Hukum adat kutai
-
Upload
cv-maju-bersama-bangsa -
Category
Law
-
view
1.868 -
download
0
Transcript of Hukum adat kutai
MAKALAH
MATA KULIAH HUKUM ADAT
HUKUM ADAT SUKU KUTAI
Disusun Oleh Kelompok
1. Nursiah
2. Erhansyah
3. Lia Oktaviani
4. Ledyka Oktaviani
5. Nur Rahma
6. Linda Kasmawati
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS KUTAI KARTANEGARA
MEI 2015
DAFTAR ISI
COVER MAKALAH
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG …………………………...
B. RUMUSAN MASALAH ………………………...
C. TUJUAN …………………………........................
1
3
3
BAB II PEMBAHASAN
A. TINJAUAN TEORI HUKUM ADAT ………….. 4
B. IDENTIFIKASI SUKU KUTAI ……..…………. 7
C. HUKUM ADAT KUTAI ……………………….. 13
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN ………………………………….
B. SARAN ………………………………………….
18
18
DAFTAR RUJUKAN
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan YME,
karena atas segala rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga kita semua pada saat
ini dalam keadaan sehat hingga kita bisa menyelesaikan tugas penyusunan Makalah
Studi Kasus Hukum Adat Madura : Carok dan Pernikahan di Bawah Umur.
Di dalam makalah ini terdapat tiga bab, bab pertama pendahuluan, kedua
pembahasan dan terakhir penutup. Di dalamnya mencoba mengurai sejarah dan adat
istiadat Kutai serta kaitannya dengan hukum adat yang masih berlaku dan dipakai
masyarakat Kutai hingga saat ini.
Kami meyakini, di dalam penyusunan makalah setebal 18 halaman ini masih
banyak kekurangannya sehingga memerlukan banyak kritik dan saran yang sifatnya
konstruktif. Kami akan sangat terbuka untuk berdiskusi demi memperkaya
khasanah dan keilmuan, khususnya di bidang hukum adat.
Demikian pengantar ini kami sampaikan dengan harapan mudah-mudahan
makalah ini dapat memberikan masukan, khususnya bagi mahasiswa Fakultas
Hukum Universitas Kutai Kartanegara..
Tenggarong, 13 April 2015
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Identitas Kutai menjadi cukup terkenal di Indonesia karena dalam buku-
buku sejarah, terutama yang diajarkan di sekolah-sekolah pada masa orde baru,
nama Kutai diperkenalkan sebagai sebuah nama kerajaan Hindu tertua di
Indonesia. Label tertua tersebut diberikan karena Kutai adalah satu-satunya
daerah yang memiliki bukti sejarah faktual, yakni ditemukannya tujuh buah
prasasti batu sejak tahun 1879 di Bukit Berubus, Kecamatan Muara Kaman,
Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur.1
Namun identitas serta budaya Kutai, terutama kerajaan Kutai
Kartanegara ing Martapura atau Martadipura, berangsur tenggelam pasca
kemerdekaan Indonesia pada 1945. Terlebih pada tahun 1947, status kesultanan
Kutai beralih daerah swapraja Kutai yang masuk ke dalam federasi Kalimantan
Timur. Bersama kesultanan Kutai, ada kesultanan Bulungan, Sambaliung,
Gunung Tabur dan Pasir yang ikut berfusi membentuk Dewan Kalimantan
Timur, diketuai Sultan Aji Muhammad Parikesit, Sultan Kutai ing Martapura
ke-20. Pada 21 Januari 1960, identitas kesultanan Kutai Kartanegara ing
Martapura resmi dibubarkan dan diserahkan ke pemerintah daerah melalui
Sidang Khusus DPRD Daerah Istimewa Kutai, yang diselenggarakan di
1 Dalam perkembangannya, identitas kerajaan Kutai adalah yang kerajaan Hindu tertua di
Indonesia menjadi perdebatan, menyusul temuan-temuan hasil analisa arkeologis di daerah lain. Di
antaranya di Amuntai, Kalimantan Selatan yang dahulunya pernah di bawah pengaruh Kesultanan
Banjar, pada 1996, ditemukan bukti bahwa kekuasaan Hindu telah bercokol di daerah itu sejak abad
ke-3 sebelum Masehi. Kesultanan Banjar, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa Indonesia. Diakses
melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.
Balairung Keraton Sultan Kutai, Tenggarong. Sejak itu Sultan Aji Muhammad
Parikesit dan keluarganya hidup sebagai rakyat biasa.
Dalam perkembangannya, di era reformasi, kesultanan Kutai kembali
dihidupkan. Pada tahun 1999, Syaukani Hasan Rais, Bupati Kutai Kartanegara
periode 1999-2004 dan 2005-2006, menghidupkan kembali Kesultanan Kutai
Kartanegara ing Martapura dengan tujuan pelestarian budaya. Setelah
mendapatkan persetujuan Abdurahman Wahid, Presiden Republik Indonesia
ke-4 pada pada 7 November 2000, Putra Mahkota Kesultanan Kutai
Kartanegara, Aji Pangeran Praboe Anoem Soerya Adiningrat dinobatkan
menjadi Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad
Salehuddin II pada 22 September 2001.
Meskipun teretorial kekuasaan kesultanan Kutai semakin menyusut
hingga di masa Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara sekarang ini2, namun
dihidupkannya kembali budaya kesultanan, kembali memperkuat identitas
Kutai di mata nasional dan dunia. Pelaksanaan pesta adat Erau di Kabupaten
Kutai Kartanegara dibuat makin semarak dan belakangan melibatkan budaya
kerajaan-kerajaan dari daerah dan negara lain. Yang juga menjadikan nama
Kutai makin tersohor adalah karena kekayaan alam yang amat potensial, baik
renewable maupun unrenewable resources. Eksploitasinya bukan saja
melibatkan investor dari dalam negeri, tetapi juga manca negara. Itu semua
membuat Kutai Kartanegara menjadi kabupaten terkaya di Indonesia, dengan
2 Dahulunya mencakup Samarinda, Balikpapan, Penajam, Bontang, Kutai Barat, Kutai
Timur dan Mahakam Ulu. Kesultanan Kutai Ing Martadipura dan Kabupaten Mahakam Ulu,
Ensiklopedia Wikipedia berbahasa Indonesia Diakses melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei
2015.
nilai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pemerintahan
daerahnya jauh di atas rata-rata.
Sekarang ini, istilah Kutai bukan saja dikenal sebagai nama kerajaan atau
nama daerah saja, tetapi juga dikenal sebagai salah satu identitas etnis asli di
Bumi Borneo, terutama di Provinsi Kalimantan Timur. Di samping suku Dayak
yang identitasnya jauh lebih dikenal3, suku Kutai pasti juga memiliki kekayaan
adat istiadat, termasuk norma-norma yang berlaku atau yang masih ditaati
urang-urang Kutai hingga sekarang.
B. Rumusan Masalah
Penulisan karya tulis ilmiah ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan
berikut :
1. Bagaimanakah suku Kutai itu?
2. Bagaimanakah hukum adat suku Kutai itu?
3. Apakah hukum adat suku Kutai masih berlaku hingga saat ini dan jika
masih berlaku, bagaimanakah praktiknya?
C. Tujuan
Dari rumusan masalah tersebut, maka tujuan penulisan artikel ini adalah
untuk mengetahui dan memahami identitas suku Kutai serta tentang hukum adat
yang berlaku bagi masyarakat suku Kutai, terutama yang bermukim di bekas-
bekas kekuasaan kesultanan Kutai Kartanegara ing Martapura.
3 Ini karena sejumlah artikel ahli sejarah mendefinisikan etnis Kutai sebagai subsuku
Dayak, suku asli yang mendiami Bumi Borneo. Suku Kutai, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa
Indonesia Diakses melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tinjauan Teori Hukum Adat
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, terdapat tiga makna kata adat
yang relatif dapat dipakai dalam karya tulis ilmiah ini, yakni: (1) berarti aturan
(perbuatan dan sebagainya) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu
kala; (2) cara (kelakuan dan sebagainya) yang sudah menjadi kebiasaan;
kebiasaan; (3) wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya,
norma, hukum, dan aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu
sistem4. Untuk makna terminologis hukum adat, ada banyak definisi yang
diberikan para ahli hukum dan atropologi dan banyak perselisihan. Namun,
patut dikemukakan bahwa hukum adat memiliki batasan berdasarkan unsur-
unsur yang membentuknya,5 yakni :
1. Adanya tingkah laku yang terus menerus dilakukan oleh masyarakat;
2. Tingkah laku tersebut teratur dan sistematis;
3. Tingkah laku tersebut mempunyai nilai sakral;
4. Adanya keputusan kepala adat atau pimpinan suku;
5. Adanya sanksi atau akibat hukum;
6. Tidak tertulis;
7. Ditaati dalam masyarakat.
4 KBBI Offline, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Aplikasi diakses melalui
http://kbbi.web.id pada 13 Mei 2015. 5 Bewa Ragawino, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat Indonesia, Fakultas Ilmu Sosial
dan Politik Universitas Padjadjaran. Diakses melalui http://pustaka.unpad.ac.id pada 13 Mei 2015.
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, hukum adat diakui
ketentuan-ketentuan berikut :
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, khususnya pada Pasal
18B ayat (2) Bab IV :
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU No. 6/2014),
khususnya pada Bab XIII Ketentuan Khusus Desa Adat.
3. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 (Permendagri No.
52/2014) tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat
Hukum Adat.
4. Khusus di Kabupaten Kutai Kartanegara, di daerah dimana kekuasan
kesultanan Kutai Martapura dan Kutai Kartanegara ing Martapura berpusat,
terdapat dua peraturan daerah yang masih berlaku, yakni Peraturan Daerah
Nomor 7 Tahun 2000 tentang Pemberdayaan, Pelestarian, Perlindungan dan
Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat Dalam Wilayah Kabupaten
Kutai serta Peraturan Dearah Nomor 13 Tahun 2006 tentang Lembaga
Kemasyarakatan dan Lembaga Adat.
Secara eksplisit, pengaturan tentang hukum adat di Indonesia sebenarnya
terdapat di dalam UU No. 6/2014 dan Permendagri No. 52/2014. Bahkan dalam
Permendagri tersebut, istilah hukum adat ditetapkan dengan makna berikut :
Seperangkat norma atau aturan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, yang
hidup dan berlaku untuk mengatur tingkah laku manusia yang bersumber pada
nilai budaya bangsa Indonesia, yang diwariskan secara turun temurun, yang
senantiasa ditaati dan dihormati untuk keadilan dan ketertiban masyarakat,
dan mempunyai akibat hukum atau sanksi. (Pasal 1 poin 3)
Dalam ketentuannya, hukum adat hanya dapat diberlakukan di desa adat
yang di dalamnya terdapat masyarakat hukum adat, yakni berarti : Warga
negara Indonesia yang memiiki karakteristik khas, hidup berkelompok secara
harmonis sesuai hukum adatnya, memiliki ikatan pada asal usul leluhur dan
atau kesamaan tempat tinggal, terdapat hubungan yang kuat dengan tanah dan
lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata
ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum dan memanfaatkan satu wilayah
tertentu secara turun temurun. (Pasal 1 poin 1 Permendagri No. 52/2014).
Sementara dalam penjelasan UU No. 6/2014, yang dimaksud dengan desa adat
adalah sebuah kesatuan masyarakat hukum adat yang secara historis
mempunyai batas wilayah dan identitas budaya yang terbentuk atas dasar
teritorial yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
desa berdasarkan hak asal usul. Berdasarkan peraturan perundang-undangan
tersebut, sekarang ini sebuah komunitas tidak dapat serta merta menjadi
masyarakat hukum adat dan sebuah wilayah tidak dapat pula secara instan
mendapat status desa adat, melainkan melalui proses birokrasi yang cukup
rumit. Ada syarat dan tahapan yang harus dilalui.
B. Identifikasi Suku Kutai
Eksplorasi Terma Kutai
Asal muasal nama Kutai diperkirakan baru muncul setelah berdirinya
kerajaan Kutai pada abad ke-14. Dalam naskah Salasilah Kutai, disebutkan
bahwa Kutai berasal dari cerita Putri Karang Melenu, istri Aji Batara Agung
Dewa Sakti, raja Kutai Kartanegara pertama, yang sedang hamil dan ngidam
makan hewab buruan dengan sumpit. Aji kemudian pergi berburu dan
menemukan seekor tupai yang sedang makan buah petai dan ia disumpit lalu
jatuh di tepian mampi. Tanah di tempat Aji itu berdiri menyumpit tupai itulah
tanah yang diberinama Kutai, karena tanah itu tinggi sendirinya.6
Sementara Constantinus Alting Mees, peneliti Belanda dalam karya
ilmiahnya bertajuk de Kroniek van Koetai (1935), meyakini bahwa nama Kutai
berasal dari kata “koti” yang berarti “ujung”. Keyakinan Mees ini didasarkan
atas posisi Kutai yang terletak di ujung timur pulau Kalimantan.7 Orang-orang
Belanda sebelumnya, yang telah mempelajari kerajaan Kutai, menyebutnya
dengan kata Koetie.8
Muncul juga pendapat yang menyatakan bahwa nama Kutai berasal dari
bahasa Cina, yakni kho-thay. Kata kho dapat dimaknai sebagai pulau atau
negeri, sedangkan thay berarti besar. Kho-tay kemudian dilafalkan Kutai,
memiliki arti kerajaan yang besar. Selain itu, istilah Kutai bisa jadi berasal dari
6 Hooykaas, C., Silsilah Raja-Raja Kutai (Dalam Negeri) Kutai (Kertanegara), dalam
Penyedar Sastra, J.B. Wolters-Groningen. (Jakarta, 1952). Hal. 214. 7 Anwar Soetoen, et.al., Dari Swapraja ke Kabupaten Kutai, Pemerintah Daerah
Kabupaten Kalimantan Timur. (Tenggarong, 1975). Hal. 21. 8 Staatsblad van Nederlandsch Indie [van de jaren 1816-1845]. Diakses melalui
https://books.google.co.id pada 13 Mei 2015.
India, karena ada istilah quetairy dalam catatan sejarahnya. Quetairy berarti
hutan belantara.9
Asal-usul penamaan Kutai juga disinggung dalam Nagarakretagama,
kitab legendaris yang dibuat pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit, yakni
pada abad ke-14 oleh Empu Prapañca. Dalam Negarakrtagama, disebutkan
salah satu daerah yang berhasil ditaklukkan Gajah Mada adalah Tunyung Kute
atau dapat juga diterjemahkan Tunjung Kute. Mengenai penafsiran ini, T.B.C.
Brandes, sejarawan asal Belanda, menyimpulkan bahwa kata Tunyung atau
Tunjung disebut terpisah dengan kata Kute atau Kutai.10
Dalam artikel lain, disimpulkan bahwa Kutai digunakan untuk
mengidentifikasi nama sebuah kerajaan, nama suatu daerah dan nama suku
bangsa atau etnis di Kalimantan Timur.11 Sekarang ini, etnis Kutai dikenal
dengan karakteristik berikut :
1. Banyak berdiam di Provinsi Kalimantan Timur, khususnya di Kabupaten
Kutai Kartanegara, Kutai Timur, Kutai Barat dan Kota Samarinda.
2. Umumnya bermukim di tepi sungai Mahakam dan anak sungainya.
3. Mayoritas beragama Islam.
4. Umumnya berkarakteristik fisik dan sosiolinguistik ras Melayu.
9 Drs. H.M. Asli Amin dan Drs H. Amir Hamzah Idar, Awang Long. Badan Perencanaan
Pembangunan Dearah Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Timur. (Samarinda, 1998), hal 33-34. 10 Soetoen, et.al., Op.Cit., 22. 11 Iswara N. Raditya, Kerajaan Kutai Martapura. Diakses melalui
http://m.melayuonline.com pada 13 Mei 2015.
Sejarah Ringkas Kerajaan Kutai
Dalam banyak tulisan, disebutkan bahwa di daerah aliran sungai
Mahakam dahulunya terdapat dua kerajaan besar, yakni kerajaan Kutai atau
Kutai Martapura atau Kutai Mulawarman dan kerajaan Kutai Kartanegara atau
Kutai Kartanegara ing Martapura. Sebutan Martapura sekarang berubah
menjadi Martadipura, sedangkan sebutan Kartanegara, dahulunya adalah Kerta
Negara. Peradaban kerajaan Kutai bermula pada abad ke-4 dan berakhir pada
abad ke-14. Kerajaan Kutai berpusat di Bukit Berubus, Kecamatan Muara
Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Sedangkan
kerajaan Kutai Kartanegara dahulunya berpusat di Kutai Lama, Kecamatan
Anggana, Kutai Kartanegara. Di masa kolonialisme Belanda, pusat kerajaan
sempat pindah ke Jembayan, Kecamatan Loa Kulu, Kutai Kartanegara dan
kemudian beralih ke Tangga Arung yang sekarang disebut Tenggarong, ibukota
Kabupaten Kutai Kartanegara.
Sumber utama adanya kerajaan Kutai Martapura yang pusat keratonnya
ada di Muara Kaman adalah peninggalan situs kerajaan di Bukit Berubus serta
empat prasasti batu Yupa yang terdapat ukiran aksara Pallawa berbahasa
Sanskerta. Dari terjemah prasasti Yupa, isinya sama sekali tidak menyebutkan
nama Kutai, hanya memberitakan tentang kaum Brahma yang memuji-muji
keagungan Raja Mulawarman, anak dari Raja Asmawarman. Sumber lainnya
adalah naskah Salasilah Koetai atau Silsilah Raja-Raja Kutai yang ditulis pada
tahun 1858 oleh Moehammad Tahir beraksara Arab dan digubah dengan bahasa
aksara Melayu oleh Mohammad Tayib pada tahun 1878.
Dalam Salasilah Koetai12, disebutkan bahwa kerajaan yang berpusat di
Muara Kaman ini adalah bernama Martapura, tidak ada embel-embel nama
Kutai. Disebutkan pula nama-nama raja yang pernah memerintah kerajaan
Martapura, dimulai dari Mulawarman, Sriwarman, Marawijayawarman,
Gajayanawarman, Tunggawarman, Jayanagawarman, Nalasingawarman, Nala
Perana Tungga, Gadonggawarman Dewa, Indera Warmana Dewa, Sangga
Wirama Dewa, Singa Wargala Warmana Dewa, Canderawarman, Mula Tungga
Dewa, Nala Indera Dewa, Indera Mulia Warmana Dewa, Sri Langka Dewa,
Guna Perana Tungga Dewa, Wijayawarman, Indera Mulia, Sri Aji Dewa, Mulia
Putera, Nala Pendita, Indra Paruta Dewa dan yang terakhir Maharaja Dharma
Setia.
Antara Dayak dan Kutai
Pada artikel berjudul suku Kutai di Ensiklopedia Wikipedia13, dijelaskan
bahwa suku Kutai merupakan suku asli yang mendiami wilayah Kalimantan
Timur yang sebagian besar beragama Islam yang menjadi bagian rumpun Suku
Dayak, terutama subsuku Tunjung dan Benuaq. Semula orang Kutai ini adalah
suku Tunjung dan Benuaq yang kemudian berfusi dengan Jawa, Melayu dan
Banjar, akhirnya menjadi suku baru, disebut Kutai. Nama Kutai awalnya
bukanlah nama suku, tetapi nama daerah atau negeri, karena perkembangan
politik dan budaya, nama Kutai menjadi nama etnis. Dari artikel suku Kutai
12 Sesuai isi naskah yang diterbitkan kembali pada tahun 2002. Adham, D., Silsilah Kutai,
Bagian Kehumasan dan Keprotokoleran Bagian Kehumasan dan Keprotokoleran Pemerintah
Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. (Tenggarong, 2002). Hal. 192-196. 13 Suku Kutai, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa Indonesia Diakses melalui
http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.
tersebut, dapat diketahui bahwa klaim asal muasal suku Kutai dari suku
Tunjung dan Benuaq berdasarkan analisa bahasa dan budaya yang ada
kemiripan. Sayangnya, tidak ada referensi yang jelas dan dapat
dipertanggungjawabkan atas klaim bahwa etnis Kutai merupakan subsuku
Dayak.
Menurut DR Yeti Maunati,14 Istilah Dayak sebenarnya merupakan
konstruksi istilah modern yang diberikan para peneliti Belanda sekitar abad ke-
19. Sebutan dayak merujuk kepada orang-orang pribumi di Pulau Kalimantan
yang beragama bukan Islam dan non Melayu. Ada sebanyak 450 subsuku
Dayak dengan kesamaan budaya, seperti rumah panjang, mandau, sumpit,
produksi keranjang rotan, manik-manik dan ritual-ritual adat pada umumnya.
Dari penelitian Yeti dapat diketahui bahwa suku Dayak dan suku Kutai sangat
berbeda, suku Kutai tidak termasuk dalam subsuku Dayak.
Sub Suku Kutai
Dalam KBBI, sub berarti di bawah, agak, dekat. Sedang kata suku, lebih
tepatnya dalam konteks ini adalah suku bangsa atau etnis. Dalam KBBI, bagian
dari suatu kelompok manusia yang secara fisik sama. Padanan kata suku adalah
puak.
Jika dilihat dari kesamaan karakteristik dan perbedaan bahasa, maka di
Kutai juga ada. Pada suku Kutai, dalam artikel Ensiklopedia Wikipedia berjudul
Suku Kutai, golongan yang bertalian atau berdekatan dengan Kutai, dalam hal
ini dari segi bahasa, adalah sebagai berikut :
14 DR Yekti Manuati, Identitas Dayak, LKIS. (Yogyakarta, 2006). Hal 45-50.
Kutai Muara Kaman, puak jenis ini disebut puak pantun, merupakan sub
suku Kutai yang paling tua, mendiami wilayah Muara Kaman, Kutai
Kartanegara sampai ke daerah Kutai Timur, mencakup Muara Wahau,
Muara Ancalong, Muara Bengkal dan Kombeng.
Kutai Keraton, oleh para peneliti sosiolinguistik disebut juga puak melani,
yang berkembang di Pesisir, merupakan puak termuda di tanah Kutai,
merupakan percampuran antara Dayak dengan pendatang yakni Banjar,
Jawa, Bugis dan Melayu.
Kutai Kota Bangun, disebut juga puak Tulur. Puak ini bertalian juga dengan
Dayak Tunjung dan Benuaq (Ohong dan Bentian). Wilayahnya meliputi
Kenohan, Kembang Janggut, Tabang, Muara Wis, sebagian Muara Muntai,
hingga daerah-daerah di Kutai Barat. Dikatakan puak Tulur, karena daerah-
daerah tersebut dulunya dipimpin oleh Aji Tulur Jejangkat, yang menjadi
bagian dari Kesultanan Kartanegara dan Martapura. Puak ini diyakini
berasal dari puak ot danum.
Kutai Muara Pahu atau puak Pahu adalah suku yang mendiami wilayah
Sungai Kedang Pahu. Suku ini tersebar di Kecamatan Muara Pahu dan
sekitarnya. Puak ini merupakan keturunan Dayak Benuaq yang
meninggalkan budaya nenek moyang atau haloq dan sekarang menganut
agama Islam.
Kutai Kedang atau puak Punang adalah suku yang mendiami wilayah
pedalaman. Diperkirakan suku ini adalah hasil percampuran antara puak
pantun dan puak sendawar (tunjung-benuaq).
C. Hukum Adat Kutai
Pada zaman Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martapura masih
berkuasa, terdapat peraturan-peraturan tertulis dan mengikat bagi raknyat yang
mendiami wilayah-wilayah di tanah Kutai. Dua peraturan perundang-undangan
tersebut adalah Panji Kelaten yang terdiri dari 39 pasal yang mengatur
persoalan kesultanan dan Beraja Niti atau peraturan Maharaja terdiri dari 164
pasal yang mengatur persoalan perdata dan pidana.15
Sekarang Panji Kelaten dan Beraja Niti tentu saja tidak berlaku lagi dan
sebagian isinya hanya berlaku sebagai peraturan adat yang tidak tertulis.
Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut :
Erau
Erau berasal dari bahasa Kutai, eroh yang artinya ramai, riuh, ribut, suasana
yang penuh sukacita. Suasana yang ramai, riuh rendah suara tersebut dalam arti:
banyaknya kegiatan sekelompok orang yang mempunyai hajat dan mengandung
makna baik bersifat sakral, ritual, maupun hiburan. Erau pertama kali
dilaksanakan pada upacara tijak tanah dan mandi ke tepian ketika Aji Batara
Agung Dewa Sakti berusia 5 tahun. Setelah dewasa dan diangkat menjadi Raja
Kutai Kartanegara yang pertama (1300-1325), juga diadakan upacara Erau.
Sejak itulah Erau selalu diadakan setiap terjadi penggantian atau penobatan
Raja-Raja Kutai Kartanegara. Dalam perkembangannya, upacara Erau selain
sebagai upacara penobatan raja, juga untuk pemberian gelar dari raja kepada
tokoh atau pemuka masyarakat yang dianggap berjasa terhadap kerajaan.
15 Adham, D., Op.Cit., hal 243-271.
Hingga sekarang tradisi Erau tetap terpelihara dan semakin berkembang. Di
Kutai Kartanegara, Erau diselenggarakan sebagai sebuah tradisi yang
dilaksanakan setiap tahun dengan pusat kegiatan di kota Tenggarong, biasanya
bertepatan dengan peringatan hari jadi kota Tenggarong. Yang termasuk di
dalam tradisi adatnya adalah beluluh sultan, menjamu benua, merangin,
merebahkan ayu, mengulur naga dan belimbur.
Perkawinan Adat Kutai
Perkawinan adat Kutai. Sekarang ini, prosesi perkawinan adat Kutai hanya
dilakukan sebagain warga Kutai, terutama keluarga kerajaan Kutai. Selain itu
juga masih melekat bagi sebagian warga di daerah Kedang Ipil.16 Proses
perkawinan adat ini meliputi tahapan berikut :
Pertunangan, Seperti halnya lazimnya, juga dalam adat-istiadat Kutai,
sebelum terjadi perkawinan biasanya didahului oleh kesepakatan antara dua
keluarga bersatu dalam ikatan resmi. Proses inilah yang biasanya disebut
dengan istilah pertunangan. Dalam pertunangan adat Kutai, tidak ada
upacara adat yang khusus, melainkan hanya dilakukan acara penyerahan
cincin pertunangan di mana pada cincin tersebut diikat dengan tali atau
benang sebagai simbol bahwa si pemakai cincin telah “diikat” oleh
seseorang untuk menjadi pasangan resmi.
Ritual Memang. Setelah semua bahan yang diperlukan telah lengkap, maka
pada malam hari menjelang Hari-H perkawinan diadakan upacara Memang
16 Sri Warsono, dkk., Perubahan Nilai Upacara Tradisional pada Masyarakat Suku Kutai
di Desa Kedang Ipil, Depdikbud Kaltim, (Samarinda, 1998), hal 28-34.
atau ritual memanjatkan doa yang bertempat di kediaman mempelai laki-
laki. Upacara ini dilakukan dengan tujuan untuk mengusir roh-roh jahat agar
tidak mengganggu jalannya perkawinan. Peralatan yang dipersiapkan dalam
pelaksanaan upacara Memang adalah alat-alat yang digunakan untuk malam
hari. Semua peralatan untuk upacara malam hari itu disiapkan agar
bermanfaat sesuai dengan fungsi masing-masing. Acara upacara memang
dipimpin oleh orang khusus yang disebut sebagai Dukun Memang dan
didampingi oleh beberapa orang sebagai pembantu. Acara ini dihadiri oleh
tetua dan para tokoh adat, para sesepuh, serta keluarga, kerabat dan tetangga
dekat mempelai laki-laki.
Beluluh, atau membaca doa saat pelaksanaan ritual memang. Berikut ini
adalah isi dari doa Beluluh tersebut:
Tembon diang gari duki tembon dian
Mari panten biar dibara jantan
Jalan urang naik bapung ladang
Unggah bapuningsing jaka campur ragi cama
Daka silik ragi kuar takut takandung
Disambanan urang berait tamber
Berait rawang akan di banak minak
Nariang baik tahu jalan urang bakum
Cadang, nak bupung ningsing
Ningsing akan campur ragi camak
Silir ragi kuak
Singsing akan kemata alo pajeh
Esok lagi buku tunggayan
Indah lagi buku samutan
Maningsing akan irap ragi nyimpi
Perkawinan. Pagi hari pada Hari H atau hari di mana perkawinan itu
dilaksanakan, setiap kelompok petugas sudah bersiap-siap untuk
menjalankan tugas mereka masing-masing. Kaum perempuan, yakni para
gadis dan ibu-ibu, bertugas untuk menyelesaikan persiapan makanan untuk
pesta yang sudah dimulai sejak dua hari sebelumnya. Dukun Memang
bersama para pembantunya serta sebagian warga bertugas menyiapkan
semua peralatan upacara perkawinan, di antaranya adalah memasang daun
madam dan daun muru di pintu rumah sanggrahan sebagai pengusir roh-roh
jahat yang bisa mengganggu jalannya upacara perkawinan. Selanjutnya,
Dukun Memangi dan para pembantunya memandikan kedua calon
mempelai di rumah mereka masing-masing. Kedua mempelai dimandikan
dengan Ranam Bunga (air bunga) supaya kedua calon pengantin terlihat
elok dan rupawan. Selain itu, kedua calon pengantin juga diwajibkan untuk
melakukan ritual puja-puji dengan air Ranam Pemaden agar keduanya
bersih dan suci dari pikiran-pikiran kotor atau hal-hal negatif lainnya dan
memperoleh keselamatan. Setelah ritual memandikan pengantin selesai,
kedua calon mempelai didandani dengan pakaian yang paling indah. Untuk
calon pengantin laki-laki, diharuskan mengenakan songkok (kopiah)
berwarna hitam. Menjelang pukul 13.00 atau jam 1 siang, pengantin
perempuan dibawa ke rumah sanggrahan terlebih dulu untuk menunggu
kedatangan pengantin laki-laki. Setelah pengantin laki-laki datang dan
disandingkan dengan pengantin perempuan, maka keduanya kemudian
diarak mengelilingi rumah sanggrahan sebanyak tiga kali putaran sambil
menyebarkan uang logam yang akan disambut dan diperebutkan dengan
rasa riang gembira oleh anak-anak yang mengikuti arak-arakan pengantin
tersebut. Prosesi ini dilakukan dengan tujuan dan harapan agar kehidupan
kedua mempelai nantinya akan mendapatkan kesejahteraan dan mampu
memberikan kegembiraan kepada anak-anak mereka nantinya. Setelah
acara arak-arakan dan tabur uang selesai dilaksanakan, maka kedua
mempelai masuk ke dalam rumah sanggrahan dan duduk di tengah-tengah
para hadirin yang sudah ada di dalam rumah. Posisi duduk kedua mempelai
menghadap tetua adat dan para saksi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari makalah ini dapat disimpulkan beberapa hal, yakni :
1. Bahwa suku Kutai adalah salah satu suku yang mendiami beberapa daerah
di Kalimantan Timur, berpusat di Tenggarong, Kabupaten Kutai
Kartanegara. Suku Kutai berhubungan dengan Dayak, sehingga ada yang
menyebut Kutai merupakan ‘perkembangan’ dari Dayak, terutama Tunjung
Benuaq. Dikaji berdasarkan sosilolinguistiknya, di dalam suku Kutai
terdapat beberapa sub suku, yakni Pantun, Kedang, Tulur , Melani dan Pahu.
2. Dahulunya peraturan yang berlaku di tanah Kutai, terutama dalam masa
kesultanan Kutai Kartanegara ing Martapura, dituangkan dalam Panji
Kelaten dan Braja Niti. Meskipun tidak berlaku lagi seiring meleburnya
kerajaan Kutai Kartanegara ing Martapura dalam kesatuan negara
Indonesia, namun beberapa tradisi di dalamnya masih dijalankan.
3. Hukum adat yang masih dijalankan dalam suku Kutai adalah pada saat
pelaksanaan erau dan perkawinan adat.
B. Rekomendasi
Sumber-sumber utama adat Kutai di Tenggarong sangat minim.
Seharusnya, di pusat peradaban Kutai yang dikenal memiliki peradaban tua di
masa dahulu, seharusnya memiliki banyak referensi terkait. Selain itu, entitas
budaya Kutai saat ini sudah mulai pudar, untuk menarik wisatawan, entitas dan
identitas Kutai harus dibangkitkan dan dilestarikan.
DAFTAR RUJUKAN
------------, KBBI Offline, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Aplikasi
diakses melalui http://kbbi.web.id pada 13 Mei 2015.
------------, Staatsblad van Nederlandsch Indie [van de jaren 1816-1845]. Diakses
melalui https://books.google.co.id pada 13 Mei 2015.
------------, Bahasa Melayu Kutai Kota Bangun, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa
Indonesia. Diakses melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.
------------, Bahasa Melayu Kutai Tenggarong, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa
Indonesia. Diakses melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.
------------, Dayak, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa Indonesia. Diakses melalui
http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.
------------, Erau, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa Indonesia. Diakses melalui
http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.
------------, Gajah Mada, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa Indonesia. Diakses
melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.
------------, Hukum Adat, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa Indonesia. Diakses
melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.
------------, Kabupaten Kutai Kartanegara, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa
Indonesia. Diakses melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.
------------, Kabupaten Mahakam Ulu, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa
Indonesia. Diakses melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.
------------, Kakawin Nagarakretagama, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa
Indonesia. Diakses melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.
------------, Kerajaan Kutai, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa Indonesia. Diakses
melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.
------------, Kesultanan Banjar, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa Indonesia.
Diakses melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.
------------, Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura, Ensiklopedia
Wikipedia berbahasa Indonesia. Diakses melalui http://id.wikipedia.org pada 13
Mei 2015.
------------, Majapahit, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa Indonesia. Diakses
melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.
------------, Sejarah Kalimantan Timur, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa
Indonesia. Diakses melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.
------------, Suku Dayak, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa Indonesia. Diakses
melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.
------------, Suku Kutai, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa Indonesia. Diakses
melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.
------------, Tenggarong, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa Indonesia. Diakses
melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.
Adham, D. 2002. Silsilah Kutai. Tenggarong: Bagian Kehumasan dan
Keprotokoleran Bagian Kehumasan dan Keprotokoleran Pemerintah Daerah
Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Amin, Drs. H.M. Asli, dan Drs H. Amir Hamzah Idar. 1998. Awang Long.
Samarinda: Badan Perencanaan Pembangunan Dearah Provinsi Daerah Tingkat
I Kalimantan Timur.
Haj, Ahmad Al-. 2002. Sejarah Kutai. Tenggarong: Bagian Kehumasan dan
Keprotokoleran Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan
Timur.
Hooykaas, C. 1952. Silsilah Raja-Raja Kutai (Dalam Negeri) Kutai (Kertanegara).
Jakarta: Dalam Penyedar Sastra, J.B. Wolters-Groningen.
Manuati, DR Yekti. 2006. Identitas Dayak. Yogyakarta: LKIS.
Raditya, Iswara N. Kerajaan Kutai Martapura. Diakses melalui
http://m.melayuonline.com pada 13 Mei 2015.
Ragawino, Bewa. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat Indonesia. Fakultas Ilmu
Sosial dan Politik Universitas Padjadjaran. Diakses melalui
http://pustaka.unpad.ac.id pada 13 Mei 2015.
Soetoen, Anwar, et.al. 1975. Dari Swapraja ke Kabupaten Kutai. Tenggarong:
Pemerintah Daerah Kabupaten Kalimantan Timur.
Warsono, Sri, dkk. 1998. Perubahan Nilai Upacara Tradisional pada Masyarakat
Suku Kutai di Desa Kedang Ipil. Samarinda: Depdikbud Kaltim.