HUBUNGAN MUSLIM DAN NON-MUSLIM DALAM INTERAKSI …
Transcript of HUBUNGAN MUSLIM DAN NON-MUSLIM DALAM INTERAKSI …
HUBUNGAN MUSLIM DAN NON-MUSLIM DALAM
INTERAKSI SOSIAL
(studi penafsiran Wahbah al-Zuhaili dalam surah al-Mumtahanah ayat 8-9)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Aditia
NIM: 11150340000137
PROGRAM ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA
1442 H/2020 M
HUBUNGAN MUSLIM DAN NON-MUSLIM DALAM
INTERAKSI SOSIAL
(studi penafsiran Wahbah al-Zuhaili dalam surah al-Mumtahanah ayat 8-9)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Aditia
NIM: 11150340000137
Pembimbing
Drs. Ahmad Rifqi Muchtar, MA
NIP. 19690822 199703 1 002
PROGRAM ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA
1442 H/2020 M
PENGESAHAN SIDANG MUNAQASYAH
Skripsi yang berjudul HUBUNGAN MUSLIM DAN NON-
MUSLIM DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Penafsiran
Wahbah al-Zuhaili dalam Surah al-Mumtahanah ayat 8-9) telah
diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin, Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 3
November 2020. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada Program Studi
Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.
Jakarta, 13 Januari 2021
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,
D r. Eva Nugraha, MA c
F ahrizal Mahdi, Lc., MIRKH NIP. 19710217 199803 1 002 NIP. 19820816 201503 1 004
Anggota,
Penguji I, Penguji II,
K usmana, Ph.D
NIP. 19650424 199503 1 001
Pembimbing,
D rs. Ahmad Rifqi Muchtar, MA
NIP. 19690822 199703 1 002
P rof. Dr. Media Zainul Bahri, MA
NIP. 19751019 200312 1 003
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Aditia
NIM : 11150340000137
Judul Skripsi : HUBUNGAN MUSLIM DAN NON-MUSLIM
DALAM INTERAKSI SOSIAL (studi penafsiran Wahbah al-Zuhaili
dalam surah al-Mumtahanah ayat 8-9)
Dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Setara 1 di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya
asli saya, saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
Tangerang, 3 November 2020
Aditia
i
ABSTRAK
Aditia
HUBUNGAN MUSLIM DAN NON-MUSLIM DALAM INTERAKSI
SOSIAL (studi penafsiran Wahbah al-Zuhaili dalam surah al-
Mumtahanah ayat 8-9)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara mendalam
penafsiran dan sudut pandang Wahbah al-Zuhaili tentang interaksi muslim
dengan non-muslim dalam Q.S al-Mumtahanah (60): 8-9. Dalam
penafsirannya Wahbah al-Zuhaili menggunakan beberapa pendekatan,
yakni pendekatan linguistik, munasabah ayat, pendekatan tematik, dan
pendekatan hukum. Bila dalam satu ayat terdapat sabab al-Nuzul, maka ia
menampilkannya.
Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah keperpustakaan
(library research), yang masuk dalam sebuah penelitian kualitatif.
Mengingat adanya data yang penulis gunakan adalah literatur tafsir, maka
dalam hal ini data primer yang penulis gunakan adalah kitab tafsīr al-
Munīr karya Wahbah bin Musthafa al-Zuhaili. Adapun data skundernya
adalah berbagai kitab, buku-buku, dan artikel yang membahas tentang
hubungan muslim dan non-muslim. Dalam penelitian ini digunakan
metode analisis data yakni menggali keaslian teks atau melakukan
pengumpulan data dan informasi untuk mengetahui kelengkapan atau
keaslian teks tersebut.
Setelah melakukan penelitian ini, penulis berkesimpulan bahwa
penafsiran Wahbah al-Zuhaili dalam surat al-Mumtahanah (60): 8-9,
memperbolehkan bahkan menganjurkan agar umat Islam menjalin
interaksi harmonis yang penuh dengan toleransi dengan non-muslim saling
bahu-membahu dan tolong-menolong dalam hal-hal yang tidak berkaitan
dengan akidah. Adapun batasan pergaulan, ia melarang berteman dekat
dengan non-muslim yang memerangi, mengusir, dan menzalimi orang
muslim.
Kata kunci : Wahbah al-Zuhaili, Al-Munīr, Interaksi Sosial
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT, atas segala nikmat
iman, jasmani dan rohani. Tiada henti kepada-Nya penulis meminta agar
selalu diberi kesehatan, kemudahan, kesabaran dan kekuatan dalam
menyelesaikan skripsi ini. Berkat kasih sayang, petunjuk dan rahmat-Nya
penulis dapat mengolah data menjadi kata, menjadi kalimat dan menjadi
paragraf-paragraf yang berisi ide, kemudian dari kumpulan menjadi bab-
bab dan akhirnya jadilah skripsi ini.
Shalawat dan salam seiring kecintaan, akan senantiasa tercurah
limpahkan kepada baginda Rasulullah, yakni Nabi Muhammad SAW,
beserta keluarga dan para sahabatnya. Sesungguhnya ia dan merekalah
yang sangat berjasa dalam menyampaikan pesan itu sampai kepada kita
semua saat ini.
Dalam perjalanan penelitian ini, penulis menyadari bahwa skripsi
yang berjudul HUBUNGAN MUSLIM DAN NON-MUSLIM DALAM
INTERAKSI SOSIAL (studi penafsiran Wahbah al-Zuhaili dalam surah
al-Mumtahanah ayat 8-9)
ini tidak akan selesai dengan daya dan upaya penulis dari berbagai
pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah banyak
membantu penulis, sehingga akhirnya tulisan ini selesai. Maka, pada
kesempatan ini penulis ingin mengungkapkan rasa terimakasih yang
sebesar-besarnya, yaitu kepada:
1. Kepada Yth Prof Dr, Amany Burhanudin Lubis, Lc., MA.,
selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Dr. Yusuf Rahman, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
iii
3. Dr. Eva Nugraha, M.Ag., selaku ketua jurusan Ilmu Al-Qur’an
dan Tafsir dan Fahrizal Mahdi, Lc., MIRKH., selaku Sekertaris
Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, serta Civitas Akademik
Fakultas Ushuluddin
4. Dosen Penasihan Akademik, Dr. Masykur Hakim, MA., yang
banyak memberi masukan kepada penulis selama studi di
kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5. Bapak Drs. Ahmad Rifqi Muchtar, MA., selaku pembimbing
skripsi yang dengan ikhlas dan sabar dalam membimbing dan
mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin Khususnya Dosen Jurusan
Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir yang dengan sabar dan ikhlas telah
mengerjakan dan memberikan berbagai wawasan, ilmu serta
pengalaman kepada penulis selama studi di kampus tercinta ini.
7. Teruntuk kedua orang tua penulis yang terkasih dan tersayang.
Terimakasih Ayahanda Nurdalih dan Ibunda Lani yang tidak
pernah lelah memberi dukungan, do’a, semangat penuh, cinta
dan kasih sayangnya kepada penulis tanpa henti.
8. Kepada Nanda Larasinta yang telah memberikan dukungan dan
do’a yang terbaik, semoga Allah selalu memberikan yang
terbaik untuknya.
9. Kepada sahabat penulis, Imam Munawir Hamami, Kukuh Aji
Prayoga, Umam Nasiruddin, dan M.Ihsanul Kamil yang sudah
menemani penulis dalam belajar, berjuang dan bergurau
bersama.
10. Kepada teman pondok penulis, Diki Ramdhani yang memberi
dukungan, motivasi, dan menemani penulis saat suka maupun
iv
duka hingga studi penulis selesai di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
11. Kepada teman-teman KKN Tenjolaya, Ibrahim Risyad, Indra,
Ali, Suci, Ragda, Mita, Zhia yang telah menyemangati penulis
untuk segera menyelesaikan studi ini.
12. Teman-teman seperjuangan angkatan 2015 Ilmu Al-Qur’an dan
Tafsir serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-
persatu semoga Allah membalas kebaikan kalian semua, Amin.
Terakhir, semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat menambah
khazanah keilmuan bagi siapapun yang membacanya.
Tangerang, 3 November 2020
Aditia
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................................ i
KATA PENGANTAR .......................................................................... ii
DAFTAR ISI ........................................................................................ v
PEDOMAN TRANSLITERASI .......................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ................................................. 5
C. Rumusan Masalah ....................................................................... 5
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................... 5
E. Tinjauan Pustaka ......................................................................... 6
F. Metodologi Penelitian .................................................................. 11
G. Sistematika Penulisan .................................................................. 14
BAB II SEPUTAR INTERAKSI SOSIAL
A. Definisi Interaksi Sosial ............................................................... 15
B. Syarat-syarat Interaksi Sosial ....................................................... 15
C. Konflik Dalam Interaksi Sosial .................................................... 17
D. Interaksi Sosial Dalam Islam ....................................................... 19
BAB III BIOGRAFI WAHBAH AL-ZUHAILI DAN
TAFSĪR AL-MUNĪR
A. Biografi Wahbah al-Zuhaili ......................................................... 25
vi
1. Kelahiran dan Pendidikannya ................................................. 25
2. Guru dan Murid .................................................................... 27
3. Karya-karya ........................................................................... 28
B. Tafsīr al-Munīr ............................................................................ 31
1. Latar Belakang Penulisan ....................................................... 31
2. Metode dan Sistematika Penulisan ......................................... 33
3. Corak Penafsiran .................................................................... 35
4. Sumber-sumber Penafsiran .................................................... 36
BAB IV ANALISIS PENAFSIRAN WAHBAH AL-ZUHAILI
DALAM Q.S AL-MUMTAHANAH [60]: 8-9 DAN
RELEVANSI PENAFSIRANNYA DALAM WACARA
TOLERANSI
A. Pendekatan Linguistik ................................................................ 39
B. Sebab Turunnya Ayat ................................................................. 41
C. Munasabah Ayat ......................................................................... 44
D. Pendekatan Tematik ................................................................... 47
E. Pendekatan Hukum..................................................................... 50
F. Relevansi Penafsiran Wahbah al-Zuhaili Dalam Wacana Toleransi
secara umum .............................................................................. 53
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................ 57
B. Saran .......................................................................................... 58
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................... 60
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri P dan K
Nomor: 158 Tahun 1987-Nomor: 054 b/u 198
No Huruf
Arab
Huruf
Latin
Keterangan
Tidak dilambangkan ا .1
B Be ب .2
T Te ت .3
Ṡ Es dengan titik atas ث .4
J Je ج .5
Ḥ h dengan titik bawah ح .6
Kh ka dan ha خ .7
D De د .8
Ż Z dengan titik atas ذ .9
R Er ر .10
Z Zet ز .11
S Es س .12
Sy es dan ya ش .13
Ṣ es dengan titik di bawah ص .14
Ḍ de dengan titik di bawah ض .15
Ṭ te dengan titik di bawah ط .16
Ż zet dengan titik di atas ظ 17
koma terbalik di atas hadap kanan ‘ ع .18
G Ge غ .19
F Ef ف .20
Q Qi ق .21
K Ka ك .22
viii
L El ل .23
M Em م .24
N En ن .25
W We و .26
H Ha ه .27
Apostrof ` ء .28
Y Ye ي .29
2. Vokal
Vokal adalah bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk
vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A Fatḥah
I Kasrah
U Ḍammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya ada sebagai
berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
Ai Fatḥah dan ya ا ي
Au Fatḥah dan wau ا و
3. Vokal Panjang
ix
Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
Ā a dengan garis di atas با
Ī i dengan garis di atas ب ي
Ū u dengan garis di atas ب و
1. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /1/, baik diikuti huruf syamsiah
maupun huruf kamariah. Contoh: al-rijāl, al-dīwān, bukan ad-dāwān.
2. Syaddah (Tasydid)
Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda tasydid ( ) dalam alih aksara ini dilambangkan
dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda
syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima
tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-
huruf syamsiyah. Misalnya, kata ( الضرررور) tidak ditulis ad-ḏarūrah
melainkan al-ḏarūrah, demikian seterusnya.
3. Ta Marbutah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbūṯah terdapat pada
kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi
huruf /h/ (lihat contoh di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta
marbūṯah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Namun,
x
jika huruf ta marbūṯah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf
tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara
Ṯarīqah طريقة 1
al- Jāmi’ah al-Islāmiyyah الجامعية الإسلامية 2
Waẖdat al-wujūd وحد الوجود 3
4. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf tidak dikenal, dalam alih
aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti
ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Bahasa Arab (EBI), antara lain untuk
menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan,
nama diri, dan lain-lain. Jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka
yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut,
bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abū Hāmid al-Ghazālī
bukan Abū Hamid al-Ghazālī , Al- al-Kindi bukan Al-Kindi.
Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat diterapkan
dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring
(italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EBI, judul buku itu ditulis
dengan cetak miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya,
demikian seterusnya.
Berkaitan denga penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang
berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan
meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis
Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd al-Samad al-Palimbani: Nuruddin
al-Raniri, tidak Nūr al-Dīn al-Rānīrī.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam datang ke dunia ini sebagai rahmat bagi alam semesta dan
membawa keberkahan bagi semua manusia. Islam mengatur seluruh sendi
kehidupan, mulai tata cara ibadah kepada Allah dan cara bermu’amalah.
Islam mengajak umat untuk beribadah kepada Allah swt, tanpa
memaksa mereka untuk mengikuti ajaran yang dibawa Rasulullah saw.
Selain mengajak untuk beribadah, beliau juga paling pandai dalam
melakukan interaksi dan kerjasama dalam hal sosial.
Manusia sebagai makhluk sosial selalu berinteraksi. Interaksi
dilakukan antara sesama agama ataupun berbeda agama. Interaksi akan
mempengaruhi tindakan seseorang. Apabila interaksi yang dilakukan baik,
akan terjadi tindakan yang baik, sebaliknya apabila interaksi yang
dilakukan tidak baik, maka dampak yang terjadi menjadi tidak baik.
Sebagai manusia tentu menginginkan hal yang baik dari kehidupan.
Rasulullah saw Sebagai seorang manusia selalu melakukan interaksi
kepada setiap orang dan menjadi contoh bagi setiap umat manusia secara
umum dan umat Islam secara khusus. Interaksi yang dilakukan oleh
Rasulullah menghasilkan pergaulan yang baik dan kerjasama. Ini adalah
dasar dari proses sebagai makhluk sosial. Tanpa adanya pergaulan tidak
mungkin akan terjadi interaksi. Interaksi yang dilakukan kepada setiap
orang tanpa melihat kepada jenis kelamin, bangsa, suku, agama, warna
kulit dan sebagainya, sebagaimana yang tertera di dalam Al-Qur’an surat
al-Hujurāt (49): 13:
2
ل ق ن ا الناس ا نا خ ا ن يا يه ن ذ ك ر و ىك م م ع ث ج ك م ش و ق ب اىل ل ن با و ا ا ن ع و ف و ل ت ع ار
ل ىك م ا ن الله ع ن د الله ا ت ق ك م ع م ر ب ي ي م ا ك ر خ
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.
Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang
yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti”
(QS. al-Hujurāt [49]: 13).
Penjelasan ayat mengatakan bahwa manusia tercipta dari satu lalu
Allah Menciptakan dari-Nya Istrinya, mereka berdua adalah Adam dan
Hawa, kemudian dari keduanya terciptalah berbangsa-bangsa dan bersuku-
suku kemudian menjadi beberapa keluarga. Mereka mengetahui garis
keturunannya, pertalian shilaturahmi antar sesama manusia.1
Keanekaragaman bangsa, suku, budaya, dan agama adalah bentuk dari
kekuasaan Allah terhadap hamba-hamba-Nya. Hal ini diciptakan agar
manusia dapat mengambil hikmah dari semua ini, manusia dapat hidup
berdampingan dengan damai dan dapat hidup saling menghargai kepada
semua makhluk demi terciptanya keharmonisan dalam berinteraksi.
Sekarang ini sering terjadi konflik antar masyarakat yang berbeda
suku, ras, bahasa, bahkan sampai pada urusan agama. Ini dikarenakan
belum banyaknya masyarakat yang masih belum mengerti akan etika
dalam bermasyarakat.
Hubungan tidak harmonis antar muslim dan non-muslim telah
melahirkan sejumlah salah pengertian. Islam dituduh dengan agama
teroris. Padahal Islam adalah agama pembaawa rahmat dan berwatak
toleran. Islam sangat mendambakan saling mengenal dan memahami serta
keadilan dan kedamaian.
1 Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azīm, Jilid 8, cet. II (Qahirah: Dᾱr Tayyibah Li
an-Nasyr wa al-Tauzi’, 1999), 385-386.
3
Islam diartikan agama teroris bagi non-muslim. Tapi perlu digaris
bawahi di sini, bahwa Islam yang demikian adalah mereka (orang-orang
Islam) yang tidak bertanggung jawab atas apa yang telah diajaran oleh
agamanya. Sehingga hal tersebut memicu perselisihan antar
kelompok/golongan. Namun, tidak melulu perselisihan itu terjadi atas
karya orang muslim yang tidak bertanggung jawab atas ajaran agamanya
saja, Non-muslim pun sering kali tidak suka terhadap orang muslim, yang
kemudian menjadi pemicu terjadinya perselisihan/ketidak harmonisan
antar agama.
Etika dalam bermasyarakat menjadi salah satu hal terpenting dalam
hubungan antar masyarakat. Dalam Islam etika ini sangat diperhatikan dan
diutamakan. Sebagaimana Allah berfirman:
ك م ا ن ي ار ن د ك م م و ج ر ل م ي خ ي ن و ك م ف ى الد ي ن ل م ي ق ات ل و ىك م الله ع ن الذ ل ي ن ه
ت ق س ه م و و ي ن ت ب ر ىك م الله ع ن الذ ا ي ن ه ي ن ا نم ط ق س ب ال م م ا ن الله ي ح ا ا ل ي ه ط و
ك م ا ن اج ر ى ا خ ل ا ع و ظ اه ر ك م و ي ار ن د ك م م و ج ر ا خ ي ن و ك م ف ى الد ق ات ل و
ىك ه له م ف ا ول ن يت و م ه م و لو ن ت و و م الظهل م
“Allah tidak melarang kamu (menjalin hubungan baik) terhadap
orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula)
mengusir kamu dari negerimu. (dan Allah tidak juga melarang kamu)
berbuat baik kepada mereka dan berlaku adil terhadap mereka.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu
orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari
negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu, dan barangsiapa
menjadikan mereka sebagai kawan, (teman-teman akrab), Maka mereka
itulah orang-orang yang zalim” (QS. al-Mumtahanah [60] : 8-9).
Perintah untuk melarang menjadikan kaum kafir (non-muslim)
sebagai teman dekat yang dijelaskan ayat-ayat yang sebelumnya boleh jadi
menimbulkan kesan bahwa semua orang-orang kafir (non-muslim) harus
dimusuhi. Untuk menghilangkan kesan yang keliru ini, ayat-ayat di atas
4
yakni al-Qur’an surat al-Mumtahanah ayat 8-9. Mengajarkan prinsip dasar
hubungan interaksi sosial antara kaum muslimin dan non-muslim.2 Dan
ayat-ayat di atas juga mengajarkan sebaiknya harus dipisahkan antara
perbedaan kepercayaan atau keyakinan (agama) dengan interaksi sosial
kita sehari-hari. Maka, jika kita berbeda agama lalu hubungan sosialnya
menjadi jauh atau tidak harmonis adalah sebuah pengingkaran dari
perintah Allah di atas. Pengertian adil juga harus diberlakukan ketika kita
harus bersikap bijak dalam memilih teman atau golongan dalam
bermasyarakat.
Akar permasalahan perselisihan antara umat beragama dari awal
adalah sikap saling mencurigai, menyalahkan, dan pengklaiman bahwa
agama merekalah yang paling benar, sedangkan agama orang lain itu
salah. Padahal, kita tidak saja diminta untuk bersama-sama mengoreksi
citra dan kesan keliru yang ada di dalam pikiran masing-masing, akan
tetapi kita harus memberi contoh dalam upaya menjalin kerjasama itu bisa
berupa pengentasan kebodohan, kemiskinan, kemerosotan moral,
penjagaan keamanan, dan lain sebagainya.3
Untuk itu penulis merasa tertarik untuk mengkaji, dan selanjutnya penulis
merumuskan tema penelitian dalam sebuah judul “HUBUNGAN
MUSLIM DAN NON-MUSLIM DALAM INTERAKSI SOSIAL
(studi penafsiran Wahbah al-Zuhaili dalam surah al-Mumtahanah ayat 8-
9)”.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
2 M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran,
Jilid 13, Cet. II (Jakarta: Lentera Hati, 2006), 596. 3 Tarmizi Taher, Membumikan Ajaran Ketuhanan, Agama Dalam Transformasi
Bangsa, (Jakarta Selatan: Penebit Hikmah, 2003), 45-46.
5
Dari uraian latar belakang di atas, dapat diidentifikasi masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana interaksi sosial dalam Islam?
2. Bagaimana karakteristik kitab Tafsīr al-Munīr?
3. Bagaimana penafsiran Wahbah al-Zuhaili dalam Q.S al-
Mumtahanah {60}: 8-9?
4. Apa relevansi penafsiran Wahbah al-Zuhaili dalam
perkembangan wacana toleransi secara umum?
Dari penjelasan latar belakang di atas, banyak persoalan yang terkait
dengan penelitian ini. Karena keterbatasan waktu dan pengalaman menulis
sehingga penulis merasa perlu membatasi dalam penulisan skripsi ini.
Batasan masalah penelitian ini berfokus pada: penafsiran Wahbah al-
Zuhaili dalam Q.S Al-Mumtahanah (60): 8-9 dan apa relevansi penafsiran-
Nya dalam wacana toleransi secara umum?
C. Rumusan Masalah
Dari identifikasi penelitian di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini yaitu:
1. Bagaimana Wahbah al-Zuhaili dalam menafsirkan surah al-
Mumtahanah (60): 8-9 ?
2. Apa relevansi penafsiran Wahbah al-Zuhaili tersebut dalam
perkembangan wacana toleransi secara umum?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarakan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini
yaitu:
6
a. mengetahui bagaimana penafsiran wahbah al-Zuhaili dalam
surah al-Mumtahanah (60): 8-9.
b. Mengetahui apa relevansi penafsiran Wahbah al-Zuhaili
dalam perkembangan toleransi secara umum.
2. Manfaat Penelitian
a. secara teoritis, penulisan ini ditunjukan untuk memperkaya
khazanah keilmuan dalam bidang penafsiran ayat-ayat yang
terkait dengan hubungan muslim dan non-muslim dalam
interaksi sosial.
b. Secara praktis, hasil dari penulisan ini diharapkan mampu
memberikan kontribusi dan pemahaman terkait hubungan
muslim dan non-muslim dalam interaksi sosial sebagaimana
metodologi penafsiran yang dilakukan oleh Wahbah Al-
Zuhaili sebagai ulama tafsir kontemporer terhadap al-Qur’an
surah al-Mumtahanah (60): 8-9.
E. Tinjauan Pustaka
Berdasarkan penelusuran penulis, banyak penelitian yang mengangkat
tema tentang Hubungan Muslim dan non-Muslim. Namun dari semua
penelitian tersebut belum ada yang membahas secara khusus mengenai
pemahaman Hubungan Muslim dan Non- Muslim dalam Interaksi Sosial
(Studi Analisi Wahbah Al-Zuhaili dalam Kitab Tafsīr al-Munīr).
1. Skripsi Any Rahmawati NIM (083411001) “Interaksi Sosial
Keagamaan antara Umat Islam dan Umat Tri Darma (Studi
kasus di desa penyangkringan Kecamatan Weleri Kabupaten
Kendal) 2012. Di dalam skripsi ini yang digunakan adalah metode
kuantitatif, yaitu penelitiannya berdasarkan kejadian di tempat
7
atau lokasi itu saja, baik faktor internal seperti (keimanan, cara
keagamaan, rasa tanggung jawab, dan pengetahuan individu).
Sedangkan faktor eksternalnya adalah lingkungan masyarakat
sekitarnya saja.4
2. Tesis, Hadi Hajar Widagdo (NIM : 09213633) UIN Sunan Klai
Jaga Yogyakarta, 2011, yang berjudul “Interaksi Sosial Musim
dengan Non-Muslim dalam perspektif Hadist” dalam tesisi ini
temanya sama yaitu berbicara hubungan Muslim dan Non-Muslim
dalam interaksi sosial, namun berbeda dalam perspektifnya.5
3. Skripsi Aminati, (NIM : 0942140) IAIN Walisongo Semarang
2013 yang berjudul “Pengangkatan Pemimpin Dari non-Muslim
(studi Muqaran Kitab Tafsīr Al-Manār Dengan Kitab Tafsīr Fī
Dziāl Al-Qur’an) “Al-Drirrāsah Al-Muqāranah Baina Al-Tafsīr
Al-Manār, Wa Fī dilāl Al-Qur’an Fī Ayati Al-Nahyi Anittakhidil
Auliyā’ Min Dūnil Mu’minīna”. Dalam skripsi ini penulis
menjelaskan tentang hubungan muslim dan non-muslim dari sisi
pengangkatan pemimpin non-muslim baik dari aspek sosial,
pendidikan, politik, dengan ayat-ayat wali. sedangkan yang
penulis teliti yakni ayat-ayat interaksi sosial.6
4. Skripsi Dirun (NIM : 114211065) UIN Walisongo Semarang 2015
yang berjudul “Hubungan Muslim Non-Muslim Dalam Interaksi
Sosial (Studi Analisis Penafsiran Thabathabai dalam Kitāb Tafsīr
al-Mizān)” dalam skripsi ini tema yang dibahas sama yaitu
4 Any Rahmawati, “Interaksi Sosial Keagamaan Antar Umat Islam dan Umat Tri
Dharma, (Studi Kasus di Desa Penyangkringan Kec, Weleri, Kendal)”,(Skripsi: IAIN
Walisongo Semarang, 2012) 5 Hadi Hajar Widagdo, “Interaksi Sosial Muslim Dengan Non-Muslim Dalam
Prespektif Hadits”, (Skripsi: UIN Sunan Kali Jaga, Yogyakarta 2011). 6 Aminati, “Pengangkatan Pemimpin dari non Muslim studi Muqaran Kitab
Tafsīr Al-Manār Dengan Kitab Tafsīr Fī Dzilāl al-Qur’ān”, (Skripsi: IAIN Walisongo,
Semarang 2013).
8
membicarakan tentang hubungan muslim dan non-muslim dalam
interaksi sosial, akan tetapi berbeda dalam perspektifnya.7
5. Jurnal Sukandi, “Interaksi Politik Antara Muslim dan Non-
Muslim Menurut Ibnu Qoyyim dan Fahmi Huwaidi” dalam jurnal
ini penulis menjelaskan tentang apa yang harus kita lakukan
sebagai orang muslim ketika berpolitik dengan orang-orang non-
muslim menurut Ibnu Qoyyim dan Fahmi Huwaidi.8
6. Jurnal Rulyjanto Podungge, “Hubungan Muslim dan Non-Muslim
Dalam Kerangka Inklusivisme” dalam jurnal ini penulis
membahas tentang apa hubungan muslim dan non-muslim dalam
kerangka Inklusivisme (Yesus Kristus adalah satu-satunya jalan
keselamatan tapi itu tidak berarti bahwa orang-orang beragama
lain tidak selamat. Jadi akan ada orang-orang yang beragama lain
yang akan selamat tapi bukan oleh agama mereka itu sendiri
melainkan Kristus yang menyelamatkan mereka dalam agama
mereka).9
7. Jurnal Muhammad Yusuf, “Hubungan Muslim Dengan Non-
Muslim Perspektif Ulama Bugis” dalam jurnal ini penulis
membahas tentang apa Hubungan Muslim dan non-Muslim Dalam
Perspektif Ulama Bugis secara khususnya.10
8. Jurnal Sri Ulfa Rahayu, “Kerja sama Rasulullah Dengan Non-
Muslim Membangun Kesejahtraan Ummat” dalam jurnal ini
7 Dirun, “Hubungan Musim non Muslim dalam Interaksi Sosial (Studi Analisis
Penafsiran Thabathabai dalam Kitab Tafsīr al-Mizān)”,(Skripsi: UIN Walisogo,Semarang
2015). 8 Sukandi, “Interaksi Politik Antara Muslim dan Non-Muslim Menurut Ibnu
Qoyyim dan Fahmi Huwaidi”, Jurnal Lisan Al-Hal, Vol-12, No. 1, Juni 2018. 9 Rulyjanto Podungge, “Hubungan Muslim dan non-Muslim Dalam Kerangka
Inklusivisme” (IAIN Sultan Amai Gorontalo, Indonesia) Teosofi: Jurnal Tasauf Dan
Pemikiran Islam, Vol-8, No.2, Desember 2018. 10 Muhammad Yusuf, “Hubungan Muslim Dengan Non-Muslim Perspektif
Ulama Bugis”, Jurnal At-Tahrir, Vol.14, No. 2 Mei 2014.
9
penulis menjelaskan tentang kerjasama Rasulullah dengan Non-
Muslim Untuk kesejahtraan ummat, jadi kesejahtraan itu tidak
hanya didapatkan oleh orang-orang muslim saja melaikan non-
muslim juga.11
9. Skripsi Zhalalluddin (NIM : 14421026) Universitas Islam
Indonesia 2018 yang berjudul “Konsep Kerjasama Seorang
Muslim Dengan Pemerintahan Non-Muslim Dalam Tafsīr Ibnu
Katsīr dan Tafsīr Al-Misbāh” dalam skripsi ini penulis
menjelaskan bagaimana cara kita untuk bekerjasama dengan Non-
Muslim dalam soal kepemerintahan dalam Tafsīr Ibnu Katsīr dan
Tafsīr Al-Misbāh.12
10. Skripsi Triyanah (NIM: 21513014) IAIN Salatiga 2017 yang
berjudul “Hubungan Muslim Dengan Non-Muslim Dalam Al-
Qur’an Perspektif Metode Tafsir Kontekstual Abdullah Saeed”
dalam skripsi ini penulis menjelaskan tentang hubungan muslim
dengan non-muslim prespektif Abdullah Saeed secara
kontekstual.13
11. Skripsi ini ditulis oleh Laili Fitriani, yang berjudul Toleransi
Beragama Perspektif Sayyid Qutb (Analisa terhadap Qs Al-
Mumtahanah: 8-9 dalam Tafsir Fi Zilalil al-Qur’an). Ia hanya
menjelaskan pandangan Sayyid Qutb tentang toleransi dalam
tafsirnya yaitu Tafsir Fi Zilalil al-Qur’an terutama pada surah Al-
11 Sri Ulfa Rahayu, “Kerjasama Rasulullah Dengan Non Muslim Membangun
Kesejahtraan Ummat”, Jurnal Al-Tahrir, Vol. 14 No. 2 Mei 2014. 12 Zhalalluddin, ”Konsep Kerjasama Seorang Muslim Dengan Pemerintahan
Non-Muslim Dalam Tafsir Ibnu Katsīr dan Tafsīr Al-Misbāh”,(Skripsi: Universitas Islam
Indonesia: Yogyakarta, 2018). 13 Triyanah, “Hubungan Muslim Dengan Non-Muslim Dalam Al-Qur’an
Perspektif Metode Tafsir Kontekstual Abdullah Saeed”, (Skripsi: IAIN Salatiga 2017)
10
Mumtahanah: 8-9. Ia menerangkan bahwa Sayyid Qutb memiliki
batasan dalam memahami toleransi.14
12. Skripsi ini ditulis oleh Mahar Dhika, yang berjudul Pengaruh
Prasangka Dan Tipe Kepribadian Big Five Terhadap Toleransi
Beragama Pada Anggota Front Pembela Islam (FPI).Dalam
skripsi ini ia hanya menjelaskan pengaruh prasangka dan tipe
kepribadian FPI dalam toleransi dengan menggunakan pendekatan
kualitatif, agar menurutnya pandangan yang diluncurkan kepada
FPI tentang toleransi bisa berkaca pada obyektif.15
13. Skripsi ini di tulis oleh Nur Lu’lu’il Maknunah, yang berjudul
Konsep Toleransi Beragama Dalam Al-Qur’an (Studi komparatif
atas Tafsir Al-Azhar dan Tafsir Al-Nūr). Dalam skripsi ini ia
menerangkan bahwa berangkat dari banyaknya ketimpangan
dalam hubungan umat beragama terutama dalam toleransi, ia
berusaha memformulasikan kembali ajaran toleransi dengan
merujuk kepada dua tafsir, yaitu Tafsir al-Azhar Buya Hamka dan
Tafsir al-Nūr Hasbi Ash-Shiddiqie.16
14. Jurnal ini ditulis oleh Fanny Tanuwijaya, yang berjudul
Radikalisme Sebagai Pelangaran Secara Serius Terhadap Hak
Toleransi. Ia menerangkan bahwa radikalisme adalah salah satu
jenis kekerasan yang sangat memprihatinkan. Ia menambahkan
14 Laili Fitriani, Toleransi Beragama Perspektif Sayyid Qutb (Ananlisis
terhadap QS Al-Mumtahanah [60] :8-9 dalam Tafsīr Fī Zilālil al-Qur’an). Fakultas
Ushuluddin, UIN Jakarta. 2019. 15 Mahar Dhika, Pengaruh Prasangka Dan Tipe Kepribadian Big Five Terhadap
Toleransi Beragama Pada Anggota Front Pembela Islam (FPI). Fakultas Psikologi, UIN Jakarta. 2015.
16 Nur Lu’lu’il Maknunah, Konsep Toleransi Beragama Dalam Al-Qur’an (Studi
komparatif atas Tafsir Al-Azhar dan Tafsir An-Nur). Fakultas Ushuluddin, UIN
Yogyakarta. 2016.
11
bahwa hal tersebut identik dengan menempatkan sesamanya
sebagai objek yang dicabut hak toleransinya.17
15. Jurnal ini ditulis oleh Diky Setiawan DKK, yang berjudul
Penguatan Nilai-nilai Toleransi Oleh Majlis Tafsir Al-Qur’an
(MTA) Pusat Sebagai Upaya Menjaga Kerukunan Antar Umat
Beragama Di Kota Surakarta. Dalam jurnal ini hanya diterangkan
adanya upaya Majlis Tafsir Al-Qur’an (MTA) lebih lanjut terkait
toleransi terutama kegiatan yang membahas toleransi terhadap
masyarakat sekitar.18
F. Metode Penelitian
Dalam menyelesaikan skripsi ini, dibutuhkan sebuah metode tertentu.
Tanpa metode suatu penulisan akan sulit untuk dilakukan. Adapun fungsi
dari metode ini yaitu untuk mengkaji secara rasional, sistematis dan
terarah demi mendapatkan hasil yang optimal. Dalam metode penulisan,
ada beberapa metode yang penulis gunakan yakni:
1. Jenis Penelitian
Kegiatan penelitian ini bersifat studi keperpustakaan (Library
Research), sehingga data yang diperoleh adalah berasal dari kejadian teks
atau buku-buku yang relevan dengan pokok atau rumusan masalah di
atas.19 Sementara jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian
deskriptif analisis. Yang merupakan sebuah penelitian yang
menggambarkan seoptimal mungkin mengenai suatu masalah, individu,
17Fanny Tanuwijaya, Radikalisme Sebagai Pelangaran Secara Serius Terhadap
Hak Toleransi. Pendidikan Multikultural, Vol. 2, no. 1 (Februari 2018). 18 Diky Setiawan, Dkk, Penguatan Nilai-nilai Toleransi Oleh Majlis Tafsir Al-
Qur’an (MTA) Pusat Sebagai Upaya Menjaga Kerukunan Antar Umat Beragama Di
Kota Surakarta. PKn Progresif, Vol. 14, no. 1 (Juni 2019). 19 Sutrisno Hadi, Metodologi Research (Yogyakarta: Andi Offset. 1995), 9.
12
keadaan, gejala, dan kelompok tertentu.20 Penelitian ini berusaha
memaparkan data yang telah dianalisis sehingga membuahkan hasil
penelitian yang dapat mendeskripsikan secara komprehensif, sistematis,
dan objektif tentang permasalahan seputar tema atau judul yang sedang
dikaji.
2. Sumber Data
Beragam data-data dari buku-buku, jurnal, dan artikel yang berkaitan
dengan judul yang dibahas, teknik pengumpulan data ini terdiri dari data
primer dan data sekunder. Data primer yang digunakan dalam penelitian
ini adalah kitab tafsir Wahbah al-Zuhaili yaitu kitab tafsīr al-Munīr.
Sedangkan data sekundernya adalah data pendukung, khususnya yang
memberikan informasi tambahan, baik berasal dari pemikiran atau tulisan
Wahbah al-Zuhaili maupun berasal dari literatur tafsir yang lain yang
mana masih mempunyai kaitannya dengan tema pembahasan seputar topik
yang dikaji.
3. Metode Pengumpulan Data
Dalam metode pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan ini
yaitu penelitian kualitatif, maka dalam hal ini yang penulis lakukan adalah
dengan menggunakan studi dokumentasi, atau catatan-catatan yang
membantu penelitian yang sedang dilakukan, kemudian dari data-data
tersebut diolah secara optimal sehingga bisa menampilkan pembahasan
yang komprehensif.21 Untuk mengumpulkan data-data tersebut, penelitian
ini menggunakan sumber data sebagai berikut:
a. Sumber Data Primer
20 Kartono, Pengantar Metodologi Riset Sosial, (Bandung: Mandar Maju, 1996),
33. 21 Mardalis, Metode Penelitian, (Suatu Pendekatan Proposal) (Jakarta: Bumi
Aksara, 2007), 74.
13
Sumber data primer yang penulis gunakan adalah dari kitab al-Munīr,
karya Wahbah bin Mustafa al-Zuhaili.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder yang penulis gunakan di sini adalah buku-
buku, artikel, jurnal, karya tulis dan kitab tafsir lainnya sebagai support
atau pendukung dan masih memiliki pembahasan yang sama terkait judul
ini.
4. Metode Analisis Data
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis data. Dalam
deskriptif analisis ini penulis menggunakan pendekatan interpretasi.
Dalam artian bahwa penulis menyelami lebih dalam pemikiran Wahbah
al-Zuhaili, terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan hubungan muslim
dan non-muslim dalam interaksi sosial.
Adapun mengenai langkah-langkah penelitian yang akan dilakukan
penulis adalah sebagai berikut:
Pertama, menghimpun catatan-catatan yang berisi konsep Wahbah al-
Zuhaili terkait hubungan muslim dan non-muslim dalam interaksi sosial.
Kedua, menghimpun ayat-ayat tertentu yang berkaitan dengan
hubungan muslim dan non-muslim dalam interaksi sosial. Dalam hal ini
diupayakan mengkomparasikan dari satu ayat ke ayat yang lain terkait
Hubungan Muslim dan Non-Muslim Dalam Interaksi Sosial. Dan
selanjutnya secara keseluruhan, ayat-ayat yang digunakan nantinya akan
dapat menyimpulkan karakteristik penafsiran Wahbah Al-Zuhaili atas
ayat-ayat yang berkenaan dengan hubungan muslim dan non-muslim
dalam interaksi sosial.
14
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan di sini yaitu dimaksudkan sebagai gambaran
atas suatu pokok bahasan dalam penulisan skripsi, sehingga dapat
memudahkan dalam memahami dan mencerna masalah-masalah yang
mana akan dibahas. Adapun sistematika penulisan tersebut adalah sebagai
berikut:
Bab pertama, merupakan pendahuluan yang terdiri dari beberapa sub
bab yaitu: latarbelakang masalah, permasalahan yang terisi dari
identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika
penulisan.
Bab kedua, merupakan landasan teori, yakni dalam bab ini, penulis
mengemukakan tentang penjelasan mengenai interaksi sosial, meliputi
definisi interaksi sosial, syarat-syarat dalam interaksi sosial, konflik yang
terjadi dalam interaksi sosial, serta interaksi sosial dalam Islam.
Bab ketiga, dalam bab ini penulis akan mengemukakan tentang
biografi Wahbah al-Zuhaili beserta guru-guru, murid-murid dan karya-
karyanya dan Tafsīr al-Munīr yang berisi mengenai latar belakang
penulisan, metode dan corak penafsirannya.
Bab keempat, dalam bab ini akan dipaparkan mengenai analisis
penafsiran Wahbah al-Zuhaili terkait al-Qur’an surah al-Mumtahanah
[60]: 8-9. Dan relevansi penafsiran Wahbah al-Zuhaili terhadap
perkembangan wacana toleransi secara umum.
Bab kelima, merupakan bab penutup, yang isinya terdiri dari
kesimpulan sebagai jawaban dari permasalahan penelitian ini. Kritik dan
saran sebagai rekomendasi untuk penelitian selanjutnya.
15
BAB II
SEPUTAR INTERAKSI SOSIAL
A. Definisi Interaksi Sosial
Interaksi adalah suatu jenis tindakan yang terjadi ketika dua atau lebih
dari objek yang mempengaruhi atau memiliki efek satu sama lain. Dan
kata sosial di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah
merupakan adanya sebuah hal-hal yang telah berhubungan dengan suatu
komunitas atau karakteristik sosial dan yang mempertimbangkan dalam
kepentingan publik.
Jadi Interaksi sosial dapat diartikan sebagai hubungan-hubungan
sosial yang dinamis. Hubungan sosial yang dimaksud dapat berupa
hubungan antar individu yang satu dengan individu yang lainnya, antara
kelompok yang satu dengan kelompok lainnya, maupun antara kelompok
dengan individu dalam rangka mencapai tujuan tertentu.22
B. Syarat-Syarat Interaksi Sosial
Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa interaksi sosial,
merupakan aspek dinamis dari kehidupan masyarakat. Di mana di
dalamnya terdapat suatu hubungan antar manusia satu dengan yang
lainnya. Hubungan tersebut berupa antara interaksi sosial yang terjadi
dalam kehidupan sehari-hari secara terus-menerus. Interaksi sosial yang
dimaksudkan di sini sebagai pengaruh timbal balik antara dua belah pihak,
yaitu antara individu satu dengan individu atau kelompok lainnya dalam
rangka mencapai tujuan tertentu.
22 Yesmil Anwar, Adan g, Sosiologi Untuk Universitas (Bandung: Refika
Aditama, 2013), 194.
16
Dalam proses sosial, baru dapat dikatakan terjadi interaksi sosial,
apabila telah memenuhi persyaratan sebagai aspek kehidupan bersama,
yaitu adanya kontak sosial dan komunikasi sosial.
1. Kontak sosial
Kontak sosial adalah hubungan antara satu orang atau lebih, melalui
percakapan dengan saling mengerti tentang maksud dan tujuan masing-
masing dalam kehidupan masyarakat. Kontak sosial dapat terjadi secara
langsung ataupun tidak langsung atara satu pihak dengan pihak yang
lainnya. Kontak sosial tidak langsung adalah kontak sosial yang
menggunakan alat, sebagai perantara misalnya; melalui telepon, radio,
surat, dan lain-lain. Sedangkan kontak sosial secara langsung, adalah
kontak sosial melalui suatu pertemuan dengan bertatap muka dan
berdialog diantara kedua belah pihak tersebut. Yang paling penting dalam
interaksi sosial tersebut adalah saling mengerti antara kedua belah pihak,
sedangkan kontak badaniah bukan lagi merupakan syarat utama dalam
kontak sosial, oleh karena hubungan demikian belum tentu terdapat saling
pengertian. Kontak sosial tidak terjadi semata-mata oleh karena adanya
aksi belaka, akan tetapi harus memenuhi syarat pokok kontak sosial, yaitu
reaksi (tanggapan) dari pihak lain sebagai lawan kontak sosial.
Dalam kontak sosial, dapat terjadi hubungan positif dan hubungan
negatif. Kontak sosial positif terjadi oleh karena hubungan antara kedua
belah pihak terdapat saling pengertian, di samping menguntungkan
masing-masing pihak tersebut, sehingga biasanya hubungan dapat
berlangsung lebih lama, atau mungkin dapat berulang-ulang dan dapat
mengarah pada satu tujuan yang sama. Sedangkan kontak negatif terjadi
oleh karena hubungan antara kedua belah pihak tidak melahirkan saling
17
pengertian, mungkin merugikan masing-masing atau salah satu, sehingga
mengakibatkan suatu pertentangan atau perselisihan.23
2. Komunikasi Sosial
Komunikasi sosial adalah syarat pokok lain dari pada proses sosial.
Komunikasi sosial mengandung pengertian persamaan pandangan antara
orang-orang yang berinteraksi terhadap sesuatu. Menurut Soerjono
Soekanto, komunikasi adalah bahwa seseorang memberikan tafsiran pada
prikelakuan orang lain (yang berwujud pembicaraan, gerak-gerak
badaniah atau sikap) perasaan-perasaan apa yang ingin disampaikan oleh
orang tersebut. Orang yang bersangkutan kemudian memberikan reaksi
terhadap perasaan yang ingin disampaikan oleh orang tersebut. Dengan
adanya komunikasi, maka sikap dan perasaan di satu pihak orang atau
sekelompok orang lain. Hal ini berarti, apabila suatu hubungan sosial tidak
terjadi komunikasi atau tidak saling mengetahui dan tidak saling
memahami maksud masing-masing pihak, maka dalam keadaan demikian
tidak terjadi kontak sosial. Dalam komunikasi dapat terjadi banyak sekali
penafsiran terhadap prilaku dan sikap masing-masing orang yang sedang
berhubungan; misalnya jabatan tangan dapat diartikan sebagai kesopanan,
persahabatan, kerinduan, sikap kebanggaan dan lain-lain.24
C. Konflik Dalam Interaksi Sosial
Manusia adalah makhluk konfliktis, yaitu makhluk yang selalu
terlibat dalam perbedaan, pertentangan, dan persaingan baik sukarela
23 Abdulsyani, Sosiologi Skematika, Teori, dan Terapan (Jakarta: Bumi Aksara,
2012), 153-154. 24 Abdulsyani, Sosiologi Skematika, Teori, dan Terapa, 155.
18
maupun terpaksa. Secara etimologi, konflik (conflict) berasal dari kata
kerja bahasa lain, configere yang berarti saling memukul.25
Konflik pada umumnya dikenal sebagai suatu bentuk pertentangan
atau perbedaaan ide, pendapat, paham atau juga kepentingan yang terjadi
di antara dua pihak atau lebih. Pertentangan sendiri bisa muncul ke dalam
bentuk pertentangan ide maupun fisik antara dua belah pihak yang
berbeda. Konflik juga bisa muncul pada skala yang berbeda seperti konflik
antar orang (interpersonal conflict), konflik antar kelompok (intergroup
conflict), konflik antara kelompok dengan negara (vertical conflict), dan
konflik antar negara (interstate conflict).26
1. Jenis-jenis Konflik
Ada dua macam jenis konflik, sebagaimana yang dijelaskan oleh
Asyari Suadi yaitu:
a. Konflik vertikal atau konflik atas. Konflik ini disebut juga
konflik antara elit dan massa. Elit mencangkup para
pengambil kebijakan ditingkat pusat, kelompok bisnis, atau
aparat militer. Hal yang menonjol dalam konflik ini adalah
digunakannya instrumen kekerasan negara sehingga timbul
korban di kalangan massa (rakyat).
b. Konflik horizontal. Konflik yang terjadi dikalangan massa
(rakyat) itu sendiri. Ada dua jenis konflik horizontal yang
sangat besar pengaruhnya, yaitu konflik antar agama dan
konflik antar suku.
25 Adon Nasrullah Jamaludin, Agama & Konflik Sosial, Studi Kerukunan Umat
Beragama, Radikalisme dan Konflik Antarumat Beragama, (Bandung, CV Pustaka Setia,
2015), 33. 26 Novri Susan, Sosiologi Konflik Dan Isu-isu Konflik Kontemporer (Jakarta:
Kencana, 2009), 4-5.
19
2. Faktor Penyebab Timbulnya Konflik
Konflik tidak muncul begitu saja. Ada faktor yang turut berperan
timbulnya konflik dalam masyarakat. Para sosiolog menyebutkan bahwa
latar belakang timbulnya konflik adalah perebutan atas sumber-sumber
kepemilikan, status sosial, dan kekuasaan yang jumlahnya sangat terbatas.
Kemudian secara terperinci ia menjelaskan bahwa penyebab konflik, yaitu
perbedaan antar individu, benturan antar-kepentingan, perubahan sosial,
dan perbedaan kebudayaan.27
D. Interaksi Sosial Dalam Islam
1. Interaksi Sosial Sesama Muslim
Analisis sejarah Islam menunjukan bahwa, Islam datang sebagai
agama revolusioner yang berkesinambungan. Dalam konteks sejarah,
kaum muslimin telah mencapai tingkat solidaritas sosial yang tinggi dalam
kehidupan bermasyarakat. Hubungan antara sesama muslim digambarkan
sebagai hubungan yang tidak bisa dipisahkan seperti halnya anggota
dalam satu tubuh, apabila satu anggota tubuh sakit maka semua anggota
tubuh ikut merasakannya. Karena satu anggota tubuh itu saling
berhubungan dengan anggota tubuh lainnya.28 Ukhuwah Islamiyah atau
persaudaraan dalam Islam itu lahir karena adanya persamaan-persamaan,
semakin banyak persamaan semakin kuat persaudaraan itu, persamaan
Ukhuwah Islamiyah di sini dalam arti persamaan pada persoalan yang
paling mendasar yaitu akidah.
Allah berfirman:
27 Adon Nasrullah Jamaludin, Agama & Konflik Sosial, Studi Kerukunan Umat
Beragama, Radikalisme dan Konflik Antarumat Beragama, 37-40. 28 A. Toto Suryana, Pendidikan Agama Islam (Bandung: Tiga Mutiara, 1996),
163.
20
ن و م ح اتق وا الله ل ع لك م ت ر ي ك م و و ا ب ي ن ا خ و ل ح و ف ا ص ن ا خ ن و م ؤ ا ال م ا نم
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu
damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah
kepada Allah agar kalian mendapat rahmat” (QS. al-Hujurāt {49}: 10).
Saling memberikan Kasih sayang dalam Ukhuwah Islamiyah akan
membentuk hubungan yang harmonis. Yaitu saling mengasihi, saling
menyayangi dan saling memperdulikan. Dan pada akhirnya umat Islam
akan membentuk suatu kelompok masyarakat yang penuh dengan kasih
sayang dan saling mengingatkan dalam hal kebenaran dan kesabaran.
Allah berfirman di dalam al-Qur’an:
ا و اص ت و ق ە و ا ب ال ح و اص ت و ت و ل ح ل وا الصه ع م ا و ن و م ي ن ا ا ل الذ
ب ر ب الص
“kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta
saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran”
(QS. al-‘Aṣhr [103]: 3).
Kata ( ا و اص Waṣhā yang ( وصى ) tawāṣau terambil dari kata ( ت و
secara umum diartikan sebagai menyuruh secara baik. Sedangkan kata
al-haq berarti sesuatu yang mantap, tidak berubah. Apapun yang (الحق)
terjadi, Allah swt, adalah puncak dari segala haq, karena dia tidak
mengalami perubahan. Nilai-nilai agama juga haq, karena nilai-nilai
tersebut harus selalu mantap tidak dapat diubah-ubah. Sesuatu yang tidak
berubah, sifatnya pasti, dan sesuatu yang pasti menjadi benar, dari sisi
bahwa ia tidak mengalami perubahan.
Sementara ulama memahami kata al-Haq pada ayat ini dalam arti
Allah, yakni manusia hendaknya saling ingat-mengingatkan tentang
wujud, kuasa dan keesaan Allah swt. Serta sifat-sifat-Nya yang lain. Ada
21
juga yang berpendapat bahwa haq yang dimaksud adalah al-Qur’an. Ini
berdasarkan riwayat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw.
Fakhruddīn ar-Razi memahami kata al-haq disini sebagai “sesuatu
yang mantap (tidak berubah) baik berupa ajaran agama yang benar,
petunjuk akal yang pasti maupun pandangan mata yang mantap.
Al-haq tentunya tidak secara mudah diketahui atau diperoleh. Ia juga
beraneka ragam, karena itu harus dicari dan dipelajari. Pandangan mata
dan fikiran harus diarahkan kepada sumber-sumber ajaran agama,
sebagaimana harus pula diarahkan juga kepada objek-objek yang diduga
keras dapat menginformasikan haq (kebenaran) itu, dalam hal ini alam
raya beserta makhluk yang menghuninya. Dari penjelasan di atas terlihat
bahwa kata al-haq dapat mengandung arti pengetahuan. Memang menurut
sementara ulama, mencari kebenaran menghasilkan ilmu dan mencari
keindahan menghasilkan seni, mencari kebaikan akan menghasilkan etika.
Saling menyuruh kepada kebenaran dengan secara baik yang
diperintahkan ini mengandung makna bahwa seseorang berkewajiban
untuk mendengarkan kebenaran dari orang lain serta mengajarkannya
kepada orang lain. Seseorang belum lagi terbebaskan dari kerugian bila
sekedar beriman, beramal saleh dan mengetahui kebenaran itu untuk
dirinya, tetapi ia berkewajiban pula untuk mengajarkannya kepada orang
lain. Selanjutnya sekaligus syarat yang dapat membebaskan manusia dari
kerugian total adalah saling wasiat-mewasiati menyangkut kesabaran.
Sabar adalah menahan kehendak nafsu demi mencapai sesuatu yang
baik atau lebih baik. Secara umum kesabaran dapat dibagi dalam dua
bagian pokok: yaitu sabar jasmani dan sabar rohani. Yang pertama adalah
kesabaran dalam menerima dan melaksanakan perintah-perintah
keagamaan yang melibatkan anggota tubuh, seperti sabar dalam
melaksanakan ibadah haji yang mengakibatkan keletihan atau sabar dalam
22
peperangan membela kebenaran, termasuk pula dalam bagian ini sabar
dalam menerima cobaan-cobaan yang menimpah jasmani seperti penyakit,
penganiayaan dan semacamnya. Sedangkan sabar rohani menyangkut
kemampuan kehendak nafsu yang mengantarkan kepada keburukan,
seperti sabar menahan amarah, atau menahan nafsu seksual yang bukan
tempatnya.29
2. Interaksi Antar Umat Beragama
Agama Islam diturunkan untuk manusia dengan segala
keberagamannya. Islam diturunkan bukan hanya untuk menjalankan
syariat saja akan tetapi Islam mengajarkan juga bagaimana cara
bermu’amalah dengan sesama manusia, oleh karena itu ajaran Islam tidak
melarang umatnya untuk berinteraksi sosial dengan agama lain. Islam
mengajarkan umatnya untuk senantiasa berpihak kepada kebenaran dan
keadilan dalam segala hal termasuk berinteraksi dengan non-muslim.
Dalam masyarakat seperti sekarang ini hubungan antara para pemeluk
agama yang berbeda-beda tidak bisa dihindarkan baik dalam bidang
sosial, ekonomi, politik dan budaya. Bagi umat Islam hubungan ini tidak
menjadi halangan selama dalam kaitan kemanusiaan (Mu’amalah).
Bahkan dalam berhubungan dengan mereka (non-muslim) umat Islam
dituntun untuk menampilkan perilaku yang baik, sehingga dapat menarik
mereka untuk mengetahui tentang Islam.30
Allah swt berfirman di dalam al-Qur’an:
ا ا ن ف و ق ب اىل ل ت ع ار با و ك م ش ع و ع ل ن ج ى و ا ن ث ن ذ ك ر و ك م م ل ق ن ا الناس ا نا خ يا يه
ن ك م ع م ر ب ي ر ا ك ل ي م خ ىك م ا ن الله ع د الله ا ت ق
29 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbāh, jilid 15, cet, I. Jakarta: Lentera Hati,
2002, 503-504. 30 A. Toto Suryana, Pendidikan Agama Islam, 166-167.
23
“Wahai manusia! Sesumgguhnya, Kami telah menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.
Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang
yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui,
Mahateliti” (QS. al-Hujurāt [49]: 13).
Wahai manusia! Wahai makhaluk yang berbeda-beda ras dan warna
kulit, yang terpisah-pisah menjadi bangsa-bangsa dan suku-suku,
sesungguhnya kalian berasal dari asal yang sama, maka janganlah kalian
berselisih, berpecah belah, bersengketa, dan berpisah-pisah.
Wahai manusia yang memanggil kalian ini adalah tuhan yang
menciptakan kalian. Wahai manusia, laki-laki dan perempuan! Dia
memberitahumu tujuan dijadikannya kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku. Tujuannya bukan saling memusuhi, melainkan untuk saling
mengenal dan hidup yang harmonis. Perbedaan bahasa, warna kulit,
watak, akhlak, potensi, dan keyakinan merupakan perbedaan yang tidak
mesti berujung kepada perselisihan dan perpecahan. Sebaliknya ia
menuntut kerjasama untuk memikul semua tugas dan memenuhi semua
kehidupan.31
Kata (ا ف و arafa yang berarti‘ (عرف) terambil dari kata (ل ت ع ار
mengenal, maksud arti dari kata ini mengandung makna timbal balik.
Dengan demikian, ia berarti saling mengenal.
Semakin kuat pengenalan satu pihak pada lainnya, semakin terbuka
peluang untuk memberi manfaat. Karena itu, ayat di atas menekankan
perlunya saling mengenal. Perkenalan itu dibutuhkan untuk saling
menarik pelajaran dan pengalaman pihak lain guna meningkatkan
ketakwaan kepada Allah swt. Yang dampaknya tercermin pada kedamaian
31Sayyid Quthub, Fi Zhilalil Qur’an, Terj. Aunur Rafiq Shaleh Tmhid, (Jakarta:
Robbani Press, 2008), 288.
24
dan kesejahtraan hidup duniawi dan ukhrawi. Anda tidak dapat menarik
pelajaran, tidak dapat saling melengkapi dan menarik manfaat, bahkan
tidak dapat bekerja sama tanpa saling mengenal.32
32Quraish Shihab, al-Misbāh, 617-618.
25
BAB III
BIOGRAFI WAHBAH AL-ZUHAILI DAN KITAB TAFSĪR AL-
MUNĪR
A. Biografi Wahbah al-Zuhaili
1. kelahiran dan pendidikannya
Nama lengkapnya adalah Wahbah bin Mustafā al-Zuhaili, anak
pasangan dari Mustafā al-Zuhaili, seorang petani, dan Hajjah Fātimah
binti Musṭafā Sa’ādah. Wahbah al-Zuhaili merupakan ulama atau salah
satu tokoh kebanggan di negara kelahirannya yaitu Syiria. Ia lahir pada
tanggal 06 maret 1932 M/ 1351 H, bertempatan di Dair ‘Atiyyah di
kecamatan Faiha, Propinsi Damaskus, Syiria.33
Di bawah bimbingan dan didikan orang tuanya, Syaikh Wahbah al-
Zuhaili mengeyam pendidikan dasar-dasar ajaran agama Islam. Setelah
itu, ia bersekolah di madrasah Ibtidā’iyyah di kampung halamannya,
sampai kepada jejang pendidikan moral berikutnya. Gelar sarjana
diraihnya pada tahun 1952 M, di Fakultas Syariah Universitas Damaskus,
dan juga pendidikan Islam di Universiti al-Azhār, di mana ia sekali lagi
menyelesaikan pendidikannya dengan cemerlang pada tahun 1956 M.
Selanjutnya ia melanjutkan program magisternya di Universitas Kairo dan
berhasil menyelesaikan pendidikannya pada tahun 1959 M, dan meraih
gelar doktor dalam bimbingan Syarī’ah dari Universitas al-Azhar, Kairo
pada tahun 1963 M.
Kemudian Syaikh Wahbah al-Zuhaili mengabdikan dirinya sebagai
seorang dosen di almamaternya, yaitu di Fakultas Syari’ah Universitas
33 Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka
Insan Madani, 2008), 174.
26
Damaskus, pada tahun 1963 M. Karir akademiknya terus meningkat, tak
berapa lama kemudian, ia diangkat menjadi pembantu dekan pada
Fakultas yang sama. Jabatannya adalah sebagai Dekan sekaligus ketua
jurusan Fiqh al-Isāmī dan di jalaninya dalam waktu relatif singkat dari
masa pengangkatannya sebagai pembantu dekan. Selanjutnya, ia dilantik
sebagai guru besar dalam disiplin hukum Islam pada salah satu Universitas
di Syiria.
Wahbah al-Zuhaili yang terkenal dengan ahli dalam bidang Fiqh dan
Tafsir, serta berbagai disiplin ilmu lainnya, ia merupakan salah satu tokoh
paling terkemuka di abad ke-20 M. Ia adalah Ulama yang sejajar dengan
tokoh-tokoh lainnya, seperti Tāhir Ibn Asyur, Sa’īd Hawwā, Syyid Qutb,
Muhammad Abu Zahrah, Mahmud Syaltut dan lain-lain.
Ia sendiri tinggal dan dibesarkan di lingkungan yang mana terdapat
ulama-ulama Mazhab Hanafi, dan dengan itu terbentuklah pemikirannya
dalam bermazhab fiqh. yaitu bermazhab Hanafi, akan tetapi dalam
pengembangan dakwahnya ia tidak mengedepankan mazhabnya atau
aliran yang dianutnya, ia tetap bersikap netral dan propesional, dan selalu
menghargai dan menghormati pendapat-pendapat mazhab lain. Mengenai
hal ini, dapat dilihat dari bentuk penafsirannya ketika menafsirkan ayat-
ayat yang berkaitan dengan fiqh.34 Di dalam perkembangannya, ia tampil
sebagai salah satu pakar perbandingan mazhab (Muqāranāt al-Madzāhib).
dan Salah satu karya-nya, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhu, merupakan
salah satu karya fiqih komparatif yang popular pada masa sekarang ini.
Jumat, 14 Agustus 2015, puluhan ribu umat Islam ibukota di Masjid
Istiqlal dan masjid-masjid lain, melakukan shalat gaib untuk mendoakan
ulama papan atas masa kini yaitu, Prof. Dr. Syaikh Wahbah Mushthafa al-
34 Muhamma ‘Ali ‘Iyāzi, Al-Mufasirun Hayātuhum wa Manahajuhum (Teheran:
Wizarah al-Tsaqāfah wa al-Insya’ al-Islām, 1993), 684.
27
Zuhaili, wafat di Damaskus, Suriah, pada usia 83 tahun di malam sabtu 8
Agustus 2015 . Dunia Islam berduka cita karena kehilangan seorang ulama
kontemporer panutan dunia.35
2. Guru dan Murid
Wahbah al-Zuhaili Selaku ulama besar tentu memiliki banyak guru
dan murid, oleh karena itu guru dan murid merupakan hal keniscayaaan
yang tidak bisa dihindarkan. Diantara guru-guru Syaikh Wahbah al-
Zuhaili dalam bidang ilmu Fiqih, ia belajar kepada ‘Abd al-Razzāq al-
Humassī (w. 1969 M), dan Muhammad Hāsyim al-Khatīb al-Syāfi’ī (w.
1958 M), dalam bidang Ilmu Hadis, ia belajar kepada Mahmud Yassin (w.
1948 M), dalam bidang Tafsir dan ilmu-ilmu Tafsir, ia belajar kepada
Syaikh Hasan Jankah dan Syaikh Sādiq Jankahal-Maidānī dan dalam
bidang Ilmu Kebahasaan ia belajar kepada Muhammad Sālih Fartur (w.
1986 M).
Sewaktu ia di Mesir, ia belajar kepada Mahmud Syaltut (w. 1963 M)
‘Abdul Rahmān Tāj, dan ‘Isā Manun yang merupakan gurunya dalam
bidang Ilmu Fiqh Muqāran (perbandingan), dalam bidang ‘Ilmu Uṣhul al-
Fiqh, ia belajar kepada Mustafā ‘Abdul Khāliq beserta anaknya ‘Abdul
Ghani, dan masih banyak lagi guru-gurnya yang tidak bisa kami sebutkan
satu persatu.
Adapun di antara murid-muridnya yaitu Muhammad Fāruq Hamdan,
Muhammad Na’īm Yasin, ‘Abdul al-Satār Abū Ghādah, ‘Abd al-Latīf,
Muhammad Abū Lail, dan termasuk putranya sendiri Muhammad al-
Zuhaili yang berguru juga ke padanya, dan masih banyak lagi murid-
35 Ali Mustafa Yaqub, Teror di Tanah Suci, (Tangerang Selatan: Maktabah
Darus-Sunnah, 2016), 151.
28
murid yang belajar kepadanya ketika ia menjadi seorang dosen di Fakultas
Syari’ah dan perguruan tinggi lainnnya.36
3. Karya-karya
Wahbah al-Zuhaili sangat bersungguh-sungguh dalam belajar dan
mengajarkan dalam berbagai macam keilmuan, baik dalam perkuliahan,
berdakwah di berbagai tempat dalam sebuah pengajian, berdiskusi,
termasuk juga melalui media massa. Sebagai hasil dari aktivitas
akademisnya yang sangat produktif, tidak kurang dari 40 buku dan karya
ensiklopedi dalam berbagai ilmu tentang keislaman ditulisnya.37 Adapun
hasil dari karya- karyanya yaitu:
a. A1-Fiqh a1-Islāmī wa Adillatuhu, (1997) dalam 9 jilid. Ini
adalah sebuah karya fikihnya yang sangat popular.
b. Ushūl a1-Fiqh al-Islāmi, dihimpun dalam 2 jilid besar.
c. A1-Wasīt fī Ushūl a1-Fiqh, Universitas Damaskus, 1966.
d. A1-Fiqh a1-Islāmī fī Uslūb a1-Jadīd, Maktabah a1-Haditsah,
Damaskus, 1966.
e. Fiqh a1-Mawāris fī al-Syari’āt al-Islāmiyyah, Dār al-Fikr,
Damaskus, 1987.
f. Al-Qur’an al-Karīm; Bunyātuhu al-Tasyrī’iyyah au
Khaṣā’isuhu al-Hasāriyyah, Dār al-Fikr, Damaskus, 1993.
g. Al-Asās wa al-Maṣādir al-Ijtihād al-Musyrikah Bayna al-
Sunnah wa al-Syi’ah, Dār al-Maktabi, Damaskus, 1996.
h. Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Syarī’ah wa al- Manhaj,
terhimpun dalam 16 jilid. Dār al-Fikr, Damaskus, 1991.
36 Baihaki, “Studi Kitab Tafsir al-Munīr Karya Wahbah l-Zuhaili dan Contoh
Penafsirnnya Tentang Pernikahan Beda Agama”, Analisis, vol. 16, no.1 (Juni 2016), 130-
131. 37 Muhsin Mahfudz, “Kontruksi Tafsir Abad 20 M/14 H; Kasus Tafsīr al-Munīr
Karya Wahbah al-Zuhaili”, al-Fikr, vol. 14, no. 1 (2010), 34.
29
i. Tafsīr al-Wajīz merupakan ringkasan dari Tafsīr al-Munīr.
j. Tafsīr al-Wasīth terhimpun dalam 3 jilid besar, dan karya-
karya lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Ketiga karya tafsir terakhir ini, yaitu: Tafsīr al-Munīr, Tafsīr al-Wajīz,
dan Tafsīr al-Wasīth, masing-masing memiliki karakteristik tersendiri.
Ketiganya menggunakan metode penafsiran yang berbeda dan latar
belakang yang berbeda juga. Mungkin sebagian orang mempertanyakan
sisi persamaan dan perbedaan antara ke-tiga tafsir tersebut. Berikut ini
penjelasannya:
Ketiga tafsir tersebut sama dalam menjelaskan kandungan ayat secara
terperinci dan menyeluruh, serta dengan gaya bahasa sederhana dan
mudah dipahami. Sama dalam menjabarkan sebab turunnya ayat yang
shahih dan terpercaya. Sama dalam mengutip ayat-ayat lain dan hadits-
hadits shahih yang sesuai dengan tema dan kandungan ayat yang
dimaksud. Sama dalam menghindari cerita dan riwayat Israiliyat yang
tidak ada tafsir klasik yang terbesar darinya. Sama dalam berkomitmen
terhadap prinsip-prinsip tafsir bi al-ma’tsur dan tafsir bi al-ra’yi sekaligus.
Serta sama dalam berpedoman dengan kitab-kitab induk tafsir dengan
berbagai manhaj-Nya.
Tafsīr al-Munīr yang mencangkup aspek akidah dan syariah (16 jilid)
ini, dikhususkan untuk para ahli atau kalangan atas. Sedangkan Tafsīr al-
Wajīz, dikhususkan untuk kebanyakan orang-orang umum. Adapun Tafsīr
al-Wasīt, dikhususkan untuk orang yang tingkat pengetahuannya
menengah. Sedangkan persamaannya adalah bahwa ketiga tafsir tersebut
berupaya untuk menerangkan atau menjelaskan dan mengungkap makna-
makna yang terdapat di dalam al-Qur’an agar mudah dipahami dan
30
kemudian dapat direalisasikan atau diamalkan dalam kehidupan sehari-
hari oleh masyarakat dengan pemikiran yang berbeda-beda.38
Tafsīr al-Wajīz, mengenai penafsiran Wahbah al-Zuhaili dalam kitab
tafsīr al-Wajīz ini, hanya menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara gelobal
saja, tidak membuat pembahasan yang panjang , agar mudah dipahami
oleh masyarakat pada umumnya. Akan tetapi ia tetap mencantumkan
asbab al-Nuzūl ayat sehingga sangat membantu untuk mempermudah
memahami makna-makna yang terkandung dalam al-Qur’an. Dan Tafsīr
al-Wajīz ini memiliki keistimewaan berupa kesederhanaan gaya bahasa
dan kedalaman makna pada penafsirannya, dan juga disampaikan
mukadimah dari masing-masing kumpulan ayat yang tertuang dalam satu
judul tersendiri.
Tafsīr al-Wasīth, karya tafsir ini dihasilkan dari peresentasi ia selama
di media massa di syiria pada waktu itu, selama 7 tahun, mulai dari tahun
1992 sampai tahun 1998 M. Dimana ia menjadi nara sumber pada setiap
harinya dengan durasi waktu 6-10 menit kecuali hari libur. Kemudian
hasil dari kumpulan semua peresentasi yang disampaikan ia cetak menjadi
sebuah kitab tafsir al-Qur’an sampai 30 juz, yang terdiri dari tiga jilid dan
diterbitkan pada tahun 1421 H/2000 M dan diberi nama dengan Tafsīr al-
Wasīth. Dan di dalam Tafsīr al-Wasīth ini, di dalamnya ditambahkan
penafsiran beberapa ayat yang terdapat pada Tafsīr al-Munīr. Di dalamnya
dijelaskan makna beberapa kata penting yang dirasa samar-samar
pengertiannya disertai isyarat tentang sebab turunnya masing-masing ayat.
Dengan demikian, ungkapan-ungkapan di dalam ketiga tafsir ini terkadang
berkesesuaian dan terkadang berlainan tergantung kepada kebutuhan dan
konteks penjelasan kata dan kalimat. Terkadang disampaikan i’rab
38 Wahbah al-Zuhaili, Tafsīr al-Wasīth, Jilid 1, cet. 1, terj. Muhtadi (Jakarta:
Gema Insani, 2012), 2.
31
(keterangan kedudukan kata dalam kalimat) yang sangat diperlukan untuk
menjelaskan makna.39 Dan yang terakhir adalah kitab Tafsīr al-Munīr
yang merupakan hasil karya terbesar ia dalam bidang tafsir, yang akan
menjadi fokus pembahasan pada pembahasan selanjutnya.
B. Tafsīr al-Munīr
1. Latar Belakang Penulisan Tafsīr al-Munīr
Kata al-Munīr adalah isim fa’il dari kata anāra (dari kata nūr; cahaya)
yang berarti yang menyinari atau yang menerangi. Sesuai dengan
namanya, boleh jadi Wahbah al-Zuhaili bermaksud memberi nama kitab
tafsir ini dengan nama Tafsīr al-Munīr adalah ia berkeinginan agar kitab
tafsirnya ini, dapat menerangi orang-orang yang membacanya, dapat
menyinari orang-orang yang mempelajarinya, dan dapat memberikan
pencerahan bagi siapa saja yang berkeinginan untuk mendapatakan
pencerahan dalam memahami makna-makna yang terkandungan di dalam
al-Qur’an.
Tafsīr al-Munīr yang ditulis oleh Wahbah al-Zuhaili telah diterbitkan
oleh Dār al-Fikr di Damaskus. Tafsir ini disusun menjadi 16 jilid, disetiap
jilid terdiri dari 2 juz. Tafsir al-Munīr ini telah menjadi banyak perhatian
di berbagai negara, terbukti dengan diterjemahkannya ke dalam beberapa
bahasa, seperti Bahasa Indonesia, Bahasa Turki dan Bahasa Malaysia.40
Tafsir ini ditulis setelah beliau selesai menulis dua buku lainnya yang
komprehensif, yakni: Ushūl al-Fiqh al-Islāmī (2 jilid) dan al-Fiqh al-
Islāmī wa Adillatuhu (10 jilid). Sebelum memulai penafsirannya terhadap
surat pertama (al-Fātihah), Wahbah al-Zuhaili terlebih dahulu
menjelaskan wawasan yang berhubungan dengan ilmu al-Qur’an. Dan di
39 Wahbah al-Zuhaili, Tafsīr al-Wasīth, 2-3. 40 Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdat wa al-Syari’at wa
Manhāj, terj. Abdul Hayyi al Kattani, (Depok: Gema Insani, 2013), XIV-XV.
32
dalam Muqadimah, beliau mengatakan bahwa tujuan utama dari penulisan
tafsir ini adalah, untuk mempererat dan memperkuat hubungan antara
seorang muslim dengan al-Qur’an, karena al-Qur’an merupakan hukum
yang paling mendasar bagi setiap kehidupan umat manusia secara umum
dan umat Islam secara khusus. Oleh karena itu, Wahbah al-Zuhaili tidak
hanya menjelaskan hukum-hukum fikih saja dalam berbagai permasalahan
yang ada, akan tetapi bertujuan untuk menjelaskan hukum-hukum yang
diistinbatkan dari ayat-ayat al-Qur’an dengan makna yang luas, yang lebih
mendalam dari pada sekedar pemahaman umum, yang mencangkup
akidah dan akhlak, manhaj dan perilaku, dan manfa’at-manfa’at yang
diambil dari ayat-ayat al-Qur’an, baik dalam struktur sosial untuk setiap
komunitas masyarakat yang berkembang maupun dalam kehidupan
pribadi bagi setiap umat manusia (tentang kesehatannya, pekerjaannya,
ilmunya, cita-citanya, aspirasinya, deritanya, serta dunia dan akhiratnya),
yang mana hal ini selaras dalam kredibilitas dan keyakinan dengan apa
yang telah Allah turunkan melalui rasul-Nya.41
Dalam hal ini, Ali Iyazi menambahkan bahwa tujuan penulisan Tafsir
al-Munīr ini adalah memadukan keaslian tafsir klasik dan keindahan tafsir
kontemporer, karena menurut Wahbah al-Zuhaili banyak orang yang
menyudutkan bahwa tafsir klasik tidak mampu memberikan solusi
terhadap problematika kontemporer, sedangkan para mufassir
kontemporer banyak melakukan penyimpangan penafsiran terhadap ayat-
ayat al-Qur’an dengan dalil pembaharuan. Oleh karena itu, menurut
Wahbah al-Zuhaili, tafsir klasik harus dikemas dengan gaya bahasa
kontemporer dan metode yang konsisten sesuai dengan ilmu pengetahuan
modern tanpa ada penyimpangan penafsiran.
41 Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdat wa al-Syari’at wa
Manhāj, 11.
33
2. Metode dan Sistematika Penulisan Tafsīr al-Munīr
‘Abdul al-Hayy al-Farmāwī, berpendapat bahwa terdapat empat
metode dalam penafsiran al-Qur’an yautu: tahlīlī, maudhū’ī, ijmālī, dan
muqāran. Pertama, Metode tafsir tahlīlī yaitu cara menafsirkan ayat-ayat
al-Qur’an dengan menggunakan penelitian kepada semua aspek-aspek
yang terdapat di dalam al-Qur’an, dimulai dari uraian makna kosakata,
kalimat, keterkaitan satu ayat dengan yang lain, sampai kepada sisi-sisi
asbāb al-nuzūl, serta mengikuti prosedur susunan tartīb mushafī dengan
sedikit banyak melakukan analisis di dalamnya. Kedua, Metode tafsir
Ijmālī yaitu cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, dengan tujuan untuk
menerangkan atau menjelaskan makna-makna al-Qur’an dengan
penjelasan yang singkat dan bahasa yang mudah dipahami semua orang.
Ketiga, metode tafsir muqāran yaitu cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an
dengan membandingkan ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara pada tema-
tema tertentu, seperti redaksi yang berbeda pada isi kandungannya
mengenai tema yang sama atau juga membandingkan ayat-ayat al-Qur’an
dengan hadis-hadis nabi yang shahih, yang selintas tampak kontradiktif
dengan al-Qur’an. Keempat, metode maudū’ī yaitu cara menafsirkan ayat-
ayat al-Qur’an dengan mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang
membicarakan tentang tema yang dipilih, kemudian dianalisis satu-persatu
terhadap isi kandungannya berdasarkan cara-cara tertentu, untuk
menjelaskan makna-maknanya dan mengeluarkan unsur-unsurnya serta
menghubung-hubungkan antara yang satu dengan yang lain dengan
maksud dan tujuan yang sama. Sehingga dapat menyajikan tema secara
utuh dan dapat mempermudah pemahaman secara sempurna.42
42 Abdul Hayy al-Farmawi, al-Bidayah Fī al-Tafsīr al-Maudhu’i , terj. Rosihan
Anwar (Bandung: Pustaka Setia, 2002), 38-44.
34
Wahbah al-Zuhaili dalam kitab tafsirnya ini, menggunakan metode
tafsir Tahlīlī dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Karena bisa dilihat
di dalam penafsirannya, tafsir ini mengikuti prosedur susunan tartīb
mushafī dan tafsir ini komprehensif, lengkap, mencangkup semua aspek
yang dibutuhkan oleh para pembaca, seperti i’rāb, balaaghah, sejarah,
penetapan hukum, dan pendalaman pengetahuan tentang hukum agama,
dengan cara yang berimbang dalam membeberkan penjelasan dan tidak
menyimpang dari topik utama.
Adapun metode dan kerangka atau sistematika pembahasan dalam
kitab tafsīr al-Munīr ini, Wahbah al-Zuhaili menjelaskan dalam
pengantarnya, sebagai berikut:43
a. Membagi ayat-ayat al-Qur’an ke dalam satuan-satuan topik
dengan judul-judul penjelasan.
b. Menjelaskan kandungan kepada setiap surah secara gelobal.
c. Menjelaskan aspek kebahasaan.
d. Memaparkan sebab-sebab turunnya ayat dalam riwayat yang
paling shahih dan mengesampingkan riwayat yang lemah,
serta menerangkan kisah-kisah para Nabi dan peristiwa-
peristiwa besar dalam Islam, seperti perang Badar dan Uhud,
dari buku-buku sirah yang paling dipercaya.
e. Tafsir dan penjelasan.
f. Hukum-hukum yang dipetik dari ayat-ayat.
g. Menjelaskan balaaghah (retorika) dan i’rāb (sintaksis) di
setiap ayat, agar hal itu dapat membantu untuk menjelaskan
makna bagi siapa pun yang menginginkannya, tetapi dalam hal
ini saya menghindari istilah-istilah yang menghambat
43 Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdat wa al-Syari’at wa
Manhāj, terj. Abdul Hayyi al Kattani, (Depok: Gema Insani, 2013), XVIII.
35
pemahaman tafsir bagi orang yang tidak ingin memberi
perhatian kepada aspek (balaaghah dan i’rāb) tersebut.
Metode dan sitematika penulisan di atas jika diperhatikan sangat jelas
memperlihatkan berbagai macam bidang kajian yang disajikan
pengarangnya. Dalam banyak hal, ia juga memperlihatkan sebuah
sitematika yang menjadi trend sejak munculnya paradigma tafsir adabī
ijtimā’ī . Salah satunya adalah perhatian khusus kepada aspek linguistik
dalam penafsiran, sebagaimana yang tertera dalam point C dan G.
Sistematika tafsir global dan tematik juga menunjukan keterpengaruhan
dengan trend saat ini, sebagaimana yang ditunjukan oleh al-Farmāwī,
mengenai point F terkait hukum-hukum yang di deduksi dari sebuah ayat
yang merupakan sebuah bentuk kontekstualisasi yang dilakukan Wahbah
al-Zuhaili dalam bidang yang ditekuninya.
3. Corak Penafsiran Tafsīr al-Munīr
Dengan melihat dan meneliti dari keseluruhan penafsiran yang
digunakan oleh Wahbah al-Zuhaili dalam kitab tafsirnya ini, bisa
disimpulkan bahwa corak penafsiran yang ia gunakan adalah corak
kesastraan (adabī) dan sosial kemasyarakatan (al-Ijtimā’i) serta adanya
nuansa fiqh. Hal ini dikarenakan dengan adanya penjelasan Fikih
kehidupan (Fiqh al-hayāt) atau penjelasan hukum-hukum yang terdapat di
dalam penafsirannya. Hal ini memang dapat dilihat karena Wahbah al-
Zuhaili sendiri sangat terkenal dengan keahliannya dalam bidang fiqh
dengan karya yang popularnya yaitu al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhu.
Sehingga, bisa dikatakan corak penafsiran yang ia gunakan dalam kitab
tafsirnya ini adalah keselarasan antara Adabī Ijtimā’i dan nuansa Fikihnya
atau penekanan Ijtimā’i-nya lebih ke nuansa Fikih.
36
4. Sumber-Sumber Penafsiran Kitab Tafsīr al-Munīr
Mengenai pembahasan kitab tafsir ini, Wahbah al-Zuhaili
mengkompromikan antara sumber-sumber Tafsir bi al-Ma’tsūr dengan
Tafsīr bi al-Ra’yi; yang berkaitan dengan Tafsīr bi al-Mat’sūr adalah
riwayat-riwayat dari hadis Nabi dan perkataan para Salafush al-Shalih
sedangkan Tafsīr bi al-Ra’yi adalah yang sejalan dengan kaidah-kaidah
yang telah diakui, dengan menggunakan gaya bahasa dan ungkapan-
ungkapan yang jelas, yaitu gaya bahasa kontemporer yang mudah
dimengerti dan dipahami bagi masyarakat pada saat ini. Oleh karena itu, ia
membagi ayat-ayat berdasarkan topik atau judul untuk memelihara
pembahasan dan penjelasan di dalamnya. Yang terpenting diantaranya ada
dua:44
Pertama, Penjelasan Nabawi yang shahih, dan perenungan secara
mendalam tentang makna kosa kata al-Qur’an, kalimat, konteks ayat,
sebab-sebab turunnya ayat, dan pendapat para mujtahid, ahli tafsir dan ahli
hadits, serta para ulama yang tsiqah.
Kedua, Memilah dan memilih berbagai pendapat dalam buku-buku
tafsir dengan berpedoman kepada maqāshid syariat yang mulia, yakni
rahasia-rahasia dan tujuan-tujuan yang ingin direalisasikan dan dibangun
oleh syariat.
Diantara sumber-sumber referensi yang digunakan Wahbah al-Zuhaili
dalm kitab Tafsīr al-Munīr adalah sebagai berikut:
a. Dalam bidang akidah, akhlak, dan penjelasan keagungan Allah
swt di alam semesta, merujuk kepada: Tafsīr al-Kabīr karya
Fakhruddīn al-Rāzī, Tafsīr al-Bahr al-Muhīt karya Abū
Hayyān al-Andalūsī, Rūh al-Ma’ānī karya al-Alūsī.
44 Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdat wa al-Syari’at wa
Manhāj, XIII-XIV.
37
b. Dalam bidang terkait dengan penjelasan cerita-cerita atau
kisah-kisah dalam al-Qur’an dan sejarah islam, ia merujuk
kepada Tafsīr al-Khāzin dan al-Baghawī.
c. Dalam bidang terkait dengan penjelasan kaidah-kaidah atau
hukum-hukum Fiqh, ia merujuk kepada beberapa literatur
seperti al-Jāmi’ Fī Ahkām al-Qur’an karya al-Qurtubī, Ahkām
al-Qur’ān karya Ibn al-‘Arabī, Ahkām al-Qur’an karya al-
Jaṣṣās, Tafsīr al-Qur’an al-‘Ażīm karya Ibnu Katsīr.
d. Dalam bidang kebahasaan, ia merujuk kepada al-Kassyāf
karya al-Zamakhsyārī.
e. Dalam bidang Qira’at, ia merujuk kepada Tafsīr al-Nasafī.
f. Dalam bidang sains dan teori-teori Ilmu alam, ia merujuk
kepada al-Jawāhir karya Tantāwī Jauharī, dan masih banyak
yang lainnya.
Wahbah bin Mustafā al-Zuhaili adalah seorang ulama fikih dan ulama
tafsir kontemporer periangkat dunia. Pemikiran tafsir dan fikihnya
menyebar keseluruh dunia Islam melalui karya-karyanya. Wahbah bin
Mustafā al-Zuhaili mulai belajar al-Qur’an dan memulai sekolah
ibtidāiyyah di kampung halamannya, dan mengakhiri pendidikannya
dengan meraih gelar doktor dalam bidang Syarī’ah di Universitas al-
Azhar, Kairo pada tahun 1382 H / 1963 M.
Satu catatan penting bahwa, syaikh Wahbah al-Zuhaili senantiasa
menduduki rangking teratas pada semua jenjang pendidikannya.
Menurutnya, rahasia kesuksesannya dalam belajar terletak pada
kesungguhannya menekuni setiap pembelajaran yang dijalaninya dan
menjauhkan diri dari segala hal yang menggangu belajarnya. Maka dari itu
38
ia memikili banyak guru serta menjadi guru terhadap murid-muridnya
dalam bidang fiqh dan tafsir.
Syaikh Wahbah al-Zuhaili sangat produktif dalam menulis, mayoritas
kitab menyangkut fikih dan ushul al-Fiqh. Tetapi, ia juga menulis kitab
tafsir sampai enam belas jilid yaitu kitab Tafsīr al-Munīr kitab tafsir ini
sangat lah terkenal hingga diterjemahkannya kedalam beberapa bahasa di
berbagai Negara termasuk Indonesia. Hal ini menyebabkan Syaikh
Wahbah al-Zuhaili juga layak disebut sebagai ahli tafsir.
39
BAB IV
ANALISIS PENAFSIRAN WAHBAH AL-ZUHAILI DALAM Q.S
AL-MUMTAHANAH (60): 8-9 DAN RELEVANSI
PENAFSIRANNYA DALAM WACANA TOLERANSI
A. Pendekatan Linguistik
Analisis linguistik memiliki peran yang sangat penting dalam
memahami kandungan isi al-Qur’an sebagaimana diketahui bahwa satu
kata dari al-Qur’an dapat memiliki makna yang beranekaragam hal ini
diantara yang menyebabkan perbedaan penafsiran, pemahaman, hingga
ragam praktek keagamaan. Bahkan, sekian banyak corak tafsir sastra yang
disajikan oleh para mufasir.
Keunggulan tafsir al-Munīr karya Wahbah al-Zuhaili ini tersaji dari
analisis linguistik secara tersetruktur disetiap pengelompokan ayatnya
mulai dari analisis makna leksikal, balagah, ilmu bayan, dan ilmu bād’i hal
ini tentu dapat menjadikan penafsiran secara utuh dan komprehensif. oleh
karenanya, analisis bahasa mulai dari pembentukan kata, susunan
kalimatnya, hingga balagahnya merupakan suatu keniscayaan bagi mufasir
dalam menafsirkan al-Qur’an.
Dalam surat al-Mumtahanah ayat 8-9 langkah pertama yang ditempuh
oleh Wahbah al-Zuhaili adalah mengemukakan struktur tata bahasa dalam
ayat 8, yakni, badal Isytimāl45
45 Dalam gramatika bahasa arab yang biasa disebut dengan ilmu Nahwu ada
empat jenis badal yang pertama, Badal Muṭhābiq (Badal yang Mubdal Minhu merupakan Badal itu sendiri), kedua, Badal al-Ba’dhu min kulli (Badal yang merupakan bagian dari
Mubdal minhu-nya), ketiga, Badal Isytimāl (Badal yang merupakan bagian dari Mubdal
minhu-Nya, namun dalam urusan maknawi), keempat, Badal mubayyan (Badal keliru
atau salah jadi Badal Mubayyan ini hadir atas dasar kesalahan si pembicara).
40
م ا ا ل ي ه ط و ت ق س ه م و و yang merupakan kata pengganti sebelumnya ا ن ت ب ر
yakni, ك م ي ن ل م ي ق ات ل و الذ , ia pun menafsirkan kata ا ط و ت ق س (berbuat baiklah) و
padahal makna awalnya tidak demikian asal katanya adalah اقسط–
artinya Adil 46 penafsiran semacam ini sangat mengesankan, bahwa يقسط
interaksi dengan non-Muslim tidak hanya keadilan dalam menetapkan
hukuman saja tapi juga mencangkup jenis semua kebaikan. Dari sisi
bahasa saja, ayat ini dapat dipahami sebagai pijakan dasar bahwa Islam
sangat menjunjung tinggi nilai toleransi beragama.
Selain sisi tata bahasa (‘ilmu al-Nahwu), Wahbah al-Zuhaili juga
menyoroti sisi balagahnya dalam hal ini ia menjelaskan tentang ṭibāq al-
salbi, yakni, berkumpulnya dua makna yang berlawanan dalam satu
kalimat.47 Yakni, pertama,
ك م ي ن ل م ي ق ات ل و ىك م الله ع ن الذ ي ن ا ن -ي ن ى الد ف ل ي ن ه ىك م الله ع ن الذ ا ي ن ه م
ي ن ك م ف ى الد ق ات ل و
Yang kedua,
ل م ي خ ك م و ي ار ن د ك م م و ج ى -ر ل ا ع و ظ اه ر ك م و ي ار ن د ك م م و ج ر ا خ و
ك م اج ر ا خ
Dalam penafsiran al-Qur’an sisi balagah juga penting dijelaskan
karena dengannya akan banyak diketahui sisi keindahan struktur kata-
katanya, dimana tidak ada yang menandingi keindahan al-Qur’an
sekalipun seorang sastrawan yang sangat ahli dalam bidang sastra.
46 Ibrahim Mustafa dkk, Mu’jam al-Wasīth, (Mesir: Maktabah Asy-Syuruq ad-
dauliyyah, 2011), 734. 47 ‘Alī al-Jarīm dan Musthafa Amin, al-Balagah al-Wadhiah al-Bayān wa al-
Ma’ānī wa al-Bad’ī ,(Mesir: Dār al-Ma’arif, 1957), 280
41
Hal lain, yang disajikan Wahbah al-Zuhaili dalam tafsirnya adalah
penjelasan beberapa kosakata yang dapat mempermudah para pengkaji
dan para pembacanya dalam memahami kandungan ayat al-Qur’an,
penulis menganggapnya sebagai tafsir singkat atau kata kunci untuk
masuk menuju gerbang pemahaman yang lebih mendalam. Sebagai misal,
ia menafsikan kata ا و ظ اه ر dengan “usaha dan saling tolong menolong و
sebagaimana kaum Musyrikin Mekkah yang berusaha mengeluarkan kaum
Mukmin Mekkah dan sebagiannya ada yang menolong orang-orang
Mukmin yang terusir”.48 Melihat dari sisi penjelasan kosa kata tersebut
Wahbah al-Zuhaili hendak memberikan pesan bahwa tidak semua orang-
orang kafir (non-muslim) itu memusuhi orang-orang Islam dan intimidasi
yang dilakukan kaum Musyrikin Mekkah pada saat itu bukan disebabkan
oleh faktor agama tapi oleh faktor-faktor lainnya. Jika demikian, agama
bukanlah faktor utama konflik antara muslim dan non-muslim.
Langkah pendekatan bahasa sebagai pendahuluan dalam menafsirkan
al-Qur’an ini tidak hanya ditempuh oleh Wahbah al-Zuhaili tapi juga oleh
ulama kontempoler lainnya. Seperti Alī al-ṣhabuni dengan karya tafsirnya
Shafwat Attafasīr, Ahmad Mustafa al-Maraghi dengan karya tafsirnya
Tafsīr al-Marāghī, Muhammad Quraish Shihab dengan karya tafsirnya al-
Miṣhbāh, dan ulama-ulama tafsir lainnya.
B. Sebab Turunnya ayat
Islam membangun interaksi beda agama atas dasar komunikasi damai.
Dalam Q.S al-Mumtahanah (60) : 8, pembangunan relasi harmonis dan
keadilan terhadap orang lain harus selalu diupayakan selama ia yang
berbeda agama tadi berbuat baik kepada umat Islam. Perang boleh
48 Wahbah al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Syarī’ah wa al-
Manhaj, Jilid 14, cet I (Damaskus: Dār al-Fikr, 2009), 510
42
dilaksanakan ketika umat Islam diperangi dan kebebasan beragama
dihambat.
Sebab turunya ayat ini merespons sensitivitas interaksi ibu dan anak
yang berbeda agama. Ada seorang ibu yang bernama Qathīlah binti
‘Abdul al-‘Uzzā. Ia adalah janda yang ditalak Abū Bakar pada masa
Jahiliah. Qathīlah adalah seorang non-muslim. Qathaīlah datang
membawa hadiah, samin (nasi arab) dan keju untuk anaknya yang
bernama Asma’. Namun, Asma’ tidak menerima, bahkan tidak
mempersilahkan ibunya masuk rumah. Kemudian, Asma’ bertanya kepada
Nabi SAW. Lewat perantara ‘Āisyah, turunlah ayat tersebut yaitu surat al-
Mumtahanah (60) ayat 8. Barulah kemudian Asma’ menerima hadiah dan
mempersilahkan ibunya masuk rumah.49
Adapun yang melatarbelakangi turunya ayat ini Wahbah al-Zuhaili
berpijak pada hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim :
ك ة ف ي ر ش ه ي م ي و م ل ي أ ت ع م ر ق ال ت ق د اء ب ن ت أ ب ي ب ك م ع ن أ ب يه ع ن أ س
ل لى الل ع س ول الل ص ت ف ت ي ت ر ي ش إ ذ ع اه د ه م ف اس د ق ر لم ف ق ل ت ي ا ع ه س ي ه و
ك ل ي أ م ي ق ال ن ع م ص ل أ م ب ة أ ف أ ص اغ ه ي ر ي و م ت ع ل ي أ م س ول الل ق د ر
)رواه البخاري و مسلم(
“Dari Asma’ binti Abu Bakar ia berkata; (Ketika terjadi gencatan
senjata dengan kaum Quraisy) ibuku mendatangiku yang ketika itu masih
musyrik. Lalu aku meminta pendapat Rasulullah SAW, saya bertanya,
“Wahai Rasulullah ibuku mendatangiku karena rindu padaku. Bolehkah
aku menjalin silaturahmi dengan ibuku?” Beliau menjawab: “ya,
sambunglah silaturahmi dengan ibumu.” (H.R al-Bukhari Muslim).
Dari riwayat di atas kita dapat menyimak sikap nabi memperlakukan
orang non-muslim secara santun terlebih kepada kedua orang tua, bahkan
dalam al-Qur’an dapat perintah seorang anak wajib berbakti kepada kedua
49 Imam Taufiq, Al-Qur’an Bukan Kitab Teror Membangun Perdamaian
Berbasis Al-Qur’an (Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2016), 200-201.
43
orang tuanya meskipun kedua orang tuanya non-muslim selagi tidak
berkaitan dengan akidah.
ل م ا ل ي س ل ك ب ه ع ك ب ي م اه د اك ل ت ش ر إ ن ج نا و س ال د ي ه ح ن س ان ب و ي ن ا الإ ص و و
ا ع ك م ف أ ن ب ئ ك م ب م ج ر ا إ ل ي م ع ه م ل ون ف لا ت ط ك ن ت م ت ع م
”Dan kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang
ibu-bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan
aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka
janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-ku-lah kembalimu.
Lalu aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. (QS. al-
‘Ankabūt [29] : 8).
ا ع ه م ل م ف لا ت ط ا ل ي س ل ك ب ه ع ك ب ي م ل ى أ ن ت ش ر اه د اك ع إ ن ج و
اتب ع وفا و ع ر ا ف ي الدن ي ا م ب ه م اح ص ع ك م و ج ر ن أ ن اب إ ل ي ث م إ ل ي م س ب يل م
ل ون ت م ت ع م ا ك ن ف أ ن ب ئ ك م ب م
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku
sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu
mengikuti keduanya dan pergaulilah keduanya dengan baik, dan ikutilah
jalan orang yang kembali kepada-ku, kemudian hanya kepada-Ku-lah
kembalimu, maka kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”.
(QS. Lukmān [31] : 15).
Kedua ayat ini hubungannya dengan riwayat di atas menunjukan
pentingnya toleransi dan anjuran hidup yang harmonis antar pemeluk
agama. Keduanya juga menjelaskan bahwa dalam hal akidah seorang
anak dilarang untuk mentaati ibu bapaknya, jika mereka memerintahkan
untuk menyekutukan Allah SWT, yang dia sendiri memang tidak
mengetahui bahwa Allah mempunyai sekutu, karena memang tidak ada
sekutu baginya. Selanjutnya Allah SWT memerintahkan agar seorang
anak tetap bersikap baik kepada kedua ibu bapaknya dalam urusan dunia.
Seperti menghormati, menyenangkan hati dan mengucapkan kata-kata
yang baik kepada keduanya.
44
C. Munasabah Ayat
Langkah pertama dalam menggali makna al-Qur’an adalah dengan
mencari penafsirannya di ayat lain karena Pada dasarnya al-Qur’an itu
antara satu ayat dengan ayat lain saling memberikan penafsiran, ini yang
dinamai dengan munasabah ayat. Pengetahuan tentang munasabah atau
hubungan antara ayat-ayat atau antar surat-surat itu bukan tauqifi (tidak
dapat diganggu gugat karena telah ditetapkan oleh Rasul) tetapi
didasarkan pada ijtihad seorang mufassir dan tingkat penghayatannya
terhadap kemukjizatan al-Qur’an. Tidak semua mufassir menyajikan
pembahasan munasabah ayat di kitab-kitab tafsirnya hanya sebagian saja
termasuk dianataranya adalah Wahbah al-Zuhaili, M Quraish Shihab Ali
al-ṣhabuni dan ulama-ulama tafsir lainnya.
Munasabah ayat adalah keserasian ayat-ayat al-Qur’an sehingga
seolah-olah merupakan suatu ungkapan yang mempunyai kesatuan makna
dan keteraturan redaksi.
Adapun munasabah ayat ini dalam tafsir Kementrian Agama yaitu
pada ayat-ayat sebelumnya Allah memerintahkan kaum Muslimin
menjadikan Ibrahim sebagai teladan, ketika ia tidak mau bekerjasama
dengan kaumnya yang ingkar kepada Allah. Dalam ayat ini diterangkan
sikap orang-orang yang beriman terhadap orang-orang kafir yang tidak
memusuhi kaum Muslimin, bahkan mereka mengulurkan tangan
persaudaraan dan hubungan baik, maka hal ini harus disambut baik pula
oleh kaum Muslimin.50
Dalam surat al-Mumtahanah ayat 8-9 ini Wahbah al-Zuhaili
menjelaskan bahwa ayat sebelumya yakni surat al-Mumtahanah ayat 1-3
melarang untuk bersahabat dekat dengan orang-orang kafir,
50 Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Edisi Yang
Disempurnakan), jilid 10, cet. I (Jakarta: Widya Cahaya, 2011), 96.
45
memerintahkan untuk memutus tali persahabatan dengan mereka dan
memberi kabar kepada orang-orang mukminin bahwa Allah maha kuasa
untuk merubah kondisi orang-orang musyrikin dari kekafiran menuju
keimanan. Selanjutnya ia menghubungkannya dengan ayat setelahnya
yakni surat al-Mumtahanah ayat 8-9 bahwa, Allah swt memberikan
keringanan untuk bersahabat dan menjalin ikatan yang baik dengan orang-
orang kafir yang tidak memerangi orang-orang muslim dan tidak mengusir
orang-orang muslim dari negeri-negerinya51. Jadi, dari sini kita dapat
memahami pentingnya keterkaitan ayat satu sama lain dimana surat al-
Mumtahanah ayat 1 sampai 3 bersifat umum, Allah berfirman di dalam al-
Qur’an surat al-Mumtahanah (60): 1-3:
ي و د و ذ وا ع ن وا ل ت تخ ين آم ا الذ ك م ع د ي ا أ يه ل ي او ق ون إ ل ي ه أ و د ء ت ل و م ب ال م
ون ا ج ر ق ي خ ن ال ح ك م م اء ا ج وا ب م ف ر ق د ك إ ياك م س ول لر و ن وا ب او م لل أ ن ت ؤ
ب ك م ادا ف ي س ب يل ي و ر ه ت م ج ج ر ات يغ اء اب ت إ ن ك ن ت م خ ض ر م م ون إ ل ي ه ر ت س
ا أ م ف ي ت م و ا أ خ ل م ب م أ ن ا أ ع د و و ل ب ال م ن ي ف ن ت م ع م ن ك م ف ق و اء ع ل ه م ل س و د ض
د اء ( إ ن ي ث ق ف وك م ي ك ون وا ١السب يل ) ي ب س ط ل ك م أ ع ن ت ل ي ك م أ وا إ و أ ل س م و ي ه د م ي ه
ون ) ف ر دوا ل و ت ك و ف ع ك م ٢ب السوء و ل ( ل ن ت ن ل أ و ك م و ام ح م ال د ك م أ ر ة ي و ق ي ام
ير ل ون ب ص ا ت ع م الل ب م ل ب ي ن ك م و ) ٣(ي ف ص
“1. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu
sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih
sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran
yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu
karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar
keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah
kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-
berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih
51 Wahbah al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Syarī’ah wa al-
Manhaj, Jilid 14, cet I (Damaskus: Dār al-Fikr, 2009), 135.
46
mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan.
Dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya
dia telah tersesat dari jalan yang lurus. 2. Jika mereka menangkap kamu,
niscaya mereka bertindak sebagai musuh bagimu dan melepaskan tangan
dan lidah mereka kepadamu dengan menyakiti(mu); dan mereka ingin
supaya kamu (kembali) kafir. 3. Karib kerabat dan anak-anakmu sekali-
sekali tiada bermanfaat bagimu pada Hari Kiamat. Dia akan memisahkan
antara kamu. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (QS. al-
Mumtahanah [60]: 1-3)
.
Surat ini dibuka dengan seruan kepada orang-orang yang beriman
agar tidak mengambil musuh-musuh Allah sebagai penolong dan teman,
dan agar orang-orang yang beriman tidak menampakkan kepada musuh-
musuh Allah kecintaan dan kasih sayang, dan agar jangan mempercayai
mereka, dimana kalian menyampaikan kabar-kabar tentang Rasul serta
orang-orang beriman, yang itu semua tidak semestinya dikabarkan kepada
musuh-musuh Allah.
Ayat-ayat yang ditafsirkan semacam ini termasuk dalam katagori
penafsiran secara ‘Ām (umum) Dalam kajian Ushul al-Fiqh ayat-ayat yang
bersifat ‘Ām52 (umum) masih memerlukan penjelasan ayat-ayat yang
mengkhususkannya, surat al-Mumtahanah ayat 1 sampai 3 bersifat umum
dengan melarang menjadikan orang kafir sebagai teman tanpa terkecuali
sementara dalam surat al-Mumtahanah ayat 8 sampai 9 tidak demikian,
akan tetapi hanya orang-orang kafir yang mendzolimi kaum Muslimin saja
lah yang tidak boleh dijadikan teman dekat. Maka dari sini kita bisa
memahami pentingnya munasabah ayat.
52 Abdul Wahab Khalaf mendefinisikan ‘Ām yaitu lafadz yang menurut arti
bahasanya menunjukan atas mencangkup dan menghabiskan semua satu-satuan yang ada
di dalam lafadz itu dengan tanpa menghitung ukuran tertentu dari satuan-satuan itu.
Ataupun pengertian ‘Ām secara umum ialah lafadz yang menunjukan pengertian yang
meliputi seluruh objek-objeknya. (lihat Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, 181). Sementara Khas menurut Abdul Wahab Khalaf adalah lafadz yang digunakan
untuk menunjukan satu orang tertentu atau pengertian Khas secara umum ialah sesuatu
yang tidak mencapai sekaligus dua atau lebih tanpa batas.(lihat Abdul Wahab Khalaf,
‘Ilmu Ushul al-Fiqh, 187).
47
D. Pendekatan Tematik
Tafsir tematik atau yang biasa disebut tafsir Maudhu’ī adalah
mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai tujuan yang sama,
yang sama-sama membahas topik/judul/tema tertentu dengan
menertibkannya sebisa mungkin sesuai dengan masa turunnya selaras
dengan sebab-sebab turunnya. Kemudian memperhatikan ayat-ayat
tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan
hubungannya dengan ayat lain serta mengistimbat hukum.53
Sedangkan menurut Zahir bin Awadh, Tafsir Maudhu’i adalah suatu
metode tafsir yang berupaya menghimpun ayat-ayat al-Qur’an dari
berbagai surat dan yang berkaitan pula dengan persoalan atau tema yang
ditetapkan sebelumnya, kemudian membahas dan menganalisa kandungan
ayat-ayat tersebut sehingga menjadi suatu kesatuan yang utuh.
Dalam konteks memahami hubungan muslim dan non-muslim sangat
diperlukan pendekatan tematik agar penafsiran yang dihasilkan menjadi
komprehensif dan berdampak pada praktek beragama yang inklusif.
Dalam hal ini, Quraish Shihab menuturkan bahwa Islam tidak mungkin
melarang bertetangga dan membantu non-muslim yang bersifat baik dan
objektif, bahkan kerja sama dengan non-muslim dalam kebaikan
merupakan anjuran al-Qur’an. Dalam pendekatan tematik ini Quraish
Shihab menyajikan ayat lain tentang anjuran berbuat baik kepada
nonmuslim dalam Q.S al-Māidah(5): 2.54 Allah berfirman:
ل ى ن وا ع ل ت ع او ى و التق و ل ى ال ب ر و ن وا ع ت ع او اتق وا الل و ان و ال ع د و ث م و الإ
ق اب يد ال ع د إ ن الل ش
53 Abdul Djalal, Urgensi Tafsir Maudhu’i (Jakarta: Kalam Mulia, 1990), 83-84. 54 M. Quraish Shihab, Islam Yang Salah Dipahami Menepis Prasangka
Mengikis Kekeliruan, (Tangerang: Lentera Hati, 2018), 360-361.
48
“Dan tolong menolonglah kamu dalam kebajikan dan ketakwaan, dan
jangan tolong-menolong dalam dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah
kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya” (QS. al-
Māidah[5]: 2).
Dalam banyak riwayat yang shahih Nabi saw, Nabi juga pernah
dibantu oleh non-muslim diantaranya saat hijrah dari mekkah ke madinah
bersama Abu Bakar ra. Beliau membawa Abdullah Ibnu Uraiqith yang
non-muslim untuk menjadi penunjuk jalan.
Demikian juga dalam perang Khaibar yang terjadi dua tahun setelah
perang Badr, beliau bekerja sama dengan orang-orang Yahudi dari suku
Qainuqah, sebagaimana beliau bekerjasama dengan Shafwan bin Umayah
yang Musyrik pada perang Hunain pada abad ke-8 Hijriyah. Jika demikian
maka kalau kita menggabungkan larangan dan praktik Nabi saw. Maka
kita dapat berkesimpulan bahwa kerja sama tidak dilarang selama tidak
merugikan kaum Muslimin dan tidak ada hubungannya dengan akidah.
Dalam pandangan ulama sunni, petunjuk Nabi saw dalam kehidupan
bermasyarakat/kebijakan politik tidak selalu harus diikuti karena ia
berkaitan dengan kemaslahatan umum.
Wahbah al-Zuhaili juga berpendapat terkait Interaksi Sosial dengan
non-muslim bahwa Allah tidak melarang berbuat baik dan berlaku adil,
kepada orang-orang non-muslim yang menjaga hubungan baik dan tidak
mendzalimi kaum Muslimin. Seperti wanita dan orang-orang tua dari
kalangan mereka beragam kebaikan seperti, menyambung pertemanan,
memberi manfaat kepada tetangga, memberi manfaat kepada tamu dan
lain sebagainya. Allah juga tidak melarang kepada orang-orang muslim
untuk berlaku adil seperti, memenuhi kebutuhan hak-hak orang non-
muslim, memenuhi janji, menjalankan amanah, dan lain sebagainya.55
55 Wahbah al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Syarī’ah wa al-
Manhaj, Jilid 14, cet I (Damaskus: Dār al-Fikr, 2009), 136.
49
Dalam pendekatan tematik ini, Wahbah al-Zuhaili tidak banyak
menampilkan ayat-ayat tematik. Dalam pembahasan hubungan muslim
dan non-muslim dalam interaksi sosial ini, ia hanya menampilkan satu
ayat saja yakni surat al-Māidah (5): 51, Allah berfirman:
ل ي اء ي ا أ يه م أ و ه ل ي اء ب ع ض ى أ و ار النص ذ وا ال ي ه ود و ن وا ل ت تخ ين آم ا الذ
ين م الظال م ق و د ي ال م إ ن الل ل ي ه ن ه ن ك م ف إ نه م له م م ن ي ت و م ب ع ض و
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-
orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian
mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa diantara
kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang
itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang zalim” (QS. al-Māidah [5]: 51).
Setelah Wahbah al-Zuhaili menjelaskan mengenai batasan-batasan
pergaulan muslim dengan non-muslim ia juga melarang untuk menjadikan
orang-orang kafir (non-muslim) sebagai pemimpin orang-orang yang
beriman.
Memaksakan untuk berfokus kepada penafsiran tunggal adalah salah
satu faktor pemicu terjadinya keretakan interaksi sosial antara muslim dan
non-muslim dan ini akibat tidak menggunakan penafsiran yang
komprehensif seperti pendekatan tematik, munasabatul ayat, asbab al-
Nuzul dan kurangnya pemaknaan yang leksikal. Wahbah al-Zuhaili
melalui tafsirnya telah menyajikan tahapan penafsiran yang komprehensif.
Sehingga dengan sumbangsih penafsirannya interaksi sosial muslim dan
non-muslim akan semakin hangat dan harmonis. Maka dari sini kita dapat
memahami pentingnya pendekatan tematik.
E. Pendekatan Hukum
50
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) hukum memiliki
beberapa pengertian:
1. Peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang
dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah
2. Undang-undang, peraturan, dan sebagainya untuk mengatur
pergaulan hidup masyarakat
3. Patokan (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa (alam dan
sebagainya) yang tertentu
4. Keputusan (pertimbangan) yang diterapkan oleh hakim (dalam
pengadilan)56
Bila melihat pengertian hukum dalam kamus KBBI ini dapat
disimpulkan bahwa hukum adalah sesuatu yang telah ditetapkan. Dalam
konteks interaksi sosial muslim dan non-muslim pada dasarnya tidak ada
peraturan khusus yang melarang antar pemeluk agama untuk melakukan
kerjasama. Bahkan, kaum Muslimin sangat dianjurkan untuk berbuat baik
kepada Non-Muslim karena dalam Islam orang non-muslim itu terbagi
menjadi tiga bagian:
1. Kafir Dzimmi
Kafir dzimmi adalah orang kafir yang tinggal di negeri muslim,
memiliki perjanjian (damai) dengan kaum muslimin, membayar pajak
(jizyah/uang keamanan) tunduk kepada aturan negara khalifah sebagai
warga negara, meskipun mereka tetap dalam agama mereka.
2. Kafir Mu’ahad
Kafir mu’ahad adalah orang kafir yang memiliki perjanjian (terikat
perjanjian damai, perjanjian dagang atau selainnya) dengan kaum
56 Kemendikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, versi Android, lihat hu.kum
51
Muslimin yang tidak boleh disakiti, selama mereka menjalankan
perjanjiannya.
Allah berfirman:
كل ت و ا و ن ح ل ه ل م ف اج وا ل لس ن ح إ ن ج يع و ع ل ى الل إ نه ه و السم
ال ع ل يم
“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah
kepadanya dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya dialah yang
maha mendengar dan maha mengetahui” (QS. al-Anfāl [8]: 61).
3. Kafir Harbi
Kafir harbi adalah orang kafir yang memerangi kaum muslimin dan
halal darahnya untuk ditumpahkan (dibunuh/diperangi). Mereka adalah
orang kafir yang tidak memiliki jaminan keamanan dari kaum muslimin
atau pemimpinnya, tidak dalam perjanjian damai, dan tidak membayar
jizyah (uang keamanan) kepada kaum Muslimin sebagai jaminan
keamanan mereka, merekalah yang diperintahkan oleh Allah ‘Azza wa
jalla untuk diperangi.57
Allah berfirman:
ب ل ت ع ت د وا إ ن الل ل ي ح ين ي ق ات ل ون ك م و ق ات ل وا ف ي س ب يل الل الذ و
ين ع ت د ال م
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu,
(tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” (QS. al-Baqarah [2]:
190).
Allah juga berfirman:
57 Maulana Wahiduddin Khan, Islam and Peac, terj. Samson Rahman (Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2000), 45.
52
ي ث اق ت ل وه م ح ن و ال ف ت ن ة أ ش د م وك م و ج ر ي ث أ خ ن ح وه م م ج ر أ خ وه م و ف ت م ث ق
تى ي ق ات ل وك م ف يه ف إ ن ق ات ل وك م ام ح ر د ال ح ج س د ال م ن ل ت ق ات ل وه م ع ق ت ل و ال
ين اء ال ك اف ر ز ل ك ج ف اق ت ل وه م ك ذ
“Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah
mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu
lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi
mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di
tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah
mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir” (QS. al-Baqarah [2]:
191).
Dari tiga kategori kafir di atas hanya kafir Harbi yang boleh diperangi
karena mereka yang memerangi kaum muslimin selainnya tidak boleh
diperangi bahkan wajib dilindungi. Ini menandakan bahwa umat Islam
sangat menjaga hubungan baik dengan non-muslim. Dan bagi yang
membunuh non-muslim tanpa sebab ia diancam oleh Nabi saw melalui
hadisnya yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari:
يح د ر ة ل م ي ج ن أ ه ل الذ م ن ق ت ل ق ت يلا م ن ال م إ ن ج د م ة و ا ل ي وج ه يح ير ر س ن م
ين ع اما ب ع )رواه البخاري( أ ر
“Barang siapa yang membunuh seorang kafir Dzimmi, maka ia tidak
akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu tercium
dari perjalanan empat puluh tahun ”(H.R: al-Bukhari).58
Berdasarkan hadis dapat dipahami bahwa tidak boleh membunuh non-
muslim yang tidak memerangi orang Islam. Bahkan Nabi SAW
mengancam pembunuh non-muslim tidak akan mencium bau surga jika
orang yang dibunuhnya tidak ikut terlibat memerangi umat Islam.
58 Muhammad bin Ismā’il Abu ‘Abdillāh al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Jilid 2,
Cet. III (Beirut: Dār Ibn Kathīr, 1987), 429.
53
Mengenai hukum interaksi sosial dengan Non-Muslim Wahbah al-
Zuhaili berpendapat boleh untuk berbuat baik dan menyantuni non-muslim
dan memberlakukan hukum seadil-adilnya kepada mereka selagi mereka
tidak memerangi umat Islam baik dalam urusan agama maupun dunia, dan
tidak mengusir orang-orang Islam dari negeri-negeri mereka karena
sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang adil dan menyuruh untuk
menegakan keadilan bagi semua manusia. Keadilan wajib ditegakan baik
bagi yang memerangi maupun yang tidak memerangi.
Selanjutnya, Wahbah al-Zuhaili tidak membolehkan untuk
menjadikan orang non-muslim yang memerangi kaum muslimin dan
mengusir kaum Muslimin dari negerinya sebagai teman dekat. Pada
intinya Wahbah al-Zuhaili melarang kaum Muslimin untuk bersahabat
dekat dengan Non-Muslim yang memerangi Umat Islam baik dalam
urusan dunia maupun akhirat.59
F. Relevansi Penafsiran Wahbah al-Zuhaili Terhadap Wacana
Toleransi Secara Umum
Wacana toleransi yang kian berkembang sampai saat ini salah satu
pijakan dalilnya adalah surah al-Mumtahanah ayat 8-9 yang dijadikan
penelitian penulis ini, dari sini pula terlahir aneka penafsiran yang
membuahkan literatur tafsir-tafsir toleransi.
Terkait hal ini Nabi Muhammad saw pernah menegur istrinya, Sayidah
‘Āisyah ra. Diriwayatkan bahwa suatu ketika Sayidah ‘Āisyah tengah
mengadakan tasyakuran dengan memotong kambing. Masakan daging
kambing dibagikan kepada tetangga-tetangga terdekat. Saat Nabi melihat
apa yang dilakukan oleh istrinya itu, beliau bertanya:”wahai istriku apakah
59Wahbah al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Syarī’ah wa al-
Manhaj, Jilid 14, cet I (Damaskus: Dār al-Fikr, 2009), 513-514.
54
engkau telah membagikan masakan ini kepada si fulan?” Syaidah ‘Āisyah
menjawab: “belum! Dia itu seorang yahudi, saya tidak akan mengirimnya
masakan kepadanya.” Mendengar jawaban ini, Nabi memerintahkan agar
membagikan masakannya kepada yahudi tadi. “Kirimlah! Walaupun ia
seorang yahudi, ia tetap tetangga kita.”begitu turur Nabi saw untuk ibunda
‘Āisyah. Dari riwayat ini terlihat jelas bahwa Nabi Muhammad saw
berbuat baik kepada non-muslim tanpa melihat latarbelakang agamanya.
Itulah etika bertetangga Rasulullah saw. Beliau mengkritik sikap
istrinya sendiri yang memilih-milih dan memilah-milah tetangga
berdasarkan latar belakang agamanya. Bagi beliau dan seharusnya bagi
umatnya, tetangga tetaplah tetangga sampai kapanpun, tidak peduli latar
belakang suku, agama, ras, golongan dan sebagainya. Karena itu, pada
kesempatan lain, beliau mengategorikan tetangga menjadi tiga.
Pertama, tetangga yang memiliki satu hak. Inilah tetangga yang paling
rendah haknya. Mereka ini tetangga yang musyrik (non-muslim) dan tidak
memiliki tali atau darah kekeluargaan. Mereka memiliki hak sebagai
tetangga. Kedua, tetangga yang memiliki dua hak. Mereka ini tetangga
yang beragama Islam. Mereka memiliki hak sebagai tetangga dan
memiliki hak sebagai muslim. Dan ketiga, tetangga yang memiliki tiga
hak. Inilah tetangga yang paling tinggi haknya. Mereka ini tetangga yang
beragama Islam sekaligus memiliki tali atau darah kekeluargaan. Mereka
memiliki hak sebagai tetangga, muslim, dan keluarga.60 Inilah yang
tercermin jelas dari sabdanya:
ار ا ج قان و ار ل ه ح ج د و اح ق و ار ل ه ح ث ة : ج ان ث لا ي ر ق. ل ج ق و ث ة ح ل ه ث لا
ار و ق ال ج ة , ف ل ه ح م ح ل م ذ و الر س ار ال م ق ا ل ج ق و ث ة ح ار الذ ي ل ه ث لا ف ال ج
60 Nurul Maarif, Samudra Keteladanan Nabi Muhammad (Tangerang: Pustaka
Alvabet, 2017), 308-309.
55
ق ل م ل ه ح س ار ال م قان ف ال ج ي ل ه ح االذ أ م مش. و ح ق الر ح م و س لا ق الإ ح و
ق ح ا ر و و ك ال ج ر ش ار ال م د ف ال ج اح ق و ي ل ه ح االذ .أ م م س لا )رواه البزار(الإ
“Tetangga itu ada tiga macam : tetangga yang hanya memiliki satu
hak, yaitu tetangga yang musyrik. Ia hanya memiliki hak ketetanggaan.
Tetangga yang memiliki dua hak, yaitu tetangga yang muslim. Ia memiliki
hak ketetanggaan dan kemusliman. Dan tetangga yang memiliki tiga hak,
yaitu tetangga yang muslim dan memiliki hubungan kerabat. Ia memiliki
hak ketetanggaan, kemusliman dan kekerabatan. (HR. al-Bazzār).
Riwayat ini memberikan pengertian bahwa orang-orang muslim
dengan non-muslim dapat hidup rukun berdampingan sebagai tetangga.
Menjalin keharmonisan sosial dengan baik. Serta saling berbagi dan saling
menghargai satu sama lain. Tidak perlu ada sekat yang memisahkan
hubungan harmonis di antara keduanya. Tentunya selama tidak berkaitan
dalam hal akidah dan ibadah. Karena masing-masing sudah memiliki
ajarannya masing-masing.
Dalam hal ini Wahbah al-Zuhaili dikenal sebagai ulama yang
bermanhaj Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah yang selalu mengedepankan
toleransi dari penafsirannya sebagaimana yang telah penulis uraikan
sangat relevan bukan saja dengan wacana toleransi, tapi juga dengan
sikapnya. Sebagai misal, di Indonesia kerukunan antar umat beragama
juga dapat kita temukan di Indonesia, di mana satu sama lain saling
menghargai, bahkan berkerja sama. Sebagaimana yang pernah dinyatakan
oleh Ali Mustafa Yakub selaku imam besar masjid Istiqlal (2005-2016).
Yakni masjid Istiqlal memiliki kerjasama yang baik dengan gereja
Katerdal. Ketika gereja Katerdal menyelenggarakan perayaan keagamaan
seperti Natal, sementara lahan parkirnya tidak cukup, maka masjid Istiqlal
menyediakan halamannya untuk digunakan sebagai lahan parkir
kendaraan para pengunjung gereja Katerdal. Sebaliknya juga begitu saat
perayaan idul fitri, gereja Katerdal menyediakan lahan parkirnya untuk
56
kaum muslimin yang shalat di masjid Istiqlal. Hal ini menunjukan adanya
jalinan yang harmonis dan semangat toleransi antar umat beragama di
tanah air tercinta.61
Kasus tersebut sejalan dengan penafsiran Wahbah al-Zuhail terkait
Interaksi Sosial dengan non-muslim bahwa Allah tidak melarang berbuat
baik dan berlaku adil, kepada orang-orang non-muslim yang menjaga
hubungan baik dan tidak mendzalimi kaum Muslimin. Seperti wanita dan
orang-orang tua dari kalangan mereka beragam kebaikan seperti,
menyambung pertemanan, memberi manfaat kepada tetangga, memberi
manfaat kepada tamu, menghormati keyakinan agama lain dan lain
sebagainya. Allah juga tidak melarang kepada orang-orang muslim untuk
berlaku adil seperti, memenuhi kebutuhan hak-hak orang non-muslim,
memenuhi janji, menjalankan amanah, dan lain sebagainya.
61 Ali Mustafa Yaqub, Islam Is Not Only For Muslim, (Tangerang: Maktabah
Darus Sunnah, 2016), 117.
57
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Setelah penulis melakukan penelitian terkait “Hubungan Muslim dan
Non-Muslim Dalam Interaksi Sosial (Studi Analisis Penafsiran Wahbah
al-Zuhaili Dalam Kitab Tafsīr al-Munīr)” maka pada bab ini dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Wahbah al-Zuhaili adalah salah satu ulama tafsir kontemporer
yang mana pemikiran dan karyanya banyak dijadikan rujukan oleh
berbagai kalangan. Dalam penafsirannya Wahbah al-Zuhaili
menggunakan beberapa pendekatan, yakni pendekatan linguistik,
munasabah ayat, pendekatan tematik, dan pendekatan hukum. Bila
dalam satu ayat terdapat sabab al-Nuzul maka ia
menampilkannya.
2. Penafsiran Wahbah al-Zuhaili yang berkaitan dengan interaksi
sosial muslim dengan non-muslim dalam surat al-Mumtahanah
(60) : 8-9 ini, terbukti dengan cara penafsirannya yang penuh
dengan toleransi dan pandangan yang moderat, ia menampilkan
sisi sejarah, riwayat-riwayat yang menuturkan hubungan harmonis
antar agama, dan sikap Nabi Muhammad SAW terhadap beragam
keyakinan.
3. Mengenai batasan pergaulan muslim dan non-muslim Wahbah al-
Zuhaili hanya melarang berteman dekat dengan non-muslim yang
memerangi, mengusir, dan menzalimi orang muslim.
58
4. Wacana toleransi penafsiran Wahbah al-Zuhaili dalam surah al-
Mumtahanah ayat 8-9 ini, lebih mengedepankan kemanusiaan,
pluralitas agama, dan perdamaian.
B. SARAN
1. Penelitian mengenai hubungan Muslim dan Non-Muslim dalam
interaksi sosial (studi analisis Wahbah al-Zuhaili dalam kitab
tafsīr al-Munīr) ini, semoga saja bisa menjadi sebuah ilmu
tambahan dalam ilmu pengetahuan tentang bagaimana cara
berhubungan seorang muslim dengan non-muslim dalam interaksi
sosial, sesuai dengan apa yang telah dituangkan oleh Wahbah al-
Zuhaili melalui karya tafsirnya yaitu al-Munīr. Dengan adanya
karya ini yang masih jauh dari kesempurnaan, karena masih
banyak lagi ayat-ayat yang membahas tentang hubungan muslim
dan non-muslim yang belum seluruhnya diteliti. Maka dengan
adanya karya ini mudah-mudahan menjadi sebuah motivasi
kepada pembaca dan para pemikir, baik akademis maupun
masyarakat pada umumnya untuk meneliti, dan belajar lebih
banyak lagi.
2. Pentingnya mengetahui seberapa jauh kita berpikir tentang
hubungan muslim dan non-muslim dalam berinteraksi sosial,
maka melalui penelitian ini mudah-mudahan dapat menambah
wawasan. Apalagi karya ini didasari oleh pemikiran ulama
terkenal dan pemikirannya juga banyak dijadikan landasan
hukum pada masa sekarang ini.
3. Yang diinginkan dan diharapkan juga dengan adanya penelitian
ini ada manfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada
59
umumnya untuk berpikir akan pentingnya berinteraksi untuk
kerjasama dengan non-muslim dalam urusan dunia. Karena sudah
jelas dengan firman Allah SWT, tentang diperbolehkannya
menjalin suatu hubungan yang baik dalam sebuah interaksi.
60
DAFTAR PUSTAKA
Abdulsyani, Sosiologi Skematika, Teori, dan Terapan. Jakarta: Bumi
Aksara, 2012.
Adon Nasrullah Jamaludin, Agama & Konflik Sosial, Studi Kerukunan
Umat Beragama, Radikalisme dan Konflik Antarumat
Beragam. Bandung: CV Pustaka Setia, 2015.
Aminati, “Pengangkatan Pemimpin dari non Muslim studi Muqaran Kitab
Tafsīr Al-Manār Dengan Kitab Tafsīr Fi Dzilālil Qur’ān”.
Skripsi: IAIN Walisongo, Semarang 2013.
Anwar, Yesmil Adang. Sosiologi Untuk Universitas. Bandung: Refika
Aditama, 2013.
Baihaki. “Studi Kitab Tafsir al-Munīr Karya Wahbah al-Zuhaili dan
Contoh Penafsirnnya Tentang Pernikahan Beda Agama”,
Analisis. vol. 16, no.1 (Juni 2016): 130-131.
Al-Bukhari, Muhammad bin Ismā’il Abu ‘Abdillāh. Shahih al-Bukhari,
Jilid 2, Cet. III. Beirut: Dār Ibn Kathīr, 1987.
Diky Setiawan, Dkk, “Penguatan Nilai-nilai Toleransi Oleh Majlis Tafsir
Al-Qur’an (MTA) Pusat Sebagai Upaya Menjaga Kerukunan
Antar Umat Beragama Di Kota Surakarta.” PKn Progresif,
Vol. 14, no. 1 (Juni 2019).
Dirun. “Hubungan Musim non Muslim dalam Interaksi Sosial (Studi
Analisis Penafsiran Thabathabai dalam Kitab Tafsīr al-
Mizān)”. Skripsi: UIN Walisogo,Semarang 2015.
Djalal, Abdul. Urgensi Tafsir Maudhu’i. Jakarta: Kalam Mulia, 1990.
Fanny Tanuwijaya, “Radikalisme Sebagai Pelangaran Secara Serius
Terhadap Hak Toleransi.” Pendidikan Multikultural, Vol. 2,
no. 1 (Februari 2018).
Al-Farmawi, Abdul Hayy, al-Bidayah Fī al-Tafsīr al-Maudhu’i , terj.
Rosihan Anwar. Bandung: Pustaka Setia, 2002.
61
Ghofur, Saiful Amin. Profil Para Mufasir al-Qur’an. Yogyakarta:
Pustaka Insan Madani, 2008.
Hadi, Sutrisno. Metodologi Research. Yogyakarta: Andi Offset. 1995.
Ibn Katsir. Tafsīr al-Qur’an al-Ażīm, Jilid 8, cet. II. Qahirah: Dᾱr
Tayyibah Li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1999.
‘Iyāzi, Muhammad ‘Ali. Al-Mufasirun Hayātuhum wa Manahajuhum.
Teheran: Wizarah al-Tsaqāfah wa al-Insya’ al-Islām, 1993.
Al-Jarīm, ‘Alī dan Musthafa Amin. al-Balagah al-Wadhiah al-Bayān wa
al-Ma’ānī wa al-Bad’ī . Mesir: Dār al-Ma’arif, 1957.
Jurnal At-Tahrir. Vol.14, No. (2 Mei 2014).
Kartono. Pengantar Metodologi Riset Sosial. Bandung: Mandar Maju,
1996.
Kementrian Agama RI. Al-Qur’an dan Tafsirnya (Edisi Yang
Disempurnakan), jilid 10, cet. I. Jakarta: Widya Cahaya, 2011.
Khan, Maulana Wahiduddin. Islam and Peac, terj. Samson Rahman.
Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2000.
Laili Fitriani, ‘Toleransi Beragama Perspektif Sayyid Qutb (Ananlisis
terhadap QS Al-Mumtahanah [60] :8-9 dalam Tafsīr Fī Zilālil
al-Qur’an).” Fakultas Ushuluddin, UIN Jakarta. 2019.
Maarif Nurul. Samudra Keteladanan Nabi Muhammad. Tangerang:
Pustaka Alvabet, 2017.
Mahar Dhika, “Pengaruh Prasangka Dan Tipe Kepribadian Big Five
Terhadap Toleransi Beragama Pada Anggota Front Pembela
Islam (FPI).” Fakultas Psikologi, UIN Jakarta. 2015.
Mahfudz, Muhsin. “Kontruksi Tafsir Abad 20 M/14 H; Kasus Tafsir al-
Munīr Karya Wahbah al-Zuhaili.” al-Fikr. vol. 14, no. 1
(2010): 34.
Mardalis. Metode Penelitia., (Suatu Pendekatan Proposal). Jakarta: Bumi
Aksara, 2007.
62
Mustafa, Ibrahim dkk. Mu’jam al-Wasīt. Mesir: Maktabah Asy-Syuruq al-
dauliyyah, 2011.
Nur Lu’lu’il Maknunah, “Konsep Toleransi Beragama Dalam Al-Qur’an
(Studi komparatif atas Tafsir Al-Azhar dan Tafsir An-Nur).”
Fakultas Ushuluddin, UIN Yogyakarta. 2016.
Podungge, Rulyjanto. “Hubungan Muslim dan non-Muslim Dalam
Kerangka Inklusivisme.” (IAIN Sultan Amai Gorontalo,
Indonesia) Teosofi: Jurnal Tasauf Dan Pemikiran Islam. Vol-
8, No.2, Desember 2018.
Quthub, Sayyid. Fī Zhilalil Qur’an, Terj. Aunur Rafiq Shaleh Tmhid.
Jakarta: Robbani Press, 2008.
Rahayu, Sri Ulfa. “Kerjasama Rasulullah Dengan Non Muslim
Membangun Kesejahtraan Ummat.” Jurnal Al-Tahrir. Vol. 14
No. (2 Mei 2014).
Ramawati, Any. “Interaksi Sosial Keagamaan Antar Umat Islam dan
Umat Tri Dharma, (Studi Kasus di Desa Penyangkringan Kec,
Weleri, Kendal)”. Skripsi: IAIN Walisongo Semarang, 2012.
Shihab, M. Quraish. Islam Yang Salah Dipahami Menepis Prasangka
Mengikis Kekeliruan. Tangerang: Lentera Hati, 2018.
Shihab, M.Quraish. Tafsir Al-Misbāh, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-
Quran, Jilid 13, Cet. II Jakarta: Lentera Hati, 2006.
Sukandi. “Interaksi Politik Antara Muslim dan Non-Muslim Menurut Ibnu
Qoyyim dan Fahmi Huwaidi.” Jurnal Lisan Al-Hal. Vol-12,
No. (1 Juni 2018).
Suryana A. Toto, Pendidikan Agama Islam. Bandung: Tiga Mutiara,
1996.
Susan, Novri. Sosiologi Konflik Dan Isu-isu Konflik Kontemporer. Jakarta:
Kencana, 2009.
Taher, Tarmizi. Membumikan Ajaran Ketuhanan, Agama Dalam
Transformasi Bangsa. Jakarta Selatan: Penebit Hikmah, 2003.
Taufiq Imam. Al-Qur’an Bukan Kitab Teror Membangun Perdamaian
Berbasis Al-Qur’an. Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2016.
63
Triyanah. “Hubungan Muslim Dengan Non-Muslim Dalam Al-Qur’an
Perspektif Metode Tafsir Kontekstual Abdullah Saeed.”
Skripsi: IAIN Salatiga 2017.
Widagdo, Hadi Hajar. “Interaksi Sosial Muslim Dengan Non-Muslim
Dalam Prespektif Hadits”. Skripsi: UIN Sunan Kali Jaga,
Yogyakarta 2011.
Yakub, Ali Mustafa. Islam Is Not Only For Muslim. Tangerang:
Maktabah Darus Sunnah, 2016.
Yaqub, Ali Mustafa, Teror di Tanah Suci. Tangerang Selatan: Maktabah
Darus-Sunnah, 2016.
Yusuf, Muhammad. “Hubungan Muslim Dengan Non-Muslim Perspektif
Ulama Bugis.”
Zhalalluddin. ”Konsep Kerjasama Seorang Muslim Dengan Pemerintahan
Non-Muslim Dalam Tafsīr Ibnu Katsīr dan Tafsīr al-Misbāh.”
Skripsi: Universitas Islam Indonesia: Yogyakarta, 2018.
Al-Zuhaili, Wahbah. al-Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdat wa al-Syari’at wa
Manhāj, terj. Abdul Hayyi al Kattani. Depok: Gema Insani,
2013.
Al-Zuhaili, Wahbah. Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Syarī’ah wa al-
Manhaj. Jilid 14, cet I. Damaskus: Dār al-Fikr, 2009.
Al-Zuhaili, Wahbah. Tafsīr al-Wasīth, Jilid 1, cet.1, terj. Muhtadi. Jakarta:
Gema Insani, 2012.