Hubungan Kecerdasan Emosi dan Penyesuaian Diri Pada ......HUBUNGAN KECERDASAN EMOSI DAN PENYESUAIAN...
Transcript of Hubungan Kecerdasan Emosi dan Penyesuaian Diri Pada ......HUBUNGAN KECERDASAN EMOSI DAN PENYESUAIAN...
-
HUBUNGAN KECERDASAN EMOSI DAN PENYESUAIAN DIRI PADA
SISWA SMA YANG TINGGAL DI TEMPAT KOST
OLEH
MATHILDA ELIZABETH LATUHERU
80 2009 041
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk
Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2014
-
HUBUNGAN KECERDASAN EMOSI DAN PENYESUAIAN DIRI PADA
SISWA SMA YANG TINGGAL DI TEMPAT KOST
Mathilda Elizabeth Latuheru
Berta E.A. Prasetya
Enjang Wahyuningrum
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2014
-
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan emosi
dan penyesuaian diri pada siswa SMA yang tinggal di tempat kost. Siswa sebanyak 50
orang diambil sebagai sampel yang dilakukan dengan menggunakan teknik sampel
insidental. Metode penelitian yang dipakai dalam pengumpulan data yaitu skala
kecerdasan emosi yang dilakukan dengan skala Emotional Intelligence oleh Schutte et
al (1998), berdasarkan aspek-aspek kecerdasan emosi yang diungkapkan oleh Goleman
(2002), untuk mengukur kecerdasan emosi siswa dan skala penyesuaian diri yang
disusun oleh Baker & Siryk (1999), berdasarkan aspek-aspeknya yang kemudian
penulis gunakan sebagai alat ukur untuk mengukur penyesuaian diri siswa. Teknik
analisa data yang dipakai adalah teknik korelasi product moment. Dari hasil analisa data
diperoleh koefisien korelasi (r) -0,065 dengan P < 0,05 yang berarti tidak ada hubungan
positif dan signifikan antara kecerdasan emosi dan penyesuaian diri siswa SMA yang
tinggal di tempat kost. Hal ini bermakna bahwa kecerdasan emosi tidak berhubungan
dengan penyesuaian diri siswa.
Kata Kunci: Kecerdasan Emosi, Penyesuaian Diri
i
-
ABSTRACT
The purpose of this research is to find out the relationship between emotional
intelligence and self – adjustment of Senior High School students who live in a
boarding house. There are 50 students used as the samples in this research by applying
the incidental sampling technique. The research method employed in the data collection
is the scale of emotional intelligence which is done by using the scale of Emotional
Intelligence by Schutte et al. (1998), based on the aspects of emotional intelligence
proposed by Goleman (2002) to measure the students’ emotional intelligence. In
addition, the writer applies the scale of self – adjustment suggested by Baker and Siryk
(1999). Based on its aspects, she exploits it as the measurement of students’ self –
adjustment. The technique of data analysis used in this research is the correlation
technique of product moment. The result of the data analysis shows that there is a
correlation coefficient (r) 0,065 with p < 0.05 which means that there is no positive and
significant relationship between emotional intelligence and self – adjustment of Senior
High School students. It means that emotional intelligence is not related to students’ self
– adjustment.
Key Words : Emotional Intelligence, Self - Adjustment
ii
-
1
PENDAHULUAN
Remaja berasal dari kata adolescene yang berarti “tumbuh” atau tumbuh menjadi
dewasa. Masa remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari masa anak menuju
masa dewasa (Steinberg, 2002). Pada periode ini remaja berubah secara kognitif dan
mulai mampu berfikir abstrak seperti orang dewasa. Pada periode ini pula remaja mulai
melepaskan diri secara emosional dari orang tua dalam rangka menjalankan peran
sosialnya yang baru sebagai orang dewasa.
Menurut Hall (dalam Gunarsa, 2009), masa remaja sering dianggap sebagai masa
storm & stress yaitu masa yang penuh frustasi dan konflik. Masa dimana individu harus
melakukan penyesuaian diri. Selain itu pada tahap ini, remaja mengalami masa
percintaan dan roman serta adanya pemisahan diri dari masyarakat dan kebudayaan
orang dewasa. Perilaku remaja dipengaruhi oleh munculnya rasa kecewa, meningkatnya
konflik, krisis penyesuaian, angan-angan yang tidak tercapai, hal-hal percintaan,
keterasingan dari kehidupan orang dewasa dan norma kehidupan (Gunarsa, 2009).
Pada usia remaja keinginan untuk bisa lepas dari keluarga dan tidak tergantung pada
orang tua sangat besar. Saat remaja menghadapi konflik antara ingin bebas dan mandiri
serta perasaan takut kehilangan rasa nyaman yang telah diperolehnya pada masa kanak-
kanak, remaja memerlukan orang yang dapat memberikan rasa aman sebagai pengganti
yang hilang dan dorongan kepada rasa bebas yang dirindukannya (Ali & Asrori, 2012 ).
Remaja yang tinggal ditempat kost biasanya mengalami kesulitan dalam
menyesuaiakan diri dengan lingkungannya. Berdasarkan hasil wawancara yang
dilakukan pada 6 Oktober, 2013 dengan salah satu siswa SMA yang tinggal di tempat
kost mengungkapkan bahwa siswa tersebut merasakan adanya kesulitan dalam
menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Siswa tersebut sulit untuk bersosialisasi
-
2
dengan teman-teman di kost dan sekolah, sering merindukan orang tua dan saudara,
sulit mengatur keuangan dan waktu untuk belajar dan bermain. Dan pada tanggal 06
Januari 2014, peneliti juga melakukan wawancara dengan siswa yang lain, yang juga
tinggal di tempat kost. Siswa tersebut mengungkapkan bahwa siswa tersebut juga
merasa kesulitan dalam menyesuikan diri dengan lingkungan tempat kost, dan hanya
memiliki beberapa teman dekat di sekolah.
Tempat kost adalah salah satu tempat tinggal yang pada umumnya di wilayah dekat
perguruan tinggi atau tempat-tempat pendidikan seperti sekolah atau kampus memiliki
rumah tinggal yang disewakan untuk didiami oleh orang-orang yang rumahnya jauh dari
sekolah atau kampus. Rumah tinggal ini sering disebut dengan tempat kost (Cokro,
2001). Jadi siswa SMA yang kost adalah pelajar yang tinggal jauh dari keluarga dan
menyewa suatu tempat untuk tinggal sementara dalam jangka waktu tertentu. Oleh
karena itu pelajar yang kost memerlukan kemampuan untuk menyesuaikan diri yang
baik,mengingat mereka jauh dari orang tua.
Hal ini disebabkan karena adanya transisi dalam kehidupan yang menghadapkan
individu pada perubahan-perubahan dan tuntutan-tuntutan sehingga diperlukan adanya
penyeusaian diri (Wijaya, 2007). Penyesuaian diri dapat diartikan sebagai reaksi
terhadap tuntutan-tuntutan terhadap diri individu (Vembriarto, 1993). Tuntutan-tuntutan
tersebut dapat digolongkan menjadi tuntutan internal dan tuntutan eksternal. Tuntutan
internal merupakan tuntutan yang berupa dorongan atau kebutuhan yang timbul dari
dalam yang bersifat fisik dan sosial. Tuntutan eksternal adalah tuntutan yang berasal
dari luar diri individu baik bersifat fisik maupun sosial.
Menurut Hurlock (1997), penyesuaian diri adalah keberhasilan seseorang untuk
menyesuaikan diri terhadap orang lain pada umumnya dan terhadap kelompok pada
-
3
khususnya. Remaja dituntut untuk bisa menyesuaikan diri dengan setiap perbedaan,
masalah yang mungkin belum pernah dijumpai sebelumnya, dan bisa beradaptasi
dengan lingkungan, teman, dan kegiatan belajar mengajar yang berbeda dengan
lingkungan sebelumnya. Kegagalan remaja dalam melakukan penyesuaian diri akan
menimbulkan bahaya seperti tidak bertanggung jawab dan mengabaikan pelajaran, sikap
sangat agresif dan sangat yakin pada diri sendiri, perasaan tidak aman, merasa ingin
pulang jika berada jauh dari lingkungan yang tidak dikenal, dan perasaan menyerah.
Sebaliknya apabila remaja mampu mengadakan penyesuaian diri dengan baik maka
dapat diharapkan adanya perkembangan kearah kedewasaan yang optimal dan dapat
diterima oleh lingkungannya (Hurlock, 1999).
Salah satu faktor penting dalam penyesuaian diri adalah kecerdasan emosi. Menurut
Goleman (2002), kecerdasan emosional (Emotional Intelligence) adalah kemampuan
seseorang mengatur kehidupan emosinya dan pengungkapannya melalui ketrampilan
kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati, dan keterampilan sosial. Aziz
(dalam Prasetiyo & Andriani, 2011), kecerdasan emosi terkait dengan penyesuian diri,
di mana semakin tinggi kecerdasan emosi seorang remaja maka semakin baik pula
kemampuan remaja maka semakin baik pula kemampuan remaja menyesuiankan
dirinya dengan lingkungan. Oleh sebab itu, kecerdasan emosi begitu penting dalam
proses penyesuian diri remaja di lingkungan yang baru.
Goleman (2002), Kecerdasan emosional membuat seseorang dapat menempatkan
emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana emosi.
Kecerdasan emosi adalah kecakapan emosional yang meliputi a) kemampuan untuk
mengendalikan diri sendiri dan memiliki daya tahan ketika menghadapi rintangan, b)
mampu mengendalikan impuls dan tidak cepat merasa puas, c) mampu mengatur
-
4
suasana hati dan mampu mengelola kecemasan agar tidak mengganggu kemampuan
berfikir, d) mampu berempati. Kecerdasan emosi merupakan hal yang penting dalam
menghadapi perubahan dan penyesuaian diri pada lingkungan baru. Aziz (dalam
Djuwarijah, 2002) menjumpai bahwa kecerdasan emosi terkait dengan penyesuaian diri
dimana semakin tinggi kecerdasan emosi seorang remaja maka semakin baik pula
kemampuan remaja menyesuaikan dirinya dengan lingkungan. Oleh sebab itu, bagi
remaja yang baru masuk ke lingkungan baru, baik di bangku perkuliahan maupun
sekolah dengan jauh dari orang tua, kecerdasan emosi dirasa begitu penting dalam
proses penyesuaian diri mereka di lingkungan yang baru.
Memiliki kecerdasan emosi yang baik berarti memiliki kecakapan sosial dan
pengendalian diri yang tinggi. Dengan begitu remaja dapat mengatasi berbagai masalah
yang di alami saat memasuki dunia atau lingkungan yang baru dan mampu mengambil
keputusan yang terbaik untuk dirinya dan orang-orang di sekitarnya (Cooper & Sawaf,
2001). Masalah-masalah tersebut beragam mulai dari memulai hubungan pertemanan,
melakukan tindakan agar bisa diterima di kelompok, mengendalikan emosi, hingga
bertahan dari kegagalan. Kecerdasan emosional dapat dilihat dari bagaimana remaja
mampu untuk memberi kesan yang baik tentang dirinya, mampu mengungkapkan
dengan baik emosinya sendiri, berusaha menyetarakan diri dengan lingkungan, dapat
mengendalikan perasaan dan mampu mengungkapkan reaksi emosi sesuai dengan
waktu dan kondisi yang ada sehingga interaksi dengan orang lain dapt terjalin lancar
dan efektif (Zainun, 2007).
Berdasarkan hasil penelitian yang berkaitan dengan penyesuaian diri dilakukan
dilakukan oleh Nurdin (2009), didapatkan hasil bahwa ada hubungan positif yang
signifikan antara kecerdasan emosional dengan penyesuaian diri pada remaja. Hal
-
5
serupa di dapatkan juga dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Ichsan (2013), dimana
didapatkan hasil adanya hubungan yang positif antara kecerdasan emosional dengan
penyesuaian penyesuaian diri peserta didik di SMP Negeri 20 padang.
Sementara dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Amar (2009), didapatkan hasil
yang berbeda, dimana kecerdasan emosi pada siswa baru tidak terdapat hubungan
positif dengan penyesuaian diri.
Dari paparan di atas, maka penulis ingin mengetahui Hubungan antara Kecerdasan
Emosi dan Penyesuaian Diri pada Siswa SMA yang Tinggal di Tempat Kost.
Perumusan Masalah
Permasalahan yang ingin dikaji dalam penelitian ini adalah apakah terdapat
hubungan positif yang signifikan antara kecerdasan emosi dan penyesuaian diri pada
siswa SMA yang Tinggal di Tempat kost?
Penyesuaian Diri
Menurut Haber & Runyon (1984), penyesuaian diri merupakan suatu proses agar
individu dapat menerima dan mengatasi perubahan dalam setiap keadaan yang tidak
dapat diduga. Sedangkan menurut Willis (dalam Nurdin, 2009), penyesuaian diri
sebagai kemampuan seseorang untuk hidup dan bergaul secara wajar terhadap
lingkungannya, sehingga ia merasa puas terhadap dirinya dan terhadap lingkungannya.
Lahner dan Kube (1964), menyatakan bahwa usaha penyesuaian diri adalah usaha
untuk mempertemukan tuntutan diri sendiri dan lingkungan. Hal yang sama juga
dikemukakan oleh Lazarus (1976), bahwa penyesuaian diri merupakan usaha untuk
menjadi atau bertahan dalam lingkungan fisik dan sosialnya.
Schneiders (1964), menyatakan bahwa penyesuaian diri merupakan suatu proses
yang mencangkup respon mental dan tingkah laku individu, yaitu individu berusaha
keras agar mampu mengatasi konflik dan frustasi karena terhambatnya kebutuhan dalam
-
6
dirinya, sehingga tercapai keselarasan dan keharmonisan antara diri sendiri dengan
lingkungannya. Hal yang sama juga diungkapkan Sawrey & Telford (1968),
penyesuaian diri sebagai interaksi terus-menerus antara individu dengan lingkungannya
yang melibatkan sistem behavioral, kognisi, dan emosional. Dalam interaksi tersebut
baik individu maupun lingkungan menjadi agen perubahan.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kemampuan
penyesuaian diri adalah suatu usaha untuk mempertemukan tuntuan diri sendiri dan
interaksi terus-menerus antara individu dengan lingkungannya yang melibatkan sistem
behavioral, kognisi, dan emosional. Sehingga individu dapat mengatasi konflik dan
frustasi karena terhambatnya kebutuhan dalam dirinya.
Aspek-aspek Penyesuaian Diri
Menurut Baker & Siryk (dalam Splichal & Shaw, 2009) ada empat aspek
kemampuan penyesuaian diri, yaitu :
a. Penyesuaian Akademik
Penyesuaian akademik mengacu pada tercapainya tujuan pendidikan dan
tuntutan bawaan untuk pengalaman sekolah. Penyesuaian akademik siswa yang
memadai menunjukkan adalah menerapkan dirinya untuk karya akademis dan
memenuhi persyaratan institusional (Baker & Siryk, 1999). Yang meliputi :
motivasi, adaptasi, prestasi, dan lingkungan akademik.
b. Penyesuaian Sosial
Tuntutan antarpribadi-sosial dikaitkan dengan pengalaman sekolah yang
mengacu pada penyesuaian sosial (Baker & Siryk, 1999). Tingginya kadar
penyesuaian sosial berhubungan dengan kepuasan siswa dengan aspek-aspek
sosial dari sekolah. Ini termasuk keterlibatan dalam kegiatan-kegiatan sekolah,
serta pendirian dan memelihara hubungan dengan orang lain di sekolah. Tingkat
-
7
rendah penyesuaian sosial terkait dengan rasa kesepian pada siswa. Ini mungkin
hasil dari partisipasi siswa kurang dalam kegiatan sekolah, serta interaksi sosial
dan dukungan sosial yang terbatas di sekolah. Yang meliputi : umum, Orang
lain, kerinduan, dan lingkungan sosial.
c. Penyesuaian Personal/Emosional
Penyesuaian pribadi-emosional berkaitan dengan tingkat tekanan fisik dan
psikologis pengalaman siswa setelah masuk ke institusi pendidikan sekolah
menengah atas (Baker & Siryk, 1999). Penyesuaian pribadi-emosional yang
positif secara fisik dan psikologis. Siswa yang tidak dapat menyesuaikan diri
dengan baik memiliki kemungkinan mengalami peningkatan kecemasan dan
depresi. Yang meliputi : Psikologi, dan fisik.
d. Goal commitment / Institutional attachment
Perasaan seorang siswa tentang lembaga pendidikan sekolah menengah atas dan
kualitas hubungan yang terkait dengan komitmen tujuan bersekolah (Baker &
Siryk, 1999). Kepuasan yang tinggi dengan sekolah saat ini terkait dengan
lampiran kelembagaan yang lebih baik, sedangkan kepuasan yang rendah
menunjukkan lampiran yang lebih negatif dan kemungkinan peningkatan
gesekan siswa. Yang meliputi : Lingkungan sekolah, dan umum.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri
Sawrey dan Telford (1968), mengemukakan bahwa penyesuaian bervariasi sifatnya,
apakah sesuai atau tidak dengan keinginan sosial, sesuai atau tidak dengan keinginan
personal, menunjukkan konformitas sosial atau tidak, dan atau kombinasi dari beberapa
sifat di atas. Sawrey dan Telford lebih jauh lagi mengemukakan bahwa penyesuaian
yang dilakukan tergantung pada sejumlah faktor yaitu pengalaman terdahulu, sumber
frustrasi, kekuatan motivasi, dan kemampuan individu untuk menanggulangi masalah.
-
8
Menurut Schneiders (1964) faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri
adalah:
a. Keadaan fisik
Kondisi fisik individu merupakan faktor yang mempengaruhi penyesuaian
diri, sebab keadaan sistem-sistem tubuh yang baik merupakan syarat bagi
terciptanya penyesuaian diri yang baik. Adanya cacat fisik dan penyakit kronis
akan melatarbelakangi adanya hambatan pada individu dalam melaksanakan
penyesuaian diri.
b. Perkembangan dan kematangan
Bentuk-bentuk penyesuaian diri individu berbeda pada setiap tahap
perkembangan. Sejalan dengan perkembangannya, individu meninggalkan
tingkah laku infantil dalam merespon lingkungan. Hal tersebut bukan karena
proses pembelajaran semata, melainkan karena individu menjadi lebih matang.
Kematangan individu dalam segi intelektual, sosial, moral, dan emosi
mempengaruhi bagaimana individu melakukan penyesuaian diri.
c. Keadaan psikologis
Keadaan mental yang sehat merupakan syarat bagi tercapainya
penyesuaian diri yang baik, sehingga dapat dikatakan bahwa adanya frustrasi,
kecemasan dan cacat mental akan dapat melatarbelakangi adanya hambatan
dalam penyesuaian diri. Keadaan mental yang baik akan mendorong individu
untuk memberikan respon yang selaras dengan dorongan internal maupun
tuntutan lingkungannya. Variabel yang termasuk dalam keadaan psikologis di
antaranya adalah pengalaman, pendidikan, konsep diri, dan keyakinan diri.
d. Keadaan lingkungan
Keadaan lingkungan yang baik, damai, tentram, aman, penuh penerimaan
dan pengertian, serta mampu memberikan perlindungan kepada anggota-
-
9
anggotanya merupakan lingkungan yang akan memperlancar proses
penyesuaian diri. Sebaliknya apabila individu tinggal di lingkungan yang tidak
tentram, tidak damai, dan tidak aman, maka individu tersebut akan mengalami
gangguan dalam melakukan proses penyesuaian diri. Keadaan lingkungan yang
dimaksud meliputi sekolah, rumah, dan keluarga. Sekolah bukan hanya
memberikan pendidikan bagi individu dalam segi intelektual, tetapi juga dalam
aspek sosial dan moral yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Sekolah
juga berpengaruh dalam pembentukan minat, keyakinan, sikap dan nilai-nilai
yang menjadi dasar penyesuaian diri yang baik (Schneiders, 1964). Keadaan
keluarga memegang peranan penting pada individu dalam melakukan
penyesuaian diri. Sikap dan harapan orang tua yang realistik dapat membantu
remaja mencapai kedewasaannya sehingga remaja dapat menyesuaikan diri
dengan tuntutan dan tanggung jawab. Sikap orang tua yang overprotektif atau
kurang peduli akan menghasilkan remaja yang kurang mampu menyesuaikan
diri.
e. Tingkat religiusitas dan kebudayaan
Religiusitas merupakan faktor yang memberikan suasana psikologis yang
dapat digunakan untuk mengurangi konflik, frustrasi dan ketegangan psikis
lain. Religiusitas memberi nilai dan keyakinan sehingga individu memiliki arti,
tujuan, dan stabilitas hidup yang diperlukan untuk menghadapi tuntutan dan
perubahan yang terjadi dalam hidupnya (Schneiders, 1964). Kebudayaan pada
suatu masyarakat merupakan suatu faktor yang membentuk watak dan tingkah
laku individu untuk menyesuaikan diri dengan baik atau justru membentuk
individu yang sulit menyesuaikan diri.
-
10
Kecerdasan Emosi
Goleman (2001), mendefinisikan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan
mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri
sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri, dan dalam
hubungan dengan orang lain. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Solvey & Mayer
(dalam Goleman, 2001), kecerdasan emosi sebagai kemampuan memantau dan
mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain, serta menggunakan perasaan-perasaan
itu untuk memandu pikiran dan tindakan.
Sedangkan menurut Atkinson (1987), kecerdasan emosional mencakup
pengendalian diri, semangat, dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri
sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, kemampuan untuk mengendalikan dorongan
hati dan emosi, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga
agar beban stress tidak menggangu kemampuan berpikir, untuk berempati terhadap
orang lain dan berdoa, untuk memelihara hubungan dengan sebaik-baiknya,
kemampuan untuk menyelesaikan konflik, serta untuk memimpin diri dan lingkungan
sekitarnya.
Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan
emosional adalah kemampuan seseorang dalam memahami perasaan diri sendiri dan
orang lain, maupun mengendalikan emosi dan mampu berhubungan dengan orang lain
sehingga seseorang dapat berhasil mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungannya.
Aspek-aspek Kecerdasan Emosi
Goleman (2002) mengemukakan lima wilayah utama dalam kecerdasan emosional,
yaitu :
a. Kesadaran diri
Kemampuan untuk mengenali diri sendiri merupakan kemampuan dasar dari
kecerdasaan emosional. Kemampuan ini berfungsi untuk memantau perasaan dari
-
11
waktu ke waktu dan mencermati perasaan-perasaan yang muncul. Ketidakmampuan
mencermati perasaan yang sesungguhnya menandahkan bahwa orang berada dalam
kekuasaan perasaan sehingga tidak peka akan perasaan yang sesungguhnya yang
berakibat buruk bagi pengambilan keputusan masalah.
b. Kemampuan mengelolah emosi
Kemampuan untuk mengelolah emosi, berarti mampu menangani perasaan agar
perasaan dapat terungkap dengan tepat. Hal ini merupakan kecakapan yang sangat
bergantung pada kesadaran diri. Emosi dikatakan berhasil dikelola apabila :
mampu untuk menghibur diri ketika ditimpa kesedihan, dapat melepaskan
kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan bangkit kembali dengan cepat
dari semua itu . Orang yang buruk kemampuannya dalam keterampilan ini akan
terus-menerus bertarung melawan perasaan murung, sementara mereka yang pintar
akan dapat bangkit kembali jauh lebih cepat.
c. Motivasi diri
Kemampuan menata emosi merupakan alat untuk mencapai tujuan dan sangat
penting untuk memotivasi dan menguasai diri. Orang yang memiliki keterampilan
ini cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam apapun yang mereka kerjakan.
d. Empati
Kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain, mampu
memahami perspektif, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan
diri dengan orang lain.
e. Kemampuan membina hubungan dengan orang lain
Seni membina hubungan dengan orang lain merupakan keterampilan social
yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan dengan orang lain. Tanpa memiliki
keterampilan seseorang akan mengalami kesulitan dalam pergaulan sosial.
-
12
Sedangkan orang yang memiliki kemampuan ini akan sukses dalam membina
hubungan dengan orang lain.
Dari penjelasan di atas, maka aspek yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah aspek kecerdasan emosi dari Goleman (2002).
Efek Kecerdasan Emosi
Kecerdasan emosional merupakan kecakapan utama, kemampuan yang secara
mendalam mempengaruhi semua kemampuan lainnya, baik memperlancar maupun
menghambat memampuan-kemampuan itu (Goleman, 2001).
Seseorang yang memiliki yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi akan
mengambil keputusan dan melakukan tindakan yang tepat saat situasi kritis dan
mendesak. Selain itu kecerdasan emosional juga berguna dalam penyesuaian diri dan
membina hubungan yang baik dengan orang lain. Mereka yang memiliki kecerdasan
emosional mengetahui perasaan dirinya dan orang lain, dapat menahan diri, dan
bersikap empatik sehingga membuat orang lain merasa nyaman, tenang, dan senang
bergaul dengannya. Individu yang memiliki kecerdasan emosinal yang rendah lebih
terlihat menarik diri dari pergaulan atau masalah sosial seperti lebih suka menyendiri
dan kurang bersemangat, sering cemas dan depresi dan agresi Ernawati (dalam
Mukarromah, 2008).
Hubungan Kecerdasan Emosi dan Penyesuian Diri Pada Siswa SMA Yang Kost.
Goleman (2002), mengungkapkan ada kelima komponen kecerdasan emosi yaitu
kesadaran diri, kemampuan pengendalian diri, motivasi diri, empati, dan kemampuan
membina hubungan dengan orang lain. Kemampuan-kemampuan ini sangat
berpengaruh pada proses penyesuaian diri yang dilakukan remaja untuk dapat bereaksi
secara positif terhadap perubahan dan tuntutan lingkungannya.
-
13
Berkaitan dengan proses penyesuaian diri, aspek kesadaran diri sangat berperan
karena adanya kemampuan mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi,
ketidakmampuan mencermati perasaan yang sesungguhnya menandahkan bahwa orang
berada dalam kekuasaan perasaan sehingga tidak peka akan perasaan yang
sesungguhnya yang berakibat buruk bagi pengambilan keputusan masalah (Goleman,
2002).
Pada aspek pengendalian diri kemampuan untuk menangani perasaan agar perasaan
dapat terungkap dengan tepat, hal ini berpengaruh pada terbentuknya penyesuaian diri
yang baik pada remaja karena jika emosi berhasil dikelola maka remaja akan mampu
menghibur diri ketika ditimpa kesedihan, dapat melepas kecemasan, kemurungan atau
ketersinggungan dan tidak mudah menjadi putus asa bila terbentur suatu hambatan
(Goleman, 2002).
Aspek motivasi akan mendorong dan menggerakkan remaja untuk mencapai suatu
tujuan serta membantu dalam mengambil inisiatif dan tindakan yang efektif. Hal ini
memantu remaja untuk dapat bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi yang
mungkin saja terjadi pada saat proses penyesuaian diri (Goleman, 2002).
Mengenali emosi orang lain atau empati, akan sangat membantu remaja dalam
proses penyesuaian diri untuk dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain
sehingga mampu memahami berbagai ekspresi dan perasaan yang muncul dan selalu
berubah-ubah dari lingkungan sekitarnya. Hal ini berpengaruh dengan bagaimana
individu dapat bereaksi memenuhi tuntutan dari lingkungannya. Hal ini sesuai dengan
hasil penelitian yang dilakukan oleh (Saptoto, 2010) yang menjelaskan bahwa individu
yang memiliki kecerdasan emosi tinggi mampu mengetahui keadaan perasaan orang
lain.
-
14
Pengaruh aspek kemampuan membina hubungan dengan orang lain mempunyai
porsi yang besar pada proses penyesuaian diri remaja. Menangani emosi dengan baik
ketika berhubungan dengan orang lain serta cermat dalam membaca situasi dan
memudahkan remaja berinteraksi (Goleman, 2002). Dengan memiliki kemampuan
bersosialisasi yang baik maka akan memudahkan remaja dalam menyelesaikan suatu
perselisihan atau konflik yang dihadapi serta memudahkan remaja untuk menyesuaikan
diri dengan lingkungan.
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Purbosari (2011),
bahwa dengan mempunyai kecerdasan emosi yang baik, berarti mempuyai kecakapan
sosial yang baik mendatangkan perasaan puas dan gembira terhadap kehidupan
sosialnya. Dan menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Mukarromah (2008)
menyatakan bahwa individu dengan kecerdasan emosi yang rendah cenderung lebih
tertutup terhadap orang lain, mudah takut atau gelisah. Mereka tidak berkeinginan untuk
melibatkan diri dengan orang-orang atau permasalahan, merasa tidak nyaman dengan
diri sendiri, dengan orang lain, dan dunia pergaulan lingkungannya.
Menurut Davidoff (1991) penyesuaian diri merupakan usaha untuk
mempertemukan tuntutan diri dengan lingkungan, di samping itu diperlukan dalam
usaha membina hubungan yang memuaskan antara individu dengan lingkungannya.
Tanda bahaya umum dari ketidakmampuan penyesuaian diri remaja antara lain adalah
tidak bertanggung jawab yang tampak dalam perilaku mengabaikan pelajaran untuk
bersenang-senang dan mendapat dukungan sosial, sikap yang sangat agresif dan sangat
yakin pada diri sendiri, perasaan tidak aman yang menyebabkan remaja patuh mengikuti
standar-standar kelompok, merasa ingin pulang bila berada jauh dari lingkungan yang
dikenal, perasaan menyerah, terlalu banyak berkhayal untuk mengimbangi
-
15
ketidakpuasan yang diperoleh dari kehidupan sehari-hari, mundur ke tingkat perilaku
yang sebelumnya agar disenangi dan diperhatikan (Hurlock, 1997).
Berdasarkan uraian teori Goleman (2001) di atas, menunjukkan bahwa kelima
komponen kecerdasan emosi yaitu kesadaran diri, kemampuan pengendalian diri,
motivasi diri, empati, dan kemampuan membina hubungan dengan orang lain, sangat
berpengaruh pada proses penyesuaian diri yang dilakukan remaja untuk dapat bereaksi
secara positif terhadap perubahan dan tuntutan lingkungannya. Hal ini sesuai dengan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Aziz (dalam Djuwarijah, 2002) semakin tinggi
kecerdasan emosi seorang remaja maka semakin tinggi maka semakin baik pula
kemampuan remaja menyesuaiakan dirinya dengan lingkungan.
Jadi remaja yang memiliki kecerdasan emosi yang baik maka remaja tersebut akan
memiliki kemampuan memahami dan menghargai perasaan pada diri dan orang lain
serta dapat menanggapinya dengan tepat, maka remaja dapat menerapkannya secara
efektif dalam kehidupan sehari-hari untuk mengatasi berbagai hambatan dan mencari
jalan keluar dari konflik yang dihadapi dan berdampak pada penerimaan sosial, karena
dengan memiliki kecerdasan emosi yang tinggi remaja akan lebih mudah diterima
keberadaannya di dalam lingkungan sosialnya, terutama dalam kelompok teman sebaya.
Hipotesis
1. Hipotesis Empirik
Berdasarkan tinjauan yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan
hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan positif
yang signifikan antara kecerdasan emosi dan penyesuaian diri pada siswa SMA
yang Tinggal di Tempat kost.
-
16
2. Hipotesis Statistik
H0 : Tidak ada hubungan positif yang signifikan antara kecerdasan emosi
dan penyesuaian diri pada siswa SMA yang Tinggal di Tempat kost.
H1 : Ada hubungan positif yang signifikan antara kecerdasan emosi dan
penyesuaian diri pada siswa SMA yang Tinggal di Tempat kost.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Sugiyono (2011) menjelaskan
bahwa penelitian dengan metode kuantitatif merupakan metode yang ilmiah karena
memenuhi kaidah-kaidah ilmiah yaitu konkrit atau empiris, obyektif, terukur, rasioal,
dan sistematis. Dengan variabel bebas yaitu, Kecerdasan emosional dan variabel terikat
Penyesuaian diri.
Populasi dan Sampel
Partisipan dalam penelitian ini adalah siswa SMA PGRI Ambon, kelas X1, X2, dan
X3 yang berjumlah 90 siswa. Pemilihan kelas dilakukan berdasarkan kriteria yang
ditentukan yaitu, siswa SMA tahun pertama, dan berdasarkan hasil wawancara dengan
salah seorang guru di SMA PGRI 1 Ambon, berkaitan dengan siswa yang bertempat
tinggal di kost, sehingga jumlahnya adalah 50 siswa. Kemudian, penulis mengambil
sampel insidental yang merupakan teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan,
yaitu siapa saja yang secara kebetulan atau insidental bertemu dengan peneliti dapat
digunakan sebagai sampel, bila dipandang orang yang kebetulan ditemuin itu cocok
sebagai sumber data (Sugiyono, 2012). Dengan berdasarkan pada beberapa kriteria,
yaitu :
a. Berstatus sebagai pelajar SMA tahun pertama
b. Berusia diantara 15-18 tahun
c. Tinggal di tempat kost
-
17
d. Belum pernah tinggal di kost sebelumnya
Alat Ukur Penelitian
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
angket atau skala pengukuran psikologi. Angket atau skala merupakan kumpulan dari
pertanyaan-pertanyaan atau pernyataan-pernyataan yang diajukan secara tertulis kepada
responden untuk menjawabnya (Sugiyono, 2012).
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan dua alat ukur berupa skala kecerdasan
emosi yang juga telah dimofikasi oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek yang
diungkapkan oleh Schutte et al (1998) sesuai dengan teori kecerdasan emosi yang
dikemukan oleh Goleman (2002). Dan skala penyesuaian diri yang telah dimofikasi
oleh peneliti, dengan mengubah kalimat yang terlalu panjang atau sulit dipamami
menjadi kalimat yang lebih singkat dan jelas berdasarkan aspek-aspek yang
diungkapkan oleh Baker & Siryk (1999). Jumlah item yang diuji dalam skala
kecerdasan emosi sebanyak 33 item dan yang sudah diuji coba menjadi 26 item dengan
daya diskriminasi bergerak antara 0,261-0,708, dengan alpha cronbach’s sebesar 0,888.
Sedangkan untuk mengukur skala penyesuaian diri jumlah item sebanyak 54 item dan
yang sudah diuji coba menjadi 25 item dengan daya diskriminasi bergerak antara 0,250-
0,675 dengan alpha cronbach’s sebesar 0,869. Salah satu contoh item skala kecerdasan
emosi yang diambil dari item nomor 1 sebagai berikut: saya tahu kapan harus berbicara
tentang masalah pribadi saya kepada orang lain. Salah satu contoh item skala
penyesuaian diri yang diambil dari item nomor 1 sebagai berikut: saya merasa nyaman
berada di lingkungan sekolah. Skala yang digunakan adalah skala likert, yang sudah
dimodifikasi dengan menghilangkan kategori jawaban yang berada di tengah. Maka
skala Likert tersebut mempunyai empat macam pilihan jawaban yaitu, sangat sesuai
(SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS) dan sangat tidak sesuai (STS).
-
18
Prosedur Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dan jumlah skala psikologi yang
disebar sebanyak 50 buah. Penelitian dilaksanakan pada tanggal 14 Oktober dan pada
tanggal 20 Oktober 2014 dengan cara, penulis datang langsung ke sekolah SMA PGRI 1
Ambon untuk bertemu dengan subjek penelitian sebanyak 50 subjek siswa, yang terdiri
dari kelas X1, X2, dan X3 yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan, siswa
bertempat tinggal di kost berjumlah 50 siswa. Sebelumnya, terlebih dahulu peneliti
memperkenalkan diri dan memberikan penjelasan mengenai maksud dan tujuan peneliti
melakukan penelitian kepada para siswa dan meminta partisipasi siswa untuk berperan
serta dalam penelitian ini dengan mengisi skala yang disebarkan kepada mereka. Selama
pengisian skala, siswa diperkenankan bertanya jika ada materi yang terdapat di dalam
skala dianggap sulit dipahami atau tidak jelas. Selama pengisian skala, peneliti berada di
dalam kelas untuk memberikan penjelasan jika terdapat persoalan yang tidak dimengerti
siswa. Setelah pengisian skala selesai, skala langsung diberikan kepada peneliti dan
peneliti langsung mengecek skala yang telah diisi oleh siswa. Selama pelaksanaan
penelitian, responden dapat bekerjasama dengan baik dan cenderung menjawab setiap
pernyataan dengan baik dan jumlah skala yang diterima kembali oleh peneliti berjumlah
50 skala. Data yang diperoleh dalam penelitian kemudian diolah menggunakan bantuan
program komputer SPSS 16.0 for windows.
Teknik Analisa Data
Metode analisis menggunakan uji korelasi untuk melihat hubungan signifikan
kecerdasan emosi dan penyesuaian diri pada siswa SMA yang tinggal di tempat kost.
Analisis data dilakukan dengan bantuan program komputer SPSS 16.0 for windows.
-
19
HASIL PENELITIAN
Analisis deskriptif
Kecerdasan Emosi
Table 1.1 Kategorisasi pengukuran
Skala Kecerdasan Emosi
No Interval Kategori Mean N Persentase
1. 88,4 ≤ x ≤ 104 Sangat
Tinggi
19 38%
2. 72,8 ≤ x < 88,4 Tinggi 84,98 25 50%
3. 57,2 ≤ x < 72,8 Sedang 6 12%
4. 41,6 ≤ x < 57,2 Rendah 0 0%
5. 26 ≤ x < 41,6 Sangat
Rendah
0 0%
Jumlah 50 100%
SD = 9,652 Min = 70 Max = 104
Keterangan: x = Kecerdasan Emosi
Kecerdasan emosi memiliki nilai minimum sebesar 70 dan nilai maksimum 104
dengan standard deviasi 9,652. Dan berdasarkan Tabel 1.1 di atas, dapat diketahui
bahwa siswa yang memiliki kategori sangat tinggi (38%), tinggi (50%), sedang (12%),
dan pada kategori rendah dan sangat rendah memiliki (0%).
Penyesuaian Diri
Table 1.2 Kategorisasi pengukuran
Skala Penyesuaian Diri
No Interval Kategori Mean N Persentase
1. 85 ≤ x ≤ 100 Sangat
Tinggi
2 4%
2. 70 ≤ x < 85 Tinggi 15 30%
3. 55 ≤ x < 70 Sedang 65,64 25 50%
4. 40 ≤ x < 55 Rendah 7 14%
5. 25 ≤ x < 40 Sangat
Rendah
1 2%
Jumlah 50 100%
SD = 11,515 Min = 34 Max = 89
Keterangan: x = penyesuian diri
-
20
Penyesuaian diri memiliki nilai minimum sebesar 34 dan nilai maksimum 89 dengan
standard deviasi 11,515. Dan berdasarkan Tabel 1.2 di atas, dapat diketahui bahwa
siswa yang memiliki kategori sangat tinggi (4%), tinggi (30%), sedang (50%), rendah
(14%) dan sangat rendah (2%).
Uji Normalitas
Berdasarkan hasil uji normalitas Kolmogorov-Smirnov, didapatkan nilai koefisien
Kolmogorov-Smirnov untuk variabel kecerdasan emosi adalah sebesar 0,137 dengan
signifikansi sebesar 0,020 (p> 0,05), sedangkan nilai Kolmogorov-Smirnov untuk
variabel penyesuaian diri siswa adalah sebesar 0,086 dengan nilai signifikansi sebesar
0,200 (p>0.05). Hal ini menunjukkan bahwa sebaran data variabel kecerdasan emosi
dan penyesuaian diri siswa SMA yang tinggal di tempat kost merupakan sebaran data
berdistribusi normal.
Uji Linearitas
Dari hasil uji linieritas, maka diperoleh nilai Fbeda sebesar 1,369 (p > 0,05) dengan
sig 0,224 (p > 0,05) yang menunjukkan hubungan antara pola kecerdasan emosi dengan
penyesuaian diri adalah linier.
Analisis Korelasi
Tabel 1.3 Hasil Uji Korelasi antara
Kecerdasan emosi dan Penyesuaian Diri
Correlations
KecerdasanEmosi PenyesuianDiri
KecerdasanEmosi Pearson Correlation 1 -.065
Sig. (1-tailed) .326
N 50 50
PenyesuaianDiri Pearson Correlation -.065 1
Sig. (1-tailed) .326
N 50 50
-
21
Berdasarkan hasil perhitungan uji korelasi diperoleh koefisien korelasi antara
kecerdasan emosi dengan penyesuaian diri sebesar -0,065 dengan sig. = 0,326 (p < 0.05)
yang berarti bahwa tidak ada hubungan positif dan signifikan antara kecerdasan emosi
dengan penyesuaian diri. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan positif dan
signifikan antara kecerdasan emosi dengan penyesuaian diri pada siswa SMA yang
tinggal di tempat kost.
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian mengenai hubungan kecerdasan emosi dan penyesuaian
diri siswa SMA yang tinggal di kost, didapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan positif
dan signifikan antara kecerdasan emosi dan penyesuaian diri siswa SMA yang tinggal di
kost. Berdasarkan hasil uji perhitungan korelasi, keduanya memiliki besar korelasi -
0,065 dengan taraf signifikansi sebesar 0,326 sehingga dikatakan p>0,05. Hal ini
menunjukkan bahwa, tidak ada hubungan positif dan signifikan antara kecerdasan emosi
dan penyesuaian diri siswa SMA yang tinggal di tempat kost. Artinya bahwa variabel
kecerdasan emosi tidak memiliki hubungan (tidak berkorelasi) dengan penyesuaian diri
siswa.
Dari hasil penelitian tersebut, mungkin disebabkan oleh beberapa hal berikut, faktor
kebudayaan yang ada di tempat pengambilan data yaitu, di Kota Ambon. Kota yang
terkenal dengan sifat kerasnya dan identik dengan budaya yang memiliki tingkat emosi
yang tinggi sehingga, tinggi rendah kecerdasan emosi tidaklah menjadi patokan bagi
seseorang dapat menyesuaikan diri dengan baik di lingkungan yang baru. Hal inilah
yang mungkin menyebabkan hasil penelitian ini mendapatkan hasil yang tidak
berkorelasi antara kecerdasan emosi dan penyesuaian diri. Hal ini terlihat dari hasil
penelitian yang diperoleh bahwa kecerdasan emosi siswa berada pada kategori tinggi,
-
22
yang artinya siswa tersebut telah memiliki kecerdasan emosi yang baik, tetapi
kecerdasan emosi tersebut tidak selamanya berkorelasi dengan penyesuaian diri pada
siswa SMA yang tinggal di tempat kost.
Hal ini juga bisa disebabkan oleh tuntutan-tuntuntan hidup yang harus dipenuhi.
Tuntutan-tuntan hidup yang begitu banyak dan harus dipenuhi sendiri oleh seorang
remaja (siswa SMA) yang baru pertama kali tinggal di tempat kost dan jauh dari orang
tua membuat kecerdasan emosi yang tinggi yang dimiliki tidak dapat menjadi faktor
pendukung dalam menyesuaikan diri. Tuntutan-tuntutan hidup yang tadinya dipenuhi
oleh orang tua, sekarang tanggung jawab dan memenuhi setiap tuntutan hidup dilakukan
sendiri oleh siswa. Sehingga apabila siswa tidak dapat memenuhi setiap tuntutan yang
ada tersebut dengan baik, maka akan mengalami kegagalan dalam menyesuiakan diri
walaupun, siswa tersebut memiliki kecerdasan emosi yang tergolong tinggi.
Hal ini juga bisa disebabkan oleh keadaan lingkungan, dimana keadaan lingkungan
memberikan banyak sekali pengaruh dalam penyesuaian diri. Seseorang yang tinggal di
lingkungan yang baru dituntunt untuk berinteraksi terus-menerus antara individu dengan
lingkungan sekitarnya (Sawrey & Telford, 1968) . Hal ini yang dapat menyebabkan
siswa yang berpindah tempat tinggal dari tempat tinggal sebelumnya (kampung) ke
tempat tinggal baru (kota) memerlukan penyesuaian diri yang baik, dapat menerima
keadaan lingkungan sekitar, dan dapat bergaul secara wajar. Kecerdasan emosi yang
tinggi tidak dapat sepenuhnya memberikan dampak positif terhadap penyesuian diri
siswa terhadap lingkungan. Ada siswa dengan aktifnya mengikuti kegiatan-kegiatan
ekstrakulikuler di sekolah, tetapi ada beberapa siswa yang memilih untuk tidak
mengikuti kegiatan ekstrakulikuler dan lebih memilih untuk fokus belajar. Hal ini
-
23
menyebabkan siswa tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik dengan lingkungan
sekitar.
Hasil penelitian yang sama juga ditemukan oleh Amar (2009), yang menemukan
bahwa kecerdasan emosi siswa tidak memiliki hubungan (tidak berkorelasi) dengan
penyesuaian diri siswa baru MAN. Hal ini membuktikan bahwa tidak selamanya
kecerdasan emosi berkorelasi dengan penyesuaian diri seseorang. Tetapi hasil penelitian
ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Ichsan (2013), yang menemukan
bahwa ada hubungan positif dan signifikan antara kecerdasan emosi dengan
penyesuaian diri peserta didik. Seseorang yang memiliki kecakapan emosi yang tinggi
dapat mengenal dirinya dengan baik, mengelola emosi diri dan mampu
memanajemennya, serta mengenal emosi orang lain dan terampil membangun hubungan
baik dengan orang lain.
Berdasarkan kategorisasi data empirik variabel kecerdasan emosi, dengan rata-rata
84,98 dan standar deviasi sebesar 9.652 diketahui bahwa terdapat 25 siswa (50%)
memiliki kecerdasan emosi yang berada pada kategori tinggi, 6 siswa (12%) memiliki
kecerdasan emosi yang berada pada sedang. Sedangkan berdasarkan kategorisasi data
empirik, variabel penyesuaian diri dengan rata-rata 65,64 dan standar deviasi sebesar
11,515, diketahui bahwa terdapat 25 siswa (50%) memiliki penyesuaian diri pada
kategori sedang, dan 1 siswa (2%) memiliki penyesuaian diri yang berada pada kategori
sangat rendah.
Dari hasil kajian penelitian di atas menunjukkan bahwa antara kecerdasan emosi
dengan penyesuaian diri siswa SMA yang tinggal di tempat kost tidak memiliki
hubungan positif dan signifikan hal ini menunjukan bahwa ada faktor lain yang lebih
berperan dalam penyesuaian diri siswa SMA yang tinggal di kost.
-
24
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan uraian yang telah disampaikan, maka dapat
ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut :
1. Tidak ada hubungan positif dan signifikan antara kecerdasan emosi dengan
penyesuaian diri pada siswa SMA yang tinggal di tempat kost.
2. Dalam penelitian ini ada 25 siswa SMA PGRI 1 Ambon memiliki tingkat
kategori kecerdasan emosi yang tinggi dengan persentase 50%, dan 25 siswa
memiliki tingkat kategori penyesuaian diri yang sedang dengan presentase 50%.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang ada, maka peneliti mengajukan saran kepada
beberapa pihak, sebagai berikut:
1. Bagi siswa
Untuk para siswa yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggal, hendaknya
tetap melatih kemampuan penyesuaian diri dengan membiasakan diri untuk
mengurus segala keperluan sehari-hari sendiri dan berlatih untuk mengambil
keputusan tanpa tergantung pada orang tua atau orang lain. Karena seseorang
yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi tidak selamanya dapat
menyesuaikan dirinya dengan baik.
2. Bagi peneliti selanjutnya
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masih ada faktor lain yang turut
mempengaruhi penyesuaian diri pada siswa SMA yang tinggal di tempat kost.
Diharapkan peneliti selanjutnya untuk dapat melakukan penelitian lebih lanjut
dengan meneliti faktor-faktor lain selain kecerdasan emosi yang lebih berperan
-
25
terhadap penyesuaian diri seperti, keadaan fisik, tingkat religiusitas dan
kebudayaan, keadaan psikologi, dan keadaan lingkungan.
Dari hasil penelitian ini, peneliti selanjutnya disarankan untuk melakukan
penelitian dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Mengapa sampai
tidak ada hubungan positif dan signifikan antara kecerdasan emosi dengan
penyesuaian diri pada siswa SMA yang tinggal di tempat kost. Yang memiliki
kecerdasan emosi tinggi dan penyesuaian diri tergolong sedang.
-
26
DAFTAR PUSTAKA
Ali, M. & Asrori, M. (2012). Psikologi Remaja : Perkembangan Peserta Didik. Jakarta :
PT. Bumi Aksara
Amar, H. R.L, (2009). Hubungan antara Kecerdasan Emosi dengan Penyesuaian Diri
Siswa Baru MAN Tempursari Ngawi. Malang.
Atkinson, R. L. dkk. (1987). Pengantar Psikologi I. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Azwar, S. (2012). Penyusunan skala psikologi. Edisi 2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Cokro, (2001). Dinamika Pembentukan Kelompok di Tempat Kost.
http://www.uny.ac.id/akademik/sharefile/files/27032008210023_23_struktur_da
n_proses_sosial.doc
Cozby, P. C. (2009). Methods in behavioral research. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Davidoff, L. L. (1991). Psikologi Suatu Pengantar: Jilid 2. Ahli bahasa: Mari Juniati.
Jakarta: Erlangga.
Departemen Pendidikan Nasional, (2008). Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Pusat
Bahasa Edisi ke Empat. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintah DKI Jakarta. (2012), Rumah kost, Diakses
pada tanggal 27 Januari 2014 dari http://rumah-gedungjakarta.org/program-
dpgp/perumahan/layanan-penghunian/rumah-kost.html
Djuwarijah, (2002). Hubungan antara Kecerdasan Emosi dengan Agresivitas Remaja.
Psikologika (Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi). Fakultas Psikologi
Universitas Islam Indonesia No.13 Tahun VII Yogyakarta
Goleman, D. (2001). Working with Emotional Intelligence : Kecerdasan Emosi untuk
Mencapai Puncak Prestasi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Goleman, D. (2002). Emotional Intellegence. Mengapa EI Lebih Penting Dari IQ.
Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Gunarsa, S.D. (2009). Psikologi Perkembangan: Anak dan Remaja. Jakarta: BPK.
Gunung Mulia.
Haber, A & Runyon. (1984). Psychologi of Ajusment. New York : Colomby Press
Hadi, S. (2004). Metodologi research. Yogyakarta: Andi Ofset
Hurlock, E.B. (1997). Psikologi Perkembangan Sepanjang Rentang Kehidupan. Alih
Bahasa Istiwidayanti dan Soedjarwo. Edisi kelima. Jakarta : Erlangga.
Ichsan, B. (2013). Hubungan kecerdasan emosi dengan penyesuaian diri
http://www.uny.ac.id/akademik/sharefile/files/27032008210023_23_struktur_dan_proses_sosial.dochttp://www.uny.ac.id/akademik/sharefile/files/27032008210023_23_struktur_dan_proses_sosial.dochttp://rumah-gedungjakarta.org/program-dpgp/perumahan/layanan-penghunian/rumah-kost.htmlhttp://rumah-gedungjakarta.org/program-dpgp/perumahan/layanan-penghunian/rumah-kost.html
-
27
peserta didik di SMP Negeri 20 Padang. Jurnal program studi bimbingan dan konseling. Sekolah tinggi keguruan dan ilmu pendidikan (STKIP) PGRI
sumatera barat: Padang.
Janda, L. H. (1998). Psychological testing: theory and applications. Icludes Sonware.
Massachusetts: A Viacom Company
Lazarus, R, S. (1976). Personality and Adjustment. Prentice Hall-inc, Egglewood Cliffc,
New Jersey.
Lehner, G.F.J & Kube, E. (1964). The Dynamics of Personal Adjustment. New Jersey :
Library of congress.
Monks F. J., Knoers A. M. P., & Haditono S. R. (2002). Psikologi perkembangan:
pengantar berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Mukarromah, E. (2008). Hubungan antara Kecerdasan Emosional (Emotional
Intelligence) dengan Perilaku Agresif pada polisi Samapta di Polda Metro Jaya.
Jurnal Psikologi Vol. 6 No.1. Fakultas Psikologi Universitas Esa Unggul,
Jakarta.
Nurdin. (2009). Hubungan Kecerdasan Emosional terhadap Penyesuaian Sosial Siswa
Di Sekolah. Jurnal Administrasi Pendidikan Vol. IX No. 1 April 2009.
Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2004). Human development 9th
edition.
New York: McGraw Hill Inc.
Prasetiyo, A., & Andriani, I. (2011). Hubungan kecerdasan Emosional dengan Subject
Well Being pada Mahasiswa Tingkat Pertama. Jurnal Proceeding PESAT
(Psikologi, Sastra, Arsistektur & Sipil ). Vol. 4. Universitas Gunadarma :
Depok
Purbosari, R.W. (2011). Hubungan antara Kecerdasan Emosional dengan Penyesuaian
Sosial pada Remaja Balai Rehabilitas Sosial “Wira Adhi Karya”. Universitas
Katolik Soegijapranata : Jakarta.
Santrock, J. W. (2002). Life–span development: perkembangan masa hidup.
Penerjemah: Juda Damanik. Edisi 5. Jakarta: Erlangga
Sawrey, J,M & Telford, C.W. (1968). Educational Psychology 3rd
Edition. Bostom :
Allyn and Bacon. Inc.
Schneiders, A.A. (1964). Personal Adjustment and Mental Health. New York : Holt,
Reinhart & Winston Inc.
Shaw, E.N. (2009). The relationships between perceived parenting style, academic self-
efficacy and college adjustment of Freshman engineering students. Thesis (tidak
diterbitkan). University Of North Texas.
-
28
Solvey & Mayer (1990), Emotional Intelligence : Imagination, cognition, and
Personality. 9. New York : McGraw Hill.
Splichal, T.C (2009). The effects of first-generation status and race/ethnicity on
Students' adjustment to college. Submitted to the Faculty of the University of
Miami. UMI 3392608 by ProQuest LLC.
Steinberg & Laurence. (2002). Adolescent. Boston : McGraw-Hill College
Sugiyono. (2012). Metodologi penelitian pendidikan: pendekatan kuantitatif, kualitatif,
dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Suyanti, S, & Mangunhardjana (2002). Pengaruh pelatihan Emotional Literacy terhadap
kecerdasan emosional remaja. Jurnal Anima, Indonesian Psychological Journal.
Vol. 17, No. 3.
Vembriarto, S.T. (1993). Sosiologi Pendidikan. Jakarta: BPK Gunung Agung.
Wijaya, N. (2007). Hubungan antara Keyakinan Diri Akademik dengan Penyesuaian
Diri Siswa Tahun Pertama Sekolah Asrama SMA PAngudi Luhur Van Litih Muntilan. (
Skripsi tidak diterbitkan). Universitas Diponegoro: Semara