HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG...

84
Edisi 4 - 2013

description

diterbitkan oleh Yayasan Lembaga Pengkajian Perumahan dan Pengembangan Perkotaan (LP P3I)/the HUD Institute

Transcript of HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG...

Page 1: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

Edisi 4 - 2013

Menanti Lahirnya Undang-Undang

Perkotaan

Edisi 4 - 2013

Ubah Perilaku dan Pola Konsumsi untuk Selamatkan Lingkungan

Hari Lingkungan Hidup 5 Juni

Page 2: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

2 2

Alamat Redaksi:Yayasan LP P3I/The HUD InstituteJln. Arya Putra No. 14A, Ciputat-Tangerang Selatan

Email:[email protected]

[email protected]

Hari Perumahan Nasional, 25 AgustusHari Habitat Dunia (HHD), 7 Oktober

Hari Tata Ruang, 8 November

Selamat

Page 3: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

3

dari

RedaksiPertama-tama ijinkan kami segenap Pengurus Majalah HUDmagz

menyampaikan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1434 H, Mohon Maaf Lahir Batin.Semoga keberkahan Ramadhan menyertai

kita semua. Amin

Saat ini, perkembangan kota di Indonesia termasuk yang paling pesat di dunia. Penduduk perkotaan telah melampaui batas psikologis 50%.Tidak ada yang salah dengan pertumbuhan kawasan perkotaan yang demikian cepat ketika masalah ikutannya tidak terwujud seperti kemacetan, layanan dasar tidak memadai, kejahatan meningkat, tingkat pengangguran meroket sebagai dampak urbanisasi yang tidak matang, kawasan kumuh menyebar dan terlihat dimana-mana dan seterusnya.

Perkembangan perkotaan yang seperti ini, bukanlah hal yang membanggakan.Bahkan telah menjadi semacam ‘siksaan’ bagi penduduk perkotaan. Mulai dari waktu tempuh ke kantor yang tidak berbeda jauh dengan lamanya bekerja di kantor, polusi udara yang demikian tinggi yang mengharuskan kita menggunakan masker, pengemis dan anak jalanan bertebaran di persimpangan jalan, dan masih banyak lagi.

Satu hal yang patut kita syukuri bahwa Pemerintah pada tahun ini mulai menyiapkan sebuah Rancangan Undang-Undang Perkotaan sebagai suatu langkah cerdas dalam mengelola fenomena pembangunan perkotaan yang tak terkendali ini. Namun tentunya upaya Pemerintah ini tidak akan optimal tanpa adanya partisipasi aktif dari masyarakat terkait penyempurnaan materi dari RUU tersebut.

Menyadari hal ini, majalah HUDmagz memberanikan diri secara khusus menjadikan penyiapan RUU Perkotaan tersebut menjadi tema utama edisi kali ini. Dengan demikian, diharapkan pengambil kebijakan dapat memperoleh ‘second opinion’ terutama dari kami dan pemangku kepentingan lainnya yang sayangnya tidak terlibat langsung dalam proses penyusunan RUU tersebut.

Sebagai penutup, kami menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih atas sambutan yang hangat dari para pembaca. Di lain pihak, kami menyadari upaya mempertahankan keberadaan majalah kita ini memang butuh upaya keras. Di samping tentunya memohon doa kepadaNya agar semuanya berjalan lancar. Untuk itu, kami membuka pintu selebar-lebarnya terhadap kontribusi pembaca baik berupa masukan, kritik, artikel, opini, tips, maupun foto. Dengan demikian, harapan kami majalah kita ini menjadi forum milik kita semua. Amin

Pemimpin Redaksi Oswar Mungkasa

Edisi 4 - 2013

Redaksi menerima kiriman naskah de­ngan panjang tulisan maksimal 1.600 kata, melalui [email protected], disertai data diri. Redaksi berhak melakukan perubahan naskah tanpa mengubah isi.

Dewan Pembina:Cosmas Batubara, Siswono Yudho Husodo,Akbar Tandjung, Theo Sambuaga,Erna Witoelar, M. Yusuf Asy’ari,Suharso Monoarfa

Dewan Penasehat:Djoko Kirmanto, Gamawan Fauzi,Direksi Perum Perumnas, DPP REI, DPP APERSI, DPP AP2ERSI

Pemimpin Umum/Usaha/Penanggung Jawab:Zulfi Syarif Koto

Wakil Pemimpin Umum:F. Teguh Satria, Indra Utama, Martin Roestamy

Wakil Pemimpin Usaha:Endang Kawidjaja, Djaja Roeslim,Reddy Hartadji, Muhammad Nawir,Ferry Sandiyana

Sekretaris Pemimpin Umum/Usaha:M. Amry

Pemimpin Redaksi:Oswar M Mungkasa

Redaktur:Endrawan Natawiria, Nursalim, Erfendi E.P

Konsultan Hukum: Muhammad Joni

Artistik dan Koordinasi Produksi:Agus Sumarno

Manajer Iklan & Keuangan:Herawati, Hadist GP

Administrasi dan Umum:Eduardo H, Asep Deni Kusnadi, Yuliandi

Diterbitkan oleh:Yayasan LP P3I/The HUD InstitutePT. HUDMAGZ Indonesia

Alamat Redaksi: Yayasan LP P3I/The HUD InstituteJln. Arya Putra No. 14ACiputat-Tangerang

Email: [email protected]@gmail.com

Page 4: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

KepadaYth.Redaksi Majalah HUD

Pertama perkenankan saya menyampaikan apresiasi terhadap Majalah HUD yang telah berupaya memberikan informasi kepada publik secara gamblang. Saya tertarik untuk

memberikan opini terkait dengan tulisan mengenai Desentralisasi dan Otonomi Daerah pada edisi 3 bulan Maret 2013. Saya setuju dengan penulis yang menyatakan perlunya Grand Design Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Kalau kita ingat, pada awalnya pelaksanaan Otonomi Daerah dilaksanakan tanpa didahului adanya pengembangan grand design. Hal ini ibarat berlayar sambil mencari kompas. Tidak jelas harus kemana. Otonomi daerah, menurut saya, pada saat itu didasari dengan semangat untuk mencegah terjadinya disintegrasi republik kita ini. Baru setelah beberapa tahun berjalan, dilaksanakan penyusunan grand design otonomi daerah.

Menurut saya, pelaksanaan otonomi daerah tidak harus diberlakukan sama rata di seluruh kabupaten/kota di Indonesia. Otonomi daerah perlu dilaksanakan secara bertahap, karena dengan rentang kendali yang terlalu luas, maka akan sulit untuk mengelolanya. Berikut ini beberapa hal yang menurut saya perlu mendapat perhatian jika pelaksanaan otonomi daerah hendak dikaji dan ditata kembali:

1. Otonomi daerah hanya diberikan kepada Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota yang mampu. Kemampuan ini dinilai dari segi ketersediaan dan kualitas SDM, kelembagaan, keuangan dan sumber daya alamnya. Jadi perlu dikembangkan kriteria untuk menyaring daerah yang mampu. Disatu sisi, hal ini akan membantu mencegah adanya pemekaran daerah yang tidak terencana, namun disisi lain hal ini akan menyebabkan adanya

proses pencabutan status otonomi dari daerah-daerah yang belum memenuh isyarat. Repot memang, tetapi kalau tidak repot bukan bekerja namanya;

2. Efektifitas otonomi daerah salah satunya harus dinilai melalui proses perencanaan yang sudah mempertimbangkan kepentingan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota di sekitarnya, termasuk hasil dari pelaksanaan rencana yang dimaksud. Hal ini belum terakomodir dalam penilaian efektifitas otonomi daerah yang saat ini sedang berjalan, dan itu merupakan hal yang sangat ganjil menurut saya. Seorang anak dianggap sudah mandiri dan dapat dilepas salah satunya dinilai dari kesiapan dan kematangan anak dalam merencanakan hidupnya, termasuk bagaimana sang anak menyertakan harapan orang tuanya dan orang-orang di sekelilingnya ke dalam rencana hidupnya. Jika dinilai belum mampu maka masih diperlukan pembinaan;

3. Peran Provinsi harus dikaji ulang. Saat ini Pemerintah Provinsi terlalu lemah, sehingga sering dilalui saja oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Pusat membutuhkan provinsi sebagai kepanjangan tangannya dan sebagai “anak” tertuanya. Dengan mengoptimalkan peran provinsi, maka rentang kendali yang begitu luas dapat dikelola secara terstruktur dan sistematis. Ada pepatah: “There is no impossible task, if you can break it down to smaller manageable tasks”

Demikian opini saya, semoga bermanfaat. Terima kasih.

Salam,Fany WedahuditamaJakarta

Sapaan Pembaca

Kepada yth.Redaksi Majalah HUDmagz

Pertama-tama mumpung masih dalam suasana lebaran, saya menyampaikan Selamat Idul Fitri dan Mohon Maaf Lahir Bathin kepada jajaran pengasuh majalah ini dan juga para

pembaca.Terus terang saja, saya menyampaikan penghargaan kepada

redaksi berikut jajarannya yang telah bersusah payah menyiapkan majalah HUDmagz yang nota bene bukan majalah komersil tetapi lebih kepada upaya mencerdaskan anak bangsa. Terlepas dari kualitas majalah yang masih perlu ditingkatkan, namun upaya seperti ini patut kita dukung. Saya selalu berdoa agar majalah ini tetap eksis.

Salam hangatYan GardaBandung

RedaksiSelamat Idul Fitri dan maaf lahir batin. Terima kasih atas masukan dan kritik yang disampaikan. Tentu saja keberlanjutan majalah ini tergantung dari kita semua.

Redaksi HUDmagz yang baik

Saya membaca majalah ini secara tidak sengaja ketika mendatangi salah satu perpustakaan. Materinya lumayan, walaupun materi perumahannya terlihat dominan. Atau

memang HUDmagz difokuskan pada perumahan saja? Mudah-mudahan tidak.

Sebagai pemerhati masalah perkotaan, saya tertarik untuk mendapatkan secara teratur. Mohon dapat dijelaskan caranya. Terimakasih.

SalamLin DamayantiSurabaya

RedaksiTerima kasih atas perhatiannya. Semua kritikan, pujian, masukan akan menjadi cambuk bagi kami dalam mengelola majalah ini. Terkait keinginan mendapatkan secara teratur, sampai saat ini distribusi majalah ini masih bersifat terbatas, tetapi kami juga telah mencoba menyediakan majalah ini secara on-line. Untuk sementara sebelum kami mempunyai situs resmi, Anda dapat mengakses di pittsburgh.academia.edu/oswarmungkasa.

4

Page 5: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

Edisi 4 - 2013

5

Dari Redaksi ......................................................... 3Sapaan Pembaca.................................................... 4Daftar Isi ............................................................... 5Sekapur Sirih......................................................... 6Laporan Utama n Urgensi Penyusunan Undang-Undang Perkotaan................................. 7

n Wawancara Soelaeman Soemawinata (Direktur Alam Sutera) “Membangun dengan Empati”.............................. 12

Laporan Khusus n Memperingati 39 Tahun Perumnas. Rumah Rakyat, Saatnya Berdayakan Perumnas Secara Maksimal ................................................. 16n Wawancara Himawan Arief (Direktur Utama Perumnas) Rebranding untuk Tetap Eksis...................................................................... 17Segmen n Catatan Kritis tentang Hunian Berimbang.............................. 18

Pendapatn Belajar dari Singapore’s Central Provident Fund (CPF) Sebuah Upaya Merancang Tabungan Perumahan yang Handal di Indonesia............... 23n Menyoal dan Mencermati RUU Tapera.................................................... 29n Krisis dan Tantangan Penataan Ruang Perkotaan Nasional................. 30n Pembangunan Sistem Transportasi Massal Secara Terpadu dalam Rangka Mengatasi Permasalahan Macet di Jakarta................................................................. 35n Jakarta Menuju Kota Global...................................................................... 40

n Pemda dan Akuntabilitas Pembangunan Perumahan Rakyat............... 43n Kembali ke Dasar Menata Kembali Prioritas Pembangunan Air Minum dan Sanitasi............................................................................... 47n Penataan Ruang Perkotaan: Menjamin Hak Bermukim bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah......................................................... 51

Testimonin Teguh Kinarto: Rumah Untuk MBR dari Penjualan Properti untuk Orang Asing........................................................................................... 54

Konsepn Peluang dan Tantangan Implementasi Energi Terbarukan di Sektor Perumahan........................57

Profiln Kelompok Kerja Perumahan dan Kawasan Permukiman (Pokja PKP): Memperkuat Koordinasi Menuju Kolaborasi......................................... 61

Liputan n Indonesia Property and Bank Award ke-8................................................... 63

n Diskusi Kelompok Terfokus “Mencari Solusi Pemenuhan Rumah untuk Rakyat”............................. 64n Koalisi Perumahan Rakyat Desak Pemerintah Serius Jalankan Amanat Konstitusi ...................................................................................... 66

Agenda .n Hari Lingkungan Hidup 5 Juni................................ 67n Pekan Lingkungan Hidup......................................... 67n Hari Perumahan Nasional 2013............................. 68n Peringatan Hari Habitat Dunia (HHD) 2013...... 70

n Hari Tata Ruang 2013: “Harmoni Ruang dan Air untuk Hidup Lebih Baik”................................... 71

Tipsn Tips Ramah Lingkungan di Rumah ......... 72

Faktan Permukiman Terkumuh Dunia .................................................................. 74n Urbanisasi dan Dampaknya di Asia........................ 76

Ragam Infon Info Buku ......................... 79n Info Regulasi .................... 80n Info Situs .......................... 82

Edisi 4 - 2013Daftar Isi

Page 6: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

6

Pentingnya pembangunan kota telah lama menjadi kepedulian para pengambil keputusan Namun baru pada beberapa dekade terakhir kemudian kepedulian ini berubah menjadi semacam ‘kesadaran baru’. Mulai timbul kesadaran pentingnya regulasi. Jika awalnya regulasi hanya di tingkatan pelaksanaan, kini regulasi diusung pada tingkat undang-undang. Jika

sebelumnya kita hanya mempunyai regulasi berupa peraturan menteri, kini sedang diusahakan sebuah undang-undang untuk mengendalikan pembangunan perkotaan.

Tidak ada kata terlambat. Tetapi satu hal yang perlu menjadi perhatian kita semua. Undang-undang bukan sekedar produk. Jika ini sekedar sebuah produk, dengan gampangnya kita bisa menyerahkan ‘pengerjaan’ nya pada sekelompok orang yang menyebut dirinya ahli perkotaan dan ahli hukum, atau sederet jenis keahlian lainnya. Tidak. Bukan itu. Proses menjadi sama pentingnya.

Mengapa demikian pentingnya proses? Karena pada tataran inilah kita dapat memastikan bahwa data yang dipergunakan sahih adanya. Isu yang ditampilkan benar adanya. Suara yang ditampilkan mewakili kepentingan semua pemangku kepentingan tanpa memandang suku, agama, warna kulit. Jika proses ini tidak terjaga baik maka undang-undang yang dihasilkan hanya sekedar sebuah hasil perenungan akademis para ahli. Kebenarannya mungkin dapat dijamin tapi yang pasti tidak dapat dijamin adalah penerimaan oleh pemangku kepentingan. Ujungnya dapat ditebak. Produk undang-undang tersebut dalam hitungan hari segera diproses melalui ‘Judicial Review’ di Mahkamah Konstitusi.

Salah satu pihak yang sangat berkepentingan dengan ketersediaan regulasi adalah para pengembang kawasan perumahan. Terlepas dari kepentingan bisnis yang dikedepankan oleh para pengembang, sejatinya di jaman modern ini kontribusi pengembang dalam pembangunan sebuah kota tidak dapat dinafikan. Ambil contoh, Bekasi, Tangerang, Tangerang Selatan yang lebih dari separuh wilayahnya dibangun oleh pengembang baik kecil maupun besar. Jika demikian faktanya, menjadi suatu keniscayaan jika pengembang menjadi mitra utama pemerintah dalam pembangunan perkotaan.

Kepemerintahan yang baik (good governance) juga menjadi suatu keniscayaan ketika pembangunan perkotaan disepakati sebagai tanggung jawab bersama. Dengan denikian sudah sewajarnya kemudian isu ini juga menjadi bagian penting dari rancangan undang-undang perkotaan yang saat ini sedang dipersiapkan. Keterbukaan dan akuntabilitas akan menjadi bagian tidak terpisahkan dari pembangunan perkotaan.

Sebagai kelanjutan dari upaya internalisasi kepemerintahan yang baik dalam pembangunan perkotaan, keterlibatan masyarakat menjadi sangat penting. Keberadaan forum komunikasi pemangku kepentingan yang beranggotakan wakil masyarakat, pemerintah, dan pemangku kepentingan lainnya menjadi sangat berarti. Forum ini nantinya akan menjadi wadah saling bertukar pikiran bahkan dapat menjadi ajang penyelesaian konflik diantara pemangku kepentingan pembangunan perkotaan.

Pembangunan perkotaan sejatinya bersifat dinamis, sehingga selalu terjadi perkembangan pemikiran dan konsep pembangunan perkotaan. Perkembangan ini perlu diantisipasi oleh para pemangku kepentingan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah memastikan fleksibilitas rancangan undang-undang perkotaan nantinya, sehingga perkembangan pemikiran dan konsep perkotaan dapat terwadahi.

Tentunya disadari bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini. Sehingga sebagus apapun rancangan undang-undang perkotaan nantinya, pastinya tidak akan dapat memenuhi keinginan semua pihak. Namun di atas semua itu, sepanjang proses penyusunan rancangan undang-undang ini telah melalui proses yang terbuka, melibatkan seluruh pemangku kepentingan, maka apapun hasilnya sudah seharusnyalah dapat diterima oleh seluruh pemangku kepentingan.

Akhir kata, semoga keberadaan undang-undang perkotaan ini nantinya dapat meningkatkan kualitas hidup penduduk perkotaan Indonesia. Sehingga cita-cita terwujudnya negeri makmur, adil dan sejahtera dapat lebih cepat tercapai. Semoga. (ZSK).

Pembangunan Kota Tanggung jawab BersamaZulfi Syarif KotoPemimpin Umum/Penanggung jawab

Sekapur Sirih

Page 7: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

7

Edisi 4 - 2013

Laporan Utama

Pada hakikatnya perkotaan dapat dimaknai se­bagai tempat berkonsentrasinya penduduk yang dicirikan oleh adanya permukiman dan berbagai aktifitasnya yang dominan berupa kegiatan non pertanian, seperti ekonomi, sosial

budaya dan sebagainya. Tentunya diharapkan perkotaan dapat menjadi tempat hunian yang layak dan nyaman bagi masyarakat yang tinggal di dalamnya. Namun, yang ter­jadi pada hampir seluruh kawasan perkotaan di dunia, di­jumpai permasalahan yang serupa yakni kondisi lingkung­an kota yang tidak nyaman dan tingkat pelayanan umum yang kurang memadai. Salah satu faktor penyebabnya ada­lah pertumbuhan jumlah penduduk perkotaan yang tidak diimbangi dengan ketersediaan sarana prasarana dan ruang publik, sehingga menye bab kan perkotaan semakin lama semakin kehilangan fung sinya.

Indonesia sebagai salah satu negara de­ngan tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi juga mengalami berbagai persoalan perkotaan. Jika dilihat berbagai kota di In­donesia, terutama kota metropolitan dan kota besar, pembangunan kawasan perko­taan selain menunjukkan hasil berupa ter­bangunnya prasarana dan sarana fisik yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, me­nyimpan pula berbagai permasalahan yang semakin lama semakin kompleks dan multidimensional.

Permasalahan pokok yang mengiringi pembangunan perkotaan tersebut di antaranya terjadinya degradasi kon­disi sosial masyarakat, bertambahnya angka kemiskinan dan pengangguran, tidak terkendalinya pertumbuhan sektor informal, terjadinya penurunan daya dukung ling­kungan, menurunnya kualitas pelayanan umum, lemah­nya sumber daya manusia, serta pemahaman yang masih

kurang terhadap prinsip­prinsip manajemen pengelolaan perkotaan yang baik.

Berbagai permasalahan perkotaan tersebut tidak terlepas dari tingginya tingkat urbanisasi yang disertai dengan per­tumbuhan penduduk alami perkotaan. Pada kenyataannya kedua faktor tersebut tidak diimbangi oleh kemampuan kota dalam menyediakan pelayanan dasar bagi masyarakat­nya. Kondisi ini terlihat dari adanya ketimpangan antara pelayanan dasar perkotaan, sarana dan prasarana publik serta jangkauan pelayanannya dengan jumlah penduduk perkotaan yang semakin besar. Ketimpangan tersebut juga mendorong berkembangnya kawasan­kawasan perumah an baru yang pada akhirnya tumbuh menjadi kawasan perko­taan atau bahkan kota baru di wilayah Indonesia. Sayang­nya kawasan perumahan dan perkotaan yang baru tersebut

belum diatur secara terpadu dalam perun­dangan sehingga menyebabkan perkotaan menjadi semakin tidak terkelola dengan baik.

Banyak hal yang telah diupayakan da­lam mengatasi berbagai permasalahan perkotaan. Dari sisi pemerintah, berbagai program dan anggaran yang telah diper­untukkan untuk pembangunan perkotaan belum optimal dengan berbagai alasannya. Keterbatasan anggaran, hambatan koordi­

nasi, kurang terukurnya sasaran pembangunan, serta ren­dahnya kapasitas kelembagaan dan Sumber Daya Manusia (SDM) diduga menjadi faktor­faktor belum optimalnya hasil dari pembangunan. Selain itu, pembangunan perko­taan di Indonesia juga dihadapkan pada tantangan bahwa sebagai negara tropis, kota­kota di Indonesia rentan ter­hadap bencana alam dan perubahan iklim, terutama dalam bentuk banjir dan kenaikan muka air laut.

sumber foto: istimewa

sumber foto: istimewa

Page 8: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

8

Dilain pihak, kota dan kawasan perko­taan juga memiliki peran penting dalam pembangunan nasional, baik sebagai pusat pertumbuhan penduduk maupun mesin penggerak ekonomi suatu negara. Dengan adanya pemusatan penduduk perkotaan, sebagian besar nilai tambah ekonomi Indonesia terjadi di kawasan perkotaan. Pada Tahun 2010, diperkira­kan 74% Produk Domestik Bruto (PDB) dihasilkan di kota dan kawasan perkotaan dan akan terus meningkat seiring dengan terus bertambahnya penduduk perkotaan (World Bank, 2012). Kondisi ini menunjukkan fakta bah­wa pembangunan nasional masa depan sangat ditentukan oleh pembangunan kota dan kawasan perkotaan. Akan tetapi, sebagai akibat dari peningkatan kegiatan ekonomi di kota dan kawasan perkotaan akan mendorong pertum­buhan ekonomi di Indonesia secara keseluruhan yang ke­mudian juga mengakibatkan terjadinya migrasi besar dari desa ke kota dan antarpulau di Indonesia, dari luar Pulau Jawa ke Pulau Jawa.

Apakah Undang Undang Perkotaan Mendesak?Berbagai permasalahan dan tantangan perkotaan di

Indonesia masih belum seluruhnya diatur dan diantisipasi oleh peraturan perundangan yang sudah ada. Jika ditin­jau dari berbagai peraturan perundangan yang sudah ada, baik yang bersifat generalis (umum) ataupun yang bersi­fat spesialis (sektoral), kenyataannya memang tidak cukup mengakomodir permasalahan perkotaan di Indonesia yang sangat dinamis. Multisektoral, sosio­spasial, dan lokus­nya bervariasi mulai dari kota metropolitan sampai kawasan perkotaan kecil yang berada di kabupaten. Kondisi tersebut diperparah dengan ketidak­jelasan kerangka kelembagaan pengelolaan perkotaan bagi kawasan perkotaan yang bukan berstatus daerah otonom. Belum lagi ketika berbicara ba­gaimana bentuk atau kondisi ideal kota­kota di Indonesia pada masa yang akan datang? Berbagai hal tersebut yang menjadi faktor­faktor pendorong diperlukannya Undang­Undang (UU) yang secara khusus mengatur perkotaan.

Keberadaan peraturan khusus tentang perkotaan di ting kat undang­undang dapat secara lebih khusus diperlu­kan karena berbagai faktor, antara lain.

Belum ada Undang-undang yang secara khusus mengatur •tentang kota otonom dan non otonom.

Banyaknya peraturan perundangan yang terkait de­ngan perkotaan namun sifatnya masih bersifat sekto­ral, belum tertata secara utuh dan menyeluruh untuk menyelesaikan berbagai permasalahan perkotaan. Be­berapa peraturan yang terkait dengan perkotaan, antara lain UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah, UU Nomor 26 Tahun 2007 ten­tang Penataan Ruang, dan UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Selanjutnya pera­turan perkotaan yang lain lebih banyak pada tingkatan yang lebih rendah, seperti Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres) dan Peraturan Menteri (Permen), yang merupakan penjabaran

dari ketiga undang­undang tersebut. Namun sayang­nya ketiga undang­undang tersebut masih belum cu­kup, sehingga diperlukan aturan yang lebih spesifik dan solid dalam mengelola kompleksitas pembangunan dan pengelolaan perkotaan sebagai sebuah entitas sosio­ekonomi­spasial.Pelaksanaan sistem desentralisasi yang belum optimal.•

Sejak Tahun 2001, Indonesia telah menerapkan ke­bijakan pelaksanaan desentralisasi fiskal yang kemu­dian menjadi tantangan baru dalam manajemen eko nomi makro Indonesia. Perubahan kebijakan ini berpotensi menjadi masalah stabilitas ekonomi makro berkepanjangan apabila kurang tepat dalam mengelola pelaksanaan desentralisasi fiskal. Salah satu akar per­masalahan ini adalah perbedaan orientasi kebijakan ekonomi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemerintah daerah lebih menghadapi masalah keterbatasan keuangan (financial constraints) daripada keterbatasan ekonomi (economic constraints) yang men­jadi perhatian pemerintah pusat. Selain itu, pemerintah daerah lebih menaruh perhatian pada masalah alokasi daripada stabilisasi, yang dianggap sebagai beban pe­merintah pusat. Anggaran belanja pemerintah daerah yang meningkat dapat mendorong permintaan domes­tik, dan mempe ngaruhi keseimbangan anggaran bila efek multiplier dari pengeluaran daerah jauh melebihi multiplier rata­rata pendapatannya.Belum ada pengaturan terhadap kota-kota yang diba ngun •oleh pihak swasta seperti kota mandiri, kota terpadu, kota industri, dan sebagainya.

Dengan adanya berbagai permasalahan perkotaan yang sudah ada, pengelolaan kawasan perumahan besar dan kota­kota baru yang cepat berkembang menjadi lebih kompleks dan rentan konflik sehingga diperlukan peng aturan kerangka kelembagaan pengelolaan perko­taan yang bukan berstatus otonom.Perkembangan perkotaan sangat berpengaruh dan saling •mempengaruhi (resiprokal) dengan daerah sekitarnya. Kecenderungan pembangunan yang ada menunjuk­kan bahwa kota telah menimbulkan back-wash effect dibandingkan kondisi ideal yang diharapkan, yaitu trickle-down effect. Akibat yang terjadi adalah kawasan

sumber foto: istimewa

Laporan Utama

Page 9: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

9

Edisi 4 - 2013

pinggiran dan kawasan perdesaan menjadi sumber (supplier) bagi sumber daya yang dibutuhkan untuk meng­operasionalkan kota. Dilain pihak, telah terjadi gejala urban sprawl yang menyebabkan perkembang­an tingkat urbanisasi di kawasan perdesaan. Kondisi ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi informasi dan tidak adanya pembagian peran antara kota dan desa dalam berbagai aspek, seperti lingkung­an, maupun ketahanan pangan. Kedepan dibutuhkan peng aturan peran dan pemberian insentif dan disinsen­tif, serta kerangka kerjasama antarwilayah inti (kota) dengan wilayah penyangganya (hinter land).

Perkembangan perkotaan juga perlu didudukkan dalam konstelasi yang lebih luas dalam skala global. Kota­kota metropolitan dan besar di Indonesia akan menghadapi tantangan persaingan global yang semakin kuat, teru­tama di wilayah ASEAN. Persaingan tersebut bisa ber­bentuk persaingan ekonomi yang meliputi pelayanan jasa dan perdagangan maupun persaingan sosial dan lingkungan yang menuntut peran aktif perkotaan da­lam berbagai kegiatan internasional.

Apa Substansi Undang Undang Perkotaan?Jika memang UU Perkotaan merupakan sebuah pera­

turan yang mendesak dan penting, tentunya pertanyaan berikutnya adalah berkaitan dengan substansi seperti apa yang harus termuat dalam UU tersebut. Berikut pokok­pokok substansi yang minimal harus diatur dalam UU Perkotaan, yaitu.

Sistem Perkotaan Nasional 1. Sistem perkotaan pada dasarnya merupakan suatu

bentuk keserasian hubungan intra sistem maupun antar­

sistem, serta didukung adanya kelengkapan dari sistem kelembagaannya. Saat ini terjadi kesenjangan yang sangat tajam antarkota di Indonesia, dilihat dari ukuran maupun penyebarannya. Berdasar ukuran, dari 98 kota otonom yang ada, lebih dari separuhnya merupakan kota sedang dan kota kecil yang terletak di luar Pulau Jawa. Sementara itu, kota metropolitan dan kota besar sebagian besar ber­lokasi di Pulau Jawa. Kondisi ini yang juga menjadi faktor utama dalam kesenjangan antara Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Dengan demikian penguatan Sistem Perkotaan Nasional merupakan sebuah keniscayaan untuk mewujudkan pembangunan yang seimbang antara dua kawasan tersebut. Disamping perlu terus diupayakan pembangunan kota sedang dan kota ke­cil sebagai pendukung produktivitas kawasan perdesaan. Penguatan ini diharapkan dapat menjaga daya tarik kota sebagai pusat pertumbuhan, tanpa harus mengorbankan desa dengan karakteristik kegiatan yang dominan perta­nian, ditinggalkan oleh masyarakatnya.

Selanjutnya, yang tidak kalah penting dan sangat men­dasar untuk diatur adalah definisi dan pengelompokan (tipologi) perkotaan. Berbagai instansi memiliki definisi yang berbeda, seperti halnya definisi perkotaan menurut BPS berbeda dengan definisi perkotaan menurut beberapa peraturan perundangan, seperti UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, PP Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) dan PP Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelengga­raan Penataan Ruang. Dalam ketiga peraturan tersebut, meskipun berbeda­beda dalam mengategorikan kawasan perkotaan, namun secara umum kawasan perkotaan didefi­nisikan sebagai wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiat­an ekonomi.

Standar pelayanan perkotaan dan kota masa depan2. Saat ini apabila kita mengunjungi berbagai kota di

Indonesia dan membandingkannya, tampak tidak ada standar antara satu kota dengan tipologi atau kelas yang sama. Kapasitas dan inovasi masing­masing kota, biasanya dimiliki oleh kota metropolitan dan besar, menjadi faktor penentu apakah kota sudah memiliki prasarana dan sarana yang lengkap dan memadai. Sementara itu, kota­kota se­dang dan kecil dengan kapasitas yang rendah seolah­olah berkembang apa adanya tanpa direncanakan. UU Perko­taan harus mendorong dan memaksa agar kota­kota memi­liki Standar Pelayanan Perkotaan (SPP) yang merupakan fasilitas minimum yang harus disediakan oleh Pemerintah Kota agar warganya berhak mendapatkan kehidupan kota yang aman, nyaman dan layak huni.

sumber foto: istimewa

Page 10: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

10

Dilain pihak, dalam jangka panjang, kota­kota di Indonesia sudah seharus­nya dibangun menjadi kota masa depan yang memperhatikan keseimbangan antara aspek ekonomi, sosial budaya dan lingkungan. Pembangunan ekonomi ka­wasan perkotaan harus diarahkan untuk memberi kekuatan pada keterkaitan aliran produksi­pasar serta keterkaitan antara sektor informal dan tradisional dengan sektor formal. Disamping itu, kota­kota di Indo­nesia harus disiapkan juga untuk mengantisipasi bencana dan adaptasi terhadap perubahan iklim yang gejalanya su­dah dirasakan di kota­kota pesisir.

Pembentukan kawasan perumahan dan kota baru ber-3. skala luasDinamika dan tingkat kompleksitas permasalahan

perkotaan sangat terkait pada sejumlah faktor, terutama faktor penduduk yang semakin bertambah, dan ukuran kota yang tidak bertambah. Kombinasi dari kedua faktor tersebut memicu perluasan permukiman baru di kawasan non permukiman, munculnya kawasan­kawasan peru­mahan dan kota baru berskala besar di pinggir kota yang dikembangkan oleh swasta, dan sebagainya.

Diperlukan pengaturan khusus yang dapat mengelola kawasan permukiman perkotaan yang berada di luar dan tidak terlayani oleh kawasan perumahan yang dikembang­kan oleh swasta sehingga tidak memicu terjadinya kesen­jangan antara penduduk yang tinggal di kedua kawasan tersebut. Disamping itu, diperlukan pengaturan yang mampu mengendalikan alih fungsi lahan dan perkembang­an kota yang tak terkendali (urban sprawl) melalui pemba­kuan harga lahan, pengenaan pajak lahan progresif, pen­cadangan lahan (land banking) untuk pembangunan kota, hak pemerintah untuk membeli lahan dahulu, pengaturan reklamasi pantai perkotaan, serta pengaturan kembali Pe­nguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Ta­nah (P4T) dalam bentuk pembatasan kepemilikan lahan maksimum oleh swasta dan individu. Upaya­upaya terse­but harus mengikat sehingga dapat mengurangi terjadinya spekulasi tanah dalam skala luas.

Kelembagaan perkotaan4. Kelembagaan perkotaan perlu diatur kembali agar

mampu menyelesaikan konflik pembangunan perkotaan

lintas wilayah di kawasan perkotaan. Kelem­bagaan perkotaan harus diarahkan untuk melakukan penanganan perkembangan kota, penanganan urbanisasi, pengembang­an jalur transportasi, pemanfaatan sumber daya alam pengaturan dimensi kerjasama antarkota, baik di tingkal lokal, nasional,

maupun international dalam bentuk sister city. Dengan de­mikian, kelembagaan perkotaan diarahkan dalam konteks pengelolaan perkotaan (urban management) yang merupa­kan sebuah proses manajemen untuk merubah dari keadaan sekarang menuju kondisi kota ideal yang diharapkan.

Selain itu, kelembagaan perkotaan juga perlu diarahkan untuk mewujudkan kerjasama daerah lintas wilayah admi­nistratif. Contoh yang bisa dilihat adalah keberadaan Badan Kerja Sama Pembangunan (BKSP) Jabodetabek yang belum mampu menyelesaikan konflik pembangunan perkotaan lintas wilayah di kawasan Jabodetabek. Di dalam UU Perko­taan, kelembagaan seperti BKSP harus bisa dikembalikan agar sesuai dengan tujuan pembentukannya.

Pembiayaan perkotaan5. Untuk mewujudkan berbagai pembangunan perkotaan,

baik penyelesaian permasalahan eksisting ataupun dalam rangka pemenuhan Standar Pelayanan Perkotaan (SPP), percepatan pembangunan ekonomi, dan perwujudan kota masa depan, dibutuhkan pembiayaan yang cukup. Ber­bagai sumber pembiayaan yang sangat diperlukan dalam pembangunan perkotaan harus direncanakan, dibangun dan dikelola dengan baik. Disamping itu, sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, maka pembahasan juga le­bih difokuskan pada pembiayaan pembangunan di tingkat kota. Hal ini mengingat kewenangan dan tanggung jawab dalam pembangunan sebagian besar telah dilimpahkan dari Pemerintah kepada Pemerintah Kota, sehingga mem­bawa konsekuensi terhadap kapasitas keuangan daerah dan pengelolaannya. UU Perkotaan harus mampu mendorong dan menciptakan berbagai jenis instrumen pembiayaan yang baru, menarik dan inovatif, serta memberi jaminan dan kepastian hukum bagi sektor swasta dan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan perkotaan di Indonesia

(Zaenal Arifin, Pemerhati Perkotaan, Alumni Pittsburgh University/USA dan Kobe University/Jepang)

Laporan Utama

sumber foto: istimewa

sumber foto: istimewa

SelamatHari Perumahan Nasional, 25 AgustusHari Habitat Dunia (HHD), 7 Oktober

Hari Tata Ruang, 8 November

Page 11: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

11

Edisi 4 - 2013

KEMENTERIAN DALAM NEGERI

SelamatHari Perumahan Nasional, 25 AgustusHari Habitat Dunia (HHD), 7 Oktober

Hari Tata Ruang, 8 November

Page 12: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

12

Laporan Utama

Bagaimana kontribusi Alam Sutera sebagai pengembang besar dalam konteks pembangunan daerah?

Prinsipnya pengembang besar dapat berkontribusi terhadap pembangunan infrastruktur utama. Ini yang berbeda dengan pengembang kecil. Walaupun bentuk kontribusinya beragam. Ada yang bangun jalan tolnya. Ada yang hanya bangun jalan aksesnya atau jalan besarnya.

Akses tol dibuka atas perencanaan dari pemda. Pemda memiliki RTRW yang menggunakan grid system. Ada ‘tulangan infrastruktur’ (akses masuk ke Tangerang) yang ditawarkan ke pengembang. Dari situ pemda mengajukan permohonan ke Menteri untuk mendapatkan ijin membuka akses ke tol. Selanjutnya pemda mengundang pengembang untuk berpartisipasi. Ini bukan kewajiban. Ini adalah sinergi tiga pihak, yaitu pemerintah pusat, pemerintah daerah dan pengembang.

Inilah salah satu contoh yang kemudian menjadikan pengembang besar dapat dikatakan berpartisipasi terhadap pembangunan daerah secara langsung. Tidak hanya berupa pembangunan infrastruktur tetapi bahkan pembangunan kawasan.

Pada saat itu, daerah ini (kawasan yang dibangun Alam Sutera red.) masih belum berkembang. Pemda sangat berkeinginan untuk membuka daerah ini. Akhirnya kami lah yang membantu Pemda mengembangkannya.

Partisipasi pengembang yang demikian ini menjadikannya penting untuk juga mengetahui rencana pemerintah, termasuk dalam hal ini rancangan undang-undang perkotaan itu nantinya.

Tentu saja, kontribusi lainnya berupa pajak, kesempatan kerja, pertumbuhan kawasan tidak bisa diabaikan.

Apakah ada konsep khusus untuk setiap kawasan yang dibangun?.

Ada beberapa hal, baik dalam konteks fisik maupun sosial. Kita mulai dari Jakarta. Perumahan yang berbentuk rumah tapak akan bergeser ke sekitar Jakarta. Pembangunan Jakarta itu ke Timur dan Barat, sementara ke arah Selatan sudah dibatasi. Karena masalah reservasi.

Ini termasuk daerah Barat Jakarta yang didorong menjadi hinterland Jakarta. Kita mencoba sejak awal untuk tidak menjadikan daerah ini sebagai kota mandiri tetapi lebih sebagai kota yang akan saling bersinergi. Alam Sutera diawali

Wawancara dengan Soelaeman Soemawinata (Direktur Alam Sutera)

Upaya pemerintah menyusun Undang Undang Perkotaan patut didukung. Walaupun kemudian keterlibatan para pemangku

kepentingan dalam proses penyusunannya masih belum intensif. Untuk itu, wawancara dengan pengembang setidaknya dapat memberi gambaran seperti apa kontribusi dan kebutuhan para pengembang dalam pembangunan perkotaan. Soelaeman Soemawinata, yang saat ini merupakan Direktur PT. Alam Sutera Realty Tbk yang mengelola sebuah kawasan perumahan di Serpong, merupakan salah satu petinggi perusahaan pengembang yang berlatar belakang sebagai perencana kota lulusan ITB tahun 1988. Selain itu, pengalaman berkarya di dunia pengembang perumahan sejak tahun 1988 sampai saat ini, menjadikannya sebagai nara sumber yang tepat.

Hal ini yang kemudian menjadikan perbincangan dengan beliau tidak hanya menarik tetapi juga didukung oleh pemahaman yang benar tentang perencanaan kota. Berikut ini perbincangannya.

“Membangun dengan Empati”

sumber foto: dok. pribadi

Page 13: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

13

Edisi 4 - 2013

sebagai dormitory town. Kerja di Jakarta tinggal di sini. Konsep pengembangannya, suami-istri kerja di Jakarta maka bagaimana dengan anak dan pembantu, serta pendidikan. Sehingga dikembangkan konsep ‘services estate’. Misal jika lampu mati di rumah, maka tersedia layanan perbaikan tanpa perlu merepotkan suami-istri yang sedang bekerja. Tersedia layanan pendidikan.

Kemudian berkembang, ada kebutuhan jasa lainnya. Mereka yang menyediakan layanan jasa pun kemudian bertempat tinggal di sini. Sehingga tiba-tiba tidak hanya sebagai dormitory town tetapi menjelma sebagai pusat komersial yang bersifat regional. Misalnya orang Kelapa Gading makan disini. Ini terutama dengan adanya akses tol.

Sekarang ini, ada beberapa pusat perkantoran yang berpindah kesini. Kantor pusat lho. Misal saja, Alfa Mart, Es Teler, Depo Bangunan. Disini juga tersedia pergudangan walaupun kecil.

Sisa konsep dormitory town menjadi ikon. Misalnya cluster system. Alam Sutera yang pertama mempopulerkan sistem cluster. Keamanan harus terjamin karena suami-istri bekerja di Jakarta. Lingkungan cluster ini menciptakan banyak daerah hijau.

Konsep dasarnya, yang penting satu gerbang. Berapa sih yang paling optimal?. Sistem rukun tetangga juga menjadi pertimbangan selain biaya pelayanan. Sistem sosial juga dipertimbangkan jadi cluster mencakup 350 keluarga yang merupakan satu RW, terdiri dari 2 atau 3 RT. Bisa menciptakan pelayanan mandiri. Suatu saat ketika pengembang tidak ada lagi, lingkungan ini bisa tetap mandiri.

Terkait lingkungan hidup, beberapa upaya telah dilakukan. Misal, upaya menangkap air hujan agar tidak langsung ke permukaan tanah. Ditanam Trembesi (sejenis pohon red.) yang rapat di atas jalan sehingga air hujan tidak langsung turun ke jalan. Jalannya disebut green tunnel.

Sementara di perumahan saat ini menggunakan sumur serapan yang dibangun oleh pengembang. Tidak boleh dibongkar. Tetapi berbeda dengan jaman dahulu, saat ini banyak penghuni yang menginginkan kondisi ini. Jika sebelumnya banyak dianggap sebagai beban oleh pengembang maka sekarang bahkan menjadi jualan. Bahkan menjadi ikon sebuah kawasan perumahan. Pedestrian pun menjadi perhatian termasuk jalur sepeda.

Isu pertanahan selalu mengemuka pada setiap pembangunan perumahan skala besar. Apakah yang menjadi kendala, atau masalah terkait penyediaan tanah ini?. Bagaimana dengan masalah sosial terkait pembebasan lahan?. Terobosan apa yang dilakukan?

Ini juga sebenarnya sebuah pendekatan yang khas Alam Sutera. Pemerintah juga dapat mengadopsi. Pengembang misalnya punya ijin mengembangkan luasan tertentu. Masyarakat tidak mau pindah dengan berbagai alasan misal

karena ada makam keramat. Ini yang agak sulit. Alasan lain adalah tanah leluhur berikut memorinya. Kalaupun pindah inginnya dekat dari lokasi awal. Selebihnya mau pindah.

Cara menjualnya ada 3 (tiga) macam. Pertama, berupa jual putus. Kedua, sebagian tanah dijual dan sebagian lagi ditukar dengan tanah. Ada lagi yang tidak dibayar tetapi seluruhnya ditukar dengan tanah.

Konsep kita berupa tanah yang ditempati oleh penduduk digeser ke lokasi tertentu di sekitar lokasi awal. Mereka dipindahkan ke lokasi tertentu yang berupa kompleks perumahan. Luasan tanah dan bangunannya di tempat yang baru disesuaikan sesuai proporsi luasan tanah mereka sebelumnya. Tetapi tidak semua mereka mau seperti ini. Sebagian dari mereka ingin tinggal pada suatu lokasi yang masih alami sebagaimana perkampungan yang masih tradisional. Mereka masih ingin memelihara ternak, dan punya pohon buah-buahan. Akhirnya sebagian kami tempatkan pada lokasi tertentu yang tidak jauh dari lokasi awal tetapi tetap dengan suasana yang masih alami. Bahkan jalannya pun di desain sendiri oleh mereka.

Penanganan seperti ini menjauhkan kami dari masalah yang timbul dari pembebasan tanah. Mungkin bisa disebut membangun dengan empati.

Sebelum pembebasan tanah, dilakukan dulu musyawarah dengan pemilik tanah. Mereka ditanya keinginannya. Disarankan pindah pada lokasi dengan harga tanah yang lebih murah sehingga bisa memperoleh tanah yang lebih luas dibanding lokasi awal.

Kami juga tidak pernah membayar lunas tetapi ditahan dulu sisanya 20 persen. Tentunya dengan cara sukarela. Paling lama ditahan sampai tempat tinggal yang baru sudah terbangun. Dengan demikian masih ada uang yang tersisa buat modal usaha dan keperluan lainnya.

Saya kurang setuju kalau dikatakan pengembang menyusahkan rakyat. Coba buktikan disini (Alam Sutera red.)

sumber foto: Alam Sutera

Page 14: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

14

siapa yang hidupnya lebih melarat setelah tanahnya dibebaskan. Kalau pun ada biasanya itu hanya kasus.

Kesesuaian dengan tata ruang perlu mendapat perhatian. Apakah hal ini menjadi kendala selama ini?.

Selama ini sih tidak ada masalah. Tetapi memang integrasi antarpengembang itu seharusnya bisa diantisipasi oleh pemerintah sejak awal. Ini masalah visi. Misal keberadaan jalan tol. Seharusnya bisa dikoordinasikan oleh pemerintah pengembangan jalan aksesnya sehingga bisa menguntungkan semua pihak. Dalam beberapa kasus, tidak terjadi sinergi antarpengembang.

Pernah diupayakan integrasi pada tahun 1994. Namun pada saat itu daerah belum berkembang. Namun ketika daerahnya telah berkembang pesat, pemerintah terlambat mengantisipasi integrasi antarpengembang. Salah satu sebabnya kemungkinan karena pembangunan kawasan perumahan ini mencakup dua pemerintah daerah (Tangerang dan Tangerang Selatan red.). Sehingga relatif lebih sulit terlaksana integrasi antarpengembang.

Selain itu, perubahan kebijakan maupun regulasi sering tidak tersosialisasikan dengan baik sehingga tidak terantisipasi oleh pengembang. Implementasinya pun sering tiba-tiba.

Keberadaan perumahan skala besar membutuhkan layanan dasar seperti air, sanitasi, listrik, dan lainnya. Apakah semuanya disiapkan oleh pengembang? Bagaimana dengan bantuan pemerintah daerah?

Kami menyediakan sendiri SKTR (Saluran Kabel Tegangan Rendah red.) berupa saluran listrik bawah tanah. Jika menggunakan kabel atas tanah, maka PLN yang menyiapkan. Tetapi jika kabel bawah tanah, pengembang yang membangun sendiri dengan supervisi PLN. Setelah 5 (lima) tahun baru diserahkan pada PLN.

Sementara air minum, bersumber dari WTP (Water Treatment Plant red.) yang dibangun sendiri dan dikelola sendiri. Kami membeli air baku dari pemerintah. Setelah jadi air minum, kami membayar royalti ke PDAM. Sumber lainnya berupa air baku dari PDAM yang disalurkan ke WTP. Seluruhnya didistribusikan oleh kami. Penetapan harga untuk kebutuhan

dasar ditetapkan oleh PDAM. Sementara di luar kebutuhan dasar, harga air ditetapkan oleh kami.

Pengolahan air limbah dilakukan di setiap rumah. Jadi air kotor (black water red.) dan air hasil cucian dikelola khusus. Hanya air hujan yang langsung disalurkan ke saluran drainase. Itu pun sisa dari proses peresapan.

Berdasar pengalaman selama ini, hal apa yang menjadi kendala/hambatan terbesar dalam pembangunan perumahan skala besar di perkotaan?

Proses pembebasan tanah skala besar membutuhkan waktu yang lama bahkan setidaknya lebih dari 5 (lima) tahun. Selain itu, integrasi antarpengembang juga merupakan salah satu kendala. Disamping juga kemampuan pemerintah yang terbatas dalam pembangunan infrastruktur skala besar.

Terdapat juga hal yang menjadi kendala bagi seluruh pengembang, yaitu masih belum jelasnya aturan dan mekanisme penyerahan fasilitas sosial (fasos) dan fasilitas umum (fasum). Walaupun Permendagri nya (Permendagri Nomor 9 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyerahan Prasarana, Sarana dan Utilitas Perumahan dan Permukiman di Daerah red.) sudah ada, tetapi masih bersifat terlalu umum. Sebagai contoh, aturan menyatakan seluruh fasos dan fasum diserahkan kepada pemda sementara beberapa fasilitas itu menjadi hak dari institusi di luar pemda. Seperti listrik yang menjadi hak PLN, air menjadi hak PDAM. Akibatnya, hanya fasos dan fasum yang diserahkan ke pemda saja yang diperhitungkan. Ada lagi pemda yang tidak memasukkan tanah pemakaman umum sebagai bagian dari fasos dan fasum.

Jadi harapan kami adalah seluruh fasos dan fasum yang diserahkan baik kepada pemda maupun institusi lain itu seluruhnya dianggap sebagai bagian dari pemenuhan kewajiban pengembang. Ketidakjelasan seperti ini akan memberatkan bagi pengembang. Ujung-ujungnya yang terkena dampaknya adalah konsumen berupa kenaikan harga rumah.

Kami menyarankan agar permendagri ini dapat segera di revisi. Tentunya dalam prosesnya juga melibatkan para pengembang.

Terkait dengan penyusunan Rancangan Undang-Undang Perkotaan, adakah aspek/konsep/gagasan yang ingin disampaikan kepada pemerintah?

Kota harus diatur tidak hanya dari sisi tata guna lahan tetapi juga pengaturan bangunannya (building code) secara rinci. Misalnya, setiap kota harus dilengkapi dengan aturan pengelolaan air limbah. Kami disini sudah menyaratkan bahwa setiap bangunan tinggi harus memiliki instalasi pengolahan air limbah. Tetapi upaya kami ini terkendala oleh ketidaktersediaan regulasi yang mendukung. Sebagai pengembang, kami membutuhkan regulasi pendukung (OM).

Laporan Utama

sumber foto: Alam Sutera

Page 15: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

15

Edisi 4 - 2013

B erawal dari sebuah impian akan terciptanya sebuah kehidupan yang harmonis; sebuah kawasan yang

dihuni oleh masyarakat yang memiliki kesadaran akan pentingnya hidup, tumbuh dan berkembang di tengah lingkungan yang sehat, nyaman, dan aman serta memiliki fasilitas pendukung yang lengkap dan berkualitas.

Alam Sutera dikembangkan bukan semata-mata untuk tujuan komersial melainkan lebih kepada terwujudnya sebuah kawasan di mana masyarakat yang tinggal di dalamnya dapat memiliki sebuah kehidupan yang berkualitas.

Di Alam Sutera kami memahami bahwa hakikat kehidupan adalah keseimbangan. Kami berusaha untuk menemukan hidup yang seimbang antara pekerjaan dan keluarga, antara cita-cita yang ideal dan kenyamanan modern, antara gaya hidup kota besar dan kehidupan kota kecil yang merakyat.

Bagi kami, untuk meraih kesuksesan juga diperlukan adanya kontribusi dan komitmen untuk memberikan yang terbaik bagi kesejahteraan orang lain.

Page 16: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

16

Laporan Khusus

Backlog jadi kata kunci pembangunan rumah rakyat, angkanya terus melambung. Peran Perumnas sebagai BUMN perumahan seharusnya dimaksimalkan.

Mencermati pembangunan rumah subsidi untuk kalangan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), kian hari kian jauh dari harapan. Kekurangan pasokan rumah yang ber­

tambah setiap tahun disertai laju peningkatan harga tiap tahunnya membuat kekhawatiran yang mendalam soal keterjangkauan MBR ini. Tiap tahun kenaikan harga rumah bisa mencapai 30 persen pa­dahal kenaikan pendapatan masyarakat hanya sampai 10 persen.

Hingga kini kekurangan pasokan rumah (backlog) terus meng­gelembung hingga 15 juta unit. Dari jumlah tersebut, hampir 90 persen adalah masyarakat berpenghasil an rendah. Angka ini diyakini akan berlipat cepat hingga akhir tahun, karena adanya inflasi yang tinggi imbas dari kenaikan bahan bakar minyak pada awal Juli lalu dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar.

Seperti yang sudah terjadi sebelumnya, masalah ini pun akan bermuara pada naiknya harga properti tak terkecuali rumah subsidi bagi MBR. Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) pun be­rencana akan menaikkan harga rumah subsidi bagi masyarakat ber­penghasilan rendah ini. Rencananya kenaikan ini baru akan dilaku­kan pada awal tahun depan walau developer swasta sudah berteriak agar harganya segera dinaikkan.

Kenaikan rumah subsidi bagi masyarakat berpenghasil an rendah ini pun mendapat tanggapan yang beragam. Banyak pihak mengar­tikan kenaikan rumah subsidi ini disebabkan pemerintah tak bisa memproteksi rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Lebih jauh, rumah subsidi ini pun tak jauh beda dengan rumah komersial yang harganya ditentukan melalui mekanisme pasar.

Berdayakan PerumnasKemenpera mengakui bahwa pasokan rumah subsidi bagi

masyarakat berpenghasilan rendah ini banyak meng andalkan peran swasta. Satu­satunya developer plat me rah (BUMN) yakni Perumnas masih belum bisa bergerak banyak dalam memenuhi pasokan rumah subsidi tersebut. Pangihutan Marpaung yang juga Dewan Pengawas (De was) Perumnas mengatakan, Perumnas belum bisa dimaksimal­kan perannya, karena masih terkendala lahan maupun modal kerja.

Tak seperti perusahaan BUMN lainnya, yang terkait dengan sek­tor “vital”, dukungan pemerintah kepada Perumnas memang belum maksimal. Dukungan tersebut seperti pemberian dana kewajiban layanan publik (public service obligation/PSO). Hal ini menyebabkan berbagai rencana untuk meningkatkan pasokan rumah subsidi men­jadi sulit tercapai. Perumnas pun merasakan kendala yang sama se­

perti pengembang perumahan swasta. Seperti mahalnya harga la han untuk pengembangan perumahan, bahan bangun an dan masalah lain seperti pajak dan ruwetnya soal perizinan yang juga harus dilalui dalam pengembangan rumah subsidi.

Direktur Utama Perumnas, Himawan Arief menjelaskan, tanpa adanya terobosan dan dukungan dari pemerintah, pembangunan rumah subsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah akan stagnan. Target tahun ini Perumnas akan membangun rumah sebanyak 15 ribu unit dan sekitar 70 persennya adalah rumah subsidi, yang akan sulit tercapai. “Namun kita tak berdiam diri untuk memenuhi target tersebut. Berbagai cara kita lakukan de ngan bekerja sama bersama pemerintah kota dan kabupaten terkait pengembangan rumah sub­sidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah ini. Begitupun dengan BUMN lainnya kita juga bekerjasama ,” imbuh Himawan.

Lebih jauh Himawan mengatakan, idealnya dalam se tahun Perumnas bisa mengembangkan 50 ribu unit rumah subsidi. “De­ngan catatan rumah tapak subsidi yang dikembangkan Perumnas har ganya Rp 60 juta/unit. Sedangkan untuk rumah susun subsidi harganya Rp 150 juta/unit. Dengan target seperti ini, tentunya perlu dukungan dana lebih kurang Rp 1 triliun.

Seperti pada tahun 2011, Perumnas mengusulkan dana PSO tersebut sebesar Rp 1 triliun dan disetujui Kemenpera sebesar Rp 400 miliar namun sayangnya dana tersebut tidak terealisasi alias tidak jadi cair. Selanjutnya di tahun 2012 lalu dana PSO kembali diusulkan dan naik menjadi Rp 1,25 triliun, tapi usulan ini tak ada tanggapan dari pemerintah.

Tak dipungkiri jika ditarik jauh ke belakang, dukungan pemerintah terhadap pembangunan perumahan khususnya kepada Perumnas memang merosot tajam. Saat Orde Baru, peran Perumnas mendapat campur tangan langsung dari Presiden Soeharto. Selepas reformasi memang sedikit berbeda, kementerian yang mengurus perumahan rakyat pun sempat hilang beberapa waktu. Angin perubah an sempat berembus pada tahun 2006 saat Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mencanangkan program pembangunan 1.000 tower rumah susun sederhana milik di kota­kota besar. Sayang, program ini pun seperti mati suri selepas JK tak lagi berkuasa.

Mencermati dinamika permasalahan yang ada dan bercermin pada masa­masa keemasan pembangunan perumahan. Maka tak ada salahnya peran Perumnas kembali digerakkan sebagaimana mesti­nya dengan dukungan penuh untuk kembali menjalankan tugas dan tanggung jawabnya menyelesaikan masalah pembangunan rumah bagi masyarakat Indonesia, khususnya yang berpenghasil an rendah.

Karena jika disamakan dengan swasta tentunya Perumnas akan keteteran dan mau tak mau Perumnas juga mengikuti mekanisme pasar. Rumah murah subsidi pun akan semakin jauh dari harapan (aan).

Memperingati 39 Tahun Perumnas

Rumah RakyatSaatnya Berdayakan Perumnas Secara Maksimal

Page 17: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

17

Edisi 4 - 2013

Rencana besar telah disiapkan dalam menyambut tahun depan terkait usia Perumnas yang akan genap 40 tahun. Sebuah perjalanan waktu yang tak pendek, banyak orang

bilang usia 40 adalah simbol kedewasaan, kesuksesan. Nah, dengan mengambil momentum 40 tahun Perumnas, Direksi Perumnas menggagas sebuah perubahan dengan tagline “Perumnas Baru”.

Berbagai persiapan dan perencanaan telah dijalankan untuk merubah wajah Perumnas ke depan. Diantaranya seperti sinergi dengan berbagai pihak, memperbaiki sistim kerja dan tentunya melakukan rebranding untuk mewujudkan misi perusahaan sebagai penyedia hunian yang layak bagi masyarakat Indonesia. Berikut petikan wawancara dengan Himawan Arief, Direktur Utama Perumnas.

Apa bedanya Perumnas baru dengan saat ini ?Kami sudah melakukan berbagai transformasi dalam rangka

menyambut ulang tahun Perumnas yang ke 40, di tahun depan. Contohnya semakin banyak diversifikasi perusahaan dan akan membuat gerak Perumnas lebih baik dengan adanya anak-anak perusahaan. Kami akan terus membangun rumah susun atau apartemen lebih banyak yang dikhususkan kepada masyarakat menengah-bawah.

Kemudian anak perusahaan didorong untuk membangun produk properti komersial. Contohnya di Semarang, Jawa Tengah kita baru saja launching proyek Sentraland. Selain itu kami juga akan terus melakukan sinergi dengan BUMN dan memperbaiki sistim kerja di dalam perusahaan. Dan yang terakhir adalah melakukan rebranding, mengganti logo, ganti penampilan.

Saat ini untuk komersial dan hunian vertikal akan lebih banyak dikembangkan ?

Sebenarnya untuk komersial, porsi kami sedikit. Kami bergerak sesuai misi di rumah landed (tapak red.) dan rusun. Namun saat ini kita juga mendorong properti komersil juga untuk lebih besar. Meskipun begitu, pada dasarnya Perumnas tetap pada properti menengah-bawah, anak perusahaan khusus untuk garap menengah-atas.

Sekarang masih sedikit tapi akan terus kita dorong agar properti komersial bisa 25 persen. Untuk saat ini, perkembangannya belum 5 persen, kebanyakan landed house. Bangunan vertikalnya baru di Semarang, Jawa Tengah. Ke depan akan kita kembangkan proyek sejenis di beberapa kota lagi.

Apa tujuan Perumnas bermain di komersial ?Semua ingin terus maju dan berkembang. Nah, kalau kami

hanya bermain di kelas rumah bawah saja Perumnas tidak akan berkembang. Selain itu, kami juga dituntut oleh pemegang saham agar terus tumbuh. Kami harus bisa menyeimbangkan agar terus tumbuh. Di sisi lain, kami juga tetap fokus dengan program utama. Tapi kami juga harus sustain sebagai perusahaan yang menguntungkan dan berkembang.

Ada langkah khusus yang dilakukan saat ini karena sudah memasuki kelas komersial ?

Tentunya ada, karena konsumen kelas atas dan menangah-bawah itu pasti beda. Maka untuk membangun komersial untuk kelas menengah-atas kita buat anak usaha dan ditangani oleh staf yang memang memiliki kemampuan mengelola kelas ini. Kami sadar secara marketing beda, produk beda, promosi juga beda dan ini tidak bisa dicampur adukkan perusahaannya.

Melihat kebutuhan rumah bagi masyarakat masih tinggi. Langkah apa yang akan dilakukan sebagai perusahaan negara agar pembangunan bisa lebih masif lagi ?

Saat ini kebutuhan rumah masih sangat tinggi, khususnya di perkotaan tapi persediaan lahan masih sulit. Ini merupakan masalah utama yang mendasar. Sementara tanah Perumnas di pusat kota juga semakin sedikit dan kian menipis. Untuk itu kami berharap sinergi dengan pemerintah pusat, pemerintah daerah, terutama pemilik lahan baik BUMN atau Pemda untuk bekerjasama dengan kami untuk mengoptimalkan aset yang ada.

Sebetulnya Pemda dan BUMN sulit menyediakan lahan, apa yang akan dilakukan ?

Sesulit apapun harus diterobos. Kami mengalami kesulitan, Pemda juga mengalami kesulitan. Tentu itu harus diupayakan terus-menerus. Harus ada langkah yang pasti dan sabar dan berkali-kali dalam menyelesaikannya.

Masalah atau kendala lainnya ?Lahan adalah kendala utama. Kendala lainnya adalah masalah

daya beli masyarakat. Kemampuan masyarakat kita terkait daya beli itu rendah kalau tak diberikan support seperti subsidi, maka akan sulit. Oleh sebab itu, kordinasi dan saling support antarinstansi sangat diperlukan.

Perumnas ini badan negara, apakah selama ini ada kemudahan yang diberikan untuk jalannya program ?

Tidak terlalu, tak ada bedanya dengan developer swasta. Paling tidak hubungan kita dengan Pemda saja yang lebih dekat. Tapi insentif apapun tidak ada. Kami sebagai National Housing Development inginnya dapat diperankan secara maksimal dan di support. Seperti kementerian teknis lain, memberi support badan usaha yang bergerak di bawahnya, seperti perhubungan. Ini yang kita harapkan bisa berjalan. Mungkin melihat prioritas yang ada, kita belum (aan).

Wawancara Himawan Arief (Direktur Utama Perumnas)

Rebranding untuk Tetap Eksis

sumber foto: istimewa

Page 18: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

18

Oswar Mungkasa2

Segmen

Sekilas tentang Hunian Berimbang

Konsep hunian berimbang telah dikenal lama dalam ilmu perencanaan kota maupun sosiologi perko­taan, sebagai upaya untuk menjaga keseimbangan

sosiologis masya rakat. Ide dasarnya bahwa keberadaan beragam strata sosial dalam satu lingkungan hunian akan menjamin terciptanya kerukunan diantara berbagai strata yang ada. Selain itu, akan menjamin tersedianya rumah bagi masyarakat berpendapatan rendah.

Kesadaran akan pentingnya konsep ini yang mendorong pemerintah mengadopsinya melalui penetapan lingkung­an hunian berimbang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri Tahun 1992, sehingga diharapkan bahwa konsep hunian berimbang dapat terwujud3. Walaupun kemudian ternyata penerapannya tidak semudah yang dibayangkan, sehingga sampai saat ini masih sangat sedikit pembangunan perumahan yang menerapkan konsep ini. Konsep hunian berimbang kemudian dicantumkan dalam Undang­Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumah­an dan Kawasan Permukiman pasal 34 sampai pasal 37 (li­hat boks), dan ditindaklanjuti dalam Permenpera Nomor 10 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman dengan Hunian Berimbang.

Hunian berimbang didefinisikan sebagai perumahan dan kawasan pemukiman yang dibangun secara berimbang dengan komposisi tertentu dalam bentuk rumah tunggal dan rumah deret antara rumah sederhana, rumah mene­ngah dan rumah mewah atau dalam bentuk rumah susun antara rumah susun umum dan rumah susun komersial (Pasal 1 Permenpera Nomor 10/2012).

Tujuan Hunian Berimbang adalah untuk (i) menjamin tersedianya rumah mewah, rumah menengah dan rumah sederhana bagi masyarakat yang dibangun dalam satu ham­paran atau tidak dalam satu hamparan untuk rumah seder­hana; (ii) mewujudkan kerukunan antarberbagai golongan masyarakat dari berbagai profesi, tingkat ekonomi dan status sosial dalam perumahan, pemukiman, lingkung an

hunian dan kawasan pemukiman; (iii) mewujudkan sub­sidi silang untuk penyediaan prasarana, sarana dan utilitas umum serta pembiayaan pembangunan perumahan; (iv) menciptakan keserasian tempat bermukim baik secara so­sial dan ekonomi; dan (v) mendayagunakan penggunaan lahan yang diperuntukkan bagi perumahan dan kawasan pemukiman (pasal 3 Permenpera Nomor 10/2012).

Penyelenggaraan peru mah an dan kawasan permukiman dengan Hunian Berimbang dilaksanakan di perumahan, permukiman, ling kungan hunian dan kawasan permukim­an dengan skala sebagai berikut (i) perumahan dengan jumlah rumah sekurang­kurangnya 50 (lima puluh) sam­pai dengan 1.000 (seribu) rumah; (ii) permukim an dengan jumlah rumah sekurang­kurangnya 1.000 (seribu) sampai dengan 3.000 (tiga ribu) rumah; (iii) Lingkungan hunian dengan jumlah rumah sekurang­kurangnya 3.000 (tiga ribu) sampai dengan 10.000 (sepuluh ribu) rumah; dan (iv) kawasan permukiman dengan jumlah rumah lebih dari 10.000 (sepuluh ribu) rumah.

Lokasi untuk hunian berimbang dapat dilaksanakan dalam satu kabupaten/kota pada satu hamparan; atau tidak dalam satu hamparan. Lokasi Hunian Berimbang dalam satu hamparan sekurang­kurangnya menampung 1.000 (seribu) rumah dan untuk lokasi yang tidak dalam satu hamparan sekurang­kurangnya menampung 50 (lima puluh) rumah.

Sementara persyaratan komposisi atas Hunian Berim­bang adalah berdasarkan: (i) Jumlah rumah; atau (ii) Luas­an lahan. Komposisi berdasarkan jumlah rumah merupa­

1. Tulisan ini merupakan rangkuman penulis dari hasil diskusi REI dan Lembaga Pengkajian Perumahan dan Pengembangan Perkotaan Indonesia (LPP3I) tentang Hunian Berimbang di Hotel Ciputra, Citraland tanggal 6 Maret 2013.

2. Pemimpin redaksi HUDmagz. 3. Sebagai ilustrasi, dalam konsideran menimbang huruf b. SKB 3 Menteri

dicantumkan bahwa untuk mencapai tujuan pembangunan perumahan dan permukiman yang serasi, perlu diwujudkan lingkungan permukiman yang penghuninya terdiri dari berbagai profesi, tingkat ekonomi dan status sosial yang saling membutuhkan dengan dilandasi rasa kekeluargaan, kebersamaan dan kegotongroyongan, serta menghindari terciptanya lingkungan perumahan dengan pengelompokan hunian yang dapat mendorong terjadinya kerawanan sosial.

Page 19: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

19

Edisi 4 - 2013

kan perbandingan jumlah rumah sederhana, jumlah rumah menengah dan jumlah rumah mewah. Perbandingan yang dimaksud adalah dalam skala 3:2:1, yaitu 3 (tiga) atau le­bih rumah sederhana berbanding 2 (dua) rumah mene­ngah berbanding 1 (satu) rumah mewah4.

Komposisi berdasarkan luasan lahan merupakan per­bandingan luas lahan untuk rumah sederhana, terhadap luas lahan keseluruhan. Luasan lahan tersebut minimal 25% dari luas lahan keseluruhan dengan jumlah rumah sederhana sekurang­kurangnya sama dengan jumlah ru­mah mewah ditambah jumlah rumah menengah.

Selain itu, ditetapkan juga adanya Hunian Berimbang ru ­mah susun yang merupa kan perumahan atau lingkung­an hunian yang dibangun secara berimbang antara ru­mah susun komersial dan ru­mah susun umum. Hunian Berimbang yang dimaksud tersebut minimal 20% (dua puluh persen) dari total luas lantai rumah susun komersial yang dibangun adalah berupa rumah susun umum. Rumah susun umum tersebut dapat dibangun pada bangunan ter­pisah bangunan rumah susun komersial atau diba ngun da­lam satu hamparan dengan rumah susun komersial.

Perencanaan perumahan dan kawasan permukiman dengan Hunian Berimbang dapat dilaksanakan dalam satu hamparan atau tidak da­lam satu hamparan. Perenca­naan tidak dalam satu ham­paran wajib dilakukan oleh setiap orang yang sama dan perencanaan tersebut tertuang dalam dokumen­dokumen berupa (i) Rencana tapak; (ii) Desain rumah; (iii) Spesifikasi teknis rumah; (iv) Rencana kerja perwujud an hunian berimbang; (v) Rencana kerjasa­ma. Dokumen tersebut harus mendapat pengesahan dari pemerintah daerah kabupaten/kota, khusus DKI Jakarta oleh pemerintah daerah provinsi DKI Jakarta.

Isu terkait Hunian BerimbangDalam diskusi terungkap beberapa isu utama, termasuk

juga hambatan pelaksanaan konsep hunian berimbang se­lama ini, yaitu:

Pembangunan rumah sederhana dalam skema hunian a. berimbang terkesan seperti pergeseran tanggungjawab penyediaan perumahan dari pemerintah ke pengembang ketika tidak tersedia insentif dari pemerintah

Perumahan merupakan kebutuhan dasar bahkan bagian dari hak asasi manusia. Hal ini tercantum secara jelas mulai dari UUD 1945 berikut UUD 1945 Aman­demen, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 40, dan terbaru Undang­Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Per­mukiman Pasal 129. Sebagai konsekuensinya, Negara dalam hal ini pemerintah bertanggungjawab agar ke­butuhan akan perumahan masyarakat dapat terpenuhi. Walaupun dalam kenyataannya, masih sekitar 8,2 juta

keluarga belum menempati rumah yang layak huni.

Konsep hunian berimbang kemudian menjadi salah satu jalan keluar pemenuhan hak perumahan masyarakat. Na­mun dari kacamata pengem­bang, pelaksanaan konsep hunian berimbang menjadi seperti pergeseran tanggung­jawab dari peme rintah kepa­da pihak pengembang. Kon­disi ini sangat terasa ketika tidak tersedia insentif yang memadai bagi pengembang dalam pelaksanaannya. Hal ini terlihat jelas pada pasal 34 ayat 4 yang menyatakan ‘da­lam hal pembangunan peru­mahan sebagaimana dimak­sud ayat (1)5, Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dapat memberikan insentif kepada badan hukum untuk mendorong pembangunan

perumahan dengan hunian berimbang. Sementara pada pasal 54 ayat (2) disebutkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR, Pemerintah dan/atau pe­merintah daerah wajib memberikan kemudahan pem­

Pasal 34(1) Badan hukum yang melakukan pembangunan perumahan wajib

mewujudkan perumahan dengan hunian berimbang.(2) Pembangunan perumahan skala besar yang dilakukan oleh badan

hukum wajib mewujudkan hunian berimbang dalam satu hamparan.(3) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk

badan hukum yang membangun perumahan yang seluruhnya ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan rumah umum.

(4) Dalam hal pembangunan perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dapat memberikan insentif kepada badan hukum untuk mendorong pembangunan perumahan dengan hunian berimbang.

Pasal 35(1) Pembangunan perumahan skala besar dengan hunian berimbang

meliputi rumah sederhana, rumah menengah, dan rumah mewah.(2) Ketentuan mengenai hunian berimbang diatur dengan Peraturan

Menteri.

Pasal 36(1) Dalam hal pembangunan perumahan dengan hunian berimbang

tidak dalam satu hamparan, pembangunan rumah umum harus dilaksanakan dalam satu daerah kabupaten/kota.

(2) Pembangunan rumah umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempunyai akses menuju pusat pelayanan atau tempat kerja.

(3) Kemudahan akses sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan daerah.

(4) Pembangunan perumahan dilakukan hunian berimbang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh badan hukum yang sama.

Pasal 37Ketentuan lebih lanjut mengenai perumahan skala besar dan kriteria hunian berimbang sebagaimana dimaksud Pasal 34, Pasal 35 dan Pasal 36 diatur dengan Peraturan Menteri.

sumber: UU Nomor 1 Tahun 2011, tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman.

4. Dalam Permenpera No. 10/2012 tercantum rumah komersil sebagai rumah yang diselenggarakan untuk mendapatkan keuntungan.Rumah mewah sebagai rumah komersial yang diselenggarakan dengan harga jual lebih besar dari 4 (empat) kali harga jual rumah sederhana. Sedangkan rumah sederhana adalah rumah umum yang dibangun di atas tanah dengan luas kavling antara 60 m2 sampai dengan 200m2 dengan luas lantai bangunan paling sedikit 36 m2 dengan harga jual sesuai ketentuan pemerintah. Selanjutnya, rumah menengah adalah rumah komersial dengan harga jual lebih besar dari 1 (satu) sampai dengan 4 (empat) kali harga jual rumah sederhana.

5. Pasal 34 ayat (1) menyatakan ‘Badan hukum yang melakukan pembangunan perumahan wajib mewujudkan perumahan dengan hunian berimbang’

Page 20: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

20

bangunan dan perolehan rumah melalui program pe­rencanaan pembangunan perumahan secara bertahap dan berkelanjutan. Jadi insentif tersebut hanya wajib ketika membangun rumah bagi MBR tetapi menjadi tidak wajib ketika terkait hunian berimbang. Perbedaan ini menjadi terlihat seperti membedakan antara penye­dia rumah bagi MBR dan pengembang yang terkena ketentuan hunian berimbang. Sementara pada dasarnya keduanya juga membangun rumah sederhana. Bahkan tidak tertutup kemungkinan jumlah rumah sederhana yang dibangun dalam skema hunian berimbang jauh lebih banyak dan masif.

b. Konsep hunian berimbang banyak disalahpahami sebagai hanya sekedar mengurangi backlog, padahal filosofi uta-manya adalah menjaga keserasian sosial dalam masyarakat melalui hidup berdampingan diantara beragam strata so-sial dalam satu lingkungan hunian. Hal ini sebenarnya telah tercantum jelas dalam SKB 3 (tiga) Menteri ta­

hun 1992 maupun dalam Permenpera No­mor 10 Tahun 2012. Sebagai akibatnya,

hunian berimbang dalam satu ham­paran adalah suatu keniscayaan. Na­

mun perlu juga disepakati luasan minimal yang dapat dikatego­rikan sebagai satu hamparan

yang memenuhi stan­dar kelayakan minimal terbentuknya suatu ko munitas yang hete­rogen.c. Konsep hunian berim-bang dapat juga dilihat sebagai salah satu bentuk

Corporate Social Responsibility (CSR). Mempertimbangkan penyediaan pe­

rumahan menjadi tanggung jawab pe­merintah/pemerintah daerah, beban yang

ditanggung pengembang dapat diperhitungkan sebagai kontribusi CSR nya.

d. Pasar tanah dilepas ke pasar sehingga harga tanah tidak terkendali. Kondisi ini menjadikan pengembang terbe­bani secara finansial, khususnya pada daerah dengan harga tanah yang tinggi, ketika harus menyiapkan por­si tertentu lahan bagi kebutuhan rumah sederhana yang harganya ditentukan. Sementara ke depannya tidak ada jaminan bahwa kapling untuk rumah sederhana tidak dipindahtangankan kepada mereka yang tidak berhak.

e. Penerapan konsep hunian berimbang perlu memperhati-kan keberagaman daerah, dan tidak menerapkan skema ‘one fit for all’. Hal ini menjadikan penerapan konsep hunian berimbang sulit dilaksanakan. Sebagai ilus­

trasi harga lahan di Jakarta berbeda dengan kota ke­cil di pedalaman pulau Sulawesi, termasuk juga biaya pembangunan rumah yang berbeda signifikan dari satu lokasi ke lokasi lain. Sepertinya pengaturan hunian berimbang ‘bias kota besar’. Dibutuhkan fleksibilitas yang memberi ruang bagi pemerintah masing­masing daerah untuk merinci ketentuan hunian berimbang dalam peraturan daerahnya sesuai dengan kondisi ma­sing­masing. Walaupun demikian, secara nasional perlu ditetapkan variabel penentunya (saat ini berupa harga rumah, luasan kapling dan jumlah rumah), yang ke­mudian masing­masing daerah dapat menyesuaikan.

f. Konsep hunian berimbang belum terakomodasi/terinter-nalisasi kedalam skema Rencana Tata Ruang. Sebagai konsekuensinya, penerapan hunian berimbang dapat bertabrakan dengan ketentuan atau penetapan tata ru­ang suatu wilayah. Sebagai ilustrasi, dalam rencana tata ruang ditetapkan luasan kapling minimal yang tidak sesuai dengan ketentuan hunian berimbang.

g. Penerapan skema hunian berimbang kurang mengako-modasi konsep sejenis yang telah ada sebelumnya seperti skema Kawasan Siap Bangun (Kasiba) dan Lingkungan Siap Bangun (Lisiba). Walaupun disadari juga bahwa skema Kasiba dan Lisiba juga relatif tidak berjalan baik.Tidak tertutup kemungkinan skema Kasiba dan Lisiba dapat bersinergi dengan hunian berimbang.

h. Penerapan suatu kebijakan publik dalam hal ini hunian berimbang membutuhkan dasar pijak yang kuat berupa hasil evaluasi pelaksanaan hunian berimbang. Sementara berdasar pengamatan pemangku kepentingan, pelak­sanaan konsep hunian berimbang secara resmi belum pernah di evaluasi. Termasuk juga penetapan batasan hamparan tidak melalui pengujian/simulasi. Akibat­nya permenpera tentang hunian berimbang menjadi kurang matang konsepnya.

i. Penerapan hunian berimbang membutuhkan penegak-an hukum (law enforcement) yang kuat. Pengalaman menunjukkan bahwa skema sejenis hunian berim­bang rawan penyalahgunaan. Sebagai ilustrasi, ketika dibangun rumah sederhana pada lokasi dengan harga tanah yang cukup mahal, terdapat kecenderungan ru­mah tersebut akan dialihkan ke pihak lain oleh pemi­liknya demi memperoleh keuntungan finansial jangka pendek.

j. Penolakan (setidaknya tidak menjadi preferensi) dari ke-lompok strata tertentu untuk hidup berdampingan dalam satu hamparan tertentu dengan kelompok strata bawah. Walaupun sinyalemen ini tidak secara eksplisit dinya­takan tetapi biasanya terwujud dalam bentuk citra ka­wasan perumahan menjadi kurang ‘menjual’.

k. Pengaturan skema hunian berimbang melalui SKB 3

Segmen

DENPASAR

Page 21: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

21

Edisi 4 - 2013

(tiga) menteri tidak mempunyai legitimasi yang kuat. Hal ini yang ditengarai menjadi salah satu kendala penerap­an hunian berimbang selama ini. Walaupun demikian sinyalemen ini belum pernah diuji kesahihannya.

l. Walaupun dianggap sulit diterapkan, namun ternyata beberapa lokasi perumahan telah berupaya menerapkan konsep hunian berimbang. Kementerian Perumahan Rakyat mencatat setidaknya terdapat 5 (lima) lokasi yang telah melaksanaan konsep ini yaitu Perumahan Telaga Kahuripan (Kabupaten Bogor) seluas 750 ha, Perumahan Bukit Semarang Baru di kabupaten Sema­rang seluas 1.250 ha, Perumahan Bukit Baruga di kota Makassar seluas 1.000 ha, perumahan Driyorejo di ka­bupaten Gresik seluas 1.000 ha, dan Perumahan Kurnia Jaya di kota Batam seluas 100 ha.

Agenda ke DepanDalam diskusi disepakati beberapa hal

diantaranya adalah (i) konsep hunian ber­imbang adalah suatu upaya mencegah ter­jadinya pengelompokan perumahan berdasar strata sosial yang dapat mendorong terjadinya kerawanan sosial. Selain itu, konsep hunian berimbang juga mendukung pemerintah da­lam mengurangi backlog rumah layak huni dan terjangkau. Namun pelaksanaannya yang membutuhkan suatu pan­duan yang rinci tetapi fleksibel disesuaikan dengan kon­disi masing­masing daerah; (ii) Undang­Undang Nomor 1 Tahun 2011 masih dianggap perlu ‘sedikit’ penyesuaian terutama terkait kewajiban pemerintah/pemerintah daerah mendukung penerapan skema lingkungan hunian berim­bang; (iii) Permenpera Nomor 10 Tahun 2012 yang se­layaknya menjadi acuan penerapan konsep hunian berim­bang, ternyata dipandang belum cukup memadai. Masih terdapat banyak hal yang perlu diperjelas, diluruskan, dan ditambahkan

Dalam penerapannya, konsep lingkungan hunian ber­imbang membutuhkan dukungan pemerintah setidaknya dalam beberapa hal, yaitu.

Peninjauan kembali dan revisi terhadap Rencana Tata a. Ruang Wilayah yang ada agar mengadopsi skema ling­kungan hunian berimbang. Sehingga penerapan skema lingkungan hunian berimbang mempunyai acuan yang jelas terkait aspek tata ruang. Dilakukan upaya terobosan dalam mendukung penye­b. diaan rumah sederhana dalam skema lingkungan huni­an berimbang diantaranya dapat berupa pengenalan konsep ‘freezing’ terhadap harga tanah, penyiapan bank tanah, penerapan kembali (revitalisasi) skema Kasiba dan Lisiba melalui revisi Peraturan Pemerintah Nomor 80 tahun 1999 tentang Kasiba dan Lisiba, pemberian

peran yang jelas kepada Perumnas sebagai ‘leading sec-tor’ pembangunan perumahan publik, penyiapan in­sentif (disinsentif ) bagi pengembang.Perlunya dilakukan kajian akademis disertai simulasi c. terkait konsep hunian berimbang, khususnya terkait besaran luasan hamparan dan jumlah rumah minimal yang layak bagi terbentuknya sebuah komunitas so­sial yang harmonis, komposisi alternatif hunian ber­imbang (tidak mutlak 1:2:3), besaran beban finansial maksimal yang dapat ditanggung oleh pengembang, pilihan insentif yang wajib disediakan, kemungkinan

menjadikan kontribusi pengembang dalam hunian berimbang menjadi ske­

ma CSR pengembang. Termasuk dalam hal ini adalah kajian aka­demis terhadap tero­bosan yang akan di­lakukan. Keseluruhan

konsep hunian berim­bang tersebut seharusnya bersifat

fleksibel sehingga dapat disesuaikan dengan kondisi masing­masing daerah. Penerapan sistem

indeks terhadap variabel yang diberlakukan secara na­sional menjadi suatu pilihan.Penegasan kewenangan pemerintah, pemerintah pro ­d. vinsi, pemerintah kabupaten/kota, pihak terkait lain­nya seperti Perumnas, BPN dalam penerapan skema lingkungan hunian berimbang. Pada saat yang sama juga perlu ditegaskan kewajiban pihak pengembang termasuk masyarakat. Termasuk juga pilihan bentuk kemitraan yang dapat dilakukan. Penerapan skema hunian berimbang bersifat dinamis, e. dalam arti ketika harga tanah dilepas ke pasar maka kemungkinan akan terjadi ‘moral hazard’ berupa pen­jualan aset rumah sederhana kepada pihak lain yang berpotensi ‘mengacaukan’ skema hunian berimbang. Untuk itu, langkah pengendalian baik berupa peman­tauan, penerapan sanksi, penegakan hukum yang ketat menjadi keniscayaan. Bentuk dukungan tersebut sebaiknya tercantum dalam f. Peraturan Menteri Perumahan Rakyat yang mengatur tentang hunian berimbang. Untuk itu, disarankan agar Kementerian Perumahan Rakyat melakukan penin­jauan kembali dan merevisi Permenpera terkait. Dalam upaya peninjauan dan revisi tersebut seyogyanya meli­batkan pemangku kepentingan dan didasari oleh hasil evaluasi pelaksanaan konsep hunian berimbang selama ini, yang disertai hasil kajian/simulasi terhadap varia­bel/faktor yang ditetapkan sebagai penentu dimensi hunian berimbang.

Page 22: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

22

Page 23: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

23

Edisi 4 - 2013

S ingapore’s Central Provident Fund (CPF) diresmikan pada tahun 1955, merupakan tonggak kebijakan sosial ekonomi Singapura yang mempengaruhi ke­

hidupan hampir seluruh penduduk. Skema CPF berbeda dengan model pay-as-you-go

(PAYG) di kebanyakan negara Barat, yang membayar pen­siun dari kontribusi pekerja saat ini.

Dalam perjalanannya CPF mengalami pembenahan. Dimulai tahun 1968 ketika dikeluarkan ‘Public Housing Scheme’ yang memungkinkan pemanfaatan CPF untuk membeli rumah publik. Sementara pembelian rumah privat diperbolehkan pada tahun 1981, ditindaklanjuti pada tahun 1986 berupa keleluasaan pembelian properti bukan perumahan. Bahkan pada tahun 1990, biaya per­baikan properti diperbolehkan.

Konsepl TujuanSingapore’s Central Provident Fund (CPF) awalnya me­

rupakan sebuah rencana tabungan jaminan sosial bagi war­ga negara dan Permanent Residents (PRs) yang memung­kinkan mereka menyisihkan sejumlah dana untuk jaminan pensiun, namun kemudian diperluas mencakup jaminan kesehatan, kepemilikan rumah, perlindungan keluarga dan penguatan aset.

Setiap warga negara, PRs dan pemberi kerja menyisih­kan kontribusinya kedalam 3 (tiga) rekening CPF, yaitu (i) Ordinary Account (OA), dipergunakan untuk pembelian properti, asuransi, investasi dan pendidikan; (ii) Special Ac-count (SA), bagi penduduk senior, kebutuhan darurat dan investasi produk terkait pensiun; (iii) Medisave Account (MA), untuk kesehatan.

l PengelolaanKeseluruhan pengelolaan CPF ditangani oleh sebuah

Dewan yang disebut CPF Board, yang dibentuk berdasar

undang­undang? dan beroperasi dibawah pe­ngendalian kementerian sumber daya manusia.

Anggota Dewan ditunjuk oleh Kementerian SDM, terdiri dari perwakilan pemerintah, pekerja, pem­

beri kerja, dan profesional.Dewan bertanggungjawab melaksanakan kegiatan administrasi rutin, tetapi tidak

termasuk membuat keputusan investasi dan menetapkan kebijakan.Investasi merupakan tanggungjawab utama dari Government of Singapore Investment Corporation (GIC), yang me rupakan perusahaan swasta milik pemerintah (Asher and Newman, 2001).

l Keanggotaan dan KontribusiSetiap bulan, pemberi kerja dan pekerja (hanya warga

negara Singapura dan PRs) berkontribusi pada CPF. Ben­tuk kontribusi beragam. Pemberi kerja akan membayarkan bagi pekerjanya yang berpenghasilan di atas S$50 per bu­lan. Bagi pekerja yang memperoleh lebih besar dari S$500 per bulan, baik pemberi kerja dan pekerja diharuskan berkontribusi pada rekening CPF pekerja.

Besarnya kontribusi mempertimbangkan pendapatan per bulan, kelompok usia, bidang pekerjaan dan lama menetap bagi PRs serta disesuaikan setiap tahun berdasarkan kondisi ekonomi domestik. Kon­tribusi bervariasi dari minimal 3,75% sampai 20% dari pendapatan per bulan bagi pekerja,

Belajar dari Singapore’s Central Provident Fund (CPF)

Sebuah Upaya Merancang Tabungan Perumahan yang Handal di Indonesia

Fakta Menarik tentang Singapural Penduduk : 5 juta, l Luas : 710 km2l Pendapatan per kapita (2009) US$37,000 (sekitar 10

kali Indonesia)l Kepemilikan rumah : 89%l Housing Stock: publik 884.000 unit (78%), dengan tingkat

kepemilikan 95%; swasta 249.000 unit (22%), dengan tingkat kepemilikan 83%.

l Penjualan langsung oleh Housing Development Board (HDB) hanya diperuntukkan bagi warga negara yang mampu, tetapi permanent resident (PRs) dapat membeli melalui pasar sekunder. Sementara penyediaan oleh swasta berupa rumah hanya untuk warga negara, tetapi PRs dan warga asing dapat memiliki apartemen dan kondomonium (Phang, 2010)

l Satu-satunya negara yang memberikan dividen kepada seluruh warga negaranya sebagai hasil pertumbuhan ekonominya.

Oswar Mungkasa*

Pendapat

Page 24: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

24

sementara pemberi kerja berkontribusi antara 2,625% sampai 14,5% dari pendapatan per bulan pekerja. Penda­patan pekerja yang wajib dikenakan kontribusi dibatasi sampai S$4.500.

Setiap rekening memperoleh tingkat bunga sebesar minimum 2,5% per tahun untuk OA, sampai 4% per ta­hun untuk SA dan MA, tergantung pada tingkat bunga domestik, dan ditinjau setiap triwulan.

Sejak tahun 1986, besaran kontribusi relatif stabil pada kisaran 30­40% dari pendapatan pekerja.Kontribusi pem­beri kerja yang relatif berfluktuasi (lebih jelasnya pada Gambar 1).

Pemanfaatan untuk Pemilikan RumahTingkat pemilikan rumah di Singapura

mencapai lebih dari 90% terutama ditunjang oleh keberadaan sumber dana CPF (Hateley and Tan, 2003). Anggota CPF dimungkin­kan menggunakan dana CPF melalui the Public Housing Scheme (PHS) dan the Resi-dential Properties Scheme (RPS) untuk memi­liki rumah. Kedua skema ini memungkinkan dana di Ordinary Account dipinjam untuk membiayai pembelian rumah publik dan/atau rumah non­publik. Berdasar skema

tersebut, anggota CPF dimungkinkan meminjam sampai 100% dari nilai rumah.Jika dikemudian hari rumah dijual, pinjaman harus dikembalikan berikut bunganya.Tidak ada pembatasan berapa kali pembelian rumah dapat dilakukan. Pada akhir 2007, 1,29 juta anggota telah memanfaatkan dana CPF untuk membeli apartemen publik, jauh melam­paui jumlah pada tahun 1968 yang hanya 2.900 anggota. Sebagai tambahan, 226 ribu anggota memanfaatkan dana CPF untuk membeli perumahan privat. Sejumlah S5,9 miliar telah digunakan dari CPF pada 2007 untuk kebu­tuhan pembelian rumah (CPF Board, 2009).

Pada tahun 2009, besarnya pinjaman KPR yang disalurkan melalui Housing Development Board yang membangun perumahan publik telah mencapai S$ 47 miliar, sementara be­sarnya KPR untuk perumahan swasta melalui perbankan mencapai $91 miliar. Keseluruhan KPR mempunyai kontribusi signifikan ter­hadap Produk Domestik Bruto, yaitu menca­pai 54%.

Kondisi Kondusif bagi CPF

Tentunya kesuksesan CPF didukung oleh berbagai kondisi (Phang, 2010), diantaranya (i) kondisi ekonomi makro berupa tingkat tabungan dan pertumbuhan pendapatan tinggi, tingkat bunga, inflasi dan pengang­guran rendah, surplus anggaran pemerin­tah, dan kecenderungan penguatan mata uang Singapura dalam jangka panjang; (ii) dukung an pemerintah berupa penyediaan sumber keuangan kepada HDB untuk pem­bangunan, pemeliharaan, dan perbaikan pe­rumahan, pinjaman pemerintah untuk HDB bagi penyediaan KPR, alokasi lahan bagi pe­rumahan HDB, dan perencanaan kota ter­padu; (iii) pendanaan perumahan berupa tingkat bunga tabungan CPF disesuaikan dengan bunga komersil dengan minimum

Tabel 1 Tingkat Kontribusi CPF dan Proporsi per Jenis RekeningUsia

Pekerja (tahun)

Kontribusi Pemberi

Kerja (% gaji)

Kontribusi Pekerja (% gaji)

Total Kontribusi (% gaji)

Rasio Kontribusi Tiap Jenis RekeningOrdinary Account

Special Account

Medisave Account

<35 14,5 20,0 34,5 0,67 0,15 0,1936 – 45 14,5 20,0 34,5 0,61 0,17 0,2246 – 50 14,5 20,0 34,5 0,55 0,20 0,2551 – 55 10,5 18,0 28,5 0,46 0,24 0,3056 – 60 7,5 12,5 20,0 0,58 0 0,4261 – 65 5,0 7,5 12,5 0,28 0 0,72> 65 5,0 5,0 10,0 0,10 0 0,90

Sumber: Central Provident Fund Board (2008)

Gambar 2 Mobilisasi Tabungan: Perumahan Publikhibah pemerintah dan

pinjaman2.5%

uang muka dan pembayaran KPR

hibah perumahan dan pinjaman KPR 2.6%

Perumahan Publik

pasarjualkembali

pemberi kerja dan pekerja/pembeli

rumah

tingkat bunga pasar KPR

pendapatan kontribusi OA 2.5%

BankKomersial

Pembelianbonds

pemerintah2.5%

uang muka dan pembayaran KPR

Gambar 1 Fluktuasi Kontribusi CPF 1Pemberi Kerja Pekerja

Prop

orsi

terh

adap

gaj

i pek

erja

Total

pembelianlangsung

sumber: CPF Board (2010)

sumber: CPF Board (2010)

Pendapat

Page 25: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

25

Edisi 4 - 2013

2,5%, pemerintah menyediakan dana pinjaman kepada HDB pada tingkat bunga tabungan CPF, KPR HBD pada tingkat bunga CPF plus 0,1%, dan kecenderungan pe­ningkatan harga rumah jangka panjang jauh melampaui tingkat inflasi.

Kisah Sukses dan PembelajaranPer Maret 2008, terdapat 3,19 juta anggota dengan

jumlah dana S$140 miliar pada rekening CPF. Jika me­masukkan pinjaman rumah, investasi dan kebutuhan lain­nya, neraca CPF mencapai S$297 miliar. Pada triwulan I 2008, jumlah pemasukan mencapai S$5,9 miliar dan S$4 miliar telah dimanfaatkan oleh anggotanya (CPF Board, 2008).

Pada salah satu survei terhadap anggota CPF, mereka menyatakan bahwa CPF yang memungkinkan mereka mempunyai rumah (Sherraden, et. Al., 1995). Per tahun 2008, lebih dari 1,5 juta anggota, atau 47% dari anggota CPF, yang memiliki rumah sendiri dengan memanfaatkan dana CPF. Sejumlah S$131 miliar telah dimanfaatkan dari dana CPF untuk kebutuhan ini. Sebagai akibatnya, CPF berfungsi sebagai sumber dana pasar kredit perumahan

di Singapura (Asher dan Nandy, 2006), dan merupakan penggerak utama kepemilikan rumah yang mencapai tingkatan melebihi 90%. Bahkan pada tahun 2003, diantara ru­mah tangga dengan pendapatan 20% teren­dah yang bertempat tinggal di rumah publik, 87% merupakan pemilik rumah.

Berkaitan dengan itu, properti perumah­an merupakan komponen terpenting dari kesejahteraan keluarga di Singapura, dengan sekitar 47% dari total aset rumah tangga di­tanamkan pada properti perumahan. Secara rata2, nilai aset rumah tangga yang bertem­pat tinggal di rumah milik sendiri mencapai S$154.000 atau 3,3 kali pendapatan tahunan mereka. Untuk pemilik rumah dengan penda­

patan 20% terendah, rasio nilai aset terhadap pendapatan mencapai 9,8 (Singapore Department of Statistics, 2005).

Dampak positif sistem CPF­HDB terhadap pere­konomian diantaranya adalah tingkat kepemilikan rumah dan tabungan yang tinggi, termobilisasinya tabungan perumahan dan pertumbuhan KPR, pertumbuhan eko­nomi melalui penyediaan perumahan, pengaturan melalui regulasi mengurangi spekulasi permintaan perumahan, kebijakan dan tingkat bunga CPF sebagai instrumen ekonomi makro untuk mengurangi inflasi dan mengurangi biaya gaji.

Keberhasilan dari CPF dapat dinilai dari 5 (lima) hal (Loke, 2009), yaitu:

l KeinklusifanKebijakan akan efektif hanya ketika dapat menjangkau

penerima manfaat. Para ekonom perilaku telah menemu­kan bahwa partisipasi dapat diperkuat dengan mengurangi hambatan keterlibatan dan mendorong keterlibatan secara otomatis (Choi, Laibson dan Madrian, 2004). CPF memi­liki persyaratan ini dan beberapa fitur tambahan yang membantu memaksimalkan partisipasi dan cakupan.

Untuk memasilitasi partisipasi, CPF menetapkan persyaratan yang sangat mudah berupa batas ambang pendapatan sangat rendah, serendah S$50 per bulan. Jika memenuhi angka tersebut, secara otomatis kontribusi di­catatkan dalam rekening CPF, dan jika belum terdaftar maka langsung dibukakan rekening. Individu wirausaha juga didaftarkan ketika memulai usahanya. Mereka yang membutuhkan lisensi usaha dipersyaratkan mempunyai rekening CPF.

Insentif juga diperkenalkan bagi mereka yang tidak terlibat dalam pasar kerja formal agar berpartisipasi dalam CPF. Melalui skema Minimum Sum Top-up, pengurangan pajak sampai sebesar S$7.000 per tahun diberikan jika

Gambar 3 Aliran Dana Skema Pemilikan Rumah CPFhibah pemerintah $2 miliar

pinjaman pemerintah $2,8 miliar

penarikan bersih untuk perumahan publik $4,5 miliar

pinjaman KPR $2,9 miliar

Hibah perumahan CPF

$0,3 miliar

kontribusi $20,3 miliar

penarikan bersih untuk perumahan swasta $1,3 miliar

BankKomersial

Perumahan PublikPerumahan PublikPerumahan Publik

pemberi kerja dan pekerja/pembeli

rumah

pembelian bond pemerintah $15,5 miliar

pasarjualkembali

tingkat bunga pasar KPR

Gambar 4 Skema Pendanaan Perumahan Swasta melalui Dana CPF

Pengembang Perumahan Swasta

Penarikan bersih untuk perumahan swasta $1,3 miliar

Kontribusi

Bank

tingkat bunga pasar KPR

pemberi kerja dan pekerja/pembeli

rumah

Pinjaman

sumber: CPF Board (2010)

sumber: CPF Board (2010)

Page 26: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

26

menambahkan dana ke rekening keluarganya (istri/suami, saudara, mertua dan lainnya).

l Koheren dan TerpaduKe­koheren­an dan keterpaduan dapat dilihat dari 2

(dua) perspektif, yaitu kebijakan dan institusi. Pada ting­katan kebijakan, kebijakan berbasis aset akan memadu­kan beragam kebijakan kedalam satu (single), sederhana, multiguna namun sistem koheren yang mengikuti pemilik rekening sepanjang hidupnya (Shrraden, 2003). Pada ting­katan institusi, kebijakan berbasis aset akan memperbesar infrastruktur institusi yang ada bagi keuntungan penerima manfaat. Sebagai ilustrasi, melibatkan MBR dalam arus utama keuangan dengan memungkinkan mereka berin­vestasi pada pasar modal.

CPF juga terpadu dengan tujuan pengembangan aset seumur hidup. Misalnya mendorong dan memasilitasi pemilikan rumah. Anggota CPF da­pat meminjam dari rekening CPF­nya. Sebagai tambahan, tabungan CPF dapat dipinjam untuk pemba­yaran uang muka pembelian rumah. Skema ini yang mendorong ting­ginya tingkat kepemilikan rumah di Si ngapura (Hateley dan Tan, 2003).

Keterpaduan juga menyangkut rekening CPF dan beragam entitas swasta seperti penyedia KPR.Sebagai contoh, ketika membeli rumah, ang­gota dapat melakukan transfer langsung secara elektronik.

l ProgresifitasMenjadikan CPF sebagai alat pengembangan aset ber­

skala luas yang efektif, tidak hanya dengan memastikan partisipasi luas tetapi bahkan memungkinkan anggota masyarakat yang kurang beruntung untuk dapat mening­katkan dananya secara signifikan. Walaupun CPF sendi­ri tidak memiliki elemen progresif, CPF didesain terpadu dengan kebijakan lain yang memperkuat perekonomian MBR. Dewan CPF mengusahakan secara khusus upaya mendorong keterlibatan MBR melalui pemberian insentif pajak bagi keluarga yang membantu keluarga lainnya yang miskin, meningkatkan kontribusi jaringan keluarga, dan bahkan pemanfaatan lotere yang memungkinkan MBR memenangkan dana tunai.

Sebagai tambahan, kebijakan seperti the Homeowner-ship Plus Education (HOPE) meningkatkan infrastruktur CPF untuk menyediakan paket bantuan terpadu bagi ke­luarga muda berpendapatan rendah.Selain itu, pemerintah juga menyalurkan melalui CPF untuk mendistribusikan kelebihan anggaran kepada masyarakat.

l Upaya terus menerus melakukan pembenahanPembenahan yang dilakukan terutama terkait dengan

perubahan ekonomi dan demografi.Sebagai contoh, sejak tahun 2007 sejumlah pembenahan telah dilakukan. Dian­taranya, untuk membantu anggota memenuhi kebutuhan minimum CPF dalam memastikan jaminan keuangan pada masa pensiun, the Minimum Sum Topping-up Scheme diperkenalkan. Berdasar skema ini, anggota keluarga yang lebih mampu dapat menambah dana CPF dari anggota keluarga yang kurang mampu. Insentif pajak diberikan ke­pada mereka yang menggunakan skema ini.

l Mendukung peningkatan kesejahteraan dan pemba­ngunan sosial

Salah satu fitur dari CPF yang membuatnya menjadi struktur kebijakan yang efektif dalam memasilitasi pengem­bangan aset jangka panjang adalah kemampuan individu

untuk meningkatkan dananya pada waktu tertentu di sepanjang usianya. Dana yang tersedia dapat diman­faatkan untuk beragam pembelian aset dan kebutuhan pengembangan modal sebelum pensiun dan pada saat yang sama tetap mempunyai dana pensiun yang memadai.

Pengalaman penduduk Singa­pu ra dengan kepemilikan rumah­nya merupakan contoh terbaik ba­

gaimana CPF telah menarik perhatian pengamat kebijakan sosial.

CPF terbukti berhasil berfungsi tidak hanya dalam segi jaminan sosial tetapi juga pemupukan aset. Sistem tabung­an seumur hidup telah membantu keluarga mengelola in­vestasi dalam bidang pemilikan rumah, pemeliharaan ke­sehatan, pendidikan dan kepemilikan asset (Aw dan Low, 1996), sebagai tambahan terhadap pemberian jaminan pensiun.

CPF telah menjadi salah satu pemercepat (katalis) ting­ginya tingkat pemilikan rumah dan tabungan di Singapura (Hateley dan Tan, 2003). Bahkan rumah tangga miskin pun memperoleh manfaat. Keterpaduan CPF dengan ke­bijakan lain telah menjadikan CPF salah satu pilar jaring pengaman sosial dari sebagian besar rumah tangga, bahkan mungkin mekanisme pendanaan terpenting untuk men­dukung kesejahteraan dan pembangunan sosial.

Kemungkinan Penerapan di IndonesiaBelajar dari pelaksanaan CPF di Singapura, muncul

pertanyaan yang sederhana. Apakah mungkin menerap­kan skema CPF di Indonesia? Secara teknis CPF sangat mungkin diterapkan, namun terdapat beberapa hal yang

Sumber foto: Istimewa

Pendapat

Page 27: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

27

Edisi 4 - 2013

Keberhasilan Singapura dengan CPF menarik banyak perhatian negara lain untuk mengadopsinya. Salah satu negara yang telah mengadopsi CPF adalah Cina, namun dengan fokus pada

penyediaan perumahan. Negara lain yang mengadopsi CPF adalah India dan Thailand.

Upaya adopsi CPF dimulai pada tahun 1990, ketika pemerintah Cina mendorong penghuni perumahan publik untuk membeli rumah yang didiaminya. Namun mereka tidak mempunyai cukup dana untuk membeli rumah tersebut, sehingga pemerintah berinisiatif menyediakan skema ‘housing provident fund’ (HPF), sebuah program tabungan perumahan sekaligus penyiapan dana pensiun bagi anggotanya. Program ini dimulai sebagai uji coba di Shanghai akhir tahun 1991, dan diperluas menjadi berskala nasional pada tahun 1995.

Dalam pelaksanaannya, ditemui beberapa masalah, yaitu (i) meskipun bersifat wajib namun hanya sekitar 60% dari kelompok sasaran yang akhirnya menjadi anggota. Hal ini terutama disebabkan sebagian perusahaan swasta, khususnya yang kurang maju, menganggap kontribusi perusahaan sebagai biaya tambahan. Di lain pihak, sebagian perusahaan menerapkan ‘binary model’ yang diskriminatif, yaitu hanya menerapkan skema ini bagi pegawai tetap saja; (ii) tingkat efisiensi rendah, terbukti dari hanya sekitar 8% anggota yang menikmati pinjaman KPR. Hal ini disebabkan jumlah pinjaman maksimum tidak dapat menjangkau harga rumah. Prosedur yang kompleks, proses yang lama, dan biaya transaksi yang besar. Selain itu, terjadi kompetisi dengan KPR yang dimiliki oleh bank mitra kerja, sementara pengembang kurang tertarik; (iii) tidak dibatasinya jumlah kontribusi mendorong terjadinya ‘moral hazard’ ketika jumlah kontribusi menjadi semacam sumber dana tambahan bagi pekerja

dengan kontribusi besar.Untuk itu, pemerintah Cina disarankan melakukan beberapa tindakan berupa (i) memperluas kelompok

sasaran dengan memasukkan wirausaha, pekerja industri rumahan dan pekerja migran; (ii)

pembatasan jumlah kontribusi; (iii) pembenahan institusi pengelola HPF

menjadi lebih professional; (iv) kerjasama antarwilayah pengelola dana HPF.

Sumber: disarikan dari The Housing Provident Fund Policy in

China: Review dan Future Reform oleh Chun Chen, Zhigang Wu, Xueying Li, 2006 (OM).

Belajar dari Kurang Optimalnya China’s Housing Provident Fund (HPF)

perlu mendapat perhatian, yaitu (i) ke­berhasilan Singapura dengan sistem ini, didukung oleh PNS yang kompeten dan tidak korup (zero tolerance for corruption). Hal ini dapat tercapai karena pendapatan PNS Singapura bahkan lebih besar dari pegawai swasta, yang dimungkinkan karena sistem penerimaan pegawai yang ketat dan tidak memberi toleransi ter­hadap KKN, sehingga SDM terbaik yang menjadi PNS; (ii) sistem tabungan peru­mahan harus koheren dan terpadu de­ngan sistem jaminan sosial dan kesehat­an lainnya. Dengan demikian dana yang terkumpul akan cukup besar sehingga fleksibelitasnya tinggi. Selain itu, sistem ini harus ditangani hanya oleh satu in­stitusi; (iii) belajar dari kegagalan pene­rapan sistem yang sama di Cina, otonomi daerah menjadi salah satu faktor kendala ketika sistem ini dijalankan tidak terpusat tetapi per wilayah disesuaikan dengan batasan daerah otonom.

Kondisi yang dipersyaratkan tersebut di atas, sepertinya sangat sulit terpenuhi di Indonesia terkecuali memang terdapat komitmen dari pemerintah yang didu­kung oleh parlemen. Demi kesejahteraan rakyat seharusnya tabungan perumahan dapat segera terwujud (OM dari beragam sumber).

*) Pemimpin Redaksi HUDmagz, fungsional perencana muda Bappenas.

Page 28: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

28

KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM

Page 29: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

Edisi 4 - 2013

Dalam sebuah pertemuan besar para pemangku kepentingan pembangunan perumahan, mengemuka prinsip bahwa

tempat tinggal yang layak merupakan bagian dari pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM). Sementara fakta menunjukkan bahwa jumlah backlog perumahan mencapai 13,6 juta unit (BPS 2010) di tanah air. Untuk itu, diusulkan beberapa langkah nyata dalam upaya memenuhi HAM itu, diantaranya (i) Pemerintah Daerah menyediakan lahan bagi pembangunan rumah bagi Masyarakat Berpendapatan Rendah (MBR), (ii) Pemerintah daerah mengalokasikan dana pembangunan rumah MBR setidaknya sebesar 5 persen, (iii) Pemerintah mengalokasikan sejumlah dana dan sistem pembiayaan untuk pembangunan perumahan dan permukiman secara umum dan bagi Masyarakat Berpendapat Rendah/MBR secara khusus. Usulan terakhir ini kemudian yang sepertinya mendapat ‘angin segar’ dengan adanya upaya mengembangkan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), yang sempat menjadi topik hangat beberapa waktu lalu.

Pada dasarnya gagasan Tapera ini bukan sesuatu yang baru di Indonesia. Pada tahun 2000 telah dibentuk tim Kelompok Kerja (Pokja) yang bertugas mengembangkan gagasan Tabungan bagi Perumahan Pekerja/Buruh Perusahaan (TP3). Hal ini merupakan sebuah upaya melengkapi skema Tabungan Perumahan Bagi Pegawai Negeri Sipil (TAPERUM-PNS; TNI/POLRI) yang sudah ada sejak tahun 1994. Walaupun kemudian belum terlihat secara nyata hasil dari Pokja tersebut.

Usulan MengemukaSalah satu kegiatan dalam rangka penyusunan Tapera adalah

berupa paparan dan pembahasan RUU Tapera di Medan pada bulan Maret 2013 lalu. Saat Tim RUU berdiskusi dengan pemangku kepentingan perumahan Sumatera Utara, beberapa usulan mengemuka diantaranya (i) perlunya penegasan arti tabungan. Selama ini tabungan diartikan sebagai sebuah tindakan menyimpan uang yang bersifat sukarela, baik dari segi besaran (jumlahnya) maupun waktu menabungnya. Sementara dalam naskah RUU pada Bab III bagian kedua paragraf 2 pasal 10 menjelaskan, kegiatan menabung dilakukan secara berkala sebesar 5 persen dari gaji per bulannya. Jika demikian, penggunaan kata tabungan akan bias; (ii) pengaturan peserta (kelompok penabung) berdasar kategori dan/atau segmentasi sesuai besarnya pendapatan. Hal

ini mempertimbangkan keragaman peserta sebagaimana diatur dalam pasal 7 antara lain 1) Pejabat Negara, 2) Pegawai Negeri, 3) Pegawai

Bank Indonesia, BUMN dan BUMD, 4) Pejabat atau pekerja yang mendapat gaji/upah, 5) Pekerja swasta dan, 6) Pekerja mandiri. Terdapat kemungkinan fluktuasi penghasilan mulai dari Rp 1,5 juta sampai Rp 100 Juta ke atas. Sehingga dengan pertimbangan aspek keadilan, besaran potongan terhadap gaji per bulan sebaiknya berbeda berdasarkan pengelompokan besaran gaji; (iii), Terdapat daerah dengan tingkat kebutuhan rumah yang besar, sehingga kebutuhan pengguna Tapera akan berbeda berdasarkan Daerah. Menjadi penting untuk dilakukan pengaturan pengalokasian berdasar skala prioritas Daerah. Untuk itu, dibutuhkan mekanisme dan standar operasi dan prosedur (SOP) pengalokasian Tapera berdasar prioritas Daerah; (iv) nomenklatur tabungan perumahan

sebaiknya juga mempertimbangkan 2 (dua) pilihan, yaitu tabungan perumahan rakyat (Tapera) atau tabungan perumahan nasional (Tapernas).

Kontroversi: Lembaga PengelolaMembaca Kompas Minggu, 12 Mei 2013 pada

rubrik Kilas Ekonomi tentang ‘RUU Tabungan Perumahan Alot’. Terdapat pernyataan anggota DPR, Yosep Umar Hadi, selaku Ketua Tim RUU Tapera. Yosep menjelaskan akan terjadi penolakan pada beberapa muatan pasal di dalam RUU

tersebut. Satu diantaranya terkait dana penyertaan modal sebesar Rp 1 triliun,

sebagai dana awal pendirian Badan Pengelola yang bertugas untuk mengelola Tapera.

Pada dasarnya pertanyaan paling mendasar adalah apakah

memang dibutuhkan sebuah badan pengelola baru. Sementara selama ini telah terbentuk Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan PNS (Bapertarum-PNS) yang menangani tabungan perumahan PNS, yang dananya disimpan di Bank Tabungan Negara (BTN) sebagai penyalur Kredit Pinjaman Rumah (KPR). BTN, sejak berdiri tahun 1950 setelah dibekukannya Bank Tabungan Post pada Februari 1950, adalah satu-satunya Bank yang fokus pada kredit pemilikan rumah.

Mempertimbangkan keberadaan BTN ini, menjadi menarik kemudian jika Tim RUU Tapera dapat mengusulkan agar BTN yang akan bertindak sebagai lembaga pengelola dana Tapera. Sehingga diusulkan agar namanya berubah menjadi Bank Tabungan Perumahan Nasional (BTPN). Mengapa tidak?

*) Konsultan Pembangunan (KP) & Pendiri Institut Perumahan Rakyat Indonesia/IPRI. Domisili di Medan

Menyoal dan Mencermati RUU TaperaOleh Miduk Hutabarat*

29

Page 30: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

30

Pendapat

35

Edisi 3 - Maret 2013

Pembangunan tata ruang yang sudah cukup lama dalam pelaksanaan program kepranataannya, baik dari sisi regulasi maupun kelembagaan, belum menunjukkan

capaian kinerja yang baik bahkan cenderung dapat dikatakan tidak berhasil mengimplementasikan berbagai produk perencanaannya secara efektif. “Kecerdasan” dalam pemanfaatan ruang tidak diimbangi dengan “kearifan dan ketegasan” pengendalian ruangnya. Akibatnya, produk penataan ruang tidak lebih dari sekedar dokumen kelengkapan administrasi pembangunan bahkan sering dimanfatkan sebagai sarana “pemutihan/pembenaran” dari ketidaksesuaian pemanfaatan/penyimpangan dari produk perencanaan sebelumnya.

Hal ini disebabkan karena produk perenca-naan penataan ruang di Indonesia belum mem-punyai kapasitas dan tata penyelenggaraannya yang terukur. Akibatnya, jangankan memper-oleh “outcome” dari penataan ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan, untuk memperoleh “output” produk perencanaan, pe-manfaatan dan pengendalian ruang yang imple-mentatif saja masih sangat sulit dilakukan.

Kondisi tersebut di atas apabila dikaitkan dengan isu interaksi perkotaan dan perdesaan akan semakin jelas betapa Indonesia saat ini sebenarnya menghadapi krisis penataan ruang. Meskipun banyak para pemangku kewajiban penyelenggara penataan ruang menyadari akan hal ini, tetapi seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Ibarat “tari poco-poco”, melangkah maju satu kali, mundur dua kali, dan melenggok ke kanan dan ke kiri, dan selalu tersenyum, padahal sebenarnya mereka tidak pernah maju, bahkan sebenarnya mundur, tetapi selalu tersenyum.

Krisis dan tantangan penataan ruang perkotaan yang akan didiskusikan dalam artikel singkat ini adalah : 1) krisis ketimpangan kinerja distribusi kesejahteraan antara perkotaan dan perdesaan dan 2) krisis pengendalian sumber daya pembangunan tata ruang. Adapun rekomendasi yang akan diusulkan terhadap program penyelenggaraan penataan ruang perkotaan adalah mendesak untuk segera disusunnya “Grand Strategi Pembangunan Perkotaan“ dimulai dari penyusunan visi, peta jalan dan strategi implementasi yang terukur. Hal ini sesuai dengan

arahan Wakil Presiden RI pada acara audiensi dengan Tim Percepatan Penanganan Kota-kota Bebas Kumuh 2020 (KemenkoKesra, Kemenpera dan KemenPU) pada peringatan Hari Perumahan Nasional dan Hari Habitat Dunia pada tanggal 1 Oktober 2012, untuk segera menyusun cetak biru pembangunan perkotaan nasional.

Ketimpangan Distribusi KesejahteraanIsu ketimpangan distribusi kesejahteraan sudah sejak

lama ada, dan dimulai dengan program pendistribusiannya secara spasial melalui program transmigrasi. Bahkan sampai saat ini programnya sudah sampai pada tahap lanjut, program penanganannya dimulai dari sisi hulu sampai hilirnya dengan berbagai skema penanganannya dalam bentuk program pembangunan Kota Terpadu Mandiri

yang merupakan program unggulannya. Isu ketimpangan kesejahteraan ini juga

terjadi dalam proses urbanisasi. UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025 telah menekankan pentingnya pengendalian urbanisasi ini. Berbagai peraturan perundangan tentang hal ini juga telah banyak disusun, mulai dari Undang-Undang, PP, Permen/Kepmen (dalam bentuk NSPK) sampai pada tingkat Perda dan Perbu/Perwali yang mengatur sampai pada tataran teknis.

Selain dari sisi penyusunan kepranataan da-lam bentuk regulasi dan kelembagaan tata kelola penye-lenggaraan pembangunan perkotaan, dari sisi akademik pun banyak melakukan kajian-kajian dengan benchmark keberhasilan pembangunan perkotaan, praktek unggulan (best practices) dan pembelajaran (lesson-learned) dari ber-bagai pengalaman baik dari pengalaman penyelenggaraan secara nasional maupun dari luar negeri.

Namun upaya yang sudah dilakukan tersebut masih sangat tidak sebanding dengan capaian kinerja implementasi penyelenggaraan penataan ruang perkotaan. Tanpa meng-gu nakan teori-teori normatif-akademik, kita bisa melihat secara umum bahwa ketimpangan kesejahteraan antara perkotaan dan perdesaan masih sangat tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan fenomena, masih belum beranjaknya tingkat arus urbanisasi yang semakin tinggi dan tingkat kesejahteraan di perdesaan yang relatif masih rendah.

Peningkatan jumlah penduduk yang bermukim di perkotaan juga semakin meningkat, pada tahun 2005

Krisis dan Tantangan Penataan Ruang Perkotaan Nasional

Assoc.Prof.DR.Eng.Ir. Budi Prayitno, M.Eng *

sumber foto: istimewa

Page 31: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

31

Edisi 4 - 2013

36

berjumlah 47,9%, pada tahun 2010 berjumlah 54,1 % dan diprediksikan meningkat menjadi 67,5 % (ada perhitungan versi lain 68,3%) pada tahun 2025.

Meskipun dari sisi pengembangan perdesaan juga sudah banyak upaya dilakukan dan menunjukkan peningkatan dari sisi jumlah desa dengan laju 7,8% dari periode pembangunan tahun 2005-2008 serta upaya-upaya pemekaran desa serta pengembangan desa-desa agropolitan, minapolitan dan desa wisata, namun tingkat capaian kinerja keberhasilan program masih perlu pengembangan lebih lanjut. Fenomena rendahnya produktivitas kerja, kecilnya upah buruh, rendahnya kualitas pendidikan dan tingginya angkatan kerja masih menjadi tantangan dalam pengembangan perdesaan.

Selain itu belum optimalnya pengembangan keunggulan komparatif dan kompetitif perdesaan terutama dari sisi kapasitas tata kelola sumberdaya agraris dan maritim yang seharusnya diposisikan secara tepat dalam sistem jaringan aliran finansial, infrastruktur, pelayanan, barang, manusia dan penghidupan (livelihood) baik secara lokal, nasional, regional maupun global. Namun hal ini bukan sebuah perkara yang mudah.

Produk-produk perencanaan pembangunan perkotaan dan perdesaan nasional maupun daerah sampai saat ini pada tataran implementatif belum mempunyai perangkat analisis, monitor dan evaluasi yang terukur. Pengertian

terukur dalam hal ini, adalah dapat membaca secara tepat baik pada tahap identifikasi isu strategis maupun pada tahap perumusan solusinya (trouble shooting). Pemodelan secara numerik dengan metoda yang menggunakan tingkat presisi tinggi dalam pembacaan tersebut masih sangat jarang dilakukan (kalau tidak bisa dikatakan sama sekali

belum pernah dilakukan). Kajian-kajian masih terbatas dilakukan dalam ranah penelitian dan pengembangan (litbang) baik pada tataran litbang kementerian/lembaga maupun tataran akademik perguruan tinggi.

Selain perangkat analisis perencanaan tersebut, aspek tata kelola penyelenggaraan pembangunan perkotaan dan perdesaan juga belum menunjukkan capaian kinerja yang baik. Meskipun Kebijakan dan Strategi Perkotaan Nasional (KSPN) yang dikawal oleh

Tim Koordinasi Pembangunan Perkotaan yang merupakan program koordinasi lintas sektoral dan lintas pemangku kewajiban sudah terbentuk, namun capaian kinerja pada tataran implementasinya masih terkendala oleh sistem tata kelola yang belum efektif.

Berbagai agenda dalam bentuk rencana kebijakan, strategi dan program sistem kota-kota dalam pengembangan wilayah sering terjebak pada muatan-muatan normatif yang sering sulit diimplementasikan. Selain itu jarang diikuti dengan NSPK (Norma, Standar, Pedoman, Kriteria) yang terukur kecuali hanya sekedar butir-butir persyaratan teknis dan administratif. Belum lagi adanya kendala lemahnya konfirmasi dan kelengkapan pendataan serta sinkronisasinya.

Dengan tantangan dan krisis tersebut diatas maka implikasinya pada ketimpangan kesejahteraan akan sangat terlihat. Kota yang dikonsepkan sebagai motor penggerak dan pendorong pengembangan wilayah perkotaan dan perdesaan secara terintegrasi belum bisa berjalan, kawasan strategis dan cepat tumbuh yang berbasis pada pengembangan sumberdaya komparatif dan kompetitif pun belum mendapatkan dampak positif dari tingginya laju pembangunan perkotaan. Kota-kota yang dikonsepkan secara hirarkis sebagai pusat pertumbuhan sesuai dengan tingkatnya tumbuh secara sendiri-sendiri belum bisa terintegrasi dalam sistem kota-kota yang mendukung sistem pengembangan wilayah. Komponen pembentuk interaksi perdesaan dan perkotaan berupa penghidupan (livelihoods), modal sosial, dinamika pasar, pola sebaran populasi dan sumberdaya alam yang membentuk jaringan dan aliran finansial, pelayanan dan infrastruktur belum berjalan sesuai dengan target yang direncanakan. Akibatnya, ketimpangan kesejahteraan antara perdesaan dan perkotaan masih cukup dirasakan sangat tinggi.

Pendapat

….segera disusunnya Grand

Strategi Pembangunan Perkotaan…

sumber foto: istimewasumber foto: istimewa

Page 32: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

32

Pendapat

37

Edisi 3 - Maret 2013

Krisis Pengendalian Sumberdaya Pembangunan Tata RuangPengalaman implementasi berbagai produk perencanaan

tata ruang sampai saat ini menunjukkan tingkat efektivitas kinerja capaian, baik dari sisi output target teknis dan administratif perencanaan, maupun outcome manfaat dari perencanaan yang sangat rendah. Hal ini disebabkan karena dimensi dan orientasi perencanaannya semata-mata hanya dikonstruksikan dalam sistem instrumen normatif pengendalian komponen-komonen kebijakan, rencana dan program. Sehingga tidak mampu menjawab berbagai resiko terhadap pilihan-pilihan pengambilan keputusan atau dengan kata lain belum mempertimbangkan risk mitigation – based planning.

Pergeseran paradigma yang seharusnya terjadi dari sekedar merencanakan tata ruang pada sisi hilir ke paradigma yang melakukan intervensi tata kelola penataan ruang mulai dari sisi hulu sampai ke hilir serta berorientasi bukan pada output pemenuhan capaian kinerja berbasis pada sistem penataan ruang yang statis melainkan berbasis pada sistem dinamis. Hal ini, mengingat kondisi di lapangan, khususnya di Indonesia yang masih sangat lemah dari sisi penegakan regulasi dan tata kelola yang penuh dengan ketidakpastian, kesenjangan informasi serta kendala kognitif yang masih tinggi. Untuk itu, perlu kecerdasan tambahan dalam merumuskan strategi dalam pengambilan keputusan, memantau keberlanjutan proses serta memokuskan pada capaian kinerja outcome manfaat hasil keputusan perencanaannya.

Sumberdaya perkotaan yang bersifat fisik dan berorientasi ekonomis sampai saat ini masih menjadi obyek tata kelola penataan ruang sedangkan visi lingkungan dan sosial hanya sekedar dirumuskan dalam penjabaran misi-misinya yang sangat terencana secara normatif tetapi sangat tidak terukur sehingga sulit diimplementasikan dan diukur capaian kinerjanya. Pendekatan yang digunakan selama ini belum memasukkan aspek daya dukung dan daya tampung lingkungannya. Sebagai akibatnya, pembacaan terhadap proyeksi pemanfaatan ruang dan pengukuran tingkat resiko kerentanan daya dukung dan daya tampung lingkungannya tidak pernah dilakukan.

Pembacaan potensi sumberdaya dan resiko kerentanan daya dukung dan daya tampung lingkungan yang dapat dirumuskan dalam format substantif, transformatif dan instrumental mutlak diperlukan dalam perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian ruang. Namun hal ini tidak pernah ditemui dalam dokumen perencananaan tata ruang, padahal posisinya sangat strattegis dalam sistem tata

kelola pembangunan daerah dan pembangunan nasional. Sebagai ilustrasi, sudah berapa sering dan berapa

banyak kajian yang menyimpulkan bahwa negara kita adalah negara kepulauan dengan basis pertumbuhan kewilayahannya pada kawasan pesisir. Tetapi, kita belum pernah mempunyai satupun kota tepi pantai yang dapat dibanggakan bahkan ketimpangan sistem daya dukung dan daya tampung kawasan pesisir masih sangat tinggi dengan berbagai permasalahan lingkungannya. Lebih menyedihkan lagi, kekumuhan dan kemiskinan masih mendominasi kawasan permukiman nelayan yang berada pada kawasan yang mempunyai potensi sumberdaya keruangan yang melimpah sekaligus kadang-kadang mempunyai tingkat kerentanan yang cukup tinggi. Sehingga seharusnya, sistem penataan ruang mampu memetakan secara terukur kondisi tersebut.

Sistem kota-kota yang dikembangkan sampai saat ini pun belum berbasis pada negara kepulauan. Sistem jejaring kota-kota pesisir secara nasional yang terintegrasi dengan kawasan agropolisnya belum pernah dilakukan, sebagaimana yang seharusnya dilakukan oleh negara kepulauan seperti halnya negara kepulauan Jepang misalnya. Sehingga perlu mereposisikan dan merubah paradigma yang selama ini hanya berbasis pada daratan menjadi paradigma berbasis kepulauan dengan menerapkan juga prinsip pengelolaan penataan ruang berbasis mitigasi

bencana mengingat pesisir wilayah barat dan selatan serta beberapa ruas yang melintasi pulau Kalimantan dan Sulawesi merupakan sabuk cincin api (ring of fire).

Hasil kajian dan pemikiran-pemikiran tersebut di atas sampai saat ini masih berhenti pada tataran wacana, sedangkan instrumen tata kelola penataan ruangnya belum mampu mengakomodasikan hasil kajian tersebut. Atau dengan kata lain masih terdapat kesenjangan antara hasil kajian dengan nilai manfaat yang diperoleh apabila mampu diimplementasikan

secara efektif. Untuk itu diperlukan upaya menjembatani (bridging) antara riset berbasis akademis (academic-based research) dengan riset berbasis kebijakan (policy-based research).

Kemampuan baca secara terukur terhadap potensi dan kerentanan sumberdaya penataan ruang di Indone-sia masih sangat rendah. Sehingga berbagai resiko kebencanaan penataan ruang masih sangat tinggi. Hal ini, bisa diidentifikasikan dari frekuensi dan tingginya tingkat kebencanaan penataan ruang yang masih sering terjadi di Indonesia, misalnya banjir, kebakaran, fenomena urban heat island, kemacetan lalu lintas, kekumuhan, kriminalitas, dan lainnya.

sumber foto: istimewa

Page 33: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

33

Edisi 4 - 2013

38

Gagasan Awal KonstruktifKrisis dan tantangan penataan ruang perkotaan

nasional yang berimplikasi pada ketimpangan distribusi kesejahteraan antara perkotaan dan perdesaan serta kerentanan pengelolaan sumberdaya perkotaan mem-butuhkan sebuah kerangka kerja struktur penataan ruang yang komprehensif/utuh dan terintegrasi secara lintas sektoral dan lintas pemangku kewajiban. Hal ini harus dimaknai sebagai sebuah instrumen yang implementatif dengan menggunakan parameter yang terukur bukan secara normatif yang berhenti pada tataran instrumen regulatif yang berorientasi pada sekedar pemenuhan persyaratan adminstratif dan teknis.

Kerangka kerja tersebut harus dimulai dari sebuah kajian pemodelan sistem penataan ruang perkotaan yang dinamik dengan menggunakan variabel-variabel yang terukur dan berorientasi pada capaian kinerja outcome manfaat penataan ruang. Atas dasar pertimbangan belum memadainya instrumen penataan ruang sampai saat ini, intervensi yang harus dilakukan adalah dari tingkat makro atau secara nasional. Pengkajian sistem penataan ruang perkotaan harus dilakukan mulai dari sisi hulu sampai dengan hilirnya secara lintas sektoral dan melalui koordinasi lintas pemangku kewajiban.

Kajian-kajian strategis berbasis akademik (academic-based research) yang pernah dilakukan perlu diidentifikasikan untuk dikontribusikan dalam format kajian berbasis kebijakan (policy-based research).

Hasil dari kajian-kajian tersebut perlu dirumuskan dalam bentuk Grand Strategi Pembangunan Perkotaan Nasional yang meliputi perumusan visi, peta jalan dan strategi implementasi yang terukur. Dengan mengambil momentum tantangan pertumbuhan penduduk yang

menghuni perkotaan pada tahun 2025 mencapai 67,5%, dapat disusun peta penahapan tata kelolanya.

Dengan mempertimbangkan krisis saat ini dan tantangan pada tahun 2025, upaya yang dilakukan harus bersifat akseleratif. Sehingga, moda strategi yang digunakan dalam mencapai target keseimbangan pertumbuhan perkotaan dan pedesaan, pemerataan kesejahteraan rakyat serta efektivitas fungsi pelayanan dalam tata kelola pembangunan perkotaan yang inklusif, perlu diskemakan dalam program prioritas akseleratif.

Hal ini sesuai dengan hasil diskusi dalam Seminar Na-sional “Percepatan Penanganan Perumahan dan Permu-kiman Kumuh Menuju Kota-kota Tanpa Kumuh 2020”, Kemenpera, Kemen PU di Hotel Millenium pada tang-gal 1 Oktober 2012 yang diakhiri dengan audiensi dengan Wakil Presiden di Istana Wapres dengan penyepakatan pe-nyusunan cetak biru pembangunan perkotaan yang harus dilakukan secara lintas kementerian/lembaga.

Sebagai catatan penutup, dapat disampaikan disini bah-wa yang dibutuhkan dalam menjawab krisis dan tantangan pembangunan perkotaan menuju tahun 2025 adalah bu-kan sekedar perencanaan yang bermuatan keinginan yang normatif saja (“want”) tetapi lebih pada strategi pemenuh-an kebutuhan (“need”) yang harus diformulasikan dalam bentuk “demand” sehingga “supply” moda-moda strategi yang diberikan sebagai jawaban solusi terhadap krisis dan tantangan tersebut harus berdasarkan analisis kebutuhan secara terukur dan tepat sasaran.

*) Kepala PUSPERKIM UGMNarasumber Ahli KemenkoKesra (Kedeputian Perlindungan Sosial

dan Perumahan Rakyat), Kemenpera, KemenPU(Puslitbangkim, Balitbang ),

Ahli Utama Perencana Kota dan Wilayah (Sertifikasi IAP-LPJKN ), Assoc.Prof. Teknik Arsitektur dan Perencanaan UGM

Pendapat

sumber foto: istimewasumber foto: istimewa

Page 34: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

34

Page 35: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

35

Edisi 4 - 2013

B. Arah Kebijakan Pengembangan dan Pembangunan Sistem Transportasi

Transportasi merupakan urat nadi kehidupan ber­bangsa dan bernegara, yang mempunyai fungsi se bagai penggerak, pendorong dan penunjang

pem bangunan serta sistem yang terdiri dari sarana dan prasarana, yang didukung oleh tata laksana dan sumber daya manusia membentuk jaringan pra sa rana dan jaringan pelayanan. Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabu­paten/Kota berkewajiban untuk menyusun rencana dan merumuskan kebijakan serta mengendalikan dan menga­wasi perwujud an transportasi. Konsekuensinya kebijakan pengembang an aksesibilitas perlu penguatan untuk me­nampung arus komuter Bodetabek dari dan menuju Ja­karta untuk mendukung aktivitas sosial dan ekonomi di pusat kota di Bodetabek. Beberapa kebijakan untuk me­ningkatkan pelayanan sistem transportasi di DKI Jakarta antara lain:

• Penataanpengembanganruangyangselarasdenganpola jaringan transportasi, khususnya jaringan ang­kutan umum massal.

• Penerapan kebijakan insentif dan disinsentif padatingkat wilayah Provinsi DKI Jakarta.

•PemindahanbeberapaaktifitaspemerintahanPeme­rintah Provinsi DKI Jakarta ke kawasan Timur dan Barat.

•MerevisikebijakanrencanatataruangProvinsiDKIJakarta.

Untuk mengurai dan mengatasi kemacetan lalu lintas serta mengantisipasi peningkatan komuter Bodetabek dari dan menuju Jakarta serta meningkatnya tingkat perjalanan di wilayah Provinsi DKI Jakarta maka Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2003 telah menyiapkan suatu Rencana Induk Sistem Transportasi di DKI Jakarta atau yang lebih dikenal dengan nama Pola Transportasi Makro (PTM) dan kemudian pada tahun 2007 dilakukan review dan revisi terhadap PTM dan ditetapkan dengan Peraturan

Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 103 tahun 2007 tentang Pola Transporta­si Makro, yang terdiri dari 3 (tiga) strategi utama yaitu ; Pengembangan Angkutan Umum Massal, Pembatasan Lalu Lintas dan Peningkatan Kapasitas Jaringan.

Konsep dari Pola Transportasi ini bersifat jaringan trans­portasi multi moda dan dominan pada sistem angkutan umum bis dengan prioritas. Sebagai dasar dari pengem­

bangan jaringan transportasi multimoda ini tentunya adalah rencana pengembangan tata ruang di DKI Jakarta sehingga jaringan yang

dibentuk merupakan integrasi dari koridor­koridor yang melayani wilayah DKI Jakarta yang bertumpu pada pusat­pusat pengembangan di wilayah DKI. Berbasiskan konsep jaringan angkutan umum massal (radial service) yang telah dicanangkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sampai dengan tahun 2020 yang terdiri 15 koridor BRT, 2 Koridor MRT, dan didukung oleh jaringan PT KAI Jabodetabek, berdasarkan hasil Project for The Study on Jabodetabek Pub-lic Transportation Policy Implementation Strategy (Japtrapis) kerjasama Kementerian Perhubungan RI dan Japan Inter-national Cooperation Agency (JICA) untuk wilayah Provinsi DKI Jakarta jumlah pelaku perjalanan pada tahun 2020 mencapai sebesar 20,9 juta perjalanan/hari sedangkan jumlah perjalanan di wilayah Jabodetabek mencapai 59,2 juta perjalanan/hari yang harus diangkut. Melihat besaran potensi kebutuhan ini, maka penyediaan sistem angkutan umum massal menjadi tidak terhindarkan untuk wilayah DKI Jakarta dan Bodetabek. Mengacu kepada kota­kota besar di negara lain, secara teknologi, sistem yang lazim digunakan adalah angkutan umum massal berbasiskan rel.

Konsep pengembangan arah kebijakan transportasi di wilayah Provinsi DKI Jakarta seperti yang telah dijabarkan dalam Pola Trasportasi Makro menjadi kebijakan dasar dan pertimbangan utama dalam melakukan perencanaan serta kebijakan pengembangan sistem transportasi. Kebijakan pengembangan sistem transportasi di DKI Jakarta dapat dikelompokan berdasarkan:

• Pengembangandariaspekpenyediaan.• Pengembangandariaspekpermintaan.

Ir. U. Pristono, MTKepala Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta

Bagian Kedua*

sumber foto: istimewa

Page 36: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

36

• Secara umum usulan program strategis yang digu­nakan sebagai basis penyusunan kebijakan mengacu pada tujuan utama yaitu efisiensi dan efektifitas un­tuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan kese­taraan dalam mobilitas masyarakat dengan cara:

­ mempromosikan penggunaan angkutan umum dan ­ pengurangan tingkat kemacetan lalu­lintas ­ mengurangi tingkat pencemaran udara yang di­ akibatkan oleh gas buang kendaraan bermotor

C. Implementasi Pembangunan Infrastruktur dan Pengembangan Sistem Transportasi di wilayah Provinsi DKI JakartaDalam rangka penyediaan dan pembangunan in­

frastruktur sistem transportasi di wilayah DKI Jakarta, di­lakukan dengan mengacu kepada Rencana Induk Sistem Transportasi di DKI Jakarta atau yang lebih dikenal dengan nama Pola Transportasi Makro (PTM) Tahun 2007 dan Peraturan Daerah mengenai RTRW Provinsi DKI Jakarta Tahun 2010-2030 yang pada saat ini masih sedang da­lam proses pengesahan dan penetapan di DPRD Provinsi DKI Jakarta. Hal ini dilakukan dengan cara koordinasi, sinkronisasi untuk menciptakan sinergi dalam mencapai tujuan­tujuan yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang. Koordinasi merupakan satu elemen dasar dalam penyelenggaraan penataan ruang yang efektif (dalam pen­capaian tujuan) dan efisien (dalam pemanfaatan sumber daya). Seperti yang telah kita ketahui bersama, sejak 20 ta­hun yang lalu DKI Jakarta telah mengalami permasalahan sistem transportasi dan lalu lintas yang sangat kompleks. Hal ini tercermin dari kemacetan lalu lintas yang terjadi sepanjang waktu di hampir semua ruas jalan utama dan sistem angkutan yang belum beroperasi secara optimal dan terintegrasi.

Permasalahan lalu lintas di wilayah DKI Jakarta antara lain disebabkan oleh penambahan jumlah kendaraan pribadi yang sangat tinggi. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi masyarakat, tingkat kepemilikan kendaraan pri­badi penduduk Jakarta juga meningkat.

Menghadapi permasalahan tersebut, sistem transporta­si yang berkelanjutan merupakan pilihan yang sangat tepat untuk dapat dite rapkan. Sistem transportasi yang berkelan­jutan (sustainable transportation) adalah suatu sistem transportasi yang dapat mengakomodasikan aksessibilitas semaksimal mungkin dengan dampak negatif yang semi­nimal mungkin. Sistem transportasi yang berkelanjutan harus memperhatikan setidaknya 3 (tiga) komponen pen­ting yaitu aksessibilitas, kesetaraan dan dampak lingkung­an. Aksessibilitas diupayakan dengan perencanaan jaring­an transportasi dan keragaman angkutan dengan tingkat integrasi yang tinggi antara satu dengan yang lainnya.

Kesetaraan diupayakan melalui penyelenggaraan trans­portasi yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. Pengurangan dampak negatif diupayakan melalui penggu­naan energi ramah lingkungan, sedikit dalam menimbul­kan polusi dan memprioritaskan keselamatan. Sistem ini akan lebih mudah terwujud pada sistem transportasi yang berbasis pada penggunaan angkutan umum dibandingkan pada sistem yang berbasis penggunaan kendaraan pribadi. Perbaikan sistem angkutan umum merupakan solusi utama yang harus segera dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Perilaku masyarakat yang lebih memilih kendaraan pribadi harus segera diubah. Perubahan terse­but dapat dilakukan dengan penyediaan pilihan lain yaitu angkutan umum yang aman, nyaman, tepat waktu serta terintegrasi satu sama lainnya. Angkutan yang baik juga memberikan peluang bagi masyarakat untuk melakukan perjalanan dengan biaya yang terjangkau dan aksesibilitas yang tinggi dengan dampak lingkungan yang minimal.

Penyusunan Pola Transportasi Makro di Provinsi DKI Jakarta ini bertujuan untuk menetapkan Rencana Induk Sistem Jaringan Transportasi di Provinsi DKI Jakarta, di­mana arahan pengembangannya antara lain meliputi:

1. Meningkatkan aksesibilitas di seluruh wilayah Provinsi DKI Jakarta dan sekitarnya dan menata ulang moda transportasi secara terpadu;

2. Memasyarakatkan sistem angkutan umum massal;3. Menggalakkan penggunaan angkutan umum dan

kereta api;4. Mengurangi penggunaan kendaraan pribadi yang

berlebihan;5. Menambah jaringan jalan primer, Bus Priority, Light

Rail Transit (LRT) dan Mass Rapid Transit (MRT).Dari sekian banyak pilihan teknologi yang ada, Busway

merupakan salah satu jenis sistem angkutan berbasis jalan raya yang sangat tepat diimplementasikan di Jakarta seba­gai negara berkembang berdasarkan karakteristiknya de­ngan pertimbangan antara lain:

•Banyakcontohsuksesbusway di berbagai negara. •Kewenangan sepenuhnya berada pada Pemerintah

Provinsi DKI Jakarta.•Waktupembangunansaranadanprasaranalebihce­

pat.•Biaya pembangunan lebihmurah sehinggamampu

didanai melalui APBD.•Rutefleksibeluntukmenjangkauberbagaiwilayah.• Saranatepatuntuktransisibudayatertibdanantri,

sebelum tersedia MRT/LRT.• Pemanfaatan/optimalisasiruangjalan.Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sejak Tanggal 15 Janu­

ari 2004 hingga sampai dengan saat ini telah membangun infrastruktur angkutan umum massal yang berbasis jalan

Pendapat

Page 37: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

37

Edisi 4 - 2013

raya Bus Rapid Trans (BRT)/Busway dan telah beroperasi di 11 (sebelas) koridor dari yang 15 (lima belas) koridor yang direncanakan, dian­taranya : Koridor I (Blok M – Kota) Koridor 2 (Pulogadung – Harmoni), Koridor 3 (Harmoni – Kalideres), Koridor 4 (Pulogadung – Dukuh Atas), Koridor 5 (Kampung Melayu – Ancol) , Koridor 6 (Ragunan – Kuningan) Koridor 7 (Kampung Rambutan – Kampung Melayu), Koridor 8 (Lebak Bulus – Harmoni), Koridor 9 (Pinang Ranti – Pluit) dan Kori­dor 10 ( Cililitan – Tanjung Priok) serta koriodr 11 (Kam­pung Melayu – Pulogebang) dan sebagai wujud komitmen Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Koridor­koridor busway ini membentuk jaringan yang saling terintegrasi satu de­ngan yang lainnya disamping juga terintegrasi dengan moda transportasi lain serta pusat bisnis serta didukung dengan fasilitas feeder busway dan park & ride.

Upaya mengurai kemacetan lalu lintas terus dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, seperti yang telah tertuang didalam Rencana Induk Sistem Jaringan Trans­portasi di Provinsi DKI Jakarta Pola Transportasi Makro, selain busway salah satunya melalui kebijakan yang terinte­grasi dalam pola transportasi makro (PTM), termasuk soal kelanjutan mega proyek monorail yang sempat terhenti beberapa waktu lalu lantaran faktor pembiayaan. Proyek monorail sebenarnya adalah proyek yang diprakarsai oleh pihak swasta yang keseluruhan biaya pembangun an oleh swasta dan Pemda DKI Jakarta hanya memberikan du­kungan dan izin untuk trase dari jalur monorail tersebut. Hal ini dituangkan didalam kesepakatan Perjanjian Kerja Sama (PKS) pada bulan Mei 2004. Semenjak Pebruari 2008 pihak PT Jakarta Monorail tidak dapat melanjutkan proyek karena terkendala dengan tidak diperolehnya pin­jaman untuk pembiayaan proyek. Berdasarkan pada PKS tersebut pihak PT. JM menuntut kepada Pemda DKI un­tuk mengganti seluruh biaya yang telah mereka keluarkan. Pemprov DKI selanjutnya meminta bantuan BPKP dan Bappenas untuk melakukan uji tuntas (due dilligence) dan melakukan pengakhiran PKS. (Saat tulisan ini diterima, Gubernur DKI Jakarta baru saja dilantik, red)

Pembangunan infrastruktur Mass Rapid Transsit (MRT) yang menjadi bagian dalam Pola Transportasi Makro. Saat ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bersama PT MRT Jakarta tengah menyiapkan rencana konstruksi Tahap I (Lebak bulus­Bundaran HI) yang direncanakan akan beroperasi pada tahun 2016 mendatang. Adapun total bia­ya yang dibutuhkan yaitu Rp 17 triliun, berupa pinjam an lunak dari pemerintah Jepang. Pencanangan dimulainya pembangunan (ground breaking) telah dilakukan oleh Gu­bernur Provinsi DKI Jakarta pada April 2012. Untuk pem­

bangunan konstruksi dijadwalkan di mulai pada akhir tahun 2012. Mass Rapid Transit Jakarta (MRT Jakarta) yang berbasis rel rencana­nya akan membentang kurang lebih ±110.8 km, yang terdiri dari

Koridor Selatan – Utara (Koridor Lebak Bulus ­Kampung Bandan) sepanjang kurang lebih ±23.8 km dan Koridor Timur – Barat sepanjang kurang lebih ±87 km. Pemba­ngunan MRT koridor Selatan ­Utara dari Lebak Bulus – Kampung Bandan dilakukan dalam 2 tahap, yaitu:

•TahapIyangakandibangunterlebihdahulumeng­hubungkan Lebak Bulus sampai dengan Bundaran HI sepanjang 15.2 km dengan 13 stasiun (7 stasiun layang dan 6 stasiun bawah tanah) ditargetkan mulai beroperasi pada akhir 2016.

•Tahap II akanmelanjutkan jalurSelatan­UtaradariBundaran HI ke Kampung Bandan sepanjang 8.1 Km (dengan 8 stasiun layang) yang akan mulai dibangun sebelum tahap I beroperasi dan ditargetkan berope­rasi 2018 (dipercepat dari 2020). Studi kelayak an untuk tahap ini sudah selesai.

Sedangkan untuk Koridor Timur ­Barat saat ini sedang dalam tahap studi kelayakan. Koridor ini ditargetkan pa­ling lambat beroperasi pada 2024 – 2027.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas Per­hubungan Provinsi DKI Jakarta telah memilih ITS untuk di implementasikan sebagai bagian dari Pola Transpor­tasi Makro di wilayah DKI Jakarta dan pembangunan infrastruktur ITS telah dilakukan sejak tahun 2010 yang rencananya akan dilanjutkan secara berkelanjutan men­capai 15 (lima belas) koridor busway. Intelligent Transport System (ITS) adalah integrasi antara sistem informasi dan teknologi komunikasi dengan infrastruktur transportasi, kendaraan dan pengguna jalan secara komperhensif yang disampaikan dalam bentuk papan informasi atau dalam bentuk digital map.

Selain melakukan pembangunan infrastruktur di bi­dang transportasi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah membuat rencana dan prioritas dalam menangani problem kemacetan di Jakarta, Sementara untuk mengatasi simpul­simpul kemacetan yang ada, telah diambil langkah­lang­kah sesuai dengan Pola Transportasi Makro untuk jangka pendek dengan cara optimalisasi dan perbaikan maupun pembangunan infrastruktur sistem transportasi yang di­lakukan berdasarkan skala prioritas seperti antara lain:

• Pembangunan simpang tak sebidang baik flyover maupun underpass.

• Penerapanmanajemendanrekayasalalulintassepertipenerapan sistem satu arah (SSA), larangan belok ka­nan pada persimpangan­persimpangan yang volume

sumber foto: istimewa

Page 38: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

38

lalu lintasnya sudah jenuh, penataan ulang u-turn, perbaikan infrastruktur simpang dan optimalisasi traffic light.

•Optimalisasi simpang (dengan pengaturan ulangwaktu siklus lampu lalu lintas maupun penyederha­naan fase)

• Penempatanpetugas untukmelakukanpengaturan,penertiban dan pengendalian lalu lintas pada simpul­simpul yang berpotensi menimbulkan kemacetan.

• Penertibankendaraanangkutanumumterkaitkela­ikan jalan untuk meningkatkan pelayanan dan ke­nyamanan pengguna angkutan umum.

•Meningkatkanlevel of service Busway antara lain pe­nambahan armada bus busway, rencana tahun 2011 pembangunan koridor 12 perbaikan infrastruktur pe­nunjang busway, sterilisasi lajur busway, penghapusan trayek angkutan umum yang berhimpit de ngan bus-way, pengembangan feeder busway dan pembangun­an park & ride, serta integrasi busway dengan moda transportasi lain & pusat­pusat kegiatan.

• Implementasi sistem feeder yang dimulai pada 28 Sept 2011 yaitu 3 rute feeder yang terus disempurna­kan dan segera mengoperasikan rute feeder baru lain­nya.

• ImplementasikanAPTB(AngkutanPerbatasanTer­integrasi Busway) untuk memudahkan mobilitas warga yang bermukim di daerah penyangga menuju DKI Jakarta. Sebagai tahap awal, APTB dioperasikan untuk melayani warga yang bermukim di Bekasi dan sekitarnya, dengan rute Pulogadung­Bekasi. Selan­jutnya akan dikembangkan sistem transportasi APTB ke daerah lainnya seperti, Bogor, Depok maupun Tangerang. Sasaran penumpang APTB, yakni peng­guna kendaraan pribadi baik motor maupun mobil. Sehingga APTB ini sama fungsi nya dengan feeder busway yang ada dengan spesifikasi kendaraan bus besar dan deck tinggi.

• Penertibanparkirliaryangdilakukanterusmenerusuntuk meningkatkan kapasitas ruas jalan.

• Penghapusanparkirbadanjalanpadajalan­jalanter­tentu dan memindahkannya ke lokasi gedung parkir.

• Pengendalian lalu lintas bagi pengguna kendaraanpribadi (mobil dan motor) pada jalan tertentu. Ren­cana pemberlakukan jam tertentu bagi Angkutan Ba­rang.

• Perbaikan infrastruktur jalan (struktur jalan dansalur an).

• Pengembangan jaringan jalankhususnya jalan­jalanyang terputus (missing link).

Sedangkan untuk rencana jangka panjang yang akan dilakukan antara lain adalah:

• Peningkatanpelayananbusway dan angkutan umum menjadi angkutan umum yang dapat dihandalkan, antara lain dengan sistem Direct Service dimana ‘Bus Umum’ dapat masuk dan keluar koridor busway, Angkutan umum yang menggunakan koridor busway ini merupakan bus yang sebagian trayeknya bersing­gungan dengan jalur busway. Trayeknya pun tidak diubah.

Implementasi sistem ini diharapkan akan mening­katan kapasitas daya angkut BRT Transjakarta, jalur busway tidak mubazir dan dipenuhi kendaraan ang­kutan umum non transjakarta yang spesifikasinya setaraf dengan bus transjakarta, terjadi peningkatan pelayanan angkutan umum, terjadi peningkatan ak­sesibilitas bagi pengguna angkutan umum dan yang utama adalah pengguna angkutan pribadi beralih ke angkutan umum dan terjadi penurunan tingkat kemacetan. Untuk tahap awal APTB yang ada akan diizinkan untuk masuk ke jalur busway.

• Pembangunankoridor13,14dan15.•MerealisasikanpembangunanMRT.•MerealisasikandanmengimplementasikanITS.•MenerapkanERP(Electronic Road Pricing).•Mendukungpengembanganangkutanmassalberba­

sis rel (loop line dan KA Bandara) dan integrasi de­ngan moda transportasi lainnya.

• Pengembangan TOD (Transit Oriented Develop-ment).

• Pembangunan6ruasjalantol.Pembangunan infrastruktur untuk meningkatkan

sistem transportasi di wilayah provinsi DKI Jakarta tidak serta merta dapat mengurai kemacetan lalu lintas, namun perlu didukung dengan strategi­strategi lainnya seperti melakukan manajemen lalu lintas, optimalisasi prasarana dan sarana dan pengendalian dan pengawasan serta pe­negakan hukum.

D. Permasalahan dan TantanganMengacu kepada kondisi pelayanan dan permasalahan

yang ada maka tantangan permasalahan bagi layanan ang­kutan umum di masa mendatang:

• Potensipermintaanyangsemakintinggiyangharusdiantisipasi dengan penguatan dan perbaikan dari sisi suplai baik berupa peningkatan jumlah layanan, jenis dan kualitas layanan

• Pengembangankawasanpemukimanyangsangatpe­sat pada kawasan tertentu seperti di Serpong, Bekasi dan Tangerang harus diakomodasi dengan peningkat­an layanan

•Defisiensisecarafisikdankualitasdaripenyediaan(sup-ply) eksisting harus diakomodasi dengan pemeliharaan

Pendapat

Page 39: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

39

Edisi 4 - 2013

dan peremajaan armada dan fasilitas pendukung.•Denganadanyapengembangansistemdan jaringan

angkutan umum lainnya, pengembangan fasilitas pendukung yang memungkinkan kemudahan ber­pindah ke moda lain harus juga menjadi bagian dari pengembangan sistem angkutan berbasis rel.

•Denganterbukanyapeluangpihakswastauntukturutberperan dalam penyediaan layanan angkutan umum berbasis rel, maka konsekuensi legal dan kewenangan organisasi yang menaunginya merupakan tantangan yang harus dihadapi.

• Pengembanganteknologimodayangramahlingkung­an menjadi isu penting di tahun­tahun mendatang.

F. KesimpulanMengacu kepada hasil pembahasan dari bagian­bagian

sebelumnya, dapat ditarik suatu benang merah bahwa per­masalahan transportasi di wilayah DKI diakibatkan oleh faktor­faktor:

•Defisiensi kapasitas infrastruktur transportasi yangmeliputi seluruh jaringan dan sarana transportasi.

• Perkembangandanperubahantataruangyangtidakterkendali.

•Rendahnyapelayananangkutanumum.• Penggunaanruangprasaranajalanyangtidaksemes­

tinya.•Kebijakan yang kontradiktif dari instansi­instasi

terkait baik pada tingkat Pemerintah DKI, Bodetabek maupun Pusat.

• Perangkat legal dan institusional yang kurang/belumantisipatif terhadap pesatnya dinamika pembangun an.

Hasil review terhadap berbagai studi menunjukkan adanya konsistensi dan kesinambungan permasalahan dan usulan penanganan permasalahan transportasi di DKI Jakarta. Namun terindikasikan bahwa hampir tidak ada tindak lanjut yang signifikan dan nyata untuk mengimple­mentasikan usulan­usulan tersebut, sehingga tantangan yang harus dijawab untuk menyelesaikan permasalahan sistem transportasi di DKI Jakarta adalah bagaimana cara atau mekanisme untuk mengimplemen­tasikan berbagai usulan­usulan terse­but. Pengembangan skenario kebijakan sistem transportasi didasarkan pada hasil analisis permasalah an, permin­taan (demand), rekomendasi studi­studi sebe lumnya, rencana (commited) peme­rintah dan uji kinerja dari skenario.

Dari analisis terhadap besarnya per­mintaan dan kemampuan serta keter­batasan yang dimiliki oleh Pemerin­tah menunjukkan bahwa penyelesaian

hanya dari sisi supply saja, sebagaimana yang selama ini telah dilakukan, tidak mampu menyelesaikan persoalan, sehingga pena nganan permasalahan eksisting dan kedepan harus dilakukan dari berbagai sisi yang bersifat multisek­toral, se perti aspek penyediaan, permintaan, institusional, legal, tata ruang dan industri secara bersamaan dan ter­integrasi. Situasi ini meng arah kepada konsep dasar dan strategi pengembangan sistem transportasi yang mempri­oritaskan kepada promosi penggunaan angkutan umum dengan dukungan kebijakan pembatasan lalu lintas yang ditindaklanjuti de ngan kebijakan untuk mempertahankan tingkat pelayanan/kinerja jaringan transportasi khususnya jaringan jalan.

Realisasi pengembangan sistem yang ideal ini relatif sulit terlaksana, sehingga diperlukan suatu konsep yang lebih re­alistis yang masih tetap mampu mengakomodasikan konsep pengembangan yang ideal. Pada posisi ini pendekat an dari sisi demand sudah mutlak untuk dilakukan baik berupa ke­bijakan pengurangan tingkat kemacetan dengan membatasi jumlah kendaraan (pribadi) yang beroperasi maupun kebi­jakan tata ruang yang dapat merealokasikan berbagai aktifi­tas dan pusat aktifitas dari wilayah DKI Jakarta, ke wilayah Bodetabek, sehingga dapat merubah pola pergerakan yang selama ini menekan wilayah DKI Jakarta.

Untuk menyelesaikan masalah kemacetan lalu lintas yang ada, maka implementasi dari 3 (tiga) strategi utama pada Pola Transportasi Makro harus dilaksanakan secara paralel sekaligus, mengingat untuk membangun trans­portasi yang baik penyelesaiannya juga harus mengantisi­pasi perkembangan kebutuhan yang akan datang. Untuk itu upaya penyelesaian kemacetan lalulintas skala kecil juga harus diikuti dengan pembangunan sistem angkut­an umum massal untuk mengantisipasi perkembangan di masa yang akan datang. Pembangunan infrastruktur di DKI Jakarta sangat membutuhkan komitmen semua pihak, baik Pemerintah Pusat juga masyarakat luas ter­masuk media massa. Perubahan paradigma transportasi diutamakan kepada pengembangan angkutan umum se­bagai tulang punggung (backbone) transportasi. Untuk

mewujudkan hal tersebut dibutuhkan kebijakan­kebijakan yang mendukung. Penyediaan sistim angkutan umum mas­sal yang memiliki jaringan rute yang luas dan terintegrasi dengan moda transporta­si lainnya serta pusat­pusat kegiatan, dan yang terpenting adalah pelayanan yang baik akan mendo rong masyarakat peng­guna kendaraan pribadi untuk berpindah ke transportasi angkutan umum massal.

*) Bagian Pertama dimuat pada HUD Magazines Edisi Pertama

sumber foto: istimewa

Page 40: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

40

Pendapat

b. Penyelesaian Banjir

Kondisi geografis Jakarta memang berpotensi untuk terjadinya banjir. Aliran sungai dari arah kawasan Bopuncur dengan curah hujan rata­rata mencapai

2.000 mm per tahun dan banjir rob dibagian pesisir pantai utara menjadikan Jakarta sangat rawan terhadap bencana banjir. Tidak kurang dari 62 titik yang terpetakan rawan digenangi banjir, belum lagi apabila terjadi banjir skala besar yang praktis melumpuhkan hampir seluruh aktivitas kota seperti yang terjadi pada tahun 2002, 2007, 2012.

Upaya penanggulangan banjir secara sistemik mutlak harus dilakukan baik melalui pendekatan struktur mau­pun non struktur. Untuk pendekatan struktur, pemerintah pusat serta pemerintah provinsi DKI Jakarta nampaknya sudah berada pada trek yang benar untuk menanggulangi permasalahan banjir dengan pembangunan ka­nal banjir timur, perbaikan tanggul, revitalisasi situ, pengerukan sungai dan berbagai pendekat­an struktur lainnya. Tapi yang harus juga diperhatikan ada­lah upaya non struktur­fisik seperti ketegasan pengenda­lian pemanfaatan ruang di wilayah hulu, perluasan daerah resapan dan penyediaan ruang terbuka hijau.

c. Menjadi Pusat Aktivitas Bisnis GlobalTidak hanya ketersediaan fasilitas perkantoran dan ka­

wasan industri dengan gedung dan fasilitas modern, tetapi juga stabilitas ekonomi­politik, rendahnya tingkat korupsi, transparansi usaha, dan kemudahan izin usaha bagi peng­usaha asing menjadi faktor daya tarik bagi para pemain global untuk membuka bisnisnya di Jakarta.

d. Connected Velo-cityKota global harus memiliki infrastruktur yang me­

mungkinkannya untuk dapat terkoneksi dengan pusat aktivitas global lainnya. Jarak tempuh yang cukup sing­kat dengan dengan Singapura (1 jam 15 menit), Sydney (6 jam), Tokyo (7 jam), Beijing (8 jam), New Delhi (8 jam) memungkinkan Jakarta untuk menjadi salah satu hub kota global yang strategis di kawasan Asia Pasifik. Hal ini harus didukung dengan ketersediaan bandara yang tidak

hanya memiliki fasilitas fisik tetapi juga memi­liki kualitas layanan dunia, serta didukung juga oleh akses bandara dengan pusat kota. Pengem­

bangan Bandara Internasional Sukarno­Hatta ataupun pembangunan bandara lain di Jawa Barat harus didukung oleh fasilitas transportasi intermoda handal yang terkonek­si dengan pusat aktivitas kota.

Jakarta Menuju Kota GlobalDhani M. Muttaqin*

Tulisan Lanjutan*

sumber foto: istimewa

Page 41: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

41

Edisi 4 - 2013

Kota Global juga harus didu­kung oleh koneksi online dengan dunia maya. Ketersediaan jaringan internet yang handal, terjangkau dan dapat diakses oleh semakin ba­nyak warga akan sangat mendukung proses koneksi dengan komunitas global. Salah satu indikator Smart City masa depan adalah menjadi velo-city yaitu kota yang memiliki kecepatan teknologi informasi yang super cepat dan memiliki jaringan broadband internet yang mudah di­akses warganya.

e. Menjadi Pusat Politik GlobalWashington DC merupakan

kota dengan pengaruh politik ter­tinggi di dunia (Foreign Policy Jour-nal, October 2008). Pengaruh itu disebabkan Washington merupakan pusat kendali politik Amerika, dan bahkan secara tidak langsung pusat politik dunia. Kota lainnya yang berpengaruh secara politik adalah kota­kota yang menjadi markas besar organisasi­organisasi dunia yaitu New York (markas besar PBB) dan Brussel (Kantor Pusat Uni Ero­pa). Menjadi lokasi kantor pusat organisasi internasional meningkatkan posisi politik sebuah kota.

Dalam hal ini Jakarta memiliki posisi strategis karena menjadi lokasi Sekretariat ASEAN. Hal ini menjadikan positioning politik Jakarta menjadi lebih tinggi diban­dingkan dengan kota­kota lainnya di ASEAN. Menjelang terbentuknya ASEAN Community yang dicanangkan ta­hun 2015, posisi Jakarta akan semakin strategis untuk menjadi Diplomatic Capital City di ASEAN. Kondisi ini harus didukung oleh kebijakan pemerintah pusat dan DKI Jakarta untuk menjadikan Jakarta sebagai “Ibukota ASE­AN” melalui pembangunan berbagai infrastruktur pen­dukung seperti pengembangan ASEAN special diplomatic zone dengan berbagai fasilitas pendukungnya.

f. Kualitas Sumberdaya ManusiaKualitas sumberdaya manusia yang dibutuhkan untuk

mendukung pengembangan kota global melingkupi kete­rampilan kepemimpinan, kreativitas dan inovasi, kemam­puan bahasa asing (terutama bahasa inggris) dan kemam­puan teknis sesuai keahlian professional. Selain itu, untuk mendukung proses menjadi kota global warga kota juga harus memiliki pola pikir yang terbuka (open-minded) dan dapat menerima perbedaan.

g. Global LeadershipPemimpin merupakan fak­

tor yang sangat penting dalam perkembangan kota, meskipun rencana pembangunan kota di­susun dan sepakati dengan meli­batkan semua stakeholder tapi visi dan kemampuan eksekusi program dari seorang pemimpin merupakan suatu hal yang sangat vital bagi ke­berhasilan pembangunan kota.

Untuk mewujudkan kota Ja­karta sebagai kota global yang kompetitif, pemimpin dalam hal ini Gubernur DKI Jakarta harus memiliki visi global untuk me­mosisikan kotanya sebagai salah satu pusat aktivitas global. Tidak hanya visioner, pemimpin juga harus faham terhadap konsepsi dan konsekuensi menjadi kota global, faham dan mengerti bahwa pembangunan infrastruktur tidak hanya didasarkan pada kebutuhan

internal warga kota saja tetapi juga pada kebutuhan un­tuk mendukung aktitivas global. Pemimpin harus mampu menjalin kemitraan dengan berbagai pihak, memimpin birokrasi untuk bergerak cepat untuk melayani kepenting­an warga dan mewujudkan good governance.

PenutupDalam hingar – bingar kampanye pemilihan Gubernur

DKI Jakarta periode 2012 – 2017 yang lalu, nampaknya be­lum ada calon gubernur yang secara khusus mengusung visi Jakarta sebagai kota global, namun sebenarnya secara fakta Jakarta sudah berproses secara bertahap menjadi kota global.

Pada dasarnya proses menjadi kota global akan ber­dampak positif bagi perkembangan kota, akan berdampak pada pertumbuhan kota yang cepat dan peningkatan kese­jahteraan warga kota secara agregat, tapi tentu saja selalu ada kemungkinan timbulnya eksternalitas negatif dari setiap pembangunan. Ekternalitas negatif yang seringkali terjadi pada kota­kota global akibat dari pertumbuhan ekonomi yang pesat adalah terjadinya ketimpangan ekonomi yang semakin tinggi dan timbulnya kawasan kumuh di ping­giran kota. Tanpa adanya kesadaran dan kefahaman dari pemimpin Jakarta akan proses yang terjadi, dapat dipas­tikan eksternalitas negatif ini akan menjadi blunder bagi warga kota dan perkembangan kota secara keseluruhan.

*) Direktur Eksekutif Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia**) Sebaian tulisan sudah dimuat pada

HUD Magazines Edisi Pertama

sumber foto: istimewa

Page 42: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

42

Page 43: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

43

Edisi 4 - 2013

Pembangunan perumahan rakyat, terutama bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah (MBR), masih terdapat kesan bahwa urusan ini

dipandang oleh Pemerintah Daerah (pemda) sebagai tugas Pemerintah Pusat. Sebagai akibatnya, banyak Pemda seringkali kurang peduli terhadap permasalahan pemenuhan kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau bagi MBR dan mereka selalu mengharap uluran “proyek” dari Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) dan kementerian lain serta kepedulian para pengembang perumahan.

Kurang adanya kepedulian Pemda ini dapat ditunjukkan dari berbagai kebijakan pemda dalam penataan ruang dan pembangunan infrastruktur perumahan masih kurang berpihak pada MBR. Hal ini dapat ditunjukkan dari kebijakan Pemda (provinsi dan kabupaten/kota), terutama pada kota­kota besar di Indonesia, yang terlihat cenderung lebih mementingkan pertimbangan ekonomi kapitalis dengan berbagai aktivitas pembangunan prasarana­sarana kota modern dan perumahan bagi masyarakat menengah atas. Dampak lebih jauh, permasalahan pembangunan perumahan bagi MBR sampai saat ini belum teratasi oleh pemerintah seperti terlihat dari angka backlog pada tahun 2013 meningkat menjadi 13,6 juta unit.

Dengan realitas demikian, dapat dikatakan bahwa pertanggungjawaban (akuntabilitas) Pemda terhadap MBR dalam pemenuhan kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau belum dipenuhi. Oleh karena itu, sangat

relevan apabila sebagai warga negara mempertanyakan akuntabilitas Pemda dalam pembangunan perumahan rakyat bagi MBR. Pertanyaan tersebut menjadi relevan karena Pemda berkewajiban menyelenggarakan urusan pembangunan perumahan rakyat seperti diamanatkan oleh para founding fathers dalam Kongres Perumahan Sehat 1950 dan berbagai peraturan perundangan nasional (UUD 1945 pasal 18 H ayat 1, PP Nomor 38/2007, dan UU Nomor 1/2011). Kata kuncinya adalah Pemda harus akuntabel dalam setiap perumusan dan implementasi kebijakan pembangunan perumahan di daerah terhadap MBR karena kelompok masyarakat ini juga pembayar pajak yang harus dipenuhi haknya sebagai warga negara, termasuk kebutuhan akan rumah yang layak dan terjangkau.

Berkaitan dengan permasalahan tersebut, artikel ini mengetengahkan beberapa pemikiran (konsep) seder­hana yang diharapkan dapat menjawab pertanyaan bagaimanakah seharusnya Pemda akuntabel dalam kebi­jakan pembangunan perumahan bagi MBR?

Isu Akuntabilitas Pemerintah Daerah Peran Pemda (provinsi dan kabupaten/kota) dalam

pembangunan rakyat bagi MBR sangat strategis sehu­bungan dengan diimplementasikannya berbagai per­atur an perundangan, seperti PP. Nomor 38/2007, UU Nomor 1/2011 dan UU Nomor 20/2011. Materi dalam perundangan tersebut banyak bersinggungan dengan adanya kewenangan dan kewajiban Pemda dalam penyelenggaraan urusan pemembangunan peru­mahan. Di samping itu, kemungkinan besar Pemda

Drs. Nursalim, M.Si.

Pemda dan Akuntabilitas Pembangunan Perumahan Rakyat

Page 44: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

44

dapat melakukan peran strategis itu dengan dukungan berbagai kebijakan Pemerintah Pusat berupa bantuan dana dekonsentrasi, dana alokasi khusus (DAK) bidang perumahan, banyaknya program pembangunan perumahan bagi MBR (Rumah Tapak dan Rusunawa/mi), dan adanya berbagai perubahan regulasi kebijakan pembangunan perumahan.

Bagaimana kinerja Pemda dalam pembangunan perumahan bagi MBR di berbagai daerah? Suatu hal yang harus diakui bahwa masih banyak Pemda yang belum mempunyai komitmen untuk menyelenggarakan pembangunan perumahan bagi MBR. Hal ini dapat ditunjukkan dari berbagai kebijakan Pemda yang belum berpihak kepada MBR dan memunculkan isu akuntabilitas, antara lain: Pertama, kebijakan di bidang penataan ruang yang lebih banyak diperuntukkan untuk kepentingan komersial. Sudah bukan rahasia umum, bahwa kawasan perkotaan sudah dikapling­kapling untuk pembangunan sarana­prasarana bisnis modern dan peruntukan pembangunan perumahan bagi masyarakat menengah atas. Bahkan, banyak kawasan permukiman kumuh digusur dan disulap menjadi rumah mewah yang memarjinalkan penduduk miskin kota. Kedua, kebijakan pemda dalam pelayanan publik di bidang pembangunan perumahan seperti perpajakan dan perijinan masih menimbulkan high cost economy (ekonomi biaya tinggi) sehingga menyulitkan pengembang swasta dan pemerintah (Perumnas) terlibat di dalamnya. Ketiga, Pemda masih terkesan kurang membantu pengembang dalam penyediaan infrastruktur perumahan (jalan, instalasi air minum, pengolahan sampah, dan lainnya) dan penyediaan lahan perumahan untuk MBR.

Ketiga isu tersebut hingga saat ini masih menjadi trade off bagi Pemda dalam pembangunan perumahan bagi MBR dan sangat sulit pemecahannya mengingat sampai saat ini masih terdapat mafia pertanahan, perijinan, dan pembiayaan (Koto, 2011). Oleh karena itu, selaras dengan implementasi kebijakan otonomi daerah yang diorientasikan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, Pemda harus mampu menyelenggarakan pelayanan publik yang akuntabel di bidang pembangunan peru­mahan bagi MBR. Adanya ketidakmampuan Pemda terhadap hal tersebut akan mengakibatkan pembangunan kesejahteraan bagi masyarakat daerah, khususnya MBR, tidak akan dapat diwujudkan.

Urgensi Akuntabilitas Pemerintah Daerah Pemda (Provinsi dan Kabupaten/Kota) adalah sua­

tu organisasi birokrasi pemerintah daerah. Keberadaan organisasi ini lahir karena undang­undang, dilengkapi dengan sumber daya aparatur (PNS) yang perekrutannya didasarkan perundangan kepegawaian, dan dibiayai oleh anggaran pemerintah. Sebagai institusi publik, Pemda secara kelembagaan dan individual para aparaturnya harus akuntabel kepada publik dalam setiap melakukan kegiatan perumusan dan implementasi kebijakan yang dibuat atau yang ditetapkan kepadanya. Di sini, akuntabilitas terkait dengan falsafah bahwa lembaga eksekutif pemerintah yang tugas utamanya adalah melayani rakyat harus bertanggungjawab secara langsung kepada rakyat (Kumorotomo, 2005).

Siapa yang harus bertanggungjawab/akuntabel dari birokrasi Pemda dalam penyelenggaraan pembangunan perumahan bagi MBR? Hal ini dapat mengacu pada pengertian dan macam pertanggungjawaban (akun ta­bilitas).

Apabila kita merujuk pengertian akuntabilitas (ac count ability) menunjuk lokus hirarkis dan legal dari tanggungjawab (Santoso, 2008), pejabat Pemda seperti Gubernur, Bupati/Walikota hingga pejabat­pejabat di bawahnya seperti kepala dinas dan yang setingkat mempunyai tanggung jawab atas keputusan kebijakan di bidang pembangunan perumahan yang diim plementasikan kepada publik, khususnya MBR. Sedangkan macam pertanggungjawaban Pemda bisa berupa (a) pertanggungjawaban sebagai akuntabilitas (accountability); (b) pertanggungjawaban sebagai sebab akibat (cause), dan (c) pertanggungjawaban sebagai kewa jiban (obligation).

Dalam pengertian pertanggungjawaban sebagai akuntabilitas, Pemda harus mempertanggungjawabkan

sumber foto: istimewa

Pendapat

Page 45: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

45

Edisi 4 - 2013

berbagai kebijakan di bidang pembangunan perumahan sesuai ketentuan yang berlaku dan diinginkan publik. Jadi pejabat Pemda, baik secara implisit maupun eksplisit, harus bertanggung jawab atas akibat­akibat dari kebijakan yang diimplementasikan dalam kegiatan pembangunan perumahan rakyat. Sehingga implementasi kebijakan penataan ruang, perijinan, retribusi, dan lainnya sudah semestinya menjadi tanggung jawab para pejabat Pemda bilamana berakibat pada ketidakberhasilan dalam penyelenggaraan urusan pembangunan perumahan rakyat di daerah.

Bagaimanakah halnya dengan Pemda dalam kono­tasi pertanggungjawaban sebagai sebab akibat? Da­lam konteks ini, pertanggungjawaban Pemda terkait dengan urusan yang dijalankan. Sebagai misal, para pejabat di Dinas Perumahan harus melakukan pertanggungjawaban atas berbagai tugas kedinasan yang dilakukan dalam hubungannya dengan masyarakat yang berurusan dengan masalah pembangunan perumahan. Adapun bentuk pertanggungjawaban dalam konotasi sebagai kewajiban yaitu terkait dengan perlunya pejabat Pemda bertanggung jawab kepada yang memberikan delegasi. Di sini misalnya pada hirarki organisai Dinas Perumahan kabupaten/kota, kepala dinas wajib mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas dan fungsinya kepada bupati/walikota

Urgensi akuntanbilitas Pemda dalam implementasi kebijakan pembangunan perumahan rakyat disamping telah dijelaskan dari perspektif teoritis, juga dapat dijelaskan dari perspektif peraturan perundangan. Dalam Kemenpan Nomor: Kep/26/M. PAN/2/2004 dinyatakan bahwa penyelenggaraan pelayanan publik harus dapat dipertanggungjawabkan, baik kepada publik maupun kepada atasan/pimpinan unit pelayanan instansi pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­undangan. Dalam pasal 4 huruf 1 UU Nomor 25/2009 tentang Pelayanan Publik dinyatakan bahwa penyelenggaraan pelayanan publik berasaskan akuntabilitas. Oleh karena itu, Pemda sebagai organisasi pelayanan publik di bidang penyelenggaraan pembangunan perumahan rakyat harus menjalankan asas akuntabilitas kepada masyarakat yang dilayani.

Tiga Aspek Penting Akuntabilitas Pemerintah DaerahPenyelenggaraan pembangunan perumahan rakyat

di daerah yang memperlihatkan adanya akuntabilitas Pemda yang tinggi terhadap rakyat daerah, khusus bagi MBR, sangat ditentukan oleh tiga aspek penting dalam kebijakan Pemda, yaitu :

Kebijakan penataan ruangSalah satu parameter bahwa Pemda di berbagai

daerah memiliki kebijakan pembangunan perumahan yang berpihak pada MBR adalah sejauhmana kebijakan penata ruangnya diperuntukkan bagi MBR. Tentunya mengacu pada konsep penataan ruang sebagai upaya aktif manusia untuk mengubah pola dan struktur ruang dari satu keseimbangan menuju kepada keseimbangan baru yang “lebih baik” (Rustiadi, dkk, 211). Dengan memahami pengertian penataan ruang tersebut, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang mewujudkan dan memelihara keseimbangan baru yang lebih baik.

Bagaimanakah halnya dengan mewujudkan akunta­bilitas Pemda dalam penataan ruang wilayah bagi pe­nyelenggaraan pembangunan perumahan bagi MBR?. Di sinilah sebetulnya terletak pada kemauan politik (po-litical will) pejabat Pemda dan DPRD dalam penyusun­an, adopsi (pengesahan) dan implementasi kebijakan RTRW yang benar­benar berpihak kepada MBR. Arti­nya RTRW tersebut harus benar­benar mengakomodasi kepentingan seluruh lapisan masyarakat untuk berbagai aktivitas sosial, ekonomi, budaya, dan lain­lain. Jadi ke­bijakan RTRW yang cenderung dijualbelikan, yang se­cara sinis disebut “Tata Uang”, untuk kepentingan peja­bat dan kelompok masyarakat ekonomi kelas menengah atas saja dalam pembangunan perumahan tentu akan memarjinalkan kelompok MBR. Dengan demikian, persoalan penataan ruang oleh Pemda merupakan kunci utama berhasil dan tidaknya penyelenggaraan pemba­ngunan perumahan bagi MBR di daerah.

sumber foto: istimewa

Page 46: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

46

Kebijakan Pembangunan InfrastrukturPembangunan infrastruktur sangat menentukan ke­

berhasilan pembangunan nasional. Infrastruktur terse­but diibaratkan sebagai urat nadi peredaran darah per­ekonomian nasional. Oleh karena itu, sangat tepat bila rakyat menuntut pemerintah mengalokasikan dana APBN perjalanan dinas pejabat negara yang telah di­potong untuk pembangunan infrastruktur. Alokasi dana tersebut untuk pembangunan infratruktur jalan, jembatan, pelabuhan darat, udara dan laut, dan lainnya akan menyebabkan mobilitas sosial ekonomi dapat ber­jalan lancar dan tidak menimbulkan biaya sosial ekono­mi yang tinggi.

Demikian halnya dengan pembangunan infrastruktur perumahan sudah tentu Pemda harus terlibat dalam penyelenggaraan pembangunan perumahan bagi MBR, meski pemerintah pusat juga menyediakan bantuan stimulus fisik dan terbatas berupa pembangunan PSD­PU dan PSU. Kemudian, bagaimana halnya dengan pengembang? Z.S. Koto (2011) menjelaskan bahwa pengembang berkewajiban menyediakan sarana dan sarana perumahan dalam bentuk jalan, drainase, dan ruang terbuka hijau sesuai dengan rencana tapak yang telah disahkan. Pengembang juga wajib menyediakan utilitas umum dalam bentuk jaringan dan sambungan listrik serta jaringan air minum perpipaan. Atau, dapat juga dalam bentuk pompa air, pompa tangan, maupun pompa listrik dengan kualitas air yang memenuhi persyaratan kesehatan dengan bukti hasil pemeriksaan dari laboratorium setempat. Selain itu, pengembang wajib menyediakan tempat sampah dan menanam satu pohon di setiap unit rumah.

Perlunya kebijakan Pem­da dalam pembangunan infrastruktur ini tidak lepas dari suara para pengembang masih mengeluhkan pembe­banan biaya pembangunan infrastruktur di perumahan sederhana yang disamakan dengan untuk perumahan me nengah atas yang jelas harganya lebih mahal (In­frastruktur, Oktober 2010). Suara ini datang terutama dari para pengembang, se­perti APERSI yang memi liki kepedulian dalam penye­lenggaraan pemba ngunan

perumahan bagi MBR. Oleh karena itu, dalam mewu­judkan akuntabilitas pembangunan infrastruktur peru­mahan, Pemda dapat mengeluarkan dan melaksanakan kebijakan pembangunan infrastruktur seperti yang di­harapkan pengembang dan masyarakat MBR. Di sini dibutuhkan political will pejabat Pemda untuk mampu merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan pembangunan infrastruktur perumahan yang mem­bantu pengembang dapat menyediakan infrastruktur perumahan yang berkualitas. Bentuk konkrit dari akun­tabilitas Pemda dalam pembangunan infrastruktur bagi pembangunan perumahan, yaitu menyediakan (mem­bangun) prasarana jalan, jaringan air minum, tempat pembuangan akhir (TPA) sampah, dan lain sebagainya.

Kebijakan pelayanan publikKeberhasilan penyelengga­

raan pembangunan perumahan bagi MBR di daerah sangat ter­gantung dari kemampuan Pem­da dalam memberikan pelayanan publik baik bagi masyarakat maupun pengembang perumah­an. Hingga saat ini, pelayanan publik di bidang pembangunan perumah an, meski ada perbaikan, tetapi secara umum masih belum mendukung bagi terwujudnya ‘ekonomi biaya rendah’ dalam pembangunan perumahan. Masih banyaknya pajak, restribusi, dan biaya pengurusan ijin pembangunan perumahan yang mahal menjadikan pengembang tidak dapat menyediakan perumahan yang layak dan terjangkau bagi MBR.

Dengan kondisi demikian, Pemda perlu mewu­judkan akuntabilitas pelayanan publik di bidang pembangunan perumahan terhadap pengembang dan MBR. Dalam mewujudkan akuntabilitas tersebut, Pemda harus melakukan reformasi pelayanan publik di bidang pembangunan perumahan bagi MBR. Ada dua pendekatan reformasi birokrasi pelayanan Pemda yang dapat dilakukan yaitu pendekatan struktural dan pendekatan perilaku (Zauhar,1994). Pendekatan struktural, yaitu Pemda harus mampu memperlihatkan akuntabilitasnya dalam penyusunan peraturan kebijakan pelayanan pembangunan perumahan yang efektif dan efisien serta menjalankannya berdasarkan asas­asas pelayanan publik. Sedangkan pendekatan perilaku, yaitu semua aparatur Pemda harus akuntabel dalam setiap pelaksanaan kebijakan pembangunan perumahan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Pendapat

sumber foto: istimewa

Page 47: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

47

Edisi 4 - 2013

Bayangkan negara Cina 100 tahun ke depan dengan jumlah penduduknya dan kekayaan alamnya yang luar biasa, dengan “copy and paste” teknologinya

saat ini. Cina kemungkinan besar akan menjadi mitra utama Amerika dalam mengendalikan perekonomian dunia. Sekarang tanyakan kepada diri kita sendiri: Bagaimana Indonesia memosisikan diri dalam konstelasi tersebut? Apakah kita akan memiliki peran yang kuat dalam menyeimbangkan perekonomian dunia? atau kita masih harus berkutat dengan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat? Negara tetangga kita seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam sudah menyiapkan diri menjadi bagian dari konstelasi tersebut. Mereka sudah selesai dengan pekerjaan rumahnya. Pertanyaan mendasar disini adalah mengapa kita masih disini? Apa yang tidak terjadi dalam pembangunan di Indonesia?

Layaknya orang yang sudah ketinggalan jauh dalam lomba marathon, selalu ada banyak alasan yang dikemukakan untuk bisa dimaklumi oleh masyarakat. Namun hal ini sudah seringkali terjadi dan masyarakat sudah jenuh dengan alasan. Masyarakat membutuhkan bukti. Jawaban atas pertanyaan masyarakat awam seputar bagaimana hidup saya dipengaruhi oleh pemerintah? Apakah saya akan bisa mendapatkan kerja, apakah saya bisa memiliki rumah? Apakah saya bisa mendapatkan cukup

air minum? Apakah saya bisa mendapatkan akses terhadap sanitasi? Apakah saya bisa mendapatkan obat ketika saya sakit? Bagaimana dengan pendidikan anak­anak saya? dan seterusnya, akan menjadi bukti kuat bahwa negara telah melaksanakan kewajibannya.

Dalam pemenuhan kebutuhan dasar, khususnya air minum dan sanitasi, pemerintah Indonesia awalnya masih belum menjadikan prioritas pembangunan. Dimulai dari tahun 1960 sampai tahun 2000, belum terasa banyak perubahan yang terjadi pada pembangunan air minum dan sanitasi. Baru setelah tahun 2000, air minum dan sanitasi mulai mendapatkan perhatian yang lumayan signifikan.

Permasalahan air minum dan sanitasi di Indonesia sangat kompleks. Hasil studi dampak ekonomi dari pembangunan sanitasi yang buruk yang dilakukan oleh Bank Dunia pada tahun 2008, menunjukkan adanya kerugian negara mencapai 58 triliun Rupiah per tahunnya. Hal ini belum ditambah dengan kerugian yang muncul akibat permasalahan kebocoran air dan menurunnya jumlah pelanggan dari tahun ke tahun yang dialami oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di seluruh Indonesia. Sementara itu, konflik seputar persampahan juga secara bergiliran dan teratur timbul di berbagai lokasi di Indonesia, khususnya kawasan perkotaan strategis. Hal ini secara keseluruhan menyebabkan lambatnya kemajuan pembangunan air minum dan sanitasi di Indonesia. Kemudian timbul pertanyaan­pertanyaan sederhana yang sangat menohok: apakah kita sudah paham persoalan pembangunan sektor air minum dan sanitasi? Apakah upaya yang kita lakukan sudah bisa menangani masalah dengan efektif? Ataukah kita hanya menangani permasalahan di permukaannya saja? Atau jangan­jangan ada masalah besar yang sedang menunggu untuk terjadi? Mari kita cermati sejenak beberapa hal penting terkait bagaimana pembangunan air minum dan sanitasi selama ini dilaksanakan dan apa yang perlu segera dilakukan untuk menata kembali prioritas pembangunan air minum dan sanitasi.

Pertama, berdasarkan pembelajaran selama sepuluh tahun terakhir, khususnya setelah berlakunya otonomi daerah, tidak hanya pembangunan air minum dan sanitasi saja yang terombang­ambing tidak menentu, hampir

Fany Wedahuditama*

Kembali ke DasarMenata Kembali Prioritas Pembangunan

Air Minum dan Sanitasi

sumber foto: istimewa

Page 48: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

48

semua layanan publik menjadi kurang jelas targetnya. Hal ini dikarenakan sebagian besar kewenangan pembangunan berada di tangan pemerintah daerah yang notabene selama ini dituntun oleh pemerintah pusat. Ibarat bayi yang baru bisa berjalan, pemerintah daerah masih tertatih­tatih untuk melaksanakan secara mandiri kewajibannya di tengah euforia reformasi dan otonomi daerah. Kapasitasnya dalam perencanaan, sumber daya manusia dan pembiayaan masih belum memadai. Bahkan ada sebagian pemerintah daerah yang sama sekali tidak peduli.

Dengan rentang kendali yang sangat luas, dan sistem logistik dan konektivitas di negara kepulauan terbesar di dunia yang masih belum terbangun baik, pemerintah mengalami kesulitan luar biasa untuk mengawal pemenuhan kebutuhan dasar air minum dan sanitasi. Dapat dilihat pada data pencapaian pembangunan air minum dan sanitasi, rata­rata peningkatan akses per tahunnya antara 1­2%. Pertanyaan mendasar disini adalah apa yang tidak terjadi selama hampir sepuluh tahun terakhir?

Kedua, pembangunan air minum dan sanitasi berbeda dengan pembangunan lainnya. Air Minum dan sanitasi merupakan produk antara, yang bergantung pada produk lainnya untuk dapat berjalan dengan baik. Hasil dari pembangunan air minum dan sanitasi kemudian akan berpengaruh pada kesehatan dan pendidikan. Namun kenyataan di lapangan, pelaku di bidang lain seolah tidak

melihat keterkaitan tersebut dan ego sektoral semakin menonjol. Penyediaan air minum yang sangat bergantung pada kuantitas, kualitas, kontinuitas, serta keterjangkauan air baku untuk kebutuhan domestik seringkali bermasalah karena fokus dari pengelolaan sumber daya air lebih pada pemenuhan kebutuhan air untuk irigasi pertanian. Bahkan jika ditarik ke hulu, secara umum kuantitas dan kualitas air baku bermasalah sejak dari sumbernya, karena ternyata meningkatnya lahan kritis akibat penebangan liar, serta berkurangnya wilayah resapan air menjadikan jumlah air baku semakin menurun. Hal ini kemudian menyebabkan adanya konflik antardaerah dalam hal penguasaan sumber air, seperti konflik yang terjadi antara kabupaten Bandung dengan kota Bandung.

Ego sektoral juga terjadi pada sanitasi. Penanganan persampahan masih dibayangi oleh tarik ulur antara regulator dan operator. Salah satu contoh nyata adalah penerapan bank sampah sebagai implementasi praktis dari prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle), ternyata menjadi “rebutan” antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Pekerjaan Umum. Ini adalah contoh betapa koordinasi yang baik sulit untuk dilakukan di Indonesia. Pertanyaan mendasar disini adalah sampai kapan carut marut koordinasi ini mau terus dijalani? Kapan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menunjukkan “taringnya” kepada seluruh kementerian/Lembaga untuk mulai berkoordinasi kembali?

Ketiga, ada masalah ada jalan keluar. Dalam konteks pembangunan, ada masalah ada program dan kegiatan yang dikembangkan untuk mengatasi masalah tersebut. Pertanyaan mendasar disini: apakah upaya yang kita lakukan cukup efektif dalam menangani masalah yang ada? Upaya pembangunan air minum dan sanitasi sepuluh tahun terakhir mengalami peningkatan yang cukup siginifikan dibandingkan dengan era sebelumnya. Namun demikian terdapat kekuatiran bahwa pelaksanaan pembangunan air minum dan sanitasi tidak fokus menangani permasalahan yang ada. Fenomena yang terjadi saat ini adalah 90% program ditujukan untuk meningkatkan akses. Padahal masih banyak permasalahan mendasar yang perlu ditangani agar akses yang diciptakan tersebut benar­benar dapat disebut sebagai akses yang layak, baik berdasar kuantitas, kualitas, kontinuitas dan keterjangkauan. Pada titik inilah tulisan ini bermaksud mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk kembali ke dasar dan menata kembali prioritas pembangunan air minum dan sanitasi.

Ada dua hal penting terkait himbauan untuk “kembali ke dasar”, yaitu:

secara internal, kita harus mampu mengelola a. seluruh sumber daya yang dimiliki untuk mengatasi permasalahan mendasar berupa jaminan akses yang

Gambar 1. Data Capaian Akses terhadap Air Minum yang layak.

Gambar 2. Data Capaian Akses Layanan Air Limbah yang layak.sumber: Ditjen Cipta Karya, KemenPU

sumber: Ditjen Cipta Karya, KemenPU

Pendapat

Page 49: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

49

Edisi 4 - 2013

aman dan berkelanjutan. Semua upaya tentunya bertujuan untuk meningkatkan akses, tetapi apa artinya jika hanya “sekedar“ akses? Setiap upaya yang dilakukan memiliki fungsi masing­masing untuk menjamin akses yang berkelanjutan. Program A ditujukan untuk menangani masalah X sehingga program B dapat dilaksanakan, yang kemudian pada akhirnya program Z (program paling populer – peningkatan akses) dapat dilaksanakan untuk menciptakan akses langsung terhadap masyarakat. Contoh nyata adalah pelaksanaan program Water Hibah yang bertujuan meningkatkan sambungan rumah bagi masyarakat miskin dengan mekanisme output-based aid. Disatu sisi PDAM meningkat jumlah pelanggannya, akses tercipta dalam jumlah yang fantastis. Namun seringkali kita lupa bahwa di sisi lain kita punya masalah air baku untuk air minum. Apa gunanya sambungan rumah tanpa air yang mengalir? Hal ini bukan berarti program Water Hibah tidak baik, tetapi pemerintah perlu jeli dalam melaksanakan programnya. Mana yang harus dilaksanakan terlebih dahulu? Mana yang harus pararel? Jangan sampai sumber daya yang sudah sangat terbatas ini menjadi sia­sia;Jika dilihat dari perspektif makro, dengan sistem b. otonomi daerah yang masih “relatif muda” umurnya, dan kewenangan yang begitu besar pada pemerintah daerah dalam menentukan prioritas, kemungkinan besar target pencapaian pembangunan air minum dan sanitasi yang tidak sepopuler bidang lainnya, akan

sulit tercapai sesuai target waktu yang diharapkan tahun 2025. Alokasi pembiayaan pembangunan air minum dan sanitasi akan selalu minim. Belum lagi ditambah kesulitan di daerah ketika permasalahan untuk pembangunan air minum dan sanitasi sudah mulai menjadi masalah regional. Konflik antarkabupaten meningkat. Menyebabkan stagnansi pembangunan air minum dan sanitasi yang berkepanjangan. Contoh nyata dari permasalahan air minum dan sanitasi yang merupakan masalah regional adalah masalah suplai air baku untuk kebutuhan pemenuhan air minum, dan pengelolaan persampahan yang memerlukan lahan TPA yang luas, tetapi tidak satupun kabupaten/kota yang bersedia wilayahnya menjadi lokasi TPA tersebut. Dari pengalaman di lapangan, kemudian muncul inovasi seperti pembentukan Perusahaan Daerah Air Bersih (PDAB) yang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi yang bertugas untuk mengurusi masalah air baku bagi seluruh PDAM yang ada di wilayahnya. Dengan demikian sebagian masalah PDAM terjawab, dan sebagian lagi dijawab oleh program restrukturisasi hutang PDAM. Terkait masalah persampahan, TPA regional dikenalkan dan saat ini mulai dibangun di beberapa lokasi. Pemerintah Provinsi memiliki andil yang besar dalam pelaksanaannya. Jika kita jeli melihat situasi ini, maka ada pertanyaan yang cukup menggelitik kita semua, apakah hal ini berarti pemerintah kabupaten/kota dinilai tidak cukup efektif untuk menangani pembangunan air minum dan sanitasi yang sejatinya merupakan sektor kebutuhan dasar? Apakah akan lain ceritanya jika semua pembangunan yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar dikelola oleh Pemerintah Provinsi? Mungkin kita perlu memikirkan juga wacana tersebut.Singkat kata singkat cerita, penting bagi seluruh

pemangku kepentingan untuk mengakui bahwa kita selama ini masih belum menangani pembangunan air minum dan sanitasi secara sistematis. Kita perlu berhenti untuk berpikir secara abstrak, kita perlu berpikir praktis dan realistis sambil memegang teguh prinsip­prinsip pembangunan.

Kapan kita akan siap berlomba dengan negara lainnya untuk memosisikan secara strategis peran Indonesia dalam perekonomian dunia jika kita masih dibebani masalah pemenuhan kebutuhan dasar? Salam.

*) bekerja di Bappeda Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur

sumber foto: percik

Sanitasi buruk menyebabkan

kerugian sebesar 58 Triliun Rupiah

per tahun.

Page 50: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

50

Page 51: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

51

Edisi 4 - 2013

Penataan Ruang dan Penyediaan Perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah: Perspektif Teoritis

Penataan ruang secara teoritis memiliki peran yang besar terhadap mekanisme penyediaan perumah­an, termasuk perumahan bagi masyarakat ber­

penghasilan rendah (MBR). Hal ini antara lain disebab­kan oleh karena sistem penataan ruang secara umum banyak berurusan dengan masalah redistribusi lokasi rumah tangga dan bisnis (Cullingworth, 1999). Kasus Inggris menunjukkan bahwa kebijakan yang dikem­bangkan untuk menahan laju pertumbuhan kota dan menyalurkan pembangunan ke kota­kota baru telah terbukti memiliki pengaruh yang signifikan terhadap sistem perumahan (Jones dan Watkins, 2009). Penataan ruang tidak hanya mengatur penggunaan lahan bagi pe­rumahan, juga keterkaitan antara kawasan perumahan tersebut dengan kawasan­kawasan lainnya, serta in­frastruktur pendukung yang dibutuhkan.

Penyediaan perumahan bagi MBR berbeda­beda di setiap negara, baik dari perspektif tempat maupun waktu. Selain memberikan subsidi pada penyewa atau­pun pemilik properti yang menyewakan perumahannya pada MBR, sebagian besar negara di dunia fokus pada

penyediaan public housing untuk mengatasi masalah ketersediaan perumahan bagi masyarakat ber­penghasilan rendah. Untuk ling­kup Asia, dua negara yang dianggap cukup sukses dalam penyelenggaraan public housing adalah Hongkong dan Singapura.Pada tahun 2012, sekitar 30% dari 2,1 juta penduduk Hongkong tinggal di rumah susun publik yang disewakan. Adapun di Singapura, public housing dikelola oleh Housing and Development Board (HDB) dan dikenal sebagai HDB flat. Saat ini, sekitar 80% dari penduduk Singapura tinggal di HDB flat ini. Selain itu, yang juga cukup menarik adalah kasus Perancis, yaitu public housing untuk MBR dikenal sebagai Habitation à Loyer Modéré (HLM) atau perumahan sewa murah. Di Perancis, hampir separuh dari pasar sewa rumah mu­rah dikuasai oleh HLM. Terkait dengan penataan ruang kota dan penyediaan rumah untuk MBR di kawasan perkotaan, Undang­Undang tentang Solidaritas dan Revitalisasi Perkotaan (La loi de Solidarité et Renouvelle-ment Urbain) yang ditetapkan pada 13 Desember tahun 2000 mengamanatkan bahwa untuk kota­kota besar, paling tidak 20% dari perumahan yang ada diperuntuk­an untuk HLM.

Penataan Ruang Perkotaan:

Menjamin Hak Bermukim bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah*

sumber foto: istimewa

Page 52: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

52

Permasalahan Penyediaan Perumahan MBR di Indonesia

Menurut data yang dikeluarkan oleh Kementerian Perumahan Rakyat, backlog perumahan dari tahun ke tahun terus meningkat.Tahun 2013 ini jumlahnya diperkirakan telah mencapai angka 15 juta unit. Bah­kan angka yang lebih besar dikeluarkan oleh Indonesia Property Watch (IPW), kurangnya pasokan rumah jauh di bawah kebutuhan riil, yakni pada tahun 2013 diper­kirakan mencapai 21,7 juta unit. Padahal tahun­tahun sebelumnya angka tersebut hanya mencapai 13,6 juta unit. Kondisi ini dapat memicu terjadinya krisis peru­mahan.

Krisis perumahan ini di tahun­tahun mendatang akan terjadi apabila tingginya permintaan masyarakat akan kebutuhan tempat tinggal tidak ditangani secara serius. Jika krisis perumahan ini terjadi, maka akan tim­bul dampak negatif, antara lain menurunnya kualitas hidup masyarakat Indonesia. Rumah yang layak huni merupakan kebutuhan primer bagi masyarakat, karena merupakan pintu masuk bagi seseorang untuk menda­patkan kesehatan, pekerjaan, pendidikan, dan kebe­basan bereskpresi.

Hal ini juga untuk mencegah semakin bertambahnya kawasan­kawasan hunian kumuh, seperti yang selama ini sering kita lihat rumah­rumah yang menggunakan bahan seperti papan, triplek, terpal, ataupun dari kar­dus­kardus bekas.Sehingga penyediaan pasokan rumah untuk MBR menjadi sebuah keniscayaan.

Perlu dilakukan kerjasama antara pemerintah, pengembang perumahan, dan perbankan untuk secara bersama­sama menyediakan perumahan bagi MBR.Kerjasama penyediaan rumah murah antara pemerintah dengan pihak swasta merupakan suatu terobosan untuk mengatasi kesenjangan antara permintaan dan pasokan kebutuhan perumahan, serta juga penyediaan rumah yang layak huni bagi MBR.

Kerjasama Pemerintah dengan pengembang peru­mahan, yaitu dengan mengajak dan mendorong para pengembang untuk terus membangun perumahan bagi MBR dengan memberikan insentif dan subsidi bagi para pengembang dalam meningkatkan jumlah pembangu­nan perumahan bagi MBR. Adapun kerjasama peme­rintah dengan perbankan dapat berupa program kredit kepemilikan rumah murah bagi MBR. Saat ini Peme­rintah bersama dengan beberapa lembaga perbankan memiliki program penyediaan rumah layak huni bagi MBR melalui Program Kredit Perumahan Rakyat Fasili­tas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (KPR­FLPP).

Melalui program ini di­harapkan dapat mewujud­kan penyediaan perumah­an layak huni secara merata dan makin berkeadilan, dan memberikan kemudah­an akses bagi MBR untuk mendapatkan perumahan yang layak huni.

MBR, menunggu implementasi dan operasionalisasi dari seluruh kebijakan pemerintah baik dalam bentuk program maupun kegiatan yang riil untuk terwujud­nya rumah murah dan terjangkau. Kerjasama dari se­luruh pemangku kepentingan bidang perumahan dan kawasan permukiman, baik Pemerintah, pemerintah daerah, pengembang, perbankan dan masyarakat umum sangat dibutuhkan untuk mendukung peningkatan ke­se jahteraan masyarakat.

Peran Penataan Ruang Perkotaan dalam Penyediaan Perumahan bagi MBR di Indonesia

Pemerintah perlu menemukan solusi yang tepat dalam penyediaan perumahan bagi masyarakat ber­penghasilan rendah. Terkait hal ini, diperlukan payung kebijakan yang dapat menjadi landasan spasial bagi pe­nyediaan perumahan tersebut.

Undang­undang Penataan Ruang mengatur pem­bagian pola ruang menjadi kawasan lindung dan ka­wasan budi daya. Kawasan budi daya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidaya­kan, termasuk di dalamnya adalah kawasan perumahan. Di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota, sesuai de­ngan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 17/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan RTRW Kota, diatur kebijakan spasial kawasan perumahan, yang meliputi kawasan perumahan dengan kepadatan tinggi, perumahan dengan kepadatan sedang, dan peru­mahan dengan kepadatan rendah. Dengan kata lain, pe­nyediaan perumahan harus mengacu pada rencana tata ruang wilayah. Hal ini ditegaskan kembali di dalam UU Nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, Pasal 38 ayat (4), yakni pembangunan

rumah dan perumahan harus dilakukan sesuai dengan rencana tata ru­ang wilayah.

Selanjutnya, di da­lam Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK),

Pendapat

Page 53: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

53

Edisi 4 - 2013

se suai dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No­mor 20/PRT/M/2011 tentang Pedoman Penyusunan RDTR Kota, peruntukan untuk perumahan tersebut dapat diperinci lebih lanjut ke dalam rumah susun, ru­mah kopel, rumah deret, rumah tunggal, rumah taman, dan sebagainya. Selain itu, zona perumahan dapat di­perinci juga berdasarkan kekhususan jenis perumahan, yakni antara lain perumahan tradisional, rumah seder­hana/sangat sederhana, rumah sosial, dan rumah sing­gah. Di dalam RDTRK, klasifikasi zona dan sub zona di kawasan budi daya meliputi zona perumahan dengan sub zona perumahan kepadatan sangat tinggi, kepadat an ting­gi, kepadatan sedang, kepadatan rendah, dan kepadatan sangat rendah. Di dalam sub zona kepadatan sa ngat ting­gi itulah diatur mengenai apartemen atau rumah susun, yang dapat merupakan salah satu bentuk perumah an bagi masyarakat berpenghasilan rendah perkotaan.

Kedua pedoman tersebut merupakan acuan umum dalam penyusunan RTRW Kota dan RDTR Kota. Secara spesifik, UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun menjelaskan bahwa penyediaan rumah susun, yang didalamnya termasuk rumah susun bagi MBR, dilakukan dengan dasar kebijakan spasial yang di­arahkan di dalam RTRWK dan rencana rinci (termasuk RDTRK). Pasal 13 ayat (3) UU tersebut menyebutkan bahwa penetapan zonasi dan lokasi pembangunan ru­mah susun harus dilakukan sesuai dengan ketentuan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota. Khusus untuk daerah yang belum memiliki RTRW, Pasal 13 ayat (4) mengatur bahwa gubernur atau walikota/bupati dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menetapkan zonasi dan lokasi pembangunan rumah susun umum, rumah susun khusus, dan rumah susun negara dengan mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Sedangkan untuk wilayah Provinsi DKI Jakarta, Pasal 13 ayat (5) menjelaskan bahwa penetapan zonasi dan lokasi pembangunan ru­mah susun dilakukan sesuai dengan ketentuan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi DKI Jakarta.

Khusus untuk Wilayah DKI Jakarta, Perda Provinsi DKI Jakarta No.1/ 2012 tentang RTRW DKI Jakar­ta 2030, dalam Pasal 81 ayat (4) nya dijelaskan bahwa pengembangan perumahan vertikal atau rumah susun, termasuk untuk MBR, dilakukan melalui peremajaan kota secara terpadu dilengkapi Ruang Terbuka Hijau (RTH), fasilitas umum, dan fasilitas sosial. Rumah susun untuk MBR yang disebut sebagai rumah susun sederhana direncanakan untuk dibangun di kawasan permukiman kumuh berat di kelurahan Petamburan, Karet Tengsin,

Bendungan Hilir, kelurahan Tanah Tinggi, Kampung Rawa, dan Kebon Melati (Pasal 118, ayat (1) i).

Dengan demikian, penataan ruang kota memiliki peran yang signifikan dalam penyediaan perumahan masyarakat berpenghasilan rendah, rencana tata ruang wilayah kota dan rencana rincinya seharusnya memuat landasan alokasi ruang bagi penyediaan perumahan un­tuk MBR tersebut.

Kebijakan di Masa yang Akan DatangTelah dijelaskan bahwa Indonesia menghadapi per­

masalahan penyediaan perumahan, khususnya peru­mahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah.Tingkat urbanisasi yang pesat merupakan tekanan terhadap pe­menuhan kebutuhan perumahan tersebut. Kebutuhan perumahan bagi MBR tidak hanya terdapat di kota­kota besar Indonesia namun juga di kota­kota sedang dan ke­cil, karena masyarakat berpenghasilan rendah terdapat juga di berbagai kota tersebut. Penataan ruang kota di Indonesia memiliki peran sangat penting sebagai basis kebijakan spasial dalam penyediaan perumahan, ter­masuk perumahan untuk MBR. Selain itu, pemenuh­an kebutuhan perumahan MBR secara kuantitatif dan kualitatif perlu didukung dengan pemenuhan kebutuh­an infrastruktur penunjang, baik sanitasi, air bersih, maupun koneksitasnya dengan transportasi masal yang handal, aman, nyaman, dan terjangkau. Peran ini juga dilaksanakan melalui penataan ruang kota. Namun de­mikian, kebijakan lebih lanjut, seperti pemberian sub­sidi bagi transportasi masal untuk MBR perlu untuk dilakukan.Masyarakat berpenghasilan rendah, tidak hanya perlu dijamin hak nya dalam mendapatkan ruang hidup yang layak namun juga dalam mencapai ruang produksi ekonominya.Sekali lagi, penataan ruang da­pat berperan lebih jauh dalam penyediaan perumahan masyarakat berpenghasilan rendah ini sekaligus penye­diaan infrastruktur pendukungnya secara terintegrasi.

*) Dadang Rukmana, Direktur Perkotaan, Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum

sumber foto: istimewa

Page 54: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

Kepedulian Teguh Kinarto terhadap kalangan bawah, khususnya Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) terbilang besar. Terbukti, awal

pijakan penting dalam sejarah karier bisnis properti Teguh adalah proyek pembangunan rumah sederhana di 22 kota dan kabupaten sekaligus di Jatim yang diresmikan pada 1997 oleh Gubernur Jatim saat itu, Basofi Soedirman. Lewat proyek rumah sederhana itu, perusahaan pengembang milik Teguh mulai dikenal lantaran mampu menyelesaikan pembangunan 8.000 rumah dalam jangka waktu satu tahun. Prestasi ini turut mendongkrak nama REI secara keseluruhan karena mampu memberikan kontribusi besar pada pembangunan hunian untuk MBR

Sukses dengan proyek rumah sederhana membuat Teguh kian dipercaya sebagai pengembang perumahan di berbagai kota/kabupaten di Jatim, khususnya untuk hunian sederhana. Tentu saja kesuksesannya ini makin mengokohkan Teguh Kinarto sebagai salah satu pengembang yang dapat dipercaya di industri properti nasional.

Saat ini Teguh Kinarto disebut-sebut sebagai salah satu kandidat kuat untuk menduduki posisi Ketua Umum REI yang akan melaksanakan Musyawarah Nasionalpada November 2013 mendatang. Salah satu program unggulannya jika terpilih nanti sebagai Ketua Umum adalah meningkatkan peluang pembangunan rumah untuk MBR. Seretnya subsidi yang diberikan Pemerintah terhadap rumah MBR sementara backlock perumahan telah mencapai 15 juta unit, juga menjadi program Teguh Kinarto.

Teguh Kinarto Sampai saat ini kepastian atas dibuka atau tidaknya penjualan properti kepada orang asing masih berlarut-larut. Teguh Kinarto bertekad akan terus mendorongnya jika terpilih menjadi Ketua Umum REI dan memberikan kompensasi untuk pembangunan rumah MBR kepada pengembang yang menjual properti kepada orang asing.

Testimoni

Rumah Untuk MBR dari Penjualan Properti Untuk Orang Asing

54

Page 55: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

Edisi 4 - 2013

Salah satu usulannya adalah, Real Estat Indonesia (REI) akan mendorong pemerintah untuk membuka keran terhadap kepemilikan properti oleh asing di Indonesia. “Hal ini justru bakal menguntungkan negara bukan menjual negara,” kata Teguh Kinarto. Ia mengatakan, kepemilikan properti oleh asing akan berdampak cukup besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ini dikarenakan akan ada perputaran ekonomi, pajak dan devisa. Sementara Teguh tidak melihat adanya sisi negatif seperti terjadi pada sektor lainnya.

“Kami tidak melihat sisi negatif dari kepemilikan asing ini. Banyak manfaat malah, lihat saja properti kan ada pajak 10 persen, pajak barang mewah 20 persen, ada pajak-pajak lain kalau ditotal bisa sampai 40 persen. Ini secara total berapa devisa yang akan masuk,” katanya.

Teguh mempertanyakan “kenapa pemerintah melarang investor asing membeli dan memiliki properti di Indonesia”. Padahal kepemilikan pihak asing tersebut hanya bersifat hak pakai bukan hak milik. Satu sisi sektor lain dalam pertambangan misalnya memperbolehkan pihak asing masuk dan menjual.“Kan kita tidak menjual tanah atau negara ini, justru dengan adanya investor asing dan membeli properti di Indonesia, bisa membawa keluarga dan berbelanja di Indonesia dan ini ada perputaran uang dolar di sini,” kata dia.

Saat ini, kata Teguh, kepemilikan properti oleh asing adalah warga asing yang bekerja di Indonesia dan tidak diperkenankan investor asing memiliki properti.

“Kalau investor asing mau beli properti Indonesia belum bisa, kecuali orang

asing yang tinggal dan bekerja di Indonesia saja yang

diperkenankan, kalau cuma

hanya sebatas

memiliki Paspor belum bisa, padahal wisatawan asing yang datang ke Indonesia ini mencapai 7.000 lebih, kalau 1.000 warga asing membeli dan memiliki properti di Indonesia saja, tentu ada roda perekonomian yang didapat,” kata Teguh.

Bila pemerintah merasa takut atau harus melindungi masyarakat Indonesia, pemerintah dapat memberikan batasan harga atau lokasi tertentu saja. “Dalam satu bangunan hanya boleh 20 persen saja yang bisa dilepas untuk asing,” imbuhnya. Dengan dibukanya kepemilikan asing, lanjut Teguh, akan meningkatkan penerimaan pajak hingga 40 persen. Pajak tersebut diperoleh dari Pajak Pertambahan Nilai (10 persen), Pajak Penghasilan (5 persen), Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (5 persen), dan Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah (20 persen).

“Kan tidak apa-apa dengan batasan tertentu. Kita tidak melihat ada dampak negatif dari hal itu. Dari pada apa yang sudah terjadi di Bali, banyak orang asing yang membeli properti di Bali, sengaja menikah dulu dengan orang sana, jelas pelanggaran,” ujarnya. Selain menambah devisa negara, kepemilikan properti asing juga justru membuka banyak lapangan kerja di Indonesia. “Selama ini devisa keluar terus, tapi nggak ada yang masuk. Kepemilikan asing ini justru mendorong devisa, pajak, dan banyak tenaga kerja,” jelas Teguh.

Dijelaskannya, kepemilikan properti asing di suatu negara itu sudah tidak asing lagi. Bahkan, di beberapa negara seperti Singapura, Malaysia, Tiongkok, dan Hongkong, kepemilikan properti asing sudah bukan hal baru. “Australia dan beberapa negara lain itu sudah biasa membuka properti asing di negaranya, termasuk Australia sudah sejak tahun 1990 an,” kata Teguh.

Lebih jauh Teguh bahkan mengusulkan, pemerintah bisa saja melakukan uji coba untuk beberapa lokasi dulu sebagai test case. “Coba saja dibuka sebuah kawasan atau beberapa proyek untuk uji coba, kalau memang responnya kurang baik, tinggal di stop saja. “Yang penting kita lihat good willnya untuk kepentingan bersama,” kata Teguh lagi. Teguh bahkan berani mengusulkan, pihaknya bersedia memberikan kompensasi khusus. Misalnya, kepada pengembang yang menjual properti kepada orang asing, diwajibkan membangun rusunami atau apapun namanya dan memberikan subsidinya untuk pembangunan rumah MBR. “Subsidi silang, siapapun yang jual properti kepada orang asing, wajib membangun rumah sederhana untuk MBR,” tegasnya (fendi).

55

Page 56: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

56

Selamat Hari Perumahan Nasional, 25 AgustusHari Habitat Dunia (HHD), 7 Oktober

Hari Tata Ruang, 8 November

Selamat Hari Perumahan Nasional, 25 AgustusHari Habitat Dunia (HHD), 7 Oktober

Hari Tata Ruang, 8 November

Peluang dan Tantangan Implementasi Energi Terbarukan

di Sektor Perumahan

Page 57: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

57

Edisi 4 - 2013

Selamat Hari Perumahan Nasional, 25 AgustusHari Habitat Dunia (HHD), 7 Oktober

Hari Tata Ruang, 8 November

Konsep

1. Wied Wiwoho Winaktoe, Green Development Initiatives, Dana Mitra Lingkungan (DML)

2. Yaseri Dahlia Apritasari, Greenorganomic Studio

3. UN-Habitat, 2005, Financing Urban Shelter: Global Report on Human Settlements 2005, hal. 163, London: Earthscan.

4. Studi ITB tahun 1994.5. Anonim,1992, Pedoman Tata Cara Perancangan

Konservasi Energi pada Bangunan Gedung, hal. 1, Bandung: Departemen Pekerjaan Umum, Badan Penelitian dan Pengembangan PU, Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman.

6. Anna Kajumulo Tibaijuka, 2009, Building Prosperity, hal. 39, London: Earthscan.

7. Laporan Akhir Kegiatan Penelitian Sistem Penyediaan Perumahan, 2010, Bandung: Puslitbang Permukiman.

8. Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, 14 November 2012, Kebijakan dan Program Konservasi Energi, slide 4, Jakarta.

Energi dan Keberlanjutan Lingkungan sebagai Kriteria Hunian Layak

Sejak tahun 1996, United Nations Conference on Hu-man Settlements (Habitat II, 3-14 Juni 1996) di Is-tanbul, telah mendorong fase permukiman layak

buat semua (adequate shelter for all), yang antara lain memuat komponen “adequate lighting, heating, and ven-tilation” (kecukupan cahaya, panas dan saluran udara).3 Sebagaimana diketahui, ketiga komponen tersebut terkait dengan tema sumberdaya atau efisiensi energi untuk hu-nian, karena konsumsi energi untuk pencahayaan sekitar 33% dan pendingin udara 11%.4

Secara umum, tipikal penggunaan energi pada bangun-an-gedung di Indonesia meliputi penghawaan (50-65%), pencahayaan (13-27%), lift/elevator (11-16%), pompa dan utilitas (3-26%).5

Sekitar 6 tahun sebelumnya (tahun 1990), UNCHS telah memasuki fase sustainable urban development (pengem-bangan kota berkelanjutan) dengan fokus perhatian pada perencanaan holistik guna menyeimbangkan efisiensi, keadilan, serta keberlanjutan.6 Kom binasi dari kedua fase

tersebut mengimplikasikan suatu koridor penye-diaan hunian yang menginternalisasikan prinsip-prinsip manajemen lingkungan dan renewable energy (energi terbarukan) dalam penyediaan komponen hunian-layak.

Jika menilik indikator hunian-layak yang berkembang di Indonesia maka Standar Pelayanan Minimal (SPM) Kemente-rian Perumahan Rakyat (indikator 9) dan Indikator MDGs (indikator 6) telah membuka peluang kepada adopsi energi terbarukan meskipun keberpihakan yang jelas baru terlihat dalam indikator MDGs yang menyertakan unsur pe nerangan listrik non-PLN ke dalam kriteria kelayakan rumah.

Kebijakan dan Kondisi Implementasi Energi Terbarukan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Ke-

bijakan Energi Nasional menyatakan bahwa energi baru dan terbarukan (EBT) lainnya, khususnya biomassa, nuklir, tenaga air, tenaga surya, dan tenaga angin diproyeksikan untuk menjadi lebih dari 5% (lima persen) peranannya dalam konsumsi energi nasional di tahun 2025. Pada ta-hun 2011, terdapat 28% rumah tangga yang belum meng-akses listrik dan 95,2% suplai energi masih didominasi oleh energi fosil.8 Sementara, subsidi energi cenderung semakin tinggi (Gambar 1).

Oleh Wied Wiwoho Winaktoe1 dan Yaseri Dahlia Apritasari2

IndikatorPerumahan (BPS) SPM (Permenpera 22/2008) MDGs

Indikator Syarat Keterangan2. Pencahayaan, Penghawaan dan Sanitasia. Kecukupan pencahayaan: minimal 50%

dari dinding yang berhadapan dengan ruang terbuka untuk ruang tamu dan minimal 10% dari dinding yang berhadapan dengan ruang terbuka untuk ruang tidur

b. Kecukupan penghawaan: minimal 10% dari luas lantai

c. Penyediaan sanitasi minimal 1 kamar mandi dan jamban di dalam atau luar bangunan rumah dan dilengkapi bangunan bawah septiktank atau dengan sanitasi komunal

6. Penerangan listrik 6. Penerangan sumber penerangan bukan listrik

tidak layak = 1

sumber penerangan listrik (PLN dan Non-PLN)

layak (konsep MDGs) = 0

9. Ketersediaan listrik dengan daya 450 VA atau 900 VA

Sumber: Puslitbangkim 2010 7

Peluang dan Tantangan Implementasi Energi Terbarukan

di Sektor Perumahan

Page 58: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

58

Konsep

Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2009 tentang Konservasi Energi telah mengamanatkan kepada Pemerin-tah dan Pemerintah Daerah untuk melakukan pembinaan mengenai konservasi energi. Pada saat ini, di lingkup hu-nian perhatian Pemerintah baru pada aspek konservasi energi dan aplikasi umum energi terbarukan. Sedang-kan Standar Nasional Indonesia (SNI) atau panduan yang memampukan khalayak umum untuk merencanakan pilih-an teknologi, mengonstruksi, operasionalisasi dan peme-liharaan energi terbarukan di tingkat hunian relatif belum tersedia.

Teknologi Energi Terbarukan dan Segmen KonsumenKetiadaan panduan ini agak meng hambat rumahtangga,

khususnya di per ko taan untuk melakukan komparasi kela-yakan teknis-ekonomi terhadap pilih an antara energi ber-basis fosil maupun energi terbarukan. Hal ini menjadi pen-ting karena dalam kondisi tertentu, biaya listrik/kWh yang dihasilkan energi terbarukan terkadang lebih ma-hal ke timbang listrik berbasis bahan bakar fosil. Selain itu, sistem pembiayaan tunai tak sepenuh-nya bisa disediakan oleh konsumen. Selanjutnya, keterbatasan teknologi ener gi terbarukan (misal wind turbine yang hanya mampu menghasilkan listrik pada kecepatan angin ≥ 4 m/detik9 atau photovoltaics yang terkendala cuaca mendung) kerap membutuhkan sistem hibrid (perpaduan antarjenis teknologi) agar mampu menyediakan pasokan listrik yang dikehendaki.

Saat ini photovoltaics (Pembangkit Listrik Tenaga Surya, PLTS) dan wind turbine (Pembang-kit Listrik Tenaga Bayu, PLTB) dapat dianggap se-bagai teknologi yang cukup popular diterapkan terintegrasi dengan hunian10. Kasus implemen-tasi teknologi tersebut cukup menjanjikan apli-kasi yang lebih luas dan potensi untuk menjadi paket-integral dalam pembangunan perumahan (landed maupun vertical). Hal yang perlu diper-hatikan ialah keterjangkauan teknologi bagi kon-sumen, perilaku cara pembayaran untuk memi-liki rumah (tren positip untuk kredit non-KPR, tren negatif untuk pembelian tunai dan kredit KPR), serta tren negatif alokasi rumahtangga un-tuk komoditas perumahan. Suatu skema pembi-ayaan untuk energi terbarukan agaknya dibu-tuhkan agar konsumen perumahan lebih mudah

meletakkan preferensi pada hal tersebut.Photovoltaics (PV)11, keuntungan PV adalah dapat dite-

rapkan di berbagai atap yang terekspos ke matahasi; 300 ft2 PV dapat menyediakan listrik bagi konsumsi tahunan dari rata-rata rumah tangga di Southern California12. Bahkan jika PV berukuran 100 sq2 diinstal maka dapat mereduksi ketergantungan bangunan terhadap jaringan bahan bakar minyak (fuel burning grids) sebesar 33%.

Indonesia mulai memanfaatkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) sejak 1989 namun total akumulasi penggunaannya baru 8 megaWatt. Kendala penggunaanya berada di investasi awal. Untuk memperoleh PLTS berdaya 100 Wp (maksimum bisa menghasilkan daya 500 Wh/hari) maka biaya yang harus dikeluarkan sekitar Rp. 8 juta. Bila diarahkan untuk menggantikan daya listrik PLN (450 W) maka dibutuhkan 22 sel surya @ 100 Wp dengan total in-vestasi sebesar Rp. 100 juta.13

Sumber: DJEBTKE, 2012

Gambar 5. 1 kW wind solar hy-brid off-grid power system untuk rumah tinggal, Hainan Island, China, 2007. 15

Gambar 4. Aplikasi photovoltaics secara integral untuk rumah tinggal.14

Gambar 6. 1,5 kW wind solar hybrid off-grid power system untuk rumah tinggal, Bangalore, India, 2011.16

9. Saat ini sudah tersedia teknologi wind turbine yang dapat menghasilkan listrik pada kecepatan angin 2 m/det.

10. Teknologi lain, seperti water power hydro-electricity, geothermal power, biogas power, cogeneration plants masih membutuhkan penyiapan infrastruktur yang relatif kompleks.

11. Robert HSIN, 12 April 1996, Op. cit.12. Alternative Energy Sourcebook (Real Goods Trading Corporation, Ukiah, Ca. 1994)

dalam Robert HSIN, 12 April 1996, Op.cit13. Anonim, 5 Desember 2005, Kontan No. 9, “ Mari Mengejar Energi Matahari”, hal.

20-21, Jakarta: PT Grahanusa Mediatama. 14. Chinaland Solar Energy, www.chnland.com15. HY Energy Power System Application Manual, www. Hyenergy.com.cn16. Ibid

Page 59: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

59

Edisi 4 - 2013

Wind power17: termasuk sum-ber daya yang bebas dari proses pembakaran, membutuhkan sedikit proses-intensif pengembangan, dan diproduksi melalui fasilitas terpusat yang disebut wind farms. U.S. Department of Energy memperkirakan wind energy dapat menyediakan 27% kebutuhan listrik nasional.

Indonesia, khususnya PLN, telah memiliki pembangkit listrik tenaga angin di Nusa Penida (kapasitas 100 kW) dan Lombok. Berdasar studi BPPT, dari 19.000 megaWatt kebu-tuhan listrik nasional, pembangkit tenaga angin baru menyediakan 0,5 megaWatt. BPPT sendiri telah melakukan uji coba pemasangan kincir angin di Pantai Baron – Yo-gyakarta; biaya pembuatan satu kincir angin berkisar Rp. 80 juta. Se-jauh ini tersedia 2 tipe wind turbine yakni versi horisontal dan vertikal; terdapat berbagai produk dengan sejumlah karakteristik: (a) kapasitas 900 W, berbobot 7 kg, harga satu unit lengkap berkisar Rp. 15 juta, (b) kapasitas 2500 W berharga Rp. 30 juta, (c) kapasitas 50-100 Watt berharga Rp. 10 juta.18

PenutupMempertimbangkan bahwa (i) tren evolusi paradigma

perumahan sejak 1990-an sebenarnya sudah menekankan aspek pengembangan perkotaan berkelanjutan (sustain-able urban development), (ii) sumber energi berbasis bahan bakar fosil (fossil-fuel) semakin membebani ling-kungan, (iii) peluang adopsi energi terbarukan (renew-able energy) dalam kriteria rumah-layak di Indonesia, maka penting bagi pembangunan perumahan untuk mulai mengintegrasikan teknologi energi terbarukan dalam arus utama pembangunan perumahan.

Dukungan yang diharapkan dari Pemerintah agaknya berada pada aspek (a) peningkatan kinerja tek-nologi agar biaya per KWh dapat lebih kompetitif, (b) penyediaan panduan life-cycle development dari setiap teknologi dan stan-dardisasi produk, serta (c) skema pembiayaan, agar konsumen pe-rumahan termotivasi mengadopsi teknologi tersebut. Terlebih men-dasar ketimbang semua itu ialah pengakuan negara terhadap hak individual untuk turut menjaga keberlanjutan lingkungan-hunian serta kewajiban negara untuk me-lindungi upaya pencapaian hal ter-sebut.

Instalasi wind turbine, yang mem butuhkan kecepatan angin 2 m/det, berpotensi menjadi pintu masuk (entry point) restrukturisasi lansekap permukiman (khususnya perkotaan) karena terowongan angin (wind channel) skala per-mukiman perlu disediakan; demi-kian pula dengan photovoltaics,

over shadowing yang diakibatkan ketidakpatuhan ter-hadap regulasi ketinggian dan pen-jarak-an (distancing) bangunan dapat menjadi pintu masuk pengaturan kepa-datan perumahan di perkotaan. Hak setiap individu un-tuk mengakses sumberdaya angin dan matahari menjadi awal penataan perumahan-permukiman yang berkualitas; dengan kata lain, perkembangan aplikasi wind turbine dan photovoltaics yang telah merambah berbagai tipe hunian (landed maupun vertical) merupakan sinyal optimistik un-tuk membenahi struktur ruang perumahan-permukiman yang sesuai daya dukung lingkungan.

Gambar 7. Wind turbine tipe HY-1000 grid-tie system yang terinstalasi di dinding rumah, Lyon, Perancis, 2011.19

Gambar 8. Wind turbine tipe HY-1000 grid-tie system yang terinstalasi di atap rumah, Leba­non, 2008.20

Gambar 9. Wind farm yang terinstalasi di atap bangunan gedung dan menjadi penyuplai listrik rumah susun. 21

17. Robert HSIN, 12 April 1996, Sustainable Architecture, Florida A&M University 18. Anonim, 5 Desember 2005, Kontan No. 9, “ Menangkap Angin Mengalirkan Listrik”,

hal. 18-19, Jakarta: PT Grahanusa Mediatama. 19. HY Energy Power System Application Manual, www. Hyenergy.com.cn20. Ibid21. Cygnuspower G&C, Clean & Green Wind Energy, www.cygnus-power.com

Page 60: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

60

Profil

Developer:PT. Delta Pinangmas

Luas Areal:4 Ha

Jumlah Unit:178 unit

Lokasi Proyek: Terusan Jl. Bandung, Cinere- Lokasi Strategis- Hanya 15 Menit Dari Tol JORR Simatupang- 5 km dari Pangkalan Jati Golf- 3.5 km dari RS Puri Cinere- Lingkungan Asri- Bebas Banjir

KANTOR PEMASARANCinere Delta ResidenceSentra Bazaar Cinere Ruko RB-3Jl. Raya Cinere No. 145, DepokHubungi: 021-29503388

Page 61: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

61

Edisi 4 - 2013

Menurut Weberian Bureaucrachy, pemerintah terdiri dari sebuah struktur organisasi yang terdiri dari se-kumpulan karyawan dengan kualifikasi tertentu,

terdiri dariberbagai divisi dengan pembagian tugas dan hirarki yang jelas serta menjalankan tugasnya sesuai dengan pera-turan perundangan. Struktur tersebut menjamin keteraturan dan keberlanjutan fungsi penyelenggaraan pemerintahan namun seringkali gagal menanggapi secara cepat perubah-an yang terjadi di masyarakat bahkan di dalam birokrasi itu sendiri. Hal ini dapat dipahami mengingat seringkali birokrasi pemerintahan bekerja berdasarkan prosedur yang ketat (red tape). Dalam pelaksananaan tugasnya seringkali karakteristik birokrasi tersebut menjadikan pemerintah berada dalam ke-sulitan manakala suatu keluaran (output) dan dampak (out-come)pembangunan di sektor tertentu merupakan hasil dari gabung an berbagai program/kegiatan yang tersebar di berba-gai institusi pemerintah (fragmented system).

Kondisi tersebut tercermin dalam pembangunan peru-mahan dan kawasan permukiman dimana kewenangannya terpisah secara vertikal antara pemerintah pusat dan daerah serta terbagi secara horisontal antarkementerian/lembaga. Lebih jauh lagi, rumah merupakan barang pribadi (private good) yang permintaan dan pilihannya sepenuhnya berada di tangan masyarakat dengan pilihan penyediaannya bisa dilaku-kan secara swadaya atau membeli dari pengembang (develop-er).Karakteristik tersebut menjadikan sistem penyediaan peru-mahan agak berbeda dengan sistem penyediaan infrastruktur publik seperti jalan dan pelabuhan udara. Penyediaan peru-mahan bagi masyarakat berpendapatan menengah ke atas sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar namun pe-

merintah memberikan berbagai fasilitasi bagi masyarakat ber-pendapatan rendah yang tidak mampu mengakses penyediaan rumah dari pasar perumahan.

Untuk mengelola kompleksitas di sektor perumahan dan permukiman diperlukan kesamaan tujuan dan harmonisasi program dan kegiatan dari berbagai pemangku kepentingan yang terlibat, khususnya di jajaran pemerintahan (Tabel 1). Ketidaksinkronan program dan kegiatan antarinstitusi baik di tingkat pusat dan daerah berpotensi menyebabkan lambat-nya pencapaian hasilpembangunan yang diharapkan. Dite-ngaraipencapaian target 7(d) Millenium Development Goals (MDGs)tidakakanterwujud.

Memperkuat Koordinasi melalui Pokja PKPTujuan pembangunan perumahan dan kawasan permu-

kiman sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 adalah me-ningkatkan akses masyarakat terhadap hunian yang layak dan terjangkau serta didukung oleh prasarana dan sarana dasar permukiman yang memadai. Tujuan tersebut seperti halnya tujuan MDGs akan tercapai dengan baik apabila didukung oleh berbagai rencana dan kegiatan yang dilakukan oleh ber-bagai kementerian dan lembaga terkait. Pencapaian tujuan tersebut tidak dapat dicapai hanya melalui keberhasilan dari suatu program/kegiatan tertentu karena tidak ada satu pun kementerian/lembaga yang dapat menyelesaikan permasalah-an pembangunan perumahan dan kawasan permukiman se-cara sendirian. Pada sisi lainnya, perbedaan persepsi terhadap tujuan pembangunan berpotensi menyebabkan terjadinya perbedaan indikator yang digunakan yang berimplikasi pada ketidaksinkronan kegiatan dan output yang dihasilkannya de-ngan dampak (outcome) yang ingin dicapai. Pada kasus ter-tentu perbedaan juga seringkali terjadi pada jenis pendekatan

yang digunakan serta besaran ban-tuan yang diberikan. Tanpa keterpa-duan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, suatu program akan berjalan tidak efektif, tidak efisien bahkan cenderung tumpang tindih.

Untuk meningkatkan efektifitas pembangunan perumahan dan ka-wasan permukiman, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasio-nal/BAPPENAS bersama Kementerian Perumahan Rakyat dan Kementerian Pekerjaan Umum berinisiatif mem-bentuk Kelompok Kerja Perumahan dan Kawasan Permukiman (Pokja PKP). Berdirinya kelompok kerja pe-rumahan dan kawasan permukiman diawali dengan pembentukan Tim Pengarah pada tanggal 16 Agustus

Pemangku Kepentingan (Stakeholders)

Peran

Perencanaan & Penganggaran

Pedoman dan Standar

Bangunan

Perizinan dan Administrasi Pertanahan

DataPenyediaan Perumahan,

Prasarana, Sarana, dan utilitas

BAPPENAS ●Kementerian Keuangan ●Kementerian Perumahan Rakyat ● ● ● ●Kementerian Pekerjaan Umum ● ● ● ●Badan Pertanahan Nasional ●Badan Pusat Statistik ●Pemerintah Daerah ● ● ● ●Kementerian Sosial ●Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi ● ●

Kementerian Kelautan dan Perikanan ● ●Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal ● ●

Tabel 1.Keterkaitan Peran Pemerintah Dalam Pembangunan Perumahan dan Permukiman

Kelompok Kerja Perumahan dan Kawasan Permukiman (Pokja PKP):

Memperkuat Koordinasi Menuju KolaborasiNurul Wajah Mujahid dan Adi Perdana*

Profil

Page 62: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

62

2011 melalui Keputusan Menteri Perencanaan Pembangunan/Kepala Bappenas Nomor 81/M.PPN/HK/08/2011.

Adapun tugas Pokja PKP sebagai berikut:menyiapkan rumusan rekomendasi kebijakan, strategi, a. dan pro gram pembangunan perumahan dan kawasan permukim an;menyiapkan langkah-langkah koordinasi, pengendalian, b. dan pemantapan pelaksanaan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman;menyiapkan bahan arahan dalam upaya percepatan pen-c. capaian target dan sasaran Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014 dan Millenium Deve-lopment Goals bidang perumahan tujuan 7 target 7D: “Men-capai peningkatan yang signifikan dalam kehi dupan pen-duduk miskin di permukiman kumuh pada tahun 2020”;menyiapkan rumusan bahan-bahan bagi pengembangan d. dan pengarahan pelaksanaan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman dengan sumber pendanaan da-lam dan luar negeri;melaporkan secara berkala perkembangan hasil pelaksana-e. an tugas dan pencapaian hasil kepada Tim Pengarah;melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Tim f. Pengarah.Untuk mendukung pelaksanaan tugas yang diberikan, Ke-

lompok Kerja Perumahan dan Kawasan Permukiman dileng-kapi dengan bidang-bidang. Setiap bidang dipimpin oleh pe-jabat setingkat eselon 2 dan beranggotakan pejabat eselon 3 dari berbagai kementerian/lembaga sebagaimana ter daftar di struktur tim pengarah.

Agenda KerjaKeberadaan Pokja PKP tidak dimaksudkan untuk meng-

gantikan peran dan tugas kementerian/lembaga namun lebih diarahkan untuk menjadi wadah pendukung pengambilan ke-bijakan agar lebih efektif dan konsisten dengan agenda pem-bangunan nasional. Terdapat 5 (lima) agenda besar kelompok kerja perumahan dan kawasan permukiman, yaitu:

Pembenahandata dan indikator pembangunan peru-a. mahan dan kawasan permukimanPerbaikan penyelenggaraan perumahan dan kawasan b. permukiman (housing delivery system)Penanganan kawasan permukiman kumuhc. Penyelenggaraan pertanahan dan perizinan untuk pe-d. rumahan Penataan kelembagaan perumahan dan kawaan per-e. mukiman

Selain akan menitikberatkan pada penyelesaian kelima agenda besar di atas, Pokja PKP juga diharapkan bisa men-dukung koordinasi penyelesaian isu-isu aktual yang lintas ke-menterian/lembaga. Selain mengelola koordinasi kebijakan, Pokja PKP dirancang agar menjadi sarana untuk sinkronisasi kegiatan dalam mendukung sasaran dan tujuan pembangunan perumahan dan kawasan permu kiman termasuk penanggu-langan kemiskinan. Pada sisi lainnya, untuk mendukung si-nergi de ngan pemerintah daerah, Pokja PKP tingkat nasional diharapkan dapat mengadvokasi pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman yang lebih efektif di daerah.

Dari Koordinasi Menuju KolaborasiSelain perlunya memperkuat koordinasi antarkemente-

rian/lembaga, Pokja PKP juga diharapkan dapat meningkat-kan kolaborasi dengan lembaga non-pemerintah termasuk masyarakat, lembaga swadaya masyarakat,perguruan tinggi, dan kalangan dunia usaha. Kolaborasi diperlukan sei ring dengan semakin meningkatnya kompleksitas kebutuhan masyarakat dan adanya perubahan baik di internal maupun eksternal pemerintahan seperti menguatnya otonomi daerah, demokrasi, dan peran masyarakat. Tantangan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman yang ada seringkali tidak sesuai dengan sumber daya yang dimiliki oleh lembaga pemerintah baik pembiayaan, pengetahuan, maupun kapasi-tas kelembagaan dan sumber daya manusia.

Keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh pemerintah seharusnya mendorong lembaga pemerintah untuk menyatu-kan sumber daya yang dimilikinya baik antarlembaga di tingkat pusat maupun dengan pemerintah daerah. Kolaborasi dilaku-kan selain untuk mendapatkan manfaat yang paling optimal juga dapat menghemat overhead cost, meningkatkan sumber daya, dan berbagi keahlian yang pada akhirnya dapat mening-katkan kinerja pelayanan dan meningkatkan reputasi instansi yang terlibat. Proses kolaborasi secara kongkrit biasanya di-awali dengan menyusun perencanaan yang multi-sektor, pem-buatan pilot project program/kegiatan baru, serta membangun budaya kerjasama dalam menyelesaikan permasalahan.

Proses kolaborasi seringkali tidak berjalan dengan mudah dikarenakan budaya birokrat itu sendiri yang enggan untuk berubah secara radikal (incremental culture) dan bisa juga diakibatkan oleh konflik kepentingan di antara pemangku ke-pentingan. Sistem birokrasi yang kaku dan berorientasi melihat ke dalam (inward-looking culture) tidak akan peka terhadap dinamika kebutuhan masyarakat yang seringkali melampaui batas-batas organisasi (Goldsmith and Eggers, 2004). Proses awal kolaborasi biasanya membutuhkan waktu dan energi yang besar karena diwarnai oleh perbedaan budaya organisasi, masalah kepemimpinan dan ego sektoral, kehilangan otonomi, keengganan berbagi sumber daya yang dibutuhkan serta per-saingan untuk memperoleh reputasi yang paling menonjol dari berbagai pihak yang terlibat.

Terlepas dari sisi positif dan negatif kolaborasi, peran pe-merintah di bidang pembangunan perumahan dan kawasan permukiman sudah saatnya bergeser dari semangat “provider” menuju “enabler” untuk menggerakkan seluruh sumber daya yang ada dan tersebar di berbagai pemangku kepen tingan. Pokja PKP menjadi sebuah harapan menuju pemba ngunan perumahan dan kawasan permukiman yang lebih efektif dan efisien. Untuk itu, pada tahap awal kegiat annya Pokja PKP perlu melakukan advokasi untuk penguatan kapasitas ang-gotanya, membangun kesepahaman (consensus building) mengenai indikator yang akan digunakan serta merumuskan masalah dan arah kebijakan pembangunan ke depan, khusus-nya menyongsong penyusunan RPJMN 2015-2019 yang meru-pakan tahap ketiga dari Rencana Pembangun an Jangka Pan-jang (2005-2025).

*) Perencana di Direktorat Permukiman dan Perumahan, Kementerian PPN/BAPPENAS

Profil

Page 63: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

63

Edisi 4 - 2013

Liputan

Untuk kesekian kalinya Majalah Property & Bank Indonesia yang kali ini bekerja sama dengan Aliansi Jurnalis Properti dan Keuangan (AJPK)

menganugerahkan Property& Bank Award 2013 yang digelar di Jakarta pada tanggal 20 Juni 2013. Khusus kali ini mengusung tema “Better Giving with Fresh Care”.

Pemimpin Redaksi Majalah Property & Bank Indra Utama mengatakan, pemberian penghargaan untuk kedelapan kalinya itu dilaksanakan selain sebagai bentuk apresiasi juga berkaitan dengan ulangtahun majalah tersebut. “Mudah­mudahan apresiasi ini bisa memberikan inspirasi kepada para stakeholder dalam rangka membangun pertumbuhan properti di Indonesia,” ujar Indra.

“Filosofi angka 8 bagi majalah Property&Bank dan kalangan umum dianggap sebagai angka sakti yang diyakini sebagian besar kalangan membawa keberuntungan. Angka 8 juga dianggap lambang infinity atau angka yang tak pernah berakhir” jelas Indra dalam sambutannya.

Ketua Dewan Juri, Prof Dr Danisworo menjelaskan kegiatan ini sudah menjadi tolok ukur, inovasi dan prestasi pelaku industri properti dan perbankan yang dinilai secara berkelanjutan oleh pakar, insan media dan pengamat yang kompeten di bidangnya.

Sejumlah pengembang properti yang berhasil menyabet tropi Golden Developer Award 2013 adalah PT Sinar Mas Land, PT Sentul City Tbk, PT Agung Podomoro Land Tbk ,dan PT Belaputera Intiland, Tbk. Sementara itu, perusahaan pengembang pendatang baru, AKR Land, menyandang sebagai pengembang baru dengan pertumbuhan tercepat.

Tahun ini, untuk kategori superblok/perkantoran terbaik diraih oleh Grand Metropolitan (Metland) yang telah lebih dari 5 kali menerima penghargaan ini, disusul kemudian Grand Rubina Business Park, Ciputra World Jakarta 2, serta Green Central City (Modernland Tbk). Sementara untuk kategori perumahan berpengaruh di kawasan diraih oleh Modern Hill, kemudian disusul oleh Bogor Nirwana Residence, La Verde, dan Casa Jardin (Global Budi Perkasa).

Adapun untuk kategori kondotel/apartemen terbaik diraih oleh Sky Terrace (PT Fajar surya Perkasa), Pancoran Riverside (PT Graha Rayhan Putra), Adede Park & Apartemen, Cibitung, serta Kota Modern. Sedangkan untuk Kategori Masterplan diraih oleh Harvest City.

Mantan Wapres Jusuf Kalla diberikan penghargaan

sebagai Tokoh Penggerak Program Rusunami dan Rumah Untuk MBR.Sementara Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mendapat apresiasi sebagai Economic Booster Figures Award 2013 atas prestasinya dalam mendorong percepatan ekonomi, dan Menteri Negara Perumahan era Orde Baru Cosmas Batubara dianugerahi sebagai Bapak Perumahan dan Inspirator Rumah Inti Tumbuh.

Sementara itu, tokoh­tokoh properti yang meraih penghargaan adalah Trihatma K. Haliman (CEO Agung Podomoro Land), Iwan Sunito (CEO Crown Group), dan Candra Ciputra (CEO Ciputra Group). Untuk tokoh­tokoh dari perbankan yang mendapat penghargaan adalah Jahja Setiaatmadja (Presiden Direktur BCA) dan Sofyan Basir (Direktur Utama BRI).

Tokoh properti lainnya seperti Andy K.Natanael dan Ali Hanafiah dinobatkan menjadi Pemasar Properti Terbaik. Serta Bursa Properti diganjar sebagai pengembang daerah yang berprestasi. Propertykita.com menjadi Portal Properti Terbaik.

Sedangkan untuk kategori perbankan terbaik, diberikan kepada Bank BCA, Bank Mandiri, Bank BRI, Bank BNI (untuk bank dengan aset diatas Rp 200 triliun), Bank BTN, CIMB Niaga (untuk bank dengan aset dibawah Rp 200 triliun). Untuk kategori perbankan syariah, penerima penghargaan adalah Bank BNI Syariah, CIMB Niaga Unit Syariah, dan Bank Syariah Bukopin.

Sementara kategori bahan bangunan diraih oleh Arwana Keramik dan Semen Indonesia (OM, dari berbagai sumber).

sumber foto: istimewa

Indonesia Property and Bank Award ke-8

Page 64: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

64

Disadari oleh para pemangku kepentingan bahwa Indonesia masih menghadapi masalah besar terkait masih banyaknya

rakyat Indonesia yang belum menempati rumah layak huni. Sepertinya upaya yang dilakukan masih belum menunjukkan hasil yang memadai. Untuk itu, Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Real Estat (LPP RE) menyelenggarakan Diskusi Kelompok Terfokus (Focused Group Discussion/FGD) bertema “Mencari Solusi Pemenuhan Rumah untuk Rakyat” pada tanggal 19 Juni 2013 di Jakarta.

LPP RE, yang merupakan lembaga independen dalam bidang properti dan berfokus pada pendidikan dan pelatihan, memandang perlu adanya terobosan yang terus menerus dalam upaya pemenuhan rumah untuk rakyat. Dengan demikian melalui diskusi berkala seperti ini akan diperoleh masukan yang selalu terbarukan.

Diskusi diawali dengan sambutan dari Ignesz Kemalawarta selaku inisiator LPP RE yang pada intinya mengharapkan hasil dari diskusi ini dapat menjadi masukan bagi para pengambil keputusan. Pada sesi diskusi, hadir para nara sumber yang berasal dari berbagai institusi, diantaranya Zulfi Syarif Koto (LPP3I/HUD Institute), Teguh Kinarto (DPP REI),

Aca Sugandhy (peneliti UI), Jehansyah Siregar (ITB), Aris Suwirya (DPP Apernas), Evie Deria (PT. SMF), Muhammad Nawir (Perumnas), Naning Adiwoso (GBCI).

Beberapa kesimpulan hasil diskusi yang mengemuka adalah (i) menegaskan kembali penyediaan perumahan MBR menjadi tanggungjawab pemerintah, (ii) memperkuat kelembagaan perumahan rakyat dengan mendorong terbentuknya dinas di tiap daerah dan terbentuknya lembaga penelitian dan pengembangan perumahan rakyat; (iii) mendorong terinternalisasinya prinsip hijau dalam setiap aspek pembangunan perumahan; (iv) mendorong keberpihakan pemerintah daerah terhadap penyediaan rumah sederhana bagi MBR; (v) optimalisasi peran Perumnas dalam penyediaan rumah MBR; (vi) mempercepat terbentuknya Tabungan Perumahan Rakyat; (vii) mengembangkan kebijakan pertanahan dan bank tanah yang berpihak pada MBR; (viii) tersedianya sistem informasi tanah yang transparan.

Direncanakan diskusi ini akan berlanjut secara berkala. Diskusi selanjutnya akan mendalami hasil diskusi yang telah disepakati agar lebih operasional. Sehingga diskusi ini menjadi lebih bermakna. Semoga (OM).

Diskusi Kelompok Terfokus

“Mencari Solusi Pemenuhan Rumah untuk Rakyat”

sumber foto: istimewa

Liputan

Page 65: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

65

Edisi 4 - 2013

PT PROPERNAS GRIYA UTAMA

Page 66: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

66

Koalisi Perumahan Rakyat (KPR) mendesak pemerintah agar segera memenuhi hak konstitusi rakyat untuk menyediakan hak bermukim

warganya. Hal itu diutarakan Zulfi Syarif Koto, selaku salah seorang penggagas dan deklarator Koalisi pada sejumlah media di Jakarta, Selasa (10/9/2013). Koalisi ini, jelas Zulfi terdiri dari lembaga independen nasional dan akademisi yang akan terus menggugat dan mendorong kinerja pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perumahan Rakyat Indonesia, untuk menyediakan hunian yang layak bagi seluruh masyarakat.

Acara pembentukan dan pernyataan sikap Koalisi Perumahan Rakyat tersebut dihadiri oleh Ketua Housing and Urban Development (HUD) Institute Zulfi Syarif Koto, Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI) Muhammad Joni, serta staf pengajar Universitas Indonesia dan Ketua Visi Indonesia 2023 Andrinof Chaniago. Para tokoh yang hadir tersebut juga berlaku sebagai pembicara.

“Seluruh rakyat Indonesia yang bermukim di Indonesia, itu dijamin hak bermukimnya. Artinya, semua rakyat, semua orang menengah ke atas maupun menengah ke bawah dijamin hak bermukimnya,” tegas Zulfi. Dia menekankan, hak bermukim tidak selalu harus membeli, namun juga menyewa. Pemerintah wajib bertanggungjawab, khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

Sayangnya, timpal Ali Tranghanda, Kemenpera belum bekerja dengan maksimal. Dia mencatat, beberapa program Kemenpera tidak berjalan dengan baik, bahkan

tersendat. Beberapa hal tersebut antara lain tersendatnya program seribu menara rusunami sejak 2007 lalu, ketidakjelasan program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), belum adanya perhatian khusus pada penyediaan hunian berimbang dan rumah susun, ketidakefektifan dana PSU, serta hasil penilaian BPK terhadap Kemenpera berupaWajar dengan Pengecualian (WDP).

Untuk itulah, Ali menambahkan, Koalisi Perumahan Rakyat menuntut beberapa poin pada Kemenpera. Pertama, koalisi tersebut menuntut penyiapan grand design serta penataan road map mengenai perumahan nasional. Kedua, koalisi tersebut menuntut adanya pembentukan bank tanah, penyediaan sumber pembiayaan murah, dan penerapan konsep hunian berimbang dalam rangka penyediaan rumah bagi MBR.

Poin ketiga, Koalisi Perumahan Rakyat menuntut adanya perubahan pola pikir pemerintah bahwa public housing dan commercial housing berbeda. Koalisi ini juga menuntut beberapa hal lain, yaitu penyiapan UU pembenahan regulasi, menata keberadaan Kemenpera sebagai penyedia perumahan rakyat, meningkatkan kapasitas pemerintah daerah untuk menjalankan pembangunan perumahan, memastikan pembangunan rusunawa, stimulan rumah swadaya, FLPP, dan PSU lebih tepat sasaran, memastikan hak seluruh warga Indonesia memiliki rumah terpenuhi, dan menjadikan pembangunan perumahan sebagai upaya bersama seluruh komponen masyarakat, termasuk pemerintah, swasta, dan masyarakat itu sendiri (Fendi).

Koalisi Perumahan Rakyat Desak Pemerintah Serius Jalankan Amanat Konstitusi

sumber: properti.kompas.com

Liputan

Page 67: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

Edisi 4 - 2013

Pekan Lingkungan Indonesia (PLI) ke-17 sebagai rangkaian perayaan Hari Lingkungan Hidup diselenggarakan pada 30 Mei - 2 Juni 2013 lalu. Pekan

Lingkungan Indonesia ini dibuka secara resmi oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup, Balthasar Kambuaya di Jakarta Convention Center Hall A. Dalam sambutannya, Menteri LH kembali menegaskan bahwa persoalan lingkungan tidak dapat dilihat sebagai suatu hal yang berdiri sendiri, namun sangat terkait oleh perilaku manusia terutama dalam memenuhi kebutuhannya. Perubahan perilaku melalui gaya hidup tentu saja mengubah pola ekstraksi sumber daya alam dan energi. Manusia didorong untuk tidak menggunakan sumber daya alam secara berlebihan.

Pekan Lingkungan Indonesia merupa-kan ajang kampanye lingkungan untuk mengajak masyarakat beralih kepada perilaku ramah lingkungan. Semua bentuk informasi mengenai kehidupan yang ramah lingkungan, produk ramah lingkungan dan berbagai informasi mengenai upaya pemerintah, swasta dan para pihak pemangku kepentingan dalam menjaga kehidupan yang ramah

lingkungan tersaji dalam satu arena.

Kegiatan dilaksanakan mengusung konsep “zero waste event” yaitu selama kegiatan berlangsung, tidak sedikit pun sampah yang keluar dari lokasi. Pada saat penutupan acara Pekan Lingkungan Indonesia akan dipaparkan jumlah sampah yang dihasilkan dari kegiatan dan hasil pengolahan sampah tersebut sehingga dapat dihitung nilai ekonomi dari sampah-sampah itu (OM, berbagaisumber).

Hari Lingkungan Hidup telah menjadi agenda tetap setiap negara, yang dirayakan setiap tanggal 5 Juni.Pada tahun 2013, tema yang ditetapkan oleh Badan

Lingkungan Hidup Persatuan Bangsa-Bangsa, United Nations Environment Programme (UNEP) adalah “Think.Eat.Save”. Di Indonesia, tema global ini diterjemahkan menjadi “Ubah Perilaku dan Pola Konsumsi Untuk Selamatkan Lingkungan”.

Tema “Think.Eat.Save” ini bertujuan memberikan gambaran yang mudah serta membuka kesadaran atas pentingnya me-nyikapi pemanfaatan mata rantai makanan dan sumberdaya alam termasuk pemanfaatan bahan makanan secara bijak.

Pemilihan tema ini didasari oleh keprihatinan banyak pihak terhadap kebiasaan penduduk dunia di negara maju maupun berkembang yang memiliki kebiasaan membuang-buang

makanan. Sementara planet Bumi menanggung beban menyediakan makanan bagi 5 miliar penduduknya.

Agenda

Hari Lingkungan Hidup 5 Juni

FAKTA PENTINGl 30% IKAN LAUT hasil tangkapan setiap tahun di dunia dibuang kembali ke laut karena mati, busuk dan kondisi rusak.l 20% MINYAK SAYUR dan KACANG-KACANGAN terbuang sia-sia.l 20% SUSU terbuang, atau 29 miliar ton produk susu di Eropa.l 45% UMBI dan AKAR TANAMAN terbuang sebelum di olah.l 20% DAGING terbuang atau 52 miliar ton daging di dunia.l 30% SEREAL terbuang, atau 286 miliar ton produk sereal di negara maju.l 45% BUAH-BUAHAN dan SAYURAN terbuang.

Menteri LH meresmikan Pekan Lingkungan Indonesia.

Pekan Lingkungan Hidup

sumber foto: satuharapan.com

67

Page 68: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

Latar Belakang

Hari Perumahan Nasional (Hapernas) diselenggarakan un-tuk meningkatkan kesadaran bahwa perumahan adalah kebutuh an dasar manusia yang menjadi tanggung jawab

bersama. Hapernas yang diperingati setiap tanggal 25 Agustus oleh pemangku kepentingan bidang perumahan dan permukiman juga bertujuan untuk mendorong pemenuhan pencapaian kebutuhan perumahan dan permukiman.

Sejak masa pra kemerdekaan, kebijakan tentang Perumahan telah menjadi perhatian walau masih terbatas hanya untuk pegawai negeri, rumah sewa, dan perbaikan lingkungan dalam rangka kesehatan. Pada masa penjajahan Belanda, terdapat Departement Van Verkeer en Waterstaat (Dept. V en W) yang menangani perumahan rakyat (Volk Huisvedting) dan bangunan gedung/rumah negara/pemerintah (Landsgebouwen) serta Pest Bestrijding untuk menangani wabah penyakit perkotaan. Sedangkan pada masa penjajahan Jepang, masalah perumahan ditangani oleh Doboku sebagai pengganti Departement Van Verkeer en Waterstaat.

Memasuki masa kemerdekaan, pada tahun 1947 dibentuk Kementerian Pekerjaan Umum yang antara lain me-nangani perumahan rakyat pada tingkat “Balai Perumahan”. Pada masa tersebut, sebagian unsur Kementerian penanganannya pada tingkat Balai dan Jawatan. Sementara itu, untuk kelembagaan di daerah sebagian besar mengikuti struktur organisasi jaman kolonial Belanda dengan membentuk dinas-dinas dan jawatan-jawatan.

Tahun 1950 kemudian menjadi tonggak sejarah bagi perumahan nasional, dengan terselenggaranya kongres perumahan yang perta-ma. Kongres yang dikenal dengan Kongres Perumahan Rakyat Sehat tersebut diadakan pada 25 – 30 Agustus 1950 di Bandung. Dalam kongres tersebut, Bung Hatta memberikan sambutan pembukaan yang mendengungkan cita-cita untuk membangun rumah layak bagi setiap keluarga di Indonesia.

Pelaksanaan Kebijakan perumahan dan permukiman sejak awal kemerdekaan hingga masa sekarang adalah untuk meneruskan pembangunan perumahan secara konstitusional seperti diamanat-kan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Ta-hun 1945. Dalam UUD 1945 disebutkan bahwa tujuan untuk me-nyejahterakan rakyat adalah melalui penyediaan sandang, pangan dan papan. Rumah (papan) merupakan salah satu hak dasar seperti yang tercantum dalam UUD 1945 pasal 28H ayat 1 yaitu: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan

mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.

Selanjutnya pada tanggal 18 Agustus tahun 2000, masalah pa-pan telah dipertegas kembali dalam Amandemen Ke-dua UUD 1945. Amanah tersebut diharapkan dapat diteruskan secara berkelanjutan oleh generasi saat ini maupun generasi yang akan datang, melalui suatu kelembagaan bidang perumahan yang mapan dan berkelan-jutan.

Berdasarkan lintasan sejarah tersebut, pada 10 Juli 2008 para stakeholder bidang perumahan telah mendeklarasikan Penetapan Hari Perumahan Nasional, yang ditindaklanjuti dengan Keputus-

an Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor: 46/KPTS/M/2008 tanggal 6 Agustus 2008 tentang Hari Perumahan Nasional yang

menetapkan tanggal 25 Agustus sebagai Hari Perumahan Nasional (Hapernas).

Tema Kegiatan Hari Perumahan Nasional Tahun 2013 ini adalah “Dengan semangat Hapernas, kita tingkatkan peran pembangunan perumahan dan kawasan permukiman dalam mendukung akselerasi pertumbuhan ekonomi yang menyejahterakan ma-syarakat”.

Adiupaya PuritamaDalam rangka Hapernas, untuk mendorong penyelenggaraan

perumahan dan kawasan permukiman dalam pemenuhan kebutuh-an rumah yang layak terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah, Kementerian Perumahan Rakyat memberikan apresiasi kepada pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabu-paten/kota, pemangku kepentingan bidang perumahan dan kawa-san permukiman serta masyarakat yang mempunyai komitmen dan berperan aktif dalam mengembangkan dan membangun perumah-an dan kawasan permukiman melalui Penganugrahan ADIUPAYA PURITAMA. Adiupaya Puritama menurut definisi adalah usaha yang dilakukan dengan bersungguh-sungguh dalam mewujudkan tempat tinggal atau hunian yang layak.

Penganugerahaan ADIUPAYA PURITAMA ditetapkan dengan Per-aturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 26 Tahun 2011 tentang Penganugrahan Adiupaya Puritama Kementerian Perumah-an Rakyat.

Penghargaan ini terdiri dari berbagai bidang, yaitu (i) Pemerin-tah Daerah Kabupaten/Kota dan Provinsi; (ii) Pengembang Rumah Tapak; (iii) Bank Penyalur FLPP; (iv) Pendamping dan Pelaksana Pe-rumahan Swadaya (sumber: Panitia Hapernas 2013).

Hari Perumahan Nasional 2013

Agenda

68

Page 69: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

69

Edisi 4 - 2013

KEMENTERIAN PERUMAHAN RAKYATREPUBLIK INDONESIA

SelamatHari Perumahan Nasional, 25 Agustus

Hari Habitat Dunia (HHD), 7 Oktober

Hari Tata Ruang, 8 November

Page 70: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) telah menetapkan Hari Senin, minggu pertama Oktober setiap tahun sebagai Hari Habitat

Dunia (World Habitat Day). Tahun ini diperingati pada tanggal 7 Oktober. Tujuan peringatan Hari Habitat adalah untuk memberi gambaran kondisi kota kita berikut ketersediaan hunian yang layak bagi semua. Sekaligus juga mengingatkan dunia bahwa kita semua bertanggungjawab untuk membentuk masa depan dari kota.

Tahun ini, PBB memilih tema Pergerakan Kota (Urban Mobility) dengan dasar pergerakan dan akses barang dan jasa adalah penting untuk menciptakan kota yang berfungsi secara efisien dalam pertumbuhannya. Kota yang mudah dijelajahi mendorong perubahan ke arah moda transportasi yang berkelanjutan dan menarik lebih banyak lagi orang menggunakan transportasi publik.

Tetapi, pergerakan lebih dari sekedar jenis moda transportasi yang dipergunakan. Perencanaan dan desain kota sebaiknya terfokus pada bagaimana menciptakan kota yang mementingkan aksesibilitas, dan tingkat kepadatan optimal, daripada sekedar menambah panjang jalan.

Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki Moon, menegaskan transportasi perkotaan adalah penting bagi pembangunan berkelanjutan. Pada hari Habitat Dunia ini, marilah kita berjanji untuk menjadikan kota kita mudah dijelajahi.

Sehubungan dengan tema tersebut, Kementerian Pekerjaan Umum sebagai penyelenggara Hari Habitat di Indonesia mengangkat tema “Kota Untuk Semua”. Tema ini membawa konsekwensi perwujudan hak atas kota (rights to the city), kemudahan aksesibilitas masyarakat terhadap berbagai sarana, prasarana dan jasa pelayanan kota, inclusiveness atau keterlibatan seluruh masyarakat, keadilan dan tata kelola pemerintah yang baik (good governance). (OM, bersumber dari Press Release Ditjen Cipta Karya)

Peringatan Hari Habitat Dunia(HHD) 2013

Tantangan Abad 21 Berada di Perkotaan Jumlah penduduk perkotaan telah melebihi separuh penduduk dunia, sehingga daerah perkotaan menjadi titik fokus dari dampak urbanisasi yang cepat, globalisasi, dan perubahan iklim.

Jumlah Penduduk Dunia Meningkat TajamPenduduk dunia di perkotaan akan mencapai 60 persen (2030) dan 70% (2050). Jumlah kota dengan penduduk di atas 1 juta orang telah mencapai 450, lebih dari 20 merupakan ‘megacity’, yang berpenduduk lebih dari 10 juta.

Menghindarkan Kekumuhan Sekitar 1 miliar penduduk dunia bertempat tinggal pada rumah yang tidak layak dan permukiman liar. Pada tahun 2020, diperkirakan 889 juta penduduk perkotaan dunia akan bertempat tinggal di daerah kumuh dan permukiman liar yang ditandai ketiadaan rencana kota.

Mengantisipasi Perubahan Iklim Pertumbuhan penduduk perkotaan dan perubahan pola konsumsi mengancam sumber daya yang memang sudah terbatas. Terdapat bukti nyata berbagai resiko yang dihadapi penduduk perkotaan dan kawasan perkotaan yang berdampak pada ketersediaan air, infrastruktur, transportasi, pasokan energi, produksi industri, dan perekonomian.

Mengurangi Emisi Pengelompokan penduduk di perkotaan mengakibatkan perkotaan mengonsumsi sebagian terbesar pasokan energi yang dapat mencapai sekitar 70 persen dari keseluruhan emisi di bumi ini.

Daerah Perkotaan Membuka Peluang Berusaha Urbanisasi dan kepadatan perkotaan membuka peluang. Sebuah kota yang dirancang baik akan membuka peluang berusaha. Penduduk miskin dan mereka yang kurang beruntung yang hidup di perkotaan akan lebih berpeluang keluar dari kemiskinan dibanding mereka yang miskin di perdesaaan.

Kota adalah Masa Depan Kaum Muda Di Dunia, penduduk usia muda mencapai sekitar 18 persen dari total populasi, dan sekitar 85 persen dari jumlah tersebut tinggal di negara berkembang. Pertambahan penduduk usia muda di dunia terjadi di perkotaan. Di banyak kota dunia, lebih dari 50 persen penduduk berusia dibawah 24 tahun.

Kota adalah Sumber Kreatifitas dan Produktifitas Kota adalah mesin pencipta kesejahteraan dan inovasi, yang dimungkinkan oleh keberadaan 40 kota terbesar yang menyumbang 66 persen kegiatan ekonomi dunia dan 85 persen temuan teknologi.

Kami Cinta Kota Kota adalah tempat kehidupan berlangsung, komunitas kami dan tempat kami saling berhubungan.

Inilah Saatnya Berubah Jika kita bekerja bersama, kita akan mencapai kota yang lebih baik bagi semua. Inilah waktunya memulai perubahan. Sekarang lah saatnya bagi para Pengubah Kota (City Changers).

(OM, bersumber dari situs UN Habitat).

Agenda

70

Page 71: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

Edisi 4 - 2013

ebagai mana tahun-tahun sebelumnya, pada tanggal 8 Nopember akan dilaksanakan puncak peringatan Hari Tata Ruang yang pada tahun ini

mengetengahkan tema Harmoni Ruang dan Air untuk Hidup Lebih Baik.

Menteri Pekerjaan Umum, Djoko Kirmanto, dalam sambutannya menjelaskan bahwa tema ini ditetapkan dilandasi atas kesadaran akan pentingnya air bagi kehidupan. Perwujudan ruang kehidupan selalu terkait dengan air, baik air sebagai media transportasi, air bagi pemenuhan kebutuhan dasar, air sebagai penyebab ancaman bencana banjir yang perlu dikendalikan, maupun berbagai nilai penting lainnya bagi manusia.

Peringatan Hari Tata Ruang di Indonesia dimulai pertama kali pada tahun 2008 oleh Direktorat Jenderal Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum. Istilah Hari Tata Ruang (HARI TARU) sendiri baru diperkenalkan pada tahun 2009. Kegiatan ini dimaksudkan sebagai upaya peningkatan kesadaran masyarakat dan para perencana ruang.

Penetapan tanggal ini merupakan adopsi dari peringatan World Town Planning Day (WTPD) di tingkat global. Peringatan WTPD pertama kali dicanangkan pada tahun 1949 oleh Prof. Carlos Maria della Paolera dari University of Buenos Aires, Argentina. Sejak

tahun 1995, peringatan WTPD dikoordinasikan oleh IsoCaRP (International Society of City and Regional Planner) yang berkedudukan di Den Haag, Belanda dan diperingati setiap tahun di 35 negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Tahun ini WTPD mengusung tema Water and Planning: the Fluid Challenge.

HARI TARU telah diselenggarakan sebanyak 5 (lima) kali, dengan tema umum “Planning for All” yang di-lengkapi dengan tema khusus setiap tahunnya. Sebagai

tema tahun 2008 adalah Perencanaan un-tuk Semua, menyusul tahun 2009 dengan tema Perencanaan Ruang Hijau, tahun 2010 bertema “Kotaku Hijau”, tahun 2011 bertema “Pemberdayaan Kota Hijau”, dan tahun 2012 bertema “Kota Hijau, Hidup Lebih Baik”.

Sebagai upaya lebih meningkatkan gaung peringatan HARI TARU, pada tahun ini Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) sedang mengajukan usulan penetapan tanggal 8 Nopember sebagai Hari Tata Ruang Nasional melalui Keputusan Presiden, yang sekaligus dicanangkan oleh Presiden pada tanggal 8 Nopember 2013 di Istana Negara (OM, berbagai sumber)

Danau Situ Lembang, Menteng, Jakartasumber foto: istimewa

Hari Tata Ruang 2013

“Harmoni Ruang dan Air untuk Hidup Lebih Baik”

Menggambarkan bangunan yang mewakili fungsi ekonomi

Menggambarkan manusia yang mewakili fungsi sosial

Warna biru pada Bumi menjelaskan dominasi air

pada permukaan bumi, termasuk 2/3 wilayah

Negara Indonesia

Simbol Bumi menjelaskan tujuan akhir dari program Harmoni Ruang dan Alam

Menggambarkan pohon yang mewakili

fungsi ekologi

71

Page 72: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

72

Jika menggunakan pendingin ruangan (AC), pastikan suhu ruangan tidak terlalu dingin. Jangan biarkan ada celah terbuka karena akan mengakibatkan AC bekerja lebih keras sehingga memboroskan penggunaan listrik.

Gunakan timer untuk menghindari lupa mematikan AC. Sesuaikan timer dengan jam aktifitas diluar rumah. Jadi

misalkan berada diluar rumah jam 8.00 – 17.00, maka atur timer untuk menyalakan AC pada jam 17.00 sampai jam 8.00.

Gunakan pemanas air dengan tenaga surya. Meskipun lebih mahal, dalam jangka panjang akan menghemat tagihan listrik.

Matikan lampu yang tidak terpakai dan jangan biarkan air menetes dari keran. Selain menghemat energi dan air, juga akan menghemat banyak tagihan.

Gunakan lampu hemat energi. Meskipun lebih mahal, tapi mereka rata-rata lebih kuat 8 kali dari lampu biasa dan 80% lebih hemat.

Maksimalkan pencahayaan dari alam. Gunakan warna terang di tembok, gunakan genteng kaca dibeberapa tempat dan maksimalkan pencahayaan dari jendela.

Hindari posisi stand by pada peralatan elektronik. Jika semua peralatan rumah tangga dimatikan (tidak dalam posisi stand by) maka akan

mengurangi emisi CO2 yang luar biasa dari penghematan energi listrik. Gunakan colokan lampu yang ada tombol on-offnya, atau cabut kabel dari sumber listriknya.

Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mulai menyelamatkan bumi kita tercinta. Beberapa tips berikut bisa dicoba di rumah.

Tips

Tips

Ramah Lingkungan di Rumah

Page 73: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

73

Edisi 4 - 2013

Jika pengisian ulang baterei HP, pencukur listrik, sikat gigi elektrik dan kamera Anda sudah penuh, segera cabut.

Kurangi waktu dalam membuka lemari es. Untuk setiap menit pintu lemari es terbuka, diperlukan 3 menit penggunaan energi untuk

mengembalikan suhu lemari es ke suhu yang diinginkan.

Hindari membeli bunga potong! Jika daerah Anda bukan penghasil bunga hias, maka dapat dipastikan bunga potong tersebut berasal dari daerah lain yang sampai ketempat Anda dengan meninggalkan “jejak” karbon.

Potong makanan kecil-kecil sebelum dimasak. Ukuran potongan kecil akan menggunakan energi lebih sedikit

dalam memasaknya.

Mencucilah menggunakan air dingin. Jika memakai mesin pencuci pakaian, mencucilah ketika kapasitas mesin cuci terpenuhi. Hal ini disamping untuk menghemat penggunaan air dan listrik, juga untuk mengurangi pencemaran yang diakibatkan oleh deterjen yang Anda pakai.

Gunakan deterjen yang ramah lingkungan. Saat ini memang harganya lebih mahal dari deterjen biasa, tapi kalau memang mampu, lakukanlah demi masa depan anak cucu kita.

Jika sudah bosan dengan perabot, jangan biarkan menjadi sampah. Bawalah ke pengrajin, lakukan modifikasi sesuai keinginan, atau berikanlah kepada yang berminat menerimanya.

Jika anak-anak sudah bosan dengan mainan mereka, jangan biarkan menjadi sampah. Donasikan mainan tersebut ke anak-anak di

panti asuhan. Mereka pasti dengan senang hati menerimanya

Pilihlah deodoran semprot atau produk-produk semprot lainnya yang tidak menggunakan aerosol. Ingat Aerosol juga penyumbang gas rumah kaca. Pilihan

kemasan yang menggunakan kaca.

Page 74: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

74

Neza­Chalco­Itza, Mexico City (Meksiko). Kawasan permukiman ini dihuni oleh sekitar 4 juta penduduk, dan merupakan kawasan permukiman terkumuh di dunia. Sekitar 1,8 juta penduduk tidak terlayani fasilitas air minum. Sekitar 10 persen penduduknya bertempat tinggal di vecindades, bekas bangunan milik orang kaya yang dijadikan rumah susun sewa murah. Masalah utama adalah perumahan illegal dan kekurangan fasilitas air minum.

sumber foto: www.vietbao.vn

Orangi Town, Karachi (Pakistan). Kawasan ini dihuni oleh sekitar 1,5 juta jiwa, meliputi areal seluas 60 km persegi, dengan tingkat kepadatan relatif rendah dan banyak bangunan bertingkat. Kawasan ini belum lama berselang berkembang menjadi kumuh. Walaupun demikian Orangi Town telah menjadi permukiman kumuh terbesar di Asia. Sebagaimana kawasan kumuh lainnya, masalah utama adalah tanah illegal, dan keterbatasan layanan fasilitas dasar. Sebagain penduduk merupakan pengungsi Rohingya dari Myanmar.

Dharavi, Mumbai (India). Kawasan ini dihuni oleh sekitar 1 juta jiwa, meliputi areal seluas 0,67 mil persegi dengan tingkat kepadatan sekitar 4,5 jiwa per m2 (sebagai perbandingan, kepadatan ideal setidaknya 7 m2 per kapita). Dharavi juga dikenal sebagai permukiman kumuh terbesar kedua di Asia. Lokasi Dharavi sangat strategis sebagai lokasi perumahan di kota Mumbai, yang sebelumnya merupakan rawa bakau. Penduduknya berasal dari beragam etnis yang hidup berdampingan secara damai. Masalah utama penduduk adalah tanah yang illegal dan tidak tersedia air yang layak.

Penduduk dunia yang tinggal di permukiman kumuh saat ini telah mencapai 828 juta jiwa (2010), yang menunjukkan peningkatan sebesar 171 juta jiwa dari tahun 1990, dan peningkatan sebesar 61 juta jiwa dari tahun 2000. Diperkirakan penduduk permukiman kumuh akan bertambah menjadi 889 juta jiwa

pada tahun 2020.Penduduk permukiman kumuh terbesar berada di kawasan Sub-Sahara Afrika mencapai 199,5 juta jiwa (61,7 persen dari total penduduk perkotaannya), menyusul Asia Selatan mencapai 190,7 juta jiwa (35 persen), Asia Timur 189,6 juta jiwa (28,2 persen), Amerika Latin dan Karibia 110,7 juta jiwa (23,5 persen), Asia Tenggara 88,9 juta jiwa (31 persen), Asia Barat 35 juta jiwa (24,6 persen), Afrika Utara 11,8 juta jiwa (13,3 persen), dan Oceania 6 juta jiwa (24,1 persen) (UN Habitat, 2010). Saat ini terdapat sekitar 200.000 permukiman kumuh di dunia, sebagian besar berada di dalam dan sekitar kota, dan jumlahnya meningkat tajam. Dari jumlah tersebut, berdasar berbagai sumber data, terdapat 10 (sepuluh) kawasan permukiman yang dipertimbangkan sebagai kawasan permukiman terkumuh di dunia.

Permukiman Terkumuh Dunia

Sumber foto: National Geography

Sumber foto: www.siasat.pk

Fakta

Page 75: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

75

Edisi 4 - 2013

Khayelitsha, Cape Town (Afrika Selatan). Merupakan permukiman liar terbesar dan tercepat pertumbuhannya di Afrika Selatan. Tercatat jumlah penduduknya adalah 400 ribu, namun ditengarai jumlahnya jauh lebih besar. Setelah berakhirnya rezim apartheid, kaum kulit hitam menyerbu Café Town mencari pekerjaan dan sebagian besar berpindah ke Khayelitsha. Hal ini yang menyebabkan tingkat pengangguran sangat tinggi mencapai 57 persen. Sebagian besar penduduknya berusia muda, sekitar 40 persen berusia di bawah 19 tahun, dan hanya 7 persen berusia di atas 50 tahun.

Kibera, Nairobi (Kenya). Merupakan permukiman kumuh terbesar kedua di Afrika, dengan jumlah penduduk sekitar 200 ribu, tetapi diyakini jumlahnya lebih besar. Sebagian besar penduduk menempati tanah secara illegal.Luas rumah rata-rata 16 m2, dan dihuni sampai 8 orang. Tingkat pengangguran tinggi mencapai 50 persen. Kibera sering dijadikan model dampak lingkungan dari permukiman liar. Penduduk menggunakan ‘toilet terbang’, yaitu tinja manusia yang ditampung dalam plastik dan dibuang ke jalan.

Rio de Janeiro, Brazil. Permukiman kumuh (favelas) di Rio tersebar, mulai dari komunitas dengan jumlah penduduk 2.500 jiwa (Vila Canoas) sampai terbesar (Rocinha) dengan jumlah penduduk 250 ribu jiwa. Bahkan permukiman kumuh tersebut membentuk sebuah kota kecil di dalam sebuah kota besar Rio, dengan fasilitas dan sistem transportasi sendiri. Sekitar sejuta penduduk tinggal di permukiman kumuh. Pada kenyataannya, satu dari lima penduduk Rio tinggal di permukiman kumuh. Permukiman kumuh di Rio de

Janeiro terkenal dengan tingkat kriminal yang sangat tinggi, bahkan beberapa lokasi sangat jarang dikunjungi oleh polisi. Bentuk kejahatan terbesar adalah perkelahian antarkelompok pengedar obat bius.(OM, berbagai sumber)

Kambwe, Zambia. Merupakan kota terbesar kedua di Zambia, dan disebut sebagai tempat paling terburuk tingkat polusinya yang berasal dari pencemaran kegiatan pertambangan. Tingkat kandungan timah dalam darah anak-anak mencapai lima sampai sepuluh kali tingkat yang diperkenankan. Tidak tersedia listrik dan air minum yang memadai. Tingkat kematian akibat HIV sangat tinggi.

Bogota, Kolumbia. Faktor penyebab terbentuknya permukiman kumuh di Bogota adalah pertumbuhan urbanisasi yang sangat tinggi mencapai 5,5 persen per tahun, yang tidak dapat diimbangi oleh penyediaan fasilitas dan utilitas oleh pemerintah. Sekitar 700 ribu penduduk bermukim pada permukiman kumuh, yang tersebar di 1.400 lokasi permukiman. Luasan permukiman kumuh mencakup 24 persen dari luas Bogota dan dihuni oleh sekitar 22 persen penduduknya.

Jakarta termasuk 6 Kota Asia Beradaptasi Iklim TerburukLembaga Internasional Maplecroft merilis, Jakarta termasuk dalam 6 (enam) kota di Asia yang tidak siap perubahan iklim. Indikator yang digunakan untuk mengukur kemampuan beradaptasi terhadap perubahan iklim adalah bencana rutin, populasi, pembangunan, sumber daya alam, riset dan pengembangan, dan efektivitas kebijakan pemerintah. Bencana banjir sepertinya menjadi faktor utama yang menjadikan Jakarta masuk dalam daftar tersebut. Adapun kota lainnya adalah Dhaka (Bangladesh), Manila (Filipina), Bangkok (Thailand), Yangon (Myanmar), Ho Chi Minh City (Vietnam), dan Kalkuta (India). Kota ini beresiko terhadap perubahan iklim dan cuaca dalam beberapa tahun ke depan. Jadi, penduduk Jakarta bersiap-siaplah. (OM, Republika.co.id)

Sumber : berita.plasa.msn.com

Sumber foto: www.guardian.co.uk

Sumber foto: www.indiegogo.com

Sumber foto: southamericanexperts.wordpress.com

Sumber foto: www.lazypalace.com

Sumber foto: www.nowpublic.com

Sumber foto: berita.plasa.msn.com

Page 76: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

l Dari tahun 1980 sampai tahun 2010, terdapat pertambahan penduduk sebanyak 1 miliar di perkotaan Asia. Lebih banyak dibanding gabungan kawasan lainnya di dunia. Sebagian terbesar terjadi di China, Bangladesh, India, Indonesia dan Pakistan. Asia saat ini dihuni oleh hampir separuh penduduk perkotaan dunia. Penduduk perkotaan Asia lebih dari tiga kali jumlah penduduk perkotaan Eropa, yang nota bene merupakan kawasan dengan penduduk perkotaan terbesar kedua di dunia.

Tingkat urbanisasi Asia pada tahun 2000 terendah dibanding seluruh kawasan di dunia, tetapi pada tahun 2050 tingkat urbanisasi Asia akan meningkat dua kali lipat. Hal ini dipicu oleh laju pertumbuhannya yang relatif lebih besar dibanding kawasan lain baik periode 2000-2010 maupun perkiraan pada 2010-2050

lLaju pertumbuhan urbanisasi di Asia sangat tinggi. Penduduk perkotaan China berubah dari 10 persen menjadi 50 persen hanya dalam waktu 61 tahun. Sementara Amerika Latin dalam waktu 210 tahun, Eropa dalam waktu 150 tahun, dan Amerika Utara dalam waktu 105 tahun. Indonesia sendiri dalam waktu 66 tahun.

lKetersediaan air minum meningkat cukup signifikan dibanding kondisi tahun 1990. Hanya beberapa Negara yang cakupan layanan air minumnya masih dibawah 80 persen pada tahun 2010 seperti Tajikistan, Afghanistan, Laos, Kamboja, Timor Leste, Papua New Guinea. Namun, terdapat 4 (empat) negara yang cakupan layanannya malah menurun, yaitu Marshal Island, Nauru, Papua New Guinea dan Uzbekistan.

Sekitar 90 persen penduduk Asia menikmati air minum dari sumber perpipaan dan sumber lainnya yang aman.Selebihnya mendapat air minum dari sumber tidak layak seperti sumur tidak terlindungi, sumber air tidak terlindungi, sungai, danau, saluran irigasi dan sumber lainnya.

Secara umum, masih banyak Negara di Asia yang cakupan layanan sanitasi masih dibawah 60 persen termasuk Indonesia. Negara lainnya seperti Pakistan, Afghanistan, Mongolia,

Bangladesh, Bhutan, India, Nepal, Kamboja, Timor Leste, Papua New Guinea. Di seluruh Asia, hanya 68 persen penduduk yang telah meman-faatkan fasilitas sanitasi yang layak, sementara sisanya masih menggunakan fasilitas yang tidak layak bahkan sekitar 21 persen masih buang air besar sembarangan. (BABS)

lKejadian banjir akan sering terjadi seiring meningkatnya urbanisasi. Tahun 2025 diperkirakan 350 juta penduduk perkotaan Asia akan terancam bahaya banjir.

lLebih dari separuh kota dengan polusi udara terburuk berada di Asia, yang berkontribusi terhadap setengah juta kematian setahun.

Tingkat Urbanisasi dan Perkembangannya (Sekarang dan Perkiraan) (%)

KawasanTingkat Urbanisasi Proporsi Perubahan

2000 2010 2050 2000-2010 2010-2050Eropa 70,8 72,7 82,2 1,9 9,5Amerika Latin dan Karibia 75,5 78,8 86,6 3,4 7,8

Amerika Utara 79,1 82,0 88,6 2,9 6,6Afrika 35,6 39,2 57,7 3,6 18,5Asia 35,5 49,2 77,3 13,3 28,1

Asia

Sumber: Perkiraan ADB, 2012

Tabel Lamanya Waktu Pertumbuhan Penduduk Perkotaan (Urbanisasi) dari 10% menjadi 50%

Diagram Proporsi Penduduk yang Menggunakan Sumber Air Minum Berbeda, 2010

Air tidak layak, 17%Air permukaan, 2%

Air perpipaan, 44%

Sumber layak lainnya, 37%

Sumber: WHO/UNICEF Joint Monitoring Programme for Water Supply and Sanitation

Grafik Proporsi Penduduk Menggunakan Tipe Fasilitas Sanitasi yang Berbeda, 2010

Buang air besar sembarangan, 21% sanitasi layak,

56%

Sanitasi tidak layak lainnya, 11%

Sanitasi umum, 12%

Sumber: WHO/UNICEF Joint Monitoring Programme for Water Supply and Sanitation

Urbanisasi dan Dampaknya di

Fakta

76

Page 77: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

Edisi 4 - 2013

lKawasan perkotaan Asia ditandai oleh kepadatan tinggi dan mempunyai kota megapolitan terbanyak. Tiga kota terpadat dunia terdapat di Asia yaitu Mumbai, Kolkata, dan Karachi, dan 8 dari 10 kota terpadat dunia berada di Asia. Tahun 2010, di Asia terdapat 12 kota Megapolitan (dari total 23 di dunia).

lDari tahun 2000 sampai 2008, emisi gas rumah kaca per kapita di Asia bertumbuh sebanyak 97 persen dibandingkan hanya 18 persen untuk seluruh dunia, yang sebagian terbesar berasal dari kawasan perkotaan.

Transportasi, Kelistrikan, dan Komunikasi di AsialTotal panjang jaringan jalan di Asia bertambah dua kali, dari 4,9

juta kilometer (1990) menjadi 10,3 kilometer (2009). Total panjang jaringan jalan di Cina dan India mencakup 2/3 dari total panjang jaringan jalan di Asia. Sementara kepadatan jaringan jalan tertinggi di Jepang dan Singapura.

Sebagian besar listrik di Asia bersumber dari bahan bakar karbon (batubara, minyak, dan gas alam), dan proporsinya bertambah signifikan dari 68 persen (1990) menjadi 78 persen (2009).

Tingkat penetrasi internet (fixed broadband) di Asia mencapai 6,4 per 100 penduduk, masih lebih rendah dari rata-rata dunia yang sebesar 8,5.

Energi dan Lingkungan Asia dan Pasifik mengonsumsi sekitar 40 persen dari total konsumsi

energi dunia, yang sebagian besar berasal dari impor. Pada beberapa Negara Asia, tingkat subsidi konsumsi bahan bakar

minyak melampaui 20 persen, seperti di negara-negara Asia Barat dan Asia Tengah, Bangladesh, Brunei, Indonesia, Thailand. Selain di Asia, subsidi konsum-si bahan bakar juga melampaui 20 persen pada negara-negara Timur Tengah, sebagian Amerika Latin, sebagian Afrika, Namun, beberapa negara telah mulai mengurangi jenis sub-sidi ini.(sumber: Key Indicators for

Asia and the Pacific 2012, ADB, Manila, 2012)

Diagram Sumber Daya Listrik Tahun 2009

Keterangan: *Lainnya dianggap sebagai sisa dan termasuk nuklir, sampah, geotermal, cahaya, angin, dan lainnya.Sumber: World Development Indicators Online (World Bank 2012)

Batubara

Nuklir

Gas Alam

Terbarukan

Minyak

Lainnya

Persentase

Boks. Subsidi Konsumsi Bahan Bakar Fosil sebagai Proporsi dari Biaya Penyediaan, 2010

Lagos

Paris

Istanbul

Kairo

Mumbai

KarachiDelhi

Dhaka

Kolkata

Beijing

ShanghaiGuangzhou

Shenzhen

Tokyo

Osaka­Kobe

Manila

New York

Los Angeles

Mexico

Rio de JaneiroSao Paulo

Buenos Aires

77

Page 78: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

78

Info Buku

Page 79: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

79

Edisi 4 - 2013

Buku Wajib Perencana KotaPlanetizen (www.planetizen.com) sebuah situs informasi perencanaan kota merilis informasi tentang 20 buku yang wajib dibaca oleh para perencana kota. Berikut ini beberapa buku yang masuk dalam daftar tersebut.

The Death and Life of Great American Cities oleh Jane Jacobs (1961)Sebuah buku klasik yang menjelaskan tentang kota Amerika terkait hal yang membuatnya aman, bagaimana kota berfungsi, dan mengapa banyak usaha yang dilakukan dalam mempertahankan keberadaannya ternyata berujung kegagalan. The New York Times mengomentari buku ini sebagai hasil kerja yang paling berpengaruh dalam sejarah perencanaan kota.

The City in History: Its Origins, Its Transformations, and Its Prospects oleh Lewis Mumford (1972)Sebuah kisah sejarah dari bentuk dan fungsi kota sepanjang masa, dan meramalkan masa depan kota dan kehidupannya. Buku ini mendapat penghargaan ‘the National Book Award’ pada tahun 1962.

The Practice of Local Government Planning (Municipal Management Series) oleh Charles Hoch (2000)Pertama kali diterbitkan pada tahun 1916 oleh the National Municipal League. Buku referensi ini dikenal dengan julukan “The Green Book”, dan telah menjadi patokan perencanaan di AS.

The Image of the City oleh Kevin Lynch (1960)Apa arti bentuk kota bagi penduduknya? Apa yang dapat dilakukan seorang perencana kota agar citra kota lebih mengesankan? Menjawab pertanyaan ini, Lynch, yang didukung studi di Los Angeles, Boston, and Jersey City, memformulasikan sebuah kriteria baru -- imageability–dan menunjukkan nilai potensilnya sebagai panduan membangun kota.

The American City: What Works and What Doesn’t oleh Alexander Garvin (1995)Buku ini secara gamblang menjelaskan apa yang bisa dan apa yang tidak bisa dalam upaya menyelesaikan masalah kota Amerika. Berbagai contoh dan studi kasus secara jelas menggambarkan kesuksesan dan kegagalan dalam perencanaan kota, termasuk salah paham terhadap konsep “Comprehensive Plan.”

Good City Form oleh Kevin Lynch (1995)Lynch memperlihatkan keterkaitan antara nilai kemanusiaan dan bentuk fisik dari kota, menyiapkan kebutuhan normatif sebuah teori pembentukan kota, meninjau citra fisik terdahulu dari komunitas yang mungkin didambakan, melihat apa yang dipelajari dari citra yang buruk, dan menolong kita membentuk kota dalam satu atau salah tiga dari teori membangun yaitu pusat kosmik, kota mesin, dan kota sebagai organisme.

The Next American Metropolis: Ecology, Community, and the American Dream oleh Peter Calthorpe (1993)Salah satu pendukung kuat New Urbanism, arsitek Peter Calthrope membuat contoh pembangunan menyatu (compact), pembangunan bercampur (mixed-use development) yang telah mendominasi selama ini. Dua puluh empat rencana wilayah disajikan dalam buku ini, terfokus pada pengurangan ketergantungan pada kendaraan bermotor, dan meningkatkan kedekatan jarak antara rumah, tempat kerja, toko, dan rekreasi.

Cities of Tomorrow: An Intellectual History of Urban Planning and Design in the Twentieth Century

oleh Peter Geoffrey Hall (1996 Updated Edition)Cities of Tomorrow merupakan sebuah tinjauan terhadap ide, dan kejadian yang membentuk urbanisasi dunia sejak tahun 1900. Buku ini dibagi dalam beberapa bab diantaranya penanganan kumuh abad 19, transportasi massal pinggiran kota, gerakan kota taman (the garden city), lahirnya perencanaan wilayah, kota pencakar langit, dan pembangunan kembali perkotaan kontemporer.

Edge City: Life on the New Frontier oleh Joel Garreau (1992)Awalnya terdapat pusat kota. Kemudian sub-urban. Selanjutnya mal. Akhirnya Amerika meluncurkan perubahan paling mendasar dalam 100 tahun terakhir terkait bagaimana mereka hidup, kerja, dan bermain--The Edge City.

Design With Nature oleh Ian L. McHarg (1995)Buku yang pertama menggambarkan pendekatan ekologis pada perencanaan dan desain komunitas. Design with Nature telah banyak menghasilkan dalam 25 tahun terakhir untuk mempengaruhi kebijakan lingkungan. Dilengkapi dengan lebih 300 foto berwarna dan sketsa.

Planning in the USA: Policies, Issues, and Processes oleh Barry Cullingworth, and J. Barry Cullingworth (1997)Pengenalan yang lengkap tentang kebijakan, teori, praktek perencanaan guna lahan, kebijakan perencanaan kota, dan perlindungan lingkungan serta menjelaskan proses perencanaan.

(disarikan OM)

Info Buku

Page 80: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

Peraturan Menteri Nomor 10 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan

Kawasan Permukiman dengan Hunian Berimbang

Belajar dari upaya penerapan hunian berimbang yang relatif kurang berhasil, yang ditengarai karena dasar hukumnya yang hanya berupa Surat Keputusan

Bersama 3 Menteri, para pengambil kebijakan kemudian memasukkan konsep hunian berimbang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, yang kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 10 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman dengan Hunian Berimbang (selanjutnya disebut Permenpera 10/2012).

Permenpera 10/2012 ini dimaksud-kan sebagai pedoman bagi pemerintah, pemerintah daerah provinsi, pemerin-tah daerah kabupaten/kota dan setiap orang dalam penyelenggaraan peru-mahan dan kawasan permukiman de-ngan hunian berimbang.

Hunian berimbang didefinisikan seba-gai perumahan dan kawasan pemukiman yang dibangun secara berimbang dengan komposisi tertentu dalam bentuk rumah tunggal dan rumah deret antara rumah sederhana, rumah menengah dan rumah mewah atau dalam bentuk rumah susun antara rumah susun umum dan rumah susun komersial (Pasal 1 Permenpera 10/2012).

Tujuan Hunian Berimbang adalah untuk (i) menjamin tersedianya rumah mewah, rumah menengah dan rumah sederhana bagi masyarakat yang dibangun dalam satu hamparan atau tidak dalam satu hamparan untuk rumah sederhana; (ii) mewujudkan kerukunan antarberbagai golongan masyarakat dari berbagai profesi, tingkat ekonomi dan status sosial dalam perumahan, permukiman, lingkungan hunian dan kawasan permukiman; (iii) mewujudkan subsidi silang untuk penyediaan prasarana, sarana dan utilitas umum serta pembiayaan pembangunan perumahan; (iv) menciptakan keserasian tempat bermukim baik secara sosialdan ekonomi; dan (v) mendayagunakan penggunaan lahan yang diperuntukkan bagi perumahan dan kawasan permukiman (pasal 3).

Penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman dengan Hunian Berimbang dilaksanakan di perumahan, permukiman, lingkungan hunian dan kawasan permukiman dengan skala sebagai berikut (i) perumahan dengan jumlah

rumah sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) sampai dengan 1.000 (seribu) rumah; (ii) permukiman dengan jumlah rumah sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) sampai dengan 3.000 (tiga ribu) rumah; (iii) Lingkungan hunian dengan jumlah rumah sekurang-kurangnya 3.000 (tiga ribu) sampai dengan 10.000 (sepuluh ribu) rumah; dan (iv) kawasan permukiman dengan jumlah rumah lebih dari 10.000 (sepuluh ribu) rumah (pasal 6 ayat (3)). Namun aturan ini tidak berlaku ketika keseluruhan lokasi diperuntukkan bagi rumah sederhana dan/atau rumah susun umum (pasal 5)

Lokasi untuk hunian berimbang dapat dilaksanakan dalam satu kabupaten/kota pada satu hamparan;

atau tidak dalam satu hamparan. Lokasi Hunian Berimbang dalam satu ham-

paran sekurang-kurangnya menam-pung 1.000 (seribu) rumah dan untuk

lokasi yang tidak dalam satu hamparan sekurang-kurangnya menampung 50 (lima

puluh) rumah (pasal 7 ayat (3) dan (4)).Sementara persyaratan komposisi

atas Hunian Berimbang adalah berdasar-kan: (i) Jumlah rumah; atau (ii) Luasan

lahan.Komposisi berdasarkan jumlah rumah merupa-kan perbandingan jumlah rumah sederhana, jumlah rumah menengah dan jumlah rumah mewah. Perbandingan yang dimaksud adalah dalam skala 3:2:1, yaitu 3 (tiga) atau lebih rumah sederhana berbanding 2 (dua) rumah menengah ber-banding 1 (satu) rumah mewah1 (pasal 9 ayat (2)).

Komposisi berdasarkan luasan lahan merupakan perbandingan luas lahan untuk rumah sederhana, terhadap luas lahan keseluruhan. Luasan lahan tersebut minimal 25% dari luas lahan keseluruhan dengan jumlah rumah sederhana sekurang-kurangnya sama dengan jumlah rumah mewah ditambah jumlah rumah menengah (pasal 10 ayat (2)).

Selain itu, ditetapkan juga adanya Hunian Berimbang rumah susun yang merupakan perumahan atau lingkungan

Info Regulasi

1) Dalam Permenpera No. 10/2012 tercantum rumah komersil sebagai rumah yang diselenggarakan untuk mendapatkan keuntungan. Rumah mewah sebagai rumah komersial yang diselenggarakan dengan harga jual lebih besar dari 4 (empat) kali harga jual rumah sederhana. Sedangkan rumah sederhana adalah rumah umum yang dibangun di atas tanah dengan luas kavling antara 60 m2 sampai dengan 200 m2 dengan luas lantai bangunan paling sedikit 36 m2 dengan harga jual sesuai ketentuan pemerintah. Selanjutnya, rumah menengah adalah rumah komersial dengan harga jual lebih besar dari 1 (satu) sampai dengan 4 (empat) kali harga jual rumah sederhana.

80

Page 81: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

Edisi 4 - 2013

hunian yang dibangun secara berimbang antara rumah susun komersial dan rumah susun umum. Hunian Berimbang yang dimaksud tersebut minimal 20% (dua puluh persen) dari total luas lantai rumah susun komersial yang dibangun adalah berupa rumah susun umum. Rumah susun umum tersebut dapat dibangun pada bangunan terpisah bangunan rumah susun komersial atau dibangun dalam satu hamparan dengan rumah susun komersial (pasal 11).

Perencanaan perumahan dan kawasan permukiman dengan Hunian Berimbang dapat dilaksanakan dalam satu hamparan atau tidak dalam satu hamparan. Perencanaan tidak dalam satu hamparan wajib dilakukan oleh setiap orang yang sama dan perencanaan tersebut tertuang dalam dokumen-dokumen berupa (i) Rencana tapak; (ii) Desain rumah; (iii) Spesifikasi teknis rumah; (iv) Rencana kerja perwujudan hunian berimbang; (v) Rencana kerjasama. Dokumen tersebut harus mendapat pengesahan dari pemerintah daerah kabupaten/kota, khusus DKI Jakarta oleh pemerintah daerah provinsi DKI Jakarta (pasal 12 ayat (3), (4), (6), (7)).

Selanjutnya, pembangunan pemukiman, lingkungan hunian dan kawasan permukiman dengan hunian berimbang hanya dilakukan oleh badan hukum bidang perumahan dan kawasan permukiman. Badan hukum tersebut dapat berupa badan hukum yang berdiri sendiri maupun badan hukum dalam bentuk kerjasama. Kerjasama yang dimaksud dapat berbentuk (i) Konsorsium, (ii) Kerjasama operasional; atau (iii) Bentuk kerjasama lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan (pasal 13 ayat (2), (3, (4)).

Pengendalian atas perumahan dan kawasan permukiman dengan Hunian Berimbang dilakukan melalui (i) Pemberian peringatan tertulis; (ii) Penyegelan lokasi dan penghentian sementara kegiatan pembangunan; (iii) Pembatalan izin mendirikan bangunan; (iv) Pembatalan izin mendirikan bangunan; (v) Pembongkaran bangunan dan/atau; (vi) Pemberian sanksi (pasal 15 ayat (2)).

Pemberian sanksi dimaksud dalam Peraturan ini dapat berupa sanksi administratif atau sanksi pidana dimana ketentuan mengenai sanksi tersebut akan dinyatakan dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, khusus DKI Jakarta diatur dengan Peraturan Daerah Provinsi (pasal 15 ayat (3) dan (4)).Sebagai catatan, pada Pasal 150 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 telah dicantumkan sanksi administratif atas pelanggaran terhadap Hunian Berimbang yang bahkan lebih rinci2.

Permenpera ini juga dilengkapi bagian yang menjelaskan tentang tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah. Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggungjawab merumuskan dan menetapkan kebijakan, serta melaksanakan pembinaan dan koordinasi. Sementara pemerintah dan pemerintah daerah provinsi melaksanakan pemantauan dan evaluasi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota

melaksanakan pengendalian. Keseluruhan tanggungjawab ini dilaksanakan secara berjenjang sesuai kewenangannya. (pasal 16, 17, dan 18).

Hal yang menarik bahwa insentif dan disinsentif dicantumkan secara rinci dalam bab tersendiri. Insentif diberikan secara berjenjang dari Pemerintah ke pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota, dan pemerintah daerah provinsi ke pemerintah daerah kabupaten/kota. Masing-masing tingkatan pemerintahan dapat juga memberikan insentif kepada badan hukum. Bentuk insentif beragam mulai dari bantuan program; bantuan prasarana, sarana dan utilitas umum; penghargaan; kemudahan berupa dukungan aksesibilitas, perizinan, dan keringanan biaya retribusi. Sementara disinsentif yang diberlakukan hanya normatif (OM).

2) Sanksi dapat berupa (i) Peringatan tertulis; (ii) Pembatasan kegiatan pembangunan; (iii) Penghentian sementara atau tetap pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan; (iv) Penghentian sementara atau penghentian tetap pada pengelolaan perumahan; (v) Penguasaan sementara oleh pemerintah (disegel); (vi) Kewajiban membongkar sendiri bangunan dalam jangka waktu tertentu; (vii) Pembatasan kegiatan usaha; (viii) Pembekuan izin mendirikan bangunan; (ix) Pencabutan izin mendirikan bangunan; (x) Pembekuan/pencabutan surat bukti kepemilikan rumah; (xi) Perintah pembongkaran bangunan rumah; (xii) Pembekuan izin usaha; (xiii) Pencabutan izin usaha; (xiv) Pengawasan; (xv) Pembatalan izin; (xvi) Kewajiban pemulihan fungsi lahan dalam jangka waktu tertentu; (xvii) Pencabutan insentif; (xviii) Pengenaan denda administratif dan/atau Penutupan lokasi.

sumber foto: istimewa

81

Page 82: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

Menuju Perumnas Baru

82

Paguyuban Pelestarian Budaya Bandungwww.bandungheritage.org

Sudah lama kita mengenal Bandung dengan julukan Paris van Java. Namun dengan berjalannya waktu, kota Bandung saat ini sudah tidak layak lagi disebut sebagai Paris van Java. Proses

perkembangan kotanya terkesan tidak terkendali. Bahkan yang lebih menyedihkan, bangunan peninggalan sejarah yang menjadikan Bandung dikenal sebagai Paris van Java banyak yang sudah tidak dapat dikenali lagi.

Kondisi ini menarik perhatian banyak pihak yang peduli terhadap warisan budaya kota Bandung, yang kemudian mendirikan Paguyuban Pelestarian Budaya Bandung atau Bandung Heritage. Lembaga ini bersifat non-profit yang didirikan pada tahun 1987 dalam rangka melestarikan budaya kota Bandung khususnya bangunan-bangunan bersejarah.

Salah satu upaya yang dilakukan untuk menarik perhatian khalayak umum berupa pengembangan situs berjudul Bandung Heritage yang beralamat www.bandungheritage.org. Situs ini cukup menarik dengan beragam informasi yang tersedia, mulai dari Perpustakaan ‘on-line’ yang memungkinkan kita mengakses ratusan judul buku tentang bangunan bersejarah Bandung, daftar bangunan cagar budaya kota Bandung, daftar nama jalan kota bandung pada jaman dahulu, dan juga arsip terkait artikel, berita dan kegiatan warisan budaya.Singapore’s Central

Provident Fund Boardhttp://mycpf.cpf.gov.sg

Banyak yang tahu Singapura hanya sebagai surga belanja. Tetapi sebenarnya Singapura juga terkenal dengan sistem tabungan perumahannya.Skema tabungan ini

dikenal sebagai Central Provident Fund, yang pada awalnya diperuntukkan hanya untuk menyiapkan dana pensiun bagi pekerja. Kemudian berkembang sehingga dapat digunakan juga sebagai dana KPR, kesehatan dan bahkan perbaikan rumah.

Keseluruhan informasi tentang Central Provident Fund dapat di akses melalui situs Central Provident Fund Board ini. Informasi lengkap dapat diperoleh melalui fitur FAQ (Frequently Ask Questions), mulai dari penjelasan skema tabungan, status pengajuan kredit, dan lainnya.

Secara on line, kita juga dapat mengajukan pertanyaan, bahkan menghitung jumlah cicilan yang perlu dibayar per bulan. Situs ini juga dilengkapi dengan media komunikasi seperti newsletter, majalah, milis, dan rilis berita.

Secara umum, situs ini sangat membantu kita mendapatkan gambaran yang lengkap tentang tabungan perumahan Singapura (OM).

Info Situs

Page 83: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

83

Edisi 4 - 2013

Ulang Tahun Perumnas ke-39

Menuju Perumnas Baru

Page 84: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur dan Perkotaan. Edisi 4 Tahun 2013. MENANTI LAHIRNYA UNDANG UNDANG PERKOTAAN

84

Edisi 4 - 2013

Menanti Lahirnya Undang-Undang

Perkotaan

Edisi 4 - 2013

Ubah Perilaku dan Pola Konsumsi untuk Selamatkan Lingkungan

Hari Lingkungan Hidup 5 Juni