan lainnya. Berbeda dengan struktur masyarakat nasional yang tunduk
pada suatu badan atau organ yang kedudukannya lebih tinggi, jadi berada diatas
masyarakat nasional yang lazim disebut pemerintah (nasional), masyarakat
internasional tidak mengenal badan atau organ yang berkedudukan lebih tinggi
atau diatasnya. Dengan kata lain masyarakat internasional tidak mengenal
badan supranasional, ataupun pemerintah (internasional).169
Masyarakat internasional yang tunduk pada badan atau organ yang
kedudukannya lebih tinggi dari padanya, menunjukan bahwa mereka berada dan
hidup dalam suasana sub-ordinasi. Sebagai badan atau organ yang kedudu-
kannya lebih tinggi, maka badan atau organ ini dapat menetapkan peraturan-
peraturan hukum, dapat melaksanakan dan memaksakan peraturan-peraturan
hukum yang dibuatnya terhadap anggota masyarakat nasional. Oleh karena itu,
dapat disimpulkan, bahwa hukum nasional pun berstruktur subordinasi, sesuai
dengan struktur masyarakat nasional yang sub-ordinasi. Sedangkan masyarakat
internasional seperti telah dikemukakan di atas, tidak mengenal badan supra-
nasional yang berkedudukan lebih tinggi atau diatas dari masyarakat inter-
nasional. Sturuktur masyarakat internasional terdiri dari subyek-subyek hukum
internasional yang secara yuridis formalberkedudukan sederajat. Tiadanya ba-
dan supra-nasional, berarti tidak ada badan yang memiliki otoritas sebagai pem-
buat, pelaksana dan pemaksa hukum internasional. Hukum internasional tumbuh
dan berkembang dari dan didalam maupun diantara masyarkat internasional itu
sendiri, baik berupa kesepakatan-kesepakatan yang dinyatakan secara tegas,
maupun kesepakatan secara diam-diam. Struktur masyarakat dan hukum
internasional yang demikian itu yang lazim disebut sebagai sebagai masyarakat
yang koordinasi. Hukum internasional yang tumbuh dan berkembang dalam
struktur masyarakat yang demikian itu disebut sebagai hukum yang berstruktur
koordinasi.170
169 S.M. Noor, Masyarakat Internasional dan Hukum Internasional, (Artikel) Tahun 2012
yang dipublikasi pada http://www.negarahukum.com/ 170 Ibid.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 224
Meskipun masyarakat internasional dan hukum internasional berstruktur
koordinasi, akan tetapi kini sudah mulai nampak, bahwa masyarakat internasio-
nal dan hukum internasional mengarah pada masyarakat yang berstruktur sub-
ordinasi. Hanya saja, hal ini tidak terwujud dalam ruang lingkup global melainkan
masih terbatas dalam ruang lingkup regional. Berdirinya Uni Eropa (European
Union) melalui proses perjalanan sejarah yang cukup panjang yang anggotanya
terdiri dari sejumlah negara di kawasan Eropa Barat dengan struktur organisasi
yang supra-nasional disertai dengan kekuasaan menetapkan peraturan-peratu-
ran hukum (internasional) yang berlaku secara sub-ordinatif terhadap negara-
negara anggotanya, yang di kenal dengan sebutan community law, merupakan
salah satu bukti dari tumbuh dan berkembangnya hukum internasional yang
sub-ordinatif. Tampaknya, pada masa-masa yang akan datang, kecenderungan
kearah terbentuknya hukum internasional yang sub-ordinatif dalam ruang lingkup
kawasan-kawasan akan semakin bertambah. Sejalan dengan peningkatan ker-
jasama dan tingkat integrasi negara-negara sekawasan.171
1. Ketertiban dan Keadilan
Pendekatan masyarakat Internasional berasal dari filsafat, sejarah, dan
hukum. Dan dicirikan khususnya oleh ketergantungan secara nyata pada ‘pelak-
sanaan keputusan’. Dengan pelaksanaan keputusan bahwa kebijakan luar nege-
ri kadang-kadang memunculkan pilihan moral yang sulit bagi negarawan yang
terlibat yaitu pilihan tentang tujuan dan nilai politik yang bertentang. Pilihan
kebijakan luar negeri yang sulit dalam hal ini akan berupa keputusan untuk
berperan atau keputusan untuk ikut terlibat dalam intervensi kemanusiaan.
Tradisi masyarakat Internasional merupakan salah satu pendekatan klasik hubu-
ngan internasional. Tetapi pendekatan ini berupaya menghindari pilihan sulit
antara :172
(1) egoisme dan konflik negara
171 Ibid. 172 Mifta Churohman, Masyarakat Internasional, (Artikel) Tahun 2010
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 225
(2) keinginan baik manusia dan kerjasama yang dimunculkan oleh perde-
batan antara realisme dan liberalisme.
Perdebatan antara realisme dan liberalisme tersebut menganggap hubu-
ngan Internasional sebagai suatu “masyarakat”. Negara dimana actor utamanya
adalah negarawan yang ahli dalam praktek ketatanegaraan. Tradisi ini meman-
dang ketatanegaraan sebagai aktivitas manusia yang sangat penting yang
mencakup kebijakan luar negeri, kebijakan militer, kebijakan perdagangan, peng-
akuan politik, komunikasi diplomatik, pengumpulan data intelejen dan mata-ma-
ta, membentuk dan bergabung dengan aliansi militer, mengancam atau terlibat
dalam penggunaan kekuatan bersenjata, bernegosiasi dan menandatangani per-
janjian perdamaian, memasuki perjanjian perdagangan, bergabung dan berparti-
sipasi dalam organisasi Internasional, dan terlibat dalam kontak, interaksi, tran-
saksi dan pertukaran Internasional yang tak terhitung. Hal ini berarti bahwa
keterkaitan kebijakan luar negeri suatu negara dan negarawan harus menjadi
fokus sentral analisis: kepentingan, pertimbangan, maksud, ambisi, kalkulasi,
dan miskalkulasi, keinginan, keyakinan, harapan, ketakutan, keraguan, ketidak-
pastian, dan seterusnya.173
Inti pendekatan masyarakat adalah negara-negara dianggap sebagai or-
ganisasi manusia seperti ditunjukan, konsep kuncinya adalah “masyarakat
negara (society of state)” (Wight 1977). Politik Internasional dipahami menjadi
cabang khusus dari politik yang tidak ada kekkuasaan hierarkis yaitu tidak ada
“pemerintahan” dunia di atas negara-negara berdaulat. Dengan demikian, masih
terdapat kepentingan, aturan, institusi, dan organisasi bersama yang diciptakan
dan dimiliki oleh negara dan yang membantu membentuk hubungan negara-
negara. Kondisi sosial Internasional itulah yang disimpulkan Hedley Bull (1955)
dengan frase ”masyarakat anarkis (the anarchical society)”: terdapat tatanan
seluruh dunia dari negara-negara merdeka. Bull membuat perbedaan penting
antara “sistem Internasional” dan “masyarakat Internasional”.
173 Ibid.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 226
Tiga Tradisi Teori dalam Masyarakat Internasional. Tiga kategori dasar
yaitu realis, rasionalis, dan revolusionis, dengan penjelasan sebagai berikut :174
1. Realis adalah doktrin yang disitu persaingan dan konflik antara negara
“melekat” di dalam hubungan mereka. Kaum realis menekankan “ele-
men anarki politik kekeuasaan, dan peperangan”.175 Realisme memu-
satkan pada kenyataan apa itu dari pada yang ideal apa yang seha-
rusnya. Dengan demikian, realisme menimbulkan penghindaran khaya-
lan dan “penerimaan apa adanya terhadap sisi kehidupan yang tidak
menyenangkan”. Oleh karena itu, kaum realis cenderung pesimis ten-
tang sifat manusia: peradaban mannusia dibagi menjadi “penjahat dan
penipu”, kaum realis bertahan hidup dan berhasil dengan mengalahkan
penjahat dan mengambil keuntungan dari mereka yang bodoh atau
naïf. Hal itu menunjukan politik dunia tidak dapat maju tetapi pada
dasarnya selalu tetap sama dari wakru ke waktu atau tempat ke tempat.
Realisme pada sisi yang ekstrim adalah suatu penolakan bahwa mas-
yarakat Internasional hidup; yang hidup adalah keadaan alami hobbe-
sian. Satu-satunya masyarakat politik dan, tentu saja, komunitas moral
adalah negara. Tidak ada kewajiban internasional diluar atau diantara
negara-negara.
2. Rasionalis adalah mereka para teoritisi yang yakin bahwa manusia se-
lalu memakai akal pikiran, dapat mengenali hal yang benar untuk dila-
kukan, dan dapat belajar dari kesalahannya dan dari yang lainnya.176
Kaum rasionalis yakin bahwa masyarakat kiranya dapat diataur untuk
hidup bersama sekalipun mereka tidak memiliki pemerintahan bersama,
seperti dalam kondisi hubungan internasional yang anarkis. Rasionalis-
me pada sisi yang ekstrim jika mungkin sampai batas yang merupakan
jiwa yang sederhana adalah dunia sempurna tentang saling menghar-
174 Ibid. 175 Wight, Social Research: An International Quarterly, Volume 58, No. 1 (Spring 1991),
hlm.15-24 dalam Mifta Churohman, Ibid. 176 Wight, Social Research: Ibid., hlm. 14-24 dalam Mifta Churohman, Ibid.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 227
gai, perjanjian dan aturan hukum diantara negara-negara. Dalam hal ini
rasionalisme menunjukkan ”Jalan tengah” dari politik Internasional,
memisahkan kaum realis pesimis disatu sisi dari kaum revolusionis
optimis di sisi lain.
3. Revolusionis adalah mereka para teoritisi yang menunjukkan dirinya
dengan rasa kemanusiaan dan yakin pada “persatuan moral” dari mas-
yarakat dunia diluar negara.177 Mereka adalah para pemikir “Kosmo-
politan” daripada pemikir state-centric, pemikir solidaris daripada pemi-
kir prularis, dan teori internasionalnya memiliki karakter yang progre-
sifyng bahkan karakter penganut dalam hal bertujuan mengubah dunia
menjadi lebih baik. Perubah sosial revolusioner adalah tujuannya. Hal
ini menimbulkan munculnya dunia ideal semacam itu, apakah dunia
ideal di dasarkan pada agama revolusioner seperti Kristen, atau ideo-
logi revolusioner, seperti liberalisme republikan atau Marxisme-Leninis-
me. Bagi revolusionis, sejarah bukan hanya potongan kejadian dan
peristiwa. Melainkan sejarah memiliki tujuan, manusia memiliki takdir.
Kaum revolusionis optimis mengenai sifat manusia: mereka percaya
pada kesempurnaan manusia. Tujuan akhir sejarah Internasional ada-
lah untuk memungkinkan manusia mencapai pemenuhan diri dan kebe-
basan. Bagi Kant, revolusi menimbulkan pembentukan system negara
konstitusional “republic” yang bersamaan dapat membangun perdamai-
an abadi. Bagi Marx revolusi menimbulkan penghancuran negara kapi-
talis, menggulingkan system kelas yang menjadi landasannya, dan
membentuk masyarakat tanpa kelas. Ketika revolusi itu dicapai,
manusia tidak hanya akan terbebas tetapi juga bersatu kembali, dan
tidak ada tempat baik bagi negara maupun bagi hubungan Interna-
sional. Revolusionisme pada sisi ekstrim adalah pernyataan bahwa
satu-satunya masyarakat nyata di muka bumu adalah masyarakat
dunia yang terdiri dari manusia, yaitu peradaban manusia.
177 Wight, Social Research: Ibid. hlm. 8-12 dalam Mifta Churohman, Ibid.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 228
Ada empat kunci yang ditekankan dalam teori masyarakat internasional
anratar lain :178
1. ditekankan pada pemikiran operatif terkemuka yang terlihat memben-
tuk pemikiran, kebijakan dan aktifitas dari rakyat yang terlibat dalam
hubungan internasional: warganegara khususnya.
2. ditekankan pada dialog antara pemikiran, nilai dan keyakinan terke-
muka yang turut berperan dalam pelaksanaan kebijakan luar negri.
3. ditekankan pada dimensi sejarah dari hubungan internasioanal
4. ditekankan pada aspek hubungan internasional yang paling mendasar
dan yang paling singkat: aspek normative seperti yang terlihat dalam
keterangan sejarah.
Ciri-ciri Masyarakat Internasional. Masyarakat intenasional adalah suatu
kompleksitas bersama, yang jalin-menjalin secara tetap dan terus-menerus anta-
ra sejumlah negara-negara yang berdaulat dan sederajat. Masyarakat internasio-
nal mempunyai cirri-ciri sebagai berikut :179
1. Negara merupakan satuan teritorial yang berdaulat.
2. Hubungan nasional yang satu dengan yang lainnya didasarkan atas
kemerdekaan dan persamaan derajat.
3. Masyarakat negara-negara tidak mengakui kekuasaan di atas mereka
seperti seorang kaisar pada zaman abad pertengahan dan Paus
sebagai Kepala Gereja.
4. Hubungan antara negara-negara berdasarkan atas hukum yang ba-
nyak mengambil oper pengertian lembaga Hukum Perdata, Hukum
Romawi.
5. Negara mengakui adanya Hukum Internasional sebagai hukum yang
mengatur hubungan antar negara tetapi menekankan peranan yang
besar yang dimainkan negara dalam kepatuhan terhadap hukum ini.
6. Tidak adanya Mahkamah (Internasional) dan kekuatan polisi interna-
sional untuk memaksakan ditaatinya ketentuan hukum Internasional.
178 Mifta Churohman, Loc.Cit. 179 Ibid.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 229
7. Anggapan terhadap perang yang dengan lunturnya segi-segi keaga-
maan beralih dari anggapan mengenai doktrin bellum justum (ajaran
perang suci) kearah ajaran yang menganggap perang sebagai salah
satu cara penggunaan kekerasan.
Seperti yang telah ditunjukkan, pendekatan masyarakat internasional
menekankan filsafat dan sejarah, juga hukum. Martin Wight pada dasarnya
adalah seorang sejarawan diplomatik yang tercermin pada interaksi dinamis dari
pemikiran mendasar dalam hubungan internasional. Hedley Bull disisi lain,
adalah seorang filosof politik dunia yang mencoba membuat teori sistematik
tentang masyarakat internasional. Baik Wight maupun Bull melihat teori
hubungan internasional sebagai cabang dari politik. Mereka yakin bahwa hanya
hal itulah yang memungkinkan untuk menteorisasikan hubungan internasional
dalam konteks kejadian dan episode sejarah yang konkret. Mereka skeptis
tentang menteorisasikan ilmu social yang abstrak berdasarkan teori permainan
atau model ilmiah lainnya yang terpisah dari sejarah dan pengalaman manusia.
Inti dari masyarakat anarkis, menurut Bull adalah peningkatan dan pemeliharaan
ketertiban internasional, yang diartikan sebagai “pola atau disposisi aktivitas
internasional yang mempertahankan tujuan masyarakat dan negara tersebut
yang elementer, utama atau universal”. Bull menunjukkan empat macam tujuan
tersebut: mempertahankan masyarakat internasional, menegakkan kemerdekaan
negara anggota, memelihara perdamaian, dan menolong menjaga pondasi
normatif semua kehidupan sosial, yang meliputi “pembatasan kekerasan”
(diwujudkan dalam hukum perang), dan “menepati janji” (diwujudkan dalam
prinsip timbal balik), dan “stabilitas kepemilikan” (diwujudkan dalam prinsip saling
mengakui kedaulatan negara). Menurut Bull, ini semua adalah tujuan yang paling
mendasar dari masyarakat anarkis. Semua tujuan ini bercirikan moral : mereka
tidak hanya penting atau mementingkan dirinya sepenuhnya, mereka untuk yang
lain juga untuk diri kita sendiri. Bull, seperti kebanyakan teoretisi masyarakat
internasional lainnya, menunjukkan analisis normative tentang politik dunia.180
180 Robert Jackson dan Georg Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009, hlm. 198-199
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 230
Bull membedakan tiga macam ketertiban dalam politik dunia. Pertama
adalah “ketertiban dalam kehidupan sosial”, yang merupakan elemen dasar
hubungan manusia selain dari bentuk yang diambil; Kedua adalah “ketertiban
internasional” yang merupakan tatanan antara negara-negara dalam sistem atau
masyarakat negara; dan Ketiga adalah “ketertiban dunia” yang merupakan
tatanan antara manusia secara keseluruhan. Bull, selanjutnya menyatakan
bahwa “ketertiban dunia lebih fundamental dan primordial daripada ketertiban
internasional sebab unit utama dari masyarakat besar dari seluruh peradaban
manusia bukanlah negara, tetapi manusia sebagai individu”. Menurut Bull,
masyarakat internasional memberikan hirauan bukan hanya tentang ketertiban
tetapi juga tentang keadilan. Bull menunjukkan berbagai macam konsepsi
keadilan tetapi juga menggambarkan perhatian khusus pada perbedaan antara
keadilan komutatif dan keadilan distributif dalam hubungan internasional. Kea-
dilan komutatif adalah tentang prosedur-prosedur dan balas-membalas, keadilan
komutatif menimbulkan suatu “proses klaim dan klaim balik” antar negara.
Negara seperti perusahaan di pasar, masing-masing perusahaan berbuat sebaik
mungkin agar berhasil dalam rangka kompetisi ekonomi. Hal itu dianggap
sebagai suatu tingkat permainan lapangan; semua perusahaan bermain dengan
aturan pasal yang sama, semua negara bermain dengan aturan masyarakat
internasional yang sama.181
2. Negarawan dan Tanggungjawabnya
Pendekatan masyarakat internasional membawa pada studi tentang
pilihan moral dalam kebijakan luar negeri yang dihadapi oleh negarawan yang
bertanggung jawab. Kami dapat melihat paling sedikit tiga dimensi atau tingkatan
tanggung jawab yang berbeda yang berkaitan dengan tiga tradisi Wight di
atas:182
1. Kesetiaan pada bangsanya sendiri dan kebaikan warganegaranya;
181 Ibid., hlm. 203 182 Ibid., hlm. 205
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 231
2. Menghargai kepentingan yang sah dan hak negara lain dan meng-
hormati hukum internasional; dan
3. Menghargai hak asasi manusia.
Tanggungjawab nasional. Menurut konsepsi ini, negarawan bertanggung
jawab bagi kesejahteraan warganegaranya. Satu-satunya standar hubungan
yang fundamental yang seharusnya mereka anut dalam kebijakan luar negerinya
adalah kepentingan nasionalnya sendiri. keamanan nasional adalah nilai dasar
yang wajib mereka lindungi.183
Tanggungjawab internasional. Menurut konsepsi ini, negarawan memiliki
kewajiban luar negeri yang berasal dari ekanggotaan negaranya dalam masyara-
kat internasional yang melibatkan hak dan kewajiban seperti yang ditentukan
oleh hukum inetrnasional.184
Tanggungjawab kemanusiaan. Menurut konspsi ini, negarawan pertama
dan paling utama adalah manusia dan dengan sendirinya mereka memiliki kewa-
jiban mendasar untuk menghargai hak asasi manusia bukan hanya di negara
mereka sendiri tetapi di seluruh dunia.185
3. Kritik terhadap Masyarakat Internasional
Beberapa kritisme dapat dibuat terhadap pendekatan masyarakat interna-
sional pada hubungan internasional :186
1. Terdapat kritik kaum realis bahwa bukti dari norm internsionl sebgai
penentu kebijakan dan perilaku negara, perilaku negara dalah lemah atau
tidak kuat.
2. Terdapat kritik kaum liberal bahwa tradisi msyarakat internasional menga-
baikan politik domestik, yaitu demokrasi dan tidak dapat menjelaskan
perubahan progresif dalam politik internasional dimana kritik tersebut
adalah tidak adanya kepentingan dari teoritis masyarakat internasional
183 Ibid. 184 Ibid., hlm. 206 185 Ibid., hlm. 207 186 Mifta Churohman, Loc.Cit.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 232
dalam peran politik domestic dalam hubungan internasional dan adanya
kecintaan terhadap perdamaian daripada system politik yang tidak
demokratis
3. Terdapat kritik EPI (Ekonomi Politik Internasional) bahwa tradisi masya-
rakat internasional gagal memberikan penjelasan tentang hubungan
ekonomi internasional karena mengabaikan ekonomi, dan mengabaikan
dunia ketiga.
Akhirnya, terdapat beberapa kritikan solidaritas yang muncul dari dalam
tradisi masyarakat internasional sendiri yang memfokuskan pada keterbatasan-
nya sebagai teori modernitas politik yang tidak dapat menguasai dunia posmo-
dern yang muncul. Selain itu terdapat kritika yng lebih tajam ternadap pende-
katan masyarakat internasional adalah inkoherensi teoritis yang dapat terjadi
lantaran mencoba menggabungkan realisme, nasionalaisme dan revolusionalis-
me dalam kerangka interprretasi tunggal dan lantaran menekankan bukan hanya
ketertiban nasional tetapi juga keadilan internasional.187
4. Rangkuman
4.1. Ada tiga macam ketertiban dalam politik dunia. Pertama adalah “ketertiban
dalam kehidupan sosial”, yang merupakan elemen dasar hubungan manu-
sia selain dari bentuk yang diambil; Kedua adalah “ketertiban internasional”
yang merupakan tatanan antara negara-negara dalam sistem atau masya-
rakat negara; dan Ketiga adalah “ketertiban dunia” yang merupakan tatanan
antara manusia secara keseluruhan. Menurut Bull, masyarakat internasio-
nal memberikan hirauan bukan hanya tentang ketertiban tetapi juga tentang
keadilan. Bull menunjukkan berbagai macam konsepsi keadilan tetapi juga
menggambarkan perhatian khusus pada perbedaan antara keadilan komu-
tatif dan keadilan distributive dalam hubungan internasional.
4.2. Pendekatan masyarakat internasional membawa pada studi tentang pilihan
moral dalam kebijakan luar negeri yang dihadapi oleh negarawan yang
bertanggung jawab. Tanggungjawab yang dimaksud adalah, tanggung ja-
187 Ibid.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 233
wab nasional, tanggung jawab internasional, dan tanggung jawab kemanu-
siaan.
4.3. Terdapat beberapa kritikan solidaritas yang muncul dari dalam tradisi mas-
yarakat internasional sendiri yang memfokuskan pada keterbatasannya se-
bagai teori modernitas politik yang tidak dapat menguasai dunia posmodern
yang muncul
C. PENUTUP
1. Soal Latihan
Fasilitator memberikan tes formatif untuk mengetahui tingkat penguasaan
pengetahuan yang diperoleh mahasiswa pada materi bahasan ini dengan mem-
berikan pertanyaan antara lain sebagai berikut:
1.1. Jelaskan pengertian dari masyarakat internasional?
1.2. Jelaskan perbedaan keteriban dan keadilan?
1.3. Sebutkan dan jelaskan tiga tradisi teori dalam hubungan interna-
sional?
1.4. Sebutkan dan jelaskan 3 tanggung jawab seorang negarawan?
1.5. Jelaskan sejumlah kritikan terhadap masyarakat internasional?
2. Umpan Balik
Mahasiswa dapat mengajukan hal tentang kondisi yang dialami dan diha-
rapkannya untuk memahami materi bahasan terkait.
3. Daftar Pustaka
Jackson, R., &. Sorensen, G. 1999, Introduction to International Relations,
Oxford University Press.
Mifta Churohman, Masyarakat Internasional, (Artikel) Tahun 2010.
Rizky Kendra Anjani, Mayarakat Internasional dalam Perkembangan Teori
Hubungan Internasional, (Artikel) Tahun 2012.
Robert Jackson dan Georg Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 234
S.M. Noor, Masyarakat Internasional dan Hukum Internasional, (Artikel) Tahun
2012 yang dipublikasi pada http://www.negarahukum.com/
Wight, Social Research: An International Quarterly, Volume 58, No. 1, Spring
1991.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 235
BAB VII
EKONOMI POLITIK INTERNASIONAL
A. PENDAHULUAN
1. Sasaran Pembelajaran
Mahasiswa mampu menjelaskan pembangunan dan keterbelakangan di
dunia ketiga, serta globalisasi ekonomi dan peranan negara yang berubah agar
dapat mempermudah pemahaman esensi dari politik ekonomi internasional.
2. Kemampuan Mahasiswa yang Menjadi Prasyarat
Sebelum mempelajari materi ini mahasiswa harus mempunyai pengeta-
huan awal tentang hubungan internasional, hukum internasional, dan masyara-
kat internasional.
3. Keterkaitan Bahan Pembelajaran dengan Pokok Bahasan Lainnya
Bahan pembelajaran ini memberikan pemahaman kepada mahasiswa ten-
tang pembangunan dan keterbelakangan di dunia ketiga, serta globalisasi eko-
nomi dan peranan negara yang berubah, sehingga akan lebih mudah mahasiswa
untuk memahami atau mempelajari pokok bahasan selanjutnya tentang isu-isu
baru dalam hubungan internasional.
4. Manfaat Bahan Pembelajaran
Setelah mahasiswa mengikuti dan memahami materi bahasan ini maka
mampu menguraikan pembangunan dan keterbelakangan di dunia ketiga, serta
globalisasi ekonomi dan peranan negara yang berubah.
5. Petunjuk Belajar Mahasiswa
Sebelum mengikuti perkuliahan mahasiswa diwajibkan membaca materi
dalam buku ajar ini. Setelah pemaparan materi bahasan tersebut di atas maha-
siswa diberi kesempatan bertanya atau membentuk kelompok diskusi, serta
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 236
mahasiswa dibebaskan untuk mengemukakan pendapat seluas-luasnya dan
bertanya kepada fasilitator jika ada materi yang kurang. Selain itu mahasiswa
juga diberikan tugas mandiri dalam bentuk mahasiswa melakukan penelusuran
bahan pustaka terkait hubungan internasional, dan dibahas berdasarkan ruang
lingkup materi yang telah diajarkan.
B. PENYAJIAN MATERI BAHASAN
EKONOMI POLITIK INTERNASIONAL
1. Pembangunan dan Keterbelakangan di Dunia Ketiga188
Perbedaan tentang hakekat kemajuan (development), penjelasan tentang
ketidak berhasilan dalam usaha-usaha untuk mencapainya, dan tampaknya
alternatif strategi-strategi yang berhasil telah menguras energi dan menghasilkan
beberapa pemikiran. Namun tampaknya pertanyaan mendasar, bagaimana ana-
lisis tentang kemajuan. Isu-isu tentang kebijakan sosial mengarah pada kerang-
ka pemikiran/teori yang dipakai. Teori keterbelakangan mengarahkan pada
pendekatan yang menyatu (a unity approach) yang menolak (denies) kenyataan-
kenyataan perbedaan yang penting. Dalam studi, perbedaan-perbedaan ini dita-
ngani dengan konsisten atas isu-isu (consistent of issue) dan kemungkinan-
kemungkinan menangani dengan kebijakan-kebijakan sosial sebagai suatu yang
dinamis dalam perubahan (change) pada negara-negara dunia ketiga. Dalam
perkembangannya dunia ketiga telah bergerak (has emerged) sebagai satu
kekuatan yang nyata. Sampai abad ke 20, menjadi subjek dari sistem kapitalis
yang didominasi oleh negara-negara barat yang berbasis industri (western
industrial nation) atau dilihat tidak relevan.
Dalam jumlah penduduk, dunia ketiga memiliki jumlah terbesar penduduk
dunia dan berkembang sangat pesat. Dalam istilah ekonomi (economic terms)
memp bagian terbesar dari kekuatan buruh (greatest share of labour power), dan
dalam jangka panjang akan merupakan peluang pasar yang sangat besar.
188 Isi dari sub bab ini sepenuhnya adalah bahan materi perkuliahan Ibu Suwantji
Sisworahardjo, S.H., MDS., dalam mata kuliah Perencanaan Sosial studi Pasca Sarjana Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP Universitas Indonesia, dalam Dasril Guntara, Kemajuan dan Keterbelakangan (Development and Underdevelopment), (Artikel) Tahun 2012.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 237
Secara politis, meskipun belum menunjukkan kekuatannya di PBB, namun meru-
pakan kekuatan yang nyata, khususnya berdampak dalam menjembatani kese-
imbangan (the balance) antara dunia pertama dan kedua. Secara keseluruhan
dunia ketiga sebagai kelompok masyarakat (mass of societies) yang berbeda
keterbelakangannya. Sejak pertengahan abad ke 20 meskipun tidak dikehendaki
oleh analist negara-negara barat untuk mengadakan pendekatan bagian lainnya
sebagai kelompok bangsa yang kompleks dan berubah yang berhasil memper-
oleh kemerdekaan politiknya. Selanjutnya sebagai bangsa yang baru, dilihat
memerlukan bimbingan (guidance) dan bantuan untuk mencapai “modernisasi.”
Dalam proses ini banyak asumsi yang dibuat, paling banyak dan mendasar,
kepentingan umum antara developed dan underdeveloped. Asumsi-asumsi ter-
sebut kemungkinan sangat naïf. Hubungan antara sebelum dan sesudah kemer-
dekaan (political independence) dan dinamika underdevelopment, mungkin tidak
terlalu naïf seperti bukan nilai setempat (disingenious).
Kepentingan umum, misalnya antara petani dengan peladang kepen-
tingannya sama: hasil pertanian bagus. Dalam pandangan modern sesuatu yang
dominan untuk jangka waktu tertentu, bagaimanapun dilihat mencakup (embo-
died) asumsi banyak kekuatan yang akan berbalikarah (in turn) pada pengaruh
langsung + tidak langsung pada strategi-strategi untuk pembangunan + kebi-
jakan khusus antara (within) strategi-strategi tersebut. Dalam perkembangannya
tahap-tahap yang terjadi ditandai oleh : pusat kegiatan dan sumberdaya tentang
informasi pemikiran (informed thinking) yang berubah dari barat kepada dunia
ketiga. Bantuan (aid and assistance) dari barat sebelumnya diberikan secara
ringkas (epitomising) kepentingan umum (common interest), dan yang terburuk,
maksud yang baik tapi mungkin tidak efisien. Sekarang ikatan ini dilihat sebagai
bagian dari proses keberhasilan dimana negara-negara barat telah membentuk
kembali (re established) dan mempertahankannya. Dalam istilah ekonomi dise-
but hegemoni yang hilang dalam istilah politik (political terms), melalui deko-
lonisasi.
Baik para ahli maupun pemimpin politik (political leaders) di dunia ketiga
mengkritik tulisan barat yang berpendapat meneruskan eksploitasi dengan
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 238
menempatkan penyebab dari keterbelakangan pada dunia ketiga. Istilah “bla-
ming the victim” merupakan fenomena yang dipergunakan oleh mereka yang
mempelajari kemiskinan dan kesenjangan (inequality) antara masyarakat barat.
Dari negara-negara yang mempunyai pengalaman keterbelakangan berpendapat
(judged) teori serta penjelasan sebelumnya bertentangan dengan pendapat
mereka tentang dunia. Pengalaman Amerika Latin+ Afrika, kemarahan mereka
yang tertindas + pemerasan (oppression) dan eksploitasi, juga dikembangkan
teori yang berpengaruh sebagai senjata “The Psychology of Oppression,” dima-
na korban kolonialisasi tidak hanya menyalahkan kekurangannya, tapi secara
efektif mengajarkan untuk menerima dan mendalami (internalise) pandagan tidak
kompeten dan rendah diri dari mereka sendiri (to accept and interalise this view
of his own incompetence and inferiority). Teori ketergantungan (theories depen-
dency) digambarkan sebagai hakekat hubungan struktural (structural relation-
ships) dan diusulkan ketidakadilan antara yang kaya dan yang miskin, daerah
perkotaan dan pedesaan, baik dengan/tidak dengan kekuatan (those with power
and those without), diantara negara-negara dunia ketiga telah menimbulkan dan
dipertahankan oleh proses kemajuannya (their development) dalam subordinasi
terhadap kekuatan ekonomi metropolitan.
Teori-teori tentang kemajuan dan keterbelakangan menimbulkan perbe-
daan yang mendasar antara keterbelakangan sebagai suatu negara (between
underdevelopment as a state), sebagaimana dalam teori-teori modernisasi, dan
sebagai suatu proses. Memahami sebagai suatu proses, keterbelakangan men-
jadi suatu kekuatan senjata teoritis (a power theoretical weapon), memperbo-
lehkan kita untuk melihat keterbelakangan bukan suatu posisi dari mana mas-
yarakat dapat bergerak ke depan tapi hasilnya (the outcome) proses yang
berkelanjutan dengan mana baik hubungan keluar mereka (their external rela-
tionship) dan formasi sosial ekonomi di dalam (internal social and economic
formations) diputarbalikkan (perveted) untuk meyakinkan secara progresif integ-
rasi lebih mendalam sebagai bagian-bagian yang dieksploitasi dari ekonomi
internasional. Sebagian masyarakat-masyarakat yang terbelakang telah menco-
ba untuk membuka kaitan keterbelakangan dan mempergunakan strategi untuk
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 239
pembagunan yang sejati (genuine development) negara-negara sosialis yang
termasuk negara-negara terbelakang /dunia ketiga, seperti Cuba, China, dan
Vietnam telah menerapkan sebagai inspirasi mereka, namun karena perbedaan-
perbedaan pengalaman historis, organisasi politik dan tingkat ideologis pemba-
ngunan, tidak dapat dibentuk suatu model. Negara-negara dunia ketiga yang non
sosialis telah mempengaruhi secara mendalam pada kehidupan bersama
(influence on their contemporaries), namun kedua negara, Tanzania + Mozam-
bique telah menunjukkan masalah-masalah yang menimbulkan dendam yang
berat (despite massive problems) dan hanya bagian kecil tujuan yang dapat
dicapai.
Development merupakan konsep yang kompleks dan sangat mendasar
untuk diskusi tentang strategi dan kebijakan. Istilah development pada umumya
dipakai oleh negara-negara miskin, bukan negara kaya. Selanjutnya kalau istilah
tersebut diterapkan oleh semua negara yang kaya, dari perhatian untuk “back-
war” atau “depressed” areas dari negara-negara tersebut, atau dalam kaitannya
dengan kelompok sosial tertentu (particular social groups). Dari dua contoh
tersebut, dimaksudkan bahwa suatu wilayah atau kelompok orang yang perlu
dibangun (need to develop), atau dibangun karena mereka dibedakan dari
semua kegiatan yang sangat peting dari semua anggota masyarakat (society)
yang lain. Terdapat usaha untuk memberi arti yang benar tentang development,
tapi hanya suatu asumsi tentang kenyataan (rightness) model kehidupan yang
dominan (dominant life styles) dan bentuk-bentuk socio economic (socio
economic forms), dan kenyataan (the self evidence) yang perlu untuk dikejar.
Swedia yang termasuk menerapkan negara kesejahteraan sejak lama, dalam
perdebatan untuk perubahan yang akan datang (future change), mengemukakan
fokus tentang konsep development, dengan perhatian pada hakekat dasar
tentang masyarakat (society) dan menyadari bahwa asumsi yl untuk meneruskan
pertumbuhan ekonomi tidak berlaku lagi. Dalam membicarakan konsep develop-
ment tidak bisa terlepas dari value judgements. Development tidak bisa dilepas-
kan di suatu konsep yang normatif (development is inevitably a normative con-
cept), tampaknya hampir sinonim dengan perbaikan (improvement). Dilihat dari
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 240
sisi pemerintah, dilihat dari beberapa penjelasan yang terkait dengan improve-
ments, menggambarkan berbagai proses yang hasilnya berupa keputusan kebi-
jakan (official policy).
Pendekatan lain yang biasa diterapkan, dengan melihat apa yang telah
diterapkan oleh negara lain, mengikuti pola ekonomi negara tersebut dan peru-
bahan sosial yang berdampak kenyataan negara tersebut sebagai tujuan. Hal ini
sering terjadi, khususnya pada negara-negara yang pada masa-masa tertentu
dibawah kekuasaan langsung oleh negara-negara penjajah, bersama-sama me-
lanjutkan transfer budaya, sosial, politik dan ekonomi yang direcanakan secara
eksplisit dan implisit untuk mendirikan dan mempertahankan hegemoni dari
sistem-sistem yang khusus dari nilai dan formasi ekonomi (to establish and
maintain the hegemony of particular system of values and economic formations),
(Long 1977, Hoogvelt 1978). Secara persuasif telah diperdebatkan kebutuhan
mendasar lain dalam masyarakat (human society) adalah pekerjaan (employ-
ment), (Seers, 1972). Dalam perdebatan diantara para penulis barat ten-
tang employment sering diartikan income producing employment, baik wage-
employment maupun self-employment dalam produksi untuk pasar. Hal ini
diasumsikan perlunya cash relationship yang merupakan pemikiran mendasar
bagi orang barat untuk pengertian development. Jadi sangat penting kedudukan
orang dalam masyarakat diukur dari hubungannya dengan pasar, dengan
dampak berbagai konsekwensinya. Tidak berkeinginan untuk tergantung pada
orang lain merupakan rasa harga diri. Employment diartikan, termasuk belajar,
bekerja di lapangan untuk konsumsi dan bukan pasar, peduli terhadap mereka
yang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, dan berbagai peran
lain sesuai dengan tujuan masyarakat (society). Pendekatan ini berbeda de-
ngan occupation with paid employment.
Perbedaan tentang equality tidak terlepas dari posisi moral dan persepsi
fundamental terhadap hakekat human society (Blowers & Thompson, 1976).
Dalam konteks ini lebih diperhatikan equality of condition yang berbeda dengan
pengertian yang sering dianut, equality of opportunity. Equality tidak diartikan
sebagai kemampuan (talent or ability) yang didistribusikan secara sama, tapi
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 241
pengakuan bahwa setiap orang sama nilainya (equal worth). Diyakini banyak
pendapat yang tidak setuju equality dipandang sebagai tujuan sebagaimana
dikehendaki (in its own right) sebagai elemen ketiga dalam pembangunan (the
third element in development) yaitu kemiskinan, unemployment, dan inequality.
Karenanya development never will be defined to universal satisfaction. Banyak
penulis berpendapat, asumsi teori-teori modernisasi dapat dikatakan tidak adil
(false) dan model-modelnya dibangun berbasi pada teori yang tidak relevan
untuk negara-negara dunia ketiga (Long, 1977; Hoogvelt, 1978; Taylor, 1979)
dua hal penting yang perlu dibuat tentang teori-teori tersebut:
1. Teori-teori struktural-fungtionalist dari modernisasi dalam kenyataan
sangat berguna untuk mendukung ideologi yang menutupi hakekat
imperialis dari kapitalisme barat (Hoogvelt, 1978: 62).
2. Selai penolakan-penolakan yang berkesinambungan dari teori-teori
tersebut baik pada landasan teori maupun penerapannya, namun te-
tap mempunyai peran dalam pengembangan kebijakan sosial, seti-
dak-tidaknya melalui organisasi internasional.
Kedua pemahaman tersebut menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi
saja bukan pembangunan/development dan modernisasi/westernisasi adalah
senjata imperialism ekonomi.
Keterbelakangan dan Ketergantungan (Underdevelopment and Depen-
dency). Terdapat berbagai versi tentang teori-teori underdevelopment (Foster-
Carter, 1974) terdapat berbagai tema penting yang membedakannya dengan
teori modernisasi. Perspektif neo-marxist tidak mengasumsikan:
1. Baik developed maupun underdeveloped societies berdiri sendiri
sebagai sistem sosial (self sufficience social systems) tapi lebih
menitikberatkan pada saling terkait dari ekonomi global (places
emphasis on the interconnections of a global economic) dan sistem
sosial.
2. Dengan memperhatikan sejarah penyebab perubahan sosial di
underdeveloped countries, menunjukkan bahwa penyebaran (diffu-
sion) sistem barat menghasilkan pembagunan yang sebaliknya (re-
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 242
verse development). Bukan kemerdekaan yang lebih luas (greater
independence). Hakekat perubahan adalah seperti mengarah pada
ketergantungan yang lebih luas dan eksploitasi yang lebih jauh
terhadap hubungan (relationships) antara underdeveloped countries
dan antara negara-negara tersebut. Lebih besarnya kekuasaan kerja-
sama (more powerful partners is development). Bagian besar negara-
negara miskin atau yang biasa disebut third world, tetap berada di
pinggiran (peripheries) sistem kapitalis dunia dan secara berkesi-
nambungan underdeveloped sebagai dampak dari relasinya dengan
bangsa-bangsa yang lebih dominan (the more dominant nations).
Struktur kapitalis dipaksa pada formasi-formasi ekonomi + sosial yang te-
lah ada (capitalist structures are imposed on already economic and social
formations) struktur yang dipaksakan bukan yang indigenous, diperluas dengan
dengan perbedaan-perbedaan antara the domestic and export-oriented econo-
mies. Hakekat hubungan ekonomi antara metropolitan countries da underdeve-
lop countries seperti itu berarti surplus dikirim ke negara yang kuat sementara
yang tertinggal relatif makin miskin dan makin tergantung (relatively impoveri-
shed and chronically dependent).
Konsep development sangat mendasar pada setiap diskusi tentang kebi-
jakan sosial di negara-negara dunia ketiga. Meskipun sering dipergunakan, na-
mun definisinya sering kabur. Konsep-konsep tersebut telah ditantang dan pen-
dekatan-pendekatan modernisasi yang meluas menitik beratkan pada partum-
buhan ekonomi. Diatas semua pandangan tersebut, ditekankan kalau underdo-
velopment sangat kuat (powerful) dan melanjutkan suatu proses yang meng-
hasilkan beberapa formasi khusus tentang ekonomi dan sosial (continuing set of
processes producing particular kinds of economic and social formations) ke-
duanya dalam negara-negara yang sedang berkembang dan antara negara-
negara tersebut (both within developing countries and between those countries)
dan dengan bangsa-bangsa yang lebih kuat dalam ekonomi internasional (the
more powerfull nations in the international economy). Meskipun bentuknya
bervariasi dan khusus (specific forms vary), secara umum pemutarbalikan istilah-
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 243
istilah dari dunia ketiga (in general terms the perversion of third world) political
economies may be seen as directing change in the interest of external forces.
2. Globalisasi Ekonomi dan Peranan Negara yang Berubah
Pengelompokan dengan tolak ukur pembangunan ekonomi berawal dari
teori pembagian kerja internasional pada beberapa abad yang lalu yang dianut
oleh para ahli ekonomi klasik, termasuk mereka yang punya posisi penting dalam
menentukan kebijakan perdagangan luar negeri sebuah negara. Teori ini dida-
sarkan pada teori keunggulan komparatif (comparative advantages) yang dimiliki
oleh setiap negara, sehingga mengakibatkan terjadinya spesialisasi produksi
pada tiaptiap negara sesuai dengan keuntungan komparatif yang mereka miliki.
Selanjutnya mereka memetakan dunia secara umum (perspektif ekonomi politik
global) menjadi dua kelompok negara.189 Pertama, kelompok negara-negara di
bagian selatan dengan tanah yang subur dan iklim yang cocok untuk spesialisasi
bidang pertanian. Kelompok negara ini umumnya dikategorikan negara-negara
berkembang, Kedua, kelompok negara-negara di belahan utara, yang iklimnya
tidak cocok untuk usaha pertanian, sebaiknya melakukan kegiatan produksi di
bidang industri, dengan mengembangkan tehnologi untuk menciptakan keung-
gulan komparatif bagi negaranya. Kelompok negara ini umumnya dikategorikan
negara maju. Karena adanya spesialisasi ini, maka terjadilah perdagangan
internasional, dengan asumsi perdagangan diharapkan akan menguntungkan
kedua belah pihak. Negara-negara pertanian dapat membeli barang-barang
industri secara lebih murah (dari pada memproduksi sendiri) dan begitupun
sebaliknya negara-negara industri dapat membeli hasil-hasil pertanian secara
murah (dibandingkan harus memproduksi sendiri). Disinilah terjadi keuntungan
komparatif yang didasarkan pada opportunity cost.190 Hal ini juga ditekankan
Todaro bahwa :
189 Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Jakarta; PT Gramedia, 1995, hlm.
45 dalam Ismah Tita Ruslin, Relasi Ekonomi-Politik dalam Perspektif Depedencia, Jurnal Politik Profetik Volume 1 Nomor 1 Tahun 2013, hlm. 2
190 Teori keunggulan komparatif menyatakan bahwa suatu bangsa sebaiknya mengimpor
kalau “opportunity cost” dari barang impor itu (yaitu, apa yang harus dikorbankan untuk mengim-
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 244
“Pembangunan yang didasarkan pada kemandirian diri sendiri melalui
isolasi sebagian atau keseluruhan, dianggap pembangunan yang secara
ekonomis kurang baik dibandingkan dengan pembangunan yang meng-
ikutsertakan diri dalam perdagangan internasional yang bebas dan tidak
terbatas”.191
Dengan kata lain, pembangunan yang paling baik bagi suatu negara
menurut teori di atas adalah pembangunan yang meleburkan diri ke dalam kegi-
atan ekonomi, karena pada dasarnya negara-negara saling tergantung dan akan
lebih menguntungkan bila negara-negara saling mengisi kelemahan yang ada.
Namun kenyataannya, apa yang diperkirakan jauh meleset. Yang tercipta
justru kesenjangan (gap) besar di antara kedua kelompok negara yang telah
dibedakan di atas. Negara-negara spesialisasi industri semakin kaya, sedangkan
negara-negara spesialisasi pertanian semakin tertinggal. Neraca perdagangan
kedua kelompok negara ini selalu menguntungkan negara-negara yang meng-
khususkan diri pada produksi barang-barang industri, hingga berdampak keter-
gantungan negara pertanian/ berkembang terhadap negara industri/maju.192
Globalisasi adalah era dimana manusia tidak dibatasi dengan ruang dan
waktu.Dampak dari globalisasi berdampak pada banyak hal mulai dari kehidupan
politik, ekonomi, sosial hingga budaya. Perubahan globalisasi bersifat cepat, ma-
ka dari itu negara manapun baik negara berkembang maupun nega-
ra maju dituntu untuk cepat dan tanggap menghadapi globalisasi. Globalisasi
juga berkaitan erat dengan demokrasi. Dimana diera globalisasi inidemokrasi
terbilang bebas, HAM dan aspek-aspeknya sangat dijunjung tinggi.Begitu banya-
knya aspek yang berubah seiring jalannya arus globalisasi. Maka pemerintah
juga dituntut untuk cepat tanggap dalam menghadapi globalisasi tersebut.
Osborne, dkk mengungkapkan bahwa peran dari administrasi publik sangat
por barang itu) lebih kecil dari pada “opportunity cost” dari produk domestik (yaitu, apa yang dikorbankan untuk memproduksi barang itu di dalam negeri), prinsipnya adalah memperoleh barang yang diinginkan dengan pengorbanan sesedikit mungkin. Ismah Tita Ruslin, Ibid.
191 Michael P. Todaro, Economic Development In The Third World, New York; Logman
Inc,1985), hlm. 383 dalam Ismah Tita Ruslin, Ibid. 192 Arief Budiman, Op.Cit., hlm. 18 dalam Ismah Tita Ruslin, Ibid., hlm. 3
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 245
penting dalammenghadapi permasalah pelayanan birokrasi dan pemenuhan
kebutuha masyarakat sesuaidengan prinsip-prinsip good governance. Sekarang
ini tantangan yang dihadapi di Indonesia pada masa globalisasi ini adalah proses
liberalisasi. Liberalisasi sendiri berasal dari liberalise, dimana dimana libera-
lisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan
berpikir dari tiap individu. Paham ini menolak adanya pembatasan, khusunya dari
pemerintah dan agama. Kemudian liberalisme akan dapat tumbuh dalam sistem
demokrasi. Maka dari itu muncullah istilah demokrasi ekonomi yaitu kedaulatan
rakyat dibidangekonomi, pengutamaan kemakmuran rakyat. Kemudian muncul
istilah demokrasi sosial dimana memegang prinsip-prinsip seperti keadilan,
kebebasan, solidaritas, persamaan, kemerdekaan, rule of law dan pemilu. De-
mokrasi budaya dimana rakyat atau manusiamencerminkan nilai-nilai demokrasi
dan istilah demokrasi politik menurut Henry B. Mayo demokrasi politik adalah
dimana kebijakan umum ditentukan atas dasar moyritas oleh wakil-wakil yang
diawasi oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan
atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya
kebebasan politik.193
Proses globalisasi yang dirasakan Indonesia terlihat dengan munculnya
globalisasi ekonomi, globalisasi militer dan globalisasi dibidang sosial budaya.
Globalisasi Ekonomi digambarkan sebagai masa ketika pasar bebas terjadi,
peningkatan yang tajam dalam perdagangan internasional, investasi, arus
kapital, kemajuan dalam bidang teknologi dan meningkatnya peran institusi-
institusi multilateral.194 Dalam ekonomi global institusi-insitutsi keuangan dan
kerjasama-kerjasama global lainnya melakukan aktivitasnya tanpa ikatan
nasional. Bahkan kini mereka mampu mempergunakan pemerintah untuk
membubarkan setiap aturan-aturan nasional dalam aktivitas mereka. Istilah ini
mengandaikan pengintegrasian ekonomi nasional ke dalam kancah ekonomi
193 Putu Aparajita Devi, Peranan Negara dalam Globalisasi dan Demokratisasi Ekonomi,
Jurnal Aplikasi Manajemen Volume 3 Nomor 3, Edisi Desember 2005, hlm. 1-2 194 Dewitri, Globalisasi Dan Keamanan Negara, (Artikel) Tahun 2009 dalam M Husni
Syam, Pengaruh Globalisasi terhadap Kedaulatan Negara, Makalah Disampaikan pada seminar dalam rangka European Union Week – Dialog antar Budaya Indonesia dengan Komisi Uni Eropa 15 Desember 2009, Aula Unisba – Bandung.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 246
global, seperti yang dikehendaki perusahaan kapitalisme Trans National Corpo-
rations (TNCs) dengan menggunakan kesepakatan World Trade Organisation
(WTO) serta difasilitasi oleh lembaga keuangan global seperti IMF dan Bank
Dunia. Dengan besarnya ketergantungan pemerintah terhadap lembaga atau
institusi internasional, berarti tidak ada kata untuk menolak penetrasi nilai-nilai
atau isu baru tersebut. Proses demikian dapat dilihat dari perkembangan paham
kapitalis semenjak abad 16 yang aktivitasnya adalah endless accumulation of
capital yang mempunyai link dengan commodity chains yang efektif dan
persoalan distribusi yang dalam perkembangannya karena kemajuan teknologi
informasi dan transporasi melintasi batas negara. Kegiatan tersebut kemudian
memunculkan network secara internasional yang bisa menekan kedaulatan
suatu negara dalam hal menghilangkan semua barriers. Dalam hal ini the world
shall go to glory to glory, wealth to wealth and therefore satisaction to satis-
faction.195
Globalisasi sosio-budaya, juga merupakan dimensi menarik yang terjadi
dalam globalisasi. Dimana masyarakat dunia menyatakan sebagai satu masya-
rakat global (global society). Kewarganegaraan tidak lagi mengikat, semangat
kebersamaan tidak lagi dapat dikotak-kotakan hanya berdasarkan wilayah
negara, tetapi lebih jauh ada kebersamaan yang tercipta secara global dengan
ikatan hal-hal yang bersifat lebih universal, seperti demokrasi, HAM atau
kemanusiaan dan lingkungan hidup. Menyatunya masyarakat dunia otomatis
juga melebutkan budaya yang mengkotak-kotakannya. Dengan pesatnya per-
kembangan teknologi informasi dan media, mempercepat proses integrasi atau
penyebaran nilai-nilai, ide-ide, yang ada dan pada akhirnya “memaksa”
terciptanya budaya global. Dalam kondisi ini, negara-negara dengan teknologi
canggih adalah pihak yang menang. Sebaliknya negara-negara yang lemah
secara ekonomi dan teknologi menjadi sangat mudah terbawa budaya negara
maju yang dijadikan budaya global. Katakanlah ketika musik-musik Barat
dijadikan patokan kemajuan seni musik, termasuk media-media maju yang selalu
195 Ibid., lihat juga Immanuel Wallerstein, State? Souvereignty? dalam David A. Smith
dkk., State and Souvereignty in the Global Economy, Rotledge, New York, 2002, hlm. 20-21
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 247
dijadikan acuan informasi bagi kebanyakan negara didunia. Globalisasi Militer
yang jelas terlihat selama abad yang lalu hingga kini antara lain adalah:
imperialisme dan persaingan geopolitik kekuatan-kekuatan besar; perkemba-
ngan sistem aliansi internasional dan struktur keamanan internasional, muncul-
nya perdagangan senjata dunia bersamaan dengan difusi teknologi militer dise-
luruh dunia; dan institusionalisasi rezim global dengan hak hukum atas hubu-
ngan militer dan keamanan (contoh: the international nuclear non-proliferation
regime).196
Dalam globalisasi ekonomi terlihat adanya dominasi negara-negara indus-
tri seperti Amerika Serikat dengan anggota-anggota negara G8 lainnya, terhadap
pasar-pasar domestik suatu negara lain, kondisi demikian kemudian bahkan
membuat terjadinya penggerusan terhadap kedaulatan negara lain. Kalau
diperhatikan dari struktur G8 itu sendiri dia tidak dikatakan sebagai subjek hukum
internasional. Dengan demikian disamping adanya dominasi negara industri
yang merupakan subjek hukum internasional sekarang muncul lagi apa yang
disebut dengan dominasi non state actors.197
3. Rangkuman
3.1. Konsep development sangat mendasar pada setiap diskusi tentang
kebijakan sosial di negara-negara dunia ketiga. Meskipun sering diper-
gunakan, namun definisinya sering kabur. Konsep-konsep tersebut telah
ditantang dan pendekatan-pendekatan modernisasi yang meluas menitik
beratkan pada pertumbuhan ekonomi. Pendekatan lain yang biasa
diterapkan, dengan melihat apa yang telah diterapkan oleh negara lain,
mengikuti pola ekonomi negara tersebut dan perubahan sosial yang
berdampak kenyataan negara tersebut sebagai tujuan. Hal ini sering
terjadi, khususnya pada negara-negara yang pada masa-masa tertentu
dibawah kekuasaan langsung oleh negara-negara penjajah, bersama-
sama melanjutkan transfer budaya, sosial, politik dan ekonomi yang
196 Dewitri, Ibid. dalam M Husni Syam, Ibid. 197 M Husni Syam, Ibid.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 248
direcanakan secara eksplisit dan implisit untuk mendirikan dan memper-
tahankan hegemoni dari sistem-sistem yang khusus dari nilai dan
formasi ekonomi
3.2 Dalam ekonomi global institusi-insitutsi keuangan dan kerjasama-kerja-
sama global lainnya melakukan aktivitasnya tanpa ikatan nasional. Bah-
kan kini mereka mampu mempergunakan pemerintah untuk membubar-
kan setiap aturan-aturan nasional dalam aktivitas mereka. Istilah ini
mengandaikan pengintegrasian ekonomi nasional ke dalam kancah
ekonomi global, seperti yang dikehendaki perusahaan kapitalisme Trans
National Coorporations (TNCs) dengan menggunakan kesepakatan
World Trade Organisation (WTO) serta difasilitasi oleh lembaga keua-
ngan global seperti IMF dan Bank Dunia. Dengan besarnya ketergantu-
ngan pemerintah terhadap lembaga atau institusi internasional, berarti
tidak ada kata untuk menolak penetrasi nilai-nilai atau isu baru tersebut.
Proses demikian dapat dilihat dari perkembangan paham kapitalis
semenjak abad 16 yang aktivitasnya adalah endless accumulation of
capital yang mempunyai link dengan commodity chains yang efektif dan
persoalan distribusi yang dalam perkembangannya karena kemajuan
teknologi informasi dan transporasi melintasi batas negara. Kegiatan
tersebut kemudian memunculkan network secara internasional yang bisa
menekan kedaulatan suatu negara dalam hal menghilangkan semua
barriers. Dengan demikian disamping adanya dominasi negara industri
yang merupakan subjek hukum internasional sekarang muncul lagi apa
yang disebut dengan dominasi non state actors.
C. PENUTUP
1. Soal Latihan
Fasilitator memberikan tes formatif untuk mengetahui tingkat penguasaan
pengetahuan yang diperoleh mahasiswa pada materi bahasan ini dengan mem-
berikan pertanyaan antara lain sebagai berikut:
1.1 Jelaskan arti dari istilah development dan underdevelopment?
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 249
1.2. Jelaskan bagaimana pola ekonomi negara-negara ketiga di era glo-
balisasi?
1.3. Jelaskan teori modernisasi?
1.4. Jelaskan bagaimana peran negara dalam era globalisasi?
1.5. Jelaskan actor-aktor yang mendominasi dalam era globalisasi?
2. Umpan Balik
Mahasiswa dapat mengajukan hal tentang kondisi yang dialami dan diha-
rapkannya untuk memahami materi bahasan terkait.
3. Daftar Pustaka
Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Jakarta; PT Gramedia, 1995.
Dasril Guntara, Kemajuan dan Keterbelakangan (Development and Underde-
velopment), (Artikel) Tahun 2012.
David A. Smith dkk., State and Souvereignty in the Global Economy, Rotledge,
New York, 2002.
Dewitri, Globalisasi dan Keamanan Negara, (Artikel) Tahun 2009.
Ismah Tita Ruslin, Relasi Ekonomi-Politik dalam Perspektif Depedencia, Jurnal
Politik Profetik Volume 1 Nomor 1 Tahun 2013.
M. Husni Syam, Pengaruh Globalisasi terhadap Kedaulatan Negara, Makalah
Disampaikan pada seminar dalam rangka European Union Week – Dialog
antar Budaya Indonesia dengan Komisi Uni Eropa 15 Desember 2009,
Aula Unisba – Bandung.
Michael P. Todaro, Economic Development In The Third World, New York;
Logman Inc, 1985.
Putu Aparajita Devi, Peranan Negara dalam Globalisasi dan Demokratisasi
Ekonomi, Jurnal Aplikasi Manajemen Volume 3 Nomor 3, Edisi Desember
2005.
Suwantji Sisworahardjo, S.H., MDS., Materi Kuliah Perencanaan Sosial studi
Pasca Sarjana Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP Universitas Indonesia.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 250
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 251
BAB VIII
ISU-ISU BARU DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL
A. PENDAHULUAN
1. Sasaran Pembelajaran
Mahasiswa mampu menelaah, menganalisis, dan mendeskripsikan isu-isu
baru dalam hubungan internasional, utamanya isu lingkungan, isu gender, dan
isu kedaulatan.
2. Kemampuan Mahasiswa yang Menjadi Prasyarat
Sebelum mempelajari materi ini mahasiswa harus mempunyai pengeta-
huan awal tentang hubungan internasional, hukum internasional, dan masyara-
kat internasional.
3. Keterkaitan Bahan Pembelajaran dengan Pokok Bahasan Lainnya
Bahan pembelajaran ini memberikan pemahaman kepada mahasiswa
tentang isu-isu baru dalam hubungan internasional, utamanya isu lingkungan, isu
gender, dan isu kedaulatan, sehingga akan lebih mudah mahasiswa untuk meng-
analisis keseluruhan materi ke dalam isu-isu dalam hubungan internasional.
4. Manfaat Bahan Pemelajaran
Setelah mahasiswa mengikuti dan memahami materi bahasan ini maka
mampu menelaah, menganalisis, dan mendeskripsikan isu-isu baru dalam hubu-
ngan internasional, utamanya isu lingkungan, isu gender, dan isu kedaulatan.
5. Petunjuk Belajar Mahasiswa
Sebelum mengikuti perkuliahan mahasiswa diwajibkan membaca materi
dalam buku ajar ini. Setelah pemaparan materi bahasan tersebut di atas maha-
siswa diberi kesempatan bertanya atau membentuk kelompok diskusi, serta
mahasiswa dibebaskan untuk mengemukakan pendapat seluas-luasnya dan
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 252
bertanya kepada fasilitator jika ada materi yang kurang. Selain itu mahasiswa
juga diberikan tugas mandiri dalam bentuk mahasiswa melakukan penelusuran
bahan pustaka terkait hubungan internasional, dan dibahas berdasarkan ruang
lingkup materi yang telah diajarkan.
B. PENYAJIAN MATERI BAHASAN
ISU-ISU DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL
1. Lingkungan198
Perkembangan perspektif dalam studi hubungan internasional semakin
beragam tiap tahunnya. Isu-isu yang dibahas dalam dunia internasional tidak
hanya mencakup sosial, politik, ekonomi, dan pertahanan lagi namun mulai
merambah pada isu-isu lingkungan. Green politics kemudian terbentuk sebagai
sebuah kekuatan politik yang signifikan di banyak negara dimulai dari perte-
ngahan 1970-an.199 Terdapat banyak tulisan dari kaum Green thinkers ini disertai
dengan praktik dari gerakan hijau yang keduanya mengandung analisis dari
kedinamisan politik global, dan pandangan normatif yang terkonsentrasi pada
restrukturisasi politik dunia. Perspektif-perspektif tradisional dalam hubungan
internasional seringkali hanya mengaitkan sifat alamiah manusia atau human
nature dengan pandangan yang didominasi akan usaha untuk memperoleh
kepentingan serta memaksimalkan kekuatan negara. Hal ini tentu saja berakhir
pada pemahaman kajian hubungan internasional terlepas dari isu nonnegara,
misalnya seperti isu lingkungan yang nyatanya turut memberikan pengaruh pada
negara dalam pembuatan kebijakan yang ada. Selama kurang lebih tiga dekade
terakhir, isu lingkungan menjadi topik pembicaraan yang muncul dengan cepat
dan menyita banyak perhatian masyarakat dunia. Standar kehidupan yang
meningkat seiring dengan jumlah populasi penduduk dunia yang semakin
bertambah menjadi faktor utama dari terancamnya eksistensi lingkungan hidup.
198 Isi dari sub bab ini sepenuhnya adalah Artikel yang dipostkan oleh Ni Komang Yulia,
Kehadiran Isu Lingkungan dalam Hubungan Internasional, (Artikel Universitas Airlangga) Tahun 2015
199 Patterson, Matthew. 2005. “Green Politics” in Burchill et. al.. 2005. Theories of Interna-
tional Relations. New York: Palgrave Macmillan, hlm. 235
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 253
Pemanasan global, polusi yang ditimbulkan oleh perusahaan dan ken-
daraan, peningkatan gas CFC (chlorofluorocarbon) menjadi permasalahan ling-
kungan yang semakin terasa kehadirannya di tengah masyarakat dunia.200 Atas
dasar inilah para akademisi dan praktisi hubungan internasional mulai mema-
sukkan isu lingkungan ke dalam komponen-komponen pengkajiannya. Terdapat
pemikiran dan sebutan yang berbeda-beda dalam hubungan internasional apa-
bila dikaitkan dengan isu lingkungan hidup ini di antaranya adalah Politik Hijau,
Green Perspective, dan Green Political Theory (Burchill dan Linklater, 1996:
336).201 Walaupun Politik Hijau berada pada posisi yang tidak terlalu mengalami
perkembangan signifikan dalam disiplin ilmu hubungan internasional, namun
perspektif alternatif ini hadir sebagai salah satu kekuatan polirik yang penting
bagi banyak negara pada pertengahan tahun 1970an serta memiliki kecende-
rungan karakter global dalam aplikasinya.
Lahirnya green perspective atau green politic dalam hubungan internasio-
nal dilatarbelakangi atas keinginan perspektif ini untuk melawan ortodoksi
perspektif tradisional yang cenderung mengesampingkan permasalahan lingku-
ngan dalam pertimbangan dan tindakan yang hendak diambil.202 Padahal di sisi
lain, permasalahan lingkungan hidup merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi proses pembuatan keputusan baik dalam tingkatan domestik
maupun internasional. Seiring dengan perkembangan teknologi, isu lingkungan
kemudian dipandang sebagai sebuah bentuk permasalahan serius oleh PBB
yang selanjutnya mengarah pada diadakannya Konferensi tentang Lingkungan
Manusia di Stockholm pada tahun 1972 untuk pertama kalinya.203 Diadakannya
berbagai pertemuan tingkat internasional ini merupakan sebuah pertanda bahwa
negara-negara di dunia mulai menyadari pentingnya aspek lingkungan sebagai
200 Jackson, Robert and Georg Sorensen. 1999. Introduction to International Relati-
ons. New York: Oxford University Press, hlm. 503 201 Burchill, Scott & Linklater, Andrew. 1996. Theories of International Relations. New
York: ST Martin’s Press, INC, hlm. 336 202 Dugis, Vinsensio. 2015. Green Perspectives. Power Point Presentation. Universitas
Airlangga, Surabaya, Indonesia. 20 Mei 2015. 203 Jackson, Robert and Georg Sorensen. Op.Cit.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 254
salah satu komponen yang mempengaruhi pembuatan kebijakan dari banyak
negara.
Politik hijau atau green politic merupakan salah satu perpektif alternatif
yang memiliki pola tersendiri sehingga menjadikan perspektif ini sebagai sebuah
perspektif yang khas dalam hubungan internasional. Politik hijau memiliki
penolakan yang sama terhadap pembedaan nilai dan fakta dengan feminisme,
critical theory, dan post strukturalisme disertai integrasi elemen-elemen normatif
dan eskplanatif. Selain itu, perhatian politik hijau terhadap penentangan atas
konsentrasi kekuasaan dan homogenisasi kekuatan dalam politik internasional
kontemporer turut menjadi ciri khas dari perspektif ini. Politik hijau memiliki kritik
yang sama dengan critical theory mengenai sistem negara dan teori-teori lainnya
meskipun menerapkan pemikiran mengenai penolakan akan gagasan struktur
kekuasaan global.204 Kritik-kritik dari politik hijau disebabkan oleh terjadinya
penggunaan sumber daya alam yang berlebihan dan bersifat eksploitatid oleh
manusia selama kurang lebih dua abad terakhir sehingga mengakibatkan
kerusakan alam di banyak negara di dunia. Ketika eksploitasi alam secara
berlebihan terus berlanjut, sumber daya alam di masa yang akan datang akan
semakin berkurang dan kerusakan alam yang parah akan terus berlanjut.
Terdapat beberapa literatur yang menghadirkan gagasan disertai dengan
konsep yang sedikit berbeda dengan karakteristik yang dimiliki oleh politik hijau.
Salau karakteristik tersebut merupakan keterkaitan politik hijau dengan
ekosentrisme, sebuah penolakan terhadap pandangan dunia antroposentris yang
dikatakan hanya menempatkan nilai moral manusia pada sebuah pandangan
yang juga meletakkan nilai independen atas ekosisten serta semua makhluk
hidup yang ada. Ekosentrisme melibatkan sejumlah klaim empiris atas panda-
ngan dunia yang secara ontologis terdiri atas relasi yang bukan termasuk dalam
entitas individu sebab semua makhluk hidup pada dasarnya diyakini terikat
hubungan dengan ekologi. Menurut Eckersley205 terdapat empat karakteristik
204 Burchill, Scott & Linklater, Andrew, Op.Cit., hlm. 359 205 Eckersley, R.. 1992. Enviromentalism and Political Theory: Towards an Ecocentric
Approach. London: Oxford University Press, hlm. 46
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 255
utama dari ekosentrisme yaitu ekosentrisme mengidentifikasi semua masalah
kepentingan terhadap ‘dunia bukan manusia’ yang bertentangan dengan kepen-
tingan ekonomi dalam penggunaan sumber daya yang ada. Selain itu ekosen-
trisme mengidentifikasi masyarakat bukan manusia serta mengidentifikasi kepen-
tingan generasi di masa depan baik bagi manusia dan bukan manusia. Ekosen-
trisme menerapkan sebuah perspektif holistik yang bukan atomistik, sebuah
perspektif dengan penilaian mengenai populasi, spesies, lingungan alam, dan
ekosistem secara keseluruhan seperti halnya sebuah organisme individu.
Karakteristik politik hijau yang selanjutnya merupakan sebuah argumen
yang disampaikan oleh Dobson206 mengenai “pembatasan pertumbuhan” terha-
dap krisis lingkungan yang terjadi saat ini. Politik hijau berpandangan bahwa
krisis lingkungan dan permasalahan lingkungan yang terjadi saat ini disebabkan
oleh pertumbuhan pesat ekonomi selama dua abad terakhir. Dengan partum-
buhan ekonomi yang semakin cepat, dunia dan manusia kemudian diperkirakan
akan mengalami degradasi dan kejatuhan sebelum tahun 2100 karena banyak-
nya bahan baku dan sumber daya alam yang semakin menipis dengan cepat
disertai dengan polusi dan pencemaran yang melampaui kapabilitas dari lingku-
ngan itu sendiri untuk mengantisipasi hal tersebut. Pembatasan pertumbuhan
serta permasalahan mengenai ketidakseimbangan yang terjadi disebabkan oleh
pertumbuhan eksponensial yang menyebabkan sumber daya alam mengalami
pengurangan drastis sebagai bahan utama pangan manusia dan bahan baku
industri, kapasitas produktif dengan kapasitas yang berlebihan sehingga
mengakibatkan limbah produksi, negara yang terlalu besar dan juga terlalu kecil
untuk menghadapi keberlanjutan (sustainability) secara efektif, dibutuhkannya
struktur regional dan global dalam mengkoordinasikan respon yang efektif,
desentralisasi organisasi politik, ekonomi, dan sosial, mulai ditinggalkannya
kedaulatan tradisional, serta munculnya ‘think globally, act locally’ yang semakin
terkenal.207
206 Dugis, Op.Cit. 207 Ibid.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 256
Politik global merupakan kunci dari pemecahan masalah yang berkaitan
dengan alam dan lingkungan hidup. Isu ini kemudian melahirkan gerakan sosial
baru dalam bidang lingkungan, perdamaian, dan sebagainya serta membentuk
formasi pratai ‘new green’ pada tahun 1980-an yang berlandaskan pada empat
esensi politik hijau yang terdiri atas tanggung jawab ekologis, keadilan sosial,
anti kekerasan, dan grass-roots democracy.208 Politik hijau turut memberikan
kontribusi dalam perkembangan hubungan internasional di antaranya adalah
penawaran analisis alternatif dan penjelasan mengenai masalah politik dan pro-
ses negosiasi internasional dengan pendekatan rasionalis mainstream,
mempromosikan wacana normatif baru yang dihasilkan oleh kebijakan alternatif
yang telah mendominasi perundingan internasional.209 Hadirnya konsep “go
green” diharapkan oleh akademisi hubungan internasional mampu mengantar-
kan dunia pada kestabilan ekonomi yang mengarah pada tercapainya keamanan
internassional. Politik hijau memberikan penjelasan mengenai krisis ekologi yang
dihadapi manusia seta menawarkan dasar normatif untuk menghadapinya.
Degradasi lingkungan kemudian memotivasi negara-negara di dunia untuk
terlibat dalam kerja sama internasional untuk dapat mengatasi permasalahan
lingkungan hidup ini.
Berdasarkan penjelasan mengenai politik hijau yang telah diuraikan di
atas, dapat diketahui bahwa hadirnya perspektif politik hijau dalam hubungan
internasional merupakan bentuk perlawanan atas dikesampingkannya unsur-
unsur lingkungan dalam hubungan internasional. Padahal, isu lingkungan turut
memberikan pengaruh besar terhadap proses pembuatan keputusan di tidak
hanya satu negara. Kontribusi yang dihadirkan politik hijau dalam hubungan
internasional turut memperjelas pentingnya mempertimbangkan permasalahan
lingkungan ke dalam komponen pertimbangan pembuatan kebijakan baik dalam
tingkatan domestik maupun internasional. Politik hijau mengkritisi atas adanya
homogenisasi dan konsentrasi kekuasaan yang tidak wajar. Dengan tujuan yang
sama yaitu menjaga lingkungan dan mengatasi permasalahan lingkungan,
208 Ibid. 209 Ibid.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 257
negara-negara di dunia menyadari pentingnya kerja sama yang efektif untuk
dapat mengatasi isu-isu lingkungan yang terjadi.
2. Gender210
Studi Hubungan Internasional merupakan studi yang termasuk baru dalam
ranah ilmu sosial. Sebagai studi yang masih tergolong muda, studi Hubungan
Internasional memiliki banyak pertentangan teori dan perspektif dalam menje-
laskan dan memahami hubungan internasional itu sendiri. Dalam studi Hubu-
ngan Internasional, terdapat tiga perspektif klasik utama, yaitu liberalisme,
realisme, dan marxisme. Selain tiga perspektif utama, studi Hubungan Interna-
sional juga memiliki perspektif-perspektif lain seperti perspektif neoliberalisme,
perspektif neorealisme, perspektif strukturalisme, perspektif rasionalisme, per-
spektif teori kritis, perspektif posmodernisme, perspektif feminisme, dan lain-lain.
Perspektif feminisme sendiri lahir akibat adanya isu gender di berbagai aspek
kehidupan. Pembahasan mengenai isu gender ini pun telah masuk ke berbagai
studi ilmu sosial. Menurut Robert Jackson dan Georg Sorensen,211 isu gender
telah menerima perhatian yang meningkat di banyak bidang ilmu sosial dalam
dekade terakhir ini. Peterson dan Runyan212 berpendapat bahwa, dibandingkan
dengan kaum laki-laki, kaum perempuan adalah kelompok yang tidak diuntung-
kan di dunia. Seperti yang dikatakan sebelumnya, penstudi-penstudi feminis
mempertanyakan dominasi laki-laki dan membahas isu-isu gender yang terjadi.
Menurut Steans, et.al,213 feminisme pada mulanya memperjuangkan ada-
nya equality atau kesetaraan gender di berbagai aspek. Kaum feminis memper-
juangkan agar kaum perempuan mendapatkan keterwakilannya dalam berbagai
210 Isi dari sub bab ini sepenuhnya adalah Artikel yang dipostkan oleh Alfin Zulfikar,
Gender dan Feminisme dalam Hubungan Internasional, (Artikel Universitas Airlangga) Tahun 2014
211 Jackson, Robert dan Georg Sorensen. 1999. .Introduction to International Relations.
New York: Oxford University Press. 212 Ibid. 213 Steans, J. et.al, 2010. Introduction to International Relations: Perspective and The-
mes. New Jersey: Pearson Prentice Hall.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 258
aspek kehidupan publik. Kaum feminis yang bekerja dari perspektif ini mengum-
pulkan informasi empiris tentang peran perempuan, dan umumnya menemukan
bahwa, dalam pemerintah dan lembaga-lembaga internasional, perempuan tetap
sangat kurang terwakili.214 Menurut Visensio Dugis,215 sifat emansipatoris per-
spektif feminisme ini berasal dari experiences atau pengalaman-pengalaman
dari struggles yang dialami oleh kaum perempuan.
Sebagai sebuah perspektif, feminisme pun juga memiliki asumsi-asumsi
dasar dalam memahami dan menjelaskan situasi politik yang ada. Menurut
Steans, et.al,216 asumsi-asumsi dasar dari perspektif feminisme adalah (1) kaum
feminis tidak menganggap human nature atau sifat dasar manusia sebagai hal
yang immutable atau abadi, percaya bahwa manusia adalah makhluk rasional
tetapi juga bahwa kapasitas manusia berkembang melalui proses pendidikan
dan menganggap human nature atau sifat dasar manusia sebagai yang dibe-
dakan atau konstruksi sosial; (2) dari perspektif feminisme, kita tidak dapat
membuat perbedaan yang jelas antara 'fakta' dan 'nilai'; (3) ada hubungan erat
antara knowledge dan power, (4) perspektif feminisme memiliki tujuan emansi-
pasi dan ‘pembebasan’ perempuan. Selain itu, menurut Enloe,217 perspektif
feminisme ini juga menempatkan kaum perempuan sebagai center-stage atau
fokus perspektif dalam memahami dan menjelaskan fenomena-fenomena politik.
Perspektif atau paham feminisme ini pun juga mulai masuk ke dalam bahasan
studi Hubungan Internasional. Dalam studi Hubungan Internasional, titik awal
pembahasan isu gender dimulai akibat adanya perdebatan mengenai perbedaan
mendasar antara laki-laki dan perempuan serta akibat dari perbedaan htersebut
214 Whitworth, Sandra. 2008. “Feminism,” dalam The Oxford Handbook of International
Relations, ed. Christian Reus-Smith & Duncan Snidal. New York: Oxford University Press. 215 Dugis, Visensio. 2014. Perkuliahan Teori Hubungan Internasional
Minggu IX: Feminism in IR. Surabaya: Universitas Airlangga. 216 Steans, J. et.al., Op.Cit. 217 Enloe, Cynthia. 2007. “Feminism,” dalam International Relations Theory for the
Twenty-First Century: An Introduction, ed. Martin Griffiths. New York: Routledge.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 259
dalam politik internasional.218 Seperti yang dikatakan oleh Whitworth,219 adanya
dominasi kaum laki-laki dalam pemerintahan dan lembaga-lembaga internasional
menyebabkan kaum perempuan kurang terwakili. Begitu juga dalam politik
internasional, kebanyakan yang mendominasi adalah kaum laki-laki. Oleh sebab
itu, perspektif feminisme mempertanyakan dominasi laki-laki dalam dunia politik
internasional. Jacqui True220 membagi feminisme menjadi tiga bentuk berdasar-
kan cara memahami dan menjelaskan Hubungan Internasional dari sisi feminis-
me, yaitu (1) feminisme empiris, berfokus pada perempuan dan/atau mengeks-
plorasi gender sebagai dimensi empiris hubungan internasional; (2) feminisme
analisis, menggunakan gender sebagai kategori teoritis untuk mengungkapkan
bias gender pada konsep Hubungan Internasional dan menjelaskan aspek-aspek
konstitutif hubungan internasional; dan (3) feminisme normatif, yang mencer-
minkan pada proses berteori sebagai bagian dari agenda normatif untuk peru-
bahan sosial dan politik.
Namun, feminisme sebagai perspektif juga mendapatkan berbagai kritik.
Menurut Visensio Dugis,221 banyak penstudi-penstudi Hubungan Internasional
yang menganggap bahwa perspektif feminisme tidak memiliki perbedaan yang
jauh dengan perspektif posmodernisme. Perspektif posmodernisme merupakan
perspektif yang mengedepankan dekonstruksi tehadap tatanan yang ada.
Perspektif feminisme sendiri memiliki agenda yang hampir sama, yaitu mem-
perjuangkan emansipasi kaum perempuan dengan mengurangi adanya dominasi
kaum laki-laki di berbagai aspek dan bidang. Agenda keduanya memang tidak
jauh berbeda. Bahkan, bisa dibilang bahwa perspektif feminisme merupakan
bagian dari perspektif posmodernisme. Namun, menurut Visensio Dugis,222
kedua perspektif tersebut memiliki satu perbedaan yang mendasar. Kedua
218 Jackson, Robert dan Georg Sorensen, Op.Cit. 219 Whitworth, Sandra, Op.Cit. 220 True, Jacqui. 2005. “Feminism,” dalam Theories of International Relations, ed. Scott
Burchill dan Andrew Linklater. New York: Palgrave MacMillan. 221 Dugis, Visensio, Op.Cit. 222 Ibid.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 260
perspektif memang memiliki kesamaan agenda, namun perbedaanya terletak
pada dasar dekonstruksi masing-masing perspektif. Perspektif feminisme memi-
liki dasar atas experiencesatau pengalaman dari struggles yang dimiliki oleh
kaum perempuan, sedangkan perspektif posmodernisme hanya mendasarkan
dekonstruksi dalam arti luas.223 Di luar persoalan feminisme dan posmodernis-
me, feminisme juga mendapatkan kritik lain. Feminisme dianggap kurang bisa
diterapkan di setiap jenis masyarakat yang ada. Setiap masyarakat memilki
pemahaman dan nilai yang berbeda dalam memahami peran-peran yang dimiliki
oleh kaum perempuan. Hal ini dapat kita bedakan dalam perbedaan nilai yang
dimiliki oleh masyarakat Barat dan masyarakat Timur. Dalam masyarakat Barat
yang memiliki lebih banyak individu yang berpendidikan, kaum perempuan
dianggap sama dengan kaum laki-laki dan hanya dibedakan berdasarkan
pendidikan dan kapabilitas.224
Dalam studi Hubungan Internasional, terdapat tiga perspektif klasik utama,
yaitu liberalisme, realisme, dan marxisme. Selain tiga perspektif utama, studi
Hubungan Internasional juga memiliki perspektif-perspektif lain seperti perspektif
neoliberalisme, perspektif neorealisme, perspektif strukturalisme, perspektif ra-
sionalisme, perspektif teori kritis, perspektif posmodernisme, perspektif feminis-
me, dan lain-lain. Perspektif feminisme sendiri lahir akibat adanya isu gender di
berbagai aspek kehidupan. Pembahasan mengenai isu gender ini pun telah
masuk ke berbagai studi ilmu sosial. Feminisme pada mulanya memperjuangkan
adanya equality atau kesetaraan gender di berbagai aspek. Dalam studi Hubu-
ngan Internasional, titik awal pembahasan isu gender dimulai akibat adanya
perdebatan mengenai perbedaan mendasar antara laki-laki dan perempuan
serta akibat dari perbedaan tersebut dalam politik internasional. Namun, feminis-
me sebagai perspektif juga mendapatkan berbagai kritik. Banyak penstudi-
penstudi Hubungan Internasional yang menganggap bahwa perspektif feminisme
tidak memiliki perbedaan yang jauh dengan perspektif posmodernisme. Namun,
kedua perspektif tersebut memiliki satu perbedaan yang mendasar. Kedua
223 Ibid. 224 Jackson, Robert dan Georg Sorensen, Op.Cit.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 261
perspektif memang memiliki kesamaan agenda, namun perbedaanya terletak
pada dasar dekonstruksi masing-masing perspektif. Perspektif feminisme memi-
liki dasar atas experiences atau pengalaman dari struggles yang dimiliki oleh
kaum perempuan, sedangkan perspektif posmodernisme hanya mendasarkan
dekonstruksi dalam arti luas. Di luar persoalan feminisme dan posmodernisme,
feminisme juga mendapatkan kritik lain. Feminisme dianggap kurang bisa dite-
rapkan di setiap jenis masyarakat yang ada. Setiap masyarakat memilki
pemahaman dan nilai yang berbeda dalam memahami peran-peran yang dimiliki
oleh kaum perempuan. Menurut Alfin Zulfikar, perspektif feminisme memang
hanya relevan jika diterapkan dalam masyarakat dengan nilai-nilai tertentu.
3. Kedaulatan225
Kedaulatan, adalah suatu institusi, yang berarti seperangkat aturan yang
dijalankan oleh negara. Ada perdebatan yang diperbaharui tentang kedaulatan
dalam Hubungan Internasional. Hal ini disebabkan oleh tantangan terhadap
kedaulatan oleh sejumlah perkembangan baru-baru ini. Dikatakan oleh Jackson
dan Sorensen226 bahwa adalah lebih mudah menganalisis perubahan dalam
kedaulatan daripada berbicara tentang “akhir” dari sebuah kedaulatan. Kemudian
perubahan dalam kedalutan terkait dengan bentuk baru kerjasama antara
negara-negara demokrasi maju di Utara dan bentuk baru konflik antara negara-
negara lemah di Selatan. Hal ini memerlukan perkembangan lebih jauh dari
perdebatan yang telah ada pada Hubungan Internasional daripada teori-teori
baru seluruhnya. Sedangkan perubahan kedaulatan sendiri disebabkan karena
semakin eratnya kerjasama: negara-negara berunding tentang pengaruh pada
masalah internal satu sama lain.
Masih membahas kedaulatan sebagai isu baru, kita perlu untuk melihat
lebih dekat kedaulatan negara lemah dan pola-pola konflik tertentu yang ditim-
225 Isi dari sub bab ini sepenuhnya adalah bagian dari Artikel yang dipostkan oleh Nadira
Farida Putri, Hubungan Internasional dan Isu-Isu Baru Untuk Dihadapi, (Artikel Universitas Airlangga) Tahun 2013
226 Jackson, Robert H. dan Georg Sorensen. 1999. Pengantar Studi Hubungan Interna-
sional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 347
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 262
bulkan oleh negara lemah, sehingga kepada konsep Dunia Ketiga lah kita perlu
kembali. Negara-negara lemah pada awalnya adalah koloni-koloni bangsa Eropa
yang mencapai kedaulatan sebagai akibat dari dekolonisasi. Proses tersebut
menciptakan tipe baru pemain lemah dalam sistem internasional yang tidak
mampu bermain dengan seperangkat aturan lengkap yang dibentuk oleh negara-
negara maju.227 Negara-negara lemah sendiri adalah negara-negara dengan
institusi politik yang mudah pecah atau tidak efektif yang memiliki sedikit atau
tidak memiliki sama sekali legitimasi dari penduduknya. Selain itu, biasanya
negara-negara tersebut tidak ada persatuan nasional, dan kebanyakan pereko-
nomiannya miskin serta tidak berkembang. Sebagai akibatnya, negara-negara
lemah tidak mampu berdiri sendiri dalam sistem internasional. Di samping
menjadi lemah dan tergantung secara eksternal, negara-negara lemah seringkali
tidak mampu menciptakan ketertiban domestik. Dalam kasus yang ekstrem, hal
ini mengakibatkan pada “negara gagal” sehingga membuat kehancuran tatanan
domestik, sebagai contoh adalah Somalia, Rwanda, Liberia, dan Sudan. Hal itu
merupakan latar belakang bagi intervensi kemanusiaan, upaya-upaya oleh PBB
untuk mengintervensi agar dapat menyelamatkan penduduk.228 Singkatnya,
ketergantungan eksternal dan kehancuran internal negara-negara lemah telah
memaksa beberapa perubahan mendasar dalam permainan kedaulatan.
Jika kembali kepada pembahasan akan Hubungan Internasional yang
beberapa waktu lalu telah dibahas, terdapat tiga faktor utama yang mempe-
ngaruhi perkembangan pemikiran Hubungan Internasional. Beberapa ahli ber-
pendapat bahwa tiga faktor ini akan terus menjadi faktor dari perkembangan
pemikiran Hubungan Internasional untuk saat ini hingga seterusnya. Tiga faktor
tersebut adalah pembangunan dalam dnia nyata yang tetap melemparkan isu-isu
baru seperti yang dijelaskan pada paragraf-paragraf sebelumnya. Faktor kedua
alah perdebatan dalam disiplin Hubungan Internasional diantara para ahli.
Perdebatan-perdebatan tersebut akan menolong kita dalam mencapai keputusan
227 Jackson, K. 1990. Quasi-States: Sovereignty. International Relation and the Third
World. Cambridge: Cambridge University. 228 Zartman, W. I. 1995. Collapsed States: The Disintegration and Restoration of Legiti-
mate Authority. Boulder: Lynne Rienner.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 263
tentang tantangan yang diciptakan oleh isu-isu yang berbeda dan konsekuensi-
konsekuensi apa yang terjadi bagi disiplin Hubungan Internasional sendiri. Faktor
ketiga adalah pengaruh perdebatan di bidang keilmuan lainnya, khususnya per-
debatan tentang metodologi dalam hal yang lebih luas (Jackson dan Sorensen,
1999: 346). Kemudian sifat dari tantangan terhadap Hubungan Internasional
yang dihadapi oleh isu-isu baru ini tergantung pada penilaian kita atas apa yang
ada dalam bahaya. Sebagai contoh adalah pandangan radikal mengenai isu
lingkungan hidup menuntut bahwa kita perlu untuk mempertimbangkan kembali
seluruh cara berpikir kita tentang Hubungan Internasional. Analisis feminis ra-
dikal Hubungan Internasional akan menuntut perubahan menyeluruh baik kon-
sep-konsep dasar maupun teori-teori Hubungan Internasional. Dan juga banyak
penstudi yang mempelajari isu-isu baru ini kurang radikal dan lebih cenderung
berjalan di dalam tradisi-tradisi yang telah ada dalam Hubungan Internasional.229
4. Rangkuman
4.1. Karakteristik politik hijau yang selanjutnya merupakan sebuah argumen yang
disampaikan oleh Dobson mengenai “pembatasan pertumbuhan” terhadap
krisis lingkungan yang terjadi saat ini. Politik hijau berpandangan bahwa kri-
sis lingkungan dan permasalahan lingkungan yang terjadi saat ini disebab-
kan oleh pertumbuhan pesat ekonomi selama dua abad terakhir. Dengan
pertumbuhan ekonomi yang semakin cepat, dunia dan manusia kemudian
diperkirakan akan mengalami degradasi dan kejatuhan sebelum tahun 2100
karena banyaknya bahan baku dan sumber daya alam yang semakin meni-
pis dengan cepat disertai dengan polusi dan pencemaran yang melampaui
kapabilitas dari lingkungan itu sendiri untuk mengantisipasi hal tersebut.
Pembatasan pertumbuhan serta permasalahan mengenai ketidakseimba-
ngan yang terjadi disebabkan oleh pertumbuhan eksponensial yang menye-
babkan sumber daya alam mengalami pengurangan drastis sebagai bahan
utama pangan manusia dan bahan baku industri, kapasitas produktif dengan
kapasitas yang berlebihan sehingga mengakibatkan limbah produksi, negara
229 Jackson, Robert H. dan Georg Sorensen, Op.Cit.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 264
yang terlalu besar dan juga terlalu kecil untuk menghadapi keberlanjutan
(sustainability) secara efektif, dibutuhkannya struktur regional dan global
dalam mengkoordinasikan respon yang efektif, desentralisasi organisasi
politik, ekonomi, dan sosial, mulai ditinggalkannya kedaulatan tradisional,
serta munculnya ‘think globally, act locally’ yang semakin terkenal.
4.2. Perspektif feminisme sendiri lahir akibat adanya isu gender di berbagai
aspek kehidupan. Pembahasan mengenai isu gender ini pun telah masuk ke
berbagai studi ilmu sosial. Feminisme pada mulanya memperjuangkan ada-
nya equality atau kesetaraan gender di berbagai aspek. Dalam studi
Hubungan Internasional, titik awal pembahasan isu gender dimulai akibat
adanya perdebatan mengenai perbedaan mendasar antara laki-laki dan
perempuan serta akibat dari perbedaan tersebut dalam politik internasional.
Namun, feminisme sebagai perspektif juga mendapatkan berbagai kritik.
Banyak penstudi-penstudi Hubungan Internasional yang menganggap bahwa
perspektif feminisme tidak memiliki perbedaan yang jauh dengan perspektif
posmodernisme. Namun, kedua perspektif tersebut memiliki satu perbedaan
yang mendasar. Kedua perspektif memang memiliki kesamaan agenda,
namun perbedaanya terletak pada dasar dekonstruksi masing-masing
perspektif.
4.3. Kedaulatan sebagai isu baru, kita perlu untuk melihat lebih dekat kedaulatan
negara lemah dan pola-pola konflik tertentu yang ditimbulkan oleh negara
lemah, sehingga kepada konsep Dunia Ketiga lah kita perlu kembali.
Negara-negara lemah pada awalnya adalah koloni-koloni bangsa Eropa
yang mencapai kedaulatan sebagai akibat dari dekolonisasi. Negara-negara
lemah sendiri adalah negara-negara dengan institusi politik yang mudah
pecah atau tidak efektif yang memiliki sedikit atau tidak memiliki sama sekali
legitimasi dari penduduknya. Selain itu, biasanya negara-negara tersebut
tidak ada persatuan nasional, dan kebanyakan perekonomiannya miskin
serta tidak berkembang. Sebagai akibatnya, negara-negara lemah tidak
mampu berdiri sendiri dalam sistem internasional. Di samping menjadi lemah
dan tergantung secara eksternal, negara-negara lemah seringkali tidak
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 265
mampu menciptakan ketertiban domestik. Dalam kasus yang ekstrem, hal ini
mengakibatkan pada “negara gagal” sehingga membuat kehancuran tatanan
domestik, sebagai contoh adalah Somalia, Rwanda, Liberia, dan Sudan
C. PENUTUP
1. Soal Latihan
Fasilitator memberikan tes formatif untuk mengetahui tingkat penguasaan
pengetahuan yang diperoleh mahasiswa pada materi bahasan ini dengan mem-
berikan pertanyaan antara lain sebagai berikut:
1.1. Jelaskan mengapa isu lingkungan, gender, dan kedaulatan meru-
pakan isu baru dalam hubungan internasional?
1.2. Jelaskan poin penting dari isu lingkungan dalam hubungan inter-
nasional?
1.3. Jelaskan poin penting dari isu gender dalam hubungan internasional?
1.4. Jelaskan hubungan isu gender dengan feminisme?
1.5. Jelaskan poin penting dari isu kedaulatan dalam hubungan inter-
nasional?
2. Umpan Balik
Mahasiswa dapat mengajukan hal tentang kondisi yang dialami dan diha-
rapkannya untuk memahami materi bahasan terkait.
3. Daftar Pustaka
Alfin Zulfikar, Gender dan Feminisme dalam Hubungan Internasional, (Artikel
Universitas Airlangga) Tahun 2014.
Burchill, Scott & Linklater, Andrew. 1996. Theories of International Relations.
New York: ST Martin’s Press, INC.
Burchill et.al., 2005. Theories of International Relations. New York: Palgrave
Macmillan.
Dugis, Vinsensio. 2015. Green Perspectives. Power Point Presentation. Uni-
versitas Airlangga, Surabaya, Indonesia. 20 Mei 2015.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 266
Eckersley, R.. 1992. Enviromentalism and Political Theory: Towards an Eco-
centric Approach. London: Oxford University Press.
Enloe, Cynthia. 2007. “Feminism,” dalam International Relations Theory for the
Twenty-First Century: An Introduction, ed. Martin Griffiths. New York:
Routledge.
Jackson, K. 1990. Quasi-States: Sovereignty. International Relation and the
Third World. Cambridge: Cambridge University.
Jackson, Robert and Georg Sorensen. 1999. Introduction to International
Relations. New York: Oxford University Press.
Nadira Farida Putri, Hubungan Internasional dan Isu-Isu Baru Untuk Dihadapi,
(Artikel Universitas Airlangga) Tahun 2013.
Ni Komang Yulia, Kehadiran Isu Lingkungan dalam Hubungan Internasional,
(Artikel Universitas Airlangga) Tahun 2015.
Steans, J. et.al, 2010. Introduction to International Relations: Perspective and
Themes. New Jersey: Pearson Prentice Hall.
Whitworth, Sandra. 2008. “Feminism,” dalam The Oxford Handbook of Internatio-
nal Relations, ed. Christian Reus-Smith & Duncan Snidal. New York:
Oxford University Press.
Zartman, W. I. 1995. Collapsed States: The Disintegration and Restoration of
Legitimate Authority. Boulder: Lynne Rienner.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 267
DAFTAR PUSTAKA
A.P. Edi Atmaja, Persona Non Grata dan Kekebalan Diplomatik, Analisis atas
Peristiwa Pengusiran Diplomat Iran oleh Kuwait, Artikel Akademia.
Agnes Simbolon, Perwakilan Negara Pada Organisasi Internasional, (Artikel
Lepas) Tahun 2015.
Alfin Zulfikar, Gender dan Feminisme dalam Hubungan Internasional, (Artikel
Universitas Airlangga) Tahun 2014.
Ari Siswanto, ”Suaka Diplomatik dalam Hukum Internasional”, Suara Pembaruan
Online, 6 Maret 1997, melalui: http://www.hamline.edu/apakabar/basis
data/1997/03/07/ 0015.html
Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Jakarta; PT Gramedia, 1995.
Arief Rahman, Realisme dalam Hubungan Internasional, (Artikel) Tahun 2012.
Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, Bandung: Alumni, 2005.
Burchill, Scott & Linklater, Andrew. 1996. Theories of International Relations.
New York: ST Martin’s Press, INC.
Burchill et.al., 2005. Theories of International Relations. New York: Palgrave
Macmillan.
D.P.O. Connel, International Law, Vol. II.
Dasril Guntara, Kemajuan dan Keterbelakangan (Development and Under-
development), (Artikel) Tahun 2012.
David A. Smith dkk., State and Souvereignty in the Global Economy, Rotledge,
New York, 2002.
De Jure Belli ac Paris, II, XVIII, iv. 5
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 268
Dehaussy, The Inviolability of Diplomatic Residence, 83 Journal de Droit Inter-
national (Cluent) 1956.
Dewitri, Globalisasi dan Keamanan Negara, (Artikel) Tahun 2009.
Dugis, Vinsensio. 2015. Green Perspectives. Power Point Presentation. Univer-
sitas Airlangga, Surabaya, Indonesia. 20 Mei 2015.
______________, 2014. Week 1. Theories of IR. Materi disampaikan pada kuliah
teori hubungan internasional, Departemen Hubungan Internasional,
Universitas Airlangga. 6 Maret 2014.
Dunne, Tim, 2001, in Baylis, John & Smith, Steve (eds.) (2001), The Globaliza-
tion of World Politics, 2nd edition, Oxford University Press.
Eckersley, R.. 1992. Enviromentalism and Political Theory: Towards an Ecocen-
tric Approach. London: Oxford University Press.
Edy Suryono, Perkembangan Hukum Diplomatik, Bandung: Mandar Madju,
1992.
___________ dan Moenir Arissoendha, Hukum Diplomatik Kekebalan dan Keis-
timewaannya, Bandung: Angkasa, 1991.
Edmund Jan Osmanczyk, Encyclopedia of the United Nations and International
Agreements, Taylor and Francis, London, 1995.
Eileen Denza, Diplomatic Law, Commentary on the Vienna Convention on Dip-
lomatic Relations, Oceania Publication, Inc. Dobbs Ferry, New York, 1976.
Encyclopedia Britannica
Enloe, Cynthia. 2007. “Feminism,” dalam International Relations Theory for the
Twenty-First Century: An Introduction, ed. Martin Griffiths. New York:
Routledge.
Enny Soeprapto, “International Protection of Refugees and Basic Principles of
Refugee Law, an Analysis”, Makalah, 1989.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 269
Gore-Booth, D. Pakenham, Satow’s Guide to Diplomatic Practice, Fifth Edition,
Logman Group, Ltd. London, 1979.
Gutteridge, Immunities of the Subordinate Diplomatic Staff, Britania Y.B.
International Law, 1947.
http://www.landasanteori.com/2015/09/teori-kekebalan-diplomatik-dan.html
http://www.landasanteori.com/2015/09/kekebalan-dan-keistimewaan-
pejabat.html
http://referensi.elsam.or.id
http://pih.kemlu.go.id/
http://www.ilp.gov.la/database/PDF/I.6.5.pdf
I.C.J. Repl. 226
I.C.J. Reports, 1980.
Ijswara, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Alumni, 1972.
Iman Prihandono, Pemberian Suaka oleh Negara: Kasus Pemberian Suaka oleh
Pemerintah Australia Kepada 42 WNI Asal Papua, (Artikel) Tahun 2008.
Indriani Darwis, Special Mission, (Artikel Lepas) Tahun 2015
International Court of Justice, “Case Summaries, Asylum Case”, Judgment of 20
November 1950, melalui: http://www.icjcij.org/icjwww/idecisions/isumma
ries/icp summary501120.htm
Ismah Tita Ruslin, Relasi Ekonomi-Politik dalam Perspektif Depedencia, Jurnal
Politik Profetik Volume 1 Nomor 1 Tahun 2013.
J. Badri, Perwakilan Diplomatik dan Konsuler, Tintamas, Jakarta, 1960.
J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional: Jilid 2, Jakarta: Sinar Grafika,
2004.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 270
Jackson, K. 1990. Quasi-States: Sovereignty. International Relation and the
Third World. Cambridge: Cambridge University.
Jackson, Robert and Georg Sorensen. 1999. Introduction to International
Relations. New York: Oxford University Press.
James Crawford, Brownlie’s Principles of Public International Law, Eight Edition,
Oxford University Press, Oxford, 2012.
Kadarudin, Persona Non Grata Dalam Praktik Hukum Internasional, Jurnal
Hukum “Justitia” Volume I Nomor 1 Edisi September 2013, Fakultas
Hukum Universitas Ichsan Gorontalo.
________, Praktik Spionase, Antara Kebutuhan Nasional dengan Pelanggaran
Internasional, Jurnal Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin, Volume I Nomor 2 Edisi Nopember 2013.
Lidya Rosaline Kaligis, Perlindungan Terhadap Diplomat dari Serangan Teroris,
Jurnal Lex et Societatis, Vol. III Nomor 4, Edisi Mei Tahun 2015.
Lucy Gerungan, Lembaga Suaka dalam Hukum Internasional, Jurnal Hukum
Unsrat Volume XVIII Nomor 1, Edisi Januari-April 2010.
Nadira Farida Putri, Hubungan Internasional dan Isu-Isu Baru Untuk Dihadapi,
(Artikel Universitas Airlangga) Tahun 2013.
Narinden Mehta, International Organization and Diplomacy, Jullundur, India:
Hindi Press, 1976.
Natasa Fransiska Elisabeth Siahaan, Pelanggaran Hak Kekebalan Diplomatik
atas Duta Besar Italia yang Ditahan di India Ditinjau dari Hukum Inter-
nasional, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2013.
Ni Komang Yulia, Kehadiran Isu Lingkungan dalam Hubungan Internasional,
(Artikel Universitas Airlangga) Tahun 2015.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 271
M. Husni Syam, Pengaruh Globalisasi terhadap Kedaulatan Negara, Makalah
Disampaikan pada seminar dalam rangka European Union Week – Dialog
antar Budaya Indonesia dengan Komisi Uni Eropa 15 Desember 2009,
Aula Unisba – Bandung.
Makaramah, Pengertian, Sejarah, dan Sumber Hukum Diplomatik, (Artikel Le-
pas) Tahun 2015.
Malcolm N. Shaw QC, International Law, Terjemahan Derta Sri Widowatie, Imam
Baehaqi dan M. Khozim, Bandung: Nusa Media, 2013.
Marcelino Heryanto Latuputty, Latar Belakang Hak Kekebalan dan Keistimewaan
Diplomatik, Makalah Fakultas Hukum Universitas Atmajaya Yogyakarta,
2015.
Michael P. Todaro, Economic Development In The Third World, New York;
Logman Inc, 1985.
Mifta Churohman, Masyarakat Internasional, (Artikel) Tahun 2010.
Mohammad Reza Ferizmanda, Perspektif Liberalisme dalam Teori Hubungan
Internasional, (Artikel) Tahun 2014.
Oxford English Dictionary
Oxford Progressive Dictionary
Pertiwi Gultom, Landasan Yuridis Kekebalan dan Keistimewaan Diplomatik, (Arti-
kel Lepas) Tahun 2016.
Phillipson, International Law and Custom of Ancient Greece and Rome, London,
1911.
Putu Aparajita Devi, Peranan Negara dalam Globalisasi dan Demokratisasi
Ekonomi, Jurnal Aplikasi Manajemen Volume 3 Nomor 3, Edisi Desember
2005.
Random House Dictionary
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 272
Rizky Kendra Anjani, Mayarakat Internasional dalam Perkembangan Teori Hubu-
ngan Internasional, (Artikel) Tahun 2012.
Robert Jackson dan Georg Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
S.M. Noor, Masyarakat Internasional dan Hukum Internasional, (Artikel) Tahun
2012 yang dipublikasi pada http://www.negarahukum.com/
Scott Burchill & Andrew Linklater, Teori-Teori Hubungan Internasional,
(Penerjemah M. Sobirin), Bandung, Nusa Media, 2015.
Sigit Fahrudin, Pengertian dan Sumber Hukum Diplomatik, (Artikel Lepas) Tahun
2009.
Sofjan Aga Khan, Sadruddin, “United Nations High Commissioner for Refugees”,
Lectures on Legal Problems relating to Refugees and Displaced Persons,
given at the Hague Academy of International Law, 4-6 August.
Starke, J.G., “An Introduction to International Law”, Eighth Edition, London,
Butterworths, 1977.
Steans, J. et.al, 2010. Introduction to International Relations: Perspective and
Themes. New Jersey: Pearson Prentice Hall.
Sulaiman Hamid, ”Lembaga Suaka dalam Hukum Internasional”, PT Rajagrafin-
do Persada, Jakarta, 2002.
Sumaryo Suryokusumo, “Hukum Diplomatik Teori dan Kasus”, Penerbit Alumni,
Bandung, 1995.
Suwantji Sisworahardjo, S.H., MDS., Materi Kuliah Perencanaan Sosial studi
Pasca Sarjana Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP Universitas Indonesia.
Syahmin AK, Hukum Diplomatik Suatu Pengantar, Bandung: CV Armico, 1988.
__________, Hukum Internasional Publik, Jilid 3, Edisi Pertama, Bandung:
Binacipta, 1996.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 273
Wardhani, Baiq, 2014. Week 3. Liberalisme. Materi disampaikan pada kuliah
teori hubungan internasional, Departemen Hubungan Internasional,
Universitas Airlangga. 20 Maret 2014.
Wasito, Konvensi-Konvensi Wina, Yogyakarta: Andi Offset, 1999.
Whitworth, Sandra. 2008. “Feminism,” dalam The Oxford Handbook of
International Relations, ed. Christian Reus-Smith & Duncan Snidal. New
York: Oxford University Press.
Wight, Social Research: An International Quarterly, Volume 58, No. 1, Spring
1991.
Yearbook of the international Law Commision (I.L.C.) 1957, Vol. I.
Yearbook of the International Law Commision (I.L.C.), 1958, Vol. II.
Zaqiah Darojad, dkk, AnaIisa Mengenai Vienna Convention on the
Representation of States in their Relations with International Organizations
of a Universal Character 1975, Universitas Airlangga Surabaya, tanpa
tahun.
Zartman, W. I. 1995. Collapsed States: The Disintegration and Restoration of
Legitimate Authority. Boulder: Lynne Rienner.
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 274
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 275
SENARAI KATA PENTING
Ambassador = Duta Besar
Charge d' affaires = Kuasa Usaha
Civilized Nations = Bangsa-Bangsa yang Beradab
Consular = Konsuler
Diplomatic Agents = Agen Diplomatik
Diplomatic Intercourse = Hubungan Diplomatik
Diplomatic Mission = Misi Diplomatic
Diplomatic Law = Hukum Diplomatik
Diplomatic Practice = Praktik Diplomatik
Diplomatic Relation = Hubungan Diplomati
Diplomatic Staff = Staf Diplomatik
Independent States = Negara-Negara Merdeka
International Convention = Perjanjian Internasional
International Custom = Kebiasaan Internasional
International Relation = Hubungan Internasional
Receiving State = Negara Penerima
Representing States = Wakil Negara
Sending State = Negara Pengirim
Special Missions = Misi-Misi Khusus
The General Principles of Law = Prinsip-Prinsip Hukum Umum
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 276
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 277
INDEKS
Ambassador : 4, 7, 20, 37, 123
Charge d' affaires : 7, 18, 21
Civilized Nations : 5
Consular : 9, 18, 40 – 43, 45 – 71, 74. 82 – 85, 91, 99, 104, 131
Diplomatic Agents : 16, 17, 24 – 30
Diplomatic Intercourse : 16, 40, 82
Diplomatic Law : 3
Diplomatic Mission : 16 – 18, 35, 43, 47 – 50, 53 – 56
Diplomatic Practice : 4, 13, 248,
Diplomatic Relation : 3, 13, 16, 17
Diplomatic Staff : 17 – 19, 21, 48, 83, 85 – 86, 92 – 97, 100. 105, 129, 153,
248
Independent States : 4
International Convention : 5
International Custom : 5
International Relation : 109, 202, 216, 245 – 246
Receiving State : 17 – 31, 35, 42 – 71, 74
Representing States : 16, 137
Sending State : 16 – 26, 29 – 31, 43 – 61, 65, 67 – 68, 71
Special Missions : 81 – 100, 102 – 104, 106
The General Principles of Law : 5
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 278
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 279
TIM PENULIS
S.M. Noor, Guru Besar Hukum Internasional Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas). Pengajar pada
program Strata Satu (S1) di Fakultas Hukum Unhas,
Strata Dua (S2), dan Strata Tiga (S3) pada Program Pas-
casarjana Unhas. Selain itu juga adalah Ketua Depar-
temen Hukum Internasional pada almamater yang sama.
Selain mengajar di Fakultas Hukum juga mengajar untuk mata kuliah Politik dan
Kebijaksanaan Luar Negeri Cina, Jurusan Hubungan Internasional FISIP-Unhas.
Banyak menulis pada beberapa media nasional antara lain : Kompas, Suara
Pembaharuan, Tribun Timur, Fajar dan lain-lain. Kolomnis tetap untuk analisis
masalah-masalah hubungan internasional pada Harian Pedoman Rakyat (al-
marhum) sejak 1982 sampai 2003. Penanggung-jawab Jurnal Hukum Interna-
sional, Fakultas Hukum Unhas. Aktif sebagai nara sumber dan peserta pada
berbagai seminar nasional dan inter-nasional. Juga aktif melaksanakan pene-
litian. Beberapa buku telah diterbitkan antara lain : Sengketa Asia Timur (Lem-
baga Penerbitan Unhas-Lephas Unhas 2002), Hukum Internasional (Pustaka
Pena 2008), Politik Hukum Ratifikasi Perjanjian Internasional di Indonesia
(Pustaka Pena 2009), Perang Makassar (Penerbit Kompas 2012). Juga menulis
Novel antara lain : Putri Bawakaraeng (Lephas Unhas 2002), Pelarian (Yayasan
Pena Indonesia 2000), Baruga (Pustaka Pena 2012), Politik Hukum Ratifikasi
Indonesia (Pustaka Pena, 2016).
S.M. Noor, Birkah Latif, & Kadarudin 280
Birkah Latif, adalah dosen tetap pada Departemen
Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
(UNHAS) Makassar sejak Tahun 2004 dan mengampu
Mata Kuliah Hukum Internasional, Hukum Perjanjian
Internasional, Hukum Diplomatik dan Hubungan Interna-
sional, Hukum Lingkungan Internasional, PIP Hukum laut,
dan saat ini menjabat sebagai Ketua Klinik Hukum Fakul-
tas Hukum Universitas Hasanuddin. Meraih gelar Sarjana Hukum (S.H.) dari
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (2003), Magister Hukum (M.H.) dari
Program Pascasarjana Universitas Airlangga (2009), dan Master of Law (LL.M.)
dari University of Washington, USA (2014). Aktif melakukan beberapa penelitian
dan pengabdian kepada masyarakat (baik mandiri maupun penelitian dalam skim
SIMLITABMAS Dikti). Aktif mengikuti pelatihan di dalam dan luar negeri, serta
telah lulus menjadi Mediator Bersertifikat Mahkamah Agung (sejak Tahun 2015).
Saat ini penulis sedang menempuh studi Program Doktor (S3) Ilmu Hukum jalur
research Ilmu Hukum di Sekolah Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
Kadarudin, Lahir di Ujung Pandang, 14 Mei 1989. Menye-
lesaikan studi Strata Satu (S1) dan meraih gelar Sarjana
Hukum (S.H.) pada bulan Januari 2010 dengan predikat
lulusan Cum Laude. Magister Ilmu Hukum (M.H). pada
tahun 2012 dari Program Pascasarjana Universitas Hasa-
nuddin yang di danai oleh Bakrie Centre Foundation. Lu-
lus Pelatihan Mediator Bersertifikat Mahkamah Agung (Ta-
hun 2015), saat ini dalam tahap penyelesaian studi Program Doktor/Strata Tiga
(S3) Ilmu Hukum Pada Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional 281