Politik Hukum Sistem Pemilu Legislatif dan Presiden Tahun ...
Hukum Dan Politik Dalam Sistem Hukum Indonesia_Sudirman_Published
-
Upload
sudirman-simamora-sh -
Category
Documents
-
view
28.673 -
download
4
description
Transcript of Hukum Dan Politik Dalam Sistem Hukum Indonesia_Sudirman_Published
HUKUM DAN POLITIK DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA
Oleh : Sudirman Simamora (087005059)
Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara
Medan 2008
BAB I
PENDAHULUAN
Law is a command of the Lawgiver (hukum adalah perintah dari
penguasa), dalam arti perintah dari mereka yang memiliki kekuasaan tertinggi
atau yang memegang kedaulatan. Demikian John Austin, seperti dikutip oleh
Prof Lili Rasyidi.1 Perdebatan mengenai hubungan hukum dan politik memiliki
akar sejarah panjang dalam ilmu hukum. Bagi kalangan penganut aliran
positivisme hukum seperti John Austin, hukum adalah tidak lain dari produk
politik atau kekuasaan. Pada sisi lain, pandangan berbeda datang dari kalangan
aliran sejarah dalam ilmu hukum, yang melihat hukum tidak dari dogmatika
hukum dan undang-undang semata, akan tetapi dari kenyataan-kenyataan sosial
yang ada dalam masyarakat dan berpandangan bahwa hukum itu tergantung
pada penerimaan umum dalam masyarakat dan setiap kelompok menciptakan
hukum yang hidup.2
1 Lili Rasyidi & Ira Rasyidi. Pengantar Filsafat dan Teori Hukum. Cet. : VIII. PT. Citra Adtya Bakti. Bandung. 2001.
2 Bismar Nasution. Catatan Perkuliahan Mata Kuliah Politik Hukum. Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. Medan. 2008
1
Memperhatikan perkembangan sistem hukum Indonesia, kita akan melihat
adanya ciri-ciri yang spesifik dan menarik untuk dikaji. Sebelum pengaruh hukum
dari penjajahan Belanda di Indonesia berlaku hukum adat dan hukum Islam yang
berbeda-beda dari berbagai masyarakat adat di Indonesia dari setiap kerajaan
dan etnik yang berbeda. Setelah masuk penjajah Belanda membawa hukumnya
sendiri yang sebagian besarnya merupakan konkordansi dengan hukum yang
berlaku di Belanda yaitu hukum tertulis dan perundang-undangan yang bercorak
positivistis. Walaupun demikian Belanda menganut politik hukum adat
(adatrechtpolitiek), yaitu membiarkan hukum adat itu berlaku bagi golongan
masyarakat Indonesia asli dan hukum Eropa berlaku bagi kalangan golongan
Eropa yang bertempat tinggal di Indonesia (Hindia Belanda). Dengan demikian
pada masa Hindia Belanda berlaku pluralisme hukum. Perkembangan hukum di
Indonesia menunjukkan kuatnya pengaruh hukum kolonial dan meninggalkan
hukum adat.3
Karena itu, dalam melihat persoalan hukum di Indonesia harus dipandang
dari kenyataan sejarah dan perkembangan hukum Indonesia itu. Pada saat
sekarang ini terdapat perbedaan cara pandang terhadap hukum diantara
kelompok masyarakat Indonesia. Berbagai ketidakpuasan atas penegakkan
hukum dan penanganan berbagai persoalan hukum bersumber dari cara
pandang yang tidak sama tentang apa yang dimaksud hukum dan apa yang
menjadi sumber hukum. Tulisan ini akan mengkaji permasalahan ini dari sudut
pandang teori positivis yang berkembang dalam ilmu hukum dengan harapan
3 Daniel S. Lev. Hukum Dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan. Cet : I. LP3S. Jakarta. 1990.
2
akan mendapatkan gambaran tentang akar persoalan pembangunan sistem
hukum Indonesia pada masa mendatang.
BAB II
PANDANGAN ALIRAN POSITIVIS TENTANG HUKUM
Aliran positivisme hukum berasal dari ajaran sosiologis yang
dikembangkan oleh filosof Perancis; August Comte (1798-1857) yang
berpendapat bahwa terdapat kepastian adanya hukum-hukum perkembangan
mengatur roh manusia dan segala gejala hidup bersama dan itulah secara
mutlak. August Comte hanya mengakui hukum yang dibuat oleh negara.4 Untuk
memahami positivisme hukum tidak dapat diabaikan metodelogi positivis dalam
sains yang mengahruskan dilakukannya validasi dengan metode yang terbuka
atas setiap kalin atau proposisi yang diajukan. Karena itu bukti empirik adalah
syarat universal untuk diterimanya kebenaran dan tidak berdasarkan otoritas
tradisi atau suatu kitab suci. Menurut Fletcher5 Positivisme hukum mempunyai
pandangan yang sama tentang diterimanya validasi. Seperti halnya positivisme
sains yang tidak dapat menerima pemikiran dari suatu proposisi yang tidak dapat
diverifikasi atau yang tidak dapat difalsifikasi, tetapi karena hukum itu ada karena
termuat dalam perundang-undangan apakah dipercaya atau tidak. Hukum harus
4 Achmad Ali. Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis. Cet. : II. Penerbit Gunung Agung. Jakarta. 2002.
5 Fletcher, George P, Basic Concepts of Legal Thougt. Oxford University Press. New York. 1996.
3
dicantumkan dalam undang-undang oleh lembaga legislatif dengan
memberlakukan, memperbaiki dan merubahnya.
Positivisme hukum berpandangan bahwa hukum itu harus dapat dilihat
dalam ketentuan undang-undang, karena hanya dengan itulah ketentuan hukum
itu dapat diverifikasi. Adapun yang di luar undang-undang tidak dapat
dimasukkan sebagai hukum karena hal itu berada di luar hukum. Hukum harus
dipisahkan dengan moral, walaupun kalangan positivis mengakui bahwa focus
mengenai norma hukum sangat berkaitan dengan disiplin moral, teologi, sosiolgi
dan politik yang mempengaruhi perkembangan sistem hukum. Moral hanya
dapat diterima dalam sistem hukum apabila diakui dan disahkan oleh otoritas
yang berkuasa dengan memberlakukannya sebagai hukum.
Lebih jauh, pandangan dan pendapat dari mazhab positivisme ini dapat
ditelusuri dari pendapat dan pandangan dari para penganut terpenting dari
mazhab ini antara lain John Austin, seorang ahli hukum yang berkebangsaan
Inggris yang mewakili pandangan positivis dari kelompok penganut sistem
hukum Common Law dan Hans Kelsen, seorang ahli hukum yang
berkebangsaan Jerman yang mewakili pandangan positivis dari kelompok
penganut sistem hukum Eropa Kontinental.
Menurut John Austin (seperti dikutip Achmad Ali, hlm. 267)6, hukum
adalah perintah kaum yang berdaulat. Ilmu hukum berkaitan dengan hukum
positif atau dengan ketentuan-ketentuan lain yang secara tegas disebut
demikian. Pendapat Austin sangat dipengaruhi oleh pandangannya mengenai
kedaulatan negara yang memiliki dua sisi yaitu sisi eksternal dalam bentuk
6 Ahmad Ali. Loc cit.
4
hukum internasional dan sisi internal dalam bentuk hukum positif. Kedaulatan
negara menuntut ketaatan dari penduduk warga negara. Lebih lanjut menurut
Austin, ketaatan ini berbeda dengan ketaatan seseorang karena ancaman
senjata. Ketaatan warga negara terhadap kedaulatan negara didasarkan pada
legitimasi. Menurut pandangan Austin, hukum sebagai suatu sistem yang logis,
tetap dan bersifat tertutup (closed logical system). Hukum dipisahkan secara
tegas dari keadilan dan tidak didasarkan pada nilai-nilai yang baik atau buruk.
Ada empat unsur hukum yaitu adanya perintah, sanksi, kewajiban dan
kedaulatan. Ketentuan yang tidak memenuhi ke empat unsur ini tidak dapat
dikatakan sebagai positive law.
Selanjutnya Lili Rasyidi menyimpulkan pokok-pokok ajaran Analytical
Jurisprudence dari Austin, yaitu7 :
1. Ajarannya tidak berkaitan dengan soal atau penilain baik dan buruk, sebab
peniliain tersebut berada di luar hukum;
2. Walau diakui adanya hukum moral yang berpengaruh terhadap masyarakat,
namun secara yuridis tidak penting bagi hukum.
3. Pandangannya bertolak belakang dengan baik penganut hukum alam
maupun mazhab sejarah;
4. Hakekat dari hukum adalah perintah. Semua hukum positif adalah perintah
dari yang berdaulat/penguasa.
5. Kedaulatan adalah hal di luar hukum, yaitu berada pada dunia politik atau
sosiologi karenanya tidak perlu dipersoalkan sebab dianggap sebagai
sesuatu yang telah ada dalam kenyataan;
7 Lili Rasyidi. Op cit. h. 59-60.
5
6. Ajaran Austin kurang/ tidak memberikan tempat bagi hukum yang hidup
dalam masyarakat.
Dari kalangan penganut sistem hukum Eropa Kontinental, Hans Kelsen
yang dikenal dengan ajaran hukum murninya selalu digolongkan sebagai
penganut aliran positivisme ini. Ada dua teori yang dikemukakan oleh Hans
Kelsen yang perlu diketengahkan. Pertama, ajarannya tentang hukum yang
bersifat murni dan kedua, berasal dari muridnya Adolf Merkl yaitu stufenbau des
recht yang mengutamakan tentang adanya hierarkis daripada perundang-
undangan. Inti ajaran hukum murni Hans Kelsen adalah bahwa hukum itu harus
dipisahkan dari anasir-anasir yang tidak yuridis seperti etis, sosiologis, politis dan
sebagainya. Dengan demikian Kelsen tidak memberikan tempat bagi berlakunya
hukum alam. Hukum merupakan sollen yuridis semata-mata yang terlepas dari
das sein/ kenyataan sosial.
Sedangkan ajaran stufentheorie berpendapat bahwa suatu sistem hukum
adalah suatu hierarkis dari hukum dimana suatu ketentuan hukum tertentu
bersumber pada ketentuan hukum lainnya yang lebih tinggi. Sebagai ketentuan
yang paling tinggi adalah grundnorm atau norma dasar yang bersifat hipotetis.
Ketentuan yang lebih rendah adalah lebih konkrit daripada ketentuan yang lebih
tinggi. Ajaran murni tentang hukum adalah suatu teori tentang hukum yang
senyatanya dan tidak mempersoalkan hukum yang senyatanya itu, yaitu apakah
hukum yang senyatanya itu adil atau tidak adil.
6
Selanjutnya Prof. H. L. A. Hart seperti dikutip oleh Lili Rasyidi8,
menguraikan tentang ciri-ciri positivisme pada ilmu hukum dewasa ini sebagai
berikut :
1. Pengertian bahwa hukum adalah perintah dari manusia (command of human
being);
2. Pengertian bahwa tidak ada hubungan mutlak/ penting antara hukum (law)
dan moral atau hukum sebagaimana yang berlaku/ada dan hukum yang
sebenarnya;
3. Pengertian bahwa analisis konsepsi hukum adalah :
a. mempunyai arti penting,
b. harus dibedakan dari penyelidikan :
c. historis mengenai sebab-musabab dan sumber-sumber hukum,
d. sosiologis mengenai hubungan hukum dengan gejala sosial lainnya,
dan
e. penyelidikan hukum secara kritis atau penilain, baik yang berdasarkan
moral, tujuan sosial, fungsi hukum dan lain-lainnya.
4. Pengertian bahwa sitem hukum adalah sistem yang logis, tetap dan bersifat
tertutup dalam mana keputusan-keputusan hukum yang benar/ tepat
biasanya dapat diperoleh dengan alat-alat logika dari peraturan-peraturan
hukum yang telah ditentukan sebelumnya tanpa memperhatikan tujuan-tujuan
sosial, politik dan ukuran-ukuran moral;
8 Lili Rasyidi. Op cit. h. 57.
7
5. Pengertian bahwa pertimbangan-pertimbangan moral tidak dapat dibuat atau
dipertahankan sebagai pernyataan kenyataan yang harus dibuktikan dengan
argumentasi-argumentasi rasional, pembuktian atau percobaan.
Dengan demikian kita dapat pula mengatakan, karena negara adalah
ekspresi atau merupakan forum kekuatan-kekuatan politik yang ada didalam
masyarakat, maka hukum adalah hasil sebagian pembentukan keputusan yang
diambil dengan cara yang tidak langsung oleh penguasa. Penguasa mempunyai
tugas untuk mengatur dengan cara-cara umum untuk mengatasi problema-
problema kemasyarakatan yang serba luas dan rumit, pengaturan ini merupakan
obyek proses pengambilan keputusan politik, yang dituangkan kedalam aturan-
aturan, yang secara formal diundangkan. Jadi dengan demikian hukum adalah
hasil resmi pembentukan keputusan politik.9
BAB III
POLITIK DAN POLITIK HUKUM DI INDONESIA
Dalam khasanah ilmu sosial pada umumnya dan sosiologi politik pada
khususnya, politik pada dasarnya adalah sebuah konsep yang amat luas
cakupannya. Konsep ini pada pokoknya menerangkan tentang bagaimana
kekuasaan (power) dan sumber-sumbernya (resources of power) itu dialokasikan
dan disistribusikan dalam sebuah masyarakat. Proses ini tidak selalu terjadi
melulu atas dasar sebuah konsensus tetapi juga sering melalui kompetisi dan
9 Lili Rasyidi. Op cit. h. 39.
8
bahkan konflik atas dasar kombinasi pola “memperebutkan-mempertahankan” di
antara partisipan konflik yang dapat berwujud individu, kelompok, golongan, atau
lembaga. Di samping itu, konsep politik juga sangat terkait dengan beberapa
konsep kunci lainnya seperti otoritas (authority), legitimasi (legitimacy), dominasi
(domination), hegemoni (hegemony) dan kekuasaan paksa (coercive power).
Sumber-sumber kekuasaan yang dapat berbentuk posisi, jabatan,
pengaruh, uang, dan kekayaan itu, di masyarakat manapun, secara relatif selalu
bersifat terbatas. Ihwal inilah yang menyebabkan mengapa sejarah manusia
selalu ditandai oleh pertikaian yang berdimensi politik. Walaupun wilayah
pertikaian politik untuk memperebutkan (atau mempertahankan) sumber-sumber
kekuasan itu juga terjadi di masayarakat (civil society), sangat penting di sini
untuk dicatat bahwa negara (state) adalah pusat wilayah perebutan kekuasaan
yang paling sengit karena di sanalah sumber-sumber kekuasaan terpenting
untuk membuat keputusan publik itu terdapat.
Menurut ajaran trias politica yang di kemudian hari menjadi landasan
pokok negara moderen, terdapat tiga cabang kekuasaan negara penting yang
sama-sama telah kita kenal dengan baik itu : kekuasaan judisial, legislatif, dan
eksekutif. Masing-masing cabang kekuasaan itu memiliki otoritas dan secara
relatif memonopoli otoritas itu untuk menghasilkan (dan menggandakan)
kekuasaan yang spesifik. Walaupun demikian, itu tidak berarti ketiga institusi
pokok negara moderen itu tidak saling berinteraksi. Dalam beberapa keadaan,
bahkan ketiga institusi itu mengembangkan hubungan kekuasaan yang secara
inheren juga menyimpan prinsip saling ketergantungan.
9
Paradoks itu dapat dilihat di antaranya dalam ihwal hukum. Pada tempat
pertama, hukum adalah produk lembaga legislatif. Sebagai sebuah produk,
pembuatan hukum yang berupa undang-undang dan dalam keadaan tertentu
berupa konstitusi negara, selalu melibatkan proses-proses politik yang amat
kompleks. Melalui perdebatan parlemen, sebuah rancangan produk hukum
dibahas dalam sidang-sidang yang melibatkan elemen-elemen yang berbeda
dalam sebuah parlemen, yakni partai politik. Dengan kata lain, pada dasarnya
hukum yang paling dasar, yakni konstitusi negara dan undang-undang, adalah
sebuah produk politik dari partai-partai politik dominan dalam sebuah parlemen.
Memang, terdapat beberapa variasi tentang bagaimana sebuah produk hukum
itu diselesaikan oleh lembaga legislatif. Namun, secara umum, wilayah ini pada
pokoknya merupakan monopoli parlemen yang karena kewenangannya dalam
menghasilkan produk-produk hukum pokok mendapatkan namanya dengan
sebutan lembaga legislatif itu.
Ketika sebuah proses politik di parlemen itu berakhir dengan sebuah
produk hukum berupa undang-undang (yang pengaturan penetapannya menjadi
undang-undang di sebagian sistem politik membutuhkan persetujuan kepala
lembaga eksekutif dan di sebagian sistem lainnya tidak), maka segera setelah itu
hukum baru itu (tampak seperti “tiba-tiba”) menjadi sebuah aturan dasar yang
mengikat semua lembaga negara dan individu, tak terkecuali lembaga yang
menghasilkannya. Pengikatan diri secara penuh terhadap hukum yang berlaku
tanpa kecuali ini, dalam negara moderen dikenal dengan ajaran tentang
“supremasi hukum”. Ajaran ini pada dasarnya mendiktekan peneguhan atas nilai
10
dan praktik “persamaan di depan hukum” yang mengakibatkan sebuah produk
hukum, yang walaupun pada awalnya merupakan produk politik yang
menyertakan juga proses-proses kompetisi dan rivalitas atas sumber-sumber
kekuasaan, bersifat otonom (kadang bahkan “alien”) dan “self-evident” (mutlak
dengan sendirinya).
Dalam prinsip semacam inilah, dasar-dasar terpenting tentang gagasan
negara hukum itu diletakkan dalam negara moderen. Penegasan terhadap
gagasan negara hukum itu memiliki pesan tunggal yang amat jelas, yakni tidak
sebuah kekuasaan dapat memaksakan kehendak dan kepatuhan publik atas
kehendak itu tanpa dilandasi oleh hukum yang berlaku—yang proses pembuatan
dan penetapannyapun diatur oleh hukum yang telah dibuat sebelumnya, baik
dalam kedudukannya yang lebih tinggi maupun yang setara. Pada tempat inilah
prinsip “Rule of Law” ditegaskan untuk mencegah praktik terjadinya “Rule by
Law” yang kerap menjadi dasar dari tegaknya prinsip yang di negeri ini dalam
khasanah perbincangan para ahli hukum tatanegara sering disebut dengan
negara kekuasaan (machtsstaat) sebagai lawan dari negara hukum (rechtsstaat).
Hukum yang bersifat dasar dan mengikat semua pihak itu sesungguhnya
merupakan tulisan bahkan kertas belaka apabila tidak ditegakkan. Pada tempat
kedua inilah, di mana-mana, hukum membutuhkan lembaga “law enforcement”.
Dalam konteks inilah, lembaga eksekutif melalui aparatur khususnya
mengemban tanggung jawab utama untuk menegakkan apa yang diperintahkan
hukum untuk dilakukan atau tak dilakukan, untuk diindahkan atau dilarang.
Mengikuti ajaran Trias Politica, lembaga eksekutif karena itu kepadanya
11
diembankan kewajiban untuk memastikan hukum tak hanya menjadi tulisan atau
kertas belaka. Birokrasi penegak hukum yang utama dalam negara moderen
adalah polisi. Melalui proses evolusi yang panjang, dalam negara moderen yang
berasas negara hukum itu, lembaga kepolisian memiliki tugas yang paling pokok:
yakni penegakan hukum (law enforcement).
Tidak sebuah lembaga manapun dalam cabang eksekutif maupun kedua
cabang lainnya, yakni lembaga legislatif dan judisial, pada dasarnya memiliki
otoritas yang penuh untuk menegakkan hukum. Pikiran tersederhana dalam
prinsip “law enforcement” adalah pentingnya semua orang mematuhi hukum
guna terciptanya ketertiban sosial dan keamanan umum yang sering juga disebut
dengan istilah “social order and public safety”. Tegaknya kepatuhan orang pada
hukum, dalam ajaran ini, dipercaya sebagai dasar untuk menciptakan sebuah
kehidupan bersama yang memungkinkan pencapaian tujuan individual dan
kolektif berikut segala perbedaan yang menyertainya dapat dilakukan tanpa
dampak yang bersifat destruktif bagi kehidupan bersama yang berkelanjutan itu.
Masih mengikuti ajaran ini, tanpa aturan bersama yang dipatuhi oleh publik,
masyarakat akan menghasilkan anarki yang pada ujung-ujungnya akan
menciptakan kehidupan bersama yang hancur dan atau menghancurkan.
Dalam mana telah terjadi, atau sekurang-kurangnya patut diduga sebagai
berkemungkinan telah terjadi, pelanggaran hukum, polisi berkewajiban
melakukan serangkaian tindakan: mulai dari penyelidikan, penyidikan,
pemeriksaan saksi dan atau pencarian bukti hingga pemberkasan. Mandat ini
bersifat otonom dan penuh. Artinya, walaupun berada di wilayah jurisdiksi
12
lembaga eksekutif, dan bukan, dan tidak pernah, dan tidak akan pernah, berada
di bawah kedua cabang kekuasaan legislatif dan judisial, lembaga kepolisian
tidak tunduk dan atau berada di bawah pengaruh kekuasaan eksekutif dalam
melakukan fungsi penegakan hukum selain dari hukum itu sendiri. Walaupun
mungkin tampak mengandung paradoks, beginilah memang sesungguhnya
ajaran negara hukum yang sejati. Pengaruh kekuasaan eksekutif atas kewajiban
menegakkan hukum yang kewenangannya diberikan pada lembaga kepolisian
tidak lain dan tidak ada yang lain selain menegakkan hukum itu sendiri.
Fungsi universal lainnya yang melekat pada lembaga kepolisian dalam
kerangka penegakkan hukum demi terjadinya “social order dan public safety”—
yang di Indonesia sering secara awam diringkas menjadi “ketertiban umum” itu
(atau dalam terminologi Polri sering juga disebut dengan Kamtibmas)—adalah
menjalankan fungsi-fungsi patroli (patroling), pengaturan lalu lintas (traffic), dan
penyelidikan kejahatan (crime investigation). Hanya setelah paruh kedua abad
yang lalu saja, lembaga kepolisian di banyak negara menambahkan juga fungsi
antihuru-hara. Apa yang saya hendak katakan di sini tidak lain adalah, semua
fungsi itu dilekatkan pada lembaga kepolisian untuk tujuan penciptaan tertib
sosial dan keamanan publik.
Dalam tema yang serupa, lembaga eksekutif juga mengemban amanat
sebagai lembaga penuntut perkara hukum ketika telah terjadi pelanggaran yang
telah dikuatkan oleh bukti dan saksi yang oleh hukum dinyatakan sebagai telah
memenuhi syarat bagi dilakukannya penuntutan. Lembaga kejaksaan adalah
aparatus birokrasi penegak hukum yang berada di bawah jurisdiksi kekuasaan
13
eksekutif. Sama dengan prinsip otonomi dan sifat yang penuh yang dimilki
lembaga kepolisian itu, mandat lembaga kejaksaan tidak berkurang atau dapat
dikurangkan oleh kenyataan bahwa lembaga ini berada di bawah jurisdiksi
lembaga eksekutif. Sebagai penegasan tambahan, pengaruh lembaga eksekutif
pada lembaga kejaksaan tidak lain dan tidak ada yang lain selain melakukan
penuntutan berdasarkan hukum yang berlaku dan mengikat semua orang dan
lembaga itu.
Cabang kekuasaan judisial yang meliputi otoritas penyelenggara sistem
peradilan dan di beberapa negara juga merangkap sebagai lembaga penilai
undang-undang dan atau peraturan di bawahnya (judicial reviewer) serta
mahkamah penyelesai sengketa konstitusional, adalah satu cabang kekuasan
dalam negara hukum yang memiliki otonomi untuk membuat keputusan akhir
atas perkara hukum melalui sebuah sistem persidangan yang bertingkat. Cara
bekerja lembaga ini adalah memutus perkara hukum (atau konstitusi)
berdasarkan bunyi pasal-pasal hukum yang berlaku, dan, bila mana diperlukan,
atas keyakinan hukum para hakimnya. Dalam jargon dan retorika hukum,
lembaga ini sering juga disebut sebagai lembaga pemutus keadilan. Walaupun
sebagai lembaga ia bersifat otonom, para hakim agungnya (begitulah mereka
sering disebut) dipilih dan diangkat melalui proses politik jua. Sekurang-
kurangnya, proses itu melalui pembahasan di cabang kekuasaan lainnya:
lembaga legislatif dan atau lembaga eksekutif. Inilah gambaran paradoks yang di
bagian awal tulisan ini telah saya singgung. Di satu pihak, mereka adalah
lembaga yang memiliki otonomi dalam otoritas mereka masing-masing, di pihak
14
lain mereka saling mempengaruhi melalui proses politik. Itulah potret hukum
yang dalam satu sisinya digambarkan sebagai bersifat objekltif (karena sifatnya
yang mengikat semua pihak) dan di sisi yang lain ia tidak terisolasi oleh proses
politik yang dalam hasrat intinya berbicara tentang kekuasaan: tentang siapa
mendapat apa, berapa banyak, di mana, dan kapan.
Keadilan adalah sebuah tema lain yang tidak kurang absorbnya. Sebagai
konsep, keadilan memiliki dimensi yang ragam: teologi, filsafat, hukum, sosial,
politik, ekonomi, budaya. Dalam konteks hukum, berkembang kepercayaan yang
sesungguhnya agak berbau mitos, dan sering kali juga sedikit menyesatkan.
Dalam bayangan banyak orang di negeri ini, keadilan adalah sebuah konsep dan
praktik yang sepenuh self-evident dalam wilayah hukum berikut seluruh
instrumen, atribut, simbol dan asesorisnya. Dalam kenyataan yang
sesungguhnya, sekurang-kurangnya dalam perspektif sosiologi politik dan
sosiologi hukum, ajaran tentang keadilan yang dipuja dalam hukum itu
mengandung banyak masalah. Apa itu keadilan?; Siapa yang mendefinisikan
sesuatu sebagai adil atau tidak?; keadilan menurut perspektif ruang dan waktu
yang mana? Itu semua adalah sebagian pertanyaan dasar yang sangat rumit
penjelasannya.
Dalam ajaran hukum positif, dalam praktiknya hukum sesungguhnya
bergumul dengan tema kepastian hukum, bukan keadilan hukum. Keadilan
hukum adalah sesuatu yang dominan dalam perbincangan tentang filsafat
hukum dan politik hukum. Tema-tema ini dibahas sebagai wacana akademik
oleh para sarjana hukum di kelas-kelas di perguruan tinggi. Para praktisi hukum
15
yang meliputi polisi, jaksa, hakim, dan para penasihat dan pembela hukum,
bergumul dengan apa yang tertulis dalam kitab undang-undang, bukan pada
prinsip-prinsip abstrak yang memenuhi buku-buku teks pengajaran hukum dan
ilmu hukum. Dengan kata lain, para praktisi hukum sangat terikat dengan apa
yang ditulis dalam hukum positif, bukan dalam hukum yang diiedealkan oleh para
sarjana dan ilmuwan hukum lainnya. Dalam ajaran hukum positif, sangat jelas
apa yang dianggap hukum dan bukan. Yang disebut pertama selalu terdapat
dalam undang-undangan dan peraturan lainnya, sekurang-kurangnya termaktub
di dalamnya secara implisit. Apa yang tidak tertulis dalam undang-undang,
bukanlah hukum positif betapapun itu dipercaya sebagai harus dan atau ideal
dan atau adil oleh banyak orang. Karena itu menilai sebuah keputusan hukum
sebagai adil atau tidak adalah sebuah pekerjaan yang mungkin berguna bagi
banyak orang termasuk ahli hukum, ahli ilmu politik, atau bahkan para politisi,
tetapi tidak untuk para praktisi hukum yang bekerja dalam kerangka ajaran
hukum positif.
Dalam perbincangan yang sedikit berbeda, tema tentang “rasa keadilan
masyarakat” yang diangkat dalam seminar adalah sebuah konsep penuh makna
subjektif yang definisi dan elemen yang dilekatkan kepadanya sangat
bergantung pada wacana yang saling berkompetisi. Sebagai sebuah wacana
(teoretik atau sosial), keadilan atau rasa keadilan masyarakat itu sangat
bergantung pada kepentingan, teori, atau perspektif mereka yang mendefinisikan
ihwal itu. Belum lagi, definisi tentang “masyarakat”, atau “rakyat” itu juga memiliki
wacananya sendiri. Dengan kata lain, tema “keadilan”, “rasa keadilan”, “rasa
16
keadilan masyarakat” adalah sebuah konstruksi sosial yang di dalamnya juga
menyertakan proses-proses politik dan akumulasi pengetahuan yang sangat
berimplikasi pada kekuasaan dan relasi kompleks di antara elemen-elemen yang
membentuk struktur kekuasaan. Karena itu, perbincangan tentang “rasa keadilan
masyarakat dalam hukum” adalah sebuah perbincangan politik betapapun itu
berselimutkan teori dan perspektif yang dikemas dan diajukan sebagai naskah
akademis.
Dalam pemikiran seperti itulah, perbincangan tentang hukum sungguh
memang tak dapat dipisahkan dari perbincangan tentang politik dan
kekuasaan10. Sebagai sebuah produk politik, hukum adalah sebuh naskah yang
yang di dalamnya mengandung pemihakan nilai. Ia tidak dan tidak pernah netral
dari nilai atau sejumlah nilai tertentu. Begitu pula, ketika naskah itu
diimplementasikan dalam sebuah ruang sosial oleh birokrasi penegak hukum.
“Ketertiban sosial dan keselamatan publik” yang menjadi dasar pokok dalam
penegakan hukum juga mengandung pemihakan pada nilai-nilai tertentu.
Dengan kata lain, selalu ada rasionalitas tertentu dalam hukum dan
penegakannya. Penentuan prioritas dalam penegakan hukum oleh lembaga
kepolisian karena keterbatasan anggaran dan jumlah personel misalnya, adalah
sebuah contoh dari hadirnya proses seleksi atas sejumlah nilai. Pengutamaan
penyelesaian perkara kasasi tentang perceraian di lembaga mahkamah agung,
sebagai misal yang lain, adalah contoh tentang tak terisolasinya lembaga hukum
dari pemihakan akan nilai-nilai tertentu.
10 Bismar Nasution. Catatan Perkuliahan Mata Kuliah Politik Hukum. Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. Medan. 2008.
17
Sebagai sebuah wacana sosial dan politik, rasa keadilan masyarakat itu
secara spesifik sekurang-kurangnya merujuk pada tiga hal yang berbeda. Yang
pertama berhubungan dengan substansi hukum. Ihwal ini berhubungan dengan
pertanyaan tentang mengapa ada larangan atau perintah hukum untuk sesuatu
dan tidak untuk yang lain. Contoh tentang hadirnya larangan impor pakaian
bekas dan tidak hadirnya larangan truk bekas adalah sebuah ilustrasi yang
memperlihatkan kecenderungan itu. Mengapa pada kasus yang pertama
berkembang argumentasi semisal perlindungan industri garmen dalam negeri
dan argumentasi kesehatan publik yang terkait dengan SARS? Sebaliknya,
mengpa pada kasus yang kedua argumentasi perlindungan indusrtri otomotif dan
atau perlindungan keselamatan publik di jalan raya tak muncul?
Yang kedua berhubungan dengan implementasi hukum. Ihwal ini
berhubungan dengan pertanyaan tentang mengapa sebuah ketentuan hukum
pada kasus tertentu diindahkan dan kasus sama yang lain ihwal itu tak
dikerjakan. Pemberlakuan tahanan rumah selama pemeriksaan pada kasus
tindak pidana korupsi tertentu dan tidak pada kasus yang lain adalah salah satu
contoh yang kerap dipakai untuk memperlihatkan betapa absurdnya tema
tentang keadilan hukum itu. Contoh yang mirip juga dapat ditemukan pada kasus
di mana pelaku white colar crime cenderung mendapat perlakuan yang berbeda
dengan pelaku blue colar crime selama pemeriksaan hingga semasa terhukum
berada dalam lembaga pemasyarakatan. Yang ketiga berhubungan
perbandingan relatif tentang sebuah keputusan hukum. Ihwal ini berhubungan
dengan rasa keadilan numerik dalam persepsi publik. Sebagai misal, mengapa
18
putusan pengadilan pada kasus perampokan dan atau pencurian, sebutlah yang
bernilai 50 juta rupiah, cenderung berakhir dengan putusan hakim yang lebih
berat ketimbang pencurian uang negara yang bernilai milyaran rupiah. Contoh-
contoh serupa dapat saja ditemukan untuk menghasilkan daftar yang lebih
panjang. Intinya, rasa keadilan hukum itu berhubungan penilaian publik atas
prinsip-prinsip kesetaraan (equality) dalam perlakuan (treatment), kesempatan
(opportunity) dan akses (access). Tema umumnya berhubungan dengan
terjadinya pembedaan ketiga prinsip itu atas dasar status dan klas sosial,
kepercayaan politik dan ideologi.
Perbincangan tentang hukum dan politik adalah sebuah tema yang
walaupun saling berkait namun memiliki dimensi yang amat kompleks.
Ketidaksederhanan hubungan di antara keduanya justru terletak pada
berkembangnya kepercayaan bahwa kedua wilayah itu semestinya tidak
bercampur meskipun dalam kenyataan sejarahnya sungguh memang selalu dan
akan selalu demikian. Pemilihan tentang siapa yang menjadi orang nomor satu di
lembaga kepolisian atau kejaksaan misalnya, selalu mengundang pertanyaan
politik. Jawabannya amat jelas, kedua lembaga ini sangat penting perannya
dalam menentukan adakah sebuah produk hukum itu akan berhenti sekedar
sebagai naskah hukum atau menjadi sebuah hukum yang hidup. Hanya dalam
lingkungan pemerintahan yang relatif bersih sajalah proses penentuan kedua
jabatan puncak itu secara relatif dapat dijauhkan dari pertimbangan politik yang
berorientasi pada kekuasaan.
19
Karena itu, projek yang bertujuan meminimalisasikan politik dari wilayah
hukum akan sangat bergantung pada ihwal lainnya seperti usaha untuk
menciptakan sistem politik dan hukum yang lebih tansparan dan akuntabel.
Dengan cara itu kekuasaan akan lebih mudah untuk dikontrol pemanfaatannya.
BAB IV
PENGARUH POLITIK DALAM PEMBENTUKAN HUKUM DI INDONESIA
A. Peranan Struktur dan Infrastruktur Politik
Menurut Daniel S. Lev11, yang paling menentukan dalam proses hukum
adalah konsepsi dan struktur kekuasaan politik. Yaitu bahwa hukum sedikit
banyak selalu merupakan alat politik, dan bahwa tempat hukum dalam negara,
tergangtung pada keseimbangan politik, defenisi kekuasaan, evolusi idiologi
politik, ekonomi, sosial, dan seterusnya.12
Walaupun kemudian proses hukum yang dimaksud tersebut di atas tidak
diidentikan dengan maksud pembentukan hukum, namun dalam prateknya
seringkali proses dan dinamika pembentukan hukum mengalami hal yang sama,
yakni konsepsi dan struktur kekuasaan politiklah yang berlaku di tengah
masyarakat yang sangat menentukan terbentuknya suatu produk hukum. Maka
untuk memahami hubungan antara politik dan hukum di negara mana pun, perlu
11 Daniel S. Lev. Op cit. 12 Daniel S. Lev. Op cit.
20
dipelajari latar belakang kebudayaan, ekonomi, kekuatan politik di dalam
masyarakat, keadaan lembaga negara, dan struktur sosialnya, selain institusi
hukumnya sendiri.
Pengertian hukum yang memadai seharusnya tidak hanya memandang
hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah dan azas-azas yang mengatur
kehidupan manusia dalam masyarakat, tetapi harus pula mencakup lembaga
(institutions) dan proses (process) yang diperlukan untuk mewujudkan hukum
dalam kenyataan.13
Dari kenyataan ini disadari, adanya suatu ruang yang absah bagi
masuknya suatu proses politik melalui wadah institusi politik untuk terbentuknya
suatu produk hukum. Sehubungan dengan itu, ada dua kata kunci yang akan
diteliti lebih jauh tentang pengaruh kekuasaan dalam hukum yakni mencakup
kata “process” dan kata “institutions,” dalam mewujudkan suatu peraturan
perundang-undangan sebagai produk politik. Pengaruh itu akan semakin
nampak pada produk peraturan perundang-undang oleh suatu institusi politik
yang sangat dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan politik yang besar dalam
institusi politik. Sehubungan dengan masalah ini, Miriam Budiarjo14 berpendapat
bahwa kekuasaan politik diartikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi
kebijaksanaan umum (pemerintah) baik terbentuknya maupun akibat-akibatnya,
sesuai dengan pemegang kekuasaan. Dalam proses pembentukan peraturan
hukum oleh institusi politik peranan kekuatan politik yang duduk dalam institusi
13 Mieke Komar, et al., Mochtar Kusumaatmadja : Pendidik dan Negarawan, Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 Tahun Prof. DR. Mochtar Kusumaatmadja, SH, LLM. Alumni. Bandung. 1999.
14 Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Cet. : 27. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2005.
21
politik itu adalah sangat menentukan. Institusi politik secara resmi diberikan
otoritas untuk membentuk hukum hanyalah sebuah institusi yang vacum tanpa
diisi oleh mereka diberikan kewenangan untuk itu. karena itu institusi politik
hanya alat belaka dari kelompok pemegang kekuasaan politik. Kekuatan-
kekuatan politik dapat dilihat dari dua sisi yakni sisi kekuasaan yang dimiliki oleh
kekuatan politik formal (institusi politik) dalam hal ini yang tercermin dalam
struktur kekuasaan lembaga negara, seperti Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat
dan lembaga-lembaga negara lainnya dan sisi kekuatan politik dari infrastruktur
politik adalah seperti : partai politik, tokoh-tokoh masyarakat, organisasi
kemasyarakatan, Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi profesi dan lain-
lain. Dengan demikian dapatlah disimpilkan bahwa pembentukan produk hukum
adalah lahir dari pengaruh kekuatan politik melalui proses politik dalam institusi
negara yang diberikan otoritas untuk itu.
Seperti telah diuraikan dalam bagian terdahulu bahwa teori-teori hukum
yang berpengaruh kuat terhadap konsep-konsep dan implementasi kehidupan
hukum di Indonesia adalah teori hukum positivisme. Pengaruh teori ini dapat
dilihat dari dominannya konsep kodifikasi hukum dalam berbagai jenis hukum
yang berlaku di Indonesia bahkan telah merambat ke sistem hukum internasional
dan tradisional.15 Demikian pula dalam praktek hukum pun di tengah masyarakat,
pengaruh aliran poisitvis adalah sangat dominan. Apa yang disebut hukum selalu
dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan, di luar itu, dianggap bukan
hukum dan tidak dapat dipergunakan sebagai dasar hukum. Nilai-nilai dan norma
di luar undang-undang hanya dapat diakui apabila dimungkinkan oleh undang-
15 Lili Rasyidi. Op cit. h. 181.
22
undang dan hanya untuk mengisi kekosongan peraturan perundang-undang
yang tidak atau belum mengatur masalah tersebut.
Pengaruh kekuatan-kekuatan politik dalam membentuk hukum dibatasi
ruang geraknya dengan berlakunya sistem konstitusional berdasarkan checks
and balances, seperti yang dianut Undang-Undang dasar 1945 (UUD 1945)
setelah perubahan. Jika diteliti lebih dalam materi perubahan UUD 1945
mengenai penyelenggaraan kekuasaan negara adalah mempertegas kekuasaan
dan wewenang masing-masing lembaga-lembaga negara, mempertegas batas-
batas kekuasaan setiap lembaga negara dan menempatkannya berdasarkan
fungsi-fungsi penyelenggaraan negara bagi setiap lembaga negara. Sistem yang
demikian disebut sistem “checks and balances”, yaitu pembatasan kekuasaan
setiap lembaga negara oleh undang-undang dasar, tidak ada yang tertinggi dan
tidak ada yang rendah, semuanya sama di atur berdasarkan fungsi-fungsi
masing-masing.
Dengan sistem yang demikian, memberikan kesempatan kepada setiap
warga negara yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya oleh produk politik
dari instutusi politik pembentuk hukum untuk mengajukan gugatan terhadap
institusi negara tersebut. Dalam hal pelanggaran tersebut dilakukan melalui
pembentukan undang-undang maka dapat diajukan keberatan kepada Mahkmah
Konstitusi dan dalam hal segala produk hukum dari institusi politik lainnya
dibawah undang-undang diajukan kepada Mahkamah Agung.
B. Pengaruh Kelompok Kepentingan dalam Pembentukan Hukum
23
Di luar kekuatan-kekuatan politik yang duduk dalam institusi-instusi politik,
terdapat kekuatan-kekuatan lainnya yang memberikan kontribusi dan
mempengaruhi produk hukum yang dilahirkan oleh institusi-institusi politik.
Kekuatan tersebut berbagai kelompok kepentingan yang dijamin dan diakui
keberadaan dan perannya menurut ketentuan hukum sebagai negara yang
menganut sistem demokrasi, seperti kalangan pengusaha, tokoh ilmuan,
kelompok organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, tokoh agama, lembaga
swadaya masyarakat dan lain-lain. Bahkan UU. R.I. No. 10 tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Per-Undang-Undangan, dalam Bab. X menegaskan
adanya partisipasi masyarakat yaitu yang diatur dalam Pasal 53 :
”Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan Rancangan Undang Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”.
Kenyataan di atas menunjukan bahwa pengarh masyarakat dalam
mempengaruhi pembentukan hukum, mendapat tempat dan apresiasi yang
begitu luas. Apalagi sejak tuntutan masyarakat dalam mendesakkan reformasi
disegala bidang berhasil dimenangkan, dengan ditandai jatuhnya orde baru di
bawah kepemimpinan Suharto yang otoriter, maka era reformasi telah membawa
perubahan besar di segala bidang ditandai dengan lahirnya sejumlah undang-
undang yang memberi apresiasi yang begitu besar dan luas. Dalam kasus ini,
mengingatkan kita kepada apa yang diutarakan oleh pakar filsafat publik Walter
Lippmann, bahwa opini massa telah memperlihatkan diri sebagai seorang master
24
pembuat keputusan yang berbahaya ketika apa yang dipertaruhkan adalah soal
hidup mati.16
Kenyataan yang perlu disadari, bahwa intensnya pengaruh tuntutan
masyarakat terhadap pembentukan hukum dan lahirnya keputusan-keputusan
hukum dapat terjadi jika tuntutan rasa keadilan dan ketertiban masyarakat tidak
terpenuhi atau terganggu Karena rasa ketidakadilan dan terganggunya
ketertiban umum akan memicu efek opini yang bergulir seperti bola salju yang
semakin besar dan membahayakan jika tidak mendapat salurannya melalui
suatu kebijakan produk hukum atau keputusan yang memadai untuk memenuhi
tuntutan masyarakat tersebut.
Satu catatan penting yang perlu dikemukakan disini untuk menjadi
perhatian para lawmaker adalah apa yang menjadi keprihatinan Walter
Lippmann, yaitu :”Kalu opini umum sampai mendomonasi pemerintah, maka
disanalah terdapat suatu penyelewengan yang mematikan, penyelewengan ini
menimbulkan kelemahan, yang hampir menyerupai kelumpuhan, dan bukan
kemampuan untuk memerintah. Karena itu perlu menjadi catatan bagi para
pembentuk hukum adalah penting memperhatikan suara dari kelompok
masyarakat yang mayoritas yang tidak punya akses untuk mempengaruhi opini
publik, tidak punya akses untuk mempengaruhi kebijakan politik. Disnilah
peranan para wakil rakyat yang terpilih melalui mekanisme demokrasi yang ada
dalam struktur maupun infrastruktur politik untuk menjaga kepentingan mayoritas
16 Walter Lippman. Filsafat Publik. Terjemahan dari buku aslinya yang berjudul ” The Publik Philosophy. oleh A. Rahman Zainuddin. Yayasan Obor Indonesia. 1999.
25
rakyat, dan memahami betul norma-norma, kaidah-kaidah, kepentingan dan
kebutuhan rakyat agar nilai-nilai itu menjadi hukum positif.
C. Sistem Politik Indonesia
Untuk memahami lebih jauh tentang mekanisme pembentukan hukum di
Indonesia, perlu dipahami sistem politik yang dianut. Sistem politik
mencerminkan bagaimana kekuasaan negara dijalankan oleh lembaga-lembaga
negara dan bagaimana meknaisme pengisian jabatan dalam lembaga-lembaga
negara itu dilakukan. Inilah dua hal penting dalam mengenai sistem politik yang
terkait dengan pembentukan hukum.
Beberapa prinsip penting dalam sistem politik Indonesia yang terkait
dengan uraian ini adalah sistem yang berdasarkan prinsip negara hukum, prinsip
konstitusional serta prinsip demokrasi. Ketiga prinsip ini saling terkait dan saling
mendukung, kehilangan salah satu prinsip saja akan mengakibatkan pincangnya
sistem politik ideal yang dianut. Prinsip negara hukum mengandung tiga unsur
utama, yaitu pemisahan kekuasaan - check and balances - prinsip due process
of law, jaminan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan jaminan serta
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Prinsip konstitusional
mengharuskan setiap lembaga-lembaga negara pelaksana kekuasaan negara
bergerak hanya dalam koridor yang diatur konstitusi dan berdasarkan amanat
yang diberikan konstitusi.
Dengan prinsip demokrasi partisipasi publik/rakyat berjalan dengan baik
dalam segala bidang, baik pada proses pengisian jabatan-jabatan dalam struktur
26
politik, maupun dalam proses penentuan kebijakan-kebijakan yang diambil oleh
berbagai struktur politik itu. Karena itu demokrasi juga membutuhkan
transparansi (keterbukaan informasi), jaminan kebebasan dan hak-hak sipil,
saling menghormati dan menghargai serta ketaatan atas aturan dan mekanisme
yang disepakati bersama.
Dengan sistem politik yang demikianlah berbagai produk politik yang
berupa kebijakan politik dan peraturan perundang-undangan dilahirkan. Dalam
kerangka paradigmatik yang demikianlah produk politik sebagai sumber hukum
sekaligus sebagai sumber kekuatan mengikatnya hukum diharapkan -
sebagaimana yang dianut aliran positivis - mengakomodir segala kepentingan
dari berbagai lapirsan masyarakat, nilai-nilai moral dan etik yang diterima umum
oleh masyarakat. Sehingga apa yang dimaksud dengan hukum adalah apa yang
ada dalam perundang-undangan yang telah disahkan oleh institusi negara yang
memiliki otoritas untuk itu. Nilai-nilai moral dan etik dianggap telah termuat dalam
perundang-undangan itu karena telah melalui proses partisipasi rakyat dan
pemahaman atas suara rakyat. Dalam hal produk itu dianggap melanggar
norma-norma dan nilai-nilai yang mendasar yang dihormati oleh masyarakat dan
merugikan hak-hak rakyat yang dijamin konstitusi, maka rakyat dapat menggugat
negara (institusi) tersebut untuk mebatalkan peraturan yang telah dikeluarkannya
dan dinyatakan tidak berlaku. Dengan demikian nilai moral dan etik,
kepentingan-kentingan rakyat yang ada dalam kenyataan-kenyataan sosial tetap
menjadi hukum yang dicita-citakan yang akan selalui mengontrol dan melahirkan
27
hukum positif yang baru melalui proses perubahan, koreksi dan pembentukan
perundangan-undangan yang baru.
BAB V
KESIMPULAN
Memahami hukum Indonesia harus dilihat dari akar falsafah pemikiran
yang dominan dalam kenyataanya tentang pengertian apa yang dipahami
sebagai hukum serta apa yang diyakini sebagai sumber kekuatan berlakunya
hukum. Dari uraian pada bagian terdahulu, tidak diragukan lagi bahwa apa yang
dipahami sebagai hukum dan sumber kekuatan berlakunya hukum sangat
dipengaruhi oleh aliran positivisme dalam ilmu hukum yang memandang hukum
itu terbatas pada apa yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan atau
yang dimungkinkan berlakunya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan, bahkan aliran ini akan terus mengokohkan dirinya dalam
perkembagan sistem hukum Indonesia ke depan. Adapun nilai-nilai moral dan
etika serta kepentingan rakyat dalam kenyataan-kenyataan sosial di masyarakat
hanya sebagai pendorong untuk terbentuknya hukum yang baru melalui
perubahan, koreksi serta pembentukan peraturan perundang-undangan yang
baru.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa hukum adat dengan bentuknya yang
pada umumnya tidak tertulis, yang sifatnya religio magis, komun, kontan dan
konkrit (visual), sebagai hukum asli Indonesia semakin tergeser digantikan oleh
28
paham positivis. Menurut Penulis, berbagai masalah kekecewaan pada
penegakan hukum serta kekecewaan pada aturan hukum sebagian besarnya
diakibatkan oleh situasi bergesernya pemahaman terhadap hukum tersebut serta
proses pembentukan hukum dan putusan-putusan hukum yang tidak demokratis.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Achmad, Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Cet. II, Penerbit Gunung Agung, Jakarta, 2002.
Asshiddiqie, Jimly, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Cet. I, Konstitusi Press, 2005.
Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cet. ke 27, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005.
Fletcher, George P, Basic Concepts of Legal Thougt, Oxford University Press, New York, 1996.
Komar, Mieke, at al., Mochtar Kusumaatmadja: Pendidik dan Negarawan, Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 Tahun Prof. DR. Mochtar Kusumaatmadja, SH, LLM, Alumni, Bandung, 1999.
Lev, Daniel S., Hukum Dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, Cet I, LP3S, Jakarta, 1990.
Lippman, Walter. Filsafat Publik, Terjemahan dari buku aslinya yang berjudul ” The Publik Philosophy, oleh A. Rahman Zainuddin, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, 1999.
29
Muhammad, Bushar, Asas_Asas Hukum Adat, Suatu Pengantar, Cet. ke 4, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983.
Nasution, Bismar, Catatan Perkuliahan Politik Hukum. Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. Medan. 2008.
Rasyidi, Lili & Ira Rasyidi, Pengantar Filsafat dan Teori Hukum, Cet. ke VIII, PT Citra Adtya Bakti, Bandung 2001.
Salman, Otje, Teori Hukum, Mengingat Mengumpulkan dan Membuka Kembali, PT Refika Aditama, Bandung, 2004.
30