HUBUNGAN PAJANAN KEBISINGAN DENGAN EFEK KESEHATAN …
Transcript of HUBUNGAN PAJANAN KEBISINGAN DENGAN EFEK KESEHATAN …
1 1 Pembimbing Akademik
HUBUNGAN PAJANAN KEBISINGAN DENGAN EFEK KESEHATAN NON-AUDITORY PADA PEKERJA BAGIAN
PRODUKSI DI PT. TOKAI DHARMA INDONESIA PADA TAHUN 2013
Astuti Dwi Lestari, Izhar M. Fihir1
Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
Email: [email protected]; [email protected]
Abstrak Kebisingan di tempat kerja merupakan bahaya yang berisiko menimbulkan dampak terhadap kesehatan bagi pekerja. Pekerja yang terpajan kebisingan dan tidak diatasi dapat menyebabkan gangguan non-auditory berupa gangguan fisiologis, gangguan psikologis, dan gangguan komunikasi. Oleh karena itu, survei ini bertujuan untuk melihat efek kesehatan yang ditimbulkan oleh kebisingan serta hubungan pajanan bising tersebut dengan gangguan non-auditory pada pekerja bagian produksi PT. Tokai Dharma Indonesia. Variabel yang diteliti diantaranya intensitas kebisingan di unit produksi, penggunaan Alat Pelindung Telinga pada pekerja, dan keluhan subjektif gangguan non-auditory. Gangguan non-auditory diukur menggunakan kuesioner berdasarkan gejala yang dirasakan pekerja. Hasil survei menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat pajanan kebisingan dengan gangguan fisiologis, gangguan psikologis, dan gangguan komunikasi pada pekerja bagian produksi PT. Tokai Dharma Indonesia. Kata Kunci : Kebisingan, Gangguan Non-auditory, PT. Tokai Dharma Indonesia
Abstract Noise in the workplace is a health risk that can impact to the workers. If this noise can’t be managed, it will cause non-auditory effects like physiological effect, psychological effect, and communication disturbance. Therefore, the purposes of this survey are to see the occurrence of non-auditory effects and correlation of noise level to non-auditory effects of production’s workers in PT. Tokai Dharma Indonesia. Variables examined include noise level in production unit, use of Hearing Protection Device, and subjective symptom of non-auditory effects. Non-auditory effects based on self administered questionnaire. The analytical result indicated that there is a significant relationship between the level of noise exposure with physiological effect, psychological effect, and communication disturbance of production’s workers in PT. Tokai Dharma Indonesia. Key words : Noise, Non-auditory effects, PT. Tokai Dharma Indonesia
Hubungan pajanan..., Astuti Dwi Lestari, FKM UI, 2013
2
PENDAHULUAN Sektor industri merupakan sektor yang menyerap tenaga kerja
terbanyak dibanding sektor lain. Oleh karena itu, perlindungan terhadap
pekerja perlu diperhatikan. Perlindungan tenaga kerja meliputi banyak
aspek seperti perlindungan keselamatan, kesehatan, pemeliharaan moral
kerja serta perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral
agama. Perlindungan tersebut bermaksud agar tenaga kerja secara aman
melakukan pekerjaannya sehari-hari untuk meningkatkan produksi dan
produktivitas nasional. Tenaga kerja harus memperoleh perlindungan dari
berbagai aspek yang dapat menimpa dirinya dan mengganggu
pekerjaannya. (Suma’mur. 1993)
Pada sektor industri, proses produksi tidak lepas dari penggunaan
mesin yang menimbulkan kebisingan. Bising adalah bunyi maupun suara-
suara yang tidak dikehendaki dan dapat mengganggu kesehatan,
kenyamanan, serta dapat menyebabkan gangguan pendengaran/ketulian.
(Kurniawidjaja, 2011)
Pajanan kebisingan dapat menyebabkan efek kesehatan berupa
gangguan pendengaran (auditory) maupun gangguan non-auditory
(gangguan komunikasi, rasa tidak nyaman, kelelahan, stress, dan
menurunkan performa kerja). Penelitian Dwiatmo (2005) menunjukkan
bahwa terdapat 18,7% pekerja yang mengalami gangguan pendengaran
(auditory) dan 54,7% pekerja yang mengalami gangguan non-auditory.
Berdasarkan penelitian tersebut, dapat dilihat bahwa risiko terjadinya
gangguan non-auditory lebih besar dibandingkan dengan risiko terjadinya
gangguan pendengaran (auditory) akibat kebisingan.
Berdasarkan hasil penelitian Heri Mujayin dan Dimas Adji tahun
2012, dikatakan bahwa terdapat gangguan non-auditory pada indikator
psikologis, komunikasi, dan fisiologis akibat kebisingan. Faktor yang
mungkin mendukung terjadinya gangguan kesehatan akibat kebisingan
adalah penggunaan Alat Pelindung Telinga pada saat bekerja di
lingkungan yang bising.
Hubungan pajanan..., Astuti Dwi Lestari, FKM UI, 2013
3
Dari observasi awal yang dilakukan di PT. Tokai Dharma Indonesia,
pada bagian produksi terdapat mesin-mesin yang menimbulkan
kebisingan. Dimana pekerja bekerja selama 8 jam per hari (dengan waktu
istirahat 1 jam). Dari observasi awal tersebut, terdapat indikasi gangguan
fisiologis berupa sakit kepala, gangguan psikologis berupa perasaan tidak
nyaman dan mudah marah, gangguan komunikasi seperti berteriak saat
berbicara dan kesalahan komunikasi yang dapat membahayakan pekerja,
serta ditemukan ada beberapa pekerja yang tidak menggunakan Alat
Pelindung Telinga pada saat bekerja. Oleh karena itu, peneliti melakukan
survei mengenai hubungan pajanan kebisingan dan efek kesehatan non-
auditory pada pekerja bagian produksi di PT. Tokai Dharma Indonesia
agar segera dilakukan tindakan perbaikan dan pengendalian guna
mengurangi risiko terjadinya gangguan kesehatan akibat kebisingan.
TINJAUAN TEORITIS Kebisingan dapat menyebabkan efek kesehatan bagi pekerja. Efek
kesehatan yang ditimbulkan dapat berupa gangguan pendengaran
(auditory) dan gangguan non-auditory yaitu gangguan fisiologis, gangguan
psikologis, dan gangguan komunikasi.
Berikut adalah gambar hubungan langsung dan tidak langsung
antara sistem pendengaran manusia dan sistem saraf, otot, kelenjar pada
tubuh. Perhatian khusus ada pada sistem otonom (saraf simpatik dan
kelenjar). Fungsi utama dari sistem otonom adalah untuk mengendalikan
dan mengatur fungsi dan organ tubuh seperti pencernaan makanan,
sistem persediaan darah kardiovaskular, pernafasan, pengontrol
temperature, dan lain-lain. Fungsi ini bekerja secara otomatis dan secara
tidak sadar.
Hubungan pajanan..., Astuti Dwi Lestari, FKM UI, 2013
4
Gambar 2.1 Mekanisme respon utama dan bagian dari sistem otonom
(Sumber: Asfahl, C. Ray. 1990)
Sistem pendengaran mempunyai beberapa hubungan saraf
langsung dengan sistem saraf simpatik pada tingkat di bawah otak. Itu
membuktikan bahwa melalui hubungan tersebut, bunyi dapat
menyebabkan respon sistem otonom yang terjadi tanpa proses berpikir
secara sadar untuk menginterpretasikan bunyi atau kebisingan. (Asfahl,
1990)
Gangguan Fisiologis Gangguan fisiologis dapat berupa peningkatan tekanan darah,
peningkatan denyut nadi, basal metabolisme, konstruksi pembuluh darah
kecil terutama pada bagian kaki, dapat menyebabkan wajah pucat dan
gangguan sensoris.
Menurut Oborne D.J., kebisingan terutama jika tidak diinginkan,
maka akan menyebabkan reaksi fisiko-psikologis. Berkaitan dengan
gangguan sistem muskuloskeletal, pengaruh bising terjadi melalui respon
tubuh terhadap bising (sebagai stress) dengan diproduksinya nor
adrenalin oleh kelenjar medulla adrenal. Nor adrenalin menyebabkan
timbulnya penyempitan pembuluh darah menyeluruh (vasokonstriksi
Hubungan pajanan..., Astuti Dwi Lestari, FKM UI, 2013
5
general), termasuk pada otot yang dipergunakan untuk bekerja. Akibatnya
pasokan oksigen dan nutrisi jaringan terganggu, sehingga orang menjadi
mudah lelah. Pada kondisi lelah, maka proses metabolisme yang lebih
dominan adalah proses anaerob yang akan menyebabkan penimbunan
asam laktat di jaringan, sehingga menimbulkan rasa nyeri otot. Kondisi ini
apabila berlangsung terus menerus tanpa diberi kesempatan untuk
pemulihan akan mengakibatkan kerusakan otot (muscular damage).
(Nawawiwetu dan Retno Adriyani, 2007)
Menurut Hans Selye seperti yang dikutip oleh Jacqueline M
Atkinson dalam bukunya “Mengatasi Stress” (1991), dalam menghadapi
stress berlaku suatu model yang disebut General Adaptation Syndrome
(GAS) atau sindroma adaptasi umum. Sindroma ini berlangsung melalui 3
fase: fase khawatir, perlawanan dan keletihan. Reaksi khawatir dikenal
dengan reaksi “lawan atau lari”. Di sini tubuh menyiapkan diri menghadapi
bahaya dengan dua alternatif cara. Pada proses ini hypothalamus di otak
mengisyaratkan kepada kelenjar adrenal (anak ginjal) untuk melepaskan
adrenalin. Adanya adrenalin yang meningkat dalam aliran darah
menyebabkan denyut jantung meningkat, pernafasan menjadi dangkal,
gula darah dibawa ke organ yang memerlukan untuk melakukan reaksi
melawan (otot), tekanan darah meningkat. (Nawawiwetu dan Retno
Adriyani, 2007)
Gangguan Psikologis Gangguan psikologis akibat kebisingan dapat berupa rasa mudah
kaget, menggangu konsentrasi, tidur, atau kenyamanan, mudah
tersinggung, kurang konsentrasi, dan cepat marah. Pemaparan jangka
waktu lama dapat menimbulkan penyakit psikosomatik seperti gastristis,
penyakit jantung koroner, dan lain-lain.
Bising umumnya dapat merusak telinga bagian tengah dan bagian
dalam yang kebanyakan merupakan sel-sel syaraf pendengaran.
Pemaparan kebisingan yang berulang dapat mengakibatkan kerusakan
pendengaran dan komunikasi. Stressor akan dialirkan ke organ tubuh
Hubungan pajanan..., Astuti Dwi Lestari, FKM UI, 2013
6
melalui saraf otonom. Organ yang antara lain dialiri stress adalah kelenjar
hormon dan terjadilah perubahan keseimbangan hormon, yang
selanjutnya akan menimbulkan perubahan fungsional berbagai organ
target, seperti meningkatnya hiperaktivitas sistem limbik, sistem saraf
pusat (SSP) yang terdiri dari dopaminergik, noradrenegik, serotonergik
neuron yang dikendalikan oleh Gamma Aminobutiric Acid (GABA-ergik)
neuron. Oleh karena itu dari kerusakan sel-sel syaraf tersebut dapat
menyebabkan gangguan psikologis berupa rasa tidak nyaman, kurang
konsentrasi, susah tidur, cepat marah, kejengkelan, dan gangguan kerja.
(Yulianto, 2013)
Pada gangguan psikologis, menurut Yulianto (2013), manusia
menginterpretasikan bunyi yang ditangkapnya pada proses terakhir
pendengaran, bila terjadi kerusakan penerimaan dipusat pendengaran
dibagian otak oleh syaraf pendengaran, manusia menginterpretasikan
bunyi bising sebagai kondisi yang mengancamnya. Bila ada tuntutan atau
ancaman, pertama-tama adalah reaksi alarm. Reaksi ini ditandai dengan
adanya perubahan-perubahan dalam tubuh, antara lain meningkatnya
hormone cortical, ketegangan meninggi, emosi bertambah dan
sebagainya. (Yulianto, 2013)
Gangguan Komunikasi Gangguan komunikasi disebabkan karena adanya masking effect
(bunyi yang menutupi pendengaran) dari kebisingan dan gangguan
kejelasan suara. Gangguan komunikasi ini dapat menyebabkan seseorang
harus berbicara kuat-kuat untuk berkomunikasi dengan orang lain, bahkan
untuk menyatakan sesuatu terkadang diperlukan pengulangan hingga
beberapa kali. Berteriak secara terus-menerus dapat menyebabkan iritasi
tenggorokkan.
Mencoba untuk memahami pembicaraan di lingkungan yang bising
memerlukan konsentrasi dan usaha tambahan. Pesan atau instruksi dapat
terjadi kesalahpahaman. Hal ini dapat menyebabkan kebingungan dan
frustasi. Gangguan komunikasi ini juga dapat berpengaruh pada kinerja
Hubungan pajanan..., Astuti Dwi Lestari, FKM UI, 2013
7
dan keselamatan pekerja dan dapat menurunkan mutu pekerjaan dan
produktifitas kerja.
Alat Pelindung Telinga
Penggunaan Alat Pelindung Telinga (APT) adalah langkah terakhir
yang dilakukan dalam mengurangi intensitas pajanan bising yang diterima
pekerja. APT bekerja dengan menutupi sebagian telinga manusia agar
intensitas gelombang suara yang masuk ke dalam telinga menjadi lebih
sedikit.
Faktor penting dalam memilih Alat Pelindung Telinga adalah
keefektifan dalam mengurangi level pajanan bising. Faktor lain dalam
memilih APT antara lain dari segi ekonomi dan kenyamanan pekerja.
Faktor kenyamanan pekerja merupakan tujuan sederhana dari promosi
kepuasan pekerja, hal tersebut berpengaruh terhadap penerimaan jumlah
APT pada pekerja. Jika pekerja merasa APT tidak nyaman digunakan,
mereka akan mencari alasan untuk tidak mengunakannya. (Asfahl, 1990)
Alat Pelindung Telinga digolongkan menjadi tiga kelompok besar,
yaitu: (Tambunan, 2005)
a. Earplug
Secara teknis, earplug/aural lebih banyak digunakan pada tempat-
tempat bising berfrekuensi rendah, misalnya kamar mesin diesel.
Earplug terbuat dari bermacam-macam material, seperti busa PVC,
polyurethane, polyethylene, silikon, dan lain-lain. Earplug mudah
dibersihkan dan dapat digunakan kembali/ dapat digunakan lebih dari
satu waktu.
b. Earmuff
Secara teknis, perbedaan penggunaan earplug dan earmuff
didasarkan pada tingkat frekuensi sumber kebisingan. Earmuff untuk
tempat-tempat bising berfrekuensi tinggi (high frequency) seperti
tempat pemotongan logam (metal cutting), pelabuhan udara, dan lain-
lain. Earmuff kurang cocok digunakan di tempat-tempat berfrekuensi
rendah (<400Hz) karena earmuff umumnya akan
Hubungan pajanan..., Astuti Dwi Lestari, FKM UI, 2013
8
beresonansi/bergetar. Saat menggunakan earmuff, seluruh bagian
telinga harus benar-benar tertutup oleh bagian pelindung alat ini.
Pastikan tidak ada rambut yang masuk ke sela bantalan pelindung.
c. Canal caps
Canal caps hanya digunakan untuk menutup “pintu” lubang telinga.
Sebagai alat proteksi, tingkat perlindungan yang diberikan oleh alat ini
jauh lebish rendah dibandingkan earplug dan earmuff. Alat ini cocok
digunakan bagi pekerja yang relative sering melepas dan memasang
alat pelindung dan tidak sesuai untuk pemakaian jangka panjang.
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada tahun 2013 di bagian produksi PT.
Tokai Dharma Indonesia yang dalam proses kerjanya terdapat kebisingan.
Populasi penelitian ini adalah pekerja bagian produksi unit molding,
M50 (valve assy), autoline, dan filling dimana terdapat mesin-mesin yang
menghasilkan kebisingan dengan jumlah populasi sebanyak 159 pekerja.
Berdasarkan perhitungan sampel, diperoleh besar sampel berjumlah 111
pekerja.
Pengumpulan data gangguan non-auditory pekerja dan
penggunaan Alat Pelindung Telinga dilakukan dengan menggunakan
kuesioner, observasi dan wawancara. Kebisingan diukur dengan
menggunakan alat Sound Level Meter. Pengukuran kebisingan dilakukan
pada beberapa titik sumber di masing-masing unit dimana terdapat
pekerja karena diasumsikan bahwa pajanan yang diterima pekerja pada
masing-masing unit adalah sama.
Setelah data diperoleh, untuk skor gangguan non-auditory
(gangguan fisiologis, psikologis, dan komunikasi) berdasarkan kuesioner
dihitung berdasarkan 22 item pertanyaan pada masing-masing kategori
gangguan. Kriteria penilaian terbagi menjadi tidak pernah bernilai 1,
kadang-kadang bernilai 2, dan sering bernilai 3. Kemudian dilakukan
pengelompokan berdasarkan gangguan fisiologis, psikologis, dan
komunikasi. Gangguan fisiologis terdiri dari 7 pertanyaan, gangguan
Hubungan pajanan..., Astuti Dwi Lestari, FKM UI, 2013
9
psikologis terdiri dari 9 pertanyaan, dan gangguan komunikasi terdiri dari 6
pertanyaan. Setelah data hasil kuesioner diperoleh maka dilakukan uji
normalitas data pada masing-masing kategori gangguan menggunakan
program statistik. Apabila hasil menunjukkan data normal, maka kategori
diambil berdasarkan nilai mean. Sedangkan apabila hasil menunjukkan
data tidak normal, maka kategori diambil berdasarkan nilai median. Dari
hasil tersebut, maka diperoleh dua kategori, yaitu ada gangguan dan tidak
ada gangguan.
Analisis data univariat dilakukan untuk mengetahui distribusi
frekuensi responden untuk setiap variabel yang diteliti. Selain itu juga
dilakukan analisis bivariat untuk menjelaskan hubungan antara variabel
independen (intensitas pajanan kebisingan dan Alat Pelindung Telinga)
dengan variabel dependen (gangguan fisiologis, gangguan psikologis,
gangguan komunikasi).
HASIL DAN PEMBAHASAN Gangguan Fisiologis
Berdasarkan hasil survei, keluhan gangguan fisiologis yang
dirasakan pekerja antara lain pusing/sakit kepala, mual/eneg, sesak nafas,
gangguan keseimbangan, jantung berdetak lebih cepat, sakit telinga, dan
otot menjadi tegang.
Keluhan gejala gangguan fisiologis yang banyak dirasakan oleh
sebagian besar pekerja bagian produksi antara lain pusing/sakit kepala
sebanyak 63 orang (56,8%) dan otot menjadi tegang sebanyak 60 orang
(54%). Hal ini serupa dengan penelitian Kholik dan Dimas (2012) serta
penelitian Feidihal (2007) yang menunjukkan keluhan gangguan fisiologis
yang banyak dialami oleh responden yang terpajan bising adalah sakit
kepala. Pada penelitian Dwiatmo (2005) juga menunjukkan bahwa
terdapat keluhan otot menjadi tegang karena kebisingan di tempat kerja.
Hubungan pajanan..., Astuti Dwi Lestari, FKM UI, 2013
10
Gangguan Psikologis Berdasarkan hasil survei, keluhan gangguan psikologis yang
dirasakan pekerja antara lain pekerja merasa ada suara yang
mengganggu, konsentrasi terganggu, melakukan kesalahan dalam
bekerja, merasa tidak nyaman, mudah marah, mudah tersinggung, mudah
lelah, perasaan ingin mengurangi kebisingan, dan perasaan ingin
meninggalkan lokasi kerja.
Keluhan gejala gangguan psikologis yang banyak dirasakan
pekerja antara lain merasa ada suara yang mengganggu sebanyak 90
orang (81%), merasa tidak nyaman/tidak senang sebanyak 63 orang
(56,7%), dan pekerja yang ingin mengurangi kebisingan sebanyak 81
orang (73%). Hal ini serupa dengan penelitian Feidihal (2007) yang
menunjukkan bahwa keluhan gangguan psikologis yang banyak dirasakan
oleh responden yang terpajan bising adalah perasaan tidak nyaman.
Menurut Bell dan Bridger, seperti yang dikutip oleh Feidihal (2007),
bising adalah suara yang tidak dikehendaki. Oleh karena itu, sifatnya
subjektif karena sangat tergantung pada orang yang bersangkutan dan
karena sifatnya mengganggu secara psikologis, kebisingan dapat
menimbulkan stress. Sehingga muncul perasaan ingin mengurangi
kebisingan. Menurut Bell ada beberapa jenis kebisingan yang dapat
menimbulkan reaksi emosional pada seseorang, antara lain:
a. Makin tinggi intensitas bising, maka orang semakin terganggu oleh
bising tersebut.
b. Bising yang tidak biasa didengar akan mengganggu dari pada bising
yang telah biasa didengar.
c. Pengalaman masa lalu dengan bunyi tertentu akan menentukan
bentuk reaksi emosional, seperti bunyi sirine.
d. Sikap pribadi terhadap sumber bising.
Pada gangguan psikologis ini, manusia menginterpretasikan bunyi
yang ditangkapnya pada proses terakhir pendengaran, bila terjadi
kerusakan penerimaan dipusat pendengaran dibagian otak oleh syaraf
pendengaran, manusia menginterpretasikan bunyi bising sebagai kondisi
Hubungan pajanan..., Astuti Dwi Lestari, FKM UI, 2013
11
yang mengancamnya. Bila ada tuntutan atau ancaman, pertama-tama
adalah reaksi alarm. Reaksi ini ditandai dengan adanya perubahan-
perubahan dalam tubuh, antara lain meningkatnya hormone cortical,
ketegangan meninggi, emosi bertambah dan sebagainya. (Yulianto, 2013)
Gangguan Komunikasi Berdasarkan hasil survei, keluhan gangguan komunikasi yang
dirasakan pekerja antara lain berteriak ketika berbicara, mendengar rekan
kerja berteriak saat bicara, tidak paham pembicaraan tanpa melihat
bahasa bibir lawan bicara, sulit mendengar saat komunikasi, kesalahan
dalam melakukan pekerjaan, dan pekerjaan menjadi terganggu akibat
sulitnya berkomunikasi.
Keluhan gejala gangguan komunikasi yang banyak dirasakan
pekerja antara lain berteriak ketika berbicara di unit kerja sebanyak 88
orang (79,3%), rekan kerja berteriak ketika berbicara sebanyak 75 orang
(67,6%), dan sulit mendengar saat berkomunikasi sebanyak 69 orang
(62,2%). Hal ini serupa dengan penelitian Kholik dan Dimas (2012) yang
menyatakan bahwa keluhan gangguan komunikasi yang banyak dirasakan
responden adalah berteriak ketika berbicara. Penelitian yang dilakukan
oleh Feidihal (2007) juga menunjukkan bahwa keluhan gangguan
komunikasi yang banyak dirasa responden adalah berteriak saat berbicara
dan sukar untuk menangkap pembicaraan (sulit mendengar). Gangguan
komunikasi ini dapat disebabkan oleh bunyi yang menutupi pendengaran
(masking effect) dari kebisingan maupun gangguan kejelasan suara
(intelligibility).
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Terjadinya Gangguan Non-Auditory
Jumlah dan variabel-variabel serta hubungannya dengan ganguan
non-auditory disajikan dalam bentuk tabel beserta nilai p (p value) hasil uji
statistik chi-square. Distribusi variabel independen pada Tabel 4.1 dan
Hubungan pajanan..., Astuti Dwi Lestari, FKM UI, 2013
12
hubungan variabel independen dengan gangguan non-auditory pada
Tabel 4.2. Berdasarkan hasil survei untuk variabel gangguan non-auditory
yang dirasakan pekerja menunjukkan bahwa jumlah pekerja yang terpajan
kebisingan >85 dBA lebih sedikit mengalami gangguan fisiologis,
gangguan psikologis, dan gangguan komunikasi daripada pekerja yang
terpajan kebisingan ≤85 dBA. Hal ini tidak serupa dengan hasil penelitian
Kurniasih (2010) yang menunjukkan bahwa pekerja yang terpajan
kebisingan >85 dBA lebih banyak mengalami gangguan-gangguan non-
auditory tersebut daripada pekerja yang terpajan kebisingan ≤85 dBA.
Berdasarkan survei, hal ini dapat disebabkan karena pada pekerja
yang berada pada kebisingan >85 dBA mayoritas sudah menggunakan
Alat Pelindung Telinga sedangkan pekerja yang berada pada kebisingan
≤85 dBA mayoritas tidak menggunakan Alat Pelindung Telinga karena
ketersediaan yang terbatas. Masa kerja pekerja mayoritas di atas dua
bulan kerja juga dapat menyebabkan pekerja sudah terbiasa berada
dalam kebisingan dan tidak merasakan keluhan-keluhan gangguan non-
auditory. Hal ini didukung oleh hasil wawancara pada pekerja yang
menunjukkan bahwa pekerja yang berada pada kebisingan >85 dBA
banyak yang tidak merasakan keluhan gangguan tersebut dengan alasan
sudah menggunakan Alat Pelindung Telinga dan pekerja merasa sudah
terbiasa berada dalam unit kerja yang bising.
Tabel 4.1 Jumlah dan Presentase Tingkat Pajanan Kebisingan dan
Penggunaan Alat Pelindung Telinga Pada Pekerja Bagian Produksi PT. Tokai Dharma Indonesia Tahun 2013
Variabel Kategori Jumlah %
Tingkat pajanan kebisingan • ≤85 71 64
• >85 40 36
Total 111 100
Penggunaan Alat Pelindung
Telinga
• Memakai 46 41,4
• Tidak memakai 65 58,6
Total 111 100
Hubungan pajanan..., Astuti Dwi Lestari, FKM UI, 2013
13
Tabel 4.2 Hubungan Tingkat Pajanan Kebisingan dan Penggunaan Alat Pelindung Telinga Terhadap Gangguan Non-Auditory Pada Pekerja
Bagian Produksi PT. Tokai Dharma Indonesia Tahun 2013
Variabel
Gangguan Fisiologis
Total OR Pvalue Tidak ada
gangguan
Ada
gangguan
N % N %
Tingkat pajanan
kebisingan
≤85 41 57,7 30 42,3 71 0,241 0,006
>85 34 85 6 15 40
Penggunaan APT
Memakai 34 73,9 12 26,1 46 1,659 0,319
Tidak memakai 41 63,1 24 36,9 65
Variabel
Gangguan Psikologis
Total OR Pvalue Tidak ada
gangguan
Ada
gangguan
N % N %
Tingkat pajanan
kebisingan
0,195 0,001 ≤85 34 47,9 37 52,1 71
>85 33 82,5 7 17,5 40
Penggunaan APT
3,948
Memakai 36 78,3 10 21,7 46 0,002
Tidak memakai 31 47,7 34 52,3 65
Variabel
Gangguan komunikasi
Total OR Pvalue Tidak ada gangguan
Ada gangguan
N % N %
Tingkat pajanan
kebisingan
≤85 32 45,1 39 54,9 71 0,395 0,038
>85 27 67,5 13 32,5 40
Penggunaan APT
Memakai 27 58,7 19 41,3 46 1,465 0,429
Tidak memakai 32 49,2 33 50,8 65
Hubungan pajanan..., Astuti Dwi Lestari, FKM UI, 2013
14
Tingkat pajanan kebisingan Data tingkat kebisingan menurut unit kerja di bagian produksi
bervariasi antara 80-89 dBA. Tingkat kebisingan tertinggi adalah pada unit
kerja M50 (valve assy) yaitu 89 dBA. Tingkat kebisingan terendah terdapat
di unit molding yaitu 80 dBA. Unit kerja dengan tingkat kebisingan di atas
Nilai Ambang Batas (85 dBA) yaitu unit M50 (valve assy) dan unit gas
filling. Sedangkan unit kerja molding dan autoline memiliki tingkat
kebisingan di bawah Nilai Ambang Batas (85 dBA). (Tabel 4.3)
Tabel 4.3 Tingkat Pajanan Kebisingan Menurut Bagian/Unit Kerja di PT. Tokai Dharma Indonesia Tahun 2013
Lokasi pengukuran Intensitas kebisingan (dBA)
Keterangan
Molding 80 <NAB
Autoline 83 <NAB
M50 (valve assy) 89 >NAB
Gas Filling 86 >NAB
Distribusi pajanan kebisingan dikelompokkan menjadi dua kategori
yaitu ≤85 dan >85. Pekerja yang terpajan kebisingan ≤85 dBA sebanyak
71 orang dan pekerja yang terpajan kebisingan >85 dBA sebanyak 40
orang. (Tabel 4.4)
Tabel 4.4 Distribusi Pekerja Berdasarkan Tingkat Pajanan Kebisingan
Bagian Produksi PT. Tokai Dharma Indonesia Tahun 2013
Kategori Jumlah %
≤85 71 64
>85 40 36
Hasil analisis hubungan antara tingkat kebisingan dengan
gangguan non-auditory diperoleh bahwa pada pekerja yang berada di unit
kerja dengan tingkat kebisingan >85 dBA terdapat 6 orang dari 36 orang
Hubungan pajanan..., Astuti Dwi Lestari, FKM UI, 2013
15
yang mengalami gangguan fisiologis, 7 orang dari 44 orang yang
mengalami gangguan psikologis, dan 13 orang dari 54 orang yang
mengalami gangguan komunikasi. Untuk pekerja yang berada di unit kerja
dengan tingkat kebisingan ≤85 diperoleh bahwa terdapat 30 orang dari 36
orang yang mengalami gangguan fisiologis, 37 orang dari 44 orang yang
mengalami gangguan psikologis, dan 39 orang dari 52 orang yang
mengalami gangguan komunikasi. (Tabel 4.5) Hasil survei menunjukkan bahwa ada hubungan antara intensitas
pajanan kebisingan dengan gangguan fisiologis, gangguan psikologis, dan
gangguan komunikasi. Hasil ini serupa dengan penelitian sebelumnya
yang dilakukan oleh Yulianto (2013) yang menunjukkan terdapat
hubungan antara tingkat kebisingan dengan gangguan non-auditory.
Tabel 4.5 Analisis Distribusi Frekuensi dan Hubungan Tingkat Pajanan Kebisingan Dengan Gangguan Non-Auditory Pada Pekerja Bagian
Produksi PT. Tokai Dharma Indonesia Tahun 2013
Variabel
Gangguan Fisiologis
Total OR Pvalue Tidak ada gangguan
Ada gangguan
N % N % Tingkat pajanan kebisingan
≤85 41 57,7 30 42,3 71 0,241 0,006 >85 34 85 6 15 40
Variabel
Gangguan Psikologis
Total OR Pvalue Tidak ada gangguan
Ada gangguan
N % N % Tingkat pajanan kebisingan
≤85 34 47,9 37 52,1 71 0,195 0,001 >85 33 82,5 7 17,5 40
Variabel
Gangguan komunikasi
Total OR Pvalue Tidak ada gangguan
Ada gangguan
N % N % Tingkat pajanan kebisingan
≤85 32 45,1 39 54,9 71 0,395 0,038 >85 27 67,5 13 32,5 40
Hubungan pajanan..., Astuti Dwi Lestari, FKM UI, 2013
16
Penggunaan Alat Pelindung Telinga Distribusi penggunaan Alat Pelindung Telinga dikelompokkan
menjadi dua kategori yaitu memakai dan tidak memakai Alat Pelindung
Telinga. Pekerja yang memakai Alat Pelindung Telinga sebanyak 46 orang
dan pekerja yang tidak memakai Alat Pelindung Telinga sebanyak 65
orang.
Pada unit kerja yang memiliki tingkat kebisingan diatas 85 dBA
yaitu unit M50 (valve assy) dan gas filling, pekerja yang menggunakan
APT sebanyak 33 orang dan yang tidak menggunakan APT sebanyak 7
orang. Pada unit kerja yang memiliki tingkat kebisingan dibawah 85 dBA,
pekerja yang menggunakan APT sebanyak 13 orang dan yang tidak
menggunakan APT sebanyak 58 orang. (Tabel 4.6)
Tabel 4.6 Distribusi Pekerja Berdasarkan Penggunaan Alat Pelindung Telinga Bagian Produksi PT. Tokai Dharma Indonesia Tahun 2013
Unit Kerja
Penggunaan APT
Total Memakai Tidak Memakai
N % N %
M50 (valve assy) 15 83,3 3 16,7 18 Molding 3 21,4 11 78,6 14 Gas Filling 18 81,8 4 18,2 22 Autoline 10 17,5 47 82,5 57
Penggunaan Alat Pelindung Telinga dapat ditentukan oleh
persediaan APT, kesadaran pekerja, dan kenyamanan APT itu sendiri. Di
unit kerja dengan intensitas kebisingan di bawah 85 dBA seperti unit
molding dan autoline, tidak disediakan Alat Pelindung Telinga untuk
semua pekerja. Di unit molding, earmuff hanya diberikan untuk pekerja
yang melakukan crushing, sedangkan di unit autoline, earplugs hanya
diberikan pada pekerja yang berhubungan langsung dengan mesin. Pada
unit kerja dengan intensitas kebisingan di atas 85 dBA seperti unit M50
(valve assy) dan gas filling, Alat Pelindung Telinga telah disediakan untuk
Hubungan pajanan..., Astuti Dwi Lestari, FKM UI, 2013
17
semua pekerja. Tetapi masih terdapat pekerja yang tidak menggunakan
Alat Pelindung Telinga tersebut mayoritas dengan alasan tidak nyaman.
Berdasarkan hasil survei, terdapat hubungan antara penggunaan
Alat Pelindung Telinga dengan gangguan psikologis (Pvalue = 0,002). Hal
tersebut dapat disebabkan karena Alat Pelindung Telinga dapat
mengurangi intensitas bising yang diterima oleh pekerja sehingga
berpengaruh terhadap keluhan psikologis yang dirasakan pekerja seperti
perasaan terganggu oleh bising dan perasaan tidak nyaman. Hasil
menunjukkan bahwa pekerja yang tidak menggunakan Alat Pelindung
Telinga memiliki risiko mengalami gangguan psikologis 4 kali lebih besar
dari pada pekerja yang menggunakan Alat Pelindung Telinga. Tetapi, hasil
survei menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara penggunaan
Alat Pelindung Telinga dengan gangguan fisiologis dan gangguan
komunikasi. (Tabel 4.7)
Tabel 4.7 Analisis Distribusi Frekuensi dan Hubungan Penggunaan Alat Pelindung Telinga Dengan Gangguan Non-Auditory Pada Pekerja Bagian
Produksi PT. Tokai Dharma Indonesia Tahun 2013
Variabel
Gangguan Fisiologis
Total OR Pvalue Tidak ada gangguan
Ada gangguan
N % N % Penggunaan APT Memakai 34 73,9 12 26,1 46
1,659 0,319 Tidak memakai 41 63,1 24 36,9 65
Variabel
Gangguan Psikologis
Total OR Pvalue Tidak ada gangguan
Ada gangguan
N % N % Penggunaan APT
3,948
Memakai 36 78,3 10 21,7 46 0,002 Tidak memakai 31 47,7 34 52,3 65
Variabel
Gangguan komunikasi
Total OR Pvalue Tidak ada gangguan
Ada gangguan
N % N % Penggunaan APT Memakai 27 58,7 19 41,3 46 1,465 0,429 Tidak memakai 32 49,2 33 50,8 65
Hubungan pajanan..., Astuti Dwi Lestari, FKM UI, 2013
18
KESIMPULAN Berdasarkan uraian hasil survei dan pembahasan maka didapat
kesimpulan sebagai berikut:
a. Intensitas kebisingan di bagian produksi PT. Tokai Dharma Indonesia
berkisar antara 80-89 dBA. Tingkat kebisingan tertinggi adalah pada
unit kerja M50 (valve assy) yaitu 89 dBA.
b. Hasil keseluruhan survei terhadap 111 pekerja bagian produksi PT.
Tokai Dharma Indonesia mendapatkan proporsi pekerja yang
mengalami gangguan komunikasi lebih banyak dibanding pekerja yang
mengalami gangguan fisiologis dan gangguan psikologis yaitu
sebanyak 52 orang (46,8%). Hal ini dapat disebabkan karena terdapat
bunyi yang menutupi pendengaran (masking effect) dari kebisingan
maupun gangguan kejelasan suara (intelligibility).
c. Terdapat hubungan yang signifikan antara intensitas pajanan
kebisingan dengan gangguan fisiologis, gangguan psikologis, dan
gangguan komunikasi. Hasil ini sesuai dengan teori yang menjelaskan
bahwa kebisingan dapat menyebabkan gangguan fisiologis, gangguan
psikologis, dan gangguan komunikasi. Serta sesuai dengan penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Yulianto (2013) yang menunjukkan
terdapat hubungan antara tingkat kebisingan dengan gangguan-
gangguan non-auditory tersebut.
d. Terdapat hubungan yang signifikan antara penggunaan Alat Pelindung
Telinga dengan gangguan psikologis. Pekerja yang tidak
menggunakan Alat Pelindung Telinga memiliki risiko mengalami
gangguan psikologis 4 kali lebih besar dari pada pekerja yang
menggunakan Alat Pelindung Telinga.
e. Tidak terdapat hubungan antara penggunaan Alat Pelindung Telinga
dengan gangguan fisiologis dan gangguan komunikasi.
Hubungan pajanan..., Astuti Dwi Lestari, FKM UI, 2013
19
SARAN a. Pihak perusahaan agar lebih mengefektifkan penggunaan Alat
Pelindung Telinga, dengan memberikan program reward dan
punishment dimana pekerja yang disiplin menggunakan APT akan
mendapat penghargaan dari perusahaan dan pekerja yang tidak
menggunakan APT akan mendapat sanksi.
b. Memperluas materi pelatihan kepada para pekerja mengenai bahaya
dan risiko kebisingan di lingkungan kerja dan penggunaan APT.
c. Perusahaan sebaiknya menyediakan APT untuk semua unit dimana
terdapat kebisingan yang dapat mengganggu pekerja karena efek
kesehatan akibat bising terjadi secara perlahan.
d. Pekerja sebaiknya memaksimalkan penggunaan APT khususnya di
area bising yang tinggi, dan melaporkan kepada perusahaan jika APT
tersebut kurang atau tidak layak pakai.
e. Perusahaan mengadakan sosialisasi terkait visualisasi display untuk
berkomunikasi pada lingkungan kerja yang bising.
f. Untuk survei selanjutnya agar dilakukan survei yang lebih mendalam
dengan melakukan pengukuran audiometri, dan pengukuran tekanan
darah serta pengukuran denyut nadi untuk menunjang hasil gangguan
fisiologis
Hubungan pajanan..., Astuti Dwi Lestari, FKM UI, 2013
20
KEPUSTAKAAN Asfahl, C. Ray. 1990. Industrial Safety and Health Management. USA:
National Safety Council.
Dwiatmo, Langgeng. 2005. Analisis Gangguan Auditory dan Non Auditory
Pada Pekerja yang Terpapar Kebisingan Di Seksi Tube PT.
Suryaraya Rubberino Industries Tahun 2005. Skripsi FKM UI: Depok.
Feidihal. 2007. Tingkat Kebisingan dan Pengaruhnya Terhadap
Mahasiswa di Bengkel Teknik Mesin Politeknik Negeri Padang.
Jurnal Teknik Mesin Vol. 4 No.1, ISSN 1829-8958.
Kholik, Heri M., dan Dimas Adji Krishna. 2012. Analisis Tingkat Kebisingan
Peralatan Produksi Terhadap Kinerja Karyawan. Jurnal Teknik
Industri Vol. 13, No. 2, 194-200.
Kurniawidjaja, L. Meily. 2011. Teori dan Aplikasi Kesehatan Kerja. UI-
Press: Jakarta.
Nawawiwetu, Erwin Dyah, dan Retno Adriyani. 2007. Stress Akibat Kerja
Pada Tenaga Kerja Yang Terpapar Bising. The Indonesian Journal of
Public Health Vol. 4, No.2, 59-63.
Suma’mur. 1993. Keselamatan Kerja dan Pencegahan Kecelakaan. CV
Haji Masagung: Jakarta.
Tambunan, Sihar T.B. 2005. Kebisingan di Tempat Kerja. Yogyakarta:
ANDI.
Yulianto, Ardian Risky. 2013. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan
Gangguan Non-Auditory Akibat Kebisingan Pada Musisi Rock. Jurnal
Kesehatan Masyarakat Vol. 2, No. 1, 1-11.
Hubungan pajanan..., Astuti Dwi Lestari, FKM UI, 2013